NASKAH PIDATO PELEPASAN PURNA TUGAS Ilmu Kehutanan, Kehutanan, Pendidikan dan Kiprah Rimbawan Indonesia Disampaikan pada Seminar Nasional Rekonstruksi Paradigma Kehutanan Sosial Menuju Pengelolaan Sumber Daya Hutan Indonesia yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Oleh: Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon Guru Besar Ilmu Perencanaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 27 September 2010 Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 1 Assalaamu ‘alaikum warokhmatulloohi wabarokaatuh Innal hamdalillah, nahmabuduhu wa nasta’inuhu wastaghfiruhu, wa na’udzu billahi min sururi anfusina, wa min syayiati a’maalina, maa yahdihillahu fala mudhilallah, waman yu’dhlil fala haadialah. Ashadu ‘ala ilaha illalloh was ashadu anna muhammadar rosulullohu laa nabiya ba’dah. Amma ba’du Yang terhormat Bapak Rektor UGM, bapak Dekan Fakutas Kehutanan, Ketua Senat Fakultas Kehutnaan, para Ketua Jurusan, tamu undangan hadirin yang berbahagia. Ilmu kehutanan sebenarnya sudah lahir sejak ribuan tahun yang lalu, setidaknya ketika kerajaan Babylonia mengalami kejayaan sekitar 3.000 tahun SM. Dua rajanya yang sangat terkenal adalah HAMMURABI (1728-1686 SM) dan NEBUCHATNEZZAR (1128-1107 SM). Kerajaan ini menjadi super power lebih dari 30 abad. Babylonia runtuh sekitar 500 tahun SM di tangan kerajaan Persia. Sejarah pengelolaan hutan. Sebagai Negara yang sudah maju, Babylonia telah mengenal dan mengembangkan perdagangan di dalam maupun luar negeri. Salah satu komiditas perdagangan yang banyak menghasilkan uang adalah kayu, yang ditebang dari hutan alam. Di dalam ilmu kehutanan cara memungut kayu dengan menebang hutan alam ini dinamakan penambangan kayu (timber extraction). Sesuai dengan usia negaranya, praktik penambangan kayu di Babylonia juga berlangsung selama 2.500-3.000 tahun. Oleh karena itu tentu banyak ilmu dan pengetahuan tentang hutan dan kehutanan yang terakumulasi selama jangka waktu yang sangat lama itu. Ilmu yang sudah terakumulasi adalah yang berkaitan dengan menebang pohon, mengolah kayu, mengangkutnya ke konsumen dan pedagang. Karena hutan masih tersedia luas sedang permintaan masih rendah, setelah hutan ditebang diharapkan akan tumbuh hutan sekunder. Pada usia tertentu hutan alam sekunder ini sudah menyamai dengan hutan alam primer (virgin forest). Karena hutan masih luas, maka hutan alam sekunder baru dijamah kembali untuk ditebang setelah ratusan tahun, mungkin dapat sampai 300 tahun atau lebih. Akan tetapi dengan terus bertambahnya luas hutan yang ditebang, maka usia hutan sekunder yang ditebang pada rotasi kedua itu semakin lama semakin pendek. Bandingkan hal ini dengan apa yang terladi di luar Jawa saat ini. Karena usia hutan alam sekunder yang ditebang pada rotasi kedua semakin pendek, maka diameter pohon yang ditebang juga semakin kecil. Ketika rotasi kedua mulai menebang hutan yang usianya kurang dari 100 tahun, maka formasi yang mirip virgin forest belum tercapai. Pada saat itu permudaan kembali hutan secara alami semakin tidak menunjukkan hasil seperti semula. Singkatnya, dengan semakin pendeknya rotasi tebang, maka mulai terjadi permudaan alam yang kurang memuaskan atau dikatakan gagal. Oleh karena itu selama 500 tahun terakhir, hutan alam di Babylonia mengalami deforestasi, yang berakhir dengan kehancuran hutan alam di lembah Eufrat-Tigris yang terkenal amat subur tersebut. Rusaknya hutan di Mesopotamia, memaksa para pedagang, industrialis maupun konsumen kayu mencari daerah lain yang memiliki hutan alam lebat dengan kualitas kayu yang diinginkan. Runtuhnya Babylonia sebagai super power menyebakan tumbuhnya Persia dan Bizantium sebagai super power baru. Selanjutnya penebangan kayu dari hutan alam di Eropa lebih berkembang dibanding dengan Persia karena potensi hutan alam di Eropa lebih tinggi dan akses dari hutan ke pusat-pusat industri pengolahan lebih baik. Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 2 Sama dengan penambangan kayu di Baylonia, permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan hanya diserahkan kepada alam. Juga seperti di Babylonia, mula-mula permudaan alam di Eropa cukup memuaskan, tetapi setelah berjalan 10 abad mulai terjadi kerusakan, karena laju penebangan melampaui kecepatan permudaan alam. Akibatnya, pada abad ike-10 sudah dirasakan adanya kerusakan hutan di seluruh wilayah yang menjadi jajahan kekaisaran Bizantium tersebut. Berbeda dengan Babylonia, Eropa lebih beruntung karena pada abad ke-10 pendidikan di kalangan masyarakat sudah lebih berkembang. Karena pengaruh universitas Damaskus, Baghdad dan Al Hambra, pada waktu itu pendidikan klasikal di Eropa sudah mulai merangkak naik. Perkembangan pendidikan itu terus berlangsung sehingga pada abad ke-13 Eropa sudah mulai merasa menyamai tingkat pebndidikan di Negara-negara Islam. Pada saat itulah masyarakat Eropa menyebutkan adanya masa kebangkitan (renaisance). Selanjutnya tonggak sejarah kebangkitan pendidikan di Eropa ditandai dengan terbitnya buku The Principal of Mathematich karya ilmuwan terkenal ISSAC NEWTON. Buku matematiknya NEWTON (1642-1727) yang terbit pada akhir abad ke-17 itu sebenarnya hanya merupakan fotokopi karya AL KHAWARISMY, orang Persia yang mejadi dosen di Universitas Baghdad. Karya AL KHAWARISMY, yaitu penemuan pecahan berpangkat, merupakan kelanjutan dari karya ABDULLAH IBNU ALJABAR, juga dosen Universitas Baghdad dari Persia, yang menemukan persamaan pecahan. ABDULLAH IBNU ALJABAR hidup sekitar 50 tahun sebelum KHAWARISMY. Jadi sebenarnya Eropa ketinggalan sekitar 7 abad dalam mengenal matematik dibanding dengan dunia Islam. Kembali kepada awal perkembangan pendidikan klasikal di Eropa yang sudah mulai terjadi pada abad ke-11, dimana hutan alam mulai mengalami kerusakan berat akibat penebangan. Karena pendidikan masyarakat sudah jauh lebih berkembang dibanding dengan era Babylonia, maka masyarakat Eropa sudah mampu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi. Lebihlebih sejarah Metopotamia yang buruk itu tentu masih membekas di kalangan masyarakat dan penguasa