ANALISIS HUBUNGAN VALUE BASED MANAGEMENT DENGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM IKLIM BISNIS INDONESIA (STUDI KASUS PERUSAHAAN SWA100 2006) PENDAHULUAN Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (Narver, 1971; McWilliams dan Siegel, 2000). Keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contoh di Indonesia adalah kasus Inti Indorayon Utama, Sumatera Utara. Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebagai contoh, boikot terhadap produk sepatu Nike oleh warga di negara Eropa dan Amerika Serikat terjadi ketika pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika diberitakan mempekerjakan anak di bawah umur dengan upah sangat rendah. Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Indonesia tidak ketinggalan untuk menekankan penerapan CSR bagi perusahaan. Pada tanggal 20 Juli 2007, disahkan UU penerapan CSR yang dilaksanakan melalui peraturan pemerintah (PP). Ketentuan itu sudah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU Investasi dan UU Minerba (Mineral dan Batubara). Peraturan baru ini ditanggapi dengan berbagai respon oleh dunia usaha Indonesia Suara kontra beralasan jika perusahaan dituntut melakukan aktivitas CSR, maka hal tersebut akan menambah biaya operasional, sementara jika tidak dilakukan, akan mendapat sanksi. Suara yang pro menyatakan memang sudah seharusnya 1 perusahaan melakukan CSR sebagai kewajiban tanpa harus dibuatkan peraturan, seperti halnya di luar negeri. Hal ini memperlihatkan bahwa komunitas bisnis Indonesia masih belum yakin bahwa aktivitas CSR akan memberikan dampak positif bagi tujuan utama mereka, yaitu penciptaan kesejahteraan pemegang saham. Pro dan kontra mengenai penerapan CSR semacam itu memang telah ada sejak dahulu. Perihal yang masih terus menjadi pertanyaan adalah: apakah penciptaan nilai bagi pemegang saham utama konsisten dengan pencapaian tujuan dari stakeholder lainnya, seperti: pemegang saham minoritas, prospective investor, konsumen, pemasok, kreditor, dan komunitas lainnya (Venanzi dan Fidanza, 2006). Menurut Friedman (1980), pandangan bahwa perusahaan harus melakukan tanggung jawab sosial merupakan kesalahan konsep fundamental dari sifat dan karakter ekonomi bebas. Dalam ekonomi bebas, hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan sebagai pelaku bisnis, yaitu: menggunakan sumber daya dan melakukan aktivitasaktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan selama mungkin. Dalam teori ekonomi modern, hal tersebut dikenal sebagai konsep Value-based Management (VBM) yaitu suatu penciptaan nilai dalam jangka panjang bagi perusahaan. Dalam konsep VBM, untuk bertahan dalam jangka panjang, maka seluruh strategi perusahaan haruslah berpaku pada peningkatan kesejahteraan pemegang saham, yang merupakan pemilik perusahaan. Sekilas tampak bahwa ide mengenai maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan dua hal yang sangat bertentangan, perusahaan tidak mungkin dapat melayani para pemegang saham dan masyarakat dalam waktu yang bersamaan (Arnold dan Davies, 1999). Apakah benar perusahaan-perusahaan yang menempatkan pemegang saham di urutan pertama cenderung mengorbankan stakeholder lainnya? Atau apakah perusahaan-perusahaan yang memperhatikan kepentingan pemegang saham juga memberikan perhatian yang sama bagi penciptaan kesejahteraan stakeholder lainnya? 2 Sejauh ini kami belum menemukan penelitian di bidang tanggung jawab sosial perusahaan yang mencoba menghubungkan dengan konsep VBM. Sehingga kontribusi penelitian ini adalah mencoba memberikan bukti empiris mengenai hal tersebut di Indonesia. LANDASAN TEORI 1. Value-Based Management Utomo (1999) berpendapat bahwa selama ini kinerja sebuah perusahaan lebih banyak diukur berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu periode tertentu. Padahal rasio keuangan ini sangatlah bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat, yang mana sebenarnya kinerja tidak mengalami peningkatan dan bahkan menurun. Hal tersebut juga dikatakan oleh Pradhono dan Christiawan (2004), bahwa ukuran kinerja keuangan yang mendasarkan pada laba akuntansi (accounting profit), seperti earnings per share, price earning ratio dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi perusahaan. Pada saat ini, banyak perusahaan menggunakan ukuran kinerja yang lebih menekankan value (Value-Based Management/VBM). Berbagai prinsip, konsep, dan teknik yang mendasari Value Based Management (VBM) telah semakin berkembang dalam mempengaruhi strategi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa (Arnold dan Davies, 1999). Di tahun 1997, The Coca Cola Company mulai menerapkan konsep VBM dalam perusahaan. Masih di tahun 1997, salah satu perusahaan Jerman, yaitu Siemens, mengumumkan bahwa mereka telah mengubah haluan kepada VBM dengan menggunakan Economic Value Added (EVA). EVA diklaim sebagai metode engukuran kinerja yang terbaik (Stewart, 1991 dalam Iramani dan Febrian, 2005). Metode EVA, yang merupakan salah satu penerapan VBM, pertama kali dikembangkan oleh Joel M. Stern dan Stewart, analis keuangan dari perusahaan konsultan Stern Stewart & Co pada akhir tahun 1980. Menurut Stewart & Company, earnings dan 3 earnings per share adalah pengukuran yang keliru untuk kinerja perusahaan. Konsep EVA sebenarnya mirip dengan pengukuran pendapatan residu (residual income). EVA merupakan metode kinerja keuangan untuk menghitung profit ekonomi yang sebenarnya (true economic profit) dari sebuah perusahaan. Karena EVA mengukur perbedaan tingkat pengembalian antara modal perusahaan dengan biaya modalnya, maka EVA positif mengindikasikan bahwa ada penciptaan nilai bagi pemegang saham, sedangkan EVA negatif mengindikasikan bahwa telah terjadi value destruction. Menurut Young (1997), EVA dapat dikatakan lebih inovatif karena: EVA tidak dibatasi oleh GAAP, EVA dapat diterapkan sampai pada tingkatan yang rendah dalam organisasi, EVA memiliki sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pengukuran keuangan lainnya, yaitu cara pengukuran dan pengkomunikasian kinerja yang dapat digunakan di semua area, seperti pasar modal, penilaian investasi modal, dan dalam evaluasi serta kompensasi kinerja manajerial. 2. Corporate Social Responsibilities dan Corporate Social Performance Penelitian-penelitian yang dilakukan dalam lingkup corporate social responsibility umumnya mencoba menggali bagaimana penerapan aktivitas hal tersebut didalam perusahaan. Dilakukan dengan melihat bagaimana pengungkapan sosial yang ada. Dalam salah satu penelitian awal tentang praktek pelaporan sosial, Ernst dan Ernst (1978 dalam Abboyy dan Monsen, 1979) melakukan analisa isi (content analysis) laporan tahunan perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Fortune 500. Dalam penelitian tersebut, area tanggung jawab sosial diidentifikasikan sebagai: lingkungan, kesempatan yang sama (equal opportunity), personil, keterlibatan dengan komunitas (community involvement), serta produk. Hasil penelitian ini menemukan bahwa di tahun 1974, isu seperti pengendalian polusi dilaporkan hampir 35% dari seluruh perusahaan dan sekitar 19% dari perusahaan-perusahaan tersebut melaporkan aktivitas komunitas dalam laporan tahunan. 