BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Grand Theory of

advertisement
16 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Grand Theory of Marketing
Menurut Philip Kotler, pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial
dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk
atau value dengan pihak lainnya. Definisi ini berdasarkan pada beberapa konsepkonsep inti, seperti: kebutuhan, keinginan, dan permintaan produk-produk ( barang,
servis, dan ide), value, biaya dan kepuasan, pertukaran dan transaksi, hubungan dan
networks, pasar, dan para pemasar, serta prospek (Kotler, 2004 dalam Wicaksono,
2010).
Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang
dilakukan oleh para pengusaha dalam mempertahankan kelangsungan usahanya untuk
berkembang dan berkembang dan mendapatkan keuntungan sebagai ukuran
keberhasilan usahanya baik dalam bentuk laba maupun kepuasan.
Berhasil tidaknya dalam pencapaian tujuan bisnis tergantung dari keahlian
pengusaha di bidang pemasaran. Selain itu tergantung dari fungsi-fungsi apakah suatu
usaha itu dapat berjalan dengan lancar.
17 Menurut William J. Stanton (Wicaksono, 2010) , pemasaran adalah suatu
sistem yang keseluruhan dari kegiatan usaha yang dirancang untuk merencanakan,
menetapkan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang
dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang sudah ada maupun pembeli
yang potensial (Stanton, 2011 dalam Wicaksono, 2010).
Jadi pemasaran mengandung arti bahwa kegiatan manusia yang diarahkan
pada usaha kegiatan pemasaran dan berpusat pada kebutuhan dan keinginan manusia
itu sendiri. Kegiatan-kegiatan pemasaran dalam perumahan adalah berbagai kegiatan
yang langsung berkaitan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh developer untuk
mempengaruhi dan memenuhi permintaan terhadap perumahan yang dibutukan
masyarakat. Kegiatan dimana developer melakukan jasa pelayanannya melalui jalur
pemasaran, mempromosikannya dan menetapkan harga. Pendapat lain mengenai pengertian pemasaran dikemukakan oleh Winer
adalah sebagai berikut, pemasaran adalah meliputi kapanpun seseorang atau
organisasi membuat pilihan diantara berbagai alternatif yang mempunyai pengaruh
dalam keputusan tersebut. (Winer, 2004 dalam Wicaksono, 2010)
2.2
Landasan Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori
18 yang memuat pokok – pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:31 dalam Tarigan, 2011).
Kerangka teori bermanfaat sebagai dasar dalam menjelaskan berbagai
fenomena – fenomena yang penting dalam bidang yang diteliti. Kerlinger
menyebutkan, teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang
mengemukan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di
antara variabel , untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat ,
2004:6 dalam Tarigan, 2011).
Pada bagian ini, peneliti akan membahas variabel – variabel yang ada didalam
penelitian ini, antara lain : experiential marketing, perceived quality, brand trust, dan
brand loyalty.
2.2.1
Experiential Marketing
Sebelum peneliti membahas definisi mengenai experiential marketing,
peneliti akan terlebihi dahulu membahas definisi dari experience.
Experiential sendiri berasal dari kata experience yang berarti sebuah
pengalaman. Definisi experience menurut Schmitt (Lonita dan Lia, 2008):
pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya
stimulus tertentu (misalnya yang diberikan oleh pihak pemasar sebelum dan sesudah
pembelian barang atau jasa).
19 Pine II dan Gilmore (Lonita dan Lia, 2008) berpendapat bahwa pengalaman
adalah suatu kejadian yang terjadi dan mengikat pada setiap individu secara personal.
Menurut Wong, 2005 (Andreani, 2007) pengalaman merupakan sebuah alat
yang membedakan produk atau jasa. Tidak dapat disangkal bahwa dengan semakin
berkembangnya teknologi produk dan jasa maka penciptaan product differentiation
sangatlah sulit, bahkan kadang kala tidak mungkin dilakukan. Dengan kematangan
sebuah produk maka kompetisi menjadi sangat ketat karena para kompetitor
menawarkan core product dengan fungsi dan fitur yang sama. Oleh karena itu hanya
ada sedikit perbedaan yang bisa diciptakan.
Setelah dibahas mengenai pengertian kata experience, maka selanjutnya
peneliti akan membahas mengenai experiential marketing.
Adaptasi dari Marketing Aesthetics (1999). Experiential Marketing adalah
pendekatan baru dalam bidang disiplin ilmu pemasaran yang mengacu pada peristiwa
individual yang terjadi, baik bersifat rasional maupun emosional, dikarenakan adanya
stimulasi tertentu atau rangsangan dari luar yang membentuk suatu persepsi dan
mempunyai dampak terhadap perilaku individu tersebut dimasa yang akan datang.
Scmitt (Utami, 2009) menyatakan bahwa dalam pendekatan
experiential
marketing ini, pemasar menawarkan produk atau jasanya dengan merangsang unsur unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen.
Experiential marketing adalah bagaimana menjembatani
partisipasi konsumen dan
koneksi atau environmental relationship (Li, 2008 dalam Utami 2009).
20 2.2.1.1 Strategic Experiential Modules
Strategic experience modules terdiri dari lima tipe, yaitu sense, feel, think, act,
dan relate. Menurut Schmitt (Lin, 2006, p63), kelima bentuk pengalaman tersebut
merupakan lima dimensi yang menjadi dasar pengukuran dari experiential marketing.
a) Sense
adalah aspek- aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang
dapat ditangkap oleh kelima indera manusia,meliputi pandangan, suara, bau, rasa,
dan sentuhan. Semua pendekatan psikologi sense, beliefs, motivation, learning
dan attitudes yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen (Kotler,
1994 dalam Li, 2008).
Sense ini, bagi konsumen, berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari
produk yang lain,untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk
membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia
dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah
pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya
menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal
yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat.
(Schmitt, 1999 dalam Lin, 2006, p26), tujuan secara keseluruhan dari sense
adalah menyediakan kesenangan estetika melalui rangsangan terhadap kelima
indra manusia (pendengaran, penciuman, peraba/sentuhan dan pengecapan).
21 b) Feel
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p26) pemasaran feel merupakan strategi pendekatan
perasaan (afeksi) dan implementasi terhadap perusahaan dan merek melalui
experiences providers, dengan tujuan untuk mempengaruhi mood (suasana hati),
perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events
(peristiwa-peristiwa yang
terjadi), agent (orang yang melakukan peristiwa, perusahaan dan situasi), dan
object (suatu hal yang telah dilihat).
Perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan.
Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan
dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan
produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan Feel
campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan.
Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan,
pelanggan akan menyukai dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa
tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan
meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah
strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi
pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan
bertahan lama (Schmitt,1999).
c) Think
Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan
problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara
22 kognitif dan/atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran
biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual,
dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan Menurut Schmitt
cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah (1) menciptakan
sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun
konseptual, (2) berusaha untuk memikat pelanggan dan (3) memberikan sedikit
provokasi.
Menurut Schmitt (1999) dan Li (2008), tujuan pemasaran think adalah untuk
mendorong pelanggan terlibat dalam pemikiran seksama dan kreatif, diamana
hasil yang didapat tanpa penilaian kembali perusahaan dan produk. Dalam
proses berpikir secara kreatif terdapat dua jenis pemikiran yaitu :
1. Convergent Thinking (Pemikiran Terpusat)
Adalah proses
mempersempit fokus seseorang pada beberapa ide atau
gagasan dari semua ide yang telah dikumpulkan menjadi sebuah solusi.
Misalnya setelah mengetahui motor Yamaha, konsumen lebih memperhatikan
kualitas Motor.
2. Divergent Thinking (Pemikiran Memancar)
Adalah jenis pemikiran yang membiarkan pikiran seseorang yang bergerak
kemana – mana secara simultan. Jenis pemikiran ini membutuhkan kampanye
pemasaran think yang asosiatif, yaitu dengan perumpamaan secara visual.
Misalnya iklan Yamaha dapat memberikan gambaran mengenai Motor
Yamaha.
23 d) Act
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) strategi pemasaran Act berfungsi menciptakan
pengalaman yang sangat berharga bagi pelanggannya, berkaitan dengan secara
fisik, pola perilaku dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman dengan
orang lain.
