www.parlemen.net KATA PENGANTAR KETUA TIM KAJIAN

advertisement
www.parlemen.net
KATA PENGANTAR
KETUA TIM KAJIAN PENINGKATAN KINERJA DPR RI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat
dan karuniaNya, sehingga kami mempunyai kesempatan yang sangat berharga untuk dapat
menyelesaikan tugas yang diamanatkan oleh DPR RI berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan
DPR RI Nomor 12/PIMP/III/2005-2006 tanggal 16 Februari 2006, hingga menyusun laporan
hasil kerja Tim yang kemudian dituangkan dalam bentuk buku.
Adapun latar belakang dibentuknya Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI adalah untuk
merespons penilaian negatif terhadap kinerja DPR RI dari berbagai kalangan masyarakat.
Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, masyarakat menilai RUU yang dihasilkan oleh DPR RI
belum menyentuh kehidupan masyarakat banyak dan belum dapat memenuhi target jumlah
penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sedangkan dalam fungsi pengawasan, masyarakat menilai pengawasan DPR RI melalui rapat
kerja dan kunjungan kerja belum efektif, dan dalam fungsi anggaran, masyarakat menilai APBN
belum memberikan porsi yang cukup bagi kebutuhan masyarakat.
Pada awalnya Tim mencoba mengidentifikasi masalah dan penyebab yang menjadi
faktor penghambat pelaksanaan fungsi Dewan, kemudian Tim mengundang berbagai pihak,
baik dari internal maupun dari eksternal DPR Rl. Mereka begitu serius dan antusias memberi
masukan-masukan terhadap peningkatan kinerja DPR RI yang bertujuan agar DPR RI dapat
meningkatkan pelaksanaan fungsi dan perannya, sehingga dapat memenuhi harapan
masyarakat. Dari berbagai masukan tersebut Tim menyusun solusi dan rekomendasi yang
diharapkan dapat mengatasi hambatan dalam pelaksanaan fungsi DPR RI.
Penyusunan buku laporan hasil kinerja Tim ini telah melalui proses yang cukup panjang.
Buku ini diharapkan dapat ditindaklanjuti sebagaimana mestinya dan menjadi panduan bagi
Anggota dan seluruh Alat Kelengkapan Dewan untuk dapat mereformasi diri dan bekerja
dengan baik. Segala perubahan tetap membutuhkan kemauan dan kemampuan DPR RI sendiri
dan berbagai pihak terkait, serta dapat dilakukan secara bertahap.
Akhir kata, atas selesainya buku laporan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung, baik dukungan teknis maupun substansi, termasuk
kepada semua pihak yang telah memberi masukan bagi peningkatan kinerja DPR RI. Semoga
buku laporan kinerja ini bermanfaat dan dapat mengembangkan demokrasi yang sehat di
Indonesia, amiin.
Jakarta, Desember 2006
Ketua Tim
ttd
Zaenal Ma'arif, SH., MA.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
SAMBUTAN
KETUA DPR RI
Saya menyambut baik penerbitan buku Peningkatan Kinerja DPR RI, yang merupakan
laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI. Sebagaimana kita ketahui, gerakan reformasi
yang kemudian sampai pada perubahan terhadap UUD 1945 memang banyak menyentuh
lembaga perwakilan rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),
maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perubahan UUD 1945 yang terkait dengan
DPR menyangkut 3 (tiga) fungsi utama DPR dan DPRD, yaitu fungsi legislasi, fungsi penetapan
anggaran dan fungsi pengawasan. Sejarah praktek penyelenggaraan pemerintahan kita
menggambarkan, sebelum reformasi dan perubahan UUD 1945 ditandai dengan kuatnya peran
lembaga eksekutif (executive heavy). Sebaliknya, dalam era reformasi dan UUD 1945 pasca
amandemen terjadi reposisi peran dari masing-masing lembaga yang memegang kekuasaan
negara, baik di bidang eksekutif, maupun legislatif, dan yudikatif. Di bidang legislasi misalnya,
terjadi pergeseran kekuasaan dari Presiden kepada DPR. Demikian pula dalam bidang
pengawasan, terjadi peningkatkan peran DPR RI, karena beberapa kebijakan publik yang
sebelumnya menjadi hak prerogatif Presiden, sekarang harus dikonsultasikan, mendapat
pertimbangan, bahkan persetujuan dari DPR RI. Perubahan ini membawa kesan adanya
perubahan yang mengarah kepada penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan
kuatnya lembaga legislatif (legislative heavy). Namun, sesungguhnya pergeseran yang
dimaksud tidaklah demikian, karena perubahan yang terjadi adalah menuju suatu hubungan
kerja yang seimbang antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam bingkai mekanisme checks
and balances.
Meningkatnya peran Dewan dalam penyelenggaraan pemerintahan, menarik perhatian
publik untuk memberikan sorotan atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Sorotan ini
sekaligus membawa harapan agar Dewan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya yang
digariskan dalam UUD 1945 dan peraturan perundangundangan Iainnya, serta mampu
memenuhi harapan masyarakat. Hal ini tentunya menuntut komitmen yang kuat (full committed)
Anggota Dewan terhadap konsistusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam konteks itu, kehadiran buku ini sangatlah bemanfaat. Gambaran mengenai
kondisi, permasalahan, solusi, dan rekomendasi yang terdapat dalam buku ini sekaligus
menjadi bentuk komunikasi DPR terhadap publik. Keistimewaan dari buku ini adalah suatu hasil
evaluasi internal Dewan yang tetap menjaga obyektivitas kondisi dan permasalahan yang ada.
Bahkan, dalam bukun ini secara jelas diungkapkan beberapa kelemahan, baik Iembaga,
maupun individu Anggota DPR RI.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR yang
mempersembahkan kepada masyarakat berbagai kondisi, permasalahan, solusi, dan
rekomendasi dalam rangka peningkatan kinerja DPR RI sekarang dan di masa-masa yang akan
datang. Kiranya buku ini dapat menjadi acuan bagi kita semua dalam upaya mendorong
peningkatan kinerja DPR RI, dalam rangka mewujudkan kehidupan demokrasi yang Iebih baik
dalam penyelenggaraan pemerintahan RI.
Jakarta,
Desember 2006
Ketua DPR RI
ttd
H.R Agung Laksono
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
SAMBUTAN
SEKRETARIS JENDERAL DPR RI
Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah S.W.T. kami menyambut baik diterbitkannya
Buku Peningkatan Kinerja DPR RI ini, yang merupakan hasil dari kerja keras Tim Kajian
Peningkatan Kinerja DPR RI bersama Sekretariat Jenderal DPR RI yang dimulai dari
menghimpun berbagai masukan, mengkaji, menganalisa dan mengevaluasi kondisi dan
permasalahan yang ada, kemudian mencarikan solusi, serta merumuskan rekomendasi, hal ini
merupakan sebuah pekerjaan yang patut diapresiasi. Semuanya dilakukan dalam upaya bagi
peningkatan kinerja DPR RI, serta sebagai salah satu langkah untuk lebih memberdayakan
Dewan, utamanya dalam pelaksanaan tugas - tugas konstitusional Dewan.
Di tengah era reformasi dan globalisasi ini, kita semua dihadapkan pada tantangan
berupa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat dan dinamis. Setiap individu dan
organisasi dituntut untuk mampu beradaptasi menghadapi kondisi ini, termasuk DPR RI sebagai
salah satu Lembaga Negara di Republik ini, memikul beban berat untuk dapat mewakili aspirasi
seluruh rakyat Indonesia, disamping tuntutan untuk dapat menunjukkan eksistensi melalui
pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai salah satu perwujudan kinerja Dewan. Seiring
dengan itu, sebagaimana dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Pasal 99 tentang
Susunan dan Kedudukan DPR, MPR, DPD dan DPRD: Untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas MPR, DPR, dan DPD dibentuk sekretariat jenderal yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden; dan dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI Tahun 2005 - 2006, Pasal 219,
diatur tugas Sekretariat Jenderal DPR RI; sebagai institusi yang merupakan sistem pendukung
Parlemen (Parliament Supporting System). Dalam posisi tersebut Sekretariat Jenderal DPR RI
harus mampu berjalan seiring dan mengikuti setiap derap langkah serta ritme kegiatan Dewan.
Sehingga segala tuntutan maupun permasalahan yang dihadapi oleh Dewan, merupakan tugas
Sekretariat Jenderal DPR RI untuk menindaklanjuti serta memberikan dukungannya secara
optimal demi terpenuhinya seluruh tuntutan yang ada.
Kami sampaikan terima kasih kepada Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, karena
dengan diterbitkannya buku ini akan menjadi salah satu referensi bagi kami dalam pelaksanaan
tugas-tugas Sekretariat Jenderal DPR RI, sehingga diharapkan dapat tercipta optimalisasi
pelaksanaan tugas-tugas Sekretariat Jenderal DPR RI dalam mendukung keberhasilan
pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan.
Buku Peningkatan Kinerja ini berisi deskripsi lengkap sekaligus evaluasi mengenai
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas Dewan dan
Sekretariat Jenderal selain itu memuat berbagai masukan dan rekomendasi yang
aplikatif,sehingga amat berarti bagi pemberdayaan dan Peningkatan Kinerja DPR RI serta
Sekretariat Jenderal Dengan demikian diharapkan dapat memberikan solusi atas tantangan
yang dihadapi DPR RI dan Sekretariat Jenderal DPR RI di era reformasi dan globalisasi ini.
Atas upaya ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kerja keras dari Tim
Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI. Semoga pemikiran serta ide-ide dari Tim yang tertuang
dalam buku ini tidak hanya bermanfaat bagi peningkatan kapasitas DPR RI dan Sekretariat
Jenderal DPR RI, namun juga bagi lembaga lain serta masyarakat pada umumnya, melalui
tatanan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi terwujudnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang kita harapkan dan cita – citakan
Akhirnya, sebagai sebuah karya yang baru dilaksanakan, Sekretariat Jenderal sebagai
unsur pendukung membuka diri untuk membantu Dewan dalam menerima berbagai saran,
masukan, dan harapan yang ingin disampaikan, sehingga akan merupakan koreksi yang
konstruktif bagi peningkatan kinerja DPR dan Sekretariat Jenderal pada masa yang akan
datang.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Desember 2006
Sekretaris Jenderal,
ttd
Faisal Djamal, SH.,MSi.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
EXECUTIVE SUMMARY
Amandemen Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia 1945 telah
menempatkan DPR-RI pada posisi strategis dan penting dalam tatanan kehidupan kenegaraan,
yaitu melalui kedudukan yang memiliki kewenangan penuh dalam pembentukan undangundang, fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah
Iainnya oleh eksekutif, serta dalam fungsi penetapan anggaran negara.
Dengan demikian dalam melakukan fungsi legislasi, fungsi pengawasan
dan fungsi anggaran, DPR-RI yang jauh Iebih kuat dibandingkan dengan era
sebelumnya. Perubahan tersebut membawa konsekuensi, bahwa tuntutan
masyarakat terhadap kinerja Dewan semakin meningkat. Namun, dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya, DPR-RI belum didukung oleh sumber daya
manusia, sarana, dan prasarana yang memadai sehingga pelaksanaan ketiga
fungsi DPR RI (Iegislasi, anggaran, dan pengawasan) belum optimal, seperti
yang diharapkan.
Di bidang legislasi, pembentukan undang-undang belum dapat memenuhi jumlah yang
ditentukan dalam prioritas tahunan dan beberapa undang-undang yang dihasilkan belum
memberi manfaat Iangsung terhadap kehidupan masyarakat. Selain itu, masyarakat menilai
bahwa proses pembahasan rancangan undang-undang kurang transparan. Ketiga
permasalahan tersebut menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR di
bidang legislasi.
Di bidang anggaran, masyarakat menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara belum
menjawab kebutuhan masyarakat. Dalam hal alokasi anggaran belanja negara, masyarakat
menginginkan agar perencanaan anggaran dilakukan dengan cost efectiveness serta tepat
sasaran bagi kepentingan masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua
harapan masyarakat tersebut dapat terwujud.
Pada bidang pengawasan terdapat beberapa permasalahan, antara lain rendahnya efektivitas
pengawasan melalui rapat komisi dan slat kelengkapan Dewan Iainnya, kunjungan. kerja
Anggota DPR RI dalam menyerap aspirasi masyarakat (konstituen) yang sering tidak
ditindaklanjuti sebagaimana mestinya oleh Pemerintah. Oleh sebab itu, masyarakat menilai
bahwa DPR-RI belum efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta dalam
menciptakan check and balances.
Sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan citra Dewan perlu dilakukan upaya-upaya
strategis bagi peningkatan kinerja Dewan. Dengan kinerja yang optimal, Dewan akan
mendapatkan legitimasi yang semakin kuat dari masyarakat dan konstituen. Dengan
parlemen yang kuat secara fungsional, diharapkan dapat dibangun sistem check and
balances yang berkualitas antara Dewan dan Pemerintah.
Sejauh ini DPR RI telah melakukan perubahan dan penyempurnaan Peraturan Tata
Tertib Dewan guna meningkatkan kinerjanya. Namun, penyempurnaan Peraturan Tata Tertib
tersebut belum dapat menjamin perbaikan kinerja Dewan. Oleh karena itu, DPR-RI telah
membentuk Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI
(bidang Korkesra) dan dibantu oleh 4 (empat) orang Wakil Ketua yang berasal dari dan dipilih
oleh anggota Tim. Tim ini beranggotakan 20 orang Anggota Dewan yang terdiri dari 10 Fraksi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim didukung oleh sebuah sekretariat yang keanggotaannya
ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal.
Pembentukan Tim ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang menghambat
kinerja Dewan, mengidentifikasi unsur-unsur penyebab timbulnya masalah-masalah, mengkaji
alternatif-alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan, mengkaji dan menganalisa berbagai
masukan yang terkait dengan upaya peningkatan kinerja Dewan, dan merumuskan
rekomendasi dan Iangkah-Iangkah perbaikan guna peningkatan kinerja Dewan.
Selama kurang lebih 8 (delapan) bulan Tim bekerja telah teridentifikasi sejumlah
permasalahan yang diperoleh dari berbagai sumber, baik dari kalangan Pemerintah maupun
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
lembaga non pemerintah dalam dan luar negeri, serta para pakar pemerhati masalah-masalah
keparlemenan.
Untuk mempermudah analisa, maka hasil Identifikasi tersebut dikelompokkan kedalam
masing-masing fungsi Kedewanan yaitu; Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran dan fungsi
pengawasan serta pembahasan mengenai sistem pendukung yang terdiri dari; Sekretariat
Jenderal DPR RI, Penyerapan aspirasi rakyat, komunikasi publik, dan manajemen
kerumahtanggaan DPR-Rl.
Hasil yang teridentifikasi mulai dari permasalahan, penyebab masalah, solusi dan
rekomendasi masing-masing sebagai berikut; Dalam permasalahan diperoleh kesimpulan
bahwa; Masih banyak produk Undang-undang yang dihasilkan oleh DPR-Rl belum memberikan
manfaat Iangsung terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena partisipasi publik
dalam proses penyusunan Undang-undang masih minim, sehingga perumusan mated undangundang seringkali tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat. DPR jugs belum
mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mendukung pelaksanaan tugas ini.
Oleh karena itu solusi yang disampaikan adalah perlunya meningkatkan sosialisasi
tentang mekanisme dan prosedur serta proses penyusunan Undang-undang, sehingga
masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk akses dan memberikan masukan kepada
DPR-RI sebagaimana yang diharapkan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD
1945) telah menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada kedudukan yang strategis
dalam hal pembentukan undangundang, pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran.
Dalam pembentukan undang-undang, DPR menjadi lembaga yang paling dominan. Pasal 20
ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang". Kemudian dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, Presiden
perlu memperhatikan pertimbangan DPR dalam hal mengangkat duta dan menerima
penempatan duta negara lain (Pasal 13 ayat (2) dan (3)). Dengan demikian kekuasaan DPR
jauh lebih kuat dibandingkan dengan era sebelumnya.
Perubahan tersebut membawa konsekuensi, bahwa tuntutan masyarakat terhadap
kinerja Dewan juga semakin meningkat. Namun, setelah delapan tahun pasca reformasi
masyarakat menilai DPR RI belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal seperti yang
diharapkan. Hal ini tergambar dari berbagai hasil survei atau jajak pendapat yang dilakukan,
baik oleh media massa maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Secara umum dikatakan
bahwa kinerja DPR RI buruk dan menyebabkan citra DPR belum baik sebagaimana mestinya.
Perubahan UUD 1945:telah memberikan penguatan terhadap DPR di bidang, legislasi
pengawasan dan anggaran, namun hasil penelitian dan pendapat masyarakat
menyatakan bahwa kinerja DPR belum optimal.
Di bidang legislasi, pencapaian hasil UU belum mampu memenuhi jumlah yang
ditentukan sebelumnya dalam prioritas tahunan. Selama satu tahun pertama perjalanan DPR
periode 2004-2009, DPR hanya menghasilkan 14 UU dari 55 RUU yang telah ditetapkan dalam
prioritas tahunan dalam Program Legialsi Nasional (Prolegnas). Selain itu, beberapa produk UU
yang dihasilkan dinilai belum aplikatif, serta belum secara signifikan berpihak pada kelompok
rentan dalam masyarakat. Sebagian besar UU yang dihasilkan adalah UU perubahan dan
pembentukan pengadilan sebagai konsekwensi dari adanya pemekaran wilayah. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Dewan di bidang legislasi.
Di bidang anggaran, dalam beberapa perspektif yang menyangkut alokasi belanja
negara, ada harapan dari masyarakat agar perencanaan anggaran dilakukan dengan cost
effectiveness, serta tepat sasaran bagi kepentingan masyarakat. Namun, dalam
pelaksanaannya tidak semua harapan masyarakat tersebut dapat diwujudkan oleh Dewan, dan
dinilai yang terjadi justru sebaliknya yaitu kebijakan yang menambah beban pengeluaran
keuangan rakyat.
Dalam hal pengawasan, Dewan kerapkali hanya mengikuti angin politik yang
berkembang, dimana kepentingan low politics sering mengalahkan high politics, sehingga
pengawasan yang dilakukan oleh Dewan kurang efektif dan hanya dianggap menghambat
kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah. Bagi masyarakat, pengawasan yang dilakukan
Dewan dianggap lamban, tidak sungguh-sungguh dan kurang responsif terhadap permasalahan
yang berkembang, sehingga masyarakat merasa kurang mendapat empati dan keberpihakan
dari Dewan.
Di bidang legislasi DPR tidak dapat memenuhi target Prolegnas, di bidang pengawasan,
pengawasan yang dilakukan kepada Pemerintah kurang efektif. Sementara dibidang
anggaran-kurang memenuhi harapan masyarakat.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Oleh karena itu, untuk memperbaiki dan meningkatkan citra Dewan perlu dilakukan upayaupaya strategis bagi peningkatan kinerja Dewan. Kinerja dalam arti pencapaian hasil dapat
dinilai menurut pelaku, yaitu hasil yang diraih oleh individu (kinerja individu Anggota Dewan),
kelompok (kinerja kelompok Alat Kelengkapan Dewan), institusi (kinerja organisasi Dewan) dan
kinerja program atau kebijakan. Kinerja Dewan dapat dimaknai juga sebagai unjuk kerja
Anggota yang dapat diamati dari sisi kedisiplinan dalam bekerja, ketepatan dalam bekerja,
kerjasama dalam mencapai produktifitas kerja yang optimal. Dengan kinerja yang optimal,
Dewan akan mendapatkan legitimasi yang semakin kuat dari masyarakat dan konstituen.
Dengan parlemen yang kuat secara fungsional maka diharapkan dapat dibangun sistem check
and balance yang berkualitas antara Dewan dan Pemerintah.
Sejauh ini memang telah dilakukan perubahan dan penyempurnaan Peraturan Tata
Tertib DPR RI guna meningkatkan kinerja Dewan. Akan tetapi, ternyata penyempurnaan
Peraturan Tata Tertib DPR RI tersebut belum dapat sepenuhnya memperbaiki kinerja Dewan.
Kekecewaan, kritik, serta tanggapan negatif masyarakat terhadap DPR perlu dijadikan
bahan bagi perbaikan kinerja Dewan. Oleh karena itu, Dewan merasa perlu untuk membentuk
Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan. Pembentukan Tim ini didasari pada :
1
Rapat Bamus DPR RI tanggal 1 Desember 2005, digagas pembentukan tim DPR RI yang
tugasnya antara lain untuk pemetaan dan pembenahan masalah-masalah kedewanan.
Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI dengan Pimpinan Fraksi-fraksi sebagai pengganti
Bamus tanggal 22 Desember 2005, disepakati dibentuk sebuah tim pemetaan
permasalahan dalam pelaksanaan tugas Dewan.
Rapat Pimpinan DPR RI tanggal 14 Pebruari 2006, diputuskan pembentukan tim yang
diberi nama Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, yang dipimpin oleh Wakil Ketua
DPR RI KORKESRA, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Peraturan Tata Tertib DPR.
Rapat Paripurna Tanggal 21 Pebruari 2006 telah mengumumkan pembentukan dan
nama-nama Anggota "TIM KAJIAN PENINGKATAN KINERJA DPR RI", yang telah
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 12 /PIMP/III/20052006 tanggal 16 Pebruari 2006.
2
3
4
B.
Maksud dan Tujuan
Pembentukan Tim dimaksudkan untuk dapat melakukan pemetaan terhadap
permasalahan yang dihadapi DPR RI yang diidentifikasi menjadi hambatan dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya, serta mencari penyebab terjadinya masalah tersebut. Hasil pemetaan
kemudian dianalisis untuk dapat menghasilkan solusi dan rekomendasi.
Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi
mengenai berbagai Iangkah yang perlu dilakukan guna memperbaiki kinerja Dewan dalam
menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran, serta dapat memenuhi tuntutan dan
harapan masyarakat. Dengan demikian diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada DPR RI.
Untuk meningkatkan Kinerja Dewan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, DPR
membentuk Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan.
C.
Metode Penulisan
Kajian terhadap kinerja DPR RI dilaksanakan melalui:
a
Pengidentifikasian Masalah dan Penyebab Masalah
Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan memulai tugasnya dengan mengidentifikasi
masalah dan penyebabnya yang diduga menjadi hambatan dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi Dewan. Identifikasi masalah dan penyebabnya didapat dari
berbagai hasil penelitian yang fokus menyoroti kinerja Dewan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
b
c
Pengumpulan Data dan Informasi
Berdasarkan hasil identifikasi dan penyebab masalah, Tim mengundang berbagai
pihak, baik intern DPR RI maupun ekstern DPR RI. Dari intern DPR RI, Tim
mengundang Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan dan Fraksi-fraksi, serta
Sekretaris Jenderal DPR RI dan beberapa pejabat pada bagian dalam Setjen DPR
RI. Sedangkan dari ekstern DPR RI, Tim mengundang berbagai pihak, seperti LSM
pemerhati DPR RI (termasuk LSM dari pihak asing yang berada di Jakarta),
pimpinan media massa dan para wartawan koordinatoriat DPR RI, serta
mengundang pimpinan lembaga-lembaga Pemerintah, seperti LAN, LIPI, BPK,
Bappenas, dan Lemhannas. Tidak hanya itu, Tim juga mengunjungi kantor redaksi
surat kabar harian Kompas di Jakarta dan Jawa Pos di Surabaya. Tim juga
melakukan study visit ke Parlemen Kanada dan Parlemen Australia untuk
menambah dan mendukung data dan informasi yang telah dikumpulkan.
Berbagai pihak tersebut memberikan masukan terhadap berbagai permasalahan
yang diidentifikasi oleh Tim dan permasalahan lain yang berkaitan dengan DPR RI
pada umumnya. Dari berbagai masukan yang dikumpulkan, Tim menganalisis dan
mengkiasifikasi sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Perumusan Solusi dan Rekomendasi
Berdasarkan data tersebut, Tim mengolah, menganalisis, dan merumuskan
alternatif solusi dan rekomendasi, kemudian menuangkannya dalam sebuah buku
laporan hasil kerja Tim.
D.
Sistematika Penulisan
Buku laporan ini terdiri dari lima bab, yaitu Bab I Pendahuluan berisi latar belakang
masalah, maksud dan tujuan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Dalam Bab II
dimuat Kinerja Dewan dalam Kerangka Konseptual. Bab ini menjabarkan konsep dan peraturan
perundang-undangan mengenai tugas dan fungsi DPR RI, serta sistem pendukung terhadap
Kinerja Dewan.
Selanjutnya, Bab III tentang Pelaksanaan dan Permasalahan dalam Kinerja DPR RI. Bab
ini menggambarkan kinerja DPR RI dalam melaksanakan tiga fungsinya dan sistem pendukung
kinerja DPR RI tersebut. Sedangkan Bab IV memuat Solusi dan Rekomendasi. Bab ini berisi
alternatif solusi dan rekomendasi terhadap pelaksanaan dan permasalahan dalam kinerja DPR
RI. Terakhir, Bab V Penutup berisi kesimpulan dan saran.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
BAB II
KINERJA DEWAN DALAM KERANGKA KONSEPTUAL
A.
TUGAS DAN FUNGSI DPR
Untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Dewan dalam pelaksanaan fungsinya,
diperlukan adanya tolok ukur sebagai pedoman untuk menghubungkan antara tatanan ideal
yang diharapkan dengan apa yang terjadi di dalam praktek pelaksanaannya. Tolok ukur
tersebut dapat dituangkan dalam suatu kerangka konsepsional yang digunakan dalam kajian
ini. Konsep-konsep yang terkait dengan kinerja Dewan, antara lain konsep perwakilan, konsep
kinerja, fungsi-fungsi lembaga perwakilan, termasuk konsep sistem pendukung sebagai
penunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan (supporting system). Konsepkonsep tersebut
akan dijabarkan melalui pendekatan ilmiah dan pendekatan yuridis normatif.
Dasar negara Pancasila yang terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), antara lain menyatakan bahwa "...
kerakyatan yang dipimpin oleh hi km at kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Dasar ideologis tersebut cukup menjelaskan adanya prinsip perwakilan di dalam negara
Republik Indonesia. Setelah Perubahan UUD 1945, dikenal dua macam sistem perwakilan
(representation) di Indonesia yaitu, pertama perwakilan rakyat di DPR yang dipilih melalui
pemilu dengan peserta pemilu adalah partai politik, sehingga, perwakilannya disebut sebagai
perwakilan politik (political representation). Kedua, perwakilan yang mewakili daerah (provinsi)
yaitu DPD yang dipilih melalui pemilu dengan peserta pemilu perseorangan, sehingga
perwakilannya disebut perwakilan wilayah atau ruang (regional representation).
