BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Bedah Caesar 1

advertisement
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Bedah Caesar
1. Pengertian Bedah Caesar
Bedah caesar adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim. Ada tiga teknik sectio
caesaria, yaitu transperitonealis, corporal (klasik), dan ekstraperitoneal
(Mansjoer, 2001).
Bedah caesar memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya
adalah membuat persalinan menjadi lebih singkat, tidak ada kompresi
jalan lahir, tidak ada sepsis dari jalan lahir, menurunkan resiko rupture
(pendarahan uterus) setelah riwayat section caesaria. Kerugiannya adalah
kemungkinan merusak kandung kemih dan usus, trombosit dan emboli,
gangguan penyembuhan luka, kekhawatiran terjadinya rupture pada sectio
caesaria berikutnya (Rabe, 2002).
2. Jenis Bedah Caesar
Ada beberapa jenis bedah caesar (caesarean section):
a.
Bedah Caesar Klasik.
Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang
memberikan satu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi.
Namun, jenis ini jarang dilakukan karena jenis ini lebih rentan
terhadap komplikasi.
b.
Irisan bagian bawah rahim.
Prosedur yang saat ini paling banyak digunakan meliputi sebuah
irisan melintang tepat diatas ujung ginjal yang mengakibatkan
pengeluaran darah yang lebih sedikit serta perbaikan yang lebih
mudah.
c.
Bedah Caesar mendadak atau darurat.
Bedah Caesar yang digunakan dalam keadaan darurat kandungan
dan biasanya dilakukan dalam waktu 30 menit setelah keputusan
pembedahan dilakukan.
4
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
5
d.
Caesar Histerektomi.
Bedah Caesar yang dilanjutkan dengan pengangkatan rahim. Hal ini
dapat dilakukan dalam kasus dimana ada pendarahan yang sulit
tertangani atau ketika plasenta tidak dapat dipisahkan dari rahim.
e.
Ekstraperitoneal caesarean section (porro cs).
Yaitu bedah caesar berulang pada seorang pasien yang pernah
melakukan caesar sebelumnya. Biasanya dilakukan diatas bekas
luka yang lama.
(Dewi dan Dodi, 2007).
3. Alasan-alasan kelahiran Caesar
Alasan-alasan untuk kelahiran caesar meliputi :
a. Upaya melahirkan yang panjang atau kegagalan melanjutkan (distrosi)
b. Kesulitan janin yang nyata
c. Kesukaran yang nyata dipihak ibu
d. Komplikasi-komplikasi (pre eklampsia, herpes aktif)
e. Gangguan-gangguan, semisal ari-ari dibawah atau pecahnya saluran
rahim
f. Kelahiran kembar (kendati ini kontroversial)
g. Kandungan abnormal (posisi janin sungsang atau melintang)
h. Kegagalan induksi
i.
Kegagalan kelahiran dengan alat (dengan forceps atau ventouse)
j.
Bayi terlalu besar (makrosomia)
k. Masalah-masalah
plasenta
(plasenta
previa,
plasental
abruption/meluruk atau plasenta accrete/membesar)
l.
Pelvis (tulang selangkangan) yang rapat (terkontraksi)
m. Pernah menjalani bedah caesar
n. Pernah bermasalah dalam pemulihan perineum (dari kelahiran
sebelumnya atau penyakit kronis)
(Dewi dan Dodi, 2007).
Komplikasi bedah caesar :
a. Komplikasi pada ibu, yaitu infeksi puerperal, perdarahan, luka pada
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
6
kandung kencing, embolisme paru-paru, rupture uteri.
b. Komplikasi pada bayi yaitu kematian perinatal (Mansjoer, 2001).
B. Tatalaksana Terapi Pasien Pasca Bedah Caesar
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) dalam
guideline, prosedur bedah sesar adalah sebagai berikut:
1.
Penilaian pra operasi, meliputi pengecekan haemoglobin, penggunaan
kateter, peresepan antibiotic, profilaksis
2.
Anestesi keperawatan, meliputi diskusi pemberian analgesic pasca bedah
saesar, menawarkan antasid, antagonis reseptor H2, atau inhibitor pompa
proton,
menawarkan
mengurangi
antiemetic,
risiko
menawarkan
hipotensi
daerah
dengan
anestesi,
menggunakan
intravena efedrin atau fenilefrin infuse; volume pre-loading dengan
kristaloid
atau
koloid
; lateral angkat dari 15 derajat, Preoksigenasi, tekanan krikoid dan induksi
cepat selama anestesi umum untuk keadaan darurat bedah saesar, latihan
Unit Bersalin untuk intubasi gagal
3.
