“Belajar Memimpin dan Memimpin Belajar”: Substansi Lesson Study1 Tatang SURATNO Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Abstrak Sejak diperkenalkan sekelompok tim dari Jepang, Lesson Study kini telah menjadi lighthouse pengembangan professional pendidik di Indonesia. Namun demikian terdapat kekhawatiran penulis akan redupnya sinaran tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman aspek substansi Lesson study. Tulisan ini menguraikan argumentasi dari tesis belajar memimpin dan memimpin belajar sebagai substansi Lesson Study yang diawali dengan pemaparan visi dan konteks belajar di sekolah. Food for thought: Visi Lesson Study Lesson Study, suatu pendekatan terhadap pengembangan professional guru a la Jepang, kini telah menjadi subyek yang banyak didiskusikan dan dikembangkan di berbagai budaya. Di budaya Asia sendiri berkembang berbagai variasi family dari Lesson Study, misalnya Public Study di Cina, Learning Study di Hong Kong dan varian tahapan siklus Lesson Study di Indonesia, Thailand dan Singapura. Hal serupa berkembang di Amerika (Kelompok Lesson Study Mills College dipimpin Catherine Lewis) dan Eropa (Kelompok Learning Study University of Gothenburg Swedia dipimpin Ference Marton dan Kelompok Inggris Raya dipimpin John Elliot di University of East Anglica). Akulturasi Lesson Study ke dalam budaya pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari program kerjasama antara tiga Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yaitu UPI, UM dan UNY, dengan Japan International Cooperation Agency selama satu dasawarsa di awal millennium ini (pembahasan detail tersaji dalam Hendayana, 2010; Firman, 2010; Suratno & Cock, 2009; Suratno, 2009a; 2009b). Istilah Lesson Study kini telah menjadi kosakata yang familiar dalam ranah pendidikan, pengembangan dan profesionalisme pendidik di Indonesia. Secara harfiah, Lesson Study, yang diturunkan dari istilah jugyou kenkyu, merupakan suatu proses pengkajian pembelajaran atau lesson research melalui tiga tahapan utama yang bersifat siklikal: Plan-Do-See. Di Indonesia, Lesson Study didefinisikan sebagai model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan berdasarkan prinsip-prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana et al., 2006; Suratno & Cock, 2009; Suratno, 2009a; 2009b). Pengalaman penulis terlibat aktif di berbagai peran dalam kegiatan Lesson Study serta mengikuti berbagai forum ilmiah di komunitas Lesson Study baik di dalam dan luar negeri menyediakan food for thought tentang hakikat dan visi pengembangan lebih lanjut Lesson Study di Indonesia. Saya mencermati bahwa kini sedang terjadi kemandegan terkait dengan pemahaman dan upaya membangun budaya Lesson Study khas Indonesia sebagai akibat dari pemahaman permukaan yang didasarkan pada peniruan aspek prosedural-teknikal dari Lesson Study. Aspek substansi yang 1 Makalah disajikan pada Online Learning Community Conference, 12 Maret 2010. menjadi hakikat Lesson Study masih belum mendapat banyak perhatian sehingga upaya serius untuk menggali ‘apa’ dan ‘sebaiknya apa’ dari implementasi Lesson Study masih menjadi pekerjaan rumah. Isu substansial tersebut berkaitan dengan pemikiran mengenai visi Lesson Study. Pada dasarnya, visi dari Lesson Study adalah membangun komunitas belajar pendidik. Tentunya dalam setiap komunitas setidaknya terdapat budaya relasi belajar (relation) yang memiliki muatan/materi yang dipelajari (content), masalah yang dikaji (problem) serta norma-norma (context) yang disepakati komunitas. Oleh karena itu, yang menjadi fokus perhatian dalam komunitas Lesson Study adalah pemikiran tentang ‘belajar’: apa itu belajar, siapa yang belajar dan aspek apa dari belajar yang dipelajari merupakan isu yang menjadi landasan