242 HUKUM dan PEMBANGUNAN MASALAH NAMIBIA DALAM HUKUM INTERNASIONAL D. Sidik Suraputra Pendahulcall Masalah Namibia atau Afrika Barat Daya di luar negeri sudah banyak dipublikasikan. Sepanjang ·pengetahuan penulis, tinjauan terhadap masa lah tersebut dari segi Ilukum IQtelnasional belum dipublika~kan di Indonesia. Maksud daTi tulisan ini tiriak lain hanya menguraikan secara singkat sejak timbu!nya masalah Namibia dalam Hukum Internasional. . Sewaktu Liga Bangsa·Bangsa masih berdiri, daerah mandaI Afrika Barat Daya (Namibia) diberikan pada Afrika Selatan. Tugas Afrika Selatan sebagai Negara Mandataris (Mandatory State) adalah untuk memajukan penduduk Afrika Barat Daya agar dikemudian hari dapat mtrlpunyai pemerintahan sendiri. Sesudah Perang Dunia Kedua. Uga Bangsa-Bangsa dibubarkan, dan ~stim mandat ini oleh Perserikatan Bangsa-Bang", diteruskan dengan sistim Perwalian. Pacta negara-negara Mandalaris dianjurkan agar menempatkan daeral. Mandatnya dibawah sistim Perwalian. Hampir semua negara Manditaris menyerahkan daerah Mandatnya dibawah ~stim Perwalian, kecuali Afrika Selatan, yang menolak membuat Trust Agreement atau Perjanjian Perwalian dengan Perserihtar, Bangsa-Bangs,i. Malahan Afrika Selatan mempunyai niat untuk memasukkan daerah Afrika Barat Daya pada wilayah Afrika Selatan, karena menurut pendapatnya dengan bubamya Uga Bangsa·Bangsa, maka dengan sendirinya ~stim Mandat juga hapus. Maksud daTi Afrika Selatan ini mendapat tenlangan dari dunia internasional, terutama negara·negara Asia dan Afrika. Malahan ada pendapat-pendapat bhawa Afrika Selatan mcmpunyai kewajiban hukum unt'uk meneTllpatkan Afrika Barat Daya dalam sistim Pcrwakilan. Untuk mcnjernihkan 5uasana. Majelis Umum PBB pada tanggal 6 DC5elllber 1946 kemudian meminta p'.I\.la Mahkamah lnternasional. suatu 1l3schat hukum (Advisory Opinion) mengenai status hukum d;Jri Afrika Bara! D?ya. Pertanyaan·pertanyaan yang diajukan pada Mahkam.h Interna~o~al adalah bagaimana kedudukan Afrika BalOt Daya dalam Hukum Illlernasional. apakah Bab XII dari Piagam PBB berlaku bagi Af, ika S<lalan. dan yang terakhir apakah Afrika Setatan mcmpunyai kewenangall unluk merubah secara :nternasional dari Afrika Baral Oaya. Tan~al sepihak. kedudukan II Juli 1950 Mahkamah Internasional mengemukakall pendapa t hukumnya sebagai berikut: MasaJah Namibia 243 Pertama' Malikamah membahas pendapat .dari Afrika Selatan bahwa dengan bubarnya Liga Bangsa·Bangsa. maka sistim Mandat juga dengan sendirinya hapus. Pendapal sedemikian menurut Mahkamah adalall suatu salah pengertian. Menurut posal 22 dari Liga Bang~I·Bangsa, Mandat adalah Lembaga·bsru ~nt.rnasionaL Ap.abila Mandat hapus. makajuga kewibawaan Afrika Se latan akan hilang. Menghendaki segala hak yang timbul dari Mandat dan mellgingkari kewajiban·kewajibannya adalah tidak dapat dibenar.kan . Kewajiban dari Afrika Sclata" menurut Mahkamah ada dua. Pertama--tama, <:tdalah ~hubungan dengan pemerint<:than d.:&ridaerah Mandat yang merup".k,m inti. dari "the sacred lrll:;t vI ch'ilizufion", yang oleh Moll. Radjab diterjemahkaJl. scbar,ai "umolla, peradaban yang slid'''] ) Afrika Sclatan sebagai ne,;ara Mandataris setelah bubarnya Liga Bangsa·Bangsa tidak berakhir untuk melaksanakan amanat tersebut, yaitu membirnbing rakyat setempat agar mempunyai pemerintallan sendiri. Hal ini juga kemudian dikukuhbn oleh pasal 80 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dimaksudkan untuk melindungi penduduk dan wilayah terscbut sampai ditempatkan dibawah sistim Perwakilan. Kewajiban yang kedua, adalah sehubungan dengan pengawasan dari pelaksanaan sistim Mandat yang tidak hilang dengan bubarnya Liga Bangsa·Bangsa. Tugas pengawasan ini menurut Mahkamah dialihkan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa·Bangsa. Menjawab pertanyao" yang kedua. Mahkamah berpendapat bahwa setelah meneliti pasal·pasal 75 dan 77 dari Pia gam PBB, tidak ada kewajiban hukum bagi Afrika Selatan untuk menempatkan wilayah Afrika Barat Daya dibawah sistim Perwakilan. Atas pertanyaan ketiga dari Majelis Umum, karena Afrika Barat Daya mempunyai stalus Internasional lidak dapat dirobah seeara sepihak oleh Afrika Selatan. Hanya Majelis Umum Liga Bangsa-Bangsa yang berhak meruhah isi dad perjanjian Mandat. Dew:lsa ini dengan dialihkannya tugas pengawasan pada PBB, maka segala perubahan pada perjanjian Mandat harus dengan persetujuan Majelis Umum. Mengikuti pendapat dari Mahkamah Internasional mengenai status Internasioanl dari Afrika Barat Daya ini, Majelis Umum mengeluarkan beberapa resolusi untuk memberi dasar pengawasan terhadap .pemerintahan Afrika Barat Daya .suatu panitya adhoe dibentuk dan kemudian menjadi panitya Afrika Barat Daya yang mengadakan perundingan dengan Afrika Selatan dengan maksud untuk meneapai persetujuan guna pelaksanaan "advisory opinion" dari