sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXXII, Nomor 2, Tahun 2007 : 43 -51 ISSN 0216-1877 FENOMENA TSUNAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP TERUMBU KARANG Oleh Rikoh Manogar Siringoringo1) ABSTRACT THE TSUNAMI PHENOMENON AND ITS EFFECT ON CORAL REEFS. Tsunami is defined as a natural phenomenon consisting of a series of waves generated when water is rapidly displaced on a massive scale. There were significant damages on coral before and post-tsunami. The major threats to the coral reefs of the Indian Ocean continue to occur caused by human activities, such as over-fishing, deforestation and climate change. These damages on coral reef was very small compared to those caused by tsunami. Tsunami phenomenon and its effect on coral reefs will be discussed in this paper. menimbulkan kerusakan karang, infrastruktur dan vegetasi pesisir yang parah. Selama ini, kejadian pemutihan karang dan serangan biota bulu seribu (Acanthaster planci) dianggap sebagai gangguan ekologis paling besar terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang (ENGELHARDT, 2001). Kenyataan lain menunjukan, bahwa gempa dan tsunami pada Desember 2004 di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil Samudera Hindia telah memberikan dampak yang cukup serius bagi kerusakan ekosistem terumbu karang (WILKINSON et al., 2005). Kerusakan terumbu karang akibat gempa dan tsunami pada lokasilokasi tertentu sangat parah. Hasil monitoring global menunjukan, bahwa dalam skala luas kerusakan terumbu karang disebabkan oleh gempa dan tsunami. PENDAHULUAN Tsunami diartikan sebagai fenomena alam yang terdiri atas serangkaian gelombang, yang dipicu ketika air dipindahkan dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang sangat besar (http://gis.bmg.go.id/gempabumi aceh). Tsunami termasuk salah satu bencana alam yang sangat mengerikan, karena dapat berasal dari kejadian yang letaknya sangat jauh dan terjadi tanpa dapat di prediksi (http:// www.wikipedia.org). Saat tsunami mendekati perairan dangkal, kecepatan gelombang menurun, tetapi energinya hanya berkurang sedikit, sehingga tinggi gelombang meningkat dan dapat menerobos jauh ke daratan, serta 43 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Biota karang adalah biota bentik utama terumbu yang terpengaruh langsung akibat peristiwa gempa dan tsunami. Kematian massal biota karang dan biota lainya terlihat jelas akibat terangkat lama di atas permukaan air dan sebagian terdampar oleh terjang gelombang tsunami (WILKINSON et al., 2005). Sapuan gelombang tsunami telah membawa berbagai material dan sedimen dalam jumlah besar dari daratan, kemudian diendapkan di dasar perairan, termasuk terumbu karang. Kematian biota karang akan diikuti oleh penurunan populasi biota lainnya, terutama biota yang berassosiasi kuat dengan terumbu karang. Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh CRITC (Coral Reef Information and Trainning Center) terlihat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kondisi terumbu karang sebelum dan sesudah gempa (COREMAP, 2006). Gempa bumi dan tsunami telah mengakibatkan kerusakan karang yang cukup parah, namun kerusakan oleh manusia (antropogenik) juga merupakan penyebab kerusakan yang paling besar. Pada tulisan mi dibahas fenomena tsunami khususnya terhadap terumbu karang. disebut gempa tektonik. Gempa tektonik dijelaskan oleh "Teori Lapisan Tektonik", yang menyebutkan bahwa lapisan bebatuan terluar yang disebut lithosphere mengandung banyak lempengan. Di bawah lithospere ada lapisan yang disebut athenosphere, lapisan ini seakanakan melumasi bebatuan tersebut, sehingga mudah bergerak (http://www.wikipedia.org). Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di lempengan tektonik utama pada permukaan bumi disebut zona subduksi. Zona ini terbentuk akibat permukaan bumi yang terus bergerak, sehingga lapisan terluar batuan yang disebut litosfer terbentuk dan terhancurkan. Kemudian lempengan-lempengan tersebut pada akhirnya saling tumpuk-menumpuk (http://gis.bmg.go.id/ gempa bumi aceh). Bagian lempengan ini disebut subduksi kemudian membentuk batasan lempeng baru tempat proses ini terjadi yang disebut zona subduksi. Pada gambar (Gambar 1), mengilustrasikan tentang runutan peristiwa gempa bumi akibat subduksi. Pada Gambar la, lempeng tektonik di sebelah kiri mencoba untuk subduksi di bawah lempeng sebelah kanan. Namun, karena adanya kekuatan friksional, lempeng kemudian menyatu dengan atasnya selama beberapa waktu yang menyebabkan kedua lempeng terdeformasi, terutama lempeng bagian atas yang membelok ke arah dua buah panah merah. Pada saat ikatan friksi (garis bergelombang) terputus saat gempa bumi (Gambar lb), lempeng di sebelah kanan terpental kembali ke posisi aslinya (panah merah kini berlawanan arah), sehingga memindahkan sejumlah besar volume air. Pada Gambar lc, air yang dipindahkan ini kemudian menyebar ke segala arah sebagai tsunami (WILKINSON, 2005). FENOMENA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI Gempa bumi bukanlah suatu hal yang baru. Gempa bumi bisa disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain letusan gunung berapi (erupsi vukalnik) dan pergerakan kulit bumi (http://www.wikipedia.org). Gempa yang paling sering kita rasakan adalah gempa yang disebabkan oleh pergerakan kulit bumi, atau 44 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id 45 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id survei menunjukkan bahwa kerusakan terumbu karang terlihat berbeda-beda antar lokasi. Sekalipun beberapa terumbu yang langsung terimbas oleh gempa bumi menunjukkan kerusakan mekanis yang substansial, namun terumbu karang di sekitarnya hanya mengalami kerusakan ringan. Sebagian terumbu mengalami kerusakan sedang, sementara sebagian kecil terumbu hancur total. Kerusakan yang berkaitan dengan tsunami bersifat tidak merata dan berkaitan langsung dengan topografi bawah laut, serta bentuk dan struktur terumbu. Karang-karang yang tumbuh pada substrat yang kuat, pada umumnya tidak terpengaruh oleh tsunami, walaupun ada sedikit cabang-cabang yang patah. Karang-karang yang tumbuh pada pecahan karang atau dasaran pasir yang tidak padat, mengalami lebih banyak kerusakan. Banyak koloninya yang terbalik, terkubur atau terlempar ke bagian lain terumbu. Meningkatnya sedimentasi di beberapa wilayah telah memicu STATUS TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI Dari sekitar 17.504 pulau di kawasan Nusantara banyak di antaranya dikelilingi oleh terumbu karang. Lebih dari 590 jenis karang keras yang termasuk dalam 82 genera telah tercatat sebelum tsunami (WILKINSON, 2004). Sejak 1994, pemantauan terumbu karang telah dilakukan di bawah koordinasi Coral Reef Rehabilitation and Management Programme (COREMAP). Kegiatan manusia adalah penyebab utama terjadinya penurunan kondisi terumbu karang di Indonesia. Bertambahnya penduduk dan pembangunan di kawasan memberi kontribusi dalam meningkatkan polusi dan penebangan hutan, yang dampaknya mengakibatkan masuknya sedimentasi dan polusi ke terumbu karang. Sedimen dari pantai ditarik oleh arus balik tsunami, sehingga sedimen di lingkungan pantai terbawa ke dasar perairan. Penangkapan ikan dengan cara merusak, terutama pemboman dan peracunan dengan sianida yang marak di Indonesia, juga telah menghancurkan