Romawi (Bizantium baru), sehingga mereka mencoba untuk mengantisipasi masalah yang timbul dengan benar. Hasilnya, sekitar abad ke-10 sudah muncul wacana asas kelestarian hasil (sustanined yield principal) di antara stake holders kehutanan di Jerman, khususnya dari kalangan pemilik indstri perkayuan. Tentu saja wacana baru itu tidak segera dapat diwujudkan bentuk operasionalnya di lapangan. Semua stake holders kehutanan berfikir keras tentang masalah itu. Pelan-pelan namun pasti, para pengelola hutan di Eropa Tengah mulai menemukan bentuk pengelolaan hutan yang diinginkan untuk mwujudkan asas kelestarian hasil. Berbagai macam bentuk pengalolaan hutan itu kelak akan menjadi metoda Pengaturan Hasil, setelah para akademisi berhasil melukiskan masingmasing metoda itu dalam bentuk karya tulis. Perkembangan Ilmu dan Pendidikan Kehutanan Ilmu kehutanan di Jerman mulai berkembang lebih pesat lagi berkat karya tulis para akademisi tersebut. Dimulai oleh COTTA yang menerbitkan buku berjudul Anweisung zum Waldbau (Petunjuk Silvikultur), metoda pengaturan hasil yang dipakai oleh para pengusaha hutan di lapangan terus diterbitkan. Oleh karena itu pada abad ke-19 beberapa metoda pengaturan hasil untuk menghitung etat tebangan yang dapat menjamin terwujudnya asas kelestarian hasil telah dikenal masyarakat, seperti metoda HUNDESHAGEN, metoda Austria, metoda Perancis, bahkan juga metoda yang paling sederhana, yaitu Vak Werk Methoda. Metoda lain yang lahir kemudian dan lebih canggih adalah metoda Periodic Block oleh COTTA, Shelterwood System dan metoda Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 3 BIOLLEY (rimbawan Austria). Di antara metoda-metoda pengaturan hasil yang sudah ada tersebut, kemudian mucul metoda VON MANTEL yang terkenal dengan konsep hutan normal. Perkembangan ilmu perhitungan etat menuntut dukungan dari cabang-cabang ilmu pendukungnya. Di antara cabang ilmu yang terpenting adalah Ilmu Ukur Kayu, Metoda Inventore Hutan, Sistem-sistem Silvikutur, Eksploitasi Hasil Hutan dan Tata Hutan. Kelima cabang ilmu tersebut hanya diajarkan di pendidikan kehutanan saja, baik sekolah menengah maupun sekolah tinggi. Pendidikan di luar kehutanan tidak mengenal ilmu-ilmu tersebut. Di samping menjadi cirri khas foresters, lima cabang ilmu dan ilmu Perhitungan Etat merupakan syarat minimal untuk merancang pengelolaan hutan lestari (forest engeneering). Kelebihan rimbawan dalam hal pengelolaan hutan lestari juga karena dimilikinya keenam macam ilmu dasar kehutanan tadi. Sebaliknya, kalau ada rimbawan yang tidak menguasai ilmuilmu tersebut, dalam melaksanakan tugas mengelola hutan tidak akan berbeda dengan ahli dari bidang selain kehutanan. Hal inilah yang menimbulkan cemoohan masyarakat, bahwa pejabat rimbawan dan bukan rimbawan ternyata hasilnya sama saja, yaitu sumber daya hutan hancur, karena sama-sama tidak berfikir di atas landasan ilmu kehutanan yang khas itu. Satu-satunya hasil hanya kekayaan para pejabat kehutanan buah dari keterlibatannya dalam pengelolaan hutan selama era kehancuran, yaitu panen kayu hutan tanaman jati di Jawa warisan rimbawan Belanda dan penebangan hutan alam di luar Jawa yang ndhompleng kepada pesta poranya para pemegang HPH. Pendidikan kehutanan di Indonesia baru mulai tumbuh pada awal abad ke-20; pada hal penebangan hutan sudah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Seharusnya dari pengalaman amat panjang mengelola hutan jati di Jawa sudah terakumulasi informasi dan pengetahuan yang amat banyak. Hal ini berbeda dengan bidang lain, yang walaupun tidak memuaskan namun pendidikan informal di masyarakat telah menumbuhkan budaya atau teknologi baru. Tentu saja ketika kita mendiskusikan masalah pembangunan hutan, peranan tenaga kerja profesional yang terlibat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan, baik jumlah maupun kualitas. Namun pada jaman pemerintah kolonial sekalipun, dimana hutan mempunyai sumbangan penting dalam perekonomian Negara, masalah pendidikan masyarakat sangat diabaikan. Setelah selama hampir tiga abad kekayaan alam Indonesia dikelola secara intensif untuk dimanfaatkan bagi pembanguan Negeri Belanda, ternyata penduduk pribumi tetap dalam keadaan miskin. Untungnya ada beberapa intelektual bangsa Belanda yang mengusulkan dilakukan “politik balas budi” oleh pemerintah Belanda untuk rakyat Indonesia. Tokoh pengusul politik balas budi itu antara lain NIEWHUIS dan THEODOR C. VAN DEVENTER. Akan tetapi saran atau usul para aktivis politik balas budi itu belum berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda sampai akhir abad ke-19. Sementara itu salah seorang tokoh kehutanan bernama A. H. BEERKHOUT mengatakan bahwa sampai dengan tahun 1885, penjaga hutan dan Mantri hutan yang pada umumnya diambil dari kalangan masyarakat bumiputera, hanya dapat menghitung dan menulis; itupun tidak cukup baik. Sinder Hutan, yang diangkat dari klien ambtenar (pegawai rendahan), umumnya hanya dapat berhitung dan sedikit dapat menulis serta berbahasa Belanda, tidak menguasai kegiatan kehutanan. Mereka belum dapat mengenal jenis-jenis pohon yang terdapat di dalam hutan, bahkan celakanya kadang-kadang seorang Mantri Kehutanan tidak dapat mengenal pohon jati (SAPUTRA, 1990:40). Melihat kenyataan itu maka pada tahun 1892 KOORDERS, seorang pegawai tinggi Jawatan Kehutanan, menyarankan agar pemerintah menyelenggarakan kursus Sinder Hutan. Saran KOORDERS tidak segera ditanggapi positif oleh pemerintah Hindia Belanda. Baru pada tahun 1908 pemerintah mulai menyelenggarakan kursus Sinder Hutan, itupun masih dalam percobaan Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 4 yang dititipkan pada Opleidings Cursus Voor Tuin en Landbouw (Pendidikan Holtikultura dan Pertanian) yang ada di Bogor. Pada tahun 1912 pemerintah membuka Sekolah Pertanian Menengah (Cultuur School) yang mendidik tamatan Sekolah Dasar selama tiga tahun untuk menjadi Sinder Pertanian dan Sinder Hutan. Pada tahun 1914 Cultuur School dipindah ke Sukabumi, dan pada tahun 1918 dibuka sekolah yang sama di Malang. Akan tetapi karena menghadapi kesulitan uang, pendidikan ini harus jatuh bangun. Pada tahun 1923 kedua sekolah tersebut ditutup. Karena desakan kepentingan, maka pada tahun 1925 Cultuur School Sukabumi dibuka kembali. Tahun 1935 ditutup lagi, sebagai gantinya yang di Malang dibuka kembali (SAPUTRO, 1990:41). Pada tahun 1918, di Bogor didirikan Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middlebare Landbouw School, MLS) yang mendidik murid-murid bumiputera tamatan MULO (SMP) selama tiga tahun untuk jabatan Leerling Ajunct Houtvester). Sampai tahun 1921, sekolah itu baru meluluskan 15 orang tamatan MLS yang sudah menduduki jabatan Leerling Bos-Architect (setingkat Asper), yang dulu rakyat menyebut dengan ndoro BA. Tetapi pada waktu pemerintah Hindia Belanda menghadapi masalah keuangan, MLS juga ikut ditutup. 