KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) LAVLINESIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2007 Lavlinesia IPN 965044 Abstrak LAVLINESIA. KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum HASSK). Di bawah bimbingan Soewarno T. Soekarto sebagai ketua, dan Betty Sri Laksmi Jenie, Dedi Fardiaz dan Purwiyatno Hariyadi sebagai anggota. Atung adalah sejenis tanaman hutan yang bijinya sejak lama secara tradisional digunakan sebagai bahan pengawet pangan di Maluku,bubuk dan ekstrak biji atung telah terbukti dapat mengawetkan udang, berbagai jenis ikan dan berbagai produk dari ikan. Ekstrak etil asetat biji atung bebas lemak mempunyai penghambatan yang tinggi dengan spektrum penghambatan yang luas terhadap bakteri patogen dan perusak pangan.. Agar ekstrak etil asetat biji atung ini dapat digunakan secara tepat dan efisien dalam memperpanjang umur simpan dan dapat menjamin keawetan pangan perlu dipelajari pola dan mekanisme inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung. Dalam penelitian ini, (1) dipelajari nilai MIC dari pada 5 jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus plantarum, Bacillus subtilis dan Escherichia coli, (2) dipelajari pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens pada dosis di atas dan di bawah MIC, (3) dikaji pengunaan nilai D dan Z untuk pola kematian yang bersifat logaritmik, pada media cair dan pada pangan model padat, dan (4) dipelajari pola kerusakan sel melalui pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur menggunakan scanning electron microscope (SEM) dan transmission electron microscope (TEM) (5) dan di analisa pola kebocoran sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri S. aureus dan P. fluorescens mempunyai kepekaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat biji atung dengan nilai MIC 3,2 mg/ml, E. coli lebih tahan dari P. fluorescens yang sama-sama Gram negatif dengan nilai MIC 5,34 mg/ml. Nilai MIC E. coli ini sama dengan nilai MIC B. subtilis yaitu bakteri Gram positif penghasil spora. L. plantarum menunjukkan resitensi terhadap ekstrak etil asetat biji atung sampai dengan penambahan 26,70 mg/ml ekstrak tidak menunjukkan penghambatan. Hasil pengamatan pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens pada dosis di bawah MIC menunjukkan pola regenerasi, akan tetapi pola regenerasi P. fluorescens terjadi pada kisaran dosis yang sempit (0,53-0,61 MIC). Terdapatnya pola regenerasi pada kedua jenis bakteri ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat menyebabkan bakteri S. aureus dan P. fluorescens menjadi sakit. Dari hasil penelitian ini sel S. aureus yang sakit dapat dideteksi menggunakan media TSA-YE sebagai media non selektif dan TSAS-YE sebagai media selektif. Pola kematian S. aureus, P. fluorescens dan E.coli pada dosis di atas MIC dari hasil penelitian ini bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia ordo pertama yang ditunjukkan dengan pola garis lurus dengan waktu. Penyimpangan dari garis lurus ditemui pada ke tiga jenis bakteri, yaitu ditemukannya bahu dan ekor. Ke tiga bakteri ini mempunyai bahu dengan bentuk yang berbeda. S. aureus dan P. fluorescens mempunyai bahu pendek, dengan panjang yang sama tetapi P. fluorescens mempunyai bahu yang lebih curam. Pada S. aureus, bahu tidak ditemukan pada dosis tinggi, yang ditemukan adalah ekor, pada P. fluorescens ekor ditemukan pada dosis sekitar MIC, semakin tinggi dosis dari MIC ekor hilang, Bakteri E. coli mempunyai bahu yang panjang dengan bentuk mendatar seperti S. aureus, pada E. coli ini tidak ditemukan ekor. Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik dari ke tiga jenis bakteri (S. aureus , P. fluorescens dan E. coli) tersebut dihasilkan nilai D dan z untuk masing-masing bakteri pengaruh dosis ekstrak etil asetat biji atung. Untuk menghitung nilai D dari bakteri E. coli karena mempunyai bahu yang panjang, kurva kematiannya dibagi atas dua garis lurus, garis pertama adalah fase bahu (adaptasi) dan garis lurus kedua adalah fase kematian. Dari 8 tingkat dosis yang diperlakukan dari bakteri S. aureus dengan tidak memasukan data ekor , dan 6 tingkat dosis P. fluorescens serta 5 tingkat dosis dari E coli menunjukkan semakin tinggi dosis ekstrak etil asetat biji atung semakin kecil nilai D. Nilai D S. aureus pada dosis 1,0 MIC (3,20 mg/ml) adalah 3,14 jam, lebih kecil dari nilai D P. fluorescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam. E. coli mempunyai nilai D yang lebih besar dari nilai D bakteri S. aureus dan P. fluorescens yaitu untuk fase adaptasi 22.03 jam dan untuk fase kematian 1,66 jam. Nilai D S. aureus pada setiap dosis yang sama lebih kecil dari nilai D P. fluorescens, akan tetapi pada dosis yang tinggi (5,34 mg/ml) nilai D S. aureus lebih besar dari P. fluorescens. E. coli mempunyai nilai D lebih besar untuk dosis yang sama baik untuk fase adaptasi (bahu) maupun fase kematian. Dari hubungan log D dengan dosis diperoleh nilai z S. aureus 3,45 mg/ml lebih besar dari nilai z P. fluorescens yaitu 1,65 mg/ml. Nilai z E. coli paling besar diantara ketiga bakteri yang diuji yaitu 5,05 mg/ml untuk fase adaptasi dan 5,16 mg/ml untuk fase kematian. Pola kematian bakteri S. aureus di dalam pangan model padat dengan kandungan protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 %, lemak 25,6 % dan kadar air 12,18 % (aw = 0,76-0,78) pada suhu penyimpanan 29,9oC bersifat logaritmik dengan penyimpangan pada awal kurva. Bentuk penyimpangannya berbeda dari pola kematian S. aureus dalam media cair (NB). Pada`media cair fase adaptasi pada awal kurva kematian mendatar berbentuk bahu. Pada pangan model padat fase adaptasinya cekung dengan derajat kemiringan yang lebih besar dibandingkan dari fase kematian. Dengan mengasumsikan pola kematian S. aureus pada pangan model padat bersifat logaritmik didapat nilai D dan z yang jauh lebih besar daripada dalam media cair. Nilai D S. aureus pada media cair NB 3,14 jam, di dalam media padat menjadi 76,9 jam pada dosis 1,0 MIC (3,2 mg/ml) dengan nilai z 3,45 mg/ml menjadi 34,1 mg/g. Perbedaan ketahanan (nilai D dan z) bakteri S. aureus dengan P. fluorescens terhadap ekstrak etil asetat biji atung disebabkan karena perbedaan mekanisme kerja dari kedua bakteri ini. Pada sel S. aureus, ekstrak etil asetat biji atung bekerja pada membran sel, menganggu sintesis protein, protein dan asam nukleat. Pada sel P. fluorescens ekstrak etil asetat bekerja pada dinding sel yaitu melisis membran luar sel, akibatnya membran tidak tahan, menahan tekanan sitoplasma yang terdapat di dalam sel menyebabkan sel bocor. Ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan dinding sel S. aureus dan P. fluorescens lisis, sel yang lisis melepaskan ion Ca++, dan menyebabkan membran S. aureus dan P. fluorescens bocor, sel yang bocor mengeluarkan protein, asam nukleat, ion-ion kalium yang terdapat di dalam sel. THE BACTERIAL INACTIVATION PATTERN AND ANTIBACTERIAL MECHANISM BY ETHYL ACETATE EXTRACT OF ATUNG SEED (PARINARIUM GLABERIMUM HASSK). LAVLINESIA Under the advisory guidance of SOEWARNO T. SOEKARTO as the chairman of advisory committee and BETTY SRI LAKSMI JENIE, DEDI FARDIAZ and PURWIYATNO HARIYADI as members of the advisory committee. Abstract Recently, people avoid synthetic material for food preservation because of health reasons. Atung (Parinarium glaberimum Hask) is forest plant species. In Maluku, atung seed is traditional used as food preservatives. Many researches demonstrated that atung seed can be used for fish and fish products preservation. The ethyl acetate extract of atung seed could inhibit a wide range of bacteria effectively. Information about bacterial inactivation pattern of ethyl acetate extract of atung seed and its mechanism are important for efficient and save use of the atung seed extract. The objectives of this research were to investigate the pattern of bacterial inactivation and the mechanisms of ethyl acetate extract of atung seed. This research were consisted of 6 experiments are: (1) to acquire MIC (minimum inhibition concentration) value of its antimicrobial activities (2) to study the inactivation pattern of S. aureus (Gram positive), P. fluorescens (Gram negative) of ethyl acetate extract at doses below MIC (3) to study the time killing curve of S. aureus, P. fluorescens and E. coli of ethyl acetate extract at doses above MIC (4) to study the application of kinetic parameter ( D and z value) in broth and solid food model (5) to study the damage of S. aureus (Gram positive) and P. fluorescens (Gram negative) upon exposed of ethyl acetate extract of atung seed (6) to study the leakage of S. aureus (Gram positive) and P. fluorescens (Gram negative) upon exposed of ethyl acetate extract of atung seed. The value of MIC of ethyl acetate extract were 3.2 mg/ml for S. aureus, P. fluorescens, 5.34 mg/ml for E. coli and B. subtilis meanwhile L. plantarum was resistant to extract. The inactivation pattern curve of S. aureus and P. fluorescens at doses below MIC showed regrowth. The regrowth indicated that the S. aureus and P. fluorescens was merely injured. The injured microbes can not detected from routine medium. In this research the injured of S. aureus caused by ethyl acetate extract of atung seeds can be detected by using TSA-YE as nonselected medium and TSAS-YE as selected medium. At doses above MIC, the pattern of the time killing curve of S. aureus, P. fluorescens and E. coli was followed first order of reaction kinetic as indicated by a straight line curve against time. Deviations from linear was observed : a shoulder and tail were found in S. aureus, P. fluorescens and a shoulder was found in E. coli. The D value was calculated from the linear part of time killing curve by regression of log (N) against the time. The kinetic studies showed that D value decreased with dose. The D value of S. aureus was lower than D value of P. fluorescens at dose 3,20 mg/ml, meanwhile at 5.34 mg/ml atung concentration the D value of S. aureus was higher. The D value of E. coli at the same dose (5.34 mg/ml) was higher both on the shoulder phase and the lethality phase. The z value of S. aureus was higher than P. fluorescens and E. coli. The D and z value on solid food model was shifting. The D value of S. aureus on liquid medium was 3.14 hour on on solid medium to 76.9 hour on 1.0 MIC (3.2mg/ml), while the z value on liquid medium 3.4 mg/ml was increasing on solid medium to 34.1 mg/ml . The resistancy of S. aureus and P. fluorescens was different due to the difference of their defence mechanism. On S. aureus, ethyl acetate extract worked by disturbing the membranes protein thus the membrane cell were leaked. On the P. fluorescens, the extract worked by lysing the outer membrane of the cell that the membrane could not overcome the cytoplasma pressure that the cell would be leak. The leaked cells were excreting protein, nucleic acid, calcium ions and potassium ions within the cell. 96, teman diskusi yaitu Novelina dan semua pihak yang tidak tersebutkan diucapkan terima kasih. Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah bapak dan ibu berikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, Februari 2007 Lavlinesia © Hak cipta milik Lavlinesia, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya. KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) LAVLINESIA DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul disertasi : Nama mahasiswa : KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) Lavlinesia Nomor pokok : IPN 965044 Program studi : Ilmu Pangan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Soekarno T. Soekarto, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. Anggota Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. Tanggal ujian: 9 Februari 2004 Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Kairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal lulus : PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan selesainya penulisan disertasi yang berjudul : Kajian Pola dan Mekanisme Inaktivasi Bakteri oleh Ekstrak Etil asetat Biji atung (Parinarium glaberimum Hassk), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada komisi pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing atas petunjuk dan saran mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian dan penulisan. Ucapan terimakasih yang sama penulis aturkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas sumbangan pikiran berupa konsep-konsep yang berarti kearah penyempurnaan tulisan ini. Kepada kedua orang tua, Ayahanda Drs. Syamsir Alam dan Ibunda Asma yang telah menghantarkan penulis sampai pada jenjang pendidikan terakhir S3, kepada adik-adik semua terutama At dan Hadi yang telah membantu baik moril maupun materil penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas semangat dan doa yang telah diberikan selama ini. Terima kasih kepada kepada Pimpinan IPB, terutama Pimpinan Sekolah Pascasarjana, khususnya Pimpinan Program Studi Ilmu Pangan atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada jenjang S3. Terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dikti atas bantuan pembiayaan selama masa belajar. Terima kasih kepada Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, NAMRU, Lembaga Eijkman dan Laboratorium Genetika Fak. Perikanan IPB atas bantuan dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian. Kepada Mbak Ari yang selama penelitian siang malam menemani, kepada Mas Yoyo di NAMRU, Ine di Eijkman dan kepada teman-teman satu kos Hamzah, Yatno, Mairizal dan Eri diucapkan terimakasih banyak atas bantuan dan semangat yang telah diberikan. Kepada teman-teman satu angkatan yaitu angkatan RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1960 di Bukitingggi, Sumatera Barat, merupakan anak pertama dari ayahanda Drs. Syamsir Alam dengan ibunda Asma. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD negeri no. 6 Lubuk Sikaping, Sumatera Barat pada tahun 1972, sekolah menengah pertama di SMP negeri V Padang pada tahun 1975 dan menamat sekolah menengah atas di SMA negeri I Jakarta pada tahun 1979. Pada tahun 1980, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Andalas Padang jurusan Teknologi Hasil Pertanian, tamat tahun 1985. Pada tahun 1992, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan magister sains di Institut Pertanian Bogor jurusan Teknologi Pascapanen di bawah bimbingan Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief DESS dan Dr. Ir. Rosmawati Peranginangin, APU yang berhasil diselesaikan pada tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 1996, penulis memasuki program doktor di Institut Pertanian Bogor dengan program studi Ilmu Pangan. Sejak tahun 1987 sampai saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI………………………………………………………………… i DAFTAR TABEL…………………………………………………………… ii DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... iii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… iv I. II. PENDAHULUAN……………………………………………………. A LATAR BELAKANG ………………………………..…..…….. B. RUANG LINGKUP PENELITIAN…………………..…………. C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN………….……….... TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… A. ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)……………………… 1. Tanaman Atung……………………………………………. 2. Buah dan Biji Atung………………………………………. 3. Komposisi Kimia Biji Atung……………………………… 4. Potensi Atung sebagai Pengawet Pangan…...…………….. 5. Aktivitas Antibakteri Buah Atung…………………………. B. STRUKTUR SEL BAKTERI…………………………………… 1. Dinding Sel………………………………………………… 2. Membran Sel……………………………………………… 3. Inti Sel……………………………………………………... 4. Ribosom………………………………………………….... 5. Kapsul……………………………………………………... C. SENYAWA ANTIMIKROBA………………………………….. 5 5 6 7 8 10 11 15 15 16 16 17 1. Pengertian Agen Antimikroba…………………………….. 2. Stres Mikroba Oleh Senyawa Antimikroba……………….. MEKANISME KERJA SENYAWA ANTIMIKROBA………… 1. Merusak Dinding Sel…………………………….………… 2. Menganggu Membran Sitoplasma……………….………... 3. Menganggu Protein dan Asam Nukleat………….………... PERUBAHAN STRUKTUR SEL MIKROBA………………… Pembentukan Filamen………………………………..…… 1. Pembentukan Septum dan Peningkatan Ukuran Sel…….... 2. 3. Penebalan Dinding Sel………………………………….… 4. Terbentuk Tonjolan (Blebs) ……………………………… 17 18 19 19 20 20 21 21 23 24 25 D. E. 1 1 3 4 5 5 F. III. IV. KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA………………….….. 1. Pola Kematian Mikroba……………………………….. 2. Kinetika Inaktivasi Bakteri oleh Proses ……….……… 3. Kinetika Inaktivasi Bakteri oleh Bahan Kimia………... 26 26 30 34 METODOLOGI…………………………………………………. A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN…………………… B. BAHAN DAN ALAT……………………………………….. 1. Bahan Utama…………………………………………... 2. Bahan Pembantu………………………………………. 3. Kultur Mikroba………………………………………... 4. Peralatan……………………………………………….. C. PERSIAPAN………………………………………………… 36 36 36 36 36 37 37 38 1. Ekstraksi BijiAtung…………………………………… 2. Kultur Bakteri ………………………………………… D. METODE PERCOBAAN…………………………………… Percobaan 1. Konsentrasi Minimum Penghambatan . 1. (MIC)…………………………………... Percobaan 2. Inaktivasi Bakteri S. aureus dan 2. P. fluorescens Menggunakan Ekstrak Biji Atung pada Dosis di bawah MIC…………………………………... Percobaan 3. Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens 3. oleh Ekstrak Biji Atung pada Dosis di atas MIC……… 4. Percobaan 4. Inaktivasi S. aureus oleh Ekstrak Biji Atung pada Pangan Model Padat……………………… Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur 5. S. aureus dan P. fluorescens oleh Ekstrak Biji Atung 6. Percobaan 6. Analisa Kebocoran Sel………………... HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………... A. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG………………………………………………… B. KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATAN (MIC)… 1. S. aureus dan P.fluorescens…………………………... 2. Escherichia coli………………………………………... 3. Lactobacillus plantarum………………………………. 4. Bacillus subtilis………………………………………... 38 39 39 40 40 41 41 42 45 47 47 49 50 51 52 53 C. POLA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus dan P. fluorescens PADA DOSIS DI BAWAH MIC……………. 1. Pola umum Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens di bawah Nilai MIC……………………………….. 2. Regenerasi Sel S. aureus dan P. fluorescens……… 3. Penyembuhan S. aureus ………………………….. D. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus dan P. fluorescens PADA DOSIS DI ATAS MIC……………….. . 1. Pola Kematian Bakteri…………………………. 2. Laju Inaktivasi Bakteri……………………………. 3. Parameter Laju Inaktivasi………………………. E. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus PADA PANGAN MODEL PADAT………………………… 1. Pola Kematian Bakteri pada Pangan Model Padat…... 2. Perubahan Pola Inaktivasi Bakteri…………………… 3. Perubahan Parameter Laju Inaktivasi………………….. F. PERUBAHAN STRUKTUR SELULER BAKTERI S. aureus DAN P. fluorescens PENGARUH EKSTRAK ETIL ASETAT BII ATUNG………………………………… 1. Staphylococcus aureus………………………………… 2. Pseudomonas fluorescens…………………………….. G. KEBOCORAN SEL S. aureus DAN P. fluorescens PENGARUH EKSTRAK ETIL ASETAT BII ATUNG……. 1. Kebocoran Bahan-bahan yang Dapat Menyerap Sinar UV pada OD 260 dan 280 nm………………………. 2. Perubahan Kandungan Ion K+………………………. 3. Kebocoran Ca++……………………………………… H. PEMBAHASAN UMUM…………………………………… V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... A. KESIMPULAN……………………………………………… B. SARAN……………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. LAMPIRAN………………………………………………………………. 54 56 56 59 61 61 64 67 73 74 74 76 80 81 92 99 99 101 103 104 108 108 110 111 121 DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Diameter zona penghambatan ( daerah bening) beberapa jenis bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung ............................................. Konsentrasi minimum penghambatan ( MIC) ektrak biji atung untuk 5 jenis bakteri............................................................................. Persentase S. aureus sehat, sakit dan mati oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,8 MIC selama 48 jam ..................................... Hasil analisis parameter laju kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli..................................................................... Nilai D dan z dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada dosis ekstrak etil asetat biji atung 5.34 mg/ml..................................... Nilai aktivitas air (aw) pangan model padat dari beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung......................................................... Nilai no dan nilai D S. aureus pada pangan model padat pada beberapa dosis ekstrak biji atung.......................................................... Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung terhadap ketebalan dinding sel S.aureus............................................................................. Panjang dan lebar sel P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung............................................................................................. Halaman 57 60 74 84 88 89 94 103 114 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan negatif....... 12 2. Bentuk penyimpangan kurva kematian mikroba oleh panas................ 27 3. Kurva kematian logaritmik dari sel mikroba pada proses termal......... 30 4. Penentuan nilai D menurut Pflug dan Holcom (1983)......................... 32 5. Skema proses pembuatan pangan model padat.................................. 42 6. Zona hambat ekstrak etil asetat biji atung pada berbagai .................... 48 7. Pola inaktivasi bakteri S. aureus (a) dan P. fluorescens (b).............. . oleh ekstrak biji atung pada dosis di bawah nilai MIC....................... 55 8. Pola regenerasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak ..... 58 9. Pertumbuhan S. aureus di dalam media TSA-YE dan TSAS-YE ....... 60 10. Kurva kematian S. aureus (a), P. flourescens (b) dan E. coli ............ 62 11. Kurva resistensi dosis dari bakteri S. aureus, P. fluorescens............... 72 12. Produk pangan semi basah yang digunakan sebagai pangan model.... 73 13. Pola kematian S. aureus dalam medium cair NB (a) dan di pangan.... 76 14. Kurva resistensi dosis dari S. aureus pada pangan model padat ......... 79 15. Scanning electron microscope (SEM) dari sel S. aureus ................... 81 16. Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus ................... 84 17. Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus ................... 87 18. Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus pada .......... 89 19. Scanning electron microscope (SEM) dari sel P. fluorescens ............ 93 20. Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens ........... 96 21. Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens ........... 97 22. Absorbansi dari bahan-bahan yang dilepaskan dan diserap UV.......... 100 23. Peningkatan jumlah ion K+ dan Ca++yang dibebaskan sel .................. 102 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Bagan alir proses ekstraksi senyawa antimikroba biji atung…………..…..122 2. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium NB pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v)…………....122 3. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium NB pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % (v/v)……….…...122 4. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium NB pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v)…………....122 5. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium NB pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4% (v/v)…………... 123 6. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair MRS pada konsentrasi ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v)…….….123 7. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair MRS pada konsentrasi ekstrak 0, 0.65, 0.70, 0.75 dan 0.8 % (v/v)……………...123 8. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium MRS cair pada konsentrasi ekstrak 0, 1.0, 1.5, 2.0 dan 2.5 % (v/v)……….……124 9. Pertumbuhan bakteri B. subtilis selama 24 jam pada medium NB pada konsentrasi ekstrak 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v)………………….…124 10 Pertumbuhan E. coli selama 24 jam pada medium NB pada konsentrasi ekstrak 0, s/d 0.6 % (v/v), ………………………………..…124 11. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis di bawah MIC pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair NB, ……………..….125 12. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC pada pertumbuhan bakteri P. flourescens pada medium NB ………………....126 13. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis yang menyebabkan bakteri S. aureus stres pada medium cair NB………………….…………………………...127 14. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis yang menyebabkan bakteri P. fluorescens menjadi sakit pada medium NB……………………………...127 15. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair ……………………....128 16. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri P. fluorescens pada medium NB……….….129 17. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri E. coli pada medium cair..........................................130 18. Skema proses pembuatan dekstrin tapioka (Mukodiningsih, (1991)….....131 19. Skema proses pembuatan tepung kedele (Koeswara, 1995)………..…….132 20. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada pangan model padat ……………..……………………….133 21 Data absorbansi dari bahan yang dilepaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak biji atung pada OD 260 dan 280 nm……......133 22. Data peningkatan jumlah ion Ca++ dan K+ yang dilepaskan oleh sel…....…134 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan kian hari semakin meningkat sementara masyarakat dihadapkan akan tuntutan kebutuhan pangan yang praktis, mudah diolah, siap saji dan tahan lama. Untuk mendapatkan bahan pangan tersebut diperlukan bahan pengawet yang aman untuk dikonsumsi. Bahan pengawet sintetis banyak ditemui dan dapat digunakan akan tetapi keamanannya masih diragukan. Pada saat ini bahan pengawet alami diyakini lebih aman untuk digunakan. Atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan yang bijinya sejak lama secara tradisional digunakan oleh masyarakat Maluku untuk mengawetkan ikan tangkapan jauh sebelum es balok dikenal (Moniharapon, 1991). Parutan biji atung digunakan masyarakat Maluku sebagai bahan pencampur bahan makanan yang terbuat dari cacahan ikan mentah yang dibumbui jahe, cabe, bawang dan air limun, makanan tradisional ini dikenal dengan nama kohu-kohu (Moniharapon, 1991). Selain itu biji atung dapat digunakan sebagai obat diare, menghentikan keputihan dan bubur biji atung yang dioleskan pada kayu dapat mencegah serangan hama bubuk (Heyne, 1987). Penelitian terhadap bubuk dan ekstrak air biji atung telah terbukti dapat meningkatkan kesegaran dan umur simpan udang windu (Moniharapon,1991), ikan kembung dan ikan mujair segar (Tilapia mossambica Peters) (Saragih, 1998), pindang ikan mujair (Soeherman, 1997), dengan tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak. Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat biji atung mempunyai spektrum penghambatan yang luas (Moniharapon, 1998) dan tinggi (Adawiyah, 1998). Ekstrak ini mengandung senyawa fenolik (Adawiyah, 1998), terpenoid (Syamsir, 2002) dan senyawa dari golongan amina, ester, asam karboksilat, monoterpena (limonena) dan tiol yang ditemukan dalam jumlah kecil yang dikenal memiliki aktivitas antibakteri (Murhadi, 2002). 