BAB VII DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA

advertisement
VII
DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT
7.1.
Pendahuluan
Diskursus tatakelola zakat yang berkembang, berhujung pada lahirnya tiga
model tatakelola zakat, yaitu : Tatakelola zakat berbasis Negara, Komunitas dan
Swasta. Tiga model tersebut sebagai akibat dari adanya perbedaan basis
pengetahuan dan kepentingan yang melandasi diskursus ketakelolaan zakat.
Negara sebagai entitas sosial dengan kekuatan administrasi dan birokrasi,
mewacanakan tatakelola zakat dengan menggunakan teknik dan mekanisme
pencapaian kekuasaan melalui disiplin, norma, pengelompokan identitas,
penyeragaman dan pengawasan. Kekuasaan digambarkan dalam tatanan
disiplin, yang dihubungkan dengan berbagai jaringan. Disiplin dalam masyarakat
modern merupakan teknologi kekuasaan, dan bekerja sebagai kekuasaan norma
(Haryatmoko, 2003). Norma sebagai aturan yang menyatakan nilai bersama
dengan mengacu pada diri dan kelompok. Norma mengatur dan membatasi
perilaku, membuat perbandingan dan membentuk individu yang diinginkan.
Membangun kekuasaan melalui disiplin dan norma sebagai teknik dan
mekanisme, digunakan dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Pada
lembaga pendidikan, negara masuk melalui materi pembelajaran yang
disosialisasikan oleh aparat negara, di masjid masuk lewat khutbah dan ceramah
agama oleh agamawan negara, wacana melalui di media oleh aktifis, akademisi
dan para pakar pro negara. Di sinilah gagasan dan rasionalitas masyarakat
dibentuk dari waktu ke waktu dalam proses pelembagaan, sosialisasi dan
pemaknaan dan panfsiran secara simultan dan dialektis.
Pelembagaan zakat sebagai satu realitas sosial, tidaklah terbangun secara
spontan, akan tetapi melalui proses konstruksi sosial yang terjadi melalui
tahapan-tahapan membangun gagasan pada aras kognitif, yang prosesnya
berlangsung secara dialektis dan melintasi ruang objektif dan subjektif. Zakat
sebagai ajaran wahyu melembaga melalui proses sosialisasi dan ditafsirkan oleh
ummat dalam aras gagasan dengan dialog antara gagasan secara intersubjektif.
Pada dialog gagasan terjadi pertarungan rasionalitas pada aras individu antara
infomasi yang datang dari luar dengan perbendaharaan pengetahuan (stock of
247
knowledge) yang lebih dulu telah melekat dan bekerja mewarnai rasionalitas
individu. Bagaimana hasil dialog gagasan selanjutnya akan tereksternalisasi
sebagai satu realitas tindakan yang melembaga, dan ini sangat dipengaruhi oleh
seberapa kuat sebuah disiplin pengetahuan dan rasionalitas serta kepentingan
memberikan warna. Pada tabel 21 terlihat tiga lembaga tatakelola zakat sebagai
hasil dari dialog disiplin pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan.
Tabel 21 : Karaketristik Tiga Lembaga Tatakelola Zakat
1.
2.
3.
Kelembagaan
Pengetahuan
tatakelola zakat
Sistem rasionalitas
zakat
4.
Kepentingan utama
zakat
5.
Sumber Legitimasi
Negara
Swasta
Komunitas
BAZ Negara
Sains Modern
LAZ Industri
Sains Modern
LAZ Komunitas
Pengetahuan lokal
Politik dengan motif
politik dan
kekuasaan
Kekuasaan
Ekonomi dengan
motif ekonomi/ bisinis
Sosial dengan motif
kesejahteraan bersama
dalam komunitas
Kemandirian lokal
Hukum positif
Pengaman Usaha
dan Investasi
berorientasi
Akumulasi modal
Hukum positif
Norma tradisi
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah)
Pada tabel 21 terlihat bahwa tiga tatakelola yang terbangun dari kekuatan
pengetahuan, sistem rasionalitas dan kepentingan, dengan basis legitimasi yang
berbeda. BAZ Negara dan LAZ swasta yang menjadikan sains modern sebagai
basis pengetahuan, keduanya tunduk pada rasionalitas yang berbeda. BAZ
dengan rasionalitas politik karena menggunakan disiplin politik sebagai basis
pengetahuan, dan LAZ swasta menjadikan disiplin ekonomi sebagai basis.
Akibatnya BAZ negara tunduk dibawah logika politik dan LAZ swasta tunduk di
bawah logika ekonomi. BAZ negara dengan kepentingan kekuasaan dan
penguatan negara diperkuat dengan legitimasi hukum positif/formal, begitu juga
dengan
LAZ swasta yang berkepentingan pada pengamanan usaha dan
investasi. LAZ komunitas pada sisi yang berbeda dengan bebasis pengetahuan
lokal, tunduk di bawah rasionalitas sosial berbasis budaya lokal dan menekankan
kepentingan penguatan komunitas di bawah legitimasi norma dan tradisi lokal.
Zakat oleh komunitas, difahami sebagai ajaran agama yang berpotensi bagi
penguatan ajaran, sebaiknya di peraktikkan dengan semangat asketik berbasis
logika budaya lokal. Pemahaman ini berbenturan dengan gagasan zakat yang
dibangun negara, yang memandang zakat sebagai ajaran agama yang
berpotensi bagi penguatan negara, yang sebaiknya dilakukan dengan semangat
248
pembangunan. Begitu pula dengan kalangan swasta, memandang zakat sebagai
ajaran agama yang memiliki potensi ekonomi bagi pemberdayaan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebaiknya diterapkan dengan semangat
ekonomi dengan logika profit dan utility maximization.
Lembaga tatakelola zakat sebagai realitas objektif, terus mengalami
penafsiran dan pemahaman ulang pada proses sosialisasi secara subjektif pada
aras gagasan yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas
masyarakat.
Dalam
proses
inilah,
proses
konstruksi
dan
rekonstruksi
pemahaman zakat dan tatakelolanya terjadi secara simultan dan dialektis.
Akibatnya konstruksi atau malah rekonstruksi terjadi sebagai hasil pertemuan
gagasan dengan basis pengetahuan dan rasionalitas yang terkadang berbeda.
Konstruksi atau rekonstruksi baru sangat ditentukan oleh kekuatan rezim
pengetahuan yang bekerja dalam membetuk dan mewarnai sistem rasionalitas
yang memayungi wacana zakat dan tatakelolanya .
Negara yang menawarkan BAZ sebagai institusi tatakelola zakat, Swasta
menawarkan LAZ swasta dan Komunitas dengan LAZ komunitas, ketiganya
menawarkan logika dan kepentingan sendiri-sendiri. Negara dan Swasta
berbasis pengetahuan modern menawarkan sistem tatakelola modern dengan
kepentingan pembangunan dan penguatan kekuasaan. BAZ negara dengan
etika moral politik menekankan pembangunan dengan tujuan integratif bagi
negara dengan dukungan legitimasi hukum formal. LAZ swasta dengan etika
moral ekonomi menekankan akumulasi modal untuk pemberdayaan serta
pengamanan usaha dan investasi menuju tercapainya kesejahteraan.
Berbeda dengan komunitas, mereka menawarkan LAZ komunitas berbasis
pengetahuan lokal (local knowledge). Berbasis kearifan lokal, LAZ komunitas
menonjol kepentingan pencapaian keshalehan individu dan sosial sebagai wujud
dari penguatan komunitas. Penguatan lokal dan kemandirian terwujud dari
penguatan keimanan dan ketaqwaan yang memberikan efek bagi terwujudnya
ummat yang memiliki integritas dan kebersamaan yang kuat.
Pertarungan gagasan zakat antara negara, swasta dan komunitas dalam
diskursus tatakelola zakat tak terhindarkan dan melibatkan berbagai elemen
sosial dalam masyarakat. Negara yang diwakili oleh BAZ dan aparatnya
menawarkan tatakelola zakat yang melekat dalam lembaga dan instansi
pemerintah, dan menekankan kepada para pegawai negeri sipil (PNS), karyawan
249
BUMN dan BUMD untuk menjadi nasabah utamanya. Menggunakan aparat,
negara menyebarkan wacana ke semua kalangan, bahwa zakat seharusnya
dikelola oleh pemerintah. Wacana ini menyebar melalui mimbar masjid, lembaga
pendidikan dan media massa dengan memunculkan konsep-konsep: moderntradisional, profesional-musiman, efektif - tidak efektif, efisien - tidak efisien
sebagai pembanding dan kategorisasi. Konsep disebutkan kedua dilekatkan
sebagai identitas tatakekola zakat komunitas, dan yang pertama mencirikan dan
menunjukkan kelebihan BAZ negara.
Shihab (1992) berpandangan bahwa negara bertanggung-jawab atas
pelayanan dan kepentingan umum. Oleh karena itu negara berhak mengelola
zakat
sebagai sumber keuangan bagi negara yang dapat digunakan untuk
kepentingan umum. Namun Oleh John L. Esposito (1995), bahwa kedatangan
kolonialisme dan diperkenalkannya sistem pemerintahan sekuler, membuat
doktrin keagamaan menjadi terusik. Pelembagaan sistem pajak sekuler,
membuat zakat telah kehilangan posisi pentingnya dalam kehidupan muslim
sebagai sumber pembiayaan bagi penguatan civil society.
Mas‘udi (1991) yang pernah menyuarakan perjuangan untuk menyerahkan
pengelolaan zakat ke negara, mendapat respon hingga melahirkan UU No. 38
tahun 1999 tentang pegelolaan zakat (Abshar, 2005). Namun kelahiran UU ini
kemudian tidak menghentikan perjuangan kelompok yang menolak campur
tangan negara dalam pengelolaan zakat. Absar (2005) menolak negara dengan
alasan politik, bahwa jika kelembagaan zakat berada di bawah kekuasaan
negara, maka kekuatan civil society akan melemah karena zakat merupakan
salah satu sumber kekuatan civil society. Terlihat dari banyaknya masjid,
pesantren dan berbagai fasilitas keagamaan lainnya di beberapa daerah di
Indonesia, sumber pendanaannya dari zakat dan tanpa ada campur tangan
negara. Hadirnya Dompet Duafa Republika sebagai bentuk kepedulian atas
realitas kemiskinan, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Jakarta karena empati
bencana alam, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya lewat spirit
komunalitas masjid Al-Falah-nya. Ketiganya adalah sebagian dari bukti otentik
tentang adanya dialektika zakat dan civil society.
Kuasa tatakelola zakat pada level komunitas, diletakkan pada kuasa
kelembagaan kiyai yang dipangku oleh agamawan. Agamawan sebagai
pemangku kuasa pengetahuan terbangun dari wacana tatakelola zakat yang
250
dibentuk dan dibangun dalam diskursus zakat komunitas. Agamawan disana
dikonstruksi sebagai sosok yang paling berkompeten dalam pengetahuan zakat
dan tatakelolanya, sehingga menjadi tempat rujukan dan belajar tentang zakat,
sekaligus sebagai pengawal tradisi berzakat ummat.
Konstruksi sosial terhadap kuasa agamawan sebagai penguasa, pengawal
dan pengarah tindakan sosial berzakat, dibangun melalui proses sosialisasi
pemahaman zakat di masjid dan madrasah.
Pada proses ini pemahaman,
kesadaran, tindakan dan kepatuhan berzakat dibentuk dan diarahkan pada satu
lembaga pengelola zakat di bawah kuasa agamawan. Pengetahuan zakat yang
dibangun agamawan memposisikan dirinya sebagai penguasa dominan atas
kuasa tatakelola zakat, yang dimunculkan dalam konsep amil yang dirujuk dalam
wahyu perintah zakat. Muzakki (wajib zakat) dan mustahik (yang berhak
menerima zakat) dikonstruksi sebagai kelompok yang harus tunduk dan patuh
kepada agamawan.
Kuasa tatakelola zakat berbasis negara, diletakkan pada institusi negara di
bawah kuasa aparat negara. Kuasa tatakelola zakat didelegasikan pada lembaga
bentukan negara (BAZDA) yang dijalankan oleh aparat pemerintah. Wacana
zakat dibangun sedemikian rupa dan mewacanakan zakat sebagai kewajiban
beragama,
perintah
pembangunan
dan
pengentasan
kemiskinan.
Zakat
diwacanakan sebagai fenomena beragama yang terkai erat dengan wacana
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga disana negara menjadi
harus tampil sebagai kekuatan yang mengedepankan kepentingan masyarakat
banyak. Membangun rasionalitas zakat yang demikian ini, berbagai elemen dan
aparat
negara
ditampilkan
sebagai
perwakilan
suara
negara
untuk
mensosialisasikan zakat berbasis negara. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sebagai agamawan negara, tak luput ikut serta dan menjadi terdepan dalam
mewacakan tatakelola zakat berbasis negara. Mereka mendapatkan legitimasi
negara sebagai agamawan yang dilegalkan sehingga diluar mereka dianggap
tidak layak menyuarakan wacana zakat. Berbagai sarana dan media sosialisasi
digunakan mewacakan zakat terkait dengan wacana pembangunan dan
pemberdayaan dalam wadah kenegaraan. Zakat juga diwacanakan sebagai
bagian proses bernegara dan diatur dengan instrumen kuasa dan politik negara.
Pelembagaan zakat memiliki hubungan timbal balik dengan pengetahuan
(pemahaman) dan pelaksanaannya di dalamnya sarat dengan kekuasaan dan
251
kepentingan. Pengetahuan sebagai kekuatan yang bekerja membetuk gagasan
dan sistem rasionalitas menjadi kekuatan yang utama yang membentuk dan
mengarahkan
tindakan
berzakat.
Kekuatan
pengetahuan
menjadi
basis
penundukan atau bahkan peniadaan terhadap lembaga tatakelola zakat lainnya.
Konsep illegal muncul sebagai pengkategorian dan penaklukkan. LAZ komunitas
kemudian terancam illegal, terpinggirkan dari arena tatakelola zakat dan bahkan
ditiadakan, kecuali tunduk dengan disiplin dan norma negara yang diatur dalam
UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
7.2. Peta Kepentingan dalam Tatakelola Zakat
Pengejaran kepentingan merupakan salah satu motivasi mendasar yang
mendorong aktor untuk melakukan tatakelola zakat dan memilih salah satu
sistem tatakelola. Perbedaan sistem tatakelola yang di pilih dapat dijadikan
ukuran dalam melihat perbedaan kepentingan yang ada. Perbedaan kepentingan
lahir dari perbedaan basis pengetahuan dan rasionalitas, dan ini dapat dilihat
pada model dan sistem tatakelola zakat yang berkembang dewasa ini.
Kepentingan kekuasaan dan penguatan negara, merupakan motive penting
yang menonjol dari lahirnya tatakelola zakat berbasis negara. Hal sebagai akibat
dari bekerjanya disiplin ilmu politik dan menjadi basis pengetahuan dan
rasionalitas dalam tatakelola zakat berbagsi negara. Model tatakelola zakat
industri swasta lebih menekankan pada kepentingan perolehan akumulasi modal
dan pengamanan investasi sebagai akibat dipilihnya disiplin ekonomi sebagai
basis logika dan rasionalitsnya, sementara model tatakelola berbasis komunitas
lebih pada kepentingan penguatan dan kemandirian lokal dengan menjadikan
logika budaya dan pengetahuan lokal sebagai basis rasionalitasnya. Jika
dipertakan akan terlihat jelas bahwa tiga model tatakelola zakat yang
berkembang
memiliki
kepentingan
yang
tidak
tunggal
tapi
majemuk,
sebagaimana terlihat pada tabel 22.
Pada tabel 22 terlihat bahwa LAZ komunitas menekankan kepentingan
untuk mewujudkan kemandirin masyarakat lokal sebagai tujuan utamanya dan
selanjutnya juga bertujuan menciptakan kehangatan hubungan antara kelompok
kaya yang miskin dalam komunitas. BAZDA pada sisi lain menyuarakan zakat
dan pengentasan kemiskinan dan menekankan pada kepentingan penguatan
negara dengan tujuan mewujudkan stabilitas negara melalui pengamanan sosial
252
dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu negara berkepentingan juga dengan
potensi ekonomi zakat dan menjadikan zakat sebagai sumber pembiayaan
pembangunan. Sedangkan LAZ-SP sebagai salah satu model tatakelola zakat
menyuarakan pemberdayaan masyarakat miskin dengan kepentingan pada
pengamanan usaha dan investasi, makanya juga berkepentingan dengan
tatakelola zakat sebagai upaya mengakumulasi potensi ekonomi zakat untuk
pembiayaan mengatasi masalah sosial yang mengancam kenyamanan usaha
dan kemanan investasi.
Tabel 22 : Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat
Institusi
LAZ Komunitas di
Jambi
BAZDA Jambi
LAZ Semen
Padang
Orientasi
Kepentingan Utama
Kemandirian lokal
Penguatan Negara
Pengamanan usaha
dan Investasi
Kepentingan Sampingan
Solidaritas sosia membangun kehangatan
hubungan antara kaya dan miskin
Menjadikan zakat sebagai sumber pembiayaan
pembangunan
1. Akumulasi modal bagi pembiayaan mengatasi
masalah sosial sekitar perusahaan
2. Zakat digunakan sebagai instrument CSR
yang bermanfaat untuk membangun ―citra
positif perusahaan‖
Sumber : Data Primer 2008 (diolah)
Lembaga Amil Zakat (LAZ) Semen Padang juga menjadikan tatakelola
zakat sebagai instrumen CSR dalam rangka membangun citra positif perusahaan
di mata masyarakat. Konstruksi sosial tentang pengusahaan dan perusahaan
yang hanya berfikir mencari keutungan ekonomi dan mengabaikan lingkungan
sosial, berusaha diredam dan bahkan dibangun citra sebaliknya sebagai
perusahaan yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi pada masyarakat miskin
dan lingkungan sosial, melalui pemberian santunan atau bantuan zakat kepada
masyarakat sekitar perusahaan.
Pemberian bantuan dan santunan kepada masyarakat sekitar perusahaan
melalui LAZ atau bersama CSR, diharapkan akan mampu membangun
konstruksi berfikir masyarakat terhadap perusahaan sebagai perusahaan yang
peduli dengan masyarakat sekitarnya, sekaligus membangun citra bahwa
perusahaan memiliki kesadaran religius yang tinggi.
7.2.1. Peta Kepentingan dalam LAZ Komunitas Provinsi Jambi
Tatakelola zakat Komunitas berbasis masjid memiliki wilayah kerja yang
meliputi wilayah sebaran jamaah sebuah masjid yang dibatasi oleh wilayah Desa.
253
Sebuah masjid selalu dikelola Takmir Masjid32 dengan perangkatnya yang terdiri
dari Imam Masjid, Remaja Masjid, Guru Ngaji dan Tokoh Adat Desa. Dalam
peraktek tatakelola zakat, kesemua elemen ini selalu terlibat secara bersamasama di bawah kepemimpinan Imam sebagai pemangku kuasa tertinggi dalam
ruang sosial masjid. Ruang kuasa sang Imam dalam tatakelola zakat komunitas,
melingkupi: kuasa pengetahuan, dan kuasa peratik tatakelola (kuasa menerima,
kuasa distribusi, kuasa mengontrol dan kuasa memanfaatkan sumberdaya
zakat). Sang Imam merupakan sosok yang berkuasa penuh dan sepenuhnya di
patuhi oleh muzakki dan mustahik, karena dipandang sebagai orang yang paling
menguasai ruang zakat karena pengetahuannya yang luas tentang zakat.
Aparat
desa
bersama
elit
desa
memangku
kuasa
administrasi
pemerintahan desa. Dalam praktek pengelolaan zakat mereka ini berkuasa atas
legitimasi politik terhadap agamawan (sang Imam) sekaligus memegang kuasa
administrasi desa terkait dengan pendataan mustahik. Aparat desa membantu
memberikan informasi terkait dengan data mustahik sebagai kelompok yang
berhak atas dana zakat sesuai dengan keriteria yang telah ditentukan oleh
Agamawan sebagai Amil. Memutuskan untuk memanfaatkan atau tidak informasi
aparat desa tergantung pada agamawan. Artinya bahwa aparat desa kuasanya
hanya pada batas memberikan informasi, merekomendasi dan membantu
agamawan dalam pelaksanaan pengelolaan zakat komunitas.
Remaja masjid, sebagi perwakilan kelompok generasi muda desa, ikut
serta dalam proses tatakelola zakat sebagai pembantu agamawan dalam
menerima/mengumpulkan dana zakat dari Muzakki (wajib zakat) sekaligus
membantu menyalurkannya kepada yang berhak. Ruang kuasa yang dipangku
Remaja masjid sangat terbatas dan secara umum hanya sebagai pembantu
agamawan dalam hal administrasi penerimaan dan pendistribusian zakat
langsung ke rumah-rumah mustahik.
Keterlibatan banyak unsur masyarakat di atas, masing-masing berada
kepentingan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Terlihat pada tabel 23
tentang Ragam kepentingan dalam tatakelola zakat, bahwa secara kelembagaan
LAZ komunitas menekankan kepentingan kemandirian masyarakat lokal. Amilnya
berkepentingan pada penguatan ajaran agar agama, khususnya zakat dapat
32
Takmir Masjid adalah sekelompok orang yang menjadi pemangku kuasa kelembagaan masjid untuk
menjalankan kegiatan keagamaan dan pembangunan masjid.
254
ditegakkan dalam masyarakat. Muzakki dengan kepentingan asketik dan atau
altruistik untuk mencapai derajat keshalehan individu dan sosial serta
pengamanan sosial dari cap orang kaya yang kikir dari masyarakat, sedangkan
mustahik, kepentingan mereka atas terlaksananya peraktik berzakat dan
tatakelolanya hanya mengharap adanya santunan zakat untuk mengamankan
kondisi ekonomi mereka yang memang selalu dalam kondisi lemah.
Tabel 23 : Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas
Aktor
LAZ Komunitas di
Jambi
Amil
Muzakki
Mustahik
Orientasi Kepentingan Utama
Kemandirian lokal
Kepentingan moral sebagai
agamawan untuk Penguatan
ajaran
Asketik /altruistik bagi pencapai
keshalehan individu dan sosial .
Pengamanan ekonomi
Kepentingan Sampingan
Membangun hubungan hangat
antara kaya dan miskin
Akumulasi dana pembiayaan
penyiaran agama
Pengamanan sosial dan ekonomi
Pengamanan ekonomi surviva
Sumber : Data Primer 2008 (diolah)
LAZ sebagai lembaga tatakekola kepentingan utamanya bertujuan untuk
mewujudkan kemandirian masyarakat lokal di samping untuk membangun
hubungan harmonis dan hangat antara kaum kaya dan miskin. Amil menonjolkan
kepentingan utama pada kepentingan moral bagi penguatan ajaran atau tugas
moral menyiarkan dan menguatkan ajaran agama dalam masyarakat dan pada
saat yang sama amil juga berkempentingan terhadap dukungan dana untuk
pembiayaan penyiaran agama.
Muzakki sebagai nasabah atau sumber dana zakat, secara umum
berkepentingan pada pencapaian asketik dan altruistik menuju derajat
keshalehan individu dan sosial, dan dibalik itu juga berkepentingan pada
pencitraan sebagai orang kaya yang dermawan dan taat beragama sebagai
upaya pengamanan sosial dan ekonomi dalam komunitas. Sedangkan mustahik
sebagai salah satu sasaran pemanfaatan dana zakat, berkepentingan pada
perolehan santunan zakat sebagai perlindungan terhadap ancaman ekonomi
sekaligus sebagai pengamanan ekonomi.
Motivasi membangun kedekatan relasi dengan Allah SWT secara personal
sebagai orang sholeh, merupakan tujuan yang paling ditonjolkan oleh oleh para
aktor tatakelola zakat. Motivasi membangun relasi kepada sesama manusia juga
menjadi motif yang kental. Kepentingan politik dan ekonomi, dalam bentuk
penguatan kekuasaan mengarahkan dan menundukan ummat serta perolehan
255
keuntungan secara ekonomi dari tatakelola zakat, merupakan motif yang tidak
terlihat nyata, karena selalu terbungkus dalam konsep biaya syiar agama,
pembiayaan pembangunan dan pembiayaan pemberdayaan komunitas.
7.2.1.1. Kepentingan Moral
Memilih menjadi amil dalam tatakelola zakat komunitas, agamawan
termotifasi dengan keyakinan bahwa amil merupakan perintah Allah SWT, untuk
memungut zakat dari orang-orang yang dikenai kewajiban berzakat (muzakki)
untuk diberikan kepada para fakir miskin (mustahik). Menjadi amil, dijanjikan
pahala oleh Allah SWT, sebagai imbalan atas kepatuhan terhadap perintah dan
ajaran agama. Mengorbankan waktu dan tenaga dengan menjadi amil
merupakan pilihan dan dianggap sebagai salah satu cara membangun relasi
dengan Allah SWT, sekaligus membangun relasi kepada sesama manusia
menuju kesholehan.
Beberapa data lapang yang menunjukkan bahwa tujuan keshalehan
merupakan tujuan mendasar sebagai motif para aktor memilih terlibat dalam
praktek tatakelola zakat komunitas di provinsi Jambi seperti yang dipetik dalam
box 7.2.1.1, yaitu :
Box 7.2.1.1 : Kepentingan Moral Dalam Tatakelola Zakat Komunitas
Ungkapan Ust. A. HAS (59 tahun), menjelaskan bahwa :‖Menjadi Amil adalah perintah Allah SWT
supaya ada orang mengambil zakat dari harta orang kaya, untuk membersihkkan harta mereka. Allah
menyatakan bahwa dalam harta-harta itu ada hak orang lain. ... haknya orang miskin. .... karena ada
perintah Allah, maka wajib hukumnya ada Amil. Menjadi Amil hukumnya berpahala... ‖ Jadi amil itu harus
shidiq, istoqamah, amanah dan tablig.... jadi amil memudahkan orang untuk menunaikan zakat dan
membantu fakir miskin mendapatkan haknya dari harta orang kaya.
Ungkapan H. A. Az Imam Masjid Pemusiran (61 tahun) mengatakan bahwa : Kami menerima zakat
di kampung ini tidak sendiri, kami dibantu oleh Guru Ngaji, anak pengajian, Kepala Desa dan para ketua
RT. Karena kamilah Imam tetap (imang) Masjid jadi kami dipercaya untuk menjadi ketua Amil dalam
menerima zakat dari masyarakat yang ada di kampung ini. Orang yang datang ke sini cuma orang-orang
yang tinggal di kapung ini dan jamaah masjid kami. ....kadang-kadang ada orang dari kota yang bayar
zakat dengan kami, tapi dulunya memang orang dari sini.
Keterangan Makmur (43 tahun) Sekertaris Desa menyatakan bahwa : Menjadi anggota dalam
pengelolaan zakat tujuan kami untuk membantu terlaksananya perintah berzakat… kalau tidak ada amil
yang mengelola zakat, kemana orang kaya akan berzakat?.... bisa menyerahkan sendiri zakatnya,,, atau
mungkin tidak berzakat, … kalau ada amil orang mudah berzakat dan orang miskin mendapatkan haknya
dari amil…. ―
Kesamaan motif agamawan mengelola zakat dengan berzakat bagi
muzakki komunitas terlihat dalam fenomena zakat komunitas di desa Simburnaik.
Berzakat bagi muzakki merupakan tindakan asketik yang terdorong oleh rasa
keimanan dengan motif kepatuhan kepada ajaran agama dan kepada Allah SWT,
sebagai penyembahan dan wujud rasa syukur atas nafkah yang diperoleh.
Pahala sebagai akibat positif dari kepatuhan merupakan tujuan dominan yang
256
ditemukan dalam praktek berzakat bagi muzakki dan mengelola zakat bagi Amil.
Motif ini merupakan implikasi dari aras gagasan dan pengetahuan zakat yang
dibangun oleh agamawan. Zakat disosialisasikan oleh agamawan kepada ummat
bahwa berzakat merupakan ibadah yang dijanjikan pahala bagi yang
melaksanakannya dan diancam dosa bagi yang mengingkarinya. Pada konsep
dosa dan pahala di sini merupakan wujud bekerjanya rezim pengetahuan
sebagai kekuatan pendisiplinan dan norma (Haryatmoko, 2003) dalam bentuk
teknik dan mekanisme kekuasaan yang mengarahkan individu.
