JURNAL ISSN: 2087-7706 AGROTEKNOS Volume 3 Nomor 3 Nopember 2013 JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI J. Agroteknos Vol. 3 No. 3 Hal: 127-188 Kendari, Nopember 2013 ISSN: 2087-7706 JURNAL AGROTEKNOS ISSN: 2087-7706 Diterbitkan oleh Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Cabang Sulawesi Tenggara Alamat : Gedung Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Jl. H.E.A. Mokodompit, E-mail :[email protected] SUSUNAN DEWAN REDAKSI Pelindung/Penasehat: Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Penanggung Jawab: Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Ketua Dewan Redaksi: Dr. Andi Khaeruni R. Wakil Ketua: Dr. Dirvamena Boer Sekretaris: Dr. La Ode Afa Redaksi Ahli: Prof. Dr. Sahta Ginting (Kesuburan Tanah-UNHALU) Prof. Dr. Sylvia Sjam (Entomologi-UNHAS) Prof. Dr. Elka Wakib Syam’un (Fisiologi Tanaman-UNHAS) Prof. Dr. Andi Bahrun (Agrohidrologi-UNHALU) Prof. Dr. Muhammad Taufik (Fitopatologi-UNHALU) Dr. I Gusti Ray Sadimantara (Pemuliaan Tanaman-UNHALU) Dr. Fransiscus S. Rembon (Pengelolaan Tanah-UNHALU) Dr. Suaib (Pemuliaan Tanaman-UNHALU) Dr. Teguh Wijayanto (Bioteknologi Tanaman-UNHALU) Redaksi Pelaksana: Dr. Gusti Ayu Kade Sutariati, Dr. La Ode Muhammad Harjoni Kilowasid, Asniah, M.Si, Syamsu Alam, M.Sc Bendahara: Tresjia C. Rakian, M.P Adminisitrasi: Arsy Aysyah Anas, M.P, Asmar Hasan, M.P, Wahyu Arif Sudarsono, M.Si Jurnal Agroteknos diterbitkan sebagai media komunikasi dan forum pembahasan ilmiah masalah pertanian, khususnya dibidang ilmu dan teknologi: budidaya tanaman, pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, dan pengelolaan sumberdaya alam pertanian. Artikel yang dipertimbangkan pemuatannya berupa hasil penelitian atau telaah (review) yang belum pernah diterbitkan atau tidak sedang menunggu diterbitkan pada publikasi lain. Dewan penyunting berhak memperbaiki naskah yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Jurnal Agroteknos terbit tiga kali setahun yakni pada bulan Maret, Juli dan Nopember. JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 127-132 ISSN: 2087-7706 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI DOSIS GLIOKOMPOS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Effect of Various Dosages of Gliocompos on Growth and Production of Chilli Pepper (Capsicum annuum L.) LA ODE SAFUAN*), TRESJIA C. RAKIAN, ENDI KARDIANSA Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari ABSTRACT The aim of the research was to study the effect of several glyochompost's dosages on the growth and production of chilli. The research was carried out in Lamomea Village, District Konda, Konawe, Southeast Sulawesi, from December 2012 to February 2013. This research was arranged on completely randomized block design consisted of 4 treatments, i.e : without glyochompost (Go), glyochompost 30 g (G1), glyochompost 40 g (G2) and glyochompost 50 g (G3) per 20 kg soils. Analysis of variance (ANOVA) was used for statistical data analysis. Duncan's Multiple Range Test (DMRT) was applied to determine the significantly diferent among treatment with 95% convidence level. The results of the research showed that : (1) glyochompost effectively influenced the plant hight, total productive branch, total numbers and chilli’s weight, (2) Applications of glyochompost 50 gr per 20 kg soils have given the best influence on growth and production of chilli plants. Key words: chilli, growth, glyochompost, plants, production 1PENDAHULUAN Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Buahnya mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, terutama vitamin A dan C, juga mengandung minyak atsiri yang rasanya pedas dan diminati oleh masyarakat terutama di Asia, sehingga kebutuhan cabai terus meningkat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produksi cabai di Indonesia, namun Menurut Muharam dan Sumarni (2005) produktivitas cabai merah di Indonesia masih rendah, yaitu baru mencapai 6,70 ton ha-1. Sulawesi Tenggara mempunyai lahan kering yang cukup luas untuk pengembangan tanaman cabai merah, namun demikian produktivitas cabai merah di daerah ini *) Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected] masih sangat rendah yaitu pada tahun 2011 sekitar 2,50 ton ha-1 dan produktivitas pada tahun 2010 yaitu sekitar 3,98 ton ha-1 (BPS Sultra, 2011). Rendahnya produktivitas tanaman cabai di Sulawesi Tenggara disebabkan karena lahan pertanian di dominasi oleh tanah ultisol yang mempunyai tingkat kesuburan rendah. Oleh karena itu maka untuk meningkatkan produktivitas tanaman cabai di Sulawesi Tenggara perlu aplikasi pupuk untuk memperbaiki kesuburan tanah. Gliokompos adalah bahan organik dalam bentuk kompos dengan bahan aktif Glyocladium sp. Beberapa kelebihan dari bahan organik ini adalah berbahan baku alami dan ramah lingkungan yang mampu menekan serangan penyakit tular tanah yang dapat menyerang tanaman cabai. Selain itu, bahan organik ini diketahui berfungsi sebagai pupuk yang berguna untuk menunjang pertumbuhan tanaman dan menekan kehilangan hasil yang Vol. 3 No.3, 2013 Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos diakibatkan oleh serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) serta dapat menjaga kualitas hasil pertanian (BPTPH, 2010). Namun demikian pemberian bahan organik yang terlalu banyak, selain tidak efisien, juga dapat menurunkan produksi tanaman karena kelebihan unsur hara mikto dan peningkatan serangan hama dan penyakit tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan penellitian untuk mengetahui Pengaruh gliokompos dengan dosis yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai Februari 2013 di Kebun Percobaan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi Tenggara di Desa Lamomea Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah benih tanaman cabai, gliokompos, tanah, air, sekam padi, dan polibag ukura 40x40 cm. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah parang, cangkul, sekop, handsprayer, kertas label, timbangan, mistar, ember plastik, bak persemaian, gembor, kamera dan alat tulis menulis. Rancangan Percobaan. Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 4 taraf perlakuan yaitu: gliokompos 0 g (Go), gliokompos 30 g (G1), gliokompos 40 g (G2), dan gliokompos 50 g (G3) per 20 kg tanah, yang diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 16 unit petak percobaan. Masing-masing unit percobaan terdiri dari 4 tanaman sehingga jumlah tanaman dalam penelitian ini adalah 64 tanaman. Perlakuan Benih. Benih cabai yang disemaikan terlebih dahulu direndam dalam air hangat selama 30 menit, guna mempercepat proses perkecambahan, benih yang tenggelam adalah benih yang siap untuk disemaikan. Persemaian. Media persemaian terdiri atas campuran tanah dan sekam padi dengan perbandingan 1 : 1 setebal 5 cm. Benih cabai disemai pada waktu sore hari untuk 128 menghindari terjadinya penguapan yang berlebihan. Benih ini ditempatkan pada larikan, ukuran larikan semai ini berjarak 5 cm antar larikan dengan kedalaman 2 cm. Setelah semai berumur 21 hari, maka siap untuk dipindahkan. Penanaman. Media tanam terdiri atast anah dan sekam padi yang dicampur secara merata kemudian dimasukkan ke dalam polibag berukuran 40x40 cm, banyaknya media adalah 8 kg per polibag. Gliokompos diberikan pada setiap polibag dengan dosis sesuai perlakuan (0 g, 30 g, 40 g dan 50 g) dengan cara ditugal kemudian ditutup tanah. Bibit tanaman cabai dipindah tanam ke polibag, yaitu pada saat bibit dipersemaian berumur 3 minggu setelah semai. Pemangkasan/Perempelan. Pemangkasan dilakukan untuk mengurangi tunas diantara ketiak daun, sehingga perkembangan buahnya maksimal. Daundaun di bawah cabang utama dipangkas pada saat tajuk tanaman telah optimal, yaitu telah berumur 75 HST. Pemangkasan juga bertujuan untuk mengurangi gangguan hama dan penyakit (Prajnanta, 2007). Pemeliharaan dan Panen. Pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari atau sesuai kebutuhan. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma yang tumbuh di polibag. Panen dilakukan pada saat tanaman menghasilkan buah pertama yaitu pada saat tanaman berumur 90 HST. Parameter Penelitian. Variabel yang diamati dalama penelitian ini adalah : Tinggi tanaman (cm) pada saat tanaman berumur 20, 30, 40, 50, 60, dan 70 hari sesudah tanam. Jumlah cabang produktif pada saat tanaman berumur 50, 60, dan 70 hari sesudah tanam, Jumlah buah cabai saattanaman berumur 70, 80 dan 90 hari sesudah tanam, dan Berat buah segat per tanaman (g). HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahawa pemberian berbagai dosis gliokompos memberikan pengaruh 129 J. Agroteknos Safuan et al. yang nyata terhadap tinggi tanaman cabe merah pada saat tanaman berumur 20, 30, 40, 50, 60, dan 70 hari sesudah tanam. Perbedaan pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap tinggi tanaman cabe merah pada setiap fase pertumbuhan tanaman diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap tinggi tanaman Cabe disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman cabai pada berbagai dosis gliokompos Gliokompos (g/20kg tanah) G0 = 0 G1 = 30 G2= 40 G3 = 50 Tinggi tanaman (cm) pada pengamatan ke...HST 20 30 40 50 8,8 c 12,6 c 15,0 d 16,2 d 11,5 b 17,2 b 19,5 c 21,7 c 15,1 a 20,6 a 22,0 b 23,9 b 15,7 a 21,8 a 23,7 a 25,8 a 60 17,5 d 23,8 d 26,3 b 28,0 a 70 20,7 d 28,2 c 29,5 b 30,9 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom sama, berbeda nyata pada uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95% Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur 20 dan 30 HST rata-rata tinggi tanaman cabai yang lebih tertinggi berada pada perlakuan G3, namun demikian tidak bereda nyata dengan tinggi tanaman cabe pada pelakuan G2, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan G1 dan G0, sedangkan tanaman cabe yang paling pendek adalah pada pelakuan G0, yang berbeda nyata dengan perlakuan G1, G2, dan G3. Pada saat tanaman berumur 40, 50, 60, dan 70 HST, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antar semua perlakuan dosis gliokompos terhadap tinggi tanaman, dan tanaman yang cabe tertinggi adalah tanaman cabe yang mempeoleh giokompos 50 g per 20 kg tanah, sedangkan yang paling pendek adalah tanaman cabe yang tidak mendapat gliokompos. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tanaman cabe yang ditanam pada tanah ultisol perlu diberi pupuk organik untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman cabe yang lebih baik. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa kebutuhan pupuk pada vegetatig lebih rendah, dan peningkatan kebutuhan akan terus meningkat hingga masuk fase generatif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan buah. Pupuk organik organik selain mengandung unsur mikro juga mmengandung unsur hara makro sperti N, P, dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, pada saat fase vegetatif tanaman membutuhkan hara N dalam jumlah yang lebih banyak. Hutasoit (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan tinggi dipengaruhi oleh unsur nitrogen (N) yang tersedia di dalam tanah. Nitrogen yang terdapat dalam gliokompos tersedia perlahan-lahan bagi pertumbuhan tanaman yang diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman. Peranan unsur nitrogen yaitu meningkatkan pertumbuhan, membentuk warna hijau daun karena merupakan bahan penyusun klorofil serta meningkatkan jumlah anakan. Selain itu juga berperan dalam merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan khususnya batang, cabang dan daun. Pada umur 70, 80 dan 90 HST, tanaman cabai diduga telah mengalami perkembangan akar dan dengan pemberian pupuk gliokompos ini mampu memperbaiki kondisi tanah. Pupuk kandang mempunyai peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh pupuk kandang terhadap tanaman adalah menyebabkan akar tanaman dapat tumbuh dengan leluasa, kebutuhan unsur hara terpenuhi sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan mempercepat pertumbuhan dan perkembangannya (Suwandi dan Rosliani, 2004). Jumlah Cabang Produktif Tanaman Cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai dosis gliokompos memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang produktif tanaman cabe merah pada saat tanaman berumur Vol. 3 No.3, 2013 Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos 50, 60, dan 70 hari sesudah tanam. Perbedaan pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap jumlah cabang produktif tanaman cabe merah diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap jumlah cabang produktif tanaman cabe disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata jumlah cabang produktif tanaman cabai pada berbagai dosis gliokompos Gliokompo s (g/20k g tanah) G0 = 0 G1 = 30 G2= 40 G3 = 50 Jumlah cabang produktif (cabang) 50 60 70 hs hs hs t t t 10,3 2,4 c 4,1 d d 11,4 15,0 5,6 b c c 15,3 19,6 8,0 b b b 12,0 18,0 22,9 a a a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom sama, berbeda nyata pada uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95% Tabel 2 menunjukkan bahwa pada saat tanaman cabe berumur 50 hari sesudah tanam menunjukkan bahwa tanaman cabe yang menghasilkan cabang produktif yang paling banyak adalah tanaman cabe pada perlakuan G3 dan berbeda nyata dengan perlakuan G2, G1, dan G0, sedangkan tanaman cabe yang mempunyai cabang produktih yang lebih sedikit adalah tanaman cabe yang tidak memperoleh gliokompos (G0), yang berda nyata dengan perlakuan G1, G2, dan G3. Pada saat tersebut perlakuan G1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan G2. Pada saat tanaman berumur 60 dan 70 HST, menunjukkan bahwa perlakuan berbagai dosis gliokompos menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlakuan yang memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan jumlah cabang produktif adalah perlakuan G3 dan berbeda nyata dengan perlakuan G2, G1, dan G0, sedangkan tanaman cabe yang 130 menghasilkan cabang produktif yang lebih sedikit adalah tanaman cabe yang tidak memperoleh gliokompos. Setyorini et al. (2006) menyatakan bahwa aktifitas berbagai mikroorganisme di dalam kotoran ternak (gliokompos dari pupuk kandang) menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberalin, dan sitokinin yang memacu pertumbuhan organ tanaman seperti batang, jumlah cabang, dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian makanan lebih luas. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Fatmawati (2009) yang menyatakan bahwa kotoran ternak setelah terinkubasi merupakan bahan yang mengandung banyak unsur hara. Keuntungan penambahan mikroorganisme efektif sebagai bioaktivator adalah diantaranya: mempercepat dekomposisi bahan-bahan organik secara fermentasi, melarutkan P(Phospat) yang tidak tersedia menjadi bentuk P yang tersedia bagi tanaman, mengikat nitrogen udara, menghasilkan berbagai enzim dan hormon bagi senyawa bioaktif untuk pertumbuhan. Jumlah Buah Cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahawa pemberian berbagai dosis gliokompos memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah buah tanaman cabe merah pada saat tanaman berumur 70, 80, dan 90 hari sesudah tanam. Perbedaan pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap jumlah buah tanaman cabe merah pada saat tanaman berumur 70, 80, dan 90 hari sesudah tanam diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap jumlah buah tanaman Cabe disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata jumlah buah cabai berbagai dosis gliokompos Gliokompo s (g/20k g tanah) G0 = 0 G1 = 30 pada Jumlah buah cabai (buah) pada pengamatan ke..HST 70 9,8 c 14,6 b 80 11,2 d 18,3 c 90 10,9 d 21,3 c Safuan et al. 131 J. Agroteknos G2= 40 G3 = 50 19,3 a 22,3 a 23,6 b 29,4 a 28,3 b 31,8 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom sama, berbeda nyata pada uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95% Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah buah masak terbanyak pada tanaman cabai pada umur 70, 80 dan 90 HST berada pada perlakuan G3 (50 g), yakni masing-masing sebanyak 22,3, 29,4 dan 31,8 buah dan jumlah buah terendah berada pada perlakuan kontrol (G0). Perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap jumlah buah berada pada pelakuan G3 (50gr) dan terendah berada pada perlakuan tanpa menggunakan gliokompos (G0) serta berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perbedaan ini dapat disebabkan karena pada perlakuan G3 menggunakan gliokompos dengan dosis tertinggi diantara perlakuan lainnya sehingga jumlah buah yang dihasilkan lebih banyak dibanding pada perlakuan lainnya. Denis and Webster (1971) menyatakan bahwa penggunaan gliokompos dipersemaian yang tepat dosis dengan komposisi campuran yang tepat, selain mampu menanggulangi kerugian akibat serangan penyakit tular tanah, juga mampu meningkatkan kesuburan tanaman, dan meningkatkan produksi bunga dan buah. Selain itu, hasil penelitian Suwandi dan Rosliani (2004), mengenai “Pengaruh gliokompos, pupuk nitrogen, dan kalium pada cabai yang ditanam tumpanggilir dengan bawang merah” menunjukkan bahwa pemberian pupuk gliokompos pada tanah aluvial untuk tanaman bawang merah (tumpanggilir dengan cabai) tidak nyata meningkatkan hasil bawang merah, tetapi dapat menekan susut bobot bawang merah setelah dikeringkan/disimpan. Pemupukan N dan K serta kombinasinya dengan gliokompos berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buah sehat, dan bobot buah sehat cabai per petak. Berat Buah Cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahawa pemberian berbagai dosis gliokompos memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat buah tanaman cabe merah. Perbedaan pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap berat buah tanaman cabe merah diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% pengaruh berbagai dosis gliokompos terhadap jumlah buah tanaman Cabe disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata berat buah cabai per tanaman pada berbagai dosis gliokompos Gliokompos (g/20kg tanah) G0 = 0 G1 = 30 G2= 40 G3 = 50 Berat buah cabai (g/tanaman) 96.3 d 200.8 c 276.7 b 318.1 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom, berbeda nyata pada uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95% Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata berat buah cabai berkisar antara 96,3–318,1 gram per tanaman dengan perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap berat buah berada pada pelakuan G3 (50gr) yang berda nayata dengan perlakuan G2, G1, dan G0, sedangkan tanaman yang menghasilkan buah yang terendah berada pada perlakuan tanpa menggunakan gliokompos (G0) serta berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perbedaan ini dapat disebabkan karena pada perlakuan G3 menggunakan gliokompos dengan dosis lebih tinggi diantara perlakuan lainnya sehingga mempengaruhi berat buah yang dihasilkan tanaman cabai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosmahani (2004) mengenai sistem usahatani berbasis bawang merah di lahan kering dataran rendah, yang menunjukkan bahwa pemberian gliokompos dari pupuk kandang ayam dan gliokompos dari pupuk kandang sapi dapat menekan serangan busuk buah dan memberikan produksi berat basah yang lebih baik bagi tanaman bawang merah. Vol. 3 No.3, 2013 SIMPULAN Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemberian pupuk gliokompos memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah buah dan berat buah cabai. 2. Pemberian dosis 50 g gliokompos memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai. Saran Berdasarkan hasil penelitian untuk memperoleh produksi cabai yang lebih baik dapat menggunakan aplikasi gliokompos dengan dosis 50 gram per tanaman. DAFTAR PUSTAKA Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Teknik Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Agens Hayati. Leaflet. Laboratorium PHP Kendari. Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi). 2012. Gliokompos Berpeluang Menggantikan Fungisida Sintetis. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara. 2011. Sulawesi Tenggara dalam Angka. Kendari. Denis, C and J. webster 1971. Antagonistic Propertis of Spesies Groups of Trichoderma. Trans. Br. Micol. soc. 57 (1):25-39. Dinas Perkebunan dan Hortikultura. 2003. Buku Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Sayuran. Kendari. Fatmawati. U. 2009. Potensi Kotoran Sapi. Http//www.wordpress.org. Diakses Tanggal 8 Juli 2012. Hutasoit Nella. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen dan Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai Merah, (online), (nellahutasoit’s blog)http:nellahutasoit.wordpress.com. Diakses pada tanggal 11 Juli 2012. Lingga, P. dan Marsono. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Bogor. 132 Mardiasih, P.W. et al. 2010. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Utama pada Tanaman Cabai. Dirjen Hortikultura. Jakarta. Moekasan, K.T. et al. 2011. Pengelolaan Tanaman Terpadu pada Cabai Merah Sistem Tanam Tumpanggilir dengan Bawang Merah. Balitsa. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Muharam, A. dan Sumarni, N., 2005. Panduan Teknis Budidaya Tanaman Cabai Merah. Balittanah. Litbang. Deptan. Nurmawati, S. dan Suhardianto, A. 2000. Studi Perbandingan Penggunaan Pupuk Kotoran Sapi dengan Pupuk Kascing terhadap Produksi Tanaman Selada. Laporan Penelitian. Universitas Terbuka. Jakarta. Prajnanta, F. 2007. Kiat Sukses Bertanam Cabai di Musim Hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. Pustika, A.B. dan Musofie, A. 2007. Perkembangan Penyakit Berbagai Tanaman Hortikultura Pada Penggunaan Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. Di Kawasan Pertanian Pantai Kulonprogo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Ripangi, A. 2012. Budidaya Cabai. PT. Buku Kita. Yogyakarta. Rosmahani, L. et al. 2004. Sistem Usahatani Berbasis Bawang Merah Di Lahan Kering Dataran Rendah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Bogor. Saediman, 2003. Tantangan dan Peluang pemasaran Produk-Produk Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara di Era Globalisasi. Makalah disampaikan pada Semiloka Pengembangan Kurikulum GBPP/SAP Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo. Kendari. Sarwono Hardjowigeno 2003. Ilmu Tanah. Cetakan Kelima. Akademika Pressindo. Jakarta. Setiadi. 2006. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simpleks. Jakarta. Setyorini, D., Saraswati. R., Anwar. E.K. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati : Kompas. Balittanah.litbang.Deptan. 133 J. Agroteknos Safuan et al. Supriadi. 2006. Analisis Resiko Agens Hayati Untuk Pengendalian Patogen Pada Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. Jakarta. Suwandi dan Rosliani, R. 2004. Pengaruh Gliokompos, Pupuk Nitrogen, Dan Kalium Pada Cabai Yang Ditanam Tumpanggilir Dengan Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. Warisno. 2001. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai. Kres Dahana. Jakarta. Yusuf. T. 2010. Agens Hayati Untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman. (online), (http://tohariyusuf.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 3 April 2012). JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 133-138 ISSN: 2087-7706 PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN NUTRISI ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum L.) The Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Organic Nutrition on Growth of Chili Plant (Capsicum annuum L.) MAKMUR JAYA ARMA*), RISNAWATI, GUSNAWATY H.S. