MH Azkab l) dan M. Muchtar 2

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIII, Nomor 1, 1998: 9-18
ISSN 0216- 1877
SEBERAPA JAUH PERANAN OKSIGEN DILAUT?
oleh
M.H. Azkab l) dan M. Muchtar 2)
ABSTRACT
HOW FAR IS THE ROLE OF OXYGEN IN THE SEA? We
understood that the oxygen content of atmosphere is different than in the sea.
Although the oxygen content of the sea has a low variability, it can influence the life
of marine organisms. This paper will be described the oxygen content and
distribution, the correlation between oxygen and a biotic and biotic factors in the
sea.
PENDAHULUAN
Kecepatan masuknya oksigen dari
udara tergantung pada faktor kejenuhan air,
temperatur dan juga pergerakan di udara
(angin) dan air yaitu arus, gelombang dan
pasang surut (RAYMONT 1963. REID 1974,
PIERSON 1974). Di samping penambahan
oksigen di lapisan permukaan. juga laut dapat
kehilangan oksigen karena perpindahan
oksigen dai laut ke atrnosfir (BENTON 1974).
Jika kenyataan bahwa penambahan
oksigen hanya pada daerah permukaan atau
dekat permukaan (baik dari udara maupun dari
proses fotosintesa), maka akan muncul
masalah sampai kedalaman berapa di laut
oksigen dapat mengsuplainya. Sedangkan
kehidupan juga terdapat di laut yang dalam dan
proses respirasi hewan serta bakteri
dekomposer secara terus-menerus membutuhkan oksigen. Proses fotosintesis dari
Oksigen yang dikenal dengan nama zat
asam merupakan unsur yang sangat berperan
dalam proses kehidupan dan penghidupan yang
normal di dunia ini. Tanpa oksigen proses
respirasi dari organisme tidak akan berjalan.
sehingga tentunya akan diikuti oleh kematian.
Begitu pula bahan bakar tidak akan terbakar,
logam tidak akan berkarat dan yang penting
lagi zat-zat organik tidak akan terurai atau
mengalami pembusukan tanpa adanya oksigen
(TIMM 1966).
Sumber terpenting oksigen adalah
atmosfir dan hasil samping proses fotosintesa
tumbuhan air. Penambahan kandungan oksigen
dalam air laut hanya berlangsung pada lapisanlapisan air permukaan melalui absorpsi atau
proses diffusi dari atmosfir dan proses
fotosintesa.
1)
2)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI
Balirbang Oseanografi, Puslitbang Oseanologi-LIPI
9
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
organisme ototrof (fitoplankton) yang
menghasilkan senyawa-senyawa organis di
daerah "fotik akan menentukan konsumsi
oksigen di semua kedalaman perairan.
Besarnya konsumsi oksigen pada setiap
kedalaman ditentukan oleh intensifnya
organisme-organisme ototrof dalam pembentukan senyawa-senyawa organik.
Suplai oksigen pada daerah kedalaman
yang jauh tidak efektif karena kecilnya laju
diffusi molekuler dari oksigen tersebut,
sehingga diperlukan suatu mekanisme lain
yang dapat mengangkut oksigen dari lapisan
permukaan kebagian-bagian perairan yang
dalam. Mekanisme tersebut adalah sirkulasi
air terutama pada bidang vertikal yang dapat
menjamin adanya suplai oksigen ke semua
kedalaman dari permukaan sampai dasar laut.
Secara sederhana sirkulasi air laut
digambarkan oleh RUNFORD dan
HUMBOLDT (Gambar 1).
Produksi oksigen oleh proses
fotosintesa dapat melebihi kandungan oksigen
dalam atmosfir sebagai akibat berlangsungnya
proses fotosintesa yang sangat intensif. Nilainilai kadar oksigen dalam ha1 ini dapat
mencapai nilai-nilai yang lebih besar 100%
dari kadar jenuh (equilbrium saturation concentration). Hal ini dapat tejadi di perairan di
atas terumbu karang di siang hari sebagai
akibat intensifnya fotosintesa yang dilakukan
oleh zoozanthellae yang hidup bersimbiosa
dengan hewan karang. VERWEY (dalam
NONTJI1982) menemukan di goba Pulau Air,
Teluk Jakarta, kandungan oksigen maksimum
sampai lewat jenuh dapat mencapai 8,9 mill
pada sore hari. Selanjutnya BROEKHYA
(dalam MOORE 1958) mengatakan bahwa di
perairan padang lamun, Zosrera, konsentrasi
oksigen kejenuhannya sampai 260% pada sore
hari.