Mustahik sebagai kelompok orang yang dikonstruksi berhak menerima
dana zakat atau menerima manfaat zakat, menerima zakat karena terdorong
oleh motif ekonomi sebagai tujuan, karena memang mereka dikategorikan
sebagai penerima zakat karena pertimbangan ketidak mampuan ekonomi, dan
keterhimpitan persoalan ekonomi. Menerima zakat diyakini salah satu bentuk
pengabdian kepada Allah SWT, dan menolak berarti kesombongan dan itu
adalah dosa, karena zakat memang digariskan oleh Allah SWT sebagai hak
mereka. Dengan menerima zakat, bagi mereka juga dianggap sebagai bentuk
penghargaan yang tinggi kepada kaum kaya dan amil yang telah secara ikhlas
memperhatikan hak mereka. Sebagai bentuk tanda terima kasih mustahik
kepada muzakki dan amil adalah keikhlasan mendoakan sebagai batasan
minimal, dan sepantasnya bersedia memberikan bantuan tenaga tanpa pamrih
jika dibutuhkan.
Zakat sebagai rukun pribadi, di dalamnya terdapat paradigma ibadah ritual.
Ibadah ini bersifat vertikal (hablu-min-Allah) yang dikoridori tata aturan baku.
Pelaksanaannya bersifat pribadi atau individual, rukun pribadi bermuara pada
pembentukan karakter, akhlak yang berimbas pada kehidupan sosial individu.
Namun tidak sedikit yang memandang zakat, bukan sepenuhnya sebagai ibadah
ritual, tapi zakat justru merupakan ibadah ganda: vertikal dan horizontal. Aspek
muamalahnya lebih besar. Berasal dari muzakki, oleh amil, dan untuk mustahik.
Zakat dipandang sebagai instrumen membangun relasi hamba dan Tuhan, serta
instrumen membangun relasi kemanusiaan lintas struktur pada tiga sisi, yaitu :
amil (agamawan), muzakki (orang kaya) dan mustahik (orang miskin).
Paradigma kesalehannya bersifat sosial. Hubungan silaturahmi yang erat;
persatuan dan kesatuan umat yang kuat; terjalin kerja sama dalam komunitas,
dan praktek saling menolong berlangsung baik, meski tidaklah sepenuhnya
257
membuktikan relasi yang demikian berjalan maksimal. Yang terlihat terkadang
silaturahmi
yang
bersifat
formalitas;
persatuan
dan
kesatuan
sangat
fragmentaris; di bawah alam sadar timbul saling curiga; tak terjalin kerja sama
dalam komunitas; dan praktek saling menolong tak maksimal. Hakikat zakat
berasal dari muzaki dan ditujukan untuk mustahik, lebih pada relasi kepuasan
dan
penundukan
yang
disertai
kepentingan-kepentingan
yang
bersifat
pengamanan sosial dan ekonomi.
7.2.1.2. Kepentingan Kekuasaan dan Pengamanan Sosial Ekonomi.
Mengelola zakat bagi aktor tatakelola zakat desa Simburnaik difahami
sebagai perintah memperhatikan dan memikirkan nasib kaum lemah, dan titik
penekanannya tertuju pada pertimbangan membangun simbol keshalehan sosial
dari tindakan kemanusiaan. Mengorbankan waktu dan tenaga untuk pengelolaan
zakat, dengan membantu mengambil hak-hak ekonomi kaum mustahik dari
tangan kaum muzakki, dipandang sebagai praktek membantu meringankan
beban dan mengamankan masa depan kaum lemah. Seperti yang digambarkan
oleh JAR (2008) dalam wawancara, yaitu :
‖Menjadi amil itu perintah menegakkan agama Allah. Menjadi amil itu
adalah kebaikan karena meningkatkan iman dan taqwa orang banyak
dan dijanjikan pahala yang besar ,......perintah Allah yang
mengharuskan adanya amil memiliki maksud tertentu..., ....salah
satunya adalah untuk melindungi hak-hak orang miskin. Amil
berperan sebagai perantara orang kaya dan orang miskin,
amil
bertugas mendorong dan mendesak agar orang kaya mengeluarkan
zakatnya... kalau tidak ada amil yang terus mendorong dan motivasi
orang kaya berzakat maka mereka akan seenaknya, mengeluarkan
zakat semaunya .... atau malah tidak berzakat‖
Menjadi amil diyakini sebagai tindakan kebajikan dan melambangkan
kesalehan dengan membantu meringankan beban kaum dhu‘afa‘ (kaum lemah)
dan
mustadh‟ifiin
(orang
terpinggirkan).
Menjadi
amil
bagi
agamawan
mengandung motif membangun pemaknaan sebagai orang yang sholeh, yang
pantas dihormati, dihargai dan dipatuhi oleh ummat, dan untuk memperoleh dana
zakat bagi pembiayaan tugas sebagai agamawan.
Melalui proses objektivasi, internalisasi (Berger, 1990), konsep Amil
disosialisasikan
para agamawan desa Simburnaik melalui mimbar masjid,
langgar maupun di pengajian-pengajian. mensosialisasikan bahwa amil sebagai
salah satu dari kelompok yang berhak menerima zakat, dan karena posisinya
258
dan sebagai pemimpin agama, mereka berhak mengelola zakat. Agamawan
membangun konstruksi sosial ummat sedemikian rupa melalui ceramah sebagai
momen objektivasi dan internalisasi, dan hasilnya amil dikonstruksi sebagai yang
berkuasa dalam tatakelola zakat sekaligus berhak atas manfaat dana zakat,
sebagai bentuk eksternalisasi. Rasionalitas ummat diarahkan kepada kepatuhan
terhadap amil dalam praktek berzakat. Konstruksi pengetahuan ummat tentang
amil dibangun, dan menempatkan amil sebagai sosok yang dianggap sholeh
karena peduli terhadap kebaikan muzakki maupun mustahik tanpa pamrih.
Pekerjaan amil dalam wacana tatakelola zakat digambarkan sebagai tindakan
untuk meningkatkan kesadaran beragama dan yang layak menjadi amil adalah
orang yang memiliki pengetahuan luas tentang agama (imam, ustad atau guru).
Pemahaman ummat tentang amil kemudian mensyaratkan penguasaan
pengetahuan agama yang luas, dan ini menempatkan agamawan sebagai sosok
yang paling tepat. Di sinilah letak kekuatan dan kekuasaan agamawan dibangun
dari kekuatan pengetahuannya ketika ia memasuki ruang amil, dan seketika ia
menduduki posisi sosial yang memiliki kuasa bersuara dalam mengarahkan para
muzakki untuk berzakat sekaligus berkuasa mendistribusikan dana zakat pada
sasaran yang menurutnya tepat. Pada tahap ini disiplin dan norma Foucault
(Haryatmoko, 2003) digunakan sebagai teknik dan mekanisme kekuasaan
melalui institusi zakat. Kepatuhan para muzakki dan mustahik melaksanakan dan
menerima perlakuan sang amil inilah yang kemudian berwujud penaklukan dan
penundukan ummat sebagai wujud bekerjanya pengetahuan dan kekuasaan
melalui aras kognitif.
Muzakki desa Simburnaik
menyadari sebagai orang dikenai kewajiban
berzakat, melaksanakan zakat atas kepentingan pencapain derajat keshalehan
individu, namun menyerahkan zakat dengan mekanisme amil atau langsung
kepada yang berhak, dipengaruhi oleh motif masing-masing muzakki. Berzakat
melalui amil merupakan bentuk penundukan kepada agamawan sebagai
pemimpin agama komunitas. Mematuhi anjuran dan petunjuk agamawan akan
memberikan efek sosial yang besar berupa kesediaan sang agamawan
memberikan pelayanan ritual agama bagi muzakki. Menjadi muzakki yang taat
kepada agamawan membuat agamawan sangat responsif pada kebutuhan sang
muzakki.
Sebaliknya bagi mereka yang tidak mematuhi agamawan untuk
berzakat lewat amil, selalu dianggap sebagai orang kaya yang kikir dan ingkar
259
serta kufur nikmat, bahkan terkadang kurang diabaikan oleh agamawan ketika
mereka membutuhkan pelayanan dalam ritual-ritual agama.
Seorang agamawan dikonstruksi oleh masyarakat Simburnaik sebagai
orang yang memiliki kemampuan supranatural dan kedekatan dengan Allah
SWT, sehingga mereka dianggap orang yang memiliki kemampuan luar biasa
dan doa-doanya selalu dikabulkan. Berzakat kepada agamawan (Amil), yang
diharapkan adalah berkah berupa kemurahan rejeki dan doa-doanya yang
makbul. Muzakki yang terdorong dengan motif seperti ini, selalu pada saat
berzakat
memohon agar sang amil mendoakan keberkahan dan kemurahan
rejeki agar hartanya dilipat gandakan oleh Allah. Pengejaran motif ini ditemukan
beberapa muzakki yang berzakat secara khusus kepada agamawan tertentu
dianggap khusus.
Berzakat dengan cara langsung ke mustahik atau yang berhak, muzakki
Simburnaik dipengaruhi oleh motif perlindungan diri agar tidak dikatakan sebagai
orang kikir dan sombong dari banyak orang, khususnya dari kalangan kaum
lemah. Oleh karena itu sang muzakki memilih berzakat langsung kepada orangorang yang dianggap sangat memungkinkan untuk menilainya dan berpotensi
membangun konstruksi negatif atau positif tentang dirinya. Di sini terjadi pilihanpilihan yang berbeda antara muzakki berdasarkan tipologi keluarga. Bagi mereka
yang berprofesi sebagai pengusaha dan pedagang, lebih sering memberikan
zakatnya kepada buruh pasar, pekerjanya dan tetangganya, bagi keluarga petani
dan nelayan lebih sering kepada keluarga dan kerabatnya.
Berzakat langsung kepada mustahik bagi muzakki di sini, merupakan upaya
penyelamatan dan pengamanan sosial dari ancaman kecemburuan sosial dari
masyarakat luas. Selain itu mereka juga dipengaruhi oleh motif penguatan posisi
sosial dengan harapan bisa diperoleh dari penundudukan dan kepatuhan para
mustahik yang telah diberikannya zakat. Respon sosial dari para mustahik
berupa penghormatan, penghargaan dan kesediaan mengorbankan tenaga dan
waktu untuk membantu sang muzakki, atau patuh dengan keinginan dan
kepentingan sang muzakki sebagai majikan, keluarga dan tetangga.
Mustahik desa Simburnaik, menerima pemberian zakat dianggap sebagai
bentuk penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada kaum kaya dan amil
yang telah secara ikhlas memperhatikan hak mereka. Oleh karenanya sebagai
tanda terima kasih, mereka mendoakan kaum muzakki dan amil serta siap
260
dengan rela memberikan bantuan tenaga jika dibutuhkan. Mustahik menerima
zakat di sini terdorong oleh motif penyelamatan ekonomi karena desakan
kebutuhan yang tidak seimbangan dengan pendapatan mereka. Menerima zakat
langsung dari muzakki atau melalui amil keduanya memberikan pengamanan
pada pemenuhan kebutuhan survival.
Kepentingan sosial masing-masing aktor dalam praktek zakat dan
tatakelolanya, terajut dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya dalam
satu sistem kuasa dan pengetahuan di bawah kendali agamawan dalam ruang
konstruksi sosial keshalehan. Di balik kepentingan membangun keshalehan,
agamawan juga berkepentingan pada penaklukan masyarakat zakat dalam ruang
kuasanya, untuk mengarahkan dan memobilisasi kelompok ekonomi atas tunduk
dan patuh dalam kuasanya, sekaligus membangun relasi yang bersinergis
dengan kaum kaya sebagai penunjang ekonomi dakwah.
Pengejaran tujuan
pengamanan sosial dan penundukan terhadap aktor lain oleh muzakki, bekerja
secara halus hampir tidak tersadari oleh amil dan muzakki karena terbungkus
dalam konsep kesalehan dan kepedulian sosial. Sementara kepentingan sang
mustahik terbaca dengan jelas karena melekat dalam realitas kondisi ekonomi
yang serba terbatas.
Persentuhan kepentingan antar aktor dalam ranah ini, menempatkan
mustahik pada ruang paling sempit yang selalu terhimpit dan terkalahkan oleh
aktor-aktor lainnya, meski mereka memiliki ruang kuasa untuk mendesak
muzakki berzakat dengan momok sosial sebagai orang kikir atau kehawatiran
dari ancaman keamanan harta. Amil menempati ruang yang paling luas, karena
mereka memiliki ruang kuasa pada ranah pengetahuan yang bisa membangun
dan membentuk konstruksi sosial zakat pada aras kognitif, dan kemudian
menjadi pijakan tindakan aktor lain. Sementara muzakki menempati ruang kedua
sebagai aktor yang memiliki ruang yang sedikit bebas untuk menentukan
berzakat melalui amil atau langsung ke muzakki dan berzakat dengan mustahik
mana yang mereka inginkan sesuai dengan kepentingan mereka.
7.2.1.3. Kepentingan Penguatan Ajaran Agama
Delapan kelompok penerima zakat (asnaf delapan), jika di sederhanakan
akan menjadi tiga kelompok utama yaitu : 1) kelompok lemah secara ekonomi
(fakir, miskin, gharim, memerdekatan budak dan musafir yang kehabisan biaya),
261
2) kelompok yang lemah iman dan butuh pengayoman untuk penguatan imam
(mu‘allaf), dan 3) pejuang di jalan Allah (penguatan agama) (Amil dan Ibnu-sabiil
/untuk jalan Allah). Kesemua ini oleh Amil zakat Komunitas di berikan zakat
karena diyakini terkait dengan penguatan agama dan syiar agama.
Kelompok yang lemah secara ekonomi, diberikan hak menerima zakat
untuk menjaga agar keimanannya tidak melemah karena desakan kemiskinan.
Orang yang lemah secara ekonomi diyakini sangat rawan luntur keimanannya
dan bahkan dianggap bisa mengarah pada kekufuran (murtad). Kelompok yang
lemah imannya diberikan zakat dengan harapan zakat akan mengamankan dan
memperkuat imannya. Muallaf sebagai orang yang baru menganut Islam
dianggap imannya masih sangat labil, oleh sebab itu untuk menguatkan
keimanannya dilakukan pendekatan dengan santunan zakat. Di sini agamawan
(sebagai amil) berkepentingan untuk menguatkan keimanan ummat yang lemah
tersebut dengan menggiatkan zakat ummat untuk memberikan keringanan dari
beban sosial dan penderitaan ekonomi yang mengancam iman kaum lemah.
Tujuan penguatan agama merupakan tujuan yang tampak menonjol di
kalangan agamawan desa Simburnaik yang terjun dalam tatakelola zakat.
Menggiatkan zakat di kalangan komunitas pedesaan Simburnaik selalu ada
alokasikan untuk pembiayaan penguatan dan penyiaran agama dalam bentuk
dana pembangunan sarana ibadah, pendidikan dan pembiayaan bagi orang yang
berjuang untuk menegakkan agama dari dana zakat.
Dialokasikannya sebagian dari dana zakat untuk amil/pengelola, di
lapangan ditemukan bahwa, meski memang bukan tujuan utama, namun
ternyata alokasi ini merupakan salah satu faktor penarik mengapa orang tertarik
dan mau mengorbankan waktunya untuk mengelola zakat. Seorang Amil terlibat
dalam praktek pengelolaan zakat sebagai konsekwensi sebagai Imam atau Guru
Agama dalam komunitas. Mengelola zakat di samping motivasi nilai (pahala),
mereka juga termotivasi oleh adanya keuntungan material berupa alokasi dana
zakat sebagai bagian amil yang telah ditetapkan dalam ajaran agama.
Pengakuan H. A.AZ (61 tahun) menyatakan bahwa :
‖...jatah zakat untuk amil buat saya bukan tujuan, tapi karena
memang Allah mengatur bahwa amil memiliki hak dalam dana zakat
yang terkumpul dan itu ada aturannya dalam agama,...jadi yah
diterima aja, paling tidak untuk ganti uang rokok dalam mengurus
zakat....‖
262
Artinya bahwa bagian zakat seorang amil di sini bukan tujuan utama,
namun muncul juga sebagai tujuan sampingan dan ini cukup berarti karena
sebagai pengganti biaya kebutuhan pribadi yang dikeluarkan dalam proses
pegelolaan zakat. Temuan lain yang mendukung bahwa bagian zakat untuk amil
itu menjadi bagian dari motif dalam mengelola zakat adalah; ditemukan adanya
Guru Ngaji yang enggan mengelola zakat di Masjid jika hanya mendapatkan
bagian hanya sebagai Guru Ngaji tanpa mendapatkan bagian sebagai amil
sekaligus. Kengganan itu cenderung ditunjukkan dengan jarang ikut serta atau
malah selalu menghindar untuk menjadi amil manakala tidak ada keyakinan atas
kepastian adanya bagian sebagai amil dan bagian sebagai guru ngaji.
Temuan ini menunjukkan bahwa dalam pengelolaan zakat ada motif
peroleh dukungan ekonomi dalam mengelola zakat, meski memang tidak bisa
dinyatakan sebagai motif utama yang bisa digeneralisir.
Namun temuan ini
menunjukkan kepentingan atas perolehan keuntungan ekonomi dari mengelola
zakat dan sekaligus mewarnai pengelolaan zakat berbasis komunitas di Jambi.
Status sosial Agamawan (Imam atau Guru Agama) di Simburnaik diidentikan
dengan kesederhanaan hidup dan keterbatasan ekonomi, bahkan ada yang
ekonominya sangat lemah. Mereka dalam menjalankan perannya sebagai
pemangku agama tidak pernah ada tunjangan atau gaji dari komunitas atau
pemerintah desa atas tugasnya melayani masyarakat. Maka mendapatkan
santunan zakat seakan dianggap pantas, bahkan ada sejumlah warga yang
secara konsisten memberikan zakatnya khusus untuk agamawan tertentu.
Praktek membangun pemahaman bahwa Imam dan Guru Ngaji merupakan
sosok yang layak mendapatkan keuntungan yang bersifat materi dari komunitas
secara perorangan maupun kelompok, terjadi melalui mekanisme ritual agama
dan budaya termasuk dalam proses pendidikan. Pesan-pesan moral dari
agamawan (khatib/penceramah) memunculkan wacana bahwa agamawan
merupakan sosok yang layak diberikan santunan (shodaqah atau passidekkah)
untuk menunjang kelancaran tugasnya mengembangkan agama. Memberikan
santunan atau sumbangan kepada mereka adalah berpahala dan bahkan lebih
besar pahalanya dibanding dengan shadaqah kepada kebanyak orang.
Pemahaman dan keyakinan yang demikian, merupakan bentukan dari aktor
pengelola zakat melalui mekanisme membentuk, membangun, dan mengontrol
pengetahuan agama komunitas. Agamawan sebagai sosok orang yang diberikan
263
kuasa atas ruang agama dan ruang sosial yang lebih luas, dalam konteks
tertentu membentuk, membangun dan mengarahkan pengetahuan agama
komunitas pada satu titik yang efek praktisnya memberikan keuntungan ekonomi
bagi agamawan. Hal ini selalu tidak terlihat nyata, karena terbungkus oleh nilainilai dan pesan-pesan agama dan budaya yang sangat rapih.
7.2.2. Peta Kepentingan dalam BAZDA Jambi
Penyeragaman sistem tatakelola zakat dianggap penting, sehingga untuk
mencapai itu dikeluarkanlah UU. No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
sebagai satu kebijakan pemerintah yang salah satu tujuannya adalah untuk
menyeragamkan sistem tatakelola zakat di Indonesia. Konsekwensi yuridisnya,
semua model lembaga tatakelola zakat diharus untuk tunduk pada UU tersebut
jika ingin dinyatakan legal dalam bentuk pengukuhan.
Optimalisasi pengelolaan zakat dalam wacana zakat negara juga muncul
sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi ummat untuk
berzakat pada lembaga pengelola zakat resmi yang telah mendapatkan legalitas
dari negara. Ini berawal dari dugaan bahwa rendahnya kesadaran berzakat
karena lemahnya motivasi berzakat kepada masyarakat oleh lembaga zakat
yang ada serta melemahnya kepercayaan pada lembaga zakat tradisional
(karena dianggap tidak profesional). Untuk itu diperlukan kekuatan politik, tenaga
yang profesional, dan lembaga dengan program kerja yang jelas dan terpercaya.
Tingginya angka kemiskinan Indonesia yang menempatkan negara ini
dalam deretan negara-miskin dunia, sebagaimana laporan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development
Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107
dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25),
Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat
Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada
di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial
secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera
disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun
mendatang (Suharto, 2007; UNDP, 2007). Hal ini membuat negara harus
innovatif mencari sumber-sumber baru bagi pembiayaan pembangunan dan
pemberdayaan.
264
Menjamurnya penduduk miskin yang membutuhkan bantuan dan santunan
sosial untuk mengatasi kesulitan hidup menjadi bagian penting dan alasan
mengapa zakat kemudian di lirik untuk dijadikan lembaga kemanusiaan dan
menjadi tempat orang untuk menyalurkan zakat sebagai bentuk ibadah yang di
pahami oleh banyak aktor tatakelola zakat sebagai instrumen kemanusiaan.
Tabel 24 : Ragam Kepentingan dalam Badan Amil Zakat Daerah
Aktor
BAZDA Jambi
Amil
Muzakki
Orientasi Kepentingan Utama
Penguatan Negara
Penguatan politik
Pengamanan politik
Mustahik
Pengamanan ekonomi
Kepentingan Sampingan
Pembiayaan pembangunan
Pengamanan ekonomi
Pengamanan politik birokrasi dan
ekonomi (perlindungan ekonomi)
Pengamanan ekonomi survival
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah)
Pada tabel 24 terlihat bahwa : BAZDA sebagai lembaga pengelola zakat
negara atau pemerintah, berkepentingan pada penguatan negara. Masalah
sosial khususnya kemiskinan yang selalu menjadi masalah rumit selalu mencuat
sebagai masalah penting bagi negara, maka dengan mengelola zakat diharapkan
mampu menjadi salah satu sumber pembiayaan untuk pembangunan khususnya
mengatasi persoalan kemikinan dan ketidak berdayaan masyarakat.
Amil atau aparat BAZDA yang merupakan aparatur negara, memandang
zakat sebagai potensi besar karena menyangkut orang banyak. Maka dengan itu
mengelola zakat bagi mereka berpotensi mendukung penguatan posisi politik
dalam masyarakat. Dengan terlibat dalam pengurusan zakat sebagai aparat
zakat, memberikan peluang untuk menduduki posisi strategis dalam tatakelola
zakat, sekaligus menguasai arena zakat dan masyarakat zakat. Kepentingan lain
yang tak kalah pentingnya adalah pengamanan kerja dan ekonomi sebagai
aparat negara yang bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dari mengelola
zakat sebagai aparat BAZDA yang digaji oleh negara.
Kepentingan muzakki di sini bisa diwarnai oleh kepentingan pengamanan
politik, karena pengawai negeri sipil dan militer serta karyawan BUMN dalam
tatakeola zakat ternyata bersentuhan dengan kekuasaan politik khususnya dalam
hal penempatan dan reposisi jabatan strategis dalam birokrasi. Muzakki di
BAZDA berzakat motif utama yang mencuat memang motif asketik, namun
dalam perlaksanaannya selalu disertai oleh kepentingan politik dalam bentuk
upaya pengamanan dan penguatan posisi politik dalam birokrasi. Apalagi
265
munculnya wacana bahwa untuk kenaikan kepangkatan, kepatuhan berzakat di
BAZDA akan menjadi bagian dari persyaratan. Muzakki dari kalangan pegawai
negeri sipil (PNS) dan militer yang berposisi sebagai nasabah utama BAZDA ,
patuh berzakat di BAZDA, juga diwarnai oleh pengamanan ekonomi atau
pekerjaan serta pengamanan relasi birokrasi dan administrasi di tempat kerja, hal
ini dikarenakan dalam beberapa kasus, bagi mereka yang tidak membayar zakat
di BAZDA mendapatkan tekanan bahkan teguran dari atasan langsung.
Mustahik sebagai kelompok yang berhak menerima manfaat dan efek dari
pemanfaatan dana zakat, di BAZDA mereka berkepentingan terhadap peroleh
dana zana zakat sebagai pengamanan ekonomi survival. Karena kondisi
kemiskinan atau keterbatasan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
membuat mereka hanya memiliki kepentingan pada pengamanan pemenuhan
kebutuhan minimal atau kebutuhan bertahan hidup. Oleh karena itulah makanya
dalam banyak bukti, pemanfaatan zakat selalu tidak signifikan pada peningkatan
kesejahteraan. Karena memang kepentingan mustahik pada dana zakat baru
sebatas mengatasi kebutuhan minimal dan belum sampai pada kepentingan
pada
pemenuhan
kebutuhan
permodalan
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan hidup.
7.2.2.1.
BAZDA : Kepentingan Kekuasaan Politik - Ekonomi
Kebijakan politik yang terkait dengan pengelolaan zakat, muncul dalam
pembahasan Thaba (1996) ketika menguraikan pola hubungan yang terbangun
dalam tiga fase, yaitu : 1. Fase Antagonistik (1967-1982), 2. Fase Resiprokal
Kritis (1982-1985) dan, 3. Fase Akomodatif (1985-1994). Fase Akomodatif
sebagai awal terakomodirnya zakat dalam kebijakan negara. Mengambil contoh
lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama nomor 47 tahun 1991
dan Menteri Dalam Negeri nomor29 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil
Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS). SKB Menteri tersebut pada pasal 3
menyatakan bahwa : BAZIS merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang
didirikan oleh Ummat Islam secara berjenjang sesuai kebutuhan di Daerah
Tingkat I, Daerah II, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan (Salim, 2003). Namun jika
merunut sejarah wacana zakat dalam ruang politik Orde Baru justru yang
dikatakan Oleh Azis Thaba (1996) sebagai fase Akomodatif (1985-1994),
sesungguhnya juga tampak pada fase antagonis (1967-1982). Pada fase yang
266
dikatakan oleh Azis Thaba sebagai fase antagonis justru Menteri Agama telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (Permenag) nomor 4 tahun 1968
tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, yang kemudian disusul dengan
Peraturan Menteri Agama nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal
yang berstatus Yayasan. Tak lama kemudian Presiden Soeharto mengeluarkan
Surat Edaran no. B.133/Pres/11/1968 yang ditujukan kepada instansi dan
pejabat terkait agar mereka membantu pelaksanaan zakat di wilayah ruang kerja
masing-masing, yang akhirnya menjelma dalam lembaga pengelola infak dan
shadaqah pengawai negeri atau pejabat negara dengan status yayasan dengan
nama Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP).
Perjalanan panjang wacana zakat dalam ruang politik di negeri ini
berhujung pada lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Sejak ini, maka manakala orang menyuarakan zakat dan pengelolaannya tidak
bisa dilepaskan dari dialektika antara pergumulan nilai tradisi, norma dan budaya
yang hidup dalam masyarakat dengan sistem tata negara. Artinya sejak itu
tatakelola zakat telah diintegrasikan dalam sistem hukum nasional, dan menjadi
realitas kehidupan hukum yang berada dalam ruang kekuasaan politik negara
dan telah menjadi bagian dari kehidupan bernegara. Akibatnya mainstream
masyarakat muslim tentang zakat, yang tadinya berada pada ruang komunitas,
perlahan digiring masuk dalam ruang sistem negara. Di sana diatur tentang
bentuk, kerja, arah program, pertanggungjawban dan evaluasi. Semua praktek
tatakelola zakat diharuskan tunduk dalam mekanisme yang di atur oleh UU
dalam konteks beragama dan bernegara secara bersamaan.