Act adalah Tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan
tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang
memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan
untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru
merubah hidup mereka lebih baik.
e) Relate
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) tujuan dari pemasaran relate adalah
menghubungkan diri pribadi seseorang kepada konteks sosial budaya didalam
suatu merek kemudian akan menciptakan suatu identitas sosial kepada dirinya
sendiri. Relate menjelaskan suatu hubungan dengan orang lain. Kelompok sosial
lainnya
(pekerjaan, etnik atau gaya hidup). Perhimpunan masyarakat atau
kebudayaan. Pengalaman
relate dimulai dengan mengidentifikasi kelompok
acuan (individu atau kelompok yang mempengaruhi secara bermakna perilaku
individu), dimana pelanggan merasakan komunikasi dengan pelanggan lainnya,
sampai membentuk suatu komunitas merek sebagai pusat dari organisasi sosial
dan menetapkan suatu pemasaran sendiri.
24 Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau
budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan
untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan image. Relate
campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan
dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi
kesenangan yang sama.
2.2.1.2 Cara Penyampaian Experiential Marketing (Experience Providers)
Agen-agen yang bisa menghantarkan 5 bentuk experience diatas adalah sebagai
berikut :
1. Komunikasi, meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun
eksternal, dan public relation.
2. Identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan
lain-lain.
3. Tampilan produk, baik desain, kemasan, maupu penampakan.
4. Co-branding, meliputi even-even pemasaran, sponsorship, aliansi dan rekanan
kerja, lisensi, penempatan produk dalam film, dan sebagainya.
5. Lingkungan spatial, termasuk desain kantor, baik interior maupun eksterior, outlet
penjualan, ekshibisi penjualan, dan lain-lain.
6. Web sites
25 7. Orang, meliputi penjual, representasi perusahaan, customer service, operator call
centre, dan lainnya.
2.2.2 Brand
Menurut Kotler (Simamora, 2003, p3), merek (brand) adalah nama, tanda,
simbol,
desain,
atau
kombinasi
hal-hal
tersebut,
yang
ditujukan
untuk
mengidentifikasi dan mendiferensiasi (membedakan) barang atau layanan suatu
penjual dari barang dan layanan penjual lain.
2.2.2.1 Karateristik Brand
Setelah diputuskan untuk memberikan merek pada produk, selanjutnya perlu
diputuskan merek apa yang digunakan. Brand apapun yang digunakan semestinya
mengandung sifat berikut ini seperti yang dikemukan oleh Bilson Simamora
(2001;154) :
1) Mencerminkan manfaat dan kualitas
2) Singkat dan sederhana
3) Mudah diucapkan, didengar, dibaca, dan diingat.
4) Memiliki kesan berbeda dari merek – merek yang sudah ada.
5) Mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan tidak mengandung konotasi
negatif dalam bahasa asing.
6) Dapat didaftarkan dan mendapat perlindungan hukum sebagai hak paten.
26 Setiap perusahaan dalam menentukan brand bagi produknya harus mempunyai dan
memenuhi karakteristik – karakteristik diatas. Apabila brand sudah mempunyai dan
memenuhi karakteristik tersebut, maka brand tersebut dapat diterima oleh konsumen.
2.2.2.2 Cara Membangun Merek
•
Memiliki positioning yang tepat
Merek dapat dipositioningkan dengan berbagai cara , misalnya dengan
menempatkan posisinya secara spesifik
di benak pelanggan. Membangun
positioning adalah menempatkan semua aspek dari brand value ( termasuk
manfaat fungsional) secara konsisten sehingga selalu jadi nomor satu di benak
pelanggan.
•
Memiliki brand value yang tepat
Semakin tepat merek di positioningkan di benak pelanggan , merek tersebut akan
semakin kompetitif. Untuk mengelola hal tersebut kita perlu mengetahui brand
value. Brand value membentuk brand personality. Brand personality lebih cepat
berubah
dibandingkan
brand
positioning,
karena
brand
personality
mencerminkan gejolak perubahan selera konsumen.
•
Memiliki konsep yang tepat
Tahap akhir untuk mengkomunikasikan brand value dan positioning yang tepat
kepada konsumen harus didukung oleh konsep yang tepat.
Pengembangan konsep merupakan proses kreatif , karena berbeda dari
positioning, konsep dapat terus menerus berubah sesuai dengan daur hidup
27 produk yang bersangkutan. Konsep yang baik adalah dapat mengkomunikasikan
semua elemen – elemen brand value dan positioning yang tepat, sehingga
perceived quality dapat terus – menerus ditingkatkan.
2.2.3 Konsep Persepsi
Solomon (1999) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana sensi yang
diterima oleh seseorang yang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan di
interprestasikan. Maka, dapat di simpulkan bahwa persepsi adalah interpretasi proses
dimana konsumen memahami lingkungan mereka sendiri. Banyak orang percaya
bahwa persepsi adalah pasif atau sebaliknya yang kita lihat dan mendengar apa yang
diluar sana sangat objektif.
Schifmann dan kanukk (2000) menyebutkan bahwa persepsi adalah cara orang
memandang didunia ini. Dari definisi umum yang dapat dilihat bahwa persepsi
seseorang berbeda dari yang lainnya. Cara memandang dunia sudah pasti dipengaruhi
oleh sesuatu dari dalam maupun luar orang itu.
Namun, pada kenyataannya orang benar-benar aktif mempersepsikan stimuli
dan objek di sekitar lingkungan mereka. Customer melihat apa yang mereka harapkan
untuk melihat dan apa yang mereka harapkan untuk melihat tergantung pada
kepercayaan umum dan stereotip. Dan karena setiap kelompok (segmen) dan individu
memiliki kepercayaan umum dan stereotype yang berbeda-beda sehingga
menimbulkan persepsi terhadap suatu lingkungan pemasaran juga menjadi beragam.
28 Oleh karena itu, marketer harus menyadari perbedaan tersebut agar dapat
menyesuaikan stimuli pemasaran (yakni iklan, kemasan, harga dll) dengan persepsi
mereka sehingga sesuai dengan segmen yang ditargetkan.
2.2.4
Konsep Kualitas
Kualitas digambarkan oleh Feigenbaum (dikutip oleh Reeves dan Bednar,
1994 dalam Broto, 2002) sebagai “faktor yang paling penting mendorong
pertumbuhan ekonomis perusahaan – perusahaan dimanapun di dunia in dalam
konteks pasar global”.
Menurut Zhang, (Broto, 2002) mengatakan bahwa kualitas mengatakan bahwa
kualitas merupakan variabel bersaing yang paling dasar yang harus diprioritaskan
oleh para manajer, disamping variabel – variabel bersaing lainnya seperti biaya dan
fleksibilitas. Mengingat arti penting kualitas maka tidak mengherankan jika banyak
kajian ditujukan untuk mendefinisikan arti kualitas (Forker et al., 1996 dalam Broto,
2002).
2.2.5
Perceived Quality
Persepsi kualitas (perceived quality) menurut Aaker (Broto, 2002) dapat
didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau
keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan
oleh pelanggan.
29 Menurut Aaker (Broto, 2002) menegaskan satu hal yang harus selalu diingat,
yaitu bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi para pelanggan, oleh sebab itu
persepsi kualitas tidak dapat ditetapkan secara objektif. Selain itu, persepsi pelanggan
akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki
kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda – beda terhadap suatu produk
atau jasa (Aaker, 1997; Darmadi Durianto et al., 2001 dalam Broto, 2002). Maka
dapat dikatakan bahwa membahas persepsi kualitas berarti akan membahas
keterlibatan dan kepentingan pelanggan (Darmandi Durianto et al., 2001 dalam
Broto, 2002).
Menurut Aaker (Broto, 2002) selanjutnya menguraikan bahwa persepsi
kualitas berbeda dengan kepuasan. Seorang bisa dipuaskan karena dia memiliki
harapan yang rendah terhadap tingkat kinerjanya. Persepsi kualitas yang tinggi tidak
identik dengan harapan – harapan yang rendah. Persepsi kualitas juga berbeda dengan
sikap: suatu sikap positif bisa ditimbulkan karena suatu produk dengan kualitas
sangat rendah sangat murah. Sebaliknya seseorang mungkin mempunyai sikap negatif
terhadap produk berkualitas tinggi yang dirasakan terlalu mahal.
Penting untuk dicatat bahwa kualitas produk adalah sumber daya perusahaan
yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1989 dalam Baldauf et al.
2003).
30 Persepsi kualitas (perceived quality) merupakan penilaian konsumen terhadap
keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, persepsi
kualitas didasarkan pada evaluasi subjektif konsumen (bukan manajer atau pakar)
terhadap kualitas produk (Tjiptono, 2005).
