Kajian dan Mekanisme Inaktivasi Bakteri oleh

advertisement
KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT
BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)
LAVLINESIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KAJIAN POLA DAN
MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI
ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2007
Lavlinesia
IPN 965044
Abstrak
LAVLINESIA. KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium
glaberimum HASSK). Di bawah bimbingan Soewarno T. Soekarto sebagai
ketua, dan Betty Sri Laksmi Jenie, Dedi Fardiaz dan Purwiyatno Hariyadi
sebagai anggota.
Atung adalah sejenis tanaman hutan yang bijinya sejak lama secara
tradisional digunakan sebagai bahan pengawet pangan di Maluku,bubuk dan
ekstrak biji atung telah terbukti dapat mengawetkan udang, berbagai jenis ikan
dan berbagai produk dari ikan. Ekstrak etil asetat biji atung bebas lemak
mempunyai penghambatan yang tinggi dengan spektrum penghambatan yang luas
terhadap bakteri patogen dan perusak pangan.. Agar ekstrak etil asetat biji atung
ini dapat digunakan secara tepat dan efisien dalam memperpanjang umur simpan
dan dapat menjamin keawetan pangan perlu dipelajari pola dan mekanisme
inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung.
Dalam penelitian ini, (1) dipelajari nilai MIC dari pada 5 jenis bakteri
yaitu Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus plantarum,
Bacillus subtilis dan Escherichia coli, (2) dipelajari pola inaktivasi bakteri S.
aureus dan P. fluorescens pada dosis di atas dan di bawah MIC, (3) dikaji
pengunaan nilai D dan Z untuk pola kematian yang bersifat logaritmik, pada
media cair dan pada pangan model padat, dan (4) dipelajari pola kerusakan sel
melalui pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur menggunakan
scanning electron microscope (SEM) dan transmission electron microscope
(TEM) (5) dan di analisa pola kebocoran sel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri S. aureus dan P. fluorescens
mempunyai kepekaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat biji atung dengan
nilai MIC 3,2 mg/ml, E. coli lebih tahan dari P. fluorescens yang sama-sama
Gram negatif dengan nilai MIC 5,34 mg/ml. Nilai MIC E. coli ini sama dengan
nilai MIC B. subtilis yaitu bakteri Gram positif penghasil spora. L. plantarum
menunjukkan resitensi terhadap ekstrak etil asetat biji atung sampai dengan
penambahan 26,70 mg/ml ekstrak tidak menunjukkan penghambatan.
Hasil pengamatan pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens
pada dosis di bawah MIC menunjukkan pola regenerasi, akan tetapi pola
regenerasi P. fluorescens terjadi pada kisaran dosis yang sempit (0,53-0,61 MIC).
Terdapatnya pola regenerasi pada kedua jenis bakteri ini menunjukkan bahwa
ekstrak etil asetat menyebabkan bakteri S. aureus dan P. fluorescens menjadi
sakit. Dari hasil penelitian ini sel S. aureus yang sakit dapat dideteksi
menggunakan media TSA-YE sebagai media non selektif dan TSAS-YE sebagai
media selektif.
Pola kematian S. aureus, P. fluorescens dan E.coli pada dosis di atas MIC
dari hasil penelitian ini bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia ordo pertama
yang ditunjukkan dengan pola garis lurus dengan waktu. Penyimpangan dari garis
lurus ditemui pada ke tiga jenis bakteri, yaitu ditemukannya bahu dan ekor. Ke
tiga bakteri ini mempunyai bahu dengan bentuk yang berbeda. S. aureus dan P.
fluorescens mempunyai bahu pendek, dengan panjang yang sama tetapi P.
fluorescens mempunyai bahu yang lebih curam. Pada S. aureus, bahu tidak
ditemukan pada dosis tinggi, yang ditemukan adalah ekor, pada P. fluorescens
ekor ditemukan pada dosis sekitar MIC, semakin tinggi dosis dari MIC ekor
hilang, Bakteri E. coli mempunyai bahu yang panjang dengan bentuk mendatar
seperti S. aureus, pada E. coli ini tidak ditemukan ekor.
Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik dari ke tiga jenis bakteri (S.
aureus , P. fluorescens dan E. coli) tersebut dihasilkan nilai D dan z untuk
masing-masing bakteri pengaruh dosis ekstrak etil asetat biji atung. Untuk
menghitung nilai D dari bakteri E. coli karena mempunyai bahu yang panjang,
kurva kematiannya dibagi atas dua garis lurus, garis pertama adalah fase bahu
(adaptasi) dan garis lurus kedua adalah fase kematian. Dari 8 tingkat dosis yang
diperlakukan dari bakteri S. aureus dengan tidak memasukan data ekor , dan 6
tingkat dosis P. fluorescens serta 5 tingkat dosis dari E coli menunjukkan semakin
tinggi dosis ekstrak etil asetat biji atung semakin kecil nilai D. Nilai D S. aureus
pada dosis 1,0 MIC (3,20 mg/ml) adalah 3,14 jam, lebih kecil dari nilai D P.
fluorescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam. E. coli mempunyai nilai D yang
lebih besar dari nilai D bakteri S. aureus dan P. fluorescens yaitu untuk fase
adaptasi 22.03 jam dan untuk fase kematian 1,66 jam. Nilai D S. aureus pada
setiap dosis yang sama lebih kecil dari nilai D P. fluorescens, akan tetapi pada
dosis yang tinggi (5,34 mg/ml) nilai D S. aureus lebih besar dari P. fluorescens.
E. coli mempunyai nilai D lebih besar untuk dosis yang sama baik untuk fase
adaptasi (bahu) maupun fase kematian. Dari hubungan log D dengan dosis
diperoleh nilai z S. aureus 3,45 mg/ml lebih besar dari nilai z P. fluorescens
yaitu 1,65 mg/ml. Nilai z E. coli paling besar diantara ketiga bakteri yang diuji
yaitu 5,05 mg/ml untuk fase adaptasi dan 5,16 mg/ml untuk fase kematian.
Pola kematian bakteri S. aureus di dalam pangan model padat dengan
kandungan protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 %, lemak 25,6 % dan kadar air 12,18
% (aw = 0,76-0,78) pada suhu penyimpanan 29,9oC bersifat logaritmik dengan
penyimpangan pada awal kurva. Bentuk penyimpangannya berbeda dari pola
kematian S. aureus dalam media cair (NB). Pada`media cair fase adaptasi pada
awal kurva kematian mendatar berbentuk bahu. Pada pangan model padat fase
adaptasinya cekung dengan derajat kemiringan yang lebih besar dibandingkan
dari fase kematian. Dengan mengasumsikan pola kematian S. aureus pada
pangan model padat bersifat logaritmik didapat nilai D dan z yang jauh lebih
besar daripada dalam media cair. Nilai D S. aureus pada media cair NB 3,14
jam, di dalam media padat menjadi 76,9 jam pada dosis 1,0 MIC (3,2 mg/ml)
dengan nilai z 3,45 mg/ml menjadi 34,1 mg/g.
Perbedaan ketahanan (nilai D dan z) bakteri S. aureus dengan P.
fluorescens terhadap ekstrak etil asetat biji atung disebabkan karena perbedaan
mekanisme kerja dari kedua bakteri ini. Pada sel S. aureus, ekstrak etil asetat biji
atung bekerja pada membran sel, menganggu sintesis protein, protein dan asam
nukleat. Pada sel P. fluorescens ekstrak etil asetat bekerja pada dinding sel yaitu
melisis membran luar sel, akibatnya membran tidak tahan, menahan tekanan
sitoplasma yang terdapat di dalam sel menyebabkan sel bocor. Ekstrak etil asetat
biji atung menyebabkan dinding sel S. aureus dan P. fluorescens lisis, sel yang
lisis melepaskan ion Ca++, dan menyebabkan membran S. aureus dan P.
fluorescens bocor, sel yang bocor mengeluarkan protein, asam nukleat, ion-ion
kalium yang terdapat di dalam sel.
THE BACTERIAL INACTIVATION PATTERN AND ANTIBACTERIAL
MECHANISM BY ETHYL ACETATE EXTRACT OF ATUNG SEED
(PARINARIUM GLABERIMUM HASSK).
LAVLINESIA
Under the advisory guidance of SOEWARNO T. SOEKARTO as the
chairman of advisory committee and BETTY SRI LAKSMI JENIE, DEDI
FARDIAZ and PURWIYATNO HARIYADI as members of the advisory
committee.
Abstract
Recently, people avoid synthetic material for food preservation because of
health reasons. Atung (Parinarium glaberimum Hask) is forest plant species. In
Maluku, atung seed is traditional used as food preservatives. Many researches
demonstrated that atung seed can be used for fish and fish products preservation.
The ethyl acetate extract of atung seed could inhibit a wide range of bacteria
effectively. Information about bacterial inactivation pattern of ethyl acetate extract
of atung seed and its mechanism are important for efficient and save use of the
atung seed extract.
The objectives of this research were to investigate the pattern of bacterial
inactivation and the mechanisms of ethyl acetate extract of atung seed. This
research were consisted of 6 experiments are: (1) to acquire MIC (minimum
inhibition concentration) value of its antimicrobial activities (2) to study the
inactivation pattern of S. aureus (Gram positive), P. fluorescens (Gram negative)
of ethyl acetate extract at doses below MIC (3) to study the time killing curve of
S. aureus, P. fluorescens and E. coli of ethyl acetate extract at doses above MIC
(4) to study the application of kinetic parameter ( D and z value) in broth and
solid food model (5) to study the damage of S. aureus (Gram positive) and P.
fluorescens (Gram negative) upon exposed of ethyl acetate extract of atung seed
(6) to study the leakage of S. aureus (Gram positive) and P. fluorescens (Gram
negative) upon exposed of ethyl acetate extract of atung seed.
The value of MIC of ethyl acetate extract were 3.2 mg/ml for S. aureus,
P. fluorescens, 5.34 mg/ml for E. coli and B. subtilis meanwhile L. plantarum was
resistant to extract. The inactivation pattern curve of S. aureus and P. fluorescens
at doses below MIC showed regrowth. The regrowth indicated that the S. aureus
and P. fluorescens was merely injured. The injured microbes can not detected
from routine medium. In this research the injured of S. aureus caused by ethyl
acetate extract of atung seeds can be detected by using TSA-YE as nonselected
medium and TSAS-YE as selected medium. At doses above MIC, the pattern of
the time killing curve of S. aureus, P. fluorescens and E. coli was followed first
order of reaction kinetic as indicated by a straight line curve against time.
Deviations from linear was observed : a shoulder and tail were found in S. aureus,
P. fluorescens and a shoulder was found in E. coli. The D value was calculated
from the linear part of time killing curve by regression of log (N) against the
time. The kinetic studies showed that D value decreased with dose. The D value
of S. aureus was lower than D value of
P. fluorescens at dose 3,20 mg/ml, meanwhile at 5.34 mg/ml atung concentration
the D value of S. aureus was higher. The D value of E. coli at the same dose (5.34
mg/ml) was higher both on the shoulder phase and the lethality phase. The z
value of S. aureus was higher than P. fluorescens and E. coli. The D and z value
on solid food model was shifting. The D value of S. aureus on liquid medium was
3.14 hour on on solid medium to 76.9 hour on 1.0 MIC (3.2mg/ml), while the z
value on liquid medium 3.4 mg/ml was increasing on solid medium to 34.1 mg/ml
.
The resistancy of S. aureus and P. fluorescens was different due to the
difference of their defence mechanism. On S. aureus, ethyl acetate extract
worked by disturbing the membranes protein thus the membrane cell were leaked.
On the P. fluorescens, the extract worked by lysing the outer membrane of the cell
that the membrane could not overcome the cytoplasma pressure that the cell
would be leak. The leaked cells were excreting protein, nucleic acid, calcium ions
and potassium ions within the cell.
96, teman diskusi yaitu Novelina dan semua pihak yang tidak tersebutkan
diucapkan terima kasih.
Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah bapak dan ibu
berikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata
semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Februari 2007
Lavlinesia
© Hak cipta milik Lavlinesia, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT
BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)
LAVLINESIA
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul disertasi
:
Nama mahasiswa
:
KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI
ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)
Lavlinesia
Nomor pokok
:
IPN 965044
Program studi
:
Ilmu Pangan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Soekarno T. Soekarto, M.Sc.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.
Anggota
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc.
Anggota
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.
Tanggal ujian: 9 Februari 2004
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Kairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal lulus :
PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan
selesainya penulisan disertasi yang berjudul : Kajian Pola dan Mekanisme
Inaktivasi Bakteri oleh Ekstrak Etil asetat Biji atung (Parinarium glaberimum
Hassk), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi
Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada komisi pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Soewarno T.
Soekarto, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing atas petunjuk dan saran mulai
dari perencanaan, pelaksanaan penelitian dan penulisan. Ucapan terimakasih yang
sama penulis aturkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.,
Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi,
M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas sumbangan pikiran berupa
konsep-konsep yang berarti kearah penyempurnaan tulisan ini.
Kepada kedua orang tua, Ayahanda Drs. Syamsir Alam dan Ibunda Asma
yang telah menghantarkan penulis sampai pada jenjang pendidikan terakhir S3,
kepada adik-adik semua terutama At dan Hadi yang telah membantu baik moril
maupun materil penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas semangat
dan doa yang telah diberikan selama ini.
Terima kasih kepada kepada Pimpinan IPB, terutama Pimpinan Sekolah
Pascasarjana, khususnya Pimpinan Program Studi Ilmu Pangan atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada jenjang S3.
Terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dikti atas
bantuan pembiayaan selama masa belajar. Terima kasih
kepada Pusat Studi
Pangan dan Gizi IPB, NAMRU, Lembaga Eijkman dan Laboratorium Genetika
Fak. Perikanan IPB atas bantuan dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian.
Kepada Mbak Ari yang selama penelitian siang malam menemani, kepada
Mas Yoyo di NAMRU, Ine di Eijkman dan kepada teman-teman satu kos
Hamzah, Yatno, Mairizal dan Eri diucapkan terimakasih banyak atas bantuan dan
semangat yang telah diberikan. Kepada teman-teman satu angkatan yaitu angkatan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1960 di Bukitingggi, Sumatera
Barat, merupakan anak pertama
dari
ayahanda Drs. Syamsir Alam dengan
ibunda Asma.
Penulis menamatkan sekolah dasar di SD negeri no. 6 Lubuk Sikaping,
Sumatera Barat pada tahun 1972, sekolah menengah pertama di SMP negeri V
Padang pada tahun 1975 dan menamat sekolah menengah atas di SMA negeri I
Jakarta pada tahun 1979. Pada tahun 1980, penulis melanjutkan pendidikan tinggi
di Universitas Andalas Padang jurusan Teknologi Hasil Pertanian, tamat tahun
1985. Pada tahun 1992, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan magister
sains di Institut Pertanian Bogor jurusan Teknologi Pascapanen di bawah
bimbingan Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief
DESS dan Dr. Ir. Rosmawati Peranginangin, APU yang berhasil diselesaikan pada
tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 1996, penulis memasuki program doktor di
Institut Pertanian Bogor dengan program studi Ilmu Pangan.
Sejak tahun 1987 sampai saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Fakultas Pertanian, Universitas Jambi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
i
DAFTAR TABEL……………………………………………………………
ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………...
iii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
iv
I.
II.
PENDAHULUAN…………………………………………………….
A
LATAR BELAKANG ………………………………..…..……..
B. RUANG LINGKUP PENELITIAN…………………..………….
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN………….………....
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………
A. ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)………………………
1.
Tanaman Atung…………………………………………….
2.
Buah dan Biji Atung……………………………………….
3.
Komposisi Kimia Biji Atung………………………………
4.
Potensi Atung sebagai Pengawet Pangan…...……………..
5.
Aktivitas Antibakteri Buah Atung………………………….
B. STRUKTUR SEL BAKTERI……………………………………
1.
Dinding Sel…………………………………………………
2.
Membran Sel………………………………………………
3.
Inti Sel……………………………………………………...
4.
Ribosom…………………………………………………....
5.
Kapsul……………………………………………………...
C. SENYAWA ANTIMIKROBA…………………………………..
5
5
6
7
8
10
11
15
15
16
16
17
1.
Pengertian Agen Antimikroba……………………………..
2.
Stres Mikroba Oleh Senyawa Antimikroba………………..
MEKANISME KERJA SENYAWA ANTIMIKROBA…………
1.
Merusak Dinding Sel…………………………….…………
2.
Menganggu Membran Sitoplasma……………….………...
3.
Menganggu Protein dan Asam Nukleat………….………...
PERUBAHAN STRUKTUR SEL MIKROBA…………………
Pembentukan Filamen………………………………..……
1.
Pembentukan Septum dan Peningkatan Ukuran Sel……....
2.
3.
Penebalan Dinding Sel………………………………….…
4.
Terbentuk Tonjolan (Blebs) ………………………………
17
18
19
19
20
20
21
21
23
24
25
D.
E.
1
1
3
4
5
5
F.
III.
IV.
KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA………………….…..
1.
Pola Kematian Mikroba………………………………..
2.
Kinetika Inaktivasi Bakteri oleh Proses ……….………
3.
Kinetika Inaktivasi Bakteri oleh Bahan Kimia………...
26
26
30
34
METODOLOGI………………………………………………….
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN……………………
B. BAHAN DAN ALAT………………………………………..
1.
Bahan Utama…………………………………………...
2.
Bahan Pembantu……………………………………….
3.
Kultur Mikroba………………………………………...
4.
Peralatan………………………………………………..
C. PERSIAPAN…………………………………………………
36
36
36
36
36
37
37
38
1.
Ekstraksi BijiAtung……………………………………
2.
Kultur Bakteri …………………………………………
D. METODE PERCOBAAN……………………………………
Percobaan 1. Konsentrasi Minimum Penghambatan
.
1.
(MIC)…………………………………...
Percobaan 2. Inaktivasi Bakteri S. aureus dan
2.
P. fluorescens Menggunakan Ekstrak Biji Atung pada
Dosis di bawah MIC…………………………………...
Percobaan 3. Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens
3.
oleh Ekstrak Biji Atung pada Dosis di atas MIC………
4.
Percobaan 4. Inaktivasi S. aureus oleh Ekstrak Biji
Atung pada Pangan Model Padat………………………
Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur
5.
S. aureus dan P. fluorescens oleh Ekstrak Biji Atung
6.
Percobaan 6. Analisa Kebocoran Sel………………...
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………...
A. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETIL ASETAT
BIJI ATUNG…………………………………………………
B. KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATAN (MIC)…
1.
S. aureus dan P.fluorescens…………………………...
2.
Escherichia coli………………………………………...
3.
Lactobacillus plantarum……………………………….
4.
Bacillus subtilis………………………………………...
38
39
39
40
40
41
41
42
45
47
47
49
50
51
52
53
C. POLA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus dan
P. fluorescens PADA DOSIS DI BAWAH MIC…………….
1. Pola umum Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens
di bawah Nilai MIC………………………………..
2. Regenerasi Sel S. aureus dan P. fluorescens………
3. Penyembuhan S. aureus …………………………..
D. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus dan
P. fluorescens PADA DOSIS DI ATAS MIC………………..
.
1. Pola Kematian Bakteri………………………….
2. Laju Inaktivasi Bakteri…………………………….
3. Parameter Laju Inaktivasi……………………….
E. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus
PADA PANGAN MODEL PADAT…………………………
1. Pola Kematian Bakteri pada Pangan Model Padat…...
2. Perubahan Pola Inaktivasi Bakteri……………………
3. Perubahan Parameter Laju Inaktivasi…………………..
F. PERUBAHAN STRUKTUR SELULER BAKTERI
S. aureus DAN P. fluorescens PENGARUH EKSTRAK ETIL
ASETAT BII ATUNG…………………………………
1. Staphylococcus aureus…………………………………
2. Pseudomonas fluorescens……………………………..
G. KEBOCORAN SEL S. aureus DAN P. fluorescens PENGARUH
EKSTRAK ETIL ASETAT BII ATUNG…….
1. Kebocoran Bahan-bahan yang Dapat Menyerap Sinar UV
pada OD 260 dan 280 nm……………………….
2. Perubahan Kandungan Ion K+……………………….
3. Kebocoran Ca++………………………………………
H. PEMBAHASAN UMUM……………………………………
V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………...
A. KESIMPULAN………………………………………………
B. SARAN………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
LAMPIRAN……………………………………………………………….
54
56
56
59
61
61
64
67
73
74
74
76
80
81
92
99
99
101
103
104
108
108
110
111
121
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Diameter zona penghambatan ( daerah bening) beberapa jenis
bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung .............................................
Konsentrasi minimum penghambatan ( MIC) ektrak biji atung
untuk 5 jenis bakteri.............................................................................
Persentase S. aureus sehat, sakit dan mati oleh ekstrak etil asetat
biji atung pada dosis 0,8 MIC selama 48 jam .....................................
Hasil analisis parameter laju kematian bakteri S. aureus,
P. fluorescens dan E. coli.....................................................................
Nilai D dan z dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada
dosis ekstrak etil asetat biji atung 5.34 mg/ml.....................................
Nilai aktivitas air (aw) pangan model padat dari beberapa tingkat
dosis ekstrak etil asetat biji atung.........................................................
Nilai no dan nilai D S. aureus pada pangan model padat pada
beberapa dosis ekstrak biji atung..........................................................
Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung terhadap ketebalan
dinding sel S.aureus.............................................................................
Panjang dan lebar sel P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat
biji atung.............................................................................................
Halaman
57
60
74
84
88
89
94
103
114
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan negatif.......
12
2.
Bentuk penyimpangan kurva kematian mikroba oleh panas................
27
3.
Kurva kematian logaritmik dari sel mikroba pada proses termal.........
30
4.
Penentuan nilai D menurut Pflug dan Holcom (1983).........................
32
5.
Skema proses pembuatan pangan model padat..................................
42
6.
Zona hambat ekstrak etil asetat biji atung pada berbagai ....................
48
7.
Pola inaktivasi bakteri S. aureus (a) dan P. fluorescens (b).............. .
oleh ekstrak biji atung pada dosis di bawah nilai MIC.......................
55
8.
Pola regenerasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak .....
58
9.
Pertumbuhan S. aureus di dalam media TSA-YE dan TSAS-YE .......
60
10.
Kurva kematian S. aureus (a), P. flourescens (b) dan E. coli ............
62
11.
Kurva resistensi dosis dari bakteri S. aureus, P. fluorescens...............
72
12.
Produk pangan semi basah yang digunakan sebagai pangan model....
73
13.
Pola kematian S. aureus dalam medium cair NB (a) dan di pangan....
76
14.
Kurva resistensi dosis dari S. aureus pada pangan model padat .........
79
15.
Scanning electron microscope (SEM) dari sel S. aureus ...................
81
16.
Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus ...................
84
17.
Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus ...................
87
18.
Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus pada ..........
89
19.
Scanning electron microscope (SEM) dari sel P. fluorescens ............
93
20.
Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens ...........
96
21.
Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens ...........
97
22.
Absorbansi dari bahan-bahan yang dilepaskan dan diserap UV..........
100
23.
Peningkatan jumlah ion K+ dan Ca++yang dibebaskan sel ..................
102
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Bagan alir proses ekstraksi senyawa antimikroba biji atung…………..…..122
2. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v)…………....122
3. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % (v/v)……….…...122
4. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v)…………....122
5. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4% (v/v)…………... 123
6. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair MRS
pada konsentrasi ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v)…….….123
7. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair MRS
pada konsentrasi ekstrak 0, 0.65, 0.70, 0.75 dan 0.8 % (v/v)……………...123
8. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium MRS
cair pada konsentrasi ekstrak 0, 1.0, 1.5, 2.0 dan 2.5 % (v/v)……….……124
9. Pertumbuhan bakteri B. subtilis selama 24 jam pada medium NB pada
konsentrasi ekstrak 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v)………………….…124
10 Pertumbuhan E. coli selama 24 jam pada medium NB pada
konsentrasi ekstrak 0, s/d 0.6 % (v/v), ………………………………..…124
11. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis di bawah MIC pada
pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair NB, ……………..….125
12.
Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC pada
pertumbuhan bakteri P. flourescens pada medium NB ………………....126
13. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis yang menyebabkan bakteri S. aureus
stres pada medium cair NB………………….…………………………...127
14. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis yang menyebabkan bakteri P.
fluorescens menjadi sakit pada medium NB……………………………...127
15. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada
pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair ……………………....128
16. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC
pada pertumbuhan bakteri P. fluorescens pada medium NB……….….129
17. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada
pertumbuhan bakteri E. coli pada medium cair..........................................130
18. Skema proses pembuatan dekstrin tapioka (Mukodiningsih, (1991)….....131
19. Skema proses pembuatan tepung kedele (Koeswara, 1995)………..…….132
20. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada pertumbuhan bakteri
S. aureus pada pangan model padat ……………..……………………….133
21 Data absorbansi dari bahan yang dilepaskan oleh sel S. aureus dan P.
fluorescens pengaruh ekstrak biji atung pada OD 260 dan 280 nm……......133
22. Data peningkatan jumlah ion Ca++ dan K+ yang dilepaskan oleh sel…....…134
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan kian hari semakin meningkat
sementara masyarakat dihadapkan akan tuntutan kebutuhan pangan yang praktis,
mudah diolah, siap saji dan tahan lama. Untuk mendapatkan bahan pangan
tersebut diperlukan bahan pengawet yang aman untuk dikonsumsi. Bahan
pengawet sintetis banyak ditemui dan dapat digunakan akan tetapi keamanannya
masih diragukan. Pada saat ini bahan pengawet alami diyakini lebih aman untuk
digunakan.
Atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan yang
bijinya sejak lama secara tradisional digunakan oleh masyarakat Maluku untuk
mengawetkan ikan tangkapan jauh sebelum es balok dikenal (Moniharapon,
1991). Parutan biji atung digunakan masyarakat Maluku sebagai bahan
pencampur bahan makanan yang terbuat dari cacahan ikan mentah yang dibumbui
jahe, cabe, bawang dan air limun, makanan tradisional ini dikenal dengan nama
kohu-kohu (Moniharapon, 1991). Selain itu biji atung dapat digunakan sebagai
obat diare, menghentikan keputihan dan bubur biji atung yang dioleskan pada
kayu dapat mencegah serangan hama bubuk (Heyne, 1987).
Penelitian terhadap bubuk dan ekstrak air biji atung telah terbukti dapat
meningkatkan kesegaran dan umur simpan udang windu (Moniharapon,1991),
ikan kembung dan ikan mujair segar (Tilapia mossambica Peters) (Saragih, 1998),
pindang ikan mujair (Soeherman, 1997), dengan tekstur daging ikan menjadi lebih
padat dan kompak.
Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat biji atung mempunyai spektrum
penghambatan yang luas (Moniharapon, 1998) dan tinggi (Adawiyah, 1998).
Ekstrak ini mengandung senyawa fenolik (Adawiyah, 1998), terpenoid (Syamsir,
2002) dan senyawa dari golongan amina, ester, asam karboksilat, monoterpena
(limonena) dan tiol yang ditemukan dalam jumlah kecil yang dikenal memiliki
aktivitas antibakteri (Murhadi, 2002).
2
Untuk memanfaatkan ekstrak etil asetat biji atung sebagai bahan pengawet
pangan secara tepat dan efisien dalam memperpanjang umur simpan dan
menjamin keamanan pangan agar dapat digunakan dalam merancang operasi
pengolahan pangan, perlu dipelajari pola dan mekanisme inaktivasi mikroba.
Melalui pola inaktivasi, informasi kuantitatif dari kematian patogen dan perusak
makanan dapat diketahui untuk menunjukkan mekanisme kematian oleh senyawa
antimikroba. Melalui pola ini pengetahuan mikroba yang sakit (injury) dapat
diketahui untuk menghindari salah perkiraan terhadap mikroorganisme yang
masih hidup.
Inaktivasi bakteri merupakan hasil interaksi senyawa antimikroba dengan
bagian tertentu pada sel mikroba (Gilbert, 1984). Interaksi senyawa antimikroba
tersebut dapat menyebabkan sejumlah perubahan atau kerusakan pada sel bakteri
yang berpengaruh pada kelangsungan hidup bakteri. Kebanyakan senyawa
antimikroba
bisa
bersifat
menghambat
(bakteriostatik)
atau
mematikan
(bakterisidal), yang aktivitasnya tergantung pada konsentrasi yang digunakan
(Hugo dan Russel, 1983). Pada umumnya, pola inaktivasi bakteri oleh agen
antimikroba pada dosis yang mematikan kurva inaktivasi mengikuti reaksi kimia
ordo I bersifat eksponensial, sementara pola inaktivasi di bawah dosis mematikan
mikroba uji, secara umum memperlihatkan pola resistensi .
Pola inaktivasi bakteri oleh senyawa antimikroba
mematikan tidak selalu bersifat logaritmik tergantung
pada dosis yang
jenis antimikroba dan
mikroba yang dihambat, kebanyakan bersifat sigmoid (Soper dan Davis, 1994).
Dari hasil penelitian Moniharapon (1998) kurva kematian bakteri Pseudomonas
aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung berbentuk garis lurus bersifat
eksponensial mengikuti reaksi kimia ordo pertama. Beberapa penyimpangan dari
garis lurus juga dapat terjadi tergantung dari jenis mikroorganisme yang diserang,
adakalanya terbentuk bahu (shoulder) pada awal kurva kematian bakteri atau ekor
(tail) pada akhir kurva (Stumbo, 1973; Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan
Davies, 1994).
Kurva kematian bakteri digunakan sebagai dasar untuk menentukan
ketahanan mikroba oleh senyawa antimikroba, yang dinyatakan dengan nilai D
(waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah bakteri satu siklus log dari
3
suatu populasi bakteri) dan z (peningkatan konsentrasi yang diperlukan untuk
menurunkan satu siklus log D pada kurva resisten dosis). Nilai D dan z diperoleh
dari kurva kematian yang bersifat eksponensial, membentuk garis lurus mengikuti
reaksi kimia orde pertama (Stumbo, 1973, Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan
Davies, 1994). Penentuan nilai D dan z untuk senyawa antimikroba pangan masih
sedikit dilakukan yaitu pada ekstrak biji atung (Moniharapon, 1998), ozon ( Kim
dan Yousef, 2000), CO2 dan tekanan hidrostatik (Park et al, 2003).
Pada dosis yang tidak mematikan mikroba akan sakit, terjadi sejumlah
perubahan dan kerusakan struktur sel bakteri yang akhirnya dapat mempengaruhi
fungsi metabolisme sel, pada kerusakan yang parah menyebabkan kematian.
Bentuk dan besarnya perubahan atau kerusakan struktur sel dipengaruhi oleh jenis
senyawa antimikroba, jenis mikroba dan besarnya konsentrasi yang digunakan
(Gemmel dan Lorian, 1996). Perubahan dan kerusakan struktur sel oleh senyawa
antimikroba dapat berupa perubahan morfologi sel, perubahan ultrastruktur sel,
ukuran sel, kebocoran dinding dan membran sel, ketebalan dinding, penampakan
sitoplasma dan lain-lain (Suganuma, 1972; Fass dan Prior, 1974; Gemmel dan
Lorian, 1996).
B. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Lingkup penelitian ini meliputi : (1) Percobaan konsentrasi minimum
penghambatan (MIC) 5 jenis bakteri yaitu :
Staphylococcus aureus,
Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus plantarum, Bacillus subtilis dan
Escherichia coli dengan ekstrak etil asetat biji atung, (2) percobaan inaktivasi
bakteri S. aureus (Gram positif) dan P. fluorescens (Gram negatif) oleh ekstrak
etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung di bawah
nilai MIC (3) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli
oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung
di atas nilai MIC (4) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus oleh ekstrak etil asetat
biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung pada pangan model
padat (5) pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus dan P.
fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung secara mikroskopis
4
menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan transmissi electron
microscopy (TEM) (6) percobaan analisa kebocoran sel oleh ekstrak etil asetat biji
atung.
C. TUJUAN DAN MANFAAT HASIL PENELITIAN
Penelitian
ini
secara
umum
bertujuan
untuk
mempelajari
pola
penghambatan dan pola kerusakan sel bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung
(Parinarium glaberimum Hassk)..
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1.
Memperoleh dan membandingkan nilai MIC serta resistensi bakteri dari
ekstrak etil asetat biji atung untuk 5 jenis bakteri yaitu : S. aureus, P.
fluorescens, L. plantarum, B. subtilis dan E. coli.
2. Menemukan pola regenerasi dan fenomena sakit dari bakteri S. aureus dan P.
fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah nilai MIC.
3. Menemukan pola kematian pada dosis di atas nilai MIC, berdasarkan pola
kematian dipelajari kinetika inaktivasi (D dan z) S. aureus, P. fluorescens dan
E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung.
4. Mengkaji penerapan nilai D pada pengawetan produk pangan model padat.
5. Menemukan mekanisme kerusakan sel bakteri S. aureus dan P. fluorescens
oleh ekstrak etil asetat biji atung.
6. Menemukan bahan-bahan yang dikeluarkan oleh sel
S. aureus dan P.
fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung.
Manfaat Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan
efektifitas dan merancang penggunaan atung sebagai pengawet secara tepat pada
produk pangan olahan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. ATUNG (Parinarium glaberrimum Hassk)
Atung adalah sejenis tanaman hutan tropis yang tumbuh secara alami di
Kawasan Timur Indonesia. Hampir di semua tempat di Maluku tanaman ini
ditemukan terutama di Maluku Tengah (Moniharapon, 1991), namun di Pulau
Jawa tidak ditemukan ( Heyne, 1987). Atung mempunyai nama yang berbedabeda di setiap daerah, di Aceh bernama Pele kambing, di Maluku, atung, Lomo di
Makasar orang Bugis menamakan Samaka dan di Ternate Saya ( Heyne, 1987).
1. Tanaman Atung
Tanaman atung memiliki pohon yang besar dan tumbuh lebat, setelah
tanaman agak berumur batangnya berlubang dengan kayu yang keras tetapi getas
dan tidak awet (Heyne, 1987). Tinggi pohon dapat mencapai ketinggian 10 m
dengan diameter pohon mencapai 40 cm, dengan kulit kayu berwarna coklat gelap
(Koorders dan Valeton, 1913 dalam Murhadi, 2002).
