PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT TERHADAP HADIS

advertisement
PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT TERHADAP HADIS
(Pendekatan Ushul Fikih)
Khoirul Hadi
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qadiri Jember
Email: [email protected]
Abstract
Islamic law is one of the prominent Islamic nomenclaturbe in Islamic
studies. Joseph Schacht, A Western scholars analyzes hadits based on
historical view. In his opinion suggests as if the hadits is not
mutawwatir therefore it is difficult to identify. It seems that the
reason aborts hadits as a source of Islamic law.
Key Words:
Abstrak
Hukum Islam salah satu nomeklatur Islam yang penting dalam
khazanah keilmuaan Islam. Salah satu intelektual barat yaitu Joseph
Schacht yang menganalisa hadis berdasarkan pandangan sejarah yang
terpenggal. Hadis dalam pandangan Joseph Schaht sekan-akan tidak
mutawwatir karena itu sangat sulit diidentifikasikan. Alasan tersebut
seakan-akan memenggal status hadis sebagai sumber hukum Islam.
Kata Kunci:
PENDAHULUAN
Kajian tentang hadis dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, sepertinya
tak mengenal habis dan lelah. Kajian yang bermula pada seorang tokoh yang
dijadikan panutan islam yang kemudian ditiru segala aspek kehidupannya, baik
tutur katanya, tingkah lakunya maupun cita-citanya, menjadikan seluruh
komponen masyarakat bersatu padu untuk merekam jejak beliau sebagai inspirasi
kehidupan. Oleh sebab itu terbentuklah mata rantai yang saling berpagutan antara
satu orang dengan orang lain, dan dari satu masa ke masa lain hingga tercover
dalam proses canonical.
Hadis sebagai sabda Nabi diklaim bahwa keotentikannya masih bisa
dipertanggungjawabkan. Sebab ketentuan-ketentuan dan syarat masih memberi
pemahaman bahwa hadis terjalin dan tersusun dengan mata rantai yang
diriwayatkan oleh mereka yang mempunyai hafalan kuat dan personalitas yang
358 | Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember 2013
unggul. Oleh sebab itulah di kalangan muslim, hadis dijadikan sebagai sumber
pijakan dan rujukan kedua setelah al-Qur‟an yang mampu memberi inspirasi
dalam memecahkan problem kemasyarakatan.
Namun tidak demikian dengan kalangan barat (baca: orientalis) yang bisa
dikatakan skeptis terhadap hadis. Sebab mereka beranggapan bahwa hadis sudah
tidak murni alias tidak berasal sepenuhnya dari Nabi. Hadis telah bercampur
dengan kata-kata sahabat, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in ataupun mereka yang disebut
sebagai perawi. Keraguan mereka terhadap otentisitas hadis, diantaranya
disebabkan pada adanya fakta bahwa umat Islam pernah mengalami keretakan
sosial politik yang kemudian memunculkan friksi-friksi yang saling mengklaim
dan menghakimi kebenaran dengan legalitas hadis. Diantara beberapa tokoh
orientalis yang getol terhadap kajian hadis dan kaitannya dengan sejarah hukum
Islam adalah Joseph Schacht.Salah satu tesisnya, seperti didiskripsikan oleh Akh.
Minhaji, bahwa:
“Islamic law did not originate in the lifetime of Muhammad, and he has
seen the popular and administrative practices of the Umayyad as a
starting point for reformulation of Islamic law. To support his main thesis,
Schacht traces the authenticity of the concept of prophetic traditions which
had, he claims, he played a significant role in the formation of Islamic law.
Schacht firmly concludes that the prophet traditions have been formulated
by later generations and have nothing to do with the prophet himself.”1
Dari sini nyata bahwa, penolakan otentisitas hadis oleh Schacht memang
sangat berdasar pada sejarah pembentukan hukum Islam itu sendiri yang
menurutnya adalah hasil ijtihad kreatif para ulama‟.Sehingga hal itu menimbulkan
asumsi dasar bahwa hadis telah dibuat oleh generasi pasca Nabi. Beberapa
teorinya tentang pembuktian otentisitas hadis Nabi adalah argument e silentio,
backward projection, dan teori common link.mengenai teori projection,
H.A.R.Gibb mengatakan, “Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh
Joseph Schacht, suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di
seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.”2Dan dalam makalah inilah penulis
akan menjelaskan pemikirannya tersebut.