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari ABSTRACT The research to study the effects of arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) and organic nutrients to enhance the growth of chili has been conducted in Experimental Field, Faculty of Animal Husbandry and laboratory of Agrotechnology, Halu Oleo University, from June to November 2012. The research was based on the split-plot design with a randomized block design pattern (RAK) of two factors: Organic Nutrition as the main plot and AMF as subplot. Organic nutrients as the main plot consisted of three levels, namely: without organic nutrition (S0), 1 mL L-1 of water (S1) and 2 mL L -1 of water (S2); and AMF dose as subplot consisted of three levels, namely: without AMF (M0), 5 g plant-1 (M1) and 10 g plant-1 (M2). therefore, there were 9 combinations of treatments and each treatment combination was repeated three times to obtain 27 experimental units. Each variable was analyzed by analysis of variance, then followed by Duncan's Multiple Range Test (UJBD) at 95% confidence level. The results of research indicated that the best interaction of AMF and organic nutient treatment was 10 g AMF plant-1 (M2) and 2 mL L-1 (S2) of organic nutrients. This treatment combination can improve growth on variables: leaf area, leaf area index and yield index of the chili plants. The best treatment for AMF independently was at 10 g plant-1 (M2) because it can promoted growth of plant height of the chili plants. The best treatment for organic matter independently was at 2 mL L-1(S2), because it can promoted growth of plant height of the chili plants. Keywords: FMA, organic nutrition, growth, chili 1PENDAHULUAN Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Cabai banyak digunakan sebagai bumbu dapur, yakni bahan penyedap berbagai macam masakan antara lain sambal, saus, aneka sayur dan produkproduk makanan kaleng. Selain digunakan sebagai penyedap masakan,cabai juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan ramuan obatobatan (industri farmasi), industri kosmetik, industri pewarna makanan dan bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan dan minuman (Erliana, 2006). *) Alamat Korespondensi: Email: [email protected] Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012) bahwa Indonesia mampu memproduksi tanaman cabai sebesar 1.378.727 ton pada tahun 2009 dengan luasan lahan 233.904 ha atau sekitar 5,89 ton ha-1, kemudian pada tahun 2010 sebesar 1.328.864 ton dengan luasan lahan 237.105 ha atau menurun sekitar 3,26% dan pada tahun 2011 produksi cabai mencapai 1.483.079 ton dengan luasan lahan 239.770 ha atau sekitar 6,19 ton ha-1. Produksi cabai Sulawesi Tenggara pada tahun 2010 sebesar 7.817 ton dengan luasan lahan 1.959 ha atau mengalami peningkatan sebesar 3.054 ton atau sekitar 39,07% dibanding produksi pada tahun 2009. Pada tahun 2011 produksi cabai mencapai 4.764 ton, atau menurun sebesar 3.053 ton atau sekitar 39% dibanding produksi pada tahun 2010. Penurunan produksi yang terjadi diperkirakan karena semakin rendahnya Vol. 3 No.3, 2013 produktivitas tanaman akibat luasan lahan yang tidak diimbangi dengan kesuburan tanah yang baik, penguasaan teknik budidaya yang kurang serta serangan hama dan penyakit. Sulawesi Tenggara adalah salah satu daerah dengan potensi lahan kering yang cukup luas dengan dominasi jenis tanah ultisol. Hardjowigeno (2003), problema tanah ultisol adalah reaksi tanah masam, kandungan Al tinggi dan unsur hara rendah. Oleh karena itu, perlu adanya input teknologi sebagai upaya peningkatan kesuburan tanah dalam meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Salah satu input teknologi tersebut yaitu penggunaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). FMA merupakan alternatif teknologi yang dikembangkan pada budidaya tanaman lahan kering yang secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro. Selain itu, akar tanaman yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara yang berbentuk terikat seperti hara P menjadi tersedia bagi tanaman (Setiadi, 1989; Anas, 1997; Mulyati dan Sinwin, 2010). Selain berbagai keuntungan penggunaan FMA terhadap tanah dan tanaman khususnya dalam penyerapan unsur hara, namun FMA juga memiliki kekurangan yakni tidak dapat menyediakan seluruh unsur maupun nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman pada waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, penambahan nutrisi organik lain menjadi alternatif dalam melengkapi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Salah satu nutrisi tersebut dapat dibantu dengan memberikan Nutrisi Organik Wong Tani. Nutrisi merupakan salah satu bahan /unsur yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Nutrisi organik dapat diaplikasikan melalui daun tanaman karena mengandung senyawasenyawa yang secara langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman dalam proses fotosintesis. Lebih lanjut, Martin (2000) Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula 134 menyatakan bahwa pemberian melalui daun dapat mempercepat absorbsi senyawa pada tanaman dan efektif menanggulangi kekurangan unsur mikro. Nutrisi organik wong tani dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama pada daun, memicu munculnya tunas, bunga, meningkatkan pertumbuhan batang (pembelahan sel) serta akar akan berkembang pesat (Ardian, 2009). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat. -Bahan yang digunakan dalam penelitan ini yaitu bibit cabai merah besar varietas Wibawa F1, Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), Nutrisi Organik (Wong Tani), pupuk kandang sapi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu polybag ukuran 8 cm x 12 cm, cangkul, sabit, parang, patok, mulsa plastik, timbangan analitik, meteran, hand sprayer, ember, tali rafia, gelas ukur kimia, mistar, jangka sorong, amplop kopy, oven listrik, pisau, kamera dan alat tulis menulis. Rancangan Percobaan. Percobaan lapangan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah (RPT) dengan pola rancangan acak kelompok (RAK) sebagai ulangan. Percobaan ini terdiri atas dua faktor yaitu Nutrisi Organik sebagai petak utama terdiri dari tiga taraf uji yaitu tanpa Nutrisi Organik (S0), 1 mL L-1 air (S1) dan 2 mL L air (S2) dan FMA sebagai anak petak terdiri atas tiga taraf uji yaitu tanpa FMA (Mo), 5 g tan-1 (M1) dan 10 g tan-1 (M2). Setiap taraf dari faktor dosis FMA dikombinasikan dengan setiap taraf dari faktor dosis Nutrisi Organik. Oleh karena itu, terdapat 9 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi taraf diulang 3 kali sehingga keseluruhan terdapat 27 unit percobaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi. Tabel 1. Pengaruh mandiri nutrisi organik terhadap tinggi tanaman cabai merah besar (cm) umur 48 HST. Nutrisi Organik 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) Rata-rata tinggi tanaman (cm) 52,87 a 50,53 b 53,49 a UJBD 0,05 2= 2,09 3= 2,14 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata pada UJBD 0,05 135 Arma et al. J. Agroteknos Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman 48 HST tertinggi diperoleh pada perlakuan S2 yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan S0, namun berbeda nyata dengan perlakuan S1. Hal ini diduga karena tanaman cabai merah besar telah mampu memanfaatkan substrat senyawa organik yang disediakan oleh nutrisi organik berupa hormon giberelin, sitokinin yaitu zeatin dan kinetin serta hormon auksin yaitu IAA (Asam asetik Indol), hormon-hormon tersebut dapat memicu pertumbuhan tanaman dan menjadi hara atau nutrisi organik bagi pertumbuhan tanaman (Aryulina, 2011). Hasil penelitian Fermin (2013) menunjukkan bahwa pemberian nutrisi organik mampu meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan hasil tanaman jagung dan kacang tanah. Tabel 2. Pengaruh mandiri FMA terhadap tinggi tanaman cabai merah besar (cm) umur 34 HST. Fungi Mikoriza Arbuskula 0 g tan-1 (M0) 5 g tan-1 (M1) 10 g tan-1 (M2) Rata-rata tinggi tanaman (cm) 39,64 ab 37,30 b 41,93 a UJBD 0,05 2= 3,42 3= 3,58 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata pada UJBD 0,05. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman 34 HST tertinggi diperoleh pada perlakuan M2 yang berbeda nyata dengan perlakuan M1, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan M0 dan perlakuan M1 berbeda tidak nyata terhadap M0. Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis FMA 10 g tan1 telah mampu membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman dalam pertumbuhannya. Hal ini juga disebabkan oleh adanya mikoriza yang bersimbiosis dengan akar tanaman cabai merah besar yang sejalan dengan pernyataan Solahuddin (1993) yang menyatakan bahwa tanaman yang dikolonisasi mikoriza akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Widawati dan Sulisih (1999) menyatakan bahwa mikoriza berperan dalam meningkatkan kapasitas tanaman dalam menyerap unsur hara dan air. Selain itu, Setiadi (1989) menambahkan bahwa mikoriza juga mampu memperluas permukaan area serapan unsur hara dan CO2 pada tanah-tanah yang kurang subur (tanah marginal) serta menyerap unsur hara P berbentuk terikat menjadi tersedia bagi tanaman. Satrahidayat (1999) mengungkapkan bahwa meningkatnya penyerapan P akan diikuti oleh peningkatan penyerapan unsur-unsur lain (chelator) baik dalam bentuk kation (Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg++), Seng (Zn++), Besi (Fe++) dan protein) maupun dalam bentuk terikat seperti Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau occluded-P. Hal ini karena P akan membentuk ATP (Adenosin Triphospat) yang sangat berguna untuk penyerapan hara mineral. Tabel 3. Pengaruh interaksi FMA dan Nutrisi Organik terhadap luas daun tanaman cabai merah besar (dm2) pada umur 20, 34, 48, 62 dan 76 HST. Umur Tanaman (HST) 20 34 Nutrisi Organik (ml L-1) 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) Dosis Fungi Mikoriza Arbuskula 0g 5 g tan-1 (M1) 10 g tan-1 (M2) 0) 2,458 b 2,420 a 2,689 bc P P P 2,614 ab 2,667 a 2,661 c P P P 2,972 a 2,581 a 3,486 a QR R P 4,486 b 3,649 a 4,754 ab P Q P 3,493 c 3,966 a 4,189 b P P P 5,623 a 3,353 a 5,107 a P Q p tan-1 (M UJBD 0,05 2=0,377 3=0,395 2=0,736 3=0,772 Vol. 3 No.3, 2013 48 0 mL L-1 (S0) Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula 136 8,187 b 6,032 c 7,358 b 2=1,076 P Q P 3=1,128 1 mL L-1 (S1) 6,046 c 8,325 a 9,374 a Q P P 2 mL L-1 (S2) 10,364 c 7,101 bc 10,145 a P Q P -1 62 0 mL L (S0) 14,785 a 11,924 bc 14,042 ab 2=1,736 P Q p 3=1,820 1 mL L-1 (S1) 8,384 b 14,166 a 13,026 b Q P P 2 mL L-1 (S2) 13,790 a 11,435 c 15,480 a P Q p 76 0 mL L-1 (S0) 16,041 b 13,712 c 16,485 c 2=1,585 P Q P 3=1,663 1 mL L-1 (S1) 10,023 c 16,532 a 16,502 bc Q P P 2 mL L-1 (S2) 19,488 a 14,659 bc 18,284 a P Q P Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama (a-b) dan baris yang sama (p-q) berbeda nyata padaUJBD 0,05 Tabel 4. Pengaruh interaksi FMA dan nutrisi organik terhadap indeks luas daun tanaman cabai merah besar pada umur 20, 34, 48, 62 dan 76 HST. Umur Tanaman (HST) 20 34 48 62 76 Nutrisi Organik 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) Fungi Mikoriza Arbuskula 0 g tan-1 (M0) 0,051 b P 0,054ab P 0,062 a Q 0,093 b P 0,073 c P 0,117 a P 0,171 b P 0,126 c Q 0,216 a P 0,308 a P 0,175 b Q 0,287 a P 0,355 b P 0,210 c Q 0,403 a 5 g tan-1 (M1) 0,050 a P 0,056 a P 0,054 a R 0,076 a Q 0,083 a P 0,070 b Q 0,126 c Q 0,173 a P 0,148bc Q 0,248 bc Q 0,295 a P 0,238 c Q 0,275 c Q 0,368 a P 0,312 b 10 g tan-1 (M2) 0,056 bc P 0,055 c P 0,073 a P 0,099 ab P 0,087 b P 0,106 a P 0,153 c P 0,195 b P 0,211 a P 0,293 ab P 0,271 b P 0,323 a P 0,377 a P 0,339 b P 0,372 ab UJBD 0,05 2= 0,008 3= 0,008 2= 0,015 3= 0,016 2= 0,022 3= 0,024 2= 0,036 3= 0,038 2= 0,033 3= 0,035 137 Arma et al. J. Agroteknos P Q P Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama (a-b) dan baris yang sama (p-q) berbeda nyata padaUJBD 0,05 Tabel 5. Pengaruh interaksi FMA dan nutrisi organik terhadap nilai indeks panen tanaman cabai merah besar Nutrisi Organik 0 mL L-1 (S0) 1 mL L-1 (S1) 2 mL L-1 (S2) Fungi Mikoriza Arbuskula 0g 5 g tan-1 10 g tan-1 (M0) (M1) (M2) tan-1 2,924 b Q 3,962 a P 4,136 a Q 3,551 a P 3,857 a P 3,410 a R 3,446 bc PQ 3,441 c P UJBD 0,05 2= 0,588 3= 0,616 5,436 a P Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama (a-b) dan baris yang sama (p-q) berbeda nyata padaUJBD 0,05 Luas Daun (dm2), Indeks Luas Daun dan Indeks Panen Tanaman. Daun mempunyai peranan yang penting dalam penyerapan radiasi surya dan variasi pengaruhnya terhadap pertumbuhan dapat dikaji melalui indeks luas daun (Muhadjir, 1988 dalam Fermin, 2013). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi dosis Nutrisi organik 2 mL L-1 (S2) pada FMA 10 g tan-1 (M2) berpengaruh sangat nyata terhadap luas daun dan indeks luas daun tanaman pada umur 34, 48, 62 dan 76 HST dan berpengaruh nyata pada umur 20 HST. Gardner et al., (1991) menyatakan bahwa produksi dan perluasan daun yang cepat dapat memaksimalkan penyerapan cahaya dan asimilasi. Luas daun dan ILD berkorelasi positif dengan nilai indeks panen tanaman cabai merah besar. Muhadjir (1988) dalam Fermin, (2013) mengemukakan bahwa agar diperoleh hasil panen yang tinggi, tanaman budidaya harus dapat menghasilkan indeks luas daun yang cukup dengan cepat untuk menyerap sebagian besar cahaya guna mencapai produksi berat kering maksimum. Menurut Heddy (1987) dalam Fermin (2013), indeks luas daun yang tinggi biasanya akan meningkatkan proses fotosintesis dan penyerapan unsur hara serta hasil bahan kering tanaman sebagai hasil fotosintesis yang tertimbun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perlakuan FMA 10 g tan-1 dan nutrisi organik 2 mL L-1 (S2) baik secara interaksi maupun mandiri berpengaruh nyata terhadap nilai indeks panen tanaman cabai merah besar. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Interaksi FMA dan dosis nutrisi organik yang terbaik pada perlakuan FMA 10 g tan1 dan dosis nutrisi organik 2 mL L-1 karena dapat meningkatkan pertumbuhan luas daun, indeks luas daun dan nilai indeks panen tanaman cabai merah besar. 2. Perlakuan FMA terbaik pada dosis 10 g tan1 karena dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman cabai merah besar. 3. Perlakuan dosis nutrisi organik terbaik pada dosis 2 mL L-1 karena dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman cabai merah. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh berbagai jenis FMA dan nutrisi oeganik yang lebih tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai Vol. 3 No.3, 2013 merah besar serta perlu adanya penambahan pupuk NPK sebagai pupuk dasar. DAFTAR PUSTAKA Anas. I., 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Ardian, D., 2009. Hormon Wong Tani. (Online), (http://npkjagotani.com/produk-terlaris2/hormon-wong-tani/. Diakses tanggal 31 Januari 2012). Aryulina, D., 2011. Fungsi hormon dan vitamin bagi tumbuhan. (Online), (http://artikelterbaru.com/pendidikan/fu ngsi-hormon-dan-vitamin-untuktumbuhan-20111107.html. Diakses tanggal 31 Januari 2012). Badan Pusat Statistik Indonesia, 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, 2012. Sulawesi Tenggara dalam Angka 2012. Kendari. Erliana, 2006. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Periode Penyiraman terhadap Pertumbuhan dan Produksi Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari. Fermin, uli., 2013. Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L.) dan Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) melalui Pemberian Nutrisi Organik dan Waktu Tanam dalam Sistem Tumpangsari. Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Kendari. Gardner. F., Breant Pearce dan roger L., 1991. Fisisologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. Hardjowigeno, H., 2003. Ilmu tanah. Akademika Presindo, Jakarta. Martin. 2000. Harper Review Chemistry. California CBA. California. Mulyati dan Sinwin, 2010. Kontribusi Pemanfaatan Pupuk Organik Kascing dan Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan dan Serapan Fosfor pada Jagung. (Online),(http://ajobiob.blogspot.com/06/lichenes-danmikoriza.html. Diakses tanggal 26 Januari 2012). Sastrahidayat, I.R., 1995. Study rekayasa tekhnologi pupuk hayati mikoriza. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula 138 Setiadi, 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. Solahuddin. S., 1993. Pengaruh inokulasi VAM rhizobium terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Majalah Ilmiah Universitas Halu Oleo. Kendari. Widawati, S. dan Sulisih, 1999. Status Jamur Mikoriza Vesikular-Arbuskular dan Bakteri Pelarut Fosfat pada Perakaran Beberapa Tanaman dan Tanah dari Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. (Online),(http://ajobiob.blogspot.com/2009/06/lichenes-danmikoriza.html.Diakses tanggal 31 Januari 2012). JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 139-143 ISSN: 2087-7706 UJI POTENSI TRICHODERMA INDIGENOUS SULAWESI TENGGARA SEBAGAI BIOFUNGISIDA TERHADAP Phytophthora capsici SECARA INVITRO In-vitro Potential test of Trichoderma indigenous Sulawesi Southeast As Biofungicide Against Phytophthora capsici GUSNAWATY HS, ASNIAH*, MUHAMMAD TAUFIK, FAULIKA Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari ABSTRACT This research was conducted in the Laboratory of Plant Pest and Disease, Department of Agrotecnologi, Faculty of Agriculture, Halu Oleo University Kendari, from May to August 2013. This study aimed to evaluate potential Trichoderma isolates indigeneous Southeast Sulawesi as biofungicide against Phytophthora capsici and Fusarium oxysporum in-vitro. The potential inhibitory test used multiple testing methods on PDA medium. The research design was a completely randomized design (CRD) consisting of 11 treatments (trichoderma isolates) with three replications. Variables measured were the inhibition of trichoderma indigeneous on the growth of P. capsici and F. oxysporum. Results of the experiment showed that the trichoderma isolates were potential as biofungicide of P. capsici and F. oxysporum because they were able to inhibit the growth of pathogens in-vitro. All trichoderma isolates tested had the same potential as biofungicide against P. capsici, and isolate DKT, BPS, LKA, ASL, LTB, APS, DPA, LKO and DKP has the best potential as biofungicide against pathogenic F. oxysporum in-vitro. Keywords: F. oxysporum, inhibitory, indigenous of Southeast Sulawesi, P. capsici, trichoderma 1PENDAHULUAN Phytophthora capsici merupakan patogen penting yang seringkali menginfeksi tanaman lada di Sulawesi Tenggara. P. capsici merupakan penyebab busuk pangkal batang (BPB) pada tanaman lada. Kerusakan tanaman lada akibat penyakit BPB di Sulawesi Tenggara tahun 2011 berkisar antara 487.60 Ha dari total tanaman lada Sulawesi Tenggara berkisar 11.683 Ha (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara, 2012). Metode pengendalian yang sering dilakukan oleh para petani yaitu penggunaan bahan pestisida sintetik yang melebihi dosis anjuran dan digunakan secara terus-menerus sehingga mengakibatkan akumulasi pestisida tinggi sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu, alternatif pengendalian yang ditawarkan adalah *) Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected] penggunaan agens hayati lokal Sulawesi Tengara berupa trichoderma indigenous yang telah beradaptasi dengan lingkungan asalnya dan tidak menimbulkan efek negatif bagi manusia sehingga dapat menjadi pengendali hayati yang efektif di daerahnya. Ernawanti (2003) menyatakan bahwa pengendalian hayati bersifat spesifik lokal, yaitu mikroorganisme antagonis yang terdapat di suatu daerah hanya akan memberikan hasil yang baik di daerah asalnya. Mekanisme agens antagonis cendawan Trichoderma sp. terhadap patogen adalah kompetisi, mikoparasit dan antibiosis selain itu cendawan Trichoderma sp. juga memiliki beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi, daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat, memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman (Arwiyanto, 2003). Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa Trichoderma sp. dapat mengendalikan Vol. 3 No.3, 2013 Uji Potensi Trichoderma Indigenous patogen pada berbagai komoditas tanaman diantaranya P. infestan penyebab penyakit busuk daun dan umbi kentang (Purwantisari, 2009). Pythium sp. penyebab penyakit rebah kecambah pada bibit durian (Octriana, 2011) Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang uji potensi trichoderma indigenous Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida terhadap P. capsici asal tanaman lada secara in-vitro. METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 11 isolat trichoderma indigenous Sulawesi Tengara yaitu: isolat DKT (P1T1), isolat BPS (P1T2), isolat LKA (P1T3), isoat ASL (P1T4), isolat LTB (P1T5), isolat APS (P1T6), isolat LPS (P1T7), isolat LKP (P1T8), isolat DPA (P1T9), isolat LKO (P1T10) dan isolat DKP (P1T11) ke-11 kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 33 unit percobaan. Pengambilan Sampel Tanaman Terinfeksi Patogen. Sampel tanaman yang terinfeksi patogen P. capsici yang diambil yaitu berupa daun, batang dan akar yang masih belum bergejala lanjut yaitu antara bagian tanaman yang telah terinfeksi dan bagain tanaman yang masih segar kemudian dimasukkan dalam kantong plastik agar terjaga kelembabannya sampai akan digunakan. Sampel yang terinfeksi patogen tersebut harus segera diisolasi untuk menghindari kontaminasi mikroba lain selain patogen yang diinginkan. Isolasi Cendawan Patogen. Isolasi cendawan patogen P. capsici dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman yang terinfeksi patogen .Apabila telah terdapat isolat yang kita inginkan kemudian dimurnikan hingga mendapatkan betul-betul isolat yang diharapkan sesuai dengan identifikasi menurut Alexopoulos et al.,(1996). Peremajaan Isolat Trichoderma. Peremajaan isolat Trichoderma spp. dilakukan dengan cara menumbuhkan kembali isolat tersebut dimedia PDA yang baru kemudian diingkubasi selama tujuh hari hingga siap untuk dilakukan pengujian. Uji Daya Hambat Cendawan Trichoderma spp. terhadap P. Capsici. Pengujian daya hambat cendawan Trichoderma spp. terhadap P. capsici dilakukan menggunakan metode Uji Ganda pada media PDA. Satu potong koloni isolat Trichoderma spp. dan patogen yang berumur 7 hari ditumbuhkan bersamaan pada media PDA dengan jarak 3 cm yang di letakkan secara berlawanan dalam cawan petri yang berukuran 9 cm. Masing-masing isolat cendawan Trichoderma spp. Persentase penghambatan (P) dihitung sebagai berikut: P= (R1 – R2)/R1X100%, dimana P= Persentase penghambatan, R1= jari-jari pertumbuhan patogen ke arah tepi cawan petri, dan R2=jari-jari pertumbuhan patogen ke arah cendawan Trichoderma spp. HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Daya Hambat Trichoderma spp. terhadap P. capsici. Tabel 1. Daya hambat (%) isolat Trichoderma spp. terhadap P. capsici Perlakuan P1T1 P1T2 P1T3 P1T4 P1T5 P1T6 P1T7 P1T8 P1T9 P1T10 P1T11 1 16,67 13,89 11,11 16,24 8,84 8,58 11,36 13,89 8,84 8,33 15,02 140 Persentase Daya Hambat pada Pengamatan ke......HSI 2 3 4 5 6 41,64 a 59,56 65,00 65,00 65,00 ab 25,16 42,01 56,67 56,67 56,67 22,33 ab 42,93 53,37 53,37 53,37 35,84 ab 52,52 58,89 58,89 58,89 38,52 a 51,05 59,00 59,00 59,00 ab 25,59 45,33 53,33 53,33 53,33 32,55 ab 47,71 57,78 57,78 57,78 15,58 b 39,37 48,89 48,89 48,89 a 37,12 54,00 62,22 62,22 62,22 28,39 ab 46,50 54,60 54,60 54,60 ab 40,79 57,10 61,11 61,11 61,11 7 65,00 56,67 53,37 58,89 59,00 53,33 57,78 48,89 62,22 54,60 61,11 141 Gusnawaty et al. J. Agroteknos Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan persentase daya hambat 11 isolat Trichoderma spp. terhadap P. capsici berpengaruh tidak nyata pada pengamatan 1 HSI, 3 HSI, 4 HSI, 5 HSI, 6 HSI dan 7 HSI dan berpengaruh nyata pada 2 HSI. Histogram yang menunjukan perbedaan yang nyata pada pengamatan 2 HSI disajikan sebagai berikut: Gambar 1. Histogram daya hambat Trichoderma spp. terhadap P. capsici 2 HSI secara invitro. Gambar 1. Menunjukan bahwa perlakuan P1T1 yang merupakan Trichoderma spp. isolat DKT yang memiliki daya hambat tertinggi dibanding perlakuan lainnya pada 2 HSI yaitu sebesar 41,64% dan yang terendah diperlihatkan oleh perlakuan P1T8 yang merupakan trichoderma isolat LKP yaitu sebesar 9,91%. Seperti halnya dengan pengamatan 2 HSI, pengamatan yang lain juga memperlihatkan bahwa isolat DKT yang memilki nilai penghambatan tertinggi terhadap P. capsici namun tidak berbeda dngan pengamatan lainnya hingga pengamatan akhir oleh karena itu dianggap bahwa semua isolat trichoderma berpotensi sebagai biofungisida terhadap P. capsici secara in-vitro Phytophthora capsici penyebab Busuk Pangkal Batang (BPB) merupakan patogen tular tanah yang sering menginfeksi pertanaman lada di Sulawesi Tenggara. Solusi pengendaliaan yang lebih efektif dan ramah lingkungan dalam mengendalikan kedua patogen tersebut, salah satunya adalah penggunaan agens hayati seperti trichoderma indigenous. Trichoderma spp. merupakan salah satu cendawan tanah yang bersifat saprofit dan antagonis pada cendawan patogen misalnya, P. infestan penyebab penyakit busuk daun dan umbi kentang (Purwantisari, 2009), Pythium sp. penyebab penyakit rebah kecambah pada bibit durian (Octriana, 2011) dan F. oxysporum penyebab penyakit layu pada tanaman tomat (Taufik, 2008). Berdasarkan hasil pengamatan uji antagonis Trichodrma spp. terhadap P. capsici memperlihatkan bahwa pertumbuhan jarijari koloni patogen kearah titik tengah medium PDA lebih lambat dibanding pertumbuhan Trichoderma spp. Purwantisari dan Hastuti (2009) menyatakan bahwa Trichoderma sp. merupakan jenis yang potensial untuk pengendalian penyakit secara hayati. Hasil penelitian yang telah dilakukan mendukung pendapat tersebut dimana ke-11 isolat Trichoderma spp. yang diuji mampu menghambat pertumbuhan P. capsici di medium PDA secara in-vitro. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa semua isolat Trichoderma spp. yang diujikan memiliki kemampuan dalam menekan pertumbuhan patogen uji (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan Trichoderma spp. indigenous Sulawesi Tenggara mampu memanfaatkan nutrisi, ruang, serta diduga mampu menghasilkan senyawa antibiosis dan memarasit cendawan patogen yang menyebabkan terhambatnya perkembangan patogen. Trichoderma spp. yang diuji memiliki perbedaan kemampuan dalam melakukan aktivitas penghambatan terhadap P. capsici. