VII DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT 7.1. Pendahuluan Diskursus tatakelola zakat yang berkembang, berhujung pada lahirnya tiga model tatakelola zakat, yaitu : Tatakelola zakat berbasis Negara, Komunitas dan Swasta. Tiga model tersebut sebagai akibat dari adanya perbedaan basis pengetahuan dan kepentingan yang melandasi diskursus ketakelolaan zakat. Negara sebagai entitas sosial dengan kekuatan administrasi dan birokrasi, mewacanakan tatakelola zakat dengan menggunakan teknik dan mekanisme pencapaian kekuasaan melalui disiplin, norma, pengelompokan identitas, penyeragaman dan pengawasan. Kekuasaan digambarkan dalam tatanan disiplin, yang dihubungkan dengan berbagai jaringan. Disiplin dalam masyarakat modern merupakan teknologi kekuasaan, dan bekerja sebagai kekuasaan norma (Haryatmoko, 2003). Norma sebagai aturan yang menyatakan nilai bersama dengan mengacu pada diri dan kelompok. Norma mengatur dan membatasi perilaku, membuat perbandingan dan membentuk individu yang diinginkan. Membangun kekuasaan melalui disiplin dan norma sebagai teknik dan mekanisme, digunakan dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Pada lembaga pendidikan, negara masuk melalui materi pembelajaran yang disosialisasikan oleh aparat negara, di masjid masuk lewat khutbah dan ceramah agama oleh agamawan negara, wacana melalui di media oleh aktifis, akademisi dan para pakar pro negara. Di sinilah gagasan dan rasionalitas masyarakat dibentuk dari waktu ke waktu dalam proses pelembagaan, sosialisasi dan pemaknaan dan panfsiran secara simultan dan dialektis. Pelembagaan zakat sebagai satu realitas sosial, tidaklah terbangun secara spontan, akan tetapi melalui proses konstruksi sosial yang terjadi melalui tahapan-tahapan membangun gagasan pada aras kognitif, yang prosesnya berlangsung secara dialektis dan melintasi ruang objektif dan subjektif. Zakat sebagai ajaran wahyu melembaga melalui proses sosialisasi dan ditafsirkan oleh ummat dalam aras gagasan dengan dialog antara gagasan secara intersubjektif. Pada dialog gagasan terjadi pertarungan rasionalitas pada aras individu antara infomasi yang datang dari luar dengan perbendaharaan pengetahuan (stock of 247 knowledge) yang lebih dulu telah melekat dan bekerja mewarnai rasionalitas individu. Bagaimana hasil dialog gagasan selanjutnya akan tereksternalisasi sebagai satu realitas tindakan yang melembaga, dan ini sangat dipengaruhi oleh seberapa kuat sebuah disiplin pengetahuan dan rasionalitas serta kepentingan memberikan warna. Pada tabel 21 terlihat tiga lembaga tatakelola zakat sebagai hasil dari dialog disiplin pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan. Tabel 21 : Karaketristik Tiga Lembaga Tatakelola Zakat 1. 2. 3. Kelembagaan Pengetahuan tatakelola zakat Sistem rasionalitas zakat 4. Kepentingan utama zakat 5. Sumber Legitimasi Negara Swasta Komunitas BAZ Negara Sains Modern LAZ Industri Sains Modern LAZ Komunitas Pengetahuan lokal Politik dengan motif politik dan kekuasaan Kekuasaan Ekonomi dengan motif ekonomi/ bisinis Sosial dengan motif kesejahteraan bersama dalam komunitas Kemandirian lokal Hukum positif Pengaman Usaha dan Investasi berorientasi Akumulasi modal Hukum positif Norma tradisi Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Pada tabel 21 terlihat bahwa tiga tatakelola yang terbangun dari kekuatan pengetahuan, sistem rasionalitas dan kepentingan, dengan basis legitimasi yang berbeda. BAZ Negara dan LAZ swasta yang menjadikan sains modern sebagai basis pengetahuan, keduanya tunduk pada rasionalitas yang berbeda. BAZ dengan rasionalitas politik karena menggunakan disiplin politik sebagai basis pengetahuan, dan LAZ swasta menjadikan disiplin ekonomi sebagai basis. Akibatnya BAZ negara tunduk dibawah logika politik dan LAZ swasta tunduk di bawah logika ekonomi. BAZ negara dengan kepentingan kekuasaan dan penguatan negara diperkuat dengan legitimasi hukum positif/formal, begitu juga dengan LAZ swasta yang berkepentingan pada pengamanan usaha dan investasi. LAZ komunitas pada sisi yang berbeda dengan bebasis pengetahuan lokal, tunduk di bawah rasionalitas sosial berbasis budaya lokal dan menekankan kepentingan penguatan komunitas di bawah legitimasi norma dan tradisi lokal. Zakat oleh komunitas, difahami sebagai ajaran agama yang berpotensi bagi penguatan ajaran, sebaiknya di peraktikkan dengan semangat asketik berbasis logika budaya lokal. Pemahaman ini berbenturan dengan gagasan zakat yang dibangun negara, yang memandang zakat sebagai ajaran agama yang berpotensi bagi penguatan negara, yang sebaiknya dilakukan dengan semangat 248 pembangunan. Begitu pula dengan kalangan swasta, memandang zakat sebagai ajaran agama yang memiliki potensi ekonomi bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebaiknya diterapkan dengan semangat ekonomi dengan logika profit dan utility maximization. Lembaga tatakelola zakat sebagai realitas objektif, terus mengalami penafsiran dan pemahaman ulang pada proses sosialisasi secara subjektif pada aras gagasan yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas masyarakat. Dalam proses inilah, proses konstruksi dan rekonstruksi pemahaman zakat dan tatakelolanya terjadi secara simultan dan dialektis. Akibatnya konstruksi atau malah rekonstruksi terjadi sebagai hasil pertemuan gagasan dengan basis pengetahuan dan rasionalitas yang terkadang berbeda. Konstruksi atau rekonstruksi baru sangat ditentukan oleh kekuatan rezim pengetahuan yang bekerja dalam membetuk dan mewarnai sistem rasionalitas yang memayungi wacana zakat dan tatakelolanya . Negara yang menawarkan BAZ sebagai institusi tatakelola zakat, Swasta menawarkan LAZ swasta dan Komunitas dengan LAZ komunitas, ketiganya menawarkan logika dan kepentingan sendiri-sendiri. Negara dan Swasta berbasis pengetahuan modern menawarkan sistem tatakelola modern dengan kepentingan pembangunan dan penguatan kekuasaan. BAZ negara dengan etika moral politik menekankan pembangunan dengan tujuan integratif bagi negara dengan dukungan legitimasi hukum formal. LAZ swasta dengan etika moral ekonomi menekankan akumulasi modal untuk pemberdayaan serta pengamanan usaha dan investasi menuju tercapainya kesejahteraan. Berbeda dengan komunitas, mereka menawarkan LAZ komunitas berbasis pengetahuan lokal (local knowledge). Berbasis kearifan lokal, LAZ komunitas menonjol kepentingan pencapaian keshalehan individu dan sosial sebagai wujud dari penguatan komunitas. Penguatan lokal dan kemandirian terwujud dari penguatan keimanan dan ketaqwaan yang memberikan efek bagi terwujudnya ummat yang memiliki integritas dan kebersamaan yang kuat. Pertarungan gagasan zakat antara negara, swasta dan komunitas dalam diskursus tatakelola zakat tak terhindarkan dan melibatkan berbagai elemen sosial dalam masyarakat. Negara yang diwakili oleh BAZ dan aparatnya menawarkan tatakelola zakat yang melekat dalam lembaga dan instansi pemerintah, dan menekankan kepada para pegawai negeri sipil (PNS), karyawan 249 BUMN dan BUMD untuk menjadi nasabah utamanya. Menggunakan aparat, negara menyebarkan wacana ke semua kalangan, bahwa zakat seharusnya dikelola oleh pemerintah. Wacana ini menyebar melalui mimbar masjid, lembaga pendidikan dan media massa dengan memunculkan konsep-konsep: moderntradisional, profesional-musiman, efektif - tidak efektif, efisien - tidak efisien sebagai pembanding dan kategorisasi. Konsep disebutkan kedua dilekatkan sebagai identitas tatakekola zakat komunitas, dan yang pertama mencirikan dan menunjukkan kelebihan BAZ negara. Shihab (1992) berpandangan bahwa negara bertanggung-jawab atas pelayanan dan kepentingan umum. Oleh karena itu negara berhak mengelola zakat sebagai sumber keuangan bagi negara yang dapat digunakan untuk kepentingan umum. Namun Oleh John L. Esposito (1995), bahwa kedatangan kolonialisme dan diperkenalkannya sistem pemerintahan sekuler, membuat doktrin keagamaan menjadi terusik. Pelembagaan sistem pajak sekuler, membuat zakat telah kehilangan posisi pentingnya dalam kehidupan muslim sebagai sumber pembiayaan bagi penguatan civil society. Mas‘udi (1991) yang pernah menyuarakan perjuangan untuk menyerahkan pengelolaan zakat ke negara, mendapat respon hingga melahirkan UU No. 38 tahun 1999 tentang pegelolaan zakat (Abshar, 2005). Namun kelahiran UU ini kemudian tidak menghentikan perjuangan kelompok yang menolak campur tangan negara dalam pengelolaan zakat. Absar (2005) menolak negara dengan alasan politik, bahwa jika kelembagaan zakat berada di bawah kekuasaan negara, maka kekuatan civil society akan melemah karena zakat merupakan salah satu sumber kekuatan civil society. Terlihat dari banyaknya masjid, pesantren dan berbagai fasilitas keagamaan lainnya di beberapa daerah di Indonesia, sumber pendanaannya dari zakat dan tanpa ada campur tangan negara. Hadirnya Dompet Duafa Republika sebagai bentuk kepedulian atas realitas kemiskinan, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Jakarta karena empati bencana alam, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya lewat spirit komunalitas masjid Al-Falah-nya. Ketiganya adalah sebagian dari bukti otentik tentang adanya dialektika zakat dan civil society. Kuasa tatakelola zakat pada level komunitas, diletakkan pada kuasa kelembagaan kiyai yang dipangku oleh agamawan. Agamawan sebagai pemangku kuasa pengetahuan terbangun dari wacana tatakelola zakat yang 250 dibentuk dan dibangun dalam diskursus zakat komunitas. Agamawan disana dikonstruksi sebagai sosok yang paling berkompeten dalam pengetahuan zakat dan tatakelolanya, sehingga menjadi tempat rujukan dan belajar tentang zakat, sekaligus sebagai pengawal tradisi berzakat ummat. Konstruksi sosial terhadap kuasa agamawan sebagai penguasa, pengawal dan pengarah tindakan sosial berzakat, dibangun melalui proses sosialisasi pemahaman zakat di masjid dan madrasah. Pada proses ini pemahaman, kesadaran, tindakan dan kepatuhan berzakat dibentuk dan diarahkan pada satu lembaga pengelola zakat di bawah kuasa agamawan. Pengetahuan zakat yang dibangun agamawan memposisikan dirinya sebagai penguasa dominan atas kuasa tatakelola zakat, yang dimunculkan dalam konsep amil yang dirujuk dalam wahyu perintah zakat. Muzakki (wajib zakat) dan mustahik (yang berhak menerima zakat) dikonstruksi sebagai kelompok yang harus tunduk dan patuh kepada agamawan. Kuasa tatakelola zakat berbasis negara, diletakkan pada institusi negara di bawah kuasa aparat negara. Kuasa tatakelola zakat didelegasikan pada lembaga bentukan negara (BAZDA) yang dijalankan oleh aparat pemerintah. Wacana zakat dibangun sedemikian rupa dan mewacanakan zakat sebagai kewajiban beragama, perintah pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Zakat diwacanakan sebagai fenomena beragama yang terkai erat dengan wacana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga disana negara menjadi harus tampil sebagai kekuatan yang mengedepankan kepentingan masyarakat banyak. Membangun rasionalitas zakat yang demikian ini, berbagai elemen dan aparat negara ditampilkan sebagai perwakilan suara negara untuk mensosialisasikan zakat berbasis negara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai agamawan negara, tak luput ikut serta dan menjadi terdepan dalam mewacakan tatakelola zakat berbasis negara. Mereka mendapatkan legitimasi negara sebagai agamawan yang dilegalkan sehingga diluar mereka dianggap tidak layak menyuarakan wacana zakat. Berbagai sarana dan media sosialisasi digunakan mewacakan zakat terkait dengan wacana pembangunan dan pemberdayaan dalam wadah kenegaraan. Zakat juga diwacanakan sebagai bagian proses bernegara dan diatur dengan instrumen kuasa dan politik negara. Pelembagaan zakat memiliki hubungan timbal balik dengan pengetahuan (pemahaman) dan pelaksanaannya di dalamnya sarat dengan kekuasaan dan 251 kepentingan. Pengetahuan sebagai kekuatan yang bekerja membetuk gagasan dan sistem rasionalitas menjadi kekuatan yang utama yang membentuk dan mengarahkan tindakan berzakat. Kekuatan pengetahuan menjadi basis penundukan atau bahkan peniadaan terhadap lembaga tatakelola zakat lainnya. Konsep illegal muncul sebagai pengkategorian dan penaklukkan. LAZ komunitas kemudian terancam illegal, terpinggirkan dari arena tatakelola zakat dan bahkan ditiadakan, kecuali tunduk dengan disiplin dan norma negara yang diatur dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 7.2. Peta Kepentingan dalam Tatakelola Zakat Pengejaran kepentingan merupakan salah satu motivasi mendasar yang mendorong aktor untuk melakukan tatakelola zakat dan memilih salah satu sistem tatakelola. Perbedaan sistem tatakelola yang di pilih dapat dijadikan ukuran dalam melihat perbedaan kepentingan yang ada. Perbedaan kepentingan lahir dari perbedaan basis pengetahuan dan rasionalitas, dan ini dapat dilihat pada model dan sistem tatakelola zakat yang berkembang dewasa ini. Kepentingan kekuasaan dan penguatan negara, merupakan motive penting yang menonjol dari lahirnya tatakelola zakat berbasis negara. Hal sebagai akibat dari bekerjanya disiplin ilmu politik dan menjadi basis pengetahuan dan rasionalitas dalam tatakelola zakat berbagsi negara. Model tatakelola zakat industri swasta lebih menekankan pada kepentingan perolehan akumulasi modal dan pengamanan investasi sebagai akibat dipilihnya disiplin ekonomi sebagai basis logika dan rasionalitsnya, sementara model tatakelola berbasis komunitas lebih pada kepentingan penguatan dan kemandirian lokal dengan menjadikan logika budaya dan pengetahuan lokal sebagai basis rasionalitasnya. Jika dipertakan akan terlihat jelas bahwa tiga model tatakelola zakat yang berkembang memiliki kepentingan yang tidak tunggal tapi majemuk, sebagaimana terlihat pada tabel 22. Pada tabel 22 terlihat bahwa LAZ komunitas menekankan kepentingan untuk mewujudkan kemandirin masyarakat lokal sebagai tujuan utamanya dan selanjutnya juga bertujuan menciptakan kehangatan hubungan antara kelompok kaya yang miskin dalam komunitas. BAZDA pada sisi lain menyuarakan zakat dan pengentasan kemiskinan dan menekankan pada kepentingan penguatan negara dengan tujuan mewujudkan stabilitas negara melalui pengamanan sosial 252 dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu negara berkepentingan juga dengan potensi ekonomi zakat dan menjadikan zakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Sedangkan LAZ-SP sebagai salah satu model tatakelola zakat menyuarakan pemberdayaan masyarakat miskin dengan kepentingan pada pengamanan usaha dan investasi, makanya juga berkepentingan dengan tatakelola zakat sebagai upaya mengakumulasi potensi ekonomi zakat untuk pembiayaan mengatasi masalah sosial yang mengancam kenyamanan usaha dan kemanan investasi. Tabel 22 : Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Institusi LAZ Komunitas di Jambi BAZDA Jambi LAZ Semen Padang Orientasi Kepentingan Utama Kemandirian lokal Penguatan Negara Pengamanan usaha dan Investasi Kepentingan Sampingan Solidaritas sosia membangun kehangatan hubungan antara kaya dan miskin Menjadikan zakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan 1. Akumulasi modal bagi pembiayaan mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan 2. Zakat digunakan sebagai instrument CSR yang bermanfaat untuk membangun ―citra positif perusahaan‖ Sumber : Data Primer 2008 (diolah) Lembaga Amil Zakat (LAZ) Semen Padang juga menjadikan tatakelola zakat sebagai instrumen CSR dalam rangka membangun citra positif perusahaan di mata masyarakat. Konstruksi sosial tentang pengusahaan dan perusahaan yang hanya berfikir mencari keutungan ekonomi dan mengabaikan lingkungan sosial, berusaha diredam dan bahkan dibangun citra sebaliknya sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi pada masyarakat miskin dan lingkungan sosial, melalui pemberian santunan atau bantuan zakat kepada masyarakat sekitar perusahaan. Pemberian bantuan dan santunan kepada masyarakat sekitar perusahaan melalui LAZ atau bersama CSR, diharapkan akan mampu membangun konstruksi berfikir masyarakat terhadap perusahaan sebagai perusahaan yang peduli dengan masyarakat sekitarnya, sekaligus membangun citra bahwa perusahaan memiliki kesadaran religius yang tinggi. 7.2.1. Peta Kepentingan dalam LAZ Komunitas Provinsi Jambi Tatakelola zakat Komunitas berbasis masjid memiliki wilayah kerja yang meliputi wilayah sebaran jamaah sebuah masjid yang dibatasi oleh wilayah Desa. 253 Sebuah masjid selalu dikelola Takmir Masjid32 dengan perangkatnya yang terdiri dari Imam Masjid, Remaja Masjid, Guru Ngaji dan Tokoh Adat Desa. Dalam peraktek tatakelola zakat, kesemua elemen ini selalu terlibat secara bersamasama di bawah kepemimpinan Imam sebagai pemangku kuasa tertinggi dalam ruang sosial masjid. Ruang kuasa sang Imam dalam tatakelola zakat komunitas, melingkupi: kuasa pengetahuan, dan kuasa peratik tatakelola (kuasa menerima, kuasa distribusi, kuasa mengontrol dan kuasa memanfaatkan sumberdaya zakat). Sang Imam merupakan sosok yang berkuasa penuh dan sepenuhnya di patuhi oleh muzakki dan mustahik, karena dipandang sebagai orang yang paling menguasai ruang zakat karena pengetahuannya yang luas tentang zakat. Aparat desa bersama elit desa memangku kuasa administrasi pemerintahan desa. Dalam praktek pengelolaan zakat mereka ini berkuasa atas legitimasi politik terhadap agamawan (sang Imam) sekaligus memegang kuasa administrasi desa terkait dengan pendataan mustahik. Aparat desa membantu memberikan informasi terkait dengan data mustahik sebagai kelompok yang berhak atas dana zakat sesuai dengan keriteria yang telah ditentukan oleh Agamawan sebagai Amil. Memutuskan untuk memanfaatkan atau tidak informasi aparat desa tergantung pada agamawan. Artinya bahwa aparat desa kuasanya hanya pada batas memberikan informasi, merekomendasi dan membantu agamawan dalam pelaksanaan pengelolaan zakat komunitas. Remaja masjid, sebagi perwakilan kelompok generasi muda desa, ikut serta dalam proses tatakelola zakat sebagai pembantu agamawan dalam menerima/mengumpulkan dana zakat dari Muzakki (wajib zakat) sekaligus membantu menyalurkannya kepada yang berhak. Ruang kuasa yang dipangku Remaja masjid sangat terbatas dan secara umum hanya sebagai pembantu agamawan dalam hal administrasi penerimaan dan pendistribusian zakat langsung ke rumah-rumah mustahik. Keterlibatan banyak unsur masyarakat di atas, masing-masing berada kepentingan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Terlihat pada tabel 23 tentang Ragam kepentingan dalam tatakelola zakat, bahwa secara kelembagaan LAZ komunitas menekankan kepentingan kemandirian masyarakat lokal. Amilnya berkepentingan pada penguatan ajaran agar agama, khususnya zakat dapat 32 Takmir Masjid adalah sekelompok orang yang menjadi pemangku kuasa kelembagaan masjid untuk menjalankan kegiatan keagamaan dan pembangunan masjid. 254 ditegakkan dalam masyarakat. Muzakki dengan kepentingan asketik dan atau altruistik untuk mencapai derajat keshalehan individu dan sosial serta pengamanan sosial dari cap orang kaya yang kikir dari masyarakat, sedangkan mustahik, kepentingan mereka atas terlaksananya peraktik berzakat dan tatakelolanya hanya mengharap adanya santunan zakat untuk mengamankan kondisi ekonomi mereka yang memang selalu dalam kondisi lemah. Tabel 23 : Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Aktor LAZ Komunitas di Jambi Amil Muzakki Mustahik Orientasi Kepentingan Utama Kemandirian lokal Kepentingan moral sebagai agamawan untuk Penguatan ajaran Asketik /altruistik bagi pencapai keshalehan individu dan sosial . Pengamanan ekonomi Kepentingan Sampingan Membangun hubungan hangat antara kaya dan miskin Akumulasi dana pembiayaan penyiaran agama Pengamanan sosial dan ekonomi Pengamanan ekonomi surviva Sumber : Data Primer 2008 (diolah) LAZ sebagai lembaga tatakekola kepentingan utamanya bertujuan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat lokal di samping untuk membangun hubungan harmonis dan hangat antara kaum kaya dan miskin. Amil menonjolkan kepentingan utama pada kepentingan moral bagi penguatan ajaran atau tugas moral menyiarkan dan menguatkan ajaran agama dalam masyarakat dan pada saat yang sama amil juga berkempentingan terhadap dukungan dana untuk pembiayaan penyiaran agama. Muzakki sebagai nasabah atau sumber dana zakat, secara umum berkepentingan pada pencapaian asketik dan altruistik menuju derajat keshalehan individu dan sosial, dan dibalik itu juga berkepentingan pada pencitraan sebagai orang kaya yang dermawan dan taat beragama sebagai upaya pengamanan sosial dan ekonomi dalam komunitas. Sedangkan mustahik sebagai salah satu sasaran pemanfaatan dana zakat, berkepentingan pada perolehan santunan zakat sebagai perlindungan terhadap ancaman ekonomi sekaligus sebagai pengamanan ekonomi. Motivasi membangun kedekatan relasi dengan Allah SWT secara personal sebagai orang sholeh, merupakan tujuan yang paling ditonjolkan oleh oleh para aktor tatakelola zakat. Motivasi membangun relasi kepada sesama manusia juga menjadi motif yang kental. Kepentingan politik dan ekonomi, dalam bentuk penguatan kekuasaan mengarahkan dan menundukan ummat serta perolehan 255 keuntungan secara ekonomi dari tatakelola zakat, merupakan motif yang tidak terlihat nyata, karena selalu terbungkus dalam konsep biaya syiar agama, pembiayaan pembangunan dan pembiayaan pemberdayaan komunitas. 7.2.1.1. Kepentingan Moral Memilih menjadi amil dalam tatakelola zakat komunitas, agamawan termotifasi dengan keyakinan bahwa amil merupakan perintah Allah SWT, untuk memungut zakat dari orang-orang yang dikenai kewajiban berzakat (muzakki) untuk diberikan kepada para fakir miskin (mustahik). Menjadi amil, dijanjikan pahala oleh Allah SWT, sebagai imbalan atas kepatuhan terhadap perintah dan ajaran agama. Mengorbankan waktu dan tenaga dengan menjadi amil merupakan pilihan dan dianggap sebagai salah satu cara membangun relasi dengan Allah SWT, sekaligus membangun relasi kepada sesama manusia menuju kesholehan. Beberapa data lapang yang menunjukkan bahwa tujuan keshalehan merupakan tujuan mendasar sebagai motif para aktor memilih terlibat dalam praktek tatakelola zakat komunitas di provinsi Jambi seperti yang dipetik dalam box 7.2.1.1, yaitu : Box 7.2.1.1 : Kepentingan Moral Dalam Tatakelola Zakat Komunitas Ungkapan Ust. A. HAS (59 tahun), menjelaskan bahwa :‖Menjadi Amil adalah perintah Allah SWT supaya ada orang mengambil zakat dari harta orang kaya, untuk membersihkkan harta mereka. Allah menyatakan bahwa dalam harta-harta itu ada hak orang lain. ... haknya orang miskin. .... karena ada perintah Allah, maka wajib hukumnya ada Amil. Menjadi Amil hukumnya berpahala... ‖ Jadi amil itu harus shidiq, istoqamah, amanah dan tablig.... jadi amil memudahkan orang untuk menunaikan zakat dan membantu fakir miskin mendapatkan haknya dari harta orang kaya. Ungkapan H. A. Az Imam Masjid Pemusiran (61 tahun) mengatakan bahwa : Kami menerima zakat di kampung ini tidak sendiri, kami dibantu oleh Guru Ngaji, anak pengajian, Kepala Desa dan para ketua RT. Karena kamilah Imam tetap (imang) Masjid jadi kami dipercaya untuk menjadi ketua Amil dalam menerima zakat dari masyarakat yang ada di kampung ini. Orang yang datang ke sini cuma orang-orang yang tinggal di kapung ini dan jamaah masjid kami. ....kadang-kadang ada orang dari kota yang bayar zakat dengan kami, tapi dulunya memang orang dari sini. Keterangan Makmur (43 tahun) Sekertaris Desa menyatakan bahwa : Menjadi anggota dalam pengelolaan zakat tujuan kami untuk membantu terlaksananya perintah berzakat… kalau tidak ada amil yang mengelola zakat, kemana orang kaya akan berzakat?.... bisa menyerahkan sendiri zakatnya,,, atau mungkin tidak berzakat, … kalau ada amil orang mudah berzakat dan orang miskin mendapatkan haknya dari amil…. ― Kesamaan motif agamawan mengelola zakat dengan berzakat bagi muzakki komunitas terlihat dalam fenomena zakat komunitas di desa Simburnaik. Berzakat bagi muzakki merupakan tindakan asketik yang terdorong oleh rasa keimanan dengan motif kepatuhan kepada ajaran agama dan kepada Allah SWT, sebagai penyembahan dan wujud rasa syukur atas nafkah yang diperoleh. Pahala sebagai akibat positif dari kepatuhan merupakan tujuan dominan yang 256 ditemukan dalam praktek berzakat bagi muzakki dan mengelola zakat bagi Amil. Motif ini merupakan implikasi dari aras gagasan dan pengetahuan zakat yang dibangun oleh agamawan. Zakat disosialisasikan oleh agamawan kepada ummat bahwa berzakat merupakan ibadah yang dijanjikan pahala bagi yang melaksanakannya dan diancam dosa bagi yang mengingkarinya. Pada konsep dosa dan pahala di sini merupakan wujud bekerjanya rezim pengetahuan sebagai kekuatan pendisiplinan dan norma (Haryatmoko, 2003) dalam bentuk teknik dan mekanisme kekuasaan yang mengarahkan individu. Mustahik sebagai kelompok orang yang dikonstruksi berhak menerima dana zakat atau menerima manfaat zakat, menerima zakat karena terdorong oleh motif ekonomi sebagai tujuan, karena memang mereka dikategorikan sebagai penerima zakat karena pertimbangan ketidak mampuan ekonomi, dan keterhimpitan persoalan ekonomi. Menerima zakat diyakini salah satu bentuk pengabdian kepada Allah SWT, dan menolak berarti kesombongan dan itu adalah dosa, karena zakat memang digariskan oleh Allah SWT sebagai hak mereka. Dengan menerima zakat, bagi mereka juga dianggap sebagai bentuk penghargaan yang tinggi kepada kaum kaya dan amil yang telah secara ikhlas memperhatikan hak mereka. Sebagai bentuk tanda terima kasih mustahik kepada muzakki dan amil adalah keikhlasan mendoakan sebagai batasan minimal, dan sepantasnya bersedia memberikan bantuan tenaga tanpa pamrih jika dibutuhkan. Zakat sebagai rukun pribadi, di dalamnya terdapat paradigma ibadah ritual. Ibadah ini bersifat vertikal (hablu-min-Allah) yang dikoridori tata aturan baku. Pelaksanaannya bersifat pribadi atau individual, rukun pribadi bermuara pada pembentukan karakter, akhlak yang berimbas pada kehidupan sosial individu. Namun tidak sedikit yang memandang zakat, bukan sepenuhnya sebagai ibadah ritual, tapi zakat justru merupakan ibadah ganda: vertikal dan horizontal. Aspek muamalahnya lebih besar. Berasal dari muzakki, oleh amil, dan untuk mustahik. Zakat dipandang sebagai instrumen membangun relasi hamba dan Tuhan, serta instrumen membangun relasi kemanusiaan lintas struktur pada tiga sisi, yaitu : amil (agamawan), muzakki (orang kaya) dan mustahik (orang miskin). Paradigma kesalehannya bersifat sosial. Hubungan silaturahmi yang erat; persatuan dan kesatuan umat yang kuat; terjalin kerja sama dalam komunitas, dan praktek saling menolong berlangsung baik, meski tidaklah sepenuhnya 257 membuktikan relasi yang demikian berjalan maksimal. Yang terlihat terkadang silaturahmi yang bersifat formalitas; persatuan dan kesatuan sangat fragmentaris; di bawah alam sadar timbul saling curiga; tak terjalin kerja sama dalam komunitas; dan praktek saling menolong tak maksimal. Hakikat zakat berasal dari muzaki dan ditujukan untuk mustahik, lebih pada relasi kepuasan dan penundukan yang disertai kepentingan-kepentingan yang bersifat pengamanan sosial dan ekonomi. 