BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Wawasan Psikologi Industri dan Organisasi Psikologi industri dan organisasi berhubungan dengan industri dan organisasi. Semula ilmu ini dinamakan psikologi industri yang fungsi utama nya menerapkan ilmu psikologi di industri. Dengan berkembangnya psikologi industri menjadi ilmu yang mandiri maka terjadi pula perubahan pada namanya yaitu psikologi industri dan (psikologi) organisasi. Yang dimaksudkan di sini dengan organisasi ialah organisasi formal yang mencakup organisasi yang mencari keuntungan, yang memproduksi barang atau jasa (industri, perdagangan, biro akuntan, biro perjalanan, perbankan, dan sebagainya) dan organisasi yang tujuan utamanya bukan mencari keuntungan (lembaga pendidikan, rumah sakit, badan-badan pemerintah, lembaga permasyarakatan, dan sebagainya). Organisasi (industri) dapat kita pandang sebagai suatu sistem yang terbuka. Kast & Rosenzweig (1974, dalam Munandar, 2006, hal.12) mengartikan sistem sebagai “suatu kesatuan keseluruhan yang terorganisasi, yang terdiri dari dua atau lebih bagian, komponen atau subsistem, yang saling tergantung, yang dipisahkan dari suprasistem sebagai lingkungannya oleh batas-batas yang dapat ditemukenali” Menurut Munandar (2006, hal.12), organisasi (industri) sebagai suatu sistem terdiri dari subsistem, yaitu satuan kerja yang besar seperti divisi atau urusan. Satuan kerja yang besar ini terdiri dari satuan-satuan kerja yang lebih keccil (sub-subsistem), seperti bagian. Setiap bagian terdiri dari satuan kerja yang lebih kecil lagi, misalnya seksi. Demikian seterusnya sampai ke satuan kerja yang kita tetapkan sebagai yang terkecil, yaitu tenaga kerja. Menurut Munandar (2006, hal.13), organisasi industri berinteraksi dengan sistem lain (organisasi industri lainnya, departemen, lembaga pendidikan, dan sebagainya) membentuk suatu sistem yang lebih besar (suprasistem). Setiap komponen, setiap subsistem, setiap sistem berinteraksi dengan komponen, subsistem, sistem lainnya secara terus-menerus. Itu berarti bahwa terjadi proses saling mempengaruhi serta adanya hubungan ketergantungan antarkomponen, antarsubsistem, 7 8 antarsistem. Tidak dapat satu komponen, subsistem, sistem menonjol tanpa memberikan dampaknya pada lingkungan (komponen, subsistem, sistem lainnya). Sebagaimana halnya dengan setiap sistem, maka organisasi industri sebagai sistem berada dalam proses pertukaran yang sambung-menyambung dengan lingkungannya (dengan sistem lainnya atau suprasistemnya). Ia merupakan sistem terbuka, artinya menerima sesuatu dari dan melepas sesuatu kepada sistem yang lain. Organisasi industri menerima dari sistem lainnya masukan tertentu, seperti bahan baku, informasi, peralatan, mesin, teanaga kerja. Sebaliknya ia menghasilkan produk (dalam bentuk barang atau jasa) yang dilepas, disalurkan dan diterima oleh sistem lain. Proses tukar menukar ini akan berlangsung terus-menerus tanpa ada hentinya jika organisasi industri dapat seterusnya berhasil mendapatkan masukan yang diperlukan dari sistem lain, dan memberikan keluaran yang dapat diserap oleh sistem lain. Jika gagal memperoleh masukan yang diperlukan dari sistem lain dan/atau jika keluarannya tidak diserap atau ditolak oleh sistem lain, maka sistem lama kelamaan akan berhenti eksistensinya. Dalam hal suatu organisasi industri ia akan bangkrut. (Munandar, 2006, hal.13). 2.2 Kepemimpinan dalam Perusahaan Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2001, hal.35) misalnya, berpendapat bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan.Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2001, hal.35) menganggap baik kepemimpinan dan manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal. Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2006, hal.19) melihat kepemimpinan sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu 9 yang penting bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan secara luas menurut Robbins (2001) yaitu sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Siagian (1999) merumuskan kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpin adalah kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui bahwa konsepsi kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”. Menurut Munandar (2006) kepemimpinan merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang berisi : a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk memimpin. b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas mereka masing-masing. c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan bawahannya. 