jurnal

advertisement
JURNAL
ISSN: 2087-7706
AGROTEKNOS
Volume 3 Nomor 3
Nopember 2013
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
J. Agroteknos
Vol. 3 No. 3
Hal: 127-188
Kendari, Nopember 2013
ISSN: 2087-7706
JURNAL AGROTEKNOS
ISSN: 2087-7706
Diterbitkan oleh Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo,
Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Cabang Sulawesi Tenggara
Alamat : Gedung Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
Jl. H.E.A. Mokodompit, E-mail :[email protected]
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
Pelindung/Penasehat:
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
Penanggung Jawab:
Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
Ketua Dewan Redaksi:
Dr. Andi Khaeruni R.
Wakil Ketua:
Dr. Dirvamena Boer
Sekretaris:
Dr. La Ode Afa
Redaksi Ahli:
Prof. Dr. Sahta Ginting (Kesuburan Tanah-UNHALU)
Prof. Dr. Sylvia Sjam (Entomologi-UNHAS)
Prof. Dr. Elka Wakib Syam’un (Fisiologi Tanaman-UNHAS)
Prof. Dr. Andi Bahrun (Agrohidrologi-UNHALU)
Prof. Dr. Muhammad Taufik (Fitopatologi-UNHALU)
Dr. I Gusti Ray Sadimantara (Pemuliaan Tanaman-UNHALU)
Dr. Fransiscus S. Rembon (Pengelolaan Tanah-UNHALU)
Dr. Suaib (Pemuliaan Tanaman-UNHALU)
Dr. Teguh Wijayanto (Bioteknologi Tanaman-UNHALU)
Redaksi Pelaksana:
Dr. Gusti Ayu Kade Sutariati, Dr. La Ode Muhammad Harjoni Kilowasid, Asniah, M.Si,
Syamsu Alam, M.Sc
Bendahara:
Tresjia C. Rakian, M.P
Adminisitrasi:
Arsy Aysyah Anas, M.P, Asmar Hasan, M.P, Wahyu Arif Sudarsono, M.Si
Jurnal Agroteknos diterbitkan sebagai media komunikasi dan forum pembahasan ilmiah
masalah pertanian, khususnya dibidang ilmu dan teknologi: budidaya tanaman, pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan, dan pengelolaan sumberdaya alam pertanian. Artikel yang
dipertimbangkan pemuatannya berupa hasil penelitian atau telaah (review) yang belum pernah
diterbitkan atau tidak sedang menunggu diterbitkan pada publikasi lain. Dewan penyunting
berhak memperbaiki naskah yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Jurnal
Agroteknos terbit tiga kali setahun yakni pada bulan Maret, Juli dan Nopember.
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 127-132
ISSN: 2087-7706
PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI DOSIS GLIOKOMPOS TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI MERAH
(Capsicum annuum L.)
Effect of Various Dosages of Gliocompos on Growth and Production of
Chilli Pepper (Capsicum annuum L.)
LA ODE SAFUAN*), TRESJIA C. RAKIAN, ENDI KARDIANSA
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
ABSTRACT
The aim of the research was to study the effect of several glyochompost's dosages on
the growth and production of chilli. The research was carried out in Lamomea Village,
District Konda, Konawe, Southeast Sulawesi, from December 2012 to February 2013. This
research was arranged on completely randomized block design consisted of 4 treatments,
i.e : without glyochompost (Go), glyochompost 30 g (G1), glyochompost 40 g (G2) and
glyochompost 50 g (G3) per 20 kg soils. Analysis of variance (ANOVA) was used for statistical
data analysis. Duncan's Multiple Range Test (DMRT) was applied to determine the
significantly diferent among treatment with 95% convidence level. The results of the
research showed that : (1) glyochompost effectively influenced the plant hight, total
productive branch, total numbers and chilli’s weight, (2) Applications of glyochompost 50 gr
per 20 kg soils have given the best influence on growth and production of chilli plants.
Key words: chilli, growth, glyochompost, plants, production
1PENDAHULUAN
Tanaman cabai (Capsicum annuum L.)
merupakan salah satu komoditas tanaman
hortikultura yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi. Buahnya mempunyai
nilai gizi yang cukup tinggi, terutama
vitamin A dan C, juga mengandung minyak
atsiri yang rasanya pedas dan diminati oleh
masyarakat terutama di Asia, sehingga
kebutuhan cabai terus meningkat. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
produksi cabai di Indonesia, namun
Menurut Muharam dan Sumarni (2005)
produktivitas cabai merah di Indonesia
masih rendah, yaitu baru mencapai 6,70
ton ha-1.
Sulawesi Tenggara mempunyai lahan kering
yang cukup luas untuk pengembangan
tanaman cabai merah, namun demikian
produktivitas cabai merah di daerah ini
*) Alamat Korespondensi:
E-mail: [email protected]
masih sangat rendah yaitu pada tahun
2011 sekitar
2,50 ton ha-1 dan
produktivitas pada tahun 2010 yaitu
sekitar 3,98 ton ha-1 (BPS Sultra, 2011).
Rendahnya produktivitas tanaman cabai di
Sulawesi Tenggara disebabkan karena
lahan pertanian di dominasi oleh tanah
ultisol yang mempunyai tingkat kesuburan
rendah. Oleh karena itu maka untuk
meningkatkan produktivitas tanaman cabai
di Sulawesi Tenggara perlu aplikasi pupuk
untuk memperbaiki kesuburan tanah.
Gliokompos adalah bahan organik dalam
bentuk kompos dengan bahan aktif
Glyocladium sp. Beberapa kelebihan dari
bahan organik ini adalah berbahan baku
alami dan ramah lingkungan yang mampu
menekan serangan penyakit tular tanah
yang dapat menyerang tanaman cabai.
Selain itu, bahan organik ini diketahui
berfungsi sebagai pupuk yang berguna
untuk menunjang pertumbuhan tanaman
dan menekan kehilangan hasil yang
Vol. 3 No.3, 2013
Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos
diakibatkan oleh serangan Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) serta dapat
menjaga kualitas hasil pertanian (BPTPH,
2010). Namun demikian pemberian bahan
organik yang terlalu banyak, selain tidak
efisien, juga dapat menurunkan produksi
tanaman karena kelebihan unsur hara
mikto dan peningkatan serangan hama dan
penyakit tanaman, oleh karena itu perlu
dilakukan penellitian untuk mengetahui
Pengaruh gliokompos dengan dosis yang
berbeda terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman cabai.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Desember 2012
sampai Februari 2013 di Kebun Percobaan
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi
Tenggara di Desa Lamomea Kecamatan
Konda Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan
adalah benih tanaman cabai, gliokompos,
tanah, air, sekam padi, dan polibag ukura
40x40 cm. Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah parang, cangkul,
sekop,
handsprayer,
kertas
label,
timbangan, mistar, ember plastik, bak
persemaian, gembor, kamera dan alat tulis
menulis.
Rancangan Percobaan. Penelitian ini disusun
berdasarkan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) terdiri dari 4 taraf perlakuan yaitu:
gliokompos 0 g (Go), gliokompos 30 g (G1),
gliokompos 40 g (G2), dan gliokompos 50 g
(G3) per 20 kg tanah, yang diulang
sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 16 unit
petak percobaan. Masing-masing unit
percobaan terdiri dari 4 tanaman sehingga
jumlah tanaman dalam penelitian ini
adalah 64 tanaman.
Perlakuan Benih. Benih cabai
yang
disemaikan terlebih dahulu direndam
dalam air hangat selama 30 menit, guna
mempercepat proses perkecambahan,
benih yang tenggelam adalah benih yang
siap untuk disemaikan.
Persemaian. Media persemaian terdiri atas
campuran tanah dan sekam padi dengan
perbandingan 1 : 1 setebal 5 cm. Benih
cabai disemai pada waktu sore hari untuk
128
menghindari terjadinya penguapan yang
berlebihan. Benih ini ditempatkan pada
larikan, ukuran larikan semai ini berjarak
5 cm antar larikan dengan kedalaman 2 cm.
Setelah semai berumur 21 hari, maka siap
untuk dipindahkan.
Penanaman. Media tanam terdiri atast anah
dan sekam padi yang dicampur secara
merata kemudian dimasukkan ke dalam
polibag berukuran 40x40 cm, banyaknya
media adalah 8 kg per polibag. Gliokompos
diberikan pada setiap polibag dengan dosis
sesuai perlakuan (0 g, 30 g, 40 g dan 50 g)
dengan cara ditugal kemudian ditutup
tanah. Bibit tanaman cabai dipindah tanam
ke polibag, yaitu pada saat bibit
dipersemaian berumur 3 minggu setelah
semai.
Pemangkasan/Perempelan. Pemangkasan
dilakukan untuk mengurangi tunas
diantara
ketiak
daun,
sehingga
perkembangan buahnya maksimal. Daundaun di bawah cabang utama dipangkas
pada saat tajuk tanaman telah optimal,
yaitu telah berumur 75 HST. Pemangkasan
juga
bertujuan
untuk
mengurangi
gangguan hama dan penyakit (Prajnanta,
2007).
Pemeliharaan dan Panen. Pemeliharaan
meliputi penyiraman, pengendalian gulma,
dan pengendalian hama dan penyakit.
Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore
hari atau sesuai kebutuhan. Pengendalian
gulma dilakukan secara manual dengan
cara mencabut gulma yang tumbuh di
polibag. Panen dilakukan pada saat
tanaman menghasilkan buah pertama yaitu
pada saat tanaman berumur 90 HST.
Parameter Penelitian. Variabel yang diamati
dalama penelitian ini adalah : Tinggi
tanaman (cm) pada saat tanaman berumur
20, 30, 40, 50, 60, dan 70 hari sesudah
tanam. Jumlah cabang produktif pada saat
tanaman berumur 50, 60, dan 70 hari
sesudah tanam, Jumlah buah cabai
saattanaman berumur 70, 80 dan 90 hari
sesudah tanam, dan Berat buah segat per
tanaman (g).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi
tanaman.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahawa pemberian berbagai
dosis gliokompos memberikan pengaruh
129
J. Agroteknos
Safuan et al.
yang nyata terhadap tinggi tanaman cabe
merah pada saat tanaman berumur 20, 30,
40, 50, 60, dan 70 hari sesudah tanam.
Perbedaan pengaruh berbagai dosis
gliokompos terhadap tinggi tanaman cabe
merah pada setiap fase pertumbuhan
tanaman diuji dengan Uji Jarak Berganda
Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil
Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf
kepercayaan 95% pengaruh berbagai dosis
gliokompos terhadap tinggi tanaman Cabe
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman cabai pada berbagai dosis gliokompos
Gliokompos
(g/20kg tanah)
G0 = 0
G1 = 30
G2= 40
G3 = 50
Tinggi tanaman (cm) pada pengamatan ke...HST
20
30
40
50
8,8 c
12,6 c
15,0 d
16,2 d
11,5 b
17,2 b
19,5 c
21,7 c
15,1 a
20,6 a
22,0 b
23,9 b
15,7 a
21,8 a
23,7 a
25,8 a
60
17,5 d
23,8 d
26,3 b
28,0 a
70
20,7 d
28,2 c
29,5 b
30,9 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom sama, berbeda nyata
pada uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95%
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur 20
dan 30 HST rata-rata tinggi tanaman cabai
yang lebih tertinggi berada pada perlakuan
G3, namun demikian tidak bereda nyata
dengan tinggi tanaman cabe pada pelakuan
G2, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
G1 dan G0, sedangkan tanaman cabe yang
paling pendek adalah pada pelakuan G0,
yang berbeda nyata dengan perlakuan G1,
G2, dan G3. Pada saat tanaman berumur 40,
50, 60, dan 70 HST, menunjukkan bahwa
terjadi perbedaan yang nyata antar semua
perlakuan dosis gliokompos terhadap
tinggi tanaman, dan tanaman yang cabe
tertinggi adalah tanaman cabe yang
mempeoleh giokompos 50 g per 20 kg
tanah, sedangkan yang paling pendek
adalah tanaman cabe yang tidak mendapat
gliokompos. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa tanaman cabe yang ditanam pada
tanah ultisol perlu diberi pupuk organik
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
tanaman cabe yang lebih baik. Tabel 1 juga
menunjukkan bahwa kebutuhan pupuk
pada vegetatig lebih rendah, dan
peningkatan kebutuhan akan terus
meningkat hingga masuk fase generatif
untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan buah.
Pupuk organik organik selain mengandung
unsur mikro juga mmengandung unsur
hara makro sperti N, P, dan K yang sangat
dibutuhkan oleh tanaman, pada saat fase
vegetatif tanaman membutuhkan hara N
dalam jumlah yang lebih banyak. Hutasoit
(2011) menyatakan bahwa pertumbuhan
tinggi dipengaruhi oleh unsur nitrogen (N)
yang tersedia di dalam tanah. Nitrogen
yang terdapat dalam gliokompos tersedia
perlahan-lahan bagi pertumbuhan tanaman
yang diperlukan untuk pembentukan atau
pertumbuhan
bagian-bagian
vegetatif
tanaman. Peranan unsur nitrogen yaitu
meningkatkan pertumbuhan, membentuk
warna hijau daun karena merupakan bahan
penyusun klorofil serta meningkatkan
jumlah anakan. Selain itu juga berperan
dalam merangsang pertumbuhan tanaman
secara keseluruhan khususnya batang,
cabang dan daun.
Pada umur 70, 80 dan 90 HST, tanaman cabai
diduga telah mengalami perkembangan
akar dan dengan pemberian pupuk
gliokompos ini mampu memperbaiki
kondisi tanah. Pupuk kandang mempunyai
peranan yang cukup besar terhadap
pertumbuhan tanaman. Pengaruh pupuk
kandang
terhadap
tanaman adalah
menyebabkan akar tanaman dapat tumbuh
dengan leluasa, kebutuhan unsur hara
terpenuhi sehingga tanaman dapat tumbuh
dengan
baik
dan
mempercepat
pertumbuhan
dan
perkembangannya
(Suwandi dan Rosliani, 2004).
Jumlah Cabang Produktif Tanaman Cabai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian berbagai dosis gliokompos
memberikan
pengaruh
yang
nyata
terhadap jumlah cabang produktif tanaman
cabe merah pada saat tanaman berumur
Vol. 3 No.3, 2013
Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos
50, 60, dan 70 hari sesudah tanam.
Perbedaan pengaruh berbagai dosis
gliokompos terhadap jumlah cabang
produktif tanaman cabe merah diuji
dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada
taraf kepercayaan 95%. Hasil Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf kepercayaan
95% pengaruh berbagai dosis gliokompos
terhadap jumlah cabang produktif tanaman
cabe disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata jumlah cabang produktif
tanaman cabai pada berbagai dosis
gliokompos
Gliokompo
s
(g/20k
g
tanah)
G0 = 0
G1 = 30
G2= 40
G3 = 50
Jumlah cabang produktif
(cabang)
50
60
70
hs
hs
hs
t
t
t
10,3
2,4 c
4,1 d
d
11,4
15,0
5,6 b
c
c
15,3
19,6
8,0 b
b
b
12,0
18,0
22,9
a
a
a
Keterangan: Angka-angka
yang diikuti oleh
huruf yang tidak sama pada kolom
sama, berbeda nyata pada uji Jarak
Berganda Duncan dengan taraf
kepercayaan 95%
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada saat
tanaman cabe berumur 50 hari sesudah
tanam menunjukkan bahwa tanaman cabe
yang menghasilkan cabang produktif yang
paling banyak adalah tanaman cabe pada
perlakuan G3 dan berbeda nyata dengan
perlakuan G2, G1, dan G0, sedangkan
tanaman cabe yang mempunyai cabang
produktih yang lebih sedikit adalah
tanaman cabe yang tidak memperoleh
gliokompos (G0), yang berda nyata dengan
perlakuan G1, G2, dan G3. Pada saat tersebut
perlakuan G1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan G2. Pada saat tanaman berumur
60 dan 70 HST, menunjukkan bahwa
perlakuan berbagai dosis gliokompos
menunjukkan perbedaan yang nyata.
Perlakuan yang memberikan pengaruh
yang lebih baik terhadap peningkatan
jumlah cabang produktif adalah perlakuan
G3 dan berbeda nyata dengan perlakuan G2,
G1, dan G0, sedangkan tanaman cabe yang
130
menghasilkan cabang produktif yang lebih
sedikit adalah tanaman cabe yang tidak
memperoleh gliokompos.
Setyorini et al. (2006) menyatakan bahwa
aktifitas berbagai mikroorganisme di dalam
kotoran ternak (gliokompos dari pupuk
kandang) menghasilkan hormon-hormon
pertumbuhan, misalnya auksin, giberalin,
dan sitokinin yang memacu pertumbuhan
organ tanaman seperti batang, jumlah
cabang, dan perkembangan akar-akar
rambut sehingga daerah pencarian
makanan lebih luas. Pernyataan ini sejalan
dengan pendapat Fatmawati (2009) yang
menyatakan bahwa kotoran ternak setelah
terinkubasi merupakan bahan yang
mengandung
banyak
unsur
hara.
Keuntungan penambahan mikroorganisme
efektif
sebagai
bioaktivator
adalah
diantaranya: mempercepat dekomposisi
bahan-bahan organik secara fermentasi,
melarutkan P(Phospat) yang tidak tersedia
menjadi bentuk P yang tersedia bagi
tanaman, mengikat nitrogen udara,
menghasilkan berbagai enzim dan hormon
bagi senyawa bioaktif untuk pertumbuhan.
Jumlah Buah Cabai. Hasil penelitian
menunjukkan bahawa pemberian berbagai
dosis gliokompos memberikan pengaruh
yang nyata terhadap jumlah buah tanaman
cabe merah pada saat tanaman berumur
70, 80, dan 90 hari sesudah tanam.
Perbedaan pengaruh berbagai dosis
gliokompos terhadap jumlah buah tanaman
cabe merah pada saat tanaman berumur
70, 80, dan 90 hari sesudah tanam diuji
dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada
taraf kepercayaan 95%. Hasil Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf kepercayaan
95% pengaruh berbagai dosis gliokompos
terhadap jumlah buah tanaman Cabe
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata jumlah buah cabai
berbagai dosis gliokompos
Gliokompo
s
(g/20k
g
tanah)
G0 = 0
G1 = 30
pada
Jumlah buah cabai (buah)
pada
pengamatan
ke..HST
70
9,8 c
14,6
b
80
11,2
d
18,3
c
90
10,9
d
21,3
c
Safuan et al.
131
J. Agroteknos
G2= 40
G3 = 50
19,3
a
22,3
a
23,6
b
29,4
a
28,3
b
31,8
a
Keterangan: Angka-angka
yang diikuti oleh
huruf yang tidak sama pada kolom
sama, berbeda nyata pada uji Jarak
Berganda Duncan dengan taraf
kepercayaan 95%
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah
buah masak terbanyak pada tanaman cabai
pada umur 70, 80 dan 90 HST berada pada
perlakuan G3 (50 g), yakni masing-masing
sebanyak 22,3, 29,4 dan 31,8 buah dan
jumlah buah terendah berada pada
perlakuan kontrol (G0). Perlakuan yang
memberikan pengaruh terbaik terhadap
jumlah buah berada pada pelakuan G3
(50gr) dan terendah berada pada
perlakuan tanpa menggunakan gliokompos
(G0) serta berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Perbedaan ini dapat disebabkan
karena pada perlakuan G3 menggunakan
gliokompos dengan dosis tertinggi diantara
perlakuan lainnya sehingga jumlah buah
yang dihasilkan lebih banyak dibanding
pada perlakuan lainnya.
Denis and Webster (1971) menyatakan bahwa
penggunaan gliokompos dipersemaian
yang tepat dosis dengan komposisi
campuran yang tepat, selain mampu
menanggulangi kerugian akibat serangan
penyakit tular tanah, juga mampu
meningkatkan kesuburan tanaman, dan
meningkatkan produksi bunga dan buah.
Selain itu, hasil penelitian Suwandi dan
Rosliani (2004), mengenai “Pengaruh
gliokompos, pupuk nitrogen, dan kalium
pada cabai yang ditanam tumpanggilir
dengan bawang merah” menunjukkan
bahwa pemberian pupuk gliokompos pada
tanah aluvial untuk tanaman bawang
merah (tumpanggilir dengan cabai) tidak
nyata meningkatkan hasil bawang merah,
tetapi dapat menekan susut bobot bawang
merah
setelah
dikeringkan/disimpan.
Pemupukan N dan K serta kombinasinya
dengan gliokompos berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman,
jumlah cabang, jumlah buah sehat, dan
bobot buah sehat cabai per petak.
Berat
Buah
Cabai.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahawa pemberian berbagai
dosis gliokompos memberikan pengaruh
yang nyata terhadap berat buah tanaman
cabe merah. Perbedaan pengaruh berbagai
dosis gliokompos terhadap berat buah
tanaman cabe merah diuji dengan Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf kepercayaan
95%. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan
pada taraf kepercayaan 95% pengaruh
berbagai dosis gliokompos terhadap jumlah
buah tanaman Cabe disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata berat buah cabai per tanaman
pada berbagai dosis gliokompos
Gliokompos
(g/20kg
tanah)
G0 = 0
G1 = 30
G2= 40
G3 = 50
Berat buah cabai
(g/tanaman)
96.3 d
200.8 c
276.7 b
318.1 a
Keterangan: Angka-angka
yang diikuti oleh
huruf yang tidak sama pada kolom,
berbeda
nyata pada uji Jarak
Berganda Duncan dengan taraf
kepercayaan 95%
Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata berat
buah cabai berkisar antara 96,3–318,1
gram per tanaman dengan perlakuan yang
memberikan pengaruh terbaik terhadap
berat buah berada pada pelakuan G3 (50gr)
yang berda nayata dengan perlakuan G2,
G1, dan G0, sedangkan tanaman yang
menghasilkan buah yang terendah berada
pada perlakuan tanpa menggunakan
gliokompos (G0) serta berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya. Perbedaan ini
dapat disebabkan karena pada perlakuan
G3 menggunakan gliokompos dengan dosis
lebih tinggi diantara perlakuan lainnya
sehingga mempengaruhi berat buah yang
dihasilkan tanaman cabai. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Rosmahani (2004)
mengenai sistem usahatani berbasis
bawang merah di lahan kering dataran
rendah,
yang
menunjukkan
bahwa
pemberian gliokompos dari pupuk kandang
ayam dan gliokompos dari pupuk kandang
sapi dapat menekan serangan busuk buah
dan memberikan produksi berat basah
yang lebih baik bagi tanaman bawang
merah.
Vol. 3 No.3, 2013
SIMPULAN
Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemberian
pupuk
gliokompos
memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah
cabang produktif, jumlah buah dan
berat buah cabai.
2. Pemberian dosis 50 g gliokompos
memberikan
pengaruh
terbaik
terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman cabai.
Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian
untuk
memperoleh produksi cabai yang lebih baik
dapat menggunakan aplikasi gliokompos
dengan dosis 50 gram per tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2010. Teknik Pembuatan
Kompos dengan Menggunakan Agens
Hayati.
Leaflet. Laboratorium PHP
Kendari.
Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi).
2012.
Gliokompos
Berpeluang
Menggantikan
Fungisida
Sintetis.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Sulawesi Tenggara. 2011.
Sulawesi
Tenggara dalam Angka. Kendari.
Denis, C and J. webster 1971. Antagonistic
Propertis of Spesies Groups of
Trichoderma. Trans. Br. Micol. soc. 57
(1):25-39.
Dinas Perkebunan dan Hortikultura. 2003.
Buku Petunjuk Teknis Budidaya
Tanaman Sayuran. Kendari.
Fatmawati. U. 2009. Potensi Kotoran Sapi.
Http//www.wordpress.org.
Diakses
Tanggal 8 Juli 2012.
Hutasoit Nella. 2011. Pengaruh Pemberian
Pupuk Nitrogen dan Pupuk Fosfat
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman Cabai Merah, (online),
(nellahutasoit’s
blog)http:nellahutasoit.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 11 Juli 2012.
Lingga, P. dan Marsono. 2003. Petunjuk
Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.
Bogor.
132
Mardiasih, P.W. et al. 2010. Pedoman
Pengenalan
dan
Pengendalian
Organisme Pengganggu Tumbuhan
Utama pada Tanaman Cabai. Dirjen
Hortikultura. Jakarta.
Moekasan, K.T. et al. 2011. Pengelolaan
Tanaman Terpadu pada Cabai Merah
Sistem Tanam Tumpanggilir dengan
Bawang Merah. Balitsa. Kementerian
Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Muharam, A. dan Sumarni, N., 2005.
Panduan Teknis Budidaya Tanaman
Cabai Merah. Balittanah. Litbang.
Deptan.
Nurmawati, S. dan Suhardianto, A. 2000.
Studi Perbandingan Penggunaan Pupuk
Kotoran Sapi dengan Pupuk Kascing
terhadap Produksi Tanaman Selada.
Laporan
Penelitian.
Universitas
Terbuka. Jakarta.
Prajnanta, F. 2007. Kiat Sukses Bertanam
Cabai di Musim Hujan.
Penebar
Swadaya. Jakarta.
Pustika, A.B. dan Musofie, A.
2007.
Perkembangan
Penyakit
Berbagai
Tanaman
Hortikultura
Pada
Penggunaan Trichoderma spp. dan
Gliocladium spp. Di Kawasan Pertanian
Pantai Kulonprogo. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Ripangi, A. 2012. Budidaya Cabai. PT.
Buku Kita. Yogyakarta.
Rosmahani, L. et al. 2004. Sistem Usahatani
Berbasis Bawang Merah Di Lahan Kering
Dataran Rendah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Sosial
Ekonomi
Pertanian, Bogor. Bogor.
Saediman, 2003. Tantangan dan Peluang
pemasaran Produk-Produk Pertanian
Provinsi Sulawesi Tenggara di Era
Globalisasi. Makalah disampaikan pada
Semiloka Pengembangan Kurikulum
GBPP/SAP
Fakultas
Ekonomi
Universitas Haluoleo. Kendari.
Sarwono Hardjowigeno 2003. Ilmu Tanah.
Cetakan Kelima. Akademika Pressindo.
Jakarta.
Setiadi. 2006. Bertanam Cabai. Penebar
Swadaya. Jakarta.Setyamidjaja, D. 1986.
Pupuk dan Pemupukan. CV. Simpleks.
Jakarta.
Setyorini, D., Saraswati. R., Anwar. E.K.
2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati :
Kompas. Balittanah.litbang.Deptan.
133
J. Agroteknos
Safuan et al.
Supriadi. 2006. Analisis Resiko Agens
Hayati Untuk Pengendalian Patogen
Pada
Tanaman.
Jurnal
Litbang
Pertanian. Jakarta.
Suwandi dan Rosliani, R. 2004. Pengaruh
Gliokompos, Pupuk Nitrogen, Dan
Kalium Pada Cabai Yang Ditanam
Tumpanggilir Dengan Bawang Merah.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Lembang.
Warisno. 2001. Peluang Usaha dan
Budidaya Cabai. Kres Dahana. Jakarta.
Yusuf. T. 2010. Agens Hayati Untuk
Pengendalian Organisme Pengganggu
Tanaman.
(online),
(http://tohariyusuf.wordpress.com.
Diakses Pada Tanggal 3 April 2012).
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 133-138
ISSN: 2087-7706
PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN NUTRISI ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI MERAH BESAR
(Capsicum annuum L.)
The Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Organic Nutrition
on Growth of Chili Plant (Capsicum annuum L.)
MAKMUR JAYA ARMA*), RISNAWATI, GUSNAWATY H.S.
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
The research to study the effects of arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) and organic
nutrients to enhance the growth of chili has been conducted in Experimental Field, Faculty of
Animal Husbandry and laboratory of Agrotechnology, Halu Oleo University, from June to
November 2012. The research was based on the split-plot design with a randomized block
design pattern (RAK) of two factors: Organic Nutrition as the main plot and AMF as subplot.
Organic nutrients as the main plot consisted of three levels, namely: without organic
nutrition (S0), 1 mL L-1 of water (S1) and 2 mL L -1 of water (S2); and AMF dose as subplot
consisted of three levels, namely: without AMF (M0), 5 g plant-1 (M1) and 10 g plant-1 (M2).
therefore, there were 9 combinations of treatments and each treatment combination was
repeated three times to obtain 27 experimental units. Each variable was analyzed by
analysis of variance, then followed by Duncan's Multiple Range Test (UJBD) at 95%
confidence level. The results of research indicated that the best interaction of AMF and
organic nutient treatment was 10 g AMF plant-1 (M2) and 2 mL L-1 (S2) of organic nutrients.
This treatment combination can improve growth on variables: leaf area, leaf area index and
yield index of the chili plants. The best treatment for AMF independently was at 10 g plant-1
(M2) because it can promoted growth of plant height of the chili plants. The best treatment
for organic matter independently was at 2 mL L-1(S2), because it can promoted growth of
plant height of the chili plants.
Keywords: FMA, organic nutrition, growth, chili
1PENDAHULUAN
Tanaman cabai merupakan salah satu
komoditas andalan hortikultura yang banyak
mendapat perhatian karena memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi. Cabai banyak
digunakan sebagai bumbu dapur, yakni bahan
penyedap berbagai macam masakan antara
lain sambal, saus, aneka sayur dan produkproduk makanan kaleng. Selain digunakan
sebagai penyedap masakan,cabai juga dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan ramuan obatobatan (industri farmasi), industri kosmetik,
industri pewarna makanan dan
bahan
campuran pada berbagai industri pengolahan
makanan dan minuman (Erliana, 2006).