7.2.1.2. Kepentingan Kekuasaan dan Pengamanan Sosial Ekonomi. Mengelola zakat bagi aktor tatakelola zakat desa Simburnaik difahami sebagai perintah memperhatikan dan memikirkan nasib kaum lemah, dan titik penekanannya tertuju pada pertimbangan membangun simbol keshalehan sosial dari tindakan kemanusiaan. Mengorbankan waktu dan tenaga untuk pengelolaan zakat, dengan membantu mengambil hak-hak ekonomi kaum mustahik dari tangan kaum muzakki, dipandang sebagai praktek membantu meringankan beban dan mengamankan masa depan kaum lemah. Seperti yang digambarkan oleh JAR (2008) dalam wawancara, yaitu : ‖Menjadi amil itu perintah menegakkan agama Allah. Menjadi amil itu adalah kebaikan karena meningkatkan iman dan taqwa orang banyak dan dijanjikan pahala yang besar ,......perintah Allah yang mengharuskan adanya amil memiliki maksud tertentu..., ....salah satunya adalah untuk melindungi hak-hak orang miskin. Amil berperan sebagai perantara orang kaya dan orang miskin, amil bertugas mendorong dan mendesak agar orang kaya mengeluarkan zakatnya... kalau tidak ada amil yang terus mendorong dan motivasi orang kaya berzakat maka mereka akan seenaknya, mengeluarkan zakat semaunya .... atau malah tidak berzakat‖ Menjadi amil diyakini sebagai tindakan kebajikan dan melambangkan kesalehan dengan membantu meringankan beban kaum dhu‘afa‘ (kaum lemah) dan mustadh‟ifiin (orang terpinggirkan). Menjadi amil bagi agamawan mengandung motif membangun pemaknaan sebagai orang yang sholeh, yang pantas dihormati, dihargai dan dipatuhi oleh ummat, dan untuk memperoleh dana zakat bagi pembiayaan tugas sebagai agamawan. Melalui proses objektivasi, internalisasi (Berger, 1990), konsep Amil disosialisasikan para agamawan desa Simburnaik melalui mimbar masjid, langgar maupun di pengajian-pengajian. mensosialisasikan bahwa amil sebagai salah satu dari kelompok yang berhak menerima zakat, dan karena posisinya 258 dan sebagai pemimpin agama, mereka berhak mengelola zakat. Agamawan membangun konstruksi sosial ummat sedemikian rupa melalui ceramah sebagai momen objektivasi dan internalisasi, dan hasilnya amil dikonstruksi sebagai yang berkuasa dalam tatakelola zakat sekaligus berhak atas manfaat dana zakat, sebagai bentuk eksternalisasi. Rasionalitas ummat diarahkan kepada kepatuhan terhadap amil dalam praktek berzakat. Konstruksi pengetahuan ummat tentang amil dibangun, dan menempatkan amil sebagai sosok yang dianggap sholeh karena peduli terhadap kebaikan muzakki maupun mustahik tanpa pamrih. Pekerjaan amil dalam wacana tatakelola zakat digambarkan sebagai tindakan untuk meningkatkan kesadaran beragama dan yang layak menjadi amil adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang agama (imam, ustad atau guru). Pemahaman ummat tentang amil kemudian mensyaratkan penguasaan pengetahuan agama yang luas, dan ini menempatkan agamawan sebagai sosok yang paling tepat. Di sinilah letak kekuatan dan kekuasaan agamawan dibangun dari kekuatan pengetahuannya ketika ia memasuki ruang amil, dan seketika ia menduduki posisi sosial yang memiliki kuasa bersuara dalam mengarahkan para muzakki untuk berzakat sekaligus berkuasa mendistribusikan dana zakat pada sasaran yang menurutnya tepat. Pada tahap ini disiplin dan norma Foucault (Haryatmoko, 2003) digunakan sebagai teknik dan mekanisme kekuasaan melalui institusi zakat. Kepatuhan para muzakki dan mustahik melaksanakan dan menerima perlakuan sang amil inilah yang kemudian berwujud penaklukan dan penundukan ummat sebagai wujud bekerjanya pengetahuan dan kekuasaan melalui aras kognitif. Muzakki desa Simburnaik menyadari sebagai orang dikenai kewajiban berzakat, melaksanakan zakat atas kepentingan pencapain derajat keshalehan individu, namun menyerahkan zakat dengan mekanisme amil atau langsung kepada yang berhak, dipengaruhi oleh motif masing-masing muzakki. Berzakat melalui amil merupakan bentuk penundukan kepada agamawan sebagai pemimpin agama komunitas. Mematuhi anjuran dan petunjuk agamawan akan memberikan efek sosial yang besar berupa kesediaan sang agamawan memberikan pelayanan ritual agama bagi muzakki. Menjadi muzakki yang taat kepada agamawan membuat agamawan sangat responsif pada kebutuhan sang muzakki. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mematuhi agamawan untuk berzakat lewat amil, selalu dianggap sebagai orang kaya yang kikir dan ingkar 259 serta kufur nikmat, bahkan terkadang kurang diabaikan oleh agamawan ketika mereka membutuhkan pelayanan dalam ritual-ritual agama. Seorang agamawan dikonstruksi oleh masyarakat Simburnaik sebagai orang yang memiliki kemampuan supranatural dan kedekatan dengan Allah SWT, sehingga mereka dianggap orang yang memiliki kemampuan luar biasa dan doa-doanya selalu dikabulkan. Berzakat kepada agamawan (Amil), yang diharapkan adalah berkah berupa kemurahan rejeki dan doa-doanya yang makbul. Muzakki yang terdorong dengan motif seperti ini, selalu pada saat berzakat memohon agar sang amil mendoakan keberkahan dan kemurahan rejeki agar hartanya dilipat gandakan oleh Allah. Pengejaran motif ini ditemukan beberapa muzakki yang berzakat secara khusus kepada agamawan tertentu dianggap khusus. Berzakat dengan cara langsung ke mustahik atau yang berhak, muzakki Simburnaik dipengaruhi oleh motif perlindungan diri agar tidak dikatakan sebagai orang kikir dan sombong dari banyak orang, khususnya dari kalangan kaum lemah. Oleh karena itu sang muzakki memilih berzakat langsung kepada orangorang yang dianggap sangat memungkinkan untuk menilainya dan berpotensi membangun konstruksi negatif atau positif tentang dirinya. Di sini terjadi pilihanpilihan yang berbeda antara muzakki berdasarkan tipologi keluarga. Bagi mereka yang berprofesi sebagai pengusaha dan pedagang, lebih sering memberikan zakatnya kepada buruh pasar, pekerjanya dan tetangganya, bagi keluarga petani dan nelayan lebih sering kepada keluarga dan kerabatnya. Berzakat langsung kepada mustahik bagi muzakki di sini, merupakan upaya penyelamatan dan pengamanan sosial dari ancaman kecemburuan sosial dari masyarakat luas. Selain itu mereka juga dipengaruhi oleh motif penguatan posisi sosial dengan harapan bisa diperoleh dari penundudukan dan kepatuhan para mustahik yang telah diberikannya zakat. Respon sosial dari para mustahik berupa penghormatan, penghargaan dan kesediaan mengorbankan tenaga dan waktu untuk membantu sang muzakki, atau patuh dengan keinginan dan kepentingan sang muzakki sebagai majikan, keluarga dan tetangga. Mustahik desa Simburnaik, menerima pemberian zakat dianggap sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada kaum kaya dan amil yang telah secara ikhlas memperhatikan hak mereka. Oleh karenanya sebagai tanda terima kasih, mereka mendoakan kaum muzakki dan amil serta siap 260 dengan rela memberikan bantuan tenaga jika dibutuhkan. Mustahik menerima zakat di sini terdorong oleh motif penyelamatan ekonomi karena desakan kebutuhan yang tidak seimbangan dengan pendapatan mereka. Menerima zakat langsung dari muzakki atau melalui amil keduanya memberikan pengamanan pada pemenuhan kebutuhan survival. Kepentingan sosial masing-masing aktor dalam praktek zakat dan tatakelolanya, terajut dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya dalam satu sistem kuasa dan pengetahuan di bawah kendali agamawan dalam ruang konstruksi sosial keshalehan. Di balik kepentingan membangun keshalehan, agamawan juga berkepentingan pada penaklukan masyarakat zakat dalam ruang kuasanya, untuk mengarahkan dan memobilisasi kelompok ekonomi atas tunduk dan patuh dalam kuasanya, sekaligus membangun relasi yang bersinergis dengan kaum kaya sebagai penunjang ekonomi dakwah. Pengejaran tujuan pengamanan sosial dan penundukan terhadap aktor lain oleh muzakki, bekerja secara halus hampir tidak tersadari oleh amil dan muzakki karena terbungkus dalam konsep kesalehan dan kepedulian sosial. Sementara kepentingan sang mustahik terbaca dengan jelas karena melekat dalam realitas kondisi ekonomi yang serba terbatas. Persentuhan kepentingan antar aktor dalam ranah ini, menempatkan mustahik pada ruang paling sempit yang selalu terhimpit dan terkalahkan oleh aktor-aktor lainnya, meski mereka memiliki ruang kuasa untuk mendesak muzakki berzakat dengan momok sosial sebagai orang kikir atau kehawatiran dari ancaman keamanan harta. Amil menempati ruang yang paling luas, karena mereka memiliki ruang kuasa pada ranah pengetahuan yang bisa membangun dan membentuk konstruksi sosial zakat pada aras kognitif, dan kemudian menjadi pijakan tindakan aktor lain. Sementara muzakki menempati ruang kedua sebagai aktor yang memiliki ruang yang sedikit bebas untuk menentukan berzakat melalui amil atau langsung ke muzakki dan berzakat dengan mustahik mana yang mereka inginkan sesuai dengan kepentingan mereka. 7.2.1.3. Kepentingan Penguatan Ajaran Agama Delapan kelompok penerima zakat (asnaf delapan), jika di sederhanakan akan menjadi tiga kelompok utama yaitu : 1) kelompok lemah secara ekonomi (fakir, miskin, gharim, memerdekatan budak dan musafir yang kehabisan biaya), 261 2) kelompok yang lemah iman dan butuh pengayoman untuk penguatan imam (mu‘allaf), dan 3) pejuang di jalan Allah (penguatan agama) (Amil dan Ibnu-sabiil /untuk jalan Allah). Kesemua ini oleh Amil zakat Komunitas di berikan zakat karena diyakini terkait dengan penguatan agama dan syiar agama. Kelompok yang lemah secara ekonomi, diberikan hak menerima zakat untuk menjaga agar keimanannya tidak melemah karena desakan kemiskinan. Orang yang lemah secara ekonomi diyakini sangat rawan luntur keimanannya dan bahkan dianggap bisa mengarah pada kekufuran (murtad). Kelompok yang lemah imannya diberikan zakat dengan harapan zakat akan mengamankan dan memperkuat imannya. Muallaf sebagai orang yang baru menganut Islam dianggap imannya masih sangat labil, oleh sebab itu untuk menguatkan keimanannya dilakukan pendekatan dengan santunan zakat. Di sini agamawan (sebagai amil) berkepentingan untuk menguatkan keimanan ummat yang lemah tersebut dengan menggiatkan zakat ummat untuk memberikan keringanan dari beban sosial dan penderitaan ekonomi yang mengancam iman kaum lemah. Tujuan penguatan agama merupakan tujuan yang tampak menonjol di kalangan agamawan desa Simburnaik yang terjun dalam tatakelola zakat. Menggiatkan zakat di kalangan komunitas pedesaan Simburnaik selalu ada alokasikan untuk pembiayaan penguatan dan penyiaran agama dalam bentuk dana pembangunan sarana ibadah, pendidikan dan pembiayaan bagi orang yang berjuang untuk menegakkan agama dari dana zakat. Dialokasikannya sebagian dari dana zakat untuk amil/pengelola, di lapangan ditemukan bahwa, meski memang bukan tujuan utama, namun ternyata alokasi ini merupakan salah satu faktor penarik mengapa orang tertarik dan mau mengorbankan waktunya untuk mengelola zakat. Seorang Amil terlibat dalam praktek pengelolaan zakat sebagai konsekwensi sebagai Imam atau Guru Agama dalam komunitas. Mengelola zakat di samping motivasi nilai (pahala), mereka juga termotivasi oleh adanya keuntungan material berupa alokasi dana zakat sebagai bagian amil yang telah ditetapkan dalam ajaran agama. Pengakuan H. A.AZ (61 tahun) menyatakan bahwa : ‖...jatah zakat untuk amil buat saya bukan tujuan, tapi karena memang Allah mengatur bahwa amil memiliki hak dalam dana zakat yang terkumpul dan itu ada aturannya dalam agama,...jadi yah diterima aja, paling tidak untuk ganti uang rokok dalam mengurus zakat....‖ 262 Artinya bahwa bagian zakat seorang amil di sini bukan tujuan utama, namun muncul juga sebagai tujuan sampingan dan ini cukup berarti karena sebagai pengganti biaya kebutuhan pribadi yang dikeluarkan dalam proses pegelolaan zakat. Temuan lain yang mendukung bahwa bagian zakat untuk amil itu menjadi bagian dari motif dalam mengelola zakat adalah; ditemukan adanya Guru Ngaji yang enggan mengelola zakat di Masjid jika hanya mendapatkan bagian hanya sebagai Guru Ngaji tanpa mendapatkan bagian sebagai amil sekaligus. Kengganan itu cenderung ditunjukkan dengan jarang ikut serta atau malah selalu menghindar untuk menjadi amil manakala tidak ada keyakinan atas kepastian adanya bagian sebagai amil dan bagian sebagai guru ngaji. Temuan ini menunjukkan bahwa dalam pengelolaan zakat ada motif peroleh dukungan ekonomi dalam mengelola zakat, meski memang tidak bisa dinyatakan sebagai motif utama yang bisa digeneralisir. Namun temuan ini menunjukkan kepentingan atas perolehan keuntungan ekonomi dari mengelola zakat dan sekaligus mewarnai pengelolaan zakat berbasis komunitas di Jambi. Status sosial Agamawan (Imam atau Guru Agama) di Simburnaik diidentikan dengan kesederhanaan hidup dan keterbatasan ekonomi, bahkan ada yang ekonominya sangat lemah. Mereka dalam menjalankan perannya sebagai pemangku agama tidak pernah ada tunjangan atau gaji dari komunitas atau pemerintah desa atas tugasnya melayani masyarakat. Maka mendapatkan santunan zakat seakan dianggap pantas, bahkan ada sejumlah warga yang secara konsisten memberikan zakatnya khusus untuk agamawan tertentu. Praktek membangun pemahaman bahwa Imam dan Guru Ngaji merupakan sosok yang layak mendapatkan keuntungan yang bersifat materi dari komunitas secara perorangan maupun kelompok, terjadi melalui mekanisme ritual agama dan budaya termasuk dalam proses pendidikan. Pesan-pesan moral dari agamawan (khatib/penceramah) memunculkan wacana bahwa agamawan merupakan sosok yang layak diberikan santunan (shodaqah atau passidekkah) untuk menunjang kelancaran tugasnya mengembangkan agama. Memberikan santunan atau sumbangan kepada mereka adalah berpahala dan bahkan lebih besar pahalanya dibanding dengan shadaqah kepada kebanyak orang. Pemahaman dan keyakinan yang demikian, merupakan bentukan dari aktor pengelola zakat melalui mekanisme membentuk, membangun, dan mengontrol pengetahuan agama komunitas. Agamawan sebagai sosok orang yang diberikan 263 kuasa atas ruang agama dan ruang sosial yang lebih luas, dalam konteks tertentu membentuk, membangun dan mengarahkan pengetahuan agama komunitas pada satu titik yang efek praktisnya memberikan keuntungan ekonomi bagi agamawan. Hal ini selalu tidak terlihat nyata, karena terbungkus oleh nilainilai dan pesan-pesan agama dan budaya yang sangat rapih. 7.2.2. Peta Kepentingan dalam BAZDA Jambi Penyeragaman sistem tatakelola zakat dianggap penting, sehingga untuk mencapai itu dikeluarkanlah UU. No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat sebagai satu kebijakan pemerintah yang salah satu tujuannya adalah untuk menyeragamkan sistem tatakelola zakat di Indonesia. Konsekwensi yuridisnya, semua model lembaga tatakelola zakat diharus untuk tunduk pada UU tersebut jika ingin dinyatakan legal dalam bentuk pengukuhan. Optimalisasi pengelolaan zakat dalam wacana zakat negara juga muncul sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi ummat untuk berzakat pada lembaga pengelola zakat resmi yang telah mendapatkan legalitas dari negara. Ini berawal dari dugaan bahwa rendahnya kesadaran berzakat karena lemahnya motivasi berzakat kepada masyarakat oleh lembaga zakat yang ada serta melemahnya kepercayaan pada lembaga zakat tradisional (karena dianggap tidak profesional). Untuk itu diperlukan kekuatan politik, tenaga yang profesional, dan lembaga dengan program kerja yang jelas dan terpercaya. Tingginya angka kemiskinan Indonesia yang menempatkan negara ini dalam deretan negara-miskin dunia, sebagaimana laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang (Suharto, 2007; UNDP, 2007). Hal ini membuat negara harus innovatif mencari sumber-sumber baru bagi pembiayaan pembangunan dan pemberdayaan. 264 Menjamurnya penduduk miskin yang membutuhkan bantuan dan santunan sosial untuk mengatasi kesulitan hidup menjadi bagian penting dan alasan mengapa zakat kemudian di lirik untuk dijadikan lembaga kemanusiaan dan menjadi tempat orang untuk menyalurkan zakat sebagai bentuk ibadah yang di pahami oleh banyak aktor tatakelola zakat sebagai instrumen kemanusiaan. Tabel 24 : Ragam Kepentingan dalam Badan Amil Zakat Daerah Aktor BAZDA Jambi Amil Muzakki Orientasi Kepentingan Utama Penguatan Negara Penguatan politik Pengamanan politik Mustahik Pengamanan ekonomi Kepentingan Sampingan Pembiayaan pembangunan Pengamanan ekonomi Pengamanan politik birokrasi dan ekonomi (perlindungan ekonomi) Pengamanan ekonomi survival Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Pada tabel 24 terlihat bahwa : BAZDA sebagai lembaga pengelola zakat negara atau pemerintah, berkepentingan pada penguatan negara. Masalah sosial khususnya kemiskinan yang selalu menjadi masalah rumit selalu mencuat sebagai masalah penting bagi negara, maka dengan mengelola zakat diharapkan mampu menjadi salah satu sumber pembiayaan untuk pembangunan khususnya mengatasi persoalan kemikinan dan ketidak berdayaan masyarakat. Amil atau aparat BAZDA yang merupakan aparatur negara, memandang zakat sebagai potensi besar karena menyangkut orang banyak. Maka dengan itu mengelola zakat bagi mereka berpotensi mendukung penguatan posisi politik dalam masyarakat. Dengan terlibat dalam pengurusan zakat sebagai aparat zakat, memberikan peluang untuk menduduki posisi strategis dalam tatakelola zakat, sekaligus menguasai arena zakat dan masyarakat zakat. Kepentingan lain yang tak kalah pentingnya adalah pengamanan kerja dan ekonomi sebagai aparat negara yang bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dari mengelola zakat sebagai aparat BAZDA yang digaji oleh negara. Kepentingan muzakki di sini bisa diwarnai oleh kepentingan pengamanan politik, karena pengawai negeri sipil dan militer serta karyawan BUMN dalam tatakeola zakat ternyata bersentuhan dengan kekuasaan politik khususnya dalam hal penempatan dan reposisi jabatan strategis dalam birokrasi. Muzakki di BAZDA berzakat motif utama yang mencuat memang motif asketik, namun dalam perlaksanaannya selalu disertai oleh kepentingan politik dalam bentuk upaya pengamanan dan penguatan posisi politik dalam birokrasi. Apalagi 265 munculnya wacana bahwa untuk kenaikan kepangkatan, kepatuhan berzakat di BAZDA akan menjadi bagian dari persyaratan. Muzakki dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS) dan militer yang berposisi sebagai nasabah utama BAZDA , patuh berzakat di BAZDA, juga diwarnai oleh pengamanan ekonomi atau pekerjaan serta pengamanan relasi birokrasi dan administrasi di tempat kerja, hal ini dikarenakan dalam beberapa kasus, bagi mereka yang tidak membayar zakat di BAZDA mendapatkan tekanan bahkan teguran dari atasan langsung. Mustahik sebagai kelompok yang berhak menerima manfaat dan efek dari pemanfaatan dana zakat, di BAZDA mereka berkepentingan terhadap peroleh dana zana zakat sebagai pengamanan ekonomi survival. Karena kondisi kemiskinan atau keterbatasan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya membuat mereka hanya memiliki kepentingan pada pengamanan pemenuhan kebutuhan minimal atau kebutuhan bertahan hidup. Oleh karena itulah makanya dalam banyak bukti, pemanfaatan zakat selalu tidak signifikan pada peningkatan kesejahteraan. Karena memang kepentingan mustahik pada dana zakat baru sebatas mengatasi kebutuhan minimal dan belum sampai pada kepentingan pada pemenuhan kebutuhan permodalan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. 7.2.2.1. BAZDA : Kepentingan Kekuasaan Politik - Ekonomi Kebijakan politik yang terkait dengan pengelolaan zakat, muncul dalam pembahasan Thaba (1996) ketika menguraikan pola hubungan yang terbangun dalam tiga fase, yaitu : 1. Fase Antagonistik (1967-1982), 2. Fase Resiprokal Kritis (1982-1985) dan, 3. Fase Akomodatif (1985-1994). Fase Akomodatif sebagai awal terakomodirnya zakat dalam kebijakan negara. Mengambil contoh lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama nomor 47 tahun 1991 dan Menteri Dalam Negeri nomor29 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS). SKB Menteri tersebut pada pasal 3 menyatakan bahwa : BAZIS merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan oleh Ummat Islam secara berjenjang sesuai kebutuhan di Daerah Tingkat I, Daerah II, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan (Salim, 2003). Namun jika merunut sejarah wacana zakat dalam ruang politik Orde Baru justru yang dikatakan Oleh Azis Thaba (1996) sebagai fase Akomodatif (1985-1994), sesungguhnya juga tampak pada fase antagonis (1967-1982). Pada fase yang 266 dikatakan oleh Azis Thaba sebagai fase antagonis justru Menteri Agama telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (Permenag) nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, yang kemudian disusul dengan Peraturan Menteri Agama nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal yang berstatus Yayasan. Tak lama kemudian Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Edaran no. B.133/Pres/11/1968 yang ditujukan kepada instansi dan pejabat terkait agar mereka membantu pelaksanaan zakat di wilayah ruang kerja masing-masing, yang akhirnya menjelma dalam lembaga pengelola infak dan shadaqah pengawai negeri atau pejabat negara dengan status yayasan dengan nama Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP). Perjalanan panjang wacana zakat dalam ruang politik di negeri ini berhujung pada lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Sejak ini, maka manakala orang menyuarakan zakat dan pengelolaannya tidak bisa dilepaskan dari dialektika antara pergumulan nilai tradisi, norma dan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan sistem tata negara. Artinya sejak itu tatakelola zakat telah diintegrasikan dalam sistem hukum nasional, dan menjadi realitas kehidupan hukum yang berada dalam ruang kekuasaan politik negara dan telah menjadi bagian dari kehidupan bernegara. Akibatnya mainstream masyarakat muslim tentang zakat, yang tadinya berada pada ruang komunitas, perlahan digiring masuk dalam ruang sistem negara. Di sana diatur tentang bentuk, kerja, arah program, pertanggungjawban dan evaluasi. Semua praktek tatakelola zakat diharuskan tunduk dalam mekanisme yang di atur oleh UU dalam konteks beragama dan bernegara secara bersamaan. Pengelolaan zakat secara profesional oleh aktor tatakelola zakat BAZDA dianggap akan memberikan beberapa keuntungan, di antaranya, yaitu: Pertama, lebih bisa menjaga keikhlasan dari muzakki (orang yang membayar zakat). Meskipun tidak ada parameter keikhlasan, namun penyakit riya‟ bisa muncul jika muzakki langsung memberikan zakat kepada mustahik (penerima zakat). Kedua, bisa menjadikan muzakki disiplin dalam membayar zakat. Karena petugas pengambil zakat (amilin) akan selalu mengingatkan muzaki, jika sudah tiba waktunya harus membayar zakat dan diatur oleh aturan yang memiliki kekuatan yang pasti secara empirik. Ketiga, bisa menjaga perasaan rendah diri para penerima zakat. Jika penerima zakat langsung menyerahkan zakatnya pada mustahik, akan menjadikan mustahik dalam relasi ketergantungan karena 267 merasa berhutang budi pada pribadi tertentu, namun hal tersebut tidak akan terjadi jika dilakukan oleh lembaga profesional. Keempat, lebih efektif dan tepat sasaran. Lembaga amil zakat biasanya memiliki data base atau daerah-daerah binaan di mana di sana banyak masyarakat miskin, sementara muzakki referensinya tentu sangat terbatas. Sistem pembagian zakat secara langsung banyak resikonya dan juga bisa menyebabkan tidak adanya sebaran dan meratanya jumlah bantuan. Kelima, Jika pemberian zakat dilakukan lewat lembaga, dana zakat bisa menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat. Karena dana zakat akan disatukan dengan dana-dana zakat dari para muzakki dari berbagai level, sehingga bisa diwujudkan menjadi program-program pelayanan yang kuat dan lebih besar manfaatnya. Keenam, lebih bisa memberdayakan masyarakat. Pegelolaan zakat melalui lembaga, biasanya disertai pembinaan dan pendampingan serta bersifat kontinue. Pembagian zakat oleh perseorangan biasanya bersifat caritas (sosial) semata dan langsung habis atau hanya menjadi solusi sesaat, sehingga tidak mampu merubah keadaan masyarakat miskin secara berkesinambungan. Enam keuntungan diatas menjadi alasan mendasar didirikannya BAZDA yang memang secara sekilas begitu menjanjikan, namun secara bersamaan, Badan Amil Zakat Daerah ( BAZDA ) cenderung mempraktekkan adanya gejala yang tidak sepenuhnya sama. Seorang pengurus BAZDA memiliki kekuasaan untuk menghimbau dan ini diterjemahkan dalam memiliki kekuasaan penuh untuk memaksa dan memposisikan mustahik pada posisi yang juga marginal. Data tentang ini dapat dilihat pada box 7.2.2.1 berikut : Box 7.2.2.1 : Kuasa dan Distribusi Kuasa dalam Tatakelola Zakat BAZDA Jambi Pernyataan IH (61 tahun) wakil ketua Badan Amil Zakat Jambi, bahwa :‖Dari dulu cara orang mengelola zakat macam-mcam, ada yang di Masjid, di rumah, di madrasah dan ada yang menyerahkan langsung kepada orang-orang dekatnya. Sekarang ada lagi kelompok-kelompok usaha pengelola zakat. Jadi pengelolaan zakat sekarang ini banyak sekali macamnya. Kalau di biarkan masyarakat bisa bingung, mana yang benar.....