Beberapa organisme di laut dapat hidup
mengadaptasi diri terhadap lingkungan dengan
konsentrasi oksigen yang rendah atau tanpa
oksigen (anaerob). Tetapi ada juga beberapa
perairan dengan konsentrasi oksigen rendah
dapat menyebabkan kematian organisme di
laut. Untuk itu, mengingat kandungan oksigen
di suatu perairan tidak semuanya sama, maka
dalam tulisan ini akan dibahas seberapa jauh
peranan oksigen sebagai salah satu faktor
lingkungan di laut.
Gambar 1. Sirkulasi air laut model RUNFORD dan HUMBOLDT (REID 1974).
10
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kadar oksigen maksimum di daerah
tropik 4,5 ml/l, sedang di daerah kutub 8 ml/l.
Nilai-nilai jenuh di kedua daerah tersebut
adalah nilai jenuh bagi air laut yang langsung
berbatasan dengan atmosfir, sedangkan pada
bagian yang dalam di samudera, konsentrasi
oksigen dapat relatif tinggi yaitu sering lebih
dari 5 ml/l. Hal ini dapat dilihat pada
penyebaran oksigen di Samudera India
(Gambar 3).
KONSENTRASI DAN DISTRIBUSI
OKSIGEN
ANIKOUCHINE & STENBERG
(1973) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen
(dissolved oxygen) di laut bervariasi antara
0 - 9 ml/l. Di daerah permukaan agak
berkombinasi karena adanya pertukaran gas-gas
di udara dan kegiatan tumbuhan akuatik.
Secara umum dapat dilihat distribusi oksigen
secara venikal pada Gambar 2.
Gambar 2. Distribusi oksigen secara vertikal di laut (ANIKOUCINE & STENBERG 1973).
11
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Penyebaran oksigen di Samudera India (ml/l) (RAYMONT 1963).
Di daerah-daerah tropik dan subtropik
pada lapisan permukaan yang langsung
berhubungan dengan atmosfir pada aktifitas
fotosintesa tinggi menunjukkan nilai-nilai
jenuh oksigen sekitar 4 - 5 ml/l. Tetapi di
bawah lapisan-lapisan permukaan tersebut
kadar oksigen cepat menurun dan pada
kedalaman-kedalaman menengah (700 - 800
m) dapat mencapai 1 ml/l (Gambar 4)
(RAYMONT 1963). Konsentrasi oksigen yang
rendah pada suatu kedalaman tertentu
dinamakan daerah oksigen minimal.
Di samping adanya bagian laut yang
mempunyai kadar oksigen rendah atau
peristiwa kurang jenuh (under-saturation). juga
ditemukan daerah-daerah perairan laut yang
lewat jenuh (over-saturation) dengan oksigen.
Hal ini biasanya terjadi pada siang hari, karena
pada dasarnya berhubungan dengan fotosintesa
yang tinggi sehingga kecepatan produksi
oksigen melebihi kecepatan diffusi oksigen
Gambar 4. Daerah oksigen minimal pada perairan
subtropik (RAYMONT 1963).
12
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Teluk Jakarta yang menunjukkan tingkat
kejenuhan oksigen cukup tinggi, baik pada
musim barat (96,3%) maupun pada musim
timur (98.7%).
Pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh Lembaga Oseanologi NasionalLIPI (sekarang Puslitbang Oseanologi-LIPI) di
perairan-perairan Indonesia, baik di laut
dangkal maupun di laut dalam, konsentrasi
oksigen berkisar 3 - 4.5 ml/l pada lapisan
permukaan dan pada bagian dalam (100 m)
berkisar 1,44 - 3.19 ml/l (SOEGIARTO et al.
1980). Konsentrasi oksigen pada beberapa
perairan di Indonesia disajikan padaTabel 1.
dari air ke atmosfir lewat perrnukaan laut.
Keadaan lewat jenuh oksigen di siang hari
biasanya merupakan akibat adanya populasi
yang sangat padat dari fitoplankton atau
tumbuhan akuatik lainnya dan intensitas
matahari yang intensif. Keadaan lewat jenuh
oksigen dapat lebih 100% bahkan dapat
mencapai 260% (Gambar 5).
