PERAN OTONOMI TUGAS, UMPAN BALIK, DAN

advertisement
PERAN OTONOMI TUGAS, UMPAN BALIK, DAN KUALITAS
KEHIDUPAN KERJA TERHADAP WORK ENGAGEMENT
Intisari
Winda Nevia Rosa
Bagus Riyono
Work engagement telah mendapat banyak perhatian dalam beberapa
tahun terakhir ini sebagai wujud kebutuhan organisasi terhadap desakan
globalisasi. Work engagement merupakan wujud dari motivasi intrinsik
individu yang dapat dipengaruhi oleh pekerjaan itu sendiri khususnya
dan beberapa hal dalam organisasi secara umum. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji apakah otonomi tugas, umpan balik dan kualitas
kehidupan kerja berperan terhadap peningkatan work engagement.
Penelitian ini melibatkan sejumlah 103 (N = 103) karyawan PT
Pertamina Unit Pengolahan V menggunakan skala Work Engagement,
Otonomi Tugas, Umpan Balik, dan Kualitas Kehidupan Kerja. Hipotesis
dalam penelitian ini adalah otonomi tugas, umpan balik serta kualitas
kehidupan kerja berpengaruh pada peningkatan work engagement. Hasil
dari penelitian ini mendukung hipotesis bahwa otonomi tugas, umpan
balik, dan kualitas kehidupan kerja berperan positif terhadap work
engagement karyawan secara signifikan (R2 = 0.408; F = 22.777; p <
0.05). Hasil analisis menunjukkan bahwa prediktor terbaik untuk
memprediksi work engagement adalah umpan balik (SE = 23.3%; p <
0.05) dengan arah positif yang berarti semakin tinggi umpan balik yang
dimiliki dalam suatu pekerjaan maka semakin tinggi pula work
engagement pada karyawan.
Kata kunci: Work engagemenet, otonomi tugas, umpan balik, kualitas kehidupan
kerja
Dewasa ini, organisasi dihadapkan oleh lingkungan bisnis yang semakin
kompetitif dan cepat berubah. Globalisasi dan cepatnya kemajuan dalam teknologi
komunikasi dan informasi yang muncul dalam dua puluh tahun terakhir telah
menyebabkan peningkatan yang substansial dalam persaingan antar organisasi
(O’Toole & Lawler, 2006; Sisodia, Wolfe, & Sheth, 2007; Society for Human
Resource Management [SHRM], 2006). Perubahan tersebut diikuti dengan
permintaan konsumen terhadap kualitas yang lebih baik, reliabilitas, variasi,
penyesuaian, kecepatan, dan kenyamanan pada barang dan jasa. Konsumen juga
1
2
mendorong organisasi untuk memiliki standar kinerja yang baru. Karyawan
diharapkan agar mempertahankan kinerja berkualitas tinggi dengan meningkatkan
efisiensi dan produktivitas dalam kondisi yang tidak menentu dan berubah secara
terus-menerus. Sehingga mereka mampu menghadapi peningkatan tekanan untuk
melakukan pekerjaan yang banyak dan bekerja dalam waktu yang lebih panjang
(Cartwright & Holmes, 2006).
Kondisi yang sama juga dialami oleh organisasi-organisasi di Indonesia.
Khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang
minyak dan gas seperti PT Pertamina, yang saat ini sedang menuju sebagai
organisasi kelas dunia. Kondisi tersebut menuntut organisasi untuk mampu
bersaing secara efektif, yaitu tidak hanya dengan merekrut bakat-bakat terbaik
namun juga harus membangkitkan karyawan untuk menggunakan seluruh
kemampuan mereka dalam pekerjaan. Oleh karena itu, PT Pertamina
mengharapkan karyawan mereka menunjukkan inisiatif, bertanggung jawab
terhadap perkembangan keahliannya, serta memiliki kerelaan dan daya tahan bagi
pencapaian visi organisasi.