2.2.1 Arah Arus Informasi Salah satu tantangan besar dalam komunikasi organisasi adalah proses yang berhubungan dengan aliran informasi. Aliran informasi dapat membantu menentukan iklim dan moral organisasi, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada aliran informasi. Tantangan dalam komunikasi organisasi adalah bagaimana menyampaikan informasi keseluruh bagian organisasi dan bagaimana menerima informasi dari seluruh bagian organisasi (Faules, 2001, hal.170). Untuk menjalankan dan mencapai tujuan 10 tersebut maka dalam organisasi terdapat empat arah formal aliran informasi dalam organisasi. Keempat aliran informasi itu adalah: a. Komunikasi ke bawah Yaitu dalam sebuah organisasi bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Biasanya kita beranggapan bahwa informasi bergerak dari manajemen kepada para pegawai; namun, dalam organisasi kebanyakan hubungan ada pada kelompok manajemen (Faules 2001, hal.184). Komunikasi ini berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran menejemen mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah; pemberian atau penyampaian instruksi kerja (job instruction); penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu dilaksanakan (job retionnale); penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku (procedures and practices); pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik (Djuarsa, 2002, hal.4). b. Komunikasi ke atas, Dalam sebuah organisasi bahwa informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (penyelia) (Faules, 2001, hal.189).. Semua karyawan dalam perusahaan kecuali pimpinan mungkin akan melakukan komunikasi ke atas. Meminta informasi kepada seseorang yang memiliki otoritas lebih tinggi, memberikan permohonan atau komentar merupakan alasan tujuan dari komunikasi ini. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah, penyampaian informasi tentang pekerjaan ataupun tugas yang sudah dilaksanakan; penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahan; penyampaian saransaran perbaikan dari bawahan; penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaannya (Djuarsa, 2002, hal.4). c. Komunikasi horisontal Komunikasi ini terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama (Faules, 2001, hal.189). Fungsi arus komunikasi horisontal ini adalah; memperbaiki 11 koordanasi tugas; upaya pemecahan masalah; saling berbagi informasi; upaya memecahkan konflik;dan membina hubungan melalui kegiatan bersama. d. Komunikasi lintas saluran Komunikasi ini muncul dari keinginan pegawai untuk berbagi informasi melewati batas-batas fungsional dengan individu yang tidak menduduki posisi atasan maupun bawahan mereka. Empat aliran informasi yang telah disebutkan di atas merupakan komunikasi yang terdapat dalam organisasi, dan ke empat aliran informasi tersebut juga terdapat dalam kegiatan employee relations. 2.2.2 Macam-macam teori kepemimpinan Bila berbicara mengenai kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus membahas teori-teori kepemimpinan. Robbins (2001) membagi teori mengenai kepemimpinan ke dalam tiga kategori, yaitu : 1. Teori sifat kepemimpinan (trait theories of leadership) Membedakan para pemimpin dari mereka yang bukan pemimpin dengan cara berfokus pada berbagai sifat dan karakteristik pribadi. Pribadi-pribadi seperti Margaret Thatcher, presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, CEO Virgin Group Richard Branson, pendiri Apple Steve Jobs, mantan walikota New York City Rudolph Giuliani, dan ketua American Express Ken Chenaul diakui sebagai pemimpin dan dideskrepsikan sebagai pribadi yang karismatik, antusias, dan berani. Pencarian atribut-atribut kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual guna mendeskripsikan dan membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin merupakan tingkatan paling awal dalam penelitian kepemimpinan. Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan secara konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, riset baru-baru ini memberikan bukti kuat bahwa orangorang yang mempunyai sifat pemantauan diri yang tinggi artinya sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku mereka dalam situasi yang berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok ketimbang yang pemantauan dirinya rendah. 12 2. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership) Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku Kepemimpinan adalah: 1. Studi-studi Kepemimpinan Ohio State Menurut Robbins (2001) Teori perilaku kepemimpinan yang paling komprehensif dan replikatif muncul dari penelitian yang dirintis di Ohio State University pada akhir tahun 1940-an. Para peneliti disana berusaha mengidentifikasi dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin. Dimulai dengan lebih dari seribu dimensi, mereka akhirnya mempersempit daftar tersebut menjadi dua kategori yang pada dasarnya menjelaskan sebagian besar perilaku kepemimpinan sebagaimana dideskripsikan para karyawan. Mereka menyebut kedua dimensi ini struktur awal (initiating structure) dan tenggang rasa (consideration). Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik. Consideration adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya termasuk melakukan kebaikan kepada bawahan, mempunyai waktu untuk mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk seorang bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagai sesamanya. Initiating structure adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran dari para bawahan kearah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok. Contohnya termasuk memberi kritik kepada pekerjaan yangjelek, menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan, mempertahankan standarstandar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk mengikuti prosedurprosedur standar, menawarkan pendekatan baru terhadap masalah, 13 mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya. 2. Kajian dari University of Michigan Kajian kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Survei dan Survei Universitas Michigan mempunyai riset yang serupa dengan riset yang dilakukan di Ohio yaitu melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan juga membagi perilaku pemimpin ke dalam dua dimensi yaitu pemimpin berorientasi karyawan dan pemimpin berorientasi produksi. Pemimpin yang berorientasi karyawan (employee oriented leader) menekankan pada hubungan antarpribadi, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan dam menerima perbedaan individual di antara para anggota. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi produksi (production oriented leader) cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan tertentu, perhatian utama mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-anggota kelompok adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu. (Robbins, 2001) 3. Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia Suatu penggambaran grafis dari pandangan dua dimensi terhadap gaya kepemimpinan dikembangkan oleh Blake dan Mouton (dalam Robbins, 2001). Mereka mengemukakan Kisi Manajerial berdasarkan gaya “kepedulian akan orang” dan “kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi karyawan dan berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial itu sendiri merupakan suatu matriks sembilan kali sembilan yang membagankan delapan puluh satu gaya kepemimpinan yang berlainan. Berdasarkan penemuan-penemuan Blake dan Mouton, para manajer berkinerja paling baik pada gaya 9,9 dimana perhatiannya pada produksi tinggi tetapi perhatiannya pada karyawan juga tinggi, jika dibandingkan dengan gaya 9,1 (tipe otoritas) atau gaya 1,9 (tipe laissez-faire). 14 Studi Skandinavia mengatakan premis dasar mereka adalah bahwa dalam suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan perilaku yang berorientasi pengembangan (orients expansion). Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta membuat dan mengimplementasikan perubahan. 3. Teori Kontingensi (Contingency Theory) Menurut Robbins (2001) Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi kepemimpinan. Adapun lima teori yang termasuk ke dalam teori kontingensi adalah : a. Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model) Fiedler (dalam Robbins, 2001) mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan. Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama yang menentukan efekftivitas kepemimpinan. b. Teori Situasional Hersey dan Blanchad Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard (dalam Robbins, 2001) bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya. Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah 15 dimensi penting yang kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan, seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. c. Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota Menurut teori ini, George Graen (dalam Robbins, 2001) menciptakan kelompok-dalam dan kelompok-luar, dan bawahan dengan status kelompokdalam akan mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka. Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong keputusan kategorisasi dari pemimpin. d. Teori Jalur-Tujuan (House’s Path Goal Theory) Dikembangkan oleh Robert House (dalam Robbins, 2001), teori jalantujuan mengambil elemen-elemen dari penelitian kepemimpinan Ohio State University tentang struktur awal dan tenggang rasa dan teori pengharapan motivasi. inti dari teori jalan-tujuan (path-goal theory) adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi, dukungan, atau sumber daya lain yang dibutuhkan kepada para pengikut mereka bisa mencapai berbagai tujuan mereka. Istilah jalan-tujuan berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin yang efektif semestinya bisa menunjukkan jalan guna membantu pengikut-pengikut mereka mendapatkan hal-hal yang mereka butuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai rintangannya. 16 Gambar 2.1 Teori Jalur - Tujuan Sumber : Perilaku Organisasi (Stephen P. Robbins, 2001) e. Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton Victor Vroom dan Phillip Yetton (dalam Robbins, 2001) mengemukakan bahwa teori ini merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan. 2.2.3 Gaya Kepemimpinan Menurut Munandar (2006) hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya, hubungan antara manajer dengan bawahannya, merupakan hubungan saling ketergantungan yang pada umumnya merasa lebih tergantung kepada pimpinan daripada sebaliknya. Dalam proses interaksi yang terjadi antara pimpinan dan bawahan, berlangsung proses saling mempengaruhi dimana pemimpin berupaya mempengaruhi bawahannya agar berperilaku sesuai dengan harapannya. Corak interaksi inilah yang menentukan derajat keberhasilan pemimpin dalam kepemimpinannya. Teori kepemimpinan yang berkaitan dengan ini adalah teori kepemimpinan transaksional dan transformasional yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1994). 1. Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional menekankan pada transaksi atau pertukaran yang terjadi antar pemimpin, rekan kerja dan bawahannya. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan apa yang dibutuhkan dan bagaimana spesifikasi kondisi 17 danupah/hadiah jika bawahan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adapun 4 macam gaya kepemimpinan transaksional tersebut yaitu: a. Contingent Reward Jika bawahan melakukan pekerjaan untuk kepentingan yang menguntungkan organisasi, maka kepada mereka dijanjikan imbalan yang setimpal. b. Management by Exception-Active Pemimpin secara aktif dan ketat memantau pelaksanaan tugas pekerjaan bawahannya agar tidak membuat kesalahan, atau kegagalan. Atau agar kesalahan dan kegagalan tersebut dapat secepatnya diketahui untuk diperbaiki. c. Management by Exception-Passive Pemimpin baru bertindak setelah terjadi kegagalan dalam proses pencapaian tujuan, atau setelah benar-benar timbul masalah yang serius. Seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan dan sanksi kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan oleh bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanakan masih berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak memberikan evaluasi apapun kepada bawahan. d. Laissez-Faire Pemimpin membiarkan bawahannya melakukan tugas pekerjaannya tanpa ada pengawasan dari dirinya. Mutu dan hasil pekerjaan seluruhnya merupakan tanggung jawab bawahannya. Pandangan seorang pemimpin yang laissez faire memperlakukan para bawahan sebagai orang-orang yang bertanggung jawab, orang-orang yang dewasa, orang-orang yang setia dan lain sebagainya. Nilai yang tepat dalam hubungan atasan-bawahan adalah nilai yang didasarkan kepada saling mempercayai yang besar. 18 2. Kepemimpinan Transformasional Interaksi antara pemimpin dan karyawan ditandai oleh pengaruh pemimpin untuk mengubah perilaku karyawan menjadi sesorang yang merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu. Pemimpin mengubah karyawan, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai bersama. Aspek kepemimpinan transformasional adalah: a. Attributed Charisma Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain dari kepentingan diri sendiri. Pemimpin menimbulkan kesan pada karyawan bahwa pemimpin memiliki keahlian untuk melakukan tugas pekerjaan, sehingga patut dihargai. b. Inspirational Leadership Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada pegawai, antara lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai. Karyawan merasa diberi inspirasi oleh sang pemimpin. Aspek kepemimpinan transformasional ini berperan terutama untuk menciptakan dan menjaga semangat karyawan