10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang di Indonesia

advertisement
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang di Indonesia
Penyebaran terumbu karang di Indonesia tidak hanya terbatas secara horizontal
saja, namun juga secara vertikal dengan faktor kedalaman dan struktur substrat.
Pertumbuhan dan perkembangan karang berkurang secara eksponensial dengan
kedalaman. Beberapa hal yang menjadi faktor pembatas antara lain cahaya,
oksigen, suhu dan kecerahan (Goatley, 2012; Seemann, 2014).
Secara umum penyebaran terumbu karang di Indonesia sebagai berikut,
sebaran karang dipantai barat Sumatera dan Jawa bagian selatan dipengaruhi oleh
arus dari lautan Hindia. Keanekaragaman terumbu karang didaerah ini relatif
rendah dikarenakan adanya Up welling berupa air naik yang membawa air dingin
dari dasar samudera. Pantai yang banyak lumpurnya seperti pantai utara Jawa
tidak mempunyai keanekaragaman terumbu karang yang tinggi bila dibandingkan
dengan daerah lain. Sebaran terumbu karang sepanjang pantai timur Sumatera,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa bagian utara dipengaruhi oleh
sedimentasi yang tinggi yang dibawa oleh adanya aliran air sungai. Pertumbuhan
terumbu karang di Indonesia umumnya terdapat dipulau-pulau kecil, yang terpisah
dari pulau utama semakin baik pula pertumbuhannya. Penyebaran terumbu karang
paling baik di daerah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara
Barat, dan Bali. Didaerah ini muara sungai relatif sedikit, struktur pantai dan
substrat dasar yang keras serta pola arus terus menerus mengalir (Burke, 2012).
Pemanpaatan terumbu karang secara lestari didasari pada landasan hukum
yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Undang-undang dasar 1945 pasal
33 ayat 3, undang-undang nomor 9 tahun 1985, undang-undang nomor 5 tahun
1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, undangundang nomor 5 tahun 1994 tentang United Nation Conservation on Biological
Diversity , undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup tentang pengelolaan, Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1994 tentang
11
pemburuan satwa.Kelestarian terumbu karang di Indonesia dibawah pengawasan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dirjen Perlindungan hutan dan
Pelestarian Alam (PHPA), World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia,
dengan ketentuan;
1. Lokasi pengambilan terumbu karang terletak diluar dikawasan konservasi,
usulan kawasan konservasi, dan kawasan tujuan wisata.
2. Terumbu karang yang dimanfaatkan boleh diambil dengan ukuran yang
telah ditentukan sesuai dengan laju pertumbuhan dan ukuran maksimal
masing-masing kelompok terumbu karang tersebut.
3. Pengambilan dilakukan dengan sistem rotasi dalam periode tertentu.
4. Pengambilan terumbu karang dilakukan tidak melebihi daya regenerasi
kelompok terumbu karang yang telah ditentukan dan terdapat dilokasi.
5. Pengambilan terumbu karang dapat dilakukan setelah adanya penilaian.
6. Pengawasan, pemantauan, dan penerbitan perizinan pengambilan terumbu
karang harus dilakukan.
7. Pemantauan di lapangan perlu dilakukan dilokasi pengambilan dalam
waktu 1 tahun sekali untuk mendukung informasi dalam penentuan kuota
dan 4 tahun sekali untuk penilaian zonasi.
8. Pemantauan secara rutin oleh PHPA dan LIPI dilakukan ditempat
pengekspor untuk kawasan komoditas yang siap dikirim.
Perkembangan kondisi dan potensi terumbu karang dipantau secara periode waktu
tertentu oleh instansi yang berwenang dari LIPI. Pemantau sangat penting
dilakukan untuk mengetahui ketersedian terumbu karang dan jenis terumbu
karang serta persen tutupan terumbu karang. Adapun
metode yang paling
sederhana untuk memantau perkembangan terumbu karang adalah metode
wawancara kepada masyarakat dan pemerintahan yang dilengkapi dengan data
kuisioner. Dengan objek wawancara adalah nelayan yang dianggap paling
mengetahui perkembangan perolehan terumbu karang baik jenis maupun
jumlahnya dari waktu ke waktu di tempat yang sama.