Dalam buku “Aura Merek” yang ditulis Bilson Simamora, bila berbicara
mengenai kualitas, maak terdapat kualitas objektif dan kualitas menurut konsumen
(perceived quality). Yang terpenting adalah persepsi di mata konsumen. Kotler
(2000) mengatakan bahwa, “Quality is the totality of feature and characteristic of a
product or services that bear on its ability to satify stated or implied needs”. Artinya,
kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik yang membuat produk mampu
memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan. Agar
dapat menjawab pertanyaan apakah suatu merek sudah memenuhi kebutuhan
konsumen maka jawabannya tergantung pada penilaian subjektif konsumen.
Menurut Morgan, Cleland dan Bruno (1996, dalam Simamora (2002) )
memberikan tiga prinsip kualitas sebagai persepsi. Pertama, kualitas bersumber pada
aspek produk dan non-produk, atau seluruh kebutuhan non-harga (nonprice needs)
yang dicari konsumen untuk memuaskan kebutuhannya. Kedua ahli ini berpendapat
bahwa yang dipertimbangkan oleh konsumen dari sebuah produk mencakup tiga
aspek utama, yaitu harga, produk, dan non-produk. Pada aspek produk yang
diperhatikan adalah standar yang diharapkan dari suatu produk. Pada sebuah televisi
misalnya, aspek produk adalah ukuran layar, gambar, suara, kelengkapan fungsi, dan
31 desain. Sementara itu, aspek non-produk terdiri dari garansi, reputasi, dan layanan
perbaikan.
Kedua, kualitas ada bila masuk dalam persepsi konsumen. Bila konsumen
mempersepsikan kualitas sebuah produk bernilai rendah, maka kualitas produk
tersebut rendah, apapun realitasnya. Persepsi lebih penting daripada realitas karena
konsumen membuat keputusan berdasarkan persepsi bukan realitas.
Ketiga, kualitas sebagai persepsi diukur secara relatif terhadap pesaing, Bila
produk A menawarkan produk yang baik, akan tetapi produk pesaing lebih baik lagi,
maka produk A tidak berkualitas.
Besterfield, et al (1999, dalam Simamora (2002)) melihat kualitas dari
perbandingan antara performa dan harapan. Bila performa dapat memenuhi atau
melampaui harapan, maka produk itu berkualitas. Sebaliknya, produk yang
performanya di bawah harapan maka produk tersebut tidak berkualitas. Perlu diingat
bahwa performa dan harapan ditentukan oleh konsumen sesuai persepsi mereka.
Menurut Darmadi Durianto et al., (Broto, 2002) perceived quality adalah
sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu
produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan.
Perusahaan yang aktif dalam iklan atau promosi merek produknya, akan dapat
meningkatkan asosiasi merek dalam pikiran konsumen dan dengan semakin kuat dan
positifnya asosiasi – asosiasi merek tersebut akan membentuk kesan kualitas merek
32 pada produk tersebut. Setelah kesan kualitas terbentuk maka konsumen akan
mencoba membeli merek tersebut dan apabila setelah pembelian tersebut konsumen
menjadi puas yang mana kemudian akan menjadi percaya pada produk tersebut.
selanjutnya konsumen akan melakukan pembelian ulang dan akhirnya dapat menjadi
konsumen yang loyal , dimana dengan melakukan pembelian ulang secara
berkelanjutan maka konsumen dianggap telah loyal pada merek tersebut.
Persepsi kualitas mencerminkan perasaan pelanggan yang tidak nampak dan
secara menyeluruh mengenai suatu merek. Akan tetapi, biasanya persepsi kualitas
didasarkan pada dimensi – dimensi yang termasuk dalam karakteristik produk
tersebut dimana merek dikaitkan dengan hal – hal seperti keandalan dan kinerja.
Untuk memahami persepsi kualitas maka diperlukan identifikasi dan pengukuran
terhadap dimensi yang mendasarinya (Aaker, 1997; Darmadi Durianto et al., 2001)
Perceived Quality mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu
merek, dalam banyak konteks perceived quality sebuah merek dapat menjadi alasan
penting pembelian serta merek mana yang akan dipertimbangkan oleh pelanggan
yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelanggan dalam memutuskan merek yang
akan dibeli.
Seorang pelanggan mungkin tidak memiliki informasi yang cukup untuk
disaring yang mengarahkannya kepada penentuan kualitas suatu merek secara
obyektif. Mungkin pula pelanggan tidak termotivasi untuk memproses informasi,
33 tidak mempunyai kesanggupan dan dalam konteks ini perceived quality menjadi
sangat berperan dalam keputusan pelanggan. (Engel dikutip oleh Darmadi Durianto et
al., 2001 dalam Broto 2002). Karena perceived quality terkait erat dengan keputusankeputusan pembelian maka perceived quality dapat mengefektifkan semua elemen
program pemasaran khususnya program promosi. (Darmadi Durianto et al., 2001
dalam Broto, 2002). Apabila perceived quality dari suatu merek tinggi, maka
kemungkinan besar program periklanan dan promosi yang akan dijalankan akan
efektif.
Sedemikian pentingnya peran perceived quality bagi suatu merek sehingga
upaya membangun perceived quality yang kuat perlu memperoleh perhatian serius
agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar di setiap kategori pasar.
Membangun perceived quality harus diikuti dengan peningkatan kualitas nyata dari
produknya karena akan sia-sia menyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek
produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Bahkan
dalam jangka panjang upaya tersebut akan menjadi bumerang. Hal ini karena
pelanggan pada tahap awal memutuskan untuk membeli produk karena perceived
qualitynya pada gilirannya akan sampai kepada tahap evaluasi yang menghantarnya
kepada rasa puas atau tidak puas. Pelanggan yang tidak puas akan merasa
dikecewakan sehingga perceived quality yang dimiliki pada awalnya berganti dengan
kesan benci karena merasa dibodohi. Kejadian tersebut menyebabkan kemungkinan
perpindahan merek yang sangat besar di kemudian hari. Hal ini dapat pula terjadi
34 untuk pelanggan lama yang dalam pembelian yang kesekian kalinya mengalami
kejadian serupa seperti pembeli pemula di atas. Intinya adalah jika pengalaman
penggunaan dari para pelanggan tidak sesuai dengan kualitas yang diposisikan maka
citra perceived quality tidak dapat dipertahankan.
Persepsi pelanggan merupakan penilaian, yang tentunya tidak selalu sama
antara pelanggan satu dengan lainnya. Persepsi kualitas yang positif dapat dibangun
melalui upaya mengidentifikasi dimensi kualitas yang dianggap penting oleh
konsumen, dan membangun persepsi kualitas pada dimensi penting pada merek
tersebut (Aaker dalam Astuti dan Cahyadi, 2007). Persepsi kualitas yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas suatu merek produk.
Persepsi kualitas ini akan membentuk persepsi kualitas secara keseluruhan terhadap
suatu produk dibenak konsumen. Persepsi kualitas keseluruhan dari suatu produk
dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh secara
langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas mereka terhadap
merek (Durianto, dkk 2004). Karena persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen
maka dapat diramalkan jika persepsi kualitas pelanggan negatif, produk tidak akan
disukai dan tidak akan bertahan lama dipasar. Sebaliknya, jika persepsi kualitas positf
maka produk akan disukai.
Sedemikian pentingnya peran perceived quality bagi suatu merek sehingga
upaya membangun perceived quality yang kuat perlu memperoleh perhatian serius
agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar di setiap kategori produk.
35 Membangun perceived quality harus diikuti dengan peningkatan kualitas yang nyata
dari produknya karena akan sia – sia menyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek
produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Berikut
adalah hal yang perlu diperhatikan dalam membangun perceived quality (David,
Aaker, Managing Brand Equity) :
1. Komitmen terhadap kualitas
Perusahaan harus mempunyai komitmen terhadap kualitas serta memelihara
kualitas secara terus menerus. Upaya, memelihara kualitas bukan hanya basa
basi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi.
2. Budaya kualitas
Komitmen kualitas harus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma
perilakunya, dan nilai – nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan
kualitas dan biaya maka kualitas yang harus dimenangkan.
3. Informasi masukan dari pelanggan
Pada akhirnya dalam membangun perceived quality pelangganlah yang
mendefinisikan
kualitas.
Sering
kali
para
pimpinan
keliru
dalam
memperkirakan apa yang dianggap penting oleh pelangganya. Perusahaan
perlu secara berkesinambungan melakukan riset terhadap pelanggannya
sehingga diperoleh informasi yang akurat, relevan, dan up to date.
