tinjauan pustaka Patogenesis, Skrining, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Phenylketonuria Liong Boy Kurniawan Departemen Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, RS Universitas Hasanuddin-RS dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Indonesia ABSTRAK Phenylketonuria merupakan penyakit kelainan metabolisme asam amino bawaan akibat mutasi gen phenylalanine hydroxylase (PAH) yang terletak pada kromosom 12q23.2. Phenylketonuria yang tidak diterapi menyebabkan peningkatan kadar phenylalanine di dalam darah dan akumulasinya pada otak berakibat toksik, sehingga dapat terjadi gangguan intelektual progresif, gangguan pertumbuhan, tingkah laku dan kejiwaan seiring pertumbuhan anak. Phenylketonuria dapat diidentifikasi melalui skrining neonatus. Tes Guthrie sangat berguna untuk skrining massal dengan sampel dried blood spot (DBS) menggunakan kertas filter terstandarisasi (Guthrie Card). Terapi utama adalah pemberian diet rendah phenylalanine, sedangkan terapi tambahan dengan beberapa modalitas seperti pemberian BH4. Terapi dini menghasilkan luaran yang baik dengan perkembangan kognitif dalam batas normal. Kata kunci: Phenylalanine, phenylketonuria, Guthrie ABSTRACT Phenylketonuria is an inborn amino acid metabolism disorder caused by mutation of phenylalanine hydroxylase gene (PAH) located at chromosome 12q23.2. Untreated phenylketonuria causes increase of blood phenylalanine level and may accumulate in the brain resulting toxic leading to progressive intellectual impairment, growth and behavior disorders as the growth of children. Phenylketonuria can be identified during neonatal screening. Guthrie test is very useful for mass screening using dried blood spot sample in standardized filter (Guthrie Card). Main therapy of phenylketonuria is low phenylalanine diet and additional treatments with several modalities such as BH4. Earlier treatment can lead to better outcomes with normal cognitive development. Liong Boy Kurniawan. Pathogenesis, Screening, Diagnosis, and Management of Phenylketonuria. Keywords: Phenylalanine, phenylketonuria, Guthrie PENDAHULUAN Phenylketonuria (PKU) merupakan penyakit kelainan metabolisme asam amino bawaan sejak lahir akibat mutasi gen phenylalanine hydroxylase (PAH) yang terletak pada kromosom 12q23.2. Penurunan aktivitas PAH pada PKU dan HPA disebabkan oleh mutasi gen PAH yang mengakibatkan terbentuknya enzim PAH yang tidak fungsional.1,2 PAH mengkonversi phenylalanine (phe) menjadi tyrosine dan memerlukan tetrahydrobiopterin (BH4) sebagai kofaktor, molekul oksigen, dan Fe dalam prosesnya. Defisiensi PAH selain dapat mengakibatkan PKU juga dapat menyebabkan varian lebih ringan yaitu hyperphenylalaninaemia (HPA). Berdasarkan kadar phenylalanin darah, defisiensi PAH dapat digolongkan menjadi PKU klasik (Phe >1200 µmol/L), PKU ringan (Phe = 600-1200 Alamat korespondensi 668 µmol/L), dan HPA ringan yang ditandai dengan peningkatan Phe di atas nilai ambang normal tetapi <600 µmol/L. Phenylketonuria yang tidak diterapi menyebabkan peningkatan kadar phenylalanine di dalam darah dan akumulasinya pada otak berakibat toksik. Akibatnya adalah gangguan intelektual progresif yang sering disertai gejala lain, seperti ruam eksematosa, autisme, kejang, dan defisit motorik. Gangguan