Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak

advertisement
Ringkasan Eksekutif
Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Sektor Kehutanan
2015
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan
sebagian besar hutan tersebut dikelola oleh Pemerintah dalam bentuk kawasan hutan yang
mencakup lebih dari 70 % luas daratan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33,
Pemerintah bertanggung jawab mengelola sumber daya alam Indonesia untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Ketika kawasan hutan yang dikelola negara digunakan untuk memproduksi
kayu komersial, Pemerintah memungut berbagai jenis royalti, retribusi dan iuran berdasarkan
laporan produksi kayu. Jika kayu tidak tercatat dan/atau biaya royalti tidak dibayar, maka nilai
ekonomi hutan hilang dirampas, sehingga tidak dapat digunakan Pemerintah untuk
kemaslahatan rakyat Indonesia.
Presiden Republik Indonesia sepakat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi akan pentingnya
menghentikan kerugian negara di sektor kehutanan, memeriksa sistem yang memungkinkan
kerugian tersebut, dan mengkoordinasikan upaya-upaya untuk memperbaiki sistem tersebut
dan meningkatkan pemungutan penerimaan. Kajian ini memperkirakan aset negara yang hilang
akibat produksi kayu yang tidak tercatat dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) kehutanan yang kurang efektif selama periode 2003-2014. Lebih lanjut, temuan tersebut
digunakan untuk menganalisis kelemahan pada sistem penatausahaan yang dilakukan
pemerintah seputar produksi kayu dan pemungutan PNBP, kemudian menyampaikan
rekomendasi untuk penguatan sistem tersebut dan perbaikan pemungutan PNBP. Secara umum
kajian ini akan menjadi dasar bagi KPK untuk mengkoordinasikan inisiatif reformasi antar
kementerian/lembaga, guna memperbaiki sistem administrasi yang dilakukan oleh pemerintah
atas sumber daya hutan.
Memperkirakan Volume Produksi Kayu Yang Tidak Tercatat
Menurut statistik resmi, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama tahun
2003–2014 secara keseluruhan mencapai 143,7 juta meter kubik (m3). Dari produksi tersebut,
sebanyak 60,6 juta m3 dipungut oleh pemegang izin HPH melalui sistem tebang pilih; sedangkan
83,0 juta m3 merupakan hasil pembukaan lahan untuk pengembangan Hutan Tanaman Industri
(HTI), perkebunan kelapa sawit dan karet, serta pertambangan.
Kajian ini menemukan bahwa produksi yang tercatat ternyata jauh lebih rendah daripada
volume kayu yang dipanen dari hutan alam di Indonesia. Hasil dari model kuantitatif kajian
menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya selama tahun 2003-2014 mencapai
630,1 sampai 772,8 juta m3. Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari KLHK
hanya mencatat 19–23% dari total produksi kayu selama periode kajian, sedangkan 77–81%
tidak tercatat.
Kerugian Negara Akibat PNBP Kehutanan Yang Tidak Dipungut
Selama tahun 2003 sampai 2014,
Pemerintah memungut PNBP dengan
agregat sebesar US$
3,23 milyar
(Rp 31,0 trilyun) dari Dana Reboisasi
(DR) dan komponen hutan alam dari
Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH).
Namun, menurut model perhitungan
dalam kajian, Pemerintah
seharusnya memungut penerimaan
agregat sebesar US$ 9,73 -
12,25 milyar (Rp 93,9 - 118,0
trilyun) dari DR and PSDH selama tahun
2003–2014. Angka-angka tersebut menunjukkan
bahwa total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR and PSDH yang kurang
maksimal mencapai US$ 6,47 - 8,98 milyar (Rp 62,8 - 86,9 trilyun) – atau rata- rata sebesar US$
539 - 749 juta (Rp 5,24 - 7,24 trilyun) per tahun selama 12 tahun periode kajian.
Kerugian Negara Yang Bersumber Dari Nilai Komersial Kayu Yang Tidak Tercatat
Kajian ini juga menghitung nilai komersial produksi kayu yang tidak tercatat, karena hasil hutan
kayu yang terdapat pada kawasan hutan di bawah penatausahaan Pemerintah merupakan aset
negara. Ketika produksi
kayu berizin dilaporkan dan DR dan PSDH dibayar menurut laporan
hasil produksi, maka kayu menjadi aset privat. Menurut hukum Indonesia, kayu yang tidak
tercatat menjadi aset negara yang dicuri, dan uang yang dihasilkan melalui penjualan kayu ini
dapat dianggap baik kerugian negara maupun hasil kejahatan (proceeds of a crime).
