BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori.
Bab ini bertujuan membahas konsep-konsep dasar teoretis, terkait pola hubungan
keperilakuan konsumen sebagaimana yang dihipotesiskan pada desain model studi ini.
Untuk
mendukung hal tersebut, pokok bahasannya terlebih dahulu secara sepintas dimulai dengan
pemaparan tentang faktor-faktor penentu dalam proses pembentukan perilaku konsumen,
kemudian diikuti dengan pemaparan hubungan antara komponen kepercayaan (kognitif) dengan
komponen sikap (afektif), yang antara lain dijelaskan melalui
beberapa pendekatan teori
seperti teori keseimbangan Heider (Heider’s balance theory), teori ekspektansi nilai Rosenberg
(Rosenberg’s expectancy-value theory), dan teori multiatribut dari Fishbein (Fishbein’s
multiatribute theory). Selanjutnya pembahasan ditutup dengan kajian teori tentang pembentukan
loyalitas berdasarkan pendekatan hubungan yang berstruktur kognitif-afektif-konatif (lihat
Assael, 2001; Schiffman & Kanuk, 2000; Bagozzi, 1981; Ajzen & Fishbein, 1980).
Terkait faktor-faktor penentu dalam proses pembentukan perilaku konsumen, salah-satu
faktor yang banyak dibahas dalam studi keperilakuan konsumen adalah
komponen sikap (lihat Kotler & Keller, 2009; Dharmestha, 1997).
tentang pendekatan
Hal ini dikarenakan sikap
(attitude) merupakan suatu predesposisi (keadaan mudah terpengaruh) yang terdapat dalam diri
seseorang, untuk memberikan tanggapan atau respon terhadap rangsangan lingkungan yang
dapat membimbing tingkah laku
sikap yang diambil.
orang tersebut untuk bertindak atau berperilaku menurut
Dengan kata lain, sikap dipandang sebagai suatu penilaian
seseorang terhadap perasaan menerima atau menolak terhadap obyek yang dihadapinya,
sehingga dengan mengetahui sikap atau motif yang mendorong seseorang untuk bertindak maka
dapat diketahui tindakan yang dimunculkan oleh orang tersebut. Akan tetapi, difinisi tentang
sikap itu sendiri tidak ada yang baku. Terdapat perbedaan pendapat di antara kelompok para ahli.
Kelompok pertama, antara lain diwakili oleh Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood
(lihat Azwar, 1995). Menurut kelompok ini, konsep mengenai sikap hanya dibatasi pada aspek
afektif saja (single component), yaitu terkait penilaian positif
atau negatif terhadap suatu
objek. Selanjutnya, kelompok kedua diwakili oleh
Chane, Bogardus, La Pierre serta Mead
dan Gordon Alport. Menurut kelompok ini,
sikap diartikan sebagai kesiapan untuk
beraksi terhadap suatu objek, ketika
seseorang dihadapkan pada suatu stimulus tertentu
yang menghendaki adanya respon. Dengan kata lain, sikap dipandang sebagai predisposisi atau
kecenderungan yang dipelajari dari seorang untuk merespon secara positif atau negatif, melalui
intensitas yang moderat atau memadai terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang tertentu.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang berorientasi pada pendekatan tiga komponen (triadic
scheme).
Pada
pendekatan
tiga
komponen,
sikap
dipandang
sebagai
suatu
konstruk
multidimensional, yang konstelasinya terdiri dari komponen kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga
komponen ini saling berinteraksi dalam rangka memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
suatu objek. Akan tetapi, kendati konstelasi ketiga komponen ini berada dalam suatu kontinum
evaluatif, namun dalam penerapannya dapat saja menimbulkan perbedaan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Rosenberg & Hovlend (lihat Azwar, 1995), yang menempatkan komponen
kognisi, afeksi dan konasi sebagai suatu komponen yang tidak menyatu langsung ke dalam
konsepsi mengenai sikap.
Hal ini dikarenakan komponen sikap terhadap suatu objek selalu
berperan sebagai perantara antara respon dan objek yang bersangkutan. Dalam hal ini respon
diklasifikasi ke dalam tiga katagori, yaitu respon kognitif (respon perseptual dan pernyataan
mengenai apa yang diyakini), respon afektif (respon syaraf simpatik dan pernyataan afeksi), serta
respon perilaku dan konatif (respon berupa tindakan dan pernyataan mengenai perilaku).
Sehubungan dengan pembentukan sikap afektif, teori keseimbangan Heider (Heider’s
balance theory) merupakan salah-satu sumber asal kemunculan pendekatan
teori sikap yang
berstruktur kognitif-afektif, di samping beberapa teori lainnya seperti teori nilai-ekspentasi
(expectancy-value theory) yang dikemukakan oleh E.C Tolman, (1952); teori ketidaksesuaian
(dissonance heory); teori dimensi kognitif Leon
Festinger, (1957); teori kesesuaian Osgood
& Tannenbaum, dan teori fungsional Katz.
Dalam konteks teori keseimbangan Heider
dijelaskan tentang hubungan antara seseorang dengan dua objek sikap, yaitu sikap favorable
(baik, suka, positif) dan sikap unfavorable (buruk, tidak suka, negatif). Dalam teori ini,
konsumen dianggap selalu berupaya untuk menjaga keseimbangan antara komponen
kepercayaan dengan evaluasinya terhadap informasi baru. Jika informasi baru yang diterima
tidak sesuai dengan kepercayaan
keseimbangan baru. Oleh karena itu
yang harus diperhatikan dalam
terhadap suatu obyek, dan
yang diyakininya, maka konsumen akan mencari
agar keseimbangannya dapat terjadi, maka ada 3 elemen
teori ini, yaitu (1) individu yang merasakan, (2) sikapnya
(3) obyek lain yang berhubungan dengan obyek pertama.
Sebagai ilustrasi dapat dideskripsikan melalui kasus Ajinomoto. Bumbu masak bermerek
ini merupakan sebuah obyek yang sudah lama disukai ibu-ibu rumah tangga. Suatu ketika produk
Ajinomoto diisukan mengandung lemak babi, sehingga sikap ibu-ibu rumah tangga berubah
menjadi negatif. Hal ini dikarenakan mayoritas konsumen percaya bahwa lemak babi itu adalah
haram untuk dikonsumsi. Pada contoh ilustrasi ini terdapat tiga elemen yang saling berhubungan,
yaitu ibu-ibu rumah tangga (konsumen yang merasakan), Ajinomoto (evaluasi sikap terhadap
suatu obyek), dan lemak babi (obyek lain yang berhubngan dengan obyek yang pertama).
