ARSITEK DAN PILIHAN BENTUK TANPA BATAS *) N. Vinky Rahman*) Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik USU Abstrak Kesulitan yang lazim dihadapi oleh seorang arsitek praktisi dalam dunia kerjanya adalah apakah dasar yang dapat digunakan untuk dapat memilih elemen-elemen bentuk dalam proses penstrukturan desain arsitektur yang baik? Etika yang bagaimanakah yang dianggap dapat bertanggung jawab, absah dan tepat bagi profesi arsitek? Predikat arsitek yang lahir dari lingkungan akademis telah menempatkan arsitek sebagai seorang ahli yang mempunyai kekuasaan yang besar untuk menafsirkan dasar-dasar analisis yang tidak secara langsung dirasakan di dalam masyarakatnya. Arsitek dihadapkan pada pertarungan makna-makna komunal yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dengan nilai-nilai individu yang melekat pada sifat kemanusiaannya. Tulisan ini ingin sedikit menyoroti bagaimana kesulitan seorang arsitek ketika dihadapkan pada pertanyaan dasar praktek desainnya. Bagaimanakah pilihan-pilihan bentuk dapat diputuskan dari keragamannya. Apakah bentuk, dan bagaimana kaitan dan kontribusinya terhadap sebuah karya arsitektur, selanjutnya bagaimana penstrukturan itu dapat dijelaskan. Kata-kata kunci: Arsitek, Arsitektur, Desain, Bentuk 1. Pendahuluan Philip Bess dalam Communiterianism & Emotism: Two Rival Views of Ethics and Architecture, menyandingkan komunitas masyarakat perkotaan dan individualistis masyarakat perkotaan yang emotif. Dalam sistem comunitarian ditegaskan bahwa manusia tidak mungkin memisahkan diri dari hak dan kewajibannya sebagai anggota kelompok masyarakatnya dalam kesatuan ragam dan tujuan yang sama, sebaliknya tradisi intelektual indvidualis mempunyai kecendrungan menonjolkan dan mengambil nilai-nilai etika yang bersifat individual. Arsitek seakan-akan dipaksa untuk menerangkan arti manusia dan kehidupannya secara parsial dan memiliki kesempatan untuk menyederhanakan permasalahan kehidupan menjadi simulasi-simulasi pemaknaan, pembenaran dan keabadian. Peter Eisenman menyebut arsitektur adalah sebagai sebuah fiksi (Peter Eisenman, The End of The Glance, The End of Beginning, The End of The End). Komponen utama teori estetika arsitektur adalah bentuk. Karena ia adalah merupakan elemen khas yang memungkinkan arsitektur untuk dapat dikatakan sebagai sebuah pekerjaan desain (yaitu melakukan klasifikasi dan pembedaan kemudian menentukan pilihan terhadap sesuatu untuk diputuskan). Bentuk yang baik cenderung digunakan secara sinonim dengan arsitektur yang baik. Banyak bahasan klasik yang memperkenalkan perhatian utama pada bentuk ketika mendiskusikan apa yang disebut arsitektur yang baik. Bentuk yang jelek sebanding dengan arsitektur yang jelek dan arsitektur yang baik mengharuskan bentuk yang baik. Pertanyaannya adalah apakah bentuk itu? Dalam sejarah teori ini telah dikenakan secara deskriptif yang sering mencampuradukkan bentuk dan arsitektur. Bentuk dimunculkan untuk tujuan penyusunan atau pengorganisasian. Bentuk digunakan untuk dapat mengabstraksikan suatu objek melalui pengorganisasian elemen-elemen bidang, warna, dan tekstur (Ralf Weber, l995, On The Aethetic of Architecture, Avebury, USA). Bentuk dalam hal ini digunakan karena dapat memunculkan penerimaan yang baik dalam sistem estetika. Tetapi bentuk digunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang dapat mencerminkan sebuah nilai rasa yang dalam kenyataannya, ini merupakan konsep berbeda yang kita kenal sebagai form dan content. Dalam pandangan Kantian, bentuk bukan bentuk estetis itu sendiri. Bentuk adalah wujud tertentu yang terkait dengan karakteristik individu dari kondisi tertentu. Bentuk dengan demikian adalah satu konstruksi pemikiran manusia yang ditentukan oleh batasan-batasan tertentu di mana unsur-unsur pemikiran telah melandasinya. Dalam hal ini bentuk kemudian dapat didefinisikan sebagai elemen struktural dan sebagai imajinasi dari suatu persepsi. 