Kebutuhan ini merujuk pada karyawan yang merasa bersemangat dan
berdedikasi seperti terikat (engaged) dengan pekerjaannya (Leiter & Bakker,
2010). Work engagement muncul karena adanya sikap positif dari karyawan
sehingga akan menimbulkan hasil yang positif pula. Engagement juga dapat
memediasi hubungan antara konteks organisasi dan persepsi karyawan terhadap
perubahan organisasi (Leiter & Maslach, 2004). Oleh karena itu, karyawan yang
terikat dengan pekerjaannya diharapkan mampu menghasilkan kinerja yang
3
semakin baik dalam organisasi yang terus berubah. Pengaruh positif yang muncul
karena adanya work engagement, menjadikan konsep ini masih menjadi topik
yang sering diperbincangkan oleh organisasi-organisasi baik berskala kecil
maupun besar. Kebutuhan tersebut semakin tinggi seiring tuntutan perubahan
organisasi.
Hasil riset dari Jurnal Gallup Management (2001 dalam Agustian, 2012)
menunjukkan kenyataan yang berbeda dengan kebutuhan organisasi, yaitu hanya
1 dari 4 atau sekitar atau 26% karyawan merasa engaged, mereka mencintai
pekerjaan dan bersemangat untuk datang bekerja. Sementara itu, 2 dari 4 atau
sekitar 55% karyawan disengaged, mereka hadir tetapi hati dan pikiran kemanamana, sisanya yaitu 1 dari 5 atau sekitar 19% karyawan actively disengaged, atau
bahkan menjadi provokator, mereka menyebarkan kegelisahannya, seberapa jauh
mereka tidak puas dengan pimpinannya, rekan kerja atau organisasi pada
umumnya.
Karyawan yang engaged dengan pekerjaan merupakan salah satu wujud
kebutuhan PT Pertamina akan sumber daya manusia yang sesuai visi dan misi
organisasi. Organisasi juga telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan
engagement terhadap pekerjaan dan organisasi. Saat ini Pertamina lebih banyak
melakukan upaya untuk meningkatkan engagement terhadap organisasi melalui
fungsi-fungsi tertentu, contohnya kompetisi pidato dan inovasi. Namun
Pertamina menyadari bahwa anggaran untuk kegiatan tersebut masih terbatas.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa upaya untuk meningkatkan engagement
khususnya work engagement belum maksimal dan masih butuh pengembangan.
4
Hasil survei terhadap engagement karyawan yang dilakukan oleh PT
Pertamina sebanyak 4 kali sejak pertengahan 2012 hingga akhir 2013 khususnya
pada Unit Pengolahan menunjukkan bahwa nilai engagement karyawan
mengalami penurunan sebesar 4%. Selanjutnya, hasil survei secara keseluruhan
menunjukkan bahwa pada karyawan setingkat staff kebawah mempunyai nilai
engagement terendah jika dibandingkan kelompok karyawan level lainnya sebesar
74 %. Nilai engagement karyawan selama empat periode cenderung stabil tanpa
ada pergerakan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa organisasi memerlukan
strategi yang tepat untuk meningkatkan engagement karyawan.
Studi empiris terhadap job demands-resources dengan work engagement
(Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007; Bakker, Demerouti, &
Verbeker, 2004; Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, Schreurs, 2003), serta
hubungan karakteristik pekerjaan dengan work engagement (Saks, 2006) dimana
otonomi tugas dan umpan balik sebagai job resources maupun dimensi desain
pekerjaan berkorelasi dengan work engagement. Begitu pula halnya dengan
kualitas kehidupan kerja memiliki korelasi yang signifikan terhadap munculnya
kebanggaan dalam diri karyawan yang menjadi salah satu dimensi dalam work
engagement (Normala, 2010; Lau, 2000).
Melalui penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan
karyawan yang engaged dengan pekerjaannya, perlu adanya usaha untuk
meningkatkan motivasi intrinsik para karyawan yang timbul dari rasa tanggung
jawab terhadap hasil kerja serta pengetahuan terhadap hasil kerja tersebut. Rasa
tanggung jawab terhadap hasil kerja dapat muncul dari adanya otonomi tugas,
5
sementara itu pengetahuan terhadap hasil kerja muncul dari adanya umpan balik
kinerja (Hackman, 1980). Selain itu, motivasi intrinsik juga dapat difasilitasi oleh
upaya sistematik organisasi dalam menunjang kehidupan yang berkualitas.
