Analisis Hubungan Value Based Management dengan Corporate

advertisement
ANALISIS HUBUNGAN VALUE BASED MANAGEMENT DENGAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY DALAM IKLIM BISNIS INDONESIA
(STUDI KASUS PERUSAHAAN SWA100 2006)
PENDAHULUAN
Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara
berkelanjutan (Narver, 1971; McWilliams dan Siegel, 2000). Keberlanjutan perusahaan
(corporate sustainability) hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi
sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar
muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan
hidup. Contoh di Indonesia adalah kasus Inti Indorayon Utama, Sumatera Utara.
Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring
dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah
lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak
asasi manusia (HAM). Sebagai contoh, boikot terhadap produk sepatu Nike oleh warga di
negara Eropa dan Amerika Serikat terjadi ketika pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika
diberitakan mempekerjakan anak di bawah umur dengan upah sangat rendah. Tren global
lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang
memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR.
Indonesia tidak ketinggalan untuk menekankan penerapan CSR bagi perusahaan. Pada
tanggal 20 Juli 2007, disahkan UU penerapan CSR yang dilaksanakan melalui peraturan
pemerintah (PP). Ketentuan itu sudah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU
Investasi dan UU Minerba (Mineral dan Batubara). Peraturan baru ini ditanggapi dengan
berbagai respon oleh dunia usaha Indonesia Suara kontra beralasan jika perusahaan dituntut
melakukan aktivitas CSR, maka hal tersebut akan menambah biaya operasional, sementara jika
tidak dilakukan, akan mendapat sanksi. Suara yang pro menyatakan memang sudah seharusnya
1
perusahaan melakukan CSR sebagai kewajiban tanpa harus dibuatkan peraturan, seperti halnya
di luar negeri. Hal ini memperlihatkan bahwa komunitas bisnis Indonesia masih belum yakin
bahwa aktivitas CSR akan memberikan dampak positif bagi tujuan utama mereka, yaitu
penciptaan kesejahteraan pemegang saham.
Pro dan kontra mengenai penerapan CSR semacam itu memang telah ada sejak dahulu.
Perihal yang masih terus menjadi pertanyaan adalah: apakah penciptaan nilai bagi pemegang
saham utama konsisten dengan pencapaian tujuan dari stakeholder lainnya, seperti: pemegang
saham minoritas, prospective investor, konsumen, pemasok, kreditor, dan komunitas lainnya
(Venanzi dan Fidanza, 2006). Menurut Friedman (1980), pandangan bahwa perusahaan harus
melakukan tanggung jawab sosial merupakan kesalahan konsep fundamental dari sifat dan
karakter ekonomi bebas. Dalam ekonomi bebas, hanya ada satu tanggung jawab sosial
perusahaan sebagai pelaku bisnis, yaitu: menggunakan sumber daya dan melakukan aktivitasaktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan selama mungkin. Dalam
teori ekonomi modern, hal tersebut dikenal sebagai konsep Value-based Management (VBM)
yaitu suatu penciptaan nilai dalam jangka panjang bagi perusahaan.
Dalam konsep VBM, untuk bertahan dalam jangka panjang, maka seluruh strategi
perusahaan haruslah berpaku pada peningkatan kesejahteraan pemegang saham, yang
merupakan pemilik perusahaan. Sekilas tampak bahwa ide mengenai maksimalisasi
kesejahteraan pemegang saham dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan dua hal yang
sangat bertentangan, perusahaan tidak mungkin dapat melayani para pemegang saham dan
masyarakat dalam waktu yang bersamaan (Arnold dan Davies, 1999). Apakah benar
perusahaan-perusahaan yang menempatkan pemegang saham di urutan pertama cenderung
mengorbankan stakeholder lainnya? Atau apakah perusahaan-perusahaan yang memperhatikan
kepentingan pemegang saham juga memberikan perhatian yang sama bagi penciptaan
kesejahteraan stakeholder lainnya?
2
Sejauh ini kami belum menemukan penelitian di bidang tanggung jawab sosial
perusahaan yang mencoba menghubungkan dengan konsep VBM. Sehingga kontribusi
penelitian ini adalah mencoba memberikan bukti empiris mengenai hal tersebut di Indonesia.
LANDASAN TEORI
1. Value-Based Management
Utomo (1999) berpendapat bahwa selama ini kinerja sebuah perusahaan lebih banyak
diukur berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu periode tertentu. Padahal rasio keuangan
ini sangatlah bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang digunakan dalam
menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga seringkali kinerja perusahaan terlihat baik
dan meningkat, yang mana sebenarnya kinerja tidak mengalami peningkatan dan bahkan
menurun. Hal tersebut juga dikatakan oleh Pradhono dan Christiawan (2004), bahwa ukuran
kinerja keuangan yang mendasarkan pada laba akuntansi (accounting profit), seperti earnings
per share, price earning ratio dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk
mengevaluasi efektivitas dan efisiensi perusahaan. Pada saat ini, banyak perusahaan
menggunakan ukuran kinerja yang lebih menekankan value (Value-Based Management/VBM).
Berbagai prinsip, konsep, dan teknik yang mendasari Value Based Management (VBM)
telah semakin berkembang dalam mempengaruhi strategi perusahaan-perusahaan di seluruh
dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa (Arnold dan Davies, 1999). Di tahun 1997, The
Coca Cola Company mulai menerapkan konsep VBM dalam perusahaan. Masih di tahun 1997,
salah satu perusahaan Jerman, yaitu Siemens, mengumumkan bahwa mereka telah mengubah
haluan kepada VBM dengan menggunakan Economic Value Added (EVA).
EVA diklaim sebagai metode engukuran kinerja yang terbaik (Stewart, 1991 dalam
Iramani dan Febrian, 2005). Metode EVA, yang merupakan salah satu penerapan VBM, pertama
kali dikembangkan oleh Joel M. Stern dan Stewart, analis keuangan dari perusahaan konsultan
Stern Stewart & Co pada akhir tahun 1980. Menurut Stewart & Company, earnings dan
3
earnings per share adalah pengukuran yang keliru untuk kinerja perusahaan. Konsep EVA
sebenarnya mirip dengan pengukuran pendapatan residu (residual income). EVA merupakan
metode kinerja keuangan untuk menghitung profit ekonomi yang sebenarnya (true economic
profit) dari sebuah perusahaan. Karena EVA mengukur perbedaan tingkat pengembalian antara
modal perusahaan dengan biaya modalnya, maka EVA positif mengindikasikan bahwa ada
penciptaan nilai bagi pemegang saham, sedangkan EVA negatif mengindikasikan bahwa telah
terjadi value destruction.
Menurut Young (1997), EVA dapat dikatakan lebih inovatif karena: EVA tidak dibatasi
oleh GAAP, EVA dapat diterapkan sampai pada tingkatan yang rendah dalam organisasi, EVA
memiliki sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pengukuran keuangan lainnya, yaitu cara
pengukuran dan pengkomunikasian kinerja yang dapat digunakan di semua area, seperti pasar
modal, penilaian investasi modal, dan dalam evaluasi serta kompensasi kinerja manajerial.
2. Corporate Social Responsibilities dan Corporate Social Performance
Penelitian-penelitian yang dilakukan dalam lingkup corporate social responsibility
umumnya mencoba menggali bagaimana penerapan aktivitas hal tersebut didalam perusahaan.
Dilakukan dengan melihat bagaimana pengungkapan sosial yang ada. Dalam salah satu
penelitian awal tentang praktek pelaporan sosial, Ernst dan Ernst (1978 dalam Abboyy dan
Monsen, 1979) melakukan analisa isi (content analysis) laporan tahunan perusahaan-perusahaan
yang masuk dalam Fortune 500. Dalam penelitian tersebut, area tanggung jawab sosial
diidentifikasikan sebagai: lingkungan, kesempatan yang sama (equal opportunity), personil,
keterlibatan dengan komunitas (community involvement), serta produk. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa di tahun 1974, isu seperti pengendalian polusi dilaporkan hampir 35% dari
seluruh perusahaan dan sekitar 19% dari perusahaan-perusahaan tersebut melaporkan aktivitas
komunitas dalam laporan tahunan.
