Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia Disunting oleh Moira Moeliono Eva Wollenberg Godwin Limberg Desentralisasi Tata Kelola Hutan Desentralisasi Tata Kelola Hutan Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia Disunting oleh Moira Moeliono, Eva Wollenberg dan Godwin Limberg Desentralisasi Tata Kelola Hutan Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia Diterjemahkan dari: Moeliono, M., Wollenberg, E., Limberg, G. (penyunting). 2008. The Decentralization of Forest Governance: Politics, economics and the fight for control of forests in Indonesian Borneo. Earthscan Forestry Library. 320p. Earthscan Publications, London, UK. Moeliono, M., Wollenberg, E., Limberg, G. (penyunting). 2009. Desentralisasi Tata Kelola Hutan: Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia. ISBN: 978-979-1412-85-8 284p © 2009 Center for International Forestry Research (CIFOR) Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Edisi pertama, Februari 2009 Dicetak oleh Harapan Prima, Jakarta Foto sampul oleh Eko Prianto Desain dan tata letak oleh Rifky Diterbitkan oleh Center for International Forestry Research Jalan CIFOR, Situ Gede Bogor Barat 16115 Tel: +62 (251) 8622-622; Fax: +62 (251) 8622-100 e-mail: [email protected] www.cifor.cgiar.org Center for International Forestry Research (CIFOR) CIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang berorientasi kepada kebijakan dan praktik kehutanan di negara berkembang. CIFOR adalah salah satu dari 15 pusat penelitian dalam Kelompok Konsultatif bagi Penelitian Pertanian International (Consultative Group on International Agricultural Research – CGIAR). CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan kantor wilayah di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. CIFOR bekerja di lebih dari 30 negara dengan jaringan peneliti di 50 organisasi internasional, regional dan nasional. Daftar Isi Daftar Gambar, Tabel dan Kotak Daftar Penulis Ucapan terima kasih Pendahuluan Daftar Akronim dan Singkatan ix xiii xvi xvii xxi Bagian I Latar Belakang Teori dan Kontekstual 1 Antara Negara dan Masyarakat: Desentralisasi di Indonesia Eva Wollenberg, Moira Moeliono, dan Godwin Limberg Negara dan masyarakat Desentralisasi Transformasi Indonesia 2 Geografi Malinau Moira Moeliono dan Godwin Limberg Topografi, tanah dan iklim Sumberdaya hutan Malinau Sejarah singkat Masyarakat dan konflik Mata pencaharian 3 Politik Budaya Kolaborasi untuk Mengontrol dan Mengakses Sumberdaya Hutan di Malinau, Kalimantan Timur Steve Rhee Pendahuluan Sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau Pemangku Kepentingan atau Identitas di Kabupaten Malinau Pemerintah kabupaten sebagai mikrokosmos ketegangan antar-suku dan pertarungan kekuasaan Prakarsa pemerintah kabupaten mengonsolidasikan kendali dan kekuasaan: Mendekatkan pemerintahan untuk menjauhkan masyarakat Hubungan warga desa dengan pemerintah kabupaten: Akses dan akuntabilitas diletakkan pada jaringan patronasi Kesimpulan 3 3 4 7 23 26 27 28 30 32 41 41 42 43 47 48 50 51 vi Desentralisasi Tata Kelola Hutan 4 Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan: Sebuah perspektif lokal Douglas Sheil, Miriam van Heist, Nining Liswanti, Imam Basuki, Meilinda Wan, dibantu oleh masyarakat dari Paya Seturan, Long Lake, Punan Rian, Langap, Laban Nyarit, Long Jalan, Liu Mutai dan Gong Solok Perlunya upaya konservasi di Kalimantan Perlunya menggali persepsi masyarakat lokal Persepsi lokal Pentingnya tumbuhan Pentingnya hutan bagi masyarakat Melihat lebih dekat kategori-guna lansekap Pilihan lokal untuk tindakan lokal Kesimpulan 57 57 58 62 66 70 72 79 80 Bagian II Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 5 Dampak Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) pada Desa-Desa di Daerah Aliran Sungai Malinau Godwin Limberg Perkembangan IPPK di Daerah Aliran Sungai Malinau Apakah yang didapatkan desa dari IPPK? Apa pelajaran yang bisa dipetik? Apa arti untuk masa depan? 6 Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? Negosiasi dan hasil Kesepakatan IPPK antara Masyarakat dan Broker di Malinau Charles Palmer Metode penelitian Pengorganisasian negosiasi di Malinau Tema-tema dalam pengorganisasian negosiasi Hasil negosiasi: Apa yang dinegosiasikan masyarakat? Kenyataan hasil kesepakatan dengan IPPK Diskusi Kesimpulan 7 Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur Kewin Kamelarczyk dan Uffe Strandby Pendahuluan Lokasi penelitian Metode penelitian Diskusi Kesimpulan 8 Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan dengan Berbagai Sistem Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur, Indonesia Haris Iskandar, Laura K. Snook, Takeshi Toma, Kenneth G. MacDicken dan Markku Kanninen Pendahuluan 87 87 91 99 102 105 106 106 108 121 124 125 128 133 133 135 137 153 161 165 165 Daftar Isi Lokasi penelitian Metode penelitian Hasil Penelitian Diskusi 9 Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan: Perkembangan Lanjutan di Desa Setulang, Kalimantan Timur Ramses Iwan dan Godwin Limberg Desa Setulang Perkembangan Tane’ Olen Perjuangan penduduk desa untuk Tane’ Olen Perkembangan baru seputar Tane’ Olen vii 166 168 169 175 185 185 186 187 192 Bagian III Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi 10 Pemenang Mengambil Semua: Memahami Konflik Hutan di Era Desentralisasi di Indonesia Made Sudana Pengantar Metodologi Konflik sebelum dan sesudah desentralisasi Pola umum Analisa konflik Kesimpulan 11 Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau1 Moira Moeliono dan Godwin Limberg Konteks nasional dan hukum Penguasaan atas sumberdaya alam secara de facto dan peran adat Perencanaan tata ruang Punan Malinau dan klaim atas tanah Kesimpulan: Tidak Sambungnya Kebijakan 211 12 Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa Eva Wollenberg Pengantar Kontradiksi antara perwakilan dan partisipasi Kebijakan desentralisasi Perwakilan dan partisipasi dalam praktik Kesimpulan 231 13 Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat Moira Moeliono dan Godwin Limberg Pemerintah daerah di Malinau dan insentif untuk menangani kemiskinan Dari IPPK hingga pengelolaan hutan berkelanjutan? Kabupaten konservasi Kesepakatan Kesimpulan 251 199 199 200 200 204 207 209 212 214 218 222 223 231 232 235 235 247 252 258 260 263 264 viii 14 Desentralisasi Tata Kelola Hutan Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg Lahirnya tatanan politik setempat Dampak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan Dampak pada hutan dan pengelolaan hutan Menatap ke depan 267 268 273 279 281 Daftar Gambar, Tabel dan Kotak Gambar 1.1 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 5.1 6.1 7.1 7.2 7.3 7.4 Struktur birokasi kehutanan sebelum desentralisasi 13 Peta administratif Malinau 24 Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau 25 Penyebaran suku-suku di Malinau 31 Pendapatan rata-rata rumah-tangga (juta Rupiah per tahun) 33 Pada tahun 2004, pemerintahan Kabupaten Malinau menempati kompleks gedung yang baru, seperti ditunjukkan di sini 37 Penyebaran sample menurut kelas keadaan lahan 61 Peta lokasi sampel, berdasarkan tipe dan komunitas 69 Jumlah total manfaat khusus spesies yang tercatat, berdasarkan kategori kegunaan 70 Proporsi jumlah spesies-berguna menurut jenis sampel dan suku informan 71 Proporsi tumbuhan berguna menurut jumlah spesies secara keseluruhan 71 Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau 89 Fee yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dibayarkan untuk kesepakatan IPPK pertama yang dikaji di Malinau 123 Alokasi persentase peringkat berbagai kegiatan berpenghasilan. Angka persentase menunjukan seberapa sering suatu kegiatan berpenghasilan dipandang relatif paling tinggi dari jumlah total perbandingan sumber penghasilan 140 Frekuensi munculnya kegiatan berpenghasilan dalam peringkat pembandingan (ketersediaan relatif ) dan kepentingan relatif dari besarnya pendapatan: ketiga desa dipandang sebagai satu populasi 141 Persentase pembelanjaan berbagai barang dan jasa oleh rumah tangga 143 Persentase rumah tangga dengan berbagai strategi investasi (pengeluaran menurut berbagai kategori barang dan jasa) x Desentralisasi Tata Kelola Hutan 7.5 terkait dengan fee IPPK: Persentase ini digambarkan dengan satu error bar ± 2 * SE 144 Proporsi rumah tangga yang mengetahui jumlah fee total yang diterima oleh desanya. Tidak ada rumah tangga di Tanjung Nanga yang mengetahui jumlah fee yang diterima desanya (persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2*SE) 145 Proporsi rumah tangga yang mengenal nama operator IPPK (persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) 147 Persentase rumah tangga yang menilai distribusi fee IPPK di desanya adil atau tidak adil (persentase rata-rata dgambarkan dengan error bar ± 2 * SE) 148 Dua perkiraan total fee IPPK yang diterima per rumah tangga: Satu perkiraan didasarkan pada data dari kuesioner semi terbuka di tingkat rumah tangga (kolom kiri berwarna abu-abu muda); perkiraan lain didasarkan pada data dari berbagai wawancara kelompok terfokus dan laporan produksi mengenai jumlah rumah tangga penerima fee dan fee total yang diterima di tingkat desa (kolom kanan berwarna abu-abu tua) 149 Proporsi rumah tangga yang berdagang karyawan IPPK (persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) 150 Proporsi rumah tangga yang bekerja di perusahaan IPPK (persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) 150 Persentase warga menyebut alasan penyebab berkurangnya akses ke dan/atau lebih sulitnya panen: Persentase ini didasarkan pada jumlah rumah tangga yang mengungkapkan kesulitan mendapatkan hasil-hasil hutan dan bukan jumlah total pengguna (persentase dihitung sebagai rata-rata jumlah rumah tangga dan diikuti oleh ± 2 * SE) 154 Peta kepulauan Indonesia (kiri atas), Provinsi Kalimantan Timur (kanan atas) dan peta daerah studi di Malinau (bawah) 167 Frekuensi dan distribusi diameter tunggul bekas tebangan (tunggul per hektar) oleh pemegang izin HPH, subkontraktor HPH, dan pemegang IPPK di kedua tipe hutan 171 Frekuensi dan distribusi potensi kerusakan (pohon per hektar) akibat pembalakan oleh pemegang Izin HPH, subkontraktor HPH dan IPPK pada berbagai tipe hutan 176 Perbedaan antara jalan jalan sarad, dan tempat pengumpulan kayu oleh HPH dan IPPK pada areal hutan bekas tebangan 179 Peta pemanfaatan lahan Setulang 194 Frekuensi konflik sebelum dan sesudah desentralisasi 201 Kejadian dan pemicu konflik 202 Siapa yang biasanya mewakili masyarakat? Hasil survei terhadap 95 orang warga di 19 desa, tahun 2004-2005 238 Apakah DPRD berperan mewakili masyarakat? Survei warga desa secara peroranga 241 7.6 7.7 7.8 7.9 7.10 7.11 8.1 8.2 8.3 8.4 9.1 10.1 10.2 12.1 12.2 Daftar Gambar, Tabel dan Kotak xi Tabel 1.1 Kronologi undang-undang tentang desentralisasi dan kehutanan 2.1 Distribusi afiliasi etnis pegawai pemerintah di Malinau 4.1 Survei pengukuran persepsi masyarakat tentang keanekaragaman hayati 4.2 Kategori-guna yang digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat kepentingan lansekap 4.3 Saran masyarakat tentang tindakan untuk mengatasi masalah lingkungan 4.4 Nilai tengah kategori-guna per unit lansekap dan per tipe hutan untuk semua kelompok di ketujuh kelompok masyarakat 4.5 Rata-rata skor kepentingan hutan di masa lalu, kini dan masa depan (dari ketujuh komunitas) 4.6 Rata-rata skor kepentingan berbagai tumbuhan dan satwa menurut ketujuh komunitas (setiap hasil merupakan rata-rata dari keempat sub-kelompok) 4.7(a) Sepuluh tanaman terpenting 4.7(b) Sepuluh hewan terpenting 4.8 Lima spesies dengan skor tertinggi di setiap kategori-guna (nama Latin dan deskripsi umum dalam bahasa Indonesia) 5.1 Desa-desa wilayah kerja Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) di Daerah Aliran Sungai Malinau 5.2 Manfaat yang dijanjikan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau (tunai dan non-tunai) 5.3 Jumlah yang dibayarkan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau dari Juni 2000 hingga Juni 2003 5.4 Distribusi fee di Tanjung Nanga 5.5 Keuntungan non-tunai bagi desa-desa di DAS Malinau dari IPPK mulai tahun 2000 hingga Juni 2003 5.6 Perbandingan antara luasan sebenarnya dan luasan perkiraan yang terpengaruh oleh operasi IPPK 5.7 Luasan dan persentase kerusakan hutan akibat pembangunan jalan terhadap total hutan yang terpengaruh oleh operasi IPPK 6.1 Komunitas yang disurvei di Kabupaten Malinau, September 2003–Januari 2004 6.2 Negosiasi untuk kesepakatan IPPK di Malinau 6.3 Hasil dari kesepakatan IPPK di Malinau 7.1 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Tanjung Nanga 7.2 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Long Adiu dan Punan Adiu 7.3 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Sengayan 7.4 Aturan persentase pembagian fee IPPK di tiga desa 8.1 Perbandingan panjang jalan sarad dan jalan pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK 8.2 Perbandingan kerusakan akibat pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK 8 36 59 60 63 64 65 66 67 67 68 88 91 93 93 96 98 99 107 110 117 137 138 139 146 172 173 xii 8.3 8.4 12.1 13.1 13.2 Desentralisasi Tata Kelola Hutan Kerusakan pohon per 100m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon per m-1) akibat kegiatan HPH dan IPPK dalam hutan primer Kerusakan pohon per 100 m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon 100m-1) akibat kegiatan HPH dan IPPK di hutan bekas tebangan Materi rapat selama bulan Januari hingga Juni 2000 di keempat desa di Long Loreh (sampel = 36) Program Gerbang Dema, 2002 (dalam miliar Rupiah) Delapan dari 11 HPH mini yang dikeluarkan oleh Kabupaten Malinau dan statusnya 174 174 242 254 259 Kotak 5.1 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 11.1 11.2 12.1 13.1 Penggunaan uang IPPK untuk pembangunan desa: contoh dari Punan Adiu Ungkapan persepsi responden terhadap fee IPPK Pendapat enam responden di Sengayan tentang nilai penting fee IPPK terhadap situasi finansial rumah tangga dan nilai pentingnya pendapatan yang stabil Tanggapan beberapa rumah tangga ketika ditanya tentang ‘tabungan’ dari fee IPPK Beberapa pernyataan dari Adiu dan Tanjung Nanga tentang kemungkinan mempengaruhi keputusan Komentar seorang penduduk desa Sengayan tentang pembagian fee IPPK Pernyataan dari wawancara kelompok terfokus di Long Adiu tentang perubahan kebiasaan jual-beli Hasil-hasil diskusi perencanaan pemanfaatan lahan dengan 12 kelompok fokus di Long Loreh Visi masyarakat lokal tentang tata ruang desa Kesulitan dalam penjadwalan rapat Tahapan-tahapan menuju desa mandiri 94 142 142 143 145 146 152 220 221 245 255 Daftar Penulis Imam Basuki adalah seorang spesialis ilmu tanah yang bekerja pada Center for International Forestry Research di Indonesia. Pengalamannya terutama dalam aspek-aspek sosioekonomi dan ilmu tanah untuk lansekap berhutan, bekerjasama dengan lembaga-lembaga dan masyarakat lokal di Kalimantan, Papua dan Vietnam. Bidang yang diminatinya adalah manajemen sumberdaya, evaluasi lahan, dan GIS. Haris Iskandar pengalaman profesionalnya meliputi berbagai keahlian, dari pekerjaan lapangan sebagai Asisten Lapangan dan Koordinator Lapangan, sampai berbagai studi dan penelitian yang diselenggarakan berdasarkan kerjasama atau didanai oleh sejumlah organisasi internasional dan masyarakat madani. Pengalamannya mencakup penerapan Geographic Information System (GIS), Carbon Sequestration, Natural Regeneration of Mahogany, teknik-teknik Reduced Impact Logging (RIL), Pemanfaatan Limbah Kayu bagi Masyarakat, berbagai Skenario Proyek Penerapan dan Penelitian CDM skala kecil di Indonesia, serta beberapa studi yang berhubungan dengan mekanisme REDD. Selama kerjasama profesionalnya dengan CIFOR (sampai 2008) dan Winrock International, dia telah mengikuti sejumlah seminar, lokakarya, dan pelatihan, serta menuliskan dan membantu penulisan sejumlah publikasi yang ditujukan bagi masyarakat umum di tingkat nasional dan internasional. Ramses Iwan sudah menjadi Peneliti Lapangan di CIFOR sejak 2001. Dia adalah seorang warga masyarakat desa Setulang di Malinau, Kalimantan Timur. Kewin Kamelarczyk meraih gelar MSc dalam bidang kehutanan dan tata guna lahan di negara berkembang dari Faculty of Life Science di Copenhagen University. Dia terlibat dalam beberapa pekerjaan dan penelitian dengan topik yang berkaitan dengan hutan; dari hutan kemasyarakatan dan ketergantungan pada hutan hingga penilaian sumberdaya hutan dan manajemen informasi hutan. Kewin pernah bekerja untuk FAO Global Forest Resources Assessment dan dukungan negara-negara FAO untuk penilaian hutan nasional di Roma. Sekarang dia sedang menempuh studi untuk meraih gelar PhD dengan mempelajari interaksi antara proses penilaian hutan nasional dan dialog kebijakan nasional. xiv Desentralisasi Tata Kelola Hutan Godwin Limberg telah tinggal dan bekerja di Kalimantan Timur, Indonesia, sejak 1990. Ia telah menjadi Peneliti Lapangan CIFOR, untuk masalah-masalah pemerintahan dan hakhak masyarakat sejak tahun 2000. Sebelum bergabung dengan CIFOR, dia bekerja di Rio Tinto Foundation, World Wildlife Fund di Taman Nasional Kayan Mentarang, Indonesia, serta menjadi relawan untuk sebuah organisasi pengembangan masyarakat setempat. Dia memiliki gelar Master dalam Ilmu-ilmu Tanaman Tropis dari Wageningen Agricultural University, Belanda. Nining Liswanti adalah seorang peneliti keragaman hayati yang bekerja untuk Center for International Forestry Research di Indonesia. Pengalamannya terutama di bidang pengembangan metoda-metoda penelitian ekologi cepat di Indonesia, Muangthai, dan Vietnam. Moira Moeliono sudah menjadi peneliti di CIFOR sejak 2001, meneliti berbagai keterkaitan kebijakan nasional-lokal, pembelajaran kebijakan di tingkat lokal, serta berbagai hal tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal. Charles Palmer adalah seorang ahli ekonomi lingkungan yang kini bekerja sebagai peneliti paska sarjana di Swiss Federal Institute of Technology (ETH) di Zurich, Swiss. Dia pernah bekerja di Center for International Forestry Research (CIFOR) di Indonesia, dan United Nations Development Program (UNDP) serta International Institute for Environment and Development (IIED). Minatnya saat ini meliputi perdagangan karbon kehutanan, bahan bakar bio, tata-guna lahan, serta evaluasi kebijakan kawasan-lindung. Steve Rhee sudah bekerja selama 15 tahun sebagai peneliti dan praktisi pembangunan internasional untuk meningkatkan kebijakan dan praktik berbasis-bukti, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dia pernah bekerja bersama berbagai pemangku kepentingan, dari warga desa yang tergantung pada hutan di Kalimantan sampai ke lembaga-lembaga donor internasional, dan telah bekerjasama erat dengan CIFOR sejak 1999. Dia pernah tinggal dan bekerja di Indonesia, Asia Tenggara daratan, Timor Leste dan Nepal. Dia menerima gelar Doktor dari Yale, dengan pelatihannya terutama tentang pemerintahan, perdagangan dan budaya, yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Kini dia adalah seorang American Association untuk Advancement of Science (AAAS) Science and Technology Policy Fellow di Departemen Dalam Negeri AS. Douglas Sheil melakukan penelitian ini ketika bekerja di CIFOR dan kini menjabat sebagai direktur Institute for Tropical Forest Conservation (Mbarara University for Science and Technology), PO Box 44, Kabale, Uganda. Tel: +256 (0) 39 2709753; Fax +256 (0) 39 2251753. Daftar Penulis xv Uffe Strandby meraih gelar MSc dalam kehutanan dan PhD dalam sosial-ekonomi dan ekologi konservasi yang berkaitan dengan conifer langka di Amerika Tengah. Dia pernah bekerja dalam penelitian mengenai ekologi regenerasi spesies kayu, konflik para pemangku kepentingan, pemasaran hasil hutan dan hutan kemasyarakatan di Indonesia, Thailand, Peru, Ekuador, Guatemala dan Meksiko. Made Sudana bekerja untuk CIFOR sejak 1999 sampai 2004 di Malinau, salah satu kabupaten di Kalimantan Timur. Dia terlibat dalam proyek ACM dan juga bekerja dalam penelitian tentang konflik dan kekuasaan di antara para pemangku kepentingan di lingkungan masyarakat kehutanan, perusahaan perkayuan dan pertambangan, serta pemerintah daerah di Malinau dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Saat ini dia bekerja untuk Badan Kerjasama Pembangunan Indonesia-Jerman untuk Pengadaan Air Pedesaan di Sumba. Miriam van Heist melakukan penelitian ini ketika bekerja di CIFOR dan kini menjabat sebagai direktur Institute for Tropical Forest Conservation (Mbarara University for Science and Technology), PO Box 44, Kabale, Uganda. Tel: +256 (0) 39 2709753; Fax +256 (0) 39 2251753. Meilinda Wan adalah seorang peneliti agronomi yang bekerja di Center for International Forestry Research di Indonesia. Penelitian yang disukainya adalah di bidang keragaman hayati dan masyarakat di lansekap yang sedang berubah. Eva (Lini) Wollenberg adalah seorang peneliti sosial dengan komitmen kuat pada pemberdayaan masyarakat lokal. Lini memperoleh gelar Ph.D. dari University of California, Berkeley, dan pernah bekerja berturut-turut di Ford Foundation serta menjadi peneliti senior di CIFOR, memimpin penelitian atas hutan-hutan tropis di Asia, terutama di Kalimantan. Dia adalah salah satu Senior Associate di CIFOR dan kini menjabat sebagai direktur program pertanian berkelanjutan di University of Vermont, Amerika Serikat. Ucapan terima kasih Buku ini merupakan terjemahan dari buku bahasa Inggris yang diterbitkan Eartscan. Proses panjang sejak awal penulisan sampai akhirnya terbit dalam bahasa Indonesia hanya bisa terlaksana atas dukungan banyak pihak. Dalam kesempatan ini kami hanya mampu menyebut beberapa diantaranya tanpa mengurangi rasa terima kasih kepada semua pihak lain yang turut memberi dukungan. Penghargaan yang tulus kami sampaikan kepada Dina Hubudin yang telah mencari dan mengelola satu regu penerjemah dan penyunting dan kepada Gideon Suharyanto yang dengan teliti telah membantu menyempurnakan dokumen terakhir. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para penerjemah, kepada Harmiel M. Soekardjo yang telah membantu menyunting bahasa Indonesia dan kepada Barbara Hall yang menyunting versi bahasa Inggris, kepada Rifky dari PILI yang membantu lay out dan perbaikan terakhir. Tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Ford Foundation (khususnya Ujjwal Pradhan dan Meiwita Budiharsana) yang mendanai sebagian penelitian yang mendasari buku ini sampai penerbitannya. Penghargaan kami sampaikan juga pada donor-donor lainnya IFAD, ITTO, DFID, BMZ yang memungkinkan penelitian jangka panjang di Malinau. Terima kasih juga kepada kawan-kawan peneliti di CIFOR atas dukungannya. Kegiatan penelitian dan penulisan ini juga tidak terlepas dari dukungan masyarakat dan pemerintah kabupaten Malinau. Keterbukaan, kerja sama dan diskusi dengan mereka pemahaman kami tentang dinamika di Malinau akan sangat dangkal. Untuk merekalah buku ini ditulis. Akhirnya, walaupun tulisan dalam buku ini didasarkan pada informasi, pandangan dan dukungan dari banyak pihak, pandangan dan pendapat yang terdapat dalam ini tidak mencermin pendapat resmi dari lembaga dimana para penulis bekerja. Pendahuluan Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg Di tengah keprihatinan global terhadap hutan – baik itu deforestasi, perlindungan ekosistem yang kaya spesies ataupun perubahan iklim – upaya masyarakat lokal mempertahankan hutan mereka seringkali gagal atau terabaikan. Padahal, upaya masyarakat lokal bisa secara langsung mempengaruhi hutan maupun ratusan ribu warga yang hidupnya bergantung pada hutan. Buku ini tentang sikap masyarakat lokal atas sumberdaya hutan yang sangat penting dalam konteks perubahan peluang di kawasan hutan kritis secara global, yaitu hutan Kalimantan di Indonesia. Kami menggali apa yang terjadi setelah desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia, ketika pemerintah kabupaten memperoleh wewenang baru dan masyarakat lokal memperoleh hak-hak baru, yang memungkinkan eksploitasi hutan skala kecil pada tahun 1998 sampai 2003 di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Bab-bab dalam buku ini mengamati perubahan dan hubungan yang ditimbulkannya di antara masyarakat, pemerintah daerah, dan hutan. Buku ini menceritakan upaya pengendalian sumberdaya alam secara demokratis, serta apa yang terjadi pada pemanfaatan lokal sumberdaya itu ketika reformasi kebijakan berlangsung cepat. Ini adalah kisah tentang warga jelata yang mencoba memahami peluang yang tersedia bagi mereka. Malinau tidaklah unik. Yang terjadi di Malinau adalah bagian dari kecenderungan global menuju tatanan politik lokal. Akibat gerakan desentralisasi dan demokratisasi di berbagai negara, untuk pertama kalinya di wilayah hutan yang paling terpencil, masyarakat lokal terwakili oleh warga mereka sendiri yang memiliki hak suara dalam proses pengambilan keputusan resmi pemerintah. Masyarakat di wilayah ini tidak lagi hanya bergantung pada perusahaan kayu atau program sektor kehutanan yang terbatas untuk mendapatkan sarana dan layanan umum. Pemerintah lokal kini menyediakan layanan kesehatan, sekolah, administrasi, dan akses kepada sumberdaya alam bagi warga di tempat yang paling terpencil sekalipun. Pada saat yang sama, banyak di antara tatanan lokal ini masih rapuh dan rancu. Tatanan baru ini ternyata tidak sedemokratis seperti harapan para arsiteknya (Larson dan Ribot, 2005; Ribot 2006). Ketidakpastian yang menyertai berbagai kebijakan baru xviii Desentralisasi Tata Kelola Hutan sering membuka peluang eksploitasi sumberdaya seketika. Seperti pada berbagai daerah, perimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat lokal sedang berkembang dan berbagai kekuatan masih terus mencari peluang menggali berbagai manfaat baru dari hutan. Para pemain nasional dan internasional berusaha mencari perimbangan kekuasaan yang juga bisa mewadahi kepentingan mereka. Berfokus pada Malinau, kami tak hanya ingin memahami transisi tatanan politik lokal ini, namun juga mendokumentasikan suatu tempat dan waktu yang istimewa di dalam sejarah dunia hutan dan masyarakat hutan. Kalimantan telah mengalami transformasi dahsyat selama generasi terakhir (Padoch dan Peluso, 1996), namun dalam periode liputan buku ini, terjadi perubahan lebih mencengangkan lagi, terutama di kawasan paling terpencil. Pembalakan, yang legal maupun ilegal, meningkat tajam. Antara tahun 1980 dan 2003, kawasan hutan lindung di dataran rendah Kalimantan menyusut lebih dari 56 persen, atau 29.000 kilometer persegi (Curran dkk, 2004). Semua kabupaten masih belajar berotonomi. Terbentuk batas-batas administratif baru. Di Kalimantan Timur saja, terbentuk empat kabupaten baru, menggandakan pusat-pusat pemerintahan di provinsi ini dan mendatangkan dana pembangunan jalan, sekolah, layanan kesehatan dan proyek-proyek desa yang baru, tetapi juga perebutan alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Berbagai klaim dari kelompok adat berbasis etnis atas lahan hutan negara diakui secara resmi dan mendatangkan pembayaran ‘fee’ dan kompensasi, terkadang dalam jumlah puluhan ribu dollar. Frekuensi dan intensitas konflik terbuka meningkat (Wulan dkk, 2004) ke tingkat yang tidak pernah dialami sebelumnya sejak masa pengayauan di awal tahun 1900-an. Meskipun disebabkan oleh desentralisasi dan reformasi yang menyertainya, semua perubahan itu mencerminkan luasnya rangkaian kecenderungan yang mempengaruhi penduduk kawasan hutan Indonesia, termasuk melemahnya dan bubarnya beberapa lembaga negara; upaya masyarakat madani mengorganisasi diri setelah lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan otoriter; meningkatnya hubungan masyarakat hutan lokal dengan jaringan internasional (Colchester dkk, 2003); berkurangnya kekuasaan negara atas kehutanan skala besar; dan menguatnya tekanan agar pengelolaan sumberdaya lebih ditujukan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Hal itu juga mencerminkan periode transisi dengan ketidakpastian tinggi, karena masuknya Indonesia ke jalur demokrasi ini melalui suatu masa krisis ekonomi dan politik (Sunderlin, 1999) sebelum ada kelembagaan demokrasi yang berfungsi. Buku ini mencoba mendokumentasikan, walau hanya sebagian, periode penuh gejolak dan kompleks ini. Tema akhir buku ini adalah pengalaman para penulis di Malinau. Para penulis melakukan penelitian di Malinau untuk Center for International Forestry Research (CIFOR). Sebagian besar penelitian ini bertujuan sama yaitu mendukung masyarakat lokal mendapatkan akses lebih besar dan pengelolaan lebih baik atas hutan mereka, yang dilakukan melalui kerjasama dengan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Penelitian kami menganggap tujuan akhirnya adalah pengelolaan bersama melalui proses yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Namun, pendekatan ini mengasumsikan adanya komunikasi dan saling percaya, atau bahwa hal itu dapat dibangun dengan mudah, dan sudah ada lembaga-lembaga perundingan, persetujuan, perimbangan kekuasaan, maupun pengelola konflik. Di Malinau, di awal masa desentralisasi, kondisi ini tidak ada. Maka kami belajar untuk sangat fleksibel dan menyesuaikan diri menjadi bagian dari masyarakat, menjaga kedekatan dengan para pendukung pemain kunci dan mengembangkan program-program untuk kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan, agar kami bisa menangkap kesempatan yang bisa muncul kapan saja dan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat. Pendahuluan xix Dengan cara ini, informasi menjadi lebih akurat, mendalam dan komprehensif, terutama dalam mendengarkan berbagai sudut pandang dari berbagai kelompok (lihat Wollenberg dkk, 2007, mengenai kerjasama spontan). Pengorganisasian isi buku Bagian pertama buku ini memberikan latar belakang teori dan kontekstual untuk kisah Malinau. Di Bab 1, kami mengulas teori ‘negara dalam masyarakat’ dan implikasinya pada dampak desentralisasi terhadap pertarungan kekuasaan antara masyarakat lokal dengan negara. Bab ini juga merangkum perkembangan Indonesia dari negara otokratis menjadi bertatanan politik lokal, dengan perhatian khusus pada sektor kehutanan. Sisa buku ini berfokus pada Malinau. Bagian I (Bab 1 sampai 4) memaparkan secara singkat riwayat cara masyarakat Malinau mengorganisasi diri, terutama dalam hal akses terhadap hutan. Setelah pengantar singkat mengenai keadaan geografis, Moeliono dan Limberg menguraikan konteks kebijakan lokal tentang desentralisasi (Bab 2). Di Bab 3, Rhee mengenalkan berbagai pelaku di Malinau dan bagaimana pengaruh desentralisasi terhadap hubungan kekuasaan mereka, sementara di Bab 4. Sheil dkk menggambarkan nilai-nilai yang dianut masyarakat desa mengenai hutan dan beberapa kecenderungan perubahan nilai-nilai tersebut. Bagian II buku ini menawarkan serangkaian analisa mengenai dampak dari pembalakan skala kecil yang dikenal dengan Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu atau IPPK dan penyebabnya. Dalam Bab 5, Limberg mengkaji dampak operasi IPPK di tujuh desa di daerah aliran sungai Malinau, sementara di Bab 6, Palmer mendokumentasikan kondisi-kondisi yang mendasari negosiasi antara masyarakat dengan perusahaan. Palmer menjelaskan bagaimana secara keseluruhan warga Malinau memperoleh manfaat lebih kecil daripada kabupaten lain seperti Kutai Barat di Kalimantan Timur, di mana masyarakat menjadi pihak yang memulai proses negosiasi dan lebih memiliki informasi mengenai pilihan-pilihan fee. Dalam Bab 7 Kamelarczyk dan Strandby melihat pengaruh IPPK terhadap rumah tangga di tiga desa. Di Bab 8, Iskandar dkk memberikan analisa dampak kegiatan pembalakan terhadap hutan, sementara dalam Bab 9, Bab terakhir di Bagian II, Iwan dan Limberg menggambarkan upaya masyarakat untuk melindungi hutan yang sangat berharga melalui inisiatif masyarakat lokal. Bagian III buku ini mengkaji masalah yang lebih luas yang berkaitan dengan hubungan kepemilikan, konflik dan partisipasi politik yang terkait dengan desentralisasi. Dalam Bab 10, Sudana menganalisa peningkatan konflik setelah desentralisasi, dan dalam Bab 11, Moeliono dan Limberg menggambarkan munculnya masalah penguasaan lahan dan adat sebagai isu politik. Dalam Bab 12, Wollenberg menguraikan bagaimana peranan proses desentralisasi dan demokrasi di desa-desa di Malinau. Moeliono dan Limberg dalam Bab 13 kemudian menunjukkan bagaimana pemerintah berusaha menyesuaikan diri dengan peran barunya dalam negara yang terdesentralisasi melalui beberapa percobaan pembangunan. Bab terakhir, Bab 14, menawarkan sintesis dan kesimpulan, menggambarkan terbitnya tatanan politik lokal berkat dorongan aliansi etnis. Dalam prosesnya, kelompok yang terpinggirkan bisa menjadi semakin terpinggirkan, seperti yang dialami pada kasus Punan Malinau yang diuraikan di Bab 12 dan 13. Namun dalam penyesuaian yang saling menguntungkan antara negara dan masyarakat, tata kelola hutan kerap menjadi sumber konflik. Masih belum jelas siapa yang sebenarnya menjadi pengendali. Seperti pada masalah kepemilikan lahan, xx Desentralisasi Tata Kelola Hutan pengelolaan hutan diatur melalui perpaduan antara kelembagaan dan aturan tradisional non-formal dengan sistem hukum formal. Rujukan Colchester, M., Apte, T., Laforge, M., Mandondo, A. dan Pathak, N., 2003. Bridging the Gap: Communities, Forests and International Networks, CIFOR Occasional Paper 41, CIFOR, Bogor, Indonesia. Curran, L. M., Trigg, S. N., McDonald, A. K., Astiani, D., Hardiono, Y. M., Siregar, P., Caniago, I. dan Kasischke, E., 2004. Lowland forest loss in protected areas of Indonesian Borneo, Science, vol 303, hal. 1000–1003. Larson, A. dan Ribot, J., 2005. Democratic decentralisation through a natural resource lens: An introduction, dalam J. Ribot dan A. Larson (penyunting) Democratic Decentralization through a Natural Resource Lens: Experience from Africa, Asia and Latin America, Routledge, London. Padoch, C. dan Peluso, N. L. (penyunting), 1996. Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Peluso, N. L. dan Padoch, C., 1996, dan edisi ke-2, 2003. Changing resource rights in managed forests of West Kalimantan, dalam C. Padoch dan N. L. Peluso (penyunting) dalam Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Ribot, J. C., 2006. Representation, citizenship and the public domain: Framing the local democracy effects of institutional choice and recognition, Paper presented at the 11th Biennial Conference of the IASCP, Bali, Indonesia, March 2006. Sunderlin, W.D., 1999. Between danger and opportunity: Indonesian and forests in an era of economic crisis and political change, Society and Natural Resources, vol 12, no 6, hal. 559–570. Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. and Wollenberg, E., 2004. Analisa Konflik: Sektor Kehutanan di Indonesia 1997–2003, CIFOR, Bogor, Indonesia. Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, M., 2007. Facilitating cooperation during times of chaos: spontaneous orders and muddling through in Malinau, Ecology and Society, vol 12, no 1, hal. 3. [online] URL: http://www. ecologyandsociety.org/vol12/iss1/art3/. Daftar Akronim dan Singkatan °C AAC ADB AMAN ANOVA APBD APBN asl BAPPEDA BBP BDMS BLU BPD BPN BTRF CEC CERD CIFOR Cm CV dbh Dephut DFID dpl DPRD dsh dtd dtt FFPRI GER GIS GPS ha HHNK derajat Celcius annual allowable cut Asian Development Bank Aliansi Masyarakat Adat Nusantara analysis of variance Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara above sea level Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bakti Bumi Perdana Bara Dinamika Mudah Sukses Badan Layanan Umum Badan Perwakilan Desa Badan Pertanahan Nasional Borneo Tropical Rainforest Foundation cation exchange capacity Community Empowerment for Rural Development Center for International Forestry Research sentimeter Commanditaire Vennootschap diameter at breast height Departemen Kehutanan Department for International Development, Inggris di atas permukaan laut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diameter at the estimated stump height diameter setinggi dada diameter setinggi tunggul Foresty and Forest Product Research Institute Global Eco Rescue Geographic Information Systems Global Positioning System hektar Hasil Hutan Non Kayu xxii Desentralisasi Tata Kelola Hutan HPH HPHH IED IFAD IPGRI IPPK IUPHHK JPT kg KKN km KPK KSN LADAS LATIN LIPI LSM LTI m mm Dephut MPR n NGO NRM NTFP P5D PAD PADUS PDM PKK PMD PT RTRWP SE SHK SK SRL TPTI UU UUD UK US VOC WALHI WWF Hak Pengusahaan Hutan Hak Pemungutan Hasil Hutan Institute for Environmental Decisions, Zurich, Switzerland International Fund for Agricultural Development International Plant Genetic Resources Institute Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Jatah Penebangan Tahunan kilogram Korupsi Kolusi dan Nepotisme kilometer Komite Penanggulangan Kemiskinan Kawasan Strategis Negara Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak Lembaga Alam Tropika Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat Lestari Timur Indonusa (PT) meter milimeter Departemen Kehutanan Majelis Permusyawaratan Rakyat banyaknya semua populasi sampel non-governmental organization (organisasi non-pemerintah) natural resource management non-timber forest products (= HHNK) Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah Pendapatan Asli Daerah Persatuan Dayak Sewilayah Semendurut Pebble Distribution Method Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Pemberdayaan Masyarakat Desa Perseroan Terbatas Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Standard Error Sistem Hutan Kerakyatan Surat Keputusan Sustainable Rural Livelihood Tebang Pilih Tanam Indonesia Undang-undang Undang-undang Dasar United Kingdom United States Vereenigde Oost-indische Companie Wahana Lingkungan Hidup Indonesia World Wildlife Fund for Nature Bagian I Latar Belakang Teori dan Kontekstual 1 Antara Negara dan Masyarakat: Desentralisasi di Indonesia Eva Wollenberg, Moira Moeliono, dan Godwin Limberg Untuk memahami perubahan peluang bagi warga lokal di Indonesia, diperlukan penjelasan bagaimana desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia telah membuat masyarakat lokal bisa lebih mempengaruhi pemerintah yang sebelumnya sangat otokratik dan pemaksa, serta bertangan besi dalam hal pemanfaatan hutan. Penelitian Joel Migdal, Atul Kohli, Vivienne Shue, dan lain-lain (1994) memberikan kerangka analisa perubahan hubungan tersebut. Bab ini meninjau secara mendalam sejarah sentralisasi dan desentralisasi di Indonesia, serta kerangka hukum yang membentuk desentralisasi selama periode reformasi antara tahun 1998 hingga 2003. Negara dan masyarakat Pertama, definisi dan asumsi. Negara adalah sekumpulan organisasi yang melalui pembuatan peraturan dan pemaksaan hendak menguasai dan mengontrol wilayah tertentu (Hall dan Ickenberry, 1989). Berbagai organisasi pembentuk sebuah negara – departemen kehutanan, penduduk asli, kawasan lindung, dan DPR – saling bersaing dan bertentangan dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang mengelompok berdasarkan kesamaan identitas dan norma (Migdal, 1994). Seperti halnya negara, unsur-unsur masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan. Negara dan masyarakat senantiasa saling membentuk melalui upaya penguasaan dan penolakan di berbagai arena (Migdal dkk., 1994). Arena yang berkaitan dengan hutan mencakup hak kepemilikan, pembagian manfaat dari hutan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, peluang kerja, jaminan politik, infrastruktur, pengetahuan, dan akses terhadap informasi. Negara dan masyarakat memiliki jalur pengaruh yang berbeda. 