2 Untuk memanfaatkan ekstrak etil asetat biji atung sebagai bahan pengawet pangan secara tepat dan efisien dalam memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan pangan agar dapat digunakan dalam merancang operasi pengolahan pangan, perlu dipelajari pola dan mekanisme inaktivasi mikroba. Melalui pola inaktivasi, informasi kuantitatif dari kematian patogen dan perusak makanan dapat diketahui untuk menunjukkan mekanisme kematian oleh senyawa antimikroba. Melalui pola ini pengetahuan mikroba yang sakit (injury) dapat diketahui untuk menghindari salah perkiraan terhadap mikroorganisme yang masih hidup. Inaktivasi bakteri merupakan hasil interaksi senyawa antimikroba dengan bagian tertentu pada sel mikroba (Gilbert, 1984). Interaksi senyawa antimikroba tersebut dapat menyebabkan sejumlah perubahan atau kerusakan pada sel bakteri yang berpengaruh pada kelangsungan hidup bakteri. Kebanyakan senyawa antimikroba bisa bersifat menghambat (bakteriostatik) atau mematikan (bakterisidal), yang aktivitasnya tergantung pada konsentrasi yang digunakan (Hugo dan Russel, 1983). Pada umumnya, pola inaktivasi bakteri oleh agen antimikroba pada dosis yang mematikan kurva inaktivasi mengikuti reaksi kimia ordo I bersifat eksponensial, sementara pola inaktivasi di bawah dosis mematikan mikroba uji, secara umum memperlihatkan pola resistensi . Pola inaktivasi bakteri oleh senyawa antimikroba mematikan tidak selalu bersifat logaritmik tergantung pada dosis yang jenis antimikroba dan mikroba yang dihambat, kebanyakan bersifat sigmoid (Soper dan Davis, 1994). Dari hasil penelitian Moniharapon (1998) kurva kematian bakteri Pseudomonas aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung berbentuk garis lurus bersifat eksponensial mengikuti reaksi kimia ordo pertama. Beberapa penyimpangan dari garis lurus juga dapat terjadi tergantung dari jenis mikroorganisme yang diserang, adakalanya terbentuk bahu (shoulder) pada awal kurva kematian bakteri atau ekor (tail) pada akhir kurva (Stumbo, 1973; Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan Davies, 1994). Kurva kematian bakteri digunakan sebagai dasar untuk menentukan ketahanan mikroba oleh senyawa antimikroba, yang dinyatakan dengan nilai D (waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah bakteri satu siklus log dari 3 suatu populasi bakteri) dan z (peningkatan konsentrasi yang diperlukan untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva resisten dosis). Nilai D dan z diperoleh dari kurva kematian yang bersifat eksponensial, membentuk garis lurus mengikuti reaksi kimia orde pertama (Stumbo, 1973, Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan Davies, 1994). Penentuan nilai D dan z untuk senyawa antimikroba pangan masih sedikit dilakukan yaitu pada ekstrak biji atung (Moniharapon, 1998), ozon ( Kim dan Yousef, 2000), CO2 dan tekanan hidrostatik (Park et al, 2003). Pada dosis yang tidak mematikan mikroba akan sakit, terjadi sejumlah perubahan dan kerusakan struktur sel bakteri yang akhirnya dapat mempengaruhi fungsi metabolisme sel, pada kerusakan yang parah menyebabkan kematian. Bentuk dan besarnya perubahan atau kerusakan struktur sel dipengaruhi oleh jenis senyawa antimikroba, jenis mikroba dan besarnya konsentrasi yang digunakan (Gemmel dan Lorian, 1996). Perubahan dan kerusakan struktur sel oleh senyawa antimikroba dapat berupa perubahan morfologi sel, perubahan ultrastruktur sel, ukuran sel, kebocoran dinding dan membran sel, ketebalan dinding, penampakan sitoplasma dan lain-lain (Suganuma, 1972; Fass dan Prior, 1974; Gemmel dan Lorian, 1996). B. RUANG LINGKUP PENELITIAN Lingkup penelitian ini meliputi : (1) Percobaan konsentrasi minimum penghambatan (MIC) 5 jenis bakteri yaitu : Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus plantarum, Bacillus subtilis dan Escherichia coli dengan ekstrak etil asetat biji atung, (2) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus (Gram positif) dan P. fluorescens (Gram negatif) oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung di bawah nilai MIC (3) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung di atas nilai MIC (4) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung pada pangan model padat (5) pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung secara mikroskopis 4 menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan transmissi electron microscopy (TEM) (6) percobaan analisa kebocoran sel oleh ekstrak etil asetat biji atung. C. TUJUAN DAN MANFAAT HASIL PENELITIAN Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari pola penghambatan dan pola kerusakan sel bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung (Parinarium glaberimum Hassk).. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : 1. Memperoleh dan membandingkan nilai MIC serta resistensi bakteri dari ekstrak etil asetat biji atung untuk 5 jenis bakteri yaitu : S. aureus, P. fluorescens, L. plantarum, B. subtilis dan E. coli. 2. Menemukan pola regenerasi dan fenomena sakit dari bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah nilai MIC. 3. Menemukan pola kematian pada dosis di atas nilai MIC, berdasarkan pola kematian dipelajari kinetika inaktivasi (D dan z) S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung. 4. Mengkaji penerapan nilai D pada pengawetan produk pangan model padat. 5. Menemukan mekanisme kerusakan sel bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung. 6. Menemukan bahan-bahan yang dikeluarkan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Manfaat Hasil Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan efektifitas dan merancang penggunaan atung sebagai pengawet secara tepat pada produk pangan olahan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. ATUNG (Parinarium glaberrimum Hassk) Atung adalah sejenis tanaman hutan tropis yang tumbuh secara alami di Kawasan Timur Indonesia. Hampir di semua tempat di Maluku tanaman ini ditemukan terutama di Maluku Tengah (Moniharapon, 1991), namun di Pulau Jawa tidak ditemukan ( Heyne, 1987). Atung mempunyai nama yang berbedabeda di setiap daerah, di Aceh bernama Pele kambing, di Maluku, atung, Lomo di Makasar orang Bugis menamakan Samaka dan di Ternate Saya ( Heyne, 1987). 1. Tanaman Atung Tanaman atung memiliki pohon yang besar dan tumbuh lebat, setelah tanaman agak berumur batangnya berlubang dengan kayu yang keras tetapi getas dan tidak awet (Heyne, 1987). Tinggi pohon dapat mencapai ketinggian 10 m dengan diameter pohon mencapai 40 cm, dengan kulit kayu berwarna coklat gelap (Koorders dan Valeton, 1913 dalam Murhadi, 2002). 2. Buah dan Biji Atung Bentuk dan besarnya buah atung menyerupai telur bebek, berwarna merah gading pudar, mempunyai kulit luar yang keras dengan tebal kulit sebesar jari tangan (Heyne, 1987 dan Adawiyah, 1998). Berat rata-rata satu buah atung berkisar antara 31,3 - 48,7 gram dan apabila buah sudah kering kulit buah menjadi retak (Adawiyah, 1998). Di bagian kulit buah terdapat mesokarp tebal yang memiliki struktur berserat dengan arah vertikal dengan tekstur yang sangat keras, bagian kulit dan mesokarp ini merupakan bagian terbesar dari buah mencapai dua pertiga (68 %) berat utuh dengan berat antara 18,7 - 36,5 gram (Adawiyah. 1998). Di bawah kulit buah atung terdapat biji tunggal, memiliki jalur-jalur keriput, dengan besar biji kira-kira sebesar telur ayam tetapi pipih dan sangat keras. Biji ini menimbulkan suara gemeretak ketika buah utuh diguncang, biji berwarna coklat dilapisi serabut tipis putih dengan tekstur sangat keras dengan proporsi biji 6 terhadap keseluruhan buah utuh rata-rata 31.8 % atau kira-kira sepertiga berat buah utuh (Adawiyah.1988). 3. Komposisi Kimia Biji Atung Hasil penelitian Adawiyah (1998), lemak merupakan komponen terbesar (42,7 %) dari biji atung diikuti oleh air ( 8-13,2 % ), protein (5,4 %), serat kasar (4,3 %), abu (2,1 %), pati (2,3 %) dan tannin (1,7 %). Kadar air biji atung dipengaruhi oleh umur simpan buah, semakin lama disimpan biji semakin kering dan keras sehingga sulit untuk dihancurkan dan adanya kandungan tanin merupakan penyebab rasa atung menjadi agak sepat. Selanjutnya dari hasil penelitian Adawiyah (1998), tipe asam-asam lemak yang mendominasi lemak biji atung terutama adalah asam lemak rantai panjang yaitu bahenat (27,98 mg/g asam lemak), palmitat (24,61 mg/g lemak), linoleat (21,68 mg/ g lemak), stearat (19,70 mg/lemak), oleat (19,24 mg/g lemak) serta sejumlah kecil asam dokosaheksaenoat/ DHA (4,27 mg/g lemak), gadoleat (4,83 mg/g lemak), arakhidat (2,72 mg/g lemak ) dan linolenat (0,87 mg/g lemak). Menurut Greshoff biji atung mengandung 31 % lemak (Heyne, 1987). Lemak atung terdiri dari beberapa jenis asam lemak rantai panjang dalam bentuk ester asil gliserol, termasuk asam parinarat yaitu asam lemak tidak jenuh C18:4 dengan 4 ikatan rangkap terkojugasi pada posisi ikatan 9,11,13 dan 15 (Skalar et al ,1981 dalam Murhadi, 2002), dalam bentuk dua isomer geometris yaitu (1) cisasam parinarat (9,11,13,15- cis, trans, trans, cis-asam oktadekatetraenoat) atau disingkat cis-PnA dan (2) trans-asam parinarat (9.11,13,15-trans, trans, trans, trans-asamoktadeka tetraenoat) atau disingkat trans-PnA (Skalar et al, 1989, 1981 dalam Murhadi, 2002). Biji atung memiliki aroma khas atung terutama setelah berbentuk serbuk biji atung. Murhadi (2002) telah mengidentifikasi aroma khas yang berupa komponen volatil dari serbuk biji atung utuh, komponen volatil dari serbuk biji atung yang telah dikurangi lemak minyaknya dan komponen volatil dari serbuk biji atung yang telah dikurangi komponen polarnya. Dari ke tiga isolat volatil tersebut Murhadi (2002) memperoleh 70 komponen volatil secara komulatif yang terdiri 17 golongan senyawa yaitu: alkana (8 komponen), alkana siklik (4), alkil 7 halida (1), alkena (5), alkena siklik (3), alkuna (3), aromatik (1), amina (2), tiol (1), ester (3), asam karboksilat (2), alkohol (5), aldehida (24), ester (1), alkil furan (1), keton (4) dan senyawa lain (2). Komponen volatil golongan aldehida merupakan golongan komponen volatil yang dominan, jumlahnya 34 % yaitu 24 dari 70 komponen volatil gabungan, komponen utamanya adalah : 2,4-dekadienal, heksanal, 2-heptenal, 2,4-nonadienal, (E,E)-2,4-nonadienal dan (z)-2-dekenal. Komponen aldehida ini masih ditemukan pada serbuk biji atung yang diekstraksi dengan alat sokhlet menggunakan pelarut heksana selama 3 x 8 jam. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi dengan menggunakan pelarut heksana menggunakan sokhlet selama 3 x 8 jam belum mampu menghilangkan seluruh kandungan lemak minyak di dalam serbuk biji atung. Selain senyawa dari golongan aldehida, senyawa-senyawa seperti golongan : amina (2-propana amina dan N-metil-2-propuna-1-amina), ester (ester pentil asam format dan ester butil asam asetat), asam karboksilat (asam propionat dan 2-metil –2-asam propenoat), monoterpena (limonena) dan tiol (2-metil-2-undekanatiol) teridentifikasi dalam jumlah kecil yang dikenal memiliki aktivitas bakteri (Murhadi, 2002). 4. Potensi Atung Sebagai Bahan Pengawet Pangan Daya antibakteri biji atung pertama kali diketahui dari kemampuan biji atung yang dapat mengawetkan makanan tradisional dari Ambon yang dikenal dengan nama kohu-kohu. Masyarakat biasa menambahkan parutan atung ke dalam cincangan ikan mentah yang dibumbui jahe, bawang, cabe dan air limun (Moniharapon, 1998). Atung juga dapat digunakan sebagai obat diare, menghentikan murus-murus, menghentikan keputihan dan olesan bubur biji atung pada kayu dapat mencegah serangan hama bubuk (Heyne, 1987). Bubuk biji atung juga telah lama dan populer digunakan oleh nelayan di Maluku jauh sebelum es balok dikenal sebagai pengawet ikan tangkapan (Moniharapon, 1991). Mutu ikan tangkapan dapat dipertahankan beberapa hari sampai nelayan kembali ke pelabuhan dan memasarkannya. Penelitian atung sebagai pengawet pangan pertama kali diteliti oleh Moniharapon (1991). Moniharapon (1991) menambahkan bubuk biji atung 8 sebanyak 3-5 % (bb) pada udang windu, ternyata mampu meningkatkan kesegaran udang dari 4 jam menjadi 10 jam pada suhu kamar. Bila penambahan bubuk biji atung sebesar 5 % dari berat udang (bb) dikombinasikan dengan penyimpanan dalam bongkahan es dapat meningkatkan kesegaran sampai 2 hari dan bila dikombinasikan dengan penyimpanan dingin dalam lemari es bersuhu 4oC dapat meningkatkan kesegaran mencapai 9 hari. Pada umur penyimpanan tersebut rupa, tekstur, rasa, pH dan kadar air udang tidak berbeda dari kontrol, dan dapat menahan pertumbuhan mikroba dan mengurangi susut bobot selama penyimpanan. Aplikasi bubuk biji atung sebesar 5-15 % pada ikan mujair (Tilapia mossambica Peters ) dapat memperpanjang umur simpan dari 3 hari menjadi 7 hari, pada ikan kembung penambahan sebesar 15 % meningkatkan umur simpan dari 8 hari menjadi 13 hari (Saragih, 1998). Pada akhir penyimpanan total koloni mikroba kedua jenis ikan masih di bawah batas kerusakan ikan yaitu kurang dari 5x105 koloni/gram ikan. Soeherman (1998), membuktikan bahwa penggunaan bubuk biji atung atau ekstrak air biji atung pada pindang ikan mujair mampu memperpanjang umur simpan dari satu hari menjadi empat hari dengan tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak. 5. Aktivitas Antibakteri Buah Atung Hasil penelitian Moniharapon (1998), seluruh bagian buah atung mengandung zat antimikroba akan tetapi bagian biji aktivitas antibakterinya jauh lebih kuat (7 kali) daripada daging buah. Daging buah tidak efektif digunakan sebagai antibakteri. Hal ini menguntungkan karena penyiapan biji untuk dijadikan ekstrak jauh lebih mudah dibandingkan daging buah biji. Selanjutnya dikatakan oleh Moniharapon (1998), ekstrak biji atung tua mempunyai ativitas antibakteri 2 – 3 kali lebih kuat dari biji muda. Biji atung segar memiliki aktivitas antibakteri 1,2 –1,5 kali lebih tinggi dari biji atung yang disimpan pada suhu ruang selama 3 bulan namun biji atung simpan ini masih jauh lebih tinggi aktivitas antibakterinya dari ekstrak biji atung muda. Biji atung tua 9 baik segar maupun yang telah disimpan keduanya baik sebagai bahan untuk produksi bahan pengawet pangan (Moniharapon, 1998). Metode ekstraksi dan jenis pelarut mempengaruhi aktivitas antibakteri biji atung. Hasil penelitian (Moniharapon, 1998), metode ekstraksi cara refluks menggunakan heksana menghasilkan aktivitas antimikroba lebih kuat (24,9 UIB) dari pada metode maserasi metanol 100 % (9,8 UIB), kemudian metode maserasi 100 % lebih kuat dari refluks metanol 80 % (7,8 UIB). Selanjutnya dari hasil penelitian Moniharapon (1998), ekstraksi buah atung dengan metode maserasi menggunakan metanol, lalu ekstraknya diseparasi dengan heksana dan residunya diseparasi lagi dengan etil asetat, menghasilkan ekstrak etil asetat dengan aktivitas yang cukup tinggi dengan zona penghambatan yang lebih besar dari ekstrak heksana. Ekstrak etil asetat dari biji atung ini mempunyai spektrum penghambatan yang luas dan cukup kuat untuk 9 jenis bakteri pembentuk dan non pembentuk spora, patogen dan pembusuk, Gram positif, Gram negatif, bentuk batang dan kokus. Daya antibakteri biji atung ini secara konsisten sangat kuat terhadap 6 jenis bakteri penting pada produk pangan yaitu S. aureus, S. enteritidis, S. typhimurium, E. coli, B. subtilis dan P. aeruginosa. Ekstraksi biji atung secara tunggal, menggunakan pelarut polar yaitu etanol 95 %, etanol 50 % dan air menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antimikroba yang rendah, ekstraksi tunggal dengan pelarut heksana (non polar) tidak menunjukkan penghambatan akan tetapi dengan pelarut etil asetat menghasilkan aktivitas tertinggi terhadap P. aeruginosa (Adawiyah, 1998). Ekstraksi dengan cara bertingkat, menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dari ekstraksi tunggal (Adawiyah, 1998). Ekstraksi bertingkat dua tahap yang dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) dilanjutkan dengan etil asetat menghasilkan aktivitas yang lebih tinggi dari ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etil asetat saja dan ekstraksi bertingkat tiga tahap yaitu dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) diikuti dengan pelarut semipolar (etil asetat) dan terakhir dengan etanol (polar) menghasilkan ekstrak etanol yang memiliki aktivitas antimikroba yang rendah. Ekstrak heksana etil asetat dari metoda ekstraksi bertingkat dua tahap merupakan cara ekstraksi yang terbaik akan tetapi rendemennya rendah 0.63-1.00 % (bb), dengan karakteristik ekstrak yang 10 diperoleh adalah ekstrak berwarna jingga, mengandung total fenol 47,6 ppm, berat jenis 0,9876 g/cm3 dan indeks refraksi 1,44. Dalam rangka untuk memperoleh ekstrak yang mempunyai aktivitas antibakteri dan rendemen yang tinggi Murhadi (2003) menggunakan beberapa pelarut nonpolar, semipolar dan polar. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstraksi serbuk biji atung kering yang didahului dengan petroleum eter pada suhu 40-60oC disokhlet selama 8 jam dan residunya diekstraksi (sokhlet, 3 x 8 jam) dengan heksana lalu residunya direfluks pada suhu 60oC menggunakan pelarut polar yaitu metanol, ekstrak yang diperoleh menghasilkan aktivitas antibakteri (S. aureus) paling tinggi dengan diameter penghambatan 99,20 mm pergram biji atung dengan rendemen 11,58 % (bb). Ekstrak metanol ini mempunyai potensi sebagai pengawet pangan, hanya saja perlu dipertimbangkan kembali untuk meminimalkan residu karena metanol bersifat toksik. B. STRUKTUR SEL BAKTERI Bakteri mempunyai ukuran yang bervariasi dengan panjang 0,2-60 μm dengan diameter satu sampai beberapa mikron, kebanyakan bakteri yang menginfeksi manusia mempunyai ukuran panjang 1-3 μm (Boyd, 1995). Secara morfologi bakteri mempunyai struktur yang tidak sempurna, tidak mempunyai dinding inti (membran nukleus), mitokondria dan retikulum endoplasma (Davis et al , 1976). Bakteri mempunyai 4 bentuk dasar yaitu batang (jamak: basili), bulat atau kokus (jamak: koki), bentuk spiral dan persegi (Boyd, 1995). Bakteri berbentuk bulat dapat dibedakan atas diplokoki (berpasangan), streptokoki (bentuk rantai), tetrad (4 sel membentuk segi empat), stapilokoki ( tidak beraturan menyerupai anggur) dan sarcinae (kumpulan sel berbentuk kubus) (Fardiaz, 1989). Bakteri berbentuk batang terdapat dalam bentuk berpasangan (diplobasili) atau membentuk rantai (streptobasili). Pengelompokan ini pada beberapa keadaan bukan merupakan sifat morfologinya, melainkan dipengaruhi oleh tahap pertumbuhan atau kondisi kultur. 11 1. Dinding Sel Hampir semua sel prokariot mempunyai dinding sel kecuali mikoplasma (Nikaido dan Vaara, 1985 dan Fardiaz, 1989). Dinding sel ini sangat penting bagi bakteri dan dari segi kimiawi tidak sama dengan struktur jaringan hewan. Dinding sel bakteri tebal dan relatif kaku terletak disebelah luar membran sitoplasma, berfungsi melindungi membran sitoplasma yang rapuh dan menjaga bentuk sel bakteri. Semua dinding sel bakteri mempunyai komponen struktural yang sama yang dinamakan mukopolisakarida dinding sel yaitu peptidoglikan (murein) (Volk dan Wheeler, 1988; Moat dan Foster, 1988). Komponen dinding memberikan kekakuan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan sel. Peptidoglikan adalah molekul yang sangat besar meliputi seluruh sel, tersusun dari N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta beberapa asam amino Lalanin, D-alanin, D-glutamat dan lisin atau asam diamino pimelat (ADP). Asam amino ini menempel pada N-asetilmuramat yang bisa berbeda untuk setiap organisme. Struktur peptidoglikan ini hanya terdapat pada sel prokariot, N- asetilmuramat tidak pernah ditemukan pada sel eukariot (Fardiaz, 1989). Berdasarkan komposisi dinding sel dan sifat pewarnaan, bakteri dibedakan atas dua kelompok yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif (Moat dan Foster, 1988; Fardiaz, 1989). Pemberian zat warna yang sama pada kedua bakteri ini memberikan hasil yang berbeda. Bakteri Gram positif dan bakteri Garam negatif sama-sama diberi zat warna kristal violet, kelebihan zat warna dicuci dengan air kemudian diberi larutan yodium (Lugol), kompleks kristal violet dengan yodium yang terbentuk berwarna violet biru. Setelah itu dilakukan pencucian dengan alkohol, pada bakteri Gram negatif dinding sel menjadi tidak berwarna dan diberi pewarna safranin warnanya berubah menjadi merah sedangkan pada bakteri Gram positif setelah dicuci dengan alkohol tetap berwarna violet biru dengan penambahan safranin dan tidak berpengaruh terhadap warna biru. Perbedaan struktur dan dinding sel bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif disajikan pada Gambar 1. 12 Gambar 1. Perbedaan struktur dinding sel bakteri Gam positif dan bakteri Gram negatif (Moat dan Foster, 1989). 13 a. Bakteri Gram Positif Dinding sel bakteri Gram positif cukup tebal (20-80 nm) (Volk dan Wheeler, 1988), 90 % dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan dan sisanya adalah asam teikoat dan asam teikuronat (Roger et al, 1980). Peptidoglikan adalah polimer liner dari asam N-asetilglukosamin dan N-asetilmuramat secara berganti-ganti. Rantai peptida menempel pada asam muramat. Komposisi polipeptida dari peptidoglikan yang menempel pada asam muramat bisa berbeda dari satu organisme ke organisme lain (Moat dan Foster, 1989). Kebanyakan bakteri Gram positif berbentuk kokus (bulat) mengandung lisin sebagai pengganti ADP, sedangkan Gram positif lainnya mengandung asam amino lainnya (Fardiaz, 1989). Pada S. aureus rantai peptida yang menempel pada asam muramat adalah L-alanin, D-glutamat, L-lisin dan D-alanin, antar tetrapeptida terdapat ikatan silang yang terdiri dari 5 unit glisin membentuk jembatan dari D-alanin pada posisi 4 dari suatu tetrapeptida ke asam amino pada posisi 2 atau 3 pada peptida tetangga (Moat dan Foster, 1989). Pada S. aureus derajat ikatan silang antar peptida yang berdekatan sangat tinggi (100 %), berlawanan dengan E. coli derajat silangnya rendah kira-kira 30 %. Menurut Franklin dan Snow (1989), dinding sel bakteri Gram positif banyak mengandung asam amino alanin, asam amino ini bersifat hidrofobik. Asam teikoat adalah rantai panjang gliserol (alkohol gula dengan tiga atom C) atau ribitol ( alkohol gula dengan lima atom C ) yang terikat satu sama lain oleh ester fosfat dan semua gugus hidroksil dikaitkan dengan berbagai gula atau asam amino yang memberikan variasi pada struktur (Moat dan Foster, 1988). Istilah asam teikoat, juga mencakup semua polimer yang mengandung gliserol atau ribitol fosfat yang terdapat pada dinding sel, membran dan kapsul. Asam teikoat bermuatan negatif, yang mempengaruhi muatan pada permukaan sel (Volk dan Wheeler, 1988). Asam teikoat yang terdapat pada lapisan peptidoglikan berikatan kovalen melalui asam muramat dan gugus fosfat dari ribitol atau gliserol fosfat (Moat dan Foster, 1988). Asam teikoat yang terikat pada membran sel selalu dalam bentuk polimer gliserol fosfat dan berikatan kovalen dengan lipid disebut dengan asam lipoteikoat (Moat dan Foster, 1988). Asam teikoat dinding sel L. plantarum mengandung campuran dari satu polimer glukosilgliserol fosfat 14 dengan dua polimer dari isomeri glukosilgliserol fosfat (Moat dan Foster, 1988). Asam lipoteikoat mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang dan bersifat polar berikatan pada sejumlah kecil glikolipid yang bersifat hidrofobik. Pada beberapa organisme, asam lipoteikoat ini tidak hanya terdapat pada dinding sel, juga bisa muncul pada permukaan dinding sel. Pada L. plantarum pemberian antiserum khusus pada bagian gliserol fosfat yang berguna sebagai penanda muncul pada permukaan dan berikatan pada bagian luar sel (Volk dan Wheeler, 1988). Asam teikoat ini hanya terdapat pada bakteri Gram positif dan tidak terdapat pada bakteri Gram negatif (Moat dan Foster, 1988). b. Bakteri Gram Negatif Dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai susunan kimia yang lebih rumit dari pada bakteri Gram positif (Gambar 1). Dinding sel bakteri Gram negatif berlapis-lapis dengan lapisan peptidoglikan hanya 5-20 % dari dinding sel, lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz, 1989). Pada bagian luar peptidoglikan terdapat lapisan dinding sel yang kompleks yang disebut membran luar (outer membran ) (Boyd, 1995). Membran luar ini menempel pada peptidoglikan dan dihubungkan oleh molekul lipoprotein, disusun oleh fosfolipid 20-30 %, lipopolisakarida 30 % dan protein 40-50 %. Rongga antara membran luar dan lapisan peptidoglikan disebut ruang periplasma berisi enzim-enzim periplasma yang tergolong dalam enzim ekstraseluler (Fardiaz, 1989), ruang ini merupakan tempat lewatnya bermacam-macam enzim dan protein (Moat dan Foster, 1989) . Fosfolipid dari membran luar susunannya mirip dengan membran bilayer pada membran sitoplasma. Protein yang terdapat pada fosfolipid berupa saluran disebut porin, protein ini berfungsi sebagai pengangkut zat makanan (Boyd, 1995). Permukaan luar Gram negatif mengandung lemak yang relatif tinggi berada dalam bentuk lipopolisakarida (Moat dan Foster, 1988). Komponen lipid dari lipopolisakarida melekat pada fosfolipid sementara bagian polisakarida muncul pada permukaan sel. Komponen lipid dari lipopolisakarida disebut lipid A, lipid ini bersifat toksik (Moat dan Foster, 1988). 15 2. Membran Sitoplasma Membran sitoplasma terletak diantara sitoplasma dan dinding sel dengan ketebalan kira-kira 7,5 nm (Fardiaz, 1989). Membran ini rapuh tepat terletak di bawah dinding sel yang kaku, merupakan 8-10 % dari bobot kering sel (Volk dan Wheeler, 1988). Membran sitoplasma baik Gram positif maupun Gram negatif terdiri dari dua lapis lipid (lipid bilayer) disusun dari unsur dasar yang sama yaitu fosfolipid, glikolipid dan bermacam-macam protein ( Moat dan Foster,1988). Protein merupakan komponen utama dari dinding sel (60 - 80 %), yang dikelompokkan menjadi protein periferal ( protein dekat membran berikatan secara elektrostatik atau interaksi hidrofobik) dan protein integral (protein yang sebagian melekat pada membran dan sebagian muncul pada permukaan membran (Beuchat, 1978). Membran sitoplasma berfungsi sebagai barier untuk beberapa molekul besar sementara molekul-molekul seperti air dan oksigen dapat masuk secara pasif ke dalam sitoplasma (Boyd, 1995). Protein yang terdapat pada membran selain berfungsi sebagai penguat membran juga berfungsi sebagai transport gula, asam amino dan metabolit lainnya, protein disini berfungsi sebagai carrier ( pembawa) melalui proses difusi yang difasilitasi (Boyd, 1995). Protein sitoplasma juga dihubungkan dengan fungsi respirasi yang terjadi dalam sitoplasma. Di dalam membran sel terdapat enzim-enzim yang terlibat dalam pemasangan komponen dinding sel. 3. Inti Sel (Nukleus) Sel prokariot tidak mempunyai nukleus sejati seperti pada sel eukariot. Komponen genetik DNA disimpan dalam organ nukleus yaitu kromosom dan pada sel prokariot bentuknya seperti benang tidak dikelilingi oleh membran (Fardiaz, 1989). Tempat atau daerah dimana benang-benang ini terkosentrasi disebut nukleoid, benang ini dalam bentuk melingkar-lingkar terletak pada pusat sel dan tempat sel membelah dan tidak berhubungan dengan protein (Boyd, 1995). Panjang benang ini bila diluruskan mencapai 1100 sampai 1400 μm sehingga kelihatan memadati nukleoid di dalam sel ( Fardiaz, 1989 dan Boyd, 1995). Jumlah nukleoid yang kelihatan di dalam sel biasanya tergantung pada laju 16 pertumbuhan sel (Boyd, 1995). Bila bakteri membelah sangat cepat dapat dilihat 4 nukleoid pada setiap bakteri, tetapi pada sel yang sangat lambat membelah hanya satu nukleoid bisa diamati. 4. Ribosoma Ribosoma merupakan komponen penting untuk sintesa protein di dalam sel, terdiri dari 60 % RNA dan 40 % protein ( Davis et al, 1976 ; Fardiaz, 1989 dan Boyd, 1995 ). Ribosom terletak di dalam sel dan mengisi sitoplasma dengan beratnya mencapai 50 % dari berat kering sel. Di bawah mikroskop elektron, potongan tipis ribosoma terlihat sebagai granula-granula halus, pada perbesaran tinggi ribosoma berbentuk bulat ( Boyd, 1995). 5. Kapsul Beberapa bakteri pada permukaan sel mengeluarkan komponen berlendir yang dapat dilihat di bawah mikroskop setelah diwarnai dengan pewarna negatif atau tinta india (Moat dan Foster, 1988). Komponen berlendir tersebut disebut kapsul jika terdapat dalam bentuk kompak mengelilingi permukaan sel, sedangkan jika tidak terlalu kompak dan mudah terlepas disebut lapisan lendir. Kapsul dan lapisan lendir ini terdiri dari polisakarida, polipeptida atau kompleks polisakaridaprotein. Pembentukan kapsul oleh bakteri dipengaruhi oleh medium pertumbuhan dan kondisi lingkungannya (Fardiaz, 1989). Bakteri pembentuk kapsul jika tumbuh pada suatu medium akan membentuk koloni yang bersifat mukoid, sedangkan jika tumbuh pada makanan menjadi berlendir. Pembentukan kapsul oleh bakteri meningkatkan ketahanan bakteri terhadap panas, bahan kimia maupun sel fagosit jika sel bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh (Fardiaz, 1989). 17 C. SENYAWA ANTIMIKROBA 1. Pengertian Russel (1983) menyatakan semua perlakuan yang berhubungan dengan inaktivasi mikroba dikelompokkan ke dalam senyawa antimikroba. Perlakuan tersebut dapat berupa proses fisik, kimia atau dapat berupa kombinasi kedua perlakuan tersebut. Senyawa kimia yang digunakan untuk menginaktifkan mikroba dapat dikelompokan atas 3 kelompok yaitu senyawa antibiotik, senyawa non antibiotik dan produk-produk immunologi (Hugo dan Russel, 1983). Ke dalam senyawa non antibiotik termasuk senyawa yang bersifat desinfektan, antiseptik, sanitiser, kemoterapi, pengawet (Hugo dan Russel, 1983), bahan tambahan makanan (food aditif), pengawet pangan dan pengawet farmasi (Russel, 1991). Dalam ilmu pangan yang dimaksud dengan senyawa antimikroba adalah sejenis bahan tambahan makanan yang digunakan untuk mencegah kerusakan atau kebusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme pada bahan pangan (Branen dan Davidson, 1983). Senyawa antimikroba bisa berupa senyawa pengawet kimia dan pengawet alami termasuk ke dalamnya garam, gula, vinegar, rempah-rempah, ekstrak minyak dari rempah-rempah, zat-zat dari pengasapan, H2O2, sistem laktoperoksidase dari susu ( kandungan lainnya seperti casein, laktoferin) dan lain-lain. Garam, gula, berbagai rempah-rempah, esensial oil, proses pengasapan yang sering ditambahkan pada bahan makanan secara tradisional tanpa disengaja, yang tujuannya untuk penambah flavor, mempunyai aktivitas antimikroba. Beberapa senyawa kimia yang bersifat antimikroba adalah asam organik dan dan asam lemak rantai medium (asam benzoat dan garamnya, asam laktat, asetat, propionat, askorbat, sorbat, sitrat, format), beberapa gas ( sulfur dioksida, sulfit, nitrit, karbon dioksida, nitrogen, ozon, klorin), beberapa antibiotik (nisin, subtilin, tilosin) ( Busta dan Foegeding, 1983). 