4 Guthrie dan Parker (1990) melakukan penelitian mengenai area pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan Amerika Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan pengungkapan sosial mereka dalam laporan tahunan. Mereka juga menemukan bahwa 40% perusahaan melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, 31% mengenai isu keterlibatan komunitas, 13% mengenai isu lingkungan, dan 7% mengenai isu terkait dengan energi dan produk. Cakupan pengungkapan tanggung jawab sosial yang hampir sama (sumber daya manusia, produk, praktek bisnis, keterlibatan dengan lingkungan, serta lingkungan) juga terjadi di Kanada (Zeghal dan Ahmed, 1990). Penelitian di negara berkembang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Di Malaysia (Kin, 1990), dari 100 perusahaan publik, 64 perusahaan melaporkan informasi mengenai peningkatan produk dan jasa, 31 perusahaan melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, dan 22 perusahaan melaporkan isu keterlibatan komunitas. Sementara di Hong Kong, Lynn (1992) memperlihatkan bahwa hanya 17 perusahaan (dari 264 yang diteliti) yang mengungkapkan aktivitas sosial, dengan titik berat pada pengembangan staff dan hubungan dengan komunitas. Dalam perkembangannya, penelitian mengenai corporate social responsibility kemudian berkembang dengan mencoba melihat corporate social performance perusahaan. Selama kurang lebih 30 tahun, telah banyak penelitian yang berusaha melihat hubungan antara Corporate Social Performance (CSP) dengan kinerja perusahaan, terutama kinerja keuangan. Namun, sampai saat ini belum ada kesimpulan mutlak mengenai hubungan tersebut Salah satu alasan fundamental adanya ketidakpastian tentang hubungan antara CSP dan kinerja keuangan adalah karena adanya masalah dalam pengukuran CSP. CSP bersifat muldimensi, dengan banyak variasi input (seperti investasi dalam peralatan pengendalian polusi, ataupun strategi lingkungan lainnya), proses (seperti perlakukan bagi 5 perempuan dan kaum minoritas, barang yang diproduksi, hubungan dengan konsumen), dan output (seperti hubungan komunitas, dan program filantropi) (Aupperle et al., 1985; Wood, 1991). Selain itu, tiap-tiap industri dengan karakteristik yang berbeda tentu saja akan memiliki domain CSP yang berbeda juga. CSP juga melibatkan berbagai jenis isu, keputusan manajemen, dan juga perilaku perusahaan. Dari berbagai penelitian yang ada, selama ini ada tiga cara yang sering digunakan untuk mengukur CSP, yaitu: menggunakan evaluasi kebijakan perusahaan dari para ahli, dalam bentuk indeks reputasi (Folger dan Nutt, 1975), menggunakan content analysis dari laporan tahunan ataupun dokumen-dokumen lain perusahaan (Abbott dan Monsen, 1979; Anderson dan Frankle, 1980; Bowman dan Haire, 1975; Preston, 1978), Menggunakan variabel tertentu sebagai proksi indeks kinerja sosial (Bragdon dan Marlin, 1972; Spicer, 1978). 4. Corporate Social Performance dan Corporate Financial Performance Secara konseptual, ada tiga kemungkinan hubungan kinerja sosial dengan kinerja keuangan perusahaan: positif, netral, dan negatif. Pihak yang berpandangan negatif menyatakan bahwa tanggung jawab sosial yang tinggi membuat ada biaya tambahan yang menempatkan perusahaan dalam keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan dibandingkan perusahaan lain yang kurang bertanggung jawab secara sosial (Aupperle, et al., 1985; McGuire et al., 1988; Ullmann, 1985; Vance, 1975). Beberapa hasil penelitian empiris menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kinerja sosial dengan kinerja keuangan (netral). Pihak-pihak yang menghasilkan pandangan ini (seperti Ullmann, 1985) berargumen bahwa ada sangat banyak variabel intervening1 antara kinerja sosial dan kinerja keuangan, sehinga tidak ada alasan untuk mengharapkan terjadinya hubugan antara dua hal tersebut. 1 Variabel intervening adalah variabel yang muncul antara waktu ketika variabel independent mulai beroperasi mempengaruhi variabel dependen, hingga dampaknya dirasakan. Jadi dalam variabel intervening ada dimensi waktu (Sekaran, 2003:94) 6 Di sisi lain, pihak yang berpendapat bahwa CSP akan berpengaruh positif bagi perusahaan juga memiliki argumen kuat. Menurut mereka, dengan CSP yang baik akan meningkatkan goodwill karyawan dan konsumen (Solomon dan Hansen, 1985; dalam McGuire et al., 1985), sehingga perusahaan tersebut akan menghadapi masalah dengan tenaga kerja yang lebih sedikit, lalu konsumen akan lebih setia kepada produk perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial juga dapat meningkatkan hubungan antara perusahaan dengan konstituen penting seperti bank, investor, dan pemerintah. Peningkatan hubungan dengan pihak-pihak penting ini dapat memberikan keuntungan ekonomi (Moussavi dan Evans, 1986; dalam McGuire, et al., 1988). Secara lebih dalam, bank dan investor institusi telah membuktikan bahwa penilaian sosial merupakan salah satu faktor penting dalam keputusan investasi mereka (Spicer, 1978). Sehingga, tanggung jawab sosial yang tinggi akan meningkatkan akses perusahaan terhadap sumber modal. Karena selalu menjadi perdebatan, maka banyak sekali pihak yang berusaha mencari pemecahannya dengan melakukan penelitian empiris. Menurut Margolis dan Walsh (2003) antara tahun 1972 sampai 2002, ada 127 publikasi studi empiris yang meneliti mengenai hubungan antara perilaku tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja keuangan. Kompilasi sederhana dari hasil penelitian-penelitian tersebut menjelaskan bahwa ada hubungan positif, dan hanya sedikit yang bisa membuktikan adanya hubungan negatif antara kinerja sosial dengan kinerja ekonomi perusahaan (Margolis dan Walsh, 2003). Studi dengan menggunakan metode meta-analisis terhadap 52 penelitian hubungan CSPCFP yang dilakukan oleh Orlitzky, Schmidt, dan Rynes (2003) juga menunjukkan substansi kesimpulan yang sama. Jadi dapat dikatakan bahwa jika kinerja sosial perusahaan berkontribusi terhadap kinerja ekonomi perusahaan, berarti sumber daya perusahaan sedang digunakan untuk meningkatkan kepentingan pemegang saham, pihak yang menurut Friedman (1980) harus dinomorsatukan. 7 5. Value Based Management dan Corporate Social Performance Salah satu kritik yang sering muncul terkait dengan konsep VBM adalah apakah maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham akan dapat juga memaksimalkan kesejahteraan seluruh stakeholder? Literatur-literatur mengenai tanggung jawab sosial dan stakeholder mengemukakan bahwa tidak seharusnya bisnis hanya memperhatikan pemegang saham. Copeland et al. (1995) dalam Arnold dan Davies (1999:86), mengungkapkan bukti empiris yang menunjukkan bahwa meningkatkan nilai pemegang saham tidak akan bertentangan dengan kepentingan stakeholder lain dalam jangka panjang. Copeland membagi beberapa negara besar menjadi dua bagian, yaitu: negara-negara yang berfokus pada pemegang saham (seperti Amerika Serikat dan Inggris) dan negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder (seperti Jerman, Jepang, dan Perancis). Analisa dilakukan dari tahun 1950-1990. Penelitiannya menemukan bahwa negara-negara yang berfokus pada pemegang saham merupakan negara-negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi. Namun, di sisi lain, negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder sebenarnya memiliki pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita yang lebih tinggi dalam periode yang sama, seperti pertumbuhan PDB per kapita di Jepang sebesar 5.5%, di Jerman sebesar 3%, sementara di Inggris hanya 2% dan Amerika Serikat hanya 1.7%. Fakta di atas menunjukkan bahwa negaranegara yang berfokus pada pemegang saham, seperti Inggris dan Amerika Serikat, menciptakan kesejahteraan yang lebih sedikit dalam periode 1950-1990 dibandingkan dengan negara-negara yang lebih berfokus pada stakeholder. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa kesejahteraan di negara-negara yang berorientasi stakeholder memiliki distribusi kesejahteraan yang lebih merata daripada negara-negara yang berfokus pada pemegang saham. Penelitian sejenis dilakukan oleh Young and O’Byrne (1999) terhadap perusahaanperusahaan di Amerika Serikat yang termasuk daftar Stern Stewart 1000 (perusahaan yang memiliki nilai tambah/value creator terbesar di Amerika Serikat. Ternyata sebelas perusahaan dalam 20 besar Stern Stewart 1000 tahun 1996, juga masuk dalam 20 besar Most Admired 8 Companies yang dikeluakan oleh Majalah Fortune. Sementara itu, 17 perusahaan yang berada pada peringkat 20% terbawah dalam Stern Stewart 1000 (value destroyer), juga berada pada 20 terbawah peringkat Most Admired Companies. METODOLOGI 1. Hipotesa Penelitian Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konsep Value-Based Management melalui Economic Value Added yang sangat mengutamakan kesejahteraan pemegang saham sering dianggap bertentangan dengan aktivitas kinerja sosial perusahaan yang lebih mengutamakan kepentingan seluruh stakeholder. Namun, ada juga bukti-bukti empiris yang menemukan bahwa sebenarnya dua konsep ini tidaklah bertentangan, melainkan saling mendukung (Arnold dan Davies, 1999). Selain itu, sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa pertautan antara CSP dengan kinerja perusahaan (terutama kinerja keuangan) masih belum jelas (Ullmann, 1985). Hasil dari penelitian empiris mengindikasikan hubungan yang masih belum jelas, seperti yang ada pada penelitian Alexander dan Buchholz (1982), Aupperle et al. (1985), Ullmann (1985), dan lainnya. Lebih jauh lagi, walaupun sebagian besar penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif (Margolis dan Walsh, 2003; Orlitzky, 2003), tetapi masih belum jelas hubungan kausalitasnya, apakah perusahaan yang sukses secara finansial memiliki sumber daya yang lebih banyak untuk melakukan CSP sehingga memiliki tingkat CSP yang tinggi, ataukah kinerja CSP yang baik menghasilkan kinerja keuangan yang lebih baik (McGuire et al., 1988; Ullmann, 1985; Waddock dan Graves, 1997). Penelitian mengenai arah kausalitas ini pernah dilakukan, salah satunya oleh Waddock dan Graves di tahun 1997. Mereka mendasarkan penelitian mereka pada dua teori, yaitu good management dan slack resources. Berbagai penelitian mengenai hubungan CSP dan kinerja perusahaan juga memiliki perbedaan dalam hal waktu dirasakannya efek CSP terhadap kinerja 9 perusahaan. Ada yang mengukur efek tersebut dalam tahun yang sama (seperti Cochran dan Wood, 1984), ada juga yang menganggap bahwa untuk dapat dirasakan, efeknya memiliki time lag setidaknya satu tahun, seperti penelitian Waddock dan Graves (1997). Sehingga dalam penelitian ini akan digunakan time lag satu tahun. Dari kerangka pemikiran tersebut, hipotesa yang akan diuji adalah: H1: Leaders dalam EVA juga merupakan leaders dalam CSP. H2: Corporate Social Performance mempengaruhi Economic Value Added secara positif di tahun yang sama. H3: Dengan memperhatikan time lag, Corporate Social Performance mempengaruhi Economic Value Added secara positif di tahun berikutnya. H4: EVA mempengaruhi Corporate Social Performance secara positif di tahun yang sama. H5: Dengan memperhatikan time lag, EVA mempengaruhi Corporate Social Performance secara positif di tahun berikutnya. 2. Model Statistik Penelitian kali ini menggunakan beberapa model statistik, yaitu: Untuk menguji Hipotesa 2, digunakan model: DEVA i(t) = α + β1 CSP i(t-1) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi (2) Untuk menguji Hipotesa 4 digunakan model: CSP i(t) (1) Untuk menguji Hipotesa 3, digunakan model: DEVA i(t) = α + β1 CSP i(t) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi = α + β1 DEVA i(t) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi (3) Untuk menguji Hipotesa 5 digunakan model: CSP i(t+1) = α + β1 DEVA i(t) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi (4) Keterangan: 10 CSPi(t) = Corporate Social Performance tahun t (2005), merupakan jumlah pengungkapan tanggung jawab sosial per tema pada Laporan Tahunan masingmasing perusahaan. CSPi(t+1) = Corporate Social Performance tahun t+1 (2006), merupakan jumlah pengungkapan tanggung jawab sosial per tema pada Laporan Tahunan masingmasing perusahaan. DEVAi(t) = Variabel dummy Adjusted EVA tahun t (2005) masing-masing perusahaan. Dummy 1 jika EVA bernilai positif, 0 jika EVA bernilai negatif. DSIZEi DINDi = variabel dummy, 1 jika total aset > Rp 1 triliun, 0 jika total aset < Rp 1 triliun. = variabel dummy, 1 jika industri high profile, 0 jika industri low profile. 3. Variabel dan Operasionalisasi Variabel Variabel Corporate Social Performance Variabel Corporate Social Performance (CSP) diperoleh dari penjumlahan pengungkapan tanggung jawab sosial pada Laporan Tahunan 2004, 2005, dan 2006 perusahaan sampel. Jika ada pengungkapan tema sosial, diberi nilai 1, jika tidak ada diberi nilai 0. Variabel Economic Value Added Perhitungan EVA oleh MarkPlus, Inc. dilakukan dengan cara: EVA = Net Operating Profit after Tax (NOPAT) – capital charges. Variabel EVA yang digunakan merupakan variabel dummy, dimana 1 jika EVA bernilai positif, dan 0 jika EVA bernilai negatif. Variabel Kontrol Ukuran Perusahaan (size). Ukuran perusahaan dimasukkan dalam persamaan model sebagai variabel dummy, 1 untuk perusahaan dengan aset lebih dari Rp 1 triliun, dan 0 untuk perusahaan dengan aset di bawah Rp 1 triliun. 11 Industri Perusahaan. Industri perusahaan dimasukkan dalam persamaan model sebagai variabel dummy, 1 untuk industri high profile, dan 0 untuk industri low profile. Klasifikasi tipe industri oleh banyak peneliti sifatnya sangat subyektif dan berbeda-beda (Roberts, 1992, Hackston & Milne, 1996, Diekers & Perston, 1977, Patten, 1991). Kami mengelompokkan industri pertanian, pertambangan, industri dasar dan kimia, aneka industri, barang konsumsi, infrastruktur, utilitas, dan transportasi sebagai industri high profile. Sementara industri properti dan real estate serta perdagangan, jasa dan investasi dikeompokkan menjadi industri low profile. 