4 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Pengaruh negara terhadap hutan biasanya berdasarkan penguasaan atas kebijakan, kegiatan kehutanan, atau kepemilikan hutan dan lahan hutan (Finger-Stich dan Finger, 2003). Di negara yang kaya dengan sumberdaya hutan seperti Indonesia, penguasaan oleh negara seringkali terpusat pada departemen kehutanan di tingkat nasional. Unsur masyarakat dapat mempengaruhi melalui jejaring informal, gerakan sosial, atau pun organisasi-organisasi resmi seperti perusahaan, lembaga keagamaan, kelompok donor dan advokasi. Tetapi pada praktiknya masyarakat lokal kurang memiliki pengaruh resmi terhadap sumberdaya hutan yang bernilai tinggi. Walau demikian, masyarakat lokal memiliki pengaruh informal yang sangat besar. Ketika pemerintah dan pihak yang berwenang lemah, kelompok masyarakat menerapkan prinsip, norma, aturan dan praktik mereka sendiri dan secara selektif mematuhi atau mengesampingkan hukum negara. Kelompok demikian bertindak sebagai ‘bidang sosial yang semi-otonom’ (Moore 1973, hal.720–722). Di Chaggaland, Tanzania, warga desa tidak mengindahkan upaya reformasi untuk mengubah lahan milik perorangan menjadi hak guna milik pemerintah dan tetap membagikan hak atas lahan berdasarkan adat setempat (Moore, 1973). Di Taman Nasional Bosawas, Nikaragua (Kaimowitz dkk., 2003), Sumatra bagian utara (McCarthy, 2000a) dan Kalimantan Timur (Obidzinski, 2004), para pimpinan politik setempat secara terbuka mengatur pembalakan yang dianggap ilegal. Meskipun membuka peluang bagi masyarakat hutan untuk mempengaruhi lingkungannya, otonomi demikian tidak memberi peluang keterlibatan masyarakat dalam kerangka politik yang lebih luas. Ketika kehadiran negara dan yang berwenang kuat, masyarakat lokal berupaya mempengaruhi pejabat setempat melalui senjata kaum lemah (Scott, 1998), yaitu mengkooptasi pejabat (Lipsky, 1980) membangun jejaring patron-klien pribadi dengan pejabat (Shue, 1994); mengabaikan, melawan, atau melaksanakan kebijakan secara buruk (Manor, 1999). Pada kasus ekstrim, yang digunakan adalah protes dengan membakar, merusak, mengambil, mencabut bibit, dan menyita peralatan (Peluso, 1992). Di Indonesia, seperti juga di tempat lain, pemegang hak pengusahaan hutan membiarkan masyarakat melakukan perladangan berpindah dan berburu meskipun dilarang oleh peraturan nasional. Di Cina, pemerintah lokal di Jinping, timur Guizhou; dan di Jinggu, Yunan selatan, mengembangkan sistem kepemilikan saham bagi warga masyarakat untuk berbagi akses, tanggung jawab, dan keuntungan atas hutan (Liu dan Edmunds, 2003). Desentralisasi Kecenderungan global menuju desentralisasi meningkatkan pengaruh negara atas wilayah hutan dan memberi peran jauh lebih besar pada masyarakat lokal dalam pengaruh tersebut. Posisi pemerintah kini semakin kokoh di antara masyarakat setempat dan negara. Delapan puluh persen negara berkembang atau negara dalam transisi saat ini terlibat dalam desentralisasi (Gregersen dkk., 2005, hal.13, mengutip Manor, 1999). Lebih dari 60 negara mendesentralisasikan sejumlah aspek pengelolaan sumberdaya alam (Larson 2005, hal.32, mengutip Agrawal, 2001). Ada dua bentuk desentralisasi yang sangat berbeda implikasinya terhadap pengaruh dan kesejahteraan warga di dalam dan di sekitar hutan. Yang pertama adalah program kehutanan masyarakat yang didorong pusat, yaitu pemberian hak berkegiatan kehutanan oleh instansi kehutanan pusat atau tingkat menengah kepada kelompok masyarakat (atau Antara Negara dan Masyarakat 5 agroforestri). Contohnya antara lain pengelolaan hutan bersama di India, kehutanan sosial terpadu di Filipina, kehutanan masyarakat di Kamerun, konsesi hutan bagi warga asli Bolivia, dan kehutanan ejidos di Meksiko. Bentuk yang kedua adalah pengelolaan lokal, yaitu penyerahan wewenang administrasi dan pengambilan keputusan di berbagai sektor secara resmi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah memperoleh kewenangan yang sebelumnya berada di pusat, disertai alokasi keuangan dari pusat dan pendapatan daerah dari pajak, retribusi, dan royalti daerah. Tingkat wewenang, tanggung jawab, dan keuangan setiap sektor berbeda-beda di setiap negara dan pengelolaan hutan tidak selalu didesentralisasikan penuh ke pemerintah daerah (Ribot dan Larson, 2005). Desentralisasi biasanya ditetapkan pada satu atau dua tingkat di atas masyarakat, seperti kepada panchayats di India, municipios di Bolivia, dan kepada distrik di Uganda. Buku ini berfokus pada desentralisasi kepada tingkat kabupaten di Indonesia. Terlepas dari kesamaan asalnya, program kehutanan masyarakat secara terpusat dan pengelolaan lokal sangat berbeda dalam implikasinya terhadap warga lokal. Berlawanan dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan, kebijakan pengelolaan bersama atau devolusi, yang berupaya mempertahankan kontrol atas keputusan penting serta manfaat di sektor kehutanan (Sarin dkk., 2003), desentralisasi memberi peluang keterlibatan pengguna hutan dalam kegiatan politik yang lebih luas dan mempengaruhi negara, termasuk dominasi historisnya atas kayu dan lahan hutan. Dari cirinya, pengelolaan lokal memungkinkan kelompok masyarakat lokal mempengaruhi secara informal maupun formal. Tata kelola lokal membangun arena perjuangan baru yang mendorong organisasi sosial dan keterlibatan politik pada tingkat menengah (Shue, 1994). Batas antara negara dan masyarakat lebih samar dan lebih cair karena desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi dapat berfungsi sebagai pemersatu negara dengan masyarakat seraya memupuk perjuangan di antara mereka. Saling ketergantungan tersebut menciptakan tantangan dan peluang yang khusus bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar wilayah hutan. Pertama, terbentuknya pemerintah setempat meningkatkan kehadiran negara di tingkat lokal. Bila kehadiran di tingkat lokal disertai dengan kewenangan yang kuat, kemampuan masyarakat hutan untuk bertindak secara semi-otonom akan berkurang. Namun, masyarakat harus terlibat lebih langsung dengan negara untuk menjaga pengaruhnya atas pengelolaan hutan serta lebih berpengaruh dalam urusan kepemerintahan. Masyarakat lokal berpeluang lebih besar untuk terhubung dan membina hubungan pribadi dengan para pejabat lokal. Para pejabat dengan wewenang yang besar akan terserap dalam hubungan sosial di tingkat lokal, beserta berbagai peluang dan kewajiban di dalamnya. Pemerintah lokal dapat terdiri dari masyarakat setempat, yang harus pandai berbagi peran. Dalam situasi seperti itu, batas antara masyarakat dan negara menjadi sangat cair. Namun kekuatan sosial tidak selalu terbentuk untuk mencapai tujuan yang sama dan bisa memiliki kepentingan yang sangat berbeda. Menguatnya keterkaitan adalah seperti pedang bermata dua. Para elit lokal bisa mengkooptasi atau berkolusi dengan pemerintah demi kepentingan sendiri, termasuk merebut sumberdaya pemerintah bagi kaum miskin (Etchevery-Gent, 1993). Untuk memperkuat pemanfaatan keterkaitan ini, negara harus cukup kuat untuk melindungi masyarakat dari kerakusan para elit, maupun ketidakadilan pasar. Namun masyarakat juga harus cukup kuat untuk ‘menerapkan wewenang sipil mereka atas urusan publik’ (Antlöv, 2003, hal.73). Meningkatnya kehadiran serta keterkaitan negara akan paling terasa bagi 6 Latar Belakang Teori dan Kontekstual masyarakat yang secara fisik dekat dengan pemerintah daerah. Bagi masyarakat di daerah terpencil, perubahan yang ada mungkin tidak begitu terasa. Kedua, desentralisasi dapat menyebabkan perpecahan dan melemahkan negara (Kohli, 1994), terutama selama proses transisi kebijakan. Agar negara tetap dominan dibutuhkan hubungan horisontal dan vertikal yang efektif di antara pemerintah daerah. Bila hubungan tersebut tidak ada, pemerintah daerah akan bertindak seperti pihak semi-otonom seperti dijelaskan di muka. Di Indonesia, pemerintah daerah, dinas kehutanan, dan Departemen Kehutanan sering bertindak seolah tidak ada pihak lain. Negara yang terpecah memudahkan korupsi pemerintah daerah dan sektor swasta karena pejabat lokal bisa mengabaikan hukum nasional tanpa takut terkena sanksi (Resosudarmo, 2003; Smith dkk.; 2003). Ketiga, salah satu sumber kekuatan sistem pemerintahan sentralistik terletak pada sifat hubungan yang tidak personal (Kohli, 1994). Desentralisasi lebih mendekatkan negara karena para pejabat terikat hubungan kekerabatan dan sejarah pribadi, pertemanan, saling ketergantungan ekonomi, norma budaya, dan hubungan kekuasaan setempat dengan masyarakat lokal. Meskipun hal ini mengurangi kekuasaan negara dan lebih memungkinkan kooptasi pejabat setempat, hubungan pribadi itu juga dapat lebih memudahkan negara dan masyarakat berhubungan, mendorong komunikasi, pemahaman, dan pelibatan yang setara. Keempat, faktor-faktor desentralisasi, negara yang lemah, serta pulihnya nilai tradisional dan identitas masyarakat asli memungkinkan kelompok tradisional atau budaya lokal menjadi lebih diakui secara politis, terutama bila skala pengaruhnya sama dengan pengaruh pemerintah daerah. Kecenderungan ini memperkuat hubungan pribadi antara masyarakat lokal dan para pejabat dan memaksa pemerintah daerah membangun aliansi dengan kelompok-kelompok tersebut, terutama yang paling berpengaruh. Ketika terjadi kekacauan perimbangan kekuasaan atau ketegangan antar-kelompok, pejabat lokal mungkin tidak mampu menjaga kestabilan kekuasaan politis. Kelima, desentralisasi membatasi peluang masyarakat mengorganisasi prakarsa politis dalam skala besar namun meningkatkan peluang mengorganisasinya di tingkat lokal. Hal itu akan melahirkan tatanan politik lokal dengan wewenang dan kapasitasnya sendiri. Pemerintah lokal maupun kekuatan sosial mencari cara penggalangan dan mobilisasi masyarakat dan sumberdaya untuk meningkatkan pengaruh. Arena dan sarana pelibatan di tingkat lokal menjadi lebih penting daripada di tingkat nasional. Di kawasan hutan, masalah pembangunan ekonomi dan sosial dirasa lebih penting daripada masalah nasional keanekaragaman hayati, hak kekayaan intelektual, dan pendapatan devisa negara. Keenam, munculnya tatanan politik lokal dicirikan oleh ketegangan yang ikut mendukung konflik dan ketidakstabilan kambuhan dan mendorong terjadinya penyesuaian dan pergeseran kekuasaan. Ketegangan timbul dari posisi pemerintah daerah yang berada di antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah rentan berkonflik. Tatanan politik lokal yang lebih kuat akan menyulitkan dominasi pemerintah pusat. Namun, ketergantungan antara pusat dan daerah tetap kuat, keduanya saling ingin memiliki sumberdaya pihak lain. Di wilayah hutan, pemerintah pusat enggan menyerahkan pendapatan dari kayu dan produk hutan yang bernilai tinggi, sedangkan pemerintah lokal memerlukan pasar, keahlian, dan modal yang tersedia di pusat. Semua keadaan itu menciptakan peluang bagi masyarakat hutan lokal untuk mempengaruhi negara dengan cara yang baru, gabungan antara jalur formal dan informal. Jalur informal melalui keterlibatan langsung, hubungan pribadi, wewenang tradisional atau adat, dan organisasi politik lokal yang baru; sedangkan mekanisme formalnya melalui Antara Negara dan Masyarakat 7 pemilihan umum atau pun partisipasi dalam dengar pendapat publik. Tatanan politik lokal menyebabkan gaya pengelolaan hutan a la Weber menjadi usang. Kontrol maupun monopoli oleh negara tidak bersifat absolut. Negara maupun masyarakat tidak bisa saling mendominasi. Pengelolaan menjadi bersifat multi-kutub, multi-lapis, dan bercirikan adanya berbagai pertarungan. Desentralisasi memungkinkan masyarakat lokal dan pemerintah bisa berbagi kekuasaan dengan lebih baik, tetapi juga rentan oleh tidak pastinya kekuasaan. Seperti dijelaskan di bagian selanjutnya, ketidakpastian tersebut merupakan bagian dari sifat hubungan masyarakat setempat dengan negara. Transformasi Indonesia Desentralisasi bukan hal baru di Indonesia. Meskipun laju reformasi yang paling dramatis terjadi pada tahun 1998 hingga 2003, desentralisasi dan reformasi demokratisasi bermula jauh sebelum tahun-tahun tersebut. Isu desentralisasi timbul tenggelam sepanjang sejarah Indonesia sejak periode kolonial Belanda. Gelombang desentralisasi bukanlah hal yang aneh. Setidaknya, ada empat gelombang di Francophone Afrika Barat sejak 1917 (Ribot 1999) dan tiga gelombang di Asia Selatan sejak pertengahan 1800-an (Agrawal dan Ribot 1999). Bagian ini mengkaji secara singkat sejarah upaya desentralisasi di Indonesia, bagaimana keseimbangan kekuasaan lokal dan pusat serta makna desentralisasi dan otonomi berubah dari waktu ke waktu. Karena masa kolonial berperan sangat penting dalam evolusi negara Indonesia, kami mulai dengan memaparkan secara singkat sejarah masa tersebut. Gambaran produk hukum yang membentuk struktur proses desentralisasi, dapat dilihat pada Tabel 1.1. Upaya awal Percobaan pertama desentralisasi adalah Undang-undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Matsui, 2003). Ketika menguasai Nusantara di tahun 1800, Belanda mewarisi sistem pemerintahan tidak langsung yang diawali oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde OostIndische Compagnie, atau VOC). Pemerintah Belanda kemudian mulai membangun kekuasaan negara yang sentralistik dan hirarkis di atas struktur tradisional yang beragam. Memasuki periode politik etis pada pertengahan 1800-an, kekuasaan Belanda telah bersifat sentralistik dan menguasai secara langsung sebagian besar Pulau Jawa; sementara pulaupulau di luar Jawa, termasuk Kalimantan, di bawah pemerintahan yang tidak langsung. Akhir tahun 1800-an, Belanda mulai menguasai pulau-pulau di luar Jawa. UU Desentralisasi tahun 1903 dimaksudkan untuk meringankan beban pemerintah dalam mengatur wilayah terpencil dan memperkuat penguasaan atas wilayah tersebut (Furnivall, 1956). Dengan UU ini, pemerintah pusat mengalihkan wewenang kepada karesidenan1, dan menetapkan dewan daerah (Pide, 1999; Engelfriet, 2000). Dewan daerah berwenang mengambil keputusan keuangan; namun karena sebagian besar terdiri dari pejabat pemerintah dan diketuai oleh Residen atau Asisten Residen yang ditunjuk dan bukannya dipilih, pada umumnya dewan ini hanya menjadi badan penasehat. Upaya awal desentralisasi ini membentuk pola upaya berikutnya: bukannya mendevolusi administrasi pemerintah pusat, namun mendukung tumbuhnya administrasi lokal oleh organisasi lokal (Pide, 1999; Matsui, 2003) di tingkat kabupaten. 8 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Tabel 1.1 Kronologi undang-undang tentang desentralisasi dan kehutanan Tahun Administrasi Daerah 1903 Undang-undang tentang Desentralisasi Kolonial Belanda 1922 Revisi UU Desentralisasi; pembentukan provinsi dan kabupaten 1942 Pendudukan Jepang 1945 Kemerdekaan Indonesia; UU No. 1/1945 mengatur administrasi daerah termasuk pendirian komisi nasional daerah; pemimpin eksekutif terpilih dari komisi ini adalah pejabat pemerintah pusat dan sekaligus pemimpin pemerintah daerah; titik berat pada upaya dekonsentrasi. 1948 UU No. 22/1948 menetapkan fungsi legislatif dan eksekutif di tiga tingkat pemerintahan otonom (provinsi, kabupaten/kota, dan desa); titik berat pada upaya desentralisasi 1957 UU No. 1/1957, mengakui otonomi pemerintah daerah secara ekstensif yang berkaitan dengan kekuasaan yang tidak dimiliki oleh pemerintah pusat (Matsui, 2003, hal. 7); Memilih DPR Daerah. 1957 1959 PP No. 64/1957 (Hutabarat, 2001), memberikan wewenang kepada provinsi untuk mengeluarkan izin pembalakan untuk wilayah seluas 10000 hektar untuk jangka waktu 20 tahun dan wilayah seluas 5000 hektar untuk jangka waktu 5 tahun. Dekrit Presiden No. 6/1959 untuk kembali kepada UUD 1945; kembali ke sistem yang sentralistik. 1960 1965 Kehutanan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang oleh sejumlah pihak dianggap sebagai payung hukum, meskipun baru-baru ini diperdebatkan bahwa undang-undang ini hanya sebagai UU sektoral yang sejajar dengan sektor yang lain. UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah; kepala pemerintahan ditugasi dengan fungsi ganda, yaitu kepala daerah otonom dan kepanjangan tangan pemerintah pusat. 1967 UU No. 5/1967, UU Kehutanan 1970 PP No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang berlawanan dengan PP No. 64/1957. 1974 UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, mengatur hubungan pusat dan daerah. 1979 UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, memperkenalkan struktur desa yang seragam Tahun Antara Negara dan Masyarakat Administrasi Daerah 1985 1995 9 Kehutanan Direktorat Jenderal Kehutanan berubah menjadi Departemen Kehutanan. PP No. 8/1995 – percobaan desentralisasi untuk 26 kabupaten selama dua tahun. PP No. 8/1995 mengalihkan sebagian wewenang atas hutan kepada 26 kabupaten percobaan. 1995 SK Menteri mengenai Hutan Kemasyarakatan (SK 662) 1998 PP No. 62/1998, pengalihan sebagian wewenang di sektor kehutanan (rehabilitasi, hutan kemasyarakatan, pemeliharaan lebah madu, peternakan ulat sutera) kepada Tingkat II. 1998 Revisi Keputusan tentang Hutan Kemasyarakatan 1999 PP No. 6/1999 yang memberikan hak bagi kabupaten untuk menerbitkan izin pembalakan skala kecil (100 hektar) dan kepada provinsi (10 000 hektar). 1999 UU 41/1999 tentang Kehutanan 1999 UU No. 22/1999, tentang pemerintahan daerah, yang menetapkan kerangka kerja bagi desentralisasi secara umum 2000 Tap MPR III tentang Hirarki Perundangan; Keputusan Menteri tidak termasuk dalam hirarki. 2001 Perizinan skala kecil ditangguhkan dengan SK 084/2000, tetapi daerah mengabaikan keputusan menteri dan terus mengeluarkan izin pembalakan skala kecil. Revisi kedua Keputusan Menteri tentang Hutan Kemasyarakatan Tap MPR IX tentang Reformasi Agraria 2002 2004 PP No. 34/2002 tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan menggantikan PP 6/1999 Revisi Undang-undang Desentralisasi (UU No. 32/2004) 2007 PP No. 6/2007 revisi PP No. 34/2002 Sumber: Dari seluruh sumber yang dikutip dalam buku ini UU tahun 1903 diamandemen pada tahun 1922 untuk membentuk provinsi dan dewan provinsi baru. Amandemen ini mengalihkan otonomi dari karesidenan kepada provinsi (Suharyo, 2000). Namun dewan tetap sebagai badan penasehat, dipimpin oleh pejabat pemerintah (Pide, 1999). Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945 dan menjadi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Ada delapan provinsi otonom, masingmasing terdiri dari beberapa karesidenan. Dengan UU No. 1 tahun 1945, otonomi daerah, yang dipahami sebagai berdasarkan kedaulatan rakyat dan kebebasan untuk menentukan pemerintahan sendiri, diberlakukan di tingkat provinsi dan karesidenan, dengan titik berat pada tingkat karesidenan. 10 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Hak menentukan pemerintahan sendiri di bawah otonomi daerah telah diperdebatkan sejak awal (Rinakit, 2002; Mokhsen, 2003). Pemerintah Indonesia beberapa kali mengubah derajat otonomi dalam otonomi daerah, setiap kali juga mengubah tingkat akuntabilitas (Suharyo, 2000). Baik UU No.1/1945 dan UU No.22/1948 yang merupakan undangundang pokok pemerintahan daerah, dirancang untuk memberi otonomi penuh pada tingkat daerah dan untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Sayangnya, undangundang tersebut yang dimaksudkan untuk melawan rekolonisasi Belanda, hanya dapat diterapkan di Jawa dan Madura, yang saat itu di bawah kekuasaan langsung pemerintah republik (Matsui, 2003). Belanda mencoba mengambil kembali penguasaan atas Indonesia, dan antara 1946 dan 1949 beberapa kali menyerang. Perang itu berakhir pada tahun 1949 dengan pengakuan internasional terhadap Republik Indonesia Serikat. Namun pada tahun 1950, negara muda ini memutuskan kembali kepada republik kesatuan berdasarkan undang-undang dasar (sementara) tahun 1950. Karena belum ada undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, untuk sementara diberlakukan UU Pokok Pemerintahan Daerah-daerah Otonom No.22 tahun 1948. Namun karena dirancang untuk Jawa dan Madura, daerah lain menentang pemaksaan gaya hidup Jawa. Maka UU tahun 1948 ini diganti dengan UU No. 1/1957, yang memberikan ‘otonomi seluas-luasnya’ dalam wewenang yang tidak dimiliki pemerintah pusat. UU ini juga, untuk pertama kalinya, menetapkan bahwa kepala pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada dewan perwakilan lokal (Matsui, 2003, hal.7). Hal penting dalam UU ini adalah bahwa otonomi ditetapkan di tingkat provinsi (MacAndrews, 1986), bukan di tingkat kabupaten. Namun berbagai kerusuhan antara tahun 1948 hingga 1962 di Sumatra, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, telah menggagalkan tujuan menghidupkan kembali otonomi daerah (Brillantes dan Cuachon, 2002). Sentralisasi Meskipun sudah menuju desentralisasi sejak dari tahun-tahun awal, penerapannya masih sulit, terutama dalam aspek administrasi dan fiskal. Republik baru ini menghadapi masalah fiskal dan kekurangan sumberdaya manusia, dana, dan pengalaman dalam pemerintahan daerah. Periode tahun 1950 hingga 1957 dicirikan oleh ketidakpuasan, tidak adanya kesepakatan dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi, serta pemberontakan di daerah (MacAndrews 1986; Lloyd, 2000). Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa UU No. 1/1957 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengurangi ketidakpuasan di daerah. Untuk itu, pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Indonesia kembali kepada UUD 1945 (Matsui, 2003), dan menghapuskan otonomi daerah. Meskipun UUD 1945 menetapkan adanya otonomi dalam Pasal 18, ketidak-jelasan definisi otonomi dan desakan untuk mempertahankan negara kesatuan menyebabkan Soekarno mengadopsi kekuasaan sentralistik yang mirip dengan periode kolonial. Mulailah era ‘demokrasi terpimpin’ dengan kekuasaan Presiden yang luas. Pada periode ini, yang berlangsung hingga 1965, terbentuklah pemerintah pusat yang kuat dan efektif menguasai daerah dan mematahkan berbagai pemberontakan. Dalam periode ini juga tentara tumbuh menjadi kekuatan di belakang pemerintah (MacAndrews, 1986) dan terbentuklah dua peran pejabat daerah, yaitu sebagai pimpinan daerah otonom dan wakil pemerintah pusat di daerah (de-konsentrasi). Dasar hukum sistem sentralistik tersebut adalah UU No. 18/1965, tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah yang menempatkan administrasi daerah sejalan dengan Antara Negara dan Masyarakat 11 sentralisasi kekuasaan administratif (Matsui, 2003). Dasar ini diwarisi oleh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965. Pemerintahan baru ini menghadapi tiga tantangan, yaitu: penegakan kekuasaan, pemulihan stabilitas ekonomi, dan pembangunan legitimasi pemerintahan itu sendiri (MacAndrews, 1986). Untuk menetapkan stabilitas politik agar bisa memperlancar masuknya modal asing terutama untuk eksploitasi sumberdaya alam, Orde Baru melanjutkan sistem sentralistik dari periode sebelumnya. Meskipun demikian pada awalnya Soeharto mencoba mengembalikan ‘otonomi seluas-luasnya’ kepada pemerintah daerah. Namun dalam prosesnya terjadi pergeseran makna, dan istilah yang dipakai kemudian menjadi ‘otonomi yang nyata dan bertanggung jawab’. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab menjadi dasar UU No. 5/1974, yang membentuk sistem menyeluruh hubungan pemerintah pusat dan provinsi dan sistem pemerintah daerah (MacAndrews, 1986), serta menekankan mobilisasi daerah dalam upaya pembangunan nasional (Lloyd, 2000). Terlepas dari rumusannya, undang-undang ini melambangkan sentralistiknya pemerintahan Soeharto. Tujuan utamanya adalah mendorong stabilitas nasional dan pada intinya, mewajibkan otonomi daerah tunduk pada pemerintah pusat (Lloyd, 2000). Undang-undang No. 5/1974 juga memperkuat struktur hirarki pemerintah yang diperkenalkan dalam UU No. 18/1965 sebelumnya, dengan menggunakan istilah Daerah Tingkat I (provinsi) dan Daerah Tingkat II (kabupaten atau kota). UU tahun 1974 hanya memecah tugas administratif hingga ke tingkat kabupaten, namun tanpa memberikan kewenangan. UU No. 5/1974 diikuti oleh UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang demi pertimbangan efisiensi, menyeragamkan struktur politik lokal di seluruh Indonesia, dan menerapkan struktur administrasi desa menggantikan struktur tradisional atau adat, walau sebenarnya keduanya seringkali berfungsi bersama-sama. Secara harfiah, UU ini membolehkan otonomi desa dan mendorong partisipasi publik, namun sebenarnya menciptakan sistem yang memastikan kekuasaan pemerintah pusat hingga ke tingkat desa (Matsui, 2003) dengan proses pengambilan keputusan atasan-bawahan yang kaku. Pada saat yang sama, militer membentuk sistem paralel untuk memastikan kehadirannya dari pusat hingga desa (Rinakit, 2002; Matsui, 2003). Struktur hirarkis yang sentralistis ini terutama merupakan reaksi terhadap pemberontakan di daerah dan ketakutan akan adanya disintegrasi nasional. Soeharto menggunakan ancaman komunisme untuk memperkuat kekuasaannya. Makna ‘persatuan’ di dalam Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan sebagai ‘keseragaman’. Peraturan dan perundangan dikembangkan di tingkat nasional tanpa konsultasi daerah dan secara seragam diterapkan di seluruh negara yang memiliki lebih dari 600 kelompok etnis. Di akhir 1985, rejim Soeharto berhasil menekan seluruh perbedaan politik dan sosial, dan seluruh warga negara diwajibkan mengakui Pancasila sebagai satu-satunya prinsip hidup warga negara Indonesia. Dan sempurnalah sentralisasi (Matsui, 2003). Di masa ini, undang-undang nasional memperkuat posisi pemerintah sebagai penguasa tertinggi atas sumberdaya alam, termasuk lahan dan hutan. Sejak tahun 1960-an, hutan dan lahan hutan tidak hanya memberikan penghasilan bagi negara, tetapi juga merupakan sumberdaya dukungan politik dan cadangan lahan dan sumberdaya bagi pulau Jawa yang sangat padat penduduknya, serta menjadi sarana pengintegrasian daerah-daerah terpencil dalam negeri ini (Barber, 1990, 1997). Sebelumnya, di awal tahun 1957, sebagian urusan kehutanan diserahkan pada provinsi. Provinsi berhak mengeluarkan surat izin untuk 12 Latar Belakang Teori dan Kontekstual wilayah 10.000ha, sementara kabupaten atau kota berhak memberikan izin seluas 5.000ha (Simon, 2000). Menyadari pentingnya sumberdaya hutan sebagai ‘sarana penting bagi program pembangunan ekonomi, politik, serta transformasi sosial dan ideologis Orde Baru’ (Barber, 1990, 1997), pemerintah menerbitkan UU Pokok-pokok Kehutanan pada tahun 1967. UU ini memperkuat pasal 33 UUD 45, yang menyatakan bahwa negara menguasai seluruh sumberdaya – dalam hal ini hutan dan lahan hutan. Pada tahun 1970, salah satu peraturan pelaksanaan pertama diterbitkan untuk mengatur hak eksploitasi hutan, dengan demikian menghapus hak provinsi untuk menerbitkan izin.2 Peraturan tahun 1970 tersebut secara eksplisit juga menghapus hak masyarakat adat dan lokal (Pasal 6) (Simon, 2000). Hak pengusahaan hutan kemudian diberikan kepada anggota militer dan sekelompok pengusaha terpilih sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Maka terbangunlah jejaring kroni setia yang mengkonsolidasikan kekuasaan rejim Soeharto. Seperti umumnya kerajaan di Jawa dahulu, kekuasaan pusat bertumpu pada jejaring patron-klien (McCarthy, 2000a; Obidzinski, 2004). Penetapan lahan hutan secara umum mengikuti batas yang ditetapkan oleh Belanda. Selama tahun 1980-an, pemerintah memulai proses revisi batas hutan dengan menetapkan wilayah yang sangat luas di pulau-pulau luar Jawa sebagai lahan hutan Negara, mengabaikan dan menghapus hak sekitar 65 juta orang yang hidup di sana (Fay dan Sirait, 2002). Pengelolaan hutan dan lahan hutan tersebut dipercayakan kepada Direktorat Jenderal Kehutanan dalam Departemen Pertanian, yang kemudian menjadi Departemen Kehutanan pada tahun 1985. Hak pengelolaan hutan kemudian juga diberikan kepada perusahaan milik negara (Perhutani untuk hutan di Jawa dan Inhutani untuk hutan di luar Jawa) yang didirikan tahun 1973. Struktur dinas kehutanan terbentuk bersamaan dengan pemerintahan yang kian sentralistik. Sejalan dengan konsep dekonsentrasi menurut UU No. 5/1974, Departemen Kehutanan beroperasi di tingkat provinsi melalui Kantor Wilayah, yang bertanggungjawab kepada Departemen Kehutanan. Kantor Wilayah juga melakukan pengawasan terhadap Dinas Kehutanan Provinsi, yang bertanggungjawab kepada Departemen Dalam Negeri melalui gubernur. Struktur hirarkis yang kaku (lihat Gambar 1.1) mencapai tingkat kabupaten melalui cabang-cabang dinas provinsi dan unit pelaksana Kantor Wilayah dan memungkinkan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan eksploitasi hutan dibuat di pusat. Untuk mendorong investasi modal untuk program pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, pemerintah pusat memfasilitasi pemanfaatan lahan bagi kegiatan industri, yang sering menggunakan kekuatan dan intimidasi terhadap pemilik lahan setempat yang beroposisi (Konsorsium Pembaruan Agraria, 1997). Bangkitnya oposisi Pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, masyarakat makin merasa tidak puas, tidak hanya terhadap kuatnya kendali hegemoni pusat, tetapi juga terhadap kroniisme, besarnya keuntungan yang dihasilkannya bagi lingkaran dalam Soeharto, kurangnya manfaat bagi masyarakat miskin, dan meluasnya masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Provinsi mulai merasakan hilangnya penghasilan yang harus dibayarkan ke pusat. Timbullah gerakan reformasi lingkungan dan agraria, didukung oleh organisasi non pemerintah (ornop), buruh, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan, dan para intelektual (Konsorsium Pembaruan Agraria, 1997). Selama tahun 1990-an, gerakan tersebut semakin terorganisasi Antara Negara dan Masyarakat 13 PRESIDEN Departemen Kehutanan Departemen Dalam Negeri Nasional Gubernur Kalimantan Timur Kantor Wilayah Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Provinsi Bupati Bulungan Cabang Dinas Kehutanan (di Tarakan) Dinas Kehutanan Kabupaten Kabupaten Catatan = garis komando = garis koordinasi Sumber: Wollenberg dkk. (2006) Gambar 1.1 Struktur birokasi kehutanan sebelum desentralisasi dan menentang pemerintah melalui kampanye dan protes yang mulai mempengaruhi iklim kebijakan dan pelaksanaannya (Wrangham, 2002). Pada tahun 1994, sejumlah ornop di bidang lingkungan yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum dan terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Pelangi, dan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) bahkan menuntut Soeharto secara hukum atas penyalahgunaan Dana Reboisasi. Kelompok ini kalah karena salah prosedur dan langsung masuk ke dalam daftar hitam pemerintah, sehingga kelompok tersebut tidak dapat menerima dana dari luar negeri; namun mereka tetap beroperasi seperti sebelumnya. Tantangan yang berkembang karena pergerakan sosial ini, disertai menurunnya pendapatan dari industri kayu, menengarai awal berubahnya sikap pemerintah pusat dalam hal pembagian tanggung jawab atas pengelolaan hutan. Bersama dengan melemahnya pemerintah pusat dan menguatnya gerakan sosial, krisis ekonomi di Asia tahun 1997 memicu periode reformasi yang kacau. Pemilihan umum di tahun 1998 yang memilih kembali Soeharto diikuti dengan pergolakan sosial berskala besar dan terangkatnya masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merupakan penyakit pemerintah Indonesia sejak awal. Ketidakstabilan umum dan protes yang disertai kekerasan dan demonstrasi menyulut tumbangnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. 14 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Selama tiga tahun berikutnya, kelembagaan pemerintah pusat terus melemah dan terpecah-pecah. Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan ketetapan (TAP MPR XV, 1998), yang menetapkan perlunya ada otonomi daerah (Zakaria dan Fauzi, 2000). Pemerintah kemudian menerbitkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan otonomi ditetapkan di tingkat kabupaten dan kota. Dalam tiga tahun tersebut, Indonesia memiliki tiga presiden, dua masa jabatan yang singkat Presiden Habibie dan Abdurachman Wahid (Gus Dur) diikuti oleh pemerintahan Megawati Sukarnoputri yang tidak efektif. Undang-undang desentralisasi yang diterbitkan Habibie dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak memiliki keinginan untuk otonomi penuh seperti yang diwajibkan oleh undang-undang. Maka mulailah tarik menarik antara daerah dan pusat, ketika masyarakat lokal dan kabupaten memasuki ruang politik yang dimungkinkan oleh melemahnya pusat (Rhee, 2000). Di tingkat lokal, reformasi melepaskan amarah masyarakat yang mengalami tekanan selama hampir 30 tahun. Masyarakat merusak simbol penjajahan oleh pusat dan eksploitasi kapitalis, seperti hutan negara, perkebunan pribadi, konsesi hutan, dan bangunan pemerintah (Simarmata dan Masiun, 2002). Dalam periode reformasi 1999 ini pula masyarakat adat memobilisasi diri dan terbentuklah aliansi kelompok adat – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Down to Earth, 1999). Meningkatnya ruang bagi masyarakat Meskipun era pasca-Soeharto yang memicu proses reformasi, hal itu sudah bermula dari tahun-tahun sebelumnya. Berakhirnya Perang Dingin di akhir 1980-an telah menyisihkan komunisme sebagai musuh bersama, dan fragmentasi politik kembali mengancam. Selama tahun 1990-an, tuntutan keterbukaan politik dan deregulasi ekonomi dari dalam dan luar negeri semakin kuat, didukung oleh semakin banyaknya peluang penyebaran informasi. Maka pada tahun 1995, diluncurkanlah percobaan otonomi daerah. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 8/1995 menetapkan satu kabupaten atau kota di 26 provinsi sebagai daerah proyek rintisan dua tahun (Suharyo, 2000; Matsui, 2003) untuk mendesentralisasi 19 fungsi pemerintahan (Suharyo, 2000), termasuk kehutanan. Proyek ini sebagian besar mengalihkan kekuasaan dari tingkat provinsi ke tingkat kabupaten. Tidak banyak wewenang yang dialihkan oleh pemerintah pusat. Akibatnya, percobaan ini melemahkan kekuasaan provinsi dan memperkuat hubungan pemerintah pusat dengan kabupaten. Sejumlah pihak meyakini bahwa percobaan ini justru berfungsi untuk memperkuat kekuasaan pusat (Matsui, 2003). Perubahan kebijakan yang terkait dengan partisipasi publik dalam wacana resmi meningkat. Pada pertengahan tahun 1980-an, badan perencana daerah melaksanakan perencanaan ‘dari-bawah-ke-atas‘. Pemerintah kemudian memperkenalkan proses perencanaan nasional yang baru, yang dikenal sebagai P5D (Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah). Perencanaan pembangunan dimulai dari tingkat desa melalui pertemuan desa (Musyawarah Pembangunan Desa). Rencana desa dibahas di tingkat kecamatan dan kabupaten. Persetujuan anggaran dan dana tergantung dari kesesuaian rencana kabupaten dan provinsi. Meski sesungguhnya kurang ada partisipasi, kebijakan ini menetapkan kerangka kerja yang memungkinkan proses perencanaan yang lebih inklusif dan dengan informasi yang lebih baik. Antara akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, sektor kehutanan menjadi lebih terbuka terhadap tuntutan lokal, ditandai dengan diwajibkannya pemegang konsesi Antara Negara dan Masyarakat 15 untuk melaksanakan program pembangunan desa (Wrangham, 2002) dan meningkatnya perhatian pada pengelolaan hutan masyarakat. Departemen Kehutanan mengembangkan program hutan masyarakat pada tahun 1995 (SK Menteri No. 662); tetapi kemudian diamandemen dan diganti pada tahun 1998 dan 2001 yang berturut-turut mengurangi hak masyarakat. Partisipasi dibatasi pada kegiatan rehabilitasi hutan, penanaman kembali, dan pengumpulan hasil hutan non-kayu, sementara wewenang pengambilan keputusan tetap pada Departemen Kehutanan. Pada saat bersamaan, dari pengalaman agroforestri damar (Shorea javanica) di Krui, Sumatra dan pembahasan di tahun 1995, Departemen Kehutanan menerbitkan SK No. 47 tentang Wilayah Peruntukan Khusus, yang untuk pertama kalinya mengakui hak pengelolaan oleh masyarakat secara hukum. Pada pertengahan 1990-an, partisipasi publik menjadi bagian dari beberapa undangundang lain (a.l. UU Tata Ruang No. 24 tahun 1992 dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997), yang secara eksplisit menyatakan perlunya partisipasi publik. Pada tahun 1998, Departemen Kehutanan mulai melaksanakan desentralisasi dengan mengalihkan sejumlah wewenang kepada kabupaten (Peraturan Pemerintah No. 62/1998). Meskipun dinilai lebih meningkatkan pengeluaran daripada pendapatan (Syaukani, 2001), pengalihan wewenang itu meliputi rehabilitasi dan reforestasi, konservasi tanah dan air, pengelolaan hutan lindung, penyuluhan, serta kegiatan kehutanan skala kecil masyarakat: budi-daya lebah madu dan ulat sutra. Namun pada tahun 1999 pemerintah juga mendesentralisasikan perizinan pengambilan kayu kepada provinsi untuk luasan kurang dari 10.000ha dan kepada kabupaten untuk wilayah maksimum 100ha dengan masa berlaku satu tahun (PP No. 6/1999). Sayangnya, izin-izin baru ini hanya dinikmati oleh para pebisnis dan elit lokal, dan berakibat pada pembalakan besar-besaran (lihat Bagian II buku ini). SK Menteri itu ditangguhkan pada tahun 2000, namun saat itu kabupaten telah merasakan manfaat dari eksploitasi hutan dan sudah siap meraih otonomi, sehingga mengabaikan SK Menteri tersebut. Hal ini dimungkinkan karena SK Menteri telah kehilangan pengaruh di era pasca-Soeharto, oleh Tap MPR III, 2000 yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Menteri bukan bagian dari hirarki hukum. PP No. 6/1999 itu sendiri dibatalkan dengan dikeluarkannya PP 34/2002 beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1999, Undang-undang Kehutanan No. 41 yang sudah lama dirancang dan dibahas, akhirnya diterbitkan. Undang-undang ini memungkinkan pelibatan pelaku baru di luar aparat kehutanan pemerintah, termasuk masyarakat adat (Lindayati, 2002; Wollenberg dan Kartodihardjo, 2002), serta partisipasi publik dan hak masyarakat secara terbatas. Namun inovasi ini lebih terkurung pada paradigma penguasaan mutlak oleh negara dan sistem pengelolaan sentralistik, bukannya mengikuti berbagai undang-undang baru desentralisasi (Nurjaya, 2000). Selain itu, kemampuan daerah untuk melaksanakan kegiatan kehutanan masih lemah (Hutabarat, 2001). Sejak awal, UU Kehutanan ini bertentangan dengan UU Desentralisasi, dan pemerintah pusat dan daerah tidak bisa bersepakat dalam hal sejauh mana pembagian wewenang atas hutan. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan otonomi pada tingkat kabupaten dan kota. Tidak seperti UU No. 5/1974 yang hanya membagikan tugas-tugas administratif, UU No. 22/1999 benar-benar memberikan kewenangan pengambilan keputusan (Mokhsen, 2003). Undang-undang ini pada prinsipnya mengakui keberagaman daerah dan hak bagi daerah untuk mengelola sumberdaya alam di wilayahnya. Kabupaten diberi peluang untuk mengatur pemerintahan sendiri, termasuk kegiatan masyarakat setempat, serta mengembangkan kebijakan yang spesifik sesuai kebutuhan lokal (Walhi, 2000; Simarmata dan Masiun, 2002). Seperti juga di negara-negara lain, tujuan 16 Latar Belakang Teori dan Kontekstual desentralisasi yang tertulis (Ribot, 2001), adalah untuk mendukung demokrasi, partisipasi publik, kesetaraan dan keadilan, serta untuk memberantas korupsi. UU No. 22 diiringi dengan UU No. 25 yang merinci perimbangan pendapatan pemerintah pusat dan daerah, dan UU No. 28/1999 tentang pemerintahan yang bersih. Reformasi juga mencakup upaya pemulihan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Reformasi Agraria, dan Amandemen Kedua UUD 1945 secara tertulis mengakui keberadaan masyarakat adat serta haknya, seperti pada UU Kehutanan No. 41/1999. Untuk pertama kalinya hak adat, termasuk hak bersama, diakui dan dapat didaftarkan. Namun pengakuan akan tergantung pada kebijakan Bupati. Karena hanya sebagian dari urusan badan pertanahan yang didesentralisasi dan hukum pertanahan sedang dalam revisi, situasinya masih belum jelas. Pada tahun 2001, MPR menetapkan bahwa mulai tahun 2004, presiden akan dipilih langsung oleh rakyat. Pada tahun 2004, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung, dan memilih Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal angkatan darat yang dihormati. Kembali ke awal? Desentralisasi mencerminkan melemahnya negara terpusat dalam dekade ketiga kekuasaan Soeharto (Ascher, 1999) dan meningkatnya tuntutan provinsi-provinsi kaya seperti Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua, untuk perluasan otonomi dan penambahan bagian pendapatan dari sumberdaya alamnya. Maka direbutlah otonomi daerah oleh kabupaten, dan bukan merupakan pengalihan kekuasaan dari pemerintah pusat secara sukarela. Penerapan UU No. 22 dan No. 25 kemudian terhambat oleh keengganan pemerintah pusat untuk benar-benar mengalihkan kekuasaan dan oleh terbitnya sejumlah undangundang yang saling bertentangan dan tidak jelas. Sebagai contoh, peraturan pelaksanaan yang pertama menetapkan wewenang provinsi; implikasinya bahwa wewenang kabupaten hanya dalam bidang yang tersisa. Di lain pihak, dengan menetapkan otonomi di tingkat kabupaten, UU desentralisasi menciptakan hubungan langsung antara pemerintah kabupaten/kota dengan pusat, melewati provinsi. Begitu diterbitkan, UU Desentralisasi mengundang kritik dari masyarakat. Undangundang ini dianggap ditetapkan secara terburu-buru, kurang konsultasi publik dalam penulisannya dan tidak cukup persiapan sebelum pelaksanaannya (Suharyo, 2000). Gamblangnya ketidakpastian atas makna dan penerapan undang-undang ini mula-mula membuat meningkatnya konflik di antara pemerintahan, masyarakat lokal yang memahami bahwa otonomi merupakan pengembalian hak kepemilikan tradisionalnya, dan kontraktor lokal yang tidak sabar mendapatkan peluang untuk mengeksploitasi sumberdaya alam (Wulan, 2004). Dalam bab-bab buku ini dijelaskan bahwa pemerintah kabupaten memanfaatkan UU ini melalui pasal-pasal tentang hak untuk memanen 100ha dan menggunakan UU No. 22 dan 25 sebagai pembenaran untuk mengambil alih kekuasaan atas hutan di wilayahnya. Sayangnya, sejumlah pemerintah kabupaten tidak berbeda dengan rezim sentralistik sebelumnya yang menganggap hutan hanyalah sekedar sumber pendapatan untuk dieksploitasi, bukannya untuk dikelola. Kelompok masyarakat lokal dan tradisional, didukung oleh kelompok ornop, mencoba mengklaim hak dan kemampuannya untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayahnya (Barr dkk., 2001). Sebuah undang-undang nasional yang memberi masyarakat hak mendapatkan kompensasi dari eksploitasi hutan di wilayahnya, serta sebuah Antara Negara dan Masyarakat 17 keputusan provinsi yang menetapkan jumlah pembayarannya, telah memberdayakan masyarakat lokal untuk menuntut bagian dari pemanfaatan hutan oleh pemerintah daerah dan perusahaan kontraktornya. Namun pengakuan ini memicu akibat yang tak diinginkan, yaitu menggantikan hak masyarakat dengan uang tunai, sedangkan masalah hak atau kepemilikan lahan tetap tidak terpecahkan. Mengatur keseimbangan Sejak gelombang desentralisasi dan reformasi kehutanan di tahun 1999, pemerintah berupaya menata kembali tatanan. Pada tahun 2004, UU No. 32 tentang pemerintah daerah yang sudah direvisi menetapkan hirarki provinsi dan kabupaten/kota. Meski dinilai sebagai upaya re-sentralisasi, hal ini cukup melegakan karena mencerminkan semakin dipahaminya makna otonomi daerah. Sementara itu, Departemen Kehutanan juga berupaya menyesuaikan pelimpahan wewenang untuk menanggapi gelombang awal lepas-kendalinya eksploitasi kayu dan tuntutan pemerintah kabupaten atas pendapatan dari pengelolaan hutan. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 adalah untuk menanggapi tak terkendalinya eksploitasi kayu oleh pemerintah kabupaten selama tahun 2000 hingga 2002, yang secara eksplisit menyatakan hanya pemerintah pusat yang dapat mengeluarkan izin pemanenan kayu, meskipun atas usulan pemerintah di tingkat yang lebih rendah. Peraturan ini memberi wewenang kepada Menteri Kehutanan untuk secara bertahap dan selektif mendelegasikan hak penerbitan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan produksi bila pemerintah daerah dapat menunjukkan kesiapan dalam hal kelembagaan, visi, atau misinya. Namun tidak ada rincian panduan atau kondisi untuk proses ini (Patlis, 2004). Departemen Kehutanan juga berupaya mempertahankan dominasinya dengan menekankan arti strategis hutan dan perannya dalam penetapan kriteria dan standar klasifikasi hutan, dan yang terpenting, menetapkan tarif hasil hutan serta mempertahankan hak menerbitkan izin transportasi hasil hutan di tingkat provinsi. Kemudian Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 membatalkan PP sebelumnya, dan memberi hak kepada kepala pemerintahan kabupaten untuk menerbitkan izin pengelolaan, namun juga membentuk satuan pengelolaan hutan serta merinci persyaratan pengelolaannya. Pembentukan satuan pengelolaan hutan inilah yang terutama dinilai sebagai upaya mengambil kembali wewenang pemerintah pusat atas hutan. Reformasi dan desentralisasi telah menciptakan peluang dan harapan melampaui batas wajar untuk memperbaiki kehidupan warga Indonesia dan pengelolaan sumberdaya alam. Namun proses tersebut telah menjadikan bidang kehutanan sebagai bagian dari sistem pemerintahan daerah, sehingga pemerintah daerah dan masyarakat lokal lebih mempunyai kontrol atas hutannya. Sayangnya, proses ini secara mengecewakan tidak dapat meningkatkan komitmen masyarakat lokal ke arah pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik. Implikasi Seperti telah dijelaskan, desentralisasi bukanlah hal baru. Pasang surut proses desentralisasi yang disertai naik-turunnya derajat kebebasan juga bukan hal baru. Yang baru di Indonesia adalah bahwa gelombang yang terakhir ini lebih mengembangkan masyarakat madani dan devolusi atas industri kehutanan yang masih bernilai tinggi. Ada peningkatan kesadaran masyarakat umum akan haknya terhadap pemerintah dan peluang untuk berpartisipasi. 18 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Bahkan, ada kecenderungan umum atas tuntutan akuntabilitas publik seperti yang terlihat pada meningkatnya kasus pengadilan terhadap pemerintah dan anggota DPR yang dituduh korupsi. Gelombang ini juga secara khusus menguatkan kelompok adat. Telah tercipta ruang bagi masyarakat lokal untuk mempertanyakan kepemilikan negara dan mendapatkan kembali hak adatnya (Simarmata dan Masiun, 2002). Namun desentralisasi tidak melepaskan tanggung jawab pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk mempertahankan dan melindungi hak seluruh masyarakat. Di banyak tempat, termasuk Malinau, ada sejumlah kelompok penduduk asli yang membuat klaim atas sumberdaya dan lahan yang sama. Akan tetapi pemerintah daerah sering memiliki kepentingan dan klaim yang kuat terhadap sumberdaya, sehingga sering terlibat langsung dalam sengketa sumberdaya alam. Tidak ada langkah mundur. Meskipun seperti dinyatakan Larson (2005b), ‘Kekuasaan yang berdasarkan keputusan, selalu bisa dicabut kembali’, dan walau pemerintah pusat terus berupaya, desentralisasi akan terus berlanjut, meski dengan banyak perubahan. Meskipun pemerintah kabupaten tidak rela menyerahkan kekuasaan, mungkin sebetulnya mereka lega telah mengembalikan sebagian kewajibannya. Catatan 1 Karesidenan adalah kedudukan administrator (residen) Belanda. Setidaknya di Pulau Jawa, residen berbagi wewenang dengan bupati. 2 PP No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan Rujukan Agrawal, A. 2001. The decentralizing state: Nature and origins of changing environmental policies in Africa and Latin America 1980–2000, Makalah untuk The 97th Annual Meeting of the American Political Science Association, 30 Agustus–2 September 1997, San Francisco, CA. Agrawal, A. dan Ribot, J. 1999. Accountability in decentralization: A framework with South Asian and African cases, Journal of Developing Areas, vol 33, hal 473–502. Antlöv, H. 2003. Not enough politics! Power, participation and the new democratic polity in Indonesia, dalam Aspinall, E. dan Fealy, G. (penyunting) Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Ascher, W. 1999.Why Governments Waste Natural Resources, Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Barber, C. V. 1990. The legal and regulatory framework and forest production in Indonesia, dalam Zerner, C. 1990, Community Land Rights, Customary Law, and the Law of Timber Concessions in Indonesias Forests: Legal Options and Alternatives in Designing the Commons, Draft (March 1990) of Forestry Studies report UTF/ INS/065, Ministry of Forestry/FAO, Jakarta, Appendix. Barber, C.V. 1997. Environmental Scarcities, State Capacity, and Civil Violence: The Case of Indonesia, Occasional Paper Project on Environmental Scarcities, State Capacity, and Civil Violence Cambridge: American Academy of Arts and Sciences and the University of Toronto, www.library.utonronto.ca/pcs/state/indon/indonsum.htm. Antara Negara dan Masyarakat 19 Barber, C. V. dan Churchill, G. 1987. Land Policy in Irian Jaya: Issues and Strategies, Project Report No INS/83/013, Government of Indonesia, United Nations Development Program and International Bank for Reconstruction and Development, Jakarta. Barber, C. V. dan Talbott, K. 2003. The chainsaw and the gun: The role of the military in deforesting Indonesia, dalam Price, S. V. (penyunting) War and Tropical Forests: Conservation in Areas of Armed Conflict, The Haworth Press Inc, Philadelphia, USA. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T. 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Brillantes, A. B., Jr. dan Cuachon, N. G. 2002. Sourcebook on Decentralization in Asia, Asian Resource Center for Decentralization, Manila, Filipina. Down to Earth 1999. NGO support for the indigenous peoples movement, Special Issue, Down to Earth, October 1999, http://dte.gn.apc.org/SIngo.htm. Echeverri-Gent, J. 1993. The State and the Poor: Public Policy and Political Development in India and the United States, University of California Press, Berkeley, CA. Engelfriet, Aad 2000, ARCENGEL: The History of Indonesia Mirror Site, http://home.iae.nl/ users/arcengel/Indonesia/1830.htm. Fay, C. dan Sirait, M. T. 2002. Reforming the reformists in post-Soeharto Indonesia, dalam Colfer, C. J. P. and Resosudarmo, I. A. P. (penyunting), Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. Finger-Stich, A. dan Finger, M. 2003. State versus Participation: Natural Resources Management in Europe, IIED, Brighton, London. Furnivall, J. S. 1956. Colonial Policy and Practice, New York University Press, New York. Gregersen, H. M., Contreras-Hermosilla, A., White, A. dan Phillips, L. 2005, Forest governance in federal systems: An overview of experiences and implications for decentralization, dalam Colfer, C. J. P. and Capistrano, D. (penyunting) The Politics of Decentralization, Forests, Power and People, Earthscan, London. Hall, J. A. dan Ikenberry, G. J. 1989. The State, Open University Press, Milton Keynes, UK Hutabarat, S. 2001. Forestry developments with regard to decentralization, The Indonesian Quarterly, vol XXIX, no 2, second quarter, hal 151–158. Kaimowitz, D., Faune, A. dan Mendoza, R. 2003. Your biosphere is my backyard: The story of Bosawas in Nicaragua, Policy Matters, vol 12, hal 6–15. Kohli, A. 1994. Centralization and powerlessness: Indias democracy in a comparative perspective, dalam Migdal, J. S., Kohli, A. dan Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, Cambridge. Konsorsium Pembaruan Agraria 1997. Suara Pembaruan Agraria, Jurnal Konsorsium Pembaruan Agraria, no 3. Larson, A. M. 2004. Democratic decentralisation in the forestry sector: Lesson-learned from Asia, Africa and Latin America, Makalah dipresentasikan pada Workshop on Decentralization, Federal Systems in Forestry and National Forest Programmes, Interlaken, 22–30 April. Larson, A. M. 2005a. Democratic decentralization in the forestry sector: Lessons learned from Africa, Asia and Latin America, dalam Colfer, C. J. P. dan Capistrano, D. (penyunting) The Politics of Decentralization, Forests, Power and People, Earthscan, London. Larson, A. M. 2005b. Formal decentralization and the imperative of decentralization “from below”: A case study of natural resource management in Nicaragua, dalam Ribot, J. dan Larson, A. (penyunting) Democratic Decentralization through a Natural Resource Lens, Routledge, Oxon, UK. 20 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Lindayati, R. 2002. Ideas and institutions in social forestry policy, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. Lipsky, M. 1980. Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services, Russell Sage Foundation, New York, NY. Liu, D. dan Edmunds, D. 2003. The promises and limitations of devolution and local forest management in China, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting) Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London. MacAndrews, C. (penyunting) 1986. Central Government and Local Development in Indonesia, Oxford University Press, Singapore. Manor, J. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralization, World Bank, Washington, DC. Matsui, K. 2003. Decentralization in Nation State Building of Indonesia, IDE Research Paper No 2, Institute of Developing Economies (IDE-JETRO), Jakarta, Indonesia. McCarthy, J. F. 2000a. The changing regime: Forest property and reforms in Indonesia, Development and Change, vol 31, hal 91–129. McCarthy, J. F. 2000b. Wild Logging: The Rise and Fall of Logging Networks and Biodiversity Conservation Projects on Sumatras Rainforest Frontier, CIFOR Occasional Paper, vol 31, CIFOR, Bogor, Indonesia. Migdal, J. S. 1994. The state in society: an approach to struggles for domination, dalam Migdal, J. S., Kohli, A.dan Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, Cambridge. Migdal, J. S., Kohli, A. dan Shue, V. (penyunting) 1994. State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, Cambridge. Moeliono, M. 2002. Adat and globalization: Living apart together, Makalah diajukan pada the International Association for the Study of Common Property 9th Biennial Conference, Victoria Falls, Zimbabwe. Mokhsen, N. 2003. Decentralization in the Post New Order Era of Indonesia, Commonwealth Advanced Seminar: Leading Public Service Innovation, Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand. Moore, S. F. 1973. Law and social change: The semi-autonomous social field as an appropriate subject of study, Law and Society Review, vol 7, hal 719–746. Nurjaya, I. N. 2000. Proses Pemiskinan di Sektor Hutan dan Sumberdaya Alam: Perspektif Politik Hukum dalam ICRAF dan JAPHAMA (2001). Masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya alam: KEDAI I diselenggarakan oleh ICRAF dan JAPHAMA, Cisarua, 26-28 Mei, 2000. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Center - ICRAF, SEA Regional Office. Obidzinski, K. 2004. Illegal logging and the fate of Indonesias forests in times of regional autonomy. Makalah dipresentasikan pada the Xth Meeting of the International Association for the Study of Common Property, 9–13 August 2004, Oaxaca, Mexico. Patlis, J. M. 2004. A Rough Guide to Developing Laws for Regional Forest Management, CIFOR, Bogor, Indonesia. Peluso, N. L. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java, University of California Press, Berkeley. Pide, Andi Mustari. 1999). Otonomi Daerah dan Kepala Daerah. Memasuki Abad XXI. Jakarta: Gaya Media Pratama. Resosudarmo, I. A. P. 2003. Shifting power to the periphery: the impact of decentralisation on forests and forest people, dalam Aspinall, E. dan Fealy, G. (penyunting) Local Power and Antara Negara dan Masyarakat 21 Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Rhee, S. 2000. De facto decentralization and the management of natural resources in East Kalimantan during a period of transition, Asia Pacific Community Forestry Newsletter, vol 13, no 2, hal 34-40. Ribot, J. 1999. Decentralization, participation and accountability in Sahelian forestry: Legal instruments of political-administrative control, Africa, vol 69, no 1, hal 23-65. Ribot, J. C. 2001. Integral local development: “Accommodating multiple interests” through entrustment and accountable representation, International Journal of Agriculture, Resources, Governance and Ecology (IJARGE), Special Issue on Accommodating Multiple Interests in Local Forest Management, vol 1, no 3/4, hal 327–350. Ribot, J. C. dan Larson, A. M. (penyunting) 2005. Democratic Decentralization through a Natural Resource Lens: Experience from Africa, Asia and Latin America, Routledge, London. Sarin, M., Singh, N., Sundar, N. dan Bhogal, R. 2003. Devolution as a threat to democratic decision-making in forestry? Findings from three states in India, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting) Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London. Scott, J. 1998. Seeing Like a State, Yale University Press, New Haven, CT. Shue, V. 1994. State power and social organization in China, dalam Migdal, J. S., Kohli, A. dan Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, Cambridge. Simarmata, R. dan Masiun, S. 2002. Decentralization and the character of local government laws and regulations: New pressures on the environment and indigenous communities: A preliminary diagnosis, Makalah dipresentasikan pada the 9th Biennial Conference of the IASCP, Victoria Falls, Zimbabwe, 17–21 Juni 2002. Simon, H. 2000. Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan, www.arupa.or.id/papers/24. htm, diakses 18 March 2003. Smith, J., Obidzinski, K., Subarudi, I. dan Suramenggala, I. 2003. Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry Review, vol 5, hal 293–302. Suharyo, W. 2000. Voices from the Regions: A Participatory Assessment of the New Decentralisation Laws in Indonesia, UNSFIR, Jakarta, Working Paper no 2. Syaukani, H. R. 2001. The implementation of decentralization in forestry sector within the framework of sustainable forest management in the District Kutai Kertanegara, The Indonesian Quarterly, vol XXIX, no 2, second quarter, hal 143–150. Walhi 2000. Otonomi Daerah dalam konteks pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, kertas posisi, tidak diterbitkan. Wollenberg, E. dan Kartodihardjo, H. 2002. Devolution and Indonesia’s new forestry law, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. Wollenberg, E., Moeliono, M., Limberg, G., Iwan, R., Rhee, S. dan Sudana, M. 2006. Between state and society: Local governance of forests in Malinau, Indonesia, Forest Policy and Economics, vol 8, no 4, hal 421– 433. Wrangham, R. 2002. Changing policy discourses and traditional communities, 1960–1999, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. 22 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. dan Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik: Sektor Kehutanan di Indonesia 1997–2003, CIFOR, Bogor, Indonesia. Zakaria dan Fauzi 2000. Mensiasati Politik Otonomi Daerah Demi Pembaruan Agraria: Masuk dari Pintu yang Tersedia, Keluar dari Pintu yang Baru, dalam Masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya alam: KEDAI I diselenggarakan oleh ICRAF dan JAPHAMA, Cisarua, 26–28 Mei 2000, World Agroforestry Centre (ICRAF), SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 2 Geografi Malinau Moira Moeliono dan Godwin Limberg Kabupaten Malinau terbentang di sepanjang perbatasan Malaysia di pedalaman Kalimantan Timur pada sekitar 3 derajat di utara khatulistiwa (antara 2o 45’ sampai 3o 21’ LU dan 115 o 48’ sampai 116 o 34’ BT). Ibukotanya, Malinau Kota, berada di pertemuan Sungai Sesayap dengan Sungai Malinau, dulu hanya bisa dicapai dengan perahu atau pesawat kecil misionaris Kristen. Bahkan saat ini, walaupun sudah dibangun jalan dan ada subsidi untuk transportasi udara, pintu masuk utama Malinau masih tetap melalui sungai Sesayap selama 3 jam dari pulau Tarakan. Sebelum tahun 1999, Malinau adalah bagian dari Kabupaten Bulungan, yang kini sudah menjadi tiga kabupaten. Kabupaten Malinau dengan luas wilayah 42 ribu km persegi adalah kabupaten terluas dengan kepadatan penduduk terendah, yaitu 1 orang per km persegi. Setelah adanya UU Pemerintahan Daerah, pada tahun 2001 Malinau menjadi kabupaten otonom dan memilih Bupatinya tahun itu juga. Pemerintahan yang masih sangat muda dan selama awal desentralisasi masih dalam proses pembentukan ini memprioritaskan perbaikan sistem transportasi. Dibangun jalan-jalan baru untuk menghubungkan Malinau Kota dengan semua ibukota kecamatan. Namun, 80% wilayahnya tetap tidak dapat dijangkau melalui darat. Prioritas kedua Malinau, seperti banyak kabupaten baru lain di Indonesia, adalah pembangunan pusat pemerintahan di Malinau Kota, yang selesai pada tahun 2004. Di sini terdapat kantor Bupati dan jajaran administrasinya, 17 dinas/kantor pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan militer. Pada tahun 2002, Kabupaten Malinau mengembangkan wilayah administrasinya menjadi 9 kecamatan dan 135 desa (lihat Gambar 2.1). 24 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Sumber: Unit GIS CIFOR (2007) Gambar 2.1 Peta administratif Malinau Geografi Malinau 25 Sumber: Wollenberg dkk (2007) Gambar 2.2 Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau, yang sekarang masuk kecamatan Malinau Selatan, merupakan daerah pedesaan berpenduduk paling padat dan paling berkembang. Tim Pengelolaan Hutan Bersama dari Center for International Forestry Research (CIFOR) memilih untuk bekerja di 27 desa di hulu Sungai Malinau (lihat Gambar 2.2), dari Sentaban sampai Long Jalan. Sekitar 6673 orang (Sensus Pemilu Malinau 2003, data April 2003) tinggal di DAS seluas 500 ribu hektar ini, walaupun kami perkirakan angka ini sedikit lebih tinggi dari jumlah penduduk sebenarnya. Desa-desa itu tersebar di 21 pemukiman dengan jumlah penduduk dari 15 orang sampai 997 orang. Jika mengacu pada standar nasional 26 Latar Belakang Teori dan Kontekstual kebutuhan papan, sandang dan pangan per hari (BKKBN 2001), sekitar 51 persen dari rumah-tangga termasuk miskin. Topografi, tanah dan iklim Seperti daerah lainnya di Kalimantan, kehidupan di Malinau terbentuk oleh sungaisungainya. Beberapa sungai besar bersumber di Malinau: Sungai Bahau bersumber di Kecamatan Pujungan dan bermuara di Sungai Kayan. Sungai Kayan bersumber di Kecamatan Kayan, mengalir melalui Kabupaten Bulungan sebelum berakhir di pantai timur di Tanjung Selor, ibukota Kabupaten Bulungan. Sungai Tubu mengalir ke Sungai Mentarang, yang bergabung dengan Sungai Malinau ke hilir menjadi Sungai Sesayap (lihat Gambar 2. 2). Sungai menjadi dasar penentuan unit-unit teritorial/wilayah. DAS Malinau, misalnya, diakui sebagai wilayah suku Merap (Kaskija, dikutip dalam Sellato, 2001). Sampai sekarang pun, klaim-klaim lahan dibuat dengan memakai sungai sebagai batas wilayah (lihat juga Bab 11 buku ini). Sebagian besar daerah berbukit, dengan sekitar 40 persen memiliki kemiringan di atas 25 persen. Karena curah hujan tinggi, potensi erosi cukup besar (Basuki dan Sheil, 2005). Formasi yang lebih datar dengan tanah yang subur hanya ditemukan di sepanjang Sungai Malinau, Semendurut, Sembuak, dan Salap (Bappeda Malinau, 2001). Wilayah ini terdiri dari berbagai formasi geologis – vulkanis, sedimentasi, dan alluvial – termasuk singkapan batubara dan batu kapur karang tua. Saat ini masih sangat sedikit informasi rinci mengenai tanah atau potensi penggunaan lahan. Penelitian dan pengamatan oleh CIFOR hanya terbatas untuk DAS Malinau, memadukan hasil penelitian ilmiah dengan pengetahuan tradisional untuk memberikan deskripsi secara umum. Kebanyakan tanah di wilayah ini cukup subur untuk kegiatan perladangan gilir-balik warga setempat (Sheil, 2002). Jenis tanahnya beragam, tetapi tingkat kesuburannya tetap rendah karena rendahnya tingkat pH dan terbatasnya kapasitas pertukaran kation, karbon organik, fosfat dan kejenuhan hara basa. Ada lima jenis tanah. Jenis yang paling dominan adalah inseptisol, meskipun dengan komposisi kimia yang berbeda karena bahan induknya berbeda. Wilayah yang berbukit kurang subur dibandingkan dengan wilayah alluvial. Oxisol cukup dalam namun miskin hara terdapat di semua bentuk lahan kecuali di rawa-rawa. Rawa-rawa dan lahan genangan umumnya terdiri dari entisol dengan kejenuhan basa tinggi (67 persen) dan kesuburan cukup berpotensi untuk pertanian. Namun masyarakat lokal kurang menyukai rawa atau lahan berbatu. Di berbagai lokasi, ditemukan ultisol yang sangat terurai dan kurang subur karena kejenuhan basanya hanya 20%. Alfisol hanya ditemukan di dua lokasi, yang dianggap cukup subur karena kandungan haranya mempunyai kejenuhan basa yang tinggi dan tanahnya dalam (Sheil, 2002; Meijaard dkk, 2005). Secara umum, kesuburan tanahnya rendah sampai sangat rendah dengan kandungan hara rendah, keasaman relatif tinggi, kapasitas pertukaran kation rendah dan kejenuhan basa rendah (Sheil, 2002). Selain itu, pembentukan lapisan kedap air, keracunan aluminium dan terjalnya kondisi daerah membatasi kegiatan pertanian (Basuki dan Sheil, 2005). Iklim umumnya tropis basah tipikal dengan musim kering kurang dari dua bulan. Suhu terendah yang tercatat di dataran rendah adalah 23,5° Celcius, walaupun di daerah yang lebih tinggi seperti di Apo Kayan, sekitar 400 meter di atas permukaan laut, suhunya lebih rendah. Kelembaban relatif cukup tinggi, dari 75 sampai 98 persen. Geografi Malinau 27 Sumberdaya hutan Malinau Sembilan puluh lima persen wilayah Kabupaten Malinau ditetapkan sebagai kawasan hutan negara (Barr dkk, 2001), termasuk 1,03 juta hektar Taman Nasional Kayan Mentarang. Hutan Malinau merupakan hutan dipterocarp utuh terbesar yang tersisa di Asia Tenggara dan sangat kaya dengan keaneka­ragaman hayati. Sekitar 60 persen dari seluruh famili dan 36 persen genus pohon di Kalimantan ditemukan di wilayah ini (Machfudh, 2002). Terisolasinya kawasan dan sulitnya dijangkau telah melindungi kekayaan ini dari eksplorasi dan ekploitasi. Akibatnya, pengetahuan tentang keaneka­ragaman hayatinya masih terbatas. Survei-survei mutakhir, seperti ekspedisi ke kawasan Krayan di Taman Nasional Kayan Mentarang di Kabupaten Nunukan, telah menemukan spesies-spesies baru (WWF, 2003). Sebuah survei oleh CIFOR pada tahun 2003 sampai 2004 menunjukkan bahwa di Sungai Malinau ditemukan paling tidak 47 spesies ikan, di mana 15 di antaranya spesies endemis Kalimantan. Banyak spesies ikan yang disukai untuk makanan masyarakat Malinau adalah pemakan buah dan diyakini berkaitan dengan tumbuhnya Dipterocarpacea dan Ficus di sepanjang bantaran sungai (Sheil dkk, 2003). Dari 37 spesies mamalia yang teridentifikasi, babi jenggot (Sus barbatus) merupakan andalan sumber protein bagi masyarakat lokal. Demikian juga banyak spesies lainnya (rusa, landak, kera), yang banyak di antaranya termasuk satwa yang dilindungi (Sheil dkk, 2003). Paling tidak ada 65 spesies burung dari lebih dari 300 spesies yang teridentifikasi, adalah jenis yang dilindungi (Meijaard dkk, 2005). Sebagaimana diuraikan di Bab 4, sebagian besar pangan penduduk diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Sagu, yang biasa diperoleh dari empat spesies, mungkin yang terpenting. Selain itu, masyarakat mengumpulkan umbi-umbian (Xanthosoma sp., Colocasia gigantea, Dioscorea pentaphylla, dan lain-lain) selain buah dan sayur-sayuran (Uluk dkk, 2001; Sheil dkk, 2003). Walaupun demikian, di luar taman nasional, hutan paling dihargai untuk kayunya seperti Agathis spp dan berbagai jenis dipterocarp. Hampir separuh dari kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan produksi untuk penebangan komersial sejak tahun 1970-an. Pada awal masa itu, pembalakan terjadi di wilayah yang mudah dijangkau di sepanjang sungai yang dapat dilalui. Dengan boom kayu di akhir 1970-an, konsesi kayu juga diberikan di wilayah Malinau yang lebih jauh di pedalaman. Dalam kurun waktu itu, jumlah HPH (Hak Pengusahaan Hutan) selalu bervariasi dan pada tahun 1999 ada 11 HPH di Malinau dengan areal konsesi meliputi 1,5 juta hektar (Barr dkk, 2001). Namun, pada tahun 2001, era konsesi skala besar kelihatannya telah usai. Otonomi daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999 diartikan sebagai penguasaan kabupaten atas sumberdaya alam di wilayah administrasinya. Seperti diuraikan di Bagian II, dimulailah boom kayu baru melalui konsesi skala kecil IPPK dan berlangsung sampai tahun 2002. Hutan menjadi sumber pendapatan penting bagi kabupaten baru ini. Produksi meningkat 10 persen per tahun dalam waktu tiga tahun (1999 sampai 2002). Pada tahun 2002 telah dihasilkan 651 ribu meter kubik kayu, menyumbang hampir 70% ekonomi lokal walau hanya melibatkan 3 persen dari penduduk lokal (Widyastuti, 2003). Yang menarik adalah, pada tahun itu angka statistik resmi menyebutkan produksi kayu 570 ribu meter kubik (Bappeda dan BPS, 2005). Sumber pendapatan penting lain yang terdapat di bawah hutan adalah batubara berkualitas tinggi. Seperti halnya kayu, produksi batubara meningkat sebesar 50% pada tahun-tahun awal desentralisasi. Pada tahun 2001 saja, nilai batubara yang dikirim melalui 28 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Tarakan kira-kira 14 juta dollar Amerika (Widyastuti, 2003). Sayangnya, penambangan batubara tidak selaras dengan pengelolaan hutan lestari atau dengan pola pertanian tradisional yang diterapkan oleh penduduk lokal. Namun dengan besarnya kompensasi dan fee yang dijanjikan oleh penambang batubara, banyak orang tergoda untuk melepaskan lahannya bagi penambangan batubara. Akibat dari pembalakan, penambangan dan meluasnya perladangan gilir-balik, sebagian besar hutan dataran rendah yang terjangkau, seperti wilayah hilir Sungai Malinau, kini terfragmentasi dan terdegradasi. Sebagian besar dari 40.000 orang penduduk kabupaten1 menerapkan pertanian berpindah, berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Ketergantungan pada hutan relatif masih tinggi, dengan rumah-tangga di dekat hutan yang masih utuh paling bergantung pada hasil hutan untuk pencaharian maupun untuk konsumsi sehari-hari (Anau dkk, 2002; Levang dkk, 2002). Kelompok yang paling berorientasi pada pertanian pun menilai tinggi sumberdaya alam dan hutan. Hutan mungkin tidak memenuhi semuanya, tetapi menyediakan sebagian besar dari kebutuhan dan keinginan itu, sehingga sangat dihargai (Sheil dkk, 2003). Sejarah singkat Di masa lalu, Malinau pernah merupakan bagian dari kesultanan Bulungan dan kesultanan Berau, dengan dua raja Tidung bertahta di wilayah ini. Pada waktu itu, dari akhir tahun 1800-an sampai awal 1900-an, raja-raja Tidung memperoleh hak kepemilikan gua-gua sarang burung walet, yang disahkan oleh Sultan Bulungan (Sellato, 2001). Pada tahun 1919, tentara Belanda mendirikan pos di Malinau Kota. Seperti juga di daerah lain, Belanda memaksakan ‘ketertiban’ dengan menetapkan batas kampung dan kepemilikan sumberdaya, untuk mengenalkan dan mengokohkan konsep kewilayahan. Belanda juga mencampuri urusan struktur adat dengan menunjuk kepala adat besar di atas kepala adat. Pada tahun 1935, Belanda membentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang terdiri dari kepala adat Merap, Tidung, dan empat kelompok lainnya (Sellato, 2001). Sebelum adanya kesultanan dan kerajaan-kerajaan kecil, masyarakat diatur melalui struktur kepemimpinan adat. Beberapa di antaranya lebih hirarkis daripada yang lainnya. Walau demikian, semuanya menerapkan kendali sosial dan konsultasi secara berkala – terutama dalam lingkaran inti, tokoh masyarakat – untuk mengatur kelompok dan menyelesaikan konflik. Konflik atau ketidakpuasan yang tidak dapat diselesaikan oleh kepala adat diselesaikan dengan membagi kelompok, sebagian kelompok pindah ke pemukiman baru, atau (dalam kasus kelompok luar) melalui kekerasan. Perkawinan atau aliansi dagang digunakan untuk membentuk hubungan dengan kelompok-kelompok luar. Hak masuk ke wilayah desa ditentukan oleh aliansi etnis atau perdagangan ini, selain pada penghormatan atas kewenangan adat, permintaan izin dan persetujuan lisan, walaupun masyarakat sering memasuki DAS untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan tanpa izin. Sungai dan puncak gunung digunakan sebagai tanda batas. Ada kalanya kepala adat meminta upeti (fee) dari kelompok luar yang bermaksud mengumpulkan hasil hutan di wilayah mereka. Beberapa bukti menunjukkan bahwa di daerah hulu Malinau, kepala adat besar Merap, yang dulunya disebut Kepala Besar,2 menjadi penguasa setempat bersama dengan kerajaan-kerajaan Tidung pada sebagian besar abad ke 20 (Sellato, 2001). Walau sering diklaim sebagai bagian dari Bulungan, wilayah Malinau dan kelompokkelompok hulu lainnya independen dan tidak terkena wajib upeti. Mereka bebas berdagang Geografi Malinau 29 dengan desa-desa di daerah hilir. Menjelang akhir 1800-an, dua kerajaan kecil Tidung membangun pusat kegiatan di Malinau (Sellato, 2001). Belanda lalu membangun kantor administratif di Malinau dan dari sini menaklukkan wilayah hulu, Apo Kayan dan Bahau Pujungan pada tahun 1925. Kemerdekaan membawa perubahan dan aturan baru, termasuk UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan UU ini, desa-desa harus mengikuti model nasional ‘desa’ di mana kepala desa bertanggung­jawab kepada pemerintah, bukan kepada masyarakat. Masyarakat harus terdaftar dan menetap. Di Malinau, pemerintah Bulungan menetapkan pemukiman sebagai desa, walaupun mereka tidak memenuhi kriteria sebagai ‘desa’ sebagai­ mana ketetapan undang-undang. Namun pemukiman suku Punan tidak pernah ditegaskan secara formal (Barr dkk, 2001). Di masa itu, pemerintah juga mendorong pemindahan kelompok kecil masyarakat terpencil dari hulu ke bagian hilir. Perpindahan ke Malinau ini berlangsung dari tahun 1970 sampai tahun 1990 (Rhee, 2000; Anau dkk, 2001); sehingga penduduk Malinau terdiri dari beberapa kelompok etnis. Yang menarik adalah bahwa seluruh desa ikut dipindahkan – bukan hanya penduduknya, tapi juga status dan struktur administrasinya. Selain itu, mereka tetap merupakan kesatuan yang berbeda walaupun telah tinggal di wilayah desa lain. Jadi, di DAS Malinau ada beberapa pemukiman yang berisi lebih dari satu desa, di mana setiap desa dihuni oleh kelompok etnis yang berbeda. Munculnya Orde Baru diiringi dengan penekanan pada pembangunan ekonomi, terutama melalui eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam. Sumberdaya dikuasai oleh pemerintah pusat dan hak formal penggunaan hutan (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) diberikan pada beberapa perusahaan kayu besar. Malinau dibuka untuk pembalakan. Walaupun masyarakat lokal secara formal tidak mempunyai hak, secara de fakto hak adat diakui dan HPH seringkali memberi masyarakat kebebasan tertentu. Kadang-kadang HPH bernegosiasi secara langsung dengan penduduk desa untuk menetapkan lokasi perladangan gilir-balik boleh dikerjakan dan letak bidang-bidang kecil hutan desa (Barr dkk, 2001). Kondisi ini berlangsung sampai perubahan yang dimulai tahun 1997. Pembentukan Kabupaten Malinau dan diberlaku­kan­nya UU Otonomi Daerah telah merubah tataran politik, ekonomi, dan sosial Malinau secara dramatis. Ketika otonomi daerah diberlakukan tahun 2000, pemerintah kabupaten mengeluarkan izin IPPK yang mewajibkan perusahaan kayu bekerjasama dengan masyarakat lokal. Dari hasil wawancara diperoleh kesan bahwa konflik berubah tajam dalam kurun waktu yang singkat. Pemberian IPPK mendorong banyak klaim masyarakat atas hutan berdasarkan batas-batas desa dan lahan pertanian. Banyaknya tumpang tindih kawasan IPPK dengan kawasan HPH yang masih aktif; menambah kerumitan konflik. Masyarakat memahami otonomi daerah sebagai pemulihan hak-hak adat mereka, dan memang Amandemen UUD pada tahun 1998 secara eksplisit mengakui hak-hak adat (TAP MPR IX/2001). Setelah bertahun-tahun secara pasif menderita kehadiran HPH yang mengeksploitasi hutan mereka, masyarakat kini secara aktif menyatakan kepemilikan mereka atas sumberdaya. Hal ini diperkuat oleh sikap pemerintah kabupaten, yang selama beberapa dasawarsa menyaksikan pendapatan daerah dari sumberdaya alam mengalir ke pemerintah pusat. Satu komentar umum adalah: ‘Sekarang giliran kami untuk menikmati manfaat dari sumberdaya alam kami.’ Akibatnya, kini masyarakat leluasa dan terkadang dengan memaksa, menuntut kompensasi atau bagian dari keuntungan. Sekarang, perusahaanlah yang membutuhkan perlindungan hukum. 30 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Masyarakat dan konflik Penduduk Malinau terdiri dari paling tidak 18 kelompok etnis, termasuk kelompok Punan yang terbesar di Kalimantan.3 Sebagian besar masyarakat Punan sekarang telah semi-menetap, meskipun sebagian besar mungkin setiap saat berada di hutan. Kelompokkelompok Kenyah secara umum lebih menetap dan berhasil dalam pertanian padi. Selain itu, ada juga suku Merap, Putuk, Abai, Tidung, dan Berusu, selain transmigran Jawa, migran Bugis dan Banjar, dan pedagang Cina (lihat Gambar 2. 3). Sejarah Malinau adalah sejarah perebutan lahan dan hutan. Walau ini telah berlangsung sejak dahulu, alasan dan cara mengatasi pertarungan itu berbeda-beda. Bergesernya penguasaan dalam perebutan untuk mengkoordinasi kontrol atas lahan ini bisa ditelusuri sampai beberapa abad yang lalu. Untuk masa-masa yang paling awal, hanya ada bukti dari dokumen sejarah dan sejarah lisan, sehingga – walaupun hal ini beresiko – pemahaman hanya dapat diekstrapolasi dari kondisi yang diamati dalam desa yang lebih tradisional, (lihat Sellato, 2001). Antara tahun 1750 dan 1850, kelompok etnis Ngurik atau Baoe di wilayah Sungai Bahau, Lurah, dan Pujungan sering diserang oleh masyarakat dari Apo Kayan yang bersekutu dengan Kenyah (Kaskija, 2000). Masyarakat Baoe lalu pindah ke Sungai Malinau, meminta perlindungan dan bantuan dari kelompok Punan dan Abai untuk melawan musuhnya. Sebagai imbalannya, kelompok Baoe bersekutu dengan kelompok Punan, bersumpah untuk menjadi saudara, menjadi seperti ‘bagian hitam dan putih dari mata’ yang tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1830 dan 1840, mereka tinggal bersama di sepanjang Sungai Malinau dan Tubu, dan terjadi perkawinan silang dengan kelompokkelompok lainnya seperti kelompok Abai, Tebilu, Milau, Berau, dan Berusu. Selanjutnya, kelompok Baoe, yang juga disebut Merap, merebut kepemilikan gua-gua sarang burung dari orang Berusu. Sampai awal tahun 1900-an, perang antar kelompok – sering untuk menguasai sumberdaya gua-gua sarang burung – umum terjadi, begitu pula dengan migrasi akibat ancaman perang. Kepala adat dan para penasehat mereka membantu untuk mengontrol akses terhadap lahan, mengelola konflik dan mengkoor­di­nasi­kan keputusan dalam kelompok etnis. Sementara itu, kepala adat besar membantu mengkoor­di­nasi masalahmasalah ini pada skala yang lebih luas. Sebagian besar kelompok peladang padi yang telah menetap (a.l. kelompok Kenyah) tampaknya telah berhasil menguasai wilayah, sementara yang lainnya (misalnya, kelompok Punan) kelihatannya lebih khawatir akan akses mereka atas pemukiman dan sumberdaya kunci. Penguasaan wilayah agaknya ditentukan dari pusat pemukiman atau sungai dan daerah alirannya, dengan kurang memperhatikan lokasi persisnya batas-batas terluarnya. Di banyak tempat, kepala adat menguasai sumberdaya yang berharga, seperti gua-gua sarang burung dalam wilayah kesultanan.4 Kesultanan lalu mengenakan pajak atas komoditas yang diperdagangkan.5 Pada awal abad ke 20, pemerintah kolonial Belanda memasuki wilayah ini dan menegakkan hukum dan aturan untuk meningkatkan perdagangan. Perang suku dilarang dan banyak kelompok bermigrasi ke hilir. Pada tahun 1909, suku Putuk (Lundaye) dan Abai pindah dari hulu Mentarang ke desa Setarap. Pada tahun 1961, satu kelompok Punan bermukim di wilayah yang sama dan pada tahun 1972, penduduk wilayah ini bertambah lagi dengan kedatangan satu kelompok Kenyah dari hulu Pujungan (Anau dkk, 2001; lihat juga Bab 9 dan 10 buku ini). Suku Tidung, yang telah masuk Islam sejak awal, mengklaim hak-hak mereka atas dasar keturunan raja-raja Tidung yang memerintah dua kerajaan kecil Geografi Malinau 31 Keterangan: 1. Peta ini adalah peta sketsa untuk menjelaskan lokasi pemukiman dan kelompok suku-suku. Ada beberapa desa-desa yang terdapat di dalam satu lokasi pemukiman tidak dicantumkan dalam peta ini. Untuk mengetahui nama desa-desa dengan lengkap dapat dilihat di dalam tabel nama desa dan lokasi pemukiman. 2. Suku-suku yang dicantumkan di dalam peta ini dikelompokkan secara umum. Untuk kelompok sub suku secara detail dijelaskan di dalam tabel terlampir. 3. Sub suku Punan Malinau sering disebut Punan Bao mereka bergabung dengan suku Merap. Orang Kenyah dipanggil Paya oleh orang Merap. Lepo’Kuda dulu pecahan dari Lepo’ Ke’. 