metafisika kerapan sapi

advertisement
73
METAFISIKA KERAPAN SAPI:
Mengungkap Makna Status Sosial dan Relasi Gender Dalam Masyarakat Madura
Achmad Bahrur Rozi
(Dosen Prodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi STKIP PGRI Sumenep)
Abstrak
Karapan Sapi is the natural culture which appear some social-cultre. The most prominent can be
understood with Karapan Sapi as the rise of social status. Karapan Sapi is as social behaviour
behalf social communication as well as in Madura that can be found in. Karapan Sapi with all
ritual aspect also to reach someone’s dignity of prestige to the people’s mindset. The other
symbolization which is related between Kerapan Sapi and Sapi Sono’ mean of dichotomy role
between male and female. In other words, male and female are appreciated with the role itself.
Male is based on physical appearances, female is on attitude and beuaty. But, female doesn’t
mean in the second position. Female has the same value is rest on autonomy roles in the societies.
But it means as principle of sub-ordination.
Keyword: Kerapan Sapi, Metaphysics, Social Status
A. Pendahuluan
Masyarakat Madura adalah salah satu
etnis di Indonesia yang mempunyai karakteristik dan ciri khas yang unik. Hal ini misalnya
dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta
beberapa jenis adat istiadat yang spesifik.
Selain itu, Madura juga dikenal memiliki
serpihan budaya dan tradisi yang mengakar
kuat. Salah satu bentuk tradisi yang cukup
spesifik, menarik, dan dominan dipulau
Madura yang akan menjadi topik pembahasan
di sini adalah tradisi karapan sapi (kerrapan
Sapeh).
Keberadaan karapan sapi sebagai budaya
yang sudah mengakar bukan berarti lepas dari
kontroversi. Dalam prerjalanannya, karapan
sapi melahirkan pro dan kontra di tengahtengah masyarakat Madura yang notabene
dikenal sebagai wilayah dengan panetrasi
Islam yang mendalam. Di antaranya tuduhan
dari kalangan ulama bahwa karapan sapi
merupakan bentuk penyiksaan terhadap sapi
yang dilarang keras oleh agama.
Akan tetapi, kemampuannya bertahan
hingga saat ini menunjukkan bahwa karapan
sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang
perayaannya digelar rutin setiap tahun.
Karapan sapi juga tidak hanya sekedar tradisi
yang dilaksanakan secara turun-temurun dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Lebih
dari itu, karapan sapi merupakan cara orang
Madura untuk mengekspresikan citra kehidupannya, baik pada tingkat individu maupun
sosial.
Tulisan ini berusaha melihat karapan sapi
dari sudut pandang yang berbeda dari telaah
yang selama ini sering dilakukan seperti
telaah sosiologis dan budaya. Tujuan utamanya adalah menguak makna metafisis di balik
tradisi karapan sapi. Oleh karena itu,
pertanyaan yang paling pokok dalam tulisan
ini adalah apakah tradisi karapan sapi
merupakan suatu metafisika? Lalu, apa makna
metafisis yang dapat digali dari tradisi
karapan sapi?
B. Kebutuhan Akan Metafisika
Istilah metafisika berasal dari bahasa
Yunani ‘meta ta physika’ (sesudah fisika).
Istilah ini sering kali dihubungkan dengan
Aristoteles sebagai filsuf Yunani yang pertama
kali menggunakan istilah metafisika dalam
karyanya. Namun, sebenarnya, sebutan
metafisika tidak berasal dari Aristoteles
sendiri, melainkan dari Andronikos dari Rhodos
(± 70 SM) berdasarkan bahwa karya-karya
Aristoteles tentang “filsafat pertama”
mengenai hal-hal yang bersifat gaib,
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013
74
METAFISIKA KERAPAN SAPI
ditempatkan sesudah karya-karyanya tentang
fisika (meta ta fisika). Kata meta mempunyai
arti ganda, yaitu: sesudah dan di belakang.
Belakangan, termenologi meta ta fisika
digunakan untuk mengungkapkan pandanganpandangan mengenai hal-hal yang di belakang
gejala-gejala fisik (Hadiwijono, 1980: 47).
Dengan demikian, istilah metafisika tidak
menunjukkan bidang ekstensif atau objek
material tertentu dalam penelitian, tetapi
mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, ataupun suatu unsur formal. Inti
itu hanya tersentuh pada taraf penelitian
paling fundamental, dan dengan metode
tersendiri. Nama metafisika menunjukkan nivo
pemikiran, dan merupakan refleksi filosofis
mengenai kenyataan yang secara mutlak
paling mendalam dan paling ultima (Bakker,
1992: 15). Metafisika, dengan demikian, selalu
berupaya menentukan realitas yang sebenarbenarnya (really existing things), sebagai
lawan dari apa yang semata-mata penampakan (dikotomi penampakan/realitas).
Namun, Jan Hendrik Rapar dalam bukunya
Pengantar Filsafat (1996: 44) mengatakan
bahwa kata metafisika saat ini memiliki
berbagai macam arti. Metafisika bisa berarti
upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau
realitas sebagai suatu keseluruhan. Istilah ini
bisa juga berarti sebagai usaha untuk menyelidiki apakah hakikat yang berada di luar
pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat
yang berada di balik realitas. Akan tetapi,
secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang
komprehensif mengenai seluruh realitas atau
tentang segala sesuatu yang ada.
Joko siswanto (2004: 2), mengutip Michael
J. Loux, mengatakan bahwa tidak mudah untuk
mengatakan apakah metafisika itu, karena
perbedaan karakteristik atau watak metafisika
itu sendiri. Seringkali metafisika bersifat
deskriptif; yakni memberikan pandangan
tentang bagaimana filsuf itu bermetafisika
yang kemudian disebut sebagai metafisikus.