Selain teori keseimbangan, teori ekspektansi nilai Rosenberg (Rosenberg’s expectancyvalue theory) berusaha menjelaskan tentang bagaimana seseorang (individu) berupaya membuat
kognisinya senantiasa konsisten dengan afeksi yang dirasakan (lihat Rosenberg, 1960). Apabila
komponen afektifnya berubah, maka komponen kognitifnya juga akan berubah, demikian pula
respon sebaliknya. Akan tetapi pada umumnya dalam upaya melakukan perubahan sikap,
seseorang akan mengubah terlebih dahulu komponen kognitifnya, hingga kemudian pada
akhirnya komponen afektif tersebut akan mengalami perubahan. Pengertian kognitif yang
dimaksud adalah tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan tentang suatu objek, melainkan juga
mencakup aspek kepercayaan atau beliefs terhadap hubungan antara objek itu sendiri dengan
sistem nilai yang ada dalam individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, komponen afektif
akan selalu berhubungan dengan komponen kognitif, dan hubungan tersebut berada dalam
keadaan konsisten. Artinya, bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek,
maka indeks kognitifnya juga akan tinggi, demikian kondisi yang sebaliknya (lihat Sears et al,
1995). Dengan kata lain, pengetahuan ataupun keyakinan seseorang terhadap suatu produk / jasa
sebagian ditentukan oleh pilihan afeksinya, begitu pula sebaliknya (Rosenberg, 1960). Teori
konsistensi kognitif-afektif ini memandang bahwa komponen kognitif tidak hanya berfungsi
sebagai apa yang diketahui mengenai objek yang dikonsumsi, melainkan juga mencakup hal-hal
yang dipercayai mengenai hubungan antara objek dengan nilai-nilai penting yang dirasakan
dalam diri konsumen. Pendekatan ini menjadi menarik apabila penilaian konsumen terhadap
suatu produk atau jasa dapat mempengaruhi keyakinannya.
Sebagai contoh, ketika seseorang ingin mencoba hidangan bakmi di sebuah restoran yang
sudah terkenal, orang itu akan terpaksa mengembangkan sikap negatifnya terhadap restoran
tersebut karena sebagaian dari teman-temannya mengatakan bahwa hidangannya adalah “tidak
halal”. Orang itu akan tetap bersikap negatif, dan senantiasa mencari kognisi yang diperlukan
untuk mendukung penilaian negatifnya, sehingga komponen kognisi ini akan selalu konsisten
dengan komponen afektif yang dirasakannya. Dengan demikian, berdasarkan teori ini dapat
dikatakan bahwa, pengetahuan ataupun keyakinan seseorang tentang suatu fakta tertentu
sebagaian di antaranya ditentukan oleh pilihan afeksinya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, teori multiatribut Fishbein (Fishbein’s multiatribute theory) merupakan
teori yang lebih dapat diaplikasikan dibanding teori Rosenberg. Hal ini dikarenakan konstruksi
kerangka konsep yang dimodelkan dalam teori Fishbein lebih menjelaskan secara rinci tentang
pengukuran-pengukuran sikap yang dipergunakan. Dalam teori Fishbein dinyatakan bahwa
sikap terhadap suatu obyek (Ai) tergantung pada keyakinan akan atribut-atribut yang melekat di
dalamnya (bi), dikalikan dengan seberapa besar tingkat kesukaan pada atribut-atribut yang ada
di dalam obyek tersebut (ei). Dengan demikian untuk mengukur sikap terhadap suatu obyek
terlebih dahulu dilakukan penentuan atribut, dan selanjutnya baru dilakukan penganalisaan
pada dimensi evaluatif yang berkaitan dengan setiap atribut yang terdapat pada obyek tersebut.
Komponen berikutnya adalah sikap konatif yang lazim disebut sebagai ekspresi
konsumen untuk berniat lanjut membeli atau menolak suatu produk atau jasa yang dikonsumsi.
Dalam konteks ini, perspektif kaum cognitivist menjelaskan bahwa niat untuk loyal merupakan
variabel anteseden langsung dari suatu proses perilaku pembelian yang muncul sebagai akibat
adanya keyakinan dan perasaan puas terhadap atribut dari suatu produk atau jasa (lihat Bray,
2008). Oleh karena itu dalam konteks grand theory keperilakuan konsumen, perspektif
pemahaman kaum cognitivist dapat dipergunakan untuk mengkaji proses pembentukan niat
untuk loyal, yang komponennya diawali oleh proses berpikir (kognitif), kemudian berpengaruh
pada proses pembentukan sikap atau afektif, dan berakhir pada proses bertindak yang disebut
konatif (lihat Assael, 2001; Schiffman & Kanuk, 2000; Bagozzi, 1981; Ajzen & Fishbein,
1980).
Dalam pemahanan teori kognitif, dikemukakan bahwa pengetahuan dan persepsi
konsumen terhadap suatu atribut diperoleh melalui kombinasi antara pengalaman langsung
dengan informasi yang terkait dari berbagai sumber, yang biasanya direfleksikan sebagai bentuk
kepercayaan (belief) (lihat Schiffman & Kanuk, 2000).Selanjutnya dalam teori ini dipaparkan
pula ada dua fase pembentukan sikap yang dilalui pada proses pembentukan loyalitas. Pertama,
ketika konsumen tidak mempunyai pengetahuan tentang atribut dari suatu produk atau jasa
tertentu, maka pembentukan sikap terhadap atribut tersebut sangat dibutuhkan. Kedua, apabila
sikap yang dirasakan telah terbentuk, fase berikutnya adalah bagaimana konsumen menyikapi
perasaan tersebut sebelum melakukan pembelian. Dengan kata lain, apabila hal ini dikonotasikan
dengan struktur hubungan kasualitas
yang terjadi, maka variabel-variabel yang dikonsepkan
dalam proses pembentukan loyalitas dimulai dengan komponen kognitif dalam menjelaskan
keperilakuan berfikir sebelum melakukan pembelian (thinking). Selanjutnya diikuti dengan
komponen afektif, yang diekspresikan melalui feeling atau respon psikologi terhadap rasa suka
atau tidak suka, dan kemudian berakhir pada komponen konatif yang berkaitan dengan tindakan
(acting) konsumen untuk berkeinginan loyal atau tidak terhadap produk atau jasa yang
dikonsumsi.
Lebih jauh, hasil kajian referensi juga menjelaskan bahwa di dalam teori kognitif ada dua
pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan perilaku konsumen (lihat Ajzen & Fishbein,
1980; Assael, 2001; Schiffman & Kanuk, 2000). Pertama adalah pendekatan keperilakuan
(behavioral approach), dan yang kedua pendekatan kesikapan (attitudinal approach). Pada
pendekatan keperilakuan,substansi bahasannya difokuskan pada persepsi pembentukan perilaku
yang berkaitan dengan pengaruh kejadian dari lingkungan eksternal (lihat Bray, 2008),
sedangkan pendekatan kesikapan difokuskan pada persepsi terhadap proses pembentukan
perilaku melalui tahapan kognitif-afektif-konatif (lihat Bagozzi, 1981; Dabholkar, 1994).
