Artikel Asli

advertisement
Artikel Asli
PENELITIAN RETROSPEKTIF ERUPSI KULIT AKIBAT OBAT
DI BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
!"
#$!%
ABSTRAK
&'(!()*)+'()((+'%*)%'!% sering terjadi1.
"%((+(+%()(%+%(+!-'%%
*)('*!+/'!!-(+%-'*!'(!
akibat obat di Bagian Ilmu Kesehatan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Penelitian ini
+'('!*'(%!((''*0/2334+)/235
%%(!-()'6(++'%%*
erupsi makulopapular, pustulosis, Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolysis, drug induced hypersensitivity
syndrome.
(-!'!'*!-+!-('(!()*)!+5-
)4)3578293:;0+!-''+'!)-)()%(!(4
!(%*3273<3!*+'*()(!-524=2-8//2>:;$
(!)(!-&8/>9=:;?)'))%!-'+*!+
++(*+*(@*!)(!*()+@''!'(
(+'/'83=>:;%0&C
%-%'(!()*)*)'))%'%)%
(!!'!+(('%(!%('('!+
diagnosis dini, dan penatalaksanaan erupsi kulit akibat obat, guna menekan angka morbiditas dan
mortalitas.
Kata kunci : Erupsi kulit akibat obat, penelitian retrospektif
ABSTRACT
Korespondensi:
Jl. Jaksa Agung Suprapto No.2 Malang
Telp./Fax: 0341-340991
Email: [email protected]
D* % '* +*% - +* ! '* drug reactions1. Incidence increases in proportion to the number of drugs prescribed
and '*!'-+6/ - ''* * - * (*
- % G )*
'!66!6!'6%+*!+*)*%'*
-*'6!+*%'
-*+*+*4*!*%
'+!"
H!*'!*+0/233!6+)/235-
diagnoses were included maculopapular eruption, G%'*6%*+
6 %!@ G-+* '!* 40*-* *+ *G6 '+!
6*!%6-'*+
"*!*3578293:;6
'*56*6
-+!*+!
* 3273<3 - -%- +) * - ' )!*% * - % %*' * 524=2
8//2>:;-+*6*++*'*
G%'*8/>9=:;-+*
6*++**%%
'6+*!*!!*
)++666*+*G@*!*!
)6!*6)+@'?!/83=>:;'6)40*-*
*+*G6'+!6*!*
!%*-%'*-6
%!*6!6-!*-6-+'*6*6*+'!
*-666!%*+%+*6*%'*
**6-+*)+*!
Keywords :D*%'**'6
99
MDVI
PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ yang paling sering
menjadi target reaksi simpang obat.3-5 Manifestasi klinis
erupsi kulit akibat obat sangat beragam, dari gejala yang
ringan hingga mengancam jiwa.1 Insidensi dan prevalensi
erupsi kulit akibat obat hingga saat ini masih sangat
bervariasi.6 Data epidemiologi erupsi kulit akibat obat
di Indonesia umumnya, dan di Propinsi Jawa Timur,
khususnya masih sangat terbatas. Variasi manifestasi
klinis dan temuan laboratorium menyebabkan pelaporan
menjadi tidak akurat7. Erupsi kulit akibat obat merupakan
suatu bentuk reaksi pada kulit atau jaringan mukokutan
akibat pemberian obat sistemik atau metabolitnya.3 Obat
yang dimaksud menurut O*! !- ?%@*
diagnostik, terapeutik, atau obat yang digunakan untuk
memodifikasi fungsi biologis tubuh.8 Sebagian besar
erupsi kulit akibat obat diperantarai oleh satu atau beberapa
mekanisme imunologis.3,5
Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian
erupsi kulit akibat obat sebesar 2,15% dari seluruh pasien
di bagian kulit. Angka kejadian erupsi kulit akibat obat
dibagian rawat inap menunjukkan adanya variasi dengan
kisaran 1-3% hingga 10-15%.5,8-11 Manifestasi klinis
erupsi kulit akibat obat cukup beragam dan didasari
oleh mekanisme imunologis yang tumpang tindih. 11
Manifestasi ringan terdiri dari erupsi makulopapular,
urtikaria/angioedema, dan G % '* (FDE);
sedangkan manifestasi berat meliputi 6%!@
G-+* '!* (AGEP), 40*-*
*+*G6'+!6*! (SJS/TEN), dan drug
6-'*+ (DIHS).13 Sebagian besar
manifestasi erupsi kulit akibat obat merupakan kelainan
kulit yang ringan dengan gejala lokal maupun sistemik.