Pengelolaan zakat secara profesional oleh aktor tatakelola zakat BAZDA
dianggap akan memberikan beberapa keuntungan, di antaranya, yaitu:
Pertama, lebih bisa menjaga keikhlasan dari muzakki (orang yang membayar
zakat). Meskipun tidak ada parameter keikhlasan, namun penyakit riya‟ bisa
muncul jika muzakki langsung memberikan zakat kepada mustahik (penerima
zakat). Kedua, bisa menjadikan muzakki disiplin dalam membayar zakat. Karena
petugas pengambil zakat (amilin) akan selalu mengingatkan muzaki, jika sudah
tiba waktunya harus membayar zakat dan diatur oleh aturan yang memiliki
kekuatan yang pasti secara empirik. Ketiga, bisa menjaga perasaan rendah diri
para penerima zakat. Jika penerima zakat langsung menyerahkan zakatnya pada
mustahik, akan menjadikan mustahik dalam relasi ketergantungan karena
267
merasa berhutang budi pada pribadi tertentu, namun hal tersebut tidak akan
terjadi jika dilakukan oleh lembaga profesional. Keempat, lebih efektif dan tepat
sasaran. Lembaga amil zakat biasanya memiliki data base atau daerah-daerah
binaan di mana di sana banyak masyarakat miskin, sementara muzakki
referensinya tentu sangat terbatas. Sistem pembagian zakat secara langsung
banyak resikonya dan juga bisa menyebabkan tidak adanya sebaran dan
meratanya jumlah bantuan. Kelima, Jika pemberian zakat dilakukan lewat
lembaga, dana zakat bisa menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat. Karena dana
zakat akan disatukan dengan dana-dana zakat dari para muzakki dari berbagai
level, sehingga bisa diwujudkan menjadi program-program pelayanan yang kuat
dan lebih besar manfaatnya. Keenam, lebih bisa memberdayakan masyarakat.
Pegelolaan
zakat
melalui
lembaga,
biasanya
disertai
pembinaan
dan
pendampingan serta bersifat kontinue. Pembagian zakat oleh perseorangan
biasanya bersifat caritas (sosial) semata dan langsung habis atau hanya menjadi
solusi sesaat, sehingga tidak mampu merubah keadaan masyarakat miskin
secara berkesinambungan.
Enam keuntungan diatas menjadi alasan mendasar didirikannya BAZDA
yang memang secara sekilas begitu menjanjikan, namun secara bersamaan,
Badan Amil Zakat Daerah ( BAZDA ) cenderung mempraktekkan adanya gejala
yang tidak sepenuhnya sama. Seorang pengurus BAZDA memiliki kekuasaan
untuk menghimbau dan ini diterjemahkan dalam memiliki kekuasaan penuh untuk
memaksa dan memposisikan mustahik pada posisi yang juga marginal. Data
tentang ini dapat dilihat pada box 7.2.2.1 berikut :
Box 7.2.2.1 : Kuasa dan Distribusi Kuasa dalam Tatakelola Zakat BAZDA Jambi
Pernyataan IH (61 tahun) wakil ketua Badan Amil Zakat Jambi, bahwa :‖Dari dulu cara orang
mengelola zakat macam-mcam, ada yang di Masjid, di rumah, di madrasah dan ada yang menyerahkan
langsung kepada orang-orang dekatnya. Sekarang ada lagi kelompok-kelompok usaha pengelola zakat.
Jadi pengelolaan zakat sekarang ini banyak sekali macamnya. Kalau di biarkan masyarakat bisa bingung,
mana yang benar.....‖. makanya perlu perlu diatur dan diseragamkan...‖
Temuan Lapang bahwa : Hampi semua lembaga yang terlibat secara aktif menghimbau masyarakat,
dan karyawan/staf pemerintah daerah untuk berzakat, namun kenyatannya mereka hanya mampu
memberikan himbauan kepada orang lain, sementara banyak dari mereka belum berzakat dengan baik ke
BAZDA termasuk salah satu ketua BAZDA yang ada diperopinsi Jambi ada yang tidak pernah
menyerahkan zakatnya ke BAZDA . Ada kecenderungan bahwa mereka hanya menghimbau dan bahkan
menginstruksi kepada staf untuk berzakat.
Pendistribusian Zakat kepada para mustahik ditemukan bahwa ada kebiasaan memberikan zakat
pada akhir Ramadhan oleh pengurus BAZDA secara perorangan dengan berbagi tugas, masing-masing
diberikan tugas untuk membagian zakat ke wilayah tertentu dengan batasan nilai dan jumlah muzakki
yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keamanan, karena jika kaum muzakki di
kumpulkan di BAZDA dianggap akan terjadi kerumunan yang tidak mudah untuk dikendalikan, disamping
ada kehawatiran massa akan meledak manakala tersebar berita adanya pembagian zakat di BAZDA .
268
Muzakki oleh badan amil zakat daerah dipandang sebagai orang yang
memiliki kewajiban untuk membayar zakat, sehingga mereka layak untuk
dihimbau dan bahkan bisa dipaksa. Melalui mekanisme pemotongan gaji atau
penyetoran zakat pada bendaharawan tempat bekerja bagi pegawai/karyawan
merupakan bukti adanya mekanisme pemaksaan simbolik. Di sini para mustahik
dihadapkan pada pilihan, membayar zakat ke BAZDA atau tidak dan dianggap
sebagai pegawai/karyawan yang tidak patuh beragama dan dianggap sebagai
pegawai yang tidak disiplin, padahal dengan tidak membayar zakat ke BAZDA
belum tentu ia tidak berzakat.
Yang lebih menonjol di sini adalah berzakat karena kepatuhan bernuasa
politik kepada atasan ketimbang kepatuhan beragama. Yang lebih menarik
adalah sang Pegawai /keryawan jika membayar zakat di BAZDA, mereka malah
terancam di lingkungan di mana ia tinggal, karena dianggap tidak peduli lagi
dengan kemiskinan di lingkungan sekitar tempat di mana ia menetap sebagai
anggota masyarakat. Dengan membayar zakat di BAZDA maka ia sedang
terlepaskan dari ikatan komunitas lingkungan tempat tinggalnya sebagai orang
yang juga punya tanggungjawab sosial.
Temuan lain tentang fenomena BAZDA melakukan mobilisasi masyarakat
untuk berzakat di BAZDA adalah adanya pengurus BAZDA yang tidak membayar
zakat. Ini merupakan fenomena menarik yang bisa di baca sebagai gejala
politisasi para muzakki dan mustahik. Muzakki dijadikan sasaran penekanan
untuk berzakat ke BAZDA dengan mengatas-namakan untuk pembiayaan
pemberdayaan mustahik, namun disana yang lebih menjadi perhatian adalah
akumulasi dana zakat untuk kepentingan pencapaian prestasi dan penguatan
kekuasaan BAZDA atas praktek zakat.
Para pengelola zakat BAZDA hanya
menekankan orang mustahik untuk berzakat ke BAZDA dengan tujuan
meningkatkan angka penerimaan zakat untuk mencapai prestasi politis bahwa
mereka telah berhasil meningkatkan kesadaran berzakat ummat dengan
tingginya penerimaan dana zakat. Terbukti ketika mengamati keseriusan dalam
merancang program BAZDA, yang lebih diperhatikan adalah bagaimana mencari
solusi atas rendahnya penerimaan dana zakat, namun hampir tidak pernah ada
pembicaraan serius tentang bagaimana mewujudkan BAZDA sebagai lembaga
yang memberdayakan, paling tidak mengevaluasi capaian program dalam
kaitannya dengan pemberdayaan kaum mustahik.
269
Tradisi penyerahan dan pendistribusian dana zakat ke Mustahik selalu
melibatkan pejabat tinggi daerah. Sekda dan Bupati/Walikota selalu muncul
dalam penyerahan bantuan tahunan kepada Muzakki. Pada saat penyerahan
pejabat tinggi daerah tersebut tampil bukan sebagai pengelola BAZDA semata,
namun yang lebih menonjol adalah sebagai pajabat pemerintahan. Cara ini
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ada yang
menafsirkan sebagai bentuk kepedulian pejabat tinggi kepada orang miskin,
perhatian pejabat yang tinggi kepada BAZDA, dan bahkan ada yang menafsirkan
pejabat yang menyerahkan zakat tersebut sebagai pejabat yang dermawan,
padahal pejabat tersebut kadangkala tidak pernah memberikan zakatnya di
BAZDA. Artinya ada simbol sosial yang diberikan publik kepada pejabat yang
menyerahkan zakat BAZDA yang seharusnya bukan diberikan kepada mereka.
Ada banyak muzakki yang benar-benar ikhlas berzakat, tersembunyi dibelakang
fenomena penyerahan dana zakat BAZDA oleh pejabat pemerintah. Muzakki
yang ikhlas hilang dan tidak terbaca publik. Orang yang berzakat tak terlihat dan
yang tidak berzakat berdiri tegak di depan para mustahik, mereka disapa hormat,
dan disembah dengan hidmat, sebagai pemimpin yang dermawan, budiman, dan
penuh kasih kepada masyarakat lemah.
Penyeragaman sistem tatakelola zakat di bawah naungan UU nomor 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, membuat semua orang berzakat dan
mengelola zakat sesuai dengan keinginan Negara. Wacana dalam praktek
berzakat ummat secara nasional dibentuk oleh negara dan tunduk dibawah
kontrol Negara. Zakat di serahkan dalam kuasa Negara dan dimasukkan dalam
ruang Negara sehingga zakat menjadi hak negara dalam mengelola, mengontrol
atau mengawasi. Ini merupakan satu praktek penundukan terhadap semua
pengelola zakat oleh negara. Mematuhi semua pesan UU sama halnya telah
menuruti kehendak negara dan mengabaikan aspirasi komunitas. Manakala
pengelolaan zakat berada di bawah kekuasaan negara, maka kekuatan civil
society akan melemah (Absar, 2005). Dalam konteks civil society sebagai
kekuatan politik dalam membangun kekuatan penyeimbang negara, serta tujuan
philosofis zakat
yang bertujuan mewujudkan keadilan, pemerataan dan
kesejahteraan berbasis semangat solidaritas sosial untuk mendekatkan kaum
kaya dengan kaum miskin, menjadi alat bagi penguasan untuk melanggengkan
kekuasaan dengan menuai simbol-simbol sosial sebagai sosok yang baik, suci,
270
lembut, manusiawi dan menjanjikan kenyamanan harapan-harapan kepada
masyarakat yang terjebak kesulitan dan keterkungkungan.
7.2.2.2. BAZDA : Kepentingan Akumulasi Modal Pembangunan
Keterbatasan sumber penerimaan dana bagi pembiayaan pembangunan
dan jaminan sosial untuk orang miskin dan terlantar menjadi salah satu sebab
mengapa zakat menjadi bagian penting bagi pemerintah, dan memasukkan
pengelolaan zakat dalam ruang negara. Bila dicermati, akan ditemukan begitu
banyak program serupa. Hampir setiap Departemen memiliki program yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan dapat dikategorikan sebagai
upaya memberi jaminan sosial. Namun, hasil dari upaya-upaya tersebut selalu
dipertanyakan. Banyak sumber dari ketidak-efektifan program-program tersebut,
seperti ketidak meratanya akses bagi yang memerlukan, administrasi yang
korup, saling tumpang tindih antara satu program dengan lainnya, koordinasi
yang buruk, dan lainnya. Yang pasti, sebagian besar program dari pemerintah
lebih terfokus pada masalah-masalah institusi daripada kelompok sasaran
(Benda- Beckmann dkk, 1988).
Anehnya, kesadaran untuk membantu orang lemah terus terjebak dalam
pola serupa itu. Pengelolaan zakat dan sedekah melalui Bazis adalah contoh
yang lain. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh yang dikelola orang orang-orang
yang dekat dengan pejabat tinggi tampaknya tidak akan berbeda dengan pola
yang sudah ada. Muara dari upaya-upaya tersebut condong kepada kepentingan
politik atau kekuasaan. Dilihat dari sejarahnya, jaminan sosial memang tidak
pernah lepas dari masalah kekuasaan. Masalahnya, dalam kekuasaan selalu ada
dominasi dan subordinasi. Sisi negatif dari masalah ini dapat mengarah pada
fenomena lain (lihat Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1994; 1995) yaitu
munculnya kelompok dominan sebagai sumber insecurity.
Temuan lapang di pada Pengelolaan Zakat di provinsi Jambi menunjukkan
bahwa, pengelolaan zakat oleh Badan Amil Zakat mengelola zakat dengan
memungut zakat dari para karyawan/pegawai yang ada dilingkungan kantor dan
instansi Pemerintah Daerah dan Kantor Wilayah Departemen Agama yang ada di
Provinsi Jambi. Dana yang diperoleh dari pemungutan zakat tersebut di setor kerekening BAZDA untuk kemudian dimanfaatkan dalam upaya pemberdayaan
271
masyarakat dalam berbagai bentuk (Biasiswa Pendidikan, Bantuan Berobat,
Bantuan Modal, Bantuan Guru Agama/Ngaji, dll). Lihat box 7.2.2.2 berikut ini :
Box 7.2.2.2 : Kepentingan Tatakelola Zakat Untuk Pembiayaan Pembangunan
Pernyataan HM (60 tahun) pengurus BAZDA , bahwa : ... mekanisme pengelola zakat di BAZDA Jambi,
dilakukan dengan memungut dari pengawai negeri dari dinas dan instansi pemerintah daerah dan kanwil
agama Jambi.... hasil dana zakat yang dipungut tersebut dimanfaatkan untuk pembangunan bidang
pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat miskin. Pembangunan pendidikan dilakukan dengan
membantu lembaga pendidikan dan pemberian beasiswa, dan pembangunan kesehatan dilakukan dengan
pemberian bantuan berobat kepada kaum miskin, sedangkan pemberdayaan diberikan dalam bentuk
bantuan permodalan terhadap keluarga miskin yang ada di Jambi seperti bantuan kepada pedagang jagung
bakar di pasar malam Ancol...‖
Pernyataan KHUZ (43 tahun) pengurus BAZDA Tanjab Tim, bahwa : ‖....Pengelolaan Zakat oleh
pemerintah bertujuan untuk memaksimalkan fungsi zakat untuk pembangunan masyarakat dalam bernegara.
Karena kalau zakat dibiarkan begitu saja dalam pengelolaan masyarakat hasilnya tidak akan maksimal dan
tak mampu mewujudkan pemberdayaan ummat apalagi untuk pembangunan bangsa...dengan zakat dikelola
oleh pemerintah, berbagai program pemberdayaan dan pembangunan masyarkat bisa dilakukan dan bahkan
bisa diarahkan menjadi asuransi ummat ‖
Menjadikan zakat sebagai sumber pembiayaan Pembangunan dan jaminan
sosial bagi negara, merupakan fenomena upaya negara memperluas sumber
pembiayaan pembangunan dan pembiyaan pada jaminan sosial terhadap kaum
lemah yang dipandang sebagai tanggungjawab negara. Di sini kemudian zakat
menjadi terformalkan setelah sebelumnya menjadi lembaga non formal yang
berkembang dalam kehidupan komunitas. Zakat yang sebelumnya menjadi
sumber pembiayaan dan jaminan sosial bagi kaum lemah dan pemangku
tanggungjawab penyiaran dan pengawas ajaran agama, berubah menjadi
lembaga formal yang terkait dengan administrasi negara dan sekaligus menjadi
instrumen negara dalam pembangunan, pemberdayaan dan bahkan jaminan
sosial masyarakat lemah.
Memasukkan zakat sebagai instrumen pembangunan, pemberdayaan serta
dan jaminan sosial, maka secara bersamaan membawa kaum muzakki ikut
bertanggungjawab dalam pembangunan dan pemberdayaan serta jaminan sosial
terhadap masyarakat lemah. Secara sederhana memang tidak menjadi
persoalan, namun manakala negara mengurangi porsi tanggunjawabnya
terhadap pembangunan, pemberdayaan atau paling tidak terhadap jaminan
sosial kaum lemah dan terlantar, maka secara bersamaan rakyat khususnya
kaum muzakki dalam kasus zakat, telah dipolitisir dan diekploitasi secara politis
untuk menjadi penanggungjawab atas kegagalan negara mengatasi persoalan
kemiskinan.
272
Pengorganisasi zakat dalam mekanisme modern agaknya terilhami oleh
fenomena di negara-negara Barat, dimana kepedulian selalu disimbolisasikan
dengan uang. Makin kaya seseorang, makin tinggi pajak yang harus dibayar dan
ini disandingkan dengan wacana zakat. Pemerintah kemudian mendistribusikan
kembali uang tersebut kepada orang miskin. Simbolisasi seperti ini mudah
diterima oleh publik karena pelayanan sosial telah sedemikian bagusnya.
Struktur masyarakat yang tidak begitu hierarkis dan cenderung individualis
adalah faktor lain yang berperan mengarahkan proses tersebut. Namun, itu
semua tidak cukup. Perubahan dasar pemikiran dalam penyelenggaraan jaminan
sosial dari entitlement ke insentif memiliki dua sisi yang cenderung berlawanan.
Pada satu sisi ada upaya pemberdayaan dan pemandirian, pada sisi yang lain
kelompok lemah diarahkan untuk berkompetisi dengan kelompok yang lebih kuat.
Orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang cacat tentu akan sulit untuk bisa
produktif seperti kelompok orang normal. Diskriminasi positif seharusnya
diberlakukan, tetapi pada masyarakat yang menjunjung tinggi kesejajaran hal
seperti ini sering dilupakan. Pada kondisi seperti ini jaminan sosial kehilangan
makna dasarnya yaitu mengangkat ketidaknormalan ke level normal.
7.2.2.3. BAZDA : Kepentingan Pemerataan Ekonomi Masyarakat
Temuan lapang menunjukkan bahwa hampir semua aktor tatakelola zakat
di
BAZDA
Jambi, ketika ditanya alasan menjadi pengurus
BAZDA
yang
muncul jawabannya berkisar pada tiga hal, yaitu: pertama, adalah alasan
syariah, kedua, alasan kemanusiaan, dan yang ketiga, adalah alasan masih
minimnya SDM amil profesional. Data obsevasi dapat dilihat pada box 7.2.2.3
berikut :
Box 7.2.2.3. Memaksimalkan Zakat Untuk Perataan Ekonomi Masyarakat
Pengelolaan zakat pada BAZDA
Jambi didistribusikan kepada para musyahik menurut ajaran fiqh,
meski di sana sini terkadang ada modifikasi dalam konteks pengembangan ijtihad fiqhiyah. Namun menurut
AA. M itu masih dalam koridor ajaran agama, karena di sana agamawan mas ih memegang peran utama
dalam memperlakukan zakat sebagai ajaran agama.
BAZDA dalam mengelola zakat dalam wacananya menempatkan isu kesetiakawanan sosial, kepedulia
sosial dan solidaritas pada kaum lemah sebagai salah satu isu penting setelah isu penteragaman,
pembangunan dan pemberdayaan. Alasan kemanusiaan dengan tujuan membantu kaum lemah menjadi
bahan pembicaraan dalam segala momen.
Memotivasi kaum muzakki selalu mengatasnamakan kemanusiaan dan mereka menjadi bagian dari
BAZDA dengan alasan untuk meningkatkan rasa kepedulian kepada kaum lemah. Memandang kaum miskin
sebagai orang harus di berikan bantuan dan mereka yang memiliki kelebihan harta atau bernasib lebih baik
memiliki tanggungjawab untuk menyantuni mereka yang bernasib kurang baik.
Memotivasi dan memperlakukan muzakki ditemukan peredaan mendasar. Menyambut muzakki dari
masyarakat umum yang datang membayar zakat ke BAZDA , terlihat sangat hangat, namun sebaliknya
menyambut para mutahik yang datang meminta bantuan selalu penuh dengan ciriga. Sanga mustahik tak
273
jarang dihujani pertanyaan yang menyudutkan dan bahkan kadang kala diperlakukan agak kasar, manakala
ia ditengarai sebagai orang yang tidak layak mendapatkan santunan zakat.
Penyaluran zakat, di BAZDA terhadap orang yang tidak terdaftar terlihat agak penuh dengan kecurigaan
di sana sini, tak jarang ada yang dibiarkan duduk diluar kantor dalam waktu yang lama atau dibiarkan datang
berulang meski mereka adalah mustahik yang layak. Pernah ada seorang musafir yang kehabisan biaya
dalam perjalan karena menjadi korban copet datang meminta bantuan sekededar uang tiket, namun harus
kecewa dengan tangan hampa karena dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kondisi dan berbohong.
Sang musafir keluar dari BAZDA setengah diusir oleh salah satu pengurus BAZDA .
Alasan Syari‟ah ditekankan pada pengakuan bahwa zakat adalah rukun
Islam yang wajib dilaksanakan dan ada perintah untuk mengelola dengan adanya
konsep amil dalam ajaran fiqih zakat. Sementara alasan kemanusiaan, lebih
pada problema kemiskinan yang semakin parah. Menurut data dari laporan
World Bank (2007), hampir separuh rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan
dengan pendapatan perkapita kurang dari USD 2/hari. Kemiskinan dikatakan
sebagai hal yang sangat berbahaya bagi ummat manusia, mengutip hadits Nabi
Muhammad SAW bahwa, “kemiskinan itu dekat dengan kekafiran”, dan lebih jauh
selalu dihubungkan dengan berbagai macam persoalan seperti masalah
kesehatan, gizi buruk, kriminalitas, kurangnya pendidikan, hingga konflik sosial
yang ujung-ujungnya akan membuat kesengsaraan di dunia dan bahkan di
akhirat nanti. Maka menjadi amil berarti membantu orang lain untuk keluar dari
kemiskinan. Tugas amil pada hakikatnya adalah merubah mustahik menjadi
muzakki--dari fakir/miskin menjadi kaya, dari lemah menjadi berdaya. Ini adalah
tugas yang sangat mulia--mulia di mata manusia dan bahkan di mata Allah SWT.
Alasan minimalnya SDM amil profesional. Ini selalu dikaitkan dengan
potensi zakat yang telah dibuktikan oleh banyak kajian, seperti kajian potensi
zakat profesi di Indonesia mencapai 19,3 triliun/tahun, dan hingga saat ini baru
tergarap dan terhimpun sekitar 4,8%-nya pada tahun 2008 (Baznas, 2009).
Agama dalam kaitannya dengan jaminan sosial kemanusiaan tidak banyak
berpengaruh terhadap formalisasi pemberian bantuan. Ketentuan agama untuk
menyantuni penduduk yang secara ekonomis rentan berinteraksi dengan nilainilai lokal (lihat Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1995; Tang, 1996).
Interaksi tersebut pada satu sisi memperbanyak bentuk bantuan yang semula
menurut adat setempat jumlahnya lebih sedikit, pada sisi yang lain ketentuan
tersebut disesuaikan dengan pola yang sudah berjalan. Misalnya, menurut ajaran
Islam ada delapan golongan yang berhak mendapat zakat: fakir, miskin, mualaf,
budak/tawanan, orang yang berhutang, sabilillah, dan musafir. Pada masyarakat
pedesaan di provinsi Jambi, ditemukan bahwa, zakat diberikan kepada amil
274
(pengurus zakat), guru mengaji, dan dukun bayi. Perubahan seperti ini tidak
dapat secara singkat dikatakan sebagai pelanggaran ketentuan agama sebelum
betul-betul memahami rasionalitas penduduk setempat.
Aktor BAZDA
Jambi, melihat sebagai pranata keagamaan yang memiliki
kaitan erat dengan
masalah-masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan dan
kesenjangan sosial akibat perbedaan kepemilikan kekayaan. Zakat diyakini
sebagai instrumen pemerataan kekayaan dalam konteks pemenuhan standar
hidup minimal, artinya zakat dilihat sebagai mekanisme untuk menciptakan
suasana ekonomi di mana tidak ada orang atau kelompok masyarakat hidup
dalam penderitaan, sementrara ada sebagian orang yang menikmati hidup
berlimpah dalam kemakmuran dan kemewahan. Maka, zakat di sini
oleh
BAZDA dilihat sebagai mekanisme yang dapat menghilangkan kemiskinan atau
paling tidak mempersempit jurang perbedaan tingkat kesejahteraan dalam
masyarakat. Dengan zakat semangat kepedulian dan kemanusiaan bisa di
bentuk, paling tidak dengan mengingatkan orang untuk perduli.
Mengatasnamakan kemanusiaan, agaknya menjadi ironis ketika ditemukan
praktek-praktek di lapangan yang agak berbeda. Memperlakukan muzakki
dengan sangat manusiawi dan bahkan berlebihan terlihat begitu menonjol dan
selalu muncul dalam melayani setiap muzakki dari masyarakat umum yang
datang untuk menyetorkan zakatnya di BAZDA. Namun nuansa akan sangat
berbeda manakala yang datang bertamu adalah sosok orang kumal sebagai
calon mustahik. Mereka disambut dengan wajah tanpa senyum dan dengan
sapaan yang terkesan menghardik. Tak jarang ada yang tidak dilayani dengan
alasan yang tidak rasional. Mengelola zakat dengan alasan kemanusiaan dengan
fenomena yang demikian agaknya sangat ironis. Atas nama kemanusiaan buat
manusia yang mana ketika fenomena perlakukan antara muzakki dan mustahik
mencuat dalam keseharian di BAZDA .
7.2.2.4. Berzakat Di BAZDA : Kepentingan Pengamanan Politik dan
Ekonomi
BAZDA sebagai lembaga tatakelola zakat di lingkungan Pemerintah
Daerah memiliki nasabah zakat yang jelas dan terdata dengan baik, khususnya
muzakkinya, karena memasukkan semua pegawai dan pejabat pemerintah
sebagai muzakki dengan Instruksi Gubernur Nomor 2 tahun 2001 tentang
275
‖Pelaksanaan Kewajiban Melaksanakan Zakat‖. Lain halnya dengan mustahiknya
pendataannya masih terbatas pada informasi yang diberikan oleh pengurus
BAZDA yang ada, karena belum memanfaatkan data kemiskinan yang dimiliki
oleh Pemerintah.
Mematuhi berzakat di BAZDA oleh para pegawai dan pejabat pemerintah
daerah provinsi
Jambi, dilakukan dengan pertimbangan bahwa
BAZDA
merupakan lembaga tatakekola zakat yang resmi dibentuk oleh pemerintah
sehingga secara formal dianggap legal dan aman karena telah diatur dengan
aturan perundang-undangan yang jelas. Tapi bukan berarti bahwa para pegawai
dan pejabat pemerintah menganggap BAZDA sebagai bentuk tatakelola zakat
yang paling tepat jika dilihat dari pemahaman zakat para pengawai dan pejabat
pemerintah tersebut.
Memandang BAZDA, pegawai dan penjabat pemerintah daerah provinsi
Jambi meletakkan BAZDA sebagai lembaga pemerintah yang bekerjanya bersifat
formal
dengan
tata
aturan
yang
telah
diatur
oleh
pemerintah,
dan
menganggapnya sebagai satu mekanisme sistemik yang menyatu dengan
instansi pemerintah. Bagi mereka berzakat melalui BAZDA merupakan kewajiban
sebagai pengawai negeri sipil atau pejabat yang bekerja di lingkungan dinas atau
instansi pemerintah daerah provinsi Jambi.
Tujuan utama para pengawai dan pejabat di lingkungan pemerintah daerah
provinsi Jambi berzakat di BAZDA adalah mematuhi instruksi Gubernur Jambi,
yang memerintahkan agar pegawai dan pejabat berzakat, bersedaqah dan
berinfak di BAZDA . Kepatuhan muzakki berzakat di BAZDA menjadi sebuah
kepatuhan berorientasi pada atasan dan terkesan lebih pada mematuhi instruksi
pemerintah ketimbang melaksanakan kewajiban agama. Artinya bahwa mereka
berzakat
melalui
lembaga
BAZDA
lebih
karena
pertimbangan
sistem
pemerintahan dengan kepentingan penundukan pada atasan. Hal ini dilakukan
karena menghindari resiko berupa sanksi dari atasan, baik sanksi administrasi
maupun berupa resiko kerenggangan relasi dengan atasan.
Kecenderungan para muzakki yang lebih banyak menyetor ke BAZDA
dalam bentuk infak dan sedeqah ketimbangan zakat, merupakan gejala yang
menarik. Mereka yang sempat di wawancarai (semua enggan disebutkan
namanya), menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan karena : 1) RN (39 tahun)
mengakui merasa lebih nyaman berzakat pada LAZ berbasis Masjid yang ada
276
dilingkungan tempat tinggal mereka. 2) AS (45 tahun) menyatakan bahwa cukup
berinfaq saja di BAZDA, yang penting kita telah mematuhi perintah Pimpinan
meski hanya dengan infaq, 3) YE (41 tahun) mengakui bahwa gajinya tidak
dikenai wajib zakat karena telah berhutang di Bank.