terumbu karang (KENCHINGTON & HUDSON, 1998). Selain itu, penangkapan ikan segar untuk pangan dan akuarium, juga menimbulkan dampak yang buruk bagi terumbu karang, yang jelas teramati sebelum tsunami. pemutihan karang (coral bleaching), kemungkinan sebagai akibat berkurangnya cahaya matahari. Di kawasan semacam ini, karang dapat pulih kembali (recovery), namun memakan waktu yang cukup lama. Paparan terumbu dangkal di teluk atau saluran-saluran yang sempit, mengalami kehancuran yang paling parah, sedangkan situs-situs dengan garis pantai curam yang menjorok ke laut dalam biasanya selamat. Lebih dari 90%, kerusakan timbul pada kedalaman 3-10 m, sedangkan terumbu yang tidak naik ke permukaan biasanya tidak terlalu terpengaruh tsunami. Akibat gempa, koloni karang terangkat 1-2 m di atas permukaan laut, sehingga karang-karang tersebut mati. Seluruh terumbu yang terangkat ini masih tetap utuh, namun menjadi putih karena terpapar sinar matahari (Gambar 2). STATUS TERUMBU KARANG PASCA TSUNAMI Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BAPPENAS (2005) diperkirakan bahwa 30 % dari 97.250 ha terumbu karang menderita kerusakan. Hasil dari 46 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 2. Terumbu yang naik ke permukaan di Kecamatan Lahewa, Nias Sementara itu, untuk bentuk pertumbuhan karang seperti bongkahan (massive) dan karang mengerak (encrusting), seperti Porites dan Goniastrea tampak masih utuh. Banyak koloni karang yang terkubur sebagian oleh sedimen, sehingga dampaknya ada bagian koloni karang yang mati. Gelombang tsunami dapat mencapai sejauh 1 km ke darat, dan gelombang baliknya membawa lumpur ke laut, sehingga dampaknya juga akan menutupi koloni karang dan membuat air menjadi keruh. Beberapa koloni karang yang besar dari jenis Porites sp. patah dan terguling ke pantai (Gambar 3a). Bagian terumbu karang yang terendam air masih bertahan hidup, walaupun banyak karangnya yang mengalami kematian karena penyakit. Karang bercabang dari jenis Acropora adalah karang yang paling terimbas berat, demikian juga dengan karang bercabang lainnya yang mudah patah, menjadi rubble (patahan karang) (Gambar 3b). Gambar 3a. Porites terlempar ke pantai Gambar 3b. Pecahan karang Acropora 47 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Lebih lanjut, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap LIPI 2006, nampak bahwa adanya perbedaan jumlah kehadiran karang batu antara sebelum dan setelah bencana. Perbedaan tersebut juga ditunjukkan oleh menurunnya jumlah jenis dan individu karang batu di Pulau Nias, yaitu sebelum terjadi peristiwa gempa. Kemerataan jenis karang batu di Pulau Nias relatif tinggi dimana terdapat lebih banyak jenis yang mendominasi, yaitu jenis Heliopora coerulea dan Pocillopora damicornis. Tetapi setelah terjadi gempa, terlihat bahwa jumlah individu dan jenis karang batu menurun bahkan hanya terdapat beberapa jenis karang batu saja (sekitar 6 jenis) yang dominan (Tabel 1). Hal yang berbeda dijumpai di Sibolga, Tapanuli Tengah setelah terjadi bencana, diperoleh nilai jumlah jenis dan jumlah individu untuk karang batunya relatif tidak berubah bahkan terlihat cenderung meningkat. Lokasi ini sebagai daerah kontrol untuk membandingkan daerah yang terkena tsunami dan yang tidak terkena tsunami. 