Perbedaan pola penggunaan obat dan karakteristik etnik
suatu populasi mempengaruhi gambaran klinis erupsi kulit
akibat obat.14,15
Pada dasarnya, diagnosis klinis cukup ditegakkan
kasus erupsi kulit akibat obat kategori ringan. Fakta klinis
yang menunjukkan berhentinya proses penyakit setelah
pemakaian obat yang dicurigai dihentikan, merupakan data
pendukung untuk menegakkan diagnosis. Kriteria yang
sering digunakan untuk membantu proses penegakkan
diagnosis erupsi kulit akibat obat adalah kriteria Naranjo,
&*'%*D*"6*
(RegiScar) criteria, dan Japanese consensus group
criteria.13,16
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erupsi
kulit akibat obat adalah usia, jenis kelamin, riwayat alergi
obat sebelumnya, genetik, dan riwayat atopi. Seiring
100
L*!=5C*5-/237N99432=
bertambahnya usia, maka risiko pajanan obat akan semakin
meningkat. Erupsi kulit akibat obat banyak terjadi pada
dekade kedua hingga keempat.11 Perempuan memiliki
risiko dua kali lebih besar untuk mengalami erupsi
kulit akibat obat jika dibandingkan dengan laki-laki.11,15
Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor obat (sifat,
bivalensi, rute pemberian, derajat pajanan), kecenderungan
genetik, adanya pemberian obat lain, adanya penyakit
yang mendasari (infeksi virus), kehamilan, dan faktor
lingkungan.9,11,15 Awitan timbulnya manifestasi kulit dan
sistemik akibat obat dapat bervariasi, dipengaruhi oleh jenis
obat penyebab.
Prognosis erupsi kulit akibat obat dipengaruhi
oleh berat ringannya manifestasi klinis. Pada umumnya
prognosis cukup baik, terutama bila obat penyebab pasti
segera diketahui dan dihentikan pemakaiannya. Pada
manifestasi berat, dapat terjadi komplikasi berupa kecacatan
dan kematian.6,11,12,17 Penelitian yang dilakukan oleh EastInnis dkk. (2009) menunjukkan bahwa angka kematian
pada kasus erupsi kulit akibat obat kurang lebih sebesar
3,9%, dengan penyebab kematian tersering adalah sepsis,
gangguan elektrolit, dan pneumonia.4,18 Kecacatan yang
pernah dilaporkan merupakan komplikasi SJS/TEN, yaitu
berupa kebutaan, perlekatan jaringan mukosa dan striktur,
kerusakan kuku, pigmentasi kulit, dan gejala kulit kering.17,19
!"
