BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keanekaragaman flora yang dimiliki Indonesia sebagai negara tropis,
memberikan keuntungan yang luar biasa terhadap perkembangan obat tradisional.
Berbagai metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan memiliki banyak
khasiat dan manfaat terutama dalam dunia kesehatan, sehingga dijadikan dalam
dasar penelitian dalam pengembangan obat tradisional. Umumnya penggunaan
obat tradisional ditujukan untuk memelihara kesehatan, mencegah penyakit,
mengobati penyakit, maupun memulihkan kesehatan (Anonim, 2000).
Salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan adalah flavonoid.
(Hoffmann, 2003). Flavonoid merupakan satu dari banyak senyawa fenol di alam
yang terdapat dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kemampuan antara lain
mengubah metabolisme aktivitas sitokrom P450, sehingga dapat mengubah
metabolisme obat tertentu dalam tubuh. Bila dilihat dari strukturnya, flavonoid
terbagi menjadi 2 jenis yaitu flavonoid yang memiliki gugus hidroksil bebas dan
flavonoid yang yang tidak memiliki gugus hidroksil bebas. Kedua jenis flavonoid
tersebut memliliki aktivitas yang berbeda, yaitu flavonoid yang memiliki gugus
hidroksil bebas dapat menginhibisi aktivitas sitokrom P450 sedangkan untuk
flavonoid yang tidak memiliki gugus hidroksil bebas dapat menstimulasi aktivitas
sitokrom P450 (Yan dkk, 1994).
17
Beberapa flavonoid merupakan bentuk aglikon dari glikosida. Sebagai
contoh, flavonoid kuersetin merupakan aglikon dari glikosida rutin serta flavonoid
naringenin merupakan aglikon dari glikosida naringin (Dewick, 2002). Kuersetin
sendiri sebagai salah satu flavonoid yang banyak ditemukan pada sayuran dan
buah-buahan, biasanya dalam bentuk glikosidanya, sedangkan dalam bentuk
bebasnya ditemukan dalam tumbuhan famili Asteraceae, Passifloraceae,
Rhamnaceae, dan Solanaceae (Hoffmann, 2003). Dalam buah apel dan famili
bawang-bawangan, kuersetin banyak ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi.
Banyak khasiat yang dimiliki oleh kuersetin, antara lain memiliki aktivitas biologi
yaitu kemampuan kuersetin sebagai anti tumor dan mempunyai efek anti
proliferasi yang luas pada sel kanker manusia, mampu menghambat glikolisis,
sintesis makromolekul (Bonavida, 2008) dan juga kuersetin memiliki aktivitas
antivirus yang dapat melawan virus dari herpes simplex type 1, parainfluenza type
3, polio virus type 1 (Hoffmann, 2003). Selain itu kuersetin dapat mempengaruhi
sistem enzim, antara lain enzim Lipoxygenase, Aldose reductase, Hyaluronidase,
dan lain sebagainya (Hoffmann, 2003). Dan dalam skala industri kuersetin banyak
digunakan dalam industri suplemen dan banyak dipromosikan sebagai anti
inflamasi dan antioksidan alami (Hoffmann, 2003).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kuersetin memiliki aktivitas
sebagai penghambat enzim sitokrom P450 (Yan dkk, 1994; Obach, 2000). Hal ini
disebabkan karena kuersetin memiliki gugus hidroksi yang bebas, yang berperan
dalam proses interaksi dengan sitokrom P450 (Yan dkk, 1994). Dalam penelitian
tersebut disebutkan bahwa kuersetin berpengaruh terhadap sitokrom P450 sub
18
familia 3A4, 2E1, dan IA2 sebagai pemetabolisme parasetamol secara in vitro.
Beberapa obat yang dimetabolisme oleh sitokrom P450 di dalam tubuh manusia
antara lain karbamazepin, fenitoin, tolbutamid, parasetamol, dan lain sebagainya.
Dengan adanya hal tersebut, diperkirakan kuersetin akan berpengaruh pada efek
yang ditimbulkan oleh obat-obat tersebut, utamanya dalam hal ini adalah
parasetamol sebagai analgetik. Parasetamol merupakan salah satu obat yang
banyak digunakan di masyarakat. Parasetamol aman bila dikonsumsi dalam dosis
teurapetik, namun apabila di konsumsi dalam dosis tinggi akan mengakibatkan
kerusakan hepar (Zimmerman, 1978). Mekanisme hepatotoksik parasetamol,
disebabkan karena kerusakan sel hepar yang dihasilkan dari metabolit yang
terbentuk pada saat reaksi dengan sitokrom P450. Dalam dosis teurapetik, jalur
metabolisme utama parasetamol melalui glukoronidasi dan sulfatasi di hepar, dan
hanya sedikit dimetabolisme oleh sitokrom P450 yang menghasilkan NAPQI.
NAPQI dalam jumlah tersebut dapat didetoksifikasi melalui konjugasi dengan
glutation (GSH). Sedangkan parasetamol dalam dosis berlebihan, menyebabkan
kejenuhan jalur sulfatasi, sehingga terbentuk NAPQI dalam jumlah besar dan
mengakibatkan deplesi GSH, yang pada akhirnya NAPQI bereaksi dengan
makromolekul sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian sel di hepar (Yan
dkk, 1994). Dengan adanya pengaruh kuersetin sebagai pemetabolisme
parasetamol dimungkinkan akan berpengaruh juga dalam timbulnya efek
analgetik dan mengurangi hepatotoksisitas yang diakibatkan parasetamol dosis
tinggi. Dasar inilah yang menyebabkan peneliti ingin mengetahui apakah ada
19
pengaruh antara kuersetin dan daya analgetik parasetamol serta apakah kuersetin
dapat mengurangi hepatotoksisitas yang disebabkan parasetamol.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian kuersetin terhadap daya analgetik
parasetamol ?