4. Punan Beketan berasal dari Mahakam lewat Kayan lalu bercampur dengan Punan Malinau, sekarang lebih dikenal dengan Punan Malinau. Sumber: Peta kelompok etnis Malinau dipersiapkan oleh Asung Uluk (konsultan CIFOR) pada tahun 1999 Gambar 2.3 Penyebaran suku-suku di Malinau meliputi sebagian dari hilir Malinau (Sellato, 2001), selain sebagai pemilik beberapa guagua sarang burung. Perpindahan kelompok Kenyah ini diawali oleh perkawinan antara putri kepala adat besar Sungai Bahau dengan anak lelaki kepala adat Sungai Malinau. Pada awalnya, suku Kenyah diterima baik oleh masyarakat yang sudah tinggal lebih dahulu di sepanjang 32 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Sungai Malinau; tetapi kemudian meningkatnya jumlah penduduk menimbulkan konflik perbatasan lahan pertanian dan desa-desa. Di sepanjang Sungai Malinau, dapat dilihat pola umum atas klaim dan konflik. Jauh di pedalaman hulu Malinau, di mana tinggal sebagian besar kelompok Punan, konflik berpusat pada akses atas hasil hutan. Di bagian tengah hulu Malinau, endapan batubara yang berharga memicu konflik tentang kompensasi atas penggunaan lahan pertanian dan ladang yang sedang tidak ditanami. Di bagian hilir, masalah berkisar pada akses atas lahan pertanian dan kurang harmonisnya hubungan antar kelompok yang merupakan masalah sejak dahulu (Anau dkk, 2001). Walaupun sumber konflik adalah akses atas sumberdaya, hal itu berhubungan erat dengan klaim atas wilayah. Secara kebetulan beberapa waktu sebelum UU Otonomi Daerah diberlakukan secara resmi, the World Wide Fund for Nature (WWF) dan CIFOR telah memulai kegiatan pemetaan partisipatif untuk menetapkan batas-batas desa dan membantu mengatasi konflik atas sumberdaya alam. Sebagai alat untuk mengajukan klaim atas lahan, hal itu secara umum memperkuat kesan bahwa kini desa-desa dapat mengklaim hak-hak atas wilayah mereka (Barr dkk, 2001). Mata pencaharian Masyarakat di sekitar hutan pada umumnya sangat bergantung pada hutan dan hasil hutan. Hal ini berlaku di Malinau, walaupun derajat ketergan­tung­an­nya berbeda secara mencolok di antara setiap kelompok dan lokasi. Masyarakat Dayak pada umumnya adalah petani, yang menerapkan perladangan gilir-balik padi gogoh. Sebaliknya, suku Punan dianggap sebagai kelompok pemburu-pengumpul dengan cara hidup nomaden. Walaupun memudahkan, pembedaan ini tidak selamanya tepat, apalagi di masa sekarang. Hampir semua kelompok Dayak mengumpulkan hasil hutan di masa-masa sulit dan kebanyakan orang Punan membuka ladang secara teratur (Levang dkk, 2002). Walaupun demikian, hutan tetap sangat penting bagi seluruh penduduk lokal. Levang dkk (2002) menemukan kecenderungan umum di mana desa-desa yang lebih terpencil lebih tergantung pada pengumpulan dan penjualan hasil hutan, sementara masyarakat di hilir mencari nafkah dari kegiatan pertanian. Di sini, ladang menjadi penting dan masyarakat telah berupaya untuk mendiversifi­kasi pertanian mereka dengan kopi atau coklat. Lebih hilir lagi, kegiatan yang bertopang pada gaji menjadi lebih penting (lihat Gambar 2.4). Dalam beberapa tahun terakhir ini, pekerjaan yang bergaji semakin penting, walaupun hal ini terutama terjadi di sekitar Malinau Kota. Namun semakin membesarnya pemerintahan telah membuka banyak posisi baru, termasuk empat kantor kecamatan yang dibuka pada tahun 2002. Pemerintah kabupaten Dengan berkurangnya perang antar suku, Belanda6 dan setelah tahun 1950-an kemudian Indonesia,7 menambah lapisan dalam hirarki kelembagaan, mula-mula di kesultanan Bulungan dan kemudian di kabupaten Bulungan. Setelah mengalahkan Tidung sekitar tahun 1731, Bulungan menjadi kesultanan yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, Bulungan menjadi wilayah otonom dan pada tahun 1959 menjadi Geografi Malinau 33 Sumber: Levang dkk. (2002) Gambar 2.4 Pendapatan rata-rata rumah-tangga (juta Rupiah per tahun) kabupaten. Sebagai bagian dari Bulungan, Malinau berubah status beberapa kali sesuai dengan perubahan administratif nasional. Sebagai pengakuan atas kerajaan Tidung di wilayah ini, pada masa kolonial Belanda wilayah ini menjadi Kewedanaan Tanah Tidung, sub-bagian khusus dari kabupaten, dan akhirnya menjadi kecamatan. Seorang pejabat yang dikenal sebagai Bupati Penghubung Perwakilan Tanah Tidung ditempat­kan di Malinau Kota. Pejabat ini mengepalai Malinau, Mentarang dan Lumbis. Yang menarik, pada tahun 2007 dibentuk Kabupaten Tane Tidung, terdiri dari kecamatan-kecamatan dari Bulungan dan Nunukan, namun tidak satu pun dari wilayah Malinau. Penguasaan terpusat dan Undang-undang Tahun 1979 mengacaukan peran dan tanggung­jawab kepala adat karena banyak yang ditunjuk oleh pejabat luar sebagai kepala desa dan bertanggungjawab kepada camat, bupati, gubernur, dan Presiden. Lembagalembaga lokal kehilangan wibawa oleh delegitimasi hukum adat dan kepala adat. Peta-peta desa buatan pemerintah sama sekali tidak menggambarkan keadaan pemukiman dan klaim mereka yang sebenarnya. Akhirnya, penduduk desa secara politis terasingkan dan jauh dari pemerintah. Namun sebagian besar urusan desa masih terus diselesaikan oleh para kepala adat, terutama yang juga bekerja untuk pemerintah sebagai kepala desa. Para kepala adat ini membuat keputusan yang berlaku bagi satu kelompok etnis yang homogen. Akses terhadap lahan dan hutan tetap dikelola sebagaimana sebelumnya. Selain membentuk struktur administratif baru, negara mengklaim wilayah yang sangat luas mulai tahun 1960-an pada saat berkembangnya boom kayu. Tiba-tiba penduduk desa harus berbagi hutan dengan pengusaha dan diberitahu bahwa lahan itu milik pemerintah Indonesia. Pernyataan yang tegas dari negara atas penguasaan lahan melalui kehadiran HPH secara terbuka menantang kedaulatan lokal dan klaim atas lahan dengan cara-cara yang tidak pernah dilakukan oleh para sultan dan Belanda. Penduduk desa biasanya menerima HPH, sebagian besar karena perasaan terintimi­dasi (anggota militer biasanya menemani staf HPH atau mengganggu penduduk desa yang berpotensi menyusahkan). Degradasi 34 Latar Belakang Teori dan Kontekstual hutan secara berangsur, hilangnya buruan liar dan menurunnya kualitas air yang mereka rasakan sebagian diimbangi dengan dibangunnya jalan, sarana transportasi, penyerapan tenaga kerja, meskipun secara terbatas, dan sekali-sekali kontribusi bagi proyek desa. Pengusaha hutan lokal tidak menerapkan larangan berburu dan membakar lahan secara ketat, dan membiarkan kegiatan berladang di sebagian areal hutan sebagai upaya untuk memelihara hubungan baik. Pada waktu itu, konflik yang berhubungan dengan hutan terutama adalah perseteruan antar desa atas akses ke lahan pertanian, dan bagi beberapa individu, atas upaya menjaga klaim atas gua-gua sarang burung. Negara tidak mengijinkan terjadinya konflik dengan pemerintah daerah atau dengan pengusaha hutan. Kekuasaan kepala adat semakin terkikis dan klaim atas lahan menjadi lebih kompleks ketika kelompok-kelompok etnis mulai berbagi wilayah. Program pemukiman kembali oleh pemerintah antara tahun 1960-an sampai tahun 1980-an, dan satu kasus pemukiman kembali ad hoc pada tahun 1999, telah mengalihkan lahan bekas suku Merap8 di sepanjang Sungai Malinau kepada kelompok Dayak lainnya yang datang dari wilayah yang lebih terpencil. Namun para pendatang baru ini tidak selalu memutuskan hubungan dengan wilayah mereka sebelumnya. Selalu ada sebagian yang tetap tinggal di dalam atau di dekat wilayah desa semula. Akibatnya, dua sampai empat kelompok etnis secara kolektif mendiami 9 dari 16 pemukiman sepanjang hulu Sungai Malinau, sehingga tekanan terhadap sumberdaya lokal juga semakin besar. Semua kelompok itu mengajukan klaim atas wilayah yang bertumpang tindih dengan klaim kelompok lainnya, dan menimbulkan pertanyaan siapa pemegang kekuasaan atas lahan mana, dan bagaimana pembagian peran penguasa adat dan pemerintah dalam menyelesaikan klaim ini. Karena itulah maka tumpang-tindihnya klaim atas lahan di daerah hulu Sungai Malinau lebih banyak daripada daerah lainnya di Kabupaten Malinau. Perkembangan terakhir menyangkut bertumpangtindihnya tiga hal: desentralisasi, akses baru bagi penduduk desa untuk memperoleh pembayaran tunai untuk kayu dan lahan, dan dibentuknya Kabupaten Malinau yang baru. Dengan dimulainya desentralisasi dan ketidakpastian yang menyertainya, berbagai kalangan masyarakat lokal berusaha mendapatkan bagian dari sumberdaya Malinau. Bahkan sebelum berlaku kebijakan desentralisasi di tingkat kabupaten, desentralisasi de facto telah terjadi, di mana desadesa mengajukan klaim atas tanah-tanah adat dan bernegosiasi secara langsung dengan investor lokal (Rhee, 2003). Penduduk desa lebih bebas mengajukan tuntutan kompensasi atau manfaat dari perusahaan kayu atau tambang dan menuntut lebih besar daripada sebelumnya.9 SK Gubernur Kalimantan Timur No 20/2000 memperkuat momentum ini dengan meletakkan dasar hukum bagi masyarakat untuk menuntut kompensasi. Sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan, penduduk desa mengatakan bahwa mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan mereka tanpa rasa takut dan jauh lebih bebas berbicara mengenai pemimpin mereka dan pemerintah. Anggota militer saat ini jarang menemani perusahaan kayu atau rombongan pemerintah. Persekutuan politik baru telah terbentuk di antara berbagai kelompok etnis. Kepala desa bisa ditemui di pusat kota Malinau, dalam pertemuan dengan pejabat pemerintah atau pengusaha, sesering mereka ditemui di desa mereka sendiri. Dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Malinau pada tahun 2001, untuk pertama kalinya, banyak posisi utama diisi oleh orang-orang dari dalam kabupaten sendiri. Dayakisasi telah membuat penguasa berakar di dalam politik lokal yang berisi lebih dari 18 kelompok etnis. Adat menjadi penting karena masyarakat mencari aliansi dan posisi politis melalui berbagai kelompok etnis (Anau dkk, 2001), dan menimbulkan Geografi Malinau 35 persaingan atas lahan dan kekuasaan berbasis etnis. Pengorganisasian kelompok-kelompok adat berdasarkan hirarki pemerintah juga diwarisi dari masa penjajahan Belanda. Di masa itu, kepala adat dikooptasi melalui pengakuan formal dan pemberian honorarium. Untuk menegakkan ketertiban, Belanda menyusun hirarki di mana kelompok-kelompok adat lokal diatur dalam majelis yang lebih besar yang dipimpin oleh Kepala Adat Besar. Di Malinau, dibentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang anggotanya terdiri dari Raja Tidung, kepala adat Merap dari Langap dan empat kepala adat lainnya (Césard, 2001; Sellato, 2001). Kepala adat Merap ditunjuk sebagai Kepala Adat Besar Malinau pada tahun 1940. Kedudukannya diformalkan melalui keputusan kolonial, dan dia tetap memegang kedudukan ini sampai kematiannya pada tahun 1980. Saat ini, kelompok adat mulai mengatur diri dengan memperkuat organisasi atau membentuk organisasi baru, dan meminta pemerintah untuk mengakuinya secara formal. Pada bulan Februari 2002, kelompok Tidung menghidupkan kembali lembaga adat mereka dengan memilih kepala-kepala adat baru dalam upacara yang megah. Kelompok Punan juga membentuk Lembaga Adat Besar Punan Kalimantan Timur, selain juga Yayasan Adat Punan pada tahun 1994. Dengan membaiknya kehidupan sejak bermigrasi ke DAS Malinau, suku Kenyah mulai menantang kekuasaan politis suku Merap (Rhee, 2003). Setelah memiliki lembaga adat dan hukum adat tertulis sejak tahun 1968 (N. Anau, komunikasi pribadi, 2001), mereka telah lebih terorganisir dan menjadi kekuatan penting di Malinau. Bupati yang sekarang adalah seorang Dayak Kenyah. Maka kelompok Merap pun mereorganisasi diri, dan pada tahun 1998 berhasil menempati posisi yang kosong: Kepala Adat Besar Malinau. Sementara itu, setelah lama vakum, suku Merap yang didukung suku Kenyah berusaha menghidupkan kembali Lembaga Adat Besar Se-Sungai Malinau dan memilih Impang Alang sebagai Kepala Adat Besar di tahun 2003. Tahun 2006 Impang Alang mengundurkan diri dan diganti oleh puteranya, ketua DPRD Malinau. Kelompok Lundaye dan Tidung juga menjadi lebih agresif secara politik beberapa tahun terakhir ini. Kedua kelompok ini sedang berusaha mengkonsolidasi klaim-klaim mereka atas lahan, sementara kelompok Punan hampir tidak terwakili di pemerintahan kabupaten dan mempunyai klaim kesejarahan yang lemah atas lahan. Selain itu, kelompok Punan selalu merupakan mitra yang lebih lemah dalam aliansi-aliansi dengan kelompok etnis lainnya (Anau dkk, 2001). Administrasi Kabupaten saat ini Sudah disebutkan sebelumnya bahwa Kabupaten Malinau dibentuk pada tahun 1999. Sampai tahun 2001, kabupaten ini dipimpin oleh seorang Bupati sementara, sehingga selama satu setengah tahun kabupaten ini dipimpin oleh pemimpin sementara yang tidak bertanggungjawab pada DPRD. Pada masa inilah sebagian besar izin pembalakan skala kecil diberikan (lihat Bagian II). Pada tahun 2001, Bupati terpilih disumpah. Pada tahun itu juga terbentuklah struktur pemerintahan resmi dengan sembilan kantor administratif (SK No. 117 Bupati Malinau 2001). Salah satu aspek penting dari pemerintah kabupaten ini adalah bahwa untuk pertama kalinya kebanyakan posisi diisi oleh orang yang berasal, atau menikah dengan warga, dari dalam kabupaten. Para pejabat sebelumnya sebagian besar berasal dari Jawa, Sulawesi, atau daerah lain di Kalimantan (terutama Samarinda dan Banjarmasin). Dayakisasi pemerintah lokal berarti bahwa kini penguasa lebih berakar pada politik lokal yang melibatkan lebih 36 Latar Belakang Teori dan Kontekstual dari 18 kelompok etnis. Hubungan kekuasaan lokal lebih saling berkait dan rumit daripada di masa sebelumnya. Menyadari hubungan yang kompleks ini, Bupati bekerja keras untuk mencapai keseimbangan antara kelompok-kelompok etnis dan agama yang berbeda (lihat Tabel 2.1 untuk penjelasan komposisi etnis pemerintah Kabupaten Malinau). Walaupun tidak mempunyai wakil di pemerintahan, kelompok Merap mengetuai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) – untuk kedua kalinya. Kedudukan ini sangat kuat dan telah berakibat pada penguatan klaim kelompok Merap atas hutan, termasuk bagian dari tambang batubara baru di wilayah Langap. Walaupun pada awalnya kelihatannya desentralisasi dan pemerintah yang baru telah mendekatkan negara kepada masyarakat, setelah pemerintah kabupaten yang baru semakin mapan dan diakui kewenangan dan kehadirannya, akses terhadap pejabat pemerintah menjadi lebih formal dan berjarak. Namun sebagai pembelaan pemerintah kabupaten, Tabel 2.1 Distribusi afiliasi etnis pegawai pemerintah di Malinau Kantor Bupati Wakil bupati/sekretaris daerah, asisten Kepala bagian Kantor/Dinas Total Kenyah 2 2 3 7 Lundaye 2 1 6 9 1 4 5 4 4 Etnis Toraja Jawa Tidung 2 2 Kutai 1 Banjar 1 1 19 29 Total 6 4 1 Sumber: Andrianto (2006) mudahnya aksesibilitas di tahun-tahun awal telah menimbulkan banjir permintaan dan tuntutan. Dengan menempatkan kembali Camat sebagai penghubung antara desa dengan kabupaten, pejabat kabupaten bisa mengurangi interaksi dengan penduduk desa ke tingkat yang lebih bisa dikelola. Kompleks kantor pemerintahan kabupaten yang baru dan megah, serta prosedur formal yang diperlukan untuk masuk, membuat warga masyarakat enggan menghadap pemerintah. Apalagi karena letaknya agak jauh dari pusat kegiatan Malinau. Lagipula, walaupun pemerintah kabupaten merasa nyaman dengan retorika partisipasi masyarakat madani, mereka tetap curiga dan tidak tahu bagaimana cara melaksanakannya. Modernisasi dan pergolakan politik telah mendatangkan banyak tantangan dan kesempatan bagi masyarakat Malinau. Dalam lima tahun terakhir, cukup banyak terjadi pergolakan yang berkaitan dengan undang-undang dan peraturan tentang hak-hak atas lahan dan sumberdaya alam. Kondisi itu menciptakan ketidakpastian dan berbagai peluang baru untuk memperoleh pendapatan tunai. Dua aspek aksesibilitas senantiasa berubah (yaitu aspek peluang pencapaian suatu lokasi dan mengekstraksi sumberdaya, serta aspek penguasaan hukum dan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan cara melakukannya). Munculnya motor untuk perahu, jalan-jalan baru, meningkatnya perdagangan, serta Geografi Malinau 37 naiknya harga bahan bakar, semuanya mempengaruhi akses fisik, begitu pula dengan berkurangnya sumberdaya di bekas wilayah penebangan. Pada saat bersamaan, berbagai klaim dan klaim yang tumpang tindih serta penguasaan oleh pemegang konsesi, pemerintah kabupaten, dan masyarakat, cukup menciptakan kebingungan. Pada saat ini, ‘tragedi kepemilikan komunal’ agaknya lebih memilih menguangkan hutan daripada pilihan lain yang lebih berjangka panjang. Hilangnya keanekaragaman hayati bagi masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya tampaknya akan besar. Stabilitas dan kepastian kepemilikan lahan amat sangat diperlukan. Foto diambil oleh Godwin Limberg (2004) Gambar 2.5 Pada tahun 2004, pemerintahan Kabupaten Malinau menempati kompleks gedung yang baru, seperti ditunjukkan di sini Catatan 1 Diperkirakan dari sensus pemilu tahun 2003. 2 Lihat Soerat Pengangkatan Alang Ampang sebagai Kepala Besar Bao Dajak di Langap oleh Pemerintah Keradjaan Boelongan, 30-1-1940. 3 Lihat Sellato (2001) untuk tinjauan sejarah hulu Sungai Malinau dalam 150 tahun terakhir. 4 Fox (2002) mencirikan tumpang-tindihnya kedaulatan pada akhir tahun 1800-an di Thailand. Ia menulis bahwa hal ini ‘bukan berdiri sendiri maupun eksklusif ’ (Fox, 2002, hal 2), tetapi, (mengutip Winichakul, 1994, hal 88) ‘dapat dibagi – satu untuk penguasa dan satu untuk atasannya – tidak dalam arti berbagi kedaulatan, tapi lebih merupakan lapisan-lapisan hirarkis. 38 Latar Belakang Teori dan Kontekstual 5 Yang menarik, surat bukti pembayaran pajak di jaman lebih modern telah digunakan untuk menetapkan kepemilikan atas gua-gua sarang burung. 6 Menurut Sellato (2001), kekuasaan Belanda atas kesultanan Bulungan mulai pada tahun 1850 dengan sebuah kontrak Politiek, yang pada tahun 1877 diperpanjang dengan perjanjian yang menetapkan bahwa Belanda akan mengurus sebagian urusan Kesultanan; lalu diformalkan pada akhir tahun 1880-an sebagai bagian dari koloni Belanda. Pada awal 1900-an, Belanda memaksa Sultan menyerahkan kekuasaannya atas daerah-daerah Sungai Bahau, Pujungan, dan Apo Kayan yang lebih terpencil. Belanda juga bekerjasama dengan Kesultanan, untuk, misalnya, mengatasi pemberontakan suku Dayak tahun 1909 di Tanah Tidung, yang mencakup daerah Sungai Malinau yang sekarang. 7 Menurut Sellato (2001), pada tahun 1950, Bulungan menjadi sebuah Wilayah Swapraja setelah pendudukan Jepang, dan pada tahun 1955 menjadi Wilayah Istimewa. Pada tahun 1959, setelah meninggalnya Sultan yang terakhir pada tahun 1958, yaitu Sultan Jalaluddin, kesultanan dihapuskan dan Bulungan menjadi Daerah Tingkat II atau kabupaten. 8 Sebelum suku Merap, suku Berusu and Punan dipercayai telah menduduki wilayah ini (Kaskija, 2000; Sellato 2001). 9 Walaupun tuntutan kompensasi telah diajukan sebelumnya, dan warga desa hanya menerima sangat sedikit, kalaupun ada. Rujukan Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau, Januari s/d Juli, 2000, Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR, Bogor, Indonesia. Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002. Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Andrianto, A., 2006. Peran Pemerintah Kabupaten dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus di Kabupaten Malinau dan Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) dan BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Malinau, 2005. Kabupaten Malinau Dalam Angka 2004/2005, Bappeda Malinau, Malinau, Indonesia. Bappeda Malinau, 2001. Kabupaten Malinau Dalam Angka 2000, Bappeda Malinau, Malinau, Indonesia. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan: Case Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Basuki, I. dan Sheil, D., 2005. Local Perspectives of Forest Landscapes: A Preliminary Evaluation of Land and Soils, and Their Importance in Malinau, East Kalimantan, Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), 2001. Daftar Desa Miskin di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, BKKBN, Malinau, Indonesia. Geografi Malinau 39 Césard, N., 2001. Four Ethnic Groups (Punan, Kenyah, Merap, Lun Dayeh) Faced with Changes along the Malinau River (Kalimantan Timur), Forest Product and People Programme, CIFOR, Bogor, Indonesia. Fox, J., 2002. Siam mapped and mapping in Cambodia: Boundaries, sovereignty, and indigenous conceptions of space, Society and Natural Resources, vol 15, no 1, hal 65–78 Kaskija, L., 2000. Punan Malinau and the Bulungan Research Forest, Laporan diajukan kepada CIFOR, Bogor, Indonesia. Levang, P. dan Tim FPP-Bulungan, 2002. Peoples dependencies on forests, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Machfudh., 2002. General description of the Bulungan Research Forest, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Sensus Pemilu Malinau, 2003. Data Sensus Pemilu, Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Meijaard, E., Sheil, D, Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S. dan O’Brien, T., 2005. Life after Logging: Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in Indonesian Borneo, CIFOR, ITTO and UNESCO, Bogor, Indonesia. Rhee, S., 2000. De facto decentralization and the management of natural resources in East Kalimantan during a period of transition, Asia Pacific Community Forestry Newsletter, vol 13, no 2, hal 34–40. Rhee, S., 2003. De facto decentralization and community conflicts in East Kalimantan, Indonesia: Explanations from local history and implications for community forestry, dalam Tuk-Po, L., de Jong, W. dan Ken-ichi, A., (penyunting) The Political Ecology of Tropical Forests in Southeast Asia: Historical Perspectives, Kyoto Area Studies on Asia 6, Kyoto University Press, Kyoto, Japan, hal 152–176. Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia. Sheil, D., 2002. Biodiversity research in Malinau, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Sheil, D., Puri, R., Basuki, I., van Heist, M., Wan, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Sardjono, M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F., Johnson, B. dan Wijaya, A., 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples Perspectives in Forest Landscapes, 2nd edition, Center for International Forestry Research, Ministry of Forestry and International Tropical Timber Organization, Bogor, Indonesia. SK 117 Bupati Malinau, 2001. Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Malinau, Malinau, Indonesia. Soerat Pengangkatan Alang Ampang sebagai Kepala Besar Bao Dajak di Langap oleh Pemerintah Keradjaan Boelongan, 30-1-1940. TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), 2001. Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta, Indonesia. Uluk, A., Sudana, M. and Wollenberg, E., 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, CIFOR, Bogor, Indonesia. 40 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Widyastuti, R. S., 2003. Otonomi: Kabupaten Malinau, Kompas, 17 Juni 2003, www. kompas. com/kompas-cetak/0306/17/otonomi/373649.htm. Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2007. Muddling towards cooperation: spontaneous orders and shared learning in Malinau district, Indonesia, dalam Fisher, R., Prabhu, R. dan McDougall, C. (penyunting) Adaptive collaborative management of community forests in Asia: experiences from Nepal, Indonesia and the Philippines, Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. WWF (World Wildlife Fund for Nature), 2003. Management of Kayan Mentarang National Park to Promote Trans-boundary Conservation along the Border between Indonesia and Malaysian States of Sabah and Sarawak, ITTO Project, PD 38/00 REV I (F) WWF, Jakarta, Indonesia. 3 Politik Budaya Kolaborasi untuk Mengontrol dan Mengakses Sumberdaya Hutan di Malinau, Kalimantan Timur Steve Rhee Pendahuluan Desentralisasi, pemerintahan yang baik, pengelolaan hutan lokal – adalah konsep-konsep yang oleh para praktisi pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) sering dianggap sebagai komponen integral dalam memperkuat suara kelompok yang tergantung pada sumberdaya hutan yang kurang diuntungkan. Dalam kerangka kerja normatif, semua konsep itu saling melengkapi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme kelembagaan pembentuknya tertanam dalam sejarah hubungan antar suku dan pembentukan negara, yang berperan dalam proses perubahan sosial. Memahami jalinan kesukuan dan pembentukan negara dalam proses desentralisasi sangat diperlukan bagi pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan adil. Sudah diulas dalam Bab Pendahuluan buku ini, negara dan masyarakat saling membentuk, dan reproduksi hubungan itu sangat mempengaruhi kendali dan akses terhadap sumberdaya hutan. Bab ini membahas hubungan antar-kelompok sosial di Kabupaten Malinau dan menjelaskan pertarungan untuk konsolidasi dan akses kekuasaan di kabupaten tersebut dalam konteks lebih luas, yaitu proses desentralisasi yang rancu dan ambisius. Intinya, bab ini adalah analisa ‘ekonomi politik yang berorientasi budaya’, untuk menunjukkan cara kerja kekuasaan (proses) dan berbagai konsekuensi penting dari proses tersebut (Li, 2002, hal. 417).1 Diawali dengan sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau untuk memberi konteks kerja sama di antara para pelaku, lalu diuraikan konteks gerak para pelaku sosial 42 Latar Belakang Teori dan Kontekstual di Malinau untuk memanfaatkan semua peluang yang ada. Saya kemudian membahas bagaimana para pelaku ini memperkuat hubungan dan aliansi untuk mengontrol sumberdaya, dengan berfokus pada cara melegitimasi hubungan ini. Bab ini ditutup dengan ringkasan mengenai pelajaran lebih luas yang dipetik dari studi kasus Malinau, dalam hal kerja sama dan aliansi para pemangku kepentingan. Sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau Sejarah hubungan antar-kelompok di Malinau adalah hubungan yang ditandai oleh perdagangan, perpindahan penduduk dan klientisme. Sebelum kedatangan Belanda ke Malinau pada awal abad ke-20 dan seperti di banyak bagian Kalimantan, kawasan ini ditandai dengan hubungan dagang antara kelompok-kelompok Dayak dari daerah pedalaman dengan kesultanan dan kerajaan kecil di pesisir, yang melakukan barter hasil hutan non-kayu (HHNK) dengan para saudagar pelaut, seperti suku Taosug dan Bugis (Warren, 1981; Peluso, 1983).2 Sebelum perpindahan suku Kenyah ke arah timur yang dimulai pada tahun 1960-an, suku Merap merupakan kekuatan politik dominan di daerah hulu dan tengah Sungai Malinau. Suku Merap yang berasal dari barat Malinau menaklukkan dataran tinggi hulu Sungai Malinau dan daerah di dekat Sungai Tubu pada paruh kedua abad ke-19 dengan bantuan kelompok Punan setempat, lalu memperluas kekuasaan mereka ke hilir di sepanjang Sungai Malinau. Faktor penting dalam ekspansi Merap ke hilir adalah penguasaan atas gua-gua sarang burung di sepanjang anak Sungai Malinau dan HHNK berharga lainnya seperti rotan (Calamus spp), gaharu (Aquilaria spp) dan damar (Shorea javanica).3 Karena struktur sosial suku Merap yang hirarkis, para kepala desa dan para panglima perang memegang kontrol pribadi atas sumberdaya berharga seperti gua-gua sarang burung. Pemimpin Merap yang sekarang adalah keturunan keningratan tersebut, dan masih menjadi pemilik gua-gua itu hingga kini. Suku Merap, yang secara tradisional adalah para peladang gilir-balik, menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya hutan melalui kerja sama jangka panjang dengan suku Punan yang hidup berpindah-pindah, sebuah hubungan patron-klien, yang sedikit banyak masih berlaku sekarang, ditandai dengan kepatuhan yang ditunjukkan terhadap suku Merap (Sellato, 2001; Kaskija, 2002). Suku Merap memanfaatkan suku Punan sebagai pengumpul HHNK, pasukan militer, dan sebagai penjaga gua-gua sarang burung. Suku Merap juga mengendalikan aliran sumberdaya antara para pengumpul suku Punan dan para pedagang di hilir. Sebagai ganti HHNK yang mereka kumpulkan, suku Punan menerima barangbarang yang tidak dapat mereka peroleh sendiri, seperti besi dan tembakau (Kaskija, 2002). Hubungan patron-klien antara para peladang dan suku Punan ini sudah biasa di seluruh Kalimantan; tetapi kesetaraan hubungan ini beragam bergantung pada struktur sosial kelompok peladang yang berhubungan dengan suku Punan (Rousseau, 1990; Sellato, 1994; Sellato, 2001; Kaskija, 2002). Sejak awal tahun 1900-an, intervensi Belanda di kawasan ini tidak menggeser dominasi politik suku Merap, meskipun penghapusan perbudakan dan meningkatnya persaingan Cina dan Melayu hampir pasti telah mengurangi keunggulan ekonomi keningratan suku Merap (Kaskija, 2002).4 Dalam beberapa hal penting, Belanda bahkan mensahkan dan memperkuat kendali politik suku Merap atas dataran tinggi Malinau, serta memasukkannya dalam pemerintahan formal.5 Misalnya, dalam menetapkan daftar gua-gua sarang burung dan para pemiliknya, Belanda mendukung penguasaan suku Merap atas gua-gua di Politik Budaya Kolaborasi 43 Malinau (Sellato, 2001). Pemerintah Belanda dan Sultan Bulungan kemudian mengangkat pemimpin suku Merap sebagai Kepala Besar Sungai Malinau/Tubu dan putra pemimpin ini sebagai Kepala Adat Besar Sungai Malinau setelah kematian ayahnya (Kaskija, 2002). Seperti halnya di kebanyakan daerah Kalimantan, bagi suku Dayak yang tinggal di wilayah Malinau, periode pasca kemerdekaan berarti mereka harus menyesuaikan struktur sosial tradisional dan mata pencaharian mereka dengan serangkaian tantangan. Intervensi pemerintah dan pembukaan daerah pelosok untuk mengambil kayu dan sumberdaya mineral yang berharga telah mengubah kondisi ekonomi dan politik di tingkat daerah. Yang paling penting bagi suku Dayak di daerah Malinau adalah dampak prakarsa pemerintah dalam hal pemukiman kembali, nasionalisasi hutan, dan ekspansi pemerintah pusat ke struktur politik desa. Sebagian besar suku Kenyah yang kini bermukim di Kecamatan Malinau berasal dari timur, dari lembah Sungai Bahau dan Punjungan. Kedatangan mereka dimulai pada tahun 1960-an diikuti migrasi massal di awal 1970-an melalui program pemukiman kembali6 pemerintah. Hingga belum lama ini, suku Kenyah dari Bahau masih agak terisolasi sehingga masih bisa memelihara hirarki struktur sosial mereka, dengan kedudukan politik kaum ningratnya yang kuat di desa-desa Kenyah masa kini (Sellato, 2001). Suku Kenyah pindah ke Malinau agar lebih dekat dengan pasar, sekolah dan manfaat-manfaat ‘pembangunan’ lainnya. Perpindahan mereka ke Malinau mengikuti tatacara adat. Selama tahun 1960-an, para kepala desa Kenyah meminta lahan dari kepala suku Merap, yang segera menyetujui karena persaingan untuk menguasai lahan dan kepadatan populasinya masih rendah (Kaskija, 2002). Sebagai imbalannya, suku Kenyah membayar sebuah gong kecil sebagai bukti nyata pengalihan hak tersebut dan persetujuan untuk mematuhi hukum adat suku Merap.7 Dalam hal ini, peran pemerintah terbatas pada mensahkan pengalihan hak tersebut. Melalui program pemukiman kembali, kelompok-kelompok lainnya, seperti suku Punan dan sebagian warga desa Merap sangat didorong dan dibujuk oleh pemerintah untuk pindah ke desa-desa yang lebih besar di tahun 1970-an dan 1980-an (Sellato, 2001). Suku Kenyah semakin makmur sejak berada di Malinau: ‘Kuatnya struktur sosial, kepemimpinan, dan disiplin ... serta besarnya jumlah mereka dan dinamisnya perekonomian dinamis’ memungkinkan kesuksesan ekonomi mereka dan menantang otoritas politik suku Merap (Sellato, 2001, hal. 32). Pemangku Kepentingan atau Identitas di Kabupaten Malinau Dengan desentralisasi, legitimasi di tingkat kabupaten dan desa menjadi sangat penting untuk menciptakan, mengakses dan mengonsolidasikan penguasaan atas sumberdaya alam. Sarana utama memperoleh legitimasi ini adalah melalui identitas, atau, lebih spesifik lagi, dengan menetapkan dan menegaskan sikap terhadap kesamaan landasan maupun tujuan, dan juga terhadap perbedaan yang ada. Maka seperti juga di tempat lain, istilah ‘pemangku kepentingan’ di Malinau mungkin kurang perlu dibahas dibandingkan dengan ‘identitas penting’, karena seorang individu bisa mempunyai beberapa identitas, yang masingmasing bersifat strategis pada waktu dan konteks tertentu tanpa dirasa bertentangan. Pada dasarnya, aliansi di Malinau serta pengaruhnya ditentukan oleh batasan sosial sebagai ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’. Di Malinau, identitas yang dianggap penting adalah: putra 44 Latar Belakang Teori dan Kontekstual daerah, orang asli, kelompok etnis lokal (Kenyah, Merap, Punan, Lundaye dan Tidung), perusahaan yang didukung pemerintah kabupaten, dan para pengusaha setempat.8 Ini semua akan dibahas berikut ini dalam konteks munculnya peluang, kendala dan konflik karena diberlakukannya desentralisasi. Sebelum desentralisasi, politik di Kabupaten Malinau, seperti di daerah-daerah lain, ditandai dengan pemerintahan sangat otoriter dan terpusat di Jakarta yang memberikan izin dan legitimasi bagi para pemegang konsesi hutan dan pertambangan, dengan mengabaikan strategi budaya dan penghidupan para peladang gilir-balik atau warga desa lainnya (Poffenberger, 1990; Barber dkk., 1994; Lynch dan Talbott, 1995). Karena penindasan negara dan kurangnya peluang bagi kelompok-kelompok Dayak selama rezim Soeharto, maka sengketa antar-kelompok suku Dayak jarang muncul menjadi isu besar yang memerlukan intervensi pemerintah. Masa desentralisasi, meskipun penuh ketidakpastian dan kerancuan, telah lebih membuka peluang bagi para pelaku tingkat desa dan kecamatan untuk saling beradu pengaruh. Suara mereka sekarang didengar oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya sehingga bahkan bisa mempengaruhi sektor kayu formal. Para pelaku di tingkat kecamatan kini berusaha untuk menaikkan posisi dan bertindak strategis dengan membuka atau memanfaatkan hubungan dengan para pelaku di tingkat desa dan kecamatan lain. Selanjutnya, kesukuan menjadi berperan lebih penting dan lebih politis dalam menentukan posisi seorang warga desa dalam berinteraksi dengan pihak lain. Menunjukkan kesukuan di antara berbagai kelompok Dayak dan pihak-pihak yang bisa mengklaim akar sejarah di daerah itu telah menjadi sarana kunci untuk menyatakan atau mengakses kekuasaan, sehingga memperburuk dan menciptakan konflik di antara warga desa. Dengan desentralisasi, warga desa di DAS Malinau memakai berbagai kategori untuk mendefinisikan dan menggolongkan diri. Salah satu yang paling memecah belah adalah pembedaan orang asli dan pendatang. Pembedaan ini digunakan oleh suku Merap, beberapa kelompok Punan, Tidung, dan juga Lundaye, untuk mengklaim wilayah berdasarkan hubungan sejarah dengan daerah itu. Hal ini sangat mengancam suku Kenyah dan kelompok-kelompok lainnya yang datang ke daerah Malinau pada tahun 1960-an dan 1970-an, karena dikotomi dan penggolongan sebagai pendatang bisa membahayakan klaim wilayah mereka. Suku Merap yang berjumlah sedikit memang mengklaim seluruh bagian tengah DAS Malinau berdasarkan sejarah mereka.9 Selanjutnya, suku Tidung melalui persatuan adat mereka telah mengklaim hasil pembalakan skala kecil – IPPK (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu) – di wilayah desa-desa lain berdasarkan klaim atas gua-gua sarang burung dan hutan di sekitarnya, yang dilegitimasi oleh dokumen-dokumen dari zaman Belanda.10 Pada sebuah kasus, suku Tidung, bahkan menyisihkan warga desa Gong Solok dari pembagian manfaat dari kegiatan IPPK di wilayah desa Gong Solok. Di kasus lain, desa Setarap bermitra dengan IPPK; tetapi suku Tidung memaksa desa Setarap menyerahkan sebagian besar keuntungan pada suku Tidung berdasarkan pembenaran yang sama (untuk pembahasan lengkap tentang IPPK, lihat Bab 5 dan 6 buku ini). Klaim ‘keaslian’ ini diimbangi oleh besarnya jumlah anggota suku Kenyah yang dianggap pendatang yang tinggal di DAS Malinau serta kekuatan politik mereka di pemerintahan kabupaten. Memang, ada ketegangan di antara suku Kenyah, Tidung dan Lundaye dalam memperebutkan kekuasaan dan sumberdaya di kabupaten Malinau. Penyeimbangan yang tidak mudah ini bergantung pada beberapa faktor: klaim atas keaslian, jumlah penduduk dan sejarah hubungan antar-suku. Suku Merap yang ‘orang asli’ tidak mempunyai pengaruh atas kelompok-kelompok lainnya karena kecilnya populasi maupun jumlah elit sukunya. Suku Punan, yang diakui Politik Budaya Kolaborasi 45 sebagai orang asli11 oleh kelompok lainnya, juga tidak bisa bergerak secara kolektif karena secara historis tidak mempunyai basis kekuatan kolektif dan solidaritas. Klaim atas keaslian mereka tidak berdampak seperti klaim keaslian suku Merap atau Tidung, kendati 12 persen populasi Malinau adalah suku Punan dibandingkan dengan suku Merap yang hanya 2 persen. Kategori lain yang secara politik kuat adalah putra daerah, yang merujuk pada kelompok mana pun yang dapat membuktikan mempunyai akar sejarah di daerah itu. Para pejabat kabupaten pada posisi paling berpengaruh adalah putra daerah. Namun batasan kategori ini masih rancu oleh belum tepatnya definisi ‘daerah’ dan/atau ‘setempat’, serta ‘historis’. Misalnya, Bupati dianggap putra daerah karena bersuku Kenyah Uma’ Kulit, berasal dari Apo Kayan tetapi pindah ke Kayan Tengah di Kabupaten Bulungan. Karena orang Kenyah,12 maka statusnya adalah putra daerah, sekalipun secara sub-suku mungkin dia tidak termasuk dalam kategori tersebut. Contoh lainnya adalah Sekretaris Daerah (Sekda) – yang juga dianggap putra daerah – yang secara suku adalah Lundaye dari Kerayan, yang merupakan bagian dari Kabupaten Nunukan, di utara Malinau, tetapi mempunyai kerabat di Kabupaten Malinau. Malinau, Bulungan dan Nunukan memang bagian dari satu kabupaten hingga akhir 1999, maka, terkait dengan putra daerah, daerah Bulungan asli barangkali yang paling mewakili daerah geografis. Harus diperhatikan juga bahwa putra daerah13 adalah pengkategorian yang lebih luas daripada asli – seseorang bisa jadi adalah putra daerah tanpa harus asli (mis. suku Kenyah di DAS Malinau). Selanjutnya, kelompok suku lainnya seperti Tionghoa, Jawa dan Bugis tidak dianggap sebagai putra daerah tanpa peduli telah berapa generasi mereka tinggal di Malinau. Tetapi, ada kalanya, orang yang menikah dengan putra daerah, memperoleh status yang sama. Misalnya, seorang pengusaha Cina setempat mengklaim dirinya sebagai putra daerah karena merupakan keturunan dari campuran antara Cina dan Berusu, sebuah kelompok suku Dayak daerah Malinau. Sebagai putra daerah urusan usahanya dengan desa-desa Dayak tertentu sangat dipermudah. Pengusaha daerah, dari mana pun asalnya, ikut berperan penting dalam politik kabupaten, terutama sebagai pedagang kayu hasil IPPK. Dalam hal ini, ‘daerah’ secara geografis didefinisikan meliputi Tarakan, kota pelabuhan utama di Kalimantan Timur bagian utara, dan dianggap dekat dengan para pembuat keputusan dan masyarakat setempat, serta mapan sebelum desentralisasi. Dalam usaha kayu IPPK, para pengusaha lokal mempunyai peran ganda: di satu sisi, mereka berfungsi mengidentifikasi wilayah hutan yang kaya kayu komersial yang bisa diakses, dan menjadi broker dalam perjanjian panen dengan masyarakat sekitar yang mungkin mempunyai klaim kepemilikan atas areal hutan itu. Di sisi lain, mereka umumnya bertanggung-jawab untuk mengurus izin IPPK dan dokumen pendukungnya dari pemerintah kabupaten. Mereka ini adalah para penghubung kunci dan mempunyai koneksi politik kuat dengan para pejabat penting pemerintahan, yang dalam beberapa kasus, diperkuat dengan ikatan kekeluargaan dan/atau ikatan kesukuan (Barr dkk., 2001). Ada kalanya, para makelar kayu ini juga merupakan pedagang rotan, gaharu, damar dan hasil hutan non-kayu (HHNK). Kebanyakan mereka sudah lama berhubungan dengan masyarakat hutan dalam kegiatan pengumpulan produk-produk ini. Sering kali, rumah tangga masyarakat ini berhutang besar pada para pedagang HHNK, dan kemungkinan besar hubungan hutang semacam ini ikut menentukan perjanjian antara para broker dengan masyarakat untuk pemanfaatan kayu IPPK. Misalnya, broker pengurus izin IPPK untuk CV Hanura di dalam kawasan HPH Inhutani II menjabat sebagai bendahara daerah partai Golkar, mulai tahun 1993 sampai 1998. Dia juga menjadi anggota panitia pengawas seleksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Barr dkk., 2001). 