kulit akibat obat pada Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang (RSSA)
periode tahun 2011-2013, meliputi manifestasi erupsi
kulit akibat obat ringan maupun berat, yaitu urtikaria,
angioedema, FDE, SJS, TEN, AGEP, dan DIHS. Dengan
adanya penelitian ini, para klinisi diharapkan dapat lebih
memahami gambaran klinis erupsi kulit akibat obat serta
mampu melakukan diagnosis dini dan menentukan
obat penyebab secara tepat, sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan yang optimal sebagai upaya pencegahan
untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif,
dengan menggunakan data catatan rekam medik pasien
baru periode 3 tahun, yaitu sejak bulan Januari 2011
sampai dengan bulan Desember 2013, yang ditampilkan
secara deskriptif. Kriteria inklusi meliputi data rekam
medik pasien yang didiagnosis erupsi makulopapular /
exanthematous drug eruption, Urtikaria/angioedema
karena sebab obat, FDE, AGEP, SJS/TEN, dan DIHS,
oleh bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
#$&'#$'*
10. Penegakkan diagnosis berdasarkan pada anamnesis,
hasil pemeriksaan fisik, dan perbaikan lesi kulit setelah
Penelitian retrospektif erupsi kulit akibat obat di RS. Saiful Anwar, Malang
T
penghentian pemakaian obat yang dicurigai. Data yang
diambil meliputi usia, jenis kelamin, obat penyebab,
durasi antara pemberian obat dan awitan timbulnya
lesi kulit, ada tidaknya infeksi HIV dan penyakit lain,
serta jumlah kematian yang terjadi beserta penyebabnya.
Penelitian di lakukan di Instalasi Rawat Jalan Bagian
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, dan Instalasi Rawat
Inap RSSA Malang. Kriteria eks klusi data penelitian
meliputi data rekam medik pasien yang didiagnosis erupsi
makulopapular/exanthematous drug eruption, Urtikaria/
angioedema karena sebab obat, FDE, AGEP, SJS/TEN,
dan DIHS bukan oleh bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, serta data rekam medik pasien dengan diagnosis
seperti tersebut diatas, tetapi tidak disertai keterangan
adanya kecurigaan alergi terhadap suatu obat.
HASIL
Jumlah kasus erupsi kulit akibat obat di Bagian
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang sejak Januari 2011 hingga Desember
2013, sebanyak 136 kasus (0,91%) dari 15.025 kasus
baru. Rentang usia pasien berkisar antara 2-85 tahun, dan
sebagian besar kasus ditemukan pada kelompok usia 30 - 39
tahun (Tabel 1).
Tabel 2.
Tabel 1.
Distribusi erupsi kulit akibat obat berdasarkan kelompok usia dan
jenis kelamin
Jumlah
Kelompok Usia
0-9
10-19
20-29
30-39
40-49
50-59
60-69
+<=
Persentase(%)
L
P
Total
5
8
11
15
11
6
9
1
2
7
18
15
12
6
5
5
7
15
29
30
23
12
14
6
5,15
11,03
21,32
22,07
16,91
8,82
10,29
4,41
100
Jumlah
66
70
136
Persentase(%)
48,53
51,47
100
Secara keseluruhan jumlah pasien perempuan lebih
banyak dari pada laki-laki dengan rasio 1,06:1. G
drug eruption merupakan manifestasi klinis dengan jumlah
paling banyak, diikuti dengan erupsi makulopapular dan
SJS (Tabel 2). Distribusi jenis kelamin pada masing-masing
penyakit dapat dilihat pada tabel 2. Sebagian besar kasus
didapatkan pada bagian rawat jalan, serta merupakan kasus
yang ringan. Angka mortalitas sebesar 1,47% didapatkan
pada 1 kasus SJS dan 1 kasus TEN, dengan penyebab
kematian adalah syok septik (Tabel 2).
Distribusi manifestasi kulit akibat obat berdasarkan manifestasi erupsi
Manifestasi
akibat obat
Jenis kelamin
Jumlah
(%)
Angka
mortalitas
10(7,35)
3
7
-
1-14
23
34(25)
9
25
-
1-60
27
11
38(27,94)
2
36
-
1-7
9
7
16(11,76)
2
14
-
1-60
SJS
16
17
33(24,26)
23
10
1
1-30
DIHS
1
3
4(2,94)
4
-
-
7-45
60
Laki-laki
AGEP
2
8
Erupsi
Makulopapular
11
FDE
Urtikaria
TEN
Jumlah
Persentase(%)
-
1
1(0,75)
1
-
1
66
70
136
44
92
2
48,53
51,47
100
32,35
67,65
1,47
Riwayat Alergi
sebelumnya
-
7(5,15)
Keterangan: "H&<6%!@G-+*'!*N 0<40*-**+
&C<*G6'+!6*!N&<G%'*NU<%6-'*+
Pada penelitian ini didapatkan data beberapa
penyakit yang mendasari terjadinya erupsi kulit akibat
obat, yaitu cerebrovaskular attack (CVA), tuberkulosis
(TB) paru, kholelitiasis, epilepsi, artralgia, Morbus
Hansen (MH), penyakit kelenjar tiroid, diabetes mellitus
(DM), demam tifoid, gastroenteritis, dan infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA). Infeksi HIV hanya didapatkan
pada 2 kasus. Riwayat alergi obat sebelumnya
101
MDVI
L*!=5C*5-/237N99432=
didapatkan pada sebagian besar kasus rawat jalan, yaitu
sebanyak 7(5,15%).