Dalam perspektif pemahaman behaviorist, perilaku kognitif konsumen terjadi akibat
adanya persepsi pemasar dalam mencari rangsangan lingkungan eksternal, sehingga perilaku
yang terjadi kemungkinannya tidak selalu sesuai dengan harapan pemasar.
Hal ini
dikarenakan respon konsumen hanya dapat terjadi melalui caratrial and error. Sementara kaum
cognivist menganggap tindakan pembelian konsumen berasal dari persepsi kesadaran
intrapersonal individu yang bersangkutan, yang aktif dalam mencari rangsangan lingkungan
eksternal, sebagai masukan informasi yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan
pembelian. Dengan kata lain, persepsi konsumen bertumpu pada struktur mental yang memediasi
antara rangsangan (stimulus eksternal) dengan tanggapan (lihat Bray, 2008).
Selanjutnya, terkait teori keperilakuan tentang loyalitas, yang dalam studi ini dianalisis
berdasarkan pendekatan kesikapan (attitudinal approach), ada beberapa struktur tahapan
komponen yang perlu dicermati (lihat Dhammesta, 1997).Tahapan komponen yang pertama
adalah loyalitas kognitif. Pada tahapan ini, loyalitas konsumen
hanya didasarkan pada
komponen kognisi semata. Sebagai contoh, sebuah pasar swalayan yang secara konsisten
menawarkan harga yang lebih rendah dari pesaingnya
niat konsumen untuk menjadi pelanggan yang setia.
akan berpotensi memunculkan
Kedua, loyalitas afektif. Pada tahapan ini,
kehadiran loyalitas afektif didorong oleh adanya sikap positif terhadap kepuasan. Kendati hal ini
belum tentu selalu terjadi demikian. Ketiga, loyalitas konatif. Loyalitas ini merupakan suatu
kondisi loyal, yang di dalamnya mencakup komitmen konsumen yang mendalam untuk
melakukan pembelian ulang.
Jenis komitmen ini melampaui batas tahapan loyalitas afektif,
yang merupakan bagian dari properti motivasional untuk mendapatkan suatu merek produk atau
jasa yang disukai. Keempat, loyalitas tindakan. Loyalitas ini merupakan refleksi dari suatu niat
yang diikuti oleh motivasi, dan mengarah pada kesiapan bertindak melakukan pembelian ulang.
Dengan demikian struktur proses pembentukan niat untuk loyal, secara komprehensif terlebih
dahulu diawali oleh adanya suatu kondisi loyalitas kognitif, kemudian diikuti loyalitas afektif
dan loyalitas konatif, dan berakhir pada loyalitas tindakan untuk melakukan suatu pembelian
ulang.
Selain studi ini bertumpu pada pendekatan kesikapan (attitudinal approach), Theory of
Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan Ajzen & Fishbein, (1980) merupakan salah-satu
teori sikap untuk berperilaku yang dipandang relatif memberi kontribusi terhadap analisis yang
dilakukan. Demikian pula halnya dengan Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan
pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA) (lihat Ajzen & Fishbein, 1980). Hal ini
dikarenakan kedua teori ini
pada intinya turut membahas tentang niat individu untuk
melakukan perilaku tertentu. Selain itu, menurut pemahaman kaum cognitivist, teori-teori ini
juga dinilai berkemampuan untuk mengungkap persepsi individu terhadap suatu obyek, dan
dalam menjelaskan perilaku konsumen yang relatif kompleks (Bagozzi, 1981).
Terkait kontribusi yang dapat dipetik dari Theory of Reasoned Action (TRA), tampaknya
dukungan yang dapat diberikan terbatas hanya pada perilaku konsumen
yang berada di bawah
pengendalian individu yang bersangkutan.Hal ini tidak mencakup faktor-faktor di luar
pengendalian tersebut. Oleh karena itu berdasarkan meta analisis, Ajzen & Fishbein, (1980)
menambahkan satu faktor anteseden terhadap intensi yang berkaitan dengan kontrol individu
tersebut, yaitu perceived behavior control (PBC), sehingga penambahan faktor ini kemudian
mengubah TRA menjadi Theory of Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana.
Pengembangan teori ini selanjutnya menjelaskan bahwa faktor-faktor internal (seperti
kompetensi, pendapatan dan ketersediaan waktu) maupun faktor eksternal (seperti tersedianya
alat-alat yang diperlukan) harus dapat dikontrol dengan baik. Apabila hal ini tidak dapat
dilakukan, maka sikap dan norma subyektif saja tidak cukup untuk memprediksi perilaku.
Pengertian norma subyektif di sini adalah dimaksudkan sebagai persepsi seseorang terhadap
faktor situasional yang dapat mempengaruhi individu yang bersangkutan untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu perilaku. Dengan demikian terkait dengan studi ini, yang menggunakan
biaya kepindahan sebagai variabel eksternal dalam memoderasi keseluruhan proses
pembentukan niat untuk loyal, maka kombinasi teori kognitif berdasarkan pendekatan atitudinal
dengan theory of reasoned action dinilai berkemampuan untuk menjawab permasalahan yang
dirumuskan. Hal ini dikarenakan di dalam metode laboratorium eksperimental, terbuka
keleluasaan bagi peneliti untuk memanipulasi variabel-variabel yang harus diberi perlakuan
(treatment), dan mengeliminasi faktor-faktor eksternal yang berpotensi mengintervensi model.
Dalam studi ini, pendekatan teori yang dilakukan dalam mengkonstruksi
model yang
didesain bertumpu pada konsep pendekatan sikap (attitudinal approach) yang terdapat dalam
teori keperilakuan konsumen. Teori ini dipandang relevan, karena konsep-konsep dasarnya
berkemampuan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses keperilakuan yang
bersifat attitudinal, mulai dari cara pengukuran yang terdapat pada komponen berfikir atau
kognitif, hingga komponen merasakan atau afektif,
dan berakhir pada komponen bertindak
atau konatif (lihat Kim et al., 1998; Ajzen & Fishbein, 1980; Bagozzi & Youjae Yi, 1991;
Schiffman & Kanuk, 2000; Assael, 2001). Dengan kata lain, pendekatan teori ini
berkemampuan untuk menganalisis proses pembentukan loyalitas, yang modelnya diawali oleh
proses pembentukan kepuasan yang berstruktur hubungan kognitif-afektif (lihat Rosenberg,
1960), kemudian berlanjut pada proses pembentukan niat loyal yang struktur hubungannya
bersifat afektif-konatif (Ajzen & Fishbein, 1980; Schiffman & Kanuk, 2000; Assael, 2001).