‖. makanya perlu perlu diatur dan diseragamkan...‖ Temuan Lapang bahwa : Hampi semua lembaga yang terlibat secara aktif menghimbau masyarakat, dan karyawan/staf pemerintah daerah untuk berzakat, namun kenyatannya mereka hanya mampu memberikan himbauan kepada orang lain, sementara banyak dari mereka belum berzakat dengan baik ke BAZDA termasuk salah satu ketua BAZDA yang ada diperopinsi Jambi ada yang tidak pernah menyerahkan zakatnya ke BAZDA . Ada kecenderungan bahwa mereka hanya menghimbau dan bahkan menginstruksi kepada staf untuk berzakat. Pendistribusian Zakat kepada para mustahik ditemukan bahwa ada kebiasaan memberikan zakat pada akhir Ramadhan oleh pengurus BAZDA secara perorangan dengan berbagi tugas, masing-masing diberikan tugas untuk membagian zakat ke wilayah tertentu dengan batasan nilai dan jumlah muzakki yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keamanan, karena jika kaum muzakki di kumpulkan di BAZDA dianggap akan terjadi kerumunan yang tidak mudah untuk dikendalikan, disamping ada kehawatiran massa akan meledak manakala tersebar berita adanya pembagian zakat di BAZDA . 268 Muzakki oleh badan amil zakat daerah dipandang sebagai orang yang memiliki kewajiban untuk membayar zakat, sehingga mereka layak untuk dihimbau dan bahkan bisa dipaksa. Melalui mekanisme pemotongan gaji atau penyetoran zakat pada bendaharawan tempat bekerja bagi pegawai/karyawan merupakan bukti adanya mekanisme pemaksaan simbolik. Di sini para mustahik dihadapkan pada pilihan, membayar zakat ke BAZDA atau tidak dan dianggap sebagai pegawai/karyawan yang tidak patuh beragama dan dianggap sebagai pegawai yang tidak disiplin, padahal dengan tidak membayar zakat ke BAZDA belum tentu ia tidak berzakat. Yang lebih menonjol di sini adalah berzakat karena kepatuhan bernuasa politik kepada atasan ketimbang kepatuhan beragama. Yang lebih menarik adalah sang Pegawai /keryawan jika membayar zakat di BAZDA, mereka malah terancam di lingkungan di mana ia tinggal, karena dianggap tidak peduli lagi dengan kemiskinan di lingkungan sekitar tempat di mana ia menetap sebagai anggota masyarakat. Dengan membayar zakat di BAZDA maka ia sedang terlepaskan dari ikatan komunitas lingkungan tempat tinggalnya sebagai orang yang juga punya tanggungjawab sosial. Temuan lain tentang fenomena BAZDA melakukan mobilisasi masyarakat untuk berzakat di BAZDA adalah adanya pengurus BAZDA yang tidak membayar zakat. Ini merupakan fenomena menarik yang bisa di baca sebagai gejala politisasi para muzakki dan mustahik. Muzakki dijadikan sasaran penekanan untuk berzakat ke BAZDA dengan mengatas-namakan untuk pembiayaan pemberdayaan mustahik, namun disana yang lebih menjadi perhatian adalah akumulasi dana zakat untuk kepentingan pencapaian prestasi dan penguatan kekuasaan BAZDA atas praktek zakat. Para pengelola zakat BAZDA hanya menekankan orang mustahik untuk berzakat ke BAZDA dengan tujuan meningkatkan angka penerimaan zakat untuk mencapai prestasi politis bahwa mereka telah berhasil meningkatkan kesadaran berzakat ummat dengan tingginya penerimaan dana zakat. Terbukti ketika mengamati keseriusan dalam merancang program BAZDA, yang lebih diperhatikan adalah bagaimana mencari solusi atas rendahnya penerimaan dana zakat, namun hampir tidak pernah ada pembicaraan serius tentang bagaimana mewujudkan BAZDA sebagai lembaga yang memberdayakan, paling tidak mengevaluasi capaian program dalam kaitannya dengan pemberdayaan kaum mustahik. 269 Tradisi penyerahan dan pendistribusian dana zakat ke Mustahik selalu melibatkan pejabat tinggi daerah. Sekda dan Bupati/Walikota selalu muncul dalam penyerahan bantuan tahunan kepada Muzakki. Pada saat penyerahan pejabat tinggi daerah tersebut tampil bukan sebagai pengelola BAZDA semata, namun yang lebih menonjol adalah sebagai pajabat pemerintahan. Cara ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ada yang menafsirkan sebagai bentuk kepedulian pejabat tinggi kepada orang miskin, perhatian pejabat yang tinggi kepada BAZDA, dan bahkan ada yang menafsirkan pejabat yang menyerahkan zakat tersebut sebagai pejabat yang dermawan, padahal pejabat tersebut kadangkala tidak pernah memberikan zakatnya di BAZDA. Artinya ada simbol sosial yang diberikan publik kepada pejabat yang menyerahkan zakat BAZDA yang seharusnya bukan diberikan kepada mereka. Ada banyak muzakki yang benar-benar ikhlas berzakat, tersembunyi dibelakang fenomena penyerahan dana zakat BAZDA oleh pejabat pemerintah. Muzakki yang ikhlas hilang dan tidak terbaca publik. Orang yang berzakat tak terlihat dan yang tidak berzakat berdiri tegak di depan para mustahik, mereka disapa hormat, dan disembah dengan hidmat, sebagai pemimpin yang dermawan, budiman, dan penuh kasih kepada masyarakat lemah. Penyeragaman sistem tatakelola zakat di bawah naungan UU nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, membuat semua orang berzakat dan mengelola zakat sesuai dengan keinginan Negara. Wacana dalam praktek berzakat ummat secara nasional dibentuk oleh negara dan tunduk dibawah kontrol Negara. Zakat di serahkan dalam kuasa Negara dan dimasukkan dalam ruang Negara sehingga zakat menjadi hak negara dalam mengelola, mengontrol atau mengawasi. Ini merupakan satu praktek penundukan terhadap semua pengelola zakat oleh negara. Mematuhi semua pesan UU sama halnya telah menuruti kehendak negara dan mengabaikan aspirasi komunitas. Manakala pengelolaan zakat berada di bawah kekuasaan negara, maka kekuatan civil society akan melemah (Absar, 2005). Dalam konteks civil society sebagai kekuatan politik dalam membangun kekuatan penyeimbang negara, serta tujuan philosofis zakat yang bertujuan mewujudkan keadilan, pemerataan dan kesejahteraan berbasis semangat solidaritas sosial untuk mendekatkan kaum kaya dengan kaum miskin, menjadi alat bagi penguasan untuk melanggengkan kekuasaan dengan menuai simbol-simbol sosial sebagai sosok yang baik, suci, 270 lembut, manusiawi dan menjanjikan kenyamanan harapan-harapan kepada masyarakat yang terjebak kesulitan dan keterkungkungan. 7.2.2.2. BAZDA : Kepentingan Akumulasi Modal Pembangunan Keterbatasan sumber penerimaan dana bagi pembiayaan pembangunan dan jaminan sosial untuk orang miskin dan terlantar menjadi salah satu sebab mengapa zakat menjadi bagian penting bagi pemerintah, dan memasukkan pengelolaan zakat dalam ruang negara. Bila dicermati, akan ditemukan begitu banyak program serupa. Hampir setiap Departemen memiliki program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan dapat dikategorikan sebagai upaya memberi jaminan sosial. Namun, hasil dari upaya-upaya tersebut selalu dipertanyakan. Banyak sumber dari ketidak-efektifan program-program tersebut, seperti ketidak meratanya akses bagi yang memerlukan, administrasi yang korup, saling tumpang tindih antara satu program dengan lainnya, koordinasi yang buruk, dan lainnya. Yang pasti, sebagian besar program dari pemerintah lebih terfokus pada masalah-masalah institusi daripada kelompok sasaran (Benda- Beckmann dkk, 1988). Anehnya, kesadaran untuk membantu orang lemah terus terjebak dalam pola serupa itu. Pengelolaan zakat dan sedekah melalui Bazis adalah contoh yang lain. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh yang dikelola orang orang-orang yang dekat dengan pejabat tinggi tampaknya tidak akan berbeda dengan pola yang sudah ada. Muara dari upaya-upaya tersebut condong kepada kepentingan politik atau kekuasaan. Dilihat dari sejarahnya, jaminan sosial memang tidak pernah lepas dari masalah kekuasaan. Masalahnya, dalam kekuasaan selalu ada dominasi dan subordinasi. Sisi negatif dari masalah ini dapat mengarah pada fenomena lain (lihat Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1994; 1995) yaitu munculnya kelompok dominan sebagai sumber insecurity. Temuan lapang di pada Pengelolaan Zakat di provinsi Jambi menunjukkan bahwa, pengelolaan zakat oleh Badan Amil Zakat mengelola zakat dengan memungut zakat dari para karyawan/pegawai yang ada dilingkungan kantor dan instansi Pemerintah Daerah dan Kantor Wilayah Departemen Agama yang ada di Provinsi Jambi. Dana yang diperoleh dari pemungutan zakat tersebut di setor kerekening BAZDA untuk kemudian dimanfaatkan dalam upaya pemberdayaan 271 masyarakat dalam berbagai bentuk (Biasiswa Pendidikan, Bantuan Berobat, Bantuan Modal, Bantuan Guru Agama/Ngaji, dll). Lihat box 7.2.2.2 berikut ini : Box 7.2.2.2 : Kepentingan Tatakelola Zakat Untuk Pembiayaan Pembangunan Pernyataan HM (60 tahun) pengurus BAZDA , bahwa : ... mekanisme pengelola zakat di BAZDA Jambi, dilakukan dengan memungut dari pengawai negeri dari dinas dan instansi pemerintah daerah dan kanwil agama Jambi.... hasil dana zakat yang dipungut tersebut dimanfaatkan untuk pembangunan bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat miskin. Pembangunan pendidikan dilakukan dengan membantu lembaga pendidikan dan pemberian beasiswa, dan pembangunan kesehatan dilakukan dengan pemberian bantuan berobat kepada kaum miskin, sedangkan pemberdayaan diberikan dalam bentuk bantuan permodalan terhadap keluarga miskin yang ada di Jambi seperti bantuan kepada pedagang jagung bakar di pasar malam Ancol...‖ Pernyataan KHUZ (43 tahun) pengurus BAZDA Tanjab Tim, bahwa : ‖....Pengelolaan Zakat oleh pemerintah bertujuan untuk memaksimalkan fungsi zakat untuk pembangunan masyarakat dalam bernegara. Karena kalau zakat dibiarkan begitu saja dalam pengelolaan masyarakat hasilnya tidak akan maksimal dan tak mampu mewujudkan pemberdayaan ummat apalagi untuk pembangunan bangsa...dengan zakat dikelola oleh pemerintah, berbagai program pemberdayaan dan pembangunan masyarkat bisa dilakukan dan bahkan bisa diarahkan menjadi asuransi ummat ‖ Menjadikan zakat sebagai sumber pembiayaan Pembangunan dan jaminan sosial bagi negara, merupakan fenomena upaya negara memperluas sumber pembiayaan pembangunan dan pembiyaan pada jaminan sosial terhadap kaum lemah yang dipandang sebagai tanggungjawab negara. Di sini kemudian zakat menjadi terformalkan setelah sebelumnya menjadi lembaga non formal yang berkembang dalam kehidupan komunitas. Zakat yang sebelumnya menjadi sumber pembiayaan dan jaminan sosial bagi kaum lemah dan pemangku tanggungjawab penyiaran dan pengawas ajaran agama, berubah menjadi lembaga formal yang terkait dengan administrasi negara dan sekaligus menjadi instrumen negara dalam pembangunan, pemberdayaan dan bahkan jaminan sosial masyarakat lemah. Memasukkan zakat sebagai instrumen pembangunan, pemberdayaan serta dan jaminan sosial, maka secara bersamaan membawa kaum muzakki ikut bertanggungjawab dalam pembangunan dan pemberdayaan serta jaminan sosial terhadap masyarakat lemah. Secara sederhana memang tidak menjadi persoalan, namun manakala negara mengurangi porsi tanggunjawabnya terhadap pembangunan, pemberdayaan atau paling tidak terhadap jaminan sosial kaum lemah dan terlantar, maka secara bersamaan rakyat khususnya kaum muzakki dalam kasus zakat, telah dipolitisir dan diekploitasi secara politis untuk menjadi penanggungjawab atas kegagalan negara mengatasi persoalan kemiskinan. 272 Pengorganisasi zakat dalam mekanisme modern agaknya terilhami oleh fenomena di negara-negara Barat, dimana kepedulian selalu disimbolisasikan dengan uang. Makin kaya seseorang, makin tinggi pajak yang harus dibayar dan ini disandingkan dengan wacana zakat. Pemerintah kemudian mendistribusikan kembali uang tersebut kepada orang miskin. Simbolisasi seperti ini mudah diterima oleh publik karena pelayanan sosial telah sedemikian bagusnya. Struktur masyarakat yang tidak begitu hierarkis dan cenderung individualis adalah faktor lain yang berperan mengarahkan proses tersebut. Namun, itu semua tidak cukup. Perubahan dasar pemikiran dalam penyelenggaraan jaminan sosial dari entitlement ke insentif memiliki dua sisi yang cenderung berlawanan. Pada satu sisi ada upaya pemberdayaan dan pemandirian, pada sisi yang lain kelompok lemah diarahkan untuk berkompetisi dengan kelompok yang lebih kuat. Orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang cacat tentu akan sulit untuk bisa produktif seperti kelompok orang normal. Diskriminasi positif seharusnya diberlakukan, tetapi pada masyarakat yang menjunjung tinggi kesejajaran hal seperti ini sering dilupakan. Pada kondisi seperti ini jaminan sosial kehilangan makna dasarnya yaitu mengangkat ketidaknormalan ke level normal. 7.2.2.3. BAZDA : Kepentingan Pemerataan Ekonomi Masyarakat Temuan lapang menunjukkan bahwa hampir semua aktor tatakelola zakat di BAZDA Jambi, ketika ditanya alasan menjadi pengurus BAZDA yang muncul jawabannya berkisar pada tiga hal, yaitu: pertama, adalah alasan syariah, kedua, alasan kemanusiaan, dan yang ketiga, adalah alasan masih minimnya SDM amil profesional. Data obsevasi dapat dilihat pada box 7.2.2.3 berikut : Box 7.2.2.3. Memaksimalkan Zakat Untuk Perataan Ekonomi Masyarakat Pengelolaan zakat pada BAZDA Jambi didistribusikan kepada para musyahik menurut ajaran fiqh, meski di sana sini terkadang ada modifikasi dalam konteks pengembangan ijtihad fiqhiyah. Namun menurut AA. M itu masih dalam koridor ajaran agama, karena di sana agamawan mas ih memegang peran utama dalam memperlakukan zakat sebagai ajaran agama. BAZDA dalam mengelola zakat dalam wacananya menempatkan isu kesetiakawanan sosial, kepedulia sosial dan solidaritas pada kaum lemah sebagai salah satu isu penting setelah isu penteragaman, pembangunan dan pemberdayaan. Alasan kemanusiaan dengan tujuan membantu kaum lemah menjadi bahan pembicaraan dalam segala momen. Memotivasi kaum muzakki selalu mengatasnamakan kemanusiaan dan mereka menjadi bagian dari BAZDA dengan alasan untuk meningkatkan rasa kepedulian kepada kaum lemah. Memandang kaum miskin sebagai orang harus di berikan bantuan dan mereka yang memiliki kelebihan harta atau bernasib lebih baik memiliki tanggungjawab untuk menyantuni mereka yang bernasib kurang baik. Memotivasi dan memperlakukan muzakki ditemukan peredaan mendasar. Menyambut muzakki dari masyarakat umum yang datang membayar zakat ke BAZDA , terlihat sangat hangat, namun sebaliknya menyambut para mutahik yang datang meminta bantuan selalu penuh dengan ciriga. Sanga mustahik tak 273 jarang dihujani pertanyaan yang menyudutkan dan bahkan kadang kala diperlakukan agak kasar, manakala ia ditengarai sebagai orang yang tidak layak mendapatkan santunan zakat. Penyaluran zakat, di BAZDA terhadap orang yang tidak terdaftar terlihat agak penuh dengan kecurigaan di sana sini, tak jarang ada yang dibiarkan duduk diluar kantor dalam waktu yang lama atau dibiarkan datang berulang meski mereka adalah mustahik yang layak. Pernah ada seorang musafir yang kehabisan biaya dalam perjalan karena menjadi korban copet datang meminta bantuan sekededar uang tiket, namun harus kecewa dengan tangan hampa karena dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kondisi dan berbohong. Sang musafir keluar dari BAZDA setengah diusir oleh salah satu pengurus BAZDA . Alasan Syari‟ah ditekankan pada pengakuan bahwa zakat adalah rukun Islam yang wajib dilaksanakan dan ada perintah untuk mengelola dengan adanya konsep amil dalam ajaran fiqih zakat. Sementara alasan kemanusiaan, lebih pada problema kemiskinan yang semakin parah. Menurut data dari laporan World Bank (2007), hampir separuh rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dengan pendapatan perkapita kurang dari USD 2/hari. Kemiskinan dikatakan sebagai hal yang sangat berbahaya bagi ummat manusia, mengutip hadits Nabi Muhammad SAW bahwa, “kemiskinan itu dekat dengan kekafiran”, dan lebih jauh selalu dihubungkan dengan berbagai macam persoalan seperti masalah kesehatan, gizi buruk, kriminalitas, kurangnya pendidikan, hingga konflik sosial yang ujung-ujungnya akan membuat kesengsaraan di dunia dan bahkan di akhirat nanti. Maka menjadi amil berarti membantu orang lain untuk keluar dari kemiskinan. Tugas amil pada hakikatnya adalah merubah mustahik menjadi muzakki--dari fakir/miskin menjadi kaya, dari lemah menjadi berdaya. Ini adalah tugas yang sangat mulia--mulia di mata manusia dan bahkan di mata Allah SWT. Alasan minimalnya SDM amil profesional. Ini selalu dikaitkan dengan potensi zakat yang telah dibuktikan oleh banyak kajian, seperti kajian potensi zakat profesi di Indonesia mencapai 19,3 triliun/tahun, dan hingga saat ini baru tergarap dan terhimpun sekitar 4,8%-nya pada tahun 2008 (Baznas, 2009). Agama dalam kaitannya dengan jaminan sosial kemanusiaan tidak banyak berpengaruh terhadap formalisasi pemberian bantuan. Ketentuan agama untuk menyantuni penduduk yang secara ekonomis rentan berinteraksi dengan nilainilai lokal (lihat Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1995; Tang, 1996). Interaksi tersebut pada satu sisi memperbanyak bentuk bantuan yang semula menurut adat setempat jumlahnya lebih sedikit, pada sisi yang lain ketentuan tersebut disesuaikan dengan pola yang sudah berjalan. Misalnya, menurut ajaran Islam ada delapan golongan yang berhak mendapat zakat: fakir, miskin, mualaf, budak/tawanan, orang yang berhutang, sabilillah, dan musafir. Pada masyarakat pedesaan di provinsi Jambi, ditemukan bahwa, zakat diberikan kepada amil 274 (pengurus zakat), guru mengaji, dan dukun bayi. Perubahan seperti ini tidak dapat secara singkat dikatakan sebagai pelanggaran ketentuan agama sebelum betul-betul memahami rasionalitas penduduk setempat. Aktor BAZDA Jambi, melihat sebagai pranata keagamaan yang memiliki kaitan erat dengan masalah-masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial akibat perbedaan kepemilikan kekayaan. Zakat diyakini sebagai instrumen pemerataan kekayaan dalam konteks pemenuhan standar hidup minimal, artinya zakat dilihat sebagai mekanisme untuk menciptakan suasana ekonomi di mana tidak ada orang atau kelompok masyarakat hidup dalam penderitaan, sementrara ada sebagian orang yang menikmati hidup berlimpah dalam kemakmuran dan kemewahan. Maka, zakat di sini oleh BAZDA dilihat sebagai mekanisme yang dapat menghilangkan kemiskinan atau paling tidak mempersempit jurang perbedaan tingkat kesejahteraan dalam masyarakat. Dengan zakat semangat kepedulian dan kemanusiaan bisa di bentuk, paling tidak dengan mengingatkan orang untuk perduli. Mengatasnamakan kemanusiaan, agaknya menjadi ironis ketika ditemukan praktek-praktek di lapangan yang agak berbeda. Memperlakukan muzakki dengan sangat manusiawi dan bahkan berlebihan terlihat begitu menonjol dan selalu muncul dalam melayani setiap muzakki dari masyarakat umum yang datang untuk menyetorkan zakatnya di BAZDA. Namun nuansa akan sangat berbeda manakala yang datang bertamu adalah sosok orang kumal sebagai calon mustahik. Mereka disambut dengan wajah tanpa senyum dan dengan sapaan yang terkesan menghardik. Tak jarang ada yang tidak dilayani dengan alasan yang tidak rasional. Mengelola zakat dengan alasan kemanusiaan dengan fenomena yang demikian agaknya sangat ironis. Atas nama kemanusiaan buat manusia yang mana ketika fenomena perlakukan antara muzakki dan mustahik mencuat dalam keseharian di BAZDA . 7.2.2.4. Berzakat Di BAZDA : Kepentingan Pengamanan Politik dan Ekonomi BAZDA sebagai lembaga tatakelola zakat di lingkungan Pemerintah Daerah memiliki nasabah zakat yang jelas dan terdata dengan baik, khususnya muzakkinya, karena memasukkan semua pegawai dan pejabat pemerintah sebagai muzakki dengan Instruksi Gubernur Nomor 2 tahun 2001 tentang 275 ‖Pelaksanaan Kewajiban Melaksanakan Zakat‖. Lain halnya dengan mustahiknya pendataannya masih terbatas pada informasi yang diberikan oleh pengurus BAZDA yang ada, karena belum memanfaatkan data kemiskinan yang dimiliki oleh Pemerintah. Mematuhi berzakat di BAZDA oleh para pegawai dan pejabat pemerintah daerah provinsi Jambi, dilakukan dengan pertimbangan bahwa BAZDA merupakan lembaga tatakekola zakat yang resmi dibentuk oleh pemerintah sehingga secara formal dianggap legal dan aman karena telah diatur dengan aturan perundang-undangan yang jelas. Tapi bukan berarti bahwa para pegawai dan pejabat pemerintah menganggap BAZDA sebagai bentuk tatakelola zakat yang paling tepat jika dilihat dari pemahaman zakat para pengawai dan pejabat pemerintah tersebut. Memandang BAZDA, pegawai dan penjabat pemerintah daerah provinsi Jambi meletakkan BAZDA sebagai lembaga pemerintah yang bekerjanya bersifat formal dengan tata aturan yang telah diatur oleh pemerintah, dan menganggapnya sebagai satu mekanisme sistemik yang menyatu dengan instansi pemerintah. Bagi mereka berzakat melalui BAZDA merupakan kewajiban sebagai pengawai negeri sipil atau pejabat yang bekerja di lingkungan dinas atau instansi pemerintah daerah provinsi Jambi. Tujuan utama para pengawai dan pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi Jambi berzakat di BAZDA adalah mematuhi instruksi Gubernur Jambi, yang memerintahkan agar pegawai dan pejabat berzakat, bersedaqah dan berinfak di BAZDA . Kepatuhan muzakki berzakat di BAZDA menjadi sebuah kepatuhan berorientasi pada atasan dan terkesan lebih pada mematuhi instruksi pemerintah ketimbang melaksanakan kewajiban agama. Artinya bahwa mereka berzakat melalui lembaga BAZDA lebih karena pertimbangan sistem pemerintahan dengan kepentingan penundukan pada atasan. Hal ini dilakukan karena menghindari resiko berupa sanksi dari atasan, baik sanksi administrasi maupun berupa resiko kerenggangan relasi dengan atasan. Kecenderungan para muzakki yang lebih banyak menyetor ke BAZDA dalam bentuk infak dan sedeqah ketimbangan zakat, merupakan gejala yang menarik. Mereka yang sempat di wawancarai (semua enggan disebutkan namanya), menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan karena : 1) RN (39 tahun) mengakui merasa lebih nyaman berzakat pada LAZ berbasis Masjid yang ada 276 dilingkungan tempat tinggal mereka. 