Teknik pembedahan, meliputi penggunaan sarung tangan ganda pada
wanita yang human immunodeficiency virus (HIV) positif, penggunaan
sayatan perut melintang rendah, penggunaan perpanjangan tumpul
sayatan rahim, penggunaan oksitosin, penggunaan traksi tali pusat
terkendali untuk menghilangkan plasenta, penutupan sayatan dengan dua
lapisan jahitan, pemeriksaan pH arteri umbilikalis, mempertimbangkan
pilihan ibu pada suasana kelahiran dan memfasilitasi kulit-ke-kulit untuk
ibu dan bayi
4.
Pemantauan
pasca
operasi,
termasuk
pemantauan
stabilitas
kardiorespirasi, tingkat sedasi, dan kontrol nyeri
5.
Resusitasi bayi baru lahir
6.
Perawatan perempuan dan bayi setelah CS, termasuk dukungan untuk
menyusui, suplemen analgesia, perawatan luka
7.
Pemantauan pemulihan setelah CS, termasuk perawatan luka dan
menjaga kewaspadaan untuk komplikasi
8.
Diskusi implikasi bagi kelahiran normal yang selanjutnya.
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
7
Adapun perawatan dan pemantauan setelah bedah saesar adalah sebagai
berikut:
1. Ibu melahirkan dengan bedah saesar membutuhkna perawatan yang
intensif oleh petugas kesehatan yang professional.
2. Setelah dilakukan bedah saesar, diamati satu persatu oleh petugas terlatih
sampai jalan nafas dan fungsi kerja jantung stabil dan mampu
berkomunikasi.
3. Setelah pemulihan dari anestesi, dilakukan pengamatan frekuensi napas,
denyut jantung, tekanan darah, nyeri, dan obat penenang. Hal ini
dilakukan setiap setengah jam selama 2 jam sampai keadaan stabil. Jika
pengamatan ini tidak stabil, pengamatan dilakukan lebih sering dan
dianjurkan adanya tinjauan medis.
4. Bagi wanita yang memiliki opioid intratekal, harus ada pengamatan
minimum per jam dari tingkat pernapasan, sedasi, dan skor nyeri selama
minimal 12 jam untuk diamorfin dan 24 jam untuk morfin.
5. Bagi wanita yang memiliki opioid epidural atau pasien-dikendalikan
analgesia dengan opioid, harus ada pemantauan rutin per jam tingkat
pernapasan, sedasi, dan skor nyeri seluruh pengobatan dan setidaknya 2
jam setelah penghentian pengobatan
6. Menawarkan diamorfin (0,3-0,4 mg intratekal) untuk analgesia intra-dan
pasca operasi karena dapat mengurangi kebutuhan tambahan analgesia
setelah bedah saesar. Epidural diamorfin (2,5-5 mg) merupakan alternatif
yang cocok.
7. Penggunaan analgesik opioid dapat diberikan setelah bedah saesar untuk
mengurangi rasa sakit.
8. Pemberian obat analgesic bukan merupakan kontraindikasi, obat anti
inflamasi non steroid dapat diberikan setelah bedah saesar sebagai
tambahan, karena dapat mengurangi kebutuhan opioid.
Beberapa jenis obat yang digunakan pada pasien setelah bedah saesar adalah
jens analgetik dan antibiotik.
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
8
1. Analgetika
Atas dasar farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok
besar, yaitu:
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang
tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja pada sentral. Analgetika
antiradang termasuk kelompok ini. Secara kimiawi, analgetika perifer
dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
1) Paracetamol
2) Salicilat : asetosal, salisilamida dan benorilat
3)
Penghambat prostaglandin (NSAID’s) : ibuprofen
4)
Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
5)
Derivat pirazolinon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan
metamizol
6)
Lainnya : benzidamin (tantum)
Penggunaan
obat-obat
ini
mampu
meringankan
atau
menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP (susunan saraf
pusat) atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan.
Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretik dan/atau antiradang. oleh
karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga
pada demam (infeksi virus atau kuman, selesma, pileka) dan peradangan
seperti rematik dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri
ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya
nyeri kepala, gigi, otot, atau sendi (rematik, encok), perut, nyeri haid
(dysmenorroe), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma). Untuk
kedua nyeri terakhir, NSAID’s lebih layak. Pada nyeri lebih berat atau
fraktur (patah tulang) kerjanya kurang ampuh (Tjay dan Raharja, 2007).