1
Akh Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution To The Study Of Islamic Law, Tesis,
(Kanada: Institute of Islamic Studies McGill University, 1992), h. 2.
2
H.A.R. Gibb dalam “Journal of Comparative Legislation and International Law”,
dikutip dari Muhammad Idris Mas‟udi, “Kritik Atas „Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht‟” dalam
Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph... | 359
BIOGRAFI JOSEPH SCHACHT
Schacht terlahir di bumi Ratibor Polandia3pada tanggal 15 Maret 1902.Dia
berasal dari keluarga yang cukup religius.Ayahnya, Eduard Schacht adalah
seorang katolik roma dan guru sekolah luar biasa (SLB).Dan ibunya bernama
Maria Mohr. Pada tahun 1943 dia menikahi wanita Inggris yang bernama louise
Isobel Dorothy, anak perempuan dari Joseph Coleman. Atmosfir religiusitas dan
pendidikan dari keluarga telah memberinya kesempatan untuk menjadi akrab
dengan tuntunan agama Kristen dan bahasa Hebrew. Inilah yang menjadi titik
poin penting yang nantinya akan membantu pemahamannya terhadap studi
keagamaan.4
Schacht telah menunjukan kegemilangan pembelajarannya sejak dini.
Pendidikannya pertama kali ia dapatkan di kotanya sendiri, Ratibor. Sejak kecil
dia belajar bahasa Hebrew kepada seorang rabbi. Selain itu dia juga belajar bahasa
latin, yunani, prancis dan inggris di Humanistisches Gymnasium. 5Dan sampai
pada tahun 1920 dia pergi untuk melanjutkan studinya ke universitas Breslau dan
universitas Leipzig.Disanalah pertama kali dia belajar filologi klasik dan semit,
dan tentunya dia juga belajar tentang teologi. 6
Pada tahun 1922, dia memenangkan lomba menulis essay tentang
perjanjian lama. Dan dia mendapatkan gelar pertama kali dengan predikat summa
cum laude dari universitas Breslau pada akhir tahun 1923.Dua tahun kemudian dia
ditunjuk sebagai asisten professor dan pada tahun 1929 dia ditunjuk sebagai
profesor dalam bidang bahasa Timur.Saat itu dia baru berumur 27 tahun.
Kemudian pada tahun 1932 dia ditawari jabatan yang sama di Universitas
Königsberg, akan tetapi hal itu hanya berjalan sebentar, sebab kondisi perpolitikan
Jerman yang sedang tidak stabil.7
Antara tahun 1926-1933, pada saat itulah Schacht sering melakukan
perjalanan ke Timur Tengah dan Afrika Utara.Pada tahun 1930, dia telah
M. Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadis, (UIN Jakarta, 20112012), h. 131.
3
Dulu Ratibor masuk dalam wilayah Jerman.
4
Akh Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution, h. 4-5.
5
Jeanette Wakin, Remembering Joseph Schacht (1902-1969), Makalah, (Islamic Legal
Studies Program Harvard School, 2003), h. 1.
6
Ibid.
7
Bernard Lewis, Joseph Schacht, Bulletin of the School of Oriental and African
Studies, Vol. 33, Part 2 (1970), pp. 378-381.
360 | Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember 2013
menjalani sebagai visiting professor di Universitas Cairo, Mesir. Dan sejak tahun
