BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Energi Alternatif Berdasarkan UU Republik Indonesia no. 30 tahun 2007, energi alternatif adalah energi yang dapat digunakan sebagai pengganti energi yang berasal dari bahan bakar konvensional. Energi alternatif ini sangat diperlukan di masa kini dikarenakan jumlah energi konvensional yang semakin sedikit dan efek dari pemakaian energi konvensional seperti pemanasan global yang efeknya semakin dirasakan. Pemanasan global secara khusus dikaitkan dengan perubahan iklim, yang artinya perubahan rata-rata temperatur global akibat pembakaran energi dari bahan bakar fosil, yang biasa dinamakan sebagai efek rumah kaca. Konsentrasi efek rumah kaca ini meningkat diakibatkan peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh industrialisasi dan meningkatnya populasi, dan juga disebabkan perubahan pola penggunaan daratan dan tempat tinggal manusia (Cho, et al., 2011). Teknologi energi terbarukan sendiri dapat membawa keuntungan kepada komunitas, baik secara sosial, lingkungan, maupun ekonomi. Strategi energi seharusnya dicari untuk meningkatkan pembangkitan energi terbarukan di perkotaan dan memiliki sasaran untuk mengurangi dampak terhadap kesehatan dan secara lokal maupun global untuk mencapai kebutuhan bagi semua orang yang tinggal dan bekerja di lingkungan perkotaan (Lu & Ip, 2007). Eenrgi alternatif meliputi energi surya, energi panas bumi, energi air, dan energi angin. Energi angin memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan menjadi energi listrik di Indonesia, khususnya wilayah terpencil yang jauh dari sumber energi listrik. Akan tetapi, penelitian ini akan ditujukan pada wilayah perkotaan, khususnya Surakarta, dengan tujuan untuk membantu mengurangi pemakaian energi konvensional di wilayah perkotaan. 7 8 A. Definisi Angin Angin adalah udara yang bergerak yang diakibatkan oleh rotasi bumi dan juga karena adanya perbedaan tekanan udara di sekitarnya. Angin bergerak dari tempat bertekanan udara tinggi ke bertekanan udara rendah. Apabila dipanaskan, udara memuai. Udara yang telah memuai menjadi lebih ringan sehingga naik. Apabila hal ini terjadi, tekanan udara turun kerena udaranya berkurang. Penyebab timbulnya angin adalah matahari. Bumi menerima radiasi sinar matahari secara tidak merata. Dengan demikian, daerah khatulistiwa akan menerima energi radiasi matahari lebih banyak daripada di daerah kutub, atau dengan kata lain, udara di daerah khatulistiwa akan lebih tinggi dibandingkan dengan udara di daerah kutub. Pertukaran panas pada atmosfer akan terjadi secara konveksi. Berat jenis dan tekanan udara yang disinari cahaya matahari akan lebih kecil dibandingkan jika tidak disinari. Perbedaan berat jenis dan tekanan inilah yang akan menimbulkan adanya pergerakan udara. Pergerakan udara ini merupakan prinsip dari terjadinya angin (Sudarto, 2010). Secara ilmiah, pada abad ke-17, seorang fisikawan Italia, Evangelista Torricelli, mendeskripsikan bahwa angin dihasilkan karena adanya perbedaan suhu udara, dan juga perbedaan kepadatan (akibat perbedaan suhu udara), di antara dua daerah. Apabila kita asumsikan bahwa Bumi tidak berotasi, permukaan yang datar, dan udara yang lebih hangat terjadi pada daerah khatulistiwa dibandingkan pada kutub. Pada bulan Oktober - April, matahari berada pada belahan langit Selatan, sehingga benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia. Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudera Hindia, maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan. Musim penghujan meliputi seluruh wilayah Indonesia, hanya saja persebarannya tidak merata. Semakin ke timur curah hujan makin berkurang karena kandungan uap airnya semakin sedikit. Pada bulan AprilOktober, matahari berada di belahan langit utara, sehingga benua Asia lebih panas 9 daripada benua Australia. Akibatnya, di Asia terdapat pusat tekanan udara rendah, sedangkan di Australia terdapat pusat tekanan udara tinggi yang menyebabkan terjadinya angin dari Australia menuju Asia. Di Indonesia terjadi angin musim timur di belahan bumi selatan dan angin musim barat daya di belahan bumi utara. Oleh kerena tidak melewati lautan yang luas maka angin tidak banyak mengandung uap air. Oleh karena itu, pada umumnya di Indonesia terjadi musim kemarau, kecuali pantai barat Sumatera, Sulawesi Tenggara, dan pantai selatan Irian. Antara kedua musim tersebut ada musim yang disebut musim pancaroba (peralihan), yaitu musim kemarau yang merupakan peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau, dan musim labuh yang merupakan peralihan musim kemarau ke musim penghujan (Sudarto, 2010). B. Korelasi antara Energi Angin dengan Kebutuhan Energi Masa Kini Populasi global meningkat hari demi hari. Pertumbuhan populasi lebih cepat di negara berkembang dibandingkan di negara industrialisasi. Berdasarkan International Energy Agency (IEA) memperkirakan, permintaan dunia terhadap energi primer diduga akan melipat ganda sepanjang periode 1990-2035 seperti dijelaskan pada Gambar 2.1 berikut (IEA, 2010). Gambar 2.1 Estimasi permintaan dunia terhadap energi primer (1990-2035) (IEA, 2010) Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengonfirmasikan pertumbuhan populasi meningkat setiap tahunnya (BPS, 2012). Hal ini menyebabkan peningkatan 10 terhadap pemakaian energi primer di Indonesia, sehingga konservasi energi pun perlu untuk dilakukan. Energi angin sebagai salah satu sumber daya energi terbarukan memiliki hubungan yang erat dengan konservasi energi. Data dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM) ditampilkan pada Gambar 2.2 adalah sebagai berikut (Kementerian ESDM, 2013): (a) (b) Gambar 2.2 (a) Konsumsi tenaga listrik per kapita dan per pelanggan; (b) Grafik konsumsi per kapita nasional (Kementerian ESDM, 2013) Dari Gambar 2.2 terlihat bahwa dalam periode 2007-2012, peningkatan populasi dan konsumsi tenaga listrik berbanding lurus dan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Namun terlihat dari tahun 2011 ke 2012 peningkatan konsumsi listrik mengalami peningkatan drastis, baik secara pelanggan maupun kapita, sekitar 20%. Hal ini dapat membuat asumsi bahwa dalam selang waktu lima tahun, Indonesia akan terus mengalami peningkatan konsumsi energi listrik, setidaknya 20% dari periode lima tahun sebelumnya. 11 Gambar 2.3 Produksi dan pembelian tenaga listrik PLN (Kementerian ESDM, 2013) Pada Gambar 2.3 diperlihatkan produksi energi listrik yang dihasilkan oleh PLN dan konsumsi energi listrik di Indonesia tahun 2007-2012 (Kementerian ESDM, 2013). Dari data terlihat bahwa produksi PLN mampu untuk menyediakan tenaga listrik tiga kali lipat dibandingkan konsumsi masyarakat maupun industri. Akan tetapi, hasil produksi tersebut 35 % masih menggunakan bahan bakar fosil. Untuk energi angin sendiri, pada tahun 2010 baru bisa diimplementasikan 0.02 GWh dari total keseluruhan 131.710,06 GWh listrik yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan masih banyak potensi angin yang perlu dieksploitasi dan dikembangkan untuk menjadi sumber energi terbarukan yang handal di Indonesia. 2.1.2 Sumber Daya Energi Angin A. Definisi Menurut Sudarto (2010), energi angin adalah aliran angin yang timbul akibat adanya perbedaan suhu antara dua tempat dengan kecepatan tertentu. Hampir semua energi terbarukan (kecuali energi pasang surut dan panas bumi) bahkan energi fosil berasal dari energi matahari. Matahari meradiasikan 1,74 x 1017 J energi 12 ke permukaan bumi setiap detiknya. Sekitar 1-2% energi yang datang dari matahari diubah menjadi bentuk energi angin. Atmosfer yang menyelimuti bumi mengandung berbagai macam molekul gas dan tersusun atas beberapa lapisan Lapisan atmosfer yang paling rendah adalah troposfer yang sangat tipis dibandingkan dengan diameter bumi. Bumi memiliki diameter 12.000 km sedangkan troposfer memiliki ketebalan 11 km. Semua peristiwa cuaca