tanggung gugat notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta dari

advertisement
TANGGUNG GUGAT NOTARIS TERHADAP KESALAHAN
TERJEMAHAN ISI AKTA DARI BAHASA INDONESIA
KE BAHASA ASING
Ulfatul Hasanah
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama, Surabaya
e-mail: [email protected]
Abstrak: Perkembangan hubungan antara subjek hukum warga negara yang berbeda
untuk membuat perjanjian dalam bahasa asing selalu digunakan antara pihak-pihak
yang memiliki perbedaan karena perbedaan bahasa kewarganegaraan. Untuk
mendapatkan kepastian hukum khususnya bagi dokumen atau akta yang memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna di mata hukum, masyarakat memilih untuk
membuat akta di hadapan notaris. Namun, dalam pembuatan akta yang berbahasa
asing tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kesalahan dalam hal
terjemahannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan hukum atas
kesalahan terjemahan isi akta dari bahasa Indonesia ke bahasa asing; dan
menganalisis tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang
berbahasa asing. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Hasil dari penelitian ini yakni bahwa kekuatan hukum pada akta notaris yang
berbahasa asing yakni akta tersebut tidak bernilai sebagai akta otentik, karena
pembuatan akta notaris yang berbahasa asing telah melanggar ketentuan dalam UUJN
dan UU No. 24 Tahun 2009. Apabila akta itu dibuat tentang suatu perjanjian, maka
akta notaris tersebut batal demi hukum alias tidak memiliki kekuatan dalam
pelaksanaannya, karena keberadaan akta notaris yang isinya berbahasa asing
tersebut telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Tanggung gugat Notaris
terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing, yakni terdapat
tuntutan ganti rugi dari pihak yang dirugikan. Namun demikian, notaris bukanlah
pihak dalam akta tersebut sehingga tidak patut apabila notaris dibebani ganti rugi
oleh para pihak. adapun apabila terjadi kesalahan terjemahan cukuplah dilakukan
perbaikan yang disetujui para pihak.
Kata Kunci: Tanggung Gugat Notaris, Kesalahan Terjemahan, dan Bahasa Asing.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sebagai negara hukum (rechtstaat), Negara Republik Indonesia menjamin
adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara.
Untuk mewujudkan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi warga
negara dibutuhkan suatu alat bukti yang dapat menunjukkan hak dan kewajiban
seseorang secara jelas dalam suatu hubungan hukum yang terjadi di tengah
masyarakat. Di bidang keperdataan, alat bukti tertulis merupakan salah satu alat
MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
ISSN: 2442-3661
E-ISSN: 2477-667X
Tanggung Gugat Notaris
bukti yang sah untuk menentukan hak dan kewajiban seseorang dalam berbagai
hubungan hukum, seperti hubungan bisnis, pertanahan, perbankan, perjanjian dan
hubungan sosial lainnya. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta, khususnya
akta otentik yaitu, Notaris.1 Notaris dikontruksikan sebagai pejabat publik. Pejabat
publik merupakan orang yang diberikan kewenangan untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat pada umumnya.2
Notaris sebagai Pejabat Umum, diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk
membuat akta otentik di bidang keperdataan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
angka 1 UUJN yang berbunyi sebagai berikut: “Notaris adalah Pejabat Umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Pada prinsipnya akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris harus
dibuat secara sempurna dan tidak ada perubahan, baik penggantian, penambahan,
pencoretan, penyisipan maupun bahasa akta harus sesuai dengan Bahasa Indonesia
sesuasi ejaan yang diperbarui (EYD). Namun apabila di dalam akta terjadi perubahan,
maka Notaris harus melakukan perubahan terhadap substansi akta. Perubahan akta
tersebut dilakukan terhadap akta yang belum ditandatanagani oleh para pihak, saksi
dan Notaris. Perubahan akta sebelum ditandatangani oleh para pihak, saksi dan
Notaris lazim disebut dengan renvoi.3 Sementara itu minuta akta yang telah
ditandatangani para pihak, saksi, dan Notaris dan didalamnya terdapat kesalahan
penulisan dan pengetikan, maka harus dilakukan pembetulan. Pembetulan minuta
akta lazim disebut dengan rectification the original notarial deed, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan rectificatie de originele daad.4
Dengan meningkatnya problematika bisnis dalam hubungan hukum yang
berlangsung di tengah masyarakat, kebutuhan terhadap akta Notaris terus
meningkat, termasuk permintaan agar isi akta dibuat dalam bahasa asing atau bahasa
asing lainnya, sementara itu keberadaan akta Notaris sebagai alat bukti sempurna,
diharapkan dapat mencegah terjadinya sengketa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan, atau dalam hal terjadi sengketa, setidaknya dapat memberi
sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Dengan perkembangan hubungan antara subjek hukum warga negara yang
berbeda untuk membuat perjanjian dalam bahasa asing selalu digunakan antara
pihak-pihak yang memiliki perbedaan karena perbedaan bahasa kewarganegaraan.