4
Guthrie dan Parker (1990) melakukan penelitian mengenai area pengungkapan sosial
dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan Amerika
Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan pengungkapan sosial mereka dalam laporan
tahunan. Mereka juga menemukan bahwa 40% perusahaan melaporkan isu terkait dengan
sumber daya manusia, 31% mengenai isu keterlibatan komunitas, 13% mengenai isu
lingkungan, dan 7% mengenai isu terkait dengan energi dan produk. Cakupan pengungkapan
tanggung jawab sosial yang hampir sama (sumber daya manusia, produk, praktek bisnis,
keterlibatan dengan lingkungan, serta lingkungan) juga terjadi di Kanada (Zeghal dan Ahmed,
1990).
Penelitian di negara berkembang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Di
Malaysia (Kin, 1990), dari 100 perusahaan publik, 64 perusahaan melaporkan informasi
mengenai peningkatan produk dan jasa, 31 perusahaan melaporkan isu terkait dengan sumber
daya manusia, dan 22 perusahaan melaporkan isu keterlibatan komunitas. Sementara di Hong
Kong, Lynn (1992) memperlihatkan bahwa hanya 17 perusahaan (dari 264 yang diteliti) yang
mengungkapkan aktivitas sosial, dengan titik berat pada pengembangan staff dan hubungan
dengan komunitas.
Dalam perkembangannya, penelitian mengenai corporate social responsibility kemudian
berkembang dengan mencoba melihat corporate social performance perusahaan. Selama kurang
lebih 30 tahun, telah banyak penelitian yang berusaha melihat hubungan antara Corporate
Social Performance (CSP) dengan kinerja perusahaan, terutama kinerja keuangan. Namun,
sampai saat ini belum ada kesimpulan mutlak mengenai hubungan tersebut Salah satu alasan
fundamental adanya ketidakpastian tentang hubungan antara CSP dan kinerja keuangan adalah
karena adanya masalah dalam pengukuran CSP.
CSP bersifat muldimensi, dengan banyak variasi input (seperti investasi dalam peralatan
pengendalian polusi, ataupun strategi lingkungan lainnya), proses (seperti perlakukan bagi
5
perempuan dan kaum minoritas, barang yang diproduksi, hubungan dengan konsumen), dan
output (seperti hubungan komunitas, dan program filantropi) (Aupperle et al., 1985; Wood,
1991). Selain itu, tiap-tiap industri dengan karakteristik yang berbeda tentu saja akan memiliki
domain CSP yang berbeda juga. CSP juga melibatkan berbagai jenis isu, keputusan manajemen,
dan juga perilaku perusahaan.
Dari berbagai penelitian yang ada, selama ini ada tiga cara yang sering digunakan untuk
mengukur CSP, yaitu: menggunakan evaluasi kebijakan perusahaan dari para ahli, dalam bentuk
indeks reputasi (Folger dan Nutt, 1975), menggunakan content analysis dari laporan tahunan
ataupun dokumen-dokumen lain perusahaan (Abbott dan Monsen, 1979; Anderson dan Frankle,
1980; Bowman dan Haire, 1975; Preston, 1978), Menggunakan variabel tertentu sebagai proksi
indeks kinerja sosial (Bragdon dan Marlin, 1972; Spicer, 1978).
4. Corporate Social Performance dan Corporate Financial Performance
Secara konseptual, ada tiga kemungkinan hubungan kinerja sosial dengan kinerja
keuangan perusahaan: positif, netral, dan negatif. Pihak yang berpandangan negatif menyatakan
bahwa tanggung jawab sosial yang tinggi membuat ada biaya tambahan yang menempatkan
perusahaan dalam keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan dibandingkan perusahaan lain
yang kurang bertanggung jawab secara sosial (Aupperle, et al., 1985; McGuire et al., 1988;
Ullmann, 1985; Vance, 1975).
Beberapa hasil penelitian empiris menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kinerja
sosial dengan kinerja keuangan (netral). Pihak-pihak yang menghasilkan pandangan ini (seperti
Ullmann, 1985) berargumen bahwa ada sangat banyak variabel intervening1 antara kinerja
sosial dan kinerja keuangan, sehinga tidak ada alasan untuk mengharapkan terjadinya hubugan
antara dua hal tersebut.
1
Variabel intervening adalah variabel yang muncul antara waktu ketika variabel independent mulai beroperasi mempengaruhi
variabel dependen, hingga dampaknya dirasakan. Jadi dalam variabel intervening ada dimensi waktu (Sekaran, 2003:94)
6
Di sisi lain, pihak yang berpendapat bahwa CSP akan berpengaruh positif bagi
perusahaan juga memiliki argumen kuat. Menurut mereka, dengan CSP yang baik akan
meningkatkan goodwill karyawan dan konsumen (Solomon dan Hansen, 1985; dalam McGuire
et al., 1985), sehingga perusahaan tersebut akan menghadapi masalah dengan tenaga kerja yang
lebih sedikit, lalu konsumen akan lebih setia kepada produk perusahaan. Aktivitas tanggung
jawab sosial juga dapat meningkatkan hubungan antara perusahaan dengan konstituen penting
seperti bank, investor, dan pemerintah. Peningkatan hubungan dengan pihak-pihak penting ini
dapat memberikan keuntungan ekonomi (Moussavi dan Evans, 1986; dalam McGuire, et al.,
1988). Secara lebih dalam, bank dan investor institusi telah membuktikan bahwa penilaian sosial
merupakan salah satu faktor penting dalam keputusan investasi mereka (Spicer, 1978).
Sehingga, tanggung jawab sosial yang tinggi akan meningkatkan akses perusahaan terhadap
sumber modal.
Karena selalu menjadi perdebatan, maka banyak sekali pihak yang berusaha mencari
pemecahannya dengan melakukan penelitian empiris. Menurut Margolis dan Walsh (2003)
antara tahun 1972 sampai 2002, ada 127 publikasi studi empiris yang meneliti mengenai
hubungan antara perilaku tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja keuangan.
Kompilasi sederhana dari hasil penelitian-penelitian tersebut menjelaskan bahwa ada hubungan
positif, dan hanya sedikit yang bisa membuktikan adanya hubungan negatif antara kinerja sosial
dengan kinerja ekonomi perusahaan (Margolis dan Walsh, 2003).
Studi dengan menggunakan metode meta-analisis terhadap 52 penelitian hubungan CSPCFP yang dilakukan oleh Orlitzky, Schmidt, dan Rynes (2003) juga menunjukkan substansi
kesimpulan yang sama. Jadi dapat dikatakan bahwa jika kinerja sosial perusahaan berkontribusi
terhadap kinerja ekonomi perusahaan, berarti sumber daya perusahaan sedang digunakan untuk
meningkatkan kepentingan pemegang saham, pihak yang menurut Friedman (1980) harus
dinomorsatukan.
7
5. Value Based Management dan Corporate Social Performance
Salah satu kritik yang sering muncul terkait dengan konsep VBM adalah apakah
maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham akan dapat juga memaksimalkan kesejahteraan
seluruh stakeholder? Literatur-literatur mengenai tanggung jawab sosial dan stakeholder
mengemukakan bahwa tidak seharusnya bisnis hanya memperhatikan pemegang saham.
Copeland et al. (1995) dalam Arnold dan Davies (1999:86), mengungkapkan bukti
empiris yang menunjukkan bahwa meningkatkan nilai pemegang saham tidak akan bertentangan
dengan kepentingan stakeholder lain dalam jangka panjang. Copeland membagi beberapa
negara besar menjadi dua bagian, yaitu: negara-negara yang berfokus pada pemegang saham
(seperti Amerika Serikat dan Inggris) dan negara-negara yang lebih berorientasi pada
stakeholder (seperti Jerman, Jepang, dan Perancis). Analisa dilakukan dari tahun 1950-1990.
Penelitiannya menemukan bahwa negara-negara yang berfokus pada pemegang saham
merupakan negara-negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi. Namun, di sisi lain,
negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder sebenarnya memiliki pertumbuhan
Produk Domestik Bruto per kapita yang lebih tinggi dalam periode yang sama, seperti
pertumbuhan PDB per kapita di Jepang sebesar 5.5%, di Jerman sebesar 3%, sementara di
Inggris hanya 2% dan Amerika Serikat hanya 1.7%. Fakta di atas menunjukkan bahwa negaranegara yang berfokus pada pemegang saham, seperti Inggris dan Amerika Serikat, menciptakan
kesejahteraan yang lebih sedikit dalam periode 1950-1990 dibandingkan dengan negara-negara
yang lebih berfokus pada stakeholder. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa kesejahteraan di
negara-negara yang berorientasi stakeholder memiliki distribusi kesejahteraan yang lebih merata
daripada negara-negara yang berfokus pada pemegang saham.