Selanjutnya, teori yang menjadi acuan tersebut dijustifikasi ke dalam dua proses
pendekatan analisis, yaitu pertama adalah proses analisis yang berkaitan dengan keperilakuan
konsumen dalam membentuk sikap positif terhadap kepuasan. Kedua: proses analisis yang
berhubungan dengan pembentukan niat untuk loyal. Adapun dasar pertimbangan yang
melandasi proses pembentukan tersebut, di satu sisi adalah dikarenakan oleh adanya pola
hubungan yang berstruktur kognitif-afektif pada proses pembentukan kepuasan, sedangkan di
sisi lain terdapat struktur hubungan afektif-konatif pada proses pembentukan niat untuk loyal.
Terkait variabel-variabel yang dikonsepkan sebagai komponen kognitif, studi ini
menggunakan pemasaran relasional dan kualitas layanan sebagai variabel independen. Kedua
variabel ini diprediksi mempunyai pengaruh pada komponen sikap afektif dalam bentuk
kepuasan, yang pada gilirannya dapat pula berpotensi memunculkan komponen
sikap konatif
melalui tindakan untuk berniat loyal. Akan tetapi kondisi yang demikian dapat terjadi, setelah
diproposisikan bahwa keseluruhan proses pembentukan niat untuk loyalnya dihipotesiskan
tergantung pada peran biaya kepindahan (switching cost), sebagai variabel moderasi. Berikut
ini adalah pembahasan tentang pengembangan hipotesis, yang sumbernya berasal dari beberapa
konsep dasar hubungan kasualitas antar-variabel yang diamati.
B. Pengembangan Hipotesis.
Pengembangan hipotesis yang dilakukan dalam studi ini, premis dasar yang dipergunakan
mengacu pada hasil kajian terhadap literatur yang terkait. Selain itu, proposisi yang dikemukakan
bertumpu pada kecenderungan terjadinya suatu pola hubungan yang diprediksi, sehingga dapat
dirumuskan
masing-masing
konsep
tentang
pengaruh
hubungan
antar-variabel
yang
dihipotesiskan.Berikut ini adalah penjelasannya.
1. Pengaruh Pemasaran Relasional Terhadap Kepuasan.
Pengaruh pemasaran relasional terhadap kepuasan merupakan pengembangan konsep
pertama yang dihipotesiskan. Terkait arti pentingnya peran pemasaran relasional dalam
membentuk kepuasan dan loyalitas, studi terdahulu mengindikasi bahwa penerapan konsep dan
dimensi pemasaran relasional masih inkonsisten (lihat: Morgan & Hunt, 1994; Keegan et
al.,1995; Thurau et al., 2002; Winner, 2004; Kotler & Keller, 2009).
Dilihat dari sisi
konsep, pemasaran relasional dipandang sebagai suatu upaya untuk menarik minat konsumen
agar tetap loyal (Thurau et al., 2002; Zineldin & Sarah, 2007).
Hal ini berbeda menurut
Morgan & Hunt (1994) yang menilainya sebagai suatu upaya yang dilakukan dengan cara
merubah strategi pemasaran yang bersifat transaksional menjadi pemasaran relasional.
Sementara di lain pihak, Keegan et al., (1995) lebih menekankan pada cara memberikan
kepuasan maksimum, sedangkan Kotler & Keller, (2009) cenderung memfokuskannya hanya
pada proses dalam menciptakan, membangun dan memelihara nilai-nilai hubungan baik jangka
panjang antara pemasar dengan konsumen.
Selain perbedaan konsep, dalam konteks perbedaan dimensi Parasuraman
et al.,
(2005) berpendapat bahwa pemasaran relasional memiliki 5 dimensi yaitu;
(1)
kemampuan kinerja layanan dalam membangun hubungan jangka panjang,
(2)
memberi penghargaan terhadap kontribusi positif pelanggan, (3) memfasilitasi konsumen agar
dapat meningkatkan keterkaitan dengan perusahaan, (4) menciptakan kedekatan melalui nilainilai, tujuan, dan budaya perusahaan, serta (5) memberikan layanan yang terbaik kepada
pelanggan setia agar dapat menarik pelanggan baru.
Hal ini berbeda dari dimensi yang
dikemukakan oleh Winner (2004) yang mengkombinasikan pemasaran relasional berdasarkan
program customer service,
loyalty programs dan community building. Sementara Murphy et
al., (2007) cenderung lebih menekankan pada dimensi pendekatan etika pemasaran relasional
yang dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan, yaitu establishing, sustaining dan reinforcing,
dengan sasaran yang difokus pada upaya untuk; (1) menjaga hubungan baik dengan konsumen
dalam jangka panjang, (2) membuat dan menjaga janji kepada konsumen,
(3) melibatkan
personel organisasi dalam kegiatan pemasaran, (4) mengimplementasi proses interaksi dengan
konsumen pada aktivitas pemasaran, (5) membangun
budaya melayani konsumen, serta
(6) memperoleh dan menggunakan informasi dari konsumen.
Dalam konteks studi ini, konsep pemasaran relasional yang diaplikasi adalah mengacu
pada konsep Winner, (2004), yang menekankan bahwa pemasaran relasional merupakan suatu
upaya untuk menciptakan, membangun dan memelihara nilai-nilai hubungan baik jangka
panjang antara pemasar dengan konsumen. Adapun dimensi
yang dikonsepkan terdiri dari
customer service, loyalty programs dan community building. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh
kesamaan persepsi, sehingga dalam mencermati hasilnya tidak terdapat lagi perbedaan opini
tentang pemahaman konsep dan dimensi dalam menerapkan pemasaran relasional.
Selanjutnya, terkait adanya perbedaan konsep dan dimensi yang terjadi
terdahulu mengindikasi bahwa faktor penyebab utamanya diperkirakan terletak
studi
pada
permasalahan yang menjadi fokus peneliti. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui beberapa studi
yang memfokuskan permasalahannya pada orientasi tujuan dan struktur keperilakuan yang
berbeda, yang pada gilirannya berdampak pada obyek dan setting penelitian yang berbeda,
sehingga model yang dibangun menjadi berbeda pula (Aronu, 2014; Seiler et al., 2013; Chu et
al., 2012). Untuk jelasnya, berikut ini dapat dipaparkan masing-masing permasalahan yang
dimaksud.
Pada penelitian yang orientasinya bertujuan untuk mendeskripsikan pemasaran relasional
secara deskripftif, permasalahannya berbeda dengan yang bertujuan untuk mengekplorasi atau
mengeksplanasi (lihat Tat et al., 2008; Khalifa & Liu, 2007;
Al-Maghrabi et al., 2011).
Pada penelitian deskriptif, permasalahan yang diamati hanya ditujukan untuk menggambarkan
profil responden dan kondisi riil fenomena yang diteliti (lihat Tat et al., 2008), sedangkan pada
penelitian eksploratif permasalahannya lebih difokuskan untuk mereduksi indikator-indikator
yang dapat menjelaskan konstruk yang diamati (Khalifa & Liu, 2007; Al-Maghrabi et al.,
2011). Hal ini berbeda dari penelitian eksplanatif, yang orientasi tujuannya difokuskan pada
upaya untuk memprediksi variabel pemasaran relasional sebagai variabel pengaruh yang menjadi
fokus amatan studi (lihat Floch & Treiblmaier, 2006; El Kashier et al., 2009; Kheng et al.2010).