*) Alamat Korespondensi:
Email: [email protected]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2012)
bahwa
Indonesia
mampu
memproduksi
tanaman
cabai
sebesar
1.378.727 ton pada tahun 2009 dengan luasan
lahan 233.904 ha atau sekitar 5,89 ton ha-1,
kemudian pada tahun 2010 sebesar 1.328.864
ton dengan luasan lahan 237.105 ha atau
menurun sekitar 3,26% dan pada tahun 2011
produksi cabai mencapai 1.483.079
ton
dengan luasan lahan 239.770 ha atau sekitar
6,19 ton ha-1. Produksi cabai Sulawesi
Tenggara pada tahun 2010 sebesar 7.817 ton
dengan luasan lahan 1.959 ha atau mengalami
peningkatan sebesar 3.054 ton atau sekitar
39,07% dibanding produksi pada tahun 2009.
Pada tahun 2011 produksi cabai mencapai
4.764 ton, atau menurun sebesar 3.053 ton
atau sekitar 39% dibanding produksi pada
tahun 2010. Penurunan produksi yang terjadi
diperkirakan karena semakin rendahnya
Vol. 3 No.3, 2013
produktivitas tanaman akibat luasan lahan
yang tidak diimbangi dengan kesuburan tanah
yang baik, penguasaan teknik budidaya yang
kurang serta serangan hama dan penyakit.
Sulawesi Tenggara adalah salah satu
daerah dengan potensi lahan kering yang
cukup luas dengan dominasi jenis tanah
ultisol. Hardjowigeno (2003), problema tanah
ultisol adalah reaksi tanah masam, kandungan
Al tinggi dan unsur hara rendah. Oleh karena
itu, perlu adanya input teknologi sebagai
upaya peningkatan kesuburan tanah dalam
meningkatkan produktivitas tanah dan
tanaman. Salah satu input teknologi tersebut
yaitu penggunaan Fungi Mikoriza Arbuskula
(FMA). FMA merupakan alternatif teknologi
yang dikembangkan pada budidaya tanaman
lahan kering yang secara efektif dapat
meningkatkan penyerapan unsur hara makro
dan mikro. Selain itu, akar tanaman yang
bermikoriza dapat menyerap unsur hara yang
berbentuk terikat seperti hara P menjadi
tersedia bagi tanaman (Setiadi, 1989; Anas,
1997; Mulyati dan Sinwin, 2010).
Selain berbagai keuntungan penggunaan
FMA terhadap tanah dan tanaman khususnya
dalam penyerapan unsur hara, namun FMA
juga memiliki kekurangan yakni tidak dapat
menyediakan seluruh unsur maupun nutrisi
yang dibutuhkan oleh tanaman pada waktu
yang bersamaan. Oleh karena itu, penambahan
nutrisi organik lain menjadi alternatif dalam
melengkapi
kebutuhan
nutrisi
yang
dibutuhkan oleh tanaman. Salah satu nutrisi
tersebut dapat dibantu dengan memberikan
Nutrisi Organik Wong Tani.
Nutrisi merupakan salah satu bahan /unsur
yang
dibutuhkan
tanaman
dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Nutrisi
organik dapat diaplikasikan melalui daun
tanaman karena mengandung senyawasenyawa yang secara langsung dapat
dimanfaatkan oleh tanaman dalam proses
fotosintesis. Lebih lanjut, Martin (2000)
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula 134
menyatakan bahwa pemberian melalui daun
dapat mempercepat absorbsi senyawa pada
tanaman
dan
efektif
menanggulangi
kekurangan unsur mikro. Nutrisi organik
wong tani dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman terutama pada daun, memicu
munculnya tunas, bunga, meningkatkan
pertumbuhan batang (pembelahan sel) serta
akar akan berkembang pesat (Ardian, 2009).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat. -Bahan yang digunakan
dalam penelitan ini yaitu bibit cabai merah
besar varietas Wibawa F1, Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA), Nutrisi Organik (Wong
Tani), pupuk kandang sapi. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu polybag
ukuran 8 cm x 12 cm, cangkul, sabit, parang,
patok, mulsa plastik, timbangan analitik,
meteran, hand sprayer, ember, tali rafia, gelas
ukur kimia, mistar, jangka sorong, amplop
kopy, oven listrik, pisau, kamera dan alat tulis
menulis.
Rancangan
Percobaan.
Percobaan
lapangan disusun berdasarkan rancangan
petak terpisah (RPT) dengan pola rancangan
acak kelompok (RAK) sebagai ulangan.
Percobaan ini terdiri atas dua faktor yaitu
Nutrisi Organik sebagai petak utama terdiri
dari tiga taraf uji yaitu tanpa Nutrisi Organik
(S0), 1 mL L-1 air (S1) dan 2 mL L air (S2) dan
FMA sebagai anak petak terdiri atas tiga taraf
uji yaitu tanpa FMA (Mo), 5 g tan-1 (M1) dan 10
g tan-1 (M2). Setiap taraf dari faktor dosis FMA
dikombinasikan dengan setiap taraf dari
faktor dosis Nutrisi Organik. Oleh karena itu,
terdapat 9 kombinasi perlakuan. Setiap
kombinasi taraf diulang 3 kali sehingga
keseluruhan terdapat 27 unit percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi.
Tabel 1. Pengaruh mandiri nutrisi organik terhadap tinggi tanaman cabai merah besar (cm) umur 48
HST.
Nutrisi Organik
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
Rata-rata tinggi tanaman (cm)
52,87 a
50,53 b
53,49 a
UJBD 0,05
2= 2,09
3= 2,14
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama
berbeda nyata pada UJBD 0,05
135 Arma et al.
J. Agroteknos
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata
tinggi tanaman 48 HST tertinggi diperoleh
pada perlakuan S2 yang berbeda tidak nyata
dengan perlakuan S0, namun berbeda nyata
dengan perlakuan S1. Hal ini diduga karena
tanaman cabai merah besar telah mampu
memanfaatkan substrat senyawa organik yang
disediakan oleh nutrisi organik berupa
hormon giberelin, sitokinin yaitu zeatin dan
kinetin serta hormon auksin yaitu IAA (Asam
asetik Indol), hormon-hormon tersebut dapat
memicu pertumbuhan tanaman dan menjadi
hara atau nutrisi organik bagi pertumbuhan
tanaman (Aryulina, 2011). Hasil penelitian
Fermin
(2013)
menunjukkan
bahwa
pemberian nutrisi organik
mampu
meningkatkan pertumbuhan, perkembangan
dan hasil tanaman jagung dan kacang tanah.
Tabel 2. Pengaruh mandiri FMA terhadap tinggi tanaman cabai merah besar (cm) umur 34 HST.
Fungi Mikoriza Arbuskula
0 g tan-1 (M0)
5 g tan-1 (M1)
10 g tan-1 (M2)
Rata-rata tinggi tanaman (cm)
39,64 ab
37,30 b
41,93 a
UJBD 0,05
2= 3,42
3= 3,58
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama
berbeda nyata pada UJBD 0,05.
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata
tinggi tanaman 34 HST tertinggi diperoleh
pada perlakuan M2 yang berbeda nyata
dengan perlakuan M1, namun berbeda tidak
nyata dengan perlakuan M0 dan perlakuan M1
berbeda tidak nyata terhadap M0. Hal ini
menunjukkan bahwa pada dosis FMA 10 g tan1 telah mampu membantu tanaman dalam
penyerapan unsur hara yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan tanaman dalam
pertumbuhannya. Hal ini juga disebabkan oleh
adanya mikoriza yang bersimbiosis dengan
akar tanaman cabai merah besar yang sejalan
dengan pernyataan Solahuddin (1993) yang
menyatakan bahwa tanaman yang dikolonisasi
mikoriza akan memberikan pertumbuhan
yang lebih baik.
Widawati dan Sulisih (1999) menyatakan
bahwa
mikoriza
berperan
dalam
meningkatkan kapasitas tanaman dalam
menyerap unsur hara dan air. Selain itu,
Setiadi (1989) menambahkan bahwa mikoriza
juga mampu memperluas permukaan area
serapan unsur hara dan CO2 pada tanah-tanah
yang kurang subur (tanah marginal) serta
menyerap unsur hara P berbentuk terikat
menjadi tersedia bagi tanaman. Satrahidayat
(1999) mengungkapkan bahwa meningkatnya
penyerapan P akan diikuti oleh peningkatan
penyerapan unsur-unsur lain (chelator) baik
dalam bentuk kation (Kalsium (Ca++),
Magnesium (Mg++), Seng (Zn++), Besi (Fe++)
dan protein) maupun dalam bentuk terikat
seperti Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau occluded-P.
Hal ini karena P akan membentuk ATP
(Adenosin Triphospat) yang sangat berguna
untuk penyerapan hara mineral.
Tabel 3. Pengaruh interaksi FMA dan Nutrisi Organik terhadap luas daun tanaman cabai merah besar
(dm2) pada umur 20, 34, 48, 62 dan 76 HST.
Umur Tanaman
(HST)
20
34
Nutrisi Organik (ml L-1)
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
Dosis Fungi Mikoriza Arbuskula
0g
5 g tan-1 (M1)
10 g tan-1 (M2)
0)
2,458 b
2,420 a
2,689 bc
P
P
P
2,614 ab
2,667 a
2,661 c
P
P
P
2,972 a
2,581 a
3,486 a
QR
R
P
4,486 b
3,649 a
4,754 ab
P
Q
P
3,493 c
3,966 a
4,189 b
P
P
P
5,623 a
3,353 a
5,107 a
P
Q
p
tan-1 (M
UJBD
0,05
2=0,377
3=0,395
2=0,736
3=0,772
Vol. 3 No.3, 2013
48
0 mL L-1 (S0)
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula 136
8,187 b
6,032 c
7,358 b
2=1,076
P
Q
P
3=1,128
1 mL L-1 (S1)
6,046 c
8,325 a
9,374 a
Q
P
P
2 mL L-1 (S2)
10,364 c
7,101 bc
10,145 a
P
Q
P
-1
62
0 mL L (S0)
14,785 a
11,924 bc
14,042 ab
2=1,736
P
Q
p
3=1,820
1 mL L-1 (S1)
8,384 b
14,166 a
13,026 b
Q
P
P
2 mL L-1 (S2)
13,790 a
11,435 c
15,480 a
P
Q
p
76
0 mL L-1 (S0)
16,041 b
13,712 c
16,485 c
2=1,585
P
Q
P
3=1,663
1 mL L-1 (S1)
10,023 c
16,532 a
16,502 bc
Q
P
P
2 mL L-1 (S2)
19,488 a
14,659 bc
18,284 a
P
Q
P
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama (a-b) dan baris
yang sama (p-q) berbeda nyata padaUJBD 0,05
Tabel 4. Pengaruh interaksi FMA dan nutrisi organik terhadap indeks luas daun tanaman cabai merah
besar pada umur 20, 34, 48, 62 dan 76 HST.
Umur Tanaman
(HST)
20
34
48
62
76
Nutrisi Organik
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
Fungi Mikoriza Arbuskula
0 g tan-1
(M0)
0,051 b
P
0,054ab
P
0,062 a
Q
0,093 b
P
0,073 c
P
0,117 a
P
0,171 b
P
0,126 c
Q
0,216 a
P
0,308 a
P
0,175 b
Q
0,287 a
P
0,355 b
P
0,210 c
Q
0,403 a
5 g tan-1
(M1)
0,050 a
P
0,056 a
P
0,054 a
R
0,076 a
Q
0,083 a
P
0,070 b
Q
0,126 c
Q
0,173 a
P
0,148bc
Q
0,248 bc
Q
0,295 a
P
0,238 c
Q
0,275 c
Q
0,368 a
P
0,312 b
10 g tan-1
(M2)
0,056 bc
P
0,055 c
P
0,073 a
P
0,099 ab
P
0,087 b
P
0,106 a
P
0,153 c
P
0,195 b
P
0,211 a
P
0,293 ab
P
0,271 b
P
0,323 a
P
0,377 a
P
0,339 b
P
0,372 ab
UJBD 0,05
2= 0,008
3= 0,008
2= 0,015
3= 0,016
2= 0,022
3= 0,024
2= 0,036
3= 0,038
2= 0,033
3= 0,035
137 Arma et al.
J. Agroteknos
P
Q
P
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama (a-b) dan baris
yang sama (p-q) berbeda nyata padaUJBD 0,05
Tabel 5. Pengaruh interaksi FMA dan nutrisi organik terhadap nilai indeks panen tanaman cabai merah
besar
Nutrisi Organik
0 mL L-1 (S0)
1 mL L-1 (S1)
2 mL L-1 (S2)
Fungi Mikoriza Arbuskula
0g
5 g tan-1
10 g tan-1
(M0)
(M1)
(M2)
tan-1
2,924 b
Q
3,962 a
P
4,136 a
Q
3,551 a
P
3,857 a
P
3,410 a
R
3,446 bc
PQ
3,441 c
P
UJBD 0,05
2= 0,588
3= 0,616
5,436 a
P
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama (a-b) dan baris
yang sama (p-q) berbeda nyata padaUJBD 0,05
Luas Daun (dm2), Indeks Luas Daun dan
Indeks Panen Tanaman. Daun mempunyai
peranan yang penting dalam penyerapan
radiasi surya dan variasi pengaruhnya
terhadap pertumbuhan dapat dikaji
melalui indeks luas daun (Muhadjir, 1988
dalam Fermin, 2013). Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa kombinasi dosis
Nutrisi organik 2 mL L-1 (S2) pada FMA 10
g tan-1 (M2) berpengaruh sangat nyata
terhadap luas daun dan indeks luas daun
tanaman pada umur 34, 48, 62 dan 76
HST dan berpengaruh nyata pada umur 20
HST. Gardner et al., (1991) menyatakan
bahwa produksi dan perluasan daun yang
cepat dapat memaksimalkan penyerapan
cahaya dan asimilasi.
Luas daun dan ILD berkorelasi positif
dengan nilai indeks panen tanaman cabai
merah besar. Muhadjir (1988) dalam
Fermin, (2013) mengemukakan bahwa
agar diperoleh hasil panen yang tinggi,
tanaman
budidaya
harus
dapat
menghasilkan indeks luas daun yang
cukup dengan cepat untuk menyerap
sebagian besar cahaya guna mencapai
produksi berat kering maksimum.
Menurut Heddy (1987) dalam Fermin
(2013), indeks luas daun yang tinggi
biasanya akan meningkatkan proses
fotosintesis dan penyerapan unsur hara
serta hasil bahan kering tanaman sebagai
hasil fotosintesis yang tertimbun. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa perlakuan FMA 10 g
tan-1 dan nutrisi organik 2 mL L-1 (S2) baik
secara
interaksi
maupun
mandiri
berpengaruh nyata terhadap nilai indeks
panen tanaman cabai merah besar.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari
hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Interaksi FMA dan dosis nutrisi organik
yang terbaik pada perlakuan FMA 10 g tan1 dan dosis nutrisi organik 2 mL L-1 karena
dapat meningkatkan pertumbuhan luas
daun, indeks luas daun dan nilai indeks
panen tanaman cabai merah besar.
2. Perlakuan FMA terbaik pada dosis 10 g tan1
karena
dapat
meningkatkan
pertumbuhan tinggi tanaman cabai merah
besar.
3. Perlakuan dosis nutrisi organik terbaik
pada dosis 2 mL L-1 karena dapat
meningkatkan
pertumbuhan
tinggi
tanaman cabai merah.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut
mengenai pengaruh berbagai jenis FMA dan
nutrisi oeganik yang lebih tinggi dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai
Vol. 3 No.3, 2013
merah besar serta perlu adanya penambahan
pupuk NPK sebagai pupuk dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Anas.
I.,
1997.
Bioteknologi
Tanah.
Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan
Tanah. Fakultas Pertanian. IPB.
Ardian, D., 2009. Hormon Wong Tani. (Online),
(http://npkjagotani.com/produk-terlaris2/hormon-wong-tani/. Diakses tanggal 31
Januari 2012).
Aryulina, D., 2011. Fungsi hormon dan vitamin
bagi
tumbuhan.
(Online),
(http://artikelterbaru.com/pendidikan/fu
ngsi-hormon-dan-vitamin-untuktumbuhan-20111107.html. Diakses tanggal
31 Januari 2012).
Badan Pusat Statistik Indonesia,
2012.
Statistik Indonesia 2012. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2012. Sulawesi Tenggara dalam
Angka 2012. Kendari.
Erliana, 2006. Pengaruh Pemberian Pupuk
Kandang dan Periode Penyiraman terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Cabai Merah
(Capsicum annuum L.). Skripsi Sarjana,
Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo.
Kendari.
Fermin, uli., 2013. Pertumbuhan dan Produksi
Jagung (Zea mays L.) dan Kacang Tanah
(Arachis hypogaea L.) melalui Pemberian
Nutrisi Organik dan Waktu Tanam dalam
Sistem Tumpangsari. Skripsi Sarjana,
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.
Kendari.
Gardner. F., Breant Pearce dan roger L., 1991.
Fisisologi Tanaman Budidaya. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Hardjowigeno, H., 2003. Ilmu tanah.
Akademika Presindo, Jakarta.
Martin. 2000. Harper Review Chemistry.
California CBA. California.
Mulyati dan Sinwin, 2010.
Kontribusi
Pemanfaatan Pupuk Organik Kascing dan
Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan dan
Serapan
Fosfor
pada
Jagung.
(Online),(http://ajobiob.blogspot.com/06/lichenes-danmikoriza.html. Diakses tanggal 26 Januari
2012).
Sastrahidayat, I.R., 1995. Study rekayasa
tekhnologi
pupuk
hayati
mikoriza.
Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula 138
Setiadi, 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme
dalam Kehutanan. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB. Bogor.
Solahuddin. S., 1993. Pengaruh inokulasi VAM
rhizobium terhadap pertumbuhan dan
hasil kedelai. Majalah Ilmiah Universitas
Halu Oleo. Kendari.
Widawati, S. dan Sulisih, 1999. Status Jamur
Mikoriza Vesikular-Arbuskular dan Bakteri
Pelarut Fosfat pada Perakaran Beberapa
Tanaman dan Tanah dari Hutan Taman
Nasional
Bukit
Barisan
Selatan.
(Online),(http://ajobiob.blogspot.com/2009/06/lichenes-danmikoriza.html.Diakses tanggal 31 Januari
2012).
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 139-143
ISSN: 2087-7706
UJI POTENSI TRICHODERMA INDIGENOUS SULAWESI TENGGARA
SEBAGAI BIOFUNGISIDA TERHADAP Phytophthora capsici SECARA INVITRO
In-vitro Potential test of Trichoderma indigenous Sulawesi Southeast
As Biofungicide Against Phytophthora capsici
GUSNAWATY HS, ASNIAH*, MUHAMMAD TAUFIK, FAULIKA
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
This research was conducted in the Laboratory of Plant Pest and Disease, Department
of Agrotecnologi, Faculty of Agriculture, Halu Oleo University Kendari, from May to August
2013. This study aimed to evaluate potential Trichoderma isolates indigeneous Southeast
Sulawesi as biofungicide against Phytophthora capsici and Fusarium oxysporum in-vitro. The
potential inhibitory test used multiple testing methods on PDA medium. The research design
was a completely randomized design (CRD) consisting of 11 treatments (trichoderma
isolates) with three replications. Variables measured were the inhibition of trichoderma
indigeneous on the growth of P. capsici and F. oxysporum. Results of the experiment showed
that the trichoderma isolates were potential as biofungicide of P. capsici and F. oxysporum
because they were able to inhibit the growth of pathogens in-vitro. All trichoderma isolates
tested had the same potential as biofungicide against P. capsici, and isolate DKT, BPS, LKA,
ASL, LTB, APS, DPA, LKO and DKP has the best potential as biofungicide against pathogenic F.
oxysporum in-vitro.
Keywords: F. oxysporum, inhibitory, indigenous of Southeast Sulawesi, P. capsici,
trichoderma
1PENDAHULUAN
Phytophthora capsici merupakan patogen
penting yang seringkali menginfeksi tanaman
lada di Sulawesi Tenggara. P. capsici
merupakan penyebab busuk pangkal batang
(BPB) pada tanaman lada. Kerusakan
tanaman lada akibat penyakit BPB di
Sulawesi Tenggara tahun 2011 berkisar
antara 487.60 Ha dari total tanaman lada
Sulawesi Tenggara berkisar 11.683 Ha (Dinas
Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi
Tenggara, 2012).
Metode pengendalian yang sering dilakukan
oleh para petani yaitu penggunaan bahan
pestisida sintetik yang melebihi dosis
anjuran dan digunakan secara terus-menerus
sehingga mengakibatkan akumulasi pestisida
tinggi sehingga menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan. Untuk itu, alternatif
pengendalian yang ditawarkan adalah
*) Alamat Korespondensi:
E-mail: [email protected]
penggunaan agens hayati lokal Sulawesi
Tengara berupa trichoderma indigenous
yang telah beradaptasi dengan lingkungan
asalnya dan tidak menimbulkan efek negatif
bagi manusia sehingga dapat menjadi
pengendali hayati yang efektif di daerahnya.
Ernawanti (2003) menyatakan bahwa
pengendalian hayati bersifat spesifik lokal,
yaitu mikroorganisme antagonis yang
terdapat di suatu daerah hanya akan
memberikan hasil yang baik di daerah
asalnya.
Mekanisme agens antagonis cendawan
Trichoderma sp. terhadap patogen adalah
kompetisi, mikoparasit dan antibiosis selain
itu cendawan Trichoderma sp. juga memiliki
beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi,
daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan
cepat pada berbagai substrat, memiliki
kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak
bersifat patogen pada tanaman (Arwiyanto,
2003). Beberapa hasil penelitian dilaporkan
bahwa Trichoderma sp. dapat mengendalikan
Vol. 3 No.3, 2013
Uji Potensi Trichoderma Indigenous
patogen pada berbagai komoditas tanaman
diantaranya P. infestan penyebab penyakit
busuk daun dan umbi kentang (Purwantisari,
2009). Pythium sp. penyebab penyakit rebah
kecambah pada bibit durian (Octriana, 2011)
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu
dilakukan penelitian tentang uji potensi
trichoderma indigenous Sulawesi Tenggara
sebagai biofungisida terhadap P. capsici asal
tanaman lada secara in-vitro.
METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) terdiri dari 11 isolat trichoderma
indigenous Sulawesi Tengara yaitu: isolat
DKT (P1T1), isolat BPS (P1T2), isolat LKA
(P1T3), isoat ASL (P1T4), isolat LTB (P1T5),
isolat APS (P1T6), isolat LPS (P1T7), isolat LKP
(P1T8), isolat DPA (P1T9), isolat LKO (P1T10)
dan isolat DKP (P1T11) ke-11 kombinasi
perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga
terdapat 33 unit percobaan.
Pengambilan Sampel Tanaman Terinfeksi
Patogen. Sampel tanaman yang terinfeksi
patogen P. capsici yang diambil yaitu berupa
daun, batang dan akar yang masih belum
bergejala lanjut yaitu antara bagian tanaman
yang telah terinfeksi dan bagain tanaman
yang masih segar kemudian dimasukkan
dalam kantong plastik agar terjaga
kelembabannya sampai akan digunakan.
Sampel yang terinfeksi patogen tersebut
harus segera diisolasi untuk menghindari
kontaminasi mikroba lain selain patogen
yang diinginkan.
Isolasi
Cendawan
Patogen.
Isolasi
cendawan patogen P. capsici dilakukan
dengan cara mengisolasi bagian tanaman
yang terinfeksi patogen .Apabila telah
terdapat isolat yang kita inginkan kemudian
dimurnikan hingga mendapatkan betul-betul
isolat yang diharapkan sesuai dengan
identifikasi
menurut
Alexopoulos
et
al.,(1996).
Peremajaan
Isolat
Trichoderma.
Peremajaan
isolat
Trichoderma
spp.
dilakukan dengan cara menumbuhkan
kembali isolat tersebut dimedia PDA yang
baru kemudian diingkubasi selama tujuh hari
hingga siap untuk dilakukan pengujian.
Uji Daya Hambat Cendawan Trichoderma
spp. terhadap P. Capsici. Pengujian daya
hambat
cendawan
Trichoderma
spp.
terhadap P. capsici dilakukan menggunakan
metode Uji Ganda pada media PDA. Satu
potong koloni isolat Trichoderma spp. dan
patogen yang berumur 7 hari ditumbuhkan
bersamaan pada media PDA dengan jarak 3
cm yang di letakkan secara berlawanan
dalam cawan petri yang berukuran 9 cm.
Masing-masing isolat cendawan Trichoderma
spp. Persentase penghambatan (P) dihitung
sebagai berikut:
P= (R1 –
R2)/R1X100%,
dimana
P=
Persentase
penghambatan, R1= jari-jari pertumbuhan
patogen ke arah tepi cawan petri, dan R2=jari-jari
pertumbuhan patogen ke arah cendawan
Trichoderma spp.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Daya Hambat Trichoderma spp.
terhadap P. capsici.
Tabel 1. Daya hambat (%) isolat Trichoderma spp. terhadap P. capsici
Perlakuan
P1T1
P1T2
P1T3
P1T4
P1T5
P1T6
P1T7
P1T8
P1T9
P1T10
P1T11
1
16,67
13,89
11,11
16,24
8,84
8,58
11,36
13,89
8,84
8,33
15,02
140
Persentase Daya Hambat pada Pengamatan ke......HSI
2
3
4
5
6
41,64 a
59,56
65,00
65,00
65,00
ab
25,16
42,01
56,67
56,67
56,67
22,33 ab
42,93
53,37
53,37
53,37
35,84 ab
52,52
58,89
58,89
58,89
38,52 a
51,05
59,00
59,00
59,00
ab
25,59
45,33
53,33
53,33
53,33
32,55 ab
47,71
57,78
57,78
57,78
15,58 b
39,37
48,89
48,89
48,89
a
37,12
54,00
62,22
62,22
62,22
28,39 ab
46,50
54,60
54,60
54,60
ab
40,79
57,10
61,11
61,11
61,11
7
65,00
56,67
53,37
58,89
59,00
53,33
57,78
48,89
62,22
54,60
61,11
141
Gusnawaty et al.
J. Agroteknos
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
persentase
daya
hambat
11
isolat
Trichoderma spp. terhadap P. capsici
berpengaruh tidak nyata pada pengamatan 1
HSI, 3 HSI, 4 HSI, 5 HSI, 6 HSI dan 7 HSI dan
berpengaruh nyata pada 2 HSI. Histogram
yang menunjukan perbedaan yang nyata
pada pengamatan 2 HSI disajikan sebagai
berikut:
Gambar 1.
Histogram daya hambat Trichoderma
spp. terhadap P. capsici 2 HSI secara invitro.
Gambar 1. Menunjukan bahwa perlakuan
P1T1 yang merupakan Trichoderma spp. isolat
DKT yang memiliki daya hambat tertinggi
dibanding perlakuan lainnya pada 2 HSI yaitu
sebesar 41,64% dan yang terendah
diperlihatkan oleh perlakuan P1T8 yang
merupakan trichoderma isolat LKP yaitu
sebesar 9,91%. Seperti halnya dengan
pengamatan 2 HSI, pengamatan yang lain
juga memperlihatkan bahwa isolat DKT yang
memilki nilai penghambatan tertinggi
terhadap P. capsici namun tidak berbeda
dngan
pengamatan
lainnya
hingga
pengamatan akhir oleh karena itu dianggap
bahwa semua isolat trichoderma berpotensi
sebagai biofungisida terhadap P. capsici
secara in-vitro
Phytophthora capsici penyebab Busuk
Pangkal Batang (BPB) merupakan patogen
tular tanah yang sering menginfeksi
pertanaman lada di Sulawesi Tenggara.
Solusi pengendaliaan yang lebih efektif dan
ramah lingkungan dalam mengendalikan
kedua patogen tersebut, salah satunya adalah
penggunaan
agens
hayati
seperti
trichoderma indigenous. Trichoderma spp.
merupakan salah satu cendawan tanah yang
bersifat saprofit dan antagonis pada
cendawan patogen misalnya, P. infestan
penyebab penyakit busuk daun dan umbi
kentang (Purwantisari, 2009), Pythium sp.
penyebab penyakit rebah kecambah pada
bibit durian (Octriana, 2011) dan F.
oxysporum penyebab penyakit layu pada
tanaman tomat (Taufik, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan uji antagonis
Trichodrma spp. terhadap P. capsici
memperlihatkan bahwa pertumbuhan jarijari koloni patogen kearah titik tengah
medium PDA lebih lambat dibanding
pertumbuhan Trichoderma spp. Purwantisari
dan Hastuti (2009) menyatakan bahwa
Trichoderma sp. merupakan jenis yang
potensial untuk pengendalian penyakit
secara hayati. Hasil penelitian yang telah
dilakukan mendukung pendapat tersebut
dimana ke-11 isolat Trichoderma spp. yang
diuji mampu menghambat pertumbuhan P.
capsici di medium PDA secara in-vitro.
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat
bahwa semua isolat Trichoderma spp. yang
diujikan memiliki kemampuan dalam
menekan pertumbuhan patogen uji (Tabel 1).
Hal ini mengindikasikan Trichoderma spp.
indigenous Sulawesi Tenggara mampu
memanfaatkan nutrisi, ruang, serta diduga
mampu menghasilkan senyawa antibiosis
dan memarasit cendawan patogen yang
menyebabkan terhambatnya perkembangan
patogen.
Trichoderma spp. yang diuji memiliki
perbedaan kemampuan dalam melakukan
aktivitas penghambatan terhadap P. capsici.
Perbedaan
tersebut
diduga
karena
perbedaan
karakter
setiap
isolat
Trichoderma spp. yang berkaitan dengan
kecepatan pertumbuhannya pada medium
serta mekanisme dalam aktivitas daya
hambatnya terhadap P. capsici (Tabel 1).