pengembangan substansi dari Lesson Study. Pembahasan mengenai belajar itu sendiri pada akhirnya mengarah pada isu kepemimpinan yang melekat pada proses pengajaran dan pembelajaran: apa visi kepemimpinan tentang belajar, siapa yang memimpin dan bagaimana karakter kepemimpinannya. Tulisan ini menyajikan upaya awal yang saya lakukan dalam mencermati hakikat Lesson Study: apa dan bagaimana visi Lesson Study di Indonesia ke depannya. Penafsiran terhadap visi tersebut mengarah pada identifikasi tiga tingkatan belajar serta dua fokus pengembangan yang menjadi roda penggerak faktor kunci pelaksanaan dan keberlanjutan Lesson Study: pembelajaran dan kepemimpinan. Dalam hal ini, saya mengajukan tesis belajar memimpin dan memimpin belajar sebagai ruh dari Lesson Study. Argumen terhadap klaim tersebut disajikan berdasarkan analisis tingkatan belajar serta substansi dari rangkaian program implementasi Lesson Study dan hakikat dan tahapan Plan-Do-See Lesson Study (Suratno, 2009; Suratno, 2010). Tiga Tingkatan Belajar Knapp et al. (2003) mengidentifikasi tiga tingkatan belajar yang terjadi di komunitas belajar sekolah: pembelajaran peserta didik (student learning), pembelajaran pendidik (professional learning) dan pembelajaran sistem pendidikan (sekolah) (system learning). Ketiga agenda belajar di sekolah tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain dimana konteks dari pembelajaran peserta didik mendasari proses pembelajaran dua tingkatan lainnya: pendidik mempelajari proses belajar peserta didik untuk meningkatkan pengetahuan dasar mengajar, sementara sekolah mempelajari konteks belajar pendidik dan peserta didik untuk memberikan daya dukung terhadap layanan pendidikan yang baik dan tepat. Dalam hal ini, pada akhirnya, pembelajaran pendidik menjadi cerminan dari citra pendidikan bermutu suatu sekolah. Pemahaman terhadap tingkatan belajar tersebut semakin bermakna ketika saya berkesempatan mengikuti World Association of Lesson Studies International Conference di Hong Kong Institute of Education pada bulan Desember 2009. Dua pembicara kunci dan satu sharing session dari suatu sekolah di Hong Kong memberikan wawasan praktis terkait tiga tingkatan belajar tersebut. Pemaparan John Elliot (December 2009), muridnya Stenhouse dan dikenal sebagai tokoh terkemuka di bidang action research, memandang bahwa Lesson Study berperan dalam meningkatkan pedagogical knowledge (pengetahuan tentang pengajaran dan pembelajaran). Saya menafsirkan bahwa secara implisit John Elliot cenderung menganggap Lesson Study sebagai pendekatan yang dapat membangun peran guru sebagai pedagogical scientist. Dalam Lesson Study terdapat teacher research framework (misalnya kolaborasi, observasi, refleksi dan analisis video pembelajaran) yang mendasari artikulasi teacher-based pedagogical science. Upaya tersebutlah yang dapat mengungkap pedagogical tacit knowledge dan the wisdom of practice yang dapat di-salingbagikan kepada komunitas guru. Sementara itu, Lynn Paine (December 2009), professor pendidikan guru dari Michigan State University, menekankan visi Lesson Study dalam meningkatkan teacher learning knowledge. Dalam Lesson Study terdapat budaya belajar pendidik (professional learning) yang didasarkan pada praktik focused lesson research: what is learned, where and how learning occurs. Budaya belajar pendidik tersebut setidaknya mencakup bentuk relasi (kolaborasi-kolegial), perangkat (format observasi), konteks (kebijakan, misalnya hari MGMP) dan norma (misalnya kesepakatan bukan menilai guru) belajar. Secara khusus Lynn Paine menjelaskan secara personal kepada penulis bahwa peranan narasumber, dan kelak fasilitator MGMP dan sekolah, menjadi vital dalam membangun situative perspective dari teacher learning. Sesi