TEORI PERSON CENTERED THERAPY Oleh: Maksi M Sewan 11-500-0036 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Person Centered Therapy” tepat pada waktunya. Kami berharap semoga makalah yang berjudul ”Person Centered Therapy” ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami juga menyadari bahwa makalah ini kurang dari sempurna. Oleh karena itu, kami berharap atas saran dan kritikan yang sangat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Surabaya, 10 Maret 2012 Penyusun DAFTAR ISI Kata Pengantar…………………………………�- �………………………………………...�- ��2 Daftar isi………………………………………�- �………………………………………….- …3 BAB I PENDAHULUAN…………………………………- …………………………………..4 1. LATAR BELAKANG……………………………………- ……………………………4 2. RUMUSAN MASALAH……………………………………�- ��……………………...4 3. TUJUAN MAKALAH……………………………………�- ��………………………...5 BAB II PEMBAHASAN…………………………………�- ��…………………………………5 1. Hubungan Konselor dan Konseli……………………………………�- ��……………...5 2. Peran Konselor……………………………………- …………………………………...7 3. Teknik Konseling…………………………………�- �………………………………...7 4. Kelebihan dan Kekurangan Person-Centered Therapy...........................................- .......8 BAB III PENUTUP...........................................- ..................................................- .....................11 1. Simpulan……………………………………- ………………………………………...112. Saran………………………………………- ………………………………………….1- 1 DAFTAR PUSTAKA……………………………………�- ��………………………………...12 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Pendekatan Person-Centered Therapy yang ditemukembangkan oleh Carl R. Rogers lahir sebagai reaksi terhadap keterbatasan-keterbatasan mendasar psikoanalisis Sigmund Freud. Pada hakikatnya, pendekatan Person-Centered Therapy adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang merupakan aliran psikologi ketiga di Amerika. Banyak sekali teori yang mengemukakan tentang kepribadian, akan tetapi dalam pembahasannya, makalah ini hanya akan membahas mengenai teori kepribadian Humanistik, khususnya pendekatan Person Centered Therapy atau PCT. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar kepada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Bagi konselor yang tidak begitu menguasai secara baik teori dan praktek ini, akan mengalami kesulitan dalam menghadapi klien, perlu ada hubungan terapeutik antara terapis dan klien sehingga dapat mewujudkan katalisator bagi perubahan klien serta menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya. Walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesifik. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini. Oleh karena itu, penulis berusaha untuk menjelaskan tentang hubungan antara konselor dan konseli dalam pendekatan Person-Centered Therapy, peran konselor dalam pendekatan Person-Centered Therapy, teknik-teknik konseling dalam pendekatan Person-Centered Therapy serta kelebihan dan kekurangan teori Person-Centered Therapy. 2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: “Adakah hubungan antara konselor dan konseli dalam pendekatan Person-Centered Therapy, peran konselor dalam pendekatan Person-Centered Therapy, teknik-teknik konseling dalam pendekatan Person-Centered Therapy serta kelebihan dan kekurangan teori Person-Centered Therapy dalam dunia Pendidikan ?.” 3. TUJUAN MAKALAH. Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mendapat data pemahaman konselor dan konseli dalam pendekatan Person-Centered Therapy. 2. Untuk mendapat data tentang peran konselor dalam pendekatan Person-Centered Therapy. 3. Untuk mendapat data tentang teknik-teknik konseling dalam pendekatan Person-Centered Therapy. 4. Untuk mendapat data tentang kelebihan dan kekurangan dalam pendekatan Person-Centered Therapy. BAB II PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dilaporkan hasil penelitian. Di sini peneliti dituntut untuk membahas permasalahan yang terjadi pada rumusan masalah yang di atas. Sehubung dengan hal tersebut, maka dapat dirinci sebagai berikut: 1. Hubungan Konselor dan Konseli Rogers mendasarkan pada hipotesisnya bahwa keperluan dan kecukupan kondisi-kondisi pada terapeutik pengubahan kepribadian berada pada kualitas hubungan terapeutik. Jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, dan perkembangan pribadi pun akan terjadi. Menurut Rogers kondisi-kondisi yang memadai yang diperlukan untuk pengubahan kepribadian, diidentifikasikan ke dalam enam macam, yaitu: 1. Dua orang berada dalam hubungan psikologis 2. Orang pertama yang disebut konseli, berada dalam keadaan yang tidak selaras, peka, dan cemas 3. Orang yang kedua, yang disebut terapis (konselor), ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan 4. Konselor merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap konseli 5. Konselor merasakan pengertian yang empatik terhadap kerangka acuan internal klien dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepada konseli 6. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari konselor kepada konseli setidak-tidaknya dapat dicapai Rogers mengajukan hipotesis bahwa tidak ada kondisi-kondisi lain yang diperlukan. Jika keenam kondisi tersebut ada selama beberapa periode, maka perubahan kepribadian yang konstruktif pun akan terjadi. Konselor tidak perlu memiliki pengetahuan khusus, diagnosis psikologis yang akurat pun tidak diperlukan, bahkan lebih sering menghambat keefektifan terapeutik. Tiga ciri atau sikap pribadi konselor yang membentuk hubungan terapeutik yang sangat diperlukan yaitu: 1. Keselarasan atau kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. Konselor bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaanperasaan secara impulsive terhadap konseli. Hal ini dapat menghambat proses konseling. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika konseling selaras / menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan konseli maka proses terapeutik bisa berlangsung. 2. Perhatian positif tak bersyarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bukan sikap “Saya mau menerima asalkan….. melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli. Pengertian empatik yang akurat. Pada bagian ini merupakan hal yang sangat krusial, dimana konselor benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari konseli. Konsep ini menyiratkan konselor memahami perasaan-perasaan konseli yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan konseli yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Regers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi. 2. Peran Konselor Peran konselor PCT berakar pada cara dalam bersikap, bukan pada teknik yang dirancang untuk menjadikan konseli berbuat sesuatu. Penelitian PCT menunjukkan bahwa sikap konselor, pengetahuannya, teori-teori atau tekniknya, berperan sebagai alat konseli untuk melakukan pengubahan kepribadiannya. Dengan kata lain, konselor menggunakan dirinya sebagai instrumen pengubahan. Peran Terapist pada proses konseling adalah : 1. Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan terapi tetapi itu dilakukan oleh klien sendiri. 2. Konselor merefleksikan perasaan-perasaan klien sedangkan arah pembicaraan ditentukan oleh klien. 3. Konselor menerima individu dengan sepenuhnya dalam keadaan atau kenyataan yang bagaimanapun. 4. Konselor memberi kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. 3. Teknik-Teknik Konseling Teknik-teknik konseling yang dapat diterapkan, antara lain: 1. Rapport, yaitu teknik yang bertujuan untuk membuat pendekatan dan hubungan yang baik dengan konseli agar selama proses terapi dapat berlangsung dengan lancar. 2. Teknik klarifikasi, yaitu suatu cara konselor untuk menjernihkan dan meminta konseli untuk menjelaskan hal-hal yang dikemukakan oleh kepada konselor. 3. Teknik refleksi, (isi dan perasaan) yaitu usaha konselor untuk memantulkan kembali hal-hal yang telah dikemukakan konseli (isi pembicaraan) dan memantulkan kembali perasaan-perasaan yang ditampakkan oleh konseli (perasaan dalam usaha untuk menciptakan hubungan baik antara konselor dengan klien dan menggali atau memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengeksplorasi diri dan masalahnya. 4. Teknik “free expression” yaitu memberikan kebebasan kepada klien untuk berekspresi, terutama emosinya, cara kerja teknik ini seperti cara kerja kataris. 5. Teknik “silence”, yaitu kesempatan yang berharga diberikan oleh terapis kepada klien untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali pengalaman-pengalaman dan ekspresinya yang lampau. Kesempatan ini dapat diberikan diantara waktu konseling dan dapat berlangsung cukup lama. Jika terlalu lama maka konselor perlu mengambil inisiatif untuk memulai lagi komunikasi dengan konseli. 6. Teknik “transference” yaitu ketergantungan konseli kepada konselor. Hal ini dapat terjadi pada awal terapi, tapi bukan merupakan dasar untuk kemajuan terapi. Kemungkinan transference terjadi karena sikap konselor yang memberikan kebebasan tanpa menilai atau mengevaluasi konseli. Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling didasari oleh paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu teknik konseling Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan memahaminya (klien). Karena itu dalam teknik amat digunakan sifat-sifat konselor berikut: • Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral. • Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan dan konsisten. • Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu. • Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif. 4. Kekurangan dan Kelebihan Kelebihan pendekatan Person-Centered 1. Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis 2. Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian. 3. Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik. 4. Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif. 5. Penekanan emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi 6. Menawarkan perspektif yang lebih up-to-date dan optimis 7. Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya 8. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi Kekurangan Pekdekatan Person Centered 1. Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana 2. Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan 3. Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu. 4. Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya. 5. Sulit bagi therapist untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal. 6. Teapi menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup 7. Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatology yang parah 8. Minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya Pendekatan Client-Centered merupakan corak yang dominan yang digunakan Dalam pendidikan konselor, beberapa alasannya adalah: 1. Terapi Client-Centered memiliki sifat keamanan. 2. Terapi Client-Centered menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien, memperhitungkan kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran. 3. Para terapis Client-Centered secara khas mereflesikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para klient untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri, dan mendorong klien untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri. Jadi, terapi Client-Centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-penafsiran, membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis mimpi-mimpi, dan bekerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal. Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain: 1. Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar. 2. Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi. 3. Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru. 4. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling. 5. Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan. 6. Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya. 7. Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam. Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan mengalaminya. Adapun kelemahan pendekatan Client-Centered terletak pada beberapa hal berikut ini: 1. Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi Client-Centered. 2. Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya. 3. Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik. 4. Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik. Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan Client-Centered di atas perlu adanya rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi. Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi Client-Centered tidak lebih dari pada tekhnik mendengar dan merefleksikan. Tetapi Client-Centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka Client-Centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah: terapi Client-Centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil. BAB III PENUTUP Dalam bab ini penulis ingin menyimpulkan tentang rumusan dan tujuan dari pembahasan mengenai ”Person Centered Therapy” serta saran dan juga ucapan terimah kasih. Maka dari itu, dapat dirinci sebagai berikut: 1. SIMPULAN Hasil analisis secara keseluruhan ditunjukkan pada bab pembahasan diatas memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman mengenai ”Person Centered Therapy” sehingga dapat membentuk calon konselor sendiri agar dapat memahi betul teori ”Person Centered Therapy”. Atas dasar pembahasan mengenai ”Person Centered Therapy”. Maka, peneliti menyimpulkan bahwa apabila ada hubungan positif antara konselor dengan konseli. Sebab, konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan terapi tetapi itu dilakukan oleh klien sendiri dan konselor menerima klien sebagaimana adanya. Maka klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam yang sebelumnya hanya diketahui oleh klien. 2. SARAN Ada beberapa saran yang dapat penulis kemukakan, khususnya penulis ketengahkan atas dasar pemahaman pustaka serta pengumpulan data untuk memberikan pemahaman tentang ”Person Centered Therapy”. Antara lain sebagai berikut : 1. Perlu adanya peninjauan kembali mengenai refleksi isi, karna bagi seorang konselor dia harus benar-benar peka terhadap prasaan klen itu sendiri. 2. Perlunya kesabaran dari seorang konselor dalam mengadapi konseli. Sebab teori ini juga disebut teori Konsep Diri. Dimana seorang konseli sanggup dalam menentukan arah hidupnya DAFTAR PUSTAKA Corey, G. 2007. Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy. Seventh Edition. Australia: Brooks/Cole. Hartono dan Boy Soedarmadji. 2008. Psikologi Konseling (Edisi Pertama). Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.