PERAN OTONOMI TUGAS, UMPAN BALIK, DAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP WORK ENGAGEMENT Intisari Winda Nevia Rosa Bagus Riyono Work engagement telah mendapat banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini sebagai wujud kebutuhan organisasi terhadap desakan globalisasi. Work engagement merupakan wujud dari motivasi intrinsik individu yang dapat dipengaruhi oleh pekerjaan itu sendiri khususnya dan beberapa hal dalam organisasi secara umum. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah otonomi tugas, umpan balik dan kualitas kehidupan kerja berperan terhadap peningkatan work engagement. Penelitian ini melibatkan sejumlah 103 (N = 103) karyawan PT Pertamina Unit Pengolahan V menggunakan skala Work Engagement, Otonomi Tugas, Umpan Balik, dan Kualitas Kehidupan Kerja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah otonomi tugas, umpan balik serta kualitas kehidupan kerja berpengaruh pada peningkatan work engagement. Hasil dari penelitian ini mendukung hipotesis bahwa otonomi tugas, umpan balik, dan kualitas kehidupan kerja berperan positif terhadap work engagement karyawan secara signifikan (R2 = 0.408; F = 22.777; p < 0.05). Hasil analisis menunjukkan bahwa prediktor terbaik untuk memprediksi work engagement adalah umpan balik (SE = 23.3%; p < 0.05) dengan arah positif yang berarti semakin tinggi umpan balik yang dimiliki dalam suatu pekerjaan maka semakin tinggi pula work engagement pada karyawan. Kata kunci: Work engagemenet, otonomi tugas, umpan balik, kualitas kehidupan kerja Dewasa ini, organisasi dihadapkan oleh lingkungan bisnis yang semakin kompetitif dan cepat berubah. Globalisasi dan cepatnya kemajuan dalam teknologi komunikasi dan informasi yang muncul dalam dua puluh tahun terakhir telah menyebabkan peningkatan yang substansial dalam persaingan antar organisasi (O’Toole & Lawler, 2006; Sisodia, Wolfe, & Sheth, 2007; Society for Human Resource Management [SHRM], 2006). Perubahan tersebut diikuti dengan permintaan konsumen terhadap kualitas yang lebih baik, reliabilitas, variasi, penyesuaian, kecepatan, dan kenyamanan pada barang dan jasa. Konsumen juga 1 2 mendorong organisasi untuk memiliki standar kinerja yang baru. Karyawan diharapkan agar mempertahankan kinerja berkualitas tinggi dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam kondisi yang tidak menentu dan berubah secara terus-menerus. Sehingga mereka mampu menghadapi peningkatan tekanan untuk melakukan pekerjaan yang banyak dan bekerja dalam waktu yang lebih panjang (Cartwright & Holmes, 2006). Kondisi yang sama juga dialami oleh organisasi-organisasi di Indonesia. Khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang minyak dan gas seperti PT Pertamina, yang saat ini sedang menuju sebagai organisasi kelas dunia. Kondisi tersebut menuntut organisasi untuk mampu bersaing secara efektif, yaitu tidak hanya dengan merekrut bakat-bakat terbaik namun juga harus membangkitkan karyawan untuk menggunakan seluruh kemampuan mereka dalam pekerjaan. Oleh karena itu, PT Pertamina mengharapkan karyawan mereka menunjukkan inisiatif, bertanggung jawab terhadap perkembangan keahliannya, serta memiliki kerelaan dan daya tahan bagi pencapaian visi organisasi. Kebutuhan ini merujuk pada karyawan yang merasa bersemangat dan berdedikasi seperti terikat (engaged) dengan pekerjaannya (Leiter & Bakker, 2010). Work engagement muncul karena adanya sikap positif dari karyawan sehingga akan menimbulkan hasil yang positif pula. Engagement juga dapat memediasi hubungan antara konteks organisasi dan persepsi karyawan terhadap perubahan organisasi (Leiter & Maslach, 2004). Oleh karena itu, karyawan yang terikat dengan pekerjaannya diharapkan mampu menghasilkan kinerja yang 3 semakin baik dalam organisasi yang terus berubah. Pengaruh positif yang muncul karena adanya work engagement, menjadikan konsep ini masih menjadi topik yang sering diperbincangkan oleh organisasi-organisasi baik berskala kecil maupun besar. Kebutuhan tersebut semakin tinggi seiring tuntutan perubahan organisasi. Hasil riset dari Jurnal Gallup Management (2001 dalam Agustian, 2012) menunjukkan kenyataan yang berbeda dengan kebutuhan organisasi, yaitu hanya 1 dari 4 atau sekitar atau 26% karyawan merasa engaged, mereka mencintai pekerjaan dan bersemangat untuk datang bekerja. Sementara itu, 2 dari 4 atau sekitar 55% karyawan disengaged, mereka hadir tetapi hati dan pikiran kemanamana, sisanya yaitu 1 dari 5 atau sekitar 19% karyawan actively disengaged, atau bahkan menjadi provokator, mereka menyebarkan kegelisahannya, seberapa jauh mereka tidak puas dengan pimpinannya, rekan kerja atau organisasi pada umumnya. Karyawan yang engaged dengan pekerjaan merupakan salah satu wujud kebutuhan PT Pertamina akan sumber daya manusia yang sesuai visi dan misi organisasi. Organisasi juga telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan engagement terhadap pekerjaan dan organisasi. Saat ini Pertamina lebih banyak melakukan upaya untuk meningkatkan engagement terhadap organisasi melalui fungsi-fungsi tertentu, contohnya kompetisi pidato dan inovasi. Namun Pertamina menyadari bahwa anggaran untuk kegiatan tersebut masih terbatas. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa upaya untuk meningkatkan engagement khususnya work engagement belum maksimal dan masih butuh pengembangan. 4 Hasil survei terhadap engagement karyawan yang dilakukan oleh PT Pertamina sebanyak 4 kali sejak pertengahan 2012 hingga akhir 2013 khususnya pada Unit Pengolahan menunjukkan bahwa nilai engagement karyawan mengalami penurunan sebesar 4%. Selanjutnya, hasil survei secara keseluruhan menunjukkan bahwa pada karyawan setingkat staff kebawah mempunyai nilai engagement terendah jika dibandingkan kelompok karyawan level lainnya sebesar 74 %. Nilai engagement karyawan selama empat periode cenderung stabil tanpa ada pergerakan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa organisasi memerlukan strategi yang tepat untuk meningkatkan engagement karyawan. Studi empiris terhadap job demands-resources dengan work engagement (Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007; Bakker, Demerouti, & Verbeker, 2004; Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, Schreurs, 2003), serta hubungan karakteristik pekerjaan dengan work engagement (Saks, 2006) dimana otonomi tugas dan umpan balik sebagai job resources maupun dimensi desain pekerjaan berkorelasi dengan work engagement. Begitu pula halnya dengan kualitas kehidupan kerja memiliki korelasi yang signifikan terhadap munculnya kebanggaan dalam diri karyawan yang menjadi salah satu dimensi dalam work engagement (Normala, 2010; Lau, 2000). Melalui penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan karyawan yang engaged dengan pekerjaannya, perlu adanya usaha untuk meningkatkan motivasi intrinsik para karyawan yang timbul dari rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja serta pengetahuan terhadap hasil kerja tersebut. Rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja dapat muncul dari adanya otonomi tugas, 5 sementara itu pengetahuan terhadap hasil kerja muncul dari adanya umpan balik kinerja (Hackman, 1980). Selain itu, motivasi intrinsik juga dapat difasilitasi