18 2. Stres Mikroba oleh Senyawa Antimikroba Berbagai perlakuan dalam proses pengolahan atau pengawetan pangan ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel mikroorganisme. Perlakuan tersebut jika diberikan dalam dosis subletal yaitu dosis yang tidak mematikan dapat mengakibatkan sel mengalami kerusakan subletal sehingga sel menderita stres atau sakit (injury) ( Russell, 1984, Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992). Sel yang sakit tidak dapat dideteksi dengan media pertumbuhan mikroba rutin dan sel ini dapat tumbuh kembali pada keadaan lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh setelah lingkungan stres hilang. Hal ini dapat menyebabkan salah perkiraan terhadap umur simpan produk dan sangat berbahaya terhadap kesehatan terutama untuk bakteri patogen. Perlakuan tersebut dapat berupa pemanasan (Hurst, 1984; Jay, 1986; Murano dan Pierson, 1993), aw (Gilbert, 1984), pendinginan dan pembekuan (Mackey, 1984), irradiasi (Moseley,1984), penambahan senyawa antimikroba atau pengawet (Gilbert, 1984) atau kombinasi perlakuanperlakuan tersebut (Bunduki et al, 1995). Bakteri dikatakan stres atau sakit jika kehilangan salah satu atau lebih sifatsifat atau aktivitasnya pada kondisi yang dapat dilakukan oleh sel-sel normal. Sel yang sakit tidak mampu menyerap nutrien secara normal dan tidak mampu tumbuh di dalam medium yang mengandung agen antimikroba lain atau sejenis. Bila sel yang sakit dikeluarkan dari kondisi (lingkungan) stres maka sel akan sembuh kembali dan dapat membentuk koloni. Bakteri yang sakit secara metabolisme dapat dideteksi dengan membandingkan hitungan dari media kaya (non selektif) dengan media minimal (selektif) ( Gilbert, 1984 dan Jay, 1986). Adanya senyawa selektif di dalam media dapat berkontribusi dalam menambah stres pada sel yang sakit sehingga mikroba yang sakit tidak dapat tumbuh dan yang tumbuh hanya mikroba yang sehat saja. Pada media nonselektif mikroba yang sakit dan yang sehat dapat tumbuh. Dengan mengurangkan jumlah hitungan cawan pada media nonselektif dengan media selektif jumlah mikroba yang sakit dapat ditentukan. 19 D. MEKANISME KERJA SENYAWA ANTIMIKROBA Dinding sel, membran sitoplasma dan sitoplasma merupakan target utama dari senyawa antimikroba. 1. Merusak Dinding Sel Dinding sel pada bakteri Gram positif terdiri dari peptidoglikan yang berikatan dengan asam teikoat. Pada bakteri Gram negatif, yang dimaksud dengan dinding sel adalah lapisan paling luar dari sel yang disebut membran luar (outer membrane) yang terdiri dari fosfolipid, lipopolisakarida (LPS) dan protein (Russel, 1984). Beberapa senyawa kimia bekerja pada dinding sel yaitu menghambat sintesis peptidoglikan bakteri Gram positif dan Gram negatif. Antibiotik β-laktam seperti penisilin dan sepalosporin mengganggu enzim-enzim yang sensitif terhadap penisilin yang berfungsi mensintesis peptidoglikan, yang dapat diukur dari jumlah protein yang dapat berikatan dengan penisilin (PBPs) yang terdapat pada membran sitoplasma (Russel, 1983 dan 1984). D-sikloserin bekerja pada tahap awal sintesis dinding sel bersaing dengan enzim alanin rasemase dan alanin sintetase, vankomisin juga mempengaruhi sintesis dinding sel. Polimiksin bekerja pada bagian luar dan dalam membran sitoplasma bakteri Gram negatif, LPS dan fosfolipid pada bagian luar membran terlibat dalam sisi pengikatan. Enzim lisozim menyebabkan dinding sel Gram positif lisis, enzim ini menyerang peptidoglikan pada ikatan β1-4 sementara bakteri Gram negatif lebih resisten ( Russel, 1983 dan Fardiaz, 1988). EDTA adalah senyawa pengkelat yang berpengaruh pada dinding sel bakteri Gram negatif (P. aeruginosa ), dapat menyebabkan pelepasan kation khususnya Ca+ dan Mg2+ yang menyebabkan sel menjadi lisis (Russel, 1983 dan 1984). Beberapa senyawa desinfektan seperti formalin pada konsentrasi 0,12 %, fenol 0,32 %, merkuri klorida 0,008 % menyebabkan sel E. coli, Streptococcus dan Staphylococcus lisis (Russel, 1983). 20 2. Menggangu Membran Sitoplasma Membran sitoplasma berperan dalam mempertahankan keutuhan struktur sel dan berfungsi dalam transport nutrien secara selektif ke dalam sel. Membran juga tempat terletaknya enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis dinding sel. Bila membran rusak maka fungsinya akan terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat atau sel menjadi mati (Russel, 1983; Fardiaz, 1988 dan Brooks et al. 1989). Agen fisik maupun senyawa kimia pada organisme prokariot maupun eukariot dapat menyebabkan kematian dengan rusaknya membran (Russel, 1984). Manifestasi dari kerusakan membran adalah kebocoran kandungan intraseluler berupa pentosa atau asam-asam amino atau ion K+ (Russell,1984). Beberapa senyawa yang merusak membran adalah fenol, klorheksidin, amonium kuartener, paraben (Russel, 1984). Klorheksidin pada konsentrasi rendah menyebabkan kebocoran sel, sementara pada konsentrasi tinggi dapat menggumpalkan sitoplasma (Russel, 1983 dan 1984). 3. Menganggu Protein dan Asam Nukleat Kematian dan kerusakan sel dipengaruhi oleh keutuhan alami molekul protein dan asam nukleat (Fardiaz, 1988). Denaturasi protein dan asam nukleat oleh senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel yang fatal dan tidak dapat disembuhkan. Senyawa antimikroba yang bekerja pada asam nukleat (DNA dan RNA) dapat mempunyai mekanisme yang berbeda (Russel, 1983). Pada DNA tipe kerusakan dapat dalam bentuk kerusakan rantai, pembentukan photoproduct, interkalasi, ikatan silang dan penghambatan sintesis DNA (Russel, 1984). Rantai tunggal DNA bakteri yang tidak membentuk spora dapat rusak oleh radiasi ionisasi. Proses fisik lain yang mampu merusak rantai tunggal dan ganda DNA adalah pembekuan, thawing dan pemanasan di atas suhu 50oC, pecahnya rantai ganda DNA dalam jumlah kecil sangat merusak sel. Radiasi sinar UV merusak DNA dengan cara yang berbeda yaitu dengan cara membentuk photoproduct yaitu terbentuknya dimer timin-timin antara timin yang berdekatan pada rantai yang sama. 21 Beberapa senyawa antibiotik dan senyawa kimia yang merusak DNA adalah akridin merusak DNA dengan cara berinterkalasi dengan DNA, etilen oksida dan formaldehid merusak DNA dengan cara alkilasi dari asam amino dengan grup fosfat dari asam nukleat, rifampisin menghambat polimerase RNA, mitomisin menghambat DNA dengan cara membentuk ikatan kovalen dengan DNA. E. PERUBAHAN STRUKTUR SEL MIKROBA Efek senyawa antimikroba pada morfologi dan ultrastruktur sel bakteri dapat dikelompokkan menurut target dimana perubahan sel terjadi. Misalnya antibiotik, perubahan pada dinding sel disebabkan oleh ß-laktam, polimiksin menyebabkan perubahan pada membran plasma, kloramfenikol, tetrasiklin dan aminoglikosidase meyebabkan perubahan pada ribosom (Gemmel dan Lorian, 1996). Perubahan struktur tergantung dari aktivitas antimikroba, seperti β-laktam mempunyai kisaran yang berbeda aktivitasnya di bawah atau di atas MIC (Gemmel dan Lorian, 1996). Penisilin menghasilkan perubahan morfologi pada konsentrasi rendah (1/16 MIC), sefaloridin aktif hanya pada 1/3 MIC. Destruksi sel bakteri terjadi dengan sefaloridin pada 2 kali MIC tetapi ampisilin memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan lisis yang sempurna. Pada konsentrasi antibiotik mendekati MIC, terjadi lisis pada bagian sel yang memanjang. Lisis dapat terjadi pada bagian dinding sel yang mengakibatkan membran sel pecah dan sitoplasma keluar. Pada konsentrasi di atas MIC filamen berhenti tumbuh dan sel lisis. Beberapa β-laktam pada konsentrasi lebih besar dari MIC menyebabkan pembentukan protoplas tanpa perpanjangan. 1. Pembentukan Filamen Perpanjangan sel berbentuk batang sebagai batang yang panjang, bila panjangnya lebih dari 10 μm dapat diistilahkan dengan filamen (Gemmel dan Lorian, 1996). Filamen bakteri adalah hasil pertumbuhan basil yang tidak 22 membelah menjadi individu baru, dan bila dipindahkan pada medium yang bebas stres akan memisah menjadi individu. Filamen dihasilkan pada pemberian antibiotik pada konsentrasi rendah (Gemmel dan Lorian, 1996). Amoksilin menghasilkan filamen yang pendek pada E. coli sementara sefalesin atau sefositin menghasilkan filamen yang panjang pada P. aeruginosa. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, dinding sel menjadi lebih tidak teratur dan berombak. Pada konsetrasi lebih tinggi ini dinding sel tidak bersambung, hasil lisis filamen. Pada beberapa organisme yang membentuk filamen perpanjangan terjadi pada bagian tengah yang sering diamati pada E. coli dan P mirabilis yang kontak dengan ampisilin. Pada dosis di bawah MIC, efek morfologi dari antibiotik yang sama berbeda dengan berbedanya spesies (Gemmel dan Lorian, 1996). Misal, penisilin dapat menyebabkan penghambatan inisiasi septum pada E. coli oleh karenanya terbentuk filamen, pada E. faecalis terbentuk rantai panjang bentuk koki yang tidak beraturan yang mengandung beberapa septa yang tidak lengkap karena penghambatan penyelesaian septum, pada staphylococci penghambatan lisis septum menyebabkan berkembangnya sel dengan septa yang banyak. Pembentukan filamen juga diamati pada L. monocytogenes yang ditumbuhkan dalam 1,5 mol/l NaCl panjangnya menjadi 50 kali (Jorgensen et al., 1995). Sebelumnya Brazin (1973 dalam Rowan, 1999) juga menemukan perubahan morfologi L. monocytogenes di dalam makanan yang mengandung kadar garam tinggi (8-9 %). Menurut Isom et al (1995) pembentukan filamen dimulai pada konsentrasi garam di atas 1,000 mM dan panjangnya meningkat dengan meningkatnya konsentrasi. Brandi et al ( 1989) melaporkan E. coli juga membentuk filamen pada perlakuan hidrogen peroksida (H2O2), panjang filamen meningkat dengan lamanya waktu kontak. Perlakuan H2O2 pada konsentrasi tinggi menghasilkan kerusakan yang ekstensif terhadap membran sitoplasma dan terbentuk jarak (gaps) antara sitoplasma dan dinding sel. Imlay dan Linn (1987) melaporkan efek H2O2 pada E. coli menghambat pertumbuhan dengan membentuk filamen tetapi tidak membentuk septa. Pembentukan filamen diperlukan untuk perbaikan DNA yang 23 luka. Fenomena yang sama diamati pada pH 5,0-6,0 yang diatur dengan asam sitrat dan pada pH.9 dengan NaOH. Panas pada suhu di atas optimal, pada L. monocytogenes menyebabkan pertumbuhannya tidak stabil, membentuk filamen yang panjangnya sampai 110 μm, terjadi perubahan morfologi yang tidak khas; koloni tidak beraturan, kemilauannya hilang dan terjadi perubahan fisiologi (Rowan, 1999). Mikro- organisme yang membentuk filamen lebih tahan panas karenanya terdapatnya bahu dan ekor yang jelas pada respon kinetika kematian. 2. Pembentukan Septum dan Peningkatan Ukuran Sel Semua β-laktam mempunyai efek morfologi yang sama pada stafilokoki dan Gram positif kecuali stafilokoki yang resisten terhadap metisilin (Gemmel dan Lorian, 1996). Penisilin menyebabkan sel-sel stafilokoki menjadi besar yang diamati pada mikroskop cahaya, TEM dan SEM. Setelah kontak pada waktu yang relatif pendek pada konsentrasi yang sama atau lebih besar dari MIC septa kehilangan densitas dan bentuk menjadi tidak beraturan dan keliling dinding sel lebih tipis. Penebalan septa dengan dinding sel yang normal diamati setelah kontak pada penisilin pada dosis di bawah MIC, tetapi efek ini tergantung pada medium, tekhnik kultivasi yang digunakan dan ada atau tidak adanya lisozim dan tripsin (Gemmel dan Lorian, 1996). Stafilokoki di dalam media bebas obat akan membelah, berpisah dalam bentuk cluster karena pembelahan dalam banyak arah. Bila stafilokoki dikontakkan pada penisilin pada dosis di bawah MIC memperlihatkan sejumlah nuklei tetapi tidak memisah. Penghambatan pemisahan septa bersifat reversible. Bila diinkubasi pada medium bebas obat, cluster dari staphylococcus memisah menjadi cluster yang lebih kecil dan nampak seperti normal. Menurut Thomson dan Hinton, (1996) inkubasi Salmonella selama 2-4 jam pada konsentrasi bakteriostatik dan bakterisidal dengan asam format dan propionat menghasilkan ukuran sel menjadi lebih besar. Pada konsentrasi 50 mmol/l asam propinat selama 2 jam pada pH 5.0, granula sitoplasma homogen, kandungan sitoplasma sedikit membentuk agregat. Dengan 500 mmol/l asam format atau asam propinat menyebabkan kerusakan yang parah pada sitosol, tetapi 24 membran sitoplasma dan dinding sel tidak rusak. Kejadian ini menunjukkan bahwa antimikroba bekerja pada sitosol. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penghambatan DNA, sementara makromolekul yang lain seperti RNA, protein, dan lipid terus disintesis tanpa membelah akibatnya ukuran sel menjadi besar. . Ekstrak air teh hijau (Camellia sinensis) menyebabkan perubahan morfologi yang ekstensif pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) galur US12 (Hamilton-Miller dan Shah, 1999). Pada konsentrasi 256 μg/l (1/2 MIC) pembelahan sel dan pemisahan sel menjadi sangat kacau, sehingga sel menjadi besar dengan terbentuk septa yang banyak sampai 14 koki ditemukan dan tidak terpisah. Pada keadaan ini dinding sel bagian luar normal sementara pada bagian dalam menebal. Perubahan morfologi seperti ini tidak ditemukan pada perlakuan ekstrak yang sama pada S. aureus yang sensitif terhadap metisilin 3. Penebalan Dinding Sel Kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin menyebabkan penebalan dinding sel 3-4 kali dari normal pada sel S. aureus (Gemmel dan Lorian, 1996). Staphylococcus yang ditumbuhkan di dalam rifampisin terjadi perubahan ultrastruktur pada konsenrasi 3-20 kali MIC. Dinding sel periferal meningkat ketebalannya 3-4 kali dari normal dengan permukaan luar yang berombak dan ketebalan septa 2-10 kali dari normal. Rifampisin menghambat sintesis protein. Kloramfenikol menghasilkan perubahan dengan karakteristik : ribosom hilang dari pusat sel, agregasi mengarah ke membran sitoplasma, sementara agregat material inti mengarah ke pusat sel. Bila Gram positif bentuk batang seperti B. cereus dikontakkan pada kloramfenikol dinding sel menebal, mirip dengan perubahan yang diamati pada sel S. aureus. S. epidermis yang resisten terhadap vankomisin ditumbuhkan di dalam media yang mengandung vankomisin (30 ug/ml), sel berubah secara menyolok yaitu terjadi penebalan dan kerusakan dinding sel dan pembentukan septa yang abnormal (McGuire dan Conrad, 2000). 25 4. Terbentuknya Tonjolan (Blebs) pada Permukaan Sel Melalui scanning electron microscope (SEM) S. aureus yang kontak dengan 0,1 MIC sefalotin selama 3 jam perubahan yang terjadi adalah terbentuk tonjolan pada permukaan sel dengan letak yang tidak beraturan (Klainer, 1974). Kontak sefalotin selama 90 jam, efek yang lebih besar ditemukan terbentuk tonjolan seperti batu, dinding sel rusak, ukuran sel menjadi lebih besar dengan permukaan yang kasar seperti mosaik. Sel berbentuk batu dengan permukaan kasar ditemukan semakin banyak pada sel yang dikontakkan dengan 10 MIC sefalotin selama 3 jam. Metisilin juga memperlihatkan bentuk kerusakan yang sama berupa kerusakan dinding sel berbentuk batu yang besar. Perubahan sel ini menunjukkan bahwa senyawa antimikroba bekerja pada dinding sel mempengaruhi sintesis dinding sel. Hal ini juga ditemui pada streptomisin, eritromisin, kloramfenikol dan tetrasiklin. Bermacam-macam senyawa antimikroba diketahui mengganggu sintesis protein pada tahap yang berbeda-beda (kanamisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan tobramisin). Beberapa obat menyebabkan perubahan permukaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan tempat khusus kerja antibiotik seperti yang ditemui pada galur yang sama dari S. aureus yang dikontakkan pada bermacam-macam konsentrasi sulfametoksazol. Perubahan sel oleh sulfametoksazol ini sama bentuknya dengan kerusakan oleh tetrasiklin, kloramfenikol dan tobramisin walaupun mekanismenya berbeda. Hal ini secara jelas mendemonstrasikan bahwa tempat kerja senyawa antimikroba adalah intraseluler yang bisa menyebabkan perubahan morfologi yang sama. Jadi perubahan sintesis protein dapat menye- babkan perubahan permukaan morfologi sel. Tergantung dari spesies dan jenis obat, bentuk lain dari sel dapat terjadi. Polimiksin menghasilkan bentuk yang unik dari P. aeruginosa yaitu terbentuk tonjolan pada permukaan luar dinding sel (Gemmel dan Lorian, 1996). Pada galur yang kekurangan lipopolisakarida tonjolannya datar dan lebih kecil. Jika konsentrasi polimiksin meningkat, tonjolan dalam bentuk lubang kecil pada permukaan luar ditemui. Tonjolan yang sama juga terjadi pada E. coli, Serratia marcescens dan Salmonella sp yang dikontakkan pada polimiksin. Studi dengan E 26 coli membuktikan bahwa tonjolan yang terjadi adalah tonjolan pada lapisan luar dari membran luar sel. F. KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA Kinetika inaktivasi mikroba dapat digunakan sebagai alat untuk membandingkan dan melaporkan penurunan jumlah mikroba dari proses teknologi yang berbeda. Melalui kinetika, proses pengawetan pangan untuk menjamin keamanan pangan dapat dikembangkan. Parameter yang digunakan untuk menganalisa dan melaporkan penurunan jumlah mikroba ditentukan dari kinetika penurunan mikroba. 1. Pola Kematian Mikroba Bila populasi organisme homogen dikontakkan pada suatu proses yang mematikan (letal), mikroba tersebut akan kehilangan viabilitas dengan cara yang sama dan beraturan dan laju inaktivasi mikroba tersebut akan proporsional terhadap jumlah dari mikroba pada waktu yang diberikan (Soper dan Davies, 1994). Plot logaritma jumlah sel yang masih hidup (survive) dengan waktu kontak akan membentuk suatu pola kematian sel oleh agen antimikroba, kurva yang diperoleh disebut dengan kurva kematian mikroba. Bentuk kurva kematian ditentukan oleh jenis, tinggi/ besarnya dosis senyawa antimikroba yang diberikan dan lamanya waktu kontak agen antimikroba dengan mikroba uji (Hugo dan Russell, 1983). Senyawa antimikroba yang bersifat bakterisidal pada dosis dan di atas dosis yang mematikan mikroba akan mati dan pola kematian bakteri yang terbentuk akan bersifat logaritmik (eksponensial) membentuk garis lurus (linier), semakin besar konsentrasi yang diberikan laju inaktivasi semakin cepat dan kurva semakin menyempit. Bentuk kurva kematian seperti ini ditemui pada proses kematian bakteri oleh panas (Pflug dan Holcomb, 1983; ), aw ( Lenovich, 1987) dan radiasi ionisasi (Silliker et al, 1980, Silverman, 1983, Gould, 1989 ) . Beberapa penyimpangan dari logaritmik liner dapat terjadi, pada Gambar 2 ada empat tipe kurva waktu kematian mikroba (Gould, 1989). Kurva tipe a 27 berbentuk garis lurus (liner) disebut kurva eksponensial (logaritmik), kurva tipe b berbentuk cembung, biasanya diistilahkan dengan sigmoidal, multihit atau multitarget. Tipe c, kurva mempunyai shoulder (bahu) pada awal kurva, kurva tipe b dan c dapat disebabkan aktifnya mikroba oleh panas pada awal pemanasan atau sel berbentuk clump ( Stumbo, 1973; Gould, 1989) atau merupakan fase adaptasi sebelum panas mencapai bagian sensitif dari organisme (Soper dan Davies, 1994). Pada kurva tipe b dapat juga merupakan hasil aktivasi dan inaktivasi oleh panas, terjadi secara bersamaan yang hasilnya tidak akan pernah melebihi jumlah awal (No) seperti kurva c, dan adanya bahu pada kurva tipe b dapat digunakan sebagai pengukur kemampuan organisme untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh panas (Soper dan Davies, 1994). Kurva tipe d yaitu berbentuk garis lurus yang mempunyai ekor pada akhir kurva, bentuk kurva seperti ini dapat disebabkan oleh karena masih adanya sejumlah kecil sel dari clump yang besar di dalam suspensi atau tidak seragamnya ketahanan dalam satu populasi atau proses adaptasi terhadap panas (Gould, 1989 ). Gambar 2 : Bentuk-bentuk penyimpangan kurva kematian mikroba dari logaritmik (eksponensial) liner oleh panas ( Gould 1989 ) 28 Gabungan dari faktor yang umum tersebut menghasilkan kurva berbentuk sigmoidal (c). Ketidaklineran dari kurva kematian merupakan atribut dari pengaruh komponen-komponen di dalam lingkungan selama proses pemanasan sebagaimana yang terjadi pada produk-produk farmasi (Soper dan Davies, 1994). Penyimpangan dari kurva kematian logaritmik linear selain pada proses panas juga ditemui pada aw (Lenovich, 1987), radiasi (Silverman, 1983) dan senyawa antimikroba. Beberapa bentuk penyimpangan kurva kematian logaritmik (eksponensial) linier oleh panas seperti Gambar 2 banyak dilaporkan ( Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan Davies, 1994; Linton et al., 1995; Huang dan Juneja, 2001 ). Kurva survival berbentuk curvilinear atau sigmoid sepenuhnya kadang-kadang juga terjadi (Soper dan Davies, 1994). Kurva survival nonlinier juga dapat terjadi karena pengaruh komponen yang terdapat di dalam lingkungan selama pemanasan (Soper dan Davies, 1994). Hasil penelitian Linton et al. (1995) pemanasan Listeria monocytogenes Scott A di dalam buffer 0,1 M KH2PO4 pada 3 suhu (50, 55 dan 600 C), 3 tingkat pH (5, 6 dan 7) dan 3 konsentrasi NaCl (0, 2 dan 4 %) memberikan kurva dengan bentuk sigmoid atau berbentuk S, pada suhu yang lebih tinggi kurva bentuknya mendekati liner, kurva mempunyai bahu lebih panjang pada suhu yang lebih rendah (500 C ) dibandingkan suhu 55 dan suhu 55 mempunyai bahu lebih panjang dari suhu 60 0 C. Pengamatan survival Listeria monocytogenes Scott A pada formula bayi dengan perlakuan yang sama juga memberikan bentuk kurva sigmoid yang sama (Linton et al., 1995). Destruksi mikroorganisme selama irradiasi bisa dicirikan oleh kurva kematiannya (Silverman, 1983). Populasi mikroorganisme pada radiasi pada dosis yang meningkat, plot log jumlah sel yang masih hidup melawan dosis pada skala linier, menghasil 3 tipe (a, b dan c) kurva kematian (Gambar 2) (Silverman, 1983, Soper dan Davies, 1994). Kurva waktu kematian oleh radiasi dipengaruhi oleh dosis. Pada dosis rendah diperoleh bahu ( kurva tipe B) akan tetapi pada dosis tinggi kurva berbentuk eksponensial (Silverman, 1983). Kurva tipe C jarang ditemukan dan lebih disebabkan oleh ketidak homogenan kultur (Soper dan Davies, 1994). 29 Secara umum jumlah mikroorganisme yang hidup dari suatu perlakuan ultrasound adalah eksponensial terhadap waktu, akan tetapi sebagaimana inaktivasi panas terdapat beberapa penyimpangan dari linier, beberapa peneliti menemukan adanya bahu dan ekor (Sala, et al , 1995). Adanya bahu dapat disebabkan oleh disagregasi seluler dan beberapa peneliti menginterprestasikan bahwa bahu dapat terjadi dari hasil dua reaksi orde pertama yang terjadi secara simultan. Pola kematian mikroba oleh senyawa antimikroba yang bersifat bakterisidal pada dosis yang mematikan pada umumnya bersifat logaritmik Hugo dan Russell, 1983) akan tetapi penyimpangan seperti Gambar 2 banyak ditemui. Beberapa senyawa yang bersifat bakterisidal dan menghasilkan kurva kematian yang bersifat logaritmik antara lain penisilin, kanamisin dan aminosidin pada bakteri E. coli (Garret, 1978), sepalosporin (Hugo dan Russel, 1983), etilen oksida pada B. subtilis (Caputo dan Odlaug, 1983), etilen oksida pada S. aureus dan P. aeruginosa (Turner, 1983), asam anakardat pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) ATCC 33591 pada MIC dan diatas MIC dan totarol melawan S. aureus yang resisten terhadap penisilin ATCC 11632 pada dosis MIC dan di atas MIC (Muroi dan Kubo, 1996). Menurut Soper dan Davies (1994), kebanyakan senyawa antimikroba menyebabkan inaktivasi nonlinier pada mikroorganisme, membentuk sigmoid kecuali etilen oksida dan formaldehid, akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat diperoleh kurva linier. Sterilisasi mikroba dengan etilen oksida kematiannya bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia orde pertama (Silliker et al, 1980). Bentuk kurva kematian E. coli KL16 di dalam broth yang mengandung antibiotik β-lactams dan quinolon sama yaitu mempunyai bahu dan ekor (Guerillot et al, 1993). Pola kematian bakteri (P. fluorescens, E. coli O157;H7, L. mesenteroides dan L. monocytogenes) oleh ozon awalnya linier diikuti oleh pola garis lurus dengan derajat kemiringan yang lebih kecil (Kim dan Yousef, 2000). Pola kematian bakteri S. aureus oleh gabungan CO2 dan tekanan hidrostatik tinggi berbentuk garis lurus dan terdapat bahu pada awal kurva, pada bakteri B. subtilis kurva kematian berbentuk sigmoid mempunyai bahu dan ekor (Park et al, 2003). 30 2. Kinetika Inaktivasi Mikroba oleh Proses Fisik Pendekatan kinetika kimia telah digunakan untuk mengevaluasi perubahan-perubahan dalam produk pangan. Menurut Espenson (1995) kinetika kimia dapat digunakan untuk mempelajari laju perubahan suatu komponen menjadi komponen lain dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tanpa memperhatikan mekanismenya. Selanjutnya dikatakan oleh Espenson (1995) pendekatan kinetik dapat dilakukan bila semua faktor diluar dari yang diamati bersifat homogen dan menghasilkan suatu perubahan yang bersifat proporsional dengan perubahan konsentrasi reaktan. a. Panas Menurut Rahn (1945) kematian mikroba oleh panas bersifat logaritmik (eksponensial) (Stumbo, 1973 ; Pflug dan Holcomb, 1983) seperti yang tercantum pada Gambar 3, yang diperoleh dari memplot logaritma jumlah mikroba yang bertahan hidup melawan waktu t, pada suhu konstan. Jumlah sel yang hidup (N) 103 102 (log N0 -log N) = 1,0 101 D o 10 Waktu (t) dalam menit Gambar 3. Kurva kematian logaritmik dari sel mikroba pada proses termal (Stumbo, 1973) Pada Gambar 3, waktu yang diperlukan untuk menurunkan populasi mikroba satu siklus log (90 % ) bakteri pada suhu konstan dinyatakan dengan D (Katzin, et al, dalam Stumbo, 1973). Derajat kemiringan kurva kematian logaritmik pada Gambar 3, adalah : 31 (log N0 - log N) /D = 1/D Persamaan umum garis lurus untuk kurva kematian mikroba pada Gambar 3 dapat dibuat: (log N0 - log N) = (1/D) t atau log N = log No - t /D....................(1) dimana t = waktu pemanasan D= waktu yang diperlukan untuk membunuh 90% sel N0 = jumlah awal sel N = jumlah sel setelah waktu pemanasan t Menurut Rahn yang dikutip oleh Stumbo (1973) reaksi kematian mikroba oleh panas mirip dengan reaksi kimia unimolekuler atau bimolekuler orde pertama, dimana yang bereaksi hanya satu senyawa. Secara matematis kematian logaritmik dapat dinyatakan dengan cara yang sama dengan reaksi kimia orde pertama (Stumbo, 1973). Model kinetik reaksi kimia orde pertama adalah: –dN/dt = kN dimana atau - dN/N = k dt..............(2) k= faktor proporsional, atau konstanta laju reaksi Dengan mengintegralkan persamaan 2, didapat: -∫ dN/N = k ∫ dt ln N – ln N0 = k t atau log N = log N0 – 2,303 kt.................(3) Bila dibandingkan persamaan 1 dan 3, maka D = 2,303/k, nilai D dan k mewakili derajat kemiringan kurva inaktivasi sel. Beda nilai D dengan nilai k, nilai k digunakan sebagai pengukur laju kematian mikroba, sedangkan nilai D digunakan untuk menyatakan ketahanan panas mikroba. Untuk menghitung nilai D pada kurva kematian yang menyimpang dari logaritmik seperti pada Gambar 4, analisis regresi liner least-squares dapat digunakan (Pflug dan Holcomb, 1983). Asumsi yang digunakan dalam 32 N0 N0 Log N Log N n0 D1 D2 Waktu pemanasan (t) Waktu pemanasan (t) a b Gambar 4. Cara menentukan nilai D untuk data yang menyimpang dari logaritmik menurut Pflug dan Holcomb (1983). menggunakan metode analisis regresi liner least-squares adalah (1) hubungan antara log jumlah mikroba yang hidup dengan waktu adalah liner (2) penyimpangan dari log jumlah mikroba yang hidup dari garis lurus adalah merupakan variabel acak yang nilainya diharapkan nol (3) penyimpangan yang diharapkan adalah sama untuk semua waktu pemanasan dan (4) penyimpangan untuk waktu pemanasan yang berbeda tidak ada hubungannya. Model yang digunakan adalah y=mx+c+ε, dimana y = log Nt , jumlah mikroba yang hidup dalam waktu t, x= waktu pemanasan (t) dan m = derajat kemiringan yang besarnya 1/D dan c= titik potong dengan sumbu y pada t=0 dan ε = komponen yang menyimpang, yang merupakan suatu variabel acak dengan nilai rata-rata nol. Dengan demikian untuk Gambar 4a, model dapat diubah menjadi model yang lebih dikenal: Log Nt = n0– t/D ....................................(4) dimana n0 = titik potong garis least-squares pada sumbu y pada waktu t=0 33 Untuk kurva kematian seperti pada Gambar 4b, kurva dapat dipecah menjadi beberapa garis lurus, dan nilai D dihitung dari masing-masing garis lurus yang dihipotesiskan sesuai dengan interval waktu pemanasan dari masing-masing garis. Plot beberapa nilai D dalam pada skala logaritmik melawan suhu pemanasan menghasilkan kuva garis lurus, kurva ini dinamakan kuva destruksi termal ( Stumbo, 1973; Pflug dan Holcomb, 1983). Analog dengan penentuan nilai D, derajat kemiringan kurva destruksi termal (TDT) adalah : (log D2 – log D1)/z = 1/z atau Log D2 – log D1 = 1/z (T1 – T2).............(5) dimana nilai z digunakan dalam proses kalkulasi panas untuk menghitung ketahanan relatif mikroorganisme terhadap suhu yang berbeda yang jumlah dinyatakan dengan jumlah derajat fahrenhit yang diperlukan untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva destruksi termal. b. Radiasi Kinetika kematian mikroba oleh radiasi identik atau analog dengan kematian mikroba oleh panas namun laju reaksi disebabkan oleh peningkatan sejumlah dosis radiasi d, plot logaritma jumlah mikroorganisme yang hidup melawan dosis yang diserap diperoleh tiga bentuk dasar kurva yaitu tipe a, b dan c (Gambar 2), untuk kurva tipe a yaitu yang bersifat logaritmik berlaku persamaan berikut ini (Soper dan Davies, 1994). N = No e -kd ........................................... (6) dimana N adalah jumlah mikroba yang masih hidup setelah menyerap radiasi d, No adalah jumlah awal mikroba dan k adalah konstanta laju inaktivasi mikroba. Persamaan ini diturunkan dengan cara yang sama dengan panas dimana kematian disebabkan oleh satu molekul kritis yang didasarkan pada kinetika 34 reaksi kimia molekul tunggal. Pada radiasi ionisasi, target utamanya adalah DNA yang kerusakannya tidak dapat diperbaiki, pecahnya rantai atau ikatan silang disebabkan oleh ionisasi molekul DNA yang merupakan kejadian yang dapat mematikan (Soper dan Davies, 1994). 