12
2.1.1 Potensi Terumbu Karang DiIndonesia
Potensi terumbu karang di Indonesia menunjukkan dari 800 jenis terumbu
karang didunia, 60 persen diantarnya terdapat di Indonesia. Besarnya potensi
sumber daya alam ini dari segi jumlah maupun kualitasnya merupakan sumber
pendapatan utama nelayan mengingat terumbu karang antara lain tempat memijah,
bertelur, mencari makanan, tempat berlindung biota laut. Terumbu karang
diIndonesia mengalami kerusakan yang cukup parah khususnya pada daerah
wilayah Indonesia Tengah dan wilayah Indonesia Timur. Ekosistem terumbu
karang Indonesia mengalami tekanan yang sangat tinggi akibat kegiatan
pemanfaatan sumber daya yang tidak bersahabat dengan lingkungan dipengaruhi
faktor Anthropogenic causes dan Natural causes. Hal ini merupakan masih
rendahnya faktor kesadaran dan pengetahuan masyarakat pengguna dan serta
masih rendahnya kemampuan faktor daya dukung suatu ekosistem dalam
mengatasi
pemanfaatannya.
Sebagai
akibatnya
dari
ketidaktahuan
dan
ketidaksadaran ini maka terumbu karang mengalami degradasi yang sangat
mengkhawatirkan. Dari hasil penelitian CoreMap LIPI pengambilan karang untuk
pembuatan pondasi dan pembuatan kapur, pengambilan biota laut dengan bahan
peledak dan bahan kimia sudah banyak dilakukan ( Burke, 2012 ; Allen, 2014 ).
2.2 Nilai dan Fungsi Terumbu karang
Terumbu karang adalah struktur fisik yang terbentuk dari kegiatan hewan
karang kecil yang hidup dalam koloni besar dan membentuk kerangka kapur
bersama-sama. Selama jutaan tahun gabungan massa kerangka kapur tersebut
membentuk terumbu besar yang membutuhkan persyaratan yang kompleks,
(Charpy, 2012). Terumbu karang membesar dengan cepat di dalam air yang jernih
yang ditembusi oleh cahaya matahari, hidup subur pada suhu 22°C - 28°C,
Cahaya matahari sangat penting didalam ekosistem terumbu karang menjamin
pertumbuhan karang laut dan alga mikroskopik yang hidup dalam tisu-tisu polip
saling bersimbiosis. Selain mendapatkan makanan melalui hasil fotosintesis,
zooxanthellea dan karang laut menangkap zooplankton dengan menggunakan
tentakel polip dan menyerap sebagian organik yang larut di dalam air sebagai
13
sumber makanannya. Kebanyakan karang laut makan pada waktu malam karena
zooplankton bergerak pada waktu malam. Hal ini juga adalah karena tentakel
polip yang tersembunyi pada siang hari dapat mengelakkan karang laut menjadi
mangsa kepada hewan lain, dan melindungi diri ultra-violet dijumpai pada
kedalaman kurang 40 meter dengan salinitas berkisar 33 - 40 0/00 (Riegl, 2013).
Adapun beberapa nilai dan fungsi terumbu karang berdasarkan hasil
penelitian puslitbang LIPI, PHPA, WWF Indonesia adalah sebagai berikut;
1. Nilai ekologis, menjaga keseimbangan biota laut dan hubungan timbal
balik antara biota laut dengan faktor abiotik.
2. Nilai ekonomis, sumber daya ini dikembangkan sebagai komoditas yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi.
3. Nilai estetika, dapat membentuk panorama yang indah dikedalaman laut
yang dapat dimanfaatkan sebagai arena wisata bahari.
4. Nilai Edukasi, sebagai objek penelitian dan pendidikan.
Disamping itu terumbu karang mempunyai fungsi lain yang cukup penting antara
lain sebagai berikut,
1. Sebagai habitat bagi sumber daya ikan dalam ini sebagai tempat memijah,
bertelur, mengasuh, mencari makan, dan berlindung sebagai biota laut.
2. Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budi daya perikanan.
3. Sebagai sumber makanan dan bahan baku substansi aktif yang berguna
bagi dunia farmasi dan kedokteran.
4. Sebagai, pelindung pantai dari gelombang laut sehingga terhindar dari
degradasi dan abrasi.
2.3 Bentuk Terumbu Karang
Bentuk pertumbuhan terumbu karang berkoloni yang berkaitan dengan
kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus),
ketersediaan bahan makanan, sedimen, sub areal exposure dan faktor genetik.