Data obat yang diduga sebagai penyebab pasti,
hanya tercantum pada 59 catatan rekam medik. Pada 77
laporan rekam medik yang lain, data obat penyebab yang
tercantum masih diragukan sebagai penyebab pasti erupsi
kulit akibat obat. Obat penyebab tersering yaitu jenis
analgetik (parasetamol dan asam mefenamat), antibiotik
(kotrimoksazol), antikonvulsan (karbamazepin), dan
obat anti tuberkulosis (OAT) (Tabel 3). Jenis OAT yang
digunakan juga tidak diketahui dengan jelas, karena tidak
dituliskan secara lengkap pada data rekam medik yang ada.
Kecurigaan jamu dan obat herbal sebagai penyebab erupsi
kulit akibat obat, didapatkan pada 2 catatan rekam medik.
Tabel 3.
Obat Penyebab Eupsi Kulit Akibat Obat
Jenis obat
Antibiotik
Sulfa
Kotrimoksazol
Sefadroksil
Kloramfenikol
Amoksisilin
Tetrasiklin
Klindamisin
Frekuensi
4
7
2
1
2
3
1
1
Fenilbutason
Meloksikam
2
1
Analgesik
Asam mefenamat
Metampiron
Parasetamol
Asetil salisilat
5
1
8
1
Antikonvulsan
Fenitoin
Karbamazepin
5
7
Anti tuberkulosis
OAT
Streptomisin
7
1
Antiretroviral
1
!""
#$!
&
77
PEMBAHASAN
Manifestasi klinis, distribusi berdasar usia dan jenis
kelamin, serta obat penyebab erupsi kulit akibat obat sangat
bervariasi, dipengaruhi oleh perbedaan populasi. Perbedaan
antar populasi penduduk dalam hal kebiasaan menggunakan
obat, dan besar kecilnya reaksi antara obat yang sering
digunakan dengan kecenderungan farmakogenetik populasi
tersebut, mempengaruhi frekuensi terjadinya erupsi kulit
akibat obat.1 Pada penelitian ini, angka kejadian erupsi
102
kulit akibat obat sebesar 136 (0,91%) dari total 15025 kasus
kulit baru dalam jangka waktu 3 tahun. Sebanyak 92 kasus
berasal dari bagian rawat jalan dan 44 kasus dari bagian
rawat inap. Persentase jumlah kasus pada penelitian ini
hampir sama dengan hasil yang didapatkan pada penelitian
yang dilakukan oleh Choon, dkk. (2012) yaitu sebesar
0,86%. Data jumlah kasus erupsi kulit akibat obat berat
masih terbatas, sehingga berpengaruh pada rendahnya
angka prevalensi.1
Pada penelitian ini, jumlah kasus erupsi kulit akibat
obat cukup rendah , diduga disebabkan karena proses
diagnosis yang kurang lengkap dan kurang terstruktur.