12 dari 15 tamatan MLS tahun 1921 itu adalah: GONDOWARDONO, KISWARIN, ODANG PRAWIRADIREDJA, SW PANGALILA, ROESIAT MANGOEN WIGOTO, RONGGOER Glr PATUAN MALAON, SAPARIN PRAWOTO KOESOEMO, SATOTO, SOEBOER, SOEDJADI, TANGSEN GITOKOESOEMO, dan TAPSIR (SINDOEREDJO, 1993:215). Pada tanggal 26 Agustus 1939, J. H. BECKING, pimpinan Jawatan Kehutanan, membuka Middlebare Bosbow School (Sekolah Kehutanan Menengah Atas, MBS) di Madiun. Setingkat dengan MLS, maka MBS juga mendidik murid bumiputera tamtan MULO selama 3 tahun. Pada waktu yang sama, di Madiun juga didirikan Sekolah Polisi Hutan yang mendidik pegawai rendahan Jawatan Kehutanan, termasuk Mandor, selama 3 bulan. Karena tiap angkatan jumlah yang dididik 25 orang, maka dalam satu tahun dapat dihasilkan 100 orang Polisi Kehutanan. Sampai di sini berarti pendidikan untuk tenaga ahli kehutanan, untuk jabatan Houtvester, hanya diselenggarakan di Landbow Universiteit di Wageningen, Negeri Belanda. Pada tanggal 25 September 1940, Gubernur Jenderal mengeluarkan SK Nomer:38 untuk membentuk Commissie teer Voorbereiding van Ene Faculteit van Landbouw Wetenschap. Jumlah mahasiswa angkatan pertama ada 39 orang, terdiri atas 5 orang Eropa, 12 China, dan 32 pribumi (sebutan lain bumiputera). Namun nasib para mahasiswa ini tidak terdeteksi karena pada bulan Maret tahun 1942 Hindia Belanda harus menyerahkan Indonesia kepada kekuasaan bala tentara Jepang tanpa syarat. Pada jaman Jepang MBS dan Sekolah Polisi Hutan di Madiun ditutup, tetapi siswa kelas II MBS diberi kesempatan untuk menempuh ujian akhir. Mereka yang lulus lalu diangkat menjadi pegawai pada Jawatan Kehutanan. Siswa kelas I untuk sementara bekerja di Dinas Kehutanan, kemudian dimasukkan di Sekolah Tinggi Pertanian yang didirikan pada tahun 1943 di Bogor. Penggabungan tersebut tidak lama karena Ringyoo Tyuoo Zimutyo juga mendirikan Sekolah Kehutanan Menengah Tinggi (SKMT) di Bogor dengan lama pendidikan 3 tahun. Sekolah Polisi Kehutanan Madiun dibuka kembali dengan nama Simrin Keisatu Gakko, yang merekrut penjaga hutan (Boswachter) atau Mandor. Setelah pada tahun 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, semua sekolah kehutanan yang didirikan Jepang itu bubar. SKMT di Bogor baru sampai kelas II. Karena didesak kebutuhan maka siswa kelas II tersebut diberi kesempatan menempuh ujian akhir. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia (RI) yang baru lahir terpaksa berperang melawan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Para siswa SKMT justru ikut terjun ke medan pertempuran sebagai Tentara Pelajar. Pada tahun 1946 pemerintah RI yang Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 5 berkedudukan di Jogyakarta itu membuka SKMT di Kaliurang. Akan tetapi baru terselenggara beberapa bulan, di sekitar Kaliurang berjangkit wabah penyakit pes yang membawa banyak korban, sehingga SKMT dipindah ke kota Jogyakarta. Karena asrama dan sarana lain sangat kurang, SKMT Jogyakarta lalu dipindah ke Madiun. Pada tahun 1947 SKMT telah berhasil meluluskan angkatan pertama. Jumlah Tamatan SKMT tahun 1947 itu ada 29 orang, di antaranya terdapat nama-nama: BASUKI (kakak kandung Jenderal ALI MOERTOPO), BOEDIWIYONO KARTOMISASTRO, MOCH. OTJO DANAATMADJA, MOELYADI BANOEWIDJOJO, MOCH. SYARIF, PERMADI, POERNOMO SOEGENG, RIS PRAMOEDIBYO, dan SOEDARWONO HARDJOSOEDIRO (SINDOEREDJO, 1993:231-240). Dengan situasi belajar seperti itu dapat dibayangkan kualitas belajar-mengajar yang dapat diselenggrakan oleh SKMT tersebut, sekaligus kualitas lulusannya. Di tengah-tengah kesulitan itu, karena didorong oleh semangat yang sangat tinggi untuk merdeka, pada tahun 1946 pemerintah RI masih mampu mendirikan Akademi Kehutanan di Jogyakarta. Sementara itu di daerah pendudukan, Belanda juga membangun sekolah-sekolah kehutanan. Pada tahun 1947 di Makassar didirikan MBS, pada tahun 1948 menyusul MBS Bogor. Belanda juga memberi kesempatan lulusan SKMT dan sekolah Jepang untuk menjadi pegawai dengan terlebih dulu harus mengikuti kursus di MBS Bogor selama 3 bulan. Pada tahun 1949 di Ungaran didirikan Bos Opzichter School, untuk menandingi sekolah yang sama milik RI di Padangsidempuan. Untuk menandingi Akademi Kehutanan Jogyakarta, Belanda membuat Hofden Cursus di Bogor. Begitulah, untuk menandingi Universitas Gadjah Mada (UGM), di Jakarta dan Bogor Belanda mendirikan Universiteit van Indonesia (UI). Pada bulan Desembar 1929 pemerintah RI memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Kerajaan Belanda. Dalam era perang kemerdekaan yang terkenal heroik itu telah lahir UGM, yang mulai tahun 1951 telah memiliki Jurusan Kehutanan. Sementara itu pendidikan kehutanan di UI Cabang Bogor juga berkembang. Namun kedua pendidikan kehutanan itu sebenarnya diasuh oleh dosen yang sama, yaitu rimbawan bangsa Belanda yang dulu terlibat dalam pendidikian di MBS maupun Akademi Kehutanan. Oleh karena itu sebagai dosen mereka mempunyai kekurangan yang sangat berarti karena profesi mereka adalah guru sekolah penbdidikan atas. Metoda mengajar dan tugas serta kewajiban dosen sangat berbeda dengan tugas guru yang hanya manyampaikan paket ilmu. Hal ini sangat berpengaruh pada kualitas lulusan awal dari IPB (UI Cabang Bogor) maupun UGM. Padahal para lulusan inilah yang memimpin kehutanan Indonesia sampai