birokrat kyc dan pencucian uang.

advertisement
Birokrat, KYC, dan Pencucian Uang
Oleh Susidarto
JAWA POS, [ Rabu, 31 Maret 2010 ]
REFORMASI birokrasi, di antaranya dalam bentuk perbaikan sistem
remunerasi/penggajian, yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan, ternyata belum
berpengaruh terhadap perilaku jajaran birokrat. Mencuatnya skandal korupsi pajak oleh
Gayus H. Tambunan setidaknya memperlihatkan dengan vulgar belum tampaknya
reformasi birokrasi itu. Padahal, reformasi tersebut telah dilaksanakan hampir di semua lini
para aparat penegak hukum yang selama ini rawan sogok, suap, dan upeti.
Biasanya, modusnya tidak jauh dari transaksi melalui penyedia jasa keuangan (PJK), dalam
hal ini perbankan. Transaksi itu tidak terbatas pada mata uang rupiah, bisa juga berupa
valuta asing (valas), uang kertas asing (UKA), maupun banknote. Transaksi bisa dilakukan
di pedagang valas atau bank-bank devisa. Bisa saja alirannya berupa rupiah yang keluar
dari rekening tertentu di bank, kemudian ditukar dan dibelikan valas tertentu sesuai dengan
kesepakatan antara penyuap dan yang disuap. Selama ini, modus semacam itu belum sering
dijumpai di lapangan. Karena itu, cara tersebut bisa dikategorikan sebagai modus baru
pencucian uang haram/ilegal.
Pencucian uang (money laundering) memiliki pengertian sebagai suatu proses atau
perbuatan yang bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang dari hasil
tindak pidana. Menurut pasal 2 UU No 15 Tahun 2002, tindak pidana yang menjadi pemicu
pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran,
perbankan, narkotik, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/ senjata gelap,
penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.
Pertajam KYC
Hebohnya skandal korupsi pajak oleh GHT terkuak setelah ditemukannya aliran dana
dalam jumlah kakap di sejumlah rekening miliknya pada beberapa bank. Dalam dunia
perbankan, ada satu prinsip yang harus diterapkan dalam menerima pembukaan rekening
dan membangun hubungan kenasabahan dengan customer. Prinsip itu dikenal dengan
istilah know your customer (KYC) atau mengenal nasabah. Masalah tersebut diatur secara
rapi oleh regulator, dalam hal ini Bank Indonesia (BI), melalui Peraturan BI No
5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Intinya, bank dalam menjaring nasabah harus selektif. Yakni, bank mengenal betul
nasabahnya. Prinsip KYC merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengendalian
risiko bank. Ketidakcukupan dalam penerapan prinsip KYC dapat memperbesar risiko yang
dihadapi bank, baik risiko operasi, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi.
Maklum, bank merupakan lembaga yang sangat rentan terhadap nasabah yang tidak
bertanggung jawab dan menjadi target utama tempat pencucian uang.
Tak aneh, dalam menjaring nasabah dana (funding customer), bank harus berhati-hati. Para
petugas garda depan harus mengenal persis calon nasabah, baik identitasnya, sumber dana
yang akan disimpan, maupun sumber penghasilan. Selain itu, mereka harus tahu apakah
jumlah simpanan sudah sesuai dengan profil si nasabah/bisnisnya dan yang bersangkutan
masuk kategori high risk customer/high risk business. Karena itu, saat membuka rekening,
si calon nasabah harus datang dan bertemu langsung dengan petugas bank.
Dalam pertemuan itu, si petugas bank (biasanya customer service officer) bakal
mewawancara secara singkat. Nah, di situlah perlunya mengecek, apakah si pembuka
rekening adalah calon nasabah langsung atau menggunakan kartu identitas palsu. Biasanya,
si calon nasabah diwajibkan mengisi aplikasi pembukaan rekening yang sudah standar
untuk mendeteksi identitas, sumber dana, sumber pendapatan, tujuan penggunaan dana,
jumlah penghasilan, dan lain-lain.
Ada satu tipikal para pencuci uang. Biasanya, mereka tidak sensitif terhadap berbagai biaya
yang dikenakan oleh bank. Sebab, tujuan utamanya adalah menyamarkan atau
menghilangkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan
secara aman.
Sayang, selama ini yang paling rajin melaporkan berbagai transaksi mencurigakan
(suspicious transaction) dan transaksi tunai di atas Rp 500 juta (cash transactions) hanya
bank. Sementara itu, PJK lain masih cenderung malas untuk melaporkan kepada pihak
berwenang, dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Terkait dengan itu, sedikitnya jumlah PJK yang melapor kepada PPATK mendesak untuk
diatasi. PPATK harus mulai menegakkan aturan main sesuai dengan UU tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Selain itu, cakupan PJK yang harus melaporkan berbagai transaksi
keuangan mencurigakan patut diperluas.
Menurut UU, PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan, tidak
terbatas pada bank. PJK lain dapat berupa lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola
reksadana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpan dan penyelesaian, pedagang valas,
lembaga penyedia dana pensiun, serta perusahaan asuransi.
Arti pengertian tidak terbatas itu, profesi lain yang berpotensi digunakan oleh para pencuci
uang juga wajib melapor kepada PPATK. Beberapa di antara profesi yang rawan terhadap
pencucian uang adalah pedagang emas dan berlian (permata), perusahaan properti
(developer), diler mobil, koperasi simpan pinjam (kospin), BMT, notaris, dan pengacara.
Khusus para pejabat negara, yang karena jabatan dan profesinya juga rawan pencucian
uang haram, harus melapor kepada PPATK. Dalam konteks terakhir, audit dan tracking
kekayaan diperlukan sebelum dan selama menduduki jabatan tertentu. (*)
*). Susidarto, bekerja di sebuah bank di Jogjakarta. Tulisan ini pendapat pribadi
Download