perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Pondasi untuk jembatan yang menghubungkan dua tempat yang dipisahkan oleh sungai biasanya berada pada sebuah lereng yang berpotensi runtuh. Pergerakan yang terjadi pada lereng umumnya terjadi karena adanya beban di atasnya. Pemancangan yang dilakukan pada sebuah lereng tentunya memiliki angka kesulitan yang lebih besar daripada di tempat yang relatif datar. Stabilitas suatu lereng akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kestabilan suatu pondasi. Analisis kelongsoran yang terjadi di Indonesia banyak diselesaikan umumnya menggunakan menggunakan metode keseimbangan batas. Firdauzi (2013) menganalisis kelongsoran yang terjadi di sepanjang Sungai Serayu oleh gerusan akibat aliran air sungai. Analisis stabilitas lereng dilakukan untuk mengetahui nilai faktor aman suatu lereng dengan tujuan untuk mengetahui tindakan pencegahan dan pengamanan yang dapat dilakukan. Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa lereng Sungai Serayu pada ruas yang ditinjau dalam keadaan tidak aman. Hasil analisis menunjukkan angka aman sebesar 1,036 menggunakan Plaxis; 1,179 berdasarkan Geoslope Metode Spencer, dan 1,204 berdasarkan metode Bishop. Beberapa analisis terhadap kegagalan pondasi khususnya pondasi jembatan sudah banyak dilakukan. Hidayat (2011) melaporkan kegagalan pondasi pada abutmen jembatan sungai Bahalang di Kalimantan Tengah diakibatkan karena pondasi tidak mampu menahan daya lateral akibat penimbunan yang melampaui batas kritis dan beban preloading yang melampaui bending moment ijin tiang yang mengakibatkan terjadinya total displacement sebesar 6,42 meter sehingga tiang mengalami failure/patah dimana potensi terbesar pada bagian sambungan. Nur, dkk (2013) melakukan studi kasus pada kegagalan Jembatan Toddoppuli X Makasar yang mana bagian abutment bergeser ke dalam dan bagian bawahnya ke commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5 arah sungai. Dari running program geoslope terlihat bahwa lereng sungai tersebut memungkinkan untuk terjadinya kelongsoran karena kecilnya nilai faktor keamanannya dan abutment jembatan berada di daerah kritis lereng sungai tersebut. Jadi kondisi ini memungkinkan abutment terguling karena posisinya di daerah kritis. Husin (2012) melakukan studi kasus terhadap kegagalan salah satu abutment jembatan di Surabaya yang mengalami defleksi horisontal sebesar 40 cm pada saat proses pembangunan sedang berlangsung. Dari analisis diperoleh informasi bahwa struktur abutment mengalami rotasi yang diakibatkan adanya tekanan dari tanah urugan di belakang abutment. Berdasarkan analisis tersebut selanjutnya di dalam pembangunan jembatan tersebut berat tanah urugan di belakang abutment harus dikurangi untuk mengurangi gaya desak terhadap abutment. Kadang-kadang suatu pondasi juga mengalami kegagalan karena letaknya pada tanah lunak. Raharjo dan Handoko (2005) melakukan kajian geoteknik pada galian tanah lunak dan menganalisis kembali secara numerik terhadap peristiwa kegagalan pondasi yang terjadi di Jakarta pada tahun 1990. Dalam tinjauannya menyimpulkan bahwa galian pada tanah lunak yang tidak dikontrol atau yang tidak diproteksi dengan baik dapat menyebabkan gerakan massa yang sangat besar dalam arah lateral dan dapat menyebabkan kegagalan pondasi tiang yang telah dibangun. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Stabilitas Lereng Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas lereng sehingga mendorong terjadinya pergerakan lereng yaitu topografi, kondisi geologi (litologi dan struktur geologi), hidrologi, vegetasi, karakteristik tanah/batuan penutup lereng, gempa bumi dan iklim (Hutchinson, 1984 dalam Bismoseno, 2006). Varnes (1958) dalam Bismoseno (2006) menguraikan faktor-faktor ketidakstabilan suatu lereng dalam dua kelompok antara lain : 1) Tegangan geser yang meningkat yang disebabkan oleh bertambahnya beban lereng (bangunan dan timbunan pada bagian atasnya), hilangnya dukungan lateral (pemotongan dan penggalian pada kaki lereng), perubahan muka air yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 berbatasan dengan lereng yang berlangsung cepat (sudden draw down), meningkatkan tegangan lateral (celah-celah retakan terisi oleh air), dan akibat beban gempa yang terjadi. 2) Terjadinya pengurangan tahanan geser yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan air pori yang mengurangi tegangan efektif (infiltrasi air hujan ke dalam lereng, tidak terkontrolnya aliran air dalam drainase, gempa bumi yang menyebabkan tekanan air murni), pengembangan pada tanah lempung, pelapukan dan degradasi sifat kimia serta keruntuhan progresif karena melemahnya tegangan geser. Pemisahan longsoran biasanya dimulai dari titik-titik lemah seperti retakan pada batuan tua, retakan pada lereng sendiri, atau pada batas antar lapisan tanah, dan berawal dari gerakan lambat yang semakin cepat sampai pada akhirnya massa tanah yang longsor terlepas dari asalnya (Krynine, 1957 dalam Bismoseno, 2006). 2.2.1.1 Mekanisme Longsoran Mekanisme suatu longsoran sangat sulit diprediksi waktu dan penyebab terjadinya sehingga keadaan suatu lereng yang dianggap stabil juga tidak dapat dinyatakan aman dari longsor. Mekanisme terjadinya longsor baru dapat diketahui setelah terjadinya longsoran dengan meneliti penyebab-penyebabnya. Menurut Hardiyatmo (2006) stabilitas lereng dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1) Gaya-gaya yang menggerakkan, contohnya berat sistem tanah, 2) Gaya rembesan dalam lereng, 3) Kemiringan dari bidang longsor, 4) Kuat geser pada bidang longsor, 5) Pengurangan kuat geser pada bidang longsor oleh tekanan hidrostatik. 2.2.1.2 Faktor Keamanan Faktor aman (SF) didefinisikan sebagai nilai banding antara gaya yang menahan dan gaya yang menggerakkan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 .................................................................................................(2.1) dengan: : tahanan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah (kN/m2), d : tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor (kN/m2). Umumnya, faktor keamanan stabilitas lereng atau faktor aman terhadap kuat geser tanah diambil lebih besar atau sama dengan 1,2 - 1,5. Menurut Bowles (1989) nilai dari faktor keamanan berdasarkan intensitas kelongsorannya seperti Tabel 2.1. Tabel 2.1 Hubungan faktor keamanan dan kejadian longsor Nilai Faktor Keamanan SF <1,07 1,07 < SF < 1,25 SF > 1,25 Intensitas atau Kejadian Longsor Longsor biasa terjadi/sering (lereng labil) Longsor pernah terjadi (lereng kritis) Longsor jarang terjadi (lereng relatif stabil) 2.2.2 Teori Keruntuhan Material Mohr-Couloumb Mohr (1900) menyuguhkan sebuah teori tentang keruntuhan pada material yang menyatakan bahwa keruntuhan terjadi pada suatu material akibat kombinasi kritis antara tegangan normal dan geser, dan bukan hanya akibat tegangan normal maksimum atau tegangan geser maksimum saja. Jadi, hubungan antara tegangan normal dan geser pada sebuah bidang keruntuhan dapat dinyatakan, dalam bentuk persamaan berikut. f ) ..................................................................................................