Berdasarkan fakta tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji
dan membuktikan apakah otonomi tugas, umpan balik dan kualitas kehidupan
kerja berperan terhadap peningkatan work engagement. Penelitian ini juga
diharapkan akan memiliki kegunaan sebagai berikut: (1) bagi organisasi mampu
memberikan tambahan wawasan mengenai pentingnya peran otonomi, umpan
balik, dan kualitas kehidupan kerja sebagai pemenuhan terhadap motivasi intrinsik
sehingga karyawan rela bekerja secara gigih, berorientasi pada tujuan, bangga
akan pekerjaannya dan larut atau asyik dengan pekerjaannya; (2) bagi dunia
akademis dapat memperkaya hasil-hasil penelitian mengenai work engagement
dan antesedennya.
Engagement dapat dijelaskan melalui Self-Determination Theory (SDT)
yang bersumber dari teori motivasi intrinsik oleh Deci dan Ryan (1985; 2000).
SDT menggabungkan beberapa faktor-faktor individu dan sosial sehingga
membentuk engagement individu dan perkembangan positif. Motivasi intrinsik
menyangkut pada actively engagement terhadap tugas-tugas yang menarik dan
mampu mendorong individu untuk berkembang. Actively engagement terjadi
ketika individu merasa tertarik dengan pekerjaannya dan memiliki kepuasan,
sehingga dapat mewujudkan kompetensi, otonomi, dan relasi yang nantinya dapat
memprediksi munculnya engagement dan kesejahteraan (Deci & Ryan, 2000).
6
Engagement bukan sekedar keadaan yang sesaat dan spesifik seperti
emosi, namun mengacu pada keadaaan afeksi-motivasi yang menetap dan tidak
fokus terhadap objek, peristiwa atau perilaku tertentu. Macey dan Schneider
(2008) menjelaskan engagement sebagai suatu kondisi yang diharapkan, memiliki
tujuan organisasi, dan keterlibatan yang berarti, komitmen, semangat, antusiasme,
upaya sungguh-sungguh, dan energi sehingga memiliki komponen sikap dan
perilaku.
Work engagement meliputi dimensi dasar motivasi intrinsik, yang
memastikan perilaku dengan keaktifan tinggi berorientasi pada tujuan dan gigih
dalam mencapai tujuan bersama (semangat) serta merasa antusias, diidentifikasi
dengan adanya rasa bangga terhadap pekerjaan individu (dedikasi), identifikasi
dan bertujuan. Oleh karena itu dapat diharapkan dengan tingginya tingkat
engagement maka semakin tinggi pula kinerja proaktif sebagai inisiatif pribadi
(Salanova & Schaufeli, 2008). Engagement yang muncul dari dalam diri akan
membawa karyawan untuk melibatkan kognisi, emosi, perhatian dan keasyikan
mental seorang karyawan (Kahn, 1990; Saks, 2006; Shuck & Wollard, 2010)
yang diarahkan kepada meningkatnya produktivitas organisasi (Schaufeli &
Bakker, 2004).
Sementara itu, model engagement lain terdapat dalam literatur mengenai
burnout yang mendeskripsikan work engagement sebagai antitesis positif
(Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Maslach, dkk. berpendapat bahwa work
engagement berhubungan dengan beban kerja yang seimbang, kebebasan memilih
7
dan mengendalikan, upah dan penghargaan yang pantas, komunitas kerja yang
mendukung kewajaran dan keadilan, serta pekerjaan yang berarti dan bernilai.
Pada dasarnya, masih terdapat kesamaan dalam definisi yang beragam
terhadap konsep engagement di antara akademisi dan praktisi (Mills, Culberstson,
& Fullagar, 2012). Namun penelitian ini lebih fokus terhadap engagement yang
dikembangkan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002),
yang lebih dikenal sebagai work engagement.
Work engagement merupakan bentuk keadaan pikiran yang positif dan
sungguh-sungguh terkait pekerjaan, yang dicirikan oleh semangat, dedikasi dan
keasyikan. Semangat ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental,
kemauan untuk mencurahkan usaha, dan ketekunan bahkan ketika menghadapi
kesulitan saat bekerja. Dedikasi mengacu pada kesungguhan untuk melibatkan diri
dan merasa bermakna, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan dalam
pekerjaan. Keasyikan ditandai dengan berkonsentrasi penuh dan secara senang
hati menikmati pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk
memisahkan diri dari pekerjaannya (Schaufeli, dkk., 2002).