Pasien dengan kecurigaan erupsi kulit akibat obat, belum
menggunakan catatan rekam medik khusus sesuai kriteria
yang telah distandarisasi. Data rekam medik yang belum
terintegrasi juga mempengaruhi pelaporan jumlah kasus,
terutama bila diagnosis erupsi kulit akibat obat merupakan
diagnosis sekunder pada satu catatan rekam medik. Pada
dasarnya, anamnesis yang tepat dan teliti merupakan
kunci keberhasilan dalam menegakkan diagnosis dini
erupsi kulit akibat obat. Hal tersebut disebabkan karena uji
provokasi yang merupakan baku emas untuk menentukan
obat penyebab erupsi kulit, jarang digunakan terutama
pada kasus yang berat. Penggunaan beberapa kriteria
diagnosis yang telah dikembangkan, dapat digunakan untuk
membantu menentukan jenis obat penyebab erupsi kulit
akibat obat.11
Pada penelitian ini, jumlah kasus lebih banyak pada
perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan
1,061:1. Hasil pada penelitian ini, hampir sama dengan hasil
yang diperoleh dari penelitian Hasan, dkk dimana rasio
perempuan dan laki-laki adalah 1,14:1.10 Menurut beberapa
kepustakaan, perempuan memiliki risiko mengalami erupsi
kulit akibat obat dua kali lebih besar dibandingkan dengan
laki-laki.11,20 Kecenderungan terjadinya erupsi kulit akibat
obat yang lebih tinggi pada perempuan, diduga disebabkan
karena adanya beberapa kondisi dalam hidup perempuan
yang berpengaruh pada farmakokinetik obat. Kondisi
tersebut meliputi menarche, kehamilan, dan laktasi, serta
adanya fakta bahwa perempuan cenderung lebih sering
mencari pengobatan dibandingkan dengan laki-laki.20
Pada penelitian ini, sebagian besar kasus erupsi kulit
akibat obat terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun. Hasil
yang sama didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Jelvehgari, dkk (2009), dimana erupsi kulit akibat obat
banyak terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun.2 Data
yang diperoleh dari beberapa kepustakaan, menunjukkan
tingginya angka kejadian erupsi kulit akibat obat pada
kelompok usia 30-40 tahun, disebabkan karena tingginya
pajanan obat pada kelompok usia tersebut.11,20
Bentuk manifestasi klinis erupsi kulit akibat obat
T
Penelitian retrospektif erupsi kulit akibat obat di RS. Saiful Anwar, Malang
ditentukan oleh pola penggunaan obat pada suatu kelompok
populasi. Sebagian besar manifestasi erupsi kulit akibat obat
merupakan manifestasi ringan dan dapat sembuh spontan.11
Manifestasi berat lebih jarang terjadi, namun berkaitan
dengan terjadinya kecacatan dan kematian. 1 Jumlah
kasus ringan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan
dengan jumlah kasus berat, dimana manifestasi terbanyak
adalah FDE (27,94%). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pudukadan dkk, menunjukkan hasil yang serupa
dengan penelitian ini, dimana FDE merupakan manifestasi
terbanyak, dengan presentase sebesar 31,1%.20
Obat penyebab terbanyak pada penelitian ini
adalah golongan analgetik-antipiretik (asam mefenamat,
parasetamol), antibiotik (kotrimoksazol), dan antikonvulsan
(karbamazepin). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Choon, dkk diketahui bahwa antibiotik dengan jenis
terbanyak golongan kotrimoksazol, merupakan obat
penyebab terbanyak erupsi kulit akibat obat, diikuti
golongan antikonvulsan, dengan penyebab tersering
adalah fenitoin dan karbamazepin1. Perbedaan jenis
obat penyebab, disebabkan karena adanya variasi
pola pengobatan pada masing-masing populasi dan
karakteristik etnik populasi tersebut.21 Parasetamol dan
asam mefenamat merupakan jenis obat analgetik antipiretik
yang sering digunakan pada populasi penelitian ini,
demikian pula dengan antibiotik golongan sefadroksil dan
kotrimoksazol. Karbamazepin juga diketahui merupakan
jenis antikonvulsan yang sering digunakan untuk
penatalaksanaan epilepsi dan neuropati pada populasi
penelitian ini.