1934, ketika beliau meninggalkan Königsberg untuk sementara, dia berkunjung
kembali ke Mesir, dan dia tinggal disana sebagai Professor sampai tahun 1939.8
Ketika perang dunia kedua berkecamuk, dia pindah ke Inggris.Disana dia
bekerja di BBC dan departemen Inggris yang mengurursi bagian informasi.Dan
setelah beberapa tahun, dia kemudian melakukan naturalisasi dan berhasil menjadi
warga Negara Inggris pada tahun 1947.Setahun sebelumnya, 1946, dia telah
ditunjuk untuk mengajar di Universitas Oxford.Kemudian dia dipilih sebagai
pengamat studi keislaman pada tahun 1948.Oleh sebab itulah, kemudian dia
melakukan beberapa perjalanan ke luar, seperti menjadi pengajar di Amerika
(1948), peneliti di Nigeria (1950), kunjungan professor ke Universitas Algiers
(1952), peneliti di Afrika Timur (1953).9Gelar akademik M.A. iadapatkan pada
tahun 1947 dan D.litt. pada tahun 1952. Kedua gelar tersebut ia dapatkan dari
universitas Oxford.10
Pada tahun 1954 dia meninggalkan Inggris dan pindah ke Belanda untuk
menjabat profesor di bidang Arab di Universitas Leiden.Sejak domisilinya di
Belanda, dia sering ke luar, baik untuk melakukan kunjungan ataupun
penelitian.pada tahun akademik 1957-1958 dia menjadi professor tamu di
Universitas Columbia, dan kembali ke Belanda pada tahun 1959. Dia tetap tinggal
di belanda sampai tahun 1969.Dan dia kembali menjadi peneliti di Afrika Timur
pada tahun 1963 dan 1964. Pada tahun 1967 dia mendapat beasiswa post doktoral
dari Guggenheim. Dua tahun kemudian dia meninggal di Englewood, New Jersey,
1 Agustus 1969.
Salah satu karya besar Schacht adalah “The Origins of Muhammadan
Jurisprudence” (1950).Buku ini merupakan konsentrasinya dalam bidang sejarah
pembentukan hukum Islam.pada bab pertama, dia membicarakan tentang
kontribusi Syafi‟i. Dan bab kedua berbicara tentang pertumbuhan hadis (legal
tradition) pada periode sebelum Syafi‟i. Dan bab ketiga membicarakan masalah
jejak transmisi hadis dari dinasti Umayyah belakangan yang menurutnya hadis
8
Ibid.
Ibid.
10
Akh. Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution, h. 4-5.
9
Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph... | 361
bermula pada saat itu. Kemudian bab keempat membicarakan alas an dari
beberapa ulama terkemuka.11
Selain itu dia juga menulis “Introduction to Islamic Law” (1964).Dalam
buku ini dia banyak membicarakan format hukum Islam. Dalam karya ini, dia
tidak hanya membicarakan masalah hukum, tapi juga evolusi teologi awal umat
muslim dan berbagai disiplin keilmuan secara general. Berbagai artikel yang
pernah ditulis adalah “Foreign Elements In Ancient Islamic Law”, “Droit
Byzantin et droit Musulman”, “Adultery As An Impediment To Marriage In
Islamic Law And In Canon Law”,12 dan “A Revaluation of Islamic Tradition”.
Secara genealogis keilmuan, Schacht termasuk salah satu tokoh yang
terinspirasi oleh para pendahulunya.Diantaranya adalah D.S. Margoliouth, H.
Lammens,
Gotthelf
Bergstrasser,
C.
Snouck
Hurgronje,
dan
Ignaz
Goldziher.13Dan banyak yang mengatakan bahwa dalam bidang hadis, Schacht
terinspirasi banyak oleh Goldziher dengan teori-teorinya yang meragukan
otentisitas hadis Nabi.
KRITIK JOSEPH SCHSCHT TERHADAP HADIS
Sebelum membahas mengenai konsep-konsep maupun teori yang
dikemukakan oleh Schacht, penulis akan mengutip metode yang digunakan dalam
menelaah hadis yang kaitannya dengan hukum Islam, Bernard lewis mengatakan
“Schacht's approach was neither theological nor juristic, but rather historical
and sociological”.14Dari sini dapat kita gambarkan bahwa pendekatan maupun
metode yang ditempuh oleh Schacht bukanlah teologi maupun hukum, namun dia
lebih condong untuk mengeksplorasi hukum Islam dari perspektif sejarah dan
sosiologi.
Dalam mengkaji Hadis Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad
(transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi Hadis).Sementara
kitab-kitab yang dipakai dalam ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwat}t}a>’
karya Imam Malik, kitab al-Muwat}t}a> karya Imam Muhammad al-Syaibani,
11
Lihat, Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: The
Clarendon Press, 1967), h. ix–xii.
12
Jeanette Wakin, Remembering Joseph Schacht, h. 18.
13
Akh. Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution, h. 10-12.
14
Bernard Lewis, Joseph Schacht. H. 378-381.
362 | Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember 2013
serta kitab al-Umm dan al-Risa>lah karya Imam al-Syafi‟i. Menurut Prof. Dr.