pertum­ buhan, tingkah laku, dan kejiwaan dapat berkembang seiring pertumbuhan anak.1,2 Sejarah Penemuan Phenylketonuria Phenylketonuria pertama kali dilaporkan oleh seorang dokter asal Norwegia, Asbjorn Folling. Pada tahun 1934, seorang ibu dengan dua orang anak yang menderita gangguan intelektual berobat dan menanyakan apakah bau aneh pada urin anak-anaknya berkaitan dengan gangguan intelektual mereka. Urin anak-anak tersebut diuji untuk menemukan zat yang terkandung di dalamnya termasuk keton. Jika keton, urin biasanya akan menjadi merah kecokelatan apabila ditambahi ferri klorida, tetapi urin anak tersebut berubah warna menjadi hijau tua. Setelah konfirmasi temuan tersebut tidak berkaitan dengan penggunaan obat dan mengulang tes tersebut setiap hari selama dua bulan, Folling melakukan analisis lebih dalam dengan ekstraksi organik dan purifikasi serta penentuan titik didih. Elemen dasarnya dianalisis dan rumus empiris C9H8O3 ditemukan. Oksidasi ringan substansi yang telah dipurifikasi menghasilkan senyawa email: [email protected] CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015 tinjauan pustaka berbau asam benzoat, sehingga Folling mempostulasikan temuannya adalah phenylpyruvic acid.3 Tidak adanya perubahan titik didih setelah pencampuran senyawa tersebut dengan asam phenylpyruvic meng­ konfirmasi bahwa senyawa tersebut adalah phenylpyruvic acid.3 Folling kemudian memeriksakan sampel urin 430 pasien dengan gangguan intelektual dari sejumlah institusi lokal dan menemukan hasil reaksi yang sama setelah penambahan ferri klorida pada 8 pasien. Kedelapan pasien tersebut menderita beberapa gejala seperti bahu lebar, gaya jalan spastik, serta gangguan intelektual berat. Hasil analisis keluarga mengindikasi­kan bahwa penyakit tersebut diturunkan secara autosomal resesif, dipublikasi dengan nama imbecillitas phenylpyruvica yang kemudian menjadi phenylketonuria.1 Jervis menemukan hambatan metabolik dan defisiensi enzim pada penyakit tersebut. Ditemukan pula hubungan antara pengurangan konsumsi makanan yang mengandung phenylalanine dengan perbai­ kan prognosis. Robert Guthrie, seorang ahli anak Kanada mengembangkan tes skrining untuk PKU. Pada akhir 1970-an penelitian-penelitian biomolekuler PKU mulai dilakukan.1,2 Gambar 1. Metabolisme Phe pada manusia. Sumber L-phe melalui diet dan metabolismenya melalui pool asam amino. Hidroksilasi PAH dengan kofaktornya, yaitu BH4, dengan bantuan molekul O2, menghasilkan L-tyr. Metabolisme alternatif L-phe melalui dekarboksilasi atau transaminasi menghasilkan beberapa metabolit yang diekskresikan di urin.5 Epidemiologi Prevalensi phenylketonuria bervariasi di seluruh dunia; pada ras Kaukasia antara 1 : 10.000 hingga 1 : 15.000. Insidens tertinggi di Turki (1 : 2.600) dan di Iran (1 : 4698), disebab­ kan tingginya perkawinan konsanguitas (hubungan keluarga) pada populasi tersebut. Insidens terendah ditemukan pada populasi di Jepang (1 : 125.000) dan di Finlandia (1 : 200.000).1,2,4 Biokimia dan Metabolisme PKU Phenylalanine memiliki 2 bentuk, yaitu D dan L-phenylalanine yang merupakan asam amino esensial yang diperlukan untuk sintesis protein pada manusia. Kadar phenylalanine dipertahankan dalam kadar yang relatif stabil. Diet mengandung phenylalanine serta daur ulang asam amino endogen menjadi