sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena

advertisement
sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan
yang lebih tinggi terhadap karyawan atau calon karyawan agar dapat terus
bersaing di dunia korporasi yang semakin kompetitif. Saat ini perusahaan tidak
hanya harus merekrut talent yang hebat, namun juga harus menginspirasi
karyawannya untuk mengaplikasikan kemampuannya pada pekerjaannya sehari –
hari (Bakker & Leiter, 2010).
Persaingan antar korporasi yang terjadi berakibat terhadap tingginya
tuntutan kerja (job demands) yang dialami oleh karyawan. Lebih lanjut, tuntutan
pekerjaan tersebut pada akhirnya berhubungan dengan ongkos fisik dan psikologis
yang dialami oleh karyawan (Demerouti, Bakker, Nachreiner & Schaufeli, 2001).
Ongkos fisik dan psikologis ini bisa berubah menjadi stres kerja apabila karyawan
menghadapi tuntutan kerja disaat mereka belum pulih dari stres tuntutan terdahulu
(Meijman & Mulder 2006) atau burnout ketika tuntutan kerja mereka lebih besar
daripada job resources yang mereka miliki (Hakanen & Roodt, 2010). Stress kerja
dan burnout yang tinggi mempunyai efek yang merugikan bagi individu yang
bersangkutan karena hal ini ini berhubungan dengan menurunnya kepuasan kerja
(Penn, Romano & Foat, 1988), mengakibatkan penurunan kinerja seiring dengan
meningkatnya kelelahan emosional dan depersonalisasi (Gorji, 2011) dan
meningkatkan keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Intinya mereka yang
mengalami baik stress kerja maupun burnout tidak dapat bekerja secara optimal
karena berbagai gangguan yang dialami.
Adanya tantangan ini membuat karyawan harus memiliki daya tahan dan
semangat yang besar ketika berhadapan dengan tuntutan kerja yang besar. Di lain
pihak, mereka juga dituntut untuk menunjukkan kinerja yang optimal tanpa terjebak
pada berbagai gangguan tersebut. Perusahaan membutuhan karyawan dengan
karakteristik spesifik, yaitu:
proaktif, mempunyai inisiatif, dan mau mengambil
2
tanggung jawab untuk perkembangan profesional pribadinya serta berkomitmen
untuk bekerja sesuai dengan standar kinerja yang tinggi (Bakker & Leiter, 2010),
dengan kata lain, perusahaan membutuhkan karyawan yang mempunyai work
engagement.
Work Engagement
Work engagement merupakan sikap mental (state of mind) yang positif,
bersifat memenuhi (fulfilling), dan terkait dengan pekerjaan. work engagement
mempunyai karakteristik berupa semangat (vigor), dedikasi dan perasaan asyik
dengan pekerjaannya (absorption) (Schaufelli, Martinez, Pinto, Salanova & Baker,
2002). Karyawan dengan WE yang tinggi memiliki tingkat energi yang lebih tinggi
ketika bekerja, merasa bersemangat terhadap pekerjaan dan ketika menghadapi
tantangan. Mereka juga terlibat secara aktif dengan pekerjaan, serta fokus dan
asyik dengan pekerjaannya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa WE mempunyai dampak yang
positif dalam dunia kerja. WE merupakan prediktor dari Kepuasan Kerja, Intent To
Quit, dan Psychological Wellbeing (Burke, Koyuncu, Jing & Fiksenbaum,2009).
Selain itu WE juga mampu memprediksi iklim pelayanan dalam organisasi yang
selanjutnya memprediksi kinerja karyawan dan loyalitas konsumen secara positif
(Salanova, Agut & Peiro, 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa WE bertindak
sebagai mediator antara Job Resources dan Komitmen Organisasi pegawai
(Hakenen, Baker, Damerouti, 2005).
Penjelasan mengenai state of mind pada pengertian worl engagement
mengacu kepada suatu keadaan yang relatif menetap pada jangka waktu yang
lama dan tidak bersifat sementara, terkait dengan objek, kejadian (event), individu
maupun perilaku tertentu (Simpson, 2008). Merangkum ketiga penjelasan
3
tersebut, maka dapat diilustrasikan bahwa karyawan yang memiliki work
engagement adalah mereka yang mendayagunakan seluruh potensi dirinya
kedalam suatu unjuk kerja pada jangka waktu yang lama.