4. Sampel dan Data Populasi penelitian adalah semua perusahaan publik yang terdapat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Kami menggunakan purposive sampling, dengan mengambil 100 perusahaan publik yang masuk dalam peringkat SWA100 tahun 2006. Dari tabel 1, terlihat bagaimana komposisi perusahaan dalam daftar SWA 100 tahun 2006. Masukkan Tabel 1 Disini HASIL PENELITIAN DAN ANALISA 1. Deskripsi Data Secara Statistik Tabel 2 menunjukan statistik deskriptif dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, dengan jumlah sampel sebanyak 100 perusahaan. Tampak bahwa selama 3 tahun, nilai CSP perusahaan sampel terus mengalami peningkatan secara rata-rata, dan rata-rata CSP tertinggi terjadi di tahun 2006. Tetapi jika dianalisa lebih lanjut rata-rata perusahaan sampel hanya memiliki nilai CSP sebesar 26,87% - 30,87% dari nilai maksimum yang seharusnya dapat dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan publik di Indonesia masih memiliki 12 kinerja sosial relatif rendah dibandingkan yang seharusnya. Pada tabel 3 terlihat bahwa perusahaan besar memiliki nilai rata-rata kinerja sosial (CSP) yang lebih tinggi daripada perusahaan yang berukuran lebih kecil. Untuk masing-masing ukuran perusahaan, nilai rata-rata CSP paling tinggi terjadi di tahun 2006. Perusahaan yang memiliki asset kurang dari Rp 1 triliun terus mengalami peningkatan rata-rata CSP dari tahun 2004 sampai tahun 2006. Begitu juga dengan perusahaan beraset lebih dari Rp 1 triliun. Pada tabel 4, kecenderungan tema dapat terlihat. Dari tahun 2004 - 2006 sumber daya manusia (human resources) merupakan tema yang paling banyak diungkapkan perusahaan untuk menunjukkan kinerja tanggung jawab sosial mereka. Di sisi lain, energi merupakan tema sosial yang paling sedikit diungkapkan oleh perusahaan-perusahaan sampel. Pada tabel 5 terlihat bahwa selama tiga tahun, perusahaan yang bergerak dalam industri pertambangan memiliki nilai rata-rata CSP yang paling tinggi. Menyusul di urutan berikutnya adalah industri barang konsumsi, pertanian serta infrastruktur, utilitas, dan transportasi. Tingkat CSP yang tinggi terjadi karena perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam industri yang sangat high profile. Industri ini memiliki ciri visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, persaingan yang ketat, serta memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan. Sementara itu, nilai rata-rata CSP yang paling rendah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri aneka industri, industri dasar dan kimia, properti dan real estate serta perdagangan, jasa, dan investasi. Tingkat CSP yang rendah tersebut disebabkan karena perusahaan properti dan real estate serta perdagangan, jasa, dan investasi merupakan perusahaan dalam industri yang low profile. Anggraini (2006) menyatakan bahwa perusahaan dalam industri low profile cenderung memiliki CSP yang lebih rendah dibandingkan industri high profile. Pada tabel 6, dapat dilihat bahwa empat peringkat teratas diduduki oleh industri infrastruktur, utilitas, dan transportasi; aneka industri; barang konsumsi; dan industri pertanian. Sementara industri yang lainnya, memiliki nilai EVA yang jauh lebih rendah daripada EVA 13 empat industri teratas. Bahkan industri dasar dan kimia serta industri properti dan real estate memiliki nilai rata-rata EVA 2005 negatif. Masukkan tabel 2, 3, 4, 5, dan 6 Disini 2. Korelasi Antar Variabel Dapat dilihat dari tabel 7 bahwa masing-masing variabel dalam penelitian saling memiliki korelasi positif yang tidak terlalu tinggi, hampir semua korelasi berada di bawah angka 0,5. Korelasi positif yang lebih dari 0,5 terjadi pada variabel dummy ukuran perusahaan (DSIZE) dengan Corporate Social Performance (CSP) tahun 2004 sampai tahun 2006. Korelasi yang tinggi ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dengan kinerja sosial perusahaan berhubungan cukup erat. Semakin besar ukuran suatu perusahaan maka kinerja sosial yang dimiliki akan cenderung lebih baik juga. Selain itu, korelasi yang sangat tinggi juga terjadi antara variabel-variabel CSP1, CSP2, dan CSP3. Hal ini menunjukkan bahwa Corporate Social Performance perusahaan dari tahun ke tahun saling berkorelasi kuat. Sementara untuk variabelvariabel yang lain, hubungan yang ada tidak cukup erat, meskipun memang terjadi adanya hubungan positif. Masukkan tabel 7 Disini 3. Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik dilakukan pada model statistik yang menggunakan metode analisa regresi linear berganda (yaitu model 3 dan model 4) untuk mendapatkan model yang sesuai dengan asumsi-asumsi Ordinary Least Square (OLS). Pengujian asumsi klasik kriteria ekonometri tidak dilakukan untuk model 1 dan model 2 karena pengujian kedua model tersebut menggunakan metode Maximum Likelihood – Binary Logit. Pengujian-pengujian yang dilakukan dalam mengevaluasi asumsi klasik adalah: uji multicolenarity, auto correlations, dan 14 heteroskedastisitas. Berdasarkan pengujian terlihat tidak terdapat auto correlation, tidak terdapat heteroskedasticity serta multicolenarity. 4. Pengujian Hipotesa 4.1. Pengujian Hipotesa 1 Hipotesa 1 menguji apakah leaders dalam pencapaian nilai Economic Value Added (EVA) juga merupakan leaders dalam pencapaian Corporate Social Performance (CSP). Dari tabel 8 dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai EVA yang tinggi belum tentu memiliki tingkat CSP yang tinggi pula. Sehingga, leaders dalam pencapaian nilai EVA, belum tentu merupakan leaders dalam pencapaian tingkat kinerja sosial. Untuk lebih memastikan apakah leaders dalam pencapaian EVA juga merupakan leaders dalam CSP, kami menggunakan metode uji statistik yang lain, yaitu Spearman Rank Correlation. Dari tabel 9 dapat dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki peringkat EVA tinggi belum tentu memiliki peringkat CSP yang tinggi pula. Masukkan tabel 8, dan 9 Disini 4.2 Pengujian Hipotesa 2 Hipotesa 2 menguji apakah kinerja sosial perusahaan mempengaruhi pencapaian nilai Economic Value Added yang tinggi dari perusahaan, pada tahun yang sama. Berdasarkan tabel 10 variabel independen Corporate Social Performance (CSP) ternyata tidak signifikan dalam pengujian ini. Hal ini menunjukkan bahwa berapapun tingkat kinerja sosial perusahaan pada suatu tahun, tidak akan berpengaruh pada nilai EVA yang dihasilkan pada tahun yang sama. Dengan kata lain kinerja sosial perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian nilai EVA perusahaan. Masukkan tabel 10 Disini 15 4.3. Pengujian Hipotesa 3 Hipotesa 3 menguji apakah kinerja sosial perusahaan pada suatu tahun (tahun t-1) mempengaruhi pencapaian nilai Economic Value Added yang tinggi dari perusahaan di tahun berikutnya (tahun t). Hasil yang didapat pada tabel 11 menunjukkan bahwa variabel independen Corporate Social Performance (CSP) ternyata tidak signifikan dalam pengujian ini. Hal ini menunjukkan bahwa berapapun tingkat kinerja sosial perusahaan pada suatu tahun, tidak akan berpengaruh pada nilai EVA yang dihasilkan pada tahun berikutnya. Dengan kata lain kinerja sosial perusahaan pada suatu tahun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian nilai EVA perusahaan di tahun berikutnya. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Waddock dan Graves di tahun 1997. Dalam penelitian Waddock dan Graves, dapat dibuktikan bahwa kinerja sosial perusahaan yang baik pada suatu tahun akan memberikan kontribusi bagi terciptanya kinerja keuangan yang baik di tahun berikutnya, yang dalam penelitian tersebut diukur dengan Return on Sales, Return on Equity, dan Return on Asset. Masukkan tabel 11 Disini 4.4. Pengujian Hipotesa 4 Hipotesa 4 menguji apakah pencapaian EVA yang tinggi juga mempengaruhi kinerja sosial perusahaan secara positif di tahun yang sama. Dari tabel 12 dapat disimpulkan bahwa adanya nilai EVA yang tinggi pada suatu tahun, dapat menciptakan kinerja sosial yang tinggi pula di tahun yang sama. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti McGuire, Sundgreen, dan Schneeweis (1988) dan Waddock dan Graves (1997), yang juga menghasilkan kesimpulan sama bahwa dengan adanya kinerja ekonomi yang tinggi di perusahaan, menyebabkan perusahaan tersebut memiliki sumber daya lebih yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas tanggung jawab sosial. Teori yang mendasari hal ini adalah teori slack resources. Masukkan tabel 12 Disini 16 4.5. Pengujian Hipotesa 5 Hipotesa 5 menguji apakah pencapaian EVA yang tinggi juga mempengaruhi kinerja sosial perusahaan secara positif di tahun yang sama. Dari tabel 13 dapat disimpulkan bahwa adanya nilai EVA yang tinggi pada suatu tahun, dapat menciptakan kinerja sosial yang tinggi di tahun berikutnya (teori Slack Resources). Hal ini sejalan dengan penelitian Waddock dan Graves (1997), yang juga menghasilkan kesimpulan sama bahwa dengan adanya kinerja ekonomi yang tinggi di perusahaan pada suatu tahun, menyebabkan perusahaan tersebut memiliki sumber daya lebih yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas tanggung jawab sosial di tahun berikutnya. Masukkan tabel 13 Disini 4.5 Analisis Keseluruhan Secara keseluruhan, penelitian ini manghasilkan kesimpulan bahwa nilai perusahaan yang tinggi, yang dicerminkan dengan Economic Value Added (EVA), memang berhubungan positif dan signifikan dengan Corporate Social Performance, baik pada tahun yang sama maupun di tahun berikutnya (asumsi ada time lag). Namun nilai R-squared dan F-Statistic yang lebih tinggi terjadi pada model yang mengasumsikan adanya time lag. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang EVA yang tinggi akan berkontribusi bagi terciptanya kelebihan sumber daya yang dapat diinvestasikan untuk melakukan kinerja sosial, namun kontribusi tersebut akan lebih dapat dirasakan pada periode setelahnya, setidaknya satu tahun berikutnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori slack resources dan juga sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti: Cochran dan Wood, 1984; McGuire et al., 1988; Aupperle et al., 1985, Waddock dan Graves, 1997, yang menyimpulkan bahwa Corporate Social Performance tergantung dari kinerja ekonomi perusahaan, dan tanda dari hubungan tersebut adalah positif. Sementara hasil pengujian hipotesa lain menyimpulkan bahwa Corporate Social Responsibility (CSP) berhubungan positif dengan EVA, namun hubungannya tidak signifikan 17 (dengan tingkat kepercayaan 95%). Dengan kata lain, kinerja sosial tidak signifikan mempengaruhi penciptaan nilai bagi pemegang saham. Hubungan tidak signifikan antara CSP dengan kinerja ekonomi perusahaan juga pernah terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya, seperti: Abbott dan Monsen (1979), Ingram dan Frazier (1983), McWilliams dan Siegel (2000), serta Waddock dan Graves (2000). Di lain sisi, banyak penelitian sebelumnya yang menghasilkan hubungan positif signifikan, seperti: Anderson dan Frankle (1980), Clarkson (1988), Preston (1978), Spicer (1978), serta Waddock dan Graves (1997). Fakta lainnya yang dihasilkan dari penelitian ini adalah ternyata variabel kontrol ukuran perusahaan berkorelasi positif dan signifikan dengan CSP, namun memiliki hubungan positif yang tidak signifikan dengan EVA. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menganggap bahwa ukuran perusahaan variabel kontrol yang relevan karena ada bukti yang menyatakan bahwa perusahaan yang lebih kecil tidak dapat melakukan perilaku tanggung jawab sosial sebanyak perusahaan besar. Hal ini terjadi karena ketika semakin matang dan berkembang, perusahaan menarik perhatian yang lebih banyak dari para konstituen eksternal, sehingga lebih dituntut untuk memberikan tingkat respon yang lebih ringgi terhadap permintaan stakeholder. Namun, berdasarkan hasil penelitian ini, terbukti bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap nilai EVA yang dihasilkan. Jadi perusahaan besar belum tentu menghasilkan nilai EVA yang tinggi dan positif. Sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil belum tentu tidak mampu menghasilkn EVA tinggi. Hasil yang cukup berbeda dengan studi empiris sebelumnya terjadi pada variabel kontrol industri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa industri perusahaan berhubungan positif namun tidak segnifikan dengan CSP. Namun, industri berhubungan positif dan signifikan dengan pencapaian nilai EVA. Hubungan yang tidak signifikan antara industri dengan CSP pernah terjadi pada penelitian Johnson (1966), meskipun sebagian besar studi empiris menemukan hubungan yang signifikan. Perbedaan ini bisa saja terjadi karena perusahaan-perusahaan di 18 Indonesia, apapun industrinya, masih memiliki tingkat kesadaran yang sama terhadap aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan. Sementara efek positif industri terhadap EVA dapat terjadi karena faktor investasi pada riset dan pengembangan. Waddock dan Graves (1997) menemukan bahwa terdapat variasi yang berbeda dari tingkat investasi riset dan pengembangan pada masing-masing industri. Seperti yang telah dijelaskan pada Landasan Teori, bahwa dalam menghitung EVA, elemen biaya riset dan pengembangan yang tadinya dibebankan, harus disesuaikan/ditambahkan kembali untuk menambah elemen Net Operating Profit After Tax. Hal ini mengakibatkan perusahaanperusahaan yang banyak berinvestasi pada riset dan pengembangan, aan memperoleh nilai EVA yang lebih tinggi. Dan jika melihat sifat dari industri high profile, maka tampak bahwa industri ini kemungkinan memiliki investasi pada riset dan pengembangan yang lebih banyak daripada industri low profile, sehingga menghasilkan EVA yang rata-rata lebih tinggi. Secara keseluruhan, penelitian ini menghasilkan pendangan bahwa untuk perusahaanperusahaan di Indonesia, maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham memang masih menjadi fokus utama. Jika pemegang saham telah terpenuhi kebutuhannya, maka barulah kepentingan stakeholder lainnya terpenuhi. Sebenarnya ini bukanlah pandangan yang salah sepenuhnya. Karena, jika perusahaan-perusahaan di Indonesia berusaha untuk menciptakan nilai yang setinggi-tingginya bagi pemegang saham, pada akhirnya perusahaan ini akan memiliki sumber daya yang dapat digunakan untuk melakukan kinerja sosial yang tinggi pula. Jadi semakin tinggi nilai tambah bagi pemegang saham, diharapkan, semakin tinggi pula kinerja sosial yang dihasilkan. Namun yang perlu diperhatikan juga adalah fakta bahwa sebenarnya pemegang saham adalah residual claimants, yang berarti pemenuhan kepentingan mereka harus dilakukan setelah perusahaan memenuhi kepentingan stakeholders lainnya. Jangan sampai pemenuhan kepentingan pemegang saham mengorbankan pemenuhan kepentingan stakeholder lain yang juga penting. 19 KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian kali ini menggunakan nilai Economic Value Added sebagai proksi dari penciptaan nilai perusahaan bagi pemegang saham. Setelah melaksanakan penelitian mengenai hubungan antara kinerja sosial perusahaan dengan penciptaan nilai bagi pemegang saham, maka dapat disimpulkan: 1. EVA leader ternyata tidak menjamin CSP leader. Namun ada kecenderungan perusahaan yang memiliki nilai EVA yang baik memiliki kemampuan yang lebih baik juga dalam melakukan kinerja tanggung jawab sosial. Baik di tahun yang sama, maupun di tahun berikutnya. 2. CSP tidak signifikan mempengaruhi EVA, baik di tahun yang sama, maupun jika diasumsikan ada time lag satu tahun setalahnya. Dengan kata lain, kinerja sosial tidak signifikan mempengaruhi penciptaan nilai bagi pemegang saham. 3. Ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja sosial perusahaan, namun tidak signifikan mempengaruhi nilai EVA. Sedangkan variabel industri hanya berpengaruh positif dan sigifikan terhadap nilai EVA, tidak dengan kinerja sosial perusahaan. Saran Penelitian selanjutnya, diharapkan dapat memperbaiki keterbatasan dalam penelitian kali ini dengan mengembangkan beberapa hal, seperti: Penggunaan ukuran nilai tambah yang lain, seperti Market Value Added, Cash flow Return on Investment, Shareholder Value Added, dan lain-lain. Kemungkinan efek jangka panjang dan jangka pendek kinerja sosial terhadap kinerja ekonomi dimasukkan dalam satu model. Sampel yang dipilih sebaiknya lebih banyak dan mencakup keseluruhan industri, agar lebih menggambarkan keadaan industri yang sebenarnya. 