Untuk mendapatkan kepastian hukum khususnya bagi dokumen atau akta yang
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di mata hukum, masyarakat memilih
untuk membuat akta di hadapan notaris. Namun, dalam pembuatan akta yang
HS., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta
Akta), Rajawali Pers, Jakarta, 2015, h. 2.
2Ibid.
3Ibid., h. 3
4Ibid.
1Salim
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
148
Ulfatul Hasanah
berbahasa asing tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kesalahan
dalam hal terjemahannya. Untuk itu, akan diuraikan sebab-sebab terjadinya
degradasi akta Notaris menjadi akta di bawah tangan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, serta alasan yang dapat dijadikan dasar hukum
untuk menuntut tanggung gugat kepada Notaris akibat terjadinya kesalahan
terjemahan isi akta dari bahasa Indonesia ke bahasa asing.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, disusun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimana kekuatan Hukum pada akta notaris yang berbahasa asing?
b. Bagaimana tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang
berbahasa asing?
Tujuan Penelitian
a. Menganalisis kekuatan hukum atas kesalahan terjemahan isi akta dari bahasa
Indonesia ke bahasa asing.
b. Menganalisis tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta
yang berbahasa asing.
Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum, khususnya hukum kenotariatan, sehingga dapat memperkaya khazanah
keilmuan ilmu hukum kenotariatan yang berkaitan dengan kekuatan akta yang
berbahasa asing, dan mengenai tanggung gugat Notaris atas kesalahan terjemahan isi
akta yang berbahasa asing.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada perkembangan hukum di bidang kenotariatan, disamping sebagai
bahan hukum bagi peneliti berikutnya di bidang yang sama, khususnya mengenai
dasar hukum kekuatan pembuktian akta Notaris dan tanggung gugat Notaris
terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing; dan mengenai dasar
hukum kekuatan pembuktian akta Notaris serta mengenai tanggung gugat Notaris
terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing.
149 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Tinjauan Pustaka
Pengertian Tanggung Gugat
Menurut M.A. Moegni Djojodirdjo, istilah tanggung gugat aansprakelijkheid
mempunyai arti yang sama dengan pertanggunganjawab atau pertanggungangugat, 5
sedangkan L.E.H. Rutten membedakan pengertian pertanggunganjawab
verantwoordelijkheid dan tanggung gugat aansprakelijkheid. Tanggung gugat
aansprakelijkheid merupakan kewajiban hukum rechtsplicht untuk memberi ganti
kerugian, akan tetapi pertanggunganjawab verantwoordelijkheid adalah merupakan
syarat untuk tanggung gugat yang harus sudah ada sebelumnya. 6
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa untuk menetapkan
seseorang bersalah yang menyebabkan timbulnya ganti rugi, disyaratkan bilamana
perbuatan melawan hukum dari pelaku dapat dipertanggungjawabkan atau mampu
bertanggungjawab, dengan kata lain tidak seorangpun yang berada diluar
kesalahannya dapat dimintai tanggung gugat asalkan undang-undang menentukan
hal ini. Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
kerugian terhadap orang lain tidaklah diwajibkan membayar ganti rugi bilamana
orang tersebut sakit jiwa, dimana setiap kemungkinan untuk mempermasalahkannya itu tidak ada.
Pengertian Notaris sebagai Pejabat Umum
Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Ambteneran
yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan:
“Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorn is verleden, door of
ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar
zuiks is geschied.” (Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat).
Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan
sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani
kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Maka
berdasarkan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut,
untuk dapat membuat suatu akta otentik seseorang harus mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum. Namun dalam Pasal 1868 itu tidak menjelaskan lebih lanjut
mengenai siapa yang dimaksud sebagai pejabat umum tersebut.
Menurut kamus hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan
demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian
dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan
Moegni DJojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat (Aanspraketijkheid) Untuk
Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 113.
6L.E.H. Rutten, dalam M.A. Moegi Djojodirjo, op.cit., h. 56.
5M.A.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
150
Ulfatul Hasanah
sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang
diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas
untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi
seperti itu diberikan kepada Notaris.7
Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN disebutkan bahwa: “Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang
lainnya”.
Pejabat umum adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam halhal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber
pada kewibawaan dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri
khas yang membedakannya dan jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.
Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh Menteri untuk melaksanakan
sebagian fungsi publik dari negara dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum
khususnya dalam bidang hukum perdata, walaupun Notaris bukan merupakan
pegawai negeri yang menerima gaji dari Negara. Pelayanan kepentingan umum
tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain
yang dibebankan kepada Notaris, yang melekat pada predikat sebagai pejabat umum
dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris. Akta Notaris yang diterbitkan
oleh notaris memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Menurut Nusyirwan, Notaris adalah orang semi swasta, karena ia tidak bisa
bertindak bebas sebagaimana seorang swasta. Ia harus menjunjung tinggi
martabatnya, oleh karena itu ia diperkenankan menerima uang jasa (honorarium)
untuk setiap pelayanan yang diberikannya.8 “Honorarium” berasal dan kata latin
Honor yang artinya kehormatan, kemuliaan, tanda hormat/ penghargaan semula
mengandung pengertian balas jasa para nasabah atau klien kepada dokter, akuntan,
pengacara, dan Notaris.9
Akta Otentik Sebagai Alat Pembuktian
Dalam hukum Romawi, kata “akta” disebut sebagai gesta atau instrumenta
faorensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau acta publica. Akta-akta
tersebut dibuat oleh seorang pejabat publik (publicae personae). Dari berbagai kata
Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2009, h. 16.
