tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Anthurium andreanum
Anturium merupakan anggota famili Araceae yang memiliki 108 genus dan
kurang lebih 3750 spesies monokotiledon (Viégas et al., 2007) . Anturium
tergolong tanaman perennial (tahunan), dan merupakan herba berakar rimpang
serta membentuk akar di ketiak daun atau akar udara (Baswarsiati, 2010).
Tanaman ini memiliki dua golongan, yaitu yang berdaun indah dan yang berbunga
indah. Anturium berdaun indah memiliki bentuk, warna, dan ketebalan daun yang
beragam, sedangkan seludang bunganya tidak memiliki keistimewaan. Anturium
daun yang sudah beradaptasi dengan iklim Indonesia adalah Anthurium
macrophyllum (kuping gajah). Sementara itu, anturium bunga memiliki seludang
bunga dan spadik dengan warna serta bentuk yang indah dan beragam, namun
daunnya kurang indah dan menarik. Anturium yang terkenal akan keindahan
bunganya adalah Anthurium andreanum. Anturium bunga memiliki sekitar 1700
varietas yang dibudidayakan, dan untuk anturium daun terdapat sekitar 500
species belum termasuk hibridanya (Bety, 2009).
Anturium umumnya memiliki daun berbentuk hati, namun terkadang
berbentuk tombak atau oval. Daun selalu berwarna hijau dan memiliki berbagai
ukuran tergantung spesies atau kultivarnya. Beberapa spesies memiliki tulang
daun yang terlihat jelas dengan daun berwarna hijau gelap (Albert, 2010).
Susunan daunnya spiral baik searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam
(Augustine, 2009).
Bunga anturium secara komersial sebenarnya merupakan seludang bunga
yang berbentuk jantung atau bulat telur dan ujungnya meruncing seperti ekor.
Secara botani, bunga anturium berbentuk kecil-kecil dan berjejal rapat pada
sumbu tongkolnya yang berbentuk gada (Rachmawati, 2005; Marlina dan Supenti,
2006). Bunga anturium memiliki tiga bagian penting, yaitu seludang bunga
(spate), tongkol bunga (spadik), dan tangkai bunga. Seludang bunga terdiri atas
satu kelopak bunga yang pada awalnya menggulug menyelimuti spadik. Seludang
kemungkinan berfungsi untuk menarik perhatian serangga dan melindungi spadik.
Dari seluruh bagian bunga anturium, seludang bungalah yang memiliki bentuk
6 dan warna yang beragam yaitu merah, putih, pink, cokelat, hijau, paduan dua
warna, dan lainnya. Klon baru anturium hasil Balai Penelitian Tanaman Hias yaitu
klon 66A memiliki seludang bunga berwarna ungu (Purple 76C, Purple 76D) dan
spadik ungu (Purple N77C). Spadik berfungsi sebagai alat berkembang biak
secara generatif (Bety, 2009).
Anthurium andreanum Linden ex André dan A. Scherzerianum Schoot
merupakan dua species yang banyak dikembangkan secara komersial, baik
sebagai bunga potong maupun tanaman pot (Hamidah et al., 1997; Martin et al.,
2003). Menurut Callotte (2004), ciri yang baik untuk anturium potong adalah
memiliki ukuran tanaman yang sedang hingga besar, jumlah dan ukuran daun
cukup banyak (10-20 daun per tanaman), posisi spate yang agak di atas dibanding
posisi daunnya, posisi spate yang membentuk sudut tumpul dibanding tangkai
bunganya, warna spate yang cerah, bentuk eleptik melebar dengan ukuran yang
besar, dan daya simpan yang lama. Sementara ukuran tanaman yang sedang
hingga kecil, jumlah anakan 2-3 per tanaman dan jumlah bunga 5-10 bunga per
tanaman menjadi daya tarik untuk anturium pot.
Anturium banyak ditemukan di hutan tropis basah Meksiko Selatan,
Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan beberapa spesies ditemukan di Hindia
Barat (Karibia). Spesies dengan bentuk-bentuk yang paling indah sebagian besar
terletak di bagian barat lereng Pegunungan Andes di dalam hutan Ekuador dan
Kolombia. Menurut catatan ahli botani Dr. Tom Croat dari Kebun Raya Missouri,
genus anturium tidak ditemukan di Asia. Beberapa jenis telah diintroduksi ke
hutan hujan Asia, tapi bukan tanaman endemik. Anturium termasuk ke dalam
tanaman evergreen atau tidak mengalami masa dormansi. Tanaman ini banyak
tumbuh di hutan hujan tropis, dan sebagian besar hidup menempel pada tanaman
lain atau epifit (Lucas, 2009).