4. Sasaran / standar yang jelas
36 Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas
yang terlalu umum cenderung menjadi tidak bermanfaat. Kualitas juga harus
memiliki standart yang jelas, dapat dipahami dan diprioritaskan. Terlalu
banyak sasaran tanpa prioritas sama saja dengan tidak mepunyai sasaran fokus
yang pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perusahaan itu
sendiri.
5. Kembangkan karyawan yang berinisiatif
Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan berinisiatif serta dilibatkan dalam
mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran yang kreatif dan
inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas
layanan.
2.2.5.1 Hasil – hasil yang diperoleh dari Perceived Quality
Secara umum persepsi kualitas dapat menghasilkan nilai – nilai berikut :
Gambar 2.1 Hasil dari Persepsi Kualitas
Sumber : Rangkuti, 2002 (Damanik, 2010)
37 1. Alasan untuk Membeli
Keterbatasan informasi, uang, dan waktu membuat keputusan pembelian
seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi kualitas suatu merek yang ada di
benak konsumen, sehingga sering kali alasan keputusan pembelian hanya
didasarkan kepada persepsi kualitas (perceived quality) dari merek yang akan
dibelinya.
2. Diferensiasi atau Posisi
Salah satu karakteristik yang penting dari merek produk adalah posisinya dalam
dimensi persepsi kualitas.
3. Harga Optimum
Salah satu keuntungan dari persepsi kualitas adalah memberikan ruang pilihan
dalam menentukan harga premium. Harga premium dapat meningkatkan laba
secara langsung dapat meningkatkan profitabilitas.
4. Minat Saluran Distribusi
Para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk menyalurkan merek dengan
persepsi kualitas tinggi. Hal ini memberikan keuntungan bagi perluasan distribusi
dari merek tersebut dan dapat pula meningkatkan citra distributor yang
menyalurkan merek yang mempunyai kesan kualitas tinggi.
5. Perluasan Merek
Merek dengan persepsi kualitas tinggi dapat digunakan untuk memperkenalkan
kategori produk baru dan mempunyai kemungkinan sukses yang lebih besar
38 dibandingkan dengan merek yang lemah. Dalam hal ini persepsi kualitas
merupakan jaminan yang signifikan atas perluasan – perluasan merek tersebut.
2.2.5.2 Dimensi Perceived Quality
Berdasarkan perspektif kualitas, David Garvin dalam Durianto, Sugiarto,
Sitinjak (2001 : 98) dalam Broto, 2002) mengembangkan dimensi kualitas ke dalam
tujuh dimensi, yaitu sebagai berikut :
1) Performance (Kinerja)
Merupakan karakteristik pokok dari produk inti dan merupakan aspek fungsional
dari suatu produk. Misalnya karakteristik operasional mobil adalah kecepatan,
akselerasi, sistem kemudi, serta kenyamanan. Karena faktor kepentingan
pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan mempunyai sikap yang
berbeda dalam menilai atribut – atribut ini. Kecepatan akan diberi nilai tinggi oleh
sebagian pelanggan, namun dapat dianggap tidak relevan atau dinilai rendah oleh
sebagian pelanggan lain yang lebih mementingkan atribut kenyamanan.
2) Serviceability (Kemudahan Pelayanan)
Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut.
Misalnya mobil merek tertentu menyediakan pelayanan kerusakan atau service
mobil 24jam di seluruh kota.
39 3) Durability (Daya tahan)
Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut. misalnya mobil merek
tertentu yang memposisikan dirinya sebagai mobil tahan lama. Walau telah
berumur 12 tahun tetapi masih berfungsi dengan baik.
4) Reliability (Kehandalan)
Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke
pembelian berikutnya. Dimensi keandalan juga berkaitan dengan probabilitas
suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu
tertentu dibawah kondisi tertentu. Dengan demikian keandalan merupakan
karakteristik yang mencerminkan kemungkinan tingkat keberhasilan dalam
penggunaan suatu produk.
5) Features (Fitur)
Bagian – bagian tambahan dari produk (fitur), seperti remote control sebuah
video, tape recorder, system WAP untuk telepon genggam. Penambahan ini
biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk
terlihat hampir sama. Bagian – bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa
perusahaan
memahami
kebutuhan
pelanggannya
yang
dinamis
sesuai
perkembangan.
6) Conformance with Specifications (Kesesuaian dengan Spesifikasi)
Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat
produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. Dimensi ini
juga bisa diartikan sebagai kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah
40 ditetapkan sesuai dengan keinginan konsumen. Kesesuaian atau konformasi juga
merefleksikan derajat dimana karakteristik desain produk dan karakteristik
operasi memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sering didefinisikan sebagai
kesesuaian terhadap kebutuhan (conformance to requirements).
Misalnya sebuah mobil pada kelas tertentu dengan spesifikasi yang telah
ditentukan seperti jenis dan kekuatan mesin, pintu, material untuk mobil, ban,
system pengapian dan lainnya.
7) Fit and Fitness
Mengarah pada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi
sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir” produk yang
baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas
lain yang penting.
2.2.6 Brand Trust
Kepercayaan adalah variabel kunci dalam pengembangan keinginan untuk
menjaga sebuah hubungan jangka panjang , contohnya terhadap sebuah merek
(Morgan and Hunt, 1994 dalam Delgado, Elena et al, 2001).
Kepercayaan terbangun karena adanya harapan bahwa pihak lain akan
bertindak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika seseorang telah
mempercayai pihak lain maka mereka yakin bahwa harapan akan terpenuhi dan tak
akan ada lagi kekecewaan (Sanner, 1997 dalam Ferrinadewi, 2004).
41 Menurut Lau and Lee (dalam Paramitha, 2010), mengartikan bahwa trust
sebagai kesediaan (willingness) seseorang untuk menggantungkan dirinya pada pihak
lain dengan resiko tertentu.
Menurut Amir (dalam Lianda, 2009), kepercayaan adalah keyakinan kita
bahwa di satu produk ada atribut tertentu. Keyakinan ini muncul, dari persepsi yang
berulang, dan adanya pembelajaran dan pengalaman.
Menurut Ananto (Irawan, 2011, p1) mendefinisikan suatu kepercayaan adalah
sebagai suatu rasa percaya kepada mitra dimana seseorang berhubungan sementara
menurut
Indarjo (Irawan, 2011, p1) mendefinisikan kepercayaan sebagai suatu
kerelaan untuk bergantung kepada partner dalam suatu hubungan transakasi dimana
dalam diri partner itu sendiri diletakan keyakinan.
Menurut Luarn dan Lin (dalam Suhardi, 2006) kepercayaan adalah sejumlah
keyakinan spesifik terhadap integritas (kejujuran pihak yang dipercaya dan
kemampuan menepati janji), benevolence (perhatian dan motivasi yang dipercaya
untuk bertindak sesuai dengan kepentingan yang mempercayai mereka), competency
(kemampuan
pihak
yang
dipercaya
untuk
melaksanakan
kebutuhan
yang
mempercayai) dan predictability (konsistensi perilaku pihak yang dipercaya).
Ellena Delgado Ballester (2003) menjelaskan bahwa brand trust adalah
perasaan aman yang dimiliki pelanggan akibat dari interaksinya dengan sebuah
merek, yang berdasarkan persepsi bahwa merek tersebut dapat diandalkan dan
bertanggung jawab atas kepentingan dan keselamatan dari pelanggan. Brand Trust
42 juga dapat diartikan sebagai adanya sebuah harapan yang tinggi bahwa suatu merek
tertentu akan membawa hasil yang positif bagi para pelanggan. Brand trust dimulai
dari pengalaman yang lalu dan interaksi karena perkembangannya dipengaruhi oleh
proses pengalaman individual dari waktu ke waktu. Ini merangkum pengetahuan dan
pengalaman para pelanggan dengan merek tersebut. Sebagai sebuah atribut
pengalaman, brand trust dipengaruhi oleh evaluasi pelanggan dari kontak langsung
(percobaan pemakaian) atau kontak tidak langsung (periklanan, word of mouth)
dengan merek tertentu. Dari semua kontak tersebut, sumber brand trust yang paling
relevan dan penting adalah pengalaman menggunakan barang tersebut.
Brand Trust mewakili pengakuan bahwa nilai merek dapat diciptakan dan
dikembangkan dengan cara mengatur beberapa aspek yang melebihi kepuasan
konsumen terhadap kinerja.