(2.2) Garis keruntuhan (failure envelope) yang dinyatakan oleh Persamaan 2.2 sebenarnya berbentak garis lengkung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Untuk sebagian besar masalah-masalah mekanika tanah, garis tersebut cukup didekati dengan sebuah garis lurus yang menunjukkan hubungan linear antara tegangan normal dan geser. Persamaan itu dapat ditulis sebagai berikut: f ......................................................................................(2.3) dengan c adalah kohesi, dan adalah sudut geser dalam. Hubungan pada Persamaan 2.3 disebut juga sebagai kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 (Sumber: Hardiyatmo, Buku Mekanika Tanah 1 hal. 318) Gambar 2.1 Kriteria Kegagalan Mohr-Coulomb 2.2.3 Pondasi Dalam Dalam perencanaan pondasi dalam biasanya menggunakan pondasi tiang. Pondasi tiang digunakan untuk mendukung bangunan bila lapisan tanah kuat terletak sangat dalam. Menurut Hardiyatmo (2010) Pondasi dalam digunakan untuk beberapa maksud antara lain : 1. Untuk meneruskan beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah lunak, ke tanah pendukung yang kuat. 2. Untuk meneruskan beban ke tanah yang relatif lunak sampai kedalaman tertentu sehingga pondasi bangunan mampu memberikan dukungan yang cukup untuk mendukung beban tersebut oleh gesekan dinding tiang dengan tanah di sekitarnya. 3. Untuk mengangkur bangunan yang dipengaruhi oleh gaya angkat atas akibat tekanan hidrostatis atau momen guling. 4. Untuk menahan gaya-gaya horisontal gaya yang arahnya miring. 5. Untuk memadatkan tanah pasir, sehingga kapasitas dukung tanah tersebut bertambah. 6. Untuk mendukung pondasi bangunan yang permukaan tanahnya mudah tergerus air. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 Pondasi tiang dapat dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Tiang perpindahan besar (large displacement pile), yaitu tiang pejal atau berlubang dengan ujung tertutup yang dipancang kedalam tanah sehingga terjadi perpindahan volume tanah yang relatif besar, contohnya: tiang kayu, tiang beton pejal, tiang beton prategang, tiang baja bulat. 2. Tiang perpindahan kecil (small displacement pile), adalah sama seperti tiang kategori pertama hanya volume tanah yang dipindahkan saat pemancangan relatif kecil, contohnya : tiang beton berlubang dengan ujung terbuka, tiang ujung terbuka, tiang baja H, tiang baja bulat ujung terbuka, tiang ulir. 3. Tiang tanpa perpindahan (non displacement pile), terdiri dari tiang yang dipasang di dalam tanah dengan cara menggali atau mengebor tanah, contohnya: tiang beton yang pengecorannya langsung di dalam lubang hasil pengeboran tanah (pipa baja di letakkan dalam lubang dan di cor beton). 2.2.4 Korelasi Parameter Tanah Data tanah yang didapatkan dari hasil tes, baik di lapangan maupun pada laboratorium dalam suatu proyek tidak selalu lengkap, oleh sebab itu dibutuhkan korelasi-korelasi data tanah untuk melengkapi parameter-parameter lainnya guna membantu dalam perancangan atau analisa. Pada umumnya korelasi data tanah dapat diperoleh melalui SPT atau dari jenis tanah di lapangan. Berikut ini merupakan korelasi-korelasi yang digunakan untuk mendapatkan parameter data tanah lainnya seperti berat volume ( ), kohesi (c), sudut geser ( ), modulus Young (E), dan poisson ratio (v). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 2.2.4.1 Korelasi Parameter Tanah Kohesif Berikut adalah tabel hubungan parameter tanah kohesif yang ditampilkan pada Tabel 2.2 sampai Tabel 2.6. Tabel 2.2 Korelasi antara nilai N, qu, konsistensi pada tanah lempung Tanah Kohesif N Berat isi <4 4-6 6 - 15 16 - 25 >25 kN/m3 14 - 18 16 - 18 16 - 18 16 - 18 >20 qu, kPa <25 20 - 50 30 - 60 40 - 200 >100 , Konsistensi Sangat Lunak Lunak Sedang Kenyal (Stiff) Keras (Sumber: Bowles,1989). Tabel 2.3 Nilai tipikal berat volume tanah Jenis Tanah sat dry (kN/m3) (kN/m3) Kerikil 20 - 22 15 17 Pasir 18 - 20 13 16 Lanau 18 - 20 14 18 Lempung 16 22 14 - 21 (Sumber : preece, Jenifer J, 2000) Tabel 2.4 Hubungan hasil SPT dengan konsistensi tanah, nilai Qu, nilai dan nilai c pada tanah lempung N-SPT <2 Qu Konsistensi Sangat lunak/ very soft c sat 2 3 (tons/ft ) (kN/m ) (kN/m2) <0,25 16-19 12,5 2-4 Lunak/soft 0,25-0,50 16-19 12,5-25 4-8 Sedang/medium 0,50-1,00 17-20 25-50 8-15 Kaku/stiff 1,00-2,00 19-22 50-100 2,00-4,00 19-22 100-200 >4,00 19-22 >200 15-30 >30 Sangat kaku/ very stiff Keras/hard (Lambe & Whitman, Terzaghi & Peck 1948). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 Tabel 2.5 Hubungan antara jenis tanah dan poisson ratio Jenis Tanah ) Lempung jenuh 0,4 0,5 Lempung tak jenuh 0,1 0,3 Lempung berpasir 0,2 0,3 Lanau 0,3 0,35 Pasir 0,1 1,0 Batuan 0,1 0,4 Umum dipakai untuk tanah 0,3 0,4 (Sumber: Das, 1995) 2.2.4.2 Korelasi Parameter Tanah Non Kohesif Berikut adalah tabel hubungan korelasi parameter untuk tanah non kohesif yang ditampilkan pada Tabel 2.8 sampai Tabel 2.14. Tabel 2.6 Korelasi Nilai N-SPT dengan relative density tanah non kohesif. Konsistensi N-SPT (blows/ft) 0-4 4 - 10 10 - 30 30 - 50 >50 Density Very Loose Loose Medium Dense Very Dense (Lambe, T. William, 1969) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 Tabel 2.7 Hubungan antara kepadatan, bulk density, nilai N SPT, qc dan pada tanah pasir Kepadatan Relative Nilai N-SPT Tekanan Sudut Konus qc Gesek (kg/cm2) ( ) <4 < 20 < 30 Density Very Loose (sangat < 0,2 lepas) Loose (lepas) 0,2 0,4 4 - 10 20 -40 30 - 85 Medium 0,4 0,6 10 - 30 40 - 120 35 - 40 Dense (kompak) 0,6 0,8 30 - 50 120 - 200 40 - 45 Very Dense (sangat 0,8 1,0 > 50 > 200 > 45 (agak kompak) kompak) (Sumber : Mayerhof, 1965) Tabel 2.8 Korelasi berat volume tanah ( ) untuk tanah non kohesif dan kohesif. Tanah Non-kohesif N 0 - 10 11 - 30 31 - 50 >50 Unit Weight (kN/m3) 12 - 16 14 - 18 16 - 20 18-23 ( o) 25 - 32 28 - 36 30 - 40 >35 Loose Medium Dense Very Dense Angle of Friction State Tanah Kohesif N 4-6 6 - 15 16 - 25 >25 Unit Weight (kN/m3) 16 - 18 16 - 18 16 - 20 >20 qu (kPa) 20 - 50 30 - 60 40 - 200 >100 Soft Medium Consistency (Sumber: Whilliam, Whitman, Robert, 1962) commit to user Stiff Hard perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 Tabel 2.9 Korelasi berat volume tanah jenuh ( sat) untuk tanah non kohesif. Very Loose Loose Medium Dense N-SPT Fine Medium Coarse 1-2 2-3 3-6 3-6 4-7 5-9 7 - 15 16 - 30 8-20 21 - 40 10-25 26 - 45 Fine Medium Coarse 26 - 28 27 - 28 28 - 30 28 - 30 30 - 32 30 - 34 30 - 34 32 - 36 33 - 34 33 - 38 36 - 42 40 - 50 <50 17 - 20 17 - 22 20 - 23 Description sat (kN/m3) 11 - 16 14 - 18 