Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 PROGRESS DALAM MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN KONSUMEN Gancar Candra Premananto Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ABSTRAK Modelings on consumer decision making process have been developed for more than a half of century but it there still enigma on it. This article tried to review is there progress on it modeling and if it happens what kind of progress that happens. The results show that progress happens but the journey to find grand theory of consumer behavior has far beyond. Keywords: Consumer decision making, Progress 1. PENDAHULUAN Konsep pemasaran dan konsep pemasaran-kemasyarakatan (societal marketing) telah menjadi filosofi dalam menjalankan bisnis dan membawa arah perkembangan pemasaran yang berorientasi kepada konsumen (Dharmmesta 1999). Dengan kata lain, pemahaman kepada konsumen menjadi sangat penting untuk menjalankan dan mewujudkan kesuksesan dalam praktek bisnis. Perusahaan yang mengutamakan kebutuhan dan selera pelanggan akan menjadi sebuah customer-driven company, yang mengandung pengertian ekstrem bahwa hidup-matinya perusahaan ‘dikendalikan’ oleh pelanggannya (Dharmmesta 1994). Studi tentang perilaku konsumen mencakup pemahaman tentang pikiran, perasaan dan tindakan konsumen (Dharmmesta 2003). Salah satu usaha untuk memahami pelanggan adalah dengan adanya studi untuk menghasilkan model pengambilan keputusan konsumen yang akurat. Studi dilakukan untuk membuka ‘black box’ dalam proses pengambilan keputusan konsumen yang sifatnya misterius. Berbagai model dikembangkan, melalui perenungan, logika maupun secara empirik sejak tahun 60-an dimulai dengan beberapa model klasik yang terkenal dari Nicosia, Howard-Sheth serta Engel, Kollat dan Blackwell. Berbagai model yang ada dalam yang ada dalam sekian kurun waktu tersebut tentunya diharapkan terjadi akumulasi menjadi suatu model komprehensif yang secara akurat dapat digunakan dalam melakukan eksplanasi dan prediksi serta dapat dimanfaatkan oleh praktisi pemasaran. Untuk itu, artikel ini berusaha mengamati progress yang terjadi dalam model pengambilan keputusan konsumen. Bagian pertama artikel akan membahas pengertian dari progress dari berbagai perspektif. Pemahaman terhadap pengertian ini penting sebagai dasar dalam mengamati bagaimana model pengambilan konsumen ber-progress. Tahap selanjutnya adalah mengamati -225- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 sejarah perjalanan dan perkembangan dalam pembentukan model. Diakhir artikel akan disimpulkan bentuk progress yang terjadi. 2. APAKAH SCIENTIFIC PROGRESS? Popper dan peneliti dari aliran empiris logis menyatakan bahwa ilmu mengalami progress melalui 4 cara (Hunt 1991, pp 293-296), yakni: (1) Pengembangan teori baru untuk fenomena yang tidak dijelaskan sebelumnya. (2) Falsifikasi teori sebelumnya dan menggantinya dengan teori yang baru yang lebih unggul. (3) Pengembangan lingkup teori dengan menunjukkan bahwa teori tersebut mampu menjelaskan fenomena yang lain / berbeda. (4) Reduksi teori spesifik menjadi teori yang lebih umum, dalam hal ini terjadi akumulasi pengetahuan lama menjadi pengetahuan yang baru. Pendapat diatas dikritik oleh penganut relativisme, Feyerabend, terutama untuk permasalahan falsifikasi teori dan pereduksian ke dalam teori umum. Berkaitan dengan falsifikasi teori, Feyerabend dan penganut relativisme mendasarkan pada asumsi yang dianut dalam relativisme konseptual (Hunt 1991, p 320); a. Pengetahuan atau sesuatu yang diklaim sebagai pengetahuan bersifat relatif tergantung pada kerangka konseptual, teori, paradigma dan perspektif yang dianut. b. Pengetahuan atau sesuatu yang diklaim sebagai pengetahuan tidak dapat dievaluasi secara obyektif, imparsial atau nonarbitrarily lintas kerangka konseptual, teori, paradigma dan perspektif yang berbeda. Bila dua teori atau lebih bersifat relatif serta tidak ada standar obyektif, imparsial dan nonarbitrarily untuk mengevaluasinya dengan demikian teori tidak dapat difalsifikasi. Adapun berkaitan dengan cara progress