Menurut Delgado dan Walzuch dalam Ferrinadewi (2008:150-151),
komponen kepercayaan merek bersandar pada penilaian konsumen yang subyektif
atau didasarkan pada beberapa persepsi, yaitu:
a. Persepsi konsumen terhadap manfaat yang dapat diberikan produk / merek.
b. Persepsi konsumen akan reputasi merek, persepsi konsumen akan kesamaan
kepentingan dirinya dengan penjual, dan persepsi mereka pada sejauh mana
konsumen dapat mengendalikan penjual dan persepsi.
Sedangkan menurut Lau dan Lee (Apriansyah, 2010) Kepercayaan terhadap
merek, terdiri dari tiga faktor, yaitu:
1. Brand Characteristic, berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap suatu
43 merek. Kepercayaan di sini menyangkut tentang kinerja merek dapat diramalkan,
mempunyai reputasi dan kompetensi merek, dengan indikator sebagai
berikut :
•
Merek dengan reputasi tinggi, yaitu merek dengan kualitas yang baik dan
mampu bersaing dengan merek lain.
•
Pengetahuan publik tentang merek, yaitu suatu tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap suatu merek.
•
Berita positif tentang merek produk, yaitu suatu kabar berita yang baik
tentang produk yang beredar di masyarakat.
•
Pengetahuan konsumen tentang merek, yaitu tingkat pengetahuan konsumen
mengenai merek yang telah digunakan.
•
Kinerja
merek dapat diantisipasi, yaitu tingkat keefektifitasan suatu
perusahaan terhadap merek, sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan
dengan baik.
•
Merek yang konsisten dengan kualitasnya, yaitu tingkat konsistensi suatu
merek dengan menjaga kualitas yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
•
Harapan konsumen terhadap merek, yaitu suatu keinginan konsumen terhadap
apa yang dilakukan perusahaan pada produk yang dipasarkannya.
•
Berbeda dengan merek yang lain, yaitu perbandingan dengan merek ataupun
produk merek lain dengan bidang yang sama yang memliki kekuatan merek
yang berbeda.
44 •
Efektivitas produk dibandingkan dengan merek lain, yaitu perbandingan
tingkat kinerja yang ditawarkan suatu perusahaan terhadap produk yang
dipasarkannya
•
Merek yang paling dapat memenuhi kebutuhan, yaitu suatu produk yang
memiliki kualitas yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Company Characteristic, yang ada dibalik merek akan berpengaruh terhadap
loyalitas merek. karakteristik perusahaan merupakan dasar awal pemahaman
konsumen terhadap suatu produk. Karakteristik ini meliputi reputasi suatu
perusahaan serta integritas perusahaan di balik merek tersebut. dengan indikator
sebagai berikut :
-
Kepercayaan terhadap perusahaan, yaitu suatu tingkat kepercayaan konsumen
ataupun pelanggan terhadap perusahaan.
-
Perusahaan tidak akan menipu pelanggan, merupakan suatu komitmen yang
dipegang teguh oleh suatu perusahaan agar menciptakan loyalitas konsumen.
-
Perhatian perusahaan terhadap pelanggan, merupakan salah satu wujud
strategi
pemasaran
agar
masyarakat
merasakan
kenyamanan
dalam
menggunakan produk suatu perusahaan.
-
Keyakinan pelanggan terhadap produk perusahaan, merupakan wujud dari
hasil suatu komitmen perusahaan untuk melayani konsumennya dengan baik.
45 3. Consumer – Brand Characteristik, merupakan totalitas pemikiran dan perasaan
individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga sering kali dalam konteks
pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang. Konsumen sering kali
berinteraksi dengan merek seolah olah merek tersebut adalah manusia sehingga
kesamaan antara konsep diri konsumen dengan merek dapat membangun
kepercayaan terhadap merek, dengan indicator sebagai berikut :
•
Ada kesamaan merek dengan emosi pelanggan, yaitu antara perusahaan
dengan konsumen memilki keinginan dan tujuan yang sama.
•
Merupakan merek favorit, yaitu persepsi konsumen akan suatu merek yang
diinginkan tentunya dengan kualitas yang baik.
•
Merek yang sesuai dengan kepribadian pelanggan, merupakan suatu persepsi
konsumen akan merek suatu produk yang digunakan.
2.2.6.1 Tingkatan Kepercayaan Merek
Tingkatan – tingkatan kepercayaan merek Menurut Rizal Edy salim dalam Jurnal
manajemen Indonesia, (Vol.1, No. 2, 2002) didimensikan menjadi 5 (lima) yaitu :
1. Hedonik adalah merek yang memberikan kesenangan atau kebanggaan tersendiri
bagi saya, dimana merek ini membuat saya bahagia.
2. Utilatarian adalah merek ini yang memenuhi kebutuhan saya dimana merek ini
membuat saya bergairah kembali dalam melakukan apapun.
46 3. Ketersediaan adalah merek ini tersedia dimana saja membuat konsumen ingin
terus menggunakanya, merek ini tersedia dimana saja membuat konsumen mudah
untuk mendapatkan atau memperolehnya.
4. Keunikan merek adalah merek ini berbeda dari merek lain yang sejenis membuat
konsumen tidak akan mungkin berpindah merek, merek ini memiliki ciri khas
tersendiri membuat setiap konsumen ingin terus mengkonsumsinya.
5. Kualitas merek adalah merek ini bermutu terbaik membuat konsumen ingin terus
mengkonsumsinya, merek ini mutunya terjamin membuat konsumen akan terus
menggunakannya.
2.2.6.2 Pengukuran Brand Trust
Menurut Delgado (2004) kepercayaan merek adalah harapan akan kehandalan
dan intense baik merek karena itu kepercayaan merek merefleksikan 2 hal yakni :
brand reliability dan brand intentions.
1) Brand Reliability atau kehandalan merek yang bersumber pada keyakinan
konsumen bahwa produk tersebut mampu memenuhi nilai yang dijanjikan
atau dengan kata lain persepsi bahwa merek tersebut mampu memenuhi
kebutuhan dan memberikan kepuasan. Brand reliability merupakan hal yang
esensial bagi terciptanya kepercayaan terhadap merek karena kemampuan
merek memenuhi nilai yang dijanjikannya akan membuat konsumen menaruh
rasa yakin akan mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam hal ini kebutuhan
untuk keluar dari perasaaan terancamnya.
47 2) Brand Intention didasarkan pada keyakinan konsumen bahwa merek tersebut
mampu mengutamakan kepentingan konsumen ketika masalah dalam
konsumsi produk muncul secara tidak terduga. Kedua komponen kepercayaan
merek bersandar pada penilaian konsumen yang subyektif atau didasarkan
pada persepsi masing – masing konsumen terhadap manfaat yang dapat
diberikan produk/ merek.
Menurut European Journal of Marketing (Delgado – Ballesterand Munuera –
Aleman, 1999 dalam Wijoyo dan Prasetio, 2005) ukuran yang sering dipakai untuk
mengukur kepercayaan adalah tipe skala multi – item yang menjelaskan dimensi –
dimensi dari konsep perilaku spesifik (“memegang janji”) dan atribut (“jujur” ,
“tertarik kepada…”).
Lebih khususnya skala kepercayaan terhadap merek yang
terkait dengan kemampuannya untuk dipercaya dan intensinya terhadap konsumen.
Enam item yang ada diskala tersebut adalah :
1) Menawarkan sebuah produk dengan tingkat kualitas yang konstan.
2) Membantu untuk memecahkan masalah yang mungkin timbul ketika pemakai
produk menggunakan produk tersebut.
3) Menawarkan produk – produk baru yang mungkin dibutuhkan oleh pemakai
produk.
4) Peduli dengan kepuasan pemakai produk.
5) Memandang pemakai produk sebagai seseorang yang berharga.
6) Menawarkan rekomendasi dan saran untuk memaksimalkan penggunaan
produk tersebut.
48 Kesimpulannya peneliti menggunakan pengukuran menurut Delgado (2004)
untuk mengukur subvariabel pada brand trust yaitu dengan brand reliability dan
brand intention untuk mengukur kepercayaan terhadap
merek dan keyakinan
konsumen bahwa merek tersebut mengutamakan kepentingan konsumen ketika
masalah dalam konsumsi produk.
2.2.7 Brand Loyalty
Menurut Rangkuti (2004, pp60 -61), pengertian loyalitas merek ialah ukuran
dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari
brand equity yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Apabila loyalitas merek
meningkat, maka kerentanan kelompok pelanggan dari serangan pesaing dapat
dikurangi karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan
masa depan.