sumber utama phenylalanine; penggunaan phenylalanine terjadi melalui integrasi protein, oksidasi menjadi tyrosine, ataupun konversi menjadi senyawa lain (Gambar 1).5 Konversi phenylalanine menjadi tyrosine terjadi melalui sistem hidroksilasi yang melibatkan PAH, kofaktor pterin tidak terkonjugasi, BH4, dihydropterine reduktase, dan 4α-carbinolamine dehydratase. Sistem hidroksilasi phenylalanine ditunjukkan pada gambar 2. Gambar 2. Sistem hidroksilasi phenylalanine. Pada hidroksilasi phenylalanine oleh phenylalanine hydroxylase (PAH) serta saat oksigen molekuler (O2) dan besi (Fe+2) ada, tetrahydrobiopterin (BH4) dioksidasi menjadi intermediate 4α-hydroxy-BH4 yang akan diregenerasi kembali menjadi BH4 via quinonoid (q) dihydrobiopterin melalui enzim carbinolamie-4α-dehydratase (PCD) dan melalui NADH-dependent dihydropteridine reductase (DHPR). BH4 disintesis dari guanosine triphosphate (GTP) melalui tiga enzim tambahan GTP cyclohydrolase I (GTPCH), 6-pyruvoyl-tetra-hydropterin synthase (PTPS) dan sepiapterin reductase (SR). Mutasi gen yang mengkode PCD. DHPR, GTPCH, PTPS dan SR mengakibatkan defisiensi BH4.2 CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015 Enzim PAH mengkatalisis hidroksilasi L-phenylalanine menjadi tyrosine. Katabolisme phenylalanine dan aktivitas PAH umumnya berkaitan dengan organ hati. Enzim PAH pada manusia merupakan kombinasi 669 tinjauan pustaka tetramer dan dimer, monomernya terdiri atas 452 asam amino dengan berat molekul 50 kDa. Aktivitas enzim PAH memerlukan BH4 sebagai kofaktor dan molekul oksigen. Enzim PAH terdiri dari beberapa domain fungsional (Gambar 3). Domain regulasi (regulatory) mengandung residu serin yang diperkirakan terlibat dalam aktivitas enzim ini melalui fosforilasi. Domain katalitik yang terdiri dari 26 atau 27 asam amino berfungsi dalam pengikatan kofaktor dan ion ferri. Domain C-terminal diperkirakan berhubungan dengan pengikatan inter subunit. phenylalanine tetapi tidak selalu mudah dan akurat. Tes toleransi ini biasanya tidak lebih dari 250 mg/hari pada PKU klasik, sedang­ kan pada PKU ringan (mild) atau sedang (moderate), toleransi phenylalanine dapat berkisar antara 250 hingga 400 mg/hari.2 Kadar phenylalanine biasa dilaporkan dalam mg/dL. Pasien PKU ringan, sedang, dan klasik semuanya memiliki kadar phenylalanine darah >10 mg/dL tanpa pembatasan diet. Pada bayi PKU, diet rendah phenylalanine mulai usia 3 minggu diharapkan mempertahankan kadar phenylalanine antara 3 hingga 10 mg/dL, karena dianggap kadar di bawah 10 mg/ dL tidak merusak otak. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kadar phenylalanine yang diperlukan untuk mengoptimalkan Genetika PKU Gen PAH manusia terletak pada kromosom 12q23.3, panjangnya sekitar 171 kb dan mengandung 13 ekson (Gambar 4). Hyperphenylalaninaemia dapat disebabkan oleh mutasi pada lokus PAH yang menyebabkan PKU ataupun mutasi pada sejumlah loci yang mengganggu sintesis dan regenerasi BH4 yang mengakibatkan hyperphenylalaninaemia non-PKU. Mutasi dapat menghasilkan fenotip yang normal ataupun patogenik tergantung gangguan­ nya pada struktur dan fungsi enzim.1,2 The Human PAH Mutation Knowledge base (2007) melaporkan sebanyak 548 mutasi yang berbeda dengan mayoritas (62%) adalah mutasi missense. Letak mutasi menentukan efeknya