Membedah Profesi Notaris, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000, h. 3-4
9Ensiklopedi Nasional Indonesia, Delta Pamungkas, Jakarta, 2004, hal 472, lihat juga Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, h. 387.
7Habib
8Nusyirwan,
151 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
tersebut di atas kemudian muncul kata-kata publicare dan insinuari, actis inseri, yang
artinya mendaftarkan secara publik.10
Akta merupakan salah satu alat bukti yang bersifat tertulis atau surat. Alat bukti
tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Menurut Asser-Anema, alat bukti tertulis, surat
atau tulisan (geschrift) adalah “dragers van verstaanbare leestekens dienende om een
gedachteneenheid te vertolken”. (Pengemban tanda-tanda baca yang mengandung arti
serta bermanfaat untuk menggambarkan suatu pikiran).11
Terdapat dua jenis surat sebagai alat bukti tertulis, yaitu surat yang berupa akta
dan surat bukan akta, sedang akta itu sendiri dibagi menjadi akta di bawah tangan
dan akta otentik.12 Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar dari sesuatu hak, atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian. Agar dapat digolongkan dalam pengertian
akta maka surat tersebut harus ditandatangani.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk
itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa
bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan
untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik
tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang
dilakukannya atau dilihat di hadapannya. Dengan demikian undang-undang telah
menegaskan bahwa suatu akta disebut sebagai akta otentik jika: (1) bentuknya
ditentukan oleh undang-undang; (2) dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; dan
(3) dibuat di wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta tersebut.
Pembuatan akta otentik tersebut merupakan perbuatan hukum para pihak
(klien) karena dikehendaki bersama atau atas perintah undang-undang, jadi bukan
perbuatan hukum notaris. Notaris hanya mengkonstatir pernyataan dan keterangan
para pihak untuk selanjutnya dituangkan dalam aktanya agar mempunyai nilai
otentisitas. Jadi, fungsi utama notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik
semua hubungan hukum dari para pihak yang meminta jasanya, baik atas kehendak
para pihak atau ditentukan oleh undang-undang. Fungsi notaris adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata, bukan dalam
bidang hukum publik.13
Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, h. 252.
Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Edisi Baru, Ichtiab Baru van Hoeve,
Jakarta, 2000, h. 154.
12Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993,
h. 120.
13Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011, h.
76.
10Muhammad
11Tan
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
152
Ulfatul Hasanah
Metode Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), sebagai berikut:
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan pendekatan yang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14 Pendekatan perundang-undangan
ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi
dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Hasil
dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang sedang
dikaji. Sedangkan pendekatan konseptual (statute approach) merupakan pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum.15 Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin di dalam ilmu hukum, maka akan ditemukan gagasan-gagasan baru terkait
pengertian-pengertian hukum maupun asas-asas hukum yang relevan dengan isu
yang dikaji. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin para ahli
tersebut menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu dalil hukum dalam
memecahkan isu yang dikaji.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini, yakni begitu isu hukum ditetapkan peneliti melakukan penelusuran
untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.
Selanjutnya bahan tersebut dihubungkan secara deduktif dengan permasalahan yang
diajukan, guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat deskriptis melalui analisis
secara kritis. Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan berupa dasar
hukum tanggung gugat terhadap Notaris atas kesalahan terjemahan isi akta dari
bahasa Indonesia ke bahasa asing.
PEMBAHASAN
Kekuatan Hukum Akta Notaris yang Berbahasa Inggris
Kekuatan Hukum Akta Notaris
Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum
serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu bersifat
pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta otentik yang
dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban seseorang
dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013,
h. 133.
15Ibid., h. 135.
14Peter
153 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait. 16 Akta yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberikan perlindungan
hukum kepada para pihak manapun yang berkepentingan terhadap akta tersebut
mengenai kepastian peristiwa atau kepastian perbuatan hukum itu dilakukan.
Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa suatu akta dapat dikatakan
sebagai akta otentik harus memenuhi syarat-syarat yaitu dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang, dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum, dan
pejabat atau pegawai umum tersebut harus berwenang untuk membuat akta tersebut
ditempat di mana akta dibuat.
Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan
perundang-undangan. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua
belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak
daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Menurut R. Subekti bahwa akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat,
dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh
hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat
dibuktikan.17 Apabila ada akta yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut
masih berfungsi sebagai akta di bawah tangan, apabila akta tersebut akta tersebut
ditandatangani oleh para pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik
menjadi akta dibawah tangan tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris
tersebut tidak bisa dituntut, sekalipun Notaris tersebut akan kehilangan nama
baiknya.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu pertama
akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta
pejabat (ambtelijke akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang
dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak
yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah
tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab penuh atas pembuatan
akta.18
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah cara
pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Akta yang dibuat di bawah tangan adalah
suatu tulisan yang memang sengaja dijadikan alat bukti tentang peristiwa atau
kejadian dan ditandatangani, maka di sini ada unsur yang penting yaitu kesengajaan
dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar
Maju, Bandung, 2011, h. 7.
17R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 1999, h. 48.
18Sjaifurrachman dan Habib Adjie, op.cit., h. 109.
16Sjaifurrachman
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
154
Ulfatul Hasanah
untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan akta itu. Keharusan
mengenai adanya tanda tangan adalah bertujuan untuk memberi cirri atau untuk
menginvidualisir suatu akta. Sebagai alat bukti dalam proses persidangan di
pengadilan, akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna karena kebenarannya terletak pada tanda tangan para pihak yang jika
diakui, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik.
Menurut Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar
terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:
1. Di dalam bentuk yang ditentukann oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu
dan di tempat dimana akta itu dibuat.19
Menurut Habib Adjie, Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta
Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang Pejabat
Umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
c. Pejabat Umum oleh - atau di hadapan siap akta itu dibuat harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut.20
Ada 2 (dua) macam pejabat pembuat akta otentik yang dimaksudkan, ialah:
a) Pertama, Pembuat akta otentik yang disebut Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar)
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, atau Pasal 165 HIR
atau Pasal 285 Rbg. Misalnya seorang Notaris sebagaimana dimaksud asal 1 PJN jo
Pasal 1 UU No. 30/2004. Demikian juga seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
b) Kedua, Pembuat akta otentik yang tidak terrmasuk Pejabat Umum (Openbaar
ambtenaar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, tetapi
tugas pekerjaannya berhubungan dengan pembuatan akta otentik. Pejabat
pembuat akta otentik inilah yang disebut dengan ambtenaren of personen, atau
pejabat pembuat akta otentik lain yang ditunjuk UU membuat akta otentik. Pejabat
ini misalnya: Pejabat Pencatat Nikah di KUA atau Pencatat Nikah di Kantor Catatan
Sipil, Panitera Pengadilan, Jurusita, termasuk Penyidik yang membuat BAP
Penyidikan.
Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana, merupakan alat bukti
yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai
kesempurnaanya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti
Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003, h. 148.
Adjie, op.cit., h. 43.
19Irawan
20Habib
155 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
lain.21 Notaris tidak menjamin bahwa apa yang dinyatakan oleh penghadap tersebut
adalah benar atau suatu kebenaran.
Seorang Notaris dalam menjalankan jabatanya membuat akta otentik yang
berkaitan dengan keperdataan memiliki kewenangan atributif yaitu kewenangan
yang melekat pada jabatan itu dan diberikan oleh undang-undang. Apabila seorang
Notaris melakukan penyimpangan atas sebuah akta yang dibuatnya sehingga
menimbulkan suatu perkara Pidana maka harus mempertanggung-jawabkan secara
pidana apa yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan
diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan
secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persayaratan untuk dapat dikenakan
pidana karena perbuatannya itu.22
Hal tersebut didasarkan pada asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”
atau “actus non facit reum nisi mens sit rea”. Orang tidak mungkin dimintakan
pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan tetapi
seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu ia dapat dipidananya.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidanya apabila dia mempunyai
kesalahan.23 Jadi, pertanggungjawaban pidana adalah berbicara kesalahan dalam
hukum pidana. Unsur kesalahan dalam hukum pidana merupakan unsur paling
penting, karena berdasarkan asas geen straf zonder schuld atau liability based on
fault/guilt atau culpabilitas, maka adanya kesalahan menjadi yang pertama untuk
dicari dalam setiap tindak pidana.24
Akta merupakan surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk
dijadikan sebagai bukti, yang memuat suatu peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat dapat
disebut sebagai akta adalah : surat itu harus ditandatangani, surat itu harus memuat
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, dan surat itu diperuntukn
sebagai alat bukti. Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi “ pembuktian dengan
tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) otentik maupun dengan tulisan-tulisan di
bawah tangan”. Dari bunyi pasal tersebut maka akta dapat dibedakan atas 2 (dua)
bentuk yaitu, akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan lazim
disebut dengan Onder-hands, sedangkan akta Otentik lazim disebut sebagai Authentic
akta. Akta otentik tersebut adalah surat yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat
umum yang memiliki wewenang untuk itu dengan bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang serta digunakan sebagai bukti untuk peristiwa hukum. Akta otentik
yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: akta
21Ibid.,
h. 311.
Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Indonesia, Utomo, Bandung, 2004, h. 30.
23Ibid., h. 56.
24Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 91.
22Dwidja
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
156
Ulfatul Hasanah
itu harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (tenoverstaan) seorang pejabat
umum, akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta. Menurut Pasal 1867 KUH Perdata, akta otentik ialah
suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
dan atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat
dimana akta dibuatnya.
Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan
sesuatu yang dituliskan, tetapi juga sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar,
Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS), dimana disebutkan bahwa suatu akta
otentik tidak hanya memberikan bukti yang sempurna tentang tentang sesuatu yang
termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekadar sesuatu yang
dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut
diambil mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu
yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta.
Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa
benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi
juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang
diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian
mengikat, disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik, adalah sah sebagai
berikut:
a. Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang
yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna/lengkap berarti bahwa
kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembktian
yang lain, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.
b. Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi
akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dibuktikan sebaliknya. 25
Dari kekuatan pembuktian di atas, dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta
Notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu meliputi:
Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal
yang diperlukan agar supaya akta notaries dapat berlaku sebagai akta otentik.
1. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa suatu
kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau
diterangakan oleh pihak-pihak yang menghadap.
2. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian bahwa apa
yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihakHukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara Perdata), Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, 1999, h. 59.
25Kussunaryatun,
157 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk
umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).26
Akta Notaris yang Berbahasa Asing
Dalam membuat suatu perjanjian, seorang notaris juga terikat pada aturan
khusus tentang syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal yang tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tidak cukup untuk membuat sahnya
suatu perjanjian. Suatu sebab yang halal merupakan bagian penting untuk
mensahkan suatu perjanjian selain kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tersebut.
Dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Suatu sebab yang
halal adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Yang terlarang dalam hal ini adalah isi
dari suatu perjanjian baik itu formil maupun materiel.
Secara formil, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disingkat UU No. 24 Tahun
2009), dimana dalam Pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa, bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warganegara Indonesia. Bahkan perjanjian yang melibatkan pihak
asing pun diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang dituliskan juga dalam
bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. 27
Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa bahasa
Indonesia hukumnya wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian.
Kewajiban memiliki sifat yang imperatif atau memaksa yang tidak boleh tidak untuk
dilaksanakan.
Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris merupakan produk (akta) notaris.
Asli akta yang dibuat notaris merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan
dipelihara oleh notaris. Hal ini tersurat dari pengertian tentang protokol notaris yang
diartikan sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus
disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.28
Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982, h.
55.
27Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan
28Pasal 1 angka 8 dan angka 13 UUJN.
26R.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
158
Ulfatul Hasanah
Arsip menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan
diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan,
perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam
pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perjanjian sebagai arsip negara, diwajibkan untuk dibuat oleh notaris
menggunakan bahasa Indonesia.29 Bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam suatu
akta adalah bahasa Indonesia resmi yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang baku. Bahasa Indonesia yang baku adalah bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Selain harus mengikuti kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar
dalam rumusan ejaan yang disempurnakan, penulisan formil suatu akta juga mengacu
pada UUJN. Tata cara penulisan suatu akta yang diatur dalam Pasal 42 UUJN adalah:
1. Dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus
dan tidak menggunakan singkatan;
2. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang
disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan
huruf dan harus didahului dengan angka.
Suatu akta yang secara formil tidak sesuai dengan UUJN antara lain dapat
menurunkan peringkat pembuktiannya, dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan, apabila:
1) Tidak ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris (serta penerjemah
resmi), kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangan dengan menyebutkan alasannya.
2) Tidak menegaskan tentang pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan
penandatanganan pada akhir Akta.
3) Merubah isi akta dengan dihapus dan/atau ditulis tindih;
4) Tidak diberi tanda pengesahan lain pada sisi kiri akta atau pada akhir akta
sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan
menyisipkan lembaran tambahan, dan/atau diparaf oleh penghadap, saksi, dan
Notaris atas penggantian, penambahan, pencoretan, dan penyisipan pada isi akta.
5) Melakukan Pembetulan terhadap kesalahan ketik atau tulis pada minuta yang telah
ditandatangani, tidak dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang
dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada
Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara
pembetulan.
6) Tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39,
dan Pasal 40 UUJN.
29Pasal
43 UUJN.
159 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
7) Tidak membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan
Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris;
8) Tidak menyatakan bahwa tidak dilakukan pembacaan terhadap penghadap yang
menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya, pada penutup Akta serta melakukan
pemarafan pada setiap halaman Minuta Akta oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
9) Tidak melaksanakan ketentuan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Kesalahan substantif dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak dapat dalam
suatu akta tidak akan memberikan sanksi apapun kepada notaris yang membuatnya.
Terkait dengan perjanjian yang berbahasa asing yang dibuat oleh Notaris,
bahwa salah satu asas dalam perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak, yang
dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
(a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
(b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
(c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; serta
(d) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Begitu pula dengan penggunaan bahasa asing dalam pembuatan perjanjian
dengan akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, yang mana disebutkan dalam
Pasal 43 UUJN, sebagai berikut:
1) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia.
2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris
wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang
dimengerti oleh penghadap.
3) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila
pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak
menentukan lain.
5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Ketentuan Pasal 43 UUJN tersebut sesuai juga dengan ketentuan dalam UU No.