Penelitian sejenis dilakukan oleh Young and O’Byrne (1999) terhadap perusahaanperusahaan di Amerika Serikat yang termasuk daftar Stern Stewart 1000 (perusahaan yang
memiliki nilai tambah/value creator terbesar di Amerika Serikat. Ternyata sebelas perusahaan
dalam 20 besar Stern Stewart 1000 tahun 1996, juga masuk dalam 20 besar Most Admired
8
Companies yang dikeluakan oleh Majalah Fortune. Sementara itu, 17 perusahaan yang berada
pada peringkat 20% terbawah dalam Stern Stewart 1000 (value destroyer), juga berada pada 20
terbawah peringkat Most Admired Companies.
METODOLOGI
1. Hipotesa Penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konsep Value-Based Management melalui
Economic Value Added yang sangat mengutamakan kesejahteraan pemegang saham sering
dianggap bertentangan dengan aktivitas kinerja sosial perusahaan yang lebih mengutamakan
kepentingan seluruh stakeholder. Namun, ada juga bukti-bukti empiris yang menemukan bahwa
sebenarnya dua konsep ini tidaklah bertentangan, melainkan saling mendukung (Arnold dan
Davies, 1999).
Selain itu, sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa pertautan antara CSP dengan kinerja
perusahaan (terutama kinerja keuangan) masih belum jelas (Ullmann, 1985). Hasil dari
penelitian empiris mengindikasikan hubungan yang masih belum jelas, seperti yang ada pada
penelitian Alexander dan Buchholz (1982), Aupperle et al. (1985), Ullmann (1985), dan lainnya.
Lebih jauh lagi, walaupun sebagian besar penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa
terdapat hubungan positif (Margolis dan Walsh, 2003; Orlitzky, 2003), tetapi masih belum jelas
hubungan kausalitasnya, apakah perusahaan yang sukses secara finansial memiliki sumber daya
yang lebih banyak untuk melakukan CSP sehingga memiliki tingkat CSP yang tinggi, ataukah
kinerja CSP yang baik menghasilkan kinerja keuangan yang lebih baik (McGuire et al., 1988;
Ullmann, 1985; Waddock dan Graves, 1997).
Penelitian mengenai arah kausalitas ini pernah dilakukan, salah satunya oleh Waddock
dan Graves di tahun 1997. Mereka mendasarkan penelitian mereka pada dua teori, yaitu good
management dan slack resources. Berbagai penelitian mengenai hubungan CSP dan kinerja
perusahaan juga memiliki perbedaan dalam hal waktu dirasakannya efek CSP terhadap kinerja
9
perusahaan. Ada yang mengukur efek tersebut dalam tahun yang sama (seperti Cochran dan
Wood, 1984), ada juga yang menganggap bahwa untuk dapat dirasakan, efeknya memiliki time
lag setidaknya satu tahun, seperti penelitian Waddock dan Graves (1997). Sehingga dalam
penelitian ini akan digunakan time lag satu tahun.
Dari kerangka pemikiran tersebut, hipotesa yang akan diuji adalah:
H1: Leaders dalam EVA juga merupakan leaders dalam CSP.
H2: Corporate Social Performance mempengaruhi Economic Value Added secara positif di
tahun yang sama.
H3: Dengan memperhatikan time lag, Corporate Social Performance mempengaruhi Economic
Value Added secara positif di tahun berikutnya.
H4: EVA mempengaruhi Corporate Social Performance secara positif di tahun yang sama.
H5: Dengan memperhatikan time lag, EVA mempengaruhi Corporate Social Performance
secara positif di tahun berikutnya.
2. Model Statistik
Penelitian kali ini menggunakan beberapa model statistik, yaitu:

Untuk menguji Hipotesa 2, digunakan model:
DEVA i(t)

= α + β1 CSP i(t-1) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi
(2)
Untuk menguji Hipotesa 4 digunakan model:
CSP i(t)

(1)
Untuk menguji Hipotesa 3, digunakan model:
DEVA i(t)

= α + β1 CSP i(t) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi
= α + β1 DEVA i(t) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi
(3)
Untuk menguji Hipotesa 5 digunakan model:
CSP i(t+1)
= α + β1 DEVA i(t) + β2 DSIZE i + β3 DIND i + εi
(4)
Keterangan:
10
CSPi(t)
= Corporate Social Performance tahun t (2005), merupakan jumlah
pengungkapan tanggung jawab sosial per tema pada Laporan Tahunan masingmasing perusahaan.
CSPi(t+1)
= Corporate Social Performance tahun t+1 (2006), merupakan jumlah
pengungkapan tanggung jawab sosial per tema pada Laporan Tahunan masingmasing perusahaan.
DEVAi(t) = Variabel dummy Adjusted EVA tahun t (2005) masing-masing perusahaan.
Dummy 1 jika EVA bernilai positif, 0 jika EVA bernilai negatif.
DSIZEi
DINDi
= variabel dummy, 1 jika total aset > Rp 1 triliun, 0 jika total aset < Rp 1 triliun.
= variabel dummy, 1 jika industri high profile, 0 jika industri low profile.
3. Variabel dan Operasionalisasi Variabel
Variabel Corporate Social Performance
Variabel Corporate Social Performance (CSP) diperoleh dari penjumlahan pengungkapan
tanggung jawab sosial pada Laporan Tahunan 2004, 2005, dan 2006 perusahaan sampel. Jika
ada pengungkapan tema sosial, diberi nilai 1, jika tidak ada diberi nilai 0.
Variabel Economic Value Added
Perhitungan EVA oleh MarkPlus, Inc. dilakukan dengan cara:
EVA = Net Operating Profit after Tax (NOPAT) – capital charges. Variabel EVA yang
digunakan merupakan variabel dummy, dimana 1 jika EVA bernilai positif, dan 0 jika EVA
bernilai negatif.
Variabel Kontrol

Ukuran Perusahaan (size).
Ukuran perusahaan dimasukkan dalam persamaan model sebagai variabel dummy, 1 untuk
perusahaan dengan aset lebih dari Rp 1 triliun, dan 0 untuk perusahaan dengan aset di bawah
Rp 1 triliun.
11

Industri Perusahaan.
Industri perusahaan dimasukkan dalam persamaan model sebagai variabel dummy, 1
untuk industri high profile, dan 0 untuk industri low profile. Klasifikasi tipe industri oleh
banyak peneliti sifatnya sangat subyektif dan berbeda-beda (Roberts, 1992, Hackston &
Milne, 1996, Diekers & Perston, 1977, Patten, 1991). Kami mengelompokkan industri
pertanian, pertambangan, industri dasar dan kimia, aneka industri, barang konsumsi,
infrastruktur, utilitas, dan transportasi sebagai industri high profile. Sementara industri
properti dan real estate serta perdagangan, jasa dan investasi dikeompokkan menjadi industri
low profile.
4. Sampel dan Data
Populasi penelitian adalah semua perusahaan publik yang terdapat di Bursa Efek Jakarta
dan Bursa Efek Surabaya. Kami menggunakan purposive sampling, dengan mengambil 100
perusahaan publik yang masuk dalam peringkat SWA100 tahun 2006. Dari tabel 1, terlihat
bagaimana komposisi perusahaan dalam daftar SWA 100 tahun 2006.
Masukkan Tabel 1 Disini
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
1. Deskripsi Data Secara Statistik
Tabel 2 menunjukan statistik deskriptif dari variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian, dengan jumlah sampel sebanyak 100 perusahaan. Tampak bahwa selama 3 tahun,
nilai CSP perusahaan sampel terus mengalami peningkatan secara rata-rata, dan rata-rata CSP
tertinggi terjadi di tahun 2006. Tetapi jika dianalisa lebih lanjut rata-rata perusahaan sampel
hanya memiliki nilai CSP sebesar 26,87% - 30,87% dari nilai maksimum yang seharusnya dapat
dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan publik di Indonesia masih memiliki
12
kinerja sosial relatif rendah dibandingkan yang seharusnya.