Terumbu karang umunya dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu :
14
1. Terumbu karang tepi ( Fringing Reefs )
Terumbu karang tepi berupa pembentukan terumbu karang yang mengitari
pulau, perkembangan tipe terumbu tepi berawal dari suatu pulau samudra yang
perlahan-lahan mengalami penurunan. Terumbu tepi banyak ditemui di pulaupulau dan disepanjang daratan besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman
40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut
lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar
yang ditandai dengan adanya bentukan. Pada pantai yang curam, pertumbuhan
terumbu karang mengarah secara vertikal. Teramati banyak terdapat di Bunaken
Sulawesi, pulau Panaitan Banten, Nusa Dua Bali (Burke, 2012, Yao, 2013).
2. Terumbu karang penghalang ( Barrier Reefs )
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, ke
arah laut lepas tumbuh pada kedalaman hingga mencapai 75 meter di bawah
permukaan air laut. Membentuk kolom air atau celah perairan yang lebarnya
mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar
pulau besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputusputus. Seperti terdapat
diBatuan Tengah Bintan, kepulauan Riau, Sulawesi
Selatan, kepulauan Banggai Sulawesi Tengah ( Braga, 2004).
3. Terumbu karang cincin ( Atolls )
Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari
pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan
daratan. Terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang
penghalang, ditemukan pada kedalaman rata-rata 45 meter.Terdapat di Sulawesi,
Maratua Kalimantan Selatan, pulau Dana NTT, dan Papua (Oskin, 2013).
4. Terumbu karang datar ( Patch Reefs )
Terumbu (Patch reefs), terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke
permukaan dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar.
Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan
15
kedalaman relatif dangkal. Terdapat dikepulauan Seribu DKI Jakarta
dan
kepulauan Ujung Batu Aceh ( Kuffner, 2010).
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang terbagi atas karang
Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak
pada struktur skeletonnya. Acropra memiliki bagian yang disebut axial koralit dan
radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit (Richards,
2012 ; Rahmani, 2013; Hemond, 2014).
1.Bentuk Bercabang (Branching), memiliki cabang lebih panjang dari pada
diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian
atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak
memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.
2.Bentuk Kerak (Encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan
yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi
yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng
terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang
sebagian tubuhnya tertutup cangkang.
3. Bentuk lembaran (Foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada
dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama
pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan
perlindungan bagi ikan dan hewan lain.
4. Bentuk Jamur (Mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki
banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.
5.Bentuk Padat (Massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti
bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, ditemukan di sepanjang
tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.Pertumbuhan terumbu karang
massif tumbuh dalam skala millimeter hingga centimeter per-tahun. Selama
16
proses pertumbuhan akan terbentuk lingkaran tahunan (Annual Band) yang
merupakan kerangka (Skeleton) terumbu karang yang dapat digunakan kronologi.
Selama proses pembentukan kerangka karang tersebut juga terjadi inkorporasi
isotop dan unsur-unsur yang mencerminkan kondisi lingkungan dalam air laut
sekitarnya seperti suhu permukaan air laut, kesetimbangan hidrologi (Evaporasi
dan presipitasi) dan sirkulasi air laut. Karang massif berupa jenis porites tersebar
luas di Indonesia dikarenakan jenis karang ini mampu hidup dari berbagai kondisi
lingkungan pada derah tersedimentasi rendah dan daerah pada tersedimentasi
tinggi, air laut dengan salinitas rendah maupun air laut pada salinitas tinggi dan
jenis karang ini mampu hidup pada daerah berbatu, berpasir dan pada pecahan
karang. Adapun laju pertumbuhan spesies terumbu karang massif adalah sebagai
berikut (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Laju pertumbuhan spesies terumbu karang massif
No
Spesies
Laju Pertumbuhan
(mm/thn)
5,0-13,0
1
Astreopora myriophtalma Lamark
2
Platygyra Lamellina
6,7 - 8,0
3
Favia Speciosa Dana
4,5 – 8,5
4
Favia Stelligera Dana
8,0 - 12
5
Porites lobata Dana
5,0 – 11,5
6
Porites lutea
4,0 – 13,5
7
Oulophyllia Aspera Quelch
8
Goniastrea Retiformis (Lamarck)
6,0 – 10,0
9
Goniastrea Parvistella Dana
1.3 -12,0
10
P Sammocora Togianensis Umbgrove
11
Hydrophora micronos (Lamark)
12
Fungia fungites Dana
13
Herptolitha Limax
- 10
14
Parahalomitra robusta
- 12
20 - 22
26 - 30
11,5
10,0 – 12,0
17
2.4 Tipe - Tipe Terumbu Karang
Tipe dari terumbu karang berdasarkan jenisnya ada dua yaitu, karang keras
dan karang lunak. Karang keras ( Brain coral dan Elkhorn coral) merupakan
karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang tersusun dari
CaCO3. Karang batu ini menjadi pembentuk utama ekosistem terumbu karang.