Mahkamah InternasionaL Afrika Selatan menolak untuk berunding, karena "advisory opinion" terscbut tidak mempunyai kekuatan mengikat, sifatnya hanya suatu nasehat hukum. Karena gagalnya perundingan dengan Afrika Selatan, maka panitya Afrika Barat Daya membuat suatu peraturan proscduril sebagai landasan bagi Majehs l'mum untuk mengawasi pelaksanaan laporan naskah peraturan terse but adalah mengenai prosedur pemungutan suafa, yang menyatakan: "Decision of the General Assembly on questions relating to reports and petitions concerning the territory of South West Africa shall be regarded as important questions within the meaning of Article 18 paragraph 2 of the Charter of the United Nations".2) 244 HUKUM dan PEMBANGUNAN Ketentuan ini kemudian disetujui oleh Majelis Umum, akan tetapi ditentang keras oleh Afrika Selatan, karena akan menambah tanggungjawab dad Afrika Selatan. Juga Afrika Selatan berkeberatan karer.. Ketentuan F diterima dengan 2/3 mayoritas suara Majelis Umum PBB , sedangkan menurut Konvensi Liga Bangsa-Bangsa harus didasarkar. atas SUlea mutlak. Hal ini berarti bahwa tanggung jawabnya dibawah Perjanjian Mandat diperbesar. Mengenai hal ini Majelis Umum kembali memohon pendapat dari Mahkamah Internasional, dcngan menanyakan apakah Ketentuan F terse but adalah suatu penafsiran yang tepat dari nasehat hukum Mahkamah Internasional tertanggalll Juli 1950. Mahl:amah Internasional kemudian pada tahun 1955 dalam putusannya membenarkan pendapat dad Ketentuan F terse but sebaciai penar~ran dari perwujudan pengawasan Majelis Umum, dengan syarat asal tidak melebihi ketentuan dari sistim Mandat, dan sejauh mungkin harus s.suai dengan prosedur yang ditentukan oleh Majelis Umum Liga 8angsa-Bangsa. Karena tidak adanya kerja -sama dan negara Mandataris, Mahkamah Internasional poda tahun 1956 juga mcmberikan hak bagi para penduduk Afrika Barat Daya yang telah mengajukan petisi, memberikan "oral hearings" pada panitya Afrika Barat Daya. Karena dalam kenyataannya usaha-usaha dari panitya Afrika Barat Daya menemui kegagalan, maka Majelis Urnum rneminta pada panitia terse but untuk memperlajari tindakan hukum apa yang dapat diarnbil agar Afrika Selatan memenuhi kewajibannya. Setelah mendapat Iaporan dari Panitya, Majelis Umum kemudian memberitahukan pada para anggeta PBB mengenai kemungkinan menuntut Afrika Selatan di forum Internasional atas dasar padal 7 dari Mandat3) dan pasal 37 Statuta Mahkamah Internasional. 4) Pada tanggal 4 Nopember 1960,Ethiopia dan Liberia yang pernah menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa kemudian menggugat Afrika Sclatan dihadapan Mahkamah Internasional. II Kasus Afrika Barat Oaya Tahap Perbma (1962) Gugatan Ethiopia dan liberia ialah bahwa Afrika Selatan secara terus menerus melanggar kewajiban-kewaj iban sebagaimana ditentukan dalam pasal22 Konvonsi LBB, Pe~anjian Mandat Afrika Barat Daya dan ketentuan yang diterima oleh Majelis LBB tertanggal 31 Januari 1923 sehubungan dengan p,tisi dari penduduk Afrika Barat Daya. Misainya saja, Afrika Selatan telah gagaI sama-sekaU untuk memajukan pJ:Od_uduk-Afrika Barat Daya, dia melakukan poUtik "apartheid", mengeluar.an -per~t~ran- yang sewenang-wenang, tidak adit dan membahayakan derajat manusia, menekan hak dan ke,merdekaan dari pendudu~, suatu persyaratar. yang per.ting guna dapat mempunyai pemerintahan sendiri. . Lagi pula Afrika Selatan telah gaga I memberikan laporan tahunan mengenai wilayah tersebut, menolak untuk meneruskan petisi rakyat Masalah Nam.lbla setempat. menghalangi penduduk dari wilayah untuk datang pada badan-badan PBB: Sehingga sebenamya Afrika Selatan telah merobah secara $Opihak isi dari perjanjian MandaL Afrika Selatan mengajukan 4 keberatan dan menyatakan bahwa Mahkamah lnternasional tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa masa lah in i : I. 2. 3. 4. Setelah bubamya LBB dengan sondirinya Perjanjian Mandat tidak berlaku lagi; Ethiopia maupun Liberia tidak lagi l1'erupakan angg0ta lain (another member) dari LBB. sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 7 dari Perjanjian Mandat; Pertikaian atau tidak adanya kesuaian paham bukanlah suatu perselisihan sebagaimana ditentukan pasal 7 dari Mandat. lebih lagi karena idak menyangkut kepentingan materiel dari penggugat; Perselisihan ini bukanlah suatu pertikaian yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan perunJingan, dalam arU pasal 7 dari Mandat. Pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Internasional atas ek$Opsi tersebut diatas adalah sebagai berik'Jt: 1. Afrika Selatan selalu menganggap bahwa Mandat adalah suatu perjanjian antara negara Mandataris dengan Majelis Umum. akan tetapi pandangan lain bisa dikemukakan. yaitu ballwa dalam menentukan persyaratan dari Mandat. Majelis Umum telah melakukan tindakan eksekutip sesuai