2. Buah dan Biji Atung
Bentuk dan besarnya buah atung menyerupai telur bebek, berwarna merah
gading pudar, mempunyai kulit luar yang keras dengan tebal kulit sebesar jari
tangan (Heyne, 1987 dan Adawiyah, 1998). Berat rata-rata satu buah atung
berkisar antara 31,3 - 48,7 gram dan apabila buah sudah kering kulit buah
menjadi retak (Adawiyah, 1998). Di bagian kulit buah terdapat mesokarp tebal
yang memiliki struktur berserat dengan arah vertikal dengan tekstur yang sangat
keras, bagian kulit dan mesokarp ini merupakan bagian terbesar dari buah
mencapai dua pertiga (68 %) berat utuh dengan berat antara 18,7 - 36,5 gram
(Adawiyah. 1998).
Di bawah kulit buah atung terdapat biji tunggal, memiliki jalur-jalur keriput,
dengan besar biji kira-kira sebesar telur ayam tetapi pipih dan sangat keras. Biji
ini menimbulkan suara gemeretak ketika buah utuh diguncang, biji berwarna
coklat dilapisi serabut tipis putih dengan tekstur sangat keras dengan proporsi biji
6
terhadap keseluruhan buah utuh rata-rata 31.8 % atau kira-kira sepertiga berat
buah utuh (Adawiyah.1988).
3. Komposisi Kimia Biji Atung
Hasil penelitian Adawiyah (1998), lemak merupakan komponen terbesar
(42,7 %) dari biji atung diikuti oleh air ( 8-13,2 % ), protein (5,4 %), serat kasar
(4,3 %), abu (2,1 %), pati (2,3 %) dan tannin (1,7 %). Kadar air biji atung dipengaruhi oleh umur simpan buah, semakin lama disimpan biji semakin kering dan
keras sehingga sulit untuk dihancurkan dan adanya kandungan tanin merupakan
penyebab rasa atung menjadi agak sepat.
Selanjutnya dari hasil penelitian Adawiyah (1998), tipe asam-asam lemak
yang mendominasi lemak biji atung terutama adalah asam lemak rantai panjang
yaitu bahenat (27,98 mg/g asam lemak), palmitat (24,61 mg/g lemak), linoleat
(21,68 mg/ g lemak), stearat (19,70 mg/lemak), oleat (19,24 mg/g lemak) serta
sejumlah kecil asam dokosaheksaenoat/ DHA (4,27 mg/g lemak), gadoleat (4,83
mg/g lemak), arakhidat (2,72 mg/g lemak ) dan linolenat (0,87 mg/g lemak).
Menurut Greshoff biji atung mengandung 31 % lemak (Heyne, 1987).
Lemak atung terdiri dari beberapa jenis asam lemak rantai panjang dalam bentuk
ester asil gliserol, termasuk asam parinarat yaitu asam lemak tidak jenuh C18:4
dengan 4 ikatan rangkap terkojugasi pada posisi ikatan 9,11,13 dan 15 (Skalar et
al ,1981 dalam Murhadi, 2002), dalam bentuk dua isomer geometris yaitu (1) cisasam parinarat (9,11,13,15- cis, trans, trans, cis-asam oktadekatetraenoat) atau
disingkat cis-PnA dan (2) trans-asam parinarat (9.11,13,15-trans, trans, trans,
trans-asamoktadeka tetraenoat) atau disingkat trans-PnA (Skalar et al, 1989, 1981
dalam Murhadi, 2002).
Biji atung memiliki aroma khas atung terutama setelah berbentuk serbuk
biji atung.
Murhadi (2002) telah mengidentifikasi
aroma khas yang berupa
komponen volatil dari serbuk biji atung utuh, komponen volatil dari serbuk biji
atung yang telah dikurangi lemak minyaknya dan komponen volatil dari serbuk
biji atung yang telah dikurangi komponen polarnya. Dari ke tiga isolat volatil
tersebut Murhadi (2002) memperoleh 70 komponen volatil secara komulatif yang
terdiri 17 golongan senyawa yaitu: alkana (8 komponen), alkana siklik (4), alkil
7
halida (1), alkena (5), alkena siklik (3), alkuna (3), aromatik (1), amina (2), tiol
(1), ester (3), asam karboksilat (2), alkohol (5), aldehida (24), ester (1), alkil furan
(1), keton (4) dan senyawa lain (2).
Komponen volatil golongan aldehida
merupakan golongan komponen volatil yang dominan, jumlahnya 34 % yaitu 24
dari 70 komponen volatil gabungan, komponen utamanya adalah : 2,4-dekadienal,
heksanal, 2-heptenal, 2,4-nonadienal,
(E,E)-2,4-nonadienal dan (z)-2-dekenal.
Komponen aldehida ini masih ditemukan pada serbuk biji atung yang diekstraksi
dengan alat sokhlet menggunakan pelarut heksana selama 3 x 8 jam. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstraksi dengan menggunakan pelarut heksana menggunakan sokhlet selama 3 x 8 jam belum mampu menghilangkan seluruh kandungan
lemak minyak di dalam serbuk biji atung.
Selain senyawa dari golongan aldehida, senyawa-senyawa seperti golongan :
amina (2-propana amina dan N-metil-2-propuna-1-amina), ester (ester pentil asam
format dan ester butil asam asetat), asam karboksilat (asam propionat dan 2-metil
–2-asam propenoat), monoterpena (limonena) dan tiol (2-metil-2-undekanatiol)
teridentifikasi dalam jumlah kecil yang dikenal memiliki aktivitas bakteri
(Murhadi, 2002).
4. Potensi Atung Sebagai Bahan Pengawet Pangan
Daya antibakteri biji atung pertama kali diketahui dari kemampuan biji
atung yang dapat mengawetkan makanan tradisional dari Ambon yang dikenal
dengan nama kohu-kohu.
Masyarakat biasa menambahkan parutan atung ke
dalam cincangan ikan mentah yang dibumbui jahe, bawang, cabe dan air limun
(Moniharapon, 1998).
Atung juga dapat digunakan sebagai obat diare,
menghentikan murus-murus, menghentikan keputihan dan olesan bubur biji atung
pada kayu dapat mencegah serangan hama bubuk (Heyne, 1987). Bubuk biji
atung juga telah lama dan populer digunakan oleh nelayan di Maluku jauh
sebelum es balok dikenal sebagai pengawet ikan tangkapan (Moniharapon, 1991).
Mutu ikan tangkapan dapat dipertahankan beberapa hari sampai nelayan kembali
ke pelabuhan dan memasarkannya.
Penelitian atung sebagai pengawet pangan pertama kali diteliti oleh
Moniharapon (1991).
Moniharapon (1991) menambahkan bubuk biji atung
8
sebanyak 3-5 % (bb) pada udang windu, ternyata mampu meningkatkan kesegaran
udang dari 4 jam menjadi 10 jam pada suhu kamar. Bila penambahan bubuk biji
atung sebesar 5 % dari berat udang (bb) dikombinasikan dengan penyimpanan
dalam bongkahan es dapat meningkatkan kesegaran sampai 2 hari dan bila
dikombinasikan dengan penyimpanan dingin dalam lemari es bersuhu 4oC dapat
meningkatkan kesegaran mencapai 9 hari.
Pada umur penyimpanan tersebut
rupa, tekstur, rasa, pH dan kadar air udang tidak berbeda dari kontrol, dan dapat
menahan
pertumbuhan
mikroba
dan
mengurangi
susut
bobot
selama
penyimpanan.
Aplikasi bubuk biji atung sebesar 5-15 % pada ikan mujair
(Tilapia
mossambica Peters ) dapat memperpanjang umur simpan dari 3 hari menjadi 7
hari, pada ikan kembung penambahan sebesar 15 % meningkatkan umur simpan
dari 8 hari menjadi 13 hari (Saragih, 1998). Pada akhir penyimpanan total koloni
mikroba kedua jenis ikan masih di bawah batas kerusakan ikan yaitu kurang dari
5x105 koloni/gram ikan.
Soeherman (1998), membuktikan bahwa penggunaan bubuk biji atung
atau ekstrak air biji atung pada pindang ikan mujair mampu memperpanjang
umur simpan dari satu hari menjadi empat hari
dengan tekstur daging ikan
menjadi lebih padat dan kompak.
5. Aktivitas Antibakteri Buah Atung
Hasil penelitian Moniharapon (1998), seluruh bagian buah atung
mengandung zat antimikroba akan tetapi bagian biji aktivitas antibakterinya jauh
lebih kuat (7 kali) daripada daging buah. Daging buah tidak efektif digunakan
sebagai antibakteri.
Hal ini menguntungkan karena penyiapan biji untuk
dijadikan ekstrak jauh lebih mudah dibandingkan daging buah biji.
Selanjutnya dikatakan oleh Moniharapon (1998), ekstrak biji atung tua
mempunyai ativitas antibakteri 2 – 3 kali lebih kuat dari biji muda. Biji atung
segar memiliki aktivitas antibakteri 1,2 –1,5 kali lebih tinggi dari biji atung yang
disimpan pada suhu ruang selama 3 bulan namun biji atung simpan ini masih jauh
lebih tinggi aktivitas antibakterinya dari ekstrak biji atung muda. Biji atung tua
9
baik segar maupun yang telah disimpan keduanya baik sebagai bahan untuk
produksi bahan pengawet pangan (Moniharapon, 1998).
Metode ekstraksi dan jenis pelarut mempengaruhi aktivitas antibakteri biji
atung.
Hasil penelitian (Moniharapon, 1998), metode ekstraksi cara refluks
menggunakan heksana menghasilkan aktivitas antimikroba lebih kuat (24,9 UIB)
dari pada metode maserasi metanol 100 % (9,8 UIB), kemudian metode maserasi
100 % lebih kuat dari refluks metanol 80 % (7,8 UIB). Selanjutnya dari hasil
penelitian Moniharapon (1998), ekstraksi buah atung dengan metode maserasi
menggunakan metanol, lalu ekstraknya diseparasi dengan heksana dan residunya
diseparasi lagi dengan etil asetat, menghasilkan ekstrak etil asetat dengan aktivitas
yang cukup tinggi dengan zona penghambatan yang lebih besar dari ekstrak
heksana. Ekstrak etil asetat dari biji atung ini mempunyai spektrum penghambatan
yang luas dan cukup kuat untuk 9 jenis bakteri pembentuk dan non pembentuk
spora, patogen dan pembusuk, Gram positif, Gram negatif, bentuk batang dan
kokus. Daya antibakteri biji atung ini secara konsisten sangat kuat terhadap 6 jenis
bakteri penting pada produk pangan yaitu S. aureus, S. enteritidis, S. typhimurium,
E. coli, B. subtilis dan P. aeruginosa.
Ekstraksi biji atung secara tunggal,
menggunakan pelarut polar yaitu
etanol 95 %, etanol 50 % dan air menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antimikroba yang rendah, ekstraksi tunggal dengan pelarut heksana (non polar) tidak
menunjukkan penghambatan akan tetapi dengan pelarut etil asetat menghasilkan
aktivitas tertinggi terhadap P. aeruginosa (Adawiyah, 1998).
Ekstraksi dengan cara bertingkat, menunjukkan aktivitas antimikroba yang
lebih tinggi dari ekstraksi tunggal (Adawiyah, 1998). Ekstraksi bertingkat dua
tahap yang dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) dilanjutkan dengan etil
asetat menghasilkan aktivitas yang lebih tinggi dari ekstraksi tunggal
menggunakan pelarut etil asetat saja dan ekstraksi bertingkat tiga tahap yaitu
dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) diikuti dengan pelarut semipolar (etil
asetat) dan terakhir dengan etanol (polar) menghasilkan ekstrak etanol yang
memiliki aktivitas antimikroba yang rendah. Ekstrak heksana etil asetat dari
metoda ekstraksi bertingkat dua tahap merupakan cara ekstraksi yang terbaik akan
tetapi rendemennya rendah 0.63-1.00 % (bb), dengan karakteristik ekstrak yang
10
diperoleh adalah ekstrak berwarna jingga, mengandung total fenol 47,6 ppm, berat
jenis 0,9876 g/cm3 dan indeks refraksi 1,44.
Dalam rangka untuk memperoleh ekstrak yang mempunyai aktivitas
antibakteri dan rendemen yang tinggi Murhadi (2003) menggunakan beberapa
pelarut nonpolar, semipolar dan polar. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstraksi
serbuk biji atung kering yang didahului dengan petroleum eter pada suhu 40-60oC
disokhlet selama 8 jam dan residunya diekstraksi (sokhlet, 3 x 8 jam) dengan
heksana lalu residunya direfluks pada suhu 60oC menggunakan pelarut polar yaitu
metanol, ekstrak yang diperoleh menghasilkan aktivitas antibakteri (S. aureus)
paling tinggi dengan diameter penghambatan 99,20 mm pergram biji atung
dengan rendemen 11,58 % (bb). Ekstrak metanol ini mempunyai potensi sebagai
pengawet pangan, hanya saja perlu dipertimbangkan kembali untuk meminimalkan residu karena metanol bersifat toksik.
B. STRUKTUR SEL BAKTERI
Bakteri mempunyai ukuran yang bervariasi dengan panjang 0,2-60 μm
dengan diameter satu sampai beberapa mikron, kebanyakan bakteri yang
menginfeksi manusia mempunyai ukuran panjang 1-3 μm (Boyd, 1995). Secara
morfologi bakteri mempunyai struktur yang tidak sempurna, tidak mempunyai
dinding inti (membran nukleus), mitokondria dan retikulum endoplasma (Davis
et al , 1976).
Bakteri mempunyai 4 bentuk dasar yaitu batang (jamak: basili), bulat atau
kokus (jamak: koki), bentuk spiral dan persegi (Boyd, 1995). Bakteri berbentuk
bulat dapat dibedakan atas diplokoki (berpasangan), streptokoki (bentuk rantai),
tetrad (4 sel membentuk segi empat), stapilokoki ( tidak beraturan menyerupai
anggur) dan sarcinae (kumpulan sel berbentuk kubus) (Fardiaz, 1989). Bakteri
berbentuk batang terdapat dalam bentuk berpasangan (diplobasili) atau
membentuk rantai (streptobasili). Pengelompokan ini pada beberapa keadaan
bukan merupakan sifat morfologinya, melainkan dipengaruhi oleh tahap
pertumbuhan atau kondisi kultur.
11
1. Dinding Sel
Hampir semua sel prokariot mempunyai dinding sel kecuali mikoplasma
(Nikaido dan Vaara, 1985 dan Fardiaz, 1989). Dinding sel ini sangat penting bagi
bakteri dan dari segi kimiawi tidak sama dengan struktur jaringan hewan.
Dinding sel bakteri tebal dan relatif kaku terletak disebelah luar membran
sitoplasma, berfungsi melindungi membran sitoplasma yang rapuh dan menjaga
bentuk sel bakteri. Semua dinding sel bakteri mempunyai komponen struktural
yang sama yang dinamakan mukopolisakarida dinding sel yaitu peptidoglikan
(murein) (Volk dan Wheeler, 1988; Moat dan Foster, 1988). Komponen dinding
memberikan kekakuan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan sel.
Peptidoglikan adalah molekul yang sangat besar meliputi seluruh sel, tersusun
dari N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta beberapa asam amino Lalanin, D-alanin, D-glutamat dan lisin atau asam diamino pimelat (ADP). Asam
amino ini menempel pada N-asetilmuramat yang bisa berbeda untuk setiap
organisme.
Struktur peptidoglikan ini hanya terdapat pada sel prokariot, N-
asetilmuramat tidak pernah ditemukan pada sel eukariot (Fardiaz, 1989).
Berdasarkan komposisi dinding sel dan sifat pewarnaan, bakteri dibedakan
atas dua kelompok yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif (Moat dan
Foster, 1988; Fardiaz, 1989). Pemberian zat warna yang sama pada kedua bakteri
ini memberikan hasil yang berbeda. Bakteri Gram positif dan bakteri Garam
negatif sama-sama diberi zat warna kristal violet, kelebihan zat warna dicuci
dengan air kemudian diberi larutan yodium (Lugol), kompleks
kristal violet
dengan yodium yang terbentuk berwarna violet biru. Setelah itu dilakukan
pencucian dengan alkohol, pada bakteri Gram negatif dinding sel menjadi tidak
berwarna dan diberi pewarna safranin warnanya berubah menjadi merah
sedangkan pada bakteri Gram positif setelah dicuci dengan alkohol tetap berwarna
violet biru dengan penambahan safranin dan tidak berpengaruh terhadap warna
biru. Perbedaan struktur dan dinding sel bakteri Gram positif dan bakteri Gram
negatif disajikan pada Gambar 1.
12
Gambar 1. Perbedaan struktur dinding sel bakteri Gam positif dan bakteri Gram
negatif (Moat dan Foster, 1989).
13
a. Bakteri Gram Positif
Dinding sel bakteri Gram positif cukup tebal (20-80 nm) (Volk dan
Wheeler, 1988), 90 % dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan dan sisanya adalah asam teikoat dan asam teikuronat (Roger et al, 1980). Peptidoglikan
adalah polimer liner dari asam N-asetilglukosamin dan N-asetilmuramat secara
berganti-ganti. Rantai peptida menempel pada asam muramat. Komposisi
polipeptida dari peptidoglikan yang menempel pada asam muramat bisa berbeda
dari satu organisme ke organisme lain (Moat dan Foster, 1989). Kebanyakan
bakteri Gram positif berbentuk kokus (bulat) mengandung lisin sebagai pengganti
ADP, sedangkan Gram positif lainnya mengandung asam amino lainnya (Fardiaz,
1989). Pada S. aureus rantai peptida yang menempel pada asam muramat adalah
L-alanin, D-glutamat, L-lisin dan D-alanin, antar tetrapeptida terdapat ikatan
silang yang terdiri dari 5 unit glisin membentuk jembatan dari D-alanin pada
posisi 4 dari suatu tetrapeptida ke asam amino pada posisi 2 atau 3 pada peptida
tetangga (Moat dan Foster, 1989). Pada S. aureus derajat ikatan silang antar
peptida yang berdekatan sangat tinggi (100 %), berlawanan dengan E. coli derajat
silangnya rendah kira-kira 30 %. Menurut Franklin dan Snow (1989), dinding sel
bakteri Gram positif banyak mengandung asam amino alanin, asam amino ini
bersifat hidrofobik.
Asam teikoat adalah rantai panjang gliserol (alkohol gula dengan tiga atom
C) atau ribitol ( alkohol gula dengan lima atom C ) yang terikat satu sama lain
oleh ester fosfat dan semua gugus hidroksil dikaitkan dengan berbagai gula atau
asam amino yang memberikan variasi pada struktur (Moat dan Foster, 1988).
Istilah asam teikoat, juga mencakup semua polimer yang mengandung gliserol
atau ribitol fosfat yang terdapat pada dinding sel, membran dan kapsul. Asam
teikoat bermuatan negatif, yang mempengaruhi muatan pada permukaan sel (Volk
dan Wheeler, 1988). Asam teikoat yang terdapat pada lapisan peptidoglikan
berikatan kovalen melalui asam muramat dan gugus fosfat dari ribitol atau gliserol
fosfat (Moat dan Foster, 1988). Asam teikoat yang terikat pada membran sel
selalu dalam bentuk polimer gliserol fosfat dan berikatan kovalen dengan lipid
disebut dengan asam lipoteikoat (Moat dan Foster, 1988). Asam teikoat dinding
sel L. plantarum mengandung campuran dari satu polimer glukosilgliserol fosfat
14
dengan dua polimer dari isomeri glukosilgliserol fosfat (Moat dan Foster, 1988).
Asam lipoteikoat mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang dan bersifat polar
berikatan pada sejumlah kecil glikolipid yang bersifat hidrofobik. Pada beberapa
organisme, asam lipoteikoat ini tidak hanya terdapat pada dinding sel, juga bisa
muncul pada permukaan dinding sel. Pada L. plantarum pemberian antiserum
khusus pada bagian gliserol fosfat yang berguna sebagai penanda muncul pada
permukaan dan berikatan pada bagian luar sel (Volk dan Wheeler, 1988). Asam
teikoat ini hanya terdapat pada bakteri Gram positif dan tidak terdapat pada
bakteri Gram negatif (Moat dan Foster, 1988).
b. Bakteri Gram Negatif
Dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai susunan kimia yang lebih
rumit dari pada bakteri Gram positif (Gambar 1). Dinding sel bakteri Gram
negatif berlapis-lapis dengan lapisan peptidoglikan hanya 5-20 % dari dinding sel,
lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz,
1989).
Pada bagian luar peptidoglikan terdapat lapisan dinding sel yang kompleks
yang disebut membran luar (outer membran ) (Boyd, 1995). Membran luar ini
menempel pada peptidoglikan dan dihubungkan oleh molekul lipoprotein, disusun
oleh fosfolipid 20-30 %, lipopolisakarida 30 % dan protein 40-50 %. Rongga
antara membran luar dan lapisan peptidoglikan disebut ruang periplasma berisi
enzim-enzim periplasma yang tergolong dalam enzim ekstraseluler (Fardiaz,
1989), ruang ini merupakan tempat lewatnya bermacam-macam enzim dan protein
(Moat dan Foster, 1989) .
Fosfolipid dari membran luar susunannya mirip dengan membran bilayer
pada membran sitoplasma. Protein yang terdapat pada fosfolipid berupa saluran
disebut porin, protein ini berfungsi sebagai pengangkut zat makanan (Boyd,
1995).
Permukaan luar Gram negatif mengandung lemak yang relatif tinggi
berada dalam bentuk lipopolisakarida (Moat dan Foster, 1988). Komponen lipid
dari lipopolisakarida
melekat pada fosfolipid sementara bagian polisakarida
muncul pada permukaan sel. Komponen lipid dari lipopolisakarida disebut lipid
A, lipid ini bersifat toksik (Moat dan Foster, 1988).
15
2. Membran Sitoplasma
Membran sitoplasma terletak diantara sitoplasma dan dinding sel dengan
ketebalan kira-kira 7,5 nm (Fardiaz, 1989).
Membran ini rapuh tepat terletak di
bawah dinding sel yang kaku, merupakan 8-10 % dari bobot kering sel (Volk dan
Wheeler, 1988). Membran sitoplasma baik Gram positif maupun Gram negatif
terdiri dari dua lapis lipid (lipid bilayer) disusun dari unsur dasar yang sama yaitu
fosfolipid, glikolipid dan bermacam-macam protein ( Moat dan Foster,1988).
Protein merupakan komponen utama dari dinding sel (60 - 80 %), yang dikelompokkan menjadi protein periferal ( protein dekat membran berikatan secara elektrostatik atau interaksi hidrofobik) dan protein integral (protein yang sebagian
melekat pada membran dan sebagian muncul pada permukaan membran (Beuchat,
1978).
Membran sitoplasma berfungsi sebagai barier untuk beberapa molekul besar
sementara molekul-molekul seperti air dan oksigen dapat masuk secara pasif ke
dalam sitoplasma (Boyd, 1995). Protein yang terdapat pada membran selain
berfungsi sebagai penguat membran juga berfungsi sebagai transport gula, asam
amino dan metabolit lainnya, protein disini berfungsi sebagai carrier ( pembawa)
melalui proses difusi yang difasilitasi (Boyd, 1995). Protein sitoplasma juga
dihubungkan dengan fungsi respirasi yang terjadi dalam sitoplasma. Di dalam
membran sel terdapat enzim-enzim yang terlibat dalam pemasangan komponen
dinding sel.
3. Inti Sel (Nukleus)
Sel prokariot tidak mempunyai nukleus sejati seperti pada sel eukariot.
Komponen genetik DNA disimpan dalam organ nukleus yaitu kromosom dan
pada sel prokariot bentuknya seperti benang tidak dikelilingi oleh membran
(Fardiaz, 1989). Tempat atau daerah dimana benang-benang ini terkosentrasi
disebut nukleoid, benang ini dalam bentuk melingkar-lingkar terletak pada pusat
sel dan tempat sel membelah dan tidak berhubungan dengan protein (Boyd, 1995).
Panjang benang ini bila diluruskan mencapai 1100 sampai 1400 μm sehingga
kelihatan memadati nukleoid di dalam sel ( Fardiaz, 1989 dan Boyd, 1995).
Jumlah nukleoid
yang kelihatan di dalam sel biasanya tergantung pada laju
16
pertumbuhan sel (Boyd, 1995). Bila bakteri membelah sangat cepat dapat dilihat
4 nukleoid pada setiap bakteri, tetapi pada sel yang sangat lambat membelah
hanya satu nukleoid bisa diamati.
4. Ribosoma
Ribosoma merupakan komponen penting untuk sintesa protein di dalam
sel, terdiri dari 60 % RNA dan 40 % protein ( Davis et al, 1976 ; Fardiaz, 1989
dan Boyd, 1995 ). Ribosom terletak di dalam sel dan mengisi sitoplasma dengan
beratnya mencapai 50 % dari berat kering sel. Di bawah mikroskop elektron,
potongan tipis ribosoma terlihat sebagai granula-granula halus, pada perbesaran
tinggi ribosoma berbentuk bulat ( Boyd, 1995).
5. Kapsul
Beberapa bakteri pada permukaan sel mengeluarkan komponen berlendir
yang dapat dilihat di bawah mikroskop setelah diwarnai dengan pewarna negatif
atau tinta india (Moat dan Foster, 1988). Komponen berlendir tersebut disebut
kapsul jika terdapat dalam bentuk kompak mengelilingi permukaan sel, sedangkan
jika tidak terlalu kompak dan mudah terlepas disebut lapisan lendir. Kapsul dan
lapisan lendir ini terdiri dari polisakarida, polipeptida atau kompleks polisakaridaprotein.
Pembentukan kapsul oleh bakteri dipengaruhi oleh medium pertumbuhan
dan kondisi lingkungannya (Fardiaz, 1989). Bakteri pembentuk kapsul jika
tumbuh pada suatu medium akan membentuk koloni yang bersifat mukoid,
sedangkan jika tumbuh pada makanan menjadi berlendir. Pembentukan kapsul
oleh bakteri meningkatkan ketahanan bakteri terhadap panas, bahan kimia
maupun sel fagosit jika sel bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh (Fardiaz, 1989).
17
C. SENYAWA ANTIMIKROBA
1. Pengertian
Russel (1983) menyatakan semua perlakuan yang berhubungan dengan
inaktivasi mikroba dikelompokkan ke dalam senyawa antimikroba. Perlakuan
tersebut dapat berupa proses fisik, kimia atau dapat berupa kombinasi kedua
perlakuan tersebut.
Senyawa kimia yang digunakan untuk menginaktifkan
mikroba dapat dikelompokan atas 3 kelompok yaitu senyawa antibiotik, senyawa
non antibiotik dan produk-produk immunologi (Hugo dan Russel, 1983). Ke
dalam senyawa non antibiotik termasuk senyawa yang bersifat desinfektan,
antiseptik, sanitiser, kemoterapi, pengawet (Hugo dan Russel, 1983), bahan
tambahan makanan (food aditif), pengawet pangan dan pengawet farmasi (Russel,
1991).
Dalam ilmu pangan yang dimaksud dengan senyawa antimikroba adalah
sejenis bahan tambahan makanan yang digunakan untuk mencegah kerusakan atau
kebusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme pada bahan pangan (Branen
dan Davidson, 1983). Senyawa antimikroba bisa berupa senyawa pengawet kimia
dan pengawet alami termasuk ke dalamnya garam, gula, vinegar, rempah-rempah,
ekstrak minyak dari rempah-rempah, zat-zat dari pengasapan, H2O2, sistem
laktoperoksidase dari susu ( kandungan lainnya seperti casein, laktoferin) dan
lain-lain. Garam, gula, berbagai rempah-rempah, esensial oil, proses pengasapan
yang sering ditambahkan pada bahan makanan secara tradisional tanpa disengaja,
yang tujuannya untuk penambah flavor, mempunyai aktivitas antimikroba.
Beberapa senyawa kimia yang bersifat antimikroba adalah asam organik dan dan
asam lemak rantai medium (asam benzoat dan garamnya, asam laktat, asetat,
propionat, askorbat, sorbat, sitrat, format), beberapa gas ( sulfur dioksida, sulfit,
nitrit, karbon dioksida, nitrogen, ozon, klorin), beberapa antibiotik (nisin, subtilin,
tilosin) ( Busta dan Foegeding, 1983).
18
2. Stres Mikroba oleh Senyawa Antimikroba
Berbagai perlakuan dalam proses pengolahan atau pengawetan pangan
ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel mikroorganisme.
Perlakuan tersebut jika diberikan dalam dosis subletal yaitu dosis yang tidak
mematikan dapat mengakibatkan sel mengalami kerusakan subletal sehingga sel
menderita stres atau sakit (injury) ( Russell, 1984, Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992).
Sel yang sakit tidak dapat dideteksi dengan media pertumbuhan mikroba rutin dan
sel ini dapat tumbuh kembali pada keadaan lingkungan yang memungkinkan
untuk tumbuh setelah lingkungan stres hilang. Hal ini dapat menyebabkan salah
perkiraan terhadap umur simpan produk dan sangat berbahaya terhadap kesehatan
terutama untuk bakteri patogen. Perlakuan tersebut dapat berupa pemanasan
(Hurst, 1984; Jay, 1986; Murano dan Pierson, 1993), aw (Gilbert, 1984), pendinginan dan pembekuan (Mackey, 1984), irradiasi (Moseley,1984), penambahan
senyawa antimikroba atau pengawet (Gilbert, 1984) atau kombinasi perlakuanperlakuan tersebut (Bunduki et al, 1995).
Bakteri dikatakan stres atau sakit jika kehilangan salah satu atau lebih sifatsifat atau aktivitasnya pada kondisi yang dapat dilakukan oleh sel-sel normal. Sel
yang sakit tidak mampu menyerap nutrien secara normal dan tidak mampu
tumbuh di dalam medium yang mengandung agen antimikroba lain atau sejenis.
Bila sel yang sakit dikeluarkan dari kondisi (lingkungan) stres maka sel akan
sembuh kembali dan dapat membentuk koloni.
Bakteri yang sakit secara metabolisme dapat dideteksi dengan membandingkan hitungan dari media kaya (non selektif) dengan media minimal (selektif)
( Gilbert, 1984 dan Jay, 1986). Adanya senyawa selektif di dalam media dapat
berkontribusi dalam menambah stres pada sel yang sakit sehingga mikroba yang
sakit tidak dapat tumbuh dan yang tumbuh hanya mikroba yang sehat saja. Pada
media nonselektif mikroba yang sakit dan yang sehat dapat tumbuh. Dengan
mengurangkan jumlah hitungan cawan pada media nonselektif dengan media
selektif jumlah mikroba yang sakit dapat ditentukan.
19
D. MEKANISME KERJA SENYAWA ANTIMIKROBA
Dinding sel, membran sitoplasma dan sitoplasma merupakan target utama
dari senyawa antimikroba.
1. Merusak Dinding Sel
Dinding sel pada bakteri Gram positif terdiri dari peptidoglikan yang
berikatan dengan asam teikoat. Pada bakteri Gram negatif, yang dimaksud dengan
dinding sel adalah lapisan paling luar dari sel yang disebut membran luar (outer
membrane) yang
terdiri dari fosfolipid, lipopolisakarida (LPS) dan protein
(Russel, 1984).
Beberapa senyawa kimia bekerja pada dinding sel yaitu menghambat
sintesis peptidoglikan bakteri Gram positif dan Gram negatif. Antibiotik β-laktam
seperti penisilin dan sepalosporin mengganggu enzim-enzim yang sensitif
terhadap penisilin yang berfungsi mensintesis peptidoglikan, yang dapat diukur
dari jumlah protein yang dapat berikatan dengan penisilin (PBPs) yang terdapat
pada membran sitoplasma (Russel, 1983 dan 1984). D-sikloserin bekerja pada
tahap awal sintesis dinding sel bersaing dengan enzim alanin rasemase dan alanin
sintetase, vankomisin juga mempengaruhi sintesis dinding sel. Polimiksin bekerja
pada bagian luar dan dalam membran sitoplasma bakteri Gram negatif, LPS dan
fosfolipid pada bagian luar membran terlibat dalam sisi pengikatan.
Enzim lisozim menyebabkan dinding sel Gram positif lisis, enzim ini
menyerang peptidoglikan pada ikatan β1-4 sementara bakteri Gram negatif lebih
resisten ( Russel, 1983 dan Fardiaz, 1988). EDTA adalah senyawa pengkelat
yang berpengaruh pada dinding sel bakteri Gram negatif (P. aeruginosa ), dapat
menyebabkan pelepasan kation khususnya Ca+ dan Mg2+ yang menyebabkan sel
menjadi lisis (Russel, 1983 dan 1984). Beberapa senyawa desinfektan seperti
formalin pada konsentrasi 0,12 %, fenol 0,32 %, merkuri klorida 0,008 %
menyebabkan sel E. coli, Streptococcus dan Staphylococcus lisis (Russel, 1983).
20
2. Menggangu Membran Sitoplasma
Membran sitoplasma berperan dalam mempertahankan keutuhan struktur sel
dan berfungsi dalam transport nutrien secara selektif ke dalam sel. Membran
juga tempat terletaknya enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis dinding sel.
Bila membran rusak maka fungsinya akan terganggu yang mengakibatkan
pertumbuhan sel terhambat atau sel menjadi mati (Russel, 1983; Fardiaz, 1988
dan Brooks et al. 1989). Agen fisik maupun senyawa kimia pada organisme
prokariot maupun eukariot dapat
menyebabkan kematian
dengan rusaknya
membran (Russel, 1984).
Manifestasi dari kerusakan membran adalah kebocoran kandungan
intraseluler berupa pentosa atau asam-asam amino atau ion K+ (Russell,1984).
Beberapa senyawa yang merusak membran adalah fenol, klorheksidin, amonium
kuartener, paraben (Russel, 1984). Klorheksidin pada konsentrasi rendah menyebabkan kebocoran sel, sementara pada konsentrasi tinggi dapat menggumpalkan
sitoplasma (Russel, 1983 dan 1984).
3. Menganggu Protein dan Asam Nukleat
Kematian dan kerusakan sel dipengaruhi oleh keutuhan alami molekul
protein dan asam nukleat (Fardiaz, 1988). Denaturasi protein dan asam nukleat
oleh senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel yang fatal dan tidak
dapat disembuhkan.