Selanjutnya terkait dengan tujuan studi ini, orientasi yang dimaksudkan lebih bertumpu pada
upaya menganalisis permasalahan secara ekploratif, berdasarkan pemberian stimulus melalui
suatu riset eksperimental.
Sementara dilihat dari struktur keperilakuan yang melandasi teori yang dipergunakan,
permasalahan yang terjadi diperkirakan terletak pada perbedaan
pola hubungan yang
diamati. Studi terdahulu mengindikasi ada beberapa peneliti
yang memfokuskan
permasalahannya terbatas hanya pada pola hubungan yang bersifat kognitif-konatif, sementara
yang lainnya mencakup struktur yang lebih kompleks mulai dari pola hubungan kognitif-afektif
hingga menjadi kognitif-afektif-konatif. Hal ini berarti bahwa ada peneliti yang menyoroti
masalah pemasaran relasional dalam mempengaruhi niat untuk loyal hanya berdasarkan analisis
yang bersifat pola hubungan langsung, sedangkan yang lainnya melihat pola hubungan tersebut
terlebih dahulu dimediasi oleh faktor kepuasan. Oleh karena itu perbedaan ini mempunyai
implikasi terhadap pemilihan obyek dan setting, yang pada gilirannya berdampak pada model
yang dibangun
menjadi berbeda, sehingga dalam upaya untuk memberikan gambaran yang
komprehensif struktur keperilakuan yang diamati studi ini lebih difokuskan pada pola hubungan
yang bersifat kognitif-afektif-konatif. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penjelasan yang lebih
rinci tentang bagaimana pengaruh pemasaran relasional dalam membentuk
niat untuk loyal,
baik dilihat dari struktur keperilakuan yang bersifat hubungan langsung antara struktur kognitif
dan konatif, maupun setelah dimediasi oleh variabel kepuasan dalam struktur kognitif-afektifkonatif.
Selanjutnya terkait perbedaan permasalahan yang menyebabkan obyek yang diamati
menjadi berbeda antara lain diperkirakan karena pada studi yang memfokuskan obyeknya pada
kelompok karyawan dan masyarakat umum, daya tarik pemasaran relasional yang dilakukan
lebih bertumpu pada pemberian hadiah dan media promosional yang dapat menjamin faktor
kecepatan, aspek kualitas dan kemudahan layanan serta unsur kepercayaan (lihat Qureshi et al.,
2009; El Kashier et al. 2009). Sementara pada studi yang memilih obyeknya mahasiswa
cenderung bertumpu pada hadiah-hadiah dan kegiatan pemasaran relasional yang dapat
menimbulkan rasa kebanggaan daripada fungsi lainnya (Deng et al., 2010; Lin C, 2009). Hal ini
hampir sama seperti yang dilakukan studi ini dalam memilih obyek penelitian yang difokuskan
pada sekelompok mahasiswa,
dengan cara memberikan hadiah-hadiah kejutan berupa kupon
dan voucher serta ucapan selamat yang membangkitkan sentuhan emosional, berdasarkan
pertimbangan
bahwa
perspektif
pemikiran
yang
akan
diungkap
dipandang
dapat
merepresentasikan kondisi ril niat konsumen untuk loyal.
Setting penelitian merupakan faktor berikutnya yang mengkontribusi permasalahan yang
berbeda. Pada penelitian pemasaran relasional yang menggunakan setting masyarakat barat,
permasalahannya difokuskan pada pertimbangan rasional, sehingga orientasinya lebih bertumpu
pada aspek utilitarian (lihat Khalifa & Liu, 2007).
Sementara pada masyarakat timur lebih
difokuskan pada pertimbangan emosional dalam proses keperilakuannya untuk berniat loyal
terhadap produk-produk atau jasa yang bersifat hedonis (Floch & Treiblmaier, 2006; Kheng et
al., 2010; Al-Maghrabi et al., 2011).
penelitiannya berlatarbelakang
Hal ini berbeda dengan studi ini, yang setting
masyarakat timur, dengan mengambil tempat di Jakarta. Hal ini
dikarenakan dalam desain metode ekskperimen yang dilakukan memberi peluang terhadap
setting yang dipilih
dapat dilakukan dimana saja, sehingga daerah ini memungkinkan untuk
dijadikan sebagai lokasi penelitian.
Terkait pengembangan hipotesis pada konsep hubungan pemasaran relasional terhadap
kepuasan, premis dasar yang dipergunakan mengacu pada studi literatur yang mengindikasi
adanya pengaruh yang positif dan signifikan (Thurau et al., 2002; Leverin & Veronica, 2006).
Berdasarkan premis dasar ini, selanjutnya dikemukakan proposisi untuk menjelaskan fenomena
yang terjadi bahwa hubungannya adalah berkecenderungan positif, atau semakin tinggi daya
tarik pemasaran relasional, semakin tinggi kepuasan.
Berikut ini dapat dijelaskan dasar
pertimbangan yang melandasi kecenderungan pola hubungan positifyang dimaksud.
Pertama, konsumen bertindak rasional untuk menyatakan sikap afektif terhadap kepuasan
yang dirasakan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pemasaran relasional merupakan suatu
kegiatan promosional yang dapat menjaga hubungan baik jangka panjang antara pihak produsen
dengan konsumen (Thurau et al., 2002; Winner, 2004; Leverin & Liljander, 2006). Kedua,
adanya persepsi bahwa konsumen merasa puas terhadap daya tarik pemasaran relasional yang
diberikan, di mana selanjutnya variabel kepuasan ini dipandang dapat berfungsi sebagai variabel
mediasi dalam proses pembentukan niat untuk loyal (lihat Wan & Ken, 2013; Padmavathy et al.,
2012; Taleghani et al., 2011; Thurau et al., 2002). Dengan demikian, berdasarkan proposisi
yang dikemukakan dapat dirumuskan pengembangan hipotesis yang pertama yaitu;
H.1 : Semakin tinggi pemasaran relasional, semakin tinggi kepuasan.
2.
Pengaruh Biaya Kepindahan Dalam Memoderasi Hubungan Pemasaran
Relasional Terhadap Kepuasan.
Selain pemasaran relasional, biaya kepindahan merupakan variabel eksternal
yang
dipandang penting dalam mempengaruhi proses pembentukan kepuasan. Hal ini dapat terjadi,
dikarenakan variabel ini berpotensi memperkuat atau memperlemah pengaruh hubungan
pemasaran relasional terhadap kepuasan. Berdasarkan fenomena
studi ini biaya kepindahan dikonsepkan sebagai beban
yang demikian, maka dalam
biaya yang dapat menyebabkan
konsumen untuk terus berniat menjadi pelanggan setia atau pindah kepada pihak kompetitor.