Walaupun terlihat sangat kuat dan kokoh karang sebenarnya sangat rapuh mudah
hancur dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Karang keras ini disebut
hermatifik karena memiliki susunan eksoskeleton menghasilkan CaCO3, hal ini
merupakan fenomena menarik baik bagi ilmuan. Hewan karang sebagai penyusun
utama terumbu karang, mampu membuat "bangunan" dari pengendapan kalsium
karbonat (CaCO3). Kelas Anthozoa (Filum Cnidaria) dapat membentuk terumbu,
hanya dari kelompok hermatypic coral (ordo Scleractinia), sedangkan yang tidak
membentuk karang disebut ahermatypic coral. Kelompok hermatypic coral
tersebut hidupnya bersimbiosis dengan alga bersel satu zooxanthellae yang berada
pada sel dilapisan endodermis. Hasil dari proses fotosintesa zooxanthellae
merupakan endapan kalsium karbonat yang menjadi berbagai bentuk dan struktur
yang khas tergantung dari jenis inang hewan karang. Semakin maksimal proses
fotosintesa zooxanthellae, maka semakin maksimal pula kalsium karbonat yang
dapat diendapkan, berarti semakin
Terumbu karang
cepat proses pertumbuhan hewan karang.
ini tidak mampu membangun terumbu karang sendiri.
Melekatkan hewan karang ke terumbu karang yang berkembang di lingkungan
yang dangkal, dan intensitas cahaya terang. Maka peran ganggang corraline sama
pentingnya dengan karang yang menentukan tingginya gabungan terumbu karang
tumbuh terbaik dan memiliki pengaruh yang dominan dapat cepat tumbuhnya.
( Cooper, 2010 ; Howard, 2015 ).
Siklus reproduksi hewan karang meliputi telur dan sperma dilepas di air
laut, menjadi zigot dan berkembang menjadi larva planula yang mengikuti
pergerakan air laut. Pada saat menemukan dasaran yang sesuai maka planula
menempel didasar perairan , arus cukup untuk adanya makanan, penetrasi cahaya
cukup dan sedimentasi rendah. Selanjutnya planula akan tumbuh menjadi polip
terjadi kalsifikasi dan membentuk koloni karang, satu koloni terumbu karang
18
mencapai ribuan polip. Membentuk bangunan kapur (hermatypic coral) dikenal
pula sebagai reef-building coral seperti pada jenis Scleractinia. Kalsium karbonat
yang terbentuk kemudian membentuk endapan menjadi rangka hewan karang,
karbondioksida yang dikeluarkan hewan karang digunakan zooxanthellae untuk
fotosintesis, guna mengubah cahaya matahari menjadi glukosa, glyseryl, asam
amino, dan phospat organik yang berfungsi membangun dinding karang skeleton.
Zooxanthella memerlukan nutrien khususnya Nitrogen dengan kosentrasi 0,002
mg/l dan Phosfor 0,016 mg/l. Kosentrasi terlarut dilaut diserap langsung oleh
karang dalam jaringan tubuhnya kemudian ditransfer kedalam jaringan alga
melalui proses fotosintesis dan respirasi. Nutrien ini mengandung energi yang
akan ditrasfer balik kedalam jaringan karang dan digunakan untuk tetap hidup,
Hasil dari sisa ekskresi karang tidak dibuang semuanya tapi dipakai zooxanthella
untuk energi (recycle) sehingga kedua organisme tetap hidup. Zooxanthella
mengandung pigmen dengan kemampuan absorbsi sinar yang sangat baik yang
didalamnya terdapat karoten, perinidin, neoperidin, dinoxantin, xantopil,
chlorophil C2, asam amino dan asam lemak yang menyebabkan karang berwarna
warni ( Albright, 2013).