dengan Konvensi LBB. dan tidak menutup suatu perjanjian. Juga ditalak pendapat Afrika Selatan, bahwa karen a perjanjian Mandat tidak per:",h diregistrasikan maka batal demi hukum. karena kalau memang demikian. maka Afrika Selatan sama sekali tidak punya titel untuk memerintah Afrika Barat Daya 2. Dengan bubaenya LBB maka menurut Afrika Selatan. andaikan Pasal 7 dari Mandat masih berlaku,dengan sendirinya istilah "anggota lain dari LBB" sudah tidak dapat dipakai lagi. Oleh karena itu negara-negara penggugat tidak lagi punya "Iocus standi"_ Makamah Internasional berpendapat bahwa jangan ditafsirkan seeara mutlak mengenai istilah tersebut. AIasan Mahkamah Internasional untuk menganggap para penggugat masih mempunyai kepentingan hukum adalah sebagai berikut: 2.1 Proteksi hukum "the sacred trust" dari setiap Mandat idalah hal yang pen ting bagi sistim MandaL Mahkamah Internasianal adalah benteng huku," terakhir dari setiap pelanggaran atau penyalah-gunaan . dari Mandat. Rasia dari ketentuan ini adalalt jelas. Tanpa pengamanan tambahan ini, pengawasnn dari LIlB b<>erta anggotanya tidak akan efektip. Meskipun dengan suara bulat dari Majelis Umum. Uga Bangsa-Bangsa tidak dapat memaksakan kehendaknya pada negara Mandatarais. Satu-satunya jalan yang efektip adalah membawa 246 HUKUM dan PEMBANGUNAN persoalan ini pada Mahkamah Internasional. 21 Mahkamah berpendapat bahwa hak untuk menuntut dil13dapan Mahkamah Permanen lnternasional secara khusus dan jelas dibenkan pada anggota·anggota LBB; keli hatannya karena merupaJ.all prosedur yang dapat dipercaya ltuk mendapat perlinduligan uari Mal:kamah. • 2.3 Scm,," anggut" LBB pada waktu sidang terakhir p"da bulan April 1946 menyetujui untuk mene.1skan Mandat·Mandat yang berbeda.bcdJ scjauh mUOlgkin. Kemu~ian Mahkamah Internasional memperingatkan janj{ qari negara -negara Mandataris untuk terus memerintah daerah Mal,uat sesuai deng:!n prinsip-prinslp umUill dari MandaI. Khususnya Afrika Selatan tehh menyatakan bahwa ia .kan terus memerintah Afrika Barat Daya sesuai dengan kewajibankewajiban dari Mandat, dan dengan bubarnya Liga Bangsa·Bangsa tidak akan mngurangi segala kewajibannya dibawah MandaI. Menurut pendapat dari Mahkamah hal ini merupakan pengakuan yangjelas dari Afrika Selatan untuk meneruskan kewajibannya setelah bubarnya LBB. Dengan demikian Mahkamah telah menolak kedua pendapat dari Afrika Selatan terseubul. 3. Mahkal)lah Internasional menolak pendapat Afrika Selatan bah,va perselisihan ini bukanlah suatu pertikaian mellurut pasa1 7 dari MandaI.. Perselisihan ini meliputi setiap pertikaian yang berupa kewajiban substaqtip terhadal' penduduk daerah Mandat atau terhadap sesama anggota LBB, atau kewajiban untuk menyerahkan pengawasan pada LBB atau menuntut perlindungan menurut pasal 7 MandaI. Perlindungan dari kepentingan materiel dari penduduk dengan sendirinya termasuk dalam pengertian terscbut diatas. Kembali Mahkamah menolai< keberatan ketiga dari Afrika Selatan. 4. Pada pokoknya Afrika Selatan berpendapat bahwa pertikaian in! bukalah suatu scngketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan perundingan. Mahkamah berpendapat bahwa suatu "deadlock" telah dicapai dalam perundingan kolektip di Majelis Umum PBB, surat gugatan dan tangkisan kedua belah pihak bescrta alasan·alasan yang dikemukakan secara lisan telah memperkuat pendapat ini. Sehingga perundingan selanjutnya pasti akan menemui kegagalan. Lagi pula konperensi diplomatik atau diplomasi parlementer telah diakui sej,k 50 tahun yang Ialu sebagai salah satu bentuk dari perundingan Internasional. ApabiJa masalah sengketa terscbut dirasakan segai kepentingan bersama dari ",ke lompok negara dalam suatu urgamsasi Internasional, mal<:! diplomasi parlementer .eringbli dianggap sebagai bentuk paling praktis dari perundmgan Internasional. Atas semua pendapat ini, maka Mahkamah dengan pemungu:an suara 8 lawan 7, pada tanggal 21 Desember 1962, menyatakan mempunyai kewenangan untuk memeriksa rna salah ini. 247 malalah Namibia III Kasus Afrika Barat Daya Tahap Kedua (1966).-===============================;; Selelah masalah kewenangan diselesaikan Mahkamah kemudian mempersoalkan apakah para penggugal mempunyai jus slandi (legal righl) alau kepenlingan hukum unluk menggugal Afrika Selatan. Mahkamah pertama·lama menelili sifal dan sl[llklur sistim MandaI dan inslrumen atau perjanjian daripada Manda!. Kelenl~an sllbstantip d.,i perjanjian tersebut dapal dibag; dala,n dUl golongan. Uns~r pokok dari setiap inst,u!T1en adalah peraturan yang menentukan batas ketruasa~n negara Mandataris dan kewajiban ·kewajibannya terhadap penduduk daerah Mandat dan LBB beserta semua badan-badannya. Ketenluan lain memberikan hak langsung pad a anggola·.nggola LBB sebagai negara·negara secara individuil atau pada warga negaranya sehubungan dengan