Sementara watak metafisika yang lain bersifat
normatif, artinya metafisika berusaha mengJurnal Pelopor Pendidikan
identifikasi tentang apa dan bagaimana para
filsuf harus bermetafisika. Watak metafisika
yang deskriptif maupun yang normatif mengandaikan objek material dan metodologi yang
berbeda. Hampir dua ribu tahun lebih orang
berusaha memahami metafisika itu; dan
hasilnya justru muncul variasi subjek material
dan pendekatan yang bermacam-macam.
Situasi demikian kemudian melahirkan
ambiguaitas dalam disiplin metafisika.
Pada abad pertengahan, metafisika
dipahami sebagai disiplin yang mencakup dua
hal. Pertama, metafisika merupakan studi
tentang ‘struktur kategorial’ realitas. Kedua,
metafisika adalah telaah tentang eksistensi
dan hakikat substansi keilahian. Tercatat
dalam sejarah filsafat bahwa metafisika pada
abad pertengahan pernah menjadi primadona
ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dimaklumi
karena abad pertengahan dekenal memiliki
watak “theocentris” dan oleh karenanya
kajian-kajian yang berkaitan dengan substansi
keilahian menjadi ilmu yang sangat menonjol
dan terhormat.
Pada abad ke-17 Christian Wolff –salah
satu tokoh penting rasionalisme– memperkenalkan istilah baru: Ontologi. Wolff
membagi metafisika ke dalam dua cabang
besar. Pertama, metafisika umum yang
kemudian disebut ontologi. Dalam hal ini
metafisika menyelidiki “yang-ada sebagai
yang-ada” (being just that-being) dengan
perspektif yang lebih luas; oleh karenanya lalu
disebut metafisika umum. Kedua, metafisika
khusus yang terdiri atas kosmologi metafisik,
psikologi rasional, dan teologi natural (Joko
Siswanto, 2004: 4).
Senada dengan itu, menurut Anton Bakker
(1992: 15), semua bidang mana saja dapat
diselidiki secara metafisik: manusia, dunia,
moral, hukum, Tuhan. Penelitian khusus
demikian menghasilkan metafisika-metafisika
khusus. Dan jika penyelidikan metafisik
diperluas meliputi segala-galanya yang
sekaligus ada, maka penyelidikan itu menjadi
penyelidikan metafisika umum (ontologi).
Ontologi bermaksud menyatukan seluruh
Achmad Bahrur Rozi
kenyataan dalam satu visi menyeluruh,
menurut intinya yang paling dalam.
Terkait dengan ontologi, Louis O. Kattsoff
(1992: 195) mengatakan bahwa, istilah “ada”
boleh dikatakan senantiasa menunjuk pada
suatu ciri yang melekat pada apa saja. Bahkan
pada segala sesuatu. Oleh karena itu, ia
merupakan pengertian yang paling umum dan
paling bersahaja dari sifat-sifat yang manapun
juga. Adanya sifat tersebut tidaklah menyebabkan barang yang satu berbeda dengan
barang yang lain. Penerapan pengertian “ada”
seakan-akan mempersatukan segala sesuatu
yang ada dengan jalan menunjukkan suatu ciri
yang sama sepenuhnya yang dimiliki oleh
segala sesuatu yang tadi. Tanpa sifat “ada”
tidaklah mungkin ada sesuatu yang bereksistensi. Bahkan tidak mungkin ada sesuatu
yang dipikirkan. Karena “ada” merupakan sifat
yang paling dalam serta paling bersahaja,
maka kata tersebut tidak dapat dilacak-balik,
atau dipulangkan, sampai kepada sifat-sifat
lain yang lebih dalam.
Karena itu, salah satu cara untuk dapat
mengenal maknanya ialah dengan jalan
menghubungkannya dengan ciri-ciri khas yang
lain atau menetapka ukuran tersebut bagi
penerapannya. Cara yang lain lagi adalah
dengan menggambarkan serta mengadakan
klasifikasi atas pelbagai jenis hal yang dapat
menjadi objek penerapan predikat tersebut.
Namun dengan demikian berarti meliputi
segenap kenyataan yang ada, yaitu “yangsungguh-ada” (actual) dan “yang-mungkinada” (possible). Dalam kaitannya dengan inilah
Aristoteles memberikan definisi kepada
metafisika sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang-ada sebagai yang-ada.
Sebagai pengetahuan mengenai yang-ada,
metafisika menjadi kebutuhan dasar intelektual manusia yang tidak terelakkan. Karena
itulah, menurut Fredrick Sontag (2002: ix),
metafisika merupakan filsafat dasar,
pencarian dan persoalan tentang prinsip
pertama. Sontag mengatakan bahwa dengan
penyelidikan yang fundamental memungkin
untuk sekali lagi dapat menemukan kembali
orientasi mental dan moral. Dengan begitu,
mengabaikan metafisika akan menghantarkan
diri pada resiko keterasingan total, baik dari
masa lampau maupun dari diri sendiri.
C. Wajah Karapan Sapi
Karapan sapi adalah salah satu bentuk
tradisi yang mengandung perpaduan antara
kesenian, tradisi dan perlombaan. Di dalamnya
terdapat unsur-unsur seperti tokang tongkok
(joki), ambhin (pakaian kebesaran sapi yang
membawa ciri masing-masing daerah), obhit
(hiasan kepala yang memuat pesan spiritual),
kaleles (media tunggangan joki) dan anjar
(helai kain yang menghiasi kaleles yang selalu
ganjil). Di samping itu ada paraksa (para
perawat sapi), pengereng (para pendukung
termasuk di dalamnya pemilik sapi, teman,
tetangga, dukhon), dan saronen (Purwanto,
Kompas: 24/08/2005).