terjadi pada lapisan troposfer, termasuk angin. Pembangkitan energi angin terjadi berdasarkan prinsip perubahan energi kinetik angin sebelum dan setelah melewati turbin angin. Ketika melewati turbin angin, angin mengalami pengurangan energi kinetik (yang ditandai dengan berkurangnya kecepatan angin). Energi kinetik yang “hilang” ini dikonversikan menjadi energi mekanik yang memutar turbin angin, turbin angin ini terhubung dengan rotor dari generator. Generator mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Hal ini disebut dengan Sistem Konversi Energi Angin (SKEA) (Sudarto, 2010). B. Sistem Konversi Energi Angin (SKEA) Energi angin merupakan salah satu potensi energi terbarukan yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap kebutuhan energi listrik domestik. Pembangkit energi angin yang biasa disebut Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ini bebas polusi dan sumber energinya yaitu angin tersedia di manapun, maka pembangkit ini dapat menjawab masalah lingkungan hidup dan ketersediaan sumber energi. Dibandingkan dengan sumber energi alternatif lainnya, ekstraksi dari angin memiliki carbon footprint yang relatif rendah (United Kingdom Parliamentary Office of Science and Technology, 2006). Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2015) menjelaskan bahwa Carbon footprint yang dimaksud di sini adalah emisi CO2 yang dihasilkan dari keseluruhan proses produksi turbin sampai dengan operasi pemanfaatan sumber energi tersebut. Untuk SKEA carbon footprint meliputi proses pembuatan turbin, generator, konstruksi, dan operasi dari SKEA. 13 Perbandingan carbon footprint dari SKEA dibandingkan dengan sistem konversi energi lainnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut. Gambar 2.4 Perbandingan carbon footprint dari beberapa sumber energi alternatif (BPPPPSU, 2015) C. Pengukuran Angin Parameter yang diukur dari angin umumnya adalah kecepatan dan arah angin, sedangkan kelembaban dan tekanan tidak berpengaruh besar pada proses konversi energi angin. Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer dan jenis yang digunakan paling umum adalah anemometer mangkok. Griggs-Putnam (Wade & Hewsen, 1979) membuat suatu indeks kecepatan angin berdasarkan deformasi yang terjadi pada pohon seperti tampak pada Gambar 2.5 berikut: 14 Gambar 2.5 Flagging, efek dari angin yang kuat pada vegetasi dapat menentukan kelas kekuatan angin (Wade & Hewsen, 1979) Tabel 2.1 Indeks deformasi Griggs-Putnam (Wade & Hewsen, 1979) 2.1.2.4 Karakteristik Angin di Lingkungan Perkotaan Kondisi permukaan pada lingkungan perkotaan lebih kasar, sehingga kondisi angin yang terjadi sangat berbeda dan dapat memodifikasi daerah kecepatan angin yang terjadi. Efek dari lingkungan perkotaan terhadap lapisan batas ditunjukkan pada Gambar 2.6 (Ayhan & Sağlam, 2012). Dari sini terlihat bagaimana bangunan memperlambat angin yang dekat pada dasar, dan meningkatkan turbulensi pada angin. Di daerah perkotaan, intensitas turbulensi dan karakter multidireksi dari angin lebih penting daripada kecepatan angin yang terjadi. Variasi signifikan dalam arah dan kecepatan angin muncul di dekat permukaan gedung terhadap kecepatan angin yang terjadi (Toja-Silva, et al. 2013). 15 Gambar 2.6 (a) Pendekatan diagramatik profil kecepatan angin pada daerah terbuka; (b) tatanan perkotaan (Ayhan & Sağlam, 2012) Menjelaskan aliran angin di sekitar gedung tinggi dapat menjadi sedikit rumit dan telah dipelajari secara mendalam bertahun-tahun. Sketsa pemudahan fenomena aliran ini ditunjukkan pada Gambar 2.7. Karena bangunan adalah benda tiga dimensi, kecepatan angin yang melaluinya meningkat dengan ketinggian namun turbulensi berkurang. Pada saat yang sama, ketika udara menyentuh bangunan dan hambatan lain dalam lingkungan perkotaan, muncul pusaran atau gelombang udara yang sangat kompleks terbentuk (Ayhan & Sağlam, 2012). Gambar 2.7 Aliran angin di sekitar bangunan tinggi (Ayhan & Sağlam, 