BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang sel darah putih sehingga menyebabkan turunnya sistem kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunice Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan penyakit yang disebabkan infeksi dari virus HIV. Berdasarkan penelitian, sampai saat ini hanya ada obat-obatan yang dapat memperlambat penyakit tersebut, sedangkan vaksin yang dapat menyembuhkan individu dari HIV/AIDS itu sendiri belum ada (Kemenkes, 2014). Kasus orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia semakin meningkat. yaitu sebanyak 269.013 orang. Berdasarkan data tersebut, terdapat 15.056 orang yang menderita HIV/AIDS hingga Maret 2016 di provinsi Sumatera Utara (Ditjen PP & PL, 2016). Setiap penyakit tentunya menimbulkan rasa takut, sehingga membuat individu berupaya melindungi dirinya atau dalam beberapa kasus penyakit melindungi orang lain dari dirinya. Seorang penyandang status HIV/AIDS memiliki beban dan permasalahan kompleks yang harus dihadapi setiap saat dalam kehidupannya. Permasalahan yang timbul tidak hanya berkaitan dengan kondisi fisik yang semakin memburuk, namun juga kondisi psikososial seperti stigma, diskriminasi pekerjaan, penerimaan diri, dan hubungan dengan pasangan, keluarga maupun masyarakat yang berada di sekitarnya. Pada tahun 1980 banyak berita yang 1 Universitas Sumatera Utara 2 menyiarkan kasus ODHA yang dipecat dari pekerjaannya, anak-anak dengan HIV/AIDS tidak diperbolehkan sekolah, dan keluarga ODHA diusir dari rumah mereka sendiri (Sarafino, 2011). Masyarakat sering mengasosiasikan HIV/AIDS dengan homoseksual dan penggunaan obat-obat terlarang. Keadaan ini membuat ODHA dan keluarganya merasa mendapat stigma yang buruk dan didiskriminasi oleh masyarakat. ODHA akan menjadi khawatir bahwa keluarga, teman, tetangga, dan teman-teman di tempat kerja akan menolaknya, sehingga para penderita HIV/AIDS menjadi bingung apakah sebaiknya mengungkapkan hal-hal mengenai dirinya atau tidak (Sarafino, 2011). Terbuka atau mengungkapkan informasi mengenai diri sendiri dapat digambarkan sebagai self-disclosure. Ketika individu melakukan self-disclosure maka individu sedang berbagi informasi mengenai dirinya. Informasi yang dibagikan ketika melakukan self-disclosure biasanya belum diketahui oleh orang lain selain dirinya sendiri. Informasi ketika individu melakukan self-disclosure cukup beragam seperti bagaimana sikap kita terhadap agama, status finansial, perasaan terhadap orang tua, fantasi seksual, kesehatan fisik dan mental, dan berbagai jenis informasi lainnya (DeVito, 2015). Sanjaya (2013) melakukan penelitian pada suatu lembaga yang menangani ODHA. Penelitian tersebut dilakukan untuk mencari tahu bagaimana ODHA menghadapi orang-orang dalam bagian lembaga tersebut, dan bagaimana ODHA menghadapi orang yang berasal dari luar lembaga. Pada penelitian tersebut terdapat dua subjek yang terbuka dengan sesama teman yang tergabung di lembaga, namun Universitas Sumatera Utara 3 tidak ketika harus dihadapkan dengan orang dari luar lembaga. Salah satu subjek pada penelitian tersebut lebih terbuka hanya pada keluarga dan anak-anaknya, ketika diperhadapkan pada orang lain atau yang berada di luar bagian keluarga maka subjek terbuka hanya mengenai topik-topik tertentu seperti masalah yang sedang dihadapi dengan keluarganya. Kalichman (1999) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat 41% ODHA dari total subjek 266 orang tidak melakukan self-disclosure dengan pasangan mereka. Pada penelitian Li, Sun, Wu, Lin, Wu, dan Yan (2007) ODHA melakukan self-dislcosure mengenai keadaannya pada keluarga dan keluarga menjadi pihak pertama yang mengetahui keadaannya dibandingkan orang lain. Hal ini menimbulkan dampak positif seperti memperkuat hubungan keluarga, kemudian keluarga memberikan dukungan dalam perawatan medis dan konseling sehingga membuat ODHA lebih mampu menjalani hidupnya setelah terkena HIV/AIDS serta menimbulkan dampak negatif juga seperti rasa takut, mengisolasi diri, penghindaran, dan beban psikologis lainnya. ODHA yang tidak melakukan selfdisclosure menurunkan kemungkinan mendapat konsekuensi sosial, personal, dan material yang negatif, tapi juga menurunkan kemungkinan untuk mendapatkan social support yang merupakan salah satu faktor penting untuk melakukan coping dan menurunkan tingkat kesembuhan sakit (Cohen, 1988; Kulik & Mahler, 1989). Banyak peneliti terutama yang meneliti self-disclosure pada ODHA, ingin mencari tahu juga bagaimana self-disclosure dapat