Senyawa antimikroba yang bekerja pada asam nukleat (DNA dan RNA)
dapat mempunyai mekanisme yang berbeda (Russel, 1983).
Pada DNA tipe
kerusakan dapat dalam bentuk kerusakan rantai, pembentukan photoproduct,
interkalasi, ikatan silang dan penghambatan sintesis DNA (Russel, 1984). Rantai
tunggal DNA bakteri yang tidak membentuk spora dapat rusak oleh radiasi
ionisasi. Proses fisik lain yang mampu merusak rantai tunggal dan ganda DNA
adalah pembekuan, thawing dan pemanasan di atas suhu 50oC, pecahnya rantai
ganda DNA dalam jumlah kecil sangat merusak sel. Radiasi sinar UV merusak
DNA dengan cara yang berbeda yaitu dengan cara membentuk photoproduct yaitu
terbentuknya dimer timin-timin antara timin yang berdekatan pada rantai yang
sama.
21
Beberapa senyawa antibiotik dan senyawa kimia yang merusak DNA adalah
akridin merusak DNA dengan cara berinterkalasi dengan DNA, etilen oksida dan
formaldehid merusak DNA dengan cara alkilasi dari asam amino dengan grup
fosfat dari asam nukleat, rifampisin menghambat polimerase RNA, mitomisin
menghambat DNA dengan cara membentuk ikatan kovalen dengan DNA.
E. PERUBAHAN STRUKTUR SEL MIKROBA
Efek senyawa antimikroba pada morfologi dan ultrastruktur sel bakteri
dapat dikelompokkan menurut target dimana perubahan sel terjadi. Misalnya
antibiotik, perubahan pada dinding sel disebabkan oleh ß-laktam, polimiksin
menyebabkan perubahan pada membran plasma, kloramfenikol, tetrasiklin dan
aminoglikosidase meyebabkan perubahan pada ribosom (Gemmel dan Lorian,
1996).
Perubahan struktur tergantung dari aktivitas antimikroba, seperti β-laktam
mempunyai kisaran yang berbeda aktivitasnya di bawah atau di atas MIC
(Gemmel dan Lorian, 1996). Penisilin menghasilkan perubahan morfologi pada
konsentrasi rendah (1/16 MIC), sefaloridin aktif hanya pada 1/3 MIC. Destruksi
sel bakteri terjadi dengan sefaloridin pada 2 kali MIC tetapi ampisilin
memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan lisis yang
sempurna. Pada konsentrasi antibiotik mendekati MIC, terjadi lisis pada bagian
sel yang memanjang.
Lisis dapat terjadi pada bagian dinding sel yang
mengakibatkan membran sel pecah dan sitoplasma keluar. Pada konsentrasi di
atas MIC filamen berhenti tumbuh dan sel lisis. Beberapa β-laktam pada
konsentrasi lebih besar dari MIC menyebabkan pembentukan protoplas tanpa
perpanjangan.
1. Pembentukan Filamen
Perpanjangan sel berbentuk batang sebagai batang yang panjang, bila
panjangnya lebih dari 10 μm dapat diistilahkan dengan filamen (Gemmel dan
Lorian, 1996). Filamen bakteri adalah hasil pertumbuhan basil yang tidak
22
membelah menjadi individu baru, dan bila dipindahkan pada medium yang bebas
stres akan memisah menjadi individu.
Filamen dihasilkan pada pemberian antibiotik pada konsentrasi rendah
(Gemmel dan Lorian, 1996). Amoksilin menghasilkan filamen yang pendek pada
E. coli sementara sefalesin atau sefositin menghasilkan filamen yang panjang
pada P. aeruginosa. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, dinding sel menjadi lebih
tidak teratur dan berombak. Pada konsetrasi lebih tinggi ini dinding sel tidak
bersambung, hasil lisis filamen. Pada beberapa organisme yang membentuk
filamen perpanjangan terjadi pada bagian tengah yang sering diamati pada E. coli
dan P mirabilis yang kontak dengan ampisilin.
Pada dosis di bawah MIC, efek morfologi dari antibiotik yang sama
berbeda dengan berbedanya spesies (Gemmel dan Lorian, 1996). Misal, penisilin
dapat menyebabkan penghambatan inisiasi septum pada E. coli oleh karenanya
terbentuk filamen, pada E. faecalis terbentuk rantai panjang bentuk koki yang
tidak beraturan yang mengandung beberapa septa yang tidak lengkap karena
penghambatan penyelesaian septum, pada staphylococci penghambatan lisis
septum menyebabkan berkembangnya sel dengan septa yang banyak.
Pembentukan filamen juga diamati pada L. monocytogenes yang
ditumbuhkan dalam 1,5 mol/l NaCl panjangnya menjadi 50 kali (Jorgensen et al.,
1995). Sebelumnya Brazin (1973 dalam Rowan, 1999) juga menemukan perubahan morfologi L. monocytogenes di dalam makanan yang mengandung kadar
garam tinggi (8-9 %). Menurut Isom et al (1995) pembentukan filamen dimulai
pada konsentrasi garam di atas 1,000 mM dan panjangnya meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi.
Brandi et al ( 1989) melaporkan E. coli juga membentuk filamen pada
perlakuan hidrogen peroksida (H2O2), panjang filamen meningkat dengan
lamanya waktu kontak. Perlakuan H2O2 pada konsentrasi tinggi menghasilkan
kerusakan yang ekstensif terhadap membran sitoplasma dan terbentuk jarak (gaps)
antara sitoplasma dan dinding sel. Imlay dan Linn (1987) melaporkan efek H2O2
pada E. coli menghambat pertumbuhan dengan membentuk filamen tetapi tidak
membentuk septa. Pembentukan filamen diperlukan untuk perbaikan DNA yang
23
luka. Fenomena yang sama diamati pada pH 5,0-6,0 yang diatur dengan asam
sitrat dan pada pH.9 dengan NaOH.
Panas pada suhu di atas optimal, pada L. monocytogenes menyebabkan
pertumbuhannya tidak stabil, membentuk filamen yang panjangnya sampai 110
μm, terjadi perubahan morfologi yang tidak khas; koloni tidak beraturan,
kemilauannya hilang dan terjadi perubahan fisiologi (Rowan, 1999).
Mikro-
organisme yang membentuk filamen lebih tahan panas karenanya terdapatnya
bahu dan ekor yang jelas pada respon kinetika kematian.
2. Pembentukan Septum dan Peningkatan Ukuran Sel
Semua β-laktam mempunyai efek morfologi yang sama pada stafilokoki
dan Gram positif kecuali stafilokoki yang resisten terhadap metisilin (Gemmel
dan Lorian, 1996). Penisilin menyebabkan sel-sel stafilokoki menjadi besar yang
diamati pada mikroskop cahaya, TEM dan SEM. Setelah kontak pada waktu yang
relatif pendek pada konsentrasi yang sama atau lebih besar dari MIC septa
kehilangan densitas dan bentuk menjadi tidak beraturan dan keliling dinding sel
lebih tipis. Penebalan septa dengan dinding sel yang normal diamati setelah
kontak pada penisilin pada dosis di bawah MIC, tetapi efek ini tergantung pada
medium, tekhnik kultivasi yang digunakan dan ada atau tidak adanya lisozim dan
tripsin (Gemmel dan Lorian, 1996).
Stafilokoki di dalam media bebas obat akan membelah, berpisah dalam
bentuk cluster karena pembelahan dalam banyak arah. Bila stafilokoki dikontakkan pada penisilin pada dosis di bawah MIC memperlihatkan sejumlah nuklei
tetapi tidak memisah. Penghambatan pemisahan septa bersifat reversible. Bila
diinkubasi pada medium bebas obat, cluster dari staphylococcus memisah menjadi
cluster yang lebih kecil dan nampak seperti normal.
Menurut Thomson dan Hinton, (1996) inkubasi Salmonella selama 2-4
jam pada konsentrasi bakteriostatik dan bakterisidal dengan asam format dan
propionat menghasilkan ukuran sel menjadi lebih besar. Pada konsentrasi 50
mmol/l asam propinat selama 2 jam pada pH 5.0, granula sitoplasma homogen,
kandungan sitoplasma sedikit membentuk agregat. Dengan 500 mmol/l asam
format atau asam propinat menyebabkan kerusakan yang parah pada sitosol, tetapi
24
membran sitoplasma dan dinding sel tidak rusak. Kejadian ini menunjukkan
bahwa antimikroba bekerja pada sitosol. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
penghambatan DNA, sementara makromolekul yang lain seperti RNA, protein,
dan lipid terus disintesis tanpa membelah akibatnya ukuran sel menjadi besar. .
Ekstrak air teh hijau (Camellia sinensis) menyebabkan perubahan morfologi yang ekstensif pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) galur
US12 (Hamilton-Miller dan Shah, 1999). Pada konsentrasi 256 μg/l (1/2 MIC)
pembelahan sel dan pemisahan sel menjadi sangat kacau, sehingga sel menjadi
besar dengan terbentuk septa yang banyak sampai 14 koki ditemukan dan tidak
terpisah. Pada keadaan ini dinding sel bagian luar normal sementara pada bagian
dalam menebal. Perubahan morfologi seperti ini tidak ditemukan pada perlakuan
ekstrak yang sama pada S. aureus yang sensitif terhadap metisilin
3. Penebalan Dinding Sel
Kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin menyebabkan penebalan dinding
sel 3-4 kali dari normal pada sel S. aureus (Gemmel dan Lorian, 1996).
Staphylococcus yang ditumbuhkan di dalam rifampisin terjadi perubahan ultrastruktur pada konsenrasi 3-20 kali MIC.
Dinding sel periferal meningkat
ketebalannya 3-4 kali dari normal dengan permukaan luar yang berombak dan
ketebalan septa 2-10 kali dari normal. Rifampisin menghambat sintesis protein.
Kloramfenikol menghasilkan perubahan dengan karakteristik : ribosom hilang
dari pusat sel, agregasi mengarah ke membran sitoplasma, sementara agregat
material inti mengarah ke pusat sel. Bila Gram positif bentuk batang seperti B.
cereus dikontakkan pada kloramfenikol dinding sel menebal, mirip dengan
perubahan yang diamati pada sel S. aureus.
S. epidermis yang resisten terhadap vankomisin ditumbuhkan di dalam
media yang mengandung vankomisin (30 ug/ml), sel berubah secara menyolok
yaitu terjadi penebalan dan kerusakan dinding sel dan pembentukan septa yang
abnormal (McGuire dan Conrad, 2000).
25
4. Terbentuknya Tonjolan (Blebs) pada Permukaan Sel
Melalui scanning electron microscope (SEM) S. aureus yang kontak
dengan 0,1 MIC sefalotin selama 3 jam perubahan yang terjadi adalah terbentuk
tonjolan pada permukaan sel dengan letak yang tidak beraturan (Klainer, 1974).
Kontak sefalotin selama 90 jam, efek yang lebih besar ditemukan terbentuk
tonjolan seperti batu, dinding sel rusak, ukuran sel menjadi lebih besar dengan
permukaan yang kasar seperti mosaik. Sel berbentuk batu dengan permukaan
kasar ditemukan semakin banyak pada sel yang dikontakkan dengan 10 MIC
sefalotin selama 3 jam. Metisilin juga memperlihatkan bentuk kerusakan yang
sama berupa kerusakan dinding sel berbentuk batu yang besar. Perubahan sel ini
menunjukkan bahwa senyawa antimikroba bekerja pada dinding sel mempengaruhi sintesis dinding sel. Hal ini juga ditemui pada streptomisin, eritromisin,
kloramfenikol dan tetrasiklin.
Bermacam-macam senyawa antimikroba diketahui mengganggu sintesis
protein pada tahap yang berbeda-beda (kanamisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan
tobramisin). Beberapa obat menyebabkan perubahan permukaan yang sama sekali
tidak berhubungan dengan tempat khusus kerja antibiotik seperti yang ditemui
pada galur yang sama dari S. aureus yang dikontakkan pada bermacam-macam
konsentrasi sulfametoksazol.
Perubahan sel oleh sulfametoksazol ini sama
bentuknya dengan kerusakan oleh tetrasiklin, kloramfenikol dan tobramisin
walaupun mekanismenya berbeda. Hal ini secara jelas mendemonstrasikan bahwa
tempat kerja senyawa antimikroba adalah intraseluler yang bisa menyebabkan
perubahan morfologi yang sama.
Jadi perubahan sintesis protein dapat menye-
babkan perubahan permukaan morfologi sel.
Tergantung dari spesies dan jenis obat, bentuk lain dari sel dapat terjadi.
Polimiksin menghasilkan bentuk yang unik dari P. aeruginosa yaitu terbentuk
tonjolan pada permukaan luar dinding sel (Gemmel dan Lorian, 1996). Pada galur
yang kekurangan lipopolisakarida tonjolannya datar dan lebih kecil.
Jika
konsentrasi polimiksin meningkat, tonjolan dalam bentuk lubang kecil pada
permukaan luar ditemui. Tonjolan yang sama juga terjadi pada E. coli, Serratia
marcescens dan Salmonella sp yang dikontakkan pada polimiksin. Studi dengan E
26
coli membuktikan bahwa tonjolan yang terjadi adalah tonjolan pada lapisan luar
dari membran luar sel.
F. KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA
Kinetika inaktivasi mikroba dapat digunakan sebagai alat untuk membandingkan dan melaporkan penurunan jumlah mikroba dari proses teknologi yang
berbeda. Melalui kinetika, proses pengawetan pangan untuk menjamin keamanan
pangan dapat dikembangkan. Parameter yang digunakan untuk menganalisa dan
melaporkan penurunan jumlah mikroba ditentukan dari kinetika penurunan
mikroba.
1. Pola Kematian Mikroba
Bila populasi organisme homogen dikontakkan pada suatu proses yang
mematikan (letal), mikroba tersebut akan kehilangan viabilitas dengan cara yang
sama dan beraturan dan laju inaktivasi mikroba tersebut akan
proporsional
terhadap jumlah dari mikroba pada waktu yang diberikan (Soper dan Davies,
1994).
Plot logaritma jumlah sel yang masih hidup (survive) dengan waktu kontak
akan membentuk suatu pola kematian sel oleh agen antimikroba, kurva yang
diperoleh disebut dengan kurva kematian mikroba. Bentuk kurva kematian
ditentukan oleh jenis, tinggi/ besarnya dosis senyawa antimikroba yang diberikan
dan lamanya waktu kontak agen antimikroba dengan mikroba uji (Hugo dan
Russell, 1983). Senyawa antimikroba yang bersifat bakterisidal pada dosis dan di
atas dosis yang mematikan mikroba akan mati dan pola kematian bakteri yang
terbentuk akan bersifat logaritmik (eksponensial) membentuk garis lurus (linier),
semakin besar konsentrasi yang diberikan laju inaktivasi semakin cepat dan kurva
semakin menyempit. Bentuk kurva kematian seperti ini ditemui pada proses
kematian bakteri oleh panas (Pflug dan Holcomb, 1983; ), aw ( Lenovich, 1987)
dan radiasi ionisasi (Silliker et al, 1980, Silverman, 1983, Gould, 1989 ) .
Beberapa penyimpangan dari logaritmik liner dapat terjadi, pada Gambar 2
ada empat tipe kurva waktu kematian mikroba (Gould, 1989).
Kurva tipe a
27
berbentuk garis lurus (liner) disebut kurva eksponensial (logaritmik), kurva tipe b
berbentuk cembung, biasanya diistilahkan dengan sigmoidal, multihit atau
multitarget. Tipe c, kurva mempunyai shoulder (bahu) pada awal kurva, kurva
tipe b dan c dapat disebabkan aktifnya mikroba oleh panas pada awal pemanasan
atau sel berbentuk clump ( Stumbo, 1973; Gould, 1989) atau merupakan fase
adaptasi sebelum panas mencapai bagian sensitif dari organisme (Soper dan
Davies, 1994). Pada kurva tipe b dapat juga merupakan hasil aktivasi dan
inaktivasi oleh panas, terjadi secara bersamaan yang hasilnya tidak akan pernah
melebihi jumlah awal (No) seperti kurva c, dan adanya bahu pada kurva tipe b
dapat digunakan sebagai pengukur kemampuan organisme untuk memperbaiki
kerusakan yang disebabkan oleh panas (Soper dan Davies, 1994).
Kurva tipe d
yaitu berbentuk garis lurus yang mempunyai ekor pada akhir kurva, bentuk kurva
seperti ini dapat disebabkan oleh karena masih adanya sejumlah kecil sel dari
clump yang besar di dalam suspensi atau tidak seragamnya ketahanan dalam satu
populasi atau proses adaptasi terhadap panas (Gould, 1989 ).
Gambar 2 : Bentuk-bentuk penyimpangan kurva kematian mikroba dari
logaritmik (eksponensial) liner oleh panas ( Gould 1989 )
28
Gabungan dari faktor yang umum tersebut menghasilkan kurva berbentuk
sigmoidal (c). Ketidaklineran dari kurva kematian merupakan atribut dari
pengaruh komponen-komponen di dalam lingkungan selama proses pemanasan
sebagaimana yang terjadi pada produk-produk farmasi (Soper dan Davies, 1994).
Penyimpangan dari kurva kematian logaritmik linear selain pada proses panas
juga ditemui pada aw (Lenovich, 1987), radiasi (Silverman, 1983) dan senyawa
antimikroba.
Beberapa bentuk penyimpangan kurva kematian logaritmik (eksponensial)
linier oleh panas seperti Gambar 2 banyak dilaporkan ( Pflug dan Holcomb, 1983;
Soper dan Davies, 1994; Linton et al., 1995; Huang dan Juneja, 2001 ). Kurva
survival berbentuk curvilinear atau sigmoid sepenuhnya kadang-kadang juga
terjadi (Soper dan Davies, 1994). Kurva survival nonlinier juga dapat terjadi
karena pengaruh komponen yang terdapat di dalam lingkungan selama pemanasan
(Soper dan Davies, 1994). Hasil penelitian Linton et al. (1995) pemanasan
Listeria monocytogenes Scott A di dalam buffer 0,1 M KH2PO4 pada 3 suhu (50,
55 dan 600 C), 3 tingkat pH (5, 6 dan 7) dan 3 konsentrasi NaCl (0, 2 dan 4 %)
memberikan kurva dengan bentuk sigmoid atau berbentuk S, pada suhu yang
lebih tinggi kurva bentuknya mendekati liner, kurva mempunyai bahu lebih
panjang pada suhu yang lebih rendah (500 C ) dibandingkan suhu 55 dan suhu 55
mempunyai bahu lebih panjang dari suhu 60
0
C. Pengamatan survival Listeria
monocytogenes Scott A pada formula bayi dengan perlakuan yang sama juga
memberikan bentuk kurva sigmoid yang sama (Linton et al., 1995).
Destruksi mikroorganisme selama irradiasi bisa dicirikan oleh kurva
kematiannya (Silverman, 1983). Populasi mikroorganisme pada radiasi pada dosis
yang meningkat, plot log jumlah sel yang masih hidup melawan dosis pada skala
linier, menghasil 3 tipe (a, b dan c) kurva kematian (Gambar 2) (Silverman, 1983,
Soper dan Davies, 1994). Kurva waktu kematian oleh radiasi dipengaruhi oleh
dosis. Pada dosis rendah diperoleh bahu ( kurva tipe B) akan tetapi pada dosis
tinggi kurva berbentuk eksponensial (Silverman, 1983). Kurva tipe C jarang
ditemukan dan lebih disebabkan oleh ketidak homogenan kultur (Soper dan
Davies, 1994).
29
Secara umum jumlah mikroorganisme yang hidup dari suatu perlakuan
ultrasound adalah eksponensial terhadap waktu, akan tetapi sebagaimana
inaktivasi panas terdapat beberapa penyimpangan dari linier, beberapa peneliti
menemukan adanya bahu dan ekor (Sala, et al , 1995). Adanya bahu dapat
disebabkan oleh disagregasi seluler dan beberapa peneliti menginterprestasikan
bahwa bahu dapat terjadi dari hasil dua reaksi orde pertama yang terjadi secara
simultan.
Pola kematian mikroba oleh senyawa antimikroba yang bersifat bakterisidal pada dosis yang mematikan pada umumnya bersifat logaritmik Hugo dan
Russell, 1983) akan tetapi penyimpangan seperti Gambar 2 banyak ditemui.
Beberapa senyawa yang bersifat bakterisidal dan menghasilkan kurva kematian
yang bersifat logaritmik antara lain penisilin, kanamisin dan aminosidin pada
bakteri E. coli (Garret, 1978), sepalosporin (Hugo dan Russel, 1983), etilen oksida
pada B. subtilis (Caputo dan Odlaug, 1983), etilen oksida pada S. aureus dan P.
aeruginosa (Turner, 1983), asam anakardat pada S. aureus yang resisten terhadap
metisilin (MRSA) ATCC 33591 pada MIC dan diatas MIC dan totarol melawan S.
aureus yang resisten terhadap penisilin ATCC 11632 pada dosis MIC dan di atas
MIC (Muroi dan Kubo, 1996). Menurut Soper dan Davies (1994), kebanyakan
senyawa antimikroba menyebabkan inaktivasi nonlinier pada mikroorganisme,
membentuk sigmoid kecuali etilen oksida dan formaldehid, akan tetapi pada
konsentrasi tinggi dapat diperoleh kurva linier. Sterilisasi mikroba dengan etilen
oksida kematiannya bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia orde pertama
(Silliker et al, 1980). Bentuk kurva kematian E. coli KL16 di dalam broth yang
mengandung antibiotik β-lactams dan quinolon sama yaitu mempunyai bahu dan
ekor (Guerillot et al, 1993). Pola kematian bakteri (P. fluorescens, E. coli
O157;H7, L. mesenteroides dan L. monocytogenes) oleh ozon awalnya linier
diikuti oleh pola garis lurus dengan derajat kemiringan yang lebih kecil (Kim dan
Yousef, 2000). Pola kematian bakteri S. aureus oleh gabungan CO2 dan tekanan
hidrostatik tinggi berbentuk garis lurus dan terdapat bahu pada awal kurva, pada
bakteri B. subtilis kurva kematian berbentuk sigmoid mempunyai bahu dan ekor
(Park et al, 2003).
30
2. Kinetika Inaktivasi Mikroba oleh Proses Fisik
Pendekatan
kinetika
kimia
telah
digunakan
untuk
mengevaluasi
perubahan-perubahan dalam produk pangan. Menurut Espenson (1995) kinetika
kimia dapat digunakan untuk mempelajari laju perubahan suatu komponen
menjadi komponen lain dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tanpa
memperhatikan mekanismenya. Selanjutnya dikatakan oleh Espenson (1995)
pendekatan kinetik dapat dilakukan bila semua faktor diluar dari yang diamati
bersifat homogen dan menghasilkan suatu perubahan yang bersifat proporsional
dengan perubahan konsentrasi reaktan.
a. Panas
Menurut Rahn (1945) kematian mikroba oleh panas bersifat logaritmik
(eksponensial) (Stumbo, 1973 ; Pflug dan Holcomb, 1983) seperti yang tercantum
pada Gambar 3, yang diperoleh dari memplot logaritma jumlah mikroba yang
bertahan hidup melawan waktu t, pada suhu konstan.
Jumlah sel yang
hidup (N)
103
102
(log N0 -log N) = 1,0
101
D
o
10
Waktu (t) dalam menit
Gambar 3. Kurva kematian logaritmik dari sel mikroba pada proses termal
(Stumbo, 1973)
Pada Gambar 3, waktu yang diperlukan untuk menurunkan populasi
mikroba satu siklus log (90 % ) bakteri pada suhu konstan dinyatakan dengan D
(Katzin, et al, dalam Stumbo, 1973). Derajat kemiringan kurva kematian logaritmik pada Gambar 3, adalah :
31
(log N0 - log N) /D = 1/D
Persamaan umum garis lurus untuk kurva kematian mikroba pada Gambar 3
dapat dibuat:
(log N0 - log N) = (1/D) t
atau
log N = log No - t /D....................(1)
dimana t = waktu pemanasan
D= waktu yang diperlukan untuk membunuh 90% sel
N0 = jumlah awal sel
N = jumlah sel setelah waktu pemanasan t
Menurut Rahn yang dikutip oleh Stumbo (1973) reaksi kematian mikroba
oleh panas mirip dengan reaksi kimia unimolekuler atau bimolekuler orde
pertama, dimana yang bereaksi hanya satu senyawa. Secara matematis kematian
logaritmik dapat dinyatakan dengan cara yang sama dengan reaksi kimia orde
pertama (Stumbo, 1973). Model kinetik reaksi kimia orde pertama adalah:
–dN/dt = kN
dimana
atau
- dN/N = k dt..............(2)
k= faktor proporsional, atau konstanta laju reaksi
Dengan mengintegralkan persamaan 2, didapat:
-∫ dN/N = k ∫ dt
ln N – ln N0 = k t
atau log N = log N0 – 2,303 kt.................(3)
Bila dibandingkan persamaan 1 dan 3, maka
D = 2,303/k,
nilai D dan k
mewakili derajat kemiringan kurva inaktivasi sel. Beda nilai D dengan nilai k,
nilai k digunakan sebagai pengukur laju kematian mikroba, sedangkan nilai D
digunakan untuk menyatakan ketahanan panas mikroba.
Untuk menghitung nilai D pada kurva kematian yang menyimpang dari
logaritmik seperti pada Gambar 4, analisis regresi liner least-squares dapat
digunakan (Pflug dan Holcomb, 1983). Asumsi yang digunakan dalam
32
N0
N0
Log N
Log N
n0
D1
D2
Waktu pemanasan (t)
Waktu pemanasan (t)
a
b
Gambar 4. Cara menentukan nilai D untuk data yang menyimpang dari
logaritmik menurut Pflug dan Holcomb (1983).
menggunakan metode analisis regresi liner least-squares adalah (1) hubungan
antara log jumlah mikroba yang hidup dengan waktu adalah liner (2)
penyimpangan dari log jumlah mikroba yang hidup dari garis lurus adalah
merupakan variabel acak yang nilainya diharapkan nol (3) penyimpangan yang
diharapkan adalah sama untuk semua waktu pemanasan dan (4) penyimpangan
untuk waktu pemanasan yang berbeda tidak ada hubungannya. Model yang
digunakan adalah y=mx+c+ε, dimana y = log Nt , jumlah mikroba yang hidup
dalam waktu t, x= waktu pemanasan (t) dan m = derajat kemiringan yang
besarnya 1/D dan c= titik potong dengan sumbu y pada t=0 dan ε = komponen
yang menyimpang, yang merupakan suatu variabel acak dengan nilai rata-rata nol.
Dengan demikian untuk Gambar 4a, model dapat diubah menjadi model yang
lebih dikenal:
Log Nt = n0– t/D ....................................(4)
dimana
n0 = titik potong garis least-squares pada sumbu y pada waktu t=0
33
Untuk kurva kematian seperti pada Gambar 4b, kurva dapat dipecah
menjadi beberapa garis lurus, dan nilai D dihitung dari masing-masing garis lurus
yang dihipotesiskan sesuai dengan interval waktu pemanasan dari masing-masing
garis.
Plot beberapa nilai D dalam pada skala logaritmik melawan suhu
pemanasan menghasilkan kuva garis lurus, kurva ini dinamakan kuva destruksi
termal ( Stumbo, 1973; Pflug dan Holcomb, 1983). Analog dengan penentuan
nilai D, derajat kemiringan kurva destruksi termal (TDT) adalah :
(log D2 – log D1)/z = 1/z
atau
Log D2 – log D1 = 1/z (T1 – T2).............(5)
dimana nilai z digunakan dalam proses kalkulasi panas untuk menghitung
ketahanan relatif mikroorganisme terhadap suhu yang berbeda yang jumlah
dinyatakan dengan jumlah derajat fahrenhit yang diperlukan untuk menurunkan
satu siklus log D pada kurva destruksi termal.
b. Radiasi
Kinetika kematian mikroba oleh radiasi identik atau analog dengan kematian mikroba oleh panas namun laju reaksi disebabkan oleh peningkatan sejumlah
dosis radiasi d, plot logaritma jumlah mikroorganisme yang hidup melawan dosis
yang diserap diperoleh tiga bentuk dasar kurva yaitu tipe a, b dan c (Gambar 2),
untuk kurva tipe a yaitu yang bersifat logaritmik berlaku persamaan berikut ini
(Soper dan Davies, 1994).
N = No e -kd ........................................... (6)
dimana
N adalah jumlah mikroba yang masih hidup setelah menyerap radiasi d,
No adalah jumlah awal mikroba dan k adalah konstanta laju inaktivasi
mikroba.
Persamaan ini diturunkan dengan cara yang sama dengan panas dimana
kematian disebabkan oleh satu molekul kritis yang didasarkan pada kinetika
34
reaksi kimia molekul tunggal. Pada radiasi ionisasi, target utamanya adalah DNA
yang kerusakannya tidak dapat diperbaiki, pecahnya rantai atau ikatan silang
disebabkan oleh ionisasi molekul DNA yang merupakan kejadian yang dapat
mematikan (Soper dan Davies, 1994).
4. Kinetika Inaktivasi Mikroba oleh Bahan Kimia
Menurut Orth (1994) nilai D untuk setiap organisme ditentukan oleh
kurva kematiannya. Umumnya inaktivasi mikroba oleh agen yang mematikan
pada waktu tertentu bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia orde pertama
(Soper dan Davies, 1994). Menurut Orth (1994) untuk kurva kematian yang
bersifat logaritmik oleh senyawa antimikroba, nilai D dapat ditentukan dengan
cara metoda grafik menggunakan regresi liner sebagaimana proses termal dan
untuk kurva yang menyimpang dari logaritmik pada awal kurva dapat digunakan
model Pflug dan Holcomb (1983) pada Persamaan 4 untuk proses termal. Model
Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Moniharapon (1998) untuk
menentukan nilai D P. aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung.
Nilai D digunakan untuk menentukan efikasi pengawet pada produkproduk farmasi dan kosmetik jika kematian mikroba bersifat logaritmik dengan
jumlah mikroorganisme awal yang cukup (105- 106 sel/ml) untuk diamati yaitu
kehilangan beberapa siklus log selama kontak (Akers dan Tailor, 1994). Metode
ini digunakan oleh produsen produk-produk farmasi dan kosmetik dan peneliti
untuk menentukan efikasi pengawet secara cepat. Untuk pengujian produk-produk
farmasi untuk penentuan nilai D harus diamati selama 28 hari (Orth, 1994) karena
umumnya penurunan mikroba terjadi sampai hari ke 14 akan tetapi setelah itu
terjadi pertumbuhan kembali (Akers dan Tailor, 1994).
Penggunaan nilai D oleh senyawa antimikroba
pangan belum banyak diteliti.
terutama antimikroba
Penentuan nilai D telah digunakan oleh Orth
(1984) untuk menentukan efektifitas metilparaben di dalam lotion terhadap S.
aureus (Orth, 1994). Moniharapon menggunakan nilai D dan z untuk menentukan
laju inaktivasi bakteri P. aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung. Kim dan
35
Yousef (2000) juga menggunakan nilai D untuk memprediksi inaktivasi mikroorganisme pembusuk oleh ozon. Park et al. (2003) menggunakan nilai D dan z
untuk menentukan efektifitas CO2 dan tekanan hidrostatik pada mikroorganisme
pembusuk.
III. METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa laboratorium. Pembuatan bubuk biji
atung dilakukan di laboratorium Pilot plant Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB,
ekstraksi bubuk biji atung dilakukan di laboratorium Biokimia dan Gizi Pusat
Studi Pangan dan Gizi IPB. Pangamatan mikrobiologis dilakukan di laboratorium
Mikrobiologi Pangan dan Gizi Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB. Pengamatan
perubahan morfologi dan ultrastruktur sel dilakukan di laboratorium elektron
mikroskop NAMRU (Naval Medicine Research Unit), Lembaga EIJKMAN
Jakarta dan di laboratorium Genetika Fak.Peternakan IPB, Darmaga Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan mulai Desember 1998 sampai dengan Januari
2001, kemudian dilanjutkan Desember 2002 sampai dengan April 2003.
B. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan Utama
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah atung
(Parinarium glaberimum Hassk) yang diperoleh dari Desa Hutumuri, Kecamatan
Sirimau, Kotamadya Ambon, Propinsi Maluku. Bagian buah yang digunakan
adalah biji dari buah atung yang sudah tua dengan tanda kulit luar berwarna coklat
merah bata.
2. Bahan Pembantu
Bahan pembantu utama yang digunakan adalah bahan-bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi biji atung. Bahan-bahan tersebut adalah heksana dan
etil asetat yang digunakan sebagai pelarut. Jenis pelarut yang digunakan adalah
pelarut teknis. Bahan lain yang digunakan untuk ekstraksi adalah gas nitrogen
dan kertas saring.
Bahan pembantu lain adalah bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologis berupa media NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth) dan MRS dari
Difco. Bahan lain yang diperlukan adalah alkohol, NaCl, kapas, almunium foil
37
dan aquades. Untuk pembuatan pangan model padat diperlukan bahan berupa
tepung tapioka, tepung kedele, gula merah dan minyak goreng.
Bahan untuk pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel
adalah : natrium cacodilat, glutaraldehid, osmium tetraoksida, etanol, aseton,
resin, uranil asetat, lead sitrat, grid dan film. Semua bahan ini diperoleh dari
laboratorium elektron mikroskop NAMRU dan EIJKMAN Jakarta. Bahan untuk
analisa kebocoran sel yang dipakai adalah asam nitrat, asam sulfat, air bebas ion
dan HCl.
3. Kultur mikroba
Mikroba uji yang digunakan terdiri dari beberapa jenis mikroba yaitu : S.
aureus (ATCC 25178), P. flourescens (ATCC 13525) kedua bakteri ini diperoleh
dari Balai Penelitian Veteriner Bogor dalam bentuk liofilisasi.
Bakteri lainnya
adalah B. subtilis, E. coli dan L. plantarum diperoleh dari koleksi biakan lab.
Mikrobiologi Pangan, TPG-FATETA IPB, Bogor.