Definisi lainnya yaitu menurut Tjiptono (Apriansyah, 2010), yang
mengemukan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk
membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara
konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama
berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi
menyebabkan perilaku beralih merek.
Menurut Durianto, et al (2004, p126) mendefinisikan “loyalitas merek
merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek”. Ukuran ini
menggambarkan tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek
49 produk lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan baik
menyangkut harga ataupun atribut lain.
Yoo et al dan Arjun dan Morris (dalam Utami, 2009) mendefinisikan loyalitas
merek dalam arti kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah
merek, komitmen pada merek tersebut, dan berniat menerusakan pembelian dimasa
yang akan datang. Terjadinya loyalitas merek pada kosumen disebabkan oleh adanya
pengaruh kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek tersebut yang terakumulasi
secara terus menerus disamping adanya persepsi tentang kualitas produk.
Douglas (dalam Utami, 2009) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan
konsep yang fundamental dalam strategik marketing, Customer’s Brand Loyalty
dapat menciptakan keuntungan dalam marketing yaitu word of mouth referral dan
perlawanan dalam kompetisi yang semakin besar.
Loyalitas merek (brand loyalty) merupakan suatu konsep yang sangat penting
dalam strategi pemasaran. Keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat
diperlukan agar perusahaan dapat bertahan hidup. Loyalitas dapat diartikan sebagai
suatu komitmen yang mendalam untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa
yang menjadi preferensinya secara konsisten pada masa yang akan datang dengan
cara membeli ulang merek yang sama meskipun ada pengaruh situasional dan usaha
pemasaran yang dapat menimbulkan peralihan perilaku.
Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu ikatan antara pelanggan dengan
merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari
pelanggan. Minor dan Mowen (dalam Kurniawan, 2011) mengemukakan bahwa
50 loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan
dengan proporsi pembelian. Berdasarkan dari pandangan tersebut maka loyalitas
merek didefinisikan sebagai: keinginan konsumen untuk melakukan pembelian ulang.
Loyalitas merek sering dianggap sebagai komitmen internal untuk membeli
dan membeli ulang suatu merek tertentu. Loyalitas merek dapat didefinisikan sebagai
keinginan melakukan dan perilaku pembelian ulang.
Loyalitas merek dari kelompok pelanggan seringkali merupakan inti dari
ekuitas merek. Apabila para pelanggan tidak tertarik pada merek dan membeli karena
karakteristik produknya, harga dan kenyamanan dengan sedikit mempedulikan
merek, maka berarti kemungkinan ekuitas mereknya kecil. Sebaliknya, apabila para
pelanggan melanjutkan untuk membeli merek tersebut kendati dihadapkan pada para
kompetitor yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dari segi harga
dan kepraktisannya, berarti ada nilai yang amat besar dalam merek tersebut dan
barangkali juga dalam simbol dan slogannya.
2.2.7.1 Jenis – Jenis Loyalitas
Menurut Jill Griffin (2003:22) terdapat empat jenis loyalitas yang muncul bila
keterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi-silang dengan pola pembelian ulang, yang
rendah dan tinggi.
51 Adapun jenis-jenis loyalitas konsumen yaitu :
1. Tanpa Loyalitas
Untuk
berbagai
alasan
tertentu,
ada
beberapa
konsumen
yang
tidak
mengembangkan loyalitas atau kesetiaan kepada suatu produk maupun jasa
tertentu. Tingkat keterikatan yang rendah dengan tingkat pembelian ulang yang
rendah menunjukkan absennya suatu kesetiaan. Pada dasarnya, suatu usaha harus
menghindari kelompok no loyality ini untuk dijadikan target pasar, karena mereka
tidak akan menjadi konsumen yang setia.
2. Loyalitas yang lemah (Inertia Loyality)
Inertia loyality merupakan sebuah jenis loyalitas konsumen yang dimana adanya
keterikatan yang rendah dengan pembelian ulang yang tinggi. Konsumen yang
memiliki sikap ini biasanya membeli berdasarkan kebiasaan. Dasar yang
digunakan untuk pembelian produk atau jasa disebabkan oleh faktor kemudahan
situsional. Kesetiaan semacam ini biasanya banyak terjadi terhadap produk atau
Jasa yang sering dipakai. Contoh dari kesetiaan ini terlihat dari kegiatan pembelian
bensin yang dilakukan konsumen di dekat daerah rumahnya dan sebagainya.
Pembeli dengan loyalitas yang lemah rentan beralih ke produk pesaing yang dapat
menunjukkan manfaat yang jelas. Meskipun demikian, perusahaan masih memiliki
kemungkinan untuk mengubah jenis loyalitas ini ke dalam bentuk loyalitas yang
lebih tinggi melalui pendekatan yang aktif ke pelanggan dan peningkatan nilai
52 perbedaan positif yang diterima konsumen atas produk maupun jasa yang
ditawarkan kepadnya dibandingkan dengan yang ditawarkan para pesaing lain. Hal
ini dapat dilakukan melalui peningkatan keramahan dalam pelayanan dan fasilitas
yang diberikan kepada konsumen.
3. Loyalitas Tersembunyi (Laten Loyality)
Jenis loyalitas tersembunyi merupakan sebuah kesetiaan atau keterikatan yang
relatif tinggi yang disertai dengan tingkat pembelian ulang yang rendah.
Konsumen yang mempunyai sikap laten loyality pembelian ulang juga didasarkan
pada pengaruh faktor situasional daripada sikapnya. Sebagai contoh, seorang
suami menyukai masakan eropa, tetapi mempunyai istri yang kurang menyukai
masakan Eropa. Maka suami tersebut hanya sesekali saja mengunjungi restoran
Eropa dan lebih sering pergi ke restoran yang dimana masakan yang ditawarkan
dapat dinikmati bersama.
4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty)
Loyalitas ini merupakan yang terjadi bilamana suatu tingkat keterikatan tinggi
yang berjalan selaras dengan aktivitas pembelian kembali. Setiap perusahaan
tentunya
sangat
mengharapkan
kesetiaan
jenis
ini
dari
setiap
usaha preference yang tinggi. Contoh jenis loyalty premium adalah rasa bangga
yang muncul ketika konsumen menemukan dan menggunakan produk atau jasa
53 tersebut dan dengan senang hati membagi pengetahuan dan merekomendasikannya
kepada teman, keluarga maupun orang lain.
2.2.7.2 Tingkatan Loyalitas
Menurut, Aaker (dalam Simamora 2002) membagi loyalitas merek ke dalam
lima tingkatan, sebagai berikut:
1. Switcher adalah golongan yang tidak peduli pada merek, mereka suka berpindah
merek.
Motivasi mereka berpindah merek adalah harga yang rendah karena
golongan ini memang sensitif terhadap harga (price sensitive switcher), adapula
yang selalu mencari variasi yang disebut Blackwell et al dan Kotler sebagai
variety-prone switcher dan karena para konsumen tersebut tidak mendapatkan
kepuasan (unsatisfied switcher).
2. Habitual buyer adalah golongan yang setia terhadap suatu merek dimana dasar
kesetiaannya bukan kepuasan atau keakraban dan kebanggaan. Golongan ini
memang puas, setidaknya tidak merasa dikecewakan oleh merek tersebut. Dan
dalam membeli produk didasarkan pada faktor kebiasaan, bila menemukan merek
yang lebih bagus, maka mereka akan berpindah. Blackwell et al menyebut
perilaku tersebut sebagai inertia.
3. Satisfied buyer adalah golongan konsumen yang merasa puas dengan suatu
merek. Mereka setia, tetapi dasar kesetiaannya bukan pada kebanggaan atau
54 keakraban pada suatu merek tetapi lebih didasarkan pada perhitungan untung rugi
atau biaya peralihan (switching cost) bila melakukan pergantian ke merek lain.
4. Liking the brand
adalah golongan konsumen yang belum mengekspresikan
kebanggannya pada kepada orang lain, kecintaan pada produk baru terbatas pada
komitmen terhadap diri sendiri, dan mereka merasa akrab dengan merek.
5. Commited buyer adalah konsumen yang merasa bangga dengan merek tersebut
dan mengekspresikan kebanggaannya dengan mempromosikan merek tersebut
pada orang lain.