Pada tabel 3 terlihat bahwa
perusahaan besar memiliki nilai rata-rata kinerja sosial (CSP) yang lebih tinggi daripada
perusahaan yang berukuran lebih kecil. Untuk masing-masing ukuran perusahaan, nilai rata-rata
CSP paling tinggi terjadi di tahun 2006. Perusahaan yang memiliki asset kurang dari Rp 1 triliun
terus mengalami peningkatan rata-rata CSP dari tahun 2004 sampai tahun 2006. Begitu juga
dengan perusahaan beraset lebih dari Rp 1 triliun.
Pada tabel 4, kecenderungan tema dapat terlihat. Dari tahun 2004 - 2006 sumber daya
manusia (human resources) merupakan tema yang paling banyak diungkapkan perusahaan
untuk menunjukkan kinerja tanggung jawab sosial mereka. Di sisi lain, energi merupakan tema
sosial yang paling sedikit diungkapkan oleh perusahaan-perusahaan sampel.
Pada tabel 5 terlihat bahwa selama tiga tahun, perusahaan yang bergerak dalam industri
pertambangan memiliki nilai rata-rata CSP yang paling tinggi. Menyusul di urutan berikutnya
adalah industri barang konsumsi, pertanian serta infrastruktur, utilitas, dan transportasi. Tingkat
CSP yang tinggi terjadi karena perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam industri yang
sangat high profile. Industri ini memiliki ciri visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi,
persaingan yang ketat, serta memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan.
Sementara itu, nilai rata-rata CSP yang paling rendah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang
berada dalam industri aneka industri, industri dasar dan kimia, properti dan real estate serta
perdagangan, jasa, dan investasi. Tingkat CSP yang rendah tersebut disebabkan karena
perusahaan properti dan real estate serta perdagangan, jasa, dan investasi merupakan perusahaan
dalam industri yang low profile. Anggraini (2006) menyatakan bahwa perusahaan dalam industri
low profile cenderung memiliki CSP yang lebih rendah dibandingkan industri high profile.
Pada tabel 6, dapat dilihat bahwa empat peringkat teratas diduduki oleh industri
infrastruktur, utilitas, dan transportasi; aneka industri; barang konsumsi; dan industri pertanian.
Sementara industri yang lainnya, memiliki nilai EVA yang jauh lebih rendah daripada EVA
13
empat industri teratas. Bahkan industri dasar dan kimia serta industri properti dan real estate
memiliki nilai rata-rata EVA 2005 negatif.
Masukkan tabel 2, 3, 4, 5, dan 6 Disini
2. Korelasi Antar Variabel
Dapat dilihat dari tabel 7 bahwa masing-masing variabel dalam penelitian saling
memiliki korelasi positif yang tidak terlalu tinggi, hampir semua korelasi berada di bawah angka
0,5. Korelasi positif yang lebih dari 0,5 terjadi pada variabel dummy ukuran perusahaan
(DSIZE) dengan Corporate Social Performance (CSP) tahun 2004 sampai tahun 2006. Korelasi
yang tinggi ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dengan kinerja sosial perusahaan
berhubungan cukup erat. Semakin besar ukuran suatu perusahaan maka kinerja sosial yang
dimiliki akan cenderung lebih baik juga. Selain itu, korelasi yang sangat tinggi juga terjadi
antara variabel-variabel CSP1, CSP2, dan CSP3. Hal ini menunjukkan bahwa Corporate Social
Performance perusahaan dari tahun ke tahun saling berkorelasi kuat. Sementara untuk variabelvariabel yang lain, hubungan yang ada tidak cukup erat, meskipun memang terjadi adanya
hubungan positif.
Masukkan tabel 7 Disini
3. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan pada model statistik yang menggunakan metode analisa
regresi linear berganda (yaitu model 3 dan model 4) untuk mendapatkan model yang sesuai
dengan asumsi-asumsi Ordinary Least Square (OLS). Pengujian asumsi klasik kriteria
ekonometri tidak dilakukan untuk model 1 dan model 2 karena pengujian kedua model tersebut
menggunakan metode Maximum Likelihood – Binary Logit. Pengujian-pengujian yang
dilakukan dalam mengevaluasi asumsi klasik adalah: uji multicolenarity, auto correlations, dan
14
heteroskedastisitas. Berdasarkan pengujian terlihat tidak terdapat auto correlation, tidak terdapat
heteroskedasticity serta multicolenarity.
4. Pengujian Hipotesa
4.1. Pengujian Hipotesa 1
Hipotesa 1 menguji apakah leaders dalam pencapaian nilai Economic Value Added
(EVA) juga merupakan leaders dalam pencapaian Corporate Social Performance (CSP). Dari
tabel 8 dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai EVA yang tinggi
belum tentu memiliki tingkat CSP yang tinggi pula. Sehingga, leaders dalam pencapaian nilai
EVA, belum tentu merupakan leaders dalam pencapaian tingkat kinerja sosial.
Untuk
lebih
memastikan apakah leaders dalam pencapaian EVA juga merupakan leaders dalam CSP, kami
menggunakan metode uji statistik yang lain, yaitu Spearman Rank Correlation. Dari tabel 9
dapat dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki peringkat EVA tinggi belum tentu
memiliki peringkat CSP yang tinggi pula.
Masukkan tabel 8, dan 9 Disini
4.2 Pengujian Hipotesa 2
Hipotesa 2 menguji apakah kinerja sosial perusahaan mempengaruhi pencapaian nilai
Economic Value Added yang tinggi dari perusahaan, pada tahun yang sama. Berdasarkan tabel
10 variabel independen Corporate Social Performance (CSP) ternyata tidak signifikan dalam
pengujian ini. Hal ini menunjukkan bahwa berapapun tingkat kinerja sosial perusahaan pada
suatu tahun, tidak akan berpengaruh pada nilai EVA yang dihasilkan pada tahun yang sama.
Dengan kata lain kinerja sosial perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pencapaian nilai EVA perusahaan.
Masukkan tabel 10 Disini
15
4.3. Pengujian Hipotesa 3
Hipotesa 3 menguji apakah kinerja sosial perusahaan pada suatu tahun (tahun t-1)
mempengaruhi pencapaian nilai Economic Value Added yang tinggi dari perusahaan di tahun
berikutnya (tahun t). Hasil yang didapat pada tabel 11 menunjukkan bahwa variabel independen
Corporate Social Performance (CSP) ternyata tidak signifikan dalam pengujian ini. Hal ini
menunjukkan bahwa berapapun tingkat kinerja sosial perusahaan pada suatu tahun, tidak akan
berpengaruh pada nilai EVA yang dihasilkan pada tahun berikutnya. Dengan kata lain kinerja
sosial perusahaan pada suatu tahun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian
nilai EVA perusahaan di tahun berikutnya. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Waddock
dan Graves di tahun 1997. Dalam penelitian Waddock dan Graves, dapat dibuktikan bahwa
kinerja sosial perusahaan yang baik pada suatu tahun akan memberikan kontribusi bagi
terciptanya kinerja keuangan yang baik di tahun berikutnya, yang dalam penelitian tersebut
diukur dengan Return on Sales, Return on Equity, dan Return on Asset.
Masukkan tabel 11 Disini
4.4. Pengujian Hipotesa 4
Hipotesa 4 menguji apakah pencapaian EVA yang tinggi juga mempengaruhi kinerja
sosial perusahaan secara positif di tahun yang sama. Dari tabel 12 dapat disimpulkan bahwa
adanya nilai EVA yang tinggi pada suatu tahun, dapat menciptakan kinerja sosial yang tinggi
pula di tahun yang sama. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti
McGuire, Sundgreen, dan Schneeweis (1988) dan Waddock dan Graves (1997), yang juga
menghasilkan kesimpulan sama bahwa dengan adanya kinerja ekonomi yang tinggi di
perusahaan, menyebabkan perusahaan tersebut memiliki sumber daya lebih yang dapat
digunakan untuk melakukan aktivitas tanggung jawab sosial. Teori yang mendasari hal ini
adalah teori slack resources.