2.5. Bencana Alam Geologis
Bencana alam geologis meliputi gempa bumi dan letusan dari gunung
berapi, disebabkan oleh adanya gaya endogen yang berasal dari dalam bumi. Hal
ini terjadi karena secara tektonis, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga
lempeng tektonik besar dunia yang aktif, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik dan
Indo-Australia. Interaksi antar lempeng tektonik ini menyimpan dampak negatif
berupa bencana gempa bumi. Berdasarkan kedalaman hipocentrumnya, terjadi
gempa bumi dangkal, gempa bumi sedang, dan gempa bumi dalam. Dengan
kategori gempa bumi dangkal pusatnya < 70 km, gempa bumi sedang pusatnya
70 - 300 km, gempa bumi dalam pusatnya 300 – 700 km. Sedangkan berdasarkan
magnitudonya gempa bumi dikategorikan 6 kategori tertera pada Tabel 2.2.
19
Tabel 2.2 Kategori gempa bumi
No
Magnitude (Skala Richter)
Kategori
1
2
3
4
5
6
Lebih dari 8
7 - 7,9
6 – 6,9
5 – 5,9
4 - 4,9
3 – 3,9
Sangat besar
Besar
Cukup besar
Sedang
Kecil
Sangat kecil
Sumber BMKG
Gempa bumi dangkal cenderung lebih kuat dari pada gempa bumi dalam, oleh
sebab itu gempa bumi dangkal lebih banyak menyebabkan kerusakan. Kecepatan
yang merambat di hipocentrum berupa gelombang primer dengan kecepatan
mencapai 14 km/det, sedangkan gelombang sekunder 7 km/det. Hal ini
menunjukkan geologis Indonesia sangat kompleks meliputi kegiatan tektonik
maupun vulkanik, selama jutaan tahun terjadinya gempa bumi, letusan gunung api
dan tsunami menyebabkan secara langsung berpengaruh pada berbagai aspek,
baik kehidupan di darat maupun di perairan laut. Gempa bumi ataupun tsunami
menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas sumber daya laut, khususnya
pada terumbu karang mengalami kerusakan episodik yang bersifat lokal walaupun
juga sering mengalami rusak berat. Mendapat tekanan berat hantaman dan
pengadukan air yang proses pencampuran air tawar dengan air laut menyebabkan
penurunan salinitas air laut sehingga terjadi perubahan komposisi kimia air laut.
Hasil penelitian menunjukkan terumbu karang hidup pada salinitas air laut normal
jadi penurunan kadar garam pada air laut akibat banjir akan mempengaruhi
pertumbuhan terumbu karang dan dalam kondisi yang parah dapat menyebabkan
kematian. Selain penurunan salinitas air laut, juga menyebabkan terjadinya
pengadukan sedimen dasar perairan yang kemudian terangkut dan terbawa arus,
sehingga dapat menyebabkan meningkatnya laju sedimentasi. Tingginya laju
sedimentasi pada wilayah perairan laut menyebabkan proses pengambilan
makanan karang dan proses fotosintesis zooxanthella terhambat karena jaringan
tubuh karang tertutupi oleh sedimen.
20
2.6. Bencana Alam Klimatologis
Bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh
faktor iklim berupa badai tropis siklon, taifun, umumnya terjadi dilautan tropis.
Iklim tropis memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim
hujan di Indonesia pada umumnya berlangsung dari bulan Oktober sampai
Maret. Pada bulan ini kedudukan matahari banyak berada di belahan bumi
selatan, sehingga wilayah ini mengalami pemanasan yang maksimal. Sementara
di belahan bumi utara benua Asia yang mendapatkan panas yang sedikit memiliki
tekanan udara maksimum. Kondisi demikian, menyebabkan angin bertiup dari
benua Asia menuju benua Australia melalui Samudra Pasifik. Angin tersebut
merupakan angin muson Barat Laut. Bersifat lembab karena membawa uap air
yang banyak dari Samudra Pasifik, sehingga menyebabkan terjadinya hujan di
wilayah Indonesia. Akibat dari kecepatan angin yang mencapai 120 km/jam dapat
mengakibatkan kerusakan, merobohkan bangunan, merusak sarana dan prasarana,
menumbangkan pohon dan dapat menerbangkan benda- benda yang dilaluinya.