tahun 2.000 dan ternyata hasilnya tidak memuaskan, kalau tidak dikatakan gagal. Kiprah Rimbawan Indonesia Pengelolaan hutan pada awal kemerdekaan berbekal tenaga rimbawan tamatan CS, MLS, MBS, SKMT, dan Akademi Kehutanan. Sebagian dari lulusan sekolah-sekolah tersebut kemudiam ada yang melanjutkan belajar di IPB (UI Cabang Bogor) maupun UGM. Mereka itulah yang melanjutkan pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa dan membuka hutan alam di luar Jawa mulai tahun 1970 dengan bekal Undang-undang No.5/1967 yang cacat besar dari pandangan akademik. Tetapi perlu diingat bahwa ketika penebangan hutan di luar Jawa akan dumulai, jumlah sarjana Kehutanan lulusan IPB dan UGM baru sekitar 150 orang. Dari segi jumlah, tamatan sekolah menengah kehutanan masih jauh lebih banyak. Sekedar sebagai gambaran, pada dekade 1970-an ada persaingan yang cukup tajam, kadangkadang kurang sehat, antara rimbawan tamatan Perguruan Tinggi dengan rimbawan tamatan sekolah menengah. Semua kelompok rimbawan yang kedua itu bergabung ke dalam satu organisasi disebut CT SKMA (Corps Tamatan Sekolah Kehutanan Menengah Atas), sedang Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 6 seluruh sarjana kehutanan bergabung ke dalam Persaki (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia). Setelah jumlah sarjana kehutanan lebih banyak, sementara tamatan SKMA sudah waktunya memasuki masa pensiun, persaingan tidak sehat itu berlanjut di antara anggota Persaki sendiri, yaitu alumni IPB dan alumni UGM. Kebiasaan buruk yang tidak produktif dan amat memalukan itu, sekarang masih terjadi dengan istilah sembunyi-sembunyi, Blok Barat dan Blok Timur. Di lingkungan penglola hutan di Jawa, persaingan antara alumni IPB dan UGM itu sempat reda ketika mayoritas pejabat Perhutani menghadapi Direksi yang mendapat dukungan paranormal dari Mojokerto. Pada waktu itu Direksi Perhutani mencanangkan gerakan moral untuk membuat pegawai Perhutani lebih dekat dengan sang Pencipta. Akan tetapi karena sepakterjangnya melampaui batas, maka tidak lama gerakan moral di Perhutani itu tumbang. tidak ayal lagi, tumbangnya gerakan moral yang berkiblat ke Mojokerto tersebut merupakan awal periode dimana Perhutani dilanda tragedi ”Keris Empu Gandring.” Akan tetapi gerakan yang semula didukung oleh alumni IPB dan UGM bersama-sama itu remuk-redam di tengah jalan. Alumni IPB dan UGM yang semula bersatu padu dengan satu tekad untuk membangun Perhutani yang sehat dan profesional itu akhirnya kumat penyakit lamanya oleh “provokator” yang sepertinya tidak kelihatan, tetapi sebenarnya dapat diraba. Anehnya provokasi yang menumbuhkan pemegang tahta baru itu mema’afkan seluruh dosa para pendukung gerakan moral. Provokator berhasil meyakinkan kepada fihak-fihak yang tidak waspada, bahwa kalahnya gerakan moral dianggap sebagai pukulan untuk kubu IPB. Dalam hal ini provokator sangat lihai dalam memanfaatkan ketidak-puasan kinerja Direksi baru sebagai pemicu panas untuk menggerakan kembali Keris Empu Gandring. Bertolak dari ketidak-puasan kinerja Direksi, muncullah organisasi yang dinamakan Sekar (Serikat Karyawan). Singkat kata, pemegang tahta baru terus digoyang oleh Sekar, dimana aktivis gerakan moral ikut berlindung di dalamnya. Dalam tempo singkat, yang dibumbui dengan tipu muslihat, pemegang tahta baru pun jatuh;Keris Empu GANDRING memakan korban lagi. Walaupun penguasa yang jatuh melakukan gugatan dan menang di pengadilan, namun tidak menghalangi kelompok Sekar berhasil menjadi penguasa baru, berhasil memadamkan besi yang sedang membara, dan menuai jabatan penting di semua lini. Karena merasa tersisih, kubu Bulaksumur pendukung rezim yang kalah mencoba bangkit dengan membentuk SP2P (Serikat Pegawai dan Pekerja Perhutani). Tetapi gerakan ini tak bertaring, karena berhadapan dengan penguasa Perhutani yang mendapat dukungan penuh dari Ketua Dewan Pengawas, sementara besi sudah tidak membara lagi sehingga sulit sudah untuk ditempa menjadi Keris Empu Gandring baru. Tradisi Persaki yang tidak konstruktif seperti itu sebenarnya dilandasi oleh dua hal. Pertama, berbeda dengan SKMA yang berhasil membentuk ”Jiwa Rimbawan” yang kuat, pendidikan tinggi kehutanan hanya mengenal bau jiwa rimbawan dari dosen-dosennya yang juga anggota CT SKMA. Kedua, rendahnya mutu pendidikan tinggi kehutanan, baik IPB maupun UGM, yang diawali dengan pendidikan oleh bukan tenaga yang mempunyai keahlian setingkat dosen, melainkan oleh guru-guru sekolah menengah, menyebabkan mereka sedikit sekali diskusi tentang profesi; sebagian besar waktunya dihabiskan untuk membicarakan jabatan dengan berlindung di balik almamater. Diakui atau tidak, sampai sekarang pun mutu pendidikan di perguruan tinggi kehutanan di seluruh Indonesia masih belum memuaskan. Tamatan fakultas kehutanan di Indonesia belum mampu memecahkan masalah kehutanan yang ada sekarang, yang sudah compang-camping akibat salah urus selama periode 1950-2000. Diakui atau tidak, rimbawan Indonesia telah gagal mengemban amanat yang dibebankan kepadanya. Hal ini berbeda degan rimbawan Eropa, Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 7 khusunya Jerman, yang berhasil membangun kembali hutan alam yang rusak akibat ekstraksi kayu selama penjajahan Romawi. Oleh karena itu sampai sekarang rimbawan Eropa mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat, karena mereka dianggap berhasil menghindari terulangnya tragedi Mesopotamia, dimana hutan lebatnya hancur dan berubah menjadi padang pasir atau padang rumput, oleh praktik ekstraksi kayu selama kejayaan kerajaan Babylonia. Ke depan, kalau ingin menunjukkan karya yang nyata, rimbawan Indonesia harus bersatu padu di bawah naungan Jiwa Rimbawan yang benar. Kegagalan kiprah rimbawan Indonesia di masa lalu dengan mudah dapat dilihat dari dua fenomena, yaitu: 1. Rimbawan Indonesia gagal mempertahankan warisan hutan tanaman jati di Jawa yang amat bagus, lengkap software maupun hardware-nya. Warisan hasil jerih payah rimbawan Belanda selama lebih dari satu abad itu, hancur di tangan rimbawan Indonesia hanya dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. 