Pengakuan muzakki RN (39 tahun) merasa lebih nyaman berzakat pada
LAZ Masjid di lingkungan tempat tinggalnya, juga diakui karena adanya rasa
tidak nyaman atas desakan sosial dari lingkungan sebagai orang yang dipandang
sejahtera. Ada perasaaan tidak aman jika tidak ikut serta berzakat di
lingkungannya. Selain itu ada keraguan pada penilaian sah atau tidaknya
berzakat di BAZDA, dan ini terkait pada penilaian keberkahan berzakat. Mereka
beraggapan bahwa zakat sebagai ibadah wajib, ada tatacara atau ritualnya yang
terletak pada prses serah terima yang harus disertai dengan doa-doa amil pada
saat penyerahan zakat. Selanjutnya muzakki AS mengakui bahwa berzakat di
BAZDA untuk mengikuti aturan yang berlaku meski cukup dengan berinfak bagi
RN, lalu zakatnya di serahkan ke LAZ Masjid di dekat rumahnya.
Pengakuan serupa dari YE (41 tahun), bahwa beliau hanya berinfaq ke
BAZDA
karena menurutnya gajinya tidak cukup untuk dikenai wajib zakat.
Gajinya hanya tinggal sedikit karena dipotong oleh Bank untuk angsuran
pinjaman. Alasan inilah yang membuat YE hanya menyerahkan infaknya saja ke
BAZDA . Infak diberikan dengan tujuan agar tidak dianggap sebagai pegawai
yang tidak patuh dengan perintah atasan. Berbeda dengan pengakuan HA (51
tahun) yang menjabat kepala Kantor Pemerintahan, ia sebagai muzakki yang
disiplin berzakat di BAZDA , menyatakan bahwa berzakat di BAZDA itu lebih
baik karena di sana pemanfaatan dana zakat lebih terarah dan terencana serta
membantu pemerintah mengatasi masalah kemiskinan sebagai tujuan zakat.
Belia disiplin berzakat juga diakuinya untuk memberikan contoh pada kepada
bawahannya.
Beberapa temuan manarik dalam fenomena berzakat dan tatakelola zakat
di BAZDA Jambi, menunjukkan adanya dinamika rasionalitas dan kepentingan.
Ada rasionalitas sains modern berupa pertimbangan legalitas dan profesionalitas
yang menganggap
BAZDA
sebagai tatakelola zakat yang legal, memiliki
perencanaan dan bertanggungjawab, dengan tujuan memberdayakan kaum
miskin, berbenturan dengan pertimbangan pentingnya prosesi ritual berzakat
yang disertai ijab-qabul dan ritual doa sebagaimana yang dipraktekkan pada LAZ
277
tradisional berbasis masjid. Orientasi tujuan dan orietasi nilai di sini terlihat
berbenturan. Rasionalitas berorietasi tujuan menjadi ciri rasionalitas muzakki
yang berzakat di BAZDA, sementara rasionalitas nilai merupakan tantangan
besar bagi BAZDA dan mengakibatkan adanya muzakki yang melakukan
kamuflase. Berinfaq di BAZDA dan berzakat di LAZ berbasis masjid.
Berzakat atau berinfak di
BAZDA , bagi muzakki terbaca dominan di
dorong oleh kepentingan penundukan dan kepatuhan pada atasan, yang
terlihat dengan lebih mengedepankan Instruksi Gubernur sebagai salah satu
alasan mendasar berzakat atau berinfaq di BAZDA ketimbangan pertimbangan
kepatuhan pada norma agama. Kepentingan pengamanan diri dari resiko
sanksi atau teguran administrasi dan birokrasi dilingkungan kerja, merupakan
pertimbangan yang cukup dominan. Artinya bahwa berzakat bagi muzakki
BAZDA
lebih
nampak
sebagai
tindakan
pendudukan,
kepatuhan
dan
pengamanan relasi dan posisi dalam birokrasi tempat muzakki bekerja.
7.2.3.
Peta Kepentingan dalam LAZ Swasta
Berzakat dalam LAZ SP dilihat sebagai bagian dari upaya kebersamaan
mengatasi persoalan-persoalan sosial perusahaan terkait dengan kemiskinan
masyarakat sekitar perusahaan. Ada logika bahwa berzakat di samping
memenuhi kewajiban agama, kepedulian sosial memberdayakan, juga ada logika
bahwa berzakat merupakan upaya mengatasi persoalan kemiskinan sekitar
perusahaan yang sebagai upaya mengurangi ancaman bagi perusahaan. artinya
bahwa ada logika yang bekerja yang memandang berzakat bagi kalangan swasta
merupakan pengamanan bagi berjalannya perusahaan. Ini bisa dibaca dalam
fenomena dimasukkannya pengelolaan zakat dalam wilayah Corporate Social
Responsibility33 (CSR).
Ada fenomena kepentingan ekonomi berupa tujuan akumulasi ekonomi bagi
perusahaan, pengamanan usaha dan investasi perusahaan, serta pengaman
kerja dan sumber ekonomi bagi para muzakki. Informasi yang menunjukkan
33
Kata ―responsibility‖ berasal dari dua suku kata ―response‖ dan ―ability‖. Artinya, respon atau tanggapan yang
diberikan tidak bersifat wajib. Melainkan disesuaikan dengan kemampuan atau ability. Sebagai ilustrasi,
memberikan pendidikan dasar adalah tanggungjawab orang tua anak. Namun, manakala sesuatu sebab,
seperti kemiskinan, membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anaknya, maka orang tua tersebut tidak
dapat dikenakan sangsi. Karena, negara lah yang memikul kewajiban memberikan pendidikan dasar bagi warga
negara yang tidak mampu.
278
adanya fenomena tersebut tergambar dalam beberapa hasil wawancara dengan
informan yang dikutip dalam box 7.2.1. berikut.
Box 7.2.3 : Peta Kepentingan Dalam Lembaga Zakat SP
Informasi dari salah pengurus LAZ-SP (2008) yang enggan disebutkan namanya, menyatakan bahwa :
‖Dana Zakat yang dikelola oleh Yayasan LAZ-SP, terkumpul dari pemotongan gaji dan bonus serta
penghasilan Karyawan dan karyawati perusahaan sebesar 2,5% oleh bedaharawan gaji...... dana zakat yang
berhasil terkumpul disalurkan kepada mereka yang berhak yang perioritaskan untuk yang menet ap di sekitar
perusahaan khususnya di Lubuk Kilangan ini‖. .... mereka yang telah diberikan zakat saat sudah tidak
pernah lagi protes dengan perusahaan, dan ada diantara mereka yang rela ikut membantu mengamankan
peralatan kerja perusahaan di lapangan.
Menurut pengelola zakat (IS, 2008) bahwa : ‖.......mendahulukan masyarakat yang tinggal di sekitar
perusahaan merupakan salah satu kewajiban perusahaan untuk memberdayakan Masyarakat lemah di
Sekitar Perusahaan yang dilakukan dengan oleh program CSR dan oleh LAZ-SP.
MF (2008), menerangkan bahwa dengan LAZ-SP merupakan wujud kepedulian sosial perusahaan
kepada kemiskinan sekitar perusahaan dan masyarakat luas. Dengan adanya LAZ–SP yang membantu
masyarakat miskin, memberikan keuntungan kepada perusahaan dan karyawan karena masyarakat di
sekeliling tempat produksi menyambut baik dan memperlakukan karyawan di lapangan dengan baik.
Yono (2008) salah seorang mustahik yang telah diberikan bantunan oleh LAZ Semen Padang,
menyatakan bahwa : PT. SP adalah perusahaan yang baik, peduli dengan orang miskin, memberikan
beasiswa, bantuan berobat, bantuan modal dan bantuan gempa.... Pegawainya juga taat beragama, mereka
rajin berzakat dan zakatnya diberikan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Kami senang dengan
adanya perusahaan ini, karena kalau kami yang miskin ini butuh bisa mengajukan proposal ke Kantor Zakat
perusahaan.
Keterangan Muhammad Ihsan (2008) menyatakan ahwa :―….Sifat penyaluran dana zakat LAZ-SP
terbagi menjadi dua, yaitu : 1). Sifat berdasarkan waktu, yang terbagi menjadi dua waktu, yaitu : bantuan
rutin dan bantuan insidentil. Bantuan rutin diberikan kepada orang-orang jompo yang miskin dan Jandajanda miskin disekitar perusahaan. 2). Sifat yang berdasarkan kegunaan, dan ini terbagi dua juga, yaitu :
kegunaan bersifat produkstif dan Non Produktif. Bantuan produktif disalurkan dalam bentuk bantuan modal
usaha, dan Non Produktif dalam bentuk bantuan beasiswa pendidikan, bantuaan bedah rumah dan bantuan
bencana alam..‖
Menurut pengelola LAZ-SP, bahwa : ‖.... gangguan yang selalu dihadapi PT. SP sejak dulu selalu dari
penduduk miskin yang tinggal di sekitar perusahaan maupun yang tidak. Mereka kadang-kadang mencuri
alat-alat milik perusahaan atau kadang-kadang menghadang pekerja di lapangan .... setelah ada bantuan
zakat dan bantuan CSR ganguan itu berkurang....‖
LAZ SP sejak awal berdiri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
berzakat bagi karyawan, namun dalam perjalanannya tujuan tersebut menjadi
kabur dan berubah, bergeser pada kepentingan pengamanan usaha dan
investasi bagi perusahaan. Disamping itu pengelolaan zakat juga bertujuan untuk
mengakumulasi modal untuk pembiayaan dalam mengatasi masalah-masalah
sosial yang terjadi dalam dan di sekitar perusahaan (Lihat tabel 25).
Tabel 25 : Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Swasta
Aktor
Orientasi Kepentingan
Utama
Kepentingan Sampingan
LAZ Semen Padang
Pengamanan usaha dan
Investasi
Akumulasi modal bagi pembiayaan
mengatasi masalah sosial sekitar
perusahaan
Amil
Akumulasi Ekonomi
Pengamanan ekonomi
Muzakki
Pengaman ekonomi
Pengamanan birokrasi dan administrasi
Mustahik
Pengamanan ekonomi
Pengamanan ekonomi survival
Sumber : Data Primer 2008 (diolah)
279
Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta, orientasi kepentingan utamanya
terfokus pada kepentingan pengamanan usaha dan investasi. Hal ini dikarenakan
oleh
munculnya
berbagai
persoalan
yang
dihadapi
perusahaan
akibat
kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Persoalan yang paling sering
muncul dan memberikan beban berat pada perusahaan adalah persoalan sosial
yang selalu mengganggu suasana kerja dan mengancam keamanan usaha dan
investasi. Oleh karena itu zakat sebagai sebuah mekanisme distribusi kekayaan
yang meletakkan kaum miskin sebagai kelompok yang harus dibela dan dibantu,
dengan LAZ SP, PT. SP menerapkan tatakelola zakat, meski awalnya muncul
sebagai upaya menyempurnakan pelaksanaan ajaran agama Islam, namun pada
belakangan dalam penerapannya, LAZ menjelma menjadi bagian dari strategi
mengatasi ancaman terhadap perusahaan dari akibat kemiskinan masyarakat
sekitar perusahaan. Sebagai upaya untuk memaksimalkan hasil, maka LAZ
kemudian disinergiskan dengan program CSR perusahaan.
Menjadikan LAZ bersinergis dengan CSR sebagai bagian dari upaya
mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan, ternyata kepentingannya tidak
berdimensi tunggal, namun disertai dengan kepentingan sampingan yang justru
lebih terlihat menonjol berupa kepentingan pada akumulasi modal untuk
menunjang pembiayaan mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan.
Jika
masalah sosial tersebut bisa teratasi dengan baik, maka secara bersamaan
kondisi kemananan kerja, keamanan perusahaan dan inverstasi secara
bersamaan terwujud.
LAZ dan CSR secara bersama-sama dijadikan instrumen membangun citra
dalam masyarakat sebagai perusahaan yang memiliki kesadaran beragama atau
paling mengakomodir kepentingan karyawannya agar bisa menjalankan ibadah
agamanya dengan baik. LAZ dan CSR membangunan citra sebagai perusahaan
yang memiliki solidaritas dan pertanggungjawaban sosial yang tinggi terhadap
lingkungan
perusahaan
sosialnya.
yang
Akibatnya
menghormati
perusahaan
semangan
akan
religious,
dipandang
peduli
sebagai
lingkungan,
dermawan dan bertanggungjawab pada masyarakat sekitarnya. Di snilah letak
inti kepentingan yang mengarah pada upaya penciptaan kondisi nyaman, aman
dan menguntungkan bagi perusahaan.
Amil zakat LAZ SP, yang terdiri staf manajemen perusahaan, menjadi
pengelola utama dalam tatakelola zakat di PT. SP, berkepentingan pada
280
perolehan sumber ekonomi dengan bekerja sebagai karyawan dan pengelola
zakat perusahaan. Menjadi amil juga merupakan pengamanan atau malah
penguatan ekonomi karena disana akan ada tambahan penghasilan dari honor
sebagai tenaga pengelola zakat. Menjadi amil adalah pekerjaan, bukan tuntutan
sosial sebagaimana amil dalam komunitas. Amil dalam LAZ Swasta merupakan
profesi dan pekerjaan yang memiliki potensi ekonomi karena disana ada
penggajian
khusus
secara
profesional
dari
dana
zakat
yang
berhasil
dikumpulkan. Semakin besar dana yang terkumpul akan memberikan pengaruh
kenaikan pendapatan sebagai amil, atau paling tidak akan ada penghargaan dari
pihak perusahaan.
Muzakki yang berasal dari karyawan perusahaan, merupakan penymbang
sumber dana utama zakat bagi LAZ SP. Mereka ini berzakat pada LAZ SP
karena ada tuntutan keras dari pihak perusahaan bahwa semua karyawan, baik
karyawan tetap maupun tidak, kesemuanya diwajibkan membayar zakat kepada
LAZ dengan mekanisme pemotongan gaji senilia 2,5% dari total gaji.
Pemotongan gaji mewakili perusahaan dilakukan oleh bendaharawan gaji setiap
bulan gaji secara rutin, makanya angka zakat yang terkumpul cukup besar dan
mencapai 7 Miliyar pada tahun 2007/2008. Muzakki setuju dan patuh berzakat
karena mereka memiliki kepentingan sendiri, berupa upaya pengamanan
ekonomi, karena kalau tidak setuju berzakat di LAZ SP, mereka bisa diberikan
teguran atau malah bisa berakibat pada pemecatan. Kepatuhan berzakat oleh
karyawan (muzakki) tersebut lebih sebagai kepatuhan karena kepentingan
pengamanan ekonomi ketimbang kepentingan aasketik meski yang terlihat
ditonjolkan.
Mustahik sebagai kelompok penerima zakat, yang berasal dari masyarakat
miskin sekitar perusahaan dan lingkungan lainnya. Mereka ini menerima zakat
dengan alasan bahwa dana zakat memang hak mereka. Mereka menerima zakat
karena motif pengamanan ekonomi keluarga. Pemenuhan kebutuhan ekonomi
survival menjadi tujuan utama bagi muzakki LAZ SP. Santunan atau bantuan
zakat dikonstruksi sebagai hak dan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan
pokok, dan belum sampai pada pandangan yang mengkostruksi santunan zakat
sebagai modal produktif untuk kesejahteraan.
Kepentingan LAZ SP yang tertuju pada upaya mewujudkan kondisi usaha
dan investasi yang aman disertai dengan kepentingan perolehan modal untuk
281
pembiayaan dalam mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan, akibatnya
segala program aksi selalu dikaitkan pada seberapa jauh itu bisa membangun
kondisi keamanan usaha dan investasi perusahaan. Selain itu mengatasi
masalah membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit, oleh sebab itu zakat
sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan, di dalamnya menyangkut materi
yang secara ekonomi sangat potensial. Sebagai sumberdaya potensial makan
perusahaan menjadikannya sebagai sumber dana untuk mengatasi maslalah
sosial disekitar perusahaan dengan harapan menciptakan kondisi usaha dan
investasi yang aman dan menguntungkan.
Mustahik, sebagai kelompok yang berhak menerima santunan dan manfaat
dana zakat, menerima zakat demi kepentingan pengamanan ekonomi dalam
bentuk
upaya menciptakan keamanan ekonomi dan mengamankan kebutuhan
menuju terjaminnya kondisi ekonomi survival.
7.2.3.1.
LAZ : Kepentingan Efisiensi dan Akumulasi Ekonomi Perusahaan
Zakat oleh Pengurus LAZ Swasta dilihat sebagai sebuah proses beragama
yang memiliki nilai ekonomi, yang besar yang hingga saat ini belum
termanfaatkan secara maksimal dalam konteks ekonomi. Potensi ekonomi ini
manakala dikelola dengan baik akan menghasilkan akumulasi modal yang besar
yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan mendukung usaha usaha
produktif.
Berzakat bagi nasabah zakat berbasis swasta (industri) tertanam logika
bahwa praktek zakat merupakan praktek dalam upaya memberdayakan kaum
lemah dengan memberikan santunan zakat dalam bentuk bantuan secara
ekonomi. Pemberian bantuan zakat kepada kaum lemah pada pengelolaan zakat
jenis ini kemudian lebih memperlihatkan bentuk bantuan modal usaha dengan
logika bahwa kemiskinan lebih dipengaruhi oleh faktor keterbatasan modal
ekonomi dibanding faktor-faktor lainnya.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa motif pengelolaan zakat di PT. SP
awalnya adalah agar karyawan PT. SP melaksanakan ibadah zakat sebagai
bagian penting bagi prosesi beragama dalam Islam. Pengelolaan zakat di PT.
SP lahir sejak tahun 1995 danmuncul dari kesadaran para karyawan untuk
melaksanakan kewajiban agama dan tahun 1997 diupayakan untuk dikelola
profesional dalam kerangka kerja perusahaan. Tahun 1998 kemudian terbentuk
282
pengelolaan Zakat khusus berupa Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah
(BAZIS). Berubah menjadi Yayasan Amil Zakat
(LAZ SP) pada tahun 2002
sebagai respon terhadap UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Pengelolaan Zakat karyawan perusahaan oleh LAZ SP dilkukan dengan
cara pemotongan zakat sebesar 2,5% dari gaji dan seluruh penghasilan lainnya
yang sah di PT. Semen Padang. Pemotongan zakat dari gaji dan pendapatan
lain ini menghasilkan dana zakat yang angkanya cukup besar dan mencapai Rp.
7 M pada tahun 2007. Dana zakat yang berhasil diperoleh didistribusikan dan
dimanfaatkan dalam bentuk bantuan kepada masyarakat miskin sekitar
perusahaan dengan skala prioritas yang berbeda berdasarkan jarak tempat
tinggal dengan perusahaan. Bantuan akan diperioritaskan kepada mereka yang
tempat tinggalnya lebih dekat dengan perusahaan. Memperioritaskan kepada
mereka yang menetap dekat dengan perusahaan (Kecamatan Lubuk Kilangan)
dengan pertimbangan bahwa mereka itu adalah orang paling dekat secara
geografis, melihat setiap hari, bersentuhan langsung dengan pihak perusahaan
dan merasakan efek dari keberadaan perusahaan.
Pengelolaan zakat dan praktek berzakat berbasis Swasta, dilakukan
dengan logika ekonomi yang memandang bahwa zakat merupakan potensi
ekonomi besar yang bisa memberikan efek kesejahteraan bagi banyak kalangan
khususnya kaum lemah dan harus dimanfaatkan secara maksimal secara
ekonomi. Mengelola zakat dengan menajemen ekonomi modern dianggap lebih
potensial dan mampu mengakumulasi dana zakat dengan besar, serta dianggap
lebih mampu memberikan efek kesejahteraan yang lebih dibanding dengan
mengelola dengan logika non ekonomi.
Menerapkan tatakelola zakat sendiri bagi perusahaan, terdorong juga oleh
motif akumulasi modal untuk pembiyaan program kemanusiaan yang menjadi
kewajiban bagi Industri dalam program CSR. Dengan adanya lembaga tatakelola
zakat berupa LAZ, memberikan peluang bagi perusahaan untuk mendapatkan
dana sosial kemanusiaan yang pengakuan Manajemen perusahaan (AD, 32
tahun) sebagai wujud tanggungjawab bersama antara perusahaan dan
karyawan, namun pada saat yang sama, LAZ memberikan keuntungan kapada
pihak perusahaan berupa dana kemanusiaan untuk perusahaan yang sumber
dananya bukan keuangan milik perusahaan, namun karyawan dalam bentuk
dana zakat karyawan.
283
Kepentingan efisiensi dana kemanusiaan diakui oleh ZM (59 tahun), bahwa
memang awalnya ide penerapan zakat karyawan berasal dari bawah, namun
belakangan, karena potensinya bergitu besar, membuat perusahaan juga
memiliki kepentingan ekonomi pada LAZ. Perolehan keutungannya secara
ekonomi terlihat ketika LAZ mampu memberikan sumbangan pada program
sosial kemanusiaan yang dananya tidak perlu
diambil dari keuangan
perusahaan, yang pada tahun 2007 mencapai angka Rp. 7 M. Karena program
LAZ telah disinergiskan dengan program CSR, maka pada saat yang sama LAZ
telah memberikan sumbangan untuk kegiatan kemanusiaan perusahaan dengan
nilai yang cukup besar, dan membuat perusahaan efisien karena telah mendapat
sumbangan dari zakat karyawan. Keterangan ZM pada waktu yang lain
menambahkan bahwa LAZ merupakan bentuk tindakan ketaatan beragama
karyawan, sekaligus bentuk sumbangsih karyawan dalam meringankan beban
perusahaan dalam kegiatan kemanusiaan.
7.2.3.2. LAZ : Kepentingan Pengamanan Usaha dan Investasi Perusahaan
Menerapkan tatakelola zakat bagi pihak manajemen perusahaan, melalu
pertimbangan yang matang dengan perhitungan ekonomi dan terkait dengan
peluang perolehan keuntungan, keamanan dan kanyaman usaha. Membentuk
LAZ sebagai lembaga tatakelola zakat khusus menangani zakat bagi karyawan
memberikan peluang besar bagi perusahaan menguasai potensi ekonomi zakat
karyawan yang jumlahnya pada tahun 2007 mencapai Rp. 7 M. Angka yang
besar ini memberikan sumbangan Sangat berarti bagi perusahaan dalam
memberikan bantuan sosial kemanusiaan kepada kaum lemah khususnya di
sekitar perusahaan. Potensi zakat tersebut dalam pemanfaatannya untuk kaum
lemah pengakuan staf pengelola CSR PT. SP bahwa program LAZ disinergiskan
dengan program CSR khususnya untuk menangani bantuan sosial yang bersifat
perorangan.
Menerapkan tatakelola zakat bagi perusahaan Semen Padang, selain
memiliki kepentingan kemanusiaan yang selalu dileburkan bersama dengan
wacana CSR, yang juga memiliki kepentingan pada pengamanan sosial dan
ekonomi perusahaan dan kenyamanan kerja karyawan di lapangan. Hal ini
diindikasikan oleh adanya pilihan-pilihan dan prioritas pada pemberikan bantuan
dengan membagi wilayah pemberian bantuan dengan prioritas pada wilayah
284
terdekat secara geografis dengan wilayah kerja dan produksi perusahaan
(wilayah Lubuk Kilangan sebagai wilayah ring I). Pertimbangan didasarkan pada
pertimbangan peluang resiko ancaman bagi perusahaan dan pekerja perusahaan
lebih besar ketimbangan wilayah lain.
Pemanfaatan dana zakat dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan
berdasarkan waktu dan kegunaan. Bantuan
diberikan berdasarkan waktu
dilakukan secara rutin kepada orang jompo miskin dan janda-janda miskin.
Sementara bantuan yang diberikan berdasarkan kegunaan terbagi menjadi dua
kelompok yaitu : bantuan produktif dan non-produktif. Bantuan produktif diberikan
dalam bentuk bantuan usaha dan bantuan beasiswa pendidikan kepada
penduduk miskin yang ada di sekitar perusahaan. Mereka ini diberikan bantuan
dengan melalui proses pengajuan proposal, proses survey kelayakan oleh
petugas LAZ SP, selanjutnya hasil survey diperiksa oleh pimpinan kantor LAZ
untuk selanjutnya meminta persetujuan dari Dewan Pengurus Harian LAZ yang
anggotanya terdiri dari para Direksi perusahaan. Bantuan Non-Produktif
diberikan dalam bentuk bantuan pengobatan, bantuan bedah rumah dan bantuan
bencana alam.
LAZ SP memiliki wilayah kerja di Padang atau Sumatera Barat, namun
memiliki skala prioritas berdasarkan jarak wilayah perusahaan yang terbagi
menjadi tiga wilayah (tiga ring) yakni: ring I adalah wilayah yang paling dekat
dengan perusahaan (kecamatan Lubuk Kilangan), ring II meliputi kecamatan lain
(lima wilayah) di sekeliling perusahaan di wilayah Padang, dan ring III wilayah
lainnya di berada diluar Kota Padang. Pembagian ring ini berhubungan erat
dengan
kepentingan
dan
relasi
antara
perusahaan
dengan
penduduk
disekitarnya.
Mementingkan ring I sebagai skala prioritas pemberian bantuan dana zakat
atas pertimbangan bahwa mereka adalah kelompok yang paling sering
berhubungan langsung dengan pihak perusahaan, sehingga harus dijalin
hubungan baik dan salah satu caranya adalah dengan pemberian santunan dan
bantuan dengan harapan akan membantu mengatasi masalah ekonomi yang
mereka hadapi.
Ada anggapan bahwa desakan ekonomi yang menimpa masyarakat sekitar
perusahaan dapat berakibat munculnya ancaman bagi keamanan usaha dan
investasi bagi perusahaan. Oleh karena itu menurut pengelola LAZ SP, bahwa :
285
‖.... gangguan yang selalu dihadapi PT. SP sejak dulu selalu dari
penduduk miskin yang tinggal di sekitar perusahaan maupun yang
tidak.
Mereka kadang-kadang mencuri alat-alat milik perusahaan
atau kadang-kadang menghadang pekerja di lapangan .... setelah
ada bantuan zakat dan bantuan CSR ganguan itu berkurang....‖
Keterangan di atas menunjukkan bantuan zakat bersama-sama dengan
bantuan CSR diharapkan untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan
sekitar perusahaan sebagai upaya untuk menciptakan keamanan kerja dan
investasi perusahaan dari ancaman kemiskinan penduduk sekitar perusahaan.
Ada keyakinan bahwa manakala perusahaan menjalin hubungan harmonis
dengan memberikan bantuan untuk mengatasi persoalan ekonomi masyarakat
dan memberdayakan mereka, akan tercipta kondisi kerja yang nyaman dan
investasi yang aman.
7.2.3.3. Berzakat di LAZ : Kepentingan Pengamanan Ekonomi
Muzakki mematuhi sistem tatakelola perusahaan, karena pertimbangan
yang bersifat historis. Program tatakelola zakat yang dilaksanakan oleh
perusahaan
pada
awalnya
berasal dari
inisiatif
para
karyawan
untuk
melaksanakan ibadah zakat sebagai kewajiban beragama Islam. Insiatif tersebut
kemudian diresponi oleh perusahaan dengan membentuk Lembaga Amil Zakat
(LAZ-SP). Belakangan penerapan tatakelola zakat, diterapkan menyatu dengan
sistem penggajian karyawan, sehingga pemotongan zakat menyatu dengan
sistem penggajian karyawan dan menerapkannya dalam bentuk pemotongan gaji
senilai 2,5% kepada semua karyawan tetap dan pekerja musiman perusahaan.
Pemotongan zakat ini menjadi kebijakan perusahaan dengan mewajibkan semua
karyawan yang beragama Islam agar gajinya dipotong untuk berzakat.
Kesediaan karyawan atas pemotongan gajinya untuk berzakat, dilandasi
dengan pertimbangan bahwa zakat adalah kewajiban sebagai penganut Islam.
Namun kepentingan itu tidak hanya sampai disitu, tetapi mereka juga memiliki
motif lain yakni kepatuhan kepada sistem dan aturan perusahaan. Sebagai
karyawan menurut JH (41 tahun) mengakui bahwa,
sebagai karyawan yang
beragama Islam selayaknya patuh pada aturan yang berlaku di perusahaan.
Baginya kepatuhan pada aturan tatakelola zakat dengan pemotongan gaji oleh
perusahaan merupakan konsekwensi sebagai karyawan perusahaan PT. SP.
286
Mematuhi aturan pemotongan zakat, bagi karyawan juga merupakan
bentuk kepatuhan untuk mengamankan diri dan sumber ekonomi. Bagi salah
seorang karyawan DS (38 tahun) mengakui bahwa,
‖...bersedia dipotong zakatnya karena itu aturan yang berlaku dan
diperlakukan untuk semua karyawan, kalau menolak berarti tidak
patuh dengan aturan perusahaan dan bisa diberikan sanksi bahkan
boleh diberhentikan, karena tidak mau ikut aturan yang berlaku...‖.