M.M Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab Fiqh dari pada kitabkitab Hadis. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh
karena itu, meneliti Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh hasilnya
tidak akan tepat. Penelitian Hadis haruslah pada kitab-kitab Hadis.15
Selanjutnya Schacht berpandangan bahwa secara keseluruhan sistem isnad
mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua,
akan tetapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi
dan para sahabat adalah palsu. Schacht berasumsi dari pendapat Ibnu Sirin (w.110
H) yang mengatakan bahwa usaha untuk mempertanyakan dan meneliti sanad
sudah dimulai sejak terjadinya fitnah (musibah perang saudara), dimana semua
orang sudah tidak dapat dipercaya lagi, tanpa diteliti terlebih dahulu. Dan dapat
diketahui bahwa fitnah yang bermula dari terbunuhnya al-Walid bin Yazid (w 126
H) menjelang surutnya Daulah Umayyah adalah tahun yang lazim bagi akhir
zaman keemasan lama yang selama itu Sunnah Nabi masih berlaku. Schacht
menyimpulkan
bahwa
penisbatan
pernyataan
ini
kepadanya
adalah
palsu.Bagaimana pun juga, tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa praktek
penggunaan isnad secara teratur lebih tua dari pada abad kedua hijriah.
Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masaalSya‟bi (w. 110 H).Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabiladitemukan
hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadisitu adalah
buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya‟bi.Ia berpendapatbahwa Hukum
Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi(hakim agama). Pada
khalifah dahulu (khulafa> al-Ra>shidi>n) tidak pernahmengangkat qadhi.
Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. 16
Kira-kira pada akhir abad pertama hijrah (715-720 M) pengangkatanqadhi
itu ditujukan kepada orang-orang “spesialis” yang berasal dari kalanganyang taat
beragama.Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah,maka akhirnya
mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik.Halini terjadi pada
15
Muhammad Mushthafa Azami, Dira>sa>t fi> al-Hadith al-Nabawi> wa Tarikh
Tadwinihi, (Bairut, Al-Maktab al-Islami, 1980), h. 398.
16
Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law, (Oxford: The Clarendon Press,
1964), h. 34.
Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph... | 363
dekade pertama abad kedua hijrah.Keputusan-keputusan hukum yang diberikan
qadhi ini memerlukanlegitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih
tinggi.Karenanya,mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada diri
mereka sendiri,melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya.
Misalnya, orang Iraq menisbahkan pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha‟i
(w. 95 H). Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak
hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan
dinisbahkan
kepada
tokoh
yang
lebih
dahulu,
misalnya
Masruq.Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat,
pendapatpendapatitu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling
tinggi,misalnya Abdullah ibn Mas‟ud.Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat
itudinisbahkan kepada Nabi Muhammad.Inilah rekontruksi terbentuknyasanad
Hadis menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapatpendapatitu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka,inilah
yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back. 17
Kemudian dari itu, menurut Prof. Schacht menuculnya aliran-aliran fiqh
klasik ini membawa konsekwensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang
terdiri dari ahli-ahli Hadis.Pemikiran dasar kelompok Ahli-ahli hadis ini adalah
bahwa hadis-hadis yang berasal dari Nabi harus dapat mengalahkan aturan-aturan
yang dibuat oleh kelompok aliran-aliran fiqh.Oleh karena itu, untuk mencapai
tujuan ini, kelompok ahli Hadis membuat penjelasan-penjelasan dan hadis-hadis,
seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan atau diucapkan oleh
Nabi.Mereka juga mengatakan bahwa hal itu mereka terima secara lisan
berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat Hadis yang dapat
dipercaya.Kesimpulan dari teori Prof. Schacht ini adalah baik kelompok aliranaliran fiqh klasik maupun kelompok ahli-ahli Hadis, keduanya sama-sama
pemalsu hadis.Dalam tesisnya dia mengatakan
“We shall find that the bulk of legal traditions from the prophet
known to malik originated in the generation preceding him, that
is the second quarter of second century A.H., and we shall not
17
Ibid, hlm 31-32.