wilayah MandaI. Sebagai tambahan dari setiap perjanji.n ada pasal mengenai penyelesaian perselisihan oleh Mahkamah Permanen Inlernasional dan sekarang menurui pasal 37 dari Staluta Mahkamah lnternasional pada Mahkamah InternasionaL Setelah mempertimbangkan hal lersebul diatas, maka Mahkamah berpendapal bahwa perselisihan tersebut adalah mengenai kelentuan yang pertama atau juga disebut sebagai "conduct provisions". Masalah yang harus dipecahkan, yaitu apakah jus standi dari se!iap anggota LBB secara individuil memang ditentukan dalarn perjanjian, atau dengan perkataan lain apakah negara Mandataris mempunyai kewajiban langsung terhadap setiap anggota LBB mengenai pelaksanaan "conduct provisions" dari perjanjian Mandat. Apabila para penggugat ini tidak mempunyai kepenlingan hu"um maka mereka tidak mempunyai hak me!T1inla Mahkamah "ntuk memberikan putusan atas perkara mi. Dalam membahas dan memberi pertimbangan-pertimbangan · atas perlanyaan tersebul, Mahkamah memeriksa hak dan kewajiban dari penggugat sebagai bekas anggota LBB sehubungan dengan Manda!. Menurut pasa! 22 dari Konvensi LBB, cara yang terbaik untuk melaksanakan prinsip "a sacred trust of civilization", bimbingan dari penduduk diserahkan pada negara Mandataris sebagai agen dari Majelis IJmum, dan tidak pada setiap anggota LBB secara individuil. Perlindungan terhadap pelaksanaan dari "the -sacred trust", antara lain berwujud laporan tahunan melalui panitya permanen MandaI pada MajeJis UmuIr.. Akan letapi konvensi LBB tidak memberikan perlindungan dengan memberikan hak pada setiap anggota LBB secara terpisah rnaupun individuil untuk meminta pertangglmgan jawab negara Mandataris dala", melaksanakan tugamy .. Dengan perkataan lain dalam sistim Manda, dan ketangka umum dati LBB, negara Mandataris hanya bettangguni; jawab pada LBB, khususnya pada Majelis Umum dan tidak bertanggung jawab pada seliap anggo ta LBB secara terpiscl1 maupun individuiL 248 HlJKUM dan PBIB",-IGUNAN Telah juga dikemukakan bahwa atas alasan perikemanusiaan saja sudah cukup untuk menimbulkan hak dan kewajiban, dan Mahkamah dapat meneruskan perkaranya. Mahkamah tidak setuju atas pendapat ini, karena sebagai Mahkamah yang menyelesaikan masalah Hukum tidak dapat menyandarkan diri pada prinsip·prinsip moral, sebelum mendapal bentuk hukum yang pasti. Argumen lain dari penggugal adalah bahwa dengan bubamya Liga Bangsa·Bangsa, maka hak yang tadinya dipegang oleh LBB berpindah pad a anggota·anggotanya. Alasan ini juga ditolak karen a menurut Mahkamah, hak yang sedemikian hanya dapat berpindah kalau dahulu memang dimilikinya sebelum LBB. Hak tersebut tidak pemah dipunyai ol<h anggota-anggota LBB secara individuil. Penggugal memohon perhalian Mahkamah akan putusannya pada tahun 1962 bahwa, sebe~arnya persoalan kipentingan hukum lelah diputuskan, dan tidak usah dipersoalkan Iagi. Mahkamah berpendapat sewaktu rna salah kewenangan peradilan internasional dimajukan, maka pemeriksaan mengenai perkaranya (merit) sendiei ditangguhkan . Suatu petusan mengenai kewenangan atau yurisdiksi dari pengadilan dapat menyinggung mengenai segi dari materi perkara (merits), akan tetapi ini hanya dilakukan sejauh mana diperlukan guna memberi keputusan mengenai kewenangan dari Mahkamah. Seterusnya dikatakan bahwa para penggugat hanya berhak inenggugat pelanggaran Mandat, apabila memang mempunyai kepentingan hukum. Mahkamah selanjutnya mengatakan bahwa apabila mempunyai kepentingan hukum atau hak untuk menuntut pelanggaran tersebut, barus dapat dibuktikan pada w.aktu Mahkamah memeriksa materi dari perk.r •. Kemudi.n usul baru diaj"kan bahwa dalam perjanjian Mandat itu sendiei telah ditentukan adanya hak untuk menuntut dari negara Mandataris mengenai pelaksanaan dari perjanjian MandaI. Usul ini ditolak oleb Mahkamah dengan argumen bahwa yang sedemikian penting sebarusnya dikatakan rlengan jelas daJam perjanjian Mandat, dan tidak dieumuskan secara kabur. Sebagai azas dari peraturan proseduril dua hal harus dibedakan dengan tegas yaitu hak dari pengadilan untuk mcmeriksa perka,a d •.n hak d'ari penggugat sehubungan dengan gugatannya yang harus dibuktikan di hadapan pengadilan. Apabila penggugat memang mempunyai hak, maka baru dapat dipergunakan untuk menuntut dirnuka pengadilan. Pendapat terakhir dari para penggugat adalah mengenai"necessity arguments", yang · intinya adalah, bahwa karena LBB tidak dapat memaksakan kehendaknya pada negara Mandalaris, dan nasehat hukum (advisory opinion) juga tidak dapat mengikat negara Mandataris, maka perjanjian Mandat dapat dilanggar s~t.io4L waktu. 