hak-hak perempuan dalam islam

advertisement
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM ISLAM
Oleh Muh Rosyid Ridlo, MSI
Diskusi Bulanan Jurusan 3/04/2012
SOSIOLOGI - FISIP UNIVERSITAS SEBELAS MARET
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id
A. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang menganugerahkan umat-Nya berbagai
kenikmatan yang tiada terhingga, terutama nikmat iman dan Islam. Shalawat
serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah S.a.w, segenap keluarganya,
para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang konsisten menjalankan risalah
dakwahnya hingga hari kiamat kelak.
Syariat Islam merupakan pandangan hidup yang komperehensif dan
integral serta sesuai dengan fitrah manusia. Dalam konsep Islam setiap manusia
yang terkena beban (taklif) syariat berada dalam posisi yang mulia, baik pria
maupun wanita. Betapa tidak, keduanya adalah ujung tombak untuk
memakmurkan bumi dan menjaga panji tauhid yang telah Allah canangkan.
Meski dinyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki,
namun Islam tidak serta merta menyatakan bahwa wanita adalah warga kelas
dua atau derajatnya dibawah laki-laki. Allah berfirman dalam surah Al-Ahzab
ayat 35 yang artinya : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki
dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, lakilaki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, lakilaki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. Terkait
dengan ayat tersebut ada tiga riwayat yang menyebabkan sebab turunnya ayat.
Imam Ahmad, Nasai, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Aththabari, dan ibnu
mardawaih meriwayatkan penuturan Ummu Salamah, “aku pernah bertanya”,
katanya : “Wahai Rasulullah mengapa kami tidak disebut di dalam Al-Quran
sebagaimana para lelaki?” Beliau tidak menjawab pertanyaanku, hanya saja pada
suatu hari kudengar beliau membaca firman Allah : “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan ….dst (ayat diatas).
Abd bin Humaid, Ath-Thabari, dan At-Tirmidzi menyatakan dari Ummu
Imarah Al-Anshariyah, bahwa dia menemui Rasulullah dan berkata, “ Kulihat
semua diperuntukkan bagi laki-laki, kulihat tak sekalipun perempuan disebut”.
Lalu turunlah ayat ini. Ibnu Abbas berkata, “Beberapa perempuan menemui
Rasulullah seraya berkata; ‘Wahai rasulullah kenapa laki-laki yang beriman
selalu disebut, sedangkan perempuan yang beriman tidak disebut?’, kemudian
turun ayat ini.
Ayat ini membuktikan bahwa dalam pandangan Islam, kedudukan
perempuan sama dengan kedudukan laki-laki. Keduanya sama-sama berpeluang
untuk mencapai derajat keimanan dan keislaman yang tertinggi. Keduanya
sama-sama berkesempatan untuk mendapatkan ampunan Allah atas berbagai
kesalahan yang telah mereka lakukan. Mereka juga sama-sama berkesempatan
untuk mendapatkan surga, pahala, dan kenikmatan yang tidak terputus. Yakni
jika keduanya sama-sama beriman, taat dan rajin beribadah, jujur dalam segala
ucapan dan perbuatan, serta mengerjakan amal-amal shalih yang diperintahkan
oleh Allah dan menjauhi seluruh larangan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Islam bukanlah agama yang bias gender, sejak Islam datang dimulailah
proses pemulihan posisi dan citra perempuan. Allah memerintahkan kepada
manusia agar bersikap baik pada perempuan, Allah berfirman : “Dan
perlakukanlah mereka secara patut, kemudia bila kamu tidak menyukai mereka
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan”. (An-Nisa’ : 19).
Sebelum Islam datang, sejatinya peradaban di luar jazirah arab adalah
peradaban yang sudah lebih maju. Mereka telah membangun masyarakat jauh
lebih modern dari pada masyarakat Arab. Yunani, sebuah Negara adidaya pada
masanya dan merupakan Negara yang berperadaban. Namun perempuan tidak
memiliki harga diri sama sekali dalam struktur masyarakat mereka. Perempuan
dianggap sebagai penyebab semua penyakit dan musibah bagi kehidupan umat
manusia. Mereka dianggap sebagai makhluk yang tercipta dari kasta yang
terendah, sehingga mereka diposisikan sebagai makhluk yang hina. Mereka
tidak boleh ikut semeja dengan laki-laki untuk menyantap makanan, lebih
khusus lagi kalau sedang kedatangan tamu asing, maka perempuan akan seperti
budak.