oleh upaya sistematik organisasi dalam menunjang kehidupan yang berkualitas. Berdasarkan fakta tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membuktikan apakah otonomi tugas, umpan balik dan kualitas kehidupan kerja berperan terhadap peningkatan work engagement. Penelitian ini juga diharapkan akan memiliki kegunaan sebagai berikut: (1) bagi organisasi mampu memberikan tambahan wawasan mengenai pentingnya peran otonomi, umpan balik, dan kualitas kehidupan kerja sebagai pemenuhan terhadap motivasi intrinsik sehingga karyawan rela bekerja secara gigih, berorientasi pada tujuan, bangga akan pekerjaannya dan larut atau asyik dengan pekerjaannya; (2) bagi dunia akademis dapat memperkaya hasil-hasil penelitian mengenai work engagement dan antesedennya. Engagement dapat dijelaskan melalui Self-Determination Theory (SDT) yang bersumber dari teori motivasi intrinsik oleh Deci dan Ryan (1985; 2000). SDT menggabungkan beberapa faktor-faktor individu dan sosial sehingga membentuk engagement individu dan perkembangan positif. Motivasi intrinsik menyangkut pada actively engagement terhadap tugas-tugas yang menarik dan mampu mendorong individu untuk berkembang. Actively engagement terjadi ketika individu merasa tertarik dengan pekerjaannya dan memiliki kepuasan, sehingga dapat mewujudkan kompetensi, otonomi, dan relasi yang nantinya dapat memprediksi munculnya engagement dan kesejahteraan (Deci & Ryan, 2000). 6 Engagement bukan sekedar keadaan yang sesaat dan spesifik seperti emosi, namun mengacu pada keadaaan afeksi-motivasi yang menetap dan tidak fokus terhadap objek, peristiwa atau perilaku tertentu. Macey dan Schneider (2008) menjelaskan engagement sebagai suatu kondisi yang diharapkan, memiliki tujuan organisasi, dan keterlibatan yang berarti, komitmen, semangat, antusiasme, upaya sungguh-sungguh, dan energi sehingga memiliki komponen sikap dan perilaku. Work engagement meliputi dimensi dasar motivasi intrinsik, yang memastikan perilaku dengan keaktifan tinggi berorientasi pada tujuan dan gigih dalam mencapai tujuan bersama (semangat) serta merasa antusias, diidentifikasi dengan adanya rasa bangga terhadap pekerjaan individu (dedikasi), identifikasi dan bertujuan. Oleh karena itu dapat diharapkan dengan tingginya tingkat engagement maka semakin tinggi pula kinerja proaktif sebagai inisiatif pribadi (Salanova & Schaufeli, 2008). Engagement yang muncul dari dalam diri akan membawa karyawan untuk melibatkan kognisi, emosi, perhatian dan keasyikan mental seorang karyawan (Kahn, 1990; Saks, 2006; Shuck & Wollard, 2010) yang diarahkan kepada meningkatnya produktivitas organisasi (Schaufeli & Bakker, 2004). Sementara itu, model engagement lain terdapat dalam literatur mengenai burnout yang mendeskripsikan work engagement sebagai antitesis positif (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Maslach, dkk. berpendapat bahwa work engagement berhubungan dengan beban kerja yang seimbang, kebebasan memilih 7 dan mengendalikan, upah dan penghargaan yang pantas, komunitas kerja yang mendukung kewajaran dan keadilan, serta pekerjaan yang berarti dan bernilai. Pada dasarnya, masih terdapat kesamaan dalam definisi yang beragam terhadap konsep engagement di antara akademisi dan praktisi (Mills, Culberstson, & Fullagar, 2012). Namun penelitian ini lebih fokus terhadap engagement yang dikembangkan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002), yang lebih dikenal sebagai work engagement. Work engagement merupakan bentuk keadaan pikiran yang positif dan sungguh-sungguh terkait pekerjaan, yang dicirikan oleh semangat, dedikasi dan keasyikan. Semangat ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental, kemauan untuk mencurahkan usaha, dan ketekunan bahkan ketika menghadapi kesulitan saat bekerja. Dedikasi mengacu pada kesungguhan untuk melibatkan diri dan merasa bermakna, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan dalam pekerjaan. Keasyikan ditandai dengan berkonsentrasi penuh dan secara senang hati menikmati pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaannya (Schaufeli, dkk., 2002). Blessing White (2011) melaporkan bahwa karyawan yang merasa engaged tidak hanya berkomitmen, bergairah ataupun bangga, namun mereka juga memiliki garis pandang terhadap masa depan serta misi dan cita-cita organisasi. Organisasi Caterpillar telah merasakan bukti nyata keuntungan yang diperoleh organisasi dari adanya engagement, mereka telah berhasil menghemat biaya turnover karyawan sebanyak $8,8 juta dari adanya peningkatan proporsi engagement karyawan di salah satu pabrik mereka yang berada di Eropa. Selain 8 itu, ada peningkatan hasil produksi sebesar 70% selama kurang dari empat bulan di pabrik Asia Pasifik (Vance, 2006). Ketika engaged, karyawan merasa terdorong untuk berusaha mencapai tujuan yang menantang dan mereka menginginkan kesuksesan. Lebih jauh, work engagement mencerminkan energi karyawan yang mendorong mereka untuk bekerja. Karyawan yang engaged tidak hanya mampu menjadi giat, namun juga melekat secara emosional dengan organisasi, berkomitmen, secara antusias mencurahkan energi untuk benar-benar terlibat dalam bekerja, melebihi perjanjian kontrak kerja demi kesuksesan organisasi mereka (Leiter & Bakker, 2010; Markos & Sridevi, 2010; Mone, Eisinger, Guggenheim, Price & Stine, 2011). Hasil penelitian dan literatur akademik mengatakan bahwa engagement berhubungan, namun juga berbeda dengan konstruk lain dalam perilaku organisasi. Salah satu pendapat dikemukakan oleh Saks (2006), bahwa komitmen organisasi berbeda dengan engagement. Komitmen organisasi mengarah pada sikap dan kedekatan seseorang terhadap organisasi. Engagement bukanlah suatu sikap; engagement adalah suatu tingkatan, dimana individu memiliki perhatian yang lebih dalam dan menikmati kinerja peran-peran mereka di pekerjaan. Engagement juga berbeda dengan keterlibatan kerja. Menurut May, Gilson dan Harter (2004), keterlibatan kerja adalah hasil dari penilaian kognitif tentang kebutuhan untuk memenuhi kepuasan kemampuan dalam bekerja dan berkaitan dengan citra diri orang tersebut. Engagement berkaitan dengan bagaimana individu mempekerjakan diri mereka terhadap kinerja pekerjaan mereka, melibatkan penggunaan perasaan dan perilaku secara aktif dan juga pemikiran. 9 Menurut teori motivasional Herzberg, kepuasan kerja ditentukan oleh dua faktor yang berbeda, yaitu faktor motivator (meliputi prestasi, pengakuan, karakteristik pekerjaan, tanggung jawab dan promosi) dan faktor higiene (meliputi kebijakan organisasi, supervisi, gaji, hubungan interpersonal ditempat kerja dan kondisi kerja) (Hackman & Oldham, 1976). Berdasarkan teori ini, dengan meningkatkan faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan akan mendorong karyawan lebih puas dan termotivasi untuk melakukan pekerjaannya (Robbins & Judge, 2009). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan hanya pekerjaan yang menantanglah yang memberikan kesempatan untuk berprestasi, penghargaan, tingkat kemajuan dan perkembangan yang akan memotivasi pekerja (Garg & Rastogi, 2006). Sejalan dengan itu, penelitian sebelumnya (Xanthopoulou, dkk., 2007; Saks, 2006; Bakker, dkk., 2004; Bakker, dkk., 2003) menunjukkan bahwa job resources seperti otonomi dan umpan balik kinerja berkorelasi positif dengan work engagement. Otonomi tugas dan umpan balik kinerja merupakan job resource pada tingkat tugas (Bakker, Demerouti, Hakanen, & Xanthopoulou, 2007). Demerouti, Bakker, Nachreiner, dan Schaufeli (2001) memaparkan bahwa job resources berfungsi untuk memenuhi keperluan tugas, dengan demikian dapat mengurangi kerugian fisiologis dan/atau psikologis yang terkait, dan pada saat yang sama mendorong pertumbuhan dan perkembangan individu. Kedua tipe job resources tersebut menjadi bagian penting dalam mayoritas pekerjaan (Bakker & Demerouti, 2007) yang akan diuji dalam penelitian ini. Sementara itu, beberapa 10 penelitian menjelaskan bahwa otonomi tugas dan umpan balik sebagai dimensi dalam karakteristik pekerjaan juga menjadi prediktor yang signifikan terhadap munculnya work engagement (Saks, 2006; May, dkk., 2004; & Nusatria, 2011). Hackman dan Oldham (1975) membagi karakteristik jabatan ke dalam lima dimensi yaitu: variasi keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi tugas, dan umpan balik. Otonomi tugas ialah sejauh mana pekerjaan tersebut memberikan kesempatan pada karyawan untuk merasakan kebebasan, ketidaktergantungan, dan keleluasaan untuk menentukan dan menjadwalkan prosedur yang digunakan sebagai wujud penyelesaian tugas. Sementara itu, umpan balik yaitu sejauh mana individu menerima informasi yang jelas dan langsung mengenai performanya dalam pemenuhan pekerjaan. Menurut teori Model Karakteristik Pekerjaan (Hackman & Oldham, 1975; 1976; Hackman, 1980), otonomi tugas dan umpan balik dari pekerjaan akan menghasilkan keadaan psikologis tertentu. Otonomi berhubungan dengan pengalaman tanggung jawab terhadap hasil kerja, sementara itu umpan balik dari pekerjaan akan sangat berhubungan dengan pengetahuan mengenai hasil nyata dari kegiatan bekerja (Hackman, 1980). Salah satu bentuk otonomi tugas pada divisi HRD ialah mereka diberikan keleluasaan untuk merancang pelatihan mengenai sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh karyawan. Selain otonomi tugas dan umpan balik pekerjaan, kualitas kehidupan kerja juga ikut berpengaruh terhadap tingkat work engagement. Work engagement dapat dipengaruhi oleh bagaimana individu memaknai dirinya tidak hanya terhadap pekerjaan namun juga lingkungan kerjanya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh 11 Kanten dan Sadullah (2012) menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja berpengaruh terhadap work engagement pada karyawan. Sejalan dengan itu, hasil studi pada perawat menyebutkan bahwa organisasi dapat berkontribusi meningkatkan work engagement dengan menciptakan pengalaman kerja yang mendukung, konsisten serta efektifitas manajemen sumber daya manusia (Burke, Koyunco, Tekinkus, Bektas, dan Fiksenbaum, 2012), mengatur tuntutan pekerjaan dan dukungan organisasi (Van der Colff & Rothmann, 2009). Lebih lanjut, Cascio (2006) menyatakan bahwa organisasi perlu untuk menciptakan suasana kerja seperti partisipasi dalam pengambilan keputusan, rasa aman terhadap lingkungan kerja, komunikasi yang baik antar pegawai dan maupun dengan atasan, karir yang berkembang dan memiliki rasa bangga terhadap pekerjaan. Suasana kerja seperti ini selanjutnya dapat menimbulkan kualitas kehidupan kerja yang baik sehingga pada akhirnya akan meningkatkan engagement karyawan terhadap pekerjaan. Selama dekade terakhir, konsep QWL dilihat secara berbeda oleh beberapa ahli yaitu sebagai sebuah variabel, pendekatan, serangkaian metode, perubahan, dan topik yang etis (Nadler & Lawler, 1983). Kualitas kehidupan kerja dilihat sebagai cara berpikir tentang orang-orang, pekerjaan, dan organisasi. elemen khas yang terkandung di dalamnya yaitu (1) kekhawatiran tentang dampak bekerja pada orang sama halnya dengan efektivitas organisasi, dan (2) gagasan berpartisipasi dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan organisasi (Nadler dan Lawler, 1983). 