Pada daerah pantai, dapat mengangkat air laut sehingga timbul gelombang besar
sampai 15 m atau lebih. Demikian pula akibat dari curah hujan yang tinggi daerah
yang lebih rendah dibandingkan muka air laut, daerah yang terletak pada suatu
cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar sempit, atau
adanya pasang naik air laut. Kehidupan terumbu karang yang telah mengalami
faktor iklim berupa badai tropis dan dapat pulih dari kerusakan yang dialaminya.
Karang dapat mati karena pemasukan air tawar selama badai tropis yang
kejadiannya terlokalisir dan memberikan dampak utama pada terumbu karang
dipaparan yang dangkal. Ada 5 dampak utama bagi terumbu karang berupa
naiknya permukaan laut, kenaikan suhu, berkurangnya tingkat pengapuran,
perubahan pola sirkulasi air laut, pertambahan frekuensi kejadian cuaca yang
merusak ( Cao, 2014 ).
1. Naiknya permukaan air laut; terumbu karang mampu bertahan dengan naiknya
permukaan air laut kurang lebih 50 cm hingga tahun 2100. Dataran terumbu
karang yang terbuka pada saat surut dapat membatasi pertumbuhan terumbu
karang kearah vertikal (Nicholls, 2010; Rahmstorf, 2012; Woesik, 2015).
21
2. Kenaikan suhu air laut; Diperkirakan kenaikan 1–2°C terjadi tahun 2100. Di
daerah tropis telah terjadi kenaikan 0,5°C selama 2 dekade terakhir. Tampaknya
hanya perubahan kecil, akan tetapi dapat diartikan bahwa selama periode musim
normal, suhu akan melebihi batas toleransi dari hampir semua jenis terumbu
karang, hal ini akan menaikkan frekuensi terjadinya pemutihan pada terumbu
karang ( Muthukrishnan, 2014; Seemann, 2014; Bowen, 2015; Evenhuis, 2015;
Migala 2015 ).
3. Berkurangnya tingkat pengapuran; emisi global dari efek rumah kaca yakni
terperangkapnya panas dari matahari dibawah atmosfer bumi karena adanya gasgas rumah kaca yang berada diatmosfer. Sebagian panas matahari ini dipantulkan
dan lepas keluar angkasa akan tetapi terhalang gas-gas tersebut maka panas tidak
keluar. Gas–gas rumah kaca sebagian besar merupakan buangan dari industri,
pembangkit tenaga listrik tenaga batu bara dan kenderaan bermotor yang terutama
gas karbondioksida. Laut menyerap sekitar seperempat dari karbondioksida yang
dilepaskan ke atmosfer lewat pembakaran fosil, deforestasi, dan berbagai aktivitas
manusia. Semakin banyaknya karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer maka
lautan pun semakin banyak menyerap CO2 dengan kecepatan serapan semakin
tinggi. Tanpa kemampuan serapan laut seperti sekarang, kadar karbon dioksida
atmosfer akan lebih tinggi secara signifikan dari pada sekarang, dampak
perubahan iklim terjadi. Keasaman laut tidak dapat diperbaiki dalam jangka waktu
cepat, setidaknya puluhan ribu tahun dan kerusakan substansial pada ekosistem
laut dapat dihindari hanya dengan pengurangan emisi CO2 global. Pemanasan
global mengakibatkan naiknya kadar asam di laut juga disebabkan oleh emisi
karbon dioksida. Perubahan konsentrasi CO2 di atmosfer bumi telah terjadi sejak
200 tahun lalu ketika revolusi industri dimulai. Perubahan itu telah mendongkrak
keasaman mencapai 40% emisi CO2 tersebut terserap oleh laut. Emisi yang larut
dalam molekul air akan menghasilkan air laut menjadi bersifat asam. Akibatnya
diperkirakan tingkat pengapuran mencapai 14% - 30% pada tahun 2050 (Cao,
2014; Nash, 2015).
22
4. Perubahan pola sirkulasi lautan; arus diperlukan dalam proses pertumbuhan
karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan
dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen
yang berasal dari laut lepas. Dengan demikian arus sangat berperan penting dalam
proses transfer. Lebih lanjut dikatakan bahwa arus dan sirkulasi air berperan
dalam proses sedimentasi. Sedimen dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh
aliran permukaan akibat erosi menutupi permukaan terumbu karang. Sehingga
tidak hanya berdampak negatif terhadap hewan karang, tetapi juga terhadap biota
yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Pada saat terjadinya pola sirkulasi
dari lautan dalam skala besar akan mengubah distribusi dan transportasi larva
karang, maka akan berdampak pada perkembangan dan distribusi terumbu karang
diseluruh dunia (Vanhulten, 2014).