mempengaruhi perilaku individu yang muncul seperti latihan seks dengan cara yang lebih aman dengan pasangan seks mereka (Simoni & Pantalone, 2005) dan kepatuhan ODHA dalam Universitas Sumatera Utara 4 menjalani pengobatan antiretroviral (Stirrat, Remien, Smith, Copeland, Dolezal, Krieger, 2006; Waddell & Messeri, 2006). Greenberg & Stone (1992) dan Jonzon & Lindblad (2005) dalam penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang mampu melakukan self-disclosure mengenai hal-hal yang memiliki stigma negatif yang umumnya disembunyikan seperti terkena HIV/AIDS dapat memiliki keuntungan pada well-being. Penelitian lainnya menemukan bahwa sebanyak 30% ibu yang terkena HIV/AIDS dari total 135 keluarga melakukan self-disclosure pada anaknya dan anak menunjukkan agresivitas yang rendah dibandingkan ketika anak mengetahui keadaan ibunya dari orang lain (Murphy, Steers, & Stiritto, 2001). Berdasarkan pemaparan hasil-hasil penelitian maka dapat dilihat self-disclosure merupakan hal penting yang perlu untuk diteliti dan dapat memberikan dampak positif bagi ODHA sehingga perlu untuk diperhatikan pada ODHA. Berbagi informasi mengenai diri sendiri yang disebut sebagai selfdisclosure merupakan cara untuk membangun hubungan dengan sesame. Jourard (1958) mengatakan bahwa keinginan untuk melakukan self-disclosure merupakan faktor penting bagi personal growth dan hubungan interpersonal. Self-disclosure pada ODHA biasanya dipengaruhi hal-hal dari segi sosial, psikologis, dan materi (Marks, Bundek, Nancy, Richardson, Jean, Ruiz, Monica, Maldonado, Norma, 1992). Chaudoir, Stephenie, Fisher, Jeffrey (2010) mengatakan ODHA akan menghadapi tantangan tapi juga akan menerima dukungan ketika melakukan selfdisclosure. ODHA melakukan self-disclosure karena dipengaruhi faktor sosial yang terjadi saat dia berinteraksi atau melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain (Zea, Reisen, Peoppel, Bianchi, Echeverry, 2007). Universitas Sumatera Utara 5 Manusia adalah makhluk sosial sehingga tidak terlepas dari hubungan interpersonal. Setiap individu tentunya memiliki dorongan untuk memiliki serta mempertahankan hubungan dengan orang lain. Menurut Maslow (Schultz, 2005) dalam teorinya yang membahas tentang hierarki kebutuhan manusia, kebutuhan manusia digolongkan dalam lima hierarki yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki dan cinta, kebutuhan akan penghargaan (prestise), dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland (dalam Pervin, 2008) mengemukakan tiga kebutuhan utama manusia yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuatan atau kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi atau kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Maslow dan McClelland, bisa dilihat bahwa manusia sebagai makhluk sosial sesungguhnya memiliki suatu kebutuhan atau keinginan untuk menciptakan, menjalin, dan menjaga suatu hubungan positif dengan orang lain yang oleh McClelland disebut dengan kebutuhan afiliasi atau need for affiliation. Need for affiliation menurut McClelland dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk membangun, mempertahankan, atau memulihkan secara positif hubungan afektif dengan orang lain atau kelompok (Pervin, 2008). Individu yang memiliki tingkat kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung merasa nyaman ketika menciptakan, mempertahankan, atau memperbaiki hubungan dengan orang lain atau kelompok tertentu. Individu juga akan melakukan evaluasi pada diri sendiri ketika ada hal-hal yang mengganggu hubungan yang telah dimiliki dengan orang lain (Pervin, 2008). Universitas Sumatera Utara 6 Silva, Moura, dan Pereira (2013) melakukan penelitian pada beberapa wanita yang mengidap HIV/AIDS merasa mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Subjek I mengatakan bahwa yang mengetahui keadaannya hanya ayah, ibu, dan suaminya, dan dia merasa bahwa hubungan pernikahannya berubah. Subjek II merasa bahwa tidak ada lagi laki-laki yang tertarik pada dirinya karena kondisi fisiknya yang semakin memburuk dikarenakan HIV/AIDS. Subjek III mengisolasi dirinya dari lingkungan tempat dia tinggal. Ketika ada orang yang mencari tahu kenapa dia melakukan hal demikian, maka Subjek ke III akan pindah ke tempat tinggal baru di daerah yang baru, dan hal tersebut berulang kembali. Berdasarkan hasil penelitian dikatakan bahwa HIV/AIDS membuat seseorang merasa memiliki keterbatasan untuk berhubungan dengan orang lain. Karena belum adanya vaksin yang bisa menyembuhkan penyakit ini maka