Tanaman anturium masuk ke Indonesia sekitar abad ke-18 oleh bangsa
Belanda (Bety, 2009). Anturium dapat beradaptasi dengan baik di Indonesia,
mulai dataran rendah sampai tinggi. Anturium membutuhkan intensitas cahaya
matahari antara 30% - 60% pada ketinggian 1400 m dpl. Tanaman akan
menguning dan warna daunnya memudar jika intensitas cahaya terlalu tinggi.
Sebaliknya bila intensitas cahaya terlalu rendah, maka pertumbuhan tanaman
7 menjadi lambat, produktivitas bunga menurun, dan batang menjadi lunak (Sanusie
dan Qodriyah, 2004). Suhu sekitar 40C – 100C dapat menyebabkan pertumbuhan
anturium menjadi lambat dan daunnya akan berubah menjadi kuning. Tanaman ini
juga tidak toleran pada suhu yang beku (Oglesby Plant Internasional, 2001).
Perbanyakan Anthurium andreanum
Anturium merupakan tanaman biseksual yang secara alami menyerbuk
silang. Stigma (bunga betina) masak lebih dahulu sebelum pistil (bunga jantan)
memproduksi polen (Carroll, 2007). Masa reseptif biasanya berlangsung tiga hari,
dan tiap varietas memiliki masa reseptif yang berbeda (Carroll, 2007; Bety, 2009).
Rachmawati (2005) menyatakan, masa reseptif optimum stigma anturium
bervariasi untuk setiap kultivar. Kultivar Tropikal ditemukan memiliki masa
reseptif antara 18-23 hari setelah spate terbuka (hsst), 21-25 hsst untuk kultivar
Carnaval, dan 25-31 hsst untuk kultivar Amigo. Winarto (2009) menambahkan,
spadik yang telah reseptif optimal ditandai dengan produksi lendir yang banyak
diujung stigma. Menurut Carroll (2007), lendir berfungsi sebagai tempat
merekatnya serbuk sari yang dibawa serangga, angin, atau manusia
Hasil penelitian Sanusie dan Qodriyah (2004) menunjukan bahwa
penyerbukan buatan yang paling baik pada anturium adalah pada pagi hari antara
pukul 07.00-10.00. Keberhasilan penyerbukan pada pagi hari mencapai 90%,
sedangkan pada sore hari hanya mencapai 70%. Penyerbukan yang berhasil dapat
dilihat dari spadiks yang dipenuhi tonjolan-tonjolan kecil bulat berjejal, yang
nantinya akan membentuk buah yang disebut buah beries. Buah beries akan
masak 6-7 bulan setelah penyerbukan. Menurut Carroll (2007), buah beries ini
masak katika telah mencapai ukuran yang maksimal dan berwarna kuning
kecoklatan. Buah anturium biasanya mengandung satu atau dua biji, dan dapat
berkecambah setelah 1-3 minggu.
Perbanyakan anturium secara konvensional dapat dilakukan dengan cara
generatif (biji) maupun vegetatif (pemisahan anakan atau setek) (Sanusie dan
Qodriyah, 2004). Cara perbanyakan tersebut membutuhkan waktu cukup lama dan
menghasilkan tanaman yang pertumbuhannya tidak seragam. Anturium dari biji
memerlukan waktu lebih kurang 3 tahun, sejak penyerbukan, biji masak, hingga
8 tanaman siap dimanfaatkan (Hamidah et al., 1997). Perbanyakan melalui
pemisahan anakan memerlukan waktu 6 bulan sampai 1 tahun untuk pemisahan
anakan, dan 6-8 bulan untuk pendewasaan (Marlina, 2004; Marlina dan Rusnandi,
2007). Selain itu bila diperbanyak dengan cara pemisahan anakan atau setek,
diperlukan bahan tanaman yang sangat besar untuk mendapat bibit dalam jumlah
besar.
Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan tanaman merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian
tanaman (sel, jaringan, dan organ tanaman), untuk ditumbuhkan pada media
dengan kondisi aseptik agar bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri
dan membentuk tanaman yang sempurna (Wattimena et al., 1992; Gunawan 1992;
Caponetti et al., 2000; Ahloowalia et al., 2004). Kultur jaringan disebut juga
kultur in vitro yang berarti kultur di dalam wadah gelas (Wattimena et al., 1992).