pada aktivitas enzim PAH yang menentukan fenotip hyperphenylalaninaemia pasien. Rendah atau tidak adanya aktivitas enzim mengakibatkan fenotip PKU klasik. Mutasi lain yang menghambat aktivitas enzim secara parsial menghasilkan PKU ringan ataupun hyperphenylalanineaemia ringan.1,2 Gambar 3. Struktur tiga dimensi kristal phenylalanine hydroxylase monomer pada manusia. Mutasi terjadi pada domain katalitik (70%), domain regulasi (16%), dan domain tetramerisasi (14%).2 Klasifikasi PKU Phenylketonuria diklasifikasikan berdasarkan beratnya phenylalaninaemia. Nilai normal phenylalanine darah adalah 50-110 µmol/L, beberapa rujukan menganggap kadar kurang dari 180 µmol/L masih dianggap normal. Klasifikasi beratnya defek gen PAH berdasarkan kadar phenylalanine darah ditunjukkan pada tabel. Klasifikasi tersebut tidak selamanya dapat langsung diterapkan, karena kadar phenylalanine pada bayi baru lahir mungkin belum mencapai kadar puncaknya. Klasifikasi dapat juga dibuat berdasarkan toleransi diet 670 Gambar 4. Struktur dasar gen PAH manusia. Gen ini ditemukan pada kromosom 12 (12q.23.2), memiliki 13 ekson dan mengkodekan polipeptida dengan 452 asam amino.1 CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015 tinjauan pustaka Tabel. Derajat beratnya gen PAH berdasarkan kadar phenylalanine dalam darah pada diet tanpa restriksi6 Beratnya PKU Kadar Phenylalanine dalam Darah mg/dL PKU Klasik µmol/L >20 >1200 PKU Moderat 15-20 900-1200 PKU Ringan 10-15 600-900 MHP 3-10 180-600 <3 <180 Normal PAH = phenylalanine hydroxylase; PKU = phenylketonuria; MHP = mild hyperphenylalaninemia perkembangan bayi normal, ada yang menganggap kadarnya harus dipertahan­kan kurang dari 6 mg/dL, yang lain menganggap kadar di bawah 10 mg/dL sudah cukup. Rekomendasi kadar phenylalanine yang perlu dipertahankan dan pada usia berapa pembatasan diet dapat diakhiri masih berbeda-beda di antara negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.6 PATOFISIOLOGI Phenylalanine dapat masuk ke dalam otak melalui neutral aminoacid carrier-Laminoacid transporter1 (LAT1). Peningkatan kadar phenylalanine pada otak dapat meng­ ganggu fungsi neurofisiologis melalui beberapa mekanisme. Dari hasil pencitraan radiologi ditemukan lesi substansi putih (white matter) yang berhubungan dengan berkurangnya pembentukan mielin, meski­ pun belum di­temukan hubungan kausatif pasti antara dismielinasi dan gangguan neurofisiologis.1,2,7 Asam amino netral lainnya, yaitu tyrosine, yang merupakan prekursor dopamine dan norepinephrine serta tryptophan yang merupakan prekursor serotonin juga masuk ke otak melalui karier LAT1. Kadar phenylalanine yang tinggi pada darah dapat menghambat LAT1 dan asam amino netral lain memasuki otak, meningkatkan risiko terjadinya disfungsi neurotransmiter dan sintesis protein. Mekanisme lain induksi kerusakan otak akibat hyperphenylalani­ naemia adalah berkurangnya aktivitas piruvate kinase, gangguan neurotransmisi glutamatergik dan berkurangnya aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase.1,2,7 Makna klinis berkurangnya dopamin, katekolamin, dan serotonin di otak pada pasien PKU belum jelas dipahami. Di antara CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015 neurotransmiter tersebut, dopamin telah diteliti secara ekstensif. Berkurangnya