Munculnya energi psikologis pada diri karyawan untuk menghadapi
tantangan tersebut dapat dijelaskan melalui teori kepribadian Frankl (1984). Ia
menyatakan bahwa kehendak untuk memaknai (will to meaning) adalah dorongan
motivasi yang utama pada diri seseorang. Bersamaan dengan itu, Frankl juga
menambahkan dua asumsi, yaitu seseorang mempunyai kehendak bebas dan
kehidupan mempunyai potensi pemaknaan akan semua keadaan. Menambahkan
hal tersebut. dalam teori motivasinya, Frankl (1969) mengungkapkan bahwa
dorongan motivasi utama manusia meliputi usaha manusia untuk menyadari,
mencari makna dalam hidupnya. Hal ini berarti bahwa manusia mempunyai hasrat
untuk menjalani hidup yang mempunyai suatu tujuan dan makna.
Asumsi Frankl (1984) menyatakan bahwa setiap keadaan yang ada dalam
kehidupan selalu mempunyai potensi untuk dimaknai. Hal ini memungkinkan
setiap orang untuk dapat memaknai setiap hal yang berkaitan dengan hidupnya,
termasuk
pekerjaan
yang
dijalaninya.
Menegaskan
hal
tersebut,
Frankl
menekankan bahwa pekerjaan dapat menjadi suatu lambang dari aktivitas
manusia yang sangat bermakna (Frankl, 1984). Steger dan Dik (2009)
menambahkan bahwa pekerjaan merupakan sumber penting dari makna
kehidupan seseorang secara keseluruhan. Hal ini masuk akal karena sebagian
besar waktu manusia dihabiskan untuk bekerja. Lebih lanjut, makna yang hadir
dalam pekerjaan seseorang dapat membuatnya lebih bersemangat. Mereka dapat
menjalani waktu kerja yang lama tanpa terjebak kedalam situasi stress yang
merusak. Sebaliknya, mereka tidak mau bekerja ketika mereka tidak menemukan
makna dalam pekerjaannya (Steger & Dik, 2009). Intinya, seseorang dapat
4
menghadapi beban kerja yang besar ketika mereka memahami bahwa pekerjaan
mereka mempunyai makna.
Meaningful Work
Steger, Dik dan Shim (2012) menjelaskan tema makna dalam konteks
pekerjaan dalam tema meaningful work. meaningful work merupakan
tema
payung dari beberapa tema mengenai makna kerja, seperti misalnya, makna kerja
(work meaning), kebermaknaan kerja (work meaningfulness) dan konotasi positif
yang berhubungan dengan makna kerja (Steger, Dik & Shim,2012).
Dari hasil penelitian yang dilakukannya, Steger dan Dik (2009) menemukan
bahwa meaningful work memiliki tiga buah faset kunci, yaitu positive meaning in
work (PM) , meaning making through work (MM) dan greater good motivations
(GG). PM merupakan pengalaman subjektif yang dirasakan oleh seseorang ketika
ia merasa bahwa apa yang dilakukannya mempunyai arti signifikan secara
personal (Rosso, Dekas & Wrzesniewski 2010).
Konsep mengenai MM berdasar dari sebuah hipotesis bahwa makna hidup
tidak lepas dari kebermaknaan kerja. Sebagai sebuah aktivitas yang mengambil
sebagian besar waktu manusia, pekerjaan menjadi sebuah objek signifikan dalam
membangun makna hidup yang lebih luas. Hal ini berarti bahwa, makna yang
diberikan
seseorang
terhadap
pekerjaannya
akan
membantunya
untuk
menciptakan makna bagi kehidupan yang dijalaninya secara keseluruhan (Steger
& Dik 2009). Maka dari itu faset ini membantu menangkap konteks kehidupan
yang lebih umum dari pekerjaan seseorang (Steger, Dik & Duffy, 2012). Terakhir,
konsep tentang GG merupakan konsep yang secara umum menjelaskan bahwa
pekerjaan menjadi sangat bermakna ketika hal tersebut mempunyai dampak yang
lebih besar terhadap orang lain (Steger et al, 2012).
5
Meaningful work menjadi penting bagi karyawan, karena karyawan yang
menemukan makna dalam pekerjaan mereka cenderung lebih puas, engaged, dan
pada gilirannya menjadi lebih produktif. Mereka bekerja dengan lebih keras, pintar,
bersemangat dan kreatif (Ulrich & Ulrich, 2010). Penelitian dari May, Gilson dan
Harter (2004) menguatkan hal ini. Melalui penelitian tersebut diketahui bahwa
psychological meaningfulness mempunyai hubungan positif dan mempunyai efek
yang paling besar terhadap engagement ketimbang psychological safety dan
psychological availability di tempat kerja. Melalui penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang meaningfulness nya tinggi akan menghasilkan
engagement yang juga tinggi di tempat kerja.