2. Arsitek dan Fungsi Bangunan Arsitektur memiliki doktrin utama yaitu berfungsi sebagai kriteria pokok dalam penilaian estetik. Instrumen yang paling menyolok adalah bahwa nilai estetika bangunan dapat diidentifikasikan dari kelayakan bentuk terhadap fungsinya. (Estetika dalam arsitektur adalah pengalaman terhadap keindahan dan makna dalam arsitektur yang dapat diterima oleh rasa). JurnalTeknik TeknikSIMETRIKA SIMETRIKAVol. Vol.33No. No.33––Desember Desember2004 2004: :211 203––215 210 Jurnal 211 Arsitektur bagaimanapun indahnya tidak bermakna apa-apa ketika tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Dan ketika fungsi dianggap sebagai fungsi utama dalam penerimaan estetik yang baik maka pengalaman fungsi merupakan pengalaman utama dan yang terpenting dalam arsitektur. Tetapi dapatkah pengalaman terhadap fungsi benar-benar mencukupi untuk dapat menjelaskan pengalaman dalam arsitektur? Hal ini tentu membutuhkan satu pemahaman fungsi gedung sebelum dapat mengalaminya secara estetik. Nilai fungsi bangunan belum dapat secara jelas dan tegas untuk dapat dialami ketika fungsi yang dituju belum dapat dikenali. Doktrin fungsi menuntut bahwa pengalaman bangunan berbeda di dalam karya seni dan di dalam alam (seni dalam arsitektur dimaknai sebagai wujud pengolahan secara sengaja terhadap lingkungan alamiah untuk tujuan tinggal dalam lingkungan baru (lingkungan binaan) yang dipandang lebih baik). Sebagai karya seni ia dilakukan secara sadar dan disengaja untuk tujuan tertentu. Pengalaman terhadap bentuk dalam objek arsitektur berkait dengan berfungsi dan tidak berfungsinya sesuatu. Objek harus ditempatkan dalam satu kategori lain sebelum mereka dapat dialami. Tetapi sebaliknya bagaimanakah objek dapat dikategorikan sebelum ia dialami? Konsep tipologi arsitektur selama ini selalu hanya bersandar pada kenyataan bahwa ada tipetipe bangunan yang dianggap baik pada fakta akhir. Bentuk dan fungsi dalam arsitektur dengan demikian adalah preseden yang tumbuh dari kesepakatan pengalaman dan proses historis yang dijustifikasi dan mengakumulasi menjadi sebuah tradisi. Dalam hal ini kesulitan instrumen fungsi adalah bagaimana untuk dapat menjelaskan pengalaman arsitektur dalam dua kategori yaitu yang menekankan pada pengalaman fungsi dan ekspresi fungsi melalui arsitektur. Bagaimana bangunan dapat memberikan fungsinya apabila fungsinya tidak jelas atau jika maknanya berfungsi ganda? Dapatkah bangunan digantikan dari fungsi yang satu ke fungsi yang lainnya? Ataukah ia hanya dimililki oleh bangunan secara spesifik? Determinasi fungsi sangat penting pada produksi arsitektur. Fungsi dalam hal ini semata-mata lebih dititikberatkan pada iklim atau metode membangun yang kemudian dapat berpengaruh pada gaya bentukan arsitekturnya dalam konteks budaya tertentu dan respon tertentu pula. Sementara fungsi dalam bentukan arsitektur bukan sebagai batasan tunggal. Dalam fungsi perlu pemisahan antara mode produksi dan persepsi dalam arsitektur. 