BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat kumur sering digunakan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut. Kegiatan menyikat gigi dua kali sehari dan penggunaan dental floss merupakan rekomendasi standar untuk menjaga kebersihan serta kesegaran mulut dan mencegah berbagai penyakit gigi dan mulut (Tao He dkk., 2010). Kegiatan menyikat gigi bertujuan untuk menghilangkan plak di seluruh permukaan gigi, namun kurang efektif untuk daerah gigi yang sulit terjangkau seperti daerah interproksimal (Marchetti dkk., 2011). Bukti ilmiah menjelaskan bahwa menyikat gigi selama dua menit hanya mampu menghilangkan 50% plak (Brothwell dkk., 1998), sehingga untuk optimalisasi penghilangan plak gigi dibutuhkan bantuan mekanisme kemoterapeutik melalui obat kumur anti bakterial (Terezhalmy dkk., 2007). Obat kumur merupakan salah satu produk perawatan kesehatan mulut yang dikategorikan sebagai obat bebas dan dapat diperoleh tanpa perlu peresepan tenaga medis profesional. Berbagai jenis obat kumur diklasifikasikan sebagai bahan untuk keperluan kosmetik yang tersedia karena tidak diaplikasikan sebagai tindakan terapi spesifik untuk kondisi tertentu, lain halnya dengan obat paten atau alat medis (Schmalz dan Bindslev, 2009). Masyarakat dengan mudah membeli obat kumur sebagai obat bebas dan menggunakannya tanpa mengetahui secara pasti komposisi yang mungkin menimbulkan efek samping secara spesifik terhadap rongga mulut. Semakin tinggi pengetahuan ma- 1 2 syarakat mengenai manfaat menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut memungkinkan perkembangan produk ini secara cepat. Kini berbagai produsen bahan kedokteran gigi telah memproduksi obat kumur dengan beragam jenis dan fungsinya. Fungsi obat kumur secara umum adalah untuk menghilangkan atau membunuh bakteri, sebagai astringen, penghilang bau mulut dan memiliki efek terapeutik untuk mengurangi infeksi dan mencegah terbentuknya karies (Combe, 1992). Efek terapeutik diperoleh dengan penambahan bahan tertentu ke dalam komposisinya, seperti fluoride (Phillips, 1991) dan kandungan bahan aktif antibakterial, seperti chlorhexidine dan minyak esensial (Marcheti dkk., 2011). Komposisi obat kumur terdiri dari agen antibakterial seperti minyak esensial yakni Thymol 0,06%, Eucalyptol 0,09%, Menthol 0,04% dan Methyl salicylate yang berfungsi sebagai agen antiseptik. Minyak esensial akan penetrasi ke dalam biofilm dan memberikan efek antimikroba yang signifikan terhadap bakteri didalam biofilm setelah berkumur selama 30 detik (Aneja dkk., 2010; Goldstep, 2014). Komposisi lain ialah astringen berupa zink asetat, zink klorida, alumunium potasium sulfat. Komposisi seperti pewarna, pemanis dan etanol juga ditambahkan ke dalam obat kumur (Combe, 1992). Alkohol berfungsi untuk melarutkan bahan aktif antibakterial berupa minyak esensial dan beberapa substansi lain (Kerr dkk., 2007). Konsentrasi alkohol sebagai zat pelarut dalam produk obat kumur dapat mencapai hingga 26 % (Lachenmeier, 2008). Beberapa merk komersial yang beredar di Amerika Utara mengandung 6 - 26,9% alkohol 3 dan kini hampir seluruh obat kumur yang diproduksi di berbagai belahan dunia mengandung komponen alkohol hingga 25% (Schmalz dan Bindslev, 2009). Alkohol dengan bahan aktif minyak esensial merupakan agen antiseptik yang menunjukan aktivitas antimikroba dan bakterisidal yang signifikan (Hammond dkk., 2000; Goldstep, 2014), akan tetapi bahan aktif minyak esensial memiliki potensi mengiritasi mukosa dan dapat menyebabkan perubahan mukosa mulut pada lansia yang mengalami xerostomia. Setelah penggunaan selama tujuh hari terjadi penipisan lapisan superfisial epitel (Fischman dkk., 2004). Alkohol sebagai zat pelarut dalam obat kumur juga terbukti menimbulkan beberapa efek yang tidak diperlukan seperti sensasi terbakar ketika berkontak dengan mukosa dan rasa kering pada mukosa mulut (Epstein, 2008; Reidy dkk., 2011). Farah dkk. (2009) menyatakan bahwa alkohol dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 20%) dalam obat kumur mungkin memiliki efek yang merugikan dalam rongga mulut seperti keratosis, ulserasi mukosa, gingivitis, dan nyeri. Menurut Soames (2005), konsentrasi alkohol yang tinggi dalam obat kumur berhubungan dengan perkembangan leukoplakia dan dicurigai dapat meningkatkan bkerentanan individu terhadap kanker. Alkohol dapat menghasilkan senyawa metabolik yang bersifat karsinogenik berupa acetaldehyda serta dapat mengganggu fungsi kelenjar saliva. Penurunan fungsi kelenjar akan mengurangi aksi pembersihan agen karsinogenik secara lokal sehingga meningkatkan risiko perkembangan kanker (Seitz dan Oneta, 1998; Friedlander dkk., 2003; Figuero, 2004). Obat kumur beralkohol menimbulkan efek samping jika dipakai dalam jangka waktu yang lama sehingga digunakan obat kumur non alkohol sebagai 4 penggantinya. Obat kumur Chlorhexidine, hexetidine dan betadine merupakan contoh sediaan obat kumur non alkohol yang beredar di pasaran. Chlorhexidine merupakan agen antiplak yang paling efektif saat ini. Loe