BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tahun fenomena kriminalitas yang dilakukan oleh remaja semakin meningkat. banyak kasus yang di timbulkan oleh remaja yang dapat membuat orang bertanya dimana peran orangtua sebagai pembimbing dan pengayom anak berada. Kenakalan remaja yang sudah seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus dari waktu ke waktu menjadi semakin rumit. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh remaja disebabkan oleh berbagai faktor. Ratnawati (2008) menyebutkan faktor-faktor tersebut antara lain adalah dampak negatif perkembangan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan cara hidup, dan kurang memperoleh kasih sayang, bimbingan, dan pengawasan dari orang tua. Banyaknya keterlibatan remaja dalam perilaku-perilaku yang negatif ditunjukan dengan tingginya jumlah remaja yang berada di dalam penjara. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjabarkan penjara sebagai bangunan tempat mengurung orang hukuman bersalah menurut pengadilan. Di Indonesia pada umumnya penjara dibagi menjadi 2 kategori yaitu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (ANDIKPAS). Sedangkan Rutan, yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, merupakan tempat tersangka atau terdakwa yang ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksan di sidang pengadilan (Marbun, 2010). Menjalani kehidupan di Lapas merupakan bentuk pertangung jawaban yang harus dipenuhi oleh remaja yang melanggar hukum. Berdasarkan data (smslap.ditjenpas.go.id,2011) tahun 2009, kejahatan yang paling banyak dilakukan oleh anak di dalam Lapas anak laki-laki di Tangerang adalah Narkotika, berjumlah 799 kasus, lalu diikuti oleh pencurian sejumlah 119 kasus. Pada tahun 2013, jumlah penghuni yang berada di Lapas anak laki-laki Tangerang berkisar antara 200 – 220 tiap bulannya. Sama halnya pada tahun 2014 ini, dimana kisaran penghuni memiliki kesamaan, namun terkadang harus bertambah lebih dari kapasitas hunian yang berjumlah 220 (smslap.ditjenpas.go.id,2011). Didalam Lapas pun Andik juga melakukan beberapa kejahatan. Bentuk kejahatan yang dilakukan oleh para andik yang berada didalam Lapas adalah dimana ia mencoba untuk melarikan diri dari Lapas melalui jendela kamar mandi. Di dalam Lapas, andikpas mendapatkan beberapa fasilitas dan pembinaan. Tujuan dari pembinaan adalah agar para Andik tidak mengulangi lagi perbuatannya, menemukan kembali kepercayan dirinya, dan dapat diterima kembali menjadi bagian dari anggota masyarakat. Pembinaan yang dilakukan bertujuan untuk merubah tingkah laku anak didik pemasyarakataan (ANDIKPAS) supaya tidak melakukan perbuatan melanggar hukum lagi dan tidak mengulangi perbuatannya. Pembinaan yang terjadi di dalam Lapas terbagi dalam beberapa hal yaitu, Pembinaan kepribadian, meliputi, Pembinaan kesadaran beragama, Pembinaan dilakukan dengan kegiatan, antara lain, pesantren kilat, baca tulis Al-Qur’an, kebaktian, perayaan hari besar keagamaan, dsb. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) Pembinaan dilakukan dengan kegiatan berupa pendidikan, yaitu pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal : SD, SLTP, dan SLTA, Pendidikian formal dilakukan dengan memberikan pengajaran yang juga diajarkan di bangku sekolah sesuai petunjuk dari Kementrian Pendidikan Nasional agar kemudian anak-anak didik ini dapat mengikuti Ujian Nasional seperti halnya anak-anak di luar Lapas Anak. Pendidikan formal sedikit banyak mempengaruhi moral individu Dalam lingkungan formal ini setiap individu akan mendapatkan pendidikan yang lebih luas mengenai pedoman dan etika moral kemanusiaan untuk bekalnya dalam menghadapi pergaulan di masyarakat. Pendidikan Non-Formal ,Kejar paket A, B dan C. dimana program ini bertujuan agar anak-anak mendapatkan pengajaran untuk mengikuti ujian kesetaraan paket A, B, C. Pendidikan non-formal lain berupa kesenian yaitu dengan dibentuknya kelompokkelompok musik seperti band, marawis, dan juga angklung. Kelompok-kelompok musik ini memiliki prestasi cukup baik dengan beberapa