Menurut Djafaruddin (2000) faktor penting
yang menentukan aktivitas mikroorganisme
antagonis untuk megendalikan patogen
adalah memiliki kecepatan pertumbuhan
yang tinggi sehingga mampu berkompetisi
Vol. 3 No.3, 2013
dengan patogen dalam hal penguasaan ruang
dan makanan yang pada akhirnya dapat
menekan pertumbuhan cendawan patogen.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan
menunjukan semua isolat Trichoderma spp.
yang diujikan terhadap P. capsici, rata-rata
dapat menghambat pertumbuhan pada
pengamatan 2 HSI ditandai dengan koloni
cendawan patogen maupun agens antagonis
saling mendekat dan terbentuk zona
penghambatan. Zona penghambatan ini tidak
tetap selama pengamatan hal ini dikarenakan
ke-11 isolat Trichoderma spp. masih aktif
dalam melakukan aktivitas penghambatan.
Mekanisme penghambatan dari ke-11 isolat
Trichoderma spp. terhadap Phytophthora
capsici secara umum berupa kompetisi ruang
dan mikoparasit (Tabel 4.) menurut
Purwantisari dan hastuti (2009) bahwa
cendawan yang tumbuh cepat mampu
mengungguli dalam penguasaan ruang dan
pada akhirnya bisa menekan pertumbuhan
cendawan
lawannya. Selain mekanisme
kompetisi ruang, ke-11 isolat tersebut juga
diduga dapat menghambat patogen melalui
mekanisme antibiosis yang ditandai dengan
menipisnya koloni patogen karena enzim
yang dihasilkan, Fravel (1988) dalam
Achmad et al. (2011) menyatakan bahwa
antibiosis
adalah
antagonisme
yang
diperantarai oleh metabolit spesifik atau non
spesifik, enzim, senyawa volatil, atau zat
beracun (toksin) lainnya yang dihasilkan oleh
mikroba.
Hasil penelitian memperlihatkan semua
isolat trichoderma indigenous Sulawei
Tenggara memiliki kemampuan yang sama
dari hasil analisis ragam dalam menekan
pertumbuhan patogen P. capsici. Nilai
penghambatan Trichoderma spp. terhadap P.
capsici diakhir pengamatan berturut-turut
yaitu isolat DKT sebesar 65,00%, DPA
sebesar 62,22%, DKP sebesar 61,11%, LTB
sebesar 59,00%, ASL sebesar 58,89%, LPS
sebesar 57,78%, BPS sebesar 56,67%, LKO
sebesar 54,60% LKA sebesar 53,37%, APS
sebesar 53,33% dan LKP sebesar 48,89%,
rata-rata isolat trichoderma memperlihatkan
dapat menghambat P. caspici di atas 40% hal
ini mengindikasikan semua isolat efektif
Uji Potensi Trichoderma Indigenous
142
sebagai biofungisida terhadap P. capsici
secara in-vitro.
Semua isolat trichoderma yang diujikan
dapat menghambat P. capsici karena memiliki
mekanisme berupa kompetisi ruang yang
cepat dibanding patogen hal ini ditandai
dengan terhambatnya pertumbuhan patogen
pada pengamatan 2 HSI selanjutnya setelah
isolat tersebut mengkolonisasi ruang tumbuh
mekanisme antagonis selanjutnya yang
dihasilkan adalah mekanisme mikoparasit
yaitu proses memarasit cendawan patogen
dimana koloni cendawan P. capsici ditumbuhi
oleh koloni Trichoderma spp. pada medium
PDA hal ini diduga terjadinya pelilitan hifa
pada pertemuan hifa patogen dengan
antagonisnya. Djaya (2003) melaporkan
bahwa Ketika mikoparasit itu mencapai
inangnya, hifanya kemudian membelit atau
menghimpit hifa inang tersebut dengan
membentuk struktur seperti kait (hook-like
structure) kemudian menyerap nutrisi
inangnya.
Mekanisme antagonis lain yang diduga
dihasilkan
oleh
trichoderma
dalam
menghambat P. capsici berupa antibiosis
dimana
isolat
tersebut
kemungkinan
menghasilkan enzim selulase sehingga
dinding sel patogen P. capsici menjadi lisis
yang ditandai dengan menipisnya koloni P.
capsici hal ini didukung oleh pernyataan
Salma
dan
Gunarto
(1999) bahwa
Trichoderma sp. mampu menghasilkan enzim
selulase untuk mendegradasi
selulosa.
Selulosa merupakan komponen utama
penyusun dinding sel cendawan P. capsici.
SIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan pembahasan
maka dapat disimpulkan bahwa Semua isolat
trichoderma indigenous Sulawesi Tenggara
yang
diujikan
berpotensi
sebagai
biofungisida terhadap P. capsici secara invitro dengan persentase penghambatan
tertinggi dimiliki oleh isolat P1T1 yakni 65 %
pada 4 HSI.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C.J., C.W ., Mims dan M.,Blackwell, 1996.
Introductory Mycology. John Wiley dan Sons, Inc.
Canada America.
143
Gusnawaty et al.
Arwiyanto.T, 2003. Pengendalian hayati penyakit layu
bakteri tembakau. Jurnal perlindungan tanaman
Indonesia, 3(1): 54-60.
Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, 2012.
Statistik Perkebunan Provinsi Sulawesi Souteast.
Djaenuddin .N, 2011. Bioekologi penyakit layu
fusarium (Fusarium oxysforum).
Prosiding
Seminar dan Pertemuan xxi PEI. PFI Komda Sulsel
dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulsel.
Makassar.
Erwanti, 2003. Potensi Mikroorganisme Tanah
Antagonis
Untuk Menekan Pseudomonas
sollanacearum pada Tanaman Pisang. Secara in
vitro di Pulau Lombok. Makalah Falsafah Sains
Program
Pasca
Sarjana
(S3).
(Tidak
dipublikasikan)
Gultom, J.M., 2008. Pengaruh Pemberian Beberapa
Jamur Antagonis dengan Berbagai Tingkat
Konsentrasi Untuk Menekan Perkembangan Jamur
Phytium sp. Penyebab Rebah Kecambah pada
Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.).
Diakses 10 Maret 2013.
Hindayana .D, 2002. Musuh Alami Hama dan Penyakit
Tanaman Lada. Deptan. Jakarta.
Jamilah. R, 2011. Potensi Trichoderma harzianum
(T38) dan Trichoderma pseudokoningii (T39)
sebagai Antagonis Terhadap Ganoderma sp.
Penyebab Penyakit Akar Pada Pohon Sengon
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.). Skripsi
Sarjana.
Departemen
Silvikultur.
Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian. Bogor. (Tidak
dipublikasikan).
Kethan. S.k., 2001. Mikrobial Pest Kontrol. Macel
Delker. Inc. New York.
Manohara, D dan Nurheru, 2007. Hama dan penyakit
utama tanaman lada dan pengendaliannya. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri.
Jurnal
Warta
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian, 29(4): 5-6.
Mulya, K., R. Noveriza, D. Manohara. 2003. Efikasi In
Vivo Pelet Erwinia BST4 dan Trichoderma
harzianum
Blt1
dalam
Menekan
Infeksi
Phytophthora capsici pada Lada. Bull Peneliti TRO
12:1-6.
Octriana.L, 2011. Potensi agen hayati dalam
menghambat pertumbuhan Phytium sp. secara in
vitro. Buletin Plasma Nutfah, 17(2): 7-9.
Purwantisari. P. dan R.B. Hastuti, 2009. Uji
antagonisme jamur patogen Phytophthora infestans
penyebab penyakit busuk daun dan umbi tanaman
kentang dengan menggunakan Trichoderma spp.
isolat lokal. Jurnal BIOMA, 11(1): 24-32.
Salma. S. Dan L. Gunarto, 1999 Enzim selulase dari
Trichoderma spp. Buletin Agribio. Balai Penelitian
Bioteknolgi Tanaman Pangan, 2(2)
Semangun, H. 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman
Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Sudanta, i. M., i. M. Kesratarta, i. Sudana. Uji
antagonisme beberapa jenis jamur saprofit
J. Agroteknos
terhadap Jamur fusarium oxysporum f. Sp. Cubense
penyebab penyakit layu Pada tanaman pisang serta
potensinya Sebagai agens pengurai serasah.
UNRAM. NTB.
Setiyono,R.T., 2009. Perakitan lada hibrida tahan
terhadap penyakit busuk pangkal batang. Jurnal
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, 15(2): 19-20.
Taufik, M., 2011. Aplikasi rizobakteri dan trichoderma
spp. Terhadap pertumbuhan tanaman dan kejadian
penyakit busuk pangkal batang dan kuning Pada
tanaman lada (piper nigrum l.). Prosiding Seminar
dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda
Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 144-151
ISSN: 2087-7706
EFEKTIVITAS LIMBAH CAIR PERTANIAN SEBAGAI MEDIA
PERBANYAKAN DAN FORMULASI Bacillus subtilis SEBAGAI AGENS
HAYATI PATOGEN TANAMAN
Effectivity of Agricultural Waste as Media Propagation and
Formulation of Bacillus subtilis As Biological Agents of Plant
Pathogens
ANDI KHAERUNI*), ASRIANTI, ABDUL RAHMAN
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
This study aimed to find the best medium for formulation and storage of B. subtilis.
The study consisted of two phases: (1) Selection of agricultural wastes as a propagation
medium for Bacillus subtilis, (2) test for the stability of Bacillus subtilis in material
formulation and its inhibition activity against Rhizoctonia solani. The second phase was
conducted based on completely randomized design, consisting of five treatments, namely:
100 % medium synthetic, 100% coconut water, 75% coconut water + 25 % synthetic
medium, 50% coconut water + 50% synthetic medium and 25% coconut water + 75%
synthetic medium. Each treatment was repeated three times, so that there were 15
experimental units. B. subtilis ST21e isolate was formulated in liquid medium according to
treatment and kept in plastic container at room temperature for 8 weeks to count the
number of colonies and inhibition activity every 2 weeks. The results showed that the
agricultural wastes (coconut water, tofu water and molasses) can be used as a media for B.
subtilis ST21e propogation in different cell growth pattern. B. subtilis propogation in
medium coconut water + 10% TSB had the best growth pattern compared to the other
media. On the other hand, medium containing 25% coconut water + 75% synthetic medium
was the best combination for storage medium of B. subtilis ST21e.
Key words: biological agents, Bacillus subtilis, agricultural waste
1PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan, teknologi di bidang
pertanian, termasuk pengendalian penyakit
tanaman
juga
berkembang
dengan
cepat, namun
perkembangannya
masih
terfokus pada pengendalian secara kimiawi
yaitu
penggunaan
pestisida
sintetik.
Ketergantungan terhadap
pestisida ini
karena
penggunannya
praktis
dan
cepat. Namun
disisi
lain
penggunaan
pestisida
sintetik
belum
mampu
menyelesaikan masalah penyakit tanaman,
malah sering menimbulkan masalah-masalah
baru,
seperti
terjadinya
kerusakan
*) Alamat Korespondensi:
E-mail: [email protected]
lingkungan disamping dapat menginduksi
patogen menjadi resisten terhadap pestisida
yang digunakan. Oleh karena itu diperlukan
alternatif yang ramah lingkungan yaitu
berupa pengendalian hayati sehingga
mengurangi penggunaan pestisida sintetik.
Bacillus subtilis merupakan salah satu
bakteri yang banyak dikembangkan sebagai
agens hayati untuk mengendalikan patogen
tanaman. B. subtilis termasuk bakteri gram
positif, berbentuk batang, dapat tumbuh pada
kondisi aerob dan anaerob. Bakteri tersebut
dapat membentuk endospora dan dapat
bertahan hidup dalam waktu yang lama pada
kondisi
lingkungan
yang
tidak
menguntungkan untuk pertumbuhannya
(Woitke, 2004).
Bacillus subtilis ST21e dilaporkan mampu
menghambat
perkembangan
patogen
Vol. 3 No.3, 2013
Fusarium oxysporum, Sclerotium rolfsii,
Phytopthora capsici dan Rhizoctonia solani
secara in-vitro (Khaeruni et al., 2010a) dan
secara in-vivo mampu menghambat penyakit
layu Fusarium pada tomat (Khaeruni et al.
2010b); penyakit busuk batang Rhizoctonia
pada kedelai (Khaeruni et. al, 2012); dan
penyakit busuk akar Sklerotium pada kedelai
(Nengtias et. al, 2012), sehingga sangat
potensial dikembangkan sebagai agens hayati
patogen tanaman.
Bacillus subtilis merupakan bakteri
saprofit yang mampu bertahan dan
berkembang biak pada sisa-sisa bahan
organik. Berdasarkan sifat tersebut sehingga
bakteri ini dapat ditumbuhkan dan
diperbanyak pada limbah organik cair yang
tersedia melimpah di masyarakat seperti
limbah air kelapa, air tahu
dan molase.
Giyanto et. al. (2009) menyatakan bahwa
limbah cair organik sangat berpotensi
sebagai media perbanyakan agens hayati
karena mengandung komposisi nutrisi yang
baik untuk pertumbuhan mikroba seperti
karbohidrat, protein, air, asam amino, lemak,
garam-garam mineral dan nutrisi lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tentang potensi
limbah cair pertanian
seperti : air tahu, air kelapa dan molase
sebagai media perbanyakan dan formulasi B.
subtilis sebagai agens hayati.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini
bertempat di Laboratorium Agroteknologi Unit
Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas
Pertanian Universitas Halu Oleo Kampus Bumi
Tridharma Kendari yang dilaksanakan pada
bulan Maret sampai dengan bulan September
2013.
Bahan. Bahan-bahan digunakan dalam
penelitian ini adalah limbah air kelapa, air tahu,
molase, Bacillus subtilis ST21e (koleksi
Laboratorium IHPT), cendawan Rhizoctonia
solani, akuades, media Tryptic Soy Broth (TSB,
media Tryptic Soy Agar (TSA), media Potato
Dextrose Agar (PDA), agar-agar, alkohol 70%,
spritus dan media sintetik (Protease pepton dan
MgSO4).
Rancangan Penelitian. Rancangan penelitian
hanya dilakukan pada tahap uji stabilitas dan
penghambatan Bacillus subtilis ST21e secara in-
Efektivitas Limbah Cair Pertanian
145
vitro dalam bahan formulasi. Tahapan ini
dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan tiga
kali ulangan sehingga terdapat 15 unit
percobaan. Perlakuan yang diuji sebagai media
pertumbuhan bakteri B. subtilis ST21e, yang
meliputi: A=100% Media sintetik, B= 100% Air
kelapa, C= 75% Air kelapa + 25% Media sintetik
(3:1 v/v), D= 50% Air kelapa + 50% Media
sintetik (1:1 v/v), dan E= 25% Air kelapa + 75%
Media sintetik (1:3 v/v).
Tahapan-tahapan pelaksanaan Penelitian:
Peremajaan isolat bakteri B. subtilis ST21e.
Strain bakteri Bacillus subtilis ST21e yang berasal
dari stok penyimpanan (larutan glyserol 15%)
dikultur ulang pada media TSA di dalam cawan
petri dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2 x
24 jam.
Penyediaan media perbanyakan limbah
cair pertanian dan inokulum B. subtilis ST21e.
Bahan
yang
digunakan
sebagai
media
perbanyakan B. subtilis
yaitu limbah cair
pertanian berupa: air kelapa dan air tahu segar
yang diambil masing-masing dari pasar
Mandonga Kendari dan tempat pengolahan tahu
di Konda Kab. Konawe Selatan, serta molase yang
dipesan dari industri gula di Kediri Jawa Timur.
Masing-masing limbah cair pertanian secara
terpisah dimasukkan dalam erlenmeyer ukuran
250 mL sebanyak 50 mL, lalu ditambahkan
dengan bahan-bahan kimia TSB 10%, selanjutnya
ditambahkan akuades sehingga mencapai
volume 200 mL. Campuran media tersebut
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit, setelah sterilisasi media
didinginkan dan siap digunakan sebagai media uji
pertumbuhan. Penyediaan inokulum B. subtilis
ST21e dilakukan dengan membuat suspensi B.
subtilis umur 48 jam dalam akuades steril
kemudian ditentukan nilai optical densitynya
(OD=1,00)
dengan
menggunakan
spektrofotometer
UV-VIS
pada
panjang
gelombang 550 nm.
Perbanyakan Bacillus subtilis ST21e dalam
media limbah cair pertanian. Sebanyak 10 mL
suspensi inokulum B. subtilis ST21e tersebut
dimasukkan ke dalam masing-masing media
perbanyakan yang berisi limbah cair pertanian
yang berbeda dan diinkubasi pada suhu ruang di
dalam shaker dengan kecepatan 200 rpm selama
48 jam untuk mengukur pertumbuhan bakteri
dan jumlah koloni bakteri. Perlakuan yang diuji
adalah media limbah cair pertanian yang terdiri
dari : Media limbah air kelapa + 10% TSB; Media
146
Khaeruni et al.
limbah air tahu + 10% TSB; Media molase + 10%
TSB; dan 4. TSB 100%.
Uji Stabilitas dan Penghambatan B. subtilis
ST21e dalam Bahan Formulasi
Uji stabilitas B. subtilis ST21e dalam bahan
formulasi. Pada tahapan ini digunakan limbah
air kelapa sebagai media formulasi (hasil terbaik
pada tahap penelitian I). Kultur bakteri B. subtilis
ST21e yang berumur 48 jam disuspensikan
dengan akuades steril hingga mencapai
kerapatan sel 10-10 CFU/mL. Sebanyak 40 mL
suspensi bakteri ditambahkan ke dalam media air
kelapa hingga volume akhir mencapai 200 mL,
lalu disimpan dalam jerigen plastik volume 250
mL dan diletakkan pada suhu ruang sesuai
dengan rancangan percobaan yang digunakan,
untuk dihitung perkembangan bakteri antagonis
B. subtilis dan daya hambatnya setiap 2 minggu
selama 2 bulan penyimpanan.
Uji daya hambat B. subtilis ST21e secara invitro setelah penyimpanan dalam bahan
formulasi. Untuk mengetahui pengaruh bahan
formulasi terhadap aktivitas penghambatan
bakteri B. subtilis ST21e selama penyimpanan 2
bulan, maka dilakukan uji daya hambat terhadap
patogen Rhizoctonia solani dengan metode uji
ganda. Bacillus subtilis yang diisolasi dari setiap
perlakuan pada setiap waktu pengamatan
diremajakan pada media TSA. Masing-masing
isolat B. subtilis yang diuji digoreskan memanjang
pada media PDA dengan jarak 3 cm dari tepi
cawan, lalu diinkubasi pada suhu ruang.
Potongan medium PDA padat dengan diameter
0,5 cm yang ditumbuhi hifa R. solani digunakan
sebagai inokulum dan diinfestasi pada cawan
petri yang berisi medium PDA yang sebelumnya
telah diinokulasikaan bakteri antagonis B. subtilis
umur 24 jam secara berlawanan dengan jarak 3
cm. Setiap isolat agens antagonis B. subtilis dari
perlakuan yang berbeda diulang 3 kali. Kultur
kembali diinkubasi dalam ruang bersuhu 260280C selama 3 hari untuk dilakukan pengamatan
daya hambat agens antagonis terhadap patogen
uji.
Variabel Penelitian. Variabel penelitian
yang diamati pada penelitian ini yaitu :
1. Kerapatan sel bakteri B. subtilis ST21e dalam
media cair, dihitung dengan cara: diukur
berdasarkan nilai absorbansi (Optical
Density) dengan alat spektrofotomer UV-VIS
pada panjang gelombang 550 nm pada pada
umur 5 jam, 10 jam, 15 jam, 20 jam dan 25
jam pertumbuhan,
J. Agroteknos
2. Jumlah koloni (log CFU/mL) B. subtilis ST21e
pada media perbanyakan pada umur 48 jam.
Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan
pembiakan pada media TSA melalui metode
pengenceran berseri. Jumlah koloni yang
tumbuh selanjutnya dikonversikan ke dalam
bentuk log CFU/mL,
3. Jumlah koloni B. subtilis ST21e pada media
formulasi air kelapa pada umur 2, 4, 6 dan 8
minggu. Bahan formulasi terlebih dahulu
dihomogenkan dengan cara mengocok hingga
tercampur secara merata, lalu diambil
sebanyak 1 mL bahan formulasi dan
diencerkan ke dalam air steril hingga
mencapai
pengenceran
10-10
lalu
ditumbuhkan pada media TSA dan diinkubasi
pada suhu ruang. Perhitungan jumlah koloni
(log CFU/mL) B. subtilis pada umur 2 hari
setelah inkubasi (HSI).
4. Daya hambat isolat B. subtilis ST21e terhadap
cendawan patogen (Rhizoctonia solani),
dilakukan pada umur 3 hari setelah uji
tantang
dengan
mengukur
jari-jari
pertumbuhan
patogen.
Rumus
untuk
mengetahui daya hambat bakteri terhadap
patogen uji menurut Nielsen et al. (1998)
adalah: DH = (R1 - R2) / R1 x 100%, dimana
DH = Daya hambat bakteri B. subtilis
terhadap patogen uji (%), R1 = Jari-jari
pertumbuhan patogen ke arah tepi cawan
(cm), dan R2 = Jari-jari pertumbuhan patogen
ke arah bakteri (cm).
Analisis Data. Data pada tahap pertama
dianalisis
secara
sederhana
dengan
membandingkan pola pertumbuhan B. subtilis
ST21e pada setiap jenis media cair yang
digunakan, sedangkan data hasil pengamatan
pada tahap kedua dianalisis menggunakan
analisis sidik ragam. Apabila terdapat pengaruh
nyata pada perlakuan maka dilakukan uji lanjut
menggunakan Uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai absorbansi (Optical Density) B.
subtilis ST21e dalam berbagai media
limbah cair. Hasil pengukuran absorbansi
pertumbuhan B. subtilis ST21e pada berbagai
media
cair limbah pertanian
pada
pengamatan 5 jam pertama hingga 25 jam
terakhir disajikan pada Tabel 1, sedangkan
pola pertumbuhannya disajikan pada
Gambar 2.
Tabel 1. Nilai absorbansi (OD) B. subtilis ST21e dalam berbagai media perlakuan
Vol. 3 No.3, 2013
No.
1.
2.
3.
4.
Efektivitas Limbah Cair Pertanian
Perlakuan
Limbah Pertanian
Air Kelapa + 10% TSB
Air Tahu + 10% TSB
Molase + 10% TSB
TSB 100%
5
0,041
0,047
0,041
0,275
147
Nilai OD pada Waktu Pengukuran (jam)
10
15
20
25
0,046
0,222
0,275
0,329
0,056
0,459
0,414
0,305
0,535
0,072
0,045
0,047
0,724
1,078
1,114
1,011
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan B. subtilis ST21e pada berbagai media cair
Hasil pengamatan Tabel 1 menunjukkan
bahwa pada dasarnya agens hayati B. subtilis
ST21e dapat tumbuh dan berkembang pada
berbagai media limbah cair pertanian seperti
air kelapa, air tahu dan molase, hal ini
ditandai dengan terjadinya peningkatan nilai
absorbansi kerapatan sel bakteri pada semua
media yang digunakan. Hasil pengukuran
kerapatan sel (OD) menunjukkan bahwa dari
awal pengamatan hingga diakhir pengamatan
pertumbuhan tertinggi bakteri terdapat pada
media cair berbahan kimia sintetik (TSB),
namun dari grafik pola pertumbuhan
menunjukkan bahwa kerapatan sel bakteri
dalam media TSB 100% mengalami
penurunan setelah pertumbuhan 20 jam, hal
yang sama terjadi pada media perbanyakan
limbah air tahu dan molase. Sebaliknya pada
media perbanyakan yang menggunakan air
kelapa + 10% media TSB, secara konsistensi
terus mengalami peningkatan pertumbuhan
yang baik hingga akhir pengamatan, dengan
nilai OD pada waktu pertumbuhan 5 jam
pertama hingga 25 jam berturut-turut 0,041;
0,046; 0,222; 0,275 dan 0,329.
Jumlah koloni pada berbagai media
limbah cair. Hasil perhitungan rata-rata
jumlah koloni B. subtilis ST21e dari berbagai
media limbah cair pada pengamatan umur
pertumbuhan 24 jam disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata jumlah koloni B. subtilis ST21e dari berbagai media cair pada umur 25 jam
No.
1
2
3
4
Media Pertumbuhan
Air Kelapa + 10% TSB
Air Tahu + 10% TSB
Molase + 10% TSB
TSB100%
Rata-rata hasil pengamatan pada Tabel 2
menunjukkan bahwa jumlah koloni B. subtilis
ST21e dalam berbagai media berkisar antara
log 15,04 sampai log 15,43 CFU/mL. Jumlah
koloni tertinggi didapatkan pada media
perbanyakan TSB 100% yaitu log 15,43
CFU/mL, namun nilai tersebut tidak jauh
Jumlah koloni
(log CFU/mL)
15,35
15,04
15,13
15,43
berbeda dengan jumlah koloni yang terdapat
pada perlakuan air kelapa + 10% TSB yaitu
log 15,35 CFU/mL. Berdasarkan kurva
pertumbuhan dan jumlah koloni B. subtilis
ST21e pada waktu pengamatan 25 jam,
didapatkan bahwa media limbah cair yang
terbaik sebagai media perbanyakan B. subtilis
148
Khaeruni et al.
J. Agroteknos
adalah media limbah air kelapa. Limbah
inilah yang selanjutnya digunakan sebagai
bahan formulasi pada tahap selanjutnya
(kedua).
Jumlah koloni Bacillus subtilis ST21e
dalam bahan formulasi air kelapa. Hasil uji
rataan jumlah koloni B. subtilis pada berbagai
perlakuan konsentrasi air kelapa pada
pengamatan minggu ke 2, 4, 6 dan 8 dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah koloni B. subtilis ST21e pada berbagai perlakuan konsentrasi media air kelapa
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
Perlakuan
(A) 100% MS
(B) 100% Air kelapa
(C) 75% Air kelapa + 25% MS
(D) 50% Air kelapa + 50% MS
(E) 25% Air kelapa + 75% MS
Rata-rata jumlah koloni (log CFU/mL) B. subtilis pada
penyimpanan minggu ke2
4
6
8
13,20a
12,57bc
12,17bc
12,08ab
12,58b
12,12c
11,51c
11,50b
13,38a
12,07c
10,90c
11,86b
a
ab
ab
13,11
12,95
13,08
12,58a
13,41a
13,31a
13,60a
12,50a
Keterangan: MS = Media sintetik. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata dalam uji BNT pada taraf kepercayaan 95%
Berdasarkan uji lanjut hasil pengamatan
pada Tabel 3, menunjukkan bahwa jumlah
koloni B. subtilis tertinggi pada umur 2
minggu setelah penyimpanan dalam bahan
formulasi
terlihat
pada
perlakuan
konsentrasi air kelapa 25% yaitu log 13,41
CFU/mL. Nilai tersebut berbeda tidak nyata
dengan perlakuan media air kelapa 50%,
75% dan 100% MS, namun berbeda nyata
dengan perlakuan konsentrasi air kelapa
100%. Rata-rata jumlah koloni B. subtilis
pada umur 4 dan 6 minggu setelah
penyimpanan jumlah koloni tertinggi
diperlihatkan pada perlakuan air kelapa
konsentrasi 25% yaitu log 13,31 CFU/mL dan
log 13,60 CFU/mL, kedua nilai tersebut
berbeda tidak nyata dengan perlakuan air
kelapa konsentrasi 50%, namun berbeda
nyata terhadap perlakuan
lainnya.
Sementara pada umur 8 minggu jumlah
koloni bakteri tertinggi tetap ditunjukkan
pada perlakuan air kelapa konsentrasi 50%
yaitu log 12,58 CFU/mL.
Persentase Daya Hambat Bacillus
subtilis ST21e terhadap Rhizoctonia
solani. Hasil rataan daya hambat B. subtilis
pada berbagai perlakuan konsentrasi air
kelapa pada pengamatan minggu ke 2, 4, 6
dan 8 setelah penyimpanan dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 4. Daya hambat B. subtilis ST21e terhadap patogen Rhizoctonia solani pada pengamatan 2 sampai 8
minggu setelah masa penyimpanan.
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
Perlakuan
(A) 100% MS
(B) 100% Air kelapa
(C) 75% air kelapa + 25% MS
(D) 50% air kelapa + 50% MS
(E) 25% air kelapa + 75% MS
Rata-rata daya hambat B. subtilis (%) pada
penyimpanan minggu ke2
4
6
8
c
tn
a
47,41
46,66
60,74
11,11c
62,96a
48,89 tn
53,33a
17,04c
bc
tn
a
54,07
39,26
59,26
48,15ab
57,04ab
51,11 tn
48,15a
52,59a
ab
tn
b
56,30
38,52
17,78
40,00ab
Keterangan: MS = Media sintetik. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata dalam uji BNT pada taraf kepercayaan 95%
Hasil pengamatan pada Tabel 4,
menunjukkan bahwa B. subtilis ST212e
dalam
penyimpanan
pada
berbagai
konsentrasi limbah kelapa masih memiliki
daya hambat terhadap R. solani hingga akhir
pengamatan
(8
minggu
setelah
penyimpanan), dengan persentase daya
hambat yang berbeda-beda. Perlakuan yang
memperlihatkan konsistensi daya hambat
yang relatif stabil dengan aktivitas daya
Vol. 3 No.3, 2013
hambat di atas 40% ialah perlakuan dengan
media penyimpanan air kelapa 50% .
Perlakuan ini juga memperlihatkan daya
hambat tertinggi pada masa penyimpanan 8
minggu yaitu 52,59% yang berbeda nyata
dengan perlakuan MS 100% dan media air
kelapa 100%, namun berbeda tidak nyata
dengan konsentrasi air kelapa 25% dan 75%.
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa pola pertumbuhan B.
subtilis ST21e pada setiap media biakan yang
digunakan menghasilkan kerapatan sel (OD)
yang berbeda-beda. Perbedaan kerapatan sel
pada
masing-masing
media
diduga
disebabkan oleh perbedaan
kandungan
nutrisi pada media tersebut, baik dari segi
kuantitas maupun kualitasnya. Menurut
Giyanto et al. (2009) salah satu faktor
penting yang mempengaruhi pertumbuhan
bakteri selain kondisi untuk pertumbuhan
seperti suhu, pH, kadar air, aerasi dan agitasi,
juga sangat ditentukan oleh kandungan
nutrisi media perbanyakannya.