20 DAFTAR PUSTAKA Aaker, David A. dan Robert Jacobson. 1987. The Role of Risk in Explaining Differences in Profitability. The Academy of Management Journal, 30 (2): 277-296. Abbott, Walter F. dan R. Joseph Monsen. 1979. On the Measurement of Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures as a Method of Measuring Corporate Social Involvement. The Academy of Management Journal, 22 (3): 501-515. Abdeen, Adnan M. 1991. Social Responsibility Disclosure in Annual Reports. Business Forum, 16 (1): 23-26. Alexander, G. J., dan R. A. Bucchholz. 1978. Corporate Social Responsibility and Stock Market Performance. Academy of Management Journal, 21: 479-486. Amato, Louis H. dan Christie H. Amato. 2007. The Effects of Firm Size and Industry on Corporate Giving. Journal of Business Ethics, 72: 229–241. Anderson, J.C., dan A.W. Frankle. 1980. Voluntary Social Reporting: An Iso Beta Portfolio Analysis. The Accounting Review, 55: 467-479. Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi XI Padang. Anonim. 2005. Corporate Social Responsibility and Implications For Hong Kong's Manufacturers and Exporters Hong Kong Trade Development Council Economic Forum. http://www.tdctrade.com, 3 September 2007. Anonim. 2005. ”Joel M Stern: Perbesar Tabungan Bonus untuk Mencegah Kecurangan Manajemen.” SWA 21/XXI/13-23 Oktober 2005. Anonim. 2006. “Perhitungan SWA100.” SWA 25/XXII/30 November – 10 Desember 2006. Arlow, P., dan M. J. Gannon. 1982. Social Responsivenes, Corporate Structure, and Economic Performance. Academy of Management Review, 7: 235-241. Aryani, Siti Nur. “CSR, Bukan Sekedar Tren,” Sinar Harapan, 25 Maret 2006. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/25/opi02.html, 3 Juli 2007. Aupperle, K. E., A. B. Carroll dan J. D. Hatfield.1985. An Empirical Examination of the Relationship Between Corporate Social Responsibility and Profitability. Academy of Management Journal, 28 (2): 446–463. Belal, Ataur Rahman. 2001. A study of corporate social disclosures in Bangladesh. Managerial Auditing Journal, 16 (5): 274-289. 21 Biddle, G. C., R.M. Bowen, dan J.S. Wallace. 1997. Does EVA beat earnings? Evidence on Associations with Stock Returns and Firm Values. Journal of Accounting and Economics, December: 301–336. Bowman, E. H., dan M. Haire. 1975. A Strategic Posture Toward Corporate Social Responsibility. California Management Review, 18(2): 49-58. Bragdon, J., dan J. Marlin. 1972. Is pollution profitable? Risk Management, 19(4): 9-18. Branco, Manuel Castelo dan Lu´cia Lima Rodrigues. 2006. Corporate Social Responsibility and Resource-Based Perspectives. Journal of Business Ethics, 69:111–132. Carroll A. 1979. A Three-dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance. Academy of Management Review, 4: 497-505. Chand, Masud. 2006. The Relationship between Corporate Social Performance and Corporate Financial Performance: Industry Type as a Boundary Condition. The Business Review, 5 (1): 240-245. Chen, S. dan J.L. Dodd. 1997. Economic Value Added (EVA): an Empirical Examination of a New Corporate Performance Measure. Journal of Managerial Issues, Fall: 318–333. Darwin, Ali. 2006. Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia. Economics Business and Accounting Review, 3: 83-95. Davis K. 1960. Can Business Afford to Ignore Corporate Social Responsibilities? California Management Review, 2: 70-76. De Villiers, J. 1997. The Distortions in Economic Value Added (EVA) Caused by Inflation. Journal of Economics and Business, May/June: 285–300. Deegan, C. dan M. Rankin. 1997. The materiality of Environmental Information to Users of Annual Reports. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 10 (4): 562.83. Donaldson, T., dan T. W. Dunfee. 1994. Towards a Unified Conception on Business Ethics: Integrative Social Contracts Theory. Academy of Management Review, 19: 252-284. Dooley, R. S., dan L. D. Lerner. 1994. Pollution, Profits, and Stakeholder: The Constraining effect of Economic Performance on CEO Concern with Stakeholder Expectations. Journal of Business Ethics, 13: 701-711. Dwi Hartanti. 2006. Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan Perkembangannya. 2006. Economics Business and Accounting Review, 3: 113-120. Epstein, Marc J. dan Martin Freedman. 1994. Social Disclosure and The Individual Investor. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 7 (4): 94-109. Firdanianty. 2006. “Antara EVA dan Saham.” SWA 25/XXII/30 November – 10 Desember 2006. 22 Folger, H. R., dan F. A. Nutt. 1975. A Note on Social Responsibility and Stock Valuation. Academy of Management Journal, 18: 155-159. Gao, Simon S., Saeed Heravi dan Jason Zezheng Xiao. 2005. Determinants of Corporate Social and Environmental Reporting in Hong Kong: a Research Note. Accounting Forum, 29: 233–242. Gray, R., R. Kouhy dan S. Lavers. 1995. Corporate Social and Environmental Reporting a Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 8 (2): 47.77. Hackston, D. dan M.J. Milne. 1996. Some Determinants of Social and Environmental Disclosures New Zealand Companies. Accounting, Auditing Accountability Journal, 9 (1): 77.108. Hasibuan-Sedyono, Chrysanti. 2006. CSR Communications: A Challenge on It’s Own. Economics Business and Accounting Review, 3: 71-82. Hasibuan-Sedyono, Chrysanti. ”Sekali Lagi http://www.swa.co.id, 7 Agustus 2007. CSR,” SWA 10 November 2003. Hillman, A. J. dan G. D. Keim. 2001. Shareholder Value, Stakeholder Management, and Social Issues: What’s the Bottom Line? Strategic Management Journal, 22: 125–139. Holmes, S. L. 1977. Corporate Social Performance: Past and Present Areas of Commitment. Academy of Management Journal, 20: 433-538. Hong Kong's Manufacturers and Exporters Hong Kong Trade Development Council Economic Forum. http://www.tdctrade.com, 3 September 2007. Hopkins, Michael. 2004. Corporate Social Responsibility: an issues paper. Working Paper No. 27 Policy Integration Department World Commission on the Social Dimension of Globalization. Geneva: International Labour Office. Horngren, Charles T., G. Foster, M. Srikant Datar. 2005. Cost Accounting: A Managerial Emphasis, 12th ed. New Jersey: Prentice Hall. http://www.hukumonline.com, 28 Agustus 2007. http://www.investopedia.com, 13 September 2007. http://www.wikipedia.com, 13 September 2007. http://www.wbcsd.org, 11 September 2007 Iramani dan Erie Febrian. 2005. Financial Value Added: Suatu Paradigma dalam Pengukuran Kinerja dan Nilai Tambah Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 7 (1): 1-10. Johnson, R. A., dan D. W. Greening. 1999. The Effect of Corporate Governance and Institutional Ownership Types on Corporate Social Performance. Academy of Management Journal, 42: 564-576. 23 Johnson, Robert dan Luc Soenen. 2003. Indicators of Successful Companies. European Management Journal, 21 (3): 364–369. Kin, H.S. 1990. Corporate Social Responsibility Disclosures in Malaysia. Akuntan Nasional, January: 4-9. Leech, Nancy L., Karen C. Barrett, George A. Morgan. 