Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 PENGUATAN USAHA EKONOMI UMAT MELALUI PERBANKAN SYARI’AH Akhmad Mujahidin Pendahuluan Istilah Bank Islam atau Bank Syari‟ah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistem Bank Syari‟ah menerapkan sistem bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan Bank Syari‟ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam, dengan mengacu kepada Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional. Perkembangan perbankan Syari‟ah telah memberi pengaruh luas terhadap perbaikan ekonomi umat dan kesadaran baru untuk mengadopsi dan ekspansi lembaga keuangan Islam, maka pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR RI, telah mengganti UU Perbankan No. 14 tahun 1967 dengan UU Perbankan No. 7 tahun 1992, yang menyebutkan dengan diperbolehkannya operasi perbankan dengan sistem bagi hasil selain dengan sistem bunga. Berdasarkan UU Perbankan No. 7 tahun 1992 maka Bank Syari‟ah pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1991 dengan nama PT Bank Muamalah Indonesia dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal sebanyak Rp 84 milyar. UU. No. 10 tahun 1998. Perkembangan mutakhirnya adalah dikeluarkannya UU. No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah yang semakin memperkokoh eksistensinya dalam lalu lintas perekonomian ummat. Sosialisasi Perbankan Syari’ah Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan syari‟ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari‟ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2000 di empat wilayah yang terdiri dari Jawa Barat bekerja sama dengan LP-IPB, Jawa Tengah dan DIY bekerjasama dengan LP-UNDIP Semarang, Jawa Timur bekerjasama dengan PPBEIUNIBRAW. Hasilnya sebagai berikut: 732 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010 a. Lebih dari 4000 responden yang tersebar di empat propinsi, sebagian besar (lebih dari 95 %) berpendapat bahwa sistem perbankan penting dan dibutuhkan dalam mendukung kelancaran transaksi ekonomi. b. Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank Syari‟ah: 1) bank Syari‟ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2) Bank Syari‟ah adalah bank yang Islami, namun berdasarkan survei yang dilakukan di wilayah Jawa Barat, 8.1 % pihak responden menyatakan bahwa bank Syari‟ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam. c. PANDANGAN masyarakat mengenai sistem bunga: 1. Untuk responden wilayah Jawa Timur: 10.2 % menyatakan bahwa bank Syari‟ah sama saja dengan bank kovensional; dan 16.5 % menyatakan bahwa bagi hasil sama saja dengan bunga. Namun demikian, sistem bagi hasil adalah sistem yang dinilai universal dapat diterima (94%) karena bersifat menguntungkan bagi bank maupun bagi nasabah. 2. Untuk bertentangan/tidaknya Bank Syari‟ah dengan ajaran agama Islam dapat dijelaskan sebagai berikut; a) untuk wilayah Jawa Barat, 62 % menyatakan bertentangan dengan ajaran agama Islam; 16 % menyatakan tidak tahu. b) untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY, 48 % menyatakan bertentangan dengan ajaran agama Islam; 21 % menyatakan tidak tahu. c) untuk wilayah Jawa Timur, 31 % menyatakan bertentangan dengan ajaran agama Islam; 69 % menyatakan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. d. Pengetahuan masyarakat mengenai sistem perbankan Syari‟ah relatif tinggi (Jawa Barat 88.6 %, Jawa Tengah-DIY 71.2 %). Meskipun demikian pemahaman mengenai keunikan sistem produk/ jasa bank Syari‟ah secara umum masih rendah. e. Analisis faktor-faktor yang memotivasi penggunaan jasa perbankan Syari‟ah ternyata untuk masyarakat Jabar dan Jatim yang lebih dominan adalah faktor kualitas pelayanan dan kedekatan lokasi bank dari pusat kegiatan. Sedangkan faktor pertimbangan keagamaan, bukanlah menjadi faktor penting dalam mempengaruhi kecenderungan menggunakan jasa bank Syari‟ah. Namun, untuk masyarakat Jateng pertimbangan agama adalah motivasi terpenting untuk mendorong penggunaan jasa bank Syari‟ah. f. Dari penelitian wilayah Jawa Barat diperoleh informasi bahwa masyarakat non nasabah bank Syari‟ah yang diberi penjelasan mengenai sistem produk dan jasa serta kehalalan bank Syari‟ah mempunyai kecenderungan kuat memilih bank Syari‟ah. Namun sebaliknya, nasabah yang telah menggunakan jasa bank Syari‟ah, sebagian memiliki kecenderungan untuk berhenti jadi nasabah antara lain karena kualitas pelayanan yang kurang baik dan/atau keraguan akan konsistensi penerapan prinsipprinsip Islam. Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari‟ah sangat diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbankan Syari‟ah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan berbagai AKHMAD MUJAHIDIN Penguatan Usaha Ekonomi 733 media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses kepada masyarakat luas. Bank Syari’ah dan Pembiayaan Usaha Ekonomi Umat Dalam Pembangunan Nasional, UKM adalah bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kelangsungan suatu kegiatan usaha perlu didukung oleh permodalan dan sumber daya manusia yang memadahi. Namun dalam praktiknya UKM seringkali kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan, satu dan lain hal karena suku bunga pinjaman yang tinggi dan berdasarkan analisis kredit khususnya terkait dengan jaminan “dianggap” tidak memenuhi. Dengan demikian sektor perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang mengemban misi bisnis (tijarah), sekaligus misi sosial (tabarru) sudah seyogyanya mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan sektor UKM dimaksud. Untuk kepentingan UKM suatu bank syariah hendaknya mampu secara cermat mengetahui kebutuhan nyata yang ada pada UKM yang bersangkutan. Hal ini penting karena karakteristik produk pembiayaan yang ada pada perbankan syariah bervariasi dan masing-masing hanya menjawab pada kebutuhan tertentu. Adapun beberapa motif dan kebutuhan yang ada pada nasabah debitur yang dalam hal ini adalah UKM dan produk perbankan syariah yang sesuai dapat dikategorikan antara lain sebagai berikut: Pertama, UKM yang membutuhkan adanya barang modal sebagai sarana dalam proses usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad jual beli, khususnya pembiayaan murabahah. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Adapun persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan murabahah ini, yaitu: 1. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang. 2. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah; 3. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; 4. dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank; 5. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah; 6. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank; 7. kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad; 8. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional. 734 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010 Kedua, UKM dalam tahap pendirian yang membutuhkan modal kerja dan UKM yang membutuhkan tambahan modal untuk kepentingan ekspansi usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil berupa pembiayaan mudharabah atau pembiayaan musyarakah. Mudharabah diartikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Adapun musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing. Persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan mudharabah ini, yaitu: 1. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha; 2. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah; 3. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah; 4. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang; 5. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya; 6. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar; 7. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; 8. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha; 9. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut; 10. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad; 11. pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing); 12. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib; 13. dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan; 14. nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib; 15. atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan nasabah; AKHMAD MUJAHIDIN Penguatan Usaha Ekonomi 735 16. pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan 17. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Sedangkan persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan musyarakah, yaitu sebagai berikut: 1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersamasama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu; 2. nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati; 3. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha; 4. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang; 5. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan; 6. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah; 7. biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan; 8. pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; 9. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak; 10. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut; 11. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad; 12. pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing); 13. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah; 14. pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan 15. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan atau kecurangan. Ketiga, UKM yang sedang mengalami kesulitan keuangan, bahkan mungkin harus segera mendapatkan dana segar untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya (liability) kepada pihak ketiga. Bank syariah ketika menemukan UKM yang seperti ini adalah tepat ketika memberikan pembiayaan yang bersifat pinjaman tanpa bunga atau yang dikenal dengan 736 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010 pembiayaan qardh atau pembiayaan qardh al-hasan. Dalam Pasal 1 angka 11 PBI No. 7/46/PBI/2005, qardh diartikan sebagai pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian pembiayaan qardh ini hanya diberikan dalam keadaan darurat (emergency), atau dapat juga diberikan bagi UKM pada awal pendiriannya, akan tetapi mempunyai reputasi yang bagus dalam arti kejujuran pengelolanya. Adapun untuk mendapatkan pembiayaan qardh ini persyaratan minimal yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 18 PBI No. 7/46/PBI/2005 adalah sebagai berikut: 1. Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan; 2. nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima pada waktu yang telah disepakati; 3. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan dengan pemberian pinjaman Qardh; 4. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad; 5. dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban kerugian Bank; 6. dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban pinjaman nasabah; 7. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak; 8. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan kepentingan nasabah pemilik dana. Sedangkan pembiayaan qardh al-hasan yang merupakan pinjaman kebajikan adalah pinjaman yang selain bebas bunga juga memang ditujukan untuk nasabah yang benarbenar tidak mampu akan tetapi membutuhkan dana untuk tetap melangsungkan kehidupannya. Untuk itu dalam qardh al-hasan pihak peminjam pada dasarnya tidak wajib mengembalikannya dalam hal memang tidak mampu mengembalikannya. Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah memiliki produk-produk pembiayaan yang bervariasi dan dapat disesuikan dengan kebutuhan riil pada diri nasabah, baik itu nasabah perorangan maupun badan usaha. Untuk itu yang dibutuhkan berikutnya kaitannya dengan pengembangan UKM adalah diperlukannya optimalisasi pembiayaan produktif yang ada melalui penerapan prinsipprinsip pengelolaan bank sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya. AKHMAD MUJAHIDIN Penguatan Usaha Ekonomi 737 BMT dan Pembiayaan Usaha Ekonomi Umat Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam „mengatasi‟ (untuk tidak mengatakan mengurangi) permasalahan kemiskinan. Namun dalam beberapa hal konsep ini kadang „direduksi‟ oleh pengurus BMT itu sendiri. Konsep yang paling utama dari BMT adalah jaminan/proteksi sosial melalui pengelolaan dana baitul maal. Proteksi sosial menurut Amartya Sen (2000) adalah jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan. Jaminan sosial ini dapat berupa insentif ekonomi (subsidi kepada kaum dhuafa-dalam konsep Islam berupa dana Zakat, Infaq, Shodaqoh-ZIS) ataupun berupa insentif sosial (kebersamaan melalui ikatan kelompok simpan pinjam ataupun kelompok ynag berorientasi sosial seperti majelis ta‟lim). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Sehingga terjadi komunikasi antara dua kelas yang berbeda. Dalam konsep Islam yang dioperasionalkan di tingkat desa melalui kegiatan BMT pengelolaan dana sosial (ZIS) ini akan memberikan dampak pada kehidupan sosial ekonomi komunitas. Bagian lain dari BMT adalah Baitul Tamwil (bagian pembiayaan). Dalam konsep baitul tamwil pembiayaan dilakukan dengan konsep syariah (bagi hasil). Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep „lama‟ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi terutama di perdesaan. Kelebihan konsep bagi hasil ini adalah adanya profit and loss sharing (bagi hasil/rugi) jika dana yang diserahkan ke pengelola BMT digunakan untuk investasi ekonomi. Konsep ini menyebabkan kedua pihak (pengelola BMT dan peminjam saling melakukan kontrol). Dan pengelola dituntut untuk menghasilkan profit bagi penabung dan pemodal. Dalam hubungannya dengan mengatasi masalah kemiskinan BMT memiliki kelebihan konsep pinjaman kebijakan (qardhul hasan) yang diambil dari dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin. Karena sesuai dengan konsep pemberdayaan maka aktivitas sosial (non profit oriented) seperti pengorganisasian dan penguatan kelompok di tingkat komunitas (jamaah) menjadi langkah awal sebelum masuk pada aktivitas yang mendatangkan profit (seperti pinjaman/pembiayaan). Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuantujuanya. Atas dasar pemikiran diatas maka pembentukan jaringan dan penguatan BMT yang ada harus menjadi prioritas kegaitan PINBUK Kota/Kabupaten. Sedangkan untuk BMTBMT yang telah kuat bisa membuat semacam „kantor kas‟ di setiap desa. Pentahapan yang harus dilakukan bisa seperti berikut: Tahap Pertama dengan mengembangkan kantor kas BMT. Tahap Kedua dengan dengan mengembangkan Kantor Kas BMT menjadi BMT Unit Desa (bisa dengan musyawarah jamaah masjid). Tahap Ketiga mengembangkan BMT 738 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010 Unit Desa menjadi BMT Desa (sudah menjadi milik komunitas ditandai dengan besaran tabungan yang dihimpun dari anggota atau non anggota). Strategi kedua adalah dengan membentuk langsung BMT Desa dengan menggunakan jamaah masjid. Strategi ketiga dengan mengkonversi Lembaga Keuangan Mikro hasil „bentukan‟ proyek pemerintah menjadi Koperasi berdasarkan Bagi Hasil (syariah). Strategi ini membutuhkan pewacanaan di tingkat komunitas tentang keuntungankeuntungan konsep bagi hasil dibandingkan dengan konsep riba. Dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi daerah dan lembaga keuangan mikro (seperti BMT) maka hal yang paling penting adalah investasi pada bidang modal manusia. Pentingnya modal manusia ini disebabkan pada dasarnya hampir semua kegagalan dalam konsep pembagunan disebabkan mismanajemen dan korupsi. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas SDM Indonesia terutama kualitas spiritualnya. Kelemahan lain adalah kondisi yang tidak kondusif dalam menciptakan iklim kewirausahaan. Iklim usaha yang tidak sehat dan tidak adanya usaha untuk menciptakan level yang sama untuk seluruh pemain (dalam regulasi dan penegakannya ataupun aksesibilitas) menyebabkan tingginya exit rate di kalangan pengusaha di berbagai sektor ekonomi. Masalah lain adalah kemampuan kewirausahaan secara individu (berkaitan dengan kemampuan menciptakan, mereplikasi atau inovasi teknologi)-yang masih merupakan bagian dari modal manusia dan jejaring (modal sosial). Dengan adanya investasi di bidang SDM (human capital) ini diharapkan pembangunan wilayah dapat bertumpu pada kemampuan sumberdaya lokal. Dan sekali lagi peranan jama‟ah sangat diharapkan dalam penciptaan kondisi yang lebih baik untuk kondisi ummat/generasi yang akan datang. Sebuah Tawaran: Pembiayaan Ba’i Al-Salam dalam Bidang Pertanian Sesungguhnya, ajaran Islam sangat memperhatikan masalah pertanian. Rasulullah saw telah membuat pengecualian dalam hal larangan forward transaction kepada sektor pertanian. Pengecualian inilah yang dalam terminologi fiqh disebut dengan bai' as salam. Bai' as salam adalah jual beli yang dilakukan, di mana penjual (muslam ilaih) setuju untuk mensuplai sejumlah barang dengan kualitas dan karakteristik tertentu (muslam fiih) pada tanggal tertentu di masa yang akan datang kepada pembeli (rabbus salam). Sementara pembeli membayar harga jual secara penuh (ra'sul maal) saat terjadi transaksi. Biasanya harga yang disepakati lebih rendah dari harga pasar. Hal tersebut dimaksudkan agar kepentingan pembeli tidak terabaikan. Tujuan Rasulullah saw membolehkan adanya transaksi semacam ini adalah agar petani dapat terpenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan modal untuk berproduksi, maupun kebutuhan untuk kehidupan keluarganya sehari-hari. Setelah munculnya larangan untuk meminjam uang dengan riba, maka petani otomatis tidak dapat mengambil pinjaman tersebut padahal mereka sangat membutuhkannya. Karena itulah, oleh Rasulullah saw mereka diperbolehkan untuk menjual produknya di muka, tentu saja dengan sejumlah persyaratan. Sebagai contoh, diasumsikan biaya untuk memproduksi beras 1 kg adalah Rp 2000. Kemudian harga pasar untuk beras jenis tersebut adalah Rp 4000/kg. Seorang petani, A, AKHMAD MUJAHIDIN Penguatan Usaha Ekonomi 739 memiliki lahan 1 hektare yang mampu menghasilkan beras (asumsikan) 5 ton. Tuan B ingin memberikan pembiayaan kepada petani A melalui skema bai' as salam. Maka disepakatilah oleh keduanya bahwa Tuan B akan memberikan uang sejumlah Rp 15 juta (5 ton x Rp 3000/kg) kepada A dan A harus mengirimkan 5 ton beras produksinya kepada B pada tanggal tertentu setelah 3 bulan. Pada skema ini, B dan A setuju bahwa harga berasnya adalah Rp 3000. Di satu sisi, A mendapat 2 keuntungan: ia memiliki