9!eh karena itu adalah perlu, sebagai perlindungan terakhir, bahwa setiap ariggata-uili mempunyai hak (legal right) untuk mengarnbil tindakan sehubungan dengan pelanggaran tersebut. Ak,," tetapi Mahkamah menunjukkan bahwa tidak pernili dimaksudkan ba:lwa Majelis Umum LBB mempunyl'i hak untuk memaksakan kehendaknya pada negara Manda taris. Keadaan irti bukanlah ",su.tu yang Iuar biasa. Dalam masa/ah intemasiona/, adanya suatu kewajiban yang menurut proses hukum tidak dapat dipaksakan ( c • 249 Perkembangan hukum di Indonesia pelaksallaannya, adalah suatu hal yang umum daripada perkecualiall. t"lebih·lebih pada tahun 1920 diballdillgkon dengan waktu kini. Alasan tersebul sebenaroya merupalean aClio popularis, alau hale dari seliap anggota masarakat untuk mengambil tindakan hukum dalam menjaga kepenlingan umum. Meskipun hale sedemikian adadalam sistim hukum lokal, akan tetapi lidak dikenal dalam hukum inlerna~onal, maupun lelah diterima dalam azas·azas hukum umum menurut pasal 38 (1) dari Staluta Mahkamah lnlernasional. Mahkamah berpendapat bahwa pada akhir analisa "necessity argument" adalah suatu alasar. diluac hukum sehubungan der.gan kejadian dibubarkannya LBB. Oleh korena itu alasan tersebul apabila memang ad" lOrielak dalam lapangall politik Jan tidak merupalean kaidah hukum. Mahkamah bllkanlah suatu badan legislalip, kewajibannya hanya melalesanakan hukum yang ada, bukan membualnya. Ada suatu perlanyaan yang diajukan pada Mahkamah, apakah tidak mempunyai hale unluk menggunakan tafsira'1 teleologis untuk mengisi lubang ("filling in Ihe gaps") settingga pada perjanjlan dapal ' diberikan efek maksimum dan dapal mencapai tujuannya, Menurut Mahkamah, prinsip ini lerlalu kontroversiel dan tidak dapal diterapkan dalam kasus ini, yang akibalnya dapat merubah isi perjanjian dari pad" memberi suatu tafsiran. Sehubungan dengan perlimbangan·pertimbangan tersebul dialas, Mahkomah berpendapat bahwa, para penggugat tidak mempunyai hak mmurut hukum (jus standi) untuk menggugat mellgenai perkara ini, Sewaklu didakan pemungulan suara ternyata seimbang, yailu 7 vs 7, dan kelua Mahkamah lnternasional yailu Sir Percy Spender berdasarkan peraluran proseduril Mahkamah dapat mempunyai dua suara (a double vote) dan lelah memberikan sisanya untuk keunlungan Afrika Selalan, yailu bahwa, para penggugal lidak mempunyai hak alau kepenlingan hukum untuk menggugal. IV Tindak Lanjut dari PBB Masyaraleat internasional pada umumnya merasa kecewa dengan pulusan Mahkamah Internasional lersebul. Sangal diharapkan sebenaroya, bahwa Mahkamall memberikan suatu keputusan yang berarti dalam Hukum Internasional, dengan membed sualu sanksi pada Afrika Selalan atas pelanggarannya lerhadap perjanjian MandaI. Kesan yang diperoleh adalai>, bahwa Mahkomah flltemasional memang sengaja mengelakkan diri untuk tidak membahns dan memberi putusan mellgenai materi dari perkora (merit of the case), Inti putusan Mahkamah lnternasional tahap kedua, adalah menyatakan bahwa, hanya LBB, dan ,.karang PBB yang dapal memL~ta pertanggungan jawab dari Afrika Selalan mengenai pelaksanaan daerall MandaI. Sikap dari Afrika Selalan lerhadap Mandalnya ini mendapat kritik yang cukup tajam diucapkan oleh Lord Caradon dari Inggris pada sidang pleno Majel;, Umum PBB ke 1448 terlanggal 19 Oktober 1966: 250 HUKUM dan PEMBANGUNAN For ever fifteen years we have waited for the South African Goverment to comply with its clear obligations. It has failed to do so. It has denied this obligation as it has denied the existence of all other obligat ions incumbent upon it by virture of the Mr.ndate. It has opposed the essential requirement of international responsibility. What are we to do in the face of this refusal? Repeated attemps b)' the Gene,,1 Assembly to persuade South Africa to adopt a policy of co·operation has been unsucccsfui. And not only has South Africa" Gcvernment refused to submit to the United Nation's supervision but it continues to deny. despite the repe(:.ted pronnouncements of the International Court, that the Mandate is still in force. What cunelusions should we draw from this history of South African intrasigencp.? By word and by action the South African government has elearly demonstrated its undeviating determination to deny and repudiate essential obligations, so clearly affirmed by the International Court, it has in effect, forfeited its title to administer the Mandate.5}. Tanggapan dari Lord Caradon in rupanya mendapat sambutan dari PBB. Pada tanggal 27 Oktober 1966 Majelis Umum dengan Resolusi No .2145 (XXI) memutuskan bahwa Mandat dari Afrika Barat Daya telah dibubarkan, dan PBB harus mengambil alih tanggung jawab dari Afrika Barat Daya.Resolusi -resolusi selanjutnya antara lain menyatakan bahwa sesuai dengan kenendak rakyat setempat, maka Afrika Barat Daya akan dikenal dengan nama Namibia . Pada tanggal 20 Maret 1969, Dewan Keamanan PBB dengan Resolusi No.264, 1969 memberitahukan Afrika Selatan untuk mengundurkan diri dari daerah Afrika Barat Daya. Paoa tanggal 12 Agustus 1969, Dewan Keamanan kembali meminta Afrika