Salah satu yang paling menentukan dalam
perlombaan karapan sapi adalah keberadaan
tokang tongkok (joki). Seorang joki karapan sapi
dituntut untuk tangkas. Oleh karena itu
seorang tokang tongkok dipilih dari orangorang yang berbadan kecil agar tidak terlalu
membebani sepasang sapi yang sedang lari.
Kebanyakan tokang tongkak ini masih di bawah
umur, yaitu rata-rata berusia lima belas tahun.
Seorang tokang tongkok harus menanggung
resiko yang sangat besar. Selain dituntut
tangkas dalam mengendalikan sapi agar
dapat lari secara optimal, juga dituntut agar
dapat menangkal bila ada “serangan gaib”
yang dilancarkan oleh pihak lawan. Karena
itulah, jika sapi yang ditungganginya menang
maka hadiah yang diperoleh akan diberikan
pada tokang tongkok.
Dalam perlombaan karapan sapi, sepasang sapi jantan yang diperlombakan
diusahakan lari kencang kira-kira sejauh
seratus tiga puluh meter. Dalam prosesinya,
tidak jarang ditemukan hal-hal aneh di arena
karapan sapi. Sebagai contoh, secara logika
sapi yang mempunyai kecepatan lari lebih
tinggi akan mampu mencapai garis finish lebih
cepat. Tetapi logika tersebut bukan segalanya
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013
75
76
METAFISIKA KERAPAN SAPI
bagi pemilik sapi. Di anatara pemilik sapi ada
adagium “Makke santa’ gi’ belum tanto bisa
juara, mun ta’ esseh lowar dalem” (Walaupun
sapinya kencang belum tentu menjadi juara,
kalau tidak lengkap luar dan dalam).
Kenyataannya, tidak jarang sapi yang
dianggap lebih tinggi kecepatannya tetapi
tertunda beberapa detik. Dalam keyakinan
peserta karapan, hal itu terjadi karena
mengalami “peristiwa gaib” seperti sapi tibatiba tertegun di garis start, sapi lari tidak lurus,
sapi yang sedang lari kencang tiba-tiba
berhenti dua meter menjelang finish atau sapi
kembali berbalik ke garis start, serta beberapa
peristiwa lain yang membuat sapi gagal
mencapai kemenangan.
Untuk mengantisipasi hal itu, para pemilik
sapi meminta pertolongan pada kiai
tradisional (yang lebih dikenal dengan blater
atau jawara) atau pemimpin keagamaan. Ada
juga yang mencari nasehat para peramal atau
dukun untuk menjaga agar dapat melawan
kekuatan-kekuatan gaib yang dikirim oleh
pihak lawan (Smith, 1989; 288). Selain itu,
sebelum perlombaan dimulai, diadakan
semacam ritual tari-tarian yang diiringi “pojhi”
(mantra) di depan sapi sebelum dimulainya
pacuan agar sapi-sapinya dapat memenangkan perlombaan.
Para pemilik sapi percaya bahwa untuk
memenangkan perlombaan, kecepatan sapi
tidak menjadi satu-satunya faktor yang
menentukan. Untuk itu para pemilik sapi
menggunakan berbagai macam jalan untuk
meraih kemenangan. Salah satu di antaranya
adalah mencari jalan magik di kuburan
keramat untuk mendapatkan barokah dari roh
di tempat itu, walaupun sebagian besar
mengandalkan dukun. Pemilik sapi, dan
umumnya orang Madura, percaya bahwa
tujuan akan tercapai apabila usaha lahir (jalan
loar) dan usaha batin (jalan dalem). Untuk itu,
selain mempersiapkan kesehatan sapi mereka
juga datang pada kiai, dukun, dan kuburan
yang dianggap sakti.
Bagi sebagian besar orang Madura percaya bahwa kiai atau dukun memiliki kelebihan
Jurnal Pelopor Pendidikan
supranatural dan lebih dekat dengan Tuhan.
Oleh karena itu segala petunjuknya pasti
ditaati. Misalnya, sebelum berangkat ke arena
pemilik sapi terlebih dahulu mengadakan
selamatan di rumah dengan membuat sesajen
empat warna (tajin tola’ balahi) dengan
maksud supaya keberangkatan tidak mendapat
rintangan dan terlepas dari mara bahaya. Di
samping itu disediakan juga damar kembang
(lampu minyak kecil) yang biasanya tidak boleh
mati selama sapi ada di arena perlombaan.
Keberadaan lampu minyak ini akan sangat
menentukan nasip sapi di lapangan, untuk itu
harus dijaga agar tetap menyala agar sapi itu
mujur. Kalau sampai lampu itu mati, maka sapi
akan apes atau kalah.
Rachmat Subagya (1981: 181) dalam hal
ini mengatakan bahwa untuk mengejar gelar
juara pemilik sapi karapan umumnya minta
petunjuk dari kiai atau dukun mengenai
keberangkatan ke lapangan, baik tentang hari
(nagah dinah), pasaran (panca bara), dan jam
keberuntungan. Umumnya orang Madura
mempercayai adanya saat-saat tertentu yang
dianggap jejah (hari keberuntungan) atau apes
(hari sial). Sesampainya di arena pun posisi
sapi didasarkan pada petunjuk kiai atau dukun.
Setiap kiai atau dukun memiliki pedoman
dan petunjuk yang berbeda, sehingga caracara yang diberikan akan berbeda pula. Ada
yang menggunakan keminyan yang harus
ditabur di lapangan, ada yang memberikan
jimat-jimat yang harus selalu dipegang oleh
pemilik atau joki, dan ada pula yang memutarmutar sapinya tiga kali ke arah kiri waktu
masuk gelanggang karapan. Fenomena ini
merupakan hal yang wajar dalam pola pikir
masyarakat Madura. Mereka beranggapan
bahwa kejadian itu merupakan manifestasi dari
“pertarungan gaib” antarkru karapan sapi
untuk mencapai kemenangan.