Berbeda dengan Yunani, bangsa Romawi mempunyai slogan terkait
dengan perempuan, “Belenggu wanita itu jangan dilepas, dan api jangan
dipadamkan”. Kekuasaan laki-laki terhadap wanita seperti kekuasaan majikan
terhadap budaknya.Laki-laki memberi nafkah terhadap istri sekehendaknya,
bahkan sang suami bisa saja membunuh sang istri kapan saja. Ketika bangsa
Romawi mengalami kemajuan, terjadi perubahan perlakuan terhadap
perempuan. Namun pandangan merendahkan perempuan tidak bergeser,
perempuan diperlakukan seperti pembantu. Perempuan hanya dijadikan obyek
nafsu seksual. Mereka sangat menggampangkan perceraian hanya karena sebabsebab yang sepele.
Sementara itu untuk negari Persia, hokum yang berlaku untuk hak-hak
perempuan sangat kejam dandzalim. Para perempuan akan mendapatkan sangsi
keras hanya karena kesalahan kecil, sementara kaum laki-laki mempunyai
kemerdekaan bertindak tanpa sedikitpun terancam sangsi. Perempuan Persia
tidak boleh kawin selain dengan laki-laki Zarathustra, sementara laki-laki bebas
kawin dengan siapa saja.
Pada zaman sekarang keadaan sudah berubah pendidikan sudah maju,
perempuan sudah terpelajar, namun masih saja banyk kasus yang menimpa
perempuan baik di dalam kehidupan rumah tangga maupun di dalam kehidupan
masyarakat secara luas. Banyak perempuan tidak mendapatkan apa yang
menjadi haknya; tidak diberi nafkah baik lahir maupun batin, dianiaya, ditinggal
pergi tanpa keterangan, dan yang juga menyedihkan adalah banyak perempuan
yang bekerja seperti laki-laki dengan hasil yang sangat rendah. Seperti menjadi
kuli bangunan, mengangkat pasir dari sungai, dan sebagainya.
Untuk itulah diperlukan usaha untuk memberikan pengertian kepada
para perempuan agar mengerti apa yang menjadi haknya, agar mereka bisa
mengambil dan menjaga hak-haknya dengan baik dan benar.
B. Hak-Hak Perempuan Menurut Ajaran Islam
1. Hak Perempuan Sebagai Seorang anak.
Anak adalah karunia dan amanah yang diberikan oleh Allah kepada orang
tua. Oleh karena itu anak, baik laki-laki maupun perempuan harus diterima
dengan ikhlas dan tidak boleh disia-siakan. Allah berfirman : “Kepunyaan
Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan
memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang
dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul kepada siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”. (QS. Asy-Syura : 49-50).
Dalam firman Allah di atas, Allah memulai firman-Nya dengan menyebut
anak perempuan terlebih dahulu. Allah memulai dengan menyebut anak
perempuan sebelum anak laki-laki itu menurut ulama ahli tafsir mempunyai
beberapa hikmah. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa hikmahnya
adalah Allah hendak menghibur para anak perempuan karena umumnya orang
tua meresa berat hati dengan kelahirannya.
Oleh karena itu kehadiran anak perempuan harus diterima sebagaimana
kehadiran anak laki-laki, tidak seperti perilaku orang jahiliyah yang tidak suka
dengan kehadiran anak perempuan. Sebagai mana digambarkan oleh Allah sikap
mereka di dalam firma-Nya : “Jika salah seorang diantara mereka diberi kabar
tentang kelahiran anak perempuannya maka mukanya menjadi hitam dan dia
sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak disebabkan berita buruk yang
sampai kepadanya. Apakah ia akan memelihara anak perempuannya dengan
menanggung kehinaan ataukah ia akan menguburnya hidup-hidup di dalam
tanah? Alangkah jelek apa yang mereka tetapkan.” (QS. An-Nahl : 58-59).