Ada beberapa teori dan pendapat pakar politik yang mengungkapkan keterkaitan antara
eksistensi Anggota DPR sebagai wakil rakyat dengan masyarakat luas sebagai terwakil. Gilbert
Abcarian membagi keberadaan wakil rakyat di parlemen ke dalam empat perspektif yaitu:
1
Wakil rakyat bertindak sebagai wali (trustee), disini si wakil bebas bertindak untuk
mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa berkonsultasi dengan
yang diwakilinya;
2
Wakil rakyat bertindak sebagai utusan (delegate), disini si wakil bertindak sebagai utusan
atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang
diwakilinya;
3
Wakil rakyat bertindak sebagai politico, disini si wakil kadang bertindak sebagai wali dan
ada kalanya bertindak sebagai utusan yang tergantung isu; dan
4
Wakil rakyat bertindak sebagai partisan, disini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan
atau program dari partai si wakil. Setelah si wakil terpilih maka lepaslah hubungannya
dengan pemilih/masyarakat dan mulailah hubungannya dengan partai yang
mencalonkannya dalam pemilu tersebut.
Selanjutnya terdapat beberapa teori yang menyangkut hubungan si wakil dengan yang
diwakilinya yang antara lain dikemukan oleh Bintan Saragih (1987: 82-86). Teori pertama
adalah teori mandat di mana si wakil yang duduk di lembaga perwakilan karena mandat dari
rakyat sehingga disebut mandataris. Kedua adalah teori organ yang menyatakan bahwa
negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya seperti
eksekutif, parlemen dan mempunyai rakyat yang kesemuanya mempunyai fungsi masingmasing dan saling tergantung satu sama lain. Setelah rakyat memilih wakilnya, tidak perlu lagi
mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas melakukan fungsinya menurut
UUD. Teori ketiga adalah teori sosiologi Rieker yang menganggap bahwa lembaga
perwakilan bukan merupakan bangunan politis tetapi merupakan bangunan masyarakat
(sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang
kenegaraan dan yang akan benar-benar membela kepentingan si pemilih sehingga terbentuk
lembaga perwakilan. Teori keempat adalah teori hukum obyektif dari Duguit yang
menyatakan bahwa dasarnya pada hubungan antara rakyat dan parlemen adalah solidaritas.
Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sedangkan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya
dalam menentukan wewenang pemerintah. Jadi ada pembagian kerja.
Dari-sekian banyak teori tentang.hubungan si wakil dan terwakil atau antara
Anggota DPR dengan pemilih/konstituen (rakyat), terdapat satu hal pokok yaitu
bahwa Anggota DPR bertindak mewakili dan mengikuti atau mewujudkan aspirasi
masyarakat dalam sebuah lembaga perwakilan yang merupakan bangunan
masyarakat yang memiliki keahlian dalam menjalankan tugas, fungsi dari-wewenang
tertentu sebagaimana layaknya tugas pokok lembaga perwakilan di dalam bangunan
negara demokrasi.
Berdasarkan teori tentang hubungan si wakil dan terwakil atau antara Anggota DPR
dengan pemilih/konstituen (rakyat), terdapat satu hal pokok yaitu bahwa Anggota DPR
bertindak mewakili dan mengikuti atau mewujudkan aspirasi masyarakat dalam sebuah
lembaga perwakilan yang merupakan bangunan masyarakat yang memiliki keahlian dalam
menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang tertentu sebagaimana Iayaknya tugas pokok
lembaga perwakilan di dalam bangunan negara demokrasi.
Selanjutnya perlu dikemukakan konsep kinerja. Istilah "kinerja" merupakan terjemahan
dari performance yang sering diartikan sebagai "penampilan" atau "prestasi kerja." Dalam
kamus Illustrated Oxford Dictionary, istilah ini menunjukkan "the execution or fulfilment of a
duty" (pelaksanaan atau pencapaian dari suatu tugas).
Permasalahan sistem penilaian kinerja diartikan Schuler sebagaimana dikutip oleh Y.
Keban (2004:192) sebagai suatu proses penilaian kinerja. Dalam pandangannya proses
penilaian kinerja dapat menggunakan (1) pendekatan komparatif, (2) standar-standar absolut,
(3) pendekatan tujuan, dan (4) indeks yang bersifat Iangsung atau objektif. Penilaian kinerja
seperti inilah yang selalu dijadikan alasan masyarakat dalam menilai kinerja Dewan terutama
dalam menjalankan ketiga fungsi yang dimilikinya, termasuk juga memperjuangkan dan atau
menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Pengukuran kinerja telah dikembangkan dalam dua pendekatan utama yaitu pendekatan
yang menilai perilaku/pendekatan perilaku (quality of task-oriented bahavior) dan pendekatan
yang menilai hasil dan manfaat yang diberikan/pendekatan hasil (result-oriented criteria).
Keduanya sama-sama penting dalam rangka pengembangan organisasi dalam jangka panjang.
Pendekatan perilaku mempelajari perilaku yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi
DPR Sedangkan pendekatan hasil mempelajari apakah hasil yang diperoleh telah sesuai
dengan tuntutan atau distribusi secara adil kepada mereka yang membutuhkan. Apakah kinerja
DPR telah dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Berdasarkan pemaparan mengenai proses penilaian kinerja ini dapat
diketahui benang merah perbedaan pendapat selama ini antara Anggota DPR
dengan masyarakat dalam kaitannya dengan penilaian kinerja Dewan. Dewan
melakukan proses penilaian kinerja yang menekankan pada quality of task-oriented
bahavior. Sedangkan masyarakat menilai kinerja melalui pendekatan hasil yang
menekankan result-oriented criteria. Setiap Anggota dewan telah melakukan, tugas
dan fungsinya secara optimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian masyarakat tetap menganggap hasil dari pelaksanaan, tugas dan
fungsi Dewan belum dapat memenuhi keinginan,dan harapannya.
Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20A ayat (1) adalah fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketentuan di dalam UUD 1945 tersebut kemudian
dijabarkan ke dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Berdasarkan penjelasan Pasal 25 undang-undang tersebut, yang dimaksud
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
dengan fungsi legislasi adalah fungsi
Presiden untuk mendapat persetujuan
menyusun dan menetapkan anggaran
dengan memperhatikan pertimbangan
pengawasan adalah fungsi melakukan
Dasar Negara Republik Indonesia
pelaksanaannya.
membentuk undang-undang yang dibahas dengan
bersama. Pengertian fungsi anggaran adalah fungsi
pendapatan dan belanja negara bersama Presiden
DPD. Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi
pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang
Tahun 1945, undang-undang, dan peraturan
1
Fungsi Legislasi
Di dalam fungsi pembentukan undang-undang atau fungsi legislasi, parlemen berfungsi
membuat undang-undang yang mengatur warga negara baik di bidang politik, kesejahteraan
maupun hal lain. Oleh karena itu, parlemen sering disebut sebagai badan legislatif atau badan
pembuat undang-undang.
Dasar hukum atas pelaksanaan fungsi legislasi DPR, diatur dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 2003, dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dasar yuridis tersebut mengatur ketentuan
formal dan material pembentukan undang-undang. Ketentuan formal yang dimaksud
menyangkut lembaga dan proses pembentukannya, sedangkan ketentuan material mengatur
mengenai hal-hal apa yang diatur di dalam undang-undang atau dapat disebut sebagai materi
muatan undang-undang.
Pasal 20 UUD 1945 menyebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU.
Sementara Pasal 5 menyebutkan Presiden berhak mengajukan RUU. Setiap RUU dibahas oleh
DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU itu tidak mendapat
persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Kewajiban bagi Presiden yaitu mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi
UU. Sedangkan dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari kerja semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan.
Ketentuan di dalam UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan di dalam undang-undang.
Paling tidak terdapat dua undang-undang yang terkait dengan fungsi legislasi tersebut, yaitu UU
No. 22 Tahun 2003 dan UU No. 10 Tahun 2004. Selanjutnya undang-undang tersebut
dijabarkan secara lebih detail dalam Peraturan Tata Tertib yang membahas tentang kekuasaan
membentuk UU.
Secara keseluruhan, pembentukan Undang-undang dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan,
dan penyebarluasan.
Perencanaan
Program legislasi nasional merupakan bagian dari perencanaan penyusunan undangundang. Hal ini merupakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undnagan yang menyebutkan bahwa perencanaan
penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. Pada
ketentuan umum Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Program legislasi nasional adalah
instrumen perencanaan program pembentukan Undang-undang yang disusun secara
berencana, terpadu, dan sistematis. Di dalam penjelasan Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004
disebutkan bahwa agar pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan
secara berencana maka pembentukan undang-undang perlu dilakukan berdasarkan Program
Legislasi nasional. Dalam Prolegnas tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka Prolegnas
memuat program legislasi jangka panjang, menengah, dan tahunan. Prolegnas hanya memuat
program penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Dalam penyususnan
program tersebut perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
undang-undang Iainnya. Oleh karena itu penyusunan Prolegnas disusun secara terkoordinasi,
terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh DPR dan Pemerintah.
Pembentukan Undang-undang melalui fungsi legislasi DPR merupakan bagian dari
pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum. Manfaat dari program legislasi
nasional bagi pelaksanaan fungsi legislasi DPR adalah menjamin agar pembangunan materi
hukum dilaksanakan secara terarah, menyeluruh, dan terpadu. Oleh karena itu, penyusunan
program legislasi nasional didasarkan pada visi dan misi pembangunan hukum nasional. Visi
dan misi pembangunan hukum nasional menjiwai materi hukum yang akan dibentuk. Dengan
demikian, program legislasi nasional tidak sekedar daftar keinginan saja, melainkan daftar yang
dilandasi kebutuhan serta visi pembangunan hukum nasional.
Program legislasi nasional pada dasarnya hasil dari rumusan atau kesepakatan bersama
antara Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, sebelum melahirkan satu program legislasi
nasional, DPR dan Pemerintah masing-masing menyusun program legislasi nasional.
Berdasarkan Pasal 16 UU No. 10 tahun 2004, Penyusunan Program Legislasi Nasional di
Iingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi (Badan Legislasi DPR RI). Sedangkan penyusunan program
legislasi nasional di Iingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan (Menteri Hukum dan
HAM). Koordinasi penyusunan program legislasi nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi DPR RI.
Penyusunan program legislasi nasional merupakan salah satu tugas dari Badan Legislasi
DPR RI. Tugas tersebut dirumuskan dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a Peraturan Tata tertib DPR
dengan kalimat sebagai berikut: " menyusun program legislasi nasional yang memuat daftar
urutan RUU untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap Tahun Anggaran, yang
selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan Keputusan DPR".
Penyusunan program serta urutan prioritas tersebut dilaksanakan melalui beberapa tahap,
yaitu:
1)
Menginventarisasi masukan dari anggota Fraksi, Komisi, DPD, dan masyarakat
untuk ditetapkan menjadi keputusan Badan Legislasi:
2)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada angka (1) merupakan bahan konsultasi
dengan Pemerintah:
3)
Hasil konsultasi dengan Pemerintah dilaporkan kepada Rapat Paripurna untuk
ditetapkan.
Penyusunan program dan urutan prioritas disertai pula dengan evaluasi. Oleh karena itu,
Badan Legislasi diberikan wewenang pula untuk melakukan evaluasi terhadap program dan
urutan prioritas RUU.
Penyusunan dan Pengajuan
Pasal 21 UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPR berhak mengajukan usul
Rancangan undang-undang. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Selanjutnya Pasal 22D ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat, dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
Berdasarkan Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2004, RUU yang diajukan tersebut disusun
berdasarkan Prolegnas. Namun hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan RUU di luar
Prolegnas.
Mengingat kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, maka sudah selayaknya DPR lebih pro aktif
dalam penyusunan RUU. Hal ini mengingat bahwa seringkali untuk mengukur kinerja DPR
dalam fungsi legislasi, dilakukan dengan menghitung berapa jumlah UU yang berasal dari DPR,
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
kemudian dibandingkan dengan UU yang berasal dari Pemerintah. Pasal 121 ayat (5) peraturan
Tata tertib DPR menyebutkan bahwa setiap pengajuan RUU disertakan penjelasan, keterangan
pengusul, dan/atau naskah akademis.
Pembahasan
Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus.
Pembahasan Rancangan UndangUndang di DPR dilakukan melalui dua tingkat Pembicaraan.
Tingkat I dilakukan dalam Rapat Komisi/Rapat Badan Legislasi/Rapat Panitia Khusus bersamasama Pemerintah.
Pembicaraan Tingkat I meliputi:
a
Pandangan dan pendapat Fraksi terhadap RUU dari Pemerintah; atau Pandangan dan
pendapat Fraksi-Fraksi dan DPD terhadap RUU dari Pemerintah untuk RUU-RUU
tertentu: atau
Pandangan dan pendapat Pemerintah terhadap RUU dari DPR, atau Pandangan dan
Pendapat Pemerintah dan DPD terhadap RUU dari DPR untuk RUU tertentu,
b
Tanggapan Pemerintah atas pandangan dan Pendapat Fraksi-Fraksi atau tanggapan
pemerintah atas pandangan dan Pendapat fraksifraksi dan DPD untuk RUU tertentu;
atau
Tanggapan Pimpinan Komisi/Badan Legislasi/Panitia Khusus atas pandangan dan
pendapat Pemerintah atau Tanggapan Pimpinan Komisi/Badan Legislasi/Panitia Khusus
atas pandangan dan pendapat Pemerintah dan DPD untuk RUU tertentu;
c
Pembahasan RUU berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah. (Pembahasan Iebih
mendetail, pasal demi pasal bahkan menyangkut tata bahasa)
Dalam pembicaraan Tingkat I ini DPR dapat mengadakan rapat intern dan rapat dengar
pendapat dengan masyarakat untuk mencari masukan atau menangkap aspirasi dari
masyarakat. Pada tingkat ini, kegiatan RDPU dalam rangka menangkap aspirasi masyarakat
menjadi faktor penting dalam ukuran kinerja DPR, karena seringkali masyarakat menilai apakah
UU tersebut aspiratif atau tidak, memenuhi kebutuhan masyarakat atau tidak, serta bagaimana
DPR menyikapi dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut.
Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam Rapat Paripurna. Pembicaraan
Tingkat II meliputi:
a
penyampaian laporan hasil pembicaraan Tingkat I;
b
Pendapat akhir Fraksi-Fraksi dan Pendapat akhir Pemerintah.
c
Pengambilan Keputusan.
Proses Pengesahan dan Pengundangan
RUU yang sudah disetujui bersama disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden
untuk ditandatangani dan disahkan. Apabila dalam jangka waktu 15 hari kerja, RUU tersebut
belum disahkan, maka Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden untuk meminta
penjelasan. Apabila tidak juga disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak
RUU disetujui, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang. Menteri Hukum dan HAM
mengundangkan dengan menempatkan-nya dalam Lembaran Negara.
Proses Sosialisasi dan Evaluasi
Sosialisasi undang-undang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun DPR. DPR dapat
melakukan sosialisasi atau pemantauan terhadap undang-undang pada masa reses (masa
DPR tidak bersidang). Apabila ditemui suatu UU tidak dapat berlaku efektif atau mengalami
hambatan dalam penerapannya, maka DPR dapat mengajukan usulan untuk melakukan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
perubahan terhadap Undang-Undang tersebut. Apabila suatu Undang-Undang tidak dapat
berlaku efektif, karena peraturan pelaksanaannya belum Iengkap, maka, DPR dapat
mengingatkan Pemerintah untuk segera melengkapi Peraturan Pelaksanaannya.
Secara yuridis, undang-undang dapat dikatakan berkualitas apabila
memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang
pembentukan Peraturan Perundang-undangan baik secara formil maupun materiil.
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang
meliputi :
a
kejelasan tujuan;
b
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d
dapat dilaksanakan;
e
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f
kejelasan rumusan; dan
g
keterbukaan
Kemudian, materi muatan peraturan perundang-undangan harus mengandung asas
pengayoman;
kemanusiaan;
kebangsaan;
kekeluargaan;
kenusantaraan;
bhinneka tunggal ika;
keadilan;
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain
sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sementara
apabila dilihat dari proses, maka pembentukan undang-undang merupakan proses pembuatan
undang-undang yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Di dalam proses
pembentukan undang-undang ini ada satu tahapan yang penting yaitu partisipasi masyarakat.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
2
Fungsi Anggaran
Pelaksanaan fungsi anggaran DPR dijabarkan dalam Undang-Undang tentang Keuangan
Negara dan secara lebih detail diatur Peraturan Tata Tertib seperti yang terlihat dalam uraian
Pasal 144 Peraturan Tata Tertib. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibidang
anggaran, DPR mengadakan kegiatan sebagai Pembicaraan Pendahuluan dengan Pemerintah
dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Selanjutnya pembahasan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang didahului dengan penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara beserta Nota Keuangannya oleh Presiden. Hal-hal yang
terkait dengan materi pembahasan yaitu
1
Laporan Realisasi Semester I dan prognosis enam bulan berikutnya
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
2
Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan perkembangan
dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi
•
perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
•
perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
•
keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; dan/atau
•
keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Selain itu DPR juga mengadakan kegiatan pembahasan dan penetapan Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, serta pembahasan dan penetapan Rancangan Undang-Undang tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Selanjutnya di dalam Pasal 145 disebutkan penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara adalah berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah
dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Sedangkan Rancangan Rencana
Kerja Pemerintah tersebut disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama
dengan DPR. Selanjutnya Rencana Kerja Pemerintah yang telah dibahas dan disepakati
bersama dengan DPR, menjadi pedoman bagi penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, dan menjadi acuan kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Mengenai pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 146, maka dilakukan
selambat-Iambatnya pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
-
kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya dan pokokpokok kebijakan fiskal;
-
kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap Kementerian
Negara/ Lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Selanjutnya Komisi-komisi di DPR dengan Kementerian Negara/ Lembaga melakukan
Rapat Kerja dan/atau Rapat Dengar Pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran
Kementerian Negara/ Lembaga tersebut. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran yang
dilakukan Komisi-Komisi dengan Kementerian Negara/Lembaga, selanjutnya disampaikan
kepada Panitia Anggaran DPR RI.
Pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara disertai Nota Keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya disampaikan Presiden
kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Selanjutnya Fraksi diberikan kesempatan
untuk menyampaikan pemandangan umumnya, yang disampaikan dalam Rapat Paripurna,
dimana Pemandangan umum Fraksi disampaikan sebelum memasuki pembahasan
Pembicaraan Tingkat I (Pasal 147-148).
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR Terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta Nota Keuangannya. Adapun tata
cara penerimaan dan pembahasan pertimbangan DPD ini dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 139 Peraturan Tata Tertib DPR.
Selain merujuk dari ketentuan Tatib yang ada, Ketentuan tambahan yang berkaitan
dengan pembahasan dan penyelesaian RUU tentang APBN beserta Nota Keuangannya yaitu :
•
Rapat Kerja diadakan oleh Komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi
anggaran untuk program, proyek, dan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga;
dan
•
Rapat Kerja penyelesaian terakhir Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara diadakan oleh Panitia Anggaran dengan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pemerintah dan Bank Indonesia dengan memperhatikan pemandangan umum
Fraksi, jawaban Pemerintah, serta saran dan pendapat dari Badan Musyawarah,
Keputusan Rapat Kerja Komisi dan Pemerintah mengenai anggaran untuk
program, proyek, dan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga, serta ketentuan
Pasal 37 ayat (2) huruf f dan huruf g, mengenai penyerahan hasil pembahasan
Komisi kepada Panita Anggaran sebagai bahan akhir penetapan APBN.
Hal yang sangat urgen mendapatkan perhatian, dalam Pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta Nota
Keuangannya adalah UU tersebut harus selesai selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum
tanggal dimulainya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja. Namun apabila DPR tidak menyetujui Rancangan UndangUndang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran
sebelumnya.
Pembahasan yang dilakukan Panitia Anggaran DPR bersama Pemerintah dan BI pada
triwulan ketiga setiap Tahun Anggaran berisi tentang :
•
Laporan Realisasi Semester I Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
progonosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya yang disampaikan Pemerintah kepada
DPR selambat-lambatnya pada akhir bulan Juli tahun anggaran yang
bersangkutan; dan
•
penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan perkembangan
dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran yang bersangkutan,
apabila terjadi
a
perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b
perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c
keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran
antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja; atau
d
keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Pelaksanaan fungsi anggaran selain dari apa yang telah diatur di dalam Tatib DPR, jugs
berkaitan dengan diterimanya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UndangUndang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran berjalan
berdasarkan perubahan, yang diajukan Pemerintah kepada DPR. Adapun pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara harus diselesaikan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
DPR sebagaimana disebutkan dalam Pasal 153 juga menerima RUU yang disampaikan
Presiden mengenai Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan selambat-Iambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Adapun
Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi realisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang
dilampiri dengan Laporan Keuangan Perusahaan Negara dan Badan lainnya.
3
Fungsi Pengawasan
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang tidak dapat dipisahkan dari
fungsi-fungsi manajemen yang lain (ingat fungsi manajemen yang menurut George Terry, yaitu
perencanaan, organisasi, kegiatan dan pengawasan).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Fungsi pengawasan sebagaimana dijelaskan dalam Tatib DPR yaitu fungsi yang
dijalankan oleh parlemen untuk mengawasi eksekutif dalam menjalankan atau melaksanakan
undang-undang yang telah dibuat parlemen. Fungsi pengawasan DPR dapat dilakukan melalui
rapat-rapat dan jugs penggunaan hak-hak DPR dan hak-hak anggota secara perorangan.
Beberapa hak yang dimiliki DPR yaitu interpelasi, angket dan menyatakan pendapat.
Sedangkan hak yang dimiliki Anggota DPR yaitu mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokol dan
keuangan dan administratif. Termasuk dalam pelaksanaan fungsi pengawasan adalah
pemberian persetujuan, pertimbangan atau konfirmasi politik lainnya berkaitan dengan orang
atau terhadap hal-hal tertentu selain orang, seperti penetapan harga, tarif dan sebagainya.
4
Penyerapan Aspirasi dan Pengaduan Masyarakat
Pada Tata Tertib DPR Pasal 164 ayat (1) disebutkan, DPR menampung dan
menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat tentang suatu permasalahan yang berada
dalam ruang Iingkup tugas dan wewenang DPR. Teknik penyampaian aspirasi masyarakat itu,
sesuai ayat (2) disebutkan terdiri dari RDPU, kunjungan kerja dan DPR menerima penyampaian
aspirasi dan pengaduan masyarakat secara Iangsung (delegasi) dan/atau melalui surat.
Selanjutnya, masyarakat yang datang Iangsung ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya akan
diterima dan disalurkan oleh pihak Sekretariat Jenderal kepada Alat.-Alat Kelengkapan DPR
yang membidangi dan/atau Fraksi di DPR.
Setiap anggota Masyarakat baik perorangan/kelompok yang ingin menyampaikan
aspirasinya Iangsung kepada Anggota Dewan,atau kepada alat-alat kelengkapan Dewan wajib
Melakukan:
1
Pencatatan identitas di Bagian Humas
2
Membuat surat Permohonan Audiensi
3
Mengembalikan Kartu Identitas Tamu
4
Memperhatikan Jam Kerja di Lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI
Sedangkan tindaklanjut dari aspirasi masyarakat di DPR ini yaitu dijadikan bahan
masukan dalam mengadakan Raker, Konsulltasi dengan DPD, RDP, RDPU, Kunker, Studi
Banding, Rapat Gabungan, Rapat Panja, masukan dalam penyusunan dan pembahasan RUU,
serta pembahasan anggaran. Sedangkan Fraksi dapat mengambil Iangkah-Iangkah sesuai
dengan kebijkan masing-masing.
Aspirasi masyarakat merupakan sebuah input bagi berlangsungnya sistem politik.
Bekerjanya sistem politik adalah hasil dari adanya input berupa demand atau tuntutan.
Demand atau tuntutan menjadi input bagi sistem politik. Begitu seterusnya umpan balik
bagi munculnya aspirasi baru di masyarakat yang lainnya. Selanjutnya output itu sendiri
menjadi feedback atau menghasilkan output berupa undang-undang atau kebijakan
sistem politik.
Aspirasi masyarakat dalam sistem politik di tanah air merupakan stimulus bagi Anggota
Dewan untuk melakukan tindakan sebagai bentuk tanggapan (respons) atas aspirasi tersebut.
Dengan demikian, respons Anggota Dewan terhadap aspirasi masyarakat menjadi hal penting
bagi sebuah demokratis di mana ia (aspirasi) menjadi sumber bagi perumusan kebijakan oleh
para pengambil kebijakan (decision maker) khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat yang
notabene adalah tempat berkumpulnya para wakil rakyat.
5
Komunikasi Publik
Komunikasi publik merupakan bagian dari peran dan fungsi DPR yang harus
dilaksanakan. Hal ini mengingat konsep hubungan antara wakil dan yang.terwakili. Pembuatan
kebijakan yang dilakukan di DPR harus senantiasa dikomunikasikan dengan masyarakat. Hal
ini juga telah diamanatkan dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Perundang-undangan dan Peraturan Tata Tertib DPR dalam bab Partisipasi masyarakat,
bahwa dalam rangka penyiapan Rancangan Undang-Undang, masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan tertulis kepada DPR. Masukan secara tertulis tersebut disampaikan
kepada Pimpinan DPR dengan menyebutkan identitas yang jelas. Selanjutnya Pimpinan DPR
meneruskan masukan tadi kepada alat kelengkapan DPR yang menyiapkan Rancangan
Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari.
Dalam hal pemberian masukan dilakukan secara lisan, Pimpinan alat kelengkapan
menentukan waktu pertemuan dan jumlah orang yang diundang dalam pertemuan. Untuk itu
Pimpinan alat kelengkapan menyampaikan undangan kepada orang yang diundang tersebut.
Pertemuan ini dapat dilakukan dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat Umum, pertemuan
dengan Pimpinan alat kelengkapah, atau pertemuan dengan Pimpinan alat kelengkapan
didampingi oleh beberapa Anggota yang terlibat dalam penyiapan Rancangan Undang-Undang.