Masukkan tabel 12 Disini
16
4.5. Pengujian Hipotesa 5
Hipotesa 5 menguji apakah pencapaian EVA yang tinggi juga mempengaruhi kinerja
sosial perusahaan secara positif di tahun yang sama. Dari tabel 13 dapat disimpulkan bahwa
adanya nilai EVA yang tinggi pada suatu tahun, dapat menciptakan kinerja sosial yang tinggi di
tahun berikutnya (teori Slack Resources). Hal ini sejalan dengan penelitian Waddock dan Graves
(1997), yang juga menghasilkan kesimpulan sama bahwa dengan adanya kinerja ekonomi yang
tinggi di perusahaan pada suatu tahun, menyebabkan perusahaan tersebut memiliki sumber daya
lebih yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas tanggung jawab sosial di tahun
berikutnya.
Masukkan tabel 13 Disini
4.5 Analisis Keseluruhan
Secara keseluruhan, penelitian ini manghasilkan kesimpulan bahwa nilai perusahaan
yang tinggi, yang dicerminkan dengan Economic Value Added (EVA), memang berhubungan
positif dan signifikan dengan Corporate Social Performance, baik pada tahun yang sama
maupun di tahun berikutnya (asumsi ada time lag). Namun nilai R-squared dan F-Statistic yang
lebih tinggi terjadi pada model yang mengasumsikan adanya time lag. Dengan demikian, dapat
ditarik kesimpulan bahwa memang EVA yang tinggi akan berkontribusi bagi terciptanya
kelebihan sumber daya yang dapat diinvestasikan untuk melakukan kinerja sosial, namun
kontribusi tersebut akan lebih dapat dirasakan pada periode setelahnya, setidaknya satu tahun
berikutnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori slack resources dan juga sejalan dengan
beberapa penelitian sebelumnya seperti: Cochran dan Wood, 1984; McGuire et al., 1988;
Aupperle et al., 1985, Waddock dan Graves, 1997, yang menyimpulkan bahwa Corporate Social
Performance tergantung dari kinerja ekonomi perusahaan, dan tanda dari hubungan tersebut
adalah positif.
Sementara hasil pengujian hipotesa lain menyimpulkan bahwa Corporate Social
Responsibility (CSP) berhubungan positif dengan EVA, namun hubungannya tidak signifikan
17
(dengan tingkat kepercayaan 95%). Dengan kata lain, kinerja sosial tidak signifikan
mempengaruhi penciptaan nilai bagi pemegang saham. Hubungan tidak signifikan antara CSP
dengan kinerja ekonomi perusahaan juga pernah terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya,
seperti: Abbott dan Monsen (1979), Ingram dan Frazier (1983), McWilliams dan Siegel (2000),
serta Waddock dan Graves (2000). Di lain sisi, banyak penelitian sebelumnya yang
menghasilkan hubungan positif signifikan, seperti: Anderson dan Frankle (1980), Clarkson
(1988), Preston (1978), Spicer (1978), serta Waddock dan Graves (1997).
Fakta lainnya yang dihasilkan dari penelitian ini adalah ternyata variabel kontrol ukuran
perusahaan berkorelasi positif dan signifikan dengan CSP, namun memiliki hubungan positif
yang tidak signifikan dengan EVA. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
menganggap bahwa ukuran perusahaan variabel kontrol yang relevan karena ada bukti yang
menyatakan bahwa perusahaan yang lebih kecil tidak dapat melakukan perilaku tanggung jawab
sosial sebanyak perusahaan besar. Hal ini terjadi karena ketika semakin matang dan
berkembang, perusahaan menarik perhatian yang lebih banyak dari para konstituen eksternal,
sehingga lebih dituntut untuk memberikan tingkat respon yang lebih ringgi terhadap permintaan
stakeholder. Namun, berdasarkan hasil penelitian ini, terbukti bahwa ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap nilai EVA yang dihasilkan. Jadi perusahaan besar belum tentu
menghasilkan nilai EVA yang tinggi dan positif. Sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil belum
tentu tidak mampu menghasilkn EVA tinggi.
Hasil yang cukup berbeda dengan studi empiris sebelumnya terjadi pada variabel kontrol
industri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa industri perusahaan berhubungan positif namun
tidak segnifikan dengan CSP. Namun, industri berhubungan positif dan signifikan dengan
pencapaian nilai EVA. Hubungan yang tidak signifikan antara industri dengan CSP pernah
terjadi pada penelitian Johnson (1966), meskipun sebagian besar studi empiris menemukan
hubungan yang signifikan. Perbedaan ini bisa saja terjadi karena perusahaan-perusahaan di
18
Indonesia, apapun industrinya, masih memiliki tingkat kesadaran yang sama terhadap aktivitas
tanggung jawab sosial perusahaan.
Sementara efek positif industri terhadap EVA dapat terjadi karena faktor investasi pada
riset dan pengembangan. Waddock dan Graves (1997) menemukan bahwa terdapat variasi yang
berbeda dari tingkat investasi riset dan pengembangan pada masing-masing industri. Seperti
yang telah dijelaskan pada Landasan Teori, bahwa dalam menghitung EVA, elemen biaya riset
dan pengembangan yang tadinya dibebankan, harus disesuaikan/ditambahkan kembali untuk
menambah elemen Net Operating Profit After Tax. Hal ini mengakibatkan perusahaanperusahaan yang banyak berinvestasi pada riset dan pengembangan, aan memperoleh nilai EVA
yang lebih tinggi. Dan jika melihat sifat dari industri high profile, maka tampak bahwa industri
ini kemungkinan memiliki investasi pada riset dan pengembangan yang lebih banyak daripada
industri low profile, sehingga menghasilkan EVA yang rata-rata lebih tinggi.
Secara keseluruhan, penelitian ini menghasilkan pendangan bahwa untuk perusahaanperusahaan di Indonesia, maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham memang masih menjadi
fokus utama. Jika pemegang saham telah terpenuhi kebutuhannya, maka barulah kepentingan
stakeholder lainnya terpenuhi. Sebenarnya ini bukanlah pandangan yang salah sepenuhnya.
Karena, jika perusahaan-perusahaan di Indonesia berusaha untuk menciptakan nilai yang
setinggi-tingginya bagi pemegang saham, pada akhirnya perusahaan ini akan memiliki sumber
daya yang dapat digunakan untuk melakukan kinerja sosial yang tinggi pula. Jadi semakin tinggi
nilai tambah bagi pemegang saham, diharapkan, semakin tinggi pula kinerja sosial yang
dihasilkan. Namun yang perlu diperhatikan juga adalah fakta bahwa sebenarnya pemegang
saham adalah residual claimants, yang berarti pemenuhan kepentingan mereka harus dilakukan
setelah perusahaan memenuhi kepentingan stakeholders lainnya. Jangan sampai pemenuhan
kepentingan pemegang saham mengorbankan pemenuhan kepentingan stakeholder lain yang
juga penting.
19
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian kali ini menggunakan nilai Economic Value Added sebagai proksi dari
penciptaan nilai perusahaan bagi pemegang saham. Setelah melaksanakan penelitian mengenai
hubungan antara kinerja sosial perusahaan dengan penciptaan nilai bagi pemegang saham, maka
dapat disimpulkan:
1. EVA leader ternyata tidak menjamin CSP leader. Namun ada kecenderungan perusahaan
yang memiliki nilai EVA yang baik memiliki kemampuan yang lebih baik juga dalam
melakukan kinerja tanggung jawab sosial. Baik di tahun yang sama, maupun di tahun
berikutnya.
2. CSP tidak signifikan mempengaruhi EVA, baik di tahun yang sama, maupun jika
diasumsikan ada time lag satu tahun setalahnya. Dengan kata lain, kinerja sosial tidak
signifikan mempengaruhi penciptaan nilai bagi pemegang saham.
3. Ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja sosial
perusahaan, namun tidak signifikan mempengaruhi nilai EVA. Sedangkan variabel
industri hanya berpengaruh positif dan sigifikan terhadap nilai EVA, tidak dengan
kinerja sosial perusahaan.
Saran
Penelitian selanjutnya, diharapkan dapat memperbaiki keterbatasan dalam penelitian kali
ini dengan mengembangkan beberapa hal, seperti:

Penggunaan ukuran nilai tambah yang lain, seperti Market Value Added, Cash flow
Return on Investment, Shareholder Value Added, dan lain-lain.

Kemungkinan efek jangka panjang dan jangka pendek kinerja sosial terhadap kinerja
ekonomi dimasukkan dalam satu model.