Sehubungan dengan pengembangan hipotesis pada hubungan interaksi antara
biaya
kepindahan, pemasaran relasional dan kepuasan, premis dasar yang dipergunakan mengisyinyalir
bahwa semakin tinggi biaya kepindahan semakin memperlemah pengaruh variabel-variabel
keputusan (variabel prediktor) dalam membentuk kepuasan (lihat Yang & Peterson, 2004; Chea
& Luo, (2005). Oleh karena itu proposisi yang dikemukakan untuk menjelaskan hubungan ini
bertumpu pada hubungan yang berkecenderungan negatif seperti yang dikonsepkan studi-studi
sebelumnya (lihat Stan et al., 2013; Chea & Luo, 2005).
Argumentasi yang melandasi pertimbangan hubungan yang cenderung negatif tersebut
antara lain disebabkan oleh faktor; (1) adanya persepsi konsumen bahwa
biaya kepindahan
merupakan variabel eksternal yang eksistensinya dapat memoderasi hubungan variabel-variabel
keputusan dalam membentuk sikap negatif terhadap kepuasan (lihatYang & Peterson, 2004;Chea
& Luo, 2005; Stan et al., 2013), dan yang ke (2) beberapa studi terdahulu telah membuktikan
bahwa biaya kepindahan dapat memperlemah pengaruh variabel-variabel prediktor dalam
membentuk hubungan keperilakuan konsumen
et al., 2013; Yang & Peterson, 2004;
yang berstruktur kognitif-afektif (lihat Stan
Chea & Luo, 2005), sehingga apabila fenomena ini
disintesikan dengan pengaruh pemasaran relasional terhadap kepuasan (lihat Thurau et al., 2002;
Winner, 2004; Leverin & Liljander, 2006), maka dapat dikonsepkan rumusan hipotesis yang
kedua, yaitu;
H.2 : Semakin tinggi biaya kepindahan semakin memperlemah pengaruh pemasaran
relasional pada kepuasan.
3. Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan.
Secara konseptual, kualitas layanan merupakan suatu penilaian pelanggan terhadap
keunggulan atau keistimewaan dari suatu produk atau layanan yang dirasakan
secara
menyeluruh (Zeithaml & Bitner, 1996). Variabel ini merupakan cue yang dipertimbangkan
penting sebagai variabel prediktor dalam membentuk niat untuk loyal. Hal ini dikarenakan
apabila konsumen merasa puas, maka tidak tertutup kemungkinan akan timbul niat untuk loyal.
Akan tetapi sebaliknya, jika yang terjadi adalah ketidakpuasan dapat dipastikan konsumen akan
menghentikan konsumsinya atau beralih ke produk / jasa yang lain. Oleh karena itu, dalam studi
ini, konsep operasional yang dipergunakan bertumpu pada persepsi konsumen terhadap evaluasi
perbedaan antara kualitas layanan yang diharapkan dengan yang dirasakan, baik dilihat dari
aspek efisiensi pemenuhan layanan, ketersediaan sistem, kerahasiaan yang terjamin, maupun
respons terhadap keluhan yang disampaikan (lihat Parasuraman, 2005).
Selanjutnya, konsep variabel ini juga tidak terlepas dari ketidaksepemahaman di kalangan
peneliti. Di antaranya, Camarero, (2007) mengungkap bahwa kendati hubungan antara kualitas
layanan dan pemasaran relasional memiliki dua jalur strategi perantara yang berbeda, yang
diarahkan menuju orientasi pasar dalam rangka menciptakan kinerja perusahaan, akan tetapi
dalam kenyataannya hubungan antara pemasaran relasional dan kualitas layanan terhadap kinerja
tidak mengikuti dua jalur yang independen, melainkan merupakan dua jalur saling terkait.
Asumsi dasar yang melandasi hubungan ini adalah bahwa peningkatan kualitas layanan dapat
meningkatkan kepuasan, loyalitas, dan profitabilitas perusahaan, sedangkan program pemasaran
relasional hanya menghasilkan profitabilitas itu sendiri dalam konteks ini tidak begitu jelas. Oleh
karena itu,
dalam tataran kebijakan disarankan agar pemasar melakukan kegiatan seperti
memberi perlakuan istimewa, menjalin komunikasi yang baik, dan melakukan adaptasi terhadap
kebutuhan pelanggan. Tujuannya adalah untuk menjaga loyalitas konsumen, dan mengurangi
keluhan atau konflik, serta untuk memperbaiki posisi perusahaan. Selain itu, perusahaan juga
harus fokus untuk meningkatkan kualitas layanan sebagai konsekuensi logis dari suatu orientasi
hubungan pemasaran dalam rangka menciptakan kinerja ekonomi.
Konsep dasar yang dijelaskan tersebut berbeda dengan pemahaman Parvatiyar & Sheth,
(1998) yang sebelumnya mengisyaratkan bahwa domain pemasaran relasional tidaklah berdiri
sendiri, melainkan meluas hingga ke beberapa aspek di bidang pemasaran dan keputusankeputusan strategis. Dalam kaitan ini dikatakan bahwa paradigma pemasaran relasional mengacu
pada konseptual pemasaran yang sempit. Padahal bila fenomena ini dikolaborasikan dengan
orientasi pelanggan, maka variabel ini berpotensi memunculkan perspektif pemasaran yang
dominan. Oleh karena itu, dalam konteks layanan informasi perbankan Parasuraman et al.,
(2005) mengemukakan argumentasi mengapa hasil-hasil penelitian terdahulu perlu dikaji ulang.
Pada awalnya, secara tradisional kualitas layanan didefinisikan oleh Zeithaml & Bitner,
(1996) sebagai penilaian pelanggan atas keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau
layanan yang disediakan secara menyeluruh. Konsep tradisional ini memiliki 5 dimensi yang
terdiri dari: (1) kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang
dijanjikan secara tepat dan terpercaya, (2) responsif (responsiveness): kemampuan membantu
pelanggan dan memberikan layanan jasa dengan cepat, (3) keyakinan (assurance), penilaian
terhadap pengetahuan dan kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan
konsumen, (4) empati (emphaty), yaitu syarat untuk penduli dan memberikan perhatian pada
pelanggan, serta (5) tangible, dalam arti penampilan fisik, peralatan, personil dan media
komunikasi yang disediakan. Akan tetapi konsep ini terbatas hanya pada penilaian konsumen
yang berkaitan dengan faktor-faktor anteseden dan konsekuensi yang ditimbulkan, sehingga hal
ini memunculkan perdebatan dalam mencari cara yang paling tepat untuk menilai kualitas
layanan dalam konteks teknologi informasi perbankan (Parasuraman A, 1991).