Hasil pertemuan ini dimaksud menjadi bahan masukan terhadap Rancangan Undang-undang
yang sedang dipersiapkan.
Selain dalam tahap penyiapan, partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan dalam
rangka pembahasan RUU. Dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang,
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis. Masukan secara tertulis ini
disampaikan kepada Pimpinan DPR dengan menyebutkan identitas yang jelas sebelum
pembicaraan Tingkat II. Selanjutnya Pimpinan DPR meneruskan masukan tersebut kepada alat
kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari.
Dalam hal pemberian masukan dilakukan secara lisan, Pimpinan alat kelengkapan
menentukan waktu pertemuan dan jumlah orang yang diundang dalam pertemuan. Pimpinan
alat kelengkapan menyampaikan undangan kepada orang yang diundang. Pertemuan dapat
dilakukan dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat Umum, pertemuan dengan Pimpinan alat
kelengkapan, atau pertemuan dengan pimpinan alat kelengkapan didampingi oleh beberapa
Anggota yang terlibat dalam penyiapan Rancangan Undang-Undang. Sedangkan masukan
yang disampaikan dalam bentuk tertulis ditujukan kepada alat kelengkapan yang bertugas
membahas Rancangan Undang-Undang dengan tembusan kepada Pimpinan DPR. Akhirnya
keduanya (masukan tertulis maupun lisan) digunakan menjadi bahan masukan terhadap
Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas bersama dengan Presiden.
Alat kelengkapan yang menyiapkan atau membahas Rancangan Undang-Undang juga
dapat melakukan kegiatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat. Kegiatannya dapat
berupa Rapat Dengar Pendapat Umum, seminar atau kegiatan sejenis, dan kunjungan.
Tentunya kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut, harus memperhatikan jadwal kegiatan
DPR dan anggaran yang disediakan. Namun demikian selain terhadap pelaksanaan fungsi
legislasi, Komunikasi Publik juga penting dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan.
Komunikasi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk kunjungan kerja komisi ke daerah dan
kunjungan perorangan ke daerah pemilihan.
Komunikasi politik dapat bersifat dua arah antara DPR dengan masyarakat, dan
juga dapat bersidat satu arah yaitu setiap masyarakt diberikan kesempatan untuk
menghadiri rapat-rapat yang diadakan di DPR. Melalui kegiatan ini diharapkan
masyarakat dapat mengetahui seluruh aktivitas Anggota Dewan dalam setiap rapat-rapat
di DPR. Aktivitas komunikasi politik seperti ini sangat berpengaruh terhadap upaya
optimalisasi pendidikan politik masyarakat.
Adapun syarat-syarat masyarakat menjadi peninjau dalam rapat-rapat di DPR yaitu
mengajukan surat Permohonan Izin Meninjau Persidangan dan Rapat-Rapat serta mentaati
segala ketentuan yang diatur dalam peraturan Tata Tertib DPR-RI; Bab XVI Pasal 119 ayat 1
s/d 6. Hal lain yang harus diperhatikan bagi masyarakat yang akan menjadi peninjau dalam
setiap rapat-rapat yaitu:
1
Tidak akan menyampaikan pendapat setuju atau tidak setuju serta pernyataan lain baik
dengan kata-kata atau dengan cara apapun.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
2
3
4
5
6
7
6
Tidak akan membawa spanduk,poster dan/atau tulisan lain dalam bentuk apapun ke
dalam ruang rapat.
Tidak akan membuat kegaduhan sehingga mengganggu jalannya rapat.
Tidak membawa senjata apapun (senjata api;senjata tajam)
Bersedia menempati tempat yang telah disediakan khusus untuk peninjau.
Setelah selesai menghadiri rapat, bersedia meninggalkan Gedung DPR-Rl.
Bila melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana pada point tersebut di atas, maka
delegasi akan dikeluarkan dari ruang persidangan dan rapat DPR-Rl.
Pendidikan Politik
Keberhasilan Dewan membangun komunikasi politik yang kondusif dan
bersifat dua arah dengan rakyat serta partisipasi aktif masyarakat dalam
menyampaikan aspirasinya kepada Anggota Dewan dapat dinilai sebagai
keberhasilan pendidikan politik masyarakat. Bahwa masyarakat secara tepat
menyalurkan aspirasinya adalah menerima dan memperjuangkan aspirasi
masyarakat.
Keberhasilan pendidikan politik masyarakat itu tidak terlepas dari sosialisasi politik yang
menurut Almond (1986:13) secara efektif dapat dilakukan oleh agen-agen sosialisasi politik
melalui jalur sekolah, keluarga, teman bermain dan media massa. Dari keempat agen
sosialisasi politik tersebut, berdasarkan kemampuan daya jangkau dan efek yang
dihasilkannya, media massa merupakan agen yang cukup efektif digunakan sebagai agen
sosialisasi politik. Melalui media massa pula masyarakat diajak mengikuti persoalan yang
menyangkut kepentingan umum dan menilai menurut kemampuan masing-masing. Dengan
demikian rakyat didik kearah kewarganegaraan yang sadar dan bertangungjawab serta
partisipasi politiknya dapat diberdayakan. Di pihak lain, bagi setiap Anggota Dewan terbuka
kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan
pandanganpandangan yang berkembang secara dinamis dalam rrrasyarakat. Dengan demikian
"gap" antara wakil dan terwakil dapat diperkecil. Dalam beberapa negara, peran edukatif Dewan
Iebih efektif daripada peranperan Iainnya.
Bagi masyarakat, muara dari berkembangnya pendidikan politik masyarakat adalah
terciptanya partisipasi politik masyarakat yang menurut Huntington bertujuan untuk
mempengaruhi penguasa baik dalam artian memperkuatnya, maupun dalam pengertian
menekannya sehingga memperhatikan atai memenuhi kepentingan pelaku partisipasi.
Sedangkan di Indonesia partisipasi politik ditujukan untuk memberikan dukungan kepada
penguasa dan pemerintah serta sistem politik yang disusunnya, menunjukkan kelemahan
penguasa dengan harapan supaya penguasa dapat memperbaiki kelemahan tersebut, dan
melakukan perubahan sistem politik.
B.
1
SISTEM PENDUKUNG
Sekretariat Jenderal
Pelaksanaan fungsi DPR tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya dukungan
dari berbagai pihak, khususnya Sekretariat Jenderal DPR RI. Undang-Undang No. 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPR, dibentuk Sekretariat Jenderal DPR. Undangundang juga mengamanatkan agar organisasi Sekretariat Jenderal DPR harus disusun sesuai
dengan perkembangan ketatanegaraan untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja
pelaksanaan fungsi DPR. Berdasarkan amanat Undang-Undang tersebut, dilakukan
penyempurnaan organisasi Sekretariat Jenderal DPR RI melalui Peraturan Presiden No. 23
Tahun 2005 tentang Sekretariat Jenderal DPR RI yang kemudian ditindaklanjuti dengan
Keputusan Sekretaris Jenderal DPR RI No. 400/Sekjen/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Jenderal DPR RI.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pada hakekatnya terdapat tiga unsur utama yang menentukan sistem pendukung yang
ideal, yaitu birokrasi yang ideal (efektivitas birokrasi), kualitas sumber daya manusia, dan
optimalisasi sistem informasi. Deskripsinya adalah sebagai berikut:
a
Efektivitas Birokrasi
Birokrasi menurut Achmat Batinggi (1999) merupakan tipe dari organisasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinir
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Ciri ideal dari birokrasi yaitu:
a
Adanya pembagian kerja yang jelas;
b
Adanya hierarki jabatan;
c
Adanya pengaturan sistem yang konsisten;
d
Prinsip formalistic impersonality,
e
Penempatan berdasarkan karier; dan
f
Prinsip rasionalitas (Max Weber dalam Batinggi, 1999).
Pada tataran implementasi, birokrasi yang ideal akan dapat terwujud manakala beberapa
prinsip dasar dari penyelenggaraan administrasi dan pemerintahan negara juga telah
diwujudkan. Salah satu prinsip dasar dari penyelenggaraan administrasi dan pemerintahan
negara adalah netralitas birokrasi. Birokrasi pemerintah harus bersikap netral baik dari sisi
politik maupun dari sisi administratif. Birokrasi yang menjadi alat kekuasaan politik akan menjadi
tidak netral dan memihak kepada kekuatan/aliran politik tertentu. Birokrasi pemerintah
diharapkan tidak akan memihak kepada kelompok tertentu dengan tujuan agar pelayanan yang
dilakukannya bisa diberikan pada semua pihak, tanpa membedakan aliran atau partai politik
tertentu.
Pada tataran konseptual, netralitas birokrasi mendapat penilaian kritis dari para pakar
ilmu administrasi maupun politik, seperti yang disorot oleh Woodrow Wilson tentang kenetralan
birokrasi. Menurutnya birokrasi berfungsi melaksanakan kebijakan politik, sehingga birokrasi itu
harus berada di luar kajian politik. Konsep dasar Wilson ini kemudian diikuti oleh sarjana politik
Frank Goodnow (1900) yang menyatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat
berbeda satu sama lainnya yaitu fungsi pokok politik dan administrasi. Fungsi politik berarti
birokrasi membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara fungsi administrasi berarti
birokrasi tinggal melaksanakan kebijakan tersebut.
Birokrasi yang "netral" dalam penyelenggaraan administrasi dan pemerintahan negara,
ternyata dalam praktiknya banyak menghadapi rintangan. Padahal di tengah rintangan itu,
masyarakat sangat merindukan pelayanan publik yang baik, dalam arti proporsional dengan
kepentingan, yaitu birokrasi yang berorientasi kepada penciptaan keseimbangan antara
kekuasaan (power) yang dimiliki dengan tanggung jawab (accountability) yang mesti diberikan
kepada pihak yang dilayani. Artinya, walaupun kita menyadari aktualisasi netralitas birokrasi
adalah merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan banyak kendala untuk mewujudkannya,
namun netralitas birokrasi tetap merupakan sebuah kosep ideal yang perlu terus
disempurnakan dan diseimbangkan antara kekuasaan yang dimiliki dengan tanggungjawabnya
kepada pihak yang dilayani.
Prinsip dasar kedua setelah netralitas birokrasi dari penyelenggaraan administrasi dan
pemerintahan negara, yaitu prinsip pertanggungjawaban (accountability). Dalam perspektif
teoritis, keberhasilan untuk mewujudkan ide demokratisasi salah satunya dinilai berdasarkan
penerapan prinsip akuntabilitas pada semua level aktivitas pemerintahan, termasuk juga
birokrasi pemerintahan. Dikotomi politikadministrasi dimaksudkan untuk dapat mewujudkan
asas tanggung-gugat (administrative accountability) dan menjadi prioritas utama untuk
direalisasikan.
Akuntabilitas menurut The Oxford Advance Leaner's Dictionary sebagaimana dikutip
Nasucha (2004:125) diartikan sebagai sesuatu yang diperlukan atau diharapkan untuk
memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Oleh karena itu akuntabilitas disebut
juga sebagai tanggungjawab yang bersifat objektif. Menurut Ellwood (1993) dalam bukunya
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Financial Accountability and Management Local Government Studies, sebagaimana dikutip
Nasucha, ada empat dimensi akuntabilitas publik yaitu:
a
Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum. Akuntabilitas kejujuran berkaitan
dengan penghindaran penyalahigunaan wewenang. Sedangkan akuntabilitas
hukum berkaitan dengan jaminan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain
yang dipersyaratkan dalam penggunaan sumber daya publik.
b
Akuntabilitas proses berkaitan dengan masalah prosedur yang digunakan dalam
tugas. Akuntabilitas proses berkaitan dengan metode dan prosedur operasi dari
suatu sistem yang mentransformasikan input menjadi output.
c
Akuntabilitas program-program berkaitan dengan masalah pencapaian tujuan
(efektivitas) dan mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil
optimal dengan biaya minimal.
d
Akuntabilitas kebijakan berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban
pemerintah kepada publik.
Penerapan prinsip akuntabilitas pada praktik penyelenggaraan birokrasi memiliki dua
dimensi yaitu pertama, berupa pemberian kewenangan kepada aparat birokrasi untuk
menjalankan kekuasaannya, dan kedua, berupa pemberian keleluasaan kepada masyarakat
untuk mengontrol kerja aparat birokrasi. Digunakannya kedua dimensi ini adalah merupakan
prasyarat bagi terciptanya hubungan timbal balik antara kekuasaan yang dimiliki dengan
tanggung-gugat yang hangs diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu konsep akuntabilitas
mengenal tiga aspek yang menonjol yakni (1) setiap pejabat pada masing-masing tingkat
manajerial harus memiliki tanggungjawab yang lebih besar; (2) setiap aparat birokrasi harus
punya sikap responsif terhadap segala permasalahan yang terjadi di masyarakat, khususnya
kelompok masyarakat yang membutuhkan pelayanan prioritas; (3) Dan setiap aparatur harus
punya komitmen yang besar pada nilai dan standar moralitas yang tinggi dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya dengan adanya kebijakan pemerintah melalui Inpres No.
7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, tentunya harus direspons oleh
semua pihak, karena kebijakan tersebut telah memberikan ruang publik yang positif, sehingga
bisa diketahui, seberapa besar tingkat capaian kinerja instansi publik termasuk di dalamnya
aparaturnya, serta seberapa besar tingkat partisipasi publik untuk memberikan feedback-nya
terhadap kondisi yang terjadi berupa daya respons yang cerdas agar terpelihara pelayanan
publik yang diharapkan dan optimal.
Melalui konsep tanggung gugat yang demikian, para pejabat pemegang kekuasaan (the
holders of power) hendaknya menyadari bahwa mereka pada dasarnya merupakan pelaksana
dari tugas-tugas yang diberikan atau dimandatkan oleh pihak-pihak yang secara politis dan
administratif memiliki kewenangan untuk mengontrol segala tindakannya, baik berdasarkan
kode etik, peraturan, arah kebijaksanaan, dan sebagainya. Asas akuntabilitas pada
keseluruhan kegiatan Sekretariat Jenderal DPR RI dapat dapat dibagi menjadi akuntabilitas
struktural dan akuntabilitas fungsional. Pertanggungjawaban struktural dilakukan Setjen DPR RI
kepada Presiden (karena kedudlukannya sebagai PNS) dan pertanggungjawaban fungsional
dilakukan Setjen DPR RI kepada Dewan melalui Pimpinan DPR (karena terkait dengan
fungsinya sebagai supporting system).
Setelah kedua prinsip dasar dari penyelenggaraan administrasi dan pemerintahan
negara tersebut dilaksanakan, maka kita berharap birokrasi yang ideal akan dapat tercipta.
Cepat-lambatnya perwujudan birokrasi yang ideal ini juga sangat tergantung kepada efektivitas
struktur organisasi sebagai wadah bagi aparat birokrasi dalam melaksanakan praktik
penyelenggaraan birokrasi. Namun demikian menurut Stephen P. Robbins (1994:90-128),
realitanya menunjukkan sukar untuk mendapatkan organisasi yang dikelola dengan baik yang
tidak mengadakan restrukturisasi untuk efisiensi biaya, menjadi lebih tanggap terhadap
keinginan semua pihak, atau mencapai tujuan yang ditetapkan. Selanjutnya restrukturisasi
organisasi ini meliputi tiga hal yaitu kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi.
Kompleksitas merujuk pada tingkat diffrensiasi yang ada di dalam sebuah organisasi.
Diffrensiasi itu sendiri terbagi atas differensiasi horisontal, diffrensiasi vertikal, dan differensiasi
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
spasial. Sesungguhnya differensiasi horisontal merujuk pada tingkat differesiasi antara unit-unit
berdasarkan orientasi para anggotanya, sifat dari tugas yang mereka laksanakan, dan tingkat
pendidikannya serta pelatihannya. Dapat dikatakan bahwa semakin banyak jenis pekerjaan
yang acla dalam organisasi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang istimewa,
semakin kompleks pula organisasi tersebut. Bukti paling nyata pada organisasi yang
menekankan differensiasi horisontal adalah spesialisasi dan departementalisasi.
Spesialisasi merujuk pada pengelompokkan aktivitas tertentu yang dilakukan satu
individu dan bentuk yang paling dikenal adalah spesialisasi fungsional dimana pekerjaan
dipecah-pecah menjadi tugas yang sederhana dan berulang. Namun jika para individunya yang
dispesialisasi dan bukan pekerjaannya, maka dikenal sebagai spesialisasi sosial yang dicapai
dengan menyewa tenaga profesional yang mempunyai keterampilan yang tidak dapat dijadikan
rutin.
Selanjutnya pembagian kerja menciptakan kelompok-kelompok spesialis. Cara kita
mengelompokkan para spesialis itu disebut departementalisasi yaitu cara organisasi secara
khas mengkoordinasikan aktivitas yang telah didiferensiasi secara horisontal. Departemen
dapat dibetuk atas dasar angka-angka yang sederhana, fungsi, produk atau jasa atau proses.
Differensiasi vertikal merujuk pada kedalaman struktur. Differensiasi meningkat, demikian
pula kompleksitasnya, karena jumlah tingkat hirarki di dalam organisasi bertambah. Makin
banyak tingkat yang terdapat di antara top manajemen dan tingkat hirarki yang paling rendah,
makin besar pula potensi terjadinya distorsi dalam komunikasi, dan makin sulit
mengkoordinasikan pengambilan keputusan. Namun demikian diffrensiasi vertikal dan
horisontal tidak harus ditafsirkan sebagai tidak ada ketergantungan antara yang satu dan
Iainnya. Diffrensiasi vertikal sebaiknya diartikan sebagai tanggapan terhadap peningkatan
diffrensiasi horisontal. Jika spesialisasi meluas, maka koordinasi tugas makin dibutuhkan.
Sedangkan diffrensiasi spasial merujuk pada tingkat sejauhmana lokasi organisasi tersebar
secara geografis. Diffrensiasi spasial dapat dilihat sebagai perluasan dari dimensi dan
diffrensiasi horisontal dan vertikal. Artinya, adalah mungkin untuk memisahkan tugas dan pusat
kekuasaan secara geografis.
Kompleksitas menjadi penting karena jika kompleksitas meningkat, maka akan demikian
juga halnya dengan tuntutan terhadap manajemen untuk memastikan bahwa aktivitas-aktivitas
yang didifferensiasi dan disebar bekerja dengan mulus dan secara bersamaan ke arah
pencapaian tujuan organisasi. Organisasi yang dapat hidup terus akan cenderung menjadi lebih
kompleks karena aktivitas mereka sendiri dan Iingkungan yang mengelilinginya menjadi Iebih
kompleks
Formalisasi merujuk pada tingkat sejauh mana pekerjaan di dalam organisasi itu
distandarisasikan. Jika sebuah pekerjaan sangat diformalisasikan, maka pemegang pekerjaan
hanya mempunyai sedikit kebebasan mengenai apa yang harus dikerakan, bilamana
mengerjakannya, dan bagaimana ia harus melakukannya. Para pegawai dapat diharapkan
untuk selalu menangani masukan yang sama dengan cara yang sama dan menghasilkan
keluaran yang sama dan konsisten. Untuk tujuan pengukuran formalisasi akan dihitung dengan
memperhatikan selain dokumen resmi organisasi, sikap pegawai sampai pada tingkatan dimana
prosedur pekerjaan diuraikan dan peraturan diterapkan.
Makin besar profesionalisme sebuah pekerjaan, maka makin kecil kemungkinan
pekerjaan itu diformalisasi dengan tinggi. Walaupun ada pengecualian bagi pekerjaanpekerjaan tertentu. Formalisasi berbeda bukan hanya dalam keterampilan kerja, tetapi juga
dalam tingkatan organisasi dan departemen fungsional. Formalisasi cenderung mempunyai
hubungan yang berbanding terbalik dengan tingkatan organisasi. Selain itu jenis pekerjaan juga
mempengaruhi tingkat formalisasi. Pekerjaan yang memiliki kekhasan lebih diformalisasikan
dari pada pekerjaan yang tidak memiliki kekhasan. Organisasi menggunakan formalisasi karena
keuntungan yang diperoleh dari pengaturan perilaku para pegawai.
Sentralisasi adalah yang paling problematis dari komponen sebelumnya. Kebanyakan
ahli mendefinisikan sebagai tingkat dimana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada
suatu titik tunggal dalam organisasi. Konsentrasi yang tinggi menyatakan adanya sentralisasi
yang tinggi, sedangkan konsentrasi yang rendah menunjukkan sentralisasi yang rendah atau
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
disebut desentralisasi. Pentingnya pengetahuan mengenai kekuasaan dan rantai komando bagi
pemahaman sentralisasi, sama pentingnya dengan kesadaran akan proses pengambilan
keputusan. Tingkat pengawasan yang dimiliki seorang pimpinan terhadap keseluruhan proses
pengambilan keputusan merupakan ukuran sentralisasi.
b
Kualitas Sumber Daya Manusia
Membicarakan masalah sumber daya manusia dalam suatu instansi, sesungguhnya akan
membawa pola pikir kita kepada persoalan awal mengenai analisa jabatan dan pemilihan
karyawan yang akan mengisinya. Persoalan awal ini penting sekali dicarikan solusinya, agar
upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada tahap selanjutnya akan dapat
tercapai.
Semua instansi pasti memiliki kesamaan keinginan, terutama berkaitan dengan kualitas
karyawan yang akan dipanggil dan mengisi suatu jabatan. Untuk itu bagian kepegawaian perlu
menetapkan standar minimum yang sebaiknya dipenuhi oleh seorang karyawan yang akan
membidangi pekerjaan tersebut. Hal pokok yang berkaitan dengan penentuan mutu menurut
Heidjrachman (1990: 24-25) menyangkut masalah :
(1)
rancangan jabatan
(2)
studi terhadap tugas dan kewajiban suatu jabatan untuk menentukan kemampuan
karyawan (standar kompetensi) yang diperlukan bagi jabatan tersebut.
Studi yang menentukan kebutuhan karyawan inilah yang biasa disebut dengan analisa
jabatan. Analisa jabatan merupakan suatu proses untuk mempelajari dan mengumpulkan
berbagai informasi yang berhubungan dengan berbagai operasi dan kewajiban suatu jabatan.
Proses analisa jabatan sendiri sebenarnya merupakan suatu pengumpulan data. Berbagai
pendekatan bisa dipergunakan untuk melakukannya, seperti kuesioner, menulis cerita singkat,
observasi dan wawancara (paling sering digunakan). Selanjutnya hasil dari analisa jabatan ini
adalah deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan.
Deskripsi jabatan merupakan suatu statement yang teratur dari berbagai tugas dan
kewajiban suatu jabatan tertentu. Penyusunannya harus dapat dipahami dengan
mempergunakan cara: identifikasi jabatan, ringkasan jabatan, tugas yang dilaksanakan,
pengawasan yang diberikan dan yang diterima, hubungan dengan jabatan jabatan lain, bahanbahan/ alat/mesin yang dipergunakan, kondisi kerja, penjelasan istilah-istilah yang tidak lazim,
dan komentar tambahan untuk melengkapi penjelasan di atas. Hal penting yang harus
dilakukan dalam pembuatan deskripsi jabatan adalah membuat/menuliskan tugas-tugas yang
harus dilaksanakan untuk jabatan tersebut.
Sesudah kita mengetahui spesifikasi jabatan, maka langkah kita selanjutnya adalah
mengajukan siapa yang akan memangku jabatan tersebut atau karyawan yang bagaimana
yang akan menduduki jabatan tersebut. Jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian disusun
menjadi apa yang disebut spesifikasi jabatan yaitu suatu statement dari kualitas minimum
karyawan yang bisa diterima agar dapat menjalankan satu jabatan dengan baik.
Masalah kedua setelah kita melakukan analisa jabatan adalah menentukan jumlah
masing-masing jenis karyawan yang diperlukan. Untuk itu bagian kepegawaian perlu
melakukan proyeksi terhadap kebutuhan instansi pada periode tertentu. Proyeksi kebutuhan
karyawan sangat erat hubungannya dengan proyeksi kebutuhan instansi tersebut dimasa yang
akan datang. Banyak sedikitnya jenis karyawan yang diperlukan akan tergantung pada proyeksi
kebutuhan instansi di masa yang akan datang. Selain itu sekarang ini telah dikembangkan
metode penentuan jumlah karyawan dengan mendasarkan diri kepada metode antrian (waitingline) yaitu metode yang mencoba menentukan jumlah optimal berdasarkan beban kerja yang
bervariasi tiap-tiap harinya. Hasil dari analisis beban kerja ini adalah penentuan jumlah
karyawan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu beban kerja tertentu. Sesudah
permasalahan awal ini dapat kita atasi, maka mulailah kita pada tahap peningkatan kualitas
sumber daya manusia dari karyawan yang menjalankan tugas dan fungsinya.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penentu bagi upaya untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM). Masing-masing faktor memiliki alasan teoritis yang
menjadi argumentasi penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia
tersebut. Argumentasi ini menjadi sangat penting diketahui bahkan bila perlu diaplikasikan oleh
semua pihak yang memiliki tujuan meningkatkan kinerja organisasi kerjanya.
Faktor pertama yang dapat mempengaruhi peningkatan kualitas sumber daya manusia
adalah kepuasan kerja. Ada beberapa teori yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan
seorang karyawan dalam bekerja. Salah satunya adalah Equity theory yang dikembangkan oleh
Adams yaitu prinsip dari teori ini adalah orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung
apakah is merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity
dan inequity atas suatu situasi diperoleh seorang karyawan dengan cara membandingkan
dirinya dengan orang lain yang sekelas atau setingkat dalam suatu pekerjaan.
Ada tiga elemen dari equity theory ini yaitu input, outcomes dan comparison person. Input
ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap
pekerjaan. Dalam hal ini misalnya pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan dan
sebagainya. Out comes adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan
sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya gaji, insentif, pengakuan atas jati diri dan
sebagainya. Sedangkan comparison persons ialah kepada orang lain dengan siapa karyawan
membandingkan rasio input-outcomes yang dimilikinya. Setiap karyawan akan membandingkan
ratio input-out comes dirinya dengan ratio input-out comes orang lain. Bila perbandingan itu
dianggapnya cukup adil, maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang
tetapi tidak menguntungkan, bisa menimbulkan ketidakpuasan tapi bisa juga tidak (karyawan
yang bersangkutan tetap merasakan kepuasan kerja). Namun bila perbandingan itu tidak
seimbang dan merugikan tentunya akan menimbulkan ketidakpuasan. Aplikasi dari teori ini
penting untuk diketahui oleh pihak manajemen atau atasan seorang karyawan dalam
memberikan promosi atau penghargaan atas pekerjaan yang diiakukannya.