Tabel 1. Konsentrasi oksigen diberbagai perairan
Indonesia, hasil pengamatan P30-LIP1
1974-1979 (SOEGIARTO et al. 1980).
Gambar 5. Keadaan lewat jenuh oksigen di suatu
perairan padang lamun Zostera
(RAYMONT 1963).
Hasil pengamatan KASTORO (1977)
di sekitar Pulau Panggang, Teluk Jakarta,
menunjukkan konsentrasi oksigen dilapisan
permukaan berkisar 3.8 - 5.2 ml/l. sedangkan
pada lapisan dekat dasar berkisar 3.6 - 4.9 ml/l
1. Begitu pula pengamatan ILAHUDE &
SURYADI (1980) di Teluk Jakarta
menunjukkan kadar oksigen berkisar 3.14 5,84 ml/l, dan tidak terlihat adanya variasi
bulanan maupun tahunan yang tajam.
Lancarnya penyediaan oksigen dari udara ke
dalam air dan pengadukan air laut secara tetap
dan lancar rnengakibatkan keadaan air selalu
jenuh. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang
dilakukan oleh LEGOWO et al. (1980) di
13
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
HUBUNGAN OKSIGEN DENGAN
FAKTOR ABIOTIK LAINNYA
Oksigen dengan suhu dan salinitas
Faktor-faktor yang mengendalikan gasgas terlarut termasuk oksigen dalam laut ialah
suhu dan salinitas. RAYMONT (1963) dan
HOOD (1974) menyatakan bahwa banyaknya
oksigen yang dapat terlarut ditentukan oleh dua
faktor utama yaitu suhu dan salinitas. oksigen
mudah terlarut pada 0°C sekitar 10 ml/l.
sedangkan jika suhu naik 30°C akan terjadi
kejenuhan oksigen sekitar 5,6 ml/l (Tabel 2).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Jumlah oksigen terlarut di air tawar dan
air laut, pada suhu yang berbeda dengan
udara kering (RAYMONT1963).
oksigen, terutama pada daerah pasang-surut
(MOORE 1958, MUNK 1974). Perubahan
salinitas lebih kecil pengaruhnya bila
dibandingkan dengan pengaruh suhu terhadap
kadar oksigen di laut.
Oksigen dengan gelombang, pasangsurut dan arus
Gelombang, pasang-surut dan arus.
juga berperan dalam mengendalikan distribusi
oksigen dalam laut. Adanya gelombang,
pasang-surut dan arus akan membantu proses
percampuran kolom air sehingga kadar
oksigen yang konstan dapat dipertahankan
(PIERSON 1974. MUNK 1974).
Gelombang, disamping menguntungkan dalam membantu proses oksigenasi air,
juga dapat merugikan yaitu dengan
mengurangi penetrasi cahaya matahari
kedalam laut, sehingga dapat merintangi
proses
fotosintesa
yang
dapat
mengakibatkan turunnya kadar oksigen.
Pasang-surut yang dapat menghasilkan
arus-arus pasang-surut sangat membantu
pencampuran air, tetapi perlu diingat bahwa
arah arus pasang-surut bolak-balik secara
teratur 24 jam, sehingga volume air yang
mengandung oksigen yang diangkut oleh arus
tersebut tidak banyak dan jaraknya relatif
pendek (MUNK 1974, REID 1974). Hal ini
tentunya sulit untuk membuat generalisasi
tentang pengaruh pasang-surut terhadap
distribsi oksigen di laut, karena kisaran pasangsurut sangat variabel.
Disamping faktor tersebut di atas, ada
satu lagi faktor ekologi abiotik yang penting
yaitu diffusi pusaran. Diketahui bahwa diffusi
oksigen ke dalam air sangat lambat, maka bisa
dipercepat dengan adanya diffusi pusaran.
Diffusi pusaran dimungkinkan karena adanya
kecepatan arus yang berbeda, arus yang
menabrak rintangan di bawah permukaan laut.
gerak gelombang dan arus konveksi (REID
1974). Pusaran ini terbentuknya secara acak,
Salinitas juga dapat mempengaruhi
banyaknya oksigen yang terlarut. Beberapa
variasi kejenuhan oksigen dengan salinitas
dapat dilihat pada Tabel 2. Pada salinitas 35‰
dengan suhu 0°C kadar oksigen 8 ml/l,
sedangkan pada salinitas 27 ‰ kadar oksigen
8.6 mlll dan pada air tawar sendiri kadar
oksigen 10,3 ml/l.