24 Tahun 2009, sebagai berikut:
1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
160
Ulfatul Hasanah
2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut
dan/atau bahasa Inggris.
Keabsahan kontrak pasca lahirnya UU No. 24 Tahun 2009 yang diawali dengan
prinsip-prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract), dilanjutkan dengan
penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak. Menurut Yohanes Sogar Simamora,
kata “wajib” yang terdapat dalam Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 adalah bersifat
memaksa, dengan kata lain tidak bisa dilanggar ataupun disimpangi. Namun tidak ada
satu aturan atau ketentuanpun yang mengatur sanksi akibat penggunaan bahasa yang
bukan bahasa Indonesia, termasuk sanksi terhadap kontrak ataupun akta yang tidak
menggunakan bahasa Indonesia.30 Lebih lanjut Yohanes Sogar Simamora menyatakan
bahwa penilaian terhadap suatu perjanjian harus didasarkan pada tiga hal, yakni
adanya “makna” dari perjanjian, adanya keseuaian atau kesepakatan kehendak
(meeting mind), dan tujuan yang “halal”. Sepanjang ketiga unsur tersebut terpenuhi
maka penggunaan bahasa yang bukan bahasa Indonesia dalam sebuah perjanjian atau
akta, tidak serta merta mengakibatkan batalnya perjanjian dan akta bersangkutan.
Dengan kata lain, ketiga unsur tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penilaian
terhadap pelanggaran maupun penyimpangan kata “wajib” dalam Pasal 31 UU No. 34
Tahun 2009.31
Terkait dengan penggunaan bahasa Inggris di dalam norma hukum dalam
kaitannya dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009, khususnya
frasa “wajib menggunakan bahasa Indonesia”, Tatiek Sri Djatmiati mengatakan
bahwa menurut Surat Kementerian Hukum Dan HAM Nomor 14.HH.UM.01.01-35
yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2009, penandatanganan
perjanjian (private commercial agreement) dalam bahasa Inggris tanpa disertai
bahasa Indonesia tidak melanggar syarat formil yang ditentukan dalam UU No. 24
Tahun 2009.32
Habib Adjie memaparkan pembahasannya mengenai bahasa hukum kontrak
dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 43 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam pembuatan akta.33 Lebih lanjut Habib Adjie menyatakan bahwa minuta akta
dan salinan akta harus dibuat dalam bahasa Indonesia dengan tidak menutup
kemungkinan membuat terjemahan dari keduanya ke dalam bahasa Inggris. 34
30http://www.indonesianotarycommunity.com.
diakses pada tanggal 18 April 2017.
31Ibid.
32Ibid.
33Ibid.
34Ibid.
Kedudukan Hukum Akta Tidak Berbahasa Indonesia,
161 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Ketentuan Pasal 43 ayat 4 UUJN menghendaki suatu akta Notaris berbahasa
Indonesia, tetapi apabila dikehendaki oleh para pihak dapat diterjemahkan dalam
bahasa asing. Berarti kecakapan Notaris dalam berbahasa asing, setidaknya bahasa
Inggris mutlak wajib dikuasai karena, apabila kliennya datang menghendaki akta
yang dibuat oleh Notaris dibuat dalam bahasa asing, maka wajib dibuat dalam bahasa
asing.
Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
akan menyebabkan akta pengikatan jual beli tanah yang dibuat dan ditandatangani di
hadapannya menjadi batal, karena syarat sahnya perjanjian yang diatur oleh Pasal
1320 ayat (4) KUHPerdata tidak terpenuhi yaitu syarat obyektif, “suatu sebab (kausa)
yang halal, suatu perjanjian yang berelemen asing tidak dibuat dalam bahasa
Indonesia.
Tanggung Gugat Notaris Terhadap Kesalahan Terjemahan Isi Akta Yang
Berbahasa Asing
Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan
mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik
Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap
akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum,
yaitu responsibility dan liability. Menurut kamus hukum Henry Campbell Black dalam
Black’s Law Dictionary pengertian tanggung jawab yakni, tanggung jawab bersifat
umum disebut responsibility sedangkan tanggung jawab hukum disebut liability.
Liability diartikan sebagai condition of being responsible for a possible or actual loss,
penalty, evil, expense or burden, condition which creates a duty to performact
immediately or in the future.35 Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah
liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum (konsekuensi hukum) yaitu
tanggung jawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan
istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik atau kewajiban
hukum.36
Pertanggungjawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat hukum
yang ditimbulkannya. Secara umum pertanggungjawaban yang biasa dikenakan
terhadap Notaris adalah pertanggungjawaban pertanggungjawaban administrasi
dijatuhi sanksi pidana, administrasi dan perdata. Pertanggungjawaban secara pidana
dijatuhi sanksi pidana, administrasi, dan pertanggungjawaban perdata dijatuhi sanksi
perdata. Itu merupakan konsekuensi dari akibat pelanggaran atau kelalaian yang
dilakukan oleh Notaris dalam proses pembuatan akta otentik.
35Henry
Campbell Black, Black Law Dictionary, Minn-West Publishing co, St. Paul, 1990, h. 914.