Dalam melihat kepuasan kerja, memang tidak bisa disalahkan pendapat banyak orang
yang mengatakan gaji merupakan faktor utama dalam menentukan kepuasan kerja. Hal ini
sesuai dengan tingkatan motivasi manusia sebagaimana dikemukakan oleh Maslow, bahwa gaji
termasuk pada kebutuhan dasar manusia. Namun demikian sesungguhnya ada banyak faktor
yang dapat menimbulkan kepuasan kerja, sebagaimana diungkapkan Harold E Burt yaitu:
1
Faktor hubungan antara karyawan dengan karyawan:
2
3
-
hubungan antara atasan dengan bawahan
-
faktor fisik dan kondisi kerja
-
hubungan sosial diantara karyawan
-
sugesti dari teman kerja
emosi dan situasi kerja
Faktor individual yaitu yang berhubungan dengan:
-
sikap orang terhadap pekerjaannya
-
umur orang sewaktu bekerja
pangkat/jabatan
Faktor-faktor luar (extern) yang berhubungan dengan:
-
Jaminan finansial/sosial
-
keadaan keluarga karyawan
-
rekreasi
pendidikan (training)
Pendapat ini sesungguhnya ingin menggambarkan bahwa tidak selamanya gaji menjadi
penentu utama bagi kepuasan kerja seorang karyawan. Hal ini diperkuat dengan hasil riset
yang dilakukan Hulin pada tahun 1966, bahwa banyak instansi yang memberikan gaji yang
cukup tinggi, tetapi banyak karyawan yang tetap merasa tidak puas dan tidak senang dengan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
pekerjaannya. Gaji hanya memberikan kepuasan sementara karena kepuasan terhadap gaji
sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan nilai orang yang bersangkutan.
Dari berbagai pendapat mengenai kepuasan kerja tersebut dapat disimpulkan faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
a
Faktor psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan
yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja bakat dan
keterampilan.
b
Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik
antara sesama karyawan, dengan atasanya maupun karyawan yang berbeda jenis
pekerjaannya.
c
Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan
kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja,
keadaan ruang kerja dan sebagainya.
d
Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta
kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,
tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
Faktor kedua yang mempengaruhi peningkatan kualitas sumber daya manusia yaitu
pemberian pelatihan (training) bagi seorang karyawan. Namun sebelum memberikan
pelatihan kepada seorang karyawan, perlu diingatkan agar pelatihan tersebut harus sesuai
dengan minat karyawan yang bersangkutan untuk mengikutinya. Apabila karyawan yang
mengikuti training tanpa ada minat padanya sudah tentu tidak akan membawa hasil yang
memuaskan. Oleh karena itu sebelum seorang karyawan diberikan pelatihan, maka ia perlu
diberikan penjelasan mengenai arti penting training itu bagi diri dan pekerjaannya. Training itu
sendiri dimaksudkan untuk mempertinggi kerja karyawan dengan mengembangkan cara-cara
berpikir dan bertindak yang tepat serta pengetahuan tentang tugas pekerjaan, atau dengan kata
lain menambah keterampilan kerja karyawan.
Ada delapan faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan training yang dijalankan
yaitu:
a
Individual differences
Setiap individu sesungguhnya memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya
dalam hal sifat, tingkah laku, fisik maupun pekerjaannya. Perbedaan tersebut
harus diingat dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pelatihan ini.
Perbedaan ini nampak pada waktu karyawan mengerjakan suatu pekerjaan yang
sama, namun memperoleh hasil yang berbeda dengan yang lainnya.
b
Relation to job analysis
Tugas utama dari analisa jabatan untuk memberikan pengetahuan akan tugas
yang harus dilaksanakan di dalam suatu pekerjaan, serta untuk mengetahui alatalat apa yang harus dipergunakan dalam menjalankan tugas. Untuk memberikan
training bagi karyawan terlebih dahulu harus diketahui keahlian yang
dibutuhkannya. Dengan demikian pelatihan yang diberikan dapat diarahkan atau
ditujukan untuk mencapai keahlian itu.
c
Motivation
Motivasi dalam pelatihan sangat penting karena pada dasarnya motif yang
mendorong karyawan untuk menjalankan pelatihan tidak berbeda dengan motif
yang mendorongnya untuk melaksanakan tugas pekerjaannya.
d
Active participation
Pada pelaksanaan training, peserta pelatiha harus aktif dalam pembicaraanpembicaraan mengenai pelajaran yang diberikan, sehingga akan memberikan
kepuasan bagi peserta pelatihan apabila saran-sarannya diperhatikan dan
diperguna an sebagaii bahan pertimbangan untuk memecahkan kesulitan yang
mungkin timbul.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
e
Selection of trainess
Training diberikan kepada karyawan yang berminat untuk mengikuti pelatihan
dengan berhasil. Untuk itu perlu diadakan seleksi, karena seleksi merupakan daya
perangsang pula.
f
Selection of trainers
Berhasil tidaknya seorang trainers melakukan tugas sebagai pengajar, tergantung
kepada ada tidaknya persamaan kualifikasi orang tersebut dengan kualifikasi yang
tercantum dalam analisa jabatan mengajar. Seorang pengajar harus memiliki
kecakapan dalam bidang yang diajarkannya, mempunyai rasa tanggungjawab dan
sadar akan kewajibannya, bijaksana dalam segala tindakan dan sabar, dapat
berpikir logis, dan mempunyai kepribadian yang menarik.
g
Trainer training
Tenaga pelatih yang diserahi tanggungjawab untuk memberikan pelajaran
hendaknya telah mendapatkan pendidikan khusus menjadi tenaga pelatih.
h
Training methods
Suatu pelatihan juga sangat bergantung kepada metode pelatihan yang
dipergunakan. Metode ini harus sesuai dengan training yang diberikan. Untuk
karyawan pelaksanaan pelatihan hendaknya Iebih banyak pada peragaan
disamping pelajaran teoritis.
Faktor ketiga yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia adalah
pengembangan karier. Pelaksanaan rencana karier dalam buku Manajemen Personalia dan
Sumber Daya Manusia (Moekijat; 1995: 85) memerlukan pengembangan karier.
Pengembangan karier mengandung perbaikan pribadi yang dialami oleh seseorang untuk
mencapai suatu rencana karier. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh bagian kepegawaian atau
dilakukan oleh individu karyawan yang bersangkutan.
Namun demikian pengembangan karier tidak hanya mengandalkan usaha perseorangan,
karena usaha demikian tidak selalu menjadi kepentingan organisasi yang terbaik. Agar
pengembangan karier dapat menguntungkan instansi, maka bagian kepegawaian perlu
memberikan bermacam-macam pelatihan sebagaimana telah diulas pada bagian terdahulu.
Bagian kepegawaian perlu mencatat bantuan pimpinan karyawan, memberikan umpan balik
kepada para karyawan, dan menciptakan suatu Iingkungan kerja yang bersatu untuk
meningkatkan pengembangan karier.
c
Sistem Komunikasi dan Informasi
Komunikasi memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan organisasl pada
umumnya dan dalam usaha menumbuhkan dan memetihara perilaku karyawan pada
khususnya. Komunikasi yang efektif merupakan dinamisator sistem kerja sama dalam
organisasi dan menghubungkan tujuan instansi dengan para karyawan yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil penelitian (Wursanto; 1989:29) diketahui antara 75% hingga 90% dari waktu
kerja karyawan dipergunakan untuk berkomunikasi.
Untuk itu hal-hal yang sifatnya elementer dalam memahami teknik berkomunikasi secara
efektif harus diperhatikan (Sondang P Siagian; 1995:50), yaitu:
1
Setiap orang dalam organisasi harus mengetahui semua saluran komunikasi yang
terdapat dalam organisasi.
2
Setiap orang dalam organisasi harus mengetahui saluran komunikasi yang terbuka
baginya dan bagaimana tata cara penggunaannya dan tata cara itu biasanya
berkaitan dengan nilia-nilai yang diakui dalam organisasi tersebut.
3
Garis komunikasi sebaiknya langsung dan sesingkat mungkin untuk menghindari
distorsi dalam proses komunikasi tersebut.
4
Harus terbuka kemungkinan untuk menggunakan semua jalur komunikasi formal
dengan mengindahkan hirarki organisasi yang berlaku.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
5
Garis komunikasi hendaknya tidak terganggu meskipun kegiatan berlangsung
dalam organisasi yang bersangkutan.
6
Otentisitas komunikasi hendaknya terjamin
7
Orang-orang yang bertindak sebagai pusat komunikasi hendaknya orang-orang
yang terampil dalam menggunakan sarana dan prasarana komunikasi.
Salah satu unit kerja yang tugas utamanya adalah berkaitan dengan menerima dan
menyebarluaskan informasi kepada publiknya adalah bagian humas. Aktivitas humas perlu
dijalankan oleh setiap instansi dengan tujuan untuk mendapatkan:
1
pengertian masyarakat
2
kepercayaan masyarakat
3
bantuan masyarakat
4
kerjasama masyarakat.
Aktivitas humas adalah dimaksudkan membangun komunikasi yang efektif dengan
publiknya. Oleh karena itu seorang petugas humas menurut ahli komunikasi M. Cultip dan Allen
H. Center dalam bukunya Effective Public Relations, mengemukakan faktor-faktor yang
menyebabkan komunikasi efektif, faktor-faktor itu disebutkan dengan the seven c's
communication yaitu credibility (keterpercayaan), context (perhubungan, perhatian), content
(kepuasan), clarity (kejelasan), continuty and consistency (kesinambungan dan konsistensi),
capability of audience (kemampuan pihak penerima berita) dan channels of distribution (saluran
pengiriman berita).
Berdasarkan kriteria-kriteria yang terdapat dalam kegiatan hubungan masyarakat, maka
dapat disimpulkan yang dimaksud dengan humas (Public Relations) adalah fungsi manajemen
dengan tujuan membentuk good will, toleransi (tolerance), saling kerjasama (mutual symbiosis),
sating mempercayai (mutual confidence), saling pengertian (mutual understanding) dan saling
menghargai (mutual appreciation), serta untuk memperoleh opini publik yang favorable, good
image yang tepat berdasarkan hubungan yang harmonis, baik hubungan ke dalam (internal
relations) maupun hubungan ke luar (external relations).
Selain diterima dan disebarluaskan melalui aktivitas kehumasan, informasi juga harus
disimpan dan dibuka kembali apabila diperlukan. Kegiatan ini dinamakan kegiatan pengarsipan
informasi. Kegiatan pengarsipan informasi sebagaimana dijelaskan dalam buku Sistem
Informasi Manajemen ( Sondang P Siagian; 1999: 19) sangat penting karena pengalaman
menunjukkan bahwa tidak semua informasi yang dimiliki digunakan segera. Oleh karena itu
informasi tersebut jangan sampai hilang atau sukar untuk ditelusuri apabila diperlukan.
Arsip informasi berdasarkan sifatnya dapat digolongkan kepada dua bagian yaitu arsip
Dinamis dan arsip statis. Bahwa suatu informasi yang telah disimpan namun masih sering
digunakan untuk keperluan pembentukan sebuah kebijakan digolongkan sebagai arsip dinamis.
Sedangkan informasi yang telah disimpan namun dipergunakan sewaktuwaktu dan dijadikan
bentuk dokumentasi digolongkan sebagai arsip statis. Pada intinya kedua penggolongan arsip
informasi ini harus memiliki kesamaan prinsip pengarsipan yaitu menyimpan informasi secara
baik dan aman serta dengan mudah menyajikan kembali apabila informasi tersebut dibutuhkan.
Mengikuti perkembangan teknologi informasi, arsip informasi ini dapat disimpan dalam
alat penyimpan informasi yang lebih canggih misalnya meluli hard disk, microfilm, CD, VCD dan
lain sebagainya. Salah satu manfaat dari berbagai alat penyimpanan yang sarat teknologi ialah
penghematan biaya penyimpanan, terutama karena tempat yang diperlukan tidak lagi ruangan
yang besar. Disamping itu dengan sarana berteknologi tinggi, keamanan informasi menjadi
lebih terjamin.
Pengelolaan informasi akan semakin optimal dilakukan oleh sarana dan prasarana yang
canggih dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Revolusi TI menghasilkan
berbagai jenis komputer yang canggih yang memiliki kemampuan mengolah data yang
demikian besar, sehingga mampu mengerjakan banyak instruksi dengan kecepatan yang tinggi.
Sehubungan dengan perkembangan TI yang semakin pesat, maka ada enam hal yang
perlu diperhatikan para pemakai komputer yaitu:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
1
Berbagai jenis komputer sekarang ini memungkinkan penggunanya memilih jenis
yang sesuai dengan kebutuhannya.
2
Kemampuan komputer semakin canggih.
3
Memudahkan akses informasi bagi pembuat kebijakan.
4
Usia satu jenis komputer semakin pendek karena telah lahir generasi yang Iebih
canggih lagi.
5
Semakin mudah digunakan (user friendly)
6
Difersifikasi TI menghasilkan teknologi informasi yang Iebih canggih lagi.
Selain perangkat keras dalam TI juga digunakan perangkat lunak yang membuat
komputer menjadi alat yang tangguh dan handal bagi pimpinan dalam pengambilan keputusan.
Perangkat lunak memiliki tiga fungsi yaitu:
1
mengelola berbagai sumber daya komputer yang dimiliki oleh instansi
2
mengembangkan berbagai sarana yang dapat digunakan oleh sumber daya
manusia sehingga dicapai pemanfaatannya yang optimal.
3
Menjembatani peranan informasi sebagai hasil olahan data dengan penggunanya.
Pada hakekatnya terdapat dua jenis perangkat lunak yaitu:
a
Perangkat lunak sistem ialah seperangkat program yang fungsinya adalah
mengkoordinasikan dan mengendalikan penggunaan perangkat keras di samping
sebagai wahana untuk mendukung penggunaan perangkat lunak aplikasi.
b
Perangkat lunak aplikasi sistem ialah instruksi yang ditulis oleh atau untuk pemakai
agar dapat mengaplikasikannya untuk bidang tugas masing-masing, baik yang
sifatnya teknis maupun non teknis.
Salah satu perkembangan di bidang teknologi informasi dewasa ini yang diaplikasikan
untuk aneka ragam kepentingan ialah internet yang merupakan jaringan komputer global.
Melalui internet ini, komunikasi langsung para penggunanya dengan berbagai pihak akan
semakin dipermudah dan juga mempermudah memperoleh informasi tanpa batas waktu dan
ruang.
Perkembangan TI yang semakin pesat sehingga para pemakai yang masuk jaringan
intenet tidak perlu menggunakan komputer merk dan sistem pengeoperasian (operations
system) tertentu. Komputer merk apapun termasuk personal computer dengan sistem
pengoperasian yang beragam dapat digunakan, karena komputer yang sudah dihubungkan ke
internet dapat saling berbagi informasi meskipun merk dan jenisnya berbeda. Dengan
menggunakan Iayanan jaringan yang mendunia Wold Wide Web yang menerapkan hypertext
link, maka mencari dan mengakes informasi di internet menjadi sangat mudah.
Teknologi dan arsitektur internet dapat juga digunakan untuk kepentingan internal
instansi yang disebut dengan intranet yaitu jaringan yang terdapat dalam suatu instansi dengan
menggunakan teknologi dan arsitektur internet. Perbedaan keduanya terletak pada cakupan
akses, cara penggunaan tekonologi untuk berkomunikasi dan pemakainya. Internet sangat
global, komunikasi terjadi dengan menggunakan saluran telekomunikasi umum dan siapa saja
dapat menjadi pengguna. Sedangkan intranet cakupannya terbatas yaitu pada lingkup internal
instansi, koneksinya hanya untuk antar bagian dalam instansi tersebut. Intranet sangat
bermanfaat bagi suatu instansi karena setiap orang di dalamnya dapat mengakses informasi,
mengirim pesan dan berdiskusi dengan orang lain dalam satu instansi. Saluran komunikasi
antar karyawan dalam suatu instansi menjadi dipermudah dan distribusi informasi dalam
intranet ini tidak tergantung pada platform. Intranet tidak mensyaratkan penggunaan perangkat
keras dan perangkat lunak tertentu.
Hal-hal yang perlu diingat dalam membangun intranet yaitu:
1
Identifikasi daerah penyebaran informasi, sehingga diketahui kepadatan arus
lalulintas dokumennya.
2
Pimpinan intansi perlu menentukan perangkat apa yang digunakan untuk
menyediakan informasi bagi para penggunannya.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
3
4
5
6
7
Perlu dipertimbangkan pimpinan intansi, apakah akan membangun interface web
sendiri untuk kepentingan penanganan informasi resmi sebagai aplikasi utama.
Sebelum dibangun intranet perlu dibangun terlebih dahulu proyek percontohannya.
Agar intranet menjadi optimal, maka perlu memperoleh dukungan dari semua unit
kerja dalam suatu instansi untuk menyelenggarakannya.
Keamanan dan kerahasiaan informasi.
Sumber daya manusia yang mengelola maupun yang menggunakannya.
2
Manajemen Kerumahtanggaan DPR RI
Salah satu faktor penting yang juga berpengaruh terhadap kinerja Dewan adalah
bagaimana pengelolaan manajemen Kerumahtanggaan DPR RI atau mungkin dapat dikatakan
pengorganisasian kegiatankegiatan Dewan. Yang dimaksud dengan manajemen
kerumahtanggaan DPR RI, dalam hal ini adalah bagaimana pengorganisasian alat-alat
kelengkapan Dewan, bagaimana pengorganisasian jadwal kegiatan atau sidang-sidang Dewan
dan bagaimana pengalokasian waktu untuk setiap kegiatan. Hal ini penting untuk dikelola
mengingat hal-hal tersebut akan berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas kerja DPR.
Pengorganisasian alat kelengkapan DPR sama halnya dengan menyusun struktur
kelembagaan Dewan. Ada beberapa hal yang selama ini menjadi pertimbangan dalam
pembentukan alat kelengkapan DPR, khususnya Komisi, yaitu pasangan kerja dengan
pemerintah dan keterwakilan setiap anggota fraksi secara proporsional di dalam Komisi. Ketika
jumlah departemen banyak maka komisi yang dibentuk semakin banyak atau menambahkan
jumlah pasangan kerja di masing-masing komisi. Pertimbangan berikutnya adalah perolehan
suara partai politik dalam Pemilu. Pada masa lalu, jumlah komisi terpaksa harus disesuaikan
dengan perolehan suara salah satu partai politik. Selanjutnya pernah pula dibentuk subkomisi
namun juga tidak berjalan efektif. Pada saat sekarang dengan jumlah partai peserta pemilu
yang semakin banyak, maka alternatif yang dipilih adalah dibentuknya fraksi gabungan.
Kondisi-kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap efektivitas kerja Dewan.
Pengorganisasian jadwal jadwal kegiatan di Dewan berkaitan erat dengan perangkapan
anggota dewan di dalam alat kelengkapan clan panitia-panitia. Secara prinsip ketika ada
kegiatan Rapat Paripurna, maka dapat dipastikan tidak ada kegiatan di alat kelengkapan. Hal
ini untuk menghindari kesan atau alasan ketika Rapat Paripurna kosong karena ada kegiatan di
alat kelengkapan. Selanjutnya ketika ada kegiatan Komisi, maka seharusnya kegiatan di alat
kelengkapan lain yang dimungkinkan adanya perangkapan anggota, tidak diadakan kegiatan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
BAB III
PELAKSANAAN DAN PERMASALAHAN KINERJA DPR-RI
A.
Pelaksanaan Fungsi-fungsi DPR RI
Berdasarkan proses terbentuknya dan harapan besar yang diberikan kepada Dewan,
proses demokratisasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan peran dan
kinerja DPR melalui pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam sistem ketatanegaraan kita. Hal
paling mendasar dalam meningkatkan kinerja DPR adalah terpenuhinya tuntutan dan aspirasi
masyarakat yang diwakilinya yang dapat dilihat dari bagaimana DPR melaksanakan tugas dan
fungsinya di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Namun, pada kenyataannya pelaksanaan tugas dan fungsi DPR sebagaimana yang
diamanatkan dalam peraturan perundangundangan, masih mengalami hambatan sehingga
pelaksanaan tugas, fungsi dan penggunaan hak-hak serta kinerja DPR belum optimal. Belum
optimalnya kinerja DPR tersebut diindikasikan sebagai berikut
1
Fungsi Legislasi
Dalam bidang legislasi, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 20 ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan peran yang kuat kepada
Dewan, dengan melakukan pergeseran wewenang pembuatan undang-undang dari Presiden
kepada DPR.
Dari adanya perubahan wewenang pembuatan undang-undang dari Presiden kepada
DPR tersebut, tidaklah berlebihan apabila masyarakat dari semua lapisan, menaruh perhatian
dan harapan yang begitu besar kepada DPR untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis
melalui optimalisasi pelaksanaan hak-hak konstitusionalnya, terutama dalam menggunakan
hak-hak yang selama periode-periode sebelumnya, tidak digunakan secara optimal, termasuk
dalam hal ini adalah pelaksanaan fungsi legislasi. Dalam hal ini, perubahan kekuasaan
membentuk undang-undang tersebut seharusnya membawa konsekuensi logis bagi anggota
Dewan untuk lebih meningkatkan kinerjanya di bidang legislasi.
Namun DPR belum optimal dalam melaksanakan fungsinya di bidang legislasi. Beberapa
permasalahan yang melatarbelakangi kenyataan tersebut adalah sebagai berikut :
a
Dari segi kualitas, banyak UU yang dibentuk dinilai belum memberi manfaat langsung
terhadap kehidupan masyarakat.
Banyaknya undang-undang yang dihasilkan belum memberi manfaat langsung
terhadap kehidupan rakyat. Mengenai kenyataan ini dapat dilihat baik dari daftar RUU
Propenas 2000-2004 maupun dari daftar RUU Prolegnas 2005-2009. Mengacu kepada
daftar RUU Prolegnas 20052009, dari jumlah 284 RUU, hanya 14, 78 % atau 42 RUU
yang terkait dengan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 27,46 atau 78 RUU terkait dengan
perekonomian, 55, 98 % atau 159 RUU terkait dengan bidang politik, hukum, dan
keamanan dan selebihnya 1, 76 % atau 5 RUU merupakan RUU di luar ketiga bidang
tersebut, seperti RUU tentang Bendera, RUU tentang Lambang Negara, RUU tentang
Lagu Kebangsaan, dan sebagainya.
Selain belum memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan masyarakat,
banyaknya RUU dalam daftar prolegnas yang merupakan RUU untuk mengubah UU
yang relatif belum lama berlaku juga merupakan kenyataan bahwa kualitas UU yang
dihasilkan perlu dipertanyakan. Beberapa RUU dalam daftar prolegnas tersebut antara
lain : RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, RUU tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, RUU tentang Perubahan
Atas UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, RUU tentang Perubahan
atas UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2002
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU Perubahan Atas UU Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan sebagainya.
Belum optimalnya kinerja DPR di bidang legislasi terutama dari segi kualitas
undang-undang yang dihasilkan antara lain disebabkan oleh minimnya-partisipasi publik
dalam penyusunan undang-undang termasuk penyusunan daftar RUU dalam program
legislasi nasional.
Mengenai partisipasi publik sendiri, secara yuridis telah diatur dalam Pasal 53
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dan Pasal 141 - Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR yang menentukan
bahwa dalam rangka penyiapan dan pembahasan RUU, masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan tertulis kepada DPR.
Meskipun terbuka peluang bagi publik untuk memberikan masukan secara lisan
dan tertulis, baik melalui Rapat Dengar Pendapat maupun Rapat Dengar Pendapat
Umum namun dalam teknis pelaksanaannya tidak semua pihak yang berkepentingan
terhadap pembahasan suatu RUU dapat memberikan masukan atau tanggapannya.
DPR, dalam hal ini Sekretariat Jenderal DPR belum mempunyai kemampuan
mengelola partisipasi publik. Sebagai contoh, jadwal yang kaku dan waktu yang tidak
memadai bagi publik untuk memberikan masukan terhadap pembahasan RUU, serta
pembatasan untuk menerima masukan hanya dalam format tertentu, menjadi ganjalan
bagi partisipasi publik. Selain itu, belum tersosialisasinya dengan baik pembahasan suatu
RUU menyebabkan tidak semua pihak yang berkepentingan mengetahui adanya
pembahasan suatu RUU. Kenyataan-kenyataan tersebut membuat akses masyarakat
kurang mudah untuk terlibat di dalam proses penyusunan UU.
Aspek lain yang mempengaruhi kemampuan mengelola partisipasi publik adalah
keterbatasan sumber daya. Ketika sebuah lembaga tidak mempunyai dana memadai
untuk mendiseminasikan informasi, mengadakan rapat dengar pendapat umum,
mengirim staf untuk menemui warga dan mendengar pendapat mereka, maka
kesempatan menyediakan partisipasi jadi sangat problematik.
Ketertutupan proses pengambilan kebijakan, dan sempitnya media yang tersedia
bagi dialog dan debat atas suatu proses pengambilan kebijakan, menjadi hambatan
berikutnya dalam melembagakan partisipasi. Ketika pengambilan kebijakan dilakukan
secara ketat dan terkonsentrasi pada segelintir orang, akses akan menjadi sulit, dan
partisipasi, terutama oleh kelompok yang tidak memiliki akses khusus seperti kaum
miskin, akan sangat terbatas.
Selanjutnya, faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas undang-undang yang
dihasilkan oleh DPR adalah kurangnya kemampuan DPR dalam merumuskan harapan
dan tuntutan masyarakat yang beragam. DPR sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat
memiliki posisi yang yang sangat strategis sebagai rantai penghubung usaha pemenuhan
aspirasi rakyat namun pada kenyataannya belum ada komitmen dan sensitivitas kolektif
yang kuat dari seluruh unsur terkait di DPR. Sampai saat ini DPR masih menghadapi
krisis citra di masyarakat yang menilai DPR kurang peka terhadap aspirasi rakyat dan
tidak mampu memperjuangkan nasib rakyat.