2. Apakah kuersetin dapat mengurangi hepatotoksisitas yang disebabkan
parasetamol ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Pengaruh pemberian kuersetin terhadap daya analgetik parasetamol
2. Pengaruh kuersetin terhadap hepatotoksisitas yang disebabkan
parasetamol.
D. Manfaat Penelitian
Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh kuersetin terhadap efikasi
parasetamol dan toksisitasnya.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Flavonoid
Flavonoid merupakan satu dari banyak senyawa fenol di alam yang
terdapat dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kerangka C6-C3-C6 yang
20
analog dengan dua cincin benzen tersubstitusi yang dihubungkan dengan tiga
rantai karbon di tengahnya (Hoffmann, 2003). Terdapat keanaekaragaman
struktur dasar flavonoid (C6-C3-C6) menyebabkan pengklasifikasian metabolit
sekunder tumbuhan.
Gambar 1. Struktur dasar flavonoid (Hoffman, 2003)
Dalam glikosida flavonoid, D-glukosa merupakan jenis gula yang
paling sering ditemukan, tetapi terdapat kemungkinan untuk ditemukannya
gula jenis lain seperti L rhamnose, D-galaktosa, L-arabinosa dan D-xylosa,
sehingga sangat mungkin untuk setiap aglikon bisa memiliki kombinasi
glikosida yang berbeda (Hoffmann, 2003).
2. Kuersetin
Kuersetin paling umum ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi,
biasanya dalam bentuk glikosida, namun dalam bentuk bebas terdapat pada
Asteraceae, Passifloraceae, Rhamnaceae, dan tanaman Solanaceae
(Hoffmann,2003)
Nama lain kuersetin adalah 3,5,7,3’,4’-pentahydroxyflavone
(IUPAC) dengan rumus formula C15H10O7 dan bobot molekul 302,2.
21
Berikut merupakan rumus struktur kuersetin:
Gambar 2. Struktur kimia kuersetin (Hoffmann, 2003)
Kuersetin adalah flavon alami yang terdapat pada sebagian besar
buah dan sayuran. Kuersetin banyak memiliki aktivitas biologis
diantaranya adalah bersifat antitumor dan antiproliferatif pada berbagai sel
kanker manusia, serta memiliki kemampuan untuk menghambat glikolisis,
sintesis makromolekul dan aktivitas enzimatik (Bonavida, 2008).
Kuersetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis
penyakit degeneratif dengan cara mencegah terjadinya proses peroksidasi
lemak. Kuersetin juga memperlihatkan kemampuan mencegah proses
oksidasi dari Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara menangkap
radikal bebas dan mengikat logam transisi (Pankaj dkk, 2003). Kuersetin
mempengaruhi banyak sistem enzim diantaranya adalah transport
ATPases, lipoxygenase, protein kinases, aldose reductase, Cyclic
nucleotide phosphodiesterases, xanthine oxidase, catechol-O-methyltransferase, hyaluronidase, phospholipase A2, histidine decarboxylase,
cyclooxygenase, estrogen synthetase (Hoffmann,2003).
22
Kuersetin utamanya digunakan sebagai anti inflamasi sistemik
yang aman, ditunjukkan dalam banyak kasus alergi atau peradangan
berbasis patologi. Penggunaan kuersetin sebagai anti inflamasi sistemik
didasarkan pada pengaruh kuersetin terhadap proses biokimia yang
mempengaruhi respon fisiologis dalam tubuh. Selain sebagai anti
inflamasi, kuersetin juga memiliki aktivitas antivirus, baik secara in vivo
dan in vitro. Aktivitas antivirus paling banyak ditunjukkan dalam melawan
virus herpes simpleks tipe 1, parainfluenza tipe 3, virus polio tipe 1 dan
RSV (Hoffmann,2003).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahawa kuersetin memiliki
aktivitas sebagai penghambat enzim sitokrom P450 (Yan dkk, 1994;
Obach, 2000). Hal ini disebabkan karena kuersetin memiliki gugus
hidroksi yang bebas, yang berperan dalam proses interaksi dengan
sitokrom P450 (Buening dkk, 1981 cit. Sujono & Sutrisna, 2010)
3. Analgetika
Analgetika adalah obat yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri
(Mutschler, 1991). Anelgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang
persepsi rasa sakit. Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul,
anelgetika dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetika narkotika dan
anelgetika non-narkotika (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
23
a. Analgetika narkotika atau opioid
Analgetika narkotik yaitu senyawa yang dapat menekan fungsi
sistem saraf pusat secara selektif. Aktivitas analgetika narkotik jauh lebih
besar dibanding golongan anelgetika non-narkotik. Analgetik narkotik
adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan
rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum yang berkhasiat kuat atau
bekerja pada pusat (sistem saraf pusat). Obat yang tercakup dalam
golongan ini mempunyai daya penghilang nyeri yang kuat sekali dengan
titik kerja yang terletak di SSP.
Analgesik opioid dapat menyebabkan analgesia, depresi napas,
euforia, dan sedasi. Dalam penggunaan opioid seringkali dikonsumsi
dengan anti emetikum dan laksatif karena efek samping opioid dapat
menyebabkan mual, muntah serta konstipasi (Neal, 2005).