Konsep yang mendasari kultur jaringan adalah teori totipotensi (Wetherell, 1982)
dan plastisitas tanaman (Anonim, 2003). Totipotensi merupakan kemampuan sel
untuk membentuk tanaman lengkap bila berada dalam lingkungan yang sesuai,
karena di dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik
yang lengkap (Wetherell, 1982; Anonim, 2003). Secara teoritis, semua sel hidup
dalam tanaman berasal dari satu sel zigot dalam ovari. Dengan demikian
meskipun sel tersebut berdiferensiasi menjadi batang, daun, akar, dan bunga,
mereka tetap mempunyai informasi genetik yang sama dengan induknya
(Wattimena et al., 1992). Adapun plastisitas tanaman adalah kemampuan tanaman
untuk mengadaptasikan sistem metabolisme, pertumbuhan dan perkembangannya
agar sesuai dengan lingkungan tumbuh (Anonim, 2003).
Profesor Murashige dari California University mengembangkan tiga tahapan
mikropropagasi dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Tahap pertama
adalah menyiapkan eksplan yang akan ditumbuhkan pada media aseptik. Tahap
kedua meliputi penggandaan propagul dengan cara meningkatkan jumlah cabang
aksilar ataupun pembentukan tunas-tunas baru. Tahap ketiga merupakan tahap
pengakaran secara in vitro dan pendewasaan planlet sebelum diaklimatisasi
(Torres, 1989; Wattimena et al., 1992).
9 Menurut Wattimena et al. (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dibagi ke dalam empat golongan utama
yaitu: (1) Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan, (2) media,
mencakup komponen penyusun media dan penggunaan zat pengatur tumbuh, (3)
lingkungan tumbuh tanaman yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan, dan
(4) fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan.
Eksplan
Eksplan merupakan bahan untuk inisiasi kultur yang diambil dari bagian
suatu tanaman (Gunawan, 1992). Keberhasilan morfogenesis suatu kultur in vitro
sangat dipengaruhi oleh eksplan yang dikulturkan. Eksplan disini menyangkut
jenis eksplan, umur, ukuran, dan cara mengkulturkannya. Umur eksplan akan
berpengaruh terhadap inisiasi, dan kemampuan morfogenesis langsung atau tidak
langsung. Bagian tanaman yang masih muda (juvenile) merupakan bagian
tanaman yang paling baik untuk eksplan, hampir pada semua tanaman. Hal yang
sama juga terjadi pada eksplan yang berasal dari planlet in vitro. Potensial
morfogenetik kalus meningkat hanya dalam waktu singkat (satu atau dua kali
subkultur) yang diikuti dengan kemampuan regenerasi yang tinggi, setelah itu
morfogenesisnya menurun. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran
optimum untuk dikulturkan. Eksplan yang terlampau kecil akan kurang daya
tahannya jika dikulturkan, sementara bila terlalu besar akan sulit mendapatkan
eksplan yang steril. Pertumbuhan atau morfogenesis eksplan dapat juga
dipengaruhi oleh cara penempatan eksplan dalam medium. Faktor ini erat
kaitannya dengan transportasi hara dan zat pengatur tumbuh ke dalam eksplan
(Wattimena et al., 1992).
Menurut Ahloowalia et al. (2004), semua bagian dari tanaman dapat
menjadi sumber eksplan. Bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai eksplan
adalah meristem pucuk, tunas, tunas aksilar, pucuk, bagian kecil batang, nucellus,
dan embrio zygotic. Bagian tanaman seperti meristem interkalar, anther, polen,
ovule, dan mikrospora sering dikulturkan untuk inisiasi kalus. Perbanyakan
secara in vitro pada anturium melalui organogenesis langsung, organogenesis
tidak langsung, dan embriogenesis telah sukses dilakukan sebelumnya
10 menggunakan eksplan yang berbeda yaitu biji, daun, petiole, spate dan spadik
(Hamidah et al., 1997; Martin et al., 2003; dan Viégas et al., 2007). Adapun
kultur menggunakan eksplan antera anturium telah sukses dilakukan melalui
teknik kultur half-anther (Winarto, 2009; Winarto dan Mattjik, 2009; Winarto et
al., 2010)
Media Kultur Jaringan Tanaman
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung
pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Media kultur jaringan terdiri dari
95% air, hara makro, hara mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, gula (karena
tanaman dalam kultur in vitro tidak melakukan fotosintesis), dan terkadang
ditambahkan pula persenyawaan organik sederhana hingga kompleks (Beyl, 2000;
Anonim, 2003). Senyawa organik yang sering ditambahkan adalah air kelapa,
ekstrak pisang, dan tomato juice. Berbagai komponen media lain juga sering
digunakan untuk tujuan tertentu (Prakash, 2004).