Selatan untuk mengundurkan diri selambat-Iambatnya sebelum 4 Oktober 1969 (resolusi No. 269, 1969). Rupanya segala perintah Dewan Keamanan ini tidak diindahkan oleh Afrika Selatan. Pad a tanggal 30 Januari 1970 membentuk suatu sub panitia adhoc untuk mempelajari hal ini, dengan konsultasi bersarna Selaetaris Jendral, mengenai jalan dan cara agar supaya resolusi·resolusi dari Dewan Keamanan dapat dilaksanakan dengan secara efektip. Dengan resolusi No 284, 1970 tertanggal 29 Juli 1970 dan dengan rekomendasi dari sub panitia adhoc, Dewan Keamanan meminta pendapat hukum (advisory opinion) dari Mahkamah Internasional, mengenai pertanyaan sebagai berikut: . "What are the legal consequences for sta tus of the continued presence of South Africa in Namibia, notwithstanding Security Council resolution no.276 (l970)"? . Resolusi tersebut sehubungan dengan pembentukan sub-panitya adhoc untuk mempelajari cara dan upaya dimana resolusi·resolusi dari Dewan Keamanan dapat dilaksanakan dengan efektip . rnasalah Namibia 251 v Pendapat Hukum (Advisory Opinions) Mahkamah InternasionaI1971 .-- Dalarn sidang Mahkamah Internasianal, Afrika Selatan berpendapat bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk memberikan pendapat hukum, karen a resalusi Dewan Kearnanan Na. 294 (1970) adalah tidak sah karena (a). dua anegata permanen dari Dewan Keamanar. adalah absen sewaktu ""mungu:.n suara diadakan, (b). mengena; masalah sengketa an tara Afrika Selat.n dan anggata PBB rang lain, seharusnya Afrika Selatan juga turut serta dalarn diskusi cii Dewan Keamanan. Mahkamah Internasianal berpendapat bahwa (a). untuk waktu yang lama, absen secara suka rela dari anggata permanen, secara tetap ditafsirkan sebagai bukan halangan untuk menerima resalusi Dewan Keamanan, (b). masalah Namibia dicantumkan dalam agenda Dewan Keamana n sebagai suatu keadaan atau situasi bukan sualu sengkela hukum. Juga sebagai alternatip lain Afrika Selatan berpendapat andaikan Mahkamah mempunyai kewenangan, maka atas dasar kepalulan hukum, seharusnya menalak pendapat hukum sebagaimana dimahan, disebabkan adanya tekanan-Iekanan polilik. Ketua Mahkamah menyatakan bahwa tidak ,epatutny. Mahkamah menanggapi abservasi sedemildan , karena Mahkamah sebagai badan yuridis utama dari PBB, hanya bertindak alas dasar hukum, bebas dari segala pengaruh maupun campur tangan dari Iuar . Pemerinlah Afrika Selatan juga mengajukan alasan lain, agar supaya advisory opinion tidak diberikan Mahkamah: karena masalah lersebul dalam kenyala::nnya merupakan sual" sengketa antara Afrika Selatan dengan negara lain. Mahkamah bcrpendapal bahwa yang dita.,yakan aleh badan PBB adalah sualu nasehal hukum mengenai akibat daripulusan yang diambilnya. Meskipun dalam kenyataannya Mahkarnah harus menyelesaikan masalah hukum dirnana lerdapal perbedaan faham anlara PBB dan Afrika Selalan, tidakJah merobah masalah ini menjadi sengkela anlara negara. Pada pokoknya Mahkarnah tidak melihal adanya sualu alasan unluk menalak permahanan sualu "advisory opinian". Dalarn pertimbangannya Mahkamah meninjau kembali syaral dari Manda!. Sislirn Mand"l yang didirikan alas dasar pasal 22 Konven,; LBB berdasarkan dua prinsi!,: prinsip nan aneksasi dan prinsip kesejahteraan dan kemajuan· penduduk selempal merupakan amanal peradaban yang sucL Tujuan dari amanal lersebul lidak diragukan lagi merapakan hak untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan. Negara Mandalaris harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan Majelis Umwn harus mengawasi bahwa 1(ew,jiban-kewajiban lersobul dilaksanakan. Sewaklu LBB dibubarkan raison d'etre dan kewajiban-kewajiban tersebut Ietap ada. \{esolUsi teralchir dari Majelis Umum PBB dan pasal 80 (I) Piagarn PBB le tap mempertahankan kewajiban -kewajiban dari negara Mandataris. Mahkamah Inlernasional secara konsisten mengakui bahwa MandaI letap 252 HUKUM dan PEMBANGUNAN ada dengan bubarnya LBB ; juga Afrika Selatan selama bertahun·tahun mengakuinya. Jadi unsur pengawasan yang merupakan bagian terpenting dari '.1andat tetap ada. Kemudian pada tahun 1966, Majelis Umum dari PBB mengeluarkan resolusi 2145 (XXI) dimana diputuskan bahwa Mandai diaklriTi. dan Afrika Selatan ridak mempunyai hak 1lI11uk m emeriflraJlIIya, Dewan Keamanan selanjutnya mengeluarkan beberap. resolusi, termasuk resolusi 276 (1970) yang mengatakan bahwa hadirllya Afrika Selatan secara {eflts numerus di ,Vamibia adala" ilegal .. Keberatan·keberatan diajukan mengenai sahnya resolusi-resolusi tersebut, dan Mahkamah sebelumnya telah mengambil keputusan, dan menolak keberatan·keberatan tersebut. Setelah berlakunya Piagam PBB, maka terbentuk hubungan antara semua .r.ggcta PBB di satu pihak dan negara Mandataris dilain pihak, dan prinsip utama yang mengatur hubungan tersebut adalah, bahwa pihak yang menyatakan