Terapi yang panjang dan berkelanjutan dengan analgetik opioid
dapat menyebabkan toleransi (penurunan respons) dan ketergantungan
pada pecandu. Toleransi ringan terjadi pada efek miosis dan konstipasi,
sedangkan ketergantungan fisik maupun psikologis pada analgesik opioid
muncul secara bertahap dan penghentian obat secara mendadak dapat
menyebabkan sindrom abstinience atau gejala withdrawal. Contoh
analgesik opioid : diamorfin, fenazosin, dekstromoramid, fentanil,
metadon, petidin, buprenorfin (Neal, 2005).
24
b. Analgetika non narkotik atau NSAID
Analgetik non-narkotik sering juga disebut analgetik-antipiretik
atau NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs). Obat-obat golongan
NSAID tidak hanya mempunyai efek analgetik, tapi juga mempunyai efek
antipiretik, dan dalam dosis lebih tinggi dapat memiliki efek antiinflamasi.
NSAID memiliki kemampuan dalam menghambat enzim siklooksigenase
(siklooksigenase) yang berfungsi untuk mengkonversi asam arachidonat
menjadi
prostaglandin,
prostasiklin,
dan
tromboksan
sehingga
menyebabkan terganggunya proses konversi asam arakidonat menjadi
mediator inflamasi tersebut.
Artinya menghambat
Gambar 3. Alur perombakan asam arakhidonat (Siswandono dan Soekardjo, 1995)
Dalam tubuh manusia prostaglandin mempunyai 2 peran yaitu
peran fisiologis dan peran patologis, dimana efek-efek tersebut dapat
25
terjadi tergantung dari penyebab dan enzim yang berperan. Pada efek
fisiologis, prostaglandin dapat menurunkan sekresi asam lambung dengan
adanya reseptor PGE-2 sehingga dapat melindungi mukosa lambung,
selain itu prostaglandin dapat meningkatkan aliran darah ke ginjal karena
adanya reseptor PGD2 yang berfungsi untuk vasodilatasi.
Penggunaan NSAID jangka panjang pada mukosa lambung, dapat
menyebabkan kerusakan gastrointestinal seperti dispepsia, mual, gastritis
sampai
pendarahan
gastrointestinal
dan
perforasi.
Kerusakan
gastrointestinal tersebut diakibatkan karena inhibisi sintesis prostaglandin
membuat aktivasi pompa proton yang terus menerus dan menyebabkan
akumulasi HCl dalam lambung yang selanjutnya akan mengiritasi
lambung. Selain memiliki efek samping yang dapat menyebabkan
permasalahan di gastrointestinal, NSAID juga memiliki efek samping pada
ginjal. Prostaglandin PGE2 dan PGE1 merupakan vasodilator kuat yang
masing-masing disintesis dalam medula ginjal dan glomerolus, dan terlibat
dalam pengendalian aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air.
Inhibisi sintesis prostaglandin ginjal bisa menyebabkan retensi natrium,
penurunan aliran darah ginjal, dan gagal ginjal terutama pada pasien
dengan kondisi yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin
vasokonstriktor dan angiotensin II, contoh pasien gagal jantung
kongestif,sirosis (Neal, 2005).
Peran patologis prostaglandin adalah sebagai mediator timbulnya
rasa sakit. Terdapat enzim fosfolipase A2 di dalam fosfolipid bilayer yang
26
berfungsi mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Enzim
fosfolipase A2 aktif ketika terjadi suatu peradangan dan akan membentuk
asam arakhidonat, dimana pada kondisi tersebut kondisi pH turun lalu
asam arakhidonat membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim
siklooksigenase. Terdapat 2 jenis enzim siklooksigenase yaitu enzim
siklooksigenase 1 (Cox 1) yang menghasilkan prostaglandin untuk peran
fisiologis seperti dalam melindungi sel saluran pencernaan dan
merangsang agregasi platelet, sedangkan enzim siklooksigenase 2 (Cox 2)
menghasilkan prostaglandin untuk peran patologis seperti berperan dalam
proses nyeri, peradangan, kanker, demam. Penggunaan NSAID akan
menghambat
enzim
siklooksigenase
yang
berperan
menghasilkan
prostaglandin. Mediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin dan
leukotrien dapat meningkatkan sensitivitas nociceptor, sehingga dapat
menurunkan ambang rasa nyeri sehingga dapat menimbulkan nyeri
(Mutschler, 1991).
4. Parasetamol
a. Sifat fisika dan kimia parasetamol
Parasetamol merupakan serbuk hablur, putih,tidak berbau dan rasa
sedikit pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih dan dalam natrium
hidroksida (NaOH) 1 N, mudah larut dalam etanol. Parasetamol
mempunyai berat molekul 151,16 (Anonim, 1995). Struktur kima
parasetamol ditunjukkan sebagai berikut :
27
Gambar 4. Struktur kimia parasetamol (Mutschler, 1991)
Parasetamol
atau
asetaminofen
atau
N-asetil-p-aminofenol
merupakan metabolit aktif fenasetin yang bertanggung jawab pada efek
analgetiknya. Parasetamol digunakan sebagai analgesik dan antipiretik.
Walaupun efek analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin,
parasetamol berbeda karena efek antiinflamasi hampir tidak punya.
Parasetamol dapat digunakan untuk pasien yang hipersensitif terhadap
aspirin (contoh pasien ulser lambung) untuk penggunaan analgesik atau
antipiretiknya (Katzung, 2002).
b. Parasetamol sebagai analgetik dan toksisitasnya
Parasetamol bekerja dengan cara menghambat pembentukan
prostaglandin. Prostaglandin adalah suatu senyawa dalam tubuh yang
merupakan mediator nyeri dan inflamasi. Enzim cyclooxygenase (COX)
merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin dari
asam arakhidonat. Prostaglandin tidak akan terbentuk apabila enzim
cyclooxygenase dihambat, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri (Zullies,
2010).