2. Lebih parah lagi, rimbawan Indonesia, yang sebetulnya tidak memiliki bekal ilmu yang cukup itu, gagal total dalam percobaannya mengelola hutan tropika basah di luar Jawa yang luasnya lebih dari 100 juta hektar itu hanya dalam waktu 25 tahun. Prestasi buruk itu lebih hebat dibanding dengan VOC yang menghancurkan 600.000 ha hutan alam jati di Jawa selama 150 tahun, Romawi yang menghancurkan hutan alam di Eropa selama 1000 tahun, dan Babylonia yang membutuhkan waktu 3000 tahun untuk merusak hutan alam Mesopotamia. Tugas Ke Depan Rimbawan Indonesia Itulah gambaran umum wajah rimbawan Republik Indonesia. Kalau apa yang saya katakan betul dan diakui, maukah kita memperbaikinya? Kalau mau (punya good will) lalu bagimana cara memperbaikinya. Kalau tidak mau tentunya kebangeten karena kerusakan hutan di Indonesia saat ini jauh lebih parah dibanding dengan kerusakan hutan jati di Jawa akhir abad ke-18. Tetapi dengan semangat yang tinggi, rimbawan bangsa Belanda telah membuktikan dapat merehabilitir hutan jati di Jawa, walaupun memerlukan waktu hampir satu abad. Dalam upaya memperbaiki wajah rimbawan Indonesia yang carut-marut itu, alumni IPB dan UGM sebagai anak mbarep (sulung) harus mmberi contoh konkrit di lapangan. Seluruh alumni IPB dan UGM harus mampu brsikap dewasa untuk menjadi pioner dalam menggalang persatuan, keluarga rinbawan sakinah, berpegang teguh pada ilmu kehutanan mutakhir yang benar. Seluruh dosen dari dua almamater itu harus menempatkan dirinya sebagai mata anak panah untuk membangun jiwa rimbawan Indpnesia yang teguh dan kokoh, tak lekang oleh gelombang korupsi, tak lapuk oleh jabatan keduniaan yang ditawarkan oleh partai politik. Keberhasilan rimbawan Belanda di Jawa dapat menjadi acuan (reference) penting bagi rimbawan Republik Indonesia untuk memulai era baru yang dapat dibanggakan, Membangun Kembali Hutan Indonesia. Pilar-pliar penting keberhasilan rimbawan Belanda tersebut adalah: 1. Kerja jangka panjangnya didasarkan pada rencana umum yang tidak berubah-rubah; tujuannya hanya satu, yaitu mewujudkan terbentuknya hutan tanaman jati yang produktif, dapat dikelola secara lestari. Di sini Perencanaan Kehutanan pegang peranan menentukan, di bawah kendali Brigade Planologi yang independen. 2. Hasil kerja yang dibebankan pada tim MOLLIER (dibentuk tahun 1849) sangat nyata, yaitu penggarisan batas kawasan hutan (termuat dalam Domeinverklaring yang diumumkan tahun 1870) dan konsep Undang-undang Kehutanan tahun 1865. Konsep Undang-undang Kehutanan tahun 1865 itu dengan sabar dikoreksi setiap saat, dan baru Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 8 3. 4. 5. 6. diresmikan tahun 1927 (terkenal dengan Boschordonantie), setelah ditinjau dari semua aspek dianggap layak. Pembentukan rimbawan yang profesional dan memiliki jiwa rimbawan kuat, dengan satu tekad: membangun hutan untuk perekonomian rakyat dan negara berlandaskan kelestarian. Rimbawan bekerja bukan untuk sikut-menyikut mencari kekayaan atau rebutan jabatan ala Keris Empu GANDRING. Mereka bersatu dalam satu keluarga sakinah, dengan menganggap hutan sebagai Maha Taman Tempat Bekerja. Upaya panjang rimbawan Belanda menjadi bulat setelah diterimanya konsep berbobot akademik tinggi, Houtvesterij, pada tahun 1892, yang diajukan oleh BRUINSMA. Dengan konsep Houtvestrij itu, secara bertahap organisasi wilayah hutan di Jawa dapat diselesaikan tanpa konflik berarti dengan masyarakat setempat, dan penebangan yang menjamin kelestarian (tidak over-cutting) dapat diwujudkan. Ditengah-tengah kesibukan tersebut, BUURMAN memberi sumbangan penting dengan penemuan sistem tumpangsari yang akhirnya menjadi andalan utama pembangunan hutan yang (hampir) selalu berhasil baik. Keberhasilan mewujudkan sayarat-syarat tercapainya asas kelestarian itu, dibukukan di dalam apa yang dinamakan Instruksi 1938 tentang Penyusunan Rencana Perusahaan Tetap. Bandingkan sukses rimbawan Belanda tersebut dengan apa yang dilakukan oleh rimbawan Republik Indonesia selama berlakunya penebangan hutan di luar Jawa dengan sistem HPH. Beberapa titik penting selama perjalanan HPH itu adalah: 1. Rapat kerja di Yogyakarta tahun 1967, untuk membicarakan bagaimana Direktorat Jenderal Kehutanan melaksanakan penebangan hutan alam di luar Jawa sebagaimana yang diminta oleh pemerintah. 2. Pertemuan di Yogyakarta itu mendorong dikeluarkannya Undng-undang Nomer 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Tempo yang tersedia untuk menyusun UU ini sangat singkat, hanya beberapa bulan saja, sehingga kualitasnya boleh dikatakan rendah. Bandingkan dengan Boschordonantie yang konsepnya selesai tahun 1965, tahun 1927 baru dikeluarkan secara resmi (62 tahun). 3. Dengan UU Nomer 5/1967 itu pelaksanakan tebangan hutan di luar Jawa oleh para pemegang HPH berlangsung sangat cepat. Kekurangan UU Nomer 5/1967 sebenarnya segera nampak setelah HPH beroperasi, tetapi tidak ada yang peduli dan tidak ada yang berupaya untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Akibatnya, proses kerusakan hutan alam juga berlangsung begitu cepat; hanya dalam kurun waktu 25 tahun, 64 juta hektar hutan alam produksi di luar Jawa mengalami kehancuran. 4. Awal kerja pemegang HPH dilandaskan pada data potensi kayu yang tercantum di dalam Green Book. Data tersebut kecermatannya sangat rendah, sebagai hasil inventore tegakan yang dilakukan secara serampangan oleh pejabat Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan melibatkan tenaga dosen dari IPB dan UGM. Tidak satupun di antara tenaga-tenaga yang melakukan inventore dalam rangka menyusun Green Book itu yang menguasai dasardasar inventore hutan yang benar. 5. Dalam era HPH itu pemerintah mendirikan PT Inhutani sebagai BUMN bidang Kehutanan, tetapi syarat maupun cara kerjanya dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan didirikannya Perusahaan Jati (Djtibedrijfs) tahun 1890 yang akhirnya mampu berperan besar dalam pembangunan hutan tanaman jati di Jawa. Ketika Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 9 prestasi maupun kinerja Djatibedrijfs dianggap tidak baik, Boschwezen memberi peringatan dan arahan sebagai upaya-upaya untuk memperbaikinya. 