4. Peralatan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini meliputi alat untuk ekstraksi,
alat untuk analisa mikrobiologis dan alat untuk pengamatan sel pada tingkat
seluler. Alat untuk proses ekstraksi, adalah hammer mill ukuran saringan 40
mesh, seperangkat peralatan soxhlet dan refluks berupa labu lemak, kondensor,
hot plate, stirrer dan vakum rotavapor untuk menguapkan pelarut. Peralatan
untuk analisa mikrobiologis terdiri atas lemari pendingin, mikroskop, inkubator,
otoklaf, shaker, vortex, cawan petri, tabung reaksi, vial, pipet pasteur, pipet mikro,
bunsen dan ose.
Peralatan untuk analisa kebocoran sel meliputi sentrifus,
spektrofotometer, AAS ( Atomic Absorption Spectrophotometry ) dan ruang asam.
Untuk pengamatan perubahan struktur sel digunakan mikrotom dan mikroskop
elektron berupa Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Transmission Electron
Microscopy (TEM).
38
C. PERSIAPAN
1. Ekstraksi Biji Atung
Ekstraksi biji atung dimaksudkan untuk menyiapkan komponen antimikroba biji atung dalam bentuk ekstrak. Biji atung dibuat bubuk menggunakan
hammer mill dengan ukuran 40 mesh, kemudian diekstraksi menurut cara
Adawiyah (1998) dengan proses bertingkat. Bagan alir proses ektraksi dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Pertama, biji atung dibuang lemaknya dengan pelarut heksan menggunakan sokhlet dengan cara sebagai berikut: bubuk biji atung dibungkus dengan
kertas saring berbentuk silinder sebesar tempat sampel. Labu lemak berukuran
500 ml diisi pelarut heksana sampai setengah volume labu dihubungkan dengan
tempat sampel dan kondensor (pendingin), dipanaskan pada suhu 60-78oC (titik
didih pelarut) selama 30-36 jam sampai tidak ada lagi lemak yang ditandai dengan
warna kuning pada pelarut yang kontak dengan sampel.
Kedua, serbuk biji atung bebas lemak hasil ekstraksi heksana dikering
anginkan selama semalam untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa, kemudian di refluks menggunakan pelarut etil asetat untuk mendapatkan senyawa
antimikroba biji atung dengan cara sebagai berikut: Bubuk biji atung hasil
ekstraksi heksana dimasukkan ke dalam labu lemak berleher dua ukuran 1000 ml
(leher yang tegak lurus ke labu disambung ke pendingin, leher kesamping
untuk.tempat meletakkan termometer), ditambah pelarut etil asetat dengan
perbandingan 1: 4, dipanaskan pada suhu 60-70oC menggunakan pemanas yang
dilengkapi dengan pengaduk. Pemanasan dilakukan selama 4 jam, selama
pemanasan dilakukan pengadukan. Setelah proses berakhir dilakukan penyaringan
menggunakan kertas saring Whatman No. 2, filtrat yang diperoleh diuapkan
pelarutnya dengan rotavapor pada suhu 40oC dan sisa pelarut yang masih tersisa
diuapkan dengan cara menyemprot dengan gas nitrogen sampai berat ekstrak
konstan. Ekstrak disimpan di dalam botol vial coklat di dalam lemari pendingin
sebelum digunakan.
39
2. Kultur Bakteri
Bakteri S. aureus dan P. fluorescens diperoleh dalam bentuk liofil sebelum
digunakan diaktifkan dahulu. Tabung dibuka secara aseptis, pelet liofil dipindahkan menggunakan pinset steril ke dalam tabung yang berisi medium NB steril,
diinkubasi pada suhu 37oC untuk S. aureus dan pada suhu ruang untuk P.
fluorescens selama 24 jam. B. subtilis, E. coli dan L. plantarum diperoleh dalam
bentuk agar miring, sebelum digunakan disegarkan terlebih dahulu yaitu diambil
satu ose bakteri dari stok kultur dimasukkan ke dalam medium NB cair steril,
untuk L. plantarum dimasukkan ke dalam MRS cair steril diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37oC.
Kultur cair yang diperoleh dari liofil dan agar miring untuk digunakan
sebagai kultur cair dalam percobaan, agar didapatkan jumlah sel awal percobaan
106-107 sel /ml, kultur disegarkan kembali dengan cara 0,1 ml kultur cair ini
dimasukkan kedalam 9,9 ml medium NB cair steril, diinkubasi selama 24 jam,
kultur siap digunakan.
Untuk perbanyakan dibuat biakan agar miring NA dengan cara menggoreskan satu ose larutan kultur ke permukaan NA miring kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC selama 24 jam. Untuk penggunaan jangka waktu kurang dari 3
minggu kultur ini disimpan dalam lemari pendingin pada suhu (4-5oC).
Penggunaan untuk jangka waktu lebih dari 3 minggu kultur disimpan dalam
larutan gliserol dengan perbandingan 1:1 dengan NB, disimpan pada suhu –20oC.
D. METODE PERCOBAAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam 6 tahap meliputi: (1) Percobaan
konsentrasi minimum penghambatan (MIC) bakteri S. aureus, P. fluorescens, B.
subtilis, E.coli dan L. plantarum oleh ekstrak biji atung, (2) percobaan inaktivasi
bakteri S. aureus dan P. flourescens oleh ekstrak biji atung pada beberapa tingkat
dosis ekstrak di bawah nilai MIC (3) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus dan P.
fluorescens oleh ekstrak biji atung pada beberapa tingkat dosis ekstrak biji atung
di atas nilai MIC (4) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus oleh ekstrak biji
atung pada pangan model padat (5) pengamatan perubahan morfologi dan
ultrastruktur sel S. aureus dan P. fluorescens
pengaruh ekstrak biji atung
40
menggunakan mikroskop elektron (TEM dan SEM) (6) pengamatan kebocoran sel
S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak biji atung.
Percobaan 1. Penentuan Konsentrasi Minimum Penghambatan (MIC)
Tujuan penelitian tahap pertama ini adalah untuk menentukan dan
membandingkan nilai MIC 5 jenis bakteri yaitu S. aureus, P. fluorescens, B.
subtilis, E. coli, L. plantarum. Penentuan nilai MIC dimaksudkan untuk
menentukan aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat biji atung dan nilai ini
digunakan sebagai satuan aktivitas untuk perlakuan pada penelitian tahap
berikutnya. Nilai MIC didefinisikan sebagai konsentrasi ekstrak antimikroba
terendah dimana tidak terjadi pertumbuhan bakteri setelah 24 jam kontak di
dalam medium cair uji (Kubo et al, 1992).
Penentuan MIC dilakukan menurut Kubo (1992) dengan sedikit modifikasi
yaitu:
kedalam 19 ml nutrient broth (NB) atau MRS cair steril di dalam
erlemeyer 50 ml ditambahkan 1 ml inokulum bakteri uji yang berumur 20-24 jam
(106-107 sel/ml). Kemudian ditambahkan beberapa tingkat konsentrasi (0,0 s/d 0,7
% v/v) ekstrak biji atung secara aseptis. Selanjutnya diinkubasi goyang dengan
kecepatan 150 rpm pada suhu 37oC dan untuk P. fluorescens pada suhu ruang
selama 24 jam. Setelah inkubasi jumlah mikroba dinyatakan tumbuh atau tidak
tumbuh setelah ditumbuhkan pada media agar.
Percobaan 2. Inaktivasi Bakteri S aureus dan P. fluorescens oleh Ekstrak
Etil Asetat Biji Atung di bawah Nilai MIC.
Tujuan dari penelitian tahap ke dua ini adalah untuk menentukan pola
regenerasi dan fenomena sakit dari bakteri S aureus dan P. fluorescens pengaruh
ekstrak biji atung pada dosis di bawah MIC.
Prosedur pengujian dilakukan dengan metode kontak (Parish dan Davidson,
1993) yaitu dengan mengukur jumlah mikroba pada waktu tertentu setelah diberi
sejumlah senyawa antimikroba. Ke dalam 19 ml NB cair steril di dalam erlemeyer
50 ml ditambahkan 1ml inokulum bakteri uji yang berumur 20-24 jam (106-107
sel/ml). Kemudian ditambahkan satu seri tingkat ektrak etil asetat biji atung di
bawah dosis MIC (0-1,0 MIC), diinkubasi pada suhu 37oC untuk S aureus dan
41
pada suhu ruang untuk P. fluorescens selama 24 jam. Jumlah mikroba dihitung
dengan metode hitungan cawan, dihitung setiap 3 jam selama 30 jam.
Percobaan 3. Inaktivasi Bakteri S aureus, P. fluorescens dan E. coli
Pengaruh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung di atas Nilai MIC.
Penelitian tahap ke tiga ini bertujuan untuk mengkaji pola kematian bakteri
S. aureus dan P. fluorescens yang akan digunakan untuk menentukan kinetika
kematian bakteri S. aureus dan P. fluorescens. Metode yang digunakan adalah
metode kontak sama dengan percobaan tahap pertama dan kedua, jumlah mikroba
dihitung setiap jam sampai jumlah mikroba yang dihambat diperkirakan habis.
Dosis ekstrak yang ditambahkan adalah dosis di atas nilai MIC yaitu (1 –1,6)
MIC. Jumlah mikroorganisme yang masih hidup dihitung dengan metode
hitungan cawan.
Percobaan 4. Inaktivasi Bakteri S aureus oleh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung
pada Pangan Model Padat
Tujuan dari penelitian tahap ke empat ini adalah untuk mengkaji pola
inaktivasi bakteri S aureus, mengkaji penerapan nilai D dan z di dalam pangan
model padat dan membandingkannya dengan di dalam medium cair. Produk
pangan yang digunakan sebagai model adalah produk pangan semi basah
berbentuk dodol. Produk dibuat menurut cara Noeroktiana (2000) yaitu dibuat
dari campuran dekstrin tapioka, tepung kedele, gula merah dan minyak goreng
dengan perbandingan 2:2:2:1 dengan ditambah air sebanyak 9 % dari berat campuran, diadon, dicetak dan tidak dipanaskan (Gambar 5).
Proses pembuatan dekstrin tapioka dan tepung kedele yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 17 dan 18. Dalam satu perlakuan
produk pangan model padat digunakan 20 gram dekstrin tapioka, 20 gram tepung
kedele, 20 gram gula merah dan 10 gram minyak goreng ditambahkan 5,30 ml air
(1ml dari kultur cair mikroba).
Semua bahan sebelum digunakan disterilkan
terlebih dahulu secara sendiri-sendiri, kemudian dicampur, diadon secara aseptis
42
Tepung Kedele
Dekstrin Tapioka
Gula Merah
Ekstrak Biji Atung
Dicampur merata
Ditambah minyak goreng
Dicampur merata
Ditambah air dan kultur
Dicampur merata
Dicetak, dibungkus
Pangan Model Padat
Gambar 5 : Skema proses pembuatan pangan model padat.
dan ditambah ekstrak atung.
Untuk satu perlakuan ditambahkan satu tingkat
dosis ekstrak biji atung. Dalam penelitian ini ada 6 tingkat dosis ekstrak etil
asetat biji atung yang diperlakukan yaitu :0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 dan 3.0 MIC.
Setelah ditambah ekstrak, adonan diaduk sampai tercampur secara merata, lalu
ditambah campuran kultur mikroba 1ml (106-107 sel/ml) dan air steril secara
aseptis. Adonan diaduk kembali sampai merata dan kalis, dicetak dan dibungkus
secara aseptis. Produk disimpan di dalam stoples plastik pada suhu kamar.
Pengamatan terhadap jumlah mikroba dilakukan selama 140 jam dan diamati
setiap 12 jam. Penghitungan jumlah bakteri dilakukan menggunakan metode
hitungan cawan.
Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur Sel S. aureus dan
P. fluorescens oleh Ekstrak Etil Asetat Biji atung.
Tujuan penelitian tahap ke 5 ini adalah untuk mempelajari perubahan
morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus, dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil
asetat biji atung. Dari perubahan-perubahan yang teramati, pola dan mekanisme
43
kerusakan sel S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak biji atung dapat diketahui.
Perubahan-perubahan yang diamati adalah perubahan penampakan sel secara
umum, dinding sel, membran sitoplasma, ukuran sel, ketebalan dinding sel dan
lain-lain yang bisa diamati. Metoda yang digunakan adalah metoda mikrokopis
menggunakan mikroskop elektron yaitu SEM untuk mengamati perubahan
morfologi sel dan TEM untuk mengamati perubahan ultrastruktur sel.
Sel untuk pengamatan TEM dan SEM dipersiapkan dalam bentuk pelet
dengan cara sebagai berikut: 4 ml kultur bakteri uji dengan muatan kira-kira 106107 sel/ml diinokulasikan ke dalam 76 ml NB steril di dalam erlemeyer 150 ml.
Selanjutnya ditambahkan 6 tingkat dosis ekstrak biji atung (0, 0.35, 0.5, 0.7, 1.0
dan 1.2 MIC) dikontakkan selama 4 jam pada inkubator bergoyang dengan
kecepatan 150 rpm pada suhu 37oC untuk S. aureus dan suhu ruang untuk P.
fluorescens Setelah 4 jam kontak sel dipisahkan dengan cara disentrifus (12000,
10 m), pelet yang diperoleh dicuci dengan etil asetat untuk membuang ekstrak
yang masih menempel. Sel bebas ekstrak dicuci sebanyak 3 kali dengan buffer
cacodilat untuk membuang sisa etil asetat.
Transmission Electron Microscopy (TEM)
Metode yang digunakan adalah modifikasi dari metode Bozzola dan
Russel (1999). Pelet sel yang telah bersih difiksasi dengan glutaraldehid 2,5 %
(dalam 0,1M buffer sodium cacodilat pH 7,2) selama 24 jam pada suhu 4oC.
Kemudian pelet dicuci dengan buffer cacodilat sebanyak 3 kali,
kemudian
difiksasi dengan 1 % osmium tetraoksida (dalam 0,05 M buffer cacodilat)
sebanyak 0,5 ml selama 2 jam pada suhu 4oC, setelah itu disentrifuse, dibilas 3
kali dengan buffer. Pelet hasil fiksasi dituangi larutan agar, diaduk merata setelah
padatan agar membeku dipotong-potong dengan ukuran 1x1x1 mm. Spesimen
potongan agar dicuci 2 kali dengan aquabides, didehidrasi secara bertingkat
menggunakan beberapa tingkat konsentrasi etanol (25, 50,75 dan 100 % ) masingmasing 10 menit dan terakhir didehidrasi menggunakan aseton 100 % 3 kali
masing-masing 10 menit. Setelah proses dehidrasi, dilakukan proses infiltrasi
menggunakan campuran resin dengan aseton. Proses infiltrasi dilakukan secara
bertingkat.
Pelet sel dicelupkan pada campuran aseton
dan resin dengan
44
konsentrasi 50, 75 (masing-masing 30m, 1 kali) dan resin 100 % (3 kali, 1 jam).
Setelah itu disentrifus, pelet dikeluarkan dipindahkan ke blok yang berisi resin
100 %, diinkubasi pada suhu 60oC selama semalam.
Blok yang diperoleh dipotong menggunakan mikrotom pada ketebalan 5060 nm, kemudian potongan sampel ditangkap dan ditempatkan pada grid,
diwarnai dengan uranil asetat dan lead sitrat setelah itu diamati di bawah mikroskop elektron transmissi tipe Jeol Jem-1010.
Prosedur mewarnai grid dilakukan dengan cara yang biasa dilakukan oleh
Lembaga Eikjmen Jakarta yaitu dengan cara sebagai berikut:
Kertas saring
ditempatkan pada dasar petridish, dibasahi dengan aquades, kemudian ditutup
dengan parafilm. Ke atas parafilm tersebut diteteskan satu tetes uranil asetat,
kemudian grid diapungkan diatas tetesan uranil asetat, selama 20 menit dalam
keadaan tidak ada cahaya. Setelah itu grid dicuci dengan aquabides (dd H2O)
dengan cara menyemprot sebanyak 40 kali, sesudah itu grid dikeringkan dengan
kertas saring.
Selanjutnya grid diapungkan pada tetesan lead sitrat yang
ditempatkan pada permukaan parafilm yang menutupi kertas saring yang telah
dibasahi dengan 0,01 NaOH yang ditempatkan pada dasar petridish selama 10
menit pada suhu kamar. Setelah itu grid dicuci dengan 0,01N NaOH 3 kali
kemudian dicuci dengan aquabides 40 kali, dikeringkan dengan diamati di bawah
mikroskop elektron.
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Metoda yang digunakan adalah metoda Bozzola dan Russel (1999) yang
telah dimodifikasi. Pelet sel disuspensikan di dalam 2 ml buffer cacodilat,
kemudian dilewatkan melalui suatu membran milipore dengan ukuran pori 0,2 μm
yang berguna untuk tempat meletakan sel. Setelah itu sel yang terdapat pada
milipore difiksasi dengan glutaraldehid 2,5 % (dalam 0,1 M buffer sodium
cacodilat pH 7,2) selama 1,5 jam, selanjutnya sel dicuci dua kali dengan buffer
cacodilat 0,05 M pH 7,2 selama 20 menit untuk masing-masingnya. Kemudian sel
difiksasi dengan 1 % osmium tetraoksida (dalam 0,05 M buffer cacodilat), dicuci
dengan air destilasi selama 1-2 menit, dikeringkan dengan etanol dengan
konsentrasi bertingkat (25,50,75,) dan dalam etanol 100 % 3 kali selama 10 menit
45
untuk setiap kali. Membran yang telah dikeringkan diletakkan pada stub
almunium dilapisi dengan emas baru diamati di bawah
scanning electron
microscope tipe Jem Jeol JSM-5200.
Percobaan 6. Analisa Kebocoran Sel
Analisa kebocoran sel digunakan untuk mengukur derajat kerusakan
dinding dan membran sel dari bakteri uji. Analisa kebocoran sel diamati pada
dosis di bawah MIC, yaitu pada perlakuan dosis ekstrak 0, 0.3, 0.5, 0.7 dan 0.9
MIC. Bakteri yang diukur kebocoran selnya adalah S. aureus dan P. fluorescens.
Kebocoran diamati dalam bentuk kebocoran protein, asam nukleat, mineralmineral dalam bentuk ion Ca++, dan K+
yang dilepaskan oleh sel pengaruh
ekstrak etil asetat biji atung.
Kebocoran Protein dan Asam-asam Nukleat
Metoda yang dipakai dalam penelitian ini adalah metoda yang telah
dikerjakan oleh Davidson dan Branen (1980). Kultur sel ditumbuhkan selama 8
jam di dalam media NA, kemudian sel dipanen dengan cara disentrifus pada
kecepatan putar 3500 rpm selama 20 menit. Pelet yang diperoleh dicuci dengan
buffer fosfat pH 7,0 sebanyak 2 kali untuk membersihkan media yang menempel
pada pelet, kemudian disuspensi di dalam 19 ml buffer fosfat pH 7,0, ditambah
ekstrak etil asetat biji atung sesuai perlakuan dan dikontakkan selama 4 jam
dengan cara digoyang pada kecepatan putar 150 rpm pada suhu 37oC untuk S.
aureus dan suhu ruang untuk P. fluorescens. Setelah itu suspensi sel disentrifus
selama 20 menit pada suhu ruang pada rpm 3500, selanjutnya supernatannya
diambil dan diukur absorbansinya pada OD260 dan OD 280 nm menggunakan
spektrofotometer.
Kebocoran ion-ion logam
Kebocoran ion-ion logam diamati dari pelet yang diperoleh dari
pengukuran kebocoran protein dan asam-asam nukleat. Kebocoran dinyatakan
dengan penurunan jumlah ion-ion logam yang terdapat pada bakteri uji setelah
kontak dengan beberapa tingkat ekstrak biji atung selama 4 jam. Kebocoran ion-
46
ion K+ dan Ca++ dideteksi menurut Lee et al (1994) yaitu diukur menggunakan
AAS (atomic absorption spectrophotometer). Pelet sel setelah dikontakkan
dengan ekstrak biji atung dicuci dengan pelarut etil asetat 1 kali untuk membuang
ekstrak yang menempel pada sel, setelah itu untuk membuang sisa pelarut, pelet
sel dicuci dengan air bebas ion steril sebanyak 3 kali. Pelet yang telah bersih
ditimbang, diabukan dengan cara pengabuan basah dengan metode Park (1996).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG
Ekstrak etil asetat biji atung yang dihasilkan berupa cairan pekat berwarna
jingga dengan berat jenis sekitar 1,0682 g/ml dengan rendemen 0,98 % dari berat
serbuk biji atung kering. Ekstrak ini mempunyai warna yang sama dengan yang
dihasilkan oleh Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998) akan tetapi lebih pekat
dari ekstrak yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) dengan berat jenis 1,0
g/ml dan Adawiyah (1998) dengan berat jenis 0,9876 g/ml.
Dari lima kali
mengekstrak, rendemen ekstrak yang diperoleh rata-rata 0,98 %, hasil ini sama
dengan yang dihasilkan oleh Adawiyah (1998) dengan rendemen 1,0 %.
Untuk menguji apakah pelarut etil asetat dan ekstrak yang diperoleh
mempunyai aktivitas antimikroba atau tidak terlebih dahulu dilakukan pengujian
aktivitas antimikroba menggunakan uji difusi sumur. Hasil uji aktivitas antibakteri
pelarut etil asetat dan ekstrak biji atung dengan jumlah ekstrak 64,1 mg persumur,
menggunakan difusi sumur disajikan pada Gambar 6 dan data pengukuran
diameter zona hambat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Diameter zona penghambatan (daerah bening) beberapa jenis bakteri
oleh ekstrak etil asetat biji atung dengan jumlah ekstrak persumur
64,1 mg.
Jenis bakteri
S. aureus
B. subtilis
P. fluorescens
E. coli
L. plantarum
Diameter zona
hambat (mm)
34
26
38
23
8
Keterangan
Terbentuk 2 zona : bening dan keruh
Tbtk 2 zona, setelah 24 jam tmbh kembali
Tbtk 2 zona : bening dan keruh
Tbtk 2 zona : bening dan keruh
Dari hasil uji difusi sumur pada mikroba P. fluorescens menunjukkan
bahwa pelarut etil asetat tidak bersifat menghambat (Gambar 6c) dengan demikian
tidak mempengaruhi nilai aktivitas senyawa antimikroba biji atung, hasil ini
48
b
a
E. coli
L. plantarum
B. subtilis
c
S. aureus
P. fluorescens
Etil asetat
Gambar 6 : Zona hambat ekstrak etil asetat biji atung pada berbagai bakteri uji
( jumlah ekstrak per sumur 64,1 mg).
Menurut Kirby dan Bauer yang dikutip oleh Hugo dan Russel (1983), pada
antibiotik bila diameter zona hambat besar sama dengan 17 mm dikelompokkan
pada bakteri yang sensitif terhadap antimikroba yang diuji dan bila diameter zona
hambat berkisar antara 14-16 mm tergolong sedang dan bila diameter zona
hambat kecil dari 14 mm, mikroba yang diuji tergolong resisten terhadap antimikroba yang diuji. Dengan demikian dari Tabel 1, bakteri S. aureus, P.
fluorescens, E. coli dan B. subtilis bersifat sensitif dan L. plantarum resisten
terhadap ekstrak etil asetat biji atung, terhadap S. aureus dan P. fluorescens yaitu
dua bakteri perusak pangan sangat peka.
49
B. KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATAN BAKTERI (MIC)
Dalam penelitian ini digunakan 5 jenis bakteri yang mewakili kelompoknya masing-masing yaitu S.
aureus mewakili bakteri patogen penghasil
toksin, Gram positif, B. subtilis mewakili bakteri pembentuk spora Gram positif,
E. coli mewakili bakteri patogen Gram negatif, P. fluorescens mewakili bakteri
pembusuk, Gram negatif, dan L. plantarum mewakili bakteri pembusuk Gram
positif. Penentuan MIC dari lima kelompok bakteri ini tujuannya adalah untuk
menentukan dan membandingkan nilai MIC dari masing-masing bakteri dan nilai
MIC ini akan digunakan sebagai standar untuk penentuan dosis pada penelitian
tahap berikutnya.
MIC ditentukan menurut Kubo (1992) yaitu didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari ektsrak etil asetat biji atung yang menyebabkan tidak
tumbuhnya bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam. Bakteri uji ditumbuhkan
pada media cair nutrient broth (NB), kecuali L. plantarum ditumbuhkan pada
media MRS, diinkubasi pada suhu 370C dan suhu 300C untuk P. fluorescens
dengan cara digoyang dengan kecepatan goyangan 150 rpm. Penentuan MIC
ditentukan dengan cara menumbuhkannya pada media agar, dinyatakan dengan
tumbuh atau tidak tumbuh dan dengan menggunakan metode kekeruhan
(turbidity) menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Hasil pengukuran absorbansi dengan metode kekeruhan diamati pada
panjang gelombang (λ) 660 nm menggunakan spektrofotometer, sebagai blanko
dipakai media nutrient broth ditambah ekstrak susuai dengan perlakuan. Data
pertumbuhan untuk penentuan MIC disajikan pada Lampiran 2 s/d 10. Data
absorbansi yang diperoleh menunjukkan hasil yang tidak akurat oleh karena itu
tidak dapat digunakan untuk penentuan nilai MIC. Hal ini juga dinyatakan oleh
Murhadi (2001). Ketidak akuratan disebabkan karena ekstrak etil asetat tidak
larut dalam medium cair NB yang menggunakan air sebagai pelarut. Data
pengukuran nilai MIC menggunakan metoda hitungan cawan disajikan pada Tabel
2.
50
Tabel 2. Konsentrasi minimum penghambatan ( MIC) ekstrakbiji atung terhadap
5 jenis bakteri uji
Jenis Bakteri
S.
B.
E.
P.
L.
aureus
subtilis
coli
flourescens
plantarum
MIC ( % v/v )
MIC ( mg/ml)
0,3
0,5
0,5
0,3
> 2,5
3,20
5,34
5,34
3,20
>26,70
1. S. aureus dan P. fluorescens
Konsentrasi ekstrak yang digunakan untuk penentuan nilai MIC bakteri S.
aureus dan P. fluorescens adalah lebih kecil dari 0,7 % yaitu 0, 0.4, 0.45 , 0.5,
0.55 dan 0.6 % (v/v), penentuan konsentrasi ini didasarkan dari nilai MIC hasil
penelitian terdahulu dari Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998).
Hasil pengujian tumbuh atau tidak tumbuh pada media agar, baik S.
aureus (Lampiran 2) maupun P. fluorescens (Lampiran 4) ternyata semua
perlakuan tidak menunjukkan pertumbuhan. Kemudian konsentrasi ekstrak
diturunkan dari 0,4 % yaitu 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.35 dan 0.4 % untuk S. aureus dan P.
fluorescens. Pada Lampiran 3 dan Lampiran 5, diperoleh nilai MIC S. aureus 0,3
% (v/v) dan nilai MIC P. fluorescens juga 0,3 % (v/v) yaitu batas konsentrasi
yang terendah yang menyebabkan tidak tumbuhnya S. aureus dan P. fluorescens
setelah inkubasi 24 jam dengan ekstrak etil asetat biji atung..
Hasil penelitian Moniharapon (1998) menunjukkan bahwa ekstrak etil
asetat biji atung memiliki nilai MIC 0,75 % (v/v) untuk S. aureus dan 0,7 % (v/v)
untuk P. aeruginosa, hasil penelitian Adawiyah (1998) nilai MIC P. aeruginosa
4,5 % (v/v). Nilai MIC hasil penelitian Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998)
ini lebih tinggi dari nilai MIC S. aureus dan P. fluorescens dari hasil penelitian
ini yaitu 0,3% (v/v). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kepekatan dari ekstrak
yang digunakan. Pada penelitian Moniharapon (1998) berat jenis ekstrak yang
digunakan adalah 1,0 g/ml, pada penelitian Adawiyah (1998) kepekatan ekstrak
0,9876 g/ ml dalam penelitian ini ekstrak dipekatkan sampai berat ekstrak relatif
konstan yaitu 1,0682 g/ml
51
Pada umumnya senyawa antimikroba yang berasal dari bumbu bersifat
lebih sensitif terhadap bakteri Gram positif dibandingkan bakteri Gram negatif
(Nychas, 1995). Dari hasil penelitian aktifitas penghambatan S. aureus dan P.
fluorescens adalah sama, hasil ini tidak jauh berbeda dari yang dihasilkan oleh
Moniharapon (1998) terhadap bakteri S. aureus dan P. aeruginosa yang mempunyai nilai MIC yang hampir sama (0,75 % dan 0,7 % berturut-turut). Menurut
Kubo et al (1995) dan Nychas (1995) sangat sedikit senyawa fitokimia yang
berpotensi menghambat bakteri Gram negatif. Ekstrak tanaman yang mempunyai
aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram negatif adalah destilat dari ekstrak
heksan daun Ilex paraguayensis (Kubo et al., 1993), komponen flavor dari
minyak zaitun/Olea europaea L (Kubo et al., 1995), destilat daun Perilla
frustescens (Kang et al, 1992), ekstrak metanol dan fraksi etil asetat dari daun teh
hijau Jepang (Sakanaka et al, 1989).
2. E. coli
Keragaman laju penghambatan diantara Gram negatif juga ditemukan oleh
Nychas, (1995). E. coli relatif lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung
dibandingkan P. fluorescens yang sama-sama bakteri Gram negatif. E. coli.
mempunyai nilai MIC 0,5 % (v/v) (Lampiran 10) lebih besar dari nilai MIC P.
fluorescens yaitu 0,3 % (v/v). Pada penelitian Murhadi (2002) nilai MIC E. coli
3,35 mg/ml lebih rendah aktivitasnya dari nilai MIC P. fluorescens 3,95 mg/ml,
hal ini dapat disebabkan karena Murhadi (2002) menggunakan ekstrak yang
berbeda yaitu ekstrak metanol biji atung sehingga bahan yang terlarut di dalam
ekstrak berbeda. Ketahanan E. coli dibandingkan dari bakteri lain juga ditemukan
pada banyak antibiotik seperti makrolides, novobiosin, rifampisin, lincomisin,
clindamisin dan asam fusidat (Nikaido dan Vaara, 1985).
Menurut Nikaido dan Vaara (1985) E. coli tergolong bakteri enterik, Gram
negatif, bakteri golongan enterik ini mempunyai membran luar yang sangat efektif
dalam mempertahankan diri dibandingkan dari bakteri Gram negatif lainnya.
Ketahanan E. coli menurut Nikaido dan Vaara (1985), disebabkan oleh karena E.
coli termasuk bakteri enterik yang permukaan luarnya mempunyai rantai
polisakarida dari lipopolisakarida (LPS) yang bersifat hidrofilik, selain itu
52
ketahanannya juga disebabkan oleh polisakarida asam yang terdapat pada kapsul
yang ditemukan dalam jumlah nyata. Dan semua protein utama yang terdapat
pada membran luar sel dari E. coli adalah protein asam. Polisakarida asam pada
bakteri enterik ditemukan dalam bentuk asam colanat (antigen M) yang disusun
dari glukosa, galaktosa, frukosa dan asam glukoronat. Asam ini dibuat pada
keadaan lingkungan tidak mendukung pertumbuhan terutama jika bakteri keluar
dari saluran pencernaan.
Ketahanan bakteri enterik terhadap ekstrak etil asetat biji atung yang lebih
besar dibandingkan dari bakteri Gram negatif lain juga ditemukan oleh
Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998). Dari hasil penelitian Moniharapon
(1998) Salmonella typhimurium yaitu bakteri enterik Gram negatif lebih tahan
terhadap ekstrak etil asetat biji atung (MIC =0,75 mg/ml) dibandingkan P.
aeruginosa (MIC=0,70 mg/ml). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Adawiyah
(1998) dimana S. typhimurium mempunyai nilai MIC=6,0 mg/ml lebih besar dari
nilai MIC P. aeruginosa yaitu 4,5 mg/ml.
3. L. plantarum
Pertumbuhan bakteri L. plantarum di dalam medium yang mengandung
ekstrak etil asetat biji atung sampai konsentrasi 2,5 % atau penambahan ekstrak
36,7 mg/ml (Lampiran 6,7,8) masih terjadi pertumbuhan. Hasil ini sejalan dengan
hasil uji difusi sumur dimana bakteri menunjukkan diameter zona penghambatan
yang sangat kecil (8 mm). Diameter zona hambat yang sangat kecil dan tidak
tumbuhnya L. plantarum sampai konsentrasi 2,5 % menunjukkan bahwa L.
plantarum resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung, hal ini menguntungkan
karena L. plantarum merupakan salah satu bakteri asam laktat yang bermanfaat,
baik dalam proses fermentasi maupun sebagai bahan pengawet alami. Bahan aktif
senyawa antimikroba ekstrak etil asetat biji atung adalah fenolik (Adawiyah,
1998 ), dan minyak atsiri (Murhadi, 2002). Aktivitas antimikroba sebagian besar
minyak atsiri juga merupakan kontribusi senyawa fenolik. Senyawa fenolik yang
bersifat bakterisidal terhadap L. plantarum adalah oleuropein aglikon dan asam
elenolat dari zaitun (Federici dan Bongi, 1983 di dalam Nychas, 1995).
53
L. plantarum termasuk bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram
positif terdiri dari bermacam-macam jenis peptidoglikan. Jenis peptidoglikan yang
dominan dari genus Lactobacillus adalah jenis Lys-D-Asp (Pot, et al, 1994).
Bakteri Gram positif selain mengandung peptidoglikan juga mengandung asam
teikoat. Menurut Volk dan Wheeler (1988) semua bakteri Gram positif
mengandung asam teikoat tipe gliserol yang terikat pada membran yang disebut
dengan asam lipoteikoat, tetapi tidak semua bakteri Gram positif mempunyai
asam teikoat yang terikat pada peptidoglikan. Asam lipoteikoat mempunyai rantai
gliserol fosfat yang panjang, bersifat polar berikatan
pada sejumlah kecil
glikolipid bersifat hidrofobik. Pada beberapa organisme, asam lipoteikoat muncul
pada permukaan dinding sel. L. plantarum mempunyai asam lipoteikoat yang
muncul pada permukaan dinding sel . Diperkirakan ketahanan
bakteri L.
plantarum terhadap ekstrak etil asetat biji atung disebabkan karena sifat polar dari
asam lipoteikoat dan asam teikoat yang terdapat pada dinding sel yang tidak
dapat ditembus oleh senyawa ekstrak etil asetat yang lebih bersifat semi polar
menuju nonpolar.