Parasetamol memiliki keunggulan dibanding obat golongan
NSAID lainnya, yaitu relatif lebih aman terhadap lambung. Hal tersebut
dikarenakan selain enzim COX-1 dan COX-2 yang mengkatalisis
28
perubahan prostaglandin, terdapat enzim COX-3 yang banyak terdapat di
otak dan sistem syaraf pusat. Parasetamol lebih spesifik menghambat
enzim COX-3 yang terdapat di otak, sehingga menghambat prostaglandin
yang dapat mempengaruhi termostat di hipotalamus. Kerja parasetamol
dalam menghambat COX-3 ini
dapat menurunkan demam, selain itu
bekerja sebagai analgesik karena penghambatan prostaglandin dapat
menurunkan ambang rasa nyeri. Kerja parasetamol yang spesifik pada
COX-3 dan tidak menghambat COX-2, membuat efek parasetamol sebagai
anti radang kecil di jaringan. Tidak terhambatnya COX-1 oleh parasetamol
juga memperkecil efek samping pada lambung karena tidak mempengaruhi
produksi prostaglandin jaringan yang dibutuhkan untuk melindungi
mukosa lambung (Zullies, 2010).
Parasetamol bila dikonsumsi secara oral akan cepat diabsorbsi dan
dialirkan oleh darah menuju hepar. Parasetamol di dalam hepar dioksidasi
oleh bentuk iso CYP450 menjadi metabolit reaktifnya yang disebut Nasetil-p-benzokuinonimina (NAPQI). Proses tersebut dinamakan aktivasi
metabolik. NAPQI merupakan senyawa yang reaktif dan akan mengasilasi
makromolekul selular esensial sehingga dapat menyebabkan toksisitas.
Bila parasetamol digunakan dalam dosis teurapeutik, kadar glutation yang
terdapat dalam tubuh cukup untuk mendetoksifikasi NAPQI. Glutation
mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara kovalen radikal
bebas NAPQI dan menghasilkan konjugat asam merkapturat yang
kemudian akan dieksresikan melalui urin (Zullies, 2010). Jika parasetamol
29
digunakan dalam dosis tinggi, kadar NAPQI akan melebihi kemampuan
glutation untuk mendetoksifikasi NAPQI dan menyebabkan kerusakan
intraseluler diikuti nekrosis hepar (Cairns, 2008). Metabolit NAPQI
merupakan metabolit hepatotoksik dengan mekanisme pengikatan kovalen
protein dalam hepar dan menyebabkan stress oksidatif (Nelson, 1995).
Sehingga dengan adanya peningkatan metabolit NAPQI, kerusakan hepar
mudah terjadi.
Gambar 5. Peranan glutation terhadap toksisitas parasetamol (Cairns, 2008)
Antidotum
untuk
keracunan
parasetamol
adalah
dengan
memberikan N-asetilsistein. Senyawa tersebut adalah derivat asetil asam
amino esensial sistein yang berfungsi sebagai sumber alternatif gugus thiol
(-SH) (Cairns, 2008). N-asetilsistein bekerja sebagai subtitusi glutation
dalam mendetoksifikasi metabolit aktif atau toksik, contohnya NAPQI.
Pemberian asetilsistein akan lebih bermanfaat bila diberikan segera setelah
terjadi keracunan jika memungkinkan (Priyanto, 2010).
30
Gambar 6. Struktur N-Asetilsistein (Cairns, 2008)
5. Patofisiologi nyeri
a. Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara
emosional maupun sensori yang berhubungan dengan suatu kerusakan
jaringan atau faktor lain. Rasa nyeri dapat diakibatkan oleh faktor psikis
dan fisik. Nyeri akibat faktor psikis bukan diakibatkan oleh penyebab
organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap
fisik. Nyeri karena faktor fisik disebabkan karena terganggunya serabut
saraf reseptor nyeri dan serabut – serabut saraf ini terletak pada lapisan
kulit dan jaringan yang lebih dalam. Contoh nyeri akibat faktor fisik antara
lain peradangan, gangguan sirkulasi darah, dll (Mutschler,1991).
b. Klasifikasi nyeri
Nyeri diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu berdasarkan durasi
(nyeri akut dan nyeri kronik), berdasarkan patofisiologi (nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropatik) dan nyeri psikologi.
1) Nyeri akut dan kronik
Nyeri akut adalah suatu sensasi tidak menyenangkan yang
kompleks berkaitan dengan suatu kerusakan jaringan atau fungsi
31
abnormal dari otot atau organ visera. Nyeri akut berperan sebagai
peringatan terhadap terjadinya suatu cedera ringan.
Nyeri kronik dapat dibedakan menjadi dua yaitu nyeri kronik
malignan dan nyeri kronik non malignan. Nyeri kronik malignan
terkadang merupakan indikasi dari suatu penyakit (contohnya kanker)
dan biasanya disertai dengan kelainan patologis. Nyeri kronik non
malignan biasanya tidak disertai dengan kelainan patologis yang
terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar
(Mutschler, 1991).
2) Nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah suatu nyeri inflamasi yang disebabkan
karena rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan
aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer. Nyeri nosiseptif
dibagi mejadi nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri viseral
merupakan suatu nyeri yang berasal dari rangsangan pada organ
viseral dan menjalar ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat
nyeri berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Contoh dari
nyeri viseral adalah
kontraksi ritmis otot polos (Mutschler,1991).