keempat, yakni adanya reduksi dalam teori yang umum, Feyerabend juga menyatakan bahwa progress tidak terjadi dengan cara reduksi karena teori-teori spesifik bersifat incommensurable. Dicontohkan bahwa teori mekanika Galileo dengan mekanika Newton demikian juga dengan teori relativitas Einstein, sehingga mekanika Galileo tidak dapat direduksi kedalam mekanika Newton dan mekanika Newton tidak dapat direduksi ke dalam teori relativitas Einstein. Incommensurable dalam pendapat Feyerabend adalah bahwa teori-teori tersebut tidak memiliki logika yang sama sehingga tidak dapat digabungkan secara deduktif (deductive disjointedness) (Hunt 1991, pp 335-336). Dari kedua hal tersebut, Feyerabend menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan/sains tidak mengalami progress (Hunt 1991, p 337), artinya tidak dapat muncul suatu klaim bahwa telah terjadi pertambahan ilmu (know more). Dari penganut Historikal Empiris yakni Imre Lakatos, cara pertama dari argumentasi Popper tentang bagaimana ilmu ber-progress mendapat dukungan. Lakatos menyatakan -226- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 bahwa ilmu mengalami progress apabila teori yang sukses mampu memberikan penjelasan dan prediksi seperti pada teori pendahulunya dengan tambahan penjelasan untuk hal yang baru (Hunt 1991, p 361). Dari tokoh Historikal Empiris lain yakni Larry Laudan muncul 2 pandangan. Pandangan pertama pertama adalah bahwa progress dari suatu ilmu dapat diamati dari tujuannya sebagai pemecahan suatu permasalahan teoritis. Dalam hal ini teori dapat diperbandingkan dari tingkat keefektifannya dalam pemecahan masalah. Pandangan kedua, yang merupakan pandangan baru Laudan, menyatakan bahwa progress ilmu adalah apabila ia telah mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya dalam suatu komunitas ilmiah. Pandangan terbaru Laudan menciptakan ambigu pasca relativisme, mengingat tujuan yang ditetapkan dapat berbeda-beda dan berubah-ubah, tergantung dari pencetus ilmu dan konseptual, teori, paradigma dan perspektif yang digunakan dan dianutnya. Dukungan terhadap 4 cara ilmu ber-progress muncul dari penganut realisme ilmiah, yang dengan lebih khusus lagi menyatakan bahwa progress ilmu melalui 4 cara sebagai berikut (Hunt 1991, p 383); (1) Mencari entitas baru, (2) Menggambarkan atribut dan karakteristik entitas dengan lebih baik. (3) Mengukur entitas dengan lebih baik. (4) Mencari struktur hubungan antara entitas termasuk hubungan kausalitas. Dalam sebuah artikel yang berjudul ‘What is Scientific Progress?’ (2004) dinyatakan bahwa progress lebih berkaitan erat dengan bertambahnya dan terakumulasinya pengetahuan dibanding dengan pemecahan masalah dan verisimilitude (pendekatan terhadap kebenaran/truth), karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah memproduksi pengetahuan. Dalam artikel ini akan dicoba untuk diamati perkembangan dalam teori/model pengambilan keputusan yang ada untuk mengamati pola perkembangan yang mana yang terjadi. 3. REVIEW PEMODELAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KONSUMEN Pada bagian ini akan direview sejarah pemodelan pengambilan keputusan konsumen yang dibagi dalam 3 bagian, bagian pertama menggambarkan pemodelan pengambilan keputusan klasik, bagian kedua pemodelan modern bagian ketiga adalah perkembangan alternatif. 3.1. Pemodelan Pengambilan Keputusan Konsumen Klasik Sebagian besar model perilaku pengambilan keputusan konsumen dibuat dan dikembangkan oleh para teoritisi keperilakuan pada tahun 60-an dan awal 70-an. Pada -227- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 tahun 50-an dan awal tahun 60-an, teori dan model lebih banyak diajukan oleh ilmuwan psikologi dan sosiologi, misal model Mc Clelland, model Goffman, model Festinger dan model Riesman (Winardi 1991, hal 255-267; Sheth 1974, pp 392-393). Modelmodel tersebut memberikan kontribusi bahwa perilaku pembelian dipengaruhi oleh faktor internal dalam dirinya dan faktor lingkungan sosialnya. Beberapa model klasik yang terkenal pada pertengahan tahun 60-an berkaitan dengan proses pengambilan