3. Arsitek dan Proporsi (Keteraturan) Proporsi telah menyerapi teori estetik yang didasarkan pada sistem-sistem metafisika. Teori yang mendasari bentuk-bentuk arsitektur secara 212 keseluruhan melalui hubungan matematis. Melalui pendekatan matematis dalam teori proporsi depat ditemukan suatu bentuk keteraturan yang dapat digunakan dalam menyusun relasi antara setiap unsur, baik dalam satu bagian konfigurasi atau secara keseluruhan. Arsitektur proporsi erat kaitannya dengan penyusunan ragam-ragam bagian untuk analogi rasio. Sistem proporsi berdampak pada konstruksi geometri yang mendukung secara tepat dalam penyusunan rencana dan fasade bentuk bangunan. Bentuk yang baik dan indah muncul karena hubungan proporsi-proporsi secara universal. Artinya proporsi telah menjadi semacam hukum alam yang secara metafisis bekerja tanpa disadari pada setiap manusia baik sebagai individu maupun komunal. Ini menunjukkan bahwa keteraturan matematis mempunyal relasi yang sangat penting dengan kreativitas. Wujud dunia telah tercipta dan tersusun dengan proporsi. Analogi matematis dalam ajaran agarma-agama samawi juga menjelaskan bahwa alam tercipta secara utuh dengan hukum-hukum keteraturannya. Tuhan adalah arsitek yang Maha Indah dan geometer Yang Maha Agung. Suatu objek dikatakan indah bila bagian-bagiannya disusun secara proporsional sesuai dengan hukum-hukum yang tercermin dari bentuk-bentuk alam (Ralf Weber, On The Aethetic of Architecture). Sampai saat ini, orientasi estetik objek masih mencoba mencari nilai-nilai bentuk dalam terminologi matematis. Namun pada saat ini muncul penolakan pemikiran dalam seni yang mendasarkan pada prinsip-prinsip yang menganggap bahwa keindahan bersifat subjektif dan semata-mata persoalan pikiran atau rasa individu yang tidak memiliki hubungan dengan perhitungan matematis atau geometri. Sebab individu punya cara dan analisis sendiri untuk dapat menjelaskan kode keteraturannya sekalipun samasama menggunakan terminologi matematis dan geometris. Persepsi individu sangat memungkinkan memiliki karakteristik psikologis yang berbeda dengan individu lainnya dalam tingkat komunal. Alam pada dasarnya dilihat sebagai susunan dengan prinsip-phnsip yang bersifat tetap karenanya keteraturan terletak di dalam alam. Keragaman individual semestinya tidak dipandang sebagai buah pikiran yang juga individual. Parsialitas bukanlah sudut pandang yang memiliki keunikannya sendiri yang terbebas dari wujud universalitasnya. Keragaman gaya yang dapat dicapai melalui sistem proporsi memperlihatkan bahwa segala sesuatunya muncul dari harmoni yang bersifat universal. Ini memungkinkan untuk dapat mengatakan bahwa prinsip umum bentuk yang baik dalam konteks budaya, teknik dan gaya terpancar dari sesuatu yang bersifat transenden, ilahi. Oleh karenanya, sistem proporsi mestinya Arsitek dan Pilihan Bentuk Tanpa Batas (N. Vinky Rahman) memungkinkan untuk menjadi alat analisis yang jelas dan pasti dalam sebuah konfigurasi bangunan. Harmoni matematis dengan demikian dapat memperkirakan harmoni visual. Inilah suatu wujud fisik objek metafisik. Pernyataan ini tidak dapat dikenai dengan pertanyaan-pertanyaan logika (akal jasmani). Ilmu pengetahuan khususnya dalam hal ini estetika menyediakan ruang untuk melihat objek dari sudut yang lain yang bersifat intuitif/ilham atau akal rohani. Manusia hanyalah hamba Tuhan yang dilengkapi dengan setetes dari lautan ilmu Tuhan. Objek kedua pada bentuk metafisik adalah yang didasarkan pada dasar-dasar psikologis. Hal ini untuk dapat menjelaskan bagaimana