D. Dinamika Karapan Sapi
Jika ditelusuri, secara historis karapan sapi
sudah ada sebelum abad XV Mesehi dan sapi
yang dilombakan mayoritas berasal dari pulau
Sapudi. Hanya saja aturan main karapan sapi
Achmad Bahrur Rozi
awalnya terletak pada penguasaan sapi, tidak
seperti sekarang yang penetapan juaranya
berdasarkan yang lebih dahulu memasuki garis
akhir. Namun seiring perkembangan zaman,
kini sapi-sapi karapan didandani dengan
berbagai macam aksesori dan diarak sebelum
pertandingan. Dandanan tersebut sekaligus
sebagai simbol kebanggaan. Hal ini karena
dalam setiap arak-arakan menjelang lomba,
para pemilik sapi akan berjalan di barisan
terdepan diikuti oleh sapi-sapi miliknya serta
serombongan pemusik saronen disertai taritarian (Bouvier, 2002: 173).
Pada awalnya karapan sapi diadakan di
tegalan atau di sawah. Selanjutnya tempat
tersebut diganti dengan lapangan khusus.
Secara garis besar ada dua jenis karapan sapi,
yakin lomba karapan sapi formal dan lomba
karapan sapi non-formal. Karapan sapi formal
ditangani oleh sebuah panitia penyelenggara
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan
pemenangnya diberi hadiah. Sementara itu
pelaksanaan karapan sapi non-formal tidak
ditangani oleh panitia, tetapi tetap ada campur
tangan pemerintah setempat terutama yang
menyangkut masalah ketertiban dan
keamanan. Dalam karapan sapi jenis ini hadiah
bagi pemenang tidak disediakan.
Dalam perkembangan selanjutnya karapan
sapi tidak hanya diselenggarakan setiap
tahun. Lambat laun pelaksanaan dan ritualnya
mengalami perubahan-perubahan sehingga
terdapat beberapa jenis karapan sapi, seperti
karapan adat atau karapan nazar, karapan
insidental, karapan besar, dan karapan
pesanan.
Dinas Peternakan mengemukakan bahwa
karapan besar merupakan bentuk karapan yang
paling tradisional. Akan tetapi ada pendapat
baru bahwa karapan besar dalam bentuk yang
ditemukan saat ini hanya diadakan sejak tahun
1956, sementara bentuk karapan sapi yang
disebut dengan karapan sapi adat jauh lebih
tua umurnya (Sutjitro, 1992: 3). Dikatakan
karapan sapi adat karena dalam pelaksanaannya karapan ini tidak menekankan pemenang
atau juara secara resmi. Prosesi pelaksanaan-
nya juga sangat sederhana. Para peserta
karapan tidak harus melalui proses seleksi dan
tempatnya cukup di tegalan atau di sawah.
Akan tetapi, jenis kerapan ini tetap merupakan
ajang meraih gengsi dan status sosial dalam
masyarakat.
Namun, seiring perkembangan zaman,
karapan besar menjadi ajang karapan yang
paling bergengsi dibandingkan dengan
karapan lain. Dalam karapan ini hadiah yang
dipertaruhkan cukup besar, baik yang
disediakan oleh sponsor atau pun pihak
penyelenggara. Dewasa ini karapan seMadura memperebutkan piala bergilir
Presiden Cup yang biasanya diselenggarakan
di ibu kota keresidenan Pamekasan. Selain
bernuansa lebih ketat, karapan ini juga sangat
meriah karena para penonton tidak hanya
menyaksikan karapan sapi tetapi juga
disuguhkan lomba sapi sono’ (sapi pajang)
lengkap juga dengan berbagai macam tarian
ritualnya.
Berbeda dengan karapan sapi, dalam sapi
sono’ sapi yang dilombakan adalah sapi betina
yang seluruh tubuhnya diberi hiasan atau
semacam pakaian raja-raja. Kalau pada
karapan sapi yang menjadi kriteria unggul
adalah kekuatan, kecepatan, dan daya tahan
sapi sehingga dilakukan dengan cara melukai
sapi tersebut, maka yang menjadi penilaian
dalam sapi sono’ adalah kecantikan
(karaddinan) dan lenggak-lenggoknya (tengka
kulinah).
Tetapi penilaian yang lebih penting justru
pada bagian akhir perlombaan, saat sapi-sapi
tersebut diharuskan memasuki sebuah
ruangan cermin. Banyak sapi yang takut
memasuki ruangan cermin, karenanya banyak
yang gagal menjadi juara. Hanya sapi-sapi
yang terlatihlah yang bisa memasuki ruangan
cermin tersebut. Pada tahap inilah inti
penilaian sapi sono’ akan sangat menentukan,
yaitu kepatuhan sang sapi (katondu’an)
terhadap sang tuan (pemilik). Dari segi
pelaksanaannya, karapan sapi dan sapi sono’
memang berbeda, namun sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. KeduaVolume 4, Nomor 1, Januari 2013
77
78
METAFISIKA KERAPAN SAPI
duanya sama-sama merupakan cara orang
Madura berekspresi dan mengaktualisasikan
nilai-nilai sosialnya.
E. Metafisika Karapan Sapi
Sebelum melangkah masuk pada makna
metafisis karapan sapi, pertanyaan yang mesti
dijawab adalah apakah karapan sapi itu sendiri
merupakan suatu metafisika? Menjawab
pertanyaan ini tentu bukan perkara yang
sederhana. Pertama harus dimulai dari apa
makna dan fungsi karapan sapi sebagai suatu
kesenian yang hidup dalam masyarakat
Madura. Baru setelah itu melangkah pada
pertanyaan makna metafisis karapan sapi.