kali menampilkan kebolehannya di depan masyarakat luas. Selain itu juga terdapat pembinaan kesadaran hukum, Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan (integrasi sosial). Pembinaan kemandirian, meliputi Pembinaan keterampilan, keterampilan komputer, menjahit, menyablon, las, perkebunan, automotif. Pembinaan bakat dan minat meliputi kegiatan olahraga dan kesenian, yaitu : badminton, volley ball, catur, tenis meja, sepak bola, senam, sepak takraw, futsal, drama, puisi, band dan nasyid (LAPAS). Pembinaan kemandirian dilakukan dengan tujuan agar anak-anak tersebut setelah keluar dari Lapas Anak dapat memiliki keahlian khusus yang dapat membantu keberlangsungan hidup mereka sehingga menghindari terjadinya tindak pidana untuk kedua kalinya. Program pembinaan kemandirian ini berupa pelatihan kepada anak-anak didik Lapas Anak dalam menternak lele dan bebek, melakukan pengerjaan sablon, dan juga menjahit. Kedua perbedaan pada pembinaan ini adalah pembinaan formal dimana lebih kepada pemberian materi yang sama seperti pada sekolah umumnya. Dimana pemberian materi lebih padat dan waktu yang diberikan lebih banyak di ruangan. Dimana pendidikan non- formal sendiri adalah pembinaan yang berikan sesuai dengan minat para Andik sendiri, waktu yang diberikan pun lebih flexsibel dan tidak dilakukan setiap hari. Dimana pendidikan berperan penting dengan penalaran moral setiap individu. Sesuai dengan faktor-faktor yang dikemukakan oleh Muslimin yang dapat mempengaruhi penalaran moral itu adalah diskusi antara orangtua, hukuman, dan peran kognitif yang tinggi seperti pendidikan. Selain pembinaan, Andikpas juga mendapatkan fasilitas tambahan, antaralain fasilitas kesehatan, dimana akan selalu ada dokter yang siap menyembuhkan tiap anak yang sedang sakit. Lalu bantuan psikologi, sebagai tempat untuk konseling bagi anakanak yang membutuhkan berbagai macam solusi ketika sedang mengalami masalah di dalam Lapas, baik masalah dengan sesama penghuni, maupun masalah dengan keluarga. Berdasarkan asumsi penulis terdapat perbedaan antara pembinaan formal dan nonformal yang diberikan. Sesuai dengan waktu dan sesi yang diberikan. Disini penulis ingin melihat apakah terdapat perbedaan antara penalaran moral antara andik yang tinggal di dalam LAPAS. Lapas anak memiliki 4 kamar besar yang dapat memuat 30 anak, dan 32 kamar kecil yang dapat memuat 3 sampai 5 anak. Terdapat tempat untuk mandi, mencuci, dan buang air di dalam semua kamar tersebut. Fasilitas lain untuk pengembangan talenta pun diberikan, yaitu bengkel, ruang menjahit, dan ruang cukur rambut. Terakhir, ada fasilitas untuk kegiatan keagamaan, dimana terdapat Musholah dan Gereja, agar secara rohani sendiri anak-anak tersebut dapat berkembang menjadi anak yang lebih baik lagi. Selama menjalani masa hukuman di Lapas, berbagai permasalahan dialami narapidana remaja diantaranya adalah perubahan hidup, hilangnya kebebasan, hak-hak yang semakin terbatas, dan perolehan label penjahat. Mereka yang masih tergolong remaja membutuhkan arahan, bimbingan, serta pendampingan dari orangtua agar mereka dapat berkembang ke arah pendewasan yang lebih positf (Handayani, 2010). dan rasa bimbang ketika memikirkan masa depan nanti setelah keluar dari Lapas. Penelitan Sholichatun (2011) menunjukan bahwa masalah yang menjadi stresor bagi para anak didik di Lapas adalah kerinduan pada keluarga, kejenuhan di Lapas baik karena bosan dengan kegiatan-kegiatanya, maupun makanannya, adanya masalah dengan teman dan rasa bingung ketika memikirkan masa depannya nanti setelah keluar dari Lapas. Di usia remaja seorang remaja harus mencapai satu tahap perkembangan moral ketiga, yaitu moralitas pasca konvensional (post conventional morality). Individu yang telah mencapai tingkat moralitas ini mendasarkan penilaian mereka terhadap norma dari harapan masyarakat serta berorientasi pada dasar-dasar moral universal, yaitu hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995) remaja seharusnya dapat bertindak sesuai dengan norma dan harapan masyarakat dan melakukan