Very Dense >40 >45 (Whilliam T., Whitman ,Robert V., 1962) Tabel 2.10 Nilai tipikal berat volume tanah Jenis sat Tanah (kN/m3) (kN/m3) Kerikil 20 22 15 17 Pasir 18 20 13 16 Lanau 18 20 14 18 Lempung 16 22 14 21 dry (John Wiley & Sons, 2000) Tabel 2.11 Hubungan antara sudut gesek dalam dengan jenis tanah Jenis tanah Sudut Gesek Dalam (o) Kerikil kepasiran 35 - 40 Kerikil kerakal 35 - 40 Pasir padat 35 - 40 Pasir lepas 30 Lempung kelanauan 25 - 30 Lempung kelanauan 20 - 25 (Sumber : Das,1995) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 2.2.5 Modulus Elastisitas Tanah dari Hasil Standard Penetration Test (SPT) Beberapa korelasi langsung antara modulus elastisitas (Es) dan N60 sudah banyak dikembangkan, namun seringkali memberikan hasil yang berbeda (Anagnostopoulos, 1990; Kulhawy dan Mayne, 1990). Hal ini mungkin karena kurangnya presisi dari hasil SPT dan sebagian besar karena pengaruh faktor lain. Meskipun demikian, hubungan berikut ini akan menghasilkan perkiraan secara konservatif. Nilai dari Es diberikan dengan persamaan berikut (Donald P. Coduto, 2001): Es 0 1N60 ............................................................................(2.4) Dimana; Es 0, 1 = Modulus Elastisitas = Correlation Factor (dari tabel 2.14) OCR = Rasio Overkonsolidasi N60 = Nilai N-SPT Untuk beberapa analisis dapat digunakan OCR=1, kecuali kalau ada bukti yang jelas mengenai overconsolidation. Nilai Correlation Factor disajikan pada Tabel 2.14. Tabel 2.12 Faktor Korelasi o Soil Type 2 Clean Sands (SW dan SP) Silty Sands and Clayey Sands (SM and SC) (lb/ft ) 100000 50000 1 kPa 5000 2500 2 (lb/ft ) 24000 12000 (lb/ft2) 1200 600 (Sumber: Anagnostopoulos, 1990; Kulhawy dan Mayne, 1990) 2.2.6 Modulus Elastisitas Komposit Pada komposit isotropik atau short fibre, penghitungan modulus elastisitas dapat digunakan Persamaan Tsai Halpin (1976) (M. Zainuri, dkk, 2008). Dimana faktor geometri partikel penguat yang diperoleh dari bentuk geometri partikel penguat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 sebagai fungsi dari arah beban, geometri dan orientasi penguat dapat menjadi pertimbangan faktor geometri. .........................................................................................(2.5) Dimana : ....................................................................................................(2.6) Dimana S adalah faktor geometri fiber atau partikel (l/d). Komposit unidireksional merupakan komposit yang mempunyai orientasi penguat yang sama. Pemberian beban yang arahnya sama dengan orientasi penguat disebut beban longitudinal, maka komposit akan mengalami strain yang sama antara matrik dan penguat (isostrain). Beban transversal pada meterial komposit unidireksional merupakan beban yang tegak lurus terhadap orientasi penguat. Pemberian beban tersebut mengakibatkan terjadinya elongasi yang berbeda antara penguat dan matrik, sementara besar beban eksternal yang dialami matrik dan penguat adalah sama besar (isostress). Oleh karena itu modulus elastisitas dengan beban tegak lurus penampang lintang (lower bond) dinyatakan dengan persamaan: ..............................................................................................(2.7) Modulus elastis komposit longitudinal (upper bond) dapat dinyatakan dengan persamaan yang dikenal dengan hukum campuran (rule of mixture). ...................................................................................