Nyeri somatik merupakan suatu nyeri yang berasal dari jaringan
seperti kulit, otot, tulang ataupun sendi. Nyeri somatik digambarkan
dengan rasa terbakar, tajam dan menusuk (Mutschler,1991).
Nyeri neuropatik adalah suatu nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem syaraf pusat
32
yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer. Penyebab dari
nyeri neuropatik adalah trauma, radang, penyakit metabolik (contoh :
diabetes mellitus), tumor, infeksi, toksin dan penyakit neurologis
primer (Mutschler,1991).
c. Mekanisme nyeri
Mekanisme terjadinya suatu nyeri merupakan suatu rangkaian
proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosisepsi. Nosisepsi
adalah proses penyampaian informasi (stimuli noksius) dari perifer ke
sistem syaraf pusat. Rangsangan noksius merupakan rangsangan yang
terjadi akibat terjadinya cedera jaringan berupa rangsangan mekanik, suhu
dan kimia. Nosisepsi merefleksikan empat proses komponen yang nyata
yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya
stimuli yang kuat di perifer yang diteruskan hingga dirasakan nyeri di
sistem syaraf pusat. Pengertian transduksi adalah proses konversi energi
dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia) menjadi energi listrik
(impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor). Sedangkan
transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf yang terjadi akibat
adanya rangsangan di perifer ke pusat. Modulasi adalah proses pengaturan
impuls yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat, namun biasanya
diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses di
kornu dorsalis medulla spinalis. Persepsi merupakan proses apresiasi atau
pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke SSP sebagai nyeri
(Mutschler,1991).
33
6. Metode Pengujian Daya Analgetik
Metode
pengujian
daya
analgetik
dilakukan
untuk
menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi pada hewan percobaan seperti mencit, tikus, marmot dan
sebagainya. Rasa nyeri yang diberikan dapat secara mekanik, termik, elektrik,
maupun kimia. Pengujian daya analgetik didasarkan pada besarnya stimulus
nyeri yang harus diberikan sampai dijumpai respon pada hewan percobaan,
atau dengan mengukur ketahanan hewan terhadap respon nyeri (Anonim,
1993). Berikut merupakan metode yang dapat digunakan dalam pengujian
daya analgetik:
a. Metode panas
Terdapat tiga cara dalam metode panas antara lain :
1) Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang
dipertahankan pada suhu 60 ± 10C.
2) Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui
kawat Ni panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora & Dandiya, 1992).
3) Metode hot plate, metode ini tepat digunakan untuk evaluasi analgesik
sentral (Gupta dkk, 2003). Metode ini dilakukan dengan cara hewan
percobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56 ± 10C),
lalu kemudian akan menjilat kaki depan jika terasa nyeri akibat panas.
b. Metode geliat
Senyawa yang diuji dinilai kemampuannya dalam menghilangkan
rasa nyeri akibat pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Respon
34
nyeri yang ditimbulkan adalah geliat (writhing) pada hewan percobaan,
yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen
(retraksi) dengan membengkokkan kepala dan kaki ke belakang.
Frekusensi gerakan ini menyatakan suatu derajat nyeri yang dirasakannya
(Vogel, 1997 ). Metode ini disebut juga sebagai Writhing Reflex Test atau
Abdominal Constriction Test. Selain sederhana, dengan metode ini juga
dapat memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer,
dan dapat dipercaya (Gupta dkk, 2003).
c.
Metode mekanik
Metode ini dilakukan dengan pemberian tekanan sebagai
penginduksi nyeri pada ekor hewan percobaan. Pengukuran dilakukan
terhadap jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan rasa nyeri
sebelum dan sesudah pemberian obat. Metode ini dapat diterapkan pada
hewan mencit, tikus, dan anjing (Manihuruk, 2000).
d. Metode listrik
Aliran listrik merupakan penginduksi nyeri dalam metode ini
(Vohora & Dandiya, 1992). Manifestasi nyeri akibat aliran listrik ini
adalah timbulnya gerakan atau cicitan. Apabila arus listrik yang diberikan
pada hewan uji sudah cukup besar, tetapi hanya menimbulkan sedikit
gerakan atau cicitan, maka senyawa analgetik yang diujikan tersebut
memiliki kekuatan analgetik yang besar. Hewan percobaan yang dapat
digunakan antara lain dengan metode ini adalah mencit, tikus, kera,
kucing, anjing, dan kelinci (Manihuruk, 2000).
35
7. Histologi hepar
a. Histologi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh, terletak di dalam
rongga perut kanan atas, di bawah diafragma kanan. Hepar berwarna
coklat kemerahan dan secara metabolisme paling kompleks dalam tubuh.
Hepar merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme zat makanan
serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu & Frank, 1995). Terdapat dua
lobus pada hepar yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Lobus kanan berukuran
lebih besar dibandingkan lobus kiri, setiap lobus terdiri atas ribuan lobulus
yang merupakan unit fungsional, dan pada lobulus memiliki sel-sel
hepatosit yang berbentuk kubus yang tersusun secara melingkar
mengelilingi vena sentralis (Stockham & Scott, 2002).
Sel hepatosit merupakan komponen struktural utama dari hepar.
Hepatosit memiliki enzim –enzim pemetabolisme zat kimia dan enzim –
enzim respiratory. Sel hepatosit berada pada lobulus hepar dan memiliki
permukaan yang mengarah kepada sinusoid (pembuluh darah di hepar),
kanalikuli dan empedu dan sel hepatosit yang lain.
Sel kuffer merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial
tubuh yang berada di dalam hepar. Sel kuffer didapatkan di dalam hepar
dalam kondisi melapisi sinusoid. Fungsi dari sel kuffer adalah untuk
merombak eritrosit, mensekresi protein yang terkait dengan proses
imunologis dan melakukan fagositosis zat – zat asing dan berbahaya (Price
& Wilson, 1995).