4. Kinetika Inaktivasi Mikroba oleh Bahan Kimia Menurut Orth (1994) nilai D untuk setiap organisme ditentukan oleh kurva kematiannya. Umumnya inaktivasi mikroba oleh agen yang mematikan pada waktu tertentu bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia orde pertama (Soper dan Davies, 1994). Menurut Orth (1994) untuk kurva kematian yang bersifat logaritmik oleh senyawa antimikroba, nilai D dapat ditentukan dengan cara metoda grafik menggunakan regresi liner sebagaimana proses termal dan untuk kurva yang menyimpang dari logaritmik pada awal kurva dapat digunakan model Pflug dan Holcomb (1983) pada Persamaan 4 untuk proses termal. Model Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Moniharapon (1998) untuk menentukan nilai D P. aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung. Nilai D digunakan untuk menentukan efikasi pengawet pada produkproduk farmasi dan kosmetik jika kematian mikroba bersifat logaritmik dengan jumlah mikroorganisme awal yang cukup (105- 106 sel/ml) untuk diamati yaitu kehilangan beberapa siklus log selama kontak (Akers dan Tailor, 1994). Metode ini digunakan oleh produsen produk-produk farmasi dan kosmetik dan peneliti untuk menentukan efikasi pengawet secara cepat. Untuk pengujian produk-produk farmasi untuk penentuan nilai D harus diamati selama 28 hari (Orth, 1994) karena umumnya penurunan mikroba terjadi sampai hari ke 14 akan tetapi setelah itu terjadi pertumbuhan kembali (Akers dan Tailor, 1994). Penggunaan nilai D oleh senyawa antimikroba pangan belum banyak diteliti. terutama antimikroba Penentuan nilai D telah digunakan oleh Orth (1984) untuk menentukan efektifitas metilparaben di dalam lotion terhadap S. aureus (Orth, 1994). Moniharapon menggunakan nilai D dan z untuk menentukan laju inaktivasi bakteri P. aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung. Kim dan 35 Yousef (2000) juga menggunakan nilai D untuk memprediksi inaktivasi mikroorganisme pembusuk oleh ozon. Park et al. (2003) menggunakan nilai D dan z untuk menentukan efektifitas CO2 dan tekanan hidrostatik pada mikroorganisme pembusuk. III. METODOLOGI A. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian ini dilaksanakan di beberapa laboratorium. Pembuatan bubuk biji atung dilakukan di laboratorium Pilot plant Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, ekstraksi bubuk biji atung dilakukan di laboratorium Biokimia dan Gizi Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB. Pangamatan mikrobiologis dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Gizi Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB. Pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel dilakukan di laboratorium elektron mikroskop NAMRU (Naval Medicine Research Unit), Lembaga EIJKMAN Jakarta dan di laboratorium Genetika Fak.Peternakan IPB, Darmaga Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai Desember 1998 sampai dengan Januari 2001, kemudian dilanjutkan Desember 2002 sampai dengan April 2003. B. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Utama Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah atung (Parinarium glaberimum Hassk) yang diperoleh dari Desa Hutumuri, Kecamatan Sirimau, Kotamadya Ambon, Propinsi Maluku. Bagian buah yang digunakan adalah biji dari buah atung yang sudah tua dengan tanda kulit luar berwarna coklat merah bata. 2. Bahan Pembantu Bahan pembantu utama yang digunakan adalah bahan-bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi biji atung. Bahan-bahan tersebut adalah heksana dan etil asetat yang digunakan sebagai pelarut. Jenis pelarut yang digunakan adalah pelarut teknis. Bahan lain yang digunakan untuk ekstraksi adalah gas nitrogen dan kertas saring. Bahan pembantu lain adalah bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologis berupa media NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth) dan MRS dari Difco. Bahan lain yang diperlukan adalah alkohol, NaCl, kapas, almunium foil 37 dan aquades. Untuk pembuatan pangan model padat diperlukan bahan berupa tepung tapioka, tepung kedele, gula merah dan minyak goreng. Bahan untuk pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel adalah : natrium cacodilat, glutaraldehid, osmium tetraoksida, etanol, aseton, resin, uranil asetat, lead sitrat, grid dan film. Semua bahan ini diperoleh dari laboratorium elektron mikroskop NAMRU dan EIJKMAN Jakarta. Bahan untuk analisa kebocoran sel yang dipakai adalah asam nitrat, asam sulfat, air bebas ion dan HCl. 3. Kultur mikroba Mikroba uji yang digunakan terdiri dari beberapa jenis mikroba yaitu : S. aureus (ATCC 25178), P. flourescens (ATCC 13525) kedua bakteri ini diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner Bogor dalam bentuk liofilisasi. Bakteri lainnya adalah B. subtilis, E. coli dan L. plantarum diperoleh dari koleksi biakan lab. Mikrobiologi Pangan, TPG-FATETA IPB, Bogor. 4. Peralatan Alat yang digunakan untuk penelitian ini meliputi alat untuk ekstraksi, alat untuk analisa mikrobiologis dan alat untuk pengamatan sel pada tingkat seluler. Alat untuk proses ekstraksi, adalah hammer mill ukuran saringan 40 mesh, seperangkat peralatan soxhlet dan refluks berupa labu lemak, kondensor, hot plate, stirrer dan vakum rotavapor untuk menguapkan pelarut. Peralatan untuk analisa mikrobiologis terdiri atas lemari pendingin, mikroskop, inkubator, otoklaf, shaker, vortex, cawan petri, tabung reaksi, vial, pipet pasteur, pipet mikro, bunsen dan ose. Peralatan untuk analisa kebocoran sel meliputi sentrifus, spektrofotometer, AAS ( Atomic Absorption Spectrophotometry ) dan ruang asam. Untuk pengamatan perubahan struktur sel digunakan mikrotom dan mikroskop elektron berupa Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Transmission Electron Microscopy (TEM). 38 C. PERSIAPAN 1. Ekstraksi Biji Atung Ekstraksi biji atung dimaksudkan untuk menyiapkan komponen antimikroba biji atung dalam bentuk ekstrak. Biji atung dibuat bubuk menggunakan hammer mill dengan ukuran 40 mesh, kemudian diekstraksi menurut cara Adawiyah (1998) dengan proses bertingkat. Bagan alir proses ektraksi dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertama, biji atung dibuang lemaknya dengan pelarut heksan menggunakan sokhlet dengan cara sebagai berikut: bubuk biji atung dibungkus dengan kertas saring berbentuk silinder sebesar tempat sampel. Labu lemak berukuran 500 ml diisi pelarut heksana sampai setengah volume labu dihubungkan dengan tempat sampel dan kondensor (pendingin), dipanaskan pada suhu 60-78oC (titik didih pelarut) selama 30-36 jam sampai tidak ada lagi lemak yang ditandai dengan warna kuning pada pelarut yang kontak dengan sampel. Kedua, serbuk biji atung bebas lemak hasil ekstraksi heksana dikering anginkan selama semalam untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa, kemudian di refluks menggunakan pelarut etil asetat untuk mendapatkan senyawa antimikroba biji atung dengan cara sebagai berikut: Bubuk biji atung hasil ekstraksi heksana dimasukkan ke dalam labu lemak berleher dua ukuran 1000 ml (leher yang tegak lurus ke labu disambung ke pendingin, leher kesamping untuk.tempat meletakkan termometer), ditambah pelarut etil asetat dengan perbandingan 1: 4, dipanaskan pada suhu 60-70oC menggunakan pemanas yang dilengkapi dengan pengaduk. Pemanasan dilakukan selama 4 jam, selama pemanasan dilakukan pengadukan. Setelah proses berakhir dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman No. 2, filtrat yang diperoleh diuapkan pelarutnya dengan rotavapor pada suhu 40oC dan sisa pelarut yang masih tersisa diuapkan dengan cara menyemprot dengan gas nitrogen sampai berat ekstrak konstan. Ekstrak disimpan di dalam botol vial coklat di dalam lemari pendingin sebelum digunakan. 39 2. Kultur Bakteri Bakteri S. aureus dan P. fluorescens diperoleh dalam bentuk liofil sebelum digunakan diaktifkan dahulu. Tabung dibuka secara aseptis, pelet liofil dipindahkan menggunakan pinset steril ke dalam tabung yang berisi medium NB steril, diinkubasi pada suhu 37oC untuk S. aureus dan pada suhu ruang untuk P. fluorescens selama 24 jam. B. subtilis, E. coli dan L. plantarum diperoleh dalam bentuk agar miring, sebelum digunakan disegarkan terlebih dahulu yaitu diambil satu ose bakteri dari stok kultur dimasukkan ke dalam medium NB cair steril, untuk L. plantarum dimasukkan ke dalam MRS cair steril diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Kultur cair yang diperoleh dari liofil dan agar miring untuk digunakan sebagai kultur cair dalam percobaan, agar didapatkan jumlah sel awal percobaan 106-107 sel /ml, kultur disegarkan kembali dengan cara 0,1 ml kultur cair ini dimasukkan kedalam 9,9 ml medium NB cair steril, diinkubasi selama 24 jam, kultur siap digunakan. Untuk perbanyakan dibuat biakan agar miring NA dengan cara menggoreskan satu ose larutan kultur ke permukaan NA miring kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Untuk penggunaan jangka waktu kurang dari 3 minggu kultur ini disimpan dalam lemari pendingin pada suhu (4-5oC). Penggunaan untuk jangka waktu lebih dari 3 minggu kultur disimpan dalam larutan gliserol dengan perbandingan 1:1 dengan NB, disimpan pada suhu –20oC. D. METODE PERCOBAAN Penelitian ini dilaksanakan dalam 6 tahap meliputi: (1) Percobaan konsentrasi minimum penghambatan (MIC) bakteri S. aureus, P. fluorescens, B. subtilis, E.coli dan L. plantarum oleh ekstrak biji atung, (2) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus dan P. flourescens oleh ekstrak biji atung pada beberapa tingkat dosis ekstrak di bawah nilai MIC (3) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak biji atung pada beberapa tingkat dosis ekstrak biji atung di atas nilai MIC (4) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus oleh ekstrak biji atung pada pangan model padat (5) pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak biji atung 40 menggunakan mikroskop elektron (TEM dan SEM) (6) pengamatan kebocoran sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak biji atung. Percobaan 1. Penentuan Konsentrasi Minimum Penghambatan (MIC) Tujuan penelitian tahap pertama ini adalah untuk menentukan dan membandingkan nilai MIC 5 jenis bakteri yaitu S. aureus, P. fluorescens, B. subtilis, E. coli, L. plantarum. Penentuan nilai MIC dimaksudkan untuk menentukan aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat biji atung dan nilai ini digunakan sebagai satuan aktivitas untuk perlakuan pada penelitian tahap berikutnya. Nilai MIC didefinisikan sebagai konsentrasi ekstrak antimikroba terendah dimana tidak terjadi pertumbuhan bakteri setelah 24 jam kontak di dalam medium cair uji (Kubo et al, 1992). Penentuan MIC dilakukan menurut Kubo (1992) dengan sedikit modifikasi yaitu: kedalam 19 ml nutrient broth (NB) atau MRS cair steril di dalam erlemeyer 50 ml ditambahkan 1 ml inokulum bakteri uji yang berumur 20-24 jam (106-107 sel/ml). Kemudian ditambahkan beberapa tingkat konsentrasi (0,0 s/d 0,7 % v/v) ekstrak biji atung secara aseptis. Selanjutnya diinkubasi goyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 37oC dan untuk P. fluorescens pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah inkubasi jumlah mikroba dinyatakan tumbuh atau tidak tumbuh setelah ditumbuhkan pada media agar. Percobaan 2. Inaktivasi Bakteri S aureus dan P. fluorescens oleh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung di bawah Nilai MIC. Tujuan dari penelitian tahap ke dua ini adalah untuk menentukan pola regenerasi dan fenomena sakit dari bakteri S aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak biji atung pada dosis di bawah MIC. Prosedur pengujian dilakukan dengan metode kontak (Parish dan Davidson, 1993) yaitu dengan mengukur jumlah mikroba pada waktu tertentu setelah diberi sejumlah senyawa antimikroba. Ke dalam 19 ml NB cair steril di dalam erlemeyer 50 ml ditambahkan 1ml inokulum bakteri uji yang berumur 20-24 jam (106-107 sel/ml). Kemudian ditambahkan satu seri tingkat ektrak etil asetat biji atung di bawah dosis MIC (0-1,0 MIC), diinkubasi pada suhu 37oC untuk S aureus dan 41 pada suhu ruang untuk P. fluorescens selama 24 jam. Jumlah mikroba dihitung dengan metode hitungan cawan, dihitung setiap 3 jam selama 30 jam. Percobaan 3. Inaktivasi Bakteri S aureus, P. fluorescens dan E. coli Pengaruh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung di atas Nilai MIC. Penelitian tahap ke tiga ini bertujuan untuk mengkaji pola kematian bakteri S. aureus dan P. fluorescens yang akan digunakan untuk menentukan kinetika kematian bakteri S. aureus dan P. fluorescens. Metode yang digunakan adalah metode kontak sama dengan percobaan tahap pertama dan kedua, jumlah mikroba dihitung setiap jam sampai jumlah mikroba yang dihambat diperkirakan habis. Dosis ekstrak yang ditambahkan adalah dosis di atas nilai MIC yaitu (1 –1,6) MIC. Jumlah mikroorganisme yang masih hidup dihitung dengan metode hitungan cawan. Percobaan 4. Inaktivasi Bakteri S aureus oleh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung pada Pangan Model Padat Tujuan dari penelitian tahap ke empat ini adalah untuk mengkaji pola inaktivasi bakteri S aureus, mengkaji penerapan nilai D dan z di dalam pangan model padat dan membandingkannya dengan di dalam medium cair. Produk pangan yang digunakan sebagai model adalah produk pangan semi basah berbentuk dodol. Produk dibuat menurut cara Noeroktiana (2000) yaitu dibuat dari campuran dekstrin tapioka, tepung kedele, gula merah dan minyak goreng dengan perbandingan 2:2:2:1 dengan ditambah air sebanyak 9 % dari berat campuran, diadon, dicetak dan tidak dipanaskan (Gambar 5). Proses pembuatan dekstrin tapioka dan tepung kedele yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 17 dan 18. Dalam satu perlakuan produk pangan model padat digunakan 20 gram dekstrin tapioka, 20 gram tepung kedele, 20 gram gula merah dan 10 gram minyak goreng ditambahkan 5,30 ml air (1ml dari kultur cair mikroba). Semua bahan sebelum digunakan disterilkan terlebih dahulu secara sendiri-sendiri, kemudian dicampur, diadon secara aseptis 42 Tepung Kedele Dekstrin Tapioka Gula Merah Ekstrak Biji Atung Dicampur merata Ditambah minyak goreng Dicampur merata Ditambah air dan kultur Dicampur merata Dicetak, dibungkus Pangan Model Padat Gambar 5 : Skema proses pembuatan pangan model padat. dan ditambah ekstrak atung. Untuk satu perlakuan ditambahkan satu tingkat dosis ekstrak biji atung. Dalam penelitian ini ada 6 tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung yang diperlakukan yaitu :0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 dan 3.0 MIC. Setelah ditambah ekstrak, adonan diaduk sampai tercampur secara merata, lalu ditambah campuran kultur mikroba 1ml (106-107 sel/ml) dan air steril secara aseptis. Adonan diaduk kembali sampai merata dan kalis, dicetak dan dibungkus secara aseptis. Produk disimpan di dalam stoples plastik pada suhu kamar. Pengamatan terhadap jumlah mikroba dilakukan selama 140 jam dan diamati setiap 12 jam. Penghitungan jumlah bakteri dilakukan menggunakan metode hitungan cawan. Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur Sel S. aureus dan P. fluorescens oleh Ekstrak Etil Asetat Biji atung. Tujuan penelitian tahap ke 5 ini adalah untuk mempelajari perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus, dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Dari perubahan-perubahan yang teramati, pola dan mekanisme 43 kerusakan sel S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak biji atung dapat diketahui. Perubahan-perubahan yang diamati adalah perubahan penampakan sel secara umum, dinding sel, membran sitoplasma, ukuran sel, ketebalan dinding sel dan lain-lain yang bisa diamati. Metoda yang digunakan adalah metoda mikrokopis menggunakan mikroskop elektron yaitu SEM untuk mengamati perubahan morfologi sel dan TEM untuk mengamati perubahan ultrastruktur sel. Sel untuk pengamatan TEM dan SEM dipersiapkan dalam bentuk pelet dengan cara sebagai berikut: 4 ml kultur bakteri uji dengan muatan kira-kira 106107 sel/ml diinokulasikan ke dalam 76 ml NB steril di dalam erlemeyer 150 ml. Selanjutnya ditambahkan 6 tingkat dosis ekstrak biji atung (0, 0.35, 0.5, 0.7, 1.0 dan 1.2 MIC) dikontakkan selama 4 jam pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 37oC untuk S. aureus dan suhu ruang untuk P. fluorescens Setelah 4 jam kontak sel dipisahkan dengan cara disentrifus (12000, 10 m), pelet yang diperoleh dicuci dengan etil asetat untuk membuang ekstrak yang masih menempel. Sel bebas ekstrak dicuci sebanyak 3 kali dengan buffer cacodilat untuk membuang sisa etil asetat. Transmission Electron Microscopy (TEM) Metode yang digunakan adalah modifikasi dari metode Bozzola dan Russel (1999). Pelet sel yang telah bersih difiksasi dengan glutaraldehid 2,5 % (dalam 0,1M buffer sodium cacodilat pH 7,2) selama 24 jam pada suhu 4oC. Kemudian pelet dicuci dengan buffer cacodilat sebanyak 3 kali, kemudian difiksasi dengan 1 % osmium tetraoksida (dalam 0,05 M buffer cacodilat) sebanyak 0,5 ml selama 2 jam pada suhu 4oC, setelah itu disentrifuse, dibilas 3 kali dengan buffer. Pelet hasil fiksasi dituangi larutan agar, diaduk merata setelah padatan agar membeku dipotong-potong dengan ukuran 1x1x1 mm. Spesimen potongan agar dicuci 2 kali dengan aquabides, didehidrasi secara bertingkat menggunakan beberapa tingkat konsentrasi etanol (25, 50,75 dan 100 % ) masingmasing 10 menit dan terakhir didehidrasi menggunakan aseton 100 % 3 kali masing-masing 10 menit. Setelah proses dehidrasi, dilakukan proses infiltrasi menggunakan campuran resin dengan aseton. Proses infiltrasi dilakukan secara bertingkat. Pelet sel dicelupkan pada campuran aseton dan resin dengan 44 konsentrasi 50, 75 (masing-masing 30m, 1 kali) dan resin 100 % (3 kali, 1 jam). Setelah itu disentrifus, pelet dikeluarkan dipindahkan ke blok yang berisi resin 100 %, diinkubasi pada suhu 60oC selama semalam. Blok yang diperoleh dipotong menggunakan mikrotom pada ketebalan 5060 nm, kemudian potongan sampel ditangkap dan ditempatkan pada grid, diwarnai dengan uranil asetat dan lead sitrat setelah itu diamati di bawah mikroskop elektron transmissi tipe Jeol Jem-1010. Prosedur mewarnai grid dilakukan dengan cara yang biasa dilakukan oleh Lembaga Eikjmen Jakarta yaitu dengan cara sebagai berikut: Kertas saring ditempatkan pada dasar petridish, dibasahi dengan aquades, kemudian ditutup dengan parafilm. Ke atas parafilm tersebut diteteskan satu tetes uranil asetat, kemudian grid diapungkan diatas tetesan uranil asetat, selama 20 menit dalam keadaan tidak ada cahaya. Setelah itu grid dicuci dengan aquabides (dd H2O) dengan cara menyemprot sebanyak 40 kali, sesudah itu grid dikeringkan dengan kertas saring. Selanjutnya grid diapungkan pada tetesan lead sitrat yang ditempatkan pada permukaan parafilm yang menutupi kertas saring yang telah dibasahi dengan 0,01 NaOH yang ditempatkan pada dasar petridish selama 10 menit pada suhu kamar. Setelah itu grid dicuci dengan 0,01N NaOH 3 kali kemudian dicuci dengan aquabides 40 kali, dikeringkan dengan diamati di bawah mikroskop elektron. Scanning Electron Microscopy (SEM) Metoda yang digunakan adalah metoda Bozzola dan Russel (1999) yang telah dimodifikasi. Pelet sel disuspensikan di dalam 2 ml buffer cacodilat, kemudian dilewatkan melalui suatu membran milipore dengan ukuran pori 0,2 μm yang berguna untuk tempat meletakan sel. Setelah itu sel yang terdapat pada milipore difiksasi dengan glutaraldehid 2,5 % (dalam 0,1 M buffer sodium cacodilat pH 7,2) selama 1,5 jam, selanjutnya sel dicuci dua kali dengan buffer cacodilat 0,05 M pH 7,2 selama 20 menit untuk masing-masingnya. Kemudian sel difiksasi dengan 1 % osmium tetraoksida (dalam 0,05 M buffer cacodilat), dicuci dengan air destilasi selama 1-2 menit, dikeringkan dengan etanol dengan konsentrasi bertingkat (25,50,75,) dan dalam etanol 100 % 3 kali selama 10 menit 45 untuk setiap kali. Membran yang telah dikeringkan diletakkan pada stub almunium dilapisi dengan emas baru diamati di bawah scanning electron microscope tipe Jem Jeol JSM-5200. Percobaan 6. Analisa Kebocoran Sel Analisa kebocoran sel digunakan untuk mengukur derajat kerusakan dinding dan membran sel dari bakteri uji. Analisa kebocoran sel diamati pada dosis di bawah MIC, yaitu pada perlakuan dosis ekstrak 0, 0.3, 0.5, 0.7 dan 0.9 MIC. Bakteri yang diukur kebocoran selnya adalah S. aureus dan P. fluorescens. Kebocoran diamati dalam bentuk kebocoran protein, asam nukleat, mineralmineral dalam bentuk ion Ca++, dan K+ yang dilepaskan oleh sel pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Kebocoran Protein dan Asam-asam Nukleat Metoda yang dipakai dalam penelitian ini adalah metoda yang telah dikerjakan oleh Davidson dan Branen (1980). Kultur sel ditumbuhkan selama 8 jam di dalam media NA, kemudian sel dipanen dengan cara disentrifus pada kecepatan putar 3500 rpm selama 20 menit. Pelet yang diperoleh dicuci dengan buffer fosfat pH 7,0 sebanyak 2 kali untuk membersihkan media yang menempel pada pelet, kemudian disuspensi di dalam 19 ml buffer fosfat pH 7,0, ditambah ekstrak etil asetat biji atung sesuai perlakuan dan dikontakkan selama 4 jam dengan cara digoyang pada kecepatan putar 150 rpm pada suhu 37oC untuk S. aureus dan suhu ruang untuk P. fluorescens. Setelah itu suspensi sel disentrifus selama 20 menit pada suhu ruang pada rpm 3500, selanjutnya supernatannya diambil dan diukur absorbansinya pada OD260 dan OD 280 nm menggunakan spektrofotometer. Kebocoran ion-ion logam Kebocoran ion-ion logam diamati dari pelet yang diperoleh dari pengukuran kebocoran protein dan asam-asam nukleat. Kebocoran dinyatakan dengan penurunan jumlah ion-ion logam yang terdapat pada bakteri uji setelah kontak dengan beberapa tingkat ekstrak biji atung selama 4 jam. Kebocoran ion- 46 ion K+ dan Ca++ dideteksi menurut Lee et al (1994) yaitu diukur menggunakan AAS (atomic absorption spectrophotometer). Pelet sel setelah dikontakkan dengan ekstrak biji atung dicuci dengan pelarut etil asetat 1 kali untuk membuang ekstrak yang menempel pada sel, setelah itu untuk membuang sisa pelarut, pelet sel dicuci dengan air bebas ion steril sebanyak 3 kali. Pelet yang telah bersih ditimbang, diabukan dengan cara pengabuan basah dengan metode Park (1996). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG Ekstrak etil asetat biji atung yang dihasilkan berupa cairan pekat berwarna jingga dengan berat jenis sekitar 1,0682 g/ml dengan rendemen 0,98 % dari berat serbuk biji atung kering. Ekstrak ini mempunyai warna yang sama dengan yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998) akan tetapi lebih pekat dari ekstrak yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) dengan berat jenis 1,0 g/ml dan Adawiyah (1998) dengan berat jenis 0,9876 g/ml. Dari lima kali mengekstrak, rendemen ekstrak yang diperoleh rata-rata 0,98 %, hasil ini sama dengan yang dihasilkan oleh Adawiyah (1998) dengan rendemen 1,0 %. Untuk menguji apakah pelarut etil asetat dan ekstrak yang diperoleh mempunyai aktivitas antimikroba atau tidak terlebih dahulu dilakukan pengujian aktivitas antimikroba menggunakan uji difusi sumur. Hasil uji aktivitas antibakteri pelarut etil asetat dan ekstrak biji atung dengan jumlah ekstrak 64,1 mg persumur, menggunakan difusi sumur disajikan pada Gambar 6 dan data pengukuran diameter zona hambat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Diameter zona penghambatan (daerah bening) beberapa jenis bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung dengan jumlah ekstrak persumur 64,1 mg. Jenis bakteri S. aureus B. subtilis P. fluorescens E. coli L. plantarum Diameter zona hambat (mm) 34 26 38 23 8 Keterangan Terbentuk 2 zona : bening dan keruh Tbtk 2 zona, setelah 24 jam tmbh kembali Tbtk 2 zona : bening dan keruh Tbtk 2 zona : bening dan keruh Dari hasil uji difusi sumur pada mikroba P. fluorescens menunjukkan bahwa pelarut etil asetat tidak bersifat menghambat (Gambar 6c) dengan demikian tidak mempengaruhi nilai aktivitas senyawa antimikroba biji atung, hasil ini 48 b a E. coli L. plantarum B. subtilis c S. aureus P. fluorescens Etil asetat Gambar 6 : Zona hambat ekstrak etil asetat biji atung pada berbagai bakteri uji ( jumlah ekstrak per sumur 64,1 mg). Menurut Kirby dan Bauer yang dikutip oleh Hugo dan Russel (1983), pada antibiotik bila diameter zona hambat besar sama dengan 17 mm dikelompokkan pada bakteri yang sensitif terhadap antimikroba yang diuji dan bila diameter zona hambat berkisar antara 14-16 mm tergolong sedang dan bila diameter zona hambat kecil dari 14 mm, mikroba yang diuji tergolong resisten terhadap antimikroba yang diuji. Dengan demikian dari Tabel 1, bakteri S. aureus, P. fluorescens, E. coli dan B. subtilis bersifat sensitif dan L. plantarum resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung, terhadap S. aureus dan P. fluorescens yaitu dua bakteri perusak pangan sangat peka. 49 B. KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATAN BAKTERI (MIC) Dalam penelitian ini digunakan 5 jenis bakteri yang mewakili kelompoknya masing-masing yaitu S. aureus mewakili bakteri patogen penghasil toksin, Gram positif, B. subtilis mewakili bakteri pembentuk spora Gram positif, E. coli mewakili bakteri patogen Gram negatif, P. fluorescens mewakili bakteri pembusuk, Gram negatif, dan L. plantarum mewakili bakteri pembusuk Gram positif. Penentuan MIC dari lima kelompok bakteri ini tujuannya adalah untuk menentukan dan membandingkan nilai MIC dari masing-masing bakteri dan nilai MIC ini akan digunakan sebagai standar untuk penentuan dosis pada penelitian tahap berikutnya. MIC ditentukan menurut Kubo (1992) yaitu didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari ektsrak etil asetat biji atung yang menyebabkan tidak tumbuhnya bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam. Bakteri uji ditumbuhkan pada media cair nutrient broth (NB), kecuali L. plantarum ditumbuhkan pada media MRS, diinkubasi pada suhu 370C dan suhu 300C untuk P. fluorescens dengan cara digoyang dengan kecepatan goyangan 150 rpm. Penentuan MIC ditentukan dengan cara menumbuhkannya pada media agar, dinyatakan dengan tumbuh atau tidak tumbuh dan dengan menggunakan metode kekeruhan (turbidity) menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil pengukuran absorbansi dengan metode kekeruhan diamati pada panjang gelombang (λ) 660 nm menggunakan spektrofotometer, sebagai blanko dipakai media nutrient broth ditambah ekstrak susuai dengan perlakuan. Data pertumbuhan untuk penentuan MIC disajikan pada Lampiran 2 s/d 10. Data absorbansi yang diperoleh menunjukkan hasil yang tidak akurat oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk penentuan nilai MIC. Hal ini juga dinyatakan oleh Murhadi (2001). Ketidak akuratan disebabkan karena ekstrak etil asetat tidak larut dalam medium cair NB yang menggunakan air sebagai pelarut. Data pengukuran nilai MIC menggunakan metoda hitungan cawan disajikan pada Tabel 2. 50 Tabel 2. Konsentrasi minimum penghambatan ( MIC) ekstrakbiji atung terhadap 5 jenis bakteri uji Jenis Bakteri S. B. E. P. L. aureus subtilis coli flourescens plantarum MIC ( % v/v ) MIC ( mg/ml) 0,3 0,5 0,5 0,3 > 2,5 3,20 5,34 5,34 3,20 >26,70 1. S. aureus dan P. fluorescens Konsentrasi ekstrak yang digunakan untuk penentuan nilai MIC bakteri S. aureus dan P. fluorescens adalah lebih kecil dari 0,7 % yaitu 0, 0.4, 0.45 , 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v), penentuan konsentrasi ini didasarkan dari nilai MIC hasil penelitian terdahulu dari Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998). Hasil pengujian tumbuh atau tidak tumbuh pada media agar, baik S. aureus (Lampiran 2) maupun P. fluorescens (Lampiran 4) ternyata semua perlakuan tidak menunjukkan pertumbuhan. Kemudian konsentrasi ekstrak diturunkan dari 0,4 % yaitu 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.35 dan 0.4 % untuk S. aureus dan P. fluorescens. Pada Lampiran 3 dan Lampiran 5, diperoleh nilai MIC S. aureus 0,3 % (v/v) dan nilai MIC P. fluorescens juga 0,3 % (v/v) yaitu batas konsentrasi yang terendah yang menyebabkan tidak tumbuhnya S. aureus dan P. fluorescens setelah inkubasi 24 jam dengan ekstrak etil asetat biji atung.. Hasil penelitian Moniharapon (1998) menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat biji atung memiliki nilai MIC 0,75 % (v/v) untuk S. aureus dan 0,7 % (v/v) untuk P. aeruginosa, hasil penelitian Adawiyah (1998) nilai MIC P. aeruginosa 4,5 % (v/v). Nilai MIC hasil penelitian Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998) ini lebih tinggi dari nilai MIC S. aureus dan P. fluorescens dari hasil penelitian ini yaitu 0,3% (v/v). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kepekatan dari ekstrak yang digunakan. Pada penelitian Moniharapon (1998) berat jenis ekstrak yang digunakan adalah 1,0 g/ml, pada penelitian Adawiyah (1998) kepekatan ekstrak 0,9876 g/ ml dalam penelitian ini ekstrak dipekatkan sampai berat ekstrak relatif konstan yaitu 1,0682 g/ml 51 Pada umumnya senyawa antimikroba yang berasal dari bumbu bersifat lebih sensitif terhadap bakteri Gram positif dibandingkan bakteri Gram negatif (Nychas, 1995). Dari hasil penelitian aktifitas penghambatan S. aureus dan P. fluorescens adalah sama, hasil ini tidak jauh berbeda dari yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) terhadap bakteri S. aureus dan P. aeruginosa yang mempunyai nilai MIC yang hampir sama (0,75 % dan 0,7 % berturut-turut). Menurut Kubo et al (1995) dan Nychas (1995) sangat sedikit senyawa fitokimia yang berpotensi menghambat bakteri Gram negatif. Ekstrak tanaman yang mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram negatif adalah destilat dari ekstrak heksan daun Ilex paraguayensis (Kubo et al., 1993), komponen flavor dari minyak zaitun/Olea europaea L (Kubo et al., 1995), destilat daun Perilla frustescens (Kang et al, 1992), ekstrak metanol dan fraksi etil asetat dari daun teh hijau Jepang (Sakanaka et al, 1989). 