(2.8) Dimana E adalah modulus elastisitas, V adalah fraksi volume, c adalah komposit, m adalah matrik dan f penguat. Kedua persamaan diatas dapat digunakan untuk menguji kualitas ikatan antar permukaan matrik penguat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 2.2.7 Metode Elemen Hingga Metode elemen hingga didasarkan pada konsep menyusun objek yang rumit dari bagian-bagian yang lebih sederhana, atau membagi objek yang rumit menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dengan mudah selesaikan (Liu Yijun, 2003). Pada umumnya, elemen hingga digunakan untuk analisisis tegangan dan deformasi. Geometri material yang akan dianalisis terlebih dahulu dibagi menjadi jaring-jaring elemen hingga, sehingga analisis akan menjadi lebih mudah. Motode elemen hingga dapat digunakan untuk analisis material padat, termasuk analisis geoteknik pada material tanah. Gambar 2.2 menunjukan posisi tegangan pada material padat. Metode elemen hingga dapat digunakan untuk mengetahui modulus elastisitas suatu material, parameter ini didefinisikan sebagai matrik hubungan tegangan-regangan yang terjadi pada material akibat beban yang bekerja padanya. Matrik modulus elastisitas terdiri dari komponen tegangan normal ( ) dan tegangan geser ( ), serta regangan normal ( ) dan regangan geser ( ) pada arah sumbu x, y, dan z dalam bidang kartesius seperti ditunjukan oleh Persamaan 2.9 hingga 2.11. Gambar 2.2 Posisi tegangan pada material padat (Liu Yijun, 2003) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 Matrik Tegangan: x y { }= z (2.9) xy yz zx Matrik Regangan: x y ={ }= z (2.10) xy yz zx Martik Hubungan Tegangan-Regangan x 1-v v v 0 0 0 x y v 1-v v 0 0 0 y z v v 1-v 0 0 0 z xy 0 0 0 0 0 xy yz 0 0 0 0 0 yz zx 0 0 0 0 = 0 commit to user zx (2.11) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 Salah satu program komputer yang biasa digunakan untuk analisis bidang geoteknik adalah Plaxis 2D. Ada dua jenis model geometri elemen hingga yang biasa digunakan dalam Plaxis 2D, yaitu model Plane-Strain dan Axysimmetry. Model Plane Strain dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada bidang berpenampang melintang dengan kondisi tegangan dan deformasi relatif seragam pada arah tegak lurus terhadap penampang. Sedangkan model Axisymmetry digunakan untuk analisis bidang dengan penampang melintang radial, dengan kondisi tegangan dan deformasi seragam di setiap arah radial. Pemodelan elemen hingga untuk menganalisis pilar jembatan yang terletak pada sebuah lereng menggunakan Plaxis 2D dapat dilakukan model plane strain. Model ini digunakan untuk geometri dengan potongan melintang tanah yang seragam dan kondisi skema pembebanan yang disamakan untuk arah tegak lurus terhadap potongan melintang (sumbu z). Displacement dan tegangan arah sumbu z diasumsikan bernilai nol. Gambar 2.3 Pemodelan Plane Strain 2.3 Hipotesa Penelitian Pondasi tiang kelompok yang digunakan merupakan jenis spun pile yakni berupa pondasi tiang berlubang dengan ujung tertutup. Dalam kasus ini, untuk mencapai kedalaman pancang 22 meter digunakan sambungan antara pondasi dengan panjang 14 meter dan 8 meter. Letak sambungan berada pada kedalaman 8 meter commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 dari permukaan tanah dan disambung dengan menggunakan las. Oleh karena itu, diambil hipotesis bahwa kemungkinan besar spun pile mengalami patah pada daerah sambungan. commit to user