ODHA cenderung merasa bahwa mereka harus membatasi dirinya bahkan tidak berhubungan dengan masyarakat. Ketika seseorang tidak berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya, maka individu tersebut tidak berafiliasi dengan orang lain. Berdasarkan penelitian, individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung tidak ingin berpisah dengan orang lain dan sebaliknya. Hal ini membuat individu harus terus berusaha membangun atau membina hubungan dengan orang lain. Berbeda dari kanker, diabetes, dan penyakit kronis lainnya, HIV/AIDS dianggap sebagai suatu hal yang lebih negatif. HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu kepada bayi saat hamil, ketika melahirkan atau menyusui, melalui seks oral, pemakaian alat bantu seks secara bersama-sama atau bergantian, melalui transfusi darah dari orang yang terinfeksi, dan pemakaian peralatan suntik Universitas Sumatera Utara 7 yang sudah terkontaminasi. Penularan yang sebagian besar disebabkan seks bebas menimbulkan stigma negatif dan diskriminasi bagi ODHA (Herek & Glunt, 1988). Menurut Castro dan Farmer, stigma dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, tindakan terhadap pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga. Stigma dari masyarakat dapat menimbulkan rasa malu dan takut pada ODHA sehingga mereka enggan bahkan tidak mau membina hubungan dengan orang lain. Ketika keadaan tersebut terjadi, individu akan kesulitan untuk memenuhi need for affiliation yang dia miliki. Dengan demikian selain dapat mengakibatkan kematian, HIV/AIDS juga memunculkan berbagai masalah psikologis seperti ketakutan, rasa putus asa yang disertai dengan prasangka buruk dan diskriminasi dari orang lain, yang kemudian dapat menimbulkan tekanan psikologis. (Green & Setyowati, 2004). Siapa diri kita dan bagaimana kita melihat diri sendiri tidak hanya mempengaruhi komunikasi individu, tapi juga bagaimana individu merespon komunikasi. ODHA sering dijadikan sebagai kelompok minoritas, dan hal ini membuat ODHA tidak bisa membina hubungan dengan orang lain, sehingga sulit memenuhi need for affiliation. Keberadaannya yang sering diasingkan membuat ODHA terpaksa harus menyembunyikan status HIV/AIDSnya. Ketika hal tersebut terjadi maka ODHA tidak berbagi tentang informasi mengenai dirinya, dalam hal ini tidak melakukan self-disclosure. Penelitian mengenai self-disclosure dan need for affiliation masih minim di negara Indonesia sendiri, terutama pada ODHA. Dari penjelasan di atas diperlukan adanya penelitian yang mengungkap apakah semakin Universitas Sumatera Utara 8 tinggi atau semakin rendahnya need for affiliation yang dimiliki ODHA akan memiliki hubungan dengan melakukan self-dislosure. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan antara pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure pada ODHA. I.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure pada ODHA? I.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure pada ODHA. I.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: I.4.1 Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya temuan dalam bidang psikologi klinis mengenai pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure. Universitas Sumatera Utara 9 2. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam bidang psikologi klinis mengenai pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure. I.4.2 Manfaat praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure terkhusus bagi populasi terkait dalam penelitian ini. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi orang yang bekerja terkait dengan ODHA mengenai hubungan pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure. I.5 SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : PENDAHULUAN Pendahuluan berisi latar belakang masalah dalam penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian, dan juga bagaimana sistematika penulisan penelitian. BAB II : LANDASAN TEORI Bab ini berisi teori-teori yang berkaitan dalam penelitian, apa faktorfaktor dan dimensi atau aspeknya, bagaimana hubungan antara kedua variabel, dan apa hipotesis yang ditarik oleh peneliti. Universitas Sumatera Utara 10 BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas, uji daya beda aitem, reliabilitas, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan gambaran umum subjek penelitian, hasil uji asumsi, hasil penelitian, hasil analisa tambahan, dan pembahasan hasil penelitian. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan. Universitas Sumatera Utara