Pengakuan informan tersebut memberikan indikasi bahwa ada kepentingan
pengamanan pekerjaan dari karyawan sebagai mustahik sehingga mereka rela
dilakukan pemotongan zakat pada gaji mereka oleh perusahaan. Penundukan
pada sistem tatakelola zakat merupakan bentuk tindakan kolektif yang mewarnai
hubungan birokrasi perusahaan SP. Tindakan ini berorientasi pada ketaatan
pada kebijakan perusahaan dengan kepentingan pada pencapaian keamanan
dan kenyamanan kerja dengan relasi yang baik dengan semua unit kerja yang
terkait. Penolakan atas kebijakan dianggap sebagai pembangkangan atas sistem
yang
berlaku
dan
dianggap
membolehkan
pemberian
sanksi.
Karena
keengganan pada resiko sanksi birokrasi perusahaan, maka bagi karyawan,
menerima mematuhi kebijakan zakat perusahaan dianggap lebih aman
ketimbang menolak, dan ini memberikan keamana kerja dan ekonomi.
7.3.
Dinamika Relasional dalam Lembaga Tatakelola Zakat
Temuan lapangan menunjukkan bahwa ada persentuhan antara satu
lembaga pengelola zakat dengan yang lainnya. Wacana zakat yang dimunculkan
ditemukan persentuhan yang saling menilai antara satu lembaga dengan
lembaga lainnya. Konsep-konsep yang saling bertentangan lahir dari cara
pandang yang berbeda dalam memahami, menilai, hingga pada kepentingan.
Konsep yang paling sering dimunculkan dan mengandung penilaian terhadap
yang lainnya adalah konsep: tradisional-modern, musiman-profesional, tidak
efisien-efiesien, tidak efektif-efektif, hingga pada illegal-legal.
Pada tabel 26 terlihat pemetaan potensi konflik antar tiga model tatakelola
zakat. Perbedaan basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan serta basis
legitimasi antara tiga model tatakelola zakat memberikan peluang yang besar
bagi potensi lahir benturan pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan hingga
pada benturan pada aras norma. LAZ komunitas dengan basis pengetahuan
lokal menganut rasionalitas asceticism dan altruism, menekankan pada
287
kepentingan pencapaian derjat kesalehan individu dan sosial bagi masyarakat
yang dilegitimasi oleh budaya lokal. BAZ Negara ( BAZDA ) dan LAZ Swasta
dengan basis Sains modern dengan basis rasionalita Politik untuk BAZ negara
dan ekonomi untuk LAZ Swasta. Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda
dimana BAZ negara berkepentingan atas penguatan negara sedangkan LAZ
swasta pada pengamanan usaha dan investasi.
Tabel 26 : Peta Konflik dalam Lembaga Tatakelola Zakat
Institusi
Basis
Pengelola Zakat Pengetahuan
LAZ Komunitas
Local
Knowledge
BAZ Negara
LAZ Swasta
Sains Modern
Basis Rasionalitas
Kepentingan
Basis Legitimasi
Asketisisme dan
Altruisme
Kesholehan
Individu-sosial
Justifikasi
Norma-norma
tradisi lokal
Politik = Intergratif,
Developmentalisme
Ekonomi = Utility
Maximization
Penguatan
Negara
Hukum Formal
Peanaman Usaha
dan Investasi
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah)
Pertemuan pada aras basis Pengetahuan dan rasionalitas, terjadi benturan
antara LAZ Komunitas dengan BAZ bersama LAZ Swasta. LAZ Komunitas yang
tunduk pada Pengetahuan Lokal (kearifan local berbasis logika kebersamaan)
berbenturan dengan BAZ Negara dan LAZ Swasta yang keduanya menyatakan
diri tunduk dibawah Pengetahuan Modern.
Dengan menggunakan basis
pengetahuan masing-masing, ketiganya membangun pemahaman, pedoman
kerja dan pengarah tindakan, membuat lembaga-lembaga zakat tersebut
memiliki perbedaan mendasar dalam memandang zakat, berzakat hingga sistem
yang dijalankan dalam pengelolaan zakat masing-masing.
Pada basis rasionalitas, terjadi benturan tiga sisi, antara LAZ Komunitas,
BAZ Negara dan LAZ Swasta. LAZ Komunitas dengan basis rasionalitas
Asceticism dan Altruistism, dan BAZ Negara dengan basis rasionalitas Integratif
dan Developmentalism, serta LAZ Swasta dengan basis rasionalitas Maximize
Profit dan Utility. Dengan basis rasionalitas masing-masing kemudian berzakat
dan mengelola zakat dengan basis etik yang berbeda.
Ketiga model tatakelola zakat tersebut sama-sama memobilisasi muzakki
di wilayah kerja masing-masing untuk berzakat di lembaganya. Namun
persoalannya bahwa muzakki yang dimobilisir tersebut adalah orang yang sama.
Seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di kantor atau dinas instansi
288
pemerintah adalah juga sebagai warga komunitas di mana mereka tinggal dan
menetap bersama keluarganya. Begitu juga dengan karyawan yang bekerja pada
perusahaan swasta yang dimobilisir atau bahkan diwajibkan berzakat pada LAZ
Swasta dengan cara pemotongan gaji, pada saat yang sama karyawan tersebut
juga merupakan warga komunitas di tempat tinggal mereka. Artinya muzakki di
mobilisir oleh BAZ negara karena sebagai pegawai negeri atau oleh LAZ swasta
karena karyawan perusahaan adalah juga orang yang dimobilisir oleh LAZ
Komunitas untuk berzakat pada LAZ komunitas karena mereka adalah warga
komunitas.
Tabel 27 : Peta Konflik Antar Aktor pada Beragam Lembaga Amil Zakat
Lembaga
LAZ Desa
Simburnaik
BAZDA
Jambi
LAZ
Semen
Padang
Aktor
Tatakelola
Muzakki & Mustahik
Dukungan
Masyarakat
Agamawan
34
kharismatik.
Mengkooptasi melalui
nilai dan moral
Legalitas Nilai yang
hegemonik
Dicurigai karena munculnya
pragmatisme agamawan
akibat penetrasi kapital global
Birokrat Desa
Mengkooptasi Birokrasi
dan menguasai wilayah
administrasi
Legalitas politik
yang sistemik
Overlapping kuasa ruang
administrasi desa dan masjid
Pemuka Adat
Mengkooptasi budaya
dengan menguasai
otoritas atas tradisi
berzakat
Legalitas norma
tradisi
Dualisme peran sebagai
jaringan agamawan dan
birokrat desa.
Agamawan
35
”rasional”
Mengkooptasi otoritas
nilai dan moral
Legalitas nilai dan
politik serta hukum
formal dan tradisi
Agamawan terbatasi negara
bekerja dengan bias
kepentingan politik
Birokrat Daerah
Mengkooptasi secara
politik.
Legalitas politik dan Kuasa birokrat yang
hukum formal
berlebihan menganggu dan
mengancam capital masjid
Akademisi dan
Tokoh
masyarakat
Mengkooptasi secara
akademik dan kepakaran
Legalitas tradisi
dan politik serta
hukum formal
Agamawan
Rasional
Mengkooptasi logika
Legalitas nilai dan
ajaran dengan memegang formal
otoritas nilai dan
kepakaran
Tidak tampak nyata
Direksi/
Mengkooptasi dengan
logika ekonomi dibawah
legalitas proverty
Kuasa manajemen yang
besar membawa zakat jadi
hak property
Manajer
Legalitas formal
Persoalan Kritis
Dualisme peran akademisi
dan menjadi jaringan ulama
dan birokrat
Sumber : Data perimer 2008 (diolah)
Perebutan
muzakki
dari
masing-masing
lembaga
tatakelola
tak
terhindarkan dan masing-masing berusaha keras menggiring muzakki agar
34
Agamawan kharismatik adalah ulama yang memukau, memiliki kemampuan spiritual, berbuat tanpa pamrih,
otoritas individu dan berorientasi ukhrawi, dan agamawan tradisional adalah berdasarkan keturunan,
berkemampuan respektasi, berbuat simbolik, ototritas dari komunitas dan berorientasi kebersamaan (Syafe‘I, M.
Saleh, 2008)
35
Agamawan rasional adalah ulama rasional, berkemampuan individual, bertindak realistis, otoritas sciences
dan berorientasi dunia akhirat
289
berzakat pada lembaga mereka. Berbagai strategi dilakukan, mulai dengan iklan
pencitraan,
pengiringan melalui wacana dan rasionalisasi berdasarkan rezin
pengetahuan, tawaran kemudahan, hingga pada tekanan-tekanan dengan
menggunakan wacana hukum formal oleh negara maupun aturan internal bagi
industri swasta.
Selain potensi konflik antara lembaga tatakelola zakat yang ada, potensi
konflik aktor tatakelola dengan masyarakat luas pun terbuka luas untuk terjadi
dan ini dapat dilihat pada tabel 27. Pada tabel tersebut terlihat kalau LAZ Desa
Simburnaik sebagai LAZ berbasis komunitas menunjukkan bahwa relasi antara
agamawan dan muzakki atau mustahik yang terjadi adalah kooptasi yang
menempatkan agamawan sebagai penguasa ruang ajaran dan mengkooptasi
muzakki
dan
mustahik.
Antara
agamawan
dengan
masyarakat
luas
menempatkan masyarakat sebagai pemberi legalitas nilai dan moral terhadap
kuasa agamawan untuk mengelola zakat. Kooptasi agamawan terhadap muzakki
dan mustahik yang mendapatkan legalitas nilai/moral melahirkan persoalan lain
sebagai akibat kuasa yang besar dari agamawan. Seringkali muncuk kecurigaan
terhadap agamawan yang dianggap memanfaatakan zakat untuk kepentingan
sendiri, dan ini sebagai akibat dari penetrasi kapital global yang menjamah
hingga level komunitas.
Implikasi sosial dari tiga model lembaga tatakelola zakat tersebut bagi
masyarakat, lahir dalam berbagai bentuk. LAZ komunitas misalnya, dengan
berbasis pengetahuan lokal dan rasionalitas asketisme dan atau altruisme,
membawa kepentingan pencapaian kesholehan individu dan sosial yang
diperkuat oleh basis legitimasi norma-norma tradisi lokal, melahirkan kondisi
sosial dalam kebersamaan yang hangat, meski berpelung hegemonik dengan
kondisi berupa :
1. Berbasis komunitas berakibat pada pemangku kuasa tatakelola diletakkan
pada elit lokal khususnya elit agama. Legitimasinya kuat dengan berbasis
norma tradisi, namun akibatnya rawan lahirnya hegemoni dari elit lokal.
2. Berbasis pengetahuan lokal, membuat tatakelola zakat dianggap pinggiran
oleh logika manjemen modern.
3. Karena konteknya lokal, maka akses masyarakatpun kemudian terbatasi
dalam wilayah lokal secara sempit dan untuk kepentingan komunitas itu
sendiri, namun merata karena memang berlandaskan etika kebersamaan.
290
4. Dengan berbasis norma-norma tradisi lokal, membuat LAZ komunitas bisa
memberikan ruang akses yang luas terhadap warga secara sama, maka
hasil mampu kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.
BAZ Negara adalah lembaga tatakelola zakat berbasis sains modern,
menganut
logika
politik
yang
mengedepankan
upaya
integrasi
dan
pembangunan. Kepentingan yang muncul terfokus pada upaya penguatan
Negara melalui wacana pembangunan dan pemberdayaan terhadap warga
miskin. Kekuatan dukungan masyarakat diperkuat dengan legitimasi hukum
formal. Implikasi sosialnya bagi masyarakat, cenderung bias kekuasaan politik
dan birokrasi dengan kondisi berupa :
1. Berbasis negara berakibat pada pemangku kuasa tatakelolanya diletakkan
pada kuasa aparatur negara dan elit agama bias negara. Legitimasinya kuat
dan memiliki kemapuan memaksa, karena berbasis hukum formal. Namun
akibatnya rawan penundukan simbolik semata.
2. Berbasis sains modern, membuat BAZ menjadi lembaga tatakelola zakat
yang superior, karena mengetengahkan logika iilmiah dengan manajemen
modern.
3. Berbasis birokrasi Negara, maka akses masyarakat menjadi terbatasi oleh
ruang birokrasi yang diatur oleh sistem administrasi Negara. Jangkauannya
sangat luas karena dalam konteks Negara. Hanya saja pemerataan menjadi
sulit
untuk
diterapkan
karena
berlandaskan
etika
integritas
dan
pembangunan.
4. Dengan berbasis legitimasi norma positif , membuat
BAZDA
menjadi
sangat terbatas memberi ruang akses pada masyarakat umum karena di
sana bekerja sistem dengan logika birokrasi dengan kekuatan politik.
Akibatnya kepercayaan yang terbangun berpeluang dalam kondisi yang
rapuh bahkan memungkinkan dalam kondisi ketertekanan oleh kekuatan
birokrasi dan politik.
Swasta
yang
tampil
dengan
lembaga
tatakelola
zakat
berbasis
pengetahuan modern, menonjolkan kepentingan pada upaya pengamanan
usaha dan investasi, dalam perjalanannya diperkuat dengan legitimasi hukum
formal. Implikasi sosialnya bagi masyarakat melahirkan konstruksi berfikir bahwa
291
zakat adalah instrument ekonomi menuju kesejahteraan dan pemberdayaan,
dengan kondiri berupa :
1. Lembaga tatakelola zakat berbasis swasta, berakibat pada pelimpahan
pemangku kuasa diletakkan pada kuasa elit perusahaan dan elit agama bias
perusahaan. Legitimasinya kuat dan memiliki kemapuan memaksa, karena
berbasis hukum formal dalam kerangka perusahaan. Namun
akibatnya
rawan penundukan simbolik karena motifnya disamping asketik selalu
diwarnai dengan motif pengamanan ekonomi dan keselamatan usaha atau
sumber ekonomi.
2. Berbasis sains modern, membuat LAZ swasta menjadi lembaga tatakelola
zakat yang superior, karena mengetengahkan logika ilmiah bias logika
ekonomi dengan manajemen industri modern.
3. Berbasis birokrasi perusahaana, akses masyarakat menjadi sangat terbatasi
oleh ruang birokrasi perusahaan yang diatur oleh sistem administrasi
perusahaan. Jangkauannya
sedikit terbatas karena terbatasi oleh ruang
kerja dan lingkungan sosial perusahaan. Pemberdayaan dan yang selalu
dikedepankan, sulit terwujud karena landasan etika sangat utilitarian dengan
menonjolkan etika ekonomi dan pemberdayaan.
4. Dengan berbasis legitimasi norma positif , membuat LAZ swasta menjadi
sangat terbatas memberi ruang akses pada masyarakat umum karena di
sana bekerja sistem perusahaan dengan logika birokrasi dengan kekuatan
ekonomi. Kepercayaan yang terbangun cukup rapuh dan diwarnai motif
pengamanan ekonomi karena dalam kondisi ketertekanan oleh kekuatan
politik ekonomi perusahaan.
Berbagai implikasi bekerjanya
tiga model lembaga amil zakat dalam
masyarakat, memancing konflik antara lembaga, karena perbedaan basis
pengetahuan, rasionalitas dan bahkan kepentingan. Perbedaan kepentingan
pada tahapan
lebih jauh, sangat diwarnai oleh rasionalitas yang bekera
mengambarkan, mengarahkan dan memaksa masyarkat untuk berzakat pada
LAZ Swasta. Perbedaan basis pengtahuan berakibat pada perbedaan sistem
rasiolitas yang bekerja, dan perbedaan ini menjadi basis logika yang menggiring
orang untuk berbuat lebih baik.
292
Perbedaan pandangan dalam tatakelola selalu rawan terhadap munculnya
konflik-konflik, karena di sana akan ada dominasi dan perbedaan basis
pengetahuan berakibat pada munculnya benturan gagasan atau paling tidak
terjadi kooptasi antara satu dengan yang lainnya. Relasi antara aktor dalam tiga
model Lembaga tatakelola zakat, memposisikan muzakki dan mustahik pada
posisi yang terkooptasi oleh kekuatan yang lebih besar.
Birokrat Desa pada LAZ Desa Simburnaik mengkooptasi muzakki dan
mustahik dalam ruang birokrasi dengan kekuasaan administrasi dalam
mengkategorikan warga sebagai muzakki atau mustahik dan ini mendapatkan
legalitas fomal dan politik dari masyarakat luas. Persoalan krusial di sini adalah
adanya overlapping kuasa ruang administrasi desa dan kuasa ruang administrasi
masjid yang dikuasai oleh agamawan (puang imang).
Pemuka adat sebagai pemangku kuasa adat mengkooptasi muzakki dan
mustahik dalam kerangka otoritas tradisi berzakat yang mendapatkan legalitas
cultural dari masyarakat umum. Persoalan krusialnya adalah adanya dualisme
peran pemuka adat yang menjadi jaringan agamawan dalam mengawal norma
dalam masyarakat sekaligus menjadi jaringan birokrat untuk mengawal stabilitas
politik komunitas.
Potensi konflik terlihat pada relasi agamawan dengan muzakki ketika
kepentingan antara agamawan dan muzakki tidak bersinergis. Apalagi posisi
muzakki dan mustahik yang terkooptasi dalam ruang kuasa agamawan atas
ajaran. Apalagi jika muzakki hanya diberi ruang untuk patuh tanpa diberi ruang
bargaining, namun hal tidak terjadi dalam LAZ komunitas, karena di sana
muzakki mendapatkan ruang bargaining untuk bisa berzakat secara individu
sesuai dengan kepentingannya, yang penting bagi agamawan adalah bahwa
muzakki berzakat
dan diberikan kepada yang berhak. Konflik terjadi ketika
agamawan menunjukkan sikap pragmatisnya dan mengambil keuntungan untuk
dirinya diluar kewajaran yang dibisa diterima dalam norma masyarakat luas.
7.3.1. Analisis Ekonomi Politik Zakat
Tatakelola zakat di BAZDA Jambi, memperlihatkan adanya kooptasi
terhadap muzakki dan mustahik yang juga terjadi dari tiga aktor pengelola zakat
di sana. Kooptasi atas otoritas nilai dari agamawan, otoritas politik dari birokrat
dan otoritas akademik dari kelompok akademisi. Muzakki dan mustahik
293
terkooptasi dalam ruang ajaran oleh agamawan, dalam ruang birokrasi oleh
birokrat dan secara akademik mereka terkooptasi oleh para akademisi yang
menjadi bagian dari tatakelola zakat di BAZDA . Kekuatan sosial politik BAZDA
mendapatkan legalitas formal dari negara yang diikuti oleh pengakuan
masyarakat karena tertunddukan oleh rasionalitas politik sebagai warga negara.
Relasi antar aktor dalam tatakelola BAZDA menunjukkan bahwa kekuasaan
begitu besar dan bekerja dalam berbagai bentuk bangunan relasi. Amil sebagai
pemangku kausa tertinggi dalam konteks ketatakelolaan masa lalu, dalam sistem
distribusi kekuasaan di BAZDA menempatkan kekuasaan terbesar pada kuasa
Negara yang dipangku oleh aparat pemerintah yang memayungi BAZDA.
Agamawan yang dalam tradisi tatakelola zakat masa lalu yang saat menjadi ciri
tatakelola zakat komunitas, di BAZDA sangat berbeda. Agamawan hanya
diletakkan pada posisi pemangku kuasa fatwa syari‘ah 36, dan hanya memiliki
kekuasaan dalam tatakelola zakat di BAZDA dalam batas membuat keputusan
yang bisa dianggap sah sebagai petunjuk berzakat.
Muzakki yang merupakan sumber pokok dari dana zakat yang diakumulasi
untuk kemudian dikelola oleh BAZDA dan distribusikan, hampir tidak pernah
mendapatkan kuasa untuk mempengaruhi kebijakan BAZDA dalam pemanfaatan
dana zakat. Muzakki dalam menyerahkan zakatnya selalu dalam tekanan sistem
birokrasi dan administrasi pemerintah. Sementara mustahik sebagai kelompok
yang paling berhak atas manfaat dan pemanfaatan dana zakat, hanya
menempati posisi yang selalu terkooptasi dan terbatasi. Mereka lebih sebagai
komoditas bagi aktor lain untuk mewujudkan kepentingan yang beragam.
Fenomena bekerjanya kekuasaan Negara yang terlalu besar mengatur
tradisi berzakat dan ketatakelolaanya, membuat zakat menjadi komoditas dan
lembaga tatakelolanya sebagai instrument strategis bagi perwujudan beragam
kepentingan Negara dan aktor-aktor utama tatakelola zakat di BAZDA. Tradisi
berzakat dan tatakelolanya termanipulasi sebagai power maintenance oleh elit
yang berkuasa dari pada level nasional hingga level daerah, dan ternyata BAZDA
dalam menguasai arena zakat (tradisi berzakat dan tatakelolanya) telah terbukti
mampu memberikan sumbangan yang besar bagi
perluasan dan penguatan
kekuasaan elit negara. Sedangkan muzakki dan mustahik merupakan komoditas
36
Fatwa Syari‘ah adalah keputusan oleh agamawan dalam menetapkan sebuah ketentuan atau norma dalam
konteks beragama agama.
294
yang saling dikaitkan untuk dalam membangun kekuatan dan kekuasaan negara
dan kaum elitnya.
Potensi konflik di BAZDA yang cukup rawan adalah pembatasan ruang
kuasa agamawan oleh birokrat dengan dukungan kekuatan birokrasi pemerintah
yang melebar sampai BAZDA dan menjadikan BAZDA lembaga yang harus
tunduk dalam sistem birokrasi pemerintah. Agamawan yang seyogianya
berkuasa penuh dalam ruang tatakelola zakat sebagai ajaran agama, di BAZDA
hanya mendapatkan ruang sebagai pemangku legalitas moral agar terbaca
sebagai lembaga tatakelola yang tunduk dalam dalam koridor ajaran agama.
Begitu pula kuasa akademisi, hanya menjadi jejaring agamawan dalam
membangun rasionalitas zakat yang bersinergis dengan rasionalitas sains
modern, mereka ini juga sekaligus menjadi jejaring birokrat untruk membangun
justifikasi ilmiah dan menjadi benteng kekuatan dan pengokohan kekuasaan
birokrat. Artinya bahwa agamawan dan akademisi disana tidak terlalu besar
ruangnya dari hanya sekedar menjadi aparat negara sebagai alat legitimasi
moral dan akademik bagi birokrat.
7.3.2. Analisis CSR Terselubung ―Zakat‖
CSR bagi perusahaan merupakan salah satu wujud usaha membangun
keamanan dan pengamanan usaha dan investasi melalui kegiatan sosial dan
kemanusiaan. Bagi perusahaan, selain CSR sebagai wujud pertanggungjawaban
sosial dan lingkungan bagi perusahaan, juga merupakan wujud kepeduliaan dan
kemanusiaan sebuah perusahaan. Hampir sama halnya dengan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) perusahaan, yang juga kegiatan dan kerjanya memiliki kesamaan
dan bahkan disinergiskan dengan CSR.
Mensinergiskan LAZ perusahaan dengan CSR sama halnya membawa
LAZ keruang logika politik ekonomi. LAZ dengan program kegiatan pembelaan
pada kaum lemah sekitar berusahaan dan pembelaan itu selalu amat terkait
dengan kondisi-kondisi sosial yang terkait dengan kenyaman usaha dan
kemanan kerja serta investasi. Mengawinkan LAZ dengan CSR dalam satu
bentuk kegiatan atau adanya pembagian kerja, menunjukkan bahwa logika tradisi
berzakat dengan logika CSR, telah melebur menjadi satu. Artinya bahwa adanya
program CSR, memberikan sumbangan pada kebesaran LAZ karena adanya
295
wacana pemanfatan zakat untuk membangun susana aman dan nyaman dalam
konteksi perusahaan.
Potensi konflik dalam LAZ SP terlihat tidak jauh berbeda dengan yang
terjadi di BAZDA Jambi. Kooptasi agamawan dalam ruang nilai yang menguasai
aras gagasan muzakki dan mustahik membuat muzakki tak mendapatkan ruang
yang leluasa menyalurkan aspirasi. Kondisi serupa juga terjadi ketika muzakki
dan mustahik berhadapan dengan manajemen perusahaan yang menguasai
sistem dan birokrasi perusahaan yang meluas hingga ke LAZ Perusahaan.
Persoalan kritis terjadi ketika pihak menajemen menguasa ruang yang sangat
luas dan memposisikan zakat sebagaimana hak property.
Basis rasionalitas/etika-moral yang berbeda dalam mengelola zakat,
konsekuensinya ketiga model lembaga zakat tersebut juga mengalami
perbedaan kepentingan (interest) dalam pengelolaan zakat. LAZ Komunitas
berorientasi pada kepentingan mencapai ―Kesholehan Individu” dan “Kesolehan
Sosial”, dan BAZ Negara berorientasi pada kepentingan mencapai ―penguatan
negara‖,
sementara LAZ Swasta berorientasi pada kepentingan mencapai
―kenyamanan usaha‖ dan ―keamanan investasi‖.
Mengelola zakat bagi swasta, mengedepankan wacana pemberdayaan dan
pembelaan kaum lemah disekitar perusahaan. Mengelola zakat menyuarakan
pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap kaum lemah yang disekitar
perusahaan sebagai wujud kepedulian sosial terhadap persoalan kemiskinan dan
kemanusiaan. Zakat dan tatakelolanya dalam lingkungan perusahaan hadir
sebagai bentuk upaya membangun citra atau ―image building‖ sebagai
perusahaan yang memiliki semangat religious dan kepedulian kemanusiaan yang
tinggi.
Fenomena sinergis antara program CSR dan Lembaga Amil Zakat (LAZ)
perusahaan PT. SP, merupakan satu bentuk penggiringan tradisi berzakat dan
tatakelolanya masuk dalam ruang kerja ekonomi swasta dan menjelma menjadi
instrumen perusahaan dalam membangun kekuatan dan kekuasaan dalam
masyarakat menuju perluasan wilayah kuasa sumberdaya ekonomi khsusnya
dalam membangun suasana aman dan kondusif bagi perusahaan.
296
7.3.3. Dinamika Relasi dalam LAZ Komunitas
Pengelolaan zakat komunitas melibatkan tiga aktor penting sebagai pelaku
langsung dalam pengelolaan zakat. Mereka ini adalah agamawan, aparat desa
dan tokoh adat (meski terkadang ada juga yang hanya dilakukan oleh agamawan
saja). Mereka dalam melaksanakan pengelolaan zakat selalu dan bahkan pasti
bersentuhan dengan unsur masyarakat lainnya yang terkait dengan tindakan
berzakat. Unsur masyarakat tersebut adalah muzakki, mustahik dan masyarakat
secara umum.
Muzakki sebagai kelompok orang yang pertama kali bersentuhan dengan
pengelola zakat, memiliki posisi yang sangat penting. Mereka adalah orang yang
memiliki kekuatan ekonomi yang lebih dari kebanyakan anggota masyarakat, dan
karena kekuatan ekonomi itulah mereka kemudian oleh agama dimasukkan
dalam kelompok muzakki. Kelompok ini oleh agama dikenakan kewajiban untuk
memberikan sebagian hartanya kepada pengelola zakat untuk didistribusikan
kepada orang-orang lemah dan tak mampu. Keberadaan Muzakki di sini
menempati tempat yang strategis dan sebagai kunci utama dari berjalannya atau
tidaknya tatakelola zakat. Tanpa mereka pengelolaan zakat tidak akan pernah
berjalan, kerena dari merekalah dana zakat di peroleh untuk kemudian di
kumpulkan dan didistribusikan.
Unsur masyarakat lainnya yang tak kalah pentingnya adalah mustahik.
Mereka ini adalah kelompok orang yang akui dan ditentukan oleh agama sebagai
kelompok yang berhak menerima dana zakat karena kondisi kehidupan mereka
yang lemah, kekurangan dan tidak berdaya. Secara umum diakui bahwa zakat
diwajibkan oleh agama selain sebagai alasan ibadah dan tanda syukur kepada
sang pemberi nafkah, keberadaan mustahik sebagai kelompok ummat yang
lemah dan butuh bantuan adalah alasan penting dari wajibnya zakat. Makanya
kemudian dikedepankannya wacana pemberdayaan mustahik sebagai kelompok
orang lemah dan berdaya adalah satu bukti nyata bahwa mustahik merupakan
sosok penting dalam perilaku berzakat.