Dalam studi-studi tentang distribusi
gas-gas terlarut dalam air laut diasumsikan
bahwa dimanapun lokasi sebuah kolom air
pada suatu ketika tertentu. air tersebut pernah
berlokasi di permukaan air dan dengan
demikian ada dalam keadaan seimbang dengan
gas-gas atmosfir, sehingga jenuh dengan gasgas tersebut (BENTON 1974). Jadi perbedaan
yang didapatkan antara nilai-nilai jenuh yang
dikomputasikan berdasarkan suhu dan salinitas
dengan nilai-nilai aktual berdasarkan
pengukuran di lapangan merupakan ukuran
bagi perubahan-perubahan yang diakibatkan
oleh proses biologis.
Penurunan kadar oksigen yang
disebabkan oleh kenaikan suhu dan salinitas
mungkin tidak begitu serius, tetapi sangat
sensitif pada bentuk kehidupan yang ekstrim
terhadap turun-naiknya suhu dan konsentrasi
14
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang dapat digunakan dalam proses produksi
primer (FRIEDRICH dalam KOESOERIONO
1980). Jadi dasar perairan dapat menjadi
perangkap bagi fosfat yang terdapat dalam
kolom air atasnya (Gambar 6).
Fosfat yang terdapat dalam air, tidak
hanya tergantung pada pembentukan dan
perombakan bahan-bahan organik serta
pertukaran vertikal air, tetapi juga
dipengaruhi oleh kimia dasar laut.
mengarah kesemua jurusan dan memungkinkan dipindahnya oksigen dari satu
lapisan kelapisan lain.
Oksigen
dengan
buangan domestik
polutan
dan
MOORE (1958) dan PRITCHARD
(1974) mengatakan bahwa polusi air dari
selokan atau buangan industri menyebabkan
suatu habitat mempunyai kadar oksigen
rendah. Lebih lanjut dikatakan bahwa minyak
dan busa deterjen di atas permukaan air akan
mempengaruhi kadar oksigen akibat
terhalangnya oksigen dari udara ke dalam air.
Di samping itu, buangan domestik khususnya
di daerah-daerah muara pantai dapat
menyebabkan penurunan kadar oksigen
(PRITCHARD 1974). Seberapa jauh
pengaruhnya belum banyak diketahui. tetapi
dengan menganalisa bobot buangan dalam
bentuk zat organik dan dibandingkan dengan
oksigen dalam air, maka kondisi di perairan
dan kehidupan hayati didalamnya dapat
diketahui.
HUBUNGAN OKSIGEN DENGAN
FAKTOR BlOTIK
Oksigen dengan tumbuhan (flora)
Tumbuhan akuatik dapat bertindak
sebagai produser oksigen (fotosintesa) dan juga
sebagai konsumer (respirasi). Dalam daerah
eufotik dapat melebihi kandungan oksigen
dalam atmosfir sebagai akibat berlangsungnya
proses fotosintesa yang sangat intensif. Nilainilai kadar oksigen dapat mencapai lebih 100
% dari kadar jenuh seimbang (equilbrium-saturation-concentration). Hal ini misalnya dapat
terjadi di perairan di atas terumbu karang di
siang hari sebagai akibat intensifnya
fotosintesa yang dilakukan oleh zooxanthellae yang hidup bersembiose dengan hewan
karang (NONTJI 1982). Aktivitas fotosintesa
yang meningkat tajam dapat di lihat pada
perairan-perairan di atas padang lamun Zostera
yang lebat dengan kejenuhan oksigen bisa
mencapai 260% di siang hari (MOORE 1958).
Keadaan lewat jenuh (over-saturation) oksigen
di siang hari, biasanya merupakan akibat dari
adanya populasi fitoplankton atau tumbuhan
akuatik lain yang sangat padat dan radiasi
matahari yang intensif.