H.R., Hukum Adiministrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2006, h. 335-337.
36Ridwan
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
162
Ulfatul Hasanah
Menentukan adanya suatu pertanggungjawaban secara perdata atau pidana
yang dilakukan oleh seorang Notaris harus dipenuhi tiga syarat, yaitu harus ada
perbuatan Notaris yang dapat dihukum yang unsur-unsurnya secara tegas
dirumuskan oleh undang-undang. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan
hukum, serta harus ada kesalahan dari Notaris tersebut. Kesalahan atau kelalaian
dalam pengertian pidana meliputi unsur-unsur bertentangan dengan hukum dan
harus ada perbuatan melawan hukum. Sehingga pada dasarnya setiap bentuk
pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu mengandung sifat melawan
hukum dalam perbuatan itu.
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai
baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata
(privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan
Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan
hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan. 37 Persamaan
pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan sifat melawan
hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan
berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama
melindungi kepentingan (interest) hukum.
Perbedaan pokok antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat
melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum
(public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sedangkan sifat
melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest,
hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). Dalam
menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum
diperlukan syarat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan,
bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.38
Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum
Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada
perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat
privat. Sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana,
ada kepentingan umum yang dilanggar (di samping mungkin juga kepentingan
individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam sifat Hukum Perdata
maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.39
Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003, h. 14.
h. 17.
39Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, h. 22.
37Rosa
38Ibid.,
163 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Notaris tidak dapat dilepaskan dari perbuatan yang menyimpang atau
perbuatan yang melawan hukum. Karena seorang Notaris tetap seorang manusia
biasa yang tak luput dari kesalahan. Notaris harus siap untuk menghadapi jika
sewaktu-waktu dijadikan pihak yang terlibat dalam perkara bidang Hukum Perdata
maupun Hukum Pidana, yang diakibatkan dari produk hukum yang dibuatnya.
Sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dipungkuri lagi, saat ini
cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan perilaku Notaris
yang tidak professional dan memihak salah satu pihak pada akta-akta yang dibuatnya.
Akibat dari semua ini ada beberapa Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka,
terdakwa dan dipidana.
Jika Seorang Notaris dalam pembuatan aktanya menimbulkan perkara pidana
dan memenuhi unsur subyektif dan obyektif pemalsuan berupa akta otentik yang
berkaitan dengan isi dan tandatangan maka harus mempertanggungjawabkan secara
pidana berdasarkan Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHPidana. Akibat hukum akta yang
mengandung pemalsuan (adanya perkara pidana) maka terhadap akta tersebut
keotentikannya berubah menjadi batal demi hukum. Apabila akta tersebut berisikan
perjanjian maka sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dapat batal demi hukum
karena tidak memenuhi syarat obektifnya yaitu kausa yang tidak halal atau dapat
dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subyektif perjanjian.
Penyelesaian hukum dapat dilakukan oleh seorang Notaris karena Lembaga
Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam
pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara
sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka. 40 Seorang
Notaris yang membuat suatu akte yang bisa dijadikan alat bukti tertulis yang
mempunyai kekuatan pembuktian.
Mengenai faktor-faktor penyebab terdegradasinya akta Notaris sebagai alat
bukti yang kuat dan terpenuh, serta batalnya akta Notaris, pada dasarnya dapat
disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu diantaranya diatur di dalam ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata yang dirumuskan: “Akta otentik adalah akta yang didalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh dan dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat”.
Pasal ini hanya merumuskan arti kata otentik dan tidak menyebutkan siapa
pejabat umum itu, bagaimana bentuk aktanya dan kapan pejabat umum itu
berwenang, secara implisit Pasal 1868 KUHPerdata menghendaki adanya undangundang yang mengatur tentang pejabat umum dan bentuk aktanya. UUJN merupakan
satu-satunya undang-undang organik yang mengatur Notaris sebagai pejabat umum
Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah
disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan
2008, Depok, 2008.
40Chairunnisa
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
164
Ulfatul Hasanah
dan bentuk akta Notaris. Selanjutnya mengenai kewenangan Notaris selaku pejabat
umum diatur di dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN yang berbunyi:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
bentuk akta otentik menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Kutipan di atas menyiratkan bahwa, Notaris mempunyai kewajiban
menciptakan stentisitas dari akta yang dibuat oleh atau dihadapannya dan otentisitas
aktanya. Otentisitas akta ini hanya dapat tercipta apabila syarat-syarat formal atau
syarat-syarat bentuk gebruik in de vorm yang ditentukan dalam undang-undang
jabatan Notaris terpenuhi, dan otentisitas ini tidak ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan lainnya.