Berdasarkan studi yang dilakukan, Parasuraman et al., (2005) menjelaskan 7 dimensi
kualitas layanan e-banking (E-S-Qual), yang dibagi dalam dua kelompok skala. Pertama, adalah
skala ES-Qual, yang terdiri dari 22 item pada 4 dimensi yang didefinisikan sebagai berikut:(1)
efficiency dalam mengakses penggunaan situs e-banking, (2) system availability atau
keberfungsian teknis dari sistem yang diselenggarakan, (3) fulfillment: pemenuhan terhadap
order delivery, (4) faktor privacy: jaminan perlindungan atas kerahasiaan pribadi konsumen.
Kedua, skala pemulihan kualitas layanan (E-RecS-QUAL) yang dirancang khusus untuk retur
pembelian barang lewat transaksi e-banking, yang terdiri dari 11 item pada 3 dimensi kualitas
layanan yaitu; (1) responsiveness: berupa tanggapan yang efektif terhadap retur pembelian, (2)
compensation: kompensasi yang diberikan atas kesalahan e-banking, dan (3) contact:
ketersediaan bantuan melalui telepon atau perwakilan online. Akan tetapi skala E-RecS-QUAL
harus dipandang sebagai
skala yang perlu dipertimbangkan, karena tidak semua pengguna e-
banking melakukan transaksi retur. Selain itu, ketiga dimensi layanan pemulihan ini adalah
bersifat kualitas layanan tradisional.
Terkait pengembangan hipotesis yang dilakukan, premis dasarnya bertumpu pada hasil
studi literatur yang mengindikasi bahwa semakin tinggi kualitas layanan semakin tinggi
kepuasan (lihat Jamal & Anastasiadou. 2009; Kheng et al., 2010).
Dengan demikian,
proposisi yang dapat dikemukakan mengacu pada regularitas fenomena yang berkecenderungan
pada pola hubungan yang positif. Hal ini antara lain dilandasi oleh dua alasan berikut ini.
Pertama, persepsi konsumen terhadap kualitas layanan yang tinggi cenderung
menimbulkan sikap positif terhadap kepuasan (Chea & Luo, 2005; Luo, Shu-Fang & Tsai Zhang,
Lee et al., 2011; Srivastava & Rai, 2013; Stan et al., 2013). Kedua, konsumen bertindak rasional
untuk menyatakan sikap afektif terhadap kepuasan. Hal ini antara lain disebabkan kualitas
layanan yang disediakan berkemampuan memberikan keunggulan atau keistimewaan secara
menyeluruh terhadap kebutuhan konsumen (Zeithaml & Bitner, 1996), sedangkan Parasuraman
et al., (2005) lebih menilainya kepada perbedaan
yang cukup signifikan antara kualitas
layanan yang diharapkan dengan yang dirasakan, baik dilihat dari aspek efisiensi pemenuhan
layanan, ketersediaan sistem, kerahasiaan yang terjamin, maupun respons terhadap keluhan yang
disampaikan. Dengan demikian, berdasarkan proposisi yang dikemukakan dapat dirumuskan
pengembangan hipotesis yang ketiga yaitu;
H.3 : Semakin tinggi kualitas layanan, semakin tinggi kepuasan.
4. Pengaruh Biaya Kepindahan Dalam Memoderasi Hubungan Kualitas
Layanan Terhadap Kepuasan.
Selanjutnya, selain hubungan utama (main effects), studi literatur juga mengindikasi
adanya hubungan interaksi dua variabel (two-ways interaction effects)
hubungan yang semakin kompleks. Dalam konteks ini fenomena
dalam menjelaskan
yang dideskripsikan adalah
semakin tinggi kualitas layanan, semakin rendah kepuasan. Fenomena ini didukung oleh hasil
studi Stan et al., (2013), Chea & Luo, (2005) dan Yang & Peterson, (2004), yang selanjutnya
dijadikan sebagai premis dasar untuk merumuskan hipotesis yang dikembangkan. Oleh karena
itu proposisi yang dikemukakan bertumpu pada regularitas hubungan yang negatif, seperti
dikonsepkan studi terdahulu dalam menjelaskan pengaruh interaksi biaya kepindahan terhadap
hubungan kualitas layanan pada kepuasan. Dengan demikian berdasarkan regularitas fenomena
ini, hipotesis keempat yang dapat diformulasikan adalah;
H.4 : Semakin tinggi biaya kepindahan semakin memperlemah pengaruh kualitas layanan
pada kepuasan.
5. Pengaruh Pemasaran Relasional Terhadap Niat Untuk Loyal.
Fenomena hubungan pemasaran relasional sebagai variabel prediktor terhadap
niat
untuk loyal disyinyalir mempunyai efek yang positif dan signifikan. Pendapat ini didukung oleh
beberapa hasil studi terdahulu (lihat Thurau et al., 2002; Zineldin, 2006; Taleghani et al., 2011).
Selanjutnya fenomena ini dapat dijadikan sebagai premis dasar untuk menjelaskan bahwa
semakin tinggi daya tarik pemasaran relasional, semakin tinggi niat untuk loyal, sehingga
proposisi yang dikemukakan hubungannya cenderung positif seperti yang dikonsepkan studistudi sebelumnya (Taleghani et al., 2011; Ndubisi, 2007; Singgih & Purnasakti, 2010). Adapun
alasan yang menjadi pertimbangannya adalah konsumen bertindak rasional dalam menyatakan
niatnya untuk loyal. Hal ini antara lain disebabkan daya tarik pemasaran relasional dapat
memberikan rasa puas terhadap terpeliharanya hubungan baik jangka panjang antara pihak
produsen dengan konsumen, yang pada gilirannya dapat berpotensi mendorong proses
pembentukan niat untuk loyal (lihat Winner, 2004; Taleghani et al.,2011; Wan & Ken, 2013).
Oleh karena itu,
untuk pengembangan konsep hipotesis yang kelima dapat dirumuskan
sebagai berikut;
H.5 : Semakin tinggi pemasaran relasional, semakin tinggi niat untuk loyal.
6.
Pengaruh Biaya Kepindahan Dalam Memoderasi Hubungan Pemasaran Relasional
Terhadap Niat Untuk Loyal.
Selain pengaruh interaksi antara biaya kepindahan terhadap pemasaran relasional dan
kepuasan disinyalir berpengaruh negatif, fenomena yang sama juga diperkirakan terjadi pada
pengaruh interaksi antara biaya kepindahan terhadap pemasaran relasional dan niat untuk loyal.
Hal ini teridentifikasi melalui hasil studi Yang & Peterson, (2004); Chea & Luo. (2005) dan Stan
et al., (2013), yang mengisyaratkan bahwa semakin tinggi biaya kepindahan, semakin
menurunkan pengaruh daya tarik variabel-variabel prediktor terhadap niat untuk loyal. Oleh
karena itu, fenomena yang demikian dapat dijadikan sebagai premis dasar untuk memprediksi
peran biaya kepindahan dalam memoderasi pengaruh pemasaran relasional terhadap niat untuk
loyal.