Kualitas undang-undang yang dihasilkan DPR juga dipengaruhi oleh keterbatasan
sumber data dan informasi yang dibutuhkan bagi Anggota DPR (Iayanan perpustakaan,
informasi, riset, dan analisa, IT dan dokumentasi belum memadai untuk mendukun.g
kinerja DPR) serta belum meratanya kemauan dan kemampuan Anggota DPR untuk
mengakses/menghimpun data dan informasi yang tersedia. Dengan pergeseran
kekuasaan membentuk undang-undang seharusnya DPR didukung dengan suatu sistem
yang memungkinkan DPR melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut secara optimal.
Selain keterbatasan sumber data dan informasi, faktor kualitas Anggota DPR
sendiri merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas undang-undang yang dihasilkan,
antara lain kualitas intelektual, kemauan, dan kemampuan Anggota DPR yang tidak
merata untuk mengakses data dan informasi. Sebagian Anggota DPR sangat minim
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
menggunakan layanan informasi, riset, dan dokumentasi. Selain itu, meskipun terdapat
naskah akademik (academic draft) yang memuat alasan yuridis, sosiologis dan filosofis
dalam penyusunan suatu RUU, dalam pelaksanaannya terkadang sering diabaikan oleh
anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU tersebut (Anggota kadangkala tidak
mempunyai cukup waktu untuk membaca atau mempelajari naskah akademik).
DPR tidak mempunyai cukup staf fungsional (tenaga ahli, peneliti, legislative
drafter dan analis anggaran dalam penyusunan APBN) juga merupakan faktor yang
mempengaruhi kualitas undang-undang yang dihasilkan. Selain dukungan data dan
informasi yang cepat, tepat, dan akurat, dukungan lain yang diperlukan DPR adalah
dukungan keahlian fungsional. Meskipun saat ini Sekretariat Jenderal memiliki jabatan
fungsional (peneliti, perancang undangundang, pustakawan, pranata komputer, dan
arsiparis) dan mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, namun baik
kualitas maupun kuantitas masih jauh dan belum dapat memenuhi harapan dan
keinginan Anggota DPR.
Terkait dengan dukungan keahlian di bidang legislasi, berdasarkan Perpres Nomor
23 Tahun 2005 telah terbentuk deputi Bidang perundang-undangan yang mempunyai
tugas memberikan dukungan teknis, administratif, dan keahlian di bidang perundangundangan untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPR di bidang legislasi.
b
DPR belum dapat memenuhi target jumlah penyelesaian UU yang telah ditetapkan dalam
Prolegnas.
Pelaksanaan program pembangunan bidang hukum melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas). Berdasarkan Prolegnas 2005-2009 yang telah dibahas oleh pemerintah dan
DPR RI terdapat 284 RUU yang harus diselesaikan oleh DPR. Sedangkan untuk tahun
2005, terdapat 55 RUU yang harus diselesaikan. Namun pada Oktober 2005, DPR baru
mensahkan 14 RUU dari target sebanyak 55 RUU yang harus diselesaikan pada tahun
2005. Pada kenyataannya hanya 2 dari 14 RUU tersebut yang melibatkan DPR dari sisi
substansi, yaitu Undang-Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan UndangUndang tentang Guru dan Dosen. Sedangkan sisanya merupakan Undang-Undang yang
hanya berbentuk persetujuan tanpa adanya diskursus dan proses pembahasan yang
mendalam, yaitu Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2004 tentang APBN Tahun 2005, UndangUndang tentang Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 2005 tentang Penundaan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi Undang-Undang,
Undang-Undang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten, UndangUndang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Bangka Belitung,
Undang-Undang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo, UndangUndang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara, Undang-Undang
tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang,
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004
tentang APBN Tahun Anggaran 2005, Undang-Undang tentang Penetapan Perpu Nomor
2 Tahun 2005 tentang Badan rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi
NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara menjadi Undang-Undang, UndangUndang tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESR) - Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Undang-Undang tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) - Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, UndangUndang tentang APBN Tahun Anggaran 2006.
Sedangkan untuk prioritas tahun 2006 adalah sebanyak 36 (tiga puluh, enam)
RUU. Hingga berakhirnya penutupan Masa Sidang I pada tanggal 18 Oktober 2006 baru
disahkan sebanyak 4 (empat) RUU. Artinya, dalam pelaksanaan legislasi, meskipun DPR
telah menyusun kriteria atau standar prioritas untuk pembuatan suatu RUU yang akan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
dibahas, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat memenuhi kriteria dan standar
dimaksud. Hal ini menunjukkan terlalu "ambisiusnya" DPR dalam menetapkan jumlah
RUU yang menjadi prioritas.
Selain itu, kedudukan Baleg sebagai pintu masuk dari semua RUU inisiatif yang
belum tertata secara baik merupakan penyebab belum dapat terpenuhinya target
penyelesaian UU yang telah ditetapkan dalam prolegnas. Baleg merupakan alat
kelengkapan DPR di luar Komisi yang mempunyai kewenangan beririsan dengan KomisiKomisi DPR terutama dalam menjalankan fungsi legislasi. Hal ini berakibat pula pada
pembahasan RUU yang tertunda karena jabatan rangkap antara Anggota Baleg dan
Anggota Komisi menimbulkan kendala dalam hal penjadwalan rapat. Pada akhirnya
sering terjadi penundaan waktu rapat karena Anggota seringkali mempunyai dua jadwal
rapat yang sama sehingga rapat tidak tepat waktu atau tidak kuorum.
Faktor lain yang merupakan penyebab belum dapat terpenuhinya target
penyelesaian UU yang telah ditetapkan dalam prolegnas adalah belum dipahaminya
mekanisme dan tata cara penyusunan RUU oleh Anggota DPR.
Sebagaimana faktor yang menyebabkan kualitas undang-undang yang dihasilkan,
lemahnya kinerja DPR dalam mengoptimalkan fungsinya di bidang legislasi dari segi
kuantitas juga disebabkan oleh faktor ekstern yaitu menyangkut masalah SDM sebagai
pendukung tugas dan fungsi DPR. Dalam hal ini DPR belum mempunyai cukup staf
fungsional (tenaga ahli, peneliti dan legislative drafter) untuk membantu tugas legislasi
DPR.
Belum optimalnya DPR untuk mengakses informasi dari institusi di luar dan
sebaliknya DPR juga tidak cukup disuplai data dan informasi yang akurat untuk
pembahasan RUU seperti tidak lengkapnya persyaratan yang dibutuhkan oleh anggota
untuk pembahasan suatu RUU (misalnya naskah akademis) juga merupakan faktor yang
menyebabkan belum dapat terpenuhinya target jumlah penyelesaian UU yang telah
ditetapkan dalam prolegnas.
Selain itu terhambatnya produktifitas pembahasan RUU juga disebabkan oleh
terlambatnya Surat Presiden yang menunjuk menteri yang mewakili pemerintah.
Meskipun DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang namun pada
dasarnya "otoritas" tersebut juga dimiliki oleh Presiden karena Pasal 20 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. Selanjutnya jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
DPR masa itu.
c
Proses pembahasan RUU kurang transparan.
Permasalahan lain yang melatarbelakangi belum optimainya DPR dalam
melaksanakan fungsinya di bidang legislasi adalah proses pembahasan RUU yang
kurang transparan. Meskipun terbuka peluang bagi publik untuk memberikan masukan
dalam proses pembahasan suatu RUU dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
namun partisipasi publik terhambat apabila pembahasan dilakukan pada tingkat Panja
(Panitia Kerja) yang rapatnya bersifat tertutup. Penyelenggaraan rapat Panja yang
tertutup pada akhirnya menjadikan tidak cukup informasi ke publik mengenai akhir
pembahasan suatu RUU.
2
Fungsi Anggaran
Penggunaan hak dan kewenangan Dewan dalam proses penyusunan anggaran,
merupakan tugas konstitusional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Beberapa
perubahan penting yang telah dilakukan Dewan, antara lain melakukan revisi terhadap RAPBN
serta membahas dan menyepakati format dan struktur baru APBN sesuai standar statistik
keuangan pemerintah (Government Finance Statistics); perubahan periode pelaksanaan APBN
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
yang tadinya dimulai I April dan berakhir pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya, menjadi 1
Januari s/d 31 Desember.
Namun sebagaimana dalam pelaksanaan fungsi legislasi, dalam konteks pelaksanaan
fungsi anggaran, masyarakat masih menilai DPR belum menunjukkan kinerja yang optimal.
Beberapa permasalahan yang mengindikasikan penilaian tersebut adalah sebagai berikut :
a
APBN belum menjawab kebutuhan masyarakat.
Budget atau anggaran sebagai suatu sistem merupakan suatu siklus atau tahapan
yang terdiri dari: perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
anggaran, yang harus dipahami dan dikuasai betul-betul prosesnya untuk masing-masing
tahap tersebut.
Sebagaimana diketahui, DPR memegang kekuasaan yang besar dalam bidang
penetapan anggaran. DPR sesuai dengan haknya dapat menyetujui ataupun tidak
menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh pemerintah dan mengadakan pembahasan
mengenai RAPBN yang diajukan tersebut. DPR memiliki hak untuk mengajukan usul
yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN.
Namun kekuasaan besar yang dimiliki tersebut belum dilakukan dengan optimal terutama
bagi kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Bahkan DPR belum detail dan ketat
untuk melakukan cross check atas anggaran negara dan pengalokasiannya sesuai
dengan prioritas kebijakan yang telah ditetapkan.
Beberapa penyebab yang melatarbelakangi permasalahan belum optimalnya
pelaksanaan fungsi DPR di bidang anggaran antara lain adalah DPR belum memiliki
politik anggaran yang jelas, APBN belum dapat memenuhi ketentuan konstitusi dan
belum memberikan porsi yang cukup bagi kebutuhan publik. Dalam hal ini, meskipun
Rancangan RKP yang disusun oleh Pemerintah harus dibahas dan disepakati bersama
dengan DPR sebagai pedoman dalam penyusunan RAPBN, namun terbatasnya
ketersediaan data dan informasi yang aktual guna meningkatkan dinamika perdebatan
yang sehat mempengaruhi Dewan dalam penyusunan RAPBN secara keseluruhan.
Dewan kurang detail dan ketat untuk melakukan cross check atas anggaran negara dan
pengalokasiannya sehingga belum jelas apa yang menjadi skala prioritas dalam
penyusunan APBN seperti bobot mana yang terkait langsung dengan kesejahteraan
rakyat.
Selanjutnya, Panitia Anggaran belum mempunyai kapasitas yang berimbang
dengan Pemerintah dalam membahas APBN juga merupakan faktor yang menyebabkan
belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam APBN. Keterbatasan sumber data dan
informasi serta sumber days manusia yang mendukungnya merupakan kendala yang
dihadapi oleh Panitia Anggaran. Selain itu banyak Anggota DPR yang tidak memiliki
pengetahuan dan keahlian yang memadai di bidang anggaran. Meskipun DPR memiliki
supporting system dalam bidang tersebut, dalam hal ini tenaga analis anggaran masih
terbatas sehingga belum memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi
DPR. Sebagian besar staf di sekretariat jenderal lebih banyak melakukan pekerjaan
teknis administrasi, sementara ada kebutuhan yang lebih banyak untuk tenaga ahli dan
analisa. Sebaliknya, Pemerintah dengan jajaran birokratnya memiliki kapasitas personal
dan profesional yang sangat memadai sehingga sulit bagi DPR mengimbangi hal
tersebut.
b
Banyak anggota yang belum memahami siklus dan mekanisme penyusunan APBN.
Belum optimalnya kinerja DPR di bidang anggaran juga karena adanya
permasalahan dimana banyak Anggota DPR yang belum memahami siklus dan
mekanisme penyusunan APBN. Penyebab permasalahan ini diindikasikan karena
kurangnya sosialisasi siklus dan mekanisme penyusunan APBN (yang telah menjadi
kesepakatan antara Dewan dan Pemerintah yang telah disetujui Bamus) kepada anggota
Dewan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Dalam prakteknya, hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran yang dilakukan
Komisi-Komisi dengan Kementerian Negara/Lembaga yang disampaikan kepada Panitia
Anggaran dan dibahas dalam Rapat Panja yang bersifat tertutup, terkadang tidak
disepakati dalam pembahasan antara Panitia Anggaran dan Pemerintah.
Penyelenggaraan rapat Panja yang tertutup pada akhirnya menjadikan tidak cukup
informasi ke publik mengenai akhir pembahasan suatu RUU, termasuk RUU tentang
APBN.
3
Fungsi Pengawasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberi kedudukan
yang kuat kepada Dewan dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Pengawasan yang
dilakukan oleh Dewan terhadap jalannya perderintahan, merupakan perwujudan upaya proses
pembentukan sebuah kehidupan ketatanegaraan dan kebangsaan yang mencerminkan prinsip
demokratisasi.
Berdasarkan mekanisme yang terdapat dalam Peraturan Tata Tertib Dewan, maka fungsi
pengawasan ini merupakan salah satu tugas Dewan yang dilakukan oleh Komisi. Pengawasan
oleh komisi dilakukan antara lain melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan
melalui kunjungan kerja. Melalui mekanisme tersebut, para Anggota Dewan menggunakan
salah satu haknya yaitu hak bertanya secara aktif yang kemudian hasilnya dirumuskan sebagai
laporan komisi.
Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
memberikan kedudukan yang kuat di bidang pengawasan, dalam pelaksanaannya belum
berjalan optimal. Dalam pelaksanaannya, pengawasan yang dilakukan oleh DPR diindikasikan
cenderung mengarah kepada pengawasan fungsional yang bersifat teknis, selain itu hak-hak
yang dimiliki oleh Anggota DPR dalam rangka pengawasan politik belum digunakan secara
optimal bahkan seringkali rencana penggunaan hak-hak tersebut berhenti dalam tahapan
proses. Berbagai permasalahan yang melatar belakangi belum optimalnya fungsi pengawasan
tersebut adalah sebagai berikut :
a
Rendahnya efektifitas pengawasan melalui rapat-rapat.
Belum optimalnya kinerja DPR di bidang pengawasan karena adanya beberapa
permasalahan di lembaga ini yaitu antara lain rendahnya efektifitas pengawasan melalui
rapatrapat. Dalam hal ini, perencanaan dan persiapan untuk menghadapi rapat tidak
dilakukan dengan matang.
Selain itu, manajemen rapat belum mendukung efektifitas rapat (seperti pimpinan
belum dapat mengarahkan rapat, anggota tidak fokus menyampaikan pertanyaan,
anggota belum disiplin menggunakan waktu). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada Pemerintah tidak didukung dengan data yang cukup dan terkesan kurang
persiapan. Meskipun Pimpinan Rapat mempunyai banyak kewenangan untuk
menjalankan rapat namun tidak adanya batas waktu bagi anggota rapat untuk berbicara
memungkinkan munculnya pertanyaan yang disertai tanggapan/pernyataan yang
panjang, berbelit-belit, dan sering bersifat pengulangan. Peraturan Tata Tertib belum
mengatur dengan jelas mengenai ketentuan-ketentuan tentang pengaturan waktu bicara
dalam rapat-rapat. Tidak ada ketentuan tegas yang mengatur berapa lama seorang
anggota rapat dapat berbicara atau melakukan interupsi. Jalannya rapat seringkali
tergantung sepenuhnya pada Pimpinan Rapat. Hal ini dapat membawa kepada situasi
dimana waktu yang tersedia untuk rapat tidak digunakan secara efisien.
Pimpinan Komisi tidak menyampaikan kesimpulan rapat yang terdahulu sebelum
rapat dimulai dan belum seluruh Fraksi membagi anggotanya berdasarkan bidang
masalah yang ditangani komisi yang bersangkutan, juga merupakan faktor penyebab
rendahnya efektifitas pengawasan melalui rapat-rapat.
Selanjutnya keberadaan staf ahli komisi/alat kelengkapan dewan belum berfungsi
sebagaimana mestinya. Pasal 100 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 menentukan
bahwa DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan yang
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
bertugas membantu kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Para pakar/ahli
sebagaimana dimaksud merupakan kelompok pakar/ahli di bawah koordinasi Sekretaris
Jenderal DPR. Dukungan keahlian sebagaimana dimaksud Undang-Undang tersebut
seharusnya dapat memberikan dukungan secara Iangsung kepada Dewan dalam
melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Namun pada kenyataannya para pakar/ahli
tersebut belum dapat memberikan dukungan yang optimal. Meskipun para pakar/ ahli
tersebut berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal, campur tangan Anggota DPR
Iebih besar dalam hal perekrutan. Pemilihan dan seleksi staf ahli tidak menggunakan
tolok ukur standar sehingga kualitas dan kompetensinya belum mendukung pelaksanaan
tugas dan fungsi DPR.
Beberapa penyebab lainnya yang mempengaruhi rendahnya efektifitas
pengawasan melalui rapat-rapat adalah jawaban pemerintah terhadap pertanyaan tertulis
seringkali baru disampaikan pada saat Rapat Kerja dimulai dan kesimpulan rapat
seringkali diulang-ulang tetapi tidak ada tindak-lanjut dari Pemerintah.
b
Aspirasi masyarakat/konstituen pada saat Anggota melakukan pengawasan ke daerah
tertentu (kunjungan kerja) sering kali tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Selain rendahnya efektifitas pengawasan melalui rapatrapat, belum optimainya
pelaksanaan fungsi di bidang pengawasan karena aspirasi masyarakat/konstituen pada
saat Anggota melakukan pengawasan ke daerah tertentu (kunjungan kerja) sering kali
tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Beberapa faktor yang menyebabkan
permasalahan adalah temuan Anggota sering tidak ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja dan
tindak lanjut hasil kunjungan kerja kurang mendapat respon positif dari Pemerintah.
c
DPR belum efektif menjalankan tugas dan fungsi check and balances.
Permasalahan lain dalam pelaksanaan fungsi pengawasan adalah belum
efektifnya DPR menjalankan tugas dan fungsi check and balances. DPR tidak
mempunyai dana pendukung yang cukup untuk melaksanakan tugas dan fungsinya
secara profesional termasuk pelaksanaan tugas dan fungsinya di bidang pengawasan.
Segala sesuatu yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi DPR mengalami
keterbatasan sumber daya, akses terhadap informasi dan data serta ketergantungan
anggaran kepada Pemerintah.
4
Penyerapan Aspirasi dan Pengaduan Masyarakat
Tuntutan masyarakat terhadap Anggota DPR sebagai wakil rakyat sangat besar. Anggota
DPR diharapkan dapat menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan
Peraturan Tata Tertib DPR, penyerapan aspirasi dan pengaduan masyarakat ke DPR dapat
dilakukan melalui surat pengaduan atau melalui delegasi pengaduan masyarakat ke DPR.
Kedua sarana penerimaan aspirasi masyarakat itu, selama ini telah dilaksanakan oleh Anggota
dan Alat-Alat Kelengkapan Dewan.
Setelah memperhatikan jumlah pengaduan masyarakat yang diterima baik melalui surat
pengaduan maupun delegasi masyarakat ke DPR, dapat dinilai frekuensi pengaduan aspirasi
masyarakat baik kuantitas maupun kualitasnya masih sangat trebatas. Salahsatu masalah yang
diketahui adalah ada kendala bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan data
mengenai kegiatan DPR dan hasil-hasilnya. Meskipun media massa telah menyajikan informasi
mengenai kegiatan Dewan, namun informasi yang disajikan adalah informasi yang sesuai
dengan kebijakan redaksi media yaitu yang memiliki nilai berita. Berita kegiatan Dewan yang
disajikan media massa belum tentu sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Sehingga dianggap perlu untuk menyajikan berbagai aktivitas Dewan
secara lengkap melalui Website DPR.
Namun demikian masyarakat masih mengalami kesulitan untuk mengakses informasi
termasuk hasil-hasil rapat/risalah di DPR. Website DPR RI belum secara lengkap memuat hasilNaskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
hasil rapat DPR RI. Risalah, catatan rapat atau laporan singkat tidak selalu tersedia, karena
pembuatannya yang masih menggunakan sistem manual dan sistem penyimpanan/arsip yang
tidak memadai. Informasi yang disajikan di dalam website DPR adalah informasi yang tidak
aktual karena kegiatannya telah berlalu, sehingga informasi tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan informasi masyarakat.
Selain melalui jaringan website DPR melalui internet, kegiatan pelaksanaan tugas dan
fungsi Dewan diharapkan juga dapat dikomunikasi kepada masyarakat melalui fungsi
kehumasan yang dijalankan oleh Humas Sekretariat jenderal DPR RI. Namun demikian peran
public relations Setjen DPR belum memadai. Sehingga tidak semua kegiatan DPR dapat
diketahui publik.
Hubungan Humas dengan media massa (media relations) belum dilkukan secara optimal.
Pada kita ketahui pada umumnya masyarakat mengetahui kegiatan DPR dari media massa
termasuk juga TV. Namun sering kali kita menemui berita-berita tidak obyektif yang disajikan
media massa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja Dewan. Oleh karena itu, Humas
DPR perlu membangun hubungan atau kerjasama dengan media massa secara obyektif dalam
menyiarkan kegiatan DPR. Walaupun telah ada televisi jaringan yang menyiarkan
kegiatankegiatan Dewan, namun baik isi acara (content) maupun wilayah penyebarannya
masih sangat monoton dan terbatas.
Humas juga berperan dalam membangun pendidikan politik kepada masyarakat
khususnya para pelajar mengenai tugas dan fungsi Dewan. Dalam mengembangkan
pendidikan politik bagi peserta didik dan masyarakat umum, Hubungan Masyarakat (Humas)
Setjen DPR RI belum berperan sebagaimana mestinya. Frekuensi kunjungan peserta didik dan
masyarakat yang ingin mengetahui DPR RI serta pelaksanaan tugas dan fungsinya secara
Iangsung belum begitu sering. Oleh karena itu, di masa yang akan datang Humas Setjen DPR
RI dalam tugas dan fungsinya perlu memberikan pelayanan informasi keparlemenan kepada
peserta didik dan masyarakat umum dalam melakukan wisata pendidikan politik di DPR RI,
agar peserta didik dan masyarakat mempunyai pengetahuan tentang lembaga legislatif yang
beranggotakan wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.
5
a
Komunikasi Publik
Individu Anggota
Selain peningkatan peran sistem pendukung dan supporting system lainnya,
peningkatan kemampuan Anggota Dewan juga perlu mendapat perhatian. Pada
kenyataannya, Anggota belum dapat bekerja secara efektif sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini disebabkan oleh faktor eksternal dan internal.
1
Faktor Eksternal
a
Belum tersedianya asisten dan tenaga ahli yang berkualitas bagi para
anggota.
b
Tidak berfungsinya perangkat kerja secara optimal seperti internet, telepon,
dan lain sebagainya.
c
Perencanaan anggaran yang belum efektif.
d
Penggunaan anggaran belum efektif.
e
Sistem yang belum mendukung.
f
Keamanan dan kenyamanan bekerja di kantor yang belum kondusif.
g
Jadwal rapat yang tumpang tindih, disebabkan kesulitan Setjen dalam
menetapkan jadwal rapat-rapat Anggota
2
Faktor Internal
a
Kurangnya disiplin Anggota dalam menghadiri rapat-rapat.
b
Kurang memahami tugas dan fungsi.
c
Latar belakang pendidikan anggota tidak sesuai dengan penempatannya di
komisi atau badan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
d
Pada prakteknya, ada anggota yang mengikuti banyak pansus sehingga
mempengaruhi kapasitasnya secara individual.
e
Dalam bidang kehumasan, kadangkala Anggota menyampaikan hal-hal
yang tidak perlu disampaikan kepada masyarakat
Kualitas Anggota Dewan tentunya perlu didukung oleh kecakapan dan
kematangan Anggota di bidang politik. Selain itu, Anggota Dewan yang memiliki
ketrampilan teknis di dalam penyusunan produk legislatif akan menjadi nilai tambah
tersendiri. Dengan ketrampilan tersebut, pembahasan sebuah produk legislatif tidak perlu
menghabiskan banyak waktu untuk memperdebatkan halhal yang sifatnya teknis atau
redaksional, karena antara eksekutif dan legislatif telah mempunyai kemampuan dan
pemahaman yang sama. Selain itu, dengan kemampuan ini, para Anggota Dewan tidak
perlu menunggu prakarsa dari pemerintah apabila mempunyai ide atau pemikiran tertentu
yang perlu dituangkan dalam produk legislatif. Para Anggota Dewan dapat berinisiatif
mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Permasalahan lain yang dihadapi Anggota DPR adalah terjadi kemacetan (bottle
neck) dalam pelaksanaan tugas-tugas rutin. Hal ini disebabkan karena pembagian kerja
di antara anggota yang tidak merata. Bagi fraksi-fraksi yang jumlah Anggotanya sedikit
agak kewalahan dalam memilih dan mengirimkan wakil-wakilnya di Pansus RUU atau
non RUU. Beban kerja masing-masing Anggota menjadi berat. Di samping itu, Anggota
belum dapat bekerja sebagaimana mestinya, karena kurangnya dukungan tenaga
fungsional.
b
Hubungan Anggota dan Konstituen
Berdasarkan undang-undang, anggota DPR dipilih oleh rakyat berdasarkan daerah
pemilihan tertentu. Daerah pemilihan anggota DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian
Provinsi. Pemilihan Umum anggota DPR dilakukan dengan sistem proporsional terbuka.
Artinya, selain memilih tanda gambar, pemilih juga dapat memilih orang. Setiap orang
yang akan menjadi anggota DPR harus memperoleh jumlah suara tertentu dalam
pemilihan umum. Untuk ditetapkan sebagai calon Anggota DPR, seorang calon anggota
DPR harus mendapatkan dukungan yang cukup dari masyarakat pemilihnya.
Sebagai konsekuensi dari sistem tersebut, sudah seharusnya hubungan antara
anggota DPR terpilih dengan pemilihnya senantiasa terbina dan tidak terhenti ketika
calon anggota DPR terpilih menjadi anggota DPR. Salah satu bentuk dari komunikasi
antara Anggota DPR dengan konstituennya adalah setiap anggota DPR dituntut untuk
menginformasikan hasil kerja dan perjuangannya terhadap aspirasi masyarakat yang
diwakilinya. Sebaliknya, anggota DPR juga harus mampu mengartikulasikan aspirasi dari
warga masyarakat di daerah pemilihannya. Namun, menurut penilaian saat ini
komunikasi Anggota dengan konstituennya masih dirasakan kurang.