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan karakter setiap isolat Trichoderma spp. yang berkaitan dengan kecepatan pertumbuhannya pada medium serta mekanisme dalam aktivitas daya hambatnya terhadap P. capsici (Tabel 1). Menurut Djafaruddin (2000) faktor penting yang menentukan aktivitas mikroorganisme antagonis untuk megendalikan patogen adalah memiliki kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga mampu berkompetisi Vol. 3 No.3, 2013 dengan patogen dalam hal penguasaan ruang dan makanan yang pada akhirnya dapat menekan pertumbuhan cendawan patogen. Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukan semua isolat Trichoderma spp. yang diujikan terhadap P. capsici, rata-rata dapat menghambat pertumbuhan pada pengamatan 2 HSI ditandai dengan koloni cendawan patogen maupun agens antagonis saling mendekat dan terbentuk zona penghambatan. Zona penghambatan ini tidak tetap selama pengamatan hal ini dikarenakan ke-11 isolat Trichoderma spp. masih aktif dalam melakukan aktivitas penghambatan. Mekanisme penghambatan dari ke-11 isolat Trichoderma spp. terhadap Phytophthora capsici secara umum berupa kompetisi ruang dan mikoparasit (Tabel 4.) menurut Purwantisari dan hastuti (2009) bahwa cendawan yang tumbuh cepat mampu mengungguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya bisa menekan pertumbuhan cendawan lawannya. Selain mekanisme kompetisi ruang, ke-11 isolat tersebut juga diduga dapat menghambat patogen melalui mekanisme antibiosis yang ditandai dengan menipisnya koloni patogen karena enzim yang dihasilkan, Fravel (1988) dalam Achmad et al. (2011) menyatakan bahwa antibiosis adalah antagonisme yang diperantarai oleh metabolit spesifik atau non spesifik, enzim, senyawa volatil, atau zat beracun (toksin) lainnya yang dihasilkan oleh mikroba. Hasil penelitian memperlihatkan semua isolat trichoderma indigenous Sulawei Tenggara memiliki kemampuan yang sama dari hasil analisis ragam dalam menekan pertumbuhan patogen P. capsici. Nilai penghambatan Trichoderma spp. terhadap P. capsici diakhir pengamatan berturut-turut yaitu isolat DKT sebesar 65,00%, DPA sebesar 62,22%, DKP sebesar 61,11%, LTB sebesar 59,00%, ASL sebesar 58,89%, LPS sebesar 57,78%, BPS sebesar 56,67%, LKO sebesar 54,60% LKA sebesar 53,37%, APS sebesar 53,33% dan LKP sebesar 48,89%, rata-rata isolat trichoderma memperlihatkan dapat menghambat P. caspici di atas 40% hal ini mengindikasikan semua isolat efektif Uji Potensi Trichoderma Indigenous 142 sebagai biofungisida terhadap P. capsici secara in-vitro. Semua isolat trichoderma yang diujikan dapat menghambat P. capsici karena memiliki mekanisme berupa kompetisi ruang yang cepat dibanding patogen hal ini ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan patogen pada pengamatan 2 HSI selanjutnya setelah isolat tersebut mengkolonisasi ruang tumbuh mekanisme antagonis selanjutnya yang dihasilkan adalah mekanisme mikoparasit yaitu proses memarasit cendawan patogen dimana koloni cendawan P. capsici ditumbuhi oleh koloni Trichoderma spp. pada medium PDA hal ini diduga terjadinya pelilitan hifa pada pertemuan hifa patogen dengan antagonisnya. Djaya (2003) melaporkan bahwa Ketika mikoparasit itu mencapai inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure) kemudian menyerap nutrisi inangnya. Mekanisme antagonis lain yang diduga dihasilkan oleh trichoderma dalam menghambat P. capsici berupa antibiosis dimana isolat tersebut kemungkinan menghasilkan enzim selulase sehingga dinding sel patogen P. capsici menjadi lisis yang ditandai dengan menipisnya koloni P. capsici hal ini didukung oleh pernyataan Salma dan Gunarto (1999) bahwa Trichoderma sp. mampu menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi selulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel cendawan P. capsici. SIMPULAN Dari hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Semua isolat trichoderma indigenous Sulawesi Tenggara yang diujikan berpotensi sebagai biofungisida terhadap P. capsici secara invitro dengan persentase penghambatan tertinggi dimiliki oleh isolat P1T1 yakni 65 % pada 4 HSI. DAFTAR PUSTAKA Alexopoulos, C.J., C.W ., Mims dan M.,Blackwell, 1996. Introductory Mycology. John Wiley dan Sons, Inc. Canada America. 143 Gusnawaty et al. Arwiyanto.T, 2003. Pengendalian hayati penyakit layu bakteri tembakau. Jurnal perlindungan tanaman Indonesia, 3(1): 54-60. Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, 2012. Statistik Perkebunan Provinsi Sulawesi Souteast. Djaenuddin .N, 2011. Bioekologi penyakit layu fusarium (Fusarium oxysforum). Prosiding Seminar dan Pertemuan xxi PEI. PFI Komda Sulsel dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulsel. Makassar. Erwanti, 2003. Potensi Mikroorganisme Tanah Antagonis Untuk Menekan Pseudomonas sollanacearum pada Tanaman Pisang. Secara in vitro di Pulau Lombok. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana (S3). (Tidak dipublikasikan) Gultom, J.M., 2008. Pengaruh Pemberian Beberapa Jamur Antagonis dengan Berbagai Tingkat Konsentrasi Untuk Menekan Perkembangan Jamur Phytium sp. Penyebab Rebah Kecambah pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.). Diakses 10 Maret 2013. Hindayana .D, 2002. Musuh Alami Hama dan Penyakit Tanaman Lada. Deptan. Jakarta. Jamilah. R, 2011. Potensi Trichoderma harzianum (T38) dan Trichoderma pseudokoningii (T39) sebagai Antagonis Terhadap Ganoderma sp. Penyebab Penyakit Akar Pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.). Skripsi Sarjana. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Kethan. S.k., 2001. Mikrobial Pest Kontrol. Macel Delker. Inc. New York. Manohara, D dan Nurheru, 2007. Hama dan penyakit utama tanaman lada dan pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29(4): 5-6. Mulya, K., R. Noveriza, D. Manohara. 2003. Efikasi In Vivo Pelet Erwinia BST4 dan Trichoderma harzianum Blt1 dalam Menekan Infeksi Phytophthora capsici pada Lada. Bull Peneliti TRO 12:1-6. Octriana.L, 2011. Potensi agen hayati dalam menghambat pertumbuhan Phytium sp. secara in vitro. Buletin Plasma Nutfah, 17(2): 7-9. Purwantisari. P. dan R.B. Hastuti, 2009. Uji antagonisme jamur patogen Phytophthora infestans penyebab penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang dengan menggunakan Trichoderma spp. isolat lokal. Jurnal BIOMA, 11(1): 24-32. Salma. S. Dan L. Gunarto, 1999 Enzim selulase dari Trichoderma spp. Buletin Agribio. Balai Penelitian Bioteknolgi Tanaman Pangan, 2(2) Semangun, H. 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sudanta, i. M., i. M. Kesratarta, i. Sudana. Uji antagonisme beberapa jenis jamur saprofit J. Agroteknos terhadap Jamur fusarium oxysporum f. Sp. Cubense penyebab penyakit layu Pada tanaman pisang serta potensinya Sebagai agens pengurai serasah. UNRAM. NTB. Setiyono,R.T., 2009. Perakitan lada hibrida tahan terhadap penyakit busuk pangkal batang. Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 15(2): 19-20. Taufik, M., 2011. Aplikasi rizobakteri dan trichoderma spp. Terhadap pertumbuhan tanaman dan kejadian penyakit busuk pangkal batang dan kuning Pada tanaman lada (piper nigrum l.). Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 144-151 ISSN: 2087-7706 EFEKTIVITAS LIMBAH CAIR PERTANIAN SEBAGAI MEDIA PERBANYAKAN DAN FORMULASI Bacillus subtilis SEBAGAI AGENS HAYATI PATOGEN TANAMAN Effectivity of Agricultural Waste as Media Propagation and Formulation of Bacillus subtilis As Biological Agents of Plant Pathogens ANDI KHAERUNI*), ASRIANTI, ABDUL RAHMAN Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari ABSTRACT This study aimed to find the best medium for formulation and storage of B. subtilis. The study consisted of two phases: (1) Selection of agricultural wastes as a propagation medium for Bacillus subtilis, (2) test for the stability of Bacillus subtilis in material formulation and its inhibition activity against Rhizoctonia solani. The second phase was conducted based on completely randomized design, consisting of five treatments, namely: 100 % medium synthetic, 100% coconut water, 75% coconut water + 25 % synthetic medium, 50% coconut water + 50% synthetic medium and 25% coconut water + 75% synthetic medium. Each treatment was repeated three times, so that there were 15 experimental units. B. subtilis ST21e isolate was formulated in liquid medium according to treatment and kept in plastic container at room temperature for 8 weeks to count the number of colonies and inhibition activity every 2 weeks. The results showed that the agricultural wastes (coconut water, tofu water and molasses) can be used as a media for B. subtilis ST21e propogation in different cell growth pattern. B. subtilis propogation in medium coconut water + 10% TSB had the best growth pattern compared to the other media. On the other hand, medium containing 25% coconut water + 75% synthetic medium was the best combination for storage medium of B. subtilis ST21e. Key words: biological agents, Bacillus subtilis, agricultural waste 1PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, teknologi di bidang pertanian, termasuk pengendalian penyakit tanaman juga berkembang dengan cepat, namun perkembangannya masih terfokus pada pengendalian secara kimiawi yaitu penggunaan pestisida sintetik. Ketergantungan terhadap pestisida ini karena penggunannya praktis dan cepat. Namun disisi lain penggunaan pestisida sintetik belum mampu menyelesaikan masalah penyakit tanaman, malah sering menimbulkan masalah-masalah baru, seperti terjadinya kerusakan *) Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected] lingkungan disamping dapat menginduksi patogen menjadi resisten terhadap pestisida yang digunakan. Oleh karena itu diperlukan alternatif yang ramah lingkungan yaitu berupa pengendalian hayati sehingga mengurangi penggunaan pestisida sintetik. Bacillus subtilis merupakan salah satu bakteri yang banyak dikembangkan sebagai agens hayati untuk mengendalikan patogen tanaman. B. subtilis termasuk bakteri gram positif, berbentuk batang, dapat tumbuh pada kondisi aerob dan anaerob. Bakteri tersebut dapat membentuk endospora dan dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhannya (Woitke, 2004). Bacillus subtilis ST21e dilaporkan mampu menghambat perkembangan patogen Vol. 3 No.3, 2013 Fusarium oxysporum, Sclerotium rolfsii, Phytopthora capsici dan Rhizoctonia solani secara in-vitro (Khaeruni et al., 2010a) dan secara in-vivo mampu menghambat penyakit layu Fusarium pada tomat (Khaeruni et al. 2010b); penyakit busuk batang Rhizoctonia pada kedelai (Khaeruni et. al, 2012); dan penyakit busuk akar Sklerotium pada kedelai (Nengtias et. al, 2012), sehingga sangat potensial dikembangkan sebagai agens hayati patogen tanaman. Bacillus subtilis merupakan bakteri saprofit yang mampu bertahan dan berkembang biak pada sisa-sisa bahan organik. Berdasarkan sifat tersebut sehingga bakteri ini dapat ditumbuhkan dan diperbanyak pada limbah organik cair yang tersedia melimpah di masyarakat seperti limbah air kelapa, air tahu dan molase. Giyanto et. al. (2009) menyatakan bahwa limbah cair organik sangat berpotensi sebagai media perbanyakan agens hayati karena mengandung komposisi nutrisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba seperti karbohidrat, protein, air, asam amino, lemak, garam-garam mineral dan nutrisi lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang potensi limbah cair pertanian seperti : air tahu, air kelapa dan molase sebagai media perbanyakan dan formulasi B. subtilis sebagai agens hayati. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini bertempat di Laboratorium Agroteknologi Unit Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kampus Bumi Tridharma Kendari yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan September 2013. Bahan. Bahan-bahan digunakan dalam penelitian ini adalah limbah air kelapa, air tahu, molase, Bacillus subtilis ST21e (koleksi Laboratorium IHPT), cendawan Rhizoctonia solani, akuades, media Tryptic Soy Broth (TSB, media Tryptic Soy Agar (TSA), media Potato Dextrose Agar (PDA), agar-agar, alkohol 70%, spritus dan media sintetik (Protease pepton dan MgSO4). Rancangan Penelitian. Rancangan penelitian hanya dilakukan pada tahap uji stabilitas dan penghambatan Bacillus subtilis ST21e secara in- Efektivitas Limbah Cair Pertanian 145 vitro dalam bahan formulasi. Tahapan ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan tiga kali ulangan sehingga terdapat 15 unit percobaan. Perlakuan yang diuji sebagai media pertumbuhan bakteri B. subtilis ST21e, yang meliputi: A=100% Media sintetik, B= 100% Air kelapa, C= 75% Air kelapa + 25% Media sintetik (3:1 v/v), D= 50% Air kelapa + 50% Media sintetik (1:1 v/v), dan E= 25% Air kelapa + 75% Media sintetik (1:3 v/v). Tahapan-tahapan pelaksanaan Penelitian: Peremajaan isolat bakteri B. subtilis ST21e. Strain bakteri Bacillus subtilis ST21e yang berasal dari stok penyimpanan (larutan glyserol 15%) dikultur ulang pada media TSA di dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2 x 24 jam. Penyediaan media perbanyakan limbah cair pertanian dan inokulum B. subtilis ST21e. Bahan yang digunakan sebagai media perbanyakan B. subtilis yaitu limbah cair pertanian berupa: air kelapa dan air tahu segar yang diambil masing-masing dari pasar Mandonga Kendari dan tempat pengolahan tahu di Konda Kab. Konawe Selatan, serta molase yang dipesan dari industri gula di Kediri Jawa Timur. Masing-masing limbah cair pertanian secara terpisah dimasukkan dalam erlenmeyer ukuran 250 mL sebanyak 50 mL, lalu ditambahkan dengan bahan-bahan kimia TSB 10%, selanjutnya ditambahkan akuades sehingga mencapai volume 200 mL. Campuran media tersebut disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit, setelah sterilisasi media didinginkan dan siap digunakan sebagai media uji pertumbuhan. Penyediaan inokulum B. subtilis ST21e dilakukan dengan membuat suspensi B. subtilis umur 48 jam dalam akuades steril kemudian ditentukan nilai optical densitynya (OD=1,00) dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 550 nm. Perbanyakan Bacillus subtilis ST21e dalam media limbah cair pertanian. Sebanyak 10 mL suspensi inokulum B. subtilis ST21e tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing media perbanyakan yang berisi limbah cair pertanian yang berbeda dan diinkubasi pada suhu ruang di dalam shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 48 jam untuk mengukur pertumbuhan bakteri dan jumlah koloni bakteri. Perlakuan yang diuji adalah media limbah cair pertanian yang terdiri dari : Media limbah air kelapa + 10% TSB; Media 146 Khaeruni et al. limbah air tahu + 10% TSB; Media molase + 10% TSB; dan 4. TSB 100%. Uji Stabilitas dan Penghambatan B. subtilis ST21e dalam Bahan Formulasi Uji stabilitas B. subtilis ST21e dalam bahan formulasi. Pada tahapan ini digunakan limbah air kelapa sebagai media formulasi (hasil terbaik pada tahap penelitian I). Kultur bakteri B. subtilis ST21e yang berumur 48 jam disuspensikan dengan akuades steril hingga mencapai kerapatan sel 10-10 CFU/mL. Sebanyak 40 mL suspensi bakteri ditambahkan ke dalam media air kelapa hingga volume akhir mencapai 200 mL, lalu disimpan dalam jerigen plastik volume 250 mL dan diletakkan pada suhu ruang sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan, untuk dihitung perkembangan bakteri antagonis B. subtilis dan daya hambatnya setiap 2 minggu selama 2 bulan penyimpanan. Uji daya hambat B. subtilis ST21e secara invitro setelah penyimpanan dalam bahan formulasi. Untuk mengetahui pengaruh bahan formulasi terhadap aktivitas penghambatan bakteri B. subtilis ST21e selama penyimpanan 2 bulan, maka dilakukan uji daya hambat terhadap patogen Rhizoctonia solani dengan metode uji ganda. Bacillus subtilis yang diisolasi dari setiap perlakuan pada setiap waktu pengamatan diremajakan pada media TSA. Masing-masing isolat B. subtilis yang diuji digoreskan memanjang pada media PDA dengan jarak 3 cm dari tepi cawan, lalu diinkubasi pada suhu ruang. Potongan medium PDA padat dengan diameter 0,5 cm yang ditumbuhi hifa R. solani digunakan sebagai inokulum dan diinfestasi pada cawan petri yang berisi medium PDA yang sebelumnya telah diinokulasikaan bakteri antagonis B. subtilis umur 24 jam secara berlawanan dengan jarak 3 cm. Setiap isolat agens antagonis B. subtilis dari perlakuan yang berbeda diulang 3 kali. Kultur kembali diinkubasi dalam ruang bersuhu 260280C selama 3 hari untuk dilakukan pengamatan daya hambat agens antagonis terhadap patogen uji. Variabel Penelitian. Variabel penelitian yang diamati pada penelitian ini yaitu : 1. Kerapatan sel bakteri B. subtilis ST21e dalam media cair, dihitung dengan cara: diukur berdasarkan nilai absorbansi (Optical Density) dengan alat spektrofotomer UV-VIS pada panjang gelombang 550 nm pada pada umur 5 jam, 10 jam, 15 jam, 20 jam dan 25 jam pertumbuhan, J. Agroteknos 2. Jumlah koloni (log CFU/mL) B. subtilis ST21e pada media perbanyakan pada umur 48 jam. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan pembiakan pada media TSA melalui metode pengenceran berseri. Jumlah koloni yang tumbuh selanjutnya dikonversikan ke dalam bentuk log CFU/mL, 3. Jumlah koloni B. subtilis ST21e pada media formulasi air kelapa pada umur 2, 4, 6 dan 8 minggu. Bahan formulasi terlebih dahulu dihomogenkan dengan cara mengocok hingga tercampur secara merata, lalu diambil sebanyak 1 mL bahan formulasi dan diencerkan ke dalam air steril hingga mencapai pengenceran 10-10 lalu ditumbuhkan pada media TSA dan diinkubasi pada suhu ruang. Perhitungan jumlah koloni (log CFU/mL) B. subtilis pada umur 2 hari setelah inkubasi (HSI). 4. Daya hambat isolat B. subtilis ST21e terhadap cendawan patogen (Rhizoctonia solani), dilakukan pada umur 3 hari setelah uji tantang dengan mengukur jari-jari pertumbuhan patogen. Rumus untuk mengetahui daya hambat bakteri terhadap patogen uji menurut Nielsen et al. (1998) adalah: DH = (R1 - R2) / R1 x 100%, dimana DH = Daya hambat bakteri B. subtilis terhadap patogen uji (%), R1 = Jari-jari pertumbuhan patogen ke arah tepi cawan (cm), dan R2 = Jari-jari pertumbuhan patogen ke arah bakteri (cm). Analisis Data. Data pada tahap pertama dianalisis secara sederhana dengan membandingkan pola pertumbuhan B. subtilis ST21e pada setiap jenis media cair yang digunakan, sedangkan data hasil pengamatan pada tahap kedua dianalisis menggunakan analisis sidik ragam. Apabila terdapat pengaruh nyata pada perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan Uji BNT. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai absorbansi (Optical Density) B. subtilis ST21e dalam berbagai media limbah cair. Hasil pengukuran absorbansi pertumbuhan B. subtilis ST21e pada berbagai media cair limbah pertanian pada pengamatan 5 jam pertama hingga 25 jam terakhir disajikan pada Tabel 1, sedangkan pola pertumbuhannya disajikan pada Gambar 2. Tabel 1. Nilai absorbansi (OD) B. subtilis ST21e dalam berbagai media perlakuan Vol. 3 No.3, 2013 No. 1. 2. 3. 4. Efektivitas Limbah Cair Pertanian Perlakuan Limbah Pertanian Air Kelapa + 10% TSB Air Tahu + 10% TSB Molase + 10% TSB TSB 100% 5 0,041 0,047 0,041 0,275 147 Nilai OD pada Waktu Pengukuran (jam) 10 15 20 25 0,046 0,222 0,275 0,329 0,056 0,459 0,414 0,305 0,535 0,072 0,045 0,047 0,724 1,078 1,114 1,011 Gambar 2. Grafik Pertumbuhan B. subtilis ST21e pada berbagai media cair Hasil pengamatan Tabel 1 menunjukkan bahwa pada dasarnya agens hayati B. subtilis ST21e dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai media limbah cair pertanian seperti air kelapa, air tahu dan molase, hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan nilai absorbansi kerapatan sel bakteri pada semua media yang digunakan. Hasil pengukuran kerapatan sel (OD) menunjukkan bahwa dari awal pengamatan hingga diakhir pengamatan pertumbuhan tertinggi bakteri terdapat pada media cair berbahan kimia sintetik (TSB), namun dari grafik pola pertumbuhan menunjukkan bahwa kerapatan sel bakteri dalam media TSB 100% mengalami penurunan setelah pertumbuhan 20 jam, hal yang sama terjadi pada media perbanyakan limbah air tahu dan molase. Sebaliknya pada media perbanyakan yang menggunakan air kelapa + 10% media TSB, secara konsistensi terus mengalami peningkatan pertumbuhan yang baik hingga akhir pengamatan, dengan nilai OD pada waktu pertumbuhan 5 jam pertama hingga 25 jam berturut-turut 0,041; 0,046; 0,222; 0,275 dan 0,329. Jumlah koloni pada berbagai media limbah cair. Hasil perhitungan rata-rata jumlah koloni B. subtilis ST21e dari berbagai media limbah cair pada pengamatan umur pertumbuhan 24 jam disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata jumlah koloni B. subtilis ST21e dari berbagai media cair pada umur 25 jam No. 1 2 3 4 Media Pertumbuhan Air Kelapa + 10% TSB Air Tahu + 10% TSB Molase + 10% TSB TSB100% Rata-rata hasil pengamatan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah koloni B. subtilis ST21e dalam berbagai media berkisar antara log 15,04 sampai log 15,43 CFU/mL. Jumlah koloni tertinggi didapatkan pada media perbanyakan TSB 100% yaitu log 15,43 CFU/mL, namun nilai tersebut tidak jauh Jumlah koloni (log CFU/mL) 15,35 15,04 15,13 15,43 berbeda dengan jumlah koloni yang terdapat pada perlakuan air kelapa + 10% TSB yaitu log 15,35 CFU/mL. Berdasarkan kurva pertumbuhan dan jumlah koloni B. subtilis ST21e pada waktu pengamatan 25 jam, didapatkan bahwa media limbah cair yang terbaik sebagai media perbanyakan B. subtilis 148 Khaeruni et al. J. Agroteknos adalah media limbah air kelapa. Limbah inilah yang selanjutnya digunakan sebagai bahan formulasi pada tahap selanjutnya (kedua). Jumlah koloni Bacillus subtilis ST21e dalam bahan formulasi air kelapa. Hasil uji rataan jumlah koloni B. subtilis pada berbagai perlakuan konsentrasi air kelapa pada pengamatan minggu ke 2, 4, 6 dan 8 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah koloni B. subtilis ST21e pada berbagai perlakuan konsentrasi media air kelapa No . 1. 2. 3. 4. 5. Perlakuan (A) 100% MS (B) 100% Air kelapa (C) 75% Air kelapa + 25% MS (D) 50% Air kelapa + 50% MS (E) 25% Air kelapa + 75% MS Rata-rata jumlah koloni (log CFU/mL) B. subtilis pada penyimpanan minggu ke2 4 6 8 13,20a 12,57bc 12,17bc 12,08ab 12,58b 12,12c 11,51c 11,50b 13,38a 12,07c 10,90c 11,86b a ab ab 13,11 12,95 13,08 12,58a 13,41a 13,31a 13,60a 12,50a Keterangan: MS = Media sintetik. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata dalam uji BNT pada taraf kepercayaan 95% Berdasarkan uji lanjut hasil pengamatan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa jumlah koloni B. subtilis tertinggi pada umur 2 minggu setelah penyimpanan dalam bahan formulasi terlihat pada perlakuan konsentrasi air kelapa 25% yaitu log 13,41 CFU/mL. Nilai tersebut berbeda tidak nyata dengan perlakuan media air kelapa 50%, 75% dan 100% MS, namun berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi air kelapa 100%. Rata-rata jumlah koloni B. subtilis pada umur 4 dan 6 minggu setelah penyimpanan jumlah koloni tertinggi diperlihatkan pada perlakuan air kelapa konsentrasi 25% yaitu log 13,31 CFU/mL dan log 13,60 CFU/mL, kedua nilai tersebut berbeda tidak nyata dengan perlakuan air kelapa konsentrasi 50%, namun berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Sementara pada umur 8 minggu jumlah koloni bakteri tertinggi tetap ditunjukkan pada perlakuan air kelapa konsentrasi 50% yaitu log 12,58 CFU/mL. Persentase Daya Hambat Bacillus subtilis ST21e terhadap Rhizoctonia solani. Hasil rataan daya hambat B. subtilis pada berbagai perlakuan konsentrasi air kelapa pada pengamatan minggu ke 2, 4, 6 dan 8 setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4. Daya hambat B. subtilis ST21e terhadap patogen Rhizoctonia solani pada pengamatan 2 sampai 8 minggu setelah masa penyimpanan. No . 1. 2. 3. 4. 5. Perlakuan (A) 100% MS (B) 100% Air kelapa (C) 75% air kelapa + 25% MS (D) 50% air kelapa + 50% MS (E) 25% air kelapa + 75% MS Rata-rata daya hambat B. subtilis (%) pada penyimpanan minggu ke2 4 6 8 c tn a 47,41 46,66 60,74 11,11c 62,96a 48,89 tn 53,33a 17,04c bc tn a 54,07 39,26 59,26 48,15ab 57,04ab 51,11 tn 48,15a 52,59a ab tn b 56,30 38,52 17,78 40,00ab Keterangan: MS = Media sintetik. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata dalam uji BNT pada taraf kepercayaan 95% Hasil pengamatan pada Tabel 4, menunjukkan bahwa B. subtilis ST212e dalam penyimpanan pada berbagai konsentrasi limbah kelapa masih memiliki daya hambat terhadap R. solani hingga akhir pengamatan (8 minggu setelah penyimpanan), dengan persentase daya hambat yang berbeda-beda. Perlakuan yang memperlihatkan konsistensi daya hambat yang relatif stabil dengan aktivitas daya Vol. 3 No.3, 2013 hambat di atas 40% ialah perlakuan dengan media penyimpanan air kelapa 50% . Perlakuan ini juga memperlihatkan daya hambat tertinggi pada masa penyimpanan 8 minggu yaitu 52,59% yang berbeda nyata dengan perlakuan MS 100% dan media air kelapa 100%, namun berbeda tidak nyata dengan konsentrasi air kelapa 25% dan 75%. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pertumbuhan B. subtilis ST21e pada setiap media biakan yang digunakan menghasilkan kerapatan sel (OD) yang berbeda-beda. Perbedaan kerapatan sel pada masing-masing media diduga disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrisi pada media tersebut, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Menurut Giyanto et al. (2009) salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri selain kondisi untuk pertumbuhan seperti suhu, pH, kadar air, aerasi dan agitasi, juga sangat ditentukan oleh kandungan nutrisi media perbanyakannya. Pada Tabel 1 dan Gambar 2 dapat dilihat bahwa dari tiga jenis limbah pertanian yang digunakan, yang terbaik digunakan sebagai media perbanyakan dan penyimpanan B. subtilis ST21e adalah media air kelapa + 10% TSB, media cair ini menunjukkan konsistensi peningkatan pertumbuhan hal ini diperlihatkan dengan nilai OD pada selama masa pertumbuhan 25 jam, sementara media yang mengandung air tahu dan molase hanya memperlihatkan peningkatan OD pada awal pertumbuhan, penurunan nilai OD pada media air tahu mulai terjadi setelah 15 jam pertumbuhan, sedangkan pada media molase terjadi setelah 10 jam pertumbuhan. Hasil ini semakin diperkuat dari hasil perhitungan populasi B. subtilis diakhir pengamatan yang menunjukkan jumlah koloni pada media air kelapa + 10% TSB, cenderung lebih tinggi yaitu berkisar pada nilai log 15,35 CFU/mL setelah media TSB 100%, sementara populasi pada media TSB 100% setara dengan log 15,43 CFU/mL, suatu perbedaan nilai yang tidak signifikan. Peningkatan jumlah bakteri dalam media air kelapa + 10% TSB diduga karena kandungan nutrisi untuk pertumbuhan bakteri tersedia cukup banyak, dimana sumber nutrisi ini berasal dari air Efektivitas Limbah Cair Pertanian 149 kelapa dan media TSB. Menurut Vigliar et al. (2006) air kelapa mempunyai komposisi nutrisi yang lengkap berupa 95,5% air; 4% karbohidrat; 0,1% lemak; 0,02% kalsium; 0,01% fosfor; 0,5% besi, asam amino, vitamin C, vitamin B kompleks dan garam-garam mineral. Kandungan nutrisi yang lengkap pada air kelapa menyebabkan pertumbuhan populasi/jumlah koloni B. subtilis cukup baik dan stabil selama dalam proses penyimpanan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penyimpanan bahan formulasi bakteri pada umur 2, 4, 6 dan 8 minggu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan jumlah koloni B. subtilis ST21e. Hal ini menggambarkan bahwa waktu penyimpanan dapat mempengaruhi pertumbuhan jumlah sel B. subtilis. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata pertumbuhan sel bakteri yang tinggi untuk semua perlakuan terjadi pada umur penyimpanan 2 minggu. Sedangkan pada umur penyimpanan 4 dan 6 minggu rata-rata pertumbuhan tertinggi hanya diperlihatkan pada perlakuan 25% air kelapa + 75% MS dan 50% air kelapa + 50% MS. Sementara pengamatan pada minggu ke-8 rata-rata pertumbuhan bakteri pada semua perlakuan cenderung memperlihatkan penurunan jumlah koloni/sel (lihat Tabel 4). Penurunan jumlah sel diduga adanya pengaruh komposisi nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Semakin berkurang nutrisi di dalam media maka jumlah sel semakin menurun. Berkurangnya komposis nutrisi dalam media karena nutrisi tersebut dimanfaatkan oleh bakteri untuk perkembangbiakannya. Kematian bakteri disebabkan karena zat makanan yang diperlukan berkurang (Dwijoseputro, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa komposisi media berperan penting dalam pertumbuhan B. subtilis. Secara umum pertumbuhan B. subtilis yang paling baik diperlihatkan pada perlakuan media 25% air kelapa + 75% MS. Peningkatan jumlah bakteri disebabkan karena nutrisi untuk pertumbuhan tersedia cukup banyak, dimana sumber nutrisi ini berasal dari air kelapa dan media sintetik. 150 Khaeruni et al. Pertumbuhan B. subtilis ST21e pada setiap media perlakuan menunjukkan jumlah koloni yang berbeda (berfluktuasi). Hal ini dikarenakan di dalam setiap perlakuan memiliki konsentrasi kandungan nutrisi yang berbeda-beda. Kandungan nutrisi pada setiap media sangat menentukan viabilitas sel bakteri tersebut. Perbedaan nutrisi yang tersedia pada media berpengaruh terhadap pembentukan sel mikroorganisme (Giyanto et. al., 2009). Uji antagonis B. subtilis ST21e terhadap Rhizoctonia solani secara in-vitro ditujukan untuk mengetahui pengaruh bahan formulasi yang diuji terhadap aktivitas antagonis B. subtilis terhadap patogen selama masa penyimpanan 8 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang menggunakan media cair 50% air kelapa + 50% MS secara konsisten memperlihatkan daya hambat relatif stabil (±50%) terhadap R. solani selama masa penyimpanan 8 minggu dalam bahan formulasi, sementara perlakuan lain memiliki daya hambat yang berfluktuasi, hal ini diduga adanya pengaruh dari lamanya penyimpanan dan kandungan nutrisi yang tersedia dalam formulasi terhadap produksi antibiotik oleh B. subtilis. Menurut Giyanto et al. (2009) lama penyimpanan suatu formulasi dapat mempengaruhi konsentrasi nutrisi yang ada sehingga secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap aktivitas antagonis suatu agens hayati. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi media cair air kelapa berpengaruh pada aktifitas antagonis B. subtilis terhadap patogen. Pada uji daya hambat yang dilakukan pada umur penyimpanan 2-8 minggu terlihat perbedaan antara miselium cendawan yang tumbuh berdekatan dengan agens antagonis dengan miselium yang tidak berdekatan dengan agen antagonis. Pertumbuhan miselium yang berdekatan dengan B. subtilis terlihat lebih tebal dan pendek dibandingkan dengan miselium yang tidak berdekatan dengan B. subtilis. Hal ini diduga bahwa bakteri tersebut dapat menekan pertumbuhan R. solani melalui aktivitas antifungal kitinolitik yaitu enzim yang dapat mendegradasi dinding sel cendawan sehingga pertumbuhan cendawan tidak J. Agroteknos optimal (terhambat). Hal ini sejalan dengan penelitian Khaeruni et. al. (2010a) yang menyatakan bahwa bakteri Bacillus subtilis ST21e mampu menghasilkan enzim protease dan kitinase yang berperan sebagai enzim pengurai dinding sel patogen. Aktivitas antagonis B. subtilis terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain yaitu produksi senyawa anti mikroba, kompetisi nutrisi (karbon dan nitrogen) dan ruang tempat infeksi (Liu et. al. 2009; Supartono, et. al., 2011). SIMPULAN Berdasarkan hasil disimpulkan bahwa: penelitian dapat 1. Limbah pertanian air kelapa, air tahu dan molase dapat digunakan sebagai media perbanyakan agens hayati Bacillus subtilis ST21e dengan pola pertumbuhan sel yang berbeda-beda. Namun limbah yang paling efektif dijadikan sebagai media perbanyakan adalah limbah air kelapa. 2. Dari 3 limbah cair pertanian yang digunakan, limbah cair yang terbaik sebagai media perbanyakan Bacillus subtilis ST21e adalah limbah air kelapa + 10% TSB karena secara konsisten memperlihatkan pola pertumbuhan yang terus meningkat hingga 25 jam pertumbuhan. 3. Penggunaan limbah air kelapa 25% - 50% merupakan konsentrasi terbaik untuk media formulasi Bacillus subtilis ST21e, karena mampu memperlihatkan jumlah koloni bakteri yang tertinggi tanpa menurunkan aktifitas antagonis secara drastis pada masa penyimpanan 8 minggu. DAFTAR PUSTAKA Dwidjoseputro, D., 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi, Edisi 14. Djambatan. Jakarta Giyanto A, Suhendar dan Rustam. 2009. Kajian pembiakan bakteri kitinolitik Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. pada limbah organik dan formulasinya sebagai pestisida hayati (BIOPesticide). Prosiding seminar hasil penelitian. IPB Khaeruni A., Sutariati GAK, Wahyuni S. 2010a. Karakterisasi dan uji aktifitas bakteri rizosfer lahan ultisol sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan agensia hayati cendawan patogen tular tanah secara in-vitro. Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman Tropika, 10(2):123-130. Khaeruni A., Sutariati GAK, Wahyuni S. 2010b. Potensi rizobakteria indigenus tanah podsolik merah kuning sebagai agens pengendali hayati penyakit Vol. 3 No.3, 2013 layu Fusarium dan pemacu pertumbuhan tanaman mentimun. Jurnal Fitomedika, 7(1):25-30. Khaeruni A., Rahman A. 2012. Penggunaan bakteri kitinolitik sebagai agens biokontrol penyakit busuk batang oleh Rhizoctonia solani pada kedelai. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 8(2):37-41. Kumar RS et al. 2005. Characterization of fungal metabolite produced by a new strain Pseudomonas aeruginosa PUPa3 that exhibits broad-spectrum antifungal activity and biofertilizing traits. Journal of Applied Microbiology, 98:145-154. Liu X., Pang J., Yang Z. 2009. The biocontrol effect of Trichoderma and Bacillus subtilis SY1. Journal of Agricultural Science, 1(2):132-136. Nengtias, SP., Darwis, Khaeruni A. 2012. Potensi rizobakteri indigenous tanah ultisol sebagai agen pengendali hayati penyakit layu sklerotium dan pemacu pertumbuhan tanaman. Berkala Penelitian Agronomi, 1(2): 148-155. Supartono, Wijaya N., Herlina L., Ratnaningsih E., 2011. Produksi antibiotik oleh Baciluus subtilis M10 dalam media urea-sarbitol. Reaktor Vol 13(3):185-193 Vigliar R, Sdepanian VL, Neto UF. 2006. Biochemichal profile of coconut water from coconut palms planted in inland region. Journal de Pediatria 82(4):308-312 Woitke, M. 2004. Bacillus subtilis as growth promotor in hydroponically grown tomatoes under saline conditions. Acta Hort 659:363-369. Efektivitas Limbah Cair Pertanian 151 JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 152-162 ISSN: 2087-7706 PERAKITAN PUPUK ALAM BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PEMUPUKAN P DAN K SERTA HASIL KEDELAI DI TANAH MASAM Assembly of Natural Fertilizer Based on Local Resource to Improve Efficiency of P and K Fertilization and Yield of Soybean in Acid Soils M. TUFAILA*), SYAMSU ALAM Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari ABSTRACT The research aimed to formulate a natural fertilizer based on local resources to improve the efficiency of fertilizer P and K and yield of soybean in acid soils of Southeast Sulawesi. The research involved natural fertilizer formulations with mica schist rock materials, harzburgite, and rock phosphate, and further testing of fertilizers. Laboratory fertilizer testing was performed by experimental methods to determine the slow release properties and the amelioration capabilities of fertilizer. Fertilizer treatments were fertilizer of mica schist and rock phosphate without coating harzburgite (L0), semifagit fertilizer with coatings harzburgite 1 time (L1), semifagit fertilizer with coatings harzburgite 2 times (L2), and semifagit fertilizer with coatings harzburgite 3 times (L3). Further testing was fertilizers test on acid soils, soybean yield and fertilizer efficiency with experimental methods. The treatments were fertilizer factors consisting of two levels: fertilizer of mica schist and rock phosphate without harsburgit coatings and semifagit coated fertilizers best harzburgite on experiments in the laboratory, and fertilizer factor of five levels: 0%, 40%, 60%, 80%, 100% P2O5 kg.ha-1 of the recommended dosage (100 kg.ha-1). The research concluded that the natural fertilizer was slow release, use of harsburgit as the outer layer of fertilizer increased fertility of acid soils, fertilizers of mica schist and rock phosphate with coatings harsburgit 3 time (L3) was the best to amelioration of acid soil, the higher dose of fertilizer was followed by the higher the pH, total N, available P, exchangeable K, Mg, and CEC and the lower content of Al-dd soil; the use of semifagit fertilizer dose of 80% of the recommendated dose (100 kg P2O5.ha-1) gave a better effect on plant height, wet weight, dry weight, number of pods, weight of 10 seeds and soybean yield per hectare (2.74 ton.ha -1). The higher the dose of fertilizer was followed by the higher uptake of P and K, and the highest efficiency of fertilizer P and K was at 19.32% and 15.26% for fertilizer using semifagit with a dose of 80% of the recommended dose (100 kg P2O5.ha-1). Keywords: mica schist rocks, harsburgit, rock phosphate, soybean, natural fertilizer 1PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung karena merupakan sumber protein nabati (Nichols et al., 2006; Shapawi et al., 2013). Proyeksi kebutuhan kedelai pada tahun 2015 sebanyak 2,71 juta ton dan 3,35 juta ton pada tahun 2025 (Simatupang et al., 2005). Untuk mencukupi kebutuhan kedelai dengan sasaran menekan laju impor menjadi 40% dan menuju swasembada pada tahun 2015 diperlukan upaya peningkatan hasil kedelai *) Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected] dalam negeri rata-rata 9,72% per tahun, dan peningkatan areal tanam sebesar 7,25% per tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Tantangannya adalah bagaimana mencapai areal tanam tersebut sementara lahan yang tersedia terbatas dan digunakan untuk berbagai tanaman palawija lainnya yang lebih kompetitif (Atman, 2009). Salah satu daerah potensial untuk pengembangan kedelai adalah Sulawesi Tenggara yang mempunyai total luas lahan untuk pengembangan kedelai sebanyak 669.069 ha (BBSDLP, 2008). Pada umumnya lahan tersebut adalah tanah-tanah marginal yang didominasi oleh tanah ultisol yang bereaksi masam (Santoso, 1991). Tanah Vol. 3 No.3, 2013 masam mempunyai permasalahan kesuburan berkendala ganda (multifactors stres), seperti kandungan Al dan kemasaman tanah yang sangat tinggi, kahat hara P, K, Ca, Mg , Cu, Zn, Mo, B, mineralisasi dan nitrifikasi sangat lambat (Gruba and Mulder, 2008; Bougnom et al., 2009; Kanev, 2011). Peningkatan produksi tanaman kedelai di Sulawesi Tenggara tidak cukup hanya dengan memberikan pupuk karena pemupukkan tersebut tidak akan efektif bila pH tanah masih di bawah 4,5. Untuk itu sebelum pupuk diberikan maka perlu terlebih dahulu meningkatkan pH tanahnya dengan pemberian bahan pembenah tanah (amelioran) yang dapat memperbaiki sifatsifat tanah masam tersebut. Beberapa sumberdaya lokal yang dapat digunakan sebagai pupuk dan bahan pembenah tanah dan banyak terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah gambut, sekis mika, harsburgit dan fosfat alam. Gambut sebagai sumber bahan humat untuk pelarut batuan (Kpomblekou and Tabatabai, 1994; Li et al., 2003), sekis mika sebagai sumber K (Takeshita et al., 2004; Guelfi-Silva et al., 2013), harsburgit sebagai sumber Mg bersifat basis (Kadarusman et al., 2004; Tufaila et al., 2011), dan fosfat alam sebagai sumber P (Kasno et al., 1998; Kochian et al., 2004; Zwolicki et al., 2013). Kombinasi bahan humat dari ekstrak gambut dan batuan alam kaya hara tersebut (harsburgit, sekis mika dan fosfat alam) merupakan pupuk alam yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pupuk kimia (Straaten, 2007), terutama untuk tanaman kedelai yang diusahakan pada tanah masam yang miskin hara. Bahan baku pupuk yang melimpah dan belum banyak dimanfaatkan, sehingga dapat dihasilkan pupuk alam yang murah dan ramah lingkungan untuk meningkatkan hasil kedelai di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi pupuk alam berbasis sumberdaya lokal yang bersifat lepas terkendali (slow release) dan dapat berperan sebagai amelioran sehingga mampu meningkatkan efisiensi pemupukan P, K dan memperbaiki kesuburan tanah masam, dan mendapatkan takaran pupuk alam berbasis sumberdaya lokal yang memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai yang paling tinggi. Perakitan Pupuk Alam BAHAN DAN METODE 153 Penyiapan Bahan dan Formulasi Pupuk Alam. Batuan sekis mika dan fosfat alam dihaluskan, kemudian diayak dengan matasaring 100 mesh. Gambut sebanyak 5 g ditambah 20 ml KOH 0,5 N. Kemudian diaduk selama 15 menit, didiamkan selama 10 menit langkah ini diulangi 3 kali, lalu didiamkan semalam. Kemudian disaring dengan kertas saring sehingga didapatkan cairan yang berwarna coklat kehitaman (bahan humat) (Rocha et al., 1998; Eladia, 2005). Bubuk sekis mika dan fosfat alam dipanasi pada suhu 300oC selama 4 jam. Setelah dingin, sekis mika dan fosfat alam ditambah dengan bahan humat dengan perbandingan 1 : 3, dibiarkan selama 24 jam, kemudian digojok selama 5 jam. Setelah sekis mika dan fosfat alam yang sudah terasidulasi dingin ditambahkan tanah vertisol halus lolos 100 mesh sebanyak 1% lalu dibuat granuler (ukuran ± 2 mm) dengan alat granulasi, kemudian dikeringanginkan sampai kering. Pada tahap ini akan didapatkan sekis mika dan fosfat alam yang sudah terasidulasi bahan humat berbentuk granuler. Batuan harsburgit dihaluskan dan disaring lolos 100 mesh sehingga didapatkan serbuk harsburgit, kemudian ditambah kanji 1 %. Selanjutnya sekis mika dan fosfat alam granuler dimasukkan kedalam campuran harsburgit-kanji dan diaduk-aduk hingga sekis mika dan fosfat alam granuler tersebut terlapisi secara merata. Selanjutnya pupuk alam ini disebut SEMIFAGIT (SEkis MIka fosFAt harsburGIT), kemudian dikeringanginkan. Pelapisan ada yang dilakukan sekali, dua kali dan tiga kali. Dari tahapan percobaan ini didapatkan 3 macam pupuk yaitu semifagit berlapis 1 kali (L1), 2 kali (L2) dan 3 kali (L3). Selanjutnya dianalisis pH, DHL, P, Ca, K, Mg, Na, Al dan Fe, dan bahan organik dan kadar air. Pengujian sifat lepas terkendali hara P dan K dari Pupuk Semifagit. Pupuk semifagit sebanyak 2 g dicampur dengan tanah masam kering angin sebanyak 180 g. Tanah yang digunakan telah disaring dengan saring 2 mm. Kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik yang tertutup dan diinkubasikan pada periode 1, 10, 20, dan 30 hari pada suhu ruangan. Kelembaban tanah dipertahankan pada 30 % dari kapasitas lapangan. Untuk 154 Tufaila dan Alam kontrol menggunakan pupuk sekis mika dan fosfat alam biasa. Pada akhir masa inkubasi, pupuk diambil lalu dicuci dengan air destilasi dan dioven pada suhu 70oC. Selanjutnya dianalisis kandungan P dan K dari pupuk tersebut. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap yang diulang 3 kali. Perlakuannya : L0 = Pupuk sekis mika dan fosfat alam tanpa pelapis harsburgit; L1 = Pupuk semifagit pelapis harsburgit 1 kali; L2 = Pupuk semifagit pelapis harsburgit 2 kali; dan L3 = Pupuk semifagit pelapis harsburgit 3 kali. Pengujian Kemampuan Ameliorasi Pupuk Semifagit. Pupuk semifagit sebanyak 5 g dicampur dengan tanah masam kering angin sebanyak 500 g. Tanah yang digunakan telah disaring dengan saring 2 mm. Kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik yang tertutup dan diinkubasikan selama 30 hari pada suhu ruangan. Kelembaban tanah dipertahankan pada kapasitas lapangan dengan menambahkan air destilasi secara periodik. Untuk kontrol menggunakan pupuk sekis mika dan fosfat alam biasa. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap yang diulang 3 kali. Perlakuannya adalah : L0, L1, L2, dan L3. Peubah yang diamati adalah pH H20, daya hantar listrik (DHL), kandungan Al-dd, H-dd dan kejenuhan Al diakhir percobaan (hari ke 30). Pengujian Efisiensi Pupuk Semifagit. Percobaan tanaman kedelai pada tanah masam disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu 2 aras perlakuan pupuk dan 5 aras takaran pupuk yang diulang 3 kali. Faktor-faktor dan aras yang akan diteliti adalah (i) Perlakuan pupuk : Sekis mika dan fosfat alam tanpa pelapis harsburgit (PK), dan Semifagit berlapis harsbugit terbaik pada percobaan di Laboratorium (PKH), dan (ii) Pupuk dengan 5 aras takaran : 0 % P2O5 kg/ha (0), 40 % P2O5 kg/ha (1), 60 % P2O5 kg/ha (2), 80 % P2O5 kg/ha (3), dan 100% P2O5 kg/ha dari dosis rekomendasi (4). Kebutuhan hara P per pot dihitung berdasarkan jumlah takaran rekomendasi hara P per hektar untuk tanaman kedelai di tanah masam yaitu 100 P2O5 kg /ha (Atman, 2009). Parameter yang diamati adalah analisis tanah awal, diakhir percobaan dianalisis pH, Al-dd, P, K, Mg, dan KPK, serapan dan efisiensi P dan K tanaman, tinggi tanaman, bobot basah, bobot kering, jumlah J. Agroteknos polong, bobot 10 biji, dan hasil kedelai ton.ha1. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik fosfat alam, sekis mika, bahan humat, dan harsburgit. Fosfat alam yang digunakan adalah guano yang mempunyai pH (H2O) 4,15; DHL 4,19 µS, bahan organik 8,12%, N total 9,20%, P-total 9,73%, CaO 10,42%, MgO 0,76%, K2O 2,23%, Na2O 0,77%, Al2O3 0,19%, Fe2O3 0,15%, dan MnO 5 ppm. Batuan sekis mika mempunyai pH (H2O) 7,15; DHL 249 µS, SiO2 45,78%, CaO 3,50%, K2O 18,91%, Na2O 3,39%, MgO 2,02%, Al2O3 13,16%, Fe2O3 5,91%, dan MnO 0,16%. Batuan harsburgit yang digunakan mengandung Mg yang cukup tinggi yaitu 44,83% sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber magnesium dan termasuk batuan basis dengan pH (H2O) 8,48; DHL 193,10 µS, SiO2 37,15%, CaO 1,5%, K2O 0,01%, Na2O 0,77%, Al2O3 1,16%, Fe2O3 8,07%, dan MnO 0,12%. Bahan humat ekstrak gambut mengandung bahan humat 23,77%, kemasaman total 3,45 meq.g-1, gugus fungsional karboksil (-COOH) 0,67 meq.g-1, dan hidroksil fenolat (-OH) 2,78 meq.g-1. Hal ini menunjukkan bahwa bahan humat ekstrak gambut yang digunakan ternyata didominasi oleh gugus fungsional hidroksil fenolat. Karakteristik Tanah Mineral Masam. Tanah mineral masam yang digunakan pupuk mempunyai pH (H2O) 4,1 (sangat masam), pH (KCl) 3,2. Kandungan C-organik 0,28%, C/N 2,15, P total 10,62%, P tersedia 3,77 ppm, Cadd 0,15 cmol(+).kg-1, Mg-dd 0,19 cmol(+).kg-1, dan KB 2,95% tanah tersebut tergolong sangat rendah, kandungan N total 0,13%, K-dd 0,14 cmol(+).kg-1, dan Na-dd 0,25 cmol(+).kg-1 tergolong rendah, Al-dd 5,75 cmol(+).kg-1 dan kejenuhan Al 23,21% tergolong tinggi, dan KPK 24,77 cmol(+).kg-1 tergolong sedang. Bertekstur lempung pasiran dengan BV 1,23 g.cm-3. Karakteristik Pupuk Semifagit. Perakitan pupuk alam yang dihasilkan adalah pupuk sekis mika dan fosfat alam granuler tanpa pelapis harsburgit (L0), dan semifagit pelapis harsburgit satu kali (L1), dua kali (L2), dan tiga kali (L3). Keempat jenis pupuk yang dihasilkan tersebut merupakan sumber hara P dan K. Vol. 3 No.3, 2013 Perakitan Pupuk Alam 155 Tabel 1. Karakteristik pupuk sekis mika dan fosfat alam granuler (L0) dan semifagit lapis satu (L1), dua (L2), dan tiga kali (L3) Kandungan L0 L1 L2 L3 pH 6,89 7,04 7,12 7,51 DHL µS 136,21 149,17 153,35 165,67 P2O5 % 8,97 8,65 7,86 7,34 MgO % 0,75 6,20 8,73 10,67 CaO % 10,40 11,25 11,12 11,03 K2O % 19,38 18,35 18,50 17,27 Na2O % 0,65 0,56 0,53 0,56 Al2O3 % 0,17 0,14 0,15 0,18 Kadar air % 3,25 3,69 3,07 4,08 Bahan organik % 2,78 2,33 2,19 2,08 Sifat lepas terkendali hara P dan K Pupuk terhadap P total pupuk pada inkubasi 20 hari. .Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa Hal ini diduga pada inkubasi 20 hari bahan perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3 secara pelapis pupuk (L1, L2, dan L3) telah terurai ke umum berpengaruh nyata terhadap kandungan dalam tanah sehingga yang tersisa adalah P dan K total pupuk pada inkubasi 1, 10, 20, hanya inti pupuk yang sama dengan pupuk Lo. dan 30 hari tetapi tidak berpengaruh nyata Karakteristik Satuan Tabel 2. Purata kandungan P dan K total pupuk Lo, L1, L2, dan L3 pada inkubasi 1, 10, 20, dan 30 hari Perlakuan Lo L1 L2 L3 *) Lama inkubasi (hari) 10 20 30 P total K total P total K total P total K total P total K total (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) 8,96 d*) 19,36 c*) 7,25 b*) 16,94 d *) 5,05 a*) 12,15 a*) 2,75 a*) 6,25 a*) 8,63 c 18,30 b 7,28 b 17,28 c 5,09 a 14,09 b 3,11 b 7,11 b 7,80 b 18,49 b 7,15 b 18,28 b 5,16 a 14,46 b 3,08 b 7,59 c 7,33 a 17,25 a 6,80 a 16,29 a 5,12 a 14,52 b 3,13 b 7,23 bc Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% 1 Gambar 1 menunjukkan bahwa selama inkubasi berlangsung terjadi pelepasan hara P dan K pupuk secara berkala atau tidak terjadi pelepasan hara secara draktis. Hal ini 10 9 2.5 Lo 2 Pelepasan P (%) L1 8 Kadar P total (%) menunjukkan bahwa pupuk yang dibuat mempunyai sifat lepas terkendali (slow release). L2 7 L3 6 5 4 1.5 Lo L1 1 L2 L3 0.5 3 0 2 25 0 5 10 15 20 25 8 30 Lama inkubasi (hari) 10 20 30 40 Lama inkubasi (hari) 6 L2 Pelepasan K (%) Kadar K total (%) L1 15 0 7 Lo 20 L3 10 5 Lo L1 4 L2 L3 3 2 5 1 0 0 0 10 20 Lama inkubasi (hari) Gambar 1. 30 40 0 10 20 30 40 Lama inkubasi (hari) Hubungan antara lama inkubasi dengan kadar P dan K total serta pelepasan P dan K pupuk Lo, L1, L2, dan L3 J. Agroteknos 156 Tufaila dan Alam Penurunan kandungan P dan K pupuk atau pelepasan P dan K pupuk yang paling tajam terjadi pada pupuk Lo, kemudian menyusul L1, L2, dan L3. Hal ini dapat terjadi karena pupuk Lo tidak dilapisi harburgit sehingga langsung terjadi pelepasan P dan K pada waktu inkubasi, sedangkan pupuk L1, L2, dan L3 yang dilapisi harsburgit terlebih dahulu melepaskan unsur yang terdapat pada bahan pelapis kemudian menyusul P dan K sebagai inti pupuk. Kemampuan Amelorasi Pupuk Semifagit. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3 berpengaruh nyata terhadap pH (H2O), Al-dd, dan kejenuhan Al tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap H-dd tanah. Tanah mineral umumnya mempunyai kandungan H-dd yang sangat terbatas, sumber kemasaman terutama akibat reaksi protonasi Al atau Fe (Essington, 2004). Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin banyak pelapis bubuk harsburgit pada pupuk maka semakin tinggi pH tanah, semakin rendah Al-dd, dan kejenuhan Al. Hal ini dimungkinkan karena semakin tinggi jumlah bubuk harsburgit sebagai pelapis pupuk semifagit maka semakin banyak kandungan Mg, bubuk harsburgit mengandung Mg 44,83%. Mg yang terdapat dalam harsburgit melalui proses hidrolisis akan melepaskan ion OH-. Kehadiran hidroksida yang tinggi akan meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd, dan kejenuahan Al (Lesovaya et al., 2012). Tabel 3. Purata pH, Al-dd, kejenuhan Al, dan H-dd tanah pada perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3 Perlakuan Al-dd (cmol(+).kg-1) 5,05 c*) 4,72 b 2,34 a 2,28 a pH(H2O) Lo L1 L2 L3 4,27 a*) 5,28 b 5,75 c 6,68 d Kejen. Al (%) 20,10 c*) 18,89 b 9,45 a 9,14 a H-dd (cmol(+).kg-1) 0,07 a*) 0,08 a 0,10 a 0,08 a 8 7 6 5 4 3 2 1 0 6.67 5.28 5.75 4.27 6 Al-dd (cmol(+).kg-1) pH tanah *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% 5.05 5 3 2.28 2.34 L2 L3 2 1 0 Lo L1 L2 Lo L3 L1 Pupuk Semifagit Pupuk Semifagit 25 20 19.16 15 9.2 10 9.46 5 0 Lo L1 L2 L3 Pupuk Semifagit H-dd (cmol(+).kg-1) 0.14 20.39 Kej. Al (%) 4.75 4 0.12 0.11 0.1 0.08 0.08 0.08 0.07 0.06 0.04 0.02 0 Lo L1 L2 Pupuk Semifagit L3 Gambar 2. pH (H2O) tanah, Al-dd, kejenuhan Al, dan H-dd tanah pada perlakuan pupuk Lo, L1, L2, dan L3 Berdasarkan pengaruh pupuk terhadap pH, Aldd, kejenuhan Al, dan H-dd sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 2, maka pupuk terbaik dari empat jenis pupuk yang diperlakukan tersebut adalah pupuk semifagit dengan pelapis harsburgit 3 kali (L3). Pengaruh pupuk terhadap tanah masam dan tanaman kedelai . Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan Vol. 3 No.3, 2013 Perakitan Pupuk Alam pupuk berpengaruh nyata terhadap pH, Al-dd, N total, dan P tersedia. Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk cenderung diikuti dengan semakin tinggi pH, N total, dan P tersedia tanah tetapi untuk kandungan Al-dd terjadi sebaliknya yaitu semakin tinggi dosis pupuk diikuti dengan semakin rendah Al-dd tanah. Hal ini dapat terjadi karena dengan semakin tinggi dosis kedua jenis pupuk maka jumlah hara (seperti P, K, dan bahan organik) yang mempengaruhi karakteristik tanah menjadi semakin tinggi sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan pH tanah, kandungan N total dan P tersedia tanah. Peningkatan pH tanah selanjutnya mengakibatkan semakin rendahnya kandungan Al-dd tanah setelah percobaan. Johnson and Richard (2006) dan Kpomblekou and Tabatabai (2003) menyebutkan bahwa bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan P. Tabel 4. Purata pH, Al-dd, N total, P tersedia tanah pada akhir percobaan Perlakuan pH (H2O) PK0 PK1 PK2 PK3 PK4 PKH0 PKH1 PKH2 PKH3 PKH4 Al-dd (cmol(+).kg-1) 5,74 g*) 5,42 f 5,17 f 4,61 e 3,55 d 5,75 g 3,52 d 3,09 c 2,21 b 1,27 a 4,13 a*) 4,50 b 4,80 c 5,17 d 5,60 e 4,17 a 4,90 c 5,57 e 6,20 f 6,67 g 157 N total (%) 0,14 a*) 0,15 a 0,18 cd 0,18 cd 0,19 cd 0,15 a 0,16 ab 0,17 bc 0,18 cd 0,20 d P tersedia (ppm) 3,21 a*) 8,13 b 10,07 c 12,04 d 13,11 e 3,23 a 12,55 de 16,37 f 20,27 g 23,73 h 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 0.22 0.2 0.18 N total (%) pH *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% Sekis mika dan BFA Semifagit 0.16 0.14 0.1 0 20 40 60 80 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 100 0 Al-dd (cmol(+).kg ) Semifagit -1 P tersedia (ppm) 40 60 80 100 7 Sekis mika dan BFA 20 20 Dosis pupuk (% dari sosis rekomendasi) 25 15 10 5 0 6 5 4 3 2 Sekis mika dan BFA Semifagit 1 0 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Gambar 3. Sekis mika dan BFA Semifagit 0.12 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Hubungan antara dosis pupuk dengan pH (H2O), N total, P tersedia, dan Al-dd tanah setelah percobaan Gambar 3 juga menunjukkan bahwa peningkatan pH dan P tersedia cenderung lebih tinggi dan penurunan kandungan Al-dd tanah cenderung lebih rendah pada perlakuan pupuk semifagit berlapis harsburgit dibandingkan pupuk sekis mika dan fosfat alam tanpa pelapis harsburgit. Hal ini dimungkinkan karena semakin tinggi dosis pupuk semifagit berlapis harsburgit, semakin tinggi kandungan harsburgit yang kaya dengan Mg. Harsburgit sebagai lapisan luar pupuk akan bereaksi terlebih dahulu menetralkan tanah sebelum terjadi pelepasan P dan K sebagai inti pupuk. Sebagaimana disebutkan sebelumnya J. Agroteknos 158 Tufaila dan Alam bahwa kehadiran Mg dalam jumlah yang tinggi sebagai lapisan luar pupuk, selama proses hidrolisis dalam tanah akan melepaskan hidroksil dalam jumlah yang tinggi pula sehingga mengakibatkan meningkatnya pH dan menurunnya Al-dd tanah. Kondisi seperti ini memungkinkan pada waktu pelepasan P dan K sebagai inti pupuk, jumlah P yang terfiksasi Al dan Fe dalam tanah menjadi berkurang sehingga mengakibatkan meningkatnya kandungan P tersedia tanah. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan pupuk berpengaruh nyata terhadap K-dd dan Mg-dd tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap KPK tanah, berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 28, 63, dan 88 HST tetapi tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kedelai 14 HST, berpengaruh nyata terhadap bobot basah, bobot kering, jumlah polong, dan hasil per hektar tanaman kedelai tetapi tidak berbeda nyata terhadap bobot 10 biji, berpengaruh nyata terhadap serapan dan efisiensi serapan P dan K tanaman kedelai. Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk sekis mika dan BFA tanpa pelapis harsburgit dan pupuk semifagit pelapis harsburgit cenderung diikuti dengan semakin tinggi K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah. Hal ini dimungkinkan karena semakin tinggi dosis kedua jenis pupuk tersebut maka kandungan P dan K sebagai inti pupuk serta harsburgit yang kaya dengan Mg sebagai lapisan luar pupuk semifagit juga semakin banyak yang diberikan pada tanah sehingga mengakibatkan semakin banyak pula kandungan P, K, dan Mg tanah. Terjadinya peningkatan KPK tanah diduga akibat kandungan bahan organik yang terdapat pada kedua jenis pupuk tersebut tetapi peningkatannya dianggap tidak berpengaruh nyata. Tabel 5. Purata K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah pada akhir percobaan K-dd (cmol(+).kg-1) 0,09 a*) 0,26 bc 0,29 cd 0,34 e 0,45 f 0,09 a 0,25 b 0,27 bc 0,31 de 0,43 f Perlakuan PK0 PK1 PK2 PK3 PK4 PKH0 PKH1 PKH2 PKH3 PKH4 Mg-dd (cmol(+).kg-1) 0,14 a*) 0,18 a 0,19 a 0,21 a 0,21 a 0,15 a 0,57 b 0,74 c 0,90 d 1,10 e KPK (cmol(+).kg-1) 24,78 25,37 26,37 26,23 26,27 24,73 25,98 26,43 26,85 26,90 *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% 27.5 1.2 0.3 0.2 Sekis mika dan BFA Semifagit 0.1 0 Sekis mika dan BFA Sekis mika dan BFA Semifagit 1 0.8 0.6 0.4 0.2 20 40 60 80 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 100 Semifagit 26.5 26 25.5 25 0 0 27 -1 0.4 KPK (cmol(+).kg ) -1 Mg-dd (cmol(+).kg ) K-dd (cmol(+).kg-1) 0.5 24.5 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Gambar 4. Hubungan antara dosis pupuk dengan K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah setelah percobaan Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk cenderung diikuti dengan semakin tinggi tanaman kedelai pada 14 dan 28 HST sedangkan tinggi tanaman 63 dan 88 HST cenderung mengalami peningkatan sampai pada dosis 80% dari dosis rekomendasi. Hal ini disebabkan karena pada dosis pupuk 100% dari dosis rekomendasi, jumlah hara yang terkandung dalam pupuk tersebut diduga melebihi kebutuhan tanaman sehingga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada 63 dan 88 HST. Tabel 6. Purata tinggi tanaman kedelai pada 14, 28, 63, dan 88 HST Vol. 3 No.3, 2013 Perakitan Pupuk Alam 159 Tinggi tanaman (cm) 14 HST 28 HST 63 HST 88 HST PK0 6,80 11,77 a*) 35,17 a*) 37,07 a*) PK1 7,33 12,70 abc 34,60 a 36,83 a PK2 7,47 13,63 cde 39,30 b 40,97 b PK3 7,37 13,13 bcd 41,53 bc 42,93 b PK4 7,30 14,53 e 40,50 bc 42,87 b PKH0 6,90 12,13 ab 36,13 a 37,53 a PKH1 7,23 14,23 de 39,30 b 42,53 b PKH2 7,70 13,93 cde 40,93 bc 43,50 b PKH3 7,60 14,87 e 42,03 c 43,67 b PKH4 7,73 14,83 e 41,30 bc 44,13 b *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% 16 Perlakuan Tinggi tanaman 28 HST (cm) 15 8 Tinggi tanaman 14 HST (cm) 7.8 7.6 7.4 14 13 12 Sekis mika dan BFA Semifagit 11 7.2 7 10 Sekis mika dan BFA Semifagit 6.8 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 6.6 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 42 Tinggi tanaman 88 HST (cm) Tinggi tanaman 63 HST (cm) 44 40 38 36 34 Sekis mika dan BFA Semifagit 32 30 0 20 40 60 80 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 100 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 Sekis mika dan BFA Semifagit 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Gambar 5. Hubungan antara dosis pupuk dengan tinggi tanaman kedelai 14, 28, 63, dan 88 HST Tabel 7. Purata bobot basah, bobot kering, jumlah polong, bobot 10 biji, dan hasil per hektar tanaman kedelai Bobot basah Bobot kering Bobot 10 biji Hasil (ton.haJumlah polong 1) (g) (g) (g) PK0 23,03 a*) 10,13 a*) 27,33 ab*) 0,93 1,60 a*) PK1 25,77 b 11,43 abc 28,67 abc 1,13 2,04 b PK2 25,90 b 11,70 bc 28,67 abc 1,10 1,98 ab PK3 28,67 c 12,10 c 30,33 bc 1,13 2,16 b PK4 28,27 bc 12,03 c 29,67 abc 1,07 1,99 ab PKH 22,47 a 10,40 ab 26,67 a 0,97 1,62 a PKH1 28,63 c 12,87 c 30,33 bc 1,13 2,16 b PKH2 28,50 c 12,83 c 31,00 c 1,10 2,13 b PKH3 29,90 c 14,37 d 37,33 d 1,17 2,74 c PKH4 29,73 c 14,20 d 35,33 d 1,03 2,29 b *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% Perlakuan J. Agroteknos 160 Tufaila dan Alam 27 25 Sekis mika dan BFA 21 Semifagit 19 0 20 40 60 80 Sekis mika dan BFA 32 28 Sekis mika dan BFA Semifagit 20 20 40 60 80 100 0 Dosis Pupuk (% dari dosis rekomendasi) 1.2 3.0 1.1 2.5 1 Sekis mika dan BFA Semifagit 0.9 36 24 Semifagit 0 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Bobot 10 biji (g) 40 Hasil (ton.ha-1 ) 23 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 Jumlah polong 29 Bobot kering (g) Bobot basah (g) 31 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 2.0 Sekis mika dan BFA Semifagit 1.5 1.0 0.8 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Gambar 6. Hubungan antara dosis pupuk dengan bobot basah, bobot kering, jumlah polong, bobot 10 biji, dan hasil per hektar tanaman kedelai Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk sampai dosis 80% dari dosis rekomendasi cenderung diikuti dengan semakin tinggi bobot basah, bobot kering, jumlah polong, bobot 10 biji, dan hasil per hektar tanaman kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai dapat dicapai pada dosis 80% dari dosis rekomendasi, pemberian dosis pupuk lebih dari itu diduga melebihi kebutuhan tanaman dan berdampak negatif terhadap hasil tanaman kedelai. Secara keseluruhan penggunaan pupuk semifagit berlapis harsburgit memberikan pengaruh yang lebih baik daripada pupuk tanpa lapis harsburgit. Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk cenderung diikuti dengan semakin tinggi serapan P dan K. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan diduga mengakibatkan semakin tinggi kandungan P dan K tanah selanjutnya didikuti dengan semakin banyak kedua unsur tersebut diserap tanaman kedelai. Namun efisiensi serapan hara P dan K tertinggi dicapai pada dosis 80% dari dosis rekomendasi, sedangkan penggunaan pupuk melebih dosis tersebut adalah tidak efisien lagi untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Secara keseluruhan penggunaan pupuk semifagit berlapis harsburgit memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap serapan dan efisiensi serapan P dan K daripada pupuk tanpa lapis harsburgit. Hal ini diduga karena pupuk semifagit yang berlapis harsburgit, pada waktu pelepasan hara, lapisan luar pupuk yang kaya Mg terlebih dahulu akan bereaksi menetralkan kondisi tanah masam sehingga pelepasan hara P dan K dari inti pupuk kedalam tanah memungkinkan sebagai besar dimanfaatkan oleh tanaman dan diduga sangat minim terfiksasi oleh Al atau Fe. Kondisi seperti ini mengakibatkan serapan dan efisiensi pupuk P dan K lebih tinggi terjadi pada pupuk semifagit berlapis harsburgit dari pada pupuk tanpa pelapis harburgit. Tabel 8. Purata serapan dan efisiensi serapan P dan K tanaman kedelai Perlakuan Serapan P (mg.tanaman-1) Serapan K (mg.tanaman-1) Efisiensi serapan P (%) Efisiensi serapan K (%) Vol. 3 No.3, 2013 PK0 PK1 PK2 PK3 PK4 PKH0 PKH1 PKH2 PKH3 PKH4 7,37 a*) 15,34 b 22,52 c 27,28 d 32,39 e 7,03 a 18,34 b 24,39 cd 32,83 e 48,12 f 280,27 a*) 296,96 b 304,44 bc 314,19 cd 322,53 d 274,78 a 292,54 b 301,26 bc 312,94cd 321,13 d Perakitan Pupuk Alam 6,37 a*) 8,08 bc 7,96 b 8,01 b 9,05 bcd 9,26 bcd 10,32 d 9,53 cd 13,36 a*) 12,89 ab 13,57 ab 13,52 ab 14,21 abc 14,12 abc 15,26 c 14,83 bc 161 -1 Serapan K (mg.tanaman ) 60 50 Sekis mika dan BFA Semifagit 40 30 20 10 0 Efisiensi serapan P (%) 0 20 40 60 80 10 8 6 4 Sekis mika dan BFA Semifagit 2 0 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Sekis mika dan BFA Semifagit 320 310 300 290 280 270 0 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) 12 330 Efisiensi serapan K (%) -1 Serapan P (mg.tanaman ) *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Duncan 5% 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Sekis mika dan BFA Semifagit 0 20 40 60 80 100 Dosis pupuk (% dari dosis rekomendasi) Gambar 7. Hubungan antara dosis pupuk dengan serapan dan efisiensi serapan P dan K tanaman kedelai SIMPULAN Pupuk sekis mika dan fosfat alam terasidulasi bahan humat tanpa atau dengan pelapis harsburgit bersifat lepas terkendali. Kelarutan sekis mika dan fosfat alam terasidulasi bahan humat tanpa pelapis harsburgit lebih tinggi daripada yang dilapisi harsburgit. Penggunaan harsburgit sebagai lapisan luar pupuk dapat meningkatkan kesuburan tanah masam. Pupuk sekis mika dan fosfat alam dengan pelapis harsburgit tiga kali adalah pembenah tanah masam yang terbaik. Semakin tinggi dosis pupuk diikuti dengan semakin tinggi pH, N total, P tersedia, K-dd, Mg-dd, dan KPK tanah serta semakin rendah kandunga Al-dd tanah. Penggunaan pupuk semifagit dengan dosis 80% dari dosis rekomendasi (100 kg P2O5.ha1) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman, bobot basah, bobot kering, jumlah polong, bobot 10 biji dan hasil per hektar tanaman kedelai (2,74 ton.ha-1). Semakin tinggi dosis pupuk diikuti dengan semakin tinggi serapan P dan K tanaman kedelai. Efisiensi pemupukan P dan K yang tertinggi yaitu sebesar 19,32% dan 15,26% terjadi pada penggunaan pupuk semifagit dengan dosis 80% dari dosis rekomendasi (100 kg P2O5.ha-1). DAFTAR PUSTAKA Atman, 2009. Strategi peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Jurnal Ilmiah Tambua, VIII(1):39-45. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Departemen Pertanian Indonesia. BBSDLP, 2008. Potensi dan ketersediaan lahan untuk pengembangan kedelai di Indonesia. Warta Litbang Pertanian. (30)1:3-5. Bougnom, B.P., J. Mair, F.X. Etoa, H. Insam, 2009. Composts withwood ash addition: A risk or a chance for ameliorating acid tropical soils. Geoderma. 153: 402-407. Eladia, M., Peña, M., Josef, H. and Jiří, P., 2005. Humic substances – compounds of still unknown structure: applications in agriculture, industry, environment, and biomedicine. J. Appl. Biomed. 3:13-24. 162 Tufaila dan Alam Essington, M.E., 2004. Soil and water chemistry. CRC Press LLC, USA. 534 p. Gruba, P. and J. Mulder, 2008. Relationship between Aluminum in Soils and Soil Water in Mineral Horizons of a Range of Acid Forest Soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 72(4):1150-1157. Guelfi-Silva, D.R., G. Marchi, C.R. Spehar, L.R.G. Guilherme, and V. Faquin, 2013. Agronomic Efficiency of Potassium Fertilization in Lettuce Fertilized with Alternative Nutrient Sources. Rev. Ciênc. Agron. 44(2):267-277. Johnson, S. E. and R.H. Loeppert, 2006. Role of organic acids in phosphate mobilization from iron oxide. Soil Sci. Soc. Am. J. 70:222–234. Kadarusman, A., S. Miyashita, S. Maruyama, C.D. Parkinson and A. Ishikawa, 2004. Petrology, geochemistry and paleogeographyc reconstruction of the east Sulawesi ophiolite, Indonesia. Tectonophysics. 392: 55-83. Kanev, V.V., 2011. Dynamics of Acid-Soluble Iron Compounds in Soddy-Podzolic Soils of the Southern Komi Republic. Eur. Soil Sci. 44(11):1201-1214. Kasno, A., S. Adiningsih, dan M. Sediyarso, 1998. Keefektifan waktu pemberian dan jenis fosfat alam pada tanah plinthic kandiudults. J. Tanah Trop. 7:59-73. Kochian, L.V., Hoekenga, O.A., Pineros, M.A., 2004. How do crop plants tolerate acid soils. Mechanisms of aluminum tolerance and phosphorous efficiency. Annu. Rev.Plant Biol. 55:459-493. Kpomblekou, A. K. and M. A. Tabatabai, 1994. Effect of organic acids on release of phosphorus from phosphate rocks. Soil Sci. 158:443-453. Kpomblekou, A. K. and M. A. Tabatabai, 2003. Effect of low-molecular weightorganic acids on phosphorus release and phyto availability of phosphorus in phosphate rocks added to soil. Agric. Ecosystem Environ. 100:275-284. Li, Li, W. Huang, P. Peng, G. Sheng, and J. Fu, 2003. Chemical and Molecular Heterogeneity of Humic Acids Repetitively Extracted from a Peat. Soil Sci. Soc. Am. J. 67(3): 740-746. Lesovaya, S. N., S. V. Goryachkin, and Yu. S. Polekhovskii, 2012. Soil Formation and Weathering on Ultramafic Rocks in the Mountainous Tundra of the Rai-Iz Massif, Polar Urals. Eurasian Soil Science. 45(1):33-44. Nichols, D.M., K.D. Glover, S.R. Carlson, J.E. Specht and B.W. Diers, 2006. Fine Mapping of a Seed Protein QTL on Soybean Linkage Group I and Its Correlated Effects on Agronomic Traits. Crop Sci. 46:834-839. Rocha, J. C., A.H. Rosa and M. Furlan, 1998. An alternative metodology for the extraction of humic substances from organic soils. J. Braz. Chem. Soc.,9(1):52-56. Rossita Shapawi, R., I. Ebi, and A. Yong, 2013. Soybean Meal as a Source of Protein in J. Agroteknos Formulated Diets for Tiger Grouper, Epinephelus Fuscoguttatus Juvenile. Part I: Effects on growth, survival, feed utilization and body compositions. Agricultural Sciences. 4(7):317-323. Santoso, D., 1991. Agricultural land of Indonesia. IARD, J. 13:33-36. Simatupang, P., Marwoto, dan D.K.S. Swastika, 2005. Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub Optimal. Balitkabi Malang, 26 Juli 2005. Straaten, P.v., 2007. Agrogeology : The use of rocks for crops. Departemen of Land Resource Science University of Guelph, Ontario. Canada. 440 p. Takeshita, H., C. Gouzu and T. Itaya, 2004. Chemical features of white micas from The Piemonte Calcschist, Western Alps and Implications for K-Ar Ages of Metamorphism. Gondwana Research. 7(2):457-466. Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A. Syukur, 2011. Characteristics of soil derived from ultramafic rocks for Extensification of Oil Palm in Langgikima, North Konawe, Southeast Sulawesi. J. Agrivita. 33(1):93-102. Zwolicki, A., K. M. Zmudczyn´ska-Skarbek, L. Iliszko, and L. Stempniewicz, 2013. Guano Deposition and Nutrient Enrichment in the Vicinity of Planktivorous and Piscivorous Seabird Colonies in Spitsberg. Polar Biol, 36:363-372. JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 163-169 ISSN: 2087-7706 HUBUNGAN KEKERABATAN AKSESI PISANG KEPOK (Musa paradisiaca Formatypica) DI KABUPATEN MUNA BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI DAN PENANDA RAPD Genetic Relationship of Kepok Banana (Musa paradisiaca Formatypica) Accessions in Muna Regency Based on Morphological Characters and RAPD Markers TEGUH WIJAYANTO*), DIRVAMENA BOER, LA ENTE Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari ABSTRACT Twenty-four accessions that belong to four groups of kepok banana in Muna Regency have been analyzed for their genetic diversity based on morphological characters (qualitative and quantitative characters), and a few accessions based on RAPD markers. This study aimed to determine the genetic diversity and phylogenetic relationship of accessions of kepok bananas based on 52 qualitative and 12 quantitative morphological characteristics and DNA characteristics. Results of clustering analysis showed the euclidian values ranged between 0.50 to 1.00 for the qualitative data, 0.01 to 0.50 for quantitative data, and 0.83 to 0.88 for DNA profile data. Combined qualitative and quantitative data had similarity coefficient ranged from 0.00 to 2.50. Dendogram of each character produced 2 main groups. The main group 1 formed subgroups. Although the qualitative and quantitative characters resulted in different accession groupings, the combined data analysis of quantitative and qualitative data showed that kepok banana in Muna regency was classified into 4 sub groups namely banana Manuru, Bugisi, Jiwaka and Manuru Lakabu. Keywords: cluster analysis, kepok banana, qualitative and quantitative characters, morphology, RAPD markers. 1PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu pusat keragaman genetik tanaman dunia, termasuk tanaman pisang (Damayanti dan Samsurianto, 2010). Untuk mengetahui lebih jauh besarnya keragaman genetik tersebut maka perlu dilakukan identifikasi dan analisis keragaman genetik. Kegiatan identifikasi keragaman genetik juga penting untuk keperluan perbaikan sifat genetik tanaman dalam upaya menghasilkan varietas atau klon-klon baru masa depan yang lebih baik untuk dibudidayakan (Prihatman, 2000; Prahardini et al., 2010; Ocimati et al., 2014)). Kegiatan eksplorasi, inventarisasi dan pelestarian plasma nutfah pisang di Indonesia masih terbatas. Hal ini disebabkan karena koleksi tanaman pisang saat ini berada di *) Alamat Korespondensi: E-mail:: [email protected] tempat yang terpencar-pencar. Keadaan ini menyebabkan pengelolaan tanaman koleksi menjadi tidak optimal, sehingga tampilan tanaman juga tidak optimal dan seringkali mengacaukan data karakteristik varietas atau klon (Sukartini, 2006). Keragaman pisang kepok secara umum dan secara khusus di Kabupaten Muna belum teridentifikasi dengan baik, baik secara morfologi maupun genetik. Identifikasi genetik suatu populasi plasma nutfah adalah suatu kegiatan untuk memeriksa keragaman aksesi berdasarkan sejumlah karakter penciri (Darmono, 1996; IPGRI, 1996; Lengkong, 2008). Identifikasi morfologi yang dilakukan dapat digunakan untuk melakukan analisis kekerabatan antara aksesi. Berkaitan dengan hal tersebut, banyak sedikitnya jumlah karakter morfologi yang mempunyai heritabilitas atau repeatabilitas tinggi akan Vol. 3 No.3, 2013 Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok menentukan keakuratan pengelompokan aksesi-aksesi (Sukartini, 2006). Keragaman populasi tanaman pisang sangat diperlukan dalam penyusunan strategi pemuliaan guna mencapai perbaikan varietas pisang secara efesien di masa yang akan datang (Ekesa, 2012; Galal et al., 2014). Dengan dasar inilah maka dilakukan penelitian analisis keragaman genetik berbagai aksesi pisang kepok di Kabupaten Muna. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar aksesi pisang kepok yang ada di Kabupaten Muna, berdasarkan karakter morfologi dan penanda RAPD. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan pada pengamatan karakter morfologi adalah anakan pisang kepok yang dikoleksi dari 10 Kecamatan di Kabupaten Muna. Alat yang digunakan berupa cangkul. Sabit, ember, timbangan, meteran, mistar, kamera digital dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan pada pengamatan penanda RAPD adalah Buffer CTAB, pasir kuarsa, larutan PCI, dH2O, etanol 70 %, aquades, RNAse, primer, master mix, TAE, Enzim taq polymerase, agaros, ethidium bromida, loadyng dye dan buffer TE. Alat yang digunakan berupa : mikropipet, tip, sentrifugator, spin, vorteks, sel elektroforesis, mesin PCR, waterbath, tabung eppendorff, inkubator, timbangan analitik, photoforesis, cetakan agaros, hotplate, spektrofotometer, alu dan mortal, spatula, kuvet dan kulkas/refrigerator. Pengamatan profil DNA dilakukan di Laboratorium Genetika Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo Kendari. Analisis Karakter Morfologi. Eksplorasi aksesi pisang kepok dilakukan pada 10 kecamatan di Kabupaten Muna, diambil anakannya selanjutnya ditanam pada lokasi penelitian. Sebanyak 24 aksesi anakan pisang kepok diperoleh, dan dilakukan karakterisasi morfologi berdasarkan panduan deskripsi pisang INIBAB (2001), berupa 52 karakter kualitatif dan 12 karakter kuantitatif. Analisis Penanda RAPD. Isolasi DNA dilakukan dengan memodifikasi metode yang digunakan oleh Rabi’ah (2005). Bahan isolasi adalah 0,1 - 0,2 g daun muda pisang kepok, 164 digerus dengan menggunakan pasir kuarsa sampai membentuk serbuk halus, lalu dimasukan ke dalam tabung eppendorff dan ditambahkan sekitar 600 µl buffer ekastraksi. Kemudian diinkubasi dalam waterbath pada suhu 650C selama 30 menit.Campuran ini disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 10 menit. Suprenatant dipindahkan kedalam tabung steril baru dan ditambahkan 1 x volume PCI (Phenol-Chalorofom-Isoamil Alcohol). Pemisahan fraksi di dalam campuran dilakukan dengan mengambil fase cair dan memindahkannya ke dalam tabung eppendorff baru dan disetrifugasi pada 10.000 rpm selama 10 menit dengan suhu 40C. Supernatant hasil pemurnian dipindahkan ke dalam tabung baru ditambahkan 1 x volume etanol absolut, diinkubasi dalam suhu 40C selama 2 jam, selanjutnya disetrifugasi kembali pada 10.000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4 menit. Gumpalan DNA yang terbentuk (pelet) dicuci dengan 0,5 µl etanol 70%, kemudian dikering anginkan dan diinkubasi selama 12 jam pada suhu 370C. Uji kualitas dan kuantitas DNA dilakukan melalui elektroforesis dan spektrofotometer. Uji kuantitats DNA melalui elektroforesis pada prinsipnya dilakukan dengan memigrasikan DNA hasil isolasi dalam gel agaros dan dirunning dalam bak elektroforesis pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Pita hasil isolasi dapat dilihat dengan manggunakan alat photoforesis. Uji kuantitas melalui spektrofotometer pada prinsipnya adalah melihat densitas DNA secara optik (Optical Density) pada gelombang 260 nm dan disetarakan dengan 50 µg/mL setiap 1 nilai OD pada absorbansi UV gelombang tersebut. Kualitas DNA diketahui dengan membandingkan hasil OD pada absorbansi 260 nm terhadap 280 nm. Seleksi primer dilakukan untuk mendapatkan primer yang dapat menghasilkan produk amplifikasi dan mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi. Beberapa primer yang akan diseleksi, yaitu: OPA-12, OPA-18, OPD-10, OPB-10 dan OPH-07. Seleksi primer menggunakan 5 sampel DNA pisang kepok yang memiliki perbedaan struktur secara morfologi, yaitu, K20-H2, K06-C1, K11-D4, K05-B2 dan K10-D3. Proses amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PCR. Metode dan prosedur PCR ini mengacu pada prosedur 165 Wijayanto et al. J. Agroteknos hasil modifikasi Rabi’ah (2005). Bahan campuran untuk satu tabung reaksi PCR terdiri atas dNTPs (gabungan dari dATP, dCTP, dGTPdan dTTP), satu macam primer RAPD, buffer PCR, DNA template hasil isolasi, enzim Taq DNA polymerase dan air bebas ion. Eletroforesis dan visualisasi hasil amplifikasi PCR menggunakan alat photophoresis, untuk melihat karakteristik pita DNA yang teramplifikasi. Data hasil pengamatan morfologi berupa data kualitatif disajikan dalam bentuk data biner dan dianalisis hubungan kekerabatannya dengan menggunakan jarak genetik Match Maching, selanjutnya data kuantitatif distandarisasi terlebih dahulu selanjunya dianalisis hubungan kekerabatannya dengan menggunakan jarak genetik euclidian. Selanjutnya data tersebut dianalisis gerombol dengan menggunakan program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate). Data hasil RAPD juga disajikan dalam bentuk data biner berdasarkan ada tidaknya pita DNA. Analisis kemiripan antar aksesi dilakukan dengan menggunakan prosedur SIMQUAL (Similarity for Qualitative). HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang Kepok Berdasarkan Data Kualitatif. Hasil pengamatan terhadap 52 karakter kualitatif menunjukkan adanya penampilan yang beragam pada beberapa aksesi, namun ada a 1 b beberapa aksesi yang memiliki penampilan sama. Secara visual, keragaman karakter kualitatif yang diamati pada daun adalah bentuk pangkal daun, bentuk membuka pangkal daun, lilin bawah daun, simetris pangkal daun, warna belakang daun menggulung, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, warna tepi daun, warna tulang daun atas dan warna tulang daun bawah. Variasi yang terdapat pada tangkai daun (petiola) adalah: bentuk tepian petiola, lilin petiola, warna petiola dan warna tepian petiola. Variasi pada batang muda yang diamati adalah keadaan bercak batang, warna pigmentasi batang bagian dalam, warna pigmentasi batang bagian luar, warna bercak batang, warna dasar batang bagian dalam, warna dasar batang bagian luar dan lilin pada batang. Variasi pada anakan adalah: warna daun anakan, warna tepian daun anakan, warna tulang daun atas, warna tulang daun bawah, keadaan lilin permukaan bawah daun, warna petiola daun anakan, warna tepian petiola anakan, warna tepi petiola,warna tunas anakan dan bercak batang anakan. Variasi yang nampak pada karakter buah adalah keadaan permukaan kulit buah, warna daging buah masak dan bentuk ujung buah. Hasil analisis gerombol terhadap seluruh data kualitatif pisang kepok menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan sebesar 0,50 – 1,00 seperti tampak pada Gambar 1. a1 a2 2 Gambar 1. Dendogram hubungan kekerabatan 24 aksesi pisang kepok berdasarkan data 52 karakter kualitatif Vol. 3 No.3, 2013 Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok Berdasarkan dendogram pada Gambar 1 terlihat bahwa terdapat hubungan kekerabatan yang signifikan dengan nilai koefisien kemiripan antara 0,51– 1,00. Semakin kecil nilai koefisien kemiripan (mendekati nol), maka hubungan kekerabatannya semakin jauh dan sebaliknya semakin besar nilai koefisien kemiripan (mendekai satu), maka hubungan kekerabatannya semakin dekat. Hasil pengelompokan aksesi berdasarkan dendogram data kualitatif disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kelompok aksesi pisang kepok berdasarkan dendogram data kualitatif Kelompok utama 1 Sub Kelompok a1 a2 B 2 C Aksesi K01-A1, K04-B1, K06-C1, K08-D1, K12-E1, K14-F1, K16-G1, K19-H1, K21-I1, dan K23-J1 K03-A3, K10-D3 dan K18-G3 K02-A2, K05-B2, K07-C2, K09-D2, K13-E2, K15-F2, K17-G2, K20-H2, K22-I2, dan K24-J2 K11-D4 Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang Kepok Berdasarkan Data Kuantitatif. Berdasarkan data karakter kuantitatif pisang 166 Nama Lokal Manuru Jiwaka Bugisi Manuru Lakabu kepok umur 10 bulan diperoleh nilai maksimal dan minimal serta rata-rata setiap karakter seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai minimal, maksimal dan rata-rata karakter kuntitatif pisang kepok Karakter yang diamati Lebar daun Panjang daun Rasio panjang dan lebar daun Jumlah daun Dalam kanal petiola Keliling petiola Lebar kanal petiola Lebar tepian petiola Panjang petiola Keliling batang Tinggi batang semu Jumlah anakan Nilai Minimal Ukuran 55,23 cm 160,00 cm 2,40 6,33 lbr 1,73 cm 11,77 cm 1,10 cm 0,30 cm 32,70 cm 44,63 cm 215,33 cm 0 anakan Aksesi K11-D4 K18-G3 K01-A1 K14-F1 K11-D4 K11-D4 K04-B1 K11-D4 K01-A1 K11-D4 K07-C2 K01A1, K04-B1, K12-E1, K16-G1 Berdasarkan analisis gerombol dihasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan 1a 1b Gambar 2. Maksimal Ukuran 85,93 cm 280,33 cm 3,63 9,67 lbr 2,60 cm 17,37 cm 2,20 cm 1,55 cm 46,50 cm 85,57 cm 291,67 cm 1,76 anakan Akasesi K08-D1 K04-B1 K04-B1 K11-D4 K08-D1 K06-C1 K18-G3 K17-G2 K21-I1 K14-E1 K19-H1 K06-C1 Rata-rata 70,74 218,56 3,08 7,97 2,14 13,86 1,73 0,79 40,90 60,87 256,00 0,80 (euclidian) berkisar antara 0,01 - 0,50 seperti tampak pada Gambar 2. 1 2 Dendogram hubungan kekerabatan 24 aksesi pisang kepok berdasarkan data 12 karakter kuanlitatif 167 Wijayanto et al. J. Agroteknos Pola hubungan kekerabatan dari 12 karakter kuantitatif yang diamati pada 24 aksesi menunjukan keragaman dengan pengelompokan tertentu. Pengelompokan aksesi secara kuantitatif dari 24 aksesi pisang kepok di Kabupaten Muna tidak terlalu tegas seperti pada pengelompokan aksesi secara kualitatif. Hal ini disebabkan karena karakter kuantitatif sangat rentang dengan pengaruh faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perbedaan karakter morfologi tanaman pisang antara lain kondisi fisiologis individu tanaman, terutama kemampuan menyerap unsur hara tanaman dan serangan hama dan penyakit (Robi’ah, 2005). Pengelompokan aksesi pisang kepok berdasarkan dendogram data kuantitatif disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kelompok aksesi pisang kapok berdasarkan dendogram data kuantitatif Kelompok utama 1 2 Sub Kelompok A B C Aksesi K01-A1, K19-H1, K20-H2, K24-J2, K21-I1, K09-D2, K14-F1, K02-A2, K08-D1, K05-B2, K12-E1, K13-E2, K22-I2, K15-F2, K23-J1 dan K10-D3. K03-A3, K18-G3, K16-G1 dan K11-D4 K04-B1, K06-C1, K07-C2 dan K17-G2. Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang Kepok Berdasarkan Data Gabungan Karakter Kualitatif dan Kuantitatif. Berdasarkan analisis gerombol terhadap seluruh data gabungan karakter kualitatif dan kuantitatif pisang kepok di Kabupaten Muna, dihasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan (similariti) berkisar antara 0,00 2,50 seperti tampak pada Gambar 3. a1 a2 a1 a2 Pengelompokan aksesi pisang kepok berdasarkan hasil dendogram tersebut menunjukkan hal yang sama seperti pada gambar dendogram data kualitatif. Semakin kecil jarak genetik antara dua aksesi yang dibandingkan, maka hubungan kekerabatannya semakin dekat dan semakin besar jarak genetik antara dua aksesi yang dibandingkan, maka hubungan kekerabatannya semakin jauh. a b a 1 b 2 1 2 Gambar 3. Dendogram aksesi pisang kapok berdasarkan gabungan data kualitatif dan kuantitatif Analisis Hubungan Kekerabatan Pisang Kepok Berdasarkan Penanda RAPD Sebanyak 5 aksesi pisang kepok yang diisolasi DNA nya, hanya 3 aksesi yang teramplifikasi dengan PCR, yaitu aksesi K20-H2, K06-C1 dan K11-D4. Hasil amplifikasi DNA-PCR ditampilkan pada Gambar 4. Vol. 3 No.3, 2013 Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok 1 Gambar 4. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 168 M Profil pita DNA pisang kepok hasil PCR. Primer OPA-18 untuk sumur 1,2 dan 3, primer OPH-07 untuk sumur 5, 6 dan 7, dan primer OPD-10 untuk sumur 9,10 dan 11. Sumur 4 dan 8 adalah DNA Phage Lamda PstI. Sumur 1, 5 dan 9 untuk aksesi K20-H2, sumur 2, 6 dan 10 untuk aksesi K06-C1 dan sumur 3, 7 dan 11 untuk aksesi K11-D4. M adalah ukuran (Ladder) Phage Lambda DNA PstI. Berdasarkan analisis clustering penanda RAPD nampak bahwa secara genetik dari 3 aksesi yang teramplifikasi dalam PCR memiliki keragaman dengan nilai koefisien kemiripan antara 0,83 - 0,88. Aksesi K20-H2 dan K06-C1 memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan koefisien kemiripan 0,88, sehingga tergabung dalam satu kelompok, sedangkan aksesi K11-D4 sedikit berbeda dengan aksesi K20-H2 dan K06-C1 dengan nilai koefisien kemiripan sebesar 0,83. Hal ini tampak seperti pada Gambar 5. Gambar 5. Dendogram aksesi pisang kapok berdasarkan data RAPD SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aksesi pisang kepok di Kabupaten Muna berdasarkan karakteristik kualitatif memiliki hubungan kekerabatan dengan koefisien kemiripan antara 0,51 s.d 1,00, dan terkelompok dalam 4 (empat) grup, yaitu pisang Manuru, pisang Bugisi, pisang Jiwaka dan pisang Manuru Lakabu. Berdasarkan karakter kuantitatif, aksesi pisang kepok tersebut tidak terkelompok secara tegas seperti pada karakteristik kualitatif. Secara kuantitatif mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan koefisien kemiripan antara 0,01 sampai 0,50. 2. Aksesi pisang kepok di Kabupaten Muna berdasarkan karakteristik gabungan data kualitatif dan kuantitatif memiliki pengelompokan yang sama dengan pengelompokan secara kualitatif, dan 169 Wijayanto et al. memiliki hubungan kekerabatan dengan koefisien kemiripan antara 0,00 sampai 2,50. 3. Dari 3 (tiga) aksesi pisang kepok yang berhasil diamplifikasi secara PCR-RAPD (aksesi K20-H2, K06-C1 dan K11-D4), maka diketahui bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan koefisien kemiripan antara 0,83 sampai 0,88. DAFTAR PUSTAKA Damayanti, F. dan Samsurianto, 2010. Konservasi invitro Plasma Nutfah Pisang untu aplikasi di Bank Gen. Bioprospek, Vol. 7(2): 86-90. Darmono, T.W., 1996. Ulas balik analisis keragaman tanaman dengan teknik molekuler (Analysis of plant genetic variation with molecular technique). Hayati, 3(1): 7-11. Ekasa, B.N., 2012. Bioaccessibility of provit A in banana (Musa sp). Food Chemistry 133: 1471-1477. Galal, A.A., I.A. Ibrahiem, and J.M. Salem, 2014. Influence of triadimefon on the growth and development of banana cultivars. African J. of Biotech. Vol 13(16): 1694-1701. INIBAP, 2001. Banana diversity. International network for the improvement of Banana and plantain. IPGRI, 1996. Discriptors for banana (Musa spp ). International plant genetic, Resources Institute Rome Monllier, 55 pp. Lengkong, E., 2008. Keragaman genetic plasma nutfah pisang (Musa sp) di Kabupaten Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara. Jurnal Formas, hal. 302-310. Ocimati, W., G. Blomme, and C. Murekezi, 2014. Musa germplasm diversity status. J. Appl. Biosc. 73:5979-5990. Prahardini, PER., Yuniarti, dan A. Krismawati, 2010. Karaterisasi varietas unggul pisang Mas Kirana dan Agung Semeru di Kabupaten Lumajang. Buletin Plasma Nutfah, Vol 16(2): 126-133. Prihatman, K., 2000. Pisang (Musa spp). http://www. Ristek.go.id Robi’ah R.H., 2005. Analisis keanekaragaman genetik pisang introduksi (Musa spp) berdasarkan penanda fenotipik dengan penanda RAPD. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. J. Agroteknos Sukartini, 2006. Pengelompokan aksesi pisang menggunakan karakter morfologi. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropik. J.Hort, 17(11): 26 -33. JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 170-177 ISSN: 2087-7706 THE STUDY ON CONTRIBUTION OF TEMPERATURE AND SOLAR RADIATION INTENSITY TO FROGEYE DISEASE DEVELOPMENT ON TOBACCO Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari terhadap Perkembangan Penyakit Patik pada Tembakau AHMAD RAFIQI TANTAWI1*, BAMBANG HADISUTRISNO2, HARYONO SEMANGUN2, I. HARTANA2, LISNAWITA3 1Program study of Agrotechnology, Agriculture Faculty, Medan Area University, Medan;2 Departement of Plant Pest and Disease, Agriculture Faculty, Gadjah Mada University 3Program study of Agroecotechnology, Agriculture Faculty, University of Sumatera Utara, Medan ABSTRAK Tembakau merupakan tanaman penting di Indonesia karena peranannya bagi ekonomi Indonesia dan lapangan kerja. Salah satu faktor penghambat produksi tembakau adalah penyakit patik (frogeye), penyakit cendawan yang disebabkan oleh Cercospora nicotianae Ell. Et. Ev. Ledakan penyakit ini diduga berhubungan erat dengan aspek cuaca, seperti kecepatan angin, suhu, intensitas radiasi matahari dan kelembapan relatif. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Program Studi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas pertanian, UGM dan di dua perkebunan tembakau di Jember dan Klaten untuk mempelajari pengaruh/peranan suhu dan intensitas radiasi matahari terhadap perkembangan penyakit patik pada tembakau. Hasil penelitian menunjukan bahwa perkembangan penyakit patik dipengaruhi oleh faktor-faktor cuaca, seperti: suhu, namun intensitas radiasi bukan merupakan faktor penting pada perkembangan penyakit ini. Kata Kunci: tembakau, suhu, intensitas radiasi matahari, perkembangan penyakit patik. 1INTRODUCTION Frogeye constitutes (Cercospora nicotianae Ell. Et Ev.) a significant disease on the scope of tobacco (Nicotiana tabacum L.). Based on Dalmadiyo (1999), more than 60 % of NaOogst besuki tembakau leaves are broken, which are caused by frogeye with 100 billion rupiahs loss, and 100 – 125 billion rupiahs loss for bawah naungan tobacco. The development of this disease really depends on the climate and temperature. The climate factors that have influence on tobacco cultivation are temperature, humidity, rain fall, solar radiation and wind (Akehurst, 1981; Cahyono, 1998). Tobacco needs all day’s continuous radiation of the sun. Therefore, the location of tobacco planting is focused in *) Corresponding author: E-mail: [email protected] the open area toward the radiation of the sun and the stable velocity of the wind blows. The temperature of tobacco cultivation is varied, but generally, it is planted on temperature range 21 - 32, 3 oC, 2000 mm/year rainfall for the low land tobacco and 1500 – 3500 mm/year rainfall for the highland tobacco (Akehurst, 1981; Cahyono, 1998). The very humid weather condition will give a great advantage for the growth of Cercospora. The frogeye attack tends to be broader while the weather is getting humid before the harvest comes (Hartana, 1998b). Cercospora will become devastating on the relatively high field temperature, particularly during the months which have a very high temperature. The spots which exist on the leaves will grow fast during the hot temperature, humid and rainy (Lamey, et Vol. 3 No.3, 2013 Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 171 al. 1996; Agrios, 1997). Based on Dickinson (1976), the weather factors that affect fungi are: 1). Temperature, affect on the growth line and the existence of hyphae and propagules, 2). Rain fall and moisture, will directly affect on the humidity of the leaves that will enable the existence of germination and the growth of pathogens, exudation and sendimentating konidium on the surface of the plant and the dispersal. 3).Humidity, gives influence on the ability to survive, the growth of pathogen and the release of the spore, 4). Wind, will become as the medium of the spreading process and the sedimentating konidium on the plant surface, and 5). Light, affect on exudation, sporulation, konidium dispersal, germination and growth. Although there is a lot of information related to the influence of the weather toward the growth of frogeye, but the research on frogeye forecasting on tobacco, has not been conducted yet. The forecasting on frogeye infection rate, particularly for the type of forecasting which is arranged based on the amount of konidium in the air, the complete weather elements, and the relation with the infection rate has not been found yet. Whereas this information is important as the basic forecasting of frogeye on tobacco with the result that the anticipation can be implemented before the explosion of frogeye emerges. Based on the matter, the research is conducted which has a purpose of understanding the contribution of temperature and the intensity of solar radiation toward the growth of frogeye on tobacco. MATERIAL AND METHOD The research is conducted at Mikrologi Laboratorium, Department of Plant Pest and Disease, Agriculture Faculty, Gajah Mada University and in the tobacco cropping which is the property of PTPN X with the second series of location of cropping in Jember and in Klaten. The tobacco varieties used are H382 and TV38 x G. The observation in Jember is conducted from September to October; meanwhile the observation in Klaten is conducted from November to December. The determination of location for the temperature measurement, the solar radiation intensity, and the growth of frogeye are implemented in the PTPN X plantation area in Jember and Klaten which were the frogeye endemic. The selective location is based on the age of the even plants and still enable to do research for two months, the width of overlay is 5 hectares, the cropping area is flat, which is not blocked by tall trees, with the result that the solar radiation is not blocked, and the frogeye is found. The observation of temperature and solar radiation intensity is conducted for each 4 hours, during ten days, for each month. RESULT AND DISCUSSION The observation result for the relation between temperature and the solar radiation intensity toward the frogeye intensity can be seen in Table 1, 2, 3, and Picture 1, 2, 3. The intensity of disease at pre harvest phase of NO besuki tobacco in Jember. In the dry month, which coincides with the pre harvest phase in Jember, the intensity of frogeye shows a progress which is in accord with the lowness of wind velocity (X1), temperature (X2), length of time of solar radiation (X5) and the increase of air humidity, the solar radiation intensity, and the konidium dispersal (X7). The air humidity (X3) and the solar radiation intensity (X4) indicate the tiny role toward the increase of frogeye at pre harvest phase in the dry month. The correlation analysis result (data is not shown) seems that during the pre harvest, all weather elements indicate a tiny influence toward the intensity of frogeye, whereas the influence of amount of konidium seems bigger. It means that during the dry month, all weather elements do not support the growth of frogeye, with the result that the frogeye grows slowly. (Table 1, Pigure 1). Kerr (1998), based on his research on Cercospora beticola, the infection and the epidemic development of Cercospora leaf spot, depends on the existence of susceptive of parent varieties, the enough amount of inokulum, and the length of period of wet leaf on the high temperature inside the plant canopy. Generally, the infection occurs if the night temperature is higher than 60 F (15, 5 oC), the day temperature is 80 – 90 oF (26, 7 – 32, 2 oC), and the length of period of wet leaf 172 Tantawi et al. J. Agroteknos is more than 11 hours. In the dry month, in Jember, the period of moisture just occurs for 7 – 8 hours, with the result that the period of wet leaf does not occur simultaneously with the konidium dispersal. The intensity of disease at harvest phase of NO besuki tobacco in Jember. The intensity of disease in the humid month which coincides with the harvest phase indicates the frogeye intensity increases rapidly and exponentially. The increase of this disease intensity is supported by the high humidity (X3), the reducing length of time of solar radiation (X5), and the konidium dispersal (X7). The decrease of temperature (X2), as the effect of the weather change (from dry to humid) has a tiny effect toward the development of frogeye. The humid month which coincides with the harvest phase, the wind velocity is slower than during the pre harvest in the dry month. Besides, at harvest phase in humid month, konidium is heavier, because of containing the higher water content that is compared with konidium in dry month at pre harvest phase. This circumstance creates a condition that supports the increase of the disease intensity. Besides, at harvest phase, the crop canopies have covered one another, with the result that it can increase the humidity inside the canopy. The air humidity and the high amount of konidium, temperature and the short length of time of solar radiation increase the intensity of frogeye on tobacco. The solar radiation intensity indicates the unworthy effect toward the disease intensity in the humid month (Table 2, Pigure 2). In the humid month, the period of wet leaf is longer. Kerr’s research (1998) indicates that; at 60 F (15,5 C), it is required at least 20 hours wet leaf for the occurrence of infection. At 70 oF (21 oC) the infection has been able to occur if the period of wet leaf is 3 hours. Kerr’s research (1998) is conducted in the sub tropic condition. The temperature condition that is examined in Kerr’s research is very difficult to simulate in the tropic area. The data that has been collected during the research in the humid month (Table 2), indicates that the humidity during the day never reaches 90 %. The intensity of frogeye in the humid month increases from 13,4 – 32,29 %. Table 1. The average daily temperature, solar radiation intensity, and the intensity of frogeye on tobacco in the dry month at the pre harvest phase of besuki tobacco in Jember. No. Date 1. 11-Sep 3. 13-Sep 2. 4. 5. 6. 7. 12-Sep 14-Sep 15-Sep 16-Sep 17-Sep 8. 18-Sep-01 10. 20-Sep 9. 11. 12. 13. 14. 15. 19-Sep-01 21-Sep 22-Sep 23-Sep 24-Sep 25-Sep Hour 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 Temperature (º) * 24,5 29,8 25,0 30,5 26,0 28,3 24,5 29 25,63 30,0 25,6 29,8 26,0 28,3 26,0 28,7 25,0 28,5 24,5 27,5 24,0 28,3 24,0 29,0 23,0 29,3 25,0 28,8 Solar Radiation Intensity * 0,0 215,5 0,0 215,0 0,0 156,7 0,0 169,3 0,0 144,0 0,0 110,3 0,0 180,0 0,0 228,3 0,0 228,3 0,0 229,0 0,0 188,3 0,0 274,7 0,0 258,3 0,0 153,0 Disease Intensity (%) 0,635 0,716 0,796 0,876 0,957 1,037 1,117 1,198 1,278 1,358 1,438 1,519 1,599 1,679 1,760 1,841 1,923 2,005 2,086 2,168 2,250 2,331 2,413 2,494 2,576 2,658 2,739 2,821 2,903 Vol. 3 No.3, 2013 Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 173 Table 2. The average daily temperature, solar radiation intensity, and the intensity of frogeye on tobacco in the humid month at harvest phase of besuki tobacco in Jember. No. Date 1. 11-Okt 3. 13-Okt 2. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 12-Okt 14-Okt 15-Okt 16-Okt 17-Okt 18-Okt 19-Okt 20-Okt 21-Okt 22-Okt 23-Okt 24-Okt 25-Okt Hour 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 Temperature (ºC) 28,8 24,0 27,3 24,2 27,7 24,7 28,5 25,3 28,5 25,5 29,3 24,7 29,7 27,3 29,8 24,5 28,7 25,5 28,7 24,7 81,0 91,0 81,7 92,7 82,7 91,0 81,3 91,0 82,3 0,0 The Intensity of disease in the vorstenland tobacco in Klaten. The research that is held in Klaten, conducted in plant series II from two series that are planted in PTPN X’s farm in Klaten. The early process of plantation series II occurs in the rainy season. Therefore the observation occurs in the wet month. The disease intensity in the vorstenland tobacco, which is planted in the wet month, differs from the disease intensity in the humid month in Jember, the development is based on the exponential curve, and the disease development in vorstenland tobacco which is Solar Radiation Intensity 176,7 0,0 263,3 0,0 225,0 0,0 176,7 0,0 246,7 0,0 285,0 0,0 366,7 0,0 296,7 0,0 206,7 0,0 258,7 0,0 380,67 0,0 42000 0,0 30767 0,0 34900 0,0 30433 0,0 Disease Intensity (%) 13,477 13,793 14,108 14,424 14,739 15,055 15,370 15,685 16,001 16,316 16,632 16,947 17,263 17,578 17,894 18,922 19,951 20,979 22,008 23,037 24,065 25,094 26,122 27,151 28,180 29,208 30,237 31,266 32,294 0 planted in the wet month is based on the linier line. Pigure 3 indicates that the intensity of frogeye in vorstenland tobacco, which is planted during the rainy season, is affected by the increase of wind velocity and the konidium dispersal, temperature decrease, air humidity, the intensity and the length of time of solar radiation and rain fall. Several weather elements indicate the different influence toward the disease intensity during the rainy season in the wet month, compared with the dry and humid months. Vol. 3 No.3, 2013 Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 175 Pigure 1. The estimation curve of temperature effect and solar radiation intensity, toward the intensity of frogeye in the dry month in Jember. Pigure 2. The estimation curve of temperature effect and solar radiation intensity, toward the intensity of frogeye in the humid month during the harvest phase. Pigure 3. The estimation curve of relation between weather elements and the intensity of frogeye on vorstenland tobacco during the wet month. 