Penjelasan mengenai dinamika antara engagement dan kebermaknaan ini
dapat dijelaskan dari pernyataan Frankl (1984) yang menyatakan bahwa,
seseorang yang memiliki makna dalam hidupnya mempunyai kemampuan untuk
menghadapi tantangan, emosi, dan ketakutannya. Hal ini dapat menjadi
penjelasan atas munculnya sikap pantang menyerah yang muncul dalam aspek
vigor dalam work engagement. Mempunyai makna berarti mempunyai motivasi
untuk melaksanakan pekerjaan sehari – hari, bahkan ketika pekerjaan tersebut,
tidak menstimulasi individu. Manusia yang memiliki makna akan mencegah dirinya
berada dalam kekosongan spiritual yang menuntun pada kebosanan dan sikap
apatis (Frankl, 1984).
Harapan Dan Kemembalan
Selain melalui meaningful work, work engagement juga mempunyai potensi
untuk berhubungan dengan Psychological Capital (PsyCap). PsyCap merupakan
istilah yang terdapat dalam Positive Organizational Behavior yang mengacu
6
kepada empat dimensi, yaitu harapan (Hope State), efikasi diri (Efficacy State),
optimisme (Optimism State), dan kemembalan (Resilience State).
Sebagai konsep yang merupakan bagian dari Positive Organizational
Behavior (POB), PsyCap menjadi perhatian dan sering diteliti di ranah industri.
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa PsyCap mempunyai hubungan positif
terhadap kinerja karyawan (Luthans, Avolio, Walumba & Li, 2005). Lebih lanjut,
melalui studi lanjutan dari penelitian ini yang dilakukan oleh Peterson, Luthans,
Avolio, Walumba dan Zhang (2011) dengan melakukan analisis eksploratori cross
legged panel diketahui bahwa PsyCap mempunyai pengaruh positif terhadap
kinerja ketimbang sebaliknya.
Selain pengaruhnya terhadap kinerja, PsyCap juga mempunyai hubungan
positif terhadap sikap kerja karyawan, seperti komitmen terhadap organisasi dan
kepuasan kerja (Larson & Luthans, 2006). Terkait dengan studi lebih lanjut
terhadap hubungan positif ini, Cetin (2011) menemukan bahwa dimensi harapan
dan optimisme mempunyai hubungan positif dengan komitmen organisasi,
sedangkan kemembalan, harapan dan optimisme mempunyai hubungan positif
dengan kepuasan kerja. Lebih lanjut, Cetin menemukan bahwa PsyCap
merupakan prediktor signifikan baik terhadap komitmen organisasi dan kepuasan
kerja.
Model hubungan antara PsyCap dan work engagement dijelaskan oleh
Sweetman dan Luthans (Dalam Bakker & Leiter, 2010) melalui konsep Job
Demands – Resources model (JD-R). Job resources (JR) dijelaskan sebagai
sumber daya fisik, psikologis, sosial dan organisasional yang memungkinkan
untuk mencapai tujuan, mengurangi efek dari tuntutan kerja (job demands) dan
memungkinkan perkembangan dan pertumbuhan (Schaufeli & Bakker dalam
Bakker & Leiter, 2010). PsyCap dalam hal ini merupakan sumber daya psikologis
7
yang ada dalam JR atau lebih dikenal dengan sumber daya pribadi (personal
resources).
Pada penjelasannya, peneliti melihat bahwa hubungan langsung antara
PsyCap dan WE berasal dari aspek – aspek PsyCap terhadap work engagement.
Pada penelitian ini, peneliti menggarisbawahi penelitian pada aspek Harapan dan
Kemembalan. Hal ini diperkuat melalui penelitian dari Othman dan Nasurdin (2011)
yang menemukan bahwa kedua aspek tersebut mempunyai hubungan positif
terhadap work engagement. Melalui hubungannya ini, harapan dianggap tidak
hanya sebagai kontributor, namun juga sebagai prasyarat bagi work engagement
(Sweetman & Luthans dalam Bakker & Leiter, 2010). Tanpa adanya harapan,
maka semangat tidak
akan muncul ketika tantangan muncul. Harapan
memunculkan energi bagi seseorang untuk bekerja dengan giat (vigor) untuk
mencapai tujuan dan dilain pihak, seseorang yang penuh dengan harapan berarti
bahwa ia mempunyai dedikasi untuk mencapai tujuan (Sweetman & Luthans
dalam Bakker & Leiter, 2010).