perhitunganperhitungan proporsional bentuk arsitektur dapat berkaitan dengan pengalaman nyata. Keteraturan secara umum dapat dipandang inheren (melekat) dalam persepsi manusia. Kebutuhan keteraturan dalam bentuk arsitektur menentukan fungsifungsinya pada tingkat fisikal dan psikologikal. Pengalaman aktual dalam bangunan dalam ruang tiga dimensi membawa banyak kesulitan pandangan matematis dalam estetika. Makna dalam arsitektur tidak semata-mata bersifat diam tetapi dapat meliputi pengalaman dalam setiap susunan ruangnya. Proporsi dalam arsitektur mempunyai nilai dan desain bangunan meninggalkan persoalan dalam pengorganisasian setiap elemennya dalam keutuhan konfigurasi. Sistem proporsi diharapkan dalam hal ini dapat menjadi alat penilai dalam tugas yang kompleks ini. 4. Arsitek dan Makna Pengalaman pada setiap objek terletak pada imajinasi mentalnya. Oleh karenanya, bentuk tidak dapat dialami secara netral, ia selalu mengekspresikan atau menandakan sesuatu. Bentuk dengan demikian dapat diterima dalam keadaan selalu memiliki makna. Makna dan ekspresi ini sengaja diberikan pada satu objek untuk tujuan tertentu. Makna bermukim dalam proses asosiasi melalui intuisi, sensasi dan persepsi (Benedetto Croce, 1960, Aesthetics as Science of Expression and General Linguistic, The Noonday Press, New York). Dalam hal ini makna menjadi elemen fenomenal pada sebuah objek hanya apabila objek telah diterima dan dikategorikan. Dalam variasi pemaknaan dalam teori arsitektur dikenal tiga kategori konsep makna yaitu: ekspresif, simbolik, dan semantik. Konsep ini berasal dari seni bentuk dan visual, di mana biasanya berkenaan dengen perwujudan emosional yang kemudian membentuk karakter. Ekspresi adalah bentuk perwujudan subjek dengan satu karakter tertentu. Ekspresi adalah wujud memetik yang hanya muncul ketika dirinya terepresentasikan melalui satu objek. Ekspresi dengan demikian dapat dijelaskan sebagai elemen yang terkandung dalam stimuli penerimaan setiap subjek dan karenanya ia sangat bergantung pada perilaku psikomotorik dan pengalaman psikologis setiap orang. Kesulitannya adalah tidak ada seorangpun yang terbebas dari sebuah kondisi sosiologis, kultural, dan politis di dalam lingkungannya. Perbedaan ekspresi mungkin hanya terletak pada bagian-bagian di mana ia mampu menggunakan intuisinya di dalam mempersepsikan sesuatu. Ekspresi sangat erat kaitannya dengen kualitas individu dalam tingkat keilmuan, kekuasaan, ideologi dan legitimasi di tengah-tengah masyarakatnya. Penjelasan yang sama dapat dinyatakan dalam pemikiran bahwa arsitektur merupakan simbolisasi dari keadaan sosio-kultural tertentu. Bangunan dalam hal ini dapat disebut sebagai saksi percakapan dari zeitgeist. Kesamaan bentuk bangunan di dalam budaya dan periode zaman tertentu harus meliputi konsep gaya dan pengklasifikasian perangkat sejarah keseniannya. Bangunan tidak sekedar melalui bentuknya yang merepresentasikan sosio-kultural secara spesifik, tetapi terapan pengetehuan yang dapat dilihat yang membawa konsep sosio-kultural kepada bangunan dan berkait dengan itu juga bentuknya. Simbolsimbol telah sering didesain secara sengaja ke dalam bangunan. Ada kalanya penggunaan sistem proporsi tidak dapat memunculkan simbolisasi ini secara langsung melalui penglihatan ia harus digali melalui pola-pola geometrik yang terpancar dalam gambar rencana atau penampilannya. Bentuk dapat memperoleh fungsi denotatif hanya melalui representasi langsung atau melalui konvensi semantik