2) AS (45 tahun) menyatakan bahwa cukup berinfaq saja di BAZDA, yang penting kita telah mematuhi perintah Pimpinan meski hanya dengan infaq, 3) YE (41 tahun) mengakui bahwa gajinya tidak dikenai wajib zakat karena telah berhutang di Bank. Pengakuan muzakki RN (39 tahun) merasa lebih nyaman berzakat pada LAZ Masjid di lingkungan tempat tinggalnya, juga diakui karena adanya rasa tidak nyaman atas desakan sosial dari lingkungan sebagai orang yang dipandang sejahtera. Ada perasaaan tidak aman jika tidak ikut serta berzakat di lingkungannya. Selain itu ada keraguan pada penilaian sah atau tidaknya berzakat di BAZDA, dan ini terkait pada penilaian keberkahan berzakat. Mereka beraggapan bahwa zakat sebagai ibadah wajib, ada tatacara atau ritualnya yang terletak pada prses serah terima yang harus disertai dengan doa-doa amil pada saat penyerahan zakat. Selanjutnya muzakki AS mengakui bahwa berzakat di BAZDA untuk mengikuti aturan yang berlaku meski cukup dengan berinfak bagi RN, lalu zakatnya di serahkan ke LAZ Masjid di dekat rumahnya. Pengakuan serupa dari YE (41 tahun), bahwa beliau hanya berinfaq ke BAZDA karena menurutnya gajinya tidak cukup untuk dikenai wajib zakat. Gajinya hanya tinggal sedikit karena dipotong oleh Bank untuk angsuran pinjaman. Alasan inilah yang membuat YE hanya menyerahkan infaknya saja ke BAZDA . Infak diberikan dengan tujuan agar tidak dianggap sebagai pegawai yang tidak patuh dengan perintah atasan. Berbeda dengan pengakuan HA (51 tahun) yang menjabat kepala Kantor Pemerintahan, ia sebagai muzakki yang disiplin berzakat di BAZDA , menyatakan bahwa berzakat di BAZDA itu lebih baik karena di sana pemanfaatan dana zakat lebih terarah dan terencana serta membantu pemerintah mengatasi masalah kemiskinan sebagai tujuan zakat. Belia disiplin berzakat juga diakuinya untuk memberikan contoh pada kepada bawahannya. Beberapa temuan manarik dalam fenomena berzakat dan tatakelola zakat di BAZDA Jambi, menunjukkan adanya dinamika rasionalitas dan kepentingan. Ada rasionalitas sains modern berupa pertimbangan legalitas dan profesionalitas yang menganggap BAZDA sebagai tatakelola zakat yang legal, memiliki perencanaan dan bertanggungjawab, dengan tujuan memberdayakan kaum miskin, berbenturan dengan pertimbangan pentingnya prosesi ritual berzakat yang disertai ijab-qabul dan ritual doa sebagaimana yang dipraktekkan pada LAZ 277 tradisional berbasis masjid. Orientasi tujuan dan orietasi nilai di sini terlihat berbenturan. Rasionalitas berorietasi tujuan menjadi ciri rasionalitas muzakki yang berzakat di BAZDA, sementara rasionalitas nilai merupakan tantangan besar bagi BAZDA dan mengakibatkan adanya muzakki yang melakukan kamuflase. Berinfaq di BAZDA dan berzakat di LAZ berbasis masjid. Berzakat atau berinfak di BAZDA , bagi muzakki terbaca dominan di dorong oleh kepentingan penundukan dan kepatuhan pada atasan, yang terlihat dengan lebih mengedepankan Instruksi Gubernur sebagai salah satu alasan mendasar berzakat atau berinfaq di BAZDA ketimbangan pertimbangan kepatuhan pada norma agama. Kepentingan pengamanan diri dari resiko sanksi atau teguran administrasi dan birokrasi dilingkungan kerja, merupakan pertimbangan yang cukup dominan. Artinya bahwa berzakat bagi muzakki BAZDA lebih nampak sebagai tindakan pendudukan, kepatuhan dan pengamanan relasi dan posisi dalam birokrasi tempat muzakki bekerja. 7.2.3. Peta Kepentingan dalam LAZ Swasta Berzakat dalam LAZ SP dilihat sebagai bagian dari upaya kebersamaan mengatasi persoalan-persoalan sosial perusahaan terkait dengan kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Ada logika bahwa berzakat di samping memenuhi kewajiban agama, kepedulian sosial memberdayakan, juga ada logika bahwa berzakat merupakan upaya mengatasi persoalan kemiskinan sekitar perusahaan yang sebagai upaya mengurangi ancaman bagi perusahaan. artinya bahwa ada logika yang bekerja yang memandang berzakat bagi kalangan swasta merupakan pengamanan bagi berjalannya perusahaan. Ini bisa dibaca dalam fenomena dimasukkannya pengelolaan zakat dalam wilayah Corporate Social Responsibility33 (CSR). Ada fenomena kepentingan ekonomi berupa tujuan akumulasi ekonomi bagi perusahaan, pengamanan usaha dan investasi perusahaan, serta pengaman kerja dan sumber ekonomi bagi para muzakki. Informasi yang menunjukkan 33 Kata ―responsibility‖ berasal dari dua suku kata ―response‖ dan ―ability‖. Artinya, respon atau tanggapan yang diberikan tidak bersifat wajib. Melainkan disesuaikan dengan kemampuan atau ability. Sebagai ilustrasi, memberikan pendidikan dasar adalah tanggungjawab orang tua anak. Namun, manakala sesuatu sebab, seperti kemiskinan, membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anaknya, maka orang tua tersebut tidak dapat dikenakan sangsi. Karena, negara lah yang memikul kewajiban memberikan pendidikan dasar bagi warga negara yang tidak mampu. 278 adanya fenomena tersebut tergambar dalam beberapa hasil wawancara dengan informan yang dikutip dalam box 7.2.1. berikut. Box 7.2.3 : Peta Kepentingan Dalam Lembaga Zakat SP Informasi dari salah pengurus LAZ-SP (2008) yang enggan disebutkan namanya, menyatakan bahwa : ‖Dana Zakat yang dikelola oleh Yayasan LAZ-SP, terkumpul dari pemotongan gaji dan bonus serta penghasilan Karyawan dan karyawati perusahaan sebesar 2,5% oleh bedaharawan gaji...... dana zakat yang berhasil terkumpul disalurkan kepada mereka yang berhak yang perioritaskan untuk yang menet ap di sekitar perusahaan khususnya di Lubuk Kilangan ini‖. .... mereka yang telah diberikan zakat saat sudah tidak pernah lagi protes dengan perusahaan, dan ada diantara mereka yang rela ikut membantu mengamankan peralatan kerja perusahaan di lapangan. Menurut pengelola zakat (IS, 2008) bahwa : ‖.......mendahulukan masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan merupakan salah satu kewajiban perusahaan untuk memberdayakan Masyarakat lemah di Sekitar Perusahaan yang dilakukan dengan oleh program CSR dan oleh LAZ-SP. MF (2008), menerangkan bahwa dengan LAZ-SP merupakan wujud kepedulian sosial perusahaan kepada kemiskinan sekitar perusahaan dan masyarakat luas. Dengan adanya LAZ–SP yang membantu masyarakat miskin, memberikan keuntungan kepada perusahaan dan karyawan karena masyarakat di sekeliling tempat produksi menyambut baik dan memperlakukan karyawan di lapangan dengan baik. Yono (2008) salah seorang mustahik yang telah diberikan bantunan oleh LAZ Semen Padang, menyatakan bahwa : PT. SP adalah perusahaan yang baik, peduli dengan orang miskin, memberikan beasiswa, bantuan berobat, bantuan modal dan bantuan gempa.... Pegawainya juga taat beragama, mereka rajin berzakat dan zakatnya diberikan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Kami senang dengan adanya perusahaan ini, karena kalau kami yang miskin ini butuh bisa mengajukan proposal ke Kantor Zakat perusahaan. Keterangan Muhammad Ihsan (2008) menyatakan ahwa :―….Sifat penyaluran dana zakat LAZ-SP terbagi menjadi dua, yaitu : 1). Sifat berdasarkan waktu, yang terbagi menjadi dua waktu, yaitu : bantuan rutin dan bantuan insidentil. Bantuan rutin diberikan kepada orang-orang jompo yang miskin dan Jandajanda miskin disekitar perusahaan. 2). Sifat yang berdasarkan kegunaan, dan ini terbagi dua juga, yaitu : kegunaan bersifat produkstif dan Non Produktif. Bantuan produktif disalurkan dalam bentuk bantuan modal usaha, dan Non Produktif dalam bentuk bantuan beasiswa pendidikan, bantuaan bedah rumah dan bantuan bencana alam..‖ Menurut pengelola LAZ-SP, bahwa : ‖.... gangguan yang selalu dihadapi PT. SP sejak dulu selalu dari penduduk miskin yang tinggal di sekitar perusahaan maupun yang tidak. Mereka kadang-kadang mencuri alat-alat milik perusahaan atau kadang-kadang menghadang pekerja di lapangan .... setelah ada bantuan zakat dan bantuan CSR ganguan itu berkurang....‖ LAZ SP sejak awal berdiri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran berzakat bagi karyawan, namun dalam perjalanannya tujuan tersebut menjadi kabur dan berubah, bergeser pada kepentingan pengamanan usaha dan investasi bagi perusahaan. Disamping itu pengelolaan zakat juga bertujuan untuk mengakumulasi modal untuk pembiayaan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi dalam dan di sekitar perusahaan (Lihat tabel 25). Tabel 25 : Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Swasta Aktor Orientasi Kepentingan Utama Kepentingan Sampingan LAZ Semen Padang Pengamanan usaha dan Investasi Akumulasi modal bagi pembiayaan mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan Amil Akumulasi Ekonomi Pengamanan ekonomi Muzakki Pengaman ekonomi Pengamanan birokrasi dan administrasi Mustahik Pengamanan ekonomi Pengamanan ekonomi survival Sumber : Data Primer 2008 (diolah) 279 Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta, orientasi kepentingan utamanya terfokus pada kepentingan pengamanan usaha dan investasi. Hal ini dikarenakan oleh munculnya berbagai persoalan yang dihadapi perusahaan akibat kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Persoalan yang paling sering muncul dan memberikan beban berat pada perusahaan adalah persoalan sosial yang selalu mengganggu suasana kerja dan mengancam keamanan usaha dan investasi. Oleh karena itu zakat sebagai sebuah mekanisme distribusi kekayaan yang meletakkan kaum miskin sebagai kelompok yang harus dibela dan dibantu, dengan LAZ SP, PT. SP menerapkan tatakelola zakat, meski awalnya muncul sebagai upaya menyempurnakan pelaksanaan ajaran agama Islam, namun pada belakangan dalam penerapannya, LAZ menjelma menjadi bagian dari strategi mengatasi ancaman terhadap perusahaan dari akibat kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Sebagai upaya untuk memaksimalkan hasil, maka LAZ kemudian disinergiskan dengan program CSR perusahaan. Menjadikan LAZ bersinergis dengan CSR sebagai bagian dari upaya mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan, ternyata kepentingannya tidak berdimensi tunggal, namun disertai dengan kepentingan sampingan yang justru lebih terlihat menonjol berupa kepentingan pada akumulasi modal untuk menunjang pembiayaan mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan. Jika masalah sosial tersebut bisa teratasi dengan baik, maka secara bersamaan kondisi kemananan kerja, keamanan perusahaan dan inverstasi secara bersamaan terwujud. LAZ dan CSR secara bersama-sama dijadikan instrumen membangun citra dalam masyarakat sebagai perusahaan yang memiliki kesadaran beragama atau paling mengakomodir kepentingan karyawannya agar bisa menjalankan ibadah agamanya dengan baik. LAZ dan CSR membangunan citra sebagai perusahaan yang memiliki solidaritas dan pertanggungjawaban sosial yang tinggi terhadap lingkungan perusahaan sosialnya. yang Akibatnya menghormati perusahaan semangan akan religious, dipandang peduli sebagai lingkungan, dermawan dan bertanggungjawab pada masyarakat sekitarnya. Di snilah letak inti kepentingan yang mengarah pada upaya penciptaan kondisi nyaman, aman dan menguntungkan bagi perusahaan. Amil zakat LAZ SP, yang terdiri staf manajemen perusahaan, menjadi pengelola utama dalam tatakelola zakat di PT. SP, berkepentingan pada 280 perolehan sumber ekonomi dengan bekerja sebagai karyawan dan pengelola zakat perusahaan. Menjadi amil juga merupakan pengamanan atau malah penguatan ekonomi karena disana akan ada tambahan penghasilan dari honor sebagai tenaga pengelola zakat. Menjadi amil adalah pekerjaan, bukan tuntutan sosial sebagaimana amil dalam komunitas. Amil dalam LAZ Swasta merupakan profesi dan pekerjaan yang memiliki potensi ekonomi karena disana ada penggajian khusus secara profesional dari dana zakat yang berhasil dikumpulkan. Semakin besar dana yang terkumpul akan memberikan pengaruh kenaikan pendapatan sebagai amil, atau paling tidak akan ada penghargaan dari pihak perusahaan. Muzakki yang berasal dari karyawan perusahaan, merupakan penymbang sumber dana utama zakat bagi LAZ SP. Mereka ini berzakat pada LAZ SP karena ada tuntutan keras dari pihak perusahaan bahwa semua karyawan, baik karyawan tetap maupun tidak, kesemuanya diwajibkan membayar zakat kepada LAZ dengan mekanisme pemotongan gaji senilia 2,5% dari total gaji. Pemotongan gaji mewakili perusahaan dilakukan oleh bendaharawan gaji setiap bulan gaji secara rutin, makanya angka zakat yang terkumpul cukup besar dan mencapai 7 Miliyar pada tahun 2007/2008. Muzakki setuju dan patuh berzakat karena mereka memiliki kepentingan sendiri, berupa upaya pengamanan ekonomi, karena kalau tidak setuju berzakat di LAZ SP, mereka bisa diberikan teguran atau malah bisa berakibat pada pemecatan. Kepatuhan berzakat oleh karyawan (muzakki) tersebut lebih sebagai kepatuhan karena kepentingan pengamanan ekonomi ketimbang kepentingan aasketik meski yang terlihat ditonjolkan. Mustahik sebagai kelompok penerima zakat, yang berasal dari masyarakat miskin sekitar perusahaan dan lingkungan lainnya. Mereka ini menerima zakat dengan alasan bahwa dana zakat memang hak mereka. Mereka menerima zakat karena motif pengamanan ekonomi keluarga. Pemenuhan kebutuhan ekonomi survival menjadi tujuan utama bagi muzakki LAZ SP. Santunan atau bantuan zakat dikonstruksi sebagai hak dan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan pokok, dan belum sampai pada pandangan yang mengkostruksi santunan zakat sebagai modal produktif untuk kesejahteraan. Kepentingan LAZ SP yang tertuju pada upaya mewujudkan kondisi usaha dan investasi yang aman disertai dengan kepentingan perolehan modal untuk 281 pembiayaan dalam mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan, akibatnya segala program aksi selalu dikaitkan pada seberapa jauh itu bisa membangun kondisi keamanan usaha dan investasi perusahaan. Selain itu mengatasi masalah membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit, oleh sebab itu zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan, di dalamnya menyangkut materi yang secara ekonomi sangat potensial. Sebagai sumberdaya potensial makan perusahaan menjadikannya sebagai sumber dana untuk mengatasi maslalah sosial disekitar perusahaan dengan harapan menciptakan kondisi usaha dan investasi yang aman dan menguntungkan. Mustahik, sebagai kelompok yang berhak menerima santunan dan manfaat dana zakat, menerima zakat demi kepentingan pengamanan ekonomi dalam bentuk upaya menciptakan keamanan ekonomi dan mengamankan kebutuhan menuju terjaminnya kondisi ekonomi survival. 7.2.3.1. LAZ : Kepentingan Efisiensi dan Akumulasi Ekonomi Perusahaan Zakat oleh Pengurus LAZ Swasta dilihat sebagai sebuah proses beragama yang memiliki nilai ekonomi, yang besar yang hingga saat ini belum termanfaatkan secara maksimal dalam konteks ekonomi. Potensi ekonomi ini manakala dikelola dengan baik akan menghasilkan akumulasi modal yang besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan mendukung usaha usaha produktif. Berzakat bagi nasabah zakat berbasis swasta (industri) tertanam logika bahwa praktek zakat merupakan praktek dalam upaya memberdayakan kaum lemah dengan memberikan santunan zakat dalam bentuk bantuan secara ekonomi. Pemberian bantuan zakat kepada kaum lemah pada pengelolaan zakat jenis ini kemudian lebih memperlihatkan bentuk bantuan modal usaha dengan logika bahwa kemiskinan lebih dipengaruhi oleh faktor keterbatasan modal ekonomi dibanding faktor-faktor lainnya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa motif pengelolaan zakat di PT. SP awalnya adalah agar karyawan PT. SP melaksanakan ibadah zakat sebagai bagian penting bagi prosesi beragama dalam Islam. Pengelolaan zakat di PT. SP lahir sejak tahun 1995 danmuncul dari kesadaran para karyawan untuk melaksanakan kewajiban agama dan tahun 1997 diupayakan untuk dikelola profesional dalam kerangka kerja perusahaan. Tahun 1998 kemudian terbentuk 282 pengelolaan Zakat khusus berupa Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (BAZIS). Berubah menjadi Yayasan Amil Zakat (LAZ SP) pada tahun 2002 sebagai respon terhadap UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pengelolaan Zakat karyawan perusahaan oleh LAZ SP dilkukan dengan cara pemotongan zakat sebesar 2,5% dari gaji dan seluruh penghasilan lainnya yang sah di PT. Semen Padang. Pemotongan zakat dari gaji dan pendapatan lain ini menghasilkan dana zakat yang angkanya cukup besar dan mencapai Rp. 7 M pada tahun 2007. Dana zakat yang berhasil diperoleh didistribusikan dan dimanfaatkan dalam bentuk bantuan kepada masyarakat miskin sekitar perusahaan dengan skala prioritas yang berbeda berdasarkan jarak tempat tinggal dengan perusahaan. Bantuan akan diperioritaskan kepada mereka yang tempat tinggalnya lebih dekat dengan perusahaan. Memperioritaskan kepada mereka yang menetap dekat dengan perusahaan (Kecamatan Lubuk Kilangan) dengan pertimbangan bahwa mereka itu adalah orang paling dekat secara geografis, melihat setiap hari, bersentuhan langsung dengan pihak perusahaan dan merasakan efek dari keberadaan perusahaan. Pengelolaan zakat dan praktek berzakat berbasis Swasta, dilakukan dengan logika ekonomi yang memandang bahwa zakat merupakan potensi ekonomi besar yang bisa memberikan efek kesejahteraan bagi banyak kalangan khususnya kaum lemah dan harus dimanfaatkan secara maksimal secara ekonomi. Mengelola zakat dengan menajemen ekonomi modern dianggap lebih potensial dan mampu mengakumulasi dana zakat dengan besar, serta dianggap lebih mampu memberikan efek kesejahteraan yang lebih dibanding dengan mengelola dengan logika non ekonomi. Menerapkan tatakelola zakat sendiri bagi perusahaan, terdorong juga oleh motif akumulasi modal untuk pembiyaan program kemanusiaan yang menjadi kewajiban bagi Industri dalam program CSR. Dengan adanya lembaga tatakelola zakat berupa LAZ, memberikan peluang bagi perusahaan untuk mendapatkan dana sosial kemanusiaan yang pengakuan Manajemen perusahaan (AD, 32 tahun) sebagai wujud tanggungjawab bersama antara perusahaan dan karyawan, namun pada saat yang sama, LAZ memberikan keuntungan kapada pihak perusahaan berupa dana kemanusiaan untuk perusahaan yang sumber dananya bukan keuangan milik perusahaan, namun karyawan dalam bentuk dana zakat karyawan. 283 Kepentingan efisiensi dana kemanusiaan diakui oleh ZM (59 tahun), bahwa memang awalnya ide penerapan zakat karyawan berasal dari bawah, namun belakangan, karena potensinya bergitu besar, membuat perusahaan juga memiliki kepentingan ekonomi pada LAZ. Perolehan keutungannya secara ekonomi terlihat ketika LAZ mampu memberikan sumbangan pada program sosial kemanusiaan yang dananya tidak perlu diambil dari keuangan perusahaan, yang pada tahun 2007 mencapai angka Rp. 7 M. Karena program LAZ telah disinergiskan dengan program CSR, maka pada saat yang sama LAZ telah memberikan sumbangan untuk kegiatan kemanusiaan perusahaan dengan nilai yang cukup besar, dan membuat perusahaan efisien karena telah mendapat sumbangan dari zakat karyawan. Keterangan ZM pada waktu yang lain menambahkan bahwa LAZ merupakan bentuk tindakan ketaatan beragama karyawan, sekaligus bentuk sumbangsih karyawan dalam meringankan beban perusahaan dalam kegiatan kemanusiaan. 7.2.3.2. LAZ : Kepentingan Pengamanan Usaha dan Investasi Perusahaan Menerapkan tatakelola zakat bagi pihak manajemen perusahaan, melalu pertimbangan yang matang dengan perhitungan ekonomi dan terkait dengan peluang perolehan keuntungan, keamanan dan kanyaman usaha. Membentuk LAZ sebagai lembaga tatakelola zakat khusus menangani zakat bagi karyawan memberikan peluang besar bagi perusahaan menguasai potensi ekonomi zakat karyawan yang jumlahnya pada tahun 2007 mencapai Rp. 7 M. Angka yang besar ini memberikan sumbangan Sangat berarti bagi perusahaan dalam memberikan bantuan sosial kemanusiaan kepada kaum lemah khususnya di sekitar perusahaan. Potensi zakat tersebut dalam pemanfaatannya untuk kaum lemah pengakuan staf pengelola CSR PT. SP bahwa program LAZ disinergiskan dengan program CSR khususnya untuk menangani bantuan sosial yang bersifat perorangan. Menerapkan tatakelola zakat bagi perusahaan Semen Padang, selain memiliki kepentingan kemanusiaan yang selalu dileburkan bersama dengan wacana CSR, yang juga memiliki kepentingan pada pengamanan sosial dan ekonomi perusahaan dan kenyamanan kerja karyawan di lapangan. Hal ini diindikasikan oleh adanya pilihan-pilihan dan prioritas pada pemberikan bantuan dengan membagi wilayah pemberian bantuan dengan prioritas pada wilayah 284 terdekat secara geografis dengan wilayah kerja dan produksi perusahaan (wilayah Lubuk Kilangan sebagai wilayah ring I). Pertimbangan didasarkan pada pertimbangan peluang resiko ancaman bagi perusahaan dan pekerja perusahaan lebih besar ketimbangan wilayah lain. Pemanfaatan dana zakat dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan berdasarkan waktu dan kegunaan. Bantuan diberikan berdasarkan waktu dilakukan secara rutin kepada orang jompo miskin dan janda-janda miskin. Sementara bantuan yang diberikan berdasarkan kegunaan terbagi menjadi dua kelompok yaitu : bantuan produktif dan non-produktif. Bantuan produktif diberikan dalam bentuk bantuan usaha dan bantuan beasiswa pendidikan kepada penduduk miskin yang ada di sekitar perusahaan. Mereka ini diberikan bantuan dengan melalui proses pengajuan proposal, proses survey kelayakan oleh petugas LAZ SP, selanjutnya hasil survey diperiksa oleh pimpinan kantor LAZ untuk selanjutnya meminta persetujuan dari Dewan Pengurus Harian LAZ yang anggotanya terdiri dari para Direksi perusahaan. Bantuan Non-Produktif diberikan dalam bentuk bantuan pengobatan, bantuan bedah rumah dan bantuan bencana alam. LAZ SP memiliki wilayah kerja di Padang atau Sumatera Barat, namun memiliki skala prioritas berdasarkan jarak wilayah perusahaan yang terbagi menjadi tiga wilayah (tiga ring) yakni: ring I adalah wilayah yang paling dekat dengan perusahaan (kecamatan Lubuk Kilangan), ring II meliputi kecamatan lain (lima wilayah) di sekeliling perusahaan di wilayah Padang, dan ring III wilayah lainnya di berada diluar Kota Padang. Pembagian ring ini berhubungan erat dengan kepentingan dan relasi antara perusahaan dengan penduduk disekitarnya. Mementingkan ring I sebagai skala prioritas pemberian bantuan dana zakat atas pertimbangan bahwa mereka adalah kelompok yang paling sering berhubungan langsung dengan pihak perusahaan, sehingga harus dijalin hubungan baik dan salah satu caranya adalah dengan pemberian santunan dan bantuan dengan harapan akan membantu mengatasi masalah ekonomi yang mereka hadapi. Ada anggapan bahwa desakan ekonomi yang menimpa masyarakat sekitar perusahaan dapat berakibat munculnya ancaman bagi keamanan usaha dan investasi bagi perusahaan. Oleh karena itu menurut pengelola LAZ SP, bahwa : 285 ‖.... gangguan yang selalu dihadapi PT. SP sejak dulu selalu dari penduduk miskin yang tinggal di sekitar perusahaan maupun yang tidak. Mereka kadang-kadang mencuri alat-alat milik perusahaan atau kadang-kadang menghadang pekerja di lapangan .... setelah ada bantuan zakat dan bantuan CSR ganguan itu berkurang....‖ Keterangan di atas menunjukkan bantuan zakat bersama-sama dengan bantuan CSR diharapkan untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan sekitar perusahaan sebagai upaya untuk menciptakan keamanan kerja dan investasi perusahaan dari ancaman kemiskinan penduduk sekitar perusahaan. Ada keyakinan bahwa manakala perusahaan menjalin hubungan harmonis dengan memberikan bantuan untuk mengatasi persoalan ekonomi masyarakat dan memberdayakan mereka, akan tercipta kondisi kerja yang nyaman dan investasi yang aman. 7.2.3.3. Berzakat di LAZ : Kepentingan Pengamanan Ekonomi Muzakki mematuhi sistem tatakelola perusahaan, karena pertimbangan yang bersifat historis. Program tatakelola zakat yang dilaksanakan oleh perusahaan pada awalnya berasal dari inisiatif para karyawan untuk melaksanakan ibadah zakat sebagai kewajiban beragama Islam. Insiatif tersebut kemudian diresponi oleh perusahaan dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ-SP). Belakangan penerapan tatakelola zakat, diterapkan menyatu dengan sistem penggajian karyawan, sehingga pemotongan zakat menyatu dengan sistem penggajian karyawan dan menerapkannya dalam bentuk pemotongan gaji senilai 2,5% kepada semua karyawan tetap dan pekerja musiman perusahaan. Pemotongan zakat ini menjadi kebijakan perusahaan dengan mewajibkan semua karyawan yang beragama Islam agar gajinya dipotong untuk berzakat. Kesediaan karyawan atas pemotongan gajinya untuk berzakat, dilandasi dengan pertimbangan bahwa zakat adalah kewajiban sebagai penganut Islam. Namun kepentingan itu tidak hanya sampai disitu, tetapi mereka juga memiliki motif lain yakni kepatuhan kepada sistem dan aturan perusahaan. Sebagai karyawan menurut JH (41 tahun) mengakui bahwa, sebagai karyawan yang beragama Islam selayaknya patuh pada aturan yang berlaku di perusahaan. Baginya kepatuhan pada aturan tatakelola zakat dengan pemotongan gaji oleh perusahaan merupakan konsekwensi sebagai karyawan perusahaan PT. SP. 286 Mematuhi aturan pemotongan zakat, bagi karyawan juga merupakan bentuk kepatuhan untuk mengamankan diri dan sumber ekonomi. Bagi salah seorang karyawan DS (38 tahun) mengakui bahwa, ‖...bersedia dipotong zakatnya karena itu aturan yang berlaku dan diperlakukan untuk semua karyawan, kalau menolak berarti tidak patuh dengan aturan perusahaan dan bisa diberikan sanksi bahkan boleh diberhentikan, karena tidak mau ikut aturan yang berlaku...