Agregat kerugian negara yang bersumber dari nilai komersial domestik untuk produksi kayu
yang tidak tercatat selama periode tersebut mencapai US$ 60,7 - 81,4 milyar (Rp 598,0 - 799,3
trilyun), atau US$ 5,0 - 6,8 milyar (Rp 49,8 - 66,6 trilyun) per tahun. Nilai kerugian tahunan
meningkat tajam selama periode kajian dari nilai terendah sebesar US$ 1,4 - 1,9 milyar (Rp 12,1
- 16,8 trilyun) pada tahun 2003, sampai nilai tertinggi sebesar US$ 7,7 - US$ 9,9 milyar (Rp 80,7 104,3 trilyun) pada tahun 2013. Peningkatan drastis tersebut didorong oleh perluasan
pembukaan lahan secara komersial yang begitu cepat dan kenaikan harga kayu bulat yang cukup
signifikan di pasar domestik dan pasar internasional. Menurut data ITTO, harga domestik kayu
Meranti di Indonesia naik dari US$ 77 per m3 pada tahun 2003 menjadi US$ 244 per m3 pada
tahun 2013.
Kelemahan Sistem Penatausahaan Produksi Kayu dan Pemungutan PNBP
Volume produksi kayu yang tidak tercatat dan kerugian negara yang begitu besar terjadi akibat
kelemahan yang cukup signifikan pada sistem penatausahaan pemerintah atas pemanfaatan
kayu dan pemungutan PNBP. Kelemahan-kelemahan utama yang diidentifikasi oleh studi ini
meliputi:
1. Data perencanaan dan penatausahaan hasil hutan kayu yang diperlukan untuk
pemungutan PNBP seringkali tidak lengkap, tidak konsisten, dan/atau tidak akurat, serta
tidak digunakan secara efektif sebagai instrumen pengendalian. 2. Pengendalian internal yang ada, termasuk sistem Ganis-Wasganis, tidak handal untuk
memastikan integritas penatausahaan hasil hutan kayu dan pemungutan PNBP. 3. Mekanisme akuntabilitas eksternal yang ada tidak memadai untuk mencegah kerugian
negara akibat manipulasi terhadap informasi produksi kayu dan pemungutan PNBP. 4. Terbatasnya efektivitas penegakan hukum di sektor kehutanan memberikan celah bagi
tumbuhnya ‘ekonomi-bayangan’ terhadap kayu yang ditebang secara illegal. 5. Tarif royalti di sektor kehutanan telah ditetapkan pada tingkat yang memfasilitasi
pengambilan rente ekonomi yang sangat terbatas oleh Pemerintah dan memberikan
insentif implisit bagi pengelolaan hutan yang tidak lestari. 6. Penyelenggaraan urusan sektor kehutanan, khususnya kebijakan terkait dengan
pemungutan PNBP dan administrasi hasil hutan kayu tidak diarahkan pada kepentingan
publik yang luas. Roadmap Perbaikan Sistem Dalam konteks Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, KPK akan
bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian
Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan instansi- instansi lainnya untuk menyikapi
kelemahan yang teridentifikasi oleh kajian ini. Saat ini, KPK bersama lembaga- lembaga tersebut
merumuskan rencana aksi bersama yang ditujukan untuk memperkuat penatausahaan produksi
kayu dan meningkatkan PNBP dari sektor kehutanan. Upaya-upaya tersebut sangat diperlukan
untuk menjamin hutan di Indonesia dikelola secara lebih akuntabel, agar manfaat yang
dihasilkannya dapat dibagi secara lebih adil. Setidaknya, rencana aksi tersebut meliputi: 1. Audit komprehensif terhadap PNBP kehutanan yang dilaksanakan oleh BPK.
2. Seluruh produksi kayu dari hutan yang dikelola negara tercatat pada Sistem Informasi
PenataUsahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) di website KLHK online dan terbuka bagi publik.
Sistem tersebut meliputi dokumen resmi dari inventarisasi, perencanaan, hasil produksi,
pembayaran PNBP, dan laporan konsumsi kayu oleh industri pengolahan kayu.
3. Peralatan monitoring berbasis spasial digunakan untuk memverifikasi inventaris hutan
pada semua areal pembukaan lahan sebelum panen.
4. Koordinasi secara rutin antara KLHK dan Kementerian Keuangan guna merencanakan
target PNBP.
5. Penegakan hukum yang ditingkatkan, termasuk penggunaan undang-undang anti
pencucian uang, terhadap semua pelaku yang diketahui melaporkan produksi kayu yang
tidak sesuai dan/atau menghindari pembayaran royalti kehutanan.
6. Pengkajian mendalam terhadap struktur dan tarif biaya royalti untuk menentukan
bagaimana Pemerintah akan memungut rente ekonomi penuh atas hasil produksi kayu.
7. KPK bersama KLHK, Kementerian Keuangan dan BPK menerbitkan laporan kinerja
tahunan pemungutan PNBP yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Download