Unsur ketiga adalah masyarakat luas yang merupakan sekumpulan orang
yang di dalamnya ada muzakki dan mustahik yang selalu bersentuhan dengan
pengelola zakat. Mereka ini secara bersama-sama melihat dan menilai
bagaimana para aktor tatakelola zakat menjalankan sistem tatakelola zakat dari
297
menerima dana zakat Muzakki hingga mendistribusikan dan memanfaatkan dana
zakat untuk kepentingan kaum ummat secara keseluruhan.
Ada hal lain di luar unsur manusia yang lebih lebih dari semuanya dan
memberikan pengaruh besar bagi tindakan sosial dan ritual zakat. Allah sebagai
pemberi perintah zakat melalui firmanNya, yang kemudian di jalankan oleh
manusia sebagai ajaran agama, merupakan faktor yang paling dominan dalam
praktek berzakat dan tatakelola zakat. Pentingnya keberadaan Allah
di sini
terlihat manakala dilontarkan pertanyaan mendasar tentang mengapa praktek
zakat di lakukan?.
Peta relasi antara aktor dalam tatakelola zakat komunitas tergambar pada
tabel 28, yang memperlihat relasi antar muzakki, antar mustahik, antara antar
amil dengan masyarakat serta relasi antara muzaki dengan mustahik dan antara
muzakki dengan amil serta hubungan dengan masyarakat luas.
Tabel 28 : Relasi Struktural-Fungsional antar Aktor dalam Tatakelola Zakat
Komunitas
Aktor
zakat
Muzakki
Mustahik
Amil
Masyarakat Luas
Muzakki
Kesetaraan
Stewardship
(kesetiakawanan
sosial)
voluntaristism
Mengarahkan
Masyarakat luas
melakukan kontrol
sosial terhadap
muzakki
Mustahik
StewardshipVoluntaristism
(kesetia
kawananan
sosial)
Kesetaraan
Fungsional
Tanggungjawab
sosial masyarakat
luas bagi miskin
Fungsional
Fungsional
Kontestasi
Delegasi wewenang
Mengarahkan
Emansipatory
Koordinatiflagitimasi
Kontrol moral
Amil
Aparat
Desa
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah)
Pada tabel 28 terlihat bahwa relasi kesetaraan terbangun antar muzakki
karena mereka membangun hubungan yang memaknai diri mereka sebagai
muzakki yang sama-sama berkewajiban berzakat dan berkewajiban patuh
dengan amil. Relasi antara muzakki dengan mustahik yang terbangun adalah
hubungan kesetiakawanan sosial (Stewardship) dengan logika penuh keihlasan
(voluntaristism). Relasi muzakki dengan amil ditemukan bahwa ada hubungan
fungsional yang memposisikan muzakki sebagai yang harus patuh kepada amil.
298
Amil mengarahkan muzakki pada tindakan berzakat dan masyarakat lebih
menjadi pengontrol atas tindakan berzakat dan tatakelolanya.
Relasi
antara
mustahik
dengan
muzakki
didasari
dengan
rasa
kesetiakawanan sosial, dan dengan sesama mustahik relasinya didasari relasi
kesetaraan karena rasa senasib sebagai orang lemah membutuhkan bantuan
zakat. Relasi antara mustahik dengan amil didasari dengan relasi fungsional
dengan bentuk hubungan kewajiban atas kepatuhan pada amil untuk berzakat ke
amil oleh muzakki, sementarab relasi mustahik dengan masyarakat luas didasari
dengan rasa tanggung jawab sosial oleh masyarakat luas untuk membela
mustahik sebagai orang miskin sebagai kelompok yang membutuhkan
pembelaan.
Relasi kesetaraan terlihat antar muzakki dan antar mustahik. Mereka
sebagai kelompok yang berada pada struktur yang sama menjalin relasi yang
baik meski terkada ditemukan pergesekan akibat persaingan mendapatkan
penghargaan sosial dari masyarakat luas bagi muzakki dan kecemburuan atas
perolehan santunan zakat dari kepada muzakki tertentu dari peraktik zakat
individual oleh muzakki.
Bangunan relasi amil dengan amil lainnya ditemukan hubungan kontestasi
dan saling bersaing untuk mendapatkan kepercayaan dari para muzakki yang
ada dalam komunitas. Sementara relasi antara amil dengan masyarakat
terbangun relasi dalam bentuk pendelegasian wewenang dari masyarakat luas
kepada amil untuk mengontrol tradisi berzakat dan mengelola dana zakat
masyarakat. Masyarakat mendelegasikan tugas kepada amil untuk menarik zakat
dari muzakki untuk kemudian mendistribusikannya kepada mustahik dan
memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat umum dalam menunjang
pembiayaan fasilitas sosial khususnya masjid dan madrasah untuk syiar agama.
Relasi antar amil yang muncul dalam hubungan persaingan dan tak jarang
konflik. Ada indikasi yang menunjukkan benturan kuasa kuasa tatakelola zakat
antara amil di masjid dengan amil dari kalangan agamawan kharismatik tertentu
yang terkadang mendapatkan perlakukan khusus dari masyarakat sebagai
penerima zakat dari kalangan masyarakat tertentu sebagai akibat dari adanya
relasi khusus dengan muzakki secara individu.
Relasi
antara
aparat
desa
dengan
muzakki
berada
relasi
yang
memposisikan aparat sebagai yang mengarahkan tradisi berzakat muzakki, dan
299
di sana ada wewenang aparat desa untuk juga mewarnai tindakan berzakat pada
lembaga komunitas bersama para amil, dengan semangat emansipatory, aparat
desa juga ikut melakukan pembelaan terhadap mustahik sebagai yang berhak
atas manfaat zakat. Antara aparat desa dengan amil terbangun hubungan
koordinatif, sedangkan antara aparat dengan masyarakat luas relasinya lebih
terlihat dalam konteks kontrol moral.
Persentuhan atau relasi sosial
yang terjadi
kemudian adalah antara
muzakki dan mustahik. Ditemukan dalam penelitian bahwa antara keduanya
dalam tatakelola zakat komunitas terdiri dari dua bentuk, yaitu relasi secara
lansung dan relasi dengan perantara pihak lain yaitu Amil. Relasi langsung
ditemukan dalam praktek tatakelola zakat individual, di mana oleh muzakki
diserahkan sendiri zakatnya kepada kaum mustahik.
Praktek ini berlangsung
biasanya antara muzakki dengan mustahik dari kelompok miskin yang memiliki
hubungan khusus dengan muzakki seperti keluarga miskin, buruh muzakki, Guru
Ngaji,
dan Dukun Bayi yang pernah memberikan bantuan kepada keluarga
muzakki dalam melahirkan. Hubungan mereka di sini begitu hangat, manusiawi,
penuh dengan rasa kebersamaan, dan pembelaan dalam kesetaraan. Sementara
hubungan muzakki dengan mustahik lainnya selalu di antarai oleh orang lain
yang bertugas sebagai pengelola zakat (Amil), meski tidak langsung namun sang
amil memberikan penghargaan dan penghormatan dan oleh muzakki dipandang
sebagai orang yang dermawan, dan konsekwensi sosialnya sang mustahik
merasa bertanggungjawab untuk memberikan penghormatan dan penghargaan.
Relasi Muzakki dengan Amil secara langsung, ditemukan bahwa antara
mereka, terlihat kalau muzakki memiliki kekuasaan yang besar sehingga sang
mustahik selalu menjadi sosok yang di hormati oleh amil. Seorang muzakki
terkadang mendapatkan perlakuan yang agak khusus di mana ia diberikah kuasa
untuk menunjukkan kapada siapa zakatnya didistribusikan, walaupun tak jarang
sang muzakki meminta pandangan amil yang kebetulan selalu dari kelompok
agamawan. Muzakki yang secara rutin membayar zakat, selalu menjadi sosok
yang dihormati, dan dihargai oleh agamawan komunitas. Ada pengaruh dari
kekuatan atas kepemilikan kekayaan yang lebih terhadap penghormatan yang
diperoleh dari agamawan, karena selalu muzakki yang rutin berzakat juga
sekaligus menjadi penyandang dana bagi pembangunan fasilitas sosial agama
300
serta penyandang dana utama bagi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang di
pimpin oleh agamawan.
Pada praktek zakat, agamawan memegang kuasa penuh dan superior
dalam mengarahkan perilaku berzakat masyarakat komunitas, namun dalam hal
lain ditemukan bahwa agamawan menjadi patner kaum muzakki dan bajkan
terkadang sang agamawan tunduk dalam kekuasaan sang muzakki, namun itu di
luar konsteks ritual agama.
7.3.4. Dinamika Relasi dalam BAZDA Jambi
Relasi antar muzakki di BAZDA Jambi ditemukan bahwa relasi kesetaraan
terbangun dengan prinsip bahwa mereka sesama muzakki memiliki kewajiban
yang sama untuk menjalankan tradisi berzakat sebagai kewajiban beragama,
namun kemana mereka harus berzakat masing-masing memiliki preferensi yang
berbeda-beda. Ada yang memilih berzakat secara langsung ke mustahik,
berzakat melalui amil komunitas atau melakukan keduanya dan berzakat ke
BAZDA. Yang memilih berzakat ke mustahik secara
langsung dilandasi
pertimbangan bahwa menyerahkan langsung itu lebih merasa yakin akan
manfaat zakat untuk mereka dan untuk mustahik. Sedangkan yang memilih
berzakat ke amil lebih karena pertimbangan tradisi dan tutuntutan sosial
kebersamaan. Sedangkan yang memilih berzakat ke BAZDA lebih karena
desakan birokrasi tempat kerja, sehingga ditemukan muzakki berzakat dalam tiga
arah, yaitu : langsung ke mustahik, amil komunitas serta ke BAZDA (lihat table
29).
Tabel 29 : Relasi Struktural-Fungsional Antar Aktor dalam Badan Amil Zakat
Daerah
Aktor zakat
Muzakki
Mustahik
Amil
Negara
Kesetaraan
Terputus diambil
alih Negara
Terputus
diambil alih
negara
KontrolMengarahkan
Mengarakanmemaksa
PersainganKompetisi
KontrolMengarahkan,
penundukan
Superior dan
inverior
Mengarahkan
Menekan
(hegemonik)
Komoditas
Mengarahkan ketergantungan
Kontrol -Mengatur
Muzakki
Mustahik
Amil
Pemerintah
Sumber : Data Primer, 2008
Superior dan
inferior
Ketergantungan
Hierarkis
Persaingan
KoordinatifDelegasional
Delegasi penuh
301
Relasi antara amil dengan mustahik, hubungan keduanya terkesan
berjenjang. Di lapangan di temukan bahwa hubungan mereka terlihat di mana
agamawan lebih pada posisi yang kuat, namun kekuatan itu hampir tidak pernah
ditemukan dimanfaatkan oleh agamawan. Posisi agamawan sebagai amil yang
menguasai sumberdaya zakat yang terkumpul memiliki kekuasaan penuh untuk
mendistribusikan kepada siapa saja yang ia kehendaki dan ia nyatakan layak.
Namun tidak ditemukan sama sekali adanya agamawan sebagai amil zakat
komunitas yang mengecewakan mustahik. Mereka mendistribusikan dana zakat
secara merata kepada semua mustahik tanpa membedakan satu sama lainnya.
Artinya bahwa dalam praktek pengelolaan zakat komunitas oleh agamawan
memang telah melakukan pembelaan dan keberpihakan pada kaum lemah.
Meskipun pada waktu yang lain justru para amil malah tertundukkan oleh para
Muzakki-muzakki pemegang kapital desa.
Bangunan relasi antara muzakki dengan mustahik ditemukan hampir tidak
ada dan terputus karena tergantikan oleh negara yang diwakili oleh aparat
BAZDA. Muzakki dengan mustahik di sini tidak saling kenal dan tidak akan
pernah berinteraksi dalam konteks relasi zakat. Muzakki menyerahkan zakat
sepenuhnya kepada BAZDA untuk dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan
agama. Kondisi semacam ini memang ada baiknya karena bisa mencegah
adanya pemanfaatan zakat oleh muzakki untuk menghegemoni mustahik, namun
persioalan lain yang muncul dan penting adalah
bahwa dengan terputusnya
hubungan antara muzakki dengan mustahik, maka zakat di sini menjadi hilang
kekuatannya dalam menjalin hubungan hangat antara kaya dan miskin, begitu
pula kemampuan zakat dalam meminimalisir lahirnya kecemburuan sosial antara
kaum kaya dan miskin.
Relasi Mustahik dengan Amil dalam tatakelola zakat bebasis negara,
ditemukan bahwa muzakki yang mayoritas adalah pegawai dan karyawan
pemerintah (PNS), ditempatkan sebagai sosok yang diarahkan, dikontrol dan
bahkan
dipaksa
oleh
sistem
adimistrasi
dan
birokrasi
pemerintahan.
Pembentukan unit Pemungut zakat (UPZ) pada setiap dinas, kantor dan instansi
pemerintah, membuat para PNS terlihat disiplin dan seringkali dinilai memiliki
kesadaran berzakat yang baik. Namun temuan di lapangan menunjukkan bahwa
banyak di antara mereka yang tidak membayar zakat kecuali hanya sebagai
302
infaq atau sedeqah semata dan itu karena motivasi pengamanan politik dalam
dunia birokrasi.
Namun bagaimanapun mereka telah berzakat atau paling tidak telah
berinfak, yang jelas dengan adanya BAZDA memungut zakat dan infaq dari
kalangan PNS, menempatkan PNS sebagai orang yang terkuasai dan terarahkan
perilaku zakat dan infaq mereka. Terlepas mereka telah berzakat atau hanya
berinfaq, yang jelas mereka telah berderma meski ada unsur paksaan dari
BAZDA karena masuknya mekasnisme pemungutan zakat dalam sistem
administrasi dan birokrasi tempat bekerja. Dengan demikian kebebasan PNS
untuk berzakat terbatas dan hampir mulai tertutup dengan terus adanya
peningkatan
manajemen
pengelolaan
zakat
BAZDA
khususnya
dalam
pemungutan zakat dari para PNS.
Relasi PNS sebagai muzakki dan BAZDA sebagai amil, menempatkan
PNS dalam sisi yang termarginalkan, dan mereka seakan hanya di pandang
sebagai sumberdaya sehingga layak untuk dieksploitasi dan bahkan dalam
wacana zakat terus menyuarakan agar pemungutan zakat diefektif dan
disiplinkan, agar tidak ada lagi PNS tidak terpotong zakatnya oleh UPZ yang ada
dalam Dinas, Instansi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
BAZDA
sebagai amil melalui jaringan birokrasi pemerintahan menjangkau
semua PNS melalui dinas dan instansi apalagi ketika Ketua BAZDA secara exofficio dijabat oleh Sekretaris Daerah (sekda), hal ini lebih mempermudah
BAZDA
untuk menarik dana zakat dan melakukan tekanan terhadap PNS
sebagai muzakki utama BAZDA.
Relasi antara Muzakki sebagai pembayar zakat dengan Amil yang terlihat
hanya pada hubungan pembayar dan pemungut dana zakat, selanjutnya hampir
tidak ada relasi yang menghubungkan mereka. Muzakki hanya menjadi perhatian
dalam konteks sebagai sumber dana zakat, proses selanjutnya setelah zakat
dipungut UPZ sebagai perpanjang tangan BAZDA, relasi antara muzakki dengan
BAZDA
tidak terlihat lagi.
Muzakki tidak diberikan ruang untuk ikut campur
tangan dalam pengelolaan zakatnya, dan relasi dengan mustahikpun mereka
sama sekali tidak ada. Hubungan antara mustahik dengan muzakki dipotong dan
diambil alih oleh BAZDA sehingga antara muzakki dengan mustahik tidak akan
pernah saling kenal dan apalagi untuk bisa membangun relasi sosial yang terkait
dengan pemberi zakat dan penerima santunan zakat.
303
Relasi antara amil, muzakki dan mustahik dalam tatakelola zakat BAZDA
menempatkan amil sebagai sosok yang superior yang mengarahkan perilaku
zakat para muzakki. Posisi superiornya Amil juga terlihat nyata ketika mengamati
bangunan relasi antara amil dengan mustahik, dimana amil memposisikan
mustahik sebagai orang yang lemah yang hanya memiliki hak meminta atau
memohon. Mustahik memang dipandang sebagai sosok yang berhak atas dana
zakat, namun dalam prakteknya mereka seringkali dipandang sebagai orang
yang bodoh, hina, lemah dan tak jarang mereka dipandang sebagai orang tidak
selalu curang, pembohong dan penipu.
7.3.5. Dinamika Relasi dalam LAZ Swasta
Relasi antara muzakki dengan mustahik dalam tatakelola zakat berbasis
swasta khususnya di Lembaga Amil Zakat (LAZ) Semen Padang, tidak jauh
berbeda dengan relasi yang terjadi dalam BAZDA Jambi. Antara muzakki dengan
muzakki ditemukan relasi kesetaraan sebagai karyawan perusahaan yang
memiliki kewajiban berzakat sebagai penganut agama Islam sekaligus kewajiban
sebagai karyawan perusahaan. Relasi antar muzakki yang terbangun terkesan
karena adanya kesamaan profesi, sementara relasi terbangun dalam konsteks
zakat hampir tidak ditemukan karena mereka saling tak peduli dan saling tahu
kakau mereka dipotong zakatnya oleh perusahaan secara langsung dan tanpa
ruang untuk memilih berzakat ke tempat lain.
Tabel 30 : Relasi Struktural-Fungsional antar Aktor dalam Lembaga
Tatakelola Zakat Swasta
Aktor zakat
Muzakki
Mustahik
Amil
Perusahaan
Muzakki
Kordinatif Kesetaraan
Mustahik
Terputus
Diambil alih Firma
Mengatur
Mengarahkan
Mengarakan- memaksa
Terputus
Diambil alih
Firma
PersainganKompetitif
Superior dan
inferior
Mengarahkan
KontrolMengarahkan
(penundukan)
Superior dan
inferior
KoordinatifKoopratif
KoordinatifDelegasional
Mengarahkan
Menekan
(hegemonik)
Komoditas
Mengarahkan
Kontrol Mengatur
Delegasi
penuh
Amil
Direksi
Sumber : Data Primer, 2008
Kesadaran atas kewajiban berzakat karena tergolong muzakki sebagai
perintah agama cukup mewarnai tradisi berzakat di LAZ, namun ini sepertinya
tidak sekuat kepatuhan terhadap kewajiban berzakat sebagai karyawan PT. SP.
Desakan posisi sebagai karyawan perusahaan terkesan lebih kuat dalam
304
mendorong para muzakki untuk berzakat ketimbangan dorongan kesadaran
berzakat karena agama. Hal ini terlihat dari beberapa pengakuan karyawan
bahwa mereka sebelum menjadi karyawan PT. SP tidak disiplin membayar zakat,
sebaliknya setelah menjadi karyawan di PT. SP menjadi sangat disiplin karena
diwajibkan dan zakat langsung dipotong oleh bendaharawan gaji.
Relasi yang terbangun antara muzakki dan mustahik hampir tidak ada,
karena keduanya diantarai oleh amil yang menjelma menjadi dalam bentuk LAZ
perusahaan. Seorang muzakki tidak akan pernah bersentuhan secara langsung
dengan orang miskin yang menerima zakat mereka, sebagaimana yang terjadi
pada tradisi berzakat komunitas. Sepertinya terjadi pendelegasian wewenang
yang sangat besar dari muzakki kepada amil untuk mengelola zakat mereka, dan
pendelegasian ini membuat pembacaan menjadi semacam perampasan
wewenang amil untuk menentukan bagaimana zakat mereka dikelola dan
dimanfaatkan. Relasi yang hangat antara muzakki dan mustahik yang mewarnai
tatakelola zakat komunitas, dalam tatakelola zakat PT. SP tidak ditemukan
karena disana LAZ perusahaan tampil mengantarai atau bahkan boleh dikatakan
merampas wewenang muzakki untuk mengarahkan tindakan dan tradisi berzakat
masyarakat perusahaan.
Relasi antar mustahik ditemukan relasi kompetitif yang cukup lembut. Ada
persaingan antara mustahik untuk mendapatkan santunan dana zakat dari
perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan melakukan batasan-batasan dan
persyaratan tertentu untuk bisa memberikan santunan zakat, sehingga tidak
semua mustahik di sekitar perusahaan bisa mendapatkan santunan zakat dari
LAZ perusahaan. Oleh karena itu muzakki dengan peroposalnya masing-masing
bersaing untuk mendapatkan bantuan zakat. Persaingan yang terjadi tidak
sampai pada bentuk perebutan, namun lebih pada bentuk kompetisi yang lembut,
sehingga benturan keras yang berhujung pada konflik tidak terjadi. Sebaliknya
malah saling membantu dalam memberikan informasi adanya bantuan dana
zakat dari LAZ perusahaan PT. Semen Padang. Relasi yang terjadi di sini masih
diwarnai oleh rasa kebersamaan dan kesamaan nasib, mereka sama-sama
menyadari bahwa mereka hanya sekelompok orang yang membutuhkan
santunan dan tidak pantas untuk saling menyingkirkan dan saling mengalahkan.
Pada model yang berbeda terjadi dalam bangunan relasi mustahik dan
amil. Bangunan relasi yang memposisikan amil sebagai yang berkuasa (superior)
305
dan mustahik sebagai yang terkuasai. Muzakki sebagai kelompok yang meminta
dan memohon dan amil sebagai kelompok yang diposisikan tempat meminta.
Posisi amil di sini menggantikan posisi yang seharusnya ditempati oleh muzakki
sebagai pemilik awal dana zakat. Kuasa amil manempatkan mustahik pada posis
yang selalu direndahkan dan termarjinalkan dari keharus membuat permohonan
dan proposal yang selanjutnya harus di survei. Keharusan mengajukan proposal
pemintaan bantuan zakat kepada LAZ perusahaan andaikan membutuhkan
santunan zakat, dapat dimaknai sebagai bentuk pemposisian amil LAZ sebagai
pemangku kuasa yang besar dan merendahkan mustahik. Keharusan disurvey
kelayakan penerima sanunan zakat bermakna lemahnya kepercayaan (trust)
kepada para pemohon. Amil begitu superior dan sebaliknya mustahik sangat
inferior dan bahkan termarginalkan dalam LAZ swasta.
Kekuasaan sistem administrasi dan birokrasi telah menjadi kekuatan yang
mengarahkan, membatasi
dan membentuk logika hingga tindakah yang
dilakukan oleh para aktor zakat. Relasi mereka begitu sistimatis dan diatur oleh
mekanisme tatakelola yang telah dibentuk dan ditanamkan dalam ruang kognitif
sebagai logika mengatur tindakan, membangun keyakinan bahwa yang diatur
adalah hal yang pantas dan layak dipatuhi.
Relasi amil dengan muzakki dalam lembaga amil zakat PT. SP, ditemukan
bahwa terbangun relasi yang sangat kental. Di sini
keaktifan
karyawan
perusahan sebagai muzakki dalam berzakat sangat menentukan keberhasilan
atau kegagalan LAZ-SP dalam mengakumulasi dana zakat. Oleh sebab itu maka
muzakki ditempatkan sebagai orang yang paling penting sehingga salah satu
program kerja yang paling menjadi perhatian adalah bagaimana cara untuk terus
memicu aktifnya sang muzakki membayar zakat dengan menjaga kepercayaan
muzakki terhadap LAZ-SP. Pentingnya keberadaan muzakki dalam proses
akumulasi dana zakat membuat hubungan LAZ dengan Muzakki selalu
dikondisikan agar terus baik, meski terkesan ada pemaksaan terhadap muzakki
ketika melibatkan sistem birokrasi perusahaan dalam pemungutan zakat
karyawan sebagai muzakki utama.
Hubungan antara amil dengan mustahik juga terlihat begitu dekat, namun
kedekatan hubungan mereka tidak sama dengan hubungan antara amil dengan
muzakki di mana muzakki ditempatkan pada posisi penting. Mustahik di sini
menjadi penting ketika terkait dengan kepentingan LAZ-SP untuk menjaga
306
kepercayaan muzakki. Selanjutnya mustahik sebagai penerima dan LAZ-SP
sebagai penyalur zakat muzakki terlihat kalau LAZ sebagai yang superior dan tak
jarang mengecewakan harapan sang muzakki hanya karena tidak termasuk
dalam skala prioritas LAZ-SP. Mustahik yang diberikan bantuan selalu ada
pertimbangan yang terkait dengan kepentingan LAZ-SP dan perusahaan. Hal ini
terlihat dengan adanya penentuan skala prioritas berdasarkan kedekatan wilayah
tempat tinggal mustahik dengan wilayah unit kerja perusahaan.
Ralasi antara muzakki dengan mustahik dalam tatakelola zaat di PT. SP
hampir tidak ditemukan kecuali hanya dalam bentuk pemberian rekomendasi
muzakki kepada pihal LAZ-SP untuk bisa memberikan santunan zakat kepada
salah satu mustahik yang dikenali atau diketahui oleh mustahik sebagai orang
yang layak mendapatkan zakat. Muzakki tidak bisa memberikan atau
memastikan sang mustahik akan bisa diberikan santunan zakat, karena kekuatan
rekomendasinya hanya sebatas saran yang bisa diterima atau ditolak oleh pihak
LAZ-SP.
Relasi antara Muzakki yang juga karyawan dengan perusahaan sebagai
pengelola zakat karyawan melalui LAZ-SP, menempatkan muzakki sebagai
sumber dana utama zakat LAZ. Pihak perusahaan memperlakukan muzakki
sebagai patner, namun dalam posisi yang lemah dan hampir tidak memiliki ruang
bargaining untuk bisa melakukan pilihan-pilihan dalam menyalurkan zakat
mereka ke lembaga lain atau atau dengan cara langsung ke mustahik. Di sini
juga muzakki ditempat sebagai patner yang tidak memiliki ruang yang bicara
dalam hal tatakelola zakat yang telah dipotong oleh perusahaan dari gaji dan
pendapatan lainnya yang bersumber dari perusahaan. Mereka di tempatkan
menyatu dengan peran direksi sebagai atasan dalam ruang kerja di perusahaan.
Artinya bahwa muzakki sebagai karyawan terus menjadi bawahan dan pekerja
yang harus tunduk dengan kehendak atasan mulai dari relasi antara manajer dan
tenaga kerja hingga pada relasi antara muzakki dan amil.
7.3.6. Dimanika Kooptasi Antar Lembaga Tatakelola Zakat
Benturan-benturan
yang
lahir
dari
persentuhan
perbedaan
basis
pengetahuan, basis rasionalitas dan kepentingan dalam tatakelola zakat,
bermuara pada munculnya strategi untuk saling menundukkan dan menaklukkan.
Pada tabel 31 terlihat bahwa LAZ komunitas memilih strategi ‖defensive” dengan
307
menggunakan
kekuatan
kemadirian
komunitas
berbasis
tradisi
melalui
kelembagaan masjid dan kelembagaan ‖kiyai‖. Mereka menolak interfensi dari
kekuatan luar yang tidak
sewarna dengan nilai budaya dan tradisi mereka.
Kooptasi yang terjadi adalah kooptasi Imam atau agamawan sebagai aparat
Bazda dan kemudian mnghegemoni masyarakat khususnya terhadap muzakki
dan mustahik untuk patuh dalam mekanisme kerja LAZ Semen Padang. Muzakki
terjebak dalam kekuatan politik pencitraan dan mekanisme hukum yang
mengatur tradisi berzakat.