4. B. subtilis
Pada Lampiran 9, dapat dilihat pertumbuhan bakteri B. subtilis di dalam
media NB yang mengandung ektrak etil asetat biji atung pada konsentrasi 0, 0.45,
0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v) selama 24 jam. Sampai konsentrasi 0,6 % mikroba
masih tumbuh akan tetapi jumlah mikroba yang tumbuh dari konsentrasi 0,55 dan
0,6 % sudah dikatakan tidak berubah yaitu 101 sel/ml. Dengan demikian nilai MIC
B. subtilis adalah 0,5 %. Hal ini disebabkan karena spora yang dihasilkan oleh B.
subtilis, yang memperlihatkan resistensi. B. subtilis adalah bakteri pembentuk
spora (endospora), endospora adalah bentuk dorman dari sel yang mempunyai
korteks yang tebal yang tahan terhadap beberapa perlakuan seperti panas, UV dan
bahan kimia (Foster, 1994).
Bila dibandingkan nilai MIC ke 5 jenis bakteri yang diuji dengan metoda
difusi sumur hasilnya tidak jauh berbeda, yang agak berbeda adalah P.
fluorescens, dimana nilai MIC P. fluorescens sama dengan nilai MIC S. aureus,
sementara pada uji difusi sumur P. fluorescens paling sensitif. Dari ke lima jenis
54
bakteri tersebut terhadap ekstrak etil asetat biji atung bakteri S. aureus dan P.
fluorescens paling sensitif dengan ketahanan yang sama, diikuti oleh E. coli dan
P. fluorescens dan bakteri paling tahan adalah L. plantarum .
C. POLA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus DAN P. fluorescens
PADA DOSIS DI BAWAH MIC
Penelitian pola inaktivasi bakteri di bawah dosis MIC dimaksudkan untuk
menentukan pola regenerasi serta fenomena sakit dari bakteri S. aureus dan P.
fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Penentuan pola inaktivasi ini
dilakukan secara deskriptif menurut Parish dan Davidson (1993) dengan metode
kontak di dalam media cair NB. Penghitungan jumlah bakteri yang hidup pada
selang waktu tertentu ditentukan dengan metoda hitungan cawan. Menurut Hugo
dan Russel (1983) penghitungan jumlah bakteri yang kontak dengan antimikroba
setelah waktu tertentu menggunakan metoda kekeruhan tidak disarankan karena
dapat menimbulkan kesalahan hasil, karena adakalanya mikroba yang kontak
dengan antimikroba dapat membentuk filamen atau tidak dapat membelah. Sel
yang tidak dapat membelah atau membentuk filamen ukurannya menjadi sangat
besar dan panjangnya dapat meningkat sampai 50 kali dari normal. Peningkatan
ukuran sel menyebabkan kultur menjadi lebih keruh, dengan metoda hitungan
cawan kesalahan dapat dihindarkan karena satu sel menghasilkan satu koloni.
Dalam penelitian ini diperlakukan berbagai tingkat dosis ekstrak biji atung
dari 0 s/d 1,0 MIC selama 40 jam dan diamati pada selang waktu 3 jam. Tidak
samanya dosis ekstrak yang diperlakukan dalam penelitian ini adalah semata-mata
karena alasan teknis untuk memudahkan pelaksanaan. Pola inaktivasi diperoleh
dengan cara memplot log jumlah bakteri terhadap waktu kontak. Hasilnya
disajikan pada Gambar 7.
55
S. aureus
P. fluorescens
Gambar 7. Pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada
dosis di bawah MIC
56
1. Pola Umum Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens di bawah Nilai MIC
Pada Gambar 7, penambahan ekstrak etil asetat biji atung mempengaruhi
pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens. Pola inaktivasi dipengaruhi
oleh dosis dan lamanya waktu kontak dengan ekstrak biji atung. Terdapat tiga
bentuk pola inaktivasi pada bakteri S. aureus (Gambar 7a) yaitu pada dosis rendah
(0,3 MIC) penambahan ekstrak biji atung menekan atau menghambat pertumbuhan, pada dosis yang lebih tinggi yaitu 0.35, 0.66, 0.83, 0.9 dan 0.93 MIC pola
inaktivasi menurun untuk waktu tertentu kemudian meningkat kembali
(regenerasi), dan pada dosis yang mendekati MIC (0,96 dan 1,0 MIC) pola
inaktivasi menurun dan tidak terjadi pertumbuhan kembali sampai waktu
pengamatan 24 jam. Pola inaktivasi ini mirip dengan pola inaktivasi S. aureus
(MRSA) oleh asam anacardic dan totarol (Muroi dan Kubo, 1996) dan mirip
dengan pola inaktivasi S. aureus oleh ekstrak metanol dari Azadirachta indica A.
Juss (Meliaceae) (Okemo, 2001).
Pola yang sama juga diamati pada bakteri P. fluorescens (Gambar 7b),
pada dosis rendah ekstrak biji atung (0,1 dan 0,2 MIC) menekan pertumbuhan
dan pada dosis yang lebih tinggi (0,5 MIC) ekstrak biji atung memperlihatkan
efek statik. Di atas dosis 0,5 MIC yaitu pada dosis 0.64, 0.71, 0.86 dan 1.0 MIC
pola inaktivasi menunjukkan pola penurunan, dan semakin tinggi konsentrasi
ekstrak penurunan semakin curam, pada konsentrasi yang dicobakan ini tidak
terjadi pertumbuhan mikroba kembali (regenerasi). Pola pertumbuhan kembali
pada bakteri P. fluorescens diamati pada dosis ekstrak biji atung 0.53, 0.56, 0.58,
dan 0.61 MIC yang dapat dilihat pada Gambar 8b. Pola inaktivasi dari P.
fluorescens pada dosis di bawah MIC mirip dengan kurva inaktivasi P.
aeruginosa oleh tobramisin, ciprofloxacin dan tikarsilin (Craig, 1998) dan E. coli
oleh kloramfenikol, tetrasiklin dan sefaloridin.
2. Regenerasi Sel S. aureus dan P. fluorescens
Pada Gambar 8, bentuk pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P.
fluorescens adalah sama, mula-mula turun dan kemudian mengalami regenerasi
(tumbuh kembali). Pola regenerasi S. aureus dihasilkan dari perlakuan ekstrak biji
atung pada dosis lebih tinggi dari dosis penghambatan pertumbuhan yaitu 0.66,
57
0.83, 0.90 dan 0.93 MIC. Pada dosis 0,66 MIC bakteri mengalami penurunan
jumlah kira-kira 1 siklus log sampai jam ke 6 pengamatan dan pada jam ke 8
bakteri ini mengalami regenerasi sampai jam ke 24, pada jam ke 24 ini jumlah sel
melebihi jumlah awal sel. Pada dosis yang lebih tinggi yaitu 0,83 MIC penurunan
jumlah bakteri lebih besar yaitu kira-kira turun 2 siklus log sampai jam ke 12, dan
pada jam ke 16 bakteri mulai tumbuh kembali tetapi jumlah bakteri pada akhir
pengamatan tidak sampai melebihi jumlah awal (waktu 0). Pada dosis 0,9 MIC
pola regenerasi tidak jauh berbeda dari perlakuan 0,83 MIC yaitu menurun sampai
jam ke 12 sebesar 2 siklus log kemudian jam ke 16 meningkat kembali dan
peningkatannya lebih kecil dari perlakuan 0,83 MIC. Pada dosis 0,93 MIC bakteri
S. aureus tidak mengalami regenerasi, sampai jam ke 24 terjadi penurunan.
Pola pertumbuhan kembali juga diamati pada bakteri S. aureus yang
resisten terhadap metisilin (MRSA) pengaruh asam anacardic dan totarol. (Muroi
dan Kubo, 1996). Pertumbuhan MRSA oleh 0,5 MIC asam anacardic menurun
kira-kira 1 siklus log dari jumlah awal sel 106 selama 6 jam inkubasi dan tumbuh
kembali yang jumlahnya melebihi jumlah awal sel (107) pada jam ke 24.
Pertumbuhan kembali MRSA oleh totarol juga diamati mulai konsentrasi (0,51,0) MIC . Pada 0,5 MIC MRSA turun kira-kira 0,5 siklus log selama 2 jam
inkubasi kemudian tumbuh kembali sampai menyamai kontrol pada jam ke 24,
sedangkan pada 1,0 MIC MRSA turun sampai batas limit deteksi (102) pada jam
ke 6 kemudian tumbuh meningkat menyamai jumlah awal sel pada jam ke 24.
Pada bakteri P. fluorescens dosis yang diperlakukan adalah 0.53, 0.58 dan
0.61 MIC diamati setiap 2 jam selama 12 jam. Pola regenerasi agak sedikit
berbeda dari pola regenerasi S. aureus, pada bakteri S. aureus tidak terdapat fase
adaptasi sedang pada bakteri P. fluorescens terdapat fase adaptasi sampai jam ke
4 yang ditemui pada semua tingkat perlakuan. Pola inaktivasi pada ke tiga tingkat
dosis tersebut tidak begitu berbeda yaitu sampai jam ke 4 mikroba dalam keadaan
statis setelah itu baru turun kira-kira 2 siklus log sampai jam ke 6 dan bertahan
jumlahnya sampai jam ke 8 dan setelah jam ke 8 bakteri ini tumbuh kembali
sampai jam ke 10 dan bertahan sampai pengamatan jam ke 12.
Fenomena pertumbuhan kembali sering diamati terjadi pada mikroba yang
diperlakukan pada suatu agen antimikroba pada dosis yang tidak mematikan.
58
Pertumbuhan kembali menurut Akers dan Tailor ( 1994 ) dapat terjadi karena
bermacam-macam alasan diantaranya pengawet kehilangan stabilitas atau aktifitas
selama pengujian, atau terjadinya mutasi pada sel mikroba.
Menurut Fardiaz (1992), penambahan agen antimikroba pada dosis yang
tidak cukup mematikan dapat menyebabkan sel bakteri mengalami kerusakan
menyebabkan sel menjadi sakit atau stres. Sel yang sakit pertumbuhannya dapat
terhambat untuk waktu tertentu dan kemudian tumbuh kembali. Dalam penelitian
ini penambahan ekstrak etil asetat pada dosis di bawah MIC menyebabkan
pertumbuhan kembali (regenerasi) pada bakteri S. aureus dan P. fluorescens
(Gambar 8).
a
b
8
11
10
Log N
Log N
7
6
5
9
8
7
4
6
0
10
20
30
0
5
Waktu ( Jam )
0,66 MIC
0,9 MIC
10
15
Waktu (Jam)
0,83 MIC
0 MIC
0,53 MIC
0,93 MIC
0,58 MIC
0,61 MIC
Gambar 8. Pola regenerasi bakteri (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens oleh
ekstrak biji atung.
Terjadinya pola regenerasi menandakan bahwa penambahan ekstrak biji
atung pada bakteri S.
aureus dan P. fluorescens pada dosis di bawah MIC
menyebabkan sakit. Mikroba yang sakit tidak dapat dideteksi menggunakan media
pertumbuhan yang biasa dan mikroba ini dapat bertahan untuk waktu tertentu
sampai kondisi nutrisi dan lingkungan mendukung untuk pertumbuhan (Jay, 1986
dan Fardiaz, 1992). Kejadian ini perlu diwaspadai karena tidak terdeteksinya
mikroba yang sakit sangat berbahaya, tidak saja karena mikroba patogen yang
59
berbahaya bagi kesehatan tetapi juga pada mikroba pembusuk yang dapat merusak
produk pangan sewaktu-waktu bila lingkungan mendadak berubah kearah
merangsang pertumbuhan.
Mikroba yang sakit oleh kerusakan subletal dapat dideteksi dari ketidakmampuannya untuk membentuk koloni pada medium padat yang biasa digunakan
untuk sel sehat. Sel yang mengalami kerusakan subletal sensititifitasnya hilang
terhadap senyawa penghambat (selektif) dan dapat disembuhkan dengan medium
yang kaya nutrien, tetapi tidak mengandung senyawa yang bersifat menghambat
(nonselektif) ( Silliker, 1980; Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992). Berdasarkan prinsip
perbedaan kemampuan mikroba tumbuh dalam kedua media ini yaitu media
selektif dan media non selektif maka jumlah sel yang sakit dapat dihitung.
Mikroba yang tumbuh pada media selektif hanya mikroba yang sehat sementara
pada media nonselektif adalah mikroba yang tumbuh adalah mikroba yang sehat
dan mikroba yang sakit yang telah mengalami penyembuhan.
3. Penyembuhan S. aureus
Di dalam penelitian ini, penghitungan jumlah mikroba yang sakit hanya
dilakukan pada mikroba S. aureus. Media penyembuhan yang digunakan sebagai
media nonselektif adalah TSA (Trypticase Soy Agar) ditambah yeast ekstrak 0,5
% (TSYE) dan media TSAS_YE yaitu media TSA yang di tambah ekstrak yeast
0,5 % dan garam NaCl 7,5 % sebagai media selektif. Media ini sudah banyak
dilakukan untuk menghitung bakteri
S. aureus yang sakit karena kerusakan
subletal oleh aw rendah (Soekarto et. al., 1984 ), panas ( Jay, 1987 ). Kosentrasi
ekstrak yang ditambahkan untuk membuat bakteri S. aureus sakit adalah 0,3 MIC
dan 0,85 MIC. Plot hasil logaritma jumlah S. aureus yang hidup selama 8 jam di
dalam ekstrak etil asetat biji atung 0,3 MIC dan selama 48 jam di dalam ekstrak
0,85 MIC menggunakan medium TSA-YE dan TSAS-YE disajikan pada Gambar
9.
Dari gambar 9, terdapat perbedaan jumlah S. aureus yang tumbuh pada media
TSA-YE dengan media TSAS-YE pada dosis 0,85 MIC untuk setiap waktu
pengamatan. Jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE lebih besar dari
jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSAS-YE sementara pada dosis 0,3
60
MIC perbedaan jumlah yang tumbuh pada media TSA-YE dengan media TSASYE sedikit sekali. Pada Gambar 8 penambahan ekstrak biji atung pada dosis 0,3
MIC tidak menyebabkan sel S. aureus mengalami regenerasi, pada dosis ini
a
8
8
b
log N
Log (N)
7
7
6
5
6
0
2
4
6
8
w aktu (Jam )
TSA_YE
TSAS_YE
10
4
0
20
40
60
w aktu (jam )
TSA_YE
TSAS-YE
Gambar 9. Pertumbuhan bakteri S. aureus di dalam media TSA-YE dan TSASYE yang mengandung ekstrak etil asetat biji atung pada dosis (a) 0,3
MIC, tidak ada sel S. aureus yang stres dan (b) 0,8 MIC, terdapat S.
aureus yang stres.
ekstrak hanya menghambat pertumbuhan. Dengan demikian media ini dapat
digunakan untuk mendeteksi bakteri S. aureus yang sakit oleh ekstrak etil asetat
biji atung. Jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE adalah S. aureus
yang sehat dan sakit yang berhasil disembuhkan pada media TSA-YE. Bakteri
yang tumbuh pada media TSAS-YE adalah bakteri yang sehat saja, bakteri yang
sakit tidak dapat tumbuh pada di dalam media TSAS-YE karena adanya garam
sebagai senyawa penghambat (selektif). S. aureus yang sakit dari penambahan
ekstrak etil asetat biji atung 0,8 MIC selama 48 jam adalah 18,15 %. Jumlah sel
yang sakit dapat dihitung dari selisih perhitungan jumlah mikroba pada media
TSA-YE dengan TSAS-YE dan datanya disajikan pada Tabel 3.
61
Tabel 3. Persentase bakteri S. aureus yang sehat, sakit dan mati oleh ekstrak biji
atung pada dosis 0,8 MIC selama 48 jam
Waktu ( jam)
Sakit (%)
Mati (%)
Sehat (%)
0
12
24
36
48
0,42
0,63
5,81
16,70
18,15
0
11,75
20,56
22,94
18,32
100
88,06
75,14
64,46
67,13
C. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI DI ATAS DOSIS MIC
Kinetika inaktivasi bakteri di atas nilai MIC dimaksudkan untuk menentukan bentuk pola kematian bakteri dan berdasarkan bentuk pola yang diperoleh
dilakukan pengkajian kinetik untuk menentukan laju inaktivasi dan ketahanan
bakteri terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Bakteri yang digunakan dalam
penelitian tahap ini adalah bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli .
1. Pola Kematian Bakteri
Data kematian bakteri S. aureus oleh ekstrak biji atung pada dosis di atas
MIC disajikan pada Lampiran 15.
Plot log jumlah S.
aureus yang hidup
pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis besar dari MIC melawan waktu
kontak disajikan pada Gambar 10a. Kurva yang terbentuk disebut dengan kurva
waktu kematian. Pola kematian bakteri S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung
bersifat logaritmik. Penyimpangan dari logaritmik ditemui, pada dosis yang sama
atau sedikit lebih besar dari nilai MIC terdapat bahu (shoulder) namun makin
besar dosis ekstrak yang ditambahkan bahu semakin kecil dan pada dosis 1,38
MIC bahu sudah hilang sama sekali akan tetapi semakin hilangnya bahu diikuti
dengan munculnya ekor (tail) perlahan-lahan. Pada konsentrasi 1,31 sampai
dengan 1,6 MIC ekor semakin jelas. Hilangnya bahu menandakan bakteri S.
aureus tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya namun dengan semakin
62
P. fluorescens
E. coli
9
8
8
8
7
7
7
6
6
6
5
1,0 MIC
4
5
1,0 MIC
Log N
5
log N
log N
S. aureus
4
3
3
3
2
2
1,0 MIC
4
2
1
1
1
0
0
10
20
30
0
waktu (jam)
10
20
30
0
0
waktu (jam)
5
10
15
Waktu (jam)
1,0 MIC
1.03 MIC
1.10 MIC
1,0 MIC
1.03 MIC
1.1 MIC
1.17 MIC
1.24 MIC
1,31 MIC
1.17 MIC
1.24 MIC
1,33 MIC
1,38 MIC
1,6 MIC
1,5 MIC
1,67MIC
1,0 MIC
1,1 MIC
1,3 MIC
1,4 MIC
1,2 MIC
Gambar 10. Kurva kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di
atas MIC.
63
jelasnya ekor mencerminkan bahwa sel berhasil memperbaiki diri dari stres
lingkungan oleh karena penambahan ekstrak.
Plot log jumlah P. fluorescens yang hidup pengaruh ekstrak biji atung
terhadap waktu kontak disajikan pada Gambar 10b. Hasilnya memperlihatkan
pola kematian bakteri P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung. Pada awal
kurva, terdapat fase adaptasi yang menyerupai bahu yang panjangnya hampir
sama dengan bahu dari S. aureus akan tetapi polanya lebih curam. Peningkatan
konsentrasi ekstrak tidak banyak berpengaruh terhadap bentuk fase adaptasi.
Setelah fase adaptasi dilanjutkan dengan fase kematian dengan kemiringan yang
lebih tajam dibandingkan dari fase adaptasi. Peningkatan konsentrasi ekstrak biji
atung mempercepat dan mempertinggi derajat kematian bakteri, sebagaimana
semakin tajam derajat kemiringan kurva kematian. Pada akhir kurva pada dosis
sama atau sedikit lebih besar dari MIC ada kecendrungan pola kematian P.
fluorescens membentuk ekor yang menggambarkan kecendrungan bakteri ini
mempertahankan diri akan tetapi dengan semakin tingginya dosis, ekor tidak
ditemui.
Data pengamatan inaktivasi E. coli oleh beberapa dosis ekstrak etil asetat
biji atung di atas MIC terdapat pada Lampiran 17. Plot hubungan antara jumlah
E. coli yang hidup pengaruh ekstrak biji atung dengan waktu kontak membentuk
pola kematian yang dapat dilihat pada Gambar 10C. Pola kematian memperlihatkan adanya bahu mendatar yang panjang yang pada awal kurva, kemudian
memasuki fase kematian dimana kurva menurun membentuk garis lurus. Pola ini
ditemui pada semua tingkat perlakuan ekstrak akan tetapi semakin tinggi dosis
panjangnya bahu semakin pendek, dengan kemiringan fase kematian semakin
besar. Bentuk pola kematian seperti ini ditemukan pada bakteri E. coli, S. aureus
dan P. fluorescens pada proses irradiasi dengan microwave (Fujikawa dan Ohta,
1994).
Bila dibandingkan bentuk kurva kematian, S. aureus, P. fluorescens dan
E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung, ketiga bakteri ini mempunyai bahu akan
tetapi dengan bentuk yang berbeda. Pada proses termal, adanya bahu merupakan
fase adaptasi dari bakteri sebelum panas mencapai sisi sensitif dari organisme.
Menurut Moat dan Foster, (1988) adanya fase adaptasi menunjukkan adanya
64
sistem perbaikan pada mikroba yang
dapat digunakan sebagai pengukur
kemampuan organisme untuk memperbaiki diri.
Dengan demikian E. coli
mempunyai fase adaptasi dengan kemampuan memperbaiki diri yang lebih baik
dibandingkan S. aureus, dan P. fluorescens. Adanya bahu dan ekor pada pola
kematian bakteri oleh agen antimikroba merupakan fenomena umum yang
ditemukan juga pada panas, aw, radiasi dan lain-lain.
Menurut Hansen dan Rieman, (1963) adanya bahu juga sering
dihubungkan dengan adanya proses disagregasi sel yang membentuk clump (Sala,
et al.,1995), bakteri yang disuspensi dalam media broth dan cairan lainnya sering
diamati dalam bentuk clump membentuk agregat (Carllamana dan Mallete, 1965).
2. Laju Inaktivasi Bakteri
Data kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak
etil asetat biji atung di dalam medium cair NB pada pH 6,8 disajikan pada
Lampiran 15, 16 dan 17 berturut-turut dan Gambar 10.
a. S. aureus
Pada Lampiran 15 dan Gambar 10a, pada perlakuan 1,0 MIC jumlah awal
sel S. aureus 5,2 x 107 dalam 20 jam turun menjadi 6,3 x 101 sel/ml yaitu turun 6
siklus log. Pada perlakuan 1,03 MIC jumlah S. aureus menurun 4 siklus log dari
5,1 x 107 sel/ml pada awal inkubasi menjadi 2,2 x 103 sel/ml setelah 8 jam kontak.
Pada dosis yang lebih besar 1,1 MIC S. aureus turun 4 siklus log, dari 4,2 x 107
sel/ml menjadi 2,5 x 103 sel/ml selama 7 jam, dan pada dosis 1,17 MIC jumlah
dan lamanya penurunan tidak berbeda dengan 1,1 MIC, namun pada dosis 1,24
MIC dalam 7 jam S. aureus turun 5 siklus log dari 4,2 x 107 menjadi 4,2 x 102
sel/ml. Pada dosis tinggi 1,31 MIC dan 1,38 MIC dalam waktu 4 jam jumlah S.
aureus turun 4 siklus log dari jumlah awal 3,9 x 107 sel/ml dan 3,5 x 107 sel/ml
menjadi 1,4 x 103 dan 1,0 x 103 sel/ml berturut-turut. Setelah jam ke 4 populasi
S. aureus turun sampai jam ke 8 untuk perlakuan 1,38 MIC dan jam ke 7 untuk
perlakuan 1,38 MIC dengan laju yang lebih lambat menjadi 9,8 x 101 dan 6,0 x
101 sel/ml berturut-turut.
65
b. P. fluorescens
Data inaktivasi bakteri P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung
pada dosis di atas nilai MIC disajikan pada Lampiran 16 dan Gambar 10b.
Inkubasi bakteri P. fluorescens di dalam media yang mengandung ekstrak biji
atung pada dosis 1,0 MIC menyebabkan jumlah bakteri P. fluorescens turun 6
siklus log dari jumlah awal 2,6 x107 menjadi 4,8x101 sel/ml dalam 24 jam. Pada
1,03 MIC menyebabkan jumlah P. fluorescens menurun 4 siklus log dalam 12
jam, dari jumlah awal 3,6x107menjadi 6,9 x103 sel/ml. Pada dosis ekstrak 1,1
MIC jumlah P. fluorescens yang awalnya 2,5x107sel/ml turun sekitar 5 siklus
menjadi 1,6x102 sel/ml setelah 12 jam inkubasi, peningkatan dosis menjadi 1,17
MIC tidak banyak berbeda dari dosis 1,1 MIC. Sementara pada dosis 1,24 MIC
jumlah penurunan setelah 12 jam mencapai 6 siklus log yaitu dari 3,2x107 sel/ml
turun menjadi 5,0x101 sel/ml. Pengamatan pada jam ke 14 pada semua perlakuan
tidak ditemukan pertumbuhan P. fluorescens. Pada dosis tinggi 1,33, 1,5 dan 1,67
MIC jumlah populasi P. fluorescens menurun secara tajam dari jumlah awal
bakteri sekitar107 sel/ml menjadi 1,9x103 , 2,1x103 , 1,0x101 sel/ml dalam waktu
3,2 dan 2 jam berturut-turut.
c. E. coli
Pada bakteri E. coli penurunan populasi oleh ekstrak etil asetat biji atung
tidak seperti S. aureus dan P. fluorescens yang dapat dilihat pada Lampiran 17
dan Gambar 10c. Kontak E. coli pada empat jam pertama dengan ekstrak etil
asetat biji atung, hampir semua perlakuan tidak menunjukkan penurunan berarti,
artinya pada empat jam pertama digunakan oleh sel E. coli untuk beradaptasi dan
mempertahankan diri dari lingkungan . Namun setelah jam ke 4 sel tidak dapat
mempertahankan diri dan
jumlah sel E. coli menurun. Pada dosis 1,0 MIC
jumlah E. coli turun dari 2,2 x 107 menjadi 1,3 x 103 sel/ml pada jam ke 12. Pada
dosis 1,1.dan 1,2 MIC jumlah sel pada jam ke 4 sekitar 107 pada jam ke 10 turun
menjadi 8,1 x 102 dan 6,2 x 102 sel/ml. Inkubasi pada dosis 1,3 dan 1,4 MIC pada
jam ke 4 sudah mulai terjadi penurunan jumlah dimana jumlah awal sama dengan
perlakuan 1,0, 1,1 dan 1,2 MIC yaitu sekitar 2,1 x 107 pada jam ke 4 menjadi 9,3 x
66
106 dan 7,1 x 106 , pada jam ke 8 menjadi 1,2 x 104 dan 7,9 x101 sel/ml masingmasing turun 2 dan 5 siklus log.
Bila dibandingkan laju inaktivasi S. aureus dengan P. fluorescens yang
mempunyai nilai MIC yang sama, bakteri P. fluorescens lebih tahan dari sel S.
aureus sampai dengan dosis 1,24 MIC, dan pada dosis besar dari 1,24 MIC S.
aureus lebih tahan dari P. fluorescens . Pada bakteri S. aureus pada dosis 1.0,
1.03, 1.1, 1.17 dan 1.24 MIC pertumbuhan tidak terjadi setelah jam ke 24, 8,7 dan
7 berturut-turut. Pada bakteri P. fluorescens pada dosis yang sama tidak terjadinya
pertumbuhan setelah jam ke 24, dan jam ke 12. Disini menunjukkan bahwa
bakteri P. fluorescens mempunyai ketahanan yang lebih besar terhadap ekstrak
etil asetat biji atung dari pada bakteri S. aureus. Hasil ini tidak sejalan dengan
hasil uji difusi sumur dan nilai MIC yang diperoleh sebelumnya. Pada uji difusi
sumur bakteri P. fluorescens mempunyai zona hambat lebih besar dari S. aureus,
pada pengujian MIC kedua bakteri ini mempunyai nilai MIC yang sama dan pada
uji diskriptif P. fluorescens lebih tahan dari S. aureus. Hal ini dapat disebabkan
oleh perbedaan metoda yang digunakan. Menurut Parish dan Davidson (1993)
penentuan aktivitas antimikroba secara deskriptif memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dari metoda kontak dan diffusi agar, disamping itu metoda
deskriptif dapat menjelaskan pengaruh antimikroba selama pertumbuhan.
P. fluorescens adalah bakteri Gram negatif. Menurut Nikaido (1996),
pada bakteri Gram negatif terdapat senyawa lipopolisakarida (LPS) yang bersifat
hidrofilik pada permukaan membran yang menyebabkan membran luar bakteri
Gram negatif bersifat hidrofilik. Senyawa antimikroba ekstrak etil asetat biji atung
bersifat semipolar menuju nonpolar.
S. aureus adalah bakteri Gram positif,
peptidoglikan dari bakteri ini mengandung asam amino alanin yang bersifat
hidrofobik (Moat dan Foster). S. aureus dikenal bakteri yang sangat peka terhadap
senyawa nonpolar seperti minyak atsiri. Dengan demikian ketahanan P.
fluorescens terhadap ekstrak etil asetat biji atung dapat disebabkan karena sifat
hidrofilik yang kurang dapat ditembus oleh ekstrak etil asetat biji atung
dibandingkan dari S. aureus.
67
3. Parameter Laju Inaktivasi
Parameter laju inaktivasi dinyatakan dengan nilai D yaitu waktu yang
diperlukan untuk membunuh satu siklus log (90 %) bakteri dari suatu populasi
bakteri pada dosis ekstrak etil asetat tetap, dan z yaitu peningkatan dosis yang
diperlukan untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi dosis.
Penentuan parameter laju inaktivasi ( nilai D dan z) oleh ekstrak etil asetat biji
atung untuk bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli datanya diambil dari
kurva kematian bakteri pada Gambar 10 Lampiran 15, 16 dan 17. Penentuan nilai
D dan z untuk bakteri S. aureus diambil dari data kematian bakteri pada semua
tingkat dosis di atas MIC tanpa memasukkan data ekor pada perlakuan 1,31, 1,38
dan 1,6 MIC. Pada dosis 1,31 dan 1,38 MIC data yang dipakai untuk penentuan
nilai D dan z dari jam ke 0 sampai dengan jam ke 4 dan pada dosis 1,6 MIC hanya
tiga titik yaitu dari jam ke 0 sampai jam ke 2. Pada P. fluorescens data yang
dipakai untuk penentuan parameter laju inaktivasi
adalah dosis 1,0 sampai
dengan 1,33 MIC, dosis 1,5 dan 1,67 MIC tidak digunakan sedangkan pada E. coli
semua dosis di atas nilai MIC digunakan yaitu 1,0 sampai dengan 1,4 MIC.
a. Nilai D
Secara rasional pendekatan kinetik dapat digunakan untuk setiap
organisme yang mempunyai ciri adanya laju kematian oleh senyawa yang bersifat
bakterisidal.
Dari Gambar 10, ekstrak etil asetat biji atung bersifat bakterisidal pada
bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada dosis di atas MIC, hasil yang
sama juga diperoleh oleh Moniharapon (1989) pada bakteri P. aeruginosa. Dan
dari Gambar 10, pola kematian bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh
ekstrak etil asetat biji atung bersifat logaritmik dengan penyimpangan terdapat
pada awal kurva dalam bentuk bahu. Nilai D dari kurva kematian seperti ini dapat
dihitung dengan menggunakan metoda Pflug dan Holcomb (1983) yaitu metoda
analisa regresi liner least-squares. Pada kurva kematian E. coli yang mempunyai
bahu yang panjang, kurva kematian dapat dipecah menjadi dua garis lurus yaitu
fase adaptasi (bahu) satu bagian dan fase kematian satu bagian, setiap garis lurus
yang dibentuk mempunyai laju inaktivasi sendiri-sendiri.
68
Tabel 4. Nilai analisis parameter laju kematian dari bakteri S. aureus,
P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung
Dosis Ekstrak
no
(titik potong
ordinat)
S. aureus
MIC
mg/ml
1,0
3,20
7,99
1,03
3,30
8,83
1,10
3,52
8,41
1,17
3,75
8,50
1,24
3,97
7,92
1,31
4,20
7,63
1,38
4,42
7,52
1,6
5,13
7,56
P. fluorescens
1,0
3,20
7,80
1,03
3,30
7,62
1,10
3,52
7,41
1,17
3,75
7,64
1,24
3,97
7,85
1,33
4,26
8,85
E. coli
Kurva 1 (fase adaptasi)
1,0
5,34
7,35
1,1
5,87
7,31
1,2
6,41
7,34
1,3
6,94
7,34
1,4
7,48
7,33
Kurva 2 (fase kematian )
1,0
5,34
10,46
1,1
5,87
11,49
1,2
6,41
11,94
1,3
6,94
11,41
1,4
7,48
17,32
Derajat
Kemiringan
Nilai r
Nilai D
(jam)
Log D
0,318
0,721
0,732
0,796
0,816
1,132
1,135
2,415
0,99
0,99
0,99
0,99
0,99
0,99
0,99
1
3,14
1,39
1,37
1,25
1,22
0,88
0,88
0,41
0,497
0,142
0,135
0,099
0,088
-.0,054
-0.055
-0.383
0,258
0,355
0,391
0,519
0,635
1,395
0,99
0,98
0,98
0,98
0.98
1
3,87
2,81
2,56
1,92
1.57
0,72
0,587
0,449
0,408
0,284
0.197
-0,144
0,045
0,047
0,066
0,085
0,114
0,99
0,99
0,95
0,96
0,98
22,03
21,10
15,22
11,71
8,75
1,343
1,324
1,182
1,068
0,942
0,602
0,861
0,922
0,932
1,905
0,99
0,99
0,99
0,99
0,99
1,66
1,16
1,08
1,07
0,52
0,220
0,065
0,035
0,030
-0.280
69
Model Pflug dan Holcomb (1983) adalah :
log Nt =log no - t/D
dimana Nt adalah jumlah bakteri yang masih hidup setelah kontak selama waktu t
no adalah titik potong garis lurus dengan sumbu y (jumlah awal semu
bakteri)
t adalah waktu kontak (jam)
D adalah parameter waktu untuk membunuh 90% bakteri
Hasil analisa regresi liner least-squares dari kurva kematian logaritmik
dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli menggunakan model Pflug dan
Holcomb (1983) oleh ekstrak etil asetat biji atung disajikan pada Tabel 4. Untuk
bakteri E. coli fase bahu (fase 1) dimulai dari jam 0 sampai jam ke 4 diasumsikan
satu garis lurus dan fase kematian (fase 2) dari jam ke 5 sampai akhir pengamatan juga diasumsikan satu garis lurus. Dengan demikian ada dua persamaan
dengan dua nilai D didapat.