Pada Tabel 1 dan Gambar 2 dapat dilihat
bahwa dari tiga jenis limbah pertanian yang
digunakan, yang terbaik digunakan sebagai
media perbanyakan dan penyimpanan B.
subtilis ST21e adalah media air kelapa +
10% TSB, media cair ini menunjukkan
konsistensi peningkatan pertumbuhan hal ini
diperlihatkan dengan nilai OD pada selama
masa pertumbuhan 25 jam, sementara media
yang mengandung air tahu dan molase hanya
memperlihatkan peningkatan OD pada awal
pertumbuhan, penurunan nilai OD pada
media air tahu mulai terjadi setelah 15 jam
pertumbuhan, sedangkan pada media molase
terjadi setelah 10 jam pertumbuhan. Hasil ini
semakin diperkuat dari hasil perhitungan
populasi B. subtilis diakhir pengamatan yang
menunjukkan jumlah koloni pada media air
kelapa + 10% TSB, cenderung lebih tinggi
yaitu berkisar pada nilai log 15,35 CFU/mL
setelah media TSB 100%, sementara populasi
pada media TSB 100% setara dengan log
15,43 CFU/mL, suatu perbedaan nilai yang
tidak signifikan. Peningkatan jumlah bakteri
dalam media air kelapa + 10% TSB diduga
karena
kandungan
nutrisi
untuk
pertumbuhan bakteri tersedia cukup banyak,
dimana sumber nutrisi ini berasal dari air
Efektivitas Limbah Cair Pertanian
149
kelapa dan media TSB. Menurut Vigliar et al.
(2006) air kelapa mempunyai komposisi
nutrisi yang lengkap berupa 95,5% air; 4%
karbohidrat; 0,1% lemak; 0,02% kalsium;
0,01% fosfor; 0,5% besi, asam amino, vitamin
C, vitamin B kompleks dan garam-garam
mineral. Kandungan nutrisi yang lengkap
pada air kelapa menyebabkan pertumbuhan
populasi/jumlah koloni B. subtilis cukup baik
dan
stabil
selama
dalam
proses
penyimpanan.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
penyimpanan bahan formulasi bakteri pada
umur 2, 4, 6 dan 8 minggu memberikan
pengaruh
yang
berbeda
terhadap
pertumbuhan jumlah koloni B. subtilis ST21e.
Hal ini menggambarkan bahwa waktu
penyimpanan
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan jumlah sel B. subtilis.
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata
pertumbuhan sel bakteri yang tinggi untuk
semua perlakuan terjadi pada umur
penyimpanan 2 minggu. Sedangkan pada
umur penyimpanan 4 dan 6 minggu rata-rata
pertumbuhan tertinggi hanya diperlihatkan
pada perlakuan 25% air kelapa + 75% MS
dan 50% air kelapa + 50% MS. Sementara
pengamatan pada minggu ke-8 rata-rata
pertumbuhan bakteri pada semua perlakuan
cenderung
memperlihatkan
penurunan
jumlah koloni/sel (lihat Tabel 4). Penurunan
jumlah sel diduga adanya
pengaruh
komposisi nutrisi yang dibutuhkan oleh
bakteri baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Semakin berkurang nutrisi di
dalam media maka jumlah sel semakin
menurun. Berkurangnya komposis nutrisi
dalam media karena nutrisi tersebut
dimanfaatkan
oleh
bakteri
untuk
perkembangbiakannya. Kematian bakteri
disebabkan karena zat makanan yang
diperlukan berkurang (Dwijoseputro, 2003).
Hal ini menunjukkan bahwa komposisi media
berperan penting dalam pertumbuhan B.
subtilis.
Secara umum pertumbuhan B.
subtilis yang paling baik diperlihatkan pada
perlakuan media 25% air kelapa + 75% MS.
Peningkatan jumlah bakteri disebabkan
karena nutrisi untuk pertumbuhan tersedia
cukup banyak, dimana sumber nutrisi ini
berasal dari air kelapa dan media sintetik.
150
Khaeruni et al.
Pertumbuhan B. subtilis ST21e pada setiap
media perlakuan menunjukkan jumlah koloni
yang berbeda (berfluktuasi). Hal ini
dikarenakan di dalam setiap perlakuan
memiliki konsentrasi kandungan nutrisi yang
berbeda-beda.
Kandungan nutrisi pada
setiap media sangat menentukan viabilitas
sel bakteri tersebut. Perbedaan nutrisi yang
tersedia pada media berpengaruh terhadap
pembentukan sel mikroorganisme (Giyanto
et. al., 2009).
Uji antagonis B. subtilis ST21e terhadap
Rhizoctonia solani secara in-vitro ditujukan
untuk mengetahui pengaruh bahan formulasi
yang diuji terhadap aktivitas antagonis B.
subtilis terhadap
patogen selama masa
penyimpanan 8 minggu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan yang
menggunakan media cair 50% air kelapa +
50% MS secara konsisten memperlihatkan
daya hambat relatif stabil (±50%) terhadap
R. solani selama masa penyimpanan 8 minggu
dalam bahan formulasi, sementara perlakuan
lain memiliki daya hambat yang berfluktuasi,
hal ini diduga adanya pengaruh dari lamanya
penyimpanan dan kandungan nutrisi yang
tersedia dalam formulasi terhadap produksi
antibiotik oleh B. subtilis. Menurut Giyanto et
al. (2009) lama penyimpanan suatu formulasi
dapat mempengaruhi konsentrasi nutrisi
yang ada sehingga secara tidak langsung
dapat berpengaruh terhadap aktivitas
antagonis suatu agens hayati. Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi media cair
air kelapa berpengaruh pada aktifitas
antagonis B. subtilis terhadap patogen.
Pada uji daya hambat yang dilakukan pada
umur penyimpanan 2-8 minggu terlihat
perbedaan antara miselium cendawan yang
tumbuh berdekatan dengan agens antagonis
dengan miselium yang tidak berdekatan
dengan agen antagonis. Pertumbuhan
miselium yang berdekatan dengan B. subtilis
terlihat lebih tebal dan pendek dibandingkan
dengan miselium yang tidak berdekatan
dengan B. subtilis. Hal ini diduga bahwa
bakteri
tersebut
dapat
menekan
pertumbuhan R. solani melalui aktivitas
antifungal kitinolitik yaitu enzim yang dapat
mendegradasi
dinding
sel
cendawan
sehingga pertumbuhan cendawan tidak
J. Agroteknos
optimal (terhambat). Hal ini sejalan dengan
penelitian Khaeruni et. al. (2010a) yang
menyatakan bahwa bakteri Bacillus subtilis
ST21e mampu menghasilkan enzim protease
dan kitinase yang berperan sebagai enzim
pengurai dinding sel patogen. Aktivitas
antagonis B. subtilis terjadi melalui beberapa
mekanisme antara lain yaitu produksi
senyawa anti mikroba, kompetisi nutrisi
(karbon dan nitrogen) dan ruang tempat
infeksi (Liu et. al. 2009; Supartono, et. al.,
2011).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil
disimpulkan bahwa:
penelitian
dapat
1. Limbah pertanian air kelapa, air tahu dan
molase dapat digunakan sebagai media
perbanyakan agens hayati Bacillus subtilis
ST21e dengan pola pertumbuhan sel yang
berbeda-beda. Namun limbah yang paling
efektif dijadikan sebagai media perbanyakan
adalah limbah air kelapa.
2. Dari 3 limbah cair pertanian yang digunakan,
limbah cair yang terbaik sebagai media
perbanyakan Bacillus subtilis ST21e adalah
limbah air kelapa + 10% TSB karena secara
konsisten
memperlihatkan
pola
pertumbuhan yang terus meningkat hingga
25 jam pertumbuhan.
3. Penggunaan limbah air kelapa 25% - 50%
merupakan konsentrasi terbaik untuk media
formulasi Bacillus subtilis ST21e, karena
mampu memperlihatkan jumlah koloni
bakteri yang tertinggi tanpa menurunkan
aktifitas antagonis secara drastis pada masa
penyimpanan 8 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro, D., 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi,
Edisi 14. Djambatan. Jakarta
Giyanto A, Suhendar dan Rustam. 2009. Kajian
pembiakan
bakteri kitinolitik Pseudomonas
fluorescens dan Bacillus sp. pada limbah organik
dan formulasinya sebagai pestisida hayati (BIOPesticide). Prosiding seminar hasil penelitian. IPB
Khaeruni A., Sutariati GAK, Wahyuni S. 2010a.
Karakterisasi dan uji aktifitas bakteri rizosfer lahan
ultisol sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan
agensia hayati cendawan patogen tular tanah
secara in-vitro. Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman
Tropika, 10(2):123-130.
Khaeruni A., Sutariati GAK, Wahyuni S. 2010b. Potensi
rizobakteria indigenus tanah podsolik merah
kuning sebagai agens pengendali hayati penyakit
Vol. 3 No.3, 2013
layu Fusarium dan pemacu pertumbuhan tanaman
mentimun. Jurnal Fitomedika, 7(1):25-30.
Khaeruni A., Rahman A. 2012. Penggunaan bakteri
kitinolitik sebagai agens biokontrol penyakit busuk
batang oleh Rhizoctonia solani pada kedelai. Jurnal
Fitopatologi Indonesia, 8(2):37-41.
Kumar RS et al. 2005. Characterization of fungal
metabolite produced by a new strain Pseudomonas
aeruginosa PUPa3 that exhibits broad-spectrum
antifungal activity and biofertilizing traits. Journal
of Applied Microbiology, 98:145-154.
Liu X., Pang J., Yang Z. 2009. The biocontrol effect of
Trichoderma and Bacillus subtilis SY1. Journal of
Agricultural Science, 1(2):132-136.
Nengtias, SP., Darwis, Khaeruni A. 2012. Potensi
rizobakteri indigenous tanah ultisol sebagai agen
pengendali hayati penyakit layu sklerotium dan
pemacu pertumbuhan tanaman. Berkala Penelitian
Agronomi, 1(2): 148-155.
Supartono, Wijaya N., Herlina L., Ratnaningsih E.,
2011. Produksi antibiotik oleh Baciluus subtilis
M10 dalam media urea-sarbitol. Reaktor Vol
13(3):185-193
Vigliar R, Sdepanian VL, Neto UF. 2006. Biochemichal
profile of coconut water from coconut palms
planted in inland region. Journal de Pediatria
82(4):308-312
Woitke, M. 2004. Bacillus subtilis as growth promotor
in hydroponically grown tomatoes under saline
conditions. Acta Hort 659:363-369.
Efektivitas Limbah Cair Pertanian
151
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 152-162
ISSN: 2087-7706
PERAKITAN PUPUK ALAM BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK
MENINGKATKAN EFISIENSI PEMUPUKAN P DAN K SERTA HASIL
KEDELAI DI TANAH MASAM
Assembly of Natural Fertilizer Based on Local Resource to Improve
Efficiency of P and K Fertilization and Yield of Soybean in Acid Soils
M. TUFAILA*), SYAMSU ALAM
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
The research aimed to formulate a natural fertilizer based on local resources to
improve the efficiency of fertilizer P and K and yield of soybean in acid soils of Southeast
Sulawesi. The research involved natural fertilizer formulations with mica schist rock
materials, harzburgite, and rock phosphate, and further testing of fertilizers. Laboratory
fertilizer testing was performed by experimental methods to determine the slow release
properties and the amelioration capabilities of fertilizer. Fertilizer treatments were
fertilizer of mica schist and rock phosphate without coating harzburgite (L0), semifagit
fertilizer with coatings harzburgite 1 time (L1), semifagit fertilizer with coatings harzburgite
2 times (L2), and semifagit fertilizer with coatings harzburgite 3 times (L3). Further testing
was fertilizers test on acid soils, soybean yield and fertilizer efficiency with experimental
methods. The treatments were fertilizer factors consisting of two levels: fertilizer of mica
schist and rock phosphate without harsburgit coatings and semifagit coated fertilizers best
harzburgite on experiments in the laboratory, and fertilizer factor of five levels: 0%, 40%,
60%, 80%, 100% P2O5 kg.ha-1 of the recommended dosage (100 kg.ha-1). The research
concluded that the natural fertilizer was slow release, use of harsburgit as the outer layer of
fertilizer increased fertility of acid soils, fertilizers of mica schist and rock phosphate with
coatings harsburgit 3 time (L3) was the best to amelioration of acid soil, the higher dose of
fertilizer was followed by the higher the pH, total N, available P, exchangeable K, Mg, and CEC
and the lower content of Al-dd soil; the use of semifagit fertilizer dose of 80% of the
recommendated dose (100 kg P2O5.ha-1) gave a better effect on plant height, wet weight, dry
weight, number of pods, weight of 10 seeds and soybean yield per hectare (2.74 ton.ha -1).
The higher the dose of fertilizer was followed by the higher uptake of P and K, and the
highest efficiency of fertilizer P and K was at 19.32% and 15.26% for fertilizer using
semifagit with a dose of 80% of the recommended dose (100 kg P2O5.ha-1).
Keywords: mica schist rocks, harsburgit, rock phosphate, soybean, natural fertilizer
1PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman
pangan terpenting ketiga setelah padi dan
jagung karena merupakan sumber protein
nabati (Nichols et al., 2006; Shapawi et al.,
2013). Proyeksi kebutuhan kedelai pada tahun
2015 sebanyak 2,71 juta ton dan 3,35 juta ton
pada tahun 2025 (Simatupang et al., 2005).
Untuk mencukupi kebutuhan kedelai dengan
sasaran menekan laju impor menjadi 40% dan
menuju swasembada pada tahun 2015
diperlukan upaya peningkatan hasil kedelai
*) Alamat Korespondensi:
E-mail: [email protected]
dalam negeri rata-rata 9,72% per tahun, dan
peningkatan areal tanam sebesar 7,25% per
tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2007). Tantangannya adalah
bagaimana mencapai areal tanam tersebut
sementara lahan yang tersedia terbatas dan
digunakan untuk berbagai tanaman palawija
lainnya yang lebih kompetitif (Atman, 2009).
Salah
satu
daerah
potensial
untuk
pengembangan kedelai adalah Sulawesi
Tenggara yang mempunyai total luas lahan
untuk pengembangan kedelai sebanyak
669.069 ha (BBSDLP, 2008). Pada umumnya
lahan tersebut adalah tanah-tanah marginal
yang didominasi oleh tanah ultisol yang
bereaksi masam (Santoso, 1991). Tanah
Vol. 3 No.3, 2013
masam mempunyai permasalahan kesuburan
berkendala ganda (multifactors stres), seperti
kandungan Al dan kemasaman tanah yang
sangat tinggi, kahat hara P, K, Ca, Mg , Cu, Zn,
Mo, B, mineralisasi dan nitrifikasi sangat
lambat (Gruba and Mulder, 2008; Bougnom et
al., 2009; Kanev, 2011).
Peningkatan produksi tanaman kedelai di
Sulawesi Tenggara tidak cukup hanya dengan
memberikan pupuk karena pemupukkan
tersebut tidak akan efektif bila pH tanah masih
di bawah 4,5. Untuk itu sebelum pupuk
diberikan maka perlu terlebih dahulu
meningkatkan
pH
tanahnya
dengan
pemberian
bahan
pembenah
tanah
(amelioran) yang dapat memperbaiki sifatsifat tanah masam tersebut. Beberapa
sumberdaya lokal yang dapat digunakan
sebagai pupuk dan bahan pembenah tanah
dan banyak terdapat di Provinsi Sulawesi
Tenggara adalah gambut, sekis mika,
harsburgit dan fosfat alam. Gambut sebagai
sumber bahan humat untuk pelarut batuan
(Kpomblekou and Tabatabai, 1994; Li et al.,
2003), sekis mika sebagai sumber K
(Takeshita et al., 2004; Guelfi-Silva et al.,
2013), harsburgit sebagai sumber Mg bersifat
basis (Kadarusman et al., 2004; Tufaila et al.,
2011), dan fosfat alam sebagai sumber P
(Kasno et al., 1998; Kochian et al., 2004;
Zwolicki et al., 2013).
Kombinasi bahan humat dari ekstrak gambut
dan batuan alam kaya hara tersebut
(harsburgit, sekis mika dan fosfat alam)
merupakan pupuk alam yang dapat digunakan
sebagai alternatif pengganti pupuk kimia
(Straaten, 2007), terutama untuk tanaman
kedelai yang diusahakan pada tanah masam
yang miskin hara. Bahan baku pupuk yang
melimpah dan belum banyak dimanfaatkan,
sehingga dapat dihasilkan pupuk alam yang
murah dan ramah lingkungan untuk
meningkatkan hasil kedelai di Sulawesi
Tenggara.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
formulasi pupuk alam berbasis sumberdaya
lokal yang bersifat lepas terkendali (slow
release) dan dapat berperan sebagai amelioran
sehingga mampu
meningkatkan efisiensi
pemupukan P, K dan memperbaiki kesuburan
tanah masam, dan mendapatkan takaran
pupuk alam berbasis sumberdaya lokal yang
memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai yang paling tinggi.
Perakitan Pupuk Alam
BAHAN DAN METODE
153
Penyiapan Bahan dan Formulasi Pupuk
Alam. Batuan sekis mika dan fosfat alam
dihaluskan,
kemudian
diayak
dengan
matasaring 100 mesh. Gambut sebanyak 5 g
ditambah 20 ml KOH 0,5 N. Kemudian diaduk
selama 15 menit, didiamkan selama 10 menit
langkah ini diulangi 3 kali, lalu didiamkan
semalam. Kemudian disaring dengan kertas
saring sehingga didapatkan cairan yang
berwarna coklat kehitaman (bahan humat)
(Rocha et al., 1998; Eladia, 2005).
Bubuk sekis mika dan fosfat alam dipanasi
pada suhu 300oC selama 4 jam. Setelah dingin,
sekis mika dan fosfat alam ditambah dengan
bahan humat dengan perbandingan 1 : 3,
dibiarkan selama 24 jam, kemudian digojok
selama 5 jam. Setelah sekis mika dan fosfat
alam yang sudah terasidulasi dingin
ditambahkan tanah vertisol halus lolos 100
mesh sebanyak 1% lalu dibuat granuler
(ukuran ± 2 mm) dengan alat granulasi,
kemudian dikeringanginkan sampai kering.
Pada tahap ini akan didapatkan sekis mika dan
fosfat alam yang sudah terasidulasi bahan
humat berbentuk granuler.
Batuan harsburgit dihaluskan dan disaring
lolos 100 mesh sehingga didapatkan serbuk
harsburgit, kemudian ditambah kanji 1 %.
Selanjutnya sekis mika dan fosfat alam
granuler dimasukkan kedalam campuran
harsburgit-kanji dan diaduk-aduk hingga sekis
mika dan fosfat alam granuler tersebut
terlapisi secara merata. Selanjutnya pupuk
alam ini disebut SEMIFAGIT (SEkis MIka
fosFAt
harsburGIT),
kemudian
dikeringanginkan.
Pelapisan ada yang
dilakukan sekali, dua kali dan tiga kali. Dari
tahapan percobaan ini didapatkan 3 macam
pupuk yaitu semifagit berlapis 1 kali (L1), 2
kali (L2) dan 3 kali (L3). Selanjutnya dianalisis
pH, DHL, P, Ca, K, Mg, Na, Al dan Fe, dan bahan
organik dan kadar air.
Pengujian sifat lepas terkendali hara P dan
K dari Pupuk Semifagit. Pupuk semifagit
sebanyak 2 g dicampur dengan tanah masam
kering angin sebanyak 180 g. Tanah yang
digunakan telah disaring dengan saring 2 mm.
Kemudian dimasukkan ke dalam ember
plastik yang tertutup dan diinkubasikan pada
periode 1, 10, 20, dan 30 hari pada suhu
ruangan. Kelembaban tanah dipertahankan
pada 30 % dari kapasitas lapangan. Untuk
154 Tufaila dan Alam
kontrol menggunakan pupuk sekis mika dan
fosfat alam biasa. Pada akhir masa inkubasi,
pupuk diambil lalu dicuci dengan air destilasi
dan dioven pada suhu 70oC. Selanjutnya
dianalisis kandungan P dan K dari pupuk
tersebut.
Percobaan
dilaksanakan
menggunakan rancangan acak lengkap yang
diulang 3 kali. Perlakuannya : L0 = Pupuk
sekis mika dan fosfat alam tanpa pelapis
harsburgit; L1 = Pupuk semifagit pelapis
harsburgit 1 kali; L2 = Pupuk semifagit pelapis
harsburgit 2 kali; dan L3 = Pupuk semifagit
pelapis harsburgit 3 kali.
Pengujian Kemampuan Ameliorasi Pupuk
Semifagit. Pupuk semifagit sebanyak 5 g
dicampur dengan tanah masam kering angin
sebanyak 500 g. Tanah yang digunakan telah
disaring dengan saring 2 mm. Kemudian
dimasukkan ke dalam ember plastik yang
tertutup dan diinkubasikan selama 30 hari
pada suhu ruangan. Kelembaban tanah
dipertahankan pada kapasitas lapangan
dengan menambahkan air destilasi secara
periodik. Untuk kontrol menggunakan pupuk
sekis mika dan fosfat alam biasa. Percobaan
dilaksanakan menggunakan rancangan acak
lengkap yang diulang 3 kali. Perlakuannya
adalah : L0, L1, L2, dan L3. Peubah yang
diamati adalah pH H20, daya hantar listrik
(DHL), kandungan Al-dd, H-dd dan kejenuhan
Al diakhir percobaan (hari ke 30).
Pengujian Efisiensi Pupuk Semifagit.
Percobaan tanaman kedelai pada tanah
masam disusun dalam Rancangan Acak
Lengkap (RAL) menggunakan dua faktor
perlakuan, yaitu 2 aras perlakuan pupuk dan 5
aras takaran pupuk yang diulang 3 kali.
Faktor-faktor dan aras yang akan diteliti
adalah (i) Perlakuan pupuk : Sekis mika dan
fosfat alam tanpa pelapis harsburgit (PK), dan
Semifagit berlapis harsbugit terbaik pada
percobaan di Laboratorium (PKH), dan (ii)
Pupuk dengan 5 aras takaran : 0 % P2O5 kg/ha
(0), 40 % P2O5 kg/ha (1), 60 % P2O5 kg/ha (2),
80 % P2O5 kg/ha (3), dan 100% P2O5 kg/ha
dari dosis rekomendasi (4). Kebutuhan hara P
per pot dihitung berdasarkan jumlah takaran
rekomendasi hara P per hektar untuk tanaman
kedelai di tanah masam yaitu 100 P2O5 kg /ha
(Atman, 2009). Parameter yang diamati
adalah analisis tanah awal, diakhir percobaan
dianalisis pH, Al-dd, P, K, Mg, dan KPK,
serapan dan efisiensi P dan K tanaman, tinggi
tanaman, bobot basah, bobot kering, jumlah
J. Agroteknos
polong, bobot 10 biji, dan hasil kedelai ton.ha1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik fosfat alam, sekis mika,
bahan humat, dan harsburgit. Fosfat alam
yang digunakan adalah guano yang
mempunyai pH (H2O) 4,15; DHL 4,19 µS,
bahan organik 8,12%, N total 9,20%, P-total
9,73%, CaO 10,42%, MgO 0,76%, K2O 2,23%,
Na2O 0,77%, Al2O3 0,19%, Fe2O3 0,15%, dan
MnO 5 ppm. Batuan sekis mika mempunyai pH
(H2O) 7,15; DHL 249 µS, SiO2 45,78%, CaO
3,50%, K2O 18,91%, Na2O 3,39%, MgO 2,02%,
Al2O3 13,16%, Fe2O3 5,91%, dan MnO 0,16%.
Batuan
harsburgit
yang
digunakan
mengandung Mg yang cukup tinggi yaitu
44,83% sehingga sangat baik digunakan
sebagai sumber magnesium dan termasuk
batuan basis dengan pH (H2O) 8,48; DHL
193,10 µS, SiO2 37,15%, CaO 1,5%, K2O 0,01%,
Na2O 0,77%, Al2O3 1,16%, Fe2O3 8,07%, dan
MnO 0,12%.
Bahan humat ekstrak gambut mengandung
bahan humat 23,77%, kemasaman total 3,45
meq.g-1, gugus fungsional karboksil (-COOH)
0,67 meq.g-1, dan hidroksil fenolat (-OH) 2,78
meq.g-1. Hal ini menunjukkan bahwa bahan
humat ekstrak gambut yang digunakan
ternyata didominasi oleh gugus fungsional
hidroksil fenolat.
Karakteristik Tanah Mineral Masam. Tanah
mineral masam yang digunakan pupuk
mempunyai pH (H2O) 4,1 (sangat masam), pH
(KCl) 3,2. Kandungan C-organik 0,28%, C/N
2,15, P total 10,62%, P tersedia 3,77 ppm, Cadd 0,15 cmol(+).kg-1, Mg-dd 0,19 cmol(+).kg-1,
dan KB 2,95% tanah tersebut tergolong sangat
rendah, kandungan N total 0,13%, K-dd 0,14
cmol(+).kg-1, dan Na-dd 0,25 cmol(+).kg-1
tergolong rendah, Al-dd 5,75 cmol(+).kg-1 dan
kejenuhan Al 23,21% tergolong tinggi, dan
KPK 24,77 cmol(+).kg-1 tergolong sedang.
Bertekstur lempung pasiran dengan BV 1,23
g.cm-3.
Karakteristik Pupuk Semifagit. Perakitan
pupuk alam yang dihasilkan adalah pupuk sekis
mika dan fosfat alam granuler tanpa pelapis
harsburgit (L0), dan semifagit pelapis
harsburgit satu kali (L1), dua kali (L2), dan tiga
kali (L3). Keempat jenis pupuk yang dihasilkan
tersebut merupakan sumber hara P dan K.
Vol. 3 No.3, 2013
Perakitan Pupuk Alam
155
Tabel 1. Karakteristik pupuk sekis mika dan fosfat alam granuler (L0) dan semifagit lapis satu (L1), dua
(L2), dan tiga kali (L3)
Kandungan
L0
L1
L2
L3
pH
6,89
7,04
7,12
7,51
DHL
µS
136,21
149,17
153,35
165,67
P2O5
%
8,97
8,65
7,86
7,34
MgO
%
0,75
6,20
8,73
10,67
CaO
%
10,40
11,25
11,12
11,03
K2O
%
19,38
18,35
18,50
17,27
Na2O
%
0,65
0,56
0,53
0,56
Al2O3
%
0,17
0,14
0,15
0,18
Kadar air
%
3,25
3,69
3,07
4,08
Bahan organik
%
2,78
2,33
2,19
2,08
Sifat lepas terkendali hara P dan K Pupuk terhadap P total pupuk pada inkubasi 20 hari.
.Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa Hal ini diduga pada inkubasi 20 hari bahan
perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3 secara pelapis pupuk (L1, L2, dan L3) telah terurai ke
umum berpengaruh nyata terhadap kandungan dalam tanah sehingga yang tersisa adalah
P dan K total pupuk pada inkubasi 1, 10, 20, hanya inti pupuk yang sama dengan pupuk Lo.
dan 30 hari tetapi tidak berpengaruh nyata
Karakteristik
Satuan
Tabel 2. Purata kandungan P dan K total pupuk Lo, L1, L2, dan L3 pada inkubasi 1, 10, 20, dan 30 hari
Perlakuan
Lo
L1
L2
L3
*)
Lama inkubasi (hari)
10
20
30
P total
K total
P total
K total
P total
K total
P total
K total
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
8,96 d*)
19,36 c*)
7,25 b*) 16,94 d *) 5,05 a*) 12,15 a*) 2,75 a*)
6,25 a*)
8,63 c
18,30 b
7,28 b
17,28 c
5,09 a
14,09 b
3,11 b
7,11 b
7,80 b
18,49 b
7,15 b
18,28 b
5,16 a
14,46 b
3,08 b
7,59 c
7,33 a
17,25 a
6,80 a
16,29 a
5,12 a
14,52 b
3,13 b
7,23 bc
Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
1
Gambar 1 menunjukkan bahwa selama
inkubasi berlangsung terjadi pelepasan hara P
dan K pupuk secara berkala atau tidak terjadi
pelepasan hara secara draktis. Hal ini
10
9
2.5
Lo
2
Pelepasan P (%)
L1
8
Kadar P total (%)
menunjukkan bahwa pupuk yang dibuat
mempunyai sifat lepas terkendali (slow
release).
L2
7
L3
6
5
4
1.5
Lo
L1
1
L2
L3
0.5
3
0
2
25
0
5
10
15
20
25
8
30
Lama inkubasi (hari)
10
20
30
40
Lama inkubasi (hari)
6
L2
Pelepasan K (%)
Kadar K total (%)
L1
15
0
7
Lo
20
L3
10
5
Lo
L1
4
L2
L3
3
2
5
1
0
0
0
10
20
Lama inkubasi (hari)
Gambar 1.
30
40
0
10
20
30
40
Lama inkubasi (hari)
Hubungan antara lama inkubasi dengan kadar P dan K total serta pelepasan P dan K pupuk Lo,
L1, L2, dan L3
J. Agroteknos
156 Tufaila dan Alam
Penurunan kandungan P dan K pupuk atau
pelepasan P dan K pupuk yang paling tajam
terjadi pada pupuk Lo, kemudian menyusul
L1, L2, dan L3. Hal ini dapat terjadi karena
pupuk Lo tidak dilapisi harburgit sehingga
langsung terjadi pelepasan P dan K pada
waktu inkubasi, sedangkan pupuk L1, L2, dan
L3 yang dilapisi harsburgit terlebih dahulu
melepaskan unsur yang terdapat pada bahan
pelapis kemudian menyusul P dan K sebagai
inti pupuk.