2005. SPSS for Intermediate Statistics: Use and Interpretation, 2nd Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Linda M. Lovata, Linda M. dan Michael L. Costigan. 2002. Empirical Analysis of Adopters of Economic Value Added. Management Accounting Research, 13: 215–228. Lynn, M. 1992. A Note on Corporate Social Disclosure in Hong Kong. British Accounting Review, 24:105-110. Margolis, J. D. dan J. P. Walsh. 2003. Misery Loves Companies: Rethinking Social Initiatives by Business. Administrative Science Quarterly, 48: 268–305. Mathews, M.R. 1995. Social and Environmental Accounting: A Practical Demonstration of Ethical Concern? Journal of Business Ethics, 14: 663-671. McGuire, J. B., A. Sungren, dan T. Schneeweis. 1988. Corporate Social Responsibility and Firm Performance. Academy of Management Journal, 31: 854-872. McWilliams, A. dan D. Siegel. 2001. Corporate Social Responsibility: A Theory of the Firm Perspective. Academy of Management Review, 26(1): 117–127. McWilliams, Abagail dan Donald Siegel. 2000. Corporate Social Responsibility and Financial Performance: Correlation or Misspecification? Strategic Management Journal, 21 (5): 603-609. Modul Analisa Software Ekonometrika. Depok: Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. Narver, J.C. 1971. Rational Management Responses to External Effects. Academy of Management Journal, 14: 99-115. Noke Kiroyan. 2006. Good Corporate Governence (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) adakah kaitan di antara keduanya? Economics Business and Accounting Review, 3: 45-58. Orlitzky, M., F. L. Schmidt dan S. L. Rynes. 2003. Corporate Social and Financial Performance: A Metaanalysis. Organization Studies, 24(3): 403–441. Pambudi, Teguh Sri. 2006. CEO dan CSR: Antara Citra dan Kepedulian. Economics Business and Accounting Review. Edisi 3/ September-Desember 2006. 9-20. Parket, R.I. dan H. Eilbirt. 1975. The Practice of Business: The Current Status of Corporate Social Responsibility. Business Horizons, 16 (4): 5-14. 24 Pradhono dan Yulius Jogi Christiawan. 2004. Pengaruh Economic Value Added, Residual Income, Earnings dan Arus Kas Operasi terhadap Return yang Diterima oleh Pemegang Saham. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 6: 2. Preston, L.E. 1978. Analyzing Corporate Social Performance: Methods and Results. Journal of Contemporary Business, 7 (1): 135-149. Rahayu, Eva Martha. “Wajah SWA100 2006: Makin Banyak yang EVA-nya Jeblok.” SWA 25/XXII/30 November – 10 Desember 2006. Raman, S. Raghu. 2006. Corporate Social Reporting in India—A View from the Top. Global Business Review, 7: 313-324. Rikhardsson, P., A.J.R. Anderson dan H. Bany. 2002. Sustainability Reporting on the Internet: A Study of the Global Fortune 500. Greener Management International, 40: 57-75. Salmi, Timo dan Ilka Virtanen. 2001. Economic Value Added: A Simulation Analysis of The Trendy, Owner Oriented Management Tool. Acta Wasaensia No. 20. Seifert, Bruce., Sara A. Morris dan Barbara R. Bartkus. 2004. Having, Giving, and Getting: Slack Resources, Corporate Philanthropy, and Firm Financial Performance. Business Society, 43: 135-161. Sekaran, Uma. 2003. Research Method for Business A Skill Building Approach, 4th Ed. New York: John Wiley and Sons. Spicer, B. H. 1978. Investors, Corporate Social Performance and Information Disclosure: An empirical study. Accounting Review, 53: 94-111. Stanwick, Peter A., dan Sarah D Stanwick. 1998. The relationship between corporate Social performance and organizational size, financial performance and Environmental Performance: an Empirical Examination. Journal of Business Ethics, 17 (2): 195-204. Sturdivant, F. D., dan J. L. Ginter. 1977. Corporate Social Responsiveness: Management Attitudes and Economic Performance. California Management Review, 19 (3): 30-39. Ullman, A. E. 1985. Data in Search of a Theory: A Critical Examination of the Relationships Among Social Performance, Social Disclosure and Economic Performance of U.S. Firms. Academy of Management Review, 10(3): 540–557. Unerman, J. 2000. Methodological Issues Reflections on Quantification in Corporate Social Reporting Content Analysis. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 13 (5): 667-681. Utomo, Lisa Linawati. 1999. Economic Value Added Sebagai Ukuran Keberhasilan Kinerja Manajemen. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 1 (1): 28 – 42. Vance, S.C. 1975. Are Socially Responsible Corporations Good Investment Risk? Management Review, 64 (8): 18-24. 25 Venanzi, Daniela dan Barbara Fidanza. 2006. Corporate Social Responsibility and Value Creation: Determinants and Mutual Relationship in a sample of European listed firms. http://www.ssrn.com, 6 September 2007. Waddock, Sandra A dan Samuel B. Graves. 1997. The Corporate Social Performance-Financial Performance Link. Strategic Management Journal, 18 (4). (Apr., 1997): 303-319. Warr, Richard S. 2005. An empirical study of inflation distortions to EVA. Journal of Economics and Business, 57: 119–137. Wartick, Steven L. dan Philip L. Cochran. 1985. The Evolution of the Corporate Social Performance Model. The Academy of Management Review, 10 (4): 758-769. Wood, D.J. 1991. Corporate Social Performance Revisited. Academy of Management Review, 16: 691-718. Wu, Meng-Ling. 2006. Corporate Social Performance, Corporate Financial Performance, and Firm Size:A Meta-Analysis. Journal of American Academy of Business, 8 (1): 163-171. Young, David. 1997. Economic Value Added: A Primer for European Managers. European Management Journal, 15 (4): 335-343. Young, S. David, dan Stephen F. O’Byrne. 2001. EVA and Value Based Management: A Practical Guide to Implementation. New York: McGraw-Hill. Zeghal, D. dan S. A. Ahmed. 1990. Comparison of Social Responsibility Information Disclosure Media Used by Canadian Firms. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 3 (1): 38-53. 26 Tabel 1 Data Perusahaan SWA 100 Per Industri Industri Perusahaan Pertanian Pertambangan Industri Dasar dan Kimia Aneka Industri Industri Barang Konsumsi Properti dan Real Estat Infrastruktur Utilitas dan Transportasi Perdagangan Jasa dan Investasi Total Jumlah Perusahaan 4 4 14 10 16 15 8 29 100 Sumber : data diolah Tabel 2 Statistik Deskriptif Variabel DEVA CSP1 CSP2 CSP3 DSIZE DIND N 100 100 100 100 100 100 Mean .37 10.48 11.25 12.04 .50 .56 Median .00 10.00 11.00 11.00 .50 1.00 Maximum 1.00 28.00 29.00 27.00 1.00 1.00 Minimum .00 3.00 4.00 4.00 .00 .00 Std. Dev. .48524 5.31527 5.31887 5.30279 .50252 .49889 DEVA = variabel dummy Economic Value Added perusahaan sampel tahun 2005 (1jika nilai EVA positif, 0 jika nilai EVA negatif), CSP1 = Corporate Social Performance perusahaan sampel tahun 2004, CSP2 = Corporate Social Performance perusahaan tahun 2005, CSP3 = Corporate Social Performance perusahaan tahun 2006, DSIZE = variabel dummy untuk ukuran perusahaan ( 1 jika total asset > Rp 1 triliun, 0 jika total asset < 1 triliun ), DIND = variabel dummy untuk industri perusahaan ( 1 jika perusahaan berada pada industri high profile, 0 jika perusahaan berada pada industri low profile ). Sumber: data diolah Tabel 3 Rata-rata Pengungkapan CSP Berdasarkan Ukuran Perusahaan Total Asset Perusahaan > Rp 1 triliun < Rp 1 triliun 2004 13,50 7,46 2005 13,98 8,52 2006 15,08 9,00 Sumber: data diolah Tabel 4 Presentase Pengungkapan CSP per Tema Tema Pengungkapan Kinerja Sosial Environment Energy Health and safety Human resources 2004 11,67% 