Jumlah kasus dengan jenis pengobatan polifarmasi,
ditemukan sebanyak 77 kasus pada penelitian ini. Pada saat
anamnesis, pasien seringkali tidak tahu atau lupa dengan
nama obat yang telah diminumnya, sehingga menyulitkan
>?
berpengaruh adalah metode anamnesis yang kurang akurat
dan terstruktur, serta pengisian data yang kurang lengkap,
berakibat pada tingginya jumlah kasus dengan dugaan
polifarmasi. Pada penelitian ini, obat herbal cina dan jamu
diduga merupakan penyebab erupsi kulit pada 1 kasus SJS
dan 1 kasus FDE. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa
obat herbal dapat menjadi penyebab terjadinya erupsi kulit
akibat obat.21,22 Hingga saat ini belum diketahui metode
yang tepat untuk menegakkan diagnosis erupsi kulit akibat
obat-obatan herbal atau jamu.
Salah satu jenis obat yang sering digunakan pada
praktek klinis dan diketahui dapat menyebabkan erupsi kulit
akibat obat adalah antihistamin. Seringkali antihistamin
diabaikan sebagai salah satu penyebab alergi obat. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Al-Raaie dkk, ditemukan
sebanyak 2 kasus erupsi kulit akibat obat yang disebabkan
oleh antihistamin golongan setirizin dan klorfeniramin
maleat.6 Pada penelitian ini didapatkan 1 kasus AGEP
yang dicurigai disebabkan oleh mebhidrolin napadisilat.
Akan tetapi mengingat data anamnesis pada rekam medik
yang kurang lengkap, peneliti tidak mencantumkan data
tersebut pada hasil penelitian.
Diagnosis erupsi kulit akibat obat dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis yang teliti dan anamesis
adanya korelasi antara riwayat pajanan obat sebelumnya
dengan awitan timbulnya lesi kulit. Hal tersebut disebabkan
karena uji konfirmasi obat penyebab sulit dilakukan.19,20
Anamnesis yang teliti mengenai awitan timbulnya
manifestasi klinis sangat penting untuk menunjang proses
penegakkan diagnosis dan menentukan obat penyebab yang
pasti terutama pada kasus polifarmasi. Teknik anamnesis
kasus erupsi kulit akibat obat memiliki seni tersendiri,
karena menggunakan kalimat tanya langsung, tidak
langsung, kalimat sugesti, kalimat evokatif, dan repetitif,
sehingga diperlukan waktu yang relatif lebih lama untuk
mendapatkan data yang akurat.11
Hingga saat ini belum ada uji diagnostik baku
untuk menegakkan diagnosis erupsi kulit akibat obat. Uji
diagnostik yang ada jarang dilakukan karena seringkali
menimbulkan hasil positif atau negatif palsu dan dapat
mencetuskan risiko terjadinya reaksi yang lebih berat.14
Penegakkan diagnosis pada umumnya menggunakan
kriteria yang terstandarisasi, sesuai dengan bentuk
manifestasi klinis. 17,20 Pada penelitian ini, diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya riwayat
penggunaan obat sebelumnya, pemeriksaan fisik, serta
adanya perbaikan klinis dengan penghentian obat yang
dicurigai. Kriteria diagnosis yang terstandarisasi belum
sepenuhnya digunakan dalam proses penegakkan diagnosis,
sehingga hal tersebut menimbulkan beberapa keterbatasan
pada penelitian ini.
Pemeriksaan biopsi pada erupsi kulit akibat obat
dapat dilakukan terutama untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Namun demikian gambaran histopatologik
dianggap tidak cukup adekuat untuk menegakkan diagnosis
erupsi kulit akibat obat bila tidak disertai anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang lengkap. Hal tersebut disebabkan
karena gambaran histopatologik erupsi kulit akibat obat
tidak spesifik dan tumpang tindih dengan penyakit kulit
yang lain.16 Durasi penyakit yang relatif singkat, juga
merupakan salah satu alasan mengapa pemeriksaan biopsi
jarang dilakukan pada kasus erupsi kulit akibat obat.23
Pemeriksaan biopsi tidak dilakukan pada seluruh pasien
pada penelitian ini.