48 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id ANCAMAN DAN TEKANAN TERHADAP TERUMBU KARANG Ancaman dan tekanan terhadap terumbu karang sudah lama dikelompokkan menjadi 2 kategori umum, yaitu alami dan antropogenik. Kejadian akhir-akhir ini, seperti pemutihan karang dan bencana tsunami membuat perlunya ditambahkan kategori lainnya. Terumbu karang dapat menyerap sebagian energi tsunami, sehingga mengurangi dampak tsunami terhadap daratan. Namun demikian, tinggi gelombang tsunami jauh lebih tinggi dari gelombang, karena badai tropis. Sebuah badai tropis dapat mengirimkan gelombang yang menghancurkan terumbu karang selama beberapa hari, dimana setiap gelombang menambahkan dampak yang telah dibuat oleh gelombang sebelumnya. I. Ancaman alami I.2. Iklim dan cuaca Terumbu karang sudah berevolusi selama jutaan tahun di bawah "tekanan-tekanan alami sejati" yang telah membentuk evolusi terumbu karang. Selama 8.000 tahun yang lalu sejak abad es yang terakhir, terumbu karang berada di bawah kondisi yang relatif aman, walaupun menghadapi badai tropis, kemasukan air tawar, gempa bumi, gunung api (WILKINSON et al., 2005). Terumbu karang biasanya cepat pulih dari stress, apabila kejadian-kejadian tersebut tidak terjadi secara rutin. Ancaman-ancaman alami tersebut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu, kejadian geologis, iklim dan cuaca, serta tekanan biologis. Badai tropis (siklon, taifun, hurikan) adalah fenomena alam yang biasa terjadi di lautan tropis, yaitu antara 7° LU - 7° LS. Pada umumnya terumbu karang di luar kawasan tersebut telah mengalami badai tropis dan biasanya dapat pulih dari kerusakan secara alami. Kerusakan biasanya terlokalisir, dimana kawasan sekitarnya hanya sebagian rusak atau bahkan tidak terimbas oleh badai. Kawasan sekitar tersebut biasanya berfungsi sebagai penyedia larva terumbu karang untuk memulihkan terumbu karang yang rusak. I.3. Tekanan-tekanan biologis Dalam dekade terakhir ini, wabah predator seperti bintang laut duri (Acanthaster planci) dan gastropoda pemakan karang Drupella telah menimbulkan kerusakan yang berat, bahkan sering menghancurkan kawasan karang yang relatif luas (SUHARSONO, 1998). Timbulnya wabah predator yang parah tersebut berkorelasi dengan gangguan manusia terhadap ekosistem. Acanthaster planci memakan polip karang, sehingga terjadi bleaching atau kehilangan warna. Kondisi bleaching dari tubuh karang dapat juga terjadi akibat kondisi dari lingkungan dan akan menyebabkan karang mengalami stress. CRC (Reef Research Centre) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memberikan kontribusi terjadinya bleaching adalah adanya perubahan temperatur yang I.1. Kejadian geologis Selama jutaan tahun yang lalu, gempa bumi, letusan gunung berapi dan tsunami telah menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan episiodik yang bersifat lokal, walaupun dampaknya sering juga parah. Terumbu karang yang sangat dekat dengan sumber gempa mengalami patahan, kemudian karang besar maupun karang rapuh seperti jenis Acropora (branching), selanjutnya hancur dan jatuh ke bawah tubir. Terumbu karang yang berdekatan dengan karang yang rusak dapat pulih kembali, karena larva karang sudah tersedia dari terumbu karang yang berada di dekatnya. 49 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id II. Tekanan-Tekanan Antropogenik ekstrem, metals, polutan lain (nitrat), arus perairan yang kecil, intensitas cahaya, serta salinitas (http://www.reef.crc.org.au/aboutreefy coral/). Tekanan antropogenik adalah penyebab kerusakan terumbu yang paling besar. Buku "Kondisi Terumbu Karang Dunia 2004" telah melaporkan 10 tekanan antropogenik spesifik yang terbagi dalam tiga kategori, yakni tekanan manusia secara langsung; ancaman perubahan global; serta kesadaran pemerintah dan kemauan politik yang rendah. Tekanantekanan ini banyak menyebabkan krisis global terumbu karang. Perkiraan saat ini adalah 20% dari terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, sehingga mekanisme pemulihan alami tidak lagi efektif (WILKINSON, 2004). I.4. Pemanasan global (global warming) dan reef bleaching Penyebab terjadinya "karang stress" secara umum berhubungan dengan degradasi lingkungan lokal dan over exploitasi karang. Temperatur air laut dan radiasi sinar matahari mungkin sebagai faktor global yang merubah secara extrim. Global warming, sepanjang kejadian ENSO, menyebabkan terjadinya perubahan suhu air laut. Penurunan ozone juga akan meningkatkan serapan UVR dan menyebabkan terjadinya bleaching. Peningkatan temperatur air laut dan radiasi matahari, dianggap sebagai penyebab stress dalam skala luas (large-scale stressors). Coral bleaching dilaporkan terjadi selama musim panas atau mendekati akhir dari periode panas. Coral bleaching juga terjadi dalam periode angin yang kecepatannya rendah, langit cerah, laut tenang dan turbiditi yang rendah. Kondisi tersebut yang cocok untuk pemanasan lokal dan penetrasi radiasi panjang gelombang pendek (UV). Karang hidup di atas memiliki batas toleransi suhu, yakni hanya peningkatan temperatur laut yang relatif rendah (O,5-1,5°C) lebih dari beberapa minggu atau peningkatan tinggi (3-4°C) lebih dari beberapa hari akan menyebabkan disfungsi karang dan mati. Banyak karang yang (hampir 90% tutupan karang hilang di Maldives, Sri Lanka, Kenya, Tanzania dan Seychelles). Pemanasan 2-3°C di ENSO Pasifik barat bertanggungjawab terhadap bleaching di Indonesia 1983 (SUHARSONO, 1998). PENUTUP Kerusakan karang akibat tsunami terjadi pada beberapa lokasi, namun ada juga yang tidak mengalami kerusakan. Walaupun di beberapa tempat terumbu karang mengalami kerusakan akibat tsunami hal ini karena di kawasan tersebut karang dan mangrovenya sudah rusak. Tsunami harus dipandang sebagai salah satu tekanan alami yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi. Namun, kerusakan di darat akibat tsunami dapat dikurangi melalui pengelolaan yang efektif untuk melindungi terumbu karang dari penambangan karang dan kegiatan merusak lainnya. Selain itu, perlindungan mangrove dan hutan-hutan pesisir juga harus dilakukan. Pengelolaan yang efektif akan memberikan perlindungan bagi garis pantai di kawasan tropis dari hempasan ombak badai yang diperkirakan akan sering terjadi berkaitan dengan perubahan iklim global. 50 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id LIPI 2006. Laporan Monitoring Terumbu karang Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh, Nias dan Sibolga, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta: 157 hal. DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS and the International Donor Agency 2005. Indonesia: Preliminary Damage and Loss Assessment, the December 26, 2004 Natural Disaster. Consultative Group on Indonesia : 99 pp. WILKINSON, C. 2004. Status of coral reefs of the World: 2004. Global Coral Reef Monitoring Network and Australian Institute of Marine Science, Townsville, Queensland, Australia : 158 pp. ENGELHARDT 2001. Seychelles Marine Ecosystem Management Project (SEYMEMP) - Coral reef StudyInterim Report No. 1. Reef Care International Pty ltd. Townsville, Australia: 97 pp. WILKINSON, C. D. SOUTER and J. GOLDBERG 2006. Status of Coral Reefs in Tsunami Affected Countries 2005. Australia Institute of Marine Sciences, Townsville, Queensland, Australia : 164 pp. KENCHINGTON, R.A. and BRYDGET, E.T. HUDSON 1988. Coral Reef Management Hand Book. Great Barrier Reef, Marine Park Authority. PO. Box 1379, Townsville, qld 4810 Australia : 23-29. SUHARSONO 1998. Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang di Indonesia). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta: 77 hal. 51 Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007