Pada tumbuhan, konsumsi akan
oksigen (respirasi) belum banyak diketahui.
kecuali pada keadaan gelap (metode botol
terang dan gelap). Tumbuhan akuatik pada
umumnya dapat mengtoleransi defisiensi
oksigen lebih baik dari pada hewan akuatik,
Oksigen dengan sedimen dasar
Komposisi dasar perairan penting
artinya bagi perairan di atasnya, karena adanya
interaksi kimia antara sedimen dasar dengan
air di atasnya (TUREKIAN 1974). Salah satu
proses yang terpenting ialah hubungan antara
oksigen dengan besi (Fe) dalam air. Apabila
kadar oksigen tinggi, maka akan terjadi
ferrifosfat yang tidak larut yang dapat
mengendap di dasar perairan, akibatnya di
kolom air bagian atas miskin akan fosfat. Hal
ini tentunya akan mempengaruhi produktivitas
perairan. Ferrifosfat yang tidak larut dalam air
dapat dirubah menjadi ferrofosfat yaug larut
dalam air. Hal ini dapat terjadi bila kadar
oksigen berkurang dalam air (sirkulasi kurang
baik). Kekurangan akan oksigen ini, akan
terjadi reduksi ferrifosfat menjadi ferrofosfat,
sehingga kembali tersedia ion fosfat dalam air
15
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 6. Diagram proses pertukaran fosfat antara dasar perairan dengan kolom air
diatasnya (KOESOEBIONO 1980).
Oksigen dengan hewan (fauna)
karena pada umumnya jaringan tumbuhan
akuatik kebutuhan akan oksigennya (oxygen
requirement) lebih rendah dari kebutuhan akan
oksigen dan jaringan hewan akuatik pada
jumlah berat jaringan yang sama. Hal ini dapat
diketahui bila terjadi kompetisi penggunaan
oksigen antara tumbuhan dan hewan akuatik,
misal pada terumbu karang, maka umumnya
hewan-hewan akuatik tersebut yang pertama
menyerah (MOORE 1958).
Beberapa hewan akuatik dapat hidup
pada kadar oksigen yang rendah, baik secara
adaptasi terhadap lingkungannya maupun
dengan mengurangi aktivitasnya, khususnya
golongan invertebrata, dimana konsumsi
oksigen dari masing-masing biota berbeda satu
dengan lainnya (MOORE 1959, MUKAI et al
1989). Tetapi beberapa hewan akuatik. seperti
16
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
padai distribusi zooplankton (larva Polychaeta)
secara vertikal terhadap kadar oksigen yang
rendah, kecil sekali pengaruhnya. dan
kenyataan bahwa relatif jumlah populasi zooplankton dapat hidup pada tingkat oksigen yang
rendah di laut terbuka. Hal ini menunjukkan
bahwa oksigen jarang sekali sebagai faktor
pembatas di laut untuk zooplankton. Begitu
pula beberapa benthos invertebrata (karang)
relatif dapat hidup pada kadar oksigen rendah.
Hal ini terbukti respirasi dari beberapa karang
tidak begitu terpengaruh jika terjadi
penurunan oksigen sampai 40 - 50 % dari
yang sebenarnya. Tetapi banyak ikan
yang mengalami stress pada kadar oksigen di
bawah 3 ml/l, dan pada konsentrasi 2 ml/l ikan
akan langsung mati, kecuali beberapa jenis
ikan yang dapat hidup, seperti jenis ikan
sebelah dan ikan pari (Actinopterygii).
ikan menghendaki kadar oksigen tertentu.
khususnya dalam melakukan aktivitas
metabolismenya. Beberapa jenis hewan
akuatik yang dapat hidup pada kadar oksigen
rendah atau tanpa oksigen sama sekali
(anaerob) disajikan padaTabel 3.
Tabel 3. Hewan akuatik yang dapat hidup tanpa
oksigen (anaerob) (MOORE 1958).
Nama hewan
Keterangan
Harpaticoida (Copepoda) - dapat hidup satu hari
Syndosmya albo
- dapat hidup 3 hari
Nuculu tennis
- dapat hidup 5-17
hari
Myrilus edulis
- dapat hidup beberapa
minggu, dengan syarat selama waktu
tersebut tidak aktif
dan tidak makan.
Mvoarevoria
- dapat hidup 8 hari,
glycogen sebagai
pengganti ohigen.
Teredo sp.
- dapat hidup lama,
dengan mcnggunakan
glycogen.
DAFTAR PUSTAKA
ANIKOUCHINE,
W.A.
and
R.W.
STERNBERG 1973. The World
Ocean,
on
Introduction
to
Oceanography. Prentice-Hill, Inc..
London : 338 p.