5. Frekuensi kejadian cuaca yang merusak; perubahan pola tahunan atmosfer
dapat mengakibatkan berubahnya frekuensi dan intensitas badai, angin
juga
perubahan pola presipitasi yang akan menyebabkan pemutihan karang dalam
kurun waktu 30 -50 tahun. Peningkatan frekuensi pemutihan karang menyebabkan
karang beradaptasi yang berubah secarah fisiologis menjadi toleran terhadap suhu
tinggi atau terjadinya kematian populasi zooxanthellae yang juga tidak mampu
pada suhu tinggi ( Teneva, 2011; Suzuki, 2013; Chaudhury, 2014).
2.7 Tekanan Anthropogenik
Tekanan anthropogenik merupakan fenomena baru yang banyak merusakkan
terumbu karang meliputi tekanan manusia secara langsung (Bellwood, 2011),
ancaman perubahan global serta masih rendahnya penetapan peraturan
pemerintah. Hal ini terjadi akibat kurangnya informasi yang berkaitan dengan
pentingnya terumbu karang serta masalah – masalah yang dihadapi ekosistem ini
dalam setiap lapisan masyarakat dari masyarakat kecil sampai pejabat pemerintah.
Tekanan-tekanan ini banyak menyebabkan krisis global terumbu karang yang
pada saat ini mencapai 20% dari terumbu karang dunia telah hancur. Kebanyakan
kehancuran tersebut
proporsional dengan tingkat aktivitas
manusia didekat
23
kawasan terumbu karang. Karang didekat daratan besar dengan populasi tinggi
akan lebih rawan terkena polusi kimia dan sedimentasi ( Wilkinson, 2011;
Tyrrell, 2011; Al-Rousan, 2012 ; Muthukrishnan, 2014).
1. Polusi Kimia
Polusi kimia berupa senyawa organik kompleks dan logam berat yang ter
dapat dikawasan terumbu karang dalam bentuk limbah yang tidak mengalami
perlakuan, sampah-sampah pertanian, serta limbah industri memberi tekanan
kepada terumbu karang karena terhambatnya proses fotosintesis di zooxanthellae,
energi yang diberikan ke polip karang akan berkurang maka proses ini akan
menyebabkan pemutihan dan kematian karang. Selain polusi kimia juga dapat
dipengaruhi oleh adanya penurunan maupun kenaikan dari pH air laut yang
sebaiknya berkisar 7,9 – 8,3 bersifat alkalis atau basa, dengan salinitas air laut
berkisar antara 33- 40 per mill ( Abdelmongy, 2015; Abdel- Ghani, 2015).
2. Polusi Sedimen
Polusi dari sedimentasi merupakan pengendapan lumpur diwilayah pantai
akibat terbawa oleh adanya aliran sungai, karena tata guna lahan yang buruk,
penebangan hutan didaerah resapan air, pembangunan dikawasan pesisir dan
penggalian untuk saluran. Sedimen secara langsung akan memberi tekanan pada
karang, menurut, kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat
merangsang pertumbuhan alga yang beracun. Keadaan ini terdapatnya
pertumbuhan alga lain yang tidak saja memanfaatkan energi matahari tetapi juga
menghambat kolonisasi larva karang dengan cara menumbuhi substrat yang
merupakan tempat penempelan larva karang. Dengan demikian akan menghambat
laju pertumbuhan terumbu karang jenis porites, dengan menutupi luasan terumbu
karang akan menimbulkan penyakit pada karang dan pada akhirnya terumbu
karang akan mengalami pemutihan ( Wilkinson, 2011; Dar, 2012; Prouty, 2014 ;
Ward, 2015).
24
3. Penambangan Karang
Kerusakan terumbu karang dominan dari bentuk massive yang
pertumbuhannya relatip kecil pertahun dibandingkan terumbu karang bentuk lain
Pemanfaatan karang tersebut umumnya dilakukan masyarakat pesisr pantai
terutama yang bertempat tinggal dipulau terpencil yang jauh dari pusat perkotaan
digunakan sebagai pengganti batu bata, pondasi rumah dan jalan. Demikian pula
pasir karang ditambang untuk produksi kapur untuk pertanian dan bahan
pencampur semen dan bahan pengisian daerah reklamasi pantai ( Burke, 2012 ).
Download