Beberapa permasalahan yang menyebabkan komunikasi antara anggota DPR dan
konstituennya (masyarakat yang diwakilinya) kurang adalah:
a
Rendahnya frekuensi pertemuan Anggota DPR dengan konstituen;
Satu Tahun Persidangan DPR dibagi menjadi empat Masa Persidangan.
Masa Persidangan dibagi menjadi Masa Sidang dan Masa Reses. Dengan
demikian, dalam satu tahun, anggota DPR memiliki kesempatan untuk melakukan
kunjungan ke daerah sebanyak empat kali. Namun dalam masa reses tersebut,
anggota juga harus melakukan kunjungan kerja secara berkelompok bersama
dengan Koinisi. Dengan keikutsertan anggota dalam kunjungan kerja Komisi, maka
waktu Anggota untuk berkunjung ke daerah pemilihannya menjadi berkurang.
Apalagi jika daerah pemilihan dari anggota yang bersangkutan sangat luas dengan
kondisi geografis yang sulit untuk dicapai.
b
Terbatasnya dana bagi Anggota DPR untuk tinggal lama di daerah;
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
c
d
Selama ini dana yang ditujukan bagi Anggota Dewan untuk membina
komunikasi dengan konstituennya berasal dari dana penyerapan aspirasi
masyarakat. Selama ini model penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota
Dewan, dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang dilakukan melalui
pertemuan langsung dengan konstituennya, namun ada jugs yang dilakukan
secara tidak langsung misalnya melalui acara dialog yang disiarkan oleh stasiun
radio penyiaran di daerah yang bersangkutan.
ldealnya, komunikasi dengan konstituen ini memang harus dilakukan secara
langsung oleh Anggota Dewan kepada masyarakat konstituennya. Namun
berdasarkan pertimbangan efisiensi, kegiatan komunikasi dengan kosntituen Iebih
sering dilakukan dengan bantuan media penyiaran khususnya radio di daerah.
Pertimbangan ini tentunya menambah beban biaya dalam melakukan komunikasi
dengan konstituen, karena pada umumnya setiap Angota Dewan harus membayar
mata acara dalam stasiun radio tersebut yang digunakan untuk berkomuniksi
dengan konstituennya.
Terbatasnya kemampuan pendidikan politik masyarakat terutama dalam
melakukan komunikasi dengan Anggota Dewan, menyebabkan tidak efektifnya
pertemuan Anggota Dewan dengan konstituennya. Masyarakat Iebih
memperhatian dan menghargai bahasa komunikasi simbolik serta pemberian
barang-barang berharga bagi dirinya. Masyarakat lebih memperhatikan spanduk
atau baliho yang dipasang ditempat ramai dan berisi pesanpesan singkat Anggota
Dewan dalam peringatan hari-hari tertentu. Selain itu masyarakat lebih menghargai
pemberian barang-barang kebutuhan poko misalnya sembako, daripada harus
berkomunikasi dengan wakilnya di DPR. Dua keadaan ini tentunya akan berakibat
pada semakin membesarnya kebutuhan dana bagi Anggota Dewan dalam
melakukan komunikasi dengan masyarakat konstituennya.
Masyarakat tidak dapat menyampaikan aspirasi dan kesulitannya kepada wakilnya
bila diperlukan;
Tidak semua masyarakat jadwal reses Anggota Dewan yang biasanya diikuti
dengan kegiatan berkunjungnya Anggota Dewan ke daerah konstituennya.
Luasnya daerah pemilihan Anggota Dewan serta kesibukan masyarakat,
menyebabkan masyarakat konstituen mengalami kesulitan dalam menemui dan
menyampaikan aspirasi serta kesulitannya kepada wakilnya di DPR. Tidak semua
masyarakat di daerah pemilihan tersebut memiliki kemampuan untuk menjangkau
tempat pertemuan atau ikut serta berinteraksi dengan wakilnya melalui media
penyiaran. Keterbatasan waktu, dana dan kesempatan masyarakat untuk
berkomunikasi secara efektif dengan Anggota Dewan menyebabkan masyarakat
mengalami kesulitan dalam menyampaikan aspirasinya.
Tidak mudah menemui Anggota DPR di daerah;
Berbagai pertimbangan dari masyarakat di daerah konstituen, baik
pertimbangan ekonomis, psikologis, maupun adat dan budaya, menyebabkan tidak
mudah bagi masyarakat menemui Anggota Dewan yang sedang berkunjung di
daerah konstituennya. Masyarakat tidak memiliki uang untuk mendatangi tempat
pertemuan atau berinteraksi dengan Anggota Dewan yang berada di wilayahnya.
Selain itu, masyarakat merasa malu atau rendah diri untuk bertemu dengan "para
pembesar" yang walaupun "pembesar" itu adalah juga wakil mereka di DPR.
B.
1
Sistem Pendukung
Sekretariat Jenderal DPR-RI
Secara umum Sekretariat Jenderal DPR telah melaksanakan fungsinya sebagai unsur
penunjang pelaksanaan tugas-tugas DPR. Namun, Organisasi Setjen diindikasikan belum
berorientasi kepada kinerja. Hal ini ditandai dengan belum sepenuhnya berorientasi pada visi
dan misi, meski dalam struktur organisasi yang baru telah mengarahkan langsung pada
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
dukungan kepada pelaksanaan fungsi - fungsi Dewan, tetapi belum dilengkapi dengan prosedur
dan tata kerja, aparatur yang kompeten di bidangnya, dan kultur yang kondusif. Oleh karena itu,
seiring dengan meningkatnya bobot fungsi dan jumlah Anggota DPR, mengharuskan
Sekretariat Jenderal memberikan dukungan yang lebih optimal dan proporsional.
Sekretariat Jenderal DPR RI (Setjen DPR RI) merupakan unsur penunjang DPR RI.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 23 Tahun 2005, Setjen DPR RI adalah aparatur
pemerintah yang di dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan
bertanggungjawab Iangsung kepada Pimpinan DPR RI.
Dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI, sesuai dengan Peraturan Tata
Tertib DPR RI Tahun 2005, Setjen DPR RI mempunyai tugas:
a
memberikan bantuan teknis, administratif, dan keahlian kepada DPR RI;
b
melaksanakan kebijakan kerumahtanggaan yang telah ditentukan oleh Pimpinan DPR RI,
termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
c
membantu BURT dalam mensinkronisasikan penyusunan rancangan anggaran DPR RI
yang bersumber dari pengajuan masing-masing alat kelengkapan DPR RI, dengan
ketentuan:
1)
hasil sinkronisasi penyusunan rancangan anggaran sebelum disampaikan kepada
Pimpinan DPR RI terlebih dahulu disampaikan kepada BURT untuk diadakan
penelitian dan penyempurnaan;
2)
dalam proses penyelesaian rancangan anggaran selanjutnya, Sekretariat Jenderal
membantu BURT dan Panitia Anggaran untuk menetapkan plafon anggaran.
d
membantu Anggota, Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi menyiapkan naskah
akademis dan naskah awal RUU;
e
membetikan penjelasan dan data yang diperlukan oleh BURT;
f
melaksanakan hal lain yang ditugaskan oleh Pimpinan DPR RI; dan
g
melaporkan secara tertulis pelaksanaan tugasnya selama Tahun Sidang yang lalu
kepada Pimpinan DPR RI pada setiap permulaan Tahun Sidang dengan memberikan
tembusan kepada Badan Musyawarah dan BURT.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, berdasarkan Perpres No. 23 Tahun 2005, Setjen
DPR RI mempunyai fungsi:
a
koordinasi dan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas unit organisasi di Iingkungan
Setjen DPR RI;
b
pemberian dukungan teknis, administratif dan keahlian di bidang perundang-undangan,
anggaran, dan pengawasan kepada DPR RI;
c
pembinaan dan pelaksanaan perencanaan dan pengendalian, kepegawaian, keuangan,
perlengkapan dan kerumahtanggaan di Iingkungan DPR RI.
Untuk menyelenggarakan dukungan teknis, administratif, dan keahlian tersebut, Setjen
DPR RI mempunyai struktur organisasi terdiri dari 4 (empat) deputi, yaitu:
a
Deputi Bidang Perundang-undangan, mempunyai tugas memberikan dukungan teknis,
administratif dan keahlian di bidang perundangundangan untuk memperkuat
pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI di bidang legislasi.
b
Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan, mempunyai tugas memberikan dukungan
teknis, administratif, dan keahlian di bidang anggaran dan pengawasan untuk
memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI di bidang anggaran dan
pengawasan.
c
Deputi Bidang Persidangan dan Kerja Sama Antar Parlemen, mempunyai tugas membina
dan melaksanakan dukungan teknis dan administratif di bidang persidangan dan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
d
kerjasama antar parlemen, dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan sidang - sidang
DPR serta fasilitasi hubungan DPR dengan masyarakat nasional maupun internasional.
Deputi Bidang Administrasi, mempunyai tugas membina dan melaksanakan perencanaan
dan pengendalian, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan kerumahtanggaan di
Iingkungan DPR RI, dimaksudkan untuk memberikan dukungan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana kepada DPR.
Dengan struktur demikian, Sekretariat Jenderal DPR RI dapat memperkuat bentuk
pelayanan baik di bidang teknis administratif, maupun substantif yang menyangkut ketiga fungsi
Dewan. Dukungan teknis administratif terkait dengan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
berjalannya aktivitas DPR, mulai dari fasilitas perumahan, transportasi, rapat-rapat, dan
fasililitas pelayanan kesehatan bagi Anggota Dewan dan keluarganya. Sedangkan pelayanan di
bidang keahlian terkait dengan dukungan secara Iangsung kepada substansi yang diperlukan
untuk pelaksanaan ketiga fungsi Dewan. Pelayanan keahlian meliputi dukungan terhadap
perancangan dan pendampingan pembahasan RUU, data dan analisis dalam rangka
pembahasan RAPBN dengan Pemerintah, serta dukungan bagi pelaksanaan fungsi
pengawasan melalui penggunaan beberapa hak-hak Dewan.
Dengan peningkatan peran DPR RI pasca amandemen UUD 1945, dituntut peningkatan
kinerja Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai supporting system. Karena berhasil tidaknya
pelaksanaan tugas DPR sangat tergantung pada dukungan Sekretariat Jenderal. Oleh karena
itu, Sekretariat Jenderal harus dapat mengiringi setiap gerak Iangkah dan irama kerja DPR RI.
Namun, saat ini terdapat beberapa masalah dalam dukungan Setjen DPR RI terhadap
pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI, yang berkaitan dengan:
a
Struktur Organisasi Sekretariat Jenderal DPR RI
Tuntutan terhadap peningkatan peran DPR RI pasca Amandemen UUD 1945 ternyata
berdampak pada Struktur Organisasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Ketetapan MPR RI Nomor
VI//MPR/2002 merekomendasikan perlunya restrukturisasi Organisasi Sekretariat Jenderal DPR
RI dengan membentuk suatu institusi yang mempunyai tugas khusus di bidang anggaran dan
legislasi.
Sebagai jawaban atas tuntutan tersebut, DPR RI melakukan restrukturisasi Organisasi
Sekretariat Jenderal dan disetujui oleh Presiden, tertuang dalam Peraturan Presiden No. 23
Tahun 2005 tentang Sekretariat Jenderal DPR RI. Perubahan penting clad restrukturisasi
Sekretariat Jenderal adalah penegasan bentuk dukungan Sekretariat Jenderal terhadap
pelaksanaan tugas Dewan, yaitu dukungan teknis, administratif, dan keahlian, serta
pembentukan Deputi yang diarahkan pada dukungan ketiga fungsi Dewan.
Struktur Sekretariat Jenderal yang relatif masih baru ternyata masih dianggap belum
sepenuhnya efektif dalam memberikan dukungan kepada Dowan. Hal ini disebabkan antara lain
karena posisi para Peneliti di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) yang
kurang tepat yaitu ditempatkan di bawah Deputi Anggaran dan Pengawasan. Penempatan ini
seolah-olah membatasi lingkup kerjanya yang hanya mendukung kedua fungsi DPR tersebut.
Padahal kadangkala peneliti P3DI diminta untuk mendampingi Pansus RUU atau non RUU. Di
samping itu, posisi Legislative Drafter terbagi-bagi dalam 2 (dua) biro yang berbeda ruang
Iingkupnya, yaitu Biro Perancangan UndangUndang Bidang Pdlitik, Hukum, HAM, dan Kesra
dan Biro Perancangan Undang-Undang Bidang Ekkuindag. Dengan posisi demikian, para
perancang menjadi terpecah-pecah dan beban kerja pada masingmasing perancang tidak
merata.
Adanya batasan normatif dalam peraturan perundanganundangan untuk pengembangan
struktur menjadi kendala dalam restrukturisasi Setjen. Misalnya, ada pembatasan jumlah biro
dalam satu deputi dan juga pembatasan Bagian dalam satu biro.
b
Kualitas Sumber Daya Manusia
Para pegawai yang bekerja pada Setjen DPR RI merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang karir dan penggajiannya tergantung pada peraturan tertentu, dan tunduk pada peraturan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
kepegawaian pada umumnya. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas mereka
bertanggung jawab penuh kepada Pimpinan DPR RI.
Keseluruhan jumlah PNS Setjen per 1 September 2006 adalah 1362 orang, yang
menyebar dalam empat deputi:
-
Deputi Bidang Perundang-undangan PNS berjumlah 94 orang;
-
Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan PNS berjumlah 160 orang;
-
Deputi Bidang Persidangan dan KSAP PNS berjumlah 378 orang;
-
Deputi Bidang Administrasi PNS berjumlah 722 orang.
Dengan jumlah PNS 1362 orang, dukungan sumber daya manusia Setjen dianggap
belum memadai. Salah satu penyebabnya adalah adanya ketimpangan jumlah staf yang
bersifat administratif dan staf fungsional (yang bersifat substantif), baik pada alat-alat
kelengkapan Dewan maupun pada Sekretariat Jenderal. Jumlah staf administratif jauh melebihi
jumlah staf fungsional. Jumlah staf administratif 1002 orang, sedangkan jumlah staf yang
secara fungsional melaksanakan tugas-tugas substansial ± 360 orang yang tersebar di
beberapa bidang kerja. Jumlah tersebut saat ini didukung oleh tenaga ahli yang berjumlah 12
orang, yang terdapat pada beberapa unit kerja seperti Biro - Biro di bawah Deputi Bidang
Perundang - undangan, Biro - Biro di bawah Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan, dan
Biro - Biro di bawah Deputi Bidang Administrasi. Dengan adanya tenaga ahli tersebut
diharapkan terdapat transfer of knowledge.
Mengingat anggota DPR RI hash Pemilu tahun 2004 berjumlah 550 orang dengan beban
tugas yang demikian berat, dibutuhkan dukungan substansi yang begitu besar. Kesibukan
Anggota setiap harinya dengan jadwal rapat yang demikian padat, baik di Komisi, Alat
Kelengkapan Dewan, maupun Pansus/Panja yang dibentuk untuk membahas RUU atau
masalah-masalah tertentu, tidak memungkinkan Anggota menyiapkan substansi sendiri. Oleh
karena itu yang dibutuhkan anggota Dewan adalah PNS Setjen yang tidak hanya melayani
secara administratif tetapi mempunyai wawasan yang luas. Selain PNS Setjen, Asisten Pribadi
(Aspri) yang mendukung Anggota belum efektif, karena perekrutan yang dilakukan langsung
oleh Anggota, sehingga tidak ada kesamaan kriteria dan kualitas. Beberapa Anggota malah
mengangkat saudara atau kenalannya, yang tidak mempunyai kemampuan. Untuk itu perlu
dipikirkan mekanisme perekrutan yang dilakukan oleh Setjen DPR RI.
Faktor lain yang menyebabkan belum memadainya SDM Setjen adalah belum efektifnya
pembinaan SDM melalui pendidikan dan latihan (diklat). Pada Tahun Anggaran 2006, jenis
jenis diktat yang dilaksanakan terdiri dari:
1
Pendidikan dan Pelatihan Struktural
a
KSA Lemhannas
b
Diklatpim Tk.I (SPATI)
c
Diklatpim Tk. II (SPAMEN)
d
Diklatpim Tk. III (SPAMA)
e
Diklatpim Tk. IV (ADUM)
f
Ujian Dinas
2
Pendidikan dan Pelatihan Fungsional
a
Bidang Teknologi Komputer: diklat operator komputer tingkat dasar, diktat
komputer tingkat lanjutan, diklat teknisi komputer, diktat komputer design graphic,
computer networking/jaringan.
b
Bidang Persidangan: diklat teknis penulisan laporan persidangan, diktat teknis
menulis cepat/stenografi, diklat penyegaran penyusunan risalah rapat, diklat teknik
penyusunan DIM.
c
Bidang Kehumasan: diklat kehumasan, diktat bahasa asing, diktat pelayanan pers,
diktat fotografi, diktat keprotokolan dan MC.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
d
Bidang Administrasi dan Manajemen: diktat administrasi perkantoran, diklat
pengembangan diri, diktat kesekretariatan, diktat manajemen SDM, diktat
pengawasan internal, diktat manajemen perencanaan, diklat pembuatan abstraksi,
diklat kepustakawanan.
Belum efektifnya diklat tersebut disebabkan karena peserta diktat seringkali bukan
merupakan pegawai yang memerlukan keahlian tersebut, tetapi dilibatkan karena yang
bersangkutan tidak terlalu sibuk. Di samping itu, jenis diktat yang berkaitan dengan
kefungsionalan belum mencakup substansi yang dibutuhkan Dewan misalnya yang berkaitan
dengan peningkatan pendidikan akademik atau pendidikan non akademik tentang
keparlemenan, pemilu, partai politik atau ilmu politik pada umumnya, serta cabang ilmu lain
yang dibutuhkan Dewan.
Masih berkaitan dengan kendala dalam dukungan keahlian kepada Anggota DPR RI,
beberapa jabatan fungsional yang berada di Setjen DPR RI tergantung pada institusi lain.
Misalnya, para peneliti di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI,
untuk peningkatan karirnya tergantung pada karya-karya tulis ilmiah mereka yang dinilai oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Padahal ada perbedaan antara tuntutan tugas
dengan persyaratan kenaikan jabatan fungsional peneliti. Karya-karya tulis yang dapat dinilai
oleh LIPI berupa kajian-kajian ilmiah dan hasil penelitian yang sangat teoritis, sementara
tuntutan tugas sebagai dukungan kepada Dewan lebih bersifat praktis dan tidak terlalu teoritis,
yang tidak dapat dinilai LIPI. Nilai positif yang bisa diambil oleh para peneliti dari sistem
penilaian yang dilakukan oleh LIPI adalah peneliti dituntut untuk terus meningkatkan
kemampuan dalam menganalisis serta dalam membuat karya ilmiah sesuai standard ilmiah
LIPI. Kemudian perancang undang-undang (legislative drafter) yang peningkatan karirnya
bergantung pada penilaian Departemen Hukum dan HAM. Demikian pula dengan tenaga
fungsional Iainnya seperti pranata komputer, pustakawan dan arsiparis, penilaian untuk angka
kredit dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional.
Demikian pula rintisan pengembangan fungsional Perencana Anggaran di bawah induk institusi
Bappenas belum dapat berjalan.
Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, staf fungsional belum didukung sarana yang
memadai. Kurangnya anggaran untuk melakukan berbagai penelitian, terbatasnya sarana
komputer dan internet, serta ketidaklengkapan buku-buku referensi ilmiah merupakan kendala
Iainnya bagi tenaga fungsional dalam memenuhi permintaan Anggota DPR RI akan data atau
informasi yang bersifat substansial.
Di samping itu, tugas dan fungsi, serta mekanisme dan prosedur kerja P3DI belum jelas.
Terlebih dengan adanya aturan baru dari LIPI yang mengharuskan peneliti berkonsentrasi pada
spesialisasi bidang kepakaran tertentu, yang semakin menyulitkan peneliti dalam perolehan
angka kredit. Dengan tuntutan kerja yang ada, jumlah peneliti justru semakin berkurang karena
banyak yang berpindah ke jalur struktural. Saat ini jumlah peneliti hanya 32 orang.
Selain itu, pada beberapa biro yang memiliki kebutuhan sangat tinggi akan kemampuan
analisis ternyata belum cukup didukung oleh pegawai yang memiliki kemampuan analisis.
Misalnya, di Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN jumlah pegawai fungsional yang
mempunyai kemampuan untuk menganalisa anggaran masih terbatas. Oleh karena itu, saat ini
dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh 3 orang tenaga ahli, namun hal ini ke depan perlu
terus ditingkatkan. Di samping itu, di Biro Perancangan Undang-Undang, khususnya di
Sekretariat Badan Legislasi saat ini didukung oleh 17 orang tenaga ahli dari luar, padahal
Setjen mempunyai legislative drafter yang khusus mendukung fungsi legislasi DPR. Oleh
karena itu, untuk penguatan fungsi legislasi DPR, Biro Perancangan Undang-Undang perlu
diperkuat, agar tidak tergantung pada tenaga ahli dari luar.
c
Sistem Komunikasi dan Informasi
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kinerja DPR RI perlu dibangun sistem
komunikasi dan informasi, baik secara manual maupun elektronik. Terlebih lagi saat ini dengan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
perubahan lingkungan strategis dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
penggunaan teknologi informasi dalam proses administrasi sudah menjadi tuntutan kebutuhan.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi, akan terjadi perubahan cara kerja, cara
berkomunikasi, persepsi tentang efisiensi, pengelolaan dan penggunaan informasi. Teknologi
komunikasi dan informasi dimaksud dapat berbentuk E-mail, website internet, basis data,
dokumen multimedia.
Dengan sistem tersebut maka DPR RI akan mendapatkan manfaat dalam banyak hal,
seperti kecepatan komunikasi antara pejabat dan staf Setjen, antara staf dengan Anggota, serta
antar Anggota. Demikian pula manfaat dalam penyimpanan data dan kearsipan akan lebih
mudah disimpan dan sekaligus mudah ditemukan kembali apabila diperlukan.
Penggunaan internet dan intranet di lingkungan DPR RI dan Sekretariat Jenderal sudah
menjadi kebutuhan. Penggunaan e-mail sudah secara umum dilaksanakan. Namun demikian,
fasilitas yang menyangkut internet dalam Setjen DPR RI masih belum mendukung kinerja
Dewan secara optimal. Dengan kapasitas 2 Megabyte (Mb) komputer digunakan oleh 800 1000 user. Padahal, dengan penggunaan oleh demikian banyak user selayaknya kapasitas
yang mend.ukung sebesar 8 Mb. Walaupun saat ini sedang dalam proses peningkatan menjadi
5 Mb, namun untuk hasil yang memadai, sarana tersebut perlu segera ditingkatkan. Selain itu,
belum ada tenaga khusus yang secara konsisten menangani dan bertanggungjawab terhadap
pengelolaan website, karena sepenuhnya diserahkan kepada unit masing-masing, sehingga
tidak ada kontinuitas updatingnya.
Sedangkan sistem penyimpanan bahan pustaka dan kearsipan masih banyak
dilaksanakan secara manual. Komunikasi antara staf Setjen dengan Alat Kelengkapan Dewan
dinilai belum memadai, termasuk kurangnya kemampuan dalam hal kualitas komunikasi yang
mampu melahirkan konsep-konsep. Hal ini disebabkan karena masih adanya kendala dalam
pemberian dukungan yang mengarah-langsung kepada peningkatan pelaksanaan fungsi
Dewan dan tidak semua staf menguasai bidang tugasnya secara mendalam.
2
a
Manajemen Kerumahtanggaan
Tenaga Ahli
Di samping PNS yang merupakan pegawai tetap Setjen DPR RI, berdasarkan Pasal 100
UU No. 22 Tahun 2003 dan Pasal 217 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR RI, DPR dapat
mengangkat sejumlah pakar/ ahli sesuai dengan kebutuhan. Mereka merupakan tenaga ahli
yang direkrut melalui kontrak selama 1 tahun dengan honor yang bersumber dari APBN. Tugas
mereka membantu kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi DPR, di bawah koordinasi
Sekretaris Jenderal DPR RI. Saat ini jumlah tenaga ahli tersebut adalah 139 orang yang
tersebar di Komisikomisi dan Alat kelengkapan lainnya serta di Fraksi-fraksi.
Perekrutan mereka diserahkan kepada masing - masing Alat Kelengkapan Dewan
dengan, antara lain persyaratan yang tidak sama dengan mekanisme PNS, namun tidak ada
kriteria dan mekanisme yang jelas dalam perekrutan tenaga ahli dari luar dan kemungkinan
perekrutan tidak sesuai dengan kebutuhan Dewan.
Walaupun tenaga ahli yang direkrut berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal DPR
RI, namun dalam pelaksanaan tugas seharihari tergantung pada perintah pimpinan komisi, alat
kelengkapan Iainnya, atau fraksi. Oleh karena itu, mekanisme pertanggungjawaban dan
keluaran atas hasil kerja tenaga ahli tidak jelas. Di samping itu, pada kenyataannya banyak
tenaga ahli yang datang hanya pada waktuwaktu tertentu dan tidak aktif bekerja sebagai
pendukung kinerja Alat Kelengkapan Dewan.
Dukungan keahlian seyogyanya dihadapkan pada pelaksanaan fungsi dewan yaitu fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan agar dapat memberikan dukungan secara
langsung kepada Dewan dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Komposisi kepakaran
harus bersifat lintas disiplin dan Iintas sektoral, mencerminkan pemikiran sistemik,
komprehensif-integral, berorientasi pada knowledge, skill and attitude yang memadai serta tetap
menjunjung kejujuran akademik (intellectual honesty).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Berkaitan dengan itu para tenaga ahli yang dipekerjakan seyogyanya telah melalui
seleksi kompetensi yang memadai. Oleh karena itu, jabaran job discription setiap tenaga ahli,
perlu menyertakan ukuran norma yang dibutuhkan selama seleksi tersebut, berupa petunjuk
teknis jabatan tenaga ahli dimaksud.