Selanjutnya, berdasarkan premis dasar yang dikemukakan dapat pula diproposisikan
suatu pola hubungan yang cenderung negatif. Hal ini dikarenakan ada beberapa peneliti yang
menunjukkan bahwa biaya kepindahan dapat berpengaruh negatif dalam memoderasi hubungan
kausalitas yang berstruktur kognitif-afektif (lihat Yang & Peterson, 2004; Chea & Luo, 2005),
sementara yang lainnya memoderasi pola hubungan yang berstruktur afektif-konatif (lihat Lam
et al., 2004). Dengan demikian apabila kedua pola hubungan ini disintesiskan, maka
pengembangan konsep terhadap hipotesis yang keenam dapat diformulasikan sebagai berikut;
H.6 : Semakin tinggi biaya kepindahan semakin memperlemah pengaruh pemasaran
relasional pada niat untuk loyal.
7. Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Niat Untuk Loyal.
Pengaruh kualitas layanan terhadap niat untuk loyal merupakan konsep berikutnya yang
dihipotesiskan. Hal ini dikarenakan studi terdahulu mengindikasi bahwa kualitas layanan
dipandang sebagai cue yang berpengaruh positif dalam membentuk loyalitas
(lihat Kheng et
al., 2010; Choudhury, 2013; Stan et al., 2013), sehingga berdasarkan premis dasar ini dapat
dikemukakan proposisi bahwa hubungan yang terjadi berkecenderungan memunculkan
regularitas fenomena yang berpengaruh positif dan signifikan. Oleh karena itu, untuk
pengembangan hipotesis yang ketujuh konsepnya dapat diformulasikan sebagai berikut;
H.7 : Semakin tinggi kualitas layanan, semakin tinggi niat untuk loyal.
8. Pengaruh Biaya Kepindahan Dalam Memoderasi Hubungan Kualitas
Layanan Terhadap Niat Untuk Loyal.
Selain pengaruh biaya kepindahan dalam memoderasi pemasaran relasional terhadap
kepuasan berpengaruh negatif, fenomena yang sama juga dapat diprediksi terjadi pada hubungan
interaksi antara biaya kepindahan terhadap kualitas layanan dan niat loyal. Hal ini dikarenakan
studi terdahulu memberi sinyalemen bahwa semakin tinggi biaya kepindahan semakin
memperlemah pengaruh kualitas layanan terhadap niat untuk loyal (lihat Yang & Peterson, 2004;
Chea & Luo, 2005; Stan et al., 2013). Oleh karena itu konsisten dengan fenomena ini selanjutnya
dapat diajukan premis dasar dan proposisi yang mensinyalir adanya suatu hubungan yang
berkecenderungan negatif, sehingga untuk pengembangan hipotesis yang kedelapan konsepnya
dapat dirumuskan sebagai berikut;
H.8 : Semakin tinggi biaya kepindahan semakin memperlemah pengaruh kualitas
layanan pada niat untuk loyal.
9.
Pengaruh Kepuasan Terhadap Niat Untuk Loyal.
Pengaruh kepuasan terhadap niat loyal merupakan komponen penting dalam
pengembangan
konsep
hubungan antar-variabel
yang dihipotesiskan.
Proposisi
yang
dikemukakan memprediksi bahwa semakin tinggi kepuasan semakin tinggi niat untuk loyal.
Fenomena ini dilandasi oleh suatu premis dasar yang mengisyaratkan adanya regularitas
hubungan yang berpengaruh positif antara kepuasan terhadap niat untuk loyal (lihat Kheng et al.,
2010; Jamal & Anastasiadou, 2009; Cacere & Paparoidamis, 2007). Berdasarkan regularitas
fenomena yang demikian, maka hipotesis kesembilan yang dapat diajukan adalah;
H.9 : Semakin tinggi kepuasan, semakin tinggi niat untuk loyal.
10. Pengaruh Biaya Kepindahan Dalam Memoderasi Hubungan Kepuasan
Terhadap Niat Untuk Loyal.
Pengaruh interaksi pada hubungan kausalitas ini menjadi semakin penting ketika studi ini
mengajukan premis dasar bahwa, pengaruh biaya kepindahan terhadap hubungan antara kepuasan
dan niat untuk loyal cenderung negatif (lihat: Yang & Peterson, 2004; Chea & Luo 2005; Stan et
al., 2013). Dengan kata lain, proposisi yang dapat dikemukakan mengisyaratkan bahwa semakin
tinggi biaya kepindahan, semakin memperlemah pengaruh kepuasan terhadap niat untuk loyal.
Oleh karena itu, berdasarkan proposisi yang diajukan dapat dirumuskan pengembangan hipotesis
yang kesepuluh yaitu;
H.10 : Semakin tinggi biaya kepindahan semakin memperlemah pengaruh kepuasan pada
niat untuk loyal
Berdasarkan 10 (sepuluh) permasalahan yang telah dirumuskan, selanjutnya dapat
dimodelkan sebuah kerangka penelitian seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.1.
dimaksudkan untuk memberikan kejelasan tentang hubungan antara variabel
Hal ini
yang
dihipotesiskan. Berikut adalah penjelasannya.
D. Model Penelitian.
Gambar II.1.
Model Niat Loyal Dalam Perspektif Keperilakuan Konsumen
PEMASARA
N
RELASIONA
H-5
H-1
H-3
KUALITA
S
LAYANA
Sumber: Didesain oleh Peneliti, 2012.
KEPUASA
N
H-9
NIAT
LOYAL
KONSUME
N
H-7
H-2; H-4; H-6; H-8; H-10
BIAYA
KEPINDAHA
Gambar II.1 menjelaskan proses pembentukan niat untuk loyal. Dalam proses ini ada dua
pola hubungan antar variabel yang diamati. Pertama, pola hubungan antar dua variabel
sebagaimana diperlihatkan hipotesis H-1; H-3; H-5; H-7, dan H-9. Pola hubungan ini merupakan
struktur kognitif-afektif dalam membentuk kepuasan, serta struktur
membentuk niat untuk loyal. Kedua, pola hubungan interaksi
ditunjukkan oleh hipotesis H-2; H-4; H-6; H-8; dan H-10.
kognitif-konatif dalam
antar dua variabel yang
Pola hubungan interaksi
antar dua variabel ini menjelaskan tentang biaya kepindahan yang memoderasi masing-masing
hubungan yang terdapat pada struktur konatif-afektif-konatif dalam proses pembentukan niat
untuk loyal. Oleh karena itu, dalam upaya memperoleh hasil yang kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka pengujian
yang dilakukan memerlukan suatu
pendesainan metodologi yang valid dan reliabel. Berikut ini adalah penjelasan mengenai metode
yang dipergunakan, sebagaimana dibahas pada Bab III.
Download