Pembentukan tunas secara in vitro baik melalui morfogenesis langsung
maupun tidak langsung sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi tepat dari
senyawa organik, inorganik, dan zat pengatur tumbuh (Wattimena et al., 1992).
Selain komponen penyusun media, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pH
(derajat kemasaman) media kultur. Derajat kemasaman media kultur sangat
menentukan (1) kelarutan dari garam-garam penyusun media, (2) pengambilan
(uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain, dan (3) efisiensi
pembekuan agar-agar (Gunawan, 1992).
Media kultur jaringan dapat berupa media padat, semi padat, atau cair
tergantung pada keberadaan dari pemadat media. Beberapa jaringan memiliki
respon yang lebih baik pada media padat, dan lainnya pada media cair. Pada
umumnya, pemilihan jenis media tergantung pada tujuan dan species tanaman
yang dikulturkan (Prakash, 2004). Bahan pemadat yang paling banyak digunakan
adalah agar-agar. Selain agar-agar, zat pemadat lain adalah gelrite dan Phytagel
yang merupakan polisakharida yang diproduksi dari bakteri (Byel, 2000).
Media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media
perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara
11 esensial (makro dan mikro), sumber energi, dan vitamin. Beberapa media dasar
yang banyak digunakan antara lain: Murashige dan Skoog (MS), B5, White,
Vacin dan Went, N6, Schenk dan Hildebrandt, Woody Plant Medium (WPM),
Nitsch dan Nitsch, dan Knop. Media MS adalah media dasar yang paling banyak
digunakan (Gunawan, 1992). Tiap formula tersebut memiliki keunggulan masingmasing. Media dasar tersebut ada yang baik digunakan pada berbagai tanaman,
dan ada yang baik untuk tanaman tertentu saja. Tidak ada garansi bahwa suatu
media dasar baik untuk semua genotipe atau kultivar dalam species yang sama
(LIPI, 1998).
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang disintesis salah
satu bagian tanaman dan dipindahkan ke bagian lain. ZPT pada konsentrasi yang
sangat rendah rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis, biokimia, dan
morfologis (Wattimena, 1988; Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Wattimena
(1988), peran ZPT dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur sangat besar.
ZPT mengawali reaksi-reaksi biokimia dan mengubah komposisi kimia di dalam
media tanam, yang mengakibatkan terbentuknya organ tanaman seperti akar,
daun, bunga, dan lain-lain. Beyl (2000) menambahkan, ZPT memberikan
pengaruh pada eksplan jika diberikan dalam konsentrasi yang rendah (0.001 µM
sampai 10 µM). Penggunaan ZPT pada konsentrasi yang rendah efektif dalam
mengatur inisiasi dan perkembangan tunas dan akar pada eksplan serta embrio
dalan media padat ataupun cair.
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur in vitro terdiri dari
lima golongan yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisik, dan etilen (Anonim,
2003). Golongan ZPT yang sangat penting dalam kultur jaringan adalah auksin
dan sitokinin (Gunawan, 1992; Beyl, 2000). Zat pengatur tumbuh dalam kultur
jaringan pada umumnya digunakan secara kombinasi (Wattimena et al., 1992).
Perbandingan serta interaksi auksin dan sitokinin pada media kultur sangat
menentukan arah morfogenesis dalam pembentukan tunas dan akar (Wattimena et
al., 1992; Prakash, 2004). Penggunaan nisbah auksin dan sitokinin untuk induksi
tunas dan akar dapat berbeda pada satu genus, species bahkan kultivar suatu
12 tanaman (Torres, 1989). Menurut Wetherell (1982), sitokinin dan auksin memiliki
pengaruh yang berlawanan, oleh karena itu dalam pemakaian kedua ZPT tersebut
harus mempertimbangkan perbandingannya dalam media. Perbandingan auksinsitokinin yang tinggi baik untuk pembentukan tunas, sedangkan perbandingan
auksin-sitokinin yang rendah baik untuk pembentukan akar.