Sebab tanpa memahami makna, mustahil
untuk memahami lebih jauh keber-ada-an
karapan sapi. Hal ini karena, sebagaimana
epistemologi, metafisika juga mencakup teoriteori tentang nilai (aksiologi).
Frondizi (2001: 7-8) menyatakan bahwa
nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaktidaknya di dunia ini; ia membutuhkan
pengemban untuk berada. Oleh karena itu,
nilai nampak seolah-olah hanya merupakan
kualitas dari pengemban nilai tersebut:
keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari
sepotong pakaian, kegunaan dari sebuah
peralatan. Kualitas seperti itu merupakan
bagian dari eksistensi objek: yang memberikan
keberadaan bagi objek. Lebih jauh, menurut
Frondizi (2001: 40), nilai tidak menopang
dirinya sendiri, namun memiliki keberadaan
yang bersifat parasitis. Dengan kata lain, nilai
senantiasa nampak yang terletak pada
pengemban. Pengemban itu bersifat riil dan
dapat mempersepsinya melalui indera.
Sementara itu berbicara nilai dalam suatu
objek, Sachari (2002: 14) menyatakan bahwa
manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat
alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat
simbol (homo simbolicum). Untuk itu, penting
kiranya di sini melihat karapan sapi dalam
konteks simbol estetika. Upaya ini tidak
terlepas dari kerangka deskripsi dari situasi
yang mencerminkan situasi sosial budaya
masyarakat Madura, berkaitan dengan sistem
Jurnal Pelopor Pendidikan
ide, simbol dan unsur religi. Dalam konteks
karapan sapi, nilai tersebut terkait dengan
fungsinya di tengah-tengah masyarakat
Madura.
Dalam kaitannya dengan estetika,
pandangan Cassirer tentang simbol dalam hal
ini sangat relevan. Gagasan-gagasan Cassirer
tentang bentuk simbolis adalah bahwa karya
estetis bukanlah semata-mata reproduksi dari
realitas yang “selesai”. Seni merupakan salah
satu jalan ke arah pandangan objektif atas
benda-benda dan kehidupan manusia. Seni
bukanlah imitasi realitas, melainkan penyingkapan realitas. Tentu saja, alam yang
disingkapkan melalui seni tidak sama artinya
dengan kata “alam” sebagaimana digunakan
oleh ilmuwan.
Bagi Cassirer, simbol tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan
simbol masing-masing terletak pada dua
bidang pembahasan yang berlainan: tanda
adalah bagian dari dunia fisik; simbol adalah
bagian dari dunia makna manusiawi. Tanda
adalah ‘operator’, simbol adalah ‘designator’.
Tanda, bahkan jika dipahami dan dipergunakan
seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu
yang fisik dan substansial; simbol hanya
memiliki nilai fungsional (Cassirer, 1987: 4748). Senada dengan itu, Susanne Langer memberikan gambaran yang lebih tegas berdasarkan penggunaan istilah itu sebagai
subjek dan hubungannya dengan fungsi
makna. Pada aspek ini pengertian simbol
menjadi lebih dinamis dibandingkan dengan
tanda. Dalam Philosophy in a New Key, Langer
(1976: 61) menegaskan:
The fundamental difference between signs
and symbols is this difference of association,
and consequently of their use by the third
perty to the meaning function, the subject;
signs announce their objects to him, whereas
symbols lead him to conceive their objects.
Dalam kaitannya dengan karapan sapi,
peran simbol secara signifikan dapat
dimengerti karena, sebagai mana dikemukakan
Kuntowijoyo (2002: 371-372), karapan sapi
merupakan suatu tradisi yang hidup, yang
Achmad Bahrur Rozi
menunjukkan intensifnya kesatuan perasaan
orang Madura dengan ternaknya. Intensifitas
kesatuan perasaan orang Madura dengan sapi,
menjadikan sapi sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat Madura. Karena
itu wajar jika dalam beberapa hal orang
Madura megekspresikan beberapa prinsip
hidupnya dengan simbol sapi.
Penekanan dalam persoalan ini, simbol
dan budaya manusia sangat erat hubungannya.
Bersimbol merupakan suatu keharusan bagi
perkembangan budaya manusia. Dengan
simbol, manusia dapat mentransmisikan
pengetahuannya secara baik dalam rangka
memahami pengalaman fisik yang sebenarnya
merupakan refleksi dari hal yang bersifat nonfisik.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa,
jika metafisika memiliki arti realitas yang
sebenar-benarnya (really existing things),
sebagai lawan dari apa yang semata-mata
penampakan (dikotomi penampakan/realitas),
maka karapan sapi sebagai simbol (yang
menjadi budaya di Madura) merupakan
metafisika. Dengan kata lain, keberadaan
karapan sapi dalam hal ini ditunjukkan oleh
adanya distingsi antara penampakan (what
things seems to be) dan realitas (what they
are). Sementara pembedaan antara penampakan dan realitas inilah yang sebenarnya
mencirikan filsafat, dan terutama metafisika.
F. Makna Metafisis Karapan Sapi
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
karapan sapi merupakan metafisika. Artinya,
bahwa dalam tradisi karapan sapi terdapat
distingsi antara penampakan dan realitas.
Dengan kata lain, selain apa yang dapat dilihat
secara kasat mata, juga terdapat makna yang
terkadung di balik karapan sapi. Pertanyaannya kemudian, makna realitas apa yang ada
di balik penampakan tradisi karapan sapi?