di mana batasan makna bentuk individu jelas. Arsitektur dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa jika seseorang dapat memahami bangunan dan mengontrol maknanya melalui desain. Untuk ini harus terdapat kejelasan delam makna semantiknya pada elemen-elemen arsitekturnya dan sistem aturannya, dalam makna secara keseluruhan. Konsep makna tidak memiliki hakekat sebagai perangkat bentuk ia sangat tergantung pada pengamat atas dasar-dasar konsep yang diangkat dan konvensi budaya, pengalaman individu dan proses pembelajaran. Kondisi ini menunjukkan bahwa makna dapat dipandang dari sudut individu dan keterkaitannya antarsubjek bahkan antarobjek serta subjek dan objek. Dengan kata lain makna harus dipandang sebagai suatu relasi antara berbagai subjek pencipta, pengguna dan pengamat dalam suatu kerangka sosio-kultural tertentu di mana di dalamnya terdapat objek-objek yang saling mempengaruhi. Dan desain astetik bentuk-bentuk arsitektur tidak semata terpersepsikan dari elemen- Jurnal Teknik SIMETRIKA Vol. 3 No. 3 – Desember 2004 : 216 – 222 213 elemen desain tetapi juga elemen-elemen nondesain yang bergerak tanpa batas di dalam ruang kehidupan. la adalah makna-makna kultural, sosial, ekonomi, politik dan tentu saja agama. Dan justru inilah perpaduan yang paling tangguh yang memunculkan suatu ketentuan-ketentuan spesifik. 5. Arsitek dan Tuntutan Representasi Praktek arsitek pada dasarnya adalah memaknai objek arsitektur sebagai penjelas dan tujuan fungsinya yang memiliki batasannya sendiri. Dan arsitek dengan jabatan dan legitimasi keilmuannya dituntut untuk merepresentasikan wujud makna arsitektur dan sebuah kode-kode tertentu dalam sejarah dan lingkungannya. Sebelum Renaissance (Gothic dan Rumania), bangunan merepresentasikan dirinya sendiri dan selanjutnya bangunan merepresentasikan representasi dari bangunan sebelumnya (simulacrum). Setelah abad kelimabelas, arsitektur hanyalah berwujud kepura-puraan karena pesan masa lalu masih digunakan untuk menemukan dan menjelaskan makna-makna selanjutnya. Arsitektur masa Renaissance adalah simulasi arsitektur yang pertama, sebuah fiksi bawah sadar tentang objek (Peter Eisenman). Pada akhir abad ke-18, pandangan sejarah yang berkembang ditandai dengan pencarian akan kepastian untuk kebenaran dan pembuktian serta tujuan-tujuannya. Kebenaran tidak lagi dipandang berada dalam representasi, tetapi berada di luarnya dalam proses sejarah. Perubahan ini dapat dilihat pada penggeseran status "order” sebelumnya. Pemikiran muncul akibat kepentingan sejarah yang mengantarkan mereka sampai pada kesimpulan bahwa objek ternyata bukanlah representasi makna melainkan pesan dari masa lalu. Arsitektur modern menobatkan diri sebagai yang terbebas dari fiksi tentang interpretasi dengan penegasan bahwa arsitektur tidak perlu merepresentasikan arsitektur yang lain. Arsitektur mutlak menyatu dengan fungsinya. Bentuk mengikuti fungsi. Melihat posisi arsitektur modern dengan representasi tradisionalnya, dapat dikatakan bahwa arsitektur modern melepaskan diri dari atribut klasik. Mereduksi arsitektur dalam bentuk dipandang dapat mempertegas kaitan bangunan dengan fungsinya. Reduksi dimaksudkan untuk memurnikan fungsionalitas sebagai representasi realitasnya sendiri. Fungsionalitas menggantikan komposisi klasik dengan pakem-pakemnya sebagai titik tolak desain. Namun para modernis kemudian terjebak dalam fiksi yang lain. Realitas kehidupan dalam arsitektur direpresentasikan sebagai sesuatu yang