Blessing White (2011) melaporkan bahwa karyawan yang merasa engaged
tidak hanya berkomitmen, bergairah ataupun bangga, namun mereka juga
memiliki garis pandang terhadap masa depan serta misi dan cita-cita organisasi.
Organisasi Caterpillar telah merasakan bukti nyata keuntungan yang diperoleh
organisasi dari adanya engagement, mereka telah berhasil menghemat biaya
turnover karyawan sebanyak $8,8 juta dari adanya peningkatan proporsi
engagement karyawan di salah satu pabrik mereka yang berada di Eropa. Selain
8
itu, ada peningkatan hasil produksi sebesar 70% selama kurang dari empat bulan
di pabrik Asia Pasifik (Vance, 2006).
Ketika engaged, karyawan merasa terdorong untuk berusaha mencapai
tujuan yang menantang dan mereka menginginkan kesuksesan. Lebih jauh, work
engagement mencerminkan energi karyawan yang mendorong mereka untuk
bekerja. Karyawan yang engaged tidak hanya mampu menjadi giat, namun juga
melekat secara emosional dengan organisasi, berkomitmen, secara antusias
mencurahkan energi untuk benar-benar terlibat dalam bekerja, melebihi perjanjian
kontrak kerja demi kesuksesan organisasi mereka (Leiter & Bakker, 2010;
Markos & Sridevi, 2010; Mone, Eisinger, Guggenheim, Price & Stine, 2011).
Hasil penelitian dan literatur akademik mengatakan bahwa engagement
berhubungan, namun juga berbeda dengan konstruk lain dalam perilaku
organisasi. Salah satu pendapat dikemukakan oleh Saks (2006), bahwa komitmen
organisasi berbeda dengan engagement. Komitmen organisasi mengarah pada
sikap dan kedekatan seseorang terhadap organisasi. Engagement bukanlah suatu
sikap; engagement adalah suatu tingkatan, dimana individu memiliki perhatian
yang lebih dalam dan menikmati kinerja peran-peran mereka di pekerjaan.
Engagement juga berbeda dengan keterlibatan kerja. Menurut May, Gilson
dan Harter (2004), keterlibatan kerja adalah hasil dari penilaian kognitif tentang
kebutuhan untuk memenuhi kepuasan kemampuan dalam bekerja dan berkaitan
dengan citra diri orang tersebut. Engagement berkaitan dengan bagaimana
individu mempekerjakan diri mereka terhadap kinerja pekerjaan mereka,
melibatkan penggunaan perasaan dan perilaku secara aktif dan juga pemikiran.
9
Menurut teori motivasional Herzberg, kepuasan kerja ditentukan oleh dua
faktor yang berbeda, yaitu faktor motivator (meliputi prestasi, pengakuan,
karakteristik pekerjaan, tanggung jawab dan promosi) dan faktor higiene (meliputi
kebijakan organisasi, supervisi, gaji, hubungan interpersonal ditempat kerja dan
kondisi kerja) (Hackman & Oldham, 1976). Berdasarkan teori ini, dengan
meningkatkan faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan akan mendorong karyawan
lebih puas dan termotivasi untuk melakukan pekerjaannya (Robbins & Judge,
2009).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan hanya pekerjaan yang
menantanglah yang memberikan kesempatan untuk berprestasi, penghargaan,
tingkat kemajuan dan perkembangan yang akan memotivasi pekerja (Garg &
Rastogi, 2006). Sejalan dengan itu, penelitian sebelumnya (Xanthopoulou, dkk.,
2007; Saks, 2006; Bakker, dkk., 2004; Bakker, dkk., 2003) menunjukkan bahwa
job resources seperti otonomi dan umpan balik kinerja berkorelasi positif dengan
work engagement.