Terindikasi bahwa pemilihan dan seleksi tenaga ahli belum menggunakan tolok ukur
standar baku yang ditetapkan oleh DPR RI sendiri, sehingga jumlah, kualitas kompetensi dan
kebutuhan belum bisa dikontrol keefisienan dan keefektifannya.
b
Peraturan Tata Tertib DPR RI dan Kode Etik
Peraturan Tata Tertib DPR RI merupakan pedoman bagi DPR RI dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Setiap Anggota DPR RI hendaknya selalu berpegang pada aturan dalam
Peraturan Tata Tertib dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Peraturan Tata Tertib DPR
RI mengatur kedudukan, susunan, fungsi, tugas dan wewenang DPR RI dan Alat
Kelengkapannya. Selain itu, Peraturan Tata Tertib juga memuat hak DPR serta hak dan
kewajiban Anggota.
DPR RI juga menyusun Kode Etik yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap
Anggota dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Penjelasan Kode Etik DPR RI
mengamanatkan bahwa aspek kehidupan kenegaraan antara lain ditentukan oleh kualitas kerja
dan kinerja lembaga legislatif yang memiliki komitmen politik, moralitas dan profesional yang
tangguh.
Komitmen tersebut utamanya sebagai upaya untuk mewujudkan DPR RI yang kuat dan
produktif, terpercaya dan berwibawa dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Komitmen politik dan moralitas tersebut merupakan komitmen yang sangat
fundamental yang tidak hanya bersaksi di antara sesama anggota legislatif dan aparatur
pemerintahan, akan tetapi juga merupakan tumpuan utama secara moral yang dampak dan
implikasinya mempengaruhi secara langsung bangsa Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Oleh karena itu, Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPR RI wajib dipah-ami sungguhsungguh dan menjadi norma-norma yang benarbenar dipatuhi oleh Anggota DPR RI. Namun,
ada indikasi bahwa berbagai kelemahan, kekurangan dan hambatan mekanisme kerja dan
kinerja DPR RI dalam melaksanakan fungsi-fungsinya karena kurangnya pemahaman terhadap
Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPR RI. Di samping itu, beberapa ketentuan dalam
Peraturan Tata Tertib DPR RI ternyata dapat menghambat kinerja Dewan, seperti penetapan
kuorum untuk memulai rapat, baik dalam rapat alat kelengkapan Dewan maupun dalam rapat
Badan Musyawarah. Oleh karena itu, Peraturan Tata Tertib DPR RI perlu direvisi.
c
Suasana Kerja
Suasana kerja merupakan faktor penting bagi kelancaran tugas Anggota DPR RI. Saat ini
keamanan dan kenyamanan ruang kerja yang tidak mendukung menjadi kendala bagi kinerja
Anggota DPR RI. Di satu sisi, Anggota DPR RI merupakan wakil rakyat yang harus
menyuarakan aspirasi rakyat, khususnya konstituen. Anggota masyarakat yang hendak
menyampaikan aspirasinya seharusnya diberikan kebebasan untuk itu, namun banyak orang
yang menyalahgunakan kesempatan itu, misalnya mereka datang untuk meminta sumbangan,
baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kegiatan organisasi tertentu, atau sekedar
menawarkan barang dagangannya.
Dengan kondisi ini, Anggota tidak leluasa bekerja dan mengganggu waktu Anggota untuk
menghadiri rapat-rapat. Bahkan Iebih parah lagi, banyak Anggota dan staf yang kehilangan
harta benda yang diletakkan di ruangan kerja, seperti tas dan handphone, atau fasilitas kantor,
seperti faximile.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
BAB IV
SOLUSI DAN REKOMENDASI
Tidaklah berlebihan apabila bagian paling penting dari potret kinerja DPR RI adalah
solusi dan rekomendasi. Solusi dan rekomendasi ini penting, karena pokok-pokok pikiran atau
gagasan yang dimekemukakan dalam bagian solusi dan rekomendasi merupakan tantangan
dan peluang yang harus dikerjakan bersama dalam rangka menempatkan Dewan ini menjadi
lembaga perwakilan dengan berbagai tugas dan wewenang konstitusional yang dimilikinya.
Solusi dan rekomendasi ini juga dapat dijadikan komitmen Dewan untuk meningkatkan
kinerjanya dalam tatanan sistem ketatatanegaraan yang ada pada saat ini.
Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah digambarkan sebelumnya, maka
solusi dan rekomendasi dikelompokan ke dalam beberapa bagaian, yaitu pertama solusi dan
rekomendasi yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan. Kedua, solusi dan
rekomendasi yang berkaitan dengan sistem pendukung. Ketiga, solusi dan rekomendasi
mengenai hubungan DPR dengan lembaga-lembaga negara lain dan masyarakat. Keempat,
persoalan lainnya yang terkait dengan kinerja Dewan. Keempat, persoalan tersebut,
sesungguhnya saling terkait atau tidak dapat dipisahkan, namun penggolangan tersebut
hanyalah dimaksudkan untuk memberikan penekanan saja.
A.
1
Solusi dan Rekomendasi Pelaksanaan Fungsi Legislasi
Solusi
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi legislasi Dewan, terdapat 3 (tiga) masalah
yang teridentifikasi, yaitu menyangkut kualitas UU yang dihasilkan, penyelesaian RUU yang
telah diprioritas dalam program Iogislasi nasional, dan masalah transparansi dalam
pembahasan RUU.
Pertama, kualitas RUU yang dihasilkan DPR dan kemudian disahkan oIeh Presiden
ditentukan oleh seberapa besar manfaat yang dirasakan secara Iangsung oleh masyarakat
dengan kehadiran RUU tersebut. Uotuk itu beberapa solusi yang ditawarkan adalah:
a
Meningkatkan sosialisasi mekanisme dan proses penyusunan UU kepada
Imasyarakat.
b
Membuka peluang partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan UU.
c
Merumuskan format (mekanisme, bentuk, dan tata cara) penyerapan/penyaluran
aspirasi masyarakat.
d
Meningkatkan kualitas dan profesionalisme staf pendukung DPR.
e
Memberituk dan mengembangkan bank data dan pusat informasi yang terkini (upto date) dan berkelanjutan.
f
Meningkatkan kemauan dan kemampuan Anggota DPR dalam mengakoes data
dan informasi.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan tidak terpenuhinya target RUU yang telah
ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional, maka beberapa solusi yang dapat ditawarkan
adalah:
a
Melakukan pembahasan bersama antara Baleg dengan Alat Kelengkajpan DPR
untuk penetapan jumlah RUU yang dibahas setiap tahunnya.
b
Melakukon penataan fungsi Baleg sebagai pintu masuk pembahasan UU.
c
Melakukan sosialisasi kepada alat kelengkapan dan Anggota Dewan mengenai
mekanisme dan tata cara penyusunan RUU
d
Membentuk tim khusus penyusunan jadwal rapat-rapat DPR (bila diperlukan
bekerja sama dengan pihak ketiga).
e
Menentukan batas jumlah RUU yang dibahas oleh Komisi (paling banyak tiga
RUU).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
f
Menentukan batas jumlah Pansus yang membahas RUU secara bersamaan
(paralel).
g
Menentukan batas jumlah maksimal Anggota Pansus (28 orang).
h
Mengembangkan P3DI sebagai pusat layanan penelitian dan informasi.
i
mengalokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhan (otonomi pengelolaan
anggaran DPR).
j
Meningkatkan kerja sama dengan institusi yang bergerak di bidang penelitian dan
perguruan tinggi.
k
Meningkatan komunikasi antara Pemerintah dan DPR.
l
Mengusahakan keseimbangan peiaksanaan fungsi-fungsi pada alat kelengkapan
dewan.
Sedangkan untuk mengatasi masalah proses pembahasan RUU yang tidak transparan
adalah:
a
Melakukan perubahan tata tertib mengenai mekanisme pembahasan RUU.
b
Merumuskan mekanisme sosialisasi RUU kepada masyarakat.
c
Membuka ruang yang Iebih luas untuk partisipasi publik dalam pembahasan RUU
2
Rekomendasi
Dalam kaitannya dengan solusi untuk meningkatkan kualitas RUU yang dihasilkan,
beberapa rekomendasi untuk solusi-solusi yang diajukan adalah sebagai berikut:
a
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan sosialisasi mekanisme dan proses penyusunan
UU kepada masyarakat, adalah:
1)
Meningkatkan sosialisasi UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan melalui berbagai media massa (cetak, elektronik, dan
sebagainya.
2)
Menayangkan di website DPR tentang mekanisme penyusunan UU dalam bahasa
yang mudah dicerna dalam bentuk narasi dan skema (gambar).
3)
Menyiapkan staf setjen dan perangkat yang cukup untuk menjelaskan mekanisme
dan proses penyusunan UU.
b
Rekomendasi untuk solusi membuka peluang partisipasi publik secara luas dalam proses
penyusunan UU, adalah:
1)
Sosialisasi Prolegnas.
2)
Mengumumkan RUU yang akan dibahas DPR melalui media massa.
3)
Memperbanyak RDPU dengan semua pemangku kepentingan (stake-holders)
mengenai RUU yang akan segera dibahas.
c
Rekomendasi untuk solusi merumuskan format (mekanisme, bentuk, dan tata cara)
penyerapan/penyaluran aspirasi masyarakat, adalah:
1)
Menyebarluaskan informasi tentang mekanisme dan tatacara penyaluran aspirasi
masyarakat dalam rangka pembahasan RUU.
2)
Masukan dari masyarakat yang disampaikan kepada Pansus/ Komisi dilaporkan
oleh Pimpinan Pansus dalam Rapat Pansus dan laporan akhir, sebelum
pengambilan keputusan dalam pembicaraan Tingkat II.
d
Rekomendasi solusi eningkatkan kualitas dan profesionalisme staf pendukung DPR,
adalah:
1)
Menambah jumlah dan kualitas staf pendukung penyusunan UU (pelatihan
legislatif drafter; penyusun risalah rapat; pengelola informasi; dan sebagainya).
2)
Membentuk dan memperluas kerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi dan
lembaga yang terkait dengan perundangundangan (BPHN)
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
e
f
g
h
i
j
3)
Membuat mekanisme kerja staf pendukung penyusunan UU.
Rekomendasi untuk solusi membentuk dan mengembangkan bank data dan pusat
informasi yang terkini (up-to date) dan berkelanjutan, adalah:
1)
Mengkompilas peraturan undang-undangan yang sudah ada;
2)
Mengkompilasi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah;
3)
Menghimpun data-data dasar untuk penyusunan kebijakan.
4)
Melakukan konsultasi dengan pakar untuk membangun sistem informasi DPR
(jangka panjang).
5)
Membangun sistem informasi DPR
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan kemauan dan kemampuan Anggota DPR dalam
mengakses data dan informasi, adalah:
1)
Mensosialisasikan tentang pusat data dan informasi yang dapat diakses oleh
Anggota (P3DI dan yang lainnya).
2)
Melatih staf untuk menyajikan data dalam bentuk informasi yang mudah dipahami.
3)
Menyediakan sarana untuk mengakses data dan informasi.
4)
Menyusun manual dan pedoman kerja bagi asisten pribadi Anggota.
5)
Menyusun manual untuk akses data bagi Anggota.
6)
Menfasilitasi dialog publik antara Anggota Dewan dengan masyarakat secara
reguler melalui fraksi-fraksi. (tentative)
Rekomendasi untuk solusi meelakukan pembahasan bersama antara Baleg dengan Alat
Kelengkapan DPR untuk penetapan jumlah RUU yang dibahas setiap tahunnya, adalah:
1)
Mengefektifkan koordinasi antara Baleg dengan Alat Kelengkapan DPR dalam
menentukan Prolegnas dan prioritas pembahasan RUU per tahun.
2)
Mengevaluasi target pencapaian pembahasan RUU per tahun.
3)
Menentukan batas maksimal waktu dan jumlah pembahasan suatu UU.
4)
Membangun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR dalam menentukan batas
waktu penyelesaian suatu UU.
Rekomendasi untuk solusi meelakukan penataan fungsi Baleg sebagai pintu masuk
pembahasan UU, adalah:
1)
Mengubah Tata Tertib (keanggotaan, tugas, fungsi, dan mekanisme kerja Baleg).
2)
Menata hubungan kerja Baleg dengan staf pendukung (perancang UU dan staf
ahli).
3)
Menata hubungan kerja (mekanisme) antara Anggota DPR dan Alat Kelengkapan
Dewan dengan Baleg dalam pengajuan RUU usul inisiatif Anggota.
Rekomendasi unttak solusi meelakukan sosialisasi kepada alat kelengkapan dan
Anggota Dewan mengenai mekanisme dan tata cara penyusunan RUU, adalah:
1)
Fraksi-fraksi memfasilitasi sosialisasi terhadap UU No. 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2)
Fraksi-fraksi menfasilitasi sosialisasi terhadap Pedoman pelaksanaan hak dan
kewajiban Anggota Dewan.
Rekomendasi untuk solusi membentuk tim khusus penyusunan jadwal rapat-rapat DPR
(bila diperlukan bekerja sama dengan pihak ketiga), adalah:
1)
Mengadakan konsultasi dengan pihak ketiga dalam rangka penyusunan jadwal
rapat-rapat DPR.
2)
Mengadakan survey mengenai kegiatan Anggota Dewan sebagai bahan
penyusunan jadwal rapat (untuk meminimalisir terjadinya tumpang tindih jadwal
kegiatan Anggota).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
3)
k
l
m
n
o
p
q
Membentuk Tim Perancang Penyusunan Jadwal Acara Rapat (Anggota Tim terdiri
dari wakil-wakil fraksi yang menjadi Anggota Bamus).
Rekomendasi untuk solusi meenentukan batas jumlah RUU yang dibahas oleh Komisi
(paling banyak tiga RUU), adalah:
1)
Mengubah Tata Tertib (terkait dengan kewenangan Bamus).
2)
Menetapkan kriteria penanganan RUU oleh Komisi atau Pansus dengan
mempertimbangkan substansi yang dibahas, mitra kerja, dan beban kerja komisi
yang bersangkutan.
Rekomendasi untuk solusi menentukan batas jumlah Pansus yang membahas RUU
secara bersamaan (paralel), adalah:
1)
Mengubah Tata Tertib (terkait dengan kewenangan Bamus).
2)
Menetapkan kriteria pembentukan Pansus dengan mempertimbangkan substansi
yang dibahas, mitra kerja, dan keterwakilan fraksi di dalam Pansus.
Rekomendasi untuk solusi menentukan batas jumlah maksimal Anggota Pansus (28
orang), adalah mengubah Tata Tertib (terkait dengan kewenangan Bamus).
Rekomendasi untuk solusi mengembangkan P3DI sebagai pusat Iayanan penelitian dan
informasi, adalah:
1)
Menyempurnakan Dasar Hukum P3DI dan mengubah nama menjadi Pusat
Pelayanan Penelitian DPR.
2)
Menyusun konsep tentang bentuk, tugas, fungsi Pusat Pelayanan Penelitian
(jangka panjang).
3)
Menetapkan status, jenjang karir, dan jabatan fungsional P3I.
4)
Menyusun pola hubungan dan mekanisme kerja antara P3I dengan Anggota DPR
dan Alat Kelengkapan Dewan, serta unit lain di Sekretariat Jenderal DPR.
5)
Menginformasikan kegiatan dan aktifitas P3I serta mengoptimalkan pelayanan
kepada Anggota Dewan (jangka pendek sampai terbentuk lembaga baru).
6)
Meningkatkan kualitas profesionalisme personil P3I (jangka panjang).
7)
Mendesain sarana dan prasarana yang modern untuk P3I (jangka panjang).
8)
Mengadakan sarana dan prasarana yang memadai untuk P3DI (jangka pendek).
Rekomendasi untuk solusi mengalokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhan (otonomi
pengelolaan anggaran DPR), adalah:
1)
Mengubah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (pelaksanaan
otonomi pengelolaan anggaran sesuai dengan cabang kekuasaan negara,
perubahan nomenklatur anggaran sesuai dengan tugas dan fungsi DPR).
2)
Mengubah UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3)
Mengubah UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara.
Rekomendasi untuk solusi : meningkatkan kerja sama dengan institusi yang bergerak di
bidang penelitian dan perguruan tinggi, adalah:
Memperluas jaringan dan meningkatkan kerjasama dengan institusi lain yang bergerak di
bidang penelitian dan perguruan tinggi (untuk mendapatkan informasi yang tepat guna
dan tepat waktu, guna mendukung proses legislasi seperti penyusunan naskah akademis
dan uji sahih).
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan komunikasi antara Pemerintah dan DPR,
adalah:
1)
Mempersiapkan pokok-pokok pembicaraan antara Pemerintah dan DPR dalam
Pertemuan Konsultasi (berkoordinasi dengan Alat Kelengkapan Dewan). Contoh :
kesimpulan Rapat-rapat Kerja yang tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah (jangka
penjang).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
2)
r
s
t
Mengubah UU tentang SUSDUK (mengenai hubungan kerja DPR dengan
Pemerintah).
3)
Mengubah Peraturan Tata Tertib (penjadwalan pertemuan konsultasi DPR dengan
Presiden secara berkala / minimal 1 kali dalam 1 masa sidang) dengan melibatkan
seluruh Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan.
Rekomendasi untuk solusi meengusahakan keseimbangan pelaksanaan fungsi-fungsi
pada alat kelengkapan dewan, adalah:
1)
Pimpinan DPR dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan secara proaktif
menentukan prioritas bidang tugas dengan memperhatikan keseimbangan fungsi
Dewan.
2)
Mengubah Tata Tertib (hak-hak Anggota yang berkaitan dengan penyusunan
agenda dan jadwal rapat, jumlah ruang rapat yang tidak cukup, kehadiran
Pimpinan Dewan dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan dalam rapat-rapat)
Rekomendasi untuk solusi melakukan perubahan tata tertib mengenai mekanisme
pembahasan RUU, adalah:
Mengubah Tata Tertib (Sifat Rapat Panja pada dasarnya terbuka kecuali rapat
menentukan lain).
Remomendasi untuk solusi merumuskan mekanisme sosialisasi RUU kepada
masyarakat, adalah:
1)
Mengubah Tata Tertib khususnya Pasal 142 (surat/masukan masyarakat
dikirimkan langsung ke Alat Kelengkapan Dewan)
2)
Menyebarluaskan Draft RUU (rangkuman/abstraksi RUU inisiatif DPR) yang akan
dibahas melalui media massa, website, sebelum pembicaraan Tingkat I.
3)
Sebelum DPR membahas setiap RUU, DPR mengumumkan kepada masyarakat
tentang
•
Anggota Pansus/Komisi yang akan membahas.
•
Waktu pembahasan dan tenggang waktu masyarakat menyampaikan
masukan.
•
Abstraksi RUU yang akan dibahas.
•
Mekanisme penyampaian masukan masyarakat.
•
Alamat korespondensi (alamat surat, teip, fax, email) Alat Kelengkapan
Dewan/ Pansus yang bersangkutan Qangka pendek).
•
u
Pembentukan call center yang berkaitan dengan pembahasan RUU (Jangka
penjang).
4)
Menugaskan Anggota DPR membantu sosialisasi RUU di daerah pemilihannya
(Sekretariat Jenderal DPR menyusun daftar RUU yang sedang dibahas, tingkat
pembahasan, abstraksi setiap RUU, isueisue yang menonjol pada setiap RUU
untuk dibagikan kepada setiap Anggota sebelum Reses).
5)
Minimal setiap akhir masa sidang, Pansus/Komisi memberikan press release
kepada masyarakat tentang progress pembahasan RUU.
Rekomendasi untuk solusi membuka ruang yang lebih luas untuk partisipasi publik dalam
pembahasan RUU, adalah:
1)
Menyebarluaskan informasi tentang mekanisme dan tatacara penyaluran aspirasi
masyarakat dalam rangka pembahasan RUU.
2)
Masukan dari masyarakat yang disampaikan kepada Pansus/ Komisi dilaporkan
oleh Pimpinan Pansus dalam Rapat Pansus dan laporan akhir, sebelum
pengambilan keputusan dalam pembicaraan Tingkat II.
3)
membuka kotak pos pengaduan masyarakat.
4)
Membuka website DPR.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
5)
Membuka kesempatan kepada masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi
secara langsung.
B.
Solusi dan Rekomendasi Fungsi Pengawasan
Untuk pelaksanaan fungsi pengawasan terdapat beberapa permasalahan, yaitu
rendahnya efektivitas pengawasan melalui rapatrapat, Aspirasi masyarakat/konstituen pada
saat melakukan pengawasan ke daerah tertentu (kunjungan kerja) sering kali tidak
ditindaklanjuti sebagaimana mestinya, DPR belum efektif menjalankan tugas dan fungsi check
and balances. Terhadap ketiga permasalahan tersebut, kajian ini mengajukan beberapa solusi
dan rekomendasi.
1
Solusi Permasalahan pelaksanaan fungsi pengawasan
a
Solusi untuk permasalahan rendahnya efektivitas pengawasan melalui rapat-rapat
adalah:
1)
Meningkatkan koordinasi Anggota Dewan dan mengefektifkan mekanisme
rapat intern Alat-alat Kelengkapan Dewan.
2)
Membuat kesepakatan seluruh anggota dewan dalam menggunakan hak
bicara melalui perubahan tata tertib.
3)
Meningkatkan kemampuan staff sekretariat dalam pelayanan informasi
kepada Anggota.
4)
Meningkatkan profesionalitas staf ahli.
5)
Meningkatkan komunikasi Alat Kelengkapan Dewan dengan mitra kerja.
6)
Menetapkan mekanisme untuk evaluasi tindak lanjut dari kesimpulan rapat
kerja.
7)
Membangun fasilitas pelayanan informasi di setiap Komisi agar informasi
yang terkini mudah diakses pihak yang membutuhkan.
8)
Pimpinan Dewan dan Alat Kelengkapan Dewan memberikan panutan dan
keteladanan bagi kedisiplinan Anggota.
b
Solusi untuk permasalahan aspirasi masyarakat pada saat mengunjungi daerah
atau konstituen tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya adalah:
1)
Pokok-pokok pengawasan oleh Dewan dilakukan dengan transparan dan
dipublikasikan secara berkala.
2)
Pada awal Rapat Kerja perlu ada agenda penyampaian tindaklanjut
kesimpulan rapat yang lalu yang dilakukan oleh pemerintah.
c
Solusi terhadap masalah belum efektifnya menjalankan tugas dan fungsi check
and balances adalah:
1)
Melaksanakan kunjungan perorangan, lintas fraksi, dan lintas komisi dalam
rangka pengawasan sektoral dan regional.
2)
Merevisi UU yang terkait anggaran DPR.
3)
Menyempurnakan prosedur dan mekanisme pengawasan termasuk
transparansi untuk akuntabilitas kepada publik.
2
Rekomendasi
Terhadap berbbagai solusi yang disebutkan di atas, tim kajian ini merumuskan beberapa
rekomendasi, yaitu:
a
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan koordinasi Anggota Dewan dan
mengefektifkan mekanisme rapat intern Alat-alat Kelengkapan Dewan, adalah:
1)
Memperbaiki manajemen persidangan melalui Rapat Intern.
2)
Perubahan Tata Tertib
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
•
Sanksi bagi Anggota Dewan yang terlambat hadir dalam rapat.
•
Sanksi bagi Anggota Dewan yang meninggalkan rapat sebelum rapat
ditutup.
•
Penentuan kuorum waktu mulai rapat (rapat dapat dimulai apabila
sudah dihadiri oleh 60% wakil fraksi atau 50% + 1 dari jumlah
Anggota).
•
b
c
d
e
f
g
Penentuan kuorum pengambilan keputusan (apabila dihadiri oleh 60%
wakil fraksi atau 50% + 1 dari jumlah Anggota).
3)
Anggota yang mengusulkan pihak yang akan diundang dalam rapat, wajib
memberikan pokok-pokok permasalahan yang akan disampaikan.
4)
Menyusun prosedur baku kesimpulan rapat dan laporan singkat.
Rekomendasi untuk solusi membuat kesepakatan seluruh anggota dewan dalam
menggunakan hak bicara melalui perubahan tata tertib, adalah:
1)
Membatasi hak bicara Anggota dalam rapat maksimal 3 (tiga) menit, apabila
melebihi dari 3 (tiga) menit, maka pertanyaan Anggota harus diajukan
secara tertulis.
2)
Anggota sudah slap mengajukan pertanyaan sebelum rapat dimulai.
3)
Anggota yang datang terlambat lebih dari 30 (tiga puluh) menit, maka
kehilangan hak bicara dalam rapat.
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan kemampuan staff sekretariat dalam
pelayanan informasi kepada Anggota, adalah:
1)
Menyampaikan laporan singkat kepada Anggota paling lambat 1 (satu) hari
setelah pelaksanaan rapat.
2)
Mengadakan pendidikan dan latihan penyusunan draft kesimpulan rapat,
laporan singkat, catatan rapat, dan risalah rapat.
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan profesionalitas staf ahli, adalah:
1)
Menetapkan mekanisme rekruitmen dan persyaratan calon tenaga ahli.
2)
Menetapkan job description (uraian tugas) tenaga ahli.
3)
Mengubah Tata Tertib yang memungkinkan adanya tenaga ahli yang
bersifat temporer.
4)
Mengevaluasi secara berkala (6 bulan) terhadap kinerja, tenaga ahli.
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan komunikasi Alat Kelengkapan Dewan
dengan mitra kerja, adalah:
1)
Surat undangan dan topik/tema pembicaraan dari DPR sudah disampaikan
kepada Pemerintah minimal 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan rapat.
2)
Jawaban Pemerintah sudah disampaikan kepada Anggota minimal 2 (dua)
hari kerja sebelum pelaksanaan rapat.
Rekomendasi untuk solusi menetapkan mekanisme untuk evaluasi tindak lanjut
dari kesimpulan rapat kerja, adalah:
1)
Sebelum rapat dimulai, Pemerintah menyampaikan laporan secara tertulis
terhadap tindak lanjut hasil kesimpulan Rapat Kerja sebelumnya.
2)
Mengkompilasi kesimpulan Rapat Kerja yang belum/tidak ditindalanjuti
Pemerintah untuk menjadi bahan rapat dan agenda rapat konsultasi DPR
dengan Presiden.
3)
Merevisi UU tentang SUSDUK (Menteri berkewajiban menindaklanjuti
Kesimpulan Rapat Kerja).
Rekomendasi untuk solusi membangun fasilitas pelayanan informasi di setiap
Komisi agar informasi yang terkini mudah diakses pihak yang membutuhkan,
adalah:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
h
i
j
k
l
Memberikan pelatihan staf komisi (minimal 2 orang) dalam hal kehumasan
(membuat press release, mengadakan jumpa pers) untuk disampaikan kepada
masyarakat.