364 | Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember 2013
meet any legal tradition from the prophet which can be
considered authentic”.18
Tesis schacht yang demikian menggemparkan pada dasarnya berbasis pada
kerangka teori e silentio, yakni bahwa kesahihan sebuah hadis dapat dibuktikan
dengan menilik keberadaan hadis pada suatu waktu tertentu, apakah hadis tersebut
dipakai sebagai argumen legal dalam diskusi ataupun digunakan sebagai rujukan
di dalam menentukan sebuah keputusan atau kebijakan hukum.19
Dengan menggunakan kerangka tersebut, Schacht telah banyak mengulas
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh, Malik, Syafi‟i, Abu Hanifah, asy-Shaibani
dan lain-lain. Salah satu contoh tentang adanya pembuatan (fabricated) hadis
adalah hadis tentang kompensasi untuk para pejuang yang terluka. Dalam hal ini
dia mengambil hadis (atsar) yang diriwayatkan oleh as-Syafi‟i,
‫ فهو من قيمتو على‬. . . ‫وقال أبو حنيفة كل شيئ يصاب بو العبد من يد أو رجل‬
‫ فوافقوا‬. . . ‫ وقال أىل ادلدينة يف موضحة العبد نصف عشر مثنو‬. . . ‫مقدار ذلك‬
‫ قال‬.‫أبا حنيفة يف ىذه اخلصال األربعة وقالوا فيما سوى ذلك ما نقص من مثنو‬
‫ كيف جاز ألىل ادلدينة أن يتحكموا يف ىذا فيختاروا ىذه‬:‫حممد بن احلسن‬
:‫ فينبغي أن ينصف الناس وال يتحكم فيقول‬. . . ‫اخل صال األربعة من بني اخلصال‬
‫قولوا بقويل ما قلت من شيئ إال أن يأيت أىل ادلدينة فيما قالوا من ىذا بأثر فننقاد‬
‫ فلو كان عندىم جاءونا‬،‫ وليس عندىم يف ىذا أثر يفرقون بو بني ىذه األشياء‬.‫لو‬
‫بو فيما مسعنا من آثارىم فإذا مل يكن ىذا فينبغي االصناف فإما أن يكون ىذا على‬
20
". . . ‫ما قال أبو حنيفة‬
Dalam menanggapi hadis di atas, Schacht mengatakan bahwa mungkin
lebih baik kita berasumsi bahwa hadis tersebut merupakan kutipan (daripada
periwayatan) yang digunakan untuk men-support gagasan yang digunakan.21
Pernyataan Schacht di atas,pada dasarnya juga didukung oleh Adis
Duderija seorang tokoh barat, iamenulis bahwa hadis ketika diriwayatkan oleh
seorang tokoh atau ulama yang berpengaruh terutama di saat permulaan
18
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (London: Oxford
University Press, 1967) h. 149.
19
Ibid, hal 140. Lihat juga, M. Mustafa Al-Azami, On Schacht’s Origins Of
Muhammadan Jurisprudence, (London: The Oxford Centre For Islamic Studies, 1996), h. 116.
20
Muhammad bin Idris as-Syafi‟i, al-Umm, vol. 7, Cetke-1, (Cairo, tt), h. 288.
21
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, h. 140-141.
Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph... | 365
terbentuknya tatanan hukum Islam (fiqh), biasanya hadis diambil lalu
diriwayatkan oleh generasi selanjutnya tanpa pikir panjang apakah hadis tersebut
benar-benar sahih dari nabi atau hanya sekedar ijtihad para ulama.
“The propagation of ahadith by influential people, transmitters of
tradition such as Shafi, shaped the opinion of the ijma and it, on the
other hand, accepted, as previously remarked, ahadith literature under
its wing. Hence, the entire content of what came to be known as ahadith
literature was accepted unquestionably as stemming from Prophet
himself and therefore part of God commandments/favour upon the
believers.”22
TANGGAPAN TERHADAP JOSEPH SCHACHT
Sebenarnya sebelum Islam datang, metode pemakaian periwayatan dengan
“sanad” sudah dilakukan pada waktu itu, namun tidak begitu jelas sejauh mana
metode itu dipergunakan. Hal ini antara lain misalnya terdapat dalam kitab
Yahudi Mishna. Selain itu, sistem isnad juga telah biasa dipakai dalam penukilan
sya`ir-sya`ir Jahiliyah.Sedangkan dalam Islam sistem isnad muncul pertama kali
pada masa hidup Nabi dan telah berkembang menjadi ilmu yang mapan pada
akhir abad pertama hijriah.Sistem ini dimulai dari praktek para sahabat dalam
meriwayatkan hadis nabi ketika mereka saling bertemu. Hal ini terbukti dengan
beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, seperti: Umar bin Khaththab telah
membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi.