dopamin dapat menimbulkan masalah di neuron prefrontal yang memiliki turnover dopamin lebih tinggi dibandingkan neuron lainnya di otak. Pada pasien PKU yang tidak diterapi dapat terjadi chorea, tremor, dan distonia, mungkin disebabkan oleh defisiensi dopamin di ganglia basalis. Defisiensi serotonin serebral dapat menjelaskan peningkatan anxietas dan depresi pada penderita PKU.7 Penelitian yang mempelajari stres oksidatif pada model hewan PKU menemukan bahwa peroksidasi lipid yang diukur dengan malondialdehyde (MDA) lebih tinggi secara signifikan pada otak dan eritrosit hewan PKU dibandingkan kontrol. Kadar glutathione disulfide juga berkurang signifikan pada darah dan otak hewan PKU.8 SKRINING DAN DIAGNOSIS Skrining Neonatus Phenylketonuria diidentifikasi melalui skrining neonatus nasional. Tes pertama yang efisien untuk mendeteksi hyperphenylalaninemia adalah tes inhibisi bakterial yang di­ kembangkan oleh Robert Guthrie. Dasar tes ini adalah Bacillus subtilis memerlukan phenylalanine untuk pertumbuhannya. Tes Guthrie sangat berguna untuk skrining massal dengan sampel dried blood spot (DBS) menggunakan kertas filter terstandarisasi (Guthrie Card) dan dikirim ke laboratorium rujukan dalam amplop. Tandem massspectrometry (TMS) dikembangkan sebagai metode yang cepat menentukan kadar asam amino secara kuantitatif pada sampel darah/ plasma yang volumenya sedikit. Metode ini memberikan hasil positif palsu lebih kecil dengan mengukur kadar phenylalanine dan tyrosine serta memberikan hasil rasio phenylalanine/tyrosine.9 Semua bayi sebaiknya dilakukan skrining PKU pada hari pertama kelahiran untuk mengatur intervensi diet agar mencegah anak-anak PKU dari kerusakan neurologis. Jika skrining dilakukan di ruang nifas, sampel biasanya diambil antara hari ke-2 dan k­e-5, tetapi secara umum skrining dilakukan antara hari ke-2 dan ke-7. Di Amerika Serikat, sampel umumnya diambil pada 24-48 jam pertama. Nilai cut off diagnosis PKU adalah 120-130 µmol/L (rasio phenylalanine/tyrosine >2) dengan metode TMS.9 Observasi menunjukkan bahwa skrining terlalu dini dapat memberikan hasil negatif palsu akibat tidak cukup waktu bagi diet untuk memberikan kadar yang cukup untuk penegakan diagnosis. Meskipun demikian, secara umum diterima bahwa sensitivitas skrining pada neonatus sehat cukup adekuat dalam 24 jam pertama kelahiran, khususnya jika hasil tes juga dinyatakan dalam rasio phenylalanine/tyrosine untuk meningkatkan sensitivitas.9 Pada beberapa bayi prematur dapat dite­ mukan sistem enzimatik yang masih immature, termasuk metabolisme asam amino, sehingga dapat memberikan hasil pe­ningkatan phenylalanine dalam darah yang bersifat sementara yang jika langsung diinterpretasikan dapat memberikan hasil PKU positif palsu. Hasil skrining dini PKU harus diinterpretasikan dengan memperhatikan apakah bayi tersebut sedang sakit, mendapat nutrisi parenteral ataupun mendapat trans­ fusi darah. Jika ada hal di atas, skrining kedua harus dilakukan, juga jika tidak diketahui pasti apakah anak mendapat intake protein yang cukup saat tes pertama dilakukan.3 Diagnosis Diferensial Sebanyak 2% peningkatan kadar phenyla­ lanine yang terdeteksi pada skrining neonatus diakibatkan oleh gangguan metabolisme BH4. Frekuensi defisiensi BH4 lebih tinggi di negara-negara yang tingkat