Hasil analisis regresi dari Tabel 4, menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis nilai D semakin kecil, berarti laju kematian bakteri semakin cepat. Nilai D
pada setiap dosis yang sama dari S. aureus nilainya lebih kecil dari nilai D P.
fluorescens dan nilai D E coli paling besar dari ke tiga bakteri uji baik untuk fase
adaptasi (bahu) maupun untuk fase kematian (ekor).
Metoda Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan untuk menentukan nilai D bakteri P. aeruginosa oleh Moniharapon (1998) pengaruh ekstrak
etil asetat biji atung. Nilai D P. aeruginosa hasil penelitian Moniharapon (1998)
lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini pada dosis dan
ekstrak yang sama menggunakan metoda Pflug dan Holcomb (1983). Pada dosis
1.0 MIC nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini yaitu 3,87 jam dan nilai D
P. aeruginosa hasil penelitian Moniharapon (1998) pada 1 MIC 1,4 jam (83,33
menit). Perbedaan ini dapat disebabkan penentuan jam akhir pengamatan
berbeda. Pada penelitian Moniharapon (1998) nilai MIC pada jam ke 8 mikroba
sudah tidak tumbuh lagi sedangkan dalam penelitian ini nilai MIC ditetapkan
pada dosis yang menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan
pada waktu
mendekati 24 jam (Gambar 10). Selain itu perbedaan nilai D dapat juga
disebabkan karena perbedaan spesies. Menurut Orth (1994), organisme yang
70
berbeda mempunyai karakteristik fisiologi dan metabolisme yang berbeda
akibatnya mereka memperlihatkan perbedaan laju kematian bila dikontakkan
pada dosis yang mematikan.
Metoda Plug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Otrh (1994)
untuk mengevaluasi dan menguji pengawet dari produk-produk farmasi. Orth
(1994) memeperoleh nilai D metilparaben pada dosis 0,2 mg/ml terhadap S. areus
menggunakan model Plug dan Holcomb (1983) 4 jam. Nilai D S. aureus oleh
metilparaben hasil penelitian Orth (1994) ini lebih besar dari nilai D S. aureus
pengaruh ekstrak etil asetat biji atung yaitu 3,14 jam pada dosis 3,20 mg/ml.
Menurut Orth (1994) tergantung dari kriteria yang digunakan, jika bakteri
patogen harus dibunuh dalam 24 jam agar populasi bakteri yang berjumlah 106
sel/ml agar dapat diinaktifkan secara sempurna nilai D harus lebih kecil atau
sama dengan 4 jam. Dari penelitian ini ketiga bakteri yang diuji yaitu S. aureus,
P. fluorescens dan E. coli mempunyai nilai D lebih kecil dari 4 jam.
b. Nilai z
Nilai z pada proses termal merupakan parameter hubungan nilai D pada
berbagai suhu pemanasan. Nilai z menyatakan rentang suhu yang diperlukan
untuk menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi termal (Stumbo, 1973).
Kurva resistensi termal dibuat dengan cara memplot nilai log D pada berbagai
suhu. Pada proses termal hubungan nilai D dengan suhu dinyatakan oleh Stumbo
(1973) pada persamaan (5) yaitu:
Log D2 – logD1 = 1/z (T1-T2)
atau
Log D1 = Log D2– (T2-T1)/z ................(7)
Analog dengan rumus (7) hubungan nilai D dengan berbagai dosis (d)
ekstrak biji atung
pada bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli dapat
diturunkan menjadi rumus (8):
Log D1= Log D2 – (d2 – d1)/z....................(8)
71
72
Dengan mengganti (d2 – d1) pada persamaan (8) dengan d diperoleh hubungan
Log D= Log D0 – d)/z....................(9)
dimana
D0=titik potong kurva pada dosis =0
z = rentang dosis untuk melewati satu siklus log D
Dengan menggunakan persamaan 9, nilai z S. aureus, P. fluorescens dan
E. coli oleh ekstrak biji atung dapat ditentukan yaitu dengan cara memplot log D
melawan dosis (dalam satuan MIC dan mg/ml) menggunakan regresi linear-least
squares yang kurvanya disajikan pada gambar 11. Kurva garis lurus yang
diperoleh dari hubungan log D melawan dosis disebut dengan kurva resistensi
dosis yang analog dengan kurva resistensi pada proses termal. Nilai z S. aureus,
P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak biji atung disajikan pada Tabel 5,
diperoleh dari seperderajat kemiringan kurva resistensi dosis. Pada Tabel 5, juga
disajikan nilai D absolut dari masing-masing bakteri pada dosis yang sama yaitu
5,34 mg/ml, nilai ini diperoleh dari memasukkan dosis 5,34 mg/ml ke persamaan
garis lurus pada satuan mg/ml pada gambar 11. Nilai D S. aureus pada dosis 5,34
mg/ml lebih besar dibandingkan dari nilai D P. fluorescens berbeda dari hasil
pada Tabel 4 pada dosis 3,2-5,13 mg/ml dimana nilai D S. aureus pada setiap
peningkatan dosis lebih kecil dari P. fluorescens. Hal ini menunjukkan pada
dosis tinggi peningkatan dosis tidak sensitif terhadap nilai D pada S. aureus
dibandingkan P. fluorescens.
Tabel 5. Nilai D dan z dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan
E. coli pada dosis ekstrak etil asetat biji atung 5,34 mg/ml
Bakteri
S. aureus
P. fluorescens
E. coli
Fase 1 (adaptasi)
Fase 2 (kematian)
Nilai D (jam)
Nilai z (mg/ml)
0,42
0,19
3,45
1,65
24,2
1,66
5,05
5,16
73
71
E. coli, fase adaptasi
E. coli, fase adaptasi
E. coli, fase kematian
S.aureus
P. fluorescens
S.aureus
P. fluorescens
E. coli, fase kematian
Gambar 11. Kurva resistensi dosis dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung dalam satuan
dosis mg/ml dan MIC.
73
E. KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA PADA PANGAN
MODEL PADAT
Pangan model padat yang digunakan untuk pengujian ekstrak etil asetat
biji atung adalah produk pangan semi basah berbentuk dodol seperti yang
tercantum pada Gambar 12. Produk ini mengandung protein 9,08 %, karbohidrat
48,7 % dan lemak 25,6 % dengan kadar air 12,18 % dan nilai aw = 0,756-0,782
(Tabel 6).
Gambar 12. Produk pangan semi basah yang digunakan sebagai
pangan modelpadat.
Untuk percobaan ini semua bahan yang digunakan disterilkan sendirisendiri, dicampur ditambah beberapa tingkat konsentrasi ekstrak (0.0, 0.5, 1.0,
1.5, 2.0 dan 3,0 MIC). Kultur yang ditambahkan adalah S. aureus, latar belakang
pemilihan kultur didasarkan karena bakteri S. aureus merupakan bakteri yang
Tabel 6. Nilai aktivitas air (aw) pangan model padat pada suhu rata-rata
29,9oC pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung
MIC
0
0,5
1,0
1,5
2,0
3,0
Dosis Ekstrak
mg/g
0
1,6
3,20
4,8
6,4
9,6
aw
0,782
0,760
0,765
0,756
0,758
0,756
74
tahan pada aw rendah. Satuan dosis ekstrak yang ditambahkan adalah satuan dari
nilai MIC S. aureus pada medium cair.
1. Pola Kematian Bakteri Pada Pangan Model Padat
Jumlah inokulum S. aureus yang ditambahkan pada bahan pangan model
padat kira-kira106 sel /ml, di dalam produk jumlah bakteri S. aureus ini menurun
yang datanya dicantumkan pada Lampiran 20. Pada produk tanpa penambahan
ekstrak sampai hari ke 5 (jam ke 124) pengamatan hanya turun satu siklus log,
sementara pada produk yang ditambah ekstrak penurunan lebih cepat dibandingkan kontrol. Pada perlakuan 0,5 MIC jumlah S. aureus turun 2 siklus log,
pada perlakuan 1,0 MIC sampai dengan 3,0 MIC jumlah S. aureus turun 4 siklus
log.
Plot log jumlah S. aureus yang hidup dalam pangan model padat melawan
waktu kontak dapat dilihat pada Gambar 13b. Pada kurva inaktivasi S. aureus
dalam
pangan model padat terdapat dua garis lurus lurus. Garis penurunan
pertama terdapat pada bagian awal kurva dapat dianggab merupakan fase adaptasi
dari bakteri S. aureus dan garis lurus kedua adalah fase kematian bakteri. Pola
inaktivasi pada kontrol yaitu pada batas aw kritis yaitu aw = 0,782, mirip dengan
pola inaktivasi S. aureus hasil penelitian Soekarto et al (1984 ) pada produk yang
sama tetapi pada aw 0,11-0,62. Pada aw yang sama pola inaktivasi hasil penelitian
Soekarto et al (1984 ) 6 jam pertama populasi meningkat sedikit setelah itu turun.
Perbedaan pola inaktivasi ini disebabkan oleh komposisi produk yang berbeda.
Produk pada penelitian Soekarto et al (1984 ) mengandung protein 17,7 %,
lemak 23,2 %, karbohidrat 57,9% dan kadar air 3,0 %, lebih besar dari yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 % dan
lemak 25,6 %.
2. Perubahan Pola Inaktivasi Bakteri
Pola kematian S. aureus di dalam pangan model padat oleh ekstrak biji
atung disajikan pada Gambar 13b, bila dibandingkan dengan pola kematian S.
aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung di dalam media cair pertumbuhan NB
(Gambar 13a) terjadi perubahan pola kematian. Pada medium cair NB, fase
75
adaptasi S. aureus mendatar, berbentuk bahu pendek pada dosis sama dan sedikit
lebih besar dari MIC, makin tinggi konsentrasi bahu perlahan-lahan hilang dan
ekor perlahan-lahan muncul. Pada pangan model padat adanya bahu sebagai fase
adaptasi dan adanya ekor tidak ditemui. Fase adaptasi pada pola kematian S.
aureus pada produk pangan model padat menurun secara tajam berbentuk garis
lurus dan diikuti dengan fase kematian berbentuk garis lurus dengan dengan
derajat kemiringan yang lebih kecil dibandingkan dari fase adaptasi.
Terjadi perubahan pola inaktivasi dapat disebabkan oleh karena adanya
dua mekanisme pengawetan yang berbeda yaitu aw dan ekstrak etil asetat biji
atung yang bekerja sekaligus pada bakteri S. aureus di dalam pangan model padat
yang dapat mempengaruhi pola kematian bakteri. Produk ini memiliki aw berkisar
0,756-0,782 ( Tabel 8) lebih rendah dari aw minimum pertumbuhan bakteri S.
aureus, aw minimum pertumbuhan bakteri S. aureus adalah 0,86 ( Soekarto et al,
Silliker, 1980; Jay, 1986 dan Feeherry et al, 2003).
Diperkirakan perbedaan bentuk pola kematian pada media cair dan padat
disebabkan oleh aw produk. Pada media cair pada dosis ekstrak sama dan sedikit
lebih besar dari MIC, dimana aw tidak berpengaruh fase adaptasi mendatar
berbentuk bahu artinya pada pada awal inkubasi bakteri S. aureus cenderung
mempertahankan diri terhadap adanya ekstrak. Pada dosis besar dari MIC pada
media cair bahu mulai berkurang dan pola kematian mendekati garis lurus artinya
pertahanan S. aureus mulai berkurang dengan dosis ekstrak yang semakin
meningkat. Pada media padat yang ditambahkan ekstrak etil asetat biji atung, S.
aureus tidak dapat mempertahankan diri mikroba langsung turun jumlahnya
secara drastis yang diperlihatkan oleh pola kematian yang menurun dengan tajam.
Dengan demikian pola penurunan yang tajam pada awal inkubasi lebih
disebabkan oleh pengaruh aw yang lebih besar dibandingkan pengaruh ekstrak,
hal ini dapat dilihat dari pola kematian bakteri tanpa penambahan ekstrak yang
cendrung stabil setelah fase adaptasi dilalui.
Kurva inaktivasi S. aureus dalam pangan model padat masih mengikuti
pola umum kematian bakteri yaitu bersifat logaritmik dengan penyimpangan pada
fase
adaptasi.
Bentuk
penyimpangan
bila
dicocokkan
dengan
bentuk
penyimpangan pola kematian bakteri pada proses panas dan radiasi (Gambar 2)
76
pola kematian S. aureus dalam produk termasuk bentuk kurva tipe c berbentuk
cekung. Menurut Soper dan Davies (1994) kurva bentuk cekung dapat disebabkan
perbedaan kerentanan dari mikroba atau bisa juga karena adanya efek
perlindungan dari mikroba yang mati atau adanya komponen lain pada
lingkungan.
a9
b
8
8
7
6
6
5
5
log N
Log N
7
4
3
4
3
2
1
2
0
0
10
20
30
1
0
waktu ( jam )
20
40
60
80
100 120 140
waktu (jam)
1,0 MIC
1.03 MIC
1.10 MIC
1.17 MIC
1.24 MIC
1,38 MIC
1,6 MIC
0.0 MIC
0.5 MIC
1.0 MIC
1.5 MIC
2.0 MIC
3.0 MIC
Gambar 13. Pola kematian S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung dalam
(a) medium cair NB, (b) pangan model padat .
3. PERUBAHAN PARAMETER LAJU INAKTIVASI
Perubahan pola inaktivasi dapat menyebabkan perubahan pada parameter
laju inaktivasi yaitu nilai D dan z.
a. Perubahan Nilai D
Dosis yang digunakan untuk penghitungan nilai D pada pangan model
padat adalah 1.0, 1.5, 2.0 dan 3.0 MIC yang datanya terdapat pada Lampiran 20
dan Gambar 13b. Dengan mengasumsikan kurva kematian bakteri logaritmik
maka nilai D untuk setiap perlakuan dapat dihitung menggunakan model Pflug
dan Holcomb (1983) yang disajikan pada Tabel 7.
77
Tabel 7. Nilai no (titik potong ordinat) dan nilai D dari bakteri S. aureus pada
pangan model padat dari beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung
Dosis Ekstrak
(MIC)
mg/g
1,0
3,2
no
(titik potong
ordinat)
4.87
1,5
4,8
4.76
0.015
0,99
64,9
1,81
2,0
6,4
4.58
0,018
0,99
54,64
1.74
3,0
9,6
4.51
0,020
0,99
49.26
1.69
Derajat
Kemiringan
r
D
(jam)
Log D
0,013
0,99
76.9
1.88
Pada Tabel 7, semakin besar dosis ekstrak yang ditambahkan nilai D
semakin kecil, sama dengan penurunan nilai D akibat peningkatan dosis yang
diperoleh pada media cair. Untuk membunuh satu siklus log S. aureus di dalam
pangan model padat dengan ekstrak biji atung 1,0 MIC cair (3,2 mg/g) diperlukan
waktu 76,9 jam. Nilai D ini jauh lebih besar dibandingkan nilai D S. aureus pada
media cair NA pada dosis ekstrak yang sama yaitu 3,14 jam. Nilai D yang lebih
besar menunjukkan bahwa bakteri S. aureus lebih tahan di dalam media padat
dibandingkan dalam media cair terhadap ekstrak etil asetat biji atung.
Hasil yang sama juga diamati pada ekstrak etil asetat dari teh menghambat pertumbuhan S. aureus di dalam medium broth lebih besar dari di dalam susu
skim (sistem pangan) (Nychas, 1995). Aureli et al (1992), juga menunjukkan
bahwa minyak atsiri thime menurunkan jumlah L. monocytogenes di dalam
cacahan daging babi kira-kira 2 siklus log pada 4oC dan 1 log pada 8oC, tetapi
efektifasnya lebih rendah dibandingkan dari media laboratorium. Cengkeh dan
oregano gagal mengendalikan pertumbuhan L. monocytogenes di dalam slurry
daging pada konsentrasi 1 % sementara di dalam broth bersifat bakterisidal dan
bakteriostatik (Ting dan Deibel, 1992).
Nilai D Salmonella dan Listeria di dalam cacahan daging dada ayam lebih
besar dari pada di dalam medium pepton cair oleh panas (Murphy et al., 2000).
Menurut Nychas (1995) minyak atsiri lebih efektif dalam media laboratorium
dibandingkan dalam sistem pangan. Nilai D yang lebih besar mencerminkan
adanya efek perlindungan dari komposisi medium pada kematian S. aureus yang
78
juga dilaporkan pada produk pangan lain oleh agen antimikroba lain. Menurut
Branen (1983) dan Nychas (1995) faktor intrinsik seperti komposisi dari bahan
pangan mempengaruhi perilaku mikroorganisme. Adanya lemak dan protein
mempengaruhi kerja pengawet dari beberapa senyawa antimikroba.
Aktifitas
senyawa fenolik dipengaruhi oleh jumlah protein yang tinggi di dalam broth atau
sistem pangan ( Tassou dan Nychas, 1994). Protein di dalam bahan pangan
bereaksi terlebih dahulu dengan senyawa fenolik membentuk komplek proteinfenolik yang dapat bersifat larut atau tidak larut tergantung konsentrasi. Pada
konsentrasi rendah membentuk ikatan hidrogen yang bersifat dapat balik,
sedangkan pada konsentrasi tinggi membentuk ikatan silang yang bersifat tidak
dapat balik (Shahidi dan Naczk,1995). Shelef et al (1984) melaporkan ketahanan
terhadap minyak atsiri sage meningkat dengan menurunnya kandungan air dan
meningkatnya kandungan protein dan lemak dari bahan pangan. Farbood et al
(1976) menyatakan lemak dapat menutupi permukaan sel bakteri dan
kemungkinan mencegah penetrasi senyawa antimikroba masuk ke dalam sel.
Aktivitas antimikroba dalam bahan pangan dipengaruhi oleh aw, yang
mempengaruhi kelangsungan hidup dan kematian mikroba. Restaino (1983 dalam
Lenovich, 1987 ) mempelajari pertumbuhan Saccharomyces rouxii pada kisaran
aw 0,82-0,995 dalam adanya 0-0,15 % asam sorbat. Secara umum penurunan aw
meningkatkan ketahanan S. rouxii dan meningkatkan konsentrasi sorbat. Lenovich
(1986) mempelajari hubungan timbal balik antara sorbat dan aw pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup S. rouxii (Lenovich, 1987). Adaptasi terhadap
sorbat meningkatkan ketahanan S. rouxii pada aw rendah dibandingkan aw tinggi.
Menurut Mc Meekin et al (2002) ketahanan mikroba terhadap aw rendah
disebabkan karena kemampuan mikroba mengatur lingkungan internal dengan
cepat yaitu dengan cara mengakumulasi solut yang seimbang (compatible solut)
dengan lingkungan yaitu seperti glisine betaine atau carnitin. Glisine betaine atau
carnitin banyak terdapat dalam bahan pangan dan hewan sehingga mudah cepat
dapat diambil oleh bakteri .
79
3. Perubahan Nilai z S. aureus
Nilai z dari S. aureus pada pangan model padat diperoleh dari hubungan
log D dengan dosis yang grafiknya disajikan pada Gambar 14. Dari derajat
kemiringan hubungan log D dengan dosis diperoleh nilai z S. aureus di dalam
media padat 10,67 MIC atau 34,1 mg/g. Nilai z S. aureus pada pangan model
padat ini jauh lebih besar dari nilai z S. aureus pada media cair yaitu 3,45 mg/ml.
Perbedaan ini disebabkan karena
aw rendah dan kompleksitas zat gizi dari
produk.
Gambar 14. Kurva resistensi dosis dari S. aureus pada pangan model padat oleh
ekstrak etil asetat biji atung
80
F. PERUBAHAN STRUKTUR SELULER BAKTERI S. aureus DAN
P. fluorescens OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG
Pengamatan perubahan struktur seluler bakteri dimaksudkan untuk
menentukan mekanisme inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung.
Bakteri yang diamati dalam penelitian ini adalah S. aureus yang mewakili bakteri
Gram positif dan P. fluorescens mewakili bakteri Gram negatif. Pengamatan
morfologi menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan pengamatan
ultrastruktur menggunakan transmission electron microscopy (TEM).
1. S. aureus
Perubahan-perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus diamati
setelah sel S. aureus dikontakkan dengan ekstrak etil asetat biji atung pada dosis
0, 0.35, 0.5, 0.7, 1.0 dan 1.2 MIC selama 4 jam.
a. Perubahan Morfologi S. aureus
Pada Gambar 15, dapat dilihat perubahan morfologi sel S. aureus oleh
ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa tingkat dosis. Beberapa perubahan
yang dapat diamati adalah terbentuknya tonjolan kecil pada permukaan sel
(blebs), sel mengeluarkan cairan dan terbentuknya sel ghost.
Terbentuk Tonjolan Kecil (blebs)
Menurut Klainer (1974), sel S. aureus berbentuk bulat dengan permukaan
licin dan homogen (Gambar 15g), sel ini sama bentuknya dengan yang dihasilkan
dalam penelitian ini yaitu pada perlakuan tanpa penambahan ekstrak etil asetat biji
atung (kontrol) yang dapat dilihat pada Gambar 15a. Namun adanya jembatan
yang unik sebagai penghubung antar sel seperti Gambar 15g, tidak jelas kelihatan.
Pada penambahan ekstrak etil asetat 0,35 MIC menyebabkan sel yang tadinya
licin mulai terbentuk tonjolan-tonjolan kecil (blebs) pada permukaan sel, semakin
tinggi dosis (0,7 dan 1,0 MIC) tonjolan semakin banyak (Gambar 15c). Pada dosis
1,0 MIC selain ditemukan tonjolan-tonjolan yang semakin banyak sebahagian sel
permukaannya menjadi kasar. Hasil studi Ruiz-Barba et al (1990) dan Tassou
(1993) yang dikutip oleh Nychas (1995) bahwa sel S. aureus yang dikontakkan
83
Model Pflug dan Holcomb (1983) adalah
log Nt =log no - t/D
dimana Nt adalah jumlah bakteri yang masih hidup setelah kontak selama waktu t
no adalah titik potong garis lurus dengan sumbu y (jumlah awal semu bakteri)
t adalah waktu kontak (jam)
D adalah parameter waktu untuk membunuh 90% bakteri
Hasil analisis regresi liner least-squares dari kurva kematian logaritmik dari
bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli menggunakan model Pflug dan Holcomb
(1983) disajikan pada Tabel 4. Untuk bakteri E. coli fase bahu (fase 1) dimulai dari
jam 0 sampai jam ke 4 diasumsikan satu garis lurus dan fase kematian (fase 2) dari
jam ke 5 sampai akhir pengamatan juga diasumsikan satu garis lurus.
Dengan
demikian ada dua persamaan dengan dua nilai D didapat.
Hasil analisis regresi dari Tabel 4, menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis
nilai D semakin kecil, berarti laju kematian bakteri semakin cepat. Nilai D pada setiap
dosis yang sama dari S. aureus nilainya lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dan
nilai D E. coli paling besar dari ketiga bakteri uji baik untuk fase adaptasi (bahu)
maupun untuk fase kematian (ekor).
Metode Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan untuk menentukan
nilai D bakteri P. aeruginosa oleh Moniharapon (1998) pengaruh ekstrak etil asetat
biji atung. Nilai D P. aeruginosa dari hasil penelitian Moniharapon (1998) lebih
kecil dari nilai D P. fluorescens dari hasil penelitian ini pada dosis dan ekstrak yang
sama menggunakan metode Pflug dan Holcomb (1983). Pada dosis 1,0 MIC nilai D
P. fluorescens dari hasil penelitian ini yaitu 3,87 jam dan nilai D P . aeruginosa hasil
84
Tabel 4. Hasil analisis parameter laju kematian bakteri S. aureus dan P. fluorescens
dan E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung
85
penelitian Moniharapon (1998) pada 1 MIC 1,4 jam (83,33 menit). Perbedaan ini
dapat disebabkan penentuan nilai MIC pada jam yang berbeda. Pada penelitian
Moniharapon (1998) nilai MIC pada jam ke 8 mikroba sudah tidak tumbuh lagi
sedangkan dalam penelitian ini nilai MIC di tetapkan pada dosis yang menyebabkan
tidak terjadinya pertumbuhan pada waktu mendekati 24 jam (Gambar 10). Selain itu
perbedaan nilai D dapat juga disebabkan karena perbedaan spesies. Menurut Orth
(1994), organisme yang berbeda mempunyai karakteristik fisiologi dan metabolisme
yang berbeda akibatnya mereka memperlihatkan perbedaan dalam laju kematian bila
dikontakkan pada dosis yang mematikan.
Metode Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Orth (1994)
untuk mengevaluasi dan menguji pengawet dari produk-produk farmasi. Orth (1984)
menentukan nilai D dari bakteri S. aureus oleh metilparaben menggunakan model
Pflug dan Holcomb (1983) menghasilkan nilai D S. aureus oleh metilparaben pada
dosis 0,2 mg/ml adalah 4 jam (Orth, 1994). Nilai D S. aureus oleh metilparaben hasil
penelitian Orth (1984) ini lebih kecil dari nilai D S. aureus pengaruh ekstrak etil
asetat biji atung yaitu 3.14 jam pada dosis 3.20 mg/ml. Menurut Orth (1994)
tergantung dari kriteria yang digunakan, jika bakteri patogen harus dibunuh dalam 24
jam agar populasi bakteri yang berjumlah 106 sel /ml agar dapat diinaktifkan secara
sempurna nilai D harus lebih kecil atau sama dengan 4 jam. Dari penelitian ini ketiga
bakteri yang diuji yaitu S. aureus, P. fluorescens dan E. coli mempunyai nilai D yang
lebih kecil dari 4 jam.
86
b. Nilai z
Nilai z pada proses termal merupakan parameter hubungan nilai D pada
berbagai suhu pemanasan. Nilai z menyatakan rentang suhu yang diperlukan untuk
menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi termal (Stumbo, 1973). Kurva
resistensi termal dibuat dengan cara memplot nilai log D pada berbagai suhu. Pada
proses termal hubungan nilai D dengan suhu dinyatakan oleh Stumbo (1973) pada
persamaan (5) yaitu :
Log D2 – logD1 = 1/z (T1-T2)
atau
Log D1 = Log D2– (T2-T1)/z........................(7)
Analog dengan rumus (7) hubungan nilai D dengan berbagai dosis (d) ekstrak biji
atung pada bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli dapat diturunkan menjadi
rumus (8):
Log D1= Log D2 – (d2 – d1)/z....................(8)
dengan mengganti (d2 – d1) pada persamaan (8) dengan d diperoleh hubungan :
Log D= Log D0 – d/z....................(9)
dimana
D0 = titik potong kurva pada dosis = 0
z = rentang dosis untuk melewati satu siklus log D
Dengan menggunakan persamaan 9, nilai z S. aureus, P. fluorescens dan E.
coli oleh ekstrak biji atung dapat ditentukan yaitu dengan cara memplot log D
melawan dosis (dalam satuan MIC dan mg/ml) menggunakan regresi liner leastsquares yang kurvanya disajikan pada Gambar 11. Kurva garis lurus yang diperoleh
dari hubungan log D melawan dosis disebut dengan kurva resistensi dosis yang
92
Sel berbentuk L ditemui pada penggunaan antibiotik, antiseptik dan fenol
(Gilberl,1984). Sel L-form adalah mutan yang stabil yang telah kehilangan
kemampuan untuk membentuk membran luar sel, mureuin saculus dan mereka
telah terbukti mempunyai sistem ekspressi alternatif (Ripman et al, 1998).
2. Pseudomonas fluorescens
Perubahan morfologi dan ultrastruktur sel bakteri P. fluorescens diamati
pada dosis yang sama dengan bakteri S. aureus yaitu 0, 0.35, 0.7, 1.0 dan 1.2
MIC dengan waktu kontak 4 jam.
a. Perubahan Morfologi P. fluorescens
Beberapa perubahan morfologi sel P. fluorescens setelah dikontakkan
pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam dapat
diamati pada Gambar 19 dan Tabel 9. Gambar 19a adalah gambar sel normal dari
bakteri P. fluorescens tanpa perlakuan ekstrak etil asetat biji atung. Sel normal ini
berbentuk batang agak bulat dengan panjang sel kira-kira 1,12- 1,42 μm (Tabel 9).
Setelah ditambah ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,35 MIC sel menjadi
lebih panjang menjadi 1,67-2,0 μm dan pada beberapa sel yang panjang tersebut
terdapat lekukan (Gambar 19b). Panjangnya sel disebabkan terbentuknya lendir
yang memanjang pada permukaan sekujur tubuh sel, dan beberapa memperlihatkan seperti selongsong kosong, diperkirakan selongsong kosong tersebut
Tabel 9. Panjang dan lebar sel P. fluorescens pengaruh beberapa tingkat dosis
ekstrak etil asetat biji atung.
Dosis Ekstrak (MIC)
Panjang sel (μm)
Lebar (μm)
1,12-1,42
0,50 - 0,67
0,35
1,67-2,0
0,47- 0,59
0,7
1,16-2,33
0,33 -0,55
1,0
1,62-2,25
0,40 -0,60
Kontrol (0)
93
a
b
d
c
e
Gambar 19. Scanning electron microscope (SEM) dari sel bakteri P. fluorescens
pengaruh ekstrak etil asetat biji atung dengan waktu kontak 4 jam
a. sel P. fluorescens normal ( kontrol), b 0,35 MIC, terdapat lendir
membentuk selongsong sel, lekukan sel, c. 0,7 MIC, terdapat lebih
banyak lekukan d. 1,0 MIC pada perbesaran 10.000k, sebahagian sel
hancur dan lekukan masih ditemukan e. 1,0 MIC pada perbesaran
15.000k.
94
adalah lendir. Diketahui bakteri P. fluorescens adalah bakteri penghasil lendir dan
lendir digunakan oleh bakteri untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang
tidak menguntungkan.
Terdapatnya lekukan pada beberapa sel diperkirakan sel mempunyai septa
yang belum membelah. Pada kontrol dengan waktu inkubasi yang sama dengan
yang diperlakukan dengan ekstrak yaitu selama 4 jam, tidak ditemukan septa
sepertinya proses pembelahan telah selesai terjadi sementara pada perlakuan
ekstrak etil asetat biji atung 0,35 MIC beberapa masih ditemukan septa yang
berarti ekstrak etil asetatbiji atung menghambat proses pembelahan sel. Pada
perlakuan dosis ekstrak etil asetat biji atung 0,7 MIC lekukan yang ditemukan
semakin banyak dengan panjang sel yang lebih beragam berkisar dari 1,16-2,33
μm, dan lendir masih ditemukan akan tetapi tidak sebanyak yang dihasilkan pada
perlakuan dosis 0,35 MIC. Dengan makin banyaknya lekukan dan makin
sedikitnya lendir menunjukkan bahwa pertahanan sel P. fluorescens semakin
berkurang. Semakin banyaknya lekukan berarti septa semakin banyak, septa yang
semakin banyak mengindikasikan dengan jelas bahwa pertahanan sel menurun
oleh peningkatan dosis ekstrak etil asetat biji atung. Disini jelas ekstrak etil asetat
biji atung menghambat proses pembelahan sel. Perpanjangan sel oleh senyawa
antimikroba seperti ini banyak ditemukan dan ditemukan pada perlakuan senyawa
antimikroba pada dosis di bawah MIC (Gilber, 1984 dan Gemmel dan Lorian,
1996).
Menurut Gemmel dan Lorian bila panjang sel berbentuk batang melebihi
10 μm, disebut filamen. Dari hasil penelitian ini perpanjangan sel P. fluorescens
oleh ekstrak etil asetat biji atung belum mencapai 10 μm dengan demikian belum
dapat dikatakan filamen. Menurut Isom et al (1995) panjangnya filamen pada E.
coli oleh hidrogen peroksida meningkat dengan
meningkatnya waktu.
Diperkirakan sel P. flourescens belum cukup waktu kontaknya dengan ekstrak biji
atung untuk membentuk filamen. Menurut Gemmel dan Lorian (1996) filamen
bakteri adalah hasil pertumbuhan bakteri berbentuk batang yang tidak membelah
menjadi individu baru dan bila dipindahkan pada medium bebas stres akan
memisah menjadi individu baru. Dan selanjutnya dikatakan filamen dihasilkan
pada pemberian antibiotik (Gemmel dan Lorian, 1996), pada pemberian hidrogen
95
peroksida pada konsentrasi rendah (Imlay dan Linn, 1987) dan pada perlakuan
suhu di atas suhu optimal pertumbuhan (Rowan, 1999). Menurut Moat dan Foster
(1988) pada suhu di atas suhu pertumbuhan kultur terus tumbuh, sintesis RNA,
DNA dan protein terus berlanjut tetapi sel membentuk filamen yang menunjukkan
pembelahan sel dipengaruhi. Beberapa senyawa antimikroba yang menghasilkan
filamen adalah: amoksilin menghasilkan filamen pendek pada E. coli dan
sefaleksin, sefoksitin menghasilkan filamen yang panjang pada P. aeruginosa
(Gemmel dan Lorian, 1996),
Peningkatan dosis ekstrak etil asetat biji atung menjadi 1,0 MIC,
sebahagian sel bakteri P. fluorescens menjadi hancur yang dapat dilihat pada
Gambar 19d dan 19e. Pada dosis ini dari sel yang masih utuh tidak terlihat adanya
lendir tetapi lekukan masih ditemui. Panjang sel berkisar 1,62-2,25 μm, hampir
sama dengan perlakuan dosis 0,7 MIC. Artinya mikroba pada dosis ekstrak etil
asetat biji atung 1,0 MIC dengan waktu kontak 4 jam, sebahagian sel masih dapat
membentuk septa akan tetapi sebahagian sudah lisis.