Sampel yang dipilih sebaiknya lebih banyak dan mencakup keseluruhan industri, agar
lebih menggambarkan keadaan industri yang sebenarnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, David A. dan Robert Jacobson. 1987. The Role of Risk in Explaining Differences in
Profitability. The Academy of Management Journal, 30 (2): 277-296.
Abbott, Walter F. dan R. Joseph Monsen. 1979. On the Measurement of Corporate Social
Responsibility: Self-Reported Disclosures as a Method of Measuring Corporate Social
Involvement. The Academy of Management Journal, 22 (3): 501-515.
Abdeen, Adnan M. 1991. Social Responsibility Disclosure in Annual Reports. Business Forum,
16 (1): 23-26.
Alexander, G. J., dan R. A. Bucchholz. 1978. Corporate Social Responsibility and Stock Market
Performance. Academy of Management Journal, 21: 479-486.
Amato, Louis H. dan Christie H. Amato. 2007. The Effects of Firm Size and Industry on
Corporate Giving. Journal of Business Ethics, 72: 229–241.
Anderson, J.C., dan A.W. Frankle. 1980. Voluntary Social Reporting: An Iso Beta Portfolio
Analysis. The Accounting Review, 55: 467-479.
Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan
(Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta).
Simposium Nasional Akuntansi XI Padang.
Anonim.
2005.
Corporate
Social
Responsibility
and
Implications
For
Hong Kong's Manufacturers and Exporters Hong Kong Trade Development Council
Economic Forum. http://www.tdctrade.com, 3 September 2007.
Anonim. 2005. ”Joel M Stern: Perbesar Tabungan Bonus untuk Mencegah Kecurangan
Manajemen.” SWA 21/XXI/13-23 Oktober 2005.
Anonim. 2006. “Perhitungan SWA100.” SWA 25/XXII/30 November – 10 Desember 2006.
Arlow, P., dan M. J. Gannon. 1982. Social Responsivenes, Corporate Structure, and Economic
Performance. Academy of Management Review, 7: 235-241.
Aryani, Siti Nur. “CSR, Bukan Sekedar Tren,” Sinar Harapan, 25 Maret 2006.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/25/opi02.html, 3 Juli 2007.
Aupperle, K. E., A. B. Carroll dan J. D. Hatfield.1985. An Empirical Examination of the
Relationship Between Corporate Social Responsibility and Profitability. Academy of
Management Journal, 28 (2): 446–463.
Belal, Ataur Rahman. 2001. A study of corporate social disclosures in Bangladesh. Managerial
Auditing Journal, 16 (5): 274-289.
21
Biddle, G. C., R.M. Bowen, dan J.S. Wallace. 1997. Does EVA beat earnings? Evidence on
Associations with Stock Returns and Firm Values. Journal of Accounting and
Economics, December: 301–336.
Bowman, E. H., dan M. Haire. 1975. A Strategic Posture Toward Corporate Social
Responsibility. California Management Review, 18(2): 49-58.
Bragdon, J., dan J. Marlin. 1972. Is pollution profitable? Risk Management, 19(4): 9-18.
Branco, Manuel Castelo dan Lu´cia Lima Rodrigues. 2006. Corporate Social Responsibility and
Resource-Based Perspectives. Journal of Business Ethics, 69:111–132.
Carroll A. 1979. A Three-dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance.
Academy of Management Review, 4: 497-505.
Chand, Masud. 2006. The Relationship between Corporate Social Performance and Corporate
Financial Performance: Industry Type as a Boundary Condition. The Business Review, 5
(1): 240-245.
Chen, S. dan J.L. Dodd. 1997. Economic Value Added (EVA): an Empirical Examination of a
New Corporate Performance Measure. Journal of Managerial Issues, Fall: 318–333.
Darwin, Ali. 2006. Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR bagi
Perusahaan di Indonesia. Economics Business and Accounting Review, 3: 83-95.
Davis K. 1960. Can Business Afford to Ignore Corporate Social Responsibilities? California
Management Review, 2: 70-76.
De Villiers, J. 1997. The Distortions in Economic Value Added (EVA) Caused by Inflation.
Journal of Economics and Business, May/June: 285–300.
Deegan, C. dan M. Rankin. 1997. The materiality of Environmental Information to Users of
Annual Reports. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 10 (4): 562.83.
Donaldson, T., dan T. W. Dunfee. 1994. Towards a Unified Conception on Business Ethics:
Integrative Social Contracts Theory. Academy of Management Review, 19: 252-284.
Dooley, R. S., dan L. D. Lerner. 1994. Pollution, Profits, and Stakeholder: The Constraining
effect of Economic Performance on CEO Concern with Stakeholder Expectations.
Journal of Business Ethics, 13: 701-711.
Dwi Hartanti. 2006. Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan Perkembangannya.
2006. Economics Business and Accounting Review, 3: 113-120.
Epstein, Marc J. dan Martin Freedman. 1994. Social Disclosure and The Individual Investor.
Accounting, Auditing & Accountability Journal, 7 (4): 94-109.
Firdanianty. 2006. “Antara EVA dan Saham.” SWA 25/XXII/30 November – 10 Desember
2006.
22
Folger, H. R., dan F. A. Nutt. 1975. A Note on Social Responsibility and Stock Valuation.
Academy of Management Journal, 18: 155-159.
Gao, Simon S., Saeed Heravi dan Jason Zezheng Xiao. 2005. Determinants of Corporate Social
and Environmental Reporting in Hong Kong: a Research Note. Accounting Forum, 29:
233–242.
Gray, R., R. Kouhy dan S. Lavers. 1995. Corporate Social and Environmental Reporting a
Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure. Accounting,
Auditing and Accountability Journal, 8 (2): 47.77.
Hackston, D. dan M.J. Milne. 1996. Some Determinants of Social and Environmental
Disclosures New Zealand Companies. Accounting, Auditing Accountability Journal, 9
(1): 77.108.
Hasibuan-Sedyono, Chrysanti. 2006. CSR Communications: A Challenge on It’s Own.
Economics Business and Accounting Review, 3: 71-82.
Hasibuan-Sedyono, Chrysanti. ”Sekali Lagi
http://www.swa.co.id, 7 Agustus 2007.
CSR,”
SWA
10
November
2003.
Hillman, A. J. dan G. D. Keim. 2001. Shareholder Value, Stakeholder Management, and Social
Issues: What’s the Bottom Line? Strategic Management Journal, 22: 125–139.
Holmes, S. L. 1977. Corporate Social Performance: Past and Present Areas of Commitment.
Academy of Management Journal, 20: 433-538.
Hong Kong's Manufacturers and Exporters Hong Kong Trade Development Council Economic
Forum. http://www.tdctrade.com, 3 September 2007.
Hopkins, Michael. 2004. Corporate Social Responsibility: an issues paper. Working Paper No.
27 Policy Integration Department World Commission on the Social Dimension of
Globalization. Geneva: International Labour Office.
Horngren, Charles T., G. Foster, M. Srikant Datar. 2005. Cost Accounting: A Managerial
Emphasis, 12th ed. New Jersey: Prentice Hall.
http://www.hukumonline.com, 28 Agustus 2007.
http://www.investopedia.com, 13 September 2007.
http://www.wikipedia.com, 13 September 2007.
http://www.wbcsd.org, 11 September 2007
Iramani dan Erie Febrian. 2005. Financial Value Added: Suatu Paradigma dalam Pengukuran
Kinerja dan Nilai Tambah Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 7 (1): 1-10.
Johnson, R. A., dan D. W. Greening. 1999. The Effect of Corporate Governance and
Institutional Ownership Types on Corporate Social Performance. Academy of
Management Journal, 42: 564-576.
23
Johnson, Robert dan Luc Soenen. 2003. Indicators of Successful Companies. European
Management Journal, 21 (3): 364–369.
Kin, H.S. 1990. Corporate Social Responsibility Disclosures in Malaysia. Akuntan Nasional,
January: 4-9.
Leech, Nancy L., Karen C. Barrett, George A. Morgan. 2005. SPSS for Intermediate Statistics:
Use and Interpretation, 2nd Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Linda M. Lovata, Linda M. dan Michael L. Costigan. 2002. Empirical Analysis of Adopters of
Economic Value Added. Management Accounting Research, 13: 215–228.