1,32% 6,74% 28,04% 2005 9,16% 0,80% 7,20% 27,56% 2006 9,98% 1,41% 6,94% 26,46% 27 Community involvement Fair bussiness practices Products Sumber: data diolah 11,43% 21,30% 19,49% 10,93% 22,40% 21,96% 12,15% 22,13% 20,93% Tabel 5 Rata-rata Pengungkapan CSP per Industri Industri pertanian pertambangan industri dasar dan kimia aneka industri barang konsumsi properti dan real estate infrastruktur, utilitas, dan transportasi perdagangan, jasa dan investasi Sumber: data diolah 2004 13,25 21,72 7,5 8,00 14,25 8,00 2005 13 22,25 8,5 8,50 16,00 9,00 2006 14 21,25 9,25 8,25 15,00 9,50 Rata-rata keseluruhan 13,42 21,75 8,42 8,25 15,08 8,83 12,00 4,5 13,25 5,25 12,75 6,5 12,67 5,42 Tabel 6 Rata-rata EVA per Industri Industri Pertanian Pertambangan industri dasar dan kimia aneka industri barang konsumsi properti dan real estate infrastruktur, utilitas, dan transportasi perdagangan, jasa dan investasi Rata-rata EVA 2005 Rp166.420.750.000 Rp8.080.250.000 -Rp4.121.214.286 Rp275.712.200.000 Rp227.343.812.500 -Rp33.669.866.667 Rp563.208.000.000 Rp10.783.586.207 Sumber: data diolah Tabel 7 Korelasi Antar Variabel DEVA DEVA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N CSP1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N CSP2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N CSP1 CSP2 CSP3 DSIZE DIND 1 .322(**) .332(**) .355(**) .228(*) .345(**) . .001 .001 .000 .023 .000 100 100 100 100 100 100 .322(**) 1 .951(**) .911(**) .571(**) .248(*) .001 . .000 .000 .000 .013 100 100 100 100 100 100 .332(**) .951(**) 1 .922(**) .516(**) .247(*) .001 .000 . .000 .000 .013 100 100 100 100 100 100 28 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) CSP3 .355(**) .911(**) .922(**) 1 .576(**) .213(*) .000 .000 .000 . .000 .033 100 100 100 100 100 100 .228(*) .571(**) .516(**) .576(**) 1 .121 .023 .000 .000 .000 . .231 100 100 100 100 100 100 .345(**) .248(*) .247(*) .213(*) .121 1 .000 .013 .013 .033 .231 . 100 100 100 100 100 100 N DSIZE Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) DIND N ** Korelasi signifikan pada α=0.01 (2-tailed). * Korelasi signifikan pada α=0.05 (2-tailed). Sumber: data diolah Tabel 8 Independent-Samples T-Test Levene’s Test for Equality of Variances F Sig. SCORE EVA-CSP Equal variances assumed Equal variances not assumed 18.964 t-test for Equality of Means t .000 df Sig. (2tailed) 2.099 198 .037 2.099 99.000 .038 Sumber: data diolah Tabel 9 Spearman Rank Correlations EVA Spearman's rho EVA Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N CSP Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N CSP 1.000 .192 . .056 100 100 .192 1.000 .056 . 100 100 Sumber: data diolah Tabel 10 Hasil Logit Model 1 Variabel Dependen: DEVA = 1 untuk perusahaan dengan EVA positif, 0 untuk perusahaan dengan EVA negatif. Variabel Independen Constant CSP Ekspektasi Tanda ? + Koefisien -2.662 .091 Wald 16.399 2.906 Signifikansi .000 .088 Exp (B) .070 1.095 29 DSIZE + DIND + Hosmer & Lemeshow Test -2 Log Likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square * Signifikan pada level 5% .437 1.373 .718 7.800 .397 * .005 0.750 111.309 0.170 0.233 1.549 3.946 DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun t, 1 untuk EVA positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance masing-masing perusahaan sampel tahun t. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1 triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri high profile, 0 = industri low profile. Tabel 11 Hasil Logit Model 2 Variabel Dependen: DEVA = 1 untuk perusahaan dengan EVA positif, 0 untuk perusahaan dengan EVA negatif. Variabel Ekspektasi Independen Tanda Constant ? CSP + DSIZE + DIND + Hosmer & Lemeshow Test -2 Log Likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square * Signifikan pada level 5% Koefisien -2.562 .090 .398 1.388 Wald .547 7.974 2.804 17.479 Signifikansi .000 .094 .460 * .005 0.871 112.321 0.177 0.242 Exp (B) .077 1.094 1.489 4.009 DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun t, 1 untuk EVA positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance masing-masing perusahaan sampel tahun t. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1 triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri high profile, 0 = industri low profile. Sumber: data diolah Tabel 12 Hasil Multiple Regression Model 3 Variabel Dependen: CSP (Corporate Social Performance) Variabel Ekspektasi Independen Tanda Koefisien t-Statistic Prob. 7.312372 9.412250 0.0000 Constant ? 2.002236 2.009114 * 0.0473 DEVA + 4.854617 5.336410 * 0.0000 DSIZE + 1.374092 1.445218 0.1517 DIND + R-squared 0.329076 Adjusted R-squared 0.308110 F-statistic 15.69545 Prob(F-statistic) 0.000000 * Signifikan pada level 5% DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun t, 1 untuk EVA positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance masing-masing perusahaan sampel tahun t. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1 triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri high profile, 0 = 30 industri low profile. Sumber: data diolah Tabel 13 Hasil Multiple Regression Model 4 Variabel Dependen: CSP (Corporate Social Performance) Variabel Ekspektasi Independen Tanda Koefisien t-Statistic Prob. 7.990392 10.82094 0.0000 Constant ? 2.298737 2.426835 * 0.0171 DEVA + 5.475413 6.332463 * 0.0000 DSIZE + 0.823872 0.911673 0.3642 DIND + R-squared 0.390211 Adjusted R-squared 0.371155 F-statistic 20.47713 Prob(F-statistic) 0.000000 * Signifikan pada level 5% DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun t, 1 untuk EVA positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance masing-masing perusahaan sampel tahun t+1. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1 triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri high profile, 0 = industri low profile. Sumber: data diolah 31 Lampiran Checklist Pengungkapan Corporate Social Performance Content Themes (1) Environment (2) Energy No Sub Themes 1 2 3 4 Pollution control (air, water, land, noise, visual) Prevention of environmental damage Waste recycling Conservation of natural resources 5 6 7 Research and development Environmental audit Environmental policy 8 9 Other environmental disclosures Conservation and energy saving 10 11 12 13 14 15 16 17 Development/exploration of new sources Use of new sources Other energy-related disclosure Health and safety at work Customer safety Accidents rate Compensation Other health-related disclosures (4) Human resources 18 19 20 21 22 23 24 Employee development/training programs Pay and benefits (profit sharing scheme) Pension scheme Loan to employee Employee share ownership scheme Sport and recreation Other employee related disclosures (5) Community involvement 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Charitable donation and service Political donation and service Social activity sponsorship Other community activity disclosures Employment of women (sexual equality) Employment of minority (racial equality) Employment of disabled people Customer complaints ISO / Quality, including awards Legal proceedings, litigation and liabilities Other fair business practice disclosures 36 37 38 39 Product development Product quality Product safety Other product related disclosures (3) Health and safety (6) Fair business practices (7)Products Sumber. Sumber utama: Gao et al. (2005) Dikombinasikan dengan: Hackston dan Milne (1996) 32