Islam mengajarkan agar menerima kehadiran anak perempuan
sebagaimana kehadiran anak laki-laki dan memberikan apa yang menjadi
haknya sebagai mana mestinya. Orang tua diperintahkan berlaku adil terhadap
anaknya, dalam sebuah riwayat dikisahkan dari Nu’man bin Basyir berkata,
“Ayahku memberiku sedekah berupa sebagian hartanya, tetapi ibuku Amrah
binti Rawahah berkata; saya tidak setuju dengan sedekah ini kecuali bila engkau
menjadikan Nabi sebagai saksi dalam hal ini”. Ayahku lalu mendatangi Nabi
untuk mempersaksikan sedekah yang dia berikan kepadaku. Nabi bertanya
kepada ayahku, “apakah engkau berbuat demikian terhadap semua anakanakmu?”, ayahku menjawab, ‘tidak’. Lalu Nabi bersabda : “Bertaqwalah kepada
Allah dan bersikap adillah kepada anak-anakmu”. Ayahku lantas pulang dan
menarik pemberiannya kepadaku. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi berkata; dalam hadits ini terdapat pelajaran bahwa
pemberian untuk anak itu hendaknya disamaratakan. Setiap anak mendapatkan
pemberian yang sama dengan yang diberikan kepada anak yang lain dan tidak
boleh ada seorang anakpun yang dilebihkan. Begitu pula anak perempuan dan
anak laki-laki mendapat pemberian yang sama.
Diantara hak-hak yang dimiliki oleh anak perempuan menurut ajaran
Islam adalah:
a. Mendapatkan perlakuan yang adil dari orang tuanya seperti telah
dijelaskan di atas.
b. Hak untuk mendapatkan pendidikan, Allah berfirman : “Wahai
orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS. AtTahrim : 6). Rasulullah bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai
Nasrani, Yahudi, atau Majusi”. (HR. Bukhari dan Muslim). Seorang
anak yang tumbuh dengan memiliki fitrah yang sehat itu
berpotensi menerima kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu
seorang anak membutuhkan pengajaran, pendidikan, dan
pengarahan yang benar sesuai dengan jalan yang telah digariskan
oleh Islam.
c. Hak untuk mendapatkan nafkah, Rasulullah bersabda : “Cukuplah
seorang itu mendapatkan dosa bila tidak memberi makanan untuk
orang yang dia tanggung”. (HR. Muslim). Di hadist lain yang juga
diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan bahwa : “Satu dinar yang
engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau gunakan
untuk memerdekakan hamba sahaya, satu dinar yang engkau
sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang lain yang
engkau gunakan untuk memberi nafkah keluargamu, Yang paling
banyak pahalanya adalah satu dinar yang engkau gunakan untuk
memberi nafkah keluargamu”. Abu Qatadah berkata ; Mulailah
dengan anggota keluarga, selanjutnya beliau menyatakan;
siapakah yang lebih besar pahalanya dari pada seseorang yang
memberi nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil guna
menjaga kehormatan mereka atau dengan pereantaraan dia Allah
memberi manfaat dan memberi kecukupan kepada mereka?.
2. Hak Seorang Perempuan Dewasa Dalam Menentukan Pilihan Pasangan Hidup.
Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan mempunyai pasangan
hidup yang bisa membawa kepada kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Seorang laki-laki membutuhkan seorang perempuan, dan demikian juga
sebaliknya. Ini dijelaskan dalam firman Allah : “Di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya adalah dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan hidup
dari jenis kalian sendiri, agar kalian meresa tenteram kepadanya; dan Dia
menjadikan diantara kalian rasa kasih dan saying. Sesungguhnya dalam yang
demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Jika seorang
perempuan sudah memasuki usia nikah maka menjadi kewajiban orang tua
untuk memikirkan serta memilihkan untuk anaknya tersebut seorang laki-laki
yang shalih dan bertaqwa. Karena laki-laki yang shalih dan bertaqwa tersebut
jika mencintainya maka dia akan memuliakannya, namun jika tidak
menyukainya maka dia tidak akan menghinakannya.
Namun demikian harus diperhatikan bahwa ketika orang tua mencarikan
calon untuk anak perempuannya dan mau menikahkannya, orang tua
diperintahkan oleh ajaran Islam untuk minta persetujuan dan izin anak
perempuannya. Rasulullah bersabda : “Seorang janda tidak boleh dinikahkan
kecuali setelah dimintai persetujuannya dan seorang gadis tidak boleh di
nikahkan kecuali setelah diminta izinnya. Para sahabat bertanya, bagaimana kita
mengetahui kalau dia menyetujui? Beliau menjawab, ‘dengan diamnya’”. (Hr.
Bukhari).
Dari Aisyah, ia berkata ; “Saya bertanya kepada Nabi tentang seorang
gadis yang dinikahkan oleh walinya, apakah harus dimintai izinnya atau tidak?