36
b. Jenis – Jenis Kerusakan Pada Hepar
Semua darah yang disitribusikan ke saluran pencernaan kembali ke
jantung melalui sistem portal hepar untuk menjalani beberapa proses.
Dengan demikian semua zat yang ada dalam darah akan melewati hepar
dan beberapa dari zat tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada hepar.
Jenis – jenis dari kerusakan hepar adalah :
1) Nekrosis hepar
Nekrosis hepar adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat
bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif. Biasanya
nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah
dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hepar (Zimmerman,
1978). Peristiwa yang mengikuti terjadinya nekrosis antara lain :
kariolisis (inti sel yang mati menghilang), piknosis (inti sel yang mati
mengalami penyusutan), dan karioreksis (inti sel yang mati hancur dan
meninggalkan pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel) (Price
& Wilson, 1995).
Nekrosis yang terjadi karena suatu hepatoksikan dapat melalui
berbagai mekanisme. Diantaranya adalah dengan perubahan biokimia,
yakni adanya metabolit toksikan yang reaktif terikat secara kovalen
pada protein dan lipid, peroksidasi lipid, atau penghambatan jalur
metabolisme. Perubahan biokimia lain adalah habisnya adenosin
trifosfat (ATP), hilangnya ion kalsium, bergesernya keseimbangan Na+
dan K+ antara hepatosit dan darah, habisnya glutation, rusaknya
37
sitokrom P-450, dan hilangnya NAD dan NADP (Lu & Frank, 1995).
Nekrosis hepar merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya
tetapi tidak selalu kritis karena kemampuan regenerasi jaringan mati di
hepar yang cukup besar sehingga cepat digantikan dengan jaringan
yang baru.
2) Kongesti
Kongesti dikenal pula dengan nama hiperemia. Jika dilihat
dengan mata telanjang, maka daerah atau organ yang mengalami
kongesti akan berwarna lebih merah dan secara mikroskopi kapiler –
kapiler dalam jaringan melebar penuh berisi darah. Terdapat dua
mekanisme timbulnya kongesti, yaitu kenaikan jumlah darah yang
mengalir ke daerah tersebut dan penurunan jumlah darah yang mengalir
ke daerah tersebut (Price & Wilson, 1995). Kenaikan jumlah darah
yang mengalir ke suatu daerah dikenal dengan kongesti aktif, yang
biasa terjadi pada daerah arterial dan terjadi karena kapiler berdilatasi
akibat
rangsang
vasodilator
atau
kelumpuhan
vasokontriktor.
Sedangkan mekansime yang kedua dikenal dengan kongesti pasif yang
sering terjadi pada daerah aliran vena, kongesti pasif dapat disebabkan
oleh sebab – sebab sentral atau sistemik seperti pada gagal jantung.
Kongesti merupakan salah satu manifestasi terjadinya peradangan
akibat cedera sel (Price & Wilson, 1995).
38
3) Degenerasi vakuoler atau degenerasi hidropik
Degenerasi hidropik merupakan perubahan seluler akibat
adanya gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracuan bahan
kimia. Perubahan ini bersifat reversible meskipun dapat pula berubah
menjadi
irreversible
apabila
penyebab
cederanya
menetap
(Underwood, 2000). Bentuk yang teramati dalam mikroskop adalah
warna sel memutih atau pudar (seperti ruang kosong), berbutir – butir,
albuminoid
(Ressang,
1984).
Inti
tampak
membesar
dan
bergelombang serta kromatinnya jarang dan tidak eosinofil (tidak
menyerap eosin).
4) Kolestatis
Kolestatis
merupakan
penghentian
dari
aliran empedu
sehingga terjadi deposit bilirubin pada hepar. Perubahan permeabilitas
membran hepatosit atau saluran empedu juga penyebab dari
kolestatsis. Kolestatis ini secara sederhana dapat dikatakan sebagai
tersumbatnya cairan empedu dari hepar. Hepar terus mengeluarkan
billirubin
ke
pembuluh
darah
sehingga
pada
manusia
bisa
menyebabkan jaundice. Jenis kerusakan hepar yang bersifat akut ini,
lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan perlemakan hepar dan
nekrosis (Lu & Frank, 1995).
5) Perlemakan hepar (steatosis)
Steatosis merupakan kondisi dimana sel mengandung lipid
lebih dari 5% (b/b). Penyebabnya adalah terhambatnya transfer lipid
39
keluar dari hepar. Menurut Lu & Frank (1995), steatosis juga
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kecepatan sintesis dan
pelepasan trigliserida oleh sel – sel parenkim ke dalam sirkulasi
sitemik, steatosis bersifat terbalikkan. Perlemakan hepar terjadi karena
terjadi penumpukan lemak yang seharusnya dikeluarkan namun tetap
berada didalam hepar. Jika proses ini terus berlanjut, maka vakuola –
vakuola lemak yang berukuran kecil akan berkumpul dan akan
bergabung membentuk vakuola yang lebih besar sehingga mendesak
inti sel ke sel perifer. Akibatnya dapat menyebabkan nekrosis tak
terbalikkan.
6) Sirosis
Sirosis ditandai dengan adanya penumpukan septa kolagen
yang tersebar di sebagian besar hepar. Sirosis dalam sebagian besar
kasus berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme
perbaikan sel. Hal ini menyebabkan aktivitas fibroblastik dan
pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam
hepar mungkin menjadi faktor pendukung terjadinya sirosis (Lu &
Frank, 1995). Sirosis hepar dapat juga dikatakan pengerasan pada
hepar. Sirosis hepar dicirikan dengan permukaan nodular, granular,
dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Pada
umumnya bahan – bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan
sirosis hepar (Ressang, 1984).