Kata `Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka `Umar pada esok
harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh
berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan
berita itu kepada yang tidak bertugas. Dan juga perkataan dari al-Bara` bin `Azib
al-Awsiy “tidaklah kami semuanya (dapat langsung) mendengar hadis Rasullah
(karena diantara) kami ada yang tidak memilki waktu atau sangat sibuk. Akan
tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan
(terhadap hadis nabi.Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi)
memberitakan (hadis itu) kepada orang yang tidak hadir”. Hadis pada zaman Nabi
telah diterima oleh para sahabat dengan caradihafal dan dicatat. Dengan demikian,
periwayatan hadis pada zaman Nabi telah berjalan dengan lancar.
22
Adis Duderija, “Ahadith And Politics In Early Muslim Community” dalam
www.newageislam.com, diunduh pada tanggal 9 November 2012.
366 | Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember 2013
Adapun teori “Projecting Back” Schacht, menurut „Azamî, tidaklah logis.
Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa terdapat sejumlah riwayat yang sama
dalam bentuk dan makna dalam literatur para muhadditsîn klasik dari sekte-sekte
berbeda. Seandainya hadis hukum dipalsukan pada abad kedua dan ketiga hijriah,
tidak akan ada hadis yang dimuat bersama dalam sumber sekte-sekte yang
berbeda ini. Lebih jauh lagi, „Azamî bertanya mengapa para ulama mau memilih
dan mencantumkan orang-orang lemahuntuk isnâd mereka, sementara mereka
sebenarnya juga bisa dengan mudah memilih figur-figur yang lebih terhormat?
Menurut „Azamî hal ini tidaklah logis.Yang lebih kuatlagi adalah argumen
„Azamî bahwa dalam banyak kasus sebuah hadis diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi dari daerah yang berbeda-beda. Hampir mustahil mereka bertemu
dan bersepakat melakukan pemalsuan ini.23
Namun demikian, argumentasi-argumentasi yang dikemukakan azami
untuk mematahkan teori Schacht dianggap masih kurang representatif. Hal itu
disebabkan adanya kesenjangan argumentasi antara keduanya. Schacht tidak
meyakini hukum Islam eksis pada abad pertama Hijriah, karena ia tidak
menemukan data-data tertulis tentang hukum Islam yang dikodifikasikan pada
masa itu. Sementara „Azami dalam membuktikan keberadaan hukum Islam telah
eksis pada abad pertama Hijriah adalah dengan menunjukkan sabda-sabda Nabi
kepada para sahabat terkait masalah hukum dengan data-data yang terdapat pada
abad kedua atau ketiga Hijriah. Di samping itu, „Azami, sebagaimana yang
diyakini para Muhaditsîn, menilai bahwa riwayat oral (lisan dengan metode
hafalan)lebih kuat dibanding dengan riwayat tulisan. Sementara Schacht karena ia
tidakmempercayai tradisi kritik para informan hadis (Jarh wa Ta‟dîl), sehingga ia
tidakmempercayai riwayat yang tidak tertulis. 24
Di sisi lain, Fuad Seizgin memberikan komentar terhadap Schacht, bahwa
dia kurang memahami fase perkembanganpenulisan hadis. Menurut Sezgin,
penulisan hadis (Kitabah al-Hadits), bukan kodifikasi (Tadwin al-Hadits)
sebagaimana yang dipahami oleh Schacht,telah dimulai pada abad pertama
23
Azami, Studies In Early Hadith Literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, (Jakarta:
pustaka firdaus, 2000), h. 237.
24
Muhammad Idris Mas‟udi, “Kritik Atas „Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht‟”, H.
139.
Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph... | 367
Hijriah, bahkan pada masa Rasulullah masihhidup, dalam bentuk catatan-catatan
kecil. Kemudian pada seperempat akhir abadpertama Hijriah sampai seperempat
awal abad kedua Hijriah, hadis dikodifikasikan (Tadwin al-Hadits) atas prakarsa
Ibn Syihab al-Zuhri.Fase ketiga, Tasnif al-Hadits, yaitumembukukan hadis-hadis
dengan metode merunutkan nama-nama Sahabat, yangkemudian dinamakan
dengan kitab al-Musnad.Kemudian pada perkembanganselanjutnya, pada abad
ketiga Hijriah, hadis dikodifikasikan dengan penulisan secarametodologis, yang
kemudian dikenal dengan kitab-kitab Shahih.