Maka simbol dalam hal ini mempunyai peran
penting. Sebagai tindakan simbolik karapan
sapi merupakan sarana komunikasi manusia
tiga arah: (1) “Yang Ilahi”, (2) “Alam Dunia”,
dan (3) “Sesama Manusia”, termasuk dirinya
sendiri. Dalam komunikasi itu, manusia
mencoba mengekspresikan diri lewat
tindakan-tindakan atau ritual-ritual tertentu.
Kerapan sapi sebagai budaya asli orang
Madura mencerminkan beberapa hal tentang
kultur dan struktur sosial. Hal yang paling
menunjol, yang segera dapat ditangkap dalam
karapan sapi, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, adalah perebutan status sosial
(derajat). Karapan sapi sebagai suatu tindakan
simbolik merupakan sarana komunikasi sosial
orang Madura yang tergambar dalam perebutan status. Karapan sapi dengan segala aspek
ritualnya tidak lain merupakan media yang
dijadikan sebagai ajang perebutan prestise
untuk mengangkat martabat seseorang di
mata masyarakat. Orang Madura akan merasa
bangga ketika sapi-sapi piaraannya berhasil
menjadi juara pada sebuah kejuaraan karapan
sapi.
Hal ini sebenarnya erat kaitannya dengan
cara pandang orang Madura bahwa status
sosial dan derajat seseorang (laki-laki)
ditentukan oleh tiga hal; pertama istri, kedua
sapi, dan ketiga kekayaan lainnya. Seseorang
akan dihormati, disegani, dan terangkat
derajat sosialnya jika ia mempunyai banyak
istri (poligami), banyak sapi, dan banyak harta.
Di Madura laki-laki benar-benar disebut lakilaki apabila mempunyai nyali untuk beristri
banyak dan mengoleksi sapi unggul. Sementara kekayaan lain seperti rumah, uang,
dan tanah hanyalah unsur sekunder dalam
pemetaan status sosial seseorang. Untuk itu,
tidak heran jika orang-orang kaya dengan
rumah mewah tetap memelihara sapi sekaligus dengan kandangnya.
Lebih jelas makna karapan sapi dapat
dilihat dari kategori-kategori sosial. Kategorikategori sosial yang paling relevan di dalam
masyarakat Madura, yaitu juragan sebagai
lapisan atas yang didukung oleh para pengikut, dukun, pemelihara dan sebagainya
cenderung datang dari golongan atas kelas
sosial yang lebih rendah daripada pemilik.
Mereka seolah-olah merupakan kliennya dan
terlibat dalam memajukan kemenangan
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013
79
80
METAFISIKA KERAPAN SAPI
juragannya. Pengiring-pengiring ini yang
langsung memegang sapi, kadang-kadang
terlibat dalam memajukan kemenangan
juragannya, sehingga kemenangan juragannya
berarti kemenangannya.
Untuk kelas menengah bersaing dalam
karapan sapi berarti membuka kran baru
kemungkinan untuk maju secara ekonomis dan
sekaligus meningkatkan martabat dirinya dan
keluarganya. Dengan demikian, mengikuti
turnamen karapan sapi, berarti juga mengharap untuk masuk ke golongan atas. Sederhananya, karapan yang diadakan secara
besar-besaran merupakan ajang pertaruhan
kehormatan, gengsi dan nama baik para
pemilik menengah dan atas yang mewakili
daerah dan pengikut mereka. Pemeliharaan
nama baik tidak terbatas pada golongan ini,
namun merupakan suatu ciri umum di Madura.
Akan tetapi, dalam kelas menengah ke bawah
nama baik itu biasanya dipertaruhkan dan
dipertahankan secara langsung dengan konflik
fisik antara anggota keluarga; di sini celurit
yang berbicara (Sutjitro, 1992: 15-16).
Karena itulah, di kalangan menengah ke
atas, penyelesaian konflik secara langsung
jarang terjadi. Ini tidak berarti bahwa
persaingan antara mereka tidak ada, hanya
saja cara penyelesaiannya yang berbeda.
Salah satu cara itu adalah pertaruhan nama
dan gengsi pemilik sapi karapan. Karena
memelihara nama baik merupakan salah satu
nilai Madura yang paling penting. Maka,
menurut Sutjitro (1992: 16), karapan sapi
merupakan pencerminan dan ekspresi dari
masyarakat.
G. Aspek Transendensi dan Imanensi
Karapan sapi dengan segala mikanisme
dan ritualnya meniscayakan adanya unsurunsur transenden di dalamnya. Seperti
ditegaskan oleh Bouvier (2002: 191), karapan
sapi dalam prakteknya tidak sekedar berupa
pacuan biasa kemudian berakhir dengan
kebanggaan sang juara. Jika dicermati, sejak
persiapan hingga berlangsungnya akan banyak
ditemukan dominasi konteks ritual seperti
Jurnal Pelopor Pendidikan
adanya dukun (dhukon), tari yang diiringi
“pojhi” (mantra) di depan sapi sebelum
dimulainya pacuan, pemilihan jam yang tepat
dan dari sudut mana sapi harus mulai
berangkat.
Para pemilik sapi sejak awal menyadari
bahwa kemenangan tidak akan diperoleh jika
hanya mengandalkan faktor-faktor kasat mata
saja, tetapi mesti melibatkan unsur-unsur
suprarasional. Karena itulah keterlibatan
“dukhon” (dukun) sangat penting dalam setiap
penyelenggaraan sapi. Dukun pulalah yang
menentukan jam berapa sapi harus berangkat
ke arena dan melalui titik dan jalur mana. Ada
keyakinan di kalangan masyarakan Madura
bahwa kekalahan dalam karapan sapi bukan
hanya kekalahan sapi dan pemiliknya saja,
tetapi juga kekalahan sang dukun yang berarti
kalahnya kesaktian (tak manthih/tidak
digdaya).