Lynn, M. 1992. A Note on Corporate Social Disclosure in Hong Kong. British Accounting
Review, 24:105-110.
Margolis, J. D. dan J. P. Walsh. 2003. Misery Loves Companies: Rethinking Social Initiatives
by Business. Administrative Science Quarterly, 48: 268–305.
Mathews, M.R. 1995. Social and Environmental Accounting: A Practical Demonstration of
Ethical Concern? Journal of Business Ethics, 14: 663-671.
McGuire, J. B., A. Sungren, dan T. Schneeweis. 1988. Corporate Social Responsibility and Firm
Performance. Academy of Management Journal, 31: 854-872.
McWilliams, A. dan D. Siegel. 2001. Corporate Social Responsibility: A Theory of the Firm
Perspective. Academy of Management Review, 26(1): 117–127.
McWilliams, Abagail dan Donald Siegel. 2000. Corporate Social Responsibility and Financial
Performance: Correlation or Misspecification? Strategic Management Journal, 21 (5):
603-609.
Modul Analisa Software Ekonometrika. Depok: Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu
Ekonomi FEUI.
Narver, J.C. 1971. Rational Management Responses to External Effects. Academy of
Management Journal, 14: 99-115.
Noke Kiroyan. 2006. Good Corporate Governence (GCG) dan Corporate Social Responsibility
(CSR) adakah kaitan di antara keduanya? Economics Business and Accounting Review,
3: 45-58.
Orlitzky, M., F. L. Schmidt dan S. L. Rynes. 2003. Corporate Social and Financial Performance:
A Metaanalysis. Organization Studies, 24(3): 403–441.
Pambudi, Teguh Sri. 2006. CEO dan CSR: Antara Citra dan Kepedulian. Economics Business
and Accounting Review. Edisi 3/ September-Desember 2006. 9-20.
Parket, R.I. dan H. Eilbirt. 1975. The Practice of Business: The Current Status of Corporate
Social Responsibility. Business Horizons, 16 (4): 5-14.
24
Pradhono dan Yulius Jogi Christiawan. 2004. Pengaruh Economic Value Added, Residual
Income, Earnings dan Arus Kas Operasi terhadap Return yang Diterima oleh Pemegang
Saham. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 6: 2.
Preston, L.E. 1978. Analyzing Corporate Social Performance: Methods and Results. Journal of
Contemporary Business, 7 (1): 135-149.
Rahayu, Eva Martha. “Wajah SWA100 2006: Makin Banyak yang EVA-nya Jeblok.” SWA
25/XXII/30 November – 10 Desember 2006.
Raman, S. Raghu. 2006. Corporate Social Reporting in India—A View from the Top. Global
Business Review, 7: 313-324.
Rikhardsson, P., A.J.R. Anderson dan H. Bany. 2002. Sustainability Reporting on the Internet:
A Study of the Global Fortune 500. Greener Management International, 40: 57-75.
Salmi, Timo dan Ilka Virtanen. 2001. Economic Value Added: A Simulation Analysis of The
Trendy, Owner Oriented Management Tool. Acta Wasaensia No. 20.
Seifert, Bruce., Sara A. Morris dan Barbara R. Bartkus. 2004. Having, Giving, and Getting:
Slack Resources, Corporate Philanthropy, and Firm Financial Performance. Business
Society, 43: 135-161.
Sekaran, Uma. 2003. Research Method for Business A Skill Building Approach, 4th Ed. New
York: John Wiley and Sons.
Spicer, B. H. 1978. Investors, Corporate Social Performance and Information Disclosure: An
empirical study. Accounting Review, 53: 94-111.
Stanwick, Peter A., dan Sarah D Stanwick. 1998. The relationship between corporate Social
performance and organizational size, financial performance and Environmental
Performance: an Empirical Examination. Journal of Business Ethics, 17 (2): 195-204.
Sturdivant, F. D., dan J. L. Ginter. 1977. Corporate Social Responsiveness: Management
Attitudes and Economic Performance. California Management Review, 19 (3): 30-39.
Ullman, A. E. 1985. Data in Search of a Theory: A Critical Examination of the Relationships
Among Social Performance, Social Disclosure and Economic Performance of U.S.
Firms. Academy of Management Review, 10(3): 540–557.
Unerman, J. 2000. Methodological Issues Reflections on Quantification in Corporate Social
Reporting Content Analysis. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 13 (5):
667-681.
Utomo, Lisa Linawati. 1999. Economic Value Added Sebagai Ukuran Keberhasilan Kinerja
Manajemen. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 1 (1): 28 – 42.
Vance, S.C. 1975. Are Socially Responsible Corporations Good Investment Risk? Management
Review, 64 (8): 18-24.
25
Venanzi, Daniela dan Barbara Fidanza. 2006. Corporate Social Responsibility and Value
Creation: Determinants and Mutual Relationship in a sample of European listed firms.
http://www.ssrn.com, 6 September 2007.
Waddock, Sandra A dan Samuel B. Graves. 1997. The Corporate Social Performance-Financial
Performance Link. Strategic Management Journal, 18 (4). (Apr., 1997): 303-319.
Warr, Richard S. 2005. An empirical study of inflation distortions to EVA. Journal of
Economics and Business, 57: 119–137.
Wartick, Steven L. dan Philip L. Cochran. 1985. The Evolution of the Corporate Social
Performance Model. The Academy of Management Review, 10 (4): 758-769.
Wood, D.J. 1991. Corporate Social Performance Revisited. Academy of Management Review,
16: 691-718.
Wu, Meng-Ling. 2006. Corporate Social Performance, Corporate Financial Performance, and
Firm Size:A Meta-Analysis. Journal of American Academy of Business, 8 (1): 163-171.
Young, David. 1997. Economic Value Added: A Primer for European Managers. European
Management Journal, 15 (4): 335-343.
Young, S. David, dan Stephen F. O’Byrne. 2001. EVA and Value Based Management: A
Practical Guide to Implementation. New York: McGraw-Hill.
Zeghal, D. dan S. A. Ahmed. 1990. Comparison of Social Responsibility Information Disclosure
Media Used by Canadian Firms. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 3 (1):
38-53.
26
Tabel 1
Data Perusahaan SWA 100 Per Industri
Industri Perusahaan
Pertanian
Pertambangan
Industri Dasar dan Kimia
Aneka Industri
Industri Barang Konsumsi
Properti dan Real Estat
Infrastruktur Utilitas dan Transportasi
Perdagangan Jasa dan Investasi
Total
Jumlah Perusahaan
4
4
14
10
16
15
8
29
100
Sumber : data diolah
Tabel 2
Statistik Deskriptif
Variabel
DEVA
CSP1
CSP2
CSP3
DSIZE
DIND
N
100
100
100
100
100
100
Mean
.37
10.48
11.25
12.04
.50
.56
Median
.00
10.00
11.00
11.00
.50
1.00
Maximum
1.00
28.00
29.00
27.00
1.00
1.00
Minimum
.00
3.00
4.00
4.00
.00
.00
Std. Dev.
.48524
5.31527
5.31887
5.30279
.50252
.49889
DEVA = variabel dummy Economic Value Added perusahaan sampel tahun 2005 (1jika nilai EVA positif, 0 jika nilai EVA
negatif), CSP1 = Corporate Social Performance perusahaan sampel tahun 2004, CSP2 = Corporate Social Performance
perusahaan tahun 2005, CSP3 = Corporate Social Performance perusahaan tahun 2006, DSIZE = variabel dummy untuk
ukuran perusahaan ( 1 jika total asset > Rp 1 triliun, 0 jika total asset < 1 triliun ), DIND = variabel dummy untuk industri
perusahaan ( 1 jika perusahaan berada pada industri high profile, 0 jika perusahaan berada pada industri low profile ).