dirinya tidak mau memenuhi kewajiban, tidak dapat diakui lagi memiliki hak-hak yang timbul dari hubungan terse but. Dikatakan bahwa (a). konvensi LBB tidak memberikan luk untuk memutuskan Mandat, karena negara Mandataris tidak memenuhi kewajibannya, dan PBB tidak dapat bertindak melebihi dari kekuasaan yang dimiliki LBB; (b). dan meskipun LBB mempunyai hak untuk memutuskan Mandat, hak tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sepihak tanpa kerja sama dengan negara Mandataris. (c). bahwa resolusi MajeJis Umum no. 2145 (XXI) yang menyatakan bahwa Afrika Selatar. telah me1anggar perjanjian ylandat, harus dinyatakan tidak sah, karena MajeJis Umum bukan suatu badan peradilan, (d). sebenarnya penyelidikan secani detail harus dilakukan, (e). dan bahwa sebenarnya resoiusi Majelis Umum 2145 (XXI) rnerupakan pemindlhan wilayah (transfer of territory). Atas alasan·alasan tersebut diatas Mahkamah berpendapat bahwa (a). 'T\enurut azas-azas umwn dari hukum ~nternasional hak untuk memutuskan perjanjian harus dianggap ada, r,}eskipun tidak dinyataka>l dengan tegas, (b). persetujuan dari pelanggar perjanjian tidak diperlukan, (c). bahwa PBB sebagai pengganti dari LBB, harus dilihat sebagai badan pengawas yang berwenang untuk menilai tingkah 1aku negara Mandataris. (d). bahwa ke kewajiban dari Afrika Selatan untuk tunduk pada pengawasan tidak dapat disangkal d an (e). Majelis Vmum tidak rnengadakan suatu: "fact finding". hanya merumuskan suatu keadaan hukum. Akan tetapi Majelis Vmum tidak mempunyai kekuasaan untuk menjamin mundurnya Afrika Selatan dari Namibia, oleh karena itu meminta kerja sarna dari Dewan Keamanan. P:lSal 24 dari Piagarn rnemberikan Dewan Kearnana" kekuasaan yang diperlukan·. -i'utusan Dewan- Keamanan diambil sesuai dengan pasal 25 Piagarn PBB dan anggota·anggota PBB lainnya harus taat pada putusan tersebut. termasuk juga anggota·anggota Dewan Kearnanan yang menent>ng putusan torsebut. Akibat-akibat hukum (legal consequences) dari resolusi Dewan Kearnanan menurut Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut: (a).. Member States are under obligation (subject to (d) below) to 253 mualah Namibia abstain from entering into treaty relations with South Africa in all c,;es in which the Government of South Africa purports to act on behalf of or conce rning Namibia. With respect to existing bilateral treaties, member States must abstain from invoking or applying those treaties of provisions of . treaties concluded by South Africa on behalf of or concerning Namibia which involve active inter governmenta l co-operation. With respect to multilateral treaties, the same rule cannot be applied to certain genera l conventions such as those with humanitarian character, the r.dn performance of which may adversely affect the people of Namibia; it will be for the competent international organs to take specific measures in this respect. (b). Member of States are under obligation to abstain from sending diplomatic or special missions to South Africa including in their Jurisdiction the territory of Namibia, to abstain from sending consular agents to Namibia, and to withdraw any such agents already there; and make it clear to South Africa that the ma!ntenance of diplomatic of consular relations does not imply any recognition of its authority with regard to Namibia. (c). Member States are under 'obligation to abstain from entering intc economic and other forms of relations with South Africa on behalf of or concerning Namibia which may entrench its authority over the territory. (d). However, non recognition should not result in depriving the people of Namibia of any advantages derived from international co-operation. In particular, the illegality or invalidity of acts porformed by the Government of South Africa on behalf of or concerning Namibia after the termination of the Mandate can not be extended to such acts of registration of births, deaths and marriages. 6). Bagi negara-negara bukan anggota PBB meskipun mereka tidak terikat oleh pa"l-pasal 24 dan 25 dari Piagam PBB, negara-negara terse but oleh resolusi 2 6 (1970) diminta untuk mem!,eri ,bant"an pada tindakan yang telah diambil PBB mengenai Namibia .. Tidak satu negarapur. dapat mengharapkan pengakuan PBB atau anggota-anggota lainoya apabila mengadakan hubungan dengan Afrika Selatan mengenai Namibia. Oengan diputuskannya Mandat oleh organisasi Internasional yang mempunyai kewenangan pengawasan, maka negara-negara bukan anggota PBS dillaruskan bertindak sesuai dengan putusan tersehut. Semua negara harus memberi perh.tian bahwa kelompok yang dirugikan dengan hadirnya Afrika Se latan seeara ilegal di Nz.mibia, adalah orang-orang yang memohon pada masyarakat Internasional suatu bantuan untuk mewujudkan tujuan dari amanat peradaban yang suci. VI Penutup landasan falsafah yang dipergunakan Mallkamah Internasional pada tahun 1966 kelihatannya adalah ajaran positivisme atau voluntarisme. Inti HUKUM dan PEMBANGUNAN 254 dari ajaran ini adalah supremasi dari negara yang berdaulal. 