Auksin
Auksin digunakan secara luas dalam media kultur jaringan untuk
menstimulasi kalus, produksi dan pertumbuhan sel, inisiasi tunas dan akar, dan
induksi embrio somatik. Auksin juga sering digunakan pada kultur meristem dan
pucuk (Torres, 1989). Penggunaan auksin pada konsentrasi rendah mampu
mendorong inisiasi akar, dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang
pembentukan kalus (Beyl, 2000).
Auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah IAA
(Indole-3-acetic acid); IBA (Indole-3-butyric acid); NAA(1-naphthylacetic acid);
2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid); 2,4,5-T (2,4,5-trichlorophenoxyacetic
acid); Dicamba (2-methoxy-3,6-dichlorobenzoic acid); MCPA (2-methyl-4chlorophenoxyacetic acid); NOA (2-naphthyloxyacetic acid); dan Picloram (4amino-2,5,6-trichloropicolinic acid) (Anonim, 2003). IAA adalah satu-satunya
auksin endogen atau auksin alami yang terdapat pada tanaman. Auksin yang lain
merupakan auksin sintetik yang memiliki cara kerja yang sama dengan auksin
endogen (Torres, 1989).
Menurut Wattimena (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari
auksin sintetik antara lain: (1) Kemampuan senyawa tersebut untuk dapat
menembus lapisan kutikula atau epidermis yang berlilin, (2) sifat translokasi di
dalam tanaman, (3) pengubahan aukisn menjadi senyawa yang tidak aktif di
dalam tanaman (destruksi atau pengikatan), (4) interaksi dengan hormon tumbuh
lainnya, (5) species tanaman, (6) fase pertumbuhan, dan (7) lingkungan (suhu,
radiasi, dan kelembaban).
Penentuan taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh disesuaikan dengan tipe
organ atau eksplan, metode kultur jaringan, dan tingkat kultur jaringan
(pembentukan kalus, induksi tunas, induksi akar dan lain-lain) (Wattimena et al.,
13 1992). Gunawan (1992) menambahkan, jenis dan konsentrasi auksin dipilih
berdasarkan tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen,
kemampuan jaringan mensintesis auksin dan golongan ZPT lain yang
ditambahkan.
Sitokinin
Golongan sitokinin adalah turunan dari adenin. Golongan ini sangat penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Wattimena, 1988; Gunawan,
1992). Selain pembelahan sel, sitokonin mampu menstimulasi pertumbuhan tunas
dalam kultur in vitro. Sitokinin dengan konsentrasi yang tinggi (1-10 mg/l)
mampu menginduksi pembentukan tunas, namun menghambat pembentukan akar
(Byel, 2000). Menurut Wattimena (1988), sitokinin juga dapat mempengaruhi
perkembangan embrio dan memperlambat proses penghancuran butir-butir
klorofil. Pengaruh sitokinin pada berbagai proses tersebut diduga pada tingkat
pembuatan protein, mengingat kesamaan struktur sitokinin dengan adenin yang
merupakan komponen DNA dan RNA.
Sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah BAP
(6-benzylaminopurine),
2iP
(IPA)
[N6-(2-isopentyl)adenine],
Kinetin
(6-furfurylaminopurine), Thidiazuron (1-phenyl-3-(1,2,3-thiadiazol-5-yl)urea, dan
Zeatin (4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) (Torres, 1989). Jenis
sitokinin yang sering digunakan adalah BAP, kinetin, dan zeatin. Umumnya BAP
lebih banyak digunakan karena relatif lebih murah dan tahan degradasi (Gunawan,
1992).
Kultur Jaringan Anthurium andreanum
Perbanyakan Anthurium andreanum secara in vitro telah banyak dilakukan
dengan menggunakan berbagai jenis kultivar, eksplan, maupun komposisi Zat
Pengatur Tumbuh. Tipe perbanyakan secara in vitro pada anturium juga telah
banyak di eksplorasi melalui Organogenesis (langsung dan tidak langsung),
Somatic and Zygotic Embriogenesis, serta Androgenesis. Kultur jaringan tanaman
anturium dipelopori oleh Pierik (1976) yang menguji 38 kultivar Anthurium
14 andreanum. Pierik mengamati kalus yang terbentuk dari eksplan daun pada 31
kultivar yang responsif.