Rekomendasi untuk solusi Pimpinan Dewan dan Alat Kelengkapan Dewan
memberikan panutan dan keteladanan bagi kedisiplinan Anggota, adalah
mengubah Tata Tertib (seluruh Pimpinan Dewan dan Pimpinan Alat Kelengkapan
Dewan hadir di ruang rapat pada saat pelaksanaan rapat)
Rekomendasi untuk solusi pokok-pokok pengawasan oleh Dewan dilakukan
dengan transparan dan dipublikasikan secara berkala, adalah memberikan
pelatihan staf komisi (minimal 2 orang) dalam hal kehumasan (membuat press
release, mengadakan jumpa pers) untuk disampaikan kepada masyarakat.
Rekomendasi untuk solusi pada awal Rapat Kerja perlu ada agenda penyampaian
tindaklanjut kesimpulan rapat yang lalu yang dilakukan oleh pemerintah, adalah:
1)
Mempersiapkan pokok-pokok pembicaraan antara Pemerintah dan DPR
dalam Pertemuan Konsultasi (berkoordinasi dengan Alat Kelengkapan
Dewan). Contoh : kesimpulan Rapat-rapat Kerja yang tidak ditindaklanjuti
oleh Pemerintah.
2)
Mengubah UU tentang SUSDUK (mengenai hubungan kerja DPR dengan
Pemerintah).
Rekomendasi terhadap solusi merevisi UU yang terkait anggaran DPR adalah:
1)
Mengubah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(pelaksanaan otonomi pengelolaan anggaran sesuai dengan cabang
kekuasaan negara, perubahan nomenklatur anggaran sesuai dengan tugas
dan fungsi DPR).
2)
Mengubah UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3)
Mengubah UU Nomor 15 Tahun 2004 .tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Rekomendasi untuk solusi menyempurnakan prosedur dan mekanisme
pengawasan termasuk transparansi untuk akuntabilitas kepada Public, adalah:
1)
Sebelum rapat dimulai, Pemerintah menyampaikan laporan secara tertulis
terhadap tindak lanjut hasil kesimpulan Rapat Kerja sebelumnya.
2)
Mengkompilasi kesimpulan Rapat Kerja yang belum/tidak ditindalanjuti
Pemerintah untuk menjadi bahan rapat dan agenda rapat konsultasi DPR
dengan Presiden.
3)
Merevisi UU tentang SUSDUK (Menteri berkewajiban menindaklanjuti
Kesimpulan Rapat Kerja).
C.
Solusi dan Rekomendasi Pelaksanaan Fungsi Anggaran
Dalam pelaksanaan fungsi anggaran terdapat beberapa permasalahan, yaitu APBN
belum menjawab kebutuhan masyarakat, banyak anggota Dewan yang belum memahami sikius
dan mekanisme APBN. Terhadap kedua permasalahan tersebut, tim kajian mengajukan
beberapa solusi dan rekomendasi.
1
Solusi tehadap permasalahan pelaksanaan fungsi anggaran.
a
Solusi terhadap permasalahan APBN belum menjawab kebutuhan masyarakat
adalah:
1)
Pembahasan APBN dimulai dengan penyampaian program masing-masing
departemen di depan sidang paripurna dewan.
2)
Memperjelas mekanisme pembahasan anggaran antara alat kelengkapan
Dewan dengan Panitia Anggaran.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
3)
2
Menyiapkan ketentuan-ketentuan dalam UU untuk mendukung kemandirian
DPR dalam menyusun APBN.
4)
Menyusun RAPBN alternatif sebagai sandingan RAPBN yang diajukan oleh
Pemerintah.
b
Solusi terhadap permasalahan banyaknya Anggota Dewan yang belum memahami
sikius dan mekanisme penyusunan APBN adalah dengan meningkatkan
pemahaman Anggota Dewan tentang sikius dan mekanisme penyusunan APBN.
Rekomendasi terhadap peningkatan kinerja Dewan di bidang fungsi Anggaran.
a
Rekomendasi terhadap solusi pembahasan APBN dimulai dengan penyampaian
program masing-masing departemen di depan sidang paripurna dewan, dengan
rekomendasi
1)
Meningkatkan kemampuan SDM Sekretariat Jenderal DPR RI dalam
mempersiapkan data dan analisa berkaitan dengan RAPBN.
2)
Menyiapkan tenaga analis anggaran di Sekretariat Jenderal DPR RI.
3)
Membuka peluang bagi Anggota Dewan yang tidak menjadi Anggota Panitia
Anggaran untuk dapat menyampaikan kebutuhan di daerah pemilihannya.
b
Rekomendasi terhadap solusi memperjelas mekanisme pembahasan anggaran
antara alat kelengkapan Dewan dengan Panitia Anggaran, dengan rekomendasi
1)
Mengubah Tata Tertib (terkait hubungan kerja Panitia Anggaran dan Alat
kelengkapan DPR).
2)
Mengubah UU Nomor 17 Tahun 2003.
c
Rekomendasi terhadap solusi menyiapkan ketentuan-ketentuan dalam UU untuk
mendukung kemandirian DPR dalam menyusun APBN adalah dengan mengubah
UU Nomor 17/2003.
d
Rekomendasi untuk solusi menyusun RAPBN alternatif sebagai sandingan RAPBN
yang diajukan oleh Pemerintah, adalah:
1)
Membangun pusat data dan analisa APBN;
2)
Membuka akses data/link dengan pemda untuk menjaga konsistensi dan
kesinambungan data;
3)
Membangun net-working dengan pusat-pusat data berkaitan dengan APBN
(Bappenas, Depkeu, BPS, dll);
4)
Menyusun SOP mekanisme dukungan terhadap pelaksanaan fungsi budget.
5)
Meminta Pemerintah untuk menyampaikan RKA-KL disertai dengan target
kinerja, dan prakiraan maju tahun berikutnya dengan waktu proses
pembahasan yang relatif Iebih lama.
6)
Membahas plafon anggaran berdasarkan kinerja yang akan dicapai dan
evaluasi kinerja tahun sebelumnya, oleh karenanya DPR harus meminta
laporan kinerja masing-masing KL.
7)
Pada setiap komisi perlu didukung oleh SDM yang mampu menganalisis
anggaran.
8)
Perlu mengamandamen UU No. 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 17 Tahun
2003 yang diintegrasikan menjadi UU Perancanaan Penganggaran.
e
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan pemahaman Anggota Dewan tentang
siklus dan mekanisme penyusunan APBN, adalah:
1)
Meningkatkan sosialisasi tentang siklus dan mekanisme penyusunan APBN
kepada Anggota Dewan.
2)
Melakukan Rapat Konsultasi intensif atas laporan hasil pemeriksaan BPK
terhadap penggunaan APBN.
3)
Meminta BPK untuk menyertakan LHP yang disampaikan kepada DPR.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
4)
Meminta BPK untuk melakukan audit investigasi terhadap temuan tertentu
yang menjadi perhatian utama DPR.
D.
Solusi dan Rekomendasi Peningkatkan Kinerja Sekretariat Jenderal
Beberapa permasalahan kinerja Sekretariat Jenderal sebagai sistem pendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan adalah: dukungan Sumber Daya Manusia Sekretariat
Jenderal belum memadai, komunikasi antara staf Setjen dengan alat kelengkapan belum
memadai, termasuk kurangnya kemampuan dalam hal kualitas komunikasi yang mampu
melahirkan konsep-konsep, Struktur Sekretariat Jenderal yang belum sepenuhnya efektif dalam
memberikan dukungan kepada Dewan, Sulitnya mengakses informasi termasuk hasil-hasil
rapat/risalah di DPR.
1
Solusi terhadap peningkatkan kinerja Setjen DPR RI.
Beberapa solusi yang berkaitan dengan peningkatan kinerja Sekretariat Jenderal DPR RI
dalam memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan adalah:
a
Menciptakan proporsionalitas dalam jumlah dan penempatan staf administrasi dan
staf fungsional di Iingkungan Setjen.
b
Menyelenggarakan diktat yang disesuaikan dengan tuntutan pekerjaan dan
dimonitor pemanfaatannya sebagai input yang berkesinambungan.
c
Mengupayakan alternatif lain dalam pembinaan jabatan fungsional
d
Mendayagunakan tenaga ahli sesuai dengan dasar keahlian masingmasing
khususnya yang melekat pada alat kelengkapan Dewan.
e
Perlu terus dilakukan peningkatan kualitas dan wawasan melalui berbagai
pendidikan dan pelatihan yang mendukung pelaksanaan tugas masing-masing
pegawai.
f
Melakukan restrukturisasi Sekretariat Jenderal DPR
g
Membuat call center dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang Iebih terkendali dan
penanganan secara khusus.
h
Mendesak dibentuknya pusat data dan informasi publik di Iingkungan DPR dan
berada di bawah koordinasi Setjen.
i
Meningkatkan hubungan kerja "media relation" antara pihak Setjen DPR dengan
wartawan koordinatoriat di DPR.
j
Menata kembali fungsi kehumasan di Iingkungan DPR RI dengan melakukan
peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan bidang kehumasan.
k
Mereposisi dan merevitalisasi peran kehumasan dalam rangka pemulihan dan
peningkatan citra DPR.
2
Rekomendasi terhadap solusi-solusi tersebut di atas adalah:
a
Rekomendasi yang berkaitan dengan solusi mMenciptakan proporsionalitas dalam
jumlah dan penempatan staf administrasi dan staf fungsional di Iingkungan Setjen,
adalah:
1)
Membuka kesempatan mutasi staf struktural/non struktural untuk menjadi
staf pendukung keahlian/fungsional intern Setjen DPR. Membuka rekruitmen
PNS fungsional mutasi antar instansi lain.
2)
Rekrutmen PNS dilakukan tanpa adanya diskriminasi dan perspektif gender.
3)
Membuka rekruitmen CPNS untuk formasi calon tenaga fungsional.
4)
Percepatan pengangkatan staf fungsional perancang (legislatif drafter) dan
perencana di Setjen DPR berkoordinasi dengan instansi pembina jabatan
fungsional terkait.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
5)
b
c
d
Menyusun riwayat kerja (track record) pribadi pegawai yang akan menjadi
dasar pertimbangan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan) dalam penempatan pada di unit kerja Setjen DPR.
6)
Melakukan evaluasi kinerja masing-masing pejabat struktural berdasarkan
kontrak jabatan sesuai kebutuhan.
Rekomendasi untuk solusi menyelenggarakan diklat yang disesuaikan dengan
tuntutan pekerjaan dan dimonitor pemanfaatannya sebagai input yang
berkesinambungan, adalah:
1)
Menyusun prioritas program penyelenggaraan jenis diklat yang sesuai
dengan tuntutan kebutuhan pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan.
2)
Membuat pedoman seleksi calon peserta diktat dengan prioritas kompetensi
dan prestasi kerja pegawai.
3)
Menyusun pedoman evaluasi dan mengevaluasi penyelenggaraan diktatdiktat secara berkelanjutan.
4)
Memberikan bea siswa lanjutan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi
pegawai yang berprestasi dan dibutuhkan oleh Setjen DPR.
5)
Menetapkan peraturan Sekretaris Jenderal tentang persyaratan ijin belajar
dan tugas belajar bagi pegawai yang akan melanjutkan studi.
6)
Menetapkan peraturan Sekretaris Jenderal tentang persyaratan
penyesuaian kenaikan golongan berdasarkan ijasah.
7)
Kualitas SDM yang khusus melayani pelayanan informasi perlu ditingkatkan,
antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun luar
negeri.
8)
Sebagai upaya untuk efisiensi dan efektifitas dalam bidang kepegawaian
maka ke depan Setjen DPR merekrut pegawai yang mempunyai keahlian,
pendidikan, pengetahuan, kemampuan yang memadai (misal : ahli
komputer, ahli bahasa, ahli hukum, ahli keuangan, dsb). Sedangkan untuk
tenaga-tenaga teknis pendukung seperti sopir, keamanan (Pamdal), taman,
kebersihan, dsb, dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pihak
ketiga (outsourcing).
Rekomendasi untuk solusi mengupayakan alternatif lain dalam pembinaan jabatan
fungsional, adalah:
1)
Mengkaji penyusunan rumpun jabatan fungsional yang sesuai dengan
kebutuhan dukungan pelayanan keahlian kepada Dewan, yang pembinaan
kepegawaian dan jenjang karirnya berada di Setjen DPR.
2)
Perlu ada pemikiran mengenai sistem karir khususnya bagi peneliti sehingga
tidak terjadi overlapping antara tugas memberikan pelayanan kepada
anggota DPR dan hasrat untuk meningkatkan karir.
Rekomendasi untuk solusi mendayagunakan tenaga ahli sesuai dengan dasar
keahlian masing-masing khususnya yang melekat pada alat kelengkapan Dewan,
adalah:
1)
Menambah jumlah tenaga ahli yang bersifat temporer untuk alat
kelengkapan.
2)
Menetapkan mekanisme rekruitmen dan persyaratan calon tenaga ahli.
3)
Menetapkan job description (uraian tugas) tenaga ahli.
4)
Menetapkan mekanisme kerja bagi tenaga ahli.
5)
Mengubah Tata Tertib yang memungkinkan adanya tenaga ahli/
pendamping untuk pembahasan kasus-kasus spesifik (temporer).
6)
Mengevaluasi secara berkala (6 bulan) terhadap kinerja tenaga ahli.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
e
f
g
h
Rekomendasi untuk solusi perlu terus dilakukan peningkatan kualitas dan
wawasan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang mendukung
pelaksanaan tugas masing-masing pegawai, adalah:
1)
Menyusun prioritas program penyelenggaraan jenis diklat yang sesuai
dengan tuntutan kebutuhan pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan.
2)
Membuat pedoman seleksi calon peserta diktat dengan prioritas kompetensi
dan prestasi kerja pegawai.
3)
Menyusun pedoman evaluasi dan mengevaluasi penyelenggaraan diktatdiktat secara berkelanjutan.
4)
Memberikan beasiswa lanjutan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi
pegawai yang berprestasi dan dibutuhkan oleh Setjen DPR.
5)
Menetapkan peraturan Sekretaris Jenderal tentang persyaratan ijin belajar
dan tugas belajar bagi pegawai yang akan melanjutkan studi.
6)
Kulitas sumber daya manusia di P3I perlu ditingkatkan, antara lain melalui
pendidikan dan pelatihan baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Rekomendasi untuk solusi meningkatkan hubungan kerja "media relation" antara
pihak Setjen DPR dengan wartawan koordinatoriat di DPR, dengan rekomendasi
1)
Meningkatkan fasilitas "press room" dengan mencarikan ruangan baru yang
lebih representatif dalam menunjang tugas kewartawanan koordinatoriat
DPR.
2)
Melibatkan wartawan koordinatoriat DPR dalam kunjungan kerja alat
kelengkapan DPR secara selektif.
3)
Menyediakan bahan laporan singkat rapat-rapat alat kelengkapan DPR
kepada wartawan koordinatoriat DPR
4)
Meminta ringkasan mated rapat kepada pasangan kerja Komisi/Pemerintah
yang dapat diberitakan/ekspose untuk wartawan.
Rekomendasi untuk solusi menata kembali fungsi kehumasan di lingkungan DPR
RI dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan bidang
kehumasan, adalah:
1)
Memberikan diklat kehumasan bagi pegawai di lingkungan Setjen DPR.
2)
Melakukan kerjasama dengan stasiun Swara dalam peliputan kegiatan
Dewan dengan sistem kontrak kerja.
3)
Membangun kerjasama dengan Stasiun TV, Radio, dan Media Massa
Iainnya,
serta
mengembangkan
website
DPR
yang
dapat
menyiarkan/mempublikasikan/mensosialisasikan kegiatan, berita, dan
informasi keparlemenan dalam Iingkup nasional (dapat diakses oleh semua
rakyat.
4)
Humas dalam tupoksinya memberikan pelayanan informasi keparlemenan
kepada peserta didik dan masyarakat umum dalam melakukan wisata
pendidikan/politik di DPR.
Rekomendasi untuk solusi mereposisi dan merevitalisasi peran kehumasan dalam
rangka pemulihan dan peningkatan.citra DPR, adalah:
1)
Menggunakan tenaga konsultan untuk merancang peran yang ideal
kehumasan Setjen DPR.
2)
Menggunakan tenaga ahli/public figure untuk menjadi juru bicara (PR) DPR.
Dalam kaitannya dengan hubungan DPR dengan dan masyarakat, maka hubungan
tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari pendidikan politik. Untuk itu, dapat melaksanakan
fungsi pendidikan politik tersebut, maka solusi yang dapat dilakukan adalah: Membentuk pusat
data dan informasia publik di lingkungan DPR dan berada di bawah koordinasi Sekretariat
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Jenderal dengan rekomendasi meningkatkan peran dan fungsi bagian Humas; menggunaan
sistem hansard yang yang diprogram dalam bahasa Indonesia agar pencatatan risalah dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien, sehingga mempermudah akses publik, dan
meningkatkan kemampuan SDM pencatat rapat dan transkiptor serta peningkatan sarana
prasarana yang mendukung pencatatan rapat dan transkrip. Solusi kedua adalah meningkatkan
hubungan kerja "media relation" antara pihak Setjen DPR dengan wartawan koordinatorai di
DPR, dengan rekomendasi antara lain meningkatkan fasilitas "press room" dengan mencarikan
ruangan baru yang lebih representatidf dalam menunjang tugas kewartawanana koordinatoriat
DPR, melibatkan wartawan koordinatoriat DPR dalam kunjungan kerja alat kelengkapan DPR
secara selektif, menyediakan bahan laporan singkat rapat-rapat alat kelengkapan DPR kepada
wartawan koordinatoriat DPR, meminta ringkasan mated rapat kepada pasangan kejra
Komisi/Pemerintah yang dapat diberitakan/eksposs untuk wartawan. Solusi ketiga dalam
rangka pendidikan politik adalah menata kembal;i fungsi kehumasan DPR dengan melakukan
peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan bidang kehumasan, dengan rekomendasi
memberikan dikhat kehumasan bagi pegaswai di lingkungan Setjen DPR, melakukan kerjasama
dengan stasiun Swara dalam peliputan kegiatan Dewan dengan sistem kontrak kerja,
membangun kerja sama dengan Stasiun TV, Radio, dan Media Mass lainnya, serta
mengembangkan website DPR yang dapat rmienyiarkan/mempublikasikan/mensosialisasikan
kegiatan, berita dasn informasi keparlemenan dalam Iingkup nasional dalam arti dapat diakses
oleh masyarakat, Humas dalam tupoksinya memberikan pelayanan informasi keparlemenanan
kepada peserta didik dan masyarakat umum dalam melakukan wisata pendidikan/politik di
DPR. Solusi keempat, adalah mereposisi dan merevitalisasi peran kehumasan dalam rangka
pemulihan dan peningkatan citra DPR, dengan rekomendasi: menggunakan tenaga konslutasn
untuk merancang peran yang ideal kehumasan Setjen DPR, dan menggunakan tenaga
ahli/publik figure untuk menjadi juru bicara (PR) DPR.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada Bab-bab sebelumnya, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut;
•
Bahwa untuk melakukan pengkajian terhadap, peningkatan kinerja Dewan, Tim telah
berhasil melakukan identifikasi terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas-tugas Dewan dan sekaligus juga mengidentifikasi penyebab
permasalahannya.
•
Permasalahan yang telah teridentifikasi, kemudian secara garis besar diklasifikasikan
berdasarkan fungsi-fungsi Dewan, supporting system, dan aspek lain-lain. Berdasarkan
identifikasi permasalahan yang dihasilkan, dapat diketahui berbagai permasalahan yang
terkait dengan kinerja Dewan, antara lain:
-
Pada bidang Legislasi:
1
Dari segi kualitas, banyak UU yang dibentuk dinilai belum memberi manfaat
langsung terhadap kehidupan masyarakat.
2
DPR belum dapat memenuhi target jumlah penyelesaian UU yang telah ditetapkan
dalam Prolegnas.
3
Proses pembahasan RUU kurang transparan.
-
Pada bidang Pengawasan:
1
Rendahnya efektifitas pengawasan melalui rapat-rapat.
2
Aspirasi masyarakat/konstituen pada saat Anggota melakukan pengawasan ke
daerah tertentu (kunjungan kerja) sering kali tidak ditindaklanjuti sebagaimana
mestinya.
3
DPR belum efektif menjalankan tugas dan fungsi check and balances.
-
Pada bidang Anggaran
1
APBN belum menjawab kebutuhan masyarakat.
2
Banyak anggota yang belum memahami siklus dan mekanisme penyusunan
APBN.
-
Dari Supporting System atau Dukungan Sekretariat Jenderal DPR
1
Dukungan Sumber Daya Manusia Sekretariat Jenderal belum memadai.
2
Komunikasi antara staf Setjen dengan alat kelengkapan belum memadai, termasuk
kurangnya kemampuan dalam hal kualitas komunikasi yang mampu melahirkan
konsep-konsep.
3
Struktur Sekretariat Jenderal yang beium sepenuhnya efektif dalam memberikan
dukungan kepada Dewan
4
Sulitnya mengakses informasi termasuk hasil-hasil rapat/risalah di DPR.
-
Dalam aspek Permasalahan lainnya:
1
Anggota belum dapat bekerja secara efektif.
2
Terjadi kemacetan (bottle neck) dalam pelaksanaan tugas-tugas rutin
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
3
4
5
Adanya mis alokasi anggaran yang secara proporsional belum mencerminkan
keadilan sesuai dengan beban kerja.
Alokasi anggaran Anggota Dewan belum sesuai dengan kebutuhan yang
mendukung pelaksanaan kerja.
Kurangnya komunikasi Anggota DPR dengan konstituen (masyarakat yang
diwakilinya)
Permasalahan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu penyebabnya untuk selanjutnya
dianalisis dan dicarikan alternatif solusi penyelesaiannya.
Penilaian terhadap kinerja DPR, pada umumnya dilakukan dari dua sudut pandang, yaitu
sudut pandang hasil (result oriented) dan sudut pandang proses (process oriented). Secara
ideal diharapkan kinerja Dewan baik apabila dilihat dari dua sudut pandang tersebut.
Penilaian dari sudut pandang hasil (result oriented) biasanya melihat apakah yang
dihasilkan oleh DPR selama ini.
Misalnya, di bidang legislasi apakah jumlah undang-undang yang disahkan sesuai
dengan program legislasi yang telah diundangkan. Apakah undang-undang yang dihasilkan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atau apakah undang-undang yang dihasilkan
bertentangan dengan UUD 1945 dengan indikasi jumlah UU yang diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk diuji secara material. Di bidang pengawasan, apakah fungsi pengawasan DPR
terhadap eksekutif dapat menjadikan kinerja eksekutif menjadi lebih baik. Sedangkan di bidang
anggaran, misalnya apakah APBN yang ditetapkan telah memenuhi kebutuhan masyarakat
atau berpihak kepada kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan.
Penilaian dari sudut pandang proses melihat kinerja Dewan berdasarkan proses yang
dilalui dalam pembuatan kebijakan. Proses atau ketentuan mengenai mekanisme kerja DPR
biasanya diatur di dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib DPR.
Sehingga yang menjadi tolok ukur adalah apakah proses yang dilakukan oleh DPR dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Misalnya apakah dalam hal pembentukan undang-undang membuka seluas-Iuasnya
partisipasi masyarakat. Apakah DPR cukup menyosialisasikan setiap randangan undangundang yang dibahas. Apakah pembahasan dilakukan secara transparan. Apakah DPR cukup
meluangkan waktu untuk melakukan pembahasan secara intensif. Atau apakah DPR peka dan
tanggap terhadap aspirasi dan pengaduan masyarakat.
Melalui tolok ukur tersebut, berbagai permasalahan yang telah diidentifikasi kemudian
dianalisis untuk dicarikan alternatif solusi penyelesaiannya. Sebelum sampai pada hasil yang
maksimal, maka analisis dilakukan terhadap penyebab permasalahan.
Berdasarkan analisis permasalahan ditemukan beberapa penyebab permasalahan
tersebut, yang pada dasarnya terkait dengan permasalahan ketidakjelasan aturan atau
mekanisme dan Iemahnya sistem pendukung (baik untuk memberikan dukungan keahlian
maupun sarana dan prasarana). Untuk itu Tim merekomendasikan beberapa alternatif
penyelesaiannya dengan harapan apabila hambatan tersebut dapat dihilangkan, maka proses
pelaksanaan tugas dan fungsi dewan dapat berjalan dengan baik, sehingga bermuara pada
hasil akhir yang baik pula. Apabila dari sudut padang proses dan hasil tersebut telah menjadi
lebih baik, maka dapat dikatakan bahwa kinerja dewan telah semakin membaik.
B.
Saran
Pembentukan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR-RI mempunyai tujuan untuk
perbaikan dan atau terkait dengan upaya peningkatan kinerja Dewan dalam melaksanakan
tugas-tugas konstitusionalnya. Oleh karenanya Tim Kajian ini melakukan pemetaan terhadap
semua permasalahan yang dihadapi dewan, antara lain dengan melakukan identifikasi
masalah, mencari penyebab masalahnya,. dan kemudian menyusun solusi dan rekomendasi.
Dari analisa yang dilakukan dan beberapa kesimpulan diatas, terlihat Iangkah-Iangkah
yang selanjutnya dapat dilakukan oleh DPR-RI, agar hasil kerja dari Tim Kajian Peningkatan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Kinerja Dewan ini menjadi bermanfa'at. Karenanya perlu dipertimbangkan untuk penetapan
kebijakan sebagai berikut;
Pertama; perlu segera membentuk Tim yang akan menindaklanjuti Rekomendasi dari Tim
kajian Peningkatan Kinerja Dewan;
Kedua; Perlu segera meneruskan rekomendasi Tim Kajian khususnya mengenai revisi
beberapa undang-undang kepada badan legislasi untuk ditindaklanjuti;
Ketiga; Perlu segera dibentuk pansus untuk melakukan revisi terhadap peraturan tata tertib
DPR-RI;
Keempat; penting untuk.dilakukan sosialisasi terhadap hasil analisa Tim Kajian Peningkatan
Kinerja dewan, kepada masyarakat dan lembaga yang terkait;
Kelima; Menugaskan kepada setjen untuk memfasilitasi kegiatan tindaklanjut hasil analisa Tim
kajian Peningkatan kinerja;
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
Download