‖. Pengakuan informan tersebut memberikan indikasi bahwa ada kepentingan pengamanan pekerjaan dari karyawan sebagai mustahik sehingga mereka rela dilakukan pemotongan zakat pada gaji mereka oleh perusahaan. Penundukan pada sistem tatakelola zakat merupakan bentuk tindakan kolektif yang mewarnai hubungan birokrasi perusahaan SP. Tindakan ini berorientasi pada ketaatan pada kebijakan perusahaan dengan kepentingan pada pencapaian keamanan dan kenyamanan kerja dengan relasi yang baik dengan semua unit kerja yang terkait. Penolakan atas kebijakan dianggap sebagai pembangkangan atas sistem yang berlaku dan dianggap membolehkan pemberian sanksi. Karena keengganan pada resiko sanksi birokrasi perusahaan, maka bagi karyawan, menerima mematuhi kebijakan zakat perusahaan dianggap lebih aman ketimbang menolak, dan ini memberikan keamana kerja dan ekonomi. 7.3. Dinamika Relasional dalam Lembaga Tatakelola Zakat Temuan lapangan menunjukkan bahwa ada persentuhan antara satu lembaga pengelola zakat dengan yang lainnya. Wacana zakat yang dimunculkan ditemukan persentuhan yang saling menilai antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Konsep-konsep yang saling bertentangan lahir dari cara pandang yang berbeda dalam memahami, menilai, hingga pada kepentingan. Konsep yang paling sering dimunculkan dan mengandung penilaian terhadap yang lainnya adalah konsep: tradisional-modern, musiman-profesional, tidak efisien-efiesien, tidak efektif-efektif, hingga pada illegal-legal. Pada tabel 26 terlihat pemetaan potensi konflik antar tiga model tatakelola zakat. Perbedaan basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan serta basis legitimasi antara tiga model tatakelola zakat memberikan peluang yang besar bagi potensi lahir benturan pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan hingga pada benturan pada aras norma. LAZ komunitas dengan basis pengetahuan lokal menganut rasionalitas asceticism dan altruism, menekankan pada 287 kepentingan pencapaian derjat kesalehan individu dan sosial bagi masyarakat yang dilegitimasi oleh budaya lokal. BAZ Negara ( BAZDA ) dan LAZ Swasta dengan basis Sains modern dengan basis rasionalita Politik untuk BAZ negara dan ekonomi untuk LAZ Swasta. Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda dimana BAZ negara berkepentingan atas penguatan negara sedangkan LAZ swasta pada pengamanan usaha dan investasi. Tabel 26 : Peta Konflik dalam Lembaga Tatakelola Zakat Institusi Basis Pengelola Zakat Pengetahuan LAZ Komunitas Local Knowledge BAZ Negara LAZ Swasta Sains Modern Basis Rasionalitas Kepentingan Basis Legitimasi Asketisisme dan Altruisme Kesholehan Individu-sosial Justifikasi Norma-norma tradisi lokal Politik = Intergratif, Developmentalisme Ekonomi = Utility Maximization Penguatan Negara Hukum Formal Peanaman Usaha dan Investasi Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Pertemuan pada aras basis Pengetahuan dan rasionalitas, terjadi benturan antara LAZ Komunitas dengan BAZ bersama LAZ Swasta. LAZ Komunitas yang tunduk pada Pengetahuan Lokal (kearifan local berbasis logika kebersamaan) berbenturan dengan BAZ Negara dan LAZ Swasta yang keduanya menyatakan diri tunduk dibawah Pengetahuan Modern. Dengan menggunakan basis pengetahuan masing-masing, ketiganya membangun pemahaman, pedoman kerja dan pengarah tindakan, membuat lembaga-lembaga zakat tersebut memiliki perbedaan mendasar dalam memandang zakat, berzakat hingga sistem yang dijalankan dalam pengelolaan zakat masing-masing. Pada basis rasionalitas, terjadi benturan tiga sisi, antara LAZ Komunitas, BAZ Negara dan LAZ Swasta. LAZ Komunitas dengan basis rasionalitas Asceticism dan Altruistism, dan BAZ Negara dengan basis rasionalitas Integratif dan Developmentalism, serta LAZ Swasta dengan basis rasionalitas Maximize Profit dan Utility. Dengan basis rasionalitas masing-masing kemudian berzakat dan mengelola zakat dengan basis etik yang berbeda. Ketiga model tatakelola zakat tersebut sama-sama memobilisasi muzakki di wilayah kerja masing-masing untuk berzakat di lembaganya. Namun persoalannya bahwa muzakki yang dimobilisir tersebut adalah orang yang sama. Seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di kantor atau dinas instansi 288 pemerintah adalah juga sebagai warga komunitas di mana mereka tinggal dan menetap bersama keluarganya. Begitu juga dengan karyawan yang bekerja pada perusahaan swasta yang dimobilisir atau bahkan diwajibkan berzakat pada LAZ Swasta dengan cara pemotongan gaji, pada saat yang sama karyawan tersebut juga merupakan warga komunitas di tempat tinggal mereka. Artinya muzakki di mobilisir oleh BAZ negara karena sebagai pegawai negeri atau oleh LAZ swasta karena karyawan perusahaan adalah juga orang yang dimobilisir oleh LAZ Komunitas untuk berzakat pada LAZ komunitas karena mereka adalah warga komunitas. Tabel 27 : Peta Konflik Antar Aktor pada Beragam Lembaga Amil Zakat Lembaga LAZ Desa Simburnaik BAZDA Jambi LAZ Semen Padang Aktor Tatakelola Muzakki & Mustahik Dukungan Masyarakat Agamawan 34 kharismatik. Mengkooptasi melalui nilai dan moral Legalitas Nilai yang hegemonik Dicurigai karena munculnya pragmatisme agamawan akibat penetrasi kapital global Birokrat Desa Mengkooptasi Birokrasi dan menguasai wilayah administrasi Legalitas politik yang sistemik Overlapping kuasa ruang administrasi desa dan masjid Pemuka Adat Mengkooptasi budaya dengan menguasai otoritas atas tradisi berzakat Legalitas norma tradisi Dualisme peran sebagai jaringan agamawan dan birokrat desa. Agamawan 35 ”rasional” Mengkooptasi otoritas nilai dan moral Legalitas nilai dan politik serta hukum formal dan tradisi Agamawan terbatasi negara bekerja dengan bias kepentingan politik Birokrat Daerah Mengkooptasi secara politik. Legalitas politik dan Kuasa birokrat yang hukum formal berlebihan menganggu dan mengancam capital masjid Akademisi dan Tokoh masyarakat Mengkooptasi secara akademik dan kepakaran Legalitas tradisi dan politik serta hukum formal Agamawan Rasional Mengkooptasi logika Legalitas nilai dan ajaran dengan memegang formal otoritas nilai dan kepakaran Tidak tampak nyata Direksi/ Mengkooptasi dengan logika ekonomi dibawah legalitas proverty Kuasa manajemen yang besar membawa zakat jadi hak property Manajer Legalitas formal Persoalan Kritis Dualisme peran akademisi dan menjadi jaringan ulama dan birokrat Sumber : Data perimer 2008 (diolah) Perebutan muzakki dari masing-masing lembaga tatakelola tak terhindarkan dan masing-masing berusaha keras menggiring muzakki agar 34 Agamawan kharismatik adalah ulama yang memukau, memiliki kemampuan spiritual, berbuat tanpa pamrih, otoritas individu dan berorientasi ukhrawi, dan agamawan tradisional adalah berdasarkan keturunan, berkemampuan respektasi, berbuat simbolik, ototritas dari komunitas dan berorientasi kebersamaan (Syafe‘I, M. Saleh, 2008) 35 Agamawan rasional adalah ulama rasional, berkemampuan individual, bertindak realistis, otoritas sciences dan berorientasi dunia akhirat 289 berzakat pada lembaga mereka. Berbagai strategi dilakukan, mulai dengan iklan pencitraan, pengiringan melalui wacana dan rasionalisasi berdasarkan rezin pengetahuan, tawaran kemudahan, hingga pada tekanan-tekanan dengan menggunakan wacana hukum formal oleh negara maupun aturan internal bagi industri swasta. Selain potensi konflik antara lembaga tatakelola zakat yang ada, potensi konflik aktor tatakelola dengan masyarakat luas pun terbuka luas untuk terjadi dan ini dapat dilihat pada tabel 27. Pada tabel tersebut terlihat kalau LAZ Desa Simburnaik sebagai LAZ berbasis komunitas menunjukkan bahwa relasi antara agamawan dan muzakki atau mustahik yang terjadi adalah kooptasi yang menempatkan agamawan sebagai penguasa ruang ajaran dan mengkooptasi muzakki dan mustahik. Antara agamawan dengan masyarakat luas menempatkan masyarakat sebagai pemberi legalitas nilai dan moral terhadap kuasa agamawan untuk mengelola zakat. Kooptasi agamawan terhadap muzakki dan mustahik yang mendapatkan legalitas nilai/moral melahirkan persoalan lain sebagai akibat kuasa yang besar dari agamawan. Seringkali muncuk kecurigaan terhadap agamawan yang dianggap memanfaatakan zakat untuk kepentingan sendiri, dan ini sebagai akibat dari penetrasi kapital global yang menjamah hingga level komunitas. Implikasi sosial dari tiga model lembaga tatakelola zakat tersebut bagi masyarakat, lahir dalam berbagai bentuk. LAZ komunitas misalnya, dengan berbasis pengetahuan lokal dan rasionalitas asketisme dan atau altruisme, membawa kepentingan pencapaian kesholehan individu dan sosial yang diperkuat oleh basis legitimasi norma-norma tradisi lokal, melahirkan kondisi sosial dalam kebersamaan yang hangat, meski berpelung hegemonik dengan kondisi berupa : 1. Berbasis komunitas berakibat pada pemangku kuasa tatakelola diletakkan pada elit lokal khususnya elit agama. Legitimasinya kuat dengan berbasis norma tradisi, namun akibatnya rawan lahirnya hegemoni dari elit lokal. 2. Berbasis pengetahuan lokal, membuat tatakelola zakat dianggap pinggiran oleh logika manjemen modern. 3. Karena konteknya lokal, maka akses masyarakatpun kemudian terbatasi dalam wilayah lokal secara sempit dan untuk kepentingan komunitas itu sendiri, namun merata karena memang berlandaskan etika kebersamaan. 290 4. Dengan berbasis norma-norma tradisi lokal, membuat LAZ komunitas bisa memberikan ruang akses yang luas terhadap warga secara sama, maka hasil mampu kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. BAZ Negara adalah lembaga tatakelola zakat berbasis sains modern, menganut logika politik yang mengedepankan upaya integrasi dan pembangunan. Kepentingan yang muncul terfokus pada upaya penguatan Negara melalui wacana pembangunan dan pemberdayaan terhadap warga miskin. Kekuatan dukungan masyarakat diperkuat dengan legitimasi hukum formal. Implikasi sosialnya bagi masyarakat, cenderung bias kekuasaan politik dan birokrasi dengan kondisi berupa : 1. Berbasis negara berakibat pada pemangku kuasa tatakelolanya diletakkan pada kuasa aparatur negara dan elit agama bias negara. Legitimasinya kuat dan memiliki kemapuan memaksa, karena berbasis hukum formal. Namun akibatnya rawan penundukan simbolik semata. 2. Berbasis sains modern, membuat BAZ menjadi lembaga tatakelola zakat yang superior, karena mengetengahkan logika iilmiah dengan manajemen modern. 3. Berbasis birokrasi Negara, maka akses masyarakat menjadi terbatasi oleh ruang birokrasi yang diatur oleh sistem administrasi Negara. Jangkauannya sangat luas karena dalam konteks Negara. Hanya saja pemerataan menjadi sulit untuk diterapkan karena berlandaskan etika integritas dan pembangunan. 4. Dengan berbasis legitimasi norma positif , membuat BAZDA menjadi sangat terbatas memberi ruang akses pada masyarakat umum karena di sana bekerja sistem dengan logika birokrasi dengan kekuatan politik. Akibatnya kepercayaan yang terbangun berpeluang dalam kondisi yang rapuh bahkan memungkinkan dalam kondisi ketertekanan oleh kekuatan birokrasi dan politik. Swasta yang tampil dengan lembaga tatakelola zakat berbasis pengetahuan modern, menonjolkan kepentingan pada upaya pengamanan usaha dan investasi, dalam perjalanannya diperkuat dengan legitimasi hukum formal. Implikasi sosialnya bagi masyarakat melahirkan konstruksi berfikir bahwa 291 zakat adalah instrument ekonomi menuju kesejahteraan dan pemberdayaan, dengan kondiri berupa : 1. Lembaga tatakelola zakat berbasis swasta, berakibat pada pelimpahan pemangku kuasa diletakkan pada kuasa elit perusahaan dan elit agama bias perusahaan. Legitimasinya kuat dan memiliki kemapuan memaksa, karena berbasis hukum formal dalam kerangka perusahaan. Namun akibatnya rawan penundukan simbolik karena motifnya disamping asketik selalu diwarnai dengan motif pengamanan ekonomi dan keselamatan usaha atau sumber ekonomi. 2. Berbasis sains modern, membuat LAZ swasta menjadi lembaga tatakelola zakat yang superior, karena mengetengahkan logika ilmiah bias logika ekonomi dengan manajemen industri modern. 3. Berbasis birokrasi perusahaana, akses masyarakat menjadi sangat terbatasi oleh ruang birokrasi perusahaan yang diatur oleh sistem administrasi perusahaan. Jangkauannya sedikit terbatas karena terbatasi oleh ruang kerja dan lingkungan sosial perusahaan. Pemberdayaan dan yang selalu dikedepankan, sulit terwujud karena landasan etika sangat utilitarian dengan menonjolkan etika ekonomi dan pemberdayaan. 4. Dengan berbasis legitimasi norma positif , membuat LAZ swasta menjadi sangat terbatas memberi ruang akses pada masyarakat umum karena di sana bekerja sistem perusahaan dengan logika birokrasi dengan kekuatan ekonomi. Kepercayaan yang terbangun cukup rapuh dan diwarnai motif pengamanan ekonomi karena dalam kondisi ketertekanan oleh kekuatan politik ekonomi perusahaan. Berbagai implikasi bekerjanya tiga model lembaga amil zakat dalam masyarakat, memancing konflik antara lembaga, karena perbedaan basis pengetahuan, rasionalitas dan bahkan kepentingan. Perbedaan kepentingan pada tahapan lebih jauh, sangat diwarnai oleh rasionalitas yang bekera mengambarkan, mengarahkan dan memaksa masyarkat untuk berzakat pada LAZ Swasta. Perbedaan basis pengtahuan berakibat pada perbedaan sistem rasiolitas yang bekerja, dan perbedaan ini menjadi basis logika yang menggiring orang untuk berbuat lebih baik. 292 Perbedaan pandangan dalam tatakelola selalu rawan terhadap munculnya konflik-konflik, karena di sana akan ada dominasi dan perbedaan basis pengetahuan berakibat pada munculnya benturan gagasan atau paling tidak terjadi kooptasi antara satu dengan yang lainnya. Relasi antara aktor dalam tiga model Lembaga tatakelola zakat, memposisikan muzakki dan mustahik pada posisi yang terkooptasi oleh kekuatan yang lebih besar. Birokrat Desa pada LAZ Desa Simburnaik mengkooptasi muzakki dan mustahik dalam ruang birokrasi dengan kekuasaan administrasi dalam mengkategorikan warga sebagai muzakki atau mustahik dan ini mendapatkan legalitas fomal dan politik dari masyarakat luas. Persoalan krusial di sini adalah adanya overlapping kuasa ruang administrasi desa dan kuasa ruang administrasi masjid yang dikuasai oleh agamawan (puang imang). Pemuka adat sebagai pemangku kuasa adat mengkooptasi muzakki dan mustahik dalam kerangka otoritas tradisi berzakat yang mendapatkan legalitas cultural dari masyarakat umum. Persoalan krusialnya adalah adanya dualisme peran pemuka adat yang menjadi jaringan agamawan dalam mengawal norma dalam masyarakat sekaligus menjadi jaringan birokrat untuk mengawal stabilitas politik komunitas. Potensi konflik terlihat pada relasi agamawan dengan muzakki ketika kepentingan antara agamawan dan muzakki tidak bersinergis. Apalagi posisi muzakki dan mustahik yang terkooptasi dalam ruang kuasa agamawan atas ajaran. Apalagi jika muzakki hanya diberi ruang untuk patuh tanpa diberi ruang bargaining, namun hal tidak terjadi dalam LAZ komunitas, karena di sana muzakki mendapatkan ruang bargaining untuk bisa berzakat secara individu sesuai dengan kepentingannya, yang penting bagi agamawan adalah bahwa muzakki berzakat dan diberikan kepada yang berhak. Konflik terjadi ketika agamawan menunjukkan sikap pragmatisnya dan mengambil keuntungan untuk dirinya diluar kewajaran yang dibisa diterima dalam norma masyarakat luas. 7.3.1. Analisis Ekonomi Politik Zakat Tatakelola zakat di BAZDA Jambi, memperlihatkan adanya kooptasi terhadap muzakki dan mustahik yang juga terjadi dari tiga aktor pengelola zakat di sana. Kooptasi atas otoritas nilai dari agamawan, otoritas politik dari birokrat dan otoritas akademik dari kelompok akademisi. Muzakki dan mustahik 293 terkooptasi dalam ruang ajaran oleh agamawan, dalam ruang birokrasi oleh birokrat dan secara akademik mereka terkooptasi oleh para akademisi yang menjadi bagian dari tatakelola zakat di BAZDA . Kekuatan sosial politik BAZDA mendapatkan legalitas formal dari negara yang diikuti oleh pengakuan masyarakat karena tertunddukan oleh rasionalitas politik sebagai warga negara. Relasi antar aktor dalam tatakelola BAZDA menunjukkan bahwa kekuasaan begitu besar dan bekerja dalam berbagai bentuk bangunan relasi. Amil sebagai pemangku kausa tertinggi dalam konteks ketatakelolaan masa lalu, dalam sistem distribusi kekuasaan di BAZDA menempatkan kekuasaan terbesar pada kuasa Negara yang dipangku oleh aparat pemerintah yang memayungi BAZDA. Agamawan yang dalam tradisi tatakelola zakat masa lalu yang saat menjadi ciri tatakelola zakat komunitas, di BAZDA sangat berbeda. Agamawan hanya diletakkan pada posisi pemangku kuasa fatwa syari‘ah 36, dan hanya memiliki kekuasaan dalam tatakelola zakat di BAZDA dalam batas membuat keputusan yang bisa dianggap sah sebagai petunjuk berzakat. Muzakki yang merupakan sumber pokok dari dana zakat yang diakumulasi untuk kemudian dikelola oleh BAZDA dan distribusikan, hampir tidak pernah mendapatkan kuasa untuk mempengaruhi kebijakan BAZDA dalam pemanfaatan dana zakat. Muzakki dalam menyerahkan zakatnya selalu dalam tekanan sistem birokrasi dan administrasi pemerintah. Sementara mustahik sebagai kelompok yang paling berhak atas manfaat dan pemanfaatan dana zakat, hanya menempati posisi yang selalu terkooptasi dan terbatasi. Mereka lebih sebagai komoditas bagi aktor lain untuk mewujudkan kepentingan yang beragam. Fenomena bekerjanya kekuasaan Negara yang terlalu besar mengatur tradisi berzakat dan ketatakelolaanya, membuat zakat menjadi komoditas dan lembaga tatakelolanya sebagai instrument strategis bagi perwujudan beragam kepentingan Negara dan aktor-aktor utama tatakelola zakat di BAZDA. Tradisi berzakat dan tatakelolanya termanipulasi sebagai power maintenance oleh elit yang berkuasa dari pada level nasional hingga level daerah, dan ternyata BAZDA dalam menguasai arena zakat (tradisi berzakat dan tatakelolanya) telah terbukti mampu memberikan sumbangan yang besar bagi perluasan dan penguatan kekuasaan elit negara. Sedangkan muzakki dan mustahik merupakan komoditas 36 Fatwa Syari‘ah adalah keputusan oleh agamawan dalam menetapkan sebuah ketentuan atau norma dalam konteks beragama agama. 294 yang saling dikaitkan untuk dalam membangun kekuatan dan kekuasaan negara dan kaum elitnya. Potensi konflik di BAZDA yang cukup rawan adalah pembatasan ruang kuasa agamawan oleh birokrat dengan dukungan kekuatan birokrasi pemerintah yang melebar sampai BAZDA dan menjadikan BAZDA lembaga yang harus tunduk dalam sistem birokrasi pemerintah. Agamawan yang seyogianya berkuasa penuh dalam ruang tatakelola zakat sebagai ajaran agama, di BAZDA hanya mendapatkan ruang sebagai pemangku legalitas moral agar terbaca sebagai lembaga tatakelola yang tunduk dalam dalam koridor ajaran agama. Begitu pula kuasa akademisi, hanya menjadi jejaring agamawan dalam membangun rasionalitas zakat yang bersinergis dengan rasionalitas sains modern, mereka ini juga sekaligus menjadi jejaring birokrat untruk membangun justifikasi ilmiah dan menjadi benteng kekuatan dan pengokohan kekuasaan birokrat. Artinya bahwa agamawan dan akademisi disana tidak terlalu besar ruangnya dari hanya sekedar menjadi aparat negara sebagai alat legitimasi moral dan akademik bagi birokrat. 7.3.2. Analisis CSR Terselubung ―Zakat‖ CSR bagi perusahaan merupakan salah satu wujud usaha membangun keamanan dan pengamanan usaha dan investasi melalui kegiatan sosial dan kemanusiaan. Bagi perusahaan, selain CSR sebagai wujud pertanggungjawaban sosial dan lingkungan bagi perusahaan, juga merupakan wujud kepeduliaan dan kemanusiaan sebuah perusahaan. Hampir sama halnya dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) perusahaan, yang juga kegiatan dan kerjanya memiliki kesamaan dan bahkan disinergiskan dengan CSR. Mensinergiskan LAZ perusahaan dengan CSR sama halnya membawa LAZ keruang logika politik ekonomi. LAZ dengan program kegiatan pembelaan pada kaum lemah sekitar berusahaan dan pembelaan itu selalu amat terkait dengan kondisi-kondisi sosial yang terkait dengan kenyaman usaha dan kemanan kerja serta investasi. Mengawinkan LAZ dengan CSR dalam satu bentuk kegiatan atau adanya pembagian kerja, menunjukkan bahwa logika tradisi berzakat dengan logika CSR, telah melebur menjadi satu. Artinya bahwa adanya program CSR, memberikan sumbangan pada kebesaran LAZ karena adanya 295 wacana pemanfatan zakat untuk membangun susana aman dan nyaman dalam konteksi perusahaan. Potensi konflik dalam LAZ SP terlihat tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di BAZDA Jambi. Kooptasi agamawan dalam ruang nilai yang menguasai aras gagasan muzakki dan mustahik membuat muzakki tak mendapatkan ruang yang leluasa menyalurkan aspirasi. Kondisi serupa juga terjadi ketika muzakki dan mustahik berhadapan dengan manajemen perusahaan yang menguasai sistem dan birokrasi perusahaan yang meluas hingga ke LAZ Perusahaan. Persoalan kritis terjadi ketika pihak menajemen menguasa ruang yang sangat luas dan memposisikan zakat sebagaimana hak property. Basis rasionalitas/etika-moral yang berbeda dalam mengelola zakat, konsekuensinya ketiga model lembaga zakat tersebut juga mengalami perbedaan kepentingan (interest) dalam pengelolaan zakat. LAZ Komunitas berorientasi pada kepentingan mencapai ―Kesholehan Individu” dan “Kesolehan Sosial”, dan BAZ Negara berorientasi pada kepentingan mencapai ―penguatan negara‖, sementara LAZ Swasta berorientasi pada kepentingan mencapai ―kenyamanan usaha‖ dan ―keamanan investasi‖. Mengelola zakat bagi swasta, mengedepankan wacana pemberdayaan dan pembelaan kaum lemah disekitar perusahaan. Mengelola zakat menyuarakan pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap kaum lemah yang disekitar perusahaan sebagai wujud kepedulian sosial terhadap persoalan kemiskinan dan kemanusiaan. Zakat dan tatakelolanya dalam lingkungan perusahaan hadir sebagai bentuk upaya membangun citra atau ―image building‖ sebagai perusahaan yang memiliki semangat religious dan kepedulian kemanusiaan yang tinggi. Fenomena sinergis antara program CSR dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) perusahaan PT. SP, merupakan satu bentuk penggiringan tradisi berzakat dan tatakelolanya masuk dalam ruang kerja ekonomi swasta dan menjelma menjadi instrumen perusahaan dalam membangun kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat menuju perluasan wilayah kuasa sumberdaya ekonomi khsusnya dalam membangun suasana aman dan kondusif bagi perusahaan. 