Efek samping yang paling umum adalah gangguan lambung-usus (2, 3,
5), kerusakan darah (1, 2, 4, dan 5), kerusakan hati dan ginjal (1, 3) dan
juga reaksi alergi kulit.
b. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri
hebat, seperti pada fraktura (patah) dan kanker (Tjay dan Raharja, 2007).
Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (=mirip opiat) adalah
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
9
obat-obat yang daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan
memperpanjang aktifasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya µreseptor). Zat ini bekerja terhadap opioid khas di SSP, hingga persepsi
nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay
dan Raharja, 2007).
Obat analgetika opioid sangat berguna untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgetika opioid menimbulkan
adiksi, maka untuk mendapatkan suatu analgetika yang ideal masih tetap
diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgetika yang sama kuat
dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Golongan obat opioid dimaksudkan
untuk (1) obat-obat yang berasal dari opiun-morfin; (2) senyawa
semisintesik morfin; dan (3) senyawa sintetik yang berefek seperti
morfin. Obat-obat yang mengantagonis efek obat disebut antagonis
opioid, dan reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor
opioid (Ganiswara, 1987).
Analgetika narkotik atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dibagi
dalam 3 kelompok, yaitu:
1) Agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:
a) alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nikomorfin
b) zat-zat sintesis: metadon dan derifatnya (dekstromoramida,
propoksifen, besitramida), petidin dan derivatnya (fentani,
sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin, hanya berlainan
mengenai potensi dan lama kerjanya, efek samping dan resiko akan
kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2) Antagonis opiat, nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin
(Temgesic). Bila digunakan sebagai analgetikum, obat-obat ini dapat
menduduki salah satu reseptor.
3) Campuran, nalorfin, nalbufin (Nubain). Zat-zat ini dengan kerja
campuran juga mengikat pada reseptor-opioid, tetapi tidak atau
hanya sedikit mengaktifasi daya kerjanya (Tjay dan Raharja, 2007).
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
10
Morfin dan opioida lainya menimbukan sejumlah besar efek
samping yang tidak diinginkan, yaitu:
1) Supresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernapasan dan batuk,
miosis, hipothermia dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat
stimulasi langsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan
muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas
mental dan motoris.
2) Saluran napas: bronchokontriksi, pernapasan menjadi lebih dangkal
dan frekuensinya menurun.
3) Sistem sirkulasi: vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan
bradikardia
4) Saluran cerna: motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter
kandung empedu (kolik batu empedu), sekresi pankreas, usus dan
empedu berkurang.
5) Saluran urogenital: retensi urin, ( karena naiknya tonus dari sfingter
kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan
diperpanjang).
6) Histamin liberator: urtikaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi
pelepasan histamin.
7) Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi
dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi.
Obat-obat analagetika yang lazim digunakan pada pasien bedah caesar
antara lain :
a.
Asam Mefenamat
Indikasi: Nyeri ringan sampai sedang dan kondisi yang berhubungan;
disminore dan menoragi.
Kontra indikasi: dikontraindikasikan terutama pada peradangan usus
besar.
Interaksi : memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi nitrat.
Efek samping : mengantuk, diare, ruam kulit (hentikan pengobatan),
trombositopenia, anemia hemolitik, kejang pada overdosis
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
11
Dosis : 500 mg tiga kali sehari sebaiknya setelah makan; selama tidak
lebih dari tujuh hari (Anonim, 2008).
b. Paracetamol
Indikasi : nyeri ringan sampai sedang, pireksia.
Interaksi : terhadap anti koagulan, penggunaan paracetamol jangka
panjang
dapat
meningkatkan
efek
anti
koagulan
kumarin;
hipolipidemik: absorpsi paracetamol menurun karena kolestiramin;
metoklopramid:
absorpsi
paracetamol
meningkat
metoklopramid;
sitotoksik:
paracetamol
dapat
karena
menghambat
metabolisme busulvan intravena (monitor selama 72 jam pemberian
bersama paracetamol)
Efek samping : jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi
ruam kulit, kelainan darah (termauk trombositopenia, leukopenia,
neutropenia); hipotensi juga dilaporkan pada infusi; penting:
kerusakan hati dan ginjal dengan frekuensi yang lebih kecil
disebabkan oleh overdosis.