40
7) Hepatitis
Hepatitis adalah radang pada hepar yang umumnya disebabkan
oleh virus. meskipun demikian, berbagai senyawa kimia dapat
mengakibatkan sindrom klinis yang tidak dapat dibedakan dari
hepatitis virus (Lu & Frank, 1995).
c. Hepatoksin
Hepatoksin adalah zat yang dapat menimbulkan efek toksik pada
hepar dengan dosis berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama.
Hepatoksin dapat menyebabkan kerusakan hepar akut, subakut, dan
kronik. Pada umumnya hepatoksin dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu :
1) Hepatoksin intrinsik
Golongan senyawa hepatoksin intrinsik memiliki sifat dasar
toksik terhadap hepar. Kerusakan hepar akibat pemejanan senyawa
golongan ini dapat diramalkan. Yang termasuk dalam golongan
hepatoksin intrinsik adalah karbon tetraklorida, etionin, kloroform,
dan kontrasepsi steroid (Zimmerman, 1978).
2) Hepatoksin idiosinkratik
Efek toksik dari senyawa – senyawa golongan ini tidak dapat
diramalkan karena memiliki sifat dasar toksik terhadap hepar.
Golongan ini hanya dapat menimbulkan efek toksik pada individu
yang sensitif terhadap senyawa ini. Contoh dari senyawa – senyawa
41
ini antara laibn : isoniasid, haloten, dan sulfonamid (Zimmerman,
1978).
Dalam hepar toksikan didetoksifikasi melalui reaksi konjugasi
dengan beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam hepar, seperti
glutation, asam glukoronat, glisin, dan asetat. Dalam hepar kadar enzim
yang memetabolisme xenobiotik dalam hepar tinggi (terutama sitokrom P450), hal ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan
lebih mudah larut air, sehingga lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam
beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi
(Zimmerman, 1978 ).
d. Pemeriksaan Patologi Hepar
Pemeriksaan
patologi
hepar
bisa
meliputi
pemeriksaan
makroskopik dan pemeriksaan mikroskopik. Pemeriksaan makroskopik
dilihat berdasarkan perubahan warna dan penampilan yang dapat
menunjukkan sifat toksisitas, seperti nekrosis, kongesti, perlemakan hepar
atau sirosis. Biasanya berat organ merupakan petunjuk yang sangat peka
dari efek pada hepar. Meski suatu efek tidak selalu menunjukkan
toksisitas, dalam kasus tertentu peningkatan berat hepar merupakan
kriteria paling peka untuk toksisitas. Sedangkan pemeriksaan mikroskopik
yang menggunakan mikroskop cahaya dapat mendeteksi berbagai jenis
kelainan histologi, seperti perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik
dan neoplasia. Pemeriksaan mikroskopik menggunakan mikroskop
42
elektron dapat mendeteksi perubahan dalam berbagai struktur subsel (Lu
& Frank,1995).
Kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak
banyak yang dapat dilihat di bawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah
mikroskop, kebanyakan sediaan harus diwarnai. Oleh sebab itu, telah
dirancang pewarnaan jaringan agar berbagai unsur jaringan jelas terlihat
dan dapat dibedakan. Bahan warna mewarna berbagai jaringan, kurang
lebih secara selektif. Pengecatan dasar menggunakan Hematoksilin Eosin
(HE) dapat digunakan untuk melihat morfologis nukleus, sitoplasma, dan
matrix seluler dengan bantuan mikroskop cahaya (Junqueira & Carniero,
1980).
Hematoksilin dan Eosin adalah metode pewarnaan yang banyak
digunakan dalam dalam pewarnaan jaringan sehingga ia di perlukan dalam
diagnosa medis dan penelitian. Hematoksilin adalah bahan pewarna yang
sering digunakan pada pewarnaan histoteknik, ia merupakan ekstrak dari
pohon yang diberi nama logwood tree. Hematoksilin bekerja sebagai
pewarna basa, artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan.
Hematoksilin memulas inti dan strukutur asam lainnya dari sel (seperti
bagian sitoplasma yang kaya- RNA dan matriks tulang rawan) menjadi
biru. Eosin bersifat asam. Ia akan memulas komponen asidofilik jaringan
seperti mitokondria, granula sekretoris dan kolagen. Tidak seperti
hematoksilin, eosin mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi warna
merah muda (Junqueira dkk, 1995).
43
8. Toksikologi
a. Definisi dan ruang lingkup toksikologi
Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang aksi berbahaya zat
kimia atas jaringan biologi dan dampaknya. Definisi ini megandung arti
bahwa dalam jaringan biologi, dalam kondisi tertentu, zat kimia dapat
berinteraksi menimbulkan efek berbahaya dengan wujud dan sifat tertentu
(Donatus, 2005).
b. Kondisi efek toksik
Efek toksik didefinisikan sebagai suatu keadaan atau faktor yang
mempengaruhi efektivitas absorbsi dan distribusi suatu zat dalam tubuh.