Otonomi tugas dan umpan balik kinerja merupakan job resource pada
tingkat tugas (Bakker, Demerouti, Hakanen, & Xanthopoulou, 2007). Demerouti,
Bakker, Nachreiner, dan Schaufeli (2001) memaparkan bahwa job resources
berfungsi untuk memenuhi keperluan tugas, dengan demikian dapat mengurangi
kerugian fisiologis dan/atau psikologis yang terkait, dan pada saat yang sama
mendorong pertumbuhan dan perkembangan individu. Kedua tipe job resources
tersebut menjadi bagian penting dalam mayoritas pekerjaan (Bakker &
Demerouti, 2007) yang akan diuji dalam penelitian ini. Sementara itu, beberapa
10
penelitian menjelaskan bahwa otonomi tugas dan umpan balik sebagai dimensi
dalam karakteristik pekerjaan juga menjadi prediktor yang signifikan terhadap
munculnya work engagement (Saks, 2006; May, dkk., 2004; & Nusatria, 2011).
Hackman dan Oldham (1975) membagi karakteristik jabatan ke dalam
lima dimensi yaitu: variasi keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas,
otonomi tugas, dan umpan balik. Otonomi tugas ialah sejauh mana pekerjaan
tersebut memberikan kesempatan pada karyawan untuk merasakan kebebasan,
ketidaktergantungan, dan keleluasaan untuk menentukan dan menjadwalkan
prosedur yang digunakan sebagai wujud penyelesaian tugas. Sementara itu,
umpan balik yaitu sejauh mana individu menerima informasi yang jelas dan
langsung mengenai performanya dalam pemenuhan pekerjaan.
Menurut teori Model Karakteristik Pekerjaan (Hackman & Oldham, 1975;
1976; Hackman, 1980), otonomi tugas dan umpan balik dari pekerjaan akan
menghasilkan keadaan psikologis tertentu. Otonomi berhubungan dengan
pengalaman tanggung jawab terhadap hasil kerja, sementara itu umpan balik dari
pekerjaan akan sangat berhubungan dengan pengetahuan mengenai hasil nyata
dari kegiatan bekerja (Hackman, 1980). Salah satu bentuk otonomi tugas pada
divisi HRD ialah mereka diberikan keleluasaan untuk merancang pelatihan
mengenai sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh karyawan.
Selain otonomi tugas dan umpan balik pekerjaan, kualitas kehidupan kerja
juga ikut berpengaruh terhadap tingkat work engagement. Work engagement dapat
dipengaruhi oleh bagaimana individu memaknai dirinya tidak hanya terhadap
pekerjaan namun juga lingkungan kerjanya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
11
Kanten dan Sadullah (2012) menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja
berpengaruh terhadap work engagement pada karyawan. Sejalan dengan itu, hasil
studi pada perawat menyebutkan bahwa organisasi dapat berkontribusi
meningkatkan work engagement dengan menciptakan pengalaman kerja yang
mendukung, konsisten serta efektifitas manajemen sumber daya manusia (Burke,
Koyunco, Tekinkus, Bektas, dan Fiksenbaum, 2012), mengatur tuntutan pekerjaan
dan dukungan organisasi (Van der Colff & Rothmann, 2009).
Lebih lanjut, Cascio (2006) menyatakan bahwa organisasi perlu untuk
menciptakan suasana kerja seperti partisipasi dalam pengambilan keputusan, rasa
aman terhadap lingkungan kerja, komunikasi yang baik antar pegawai dan
maupun dengan atasan, karir yang berkembang dan memiliki rasa bangga
terhadap pekerjaan. Suasana kerja seperti ini selanjutnya dapat menimbulkan
kualitas kehidupan kerja yang baik sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
engagement karyawan terhadap pekerjaan.
Selama dekade terakhir, konsep QWL dilihat secara berbeda oleh beberapa
ahli yaitu sebagai sebuah variabel, pendekatan, serangkaian metode, perubahan,
dan topik yang etis (Nadler & Lawler, 1983). Kualitas kehidupan kerja dilihat
sebagai cara berpikir tentang orang-orang, pekerjaan, dan organisasi. elemen khas
yang terkandung di dalamnya yaitu (1) kekhawatiran tentang dampak bekerja
pada orang sama halnya dengan efektivitas organisasi, dan (2) gagasan
berpartisipasi dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan organisasi
(Nadler dan Lawler, 1983).