Beliau menjawab, ‘Ya harus dimintai izinnya’. Aisyah berkata, saya lantas
berkata kepada beliau, ‘sesungguhnya seorang gadis itu pemalu’. Beliau
menjawab, karena itulah izinnya adalah ketika ia diam”. Ibnu Abbas
menceritakan bahwa Nabi bersabda : “Seorang janda lebih berhak atas dirinya
dari pada walinya. Seorang gadis itu dimintai izinnya, Tanda persetujuannya
adalah dengan diam”.
Orang tua dalam pandangan Islam tidak boleh memaksakan kehendaknya
untuk menjdodohkan dan menikahkan anak perempuannya. Diriwayatkan dari
Khansa’ binti Khidam Al-Anshariyah, ia menceritakan bahwa ayahnya telah
menikahkannya. Pada saat itu ia berstatus janda sedangkan ia tidak
menyetujuinya. Dia lantas mendatangi Nabi, Beliau lalu membatalkan
pernikahannya.
Juga kisah yang diriwayatkan dari Abu Buraidah, dari ayahnya. Ayahnya
berkata : “Ada seorang anak gadis datang menemui Nabi dan berkata, ‘Ayahku
menikahkanku dengan anak saudara laki-lakinya untuk meninggikan
martabatnya. ‘Berkata ayah Abu Buraidah, Nabi lalu menyerahkan urusan itu
kepada anak gadis tersebut. Dia lantas berkata, ‘Saya relakan apa yang telah
diperbuat ayahku terhadapku. Namun saya ingin memberitahukan kepada semua
wanita bahwa seorang ayah tidak mempunyai hak sedikitpun dalam urusan ini’”.
(HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih).
3. Hak Perempuan Sebagai seorang Istri
Allah memerintahkan kepada seorang suami agar bergaul dengan
Istrinya dengan cara yang baik, seperti dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 19 :
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik”. Asy-Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, ayat Allah tersebut diatas meliputi
pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu sepantasnya seorang
suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf, menemani, dan
menyertai(hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya
(tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan
dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya.
Dan tentunya pemenuhannya setiap suami berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dan kemampuan masing-masing.
Seorang suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya, apalagi dengan
menggunakan kekerasan fisik. Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian memukul
hamba-hamba perempuan Allah”. Dalam riwayat yang lain Rasulullah
menjelaskan bahwa : “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap istri-istrnya”. (HR. Ahmad).
Diantara hak-hak istri atas suaminya adalah :
a. Mendapatkan nafkah dari suaminya sesuai dengan kondisi ekonomi, baik
dalam keadaan lapang maupun sulit. Nafkah tersebut meliputi; pakaian,
makanan, tempat tinggal, dan sebagainya. Allah berfirman ; “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. At-Thalaq :
7).
b. Seorang istri mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah batin
(kebutuhan biologis) dari suaminya. Oleh karena itu jika seorang suami
tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut dan istri sangat
membutuhkan, kalau tidak terpenuhi bisa menimbulkan fitnah, seorang
istri dibolehkan menuntut haknya tersebut.
c. Seorang istri berhak mendapatkan perlindungan dari suaminya, baik
perlindungan terhadap fisiknya, kehormatannya, maupun hartanya dari
seluruh gangguan.
d. Seorang istri berhak mendapatkan pendidikan dari suaminya terhadap
perkara-perkara agama yang sifatnya mendesak untuk diketahui.
e. Seorang istri berhak untuk diperlakukan dengan baik dari suaminya.
f. Seorang istri mempunyai hak untuk tidak disebarkan aibnya oleh suami.
g. Seorang istri berhak/boleh keluar rumah tanpa izin suami untuk
kepentingan yang darurat.
h. Salah satu di antara hak seorang istri adalah tidak mentaati suaminya
dalam perkara yang maksiat.
4. Perempuan Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan perempuan semasa kecilnya, ketika remajanya, dan
saat ia menjadi seorang ibu. Allah mewajibkan seorang anak untuk berbakti
kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah menjkelaskan perintah-Nya
tersebut di dalam Al-Quran surah Al-Isra’ ayat 23-24 : “Rabmu telah menetapkan
agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan hendaklah kalian
berbuat baik terhadap kedua orang tua. Apabila salah seorang di antara
keduanya atau kedu-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan
membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih
saying, ucapkanlah doa; ‘Wahai Rabku, kasihilah mereka berdua sebagaimana
mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil’”.