Tabel 31 : Strategi Kooptasi dalam Lembaga Tatakelola Zakat
LAZ
Komunitas
BAZ Negara
LAZ Swasta
Strategi
Kekuatan
Basis Legitimasi
Kooptasi
Defensive
(mempertahan diri dari
serangan wacana zakat
modern)
Attact (berjuang
menaklukkan LAZ
tradisional)
Adaptasi dan Inovasi
(menyesuikan diri
dengan wacana zakat
negara)
Tradisi
Legalitas budaya lokal
berbasis Masjid
Kooptasi Imam/
agamawan
Politik
Legalitas hukum formal
dan birokrasi
Kooptasi Negara/
aparatur negara
Ekonomi
Legalitas hukum formal
dan legitimasi
Perusahaan
Kooptasi Perusahaan/
aparatur perusahaan
Sumber : Data Primer, 2008
BAZ negara memilih strategi ‖attacing” dengan menggunakan kekuatan
politik dengan menggunakan perangkat legitimasi hukum formal dengan legislasi
atau pengukuhan menuju terbangunnya prasayarat legalitas formal. BAZ Negara
juga menggunakan kekuatan wacana
untuk mengarahkan dan menguasai
khalayak untuk tunduk pada satu sistem rasionalitas. Di sini wacana dibentuk
untuk menggiring muzakki dan membuat para muzakki bahwa membayar zakat
pada BAZDA adalah yang terbaik karena memiliki manajemen yang dikonstruksi
sebagai sistem yang terbaik dan modern serta dianggap sebagai hal yang lebih
baik, profesional, efektif, dan memiliki kekuatan serta terkontrol. Terbangunnya
anggapan bahwa BAZDA adalah model tatakelola profesional, efisien, efektif dan
terparcaya. Mustahik di sini terkooprasi oleh citra positif yang berhasil dibangun
oleh Negara dan aparatnya bahwa BAZDA adalah lembaga yang betanggujawab
dan berpihak kepada masyarakat kecil dalam wacana zakat dan pembangunan.
LAZ swasta memilih strategi ―adaptasi‖ yang divariasikan dengan
―innovasi” rasionalitas ganda (rasionalitas sosial, social responsibility dan
rasionAlitas ekonomi dalam bentuk wacana efektifitas, dan efisiensi) dengan
menggunakan kekuatan kemandirian ekonomi
berbasis perusahaan/Industri.
308
Adaptasi dipilih untuk bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan negara agar bisa
mendapatkan legalitas formal dan justifikasi yuridis, sementara ―innovasi”
rasionalitas ganda, dilakukan untuk menandingi dan atau mempengaruhi dua
lembaga lawanya (LAZ Komunitas dan BAZ Negara)
Konflik politik antar lembaga pengelola zakat komunitas dengan lembaga
pengelolaan zakat negara berada pada tarik-menarik tentang hak kelola zakat.
Apakah hak kelola zakat itu berada dalam komunitas ataukah berada dalam
kuasa negara. Masing-masing memiliki argumen yang kuat dan saling
mempertahankan dalam pandangan dalam wacana pengelolaan zakat. Namun
dalam perjalannya perlahan lembaga zakat komunitas terkalahkan dan
melakukan adaptasi kelembagaan. Adaptasi bukan untuk tunduk tapi hanya
untuk bertahan dan membangunan benteng berupa pengakuan dan legalitas
formal dari negara.
Mematuhi beberapa prasyarat lembaga pengelola zakat yang dianggap sah
dan legal untuk bisa bergerak dalam pengelolaan zakat, bukan berarti selalu
tunduk dan patuh pada aturan sepenuhnya, namun di sana ada perlawanan dan
upaya untuk tetap eksis dengan melakukan innovasi sederhana untuk memenuhi
syarat adminisratif yang di persyaratkan oleh negara dalam UU No. 38 tahun
1999 tentang pengelolaan zakat. Ini dilakukan hanya untuk bisa merebut status
legal dari negara dan bebas dari ancaman illegal.
Lembaga zakat komunitas enggan menyetorkan zakat ke Badan Zakat
Daerah sebagai perwakilan negara dalam pengelolaan zakat di daerah. Mereka
juga enggan melaporkan peroleh dan penyaluran zakatnya. Ini merupakan
pertanda bahwa memenuhi persyaratan administrasi tuntutan UU hanya agar
bisa dilegalkan, namun tunduk sepenuhnya dalam pengaturan UU terkait dengan
program pengelolaan, dan penyakurannya mereka berkerja dengan cara mereka
sendiri dan tunduk pada logika komunitas dan bekerja dalam kerangka kerja
pengetahuan lokal.
Keengganan lembaga pengelola zakat komunitas untuk tunduk dan lebur
dalam satu sistem tatakelola zakat dibawah kuasa dan kontrol negara,
tampaknya
tidak akan bisa bertahan lama. berbagai tekanan menerpa dari
berbagai arah. Dari aspek manajemen diserang dan nilai sebagai lembaga yang
yang tidak profesional, dan tidak efisien. Dari sisi basis pengetahuan dikatakan
sebagai lembaga yang tradisional, bahkan dikatakan sebagai lembaga yang tidak
309
terstruktur dan tersistimatis secara rapi sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mengalami serangan
semacam ini,
lambat laun akan
mengalami
kehancuran karena ditinggalkan oleh muzakki yang setiap hari di pengaruhi,
digiring dan diarahkan oleh wacana tatakelola zakat yang dibangun secara
sistematis oleh negara dan perangkat birokasinya. Lembaga zakat komunitas
berlahan kehilangan kekuatan karena kekuatan basis pengetahuan lokal dan
runtuh rasionalitasnya oleh serangan logika sains modern dan rasionalitas
developmentalism. Fenomena konflik antar lembaga berakhir dengan kekalahan
lembaga zakat komunitas bersama dengan runtuhnya logika komunitas yang
tergantung dengan logika negara dan pengetahuan lokal terkalahkan oleh
pengetahuan modern.
7.4.
Dinamika Kooptasi Aktor dalam Lembaga Tatakelola Zakat
7.4.1. Kooptasi Agamawan dalam LAZ Komunitas.
Relasi sosial antara aktor
lembaga tatakelola zakat yang diteliti (LAZ
Komunitas, BAZDA , dan LAZ SP), ditemukan adanya koordinasi yang diwarnai
dengan kooptasi antara satu aktor dengan aktor lainnya (lihat tabel 32). Dalam
tatakelola zakat Komuitas, ditemukan bahwa agamawan lokal menduduki posisi
dominan dan mendapatkan pengakuan dan kepatuhan dari muzakki
dan
mustahik ditambah lagi dengan legitimasi penuh dari masyarakat sebagai
pemangku kuasa dalam tatakelola zakat anggota komunitas. Di sini birokrat dan
pemuka adat sebagai aktor lainnya terposisikan sebagai aktor yang terbatasi hak
dan kuasanya hanya dalam meyangkut mekanisme dan sistem tatakelola zakat
komunitas, selebihnya dilaksanakan oleh amil dari agamawan.
Legitimasi kuasa yang diperoleh oleh agamawan yang begitu besar, begitu
kokoh yang dan mengkooptasi aktor lain, karena didukung dengan legitimasi
norma-norma tradisi. konstruksi pengetahuan dan rasionalitas masyarakat yang
menempatkan agamawan sebagai sosok yang memiliki hak dan kekuasaan
penuh dalam ruang agama (lihat tabel 32). Bahkan di beberapa tempat juga
ditemukan adanya pengakuan atas kuasa agamawan yang lebih luas dalam
tatakelola zakat dibandingkan dengan kuasa birokrat desa dan tokoh adat dalam
komunitas. Bagi mereka agamawan adalah sosok orang yang alim (memiliki
310
pengetahuan agama yang luas), sholeh, dan ihlas serta berpihak kepada ummat,
sehingga segala persoalan terkait dengan agama berada dalam ruang kuasanya.
Tabel 32 : Kooptasi dalam Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas
Aktor
Agamawan
lokal
Birokrat
Desa
Pemuka
Adat
Muzakki dan Mustahik
Masyarakat
Keterangan
Pengakuan dan kepatuhan
kepada agamawan terhadap
kuasa pengetahuan agama.
Pengakuan dan kepatuhan
pada mekanisme birokrasi
pemerintah
Pengakuan dan kepatuhan
pada nilai tradisi lokal
Pengakuan dan kepatuhan
dengan legitimasi norma
agama dan tradisi
Legitimasi Normanorma tradisi
Pengakuan dan kepatuhan
dengan hukum formal
Melegitimasi
agamawan
Pengakuan dan kepatuhan
dengan legitimasi tradisi
Bersinergis dengan
agamawan
Sumber : Data Primer, 2008
Agamawan memiliki kekuasaan dominan dari pengakuan masyarakat
zakat (muzakki dan mustahik) yang memang menempatkan sang agamawan
sebagai pemangku kuasa tunggal atas tatakelola
zakat. Pengakuan tersebut
terbangun dalam masyarakat secara kokoh dan ini menjadi konstruksi
pengetahuan zakat masyarakat. Mereka menempatkan zakat sebagai ajaran
agama yang seharusnya berada dalam ruang kuasa agamawan sebagai pewaris
para Nabi. Konstruksi pengetahuan masyarakat tersebut berawal dari bentukan
para agamawan melalui transfer pengetahuan agama dalam proses sosialisasi
ajaran keagamaan termasuk ajaran zakat. Artinya bahwa memposisikan
agamawan sebagai penguasa tunggal atas tatakelola zakat komunitas lebih
merupakan kekuasaan yang diperoleh dari konstruksi pengetahuan zakat
masyarakat yang dibentuk oleh agamawan yang diwarnai oleh kepentingan
penguatan ajaran dan komunitas.
Agamawan menjadi tempat belajar, bertanya dan menitipkan generasi
untuk diberikan pendidikan agama. Di sini agamawan menerima peran yang
diberikan masyarakat dan dianggap menjalankannya tanpa pamrih, karena dinilai
sebagai orang yang baik, ikhlas dan mulia. Anggapan inilah yang membuat
kuasa agamawan mengkooptasi masyarakat dalam tatakelola zakat komunitas
melalui kekuatan pengetahuan dan wujud kekuatan pengetahuan yang
menjelama menjadi norma-norma tradisi lokal bersintesis dengan norma agama.
Birokrat mengkooptasi muzakki dan mustahik serta masyarakat luas lainnya
melalui terbangunnya pengakuan dan kepatuhan pada mekanisme birokrasi
pemerintah oleh muzakki dan mustahik. Masyarakat terkooptasi oleh Birokrat
desa melalui pengakuan dan kepatuhan terhadap kekuatan dan kepastia hukum
311
formal. Pada saat yang sama, Birokrat desa juga menjadi dukungan penguat
agamawan melalui legitimasi wewenang dari kekuasaan Birokrasi pemerintahan.
Kekuatan birokrat desa yang mengkooptasi muzakki dan mustahik, terletak pada
pengakuan dan kepatuhan pada sistem admisnistrasi dan birokrasi desa yang
berbasis nilai-nilai tradisi lokal dan hukum formal.
Pemuka adat atau ketua adat, mengkootasi muzakki dan mustahik serta
masyarakat luas dari adanya Pengakuan dan kepatuhan pada muzakki dan
mustahik kepada nilai-nilai tradisi lokal yang turut mengatur tatakelola zakat.
Terhadap masyarakat umum, pemuka adat mengkooptasi muzakki dan mustahik
melalui pengakuan dan penundukan pada tradisi lokal. Sementra masyarakat
luas terkooptasi melalui pengakuan dan penundukan masyarakat karena
legitimasi norma-norma tradisi yang berlaku. Pemuka adat di sini
perannya
bersinergis dengan agamawan sehingga dalam waktu tertentu pemuka adat
mengontrol tradisi berzakat dan tatakelolanya bersama agamawan.
7.4.2. Kooptasi Birokrat dalam BAZDA Jambi.
Pengelolaan zakat berabsis Negara yang dalam penelitian ini di ambil
kasus Badan Amil Zakat Daerah
Jambi, menunjukkan bahwa dinamika
hubungan antar aktor dalam tatakelola zakat di sini, menempatkan Birokrat
daerah selalu tampil sebagai pemangku kekuasaan yang lebih menonjol dari
yang lain. Meski ada kekuatan penyeimbang dan memiliki legitimasi sosial yang
kuat, yaitu agamawan.
Tabel 33 : Kooptasi dalam Badang Amil Zakat Daerah
Aktor
Muzakki dan
Mustahik
Agamawan
Kuasa pengetahuan
agama
Birokrat
Daerah
Kuasa Politik
kebijakan
Akademisi /
Pemuka
Masyarakat
Kuasa Ilmiah dan
Jusntifikasi
modernitas
Masyarakat
Keterangan
Pengakuan dan kepatuhan dengan
legitimasi hukum formal
Pengakuan dan kepatuhan dengan
legitimasi hukum formal dan
kekuatan politik
Pengakuan dan kepatuhan dengan
legitimasi hukum formal dan
kepakaran
Legitimasi hukum
formal
Legitimasi politik
Legitimasi
kepakaran
Sumber : Data primer, 2008 (diolah)
Agamawan di BAZDA memangku kekuasaan dan mengkooptasi melalui
pengkuan muzakki dan mustahik pada kuasa pengetahuan agama yang
dianggap lebih. Disamping itu pengakuan dan kepatuhan dari masyarakat luas
yang didukung oleh legitimasi hukum formal, yang merupakan landasan
312
kekuatan dalam menjalankan sistem tatakelola zakat berbasis negara.
Agamawan di sini bukanlah seperti agamawan komunitas yang mendapatkan
dukungan dari legitimasi budaya, akan tetapi agamawan di sini hanya memiliki
ruang kuasa yang terbatas. Agamawan mengkooptasi masyarakat hanya pada
batas kuasa pengetahuan yang didukung oleh legitimasi hukum formal, dan
akibatnya agamawan lain yang tidak mendapatkan legitimasi secara formal dari
negara, tidak akan mendapatkan kuasa.
Munculnya agamawan sebagai pmangku kuasa yang mengkooptasi
muzakki dan mustahik serta masyarakat luas di bawah dukungan hukum formal,
menunjukkan bahwa betapa negara tampil dalam tatakelola zakat dengan
kekuatannya yang mengkooptasi masyarakat melalui aturan yang mengarahkan,
mengkodisikan dan mengontrol tradisi berzakat, tatakelola dan posisi agamawan.
Birokrat mengkooptasi muzakki dan mustahik termasuk masyarakat umum dalam
BAZDA, sehingga masyarakat berzakat di BAZDA lebih karena tekanan hukum
dan politik ketimbangan kesadaran beragama. Berzakat di BAZDA lebih
merupakan fenomena bernegara ketimbangan fenomena beragama.
BAZDA sebagai lembaga pengelola zakat resmi milik pemerintah, dalam
pengelolaan zakat menempatkan birokrat selalu dalam posisi yang strategis
dalam organisasi. Misalnya secara ex-officio, menempatkan sekretaris daerah
menjadi ketua Umum BAZDA Jambi, sementara yang lain dari unsur ulama atau
agamawan, hanya menempati posisi sebagai wakil ketua, atau sekretaris atau
malah sebagai dewan penasehat, yang ruang kuasanya selalu berada di bawah
kuasa sang birokrat. Birokrat daerah di sini begitu berkuasa karena dukungan
pada pengakuan muzakki, mustahik dan masyarakat luas bahwa birokrat daerah
itu adalah penguasa dalam tatakelola karena dukungan hukum formal dan
legitimasi politik sebagai pemangku kuasa negara dan birokrasinya.
Agamawan memang diakui sebagai pemangku kuasa ajaran zakat, namun
kekuasaan itu hanya pada batas pengetahuan tentang zakat sebagai ajaran
agama, artinya agamawan di sini hanya diberikan ruang kuasa pada batas
pengawal ajaran dan pengontrol pelaksanaan zakat agar selalu sesuai dengan
perintah ajaran agama. Bagaimana seharus zakat kemudian dipungut, dikelola,
didistribuskan, kepada siapa dan atas pertimbangan apa, agamawan tidak
diberikan kuasa yang luas di sini, yang memegang kuasa penuh dalam hal ini
adalah Birokrat. Artinya agamawan dalam tatakelola zakat
BAZDA
hanya
313
menjadi pengawal ajaran dan menjadi alat justifikasi normative atas pelaksanaan
zakat agar dianggap sesuai dengan ajaran agama.
Unsur pemuka masyarakat atau akademisi juga mengalami posisi yang
tidak jauh berbeda dengan agamawan, di sana mereka hanya menjadi konsultan,
dan tempat bertanya dengan posisi dalam organisasi sebagai Dewan
Pertimbangan. Atau malah diletakkan pada posisi sebagai kepala Bidang
Pendayagunaan Dana Zakat, yang secara organisatoris berada dibawah
koordinasi Sang Ketua. Pemuka Masyarakat atau agamawan memang juga
memilik kuasa dalam rangka penyusunan program itupun dalam penetapan dan
pengesahan progran masih memerlukan persetujuan Pemerintah Daerah, oleh
Gubernur dalam level Provinsi
dan Oleh Bupati/Wali Kota untuk level
Kabuaten/Kota. Dengan demikian jelas terlihat bahwa dalam tatakelola zakat
BAZDA, birokrat dan jaringan birokrasi memiliki kekuasaan yang dominan dan
luas dalam ruang tatakelola zakat.
Kekuasaan para Birokrat di sini merupakan kekuatan yang didukungan dari
wacana zakat yang dibangun oleh negara yang memposisikan zakat sebagai
salah satu hak negara dan harus dikelola dibawah kekuasaan negara. Dengan
alasan efektifitas dan optimalisasi, negara di tampilkan sebagai sosok yang
memiliki kemampuan dan kekuatan untuk bisa mewujudkan tujuan zakat yang
selalu
diterjemahkan
dalam
konteks
pembangunan
dan
pemberdayaan
kemiskinan. Pembangunan dan pemberdayaan kemiskinan sejak semula
memang tanggung jawab negara, maka ketika zakat dinyatakan memiliki tujuan
membangun ummat dan mengentaskan kemiskinan, maka seketika logika
masyarakat menghubungkannya dengan negara. Apalagi ketika diwacanakan
bahwa untuk mencapai tujuan optimal, maka para muzakki harus diatur
sedemikian rupa dan ada wacana baru untuk memberikan ancaman hukuman
kepada muzakki yang ingkar membayar zakat.
7.4.3. Kooptasi Pengusaha dalam Lembaga Amil Zakat Swasta
Kooptasi yang terjadi dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT. SP, terletak
pada kekuatan pengakuan pada kepakaran agamawan terhadap pengetahuan
agama, ditambah lagi oleh logika berzakat di BAZDA dibangun pemahaman
bahwa lembaga tatakelola zakat yang paling baik karena di dukung oleh negara.
314
Ulama
Perusahaan
sebagai
perwakilan
kehadiran
agamawan,
mengkooptasi muzakki dan mustahik melalui pengakuan kuasa tatakelola
khususnya pada kuasa pengetahahun dan justifikasi moral. Masyarakat umum
pada sisi yang lain juga terkooptasi oleh wacana yang membangun pemahaman
bahwa dalam mengelola zakat harus disertai dengan logika efisiensi dan
efektifitas. Di sini legitimasi didasari oleh legitimasi rasionalitas ekonomi yang
menekankan pemberdayaan tujuan mencapai kesejahteraan ekonomi.
Tabel 34 : Kooptasi dalam Lembaga Tatakelola Zakat Swasta
Aktor
Muzakki dan Mustahik
Masyarakat
Keterangan
Ulama
Perusahaan
Terkooptasi oleh kuasa
pengetahuan dan
justifikasi moral
Terkooptasi oleh hak
kuasa kebijakan dan
legalitas formal
Terkooptasi oleh logika
efisiensi dan efektifitas
Legitimasi
rasionalitas ekonomi
Terkooptasi oleh logika
pemberdayaan
Legitimasi oleh
kekuatan hak
ekonomi
Manajemen
Perusahaan
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah)
Manajemen perusahaan mengkooptasi muzakki dan mustahik dengan
kekuasaan kebijakan perusahaan tentang kewajiban zakat dan kebijakan lainnya
yang terkait dengan tatakelola zakat di perusahaan. Masyarakat terkooptasi oleh
logika yang dibangun oleh manajemen perusahaan bahwa zakat adalah
instrumen pemberdayaan sehingga dananya harus dikelola dengan manajemen
ekonomi modern dan berorientasi peningkatan kesejahteraan bagi kaum lemah.
Membangunan logika berzakat dalam logika ekonomi, membuat konstruksi
berfikir orang tentang zakat, tergiring masuk dalam logika yang mengkostruksi
tradisi berzakat sebagai fenomena berekonomi. Akibatnya berzakat menjadi
harus selektif agar zakat yang dikeluarkan mampu mewujudkan kesejahteraan
bagi penerimanya. Lembaga tempat menyerahkan dana zakatpun kemudian
menjadi harus memenuhi prasyarakat manajemen yang diwarnai oleh sistem
manajemen modern.
Pengelola zakat karyawan perusahaan oleh LAZ-SP, menempatkan
karyawan sebagai sumber pokok dari dana zakat. Zakat karyawan dipotong
langsung oleh bendaharawan gaji setiap bulan terhadap gaji dan pendapatan
lainnya yang berasal dari perusahaan. Cara ini membuat para karyawan
kehilangan kesempatan untuk bisa memilih membayar zakat ke lembaga lainnya,
karena secara otomatis pemotongan zakat menyatu dengan sistem adminstrasi
penggajian perusahaan. Karyawan sebagai muzakki berzakat memang dirasakan
315
sebagai kewajiban beragama namun secara bersamaan juga menjadi kewajiban
sebagai sistemik perusahaan sebagai karyawan yang beragama Islam.
Pihak perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh Direksi menjadi aktor
dalam pengelolaan zakat di LAZ-SP, Direksi di sini mendominasi ruang dan
memegang kekuasaan yang luas dalam menentukan arah dan kebijakan
organisasi LAZ-SP. Kekuasaan tersebut melingkupi alokasi anggaran bantuan
tahunan, mengangkat dan memberhentikan pengurus LAZ, bahkan sampai pada
menyetujui atau menolak permohonan bantuan mustahik untuk mendapatkan
santunan.
Agamawan sebagai salah satu aktor tatakelola zakat dalam LAZ-SP,
menempati ruang yang kuasa yang sebagai Dewan Syari‘ah. Mereka ini
berkuasa dalam ruang fatwa syariah, dan menjadi legitimasi syari‘ah dalam
koridor zakat sebagai ajaran agama yang harus tunduk dengan hukum syariah
(Fiqh). Memandang Zakat dalam kerangka hukum agama, dalam pengelolaan
zakat LAZ-SP memiliki kesamaan dengan pengelolaan zakat
keduannya
menempatkan
agamawan
sebagai
penguasa
BAZDA,
tunggal
untuk
mengarahkan dan menetapkan dengan cara yang bagaimana zakat dikelola
sehingga bisa dikatakan sesuai dengan pesan-pesan Syariah. Kekuasaan
agamawan di sini
terlihat kuat namun jauh lebih sempit jika dibandingkan
dengan kekuasaaan para Direksi perusahaan. Kekuasaan Agamawan di sini
hanya melingkupi pengelolaan zakat sebagai ajaran agama, dan terkesan hanya
menjadi alat justifikasi dan legitimasi ummat atas pengeloaan zakat agar dapat
dipandang sesuai dengan ajaran agama.
Bagaimana dana zakat distribusikan dan dimanfaatkan oleh LAZ-SP terkait
dengan kemiskinan dan pemberdayaan sepenuhnya berada dalam kuasa Direksi
perusahaan yang juga sebagai dewan pengurus LAZ-SP. Apalagi ketika
menelusuri distribusi kekuasaan
dalam LAZ-SP yang menempatkan Dewan
Pendiri dan Dewan Pengurus sebagai bagian mendominasi ruang kuasa atas
segala kebijakan LAZ-SP kecuali ruang kuasa Syariah yang telah diserahkan
sepenuhnya dengan agamawan. Ruang kuasa Dewan Pendiri dan Dewan
Pengurus LAZ-SP dalam tatakelola zakat karyawan PT. SP mengkooptasi ruang
kuasa aktor yang lainnya, termasuk ruang agamawan. Meski memang
agamawan memiliki kekuasaan penuh atas ruang Syariah, namun ruang itu tidak
sampai pada bagaimana mekanisme dan kepada siapa dana zakat dimanfaakan.
316
Kalaupun agamawan ikut bicara, itu hanya sebatas untuk menyesuaikan dengan
ajaran syariah.
7.5.
Konseptualisasi Ketatakelolaan Zakat
7.5.1. Tatakelola Zakat Oleh Negara : Politisasi Zakat dan Kemiskinan
Marx memposisikan negara dan kapitalis pada posisi yang sama dan
berlawanan dengan civil society, Negara dan kapitalis selalu superior dan civil
society selalu pada inverior (Ritzer, 2005). Sebaliknya Weber melihat negara
dan kapitalis pada posisi yang berbeda dan masing-masing punya kepentingan.
Negara memiliki legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap warganya,
memiliki kekuasaan besar untuk mengatur, merubah dan bahkan memaksakan
kehendaknya. Namun oleh Plato dan Aristoteles negara dipandang memerlukan
kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral rasional
(Martin, 1993). Hobbes (dalam Budiman, 1996), melihat pentingnya kekuasaan
negara
karena
pertimbangan
warganya,
untu
menghindari
pertarungan
memperjuangkan kepentingan masing-masing. Negara dianggap sebagai wakil
dari kepentingan publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan
pribadi dan kelompok. Pandangan Hobbes (1588-1679). Oleh kerena negara itu
kekuasaan Negara dibutuhkan kepentingan, keamanan, dan perdamaian.
Negara yang seperti inilah yang oleh Hobbes dinamai dengan Leviathan.
Keberpihakan negara, oleh Hobbes (dalam Budiman, 1996) dilihat sebagai
keberpihakan pada kepentingan warga, di sinilah letak kekuasaan negara mutlak.
Hadirnya negara dalam peraktek tatakelola zakat membuka peluang
pengelolaan zakat berpihak kepada kaum borjuis dan mengenyampingkan kaum
proletar sebagai kelompok yang berhak atas manfaat dana zakat. Berkuasanya
negara dalam ruang tatakelola zakat berpeluang menjadikan zakat sebagai
instrumen untuk mewujudkan kepentingan kaum kaya dan penguasa ekonomi
dalam memperkuat kekuasaanya dan menjadikan kaum miskin sebagai
komoditas. Karena di sini negara sulit untuk menghindari keberpihakannya kepada
kaum penguasa. Ditambah lagi oleh Mills (1974) bahwa elit penguasa selalu
datang dari kelompok masyarakat tertentu. Negara dalam konteks ini bukan hanya
unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan aparat
pertahanan dan keamanan, namun juga termasuk lembaga non-pemerintah
(organisasi politik, ekonomi, dan kultural yang bisa menjadi sarana negara) untuk
317
menghegemoni.
Makanya
Poulantzas,
melihat
negara
sebagai
wilayah
berlangsungnya pergulatan politik antar kelas (ekonomi, politik, dan ideologi),
termasuk antar pejabat pemerintah. (Culla, 2006).
Menyerahkan kuasa tatakelola zakat kepada Negara, sama halnya
memberikan ruang dan kesempatan kepada kaum elit untuk menjadikan zakat
sebagai ―instrument kekuasaan‖ untuk elit Negara dan elit ekonomi. Sementara
kaum lemah sebagai yang berhak atas manfaat dana zakat, tidak lebih hanya
sebagai komoditas dan justifikasi dalam tatakelola zakat. Zakat dalam kuasa
negara mampu mendongkrak angka perolehan dana zakat, meningkatkan angka
pembayar zakat dan menciptakan lembaga tatakelola zakat modern, namun
secara bersamaan menjadikan zakat lebih menjadi ―prosesi bernegara‖ ketimbang
menjadi ritual beragama, karena zakat di sana lebih sebagai peraktik bernegara di
bawah kontrol instrument kekuasaan negara ketimbang peraktik beragama di
bawah kontrol ajaran. Akibatnya kepercayaan masyarakatpun sulit terbangun.
Zakat sebagai fenomena tindakan kolektif dan terkait dengan kepentingan kolektif,
bergeser menjadi tindakan individu, karena motivasi berzakat bukan lagi murni
sebagai kesadaran kolektif, tapi lebih sebagai kesadaran individu atau malah
keterpaksaan individu karena adanya tekanan sistemik dari kekuatan negara yang
memaksa.
Menyakut trust (kepercayaan) maka pendapat Fukuyama (2001), sangat
menarik untuk melihat fenomena tatakelola zakat. Menurut Fukuyama dan
penyokong ide modal sosial seperti Putnam (1995), trust adalah bagian penting
dari modal masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Manakala tatakelola
zakat dalam kondisi suasana saling curiga, saling tak percaya dan ―penuh
kepentingan‖, maka di sana segera ditengarai situasi tatakelola zakat yang
diharapkan bisa memunculkan kehidupan sosial yang hangat dan penuh trust
akan sulit tercapai. Pertemuan langsung secara personal antara Amil dengan
muzakki dalam prosesi penyerahan zakat yang selalu disertai dengan ritual doa
amil untuk keberkahan bagi sang muzakki. Ada kesejukan bathin yang dirasakan
oleh sang muzakki atas tindakan zakatnya yang mengharap berkah Allah yang
dilandasi oleh trust yang kuat, sebaliknya sang amil merasa bahagia dan puas atas
kepatuhan sang muzakki pada pesan-pesan yang telah disampaikannya melalui
mimbar masjid dan pengajian.