Kemampuan Amelorasi Pupuk Semifagit.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3
berpengaruh nyata terhadap pH (H2O), Al-dd,
dan kejenuhan Al tetapi tidak berpengaruh
nyata terhadap H-dd tanah. Tanah mineral
umumnya mempunyai kandungan H-dd yang
sangat terbatas, sumber kemasaman terutama
akibat reaksi protonasi Al atau Fe (Essington,
2004).
Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin
banyak pelapis bubuk harsburgit pada pupuk
maka semakin tinggi pH tanah, semakin
rendah Al-dd, dan kejenuhan Al. Hal ini
dimungkinkan karena semakin tinggi jumlah
bubuk harsburgit sebagai pelapis pupuk
semifagit maka semakin banyak kandungan
Mg, bubuk harsburgit mengandung Mg
44,83%. Mg yang terdapat dalam harsburgit
melalui proses hidrolisis akan melepaskan ion
OH-. Kehadiran hidroksida yang tinggi akan
meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd,
dan kejenuahan Al (Lesovaya et al., 2012).
Tabel 3. Purata pH, Al-dd, kejenuhan Al, dan H-dd tanah pada perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3
Perlakuan
Al-dd
(cmol(+).kg-1)
5,05 c*)
4,72 b
2,34 a
2,28 a
pH(H2O)
Lo
L1
L2
L3
4,27 a*)
5,28 b
5,75 c
6,68 d
Kejen. Al
(%)
20,10 c*)
18,89 b
9,45 a
9,14 a
H-dd
(cmol(+).kg-1)
0,07 a*)
0,08 a
0,10 a
0,08 a
8
7
6
5
4
3
2
1
0
6.67
5.28
5.75
4.27
6
Al-dd (cmol(+).kg-1)
pH tanah
*) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
5.05
5
3
2.28
2.34
L2
L3
2
1
0
Lo
L1
L2
Lo
L3
L1
Pupuk Semifagit
Pupuk Semifagit
25
20
19.16
15
9.2
10
9.46
5
0
Lo
L1
L2
L3
Pupuk Semifagit
H-dd (cmol(+).kg-1)
0.14
20.39
Kej. Al (%)
4.75
4
0.12
0.11
0.1
0.08
0.08
0.08
0.07
0.06
0.04
0.02
0
Lo
L1
L2
Pupuk Semifagit
L3
Gambar 2. pH (H2O) tanah, Al-dd, kejenuhan Al, dan H-dd tanah pada perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3
Berdasarkan pengaruh pupuk terhadap pH, Aldd, kejenuhan Al, dan H-dd sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 2, maka
pupuk terbaik dari empat jenis pupuk yang
diperlakukan tersebut adalah pupuk semifagit
dengan pelapis harsburgit 3 kali (L3).
Pengaruh pupuk terhadap tanah masam
dan tanaman kedelai . Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa perlakuan
Vol. 3 No.3, 2013
Perakitan Pupuk Alam
pupuk berpengaruh nyata terhadap pH, Al-dd,
N total, dan P tersedia.
Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis pupuk cenderung diikuti dengan
semakin tinggi pH, N total, dan P tersedia
tanah tetapi untuk kandungan Al-dd terjadi
sebaliknya yaitu semakin tinggi dosis pupuk
diikuti dengan semakin rendah Al-dd tanah.
Hal ini dapat terjadi karena dengan semakin
tinggi dosis kedua jenis pupuk maka jumlah
hara (seperti P, K, dan bahan organik) yang
mempengaruhi karakteristik tanah menjadi
semakin tinggi sehingga memungkinkan
terjadinya peningkatan pH tanah, kandungan
N total dan P tersedia tanah. Peningkatan pH
tanah selanjutnya mengakibatkan semakin
rendahnya kandungan Al-dd tanah setelah
percobaan. Johnson and Richard (2006) dan
Kpomblekou
and
Tabatabai
(2003)
menyebutkan bahwa bahan organik dapat
meningkatkan ketersediaan P.
Tabel 4. Purata pH, Al-dd, N total, P tersedia tanah pada akhir percobaan
Perlakuan
pH (H2O)
PK0
PK1
PK2
PK3
PK4
PKH0
PKH1
PKH2
PKH3
PKH4
Al-dd
(cmol(+).kg-1)
5,74 g*)
5,42 f
5,17 f
4,61 e
3,55 d
5,75 g
3,52 d
3,09 c
2,21 b
1,27 a
4,13 a*)
4,50 b
4,80 c
5,17 d
5,60 e
4,17 a
4,90 c
5,57 e
6,20 f
6,67 g
157
N total (%)
0,14 a*)
0,15 a
0,18 cd
0,18 cd
0,19 cd
0,15 a
0,16 ab
0,17 bc
0,18 cd
0,20 d
P tersedia
(ppm)
3,21 a*)
8,13 b
10,07 c
12,04 d
13,11 e
3,23 a
12,55 de
16,37 f
20,27 g
23,73 h
7
6.5
6
5.5
5
4.5
4
3.5
3
0.22
0.2
0.18
N total (%)
pH
*) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
Sekis mika dan BFA
Semifagit
0.16
0.14
0.1
0
20
40
60
80
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
100
0
Al-dd (cmol(+).kg )
Semifagit
-1
P tersedia (ppm)
40
60
80
100
7
Sekis mika dan BFA
20
20
Dosis pupuk (% dari sosis rekomendasi)
25
15
10
5
0
6
5
4
3
2
Sekis mika dan BFA
Semifagit
1
0
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Gambar 3.
Sekis mika dan BFA
Semifagit
0.12
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Hubungan antara dosis pupuk dengan pH (H2O), N total, P tersedia, dan Al-dd tanah setelah
percobaan
Gambar 3 juga menunjukkan bahwa
peningkatan pH dan P tersedia cenderung
lebih tinggi dan penurunan kandungan Al-dd
tanah cenderung lebih rendah pada perlakuan
pupuk
semifagit
berlapis
harsburgit
dibandingkan pupuk sekis mika dan fosfat
alam tanpa pelapis harsburgit. Hal ini
dimungkinkan karena semakin tinggi dosis
pupuk semifagit berlapis harsburgit, semakin
tinggi kandungan harsburgit yang kaya dengan
Mg. Harsburgit sebagai lapisan luar pupuk akan
bereaksi terlebih dahulu menetralkan tanah
sebelum terjadi pelepasan P dan K sebagai inti
pupuk. Sebagaimana disebutkan sebelumnya
J. Agroteknos
158 Tufaila dan Alam
bahwa kehadiran Mg dalam jumlah yang tinggi
sebagai lapisan luar pupuk, selama proses
hidrolisis dalam tanah akan melepaskan
hidroksil dalam jumlah yang tinggi pula
sehingga mengakibatkan meningkatnya pH dan
menurunnya Al-dd tanah. Kondisi seperti ini
memungkinkan pada waktu pelepasan P dan K
sebagai inti pupuk, jumlah P yang terfiksasi Al
dan Fe dalam tanah menjadi berkurang
sehingga
mengakibatkan
meningkatnya
kandungan P tersedia tanah.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
perlakuan pupuk berpengaruh nyata terhadap
K-dd dan Mg-dd tetapi tidak berpengaruh
nyata terhadap KPK tanah, berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman 28, 63, dan 88 HST
tetapi tidak berbeda nyata terhadap tinggi
tanaman kedelai 14 HST, berpengaruh nyata
terhadap bobot basah, bobot kering, jumlah
polong, dan hasil per hektar tanaman kedelai
tetapi tidak berbeda nyata terhadap bobot 10
biji, berpengaruh nyata terhadap serapan dan
efisiensi serapan P dan K tanaman kedelai.
Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis pupuk sekis mika dan BFA tanpa pelapis
harsburgit dan pupuk semifagit pelapis
harsburgit cenderung diikuti dengan semakin
tinggi K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah. Hal ini
dimungkinkan karena semakin tinggi dosis
kedua jenis pupuk tersebut maka kandungan P
dan K sebagai inti pupuk serta harsburgit yang
kaya dengan Mg sebagai lapisan luar pupuk
semifagit juga semakin banyak yang diberikan
pada tanah sehingga mengakibatkan semakin
banyak pula kandungan P, K, dan Mg tanah.
Terjadinya peningkatan KPK tanah diduga
akibat kandungan bahan organik yang
terdapat pada kedua jenis pupuk tersebut
tetapi
peningkatannya dianggap tidak
berpengaruh nyata.
Tabel 5. Purata K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah pada akhir percobaan
K-dd
(cmol(+).kg-1)
0,09 a*)
0,26 bc
0,29 cd
0,34 e
0,45 f
0,09 a
0,25 b
0,27 bc
0,31 de
0,43 f
Perlakuan
PK0
PK1
PK2
PK3
PK4
PKH0
PKH1
PKH2
PKH3
PKH4
Mg-dd
(cmol(+).kg-1)
0,14 a*)
0,18 a
0,19 a
0,21 a
0,21 a
0,15 a
0,57 b
0,74 c
0,90 d
1,10 e
KPK
(cmol(+).kg-1)
24,78
25,37
26,37
26,23
26,27
24,73
25,98
26,43
26,85
26,90
*) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
27.5
1.2
0.3
0.2
Sekis mika dan BFA
Semifagit
0.1
0
Sekis mika dan BFA
Sekis mika dan BFA
Semifagit
1
0.8
0.6
0.4
0.2
20
40
60
80
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
100
Semifagit
26.5
26
25.5
25
0
0
27
-1
0.4
KPK (cmol(+).kg )
-1
Mg-dd (cmol(+).kg )
K-dd (cmol(+).kg-1)
0.5
24.5
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Gambar 4. Hubungan antara dosis pupuk dengan K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah setelah percobaan
Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis pupuk cenderung diikuti dengan
semakin tinggi tanaman kedelai pada 14 dan
28 HST sedangkan tinggi tanaman 63 dan 88
HST cenderung mengalami peningkatan
sampai pada dosis 80% dari dosis
rekomendasi. Hal ini disebabkan karena pada
dosis pupuk 100% dari dosis rekomendasi,
jumlah hara yang terkandung dalam pupuk
tersebut diduga melebihi kebutuhan tanaman
sehingga berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan tinggi tanaman pada 63 dan 88
HST.
Tabel 6. Purata tinggi tanaman kedelai pada 14, 28, 63, dan 88 HST
Vol. 3 No.3, 2013
Perakitan Pupuk Alam
159
Tinggi tanaman (cm)
14 HST
28 HST
63 HST
88 HST
PK0
6,80
11,77 a*)
35,17 a*)
37,07 a*)
PK1
7,33
12,70 abc
34,60 a
36,83 a
PK2
7,47
13,63 cde
39,30 b
40,97 b
PK3
7,37
13,13 bcd
41,53 bc
42,93 b
PK4
7,30
14,53 e
40,50 bc
42,87 b
PKH0
6,90
12,13 ab
36,13 a
37,53 a
PKH1
7,23
14,23 de
39,30 b
42,53 b
PKH2
7,70
13,93 cde
40,93 bc
43,50 b
PKH3
7,60
14,87 e
42,03 c
43,67 b
PKH4
7,73
14,83 e
41,30 bc
44,13 b
*) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
16
Perlakuan
Tinggi tanaman
28 HST (cm)
15
8
Tinggi tanaman
14 HST (cm)
7.8
7.6
7.4
14
13
12
Sekis mika dan BFA
Semifagit
11
7.2
7
10
Sekis mika dan BFA
Semifagit
6.8
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
6.6
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
42
Tinggi tanaman
88 HST (cm)
Tinggi tanaman
63 HST (cm)
44
40
38
36
34
Sekis mika dan BFA
Semifagit
32
30
0
20
40
60
80
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
100
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
Sekis mika
dan BFA
Semifagit
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Gambar 5. Hubungan antara dosis pupuk dengan tinggi tanaman kedelai 14, 28, 63, dan 88 HST
Tabel 7. Purata bobot basah, bobot kering, jumlah polong, bobot 10 biji, dan hasil per hektar tanaman
kedelai
Bobot
basah Bobot kering
Bobot 10 biji Hasil (ton.haJumlah polong
1)
(g)
(g)
(g)
PK0
23,03 a*)
10,13 a*)
27,33 ab*)
0,93
1,60 a*)
PK1
25,77 b
11,43 abc
28,67 abc
1,13
2,04 b
PK2
25,90 b
11,70 bc
28,67 abc
1,10
1,98 ab
PK3
28,67 c
12,10 c
30,33 bc
1,13
2,16 b
PK4
28,27 bc
12,03 c
29,67 abc
1,07
1,99 ab
PKH
22,47 a
10,40 ab
26,67 a
0,97
1,62 a
PKH1
28,63 c
12,87 c
30,33 bc
1,13
2,16 b
PKH2
28,50 c
12,83 c
31,00 c
1,10
2,13 b
PKH3
29,90 c
14,37 d
37,33 d
1,17
2,74 c
PKH4
29,73 c
14,20 d
35,33 d
1,03
2,29 b
*) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
Perlakuan
J. Agroteknos
160 Tufaila dan Alam
27
25
Sekis mika dan BFA
21
Semifagit
19
0
20
40
60
80
Sekis mika dan BFA
32
28
Sekis mika dan BFA
Semifagit
20
20
40
60
80
100
0
Dosis Pupuk (% dari dosis rekomendasi)
1.2
3.0
1.1
2.5
1
Sekis mika dan BFA
Semifagit
0.9
36
24
Semifagit
0
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Bobot 10 biji (g)
40
Hasil (ton.ha-1 )
23
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
Jumlah polong
29
Bobot kering (g)
Bobot basah (g)
31
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
2.0
Sekis mika dan BFA
Semifagit
1.5
1.0
0.8
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Gambar 6. Hubungan antara dosis pupuk dengan bobot basah, bobot kering, jumlah polong, bobot 10 biji, dan
hasil per hektar tanaman kedelai
Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis pupuk sampai dosis 80% dari dosis
rekomendasi cenderung diikuti dengan
semakin tinggi bobot basah, bobot kering,
jumlah polong, bobot 10 biji, dan hasil per
hektar tanaman kedelai. Hal ini menunjukkan
bahwa
perbaikan
pertumbuhan
dan
perkembangan tanaman kedelai dapat dicapai
pada dosis 80% dari dosis rekomendasi,
pemberian dosis pupuk lebih dari itu diduga
melebihi kebutuhan tanaman dan berdampak
negatif terhadap hasil tanaman kedelai. Secara
keseluruhan penggunaan pupuk semifagit
berlapis harsburgit memberikan pengaruh
yang lebih baik daripada pupuk tanpa lapis
harsburgit.
Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis pupuk cenderung diikuti dengan
semakin tinggi serapan P dan K. Hal ini
disebabkan karena dengan semakin tinggi
dosis pupuk yang diberikan diduga
mengakibatkan semakin tinggi kandungan P
dan K tanah selanjutnya didikuti dengan
semakin banyak kedua unsur tersebut diserap
tanaman kedelai. Namun efisiensi serapan
hara P dan K tertinggi dicapai pada dosis 80%
dari
dosis
rekomendasi,
sedangkan
penggunaan pupuk melebih dosis tersebut
adalah tidak efisien lagi untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kedelai. Secara keseluruhan penggunaan
pupuk
semifagit
berlapis
harsburgit
memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap serapan dan efisiensi serapan P dan
K daripada pupuk tanpa lapis harsburgit. Hal
ini diduga karena pupuk semifagit yang
berlapis harsburgit, pada waktu pelepasan
hara, lapisan luar pupuk yang kaya Mg terlebih
dahulu akan bereaksi menetralkan kondisi
tanah masam sehingga pelepasan hara P dan K
dari inti pupuk kedalam tanah memungkinkan
sebagai besar dimanfaatkan oleh tanaman dan
diduga sangat minim terfiksasi oleh Al atau Fe.
Kondisi seperti ini mengakibatkan serapan
dan efisiensi pupuk P dan K lebih tinggi terjadi
pada pupuk semifagit berlapis harsburgit dari
pada pupuk tanpa pelapis harburgit.
Tabel 8. Purata serapan dan efisiensi serapan P dan K tanaman kedelai
Perlakuan
Serapan P
(mg.tanaman-1)
Serapan K
(mg.tanaman-1)
Efisiensi
serapan P (%)
Efisiensi
serapan K (%)
Vol. 3 No.3, 2013
PK0
PK1
PK2
PK3
PK4
PKH0
PKH1
PKH2
PKH3
PKH4
7,37 a*)
15,34 b
22,52 c
27,28 d
32,39 e
7,03 a
18,34 b
24,39 cd
32,83 e
48,12 f
280,27 a*)
296,96 b
304,44 bc
314,19 cd
322,53 d
274,78 a
292,54 b
301,26 bc
312,94cd
321,13 d
Perakitan Pupuk Alam
6,37 a*)
8,08 bc
7,96 b
8,01 b
9,05 bcd
9,26 bcd
10,32 d
9,53 cd
13,36 a*)
12,89 ab
13,57 ab
13,52 ab
14,21 abc
14,12 abc
15,26 c
14,83 bc
161
-1
Serapan K (mg.tanaman )
60
50
Sekis mika dan BFA
Semifagit
40
30
20
10
0
Efisiensi serapan P (%)
0
20
40
60
80
10
8
6
4
Sekis mika dan BFA
Semifagit
2
0
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Sekis mika dan BFA
Semifagit
320
310
300
290
280
270
0
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
12
330
Efisiensi serapan K (%)
-1
Serapan P (mg.tanaman )
*) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan
5%
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Sekis mika dan BFA
Semifagit
0
20
40
60
80
100
Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi)
Gambar 7. Hubungan antara dosis pupuk dengan serapan dan efisiensi serapan P dan K tanaman kedelai
SIMPULAN
Pupuk sekis mika dan fosfat alam terasidulasi
bahan humat tanpa atau dengan pelapis
harsburgit bersifat lepas terkendali. Kelarutan
sekis mika dan fosfat alam terasidulasi bahan
humat tanpa pelapis harsburgit lebih tinggi
daripada yang dilapisi harsburgit. Penggunaan
harsburgit sebagai lapisan luar pupuk dapat
meningkatkan kesuburan tanah masam.
Pupuk sekis mika dan fosfat alam dengan
pelapis harsburgit tiga kali adalah pembenah
tanah masam yang terbaik. Semakin tinggi
dosis pupuk diikuti dengan semakin tinggi pH,
N total, P tersedia, K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah
serta semakin rendah kandunga Al-dd tanah.
Penggunaan pupuk semifagit dengan dosis
80% dari dosis rekomendasi (100 kg P2O5.ha1) memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap tinggi tanaman, bobot basah, bobot
kering, jumlah polong, bobot 10 biji dan hasil
per hektar tanaman kedelai (2,74 ton.ha-1).
Semakin tinggi dosis pupuk diikuti dengan
semakin tinggi serapan P dan K tanaman
kedelai. Efisiensi pemupukan P dan K yang
tertinggi yaitu sebesar 19,32% dan 15,26%
terjadi pada penggunaan pupuk semifagit
dengan dosis 80% dari dosis rekomendasi
(100 kg P2O5.ha-1).
DAFTAR PUSTAKA
Atman, 2009. Strategi peningkatan produksi kedelai di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Tambua, VIII(1):39-45.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Kedelai. Departemen Pertanian Indonesia.
BBSDLP, 2008. Potensi dan ketersediaan lahan untuk
pengembangan kedelai di Indonesia. Warta
Litbang Pertanian. (30)1:3-5.
Bougnom, B.P., J. Mair, F.X. Etoa, H. Insam, 2009.
Composts withwood ash addition: A risk or a
chance for ameliorating acid tropical soils.
Geoderma. 153: 402-407.
Eladia, M., Peña, M., Josef, H. and Jiří, P., 2005.
Humic substances – compounds of still unknown
structure: applications in agriculture, industry,
environment, and biomedicine. J. Appl. Biomed.
3:13-24.
162 Tufaila dan Alam
Essington, M.E., 2004. Soil and water chemistry. CRC
Press LLC, USA. 534 p.
Gruba, P. and J. Mulder, 2008. Relationship between
Aluminum in Soils and Soil Water in Mineral
Horizons of a Range of Acid Forest Soils. Soil Sci.
Soc. Am. J. 72(4):1150-1157.
Guelfi-Silva, D.R., G. Marchi, C.R. Spehar, L.R.G.
Guilherme, and V. Faquin, 2013. Agronomic
Efficiency of Potassium Fertilization in Lettuce
Fertilized with Alternative Nutrient Sources. Rev.
Ciênc. Agron. 44(2):267-277.
Johnson, S. E. and R.H. Loeppert, 2006. Role of
organic acids in phosphate mobilization from iron
oxide. Soil Sci. Soc. Am. J. 70:222–234.
Kadarusman, A., S. Miyashita, S. Maruyama, C.D.
Parkinson and A. Ishikawa, 2004. Petrology,
geochemistry and paleogeographyc reconstruction
of the east Sulawesi ophiolite, Indonesia.
Tectonophysics. 392: 55-83.
Kanev, V.V., 2011. Dynamics of Acid-Soluble Iron
Compounds in Soddy-Podzolic Soils of the
Southern Komi Republic. Eur. Soil Sci.
44(11):1201-1214.
Kasno, A., S. Adiningsih, dan M. Sediyarso, 1998.
Keefektifan waktu pemberian dan jenis fosfat alam
pada tanah plinthic kandiudults. J. Tanah Trop.
7:59-73.
Kochian, L.V., Hoekenga, O.A., Pineros, M.A., 2004.
How do crop plants tolerate acid soils.
Mechanisms of aluminum tolerance and
phosphorous efficiency. Annu. Rev.Plant Biol.
55:459-493.
Kpomblekou, A. K. and M. A. Tabatabai, 1994. Effect
of organic acids on release of phosphorus from
phosphate rocks. Soil Sci. 158:443-453.
Kpomblekou, A. K. and M. A. Tabatabai, 2003. Effect
of low-molecular weightorganic acids on
phosphorus release and phyto availability of
phosphorus in phosphate rocks added to soil.
Agric. Ecosystem Environ. 100:275-284.
Li, Li, W. Huang, P. Peng, G. Sheng, and J. Fu, 2003.
Chemical and Molecular Heterogeneity of Humic
Acids Repetitively Extracted from a Peat. Soil Sci.
Soc. Am. J. 67(3): 740-746.
Lesovaya, S. N., S. V. Goryachkin, and Yu. S.
Polekhovskii, 2012. Soil Formation and
Weathering on Ultramafic Rocks in the
Mountainous Tundra of the Rai-Iz Massif, Polar
Urals. Eurasian Soil Science. 45(1):33-44.
Nichols, D.M., K.D. Glover, S.R. Carlson, J.E. Specht
and B.W. Diers, 2006. Fine Mapping of a Seed
Protein QTL on Soybean Linkage Group I and Its
Correlated Effects on Agronomic Traits. Crop Sci.
46:834-839.
Rocha, J. C., A.H. Rosa and M. Furlan, 1998. An
alternative metodology for the extraction of humic
substances from organic soils. J. Braz. Chem.
Soc.,9(1):52-56.
Rossita Shapawi, R., I. Ebi, and A. Yong, 2013.
Soybean Meal as a Source of Protein in
J. Agroteknos
Formulated Diets for Tiger Grouper, Epinephelus
Fuscoguttatus Juvenile. Part I: Effects on growth,
survival, feed utilization and body compositions.
Agricultural Sciences. 4(7):317-323.
Santoso, D., 1991. Agricultural land of Indonesia.
IARD, J. 13:33-36.
Simatupang, P., Marwoto, dan D.K.S. Swastika, 2005.
Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di
Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Pengembangan Kedelai di Lahan Sub Optimal.
Balitkabi Malang, 26 Juli 2005.
Straaten, P.v., 2007. Agrogeology : The use of rocks
for crops. Departemen of Land Resource Science
University of Guelph, Ontario. Canada. 440 p.
Takeshita, H., C. Gouzu and T. Itaya, 2004. Chemical
features of white micas from The Piemonte Calcschist, Western Alps and Implications for K-Ar
Ages of Metamorphism. Gondwana Research.
7(2):457-466.
Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A.
Syukur, 2011. Characteristics of soil derived from
ultramafic rocks for Extensification of Oil Palm in
Langgikima, North Konawe, Southeast Sulawesi.
J. Agrivita. 33(1):93-102.
Zwolicki, A., K. M. Zmudczyn´ska-Skarbek, L.
Iliszko, and L. Stempniewicz, 2013. Guano
Deposition and Nutrient Enrichment in the
Vicinity of Planktivorous and Piscivorous Seabird
Colonies in Spitsberg. Polar Biol, 36:363-372.
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 163-169
ISSN: 2087-7706
HUBUNGAN KEKERABATAN AKSESI PISANG KEPOK (Musa paradisiaca
Formatypica) DI KABUPATEN MUNA BERDASARKAN KARAKTER
MORFOLOGI DAN PENANDA RAPD
Genetic Relationship of Kepok Banana (Musa paradisiaca
Formatypica) Accessions in Muna Regency Based on Morphological
Characters and RAPD Markers
TEGUH WIJAYANTO*), DIRVAMENA BOER, LA ENTE
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
ABSTRACT
Twenty-four accessions that belong to four groups of kepok banana in Muna Regency
have been analyzed for their genetic diversity based on morphological characters
(qualitative and quantitative characters), and a few accessions based on RAPD markers. This
study aimed to determine the genetic diversity and phylogenetic relationship of accessions
of kepok bananas based on 52 qualitative and 12 quantitative morphological characteristics
and DNA characteristics. Results of clustering analysis showed the euclidian values ranged
between 0.50 to 1.00 for the qualitative data, 0.01 to 0.50 for quantitative data, and 0.83 to
0.88 for DNA profile data. Combined qualitative and quantitative data had similarity
coefficient ranged from 0.00 to 2.50. Dendogram of each character produced 2 main groups.
The main group 1 formed subgroups. Although the qualitative and quantitative characters
resulted in different accession groupings, the combined data analysis of quantitative and
qualitative data showed that kepok banana in Muna regency was classified into 4 sub
groups namely banana Manuru, Bugisi, Jiwaka and Manuru Lakabu.
Keywords: cluster analysis, kepok banana, qualitative and quantitative characters,
morphology, RAPD markers.
1PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu pusat
keragaman genetik tanaman dunia, termasuk
tanaman pisang (Damayanti dan Samsurianto,
2010). Untuk mengetahui lebih jauh besarnya
keragaman genetik tersebut maka perlu
dilakukan identifikasi dan analisis keragaman
genetik.
Kegiatan identifikasi keragaman
genetik juga penting untuk keperluan
perbaikan sifat genetik tanaman dalam upaya
menghasilkan varietas atau klon-klon baru
masa depan yang lebih baik untuk
dibudidayakan (Prihatman, 2000; Prahardini
et al., 2010; Ocimati et al., 2014)).
Kegiatan eksplorasi, inventarisasi dan
pelestarian plasma nutfah pisang di Indonesia
masih terbatas. Hal ini disebabkan karena
koleksi tanaman pisang saat ini berada di
*) Alamat Korespondensi:
E-mail:: [email protected]
tempat yang terpencar-pencar. Keadaan ini
menyebabkan pengelolaan tanaman koleksi
menjadi tidak optimal, sehingga tampilan
tanaman juga tidak optimal dan seringkali
mengacaukan data karakteristik varietas atau
klon (Sukartini, 2006).
Keragaman pisang kepok secara umum dan
secara khusus di Kabupaten Muna belum
teridentifikasi dengan baik, baik secara
morfologi maupun genetik.
Identifikasi
genetik suatu populasi plasma nutfah adalah
suatu kegiatan untuk memeriksa keragaman
aksesi berdasarkan sejumlah karakter penciri
(Darmono, 1996; IPGRI, 1996; Lengkong,
2008). Identifikasi morfologi yang dilakukan
dapat digunakan untuk melakukan analisis
kekerabatan antara aksesi. Berkaitan dengan
hal tersebut, banyak sedikitnya jumlah
karakter
morfologi
yang
mempunyai
heritabilitas atau repeatabilitas tinggi akan
Vol. 3 No.3, 2013
Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok
menentukan keakuratan pengelompokan
aksesi-aksesi (Sukartini, 2006).
Keragaman populasi tanaman pisang
sangat diperlukan dalam penyusunan
strategi pemuliaan guna mencapai
perbaikan varietas pisang secara efesien di
masa yang akan datang (Ekesa, 2012; Galal
et al., 2014). Dengan dasar inilah maka
dilakukan penelitian analisis keragaman
genetik berbagai aksesi pisang kepok di
Kabupaten Muna. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui keragaman
genetik dan hubungan kekerabatan antar
aksesi pisang kepok yang ada di
Kabupaten Muna, berdasarkan karakter
morfologi dan penanda RAPD.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan
pada pengamatan karakter morfologi adalah
anakan pisang kepok yang dikoleksi dari 10
Kecamatan di Kabupaten Muna. Alat yang
digunakan berupa cangkul. Sabit, ember,
timbangan, meteran, mistar, kamera digital
dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan
pada pengamatan penanda RAPD adalah
Buffer CTAB, pasir kuarsa, larutan PCI, dH2O,
etanol 70 %, aquades, RNAse, primer, master
mix, TAE, Enzim taq polymerase, agaros,
ethidium bromida, loadyng dye dan buffer TE.
Alat yang digunakan berupa : mikropipet, tip,
sentrifugator, spin, vorteks, sel elektroforesis,
mesin PCR, waterbath, tabung eppendorff,
inkubator, timbangan analitik, photoforesis,
cetakan agaros, hotplate, spektrofotometer,
alu dan mortal, spatula, kuvet dan
kulkas/refrigerator. Pengamatan profil DNA
dilakukan di Laboratorium Genetika Fakultas
MIPA Universitas Halu Oleo Kendari.
Analisis Karakter Morfologi. Eksplorasi
aksesi pisang kepok dilakukan pada 10
kecamatan di Kabupaten Muna, diambil
anakannya selanjutnya ditanam pada lokasi
penelitian. Sebanyak 24 aksesi anakan pisang
kepok diperoleh, dan dilakukan karakterisasi
morfologi berdasarkan panduan deskripsi
pisang INIBAB (2001), berupa 52 karakter
kualitatif dan 12 karakter kuantitatif.