keputusan adalah model yang dikembangkan oleh Nicosia pada tahun 1965; Engel, Kollat dan Blackwell pada tahun 1968; dan Howard-Sheth pada tahun 1969. Secara garis besar, ketiga model menunjukkan hal yang sama yakni adanya input berupa rangsangan dari lingkungan yang kemudian diproses dalam benak konsumen dan menghasilkan output berupa tindakan/perilaku pembelian. Beberapa konsep berkaitan dengan mekanisme internal juga memiliki kesamaan diantaranya adanya aktivitas pencarian informasi dan evaluasi alternatif. Proses evaluasi alternatif yang terjadi didasari oleh teori subjectively expected utility (SEU) yang berasumsi bahwa dalam membuat pilihan, seseorang akan memilih alternatif yang memberikan utilitas tertinggi. Mekanisme internal yang terjadi juga menunjukkan adanya hubungan antara sikap dan perilaku (attitude-behavioral relationship). Umpan balik juga terlihat dalam ketiga model yang menunjukkan adanya proses pembelajaran dan dinamisasi proses. Pemodelan tersebut menunjukkan adanya perilaku rasional dan purposive, yang bahkan terlalu rasional (highly rational) mengingat kerumitan dan kompleksitas model yang dibangun (Lunn 1974, pp 44, 50). Beberapa hal diatas merupakan kontribusi model dalam usaha memahami perilaku konsumen dalam periode pemodelan kedepan. Dibandingkan dengan kedua model lain, model Howard-Sheth (atau information processing model) memiliki perbedaan berupa adanya variabel yang me-mediasi hubungan antara sikap (dalam mekanisme internal) dan perilaku yakni variabel niat (intention). Beberapa kritik berkaitan dengan model klasik yang dibangun antara lain: 1. Konsep yang digunakan terlampau abstrak dan masih dalam tataran ‘context of discovery’, model tidak dibangun dalam bentuk yang sesuai untuk diuji empirik. Contoh konsep lingkungan yang dinyatakan dalam model Engel, Kollat dan Blackwell tidak memiliki kejelasan jenis dan aspek lingkungan yang dimaksud. (Hunt, 1984). Lebih dalam dinyatakan oleh Farley dan Ring (1974, pp 138-139) bahwa permasalahan empiris yang ditemui meliputi; a. Adanya joint causation dari suatu fenomena yang seringkali sulit diobservasi secata terpisah/parsial. b. Penentuan bentuk fungsi yang sesuai (linier, multiplikatif atau sinusoid, yang tidak dispesifikasikan dalam teori/model. c. Permasalahan definisi operasional serta spesifikasi waktu dan tenggat (lag) -228- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 d. Penentuan data yang relevan, terutama berkaitan dengan konsep yang terlalu abstrak. 2. Model dikembangkan melalui perenungan dan spekulasi di belakang meja, yang mengakibatkan walaupun model yang dihasilkan logis, namun belum tentu tangguh untuk diuji (Dharmmesta 2004). Namun dinyatakan juga Farley dan Ring (1974, p 140) bahwa bagaimanapun tugas para teoritisi dan pembuat model adalah berkonsentrasi dalam menentukan bentuk hubungan dan mengestimasi parameter. Dengan kata lain ada pemisahan antara context of discovery dan context of justification. 3.2. Pemodelan Pengambilan Keputusan Konsumen Modern Pada tahun 70-an dan 90-an, model yang dikenal dalam hal ini adalah Theory Reasoned Action (TRA) dari Fishbein-Ajzen; Theory Planned Behavior (TPB) dari Ajzen; dan Theory of Trying (TT) dari Bagozzi-Warshaw. Model-model tersebut juga melanjutkan rasionalitas yang didasari oleh teori SEU. TRA, dikembangkan Fishbein dan Ajzen tahun 1975, menggambarkan bahwa niat berperilaku merupakan determinan utama yang berkaitan erat (proximal/immediate determinant) dengan perilaku. Niat dalam hal ini merupakan konstruk psikologi yang terbedakan dari sikap, yang menunjukkan perencanaan sadar seseorang untuk berperilaku. Selanjutnya niat berperilaku tersebut ditentukan oleh sikap, yang mewakili faktor internal individu dan norma subyektif yang mewakili pengaruh lingkungan sosial (Ajzen 1988, pp 117-118). Gambar 1. Theory of Reasoned Action Sumber: Icek Ajzen (1988: 128) TPB merupakan revisi atas TRA yang dikembangkan Ajzen pada tahun 1988, dengan menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak sepenuhnya dalam kendali seseorang. Hal tersebut ditunjukkan