berbagi pengalaman dari Shatin Tsung Tsing Secondary School (December 2009) menjelaskan faktor otonomi dan kepemimpinan sekolah dalam menerapkan Learning Study ke dalam konteks reformasi sekolah. Tim dari sekolah tersebut memaparkan faktor kunci kepemimpinan kepala sekolah, panel head dan project leader Learning Studies Group serta guruguru yang terlibat. Faktor kunci tersebut mencakup koordinasi (action planning, monitoring), kolaborasi (kerjasama dengan universitas) dan konsolidasi (pengembangan dan analisis pengajaran dan pembelajaran). Wawasan tersebut memperkaya kontemplasi yang mengarah pada pemaknaan Lesson Study sebagai budaya pembelajaran dan kepemimpinan di sekolah dan di lembaga pendidikan guru. Substansi pembudayaan tersebut digambarkan sebagai proses belajar memimpin yang diuraikan berdasarkan ‘apa’ dan ‘sebaiknya apa’ dalam konteks siklus Plan-Do-See dan memimpin belajar berdasarkan analisis serupa dari konteks program Lesson Study. Belajar Memimpin: Substansi Tahapan Lesson Study Tahapan siklikal Plan-Do-See Lesson Study mencerminkan proses dasar dari pekerjaan guru: perencanaan, pengajaran dan evalasi pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran siswa, isu dasarnya adalah ‘apa’ itu belajar? Belajar ‘seperti apa’ yang diharapkan? ‘Bagaimana’ merancang, melaksanakan dan menilainya? Pertanyaan tersebut mengeksplorasi hakikat belajar: belajar siswa dan belajar guru. ‘Apa’ Belajar Belajar dapat dimaknai sebagai tindakan dan hasil dari pemerolehan pengetahuan, keterampilan, proses berpikir (habits of mind), dan perasaan berdaya. Oleh karena itu, belajar merupakan proses membangun kemandirian melalui aktualisasi otoritas dan hak belajar siswa (Suratno, 2010). Dalam prosesnya, siswa berhak untuk belajar (berpikir, berpendapat, bertanya), atau sebaliknya (misalnya tidak fokus belajar) serta memiliki otoritas menciptakan situasi belajarnya (alur belajar/learning trajectory). Dalam konteks tersebut belajar dapat dimaknai sebagai proses yang transformatif (perubahan-berdaya) dan otentik-deliberatif (nyata-disadari), bukanlah suatu proses yang imitatifmimetik (peniruan yang dipaksakan). Bila kita merefleksikan situasi pembelajaran sekarang ini, drilling dan praktik umum lainnya di kelas-kelas kita kiranya merupakan contoh dari proses belajar yang kurang memberdayakan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya mengajak untuk berefeksi: Apakah kita dapat memastikan bahwa kita telah menyediakan situasi belajar yang memberdayakan ataukah sebaliknya (tetap atau malah lebih parah)? Belajar ‘Apa’ Proses belajar yang dilakukan siswa setidaknya mencakup empat aspek: konseptual (pemahaman materi), kognitif (pola berpikir), epistemik (proses mengetahui) dan sosial (interaksi insani yang bermakna) (Suratno, 2008). Keutuhan proses tersebut di kelas seringkali tereduksi dimana terlalu menekankan pada aspek konseptual saja. Padahal, ketiga aspek lainnya kiranya lebih penting karena di dalamnya menumbuhkan kreativitas, ruang diskusi serta kemandirian (independent learner). Pada praktiknya, siswa secara alamiah mungkin mengalami situasi yang disebut kesulitan belajar (learning obstacle). Terdapat tiga faktor penyebabnya, yaitu hambatan ontogeni (kesiapan mental belajar), didaktis (akibat pengajaran guru) dan epistemologi (pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi yang terbatas) (Brousseau, 1997). Jika bercermin pada situasi saat ini, mungkin selama ini telah terbentuk hambatan belajar sistemik bagi peserta didik. Barangkali selama ini anak memahami materi yang diajarkan karena kita sebagai guru justru yang menjadi penghambatnya? Kenyataan tersebut menyiratkan bahwa menciptakan situasi belajar bagi peserta didik memerlukan kerangka pikir yang