Menurut Gemmel dan
Lorian (1996) pada konsentrasi antibiotik mendekati MIC lisis terjadi pada bagian
sel yang memanjang, sitoplasma keluar dan pada konsentrasi di atas MIC filamen
berhenti tumbuh dan lisis.
b. Perubahan Ultrastruktur P. fluorescens
Pengaruh ekstrak biji atung pada ultrastruktur bakteri P. fluorescens yang
ditumbuhkan pada media cair NA selama 4 jam dapat dilihat pada Gambar 20 dan
21. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan ekstrak biji atung menghasilkan
beberapa perubahan yang dapat diamati sebagai berikut: sitoplasma tidak teratur,
terbentuk ruang antar sitoplasma dan membran sel, sebahagian sel mengkerut
(kolaps), sebahagian sel lisis, terbentuk sel telanjang (sferoplast).
Sel Lisis
Perubahan permeabilitas dinding dapat diamati pada pada Gambar 20b,
yaitu pada perlakuan dosis ekstrak etil asetat biji atung 0,35 MIC. Lisis sel dapat
disebabkan karena terganggunya enzim-enzim yang mensintesis dinding sel,
96
a
b
d
c
k
k
e
Gambar 20. Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens
pengaruh ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam kontak. a. kontrol,
b. 0,35 MIC, c. 0,7 MIC, d. 1,0 MIC, e. 1,2 MIC. k= sel mengkerut.
97
akibatnya dinding sel melemah dan porositas meningkat. (Gilbert, 1984). Menurut
Davidson dan Branen (1980) senyawa fenolik dapat bereaksi dengan komponen
fosfolipid dari membran sel P. aeruginosa menyebabkan sel menjadi lisis.
Pengaruh senyawa fenolik pada membran adalah menyebabkan sel lisis karena
denaturasi protein (Prindle, 1983).
a
b
S
L
k
Gambar 21. Transmission electron microscope (TEM) dari sel P. fluorescens
pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,7 MIC (a) dan 1,0
MIC (b) dengan waktu kontak 4 jam. S = sferoplast, L= sel bentuk L
dan k= sel lisis
Terbentuknya Ruang Antar Sitoplasma dan Membran Sel
Penambahan ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan terbentuknya
ruang atau jarak antara membran sitoplasma dengan dinding sel yang gambarnya
disajikan pada Gambar 20. Semakin tinggi dosis ekstrak, ruang semakin besar
seperti terlihat pada Gambar 20d. Merenggangnya membran sel dari sitoplasma
dapat disebabkan porositas membran meningkat akibat melemahnya dinding sel
oleh ekstrak etil asetat biji atung. Peningkatan porositas menyebabkan perubahan
permeabilitas membran, yang dapat menyebabkan kebocoran sel. Pada Gambar
20b pada perlakuan 0,35 MIC, pada dinding luar sel P. fluorescens terdapat
undulasi dengan permukaan tidak semulus kontrol. Diperkirakan adanya undulasi
disebabkan karena perubahan permeabilitas dinding sel, akibat merembesnya
cairan sitoplasma keluar sehingga terbentuk ruang antara membran sitoplasma dan
sitoplasma. Ruang ini semakin besar dengan semakin lemahnya dinding sel, yang
ditunjukkan dengan adanya tonjolan pada permukaan luar sel. Pada keadaan
membran tidak dapat menahan tekanan dari sitoplasma maka membran bocor dan
98
terjadi aliran sitoplasma keluar sel, bila sitoplasma belum keluar maka ruang yang
teramati semakin besar seperti yang terlihat pada Gambar 20e.
Terbentuknya ruang antara membran dengan sitoplasma ditemui pada
Salmonella heidelberg 3432-2 yang dikontakkan pada magainin 2 yaitu suatu
antimikroba peptida yang diisolasi dari glandula katak selama 5 jam dalam BHI
broth pada suhu 370C pada dosis 3 μg/ml (Abler et al, 1995). Ruang antara
membran dan sitoplasma juga ditemui pada S. typhimurium di dalam larutan
Na2CO3 pH tinggi yang diberi rangsangan listrik selama 5 menit (Slavik, 1995).
Sel Mengkerut
Aktivitas antimikroba mempunyai kisaran yang berbeda di atas dan di
bawah MIC. Pada Gambar 20d dan 20e, terlihat sel mulai mengkerut ( kolaps)
pada perlakuan ekstrak biji atung 1,0 MIC dan jumlah sel mengkerut makin
banyak pada perlakuan dosis 1,2 MIC. Sel yang mengkerut dapat disebabkan
kehilangan sitoplasma yang banyak yang berasal dari kebocoran membran.
Terlepasnya Dinding Sel
Bakteri Gram positif yang dinding selnya terlepas semuanya dengan
membran sel yang masih utuh (sel telanjang) disebut dengan protoplas. Pada
bakteri Gram negatif dengan perlakuan yang sama sebahagian dari membran luar
yaitu protein-lipopolisakarida masih tersisa sedangkan peptidoglikannya habis
terlepas, sel seperti ini disebut dengan sferoplast (Volk dan Wheeler, 1988; Joklik
et al, 1988). Dari hasil penelitian ini, sferoplast ditemukan pada perlakuan dosis
ekstrak 0,7 MIC yang dapat dilihat pada Gambar 21a. Bentuk sferoplast seperti ini
juga ditemukan pada sel E. coli yang diperlakukan dengan penisilin selama 90
menit (Joklik et al, 1988).
Sel Berbentuk L (L-form)
Menurut Fass dan Prior (1974) sel berbentuk L adalah sel yang
mempunyai bentuk seperti huruf L dengan dinding yang rusak. Salah satu bentuk
sel berbentuk L dari hasil penelitian ini adalah sel pada Gambar 21p, pada
perlakuan 0,7 MIC. Sel bentuk L mampu bereplikasi dan dapat tumbuh dalam
99
keadaan dindingnya rusak, secara biologi mampu hidup dan memperbanyak diri
tanpa dinding sel dengan tidak kehilangan sifat patogenitasnya. Menurut Ripman
et al, (1998) sel bentuk L ini mempunyai sistem ekspressi alternatif yang dapat
menyebabkan mikroba ini menjadi tidak dikenali.
G. PENGAMATAN KEBOCORAN SEL BAKTERI S. aureus DAN
P. fluorescens OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG
Tujuan dari pengukuran kebocoran sel adalah untuk mengukur derajat
kerusakan dinding dan
membran sel terhadap ekstrak etil asetat biji atung.
Bakteri yang digunakan dalam pengukuran kebocoran sel adalah S. aureus dan P.
fluorescens. Menurut Gilbert (1984) pengamatan kebocoran sel dapat diamati
pada dosis yang tidak mematikan yaitu dosis yang menyebabkan mikroba menjadi
sakit. Dosis ekstrak ekstrak etil asetat yang diperlakukan dalam penelitian ini agar
sel S. aureus dan P. fluorescens menjadi sakit adalah 0, 0.3, 0.5, 0.7 dan 0.9 MIC.
Sel S. aureus dan P. fluorescens yang berumur 8 jam yaitu berada dalam fase
logaritmik dikontakkan dengan ekstrak biji atung selama 4 jam, hasilnya disajikan
pada Gambar 22 dan 23.
1. Kebocoran Bahan-bahan yang Dapat Menyerap Sinar UV pada OD 260
dan 280 nm.
Sel yang mengalami kerusakan tetapi tidak mati seringkali mengalami
kebocoran sehingga komponen-komponen sel akan keluar ke medium
sekelilingnya (Gilbert, 1984). Pelepasan senyawa intraseluler dapat ditentukan
dengan pengujian cairan supernatan sel pada OD 260 dan 280 nm. Pada Gambar
22. terdapat peningkatan absorbansi dari supernatan sel S. aureus dan P.
fluorescens yang dikontakkan pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji
atung selama 4 jam. pada panjang gelombang 260 maupun 280 nm. Peningkatan
absorbansi menandakan terjadi peningkatan bahan-bahan yang dapat diserap pada
panjang gelombang 260 dan 280nm yang dikeluarkan oleh sel bakteri S. aureus
dan P. fluorescens.
100
a
b
3
3
2.5
260 nm
280 nm
2
280 nm
1.5
Absorbansi
Absorbansi pada 260 dan 280 nm
260
2.5
2
260 nm
1.5
1
1
0.5
0.5
0
0
0
0.3
0.6
0.9
dosis (MIC)
1.2
0
0.3
0.6
0.9
dosis (MIC)
Gambar 22. Absorbansi dari bahan-bahan yang dilepaskan dan diserap oleh sinar
UV pada OD 260 nm dan 280 nm pada sel (a) S. aureus dan
(b) P. fluorescens
.
Peningkatan jumlah absorbansi menandakan meningkatnya jumlah
senyawa yang dikeluarkan oleh sel yang dapat diserap pada spektrofotometer UV
pada 260 dan 280 nm.
Senyawa-senyawa yang dapat diserap pada panjang
gelombang 260 nm telah diidentifikasikan sebagai sebagai RNA dan turunan
RNA yaitu nukleotida dan pada panjang gelombang 280 nm diindentifikasi
sebagai protein ( Gilbert, 1984). Menurut Skoog (1985) yang dikutip oleh Park et
al (2003) spektrofotometer pada 260 nm dapat mendeteksi purin, pirimidin dan
ribonukleotida dan pada 280 nm dapat mendeteksi tirosin dan tiptofan.
Meningkatnya jumlah kandungan sel yang ditemukan pada permukaan luar sel
menandakan terjadi kerusakan membran sel atau perubahan permeabilititas
membran sel. Kerusakan membran dapat dinyatakan dengan keluarnya bahanbahan yang yang dapat diserap pada 260 nm ke medium lingkungan (McCoy dan
Ordal, 1979).
Keluarnya cairan dari sel menandakan sel mengalami kebocoran, yang
juga ditemukan pada perlakuan lain pada dosis rendah. BHA dapat menyebabkan
kebocoran senyawa-senyawa intraseluler yang dapat diserap dengan sinar UV
pada 260 dan 280 nm dari sel P. fluorescens (Davidson dan Branen, 1980) dan
dari S. aureus (Degree dan Silvester, 1983). Kebocoran nukleotida intraselluler
101
diamati pada S. aureus pengaruh fosfat (0,5% SAPP, TSPP, STPP dan 0,1% SPG)
selama 1 jam inkubasi (Lee et al, 1994b). Menurut Hugo (1991) kebocoran adalah
fenomena umum yang disebabkan oleh beberapa senyawa antimikroba.
Pada Gambar 22, pada kedua sel ini (S. aureus, P. fluorescens ) terdapat
perbedaan pola peningkatan absorbansi, pada sel S. aureus absorbansi pada OD
260 lebih tinggi dari 280nm artinya asam nukleat yang hilang dari sel lebih
banyak dari pada protein. Sementara pada sel P. fluorescens tinggi absorbansi
antara 260 dengan 280 nm sama berarti terdapat persamaan jumlah asam nukleat
dan protein yang dilepaskan dari sel. Asam nukleat adalah senyawa penyusun
DNA. Dengan lebih banyaknya hilang asam nukleat pada bakteri S. aureus
memperkuat dugaan bahwa ekstrak etil asetat biji atung menggangu DNA yang
diperlihatkan dari penghambatan pembentukan dan pemisahan septa. Diperkirakan sensitifitas sel S. aureus yang tinggi terhadap ekstrak etil asetat biji atung
dibandingkan dari P. fluorescens dapat disebabkan karena ekstrak etil asetat biji
atung mengganggu DNA yang berfungsi sebagai material genetik sel.
2. Perubahan Kandungan ion K+ intraselluler
Ion K+ adalah kation utama sitoplasma dari sel yang sedang tumbuh
(Ultee, 1999). Ion ini berperan dalam aktivasi enzim sitoplasma, menjaga tekanan
turgor dan kemungkinan mengatur pH sitoplasma. Keluarnya ion K+ dari sel
mengindikasikan terjadinya kerusakan membran bakteri ( Heipieper et al, 1996,
Sikkema, 1994). Dari hasil penelitian pengaruh ekstrak etil asetat biji atung
terhadap jumlah ion K+ yang dibebaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens
dapat dilihat pada Gambar 23. Pada kedua sel yang diamati yaitu S. aureus
maupun P. fluorescens terjadi peningkatan ion K+ yang dilepaskan dengan
perlakuan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perlakuan yang
diberikan membran sitoplasma sel S. aureus dan P. fluorescens sudah mulai
mengalami kerusakan. Menurut Heipieper et al, (1996) P. putida P8 yang
dikontakkan pada fenol melepaskan ion K+ secara nyata ke lingkungan luar.
Selain itu dari sejumlah studi menunjukkan bahwa terpen mempunyai
kemampuan untuk merusak membran. Peningkatan permeabilitas ion K+ diamati
a
b
Ca++ dan K+ yang dilepaskan (% total)
80
Ca++
60
K+
40
20
0
0
0.3
0.6
Ca++ dan K+ yang dilepaskan (%
total)
102
100
Ca++
80
60
40
K+
20
0
0
0.9
0.3
0.6
0.9
Dosis (MIC)
dosis (MIC)
Gambar 23. Peningkatan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dibebaskan oleh sel
(a) S. aureus dan (b) P. fluorescens setelah dikontakkan dengan
ekstrak etil asetat selama 4 jam.
pada B. cereus yang dikontakkan pada 0,25 dan 1mM carvacrol selama 5 dan 9
menit (Ultee, et al, 1999). Kebocoran K+ intraseluler juga diamati pada E. coli
pada fase stasioner dan eksponensial yang kontak dengan minyak atsiri dari
tanaman tea (Melaleuca alternifolia ) pada konsentrasi 0,25 dan 0,5% selama 20
menit.
Pada Gambar 23 dapat dilihat, peningkatan ion-ion K+ yang dilepaskan
oleh S. aureus lebih cepat dibandingkan
ion K+
yang dilepaskan oleh P.
fluorescens. Pada S. aureus pada dosis 0,3 MIC sudah terjadi peningkatan ion K+
sementara pada P. fluorescens peningkatan ion K+ baru terjadi pada dosis 0,6 MIC
dan peningkatan ini berlangsung lebih lambat dengan peningkatan dosis yang
sama dibandingkan dari S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa membran
sitoplasma sel S. aureus lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji atung
dibandingkan membran sitoplasma sel P. fluorescens.
Menurut Russel, (1984), manifestasi kerusakan membran didemonstrasikan dengan kebocoran kandungan intraseluler sel ke lingkungan luar yang dapat
diukur dengan lepasnya bahan-bahan yang dapat menyerap 260nm, pentosa atau
asam-asam amino atau ion K+. Beberapa senyawa kimia yang dapat merusak
103
membran sel adalah polimiksin, fenol, amonium kuartener, paraben dan
klorheksidin.
3. Kebocoran Ca++
Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada kandungan ion kalsium sel S.
aureus dan P. fluorescens juga disajikan pada Gambar 23. Penambahan ekstrak
etil asetat biji atung pada beberapa tingkat dosis di bawah MIC menyebabkan ion
Ca yang dilepaskan oleh kedua sel bakteri yang diuji meningkat. Meningkatnya
jumlah ion Ca
++
yang dilepaskan oleh sel menandakan dinding sel mengalami
kerusakan. Ion Ca++ dan Mg
++
berfungsi menghubungkan lipopolisakarida (LPS)
pada dinding sel bakteri gram negatif (Nikaido dan Vaara, 1985). Pada bakteri
gram positif kation-kation ini berfungsi menghubungkan asam teikoat sebagai
penyusun sel. Meningkatnya jumlah ion Ca yang dikeluarkan oleh sel ke lingkungan akibat adanya ekstrak etil asetat biji atung menandakan dinding sel lisis.
Pada Gambar 23a, pola peningkatan ion-ion Ca++ yang dibebaskan oleh sel
S. aureus menunjukkan bahwa untuk merusak dinding sel S. aureus memerlukan
dosis yang lebih tinggi dibanding P. fluorescens, artinya dinding sel P.
fluorescens lebih sensitif dibandingkan dinding sel S. aureus. Hal ini dapat
disebabkan dari hasil penelitian sebelumnya karena sel S. aureus mempunyai
kemampuan memperbaiki diri yaitu dengan membentuk dinding sel yang lebih
tebal (Gambar 16). Sementara pada sel P. fluorescens pada perlakuan ekstrak etil
asetat biji atung rendah sekali (0,35 MIC). lisis sudah terjadi manifestasinya
dalam bentuk pengkerutan dinding sel yang terlihat pada Gambar 20b.
Fenolik dan senyawa antioksidan dikenal menyebabkan kebocoran
kandungan sel seperti protein, glutamat atau kalium dan fosfat dari bakteri ( Hugo,
1991) yang dapat disebabkan rusaknya peptidoglikan sel dan atau rusaknya
membran sel. Perubahan permeabilitas membran dapat menyebabkan kebocoran
senyawa dengan berat molekul rendah dari sitoplasma. Kebocoran adalah salah
satu ciri-ciri sel injury. Kerusakan membran terjadi disebabkan lepasnya K+ dan
bahan-bahan yang dapat menyerap sinar UV pada 260nm
104
G. PEMBAHASAN UMUM
Ekstrak etil asetat biji atung mempunyai aktivitas yang berbeda terhadap
bakteri S. aureus, P. fluorescens, E. coli, B. subtilis dan L. plantarum yang
ditunjukkan oleh perbedaan nilai MIC masing-masing bakteri. S. aureus adalah
bakteri Gram positif dengan MIC 0,3% (v/v) sama dengan nilai MIC P.
fluorescens bakteri Gram negatif. E. coli sama-sama Gram negatif dengan P.
fluorescens mempunyai nilai MIC lebih tinggi yaitu 0,5 % (v/v). Nilai MIC E. coli
ini sama dengan MIC B. subtilis bakteri Gram positif penghasil spora. L.
plantarum memperlihatkan resistensi terhadap ekstrak etil asetat biji atung sampai
penambahan ekstrak 2,5% (v/v) belum memperlihatkan penghambatan.
Perbedaan kepekaan terhadap ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan
perbedaan pola inaktivasi sel. Pola inaktivasi pada dosis ekstrak biji atung di
bawah MIC, S. aureus mengalami regenerasi yang terjadi pada kisaran dosis yang
luas (0,35- 0,9 MIC), sementara pada sel P. flourescens sel mengalami statis
dahulu setelah itu baru terjadi regenerasi yang terjadi pada kisaran dosis yang
sempit ( 0,53- 0,61 MIC). Pola inaktivasi pada dosis di atas MIC, sel mengalami
kematian dengan pola kematian yang berbeda antar sel S. aureus, flourescens dan
E. coli. Pola kematian bersifat logaritmik, dengan penyimpangan pada awal kurva
(bahu) dan akhir kurva (ekor). Bahu E. coli panjang dan lebih panjang dari S.
aureus sedangkan P. fluorescens panjang bahunya sama dengan S. aureus pendek
tetapi dengan pola menurun. Bahu ditemukan pada dosis dan dosis mendekati
MIC pada ke tiga jenis bakteri uji. Pada S. aureus semakin tinggi dosis bahu bahu
hilang, perlahan-lahan muncul ekor, pada P. fluorescens pada dosis dan dosis
sedikit lebih besar dari MIC ditemukan ekor yang pendek akan tetapi pada dosis
yang lebih tinggi ekor tersebut tidak ditemukan sementara pada E. coli tidak
ditemukan ekor sama sekali.
Perbedaan bentuk pola kematian menyebabkan perbedaan laju dan
ketahanan bakteri terhadap ekstrak biji atung yang dihitung dari parameter laju
inaktivasi (D dan z). Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik di dalam
media cair NB, didapat nilai D pada dosis 1.0 MIC (3,20 mg/ml) 3,14 jam nilai
ini lebih kecil dari nilai D P. flourescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam.
105
Untuk setiap peningkatan dosis yang sama, nilai D S. aureus selalu lebih kecil
dari nilai D P. flourescens, akan tetapi pada nilai D absolut yaitu pada dosis tinggi
sekali dari S. aureus yaitu 5,34 mg/ml menghasilkan nilai D yang lebih besar dari
nilai D P. fluorescens pada dosis yang sama. Artinya pada dosis tinggi,
peningkatan dosis tidak banyak berpengaruh terhadap nilai D dari sel S. aureus
dibandingkan P. fluorescens. Nilai D S. aureus di dalam pangan model padat jauh
lebih besar (78,9 jam) dibandingkan nilai D pada media cair NB pada dosis
ekstrak sama (3,14 jam). Nilai D yang lebih besar menunjukkan bahwa bakteri S.
aureus lebih tahan di dalam media padat dibandingkan dalam media cair terhadap
ekstrak etil asetat biji atung.
Perbedaan ketahanan disebabkan karena perbedaan struktur, susunan dan
komposisi kimia dari dinding dan membran sel bakteri. Dinding sel bakteri Gram
positif seperti S. aureus mempunyai susunan matriks yang lebih terbuka dan tidak
memiliki molekul reseptor spesifik (Russel, 1991). Disamping itu dinding sel
yang S. aureus lebih banyak disusun oleh asam-asam amino alanin yang bersifat
hidrofobik (Franklin dan Snow, 1989). Sifat ini menyebabkan S. aureus lebih
sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji atung yang bersifat semipolar mengarah ke
nonpolar. L. plantarum yang juga Gram positif sama dengan S. aureus tetapi
sangat tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Hal ini disebabkan karena
dinding selnya lebih bersifat polar.bersifat polar. Pada permukan dinding sel L.
plantarum terdapat asam lipoteikoat yang mempunyai rantai gliserol fosfat yang
panjang dan bersifat polar yang muncul pada permukaan dinding sel (Moat dan
Foster, 1989) dan disamping itu jenis peptidoglikan yang dominan pada
Lactobacillus adalah Lys-D-Asp ( Pot et al, 1994). Bakteri Gram negatif
mempunyai dinding sel yang lebih bersifat hidrofilik, karena pada dinding selnya
terdapat molekul lipopolisakarida (LPS) bersifat polar. E. coli mempunyai
ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan P. fluorescens disebabkan karena
semua protein utama penyusun dinding sel adalah protein asam, dan pada
permukaan dinding terdapat polisakarida asam dalam jumlah nyata yang berguna
untuk mempertahan sel dari serangan musuh (Nikaido dan Vaara, 1985).
Perbedaan struktur, sifat dan komposisi kimia dinding dan membran sel
menyebabkan perbedaan mekanisme inaktivasi sel. Mekanisme inaktivasi sel
106
bakteri oleh senyawa antimikroba dapat dipelajari dari perubahan-perubahan
bentuk sel akibat kerja antimikroba. Dari hasil penelitian ini, dari pengamatan
perubahan-perubahan sel yang dapat diamati melalui SEM dan TEM, perubahan
yang dapat diamati pada sel S. aureus adalah terbentuknya tonjolan, penebalan
dinding sel, peningkatan densitas sitoplasma, penurunan jumlah septa,
terbentuknya bermacam-macam bentuk sel yang tidak normal. Semua indikasi
kerusakan ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat biji atung bekerja
menganggu enzim-enzim yang bekerja mensintesis dinding, menganggu sintesis
protein, protein dan asam nukleat yang terdapat di dalam sel S. aureus. Sementara
pada sel P. fluorescens, perubahan yang dapat diamati adalah ukuran sel menjadi
lebih besar dan panjang, terbentuk septa yang jumlah septa makin banyak dengan
makin tingginya dosis, terbentuk ruang antara membran sitoplasma dengan
sitoplasma, sel lisis, dan mengkerut. Indikasi dari perubahan-perubahan ini adalah
bahwa ekstrak biji atung menganggu dinding sel dengan merubah permeabilias
dinding sel, menganggu protein dan asam nukleat, menganggu enzim-enzim yang
bekerja pada dinding sel, menganggu membran plasma.
Dari pola kebocoran sel, pada sel S. aureus jumlah asam nukleat yang
dilepaskan oleh sel lebih banyak dari pada protein. Bila dikaitkan dengan kurva
inaktivasi sel pada dosis di bawah MIC, cepatnya jumlah sel S. aureus menurun
menunjukkan bahwa pertahanan sel tidak di dinding sel. Diperkirakan ekstrak
langsung dapat dengan cepat mencapai dan bereaksi dengan sisi sensitif sel, yaitu
DNA yang dibuktikan dari asam nukleat yang dilepaskan oleh sel lebih tinggi
dari protein. Cepat pulihnya sel S. aureus disebabkan karena sel ini mempunyai
sistem pertahanan dalam bentuk penebalan dinding sel. Terjadinya penebalan
dinding sel karena ekstrak etil asetat hanya menganggu sintesis protein tetapi
tidak menganggu sintesis peptidoglikan. Menurut Roger (1980) pada beberapa
organisme penebalan dinding sel terjadi bila sintesis protein dihambat dan sintesis
dinding tetap berlanjut. Dari pola kebocoran ion-ion Ca++ dan K+ ternyata ekstrak
etil asetat bekerja pada membran sel S. aureus yang dapat dilihat dari pola
kebocoran ion K yang lebih besar dibandingkan dari ion K+ pada sel P.
fluorescens.
107
Pada sel P. fluorescens jumlah protein dan asam asam nukleat yang
dilepaskan sama dan dari densitas sitoplasma, sitoplasma sel P. fluorescens tidak
sepadat sel S. aureus. Kedua hal ini menandakan bahwa ekstrak hanya
menyebabkan kebocoran sel, tetapi tidak langsung menganggu protein. Dari pola
peningkatan ion Ca++ dan K+ yang dilepaskan, jumlah ion Ca++ meningkat secara
tajam sementara ion K+ jauh lebih lambat, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
bekerja pada dinding sel terlebih dahulu setelah itu baru membran bocor. Hal ini
juga dapat dibuktikan dari pola inaktivasi sel P. fluorescens pada dosis di bawah
MIC, dimana pola inaktivasi P. fluorescens statis dahulu baru regenerasi, berbeda
dengan S. aureus langsung turun dengan cepat kemudian meningkat kembali.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme inaktivasi sel S.
aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung berbeda dengan mekanisme inaktivasi sel
P. fluorescens, pada sel S. aureus ekstrak bekerja pada membran sementara pada
sel P. fluorescens ekstrak bekerja pada dinding (membran luar sel). Perbedaan
mekanisme inilah yang menyebabkan peningkatan dosis pada S. aureus kurang
sensitif terhadap nilai D dibandingkan P. fluorescens.
108
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil pengujian aktivitas ekstrak etil asetat biji atung terhadap 5 jenis
bakteri,
menunjukkan
bahwa
Staphylococcus
aureus
dan
Pseudomonas
fluorescens paling sensitif, sementara Lactobacillus plantarum paling resisten
terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Escherichia coli lebih tahan terhadap
ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan P. fluorescens yang sama-sama bakteri
Gram negatif, ketahanan E. coli ini sama dengan Bacillus substilus yaitu bakteri
Gram positif penghasil spora.
Pola inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji
atung di bawah nilai MIC menunjukkan pola regenerasi (pertumbuhan kembali).
Pola regenerasi bakteri S. aureus berbeda dari P. fluorescens. Pola regenerasi
bakteri S. aureus terjadi pada kisaran dosis yang luas (0,35 – 0,9 MIC), sementara
P.
fluorescens pada kisara yang sempit (0,53 – 0,61 MIC).
Bakteri P.
fluorescens mengalami statis dahulu sebelum regenerasi. Dengan ditemukannya
regenerasi sel S. aureus dan P. fluorescens menunjukkan bahwa ekstrak biji
atung pada dosis di bawah MIC menyebabkan sel sakit atau stress (injuri). S.
aureus yang sakit dapat dideteksi menggunakan media penyembuhan TSA-YE
sebagai media nonselektif dan TSAS_YE sebagai media selektif.
Pola kematian S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada dosis di atas
MIC bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia ordo pertama yang ditunjukkan
dengan pola garis lurus dengan waktu. Penyimpangan dari garis lurus ditemui
pada ke tiga jenis bakteri ini yaitu ditemukannya bahu dan ekor. Ke tiga bakteri
ini mempunyai bahu dengan bentuk yang berbeda. S. aureus dan P. fluorescens
mempunyai bahu yang sama panjangnya tetapi bahu pada S. aureus mendatar,
pada P. fluorescens lebih menurun. E. coli mempunyai bahu yang panjang
dengan bentuk mendatar seperti S. aureus. Pada S. aureus pada dosis tinggi
bahu perlahan-lahan hilang muncul ekor, pada P. fluorescens ekor ditemukan
pada dosis yang sama dan sedikit lebih besar dari MIC, semakin tinggi dosis ekor
hilang. Pada E. coli tidak ditemukan ekor.
109
Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik, dihasilkan nilai D dan z
untuk S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pengaruh dosis ekstrak etil asetat biji
atung di dalam medium cair (NB). Nilai D S. aureus pada dosis 1,0 MIC (3,20
mg/ml) adalah 3,14 jam, lebih kecil dari nilai D P. fluorescens pada dosis yang
sama yaitu 3,87 jam. E. coli mempunyai nilai D yang lebih besar dari nilai D
bakteri S. aureus, P. fluorescens yaitu untuk fase adaptasi 22.03 jam dan untuk
fase kematian 1,66 jam. Dari hasil penelitian untuk ketiga jenis bakteri ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak etil asetat biji atung semakin
kecil nilai D. Nilai D S. aureus pada setiap dosis yang sama lebih kecil dari
nilai D P. fluorescens. Akan tetapi pada dosis yang tinggi (5,34 mg/ml) nilai D
S. aureus lebih besar dari P. fluorescens. E. coli mempunyai nilai D lebih besar
untuk dosis yang sama (5,34 mg/ml) baik untuk fase adaptasi (bahu) maupun fase
kematian. Dari hubungan log D dengan dosis diperoleh nilai z S. aureus 3,45
mg/ml lebih besar dari nilai z P. fluorescens yaitu 1,65 mg/ml. Nilai z E. coli
paling besar diantara ketiga bakteri yang diuji yaitu 5,05 mg/ml untuk fase
adaptasi dan 5,16 mg/ml untuk fase kematian.
Pola kematian bakteri S. aureus di dalam pangan model padat dengan
kandungan protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 %, lemak 25,6 % dan kadar air 12,18
% (aw = 0,76-0,78) pada suhu penyimpanan 29,9oC bersifat logaritmik dengan
penyimpangan pada awal kurva. Bentuk penyimpangannya berbeda dari pola
kematian S. aureus dalam media cair (NB). Pada`media cair fase adaptasi pada
awal kurva kematian mendatar berbentuk bahu. Pada pangan model padat fase
adaptasinya cekung dengan derajat kemiringan yang lebih besar dibandingkan
dari fase kematian.
Dengan mengasumsikan pola kematian S.
aureus pada
pangan model padat bersifat logaritmik didapat nilai D dan z yang jauh lebih
besar daripada dalam media cair. Nilai D S. aureus pada media cair NB 3,14
jam, di dalam media padat menjadi 76,9 jam pada dosis 1,0 MIC (3,2 mg/ml)
dengan nilai z 3,45 mg/ml menjadi 34,1 mg/g.
Mekanisme kerja ekstrak etil asetat biji atung terhadap sel S. aureus
berbeda dari sel P. fluorescens. Pada sel S. aureus, ekstrak etil asetat biji atung
bekerja pada membran sel, mengganggu sintesis protein, menganggu protein dan
asam nukleat yang terdapat di dalam sel. Pada sel P. fluorescens ekstrak etil
110
asetat biji atung bekerja pada dinding sel, setelah dinding sel lisis tidak tahan
menahan tekanan dari sitoplasma menyebabkan membran mengalami kebocoran
yang dapat menyebabkan kematian sel.
Ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan dinding sel S. aureus dan P.
fluorescens lisis dengan melepaskan ion Ca++, dan menyebabkan kebocoran
membran sel dengan melepaskan protein, asam nukleat dan ion K+ ke
lingkungannya.
B. SARAN
Untuk menentukan mekanisme inaktivasi sel S. aureus dan P. fluorescens
oleh ekstrak etil asetat biji atung perlu dipelajari uji kimia dan biokimia.
Berdasarkan hasil penelitian ini untuk S. aureus pengujian disarankan ke arah hal
yang berhubungan dengan protein seperti aktivitas enzim, sintesis protein, asam
nukleat dan lain-lainnya. Pada sel P. fluorescens disarankan diarahkan pada
dinding dan membran sel, seperti permeabilitas dinding sel, LPS, kandungan dan
komposisi asam lemak dinding. Selanjutnya pengujian terhadap mikroba yang
sakit dalam bentuk L-form oleh ekstrak etil asetat biji atung, terutama untuk
menentukan penggunaan media penyembuhan yang lebih tepat perlu dipelajari,
agar sel yang sakit dapat dikenali dan dideteksi secara kuantitatif secara tepat,
untuk menjamin keamanan pangan.
Daftar Pustaka
Abler, A.A., N.A. Klapes, B.W. Sheldon dan T. R. Klaenhammer. 1995.
Inactivation of food-borne pathogens with magainin peptides. J. Food
Prot. 58 (4): 381-388.
Adawiyah, D.R. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen
Antimikroba Biji Buah Atung (Parinarium glaberrimum Hassk). Tesis S2
Program Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB.
Akers, M.J. dan C.Julia Taylor. 1994. Official methods of preservation
evaluation and testing. di dalam: Denyer S.P. dan R.M. Baird (ed).
Guide To Microbiological Control in Pharmaceuticals. Ellis Horwood,
New York.
Aureli, P., A. Constantini dan S. Zoles 1992. Antimicrobial activity of some
plant essential oil against L. monocytogenes. J. Food Prot. 55:344-348.
Beuchat, L.R. 1978. Injury and repair of gram negative bacteria with special
consideration of the involvement of the cytoplasmic membrane. di dalam:
Perlman, D (ed). Applied Microbiology. Vol. 23 . Academic Press, New
York.
Bozzola,J.J. dan L.D. Russell. 1999. Electron Microscopy. Jones and Bartlett
Publishers, Boston.
Branen, A.L. 1983. Introduction to use antimicrobials. di dalam: A. L. Branen
dan P. M. Davidson (ed). Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker, INC.
New York
Brooks, G.F., J.S. Butel, L.N. Ornston, E. Jawetz, J.L. Melnick dan E.A.
Adelberg. 1989. Medical Microbiology. Nineteenth edition. Appleton &
lange, Norwalk, Connecticut, California.
Boyd, R.F. 1995. Basic Medical Microbiology. Fifth Edition. Little, Brown and
Company, Boston.
Bunduki, M. M. C., K.J. Flanders dan C.W. Donnelly. 1995. Metabolic and
structural sites of damage in heat and sanitizer injured populations of L.
monocytogenes. J. Food Prot. 58 (4): 410-413.