Tidak hanya itu saja, dia juga menunjukan adanya Shahifah-shahifah
(lembaranlembaran) hadis yang ditulis oleh para sahabat. Di antara para sahabat
Nabi yang telah menulis shahifah-shahifah adalah;
a.
Abdullah bin „Amr bin al-„Ash (65/784M), penulis shahifah hadis yang
beliau namakan “al-Shadiqah”. Hadis-hadis yang terekam dalam shahifah
ini beserta sanadnya bisa dilihat dalam kitab Musnad karya Ahmad bin
Hanbal.
b.
Samurah bin Jundab (W.60 H/679 M), adalah penulis shahifah hadis.
Shahifah tersebut beliau tujukan untuk anaknya, hal ini bisa dilihat dari
statemen Ibn Sirin bahwa kitab Risalah Shahifah Samurah bin Jundab yang
diproyeksikan untuk anaknya memuat ilmu yang sangat luas. Ignaz
Goldziher juga sempat mengkomparatifkan isi hadis yang terdapat dalam
shahifah ini. Hadis- hadis dalam shahifah ini secara keseluruhan atau secara
garis besar terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal.
c.
Jabir bin „Abdullah (W.78 H/697M), ia adalah salah satu dari sejumlah
sahabat yang memiliki naskah hadis dengan menuliskan hadis-hadis Nabi
yang ia dapatkan baik melalui nabi langsung ataupun dari sahabat Nabi.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa penulis
simpulkan.Pertama, kritik yang dilancarkan oleh orientalis-orientalis, khususnya
Joseph Schachtadalah bukan hal baru, karena ia -sebagaimana pengakuannyahanyalah penyambungide dari gagasan-gagasan Ignaz Goldziher dan Margoliouth.
Kedua, disadari atau tidakbahwa tradisi periwayatan hadis pada masa Rasulullah
368 | Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember 2013
telah diriwayatkan dalambentuk lisan dan tulisan. Hal ini setidaknya menepis
asumsi-asumsi orientalis yangmengatakan bahwa tradisi periwayatan hadis pada
abad pertama Hijriah hanya melaluitransmisi oral yang riskan akan terjadinya
pemalsuan dan penyimpangan dalam periwayatan. Ketiga, kritik atau apologi
sarjana-sarjana Muslim atas kritik hadis JosephSchacht belum paripurna, karena
sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwametodologi yang digunakan
orientalis berbeda dengan metodologi para sarjana Muslimdalam membela
keotentisitasan dan kebermulaan hadis.Hal ini mestinya menjadisebuah “stimulus”
bagi para pengkaji hadis untuk melanjutkan penelitian hadis seperti yangtelah
dilakukan oleh para sarjana Muslim seperti al-„Azami, Sezgin, maupun yang
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad Mushthafa, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh
Tadwinihi, Bairut, Al-Maktab al-Islami, 1980.
-----------------------, Studies In Early Hadith Literature, terj. Ali Musthafa Yaqub,
Jakarta: pustaka firdaus, 2000.
-----------------------, On Schacht’s Origins Of Muhammadan Jurisprudence,
London: The Oxford Centre For Islamic Studies, 1996.
Duderija, Adis, “Ahadith And Politics In Early Muslim Community” dalam
www.newageislam.com, diunduh pada tanggal 9 November 2012.
Mas‟udi, Muhammad Idris, “Kritik Atas „Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht‟”
dalam M. Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan
Hadis, UIN Jakarta, 2011-2012.
Minhaji, Akh.,Joseph Schacht’s Contribution To The Study Of Islamic Law, Tesis,
Kanada: Institute of Islamic Studies McGill University, 1992.
Lewis, Bernard, Joseph Schacht, Bulletin of the School of Oriental and African
Studies, Vol. 33, Part 2 (1970).
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law, Oxford: The Clarendon Press,
1964.
---------------------, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The
Clarendon Press, 1967.
Wakin, Jeanette, Remembering Joseph Schacht (1902-1969), Makalah, Islamic
Legal Studies Program Harvard School, 2003.
Yaqub, Ali Musthafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Download