dengan menambahkan konstruk persepsi terhadap kontrol perilaku dalam model TRA. -229- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 Gambar 2. Theory of Planned Behavior Sumber: Icek Ajzen (1988:133) Adapun TT, yang dikembangkan oleh Bagozzi-Warshaw tahun 1990, menyatakan bahwa kelemahan dari TRA dan TPB adalah tidak memasukkan perilaku masa lalu terhadap pembelian di masa depan, padahal beberapa studi telah menunjukkan pentingnya perilaku masa lalu sebagai salah satu anteseden (Bagozzi dan Warshaw 1990). Perilaku masa lalu diakomodasi Bagozzi-Warshaw dalam 2 konstruk yakni frekuensi perilaku di masa lalu dan pembelian masa lalu terkini, yang terlihat dalam gambar berikut, Gambar 3. Theory of Trying Sumber: Bagozzi-Warshaw (1990) Berbeda dengan model klasik, model-model yang dikembangkan pada kurun waktu 7090an diatas tidak berusaha membuat suatu model komprehensif yang dapat menjadi grand theory. Model yang dibuat bersifat sederhana dan tidak memberikan detail proses pengambilan keputusan mulai dari input (stimuli) hingga output (perilaku). Namun tetap terkandung didalamnya asumsi rasionalitas dari teori SEU serta adanya faktor niat yang memediasi hubungan antara sikap dan perilaku. 3.3. Pemodelan Pengambilan Keputusan Konsumen Alternatif Model pengambilan keputusan konsumen yang dikembangkan oleh Howard-Ostlund, Engel-Kollat-Blackwell, Nicosia, Howard-Sheth, Fishbein-Ajzen, Bagozzi-Warshaw dll, pada dasarnya memiliki paradigma yang mengasumsikan konsumen sebagai konsumen yang rasional. Paradigma ini merupakan aliran mainstream dalam model pengambilan keputusan konsumen (Paradima tersebut diistilahkan oleh Simonson et al -230- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (2001) sebagai studi perilaku konsumen dalam aspek ‘cold’) Hal ini disinyalir oleh Herabadi (2003) : “The dominant paradigm in consumer research assumes a highly deliberate, analytical consumer; or to put it in other words, a rational consumer (e.g. Bettman, Johnson and Payne, 1991; Burrough, 1996; Hoch and Loewenstein, 1992; Hoolbrok and Hirschman, 1982; Statt, 1997; Van Raaij, 1991). This homoeconomicus model of human decision making considers consumer as a rational decision maker. Rational in both the psychological and the economical sense. Psychologically rational consumers make objective, dispassionate choices that are not influenced by prejudice or other irrational influences. Economically rational consumers find out all the information there is on each of the alternatives, assess the advantage and disadvantages of each, then choose the best one on the basis of a cost-benefit analysis, which is to select only the one that give the highest utility at the lowest cost…. They do not recognize the view that human social behavior is controlled by unconscious motives or overpowering desires”. Padahal pengambilan keputusan konsumen juga seringkali dilakukan tanpa pertimbangan yang ‘mindless’, irasional, ‘minimum conscious deliberation’, ‘with little or no cognition’, ‘immaturity’, ‘weakness or lack of intelligence’, ‘lack of control’ dll (Buendicho 2003; Herabadi 2003; Youn dan Faber 2000; Rook dan Fisher 1995), seperti impulse buying. Perilaku pembelian seperti itu – termasuk hedonic shopping, impulse purchasing, compulsive purchasing dll - juga patut untuk dipertimbangkan sebagai bagian penting dalam membuat model teoritis mengenai perilaku berbelanja (shopping behavior) (Burton, Eccles dan Elliott 2001). Model pengambilan keputusan untuk perilaku berbelanja, umumnya mengikuti model Mehrabian-Russel (Danes dan Dharmmesta 2001; Herabadi 2003) yang menunjukkan bahwa stimuli dari lingkungan belanja mempengaruhi kondisi emosi/mood/afek dari seseorang yang memicu terjadinya perilaku pembelian (Studi dalam bidang ini diistilahkan Simonson et al (2001) sebagai studi perilaku konsumen dalam aspek ‘hot’). 