Analisis Penanda RAPD. Isolasi DNA
dilakukan dengan memodifikasi metode yang
digunakan oleh Rabi’ah (2005). Bahan isolasi
adalah 0,1 - 0,2 g daun muda pisang kepok,
164
digerus dengan menggunakan pasir kuarsa
sampai membentuk serbuk halus, lalu
dimasukan ke dalam tabung eppendorff dan
ditambahkan sekitar 600 µl buffer ekastraksi.
Kemudian diinkubasi dalam waterbath pada
suhu 650C selama 30 menit.Campuran ini
disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 10
menit. Suprenatant dipindahkan kedalam
tabung steril baru dan ditambahkan 1 x
volume
PCI
(Phenol-Chalorofom-Isoamil
Alcohol). Pemisahan fraksi di dalam campuran
dilakukan dengan mengambil fase cair dan
memindahkannya ke dalam tabung eppendorff
baru dan disetrifugasi pada 10.000 rpm
selama 10 menit dengan suhu 40C.
Supernatant hasil pemurnian dipindahkan ke
dalam tabung baru ditambahkan 1 x volume
etanol absolut, diinkubasi dalam suhu 40C
selama 2 jam, selanjutnya disetrifugasi
kembali pada 10.000 rpm selama 10 menit
dengan suhu 4 menit. Gumpalan DNA yang
terbentuk (pelet) dicuci dengan 0,5 µl etanol
70%, kemudian dikering anginkan dan
diinkubasi selama 12 jam pada suhu 370C.
Uji kualitas dan kuantitas DNA dilakukan
melalui elektroforesis dan spektrofotometer.
Uji kuantitats DNA melalui elektroforesis pada
prinsipnya dilakukan dengan memigrasikan
DNA hasil isolasi dalam gel agaros dan
dirunning dalam bak elektroforesis pada
tegangan 100 volt selama 30 menit. Pita hasil
isolasi dapat dilihat dengan manggunakan alat
photoforesis.
Uji
kuantitas
melalui
spektrofotometer pada prinsipnya adalah
melihat densitas DNA secara optik (Optical
Density) pada gelombang 260 nm dan
disetarakan dengan 50 µg/mL setiap 1 nilai
OD pada absorbansi UV gelombang tersebut.
Kualitas
DNA
diketahui
dengan
membandingkan hasil OD pada absorbansi
260 nm terhadap 280 nm.
Seleksi
primer
dilakukan
untuk
mendapatkan
primer
yang
dapat
menghasilkan
produk amplifikasi
dan
mempunyai tingkat keragaman genetik yang
tinggi. Beberapa primer yang akan diseleksi,
yaitu: OPA-12, OPA-18, OPD-10, OPB-10 dan
OPH-07.
Seleksi primer menggunakan 5
sampel DNA pisang kepok yang memiliki
perbedaan struktur secara morfologi, yaitu,
K20-H2, K06-C1, K11-D4, K05-B2 dan K10-D3.
Proses amplifikasi DNA dilakukan dengan
menggunakan mesin PCR. Metode dan
prosedur PCR ini mengacu pada prosedur
165
Wijayanto et al.
J. Agroteknos
hasil modifikasi Rabi’ah (2005). Bahan
campuran untuk satu tabung reaksi PCR
terdiri atas dNTPs (gabungan dari dATP,
dCTP, dGTPdan dTTP), satu macam primer
RAPD, buffer PCR, DNA template hasil isolasi,
enzim Taq DNA polymerase dan air bebas ion.
Eletroforesis dan visualisasi hasil amplifikasi
PCR menggunakan alat photophoresis, untuk
melihat karakteristik pita DNA yang
teramplifikasi.
Data hasil pengamatan morfologi berupa
data kualitatif disajikan dalam bentuk data
biner
dan
dianalisis
hubungan
kekerabatannya dengan menggunakan jarak
genetik Match Maching, selanjutnya data
kuantitatif distandarisasi terlebih dahulu
selanjunya
dianalisis
hubungan
kekerabatannya dengan menggunakan jarak
genetik euclidian. Selanjutnya data tersebut
dianalisis gerombol dengan menggunakan
program NTSYS (Numerical Taxonomy and
Multivariate).
Data hasil RAPD juga disajikan dalam
bentuk data biner berdasarkan ada tidaknya
pita DNA. Analisis kemiripan antar aksesi
dilakukan dengan menggunakan prosedur
SIMQUAL (Similarity for Qualitative).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang
Kepok Berdasarkan Data Kualitatif. Hasil
pengamatan terhadap 52 karakter kualitatif
menunjukkan adanya penampilan yang
beragam pada beberapa aksesi, namun ada
a
1
b
beberapa aksesi yang memiliki penampilan
sama. Secara visual, keragaman karakter
kualitatif yang diamati pada daun adalah
bentuk pangkal daun, bentuk membuka
pangkal daun, lilin bawah daun, simetris
pangkal daun, warna belakang daun
menggulung, warna permukaan atas daun,
warna permukaan bawah daun, warna tepi
daun, warna tulang daun atas dan warna
tulang daun bawah. Variasi yang terdapat
pada tangkai daun (petiola) adalah: bentuk
tepian petiola, lilin petiola, warna petiola dan
warna tepian petiola. Variasi pada batang
muda yang diamati adalah keadaan bercak
batang, warna pigmentasi batang bagian
dalam, warna pigmentasi batang bagian luar,
warna bercak batang, warna dasar batang
bagian dalam, warna dasar batang bagian luar
dan lilin pada batang. Variasi pada anakan
adalah: warna daun anakan, warna tepian
daun anakan, warna tulang daun atas, warna
tulang daun bawah, keadaan lilin permukaan
bawah daun, warna petiola daun anakan,
warna tepian petiola anakan, warna tepi
petiola,warna tunas anakan dan bercak batang
anakan. Variasi yang nampak pada karakter
buah adalah keadaan permukaan kulit buah,
warna daging buah masak dan bentuk ujung
buah.
Hasil analisis gerombol terhadap seluruh
data kualitatif pisang kepok menghasilkan
dendogram dengan koefisien kemiripan
sebesar 0,50 – 1,00 seperti tampak pada
Gambar
1.
a1
a2
2
Gambar 1.
Dendogram hubungan kekerabatan 24 aksesi pisang kepok berdasarkan data 52 karakter
kualitatif
Vol. 3 No.3, 2013
Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok
Berdasarkan dendogram pada Gambar 1
terlihat
bahwa
terdapat
hubungan
kekerabatan yang signifikan dengan nilai
koefisien kemiripan antara 0,51– 1,00.
Semakin kecil nilai koefisien kemiripan
(mendekati
nol),
maka
hubungan
kekerabatannya semakin jauh dan sebaliknya
semakin besar nilai koefisien kemiripan
(mendekai
satu),
maka
hubungan
kekerabatannya
semakin
dekat.
Hasil
pengelompokan
aksesi
berdasarkan
dendogram data kualitatif disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok aksesi pisang kepok berdasarkan dendogram data kualitatif
Kelompok utama
1
Sub Kelompok
a1
a2
B
2
C
Aksesi
K01-A1, K04-B1, K06-C1, K08-D1, K12-E1, K14-F1, K16-G1,
K19-H1, K21-I1, dan K23-J1
K03-A3, K10-D3 dan K18-G3
K02-A2, K05-B2, K07-C2, K09-D2, K13-E2, K15-F2, K17-G2,
K20-H2, K22-I2, dan K24-J2
K11-D4
Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang
Kepok Berdasarkan Data Kuantitatif.
Berdasarkan data karakter kuantitatif pisang
166
Nama Lokal
Manuru
Jiwaka
Bugisi
Manuru Lakabu
kepok umur 10 bulan diperoleh
nilai
maksimal dan minimal serta rata-rata setiap
karakter seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai minimal, maksimal dan rata-rata karakter kuntitatif pisang kepok
Karakter yang diamati
Lebar daun
Panjang daun
Rasio panjang dan lebar daun
Jumlah daun
Dalam kanal petiola
Keliling petiola
Lebar kanal petiola
Lebar tepian petiola
Panjang petiola
Keliling batang
Tinggi batang semu
Jumlah anakan
Nilai
Minimal
Ukuran
55,23 cm
160,00 cm
2,40
6,33 lbr
1,73 cm
11,77 cm
1,10 cm
0,30 cm
32,70 cm
44,63 cm
215,33 cm
0 anakan
Aksesi
K11-D4
K18-G3
K01-A1
K14-F1
K11-D4
K11-D4
K04-B1
K11-D4
K01-A1
K11-D4
K07-C2
K01A1, K04-B1, K12-E1,
K16-G1
Berdasarkan analisis gerombol dihasilkan
dendogram dengan koefisien kemiripan
1a
1b
Gambar 2.
Maksimal
Ukuran
85,93 cm
280,33 cm
3,63
9,67 lbr
2,60 cm
17,37 cm
2,20 cm
1,55 cm
46,50 cm
85,57 cm
291,67 cm
1,76 anakan
Akasesi
K08-D1
K04-B1
K04-B1
K11-D4
K08-D1
K06-C1
K18-G3
K17-G2
K21-I1
K14-E1
K19-H1
K06-C1
Rata-rata
70,74
218,56
3,08
7,97
2,14
13,86
1,73
0,79
40,90
60,87
256,00
0,80
(euclidian) berkisar antara 0,01 - 0,50 seperti
tampak pada Gambar 2.
1
2
Dendogram hubungan kekerabatan 24 aksesi pisang kepok berdasarkan data 12 karakter
kuanlitatif
167
Wijayanto et al.
J. Agroteknos
Pola hubungan kekerabatan dari 12
karakter kuantitatif yang diamati pada 24
aksesi menunjukan keragaman dengan
pengelompokan tertentu. Pengelompokan
aksesi secara kuantitatif dari 24 aksesi pisang
kepok di Kabupaten Muna tidak terlalu tegas
seperti pada pengelompokan aksesi secara
kualitatif. Hal ini disebabkan karena karakter
kuantitatif sangat rentang dengan pengaruh
faktor lingkungan.
Beberapa faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi
perbedaan karakter morfologi tanaman pisang
antara lain kondisi fisiologis individu tanaman,
terutama kemampuan menyerap unsur hara
tanaman dan serangan hama dan penyakit
(Robi’ah, 2005).
Pengelompokan aksesi pisang kepok
berdasarkan dendogram data kuantitatif
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kelompok aksesi pisang kapok berdasarkan dendogram data kuantitatif
Kelompok
utama
1
2
Sub
Kelompok
A
B
C
Aksesi
K01-A1, K19-H1, K20-H2, K24-J2, K21-I1, K09-D2, K14-F1, K02-A2,
K08-D1, K05-B2, K12-E1, K13-E2, K22-I2, K15-F2, K23-J1 dan K10-D3.
K03-A3, K18-G3, K16-G1 dan K11-D4
K04-B1, K06-C1, K07-C2 dan K17-G2.
Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang
Kepok Berdasarkan Data Gabungan
Karakter Kualitatif dan Kuantitatif.
Berdasarkan analisis gerombol terhadap
seluruh data gabungan karakter kualitatif dan
kuantitatif pisang kepok di Kabupaten Muna,
dihasilkan dendogram dengan koefisien
kemiripan (similariti) berkisar antara 0,00 2,50 seperti tampak pada Gambar 3.
a1
a2
a1
a2
Pengelompokan aksesi pisang kepok
berdasarkan hasil dendogram
tersebut
menunjukkan hal yang sama seperti pada
gambar dendogram data kualitatif. Semakin
kecil jarak genetik antara dua aksesi yang
dibandingkan,
maka
hubungan
kekerabatannya semakin dekat dan semakin
besar jarak genetik antara dua aksesi yang
dibandingkan,
maka
hubungan
kekerabatannya semakin jauh.
a
b
a
1
b
2
1
2
Gambar 3. Dendogram aksesi pisang kapok berdasarkan gabungan data kualitatif dan kuantitatif
Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang
Kepok Berdasarkan Penanda RAPD
Sebanyak 5 aksesi pisang kepok yang diisolasi
DNA nya, hanya 3 aksesi yang teramplifikasi
dengan PCR, yaitu aksesi K20-H2, K06-C1 dan
K11-D4.
Hasil amplifikasi DNA-PCR
ditampilkan pada Gambar 4.
Vol. 3 No.3, 2013
Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok
1
Gambar 4.
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
168
M
Profil pita DNA pisang kepok hasil PCR. Primer OPA-18 untuk sumur 1,2 dan 3, primer
OPH-07 untuk sumur 5, 6 dan 7, dan primer OPD-10 untuk sumur 9,10 dan 11. Sumur 4 dan
8 adalah DNA Phage Lamda PstI. Sumur 1, 5 dan 9 untuk aksesi K20-H2, sumur 2, 6 dan 10
untuk aksesi K06-C1 dan sumur 3, 7 dan 11 untuk aksesi K11-D4. M adalah ukuran
(Ladder) Phage Lambda DNA PstI.
Berdasarkan analisis clustering penanda
RAPD nampak bahwa secara genetik dari 3
aksesi yang teramplifikasi dalam PCR memiliki
keragaman dengan nilai koefisien kemiripan
antara 0,83 - 0,88. Aksesi K20-H2 dan K06-C1
memiliki kekerabatan yang sangat dekat
dengan koefisien kemiripan 0,88, sehingga
tergabung dalam satu kelompok, sedangkan
aksesi K11-D4 sedikit berbeda dengan aksesi
K20-H2 dan K06-C1 dengan nilai koefisien
kemiripan sebesar 0,83.
Hal ini tampak
seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Dendogram aksesi pisang kapok berdasarkan data RAPD
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Aksesi pisang kepok di Kabupaten Muna
berdasarkan
karakteristik
kualitatif
memiliki hubungan kekerabatan dengan
koefisien kemiripan antara 0,51 s.d 1,00,
dan terkelompok dalam 4 (empat) grup,
yaitu pisang Manuru, pisang Bugisi, pisang
Jiwaka dan pisang Manuru Lakabu.
Berdasarkan karakter kuantitatif, aksesi
pisang kepok tersebut tidak terkelompok
secara tegas seperti pada karakteristik
kualitatif. Secara kuantitatif mereka
memiliki hubungan kekerabatan dengan
koefisien kemiripan antara 0,01 sampai
0,50.
2. Aksesi pisang kepok di Kabupaten Muna
berdasarkan karakteristik gabungan data
kualitatif
dan
kuantitatif
memiliki
pengelompokan yang sama dengan
pengelompokan secara kualitatif, dan
169
Wijayanto et al.
memiliki hubungan kekerabatan dengan
koefisien kemiripan antara 0,00 sampai
2,50.
3. Dari 3 (tiga) aksesi pisang kepok yang
berhasil diamplifikasi secara PCR-RAPD
(aksesi K20-H2, K06-C1 dan K11-D4),
maka diketahui bahwa mereka memiliki
hubungan kekerabatan dengan koefisien
kemiripan antara 0,83 sampai 0,88.
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, F. dan Samsurianto, 2010.
Konservasi invitro Plasma Nutfah Pisang
untu aplikasi di Bank Gen. Bioprospek, Vol.
7(2): 86-90.
Darmono, T.W., 1996. Ulas balik analisis
keragaman tanaman dengan teknik
molekuler (Analysis
of plant genetic
variation with molecular technique).
Hayati, 3(1): 7-11.
Ekasa, B.N., 2012. Bioaccessibility of provit A
in banana (Musa sp). Food Chemistry 133:
1471-1477.
Galal, A.A., I.A. Ibrahiem, and J.M. Salem, 2014.
Influence of triadimefon on the growth and
development of banana cultivars. African J.
of Biotech. Vol 13(16): 1694-1701.
INIBAP,
2001.
Banana
diversity.
International network
for
the
improvement of Banana and plantain.
IPGRI, 1996. Discriptors for banana (Musa spp
). International plant genetic, Resources
Institute Rome Monllier, 55 pp.
Lengkong, E., 2008.
Keragaman genetic
plasma nutfah pisang (Musa sp) di
Kabupaten Minahasa Selatan dan Minahasa
Tenggara. Jurnal Formas, hal. 302-310.
Ocimati, W., G. Blomme, and C. Murekezi,
2014. Musa germplasm diversity status. J.
Appl. Biosc. 73:5979-5990.
Prahardini, PER., Yuniarti, dan A. Krismawati,
2010. Karaterisasi varietas unggul pisang
Mas Kirana dan Agung Semeru di
Kabupaten Lumajang.
Buletin Plasma
Nutfah, Vol 16(2): 126-133.
Prihatman, K., 2000. Pisang (Musa spp).
http://www. Ristek.go.id
Robi’ah R.H., 2005. Analisis keanekaragaman
genetik pisang introduksi (Musa spp)
berdasarkan penanda fenotipik dengan
penanda RAPD.
Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
J. Agroteknos
Sukartini, 2006.
Pengelompokan aksesi
pisang menggunakan karakter morfologi.
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropik.
J.Hort, 17(11): 26 -33.
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 170-177
ISSN: 2087-7706
THE STUDY ON CONTRIBUTION OF TEMPERATURE AND SOLAR
RADIATION INTENSITY TO FROGEYE DISEASE DEVELOPMENT ON
TOBACCO
Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari terhadap
Perkembangan Penyakit Patik pada Tembakau
AHMAD RAFIQI TANTAWI1*, BAMBANG HADISUTRISNO2, HARYONO SEMANGUN2, I. HARTANA2,
LISNAWITA3
1Program
study of Agrotechnology, Agriculture Faculty, Medan Area University, Medan;2 Departement of
Plant Pest and Disease, Agriculture Faculty, Gadjah Mada University 3Program study of Agroecotechnology,
Agriculture Faculty, University of Sumatera Utara, Medan
ABSTRAK
Tembakau merupakan tanaman penting di Indonesia karena peranannya bagi
ekonomi Indonesia dan lapangan kerja. Salah satu faktor penghambat produksi tembakau
adalah penyakit patik (frogeye), penyakit cendawan yang disebabkan oleh Cercospora
nicotianae Ell. Et. Ev. Ledakan penyakit ini diduga berhubungan erat dengan aspek cuaca,
seperti kecepatan angin, suhu, intensitas radiasi matahari dan kelembapan relatif.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Program Studi Hama dan Penyakit
Tanaman, Fakultas pertanian, UGM dan di dua perkebunan tembakau di Jember dan Klaten
untuk mempelajari pengaruh/peranan suhu dan intensitas radiasi matahari terhadap
perkembangan penyakit patik pada tembakau. Hasil penelitian menunjukan bahwa
perkembangan penyakit patik dipengaruhi oleh faktor-faktor cuaca, seperti: suhu, namun
intensitas radiasi bukan merupakan faktor penting pada perkembangan penyakit ini.
Kata Kunci: tembakau, suhu, intensitas radiasi matahari, perkembangan penyakit patik.
1INTRODUCTION
Frogeye constitutes (Cercospora nicotianae
Ell. Et Ev.) a significant disease on the scope of
tobacco (Nicotiana tabacum L.). Based on
Dalmadiyo (1999), more than 60 % of NaOogst besuki tembakau leaves are broken,
which are caused by frogeye with 100 billion
rupiahs loss, and 100 – 125 billion rupiahs
loss for bawah naungan tobacco.
The development of this disease really
depends on the climate and temperature.
The climate factors that have influence on
tobacco cultivation are temperature,
humidity, rain fall, solar radiation and
wind (Akehurst, 1981; Cahyono, 1998).
Tobacco needs all day’s continuous
radiation of the sun. Therefore, the
location of tobacco planting is focused in
*) Corresponding author:
E-mail: [email protected]
the open area toward the radiation of the
sun and the stable velocity of the wind
blows. The temperature of tobacco
cultivation is varied, but generally, it is
planted on temperature range 21 - 32, 3
oC, 2000 mm/year rainfall for the low land
tobacco and 1500 – 3500 mm/year rainfall
for the highland tobacco (Akehurst, 1981;
Cahyono, 1998).
The very humid weather condition will
give a great advantage for the growth of
Cercospora. The frogeye attack tends to be
broader while the weather is getting
humid before the harvest comes (Hartana,
1998b).
Cercospora
will
become
devastating on the relatively high field
temperature, particularly during the
months which have a very high
temperature. The spots which exist on the
leaves will grow fast during the hot
temperature, humid and rainy (Lamey, et
Vol. 3 No.3, 2013
Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 171
al. 1996; Agrios, 1997). Based on
Dickinson (1976), the weather factors that
affect fungi are: 1). Temperature, affect on
the growth line and the existence of
hyphae and propagules, 2). Rain fall and
moisture, will directly affect on the
humidity of the leaves that will enable the
existence of germination and the growth
of
pathogens,
exudation
and
sendimentating konidium on the surface
of the plant and the dispersal. 3).Humidity,
gives influence on the ability to survive,
the growth of pathogen and the release of
the spore, 4). Wind, will become as the
medium of the spreading process and the
sedimentating konidium on the plant
surface, and 5). Light, affect on exudation,
sporulation,
konidium
dispersal,
germination and growth.
Although there is a lot of information
related to the influence of the weather toward
the growth of frogeye, but the research on
frogeye forecasting on tobacco, has not been
conducted yet. The forecasting on frogeye
infection rate, particularly for the type of
forecasting which is arranged based on the
amount of konidium in the air, the complete
weather elements, and the relation with the
infection rate has not been found yet. Whereas
this information is important as the basic
forecasting of frogeye on tobacco with the
result that the anticipation can be
implemented before the explosion of frogeye
emerges.
Based on the matter, the research is
conducted which has a purpose of
understanding
the
contribution
of
temperature and the intensity of solar
radiation toward the growth of frogeye on
tobacco.
MATERIAL AND METHOD
The research is conducted at Mikrologi
Laboratorium, Department of Plant Pest and
Disease, Agriculture Faculty, Gajah Mada
University and in the tobacco cropping which
is the property of PTPN X with the second
series of location of cropping in Jember and in
Klaten. The tobacco varieties used are H382
and TV38 x G. The observation in Jember is
conducted from September to October;
meanwhile the observation in Klaten is
conducted from November to December. The
determination of location for the temperature
measurement, the solar radiation intensity,
and the growth of frogeye are implemented in
the PTPN X plantation area in Jember and
Klaten which were the frogeye endemic. The
selective location is based on the age of the
even plants and still enable to do research for
two months, the width of overlay is 5 hectares,
the cropping area is flat, which is not blocked
by tall trees, with the result that the solar
radiation is not blocked, and the frogeye is
found. The observation of temperature and
solar radiation intensity is conducted for each
4 hours, during ten days, for each month.
RESULT AND DISCUSSION
The observation result for the relation
between temperature and the solar radiation
intensity toward the frogeye intensity can be
seen in Table 1, 2, 3, and Picture 1, 2, 3.
The intensity of disease at pre harvest
phase of NO besuki tobacco in Jember. In
the dry month, which coincides with the pre
harvest phase in Jember, the intensity of
frogeye shows a progress which is in accord
with the lowness of wind velocity (X1),
temperature (X2), length of time of solar
radiation (X5) and the increase of air humidity,
the solar radiation intensity, and the konidium
dispersal (X7). The air humidity (X3) and the
solar radiation intensity (X4) indicate the tiny
role toward the increase of frogeye at pre
harvest phase in the dry month. The
correlation analysis result (data is not shown)
seems that during the pre harvest, all weather
elements indicate a tiny influence toward the
intensity of frogeye, whereas the influence of
amount of konidium seems bigger. It means
that during the dry month, all weather
elements do not support the growth of
frogeye, with the result that the frogeye grows
slowly. (Table 1, Pigure 1). Kerr (1998), based
on his research on Cercospora beticola, the
infection and the epidemic development of
Cercospora leaf spot, depends on the existence
of susceptive of parent varieties, the enough
amount of inokulum, and the length of period
of wet leaf on the high temperature inside the
plant canopy. Generally, the infection occurs if
the night temperature is higher than 60 F (15,
5 oC), the day temperature is 80 – 90 oF (26, 7
– 32, 2 oC), and the length of period of wet leaf
172
Tantawi et al.
J. Agroteknos
is more than 11 hours. In the dry month, in
Jember, the period of moisture just occurs for
7 – 8 hours, with the result that the period of
wet leaf does not occur simultaneously with
the konidium dispersal.
The intensity of disease at harvest phase
of NO besuki tobacco in Jember. The
intensity of disease in the humid month which
coincides with the harvest phase indicates the
frogeye intensity increases rapidly and
exponentially. The increase of this disease
intensity is supported by the high humidity
(X3), the reducing length of time of solar
radiation (X5), and the konidium dispersal
(X7). The decrease of temperature (X2), as the
effect of the weather change (from dry to
humid) has a tiny effect toward the
development of frogeye.
The humid month which coincides with the
harvest phase, the wind velocity is slower than
during the pre harvest in the dry month.
Besides, at harvest phase in humid month,
konidium is heavier, because of containing the
higher water content that is compared with
konidium in dry month at pre harvest phase.
This circumstance creates a condition that
supports the increase of the disease intensity.
Besides, at harvest phase, the crop canopies
have covered one another, with the result that
it can increase the humidity inside the canopy.
The air humidity and the high amount of
konidium, temperature and the short length of
time of solar radiation increase the intensity of
frogeye on tobacco. The solar radiation
intensity indicates the unworthy effect toward
the disease intensity in the humid month
(Table 2, Pigure 2).
In the humid month, the period of wet leaf
is longer. Kerr’s research (1998) indicates
that; at 60 F (15,5 C), it is required at least 20
hours wet leaf for the occurrence of infection.
At 70 oF (21 oC) the infection has been able to
occur if the period of wet leaf is 3 hours. Kerr’s
research (1998) is conducted in the sub tropic
condition. The temperature condition that is
examined in Kerr’s research is very difficult to
simulate in the tropic area. The data that has
been collected during the research in the
humid month (Table 2), indicates that the
humidity during the day never reaches 90 %.
The intensity of frogeye in the humid month
increases from 13,4 – 32,29 %.
Table 1. The average daily temperature, solar radiation intensity, and the intensity of frogeye on tobacco
in the dry month at the pre harvest phase of besuki tobacco in Jember.
No.
Date
1.
11-Sep
3.
13-Sep
2.
4.
5.
6.
7.
12-Sep
14-Sep
15-Sep
16-Sep
17-Sep
8.
18-Sep-01
10.
20-Sep
9.
11.
12.
13.
14.
15.
19-Sep-01
21-Sep
22-Sep
23-Sep
24-Sep
25-Sep
Hour
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
Temperature (º)
*
24,5
29,8
25,0
30,5
26,0
28,3
24,5
29
25,63
30,0
25,6
29,8
26,0
28,3
26,0
28,7
25,0
28,5
24,5
27,5
24,0
28,3
24,0
29,0
23,0
29,3
25,0
28,8
Solar Radiation Intensity
*
0,0
215,5
0,0
215,0
0,0
156,7
0,0
169,3
0,0
144,0
0,0
110,3
0,0
180,0
0,0
228,3
0,0
228,3
0,0
229,0
0,0
188,3
0,0
274,7
0,0
258,3
0,0
153,0
Disease Intensity (%)
0,635
0,716
0,796
0,876
0,957
1,037
1,117
1,198
1,278
1,358
1,438
1,519
1,599
1,679
1,760
1,841
1,923
2,005
2,086
2,168
2,250
2,331
2,413
2,494
2,576
2,658
2,739
2,821
2,903
Vol. 3 No.3, 2013
Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 173
Table 2. The average daily temperature, solar radiation intensity, and the intensity of frogeye on tobacco
in the humid month at harvest phase of besuki tobacco in Jember.
No.
Date
1.
11-Okt
3.
13-Okt
2.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
12-Okt
14-Okt
15-Okt
16-Okt
17-Okt
18-Okt
19-Okt
20-Okt
21-Okt
22-Okt
23-Okt
24-Okt
25-Okt
Hour
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
Temperature
(ºC)
28,8
24,0
27,3
24,2
27,7
24,7
28,5
25,3
28,5
25,5
29,3
24,7
29,7
27,3
29,8
24,5
28,7
25,5
28,7
24,7
81,0
91,0
81,7
92,7
82,7
91,0
81,3
91,0
82,3
0,0
The Intensity of disease in the
vorstenland tobacco in Klaten. The research
that is held in Klaten, conducted in plant series
II from two series that are planted in PTPN X’s
farm in Klaten. The early process of plantation
series II occurs in the rainy season. Therefore
the observation occurs in the wet month. The
disease intensity in the vorstenland tobacco,
which is planted in the wet month, differs
from the disease intensity in the humid month
in Jember, the development is based on the
exponential
curve,
and
the
disease
development in vorstenland tobacco which is
Solar Radiation
Intensity
176,7
0,0
263,3
0,0
225,0
0,0
176,7
0,0
246,7
0,0
285,0
0,0
366,7
0,0
296,7
0,0
206,7
0,0
258,7
0,0
380,67
0,0
42000
0,0
30767
0,0
34900
0,0
30433
0,0
Disease Intensity
(%)
13,477
13,793
14,108
14,424
14,739
15,055
15,370
15,685
16,001
16,316
16,632
16,947
17,263
17,578
17,894
18,922
19,951
20,979
22,008
23,037
24,065
25,094
26,122
27,151
28,180
29,208
30,237
31,266
32,294
0
planted in the wet month is based on the linier
line. Pigure 3 indicates that the intensity of
frogeye in vorstenland tobacco, which is
planted during the rainy season, is affected by
the increase of wind velocity and the konidium
dispersal, temperature decrease, air humidity,
the intensity and the length of time of solar
radiation and rain fall. Several weather
elements indicate the different influence
toward the disease intensity during the rainy
season in the wet month, compared with the
dry and humid months.
Vol. 3 No.3, 2013
Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 175
Pigure 1.
The estimation curve of temperature effect and solar radiation intensity, toward the
intensity of frogeye in the dry month in Jember.