296 7.3.3. Dinamika Relasi dalam LAZ Komunitas Pengelolaan zakat komunitas melibatkan tiga aktor penting sebagai pelaku langsung dalam pengelolaan zakat. Mereka ini adalah agamawan, aparat desa dan tokoh adat (meski terkadang ada juga yang hanya dilakukan oleh agamawan saja). Mereka dalam melaksanakan pengelolaan zakat selalu dan bahkan pasti bersentuhan dengan unsur masyarakat lainnya yang terkait dengan tindakan berzakat. Unsur masyarakat tersebut adalah muzakki, mustahik dan masyarakat secara umum. Muzakki sebagai kelompok orang yang pertama kali bersentuhan dengan pengelola zakat, memiliki posisi yang sangat penting. Mereka adalah orang yang memiliki kekuatan ekonomi yang lebih dari kebanyakan anggota masyarakat, dan karena kekuatan ekonomi itulah mereka kemudian oleh agama dimasukkan dalam kelompok muzakki. Kelompok ini oleh agama dikenakan kewajiban untuk memberikan sebagian hartanya kepada pengelola zakat untuk didistribusikan kepada orang-orang lemah dan tak mampu. Keberadaan Muzakki di sini menempati tempat yang strategis dan sebagai kunci utama dari berjalannya atau tidaknya tatakelola zakat. Tanpa mereka pengelolaan zakat tidak akan pernah berjalan, kerena dari merekalah dana zakat di peroleh untuk kemudian di kumpulkan dan didistribusikan. Unsur masyarakat lainnya yang tak kalah pentingnya adalah mustahik. Mereka ini adalah kelompok orang yang akui dan ditentukan oleh agama sebagai kelompok yang berhak menerima dana zakat karena kondisi kehidupan mereka yang lemah, kekurangan dan tidak berdaya. Secara umum diakui bahwa zakat diwajibkan oleh agama selain sebagai alasan ibadah dan tanda syukur kepada sang pemberi nafkah, keberadaan mustahik sebagai kelompok ummat yang lemah dan butuh bantuan adalah alasan penting dari wajibnya zakat. Makanya kemudian dikedepankannya wacana pemberdayaan mustahik sebagai kelompok orang lemah dan berdaya adalah satu bukti nyata bahwa mustahik merupakan sosok penting dalam perilaku berzakat. Unsur ketiga adalah masyarakat luas yang merupakan sekumpulan orang yang di dalamnya ada muzakki dan mustahik yang selalu bersentuhan dengan pengelola zakat. Mereka ini secara bersama-sama melihat dan menilai bagaimana para aktor tatakelola zakat menjalankan sistem tatakelola zakat dari 297 menerima dana zakat Muzakki hingga mendistribusikan dan memanfaatkan dana zakat untuk kepentingan kaum ummat secara keseluruhan. Ada hal lain di luar unsur manusia yang lebih lebih dari semuanya dan memberikan pengaruh besar bagi tindakan sosial dan ritual zakat. Allah sebagai pemberi perintah zakat melalui firmanNya, yang kemudian di jalankan oleh manusia sebagai ajaran agama, merupakan faktor yang paling dominan dalam praktek berzakat dan tatakelola zakat. Pentingnya keberadaan Allah di sini terlihat manakala dilontarkan pertanyaan mendasar tentang mengapa praktek zakat di lakukan?. Peta relasi antara aktor dalam tatakelola zakat komunitas tergambar pada tabel 28, yang memperlihat relasi antar muzakki, antar mustahik, antara antar amil dengan masyarakat serta relasi antara muzaki dengan mustahik dan antara muzakki dengan amil serta hubungan dengan masyarakat luas. Tabel 28 : Relasi Struktural-Fungsional antar Aktor dalam Tatakelola Zakat Komunitas Aktor zakat Muzakki Mustahik Amil Masyarakat Luas Muzakki Kesetaraan Stewardship (kesetiakawanan sosial) voluntaristism Mengarahkan Masyarakat luas melakukan kontrol sosial terhadap muzakki Mustahik StewardshipVoluntaristism (kesetia kawananan sosial) Kesetaraan Fungsional Tanggungjawab sosial masyarakat luas bagi miskin Fungsional Fungsional Kontestasi Delegasi wewenang Mengarahkan Emansipatory Koordinatiflagitimasi Kontrol moral Amil Aparat Desa Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Pada tabel 28 terlihat bahwa relasi kesetaraan terbangun antar muzakki karena mereka membangun hubungan yang memaknai diri mereka sebagai muzakki yang sama-sama berkewajiban berzakat dan berkewajiban patuh dengan amil. Relasi antara muzakki dengan mustahik yang terbangun adalah hubungan kesetiakawanan sosial (Stewardship) dengan logika penuh keihlasan (voluntaristism). Relasi muzakki dengan amil ditemukan bahwa ada hubungan fungsional yang memposisikan muzakki sebagai yang harus patuh kepada amil. 298 Amil mengarahkan muzakki pada tindakan berzakat dan masyarakat lebih menjadi pengontrol atas tindakan berzakat dan tatakelolanya. Relasi antara mustahik dengan muzakki didasari dengan rasa kesetiakawanan sosial, dan dengan sesama mustahik relasinya didasari relasi kesetaraan karena rasa senasib sebagai orang lemah membutuhkan bantuan zakat. Relasi antara mustahik dengan amil didasari dengan relasi fungsional dengan bentuk hubungan kewajiban atas kepatuhan pada amil untuk berzakat ke amil oleh muzakki, sementarab relasi mustahik dengan masyarakat luas didasari dengan rasa tanggung jawab sosial oleh masyarakat luas untuk membela mustahik sebagai orang miskin sebagai kelompok yang membutuhkan pembelaan. Relasi kesetaraan terlihat antar muzakki dan antar mustahik. Mereka sebagai kelompok yang berada pada struktur yang sama menjalin relasi yang baik meski terkada ditemukan pergesekan akibat persaingan mendapatkan penghargaan sosial dari masyarakat luas bagi muzakki dan kecemburuan atas perolehan santunan zakat dari kepada muzakki tertentu dari peraktik zakat individual oleh muzakki. Bangunan relasi amil dengan amil lainnya ditemukan hubungan kontestasi dan saling bersaing untuk mendapatkan kepercayaan dari para muzakki yang ada dalam komunitas. Sementara relasi antara amil dengan masyarakat terbangun relasi dalam bentuk pendelegasian wewenang dari masyarakat luas kepada amil untuk mengontrol tradisi berzakat dan mengelola dana zakat masyarakat. Masyarakat mendelegasikan tugas kepada amil untuk menarik zakat dari muzakki untuk kemudian mendistribusikannya kepada mustahik dan memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat umum dalam menunjang pembiayaan fasilitas sosial khususnya masjid dan madrasah untuk syiar agama. Relasi antar amil yang muncul dalam hubungan persaingan dan tak jarang konflik. Ada indikasi yang menunjukkan benturan kuasa kuasa tatakelola zakat antara amil di masjid dengan amil dari kalangan agamawan kharismatik tertentu yang terkadang mendapatkan perlakukan khusus dari masyarakat sebagai penerima zakat dari kalangan masyarakat tertentu sebagai akibat dari adanya relasi khusus dengan muzakki secara individu. Relasi antara aparat desa dengan muzakki berada relasi yang memposisikan aparat sebagai yang mengarahkan tradisi berzakat muzakki, dan 299 di sana ada wewenang aparat desa untuk juga mewarnai tindakan berzakat pada lembaga komunitas bersama para amil, dengan semangat emansipatory, aparat desa juga ikut melakukan pembelaan terhadap mustahik sebagai yang berhak atas manfaat zakat. Antara aparat desa dengan amil terbangun hubungan koordinatif, sedangkan antara aparat dengan masyarakat luas relasinya lebih terlihat dalam konteks kontrol moral. Persentuhan atau relasi sosial yang terjadi kemudian adalah antara muzakki dan mustahik. Ditemukan dalam penelitian bahwa antara keduanya dalam tatakelola zakat komunitas terdiri dari dua bentuk, yaitu relasi secara lansung dan relasi dengan perantara pihak lain yaitu Amil. Relasi langsung ditemukan dalam praktek tatakelola zakat individual, di mana oleh muzakki diserahkan sendiri zakatnya kepada kaum mustahik. Praktek ini berlangsung biasanya antara muzakki dengan mustahik dari kelompok miskin yang memiliki hubungan khusus dengan muzakki seperti keluarga miskin, buruh muzakki, Guru Ngaji, dan Dukun Bayi yang pernah memberikan bantuan kepada keluarga muzakki dalam melahirkan. Hubungan mereka di sini begitu hangat, manusiawi, penuh dengan rasa kebersamaan, dan pembelaan dalam kesetaraan. Sementara hubungan muzakki dengan mustahik lainnya selalu di antarai oleh orang lain yang bertugas sebagai pengelola zakat (Amil), meski tidak langsung namun sang amil memberikan penghargaan dan penghormatan dan oleh muzakki dipandang sebagai orang yang dermawan, dan konsekwensi sosialnya sang mustahik merasa bertanggungjawab untuk memberikan penghormatan dan penghargaan. Relasi Muzakki dengan Amil secara langsung, ditemukan bahwa antara mereka, terlihat kalau muzakki memiliki kekuasaan yang besar sehingga sang mustahik selalu menjadi sosok yang di hormati oleh amil. Seorang muzakki terkadang mendapatkan perlakuan yang agak khusus di mana ia diberikah kuasa untuk menunjukkan kapada siapa zakatnya didistribusikan, walaupun tak jarang sang muzakki meminta pandangan amil yang kebetulan selalu dari kelompok agamawan. Muzakki yang secara rutin membayar zakat, selalu menjadi sosok yang dihormati, dan dihargai oleh agamawan komunitas. Ada pengaruh dari kekuatan atas kepemilikan kekayaan yang lebih terhadap penghormatan yang diperoleh dari agamawan, karena selalu muzakki yang rutin berzakat juga sekaligus menjadi penyandang dana bagi pembangunan fasilitas sosial agama 300 serta penyandang dana utama bagi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang di pimpin oleh agamawan. Pada praktek zakat, agamawan memegang kuasa penuh dan superior dalam mengarahkan perilaku berzakat masyarakat komunitas, namun dalam hal lain ditemukan bahwa agamawan menjadi patner kaum muzakki dan bajkan terkadang sang agamawan tunduk dalam kekuasaan sang muzakki, namun itu di luar konsteks ritual agama. 7.3.4. Dinamika Relasi dalam BAZDA Jambi Relasi antar muzakki di BAZDA Jambi ditemukan bahwa relasi kesetaraan terbangun dengan prinsip bahwa mereka sesama muzakki memiliki kewajiban yang sama untuk menjalankan tradisi berzakat sebagai kewajiban beragama, namun kemana mereka harus berzakat masing-masing memiliki preferensi yang berbeda-beda. Ada yang memilih berzakat secara langsung ke mustahik, berzakat melalui amil komunitas atau melakukan keduanya dan berzakat ke BAZDA. Yang memilih berzakat ke mustahik secara langsung dilandasi pertimbangan bahwa menyerahkan langsung itu lebih merasa yakin akan manfaat zakat untuk mereka dan untuk mustahik. Sedangkan yang memilih berzakat ke amil lebih karena pertimbangan tradisi dan tutuntutan sosial kebersamaan. Sedangkan yang memilih berzakat ke BAZDA lebih karena desakan birokrasi tempat kerja, sehingga ditemukan muzakki berzakat dalam tiga arah, yaitu : langsung ke mustahik, amil komunitas serta ke BAZDA (lihat table 29). Tabel 29 : Relasi Struktural-Fungsional Antar Aktor dalam Badan Amil Zakat Daerah Aktor zakat Muzakki Mustahik Amil Negara Kesetaraan Terputus diambil alih Negara Terputus diambil alih negara KontrolMengarahkan Mengarakanmemaksa PersainganKompetisi KontrolMengarahkan, penundukan Superior dan inverior Mengarahkan Menekan (hegemonik) Komoditas Mengarahkan ketergantungan Kontrol -Mengatur Muzakki Mustahik Amil Pemerintah Sumber : Data Primer, 2008 Superior dan inferior Ketergantungan Hierarkis Persaingan KoordinatifDelegasional Delegasi penuh 301 Relasi antara amil dengan mustahik, hubungan keduanya terkesan berjenjang. Di lapangan di temukan bahwa hubungan mereka terlihat di mana agamawan lebih pada posisi yang kuat, namun kekuatan itu hampir tidak pernah ditemukan dimanfaatkan oleh agamawan. Posisi agamawan sebagai amil yang menguasai sumberdaya zakat yang terkumpul memiliki kekuasaan penuh untuk mendistribusikan kepada siapa saja yang ia kehendaki dan ia nyatakan layak. Namun tidak ditemukan sama sekali adanya agamawan sebagai amil zakat komunitas yang mengecewakan mustahik. Mereka mendistribusikan dana zakat secara merata kepada semua mustahik tanpa membedakan satu sama lainnya. Artinya bahwa dalam praktek pengelolaan zakat komunitas oleh agamawan memang telah melakukan pembelaan dan keberpihakan pada kaum lemah. Meskipun pada waktu yang lain justru para amil malah tertundukkan oleh para Muzakki-muzakki pemegang kapital desa. Bangunan relasi antara muzakki dengan mustahik ditemukan hampir tidak ada dan terputus karena tergantikan oleh negara yang diwakili oleh aparat BAZDA. Muzakki dengan mustahik di sini tidak saling kenal dan tidak akan pernah berinteraksi dalam konteks relasi zakat. Muzakki menyerahkan zakat sepenuhnya kepada BAZDA untuk dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan agama. Kondisi semacam ini memang ada baiknya karena bisa mencegah adanya pemanfaatan zakat oleh muzakki untuk menghegemoni mustahik, namun persioalan lain yang muncul dan penting adalah bahwa dengan terputusnya hubungan antara muzakki dengan mustahik, maka zakat di sini menjadi hilang kekuatannya dalam menjalin hubungan hangat antara kaya dan miskin, begitu pula kemampuan zakat dalam meminimalisir lahirnya kecemburuan sosial antara kaum kaya dan miskin. Relasi Mustahik dengan Amil dalam tatakelola zakat bebasis negara, ditemukan bahwa muzakki yang mayoritas adalah pegawai dan karyawan pemerintah (PNS), ditempatkan sebagai sosok yang diarahkan, dikontrol dan bahkan dipaksa oleh sistem adimistrasi dan birokrasi pemerintahan. Pembentukan unit Pemungut zakat (UPZ) pada setiap dinas, kantor dan instansi pemerintah, membuat para PNS terlihat disiplin dan seringkali dinilai memiliki kesadaran berzakat yang baik. Namun temuan di lapangan menunjukkan bahwa banyak di antara mereka yang tidak membayar zakat kecuali hanya sebagai 302 infaq atau sedeqah semata dan itu karena motivasi pengamanan politik dalam dunia birokrasi. Namun bagaimanapun mereka telah berzakat atau paling tidak telah berinfak, yang jelas dengan adanya BAZDA memungut zakat dan infaq dari kalangan PNS, menempatkan PNS sebagai orang yang terkuasai dan terarahkan perilaku zakat dan infaq mereka. Terlepas mereka telah berzakat atau hanya berinfaq, yang jelas mereka telah berderma meski ada unsur paksaan dari BAZDA karena masuknya mekasnisme pemungutan zakat dalam sistem administrasi dan birokrasi tempat bekerja. Dengan demikian kebebasan PNS untuk berzakat terbatas dan hampir mulai tertutup dengan terus adanya peningkatan manajemen pengelolaan zakat BAZDA khususnya dalam pemungutan zakat dari para PNS. Relasi PNS sebagai muzakki dan BAZDA sebagai amil, menempatkan PNS dalam sisi yang termarginalkan, dan mereka seakan hanya di pandang sebagai sumberdaya sehingga layak untuk dieksploitasi dan bahkan dalam wacana zakat terus menyuarakan agar pemungutan zakat diefektif dan disiplinkan, agar tidak ada lagi PNS tidak terpotong zakatnya oleh UPZ yang ada dalam Dinas, Instansi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). BAZDA sebagai amil melalui jaringan birokrasi pemerintahan menjangkau semua PNS melalui dinas dan instansi apalagi ketika Ketua BAZDA secara exofficio dijabat oleh Sekretaris Daerah (sekda), hal ini lebih mempermudah BAZDA untuk menarik dana zakat dan melakukan tekanan terhadap PNS sebagai muzakki utama BAZDA. Relasi antara Muzakki sebagai pembayar zakat dengan Amil yang terlihat hanya pada hubungan pembayar dan pemungut dana zakat, selanjutnya hampir tidak ada relasi yang menghubungkan mereka. Muzakki hanya menjadi perhatian dalam konteks sebagai sumber dana zakat, proses selanjutnya setelah zakat dipungut UPZ sebagai perpanjang tangan BAZDA, relasi antara muzakki dengan BAZDA tidak terlihat lagi. Muzakki tidak diberikan ruang untuk ikut campur tangan dalam pengelolaan zakatnya, dan relasi dengan mustahikpun mereka sama sekali tidak ada. Hubungan antara mustahik dengan muzakki dipotong dan diambil alih oleh BAZDA sehingga antara muzakki dengan mustahik tidak akan pernah saling kenal dan apalagi untuk bisa membangun relasi sosial yang terkait dengan pemberi zakat dan penerima santunan zakat. 303 Relasi antara amil, muzakki dan mustahik dalam tatakelola zakat BAZDA menempatkan amil sebagai sosok yang superior yang mengarahkan perilaku zakat para muzakki. Posisi superiornya Amil juga terlihat nyata ketika mengamati bangunan relasi antara amil dengan mustahik, dimana amil memposisikan mustahik sebagai orang yang lemah yang hanya memiliki hak meminta atau memohon. Mustahik memang dipandang sebagai sosok yang berhak atas dana zakat, namun dalam prakteknya mereka seringkali dipandang sebagai orang yang bodoh, hina, lemah dan tak jarang mereka dipandang sebagai orang tidak selalu curang, pembohong dan penipu. 7.3.5. Dinamika Relasi dalam LAZ Swasta Relasi antara muzakki dengan mustahik dalam tatakelola zakat berbasis swasta khususnya di Lembaga Amil Zakat (LAZ) Semen Padang, tidak jauh berbeda dengan relasi yang terjadi dalam BAZDA Jambi. Antara muzakki dengan muzakki ditemukan relasi kesetaraan sebagai karyawan perusahaan yang memiliki kewajiban berzakat sebagai penganut agama Islam sekaligus kewajiban sebagai karyawan perusahaan. Relasi antar muzakki yang terbangun terkesan karena adanya kesamaan profesi, sementara relasi terbangun dalam konsteks zakat hampir tidak ditemukan karena mereka saling tak peduli dan saling tahu kakau mereka dipotong zakatnya oleh perusahaan secara langsung dan tanpa ruang untuk memilih berzakat ke tempat lain. Tabel 30 : Relasi Struktural-Fungsional antar Aktor dalam Lembaga Tatakelola Zakat Swasta Aktor zakat Muzakki Mustahik Amil Perusahaan Muzakki Kordinatif Kesetaraan Mustahik Terputus Diambil alih Firma Mengatur Mengarahkan Mengarakan- memaksa Terputus Diambil alih Firma PersainganKompetitif Superior dan inferior Mengarahkan KontrolMengarahkan (penundukan) Superior dan inferior KoordinatifKoopratif KoordinatifDelegasional Mengarahkan Menekan (hegemonik) Komoditas Mengarahkan Kontrol Mengatur Delegasi penuh Amil Direksi Sumber : Data Primer, 2008 Kesadaran atas kewajiban berzakat karena tergolong muzakki sebagai perintah agama cukup mewarnai tradisi berzakat di LAZ, namun ini sepertinya tidak sekuat kepatuhan terhadap kewajiban berzakat sebagai karyawan PT. SP. Desakan posisi sebagai karyawan perusahaan terkesan lebih kuat dalam 304 mendorong para muzakki untuk berzakat ketimbangan dorongan kesadaran berzakat karena agama. Hal ini terlihat dari beberapa pengakuan karyawan bahwa mereka sebelum menjadi karyawan PT. SP tidak disiplin membayar zakat, sebaliknya setelah menjadi karyawan di PT. SP menjadi sangat disiplin karena diwajibkan dan zakat langsung dipotong oleh bendaharawan gaji. Relasi yang terbangun antara muzakki dan mustahik hampir tidak ada, karena keduanya diantarai oleh amil yang menjelma menjadi dalam bentuk LAZ perusahaan. Seorang muzakki tidak akan pernah bersentuhan secara langsung dengan orang miskin yang menerima zakat mereka, sebagaimana yang terjadi pada tradisi berzakat komunitas. Sepertinya terjadi pendelegasian wewenang yang sangat besar dari muzakki kepada amil untuk mengelola zakat mereka, dan pendelegasian ini membuat pembacaan menjadi semacam perampasan wewenang amil untuk menentukan bagaimana zakat mereka dikelola dan dimanfaatkan. Relasi yang hangat antara muzakki dan mustahik yang mewarnai tatakelola zakat komunitas, dalam tatakelola zakat PT. SP tidak ditemukan karena disana LAZ perusahaan tampil mengantarai atau bahkan boleh dikatakan merampas wewenang muzakki untuk mengarahkan tindakan dan tradisi berzakat masyarakat perusahaan. Relasi antar mustahik ditemukan relasi kompetitif yang cukup lembut. Ada persaingan antara mustahik untuk mendapatkan santunan dana zakat dari perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan melakukan batasan-batasan dan persyaratan tertentu untuk bisa memberikan santunan zakat, sehingga tidak semua mustahik di sekitar perusahaan bisa mendapatkan santunan zakat dari LAZ perusahaan. Oleh karena itu muzakki dengan peroposalnya masing-masing bersaing untuk mendapatkan bantuan zakat. Persaingan yang terjadi tidak sampai pada bentuk perebutan, namun lebih pada bentuk kompetisi yang lembut, sehingga benturan keras yang berhujung pada konflik tidak terjadi. Sebaliknya malah saling membantu dalam memberikan informasi adanya bantuan dana zakat dari LAZ perusahaan PT. Semen Padang. Relasi yang terjadi di sini masih diwarnai oleh rasa kebersamaan dan kesamaan nasib, mereka sama-sama menyadari bahwa mereka hanya sekelompok orang yang membutuhkan santunan dan tidak pantas untuk saling menyingkirkan dan saling mengalahkan. Pada model yang berbeda terjadi dalam bangunan relasi mustahik dan amil. Bangunan relasi yang memposisikan amil sebagai yang berkuasa (superior) 305 dan mustahik sebagai yang terkuasai. Muzakki sebagai kelompok yang meminta dan memohon dan amil sebagai kelompok yang diposisikan tempat meminta. Posisi amil di sini menggantikan posisi yang seharusnya ditempati oleh muzakki sebagai pemilik awal dana zakat. Kuasa amil manempatkan mustahik pada posis yang selalu direndahkan dan termarjinalkan dari keharus membuat permohonan dan proposal yang selanjutnya harus di survei. Keharusan mengajukan proposal pemintaan bantuan zakat kepada LAZ perusahaan andaikan membutuhkan santunan zakat, dapat dimaknai sebagai bentuk pemposisian amil LAZ sebagai pemangku kuasa yang besar dan merendahkan mustahik. Keharusan disurvey kelayakan penerima sanunan zakat bermakna lemahnya kepercayaan (trust) kepada para pemohon. Amil begitu superior dan sebaliknya mustahik sangat inferior dan bahkan termarginalkan dalam LAZ swasta. Kekuasaan sistem administrasi dan birokrasi telah menjadi kekuatan yang mengarahkan, membatasi dan membentuk logika hingga tindakah yang dilakukan oleh para aktor zakat. Relasi mereka begitu sistimatis dan diatur oleh mekanisme tatakelola yang telah dibentuk dan ditanamkan dalam ruang kognitif sebagai logika mengatur tindakan, membangun keyakinan bahwa yang diatur adalah hal yang pantas dan layak dipatuhi. Relasi amil dengan muzakki dalam lembaga amil zakat PT. SP, ditemukan bahwa terbangun relasi yang sangat kental. Di sini keaktifan karyawan perusahan sebagai muzakki dalam berzakat sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan LAZ-SP dalam mengakumulasi dana zakat. Oleh sebab itu maka muzakki ditempatkan sebagai orang yang paling penting sehingga salah satu program kerja yang paling menjadi perhatian adalah bagaimana cara untuk terus memicu aktifnya sang muzakki membayar zakat dengan menjaga kepercayaan muzakki terhadap LAZ-SP. Pentingnya keberadaan muzakki dalam proses akumulasi dana zakat membuat hubungan LAZ dengan Muzakki selalu dikondisikan agar terus baik, meski terkesan ada pemaksaan terhadap muzakki ketika melibatkan sistem birokrasi perusahaan dalam pemungutan zakat karyawan sebagai muzakki utama. Hubungan antara amil dengan mustahik juga terlihat begitu dekat, namun kedekatan hubungan mereka tidak sama dengan hubungan antara amil dengan muzakki di mana muzakki ditempatkan pada posisi penting. Mustahik di sini menjadi penting ketika terkait dengan kepentingan LAZ-SP untuk menjaga 306 kepercayaan muzakki. Selanjutnya mustahik sebagai penerima dan LAZ-SP sebagai penyalur zakat muzakki terlihat kalau LAZ sebagai yang superior dan tak jarang mengecewakan harapan sang muzakki hanya karena tidak termasuk dalam skala prioritas LAZ-SP. Mustahik yang diberikan bantuan selalu ada pertimbangan yang terkait dengan kepentingan LAZ-SP dan perusahaan. Hal ini terlihat dengan adanya penentuan skala prioritas berdasarkan kedekatan wilayah tempat tinggal mustahik dengan wilayah unit kerja perusahaan. Ralasi antara muzakki dengan mustahik dalam tatakelola zaat di PT. SP hampir tidak ditemukan kecuali hanya dalam bentuk pemberian rekomendasi muzakki kepada pihal LAZ-SP untuk bisa memberikan santunan zakat kepada salah satu mustahik yang dikenali atau diketahui oleh mustahik sebagai orang yang layak mendapatkan zakat. Muzakki tidak bisa memberikan atau memastikan sang mustahik akan bisa diberikan santunan zakat, karena kekuatan rekomendasinya hanya sebatas saran yang bisa diterima atau ditolak oleh pihak LAZ-SP. Relasi antara Muzakki yang juga karyawan dengan perusahaan sebagai pengelola zakat karyawan melalui LAZ-SP, menempatkan muzakki sebagai sumber dana utama zakat LAZ. Pihak perusahaan memperlakukan muzakki sebagai patner, namun dalam posisi yang lemah dan hampir tidak memiliki ruang bargaining untuk bisa melakukan pilihan-pilihan dalam menyalurkan zakat mereka ke lembaga lain atau atau dengan cara langsung ke mustahik. Di sini juga muzakki ditempat sebagai patner yang tidak memiliki ruang yang bicara dalam hal tatakelola zakat yang telah dipotong oleh perusahaan dari gaji dan pendapatan lainnya yang bersumber dari perusahaan. Mereka di tempatkan menyatu dengan peran direksi sebagai atasan dalam ruang kerja di perusahaan. Artinya bahwa muzakki sebagai karyawan terus menjadi bawahan dan pekerja yang harus tunduk dengan kehendak atasan mulai dari relasi antara manajer dan tenaga kerja hingga pada relasi antara muzakki dan amil. 7.3.6. Dimanika Kooptasi Antar Lembaga Tatakelola Zakat Benturan-benturan yang lahir dari persentuhan perbedaan basis pengetahuan, basis rasionalitas dan kepentingan dalam tatakelola zakat, bermuara pada munculnya strategi untuk saling menundukkan dan menaklukkan. Pada tabel 31 terlihat bahwa LAZ komunitas memilih strategi ‖defensive” dengan 307 menggunakan kekuatan kemadirian komunitas berbasis tradisi melalui kelembagaan masjid dan kelembagaan ‖kiyai‖. Mereka menolak interfensi dari kekuatan luar yang tidak sewarna dengan nilai budaya dan tradisi mereka. Kooptasi yang terjadi adalah kooptasi Imam atau agamawan sebagai aparat Bazda dan kemudian mnghegemoni masyarakat khususnya terhadap muzakki dan mustahik untuk patuh dalam mekanisme kerja LAZ Semen Padang. Muzakki terjebak dalam kekuatan politik pencitraan dan mekanisme hukum yang mengatur tradisi berzakat. Tabel 31 : Strategi Kooptasi dalam Lembaga Tatakelola Zakat LAZ Komunitas BAZ Negara LAZ Swasta Strategi Kekuatan Basis Legitimasi Kooptasi Defensive (mempertahan diri dari serangan wacana zakat modern) Attact (berjuang menaklukkan LAZ tradisional) Adaptasi dan Inovasi (menyesuikan diri dengan wacana zakat negara) Tradisi Legalitas budaya lokal berbasis Masjid Kooptasi Imam/ agamawan Politik Legalitas hukum formal dan birokrasi Kooptasi Negara/ aparatur negara Ekonomi Legalitas hukum formal dan legitimasi Perusahaan Kooptasi Perusahaan/ aparatur perusahaan Sumber : Data Primer, 2008 BAZ negara memilih strategi ‖attacing” dengan menggunakan kekuatan politik dengan menggunakan perangkat legitimasi hukum formal dengan legislasi atau pengukuhan menuju terbangunnya prasayarat legalitas formal. BAZ Negara juga menggunakan kekuatan wacana untuk mengarahkan dan menguasai khalayak untuk tunduk pada satu sistem rasionalitas. Di sini wacana dibentuk untuk menggiring muzakki dan membuat para muzakki bahwa membayar zakat pada BAZDA adalah yang terbaik karena memiliki manajemen yang dikonstruksi sebagai sistem yang terbaik dan modern serta dianggap sebagai hal yang lebih baik, profesional, efektif, dan memiliki kekuatan serta terkontrol. Terbangunnya anggapan bahwa BAZDA adalah model tatakelola profesional, efisien, efektif dan terparcaya. Mustahik di sini terkooprasi oleh citra positif yang berhasil dibangun oleh Negara dan aparatnya bahwa BAZDA adalah lembaga yang betanggujawab dan berpihak kepada masyarakat kecil dalam wacana zakat dan pembangunan. LAZ swasta memilih strategi ―adaptasi‖ yang divariasikan dengan ―innovasi” rasionalitas ganda (rasionalitas sosial, social responsibility dan rasionAlitas ekonomi dalam bentuk wacana efektifitas, dan efisiensi) dengan menggunakan kekuatan kemandirian ekonomi berbasis perusahaan/Industri. 