Rasulullah menjelaskan mulianya seorang ibu lebih tinggi dari pada ayah
dalam sebuah sabdanya ketika ada seorang sahabat bertanya tentang seorang
yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan baik, “Wahai Rasulullah
siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik
kepadanya? Rasulullah menjawab ; ‘Ibumu’, kemudian siapa? ‘Ibumu’, jawab
beliau. Kembali orang itu bertanya, kemudian siapa? ‘Ibumu’, kemudian siapa,
tanya orang itu lagi, ‘kemudian ayahmu’, jawab beliau.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa hak ibu lebih tinggi dari
pada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan
seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan dan
menyusui. Ibu sendirilah yang merasakan dan menanggung ketiga perkara
tersebut. Oleh karena itu Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka
kepada ibunya, seperti dijelaskan Nabi dalam sabdanya : “Sesungguhnya Allah
mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu”.(HR. Bukhari dan
Muslim). Al-Hafizh menerangkan; “dikhususkan penyebutan para ibu dalam
hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi dari
pada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai
seorang perempuan. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat
baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih saying dan
semisalnya lebih didahulukan dari pada kepada ayah”.
Walaupun seorang ibu itu musrik atau kafir, tetap diwajibkan bagi
seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam hadits dari Asma’
bintu Abi Bakr, ia berkata : “Ibuku yang masih musrik datang mengunjungiku
bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah. Akupun
bertanya kepada Rasulullah; ‘Ibuku berkunjung dan memintaku untuk berbuat
baik kepadanya, apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya? Beliau
menjawab, Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu”. (HR. Bukhari).
5. Hak Perempuan Sebagai seorang Individu
Sebagai individu seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki walaupun kadarnya tidak sama. Ini sudah merupakan ketentuan Allah
yang harus diterima, karena itu merupakan kebijaksanaan Allah dalam
menentukan apa yang diberikan kepada hambanya. Di antara hak seorang
perempuan sebagai individu adalah :
a. Hak untuk mendapatkan harta warisan
Sebelum Islam datang (zaman jahiliyah) seorang perempuan tidak
mendapatkan warisan, bahkan malah menjadi salah satu harta yang bisa
diwariskan. Setelah Islam datang harkat martabat perempuan diangkat
serta memberikan kepada mereka hak untuk mendapatkan harta
warisan. Allah berfirman : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi wanita ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa’ : 7).
Ibnu Katsir berkata : Sa’id bin Jabir dan Qatadah berkata, dahulu
orang-orang musrik hanya memberikan harta warisan untuk anak lakilaki yang sudah dewasa dan tidak memberikan harta tersebut sedikitpun
kepada anak perempuan dan anak yang masih kecil. Oleh karena itu Allah
menurunkan ayat tersebut di atas. Yang dimaksudkan oleh ayat di atas
adalah seluruh anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, semua
sejajar di hadapan ketentuan hokum Allah. Artinya mereka sama-sama
berhak mendapatkan bagian harta warisan, walaupun bagian mereka
tidak sama tergantung jauh dekatnya hubungan mereka dengan orang
yang meninggal, baik karena hubungan kekerabatan, pernikahan,
ataupun wala’ (bekas hamba sahaya yang dimerdekakan).
b. Hak Untuk Menuntut Ilmu
Kewajiban menuntut ilmu adalah dibebankan kepada setiap
muslim baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perkecualian. Allah
berfirman : “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang
yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar : 9). Rasulullah bersabda :
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkannya”. (HR. Bukhari). Ayat dan hadits tersebut bersifat umum
tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa mencari ilmu itu hanya
khusus untuk laki-laki. Oleh karena itu seorang perempuan berhak untuk
menuntut ilmu asal tidak menimbulkan fitnah dan membahayakan
dirinya.
c. Hak Untuk Melakukan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Hak perempuan ini dijelaskan dalam firman Allah : “Kamu adalah umat
yang terbaik yang diutus kepada manusia, memerintahkan yang ma’ruf
dan mencegah hal yang mungkar” (QS. Ali Imron : 10). Juga dijelaskan
dalam sabda Nabi : “Barang siapa melihat kemungkaran maka hendaklah
ia mengubah dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan
lisannya; dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, demikian itu adalah
iman yang paling lemah”. (HR. Muslim).
Ayat dan hadits tersebut bersifat umum tidak ada batasan
terhadap perintah amar ma’ruf dan nahi mungkar itu bagi laki-laki saja.
Oleh karena itu perempuan juga mempunyai hak untuk melakukan amar
makruf nahi mungkar sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Download