Dosis : oral 500 mg – 1000 mg setiap 4 – 6 jam hingga maksimum 4
gr per hari (Anonim, 2008).
c. Ibuprofen
Indikasi : nyeri ringan sampai sedang, antara lain nyeri pada penyakit
gigi atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala, gejala
nyeri ringan sampai sedang pada gejala reumatik tulang, sendi dan
non sendi, terkilir, menurunkan demam pada anak-anak.
Kontra indikasi : dikontraindikasikan terutama pada peradangan usus
besar.
Interaksi : memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi nitrat.
Efek samping : mengantuk, diare, ruam kulit (hentikan pengobatan),
trombositopenia, anemia hemolitik, kejang pada overdosis
Dosis : sehari 3-4 kali, 200-250 mg sebaiknya diminum setelah
makan (Anonim, 2008).
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
12
2. Antibiotika.
Pemberian antibiotic sesudah bedah sesar elektifk dipersoalkan, namun
pada umumnya pemberiannya dianjurkan (Prawirohardjo, 2006).
a. Definisi Antibiotika
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba,
terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi
mikroba jenis lain. Banyak antibiotika dewasa ini dibuat secara
semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari
antibiotik sintesik yang tidak diturunkan dari produk mikroba
(misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai
antibiotik. Antibiotik dapat dikatakan bukan merupakan obat
penyembuh penyakit infeksi dalam arti yang sebenarnya. Antibiotika
hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk
sembuh dari suatu penyakit infeksi (Ganiswara, 1995).
Berdasarkan pembuatannya antibiotika digolongkan 2 macam
yaitu antibiotika semi sintesis dan sintesis. Antibiotika semisintesis
yaitu apabila pada persemaian (culture substrate) dibubuhi zat-zat
pelopor teetentu, maka zat-zat ini diinkorporosi ke dalam antibiotikum
dasarnya. Hasilnya dibuat lagi dengan jalan biosintesis tersebut,
melainkan
dengan
sintesa
kimiawi,
misalnya
kloramfenikol.
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat
kuman atau untuk prefensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar.
Secara profilaksis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep
jantung buatan, juga sebelum cabut gigi (Tjay dan Raharja, 2002).
b. Penggolongan Antibiotika
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja
maupun struktur kimianya. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika
dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu (Ganiswara, 1995)
1) Antibiotik kerja spektrum luas (broad spectrum), yaitu agen yang
dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram
positif maupun bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan
dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan sebagian besar
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
13
bakteri. Yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan
derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem
dan lain-lain.
2) Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini
hanya aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk
golongan ini adalah penisilina, streptomisin, neomisin, basitrasin.
Penggolongan antibiotika berdasarkan gugus kimianya sebagai berikut:
1) Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel
Lainnya. Mekanisme aksi penisilin dan antibiotika yang
mempunyai struktur mirip dengan β-laktam adalah menghambat
pertumbuhan bakteri melalui pengaruhnya terhadap sintesis
dinding sel. Dinding sel ini tidak ditemukan pada sel-sel tubuh
manusia dan hewan, antara lain: golongan penisilin, sefalosporin
dan sefamisin serta betalaktam lainnya.
2) Kloramfenikol,
Tetrasiklin,
Makrolida,
Clindamisin
dan
Streptogramin. Golongan agen ini berperan dalam penghambatan
sintesis protein bakteri dengan cara mengikat dan mengganggu
ribosom, antara lain: kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida,
klindamisin, streptogramin, oksazolidinon.
3) Aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin,
amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan lainlain.
4) Sulfonamida, Trimethoprim, dan Quinolones.
Sulfonamida, aktivitas antibiotika secara kompetitif menghambat
sintesis dihidropteroat. Antibiotika golongan Sulfonamida, antara
lain Sulfasitin,
sulfisoksazole,
sulfamethoksazole,
sulfapiridin,
sulfamethizole, sulfadiazine,
sulfadoxine
dan
golongan
pirimidin adalah trimethoprim. Trimethoprim dan kombinasi
trimetoprim-sulfametoksazol menghambat bakteri melalui jalur
asam dihidrofolat reduktase dan menghambat aktivitas reduktase
asam dihidrofolik protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis.
Fluoroquinolon adalah quinolones yang mempunyai mekanisme
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
14
menghambat sintesis DNA bakteri pada topoisomerase II (DNA
girase) dan topoisomerase IV. Golongan obat ini adalah asam
nalidiksat,
asam
oksolinat,
sinoksasin,
siprofloksasin,
levofloksasin,
slinafloksasin,
enoksasin,
gatifloksasin,
lomefloksasin,
moxifloksasin,
norfloksasin,
ofloksasin,
sparfloksasin dan trovafloksasin dan lain-lain.