dana segar untuk segera berproduksi, dan ia mendapatkan laba Rp 1000/kg (atau Rp 5 juta) yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selama 3 bulan. B sendiri mendapat untung dari selisih harga yang disepakati dengan harga pasar. Artinya, dengan menjual pada harga pasar B akan mendapat profit Rp 1000/kg. Bagaimana jika terjadi kekeringan dan serangan hama sehingga gagal panen? A tetap berkewajiban untuk menyediakan beras yang dijanjikan sesuai dengan kesepakatan, kecuali kalau Tuan B merelakan untuk menanggung kerugiannya. Disinilah peran pemerintah untuk menjadi Tuan B, yang siap untuk menanggung kerugian jika seandainya terjadi kegagalan dalam panen akibat faktor alam yang tidak terduga. Strategi pendekatan Dengan pola seperti ini, penulis yakin bahwa petani akan lebih termotivasi. Tinggal bagaimana pemerintah membangun sebuah institusi yang bertanggung jawab untuk melakukan pembiayaan bai' as salam ini. Strategi pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah membentuk perusahaan pembiayaan syariah, selain PNM, untuk sektor pertanian secara khusus dalam bentuk BUMN non bank. Perusahaan ini bertanggung jawab untuk menyalurkan pembiayaan pada petani, dan kemudian menjual hasil pertanian yang didapat kepada publik. Atau pemerintah memperluas peran Bulog, dimana Bulog difungsikan pula sebagai lembaga pembiayaan petani. Yang terpenting lembaga ini haruslah amanah. Kedua, pemerintah membentuk bank pertanian syariah. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara bank untuk menyimpan hasil pertanian, mengingat ia akan menerima dalam bentuk produk dari petani dan bukan dalam bentuk uang. Untuk itu, perlu ada modifikasi dari skema bai' as-salam, di mana bank dapat menunjuk petani yang bersangkutan untuk menjualkan hasil pertaniannya ke pasar, dan kemudian mengembalikan sejumlah uang kepada bank. Petani dapat diberikan komisi tambahan oleh bank karena telah bertindak sebagai agennya. Penutup Dari uraian di atas dapat diusulkan sebuah kerangka kerja bahwa Bank Syari‟ah maupun BMT perlu langsung terjun langsung ke sektor rill dengan memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Artinya, Bank Syari‟ah maupun BMT tidak mencukupkan diri hanya dengan menjadi penyalur dana semata. Dengan unit usaha ini, keuntungan yang diperoleh benar-benar halal bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. 740 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010 Dengan usaha ini, kebaradaan Bank Syari‟ah maupun BMT dapat menghidupkan perekonomian umat karena selain membuka lapangan kerja juga dapat menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di masyarakat. Daftar Pustaka Ahmed el Najar, 1977, Minhaj al Sahwa al Islamiah, Kairo: Dar Wihdan Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1997. Abdullah Saeed, 1996, Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, Leiden: EJ Brill. Bank Indonesia, Desember 2000, “Ringkasan Pokok-pokok Hasil Penelitian Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syari’ah di Pulau Jawa”, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. ------------------, Oktober 2001, “Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”, www.bi.co.id,. ------------------, November-Desember 2000, media dalam www.bi.co.id. Folcer Newhuas, 1987, “Keuntungan Perbankan Islam”, Journal al Muslim al Muasar,Vol. 28, pp. 113-121. Jamal Atia, , 1988, “Al Su’ubat alti Tuajih al bunuk al Islamia”, Journal al Muslim al Muasar, VOl. 29, pp. 83-90,. Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafii Antonio, 1992, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Mohammad Arif, 1996, Islamic Banking in Southeast Asia, Canada: McGill Institute of Islamic Studies. Maman H. Somantri, “Indonesia Sharia Banking Development”, Seminar On Islamic Economi Studies, Sahid Hotel: Yogyakarta, 12-13 Oktober 2002. Muhamad Syafi‟i Antonio, 1999, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institut. Maududi Uzair, 1950, A Groundwork for Interest Free Bank, London: Macmillan. Rifyal Ka‟bah, 2001, Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU, Jakarta: Universitas Yaris. Syamsul Anwar, 2001, “al Massarif al Islamiah wa-al Qanon al Massrifi fi Indonesia”, Al–Jami‟ah, Vol. 39, pp. 300-330. Sultan Remy Sjahadeini, 1999, Perbankan Islam, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Omar Bin Abdul Aziz, 1987, al Riba wa’al Muamalat al Massrifiah, Cet. 2, Arab Saudi: Dar al Azima. Umar Syihab, 1996, Hukum Islam dan Tranformasi Pemikiran, Semarang: Bina Utama. Endnotes : Guru Besar Ekonomi Islam UIN Suska Riau AKHMAD MUJAHIDIN Penguatan Usaha Ekonomi 741