6. Sejak hancur pada akhir abad ke-20 itu, sampai sekarang belum nampak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk membangun hutan Indonesia yang peranannya untuk ekologi maupun ekonomi sangat besar itu. Bandingkan dengan kerusakan hutan jati di Jawa pada akhir abad ke-18, dimana Raja Belanda menaruh perhatian dan memberi perintah kepada calon Gubernur Jenderal DAENDELS bahwa membangun kembali hutan jati di Jawa merupakan salah satu tugas pokok. 7. Pada era reformasi yang hiruk pikuk itu memaksa digantinya UU Nomer 5/1967 dengan Undang-undang baru. namun dari aspek perkembangan ilmu kehutanan, UU yang baru itu ketinggalan jaman. Era social forestry seharusnya sudah berlaku sejak 1978, sedang UU Nomer 41/1999 masih bernuansa paradigma timber extraction; timber management saja belum. Seperti kita saksikan bersama, UU Nomer 41/1999 tak mampu sama sekali untuk mengatasi penjarahan hutan yang merebak luas paska reformasi tahun 1998. 8. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke Otonomi Daerah yang membuat Departemen Kehutanan tak berdaya dalam menggerakkan pembangunan hutan di lapangan itu dibiarkan saja. Kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh Depertemen Kehutanan di atas menjadi bahan yang sangat penting bagi rimbawan Republik Indonesia untuk memperbaiki citra dirinya di mata rakyat Indonesia. Greget pembangunan kembali hutan Indonesia dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Ditumbuhkan tekad yang bulat di dalam diri setiap rimbawan untuk membangun hutan Indonesia sehingga dapat mendekati keadaan sebelum tahun 1967. 2. Menyusun rencana Nasional, Regional dan Distrik secara terpadu dengan membentuk Lembaga Perencanaan yang independen, professional dan programnya konsisten sampai tujuan tercapai (utuhnya kembali hutan Indonesia). 3. Menyiasati secara positif era Otonomi Daerah dengan menggunakan ilmu kehutanan yang mutakhir tetapi belum sepenuhnya dikuasai oleh rimbawan Indonesia, yaitu kehutanan sosial. Oleh karena itu rimbawan Indonesia harus belajar banyak tentang social forestry. 4. Menciptakan mesin-mesin pengelolaan hutan di lapangan dengan partisipasi dari seluruh stakeholders kehutanan (rimbawan lapangan, rimbawan akademisi, pemerintah, BUMN, BUMD, BUMS, dan kelompok-kelompok maupun individu rakyat). Di sini BUMN dan BUMD hendaknya berfungsi sebagai laboratorium pengelolaan hutan yang baik agar hasil kerjanya dapat menjadi contoh untuk ditiru oleh mesin pengelola hutan lainnya, baik swasta maupun rakyat. 5. Menumbuh-kembangkan jiwa rimbawan dan profesionalisme berdasarkan ilmu kehutanan mutakhir. 6. Perbaikan atau pembaharuan UU Kehutanan yang berjiwa paradigma kehutanan sosial. 7. Khusus untuk pengelolaan hutan di Jawa, diperlukan pembaharuan mandat kepada pelaksana dan merombak Perum Perhutani secara menyuruh karena terbukti gagal dalam melaksanakan tugasnya. Di antara sifat buruk yang telah membudaya di kalangan Perum Perhutani adalah jiwa feodal dan sistem manajemen baris-berbaris, yang hanya mentaati satu suara (komandan); kedua hal itu selama ini menjadi penghambat utama upaya rasionalisasi organisasi dan menyebabkan pengelola hutan di Jawa sangat resistant terhadap kritik dan saran dari luar. Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 10 Dari masalah-masalah penting yang dikemukakan di atas, peranan Departemen Kehutanan sangat diperlukan, tetapi tidak bersifat sentralistik otokratik. Departemen Kehutanan dapat memainkan dua hal yang penting untuk menciptakan nuansa pengelolaan hutan nasional yang demokratik produktif, yaitu: 1. Menyusun perencanaan yang bersifat holisitk untuk mencapai satu tujuan jangka panjang, yakni kembalinya hutan Indonesia yang bagus demi kelestarian ekosistem global, sambil memanfaatkan produk-produk yang ada untuk kemakmuran masyarakat luas. Dari tiga tingkatan perencanaan, rencana nasional akan menjadi pedoman pokok (seperti rencana DAENDELS dan Tim MOLLIER) dalam mencapai tujuan jangka panjang, rencana regional berdasarkan ekosistem pulau diserahkan kepada setiap Provinsi sebagai acuan, dan rencana Distrik untuk dilaksanakan oleh mesin-mesin pengelola hutan diserahkan kepada tingkat kabupaten/kota. 2. Memberi dan menyediakan rimbawan sebagai sumber daya manusia yang cakap dan berjiwa rimbawan, untuk setiap saat dapat digunakan oleh instansi kehutanan di semua tingkat, termasuk mesin-mesin pengelola hutan. 3. Bersama Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengontrol kinerja BUMN, BUMD maupun BUMS (mirip dengan peran Boschwezen dalam pemerintahan Hindia Belanda). 4. Untuk mewujudkan titik yang ketiga itu, Departemen Kehutanan perlu berusaha menarik kembali penilaian dan pembinaan aspek tehnik maupun sdm lembaga-lembaga tersebut dari tangan Kementerian BUMN. Lembaga terakhir ini cukup diberi wewenang untuk mengawasi masalah keuangan, karena titik berat tugas BUMN dan BUMD Kehutanan bukan untuk mencari keuntungan finansial, melainkan untuk memaksimalkan fungsi hutan sebagai penjaga ekosistem bumi dan penyangga kehidupan. Pembangunan Hutan Nasional Siapa yang tidak sedih melihat kerusakan hutan dewasa ini? Rimbawan mana yang bangga dengan kiprah masa lalu? Kalau semua itu dipandang sebagai suatu dosa, lalu apa yang dapat dilakukan oleh rimbawan Indonesia untuk menebus dosa masa lalu tersebut? Kalau pertanyaan itu menjadi bahan diskusi bagi seluruh rimbawan dari berbagai generasi, arah yang dapat saya usulkan adalah menyusun rencana nasional, sebagaimana yang dilakukan oleh DAENDELS pada tahun 1808. Untuk menyusun sebuah rencana jangka panjang yang dasar-dasarnya dijamin tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan, tidak akan roboh oleh badai perubahan politik yang setiap saat dapat terjadi, maka rencana tersebut harus disusun berlandaskan filosofi yang kuat. Sebuah filosofi akan kuat bila ia dirumuskan dari fitroh tentang obyek yang akan dibangun. Atas dasar itu maka untuk menyusun rencana pembangunan utan Indonesia, perlu didasarkan filosofi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. 