3.4. Pengintegrasian Model Ilmu-ilmu perilaku belum berhasil mengembangkan suatu teori universal yang komprehensif tentang perilaku manusia (Dharmmesta, 2004), termasuk dalam hal ini adalah disiplin perilaku konsumen. Hal itu dikarenakan, dinyatakan oleh Dharmmesta (2004) karena beberapa model perilaku konsumen yang ada merupakan hasil perenungan dan logika di belakang meja yang belum teruji secara empiris. Banyak hal belum tercakup dalam penyusunan model. Disisi lain, peneliti juga menggunakan pendekatan reduksionostik dan bukan pendekatan sistem dalam mengamati suatu fenomena, dengan kata lain masih membatasi lingkup model dan tidak melihatnya sebagai bagian dari sistem yang holistik. Hal ini juga dinyatakan oleh Lunn (1974: 37-38) dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar bahwa masing-masing model memiliki keterbatasan mengingat tidak mungkinnya membangun model yang dapat -231- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 mempertimbangkan dan memasukkan semua elemen dan fenomena. Untuk itu usaha integrasi model dan pertukaran ide sangat diperlukan agar dapat dibangun model yang komprehensif. Namun usaha tersebut, mungkin tidak akan menyelesaikan masalah, mengingat perilaku konsumen merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diwakili oleh model tunggal. Integrasi komprehensif pun tetap akan menghasilkan permasalahan yang sama yakni kesulitan untuk diuji secara empiris (Simonson et al., 2001). Hal itu terbukti dengan sulitnya menguji secara empiris model komprehensif klasik dari Nicosia, Howard-Seth dan Engel, Kollat dan Blackwell. Adanya perbedaan model pada dasarnya juga dikarenakan oleh perbedaan aliran pemikiran (school of thought) yang dianut oleh para pembuat model, yang menjadikan usaha integrasi dan pertukaran ide menjadi semakin sulit terjadi. Aliran pemikiran yang dimaksud adalah (Schiffman dan Kanuk, 2000: 439-441): a. Pandangan ekonomik. Dikenal dengan teori economic man yang memandang konsumen senantiasa mengambil keputusan secara rasional dengan mempertimbangkan dan mengevaluasi berbagai alternatif untuk memaksimalkan utilitas dan keuntungan yang didapat. b. Pandangan pasif. Konsumen dianggap sebagai sosok yang tunduk pada kepentingan egonya dan pada promosi dari pemasar. Konsumen dipersepsikan sebagai pembeli yang impulsif dan irasional dalam menerima usaha pemasar. c. Pandangan kognitif. Konsumen dipandang sebagai thinking problem solver dan information processors. Model kognitif akan berfokus pada proses mencari dan mengevaluasi informasi mengenai merk dan outlet retail. Pemrosesan informasi akan mengarah pada preferensi dan niat membeli. d. Pandangan emosional/impulsive. Dalam perspektif ini, konsumen dapat mengikuti pandangan ekonomis dan juga pasif. Konsumen melakukan pembelian karena ‘emotionally driven’ yang tidak memerlukan pencarian informasi, namun lebih pada dorongan perasaan akibat adanya stimulus dari pemasar. Namun bukan berarti keputusan emosional yang dilakukan adalah tidak rasional. Pembelian yang menghasilkan kepuasan emosional adalah pengambilan keputusan yang rasional. Mengingat pengintegrasian model dalam suatu model tunggal memiliki permasahan, dan pada dasarnya artikel ini tidak ditujukan untuk itu, maka progress akan diamati dengan membandingkan dan mengkaitkan berbagai model yang ada. 4. ISU UTAMA DALAM MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN Dari review terhadap beberapa model pengambilan keputusan konsumen diatas, pada dasarnya terdapat beberapa isu/topik utama yang dapat diamati perkembangannya, yakni: 1. Proses Mekanisme Internal. 2. Peran niat dalam memediasi hubungan antara sikap–perilaku. -232- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 3. Perluasan lingkup dari pengambilan keputusan yang Rasional-Kognitif kepada pengambilan keputusan yang Irasional-Afektif. Ketiga isu tersebut saling berhubungan, namun akan dicoba diamati secara terpisah. 