308 Adaptasi dipilih untuk bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan negara agar bisa mendapatkan legalitas formal dan justifikasi yuridis, sementara ―innovasi” rasionalitas ganda, dilakukan untuk menandingi dan atau mempengaruhi dua lembaga lawanya (LAZ Komunitas dan BAZ Negara) Konflik politik antar lembaga pengelola zakat komunitas dengan lembaga pengelolaan zakat negara berada pada tarik-menarik tentang hak kelola zakat. Apakah hak kelola zakat itu berada dalam komunitas ataukah berada dalam kuasa negara. Masing-masing memiliki argumen yang kuat dan saling mempertahankan dalam pandangan dalam wacana pengelolaan zakat. Namun dalam perjalannya perlahan lembaga zakat komunitas terkalahkan dan melakukan adaptasi kelembagaan. Adaptasi bukan untuk tunduk tapi hanya untuk bertahan dan membangunan benteng berupa pengakuan dan legalitas formal dari negara. Mematuhi beberapa prasyarat lembaga pengelola zakat yang dianggap sah dan legal untuk bisa bergerak dalam pengelolaan zakat, bukan berarti selalu tunduk dan patuh pada aturan sepenuhnya, namun di sana ada perlawanan dan upaya untuk tetap eksis dengan melakukan innovasi sederhana untuk memenuhi syarat adminisratif yang di persyaratkan oleh negara dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Ini dilakukan hanya untuk bisa merebut status legal dari negara dan bebas dari ancaman illegal. Lembaga zakat komunitas enggan menyetorkan zakat ke Badan Zakat Daerah sebagai perwakilan negara dalam pengelolaan zakat di daerah. Mereka juga enggan melaporkan peroleh dan penyaluran zakatnya. Ini merupakan pertanda bahwa memenuhi persyaratan administrasi tuntutan UU hanya agar bisa dilegalkan, namun tunduk sepenuhnya dalam pengaturan UU terkait dengan program pengelolaan, dan penyakurannya mereka berkerja dengan cara mereka sendiri dan tunduk pada logika komunitas dan bekerja dalam kerangka kerja pengetahuan lokal. Keengganan lembaga pengelola zakat komunitas untuk tunduk dan lebur dalam satu sistem tatakelola zakat dibawah kuasa dan kontrol negara, tampaknya tidak akan bisa bertahan lama. berbagai tekanan menerpa dari berbagai arah. Dari aspek manajemen diserang dan nilai sebagai lembaga yang yang tidak profesional, dan tidak efisien. Dari sisi basis pengetahuan dikatakan sebagai lembaga yang tradisional, bahkan dikatakan sebagai lembaga yang tidak 309 terstruktur dan tersistimatis secara rapi sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengalami serangan semacam ini, lambat laun akan mengalami kehancuran karena ditinggalkan oleh muzakki yang setiap hari di pengaruhi, digiring dan diarahkan oleh wacana tatakelola zakat yang dibangun secara sistematis oleh negara dan perangkat birokasinya. Lembaga zakat komunitas berlahan kehilangan kekuatan karena kekuatan basis pengetahuan lokal dan runtuh rasionalitasnya oleh serangan logika sains modern dan rasionalitas developmentalism. Fenomena konflik antar lembaga berakhir dengan kekalahan lembaga zakat komunitas bersama dengan runtuhnya logika komunitas yang tergantung dengan logika negara dan pengetahuan lokal terkalahkan oleh pengetahuan modern. 7.4. Dinamika Kooptasi Aktor dalam Lembaga Tatakelola Zakat 7.4.1. Kooptasi Agamawan dalam LAZ Komunitas. Relasi sosial antara aktor lembaga tatakelola zakat yang diteliti (LAZ Komunitas, BAZDA , dan LAZ SP), ditemukan adanya koordinasi yang diwarnai dengan kooptasi antara satu aktor dengan aktor lainnya (lihat tabel 32). Dalam tatakelola zakat Komuitas, ditemukan bahwa agamawan lokal menduduki posisi dominan dan mendapatkan pengakuan dan kepatuhan dari muzakki dan mustahik ditambah lagi dengan legitimasi penuh dari masyarakat sebagai pemangku kuasa dalam tatakelola zakat anggota komunitas. Di sini birokrat dan pemuka adat sebagai aktor lainnya terposisikan sebagai aktor yang terbatasi hak dan kuasanya hanya dalam meyangkut mekanisme dan sistem tatakelola zakat komunitas, selebihnya dilaksanakan oleh amil dari agamawan. Legitimasi kuasa yang diperoleh oleh agamawan yang begitu besar, begitu kokoh yang dan mengkooptasi aktor lain, karena didukung dengan legitimasi norma-norma tradisi. konstruksi pengetahuan dan rasionalitas masyarakat yang menempatkan agamawan sebagai sosok yang memiliki hak dan kekuasaan penuh dalam ruang agama (lihat tabel 32). Bahkan di beberapa tempat juga ditemukan adanya pengakuan atas kuasa agamawan yang lebih luas dalam tatakelola zakat dibandingkan dengan kuasa birokrat desa dan tokoh adat dalam komunitas. Bagi mereka agamawan adalah sosok orang yang alim (memiliki 310 pengetahuan agama yang luas), sholeh, dan ihlas serta berpihak kepada ummat, sehingga segala persoalan terkait dengan agama berada dalam ruang kuasanya. Tabel 32 : Kooptasi dalam Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Aktor Agamawan lokal Birokrat Desa Pemuka Adat Muzakki dan Mustahik Masyarakat Keterangan Pengakuan dan kepatuhan kepada agamawan terhadap kuasa pengetahuan agama. Pengakuan dan kepatuhan pada mekanisme birokrasi pemerintah Pengakuan dan kepatuhan pada nilai tradisi lokal Pengakuan dan kepatuhan dengan legitimasi norma agama dan tradisi Legitimasi Normanorma tradisi Pengakuan dan kepatuhan dengan hukum formal Melegitimasi agamawan Pengakuan dan kepatuhan dengan legitimasi tradisi Bersinergis dengan agamawan Sumber : Data Primer, 2008 Agamawan memiliki kekuasaan dominan dari pengakuan masyarakat zakat (muzakki dan mustahik) yang memang menempatkan sang agamawan sebagai pemangku kuasa tunggal atas tatakelola zakat. Pengakuan tersebut terbangun dalam masyarakat secara kokoh dan ini menjadi konstruksi pengetahuan zakat masyarakat. Mereka menempatkan zakat sebagai ajaran agama yang seharusnya berada dalam ruang kuasa agamawan sebagai pewaris para Nabi. Konstruksi pengetahuan masyarakat tersebut berawal dari bentukan para agamawan melalui transfer pengetahuan agama dalam proses sosialisasi ajaran keagamaan termasuk ajaran zakat. Artinya bahwa memposisikan agamawan sebagai penguasa tunggal atas tatakelola zakat komunitas lebih merupakan kekuasaan yang diperoleh dari konstruksi pengetahuan zakat masyarakat yang dibentuk oleh agamawan yang diwarnai oleh kepentingan penguatan ajaran dan komunitas. Agamawan menjadi tempat belajar, bertanya dan menitipkan generasi untuk diberikan pendidikan agama. Di sini agamawan menerima peran yang diberikan masyarakat dan dianggap menjalankannya tanpa pamrih, karena dinilai sebagai orang yang baik, ikhlas dan mulia. Anggapan inilah yang membuat kuasa agamawan mengkooptasi masyarakat dalam tatakelola zakat komunitas melalui kekuatan pengetahuan dan wujud kekuatan pengetahuan yang menjelama menjadi norma-norma tradisi lokal bersintesis dengan norma agama. Birokrat mengkooptasi muzakki dan mustahik serta masyarakat luas lainnya melalui terbangunnya pengakuan dan kepatuhan pada mekanisme birokrasi pemerintah oleh muzakki dan mustahik. Masyarakat terkooptasi oleh Birokrat desa melalui pengakuan dan kepatuhan terhadap kekuatan dan kepastia hukum 311 formal. Pada saat yang sama, Birokrat desa juga menjadi dukungan penguat agamawan melalui legitimasi wewenang dari kekuasaan Birokrasi pemerintahan. Kekuatan birokrat desa yang mengkooptasi muzakki dan mustahik, terletak pada pengakuan dan kepatuhan pada sistem admisnistrasi dan birokrasi desa yang berbasis nilai-nilai tradisi lokal dan hukum formal. Pemuka adat atau ketua adat, mengkootasi muzakki dan mustahik serta masyarakat luas dari adanya Pengakuan dan kepatuhan pada muzakki dan mustahik kepada nilai-nilai tradisi lokal yang turut mengatur tatakelola zakat. Terhadap masyarakat umum, pemuka adat mengkooptasi muzakki dan mustahik melalui pengakuan dan penundukan pada tradisi lokal. Sementra masyarakat luas terkooptasi melalui pengakuan dan penundukan masyarakat karena legitimasi norma-norma tradisi yang berlaku. Pemuka adat di sini perannya bersinergis dengan agamawan sehingga dalam waktu tertentu pemuka adat mengontrol tradisi berzakat dan tatakelolanya bersama agamawan. 7.4.2. Kooptasi Birokrat dalam BAZDA Jambi. Pengelolaan zakat berabsis Negara yang dalam penelitian ini di ambil kasus Badan Amil Zakat Daerah Jambi, menunjukkan bahwa dinamika hubungan antar aktor dalam tatakelola zakat di sini, menempatkan Birokrat daerah selalu tampil sebagai pemangku kekuasaan yang lebih menonjol dari yang lain. Meski ada kekuatan penyeimbang dan memiliki legitimasi sosial yang kuat, yaitu agamawan. Tabel 33 : Kooptasi dalam Badang Amil Zakat Daerah Aktor Muzakki dan Mustahik Agamawan Kuasa pengetahuan agama Birokrat Daerah Kuasa Politik kebijakan Akademisi / Pemuka Masyarakat Kuasa Ilmiah dan Jusntifikasi modernitas Masyarakat Keterangan Pengakuan dan kepatuhan dengan legitimasi hukum formal Pengakuan dan kepatuhan dengan legitimasi hukum formal dan kekuatan politik Pengakuan dan kepatuhan dengan legitimasi hukum formal dan kepakaran Legitimasi hukum formal Legitimasi politik Legitimasi kepakaran Sumber : Data primer, 2008 (diolah) Agamawan di BAZDA memangku kekuasaan dan mengkooptasi melalui pengkuan muzakki dan mustahik pada kuasa pengetahuan agama yang dianggap lebih. Disamping itu pengakuan dan kepatuhan dari masyarakat luas yang didukung oleh legitimasi hukum formal, yang merupakan landasan 312 kekuatan dalam menjalankan sistem tatakelola zakat berbasis negara. Agamawan di sini bukanlah seperti agamawan komunitas yang mendapatkan dukungan dari legitimasi budaya, akan tetapi agamawan di sini hanya memiliki ruang kuasa yang terbatas. Agamawan mengkooptasi masyarakat hanya pada batas kuasa pengetahuan yang didukung oleh legitimasi hukum formal, dan akibatnya agamawan lain yang tidak mendapatkan legitimasi secara formal dari negara, tidak akan mendapatkan kuasa. Munculnya agamawan sebagai pmangku kuasa yang mengkooptasi muzakki dan mustahik serta masyarakat luas di bawah dukungan hukum formal, menunjukkan bahwa betapa negara tampil dalam tatakelola zakat dengan kekuatannya yang mengkooptasi masyarakat melalui aturan yang mengarahkan, mengkodisikan dan mengontrol tradisi berzakat, tatakelola dan posisi agamawan. Birokrat mengkooptasi muzakki dan mustahik termasuk masyarakat umum dalam BAZDA, sehingga masyarakat berzakat di BAZDA lebih karena tekanan hukum dan politik ketimbangan kesadaran beragama. Berzakat di BAZDA lebih merupakan fenomena bernegara ketimbangan fenomena beragama. BAZDA sebagai lembaga pengelola zakat resmi milik pemerintah, dalam pengelolaan zakat menempatkan birokrat selalu dalam posisi yang strategis dalam organisasi. Misalnya secara ex-officio, menempatkan sekretaris daerah menjadi ketua Umum BAZDA Jambi, sementara yang lain dari unsur ulama atau agamawan, hanya menempati posisi sebagai wakil ketua, atau sekretaris atau malah sebagai dewan penasehat, yang ruang kuasanya selalu berada di bawah kuasa sang birokrat. Birokrat daerah di sini begitu berkuasa karena dukungan pada pengakuan muzakki, mustahik dan masyarakat luas bahwa birokrat daerah itu adalah penguasa dalam tatakelola karena dukungan hukum formal dan legitimasi politik sebagai pemangku kuasa negara dan birokrasinya. Agamawan memang diakui sebagai pemangku kuasa ajaran zakat, namun kekuasaan itu hanya pada batas pengetahuan tentang zakat sebagai ajaran agama, artinya agamawan di sini hanya diberikan ruang kuasa pada batas pengawal ajaran dan pengontrol pelaksanaan zakat agar selalu sesuai dengan perintah ajaran agama. Bagaimana seharus zakat kemudian dipungut, dikelola, didistribuskan, kepada siapa dan atas pertimbangan apa, agamawan tidak diberikan kuasa yang luas di sini, yang memegang kuasa penuh dalam hal ini adalah Birokrat. Artinya agamawan dalam tatakelola zakat BAZDA hanya 313 menjadi pengawal ajaran dan menjadi alat justifikasi normative atas pelaksanaan zakat agar dianggap sesuai dengan ajaran agama. Unsur pemuka masyarakat atau akademisi juga mengalami posisi yang tidak jauh berbeda dengan agamawan, di sana mereka hanya menjadi konsultan, dan tempat bertanya dengan posisi dalam organisasi sebagai Dewan Pertimbangan. Atau malah diletakkan pada posisi sebagai kepala Bidang Pendayagunaan Dana Zakat, yang secara organisatoris berada dibawah koordinasi Sang Ketua. Pemuka Masyarakat atau agamawan memang juga memilik kuasa dalam rangka penyusunan program itupun dalam penetapan dan pengesahan progran masih memerlukan persetujuan Pemerintah Daerah, oleh Gubernur dalam level Provinsi dan Oleh Bupati/Wali Kota untuk level Kabuaten/Kota. Dengan demikian jelas terlihat bahwa dalam tatakelola zakat BAZDA, birokrat dan jaringan birokrasi memiliki kekuasaan yang dominan dan luas dalam ruang tatakelola zakat. Kekuasaan para Birokrat di sini merupakan kekuatan yang didukungan dari wacana zakat yang dibangun oleh negara yang memposisikan zakat sebagai salah satu hak negara dan harus dikelola dibawah kekuasaan negara. Dengan alasan efektifitas dan optimalisasi, negara di tampilkan sebagai sosok yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk bisa mewujudkan tujuan zakat yang selalu diterjemahkan dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan kemiskinan. Pembangunan dan pemberdayaan kemiskinan sejak semula memang tanggung jawab negara, maka ketika zakat dinyatakan memiliki tujuan membangun ummat dan mengentaskan kemiskinan, maka seketika logika masyarakat menghubungkannya dengan negara. Apalagi ketika diwacanakan bahwa untuk mencapai tujuan optimal, maka para muzakki harus diatur sedemikian rupa dan ada wacana baru untuk memberikan ancaman hukuman kepada muzakki yang ingkar membayar zakat. 7.4.3. Kooptasi Pengusaha dalam Lembaga Amil Zakat Swasta Kooptasi yang terjadi dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT. SP, terletak pada kekuatan pengakuan pada kepakaran agamawan terhadap pengetahuan agama, ditambah lagi oleh logika berzakat di BAZDA dibangun pemahaman bahwa lembaga tatakelola zakat yang paling baik karena di dukung oleh negara. 314 Ulama Perusahaan sebagai perwakilan kehadiran agamawan, mengkooptasi muzakki dan mustahik melalui pengakuan kuasa tatakelola khususnya pada kuasa pengetahahun dan justifikasi moral. Masyarakat umum pada sisi yang lain juga terkooptasi oleh wacana yang membangun pemahaman bahwa dalam mengelola zakat harus disertai dengan logika efisiensi dan efektifitas. Di sini legitimasi didasari oleh legitimasi rasionalitas ekonomi yang menekankan pemberdayaan tujuan mencapai kesejahteraan ekonomi. Tabel 34 : Kooptasi dalam Lembaga Tatakelola Zakat Swasta Aktor Muzakki dan Mustahik Masyarakat Keterangan Ulama Perusahaan Terkooptasi oleh kuasa pengetahuan dan justifikasi moral Terkooptasi oleh hak kuasa kebijakan dan legalitas formal Terkooptasi oleh logika efisiensi dan efektifitas Legitimasi rasionalitas ekonomi Terkooptasi oleh logika pemberdayaan Legitimasi oleh kekuatan hak ekonomi Manajemen Perusahaan Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Manajemen perusahaan mengkooptasi muzakki dan mustahik dengan kekuasaan kebijakan perusahaan tentang kewajiban zakat dan kebijakan lainnya yang terkait dengan tatakelola zakat di perusahaan. Masyarakat terkooptasi oleh logika yang dibangun oleh manajemen perusahaan bahwa zakat adalah instrumen pemberdayaan sehingga dananya harus dikelola dengan manajemen ekonomi modern dan berorientasi peningkatan kesejahteraan bagi kaum lemah. Membangunan logika berzakat dalam logika ekonomi, membuat konstruksi berfikir orang tentang zakat, tergiring masuk dalam logika yang mengkostruksi tradisi berzakat sebagai fenomena berekonomi. Akibatnya berzakat menjadi harus selektif agar zakat yang dikeluarkan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi penerimanya. Lembaga tempat menyerahkan dana zakatpun kemudian menjadi harus memenuhi prasyarakat manajemen yang diwarnai oleh sistem manajemen modern. Pengelola zakat karyawan perusahaan oleh LAZ-SP, menempatkan karyawan sebagai sumber pokok dari dana zakat. Zakat karyawan dipotong langsung oleh bendaharawan gaji setiap bulan terhadap gaji dan pendapatan lainnya yang berasal dari perusahaan. Cara ini membuat para karyawan kehilangan kesempatan untuk bisa memilih membayar zakat ke lembaga lainnya, karena secara otomatis pemotongan zakat menyatu dengan sistem adminstrasi penggajian perusahaan. Karyawan sebagai muzakki berzakat memang dirasakan 315 sebagai kewajiban beragama namun secara bersamaan juga menjadi kewajiban sebagai sistemik perusahaan sebagai karyawan yang beragama Islam. Pihak perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh Direksi menjadi aktor dalam pengelolaan zakat di LAZ-SP, Direksi di sini mendominasi ruang dan memegang kekuasaan yang luas dalam menentukan arah dan kebijakan organisasi LAZ-SP. Kekuasaan tersebut melingkupi alokasi anggaran bantuan tahunan, mengangkat dan memberhentikan pengurus LAZ, bahkan sampai pada menyetujui atau menolak permohonan bantuan mustahik untuk mendapatkan santunan. Agamawan sebagai salah satu aktor tatakelola zakat dalam LAZ-SP, menempati ruang yang kuasa yang sebagai Dewan Syari‘ah. Mereka ini berkuasa dalam ruang fatwa syariah, dan menjadi legitimasi syari‘ah dalam koridor zakat sebagai ajaran agama yang harus tunduk dengan hukum syariah (Fiqh). Memandang Zakat dalam kerangka hukum agama, dalam pengelolaan zakat LAZ-SP memiliki kesamaan dengan pengelolaan zakat keduannya menempatkan agamawan sebagai penguasa BAZDA, tunggal untuk mengarahkan dan menetapkan dengan cara yang bagaimana zakat dikelola sehingga bisa dikatakan sesuai dengan pesan-pesan Syariah. Kekuasaan agamawan di sini terlihat kuat namun jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kekuasaaan para Direksi perusahaan. Kekuasaan Agamawan di sini hanya melingkupi pengelolaan zakat sebagai ajaran agama, dan terkesan hanya menjadi alat justifikasi dan legitimasi ummat atas pengeloaan zakat agar dapat dipandang sesuai dengan ajaran agama. Bagaimana dana zakat distribusikan dan dimanfaatkan oleh LAZ-SP terkait dengan kemiskinan dan pemberdayaan sepenuhnya berada dalam kuasa Direksi perusahaan yang juga sebagai dewan pengurus LAZ-SP. Apalagi ketika menelusuri distribusi kekuasaan dalam LAZ-SP yang menempatkan Dewan Pendiri dan Dewan Pengurus sebagai bagian mendominasi ruang kuasa atas segala kebijakan LAZ-SP kecuali ruang kuasa Syariah yang telah diserahkan sepenuhnya dengan agamawan. Ruang kuasa Dewan Pendiri dan Dewan Pengurus LAZ-SP dalam tatakelola zakat karyawan PT. SP mengkooptasi ruang kuasa aktor yang lainnya, termasuk ruang agamawan. Meski memang agamawan memiliki kekuasaan penuh atas ruang Syariah, namun ruang itu tidak sampai pada bagaimana mekanisme dan kepada siapa dana zakat dimanfaakan. 316 Kalaupun agamawan ikut bicara, itu hanya sebatas untuk menyesuaikan dengan ajaran syariah. 7.5. Konseptualisasi Ketatakelolaan Zakat 7.5.1. Tatakelola Zakat Oleh Negara : Politisasi Zakat dan Kemiskinan Marx memposisikan negara dan kapitalis pada posisi yang sama dan berlawanan dengan civil society, Negara dan kapitalis selalu superior dan civil society selalu pada inverior (Ritzer, 2005). Sebaliknya Weber melihat negara dan kapitalis pada posisi yang berbeda dan masing-masing punya kepentingan. Negara memiliki legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap warganya, memiliki kekuasaan besar untuk mengatur, merubah dan bahkan memaksakan kehendaknya. Namun oleh Plato dan Aristoteles negara dipandang memerlukan kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral rasional (Martin, 1993). Hobbes (dalam Budiman, 1996), melihat pentingnya kekuasaan negara karena pertimbangan warganya, untu menghindari pertarungan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Negara dianggap sebagai wakil dari kepentingan publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok. Pandangan Hobbes (1588-1679). Oleh kerena negara itu kekuasaan Negara dibutuhkan kepentingan, keamanan, dan perdamaian. Negara yang seperti inilah yang oleh Hobbes dinamai dengan Leviathan. Keberpihakan negara, oleh Hobbes (dalam Budiman, 1996) dilihat sebagai keberpihakan pada kepentingan warga, di sinilah letak kekuasaan negara mutlak. Hadirnya negara dalam peraktek tatakelola zakat membuka peluang pengelolaan zakat berpihak kepada kaum borjuis dan mengenyampingkan kaum proletar sebagai kelompok yang berhak atas manfaat dana zakat. Berkuasanya negara dalam ruang tatakelola zakat berpeluang menjadikan zakat sebagai instrumen untuk mewujudkan kepentingan kaum kaya dan penguasa ekonomi dalam memperkuat kekuasaanya dan menjadikan kaum miskin sebagai komoditas. Karena di sini negara sulit untuk menghindari keberpihakannya kepada kaum penguasa. Ditambah lagi oleh Mills (1974) bahwa elit penguasa selalu datang dari kelompok masyarakat tertentu. Negara dalam konteks ini bukan hanya unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan aparat pertahanan dan keamanan, namun juga termasuk lembaga non-pemerintah (organisasi politik, ekonomi, dan kultural yang bisa menjadi sarana negara) untuk 317 menghegemoni. Makanya Poulantzas, melihat negara sebagai wilayah berlangsungnya pergulatan politik antar kelas (ekonomi, politik, dan ideologi), termasuk antar pejabat pemerintah. (Culla, 2006). Menyerahkan kuasa tatakelola zakat kepada Negara, sama halnya memberikan ruang dan kesempatan kepada kaum elit untuk menjadikan zakat sebagai ―instrument kekuasaan‖ untuk elit Negara dan elit ekonomi. Sementara kaum lemah sebagai yang berhak atas manfaat dana zakat, tidak lebih hanya sebagai komoditas dan justifikasi dalam tatakelola zakat. Zakat dalam kuasa negara mampu mendongkrak angka perolehan dana zakat, meningkatkan angka pembayar zakat dan menciptakan lembaga tatakelola zakat modern, namun secara bersamaan menjadikan zakat lebih menjadi ―prosesi bernegara‖ ketimbang menjadi ritual beragama, karena zakat di sana lebih sebagai peraktik bernegara di bawah kontrol instrument kekuasaan negara ketimbang peraktik beragama di bawah kontrol ajaran. Akibatnya kepercayaan masyarakatpun sulit terbangun. Zakat sebagai fenomena tindakan kolektif dan terkait dengan kepentingan kolektif, bergeser menjadi tindakan individu, karena motivasi berzakat bukan lagi murni sebagai kesadaran kolektif, tapi lebih sebagai kesadaran individu atau malah keterpaksaan individu karena adanya tekanan sistemik dari kekuatan negara yang memaksa. Menyakut trust (kepercayaan) maka pendapat Fukuyama (2001), sangat menarik untuk melihat fenomena tatakelola zakat. Menurut Fukuyama dan penyokong ide modal sosial seperti Putnam (1995), trust adalah bagian penting dari modal masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Manakala tatakelola zakat dalam kondisi suasana saling curiga, saling tak percaya dan ―penuh kepentingan‖, maka di sana segera ditengarai situasi tatakelola zakat yang diharapkan bisa memunculkan kehidupan sosial yang hangat dan penuh trust akan sulit tercapai. Pertemuan langsung secara personal antara Amil dengan muzakki dalam prosesi penyerahan zakat yang selalu disertai dengan ritual doa amil untuk keberkahan bagi sang muzakki. Ada kesejukan bathin yang dirasakan oleh sang muzakki atas tindakan zakatnya yang mengharap berkah Allah yang dilandasi oleh trust yang kuat, sebaliknya sang amil merasa bahagia dan puas atas kepatuhan sang muzakki pada pesan-pesan yang telah disampaikannya melalui mimbar masjid dan pengajian. Partisipasi masyarakat dan keterbukaan akses yang luas bagi semua elemen sosial desa, membuat LAZ komunitas desa ini memiliki bangunan trust yang cukup 318 baik, meski memang terkadang muncul kecurigaan terhadap imam oleh sekelompok orang yang juga punya kepentingan dengan sumberdaya zakat, yang kebetulan menjadi dominasi sang Imam masjid dan guru agama. Keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang luas juga membangunan transparansi Ruh zakat sebagai instrument ―penyambung relasi‖ antara kaya dan miskin lebih menjadi instrume penyambung relasi antara negara dengan rakyat miskin, karena relasi antara muzakki dan mustahik jadi kabur dan mustahik digantikan oleh negara. Keberadaan atau identitas muzakki sebagai pemberi zakat jadi kabur karena tergantikan oleh negara. Relasi hangat antara muzakki, mustahik dan amil, yang muncul dalam peraktik berzakat menjadi dingin, karena relasi tiga unsur tersebut tidak terjadi dalam realitas tradisi bezakat dan kehidupan sehari-hari. Relasi yang terbangun malah relasi sistemik yang digerakkan oleh mekanisme administrasi birokrasi negara. Muzakki dan negara menyatu dan menjelma menjadi donator yang superior sehingga bukan lagi sebagai pengayom kaum lemah sebagaimana ruh zakat yang makna terdalamnya memberikan atau mengembalikan hak kaum lemah, bukan menyantuni kaum lemah. Menghidari zakat sebagai intrumen kekuasaan bagi kaum elit bersama negara, membutuhkan komitmen keberpihakan negara kepada kaum lemah bukan kepada kaum elit sebagaimana digambarkan oleh Marx dan Weber. Untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan memberikan ruang yang luas untuk bisa diakses setiap waktu. Memberikan kesempatan yang luas bagi elemen masyarakat untuk ikut serta dalam tatakelola zakat tanpa harus lebih dahulu menjadi aparat negara. Membangun kehangatan relasi antara muzakki dan mustahik bisa memungkinkan terwujud melalui pemberian ruang kuasa kepada mustahik untuk menentukan atau menunjukkan dimana dan kepada siapa zakatnya di salurkan sehingga sang mustahik tidak terkesan dikesampingkan atau bahkan di tiadakan dalam proses distribusi dana zakat kepada para mustahik. 