Dalam satu golongan loyalitas masih terbuka kemungkinan pada perbedaan
derajat kesetiaan. Kita dapat mengatakan bahwa kesetiaan berada pada suatu
kontinum. Titik paling rendah adalah tidak loyal sama sekali sedangkan titik paling
tinggi adalah loyalitas penuh. Bahkan Kunde menyebutkan bahwa loyalitas puncak
adalah titik dimana merek telah menjadi agama (brand religion), merek menjadi
sesuatu yang wajib, dipuja dan disembah (Simamora, 2002). Menurut Giddens (2002)
konsumen yang loyal terhadap suatu merek memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki komitmen pada merek tersebut
2. Berani membayar lebih pada merek tersebut bila dibandingkan dengan merek
yang lain.
3. Akan merekomendasikan merek tersebut pada orang lain.
55 4. Dalam melakukan pembelian kembali produk tersebut tidak melakukan
pertimbangan.
5. Selalu mengikuti informasi yang berkaitan merek tersebut
6. Mereka dapat menjadi semacam juru bicara dari merek tersebut dan mereka selalu
mengembangkan hubungan dengan merek tersebut.
2.2.7.3 Pengukuran Brand Loyalty
Loyalitas merek menurut Mowen dan Minor (dalam Lamidi, 2007) adalah
suatu kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek,
mempunyai
komitmen
pada
merek
tersebut,
dan
bermaksud
meneruskan
pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini didasarkan pada dua pendekatan yaitu
behavioral dan attitudinal. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
keperilakuan (behavioral), maka hal ini mengacu pada perilaku konsumen yang hanya
membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaaan
di dalamnya. Sebaliknya
jika yang dipakai adalah pendekatan attitudinal maka
loyalitas merek mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek.
Pengukuran Brand Loyalty (Aaker, 1991 : 43) sebagai berikut :
56 1. Behavior Measure (pengukuran perilaku)
Suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk habitual behavior
(perilaku kebiasaan) adalah dengan memperhitungkan pola pembelian yang aktual.
Beberapa ukuran yang dapat digunakan : (Durianto, et al, 2004, p132-134)
a) Repurchase Rates (Tingkat Pembelian Ulang). Yaitu tingkat persentase
pelanggan yang membeli merek yang sama pada kesempatan membeli jenis
produk tersebut.
b) Percent of Purchase (Persentase pembelian). Yaitu tingkat persentase
pelanggan untuk setiap merek yang dibeli dari beberapa pembelian terakhir.
c) Number of brands purchase (Jumlah merek yang dibeli). Yaitu tingkat
persentase pelanggan dari suatu produk untuk hanya membeli satu merek , dua
merek , tiga merek, dan seterusnya.
Loyalitas pelanggan sangat bervariasi diantara beberapa kelas produk,
tergantung pada jumlah merek yang bersaing dan karakteristik produk tersebut.
2. Measuring switching cost (pengukuran biaya peralihan)
Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindentifikasi loyalitas pelanggan
terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek sangat
mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sangat mahal, pelanggan
57 akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan kelompok pelanggan
dari waktu ke waktu akan rendah.
3. Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan)
Pengukuran terhadap kepuasaan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu merek
merupakan indikator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan
terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alasan bagi
pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor – faktor
penarik yang sangat kuat. Dengan demikian sangat perlu bagi perusahaan untuk
mengeksplor informasi dari pelanggan yang memindahkan pembeliannya ke merek
lain dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun
alasan yang terkait dengan ketergesaann mereka memindahkan pilihannya.
4. Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek)
Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan – perasaan hormat atau
bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan
pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang
sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekedar suka
pada suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui
persepsi dan kepercayaan mereka yang terkait dengan atribut merek. Ukuran dari
rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemauan membayar harga yang lebih
mahal untuk memperoleh merek tersebut.
58 5. Measuring Commitment (pengukuran komitmen)
Salah satu indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komitmen pelanggan yang
berkaitan dengan produk tersebut. kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan
mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak lain, baik
dalam taraf sekedar menceritakan alasan pembelian mereka pada suatu merek atau
bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya kepada orang lain untuk
menkonsumsi merek tersebut. indikator lain adalah sejauh mana tingkat
kepentingan merek tersebut bagi seseorang berkenaan dengan aktivitas dan
kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam
kaitannya dengan penggunaan.
2.2.8 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti akan mendefinisikan keterkaitan antar
variabel – variabel tersebut , yaitu sebagai berikut :
a) Hubungan antara experiential marketing dengan brand trust
Experiential marketing merupakan konsep pemasaran yang bertujuan untuk
membangun hubungan dimana konsumen merespon produk yang ditawarkan
berdasarkan emosi dan tingkat pemikiran mereka. Hubungan emosional yang
terbangun akibat pengalaman positif tersebut akan menimbulkan suatu kesukaan
terhadap merek dan kepuasan dalam menggunakan merek dimana kedua hal tersebut
59 merupakan salah satu faktor utama yang mendukung terciptanya kepercayaan
terhadap suatu merek oleh pelanggan.
Jika seorang konsumen memiliki pengalaman positif terhadap merek, hal
tersebut memungkinkan terciptanya kepercayaan konsumen pada merek. Semakin
baik kinerja suatu merek dalam menciptakan pengalaman kepada konsumen maka
semakin tinggi pula tingkat kepercayaan pada merek (Telaah Manajemen Vol 2 No.2/
November/ 2007: p130).
Kepercayaan dibangun melalui pengalaman, semakin positif pengalaman yang
dimiliki oleh konsumen bersama dengan suatu merek, maka seorang konsumen akan
semakin mungkin untuk mempercayai merek tersebut (Delgado-Ballester dan
Aleman, 2005, p193).
Kepercayaan merek terbentuk dari pengalaman konsumen (Costabile, 2002
dalam Ferrinadewi 2005). Pengalaman merupakan hasil dari psikologis konsumen
dan tercipta apabila ada keterlibatan konsumen selama proses pra pembelian maupun
pada saat pembelian baik dalam bentuk dorongan motivasi maupun bentuk dorongan
motivasi maupun dalam bentuk multidimensional (Broderick & Foxall, 1999 dalam
Ferrinadewi, 2005). Pengalaman akan menjadi sumber terciptanya rasa percaya bagi
konsumen dan pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam
konsumsi, penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung
dengan merek. Semakin tinggi tingkat keterlibatan konsumen maka semakin tinggi
juga tingkat pengalaman konsumen selama proses pra pembelian, hal ini akan
60 berdampak pada peningkatan kepercayaan merek. Tingkat keterlibatan konsumen
tergantung pada tipe keterlibatan konsumen yang bersangkutan.
Teori penghubung menurut (Costabile, 2002
dalam Ferrinadewi, 2005) :
“Pengalaman akan menjadi sumber bagi konsumen bagi terciptanya rasa percaya dan
pengalaman
ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam konsumsi,
penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung dengan merek.
Pengalaman yang dialami konsumen merupakan suatu bentuk keterlibatan konsumen
terhadap produk yang akan dikonsumsi. Konsumen perlu mengalami sendiri dalam
proses pertukaran sehingga dapat terbentuk rasa percaya terhadap merek dalam benak
konsumen.”
Ketika konsumen puas dengan suatu merek setelah menggunakan merek
tersebut, situasi ini berarti merek telah memenuhi janjinya. Ketika merek memenuhi
janjinya, kemungkinan konsumen untuk mempercayai merek tersebut menjadi lebih
kuat. Kepercayaan ini mengacu juga pada pengalaman terhadap merek. Jika seorang
konsumen
mempunyai
pengalaman
positif
terhadap
merek,
Hal
tersebut
memungkinkan terciptanya kepercayaan konsumen pada merek. Semakin baik kinerja
suatu merek maka pengalaman semakin tinggi pula tingkat kepercayaan pada merek.
b) Hubungan antara perceived quality dengan brand trust
Pelanggan yang tidak puas akan merasa dikecewakan sehingga perceived
quality yang dimiliki pada awalnya berganti dengan kesan benci karena merasa
61 dibodohi. Tetapi pelanggan yang puas akan merasa tidak dikecewakan dan perceived
quality yang ia pikirkan terhadap produk tersebut akan semakin baik dan percaya
terhadap merek tersebut.