2. E. coli Keragaman laju penghambatan diantara Gram negatif juga ditemukan oleh Nychas, (1995). E. coli relatif lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan P. fluorescens yang sama-sama bakteri Gram negatif. E. coli. mempunyai nilai MIC 0,5 % (v/v) (Lampiran 10) lebih besar dari nilai MIC P. fluorescens yaitu 0,3 % (v/v). Pada penelitian Murhadi (2002) nilai MIC E. coli 3,35 mg/ml lebih rendah aktivitasnya dari nilai MIC P. fluorescens 3,95 mg/ml, hal ini dapat disebabkan karena Murhadi (2002) menggunakan ekstrak yang berbeda yaitu ekstrak metanol biji atung sehingga bahan yang terlarut di dalam ekstrak berbeda. Ketahanan E. coli dibandingkan dari bakteri lain juga ditemukan pada banyak antibiotik seperti makrolides, novobiosin, rifampisin, lincomisin, clindamisin dan asam fusidat (Nikaido dan Vaara, 1985). Menurut Nikaido dan Vaara (1985) E. coli tergolong bakteri enterik, Gram negatif, bakteri golongan enterik ini mempunyai membran luar yang sangat efektif dalam mempertahankan diri dibandingkan dari bakteri Gram negatif lainnya. Ketahanan E. coli menurut Nikaido dan Vaara (1985), disebabkan oleh karena E. coli termasuk bakteri enterik yang permukaan luarnya mempunyai rantai polisakarida dari lipopolisakarida (LPS) yang bersifat hidrofilik, selain itu 52 ketahanannya juga disebabkan oleh polisakarida asam yang terdapat pada kapsul yang ditemukan dalam jumlah nyata. Dan semua protein utama yang terdapat pada membran luar sel dari E. coli adalah protein asam. Polisakarida asam pada bakteri enterik ditemukan dalam bentuk asam colanat (antigen M) yang disusun dari glukosa, galaktosa, frukosa dan asam glukoronat. Asam ini dibuat pada keadaan lingkungan tidak mendukung pertumbuhan terutama jika bakteri keluar dari saluran pencernaan. Ketahanan bakteri enterik terhadap ekstrak etil asetat biji atung yang lebih besar dibandingkan dari bakteri Gram negatif lain juga ditemukan oleh Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998). Dari hasil penelitian Moniharapon (1998) Salmonella typhimurium yaitu bakteri enterik Gram negatif lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung (MIC =0,75 mg/ml) dibandingkan P. aeruginosa (MIC=0,70 mg/ml). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Adawiyah (1998) dimana S. typhimurium mempunyai nilai MIC=6,0 mg/ml lebih besar dari nilai MIC P. aeruginosa yaitu 4,5 mg/ml. 3. L. plantarum Pertumbuhan bakteri L. plantarum di dalam medium yang mengandung ekstrak etil asetat biji atung sampai konsentrasi 2,5 % atau penambahan ekstrak 36,7 mg/ml (Lampiran 6,7,8) masih terjadi pertumbuhan. Hasil ini sejalan dengan hasil uji difusi sumur dimana bakteri menunjukkan diameter zona penghambatan yang sangat kecil (8 mm). Diameter zona hambat yang sangat kecil dan tidak tumbuhnya L. plantarum sampai konsentrasi 2,5 % menunjukkan bahwa L. plantarum resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung, hal ini menguntungkan karena L. plantarum merupakan salah satu bakteri asam laktat yang bermanfaat, baik dalam proses fermentasi maupun sebagai bahan pengawet alami. Bahan aktif senyawa antimikroba ekstrak etil asetat biji atung adalah fenolik (Adawiyah, 1998 ), dan minyak atsiri (Murhadi, 2002). Aktivitas antimikroba sebagian besar minyak atsiri juga merupakan kontribusi senyawa fenolik. Senyawa fenolik yang bersifat bakterisidal terhadap L. plantarum adalah oleuropein aglikon dan asam elenolat dari zaitun (Federici dan Bongi, 1983 di dalam Nychas, 1995). 53 L. plantarum termasuk bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif terdiri dari bermacam-macam jenis peptidoglikan. Jenis peptidoglikan yang dominan dari genus Lactobacillus adalah jenis Lys-D-Asp (Pot, et al, 1994). Bakteri Gram positif selain mengandung peptidoglikan juga mengandung asam teikoat. Menurut Volk dan Wheeler (1988) semua bakteri Gram positif mengandung asam teikoat tipe gliserol yang terikat pada membran yang disebut dengan asam lipoteikoat, tetapi tidak semua bakteri Gram positif mempunyai asam teikoat yang terikat pada peptidoglikan. Asam lipoteikoat mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang, bersifat polar berikatan pada sejumlah kecil glikolipid bersifat hidrofobik. Pada beberapa organisme, asam lipoteikoat muncul pada permukaan dinding sel. L. plantarum mempunyai asam lipoteikoat yang muncul pada permukaan dinding sel . Diperkirakan ketahanan bakteri L. plantarum terhadap ekstrak etil asetat biji atung disebabkan karena sifat polar dari asam lipoteikoat dan asam teikoat yang terdapat pada dinding sel yang tidak dapat ditembus oleh senyawa ekstrak etil asetat yang lebih bersifat semi polar menuju nonpolar. 4. B. subtilis Pada Lampiran 9, dapat dilihat pertumbuhan bakteri B. subtilis di dalam media NB yang mengandung ektrak etil asetat biji atung pada konsentrasi 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v) selama 24 jam. Sampai konsentrasi 0,6 % mikroba masih tumbuh akan tetapi jumlah mikroba yang tumbuh dari konsentrasi 0,55 dan 0,6 % sudah dikatakan tidak berubah yaitu 101 sel/ml. Dengan demikian nilai MIC B. subtilis adalah 0,5 %. Hal ini disebabkan karena spora yang dihasilkan oleh B. subtilis, yang memperlihatkan resistensi. B. subtilis adalah bakteri pembentuk spora (endospora), endospora adalah bentuk dorman dari sel yang mempunyai korteks yang tebal yang tahan terhadap beberapa perlakuan seperti panas, UV dan bahan kimia (Foster, 1994). Bila dibandingkan nilai MIC ke 5 jenis bakteri yang diuji dengan metoda difusi sumur hasilnya tidak jauh berbeda, yang agak berbeda adalah P. fluorescens, dimana nilai MIC P. fluorescens sama dengan nilai MIC S. aureus, sementara pada uji difusi sumur P. fluorescens paling sensitif. Dari ke lima jenis 54 bakteri tersebut terhadap ekstrak etil asetat biji atung bakteri S. aureus dan P. fluorescens paling sensitif dengan ketahanan yang sama, diikuti oleh E. coli dan P. fluorescens dan bakteri paling tahan adalah L. plantarum . C. POLA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus DAN P. fluorescens PADA DOSIS DI BAWAH MIC Penelitian pola inaktivasi bakteri di bawah dosis MIC dimaksudkan untuk menentukan pola regenerasi serta fenomena sakit dari bakteri S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Penentuan pola inaktivasi ini dilakukan secara deskriptif menurut Parish dan Davidson (1993) dengan metode kontak di dalam media cair NB. Penghitungan jumlah bakteri yang hidup pada selang waktu tertentu ditentukan dengan metoda hitungan cawan. Menurut Hugo dan Russel (1983) penghitungan jumlah bakteri yang kontak dengan antimikroba setelah waktu tertentu menggunakan metoda kekeruhan tidak disarankan karena dapat menimbulkan kesalahan hasil, karena adakalanya mikroba yang kontak dengan antimikroba dapat membentuk filamen atau tidak dapat membelah. Sel yang tidak dapat membelah atau membentuk filamen ukurannya menjadi sangat besar dan panjangnya dapat meningkat sampai 50 kali dari normal. Peningkatan ukuran sel menyebabkan kultur menjadi lebih keruh, dengan metoda hitungan cawan kesalahan dapat dihindarkan karena satu sel menghasilkan satu koloni. Dalam penelitian ini diperlakukan berbagai tingkat dosis ekstrak biji atung dari 0 s/d 1,0 MIC selama 40 jam dan diamati pada selang waktu 3 jam. Tidak samanya dosis ekstrak yang diperlakukan dalam penelitian ini adalah semata-mata karena alasan teknis untuk memudahkan pelaksanaan. Pola inaktivasi diperoleh dengan cara memplot log jumlah bakteri terhadap waktu kontak. Hasilnya disajikan pada Gambar 7. 55 S. aureus P. fluorescens Gambar 7. Pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC 56 1. Pola Umum Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens di bawah Nilai MIC Pada Gambar 7, penambahan ekstrak etil asetat biji atung mempengaruhi pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens. Pola inaktivasi dipengaruhi oleh dosis dan lamanya waktu kontak dengan ekstrak biji atung. Terdapat tiga bentuk pola inaktivasi pada bakteri S. aureus (Gambar 7a) yaitu pada dosis rendah (0,3 MIC) penambahan ekstrak biji atung menekan atau menghambat pertumbuhan, pada dosis yang lebih tinggi yaitu 0.35, 0.66, 0.83, 0.9 dan 0.93 MIC pola inaktivasi menurun untuk waktu tertentu kemudian meningkat kembali (regenerasi), dan pada dosis yang mendekati MIC (0,96 dan 1,0 MIC) pola inaktivasi menurun dan tidak terjadi pertumbuhan kembali sampai waktu pengamatan 24 jam. Pola inaktivasi ini mirip dengan pola inaktivasi S. aureus (MRSA) oleh asam anacardic dan totarol (Muroi dan Kubo, 1996) dan mirip dengan pola inaktivasi S. aureus oleh ekstrak metanol dari Azadirachta indica A. Juss (Meliaceae) (Okemo, 2001). Pola yang sama juga diamati pada bakteri P. fluorescens (Gambar 7b), pada dosis rendah ekstrak biji atung (0,1 dan 0,2 MIC) menekan pertumbuhan dan pada dosis yang lebih tinggi (0,5 MIC) ekstrak biji atung memperlihatkan efek statik. Di atas dosis 0,5 MIC yaitu pada dosis 0.64, 0.71, 0.86 dan 1.0 MIC pola inaktivasi menunjukkan pola penurunan, dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak penurunan semakin curam, pada konsentrasi yang dicobakan ini tidak terjadi pertumbuhan mikroba kembali (regenerasi). Pola pertumbuhan kembali pada bakteri P. fluorescens diamati pada dosis ekstrak biji atung 0.53, 0.56, 0.58, dan 0.61 MIC yang dapat dilihat pada Gambar 8b. Pola inaktivasi dari P. fluorescens pada dosis di bawah MIC mirip dengan kurva inaktivasi P. aeruginosa oleh tobramisin, ciprofloxacin dan tikarsilin (Craig, 1998) dan E. coli oleh kloramfenikol, tetrasiklin dan sefaloridin. 2. Regenerasi Sel S. aureus dan P. fluorescens Pada Gambar 8, bentuk pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens adalah sama, mula-mula turun dan kemudian mengalami regenerasi (tumbuh kembali). Pola regenerasi S. aureus dihasilkan dari perlakuan ekstrak biji atung pada dosis lebih tinggi dari dosis penghambatan pertumbuhan yaitu 0.66, 57 0.83, 0.90 dan 0.93 MIC. Pada dosis 0,66 MIC bakteri mengalami penurunan jumlah kira-kira 1 siklus log sampai jam ke 6 pengamatan dan pada jam ke 8 bakteri ini mengalami regenerasi sampai jam ke 24, pada jam ke 24 ini jumlah sel melebihi jumlah awal sel. Pada dosis yang lebih tinggi yaitu 0,83 MIC penurunan jumlah bakteri lebih besar yaitu kira-kira turun 2 siklus log sampai jam ke 12, dan pada jam ke 16 bakteri mulai tumbuh kembali tetapi jumlah bakteri pada akhir pengamatan tidak sampai melebihi jumlah awal (waktu 0). Pada dosis 0,9 MIC pola regenerasi tidak jauh berbeda dari perlakuan 0,83 MIC yaitu menurun sampai jam ke 12 sebesar 2 siklus log kemudian jam ke 16 meningkat kembali dan peningkatannya lebih kecil dari perlakuan 0,83 MIC. Pada dosis 0,93 MIC bakteri S. aureus tidak mengalami regenerasi, sampai jam ke 24 terjadi penurunan. Pola pertumbuhan kembali juga diamati pada bakteri S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) pengaruh asam anacardic dan totarol. (Muroi dan Kubo, 1996). Pertumbuhan MRSA oleh 0,5 MIC asam anacardic menurun kira-kira 1 siklus log dari jumlah awal sel 106 selama 6 jam inkubasi dan tumbuh kembali yang jumlahnya melebihi jumlah awal sel (107) pada jam ke 24. Pertumbuhan kembali MRSA oleh totarol juga diamati mulai konsentrasi (0,51,0) MIC . Pada 0,5 MIC MRSA turun kira-kira 0,5 siklus log selama 2 jam inkubasi kemudian tumbuh kembali sampai menyamai kontrol pada jam ke 24, sedangkan pada 1,0 MIC MRSA turun sampai batas limit deteksi (102) pada jam ke 6 kemudian tumbuh meningkat menyamai jumlah awal sel pada jam ke 24. Pada bakteri P. fluorescens dosis yang diperlakukan adalah 0.53, 0.58 dan 0.61 MIC diamati setiap 2 jam selama 12 jam. Pola regenerasi agak sedikit berbeda dari pola regenerasi S. aureus, pada bakteri S. aureus tidak terdapat fase adaptasi sedang pada bakteri P. fluorescens terdapat fase adaptasi sampai jam ke 4 yang ditemui pada semua tingkat perlakuan. Pola inaktivasi pada ke tiga tingkat dosis tersebut tidak begitu berbeda yaitu sampai jam ke 4 mikroba dalam keadaan statis setelah itu baru turun kira-kira 2 siklus log sampai jam ke 6 dan bertahan jumlahnya sampai jam ke 8 dan setelah jam ke 8 bakteri ini tumbuh kembali sampai jam ke 10 dan bertahan sampai pengamatan jam ke 12. Fenomena pertumbuhan kembali sering diamati terjadi pada mikroba yang diperlakukan pada suatu agen antimikroba pada dosis yang tidak mematikan. 58 Pertumbuhan kembali menurut Akers dan Tailor ( 1994 ) dapat terjadi karena bermacam-macam alasan diantaranya pengawet kehilangan stabilitas atau aktifitas selama pengujian, atau terjadinya mutasi pada sel mikroba. Menurut Fardiaz (1992), penambahan agen antimikroba pada dosis yang tidak cukup mematikan dapat menyebabkan sel bakteri mengalami kerusakan menyebabkan sel menjadi sakit atau stres. Sel yang sakit pertumbuhannya dapat terhambat untuk waktu tertentu dan kemudian tumbuh kembali. Dalam penelitian ini penambahan ekstrak etil asetat pada dosis di bawah MIC menyebabkan pertumbuhan kembali (regenerasi) pada bakteri S. aureus dan P. fluorescens (Gambar 8). a b 8 11 10 Log N Log N 7 6 5 9 8 7 4 6 0 10 20 30 0 5 Waktu ( Jam ) 0,66 MIC 0,9 MIC 10 15 Waktu (Jam) 0,83 MIC 0 MIC 0,53 MIC 0,93 MIC 0,58 MIC 0,61 MIC Gambar 8. Pola regenerasi bakteri (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens oleh ekstrak biji atung. Terjadinya pola regenerasi menandakan bahwa penambahan ekstrak biji atung pada bakteri S. aureus dan P. fluorescens pada dosis di bawah MIC menyebabkan sakit. Mikroba yang sakit tidak dapat dideteksi menggunakan media pertumbuhan yang biasa dan mikroba ini dapat bertahan untuk waktu tertentu sampai kondisi nutrisi dan lingkungan mendukung untuk pertumbuhan (Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992). Kejadian ini perlu diwaspadai karena tidak terdeteksinya mikroba yang sakit sangat berbahaya, tidak saja karena mikroba patogen yang 59 berbahaya bagi kesehatan tetapi juga pada mikroba pembusuk yang dapat merusak produk pangan sewaktu-waktu bila lingkungan mendadak berubah kearah merangsang pertumbuhan. Mikroba yang sakit oleh kerusakan subletal dapat dideteksi dari ketidakmampuannya untuk membentuk koloni pada medium padat yang biasa digunakan untuk sel sehat. Sel yang mengalami kerusakan subletal sensititifitasnya hilang terhadap senyawa penghambat (selektif) dan dapat disembuhkan dengan medium yang kaya nutrien, tetapi tidak mengandung senyawa yang bersifat menghambat (nonselektif) ( Silliker, 1980; Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992). Berdasarkan prinsip perbedaan kemampuan mikroba tumbuh dalam kedua media ini yaitu media selektif dan media non selektif maka jumlah sel yang sakit dapat dihitung. Mikroba yang tumbuh pada media selektif hanya mikroba yang sehat sementara pada media nonselektif adalah mikroba yang tumbuh adalah mikroba yang sehat dan mikroba yang sakit yang telah mengalami penyembuhan. 3. Penyembuhan S. aureus Di dalam penelitian ini, penghitungan jumlah mikroba yang sakit hanya dilakukan pada mikroba S. aureus. Media penyembuhan yang digunakan sebagai media nonselektif adalah TSA (Trypticase Soy Agar) ditambah yeast ekstrak 0,5 % (TSYE) dan media TSAS_YE yaitu media TSA yang di tambah ekstrak yeast 0,5 % dan garam NaCl 7,5 % sebagai media selektif. Media ini sudah banyak dilakukan untuk menghitung bakteri S. aureus yang sakit karena kerusakan subletal oleh aw rendah (Soekarto et. al., 1984 ), panas ( Jay, 1987 ). Kosentrasi ekstrak yang ditambahkan untuk membuat bakteri S. aureus sakit adalah 0,3 MIC dan 0,85 MIC. Plot hasil logaritma jumlah S. aureus yang hidup selama 8 jam di dalam ekstrak etil asetat biji atung 0,3 MIC dan selama 48 jam di dalam ekstrak 0,85 MIC menggunakan medium TSA-YE dan TSAS-YE disajikan pada Gambar 9. Dari gambar 9, terdapat perbedaan jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE dengan media TSAS-YE pada dosis 0,85 MIC untuk setiap waktu pengamatan. Jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE lebih besar dari jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSAS-YE sementara pada dosis 0,3 60 MIC perbedaan jumlah yang tumbuh pada media TSA-YE dengan media TSASYE sedikit sekali. Pada Gambar 8 penambahan ekstrak biji atung pada dosis 0,3 MIC tidak menyebabkan sel S. aureus mengalami regenerasi, pada dosis ini a 8 8 b log N Log (N) 7 7 6 5 6 0 2 4 6 8 w aktu (Jam ) TSA_YE TSAS_YE 10 4 0 20 40 60 w aktu (jam ) TSA_YE TSAS-YE Gambar 9. Pertumbuhan bakteri S. aureus di dalam media TSA-YE dan TSASYE yang mengandung ekstrak etil asetat biji atung pada dosis (a) 0,3 MIC, tidak ada sel S. aureus yang stres dan (b) 0,8 MIC, terdapat S. aureus yang stres. ekstrak hanya menghambat pertumbuhan. Dengan demikian media ini dapat digunakan untuk mendeteksi bakteri S. aureus yang sakit oleh ekstrak etil asetat biji atung. Jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE adalah S. aureus yang sehat dan sakit yang berhasil disembuhkan pada media TSA-YE. Bakteri yang tumbuh pada media TSAS-YE adalah bakteri yang sehat saja, bakteri yang sakit tidak dapat tumbuh pada di dalam media TSAS-YE karena adanya garam sebagai senyawa penghambat (selektif). S. aureus yang sakit dari penambahan ekstrak etil asetat biji atung 0,8 MIC selama 48 jam adalah 18,15 %. Jumlah sel yang sakit dapat dihitung dari selisih perhitungan jumlah mikroba pada media TSA-YE dengan TSAS-YE dan datanya disajikan pada Tabel 3. 61 Tabel 3. Persentase bakteri S. aureus yang sehat, sakit dan mati oleh ekstrak biji atung pada dosis 0,8 MIC selama 48 jam Waktu ( jam) Sakit (%) Mati (%) Sehat (%) 0 12 24 36 48 0,42 0,63 5,81 16,70 18,15 0 11,75 20,56 22,94 18,32 100 88,06 75,14 64,46 67,13 C. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI DI ATAS DOSIS MIC Kinetika inaktivasi bakteri di atas nilai MIC dimaksudkan untuk menentukan bentuk pola kematian bakteri dan berdasarkan bentuk pola yang diperoleh dilakukan pengkajian kinetik untuk menentukan laju inaktivasi dan ketahanan bakteri terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tahap ini adalah bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli . 1. Pola Kematian Bakteri Data kematian bakteri S. aureus oleh ekstrak biji atung pada dosis di atas MIC disajikan pada Lampiran 15. Plot log jumlah S. aureus yang hidup pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis besar dari MIC melawan waktu kontak disajikan pada Gambar 10a. Kurva yang terbentuk disebut dengan kurva waktu kematian. Pola kematian bakteri S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung bersifat logaritmik. Penyimpangan dari logaritmik ditemui, pada dosis yang sama atau sedikit lebih besar dari nilai MIC terdapat bahu (shoulder) namun makin besar dosis ekstrak yang ditambahkan bahu semakin kecil dan pada dosis 1,38 MIC bahu sudah hilang sama sekali akan tetapi semakin hilangnya bahu diikuti dengan munculnya ekor (tail) perlahan-lahan. Pada konsentrasi 1,31 sampai dengan 1,6 MIC ekor semakin jelas. Hilangnya bahu menandakan bakteri S. aureus tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya namun dengan semakin 62 P. fluorescens E. coli 9 8 8 8 7 7 7 6 6 6 5 1,0 MIC 4 5 1,0 MIC Log N 5 log N log N S. aureus 4 3 3 3 2 2 1,0 MIC 4 2 1 1 1 0 0 10 20 30 0 waktu (jam) 10 20 30 0 0 waktu (jam) 5 10 15 Waktu (jam) 1,0 MIC 1.03 MIC 1.10 MIC 1,0 MIC 1.03 MIC 1.1 MIC 1.17 MIC 1.24 MIC 1,31 MIC 1.17 MIC 1.24 MIC 1,33 MIC 1,38 MIC 1,6 MIC 1,5 MIC 1,67MIC 1,0 MIC 1,1 MIC 1,3 MIC 1,4 MIC 1,2 MIC Gambar 10. Kurva kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC. 63 jelasnya ekor mencerminkan bahwa sel berhasil memperbaiki diri dari stres lingkungan oleh karena penambahan ekstrak. Plot log jumlah P. fluorescens yang hidup pengaruh ekstrak biji atung terhadap waktu kontak disajikan pada Gambar 10b. Hasilnya memperlihatkan pola kematian bakteri P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung. Pada awal kurva, terdapat fase adaptasi yang menyerupai bahu yang panjangnya hampir sama dengan bahu dari S. aureus akan tetapi polanya lebih curam. Peningkatan konsentrasi ekstrak tidak banyak berpengaruh terhadap bentuk fase adaptasi. Setelah fase adaptasi dilanjutkan dengan fase kematian dengan kemiringan yang lebih tajam dibandingkan dari fase adaptasi. Peningkatan konsentrasi ekstrak biji atung mempercepat dan mempertinggi derajat kematian bakteri, sebagaimana semakin tajam derajat kemiringan kurva kematian. Pada akhir kurva pada dosis sama atau sedikit lebih besar dari MIC ada kecendrungan pola kematian P. fluorescens membentuk ekor yang menggambarkan kecendrungan bakteri ini mempertahankan diri akan tetapi dengan semakin tingginya dosis, ekor tidak ditemui. Data pengamatan inaktivasi E. coli oleh beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung di atas MIC terdapat pada Lampiran 17. Plot hubungan antara jumlah E. coli yang hidup pengaruh ekstrak biji atung dengan waktu kontak membentuk pola kematian yang dapat dilihat pada Gambar 10C. Pola kematian memperlihatkan adanya bahu mendatar yang panjang yang pada awal kurva, kemudian memasuki fase kematian dimana kurva menurun membentuk garis lurus. Pola ini ditemui pada semua tingkat perlakuan ekstrak akan tetapi semakin tinggi dosis panjangnya bahu semakin pendek, dengan kemiringan fase kematian semakin besar. Bentuk pola kematian seperti ini ditemukan pada bakteri E. coli, S. aureus dan P. fluorescens pada proses irradiasi dengan microwave (Fujikawa dan Ohta, 1994). Bila dibandingkan bentuk kurva kematian, S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung, ketiga bakteri ini mempunyai bahu akan tetapi dengan bentuk yang berbeda. Pada proses termal, adanya bahu merupakan fase adaptasi dari bakteri sebelum panas mencapai sisi sensitif dari organisme. Menurut Moat dan Foster, (1988) adanya fase adaptasi menunjukkan adanya 64 sistem perbaikan pada mikroba yang dapat digunakan sebagai pengukur kemampuan organisme untuk memperbaiki diri. Dengan demikian E. coli mempunyai fase adaptasi dengan kemampuan memperbaiki diri yang lebih baik dibandingkan S. aureus, dan P. fluorescens. Adanya bahu dan ekor pada pola kematian bakteri oleh agen antimikroba merupakan fenomena umum yang ditemukan juga pada panas, aw, radiasi dan lain-lain. Menurut Hansen dan Rieman, (1963) adanya bahu juga sering dihubungkan dengan adanya proses disagregasi sel yang membentuk clump (Sala, et al.,1995), bakteri yang disuspensi dalam media broth dan cairan lainnya sering diamati dalam bentuk clump membentuk agregat (Carllamana dan Mallete, 1965). 2. Laju Inaktivasi Bakteri Data kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung di dalam medium cair NB pada pH 6,8 disajikan pada Lampiran 15, 16 dan 17 berturut-turut dan Gambar 10. a. S. aureus Pada Lampiran 15 dan Gambar 10a, pada perlakuan 1,0 MIC jumlah awal sel S. aureus 5,2 x 107 dalam 20 jam turun menjadi 6,3 x 101 sel/ml yaitu turun 6 siklus log. Pada perlakuan 1,03 MIC jumlah S. aureus menurun 4 siklus log dari 5,1 x 107 sel/ml pada awal inkubasi menjadi 2,2 x 103 sel/ml setelah 8 jam kontak. Pada dosis yang lebih besar 1,1 MIC S. aureus turun 4 siklus log, dari 4,2 x 107 sel/ml menjadi 2,5 x 103 sel/ml selama 7 jam, dan pada dosis 1,17 MIC jumlah dan lamanya penurunan tidak berbeda dengan 1,1 MIC, namun pada dosis 1,24 MIC dalam 7 jam S. aureus turun 5 siklus log dari 4,2 x 107 menjadi 4,2 x 102 sel/ml. Pada dosis tinggi 1,31 MIC dan 1,38 MIC dalam waktu 4 jam jumlah S. aureus turun 4 siklus log dari jumlah awal 3,9 x 107 sel/ml dan 3,5 x 107 sel/ml menjadi 1,4 x 103 dan 1,0 x 103 sel/ml berturut-turut. Setelah jam ke 4 populasi S. aureus turun sampai jam ke 8 untuk perlakuan 1,38 MIC dan jam ke 7 untuk perlakuan 1,38 MIC dengan laju yang lebih lambat menjadi 9,8 x 101 dan 6,0 x 101 sel/ml berturut-turut. 65 b. P. fluorescens Data inaktivasi bakteri P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas nilai MIC disajikan pada Lampiran 16 dan Gambar 10b. Inkubasi bakteri P. fluorescens di dalam media yang mengandung ekstrak biji atung pada dosis 1,0 MIC menyebabkan jumlah bakteri P. fluorescens turun 6 siklus log dari jumlah awal 2,6 x107 menjadi 4,8x101 sel/ml dalam 24 jam. Pada 1,03 MIC menyebabkan jumlah P. fluorescens menurun 4 siklus log dalam 12 jam, dari jumlah awal 3,6x107menjadi 6,9 x103 sel/ml. Pada dosis ekstrak 1,1 MIC jumlah P. fluorescens yang awalnya 2,5x107sel/ml turun sekitar 5 siklus menjadi 1,6x102 sel/ml setelah 12 jam inkubasi, peningkatan dosis menjadi 1,17 MIC tidak banyak berbeda dari dosis 1,1 MIC. Sementara pada dosis 1,24 MIC jumlah penurunan setelah 12 jam mencapai 6 siklus log yaitu dari 3,2x107 sel/ml turun menjadi 5,0x101 sel/ml. Pengamatan pada jam ke 14 pada semua perlakuan tidak ditemukan pertumbuhan P. fluorescens. Pada dosis tinggi 1,33, 1,5 dan 1,67 MIC jumlah populasi P. fluorescens menurun secara tajam dari jumlah awal bakteri sekitar107 sel/ml menjadi 1,9x103 , 2,1x103 , 1,0x101 sel/ml dalam waktu 3,2 dan 2 jam berturut-turut. c. E. coli Pada bakteri E. coli penurunan populasi oleh ekstrak etil asetat biji atung tidak seperti S. aureus dan P. fluorescens yang dapat dilihat pada Lampiran 17 dan Gambar 10c. Kontak E. coli pada empat jam pertama dengan ekstrak etil asetat biji atung, hampir semua perlakuan tidak menunjukkan penurunan berarti, artinya pada empat jam pertama digunakan oleh sel E. coli untuk beradaptasi dan mempertahankan diri dari lingkungan . Namun setelah jam ke 4 sel tidak dapat mempertahankan diri dan jumlah sel E. coli menurun. Pada dosis 1,0 MIC jumlah E. coli turun dari 2,2 x 107 menjadi 1,3 x 103 sel/ml pada jam ke 12. Pada dosis 1,1.dan 1,2 MIC jumlah sel pada jam ke 4 sekitar 107 pada jam ke 10 turun menjadi 8,1 x 102 dan 6,2 x 102 sel/ml. Inkubasi pada dosis 1,3 dan 1,4 MIC pada jam ke 4 sudah mulai terjadi penurunan jumlah dimana jumlah awal sama dengan perlakuan 1,0, 1,1 dan 1,2 MIC yaitu sekitar 2,1 x 107 pada jam ke 4 menjadi 9,3 x 66 106 dan 7,1 x 106 , pada jam ke 8 menjadi 1,2 x 104 dan 7,9 x101 sel/ml masingmasing turun 2 dan 5 siklus log. Bila dibandingkan laju inaktivasi S. aureus dengan P. fluorescens yang mempunyai nilai MIC yang sama, bakteri P. fluorescens lebih tahan dari sel S. aureus sampai dengan dosis 1,24 MIC, dan pada dosis besar dari 1,24 MIC S. aureus lebih tahan dari P. fluorescens . Pada bakteri S. aureus pada dosis 1.0, 1.03, 1.1, 1.17 dan 1.24 MIC pertumbuhan tidak terjadi setelah jam ke 24, 8,7 dan 7 berturut-turut. Pada bakteri P. fluorescens pada dosis yang sama tidak terjadinya pertumbuhan setelah jam ke 24, dan jam ke 12. Disini menunjukkan bahwa bakteri P. fluorescens mempunyai ketahanan yang lebih besar terhadap ekstrak etil asetat biji atung dari pada bakteri S. aureus. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil uji difusi sumur dan nilai MIC yang diperoleh sebelumnya. Pada uji difusi sumur bakteri P. fluorescens mempunyai zona hambat lebih besar dari S. aureus, pada pengujian MIC kedua bakteri ini mempunyai nilai MIC yang sama dan pada uji diskriptif P. fluorescens lebih tahan dari S. aureus. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metoda yang digunakan. Menurut Parish dan Davidson (1993) penentuan aktivitas antimikroba secara deskriptif memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dari metoda kontak dan diffusi agar, disamping itu metoda deskriptif dapat menjelaskan pengaruh antimikroba selama pertumbuhan. P. fluorescens adalah bakteri Gram negatif. Menurut Nikaido (1996), pada bakteri Gram negatif terdapat senyawa lipopolisakarida (LPS) yang bersifat hidrofilik pada permukaan membran yang menyebabkan membran luar bakteri Gram negatif bersifat hidrofilik. Senyawa antimikroba ekstrak etil asetat biji atung bersifat semipolar menuju nonpolar. S. aureus adalah bakteri Gram positif, peptidoglikan dari bakteri ini mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik (Moat dan Foster). S. aureus dikenal bakteri yang sangat peka terhadap senyawa nonpolar seperti minyak atsiri. Dengan demikian ketahanan P. fluorescens terhadap ekstrak etil asetat biji atung dapat disebabkan karena sifat hidrofilik yang kurang dapat ditembus oleh ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan dari S. aureus. 67 3. Parameter Laju Inaktivasi Parameter laju inaktivasi dinyatakan dengan nilai D yaitu waktu yang diperlukan untuk membunuh satu siklus log (90 %) bakteri dari suatu populasi bakteri pada dosis ekstrak etil asetat tetap, dan z yaitu peningkatan dosis yang diperlukan untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi dosis. Penentuan parameter laju inaktivasi ( nilai D dan z) oleh ekstrak etil asetat biji atung untuk bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli datanya diambil dari kurva kematian bakteri pada Gambar 10 Lampiran 15, 16 dan 17. Penentuan nilai D dan z untuk bakteri S. aureus diambil dari data kematian bakteri pada semua tingkat dosis di atas MIC tanpa memasukkan data ekor pada perlakuan 1,31, 1,38 dan 1,6 MIC. Pada dosis 1,31 dan 1,38 MIC data yang dipakai untuk penentuan nilai D dan z dari jam ke 0 sampai dengan jam ke 4 dan pada dosis 1,6 MIC hanya tiga titik yaitu dari jam ke 0 sampai jam ke 2. Pada P. fluorescens data yang dipakai untuk penentuan parameter laju inaktivasi adalah dosis 1,0 sampai dengan 1,33 MIC, dosis 1,5 dan 1,67 MIC tidak digunakan sedangkan pada E. coli semua dosis di atas nilai MIC digunakan yaitu 1,0 sampai dengan 1,4 MIC. a. Nilai D Secara rasional pendekatan kinetik dapat digunakan untuk setiap organisme yang mempunyai ciri adanya laju kematian oleh senyawa yang bersifat bakterisidal. Dari Gambar 10, ekstrak etil asetat biji atung bersifat bakterisidal pada bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada dosis di atas MIC, hasil yang sama juga diperoleh oleh Moniharapon (1989) pada bakteri P. aeruginosa. Dan dari Gambar 10, pola kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung bersifat logaritmik dengan penyimpangan terdapat pada awal kurva dalam bentuk bahu. Nilai D dari kurva kematian seperti ini dapat dihitung dengan menggunakan metoda Pflug dan Holcomb (1983) yaitu metoda analisa regresi liner least-squares. Pada kurva kematian E. coli yang mempunyai bahu yang panjang, kurva kematian dapat dipecah menjadi dua garis lurus yaitu fase adaptasi (bahu) satu bagian dan fase kematian satu bagian, setiap garis lurus yang dibentuk mempunyai laju inaktivasi sendiri-sendiri. 