Partisipasi masyarakat dan keterbukaan akses yang luas bagi semua elemen
sosial desa, membuat LAZ komunitas desa ini memiliki bangunan trust yang cukup
318
baik, meski memang terkadang muncul kecurigaan terhadap imam oleh
sekelompok orang yang juga punya kepentingan dengan sumberdaya zakat, yang
kebetulan menjadi dominasi sang Imam masjid dan guru agama. Keterbukaan dan
partisipasi masyarakat yang luas juga membangunan transparansi
Ruh zakat sebagai instrument ―penyambung relasi‖ antara kaya dan miskin
lebih menjadi instrume penyambung relasi antara negara dengan rakyat miskin,
karena relasi antara muzakki dan mustahik jadi kabur dan mustahik digantikan
oleh negara. Keberadaan atau identitas muzakki sebagai pemberi zakat jadi kabur
karena tergantikan oleh negara. Relasi hangat antara muzakki, mustahik dan amil,
yang muncul dalam peraktik berzakat menjadi dingin, karena relasi tiga unsur
tersebut tidak terjadi dalam realitas tradisi bezakat dan kehidupan sehari-hari.
Relasi yang terbangun malah relasi sistemik yang digerakkan oleh mekanisme
administrasi birokrasi negara. Muzakki dan negara menyatu dan menjelma
menjadi donator yang superior sehingga bukan lagi sebagai pengayom kaum
lemah sebagaimana ruh zakat yang makna terdalamnya memberikan atau
mengembalikan hak kaum lemah, bukan menyantuni kaum lemah.
Menghidari zakat sebagai intrumen kekuasaan bagi kaum elit bersama
negara, membutuhkan komitmen keberpihakan negara kepada kaum lemah bukan
kepada kaum elit sebagaimana digambarkan oleh Marx dan Weber. Untuk
membangun kepercayaan masyarakat dengan memberikan ruang yang luas untuk
bisa diakses setiap waktu. Memberikan kesempatan yang luas bagi elemen
masyarakat untuk ikut serta dalam tatakelola zakat tanpa harus lebih dahulu
menjadi aparat negara.
Membangun kehangatan relasi antara muzakki dan mustahik
bisa
memungkinkan terwujud melalui pemberian ruang kuasa kepada mustahik untuk
menentukan atau menunjukkan dimana dan kepada siapa zakatnya di salurkan
sehingga sang mustahik tidak terkesan dikesampingkan atau bahkan di tiadakan
dalam proses distribusi dana zakat kepada para mustahik.
7.5.2. Tatakelola Oleh Industri : Komodifikasi Zakat dan Kemiskinan
Industri adalah wujud nyata dari system ekonomi kapitalisme, dan
mengedepankan
kepemilikan
modal
pribadi.
Menekankan
prinsip-prinsip
rasionalitas ekonomi pasar dalam organisasi produksi, dengan logika efisiensi
untuk mencapai tujuan tertentu. Pasar dalam hal ini adalah metode yang efektif
untuk mencapai tujuan melalui praktek tukar menukar (Martin, 1993: 193),
makanya ekonomi pasar muncul sebagai strategi penting dalam ekonomi
319
kapitalisme. Faktor-faktor produksi dialokasikan sesuai dengan prinsip pencarian
keuntungan maksimal (profit maximization), tenaga kerja harus menguntungkan,
segala sumberdaya dimanfaatkan dengan maksimal dengan tujuan utama ulititiy
maximize. Exploitasi dan komodifikasi demi perolehan profit , merupakan hal yang
wajar dan rasional dalam dunia Industri.
Kekuasaan dalam dunia kapitalisme berada pada kepemilikan sumber daya
dan alat produksi, karena hal ini menjadi sentral sangat berpengaruh bagi prolehan
keuntungan ekonomi. Kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam kapitalisme,
menjadi dua sisi yang saling merajut dengan kental, sulit untuk dipilah mana yang
melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis perwajahan
kapitalisme yang lebih menonjolkan adalah aspek ekonominya, namun belakangan
menjadi simpang siur antara kekuasaan dan ekonomi, di mana keduanya saling
melahirkan.
Secara internal, hubungan-hubungan hierarkis dalam industri kapitalis
berlangsung satu alur, yaitu hubungan langsung, namun hubungan tersebut
mengembangkan satu alur yang kompleks (pembagian kerja yang lebih kompleks).
Kompleksnya hubungan dalam industri kapitalis tergambar ketika melihat relasirelasi kuasa yang terjalin dalam berbagai strukturnya, yaitu: antar-manajer, antara
menajer dengan pekerja, antara berbagai kelompok pekerja. Sementara hubungan
eksternal yang terkait dengan sistem internal, terlihat dalam bangunan hubungan
dengan pihak-pihak luas, yaitu antara komunitas industri (manajer, pekerja dan
organisasi pekerja) dengan komunitas di sekeliling industri.
Sudah menjadi wataknya sejak lahir bahwa kaum aktor industri dalam dunia
kapitalisme haus akan penguasaan sumber-sumber produksi, sehingga apapun
sumberdaya potensial secara ekonomi, akan selalu ingin dikuasai secara sepihak
demi kelanggengan produksi dan profit. Maka, tampilnya aktor industri dalam
peraktek ketatakelolaan zakat, merupakan fenomena yang terbaca sebagai
diliriknya zakat sebagai sumberdaya dan ini melahirkan persoalan ketika logika
industri swasta yang berbasis kapitalisme bekerja dalam ketatakelolaan zakat dan
menjadi basis ideologi dalam wacana tatakelola zakat. Hadirnya aktor swasta
dalam wacana dan peraktek tatakelola zakat, membawa zakat masuk dalam
wacana ekonomi produksi dan menjadi fenomena yang mengiring zakat masuk
dalam wacana ekonomi sumberdaya dan memandang zakat sebagai komoditas
yang bernilai ekonomi. Ketika dunia swasta bicara tatakelola zakat sama halnya
menggiring zakat masuk dalam ideology kapitalisme dengan prinsip utilitarian
dengan kepentingan profit maximization.
320
Menyerahkan kuasa tatakelola zakat kepada swasta, sama halnya dengan
menjadikan zakat sebagai instrument ekonomi bagi penguatan produksi dan
perolehan keuntungan dalam dunia swasta. Muzakki menjadi bagian dari pemilik
modal yang menerapkan tindakan berzakat dan tatakelola zakat dengan orientasi
kekuasaan ekonomi menuju perolehan keuntungan ekonomi. Zakat oleh pihak
swasta dikelola atas dasar logika utilitarian, yang penekanannya cenderung
diwarnai oleh pertimbangan utility maximization. Mustahik diberikan haknya atas
pertimbangan dukungan perolehan keuntungan ekonomi atau terwujudnya kondisi
yang mendukungan peningkatan produksi dan pengamanan usaha
bagi
perusahaan. Hal ini terlihat dalam LAZ-SP sebagai salah satu lembaga tatakelola
zakat berbasis swasta dengan bangunan relasi berbasis relasi ekonomi industri.
LAZ Semen Padang, mengelola zakat dengan berpayung pada wacana
pemberdayaan kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Zakat wacanakan
sebagai instrument pencapain kesejahteraan bagi masyarakat lemah dalam
payung manajemen swasta. Dengan mengedepankan potensi ekonomi zakat, LAZ
mewacanakan tatakelola zakat dengan manajemen ekonomi modern berbasis
manajemen perusahaan. Kemiskinan sekitar perusahaan menjadi bagian penting
sebagai fokus dalam wacana zakat dan pemberdayaan masyarakat lemah.
Konsep tanggungjawab sosial (social responsibility) perusahaan mencuat sebagai
ujung tombak dalam wacana tatakelola zakat yang disosialisasikan kepada para
muzakki (karyawan perusahaan dan masyarakat luas) dan mustahik sekitar
perusahaan.
Pihak perusahaan dengan LAZ, membangunan pemahaman bahwa zakat
adalah instrument kesejahteraan yang sangat potensial bagi pengentasan
kemiskinan, sekaligus sebagai wujud tanggungjawab bersama kepada kaum
lemah. Maka perusahaan yang di dalamnya terkumpul banyak orang yang dikenai
sebagai wajib zakat, berkewajiban untuk mengelola zakat sebagai instrument
pemberdayaan sekaligus sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan
kepada masyarakat lemah. Wacana dan aksi ketatakelolaan zakat swasta
diperkuat dengan mengkaitkannya dengan wacana dan aksi CSR (Coorporate
Social Responsibility) sebagai bentuk upaya memberdayakan masyarakat miskin
sekitar perusahaan. Kemiskinan disana dipandang sebagai persoalan sosial bagi
masyarakat banyak sekaligus memberikan imbas bagi pihak kelancaran,
keamanan dan efektifitas serta efisiensi proses produksi. Maka dengan
menerapkan tatakelola zakat
dalam perusahaan dipandang sebagai bentuk
tanggungjawab sosial perusahan pada lingkungan sosialnya dengan harapan akan
321
memberikan efek teratasinya persoalan kemiskinan khususnya di sekitar
perusahaan, yang selalu dipandang menjadi biang masalah sosial bagi
masyarakat luas dan perusahaan.
LAZ Semen Padang, dalam mengelola zakat karyawan perusahaan
membangunan relasi yang memiliki trust yang cukup baik, namun nuasanya
dingin. Turst terbangun dari sistem pertanggung jawabannya yang menggunakan
jasa auditor independent dan melaporkan hasilnya kepada semua unsur yang
bekerpentingan termasuk kepada pemerintah daerah dan Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS). Kepercayaan karyawan sebagai sumber pemasukkan dana
zakat, juga terbangun dengan baik karena mereka juga diperbolehkan mengakses
laporan keuangan hasil audit tahunan. Sedangkan mustahik, percaya dari karena
program penyaluran dana zakat kepada mustahik, meski ada yang merasa kurang
puas karena terlalu birokratis, namun mereka percaya karena telah melihat
hasilnya. Penyaluran dana zakat yang tersebar dalam masyarakat dengan
sosialisasi melalui perangkat RT dan Kelurahan dengan mengharuskan mustahik
mendapatkan surat keterangan tidak mampu, cukup memberikan informasi kepada
semua kalangan bahwa LAZ-SP menyalurkan dananya kepada mustahik yang
tepat secara administrasi. Persoalan yang muncul di sini adalah kemampuan LAZ
membangun kehangatan relasi antar lapisan dalam masyarakat, khususnya antara
muzakki dan mustahik.
Relasi sosial antara muzakki dan mustahik yang dibangun oleh LAZ bersifat
diadik antara Manajemen LAZ dengan Manajemen Perusahaan, sementara antara
Muzakki dengan Mustahik, nuansanya dingin dan hampir tidak ada komunikasi
yang berarti karena segala proses tatakelola zakat dan distribusinya diambil alih
oleh pihak manajemen LAZ bersama Perusahaan. Relasi sosial antara dua lapisan
sosial yang seharusnya terbangun dengan baik malah mengalami decoupling.
Relasi sosial yang hangat malah terjadi antara manajeman LAZ dengan
manajemen Perusahaan, sementara relasi Manajemen Perusahaan dengan
Muzakki nuansanya dingin karena tergantikan oleh relasi yang terknoratis melalui
komputerisasi (computerize system). Relasi muzakki dengan LAZ serta muzakki
dengan mustahik sangat kabur, dingin dan bahkan tanpa bentuk, karena proses
pemungutan dan distribusi dana zakat menganonimkan muzakki. Relasi muzakki
dengan LAZ hanya sebatas pemotongan gaji secara komputerisasi, sehingga yang
hubungan yang terbangunan antara pihak LAZ dan muzakki diantarai oleh pihak
perusahaan yang diwakili oleh bendaharawan gaji. Yang dikenal publik dalam
322
proses tatakelola zakat LAZ-SP hanyalah pihak manajemen LAZ dan manajemen
perusahaan, sementara karyawan secara individu dianonimkan, mereka melebur
dalam dalam manajemen LAZ dan perusahaan
7.5.3. Civil Society: Kemandirian dan Pemberdayaan
Cohen dan Arato (1992) memandangan civil society sebagai ruang interaksi
sosial mencakup semua kelompok sosial yang diciptakan melalui mobilitas diri
secara independen, (Culla, 2006). Oleh Andre Gorz Civil Society diartikan sebagai
jaringan sosial yang dibangun orang per-orang, dalam konteks komunitas yang
terlepas dari otoritas lembaga negara, yang oleh Ernes Gellner (1995) dikatakan
institusi non-pemerintah yang mengimbangi negara.
Diamon (1994) menggambarkan civil society sebagai wilayah kehidupan
sosial
yang
terorganisasi
keswasembadaan
(self
kemandirian (outonomy)
dan
bercirikan
generating),
kesukarelaan
keswadayaan
(self
(voluntary),
supporting),
dan
yang tinggi saat berhadapan dengan negara dan
memiliki keterkaitan dengan norma
yang dipatuhi dengan taat (Culla, 2006).
Relasi dibangun atas dasar kerelaan ketimbang atas dasar kewajiban yuridis
(Aditjondro,
1997).
Sedangkan
oleh
menggambarkan civil society sebagai
Gramsci
(dalam
Budiman,
1992),
sekumpulan organisme ―privat‖ yang
berbeda dengan negara yang oleh Gramsci disebut sebagai political society.
(Gramsci, 1971 dalam Sparingga, 1997).
Artinya bahwa konsep civil society
menggambarkan bekerjannya anggota masyarakat secara bersama-sama dalam
membina ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi untuk menggalang solidaritas
kemanusiaan, mengejar kebaikan bersama (public good), yang dilandasi oleh
prinsip-prinsip egalitarianisme inklusif universal berbasis budaya lokal.
Gerakan civil society terkait dengan kelembagaan zakat, terlihat dari
fenomena kelembagaan zakat berbasis budaya lokal dan komunitas lokal di bawah
naungan kelembagaan Surau, Langgar, Masjid dan Pesantren. Berbasis semangat
spiritualitas dan kolektifitas, tokoh agama dan elit komunitas berbasis kekuasaan
kharismatik, mengelola zakat sebagai sebuah system pengamanan ekonomi bagi
anggota komunitas yang miskin dan sekaligus menjadi instrument relasi antara
kaum miskin dan kaya dalam komunitas. Tatakelola zakat berbasis komunitas
semacam ini dalam sejarah telah terbukti mampu menjadi katup pengaman
ekonomi subsisten masa lalu, dan bahkan telah memberikan manfaat yang besar
323
bagi penguatan kelembagaan komunitas dan menciptakan relasi yang hangat
dalam masyarakat.
Kehangatan relasi antara muzakki dan mustahik terbangun di sini. Relasi
tersebut terbangun dalam keterbukaan informasi dan prosesi penyerahan zakat di
masjid yang dapat disaksikan oleh banyak orang termasuk mustahik. Sang
mustahik tahu siapa yang telah berzakat yang nantinya akan dibagikan kepada
mereka. Begitu pula muzakki tahu persis siapa mustahik yang akan menerima
manfaat dari zakat mereka. Relasi antar personal terjadi antara muzakki dan
mustahik di masjid setelah atau sebelum sholat. LAZ Komunitas membangun
relasi triadik yang hangat antara amil, muzakki dan mustahik. Relasi antara amil
dan muzakki dalam peraktik penyerahan zakat, muzakki memberikan zakat
sebagai bentuk kepatuhan pada ajaran dan anjuran amil , atas kepatuhan muzakki
ini amil memberikan doa yang menyejukkan dan menenangkan bagi muzakki
(Kochuyt, 2009). Kondisi yang sama antara muzakki dan mustahik terbangun
dengan perantara amil membangun relasi sosial antara muzakki sebagai
pembayar zakat dan muzakki sebagai penerima. Bangunan pertukaran dari
resiprositas zakat
adalah dalam bentuk materi zakat dan doa dari amil dan
mustahik.
Keterbukaan LAZ Komonitas terlihat dengan keterlibatan grasroot yang
terlihat nyata dengan menjadi Masjid sebagai basis utama. Masjid bagi
komunitas merupakan tempat yang terbuka luas untuk diakses semua orang,
karena memang masjid merupakan tempat yang dikonstruksi secara sosial
sebagai arena publik yang netral. Meski ruang masjid merupakan ruang di bawah
kuasa ―takmir masjid‖, namun kekuasaan itu tidak sampai pada membatasi akses
publik. Ruang kuasa mereka hanya pada batas memimpin ritual dan mengakses
mimbar untuk dalam membangun wacana. Tatakelola zakat komunitas berbasis
Masjid, memberikan ruang yang begitu luas untuk masyarakat mengakses dan
terlibat dalam proses dari awal hingga akhir. Semua orang memiliki peluang
akses dengan ruang yang sama, kecuali untuk memimpin ritual serah terima (ijab
kabul) zakat dari muzakki, untuk ini harus mendapatkan restu dari agamawan
dan pengakuan dari muzakki. Pada LAZ komunitas perlakuan khusus hampir
tidak ada kecuali terhadap sosok agamawan kharismatik yang selalu
mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari para anggota amil dan bahkan
dari para mustahik.
324
Keterbukaan akses yang luas dan perlakuan sosial yang sama untuk semua,
membuat
LAZ
relasi
secara
internal
dan
eksternal
begitu
harmonis.
Penghormatan dan perlakukan yang lebih terhadap agamawan, merupakan
kesepakatan bersama dan itu tumbuh melalui seleksi sosial yang damai meski
memang ada nuansa hegemonik yang terjadi melalui wacana keberagamaan,
keimanan dan keshalehan. Wacana ini membuat agamawan menempati ruang
yang paling menguntungkan dan itu memang dibangun sedemikina rupa secara
kultural dan mensejarah sebagai tradisi beragama komunitas yang menempatkan
orang sholeh pada struktur tertinggi dan membawahi ekonomi kuat, pemimpin
adat dan pemimpin pemerintahan.
7.5.4. Tatakelola Zakat : Peraktek Politisasi Moral
Dua dimensi zakat (dimensi ketuhanan dan kemanusiaan) merupakan dua
ruang yang selalu menyertai zakat dalam dunia peraksis. Zakat dalam dunia
peraksis ditemukan memberikan efek kepada sang pelaku zakat (muzakki)
secara individu. Sang muzakki selalu berorietasi memperoleh ketenangan bathin
dan kenikmatan keimanan yang bermuara pada pencapaian derajat
‖taqwa‖,
sebagai prestasi tertinggi dalam beragama. Namun pada dimensi sosial, sang
muzakki juga pada saat yang sama tak jarang mendapatkan derajat sosial
sebagai orang yang secara sosial dinilai sholeh, budiman dan dermawan, dan ini
diperoleh dari penilaian para aktor tatakelola (Amil), mustahik dan masyarakat
luas secara umum. Artinya bahwa zakat bisa membangun simbol atau label
kepada sang muzakki dari masyarakat sebagai orang yang memiliki moralitas
sosial yang terpuji dalam konteks beragama dan bermasyarakat.
Amil sebagai sekumpulan aktor yang diberikan tanggungjawab untuk
melaksanakan tugas tatakelola zakat, mengakumulasi dan mendistribusikan
dana zakat dari para muzakki, secara individu juga bisa mendapatkan efek
individu sebagai orang yang beriman (taqwa) atas kepatuhan terhadap ajaran
agama dengan memenuhi perintah sebagai amil, dan pada saat yang sama efek
sosial juga mendapatkan simbol dari masyarakat sebagai sang amil yang ikhlas,
mulia, suci, budiman dan berkemanusiaan, peduli kaum lemah karena telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk memfasilitasi ummat beribadah zakat
sekaligus menyalurkan zakat untuk kaum lemah tanpa pamrih.
325
Simbol atau label moral yang selalu muncul secara sosial dari dari peraktek
tatakelola zakat sebagai yang beriman, sholeh, budiman, deramawan dan peduli
kaum lemah, seyogianya merupakan fenomena sosial yang lahir dengan
sendirinya, tanpa direkayasa secara sosial. Konstruksi sosial terhadap para
pelaku ibadah zakat sebagai orang memiliki moral sosial selalu mewarnai
fenomena berzakat dan tatakelola zakat dan label sosial yang terkontruksi dari
masyarakat menjadi kekuatan sosial yang menempatkan para pelaku zakat dan
tatakelolanya dalam posisi sosial yang menguntungkan. Mereka dihormati,
dipatuhi dan memberikannya peluang mendapatkan posisi sosial dan politik
dalam masyarakat yang lebih dari yang tidak mendapatkan simbol moral serupa.
Pada LAZ komunitas tatakelola yang berbasis masjid, menjadi bagian
penting dari proses terbangunya simbol sosial dermawan dan kepedulian pada
kaum lemah komunitas. Seorang muzakki yang patuh berzakat dan agamawan
yang mengorganisir peraktik berzakat komunitas dalam struktur sosial komunitas,
ditempatkan pada ruang yang memiliki kekuasaan dalam dunia sosial. Mereka
menjadi patron bagi kalangan lemah, dan dikonstruksi sebagai kelompok orang
yang memiliki keimanan dan kepedulian terhadap kesulitan orang lain. Mereka
tak jarang di jadikan sebagai tempat para anggota komunitas yang miskin untuk
berlindung secara sosial dan ekonomi bahkan dianggap sebagai dewa penolong.
Seorang muzakki, dalam menjalan tradisi berzakat selayknya keuntungan
dimensi individu dan sosial zakat akan tercapai secara bersamaan. Namun akan
menjadi lain ketika dalam peraktiknya zakat mengalami intervensi dan direkayasa
pada tataran praktik berzakat dan tatakelolanya. Yang paling memungkinkan
untuk melakukan intervensi dan rekayasa tersebut adalah para aktor yang selalu
muncul dalam tatakelola yang dikonstruksi sebagai kelompok yang memiliki hak
kuasa atas tatakelola zakat. Misalnya : Agamawan, Pemerintah, dan Swasta
yang terkonstuksi dalam masyarakat sebagai pemangku kuasa tertinggi dalam
tatakelola zakat. Di sana muncul dominasi ruang dan menegasikan hak kuasa
unsur zakat yang lain seperti muzakki dan mustahik dalam konteks tatakelola.
Mereka menjadikan zakat sebagai instrumen membangun simbol-simbol
moralitas yang mampu mengaburkan realitas yang berlawanan, sehingga
terbangun konstruksi baru yang berbeda, yang prosesnya bisa mengarah pada
peraktik politisasi moral. Hal bisa terjadi ketika tradisi berzakat dan tatakelolanya
di terapkan sebagai instrumen pencitraan dengan kepentingan membangunan
326
simbol keimanan, keshalehan, dan kedermawanan para aktor dalam berbagai
level, baik pada level komunitas, negara dan swasta.
7.6.
Ikhtisar
Benturan gagasan antara LAZ Komunitas dan BAZDA
di provinsi Jambi
begitu terlihat dan mewarnai wacana hingga pada peraktik tatakelola zakat.
Gagasan tatakelola berbasis kuasa komunitas yang mempertahankan tradisi
tatakelola zakat berbasis masjid oleh takmir masjid, berbenturan dengan wacana
gagasan tatakekola zakat berbasis kuasa negara. Begitu juga dengan gagasan
LAZ Swasta di PT. Semen Padang, yang mewacanakan tatakelola zakat
berbasis kuasa Industri dibawah kuasa kelembagaan swasta. Benturan segitiga
terjadi pada aras rasionalitas (asceticism /altruism, dengan developmentalism,
profit dan utility maximization). Benturan gagasan kemudian melebar pada aras
kepentingan sehingga ditemukan adanya perebutan objek kuasa ketika samasama memperebutkan muzakki sebagai sumberdana zakat.
Perbedaan kepentingan mempertajam benturan dan bertemu ketika
ketiganya memperebutkan simpatik masyarakat zakat (muzakki dan mustahik).
LAZ dengan tawaran pengikatan keshalehan individu dan sosial untuk penguatan
komunitas, BAZ Negara dengan tawaran pengemnatasan kemiskinan dan
pembangunan untk kepentingan penguatan negara, dan LAZ Swasta yang
menawarkan
pemberdayaan
masyarakat
lemah
dengan
kepentingan
kenyamanan usaha dan pengamanan investasi. Ketiga menjadikan mustahik
sebagai komoditas dan memperebukan muzakki. Muzakki LAZ komunitas adalah
warga komunitas yang sejahtera, yang juga pada waktu tertentu menjadi muzakki
BAZ negara ketika sang muzakki sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
militer, dan sekaligus menjadi muzakki LAZ Swasta pada saat sang muzakki
menjadi karyawan perusahaan. Sebagai warga komunitas dan sebagai PNS atau
karyawan perusahaan, merupakan dua posisi yang selalu bersamaan sehingga
ia diperebutkan oleh LAZ komunitas dengan BAZ negara atau LAZ swasta.
Konflik pada level aktor tatakelola, terjadi akibat adanya dominasi antar
aktor. Pada LAZ Komunitas, dominasi berada ditangan agamawan sebagai
pemangku kuasa tertinggi dan mengkooptasi ruang gagasan ummat, karena
kuasa pengetahuan ada dalam kuasa agamawan dibawah legitimasi budaya
lokal. Pada level BAZDA , dominasi berada ditangan negara melalui aparatnya
327
dan mengkooptasi ruang gagasan warga negara dengan rezim pengetahuan
negara dibawah legitimasi hukum formal. Selanjutnya pada level LAZ swasta,
dominasi berada ditangan manajemen perusahaan
sebagai pemilik dan
penguasa sumberdaya dan perangkatnya. Pihak menajeman menkooptasi
karyawan dengan logika rezim pengetahuan ekonomi dibawah legitimasi hukum
ekonomi industri dan kebijakan formal perusahaan. Pada
BAZDA
dan LAZ
Swasta, muzakki hampir tidak memiliki ruang kuasa untuk mengarahkan dan
membentuk tindakan berzakat mereka. Di sini mereka diarahkan sepenuhnya
oleh BAZ dan LAZ, mereka harus patuh dan tunduk dalam mekanisme berzakat
yang telah ditentukan dalam kebijakan yang baku. Kekuasaan muzakki terampas
dalam wacana delegasi kepada lembaga perantara kepada mustahik. Penolakan
teredam oleh tekanan sistemik pada aras administasi dan birokrasi, dan resiko
terancamnya sumber ekonomi (pekerjaan). Kepatuhanpun diwarnai dengan
kepatuhan semu yang hanya untuk kepentingan pengamanan sosial dan
ekonomi.
Relasi antara muzakki dan mustahik, pada LAZ komunitas begitu hangat.
Mereka yang berzakat mendapatkan penghormatan dan perlindungan dari para
mustahik, karena
mereka dianggap sebagai sosok yang mengayomi dan
menyelematkan kaum lemah. Oleh karena itu amil bersama muzakki pada LAZ
komunitas dikonstruksi sebagai orang yang baik, sholeh dan peduli kepada kaum
lemah dan layak dihormati, dipatuhi dan bahkan dilindungi. Berbeda dengan
muzakki di BAZDA , mereka tidak dikenal oleh muzakki, di lingkungan tempat
tinggalnya mereka terkadang berbenturan dengan warga karena dianggap tidak
berzakat. Mereka berzakat di BAZ dan yang mendapatkan penghargaan dari
mustahik dan masyarakat luas hanyalah pemerintah dan aparatnya. Hal yang
sama juga ditemukan di LAZ Swasta.
Kalau relasi antara mustahik dan amil, pada LAZ komunitas, terjadi begitu
hangat dan penuh penghormatan. Berbeda pada BAZ negara dan LAZ Swasta,
kekecewaan dari para mustahik ditemukan karena dana zakat yang menurut
mereka adalah hak mereka ternyata harus melalui proses meminta dan
memohon dengan berbagai macam persyaratan administrasi. Perlakuan
semacam ini bagi sebagian mustahik dianggap sebagai tindakan yang kurang
manusiawi. Hal ini terjadi dari perbedaan paradigma dal memandang zakat serta
perbedaan
kepentingan
yang
menyertai
sebuah
sistem
tatakelola.
Download