perkawinan konsanguitasnya tinggi seperti di Turki dan Arab Saudi. Defisiensi BH4 lebih berat daripada PKU jika ditinjau dari responsnya terhadap terapi. Diet rendah phenylalanine tidak efektif; substitusi dini dengan prekursor dopamin dan serotonin, termasuk dengan BH4 sintetik (sapropterin dihydrochloride) sangat krusial untuk luaran yang lebih baik. 671 tinjauan pustaka Analisis neopterin dan biopterin pada DBS dan urin serta penilaian aktivitas di­ hydropterine reductase (DHPR) sangat perlu untuk penegakan diagnosis, dilakukan sesegera mungkin. Pada penderita defisiensi BH4 ditemukan pola pterin yang identik pada darah, urin, dan cairan serebrospinal. Penggunaan sampel DBS pada Guthrie card lebih praktis dan dapat digunakan untuk menganalisis pterin, aktivitas DHPR, dan asam amino dari satu spesimen tunggal.9 Hal yang penting untuk diketahui adalah pasien PKU klasik mengekspresikan lebih banyak pterin di urin dibandingkan kontrol orang sehat dan jumlah metabolit yang diekskresikan sebanding dengan kadar phenylalanine darah. Penyakit-penyakit yang dapat mengaktifkan sistem imun (peningkatan neopterin) dan terapi metho­ trexate untuk anti-kanker ataupun penyakit reumatik (menghambat DHPR) dapat meng­ interferensi prosedur analitik. Sebagian penderita defisiensi DHPR menunjukkan profil neopterin dan biopterin normal di darah atau urin. Oleh karena itu, pengukuran aktivitas DHPR sangat esensial pada semua penderita HPA di samping penilaian kadar pterinnya.9 BH4 loading test BH4 loading test digunakan untuk mem­ bedakan peningkatan phenylalanine akibat defisiensi PAH atau akibat defisiensi BH4 (defek enzim pada biosintesis atau regene­ rasi kofaktor BH4). Tes ini bermanfaat dalam deteksi awal defisiensi BH4 dan deteksi penderita PKU yang responsif terhadap pemberian BH4.4 Deteksi penderita PKU yang berespons terhadap pemberian BH4 penting, karena beberapa penderita PKU mendapat manfaat dari pemberian BH4 oral (sapropterin dihydrochloride) ditunjukkan dengan pe­ nurunan kadar phenylalanine darah bahkan bisa mencapai kadar normal. Dari sejumlah laporan, modalitas BH4 challenge bervariasi mulai dari tes dalam 24 jam dengan pemberian BH4 dosis tunggal (10-20 mg/kg) hingga pemberian selama beberapa minggu dengan pemantauan kadar phenylalanine harian ataupun mingguan.9 Secara umum diterima bahwa penurunan kadar phenylalanine sekurang-kurangnya 672 30% sebagai respons terhadap pemberian BH4 mengindikasikan efek klinis yang signifikan. Frekuensi respons terhadap BH4 paling tinggi pada pasien HPA ringan (nonPKU) atau pada PKU ringan akibat mutasi PAH yang masih memiliki aktivitas residual enzim. Sebaliknya, tingkat respons penderita PKU klasik (aktivitas PAH sedikit ataupun tanpa aktivitas residual) sangat rendah. Pada neonatus, tes harus dilakukan sebelum pemberian diet rendah phenylalanine pada bayi dengan peningkatan kadar phenylalanine (>400 µmol/L).9 Pemeriksaan Cairan Serebrospinal Defisiensi BH4 mempengaruhi sintesis katekolamin, serotonin, dan nitrit oksida di sistem saraf pusat dan pengukuran meta­ bolit tersebut pada cairan serebrospinal penting untuk mendiagnosis derajat defisiensi BH4. Penilaian bukan hanya kadar absolut 5-hydroxyindolacetic acid dan homovanillic acid pada cairan serebrospinal, rasio neurotransmiter juga penting memberi informasi diagnostik yang berhubungan dengan beratnya serta luaran defisiensi BH4.9 PENATALAKSANAAN Terapi Diet Tujuan utama penatalaksanaan pada penderita PKU adalah mempertahankan kadar phenylalanine darah dalam batas aman (120-360 µmol/L, 120-240 µmol/L pada ibu hamil) untuk mencegah retardasi mental, menyokong pertumbuhan normal hingga dewasa. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian diet rendah phenylalanine.10,11 Pembatasan diet phenylalanine merupakan terapi utama PKU dan biasanya dimulai setelah konfirmasi penyakit ini pada neonatus. Penderita PKU harus menghindari makanan kaya protein (daging, ikan, telur, roti, produk susu, kacang-kacangan, dan bijibijian) serta makanan dan minuman yang mengandung pemanis aspartame, tepung, kedelai, bir. Diet penderita PKU umumnya terdiri dari makanan alami yang mengan­ dung protein rendah (sayur-sayuran, buah, dan beberapa jenis sereal). Di negara-negara maju sejumlah makanan berprotein rendah seperti roti rendah protein dan pasta rendah protein sudah tersedia.2,10 Pada bayi, pengaturan diet relatif mudah karena dikontrol orang tua. Sejumlah pusat kesehatan mengijinkan pemberian ASI untuk menyuplai protein. Seiring pertambahan umur, pengaturan diet makin sulit karena anak-anak sulit memilah makanan yang rutin dikonsumsi anak-anak seusianya. Pengaturan diet lebih sulit pada remaja dan dewasa.2,10 Glycomacropeptide Glycomacropeptide merupakan protein ber­ asal dari keju yang kaya asam aminoesensial, tetapi tidak mengandung tyrosine, tryptophan, atau phenylalanine. Protein ini dapat di­ gunakan sebagai adjuvan untuk diet rendah phenylalanine, khususnya yang di­ buat dengan proses pemurnian yang baik, sehingga menghasilkan produk bebas phenylalanine dengan suplementasi asam amino aromatik selain phenylalanine.2,10 BH4 Sejumlah mutasi berkaitan dengan fenotip PKU sensitif terhadap BH4, se­ hingga pemberian BH4 eksogen dapat meningkatkan aktivitas PAH yang berguna menurunkan kadar phenylalanine dalam sirkulasi. Kemampuan BH4 (sapropterin di­ hydrochloride) dalam manajemen terapi PKU telah menjadi topik diskusi. Kira-kira 20-60% penderita PKU menunjukkan reduksi >30% kadar phenylalanine dalam darah dengan penggunaan sapropterin. Idealnya sapro­ pterin akan menurunkan kadar phenylalanine hingga terkontrol tanpa restriksi diet, tetapi biasanya sapropterin diberikan kombinasi dengan terapi diet.2,10 Large Neutral Aminoacid Phenylalanine berkompetisi dengan large neutral aminoacid lain untuk transpor me­lewati barier darah-otak, sehingga suplementasi dengan asam amino lainnya selain phenylalanine dapat menjadi pen­ dekatan terapi potensial. Pemberian asamasam amino tersebut setelah pem­berian phenylalanine oral mengurangi peningkatan phenylalanine pada otak pada penderita PKU. Akan terapi, ini masih dalam tahap penelitian lebih lanjut.2.10 Phenylalanine Ammonia Lyase (PAL) Phenylalanine ammonia lyase adalah enzim berasal dari bakteri yang mengkatalisis konversi L-phenylalanine menjadi trans­ cinnamic acid dan amonia. Pada model CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015 tinjauan pustaka tikus PKU, kadar phenylalanine darah dan otak berkurang dalam 90 hari setelah injeksi phenylalanine ammonia lyase. Penurunan pada pemberian oral pada tikus mencapai 40% tanpa