1. Apa sebenarnya fitroh diciptakannya pohon. 2. Kumpulan pohon membentuk komunitas tumbuh-tumbuhan yang disebut hutan. 3. Hutan Indonesia sebagian besar merupakan hutan tropika basah. 4. Di samping itu Indonesia tersusun atas deretan pulau-pulau besar, membentuk gugusan kepulauan terbesar di permukaan bumi dan terletak di daerah tropis. 5. Oleh karena itu hutan Indonesia dapat dibedakan menjadi berbagai tipe hutan, dengan keragaman hayati yang paling kaya didunia, baik flora maupun faunanya. Berbagai macam tipe hutan Indonesia itu harus dipeertahankan keberadaannya. Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 11 Jawaban untuk pertanyaan-pertnyaan di atas dapat disusun sebagai berikut: 1. Bumi merupakan suatu sistem, dimana satu-satunya input untuk menjaga kelangsungan hidup sistem tersebut adalah energi matahari. 2. Pohon diciptakan dengan instrumen khlorophil yang dapat melakukan fotosintesis. 3. Dengan fotosintesisnya, maka pohon mampu mentransfer enerji matahari menjadi karbohidrat, dengan oksigen sebagai hasil sampingnya. 4. Output dari sistem bumi berupa karbphidrat dan oksigen, merupakan input utama bagi seluruh makhluk hidup di bumi. 5. Hutan merupakan komunitas vegetasi yang kemampuan fotosintesisnya paling besar, baik karena jumlah maupun intensitas dan keberadaannya sepanjang tahun. 6. Hutan tropis merupakan hutan yang paling banyak menangkap energi matahari dan karena itu menghasilkan karbohidrat maupun rotasi eksogen yang paling besar dimuka bumi. Itulah sebabnya mengapa hutan tropis Indonesia dianggap sebagai paru-paru bagi sistem bumi. Saya sendiri menyebut hutan Indonesia merupakan paru-paru sekaligus jantung sistem bumi. 7. Atas dasaar itu semua, maka tugas utama hutan Indonesia adalah menjaga kelestarian sistem bumi, dengan hasil sampingan berupa kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan pengelolaan hutan Indonesia adalah: 1. Membangun dan menjaga hutan yang baik (full-stock) mirip dengan kedaan asli ketika dicaptakannya hutan yang terdiri atas berbagai tipe tersebut (fitroh). 2. Karena tugas utamanya memaksimumkan penyerapan enerji matahari dam menjaga kelestarian ekosistem, maka yang dimaksud dengana hutan yang baik di sini adalah hutan campuran (polikultur), tersusun atas berbagai strata, dapat melindungi kaneka-ragaman flora dan fauna. Berbeda dengqan paradigma timber management, hutan yang baik adalah yang paling tinggi menghasilkan kayu, itupun untuk jangka pendek. Perlu ditambahkan di sini bahwa enerji matahari yang sampai dan menjadi input sistem buma, terbagi menjadi empat bagian, yaitu yang diserap oleh: 1. Atmosfer. 2. Selimut bumi, yaitu bagian terbawah atmosfer dan bagian teratas litosfer tempat tinggal semua makhluk hidup di bumi. 3. Litosfer. 4. Magma. Pembagian empat enerji tersebut menjadi stabil setelah vegetasi di muka bumi mencapai formasi klimaks. Sekuensi terbentuknya formasi klimaks itu terbentuk sebagai berikut: 1. Formasi klimaks itu terwujud ketika vegetasi di muka bumi didominasi oleh tumbuhan berbunga (Spermatophyta). 2. Spermatophyta sendiri baru mulai terbentuk sekitar 130 juta tahun yang lalu, dan mencapai klimaks beberapa puluh ribu tahun yang lalu. 3. Munculnya Spermatophyta diiukti dengan lahirnya binatang menyusui, dimana manusia merupakan bagian darinya. 4. Puncak perkembangan binatang menyusui adalah lahirnya Homo sapiens yang diawali dengan diciptakannya Adam oleh Alloh sebagai bapak manusia. Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 12 5. Lahirnya bapak manusia Adam, baru kira-kira 10-15 ribu tahun yang lalu. Jadi manusia baru diciptakan setelah sistem bumi ini stabil dalam menangkap enerji matahari. Pada awalnya komunitas manusia tidak banyak mempengaruhi keadaan ekosistem di muka bumi dengan hutan klimaks sebagai pengendalinya. Akan tetapi setelah terbentuk komunitas manusia berupa sistem pemerintahan, perlahan-lahan kerusakan hutan terjadi. Manusia membentuk sistem pemerintahan yang pertama di Mesir, kemudian diikuti dengan prestasi besarnya oleh kerajaan Mesopotamia. Seperti dikatakan di atas, di sini telah mulai kerusakan hebat terhadap hutan klomaks, yang akhirnya membuat daerah di sekitar Mesopotamia menjadi padang rumput dan padang pasir. Kerusakan hutan terus berjalan dengan cepat setelah penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1782, yang menandai dimulainya revolusi industri. Rusaknya hutan Indonesia merupakan keganasan revolusi industri yang terakhir, yang terjadi antara tahun 1970-1995. Kembali kepada masalah pembangunan hutan, perencanaan nasional perlu disusun untuk jangka 50 tahun pertama yang dibuat per pulau atau kepulauan. Oleh karena itu akan diperlukan rencana tujuh regional, yaitu untuk pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulewesi, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua Barat. Penyusunan rencana regional ini dilakukan oleh Brigade Perencanaan Tingkat I. Selanjutnya dari setiap rencana regional dapat disusun rencana regional tingkat DAS besar, yang disusun oleh Brigade Perencanaan Tingkat II. Di setiap wilayah Brigade Perencanaan Tingkat II ada beberapa Seksi Perencanaan Daerah, yang bertugas untuk menyusun rencana 10 tahunan bagi sekitar lima distrik hutan. Pelaksanaan rencanarencana distrik tersebut diserahkan kepada organisasi mesin-mesin pengelolaan hutan, baik yang dikendalikan langsung oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, BUMN, BUMS, Koperasi, Kelompok maupun individu masyarakat setempat. Untuk pembinaan sdm kehutanan, tanggung jawab pertama ada di tangan Departemen Kehutanan, dengan dibantu oleh Dinas Kehutanan Propinsi. Hanya sdm kehutanan yang telah mendapat sertifikasi dari Departemen Kehutanan yang dapat diangkat menjadi Kepala Dinas maupun direktur mesin-mesin pengelola hutan. Di dalam memberi sertifikasi tersebut, di samping ijazah juga perlu diperhitungkan pengalaman kerja untuk memberi penilaian tentang prestasi sdm yang bersangkutan. Sebagai rangkuman, dari apa yang diuraikan di atasm langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan pembangunan hutan nasional adalah: 1. Pembentukan Undang-undang Kehutanan baru yang menganut paradigma social forestry, dan dengan sendirinya menitik-beratkan kepentingan daerah sesuai dengan undangundang otonomi daerah. 