12 Konsep kualitas kehidupan kerja menurut Siagian (2008) sebagai upaya sistematis dalam kehidupan organisasi melalui sejauhmana karyawan diberikan kesempatan untuk turut berperan menentukan cara mereka bekerja dan sumbangan yang diberikan kepada organisasi dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya. Sementara itu, Walton (1975, dalam Timossi, Pedroso, Francisco, & Pilatti, 2008) memberikan penjelasan bahwa kualitas kehidupan kerja sebagai cara penting untuk menyelamatkan nilai-nilai manusia dan lingkungan yang telah diabaikan dalam mendukung produktivitas kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Penjelasan tersebut lebih sesuai dengan konteks penelitian ini. Selanjutnya, Walton membagi dimensi kualitas kehidupan kerja sebagai berikut: (1) kompensasi yang layak dan adil (misalnya, remunerasi yang adil, upah yang seimbang, partisipasi pada hasil, keuntungan ekstra), (2) keamanan dan kesehatan lingkungan (misalnya, perjalanan mingguan, beban kerja, proses teknologi, kesehatan yang baik, kelelahan, peralatan yang mendukung), (3) pengembangan kapasitas manusia (misalnya, otonomi, kepentingan tugas, evaluasi kinerja, tanggung jawab yang diberikan), (4) perkembangan dan keamanan (misalnya, perkembangan profesi, pelatihan, pengunduran diri, dorongan untuk belajar), (5) integrasi sosial (misal, diskriminasi, hubungan interpersonal, perjanjian tim), (6) konstitusional (misalnya, kebijakan karyawan, kebebasan bereksperasi, diskusi dan tata tertib, menghargai privasi), (7) rentang hidup keseluruhan (misalnya, pengaruh terhadap rutinitas keluarga, waktu luang, waktu bekerja dan istirahat), (8) relevansi sosial (misalnya, bangga dengan 13 pekerjaan, citra organisasi, kejujuran komunitas, kualitas produk atau layanan, politik sumber daya manusia). Beberapa penelitian melihat kualitas kehidupan kerja sebagai upaya untuk memenuhi kepuasan kerja karyawan. Keterkaitan antara kualitas kehidupan kerja dengan kepuasan kerja dapat terlihat dari adanya penurunan turnover, berkurangnya kemangkiran dan keterlambatan, rendahnya tingkat keluhan, pencurian di tempat kerja, dan meningkatnya kewarganegaraan bersosial (seperti kesediaan menolong karyawan lain dan pelanggaran serta menjadi lebih kooperatif) (Almalki, Fitzgerald, & Clark, 2012; Cohen, Chang, & Ledford, 1997, Yolder, 1995; MacRobert, Schmele, & Honsen, 1993). Tingkat kualitas kehidupan kerja yang tinggi menjadi bagian penting bagi organisasi untuk meningkatkan citranya dalam menarik dan mempertahankan karyawannya (Kanten & Sadullah, 2012; Almalki, dkk., 2012; Jagannathan & Akhila, 2009). Beberapa hasil penelitian menjelaskan efek positif dari adanya kualitas kehidupan kerja adalah engagement, produktifitas perawat, dedikasi, loyalitas, dan (Kanten & Sadullah, 2012; Sirgy, Efraty, Siegel, & Lee, 2001; Nayeri, Salehi, & Noghabi, 2011), tingginya tingkat kepuasan kerja pada beberapa aspek kehidupan kerja, komitmen (Huang, Lawler, & Lei, 2007, Normala, 2010; Wilcock & Wright, 1991; Zin. 2004), kinerja, pertumbuhan dan profitabilitas organisasi (Lau, 2000),. Berdasarkan penjelasan di atas, kebanyakan penelitian fokus terhadap hubungan kualitas kehidupan kerja dengan beberapa variabel seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja, intensi turnover, hubungan karyawan dan