2012) Karena pada lingkungan perkotaan kecepatan angin sangat bervariasi dan sifatnya turbulen, turbin angin harus didesain dan diletakkan agar sesuai dengan kondisi tersebut. Area peletakan turbin ini berbeda tergantung dari susunan gedunggedung yang ada. Namun ada pola umum area wake dan disturbance seperti 16 ditunjukkan pada Gambar 2.8, untuk menghindari area ini kincir dari turbin angin harus cukup tinggi melebihi level atap; pada posisi A; meskipun turbin berada di ketinggian rendah, namun terhindar dari area turbulensi tinggi sedangkan untuk posisi B, C, dan D turbin diletakkan cukup tinggi di atas area turbulensi tinggi (Stankovic, et al., 2009). Gambar 2.8 Lokasi yang diajukan untuk meletakkan turbin angin menghindari area turbulensi tinggi (Stankovic, et al., 2009) Aliran di atas plat datar luas tak terhingga adalah seragam namun terdistribusi terhadap ketinggian atau jarak dari permukaan. Distribusi kecepatan fluida di atas permukaan adalah karena asumsi bahwa antara permukaan dan fluida yang terdekat dengan permukaan tidak terjadi slip, yang terjadi hanya gesekan fluida dengan fluida yang berada pada lapisan di atasnya. Daerah dimana kecepatan aliran lebih kecil dari kecepatan aliran bebas dinamakan lapisan batas (boundary layer). Pada daerah ini lapisan yang letaknya lebih rendah memiliki kecepatan aliran yang lebih rendah pula dibandingkan dengan lapisan yang letaknya lebih tinggi. Hal ini terjadi pada angin, dimana angin mengalami distribusi kecepatan dari dasar hingga ketinggian tertentu. Karena udara, atau fluida apapun, akan secara natural mengalir dari area bertekanan tinggi ke tekanan rendah [19]. Distribusi kecepatan angin terhadap ketinggian tentu mempengaruhi berapa besar daya yang dapat diserap turbin angin pada ketinggian tertentu. Semakin tinggi menempatkan turbin angin maka akan semakin besar pula daya yang dapat ditangkap oleh turbin angin seperti terlihat pada Gambar 2.9 berikut (Sudarto, 2010). 17 Gambar 2.9 Pengaruh ketinggian menara terhadap daya yang ditangkap (Sudarto, 2010) 2.1.3 Turbin Angin Turbin angin adalah mesin penggerak yang energi penggeraknya berasal dari angin. Turbin angin berfungsi untuk mengubah energi kinetik angin menjadi energi gerak berupa putaran rotor dan poros, energi gerak yang berasal dari angin tersebut kemudian diteruskan menjadi gaya gerak dan torsi pada poros generator yang kemudian dihasilkan energi listrik (Spera, 1995). Berdasarkan arah sumbu geraknya, turbin angin terbagi menjadi dua, yaitu: turbin angin sumbu horizontal dan vertikal. Sedangkan berdasarkan prinsip gaya aerodinamik yang terjadi, turbin angin dibagi menjadi dua, yaitu jenis: lift dan drag. Pengelompokan berdasarkan prinsip aerodinamik pada rotor yang dimaksud adalah apakah turbin angin menangkap energi angin dengan hanya memanfaatkan gaya drag dari aliran udara yang melalui rotor atau memanfaatkan gaya lift yang dihasilkan dari aliran udaya yang melalui bentuk aerodinamis sudu. Dapat dikatakan terdapat turbin angin yang menggunakan rotor jenis drag dan turbin angin yang memanfaatkan rotor jenis lift. Dua kelompok ini memiliki perbedaan yang jelas pada kecepatan putar rotornya. Rotor turbin angin jenis drag berputar 18 dengan kecepatan putar rendah sehingga disebut juga turbin angin putaran rendah. Rotor turbin angin jenis lift pada umumnya berputar pada kecepatan putar tinggi bila dibandingkan dengan jenis drag sehingga disebut juga sebagai turbin angin putaran tinggi (Spera, 1995). 