Masyarakat Madura meyakini beberapa
metode dalam menentukan sikap termasuk
juga dalam menekuni karapan sapi. Kesesuaian dan keselarasan alam makrokosmos dan
mikrokosmos sangat diperhatikan. Kekuatan
supranatural sangat mendominasi dalam
segala aktivitas kehidupan sehingga dalam
gerak dan langkah kehidupan tidak lepas dari
ikatan dunia abstrak yang diyakini kuat dalam
sistem kognitif mereka. Dan unsut-unsur
religius adalah sarana utama yang diyakini dan
dianut dalam menjalankan fungis-fungsi
keseharian yang berkenaan dengan supranatural.
Meskipun orang Madura sangat terkenal
dengan fanatismenya terhadap Islam, namun
juga tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan
sebelum Islam yang bernada searah masih
mendapat tempat yang kuat dalam sistem
kognitif mereka, khsusnya yang berkaitan
dengan supranatural. Kepercayaan terhadap
alam gaib dan berbagai ilmu kanoragan (ilmu
kesaktian) masih banyak ditemui khususnya
pada masyarakat pedalaman.
Dalam karapan sapi, unsur-unsur yang
meniscayakan transindensi tersebut meliputi
usaha-usaha batin dalam upaya menempatkan
Achmad Bahrur Rozi
posisi sapi pada tingkat yang sempurna. Sejak
seekor anak sapi jantan lahir dan diketahui
mempunyai ciri-ciri fisik yang memadai
sebagai sapi karapan, spontan hari kelahiran,
jam, pasaran dan posisi naga, tercatat dalam
agenda pemilik sapi yang merupakan data
awal untuk diolah lebih lanjut dengan rumusrumus dan metode tersendiri. Kelahiran seekor
sapi jantan yang potensial pada hari tertentu
akan diramal oleh para ahli mengenai apa dan
bagaimana nekton (ramalan berdasarkan
hitungan) sapi itu nanti. Ilmu Pancabara adalah
salah satu sarana untuk menyelaraskan diri
dengan alam. Pancarabara adalah suatu
perhitungan yang mirip primbon di Jawa pada
umumnya (Buhari, 1994: 74).
Sebenarnya apa yang diterapkan pada sapi
hanyalah cermin kecil dari kehidupan orang
Madura yang mempercayai bahwa segala hal
yang terjadi perlu diselaraskan dengan alam
menurut tata cara dan perhitungan tertentu.
Ini terkait dengan keyakinan orang Madura
bahwa nasib dan peruntungan seseorang
telah ditentukan sebelumnya di alam gaib.
Manusia hanya tinggal menjalankan apa yang
akan terjadi dengan nasibnya (takdir). Akan
tetapi, bukan berarti orang sepenuhnya
berdiam diri menyikapi nasibnya, karena
segala ketentuan yang telah tercatat
sebelumnya di alam gaib dapat dibaca dengan
tata cara dan perhitungan tertentu dan oleh
orang tertentu yang mampu keluar masuk
dunia gaib (orang suci). Dan dalam beberapa
hal, jika nasib dan peruntungan itu dapat
terbaca, maka ketentuan dan takdir juga bisa
berubah.
Jika ditilik lebih jauh, akan segera nampak
kesesuaiannya dalam kaitannya dengan akidah
yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Madura. Orang Madura pada umumnya
mempunyai keyakinan teologis yang tidak
fatalis dan tidak juga free will dan free act. Ini
sejalan dengan teologi yang mereka anut
yaitu akidah Imam al-Asy’ari dan Imam AlMaturidi. Sebagaimana diketahui, ajaran
kedua tokoh ini dikenal eklektis karena
merupakan jalan tengah antara golongan
Mu’tazilah yang mempunyai pandangan free
will dan free act dengan golongan Jabariah
yang memiliki keyakinan fatalistik. Unsur
peramalan, terkait nama, jam, tanggal, dan
tahun lahir dalam kasus manusia, biasanya
dilakukan dengan acara khusus yang disebut
macopat yang biasanya diadakan semalam
suntuk. Pada acara macopat tersebut,
beberapa orang akan diramal nasib dan
peruntungannya.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya
untuk memahami makna metafisis karapan
sapi adalah aspek imanensi. Aspek imanensi
akan segera nampak pada prinsip saling
menghindari jenis kelamin dalam hal ini
hubungannya antara karapan sapi dengan sapi
sono’. Prinsip keterpisahan antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakt Madura sangat
penting artinya. Tidak ada toleransi bagi yang
melanggarnya. Bahkan seorang bajingan pun
tidak berani melanggar kode etik ini. Bagi
orang Madura, lebih memilih berpoligami
daripada terjebak pada perzinahan. Prinsip ini
disinyalir bersumber dari aturan agama yang
dipegang teguh baik oleh kiyai (ulama) maupun
blater (jawara).
Prinsip ini berimbas pada simbolisasi
peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan
kata lain, laki-laki dan perempuan dihargai
dengan otonomi perannya masing-masing.
Laki-laki dengan kelebihan fisiknya, sementara
perempuan berdasarkan prilaku, kelembutan
dan kecantikannya. Akan tatapi bukan berarti
perempuan berada pada posisi nomor dua.
Perempuan tetap mempunyai nilai yang sama
berdasarkan otonomi perannya masingmasing dalam masyarakat. Di dalamnya tetap
dimaknai sebagai prinsip keadilan dan bukan
subordinasi.
Kata simbolisasi mengacu pada proses,
yakni ada gerak pemikiran yang dinamis.