Bahwa bisa terjadi otentisitas akta Notaris tidak batal tetapi isi atau perbuatan
hukumnya yang batal. Hal itu terjadi apabila akta tersebut tidak mengandung cacat
yuridis dan yang membatalkannya hanya perbuatan hukum/peristiwa hukum yang
disebutkan dalam akta tersebut. Akta otentik memiliki dua fungsi yaitu fungsi formal
atau formalitas kausa artinya suatu perbuatan hukum baru sah jika dibuat dengan
akta otentik tidak dapat dibuktikan dengan bukti lainnya dan fungsi sebagai alat
artinya akta otentik tersebut untuk dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari
tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta.41
Hilangnya otentisitas atau batalnya suatu akta Notaris dapat menimbulkan
akibat yang bervariasi kepada pihak yang berkepentingan didalamnya, yaitu:
1. Hilangnya otentisitas akta atau akta Notaris ikut batal, dan tindakan hukum yang
tertuang didalamnya ikut batal, hal ini pada perbuatan hukum yang oleh undangundang diharuskan diiuangkan dalam suatu akta otentik misalnya akta pendirian
perseroan terbatas.
2. Hilangnya otentisitas akta (akta Notaris tidak batal) atau tindakan hukum yang
tertuang didalamnya tidak ikut batal. Hal ini terjadi pada perbuatan hukum yang
tidak diwajibkan oleh undang-undang untuk dituangkan didalam suatu akta
otentik, tetapi pihak-pihak menghendaki perbuatan hukum mereka dapat
dibuktikan dengan suatu akta otentik, supaya dapat diperoleh suatu pembuktian
yang kuat.
3. Akta tetap memiliki otentisitas (akta Notarisnya batal) atau tindakan hukum yang
tertuang didalamnya batal Hal ini terjadi jika syarat-syarat perjanjian tidak
Fachruddin, kedudukan Notaris dan akta-aktanya dalam sengketa Tata Usaha Negara, Varia
Peradilan Nomor 122, 1994, h. 148.
41Irfan
165 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
dipenuhi atau tindakan terjadinya cacat dasar hak yang menjadi objek perjanjian
Misalnya jual beli dilakukan atas bukti palsu.42
Dalam suatu hal perbuatan hukum oleh undang-undang tidak diharuskan
dituangkan dalam suatu akta otentik, dan jika akta tersebut kehilangan otensitas
karena tidak dipenuhinya syarat formal yang dimaksud dalam Pasal 1869
KUHPerdata maka akta tersebut tetap berfungsi sebagai akta yang dibuat dibawah
tangan bila akta tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepanjang
berubahnya atau terjadinya degradasi dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan
tidak menimbulkan kerugian, Notaris yang bersangkutan tidak dapat dimintakan
tanggung gugat hukumnya melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Berlakunya degradasi
kekuatan bukti akta Notaris menjadi akta di bawah tangan pada umumnya sejak
adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Kekuatan hukum pada akta notaris yang berbahasa asing yakni akta tersebut tidak
bernilai sebagai akta otentik, karena pembuatan akta notaris yang berbahasa asing
telah melanggar ketentuan dalam UUJN dan UU No. 24 Tahun 2009. Apabila akta
itu dibuat tentang suatu perjanjian, maka akta notaris tersebut batal demi hukum
alias tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya, karena keberadaan akta
notaris yang isinya berbahasa asing tersebut telah melanggar ketentuan hukum
yang berlaku.
b. Tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa
asing, yakni terdapat tuntutan ganti rugi dari pihak yang dirugikan. Namun
demikian, notaris bukanlah pihak dalam akta tersebut sehingga tidak patut apabila
notaris dibebani ganti rugi oleh para pihak. adapun apabila terjadi kesalahan
terjemahan cukuplah dilakukan perbaikan yang disetujui para pihak.
Saran
Sebagaimana kesimpulan tersebut di atas dalam penelitian ini, maka dapat
diajukan saran sebagai berikut:
a. Hendaknya setiap Notaris membuat akta notaris dengan menggunakan bahasa
Indonesia sesuai ketetapan dalam peraturan jabatan notaris.
b. Hendaknya notaris lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan jabatannya
sehingga tidak terjadi kesalahan yang menjadikan akta cacat hukum.
42Ibid.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
166
Ulfatul Hasanah
DAFTAR BACAN
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”,
Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i
Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008.
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Delta Pamungkas, Jakarta, 2004.
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2009.
http://www.indonesianotarycommunity.com. Kedudukan Hukum Akta Tidak
Berbahasa Indonesia, diakses pada tanggal 18 April 2017.
Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2011.
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya,
2003.
Irfan Fachruddin, kedudukan Notaris dan akta-aktanya dalam sengketa Tata Usaha
Negara, Varia Peradilan Nomor 122, 1994.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka, Jakarta, 1994.
Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara Perdata), Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, 1999.
M.A. Moegni DJojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat
(Aanspraketijkheid) Untuk Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan
Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.
Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985.
Muni Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002.
Nusyirwan, Membedah Profesi Notaris, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2013.
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali,
Jakarta, 1982.
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 1999.
Ridwan H.R., Hukum Adiministrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2006.
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia,
2003.
167 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Salim HS., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris, Bentuk
dan Minuta Akta), Rajawali Pers, Jakarta, 2015.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993.
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Edisi Baru, Ichtiab Baru
van Hoeve, Jakarta, 2000.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
168
Download