1. Turbin angin sumbu horizontal Turbin angin sumbu horizontal merupakan turbin angin yang sumbu rotasi rotornya paralel terhadap permukaan tanah. Turbin angin sumbu horizontal memiliki poros rotor utama dan generator listrik di puncak menara dan diarahkan menuju dari arah datangnya angin untuk dapat memanfaatkan energi angin. Rotor turbin angin kecil diarahkan menuju dari arah datangnya angin dengan pengaturan baling-baling angin sederhana sedangkan turbin angin besar umumnya menggunakan sensor angin dan motor yang mengubah rotor turbin mengarah pada angin. Berdasarkan prinsip aerodinamis, rotor turbin angin sumbu horizontal mengalami gaya lift dan gaya drag, namun gaya lift jauh lebih besar dari gaya drag sehingga rotor turbin ini lebih dikenal dengan rotor turbin tipe lift (Spera, 1995). Dilihat dari jumlah sudu, turbin angin sumbu horizontal terbagi menjadi (Gambar 2.10): Turbin angin satu sudu (single blade) Turbin angin dua sudu (double blade) Turbin angin tiga sudu (three blade) Turbin angin banyak sudu (multi blade) Gambar 2.10 Jenis turbin angin berdasarkan jumlah sudu (Spera, 1995) 2. Turbin angin sumbu vertikal Turbin angin sumbu vertikal merupakan turbin angin yang sumbu rotasi rotornya tegak lurus terhadap permukaan tanah. Jika dilihat dari efisiensi turbin, 19 turbin angin sumbu horizontal lebih efektif dalam mengekstrak energi angin dibanding dengan turbin angin sumbu vertikal (Spera, 1995). Turbin angin sumbu vertikal memiliki keunggulan, yaitu: Turbin angin sumbu vertikal tidak harus diubah posisinya jika arah angin berubah, tidak seperti turbin angin horizontal yang memerlukan mekanisme tambahan untuk menyesuaikan rotor turbin dengan arah angin. Tidak membutuhkan struktur menara yang besar. Konstruksi turbin sederhana. Turbin angin sumbu vertikal dapat didirikan dekat dengan permukaan tanah, sehingga memungkinkan menempatkan komponen mekanik dan komponen elektronik yang mendukung beroperasinya turbin. Jika dilihat dari prinsip aerodinamik rotor yang digunakan, turbin angin sumbu vertikal dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Turbin angin Darrieus Turbin angin Darrieus pada umumnya dikenal sebagai turbin eggbeater. Turbin angin Darrieus pertama kali ditemukan oleh Georges Darrieus pada tahun 1931. Turbin angin Darrieus merupakan turbin angin yang menggunakan prinsip aerodinamik dengan memanfaatkan gaya lift pada penampang sudu rotornya dalam mengekstrak energi angin. Contoh jenis-jenis turbin angin Darrieus dapat dilihat pada Gambar 2.11. Turbin Darrieus memiliki torsi rotor yang rendah tetapi putarannya lebih tinggi dibanding dengan turbin angin Savonius sehingga lebih diutamakan untuk menghasilkan energi listrik. Namun turbin ini membutuhkan energi awal untuk mulai berputar. Rotor turbin angin Darrieus pada umumnya memiliki variasi sudu yaitu dua atau tiga sudu. Modifikasi rotor turbin angin Darrieus disebut dengan turbin angin H (Giancoli, 1998). 20 Gambar 2.11 Jenis-jenis turbin angin vertikal axis darrieus (IEA, 2010) b. Turbin angin Savonius Turbin angin Savonius pertama kali diperkenalkan oleh insinyur Finlandia Sigurd J. Savonius pada tahun 1922. Turbin angin sumbu vertikal yang terdiri dari dua sudu berbentuk setengah silinder (atau elips) yang dirangkai sehingga membentuk ‘S’, satu sisi setengah silinder berbentuk cembung dan sisi lain berbentuk cekung yang dilalui angin seperti pada Gambar 2.12. Berdasarkan prinsip aerodinamis, rotor turbin ini memanfaatkan gaya hambat (drag) saat mengekstrak energi angin dari aliran angin yang melalui sudu turbin. Koefisien hambat permukaan cekung lebih besar daripada permukaan cembung. Oleh sebab itu, sisi permukaan cekung setengah silinder yang dilalui angin akan memberikan gaya hambat yang lebih besar daripada sisi lain sehingga rotor berputar. Setiap turbin angin yang memanfaatkan potensi angin dengan gaya hambat memiliki efisiensi yang terbatasi karena kecepatan sudu tidak dapat melebihi kecepatan angin yang melaluinya (Mathew, 2006) . 