12
Konsep kualitas kehidupan kerja menurut Siagian (2008) sebagai upaya
sistematis dalam kehidupan organisasi melalui sejauhmana karyawan diberikan
kesempatan untuk turut berperan menentukan cara mereka bekerja dan sumbangan
yang diberikan kepada organisasi dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai
sasarannya. Sementara itu, Walton (1975, dalam Timossi, Pedroso, Francisco, &
Pilatti, 2008) memberikan penjelasan bahwa kualitas kehidupan kerja sebagai cara
penting untuk menyelamatkan nilai-nilai manusia dan lingkungan yang telah
diabaikan dalam mendukung produktivitas kemajuan teknologi dan pertumbuhan
ekonomi. Penjelasan tersebut lebih sesuai dengan konteks penelitian ini.
Selanjutnya, Walton membagi dimensi kualitas kehidupan kerja sebagai
berikut: (1) kompensasi yang layak dan adil (misalnya, remunerasi yang adil,
upah yang seimbang, partisipasi pada hasil, keuntungan ekstra), (2) keamanan dan
kesehatan lingkungan (misalnya, perjalanan mingguan, beban kerja, proses
teknologi, kesehatan yang baik, kelelahan, peralatan yang mendukung), (3)
pengembangan kapasitas manusia (misalnya, otonomi, kepentingan tugas,
evaluasi kinerja, tanggung jawab yang diberikan), (4) perkembangan dan
keamanan (misalnya, perkembangan profesi, pelatihan, pengunduran diri,
dorongan untuk belajar), (5) integrasi sosial (misal, diskriminasi, hubungan
interpersonal, perjanjian tim), (6) konstitusional (misalnya, kebijakan karyawan,
kebebasan bereksperasi, diskusi dan tata tertib, menghargai privasi), (7) rentang
hidup keseluruhan (misalnya, pengaruh terhadap rutinitas keluarga, waktu luang,
waktu bekerja dan istirahat), (8) relevansi sosial (misalnya, bangga dengan
13
pekerjaan, citra organisasi, kejujuran komunitas, kualitas produk atau layanan,
politik sumber daya manusia).
Beberapa penelitian melihat kualitas kehidupan kerja sebagai upaya untuk
memenuhi kepuasan kerja karyawan. Keterkaitan antara kualitas kehidupan kerja
dengan kepuasan kerja dapat terlihat dari adanya penurunan turnover,
berkurangnya kemangkiran dan keterlambatan, rendahnya tingkat keluhan,
pencurian di tempat kerja, dan meningkatnya kewarganegaraan bersosial (seperti
kesediaan menolong karyawan lain dan pelanggaran serta menjadi lebih
kooperatif) (Almalki, Fitzgerald, & Clark, 2012; Cohen, Chang, & Ledford, 1997,
Yolder, 1995; MacRobert, Schmele, & Honsen, 1993).
Tingkat kualitas kehidupan kerja yang tinggi menjadi bagian penting bagi
organisasi untuk meningkatkan citranya dalam menarik dan mempertahankan
karyawannya (Kanten & Sadullah, 2012; Almalki, dkk., 2012; Jagannathan &
Akhila, 2009). Beberapa hasil penelitian menjelaskan efek positif dari adanya
kualitas kehidupan kerja adalah engagement, produktifitas perawat, dedikasi,
loyalitas, dan (Kanten & Sadullah, 2012; Sirgy, Efraty, Siegel, & Lee, 2001;
Nayeri, Salehi, & Noghabi, 2011), tingginya tingkat kepuasan kerja pada beberapa
aspek kehidupan kerja, komitmen (Huang, Lawler, & Lei, 2007, Normala, 2010;
Wilcock & Wright, 1991; Zin. 2004), kinerja, pertumbuhan dan profitabilitas
organisasi (Lau, 2000),.
Berdasarkan penjelasan di atas, kebanyakan penelitian fokus terhadap
hubungan kualitas kehidupan kerja dengan beberapa variabel seperti kepuasan
kerja, komitmen organisasi, kinerja, intensi turnover, hubungan karyawan dan
Download