tingkah-laku moral yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip etis. Namun pada kenyataannya banyak remaja yang berperilaku tidak sesuai dengan prinsipprinsip etis dan menjadi pelaku kriminal. Hal ini menurut Kohelberg, menunjukkan penalaran moral remaja yang rendah dikarenakan terlambatnya perkembangan penalaran moral pada remaja. Kohlberg (1995) mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Penalaran moral seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam lingkungan kehidupannya, karena itu penalaran moral seseorang berhubungan erat dengan pendidikan dan perilaku moral. Penalaran moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Penalaran moral berkembang melalui tahapan tertentu. Tahapan moral ini merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan perilaku moral seseorang. Kohlberg (1995) mengungkapkan ada enam tahap perkembangan moral, dimana tahapan ini dibagi dalam tiga tingkat, yaitu tingkat pre-conventional, conventional, dan post-conventional. Semua tahap bergerak maju menurut urutan dan tidak meloncati tahap-tahap yang ada. Penalaran moral konvensional atau jenis tahap 3-4, tidak pernah muncul sebelum pemikiran prakonvensional gaya tahap 1 dan tahap 2 terjadi, dan tak seorangpun pada tahap 4 pernah melewati tahap 6. Setiap individu dapat bergerak melalui tahap-tahap ini dengan kecepatan yang berbeda, dan seorang individu dapat saja berhenti pada suatu tahap tertentu dan pada usia tertentu. Seperti diketahui bahwa remaja merupakan masa labil yang akan mengalami perubahan psikologis, dari menghadapi masalah-masalah ringan saat masih kanak-kanak beralih ke masalahmasalah yang lebih rumit ketika menginjak masa remaja. Anak-anak yang melakukan kejahatan kekerasan melakukannya untuk berbagai alasan. Penelitian kriminalitas remaja di Inggris oleh Wilson dan kolega (2006) serta Snyder dan Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan bahwa anak yang menjadi pelaku kejahatan kekerasan banyak yang berasal dari rumah yang tidak harmonis, latar belakang sosial-ekonomi rendah, anak-anak dengan akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta anak yang menggunakan atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang. Anak-anak yang mengalami trauma kekerasan juga dapat menjadi pelaku kejahatan kekerasan karena mengembangkan cara pandang yang salah tentang penggunaan kekerasan dalam kehidupannya kelak. Contohnya : anak yang pernah mengalami “plonco” menggunakan kekerasan di masa awal adaptasi sekolahnya, dapat mengembangkan pemahaman yang salah mengenai kegunaan “plonco” sebagai cara memperlakukan adik kelasnya kelak. Atau anak-anak yang mengalami pengabaian dan kurangnya pengawasan dapat terlibat dalam perilaku “geng”, dan mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku dibawah pengaruh kelompok bahkan melakukan tindakan kriminal seperti mencuri dan mengutil bersama kelompoknya. Berdasarkan pembinaan yang diberikan oleh LAPAS kepada anak didik yang berada didalam peneliti ingin melihat apakah terdapat penalaran moral yang berbeda pada anak didik lapas dan cara berfikir mereka ketika mereka keluar dari lapas. Di dalam penelelitian ini, peneliti ingin melihat penalaran moral yang dimiliki andikpas berdasarkan pendidikan yang didapat dari pembinaan Lapas. Penelitian ini merujuk pada karakteristik remaja berdasarkan tahap perkembanagn moral Kohlberg. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, remaja yang memasuki Lapas akibat berbagai tindakan kriminal yang mereka lakukan, berdampak terhadap penalaran moral yang mereka miliki. Peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh pendidikan yang meraka ambil terhadap penalaran moral mereka selama mengikuti pembinaan pendidikan yang mereka ikuti selama di dalam Lapas. Peneliti membagi ke dalam dua grup subjek yang ingin diteliti kedalam pembinaan pendidikan formal dan non formal. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penalaran moral pada penghuni remaja Lapas Tangerang berdasarkan pembinaan pendidikan yang mereka jalani.