21 Gambar 2.12 Prinsip rotor Savonius (Mathew, 2006) Dengan memanfaatkan gaya hambat, turbin angin Savonius memiliki putaran dan daya yang rendah dibandingkan dengan turbin angin Darrius. Meskipun demikian turbin Savonius tidak memerlukan energi awal memulai rotor untuk berputar yang merupakan keunggulan turbin ini dibanding turbin Darrieus. Konstruksi turbin Savonius sangat sederhana, tersusun dari dua buah sudu setengah silinder. Pada perkembangannya turbin Savonius ini banyak mengalami perubahan bentuk rotor, seperti desain rotor yang berbentuk huruf L (Gambar 2.13). (a) Tipe U (b) Tipe L Gambar 2.13 Tipe rotor Savonius (Soelaiman, et al., 2006) Pada rotor Savonius, angin yang berhembus salah satu bilah rotor diharapkan lebih banyak mengalir ke bilah rotor lainnya melalui celah di sekitar poros sehingga menyediakan daya dorong tambahan pada bilah rotor ini, akibatnya rotor dapat berputar lebih cepat. Dari paten pengembangan rotor Savonius L oleh Sadaaki seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.14 terlihat bahwa pada bentuk rotor Savonius setengah lingkaran (Savonius U), aliran udara di kedua sisi bilah sama besar, sementara pada rancangan kedua (Savonius L) aliran udara pada sisi bilah yang lurus lebih besar dibandingkan pada sisi bilah lengkung seperempat lingkaran (Soelaiman, 2006). 22 (a) (b) Gambar 2.14 (a) Rotor Savonius U, dan (b) Rotor Savonius L (Soelaiman, et al., 2006) 2.2 Dasar Teori 2.2.1 Peta Angin Peta angin didesain untuk menunjukkan distribusi suatu region terhadap sumber-sumber angin. Peta dimaksudkan untuk menunjukkan daerah dimana proyek yang menggunakan energi angin dapat dilakukan. Dalam penelitian ini, peta angin dibuat untuk mencakup seluruh wilayah Surakarta. Gambar 2.15 menunjukkan contoh peta angin yang dibuat dalam skala global dan mencakup seluruh wilayah di dunia. Gambar 2.15 Peta angin global (Sumber: http://www.3tier.com/> diunduh 10 Septembber 2015) 23 Output utama dari sistem pemetaan adalah peta daya dengan grid kode warna dalam W/m2 dan kecepatan angin rata-rata untuk setiap sel individu. Kebanyakan sumber peta angin memiliki resolusi sel grid 1-km2 (Schwartz, 1999). Pada tahap akhir penelitian, data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, dimasukkan dalam peta rupa wilayah Surakarta. Dari peta tersebut dapat dipilih lokasi-lokasi di wilayah Surakarta yang berpotensi memiliki kecepatan rata-rata angin yang tinggi, dan memiliki energi yang cukup besar untuk dpasangi turbin angin. Peta angin dunia yang dihasilkan oleh NOAA/CIRES-Climate Diagnostic Center (CDC) yang merupakan produk reanalysis dari NCEP, menunjukkan kecepatan angin rata-rata di permukaan kota Surakarta (7°36'00" - 7°56'00" LS dan 110°45'15" - 110°45'35" BT) berada pada kisaran 2-5 m/s (Gambar 2.16). Gambar 2.16 Peta angin CDC wilayah Surakarta (Sumber: http://Earth.Nullschool.Net/#Current/Wind/Surface/Level/Orthographic=-248.54,6.18,3000/Loc=110.878,-7.415 diunduh 10 September 2015) 2.2.2 Diagaram Wind Rose Angin memiliki variabel kecepatan; disamping itu, arahnya juga bervariasi setiap saat. Oleh karena sistem kontrol elektronik dan mekanik, turbin angin selalu tetap sesuai dengan arah angin dan membuat sebagian besar energi angin, sehingga arah dari angin tidak terlalu memainkan peranan penting dalam pemilihan lokasi dan desain turbin angin. Akan tetapi, arah dari angin perlu diperhitungkan di saat turbin diinstal di daerah ladang angin (Mostafaeipour, 2010). 24 Wind rose adalah diagram yang menunjukkan distribusi temporal arah angin dan distribusi azimuthal kecepatan angin pada suatu daerah. Wind rose (Gambar 2. 17) adalah alat yang pas untuk menunjukkan data anemometer (kecepatan dan arah angin) untuk daerah yang dianalisis. Gambar ini mengilustrasikan bentuk yang paling umum, yang mengandung lingkaran konsentrik seragam dengan 16 garis yang membagi ruang seragam (setiap bagian merepresentasikan titik kompas). Panjang garis proporsional terhadap frekuensi angin dari titik kompas, dengan lingkaran membentuk sebuah skala. Frekuensi kondisi calm diindikasikan pada bagian pusat. Garis terpanjang mengidentifikasikan arah angin yang paling umum. Wind rose umumnya digunakan untuk menunjukkan data tahunan, musiman, atau bulanan (Manwell, et al., 2002). Gambar 2. 17 Contoh diagram wind rose (Manwell, et al., 2002)