4.1. Proses Mekanisme Internal Model komprehensif yang dicoba dibuat pada tahun 60-an memiliki kesamaan konsep yakni adanya input dari lingkungan yang diproses secara internal, disimpan dan dimanfaatkan untuk proses pemilihan alternatif yang kemudian menentukan perilaku pembelian. Namun pembelian bukan merupakan akhir, karena terjadi evaluasi pasca pembelian yang menjadi aspek pembelajaran konsumen. Kesamaan tersebut digambarkan dalam alur yang berbeda, yang memerlukan dukungan empiris untuk mengamati kebenaran dari masing-masing model. Kesulitan pengujian empirik menjadikan sulitnya melakukan perbandingan model, bahkan baru model Howard-Seth yang telah diuji secara empiris (Farley-Ring 1974) dan belum mengalami replikasi pengujian. Dari pemodelan modern, dari hasil empirik menunjukkan model TPB lebih baik dibanding TRA (Ajzen 1988, pp 132-143) dan TT lebih baik dibanding TPB dan TRA (Bagozzi dan Warshaw 1990). Model terbaru menunjukkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya dengan masuknya tambahan variabel, dengan demikian model dengan tambahan variabel memiliki kemampuan eksplanasi dan prediksi yang lebih baik. Dapat dinyatakan bahwa terjadi suatu progress dalam bentuk reduksi dimana TRA dapat direduksi dalam TPB dan TPB dapat direduksi dalam TT. Hal ini tidak berarti terjadi falsifikasi dari TRA dan TPB, hal ini diantaranya dinyatakan oleh Herr (dalam Jacoby et al 1998) yang menyatakan bahwa TRA tidak terfalsifikasi dan masih diadopsi oleh peneliti perilaku konsumen. Dibandingkan dengan model klasik, proses mekanisme internal dalam model modern tidak memiliki pengetahuan baru dibandingkan dengan pendahulunya. Namun apabila progress diamati dari pandangan realisme ilmiah maka model modern pada prinsipnya memberikan gambaran atribut dan karakteristik entitas dengan lebih baik juga mengukur entitas dengan lebih baik. 4.2. Peran Niat Model klasik (Howard-Seth) dan model modern menunjukkan adanya kesamaan yakni adanya mediasi niat terhadap hubungan antara sikap dan perilaku. Hubungan tersebut telah berkali-kali diuji secara empiris. Hasil review dari berbagai artikel berkaitan dengan konsistensi hubungan sikap-niat-perilaku, menunjukkan hasil yang mixed/beragam (Cote dan Wong 1974, p 374; Wong dan Sheth 1974, p 378). Adanya inkonsistensi dalam hubungan tersebut dikarenakan adanya faktor situasional dan kondisional yang memoderasinya, antara lain : -233- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 a. Faktor durasi waktu antara munculnya niat dan terjadinya perilaku serta adanya kondisi yang tidak diharapkan (Cote dan Wong 1974). b. Faktor karakteristik persona, kejadian yang tidak diharapkan, lingkungan sosial dan keterlibatan terhadap produk (Wong dan Sheth 1974) c. Pressure dari situasi dan waktu (Chatzisarantis et al 2004). d. Lingkungan belanja (Dharmmesta 2003) Faktor situasional tersebut juga menjembatani model mainstream yang menunjukkan adanya pertimbangan dan perencanaan terhadap pembelian dan model alternatif yang menunjukkan adanya spontanitas dalam pembelian. 4.3. Perluasan Lingkup Perbandingan model klasik dan modern menunjukkan adanya kesamaan yakni adanya asumsi teori SEU yang mempertimbangkan aspek rasional-kognitif, namun model modern memberikan bentuk yang lebih sederhana. Dari aspek ini tidak ada pengetahuan baru yang diperoleh, karena model klasik, telah mengakomodasi. Progress yang terjadi adalah berkaitan dengan memberikan gambaran atribut dan karakteristik entitas dengan lebih baik juga mengukur entitas dengan lebih baik. Bila kemudian diperbandingkan, secara empirik antara aliran mainstream (aspek ‘cold’) dan aliran alternatif (aspek ‘hot’), didapatkan hasil bahwa studi berkaitan dengan aspek ‘hot’ dalam perilaku konsumen semakin meningkat. Simonson et al (2001) menyatakan bahwa terjadi penurunan proporsi relatif dari topik ‘cold’. Tahun 70-an artikel yang membahas aspek ‘cold’ adalah sebesar 85%, tahun 80-an menurun menjadi 75% sedang tahun 90-an menjadi 64%. Penurunan diperkirakan akan terus terjadi, namun dominasi mainstream masih tetap terjadi. Hal ini bukan berarti mulai tidak berlakunya teori tersebut, namun lebih pada petunjuk terbukanya ruang lingkup model pengambilan keputusan konsumen pada pentingnya afek sebagai determinan dari perilaku pembelian. Shiv dan Fedorikhin (2004) berusaha mengakomodasi kedua aspek tersebut dengan membuat model situasional yang menunjukkan bahwa untuk kondisi