BENTON, G.S. 1974. Atmosphere and
Oceans. In : Oceanography : the Last
Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of
Amerika, Washington : 241 – 151
HOOD, D.W. 1974. Chemical Cycles in the
Sea. In: Oceanography : the Last
Frontier (R.C. Vetter. ed.). Voice of
Amerika. Washington :47 -60.
ILAHUDE. G.A. dan SURYADI 1980
Sebaran Normal Parameter Hidrologi
di Teluk Jakarta. Dalam : Teluk
Jakarta, Pengkajian Fisika. Kimia.
Biologi don Geologi Tahun 1975 1979. LON-LILPI, Jakarta : 1-47.
KASTORO 1977. Hasil-hasil Pengamatan
Hidrologi di Perairan Sekitar Pulau
Lancang. Dalam : Teluk Jakarta,
Sumberdaya, Sifat-Sifat Oseanologi.
Serta Permasalahannya. LON-LIPI.
Jakarta : 179-196.
Di samping itu, ada juga hewan akuatik
yang dapat mengadaptasi diri bila terjadi
penurunan kadar oksigen, misal Calanus
finmarchicus (Copepoda). Bila terjadi gejala
penurunan oksigen, biasanya hewan tersebut
menurunkan kecepatan respirasinya. MARSHAL (dalam RAYMONT 1963) menyatakan
bahwa respirasi dari Calanus sp tidak
terganggu pada penurunan kadar oksigen
sampai 3 ml/l. Hanya bila kadar turun sampai
1,2 ml/l, maka Calanus akan mati. Hasil
percobaan ISHIDA (dalam MOORE 1953)
pada Ostrea gigas (Moluska) menunjukkan
kemampuan hewan tersebut melawan
penurunan kadar oksigen dengan menurunkan
kecepatan respirasinya. Lebih jauh BANSE
(dalam RAYMONT 1963) menyatakan bahwa
17
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KOESOEBIONO 1980. Caratan Kuliah Biologi
Laut. Fak. Perikanan - IPB (tidak
dipublikasikan). IPB, Bogor, 150 h.
LEGOWO, E., M. MUCHTAR dan D. ARIEF
1980. Oksigen di lapisan Permukaan
Teluk Jakarta pada Musim Barat dan
Musim Timur Tahun 1976, 1977 dan
1978. Dalam : Teluk Jakarta.
Pengkajian Fisika, Kimia. Biologi dan
Geologi Tahun 1975 - 1979. LON LIPI, Jakarta: 49 - 58.
MOORE. H.B. 1958. Marine Ecology. John
Will & Sons, Inc., New York : 493 p.
MUKAI, H., I. KOIKE, M. NISHIHIRA and
S. NOJIMA 1989. Oxygen Consumption and Ammonium Excreation of
Mega Sized Benthic Invertebrates in
Tropical Sea grass Bed. J. Exp. Mar:
Biol. Ecol. 134: 101 - 115.
MUNK, W. 1974 Tides. In : Oceanography :
the Lost Frontier(R.C. Vetter, ed.). Voice
of America, Washington : 199 - 207.
NONTJI, A. 1982. Peranan Zooxanthella
Dalam Ekosistem Terumbu Karang.
KDTK, LON-LIP1 (tidak dipublikasikan) Jakarta, 25 h.
PIERSON. W.J. 1974. Waves. In :
Oceanography : the Lost Frontier
(R.C. Vetter, ed.). Voice of America,
Washington : 185 - 196.
PRITCHARD 1974. Circulation and Mixing
in Coastal Region and Estuaries. In :
Oceanography : the Last Frontier
(R.C. Vetter, ed.). Voice of America,
Washington : 389 - 401.
RAYMONT. J.E.G. 1963. Plankton and Productivity in the Oceans. Pergamon
Press. Oxford : 660 p.
REID. J.L. 1974. Deep Ocean Circulation. In
: Oceanography : the Last Frontier
(R.C. Vetter, ed.). Voice of America,
Washington : 225 - 239.
SOEGIARKTO, A, S. BIROWO dan
SUKARNO (eds.). Atlas Oseanologi
Perairan lndonesia dan sekitamya
(Buku No. 3). LON-LIPI, Jakarta.
327 h.
'ITEM. J.A. 1966. General Chemistry,
McGraw-Hill Book Co., New York
:647 p.
TUREKIAN. K.K. 1974. Trace Elements in
the Ocean. In: Oceanography : the Lost
Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of
America, Washington : 91-104.
18
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
Download