Sementara itu, kemembalan yang dimiliki oleh seseorang membuatnya
mampu pulih dari tekanan yang dia rasakan sebelumnya. Kemembalan sendiri
dikembangkan dari sumber daya pribadi yang dimilik seseorang, seperti
kemampuan kognitif, persepsi diri yang positif, regulasi diri, dll) (Masten & Reed,
2002). Sumber daya ini membangung kemembalan sehingga mereka mampu
membawa dirinya secara penuh pada pekerjaannya dan menjadi engaged (Hobfol
& Shirom, 2001). Secara umum, kemembalan menyediakan sumber daya pribadi
untuk menghadapi tuntutan pekerjaan dan untuk meminimalisasi efek negatif dari
tuntutan kerja terdahulu (Sweetman & Luthans dalam Bakker & Leiter, 2010).
Selain dengan work engagement, harapan dan kemembalan juga memilikii
potensi hubungan dengan meaningful work. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
8
pencarian makna merupakan motivasi utama yang menggerakkan manusia.
Pekerjaan menjadi objek motivasi signifikan karena sebagian besar aktifitas
manusia dewasa dihabiskan di tempat kerja. Motivasi sendiri mempunyai definisi
memberi energi, mengarahkan, menyalurkan serta memelihara dan mendukung
suatu perilaku (Allscheid & Cellar, 1996). Melalui ini, meaningful work berkontribusi
sebagai sumber motivasi dalam menunjukkan perilaku kemembalan ketika
seseorang menghadapi suatu tantangan. Ia yang menganggap pekerjaannya
bermakna, akan memiliki tenaga yang lebih besar dan mampu menyalurkannya
kedalam perilaku untuk mengatasi tantangan.
Hubungan lain yang mungkin terjadi adalah dari hubungan antara
meaningful work dan harapan. Meskipun belum diteliti sebelumnya, asumsi
hubungan antara meaningful work dan harapan mempunyai potensi untuk
mempengaruhi. Penelitian Dogra, Basu dan Das (2011) yang mengkaji hubungan
antara meaning in life dengan harapan menjelaskan asumsi ini. Meskipun berbeda
konstrak, hubungan antara meaning in life dan meaningful work telah beberapa
kali dikemukakakan. Steger dan Dik (2010) menyatakan bahwa pekerjaan
seringkali merupakan sumber yang penting bagi pemaknaan seseorang akan
hidup (meaning in life). Lebih lanjut, Michaelson (2005) menganggap bahwa terjadi
tumpang tindih antara pekerjaan seseorang dengan kehidupan mereka. Steger
dan Dik sendiri membuat skala Work As Meaning Inventory (WAMI) yang
digunakan dalam penelitian ini dengan mengintegrasikan dengan konsep meaning
in life untuk menguak bahwa kebermaknaan hidup seseorang (meaning in life)
bersumber dari meaningful work.
Kembali ke penelitian oleh Dogra, Basu dan Das (2011). Mereka
menemukan bahwa meaning in life membantu seseorang untuk meningkatkan
harapan, baik itu harapan state maupun trait. Meskipun penelitian ini bersumber
9
dari penelitian klinis dengan subjek mahasiswa, kemungkinan untuk penerapannya
dalam bidang industri mungkin terjadi karena hubungan antara konsep meaning in
life dan meaningful work.
Seseorang yang menganggap bahwa pekerjaannya mempunyai makna
yang positif, menjadi sumber pemaknaan hidup dan mempunyai kebaikan yang
lebih besar akan mempunyai harapan yang positif saat ia bekerja. Hal ini berarti
bahwa ia mengembangkan keadaan motivasional positif dan merasakan akan
meraih kesuksesan dengan mengidentifikasikan sasaran yang ingin diraih (agent)
dan cara untuk meraihnya (pathways). Sementara itu, hubungan antara harapan
dan kemembalan dapat dijelaskan sebagai hubungan yang mempengaruhi.
Asumsi ini diperkuat penelitian dari Collins (2009) yang mencari penjelasan
mengenai hubungan antara live events dan kemembalan. Pada penelitian tersebut
diketahui bahwa harapan menjadi prediktor yang signifikan terhadap life events
dan kemembalan ketimbang mindfulness.
Gambar 1: Dinamika Work Engagement, Harapan, Kemembalan, dan meaningful work
10
Download