tanpa dekorasi, simplistik dan jujur. Para modernis kembali meletakkan makna dalam objek dan gagal 214 melihat bahwa yang direpresentasikan oleh objek adalah pesan dan makna-makna lain sebelumnya. Fungsionalism berubah menjadi style, sekedar menyederhanakan pendekatan klasik dalam bangunan atau menampilkan efisiensi yang ternyata cenderung hanya simulasi belaka. Para arsitek Post Modernis juga terlibat dalam fiksi yang sama karena kegagalannya dalam memisahkan realitas dan representasi. Upaya mengambil contoh kearifan masa lalu lewat kajian atas nilai-nilai tertentu gagal menyertakan pertimbangan berubahnya sistem nilai masa lalu dan masa kini. Representasi makna muncul dari sesuatu yang berharga di masa lalu yang belum tentu berharga untuk masa kini. Penghadiran masa lalu sebagai upaya menangkap pesan pada saat itu, berubah menjadi representasi masa lalu belaka. Ketika tidak ada lagi perbedaan antara realitas dan representasi maka realitas adalah simulasi dan representasi yang kehilangan jiwanya juga sebuah simulasi. Namun adakah representasi yang sepenuhnya mencerminkan makna-makna realitas? Sejak arsitektur muncul dari paham pemikiran yang meletakkan pada kemampuan eksistensial manusia secara individu dan terpisahkan dari intuisi yang bersifat metafisik maka representasi tidak terelakkan untuk tereduksi secara parsial. Dan keunikannya akan makin menjauhkan dari realitas yang sebenamya. Representasi arsitektur hanyalah simulasi-simulasi makna yang sifatnya memang sangat relatif. 6. Arsitek dan Tuntutan Alasan Dalam proses desain tidak ada seorang arsitek pun yang dapat semena-mena secara arbitrer begitu saja dapat memutuskan pilihannya dalam penstrukturan bentuk-bentuk arsitekturya. Dalam setiap keputusannya selalu dikenakan pertanyaanpertanyaan yang dianggap logis dan memadai untuk dapat menjelaskan alasan-alasan sebagai argumentasi pembenarannya. Alasan adalah simulasi kebenaran yang diturunkan dari rasionalitass keilmuan. Sebelum masa Renaissance, ide tentang awal dibuktikan oleh dirinya sendiri. Arti dan realitas sesuatu dibuat tanpa perlu pembuktian-pembuktian teoritik. Sejak Renaissance, dengan hilangnya kemungkinan itu, awal dijelaskan lewat alam, sumber-sumber tentang ke-Tuhanan, kosmologi atau pendekatan antropometri dan geometri. Idealisasi akhir adalah awal untuk menemukan langkah atau dengan kata lain perspektif tentang akhir adalah strategi awal (Peter Eisenman). Hal ini menjelaskan mengapa arsitektur klasik yang menjadi acuan pada masa renaissance sangat peduli pada hirarki, order dan Arsitek dan Pilihan Bentuk Tanpa Batas (N. Vinky Rahman) pendekatan-pendekatan yang mengarah pada terciptanya harmoni yang bersifat universal. Arsitektur yang diilhami oleh pendekatan rasional dalam desain yang sekuler lahir sebagai reaksi terhadap tujuan kosmologi dari arsitektur. Pandangan Renaissance tentang harmoni sebagai wujud kebutuhan akan alasan (perlunya landasan yang rasional untuk bertindak), yang merupakan tuntutan logika dari bentuk-bentuk lama, telah menguasai setiap tindakan desain. Fungsi dan teknologi pada akhir abad ke-19 menggantikan skema-skema order tersebut dan dipercaya lebih mumpuni untuk menjawab dan menampilkan kebenaran dari objek arsitektur. Kesuksesan rasionalitas dalam berbagai disiplin ilmu juga dianut oleh bidang arsitektur. Jika arsitektur terlihat rasional, maka dipercaya akan merepresentasikan kebenaran. Rasionalitas menjadi dasar estetika dan moral dalam arsitektur modern (machine