C. Drugs Related Problems (DRPs)
Drugs Related Problems (DRPs) didefinisikan sebagai peristiwa yang
tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkkan atau
kemungkinan melibatkan terapi obat dan berpotensi bertentangan dengan hasil
yang diinginkan pasien. Drugs Related Problems (DRPs) sering juga disebut
Drugs Therapy Problems atau masalah-masalah yang berhubungan dengan
obat. Drugs Related Problems (DRPs) terdiri dari aktual DRPs, yaitu masalah
yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada
penderita dan potensial DRPs, yaitu masalah yang diperkirakan akan terjadi
berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada penderita. ( Cipolle,
1998).
Masalah-masalah dalam kajian DRPs dapat ditunjukkan oleh
kemungkinan penyebab DRPs dibawah ini.
Tabel.1 Jenis-JenisDRPs dan Penyebab Yang Mungkin Terjadi
DRPs
Terapi obat tambahan
(need for additional
drug therapy)
1.
2.
3.
4.
Terapi obat yang tidak
Perlu (Unnecessary
drug therapy)
1.
2.
3.
4.
5.
Kemungkinan kasus pada DRPs
Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat
yang terbaru
Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat
Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan
kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis
ataupotensiasi.
Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan
barudapat dicegah dengan penggunaan prophylactic drug
ataupremedication
Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi
Pasien yang toksik karena obat atau hasil pengobatan
Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan
rokok
Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik
diobatidengan non drug therapy
Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
15
6.
Obat tidak tepat
(Wrong drug)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dosis terlalu rendah
(Inadequate dosage)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Reaksi obat yang
Merugikan
(Adverse
drug reaction)
9.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dosis telalu
(Over dosage)
tinggi
Ketidakpatuhan pasien
(Uncompliance)
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
hanyasingle drug therapy dapat digunakan
Pasiendengan
terapi
obat
untuk
penyembuhan
dapatmenghindari reaksi yang merugikan dengan
pengobatanlainnya
Pasien dimana obatnya tidak efektif
Pasien alergi
Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk
indikasipengobatan
Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi
penggunaanobat
Pasien menerima obat efektif tetapi least costly
Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman
Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang
diberikan
Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat
yangdigunakan
Pasien menerima kombinasi produk yag tidak perlu
dimanasingle drug dapat memberikan pengobatan yang
tepat
Pasien alergi
Dosis
yang
digunakan
terlalu
rendah
untuk
menimbulkanrespon
Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah
rangeterapeutik yang diharapkan
Waktu prophylaksis (presurgikal) antibiotik diberikan
terlalucepat
Dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk pasien
Terapi obat berubah sebelum terapetik percobaan
cukupuntuk pasien
Pemberian obat terlalu cepat
Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila
obatdigunakan
Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi
denganobat lain atau makanan pasien
Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien
Efek dari obat diubah enzym inhibitor atau induktor dari
obatlain
Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari
bindingsite oleh obat lain
Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat
lain
Dosis terlalu tiggi
Konsentrasi obat dalam serum pasien di atas
therapeuticrange obat yang diharapkan
Dosis obat meningkat terlalu cepat
Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat
Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Pasien tidak menerima aturan pemkaian obat yang
tepat(penulisan, obat, pemberian, pemakaian)
Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang
diberikanuntuk pengobatan
Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan
karenaharganya mahal
Pasien tidak mengambil
beberapa
obat
yang
diresepkankarena kurang mengerti
Pasien tidak mengambil
beberapa
obat
yang
diresepkansecara konsisten karena merasa sudah sehat
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
16
( Cipolle et al., 1998 )
Suatu terapi obat dapat dikatakan tidak tepat atau salah apabila pasien
tidak memperoleh atau kemungkinan besar tidak akan memperoleh outcome
terapi yang diharapkan. Apabila seorang pasien menerima suatu obat, dan
terdapat alternatif terapi obat yang lain, sedangkan alternatiftersebut
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menghasilakan outcome terapi
yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa pasien menerima obat yang
tidak tepat.Namun demikian secara aktual pasien memperolehoutcome yang
diharapkan dari terapi obat yang diterimanya, hal ini tidak termasuk DRP
(Cipolle et al., 1998).