7.5.2. Tatakelola Oleh Industri : Komodifikasi Zakat dan Kemiskinan Industri adalah wujud nyata dari system ekonomi kapitalisme, dan mengedepankan kepemilikan modal pribadi. Menekankan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi pasar dalam organisasi produksi, dengan logika efisiensi untuk mencapai tujuan tertentu. Pasar dalam hal ini adalah metode yang efektif untuk mencapai tujuan melalui praktek tukar menukar (Martin, 1993: 193), makanya ekonomi pasar muncul sebagai strategi penting dalam ekonomi 319 kapitalisme. Faktor-faktor produksi dialokasikan sesuai dengan prinsip pencarian keuntungan maksimal (profit maximization), tenaga kerja harus menguntungkan, segala sumberdaya dimanfaatkan dengan maksimal dengan tujuan utama ulititiy maximize. Exploitasi dan komodifikasi demi perolehan profit , merupakan hal yang wajar dan rasional dalam dunia Industri. Kekuasaan dalam dunia kapitalisme berada pada kepemilikan sumber daya dan alat produksi, karena hal ini menjadi sentral sangat berpengaruh bagi prolehan keuntungan ekonomi. Kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam kapitalisme, menjadi dua sisi yang saling merajut dengan kental, sulit untuk dipilah mana yang melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis perwajahan kapitalisme yang lebih menonjolkan adalah aspek ekonominya, namun belakangan menjadi simpang siur antara kekuasaan dan ekonomi, di mana keduanya saling melahirkan. Secara internal, hubungan-hubungan hierarkis dalam industri kapitalis berlangsung satu alur, yaitu hubungan langsung, namun hubungan tersebut mengembangkan satu alur yang kompleks (pembagian kerja yang lebih kompleks). Kompleksnya hubungan dalam industri kapitalis tergambar ketika melihat relasirelasi kuasa yang terjalin dalam berbagai strukturnya, yaitu: antar-manajer, antara menajer dengan pekerja, antara berbagai kelompok pekerja. Sementara hubungan eksternal yang terkait dengan sistem internal, terlihat dalam bangunan hubungan dengan pihak-pihak luas, yaitu antara komunitas industri (manajer, pekerja dan organisasi pekerja) dengan komunitas di sekeliling industri. Sudah menjadi wataknya sejak lahir bahwa kaum aktor industri dalam dunia kapitalisme haus akan penguasaan sumber-sumber produksi, sehingga apapun sumberdaya potensial secara ekonomi, akan selalu ingin dikuasai secara sepihak demi kelanggengan produksi dan profit. Maka, tampilnya aktor industri dalam peraktek ketatakelolaan zakat, merupakan fenomena yang terbaca sebagai diliriknya zakat sebagai sumberdaya dan ini melahirkan persoalan ketika logika industri swasta yang berbasis kapitalisme bekerja dalam ketatakelolaan zakat dan menjadi basis ideologi dalam wacana tatakelola zakat. Hadirnya aktor swasta dalam wacana dan peraktek tatakelola zakat, membawa zakat masuk dalam wacana ekonomi produksi dan menjadi fenomena yang mengiring zakat masuk dalam wacana ekonomi sumberdaya dan memandang zakat sebagai komoditas yang bernilai ekonomi. Ketika dunia swasta bicara tatakelola zakat sama halnya menggiring zakat masuk dalam ideology kapitalisme dengan prinsip utilitarian dengan kepentingan profit maximization. 320 Menyerahkan kuasa tatakelola zakat kepada swasta, sama halnya dengan menjadikan zakat sebagai instrument ekonomi bagi penguatan produksi dan perolehan keuntungan dalam dunia swasta. Muzakki menjadi bagian dari pemilik modal yang menerapkan tindakan berzakat dan tatakelola zakat dengan orientasi kekuasaan ekonomi menuju perolehan keuntungan ekonomi. Zakat oleh pihak swasta dikelola atas dasar logika utilitarian, yang penekanannya cenderung diwarnai oleh pertimbangan utility maximization. Mustahik diberikan haknya atas pertimbangan dukungan perolehan keuntungan ekonomi atau terwujudnya kondisi yang mendukungan peningkatan produksi dan pengamanan usaha bagi perusahaan. Hal ini terlihat dalam LAZ-SP sebagai salah satu lembaga tatakelola zakat berbasis swasta dengan bangunan relasi berbasis relasi ekonomi industri. LAZ Semen Padang, mengelola zakat dengan berpayung pada wacana pemberdayaan kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Zakat wacanakan sebagai instrument pencapain kesejahteraan bagi masyarakat lemah dalam payung manajemen swasta. Dengan mengedepankan potensi ekonomi zakat, LAZ mewacanakan tatakelola zakat dengan manajemen ekonomi modern berbasis manajemen perusahaan. Kemiskinan sekitar perusahaan menjadi bagian penting sebagai fokus dalam wacana zakat dan pemberdayaan masyarakat lemah. Konsep tanggungjawab sosial (social responsibility) perusahaan mencuat sebagai ujung tombak dalam wacana tatakelola zakat yang disosialisasikan kepada para muzakki (karyawan perusahaan dan masyarakat luas) dan mustahik sekitar perusahaan. Pihak perusahaan dengan LAZ, membangunan pemahaman bahwa zakat adalah instrument kesejahteraan yang sangat potensial bagi pengentasan kemiskinan, sekaligus sebagai wujud tanggungjawab bersama kepada kaum lemah. Maka perusahaan yang di dalamnya terkumpul banyak orang yang dikenai sebagai wajib zakat, berkewajiban untuk mengelola zakat sebagai instrument pemberdayaan sekaligus sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan kepada masyarakat lemah. Wacana dan aksi ketatakelolaan zakat swasta diperkuat dengan mengkaitkannya dengan wacana dan aksi CSR (Coorporate Social Responsibility) sebagai bentuk upaya memberdayakan masyarakat miskin sekitar perusahaan. Kemiskinan disana dipandang sebagai persoalan sosial bagi masyarakat banyak sekaligus memberikan imbas bagi pihak kelancaran, keamanan dan efektifitas serta efisiensi proses produksi. Maka dengan menerapkan tatakelola zakat dalam perusahaan dipandang sebagai bentuk tanggungjawab sosial perusahan pada lingkungan sosialnya dengan harapan akan 321 memberikan efek teratasinya persoalan kemiskinan khususnya di sekitar perusahaan, yang selalu dipandang menjadi biang masalah sosial bagi masyarakat luas dan perusahaan. LAZ Semen Padang, dalam mengelola zakat karyawan perusahaan membangunan relasi yang memiliki trust yang cukup baik, namun nuasanya dingin. Turst terbangun dari sistem pertanggung jawabannya yang menggunakan jasa auditor independent dan melaporkan hasilnya kepada semua unsur yang bekerpentingan termasuk kepada pemerintah daerah dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Kepercayaan karyawan sebagai sumber pemasukkan dana zakat, juga terbangun dengan baik karena mereka juga diperbolehkan mengakses laporan keuangan hasil audit tahunan. Sedangkan mustahik, percaya dari karena program penyaluran dana zakat kepada mustahik, meski ada yang merasa kurang puas karena terlalu birokratis, namun mereka percaya karena telah melihat hasilnya. Penyaluran dana zakat yang tersebar dalam masyarakat dengan sosialisasi melalui perangkat RT dan Kelurahan dengan mengharuskan mustahik mendapatkan surat keterangan tidak mampu, cukup memberikan informasi kepada semua kalangan bahwa LAZ-SP menyalurkan dananya kepada mustahik yang tepat secara administrasi. Persoalan yang muncul di sini adalah kemampuan LAZ membangun kehangatan relasi antar lapisan dalam masyarakat, khususnya antara muzakki dan mustahik. Relasi sosial antara muzakki dan mustahik yang dibangun oleh LAZ bersifat diadik antara Manajemen LAZ dengan Manajemen Perusahaan, sementara antara Muzakki dengan Mustahik, nuansanya dingin dan hampir tidak ada komunikasi yang berarti karena segala proses tatakelola zakat dan distribusinya diambil alih oleh pihak manajemen LAZ bersama Perusahaan. Relasi sosial antara dua lapisan sosial yang seharusnya terbangun dengan baik malah mengalami decoupling. Relasi sosial yang hangat malah terjadi antara manajeman LAZ dengan manajemen Perusahaan, sementara relasi Manajemen Perusahaan dengan Muzakki nuansanya dingin karena tergantikan oleh relasi yang terknoratis melalui komputerisasi (computerize system). Relasi muzakki dengan LAZ serta muzakki dengan mustahik sangat kabur, dingin dan bahkan tanpa bentuk, karena proses pemungutan dan distribusi dana zakat menganonimkan muzakki. Relasi muzakki dengan LAZ hanya sebatas pemotongan gaji secara komputerisasi, sehingga yang hubungan yang terbangunan antara pihak LAZ dan muzakki diantarai oleh pihak perusahaan yang diwakili oleh bendaharawan gaji. Yang dikenal publik dalam 322 proses tatakelola zakat LAZ-SP hanyalah pihak manajemen LAZ dan manajemen perusahaan, sementara karyawan secara individu dianonimkan, mereka melebur dalam dalam manajemen LAZ dan perusahaan 7.5.3. Civil Society: Kemandirian dan Pemberdayaan Cohen dan Arato (1992) memandangan civil society sebagai ruang interaksi sosial mencakup semua kelompok sosial yang diciptakan melalui mobilitas diri secara independen, (Culla, 2006). Oleh Andre Gorz Civil Society diartikan sebagai jaringan sosial yang dibangun orang per-orang, dalam konteks komunitas yang terlepas dari otoritas lembaga negara, yang oleh Ernes Gellner (1995) dikatakan institusi non-pemerintah yang mengimbangi negara. Diamon (1994) menggambarkan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi keswasembadaan (self kemandirian (outonomy) dan bercirikan generating), kesukarelaan keswadayaan (self (voluntary), supporting), dan yang tinggi saat berhadapan dengan negara dan memiliki keterkaitan dengan norma yang dipatuhi dengan taat (Culla, 2006). Relasi dibangun atas dasar kerelaan ketimbang atas dasar kewajiban yuridis (Aditjondro, 1997). Sedangkan oleh menggambarkan civil society sebagai Gramsci (dalam Budiman, 1992), sekumpulan organisme ―privat‖ yang berbeda dengan negara yang oleh Gramsci disebut sebagai political society. (Gramsci, 1971 dalam Sparingga, 1997). Artinya bahwa konsep civil society menggambarkan bekerjannya anggota masyarakat secara bersama-sama dalam membina ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi untuk menggalang solidaritas kemanusiaan, mengejar kebaikan bersama (public good), yang dilandasi oleh prinsip-prinsip egalitarianisme inklusif universal berbasis budaya lokal. Gerakan civil society terkait dengan kelembagaan zakat, terlihat dari fenomena kelembagaan zakat berbasis budaya lokal dan komunitas lokal di bawah naungan kelembagaan Surau, Langgar, Masjid dan Pesantren. Berbasis semangat spiritualitas dan kolektifitas, tokoh agama dan elit komunitas berbasis kekuasaan kharismatik, mengelola zakat sebagai sebuah system pengamanan ekonomi bagi anggota komunitas yang miskin dan sekaligus menjadi instrument relasi antara kaum miskin dan kaya dalam komunitas. Tatakelola zakat berbasis komunitas semacam ini dalam sejarah telah terbukti mampu menjadi katup pengaman ekonomi subsisten masa lalu, dan bahkan telah memberikan manfaat yang besar 323 bagi penguatan kelembagaan komunitas dan menciptakan relasi yang hangat dalam masyarakat. Kehangatan relasi antara muzakki dan mustahik terbangun di sini. Relasi tersebut terbangun dalam keterbukaan informasi dan prosesi penyerahan zakat di masjid yang dapat disaksikan oleh banyak orang termasuk mustahik. Sang mustahik tahu siapa yang telah berzakat yang nantinya akan dibagikan kepada mereka. Begitu pula muzakki tahu persis siapa mustahik yang akan menerima manfaat dari zakat mereka. Relasi antar personal terjadi antara muzakki dan mustahik di masjid setelah atau sebelum sholat. LAZ Komunitas membangun relasi triadik yang hangat antara amil, muzakki dan mustahik. Relasi antara amil dan muzakki dalam peraktik penyerahan zakat, muzakki memberikan zakat sebagai bentuk kepatuhan pada ajaran dan anjuran amil , atas kepatuhan muzakki ini amil memberikan doa yang menyejukkan dan menenangkan bagi muzakki (Kochuyt, 2009). Kondisi yang sama antara muzakki dan mustahik terbangun dengan perantara amil membangun relasi sosial antara muzakki sebagai pembayar zakat dan muzakki sebagai penerima. Bangunan pertukaran dari resiprositas zakat adalah dalam bentuk materi zakat dan doa dari amil dan mustahik. Keterbukaan LAZ Komonitas terlihat dengan keterlibatan grasroot yang terlihat nyata dengan menjadi Masjid sebagai basis utama. Masjid bagi komunitas merupakan tempat yang terbuka luas untuk diakses semua orang, karena memang masjid merupakan tempat yang dikonstruksi secara sosial sebagai arena publik yang netral. Meski ruang masjid merupakan ruang di bawah kuasa ―takmir masjid‖, namun kekuasaan itu tidak sampai pada membatasi akses publik. Ruang kuasa mereka hanya pada batas memimpin ritual dan mengakses mimbar untuk dalam membangun wacana. Tatakelola zakat komunitas berbasis Masjid, memberikan ruang yang begitu luas untuk masyarakat mengakses dan terlibat dalam proses dari awal hingga akhir. Semua orang memiliki peluang akses dengan ruang yang sama, kecuali untuk memimpin ritual serah terima (ijab kabul) zakat dari muzakki, untuk ini harus mendapatkan restu dari agamawan dan pengakuan dari muzakki. Pada LAZ komunitas perlakuan khusus hampir tidak ada kecuali terhadap sosok agamawan kharismatik yang selalu mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari para anggota amil dan bahkan dari para mustahik. 324 Keterbukaan akses yang luas dan perlakuan sosial yang sama untuk semua, membuat LAZ relasi secara internal dan eksternal begitu harmonis. Penghormatan dan perlakukan yang lebih terhadap agamawan, merupakan kesepakatan bersama dan itu tumbuh melalui seleksi sosial yang damai meski memang ada nuansa hegemonik yang terjadi melalui wacana keberagamaan, keimanan dan keshalehan. Wacana ini membuat agamawan menempati ruang yang paling menguntungkan dan itu memang dibangun sedemikina rupa secara kultural dan mensejarah sebagai tradisi beragama komunitas yang menempatkan orang sholeh pada struktur tertinggi dan membawahi ekonomi kuat, pemimpin adat dan pemimpin pemerintahan. 7.5.4. Tatakelola Zakat : Peraktek Politisasi Moral Dua dimensi zakat (dimensi ketuhanan dan kemanusiaan) merupakan dua ruang yang selalu menyertai zakat dalam dunia peraksis. Zakat dalam dunia peraksis ditemukan memberikan efek kepada sang pelaku zakat (muzakki) secara individu. Sang muzakki selalu berorietasi memperoleh ketenangan bathin dan kenikmatan keimanan yang bermuara pada pencapaian derajat ‖taqwa‖, sebagai prestasi tertinggi dalam beragama. Namun pada dimensi sosial, sang muzakki juga pada saat yang sama tak jarang mendapatkan derajat sosial sebagai orang yang secara sosial dinilai sholeh, budiman dan dermawan, dan ini diperoleh dari penilaian para aktor tatakelola (Amil), mustahik dan masyarakat luas secara umum. Artinya bahwa zakat bisa membangun simbol atau label kepada sang muzakki dari masyarakat sebagai orang yang memiliki moralitas sosial yang terpuji dalam konteks beragama dan bermasyarakat. Amil sebagai sekumpulan aktor yang diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan tugas tatakelola zakat, mengakumulasi dan mendistribusikan dana zakat dari para muzakki, secara individu juga bisa mendapatkan efek individu sebagai orang yang beriman (taqwa) atas kepatuhan terhadap ajaran agama dengan memenuhi perintah sebagai amil, dan pada saat yang sama efek sosial juga mendapatkan simbol dari masyarakat sebagai sang amil yang ikhlas, mulia, suci, budiman dan berkemanusiaan, peduli kaum lemah karena telah meluangkan waktu dan tenaga untuk memfasilitasi ummat beribadah zakat sekaligus menyalurkan zakat untuk kaum lemah tanpa pamrih. 325 Simbol atau label moral yang selalu muncul secara sosial dari dari peraktek tatakelola zakat sebagai yang beriman, sholeh, budiman, deramawan dan peduli kaum lemah, seyogianya merupakan fenomena sosial yang lahir dengan sendirinya, tanpa direkayasa secara sosial. Konstruksi sosial terhadap para pelaku ibadah zakat sebagai orang memiliki moral sosial selalu mewarnai fenomena berzakat dan tatakelola zakat dan label sosial yang terkontruksi dari masyarakat menjadi kekuatan sosial yang menempatkan para pelaku zakat dan tatakelolanya dalam posisi sosial yang menguntungkan. Mereka dihormati, dipatuhi dan memberikannya peluang mendapatkan posisi sosial dan politik dalam masyarakat yang lebih dari yang tidak mendapatkan simbol moral serupa. Pada LAZ komunitas tatakelola yang berbasis masjid, menjadi bagian penting dari proses terbangunya simbol sosial dermawan dan kepedulian pada kaum lemah komunitas. Seorang muzakki yang patuh berzakat dan agamawan yang mengorganisir peraktik berzakat komunitas dalam struktur sosial komunitas, ditempatkan pada ruang yang memiliki kekuasaan dalam dunia sosial. Mereka menjadi patron bagi kalangan lemah, dan dikonstruksi sebagai kelompok orang yang memiliki keimanan dan kepedulian terhadap kesulitan orang lain. Mereka tak jarang di jadikan sebagai tempat para anggota komunitas yang miskin untuk berlindung secara sosial dan ekonomi bahkan dianggap sebagai dewa penolong. Seorang muzakki, dalam menjalan tradisi berzakat selayknya keuntungan dimensi individu dan sosial zakat akan tercapai secara bersamaan. Namun akan menjadi lain ketika dalam peraktiknya zakat mengalami intervensi dan direkayasa pada tataran praktik berzakat dan tatakelolanya. Yang paling memungkinkan untuk melakukan intervensi dan rekayasa tersebut adalah para aktor yang selalu muncul dalam tatakelola yang dikonstruksi sebagai kelompok yang memiliki hak kuasa atas tatakelola zakat. Misalnya : Agamawan, Pemerintah, dan Swasta yang terkonstuksi dalam masyarakat sebagai pemangku kuasa tertinggi dalam tatakelola zakat. Di sana muncul dominasi ruang dan menegasikan hak kuasa unsur zakat yang lain seperti muzakki dan mustahik dalam konteks tatakelola. Mereka menjadikan zakat sebagai instrumen membangun simbol-simbol moralitas yang mampu mengaburkan realitas yang berlawanan, sehingga terbangun konstruksi baru yang berbeda, yang prosesnya bisa mengarah pada peraktik politisasi moral. Hal bisa terjadi ketika tradisi berzakat dan tatakelolanya di terapkan sebagai instrumen pencitraan dengan kepentingan membangunan 326 simbol keimanan, keshalehan, dan kedermawanan para aktor dalam berbagai level, baik pada level komunitas, negara dan swasta. 7.6. Ikhtisar Benturan gagasan antara LAZ Komunitas dan BAZDA di provinsi Jambi begitu terlihat dan mewarnai wacana hingga pada peraktik tatakelola zakat. Gagasan tatakelola berbasis kuasa komunitas yang mempertahankan tradisi tatakelola zakat berbasis masjid oleh takmir masjid, berbenturan dengan wacana gagasan tatakekola zakat berbasis kuasa negara. Begitu juga dengan gagasan LAZ Swasta di PT. Semen Padang, yang mewacanakan tatakelola zakat berbasis kuasa Industri dibawah kuasa kelembagaan swasta. Benturan segitiga terjadi pada aras rasionalitas (asceticism /altruism, dengan developmentalism, profit dan utility maximization). Benturan gagasan kemudian melebar pada aras kepentingan sehingga ditemukan adanya perebutan objek kuasa ketika samasama memperebutkan muzakki sebagai sumberdana zakat. Perbedaan kepentingan mempertajam benturan dan bertemu ketika ketiganya memperebutkan simpatik masyarakat zakat (muzakki dan mustahik). LAZ dengan tawaran pengikatan keshalehan individu dan sosial untuk penguatan komunitas, BAZ Negara dengan tawaran pengemnatasan kemiskinan dan pembangunan untk kepentingan penguatan negara, dan LAZ Swasta yang menawarkan pemberdayaan masyarakat lemah dengan kepentingan kenyamanan usaha dan pengamanan investasi. Ketiga menjadikan mustahik sebagai komoditas dan memperebukan muzakki. Muzakki LAZ komunitas adalah warga komunitas yang sejahtera, yang juga pada waktu tertentu menjadi muzakki BAZ negara ketika sang muzakki sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau militer, dan sekaligus menjadi muzakki LAZ Swasta pada saat sang muzakki menjadi karyawan perusahaan. Sebagai warga komunitas dan sebagai PNS atau karyawan perusahaan, merupakan dua posisi yang selalu bersamaan sehingga ia diperebutkan oleh LAZ komunitas dengan BAZ negara atau LAZ swasta. Konflik pada level aktor tatakelola, terjadi akibat adanya dominasi antar aktor. Pada LAZ Komunitas, dominasi berada ditangan agamawan sebagai pemangku kuasa tertinggi dan mengkooptasi ruang gagasan ummat, karena kuasa pengetahuan ada dalam kuasa agamawan dibawah legitimasi budaya lokal. Pada level BAZDA , dominasi berada ditangan negara melalui aparatnya 327 dan mengkooptasi ruang gagasan warga negara dengan rezim pengetahuan negara dibawah legitimasi hukum formal. Selanjutnya pada level LAZ swasta, dominasi berada ditangan manajemen perusahaan sebagai pemilik dan penguasa sumberdaya dan perangkatnya. Pihak menajeman menkooptasi karyawan dengan logika rezim pengetahuan ekonomi dibawah legitimasi hukum ekonomi industri dan kebijakan formal perusahaan. Pada BAZDA dan LAZ Swasta, muzakki hampir tidak memiliki ruang kuasa untuk mengarahkan dan membentuk tindakan berzakat mereka. Di sini mereka diarahkan sepenuhnya oleh BAZ dan LAZ, mereka harus patuh dan tunduk dalam mekanisme berzakat yang telah ditentukan dalam kebijakan yang baku. Kekuasaan muzakki terampas dalam wacana delegasi kepada lembaga perantara kepada mustahik. Penolakan teredam oleh tekanan sistemik pada aras administasi dan birokrasi, dan resiko terancamnya sumber ekonomi (pekerjaan). Kepatuhanpun diwarnai dengan kepatuhan semu yang hanya untuk kepentingan pengamanan sosial dan ekonomi. Relasi antara muzakki dan mustahik, pada LAZ komunitas begitu hangat. Mereka yang berzakat mendapatkan penghormatan dan perlindungan dari para mustahik, karena mereka dianggap sebagai sosok yang mengayomi dan menyelematkan kaum lemah. Oleh karena itu amil bersama muzakki pada LAZ komunitas dikonstruksi sebagai orang yang baik, sholeh dan peduli kepada kaum lemah dan layak dihormati, dipatuhi dan bahkan dilindungi. Berbeda dengan muzakki di BAZDA , mereka tidak dikenal oleh muzakki, di lingkungan tempat tinggalnya mereka terkadang berbenturan dengan warga karena dianggap tidak berzakat. Mereka berzakat di BAZ dan yang mendapatkan penghargaan dari mustahik dan masyarakat luas hanyalah pemerintah dan aparatnya. Hal yang sama juga ditemukan di LAZ Swasta. Kalau relasi antara mustahik dan amil, pada LAZ komunitas, terjadi begitu hangat dan penuh penghormatan. Berbeda pada BAZ negara dan LAZ Swasta, kekecewaan dari para mustahik ditemukan karena dana zakat yang menurut mereka adalah hak mereka ternyata harus melalui proses meminta dan memohon dengan berbagai macam persyaratan administrasi. Perlakuan semacam ini bagi sebagian mustahik dianggap sebagai tindakan yang kurang manusiawi. Hal ini terjadi dari perbedaan paradigma dal memandang zakat serta perbedaan kepentingan yang menyertai sebuah sistem tatakelola.