176 Tantawi et al. J. Agroteknos Table 3. The average daily temperature, solar radiation intensity, and the intensity of frogeye on tobacco in the wet month at the harvest phase of vorstenland in Klaten. Date 11-Nop 12-Nop 13-Nop 14-Nop 15-Nop 16-Nop 17-Nop 18-Nop 19-Nop 20-Nop 21-Nop 22-Nop 23-Nop 24-Nop 25-Nop 3-Des 4-Des 5-Des 6-Des 7-Des 8-Des 9-Des 10-Des 11-Des 12-Des Hour 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 18.00-06.00 06.00-18.00 Temperature (ºC) 33,00 25,33 29,00 24,67 30,00 26,67 30,33 23,33 26,00 24,00 27,67 24,33 27,67 24,33 28,33 25,33 26,67 24,00 28,33 25,33 28,33 26,33 30,67 25,33 31,67 25,67 30,33 25,67 29,25 * 29,00 26,67 25,33 24,33 27,33 24,33 24,67 23,67 26,67 24,33 27,33 24,33 28,00 25,00 27,00 24,00 29,00 25,00 28,13 Solar Radiation Intensity 280,0 0,0 236,7 0,0 191,7 0,0 251,7 0,0 122,7 0,0 268,3 0,0 203,0 0,0 231,7 0,0 168,7 0,0 233,3 0,0 225,0 0,0 278,3 0,0 235,0 0,0 315,0 0,0 296,7 * 255,0 0 184,0 0 285,0 0 141,7 0,0 284,3 0,0 308,3 0,0 288,3 0,0 403,0 0,0 312,7 0,0 200,0 Disease Intensity 10,64 11,152 11,664 12,176 12,689 13,201 13,713 14,225 14,737 15,249 15,761 16,273 16,786 17,298 17,81 18,75 19,69 20,63 21,57 22,51 23,45 24,39 25,33 26,27 27,21 28,15 29,09 30,03 30,97 35,419 39,869 41,278 42,687 44,096 45,505 46,914 48,323 49,733 51,142 52,551 53,96 55,369 56,778 57,519 58,26 59,001 59,742 60,483 61,224 Vol. 3 No.3, 2013 Studi Pengaruh Suhu dan Intensitas Radiasi Matahari 177 CONCLUSIONS The elements of weather can affect the konidium dispersal, the disease intensity and the growth rate of frogeye. The growth rate of disease can differ for the weather changes. At the planting in Jember, the solar radiation intensity shows a very small role toward the increase of frogeye at the pre harvest phase in the dry month. The intensity of frogeye increase rapidly and exponentially at the harvest phase of the NO besuki tobacco in Jember and the vorstenland tobacco in Klaten, which is in accord with the reducing solar radiation intensity. REFERENCES Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th Eds. Academic Press, San Diego. Akehurst, B.C. 1981. Tobacco. Tropical Agriculture Series, Longman, London. 764 hlm. Cahyono, B. 1998. Tembakau. Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Edisi Revisi. Kanisius, Yogyakarta. 126 hlm. Cahyono, B. 1998. Tembakau. Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Edisi Revisi. Kanisius, Yogyakarta. 126 hlm. Dalmadiyo G. 1999. Pengendalian Penyakit Tembakau secara Terpadu. Di dalam : Prosiding Semiloka Teknologi Tembakau. Tirtosastro S, Rahman A, Isdijoso SH, Gothama AAA, Dalmadijo G & Mukani (eds.).. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. Dickinson CH. 1976. Fungi on the Aerial Surface of Higher Plants. Di dalam : Micrology of Phyllosphere. Dickinson CH & Preece TF (eds.). Cambridge University Press.Cambridge. hlm. 77-100. Hartana I. 1998. Penyakit-penyakit Jamur pada Tanaman Tembakau dan Cara Pengendaliannya. Makalah Penyegaran Tenaga Peneliti/Praktisi Tembakau Lingkup PTP Nusantara II dan X di Jember pada 3-5 Nopember 1998. Kerr, E.D. 1998. Cercospora Leaf Spot of Sugar Beet. Cooperative Extension, Institute of Agriculture and Natural Resources. University of Nebrasca, Lincoln. http://www.ianr.unl.edu/pubs/plantdiseas e/g1348. htm Lamey HA, Cattanach AW, Bugbee WM & Windels CE. 1996. Cercospora Leafspot of Sugarbeet. North Dakota State University Extension Service. JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 178-182 ISSN: 2087-7706 KARAKTERISASI BIOKIMIAWI RIZOBAKTERI ASAL GULMA BERDAUN LEBAR YANG BERPOTENSI SEBAGAI DELETERIOUS RHIZOBACTERIA Biochemical Characterization of Rhizobacteria from broadleaf weeds Potential as Deleterious Rhizobacteria ASNIAH*), TRESJIA C. RAKIAN, MUHIDIN, GUSNAWATY HS, SRI WANGADI Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo ABSTRACT The research aimed to know biochemical characters of rhizobacteria from broadleaf weed that are potential as deleterious rhizobacteria. The research was conducted at Agronomy Laboratory of Agriculture Faculty Halu Oleo University Kendari from January until March 2013. The results showed that 9 of 10 rhizobacteria isolates tested from broadleaf weeds rhizosphere had the ability to solubilize phosphate with different diameters. For nitrogen fixation ability, all isolates tested were potential but only isolates of ML-01 and KL-06 had high capability. All isolates had different ability to produce IAA, with isolates of KL-06 produced higher concentration of IAA (33,07 ppm) compared to other isolates. Isolates that had the ability to produce HCN were isolates BL-07, with filter paper change from yellow to dark brown, and BL-08 and BL-03 light brown color changes indicated to that the production of HCN was increased. Result of research showed that some isolates tested had biochemical character as deleterious rhizobacteria by the ability to solubilize phosphate, fix nitrogen, produce IAA and HCN. Keywords: biochemical characterization, rhizobacteria, broadleaf weeds, deleterious. 1PENDAHULUAN Gulma adalah tumbuhan yang keberadaannya dapat menimbulkan gangguan dan kerusakan bagi tanaman budidaya. Kehadiran gulma pada areal tanaman sangat berpengaruh terhadap hasil panen. Hal ini terjadi karena gulma memiliki kemampuan dalam hal berkompetisi yang tinggi untuk memperoleh air, unsur hara, cahaya matahari, CO2, dan pemanfaatan ruang tumbuh (Rao, 2000). Penggunaan herbisida sintetis yang berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan karena sifatnya yang sulit terurai dalam tanah sehingga meninggalkan residu yang berbahaya bagi organisme lain terutama manusia sebagai konsumen terakhir. Salah satu alternatif usaha pengendalian gulma pertanian yang ramah lingkungan adalah Alamat Korespondensi: Email: [email protected] *) menggunakan rizobakteri yang memiliki potensi sebagai deleterious rhizobacteria yaitu rizobakteri yang bersifat memacu pertumbuhan tanaman sekaligus sebagai bioherbisida dalam pengendalian gulma. Peranan rizobakteri selain sebagai pemacu pertumbuhan tanaman adalah memiliki potensi sebagai bioherbisida terhadap gulma sesuai dengan hasil penelitian Carvalho et al. (2007) menunjukkan bahwa senyawa anti metabolit yang dihasilkan oleh Bacillus cereus mampu menghambat 52% pertumbuhan biji gulma Brachiaria decumbens dan 48% biji lainnya menjadi abnormal. Penelitian ini sangat penting dilakukan karena diharapkan menjadi solusi untuk memecahkan masalah gulma sekaligus mengembangkan teknik baru dalam pengendalian gulma secara biologi yang murah dan ramah terhadap lingkungan serta peningkatan pertumbuhan tanaman dengan pemanfaatan rizobakteri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Vol. 3 No.3, 2013 Karakterisasi Biokimiawi Rizobakteri Asal Gulma karakter biokimiawi rizobakteri asal gulma berdaun lebar yang berpotensi sebagai deleterious rhizobacteria BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koleksi isolat rizobakteri, plastik wrap, alumunium foil, alkohol 70 %, tissue, aquadesh, media TSA, media glisin, agar, TCP, glukosa, yeast extract, sukrosa, asam amino triptofan, NaCl, KCl, MgSO4, MnSO4, FeSO4, (NH4)2SO4, KOH, H2SO4, FeCL3, K2HPO4, KH2PO4, CaSO4 dan Na2MOO4. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia, timbangan analitik, wiseclave, spatula, cawan petri, pelubang gabus, pH meter, botol schoot, pipet mikro, hot plate, erlenmeyer, shaker, tabung reaksi, vortex, oven, laminar air flow cabinet, jarum ose, spektrofotometer. Sejumlah 10 isolat potensial yang diisolasi dari rizosfer gulma berdaun lebar yang diuji adalah berasal dari empat Kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Konawe Selatan. Kesepuluh isolat tersebut telah dilakukan uji potensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan biherbisida pada penelitian sebelumnya, kemudian penelitian ini dilakukan karakterisasi Biokimiawinya. Kemampuan Melarutkan Fosfat. Untuk menguji kemampuan rizobakteri melarutkan fosfat digunakan media uji Pikovskaya’s agar dengan penambahan tricalcium posphate (TCP) sebagai sumber fosfat. Komposisi per liter media yang digunakan terdiri atas: glukosa (10g), NaC1 (0,2g), KC1 (0,2g), MgSO4 (0,1g), MnSO4 (2,5mg), FeSO4 (2,5mg), yeast extract (0,25g), (NH4)2SO4 (0,25g), dan agar-agar (15g). Media disterilisasi dengan pemanasan menggunakan autoklaf. Setelah sterilisasi pH media diatur menjadi 7,2 dengan KOH 5 N. Media uji dituangkan kedalam cawan petri, dibuat lubang dengan pelubang gabus dan diisi dengan 0,2 mL suspensi masing-masing 10 isolat rizobakteri yang diuji. Media uji yang telah berisikan bakteri di inkubasi selama 3 hari dalam inkubasi dengan suhu 280C. Perlakuan ini dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Kemampuan melarutkan fosfat dari isolat yang diuji dievaluasi secara kualitatif berdasarkan terbentuknya halo di 179 sekitar lubang yang berisi suspensi bakteri (Thakuria et al., 2004). Kemampuan Memfiksasi Nitrogen. Kemampuan rizobakteri sebagai pemfiksasi nitrogen secara bebas dari udara dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan media Burk sebagai berikut: (1) MgSO4 2 g, K2HPO4 8 g, KH2PO4 2 g, dan CaSO4 1,3 gram dicampur menjadi satu dan digunakan sebagai stok media Burk Salt; (2) FeCl3 0,145 g dan Na2MoO4 0,0235 g di larutkan dalam 100 mL aquades dan dijadikan sebagai stok larutan FeMo. Sebanyak 1,3 gram media Burk Salt dicampur dengan 1 mL stok larutan Fe-Mo lalu ditambahkan 10 g sukrosa, semua bahan tersebut dilarutkan dalam 1000 mL aquades steril dan selanjutnya disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121oC tekanan 1 atm selama 15 menit. Sebanyak 20 µl media Burk salt dimasukan dengan tahap reaksi steril. Sebanyak 1 ose isolat rizobakteri yang diuji dimasukan kedalam larutan tersebut lalu diinkubasi pada shaker inkubator selama 48 jam menggunakan 150 rpm. Isolat positif sebagai pemfiksasi nitrogen jika bakteri tersebut mampu tumbuh dalam larutan Burk Salt yang ditandai dengan kekeruhan media dalam tabung reaksi. Isolat yang tumbuh diberi tanda + (positif), sedangkan yang tidak tumbuh diberi kode – (negatif). Produksi Asam Indol Asetat (IAA) . Kemampuan masing-masing isolat rizobakteri untuk memproduksi IAA dianalisis dengan metode Glickman dan Dessaux (1995). Isolat bakteri rizosfer ditumbuhkan selama 24 jam dalam medium TSB untuk memacu sintesis auksin, kedalam masing-masing media ditambahkan asam amino triptofan 0,5 g∕l. Kultur bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit, kemudian supernatan dipisahkan dari endapan bakteri, disaring dengan membran nitroselulosa berporositas 0,2 g dan dianalisis kandungan IAA-nya. Kandungan IAA dalam filtrat kultur bakteri dideteksi dengan menggunakan pereaksi FeCI3 12g∕l. dalam 7,9 M H2SO4. Pereaksi FeCI3 (1 ml) dan filtrat dan kultur bakteri (1 mL) dimasukan dalam tabung eppendorf (Volume 2 mL), dan campuran di inkubasi didalam ruang gelap pada suhu 26oC selama 30 menit. Setelah periode inkubasi, nilai absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kurva standar bedasarkan 180 Asniah et al. J. AGROTEKNOS nilai absorbansi larutan, IAA murni dengan kosentrasi 0; 6,25; 12,5; 25; 50; 75; 100; 150 dan 200 ug/mL digunakan untuk menghitung kandungan IAA dalam filtrat kultur bakteri. Kemampuan Menghasilkan senyawa HCN. Produksi senyawa HCN dari setiap isolat rizobakteri dilakukan berdasarkan metode yang dikembangkan Bakker dan Schipper (Munif, 2001). Isolat bakteri rizosfer yang diuji ditumbuhkan pada media glisin dalam cawan petri. Pada bagian tengah tutup cawan petri ditempelkan potongan kertas saring yang telah direndam dalam larutan untuk mendeteksi HCN (asam pikrat 2 g, natrium karbonat 8 g, dalam 200 mL air). Kultur bakteri diinkubasikan selama 4 hari pada suhu 24oC dan perubahan warna kertas saring digunakan sebagai indikator terbentuknya senyawa HCN. Warna kertas saring yang tetap kuning mengindikasikan isolat yang diuji tidak memproduksi HCN sedangkan warna coklat muda, coklat dan merah bata mengindikasikan produksi HCN yang semakin meningkat. Semua data hasil pengamatan karakterisasi biokimiawi dari setiap isolat rizobakteri yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Kode Isolat Kandungan IAA (ppm) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan semua isolat yang diuji dapat melakukan fiksasi N tetapi tidak semua mampu memproduksi senyawa metabolit HCN. Hasil pengamatan karakter biokimia dari isolat rizobakteri dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kemampuan isolat rizobakteri dalam melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen, memproduksi IAA dan HCN. BL-03 BL-05 BL-07 BL-08 ML-01 ML-04 KL-06 KL-11 KL-15 SL-01 Pelarut fosfat (cm) 1,33 1,10 1,37 1,60 1,30 1,20 1,67 0,00 1,10 1,57 Fiksasi N ++ + ++ ++ +++ + +++ + + ++ 20,08 17,75 24,39 29,43 17,30 20,33 33,07 26,27 18,24 29,47 Produksi HCN + ++ + - Keterangan: untuk fiksasi N (+) cukup keruh, (++) keruh, (+++) sangat keruh, untuk produksi HCN (-) kuning, (+) coklat muda, (++) coklat tua Hasil penelitian menunjukkan ada 9 dari 10 isolat yang diuji dengan rata-rata luas zona bening yang berbeda menunjukkan isolat tersebut mampu melarutkan fosfat menggunakan media pikovskaya’s agar dengan penambahan TCP sebagai sumber fosfat. Kemampuan rizobakteri pelarut fosfat dalam melarutkan P dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (halo). Semakin tinggi diameter halo yang dihasilkan, kemampuan rizobakteri pelarut fosfat dalam melarutkan P juga tinggi. Isolat KL-06 dan BL-08 memiliki luas zona bening tertinggi masing-masing 1,67 dan 1,60 cm. Hal ini menunjukkan isolat tersebut memiliki kemampuan melarutkan fosfat paling baik diantara isolat lain. Mikroba pelarut fosfat mempunyai peranan sangat besar dalam membantu penyediaan unsur hara bagi tanaman karena mampu mengubah bentuk-bentuk fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk yang tersedia. Tanaman membutuhkan fosfat untuk perkembangan dan pertumbuhannya, namun senyawa fosfat yang ada dalam lingkungan tanaman tidak selalu tersedia, sehingga keberadaan bakteri pelarut fosfat di rizosfer tanaman dapat membantu penyediaan senyawa fosfat bagi tanaman, seperti bakteri Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. dapat mengeluarkan asam-asam organik, seperti asam formiat, asetat dan laktat yang bersifat melarutkan bentuk-bentuk fosfat yang sukar larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Fosfat tersedia dalam bentuk organik dan anorganik. Fosfor organik mengandung senyawa-senyawa yang berasal Vol. 3 No.3, 2013 Karakterisasi Biokimiawi Rizobakteri Asal Gulma dari tanaman dan mikroorganisme dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin (Rao, 1994). lebih lanjut menurut Rao (1994) mikroorganisme tanah yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam memperbaiki tanaman yang mengalami defisiensi fosfor. Kemampuan isolat rizobakteri melarutkan fosfat merupakan salah satu karakter fisiologi rizobakteri yang berhubungan dengan perannya sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (Sutariati, 2006). Selain melarutkan fosfat, karakteristik biokimia yang dimiliki oleh rizobakteri adalah kemampuan memfiksasi nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat KL-06 dan ML-01 memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan isolat yang lain dalam mengikat nitrogen dengan dihasilkan kekeruhan yang sangat keruh pada media yang digunakan. Interaksi rizobakteri terhadap sistem perakaran tanaman berpengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan tanaman diatasnya. Bakteri penambat N non simbiotik termasuk kelompok rizobakteri yang berperan dalam penyediaan unsur N bagi tanaman (Khairul, 2001). Keberadaan populasi bakteri penambat N non simbiotik serta distribusinya yang cukup luas memberikan arti penting bagi tersedianya unsur N bagi tanaman. Menurut Rao (1994), bakteri penambat N non simbiotik mampu menyumbang sekitar 10 sampai 15 kg N/ha/tahun, tergantung dari tersedianya sumber karbon. Karakteristik penting yang dimiliki oleh rizobakteri selain mampu melarutkan fosfat dan memfiksasi nitrogen adalah kemampuannya dalam memproduksi asam indol asetat (IAA). Berdasarkan nilai absorbansi isolat uji yang diperoleh menunjukkan isolat-isolat rizobakteri mampu memproduksi IAA dengan produksi tertinggi dihasilkan oleh isolat KL-06 yaitu dengan konsentrasi 33,07 ppm dibandingkan dengan isolat lainnya dengan kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan IAA yaitu kisaran 17,30 sampai dengan 29,47 ppm Perbedaan produksi IAA dari berbagai rizobakteri bergantung pada isolat yang diuji dan kemampuan masing-masing isolat dalam mengolonisasi perakaran tanaman (Thakuria et al., 2004). Kemampuan suatu isolat rizobakteri sebagai penghasil IAA mampu memfiksasi 181 nitrogen serta sebagai pelarut fosfat dari bentuk tersedia menjadi tersedia bagi tanaman menunjukkan isolat-isolat tersebut memiliki potensi sebagai agensia pemacu pertumbuhan tanaman. Selain sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, isolat rizobakteri yang diuji bisa bersifat menghambat pertumbuhan gulma dengan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkannya seperti HCN. Rizobakteri yang sifatnya menghambat atau merugikan disebut dengan Deleterious rhizobakteria (DRB). Hal ini dapat dilihat pada penelitian pengujian HCN yang dilakukan terhadap setiap isolat yang berasal dari rizosfer gulma berdaun lebar pada tabel 4, terdapat 3 isolat yang diuji mampu memproduksi HCN yaitu dengan terjadinya perubahan warna kertas saring. Hal ini sejalan dengan penelitian Kremer dan Souissi (2001), mengemukakan bahwa DRB menunjukkan reaksi positif dalam menghasilkan HCN yang jumlahnya bervariasi yang dapat terdeteksi berdasarkan intensitas warna yang diuji. Hasil penelitian menunjukkan isolat BL-07 dengan produksi HCN yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat BL-08 dan BL-03, sedangkan 7 isolat lainnya tidak mampu memproduksi HCN. 3 isolat yang mampu menghasilkan senyawa HCN ini juga mampu melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen dan memproduksi IAA sehingga isolat ini diindikasikan sebagai deleterious rhizobacteria karena berpengaruh negatif bagi gulma tetapi berpengaruh baik untuk tanaman. Senyawa HCN yang dihasilkan oleh rizobakteri khusus menghambat pertumbuhan gulma tapi tidak pada tanaman. Beberapa DRB yang diisolasi dari berbagai akar gulma dapat mengurangi perkecambahan benih, vigor dan pertumbuhan tanaman (Kremer dan Souissi, 2001). Cara DRB menginfeksi gulma adalah dengan memproduksi phytotoksin yang dapat diserap oleh biji-biji gulma. DRB tidak memberantas gulma, akan tetapi hanya menekan pertumbuhan awal dari gulma dan menekan perkecambahan biji. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa isolatisolat rizobakteri berpotensi memiliki karakter biokimiawi sebagai deleterious 182 Asniah et al. rhizobacteria melalui kemampuannya dalam melarutkan fosfat, fiksasi nitrogen, produksi IAA dan HCN. Isolat rizobakteri yang memiliki potensi sebagai deleterious rhizobacteria yaitu isolat BL-03, BL-07 dan BL-08 melalui kemampuannya menghasilkan HCN, sebagai pelarut fosfat, pemfiksasi nitrogen dan memproduksi IAA DAFTAR PUSTAKA Carvalho, D. D. C., D. F. Oliveira, R. S. B. Correa, V. P. Campos, R. M. Guimaraes and J. L. Coimbra, 2007. Rhizobacteria able to produce phytotoxic metabolites. Brazilian Journal Of Microbiology 38:759-765. Glickman, E., and Dessaux, Y., 1995. A critical examination of specificity of the salkowski reagent for indolic compounds produced by phytopathogenic bacteria. App Environ Microbiol 61:793-796. Khairul, U. 2001. Pemanfaatan Bioteknologi Untuk Peningkatan Produksi Pertanian, (online), (http://www.worddagroforestry.org/s ea/publocation/files/book/BK0028pdf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2013). J. AGROTEKNOS Kremer, R. J. and T. Souissi, 2001. Cyanide production by Rhizobacteria potential for supression of weed sedling growth. Current Microbiology 43:182-186. Munif A., 2001. Studies on the importance of endophytic bacteria for the biological control of the root-knot nematode Meloidogyne incognita on tomato [Dissertation]. Bonn, Germany: Institute for plant Diseases, University of Bonn. Rao, N.S. Subba, 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Terjemahan Soil organisms and growth. Terjemahan oleh Herawati Susilo. UI-PRESS. Jakarta.. Rao, V.S., 2000. Principles of weed science. Second edition. Science Publisher Inc. Plymouth. UK. Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S., 2006. Pengaruh perlakuan Plant Growth Promoting Rhizobacteria terhadap pertumbuhan bibit tanaman cabai. Buletin Agronomi 34(1):46-54. Thakuria, D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, Boro RC, Khan MR., 2004. Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in acidic soils of Assam. CurrSci 86:978-985 JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3. Hal 183-188 ISSN: 2087-7706 MEDIA ALTERNATIVE PERBANYAKAN IN-VITRO ANGGREK BULAN (Phalaenopsis amabilis) An Alternative Media for In-vitro Multiplication of (Phalaenopsis amabilis) KASUTJIANINGATI*), RUDI IRAWAN Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri. Jember ABSTRACT The aim of this research was to study the effects of alternative medium composition on micropropagation of Phalaenopsis amabilis. The species is one of the most important “queen of flower“commodities in Indonesia and it can increase domestic incomes. Completely randomized design was used for the experiment. The experiment used a single factor, multiplication media, consisted of 6 different compositions, i.e. VW + BAP 2 ppm, VW+ coconut water 150 ml/L, VW + Ambon banana extract 50 gt/L, POY + BAP 2 ppm, POY+ coconut water 150 ml/L, POY + Ambon banana extract 50 gt/L . Parameters observed were the number of shoots, leaves and roots. The results showed that addition of coconut water, banana extract, and BAP on media VW (Vacin and Went) or POY (liquid organic fertilizer Yoga) were not significantly different. Shoot number obtained was as many as 2 shoots. Key words: coconut water , banana extract, liquid organic fertilizer, Phalaenopsis 1PENDAHULUAN Tanaman anggrek merupakan tanaman hias yang mempunyai 25.000 – 30.000 spesies di dunia. Keindahan dan kecantikan bunganya membuat tanaman ini disebut “queen of flower“. Di Indonesia anggrek merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik untuk bunga potong maupun untuk bunga pot. Permintaan pasar anggrek cenderung meningkat setiap tahunnya, namun perkembangan produksi anggrek di Indonesia masih relatif lambat (Widiastoety, 2001). Produksi tanaman anggrek di Indonesia pada tahun 2005 – 2009 mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 kebutuhan anggrek 7.902.403, tahun 2006 10.703.444, tahun 2007 9.484.393, tahun 2008 15.430.040 dan pada tahun 2009 16.205.949 (BPS, 2010). Kebutuhan anggrek yang kian meningkat perlu ditunjang dengan penyediaan bibit *) Alamat Korespondensi: Email: [email protected] dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat, kualitas prima. Sementara perbanyakan konvensional anggrek dengan pemisahan anakan (split) membutuhkan waktu yang lama dankondisi bibit rawan terhadap penyebaran penyakit. Solusi terbaik adalah melalui perbanyakan in vitro dengan menyusun komposisi nutrisi, hara makromikro, vitamin serta zat pengatur tumbuh untuk pertumbuhan tanaman.Permasalahan yang harus dihadapi adalah dalam kegiatan kultur jaringan membutuhkan bahan kimia yang saat ini harganya tidak murah, sehingga perlu dicari alternativ media yang murah tetapi mampu menghasilkan bahan tanam yang berkualitas..Pada skala usaha budidaya anggrek, penggunaan pupuk cair dan ekstrak buah dapat menjadi alternativ pengganti vitamin sintetik dan unsure-unsur lain yang dikandungnya.Zulfan (2010) menggunakan pupuk Super Vit 6 mL/Lpada media sub kultur tanaman anggrek Dendrobium sp. dan mampu memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada jumlah anakan, pertumbuhan tinggi tanaman, dan rata – rata bobot segar tanaman. Vol. 3 No. 3, 2013 Media Alternatif perbanyakan in-vitro Anggrek Bulan Menurut Ummi (2008) pada pembuatan media dapat ditambahkan bahan organik seperti air kelapa, ekstrak tomat, ekstrak tauge dan ekstrak buah pisang sebagai sumber gula, vitamin, ZPT dan asam amino. Muawanah (2005) menggunakan tambahan ekstrak pisang pada media kultur anggrekDendrobium canayo. Ummi (2008), menggunakan ekstrak pisang ambon 50 gr/L pada kultur pisang rajabulu (Musa paradisiaca L.), menghasilkan jumlah tunas sebesar 3,1 tunas, panjang tunas 11,6 cm, jumlah daun sebesar 6,8 daun, panjang daun 5,9 cm, jumlah akar 8,3 akar, serta panjang akar 9,0 cm. Penelitian ini bertujuan, mempelajari pengaruh beberapa taraf komposisi media tumbuh dengan bahan dasar komposisi media VW, pupuk organik cair (Yoga), ZPT eksogen sitokinin (BAP), pisang ambon dan air kelapa terhadap pertumbuhan tunas angrek Bulan (Phalaenopsis amabilis), untuk mencapai tujuan mendapat media alternatif perbanyakan in vitro anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis)dengan bahan yang mudah diperoleh dan harga murah dalam waktu singkat jumlah banyak. Sedangkan kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi untuk peneliti selanjutnya dan pihak yang membutuhkanya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan (Mei – September 2013) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Politeknik Negeri Jember. Sebagai sumber bahan eksplan pada penelitian ini adalah planlet steril anggrek bulan Phalaenopsis amabilis dari Simanis Orchid, Malang yang sudah berumur 1 tahun. Media dasar proliferasi yang digunakan adalah medium VW (Vacint and Went) dan pupuk organik cair Yoga (POY) 10 mL/ L media, bahan tambahan ekstrak pisang ambon, 20 g/l sukrosa. Sebagai bahan pemadat digunakan agar (7 g/L). Zat pengatur tumbuh yang digunakan BAP. Bahan sterilisasi eksplan meliputi, Bayclin (NaOCl), alkohol 70 % dan aquades steril. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah laju multiplikasi eksplan (jumlah tunas, jumlah plb, jumlah daun, jumlah akar dan jumlah total tunas) pada tahap multiplikasi, dan tahap pembesasan planlet. 184 Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 macam perlakuan yang terdiri atas : Media VW (ditambah BAP 2 mg/L; air kelapa 150 mL/L dan ekstrak pisang ambon 50 g/L) dan media POY (ditambah BAP 2 mg/L; air kelapa 150 mL/L dan ekstrak pisang ambon 50 g/L) Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Setelah uji F maka akan diuji Beda Nyata Jujur dengan taraf 5 %. Percobaan ini dilaksanakan dengan 20 ulangan setiap perlakuan. Satu unit eksperimen pada percobaan ini berupa satu eksplan dalam setiap botol. Data yang diperoleh dianalisis ragam mengunakan program SAS HASIL DAN PEMBAHASAN Multiplikasi Tunas. Kultur angrek bulan (Phalaenopsis amabilis) yang dicoba memperlihatkan proliferasi pada medium perlakuan. Secara bertahap terjadi peningkatan jumlah tunas (multiplikasi) sesuai dengan tingkatan sub kultur. Menurut Arinaitwe et al. (2000), jaringan eksplan mampu berproliferasi bila diinduksi sitokinin dari luar. Hasil analisis ragam respon multiplikasi tunas terhadap perbedaan komposisi bahan media yang digunakan terhadap total tunas tidak menunjukan hasil beda nyata secara statistik. Berarti perbedaan komposisi media yang dibuat bukan berarti tidak mampu memberikan respon dalam mempengaruhi proliferasi sel secara nyata, pertumbuhan jumlah tunas bertambah pada subkultur pertama (2 minggu)dan subkultur ke 2 (minggu ke 6) dari asal 1 tunas bertambah menjadi 2 tunas, walaupun peningkatan belum mampu menunjukan beda nyata (Tabel 1). Aktivitas sitokinin eksogen menjelaskan uptake rate atau respon dari jaringan eksplan dan adanya pengaruh akumulasi ZPTeksogen pada jaringan eksplan mengikuti tahapan subkultur sehingga translokasi ZPTtersebut akan mempengaruhi proses metabolisme pertumbuhan dan perkembangan tunas (Blakseley, 1991; Arinaitwe et al., 2000), juga tergantung level auksin dan sitokinin endogen dari eksplan (Barker dan Steward, 1962; Zaffari et al., 2000; Wong, 1986). 185 J. AGROTEKNOS Kasutjianingati dan Irawan ZPTeksogen diberikankan guna memberi perimbangan terhadap hormon indogen agar mampu mempengaruhi dediferensiasi sel meristematis kembali, mempengaruhi respon fisiologis sebagai pendorong pembelahan dan perpanjangan sel saat multiplikasi dan saat morfogenesis tunas (pertumbuhan dan perkembangan bagian atas) dan pembentukan akar (kesempurnaan organ bawah). Kandungan komposisi dari air kelapa dan pisang ambonpada media dasar pada hasil penelitian pengaruhnya diperkirakan setara dengan BAP 2 mg/L terhadap metabolisme anggrek bulan. Energi pertumbuhan multiplikasi tunasselanjutnya yang seharusnya diharapkan terpusat pada pembelahan sel dan pendewasaan sel atau jaringan sehingga mampu menghasilkan penambahan jumlah tunas, nampaknya menjadi terbagi ke arah perkembangan organ bagian atas (daun) yang seimbang dengan perkembang organ bagian bawah (akar).Afriani (2006) menunjukkan bahwa pada perbesaran planlet anggrek Dendrobium sp, media dengan ekstrak pisang 50 g/l menghasilkan planlet paling tinggi yaitu 3,2 cm dan jumlah daun terbanyak (pada 24 MST). Tabel 1. Respon multiplikasi tunas (jumlah tunas, PLB, jumlah akar dan jumlah daun) terhadap perbedaan komposisi bahan media yang digunakan VW POY Perlakuan +BAP 2mg/L +Air kelapa 150mL/L +Ps Ambon 50g/L +BAP 2mg/L +Air kelapa 150mL/L +Ps Ambon 50g/L Jumlah Tunas :2 2.2 2.0 2.3 2.4 2.2 2.0 :6 3.2 2.2 2.2 2.9 2.2 2.4 Air kelapa 150 ml/L pada media VW mampu mendorong pembentukan plb(protocorm like bodies) sebagai calon tanaman. Protocorm adalah bentukan bulat yang siap membentuk pucuk dan akar sebagai awal perkecambahan anggrek. Morel (1974) dan Gunawan (1995) menyatakan didalam air kelapa terkandung hormone sitokinin 5,8 mg/l, auksin 0,07 mg/l dan giberalin yang dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan tanaman, berfungsi sebagai penstimulir dalam proliferasi jaringan, memperlancar metabolisme dan respirasi. Oleh karena itu air kelapa mempunyai kemampuan besar untuk mendorong pembelahan sel dan proses deferensiasi. Menurut Bey dkk. (2006) perlakuan tunggal air kelapa dapat mempercepat munculnya plb pada tanaman anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis sp.).Hasil penelitian Syafi’i (2006) saat munculnya plb lebih cepat pada perlakuan tunggal air kelapa pada konsentrasi 200 ml/L dimana plb tumbuh pada rentang waktu 14 – 18 hsp pada tanaman anggrek bulan. Jumlah PLB Jumlah Akar Subkultur minggu ke: :2 :6 :2 :6 0.0 0.0 2.8ab 3.3 0.0 6.0 2.3bc 2.1 0.0 0.0 1.8c 3.6 0.0 0.0 2.2bc 2.6 0.0 0.0 3.1 3.7 0.0 0.0 2.3 3.0 Jumlah Daun :2 7.3a 2.2b 2.3b 3.7b 3.6b 2.2b :6 8.6 2.8 4.2 3.8 4.7 3.3 Penelitian Siska (2010) pada anggrek D. phalaenopsis, BAP 2 ppm menghasilkan jumlah tunas 2.50. Penelitian Muawanah (2005) menunjukkan bahwa penambahan ekstrak pisang pada media kultur anggrek Dendrobium canayo mendukung pertumbuhan tunas menjadi lebih baik, di mana konsenrasi yang optimum untuk pertumbuhan tunas adalah 100 g/l. Menurut Arditti dan Ernst ( 1992 ) bahwa dalam buah pisang terdapat hormon auksin dan giberalin. Giberalin berfungsi untuk menginduksi tumbuhnya mata tunas yang dorman (Wattimena et al., 1992).Ahmadi ( 1996 ) melaporkan bahwa ekstrak pisang pada dosis 50 gr/L memberikan pengaruh nilai yang tertinggi terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah akar, panjang akar, panjang daun, dan berat basah planlet anggrek dendrobium dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Keseimbangan nutrisi diperlukan dalam metabolisme pertumbuhan tanaman, dalam hal ini komposisi nutrisi dalam POY mampu mengimbangi komposisi media VW. Vany (2011) menyatakan bahwa penambahan POC sebanyak 20 ml/l memberikan pengaruh Vol. 3 No. 3, 2013 Media Alternatif perbanyakan in-vitro Anggrek Bulan terhadap banyaknya jumlah tunas yang terbentuk yaitu 0,94 pada tanaman pegagan. Kombinasi POC 20 ml/l dan ekstrak meniran 5 ml/l menunjukkan saat muncul tunas pegagan yaitu 9 HST. Morfogenesis Planlet Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis)untuk Mencapai Vigor Siap Aklimatisasi Morfogenesis merupakan proses pembesaran tunas membentuk struktur organ tanaman (tinggi tanaman/batang, daun dan akar). Pada fase tersebut perlu diingat bahwa pilihan terbaik bukan pada perlakuan yang menghasilkan tunas terbanyak, tetapi pada 186 rasio perbanyakan yang cukup tinggi dengan mutu tunas terbaik (kelayakan tunas) (Yusnita 2003; Kasutjianingati 2004). Hasil analisis ragam variabel planlet anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) yang disubkultur kembali ke medium MS0 dari berbagai perlakuan komposisi media multiplikasisebelumnya dapat dilihat di Tabel 2. Hasil menunjukkan bahwa total planlet pada semua perlakuan bertambah walaupun menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata secara statistik. Kesempurnaan pendewasaan planlet diperoleh pada media MS0 Tabel 2. Morfogenesis planlet umur 1 bulan (jumlah tunas, PLB, jumlah akar dan jumlah daun) pada media MS0 VW Y PO Perlakuan +BAP 2mg/L +Air kelapa 150mL/L +Ps Ambon 50g/L +BAP 2mg/L +Air kelapa 150mL/L +Ps Ambon 50g/L Jumlah Tunas 3.6 7.9 4.6 6.1 3.2 4.9 Eksplan yang telah terinduksi bila disubkultur pada media M0 (tidak ada pengaruh ZPT eksogen lagi) maka proliferasi tunas akan mengarah pada pendewasaan jaringan dan terspesialisasi mengarah kebentuk kesempurnaan tunas mendorong perkembangan plb yang terbentuk untuk tumbuh menjadi planlet sempurna. Jaringan tanaman yang telah terinduksi sel-selnya akan berproliferasi dan akan mengalami determinasi, akan berkembang mengarah kepembentukan organ bergantung pada lingkungan baru (media subkultur berikutnya) tanpa sitokinin atau sitokinin rendah (Salisbury dan Ross 1995; Yusnita 2003). Konsistensi atau kestabilan perolehan tunas ditingkat subkultur ditentukan oleh komposisi ZPT media yang digunakan. Umumnya makin meningkat frekuensi subkultur dengan konsentrasi ZPT sama, akan meningkatkan level ZPT pada eksplan. Level atau rasio sitokinin/auksin eksplan akan menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan selanjutnya akan mempengaruhi total tunas. Tingginya total tunas yang dihasilkan akan menentukan mutu tunas (jumlah tunas besar, tunas sedang, tunas kecil) (Kasutjianingati et al., 2010). Jumlah Akar 5.3 4.4 5.4 5.6 4.3 5.3 Jumlah Daun 9.7 6.8 5.6 6.3 6.7 5.4 Memenuhikeberhasilan morfogenesis planletanggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) menjadi viabel(mampu diaklimatisasi) perlu penurunan level rasio sitokinin/auksin tunas untuk mengarahkan pertumbuhan regeneran dari fase pembelahan sel ke arah pembesaran dan pemanjangan sel, pemanjangan tunas. Tunas-tunas atau plb hasildari tahap multiplikasi disubkultur ke media lain yang mengandung sitokinin sangat rendah) atau tanpa sitokinin (MS0) sampai planlet mampu menyempurnakan kembali organ vegetatifnya,Hal ini sejalan dengan pendapat Haq dan Dahot (2007) yang menyatakan bahwa morfogenesis tunas ke arah pertumbuhan tunas yang viabel dan vigor perlu perubahan komposisi media dan waktu pengkulturan media yang sesuai dengan karakter eksplan yang digunakan. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Penggunaan pupuk organic cair sebagai media mampu menjadi media alternative kultur in vitroanggrek bulan (Phalaenopsis amabilis). 187 Kasutjianingati dan Irawan 2. Penambahan BAP 2 mg/L; air kelapa 150 ml/L dan ekstrak pisang ambon 50 gr/L member pengaruh sama pada penambahan jumlah tunas, rata-rata 2 tunas. 3. Morfogenesis pada media MS0, meningkatkan jumlah planlet dan meningkatkan kesempurnaan planlet anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis). DAFTAR PUSTAKA Arinaitwe, G., P.R.Rubaihayo , M.J.S. Magambo. 2000. Proliferation rate effects of Cytokinins on Banana (Musa spp.) cultivars. Scientia Horticulture 86:13-21. Afriani, A. T. 2006. Penggunaan Gandasil, Air Kelapa dan Ekstrak PIsang pada Perbanyakan Tunas dan Perbesaran Planlet Anggrek Dendrobium (Dendrobium Kanayo) secara In Vitro. Skripi. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal. Ahmadi, S. A. 1996. Pengaruh Berbagai Jenis dan Dosis Ekstrak Pisang terhadap Pertumbuhan Protocorm Anggrek Dendrobium pada Kultur In Vitro ( hasil penelitian ). http://biotek.umm.ac.id. 29 Juni 2012. Arditti, J. and R. Ernst. 1992. Micropropagation of Orchids. Departemen of Horticulture. Second Edition. Butterworth-Heinemann Ltd. Jordan Hill. P.38. Badan Pusat Statistika, 2010. Produksi Tanaman Anggrek Tahun 2005 – 2009. Indonesia. Bey, Y., W. Syafii, Dan Sutrisna. 2006. Pengaruh pemberian Giberalin (GA3) dan air kelapa terhadap perkecambahan bahan biji anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis BL.) secara in vitro. Jurnal Biogenesis. 2(2): 41-46. Barker WG, Steward FC. 1962. Growth and development of the banana plant. the growing regions of the vegetative shoot. Ann. Bot. 26: 386-411. Blakseley D. 1991. Uptake and metabolism of 6-benzyladenine in shoot culture of Musa and Rhododendron. Di dalam Inibap. Musarama. The international Bibliographic Abstracts Journal on Banana and Plantain. vol. 9, No 1-June 1996. INIBAP: Parc J. AGROTEKNOS Scientifque Agropolis, Bat.73497 Montpelier Codex 5, France. hal 8. Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro dalam Hortikultura. Penebar Swadaya: Jakarta. Haq,I., M.U. Dahot. 2007. Micro-Propagation Efficiency in Banana (Musa sp) under different immersion systems. Pakistan journal of Biological Sciences 10(5):726733. Kasutjianingati. 2004. Pembiakan Mikro Berbagai Genotipe Pisang (Musa Spp) dan Potensi Bakteri Endofitik terhadap Layu Fusarium (Fusarium Oxysporum F. Sp. Cubense). (Tesis). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kasutjianingati, Poerwanto R, Khumaida N, Efendi D. 2010. Kemampuan pecah tunas dan kemampuan berbiak mother plant pisang Rajabulu (AAB) dan pisang Tanduk (AAB) dalam medium inisiasi in vitro. Agriplus. Vol 20, No.01. Morel, G.M. 1974. Clonal Multiplication of Orchid. The Orchid Scientific Studies. Wiley-Interscience Publication. John Wileyand Sons, New York. Muawanah, G. 2005. Penggunaan Pupuk Hyponex, Ekstrak Tomat dan Ekstrak Pisang dalam Perbanyakan dan Perbesaran Planlet Anggrek Dendrobium (Dendrobium canayo) secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan.Jilid 3. Lukman DR dan Sumarjono, penerjemah. ITB . Bandung. Siska, D.M. 2010. Pengaruh Pemberian Hormon IAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan Tunas Anggrek Dhendrobium phalaenopsis Secara In Vitro. FKIP Biologi. Universitas Riau. Syafii, W, Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberalin ( GA3 ) dan Air Kelapa Terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis BL ) Secara In Vitro. FKIP. Universitas Riau. Ummi, M. 2008. Ekstrak Pisang sebagai Suplemen Media MS dalam Media Kultur Tunas Pisang Rajabulu (Musa Paradisiciana . L. ABB GROUP) In Vitro. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2008. 30 Juni 2012. Vol. 3 No. 3, 2013 Media Alternatif perbanyakan in-vitro Anggrek Bulan Vany Siskayanti. 2011. Uji Berbagai Konsentrasi ( Ekstrak Mahkota Dewa dan Meniran) serta Penambahan Pupuk Organik Cair pada Pertumbuhan Tunas Pegagan ( Centella asiatica L.) Secara In Vitro. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Widiastoety, D. 2001. Perbaikan genetik dan perbanyakan bibit secara in vitro dalam mendukung pengembangan anggrek di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 2 ( 4 ) : 138-143. Wong WC. 1986. In vitro propagation of banana (Musa spp.): initiation, proliferation and development of shoot-tip cultures on defined media. Plant cell. Tissue and Organ Culture. 6: 156-166. Martinus Nijhoff publisher, Dordrecht. Netherlands Yusnita, Edy A, Kurniawai D, Koeshendarto, Rugayah, Hapsoro D. 1997. Pembiakan in vitro dan aklimatisasi planlet pisang Raja Sere. Agrotropika: volume II (1):6-12 Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. Zaffari GR, Kerbauy GB, Kraus JE, Romano EC. 2000. Hormonal and histological studies related in vitro babana bud formation. plant Cell, Tissue and organ culture. 63: 187-192. Zulfan, E.N. 2010. Penggunaan Pupuk Pelengkap Cair dan NAA Pada Media Subkultur Anggrek (Dendrobium sp). Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang. 188 JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2013 Vol. 3 No. 3 ISSN: 2087-7706 PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL PENGIRIMAN Jurnal Agroteknos menerbitkan artikel ilmiah hasil penelitian dasar dan terapan 5 (lima) tahun terakhir, serta artikel telaah (review) tentang ilmu dan teknologi budidaya tanaman, pengendalian organisme pengganggu tanaman serta pengelolaan sumberdaya alam pertanian. Artkel yang dikirim belum pernah dipublikasikan atau tidak dalam proses penerbitan dalam publikasi ilmiah lain. Penulisan artikel dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan Jurnal Agroteknos dan yang ditulis tidak sesuai dengan kaedah Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris akan ditolak dan Editor tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut Penulis diminta mengirimkan tiga eksemplar naskah asli beserta dokumen file di dalam compact disc (CD) atau melalui e-mail dari naskah tersebut yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama dokumen. Penulis berkewajiban untuk mengecek keberadaan dan kemudahan dokumen untuk dibuka di komputer lain dan tidak mengandung virus. Naskah akan ditolak tanpa proses jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah dan CD dapat diantar langsung atau dikirimkan ke: Editor Jurnal Agroteknos d/a. Jurusan Agroteknologi FP-UHO Kampus Bumi Tridharma Jl. H. E.A. Mokodompit, Kendari 93232 E-mail: [email protected] Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis utama/korespondensi (corresponding author) yang harus berisikan dengan jelas mengenai nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk suratmenyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat E-mail dan telepon genggam (handphone, HP). Penulis korespondensi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah juga sudah harus diketahui dan disetujui oleh seluruh anggota penulis. FORMAT Umum Seluruh bagian naskah termasuk abstrak diketik pada kertas HVS A4 dengan margin 2 cm, spasi 1,5 sentimeter kecuali Abstract, Tabel, Keterangan Gambar, Daftar Pustaka dan keterangan lain diketik satu spasi. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 12 point. Grafik dan gambar garis (line drawing) lainnya dibuat dengan menggunakan program grafis yang dicetak dengan plotter atau pencetak laser (laser printer). Gambar fotografis diutamakan hitam putih dicetak jelas dan dengan resolusi tinggi, diharapkan jumlah foto dibatasi. Gambar (garis maupun foto), dan tabel diberi nomor urut sesuai dengan letaknya dan diberi keterangan yang ditulis di luar bidang gambar yang akan dicetak. Nama ilmiah jasad (binomial) dicetak miring. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Artikel yang berupa telaah maksimal 12 halaman sebagai naskah sinambung tanpa subjudul Bahan dan Metode, Hasil, dan Pembahasan. Artikel berupa hasil penelitian ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk tabel dan gambar, dengan susunan naskah sebagai berikut: Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi bagi masing-masing penulis, dan catatan kaki yang berisikan tentang terhadap siapa korespondensi dilakukan, termasuk nomor telepon dan faks serta alamat e-mail. Naskah berbahasa Indonesia disertai dengan judul bahasa Inggris atau sebaliknya Abstract. Abstract ditulis dalam bahasa Inggris jika naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Abstract/abstrak paling banyak terdiri atas 200 kata. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari Vol. 3 No.3, 2013 keseluruhan naskah tanpa harus memberi keterangan terperinci dari setiap bab. Hindari penggunaan singkatan. Kata kunci dengan judul “Keywords” ditulis dalam Bahasa Inggris di bawah abstrak. Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan. Gunakan pustaka yang benar-benar dapat mendukung pengungkapan latar belakang. Pendahuluan harus berisi latar belakang dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode. Bab ini harus berisi informasi teknis yang cukup sehingga orang lain dapat berhasil mengulangi percobaan dengan teknik yang dikemukakan. Uraikan secara lengkap jika metode yang digunakan merupakan metode baru. Demikian juga sebutkan dengan jelas jika peralatan, bahan dan galur mikroba yang tidak umum digunakan. Hasil. Bab ini berisi hanya hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dalam bentuk tubuh tulisan, tabel, maupun gambar. Hindarkan penggunaan grafik secara berlebihan bila dapat disajikan dalam bentuk tubuh tulisan singkat. Batasi penggunaan fotograf, sajikan yang nyata-nyata mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel secara berurutan. Pembahasan. Bab ini berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan. Pengulangan penyajian metode dan hasil penelitian serta hal-hal yang telah diungkapkan di Bab Pendahuluan harus dihindarkan. (atau hasil dan pembahasan digabung sehingga menjadi Hasil dan Pembahasan) Simpulan. Bab ini berisi simpulan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditulis secara singkat dan jelas. J. AGROTEKNOS Ucapan Terima Kasih. Bab ini dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian yang hasilnya dilaporkan pada jurnal ini dan untuk memberi penghargaan kepada institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian dan atau penulisan laporan. Daftar Pustaka. Daftar Pustaka ditulis memakai sistem nama tahun dan disusun secara abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan: Jurnal Singh, P.P., C.S. Shin, dan Y.R. Chung. 1999. Biological control of Fusarium wilt of cucumber by chitinolitic bacteria. Phytophatol. 89:92-99. Buku Alexopoulus, C.J., C.W. Mims, dan M. Blackwell. 1996. Introductory Mycology 4th edition. John Wiley and Sons Inc. New York. Bab dalam Buku Thomashow, L.S. dan D.M. Weller. 1996. Current conseptin the use of introduced bacterial for biological diseases control: mechanism and antifungal metabolities, pp.187-235. dalam Stacey, G. dan N.T. Keen (Eds), Plant microbe Interaction, vol. 1. New York, Chapman and Hall. Skripsi Herdiana, N. 2000. Pengaruh Penambahan Pasir pada Media Tanam Tanah Podsolik Merah Kuning terhadap Serangan Patogen Lodoh Rhizoctonia solani pada Beberapa Tingkat Umur Semai Acacia crassicarpa [Skripsi] Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. J. AGROTEKNOS Vol. 3, 2013 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para Mitra Bestari yang telah diundang oleh Jurnal AGROTEKNOS untuk menelaah artikel yang terbit pada Volume 3 Tahun 2013, yaitu: Prof. Dr. Ir. Muh. Taufik, M.Si (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. Ir. M. Tufaila, M.P (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. Ir. H. Andi Khaeruni, M.Si (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. Ir. Dirvamena Boer, M.Sc.Agr (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. Ir. Gusti Ayu K. Sutariati, M.Si (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. Ir. Teguh Wijayanto, M.Sc (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. La Ode Muhammad Harjoni Kilowasid., S.P., M.Si (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Dr. La Ode Afa, S.P., M.Si (Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari) Daftar Isi JURNAL AGROTEKNOS Vol. 3 No.3. Nopember 2013 Artikel: Keterangan gambar sampul: Produksi Cabai Tanpa dan Dengan perlakuan Gliokompos (lihat artikel halaman 127) Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gliokompos terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) La Ode Safuan, Tresjia C. Rakian, Endi Kardiansa 127-132 Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula dan Nutrisi Organik terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L.) Makmur Jaya Arma, Risnawati, Gusnawaty H.S. 133-138 Uji Potensi Trichoderma Indigenous Sulawesi Tenggara sebagai Biofungisida terhadap Phytophthora capsici secara InVitro Gusnawaty H.S., Asniah, Muhammad Taufik, Faulika 139-143 Efektivitas Limbah Cair Pertanian sebagai Media Perbanyakan dan Formulasi Bacillus subtilis sebagai Agens Hayati Patogen Tanaman Andi Khaeruni, Asrianti, Abdul Rahman 144-151 Perakitan Pupuk Alam Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Meningkatkan Efisiensi Pemupukan P dan K Serta Hasil Kedelai di Tanah Masam M. Tufaila, Syamsu Alam 152-162 Hubungan Kekerabatan Aksesi Pisang Kepok (Musa paradisiaca Formatypica) di Kabupaten Muna Berdasarkan Karakter Morfologi dan Penanda RAPD Teguh Wijayanto, Dirvamena Boer, La Ente 163-169 The Study on Contribution of Temperature and Solar Radiation Intensity to Frogeye Disease Development on Tobacco 170-177 Karakterisasi Biokimiawi Rizobakteri Asal Gulma Berdaun Lebar yang Berpotensi sebagai Deleterious Rhizobacteria Ahmad Rafiqi Tantawi, Bambang Hadisutrisno, Haryono Semangun, I. Hartana, Lisnawita Asniah, Tresjia C. Rakian, Muhidin, Gusnawaty H.S., Sri Wangadi 178-182 Media Alternative Perbanyakan In-Vitro Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis) Kasutjianingati, Rudi Irawan 183-188 DITERBITKAN OLEH: JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAPERTA UNHALU PERAGI CABANG SULAWESI TENGGARA TERBIT 3 KALI SETAHUN