68 Tabel 4. Nilai analisis parameter laju kematian dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung Dosis Ekstrak no (titik potong ordinat) S. aureus MIC mg/ml 1,0 3,20 7,99 1,03 3,30 8,83 1,10 3,52 8,41 1,17 3,75 8,50 1,24 3,97 7,92 1,31 4,20 7,63 1,38 4,42 7,52 1,6 5,13 7,56 P. fluorescens 1,0 3,20 7,80 1,03 3,30 7,62 1,10 3,52 7,41 1,17 3,75 7,64 1,24 3,97 7,85 1,33 4,26 8,85 E. coli Kurva 1 (fase adaptasi) 1,0 5,34 7,35 1,1 5,87 7,31 1,2 6,41 7,34 1,3 6,94 7,34 1,4 7,48 7,33 Kurva 2 (fase kematian ) 1,0 5,34 10,46 1,1 5,87 11,49 1,2 6,41 11,94 1,3 6,94 11,41 1,4 7,48 17,32 Derajat Kemiringan Nilai r Nilai D (jam) Log D 0,318 0,721 0,732 0,796 0,816 1,132 1,135 2,415 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 1 3,14 1,39 1,37 1,25 1,22 0,88 0,88 0,41 0,497 0,142 0,135 0,099 0,088 -.0,054 -0.055 -0.383 0,258 0,355 0,391 0,519 0,635 1,395 0,99 0,98 0,98 0,98 0.98 1 3,87 2,81 2,56 1,92 1.57 0,72 0,587 0,449 0,408 0,284 0.197 -0,144 0,045 0,047 0,066 0,085 0,114 0,99 0,99 0,95 0,96 0,98 22,03 21,10 15,22 11,71 8,75 1,343 1,324 1,182 1,068 0,942 0,602 0,861 0,922 0,932 1,905 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 1,66 1,16 1,08 1,07 0,52 0,220 0,065 0,035 0,030 -0.280 69 Model Pflug dan Holcomb (1983) adalah : log Nt =log no - t/D dimana Nt adalah jumlah bakteri yang masih hidup setelah kontak selama waktu t no adalah titik potong garis lurus dengan sumbu y (jumlah awal semu bakteri) t adalah waktu kontak (jam) D adalah parameter waktu untuk membunuh 90% bakteri Hasil analisa regresi liner least-squares dari kurva kematian logaritmik dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli menggunakan model Pflug dan Holcomb (1983) oleh ekstrak etil asetat biji atung disajikan pada Tabel 4. Untuk bakteri E. coli fase bahu (fase 1) dimulai dari jam 0 sampai jam ke 4 diasumsikan satu garis lurus dan fase kematian (fase 2) dari jam ke 5 sampai akhir pengamatan juga diasumsikan satu garis lurus. Dengan demikian ada dua persamaan dengan dua nilai D didapat. Hasil analisis regresi dari Tabel 4, menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis nilai D semakin kecil, berarti laju kematian bakteri semakin cepat. Nilai D pada setiap dosis yang sama dari S. aureus nilainya lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dan nilai D E coli paling besar dari ke tiga bakteri uji baik untuk fase adaptasi (bahu) maupun untuk fase kematian (ekor). Metoda Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan untuk menentukan nilai D bakteri P. aeruginosa oleh Moniharapon (1998) pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Nilai D P. aeruginosa hasil penelitian Moniharapon (1998) lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini pada dosis dan ekstrak yang sama menggunakan metoda Pflug dan Holcomb (1983). Pada dosis 1.0 MIC nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini yaitu 3,87 jam dan nilai D P. aeruginosa hasil penelitian Moniharapon (1998) pada 1 MIC 1,4 jam (83,33 menit). Perbedaan ini dapat disebabkan penentuan jam akhir pengamatan berbeda. Pada penelitian Moniharapon (1998) nilai MIC pada jam ke 8 mikroba sudah tidak tumbuh lagi sedangkan dalam penelitian ini nilai MIC ditetapkan pada dosis yang menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan pada waktu mendekati 24 jam (Gambar 10). Selain itu perbedaan nilai D dapat juga disebabkan karena perbedaan spesies. Menurut Orth (1994), organisme yang 70 berbeda mempunyai karakteristik fisiologi dan metabolisme yang berbeda akibatnya mereka memperlihatkan perbedaan laju kematian bila dikontakkan pada dosis yang mematikan. Metoda Plug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Otrh (1994) untuk mengevaluasi dan menguji pengawet dari produk-produk farmasi. Orth (1994) memeperoleh nilai D metilparaben pada dosis 0,2 mg/ml terhadap S. areus menggunakan model Plug dan Holcomb (1983) 4 jam. Nilai D S. aureus oleh metilparaben hasil penelitian Orth (1994) ini lebih besar dari nilai D S. aureus pengaruh ekstrak etil asetat biji atung yaitu 3,14 jam pada dosis 3,20 mg/ml. Menurut Orth (1994) tergantung dari kriteria yang digunakan, jika bakteri patogen harus dibunuh dalam 24 jam agar populasi bakteri yang berjumlah 106 sel/ml agar dapat diinaktifkan secara sempurna nilai D harus lebih kecil atau sama dengan 4 jam. Dari penelitian ini ketiga bakteri yang diuji yaitu S. aureus, P. fluorescens dan E. coli mempunyai nilai D lebih kecil dari 4 jam. b. Nilai z Nilai z pada proses termal merupakan parameter hubungan nilai D pada berbagai suhu pemanasan. Nilai z menyatakan rentang suhu yang diperlukan untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi termal (Stumbo, 1973). Kurva resistensi termal dibuat dengan cara memplot nilai log D pada berbagai suhu. Pada proses termal hubungan nilai D dengan suhu dinyatakan oleh Stumbo (1973) pada persamaan (5) yaitu: Log D2 – logD1 = 1/z (T1-T2) atau Log D1 = Log D2– (T2-T1)/z ................(7) Analog dengan rumus (7) hubungan nilai D dengan berbagai dosis (d) ekstrak biji atung pada bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli dapat diturunkan menjadi rumus (8): Log D1= Log D2 – (d2 – d1)/z....................(8) 71 72 Dengan mengganti (d2 – d1) pada persamaan (8) dengan d diperoleh hubungan Log D= Log D0 – d)/z....................(9) dimana D0=titik potong kurva pada dosis =0 z = rentang dosis untuk melewati satu siklus log D Dengan menggunakan persamaan 9, nilai z S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak biji atung dapat ditentukan yaitu dengan cara memplot log D melawan dosis (dalam satuan MIC dan mg/ml) menggunakan regresi linear-least squares yang kurvanya disajikan pada gambar 11. Kurva garis lurus yang diperoleh dari hubungan log D melawan dosis disebut dengan kurva resistensi dosis yang analog dengan kurva resistensi pada proses termal. Nilai z S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak biji atung disajikan pada Tabel 5, diperoleh dari seperderajat kemiringan kurva resistensi dosis. Pada Tabel 5, juga disajikan nilai D absolut dari masing-masing bakteri pada dosis yang sama yaitu 5,34 mg/ml, nilai ini diperoleh dari memasukkan dosis 5,34 mg/ml ke persamaan garis lurus pada satuan mg/ml pada gambar 11. Nilai D S. aureus pada dosis 5,34 mg/ml lebih besar dibandingkan dari nilai D P. fluorescens berbeda dari hasil pada Tabel 4 pada dosis 3,2-5,13 mg/ml dimana nilai D S. aureus pada setiap peningkatan dosis lebih kecil dari P. fluorescens. Hal ini menunjukkan pada dosis tinggi peningkatan dosis tidak sensitif terhadap nilai D pada S. aureus dibandingkan P. fluorescens. Tabel 5. Nilai D dan z dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada dosis ekstrak etil asetat biji atung 5,34 mg/ml Bakteri S. aureus P. fluorescens E. coli Fase 1 (adaptasi) Fase 2 (kematian) Nilai D (jam) Nilai z (mg/ml) 0,42 0,19 3,45 1,65 24,2 1,66 5,05 5,16 73 71 E. coli, fase adaptasi E. coli, fase adaptasi E. coli, fase kematian S.aureus P. fluorescens S.aureus P. fluorescens E. coli, fase kematian Gambar 11. Kurva resistensi dosis dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung dalam satuan dosis mg/ml dan MIC. 73 E. KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA PADA PANGAN MODEL PADAT Pangan model padat yang digunakan untuk pengujian ekstrak etil asetat biji atung adalah produk pangan semi basah berbentuk dodol seperti yang tercantum pada Gambar 12. Produk ini mengandung protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 % dan lemak 25,6 % dengan kadar air 12,18 % dan nilai aw = 0,756-0,782 (Tabel 6). Gambar 12. Produk pangan semi basah yang digunakan sebagai pangan modelpadat. Untuk percobaan ini semua bahan yang digunakan disterilkan sendirisendiri, dicampur ditambah beberapa tingkat konsentrasi ekstrak (0.0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 dan 3,0 MIC). Kultur yang ditambahkan adalah S. aureus, latar belakang pemilihan kultur didasarkan karena bakteri S. aureus merupakan bakteri yang Tabel 6. Nilai aktivitas air (aw) pangan model padat pada suhu rata-rata 29,9oC pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung MIC 0 0,5 1,0 1,5 2,0 3,0 Dosis Ekstrak mg/g 0 1,6 3,20 4,8 6,4 9,6 aw 0,782 0,760 0,765 0,756 0,758 0,756 74 tahan pada aw rendah. Satuan dosis ekstrak yang ditambahkan adalah satuan dari nilai MIC S. aureus pada medium cair. 1. Pola Kematian Bakteri Pada Pangan Model Padat Jumlah inokulum S. aureus yang ditambahkan pada bahan pangan model padat kira-kira106 sel /ml, di dalam produk jumlah bakteri S. aureus ini menurun yang datanya dicantumkan pada Lampiran 20. Pada produk tanpa penambahan ekstrak sampai hari ke 5 (jam ke 124) pengamatan hanya turun satu siklus log, sementara pada produk yang ditambah ekstrak penurunan lebih cepat dibandingkan kontrol. Pada perlakuan 0,5 MIC jumlah S. aureus turun 2 siklus log, pada perlakuan 1,0 MIC sampai dengan 3,0 MIC jumlah S. aureus turun 4 siklus log. Plot log jumlah S. aureus yang hidup dalam pangan model padat melawan waktu kontak dapat dilihat pada Gambar 13b. Pada kurva inaktivasi S. aureus dalam pangan model padat terdapat dua garis lurus lurus. Garis penurunan pertama terdapat pada bagian awal kurva dapat dianggab merupakan fase adaptasi dari bakteri S. aureus dan garis lurus kedua adalah fase kematian bakteri. Pola inaktivasi pada kontrol yaitu pada batas aw kritis yaitu aw = 0,782, mirip dengan pola inaktivasi S. aureus hasil penelitian Soekarto et al (1984 ) pada produk yang sama tetapi pada aw 0,11-0,62. Pada aw yang sama pola inaktivasi hasil penelitian Soekarto et al (1984 ) 6 jam pertama populasi meningkat sedikit setelah itu turun. Perbedaan pola inaktivasi ini disebabkan oleh komposisi produk yang berbeda. Produk pada penelitian Soekarto et al (1984 ) mengandung protein 17,7 %, lemak 23,2 %, karbohidrat 57,9% dan kadar air 3,0 %, lebih besar dari yang digunakan dalam penelitian ini yaitu protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 % dan lemak 25,6 %. 2. Perubahan Pola Inaktivasi Bakteri Pola kematian S. aureus di dalam pangan model padat oleh ekstrak biji atung disajikan pada Gambar 13b, bila dibandingkan dengan pola kematian S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung di dalam media cair pertumbuhan NB (Gambar 13a) terjadi perubahan pola kematian. Pada medium cair NB, fase 75 adaptasi S. aureus mendatar, berbentuk bahu pendek pada dosis sama dan sedikit lebih besar dari MIC, makin tinggi konsentrasi bahu perlahan-lahan hilang dan ekor perlahan-lahan muncul. Pada pangan model padat adanya bahu sebagai fase adaptasi dan adanya ekor tidak ditemui. Fase adaptasi pada pola kematian S. aureus pada produk pangan model padat menurun secara tajam berbentuk garis lurus dan diikuti dengan fase kematian berbentuk garis lurus dengan dengan derajat kemiringan yang lebih kecil dibandingkan dari fase adaptasi. Terjadi perubahan pola inaktivasi dapat disebabkan oleh karena adanya dua mekanisme pengawetan yang berbeda yaitu aw dan ekstrak etil asetat biji atung yang bekerja sekaligus pada bakteri S. aureus di dalam pangan model padat yang dapat mempengaruhi pola kematian bakteri. Produk ini memiliki aw berkisar 0,756-0,782 ( Tabel 8) lebih rendah dari aw minimum pertumbuhan bakteri S. aureus, aw minimum pertumbuhan bakteri S. aureus adalah 0,86 ( Soekarto et al, Silliker, 1980; Jay, 1986 dan Feeherry et al, 2003). Diperkirakan perbedaan bentuk pola kematian pada media cair dan padat disebabkan oleh aw produk. Pada media cair pada dosis ekstrak sama dan sedikit lebih besar dari MIC, dimana aw tidak berpengaruh fase adaptasi mendatar berbentuk bahu artinya pada pada awal inkubasi bakteri S. aureus cenderung mempertahankan diri terhadap adanya ekstrak. Pada dosis besar dari MIC pada media cair bahu mulai berkurang dan pola kematian mendekati garis lurus artinya pertahanan S. aureus mulai berkurang dengan dosis ekstrak yang semakin meningkat. Pada media padat yang ditambahkan ekstrak etil asetat biji atung, S. aureus tidak dapat mempertahankan diri mikroba langsung turun jumlahnya secara drastis yang diperlihatkan oleh pola kematian yang menurun dengan tajam. Dengan demikian pola penurunan yang tajam pada awal inkubasi lebih disebabkan oleh pengaruh aw yang lebih besar dibandingkan pengaruh ekstrak, hal ini dapat dilihat dari pola kematian bakteri tanpa penambahan ekstrak yang cendrung stabil setelah fase adaptasi dilalui. Kurva inaktivasi S. aureus dalam pangan model padat masih mengikuti pola umum kematian bakteri yaitu bersifat logaritmik dengan penyimpangan pada fase adaptasi. Bentuk penyimpangan bila dicocokkan dengan bentuk penyimpangan pola kematian bakteri pada proses panas dan radiasi (Gambar 2) 76 pola kematian S. aureus dalam produk termasuk bentuk kurva tipe c berbentuk cekung. Menurut Soper dan Davies (1994) kurva bentuk cekung dapat disebabkan perbedaan kerentanan dari mikroba atau bisa juga karena adanya efek perlindungan dari mikroba yang mati atau adanya komponen lain pada lingkungan. a9 b 8 8 7 6 6 5 5 log N Log N 7 4 3 4 3 2 1 2 0 0 10 20 30 1 0 waktu ( jam ) 20 40 60 80 100 120 140 waktu (jam) 1,0 MIC 1.03 MIC 1.10 MIC 1.17 MIC 1.24 MIC 1,38 MIC 1,6 MIC 0.0 MIC 0.5 MIC 1.0 MIC 1.5 MIC 2.0 MIC 3.0 MIC Gambar 13. Pola kematian S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung dalam (a) medium cair NB, (b) pangan model padat . 3. PERUBAHAN PARAMETER LAJU INAKTIVASI Perubahan pola inaktivasi dapat menyebabkan perubahan pada parameter laju inaktivasi yaitu nilai D dan z. a. Perubahan Nilai D Dosis yang digunakan untuk penghitungan nilai D pada pangan model padat adalah 1.0, 1.5, 2.0 dan 3.0 MIC yang datanya terdapat pada Lampiran 20 dan Gambar 13b. Dengan mengasumsikan kurva kematian bakteri logaritmik maka nilai D untuk setiap perlakuan dapat dihitung menggunakan model Pflug dan Holcomb (1983) yang disajikan pada Tabel 7. 77 Tabel 7. Nilai no (titik potong ordinat) dan nilai D dari bakteri S. aureus pada pangan model padat dari beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung Dosis Ekstrak (MIC) mg/g 1,0 3,2 no (titik potong ordinat) 4.87 1,5 4,8 4.76 0.015 0,99 64,9 1,81 2,0 6,4 4.58 0,018 0,99 54,64 1.74 3,0 9,6 4.51 0,020 0,99 49.26 1.69 Derajat Kemiringan r D (jam) Log D 0,013 0,99 76.9 1.88 Pada Tabel 7, semakin besar dosis ekstrak yang ditambahkan nilai D semakin kecil, sama dengan penurunan nilai D akibat peningkatan dosis yang diperoleh pada media cair. Untuk membunuh satu siklus log S. aureus di dalam pangan model padat dengan ekstrak biji atung 1,0 MIC cair (3,2 mg/g) diperlukan waktu 76,9 jam. Nilai D ini jauh lebih besar dibandingkan nilai D S. aureus pada media cair NA pada dosis ekstrak yang sama yaitu 3,14 jam. Nilai D yang lebih besar menunjukkan bahwa bakteri S. aureus lebih tahan di dalam media padat dibandingkan dalam media cair terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Hasil yang sama juga diamati pada ekstrak etil asetat dari teh menghambat pertumbuhan S. aureus di dalam medium broth lebih besar dari di dalam susu skim (sistem pangan) (Nychas, 1995). Aureli et al (1992), juga menunjukkan bahwa minyak atsiri thime menurunkan jumlah L. monocytogenes di dalam cacahan daging babi kira-kira 2 siklus log pada 4oC dan 1 log pada 8oC, tetapi efektifasnya lebih rendah dibandingkan dari media laboratorium. Cengkeh dan oregano gagal mengendalikan pertumbuhan L. monocytogenes di dalam slurry daging pada konsentrasi 1 % sementara di dalam broth bersifat bakterisidal dan bakteriostatik (Ting dan Deibel, 1992). Nilai D Salmonella dan Listeria di dalam cacahan daging dada ayam lebih besar dari pada di dalam medium pepton cair oleh panas (Murphy et al., 2000). Menurut Nychas (1995) minyak atsiri lebih efektif dalam media laboratorium dibandingkan dalam sistem pangan. Nilai D yang lebih besar mencerminkan adanya efek perlindungan dari komposisi medium pada kematian S. aureus yang 78 juga dilaporkan pada produk pangan lain oleh agen antimikroba lain. Menurut Branen (1983) dan Nychas (1995) faktor intrinsik seperti komposisi dari bahan pangan mempengaruhi perilaku mikroorganisme. Adanya lemak dan protein mempengaruhi kerja pengawet dari beberapa senyawa antimikroba. Aktifitas senyawa fenolik dipengaruhi oleh jumlah protein yang tinggi di dalam broth atau sistem pangan ( Tassou dan Nychas, 1994). Protein di dalam bahan pangan bereaksi terlebih dahulu dengan senyawa fenolik membentuk komplek proteinfenolik yang dapat bersifat larut atau tidak larut tergantung konsentrasi. Pada konsentrasi rendah membentuk ikatan hidrogen yang bersifat dapat balik, sedangkan pada konsentrasi tinggi membentuk ikatan silang yang bersifat tidak dapat balik (Shahidi dan Naczk,1995). Shelef et al (1984) melaporkan ketahanan terhadap minyak atsiri sage meningkat dengan menurunnya kandungan air dan meningkatnya kandungan protein dan lemak dari bahan pangan. Farbood et al (1976) menyatakan lemak dapat menutupi permukaan sel bakteri dan kemungkinan mencegah penetrasi senyawa antimikroba masuk ke dalam sel. Aktivitas antimikroba dalam bahan pangan dipengaruhi oleh aw, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kematian mikroba. Restaino (1983 dalam Lenovich, 1987 ) mempelajari pertumbuhan Saccharomyces rouxii pada kisaran aw 0,82-0,995 dalam adanya 0-0,15 % asam sorbat. Secara umum penurunan aw meningkatkan ketahanan S. rouxii dan meningkatkan konsentrasi sorbat. Lenovich (1986) mempelajari hubungan timbal balik antara sorbat dan aw pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup S. rouxii (Lenovich, 1987). Adaptasi terhadap sorbat meningkatkan ketahanan S. rouxii pada aw rendah dibandingkan aw tinggi. Menurut Mc Meekin et al (2002) ketahanan mikroba terhadap aw rendah disebabkan karena kemampuan mikroba mengatur lingkungan internal dengan cepat yaitu dengan cara mengakumulasi solut yang seimbang (compatible solut) dengan lingkungan yaitu seperti glisine betaine atau carnitin. Glisine betaine atau carnitin banyak terdapat dalam bahan pangan dan hewan sehingga mudah cepat dapat diambil oleh bakteri . 79 3. Perubahan Nilai z S. aureus Nilai z dari S. aureus pada pangan model padat diperoleh dari hubungan log D dengan dosis yang grafiknya disajikan pada Gambar 14. Dari derajat kemiringan hubungan log D dengan dosis diperoleh nilai z S. aureus di dalam media padat 10,67 MIC atau 34,1 mg/g. Nilai z S. aureus pada pangan model padat ini jauh lebih besar dari nilai z S. aureus pada media cair yaitu 3,45 mg/ml. Perbedaan ini disebabkan karena aw rendah dan kompleksitas zat gizi dari produk. Gambar 14. Kurva resistensi dosis dari S. aureus pada pangan model padat oleh ekstrak etil asetat biji atung 80 F. PERUBAHAN STRUKTUR SELULER BAKTERI S. aureus DAN P. fluorescens OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG Pengamatan perubahan struktur seluler bakteri dimaksudkan untuk menentukan mekanisme inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung. Bakteri yang diamati dalam penelitian ini adalah S. aureus yang mewakili bakteri Gram positif dan P. fluorescens mewakili bakteri Gram negatif. Pengamatan morfologi menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan pengamatan ultrastruktur menggunakan transmission electron microscopy (TEM). 1. S. aureus Perubahan-perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus diamati setelah sel S. aureus dikontakkan dengan ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0, 0.35, 0.5, 0.7, 1.0 dan 1.2 MIC selama 4 jam. a. Perubahan Morfologi S. aureus Pada Gambar 15, dapat dilihat perubahan morfologi sel S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa tingkat dosis. Beberapa perubahan yang dapat diamati adalah terbentuknya tonjolan kecil pada permukaan sel (blebs), sel mengeluarkan cairan dan terbentuknya sel ghost. Terbentuk Tonjolan Kecil (blebs) Menurut Klainer (1974), sel S. aureus berbentuk bulat dengan permukaan licin dan homogen (Gambar 15g), sel ini sama bentuknya dengan yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu pada perlakuan tanpa penambahan ekstrak etil asetat biji atung (kontrol) yang dapat dilihat pada Gambar 15a. Namun adanya jembatan yang unik sebagai penghubung antar sel seperti Gambar 15g, tidak jelas kelihatan. Pada penambahan ekstrak etil asetat 0,35 MIC menyebabkan sel yang tadinya licin mulai terbentuk tonjolan-tonjolan kecil (blebs) pada permukaan sel, semakin tinggi dosis (0,7 dan 1,0 MIC) tonjolan semakin banyak (Gambar 15c). Pada dosis 1,0 MIC selain ditemukan tonjolan-tonjolan yang semakin banyak sebahagian sel permukaannya menjadi kasar. Hasil studi Ruiz-Barba et al (1990) dan Tassou (1993) yang dikutip oleh Nychas (1995) bahwa sel S. aureus yang dikontakkan 83 Model Pflug dan Holcomb (1983) adalah log Nt =log no - t/D dimana Nt adalah jumlah bakteri yang masih hidup setelah kontak selama waktu t no adalah titik potong garis lurus dengan sumbu y (jumlah awal semu bakteri) t adalah waktu kontak (jam) D adalah parameter waktu untuk membunuh 90% bakteri Hasil analisis regresi liner least-squares dari kurva kematian logaritmik dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli menggunakan model Pflug dan Holcomb (1983) disajikan pada Tabel 4. Untuk bakteri E. coli fase bahu (fase 1) dimulai dari jam 0 sampai jam ke 4 diasumsikan satu garis lurus dan fase kematian (fase 2) dari jam ke 5 sampai akhir pengamatan juga diasumsikan satu garis lurus. Dengan demikian ada dua persamaan dengan dua nilai D didapat. Hasil analisis regresi dari Tabel 4, menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis nilai D semakin kecil, berarti laju kematian bakteri semakin cepat. Nilai D pada setiap dosis yang sama dari S. aureus nilainya lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dan nilai D E. coli paling besar dari ketiga bakteri uji baik untuk fase adaptasi (bahu) maupun untuk fase kematian (ekor). Metode Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan untuk menentukan nilai D bakteri P. aeruginosa oleh Moniharapon (1998) pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Nilai D P. aeruginosa dari hasil penelitian Moniharapon (1998) lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini pada dosis dan ekstrak yang sama menggunakan metode Pflug dan Holcomb (1983). Pada dosis 1,0 MIC nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini yaitu 3,87 jam dan nilai D P . aeruginosa hasil 84 Tabel 4. Hasil analisis parameter laju kematian bakteri S. aureus dan P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung 85 penelitian Moniharapon (1998) pada 1 MIC 1,4 jam (83,33 menit). Perbedaan ini dapat disebabkan penentuan nilai MIC pada jam yang berbeda. Pada penelitian Moniharapon (1998) nilai MIC pada jam ke 8 mikroba sudah tidak tumbuh lagi sedangkan dalam penelitian ini nilai MIC di tetapkan pada dosis yang menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan pada waktu mendekati 24 jam (Gambar 10). Selain itu perbedaan nilai D dapat juga disebabkan karena perbedaan spesies. Menurut Orth (1994), organisme yang berbeda mempunyai karakteristik fisiologi dan metabolisme yang berbeda akibatnya mereka memperlihatkan perbedaan dalam laju kematian bila dikontakkan pada dosis yang mematikan. Metode Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Orth (1994) untuk mengevaluasi dan menguji pengawet dari produk-produk farmasi. Orth (1984) menentukan nilai D dari bakteri S. aureus oleh metilparaben menggunakan model Pflug dan Holcomb (1983) menghasilkan nilai D S. aureus oleh metilparaben pada dosis 0,2 mg/ml adalah 4 jam (Orth, 1994). Nilai D S. aureus oleh metilparaben hasil penelitian Orth (1984) ini lebih kecil dari nilai D S. aureus pengaruh ekstrak etil asetat biji atung yaitu 3.14 jam pada dosis 3.20 mg/ml. Menurut Orth (1994) tergantung dari kriteria yang digunakan, jika bakteri patogen harus dibunuh dalam 24 jam agar populasi bakteri yang berjumlah 106 sel /ml agar dapat diinaktifkan secara sempurna nilai D harus lebih kecil atau sama dengan 4 jam. Dari penelitian ini ketiga bakteri yang diuji yaitu S. aureus, P. fluorescens dan E. coli mempunyai nilai D yang lebih kecil dari 4 jam. 86 b. Nilai z Nilai z pada proses termal merupakan parameter hubungan nilai D pada berbagai suhu pemanasan. Nilai z menyatakan rentang suhu yang diperlukan untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi termal (Stumbo, 1973). Kurva resistensi termal dibuat dengan cara memplot nilai log D pada berbagai suhu. Pada proses termal hubungan nilai D dengan suhu dinyatakan oleh Stumbo (1973) pada persamaan (5) yaitu : Log D2 – logD1 = 1/z (T1-T2) atau Log D1 = Log D2– (T2-T1)/z........................(7) Analog dengan rumus (7) hubungan nilai D dengan berbagai dosis (d) ekstrak biji atung pada bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli dapat diturunkan menjadi rumus (8): Log D1= Log D2 – (d2 – d1)/z....................(8) dengan mengganti (d2 – d1) pada persamaan (8) dengan d diperoleh hubungan : Log D= Log D0 – d/z....................(9) dimana D0 = titik potong kurva pada dosis = 0 z = rentang dosis untuk melewati satu siklus log D Dengan menggunakan persamaan 9, nilai z S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak biji atung dapat ditentukan yaitu dengan cara memplot log D melawan dosis (dalam satuan MIC dan mg/ml) menggunakan regresi liner leastsquares yang kurvanya disajikan pada Gambar 11. Kurva garis lurus yang diperoleh dari hubungan log D melawan dosis disebut dengan kurva resistensi dosis yang 92 Sel berbentuk L ditemui pada penggunaan antibiotik, antiseptik dan fenol (Gilberl,1984). Sel L-form adalah mutan yang stabil yang telah kehilangan kemampuan untuk membentuk membran luar sel, mureuin saculus dan mereka telah terbukti mempunyai sistem ekspressi alternatif (Ripman et al, 1998). 2. Pseudomonas fluorescens Perubahan morfologi dan ultrastruktur sel bakteri P. fluorescens diamati pada dosis yang sama dengan bakteri S. aureus yaitu 0, 0.35, 0.7, 1.0 dan 1.2 MIC dengan waktu kontak 4 jam. a. Perubahan Morfologi P. fluorescens Beberapa perubahan morfologi sel P. fluorescens setelah dikontakkan pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam dapat diamati pada Gambar 19 dan Tabel 9. Gambar 19a adalah gambar sel normal dari bakteri P. fluorescens tanpa perlakuan ekstrak etil asetat biji atung. Sel normal ini berbentuk batang agak bulat dengan panjang sel kira-kira 1,12- 1,42 μm (Tabel 9). Setelah ditambah ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,35 MIC sel menjadi lebih panjang menjadi 1,67-2,0 μm dan pada beberapa sel yang panjang tersebut terdapat lekukan (Gambar 19b). Panjangnya sel disebabkan terbentuknya lendir yang memanjang pada permukaan sekujur tubuh sel, dan beberapa memperlihatkan seperti selongsong kosong, diperkirakan selongsong kosong tersebut Tabel 9. Panjang dan lebar sel P. fluorescens pengaruh beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung. Dosis Ekstrak (MIC) Panjang sel (μm) Lebar (μm) 1,12-1,42 0,50 - 0,67 0,35 1,67-2,0 0,47- 0,59 0,7 1,16-2,33 0,33 -0,55 1,0 1,62-2,25 0,40 -0,60 Kontrol (0) 93 a b d c e Gambar 19. Scanning electron microscope (SEM) dari sel bakteri P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung dengan waktu kontak 4 jam a. sel P. fluorescens normal ( kontrol), b 0,35 MIC, terdapat lendir membentuk selongsong sel, lekukan sel, c. 0,7 MIC, terdapat lebih banyak lekukan d. 1,0 MIC pada perbesaran 10.000k, sebahagian sel hancur dan lekukan masih ditemukan e. 1,0 MIC pada perbesaran 15.000k. 94 adalah lendir. Diketahui bakteri P. fluorescens adalah bakteri penghasil lendir dan lendir digunakan oleh bakteri untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang tidak menguntungkan. Terdapatnya lekukan pada beberapa sel diperkirakan sel mempunyai septa yang belum membelah. Pada kontrol dengan waktu inkubasi yang sama dengan yang diperlakukan dengan ekstrak yaitu selama 4 jam, tidak ditemukan septa sepertinya proses pembelahan telah selesai terjadi sementara pada perlakuan ekstrak etil asetat biji atung 0,35 MIC beberapa masih ditemukan septa yang berarti ekstrak etil asetatbiji atung menghambat proses pembelahan sel. Pada perlakuan dosis ekstrak etil asetat biji atung 0,7 MIC lekukan yang ditemukan semakin banyak dengan panjang sel yang lebih beragam berkisar dari 1,16-2,33 μm, dan lendir masih ditemukan akan tetapi tidak sebanyak yang dihasilkan pada perlakuan dosis 0,35 MIC. Dengan makin banyaknya lekukan dan makin sedikitnya lendir menunjukkan bahwa pertahanan sel P. fluorescens semakin berkurang. Semakin banyaknya lekukan berarti septa semakin banyak, septa yang semakin banyak mengindikasikan dengan jelas bahwa pertahanan sel menurun oleh peningkatan dosis ekstrak etil asetat biji atung. Disini jelas ekstrak etil asetat biji atung menghambat proses pembelahan sel. Perpanjangan sel oleh senyawa antimikroba seperti ini banyak ditemukan dan ditemukan pada perlakuan senyawa antimikroba pada dosis di bawah MIC (Gilber, 1984 dan Gemmel dan Lorian, 1996). Menurut Gemmel dan Lorian bila panjang sel berbentuk batang melebihi 10 μm, disebut filamen. Dari hasil penelitian ini perpanjangan sel P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung belum mencapai 10 μm dengan demikian belum dapat dikatakan filamen. Menurut Isom et al (1995) panjangnya filamen pada E. coli oleh hidrogen peroksida meningkat dengan meningkatnya waktu. Diperkirakan sel P. flourescens belum cukup waktu kontaknya dengan ekstrak biji atung untuk membentuk filamen. Menurut Gemmel dan Lorian (1996) filamen bakteri adalah hasil pertumbuhan bakteri berbentuk batang yang tidak membelah menjadi individu baru dan bila dipindahkan pada medium bebas stres akan memisah menjadi individu baru. Dan selanjutnya dikatakan filamen dihasilkan pada pemberian antibiotik (Gemmel dan Lorian, 1996), pada pemberian hidrogen 95 peroksida pada konsentrasi rendah (Imlay dan Linn, 1987) dan pada perlakuan suhu di atas suhu optimal pertumbuhan (Rowan, 1999). Menurut Moat dan Foster (1988) pada suhu di atas suhu pertumbuhan kultur terus tumbuh, sintesis RNA, DNA dan protein terus berlanjut tetapi sel membentuk filamen yang menunjukkan pembelahan sel dipengaruhi. Beberapa senyawa antimikroba yang menghasilkan filamen adalah: amoksilin menghasilkan filamen pendek pada E. coli dan sefaleksin, sefoksitin menghasilkan filamen yang panjang pada P. aeruginosa (Gemmel dan Lorian, 1996), Peningkatan dosis ekstrak etil asetat biji atung menjadi 1,0 MIC, sebahagian sel bakteri P. fluorescens menjadi hancur yang dapat dilihat pada Gambar 19d dan 19e. Pada dosis ini dari sel yang masih utuh tidak terlihat adanya lendir tetapi lekukan masih ditemui. Panjang sel berkisar 1,62-2,25 μm, hampir sama dengan perlakuan dosis 0,7 MIC. Artinya mikroba pada dosis ekstrak etil asetat biji atung 1,0 MIC dengan waktu kontak 4 jam, sebahagian sel masih dapat membentuk septa akan tetapi sebahagian sudah lisis. Menurut Gemmel dan Lorian (1996) pada konsentrasi antibiotik mendekati MIC lisis terjadi pada bagian sel yang memanjang, sitoplasma keluar dan pada konsentrasi di atas MIC filamen berhenti tumbuh dan lisis. b. Perubahan Ultrastruktur P. fluorescens Pengaruh ekstrak biji atung pada ultrastruktur bakteri P. fluorescens yang ditumbuhkan pada media cair NA selama 4 jam dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan ekstrak biji atung menghasilkan beberapa perubahan yang dapat diamati sebagai berikut: sitoplasma tidak teratur, terbentuk ruang antar sitoplasma dan membran sel, sebahagian sel mengkerut (kolaps), sebahagian sel lisis, terbentuk sel telanjang (sferoplast). Sel Lisis Perubahan permeabilitas dinding dapat diamati pada pada Gambar 20b, yaitu pada perlakuan dosis ekstrak etil asetat biji atung 0,35 MIC. Lisis sel dapat disebabkan karena terganggunya enzim-enzim yang mensintesis dinding sel, 96 a b d c k k e Gambar 20. Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam kontak. a. kontrol, b. 0,35 MIC, c. 0,7 MIC, d. 1,0 MIC, e. 1,2 MIC. k= sel mengkerut. 97 akibatnya dinding sel melemah dan porositas meningkat. (Gilbert, 1984). Menurut Davidson dan Branen (1980) senyawa fenolik dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel P. aeruginosa menyebabkan sel menjadi lisis. Pengaruh senyawa fenolik pada membran adalah menyebabkan sel lisis karena denaturasi protein (Prindle, 1983). a b S L k Gambar 21. Transmission electron microscope (TEM) dari sel P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,7 MIC (a) dan 1,0 MIC (b) dengan waktu kontak 4 jam. S = sferoplast, L= sel bentuk L dan k= sel lisis Terbentuknya Ruang Antar Sitoplasma dan Membran Sel Penambahan ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan terbentuknya ruang atau jarak antara membran sitoplasma dengan dinding sel yang gambarnya disajikan pada Gambar 20. Semakin tinggi dosis ekstrak, ruang semakin besar seperti terlihat pada Gambar 20d. Merenggangnya membran sel dari sitoplasma dapat disebabkan porositas membran meningkat akibat melemahnya dinding sel oleh ekstrak etil asetat biji atung. Peningkatan porositas menyebabkan perubahan permeabilitas membran, yang dapat menyebabkan kebocoran sel. Pada Gambar 20b pada perlakuan 0,35 MIC, pada dinding luar sel P. fluorescens terdapat undulasi dengan permukaan tidak semulus kontrol. Diperkirakan adanya undulasi disebabkan karena perubahan permeabilitas dinding sel, akibat merembesnya cairan sitoplasma keluar sehingga terbentuk ruang antara membran sitoplasma dan sitoplasma. Ruang ini semakin besar dengan semakin lemahnya dinding sel, yang ditunjukkan dengan adanya tonjolan pada permukaan luar sel. Pada keadaan membran tidak dapat menahan tekanan dari sitoplasma maka membran bocor dan 98 terjadi aliran sitoplasma keluar sel, bila sitoplasma belum keluar maka ruang yang teramati semakin besar seperti yang terlihat pada Gambar 20e. Terbentuknya ruang antara membran dengan sitoplasma ditemui pada Salmonella heidelberg 3432-2 yang dikontakkan pada magainin 2 yaitu suatu antimikroba peptida yang diisolasi dari glandula katak selama 5 jam dalam BHI broth pada suhu 370C pada dosis 3 μg/ml (Abler et al, 1995). Ruang antara membran dan sitoplasma juga ditemui pada S. typhimurium di dalam larutan Na2CO3 pH tinggi yang diberi rangsangan listrik selama 5 menit (Slavik, 1995). Sel Mengkerut Aktivitas antimikroba mempunyai kisaran yang berbeda di atas dan di bawah MIC. Pada Gambar 20d dan 20e, terlihat sel mulai mengkerut ( kolaps) pada perlakuan ekstrak biji atung 1,0 MIC dan jumlah sel mengkerut makin banyak pada perlakuan dosis 1,2 MIC. Sel yang mengkerut dapat disebabkan kehilangan sitoplasma yang banyak yang berasal dari kebocoran membran. Terlepasnya Dinding Sel Bakteri Gram positif yang dinding selnya terlepas semuanya dengan membran sel yang masih utuh (sel telanjang) disebut dengan protoplas. Pada bakteri Gram negatif dengan perlakuan yang sama sebahagian dari membran luar yaitu protein-lipopolisakarida masih tersisa sedangkan peptidoglikannya habis terlepas, sel seperti ini disebut dengan sferoplast (Volk dan Wheeler, 1988; Joklik et al, 1988). Dari hasil penelitian ini, sferoplast ditemukan pada perlakuan dosis ekstrak 0,7 MIC yang dapat dilihat pada Gambar 21a. Bentuk sferoplast seperti ini juga ditemukan pada sel E. coli yang diperlakukan dengan penisilin selama 90 menit (Joklik et al, 1988). Sel Berbentuk L (L-form) Menurut Fass dan Prior (1974) sel berbentuk L adalah sel yang mempunyai bentuk seperti huruf L dengan dinding yang rusak. Salah satu bentuk sel berbentuk L dari hasil penelitian ini adalah sel pada Gambar 21p, pada perlakuan 0,7 MIC. Sel bentuk L mampu bereplikasi dan dapat tumbuh dalam 99 keadaan dindingnya rusak, secara biologi mampu hidup dan memperbanyak diri tanpa dinding sel dengan tidak kehilangan sifat patogenitasnya. Menurut Ripman et al, (1998) sel bentuk L ini mempunyai sistem ekspressi alternatif yang dapat menyebabkan mikroba ini menjadi tidak dikenali. G. PENGAMATAN KEBOCORAN SEL BAKTERI S. aureus DAN P. fluorescens OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG Tujuan dari pengukuran kebocoran sel adalah untuk mengukur derajat kerusakan dinding dan membran sel terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Bakteri yang digunakan dalam pengukuran kebocoran sel adalah S. aureus dan P. fluorescens. Menurut Gilbert (1984) pengamatan kebocoran sel dapat diamati pada dosis yang tidak mematikan yaitu dosis yang menyebabkan mikroba menjadi sakit. Dosis ekstrak ekstrak etil asetat yang diperlakukan dalam penelitian ini agar sel S. aureus dan P. fluorescens menjadi sakit adalah 0, 0.3, 0.5, 0.7 dan 0.9 MIC. Sel S. aureus dan P. fluorescens yang berumur 8 jam yaitu berada dalam fase logaritmik dikontakkan dengan ekstrak biji atung selama 4 jam, hasilnya disajikan pada Gambar 22 dan 23. 1. Kebocoran Bahan-bahan yang Dapat Menyerap Sinar UV pada OD 260 dan 280 nm. Sel yang mengalami kerusakan tetapi tidak mati seringkali mengalami kebocoran sehingga komponen-komponen sel akan keluar ke medium sekelilingnya (Gilbert, 1984). Pelepasan senyawa intraseluler dapat ditentukan dengan pengujian cairan supernatan sel pada OD 260 dan 280 nm. Pada Gambar 22. terdapat peningkatan absorbansi dari supernatan sel S. aureus dan P. fluorescens yang dikontakkan pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam. pada panjang gelombang 260 maupun 280 nm. Peningkatan absorbansi menandakan terjadi peningkatan bahan-bahan yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 dan 280nm yang dikeluarkan oleh sel bakteri S. aureus dan P. fluorescens. 100 a b 3 3 2.5 260 nm 280 nm 2 280 nm 1.5 Absorbansi Absorbansi pada 260 dan 280 nm 260 2.5 2 260 nm 1.5 1 1 0.5 0.5 0 0 0 0.3 0.6 0.9 dosis (MIC) 1.2 0 0.3 0.6 0.9 dosis (MIC) Gambar 22. Absorbansi dari bahan-bahan yang dilepaskan dan diserap oleh sinar UV pada OD 260 nm dan 280 nm pada sel (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens . Peningkatan jumlah absorbansi menandakan meningkatnya jumlah senyawa yang dikeluarkan oleh sel yang dapat diserap pada spektrofotometer UV pada 260 dan 280 nm. Senyawa-senyawa yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 nm telah diidentifikasikan sebagai sebagai RNA dan turunan RNA yaitu nukleotida dan pada panjang gelombang 280 nm diindentifikasi sebagai protein ( Gilbert, 1984). Menurut Skoog (1985) yang dikutip oleh Park et al (2003) spektrofotometer pada 260 nm dapat mendeteksi purin, pirimidin dan ribonukleotida dan pada 280 nm dapat mendeteksi tirosin dan tiptofan. Meningkatnya jumlah kandungan sel yang ditemukan pada permukaan luar sel menandakan terjadi kerusakan membran sel atau perubahan permeabilititas membran sel. Kerusakan membran dapat dinyatakan dengan keluarnya bahanbahan yang yang dapat diserap pada 260 nm ke medium lingkungan (McCoy dan Ordal, 1979). Keluarnya cairan dari sel menandakan sel mengalami kebocoran, yang juga ditemukan pada perlakuan lain pada dosis rendah. BHA dapat menyebabkan kebocoran senyawa-senyawa intraseluler yang dapat diserap dengan sinar UV pada 260 dan 280 nm dari sel P. fluorescens (Davidson dan Branen, 1980) dan dari S. aureus (Degree dan Silvester, 1983). Kebocoran nukleotida intraselluler 101 diamati pada S. aureus pengaruh fosfat (0,5% SAPP, TSPP, STPP dan 0,1% SPG) selama 1 jam inkubasi (Lee et al, 1994b). Menurut Hugo (1991) kebocoran adalah fenomena umum yang disebabkan oleh beberapa senyawa antimikroba. Pada Gambar 22, pada kedua sel ini (S. aureus, P. fluorescens ) terdapat perbedaan pola peningkatan absorbansi, pada sel S. aureus absorbansi pada OD 260 lebih tinggi dari 280nm artinya asam nukleat yang hilang dari sel lebih banyak dari pada protein. Sementara pada sel P. fluorescens tinggi absorbansi antara 260 dengan 280 nm sama berarti terdapat persamaan jumlah asam nukleat dan protein yang dilepaskan dari sel. Asam nukleat adalah senyawa penyusun DNA. Dengan lebih banyaknya hilang asam nukleat pada bakteri S. aureus memperkuat dugaan bahwa ekstrak etil asetat biji atung menggangu DNA yang diperlihatkan dari penghambatan pembentukan dan pemisahan septa. Diperkirakan sensitifitas sel S. aureus yang tinggi terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan dari P. fluorescens dapat disebabkan karena ekstrak etil asetat biji atung mengganggu DNA yang berfungsi sebagai material genetik sel. 2. Perubahan Kandungan ion K+ intraselluler Ion K+ adalah kation utama sitoplasma dari sel yang sedang tumbuh (Ultee, 1999). Ion ini berperan dalam aktivasi enzim sitoplasma, menjaga tekanan turgor dan kemungkinan mengatur pH sitoplasma. Keluarnya ion K+ dari sel mengindikasikan terjadinya kerusakan membran bakteri ( Heipieper et al, 1996, Sikkema, 1994). Dari hasil penelitian pengaruh ekstrak etil asetat biji atung terhadap jumlah ion K+ yang dibebaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens dapat dilihat pada Gambar 23. Pada kedua sel yang diamati yaitu S. aureus maupun P. fluorescens terjadi peningkatan ion K+ yang dilepaskan dengan perlakuan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perlakuan yang diberikan membran sitoplasma sel S. aureus dan P. fluorescens sudah mulai mengalami kerusakan. Menurut Heipieper et al, (1996) P. putida P8 yang dikontakkan pada fenol melepaskan ion K+ secara nyata ke lingkungan luar. Selain itu dari sejumlah studi menunjukkan bahwa terpen mempunyai kemampuan untuk merusak membran. Peningkatan permeabilitas ion K+ diamati a b Ca++ dan K+ yang dilepaskan (% total) 80 Ca++ 60 K+ 40 20 0 0 0.3 0.6 Ca++ dan K+ yang dilepaskan (% total) 102 100 Ca++ 80 60 40 K+ 20 0 0 0.9 0.3 0.6 0.9 Dosis (MIC) dosis (MIC) Gambar 23. Peningkatan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dibebaskan oleh sel (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens setelah dikontakkan dengan ekstrak etil asetat selama 4 jam. pada B. cereus yang dikontakkan pada 0,25 dan 1mM carvacrol selama 5 dan 9 menit (Ultee, et al, 1999). Kebocoran K+ intraseluler juga diamati pada E. coli pada fase stasioner dan eksponensial yang kontak dengan minyak atsiri dari tanaman tea (Melaleuca alternifolia ) pada konsentrasi 0,25 dan 0,5% selama 20 menit. Pada Gambar 23 dapat dilihat, peningkatan ion-ion K+ yang dilepaskan oleh S. aureus lebih cepat dibandingkan ion K+ yang dilepaskan oleh P. fluorescens. Pada S. aureus pada dosis 0,3 MIC sudah terjadi peningkatan ion K+ sementara pada P. fluorescens peningkatan ion K+ baru terjadi pada dosis 0,6 MIC dan peningkatan ini berlangsung lebih lambat dengan peningkatan dosis yang sama dibandingkan dari S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa membran sitoplasma sel S. aureus lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan membran sitoplasma sel P. fluorescens. Menurut Russel, (1984), manifestasi kerusakan membran didemonstrasikan dengan kebocoran kandungan intraseluler sel ke lingkungan luar yang dapat diukur dengan lepasnya bahan-bahan yang dapat menyerap 260nm, pentosa atau asam-asam amino atau ion K+. Beberapa senyawa kimia yang dapat merusak 103 membran sel adalah polimiksin, fenol, amonium kuartener, paraben dan klorheksidin. 3. Kebocoran Ca++ Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada kandungan ion kalsium sel S. aureus dan P. fluorescens juga disajikan pada Gambar 23. Penambahan ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa tingkat dosis di bawah MIC menyebabkan ion Ca yang dilepaskan oleh kedua sel bakteri yang diuji meningkat. Meningkatnya jumlah ion Ca ++ yang dilepaskan oleh sel menandakan dinding sel mengalami kerusakan. Ion Ca++ dan Mg ++ berfungsi menghubungkan lipopolisakarida (LPS) pada dinding sel bakteri gram negatif (Nikaido dan Vaara, 1985). Pada bakteri gram positif kation-kation ini berfungsi menghubungkan asam teikoat sebagai penyusun sel. Meningkatnya jumlah ion Ca yang dikeluarkan oleh sel ke lingkungan akibat adanya ekstrak etil asetat biji atung menandakan dinding sel lisis. Pada Gambar 23a, pola peningkatan ion-ion Ca++ yang dibebaskan oleh sel S. aureus menunjukkan bahwa untuk merusak dinding sel S. aureus memerlukan dosis yang lebih tinggi dibanding P. fluorescens, artinya dinding sel P. fluorescens lebih sensitif dibandingkan dinding sel S. aureus. Hal ini dapat disebabkan dari hasil penelitian sebelumnya karena sel S. aureus mempunyai kemampuan memperbaiki diri yaitu dengan membentuk dinding sel yang lebih tebal (Gambar 16). Sementara pada sel P. fluorescens pada perlakuan ekstrak etil asetat biji atung rendah sekali (0,35 MIC). lisis sudah terjadi manifestasinya dalam bentuk pengkerutan dinding sel yang terlihat pada Gambar 20b. Fenolik dan senyawa antioksidan dikenal menyebabkan kebocoran kandungan sel seperti protein, glutamat atau kalium dan fosfat dari bakteri ( Hugo, 1991) yang dapat disebabkan rusaknya peptidoglikan sel dan atau rusaknya membran sel. Perubahan permeabilitas membran dapat menyebabkan kebocoran senyawa dengan berat molekul rendah dari sitoplasma. Kebocoran adalah salah satu ciri-ciri sel injury. Kerusakan membran terjadi disebabkan lepasnya K+ dan bahan-bahan yang dapat menyerap sinar UV pada 260nm 104 G. PEMBAHASAN UMUM Ekstrak etil asetat biji atung mempunyai aktivitas yang berbeda terhadap bakteri S. aureus, P. fluorescens, E. coli, B. subtilis dan L. plantarum yang ditunjukkan oleh perbedaan nilai MIC masing-masing bakteri. S. aureus adalah bakteri Gram positif dengan MIC 0,3% (v/v) sama dengan nilai MIC P. fluorescens bakteri Gram negatif. E. coli sama-sama Gram negatif dengan P. fluorescens mempunyai nilai MIC lebih tinggi yaitu 0,5 % (v/v). Nilai MIC E. coli ini sama dengan MIC B. subtilis bakteri Gram positif penghasil spora. L. plantarum memperlihatkan resistensi terhadap ekstrak etil asetat biji atung sampai penambahan ekstrak 2,5% (v/v) belum memperlihatkan penghambatan. Perbedaan kepekaan terhadap ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan perbedaan pola inaktivasi sel. Pola inaktivasi pada dosis ekstrak biji atung di bawah MIC, S. aureus mengalami regenerasi yang terjadi pada kisaran dosis yang luas (0,35- 0,9 MIC), sementara pada sel P. flourescens sel mengalami statis dahulu setelah itu baru terjadi regenerasi yang terjadi pada kisaran dosis yang sempit ( 0,53- 0,61 MIC). Pola inaktivasi pada dosis di atas MIC, sel mengalami kematian dengan pola kematian yang berbeda antar sel S. aureus, flourescens dan E. coli. Pola kematian bersifat logaritmik, dengan penyimpangan pada awal kurva (bahu) dan akhir kurva (ekor). Bahu E. coli panjang dan lebih panjang dari S. aureus sedangkan P. fluorescens panjang bahunya sama dengan S. aureus pendek tetapi dengan pola menurun. Bahu ditemukan pada dosis dan dosis mendekati MIC pada ke tiga jenis bakteri uji. Pada S. aureus semakin tinggi dosis bahu bahu hilang, perlahan-lahan muncul ekor, pada P. fluorescens pada dosis dan dosis sedikit lebih besar dari MIC ditemukan ekor yang pendek akan tetapi pada dosis yang lebih tinggi ekor tersebut tidak ditemukan sementara pada E. coli tidak ditemukan ekor sama sekali. Perbedaan bentuk pola kematian menyebabkan perbedaan laju dan ketahanan bakteri terhadap ekstrak biji atung yang dihitung dari parameter laju inaktivasi (D dan z). Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik di dalam media cair NB, didapat nilai D pada dosis 1.0 MIC (3,20 mg/ml) 3,14 jam nilai ini lebih kecil dari nilai D P. flourescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam. 105 Untuk setiap peningkatan dosis yang sama, nilai D S. aureus selalu lebih kecil dari nilai D P. flourescens, akan tetapi pada nilai D absolut yaitu pada dosis tinggi sekali dari S. aureus yaitu 5,34 mg/ml menghasilkan nilai D yang lebih besar dari nilai D P. fluorescens pada dosis yang sama. Artinya pada dosis tinggi, peningkatan dosis tidak banyak berpengaruh terhadap nilai D dari sel S. aureus dibandingkan P. fluorescens. Nilai D S. aureus di dalam pangan model padat jauh lebih besar (78,9 jam) dibandingkan nilai D pada media cair NB pada dosis ekstrak sama (3,14 jam). Nilai D yang lebih besar menunjukkan bahwa bakteri S. aureus lebih tahan di dalam media padat dibandingkan dalam media cair terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Perbedaan ketahanan disebabkan karena perbedaan struktur, susunan dan komposisi kimia dari dinding dan membran sel bakteri. Dinding sel bakteri Gram positif seperti S. aureus mempunyai susunan matriks yang lebih terbuka dan tidak memiliki molekul reseptor spesifik (Russel, 1991). Disamping itu dinding sel yang S. aureus lebih banyak disusun oleh asam-asam amino alanin yang bersifat hidrofobik (Franklin dan Snow, 1989). Sifat ini menyebabkan S. aureus lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji atung yang bersifat semipolar mengarah ke nonpolar. L. plantarum yang juga Gram positif sama dengan S. aureus tetapi sangat tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Hal ini disebabkan karena dinding selnya lebih bersifat polar.bersifat polar. Pada permukan dinding sel L. plantarum terdapat asam lipoteikoat yang mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang dan bersifat polar yang muncul pada permukaan dinding sel (Moat dan Foster, 1989) dan disamping itu jenis peptidoglikan yang dominan pada Lactobacillus adalah Lys-D-Asp ( Pot et al, 1994). Bakteri Gram negatif mempunyai dinding sel yang lebih bersifat hidrofilik, karena pada dinding selnya terdapat molekul lipopolisakarida (LPS) bersifat polar. E. coli mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan P. fluorescens disebabkan karena semua protein utama penyusun dinding sel adalah protein asam, dan pada permukaan dinding terdapat polisakarida asam dalam jumlah nyata yang berguna untuk mempertahan sel dari serangan musuh (Nikaido dan Vaara, 1985). Perbedaan struktur, sifat dan komposisi kimia dinding dan membran sel menyebabkan perbedaan mekanisme inaktivasi sel. Mekanisme inaktivasi sel 106 bakteri oleh senyawa antimikroba dapat dipelajari dari perubahan-perubahan bentuk sel akibat kerja antimikroba. Dari hasil penelitian ini, dari pengamatan perubahan-perubahan sel yang dapat diamati melalui SEM dan TEM, perubahan yang dapat diamati pada sel S. aureus adalah terbentuknya tonjolan, penebalan dinding sel, peningkatan densitas sitoplasma, penurunan jumlah septa, terbentuknya bermacam-macam bentuk sel yang tidak normal. Semua indikasi kerusakan ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat biji atung bekerja menganggu enzim-enzim yang bekerja mensintesis dinding, menganggu sintesis protein, protein dan asam nukleat yang terdapat di dalam sel S. aureus. Sementara pada sel P. fluorescens, perubahan yang dapat diamati adalah ukuran sel menjadi lebih besar dan panjang, terbentuk septa yang jumlah septa makin banyak dengan makin tingginya dosis, terbentuk ruang antara membran sitoplasma dengan sitoplasma, sel lisis, dan mengkerut. Indikasi dari perubahan-perubahan ini adalah bahwa ekstrak biji atung menganggu dinding sel dengan merubah permeabilias dinding sel, menganggu protein dan asam nukleat, menganggu enzim-enzim yang bekerja pada dinding sel, menganggu membran plasma. Dari pola kebocoran sel, pada sel S. aureus jumlah asam nukleat yang dilepaskan oleh sel lebih banyak dari pada protein. Bila dikaitkan dengan kurva inaktivasi sel pada dosis di bawah MIC, cepatnya jumlah sel S. aureus menurun menunjukkan bahwa pertahanan sel tidak di dinding sel. Diperkirakan ekstrak langsung dapat dengan cepat mencapai dan bereaksi dengan sisi sensitif sel, yaitu DNA yang dibuktikan dari asam nukleat yang dilepaskan oleh sel lebih tinggi dari protein. Cepat pulihnya sel S. aureus disebabkan karena sel ini mempunyai sistem pertahanan dalam bentuk penebalan dinding sel. Terjadinya penebalan dinding sel karena ekstrak etil asetat hanya menganggu sintesis protein tetapi tidak menganggu sintesis peptidoglikan. Menurut Roger (1980) pada beberapa organisme penebalan dinding sel terjadi bila sintesis protein dihambat dan sintesis dinding tetap berlanjut. Dari pola kebocoran ion-ion Ca++ dan K+ ternyata ekstrak etil asetat bekerja pada membran sel S. aureus yang dapat dilihat dari pola kebocoran ion K yang lebih besar dibandingkan dari ion K+ pada sel P. fluorescens. 107 Pada sel P. fluorescens jumlah protein dan asam asam nukleat yang dilepaskan sama dan dari densitas sitoplasma, sitoplasma sel P. fluorescens tidak sepadat sel S. aureus. Kedua hal ini menandakan bahwa ekstrak hanya menyebabkan kebocoran sel, tetapi tidak langsung menganggu protein. Dari pola peningkatan ion Ca++ dan K+ yang dilepaskan, jumlah ion Ca++ meningkat secara tajam sementara ion K+ jauh lebih lambat, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak bekerja pada dinding sel terlebih dahulu setelah itu baru membran bocor. Hal ini juga dapat dibuktikan dari pola inaktivasi sel P. fluorescens pada dosis di bawah MIC, dimana pola inaktivasi P. fluorescens statis dahulu baru regenerasi, berbeda dengan S. aureus langsung turun dengan cepat kemudian meningkat kembali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme inaktivasi sel S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung berbeda dengan mekanisme inaktivasi sel P. fluorescens, pada sel S. aureus ekstrak bekerja pada membran sementara pada sel P. fluorescens ekstrak bekerja pada dinding (membran luar sel). Perbedaan mekanisme inilah yang menyebabkan peningkatan dosis pada S. aureus kurang sensitif terhadap nilai D dibandingkan P. fluorescens. 108 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil pengujian aktivitas ekstrak etil asetat biji atung terhadap 5 jenis bakteri, menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dan Pseudomonas fluorescens paling sensitif, sementara Lactobacillus plantarum paling resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Escherichia coli lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan P. fluorescens yang sama-sama bakteri Gram negatif, ketahanan E. coli ini sama dengan Bacillus substilus yaitu bakteri Gram positif penghasil spora. Pola inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung di bawah nilai MIC menunjukkan pola regenerasi (pertumbuhan kembali). Pola regenerasi bakteri S. aureus berbeda dari P. fluorescens. Pola regenerasi bakteri S. aureus terjadi pada kisaran dosis yang luas (0,35 – 0,9 MIC), sementara P. fluorescens pada kisara yang sempit (0,53 – 0,61 MIC). Bakteri P. fluorescens mengalami statis dahulu sebelum regenerasi. Dengan ditemukannya regenerasi sel S. aureus dan P. fluorescens menunjukkan bahwa ekstrak biji atung pada dosis di bawah MIC menyebabkan sel sakit atau stress (injuri). S. aureus yang sakit dapat dideteksi menggunakan media penyembuhan TSA-YE sebagai media nonselektif dan TSAS_YE sebagai media selektif. Pola kematian S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada dosis di atas MIC bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia ordo pertama yang ditunjukkan dengan pola garis lurus dengan waktu. Penyimpangan dari garis lurus ditemui pada ke tiga jenis bakteri ini yaitu ditemukannya bahu dan ekor. Ke tiga bakteri ini mempunyai bahu dengan bentuk yang berbeda. S. aureus dan P. fluorescens mempunyai bahu yang sama panjangnya tetapi bahu pada S. aureus mendatar, pada P. fluorescens lebih menurun. E. coli mempunyai bahu yang panjang dengan bentuk mendatar seperti S. aureus. Pada S. aureus pada dosis tinggi bahu perlahan-lahan hilang muncul ekor, pada P. fluorescens ekor ditemukan pada dosis yang sama dan sedikit lebih besar dari MIC, semakin tinggi dosis ekor hilang. Pada E. coli tidak ditemukan ekor. 109 Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik, dihasilkan nilai D dan z untuk S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pengaruh dosis ekstrak etil asetat biji atung di dalam medium cair (NB). Nilai D S. aureus pada dosis 1,0 MIC (3,20 mg/ml) adalah 3,14 jam, lebih kecil dari nilai D P. fluorescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam. E. coli mempunyai nilai D yang lebih besar dari nilai D bakteri S. aureus, P. fluorescens yaitu untuk fase adaptasi 22.03 jam dan untuk fase kematian 1,66 jam. Dari hasil penelitian untuk ketiga jenis bakteri ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak etil asetat biji atung semakin kecil nilai D. Nilai D S. aureus pada setiap dosis yang sama lebih kecil dari nilai D P. fluorescens. Akan tetapi pada dosis yang tinggi (5,34 mg/ml) nilai D S. aureus lebih besar dari P. fluorescens. E. coli mempunyai nilai D lebih besar untuk dosis yang sama (5,34 mg/ml) baik untuk fase adaptasi (bahu) maupun fase kematian. Dari hubungan log D dengan dosis diperoleh nilai z S. aureus 3,45 mg/ml lebih besar dari nilai z P. fluorescens yaitu 1,65 mg/ml. Nilai z E. coli paling besar diantara ketiga bakteri yang diuji yaitu 5,05 mg/ml untuk fase adaptasi dan 5,16 mg/ml untuk fase kematian. Pola kematian bakteri S. aureus di dalam pangan model padat dengan kandungan protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 %, lemak 25,6 % dan kadar air 12,18 % (aw = 0,76-0,78) pada suhu penyimpanan 29,9oC bersifat logaritmik dengan penyimpangan pada awal kurva. Bentuk penyimpangannya berbeda dari pola kematian S. aureus dalam media cair (NB). Pada`media cair fase adaptasi pada awal kurva kematian mendatar berbentuk bahu. Pada pangan model padat fase adaptasinya cekung dengan derajat kemiringan yang lebih besar dibandingkan dari fase kematian. Dengan mengasumsikan pola kematian S. aureus pada pangan model padat bersifat logaritmik didapat nilai D dan z yang jauh lebih besar daripada dalam media cair. Nilai D S. aureus pada media cair NB 3,14 jam, di dalam media padat menjadi 76,9 jam pada dosis 1,0 MIC (3,2 mg/ml) dengan nilai z 3,45 mg/ml menjadi 34,1 mg/g. Mekanisme kerja ekstrak etil asetat biji atung terhadap sel S. aureus berbeda dari sel P. fluorescens. Pada sel S. aureus, ekstrak etil asetat biji atung bekerja pada membran sel, mengganggu sintesis protein, menganggu protein dan asam nukleat yang terdapat di dalam sel. Pada sel P. fluorescens ekstrak etil 110 asetat biji atung bekerja pada dinding sel, setelah dinding sel lisis tidak tahan menahan tekanan dari sitoplasma menyebabkan membran mengalami kebocoran yang dapat menyebabkan kematian sel. Ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan dinding sel S. aureus dan P. fluorescens lisis dengan melepaskan ion Ca++, dan menyebabkan kebocoran membran sel dengan melepaskan protein, asam nukleat dan ion K+ ke lingkungannya. B. SARAN Untuk menentukan mekanisme inaktivasi sel S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung perlu dipelajari uji kimia dan biokimia. Berdasarkan hasil penelitian ini untuk S. aureus pengujian disarankan ke arah hal yang berhubungan dengan protein seperti aktivitas enzim, sintesis protein, asam nukleat dan lain-lainnya. Pada sel P. fluorescens disarankan diarahkan pada dinding dan membran sel, seperti permeabilitas dinding sel, LPS, kandungan dan komposisi asam lemak dinding. Selanjutnya pengujian terhadap mikroba yang sakit dalam bentuk L-form oleh ekstrak etil asetat biji atung, terutama untuk menentukan penggunaan media penyembuhan yang lebih tepat perlu dipelajari, agar sel yang sakit dapat dikenali dan dideteksi secara kuantitatif secara tepat, untuk menjamin keamanan pangan. Daftar Pustaka Abler, A.A., N.A. Klapes, B.W. Sheldon dan T. R. Klaenhammer. 1995. Inactivation of food-borne pathogens with magainin peptides. J. Food Prot. 58 (4): 381-388. Adawiyah, D.R. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen Antimikroba Biji Buah Atung (Parinarium glaberrimum Hassk). Tesis S2 Program Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB. Akers, M.J. dan C.Julia Taylor. 1994. Official methods of preservation evaluation and testing. di dalam: Denyer S.P. dan R.M. Baird (ed). Guide To Microbiological Control in Pharmaceuticals. Ellis Horwood, New York. Aureli, P., A. Constantini dan S. Zoles 1992. Antimicrobial activity of some plant essential oil against L. monocytogenes. J. Food Prot. 55:344-348. Beuchat, L.R. 1978. Injury and repair of gram negative bacteria with special consideration of the involvement of the cytoplasmic membrane. di dalam: Perlman, D (ed). Applied Microbiology. Vol. 23 . Academic Press, New York. Bozzola,J.J. dan L.D. Russell. 1999. Electron Microscopy. Jones and Bartlett Publishers, Boston. Branen, A.L. 1983. Introduction to use antimicrobials. di dalam: A. L. Branen dan P. M. Davidson (ed). Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker, INC. New York Brooks, G.F., J.S. Butel, L.N. Ornston, E. Jawetz, J.L. Melnick dan E.A. Adelberg. 1989. Medical Microbiology. Nineteenth edition. Appleton & lange, Norwalk, Connecticut, California. Boyd, R.F. 1995. Basic Medical Microbiology. Fifth Edition. Little, Brown and Company, Boston. Bunduki, M. M. C., K.J. Flanders dan C.W. Donnelly. 1995. Metabolic and structural sites of damage in heat and sanitizer injured populations of L. monocytogenes. J. Food Prot. 58 (4): 410-413. Busta, F.F. dan P.M. Foegeding. 1983. Chemical food preservatives. di dalam Block, S.S. Third Edition. Disinfection, Sterilization and Preservation. Lea and Febiger, Philadelphia. Caputo, R. A. dan T. E. Odlaug. 1983. Sterilization with ethylen oxide and other gases. di dalam: Block, S.S. Third Edition. Disinfection, Sterilization and Preservation. Lea and Febiger, Philadelphia. 112 Carllamana dan M. F. Mallette. Third edition. 1965. Basic Bacteriology its Biological and Chemical Backgrownd. The William and Wilkins Company, Baltimore. Conrad, R.S., M.J. Howard, R.C. Garrison, S. Winters dan D.A. Henderson. 1998. The effects of daptomycin on chemical composition and morphology of Staphylococcus aureus . Proc. Okla. Acad. Sci. 78: 15-22. Cox, S.D., J.E. Gustafson, C.M. Mann, J.L. Markham, Y.C. Liew, R.P. Hartland, H.C. Bell, J.R. Warmington dan S. G. Wyllie. 1998. Tea tree oil causes K+ leakage and inhibits respiration in E. coli. Lett. Appl. Microbiol. 26: 355-358. Craig, W.A. 1998. Pharmacokinetic/pharmacodynamic parameters: rationale for antibacterial dosing of mice and men. Clinical Infection Diseases 26: 112. Davison, P.M., dan L. Branen. 1980. Antimicrobial mechanisms of butylated hydroxyanisole against two Pseudomonas species. J. of Food Science 45: 1607-1613. Davidson, P.M. 1997. Chemical preservatives and natural antimicrobial compounds. di dalam M. P. Doyle, L.R. Beuchat dan T. J. Montville (ed). Food Microbiology Fundamentals and Frontiers. ASM Press. Washington D.C. Davis, B.D., Dulbecco, R., Eisen, H., Ginberg, H.S., dan Wood, W.B.Jr. 1976. Biology. A Harper International. Edition from the Hoeber Medical Division jointly published by Harper and Row New York. Degre, R., dan M. Sylvester. 1983. Effect butylated hydroxyanisole on the cytoplasmic membrane of S. aureus. J. Food Prot.: 46:206-209. De Jonge, B.L.M., dan A. Tomasz. 1993. Abdormal peptidoglycan produced in a methicillin-resistant strain of Staphylococcus aureus grown in the presence of methicillin: functional role for penicillin-binding protein 2A in cell wall synthesis. Antimicrob. Agents Chemother. 37:342-346. Dieuleveux, V., S. Lemarinier dan M. Gueguen. 1998. Antimicrobial spectrum and target site of D-3-phenyllactic acid. International Journal of Microbiology 40: 177-183. Espenson. 1995. Chemicals Kinetics and Reaction Mechanisms. 2nd Ed. McGraw-Hill. New York. Farbood, M.L., Macneil, J.H. dan K. Ostofard. 1976. Effect of rosemary spice extract on growth of microorganism in meats. J. Milk and Food Tech. 39:675. 113 Fardiaz, S. dan B.S. Laksmi J. 1988. Mikrobiologi Pangan II Laboratorium Mikrobiologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi IPB. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Dir. Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi IPB. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Dir. Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi IPB. Fass, R. J. dan R. B. Prior. 1974. Light, scanning and transmission electron microscopy of stable Staphylococcal L-forms. di dalam: W.W. Yotis (ed). Recent Advances in Staphylococcal Research. Published by the New York Academy of Sciences. Feeherry, E.E., C. J. Doona dan I.A. Taub. 2003. Effect of water activity on the growth kinetics of S. aureus in ground bread crumb. J. of Food Science 68(3): 982-987. Franklin, T. dan G.A. Snow. 1989. Biochemistry of antimicrobial action. Chapman and Hall. London. Fujikawa, H. dan K. Ohta. 1994. Patterns of bacterial destruction in solutions by microwave irradiation. J. Appl. Bacteriol. 76 :389-394. Garret, E.S. 1978. Kinetics of Antimicrobial Action. Scand. J. Infect. Dis. Suppl. 14: 54-85. Gemmel, C.G. dan V. Lorian. 1996. Effects of low concentration of antibiotics on bacterial ultrastructure, virulence and suscebtibility to immunodefence : clinical significance. di dalam: V. Lorians. Antibiotics in Laboratory Medicine. Fourth ed. Williams & Wilkins, London. Gilber, P. 1984. The revival of microorganisms sublethally injured by chemical inhibitors. di dalam: The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew, M.H.E. dan A.D. Russell. Academic Press, London. Guerillot, F., G. Carret dan J.P. Flandrois. 1993. Mathematical model for comparison of time-killing curves. Antimicrob. Agents Chemother. 37 (8): 1685-1689. Gould, G. W. 1989. Heat-induced injury and Inactivation. di dalam: G.W. Gould (ed). Mechanisms of Action of Food Presevation Procedures. Elsevier Applied Science, London dan New York. 114 Gustafson, J.E., Y.C. Liew, S. Chew, J.L. Markham, H.C.Bell, S.G. Wyllie dan J.R. Warmington. 1998. Effects of tea tree oil on E. coli . Lett. Appl. Microbiol. 26:194-198. Hamilton-Miller, J. M. T., dan S. Shah, 1999. Disorganization of cell division of methicillin-resistant S. aureus by a component of tea (Camellia sinensis): a.study by electron microscopy. FEMS Microbiol. Lett. 176:463-469. Heipieper, H.J., G. Meulenbeld, Q. Qirschot dan J.A.M. de Bont. 1996. Effect of enviromental factors on the trans/cis ratio of unsaturated fatty acids in P. putida S12. Appl. Environ. Microbiol. 62:6665-6670. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Cetakan ke-I. Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Badan Huang, L. dan V. K. Juneja. 2001. A new kinetic model for thermal inactivation of microorganisms : development and validation using E. coli O157:H7 as a test organism. J. Food Prot. 64 (12): 2078-2082. Hugo, W.B. dan A.D. Russel. 1983. Pharmaceutical Microbiology. Oxford, Blackwell Scientific Publication. Hurst, A. 1984. The revival of vegetative bacteria after sublethal heating. di dalam: The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew, M.H.E. dan A.D. Russell. Academic Press, London. Isom, L.L., Z. S. Khambatta, J.L. Moluf, D. F. Akers dan S. E. Martin. 1995. Filament formation in Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 58 (9): 1031-1033. Jay, J.M. 1986. Modern Food Microbiology. Third edition. Van Nostrand Reinhold, New York. Joklik, W.K, H.P. Willett, D.B. Amos dan C.M.Wilfert. 1988. Zinsser Microbiology. Nineteenth edition. Prentice-Hall International Inc. Jorgensen, F., Stephens, P.J. dan Knochel, S. (1995). The effect of osmotic shock and subsequent adaptation on thermotolerance and cell morphology of Listeria monocytogenes. Appl. Bacteriol. 79:274-281. Kang, R., R. Helms. M.J. Stout, H. Jaber, Z. Chen dan T. Nakatsu. 1992. Antimicrobial activity of the volatile constituents of Perilla frustescens and its synergistic effects with polygodial. J. Agric. Food Chem. 40(11):2328-2330. Kim J.M., M.R. Marshall, J.A. Cornell, J.F. Boston III dan C.I. Wei. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral, and geraniols against Salmonella typhymurium in culture medium and on fish cubes. J. Food Sci., 60(6): 1365-1368. 115 Kim, J. G. dan A. E. Yousef. 2000. Inactivation kinetics of foodborne spoilage and pathogenic bacteria by ozone. J. Food Sci 65(3):521-528. Klainer, A. S. 1974. The normal and abnormal surface morphology of Staphylococci. di dalam: W.W. Yotis (ed). Recent Advances in Staphylococcal Research. Published by the New York Academy of Sciences. Koeswara, S. 1995. Teknologi pengolahan kedelai menjadi makanan bermutu. Sinar Harapan, Jakarta. Kubo, I., H. Muroi dan M. Himejina. 1993a. Antibacterial activity against Streptococcus mutans of mate tea flavor components. J. Agric. Food Chem. 41(1):107:111. Kubo,I., H. Muroi dan M. Himejima. 1992. Antimicrobial activity of green tea flavor components and their combination effects. J. Agric. Food Chem. 40 :245:246. Kubo,I., H. Muroi dan M. Himejima. 1993b. Structure antibacterial activity relationships of anacardic acids. . J. Agric. Food Chem. 41 :1016-1019. Kubo, A., C.S. Lunde dan I. Kubo. 1995. Antimicrobial activity of the olive oil flavor compounds. J. Agric. Food Chem. 43(6): 1629-1633. Lenovich, L.M., 1987. Survival and death of microorganisms as influenced by water activity. di dalam: Rockland, L.B. dan L.R. Beuchat (editor). Water Activity: Theory and Aplications to Food. Marcel Dekker, Inc., New York and Basel. Lee, R.M., P.A. Hartman, H. M. Stahr, D.G. Olson dan F.D. Williams. 1994a. Antibacterial mechanism of long-chain polyphosphates in S. aureus. J. of Food Prot. 57 (4): 289-294. Lee, R.M., P.A. Hartman, H. M. Stahr, D.G. Olson dan F.D. Williams. 1994b. Bactericidal and bacteriolitic effects of selected food-grade phosphates, using S. aureus as a model system. J. Food Prot. 57 (4): 276-283. Linton, R.H.,W.H. Carter, M.D. Pierson dan C.R. Hackney. 1995. Use of modified Gompertz equation to model nonlinear survival curves for L. monocytogenes Scott A. J. Food Prot. 58: 946- 954. Linton, R.H.,W.H. Carter, M.D. Pierson dan C.R. Hackney. 1995. Use of modified Gompertz equation to predict the effects of temperature, pH and NaCl on the inactivation of L. monocytogenes Scott A heated in infant formula. J. Food Prot. 59:16-23. 116 Mackey, B.M. 1984. Lethal and sublethal effects of refrigeration, freezing and freeze-drying on microorgnisms. di dalam: The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew, M.H.E. dan A.D. Russell. Academic Press, London. McGuire, M. D.dan R. S. Conrad. 2000. Morphological and biochemical alterations in S. epidermis stepwise adapted to vancomycin resistance. Proceedings of the Oklahoma Academy of Science vol. 80. McMeekin, T. A. Brown, K. Krist. 2002. Quantitatif Microbiology:. A. Basis for food safety. Special Issued. University of Tasmania, Australia. Moat, A.G. dan J.W. Foster. 1988. Microbiology Physiology. Second Edition. A Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York. Moniharapon, T. 1991. Kajian Penanganan Udang Windu (Penaeus monodon Fab) untuk Mempertahankan Kesegaran Udang. Tesis S2, Program Studi Teknologi Pascapanen, PPs-IPB. Moniharapon, T. 1998. Kajian Fraksi Bioaktif dari Buah Atung (Parinarium glaberrimum Hassk) sebagai Bahan Pengawet Pangan. Disertasi S3, Program Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB. Moseley, B.E.B. 1984. Radiation damage and its repair in non-sporulating bacteria. di dalam The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew, M.H.E. dan A.D. Russell. Academic Press, London. Mukodiningsih, S. 1991. Pola perubahan karbohidrat pati sagu (Metroxylon sp) selama proses dekstrinasi kering dengan katalis HCL. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB. Murano, E. A. dan M. D. Pierson. 1993. Effect of heat shock and incubation atmosphere on injury and recovery of E. coli O157:H7. J. Food Prot. 56(7):568-572. Murhadi. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Komponen Antibakteri dari Biji Atung (Parinarium glaberrimum Hassk). Disertasi S3, Program Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB. Muroi, H. dan I. Kubo. 1996. Antibacterial activity of anacardic acid and totarol, alone and in combination with methicilin, against methcilin-resistant S. aureus. J. Appl. Bacteriol 80: 387-394. Murphy, R.Y., B.P. Marks, E.R. Johnson dan M.G. Johnson. 2000. Thermal inactivation kinetics of Salmonella and Listeria in ground chicken breast meat and liquid medium. J. Food Sci. 65 (4):706-709. 117 Nikaido, H. dan M. Vaara. 1985. Moleculer basis of bacterial outer membrane permeability. Microb. Reviews. 49(1):1-32. Nychas, G. J. E. 1995. Natural antimicrobials from plants. di dalam: G.W. Gould (ed). New Methods of Food Preservation. Blackie Academic & Professional. London. Noeroktiana, W. 2000. Kajian Pembuatan Formulasi Pangan Semi Basah Bergizi Tinggi. Skripsi S1. FATETA-IPB, Bogor. Okemo, P.O., W. E. Mwatha, S.C.Chhabra dan W. Fabry. 2001. The kill kinetics of Azadirachta indica A. JUSS. (Meliaceae) extracts on S. aureus, E. coli, P. aeruginosa dan C. albicans. AJST, 2 (2): 113-118. Orth, D.S. 1994. Presevative evaluation and testing : the linear regression methode. di dalam: Denyer, S.P. dan R.M. Baird (ed). Guide To Microbiological Control in Pharmaceuticals. Ellis Horwood, New York. Parish, M.E. dan P.M. Davidson. 1993. Methods for evaluation. di dalam : P. M. Davidson dan A. L. Branen (ed). Antimicrobials in Foods. 2nd edition. Marcel Dekker, New York. Park, S.J., H.W. Park dan J. Park. 2003. Inactivation kinetics of food poisoning microorganisms by carbon dioxide and high hydrostatic pressure. J. Food Sci 68 (3): 976-981. Park, Y.W. 1996. Determination of moisture and ash contents of food. di dalam: Leo M.L. Nollet (ed). Handbook of Food Analysis. Volume 1. Marcel Dekker, Inc, Newyork. Basel. Hongkong. Pellegrini, A., U. Thomas, R. Von Fellenberg dan P. Wild. 1992. Bactericidal activities of lysozime and aprotinin against Gram-negative and Grampositive bacteria related to their basic character. J. Appl. Bacteriol. 72:180-187. Pflug, I. J. dan R. G. Holcomb. 1983. Principles of thermal destruction of microorganisms. di dalam: S. S. Block (ed). Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third edition. Lea & Febiger, Philadelphia. Pot, B., W. Ludwig, K. Kerters dan K. Heinz. 1994. Taxonomy of lactic acid bacteria. di dalam: L.De Vuys dan E. J. Vandamme (ed). Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria Microbiology,Genetics and Applications. Blackie Academic & Professional, London. Prindle, R.F. 1983. Phenolic coumpuond. di dalam: S. S. Block (ed). Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third edition. Lea & Febiger, Philadelphia. 118 Roger, H. J., H. R. Perkins dan J. B. Ward. 1980. Microbial Cell Walls and Membranes. Chapman and Hall 150th Anniversary. London New York. Rowan, N.J. 1999. Evidence that inimical food preservation barriers alter microbial resistance, cell morphology and virulence. Trends in Food Sci. Technol. 10: 261-270. Russel, A.D. 1983. Principles of antimicrobial activity. di dalam: Block. S.S. Disinfection, Sterilization and Preservation. Third Edition. Lea and Febiger, Philadelphia. Russel, A.D. 1984. Potential sites of damage in micriorganisms exposed to chemical or physical agent. di dalam: The Revival of Injured Microbes. Edited by M.H.E. Andrew dan A.D. Russel. Academic Press, London. Russel, A.D. 1991. Mechanisms of bacterial resistance to non-antibiotics: food additives and food and pharmaceutical preservatives. J. Appl. Bacteriol 71: 191-201. Sakanaka S., M.Kim, M. Taniguchi dan T. Yamamoto. 1989. Antibacterial substances in Japanesse green tea extract against Streptococcus mutans,a cariogenic bacterium. Agric. Biol. Chem., 53(9):2307-2311. Sala, F.J., J. Burgos, S. Condon, P. Lopez dan J. Raso. 1995. Effect of heat and ultrasound on microorganisms and enzimes. di dalam: G.W. Gould (ed). New Methods of Food Preservation. Blackie Academic & Professional. London. Saragih, B. S. 1998. Aplikasi pengawetan ikan segar dan olahan dengan preparat biji buah atung (Parinarium glaberrimum Hassk). Tesis S2, PPs-IPB. Shahidi, F. dan M. Naczk 1995. Food Phenolics. Technomic Publishing, CO., INC Lancaster. Shelef, l.A., Jyothi, E.K. dan Bulgarelli, M.A. 1984. Growth of enteropathogenic and spoilage bacteria in sage-containing broth and foods. J. Food Sci 49: 737-740,809. Silverman, G. J. 1983. Stelirization by ionizing irradiation. di dalam: S. S. Block (ed). Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third edition. Lea & Febiger, Philadelphia. Silliker, J.H., R.P. Elliot, A.C. Baird-Parker, F.L.Bryan, J.H.B. Christian, D.S.Clark, J.C. Olson Jr., T.A. Roberts. 1980. Microbial Ecology of Foods. Vol.1. Academic Press, New York, London. Sikkema, J., J.A.M. de Bont dan B. Poolman. 1994. Mechanisms of membran toxicity of hydrocarbons. Microbiol. Rev. 59:201-222. 119 Soekarto, S.T., M.P. Steinberg dan S.L. Ordal. 1984. Dryness stress of Staphylococcus aureus in different fractions of bound water. Didalam Proceeding International Symposium on Microbiological Aspect of Food Storage, Processing and Fermentation in Tropical Asia. Cisarua, Bogor, Indonesia. Soper, C.J. dan D.J.G. Davies. 1994. Principles of sterilization.di dalam: S.P. Denyer dan R.M. Baird (ed). Guide To Microbiological Control in Pharmaceuticals. Ellis Horwood, New York. Slavik, M.F., J.W. Kim, Yanbin LI, J.T. Walker dan H. Wang. 1995. Morphological changes of Salmonella typhimurium caused by electrical stimulation in various salt solution. J. Food Prot. 58 (4): 375-380. Stumbo, C.R. 1973. Thermobacteriology in Food Processing. Second edition. Academic Press. Suganuma, A. 1972. Fine structure of S. aureus :electron microscopy. Di dalam J.O Cohen. The Staphylococci. Wiley –Interscience, London-New york. Syamsir, E. 2002. Mempelajari stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak biji atung (Parinarium glaberimum Hassk) dengan pelarut etil asetat teknis selama penyimpanan terhadap S. aureus. Thesis, Program Studi Ilmu Pangan. Program Pascasarjana, IPB Bogor. Ting, W.T.E. dan Deibel, K.E. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at two temperatures. Journal of Food Safety. 12:123-127. Thompson, J.L. dan M. Hinton. 1996. Effect of short-chain fatty acids on the size of enteric bacteria. Lett. Appl. Microbiol. 22: 408-412. Turner, F. J. 1983. Hydrogen peroxide and other oxidant disinfectants. di dalam: S. S. Block (ed). Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third edition. Lea & Febiger, Philadelphia. Ultee, A., E. P.W. Kets dan E. J. Smid. 1999. Mechanisms of action of carvacrol on the food-borne pathogen Bacillus cereus. Appl. Environ. Microbiol. 65 (10); 4606-4610. Volk, W.A. dan Wheeler, M.F. 1988. Mikrobiologi Dasar. Terjemahan. Editor S. Adisoemarnoto. Penerbit Erlangga, Jakarta. 121 Lampiran 1. Bagan alir proses ekstraksi senyawa antimikroba biji atung secara bertingkat (Adawiyah, 1998). Biji atung Penepungan Pemisahan lemak lemak dengan metoda soxhlet Ekstraksi senyawa antimikroba dengan metoda refluks Evaporasi dengan rotavapor Pemekatan dengan gas N cair sampai berat konstan Ekstrak /senyawa antimikroba biji atung ampas 122 Lampiran 2. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v), dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 0.017 0.000 0.064 0.047 0.002 0.048 4.0 x 107 3.2 x 107 2.5 x 107 4.0 x 107 3.6 x 107 2.0 x 107 0.389 0.031 0.017 0.037 -0.003 -0.003 1.09 x 108 - 0 24 Lampiran 3. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % (v/v), dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.1 0.2 0.3 0.35 0.4 0.017 0.052 0.046 0.044 0.003 0.046 2.8 x 107 2.3 x 107 1.7 x 107 1.5 x 107 1.6 x 107 0.8 x 107 0.736 0.278 0.033 -0.032 0.039 0.017 7.9 x 109 5.6 x 108 5.9 x 103 - 0 24 Lampiran 4. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % v/v, dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC 0 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 0.017 0.013 0.020 0.039 0.003 0.007 2.0 x 107 1.0 x 107 1.7 x 107 1.6 x 107 1.8 x 107 1.0 x 107 0 Keterangan: - = tidak tumbuh 24 Absorbansi 0.764 0.042 0.032 0.026 0.032 0.026 TPC 2.9 x 109 - 123 Lampiran 5. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % v/v, dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.015 0.030 0.011 0.065 0.035 3.1 x 107 3.0 x 107 3.1 x 107 3.3 x 107 4.1 x 107 0.772 -0.105 -0.218 0.340 0.020 1.3 x1010 9.8 x 109 7.4 x 105 - 0 24 Lampiran 6. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % v/v, dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan dengan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.45 0.50 0.55 0.60 0.293 0.312 0.311 0.294 0.285 1.8 x 108 2.3 x 108 2.2 x 108 2.6 x 108 1.3 x 108 1.700 1.650 1.630 1.530 1.480 3.8 x 109 2.5 x 109 1.8 x 109 9.0 x 108 9.6 x 108 0 24 Lampiran 7. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0, 0.65, 0.70, 0.75 dan 0.8 % v/v, dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.65 0.70 0.75 0.80 0.295 0.284 0.225 0.338 0.306 1.4 x 108 1.6 x 108 1.6 x 108 1.5 x 108 1.6 x 108 1.650 1.315 1.215 1.345 1.265 2.7 x 109 1.1 x 109 1.1 x 109 1.1 x 108 7.9 x 108 0 Keterangan: - = tidak tumbuh 24 124 Lampiran 8. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0, 1.0, 1.5, 2.0 dan 2.5 % (v/v), dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Absorbansi jam ke 0 1.0 1.5 2.0 2.5 0 24 0.312 0.490 0.561 0.419 0.512 1.530 1.988 1.876 1.844 1.746 Lampiran 9. Pertumbuhan bakteri B. subtilis selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % v/v, dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.45 0.50 0.55 0.60 0.100 0.030 0.145 0.145 0.183 1.8 x 107 3.6 x 107 3.1 x 107 1.4 x 107 2.0 x 107 1.105 0.258 -0.016 -0.121 -0.100 1.0 x 108 1.1 x 102 8.7 x 101 7.8 x 101 7.5 x 101 0 24 Lampiran 10. Pertumbuhan bakteri E. coli selama 24 jam pada medium cair pada dosis ekstrak atung 0, s/d 0.6 % (v/v), dengan pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan. Dosis ekstrak biji atung (%v/v) Jam ke Absorbansi TPC Absorbansi TPC 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.017 0.018 0.006 0.057 0.033 0.009 0.023 1.1 x 107 1.3 x 107 1.3 x 107 1.2 x 107 1.3 x 107 1.3 x 107 1.0 x 107 0.623 0.563 0.609 0.063 0.031 0.016 0.025 5.0 x 108 2.1 x 109 1.6 x 109 2.2 x 106 9.0 x 102 - 0 Keterangan: - = tidak tumbuh 24 125 Lampiran 11. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 0 0,3 0,35 0,66 0,83 0,9 0,93 0,96 1,0 0 1,8x107 1,8x107 2,3x107 1,6x107 1,4x107 1,3 x107 1,7x107 1,6x107 1,3x107 2 5,2x107 1,3x107 6,6x106 8,5x106 1,1x107 7,1x106 4 4,0x108 1,8x107 8,5x107 7,2x106 2,1x106 6,8x106 2,0x106 2,6x106 6 9,7x108 4,2x107 1,5x107 4,4x106 6,2x105 1,7x106 3,9x105 7,2x105 8 4,5x109 7,1x107 3,2x107 5,0x106 3,7x105 4,2x105 2,4x105 4,5x105 12 4,5x109 5,0x107 6,6x106 3,3x105 2,5x105 7,9x105 7,9x104 16 2,8x109 4,7x107 1,0x107 1,4x106 4,8x105 1,1x105 3,1x104 20 4,5x108 3,7x107 1,2x106 7,2x105 7,8x104 8,1x103 24 7,8x109 4,8x107 3,3x106 3,7x105 3,0x104 2,4x103 ` 9,5x107 1,6x108 4,1x107 1,7x105 1,1x104 < 30 126 Lampiran 12. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC pada pertumbuhan bakteri P. flourescens pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 0 0,1 0,2 0.5 0.64 0.71 0.86 1.0 0 2 3 4 6 4,1x107 2,5x107 3,0x107 2,0x107 2,2x107 1,9 x107 1,6x107 1,3x107 1,3x107 1,2x107 8 8 7 1,8x107 1,1x107 8 11 12 13 15 16 18 19 20 21 24 28 30 36 42 2,9x109 7,1x108 3,4x108 3,6x106 1,6x106 9 9 9 1,4x106 1,0x105 1,6x106 9,1x105 4,2x103 1,0x105 1,4x104 4,8x103 - 8,5x10 1,3x10 6,8x10 1,2x107 6,0x10 4,6x10 1,0x10 9,3x10 5,0x10 9 3,98x10 1,1x107 8,7x10 1,4x107 9 8,0x106 6 5,1x106 9 8,0x10 8,1x109 1,7x109 6,6x109 6,8x109 9,6x109 6,3x109 5,6x109 6,7x109 6,85x109 6 4,5x10 6 8,3x106 2,4x106 6,5x105 1,0x107 9,3x106 9,6x106 1,3x106 7,7x105 4,3x105 4,5x105 127 Lampiran 13. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis stres pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 0,66 MIC 0,83 MIC 0,9 MIC 0,93 MIC 0 1,6x107 1,4x107 1,3x107 1,7x107 2 1,3x107 6,6x106 8,5x106 1,1x107 4 7,2x106 2,0x106 6,8x106 2,0x106 6 4,4x106 6,2x105 1,7x106 4,0x105 8 5,0x106 3,7x105 4,2x105 2,4x105 12 6,6x106 3,3x105 2,5x105 1,2x105 16 1,0x107 6,0x105 4,8x105 1,1x105 20 3,7x107 6,0x105 7,2x104 7,7x104 24 7 6 5 3,0x104 4,8x10 3,3x10 3,7x10 Lampiran 14. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis stres pertumbuhan bakteri P. fluorescens pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 0 0.53 0.56 0,58 0,61 0 9,8x107 1,2x108 1,3x108 1,3x108 1,1x108 2 1,4x108 1,2x108 8,4x107 1,3x108 1,8x108 4 2,0x108 8,1x107 5,4x107 9,9x107 6,0x107 6 7,9x109 8,1x106 7,9x106 7,6x106 6,3x106 8 7,8x109 7,8x106 6,7x106 5,8x106 4,9x106 10 1,0x1010 7,7x107 6,3x106 6,2x106 3,2x107 12 1,3x1010 5,5x107 5,2x107 4,3x107 3,2x107 128 Lampiran 15. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 1,0 1,03 1,1 1,17 1,24 1,31 1,38 1,6 0 1 2 3 4 5 6 7 8 12 5,2x107 3,8x107 2,7x107 2,0x107 7,1x106 2,5x106 8,9x105 4,3x105 2,1x105 1,1x104 5,1x107 3,1x107 2,9x107 6,3x106 4,2x107 3,6x107 4,4x107 3,6x107 4,2x107 2,7x106 2,5x105 5,4x104 8,1x103 2,5x103 - 2,8x106 1,2x105 2,7x104 4,0x103 1,4x103 - 3,9x107 4,3x106 1,9x105 1,6x104 1,4x103 6,5x102 3,1x102 1,7x102 9,8x101 - 3,5x107 2,4x106 1,7x105 1,3x104 1,0x103 3,9x102 1,5x102 6,0x101 - 3,6x107 1,4x105 5,4x102 2,6x102 1,2x102 6,0x101 2,9x101 - 20 6,3x101 1,4x105 1,9x104 4,9x103 2,2x103 7,1x105 4,5x104 6,0x103 1,1x103 4,2x102 - 129 Lampiran 16. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri P. fluorescens pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- 0 2 4 6 8 10 12 16 20 24 Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 1,0 1,03 1,1 1,17 1,24 1,33 1,5 1,67 2,6x107 7,8x106 7,4x106 1,9x106 5,1x105 1,3x105 3,5x104 5,6x103 3,6x102 4,8x101 3,6x107 1,6x107 1,1x106 2,2x105 3,5x104 6,5x103 6,9x103 - 2,5x107 9,0x106 1,0x106 5,0x104 7,9x104 1,9x103 1,5x102 - 2,5x107 1,2x107 6,3x105 2,5x104 1,0x103 7,9x101 1,2x102 - 3,2x107 7,9x106 1,2x105 5,0x103 6,3x102 5,0x101 5,0x101 - 1,1x107 1,1x106 1,9x103 - 1,0x107 2,1x103 - 9,3x106 1,0x101 - Catatan; Jam ke 10 dan 12 sel kecil-kecil 130 Lampiran 17. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri E. coli pada medium cair dengan metoda hitungan cawan. Waktu Jam Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4 0 2,2x107 2,0x107 2,1x107 2,0x107 2,0x107 2 1,8x107 1,7x107 1,7x107 1,4x107 3 1,6x107 1,5x107 1,5x107 1,2x107 1,0x107 4 1,5x107 1,3x107 1,1x107 9,3x106 7,1x106 5 9,3x106 5,5x106 5,2x106 5,5x106 4,6x106 6 5,8x106 2,3x106 2,6x106 9,1x105 5,1x105 7 1,7x106 2,8x105 4,2x105 4,5x104 2,2x104 8 5,0x105 3,5x104 2,2x104 10 3,5x104 8,1x102 6,2x102 12 1,3x103 - - 14 - Keterangan : - = tidak tumbuh 1,2x104 - 7,9x101 - 131 Lampiran 18: Skema proses pembuatan dekstrin tapioka (Mukodiningsih, (1991). Tepung Tapioka Dicampur dengan larutan HCl Dikeringkan dengan oven Digiling dan diayak disangrai Dekstrin Tapioka 132 Lampiran 19. Skema proses pembuatan tepung kedele (Koeswara, 1995). Biji Kedele sortasi Perendaman dalam air bersih Perebusan dikuliti ditiriskan Dikeringkan dengan oven Digiling dan diayak Tepung Kedele 133 Lampiran 20. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium padat ( pangan model ) dengan metoda hitungan cawan. Waktu Hari Ke- Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC) 0 0,5 1,0 1,5 2,0 3,0 3,6x106 3,6x106 5,4x106 4,8x106 4,0x106 5,1x106 1 3,6x105 4,5x104 2,3x104 7,9x103 7,9x103 2 8,7x104 1,4x104 9,8x103 5,5x103 3,9x103 5,6x104 8,3x103 7,6x103 2,7x103 1,4x103 4 4,1x104 6,4x103 2,5x103 7,2x102 3,8x102 5 3,1x104 2,9x103 7,8x102 2,9x102 1,0x102 7,6x101 tt tt tt 0 3 8,1x105 6 3,7x105 2,6x104 9 5 2,6x10 8,3x10 3 13 3,6x105 2,4x102 16 9,7x104 tt tt Keterangan : tt = tidak tumbuh Lampiran 21 Data absorbansi dari bahan yang dilepaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada OD 260 dan 280 nm. Absorbansi Dosis (MIC) 0 0,3 0,5 0,7 0,9 S. aureus P. fluorescens OD260 OD280 OD260 OD280 0,283 1,926 2,181 2,353 1,429 0,142 1,627 1,877 1,955 1,96 0,380 1,482 1,908 2,437 2,505 0,208 1,326 1,881 2,491 2,491 134 Lampiran 22. Data peningkatan jumlah ion Ca++ dan K+ (% total) yang dilepaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Dosis (MIC) 0 0,3 0,5 0,7 0,9 S. aureus P. fluorescens Ca++ K+ Ca++ K+ 0 2,16 5,81 29,17 58,44 0 4,93 13,71 36,76 38,72 0 64,0 77,5 79,0 82 ,0 0 1,53 4,40 12,28 21,33