tertentu aspek kognitif yang mendominasi perilaku dan dalam kondisi lain komponen afeklah yang mendominasi. Namun kedua aspek tersebut tetap ada dalam kadar yang berbeda. Untuk itu Shiv dan Fedorikhin membuat 2 jalur, jalur satu untuk kognitif tinggi dan jalur lain untuk kognitif rendah. Zajonc dan Markus (Herabadi, 2003: 16) menyatakan “The antecedent of preference may involve cognitive and affective components in a variety of combinations. In some cases the cognitive component may be dominant, in some the cognitive and affective factors may interact with each other, and in other cases the affective factors may be dominant and primary.” Dengan demikian aspek kognitif tetap ada namun dengan kadar yang rendah yang seringkali tidak disadari oleh konsumen pelaku. -234- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 Seth (1974) lebih jauh mengakomodasi berbagai topik diatas dengan membuat model yang memasukkan adanya jalur kognitif dengan adanya niat dan jalur afektif yang keduanya mempengaruhi perilaku. Dalam model juga dimasukkan beberapa aspek situasional yang mempengaruhi niat berperilaku dan perilaku sendiri 5. KETERBATASAN PEMBAHASAN Keterbatasan yang dihadapi terutama adalah kurang memadainya literatur yang dimiliki dan dapat diakses berkaitan dengan berbagai model pengambilan keputusan konsumen, terutama literatur klasik yang asli dari pembuat model. Keterbatasan ini mengakibatkan, review dilakukan melalui informasi dari pihak kedua (literatur yang mengacu, mereview dan menganalisis model asli) yang dapat mengurangi nilai review dan membatasi pemahaman terhadap kontruk dan hubungan antar konstruk yang digunakan dalam model. Namun diharapkan kualifikasi baik dari pihak kedua yang diacu dapat mengurangi keterbatasan tersebut. 6. DISKUSI Dari pembahasan diatas, tampak bahwa progress dalam model pengambilan keputusan dalam berjalan dalam beberapa bentuk, baik berupa adanya gambaran atribut dan karakteristik entitas dengan lebih baik, pengukuran entitas dengan lebih baik, pengembangan ruang lingkup serta reduksi teori. Proses falsifikasi kurang terlihat dalam menunjukkan progress dalam teori pengambilan keputusan pembelian konsumen, hasil studi empiris pengujian model seringkali menunjukkan hasil yang mixed yang menunjukkan adanya kemungkinan aspek situasional dalam aplikasinya. Di balik semua itu dalam perkembangan waktu perumusan model perilaku pembelian konsumen, apakah terjadi pemecahan masalah dan pengetahuan yang lebih baik dan terakumulasi ? Pemecahan permasalahan teoritis seperti dikemukakan konsep awal Laudan terjadi dalam model modern yang ditunjukkan dengan terjadinya revisi terhadap teori sebelumnya. Pengetahuan yang baru dapat dilihat dengan adanya model irasional-afektif dalam proses pengambilan keputusan dan keterhubungannya dengan model rasional-kognitif melalui aspek situasional. Disisi lain tambahan variabel baru dalam model TRA menjadi TPB dan kemudian TT juga menunjukkan adanya akumulasi pengetahuan berkaitan dengan hubungan antara sikap-niat dan perilaku. Pembahasan dalam artikel ini, sekaligus menunjukkan bahwa model dapat diperbandingkan terutama karena beberapa memiliki persamaan logika dan asumsi. Perbedaan aliran pun dapat diakomodasi dengan munculnya faktor situasional. Permasalahan menjadi rumit bila progress dikaitkan dengan kebenaran. Diperlukan dukungan studi empiris yang memadai untuk mengamati validitas model. -235- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 Sesuatu yang jelas adalah bahwa progress dari model / teori perilaku pembelian oleh konsumen, hingga saat ini masih belum menghasilkan suatu grand theory yang diterima dan mengakomodasi perbedaan dari semua pihak. Disiplin perilaku konsumen seperti halnya disiplin induknya, pemasaran, masih terus berproses untuk mendapatkan teori yang mapan yang dapat dinyatakan sebagai universal law. DAFTAR KEPUSTAKAAN Ajzen, Icek (1988), Attitudes, Personality, and Behavior, Open University Press, Britain Annonimous (2004), “What is Scientific Progress?”, http://homepages.ed.ac.uk/ajbird/ research/papers/Scientific_Progress.pdf. Bagozzi, Richard P., and Warshaw, Paul R. (1990), “Trying to Consume”, Journal of Consumer Research, vol 17, Setember, 127-140. Buendicho, Patricia (2003), “Impulse Purchasing: Trend or Trait?”, http:// www.bus.uci.edu/mdiickie. Burton, Helen Woodruffe; Eccles, Sue; and Elliot, Richard (2001), “Towards a Theory of Shopping: A Holistic Framework”, Journal of Consumer Behaviour, vol 1, 3, 256-266. Chatzisarantis, Nikos D.; Hagger, Martin S.; Biddle, Stuart JH.; and Smith, Brett (2004), “The Stability of the Attitude-Intention Relationship in the Context of Physical Activity”, working-paper. Cote, Joseph A. and Wong, John K. (1974), “The Effects of Time and Situational Variables on Intention-Behavior Consistency”, in Sheth, Jagdish N., 1974, Models of Buyer Behavior, Conceptual, Quantitative, and Empirical, Harper and Row Publisher, 374-377. Dharmmesta, Basu Swastha (2004), “Metateori dalam Perilaku Konsumen suatu Komparasi Perspektif”, artikel lepas. Dharmmesta, Basu Swastha (1994), “Perilaku Konsumen Indonesia Tahun 2000”, Kelola, no 6/III/Mei, 83-93. Dharmmesta, Basu Swastha (1999), “Riset Konsumen Dalam Pengembangan Teori Perilaku Konsumen dan Masa Depannya”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Januari, 60-70 Dharmmesta, Basu Swastha (2003), “Pemasaran yang Berkeadilan Menuju Pemberdayaan Konsumen”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Farley, John U. and Ring, L. Winston (1974), “Deriving an Empirically Testable Version of the Howard-Sheth Model of Buyer Behavior”, in Sheth, Jagdish N., Models of Buyer Behavior, Conceptual, Quantitative, and Empirical, Harper and Row Publisher,137-159. -236- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 Herabadi, Astrid Gisela (2003), Buying Impulses : A Study on Impulsive Consumption, Disertation, unpublished, University of Nijmegen, Netherland. Hunt, Shelby D. (1991), Modern Marketing Theory, Critical Issues in the Philosophy of Marketing Science, South-Western Publishing Co. Hunt, Shelby D. (1994), “General Theory and the Fundamental Explananda of Marketing, in Brown and Fisk”, Marketing Theory: Distinguished Contributions, p 181-192. Lunn, J.A. (1974), “Consumer Decision-Process Models”, in Sheth, Jagdish N., 1974, Models of Buyer Behavior, Conceptual, Quantitative, and Empirical, Harper and Row Publisher, 34-69. Negara, Danes Jaya dan Dharmmesta, Basu Swastha (2001), “Lingkungan Belanja dan perilaku Belanja: Ditinjau dari Model Psikologi Lingkungan dan Regulasi Diri Konsumen”, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Desember, 49-60. Rook, Dennis W. and Fisher, Robert J. (1995), “Normative Influences on Impulse Buying Behavior”, Journal of Consumer Research, vol 22. Schiffman, Leon G., and Kanuk, Leslie Lazar (2000), Consumer Behavior, 7th edition, Prentice-Hall. Sheth, Jagdish N. (1974), “The Next Decade of Buyer Behavior Theory and Research”, in Sheth, Jagdish N., Models of Buyer Behavior, Conceptual, Quantitative, and Empirical, Harper and Row Publisher, 391-406. Sheth, Jagdish N. (1974), “A Field Study of Attitude Structure and the Attitude-Behavior Relationship”, in Sheth, Jagdish N., Models of Buyer Behavior, Conceptual, Quantitative, and Empirical, Harper and Row Publisher, 391-406. Shiv, Baba and Fedorikhin, Alexander (2004), Spontaneous Versus Controlled Influences of Stimulus-based Affect on Choice Behavior, working paper, [email protected]. Simonson, Itamar; Carmon, Ziv; Dhar Ravi; Drolet, Aimee; and Nowlis, Stephen M. (2001), “Consumer Research: In Search of Identity”, Annual Reviews Psychology, 52, 249-275. Winardi (1991), Marketing dan Perilaku Konsumen, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Wong, John K., and Sheth, Jagdish N. (1974), “Explaining Intention-Behavior Discrepancy – A Paradigm”, in Sheth, Jagdish N., 1974, Models of Buyer Behavior, Conceptual, Quantitative, and Empirical, Harper and Row Publisher, Youn, Seounmi, and Faber, Ronald J. (2000), “Impulse Buying: It’s Relation to Personality and Cues”, Advances in Consumer Research, Vol 27. -237-