Pigure 2.
The estimation curve of temperature effect and solar radiation intensity, toward the
intensity of frogeye in the humid month during the harvest phase.
Pigure 3.
The estimation curve of relation between weather elements and the intensity of frogeye on
vorstenland tobacco during the wet month.
176
Tantawi et al.
J. Agroteknos
Table 3. The average daily temperature, solar radiation intensity, and the intensity of frogeye on tobacco
in the wet month at the harvest phase of vorstenland in Klaten.
Date
11-Nop
12-Nop
13-Nop
14-Nop
15-Nop
16-Nop
17-Nop
18-Nop
19-Nop
20-Nop
21-Nop
22-Nop
23-Nop
24-Nop
25-Nop
3-Des
4-Des
5-Des
6-Des
7-Des
8-Des
9-Des
10-Des
11-Des
12-Des
Hour
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
18.00-06.00
06.00-18.00
Temperature (ºC)
33,00
25,33
29,00
24,67
30,00
26,67
30,33
23,33
26,00
24,00
27,67
24,33
27,67
24,33
28,33
25,33
26,67
24,00
28,33
25,33
28,33
26,33
30,67
25,33
31,67
25,67
30,33
25,67
29,25
*
29,00
26,67
25,33
24,33
27,33
24,33
24,67
23,67
26,67
24,33
27,33
24,33
28,00
25,00
27,00
24,00
29,00
25,00
28,13
Solar Radiation Intensity
280,0
0,0
236,7
0,0
191,7
0,0
251,7
0,0
122,7
0,0
268,3
0,0
203,0
0,0
231,7
0,0
168,7
0,0
233,3
0,0
225,0
0,0
278,3
0,0
235,0
0,0
315,0
0,0
296,7
*
255,0
0
184,0
0
285,0
0
141,7
0,0
284,3
0,0
308,3
0,0
288,3
0,0
403,0
0,0
312,7
0,0
200,0
Disease Intensity
10,64
11,152
11,664
12,176
12,689
13,201
13,713
14,225
14,737
15,249
15,761
16,273
16,786
17,298
17,81
18,75
19,69
20,63
21,57
22,51
23,45
24,39
25,33
26,27
27,21
28,15
29,09
30,03
30,97
35,419
39,869
41,278
42,687
44,096
45,505
46,914
48,323
49,733
51,142
52,551
53,96
55,369
56,778
57,519
58,26
59,001
59,742
60,483
61,224
Vol. 3 No.3, 2013
Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 177
CONCLUSIONS
The elements of weather can affect the
konidium dispersal, the disease intensity and
the growth rate of frogeye. The growth rate of
disease can differ for the weather changes. At
the planting in Jember, the solar radiation
intensity shows a very small role toward the
increase of frogeye at the pre harvest phase in
the dry month. The intensity of frogeye
increase rapidly and exponentially at the
harvest phase of the NO besuki tobacco in
Jember and the vorstenland tobacco in Klaten,
which is in accord with the reducing solar
radiation intensity.
REFERENCES
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th Eds.
Academic Press, San Diego.
Akehurst, B.C. 1981. Tobacco. Tropical
Agriculture Series, Longman, London. 764
hlm.
Cahyono, B. 1998. Tembakau. Budidaya dan
Analisis Usaha Tani. Edisi Revisi. Kanisius,
Yogyakarta. 126 hlm.
Cahyono, B. 1998. Tembakau. Budidaya dan
Analisis Usaha Tani. Edisi Revisi. Kanisius,
Yogyakarta. 126 hlm.
Dalmadiyo G. 1999. Pengendalian Penyakit
Tembakau secara Terpadu. Di dalam :
Prosiding Semiloka Teknologi Tembakau.
Tirtosastro S, Rahman A, Isdijoso SH,
Gothama AAA, Dalmadijo G & Mukani
(eds.).. Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat, Malang.
Dickinson CH. 1976. Fungi on the Aerial
Surface of Higher Plants. Di dalam :
Micrology of Phyllosphere. Dickinson CH &
Preece TF (eds.). Cambridge University
Press.Cambridge. hlm. 77-100.
Hartana I. 1998. Penyakit-penyakit Jamur
pada Tanaman Tembakau dan Cara
Pengendaliannya. Makalah Penyegaran
Tenaga
Peneliti/Praktisi
Tembakau
Lingkup PTP Nusantara II dan X di Jember
pada 3-5 Nopember 1998.
Kerr, E.D. 1998. Cercospora Leaf Spot of Sugar
Beet. Cooperative Extension, Institute of
Agriculture and Natural Resources.
University
of
Nebrasca,
Lincoln.
http://www.ianr.unl.edu/pubs/plantdiseas
e/g1348. htm
Lamey HA, Cattanach AW, Bugbee WM &
Windels CE. 1996. Cercospora Leafspot of
Sugarbeet. North Dakota State University
Extension Service.
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 178-182
ISSN: 2087-7706
KARAKTERISASI BIOKIMIAWI RIZOBAKTERI ASAL GULMA
BERDAUN LEBAR YANG BERPOTENSI SEBAGAI DELETERIOUS
RHIZOBACTERIA
Biochemical Characterization of Rhizobacteria from broadleaf
weeds Potential as Deleterious Rhizobacteria
ASNIAH*), TRESJIA C. RAKIAN, MUHIDIN, GUSNAWATY HS, SRI WANGADI
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
ABSTRACT
The research aimed to know biochemical characters of rhizobacteria from broadleaf
weed that are potential as deleterious rhizobacteria. The research was conducted at
Agronomy Laboratory of Agriculture Faculty Halu Oleo University Kendari from January
until March 2013. The results showed that 9 of 10 rhizobacteria isolates tested from
broadleaf weeds rhizosphere had the ability to solubilize phosphate with different
diameters. For nitrogen fixation ability, all isolates tested were potential but only isolates of
ML-01 and KL-06 had high capability. All isolates had different ability to produce IAA, with
isolates of KL-06 produced higher concentration of IAA (33,07 ppm) compared to other
isolates. Isolates that had the ability to produce HCN were isolates BL-07, with filter paper
change from yellow to dark brown, and BL-08 and BL-03 light brown color changes indicated
to that the production of HCN was increased. Result of research showed that some isolates
tested had biochemical character as deleterious rhizobacteria by the ability to solubilize
phosphate, fix nitrogen, produce IAA and HCN.
Keywords: biochemical characterization, rhizobacteria, broadleaf weeds, deleterious.
1PENDAHULUAN
Gulma
adalah
tumbuhan
yang
keberadaannya dapat menimbulkan gangguan
dan kerusakan bagi tanaman budidaya.
Kehadiran gulma pada areal tanaman sangat
berpengaruh terhadap hasil panen. Hal ini
terjadi karena gulma memiliki kemampuan
dalam hal berkompetisi yang tinggi untuk
memperoleh air, unsur hara, cahaya matahari,
CO2, dan pemanfaatan ruang tumbuh (Rao,
2000).
Penggunaan herbisida sintetis yang
berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan karena sifatnya yang sulit terurai
dalam tanah sehingga meninggalkan residu
yang berbahaya bagi organisme lain terutama
manusia sebagai konsumen terakhir. Salah
satu alternatif usaha pengendalian gulma
pertanian yang ramah lingkungan adalah
Alamat Korespondensi:
Email: [email protected]
*)
menggunakan rizobakteri yang memiliki
potensi sebagai deleterious rhizobacteria yaitu
rizobakteri
yang
bersifat
memacu
pertumbuhan tanaman sekaligus sebagai
bioherbisida dalam pengendalian gulma.
Peranan rizobakteri selain sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman adalah memiliki
potensi sebagai bioherbisida terhadap gulma
sesuai dengan hasil penelitian Carvalho et al.
(2007) menunjukkan bahwa senyawa anti
metabolit yang dihasilkan oleh Bacillus cereus
mampu menghambat 52% pertumbuhan biji
gulma Brachiaria decumbens dan 48% biji
lainnya menjadi abnormal.
Penelitian ini sangat penting dilakukan
karena diharapkan menjadi solusi untuk
memecahkan masalah gulma sekaligus
mengembangkan
teknik
baru
dalam
pengendalian gulma secara biologi yang
murah dan ramah terhadap lingkungan serta
peningkatan pertumbuhan tanaman dengan
pemanfaatan
rizobakteri.
Tujuan
dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
Vol. 3 No.3, 2013
Karakterisasi Biokimiawi Rizobakteri Asal Gulma
karakter biokimiawi rizobakteri asal gulma
berdaun lebar yang berpotensi sebagai
deleterious rhizobacteria
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah koleksi isolat
rizobakteri, plastik wrap, alumunium foil,
alkohol 70 %, tissue, aquadesh, media TSA,
media glisin, agar, TCP, glukosa, yeast extract,
sukrosa, asam amino triptofan, NaCl, KCl,
MgSO4, MnSO4, FeSO4, (NH4)2SO4, KOH, H2SO4,
FeCL3, K2HPO4, KH2PO4, CaSO4 dan Na2MOO4.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
gelas kimia, timbangan analitik,
wiseclave, spatula, cawan petri, pelubang
gabus, pH meter, botol schoot, pipet mikro, hot
plate, erlenmeyer, shaker, tabung reaksi,
vortex, oven, laminar air flow cabinet, jarum
ose, spektrofotometer.
Sejumlah 10 isolat potensial yang diisolasi
dari rizosfer gulma berdaun lebar yang diuji
adalah berasal dari empat Kabupaten di
Sulawesi Tenggara yaitu Buton, Muna, Kolaka
dan Konawe Selatan. Kesepuluh isolat tersebut
telah dilakukan uji potensi sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman dan biherbisida pada
penelitian sebelumnya, kemudian penelitian
ini dilakukan karakterisasi Biokimiawinya.
Kemampuan
Melarutkan
Fosfat.
Untuk menguji kemampuan rizobakteri
melarutkan fosfat digunakan media uji
Pikovskaya’s agar dengan penambahan tricalcium posphate (TCP) sebagai sumber fosfat.
Komposisi per liter media yang digunakan
terdiri atas: glukosa (10g), NaC1 (0,2g), KC1
(0,2g), MgSO4 (0,1g), MnSO4 (2,5mg), FeSO4
(2,5mg), yeast extract (0,25g), (NH4)2SO4
(0,25g), dan agar-agar (15g). Media
disterilisasi dengan pemanasan menggunakan
autoklaf. Setelah sterilisasi pH media diatur
menjadi 7,2 dengan KOH 5 N. Media uji
dituangkan kedalam cawan petri, dibuat
lubang dengan pelubang gabus dan diisi
dengan 0,2 mL suspensi masing-masing 10
isolat rizobakteri yang diuji. Media uji yang
telah berisikan bakteri di inkubasi selama 3
hari dalam inkubasi dengan suhu 280C.
Perlakuan ini dilakukan dengan 3 kali
pengulangan. Kemampuan melarutkan fosfat
dari isolat yang diuji dievaluasi secara
kualitatif berdasarkan terbentuknya halo di
179
sekitar lubang yang berisi suspensi bakteri
(Thakuria et al., 2004).
Kemampuan
Memfiksasi
Nitrogen.
Kemampuan rizobakteri sebagai pemfiksasi
nitrogen secara bebas dari udara dilakukan
secara kualitatif dengan menggunakan media
Burk sebagai berikut: (1) MgSO4 2 g, K2HPO4 8
g, KH2PO4 2 g, dan CaSO4 1,3 gram dicampur
menjadi satu dan digunakan sebagai stok
media Burk Salt; (2) FeCl3 0,145 g dan
Na2MoO4 0,0235 g di larutkan dalam 100 mL
aquades dan dijadikan sebagai stok larutan FeMo. Sebanyak 1,3 gram media Burk Salt
dicampur dengan 1 mL stok larutan Fe-Mo lalu
ditambahkan 10 g sukrosa, semua bahan
tersebut dilarutkan dalam 1000 mL aquades
steril dan selanjutnya disterilisasi dengan
autoclave pada suhu 121oC tekanan 1 atm
selama 15 menit. Sebanyak 20 µl media Burk
salt dimasukan dengan tahap reaksi steril.
Sebanyak 1 ose isolat rizobakteri yang diuji
dimasukan kedalam larutan tersebut lalu
diinkubasi pada shaker inkubator selama 48
jam menggunakan 150 rpm. Isolat positif
sebagai pemfiksasi nitrogen jika bakteri
tersebut mampu tumbuh dalam larutan Burk
Salt yang ditandai dengan kekeruhan media
dalam tabung reaksi. Isolat yang tumbuh
diberi tanda + (positif), sedangkan yang tidak
tumbuh diberi kode – (negatif).
Produksi Asam Indol Asetat (IAA) .
Kemampuan masing-masing isolat rizobakteri
untuk memproduksi IAA dianalisis dengan
metode Glickman dan Dessaux (1995). Isolat
bakteri rizosfer ditumbuhkan selama 24 jam
dalam medium TSB untuk memacu sintesis
auksin, kedalam masing-masing media
ditambahkan asam amino triptofan 0,5 g∕l.
Kultur
bakteri
disentrifugasi
dengan
kecepatan 5000 rpm selama 30 menit,
kemudian supernatan dipisahkan dari
endapan bakteri, disaring dengan membran
nitroselulosa berporositas 0,2 g dan dianalisis
kandungan IAA-nya. Kandungan IAA dalam
filtrat kultur bakteri dideteksi dengan
menggunakan pereaksi FeCI3 12g∕l. dalam 7,9
M H2SO4. Pereaksi FeCI3 (1 ml) dan filtrat dan
kultur bakteri (1 mL) dimasukan dalam
tabung eppendorf (Volume 2 mL), dan
campuran di inkubasi didalam ruang gelap
pada suhu 26oC selama 30 menit. Setelah
periode inkubasi, nilai absorbansi dibaca
dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 550 nm. Kurva standar bedasarkan
180 Asniah et al.
J. AGROTEKNOS
nilai absorbansi larutan, IAA murni dengan
kosentrasi 0; 6,25; 12,5; 25; 50; 75; 100; 150
dan 200 ug/mL digunakan untuk menghitung
kandungan IAA dalam filtrat kultur bakteri.
Kemampuan Menghasilkan senyawa
HCN. Produksi senyawa HCN dari setiap isolat
rizobakteri dilakukan berdasarkan metode
yang dikembangkan Bakker dan Schipper
(Munif, 2001). Isolat bakteri rizosfer yang diuji
ditumbuhkan pada media glisin dalam cawan
petri. Pada bagian tengah tutup cawan petri
ditempelkan potongan kertas saring yang
telah direndam dalam larutan untuk
mendeteksi HCN (asam pikrat 2 g, natrium
karbonat 8 g, dalam 200 mL air). Kultur
bakteri diinkubasikan selama 4 hari pada suhu
24oC dan perubahan warna kertas saring
digunakan sebagai indikator terbentuknya
senyawa HCN. Warna kertas saring yang tetap
kuning mengindikasikan isolat yang diuji tidak
memproduksi HCN sedangkan warna coklat
muda, coklat dan merah bata mengindikasikan
produksi HCN yang semakin meningkat.
Semua data hasil pengamatan karakterisasi
biokimiawi dari setiap isolat rizobakteri yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Kode Isolat
Kandungan IAA (ppm)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan menunjukkan semua
isolat yang diuji dapat melakukan fiksasi N
tetapi tidak semua mampu memproduksi
senyawa metabolit HCN. Hasil pengamatan
karakter biokimia dari isolat rizobakteri dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kemampuan isolat rizobakteri dalam melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen, memproduksi IAA
dan HCN.
BL-03
BL-05
BL-07
BL-08
ML-01
ML-04
KL-06
KL-11
KL-15
SL-01
Pelarut
fosfat (cm)
1,33
1,10
1,37
1,60
1,30
1,20
1,67
0,00
1,10
1,57
Fiksasi N
++
+
++
++
+++
+
+++
+
+
++
20,08
17,75
24,39
29,43
17,30
20,33
33,07
26,27
18,24
29,47
Produksi HCN
+
++
+
-
Keterangan: untuk fiksasi N (+) cukup keruh, (++) keruh, (+++) sangat keruh, untuk produksi HCN (-)
kuning, (+) coklat muda, (++) coklat tua
Hasil penelitian menunjukkan ada 9 dari 10
isolat yang diuji dengan rata-rata luas zona
bening yang berbeda menunjukkan isolat
tersebut
mampu
melarutkan
fosfat
menggunakan media pikovskaya’s agar dengan
penambahan TCP sebagai sumber fosfat.
Kemampuan rizobakteri pelarut fosfat dalam
melarutkan P dilakukan dengan mengukur
diameter zona bening (halo). Semakin tinggi
diameter halo yang dihasilkan, kemampuan
rizobakteri pelarut fosfat dalam melarutkan P
juga tinggi. Isolat KL-06 dan BL-08 memiliki
luas zona bening tertinggi masing-masing 1,67
dan 1,60 cm. Hal ini menunjukkan isolat
tersebut memiliki kemampuan melarutkan
fosfat paling baik diantara isolat lain.
Mikroba pelarut fosfat mempunyai peranan
sangat besar dalam membantu penyediaan
unsur hara bagi tanaman karena mampu
mengubah bentuk-bentuk fosfat yang tidak
tersedia bagi tanaman menjadi bentuk yang
tersedia. Tanaman membutuhkan fosfat untuk
perkembangan dan pertumbuhannya, namun
senyawa fosfat yang ada dalam lingkungan
tanaman tidak selalu tersedia, sehingga
keberadaan bakteri pelarut fosfat di rizosfer
tanaman dapat membantu penyediaan
senyawa fosfat bagi tanaman, seperti bakteri
Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. dapat
mengeluarkan asam-asam organik, seperti
asam formiat, asetat dan laktat yang bersifat
melarutkan bentuk-bentuk fosfat yang sukar
larut menjadi bentuk yang tersedia bagi
tanaman. Fosfat tersedia dalam bentuk
organik dan anorganik. Fosfor organik
mengandung senyawa-senyawa yang berasal
Vol. 3 No.3, 2013
Karakterisasi Biokimiawi Rizobakteri Asal Gulma
dari tanaman dan mikroorganisme dan
tersusun dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin
(Rao, 1994). lebih lanjut menurut Rao (1994)
mikroorganisme tanah yang dapat melarutkan
fosfat memegang peranan dalam memperbaiki
tanaman yang mengalami defisiensi fosfor.
Kemampuan isolat rizobakteri melarutkan
fosfat merupakan salah satu karakter fisiologi
rizobakteri yang berhubungan dengan
perannya sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman (Sutariati, 2006). Selain melarutkan
fosfat, karakteristik biokimia yang dimiliki
oleh
rizobakteri
adalah
kemampuan
memfiksasi
nitrogen.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa isolat KL-06 dan ML-01
memiliki kemampuan yang lebih baik
dibandingkan dengan isolat yang lain dalam
mengikat
nitrogen
dengan
dihasilkan
kekeruhan yang sangat keruh pada media
yang digunakan.
Interaksi rizobakteri terhadap sistem
perakaran tanaman berpengaruh terhadap
keberhasilan
pertumbuhan
tanaman
diatasnya. Bakteri penambat N non simbiotik
termasuk kelompok rizobakteri yang berperan
dalam penyediaan unsur N bagi tanaman
(Khairul, 2001). Keberadaan populasi bakteri
penambat
N non simbiotik serta
distribusinya yang cukup luas memberikan
arti penting bagi tersedianya unsur N bagi
tanaman. Menurut Rao (1994), bakteri
penambat N
non simbiotik mampu
menyumbang sekitar 10 sampai 15 kg
N/ha/tahun, tergantung dari tersedianya
sumber karbon. Karakteristik penting yang
dimiliki oleh rizobakteri selain mampu
melarutkan fosfat dan memfiksasi nitrogen
adalah kemampuannya dalam memproduksi
asam indol asetat (IAA). Berdasarkan nilai
absorbansi isolat uji yang diperoleh
menunjukkan isolat-isolat rizobakteri mampu
memproduksi IAA dengan produksi tertinggi
dihasilkan oleh isolat KL-06 yaitu dengan
konsentrasi 33,07 ppm dibandingkan dengan
isolat lainnya dengan kemampuan yang
berbeda dalam menghasilkan IAA yaitu
kisaran 17,30 sampai dengan 29,47 ppm
Perbedaan produksi IAA dari berbagai
rizobakteri bergantung pada isolat yang diuji
dan kemampuan masing-masing isolat dalam
mengolonisasi perakaran tanaman (Thakuria
et al., 2004).
Kemampuan suatu isolat rizobakteri
sebagai penghasil IAA mampu memfiksasi
181
nitrogen serta sebagai pelarut fosfat dari
bentuk tersedia menjadi tersedia bagi
tanaman menunjukkan isolat-isolat tersebut
memiliki potensi sebagai agensia pemacu
pertumbuhan tanaman.
Selain sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman, isolat rizobakteri yang diuji bisa
bersifat menghambat pertumbuhan gulma
dengan senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkannya seperti HCN. Rizobakteri yang
sifatnya menghambat atau merugikan disebut
dengan Deleterious rhizobakteria (DRB). Hal
ini dapat dilihat pada penelitian pengujian
HCN yang dilakukan terhadap setiap isolat
yang berasal dari rizosfer gulma berdaun
lebar pada tabel 4, terdapat 3 isolat yang diuji
mampu memproduksi HCN yaitu dengan
terjadinya perubahan warna kertas saring. Hal
ini sejalan dengan penelitian Kremer dan
Souissi (2001), mengemukakan bahwa DRB
menunjukkan
reaksi
positif
dalam
menghasilkan HCN yang jumlahnya bervariasi
yang dapat terdeteksi berdasarkan intensitas
warna yang diuji.
Hasil penelitian menunjukkan isolat BL-07
dengan produksi HCN yang lebih tinggi
dibandingkan dengan isolat BL-08 dan BL-03,
sedangkan 7 isolat lainnya tidak mampu
memproduksi HCN. 3 isolat yang mampu
menghasilkan senyawa HCN ini juga mampu
melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen dan
memproduksi IAA sehingga isolat ini
diindikasikan sebagai deleterious rhizobacteria
karena berpengaruh negatif bagi gulma tetapi
berpengaruh baik untuk tanaman. Senyawa
HCN yang dihasilkan oleh rizobakteri khusus
menghambat pertumbuhan gulma tapi tidak
pada tanaman. Beberapa DRB yang diisolasi
dari berbagai akar gulma dapat mengurangi
perkecambahan
benih,
vigor
dan
pertumbuhan tanaman (Kremer dan Souissi,
2001). Cara DRB menginfeksi gulma adalah
dengan memproduksi phytotoksin yang dapat
diserap oleh biji-biji gulma. DRB tidak
memberantas gulma, akan tetapi hanya
menekan pertumbuhan awal dari gulma dan
menekan perkecambahan biji.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa isolatisolat rizobakteri berpotensi memiliki
karakter biokimiawi sebagai deleterious
182 Asniah et al.
rhizobacteria melalui kemampuannya dalam
melarutkan fosfat, fiksasi nitrogen, produksi
IAA dan HCN.
Isolat rizobakteri yang
memiliki potensi sebagai deleterious
rhizobacteria yaitu isolat BL-03, BL-07 dan
BL-08
melalui
kemampuannya
menghasilkan HCN, sebagai pelarut fosfat,
pemfiksasi nitrogen dan memproduksi
IAA
DAFTAR PUSTAKA
Carvalho, D. D. C., D. F. Oliveira, R. S. B. Correa,
V. P. Campos, R. M. Guimaraes and J. L.
Coimbra, 2007. Rhizobacteria able to
produce phytotoxic metabolites. Brazilian
Journal Of Microbiology 38:759-765.
Glickman, E., and Dessaux, Y., 1995. A critical
examination of specificity of the salkowski
reagent for indolic compounds produced by
phytopathogenic bacteria. App Environ
Microbiol 61:793-796.
Khairul, U. 2001. Pemanfaatan Bioteknologi
Untuk Peningkatan Produksi Pertanian,
(online),
(http://www.worddagroforestry.org/s
ea/publocation/files/book/BK0028pdf.
Diakses pada tanggal 13 Maret 2013).
J. AGROTEKNOS
Kremer, R. J. and T. Souissi, 2001. Cyanide
production by Rhizobacteria potential for
supression of weed sedling growth. Current
Microbiology 43:182-186.
Munif A., 2001. Studies on the importance of
endophytic bacteria for the biological
control of the root-knot nematode
Meloidogyne
incognita
on
tomato
[Dissertation]. Bonn, Germany: Institute for
plant Diseases, University of Bonn.
Rao, N.S. Subba, 1994. Mikroorganisme tanah
dan pertumbuhan tanaman. Terjemahan
Soil organisms and growth. Terjemahan
oleh Herawati Susilo. UI-PRESS. Jakarta..
Rao, V.S., 2000. Principles of weed science.
Second edition. Science Publisher Inc.
Plymouth. UK.
Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S.,
2006. Pengaruh perlakuan Plant Growth
Promoting
Rhizobacteria
terhadap
pertumbuhan bibit tanaman cabai. Buletin
Agronomi 34(1):46-54.
Thakuria, D, Talukdar
NC, Goswami C,
Hazarika S, Boro RC, Khan MR., 2004.
Characterization and screening of bacteria
from rhizosphere of rice grown in acidic
soils of Assam. CurrSci
86:978-985
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3. Hal 183-188
ISSN: 2087-7706
MEDIA ALTERNATIVE PERBANYAKAN IN-VITRO ANGGREK BULAN
(Phalaenopsis amabilis)
An Alternative Media for In-vitro Multiplication of (Phalaenopsis
amabilis)
KASUTJIANINGATI*), RUDI IRAWAN
Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri. Jember
ABSTRACT
The aim of this research was to study the effects of alternative medium composition
on micropropagation of Phalaenopsis amabilis. The species is one of the most important
“queen of flower“commodities in Indonesia and it can increase domestic incomes.
Completely randomized design was used for the experiment. The experiment used a single
factor, multiplication media, consisted of 6 different compositions, i.e. VW + BAP 2 ppm,
VW+ coconut water 150 ml/L, VW + Ambon banana extract 50 gt/L, POY + BAP 2 ppm, POY+
coconut water 150 ml/L, POY + Ambon banana extract 50 gt/L . Parameters observed were
the number of shoots, leaves and roots. The results showed that addition of coconut water,
banana extract, and BAP on media VW (Vacin and Went) or POY (liquid organic fertilizer
Yoga) were not significantly different. Shoot number obtained was as many as 2 shoots.
Key words: coconut water , banana extract, liquid organic fertilizer, Phalaenopsis
1PENDAHULUAN
Tanaman anggrek merupakan tanaman
hias yang mempunyai 25.000 – 30.000 spesies
di dunia. Keindahan dan kecantikan bunganya
membuat tanaman ini disebut “queen of
flower“. Di Indonesia anggrek merupakan
tanaman yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi, baik untuk bunga potong maupun
untuk bunga pot.
Permintaan pasar anggrek cenderung
meningkat
setiap
tahunnya,
namun
perkembangan produksi anggrek di Indonesia
masih relatif lambat (Widiastoety, 2001).
Produksi tanaman anggrek di Indonesia pada
tahun 2005 – 2009 mengalami peningkatan.
Pada tahun 2005 kebutuhan anggrek
7.902.403, tahun 2006 10.703.444, tahun
2007 9.484.393, tahun 2008 15.430.040 dan
pada tahun 2009 16.205.949 (BPS, 2010).
Kebutuhan anggrek yang kian meningkat
perlu ditunjang dengan penyediaan bibit
*) Alamat
Korespondensi:
Email: [email protected]
dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang
singkat,
kualitas
prima.
Sementara
perbanyakan konvensional anggrek dengan
pemisahan anakan (split) membutuhkan
waktu yang lama dankondisi bibit rawan
terhadap penyebaran penyakit. Solusi terbaik
adalah melalui perbanyakan in vitro dengan
menyusun komposisi nutrisi, hara makromikro, vitamin serta zat pengatur tumbuh
untuk pertumbuhan tanaman.Permasalahan
yang harus dihadapi adalah dalam kegiatan
kultur jaringan membutuhkan bahan kimia
yang saat ini harganya tidak murah, sehingga
perlu dicari alternativ media yang murah
tetapi mampu menghasilkan bahan tanam
yang berkualitas..Pada skala usaha budidaya
anggrek, penggunaan pupuk cair dan ekstrak
buah dapat menjadi alternativ pengganti
vitamin sintetik dan unsure-unsur lain yang
dikandungnya.Zulfan (2010) menggunakan
pupuk Super Vit 6 mL/Lpada media sub kultur
tanaman anggrek Dendrobium sp. dan mampu
memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada
jumlah anakan, pertumbuhan tinggi tanaman,
dan rata – rata bobot segar tanaman.
Vol. 3 No. 3, 2013
Media Alternatif perbanyakan in-vitro Anggrek Bulan
Menurut Ummi (2008) pada pembuatan
media dapat ditambahkan bahan organik
seperti air kelapa, ekstrak tomat, ekstrak
tauge dan ekstrak buah pisang sebagai sumber
gula, vitamin, ZPT dan asam amino. Muawanah
(2005) menggunakan tambahan ekstrak
pisang pada media kultur anggrekDendrobium
canayo. Ummi (2008), menggunakan ekstrak
pisang ambon 50 gr/L pada kultur pisang
rajabulu (Musa paradisiaca L.), menghasilkan
jumlah tunas sebesar 3,1 tunas, panjang tunas
11,6 cm, jumlah daun sebesar 6,8 daun,
panjang daun 5,9 cm, jumlah akar 8,3 akar,
serta panjang akar 9,0 cm.