Interval antara awitan penggunaan obat hingga onset
terjadinya manifestasi klinis, merupakan salah satu data
yang harus digali dengan cermat, mengingat perbedaan
103
MDVI
interval dipengaruhi oleh jenis obat penyebab.21 Sehingga
data tersebut dapat digunakan sebagai salah satu metode
untuk menentukan obat penyebab pasti, terutama pada
kasus polifarmasi. Awitan terjadinya erupsi kulit akibat obat
pada penelitian ini bervariasi dari yang paling singkat 1 hari
hingga yang paling lama 60 hari. Seringkali interval antara
awitan penggunaan obat dengan onset manifestasi erupsi
kulit sulit diketahui karena pasien lupa, terutama pada kasus
yang disebabkan oleh obat dengan interval yang cukup
panjang.
Penyakit yang mendasari terjadinya erupsi kulit
akibat obat pada penelitian ini, meliputi CVA, TB paru,
kholelitiasis, epilepsi, artralgia, MH, penyakit kelenjar
tiroid, DM, demam tifoid, gastroenteritis, ISPA, dan HIV.
Infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko penting
terjadinya erupsi kulit akibat obat.20 Jumlah pasien HIV
yang dilaporkan pada penelitian ini tergolong cukup rendah.
Hal tersebut disebabkan karena sebagian kasus erupsi kulit
akibat obat pada pasien HIV, didiagnosis dan diterapi oleh
Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Angka kematian pada kasus erupsi kulit akibat obat
berat berkisar antara 5-10% untuk SJS, 30-40% pada TEN,
dan 8-10% pada DIHS. Kematian terutama disebabkan
karena komplikasi tersering pada erupsi kulit akibat obat
berat yaitu sepsis. Kecacatan yang terjadi akibat erupsi kulit
akibat obat dilaporkan pada kasus SJS, diantaranya adalah
kebutaan. 18,21,24,25 Angka mortalitas pada penelitian ini
sebesar 1,47%, dengan sebab kematian adalah syok septik.
Angka kecacatan akibat komplikasi erupsi kulit akibat
obat tidak tercatat dengan baik pada penelitian ini, dan
merupakan salah satu keterbatasan penelitian. Jumlah kasus
polifarmasi dengan data obat yang seringkali tidak diketahui
karena tidak tergali dengan baik, cukup banyak ditemukan
pada penelitian ini, dan kemungkinan berpengaruh pada
hasil penelitian. Beberapa jenis obat sengaja ditampilkan
dalam pembahasan, meskipun tidak dicantumkan dalam
hasil penelitian karena validitas data yang masih diragukan.
Tujuan peneliti terutama untuk meningkatkan kewaspadaan
para klinisi terhadap kemungkinan terjadinya alergi pada
beberapa obat yang selama ini sering digunakan, akan
tetapi jarang sekali dilaporkan menimbulkan reaksi alergi.
Pengembangan penelitian masih diperlukan dengan ruang
lingkup yang lebih luas, untuk mendapatkan hasil yang
tepat dan dapat menjadi sumber data yang lebih informatif.
104
L*!=5C*5-/237N99432=
DAFTAR PUSTAKA
1. Choon S, Lai N, An epidemiological and clinical analysis of cutaneous
adverse drug reactions seen in a tertiary hospital in Johor, Malaysia.
IJDVL. 2012;78:734-9
2. Jehvelgari M, Azimi H, Montazam H, Prevalence of cutaneous drug
eruption in hospitalized patients: A report from Sina Hospital of Tabriz.