lini depan agar selalu berorientasi pada kepuasan konsumen/pelanggan. Mereka harus memiliki kesadaran bahwa tujuan dan cita-cita bersama yang ingin dicapai yaitu menjadi perusahaan jasayang unggul ada ditangan mereka saat terjadi interaksi dengan pelanggan. c. Intellectual Stimulation Bawahan merasa bahwa pimpinan mendorong mereka untuk memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk mencari cara-cara baru dalam melaksanakan tugas, mereka mendapatkan cara baru dalam mempersepsi tugas-tugas mereka. d. Individualized Consideration Bawahan merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus oleh pimpinannya. Pemimpin memperlakukan setiap bawahannya sebagai seorang pribadi dengan kecakapan, kebutuhan, keinginannya masing-masing. Ia memberikan nasihat yang bermakna, memberi pelatihan yang diperlukan dan bersedia mendengarkan pandangan dan 19 keluhan mereka. Pemimpin menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melakukan pekerjaannya, dapat memberi sumbangan yang berarti untuk tercapainya tujuan kelompok. 2.3 Kinerja Pengertian Kinerja menurut Prawirosentono, Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutuan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja perusahaan erat kaitannya dengan kinerja karyawan. Jika kinerja karyawan baik tentunya akan berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. Kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang telah dicapai setiap karyawan, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap perusahaan. Penilaian Kinerja adalah proses dengannya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja berkenaan dengan seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan atau diberikan. ( Simamora, 1997 : 416) Penilaian Kinerja dibutuhkan karena : • Penilaian menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk promosi dan keputusan pengupahan • Penilaian menyediakan kesempatan untuk anda dan bawahan anda untuk menjelaskan pada bawahan cara kerja yang berhubungan dengan kebiasaan dan tingkah laku • Penilaian adalah bagian dari proses perencanaan karir dalam perusahaan • Penilaian membantu mengelola dan memajukan kinerja organisasi (Wahyuningsih, 2003 : 44) Salah satu kegunaan dari penilain kinerja adalah mengukur kinerja untuk tujuan memberikan penghargaan atau dengan kata lain untuk membuat keputusan administratif mengenai si karyawan. Penilaian kinerja ini dapat menjadi sumber informasi utama dan umpan balik untuk karyawan, yang merupakan kunci bagi pengembangan mereka di masa mendatang. Begitu pentingnya kinerja karyawan bagi perusahaan telah menjadikan kinerja karyawan sebagai fenomena yang menarik banyak perhatian dan fokus para peneliti sehingga mendorong munculnya banyak penelitian di bidang kinerja 20 karyawan terhadap perusahaan ini yang pada akhirnya menghasilkan banyak definisi tentang kinerja karyawan itu sendiri dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini. 2.4 Indikator Kinerja Ada beberapa hal yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai kinerja seseorang dalam suatu perusahaan atau organisasi. Hal-hal yang bisa dijadikan indikator dalam penilaian kinerja antara lain : a. Loyalitas , yaitu kesetiaan pegawai terhadap organisasi dan semangat berkorban demi tercapainya tujuan organisasi b. Tanggung jawab, yaitu rasa memiliki organisasi dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dilakukan dan ditekuni serta berani menghadapi segala konsekuensi dan resiko dari pekerjaan tersebut. c. Ketrampilan , yaitu kemampuan pegawai untuk melaksanakan tugas serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan d. Pengetahuan, yaitu kemampuan pegawai untuk menguasai semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan. 2.5 Karyawan 2.5.1 Pengertian Karyawan Menurut Kasali (1994, hal.72) karyawan adalah orang-orang yang ada dalam perusahaan yang tidak mempunyai jabatan struktural. Ia adalah karyawan biasa dibawah komando supervisor, kepala seksi atau sub seksi, umumnya mereka hanya tamatan sekolah menengah umum atau dibawahnya, namun ada juga yang sempat mengikuti pendidikan di universitas. Sedangkan menurut Sulastri (2003, hal.306), karyawan adalah orang yang bekerja di suatu tempat seperti perusahaan, organisasi, atau lembaga dan mendapatkan upah atau gaji. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan merupakan orang yang bekerja pada suatu perusahaan atau suatu lembaga di bawah naungan dari masing-masing kepala bagian dan mendapat upah setiap menyelesaikan pekerjaannya dalam jangka waktu tertentu.