Kuehnle et al. (1992) pertama kali melaporkan mengenai kultivar anturium
hasil persilangan yaitu UH780, UH965, dan UH1060. Ketiga anturium ini
dikulturkan pada media MS dengan beberapa rasio kensentrasi 2.4D dan Kinetin.
Perbedaan kultivar memberi pengaruh nyata pada produksi embrio somatik yang
dihasilkan. UH1060 merupakan hybrid terbaik dibandingkan yang lain. Hasil
penelitian mereka juga menyebutkan, inisiasi embrio somatik memerlukan ruang
gelap dengan suhu 230 C. Adapun untuk pemeliharaan dan pematangan embrio
diperlukan 16 jam photoperiod dengan 54µmol/m2/sec dan suhu 25±20C.
Penelitian tanaman Anthurium anderanum juga dilakukan oleh Martin et al.
Pada tahun 2003. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan
kultivar (Tinora Red dan Senator), sumber, umur, dan posisi eksplan daun, pH
media, dan zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk menginduksi regenerasi
langsung. Hasil penelitian menunjukan kultivar Tinora Red lebih regeneratif
dilihat dari jumlah tunas yang tumbuh. Lebih dari 300 planlet dapat dipanen dari
setiap kultivar setelah 200 hari kultur.
Penelitian mengenai respon pembentukan tunas aksilar dan adventif pada
kultur anturium secara in vitro dilakukan oleh Winarto (2007). Variasi eksplan
seperti ruas batang kesatu dan kedua digunakan untuk induksi pembentukan tunas
aksilar, sementara akar, hipokotil, dan daun muda digunakan untuk induksi tunas
adventif. Eksplan–eksplan tersebut dipanen dari beberapa kultivar dan aksesi
anturium. Medium M2, M4, dan modifikasi medium M4 menggunakan 150 ml/l
air kelapa, 2.5 mg/l 2.4-D, 2 g/l asam pentotenat, dan 50 ppm cefotaxim diuji
dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa keberhasilan kultur
jaringan anturium dipengaruhi oleh kultivar, jenis, kondisi eksplan, dan media
tumbuhnya.
Winarto (2009) melakukan upaya terobosan untuk penyediaan tanaman
haploid atau haploid ganda pada anturium dengan Androgenesis melalui kultur
anther atau mikrospora. Bahan penelitian yang digunakan adalah spadik
Anthurium andreanum kultivar Tropical, kalus, tunas, akar, planlet, tanaman
haploid dan media terseleksi. Penelitian ini meliputi studi pembentukan kalus,
15 regenerasi kalus, penyiapan planlet dan penggandaan kromosom, dan regeneran
hasil kultur anther anturium. Androgenesis melalui kultur antera berhasil
dikembangkan
pada
anturium.
Metode
juga
telah
diaplikasikan
untuk
memproduksi tanaman haploid ganda pada kultivar anturium lain seperti kultivar
Carnaval, Casino, Leguna, dan anturium lokal.
Harb et al. (2010) melakukan penelitian pada Anthurium andreanum dengan
perlakuan beberapa jenis Zat Pengatur Tumbuh yaitu NAA, 2ip, BAP, Kinetin dan
IBA. Eksplan yang telah steril ditanam pada media MS yang mengandung 0,1,3,
atau 5 mg/l NAA. Tahap multiplikasi digunakan media MS dengan (0.0, 0.1, 0.5,
2.5 mg/l NAA dan 0.0, 1.0, 2.0, 3.0 mg/l 2ip) atau (0.0, 0.5, 1.0, 2.0, 3.0 mg/l
BAP dan 0.0, 0.5, 1.0, 2.0, 3.0 mg/l Kin). Tunas yang terbentuk pada tahap
multiplikasi selanjutnya diinduksi pada media pengakaran yaitu (1/2, 3/4, atau full
strength) MS dengan 0.0, 0.5, 1.0, 2.0, dan 4.0 mg/l IBA. Media MS dengan
3 mg/l NAA paling efektif untuk tahap persiapan. Pembentukan tunas maksimum
pada tahap multiplikasi terdapat pada media MS dengan 0.5 mg/l NAA dan 2 mg/l
2ip. Media pengakaran terbaik adalah ½ MS dengan 2 mg/l IBA.
Download