dan Schiot (1970), meneliti penggunaan chlorhexidine di kedokteran gigi dan menunjukan bahwa berkumur menggunakan 10 ml larutan chlorhexidine gluconate 0,2% selama 60 detik dua kali sehari menghambat pertumbuhan plak dan perkembangan gingivitis. Chlorhexidine konsentrasinya. Pada memiliki konsentrasi efek rendah yang berbeda (0,1µg/ml), sesuai agen ini dengan bersifat bakteriostatik sedangkan pada konsentrasi yang lebih dari 100 µg/ml merupakan agen bakterisid yang bereaksi dengan cepat (Emilson, 2007). Obat kumur lain dengan kemampuan bakterisidal yang baik adalah hexetidine. Hexetidine merupakan derivat grup pirimidin yang memiliki efek bekterisidal terhadap bakteri Gram-positif. Afinitas yang tinggi hexetidine terhadap protein oral mukosa dan plak dapat mengurangi 98% bakteri saliva secara langsung (Ernst dkk., 2005). Vokurka dkk. (2005) menjelaskan bahwa obat kumur mengandung betadine dengan kandungan povidone iodine 1%, tidak menunjukan penghambatan plak secara signifikan. Berdasarkan penelitian Kerr dkk. (2007), pada subyek dewasa rerata usia 40 tahun menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara signifikan mengenai perbedaan curah saliva serta keluhan xerostomia antara kelompok subyek dewasa yang menggunakan obat kumur mengandung alkohol (listerine) dan obat kumur tanpa kandungan alkohol (mint act). Produk obat kumur non alkohol yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak terdapat di Indonesia, sehingga sejauh 5 ini belum terdapat bukti mengenai perbedaan curah saliva dan keluhan xerostomia akibat penggunaan obat kumur beralkohol dan obat kumur non alkohol yang beredar di pasaran Indonesia. Penggunaan obat kumur sebagai produk kedokteran gigi yang umum dan bebas, membuat lanjut usia dapat dengan mudah menggunakan produk ini. Kondisi yang terjadi pada lansia sama sekali berbeda dengan kondisi pada individu dewasa normal lainnya. Pada lansia, terjadi hipofungsi kelenjar saliva yang disebabkan olehproses fisiologis murni atau kondisi patologis dan iatrogenik yang berhubungan dengan perubahan usia (Burke, 2010). Perubahan usia menyebabkan jaringan ikat kelenjar saliva meningkat dan terjadi deposisi sel adiposa serta penurunan sel asinar namun perubahan tersebut tidak menyebabkan perubahan sekresi saliva (Dayal, 2005). Secara fisiologis, mukosa rongga mulut lansia mengalami perubahan histologis seperti hilangnya elastisitas, reduksi ketebalan dan penurunan kemampuan keratinisasi epitel yang secara klinis tampak Satin-like epitelium dan hilangnya hidrasi. Perubahan tersebut menyebabkan mukosa mulut lansia mudah terkena trauma dan jika terluka mudah terbentuk fissure, abrasi dan ulkus traumatik (Lamster dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Fischman dkk. (2004) terhadap lansia yang mengalami xerostomia menunjukan bahwa efek minyak essensial dalam obat kumur berpotensi mengiritasi mukosa mulut lansia padahal kondisi keluhan mulut kering (xerostomia) dan hiposalivasi merupakan masalah yang sering muncul pada lansia. Lansia juga mengalami perubahan fisiologis pada mukosa mulutnya 6 sehingga kombinasi efek astringen dari alkohol serta kemungkinan efek iritan dari bahan aktif minyak esensial menjadi alasan perlunya dilakukan penelitian mengenai penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol dan obat kumur non alkohol terhadap curah saliva pada lansia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas timbul permasalahan, apakah terdapat perbedaan curah saliva tidak terstimulasi antara lansia yang menggunakan produk obat kumur beralkohol dan obat kumur non alkohol yang terdapat di Indonesia? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh penggunaan obat kumur beralkohol dan obat kumur non-alkohol terhadap curah salivadan keluhan xerostomia telah dilakukan oleh Kerr dkk. (2007) dengan subjek penelitian usia dewasa (18–85 tahun) menggunakan produk obat kumur mint act non alkohol yang tidak terdapat di Indonesia. Penelitian sejenis yang dilakukan dengan menggunakan produk obat kumur yang beredar di Indonesia pada subyek lanjut usia di Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilaporkan sebelumnya. D. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan curah saliva tidak terstimulasi individu lanjut usia dengan penggunaan produk obat kumur beralkohol dan obat kumur non alkohol yang terdapat di Indonesia. E. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini sebagai salah satu kontribusi untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidang kedokteran gigi, khususnya dalam lingkup ilmu 7 penyakit mulut, mengenai efek dari penggunaan obat kumur alkohol maupun non alkohol terhadap sekresi saliva individu lanjut usia. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada lansia mengenai efek yang mungkin timbul pada rongga mulut disebabkan oleh penggunaan obat kumur tersebut sehingga penggunaan produk perawatan kesehatan mulut ini tidak menimbulkan efek samping yang secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup para lansia.