Busta, F.F. dan P.M. Foegeding. 1983. Chemical food preservatives. di dalam
Block, S.S. Third Edition. Disinfection, Sterilization and Preservation.
Lea and Febiger, Philadelphia.
Caputo, R. A. dan T. E. Odlaug. 1983. Sterilization with ethylen oxide and other
gases. di dalam: Block, S.S. Third Edition. Disinfection, Sterilization
and Preservation. Lea and Febiger, Philadelphia.
112
Carllamana dan M. F. Mallette. Third edition. 1965. Basic Bacteriology its
Biological and Chemical Backgrownd. The William and Wilkins
Company, Baltimore.
Conrad, R.S., M.J. Howard, R.C. Garrison, S. Winters dan D.A. Henderson.
1998.
The effects of daptomycin on chemical composition and
morphology of Staphylococcus aureus . Proc. Okla. Acad. Sci. 78: 15-22.
Cox, S.D., J.E. Gustafson, C.M. Mann, J.L. Markham, Y.C. Liew, R.P. Hartland,
H.C. Bell, J.R. Warmington dan S. G. Wyllie. 1998. Tea tree oil causes
K+ leakage and inhibits respiration in E. coli. Lett. Appl. Microbiol. 26:
355-358.
Craig, W.A. 1998. Pharmacokinetic/pharmacodynamic parameters: rationale for
antibacterial dosing of mice and men. Clinical Infection Diseases 26: 112.
Davison, P.M., dan L. Branen. 1980. Antimicrobial mechanisms of butylated
hydroxyanisole against two Pseudomonas species. J. of Food Science 45:
1607-1613.
Davidson, P.M. 1997.
Chemical preservatives and natural antimicrobial
compounds. di dalam M. P. Doyle, L.R. Beuchat dan T. J. Montville (ed).
Food Microbiology Fundamentals and Frontiers.
ASM Press.
Washington D.C.
Davis, B.D., Dulbecco, R., Eisen, H., Ginberg, H.S., dan Wood, W.B.Jr. 1976.
Biology. A Harper International. Edition from the Hoeber Medical
Division jointly published by Harper and Row New York.
Degre, R., dan M. Sylvester. 1983. Effect butylated hydroxyanisole on the
cytoplasmic membrane of S. aureus. J. Food Prot.: 46:206-209.
De Jonge, B.L.M., dan A. Tomasz. 1993. Abdormal peptidoglycan produced in
a methicillin-resistant strain of Staphylococcus aureus grown in the
presence of methicillin: functional role for penicillin-binding protein 2A
in cell wall synthesis. Antimicrob. Agents Chemother. 37:342-346.
Dieuleveux, V., S. Lemarinier dan M. Gueguen. 1998. Antimicrobial spectrum
and target site of D-3-phenyllactic acid. International Journal of
Microbiology 40: 177-183.
Espenson. 1995. Chemicals Kinetics and Reaction Mechanisms. 2nd Ed.
McGraw-Hill. New York.
Farbood, M.L., Macneil, J.H. dan K. Ostofard. 1976. Effect of rosemary spice extract on
growth of microorganism in meats. J. Milk and Food Tech. 39:675.
113
Fardiaz, S. dan B.S. Laksmi J. 1988. Mikrobiologi Pangan II Laboratorium
Mikrobiologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi IPB.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Dir.
Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi IPB.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan Dir. Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi
IPB.
Fass, R. J. dan R. B. Prior. 1974. Light, scanning and transmission electron
microscopy of stable Staphylococcal L-forms. di dalam: W.W. Yotis
(ed). Recent Advances in Staphylococcal Research. Published by the New
York Academy of Sciences.
Feeherry, E.E., C. J. Doona dan I.A. Taub. 2003. Effect of water activity on the
growth kinetics of S. aureus in ground bread crumb. J. of Food Science
68(3): 982-987.
Franklin, T. dan G.A. Snow. 1989. Biochemistry of antimicrobial action.
Chapman and Hall. London.
Fujikawa, H. dan K. Ohta. 1994. Patterns of bacterial destruction in solutions by
microwave irradiation. J. Appl. Bacteriol. 76 :389-394.
Garret, E.S. 1978. Kinetics of Antimicrobial Action. Scand. J. Infect. Dis. Suppl.
14: 54-85.
Gemmel, C.G. dan V. Lorian. 1996. Effects of low concentration of antibiotics on
bacterial ultrastructure, virulence and suscebtibility to immunodefence :
clinical significance. di dalam: V. Lorians. Antibiotics in Laboratory
Medicine. Fourth ed. Williams & Wilkins, London.
Gilber, P. 1984. The revival of microorganisms sublethally injured by chemical
inhibitors. di dalam: The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew,
M.H.E. dan A.D. Russell. Academic Press, London.
Guerillot, F., G. Carret dan J.P. Flandrois. 1993. Mathematical model for
comparison of time-killing curves. Antimicrob. Agents Chemother. 37 (8):
1685-1689.
Gould, G. W. 1989. Heat-induced injury and Inactivation. di dalam: G.W.
Gould (ed). Mechanisms of Action of Food Presevation Procedures.
Elsevier Applied Science, London dan New York.
114
Gustafson, J.E., Y.C. Liew, S. Chew, J.L. Markham, H.C.Bell, S.G. Wyllie dan
J.R. Warmington. 1998. Effects of tea tree oil on E. coli . Lett. Appl.
Microbiol. 26:194-198.
Hamilton-Miller, J. M. T., dan S. Shah, 1999. Disorganization of cell division of
methicillin-resistant S. aureus by a component of tea (Camellia sinensis):
a.study by electron microscopy. FEMS Microbiol. Lett. 176:463-469.
Heipieper, H.J., G. Meulenbeld, Q. Qirschot dan J.A.M. de Bont. 1996. Effect of
enviromental factors on the trans/cis ratio of unsaturated fatty acids in P.
putida S12. Appl. Environ. Microbiol. 62:6665-6670.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Cetakan ke-I.
Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan.
Badan
Huang, L. dan V. K. Juneja. 2001. A new kinetic model for thermal inactivation
of microorganisms : development and validation using E. coli O157:H7 as
a test organism. J. Food Prot. 64 (12): 2078-2082.
Hugo, W.B. dan A.D. Russel. 1983. Pharmaceutical Microbiology. Oxford,
Blackwell Scientific Publication.
Hurst, A. 1984. The revival of vegetative bacteria after sublethal heating. di
dalam: The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew, M.H.E. dan A.D.
Russell. Academic Press, London.
Isom, L.L., Z. S. Khambatta, J.L. Moluf, D. F. Akers dan S. E. Martin. 1995.
Filament formation in Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 58 (9):
1031-1033.
Jay, J.M. 1986. Modern Food Microbiology. Third edition. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Joklik, W.K, H.P. Willett, D.B. Amos dan C.M.Wilfert. 1988. Zinsser Microbiology.
Nineteenth edition. Prentice-Hall International Inc.
Jorgensen, F., Stephens, P.J. dan Knochel, S. (1995). The effect of osmotic shock and
subsequent adaptation on thermotolerance and cell morphology of Listeria
monocytogenes. Appl. Bacteriol. 79:274-281.
Kang, R., R. Helms. M.J. Stout, H. Jaber, Z. Chen dan T. Nakatsu. 1992.
Antimicrobial activity of the volatile constituents of Perilla frustescens
and its synergistic effects with polygodial. J. Agric. Food Chem.
40(11):2328-2330.
Kim J.M., M.R. Marshall, J.A. Cornell, J.F. Boston III dan C.I. Wei. 1995.
Antibacterial activity of carvacrol, citral, and geraniols against Salmonella
typhymurium in culture medium and on fish cubes. J. Food Sci., 60(6):
1365-1368.
115
Kim, J. G. dan A. E. Yousef. 2000. Inactivation kinetics of foodborne spoilage
and pathogenic bacteria by ozone. J. Food Sci 65(3):521-528.
Klainer, A. S. 1974. The normal and abnormal surface morphology of
Staphylococci. di dalam: W.W.
Yotis (ed). Recent Advances in
Staphylococcal Research. Published by the New York Academy of
Sciences.
Koeswara, S. 1995. Teknologi pengolahan kedelai menjadi makanan bermutu.
Sinar Harapan, Jakarta.
Kubo, I., H. Muroi dan M. Himejina. 1993a. Antibacterial activity against
Streptococcus mutans of mate tea flavor components. J. Agric. Food
Chem. 41(1):107:111.
Kubo,I., H. Muroi dan M. Himejima. 1992. Antimicrobial activity of green tea
flavor components and their combination effects. J. Agric. Food Chem. 40
:245:246.
Kubo,I., H. Muroi dan M. Himejima. 1993b. Structure antibacterial activity
relationships of anacardic acids. . J. Agric. Food Chem. 41 :1016-1019.
Kubo, A., C.S. Lunde dan I. Kubo. 1995. Antimicrobial activity of the olive oil
flavor compounds. J. Agric. Food Chem. 43(6): 1629-1633.
Lenovich, L.M., 1987. Survival and death of microorganisms as influenced by
water activity. di dalam: Rockland, L.B. dan L.R. Beuchat (editor). Water
Activity: Theory and Aplications to Food. Marcel Dekker, Inc., New York
and Basel.
Lee, R.M., P.A. Hartman, H. M. Stahr, D.G. Olson dan F.D. Williams. 1994a.
Antibacterial mechanism of long-chain polyphosphates in S. aureus. J. of
Food Prot. 57 (4): 289-294.
Lee, R.M., P.A. Hartman, H. M. Stahr, D.G. Olson dan F.D. Williams. 1994b.
Bactericidal and bacteriolitic effects of selected food-grade phosphates,
using S. aureus as a model system. J. Food Prot. 57 (4): 276-283.
Linton, R.H.,W.H. Carter, M.D. Pierson dan C.R. Hackney. 1995. Use of
modified Gompertz equation to model nonlinear survival curves for L.
monocytogenes Scott A. J. Food Prot. 58: 946- 954.
Linton, R.H.,W.H. Carter, M.D. Pierson dan C.R. Hackney. 1995. Use of
modified Gompertz equation to predict the effects of temperature, pH and
NaCl on the inactivation of L. monocytogenes Scott A heated in infant
formula. J. Food Prot. 59:16-23.
116
Mackey, B.M. 1984. Lethal and sublethal effects of refrigeration, freezing and
freeze-drying on microorgnisms. di dalam: The Revival of Injured
Microbes. (ed) Andrew, M.H.E. dan A.D. Russell. Academic Press,
London.
McGuire, M. D.dan R. S. Conrad. 2000. Morphological and biochemical
alterations in S. epidermis stepwise adapted to vancomycin resistance.
Proceedings of the Oklahoma Academy of Science vol. 80.
McMeekin, T. A. Brown, K. Krist. 2002. Quantitatif Microbiology:. A. Basis for
food safety. Special Issued. University of Tasmania, Australia.
Moat, A.G. dan J.W. Foster. 1988. Microbiology Physiology. Second Edition.
A Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York.
Moniharapon, T. 1991. Kajian Penanganan Udang Windu (Penaeus monodon
Fab) untuk Mempertahankan Kesegaran Udang. Tesis S2, Program Studi
Teknologi Pascapanen, PPs-IPB.
Moniharapon, T. 1998. Kajian Fraksi Bioaktif dari Buah Atung (Parinarium
glaberrimum Hassk) sebagai Bahan Pengawet Pangan. Disertasi S3,
Program Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB.
Moseley, B.E.B. 1984. Radiation damage and its repair in non-sporulating
bacteria. di dalam The Revival of Injured Microbes. (ed) Andrew, M.H.E.
dan A.D. Russell. Academic Press, London.
Mukodiningsih, S. 1991. Pola perubahan karbohidrat pati sagu (Metroxylon sp)
selama proses dekstrinasi kering dengan katalis HCL. Tesis. Program
Studi Ilmu Pangan, PPs-IPB.
Murano, E. A. dan M. D. Pierson. 1993. Effect of heat shock and incubation
atmosphere on injury and recovery of E. coli O157:H7. J. Food Prot.
56(7):568-572.
Murhadi. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Komponen Antibakteri dari Biji Atung
(Parinarium glaberrimum Hassk). Disertasi S3, Program Studi Ilmu
Pangan, PPs-IPB.
Muroi, H. dan I. Kubo. 1996. Antibacterial activity of anacardic acid and totarol,
alone and in combination with methicilin, against methcilin-resistant S.
aureus. J. Appl. Bacteriol 80: 387-394.
Murphy, R.Y., B.P. Marks, E.R. Johnson dan M.G. Johnson. 2000. Thermal
inactivation kinetics of Salmonella and Listeria in ground chicken breast
meat and liquid medium. J. Food Sci. 65 (4):706-709.
117
Nikaido, H. dan M. Vaara. 1985. Moleculer basis of bacterial outer membrane
permeability. Microb. Reviews. 49(1):1-32.
Nychas, G. J. E. 1995. Natural antimicrobials from plants. di dalam: G.W.
Gould (ed). New Methods of Food Preservation. Blackie Academic &
Professional. London.
Noeroktiana, W. 2000. Kajian Pembuatan Formulasi Pangan Semi Basah Bergizi
Tinggi. Skripsi S1. FATETA-IPB, Bogor.
Okemo, P.O., W. E. Mwatha, S.C.Chhabra dan W. Fabry.
2001. The kill
kinetics of Azadirachta indica A. JUSS. (Meliaceae) extracts on S. aureus,
E. coli, P. aeruginosa dan C. albicans. AJST, 2 (2): 113-118.
Orth, D.S. 1994. Presevative evaluation and testing : the linear regression
methode. di dalam: Denyer, S.P. dan R.M. Baird (ed). Guide To
Microbiological Control in Pharmaceuticals. Ellis Horwood, New York.
Parish, M.E. dan P.M. Davidson. 1993. Methods for evaluation. di dalam : P. M.
Davidson dan A. L. Branen (ed). Antimicrobials in Foods. 2nd edition.
Marcel Dekker, New York.
Park, S.J., H.W. Park dan J. Park. 2003. Inactivation kinetics of food poisoning
microorganisms by carbon dioxide and high hydrostatic pressure. J. Food
Sci 68 (3): 976-981.
Park, Y.W. 1996. Determination of moisture and ash contents of food. di dalam:
Leo M.L. Nollet (ed). Handbook of Food Analysis. Volume 1. Marcel
Dekker, Inc, Newyork. Basel. Hongkong.
Pellegrini, A., U. Thomas, R. Von Fellenberg dan P. Wild. 1992. Bactericidal
activities of lysozime and aprotinin against Gram-negative and Grampositive bacteria related to their basic character. J. Appl. Bacteriol.
72:180-187.
Pflug, I. J. dan R. G. Holcomb. 1983. Principles of thermal destruction of
microorganisms. di dalam: S. S. Block (ed). Disinfection, Sterilization,
and Preservation. Third edition. Lea & Febiger, Philadelphia.
Pot, B., W. Ludwig, K. Kerters dan K. Heinz. 1994. Taxonomy of lactic acid
bacteria. di dalam: L.De Vuys dan E. J. Vandamme (ed). Bacteriocins of
Lactic Acid Bacteria Microbiology,Genetics and Applications. Blackie
Academic & Professional, London.
Prindle, R.F.
1983. Phenolic coumpuond. di dalam: S. S. Block (ed).
Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third edition. Lea & Febiger,
Philadelphia.
118
Roger, H. J., H. R. Perkins dan J. B. Ward. 1980. Microbial Cell Walls and
Membranes. Chapman and Hall 150th Anniversary. London New York.
Rowan, N.J. 1999. Evidence that inimical food preservation barriers alter
microbial resistance, cell morphology and virulence. Trends in Food Sci.
Technol. 10: 261-270.
Russel, A.D. 1983. Principles of antimicrobial activity. di dalam: Block. S.S.
Disinfection, Sterilization and Preservation. Third Edition. Lea and
Febiger, Philadelphia.
Russel, A.D. 1984. Potential sites of damage in micriorganisms exposed to
chemical or physical agent. di dalam: The Revival of Injured Microbes.
Edited by M.H.E. Andrew dan A.D. Russel. Academic Press, London.
Russel, A.D. 1991. Mechanisms of bacterial resistance to non-antibiotics: food
additives and food and pharmaceutical preservatives. J. Appl. Bacteriol
71: 191-201.
Sakanaka S., M.Kim, M. Taniguchi dan T. Yamamoto. 1989. Antibacterial
substances in Japanesse green tea extract against Streptococcus mutans,a
cariogenic bacterium. Agric. Biol. Chem., 53(9):2307-2311.
Sala, F.J., J. Burgos, S. Condon, P. Lopez dan J. Raso. 1995. Effect of heat and
ultrasound on microorganisms and enzimes. di dalam: G.W. Gould (ed).
New Methods of Food Preservation. Blackie Academic & Professional.
London.
Saragih, B. S. 1998. Aplikasi pengawetan ikan segar dan olahan dengan preparat
biji buah atung (Parinarium glaberrimum Hassk). Tesis S2, PPs-IPB.
Shahidi, F. dan M. Naczk 1995. Food Phenolics. Technomic Publishing, CO.,
INC Lancaster.
Shelef, l.A., Jyothi, E.K. dan Bulgarelli, M.A. 1984. Growth of enteropathogenic
and spoilage bacteria in sage-containing broth and foods. J. Food Sci 49:
737-740,809.
Silverman, G. J. 1983. Stelirization by ionizing irradiation. di dalam: S. S. Block
(ed). Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third edition. Lea &
Febiger, Philadelphia.
Silliker, J.H., R.P. Elliot, A.C. Baird-Parker, F.L.Bryan, J.H.B. Christian,
D.S.Clark, J.C. Olson Jr., T.A. Roberts. 1980. Microbial Ecology of
Foods. Vol.1. Academic Press, New York, London.
Sikkema, J., J.A.M. de Bont dan B. Poolman. 1994. Mechanisms of membran
toxicity of hydrocarbons. Microbiol. Rev. 59:201-222.
119
Soekarto, S.T., M.P. Steinberg dan S.L. Ordal. 1984. Dryness stress of
Staphylococcus aureus in different fractions of bound water. Didalam
Proceeding International Symposium on Microbiological Aspect of Food
Storage, Processing and Fermentation in Tropical Asia. Cisarua, Bogor,
Indonesia.
Soper, C.J. dan D.J.G. Davies. 1994. Principles of sterilization.di dalam: S.P.
Denyer dan R.M. Baird (ed). Guide To Microbiological Control in
Pharmaceuticals. Ellis Horwood, New York.
Slavik, M.F., J.W. Kim, Yanbin LI, J.T. Walker dan H. Wang. 1995.
Morphological changes of Salmonella typhimurium caused by electrical
stimulation in various salt solution. J. Food Prot. 58 (4): 375-380.
Stumbo, C.R. 1973. Thermobacteriology in Food Processing. Second edition.
Academic Press.
Suganuma, A. 1972. Fine structure of S. aureus :electron microscopy. Di dalam
J.O Cohen. The Staphylococci. Wiley –Interscience, London-New york.
Syamsir, E. 2002. Mempelajari stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak biji atung
(Parinarium glaberimum Hassk) dengan pelarut etil asetat teknis selama
penyimpanan terhadap S. aureus. Thesis, Program Studi Ilmu Pangan.
Program Pascasarjana, IPB Bogor.
Ting, W.T.E. dan Deibel, K.E. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to
spices at two temperatures. Journal of Food Safety. 12:123-127.
Thompson, J.L. dan M. Hinton. 1996. Effect of short-chain fatty acids on the
size of enteric bacteria. Lett. Appl. Microbiol. 22: 408-412.
Turner, F. J. 1983. Hydrogen peroxide and other oxidant disinfectants. di dalam:
S. S. Block (ed). Disinfection, Sterilization, and Preservation. Third
edition. Lea & Febiger, Philadelphia.
Ultee, A., E. P.W. Kets dan E. J. Smid. 1999. Mechanisms of action of carvacrol
on the food-borne pathogen Bacillus cereus. Appl. Environ. Microbiol. 65
(10); 4606-4610.
Volk, W.A. dan Wheeler, M.F. 1988. Mikrobiologi Dasar. Terjemahan. Editor
S. Adisoemarnoto. Penerbit Erlangga, Jakarta.
121
Lampiran 1. Bagan alir proses ekstraksi senyawa antimikroba biji atung secara
bertingkat (Adawiyah, 1998).
Biji atung
Penepungan
Pemisahan lemak
lemak
dengan metoda soxhlet
Ekstraksi senyawa antimikroba
dengan metoda refluks
Evaporasi dengan rotavapor
Pemekatan
dengan gas N cair sampai berat konstan
Ekstrak /senyawa antimikroba biji atung
ampas
122
Lampiran 2. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium cair
pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v), dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.4
0.45
0.5
0.55
0.6
0.017
0.000
0.064
0.047
0.002
0.048
4.0 x 107
3.2 x 107
2.5 x 107
4.0 x 107
3.6 x 107
2.0 x 107
0.389
0.031
0.017
0.037
-0.003
-0.003
1.09 x 108
-
0
24
Lampiran 3. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium cair
pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % (v/v), dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.1
0.2
0.3
0.35
0.4
0.017
0.052
0.046
0.044
0.003
0.046
2.8 x 107
2.3 x 107
1.7 x 107
1.5 x 107
1.6 x 107
0.8 x 107
0.736
0.278
0.033
-0.032
0.039
0.017
7.9 x 109
5.6 x 108
5.9 x 103
-
0
24
Lampiran 4. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium
cair pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % v/v, dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
0
0.4
0.45
0.5
0.55
0.6
0.017
0.013
0.020
0.039
0.003
0.007
2.0 x 107
1.0 x 107
1.7 x 107
1.6 x 107
1.8 x 107
1.0 x 107
0
Keterangan: - = tidak tumbuh
24
Absorbansi
0.764
0.042
0.032
0.026
0.032
0.026
TPC
2.9 x 109
-
123
Lampiran 5. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium
cair pada dosis ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % v/v, dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.015
0.030
0.011
0.065
0.035
3.1 x 107
3.0 x 107
3.1 x 107
3.3 x 107
4.1 x 107
0.772
-0.105
-0.218
0.340
0.020
1.3 x1010
9.8 x 109
7.4 x 105
-
0
24
Lampiran 6. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair
pada dosis ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % v/v, dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan dengan metoda hitungan
cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.45
0.50
0.55
0.60
0.293
0.312
0.311
0.294
0.285
1.8 x 108
2.3 x 108
2.2 x 108
2.6 x 108
1.3 x 108
1.700
1.650
1.630
1.530
1.480
3.8 x 109
2.5 x 109
1.8 x 109
9.0 x 108
9.6 x 108
0
24
Lampiran 7. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair
pada dosis ekstrak atung 0, 0.65, 0.70, 0.75 dan 0.8 % v/v, dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.65
0.70
0.75
0.80
0.295
0.284
0.225
0.338
0.306
1.4 x 108
1.6 x 108
1.6 x 108
1.5 x 108
1.6 x 108
1.650
1.315
1.215
1.345
1.265
2.7 x 109
1.1 x 109
1.1 x 109
1.1 x 108
7.9 x 108
0
Keterangan: - = tidak tumbuh
24
124
Lampiran 8. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair
pada dosis ekstrak atung 0, 1.0, 1.5, 2.0 dan 2.5 % (v/v), dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm)
Dosis ekstrak biji atung
(%v/v)
Absorbansi jam ke
0
1.0
1.5
2.0
2.5
0
24
0.312
0.490
0.561
0.419
0.512
1.530
1.988
1.876
1.844
1.746
Lampiran 9. Pertumbuhan bakteri B. subtilis selama 24 jam pada medium cair
pada dosis ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % v/v, dengan
pengukuran absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.45
0.50
0.55
0.60
0.100
0.030
0.145
0.145
0.183
1.8 x 107
3.6 x 107
3.1 x 107
1.4 x 107
2.0 x 107
1.105
0.258
-0.016
-0.121
-0.100
1.0 x 108
1.1 x 102
8.7 x 101
7.8 x 101
7.5 x 101
0
24
Lampiran 10. Pertumbuhan bakteri E. coli selama 24 jam pada medium cair pada
dosis ekstrak atung 0, s/d 0.6 % (v/v), dengan pengukuran
absorbansi (λ= 660 nm) dan metoda hitungan cawan.
Dosis ekstrak biji
atung
(%v/v)
Jam ke
Absorbansi
TPC
Absorbansi
TPC
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.017
0.018
0.006
0.057
0.033
0.009
0.023
1.1 x 107
1.3 x 107
1.3 x 107
1.2 x 107
1.3 x 107
1.3 x 107
1.0 x 107
0.623
0.563
0.609
0.063
0.031
0.016
0.025
5.0 x 108
2.1 x 109
1.6 x 109
2.2 x 106
9.0 x 102
-
0
Keterangan: - = tidak tumbuh
24
125
Lampiran 11. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC
pada pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair dengan metoda
hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
0
0,3
0,35
0,66
0,83
0,9
0,93
0,96
1,0
0
1,8x107
1,8x107
2,3x107
1,6x107
1,4x107
1,3 x107
1,7x107
1,6x107
1,3x107
2
5,2x107
1,3x107
6,6x106
8,5x106
1,1x107
7,1x106
4
4,0x108
1,8x107
8,5x107
7,2x106
2,1x106
6,8x106
2,0x106
2,6x106
6
9,7x108
4,2x107
1,5x107
4,4x106
6,2x105
1,7x106
3,9x105
7,2x105
8
4,5x109
7,1x107
3,2x107
5,0x106
3,7x105
4,2x105
2,4x105
4,5x105
12
4,5x109
5,0x107
6,6x106
3,3x105
2,5x105
7,9x105
7,9x104
16
2,8x109
4,7x107
1,0x107
1,4x106
4,8x105
1,1x105
3,1x104
20
4,5x108
3,7x107
1,2x106
7,2x105
7,8x104
8,1x103
24
7,8x109
4,8x107
3,3x106
3,7x105
3,0x104
2,4x103
`
9,5x107
1,6x108
4,1x107
1,7x105
1,1x104
< 30
126
Lampiran 12.
Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC
pada pertumbuhan bakteri P. flourescens pada medium cair
dengan metoda hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
0
0,1
0,2
0.5
0.64
0.71
0.86
1.0
0
2
3
4
6
4,1x107
2,5x107
3,0x107
2,0x107
2,2x107
1,9 x107
1,6x107
1,3x107
1,3x107
1,2x107
8
8
7
1,8x107
1,1x107
8
11
12
13
15
16
18
19
20
21
24
28
30
36
42
2,9x109
7,1x108
3,4x108
3,6x106
1,6x106
9
9
9
1,4x106
1,0x105
1,6x106
9,1x105
4,2x103
1,0x105
1,4x104
4,8x103
-
8,5x10
1,3x10
6,8x10
1,2x107
6,0x10
4,6x10
1,0x10
9,3x10
5,0x10
9
3,98x10
1,1x107
8,7x10
1,4x107
9
8,0x106
6
5,1x106
9
8,0x10
8,1x109
1,7x109
6,6x109
6,8x109
9,6x109
6,3x109
5,6x109
6,7x109
6,85x109
6
4,5x10
6
8,3x106
2,4x106
6,5x105
1,0x107
9,3x106
9,6x106
1,3x106
7,7x105
4,3x105
4,5x105
127
Lampiran 13. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis stres
pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair
dengan metoda hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
0,66 MIC
0,83 MIC
0,9 MIC
0,93 MIC
0
1,6x107
1,4x107
1,3x107
1,7x107
2
1,3x107
6,6x106
8,5x106
1,1x107
4
7,2x106
2,0x106
6,8x106
2,0x106
6
4,4x106
6,2x105
1,7x106
4,0x105
8
5,0x106
3,7x105
4,2x105
2,4x105
12
6,6x106
3,3x105
2,5x105
1,2x105
16
1,0x107
6,0x105
4,8x105
1,1x105
20
3,7x107
6,0x105
7,2x104
7,7x104
24
7
6
5
3,0x104
4,8x10
3,3x10
3,7x10
Lampiran 14. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis stres
pertumbuhan bakteri P. fluorescens pada medium cair
dengan metoda hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
0
0.53
0.56
0,58
0,61
0
9,8x107
1,2x108
1,3x108
1,3x108
1,1x108
2
1,4x108
1,2x108
8,4x107
1,3x108
1,8x108
4
2,0x108
8,1x107
5,4x107
9,9x107
6,0x107
6
7,9x109
8,1x106
7,9x106
7,6x106
6,3x106
8
7,8x109
7,8x106
6,7x106
5,8x106
4,9x106
10
1,0x1010
7,7x107
6,3x106
6,2x106
3,2x107
12
1,3x1010
5,5x107
5,2x107
4,3x107
3,2x107
128
Lampiran 15. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri S. aureus
pada medium cair dengan metoda hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
1,0
1,03
1,1
1,17
1,24
1,31
1,38
1,6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
12
5,2x107
3,8x107
2,7x107
2,0x107
7,1x106
2,5x106
8,9x105
4,3x105
2,1x105
1,1x104
5,1x107
3,1x107
2,9x107
6,3x106
4,2x107
3,6x107
4,4x107
3,6x107
4,2x107
2,7x106
2,5x105
5,4x104
8,1x103
2,5x103
-
2,8x106
1,2x105
2,7x104
4,0x103
1,4x103
-
3,9x107
4,3x106
1,9x105
1,6x104
1,4x103
6,5x102
3,1x102
1,7x102
9,8x101
-
3,5x107
2,4x106
1,7x105
1,3x104
1,0x103
3,9x102
1,5x102
6,0x101
-
3,6x107
1,4x105
5,4x102
2,6x102
1,2x102
6,0x101
2,9x101
-
20
6,3x101
1,4x105
1,9x104
4,9x103
2,2x103
7,1x105
4,5x104
6,0x103
1,1x103
4,2x102
-
129
Lampiran 16. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada pertumbuhan bakteri P. fluorescens
pada medium cair dengan metoda hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
0
2
4
6
8
10
12
16
20
24
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
1,0
1,03
1,1
1,17
1,24
1,33
1,5
1,67
2,6x107
7,8x106
7,4x106
1,9x106
5,1x105
1,3x105
3,5x104
5,6x103
3,6x102
4,8x101
3,6x107
1,6x107
1,1x106
2,2x105
3,5x104
6,5x103
6,9x103
-
2,5x107
9,0x106
1,0x106
5,0x104
7,9x104
1,9x103
1,5x102
-
2,5x107
1,2x107
6,3x105
2,5x104
1,0x103
7,9x101
1,2x102
-
3,2x107
7,9x106
1,2x105
5,0x103
6,3x102
5,0x101
5,0x101
-
1,1x107
1,1x106
1,9x103
-
1,0x107
2,1x103
-
9,3x106
1,0x101
-
Catatan; Jam ke 10 dan 12 sel kecil-kecil
130
Lampiran 17. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada
pertumbuhan bakteri E. coli pada medium cair dengan
metoda hitungan cawan.
Waktu
Jam Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
1,0
1,1
1,2
1,3
1,4
0
2,2x107
2,0x107
2,1x107
2,0x107
2,0x107
2
1,8x107
1,7x107
1,7x107
1,4x107
3
1,6x107
1,5x107
1,5x107
1,2x107
1,0x107
4
1,5x107
1,3x107
1,1x107
9,3x106
7,1x106
5
9,3x106
5,5x106
5,2x106
5,5x106
4,6x106
6
5,8x106
2,3x106
2,6x106
9,1x105
5,1x105
7
1,7x106
2,8x105
4,2x105
4,5x104
2,2x104
8
5,0x105
3,5x104
2,2x104
10
3,5x104
8,1x102
6,2x102
12
1,3x103
-
-
14
-
Keterangan : - = tidak tumbuh
1,2x104
-
7,9x101
-
131
Lampiran 18: Skema proses pembuatan dekstrin tapioka (Mukodiningsih,
(1991).
Tepung Tapioka
Dicampur dengan larutan HCl
Dikeringkan dengan oven
Digiling dan diayak
disangrai
Dekstrin Tapioka
132
Lampiran 19. Skema proses pembuatan tepung kedele (Koeswara, 1995).
Biji Kedele
sortasi
Perendaman
dalam air bersih
Perebusan
dikuliti
ditiriskan
Dikeringkan dengan oven
Digiling dan diayak
Tepung Kedele
133
Lampiran 20. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada pertumbuhan bakteri
S. aureus pada medium padat ( pangan model ) dengan metoda
hitungan cawan.
Waktu
Hari Ke-
Dosis Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (MIC)
0
0,5
1,0
1,5
2,0
3,0
3,6x106
3,6x106
5,4x106
4,8x106
4,0x106
5,1x106
1
3,6x105
4,5x104
2,3x104
7,9x103
7,9x103
2
8,7x104
1,4x104
9,8x103
5,5x103
3,9x103
5,6x104
8,3x103
7,6x103
2,7x103
1,4x103
4
4,1x104
6,4x103
2,5x103
7,2x102
3,8x102
5
3,1x104
2,9x103
7,8x102
2,9x102
1,0x102
7,6x101
tt
tt
tt
0
3
8,1x105
6
3,7x105
2,6x104
9
5
2,6x10
8,3x10
3
13
3,6x105
2,4x102
16
9,7x104
tt
tt
Keterangan : tt = tidak tumbuh
Lampiran 21 Data absorbansi dari bahan yang dilepaskan oleh sel S. aureus dan
P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada OD 260
dan 280 nm.
Absorbansi
Dosis (MIC)
0
0,3
0,5
0,7
0,9
S. aureus
P. fluorescens
OD260
OD280
OD260
OD280
0,283
1,926
2,181
2,353
1,429
0,142
1,627
1,877
1,955
1,96
0,380
1,482
1,908
2,437
2,505
0,208
1,326
1,881
2,491
2,491
134
Lampiran 22. Data peningkatan jumlah ion Ca++ dan K+ (% total) yang
dilepaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak
etil asetat biji atung.
Dosis
(MIC)
0
0,3
0,5
0,7
0,9
S. aureus
P. fluorescens
Ca++
K+
Ca++
K+
0
2,16
5,81
29,17
58,44
0
4,93
13,71
36,76
38,72
0
64,0
77,5
79,0
82 ,0
0
1,53
4,40
12,28
21,33
Download