Sumber: data diolah
Tabel 3
Rata-rata Pengungkapan CSP Berdasarkan Ukuran Perusahaan
Total Asset Perusahaan
> Rp 1 triliun
< Rp 1 triliun
2004
13,50
7,46
2005
13,98
8,52
2006
15,08
9,00
Sumber: data diolah
Tabel 4
Presentase Pengungkapan CSP per Tema
Tema Pengungkapan Kinerja Sosial
Environment
Energy
Health and safety
Human resources
2004
11,67%
1,32%
6,74%
28,04%
2005
9,16%
0,80%
7,20%
27,56%
2006
9,98%
1,41%
6,94%
26,46%
27
Community involvement
Fair bussiness practices
Products
Sumber: data diolah
11,43%
21,30%
19,49%
10,93%
22,40%
21,96%
12,15%
22,13%
20,93%
Tabel 5
Rata-rata Pengungkapan CSP per Industri
Industri
pertanian
pertambangan
industri dasar dan kimia
aneka industri
barang konsumsi
properti dan real estate
infrastruktur, utilitas, dan
transportasi
perdagangan, jasa dan investasi
Sumber: data diolah
2004
13,25
21,72
7,5
8,00
14,25
8,00
2005
13
22,25
8,5
8,50
16,00
9,00
2006
14
21,25
9,25
8,25
15,00
9,50
Rata-rata
keseluruhan
13,42
21,75
8,42
8,25
15,08
8,83
12,00
4,5
13,25
5,25
12,75
6,5
12,67
5,42
Tabel 6
Rata-rata EVA per Industri
Industri
Pertanian
Pertambangan
industri dasar dan kimia
aneka industri
barang konsumsi
properti dan real estate
infrastruktur, utilitas, dan
transportasi
perdagangan, jasa dan investasi
Rata-rata EVA 2005
Rp166.420.750.000
Rp8.080.250.000
-Rp4.121.214.286
Rp275.712.200.000
Rp227.343.812.500
-Rp33.669.866.667
Rp563.208.000.000
Rp10.783.586.207
Sumber: data diolah
Tabel 7
Korelasi Antar Variabel
DEVA
DEVA
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
CSP1
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
CSP2
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
CSP1
CSP2
CSP3
DSIZE
DIND
1
.322(**)
.332(**)
.355(**)
.228(*)
.345(**)
.
.001
.001
.000
.023
.000
100
100
100
100
100
100
.322(**)
1
.951(**)
.911(**)
.571(**)
.248(*)
.001
.
.000
.000
.000
.013
100
100
100
100
100
100
.332(**)
.951(**)
1
.922(**)
.516(**)
.247(*)
.001
.000
.
.000
.000
.013
100
100
100
100
100
100
28
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
CSP3
.355(**)
.911(**)
.922(**)
1
.576(**)
.213(*)
.000
.000
.000
.
.000
.033
100
100
100
100
100
100
.228(*)
.571(**)
.516(**)
.576(**)
1
.121
.023
.000
.000
.000
.
.231
100
100
100
100
100
100
.345(**)
.248(*)
.247(*)
.213(*)
.121
1
.000
.013
.013
.033
.231
.
100
100
100
100
100
100
N
DSIZE
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
DIND
N
** Korelasi signifikan pada α=0.01 (2-tailed).
* Korelasi signifikan pada α=0.05 (2-tailed).
Sumber: data diolah
Tabel 8
Independent-Samples T-Test
Levene’s Test for Equality of
Variances
F
Sig.
SCORE
EVA-CSP
Equal
variances
assumed
Equal
variances not
assumed
18.964
t-test for Equality of Means
t
.000
df
Sig. (2tailed)
2.099
198
.037
2.099
99.000
.038
Sumber: data diolah
Tabel 9
Spearman Rank Correlations
EVA
Spearman's
rho
EVA
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
CSP
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
CSP
1.000
.192
.
.056
100
100
.192
1.000
.056
.
100
100
Sumber: data diolah
Tabel 10
Hasil Logit Model 1
Variabel Dependen: DEVA = 1 untuk perusahaan dengan EVA positif, 0 untuk perusahaan
dengan EVA negatif.
Variabel
Independen
Constant
CSP
Ekspektasi
Tanda
?
+
Koefisien
-2.662
.091
Wald
16.399
2.906
Signifikansi
.000
.088
Exp (B)
.070
1.095
29
DSIZE
+
DIND
+
Hosmer & Lemeshow Test
-2 Log Likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
* Signifikan pada level 5%
.437
1.373
.718
7.800
.397
* .005
0.750
111.309
0.170
0.233
1.549
3.946
DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun t, 1 untuk EVA
positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance masing-masing perusahaan sampel tahun
t. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1 triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri
high profile, 0 = industri low profile.
Tabel 11
Hasil Logit Model 2
Variabel Dependen: DEVA = 1 untuk perusahaan dengan EVA positif, 0 untuk perusahaan
dengan EVA negatif.
Variabel
Ekspektasi
Independen
Tanda
Constant
?
CSP
+
DSIZE
+
DIND
+
Hosmer & Lemeshow Test
-2 Log Likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
* Signifikan pada level 5%
Koefisien
-2.562
.090
.398
1.388
Wald
.547
7.974
2.804
17.479
Signifikansi
.000
.094
.460
* .005
0.871
112.321
0.177
0.242
Exp (B)
.077
1.094
1.489
4.009
DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun t, 1 untuk EVA
positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance masing-masing perusahaan sampel tahun
t. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1 triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri
high profile, 0 = industri low profile.
Sumber: data diolah
Tabel 12
Hasil Multiple Regression Model 3
Variabel Dependen: CSP (Corporate Social Performance)
Variabel
Ekspektasi
Independen
Tanda
Koefisien
t-Statistic
Prob.
7.312372
9.412250
0.0000
Constant
?
2.002236
2.009114
* 0.0473
DEVA
+
4.854617
5.336410
* 0.0000
DSIZE
+
1.374092
1.445218
0.1517
DIND
+
R-squared
0.329076
Adjusted R-squared
0.308110
F-statistic
15.69545
Prob(F-statistic)
0.000000
* Signifikan pada level 5%
DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun
t, 1 untuk EVA positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance
masing-masing perusahaan sampel tahun t. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1
triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri high profile, 0 =
30
industri low profile.
Sumber: data diolah
Tabel 13
Hasil Multiple Regression Model 4
Variabel Dependen: CSP (Corporate Social Performance)
Variabel
Ekspektasi
Independen
Tanda
Koefisien
t-Statistic
Prob.
7.990392
10.82094
0.0000
Constant
?
2.298737
2.426835
* 0.0171
DEVA
+
5.475413
6.332463
* 0.0000
DSIZE
+
0.823872
0.911673
0.3642
DIND
+
R-squared
0.390211
Adjusted R-squared
0.371155
F-statistic
20.47713
Prob(F-statistic)
0.000000
* Signifikan pada level 5%
DEVA: dummy Economic Value Added (EVA) masing-masing perusahaan sampel tahun
t, 1 untuk EVA positif, 0 untuk EVA negatif. CSP: Corporate Social Performance
masing-masing perusahaan sampel tahun t+1. DSIZE: variabel dummy, 1 = aset > Rp 1
triliun, 0 = aset < Rp 1 triliun. DIND: variabel dummy, 1 = industri high profile, 0 =
industri low profile.
Sumber: data diolah
31
Lampiran
Checklist Pengungkapan Corporate Social Performance
Content Themes
(1) Environment
(2) Energy
No
Sub Themes
1
2
3
4
Pollution control (air, water, land, noise, visual)
Prevention of environmental damage
Waste recycling
Conservation of natural resources
5
6
7
Research and development
Environmental audit
Environmental policy
8
9
Other environmental disclosures
Conservation and energy saving
10
11
12
13
14
15
16
17
Development/exploration of new sources
Use of new sources
Other energy-related disclosure
Health and safety at work
Customer safety
Accidents rate
Compensation
Other health-related disclosures
(4) Human resources
18
19
20
21
22
23
24
Employee development/training programs
Pay and benefits (profit sharing scheme)
Pension scheme
Loan to employee
Employee share ownership scheme
Sport and recreation
Other employee related disclosures
(5) Community involvement
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Charitable donation and service
Political donation and service
Social activity sponsorship
Other community activity disclosures
Employment of women (sexual equality)
Employment of minority (racial equality)
Employment of disabled people
Customer complaints
ISO / Quality, including awards
Legal proceedings, litigation and liabilities
Other fair business practice disclosures
36
37
38
39
Product development
Product quality
Product safety
Other product related disclosures
(3) Health and safety
(6) Fair business practices
(7)Products
Sumber.
Sumber utama: Gao et al. (2005)
Dikombinasikan dengan: Hackston dan Milne (1996)
32
Download