7). Titik tolak dari ajaran ini adalah bahwa hukum Interllosioflai hanya mengikal apabila dikellendaki a/ell nega,a yalig b~rs'lIIgkutan. Sedangkan pertimbangan Mahkamah Internasional pada tahun 1971 tidak lagi demikian kaku . Diakui bahwa negara tidak diperkenankan untuk bertindak melampaui batas-batas yang ditentukan Hukum Internasional. Dalam pertimbangan-pertimbangan nya . Mahkamah Internasional juga mengakui adanya hW<. u.lsar dan persamaan derajat, y:!l1g ter(:ermin dalam pei"lakuail at as dasar "ethic, racial or national groups", sebagai bagiall dari Hukum lnlerllflsional yang mcngikal SChwa negara~ilegara. 8). Car a berpikir sedemikian tentunya merupakan suatu kemajuan. Akan tetapi meskipun ada pengakuan dari MahkamaJ, Internasional, bahwa negara tidak berdaulat mutlak dalam Huku;n Internasional yang lebih penting lagi, adalah bagaimana caranya agar Afrika Selatan tunduk pada putusan-putusan PBB maupun Mahkamah Internasional. Pada tahun 1974 Dewan PBB untuk Namibia mengeluarkan suatu deJait: "No person or entity, whether a body corporate or union corporate, may search for, prospect for, explore for, take, extract, mine, process, refine, use, sell, export of distribute any natural resources ...... within the territorial limits of Namibia without the consent or permission of the United Nations Council for Namibia ....... Any person, entity or corporation which contravenes the present decree in respect of Namibia may . be held liable in damages by future government of an independent Namibia:" 9). DeJait 1111 rupanya mempunyai pengaruh terhadap beberapa .perusahaan pertambangan Amerika Serikat yang kemudian mengambil Jangkah-Iangkah untuk mengundurkan diri dari Nar'libia. Juga Pemerintah Amerika Serikat secara resmi memberitahukan pada Dewan, bahwa tidak akan menganju,kan perusahaan Swasta Amerika Serikat untuk melakukan usaha di Namibia. Pemerintah Belanda dan Jepang juga akan mengambil tindakan terhadap pengiriman-pengiriman bahan-bahan ekonomis ke daerah Namibia. Akan tetapi suatu usaha untuk memberi sanksi pada Afrika Selatan, telah digagalkan dengan "triple veto" dari Amerika Serikat, Inggris dan Peraneis di Dewan Keamanan, 10). Sebagai gantinya ketiga negara tersebut dan Jerman Barat beserta Kanada telah menekan Pemerintah Afrika Selatan, untuk menempatkan Namibia dibawah "Administrator General", yang akan memerintah wilayah tersebut dibawah bimbingan Presiden Afrika SeIatan. Menurut penglihatan para pejabat dipJomatik, dari negara-negara tersebut, tind,kan· dari Afrika Selatan itu adaJah suatu petunjuk bahwa Afrika SeJatanakae. melepaskan diri dari wiJayah Namibia, dan memberibn kem.,dekaan pada wilayah tersebut. 11). Sej2uh mana kebenaran penglihatan tersebut, tentu harus dibuktikan terlebih dahuJu oleh Afrika SeJatan. Jakarta, 11 Jull,1977. 255 masalah Namibia I) LL. l:llielcy, diteljemahkan Hukum Bangsa-Bang!oa, Bhalatau J963, Djakalta, olch Moh. Radjab . halaman 152 . 2) Decision of the inteJnationaJ COUtt Justice , A Digest, t: Syatauw. A.W. Symoff. Leyden, halaman 221. 3) - - - - -- Pasal 7· (2, Pelja njian Mandat Aflik<l Ba lat Daya: "The MandatolY aflees that if any d ispute whateveJ shoul alise between the MandatolY and ::.notheJ membel I)f the Leauge of Nations leiating to intelpletation 01 app ication of the pi 0visions of the Mand ate, such disp u te, if it cannot be settled by negotiation, shal! be submitted to the Pelmanen t CO Ull of IntelnationaJ .Justice ptovrled by Article 14 of thf Covenant of the leauge of Nations. II 4) Pasal 37 Slatuta Mahkamah IntelnasionaJ: "Apabila suatu peljanjian <l13u Konvensi yang beJi<lku, menentukan untuk megajukan suatu peJsoalan kepada suatu peladilan yang dididkan olch Lt;a Bangsa-Bangsa atau kepada Mahkam<ih Pelmanen IntelOasional, masalah itu, sepelti antaJa pal3 pm .. :..: dalam $t<lluta sekaJa~ ini akan diajukan pa(a Mahkamah Inlelnasi o nal." 5, Dikutip olch Judge Hardy C. Dillald dalam ka.l3ngannya, Status of South-West Arlica (Namibia} - A SepaJate opinion; The Inttmationai Lawyels, Aplil 1972, Vol6, Numbcl 2, hi.1 laman 420; 1.e.1. Repolts 1971 hahlman 6). Decisions of International and Foreign Tribunals, Malcolm W. Monroe . the Interru>.tional Lawyer, January 1972. Vol. 6 No. I halaman 198 - 199. 7). Natalie K. Hevener, The 197 I South West Africa Opinion . A new international Juridical philosophy, I.c.L.Q. vol 24, Part 4, October 1975 halaman 806. 8). op. cit. Hevener HaJaman 808. 9). Harfinder Singh, Namibia: An Exploited Possession, Asia Week, July I, 1977, Vol. 3 No. 26, haJaman 25. 10). Ibid. I I) Newsweek, June 20, 1977, haJaman 19 ; 19