aesthetics). Sekalipun dalam perwujudannya rasionalitas bersifat imperatif (wajib ada), menyebabkan sisi metodologisnya tidak terukur dan tidak pasti. Rasionalitas akan selalu dipertanyakan kembali, dianalisis dan melahirkan rasionalitas baru yang kembali sekali lagi dapat dipertanyakan, betapapun ketatnya, analisis yang dilakukan. Analisis hanya melahirkan pembuktian yang sifatnya ilusi, yang merupakan sekedar tiruan kebenaran dalam sebuah proses yang berlanjut terus menerus. Setiap kali analisis dan alasan mencoba menggantikan pembuktian diri sendiri sebagai makna di mana kebenaran diungkapkan, maka semakin meyakinkan kita akan akhir kebenaran mutlak yang digambarkan oleh arsitektur klasik. Setiap alasan dan bukti tentang kebenaran hanya akan menjadi sebuah cerita fiksi. Intuisi dengan akal rohani dan akal budinya makin meneguhkan tentang posisi kebenarannya. Keputusan-keputusan desain arsitektur lebih mendekati kebenaran ketika ia diarahkan kepada sifat-sifat keuniversalannya yang penting dalam willayah metafisik: para tokoh, pendeta, kiai, atau undagi. dalam arsitektur modern dimunculkan dengan menambahkan nilai selain alamiah dan ke-Tuhanan. Jiwa jaman dilihat sebagai kesatuan dalam kekinian. Dalam setiap momen sejarah selalu saja ditemui hubungan antara representasi fungsi arsitektur dan bentuknya. Ironisnya, representasi arsitektur modern dengan jiwa jamannya berubah menjadi lebih berpikir orisinal dan kembali ke sifat individual. Mereka terjebak secara ideologis dalam ilusi tentang kekekalan. Jika memang tidak mungkin untuk menggambarkan masalah arsitektur dalam batasan jaman dalam kaitannya dengan fungsi arsitektur maka harus ditemukan struktur lainnya. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap jiwa jaman, perlu untuk mengajukan alternatif ide di mana arsitektur bukan lagi yang hanya bersinggungan dengan kegunaan dalam arsitektur akan tetapi lebih kepada mewakili jamannya. Memandang classicism dan modernism sebagai bagian dari kelanjutan sejarah, akan membawa kita pada kenyataan bahwa sudah tidak dimungkinkan lagi pembuktian sendiri dalam representasi alasan ataupun sejarah yang dapat digunakan untuk melegitimasi objek. Hilangnya nilai ini memungkinkan untuk sesuatu yang kekal dan terbebas dari makna dan kebenaran. Tidak ada satu kebenaran ataupun satu makna selain hanya kekekalan. Dalam pengertian lain, tidak penting lagi apakah asal itu datang dari mana, apakah dari alam, fungsional atau ke-Tuhanan. Karenanya arsitek dengan pilihan-pilihannya hanya dapat bekerja dengan dasar keyakinannya dalam keindividualannya. Arsitektur mungkin memang belum dapat menjamin keberhasilannya, tetapi paling tidak arsitek memiliki niat dan itikad untuk dapat menunjukkan integritasnya sebagai representasi masyarakat dengan segala landasan predikat keilmuannya. 7. Arsitek dan Tuntutan Historis Benedetto Croce. 1960. Aesthetics as Science of Expression and General Linguistic. The Noonday Press, New York. Peter Eisenman. The End of The Glance, The End of Beginning, The End of The End. Ralf, Weber. l995. On The Aesthetic of Architecture, Avebury, USA. Gerakan modern menggantikan ide relevan yang universal sebagai sebuah ide universal tentang sejarah, analisis program sebagai analisis sejarah. Mereka menganut pemahaman bahwa dirinya dapat menjadi bebas nilai lewat bentuk kolektifnya dan dapat mengintervensi individualisme. Relevansi Daftar Pustaka Jurnal Teknik SIMETRIKA Vol. 3 No. 3 – Desember 2004 : 216 – 222 215