utuh: bagaimana merepresentasikan bahan ajar agar accessible dan teachable. Belajar ‘Belajar’ Mengajar merupakan aktivitas budaya (Stigler & Hiebert, 1999) yang meniscayakan keutuhan kompetensi pengajaran dan implementasinya. Pengajaran melibatkan tiga aspek utama: keterpaduan (coherence), keutuhan (unity) dan keluwesan (flexible) (Suryadi, 2008). Untuk meningkatkan kapasitas mengajar maka mempelajari tentang proses belajar siswa (gaya belajar, pengetahuan awal, pemrosesan informasi) menjadi penting. Pemetaan terhadap proses belajar dan bagaimana siswa mengembangkan situasinya dilakukan dari mulai perencanaan pengajaran. Selama perencanaan, guru melakukan analisis materi, analisis gaya belajar dan pengetahuan awal siswa yang beragam, melakukan prediksi respon siswa. Data tersebut mendasari strategi antisipasi tindakan guru, desain representasi bahan ajar, desain strategi dan tahapan pengajaran serta pengelolaan kelas. Selama mengajar, guru menerapkan alur situasi pedagogis-didaktis agar tercipta situasi belajar sesuai dengan tujuan yang direncanakan, mengidentifikasi keragaman respon siswa dan bagaimana memberikan intervensi yang memadai (keluwesan), serta mereduksi dan menanggulangi kesulitan belajar siswa. Pasca pengajaran, guru tidak hanya menilai pekerjaan siswa, tetapi juga melakukan retrospeksi terhadap pengajarannya: interaksi antar situasi didaktis-pedagogis yang diciptakan guru dengan situasi belajar siswa, bahan ajar, struktur tugas/masalah yang disajikan, serta variasi respon dan kesulitan belajar siswa. Memimpin Belajar: Substansi Program Lesson Study Secara umum, rangkaian program implementasi Lesson Study di Indonesia, baik LS MGMP maupun LS BS, mencakup tiga target utama: kepala sekolah, guru fasilitator dan guru partisipan. Oleh karena itu setidaknya terdapat tiga kegiatan utama: pelatihan kepala sekolah, pelatihan fasilitator dan implementasi tahapan Lesson Study serta kegiatan lainnya seperti workshop evaluasi dan forum diseminasi (forum MGMP). ‘Belajar’ Komunitas Belajar Kegiatan-kegiatan tersebut dirancang untuk membangun komunitas belajar yang saling melengkapi dimana di dalamnya terdapat relasi mutual yang didasarkan pada kesepakatan tertentu (norma). Sebagai contoh adalah kepekatan mengenai pengamatan dan refleksi. Seringkali ditekankan bahwa yang menjadi fokus pengamatan adalah apakah siswa belajar dan kapan siswa belajar serta bagaimana interaksi siswa-siswa, siswa-guru dan siswa-materi ajar (Suratno, 2009a). Meskipun norma belajar tersebut disepakati, namun terdapat norma negatif yang secara tidak langsung disepakati komunitas. Contohnya adalah fenomena pertunjukkan Lesson Study. Gejala ini diakibatkan kita melupakan ‘apa tujuan kita melakukan open lesson hari ini?’. Sementara yang menjadi perhatian adalah bagaimana kita dapat menampilkan diri secara berbeda karena akan dilihat banyak orang. Ini kiranya pandangan yang menganggap Lesson Study sebagai pertunjukkan, bukan sebagai pembelajaran komunitas berdasarkan situasi alamiahnya (situative perspective). Oleh karena itu, kealamiahan menjadi hal yang peru disepakati yang sebaiknya disertai dengan pertanyaan seperti ‘kualitas proses belajar seperti apa yang akan dialami oleh siswa’ atau ‘apakah kita berhasil memfasilitasi siswa belajar atau sebaliknya?’ Pertanyaan tersebut memandu pemahaman hakikat Lesson Study sebagai pembelajaran guru. Pada akhirnya, norma saja tidak cukup menggerakkan belajar komunitas sebagaiaman kita tidak dapat mencegah fenomena kebosanan. Saya melihat fenomena tersebut sebagai akibat dari penerapan norma yang tidak disertai dengan kesepakatan menggali kualitas isi proses belajar guru. Ada kecenderungan penghambatan sistemik critical reflection karena yang dibahas hanyalah aspek perilaku umum siswa, belum perilaku belajar siswa. Bagaimana interaksi berpikir siswa sebagai core content belum menjadi enacted agreement yang mendasari pemaknaan hasil pengamatan. Oleh karena itu kiranya dalam mempelajari bagaimana proses belajar komunitas belajar tidak cukup sekedar aspek normatif belaka, tetapi juga aspek kedalaman dan kualitas content (interaksi utuh guru-siswa-materi) mendasari pemahaman bermakna dari proses belajar guru (Suratno, 2009a; 2009b). ‘Memimpin’ Komunitas Belajar Memimpin komunitas Lesson Study tidak selalu harus dilakukan oleh pimpinan sekolah/dinas dikarenakan mereka memiliki urusan yang mungkin lebih penting daripada Lesson Study. Mengharapkan kehadiran mereka dalam setiap kegiatan Lesson Study kiranya merupakan hal yang mustahil, tetapi memastikan bahwa informasi kegiatan dan capaiannya sampai kepada mereka adalah lebih penting. Dalam implementasi Lesson Study terdapat beberapa peran penting yang dilakukan partisipan: koordinator, moderator, pengamat, notulen dan guru model. Setiap peran dari aktoraktor tersebut mengandung muatan kepemimpinan yang kalau diperhatikan mengalami distribusi (distributed leadership) secara halus dari tingkatan tertinggi ke tingkatan di bawahnya. Secara sederhana, alur distribusi kepemimpinannya (bersifat informal) digambarkan sebagai berikut: PimpinanKoordinator/Fasiliator LSModeratorGuru Model Melalui alur tersebut terjadi distribusi tugas dan laporan yang menyediakan bukti dasar pengambilan kebijakan sekolah (kepala sekolah, kebijakan program LS (fasilitator) dan kebijakan pedagogis (guru model). Sebagai contoh dalam sesi briefing dan debriefing, kepemimpinan moderator pada dasarnya mewakili kepemimpinan dari fasilitator dan kepala sekolah. Begitu pun dengan guru model yang secara tidak langsung mewakili kepemimpinan kepala sekolah dalam upaya memberikan layanan pengajaran yang bermutu. Dalam memahami apakah alur kepemimpinan mencapai kualitas pembelajaran yang diharapkan maka kiranya perlu untuk mengidentifikasi tujuan utama (ultimate goal) dan bagaimana mengukur pencapaiannya. Karena itulah kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat perkembangan program secara keseluruhan. Disitulah peran notulen yang mendokumentasikan data kegiatan yang pada dasarnya menjadi artifak dan bukti untuk perbaikan dan tindaklanjut pelaksanaan Lesson Study secara berkesinambungan. Dalam konteks implementasi Lesson Study, pendekatan serupa kiranya juga penting, dan ini merupakan aspek yang banyak dilupakan. Seringkali kita lupa ‘apa tujuan kita melakukan open lesson hari ini?’. Yang sering kita ingat adalah bagaimana kita dapat menampilkan diri secara berbeda karena akan dilihat banyak orang. Ini kiranya pandangan yang menganggap Lesson Study sebagai pertunjukkan, bukan sebagai pembelajaran komunitas. Setidaknya pertanyaan seperti ‘kualitas proses belajar seperti apa yang akan dialami oleh siswa’ dapat memandu memahami hakikat belajar siswa. Penutup Saya tidak bermaksud menyimpulkan apa yang telah dibahas dikarenakan argumentasi yang disajikan didasarkan pada beberapa bukti-bukti kecil. Kiranya menjadi permasalahan kita bersama untuk menggali bukti yang lebih kuat lainnya yang dapat mengarahkan pada penemuan aspek substansi Lesson Study secara utuh. Disinilah aplikasi proses kepemimpinan dan pembelajaran kita sebagai tanggungjawab terhadap komunitas belajar pendidikan. Tentunya langkah awal untuk menuju ke arah itu adalah dengan merefleksikan what works di sekolah/kelas kita selama ini yang disertai dengan pengkajian sistematis-terpadu area teaching and learning, pedagogy, pedagogical content knowledge dan leadership dimana Lesson Study menyediakan kerangka kerja yang menjanjikan jika kita memahami substansinya.