Iranian J Dermatol. 2009;12(1):16-9
3. Uetrecht J. Adverse drug reactions. London: Springer Heidelberg;
2010.h.29-57
4. East-Innis AD, Thompson DS. Cutaneous drug reactions in patients
admitted to dermatology unit at the University Hospital of the West Indies,
Kingston, Jamaica. West Indian Med J. 2009;58(3):227-30
5. Svensson CK, Cowen EW, Gaspari A A. Cutaneous drug reactions.
Pharmacol Rev.2000;53:357-79
6. Al-Raaie F, Banodkar DD. Epidemiological study of cutaneous adverse
drug reactions in Oman. Oman Med J. 2008;23(1):21-7
7. Susilawati A, Akib Arwin AP, Satari HI. Gambaran Klinis Fixed Drug
Eruption pada Anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri.
2014; 5(15): 269-273
8. Mahapatra S, Keshri U Pd. Adverse cutaneous drugs reactions in a tertiary
care center patients: a prospective analysis. J App Pharm Sci. 2012;2(12).
Diakses dari http://www.japsonline.com pada tanggal 20 Agustus 2014.
9. Thong BY-H, Tan T-C. Epidemiology and risk factors for drug allergy. Br J
Clin Pharmacol. 2010;71(5):684-700
10. Hasan R, Akhtar N, Begum M, Ali ME, Paul HK, Zakaria ASM, dkk.
Cutaneous morphological patterns of adverse drug reaction: a study of 50
cases. J Pakistan Assoc Dermatol.2010;20:206-11
11. Dubey AK, Prabhu S, Shankar PR, Subish P, Mishra P, Dermatological
adverse drugs reactions due to systemic medications- a review of literature.
J Pakistan Assoc Dermatol. 2006;16:28-38
12. Khan D A, Cutaneous drug reactions. J Allergy Clin Immunol. 2012;
130(5): diakses pada tanggal 3 Juli 2014 dari http://dx.doi.org/10.1016/j.
jaci.2012.08.007
13. Roujeau J-C, Allanore L, Liss Y, Mockenhaupt M. Severe cutaneous
QX$[\]'
predisposition. Dermatol Sinica. 2009:203-9
14. S t e r n R S . E x a n t h e m a t o u s d r u g e r u p t i o n s . N E n g l J
Med.2012;366(26):2492-501
15. Pudukadan D, Thappa D M. Adverse cutaneous drug reactions: Clinical
pattern and causative agents in a tertiary care center in South India. Indian J
Dermatol Venereol Leprol.2004;70:20-4
16. Ziemer M, Mockenhaupt M. Severe drug-induced skin reactions: Clinical
pattern, diagnostics, and therapy. Dalam: Uday Khopkar, penyunting. Skin
Biopsy-Perspective. Intech. 2011.h.1-31
17. Thong B, Vervloet D. Drug allergies. Diakses pada: http://www.
worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/drugallergy/. tanggal
9 Agustus 2014
18. Sturck MF, Hilbert P, Mockenhaupt M, Reichelt B, Steen M. Severe
cutaneous adverse reactions: emergency approach to non-burn
epidermolytic syndrome. Intensive Care Med. 2010;36:22-32
19. Lehloenya RJ. Cutaneous adverse drug reactions. CME.2011;29(6):238-42
20. Mariyono H H, Suryana K. Adverse drug reaction. J Peny Dalam 2008;
9(2): 164-72
21. Martin T, Hui LI. Severe cutaneous adverse drug reactions: a review on
epidemiology, etiology, clinical manifestation ang pathogenesis. Chin Med
J.2008;121(8):756-61.
22. Lee C-H, Chen Y-C, Cho Y-T, Chang C-Y, Chu C-Y. Fixed-drug
eruption: A retrospective study in a single referral center. Dermatol
Sinica.2012;30:11-5
23. Weyers W, Metze D. Histopathology of drug eruptions-general
criteria, common patterns, and differential diagnosis. Dermatol Prac &
Concep.2011;1(1)9:33-47
24. Calbo S. Severe drug erupsitons revisited. Immunol Res.2012;53:162-7
25. Mostwaledi MH. Review of common cutaneous adverse drug reactions.
SA Fam Pract. 2005;47(5):27-9
Download