Menurut Costabile (1998, dalam Ferrinadewi dan Djati, 2004) mendefinisikan
kepercayaan (trust) sebagai persepsi terhadap kehandalan dari sudut pandang
pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau
interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya
kepuasan. Ini menunjukkan bahwa dengan adanya persepsi kualitas pelanggan
terhadap suatu merek yang didasarkan pada pengalaman maka akan membentuk suatu
kepercayaan akan merek tersebut. Semakin baik persepsi kualitas pelanggan terhadap
merek tersebut, maka kepercayaan akan merek tersebut pun semakin kuat.
c) Hubungan antara brand trust dengan brand loyalty
Pengaruh kepercayaan merek terhadap loyalitas merek dikemukakan oleh
Hess,1995 ; Selnes,1998, Chou et al,2002 dan (Morgan dan Hunt,1994) dalam Erna
Ferrinadewi (2008:148) menyatakan bahwa kepercayaan merek akan mempengaruhi
kepuasan konsumen dan loyalitas merek.
Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa pelanggan setia pada merek
karena mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap merek tersebut.
Hal ini dipertegas oleh Lau dan Lee yang memproposisikan bahwa kepercayaan
terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek. Pengalaman positif dan kinerja
62 akan suatu merek yang baik akan mendorong pelanggan untuk mulai mempercayai
suatu merek lalu berkembang menjadi setia atau loyal terhadap suatu merek.
Spekman mempercayai bahwa trust merupakan pondasi untuk membangun
hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Trust berperan penting dalam
meningkatkan loyalitas merek, karena ketika kepercayaan pelanggan antar satu sama
lain, ini seperti pelanggan membangun intense perilaku positif terhadap yang lainnya
(Fournier, 1998).
Menurut Ernwati dalam penelitiannya, (dalam Badawi, 2007) ada pengaruh
brand trust terhadap loyalitas. Temuan yang sama juga Lau and Lee, (dalam Badawi,
2007) mengatakan dalam penelitiannya bahwa loyalitas merek dapat dikonsepsikan
sebagai hasil yang dirasakan pada perilaku pembelian pada merek atau perilaku
pembelian ulang pada suatu merek, dimana perilaku pembelian ulang tersebut dapat
dikatakan pelanggan telah loyal pada merek tersebut.
d) Hubungan antara experiential marketing dengan brand loyalty
Menurut Amir Hamzah (dalam Utami, 2009) adanya pengaruh positif antara
experiential marketing dan brand loyalty dengan melalui aspek – aspek experiential
marketing diantaranya sense, feel, think, act, dan relate. Fransisca Andreani (2007)
mengatakan bahwa Experiential Marketing sangat efektif bagi pemasar untuk
membangun brand loyalty.
63 Schmitt (1999), Fransisca Andreani (2007), Amir Hamzah (2007), Munson
(2001), Pullen (2001), Palupi (2001) Petkus(2004), Hannam (2004); Stenhouse
(2003), mengatakan bahwa experiential marketing sangat efektif bagi pemasar untuk
membangun brand loyalty melalui aspek aspek sense, feel, think, act dan relate.
Sekarang semua berdasarkan dan berkaitan erat dengan pemasaran, pemasaran
harus berdasar pada pengalaman konsumen dan mengembangkan hubungan dengan
merek perusahaan. Banyak target konsumen yang berangkat dari penelusuran lalu ke
tahap yaitu konsumen mengingat kembali mengenai pengalaman yang diberikan oleh
suatu merek tertentu, dimana mendatangkan pertumbuhan yang semakin baik pada
perilaku pembelian konsumen. (http://EzineArticles.com/?expert=Tricia_Ryan).
Pengalaman-pengalaman positif yang dialami konsumen terhadap suatu merek
itulah yang nantinya akan menimbulkan efek emosional dan kepuasan di benak
konsumen. Dampak-dampak tersebutlah yang pada akhirnya akan membentuk suatu
kepercayaan konsumen terhadap suatu merek, sehingga akan berujung pada
peningkatan loyalitas merek (Inong, 2009 dalam Rini, 2010).
Jika Kepercayaan akan merek itu kuat maka dapat menimbulkan kepercayaan
yang positif bagi merek. Pada akhirnya menimbulkan komitmen untuk membangun
hubungan jangka panjang dengan merek tersebut.
Jika dihubungkan dengan penelitian ini, maka peneliti mengamati bahwa
experiential marketing berpengaruh terhadap komitmen pembelian ulang, di mana
komitmen pembelian ulang merupakan salah satu bagian dari brand loyalty, hal ini
berarti bahwa experiential marketing berpengaruh terhadap brand loyalty.
64 e) Hubungan antara perceived quality dengan brand loyalty
Dengan adanya kesan kualitas yang terbentuk di dalam pikiran pelanggan,
maka konsumen akan mencoba membeli merek tersebut dan apabila setelah
pembelian tersebut konsumen menjadi puas dan percaya dengan kualitas merek
produk maka konsumen akan melakukan pembelian ulang, dimana dengan
melakukan pembelian ulang secara berkelanjutan itu menunjukkan bahwa konsumen
sudah mulai loyal dengan merek tersebut.
Persepsi kualitas dirasakan oleh konsumen berpengaruh terhadap kesediaan
untuk membeli sebuah produk. Ini berarti semakin tinggi, nilai yang dirasakan oleh
konsumen maka akan semakin tinggi pula kesediaan konsumen tersebut untuk
akhirnya
membeli
(Joe
Chapman
&
Rush
Wahlers,
1999,
p54
dalam
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdl-luluswisto-5741-3babii.pdf)
Persepsi kualitas yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan
menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut. Hal itu karena konsumen akan lebih
menyukai produk yang memiliki persepsi kualitas yang baik. Aaker (dalam
Rachmansyah, 2010) mengatakan bahwa Perceived Quality (persepsi kualitas) akan
mempengaruhi keputusan pembelian dan Brand Loyalty secara langsung, terutama
ketika pembeli tidak termotivasi atau dapat untuk mengadakan suatu analisis yang
detail. Konsumen akan lebih memilih merek yang sudah mereka kenal karena
persepsi konsumen bahwa merek tersebut dapat diandalkan. Selain itu, konsumen
65 juga merasa yakin bahwa merek tersebut dapat menghindarkan mereka dari risiko
pemakaian (Durianto, dkk 2004 dalam Rachmansyah, 2010).Berikut adalah Gambar
yang menjelaskan hubungan antar variabel dalam penelitian ini :
Experiential
Marketing
Brand
Brand Trust
Loyalty
Perceived
quality
Gambar 2.2 Kerangka Penelitian
Sumber : Peneliti (2011)
2.3
Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji guna memenuhi tujuan-tujuan di dalam penelitian
ini terdiri dari tujuh buah hipotesis yang dijelaskan berikut ini.
• Pengujian mengenai apakah variabel experiential marketing berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
Hipotesis 1:
Ho: Variabel experiential marketing tidak berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
66 Ha: Variabel experiential marketing berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
• Pengujian mengenai apakah variabel perceived quality berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
Hipotesis 2:
Ho: Variabel perceived quality tidak berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
Ha: Variabel perceived quality berkontribusi secara signifikan terhadap variabel
brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
• Pengujian mengenai apakah variabel experiential marketing dan perceived quality
berkontribusi secara signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La
Tulipe.
Hipotesis 3:
Ho: Variabel experiential marketing dan perceived quality tidak berkontribusi
secara signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
Ha: Variabel experiential marketing dan perceived quality berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel brand trust (Y) pada kosmetik La Tulipe.
67 • Pengujian mengenai apakah variabel Experiential marketing (X1) berkontribusi
secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
Hipotesis 4:
Ho: Variabel Experiential marketing (X1) tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
Ha: Variabel Experiential marketing (X1) berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
•
Pengujian mengenai apakah variabel Perceived Quality (X2) berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
Hipotesis 5:
Ho: Variabel Perceived Quality (X2) tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
Ha: Variabel Perceived Quality (X2) berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
• Pengujian mengenai apakah variabel Brand Trust (Y) berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
Hipotesis 6:
Ho: Variabel Brand Trust (Y) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
68 Ha: Variabel Brand Trust (Y) berkontribusi secara signifikan terhadap variabel
Brand Loyalty (Z) pada kosmetik La Tulipe.
• Pengujian mengenai apakah variabel experiential marketing, perceived quality,
dan brand trust berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty
(Z) pada kosmetik La Tulipe.
Hipotesis 7:
Ho: Variabel experiential marketing, perceived quality, dan brand trust tidak
berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada
kosmetik La Tulipe.
Ha: Variabel experiential marketing, perceived quality, dan brand trust
berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Brand Loyalty (Z) pada
kosmetik La Tulipe.
Download