Karena merupakan proses, terjadi perubahan
secara gradual atau bertahap menuju suatu
sasaran. Terjadinya simbolisasi karena adanya
peralihan dari dunia pasif impresi sematamata menuju suatu dunia yang merupakan
ekspresi murni dari ide manusia. Proses
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013
81
82
METAFISIKA KERAPAN SAPI
simbolisasi menunjukkan terjadinya kontak
antara manusia sebagai subjek dengan dunia
atau realitas. Sasaran dari proses ini menampakkan ide baru dari wadah simbol (suatu
realitas baru) yang muncul dari interaksi antara
akal manusia dengan bahan mentah yang
dipikirkannya (Wibisono, 1977: 154).
Kaitannya dengan simbolisasi peran antara
laki-laki dan perempuan, adalah bahwa
terdapat pandangan dalam masyarakat
Madura mengenai hubungan saling menghargai antara laki-laki dan perempuan mengenai peran sosialnya masing-masing.
Perempuan dihormati dan diperlakukan
sebagai perempuan, dan laki-laki dihormati
dan diperlakukan sebagai laki-laki. Tetapi
bukan berarti bahwa perempuan menempati
posisi nomer dua dalam strata sosial. Karena
itu, penting dipahami bahwa perlakuan
terhadap perempuan Madura tidak dalam arti
sebagai koncowingking, tetapi dalam rangka
memperempuankan perempuan. Hal ini ada
kaitannya dengan pandangan orang Madura
mengenai kodrat. Orang Madura yakin bahwa
perempuan dan laki-laki berbeda secara kodrati
karena itu harus diperlakukan secara berbeda.
Berbeda dengan etika femenisme yang
mengedepankan penyamaan kodrat antara
laki-laki dan perempuan.
H. Penutup
Berdasarkan uraian tentang metafisika
kerapan sapi tersebut dapat dinyatakan
sebagai berikut:
1. Berangkat dari asumsi bahwa karapan
sapi tidak hanya semata-mata penampakan, tetapi di balik itu ada really
existing things, maka karapan sapi
merupakan suatu metafisika. Hal itu
ditunjukkan oleh adanya distingsi
antara penampakan (what things
seems to be) dan realitas (what they
are).
2. Sebagai suatu metafisika, karapan sapi
memiliki makna. Makna tersebut
terungkap dalam fungsinya sebagai
simbol pertarungan sosial.
Jurnal Pelopor Pendidikan
3. Dalam kaitannya dengan yang transenden, aktivitas karapan sapi dan
segenap ritualnya menunjukkan
adanya keyakinan menegenai kesesuaian dan keselarasan alam makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam
rangka menyelaraskan kedua alam
tersebut dilakukan usaha-usaha batin.
4. Terdapat keyakinan bahwa nasib dan
peruntungan seseorang telah ditentukan sebelumnya di alam gaib. Manusia
hanya tinggal menjalankan apa yang
akan terjadi dengan nasibnya (takdir).
Akan tetapi, ketentuan itu dapat
dibaca dengan tata cara dan perhitungan tertentu dan oleh orang
tertentu pula (orang suci) sehingga
dalam beberapa hal, jika nasib dan
peruntungan itu dapat terbaca, maka
ketentuan dan takdir juga bisa berubah.
5. Dalam metafisika karapan sapi
terdapat prinsip saling menghindari
jenis kelamin. Prinsip tersebut bersumber dari keyakinan bahwa laki-laki
dan perempuan secara kodrati berbeda.
Daftar Pustaka:
Agus Sachari, Estetika: Makna, Simbol, dan
Daya. Penerbit Institut Teknologi
Bandung (ITB), Bandung, 2002.
Buhari, Karapan Sapi: Upaya-upaya yang
Dilakukan Untuk Mencapai Kemenangan, Skripsi Antropologi Universitas Gajah
Mada, tidak diterbitkan, Yogyakarta,
1994.
Edi Purwanto, Karapan Sapi di Madura,
dalam Kompas, 24/08/2005.
Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan,
Sebuah Esei Tentang Manusia, alih
bahasa Alois A. Nogroho, Gramedia,
Jakarta, 1990.
Fredrick Sontag, Problem of Megaphysics
atau Pengantar Metafisika, alih bahasa
Cuk Ananta Wijaya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
Glenn Smith, Pentingnya Sapi Dalam
Masyarakat Madura, Dalam Huub de
Achmad Bahrur Rozi
Jonge (peny) Agama, Kebudayaan, dan
Ekonomi, Studi-Studi Interdisipliner
Tentang Masyarakat Madura, Rajawali,
Jakarta, 1989.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat
2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1980.
Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002.
Joko Siswanto, Metafisika Sistematik, cet. I,
Taman Pustakan Kristen, Yogyakarta,
2004.
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam
Masyarakat Madura 1850-1940, Mata
Bangsa, Yogyakarta, 2002.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih
bahasa oleh Soejono Soemargono, Cet.
VI, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.
Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia,
Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka
Caraka. Jakarta, 1981.
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, alih
bahasa Cuk Ananta Wijaya, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key,
A Study in the Symbolism of Reason,
Rite, and Art, third edition, Harvard,
1976.
Sutjitro, Gengsi, Magik, dan Judi: Karapan
Sapi di Madura, Pelatihan Penelitian
Ilmu-Ilmu Sosial (P2is), Universitas
Jember, Tidak Diterbitkan, 1992.
Wibowo Wibisono, Simbol Menurut Susanne
K. Langer, dalam Seri Driyarkara 4,
Kanisius, Jakarta, 1977.
Karapan sapi adalah
salah satu bentuk tradisi
yang mengandung
perpaduan antara
kesenian, tradisi dan
perlombaan.
Volume 4, Nomor 1, Januari 2013
83
84
METAFISIKA KERAPAN SAPI
Sebagai tindakan simbolik karapan sapi merupakan
sarana komunikasi manusia tiga arah: “Yang Ilahi”,
“Alam Dunia”, dan “Sesama Manusia”, termasuk
dirinya sendiri.
Jurnal Pelopor Pendidikan
Download