efek samping serius. Pemberian PAL oral diharapkan dapat menjadi terapi tambahan penderita PKU. LUARAN Anak-anak PKU yang mendapat terapi awal menghasilkan luaran yang baik dengan perkembangan kognitif dalam batas normal. Mempertahankan kadar phenylalanine rendah seumur hidup memberikan efek positif dalam hal konsentrasi, mood, atensi, sehingga menghasilkan perbaikan fungsi kognitif. Meskipun perbaikan kognitif dicapai tetapi beberapa tantangan muncul. Fungsi eksekutif (perencanaan, organisasi) individu PKU cukup berbeda signifikan meskipun terapi telah diberikan sejak bayi. Masalah dalam bersekolah dan belajar merupakan hal yang umum ditemukan pada anakanak penderita PKU, sehingga penilaian neuropsikologis penting dalam identifikasi awal dan perencanaan program.2,12 SIMPULAN Phenylketonuria merupakan suatu penyakit kelainan metabolisme asam amino akibat mutasi gen phenylalanine hydroxylase yang menyebabkan peningkatan phenylalanine darah dan otak. Kelainan ini dapat menyebabkan kelainan fungsi kognitif, intelektual, tingkah laku, dan pertumbuhan. Skrining neonatus sangat penting untuk deteksi dini dan dapat dilakukan dengan cara sederhana menggunakan tes Guthrie. Terapi awal anak yang menderita phenylketonuria dapat memperbaiki luaran penyakit. Daftar Pustaka 1. Williams RA, Mamotte CDS, Burnett JR. Phenylkeonuria: An inborn error of phenylalanine metabolism. Clin Biochem Rev. 2009; 29: 31-41. 2. Blau N, van Spronsen FJ, Levy HL. Phenylketonuria. Lancet 2010; 376: 1417-27. 3. Folling I. The discovery of phenylketonuria. Acta Pediatr Suppl. 1994; 407: 4-10. 4. Senemar S, Ganjekarimi H, Fathzadeh M, Senemar S, Tarami B, Bazrgar M. Epidemiological and clinical study of phenylketonuria (PKU) disease in the national screening program of neonates, Fars Province, Southern Iran. Irania J Publ Health 2009; 38(2): 58-64. 5. Scriver CR, Kaufman S. Hyperphenylalaninemia: Phenylalanine hydroxylase deficiency. In: Scriver CR, Beaudet AL, Sly WS, Valle D, Childs B, Kinzler K, et al, editors. The metabolic and molecular bases of inherited disease. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2001. p.1667-724. 6. 7. Widaman KF. Phenylketonuria in children and mothers, genes, environments, behavior. Current Directions in Psychological Science 2009; 18(1): 48-52. De Groot MJ, Hoeksma M, Blau N, Reijngoud DJ, van Spronsen FJ. Pathogenesis of cognitive dysfunction in phenylketonuria: Review of hypotheses. Molecular Genetics and Metabolism 2010; 99: 86-9. 8. 9. Ercal N, Aykin-Burns N, Gurer-Orhan H, McDonald JD. Oxidative stress in a phenylketonuria animal model. Free Radical Biology & Medicine 2002; 32(9): 906-11. Blau N, Hennermann JB, Langenbeck U, Lichter-Konecki U. Diagnosis, classification, and genetics of phenylketonuria and tetrahydrobiopterin (BH4) deficiencies. Molecular Genetics and Metabolism 2011; 104: 2-9. 10. Giovannini M, Verduci E, Salvatici E, Paci S, Riva E. Phenylketonuria: Nutritional advances and challenges. Nutrition & Metabolism 2012; 9: 7. 11. Casey L. Caring for children with phenylketonuria. Can Farm Physician 2013; 59: 837-40. 12. Antshel KM. ADHD, learning, and academic performance in phenylketonuria. Molecular Genetics and Metabolism 2010; 99: 52-8. CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015 673