Faktor-faktor yang menentukan ketepatan pemilihan terapi di
antaranya kondisi medis pasien, keparahan penyakit, penyakit infeksi dan
organisme penyebab, usia dan status kesehatan pasien termasuk fungsi ginjal
dan hepar, fungsi kardiovaskuler, fungsi neurologis, fungsi kognitif dan
fungsi imun. Sebagai contoh, pasien hipertensi dengan riwayat asma kronis
yang diberi terapi propanolol dikatakan menerima obat yang salah karena
propanolol bersifat bronkhokonstriktif.Pasien yang mempunyai riwayat alergi
atau kontraindikasi terhadap obat juga dikategorikan sebagai DRPs walaupun
obat tersebut telah terbukti efektif untuk mengobati penyakitnya.Semua terapi
harus spesifik untuk pasien tidak hanya bersifat spesifik untuk penyakit
(Cipolle et al., 1998).
Jadi suatu regimen terapi dikatakan “salah” apabila (Cipolle et al.,
1998):
1.
Bentuk sediaan yang dipilih tidak tepat
2.
Ada kontraindikasi
3.
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien
4.
Ada obat lain yang lebih efektif
D. Tinjauan Rumah Bersalin
Rumah bersalin merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan dasar
yang memberikan pelayanan medik dasar khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan kebidanan bagi wanita hamil, bersalin, dan masa nifas fisiologis
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
17
termasuk pelayanan keluarga berencana serta perawatan bayi baru lahir, yang
dilakukan oleh dokter dan atau bidan dibawah pengawasan dan tanggung
jawab dokter serta dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh serta
komprehensif, yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap dan
menjalankan fungsi rujukan (Depkes, 2007).
Rumah bersalin berperan serta aktif dalam peningkatan derajat
kesehatan masyarakat terutama dalam kesehatan ibu dan bayi, agar
perorangan, keluarga dan masyarakat memiliki kesadaran, kemauan, dan
kemampuan melayani diri sendiri dan diharapkan berperilaku hidup bersih
dan sehat.
Rumah bersalin juga sebagai mitra pemerintah dalam
menyelenggarakan program kesehatan (Depkes, 2007).
Fungsi
Rumah Bersalin adalah untuk
memberikan pelayanan
Kebidanan dan pelayanan Keluarga Berencana.
Pelayanan kebidanan meliputi:
1.
Pelayanan kebidanan kepada ibu (diberikan sejak masa pranikah,
prahamil, masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui,
dan masa antara (periode interval)
2.
Pelayanan kebidanan kepada bayi baru lahir (diberikan sejak masa bayi
baru lahir dan masa bayi)
3.
Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal (ditujukan untuk
penyelamatan jiwa)
Pelayanan Keluarga Berencana meliputi:
1.
Memberikan obat dan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi
dalam rahim, alat kontrasepsi bawah kulit dan kondom awal dan ulangan
2.
Memberikan penyuluhan atau konseling pemakaian alat kontrasepsi
3.
Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim
4.
Melakukan pencabutan alat kontrasepsi bawah kulit tanpa penyulit
5.
Memberikan konseling untuk pelayanan kebidanan, keluarga berencana
dan kesehatan masyarakat.
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
18
E. Pengertian Rumah Bersalin Daerah (RBD) Panti Nugroho
Rumah Bersalin Daerah Panti Nugroho merupakan unit pelaksana teknis dinas
atau unsur pelaksana operasional dinas yang mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dinas di bidang pelayanan kesehatan (Perbup Purbalinggga
Nomor 63 Tahun 2008). Berdasar Peraturan Bupati Purbalingga nomor 63
tahun 2008 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja UPTD RBD Panti
Nugroho pada Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, tugas pokok RBD
Panti Nugroho adalah melakukan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat di
bidang gizi, rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat, farmasi, bedah sentral
dan pemeliharaan sarana dan kesehatan lingkungan.
RBD Panti Nugroho menyelenggarakan fungsi:
1.
Penyelenggaraan asuhan gizi, konseling dan konsultasi gizi;
2.
Penyelenggaraan kegiatan rawat jalan;
3.
Penyelenggaraan rawat inap;
4.
Penyelenggaraan kegiatan farmasi;
5.
Penyelenggaraan kegiatan bedah sentral;
6.
Penyelenggaraan kegiatan pemeliharaan sarana dan kesehatan lingkungan
7.
Pelaksanaan urusan ketatausahaanUPTD BD-PN;
8.
Pelaksanan tugas lainyang diberikan oleh pimpinan.
(Perbup Purbalinggga Nomor 63 Tahun 2008).
Identifikasi Drug Related..., Mukhamad Husen, Fak. Farmasi UMP 2013
Download