2. Depolitisasi pengelolaan hutan di semua tingkat, mulai dari Departemen sampai tingkat distrik, dengan menekankan perlunya menempatkan the right man on the right place. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Nabi Muhannad Saw yaitu:”kalau sesuatu ditangani oleh bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya.” Semua orang Islam harus committed dengan prinsip ini, termasuk ketua partai dan para tokoh-tokhnya. 3. Perlu disusun rencana pembangunan hutan yang bersifat terpadu (integrated), bottom-up, menyeluruh (holistic), dan secara akademik dapat dipertanggung-jawabkan. Rencana nasional berpegang pada prinsip-prinsi jangka panjang (50) tahun, yang diikuti dengan rencana 25 tahun untuk Propinsi atau DAS besar, dan rencana kerja 10 tahunan. 4. Pembianaan sdm kehutanan yang profesional, dan dilandasi oleh jiwa rimbawan, kejujuran dan etos kerja yang kuat. Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 13 Akhirnya, perlu disoroti bahwa rimbawan Indonesia selama era reformasi ini ibarat “anak ayam kehilangan induk.” Mereka kehilangan suh, yang dapat mempersatukan mereka dalam derap langkah menuju pencapaian tugas utama. Mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh “petuah” dari induknya tentang asas kelestarian, pemangkuan kawasan, TPI, jiwa rimbawan dan sebagainya. Akibatnya mereka hanya dapat mengeluarkan suara pating cruwet, tidak mau mendengarkan suara-suara yang bersifat konstruktif, karena memang tidak dapat mendengarkan suara tersebut saking hiruk-pikuknya. Perhatikan ketika Dr Muslimin Nasutioan menjabat Menteri Kehutanan. Di mana-mana pak Menhut hanya bicara soal koperasi saja. Lain lagi Dr NurMahmudi menjabat Menteri Kehutnan. Apa yang dikatakan pada kesempatan tatap muka dengan jajaran Departemen Kehutanan tidak jelas arah yang ingin dituju. Ketika MS Ka’ban yang menduduki kursi Menhut, di mana hanya bicara soal penjarahan dan illegal logging saja. Akhirnya illegal logging memang menurun, tetapi bukan karenba keberhasilan program melainkan karena hutannya parantos se-ep. Sekarang Menhut Zulkifli Hassan selalu bicara tentang pembangunan hutan rakyat karena tidak tahu bagaimana membangun hutan negara. Lain lagi ketika posisi Menhut dijabat oleh Dr Ir M. Prakosa. Sebagai rimbawan Menhut ini sering bicara soal hutan dan kehutanan. Sayang, pemikirannya belum sempat dikonsolidasikan sehingga belum membumi. Hal ini disebabkasn karena Dr Ir Prakosa tidak memiliki bekal pengalaman yamg cukup tentang seluk beluk birokrasi. Dr Prakosa sebagai lulusan S-3 dari Amerika juga tidak pernah berbicara soal jiwa rimbawan. Penguasa benua baru tersebut datang dari Eropa dengan bekal ilmu yang cukup, sementara Amerika kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Oleh karena itu rimbawan Amerika tidak mengenal jiwa rimbawan. Jiwa rimbawan tumbuh dari sanubari rimbawan Eropa Tengah yang bersakit-sakit membangun hutan selama berabad-abad di atas puing-puing kerusakan hutan akibat timber extraction selama penjajahan Romawi. Tetapi tidak seperti rimbawan Jerman yang di dalam sanubarinya tumbuh serta berkembang jiwa rimbawan, dalam sanubari rimbawan Indonesia kok tidak tumbuh apa-apa walaupun hutan yang dimiliki hancur lebur. Perasaannya sama saja antara pada waktu berfoya-foya menebang hutan alam yang amat luas itu dengan ketika hutan tersebut sudah diabaikan oleh siapapun, dari Presiden sampai rakyat jelata. Wassalaamu ‘alaikum warokh matulloohu wabarokaatuh DAFTAR BACAAN Anonim, 1995, Buku Kenangan Dies Natalis Universitas Gadjah Mada Ke-46, UGM Yogyakarta. Barraclough, Geoffrey, 1982, Concise Atlas of World Histrory, Hammond Incorporated, Maplewood, New Jersey, viii-184 Collier, Williem L., 1981, Agricultural Evolution in Java, dalam Agricultural and Rural Development in Indonesia, 147-173 Conway, Gordon R., 1983, Agro-ecosystem Anaiysis, ICCET Series E No: 1-1983, Centre for Environmental Technology and Department of Pure and Applied Biology, The Imperial College of Science and Technology, London SW7 ILU, United Kingdom Duerr, William A., Dennis E. Teeguarden, Neils B. Christiansen, Sam Gutenberg, 1979, Forest Resource Management: Decision Making Principles and Cases, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 612 Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 14 Geertz, Clifford, 1963, Agricultural Involution, University of California Press, Los Angelos, xviii-170 De La Fuente, Dr Felix Rodrigues, 1972, Wanderers of Prairie and Dessert, Orbis Publishing, London, iii-300 Malingreau, Jean-Paul, 1984, Agroecosystem Analysis: Dealing with Uncertainty and Heterogenity, East-West Centre, Hawaii, vii-64 Manan, Syafei, 1998, Hutan, Rimbawan dan Masyarakat, IPB Press, Bogor, xiii-292 Odum, Eugenee P., 1975, Ecology, Holt Rinehart and Winston, London-New York-SydneyToronto, ix-244 Osmaston, F.C., 1968, The Management of Forest, George Allen and Unwin Ltd, London, 383 Rambo, A. Terry, 1982, Ecosystem Models for Demelopment: An Introduction to Human Ecology as a Methodology for Development Research, Planning and Analysis, Workshop on Ecosystem Models for Development, Guangzhou, RRC, 10 Oktober 1982 Saputro, Hargo, 1990, Historisitas Rimbawan Indonesia, Panitia KKI II, Jakarta, xii-188 Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran, Aditya Media, Yogyakarta, ix-244 Simon, Hasanu, 1995, Pembangunan Hutan Berwawasan Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Simon, Hasanu, 2002, Aspek Sosio-Tehnis Pengelolaan Hutan di Jawa, Pustaka Pelajar, Jogyakarta Simon, Richard, dan Marie-Claude Millet, 1997, Over Indonesia, Archipelago Press, Singapore, 207 Sinduredjo, 1993, Karsoedjono, Buku Kenangan Reuni III Ex MLS, CS, MBS, SKMT, Pidato Purna Tugas Prof Hasanu Simon, 27 September 2010 Page 15