Kondisi efek toksik mempengaruhi atau menentukan keberadaan zat kimia
atau metabolitnya dalam sel sasaran atau tempat kerjanya. Jumlah zat
kimia atau metabolitnya di sel sasaran akan mempengaruhi atau
menentukan efek toksiknya (Priyanto, 2010)
c. Mekanisme efek toksik
Keberadaan zat kimia dalam tubuh dapat menimbulkan efek toksik
melalui 2 cara, yaitu secara langsung (toksik intrasel) dan secara tidak
langsung (toksik ekstrasel). Toksik intrasel adalah toksisitas yang diawali
dengan interaksi langsung antara zat kimia atau metabolitnya dengan
reseptornya. Toksisitas ekstra sel terjadi secara tidak langsung dengan
mempengaruhi lingkungan sel sasaran tetapi dapat berpengaruh pada sel
sasaran (Priyanto, 2010).
44
d. Wujud efek toksik
Wujud efek toksik dapat digambarkan dengan terjadinya
perubahan biokimiawi sel, perubahan fungsional dan perubahan struktural
suatu sel.
1). Perubahan Biokimiawi sel
Perubahan kimiawi sering terjadi akibat dari zat dalam tubuh,
contohnya peningkatan atau pengurangan aktivitas transport elektron,
sintesis protein, dan gangguan sistem hormonal.
2). Perubahan fungsional
Interaksi antara zat toksik dengan reseptor dapat menimbulkan
perubahan atau organ–organ tertentu, seperti terjadinya gangguan
pernapasan, gangguan sistem saraf pusat, hipotensi, hipertensi,
hiperglikemi dan hipoglikemi. Perubahan fungsional atau biokimiawi
sering merupakan tahap awal dari terjadinya perubahan struktural.
3). Perubahan struktural
Perubahan struktural dapat berupa degenerasi, proliferasi, dan
inflamasi. Degenerasi dan proliferasi adalah efek intrasel, sedangkan
inflamasi adalah efek ekstraseluler. Berbagai efek tersebut mendasari
perubahan morfologi sel seperti nekrosis (Donatus, 2005).
e. Sifat efek toksik
Sifat efek toksik terbagi dalam dua jenis yaitu terbalikkan dan tidak
terbalikkan. Efek toksik terbalikkan antara lain reseptor akan kembali ke
keadaan semula bila jumlah zat toksik dalam reseptor telah habis dan efek
45
toksik yang terjadi akan cepat hilang dan kembali normal. Efek toksik
tidak terbalikkan antara lain kerusakan akibat paparan toksik terjadi secara
permanen (Donatus, 2005).
f. Uji toksikologi
Keamanan, efektivitas, dan mutu obat merupakan menjadi prioritas
utama yang harus dipersiapkan sebelum obat dipasarkan. Serangkaian ujiuji dilakukan untuk memastikan kelayakan obat di pasaran. Uji diawali
dari skrinning untuk mencari senyawa aktif dan dilanjutkan dengan uji
efektivitas pada hewan coba. Setelah dinyatakan memiliki aktivitas
farmakologi tertentu, serangkaian tes dilakukan kembali untuk menilai
apakah zat tersebut aman atau tidak. Uji – uji untuk menilai keamanan zat
meliputi uji toksisitas akut, uji toksisitas sub akut, uji toksisitas kronik, uji
efek pada organ reproduksi, uji karsinogenik, dan uji mutagenik
(Donatus,2005).
F. Landasan Teori
Parasetamol merupakan obat yang umum digunakan sebagai analgetik
dan antipiretik. Dalam hepar, parasetamol dioksidasi oleh sitokrom P450
menjadi metabolit reaktifnya yaitu NAPQI. Dalam dosis teurapetik,
parasetamol dimetabolisme melalui glukoronidasi dan sulfatasi di hepar, dan
hanya sedikit yang dapat menghasilkan NAPQI, yang mana NAPQI dalam
jumlah tersebut dapat didetoksifikasi melalui konjugasi dengan GSH.
Parasetamol dalam dosis tinggi, menyebabkan kejenuhan jalur sulfatasi,
46
sehingga terbentuk NAPQI dalam jumlah besar dan mengakibatkan deplesi
GSH, yang pada akhirnya NAPQI bereaksi dengan makromolekul sehingga
menyebabkan kerusakan dan kematian sel di hepar (Yan dkk, 1994). NAPQI
merupakan senyawa yang reaktif dan akan mengasilasi makromolekul selular
esensial sehingga dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Kuersetin merupakan
senyawa flavonoid yang diketahui memiliki aktivitas sebagai penghambat
enzim sitokrom P450 (Yan dkk, 1994; Obach, 2000). Hal tersebut disebabkan
karena kuersetin memiliki gugus hidroksi bebas yang berperan dalam proses
interaksi dengan sitokrom P450 (Yan dkk, 1994), lebih khusus lagi kuersetin
mampu menghambat sitokrom P450 sub familia 3A4 (Ping-Chuen dkk,
2001). Adanya hal tersebut, diperkirakan kuersetin akan berpengaruh pada
daya analgetik parasetamol. Selain itu, kuersetin dapat mengurangi
hepatotoksisitas yang diakibatkan parasetamol
karena dapat menghambat
sitokrom P450 sehingga menghambat pembentukan NAPQI yang bersifat
hepatotoksik. Disamping itu kuersetin memiliki aktivitas antioksidan.
Mekanisme antioksidan
yang dimiliki
kuersetin
diantaranya adalah
menangkap oksigen reaktif atau reactive oxygen species (ROS) dan mencegah
terbentuknya formasi ROS dengan mengkelat transisi ion logam seperti besi
dan tembaga (Pankaj dkk, 2003).
Pemberian kuersetin diperkirakan dapat meningkatkan efek analgetik
parasetamol dan mengurangi hepatotoksisitas yang disebabkan pemberian
parasetamol.
47
G. Hipotesis
Kuersetin diduga dapat mempegaruhi daya analgetik parasetamol dan
mengurangi hepatotoksisitas yang disebabkan parasetamol.
Download