Penelitian ini bertujuan, mempelajari
pengaruh beberapa taraf komposisi media
tumbuh dengan bahan dasar komposisi media
VW, pupuk organik cair (Yoga), ZPT eksogen
sitokinin (BAP), pisang ambon dan air kelapa
terhadap pertumbuhan tunas angrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis), untuk mencapai
tujuan
mendapat
media
alternatif
perbanyakan in vitro anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis)dengan bahan yang
mudah diperoleh dan harga murah dalam
waktu singkat jumlah banyak. Sedangkan
kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan
menjadi bahan informasi untuk peneliti
selanjutnya dan pihak yang membutuhkanya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan
(Mei – September 2013) dilakukan di
Laboratorium Kultur Jaringan Politeknik
Negeri Jember. Sebagai sumber bahan eksplan
pada penelitian ini adalah planlet steril
anggrek bulan Phalaenopsis amabilis dari
Simanis Orchid, Malang yang sudah berumur 1
tahun. Media dasar proliferasi yang digunakan
adalah medium VW (Vacint and Went) dan
pupuk organik cair Yoga (POY) 10 mL/ L
media, bahan tambahan ekstrak pisang
ambon, 20 g/l sukrosa.
Sebagai bahan
pemadat digunakan agar (7 g/L). Zat pengatur
tumbuh yang digunakan BAP.
Bahan
sterilisasi eksplan meliputi, Bayclin (NaOCl),
alkohol 70 % dan aquades steril.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini
adalah laju multiplikasi eksplan (jumlah tunas,
jumlah plb, jumlah daun, jumlah akar dan
jumlah total tunas) pada tahap multiplikasi,
dan tahap pembesasan planlet.
184
Percobaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 6 macam perlakuan
yang terdiri atas : Media VW (ditambah BAP 2
mg/L; air kelapa 150 mL/L dan ekstrak pisang
ambon 50 g/L) dan media POY (ditambah
BAP 2 mg/L; air kelapa 150 mL/L dan ekstrak
pisang ambon 50 g/L)
Rancangan
yang
digunakan
adalah
Rancangan Acak Lengkap. Setelah uji F maka
akan diuji Beda Nyata Jujur dengan taraf 5 %.
Percobaan ini dilaksanakan dengan 20
ulangan setiap perlakuan.
Satu unit
eksperimen pada percobaan ini berupa satu
eksplan dalam setiap botol.
Data yang
diperoleh dianalisis ragam mengunakan
program SAS
HASIL DAN PEMBAHASAN
Multiplikasi Tunas. Kultur angrek bulan
(Phalaenopsis
amabilis)
yang
dicoba
memperlihatkan proliferasi pada medium
perlakuan.
Secara bertahap terjadi
peningkatan jumlah tunas (multiplikasi)
sesuai dengan tingkatan sub kultur. Menurut
Arinaitwe et al. (2000), jaringan eksplan
mampu berproliferasi bila diinduksi sitokinin
dari luar.
Hasil analisis ragam respon
multiplikasi tunas terhadap perbedaan
komposisi bahan media yang digunakan
terhadap total tunas tidak menunjukan hasil
beda nyata secara statistik. Berarti perbedaan
komposisi media yang dibuat bukan berarti
tidak mampu memberikan respon dalam
mempengaruhi proliferasi sel secara nyata,
pertumbuhan jumlah tunas bertambah pada
subkultur pertama (2 minggu)dan subkultur
ke 2 (minggu ke 6) dari asal 1 tunas
bertambah menjadi 2 tunas, walaupun
peningkatan belum mampu menunjukan beda
nyata (Tabel 1).
Aktivitas sitokinin eksogen menjelaskan
uptake rate atau respon dari jaringan eksplan
dan adanya pengaruh akumulasi ZPTeksogen
pada jaringan eksplan mengikuti tahapan
subkultur sehingga translokasi ZPTtersebut
akan mempengaruhi proses metabolisme
pertumbuhan dan perkembangan tunas
(Blakseley, 1991; Arinaitwe et al., 2000), juga
tergantung level auksin dan sitokinin endogen
dari eksplan (Barker dan Steward, 1962;
Zaffari et al., 2000; Wong, 1986).
185
J. AGROTEKNOS
Kasutjianingati dan Irawan
ZPTeksogen diberikankan guna memberi
perimbangan terhadap hormon indogen agar
mampu mempengaruhi dediferensiasi sel
meristematis kembali, mempengaruhi respon
fisiologis sebagai pendorong pembelahan dan
perpanjangan sel saat multiplikasi dan saat
morfogenesis tunas (pertumbuhan dan
perkembangan bagian atas) dan pembentukan
akar
(kesempurnaan
organ
bawah).
Kandungan komposisi dari air kelapa dan
pisang ambonpada media dasar pada hasil
penelitian pengaruhnya diperkirakan setara
dengan BAP 2 mg/L terhadap metabolisme
anggrek bulan.
Energi pertumbuhan
multiplikasi
tunasselanjutnya
yang
seharusnya diharapkan terpusat pada
pembelahan sel dan pendewasaan sel atau
jaringan sehingga mampu menghasilkan
penambahan jumlah tunas, nampaknya
menjadi terbagi ke arah perkembangan organ
bagian atas (daun) yang seimbang dengan
perkembang
organ
bagian
bawah
(akar).Afriani (2006) menunjukkan bahwa
pada perbesaran planlet anggrek Dendrobium
sp, media dengan ekstrak pisang 50 g/l
menghasilkan planlet paling tinggi yaitu 3,2
cm dan jumlah daun terbanyak (pada 24 MST).
Tabel 1. Respon multiplikasi tunas (jumlah tunas, PLB, jumlah akar dan jumlah daun) terhadap
perbedaan komposisi bahan media yang digunakan
VW
POY
Perlakuan
+BAP 2mg/L
+Air kelapa 150mL/L
+Ps Ambon 50g/L
+BAP 2mg/L
+Air kelapa 150mL/L
+Ps Ambon 50g/L
Jumlah Tunas
:2
2.2
2.0
2.3
2.4
2.2
2.0
:6
3.2
2.2
2.2
2.9
2.2
2.4
Air kelapa 150 ml/L pada media VW
mampu
mendorong
pembentukan
plb(protocorm like bodies) sebagai calon
tanaman. Protocorm adalah bentukan bulat
yang siap membentuk pucuk dan akar sebagai
awal perkecambahan anggrek. Morel (1974)
dan Gunawan (1995) menyatakan didalam air
kelapa terkandung hormone sitokinin 5,8
mg/l, auksin 0,07 mg/l dan giberalin yang
dapat menstimulasi perkecambahan dan
pertumbuhan tanaman, berfungsi sebagai
penstimulir dalam proliferasi jaringan,
memperlancar metabolisme dan respirasi.
Oleh karena itu air kelapa mempunyai
kemampuan
besar
untuk
mendorong
pembelahan sel dan proses deferensiasi.
Menurut Bey dkk. (2006) perlakuan tunggal
air kelapa dapat mempercepat munculnya plb
pada tanaman anggrek bulan (Phalaenopsis
amabilis sp.).Hasil penelitian Syafi’i (2006)
saat munculnya plb lebih cepat pada
perlakuan tunggal air kelapa pada konsentrasi
200 ml/L dimana plb tumbuh pada rentang
waktu 14 – 18 hsp pada tanaman anggrek
bulan.
Jumlah PLB
Jumlah Akar
Subkultur minggu ke:
:2
:6
:2
:6
0.0
0.0
2.8ab
3.3
0.0
6.0
2.3bc
2.1
0.0
0.0
1.8c
3.6
0.0
0.0
2.2bc
2.6
0.0
0.0
3.1
3.7
0.0
0.0
2.3
3.0
Jumlah Daun
:2
7.3a
2.2b
2.3b
3.7b
3.6b
2.2b
:6
8.6
2.8
4.2
3.8
4.7
3.3
Penelitian Siska (2010) pada anggrek D.
phalaenopsis, BAP 2 ppm menghasilkan jumlah
tunas 2.50. Penelitian Muawanah (2005)
menunjukkan bahwa penambahan ekstrak
pisang pada media kultur anggrek Dendrobium
canayo mendukung pertumbuhan tunas
menjadi lebih baik, di mana konsenrasi yang
optimum untuk pertumbuhan tunas adalah
100 g/l. Menurut Arditti dan Ernst ( 1992 )
bahwa dalam buah pisang terdapat hormon
auksin dan giberalin. Giberalin berfungsi
untuk menginduksi tumbuhnya mata tunas
yang dorman (Wattimena et al., 1992).Ahmadi
( 1996 ) melaporkan bahwa ekstrak pisang
pada dosis 50 gr/L memberikan pengaruh
nilai yang tertinggi terhadap parameter tinggi
tanaman, jumlah akar, panjang akar, panjang
daun, dan berat basah planlet anggrek
dendrobium dibandingkan dengan dosis yang
lebih tinggi.
Keseimbangan nutrisi diperlukan dalam
metabolisme pertumbuhan tanaman, dalam
hal ini komposisi nutrisi dalam POY mampu
mengimbangi komposisi media VW. Vany
(2011) menyatakan bahwa penambahan POC
sebanyak 20 ml/l memberikan pengaruh
Vol. 3 No. 3, 2013
Media Alternatif perbanyakan in-vitro Anggrek Bulan
terhadap banyaknya jumlah tunas yang
terbentuk yaitu 0,94 pada tanaman pegagan.
Kombinasi POC 20 ml/l dan ekstrak meniran 5
ml/l menunjukkan saat muncul tunas pegagan
yaitu 9 HST.
Morfogenesis Planlet Anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis)untuk Mencapai Vigor
Siap Aklimatisasi
Morfogenesis
merupakan
proses
pembesaran tunas membentuk struktur organ
tanaman (tinggi tanaman/batang, daun dan
akar). Pada fase tersebut perlu diingat bahwa
pilihan terbaik bukan pada perlakuan yang
menghasilkan tunas terbanyak, tetapi pada
186
rasio perbanyakan yang cukup tinggi dengan
mutu tunas terbaik (kelayakan tunas) (Yusnita
2003; Kasutjianingati 2004).
Hasil analisis ragam variabel planlet
anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) yang
disubkultur kembali ke medium MS0 dari
berbagai
perlakuan
komposisi
media
multiplikasisebelumnya dapat dilihat di Tabel
2. Hasil menunjukkan bahwa total planlet
pada semua perlakuan bertambah walaupun
menunjukan pengaruh yang tidak berbeda
nyata
secara
statistik.
Kesempurnaan
pendewasaan planlet diperoleh pada media
MS0
Tabel 2. Morfogenesis planlet umur 1 bulan (jumlah tunas, PLB, jumlah akar dan jumlah daun) pada
media MS0
VW
Y
PO
Perlakuan
+BAP 2mg/L
+Air kelapa 150mL/L
+Ps Ambon 50g/L
+BAP 2mg/L
+Air kelapa 150mL/L
+Ps Ambon 50g/L
Jumlah Tunas
3.6
7.9
4.6
6.1
3.2
4.9
Eksplan yang telah terinduksi bila
disubkultur pada media M0 (tidak ada
pengaruh ZPT eksogen lagi) maka proliferasi
tunas akan mengarah pada pendewasaan
jaringan dan terspesialisasi mengarah
kebentuk kesempurnaan tunas mendorong
perkembangan plb yang terbentuk untuk
tumbuh menjadi planlet sempurna. Jaringan
tanaman yang telah terinduksi sel-selnya akan
berproliferasi
dan
akan
mengalami
determinasi, akan berkembang mengarah
kepembentukan organ bergantung pada
lingkungan baru (media subkultur berikutnya)
tanpa sitokinin atau sitokinin rendah
(Salisbury dan Ross 1995; Yusnita 2003).
Konsistensi atau kestabilan perolehan
tunas ditingkat subkultur ditentukan oleh
komposisi ZPT media yang digunakan.
Umumnya makin meningkat frekuensi
subkultur dengan konsentrasi ZPT sama, akan
meningkatkan level ZPT pada eksplan. Level
atau rasio sitokinin/auksin eksplan akan
menentukan
arah
pertumbuhan
dan
perkembangan eksplan dan selanjutnya akan
mempengaruhi total tunas. Tingginya total
tunas yang dihasilkan akan menentukan mutu
tunas (jumlah tunas besar, tunas sedang, tunas
kecil) (Kasutjianingati et al., 2010).
Jumlah Akar
5.3
4.4
5.4
5.6
4.3
5.3
Jumlah Daun
9.7
6.8
5.6
6.3
6.7
5.4
Memenuhikeberhasilan
morfogenesis
planletanggrek bulan (Phalaenopsis amabilis)
menjadi viabel(mampu diaklimatisasi) perlu
penurunan level rasio sitokinin/auksin tunas
untuk mengarahkan pertumbuhan regeneran
dari fase pembelahan sel ke arah pembesaran
dan pemanjangan sel, pemanjangan tunas.
Tunas-tunas atau plb hasildari tahap
multiplikasi disubkultur ke media lain yang
mengandung sitokinin sangat rendah) atau
tanpa sitokinin (MS0) sampai planlet mampu
menyempurnakan
kembali
organ
vegetatifnya,Hal ini sejalan dengan pendapat
Haq dan Dahot (2007) yang menyatakan
bahwa morfogenesis tunas
ke
arah
pertumbuhan tunas yang viabel dan vigor
perlu perubahan komposisi media dan waktu
pengkulturan media yang sesuai dengan
karakter eksplan yang digunakan.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa
kesimpulan, sebagai berikut:
1. Penggunaan pupuk organic cair sebagai
media mampu menjadi media alternative
kultur in vitroanggrek bulan (Phalaenopsis
amabilis).
187
Kasutjianingati dan Irawan
2. Penambahan BAP 2 mg/L; air kelapa 150
ml/L dan ekstrak pisang ambon 50 gr/L
member
pengaruh
sama
pada
penambahan jumlah tunas, rata-rata 2
tunas.
3. Morfogenesis
pada
media
MS0,
meningkatkan
jumlah
planlet
dan
meningkatkan kesempurnaan planlet
anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis).
DAFTAR PUSTAKA
Arinaitwe, G., P.R.Rubaihayo , M.J.S. Magambo.
2000.
Proliferation rate effects of
Cytokinins on Banana (Musa spp.) cultivars.
Scientia Horticulture 86:13-21.
Afriani, A. T. 2006. Penggunaan Gandasil, Air
Kelapa dan Ekstrak PIsang pada
Perbanyakan Tunas dan Perbesaran Planlet
Anggrek
Dendrobium
(Dendrobium
Kanayo) secara In Vitro. Skripi. Program
Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal.
Ahmadi, S. A. 1996. Pengaruh Berbagai Jenis
dan Dosis Ekstrak Pisang terhadap
Pertumbuhan
Protocorm
Anggrek
Dendrobium pada Kultur In Vitro ( hasil
penelitian ). http://biotek.umm.ac.id. 29
Juni 2012.
Arditti, J. and R. Ernst. 1992. Micropropagation
of Orchids. Departemen of Horticulture.
Second Edition. Butterworth-Heinemann
Ltd. Jordan Hill. P.38.
Badan Pusat Statistika, 2010. Produksi
Tanaman Anggrek Tahun 2005 – 2009.
Indonesia.
Bey, Y., W. Syafii, Dan Sutrisna. 2006.
Pengaruh pemberian Giberalin (GA3) dan
air kelapa terhadap perkecambahan bahan
biji anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis
BL.) secara in vitro. Jurnal Biogenesis. 2(2):
41-46.
Barker WG, Steward FC. 1962. Growth and
development of the banana plant. the
growing regions of the vegetative shoot.
Ann. Bot. 26: 386-411.
Blakseley D. 1991. Uptake and metabolism of
6-benzyladenine in shoot culture of Musa
and
Rhododendron. Di dalam Inibap.
Musarama. The international Bibliographic
Abstracts Journal on Banana and Plantain.
vol. 9, No 1-June 1996. INIBAP: Parc
J. AGROTEKNOS
Scientifque
Agropolis,
Bat.73497
Montpelier Codex 5, France. hal 8.
Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur Jaringan
In Vitro dalam Hortikultura. Penebar
Swadaya: Jakarta.
Haq,I., M.U. Dahot. 2007. Micro-Propagation
Efficiency in Banana (Musa sp) under
different immersion systems. Pakistan
journal of Biological Sciences 10(5):726733.
Kasutjianingati. 2004.
Pembiakan Mikro
Berbagai Genotipe Pisang (Musa Spp) dan
Potensi Bakteri Endofitik terhadap Layu
Fusarium (Fusarium Oxysporum F. Sp.
Cubense). (Tesis). Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kasutjianingati, Poerwanto R, Khumaida N,
Efendi D. 2010. Kemampuan pecah tunas
dan kemampuan berbiak mother plant
pisang Rajabulu (AAB) dan pisang Tanduk
(AAB) dalam medium inisiasi in vitro.
Agriplus. Vol 20, No.01.
Morel, G.M. 1974. Clonal Multiplication of
Orchid. The Orchid Scientific Studies.
Wiley-Interscience
Publication.
John
Wileyand Sons, New York.
Muawanah, G. 2005. Penggunaan Pupuk
Hyponex, Ekstrak Tomat dan Ekstrak
Pisang dalam Perbanyakan dan Perbesaran
Planlet Anggrek Dendrobium (Dendrobium
canayo) secara In Vitro. Skripsi. Program
Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi
Tumbuhan.Jilid 3.
Lukman DR dan
Sumarjono, penerjemah. ITB . Bandung.
Siska, D.M. 2010. Pengaruh Pemberian
Hormon IAA dan BAP Terhadap
Pertumbuhan Tunas Anggrek Dhendrobium
phalaenopsis Secara In Vitro. FKIP Biologi.
Universitas Riau.
Syafii, W, Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian
Giberalin ( GA3 ) dan Air Kelapa Terhadap
Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis BL ) Secara In Vitro.
FKIP. Universitas Riau.
Ummi, M. 2008. Ekstrak Pisang sebagai
Suplemen Media MS dalam Media Kultur
Tunas Pisang Rajabulu (Musa Paradisiciana
. L. ABB GROUP) In Vitro. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2008.
30 Juni 2012.
Vol. 3 No. 3, 2013
Media Alternatif perbanyakan in-vitro Anggrek Bulan
Vany Siskayanti. 2011. Uji Berbagai
Konsentrasi ( Ekstrak Mahkota Dewa dan
Meniran) serta Penambahan Pupuk
Organik Cair pada Pertumbuhan Tunas
Pegagan ( Centella asiatica L.) Secara In
Vitro. Fakultas Pertanian. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Widiastoety, D. 2001. Perbaikan genetik dan
perbanyakan bibit secara in vitro dalam
mendukung pengembangan anggrek di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 2 ( 4 )
: 138-143.
Wong WC. 1986. In vitro propagation of
banana (Musa spp.): initiation, proliferation
and development of shoot-tip cultures on
defined media. Plant cell. Tissue and Organ
Culture. 6: 156-166. Martinus Nijhoff
publisher, Dordrecht. Netherlands
Yusnita, Edy A, Kurniawai D, Koeshendarto,
Rugayah, Hapsoro D. 1997. Pembiakan in
vitro dan aklimatisasi planlet pisang Raja
Sere. Agrotropika: volume II (1):6-12
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara
Memperbanyak Tanaman secara Efisien.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Zaffari GR, Kerbauy GB, Kraus JE, Romano EC.
2000. Hormonal and histological studies
related in vitro babana bud formation. plant
Cell, Tissue and organ culture. 63: 187-192.
Zulfan, E.N. 2010. Penggunaan Pupuk
Pelengkap Cair dan NAA Pada Media
Subkultur Anggrek (Dendrobium sp).
Fakultas Pertanian. Universitas Andalas.
Padang.
188
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013
Vol. 3 No. 3
ISSN: 2087-7706
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
PENGIRIMAN
Jurnal Agroteknos menerbitkan artikel
ilmiah hasil penelitian dasar dan terapan
5 (lima) tahun terakhir, serta artikel telaah
(review) tentang ilmu dan teknologi budidaya
tanaman,
pengendalian
organisme
pengganggu tanaman serta pengelolaan
sumberdaya alam pertanian. Artkel yang
dikirim belum pernah dipublikasikan atau
tidak dalam proses penerbitan
dalam
publikasi ilmiah lain.
Penulisan artikel dapat disampaikan dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Naskah yang formatnya tidak sesuai dengan
pedoman penulisan Jurnal Agroteknos dan
yang ditulis tidak sesuai dengan kaedah
Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris akan
ditolak dan Editor tidak berkewajiban untuk
mengembalikan naskah tersebut
Penulis
diminta
mengirimkan
tiga
eksemplar naskah asli beserta dokumen file di
dalam compact disc (CD) atau melalui e-mail
dari naskah tersebut yang harus disiapkan
dengan program Microsoft Word. Pada CD
dituliskan nama penulis dan nama dokumen.
Penulis berkewajiban untuk mengecek
keberadaan dan kemudahan dokumen untuk
dibuka di komputer lain dan tidak
mengandung virus. Naskah akan ditolak tanpa
proses jika persyaratan ini tidak dipenuhi.
Naskah dan CD dapat diantar langsung atau
dikirimkan ke:
Editor Jurnal Agroteknos
d/a. Jurusan Agroteknologi FP-UHO
Kampus Bumi Tridharma
Jl. H. E.A. Mokodompit, Kendari 93232
E-mail: [email protected]
Pengiriman naskah harus disertai dengan
surat resmi dari penulis utama/korespondensi
(corresponding author) yang harus berisikan
dengan jelas mengenai nama penulis
korespondensi, alamat lengkap untuk suratmenyurat, nomor telepon dan faks, serta
alamat E-mail dan telepon genggam
(handphone, HP).
Penulis korespondensi
bertanggung jawab atas isi naskah dan
legalitas
pengiriman
naskah
yang
bersangkutan.
Naskah juga sudah harus
diketahui dan disetujui oleh seluruh anggota
penulis.
FORMAT
Umum
Seluruh bagian naskah termasuk abstrak
diketik pada kertas HVS A4 dengan margin 2
cm, spasi 1,5 sentimeter kecuali Abstract,
Tabel, Keterangan Gambar, Daftar Pustaka dan
keterangan lain diketik satu spasi. Pengetikan
dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe
Times New Roman berukuran 12 point.
Grafik dan gambar garis (line drawing)
lainnya dibuat dengan menggunakan program
grafis yang dicetak dengan plotter atau
pencetak laser (laser printer).
Gambar
fotografis diutamakan hitam putih dicetak
jelas dan dengan resolusi tinggi, diharapkan
jumlah foto dibatasi. Gambar (garis maupun
foto), dan tabel diberi nomor urut sesuai
dengan letaknya dan diberi keterangan yang
ditulis di luar bidang gambar yang akan
dicetak. Nama ilmiah jasad (binomial) dicetak
miring.
Setiap halaman diberi nomor secara
berurutan. Artikel yang berupa telaah
maksimal 12 halaman sebagai naskah
sinambung tanpa subjudul Bahan dan Metode,
Hasil, dan Pembahasan. Artikel berupa hasil
penelitian ditulis maksimum sebanyak 15
halaman termasuk tabel dan gambar, dengan
susunan naskah sebagai berikut:
Judul. Pada halaman judul tuliskan judul,
nama setiap penulis, nama dan alamat institusi
bagi masing-masing penulis, dan catatan kaki
yang berisikan tentang
terhadap siapa
korespondensi dilakukan, termasuk nomor
telepon dan faks serta alamat e-mail. Naskah
berbahasa Indonesia disertai dengan judul
bahasa Inggris atau sebaliknya
Abstract. Abstract ditulis dalam bahasa
Inggris jika naskah ditulis dalam bahasa
Indonesia atau sebaliknya. Abstract/abstrak
paling banyak terdiri atas 200 kata. Abstrak
berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari
Vol. 3 No.3, 2013
keseluruhan naskah tanpa harus memberi
keterangan terperinci dari setiap bab. Hindari
penggunaan singkatan. Kata kunci dengan
judul “Keywords” ditulis dalam Bahasa Inggris
di bawah abstrak.
Pendahuluan. Bab ini harus memberikan
latar belakang yang mencukupi sehingga
pembaca dapat memahami dan dapat
mengevaluasi hasil yang dicapai dari
penelitian yang dilaksanakan. Gunakan
pustaka yang benar-benar dapat mendukung
pengungkapan latar belakang. Pendahuluan
harus berisi latar belakang dan tujuan
penelitian.
Bahan dan Metode. Bab ini harus berisi
informasi teknis yang cukup sehingga orang
lain dapat berhasil mengulangi percobaan
dengan teknik yang dikemukakan. Uraikan
secara lengkap jika metode yang digunakan
merupakan metode baru. Demikian juga
sebutkan dengan jelas jika peralatan, bahan
dan galur mikroba yang tidak umum
digunakan.
Hasil. Bab ini berisi hanya hasil-hasil
penelitian baik yang disajikan dalam bentuk
tubuh tulisan, tabel, maupun gambar.
Hindarkan
penggunaan
grafik
secara
berlebihan bila dapat disajikan dalam bentuk
tubuh tulisan singkat. Batasi penggunaan
fotograf, sajikan yang nyata-nyata mewakili
hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel
secara berurutan.
Pembahasan. Bab ini berisi interpretasi
dari hasil penelitian yang diperoleh dan
pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil
yang pernah dilaporkan.
Pengulangan
penyajian metode dan hasil penelitian serta
hal-hal yang telah diungkapkan di Bab
Pendahuluan harus dihindarkan. (atau hasil
dan pembahasan digabung sehingga menjadi
Hasil dan Pembahasan)
Simpulan. Bab ini berisi simpulan hasil
penelitian yang telah dilakukan, ditulis secara
singkat dan jelas.
J. AGROTEKNOS
Ucapan Terima Kasih. Bab ini dapat
digunakan untuk menyebutkan sumber dana
penelitian yang hasilnya dilaporkan pada
jurnal ini dan untuk memberi penghargaan
kepada institusi atau orang yang membantu
dalam pelaksanaan penelitian dan atau
penulisan laporan.
Daftar Pustaka. Daftar Pustaka ditulis
memakai sistem nama tahun dan disusun
secara abjad.
Beberapa contoh penulisan sumber acuan:
Jurnal
Singh, P.P., C.S. Shin, dan Y.R. Chung. 1999.
Biological control of Fusarium wilt of
cucumber
by
chitinolitic
bacteria.
Phytophatol. 89:92-99.
Buku
Alexopoulus, C.J., C.W. Mims, dan M. Blackwell.
1996. Introductory Mycology 4th edition.
John Wiley and Sons Inc. New York.
Bab dalam Buku
Thomashow, L.S. dan D.M. Weller. 1996.
Current conseptin the use of introduced
bacterial for biological diseases control:
mechanism and antifungal metabolities,
pp.187-235. dalam Stacey, G. dan N.T. Keen
(Eds), Plant microbe Interaction, vol. 1. New
York, Chapman and Hall.
Skripsi
Herdiana, N. 2000. Pengaruh Penambahan
Pasir pada Media Tanam Tanah Podsolik
Merah Kuning terhadap Serangan Patogen
Lodoh Rhizoctonia solani pada Beberapa
Tingkat Umur Semai Acacia crassicarpa
[Skripsi] Bogor. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
J. AGROTEKNOS
Vol. 3, 2013
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para Mitra Bestari yang
telah diundang oleh Jurnal AGROTEKNOS untuk menelaah artikel yang terbit pada
Volume 3 Tahun 2013, yaitu:
Prof. Dr. Ir. Muh. Taufik, M.Si
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. Ir. M. Tufaila, M.P
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. Ir. H. Andi Khaeruni, M.Si
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. Ir. Dirvamena Boer, M.Sc.Agr
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. Ir. Gusti Ayu K. Sutariati, M.Si
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. Ir. Teguh Wijayanto, M.Sc
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. La Ode Muhammad Harjoni Kilowasid., S.P., M.Si
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Dr. La Ode Afa, S.P., M.Si
(Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari)
Daftar Isi
JURNAL AGROTEKNOS
Vol. 3 No.3. Nopember 2013
Artikel:
Keterangan gambar sampul:
Produksi Cabai Tanpa dan Dengan
perlakuan Gliokompos (lihat artikel
halaman 127)
Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis
Gliokompos terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Tanaman Cabai Merah (Capsicum
annuum L.)
La Ode Safuan, Tresjia C. Rakian,
Endi Kardiansa
127-132
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula dan
Nutrisi Organik terhadap Pertumbuhan
Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum
annuum L.)
Makmur Jaya Arma, Risnawati,
Gusnawaty H.S.
133-138
Uji
Potensi
Trichoderma Indigenous
Sulawesi Tenggara sebagai Biofungisida
terhadap Phytophthora capsici secara InVitro
Gusnawaty H.S., Asniah,
Muhammad Taufik, Faulika
139-143
Efektivitas Limbah Cair Pertanian sebagai
Media Perbanyakan dan Formulasi Bacillus
subtilis sebagai Agens Hayati Patogen
Tanaman
Andi Khaeruni, Asrianti, Abdul
Rahman
144-151
Perakitan Pupuk Alam Berbasis Sumberdaya
Lokal
untuk
Meningkatkan
Efisiensi
Pemupukan P dan K Serta Hasil Kedelai di
Tanah Masam
M. Tufaila, Syamsu Alam
152-162
Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok
(Musa
paradisiaca
Formatypica)
di
Kabupaten Muna Berdasarkan Karakter
Morfologi dan Penanda RAPD
Teguh Wijayanto, Dirvamena Boer,
La Ente
163-169
The Study on Contribution of Temperature
and Solar Radiation Intensity to Frogeye
Disease Development on Tobacco
170-177
Karakterisasi Biokimiawi Rizobakteri Asal
Gulma Berdaun Lebar yang Berpotensi
sebagai Deleterious Rhizobacteria
Ahmad Rafiqi Tantawi, Bambang
Hadisutrisno, Haryono Semangun,
I. Hartana, Lisnawita
Asniah, Tresjia C. Rakian, Muhidin,
Gusnawaty H.S., Sri Wangadi
178-182
Media Alternative Perbanyakan In-Vitro
Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis)
Kasutjianingati, Rudi Irawan
183-188
DITERBITKAN OLEH:
JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAPERTA UNHALU
PERAGI CABANG SULAWESI TENGGARA
TERBIT 3 KALI SETAHUN
Download