46 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Para pengusaha ini juga memanfaatkan koneksi dengan masyarakat lokal untuk secara tidak langsung menekan pemerintah kabupaten agar menerbitkan izin. Para pelaku yang hanya didukung pemerintah pusat, seperti Inhutani II dan perusahaan pertambangan Bara Dinamika Mudah Sukses (BDMS), tidak lagi dapat beroperasi dengan aman dan terjamin seperti masa Orde Baru. Posisi tawar mereka jauh melemah, dan untuk beroperasi, kini mereka harus melobi dan memenuhi tuntutan para pelaku tingkat kabupaten, sekalipun tetap tidak menjamin posisi mereka. Misalnya, Inhutani II yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diterbitkan pemerintah pusat, menghentikan operasinya karena bersengketa dengan masyarakat lokal yang didukung DPRD,14 tetapi menyewakan peralatan mereka untuk tujuan lain, seperti IPPK. Lebih jauh lagi, operasi BDMS terganggu oleh demonstrasi warga desa dan pemblokiran jalan. BDMS juga terhambat oleh lobi pemerintah kabupaten yang berhasil mendukung sebuah perusahaan pertambangan batu bara baru yang memperoleh izin pertambangan untuk sebagian dari wilayah yang sebelumnya telah disurvei dan ditargetkan oleh BDMS. Tetapi, Meranti Sakti, pemegang HPH yang sudah beroperasi sebelum desentralisasi, bisa terus beroperasi karena di masa Soeharto perusahaan tersebut memberikan tunjangan kepada masyarakat setempat dan orang-orang yang kini berada di pemerintah kabupaten, sehingga berhasil membangun dukungan di daerah. Selain itu, Meranti Sakti adalah konglomerat asal Kalimantan Timur, yang membuatnya terkait dengan para pembuat keputusan tingkat provinsi, dan berhubungan dengan militer, yang juga memberinya dukungan dari pemerintah pusat. Selain identitas dan/atau para pelaku yang menyediakan sarana untuk aliansi, ada organisasi internasional yang peduli terhadap hutan dan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya hutan, dan terkadang juga partai-partai politik, bisa menjadi sarana untuk membentuk, menyatakan dan menetapkan kerjasama dan aliansi untuk menggalang kekuatan. Organisasi internasional yang patut disebutkan adalah Center for International Forestry Research (CIFOR) dan World Wide Fund for Nature (WWF), yang peduli pada masyarakat dan hutan. Sejak 1996, CIFOR telah melakukan penelitian yang berfokus pada peningkatan kehidupan masyarakat dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Berbagai penelitian CIFOR telah memberikan ‘ruang gerak’ bagi kelompok-kelompok Dayak di Malinau yang tergantung pada sumberdaya hutan (Tsing, 1999). Hal itu memungkinkan masyarakat lokal terhubung dengan keprihatinan global untuk hutan tropis dan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya hutan, serta meningkatkan dukungan internasional atas klaim mereka (Li, 1999). Baik CIFOR maupun WWF terlibat dalam pemetaan wilayah masyarakat desa tradisional, dengan menggunakan bahasa pemerintah, teknologi pemetaan modern dan sistem informasi geografis (GIS) untuk menjadi dasar pengajuan klaim atas tanah leluhur (Harwell, 2000). Meskipun hubungan dengan dua organisasi ini sulit disebut sebagai pengaruh langsung, kenyataan menunjukkan bahwa hubungan itu telah menyediakan sarana bagi warga desa untuk berbicara dan berpikir dengan cara-cara tertentu untuk mengklaim hak-hak tertentu (Eghenter, 2000). Munculnya banyak partai politik di masa pasca Soeharto menambah unsur penting pembentukan identitas, terutama karena partai-partai politik memiliki dan menjanjikan sumberdaya, baik yang simbolis maupun yang nyata. Partai-partai politik dan janji-janji, baik untuk para calon maupun konstituen mereka, telah meningkatkan kemungkinan terbentuknya aliansi baru dan pecahnya aliansi lama. Misalnya, selama rezim Soeharto, suku Kenyah hanya mempunyai satu suara yaitu mendukung partai politik Golkar, sedangkan suara suku Lundaye lebih terpecah. Meski saat itu perolehan suara kurang berpengaruh Politik Budaya Kolaborasi 47 terhadap pemerintahan, perbedaan perolehan suara antara suku Kenyah dan suku Lundaye berakibat sangat berbeda di masa pasca Soeharto. Suku Lundaye lebih diuntungkan dengan munculnya partai-partai politik dalam periode pasca Soeharto karena terbiasa tidak bersuara seragam. Kurva pembelajaran suku Kenyah lebih curam dalam menghadapi perpecahan suara suku, dan masih harus belajar cara ‘membaca’ para politisi suku mereka yang mewakili berbagai partai politik, dan memahami konsekuensi terpecah­nya suara bagi kelompok suku Kenyah secara kolektif. Hal ini dipersulit oleh kenyataan bahwa meskipun konstituen memilih individu tertentu, yang menentukan peringkat dan siapa yang akan duduk di kursi lembaga legislatif adalah partai. Suku Punan mengalami kesulitan besar karena sering kali mereka terdaftar sebagai calon untuk partai politik di urutan peringkat bagian bawah, sehingga pada hakikatnya suara mereka adalah untuk orang lain di partai itu. Pemerintah kabupaten sebagai mikrokosmos ketegangan antar-suku dan pertarungan kekuasaan Bagian ini membahas bagaimana pemerintah kabupaten didirikan dan dikembangkan, dengan menyoroti bahwa proses ini menandakan adanya ketegangan antar-suku yang lebih luas. Selain itu, meski ada pertimbangan kesukuan, pembentukan pemerintahan kabupaten sangat dipengaruhi oleh warisan Orde Baru. Yang paling penting dan menggambarkan pergeseran identitas dan aliansi-aliansi para pelaku di Malinau adalah pembentukan pemerintah kabupaten dan pertarungan kekuasaan di dalamnya. Ketika Kabupaten Malinau dibentuk pada tahun 1999 dari pemekaran Kabupaten Bulungan, Departemen Dalam Negeri mengangkat seorang pegawai negeri yang tinggal di Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur sebagai Bupati Sementara. Kemudian pada tahun 2000 para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten diangkat berdasarkan hasil pemilihan di Kabupaten Bulungan pada tahun 1999 (sebelum pemekaran kabupaten). Pada tahun 2001, anggota DPRD ini memilih Bupati yang sekarang, yaitu Marthin Billa (seorang pegawai negeri sipil karier) dari tiga calon utama. Keputusan itu tampaknya dipengaruhi oleh kelompok-kelompok masyarakat. Marthin Billa didukung oleh kelompok sukunya sendiri, suku Kenyah, yang mempunyai satu suara, sedang dua calon lainnya berasal dari suku Lundaye, yang suaranya terpecah. Selain itu, pasangan Marthin Billa dalam pencalonan itu berasal dari suku Tidung, sehingga suara suku Tidung tidak menentangnya. Ketua DPRD juga mendukung pencalonan Marthin Billa sebagai balas budi kepada suku Kenyah yang telah mendukung pengangkatannya sebagai ketua DPRD. Meskipun tidak ada bukti adanya ‘politik uang’ di dalam pemilihan Bupati Malinau,15 ‘pembelian’ jabatan kepala daerah dengan uang dan bantuan adalah rahasia umum di seluruh negeri ini. Pandangan bahwa seseorang berasal dari dalam ‘daerah’ dan terkait dengan faksi etnis yang berpengaruh berperan penting dalam seleksi anggota DPRD dan pemilihan Bupati. Bahkan batas-batas pemerintahan Kabupaten Malinau, yang tidak logis baik dari perspektif biofisik maupun pemerintahan, dibuat demi menjaga agar tidak ada kelompok suku yang mendominasi kabupaten (Barr dkk., 2001). Batas-batas tersebut memotong Daerah Aliran Sungai, sehingga untuk mencapai ibu kota Malinau dari beberapa tempat dibutuhkan tiga 48 Latar Belakang Teori dan Kontekstual hari perjalanan. Batas-batas itu konon dibuat agar suku Kenyah maupun Lundaye tidak mendominasi kabupaten ini. Sejak terpilih pada tahun 2001, Marthin Billa mengangkat pejabat pemerintahan secara cerdik sehingga terlindung dari tuduhan memihak suku tertentu, seraya memposisikan para sekutu secara strategis. Semua kelompok suku utama tampak terwakili dalam jabatan senior dan berpengaruh di pemerintahan kabupaten: Bupati adalah orang Kenyah; Wakil Bupati orang Tidung; Sekretaris Daerah orang Lundaye; dan Ketua DPRD orang Merap; dengan Wakil Ketua DPRD orang Lundaye. Bupati juga menempatkan sekutunya dalam jabatan politik penting dan sebagai ‘penjaga pintu’ teknis. Misalnya, Asisten Bupati untuk masalah-masalah pembangunan (Asisten II) dan Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan yang melakukan pembelian seperti komputer, kendaraan, dsb. keduanya adalah orang Kenyah. Kedua posisi ini pada dasarnya tidak berpengaruh; tetapi karena kedekatan orangorang ini dengan Bupati dan sifat politik dan pemerintahan yang didasarkan atas hubungan perorangan, kedua posisi itu menjadi penting. Dengan kata lain, meskipun dari peta resmi birokrasi tentang peran dan tanggung jawab berbagai jabatan pemerintahan kabupaten, jabatan ‘penjaga pintu‘ ini tampaknya dikendalikan oleh jabatan yang lebih senior, jaringan patron-klien akan menjaga pemangku jabatan tersebut tetap dalam posisi berpengaruh. Prakarsa pemerintah kabupaten mengonsolidasikan kendali dan kekuasaan: Mendekatkan pemerintahan untuk menjauhkan masyarakat Ada beberapa faktor yang mendorong cara kerja pemerintah. Pertama, para pejabat ‘asli daerah’ yang berpengaruh memperoleh pendidikan pegawai negeri sipil di bawah sistem Orde Baru dan masih sangat menjunjung nilai-nilai Orde Baru dalam ‘pembangunan/ kemajuan’, tanggung jawab ke atas dan hubungan patron-klien. Kedua, pertarungan politik antara kelompok suku di Malinau di dalam pemerintah kabupaten. Kesamaan ‘daerah’ menyamarkan ketegangan perimbangan kekuatan ‘daerah’ yang pada gilirannya menghambat konsolidasi pemerintahan kabupaten. Akhirnya, proses desentralisasi telah disejajarkan dengan pengisian jabatan birokrasi kabupaten. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi mutu hubungan antara pemerintah kabupaten dan konstituen semu mereka. Satu perubahan dramatis setelah desentralisasi adalah diikutsertakannya kelompok etnis lokal (yang umumnya disebut Dayak) sebagai pihak yang berkuasa dalam pemerintahan kabupaten; namun suku Dayak ini, seperti Bupati, memiliki beberapa identitas yang sering kali bertentangan. Misalnya, ketika para pejabat pemerintah ini berbicara di luar lingkup jabatan mereka, pola pikir dan pernyataan mereka tidak berbeda dengan para warga desa (misalnya, bahwa perladangan gilir-balik adalah sesuai untuk daerah itu); namun begitu mengenakan seragam, mereka berubah menjadi birokrat yang sangat dipengaruhi konsep rezim Soeharto tentang ‘pembangunan’. Lagipula, afiliasi suku sama sekali tidak menjamin bahwa para pejabat pemerintah dan perwakilannya bertanggung-jawab terhadap para konstituen mereka. Prinsip dasar pemerintah kabupaten adalah ‘pembangunan dan pertumbuhan ekonomi’ (baca modernitas). Jika diamati visi pemerintah kabupaten tentang ‘pembangunan’ dan Politik Budaya Kolaborasi 49 ‘pertumbuhan’ jelas terlihat kesamaannya dengan Orde Baru yaitu infrastruktur (jalan, jembatan, dan bangunan), pembangunan perkebunan (kelapa sawit) dan proyek-proyek yang penuh dengan peluang keuntungan pribadi bagi para pejabat pemerintah dan kontraktornya. Misalnya, jalan yang dibangun menuju suatu daerah terpencil di kabupaten yang dikatakan untuk menghubungkan warga desa dengan jaringan jalan, namun sulitnya topografi telah menjadikannya tidak logis karena kecilnya jumlah penduduk dan potensi produksi yang diangkut dari daerah terpencil ke Malinau Kota tidak akan bisa menutup biaya pembuatan jalan dan perawatannya.16 Bila pun jalan tetap akan dibangun, tanggung jawab dan biaya pemeliharaan belum disiapkan, yang semakin memperkuat anggapan bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk mengambil kayu. Prakarsa pemerintah kabupaten dalam ‘membangun’ kabupaten dan masyarakat tampak seolah-olah meningkatkan efisiensi layanan dan pemerintahan; namun sangat mirip dengan upaya Orde Baru dalam mengendalikan dan mengawasi warganya melalui standarisasi desa. Contohnya, dalam melaksanakan prakarsa Menteri Dalam Negeri untuk memperbaiki kemandirian dan ekonomi setiap desa di kabupaten, agar memenuhi jumlah populasi minimum sebuah desa, pemerintah daerah menggabungkan desa-desa yang berpenduduk kurang dari minimum, mensurvei ‘potensi’ ekonomi masing-masing desa, dan membentuk kelembagaan untuk mengoordinasikan dan mengatur pembangunan.17 Dari satu perspektif, prakarsa ini dapat dipandang sebagai upaya pemerintah kabupaten untuk bisa lebih melayani konstituennya; tetapi mengingat masih kentalnya warisan Orde Baru, ada kemungkinan prakarsa ini juga merupakan sarana untuk lebih mengatur dan mengendalikan pergerakan dan perilaku warga desa. Antara lain, setiap desa diharuskan mempunyai Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang akan bertanggung-jawab atas prakarsa pembangunan desa, tetapi lembaga itu harus menggalang dana dan gajinya sendiri dengan sesedikit mungkin, atau tanpa, bantuan dari pemerintah kabupaten. Sedikit banyak, ini adalah cara pemerintah kabupaten untuk mengelak dari fungsi dan tanggung jawabnya. Untungnya atau sayangnya, hingga kini, prakarsa ini belum diberlakukan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten. Perwujudan lain dari lebih dalamnya keterlibatan negara dalam kehidupan warga desa adalah pembagian kabupaten menjadi lebih banyak kecamatan, juga dengan tujuan untuk memperbaiki layanan pemerintah dan administrasi serta meredam konflik. Tetapi hingga kini wewenang Camat dan stafnya sangat terbatas, serta perlu diingat bahwa Camat diangkat oleh Bupati sehingga harus bertanggung-jawab ke atas. Jadi, membuat kecamatan baru dan birokrasi yang menyertainya bisa berdampak mempersulit dan menjauhkan warga desa untuk mempengaruhi dan mengakses para pembuat keputusan, namun bisa memberi kesan kedekatan dan adanya dukungan. Bagian penting dari kesulitan dan jarak ini adalah ‘penebalan’ birokrasi yang harus ditembus warga desa. Ketika kabupaten baru dibentuk dan desentralisasi dilaksanakan, warga desa menyatakan persetujuannya karena merasa akan bisa mempunyai akses langsung ke para pembuat keputusan (misalnya Bupati). Tetapi setelah pemerintah kabupaten mengisi birokrasi dan membentuk lebih banyak kecamatan, warga diharuskan mengikuti protokol. Artinya, mereka harus membawa lebih dulu masalah dan keluhannya ke pejabat di tingkatan lebih rendah dengan kewenangan memutuskan terbatas, yaitu para pejabat kecamatan, yang akan berusaha memecahkan masalah itu atau membawanya ke atasannya. Jadi, dengan mendekatkan negara ke warga, akibatnya malah bisa menciptakan jarak di antara negara dan warga melalui penambahan lapisan birokrasi, sedangkan pemerintah bisa lebih mengawasi dan mengatur warganya. 50 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Hubungan warga desa dengan pemerintah kabupaten: Akses dan akuntabilitas diletakkan pada jaringan patronasi Sebelum desentralisasi dan bahkan sampai sekarang, hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat dapat dicirikan sebagai hubungan patron-klien, tanpa mekanisme kelembagaan yang berfungsi formal dalam hal pertanggungjawaban dan transparansi ke bawah. Selain itu, rezim otoriter Soeharto berhasil mengerdilkan partisipasi rakyat Indonesia dalam proses politik. Akibatnya, desentralisasi dan pengalihan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten berlangsung dalam konteks di mana para pejabat pemerintah kabupaten kurang siap, kelompok masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan masih lemah dan kurang berpengalaman dalam proses politik demokrasi partisipatif. Warga desa sendiri memandang hubungan mereka dengan pemerintah kabupaten sebagai patron-klien. Misalnya, beberapa warga menyatakan sering membawa daging atau hasil hutan kepada para pejabat pemerintah untuk memudahkan membuat janji temu dengan para pejabat itu. Hubungan patron-klien ini tertanam dalam beberapa struktur sosial penting. Pertama, ideologi Orde Baru bahwa pemerintah ‘membimbing’ atau ‘membina’, dan mengarahkan warga desa menuju ‘kemajuan’ dan ‘modernitas’ masih kuat berakar, sehingga belum terbiasa pada gagasan bahwa warga desa mungkin lebih tahu apa kebutuhan mereka. Selain itu, pemerintah juga berkepentingan untuk mempertahankan hubungan dan ideologi ini karena ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ biasanya disertai proyek-proyek skala besar yang tidak hanya membuka peluang keuntungan pribadi tetapi juga lebih mudah dikendalikan dan dengan biaya transaksi lebih rendah. Kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sejarah hubungan di antara kelompok suku (antara suku Dayak dengan non-Dayak, dan di antara suku Dayak itu sendiri) menjadi faktor sangat penting dalam memperoleh akses ke pejabat pemerintah. Warga desa sering mendekati pejabat pemerintah berdasarkan ikatan suku; ungkapan yang sering terdengar di antara warga desa adalah ‘mereka orang kita’. Jadi, suku Punan, yang nyaris tidak terwakili dalam pemerintah kabupaten, paling sulit mendapatkan izin bertemu pejabat pemerintah. Salah satu kepala desa Punan memang menyatakan bahwa kendala terbesar penanggulangan kemiskinan suku Punan adalah tidak terwakilinya suku Punan di DPRD kabupaten. Ketiga, struktur sosial internal desa tradisional, seperti para tetua, bangsawan, dan hubungan kekeluargaan berperan penting dalam pembuatan keputusan, penyelesaian sengketa, dan pendekatan ke pejabat pemerintah. Misalnya, di sebagian besar desa Kenyah di DAS Malinau, pemerintah desa didominasi oleh paren, atau para keturunan ningrat. Mungkin begitu juga dengan suku Merap, Punan, dan sedikit banyak Lundaye (lihat Rousseau, 1995, Sellato, 2001, dan Kaskija, 2002, tentang hierarki kelompok-kelompok ini). Selain itu, suku Punan, yang secara historis adalah klien dari para petani ladang, masih tetap sangat bergantung pada kelompok-kelompok itu yang kini menjadi pejabat penting dalam pemerintahan setempat. Lebih jauh lagi, para pejabat pemerintah memandang pemerintah lokal ini secara struktur tradisional. Hubungan antara kepala desa, camat dan bupati, misalnya, digambarkan seperti hubungan anak, bapak dan kakek. Lembaga-lembaga di atas saling melapis dalam membentuk pemahaman penduduk desa tentang cara mengakses pejabat dan layanan yang seharusnya diberikan pemerintah, dan sebaliknya bagaimana pejabat pemerintah memandang warga desa. Peran pemerintah Politik Budaya Kolaborasi 51 kabupaten dalam kerangka pemerintah yang lebih luas di Indonesia adalah tidak jelas, dan hak serta tanggung jawab pemerintah kabupaten terhadap warga desa – konstituen semunya – masih rancu. Oleh karena itu salah satu cara warga desa mencari dukungan di masa pasca Orde Baru adalah protes atau demonstrasi, agar pemerintah lebih bertanggungjawab. Protes dan demonstrasi adalah hal yang umum di Indonesia, dan di Malinau, seperti juga di tempat lain, terkadang dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk menuntut kompensasi tunai berdasarkan klaim curang (lihat Bab 10, dalam pembahasan mengenai konflik). Para pejabat pemerintah kabupaten pada umumnya memandang hubungan dengan warga desa sebagai hubungan timbal balik, sebagai ‘bapak’ warga desa. Namun para pejabat pemerintah kabupaten pada umumnya tidak tahu, tidak ingin tahu dan/atau tidak mau tahu kehendak dan aspirasi warga desa. Mereka jarang, kalaupun pernah, meminta input dari warga desa.18 Selain itu, mereka cenderung menganggap warga desa bodoh dan tidak mampu membuat keputusan yang ‘pintar’. Hal ini tercermin pada penolakan para pejabat untuk membagikan buku-buku pengetahuan hukum kepada warga desa karena warga akan ‘salah memahami’ atau ‘salah menafsirkan’ isinya.19 Para pejabat pemerintah merasa lebih pintar daripada warga desa dan lebih tahu apa yang terbaik bagi warga desa, terutama karena mereka berasal dari daerah itu. Bagi beberapa pejabat pemerintah, persepsi ini berdasarkan pada kenyataan bahwa mereka berkuasa, yang berarti warga desa mempercayakan nasibnya pada mereka, maka warga desa tidak perlu memberi input kepada pemerintah. Alasan lain mengapa para pejabat pemerintah jarang bertemu dengan warga desa, adalah untuk menghindari keluhan dan tuntutan mereka, yang memang menjadi lebih sering dan agresif setelah desentralisasi. Sikap pemerintah kabupaten terhadap warga desa melekat dalam struktur kelembagaan yang tidak menghargai tanggung jawab ke bawah. Para pejabat kabupaten juga kurang berpengalaman dengan mekanisme ini maupun dengan proses demokrasi lainnya. Pengalaman mereka sebagai pegawai negeri di masa rezim Soeharto adalah bagaimana bertanggung-jawab ke atas. Struktur kepemerintahan kabupaten tidak banyak berubah dengan transisi semu menuju desentralisasi. Kesimpulan Adanya legitimasi di tingkat kabupaten dan desa menjadi sangat penting untuk menciptakan, mengakses dan mengonsolidasikan kekuasaan atas sumberdaya alam. Sarana utama pewujudan legitimasi ini adalah dengan mengidentifikasi dan menyatakan kesepemahaman atas landasan dan tujuan bersama dan juga terhadap perbedaan. Jadi, di Malinau, seperti di daerah lainnya, istilah ‘pemangku kepentingan’ mungkin kurang bermakna, dan lebih perlu memahami ‘identitas penting’. Pada dasarnya, aliansi di Malinau dan posisi-tawar yang menyertainya bergantung pada batasan sosial masyarakat sebagai ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’. Para pelaku di tingkat kabupaten memang berusaha untuk menaikkan posisi mereka dan bertindak strategis dengan menciptakan hubungan baru, atau melalui hubungan lama dengan para pelaku lainnya di tingkat desa dan kabupaten. Kendati desentralisasi telah menciptakan peluang agar suara masyarakat lokal didengar oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya, namun konflik internal maupun antar-masyarakat, baik masalah lama maupun yang baru, jauh lebih terbuka dan lebih banyak karena terbukanya peluang oleh desentralisasi. Kebanyakan konflik ini berakar 52 Latar Belakang Teori dan Kontekstual pada kesukuan, yang memang lebih penting dan lebih politis dalam mengatur status dan posisi warga desa saat berhubungan dengan pihak lain. Selain itu, organisasi-organisasi internasional yang peduli terhadap hutan dan kehidupan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya hutan dan partai-partai politik terkadang juga bisa menjadi sarana yang berguna dalam membentuk, menyatakan dan menetapkan kerja sama dan aliansi untuk menaikkan kekuasaan atas sumberdaya, secara simbolis maupun nyata. Bersama dengan pembentukan aliansi dan identitas ini, pemerintah kabupaten berusaha untuk mengkonsolidasikan kendali dan kekuasaan, menjaga jarak dari tuntutan masyarakat dengan lebih mendekatkan birokrasi kepada warga; tetapi juga harus menghadapi ketegangan antar-suku di dalam tubuh pemerintahan. Para pejabat kabupaten yang berpengaruh, meskipun asli daerah, sudah terdidik sebagai pegawai negeri dalam sistem Orde Baru dan masih sangat menganut nilai-nilai Orde Baru tentang ‘pembangunan/ kemajuan’, pertanggungjawaban ke atas, dan hubungan patron-klien. Pertarungan politik antar suku di Malinau terjadi di dalam pemerintah kabupaten, persatuan kedaerahan bisa menyelimuti ketegangan dan rentannya keseimbangan yang menghambat konsolidasi di tingkat pemerintah kabupaten. Terakhir, birokrasi pemerintah kabupaten telah tumbuh dan menyebar bersama dengan proses desentralisasi. Hubungan patron-klien masih memainkan peran penting, terutama dari perspektif warga desa dalam hubungan mereka dengan pemerintah. Sampai sekarang, hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat masih dapat dicirikan sebagai hubungan patronklien, tanpa mekanisme kelembagaan yang berfungsi formal dalam pertanggungjawaban dan transparansi ke bawah. Selain itu, rezim otoriter Soeharto berhasil mengerdilkan pentingnya partisipasi rakyat Indonesia dalam proses politik. Jadi, desentralisasi dan pengalihan wewenang ke pemerintah kabupaten setelah desentralisasi berlangsung dalam konteks di mana para pejabat pemerintah kabupaten kurang siap, kelompok masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan masih lemah dan kurang berpengalaman dalam proses politik demokrasi partisipatif. Catatan 1 Menurut Li (2002, hal.417): … untuk mempertemukan proyek-proyek yang dituntut warga pedesaan dengan kendala dan peluang yang ada, dibutuhkan konsep yang kokoh mengenai pelaku, seperti ekonomi politik berorientasi budaya yang dikembangkan oleh William Roseberry. Roseberry (1989) menyatakan bahwa ekonomisme, analisa hubungan produksi formal saja, baik internal desa maupun antara produsen di pedesaan dengan formasi sosial yang lebih besar, adalah kurang memadai untuk memahami perubahan agraria. Konsep itu harus diperdalam dengan mengeksplorasi manusia pelakunya, yang dapat dipahami secara historis sebagai produk tekanan transnasional, proses regional pembentukan kelas, dan konstelasi kekuasaan lokal. Secara ekonomi, pelaku terwujud dalam strategi pencaharian dan sasaran mereka. Secara politis, pelaku dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk militansi (atau kepasifan) yang dilakukan pada saat tertentu. Secara budaya, hal itu terasa dalam bagaimana dan mengapa mereka melakukan suatu hal, dan kerangka kerja di mana di dalamnya mereka menyatakan hak dan membuat klaim. 2 Politik Budaya Kolaborasi 53 Perdagangan HHNK dengan Cina tercatat dalam arsip Cina sekitar 1000 M (Sellato, 2001). 3 Damar adalah getah dari pohon keluarga Dipterocarpaceae dan ‘digunakan untuk membuat korek api, pernis, dan terpentin’ (Peluso, 1983). 4 Ada perbedaan pendapat mengenai sejauh mana dan sifat keterlibatan Belanda di pedalaman. Whittier (1973, hal. 38) menyatakan bahwa di Apau Kayan, Belanda ‘kurang keras dalam merubah gaya hidup suku Kenyah, kecuali untuk pengayauan dan peperangan.’ Sellato (2001) mempunyai pendapat yang sama tentang suku Merap di Malinau, dan kurang menekankan pengaruh pengayauan dan peperangan serta perbudakan. Menurut King (1993, hal. 158-159), penghapusan itu mengakibatkan kekuasaan dan pengaruh beralih ke Belanda dari para pemimpin daerah asli yang mencari ‘cara-cara lain dalam kemajuan dan kepemimpinan’. 5 Rousseau (1990, hal.198) menyatakan bahwa ‘undang-undang kolonial menyebabkan stabilisasi kepemimpinan dengan mengendalikan jabatan-jabatan politis’. 6 Pemerintah tidak memaksa secara langsung masyarakat di dataran tinggi untuk bermukim kembali di daerah ini. Warga desa sendiri yang berinisiatif untuk pindah, sedangkan dalam kasus lain, pemerintah sangat mendorong pemukiman kembali. 7 Kaskija (2002) menyatakan bahwa hal ini bukan pindah-tangan kepemilikan, tetapi lebih merupakan pemberian hak pakai. Terlepas dari hal itu, semua kelompok yang pindah ke hulu dan hilir Malinau mengakui kepemilikan wilayah Merap dan meminta tanah dari mereka. 8 Masing-masing identitas ini adalah bagian dari dikotomi yang membentuk dan memelihara batas antara ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’; putra daerah versus orang luar; asli versus pendatang; setempat versus dari tempat lain; dan pemerintah kabupaten versus pemerintah pusat. 9 Kita harus mencatat di sini bahwa suku Merap itu sendiri datang ke DAS Malinau sekitar 120 tahun lalu; maka klaim mereka berdasarkan sejarah adalah relatif (Sellato, 2001). 10 Kasus Tidung adalah pelajaran dalam kaitannya dengan seringnya terjadi klaim berdasarkan sejarah ‘yang disalahgunakan’ dan sifat klaim ini yang kental dengan persaingan. Meskipun mengakui klaim gua-gua sarang burung, dokumen-dokumen Belanda itu sama sekali tidak menyebutkan klaim atas hutan sekitarnya, sesuai dengan pola saat itu yang tidak menunjuk batas dengan tepat dalam kaitannya dengan klaim lokal karena tanah yang ada luas sekali dan komoditas tertentu merupakan sumberdaya langka. Saat itu tidak ada batas wilayah yang ‘tegas’ dan ‘pasti’ bagi masyarakat setempat. Masalah tidak adanya batas pasti, kini muncul ketika para pemilik gua sarang burung ditanya tentang sampai sejauh mana klaim mereka atas wilayah hutan di sekitar gua-gua itu. Beberapa pemilik, dengan seenaknya menyatakan bahwa luasnya sampai sejauh suara gong yang dipukul dari gua dapat didengar. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar gong yang dipukul dan seberapa keras gong itu dipukul. Para pemilik tersebut kesulitan menjawab pertanyaanpertanyaan ini. 11 Suku Punan tiba di suku Daerah Aliran Sungai Malinau mungkin sebelum atau bersama dengan suku Merap (lihat Kaskija, 2002). 12 Karena dilahirkan di desa Naha Kramo, sekarang bagian dari Malinau, maka hal itu juga memperkuat ‘keaslian’-nya. 13 Pengamatan kami menunjukkan bahwa istilah putra daerah mencakup aspek-aspek tempat lahir, silsilah, tempat tinggal untuk waktu yang lama dan pengakuan orang lain sebagai putra daerah. Misalnya, sekretaris daerah Malinau berasal dari Krayan dan keluarganya juga berasal dari daerah itu; tetapi karena masyarakat di desa-desa di Malinau – Tanjung Lapang, Pulau Sapi dan Sempayang – mendukung dia sebagai putra daerah, maka dia diterima sebagai Sekretaris Daerah. Sebaliknya, ada orang yang juga berasal dari Krayan 54 Latar Belakang Teori dan Kontekstual tetapi tidak diterima oleh masyarakat Lundaye di Malinau, maka dia ditolak untuk menduduki jabatan Ketua BAPPEDA. 14 Anggota DPRD dan para pejabat pemerintah lokal mempunyai lebih banyak peluang penghasilan dan keuntungan pribadi dengan IPPK daripada dengan HPH. Dalam kasus Inhutani II, perusahaan kayu milik negara ini memegang konsesi yang sebagian besar tumpang-tindih dengan wilayah klaim ayah ketua DPRD, yang juga Kepala Adat Besar. 15 Seorang anggota lembaga legislatif ditawari uang untuk memilih calon tertentu (R. Iwan, komunikasi pribadi, 2003). 16 Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jumlah individu dan potensi produk yang diangkut antara Malinau Kota dan daerah-daerah terpencil itu tidak membenarkan biaya pembangunan dan perawatan jalan. Rute yang dipilih juga melalui daerah-daerah yang mempunyai kayu bernilai tinggi dan berhenti di tengah jalan karena hambatan topografi. 17 Perubahan pemerintahan dan undang-undang ini terjadi karena disahkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun UU tidak menetapkan bahwa struktur desa di seluruh negeri harus seragam, dan seharusnya ditetapkan berdasarkan kondisi setempat, para pejabat pemerintah daerah jarang melaksanakannya karena kurang berpengalaman dan tidak pernah dilatih untuk melakukannya. Meskipun sebenarnya UU ini dan peraturan-peraturan lainnya tampak progresif dan partisipatif, namun dalam kenyataannya tidak demikian, karena kurangnya peraturan pelaksanaan, pelatihan staf pemerintah dan dukungan dana. Lihat Antlöv (2003) untuk analisa lengkap mengenai peluang dan kendala demokratisasi politik tingkat desa dengan disahkannya UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah. 18 Dalam pemilihan tingkat kabupaten yang lalu, warga memilih partai politik dan bukan calon. Partai yang menang kemudian memutuskan siapa yang mengisi posisi yang dimenangkan partai. Warga desa memilih lembaga legislatif kabupaten, yang kemudian memilih Bupati untuk disetujui oleh pemerintah pusat. Sistem ini tidak kondusif untuk pertanggungjawaban ke bawah. Sistem itu diubah pada tahun 2004 menjadi memilih calon langsung, bukan partai. 19 ‘Salah memahami’ dan ‘salah menafsirkan’ diartikan sebagai warga desa tidak menafsirkan undang-undang seperti yang diinginkan oleh pemerintah kabupaten. Contoh keengganan pemerintah menyebarkan literatur pengetahuan hukum terkait dengan laporan singkat yang memberi informasi tentang masalah hukum tertentu. CIFOR telah membuat rancangan laporan singkat ini dan meminta masukan dari pemerintah kabupaten, lalu hendak disebarkan bagi warga desa setelah dikoreksi berdasarkan komentar dari pemerintah kabupaten. Rujukan Antlöv, H., 2003. Village government and rural development in Indonesia: The new democratic framework, Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol 39, no 2, hal.193–214. Barber, C., Johnson, N. C. dan Hafild, E., 1994. Breaking Through the Logjam: Obstacles to Forest Policy Reform in Indonesia and the United States, World Resources Institute, Washington, DC. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan, Studi kasus mengenai desentralisasi dan hutan di Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Politik Budaya Kolaborasi 55 Eghenter, C., 2000. Memetakan Hutan Rakyat: Peran Pemetaan Partisipatif Dalam Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat, Biodiversity Support Program, Washington, DC. Harwell, E., 2000. Remote sensibilities: Discourses of technology and the making of Indonesias natural disaster, Development and Change, vol 31, no 1, hal.307–340. Kaskija, L., 1999. Stuck at the Bottom: Opportunity Structures and Punan Malinau Identity, CIFOR, Bogor, Indonesia. Kaskija, L., 2002. Claiming the Forest: Punan Local Histories and Recent Developments in Bulungan, East Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia. King, V. T., 1993. The Peoples of Borneo, Peoples of South-East Asia and the Pacific, Blackwell Publishers, Oxford. Li, T. M., 1999. Compromising power: Development, culture and rule in Indonesia, Cultural Anthropology, vol 14, no 3, hal. 295–322. Li, T. M., 2002. Local histories, global markets: Cocoa and class in upland Sulawesi, Development and Change, vol 33, no 3, hal. 415–437. Lynch, O. J. dan Talbott, K., 1995. Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pacific, World Resources Institute, Washington, DC. Peet, R. dan Watts, M., 1996. Liberation ecology: Development, sustainability, and environment in an age of market triumphalism, dalam Peet, R. dan Watts, M. (penyunting), Liberation Ecologies: Environment, Development, Social Movements, Routledge, London. Peluso, N. L., 1983. Markets and Merchants: The Forest Product Trade of East Kalimantan in Historical Perspective, MA thesis, Cornell University, Ithaca, NY. Poffenberger, M. (penyunting), 1990. Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia, Kumarian Press, Hartford. Roseberry, W., 1989. Anthropologies and Histories: Essays in Culture, History, and Political Economy, Rutgers University Press, New Brunswick and London. Rousseau, J., 1990. Central Borneo: Ethnic Identity and Social Life in a Stratified Society, Clarendon Press, Oxford. Sellato, B., 1994. Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down, University of Hawaii Press, Honolulu, HI. Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia. Tsing, A., 1999. Becoming a tribal elder, and other green development fantasies, dalam Li, T. M. (penyunting) Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production, Harwood Academic Publishers, London. Warren, J. F., 1981. The Sulu Zone, 1768–1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State, Singapore University Press, Kent Ridge. Whittier, H. L., 1973. Social Organization and Symbols of Social Differentiation: An Ethnographic Study of the Kenyah Dayak of East Kalimantan (Borneo), PhD thesis, Michigan State University, East Lansing. 4 Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan: Sebuah perspektif lokal Douglas Sheil, Miriam van Heist, Nining Liswanti, Imam Basuki, Meilinda Wan, dibantu oleh masyarakat dari Paya Seturan, Long Lake, Punan Rian, Langap, Laban Nyarit, Long Jalan, Liu Mutai dan Gong Solok Perlunya upaya konservasi di Kalimantan Masyarakat di seluruh dunia memprihatinkan hilangnya hutan di Kalimantan beserta isinya yaitu berbagai spesies unik satwa dan tumbuhan. Hutan hujan tropis itu secara global sangat penting bagi berlimpahnya jenis dan endemisme (spesies yang tidak ada di tempat lain) (Whitmore, 1986). Beberapa kajian global mutakhir memperkirakan hutan Kalimantan menyimpan lebih banyak spesies tumbuhan dibanding­kan kawasan lain (Kier dkk, 2005). Meskipun dengan terbatasnya data di kebanyakan kawasan Kalimantan, setidaknya terdapat 37 spesies burung, 44 mamalia darat dan lebih dari sepertiga dari perkiraan seluruh tumbuhan sebanyak 10,000 sampai 15,000 spesies hanya terdapat di pulau ini (MacKinnon dkk, 1996). Dengan semakin banyaknya kawasan hutan yang rusak dan bahkan hilang, semakin besar pula ancaman bagi spesies-spesies tersebut. Sampai saat ini eksplorasi biologi di Malinau masih sedikit, seperti kebanyakan wilayah Kalimantan Timur lainnya. Para konservasionis menduga lansekap perbukitan berhutan di dekat Taman Nasional Kayan Mentarang (Sorensen dan Morris, 1997; Wulffraat dan Samsu, 2000) juga memiliki nilai konservasi biologi yang tinggi – kaya dengan berbagai populasi spesies yang statusnya terancam di tempat lain,1 seperti Beruang madu (Ursus malayanus) dan macan dahan (Neofelis nebulosa). Namun informasi dari luar kawasan 58 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Taman Nasional relatif jarang dan terlokalisasi (Puri, 1998, 2001; Fimbel dan O’Brien, 1999; Gomez Gonzalez, 1999). Daerah Malinau merupakan bagian dari ekosistem hutan yang relatif masih utuh bagi banyak spesies Kalimantan. Meskipun berpenduduk, populasi di kawasan ini umumnya kecil dan tersebar (kepadatan kurang dari 1 orang per kilometer persegi). Hutan primer mendominasi lansekapnya, dengan beberapa bekas peladangan gilir-balik dan pertumbuhan sekunder. Sama seperti daerah lainnya di Kalimantan, lansekap di Malinau mengalami perubahan sangat cepat. Hal ini sangat mempengaruhi nilai daerah ini bagi masyarakat lokal dan para konservasionis dunia. Pandangan para konservasionis, pembalak, dan pemodal perkebunan kelapa sawit sudah banyak diketahui, namun pendapat dan keinginan masyarakat lokal yang seringkali terlewatkan. Tulisan ini akan mengulas hal-hal tersebut. Pelimpahan wewenang ke tingkat kabupaten telah memperbesar kendali pemerintah lokal atas tata guna lahan, dan kondisi lokal pun berubah seketika (Barr dkk, 2001; Sheil dkk, 2006). ‘Malu’ yang berasal dari prasangka umum tentang ‘primitif ’-nya kehidupan masyarakat hutan masih menghambat komunikasi dalam topik-topik semacam ini (Sheil dkk, 2006). Dengan berkembangnya demokrasi lokal, terbukalah peluang baru cara mengendalikan dan mengelola lahan dan sumberdaya. Namun pola pikir yang ada mungkin tidak bisa mengikuti perubahan – contohnya, perencanaan tataguna lahan masih belum berupa proses konsultatif yang efektif. Tidak hanya para politisi dan pegawai pemerintah saja, semua pihak yang terlibat dalam kebijakan konservasi perlu didorong untuk lebih berkonsultasi dengan masyarakat lokal. Perlunya menggali persepsi masyarakat lokal Adakah cara agar upaya konservasi bisa memberi manfaat, bukannya hambatan bagi warga Malinau? Bagaimana caranya dan apa yang perlu kita ketahui serta lakukan? Yang diperlukan adalah pemahaman terhadap kebutuhan lokal serta dasar-dasar ekologi konservasi, dan cara-cara agar hal itu bisa lebih mempengaruhi pembuatan kebijakan yang berdampak pada kehidupan masyarakat Malinau dan hutannya yang kaya dengan keragaman hayati. Mengungkap jasa-jasa dan manfaat yang ada dalam lansekap tropis, serta analisa biaya lokal yang disebabkan kesalahan kebijakan ataupun strategi manajemen merupakan awalan penting untuk memunculkan pilihan yang lebih berwawasan. Mengungkapkan keinginan lokal akan membuatnya lebih sulit diabaikan. Prinsip yang melandasi upaya kami adalah keyakinan bahwa hasil konservasi tidak hanya berasal dari luasnya wilayah lindung, ataupun hanya bagi kaum konservasionis profesional saja; namun keanekaragaman hayati perlu dijaga di kawasan peruntukan lain. Hal itu menuntut kerjasama masyarakat lokal dan pengusaha kayu serta para pemangku kepentingan lainnya yang juga mencerminkan ragam persepsi serta pilihan mereka. Bab ini mengulas persepsi masyarakat lokal atas keanekaragaman hayati dan pendekatan penelitian kami yang memberikan struktur kerangka kerja membangun pemahaman bersama sebagai landasan kegiatan. Pemahaman bersama itu akan mendorong diskusi lebih mendalam di antara para praktisi pembangunan, pembuat kebijakan maupun masyarakat kehutanan. Sasaran utamanya adalah kebijakan yang lebih berwawasan tentang tataguna lahan, untuk meningkatkan konservasi hutan dan melindungi kepentingan masyarakat lokal, serta menyiapkan penggunaan dan konservasi hutan tropis secara lebih bijaksana. Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 59 Penelitian ini mencatat lansekap dan keanekaragaman hayati di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau untuk menjelaskan kebutuhan dan prioritas masyarakat lokal. Penelitian ini terdiri dari tiga komponen: 1 mengenali spesies, habitat dan lokasi khusus apa, terdapat di mana; 2 mengenali siapa penggunanya dan seberapa dibutuhkannya; serta 3 mengenali cara mempertahankan nilai tersebut di masa depan. Setelah dirangkum, ketiga elemen tersebut menjelaskan berbagai prioritas lokal tentang keanekaragaman hayati dan implikasinya yang lebih luas. Kami mengamati tujuh kelompok suku Merap dan Punan (lihat Tabel 4.1); yang mewakili perbedaan budaya di DAS Malinau. Perbedaan paling mencolok di antara kedua kelompok itu adalah adanya penguatan sejarah atas kebiasaan suku Merap di bidang perladangan, sementara suku Punan yang semi-nomadik lebih sebagai pemburu dan pengumpul. Secara politik suku Merap lebih aktif, sedangkan suku Punan kurang menonjol. Pada beberapa dekade ini pemerintah berusaha memukimkan suku Punan dengan mendorong kegiatan pertanian mereka. Pertemuan pendahuluan dengan setiap komunitas dilakukan bersama seluruh anggota tim, namun pada sebagian besar kegiatan para peneliti dibagi dalam dua kelompok. Tim desa, didampingi beberapa asisten lokal, melaksanakan pertemuan komunitas untuk melakukan diskusi kelompok, survei rumah-tangga dan wawancara. Mereka mengumpulkan berbagai informasi tentang penilaian, kebutuhan, budaya, kelembagaan dan aspirasi komunitas lokal, serta mengamati pengetahuan dan persepsi serta keterkaitan warga dengan lansekap. Beberapa informan kunci dilibatkan untuk mengidentifikasi dan menunjukkan hasil-hasil dan satuan luasan hutan lokal. Tabel 4.1 Survei pengukuran persepsi masyarakat tentang keanekaragaman hayati Masyarakat Gong Solok I Wilayah adat (km2)b 324 Jumlah Kepala Keluarga/KK 44 Jumlah penduduk Etnis utamad 208 Merap Paya Seturana 22c 13 116 Merap Punan Riana 22c 9 39 Punan Langap 469 99 415 Merap Laban Nyarit 256 29 138 Merap dan Punan Liu Mutai 370 11 53 Punan Long Jalan 748 31 114 Punan Catatan: a Kedua komunitas ini diteliti paling awal. Karena adanya perbaikan metodologi, tidak semua data yang diperoleh bisa dibandingkan dengan hasil penelitian selanjutnya. b Ini adalah angka perkiraan tidak resmi, beberapa batas wilayah masih dalam sengketa. c Kawasan ini dipakai bersama oleh suku Paya Seturan dan Punan Rian, meskipun sebenarnya menggunakan kawasan lebih luas (lahan klaim kelompok Langap jarang mereka kunjungi) d Secara umum, dilakukan berbagai upaya untuk tetap membedakan identitas etnis pada pengumpulan data, meskipun terkadang hal ini sulit dilaksanakan, misalnya pada pertemuan komunitas. Sumber: Survei CIFOR yang dilaksanakan pada tahun 1999 dan 2000 (cifor.cgiar.org/mla) 60 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Tabel 4.2 Kategori-guna yang digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat kepentingan lansekap Kategori Penjelasan (berdasarkan uji coba) Pangan Makanan utama dan sekunder, termasuk untuk masa paceklik Obat Berkaitan dengan pengobatan dan kesehatan Konstruksi ringan Tiang dan kayu untuk pondok, kemah dan pagar Konstruksi berat Tiang dan kayu untuk rumah tinggal Konstruksi perahu Kayu untuk perahu (tidak termasuk dayung dan galah) Peralatan Bagian tumbuhan untuk peralatan bertani, berburu, berperahu, termasuk sumpit, tombak, dayung, galah, penumbuk gabah, dan gagang peralatan Kayu bakar Bahan bakar Keranjang/anyaman Tali, anyaman tikar, dan lain-lain. Ornamen/upacara Upacara, pakaian, perhiasan Barang dagangan Hasil-hasil hutan yang dijual atau dipertukarkan Peralatan berburu Racun, umpan, dan perekat untuk menangkap satwa Tempat berburu Tumbuhan sebagai pemikat satwa berharga tinggi yang secara tidak langsung meningkatkan nilai lokasi perburuan. Rekreasi, mainan dan peralatan bermain Kawasan atau hasil hutan yang dimanfaatkan untuk kesenangan dan tempat bermain Masa depan Umum (tidak dijelaskan secara rinci) Lainnya Kolom ini untuk manfaat lain yang belum terkategorikan (responden bisa menambahkan hal-hal yang sebelumnya terabaikan) (hal-hal yang tidak tergolong dalam kategori 1 sampai 14) Sumber: Sheil dkk, 2002 Pemberian skor, dikenal sebagai Pebble Distribution Methods (PDM), digunakan untuk mengkuantifikasi nilai penting berbagai produk dan satuan lansekap. Pengkategorian dalam PDM ini, dan juga dalam penilaian penggunaan tumbuhan maupun lokasi lapangan, disajikan di Tabel 4.2. Pengkategorian ini merupakan karya bersama para peneliti dengan dua komunitas yang diteliti paling awal, dan terbukti bisa diterima dan diterapkan di semua komunitas lainnya. Untuk selanjutnya di bab ini kami akan merujuk nilai-nilai ini sebagai ‘kategori-guna’. Pemberian penilaian dilakukan untuk mengukur nilai kepentingan relatif berbagai unit lansekap (lahan dan jenis hutan) dan penggunaan khususnya. Tiap komunitas diwakili oleh empat sub kelompok berdasarkan usia; kecuali di desa campuran etnis Laban Nyarit, pengelompokannya menjadi Merap dan Punan, laki-laki dan perempuan, tidak berdasarkan usia. Penilaian didasarkan pada persepsi ‘tingkat penting relatif secara umum’ yang dinyatakan melalui pembagian 100 biji penghitung (manik-manik, kancing baju, biji jagung atau korek api). Pengukuran ini bersifat subyektif dan penilaiannya tidak diukur dalam satuan standar ekonomi atau mata uang. Dengan metode ini kami menganggap bahwa ‘kepentingan’ dapat dinyatakan dalam suatu pemeringkatan holistik kecenderungan relatif, tanpa terkaitkan dengan karakteristik finansial ataupun ekonomi tertentu, untuk menghindari kerancuan antara nilai tunai dengan nilai kepentingan. Istilah harga, ongkos, uang, mahal, dan murah, misalnya, akan bisa dihindari, dan lebih menekankan konsep ‘nilai’ (general value), ‘manfaat’ (usefulness), dan ‘arti penting’ (importance). Pada setiap pemberian penilaian, skor (atau rata-rata skor) dijumlahkan menjadi 100 sehingga bisa dipandang sebagai persentase relatif dari seluruh kepentingan yang Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 61 meliputi berbagai hal. Untuk memudahkannya maka skor tersebut disebut sebagai ‘tingkat kepentingan’. Tim lapangan mengunjungi dan menilai lokasi-lokasi sampel dan mencatat berbagai sifat lokasi, termasuk tumbuhan dan kondisi tanah, dengan cara ilmiah maupun menurut persepsi warga lokal. Keterbatasan logistik membuat kami tidak bisa mensurvei lokasi yang sangat jauh dari desa. Faktor-faktor pemilihan lokasi antara lain meliputi penutupan lahan, pemanfaatan, kondisi topografi, ketinggian, serta adanya karakteristik khas tanah dan tempat-tempat khusus (seperti bekas desa, mata air asin, dan tumbuhan batuan kapur). Kami berupaya memasukkan tempat-tempat yang dianggap penting oleh masyarakat lokal, yang mungkin memiliki biota terbatas. Untuk itu dilakukan pemetaan bersama untuk menentukan lahan-lahan khusus dan mengunjunginya. Diperoleh 200 titik dengan koordinat geografis, mencerminkan lingkungan lokal dalam rentang yang luas, terutama tentang berbagai tipe hutan (lihat gambar 4.1). Deskripsi lengkap tentang metode, beberapa panduan tentang latar belakang penelitian, analisa dan pengolahan data, telah diterbitkan (Sheil dkk, 2002, 2003a, 2003b, 2004) dan dapat diperoleh secara gratis atau on-line melalui website Center for International Forestry Research (CIFOR) dalam bahasa Indonesia, Inggris, Spanyol dan Perancis (http://www. cifor.cgiar.org/mla/_ref/ina/publications/index.htm). Guna membangun pemahaman lebih lengkap tentang berbagai spesies di Malinau serta dampaknya terhadap pengelolaannya, kami mengkaji sangat banyak informasi dari Tempat khusus di hutan sekunder Hutan primer 14% Tempat khusus di hutan alami Perkebunan 28% 11% 6% 15% 5% Pertanian 14% 7% Bekas ladang muda Bekas ladang tua Sumber: Sheil dkk, 2002 Gambar 4.1 Penyebaran sample menurut kelas keadaan lahan Hutan 62 Latar Belakang Teori dan Kontekstual berbagai sumber lain. Proses ini banyak membantu penyusunan prinsip-prinsip pengelolaan lahan dan hutan yang ‘ramah kehidupan-liar’ dan mengungkap celah pengetahuan yang masih perlu diteliti lebih dalam (Meijaard dkk, 2005, 2006). Kegiatan kami di Malinau juga menggunakan berbagai cara untuk bisa menyajikan hasil-hasil yang penting kepada semua pihak yang berkepentingan (lihat sub-bab ‘Pilihan lokal bagi tindakan lokal’) Persepsi lokal Sub-bab berikut ini berfokus pada persepsi lokal, pemberian skor berbasis-desa dan beberapa aspek kegiatan lapangan yang berkaitan dengan pandangan lokal, serta sintesa dan rangkuman atas perbedaan hasil-hasilnya. Rincian lebih jauh dapat diperoleh di website CIFOR (www.cifor.cgiar.org/mla/_ref/result/index.htm) dan di buku Sheil dkk (2006), Sheil dan Liswanti (2006) dan Liswanti dkk (2004). Mata pencaharian dan perilaku Wawancara terhadap setiap tumah-tangga dan berbagai informan kunci memberikan banyak informasi tentang masyarakat di tujuh komunitas serta pandangan dan aspirasi mereka; beberapa hasil utamanya dirangkum dalam Tabel 4.3. Kebanyakan rumah-tangga menganggap diri mereka sebagai ‘petani’ (353 dari 576 rumah-tangga); ‘pengumpul gaharu’2 (85 dari 576) dan ‘buruh’ (kehutanan/pertambangan; 46 dari 576). Meski banyak kesulitan, kebanyakan warga menilai kehidupan mereka membaik dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir ini (87 menyatakan meningkat, 22 menyatakan memburuk, dan 28 menyatakan tidak meningkat ataupun memburuk). Sejarah komunitas seringkali cukup rumit. Masing-masing kelompok beberapa kali berpindah lokasi dalam beberapa dekade lalu, sering kali disebabkan oleh peperangan antar etnis, namun sudah mereda dalam setengah abad terakhir. Banjir, penyakit dan kegagalan panen masih menjadi penyebab umum perpindahan wilayah. Beberapa dasawarsa terakhir, pemerintah telah berhasil mendorong beberapa kelompok masyarakat (ataupun sebagian di antaranya) untuk meninggalkan wilayahnya yang terpencil dan menetap lebih dekat dengan Kota Malinau. Unit lansekap Bagaimana penilaian warga atas berbagai tipe lahan dan hutan (selanjutnya disebut sebagai ’unit lansekap’) mereka? Tabel 4.4 merangkum skor penilaian mereka terhadap berbagai tipe dan unit hutan, menunjukkan rata-rata skor tertinggi per penilaian. Untuk sebagian besar kegunaan, tidak hanya para pengguna kayu, semua responden menganggap hutan paling penting. Sungai lebih dinilai sebagai tempat untuk ‘rekreasi’ (kebanyakan untuk memancing) dan hutan sekunder untuk sumber kayu bakar; namun hutan primer yang belum ditebang (rimba) dianggap paling penting. Hasil kajian tidak selalu intuitif; namun akan terjelaskan lebih rinci melalui diskusi dengan warga komunitas. Warga Langap yang petani handal pun menilai hutan lebih tinggi daripada lahan pertanian. Bagi mereka, hutan adalah sumber terpenting bahan baku obat-obatan dan kayu, dan bahwa lahan hutan juga bisa menjadi ladang sementara. Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 63 Tabel 4.3. Saran masyarakat tentang tindakan untuk mengatasi masalah lingkungan Respon dari penduduk lokal /jumlah total responden di setiap komunitasa n= Lg LN LJ LM GS I 30 32 30 14 31 Tindakan yang akan dilakukan jika sumberdaya hutan rusak atau terkuras habis Penanaman kembali 1 4 3 – 1 Perlindungan terhadap pohon – larangan menebang pohon 4 3 7 4 2 Melarang orang luar memasuki kawasan milik komunitas – – 2 – – Menjaga hutan sebagai kawasan lindung atau hutan adat 1 2 2 1 9 Membatasi areal tebang perusahaan 3 7 1 – 8 Menanam tanaman pangan 16 13 – 3 3 Tidak tahu 6 5 13 6 6 Faktor-faktor penting untuk mempertahankan nilai hutan Burung, karena menyebarkan benih hutan 4 – 17 1 4 Kelelawar, karena menyebarkan benih hutan – – 1 – – Satwa liar sebagai warisan bagi keturunan 1 2 3 – 1 Pohon buah sebagai warisan bagi keturunan 4 11 5 – 13 Pohon beringinb (Ficus spp) terkait dengan mitologi – – 2 – – Pohon gaharu (Aquilaria spp), Sagu (Eugeissona utilis), kayu merantib (Shorea sp), pohon damarb (Agathis borneensis), dll, karena nilainya bagi masyarakat lokal 2 1 3 – 1 b Pohon Kempasb (Koompassia excelsa) 4 5 1 1 3 Pohon di kawasan hutan adat – 1 – – 2 Tidak tahu 17 13 9 12 11 Catatan: Lg = Langap; LN = Laban Nyarit; LJ = Long Jalan; LM = Liu Mutai; GS = Gong Solok. Karena adanya perubahan kuesioner, data dari Paya Seturan dan Punan Rian tidak dapat diperbandingkan. a Setiap responden diperbolehkan memberikan respon sebanyak mungkin b nama Indonesia. Sumber: Hasil kajian tim peneliti Botani dan Ekologi Hutan Jika diamati lintas komunitas, akan diperoleh hasil yang sama. Dari sisi kepentingan secara umum, ada sedikit variasi di antara komunitas dalam penilaian terhadap hutan atau lahan pertanian. Semuanya setuju bahwa hutan layak memperoleh skor tertinggi. Kepentingan berdasarkan waktu Pemberian penilaian lainnya adalah untuk mengukur tingkat kepentingan hutan di masa lalu, kini, dan masa depan, serta kepentingan relatif setiap kategori-guna. Ada variasi besar di antara responden namun hasil rata-rata (lihat Tabel 4.5) menunjukkan meningkatnya peran relatif hutan dari hasil kayu, hasil yang bisa dijual dan rekreasi, serta berkurangnya peran relatif sebagai sumber obat-obatan, kayu bakar dan konstruksi ringan. Hal ini bisa 5.9 11.4 13.4 7.4 13.5 6.6 8.0 21.1 100 Lokasi bekas kampung Kebun Sungai Rawa Ladang Jekau muda Jekau tua Hutan Total 10.1 15.8 18.9 23.8 100 Hutan bekas tebangan Hutan sekunder Hutan rawa Hutan pegunungan Total Sumber: Hasil kajian tim peneliti Catatan: jekau = bekas ladang 31.4 Hutan alam Tipe hutan: 12.7 Kampung Unit Lansekap: 100 30.0 11.3 11.2 8.8 38.8 100 20.9 5.5 6.4 14.4 6.8 15.5 13.9 6.5 10.2 100 27.8 12.7 15.1 8.2 36.3 100 35.6 8.4 5.8 4.7 5.7 11.1 8.4 4.8 15.5 100 20.6 12.1 23.0 8.6 35.6 100 38.3 27.0 1.7 1.8 9.2 11.0 4.7 4.8 1.4 100 29.4 10.0 4.0 5.9 50.7 100 71.2 4.9 1.3 1.8 9.2 6.7 1.1 1.5 2.3 100 28.5 15.5 2.0 4.6 49.5 100 73.1 4.7 0.8 0.9 11.5 7.8 0.2 0.8 0.3 100 30.9 14.6 4.8 5.1 44.7 100 61.4 12.1 2.0 0.4 10.6 8.9 0.3 2.5 1.8 100 9.3 10.1 35.6 15.9 29.1 100 23.9 13.8 10.0 17.0 3.9 19.0 8.6 2.2 1.6 100 24.8 14.7 15.6 5.9 39.0 100 49.6 17.5 3.5 1.1 7.9 10.7 2.5 4.5 2.7 100 20.8 12.1 26.8 10.0 30.3 100 33.3 14.3 3.3 0.8 3.8 15.6 10.5 5.3 13.2 100 36.4 12.4 7.1 8.4 35.8 100 29.8 2.5 3.6 12.3 4.4 14.6 16.9 6.7 9.2 100 28.7 13.7 9.1 4.9 43.5 100 53.4 14.5 1.5 0.7 5.6 7.9 4.5 5.0 7.0 100 29.0 15.6 11.8 7.3 36.5 100 37.5 14.9 5.1 7.5 7.3 14.5 7.0 6.0 0.1 100 23.8 18.2 15.3 8.4 34.3 100 24.5 3.2 0.3 12.4 1.5 26.6 11.7 2.1 17.8 100 19.3 13.7 23.6 12.7 30.7 100 21.5 10.5 8.0 10.4 7.2 8.5 15.9 4.9 13.0 Kategori Nilai Total Makanan Obat- Konstruksi Konstruksi Konstruksi Peralatan Kayu Anyaman/ Hiasan/ Benda Peralatan Tempat Rekreasi Masa keseluruhan obatan ringan berat perahu bakar tali adat/ yang berburu berburu depan ritual bisa dijual Tabel 4.4 Nilai tengah kategori-guna per unit lansekap dan per tipe hutan untuk semua kelompok di ketujuh kelompok masyarakat 64 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 65 dipandang sebagai pergeseran dari mengantisipasi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan tradisional, menjadi sasaran materi dan ekonomi. Yang menarik adalah peran hutan di masa lalu yang dinilai lebih rendah daripada masa depan. Para informan menjelaskan hal itu karena di anggapan masa lalu bahwa ‘hutan sudah ada sejak dulu’ tanpa menyadari ketergantungan mereka terhadapnya, sebuah pengakuan terhadap subyektivitas pengukuran ini. Sumber alternatif bagi tumbuhan dan satwa bernilai tinggi Penilaian PDM berikutnya adalah menanyakan bagaimana penilaian warga terhadap sumberdaya tumbuhan dan satwa liar dibandingkan dengan beternak atau membelinya (lihat Tabel 4.6). Tabel 4.5 Rata-rata skor kepentingan hutan di masa lalu, kini dan masa depan (dari ketujuh komunitas) 30 tahun lalu Masa kini 20 tahun mendatang Total 31.3 32.0 36.8 100 12.1 11.9 10.2 8.5 8.1 4.7 Konstruksi ringan 10.1 7.8 5.4 Konstruksi berat 7.7 8.4 14.2 Konstruksi perahu 5.5 7.0 7.5 Peralatan 5.4 5.4 7.0 Kayu bakar 7.5 7.2 5.2 Anyaman/tali 7.5 6.4 6.6 Hiasan/adat/ritual 5.1 6.6 4.7 Benda yang bisa dijual 6.7 8.1 8.7 Peralatan berburu 6.6 6.6 5.4 Tempat berburu 8.4 7.7 6.4 Rekreasi 2.8 3.1 5.1 Masa depan 6.1 5.7 9.0 100 100 100 Seluruh nilai Tiap kategori nilai: Makanan Obat-obatan Total Sumber: Hasil kajian tim peneliti Diperoleh hasil mengejutkan, ternyata bahkan para petani padi ladang di Langap dan Gong Solok pun mengakui ketergan­tung­an cukup besar pada sumberdaya tumbuhan dan satwa liar. Skor rata-rata untuk ketujuh komunitas menunjukkan bahwa hampir separuh (48 persen) dari seluruh tingkat kepentingan hasil tumbuhan dan satwa yang mereka nilai berasal dari alam; angkanya tidak pernah lebih kecil dari 40 persen, bahkan di komunitas yang mayoritas petani pun. Hasil kajian di desa Langap (Merap) dan Long Jalan (Punan) telah banyak membantu menjelaskan pentingnya pemberian penilaian ini: warga Long Jalan yang lokasinya terpencil menilai tingkat kepentingan hasil hutan dari alam lebih tinggi daripada masyarakat Langap, dan sebaliknya pada tanaman budidaya dan satwa ternak. Suku Punan di Long Jalan relatif bergantung pada pembelian beras dan pangan – dari hasil penjualan gaharu (Aquilaria spp) dan beberapa spesies burung seperti Pycnonotus zeylanicus dan Buceros rhinoceros. Bagi mereka relatif lebih mudah mendapatkan protein 66 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Tabel 4.6 Rata-rata skor kepentingan berbagai tumbuhan dan satwa menurut ketujuh komunitas (setiap hasil merupakan rata-rata dari keempat sub-kelompok) Asal tumbuhan dan satwa: Long Jalan Liar (dari hutan) Liar (dari tempat lain)a 19.75 7.75 Budi daya 16.25 Beli Liar (dari hutan) 14.25 Liar (dari tempat lain)a 21.75 12.25 Ternak Beli 8 0 8.25 Liu Mutai 4.75 10.25 27 8 18.5 12.25 11 Punan Rian 15.5 10.5 16 6 15.5 15.5 15 6 Paya Seturan 7.75 10 25 7.75 14.5 13 16.5 5.5 Laban Nyarit 9.75 6 18.75 8 15.5 12.75 22 7.25 Langap 8.5 12.5 28 7.5 10.25 9.5 18.75 5 Gong Solok 10.75 9.5 25.75 10.5 10.25 12.75 14.75 5.75 Nilai tengah 11.0 9.5 22.4 8.9 15.2 12.6 15.1 5.1 Catatan: a Perlu dicatat bahwa banyak hasil alam dari luar hutan namun dikenal bergantung pada hutan – contohnya, kebanyakan perburuan berlangsung di daerah terbuka dan di pinggiran ladang, dan nilai guna berburu itu melekat pada areal tersebut; namun responden menyadari bahwa satwa buruan berasal dari hutan, namun lebih mudah memburunya di lokasi non hutan. Sumber: Hasil kajian tim peneliti satwa dengan berburu dan memancing. Pola itu cukup masuk akal dan memperkuat keyakinan kami bahwa pola-pola itu bisa mengungkap hal-hal yang cukup penting. Kajian terhadap masing-masing kategori nilai memberikan gambaran lebih lengkap: Tabel 4.8 memuat ringkasan lima spesies yang memiliki nilai tertinggi per kategori. Pentingnya tumbuhan Banyak jenis kegunaan khusus untuk tumbuhan tertentu yang tercatat dalam survei lapangan (18,058 catatan), termasuk 2141 pemanfaatan/nilai tunggal untuk sekitar 1457 spesies. Dari jumlah tersebut, 779 berupa pohon dan 620 berupa perdu dan pemanjat. Jumlah kegunaan khusus untuk setiap kategori-guna diilustrasikan pada Gambar 4.3 Kategori ‘konstruksi ringan’ dan ‘tempat berburu’ (jenis tumbuhan sebagai bahan makanan satwa buru) merupakan daftar spesies yang terpanjang. Secara keseluruhan, 119 spesies yang tercatat pemanfaatannya hanya bisa didapat dari tumbuhan itu saja. Menurut para informan, manfaat khusus spesies tersebut tidak tergantikan oleh spesies lain – yang bearti bahwa hilangnya spesies itu akan bisa mengurangi kesejahteraan masyarakat setempat. Spesies seperti itu meliputi sekitar 85 famili tumbuhan. Data tersebut terutama pada kategori hiasan/ritual, obat-obatan, dan peralatan (37, 28, dan 25 spesies) dan lebih banyak dilaporkan oleh informan dari suku Merap daripada suku Punan. Tidak tercatat ada pemanfaatan eksklusif dalam kategori konstruksi atau pembuatan perahu, meskipun jumlah ‘spesies terbaik’ untuk konstruksi bangunan sangat terbatas. Diperoleh perspektif berbeda dari hasil plot. Pada Gambar 4.4, proporsi jumlah total spesies-berguna di-plot berdasarkan tipe sampel dan kesukuan informan. Kebanyakan plot memiliki proporsi spesies-berguna yang cukup tinggi. 30.1 25.2 14.8 13.7 12.6 11.7 10.1 9.8 9.8 9.1 12 16 28 30 34 45 48 49 50 53 Elmerrillia tsiampacca Sindora leiocarpa Shorea pinanga Agathis borneensis Calamus caesius Arenga undulatifolia Licuala valida Lutung banggat Rusa (sambar Babi jenggot Beruang madu Landak Pelanduk / Kancil Rangkong gading Rangkong badak Tiong emas Kijang Pangan, barang yang bisa dijual, peralatan, hiasan/ritual (obat) Pangan, barang yang bisa dijual (obat) Obat, hiasan/ritual (pangan) Obat, pangan Pangan, obat,Food, pasar Hiasan/ritual, barang yang bisa dijual, obat Hiasan/ritual, barang yang bisa dijual, (pangan) Barang yang bisa dijual, hiasan/ritual Pangan, barang yang bisa dijual ,hiasan/ritual, (obat) Pangan, peralatan, obat, barang yang bisa dijual, Cervus unicolor Sus barbatus Ursus malayanus Hystrix brachyura Tragulus javanicus/ T.napu Buceros vigil Buceros rhinoceros Gracula religiosa Muntiacus muntjak Presbytis hosei Table 4.7b Sepuluh hewan terpenting Kayu dao Kayu puspa Kayu tengkawang Kayu agathis (damar) Rotan sega Aren Palas biru Sumber: Hasil kajian tim peneliti 73.8 62.1 42.2 39.1 36.6 32.6 32.2 Dryobalanops lanceolata 91.7 Kayu kapur 4 5 6 7 8 9 10 3 Shorea parvifolia 94.9 Kayu meranti Kategori nilai Konstruksi, peralatan berburu, peralatan, barang yang bias dijual, konstruksi ringan, barang hiasan/ritual (kayu bakar) konstruksi, konstruksi perahu, peralatan, daerah berburu, barang yang bias dijual, konstruksi ringan (kayu bakar) Konstruksi,,peralatan, tempat berburu, barang yang bisa dijual, konstruksi ringan, konstruksi perahu Konstruksi, konstruksi perahu, peralatan, barang yang bisa dijual, (konstruksi ringan) Konstruksi, tempat berburu, peralatan, konstruksi perahu (konstruksi ringan) Konstruksi, tempat berburu, konstruksi perahu, peralatan, barang yang bisa dijual Konstruksi, peralatan, barang yang bisa dijual, peralatan (konstruksi ringan) Anyaman/tali, barang yang bisa dijual, hiasan/ritual Peralatan berburu, pangan, tempat berburu Anyaman/tali, konstruksi ringan, hiasan/ritual x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x Hutan Primer Hutan Primer 2 Eusideroxylon zwageri 98.5 Kayu ulin Jekau tua Jekau tua 1 Jekau muda Jekau muda Table 4.7a Sepuluh tanaman terpenting Nama Nama ilmiah Perkebunan Perkebunan rawa rawa Pinggiran sungai Pinggiran sungai peringkat peringkat Bekas pemukiman Bekas pemukiman LUVI LUVI Lokasi khusus Lokasi khusus Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 67 9.5 7.4 7.3 7.2 6.8 6.4 6.2 6.2 6.0 5.6 4.7 3.8 Barang dagangan Kontruksi perahu Masa depan Lokasi berburu Obat-obatan Kayu bakar Kontruksi ringan Peralatan Anyaman/ tali Peralatan berburu Hiasan/ upacara Rekreasi Sumber: Hasil kajian tim peneliti Catatan: N.A. = tidak berlaku Score 12.0 11.0 Kategori Nilai Kontruksi berat Pangan Daun kelapa N.A. Pohon kecil Vitex pinnata Pohon kecil Elmerrillia tsiampacca Kayu Calamus caesius Rotan Antiaris toxicaria Getah dari kulit kayu Cocos nucifera Babi jenggot Aquilaria beccariana/ A. malaccensis Gaharu Hopea dryobalanoides Kayu N.A. Dryobalanops lanceolata Pohon buah Ursus malayanus Empedu beruang Vitex pinnata Spesies 1 Eusideroxylon zwageri Kayu besi Sus barbatus Palma N.A. Kayu besi Palaquium gutta Getah (untuk lem) N.A. Lithocarpus sundaicus Pohon buah Aristolochia sp. Tanaman merambat Nephelium ramboutan-ake/ N. mutabile Pohon buah kecil Schizostachyum brachycladum? Bambu Dryobalanops lanceolata Kayu Korthalsia echinometra Rotan Arenga undulatifolia Lidi daun untuk panah Licuala valida Sagu Eusideroxylon zwageri Spesies 2 Dryobalanops lanceolata Kayu Arenga undulatifolia Rusa (tanduk) N.A. Pohon Phrynium parvum Herba Eusideroxylon zwageri Kayu besi Licuala valida Palma Eusideroxylon zwageri Kayu (untuk sumpit) Cervus unicolor Kayu Shorea parvifolia Kayu Meranti N.A. Ficus sp. Ara Hystrix brachyura Duri landak Cephalomappa lepidotula Rusa sambar Dryobalanops lanceolata Spesies 3 Shorea parvifolia Kayu Meranti Cervus unicolor Rotan N.A. Pohon Licuala valida Palma Agathis borneensis Kayu agatis Pandanus sp. Pandan Eugeissona utilis Pohon sagu (panah) Calamus caesius N.A. Elmerrillia tsiampacca Kayu N.A. Shorea pinanga Pohon buah Phyton reticulatus Minyak ular (Piton) Tristaniopsis whiteana Sagu Ikan Spesies 4 Elmerrillia tsiampacca Kayu Eugeissona utilis Tabel 4.8 Lima spesies dengan skor tertinggi di setiap kategori-guna (nama Latin dan deskripsi umum dalam bahasa Indonesia) Pohon Macaranga gigantea Pohon pionir Shorea parvifolia Kayu meranti Calamus javensis Rotan Sindora leiocarpa Kayu Cyclemys dentata / Notochelys platynota Kura-kura N.A. Kayu meranti Alseodaphne ceratoxylon Kayu N.A. Shorea parvifolia Pohon buah Formicidae Sarang semut Lithocarpus cantleyanus Spesies 5 Sindora leiocarpa Kayu Durio sp. termasuk Durio zibethinus Buah durian Shorea parvifolia 68 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 69 Hutan primer Hutan sekunder Bekas ladang tua Bekas ladang muda Perkebunan Pertanian Tempat khusus alami Tempat khusus sekunder Sumber: Hasil kajian tim peneliti. Gambar 4.2 Peta lokasi sampel, berdasarkan tipe dan komunitas Akhirnya, pertanyaan berikutnya adalah: apakah vegetasi yang spesiesnya lebih banyak juga lebih banyak dimanfaatkan? Jawabnya tegas: ‘ya’ (lihat Gambar 4.5). Proporsi spesiesberguna secara kasar berbanding lurus dengan jumlah spesies keseluruhan (hubungan monotonik ini sangat nyata, P < 0,001, menurut jenis vegetasi pohon dan bukan pohon pada kelompok informan dari suku Merap maupun Punan). 70 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Kategori nilai Total spesies tumbuhan 0 200 400 600 Pangan Obat Kontruksi ringan Kontruksi Berat Pembuatan perahu Peralatan Kayu bakar Anyaman/ tali Keseluruhan Merap Hiasan/adat/ritual Punan Benda yang bisa dijual Berburu Tempat berburu Rekreasi Sumber: Hasil kajian dari tim peneliti. Gambar 4.3 Jumlah total manfaat khusus spesies yang tercatat, berdasarkan kategori kegunaan Pentingnya hutan bagi masyarakat Hasil kajian ini menunjukkan besarnya keanekaragaman hayati di hutan Malinau dan sangat pentingnya bagi penghuni di sekitarnya. Ketujuh komunitas sampel hidup dari lahan; semua mempertukarkan beberapa komoditas; dan tidak satupun yang mandiri dalam hal pangan. Namun semua komunitas itu, termasuk yang paling berorientasi pertanian, umumnya menilai tinggi tingkat kepentingan sumberdaya hutan dan alam liar. Tidak semua kawasan hutan dinilai setara. Nilai setiap tempat berbeda-beda dengan alasan yang rumit. Di dalam lansekap ini, tanah terbaik dan sumberdaya yang paling bernilai tidak tersebar merata. Beberapa sumberdaya, seperti gua sarang burung, sangat terlokalisir. Susutnya populasi pohon gaharu (Aquilaria spp) menjelaskan mengapa kini hanya bisa diperoleh di lokasi terpencil dan sulit dijangkau. Sejarah yang rumit tentang perpindahan pemukiman dan interaksi antar komunitas tercermin pada persepsi masyarakat setempat. Sejarah ini sangat mempengaruhi pola pengetahuan, klaim kepemilikan lahan, serta nilai-nilai pribadi dan warisan masa lalu. Sebuah penelitian lebih rinci tentang tingkat kepentingan aspek ruang, dilakukan di Liu Mutai dan dimuat dalam artikel Lynam dkk (2007) dan Cunliffe dkk (2007). Hasilnya tidak bertentangan dengan penelitian ini, namun menunjukkan bahwa jarak dan pencapaian – faktor yang umumnya dianggap sebagai ‘biaya’ untuk memperoleh nilai dari sebuah lokasi – hanya berpengaruh kecil terhadap penilaian suku Punan terhadap sebuah lokasi. Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan Pohon 71 Bukan Pohon 1 Proporsi spesies bermanfaat 1 Punan Merap Tempat alami di hutan alami Punan Tempat khusus Merap di hutan sekunder Punan Pertanian Punan Perkebunan Merap Punan Merap Bekas ladang muda Merap Punan Bekas ladang tua Punan Merap Merap Hutan sekunder Merap Punan Hutan primer Punan Merap Tempat alami di hutan alami Punan Pertanian Tempat khusus Merap di hutan sekunder Punan Punan Perkebunan Merap Punan Bekas ladang muda Merap Punan Merap Bekas ladang tua Punan Rata-rata = 0.64 0 Merap Merap Hutan sekunder Hutan primer Merap Rata-rata = 0.88 Punan 0 Kelas sampel dan kelompok etnis Sumber: Hasil kajian studi ini Gambar 4.4 Proporsi jumlah spesies-berguna menurut jenis sampel dan suku informan Pohon Bukan Pohon 1 = Bermanfaat menurut Punan = Bermanfaat menurut Merap 0.5 0 20 0 40 0 Total spesies 100 Total spesies Sumber: Hasil kajian studi ini Gambar 4.5 Proporsi tumbuhan berguna menurut jumlah spesies secara keseluruhan Hutan bekas tebangan dan hutan asli Hutan asli dinilai sebagai lahan paling penting (lihat Tabel 4.4). Hutan bekas tebangan dinilai rendah oleh masyarakat lokal. Beberapa alasannya antara lain menyusutnya sumberdaya utama, berkurangnya pencapaian fisik, dan berkurangnya hak untuk mengaksesnya. Sangat relevan bahwa tujuh dari sepuluh spesies terpenting adalah pohon kayu. Bahkan bila warga lokal memiliki hak menebang, maka kayu terbaik biasanya sudah terambil lebih dulu dan kerusakan yang ditimbulkannya pada hutan lebih menyulitkan pencapaian. Babi hutan 72 Latar Belakang Teori dan Kontekstual adalah sumber protein utama dan kini lebih sulit dicari setelah ada pembalakan. Faktor utamanya adalah pembersihan seluruh tegakan bawah setelah penebangan pohon. Praktik pembersihan tegakan bawah di blok tebangan telah merugikan masyarakat lokal dan juga keanekaragaman hayati. Peraturan Menteri Kehutanan (2007) tentang penebangan kayu (TPTI dan TPTII) mewajibkan pembalak untuk berkali-kali melakukan penebasan tumbuhan bawah dan pemanjat – termasuk spesies-berguna dan berharga seperti rotan – untuk membantu regenerasi di dalam wilayah konsesi. Hasil observasi menunjukkan bahwa pembersihan tegakan–bawah sudah berlangsung secara luas di Malinau. Bahkan bila diterapkan secara benar pun, manfaat silvikulturnya masih diragukan padahal dampaknya terhadap keanekaragaman hayati sangat besar. Hal itu juga sangat merusak dan memerosotkan nilai hutan bagi masyarakat lokal secara tidak perlu. Kebijakan pembersihan tegakan-bawah ini sebaiknya dicabut (Sheil dkk, 2006). Melihat lebih dekat kategori-guna lansekap Berikut ini kita amati berbagai kategori-guna secara terpisah. Sub bab ini menghimpun dan mensintesiskan semua informasi dari berbagai hasil penelitian terhadap ketujuh komunitas ini. Makanan Hutan umumnya dipandang sebagai sumber pangan terpenting. Hutan asli dan hutan pegunungan dinilai tinggi dari sisi pangan; sedangkan hutan bekas tebangan bernilai rendah. Kebanyakan masyarakat tidak berharap ada penurunan pemenuhan kebutuhan pangan dari hutan pada masa mendatang, namun sudah melihat bahwa akan ada masalah. Dalam daftar spesies satwa liar sumber pangan paling utama, babi hutan (Sus barbatus), lebih sulit didapat di areal bekas tebangan. Beberapa bahan pangan di masa paceklik, seperti sagu, sudah menyusut tanpa perlu akibat pembalakan. Eugeissona utilis, jenis sagu terpenting yang umumnya tumbuh di pematang bukit seringkali rusak oleh jalan sarad. Palem-paleman Eugeissona dan Arenga berada pada lima jenis pangan hutan terpenting, bersama dengan rusa Sambar (Cervus unicolor) yang berbeda dengan babi hutan – lebih umum ditemukan di hutan yang terganggu – hasil pengamatan yang juga didukung oleh beberapa kajian ekologi (Meijaard dkk, 2005). Berbagai pohon buah juga ada di antara spesies terpenting (Durio spp, Parkia spp, Nephelium spp, Musa spp, Diplazium spp, Artocarpus spp, Mangifera spp dan Baccaurea spp). Banyak spesies satwa yang dianggap sumber pangan, tergolong satwa dilindungi (a.l. burung rangkong). Tercatat 476 manfaat pada survei tumbuhan, namun hanya 12 yang memiliki manfaat khusus, yaitu kelompok makanan utama dengan manfaat kedua sebagai obat atau untuk tujuan ritual. Rata-rata jumlah spesies per plot dengan nilai manfaat pangan umumnya di bawah 20 persen di semua lansekap, kecuali di kebun-kebun. Bahan baku obat-obatan Meskipun semua lansekap menyediakan sumber bahan obat, lahan hutan jauh lebih penting, menyumbang lebih dari sepertiga dari semua nilai. Lebih dari 15 persen bahan obat berasal dari kebun atau desa. Hutan bekas tebangan di peringkat rendah. Masyarakat Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 73 umumnya menduga bahan obat dari hutan akan tinggal setengahnya dalam dua dekade mendatang. Tanpa terduga, dan berlawanan dengan kebanyakan kategori-guna, beberapa jenis satwa terdapat di antara spesies bahan obatan-obatan, termasuk beruang hutan, landak (keduanya hewan dilindungi), ular piton dan semut. Dari 336 manfaat sebagai tumbuhan obat yang tercatat dari survei lapangan, 28 disebutkan hanya untuk spesies itu saja, dan hanya satu yang dilaporkan oleh informan dari suku Punan. Tumbuhan dengan manfaat obat biasanya tidak umum dan jarang ditemukan di petak sampel, menyumbang kurang dari 10 persen tumbuhan bukan kayu dan kurang dari 5 persen spesies pohon di kebanyakan lokasi sampel. Selain itu, beberapa spesies tercatat rentan terhadap pembersihan tumbuhan-bawah. Kayu konstruksi ringan Perbaikan pondok dan kemah sementara lainnya adalah bagian kehidupan harian masyarakat Malinau. Hutan dinilai tinggi sebagai sumber bahan untuk itu, namun sebagian besar pilihan spesiesnya sangat banyak, dan setiap tempat yang berpohon menyediakan kayu ringan dan daun untuk berteduh. Memang, lebih dari 510 manfaat spesies dalam kategori ini dan tidak terbatas pada spesies tertentu. Kayu konstruksi berat Terutama hutan primer yang masih asli, merupakan sumber terpenting material konstruksi berat, memiliki lebih dari 70 persen tingkat kepentingan dalam kategori ini. Pada umumnya masyarakat menduga ketergantungan mereka terhadap material bangunan dari hutan akan meningkat pada dekade mendatang. Mereka menyebutkan sebuah konflik dengan pemegang konsesi yang membatasi akses ke banyak spesies penting. Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) adalah spesies terpenting bagi masyarakat. Saat survei ini dilakukan, pohon tersebut dilindungi bagi masyarakat lokal oleh hukum nasional, namun nilai pasarnya sangat tinggi. Selain itu, para pengusaha di Malinau sudah dikenal sering melanggar larangan menebangnya (saat ini statusnya masih dilindungi, tetapi resminya larangan tersebut juga berlaku bagi masyarakat lokal). Spesies kayu lain yang bernilai tinggi dan dibutuhkan masyarakat (a.l. Dryobalanops lanceolata dan Shorea parvifolia) juga dicadangkan untuk konsesi kayu. Masyarakat mengambil kayu tersebut dari hutan secara diam-diam, karena hal itu termasuk ‘pembalakan ilegal’. Nilai ini sudah merosot di daerah bekas tebangan. Bisa dicatat bahwa kami juga menemukan bahwa ulin dan berbagai spesies lain relatif banyak di hutan yang belum pernah ditebang, Konstruksi perahu Hampir tiga perempat dari kepentingan untuk bahan konstruksi perahu berasal dari hutan (73 persen) dan sebagian besar sisanya (20 persen) dari daerah rawa atau tepian sungai. Nilai kepentingan hutan asli sebagai penghasil kayu untuk perahu ini lebih dari sepuluh kali nilai hutan bekas tebangan. Pembuat perahu lokal menyebutkan bertambah lamanya waktu untuk mencari jenis kayu dan dempul yang sesuai di dekat wilayah perusahaan hutan. Dalam hal ini terjadi konflik atas spesies kayu yang disukai dan dibutuhkan karena beberapa di antaranya ditebang habis oleh pemegang konsesi (a.l. Hopea dryobalanoides dan disebutkan delapan spesies Shorea lainnya). Survei lapangan mencatat 203 manfaat spesies tumbuhan untuk kategori ini, tidak ada yang dikhususkan untuk spesies tertentu. 74 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Peralatan Hutan, terutama yang asli dan yang di gunung, adalah sumber terpenting bahan pembuat peralatan. Semua spesies terpenting yang tercatat dalam kategori ini adalah pohon kayu (a.l. Agathis borneensis, Dryobalanops lanceolata dan Shorea parvifolia) dan sudah sangat berkurang di daerah bekas tebangan. Hanya dua spesies hewan yang tercatat (Cervus unicolor dan Presbytis hosei). Pada survei lapangan, tercatat 399 manfaat spesies tumbuhan untuk bahan peralatan, 25 di antaranya bersifat khusus untuk spesies tertentu. Kayu bakar Seperti pada kategori konstruksi ringan, hutan memiliki nilai tinggi sebagai sumber material kayu bakar; tetapi umumnya pilihan jenisnya cukup banyak dan semua daerah berpohon bisa menghasilkan kayu bakar. Berbeda dengan kepentingan lain hutan sekunder, kayu bakar merupakan kategori guna yang hampir eksklusif, mungkin karena kayu untuk konstruksi ringan juga terdapat di dalam dan sekitar bekas ladang tua. Pada kategori ini tercatat 469 spesies pohon yang dinilai. Anyaman/tali Hutan adalah yang terpenting di kategori ini, mencakup separuh dari rata-rata nilai kepentingan. Jenis yang terpenting mencakup spesies palem dan pandan: Calamus caesius, Korthalsia echinometra dan Calamus javensis serta daun-daunan dari Licuala valida dan Pandanus spp berukuran besar. Pada survei lapangan, tercatat 151 spesies tumbuhan, hampir semuanya spesies monokotil. Banyak dari spesies ini terkena dampak negatif penebasan tegakan bawah. Hutan bekas tebangan memiliki nilai kepentingan kecil di kategori ini. Hiasan/ritual Hutan di Malinau adalah sumber terpenting produk hiasan dan produk ritual, termasuk hewan dan tumbuhan. Beberapa spesies tumbuhan termasuk umum dijumpai: janur kelapa (Cocos nucifera) untuk dekorasi dan daun-daunan L. valida dan C. caesius untuk hiasan. Namun, beberapa spesies binatang yang bernilai, termasuk macan gunung, beruang, dan burung enggang adalah spesies yang dilindungi hukum. Dari survei lapangan tercatat 96 manfaat spesies tumbuhan, 37 di antaranya dikhususkan untuk spesies tertentu. Banyak di anatara spesies ini hilang atau rusak oleh akibat penebasan tumbuhan-bawah. Produk yang dapat dijual Hutan, terutama hutan asli pegunungan, adalah sumber terpenting untuk produk yang dapat dijual, dan gaharu (Aquilaria spp) adalah spesies paling menonjol pada kategori ini. Masyarakat setempat mengenal dua spesies gaharu yang saling melengkapi: spesies dari dataran rendah (Aquilaria beccariana) dan jenis berdaun kecil dari daerah pegunungan (kemungkinan A. malacennsis). Perlu dicatat bahwa tidak semua pohon memiliki nilai. Nilai gaharu hanya dari resin yang diperoleh di sebagian kecil pohon, dan agaknya dihasilkan sebagai respon pohon terhadap infeksi jamur. Resin pada kayu yang mengandung resin itulah yang diperdagangkan sebagai kayu gaharu. Pencari gaharu yang ahli hanya akan mengambil pohon yang terinfeksi: tetapi mereka yang tidak ahli (termasuk pendatang, pegawai perusahaan pembalakan yang mencari uang tambahan) seringkali menebang pohon Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 75 sehat demi mencari resin tersebut. Pohon gaharu yang besar sangat jarang diketemukan, tapi anakan Aquilaria cukup banyak dan sering dijumpai selama survei. Yang menarik, rotan dan sarang burung yang dianggap hasil hutan komersil penting di pedalaman Kalimantan, meskipun tercatat tetapi skornya tidak terlalu tinggi. Sedangkan spesies kayu dan ikan memiliki skor yang paling tinggi setelah kayu gaharu. Di antara spesies tambahan di dalam penilaian ‘sepuluh besar’ adalah berbagai sarang burung, burung enggang (bulu dan kepala), kera (batu ginjal) serta berbagai spesies hewan dan ikan. Berbagai spesies buah juga disebutkan. Survei lapangan mencatat 138 manfaat spesies tumbuhan, tujuh di antaranya khusus untuk spesies tertentu. Kategori ini termasuk sulit bagi masyarakat karena bersifat abstrak – pada umumnya mereka mengatakan ‘tergantung pada apa yang mau dibeli orang’. Masyarakat tidak dapat memperkirakan permintaan pasar di masa mendatang. Beberapa spesies dari kategori ini terkena dampak negatif penebangan pohon dan penebasan tumbuhan-bawah. Peralatan berburu Lebih dari separuh total kepentingan produk dalam kategori ini diperoleh dari hutan. Tumbuhan beracun Antiaris toxicaria menjadi spesies paling penting, sementara spesies palem dan sagu, Arenga undulatifolia dan Eugeissona utilis disebut sebagai tumbuhan untuk membuat anak sumpit, seperti juga Eusideroxylon zwageri, spesies kayu yang cocok untuk sumpit. Kebanyakan tumbuhan untuk manfaat ini adalah pohon kayu atau palem. Sedangkan spesies binatang hanya satu yang tercatat dalam kategori ini. Meskipun beberapa warga Punan tahu cara memerah racun dari ular kobra (Ophiophagus hannah) untuk anak sumpit mereka, pemakaiannya hanya bersifat simbolik dan berkaitan dengan perang di masa lalu (Edmund Dounias, komunikasi pribadi, 2005) bahkan kini tidak lagi dianggap penting. Survei lapangan mencatat 115 manfaat tumbuhan dalam kategori perburuan, 12 di antaranya khusus hanya untuk spesies tertentu. Tempat berburu Kategori ini merujuk pada lokasi yang dianggap cocok untuk berburu. Meskipun perburuan bisa terjadi di berbagai unit lansekap, hutan adalah tempat yang bernilai paling tinggi, terutama yang masih asli dan jauh di pegunungan. Beberapa informan suku Punan mengatakan bahwa salah satu nilai lokasi tanaman padi dan singkong adalah dapat memikat binatang ke tempat terbuka sehingga dapat diburu. Hutan masih dinilai sebagai sumber satwa buruan; sedangkan lapangan terbuka sebagai umpan. Spesies terpenting untuk meningkatkan perburuan adalah spesies tumbuhan buah (terutama jenis dipterocarp, oak, beringin serta palem) yang bisa memikat satwa buruan. Survei lapangan mencatat 518 manfaat spesies di dalam kategori ini tanpa ada yang dikhususkan. Mata air asin dan daerah berlumpur juga dianggap daerah penting yang disukai hewan, misalnya beberapa bekas desa yang memiliki banyak tanaman buah. Penebasan tumbuhan bawah bisa menurunkan nilai kesesuaian hutan sebagai tempat berburu untuk kebutuhan pangan serta mengurangi fungsi pelindung bagi berbagai jenis hewan. Rekreasi, permainan dan kesenangan Untuk rekreasi, sungai dan hutan dinilai lebih tinggi daripada unit-unit lansekap lain, masing-masing dengan skor 25 persen. Banyak orang, terutama yang berusia lanjut, 76 Latar Belakang Teori dan Kontekstual awalnya tidak mengakui punya waktu rekreasi. Tetapi, hasil pemberian skor menunjukkan bahwa hal itu karena belum tahu. Dari diskusi terungkap bahwa berbagai kegiatan seperti memancing, mengumpulkan kayu, berburu serta membuat kerajinan sering dilakukan sebagai kesenangan maupun untuk menghasilkan sesuatu. Masyarakat menduga minat mereka terhadap rekreasi akan meningkat pada dekade mendatang. Meskipun tidak ada spesies yang dimasukkan dalam kategori ini pada pemberian skor, dari survei lapangan tercatat 73 manfaat tumbuhan yang tergolong untuk ‘bersenang-senang maupun bermain’ (kebanyakan terkait permainan anak-anak), dan satu di antaranya bersifat khusus untuk spesies tertentu. Jaminan masa depan Masyarakat menilai hutan sebagai lansekap terpenting untuk masa depan. Hutan adalah alternatif utama sumber makanan serta penghidupan. Yang menarik, ‘masa depan’ adalah kategori di mana hutan bekas tebangan memiliki skor tertinggi (meskipun skornya relatif rendah), yang seolah mengakui adanya pemulihan hutan. Masyarakat di tujuh komunitas ini menyebutkan kegagalan panen karena banjir, kekeringan ataupun masalah lain yang memaksa mereka mencari makanan ke tempat lain. Kebanyakan mereka pergi ke hutan. Ternyata masyarakat tidak suka membicarakan hal itu: pada wawancara awal hanya 15 dari 576 responden yang secara khusus menyebut kebutuhan mengumpulkan hasil hutan untuk dijual ketika terjadi ancaman kelaparan. Namun, setelah mereka lebih percaya, kebanyakan warga mengakui sangat perlunya dibolehkan mengumpulkan hasil hutan yang dapat dimakan, maupun yang dapat ditukarkan dengan makanan. Kami pernah bekerja bersama masyarakat Punan Rian pada musim paceklik dan persediaan beras mereka menipis, dan saat itu kami menyaksikan sendiri pentingnya hutan dalam hal ini. Seberapa jauh nilai ‘jaring pengaman’ hutan menjadi pertimbangan sehari-hari dan seberapa jauh pertimbangan tersebut mempengaruhi pemberian skor terhadap hutan dan hasil hutan masih merupakan tanda tanya bagi kami. Diskusi dengan masyarakat lokal menunjukkan bahwa nilai pengaman ini menurun dengan adanya konversi lahan menjadi kegunaan lain dan adanya dampak dari pembalakan dan perburuan yang berlebihan. ‘Masa depan’ adalah topik yang kaya dan tidak mudah dirangkum. Subbab berikutnya akan meninjau beberapa kecenderungan saat ini serta pilihan-pilihan yang diantisipasi oleh masyarakat. Pilihan dan perubahan keadaan Berbagai pembangunan – jalan, konsesi hutan dan tambang – semakin meningkat. Banyak pendatang baru masuk mencari kerja ke provinsi ini. Lahan yang bisa diakses berkurang dan konflik meningkat. Masyarakat semakin dipaksa mempertimbangkan pilihan untuk masa depan, yang mencerminkan tidak terjaminnya kepemilikan lahan. Masyarakat di Gong Solok, Paya Seturan, Liu Mutai dan bahkan di desa yang lebih terpencil, Long Jalan, semua memandang kebutuhan mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian sebagai upaya untuk mengklaim lahan dan meningkatkan jaminan atas kepemilikan mereka. Kepemilikan lahan pertanian sudah jelas bagi setiap orang, sedangkan hutan sangat mudah diklaim dan dikuasai pihak lain. Tidak semua kecenderungan dinilai negatif untuk masa depan. Dalam wawancara, pendidikan seringkali ditonjolkan sebagai hal penting bagi golongan muda, lebih memberi peluang pekerjaan yang baik di luar desa. Bekerja di pemerintahan banyak diinginkan karena memberikan jaminan pendapatan. Perbaikan perawatan kesehatan juga banyak disebut. Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 77 Hutan bukan hanya sumber berbagai produk alam liar, tetapi juga sebagai cadangan lahan yang bisa dikonversikan untuk penggunaan lain. Masyarakat lokal sangat tertarik pada inovasi dan mau mencoba jenis-jenis tanaman serta teknik budidaya yang baru. Banyak pertanyaan yang muncul antara lain menyangkut cara tanam tanaman komersial seperti jati, coklat dan kopi. Dalam diskusi tentang sumberdaya yang terpenting, terungkap bahwa banyak yang menilai ada penurunan, terutama untuk satwa buruan untuk pangan serta tumbuhan andalan mereka untuk kebutuhan sehari-hari serta untuk dijual. Beberapa sumberdaya alam liar lain telah menurun nilainya, misalnya bahan racun untuk anak sumpit yang kini telah digantikan alat lain, seperti senapan yang lebih mudah digunakan. Gong Solok adalah daerah yang terdekat dengan kota Malinau dan memiliki kepadatan penduduk paling tinggi. Di sini perburuan lebih sering gagal daripada di daerah lain – dan di sini adalah satu-satunya tempat kami menemukan warga membunuh dan memakan kera, daging yang kurang disukai dan di masa lalu dianggap tabu. Kekurangan bahan konstruksi yang disukai (a.l. Eusideroxylon zwageri) serta bahan pembuatan perahu telah dirasakan di Paya Seturan dan daerah sekitarnya. Salah satu upaya mengatasi berkurangnya sumberdaya ini adalah beberapa warga Paya Seturan mengusulkan wilayah hutan lindung secara de facto berdasarkan kesepakatan bersama untuk menjaga penutupan hutan. Namun wilayah itu terancam oleh konsesi penebangan, dan memerlukan status resmi. Apakah hutan semakin kurang penting? Berbagai kecenderungan dan aspirasi mendorong masyarakat meninggalkan hutan. Perpindahan banyak komunitas terpencil ke tempat yang lebih dekat dengan sekolah dan klinik kesehatan adalah suatu perubahan besar. Banyak informan yang menyatakan bahwa pendidikan bagi anak-anak mereka akan menciptakan peluang untuk pindah ke kota besar dan memperoleh kehidupan lebih baik. Namun harapan tersebut sering terbentur pada kenyataan. Seorang informan mengatakan bahwa menurutnya kota akan menjadi tempat tinggal yang enak bila kita cukup kaya dan mampu membeli semua keperluan, namun sangat mahal bila kita harus membeli semua hal. ‘Karena miskin, maka lebih baik saya tinggal di hutan,’ katanya. Masyarakat lokal bersifat pragmatis; mereka menyukai hutan dan bisa sangat nostalgis tentang masa lalu, tetapi juga akan memanfaatkan setiap peluang baru. Masyarakat Malinau terbukti sudah memilih sikap pendekatan luwes dan menyesuaikan diri terhadap kehidupan sehingga siap bereaksi terhadap cepatnya perubahan siklus ekonomi hasil hutan yang lalu (Sellato, 2001). Namun, kemampuan adaptasi masyarakat hutan banyak didasarkan pada keahlian mereka di dalam hutan serta berbagai pilihan yang disediakan oleh hutan; bila pilihan itu hilang maka hilang pula lah fleksibilitas tersebut. Modernisasi dan pergolakan politik telah membawa banyak tantangan dan peluang bagi warga Malinau. Selama lima tahun yang lalu, telah terjadi kekacauan dalam hal hukum dan peraturan tentang hak atas lahan serta sumberdaya alam. Kondisi itu menimbulkan ketidakpastian dan juga membuka peluang mengembangkan pendapatan tunai. Kedua aspek aksesibilitas terkacaukan; peluang fisik untuk mencapai suatu lokasi dan menikmati sumberdayanya, serta kendali hukum dan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan cara melakukannya. Ketersediaan mesin perahu, jalan-jalan baru, meningkatnya perdagangan serta melonjaknya harga bahan bakar semuanya mempengaruhi akses fisik, seperti pola penyusutan sumberdaya yang terkait dengan daerah bekas tebangan. Pada saat yang sama, berbeda-beda dan tumpang tindihnya klaim dan kontrol oleh pemegang konsesi, pemerintah daerah, dan masyarakat telah menimbulkan kebingungan. Ancaman terhadap 78 Latar Belakang Teori dan Kontekstual hutan menjadi nyata karena konflik-konflik dan ketidakpastian itu lebih cenderung lebih memihak pada pemusnahan hutan daripada kepada pilihan-pilihan jangka panjang. Seperti telah dibahas sebelumnya, hal ini mencerminkan adanya pembukaan lahan untuk mengklaim pengakuan kepemilikan, dan juga adanya pertarungan bebas, free-for-all, ketika tidak ada insentif untuk melakukan kontrol diri. Biaya atas hilangnya keanekaragaman hayati yang sangat penting bagi masyarakat dan yang harus ditanggung bagi kehidupan masyarakat bisa jadi akan sangat besar. Pembangunan hutan tanaman Pemerintah daerah di Malinau maupun pemerintah pusat di Jakarta nampak sangat tertarik pada usaha skala besar untuk menghimpun pendapatan. Pembahasan tentang perkebunan pulp, kelapa sawit, dan berbagai kemungkinan lain terus dilakukan. Pada tahun 2005 Menteri Pertanian mengumumkan rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 1,8 juta hektar di sepanjang pegunungan dan perbukitan (daerah yang tidak sesuai untuk pengembangan kelapa sawit) di perbatasan Kalimantan–Malaysia (Wakker, 2006). Bila proyek ini terwujud maka akan menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dan akan mencakup sebagian besar wilayah Malinau. Setelah adanya keberatan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pihak lain maka pemerintah menarik kembali usulan proyek tersebut (Wakker, 2006), tetapi masih bisa dipertimbangkan lagi. Pendapat masyarakat lokal telah diabaikan dalam proses yang didorong pihak luar ini. Di bawah ini, kami rangkumkan beberapa kesalahan konsep dan berbagai masalah lain. Salah satu hasil survei biofisik kami menggarisbawahi terbatasnya peluang budidaya tanaman perkebunan berkelanjutan di Malinau hulu dan tengah. Tanpa adanya rekayasa besar-besaran untuk membangun terasering, luasnya topografi terjal, mudahnya tererosi, kondisi tanahnya yang miskin hara, serta keasaman tanahnya tidak memungkinkan budidaya non-kehutanan secara lestari dalam cakupan yang luas. Hanya di daerah sepanjang tepian sungai yang berpotensi untuk jenis-jenis tanaman seperti padi dan kelapa (Basuki dan Sheil, 2005). Tidak heran bahwa daerah ini, yang merupakan campuran antara ladang dan bekas ladang (jekau) tanaman telah dibudidayakan oleh masyarakat. Jenis tanaman perkebunan yang telah dikembangkan secara luas antara lain coklat, merica (lada), serta kelapa sawit yang baru berkembang akhir-akhir ini. Di Indonesia, kelapa sawit terkenal sebagai tanaman ajaib, yang dapat tumbuh di mana saja dan menghasilkan banyak keuntungan – suatu reputasi yang hanya sebagian benar. Kelapa sawit tumbuh di berbagai daerah yang terkenal sebagai bermasalah, misalnya seperti di tanah sulfat masam, tanah gambut yang dalam, serta pada tanah masam dengan kandungan aluminium tinggi (Auxtero dan Shamshudin, 1991). Beberapa perkebunan di daerah bertanah kurang subur itu mampu menghasilkan minyak per hektarnya lebih tinggi daripada yang di lahan pertanian yang bagus (Auxtero dan Shamshuddin, 1991; Corley dan Tinker, 2003). Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kelapa sawit dapat dibudidayakan di segala tempat atau lokasi. Tanaman ini memiliki kebutuhan khusus terhadap air dan kelembaban sepanjang tahun dan memerlukan pemupukan serta berbagai input lainnya. Di antara perusahaan perkebunan ada pengetahuan teknis cukup mendalam tentang kapan dan bagaimana cara kelapa sawit ditanam. Sebagai contoh, Tailliez (1998) menyatakan bahwa ‘pemilihan lokasi sangat penting, di samping topografi ringan, tanah yang dalam, curah hujan teratur sepanjang tahun, teknik penyiapan lahan yang ramah-lingkungan, urutan pengelolaan tanaman, input yang dipakai (pemupukan intensif ), pengendalian hama dan penyakit secara terintegrasi, kualitas pemroses minyak serta resiko polusi. Oleh karena itu, dengan Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 79 pertimbangan aksesibilitas, erosi, dan rendahnya tingkat produksi, pengusaha perkebunan yang serius akan menghindari kelerengan yang curam dan akan mematuhi peraturan yang melarang konversi hutan pada tingkat kelerengan di atas 40 persen.3 Para investor telah menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat Malinau melalui perkebunan kelapa sawit; dengan menawarkan berbagai manfaat serta meremehkan potensi resiko. Lalu mengapa para investor berani menawarkan sesuatu yang tidak layak secara ekonomi? Jawabannya adalah satu keuntungan langsung dari pembukaan lahan hutan dan penjualan kayunya; sebenarnya banyak rencana perkebunan yang akhirnya tidak terwujud setelah pembukaan lahan. Menurut harian Kompas, di provinsi Kalimantan Timur perkebunan fiktif semacam ini telah merugikan negara lebih dari 3,5 trilyun rupiah (atau setara dengan US$372 juta pada tahun 2005) (Basuki dan Sheil, 2005). Sedangkan kerugian bagi masyarakat setempat tidak terkirakan karena mereka tidak pernah melihat keuntungan yang dijanjikan dan kehilangan akses terhadap berbagai sumberdaya dan jasa hutan. Pendapat masyarakat setempat bervariasi: bagi yang pernah bekerja di perkebunan di Malaysia atau tempat lain di Indonesia, umumnya menentang rencana pengusahaan skala besar di Malinau; sedangkan lainnya terutama yang belum pernah mengalami sendiri, menyambut baik berbagai manfaat yang dijanjikan (Padmanaba dan Sheil, 2007). Hampir semua responden dalam wawancara kami meyakini bahwa pembangunan semacam itu harus direncanakan cermat dan diintegrasikan dengan kebutuhan lain, termasuk konservasi. Kami telah melakukan beberapa tindakan untuk menyebarluaskan hasil yang kami peroleh serta mengingat bahayanya keputusan yang terburu-buru dan kurang berwawasan (Basuki dan Sheil, 2005). Dengan adanya keinginan terselubung dan meluasnya informasi yang salah, program perkebunan tetap menjadi topik kontroversial sehingga diperlukan tambahan pendidikan publik (lihat Padmanaba dan Sheil, 2007). Pilihan lokal untuk tindakan lokal Metode identifikasi nilai-nilai lokal tentang keanekaragaman hayati dan lansekap kami dapat diterapkan untuk memberi masukan terhadap banyak proses, dari penyusunan panduan pembalakan berdampak rendah sampai perencanaan tata guna lahan lokal yang lebih baik, pengelolaan kehutanan internasional; serta kebijakan konservasi lokal, nasional maupun global. Kami berharap dokumentasi pandangan lokal ini bisa membantu masyarakat di Malinau mengkomunikasikan dengan lebih baik kebutuhannya kepada para pengambil keputusan maupun para pihak luar. Penelitian ini menunjukkan bidang-bidang dimana perubahan kecil pada pengelolaan atau kebijakan kehutanan bisa memberikan peluang saling menguntungkan semua pihak. Perubahan tersebut meliputi perlindungan terhadap sagu dan nilai hutan lain dalam pembalakan berdampak rendah; pencegahan penebasan tumbuhan-bawah; dan identifikasi daerah lindung yang bisa dihormati oleh para pengguna hutan, seperti lokasi kuburan, gua sarang burung, mata air dan cadangan hutan masyarakat. Agar hasil penelitian bisa lebih diketahui masyarakat Malinau, kami menggunakan berbagai media dan pendekatan. Kami merancang dan membagikan empat poster berwarna, berisi hasil survei yang menunjukkan pandangan masyarakat, dan juga memberikan ‘pandangan pihak luar’. Yang lebih teknis pandangan tersebut berisi catatan kepentingan masyarakat Malinau yang mereka sampaikan kepada kami, bagi mereka sendiri maupun 80 Latar Belakang Teori dan Kontekstual bagi pihak luar. Sebuah survei lanjutan menunjukkan bahwa poster-poster tersebut diterima dengan baik dan sangat menambah pemahaman atas berbagai hal di antara para pemangku kepentingan, seperti warga desa, penduduk kota dan pegawai pemerintah (Padmanaba dan Sheil, 2007). Kartu permainan bergambar beberapa spesies terpenting dan melukiskan berbagai hal yang terkait dengan konservasinya juga disusun dan disebarluaskan. Video yang menyajikan pandangan masyarakat lokal terhadap hutan dan pentingnya menjaga hutan telah dibuat dan disebarluaskan secara lokal maupun secara regional. Video tersebut sangat berharga dalam menyampaikan pandangan masyarakat lokal ke dunia luar. Video tersebut juga diputar di Departemen Kehutanan di Jakarta, di sejumlah fakultas kehutanan di universitas dalam negeri, di kantor-kantor LSM lokal maupun internasional yang bekerja di Indonesia. Video itu selalu dipakai untuk merangsang diskusi dan debat. Kami berkesimpulan bahwa ketika masyarakat Indonesia umumnya belum terbiasa menerima perbedaan pandangan (ada yang menilai pesannya membingungkan), video merupakan alat ampuh untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang relevan secara luas. Dalam demokrasi yang masih muda, nilai peran ini masih belum pasti tetapi bisa juga sangat mencolok; hanya melalui proses diskusi luas dan berwawasan lah pandangan tentang hutan Malinau dan masyarakatnya bisa dikembangkan, dinyatakan, dan diterapkan. Penilaian kami telah menunjukkan bahwa semua bentuk informasi tersebut sangat dihargai oleh masyarakat yang telah bekerja bersama kami selama ini dan merangsang tumbuhnya pengakuan atas keprihatinan mereka. Kami telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya langkah konservasi yang sesuai bagi masyarakat Malinau. Semuanya masih tahapan awal. Kesadaran yang ada kini harus diwujudkan ke dalam tindakan. Kesimpulan Metode kami memberikan kerangka berfikir untuk mendokumentasikan keterkaitan yang kompleks di antara masyarakat lokal dengan lingkungannya serta jenis keanekaragaman hayati dan lansekap yang paling penting bagi masyarakat. Di masa lalu, pandangan itu masih terabaikan oleh pemerintah, para pengelola hutan maupun oleh kelompok konservasionis. Namun kini, untuk mengefektifkan pengelolaan hutan, mereka harus dihargai, dipahami dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan serta penerapannya. Di berbagai tempat, pesan ini mensyaratkan adanya perubahan paradigma untuk seluruh kelembagaan dan proses yang terkait dengan pengelolaan hutan. Desentralisasi telah mengangkat banyak hal dalam diskusi lokal daripada masa lalu. Berbagai lembaga lokal, organisasi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tengah mencari cara mengintegrasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal dengan strategi pembangunan nasional serta perencanaan konservasi. Intinya adalah membangun dialog melalui belajar saling memahami, yang diperlukan di antara lembaga pemerintah dan konstituennya. Kami yakin bahwa setidaknya kami telah berhasil mengidentifikasi beberapa pokok perhatian bersama serta suatu pendekatan yang memungkinkan peningkatan komunikasi dan pemahaman. Sebuah langkah yang sangat menentukan adalah menjamin masyarakat menyadari pentingnya lahan, warisan dan sumberdaya alam mereka, serta dapat mengungkapkan prioritas utama mereka kepada para pengambil keputusan di pemerintahan setempat. Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 81 Catatan 1 Hasil studi biofisik kami sejak awal sudah menghasilkan prediksi semacam ini – memang, data kami menyatakan bahwa daerah Malinau terdiri dari berbagai tipe hutan dengan spesies paling kaya di Indonesia. (CIFOR, data tidak dipublikasikan). 2 Gaharu adalah pohon kayu dari spesies Aquilaria spp yang terinfeksi oleh jamur aromatik, dan kayu gaharu bernilai ekonomi karena dimanfaatkan dalam pembuatan parfum serta dupa. Di Malinau spesies utamanya adalah A. malaccensis dan selebihnya adalah A. beccariana. 3 Di Indonesia, tanah dengan kemiringan lebih dari 40 persen tidak dapat dikonversikan menjadi lahan pertanian berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) (Basuki dan Sheil, 2005). Rujukan Auxtero, E. A. dan Shamshuddin, J. (1991. Growth of oil palm (Elaeis guineensis) seedlings on acid sulfate soils as affected by water regime and aluminium, Plant and Soil, vol 137, hal. 243–257. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan: Case studies on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Basuki, I. dan Sheil, D., 2005. Local Perspectives of Forest Landscapes: A Preliminary Evaluation of Land and Soils, and Their Importance in Malinau, East Kalimantan, Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Corley, R. H. V. dan Tinker, P. B., 2003. The Oil Palm, 4th edition, Blackwell Science, Oxford, UK. Cunliffe, R., Lynam, T., Sheil, D., Wan, M., Salim, A., Basuki, I. dan Priyadi, H., 2007. Developing a predictive understanding of landscape importance to the Punan-Pelancau of East Kalimantan, Borneo, Ambio, vol 36, no 7, hal. 593–599. Fimbel, R. A. dan O’Brien, T., 1999. Faunal survei in unlogged forest of the INHUTANI II, Malinau timber concession, http://www.cifor.cgiar.org/ http://www.wcs.org/. Gomez-Gonzalez, I. C., 1999. Indigenous Management of Forest Resources in East Kalimantan, Indonesia: The Role of Secondary Forests, thesis MSc, Tropical Forestry, Wageningen Agricultural University, Kerajaan Belanda. Kier, G., Mutke, J., Dinerstein, E., Ricketts, T. H., Kuper, W., Kreft, H. dan Barthlott, W., 2005. Global patterns of plant diversity and floristic knowledge, Journal of Biogeography, vol 32, hal. 1107–1116. Liswanti, N., Indrawan, A., Sumardjo dan Sheil, D., 2004. Persepsi masyarakat Dayak Merap dan Punan tentang pentingnya hutan di lansekap hutan tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, Manajemen Hutan Tropika, vol 10, hal. 1–13. Lynam, T., Cunliffe, R., Sheil, D., Wan, M., Salim, A., Priyadi H. dan Basuki, I., 2007. Livelihoods, Land Types and the Importance of Ecosystem Goods and Services: Developing a Predictive Understanding of Landscape Valuation by the Punan Pelancau People of East Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia. 82 Latar Belakang Teori dan Kontekstual Lynch, O. J. dan Harwell, E., 2002. Whose Natural Resources? Whose Common Good? – Towards a Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia, Center for International Environment Law (CIEL), Washington, DC, US, dan Jakarta, Indonesia. MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. dan Mangalik, A., 1996. The Ecology of Kalimantan, Periplus Editions, Singapura. Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S. dan O’Brien, T., 2005. Life after Logging: Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in Indonesian Borneo, CIFOR, ITTO and UNESCO, Bogor, Indonesia. Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S., Gunawan, T. dan O Brien, T., 2006. Hutan Pasca Pemanenan: Melindungi Satwa Liar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan, CIFOR, ITTO dan UNESCO, Bogor, Indonesia. Padmanaba, M. dan Sheil, D., 2007. Finding and promoting a local conservation consensus in a globally important tropical forest landscape, Biodiversity and Conservation, vol 16, no 1, hal. 1137–1151. Puri, R. K., 1998. Assessment of the Biodiversity of the Bulungan Research Forest: Ethnoecology of the Punan Tubu, Consultant report, Wildlife Conservation Society (WCS)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Puri, R. K., 2001. The Bulungan Ethnobiology Handbook, Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia. Sheil, D. dan Liswanti, N., 2006. Scoring the importance of tropical forest landscapes with local people: patterns and insight, Environmental Management, vol 38, hal. 126–136. Sheil, D., Puri, R. K., Basuki, I., van Heist, M., Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono, M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F. dan Wijaya, A., 2002. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples Perspectives in Forest Landscapes, CIFOR, Bogor, Indonesia. Sheil, D., Ducey, M. J., Sidiyasa, K. dan Samsoedin, I., 2003. A new type of sample unit for the efficient assessment of diverse tree communities in complex forest landscapes, Journal of Tropical Forest Science, vol 15, no 1, hal. 117–135. Sheil, D., Puri, R., Basuki, I., van Heist, M., Wan, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Sardjono, M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F., Johnson, B. dan Wijaya, A., 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples Perspectives in Forest Landscapes, 2nd edition, Center for International Forestry Research, Ministry of Forestry dan International Tropical Timber Organization, Bogor, Indonesia. Sheil, D., Puri, R. K., Wan, M., Basuki, I., van Heist, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Rachmatika I. dan Samsoedin, I., 2006. Local peoples priorities for biodiversity: Examples from the forests of Indonesian Borneo, Ambio, vol 35, hal. 17–24. Sorensen, K. W. dan Morris, B. (penyunting) (1997. People and Plants of Kayan Mentarang, WWF-Indonesia, Jakarta (dicetak di Kerajaan Inggris). Tailliez, B., 1998. Oil palm: a new crop ... for what future?, Ocl-Oleagineux Corps Gras Lipides, vol 5, hal. 106–109. Wakker, E., 2006. The Kalimantan Border Oil Palm Mega-Project, Friends of the Earth Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), Amsterdam, Kerajaan Belanda. Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan 83 Whitmore, T. C., 1984. Tropical Rain Forests of the Far East, Clarendon Press, Oxford. Wilkie, P. dan Amiril, S., 1999. The limitations of vernacular names in an inventory study, Central Kalimantan, Indonesia, Biodiversity and Conservation, vol 8, hal. 1457–1467. Wulffraat, S. dan Samsu, 2000. An Overview of the Biodiversity of Kayan Mentarang National Park, WWF-Indonesia Kayan Mentarang Project, Samarinda, Indonesia. Bagian II Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 5 Dampak Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) pada Desa-Desa di Daerah Aliran Sungai Malinau Godwin Limberg Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) memberi peluang formal pertama kali kepada masyarakat desa untuk menerima keuntungan finansial yang signifikan dari penebangan kayu komersial. Kendati demikian, penerbitan IPPK menimbulkan banyak perdebatan. Pendukung terbitnya IPPK, seperti para pejabat pemerintah daerah, para pengusaha dan elit daerah, menyebutkan peningkatan peran desa dan lebih adilnya pembagian keuntungan pemungutan kayu sebagai aspek-aspek positif IPPK. Namun para penentang IPPK, yaitu LSM dan beberapa anggota masyarakat menunjukkan bahwa karena IPPK hanya berlaku 1 tahun, tidak ada insentif bagi perusahaan untuk punya komitmen jangka panjang. Setelah menjelaskan kondisi lokal dan proses yang mendorong ke arah IPPK, bab ini menguraikan dampak sosial IPPK pada desa, dan dampaknya pada akses ke lahan hutan dan pada hutan itu sendiri. Dampak di tingkat rumah tangga diuraikan di Bab 7, untuk kemudian dianalisa berbagai implikasi akibat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Perkembangan IPPK di Daerah Aliran Sungai Malinau Perubahan peraturan kehutanan pada tahun 1999 memungkinkan pemerintah kabupaten menerbitkan izin pengusahaan hutan seluas 100 hektar bagi warga desa. Dengan Otonomi Daerah, kabupaten tidak hanya berwenang pengelolaan hutan, tetapi juga bertanggung 88 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau jawab untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Di daerah yang kaya dengan sumberdaya hutan, pengusahaan hutan merupakan sarana mudah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan pendapatan masyarakat setempat. Pada saat yang sama, pengelolaan hutan yang berkelanjutan menjadi topik perdebatan di tingkat nasional dan internasional, dan semakin banyak desakan untuk mengurangi eksploitasi hutan. Di tengah dua perdebatan ini, sebagai sebuah daerah otonom yang baru terbentuk di lokasi terpencil, Malinau memiliki pilihan terbatas. Maka pemerintah setempat memilih untuk berfokus pada pengusahaan hutan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan warga desa. Para pengusaha daerah dan elit lokal dengan cepat menyadari peluang untuk memanfaatkan argumen pembangunan masyarakat demi tujuan pribadi mereka, yaitu memperoleh keuntungan finansial dari eksploitasi hutan. IPPK semula dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat setempat secara langsung. Karena warga desa tidak mempunyai modal dan keterampilan yang diperlukan, pelaksanaan IPPK di lapangan biasanya dilakukan oleh pengusaha lokal setelah mencapai kesepakatan dengan masyarakat setempat. Dalam proses negosiasi, diselenggarakan pertemuan desa yang memberi kesan adanya pemberdayaan masyarakat dan transparansi yang lazim dilakukan setelah reformasi politik di Indonesia. Beberapa desa juga melihat peluang ini untuk memperoleh setidaknya beberapa keuntungan dari pengusahaan hutan. Seperti akan dijelaskan lebih rinci, masyarakat seolah tidak begitu mementingkan pengakuan hukum atas klaim mereka terhadap hutan dan wilayah dan lebih mengutamakan keuntungan finansial dari pengusahaan hutan di kawasan-kawasan yang mereka klaim. Dari Juli 2000 hingga Februari 2001, tujuh pengusaha mencapai kesepakatan dengan desa-desa di Daerah Aliran Sungai (lihat Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 untuk lokasi desa-desa dan IPPK). Tidak seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di masa lalu yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk perusahaan-perusahaan besar, para pelaku utama perjanjian IPPK adalah para pengusaha lokal, elit desa dan pemerintah kabupaten. Di enam dari tujuh desa yang ada, dilakukan negosiasi oleh para pengusaha yang sudah dikenal oleh warga desa. Para pengusaha atau makelar ini sebelumnya bekerja sebagai pedagang hasil hutan non-kayu (HHNK) atau pembeli kayu ilegal, yang berbasis di Malinau atau Tarakan dan mempunyai jaringan luas di daerah itu (lihat juga Bab 6) Melalui bisnis mereka di masa lalu, mereka membentuk hubungan patron-klien di seluruh daerah itu. Operasi pembalakan pertama di Daerah Aliran Sungai Malinau diawali di wilayah Bila Bekayuk bulan Juli 2000. Semua perusahaan beroperasi aktif selama sekitar dua tahun, kecuali perusahaan di Bila Bekayuk, yang menutup operasinya pada awal 2001. Tabel 5.1 Desa-desa wilayah kerja Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) di Daerah Aliran Sungai Malinau 1 2 3 4 5 6 7 Desa Perusahaan Setarap-Punan Setarap Adiu-Punan Adiu Bila Bekayuk Sengayan Langap Nunuk Tanah Kibang Tanjung Nanga CV Gading Indah CV Wana Bakti CV Sebuku Lestari PT Trisetia Abadi CV Hanura CV Putra Surip Wijaya CV Meranti Wana Lestari Sumber: Data lapangan Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 89 MALINAU Malinau Long Kenipe Long Bila 3°30’N Sentaban Setulang Setarap Punan Setarap Batu Kagang Gong Solok I Gong Solok II Punan Adiu K A B U PAT E N MA L IN AU Pelancau Long Toreh Sengayan Bila Bekayuk Nunuk Tanah Kibang Langap Halanga Laban Nyarit Mirau Lake Punan Rian Metut Paya Seturan Tanggung Nanga Kuala Metut 3°N Sungai Uli Kio Mutai Long Jalan Tahau Pika 20km 116°10’E Sumber: Wollenberg dkk, 2007 Gambar 5.1 Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau Secara umum, proses sebelum dimulainya operasi pembalakan dimulai adalah sebagai berikut: • • • • • Pengusaha mendekati pemerintah kabupaten untuk mencapai kesepakatan dasar. Pengusaha mengunjungi desa, atau (para) kepala desa menemui pengusaha di Malinau Kota atau Tarakan. Pengusaha membuat tawaran atau (para) kepala desa mengajukan permintaan. Tawaran itu didiskusikan, kadang-kadang hanya di antara para kepala desa dan kadangkadang dalam pertemuan dengan masyarakat. Jika tawaran diterima, maka dibuat perjanjian antara desa tersebut dan pengusaha. Jika tawaran ditolak, maka diadakan negosiasi tahap kedua antara desa dan pengusaha. 90 • • • • Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Keuntungan yang diperoleh desa dituangkan secara formal dalam kontrak yang disahkan oleh notaris. Pengusaha membawa surat perjanjian dengan warga desa ke pemerintah kabupaten. Dinas Kehutanan Kabupaten memberi nasihat teknis yang berkaitan dengan status daerah yang diminta dan kayu yang bisa dipungut. Bupati secara resmi menyetujui izin tersebut. Negosiasi antara warga desa dan pengusaha difokuskan pada pembayaran tunai per meter kubik kayu yang diambil (dikenal dengan istilah fee), manfaat non-tunai dan peluang kerja bagi warga masyarakat. Pada negosiasi-negosiasi tahap awal, selain berbagai manfaat itu pengusaha juga menjanjikan membangun perkebunan, seperti pada kasus di Bila Bekayuk, Langap, Setarap–Punan Setarap dan Adiu–Punan Adiu. Namun di tahap berikutnya perusahaan tidak lagi menjanjikan hal-hal seperti itu lagi. Tabel 5.2 menggambarkan berbagai keuntungan yang dinegosiasikan di masing-masing desa (lihat Bab 6 untuk mengetahui rincian proses negosiasinya). Selama negosiasi, lokasi persisnya pembalakan tidak jelas disepakati. Beberapa desa mencantumkan kesepakatan lisan mengenai kesempatan kerja bagi warga desa setempat dan pengendalian masyarakat atas operasi tersebut, terutama untuk memantau produksi kayu dan operasi pembalakan. Desa-desa Sengayan, Nunuk Tanah Kibang dan Tanjung Nanga secara khusus meminta perusahaan menerapkan pembalakan selektif, hanya mengambil kayu dengan diameter di atas 50cm.1 Tanjung Nanga juga meminta penebangan spesies pohon yang kurang dikenal untuk meningkatkan volume kayu yang diambil. Kemudian, fee per meter kubik tuntutan warga desa semakin meningkat. Di desa Bila Bekayuk, tempat pembalakan pertama oleh sebuah perusahaan, tidak ada kesepakatan jelas mengenai fee per meter kubik. Namun desa Tanjung Nanga di Daerah Aliran Sungai Malinau, yang terakhir melakukan perjanjian, ditetapkan fee sebesar Rp. 50.000 per meter kubik, fee tertinggi per meter kubik. Warga desa saling bertukar pengalaman dan berusaha memperoleh kesepakatan yang lebih baik. Hasil kesepakatan fee sangat dipengaruhi oleh akses informasi dan keterampilan negosiasi para kepala desa. Dalam satu kasus, warga desa terkejut ketika ternyata pengusaha menawarkan fee per meter kubik lebih tinggi daripada yang hendak mereka minta. Mereka juga menyadari akan bisa mendapatkan lebih besar bila mengetahui jumlah yang dibayarkan di desa-desa lain di Daerah Aliran Sungai Malinau dan bagian-bagian lainnya di Kalimantan Timur. Pengusaha seringkali berusaha membujuk atau mengintimidasi orang-orang berpengaruh di desa untuk mengurangi jumlah fee yang harus dibayarkan. Tokoh masyarakat ditawari pembayaran pribadi untuk setiap meter kubiknya; fee kecil pun akan menciptakan kekayaan pribadi yang lumayan. Dengan pengaturan tidak resmi ini, perusahaan-perusahaan ini memastikan bahwa orang-orang berpengaruh ini mempunyai kepentingan pribadi agar arus kayu terus lancar. Pengusaha juga memanfaatkan instruksi gubernur Kalimantan Timur kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk membayar kompensasi kepada desa-desa tempat perusahaan tersebut melakukan pembalakan (Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur nomor 20 Tahun 2000 tentang Penetapan Dana Kompensasi kepada Masyarakat di dalam dan sekitar Hutan di Provinsi Kalimantan Timur). Keputusan ini mengharuskan pemegang HPH untuk membayar ganti rugi yang berlaku surut mulai dari tahun 1995 sampai tahun 2000 sebesar Rp. 3.000 per meter kubik. Dengan mengutip angka ini, para pengusaha mengklaim bahwa mereka sudah sangat dermawan dengan membayar lebih daripada yang diperintahkan gubernur, meskipun jumlah itu sebenarnya Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 91 Tabel 5.2 Manfaat yang dijanjikan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau (tunai dan non-tunai) Fee per meter kubik Setarap–Punan 40.000 Setarap Adiu–Punan Adiu 20.000 Bila Bekayuk Fee per meter kubik tidak ditentukan Sengayan 30.000 Langap 7500a Nunuk Tanah Kibang 30.000 Tanjung Nanga 50.000 Keuntungan non-tunai Tanggal mulai (dalam perizinan) Tanggal dimulainya operasi Jalan akses, perataan kawasan untuk perluasan desa, kantor desa, gereja, perkebunan rotan, sawah beririgasi. Jalan akses, perataan kawasan untuk perluasan desa, kantor desa, balai pertemuan desa, Puskesmas pembantu , mesin giling padi, perkebunan rotan Rumah untuk setiap rumah tangga, kantor desa, balai pertemuan desa, Puskesmas, sekolah, TV, perkebunan kopi 10 Agustus 2000 Oktober 2000 23 Juni 2003 September 2000 29 Mei 2000 Juli 2000 Balai pertemuan desa, mesin giling padi, atap seng sebanyak 5.000 lembar Perataan kawasan untuk perluasan desa, truk, mesin pemotong rumput, perkebunan merica, beras 30 rumah, kantor desa, balai pertemuan desa, pompa air, tangki air (dua), pemotong rumput, beasiswa – 17 November 2000 Januari 2001 7 Juli 2000 Oktober 2000 17 November 2000 Januari 2001 25 Januari 2001 Juni 2001 Catatan: a Jumlah ini dinegosiasikan kembali menjadi Rp.15.000 per meter kubik pada tahun 2001. Sumber: Data lapangan, berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000 sampai 2003. adalah besaran kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan HPH yang tidak ada kaitannya dengan sistem IPPK. Apakah yang didapatkan desa dari IPPK? Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.2, desa-desa berharap akan menerima uang tunai cukup besar, selain keuntungan non-tunai dan kesempatan kerja dari IPPK. Bagian ini adalah analisa tentang seberapa besar sebenarnya manfaat yang diperoleh desa dengan adanya IPPK dari segi pembayaran finansial dan pembangunan sosial. Uang Warga desa mengeluhkan perusahaan HPH yang tidak pernah memberikan kontribusi pada pembangunan desa tempat mereka beroperasi. Jumlah fee yang diterima desa dari IPPK sangat besar dibandingkan dengan bantuan pembangunan masyarakat sebelumnya yang 92 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau diberikan oleh perusahaan HPH atau bantuan pemerintah, yaitu sepuluh juta rupiah tunai untuk setiap desa per tahun plus proyek-proyek kecil pembangunan masyarakat. Sebagai perbandingan, berikut ini adalah proyek-proyek pembangunan desa yang dialokasikan pemerintah dari tahun 2000 sampai 2002, di tempat-tempat di mana IPPK beroperasi: pembangunan jalan setapak semen di Setarap; pemipaan air di Adiu; pembangunan jalan setapak semen di Tanjung Nanga, dan sebuah Sekolah Dasar baru di Langap. Bila Bekayuk, Sengayan dan Nunuk Tanah Kibang tidak menerima proyek selama periode ini. Dari sisi ini, tidak mengejutkan jika desa-desa itu sangat mengharapkan pembayaran finansial dan pembangunan sosial yang dijanjikan pada mereka. Semua negosiasi awal itu membuat warga desa berharap memperoleh banyak uang dari IPPK. Setelah dua tahun, benarkah semua itu? Tabel 5.3 menunjukkan bahwa semua desa kecuali satu desa (Bila Bekayuk) menerima uang dalam jumlah besar. Pembayaran dilakukan setiap dua atau tiga bulan berdasarkan volume kayu yang ditebang. Perusahaan menyerahkan uangnya kepada kepala desa yang membagikannya dengan sistem yang berbeda-beda kepada masing-masing warga desa. Sebagian desa membagikannya secara merata kepada semua rumah tangga di desa itu. Desa lainnya menetapkan tingkat pembayaran untuk kelompok berbeda seperti janda, pelajar, dan bujangan, bahkan kadang-kadang juga memasukkan warga desa yang sedang bekerja di luar desa. Tanjung Nanga semula membagi uang tersebut di antara kepala rumah tangga, janda dan anggota masyarakat yang bekerja di luar desa, namun kemudian sistemnya berubah (lihat Tabel 5.4). Setiap keluarga menerima total lima ratus ribu hingga 2 juta rupiah per pembayaran. Desa-desa menghadapi beberapa masalah akibat pembayaran fee ini. Karena tidak mempunyai data akurat tentang produksi kayu, desa hanya mengandalkan laporan perusahaan untuk menghitung fee total hak mereka. Perusahaan terkadang menggunakan alasan tidak jelas untuk menunda atau mengurangi pembayaran. Masalah kedua adalah perusahaan cenderung membayar uang ke satu orang, biasanya pemimpin atau elit desa. Kedua hal itu menimbulkan saling curiga di antara warga desa. Di dua lokasi, Setarap–Punan Setarap dan Adiu–Punan Adiu, ada masalah tambahan karena masyarakat tidak mencapai konsensus tentang mekanisme distribusi di dua desa di lokasi tersebut. Desa yang mempunyai jumlah rumah tangga sedikit ingin membagi rata fee untuk kedua desa, sedangkan desa yang mempunyai rumah tangga banyak ingin membagi fee tersebut per rumah tangga. Karena tidak ada konsensus sebelumnya, ketika pembayaran dilakukan maka terjadi perdebatan untuk membahas mekanisme yang tepat. Dalam satu kasus, fee dibagi merata di antara kedua desa, dan di kasus lainnya, desa yang mempunyai jumlah rumah tangga lebih banyak mendapatkan bagian fee yang lebih tinggi. Jumlah pada Tabel 5.3 hanya menunjukkan jumlah yang dibagikan pada tingkat desa. Sumber informasi lain menunjukkan bahwa beberapa kepala desa menerima pembayaran terpisah di luar yang diungkapkan secara publik. Warga desa tidak dapat mempengaruhi sistem ini karena janji ini dibuat secara rahasia.2 Tetapi warga desa tidak melakukan protes atas hal itu selama uang pembagian di antara warga desa sama. Masyarakat hanya protes bila ada keterlambatan pembayaran atau bila jumlah pembagian per rumah tangga terlalu jauh berbeda dengan jumlah yang diduga diterima kepala desa, seperti terjadi di tiga desa. Protes ditujukan kepada perusahaan karena warga desa menyadari kecilnya sarana yang dimiliki untuk menekan para pemimpin mereka. Warga desa mengirimkan perwakilan ke kantor perusahaan untuk melakukan protes dan juga menyita peralatan berat. Dalam satu kasus, desa berhasil memperbesar fee per meter kubik (dua kali lipat persetujuan awal). Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 93 Tabel 5.3 Jumlah yang dibayarkan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau dari Juni 2000 hingga Juni 2003 Desa Jumlah rumah tanggaa Setarap–Punan Setarap Adiu–Punan Adiu Bila Bekayuk Sengayan Langap Nunuk Tanah Kibang Tanjung Nanga Total 94 42 52 65 104 36 130 523 Jumlah total yang dibayarkan (rupiah)b 640 juta 800 jutac 27 juta 1 miliar 320 juta 500 jutad 1 miliard 4287 miliar Rata-rata per rumah tangga (rupiah) 6,8 juta 19,0 juta 0,52 juta 15,4 juta 3,1 juta 13,9 juta 7,7 juta 8,2 juta Catatan: a Data populasi dari Desember 2002; informasi diperoleh per desa dari kepala desa atau sekretaris desa. b Jumlah yang diperoleh selama wawancara rutin dengan kepala desa dan tokoh masyarakat pada tahun 2000 hingga 2003. c Perkiraan berdasarkan informasi bahwa ada empat pembayaran yang dilakukan; masing-masing pembayaran dilakukan setelah dihasilkan 10.000 meter kubik dengan harga 20 ribu rupiah per meter kubik. d Data pada Bab 6 jilid ini bahkan lebih tinggi, masing-masing 900 juta dan 2 miliar (lihat Bab 6). Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000 sampai 2003 Tabel 5.4 Distribusi fee di Tanjung Nanga Kepala rumah tangga Janda atau duda Pemudaa Siswa sekolah dasar Warga desa yang bekerja di luar desa (paling jauh ke Malaysia) Pembayaran pertama 900.000 rupiah per rumah tangga 450.000 rupiah per rumah tangga Tidak menerima pembayaran apa pun. Tidak menerima pembayaran apa pun. Menerima pembayaran per orang yang tidak diketahui jumlahnyab Pembayaran kedua 800.000 rupiah per rumah tangga 400.000 rupiah per rumah tangga Tidak menerima pembayaran apa pun. Tidak menerima pembayaran apa pun. Tidak menerima pembayaran apa pun. Pembayaran ketiga 1 juta rupiah per rumah tangga 500.000 rupiah per rumah tangga 200.000 rupiah per pemuda 100.000 rupiah per siswa Tidak menerima pembayaran apa pun. Catatan: a Definisi pemuda adalah anak yang belum menikah, tidak bersekolah dan masih tinggal bersama orang tuanya. b Dibayarkan kepada para kerabat mereka di desa itu. Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000 sampai 2003 Tidak diketahui apakah peningkatan ini atas biaya yang dibayarkan ke para kepala desa atau dengan mengurangi laba perusahaan. Pada tahun 2000, kepala desa serta warga desa sangat ingin menjelaskan kepada pihak luar negosiasi dan perjanjian mereka dengan masing-masing perusahaan. Namun dengan berjalannya waktu, orang-orang yang terlibat langsung dengan IPPK semakin menutupi informasi dan informasi pun semakin kacau. Warga desa hanya tahu tentang pembayaran kepada masing-masing rumah tangga dan kadang-kadang jumlah keseluruhan yang akan 94 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau dibayarkan. Para kepala desa semakin menghindar bila ditanya tentang pembayaran dan pengaturan dengan perusahaan. Praktik ini menyebabkan semakin sulitnya memperoleh informasi akurat dan mengindikasikan kurangnya transparansi di tingkat desa. Kurangnya transparansi juga mempengaruhi penggunaan fee untuk tujuan pembangunan desa secara umum. Warga desa menyisihkan sedikit untuk keperluan umum, seperti yang ditunjukkan dalam Kotak 5.1 Beberapa kepala desa menjelaskan bahwa meski sudah menyarankan sebagian uang itu disimpan atau dialokasikan untuk pembangunan masyarakat, umumnya warga desa menolak karena kurangnya kepercayaan. Pada banyak kasus, warga desa sering mengalami para pemimpinnya menggunakan dana desa tanpa diskusi atau persetujuan warga desa. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas ini menyebabkan warga desa memilih ‘opsi aman’ yaitu: bagikan semuanya! Kebanyakan rumah tangga membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan pokok seperti makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan atau barang mewah (a.l. perangkat elektronika). Di awalnya orang mudah terbujuk para pedagang keliling agar membeli barang; sebagian bahkan secara kredit. Para pedagang yang mengetahui waktu pembayaran oleh perusahaan akan datang membawa berbagai barang dagangan, dan lambat-laun jumlahnya semakin banyak. Seorang guru di sebuah desa menceritakan bagaimana sebuah keluarga baru saja membelanjakan uang fee mereka untuk membeli barang mewah, namun beberapa hari kemudian terpaksa meminjam uang untuk membiayai pengobatan salah satu anak mereka. Menurutnya, pengalaman ini meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya lebih berhati-hati membelanjakan uang, terutama mengingat relatif kecilnya peluang mereka untuk menghasilkan uang. Persepsi dari dalam dan dari desa-desa tetangga adalah bahwa sedikit saja uang hasil IPPK berdampak jangka panjang. Komentar desa tetangga tentang kurangnya dampak itu bisa saja karena kecemburuan, namun para tokoh di desa-desa tempat operasi IPPK juga mengakui bahwa uang IPPK memiliki kontribusi kecil terhadap perbaikan kondisi kehidupan masing-masing keluarga. Keuntungan non-tunai dari IPPK Di enam dari tujuh desa, ada perjanjian dengan perusahaan untuk melakukan beberapa pembangunan infrastruktur, dan di empat desa, untuk membangun perkebunan. Tabel 5.5 menunjukkan keuntungan non-tunai dari perjanjian ini. Kotak 5.1 Penggunaan uang IPPK untuk pembangunan desa: contoh dari Punan Adiu Saat masyarakat Punan Adiu menerima pembayaran pertama dari perusahaan IPPK, kepala desa menyisihkan 50 persen dari dana itu dan menyimpannya di rekening bank. Tidak lama setelah itu, warga desa menggunakan sebagian dana itu untuk membeli 3 meter kubik kayu papan untuk setiap keluarga untuk memperbaiki rumah mereka atau membangun rumah baru. Pengaturan ini menguntungkan masyarakat secara keseluruhan dan menunjang pembangunan jangka panjang. Namun kepala desa itu mengakui bahwa dia terus menerus mendapat tekanan dari warga desa untuk membagi uang yang tersisa. Dalam pembayaran fee selanjutnya, jumlah fee langsung disalurkan secara merata ke semua rumah tangga dan tidak ada sisa uang yang disimpan di kas desa. Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 95 Perusahaan bersedia menyediakan alat berat yang relatif mahal misalnya, untuk pembangunan jalan dan perataan kawasan untuk perluasan desa. Pembangunan jalan memang diperlukan untuk memudahkan pengambilan kayu, sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Perataan lahan di sekitar pemukiman untuk perluasan desa menimbulkan biaya tambahan bagi perusahaan, dan desa sulit memastikan bantuan ini benar-benar diwujudkan. Pembangunan infrastruktur lain seperti rumah, kantor desa atau balai desa hanya sebagian dipenuhi. Seperti pada negosiasi fee, warga desa juga belajar dari desa-desa lain dalam negosiasi keuntungan non tunai. Awalnya, banyak tuntutan non tunai yang disepakati, namun hanya sedikit yang terwujud. Lambat-laun jumlah tuntutan berkurang tetapi persentase pemenuhan tuntutan meningkat. Desa-desa yang pertama terlibat, seperti Bila Bekayuk, mengajukan daftar tuntutan panjang, namun tidak menerima apa pun, dan Langap hanya menerima sedikit keuntungan non-tunai. Desa-desa Setarap-Punan Setarap, Adiu–Punan Adiu dan Nunuk Tanah Kibang menerima sekitar setengah dari fasilitas yang dijanjikan. Sengayan mengajukan sedikit tuntutan non tunai di luar fee dan terpenuhi semua. Tanjung Nanga, penerima fee tertinggi, sama sekali tidak dijanjikan fasilitas tambahan. Tidak ada perusahaan yang berusaha memenuhi janji membangun perkebunan. Anehnya, warga desa tampaknya tidak terlalu peduli. Awalnya, mereka mempunyai harapan tinggi bahwa mereka tidak hanya akan menerima uang dari IPPK, tetapi juga perkebunan yang akan memberi sumber pendapatan yang stabil di masa depan. Kemungkinan besar, setelah mengalami sulitnya menagih pembayaran fee, warga desa menyadari bahwa pembangunan perkebunan akan lebih sulit lagi diwujudkan. Beberapa warga juga menyebutkan bahwa karena perkebunan akan dibangun di daerah terpencil di wilayah desa mereka, maka kemungkinan keberhasilannya pun akan kecil. Ketenagakerjaan Awalnya, warga desa membayangkan bahwa IPPK akan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat karena banyak warga desa yang mempunyai pengalaman bekerja pada perusahaan kayu di Malaysia. Selama negosiasi, pengusaha berjanji akan memberikan pekerjaan kepada warga desa. Tetapi, dalam tiga kasus, warga desa langsung kecewa karena perusahaan-perusahaan itu membawa kru lengkap dan tidak memberikan lapangan kerja kepada mereka. Pada dua dari tiga kasus ini, warga desa melakukan demonstrasi ke perusahaan tersebut, yang kemudian membuka beberapa lowongan pekerjaan kepada masyarakat setempat. Sekitar 40 orang bekerja dalam operasi pembalakan sebagai operator mesin gergaji dan alat-alat berat. Warga desa segera menyadari bahwa bekerja di perusahaan tersebut tidak sebaik yang mereka harapkan. Tingkat gajinya disamakan dengan daerah Kalimantan Timur yang lain (misalnya 2.750 rupiah per meter kubik untuk operator mesin gergaji), meskipun biaya hidup di Malinau jauh lebih tinggi. Kedua, beberapa perusahaan tidak membayar karyawan mereka selama beberapa bulan berturut-turut. Pekerjaan sampingan, seperti mengolah dan menjual kayu untuk konsumsi lokal, ternyata memberikan pendapatan yang lebih baik. Di satu desa, warga desa pemasok papan kayu ulin kepada pengusaha memperoleh 400.000 rupiah per meter kubik. Traktor-traktor perusahaan pembalakan menarik gelondongan kayu ulin keluar dari hutan secara gratis. Operator gergaji mesin mengklaim mampu memproduksi sekitar 1 meter kubik kayu papan per hari. Karena pengusaha membeli beberapa puluh meter kubik, hal ini menambah pendapatan cukup besar bagi para operator gergaji mesin. Ada selisih sangat besar antara bayaran fee per meter kubik 96 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Tabel 5.5 Keuntungan non-tunai bagi desa-desa di DAS Malinau dari IPPK mulai tahun 2000 hingga Juni 2003 Setarap–Punan Setarap Adiu–Punan Adiu Bila Bekayuk Sengayan Keuntungan non-tunai yang diterima Jalan akses, perataan kawasan untuk perluasan desa, kantor desa Jalan akses, perataan kawasan untuk perluasan desa, kantor desa, balai desa, Puskesmas, generator, mesin penggiling padi – Nunuk Tanah Kibang Balai desa, mesin penggiling padi, atap baja 5.000 lembar Perataan kawasan untuk perluasan desa, mesin pemotong semak, bantuan beras 30 rumah, pompa air, dua tangki air, mesin pemotong rumput, beasiswa Tanjung Nanga – Langap Janji yang tidak ditepati Gereja, perkebunan rotan, sawah Kantor desa, balai desa, Puskesmas, mesin penggiling padi,a perkebunan rotan. Rumah untuk setiap rumah tangga, kantor desa, balai desa, Puskesmas, sekolah, TV, perkebunan kopi/pinang/pulp. – Truk,b perkebunan lada/merica Balai desa dan kantor desa; beasiswa hanya diberikan untuk periode yang singkat – Catatan: a Perusahaan telah berjanji untuk membangun kantor desa, balai desa, generator dan puskesmas kepada masing-masing desa. Namun, hanya satu desa yang menerima semua fasilitas tersebut; desa lainnya tidak menerima sama sekali. b Truk dikembalikan kepada perusahaan karena harganya yang tinggi dan akan dikurangkan dari jumlah fee yang diterima Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000 sampai 2003 di desa ini (20.000 rupiah) dengan pendapatan dari papan kayu ulin (400.000 rupiah per meter kubik). Meski begitu, sumber pendapatan ini tidak dapat diakses oleh semua keluarga karena kurangnya keterampilan dan peralatan. Juga perlu dicatat bahwa sumber kayu ini tersedia dengan bantuan peralatan dari IPPK; kalau tidak, sebagian besar kayu ulin tersebut tidak dapat diambil. Eksploitasi kayu ulin memberikan keuntungan yang lebih besar bagi pengusaha, yang dapat menjual kayu ulin di Malinau dengan harga di atas 1 juta rupiah per kubik, dibandingkan dengan operator yang (bekerja keras untuk) memperoleh 400.000 rupiah per meter kubik. Kehadiran IPPK memberi manfaat tambahan, misalnya transportasi. Di semua desa, masyarakat biasa menggunakan kendaraan perusahaan untuk melakukan perjalanan ke ladang, pergi ke Malinau, atau mengangkut kayu untuk keperluan pribadi. Banyak warga di sebagian besar desa menikmati peluang menggergaji kayu untuk penjualan lokal. Kehadiran pekerja perusahaan membuka peluang penjualan sayur, daging dan ikan. Dampak terhadap hutan Warga desa mengamati bahwa pembalakan membawa dampak nyata terhadap hutan, namun seperti terlihat di Tabel 5.6, mereka kurang mempedulikan luas sebenarnya wilayah yang terpengaruh. Sebagian besar perkiraan merujuk pada luasan sesuai yang tertulis dalam izin pemerintah. Sebagian mengklaim bahwa dampak terhadap hutan terbatas karena pembalakan yang dilakukan bersifat selektif. Namun, di desa-desa lainnya, anggota Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 97 masyarakat menyaksikan hanya sedikit pohon berdiameter di atas 30cm yang tersisa dan bahwa operasi pembalakan banyak merusak tanah. Di empat desa, operasi pembalakan merusak kebun dan ladang masyarakat tanpa ada konsultasi terlebih dahulu. Tabel 5.6 menunjukkan luasan yang sebenarnya terdampak operasi pembalakan jauh lebih kecil daripada luasan konsesi yang diberikan kepada IPPK. Fakta ini mungkin mengejutkan mengingat pengawasan dari instansi pemerintah terhadap IPPK ini sangat sedikit. Dalam kasus Malinau, ada tiga faktor yang memperkecil dampak operasi IPPK terhadap hutan. Pertama, di Daerah Aliran Sungai Malinau, kayu komersial mudah tersedia dengan jarak tidak jauh dari jalan-jalan pembalakan yang sebelumnya dibangun oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Kedua, banyak IPPK menggunakan alat berat bekas yang kondisinya buruk, sehingga menghalangi operasi pembalakan besar-besaran karena seringkali alat berat rusak. Ketiga, selama periode ini harga kayu sangat rendah, sehingga mendorong IPPK untuk menekan biaya untuk mempertahankan margin keuntungan. Masalah lainnya adalah medan di Malinau yang berbukit-bukit yang menghambat eksploitasi pengusahaan hutan selama 20 tahun terakhir ini. Survei lapangan di daerah yang terdampak oleh pembalakan membuktikan perlu berhati-hati dalam menggunakan citra satelit untuk memperkira­kan kawasan total hutan yang terdampak. Hasil survei yang menunjukkan bahwa sebagian kawasan penebangan pada masa awal (tahun 2000 sampai 2001) tidak tampak dalam citra satelit karena cepatnya pertumbuhan kembali hutan. Meskipun dampak langsung pada hutan selama dua tahun terakhir relatif kecil, IPPK telah memperluas jaringan jalan di Daerah Aliran Sungai Malinau. Pada citra satelit (Landsat, Januari 2003), jalan-jalan utama dan jalan sarad termasuk dalam 69 persen dampak terhadap hutan yang masih terlihat (lihat Tabel 5.7). Perluasan jaringan jalan ini membuka peluang untuk pengusahaan hutan di kemudian hari. Pada bulan Juni 2003, elit desa dan anggota masyarakat yang terlibat dalam IPPK cenderung meremehkan dampak negatif operasi IPPK terhadap hutan. Ini terjadi setelah IPPK berhenti beroperasi dan banyak desa menegosiasikan kesepakatan baru dengan perusahaan, mengharapkan berlanjutnya pembalakan dan aliran fee. Tampak jelas bahwa keuntungan dari pembayaran lebih penting daripada masalah-masalah di atas. Salah satu sebabnya adalah desa-desa kurang memiliki alternatif untuk memperoleh uang tunai sementara kebutuhan uang tunai dan barang-barang konsumsi semakin meningkat. Pada bulan November 2002 Bupati Malinau menyatakan bahwa semua izin IPPK tidak akan diperpanjang. Selama masa transisi, para pengusaha berusaha memperoleh izin baru untuk mengalihkan IPPK menjadi Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan luas maksimum 50.000 hektar – mencakup daerah yang lebih luas dan jangka waktu lebih lama – yang diatur seperti model konsesi (HPH) di masa lalu. Para pengusaha mendekati desa-desa untuk mendapat dukungan agar pembalakan di wilayah desa bisa dilanjutkan. Kami menemukan setidaknya ada tiga kasus di mana warga desa merasa bahwa dengan meremehkan dampak pembalakan terhadap hutan bisa meningkatkan peluang diterbitkannya izin yang baru. Pada saat yang sama, desa-desa yang menerima keuntungan terbatas atau desa-desa tanpa IPPK cenderung lebih berterus terang tentang dampak negatif pembalakan pada kondisi hutan. Dampak pada wilayah desa Pada tahap awal, desa-desa memahami bahwa IPPK hanya mau beroperasi di kawasan desa yang tidak dalam sengketa. Maka, untuk menarik IPPK, desa-desa harus menyelesaikan 98 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Tabel 5.6 Perbandingan antara luasan sebenarnya dan luasan perkiraan yang terpengaruh oleh operasi IPPK Setarap–Punan Setarap Adiu–Punan Adiu Bila Bekayuk Sengayan Langap Nunuk Tanah Kibang Tanjung Nanga Luas menurut informana Luas menurut izin Luas menurut pencitraan (hektar) (hektar) satelitb (hektar) 3000–10.000 1200 207 1500 1500 532 TT 1050 299 1300 2000 18 5000 3000 554 2000 2000 220 1600 2000 121 Catatan: a Pada bulan Juni 2003, satu hingga empat kepala desa diminta memberi estimasi tentang wilayah hutan yang ditebang oleh IPPK. b Penafsiran pencitraan Landsat, Januari 2003. TT= tidak tersedia. Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan reguler ke desa-desa antara tahun 2000 hingga 2003 dan penafsiran pencitraan Landsat, Januari 2003 konflik batas desa yang masih ada. Dalam beberapa kasus, kondisi ini positif dan merangsang desa bertetangga untuk bersepakat tentang batas desa. Dalam kasus lain, hal ini justru memperburuk sengketa mengenai wilayah desa dan pengendalian sumberdaya alam. Dalam tiga kasus, konflik tersebut adalah antara dua desa yang terletak dalam satu pemukiman. Sebelum IPPK datang, akses ke hutan-hutan di wilayah desa itu diatur dengan hukum adat yang longgar. Setelah kedatangan perusahaan, desa-desa mempermasalahkan siapa yang paling berhak atas kawasan-kawasan hutan tertentu dan berhak mendapatkan bagian keuntungan yang lebih besar. Dalam satu kasus, satu desa sama sekali tidak diberi hak berdasarkan argumen bahwa mereka baru tinggal di kawasan tersebut sekitar 30 tahun lalu. Dalam dua kasus lainnya, pada mulanya keuntungan dibagi kurang lebih sama. Namun kemudian pembahasan tentang pembagian keuntungan dan pengendalian atas bagianbagian tertentu wilayah desa menjadi semakin memanas. Dalam satu kasus, salah satu alasan penghentian dini operasi pembalakan oleh IPPK adalah karena tidak tercapainya persetujuan antara kedua desa. Di dua wilayah lainnya, masalah pengendalian atas sumberdaya alam dan kawasan menjadi sulit. Beberapa keluarga berpengaruh, misalnya, kepala adat besar atau keturunan dari sultan memiliki gua-gua sarang burung (lihat Bab 4), dan hak-hak mereka telah diakui sejak zaman kolonial Belanda. Dengan menggunakan pengakuan hak terhadap gua-gua ini, mereka mengklaim wilayah hutan yang luas dan bisa memperoleh izin IPPK. Dalam satu kasus, masyarakat dengan wilayah desanya di mana terdapat gua-gua tersebut menerima sekitar separuh keuntungan dari operasi pembalakan.3 Namun anggota masyarakat curiga dan mengeluh bahwa mereka hanya menerima sebagian kecil dari keuntungan dibandingkan dengan para pemilik gua. Dalam kasus kedua, hak-hak masyarakat di wilayah ini benarbenar diabaikan dan hanya para pemilik gua yang menerima keuntungan dari IPPK. Saat ini masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan tentang sejauh mana penerbitan IPPK mempengaruhi akses ke, dan hak atas, kawasan-kawasan tertentu. IPPK diterbitkan untuk pembalakan di wilayah adat, jadi hal ini dapat ditafsirkan sebagai pengakuan tidak langsung pemerintah kabupaten atas klaim masyarakat. Selama ini Pemerintah Daerah Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 99 Tabel 5.7 Luasan dan persentase kerusakan hutan akibat pembangunan jalan terhadap total hutan yang terpengaruh oleh operasi IPPK Desa Setarap–Punan Setarap Adiu–Punan Adiu Bila Bekayuk Sengayan Langap Nunuk Tanah Kibang Tanjung Nanga Rata-rata Kawasan yang terpengaruh pembangunan jalan IPPK (hektar) 81 387 299 12 384 125 96 Total Kawasan hutan yang terdampak oleh IPPK (hektar) 207 532 299 18 554 220 121 Jalan sebagai persentase kawasan hutan yang terdampak 39 73 100 67 69 57 79 70 Sumber: Interpretasi citra Landsat, Januari 2003 ragu untuk menangani masalah pengakuan hak-hak tradisional karena terdapat banyaknya kelompok suku dan penafsiran adat yang berbeda-beda (lihat Bab 11). Dari sisi masyarakat, hingga kini tidak ada contoh tentang di mana mereka menggunakan penerbitan izin IPPK untuk memperkuat klaim mereka atas kawasan tertentu. Namun para pemilik gua sarang burung walet lebih cenderung menggunakan IPPK sebagai alat untuk memperluas dan memperkuat klaim mereka atas hutan yang berdekatan dengan gua-gua tersebut. Apa pelajaran yang bisa dipetik? Keuntungan jangka pendek versus kepentingan jangka panjang Masa-masa pemberian izin IPPK merupakan masa perubahan cepat dan penuh ketidakpastian. Kabupaten Malinau baru saja dibentuk, otonomi daerah harus dilaksanakan, wewenang kebijakan kehutanan diperdebatkan dan pandangan pemerintah atas masalahmasalah seperti hak milik, adat, dan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan hutan tidak jelas. Situasi tidak menentu ini tidak memberi dorongan bagi desa-desa, terutama kepala desa, untuk memikirkan kepentingan jangka panjang. Misalnya, tidak jelas apakah pemerintah kabupaten akan mengakui hak milik desa berdasarkan klaim adat. Sebaliknya, dalam hal mengendalikan dan mengalokasikan sumberdaya alam pemerintah kabupaten mungkin mengikuti sistem sentralisasi yang serupa dengan era Orde Baru. Faktor lainnya adalah bahwa perusahaan menekan warga desa agar segera mencapai persetujuan. Dalam banyak kasus, terbukti keuntungan jangka pendek lebih penting daripada kepentingan jangka panjang (lihat Bab 9 untuk kasus khusus). Cara perjanjian dilihat Warga desa sadar bahwa perjanjian tertulis dengan perusahaan sangat diperlukan. Tetapi karena kurang pengalaman dan mungkin terlalu percaya kepada perusahaan (karena hubungan dengan para makelar sebelumnya dan kuatnya pengaruh jaringan), perjanjian yang dibuat tidak jelas atau ambigu. Misalnya, tidak ditentukan ukuran bangunan atau lokasi yang akan diratakan, jadwal atau ketentuan pembayaran. Berbagai perusahaan 100 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau menyarankan agar perjanjian disahkan dengan akta notaris, seolah-olah memberi landasan hukum yang kuat. Tetapi, warga desa tidak pernah ditanyai tahu/tidaknya menggunakan akta notaris untuk mengambil tindakan hukum jika perlu. Akhirnya, akta notaris tidak pernah digunakan untuk mengambil langkah hukum terhadap perusahaan meskipun ternyata ada janji-janji yang tidak dipenuhi. Ketidakjelasan dalam perjanjian tertulis memberi banyak peluang bagi perusahaan untuk mengartikan perjanjian yang menguntungkan mereka. Misalnya, masyarakat menerima pembayaran sebelum perusahaan memulai pembalakan. Pada saat uang itu diserahkan, uang itu dinyatakan sebagai tambahan. Tetapi jumlah uang tersebut kemudian dipotong dari pembayaran pertama. Tidak secara jelas ditentukan jadwal pembayaran, sehingga sering terjadi penundaan pembayaran fee. Kurangnya transparansi Selama IPPK beroperasi, warga desa kesulitan memperoleh informasi tentang apa yang sedang terjadi. Para makelar dan perusahaan bergegas memanfaatkan peluang yang tercipta oleh desentralisasi sedangkan di tingkat masyarakat, warga dan lembaga tidak siap menghadapi cepatnya perubahan. Peran kepala desa menjadi sangat penting karena perusahaan lebih suka berhubungan dengan satu wakil saja. Mereka tidak tertarik pada mekanisme pertanggung jawaban di tingkat desa. Dapat dibayangkan betapa besarnya godaan korupsi/kolusi bagi para kepala desa. Selama negosiasi tahap awal, muncul banyak peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan kemungkinan terbongkar sangat kecil akibat kurangnya mekanisme pengawasan. Transparansi juga sangat diperlukan selama pembalakan. Pada beberapa kasus, perusahaan menyetujui pengawasan masyarakat terhadap produksi kayu. Namun pada praktiknya perusahaan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah setiap perjalanan ke kawasan pembalakan. Hal ini menyebabkan ketidak jelasan data produksi. Rendahnya keandalan data angka produksi meningkatkan kecurigaan terhadap kepala desa yang menerima pembayaran fee. Warga desa tidak bisa memeriksa apakah kepala desa mengurangi pembayaran atau tidak. Inspeksi independen ke kawasan pembalakan yang dilakukan warga desa membuat mereka tahu kondisi yang sebenarnya. Namun karena merupakan prakarsa pribadi, hanya sedikit tindakan kolektif yang diambil meskipun dilaporkan ada pelanggaran. Dukungan bagi masyarakat Selama masa perubahan cepat ini, warga desa hanya punya peluang kecil untuk mencari informasi atau dukungan untuk mempertimbangkan opsi-opsi ekonomi atau membuat kontrak dengan perusahaan kayu. Nyaris tidak ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) aktif di Kabupaten Malinau. Bahkan ada LSM yang dituduh menjadi makelar untuk sebuah perusahaan kayu. Selama tahap awal ini, kapasitas pemerintah kabupaten terbatas dan seringkali hanya melakukan sekali kunjungan singkat ke masyarakat untuk mendampingi makelar atau staf perusahaan, sehingga warga desa tidak punya banyak pilihan mencari bantuan saat diperlukan. Dalam satu kasus, ketika sebuah desa tidak menerima keuntungan apa pun dari IPPK, sebuah desa tetangga mendukung mereka dan akhirnya fee IPPK dibayarkan. Perusahaan biasanya memberi batas waktu pada beberapa desa untuk mencapai kesepakatan, sehingga mengurangi kesempatan bagi desa untuk Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 101 berkonsultasi dengan pihak lain tentang hal-hal penting, seperti pembagian pembayaran, luasan dan lokasi kawasan. Pemberdayaan masyarakat Pada awalnya, warga desa merasa peran mereka dalam IPPK sangat penting. Baru kali ini pengusaha harus menghubungi mereka dan bahwa mereka dapat melakukan penawaran secara langsung. Surat perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan tampak sangat penting dalam prosedur perizinan. Adanya peluang bahwa anggota masyarakat bisa mengawasi operasi pembalakan semakin membuat mereka merasa diberdayakan. Namun setelah euforia awal ini, warga desa segera menyadari kecilnya peran mereka sebenarnya, dan sulitnya melaksanakan sendiri peran mereka. Beberapa penduduk setempat bekerja untuk mengawasi operasi IPPK, seperti mengawasi ukuran pohon yang ditebang dan mengukur total volume yang ditebang. Tetapi pada beberapa kasus, perusahaan membayar anggota masyarakat yang ditugasi memeriksa operasi pembalakan dan mencegah agar mereka tidak mengunjungi kawasan tebangan. Bahkan di Tanjung Nanga, meskipun masyarakat menggaji sendiri pengawas operasi pembalakan, perusahaan berusaha mencegah atau menghalangi agar mereka tidak melaksanakan tugas. Di sisi lain, warga desa yang memasuki kawasan tebangan untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan, juga mengawasi operasi pembalakan yang sebenarnya. Tetapi tidak ada kasus di mana laporan dari pengawasan informal ini mengakibatkan tindakan terhadap perusahaan kayu jika diketahui adanya pelanggaran. Ketika menyadari kecilnya kendali yang dimiliki, warga desa berupaya untuk memperoleh sebanyak mungkin keuntungan nyata. Sasaran utama mereka adalah menuntut pembayaran tunai. Meski hanya mempunyai sedikit sarana untuk mengendalikan operasi pembalakan, namun desa mempunyai satu alat yang kuat untuk memaksa perusahaan: menghentikan operasi pembalakan dengan memblokade jalan atau menyita alat-alat berat. Beberapa desa telah berusaha menegakkan perjanjian dengan negosiasi atau surat menyurat, tetapi kurang berhasil. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, mereka kemudian mengandalkan demonstrasi. Proses pembelajaran Pengalaman di Daerah Aliran Sungai Malinau menunjukkan bahwa desa-desa cepat belajar dari pengalaman desa tetangga. Seperti telah disebutkan, tuntutan fee per meter kubik berangsur-angsur naik. Proses negosiasi juga menjadi lebih canggih, termasuk diadakannya pertemuan desa untuk membahas penawaran dari perusahaan dalam prosedur negosiasi dan selalu ada daftar warga desa yang menghadiri pertemuan untuk menunjukkan luasnya dukungan atas kesepakatan dan lebih terincinya pengaturan yang disepakati. Dengan cepat desa-desa menyesuaikan teknik-teknik negosiasi dengan perusahaan. Awalnya, mereka berusaha menegakkan perjanjian melalui dialog antara para kepala desa dengan wakil perusahaan atau mengirim surat dengan salinan yang dikirim ke pemerintah kabupaten. Karena cara-cara ini kurang membuahkan hasil, desa-desa melakukan atau mengancam akan memblokade jalan untuk memastikan perusahaan segera memberi respon, yang biasa terlaksana. 102 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Apa arti untuk masa depan? Warga desa ingin ikut berperan dalam mengelola hutan di wilayah mereka. Pengalaman dengan IPPK telah meningkatkan keinginan mereka untuk terlibat dalam proses negosiasi tentang pengelolaan atau penggunaan hutan. Namun usaha pembalakan skala kecil tidak meningkatkan pengelolaan oleh masyarakat. Peran desa terbatas pada pemberian izin untuk masuk ke wilayah mereka, tetapi kendali tetap dipegang oleh pemerintah kabupaten. Proses negosiasi seharusnya tidak hanya terfokus pada keuntungan desa dari eksploitasi hutan di wilayah mereka, tetapi juga kebutuhan untuk mengatasi masalah pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Umumnya desa-desa di Daerah Aliran Sungai Malinau ingin mempertahankan hutan di dekat pemukiman mereka untuk berbagai pemanfaatan dan mengharapkan hutan yang lebih terpencil bisa diambil kayunya. Warga desa telah terbukti cepat belajar dalam bertransaksi dengan IPPK. Informasi tambahan tentang berbagai peraturan yang berlaku dapat membantu mengurangi konflik dan memperbaiki implementasi. Misalnya, desa bisa diberi informasi tentang manfaat atau praktik-praktik standar silvikultur yang harus dilakukan oleh perusahaan kayu. Desa lalu akan bisa lebih percaya diri mengawasi operasi pembalakan di hutan dan melaporkan jika ada pelanggaran peraturan. Semakin banyak informasi di tingkat desa akan bisa mengurangi harapan yang tidak realistis, sehingga mengurangi potensi sumber konflik. Banyak masalah di tingkat desa yang terkait dengan IPPK bersumber dari kurangnya keandalan informasi dan transparansi. Peningkatan transparansi tampaknya berlawanan dengan kepentingan elit desa. Pengalaman menunjukkan (baik di Malinau maupun di Kutai Barat) bahwa warga desa tidak keberatan jika orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan pengusahaan hutan menerima keuntungan tambahan selama pembagian keuntungan itu wajar. Saat ditanya tentang aspek positif IPPK, jawaban pertama adalah keuntungan ekonomi. Peluang bagi desa untuk memperoleh keuntungan langsung dari pengusahaan hutan telah mengubah persepsi tentang nilai sumberdaya hutan. Untuk sistem pengelolaan hutan di masa depan perlu diseimbangkan antara keuntungan ekonomi jangka pendek yang biasa diperoleh warga dan tetap menjaga opsi-opsi jangka panjang. Jika tidak diciptakan mekanisme penyelesaian konflik dengan cepat dan adil, warga desa mungkin akan terus mengandalkan demonstrasi. Desa telah kecewa dengan mekanisme penanganan konflik yang ada, dan mulai mengandalkan cara pemecahan masalah yang lebih radikal. Untuk menghindari peningkatan konflik harus diterapkan mekanisme alternatif yang efektif. Penelitian kami menunjukkan bahwa selama dua tahun operasi IPPK di Daerah Aliran Sungai Malinau, dampak langsungnya pada hutan relatif kecil. Hal ini lebih disebabkan faktor keberuntungan daripada akibat dari baiknya rancangan dan penerapan kebijakan pengelolaan hutan. Berubahnya keadaan, seperti habisnya sumber kayu di tempat lain maupun naiknya harga kayu secara drastis, bisa berakibat tidak terkendalinya eksploitasi di kawasan ini jika tidak dikembangkan sistem “checks and balances”. Penambahan jalan telah membuka kawasan-kawasan baru dengan volume kayu tinggi, sehingga akan menarik minat pengusahaan hutan dan meningkatkan tekanan pada sumberdaya hutan. Dua tahun operasi IPPK di Kabupaten Malinau memberi pengalaman penting baik di tingkat desa maupun di tingkat kabupaten. Penangguhan pengusahaan hutan sekarang ini dapat memberi peluang bagi kedua belah pihak untuk memikirkan kembali dan membahas isu-isu seperti pelibatan desa dalam pengelolaan hutan, akses dan hak kepemilikan, Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu 103 transparansi dan penyebaran informasi dari tingkat desa ke tingkat kabupaten, dan mekanisme untuk pengelolaan konflik. Catatan 1 Penentuan diameter yang boleh ditebang di dalam izin IPPK tidak konsisten. Pada empat kasus, izin tersebut menetapkan diameter pohon harus di atas 8cm; dalam dua kasus di atas 40cm; dan dalam satu kasus di atas 50cm. 2 Pada sebuah kasus di kabupaten Kutai Barat, jumlah fee yang diterima oleh pengurus yang tercantum dalam dokumen resmi termasuk tinggi, yaitu: 10.000 rupiah per meter kubik. Pengurus bukan kepala desa, dan dalam banyak kasus, mereka dipilih oleh masyarakat untuk mengatur pembagian fee pembalakan. 3 Hal ini berdasarkan informasi dari kunjungan berkala ke desa ini. Namun diduga ada pemberian pembayaran tambahan langsung kepada para pemilik gua karena salah satu pekerja rendahan di perusahaan yang berasal dari desa itu mengakui bahwa dia telah menerima fee pribadi per meter kubik. Rujukan Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2007. Muddling towards cooperation: spontaneous orders and shared learning in Malinau district, Indonesia, dalam Fisher, R., Prabhu, R. dan McDougall, C. (penyunting) Adaptive collaborative management of community forests in Asia: experiences from Nepal, Indonesia and the Philippines, Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 6 Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? Negosiasi dan hasil Kesepakatan IPPK antara Masyarakat dan Broker di Malinau Charles Palmer1 Peraturan mengenai pemanfaatan kayu skala kecil – Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) – ditetapkan pada tahun 2000 oleh pemerintah Kabupaten Malinau, menyusul peraturan serupa yang diberlakukan di semua kabupaten di Kalimantan Timur dan di banyak daerah hutan Indonesia, agar masyarakat lokal bisa ikut mendapatkan manfaat dari usaha pembalakan (logging) skala kecil. Untuk pertama kalinya, masyarakat yang bergantung pada hutan di Malinau mendapat kesempatan untuk memanfaatkan kekayaan alamnya. Bab ini mengkaji faktor-faktor mana yang menyebabkan beberapa desa memperoleh keuntungan lebih besar dari perundingan dengan sistem pemanfaatan kayu skala kecil di Malinau paska desentralisasi. Pada suatu keadaan tertentu, masyarakat bisa lebih berpeluang memperoleh keuntungan. Masyarakat yang lebih terorganisasi, memiliki akses terhadap informasi, serta lebih berpengalaman berurusan secara langsung dengan pihak luar maupun perusahaan pembalakan, akan mampu merundingkan keuntungan lebih besar daripada masyarakat marginal yang terpecah, tidak terorganisir dan berpengharapan rendah. Dengan terorganisasi, masyarakat bisa membentuk jaringan kuat pertukaran informasi mengenai peluang dan harga. Bagusnya pengorganisasian dapat tercermin dari tingginya tingkat partisipasi dalam lembaga dan musyawarah desa yang membahas akses dan penggunaan hutan desa.2 Selain itu, masyarakat berpendapatan lebih tinggi dan lebih tergantung pada hasil hutan akan bisa membuat kesepakatan lebih menguntungkan daripada masyarakat yang miskin dan lebih rendah ketergantung­annya pada hasil hutan. Masyarakat miskin diduga memiliki tingkat diskon lebih tinggi (Pearce and Warford, 1993). 106 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Guna menggali isu ini, telah dibahas sejumlah tema, termasuk subkontrak, keterpinggiran kelompok etnis tertentu di Malinau dan peran orang-orang yang mengklaim berhak atas gua sarang burung walet. Pembahasan terfokus pada siapa berunding dengan siapa, atas nama siapa, bagaimana caranya, dan apa yang dirundingkan. Hasil perundingan akan disajikan bersama realisasi pelaksanaan isi kesepakatan, disertai analisa latar belakang hasil kesepakatan tersebut, lalu dibandingkan dengan beberapa proses serupa hasil survei di daerah penelitian lain, Kutai Barat. Bab ini kemudian akan memeriksa faktor-faktor yang menjelaskan perbedaan penting antara proses negosiasi dan hasil yang mengikutinya, baik hasil kesepakatan maupun hasil pelaksanaannya. Bab ini kemudian ditutup dengan kesimpulan. Metode penelitian Antara bulan September 2003 dan Januari 2004, kami mengumpulkan data lapangan di Malinau, Kalimantan Timur, dengan melakukan wawancara pada tingkat desa dan rumah tangga.3 Di tiap desa dilakukan satu survei desa (untuk pemimpin masyarakat yang telah terlibat dalam perundingan awal, seperti kepala desa dan kepala adat) dan sedikitnya lima survei rumah tangga (untuk kepala keluarga). Di Malinau, disurvei 22 desa dan 189 rumah tangga, mencakup total 15 kesepakatan IPPK, termasuk tujuh kesepakatan bersama. Agar dapat dibandingkan, kami hanya mensurvei kasus-kasus di mana perusahaan memulai operasi atau memasuki wilayah masyarakat setelah diadakan perundingan.4 Di samping itu, hanya kesepakatan pertama (dan tiap perubahan terhadapnya) yang disurvei pada kasus-kasus kesepakatan ganda. Daftar lengkap desa yang disurvei dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.1, disertai beberapa data dasar mengenai lokasi desa, klaim lahan, suku dan ukuran. Pengorganisasian negosiasi di Malinau Seperti dijelaskan dalam Bab 5, sebelum memanfaatkan hutan yang diklaim masyarakat, ada langkah-langkah yang harus diikuti sebuah perusahaan. Bab ini terfokus pada broker (perantara atau makelar) yang dalam proses ini berperan sebagai penghubung utama antara pemerintah, kontraktor pembalakan dan masyarakat. Semua perundingan yang disurvei di Malinau melibatkan broker, yang semuanya tinggal di Malinau Kota atau lebih jauh lagi. Broker biasa dikenal sebagai ‘investor’, meski modal untuk kesepakatan pembalakan berasal dari pembeli kayu. Pembeli kayu, karena faktor kedekatan dengan industri kayu raksasa di Sabah, kebanyakan warga Malaysia dan berhubungan dengan kontraktor pembalakan yang biasanya juga warga Malaysia.5 Pengelompokan pembeli, kontraktor dan broker ini dapat didefinisikan sebagai ‘perusahaan’, meski definisi yang lebih akurat mungkin adalah istilah setempat dari bahasa Belanda yaitu Commanditaire Vennootschap (CV), juga dikenal sebagai ‘kemitraan terbatas’. Bab ini hanya akan terfokus pada negosiasi antara broker dan masyarakat. Broker sepenuhnya mewakili ‘perusahaan’ atau CV, walau dalam beberapa kasus broker didampingi kontraktor dalam bernegosiasi dengan masyarakat. Di sini, istilah ‘CV’ dan ‘broker’ akan digunakan secara bergantian. Sebelumnya, broker bersama dengan aparat pemerintah kabupaten menetapkan lebih dulu beberapa unsur kesepakatan antara masyarakat–perusahaan, seperti luas areal konsesi Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 107 Tabel 6.1 Komunitas yang disurvei di Kabupaten Malinau, September 2003–Januari 2004 Desa Sungai Kecamatan Malinau Barat Batu Lidung Bengalun Jarak Klaim dari wilayah Kota desa (ha) Malinau (km) 9 Tahun desa terbentuk di lokasi sekarang Taksiran Jumlah lokasi kepala klaim lahan keluarga (sungai) Kelompok etnis dominan (30% atau lebih dari populasi) 1700 < 1963 Bengalun 156 Tagel, Lundaye Berusu Punan Sesuà Bengalun Punan Bengalun Bengalun Kecamatan Malinau Selatan Setarap Malinau 15 1500–3000 30 4600 1948 1941 Bengalun Bengalun 250 43 38 9000a 1920-an Malinau 65 Punan Setarap Long Adiu Punan Adiu Malinau 38 1940-an Malinau 38 Malinau Malinau 50 50 1880 1900-an Malinau Malinau 26 17 Merap Punan 80 80 Tidak diketahuia 70.000 Tidak diketahui 35.000 50.000 Kenyah, Lundaye Punan 1914 < 1971 114 34 145 Merap Punan, Merap Kenyah Langap Malinau Nunuk Tanah Ran Kibang Tanjung Malinau Nanga Kecamatan Mentarang Long Sulit Sesayap Long Simau Mentarang 85 50.000 1974 Malinau Ran/ Malinau Malinau 5 20 1982d 1980d Mentarang Mentarang 32e 41e Lundaye Lundaye Paking Lama 40 3000 Tidak diketahui 122.000b 1940-an Sesayap/ Mentarang 87 Abai, Putuk 1 5000 1920-an Sesayap 320 Tidung 3 4 5 5 1900-an 1960-an 1900-an 1972d Sembuak Sembuak Sembuak Semolon 60 80 30 16 Abai Abai Abai Punan 5 70.000c 70.000c 70.000c Tidak diketahui 20.000 1968d Mentarang 111 Lundaye 9 13 16 1000 20.000 40.000 < 1977 Semendurut 1927 Semendurut 1930s Semendurut 104 70 85 Lundaye Tagel Abai Sesayap Kecamatan Malinau Utara Malinau Sesayap Seberang Tanjung Lima Sembuak Tajan Sembuak Sebatiung Sembuak Semolon Sesayap Kaliamok Kelapis Salap Selidung Kaliamok, Semeladung Keliamok Semendurut Semendurut Catatan: Semua data dalam tabel ini berasal dari wawancara masyarakat. Tanda ‘<‘ menunjukkan bahwa masyarakat ini baru diakui tahun itu, tapi telah menetap di daerah tersebut (responden tidak dapat memastikan sejak kapan) sebelum tahun tersebut. a Setarap dan Punan Setarap mengklaim sebuah kawasan hutan yang sama. Punan Setarap tidak mengetahui ukuran hutan yang diklaimnya. b Ini termasuk hutan yang diklaim terpisah oleh Semolon. c Tiga desa mengklaim area 70.000ha. d Long Sulit, Long Simau, Semolon dan Kaliamok semuanya telah pindah dari klaim lahannya semula di sepanjang Sungai Sesayap dan Mentarang dan lebih dekat ke Malinau Kota. d Sebagian kecil dari populasi Long Sulit dan Long Simau masih menetap di desa asal mereka dengan masing-masing 10 dan 25 kepala keluarga di tiap desa. Angka ini sudah termasuk dalam total keseluruhan. Sumber: Wawancara dengan tokoh masyarakat dan keluarga di Malinau, September 2003 – Januari 2004 108 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau IPPK,6 batas pembalakan dan peraturan pembalakan serta kewajiban membuka perkebunan ketika pemanenan selesai dilakukan.7 Namun sejumlah desa tetap masih membahas dan bahkan merundingkan beberapa unsur, terutama karena masih banyak ketidakjelasan di dalam isi peraturan (misalnya, jenis perkebunan yang akan dibuka). Broker memulai negosiasi dengan masyarakat melalui kepala desa, yang dilakukan di desa maupun di tempat lain.8 Kadang-kadang, seperti yang terjadi di enam desa yang kami survei (27 persen sampel), negosiasi dimulai selama pertemuan ini dan diakhiri dengan sebuah kesepakatan. Pada kasus lain, terjadi tawar-menawar antara kedua pihak, yang kemudian berlanjut pada diskusi, pertemuan dan negosiasi. Sebagian dari pertemuan ini juga dihadiri warga masyarakat lain, seperti yang disebutkan di bawah. Biasanya pada suatu saat sebelum kesepakatan ditetapkan, diselenggarakan musyawarah desa, meski jarang melibatkan broker secara langsung. Setelah itu disusun surat kesepakatan, yang biasanya dilanjutkan sampai pembuatan akta notaris antara kedua belah pihak, meski tidak selalu begitu. Semua masyarakat yang disurvei di Malinau membuat kesepakatan dengan broker yang disahkan notaris. Cara bernegosiasi sampai diakhiri dengan akta notaris berbeda-beda di setiap tempat, namun dari survei ini terlihat ada beberapa pola umum yang digambarkan lebih rinci di bawah ini. Setelah membuat surat kesepakatan di desa, berisi nama-nama keluarga dan tanda tangan mereka, broker menyampaikan surat ini ke Kantor Dinas Kehutanan di Malinau Kota guna mendapatkan izin IPPK. Broker juga bertanggung jawab untuk mengurus surat-surat dan tugas-tugas administratif lainnya. Warga desa sendiri tidak mengajukan permohonan izin secara langsung; tapi nama mereka digunakan oleh broker untuk dapat mengklaim kepemilikan atas izin tersebut. Sebagai contoh di Adiu, CV Wana Bakti pada praktiknya mengalihkan hak 15 keluarga (sepuluh dari Long Adiu, lima dari Punan Adiu, masing-masing memiliki 100ha) atas nama broker, sehingga diperoleh areal seluas 1500ha untuk IPPK. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah karena biaya permohonan izin yang mungkin terlalu mahal bagi kebanyakan warga desa; di Malinau, sekitar 200.000 rupiah per hektar. Tema-tema dalam pengorganisasian negosiasi Bagian ini menggambarkan sejumlah tema utama yang mendasari negosiasi di Malinau, diawali dengan peran broker dan pekerjaan subkontrak. Kemudian, negosiasi diuraikan dari sudut pandang masyarakat, beberapa di antaranya didominasi oleh keluarga yang berpengaruh dan mengklaim hak atas wilayah sarang burung walet. Selain kepentingan kelompok lokal tertentu, pada desa yang besar dan apabila ada pengaturan bersama antar desa, sering diperlukan negosiasi tidak langsung antara masyarakat dan broker. Hal ini diikuti dengan penekanan pada keterwakilan Punan dalam proses negosiasi dan pada desa dengan klaim ganda wilayah desa. Masalah terakhir ini cenderung lebih merupakan masalah pemukiman kembali penduduk desa di Malinau. Broker dan kegiatan subkontraktor Broker di Malinau merupakan pemain utama dalam negosiasi IPPK. Meski bukan staf perusahaan pembalakan yang terintegrasi secara vertikal (misalnya sebagai pemilik modal), mereka memiliki jaringan dengan kontraktor (pelaku pembalakan yang sebenarnya), Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 109 pembeli kayu (pemilik modal), pejabat pemerintah, dan masyarakat lokal. Broker IPPK merupakan pusat jaringan yang luas, yang semuanya (termasuk masyarakat) sangat bergantung padanya untuk mengembangkan dan mengatur seluruh rangkaian kegiatan untuk menghasilkan kayu: perizinan, pembelian, peralatan dan area konsesi. Sejumlah kecil broker mendominasi pembuatan kesepakatan IPPK di Malinau, sebagaimana di tempat lainnya di Kalimantan. Banyak broker utama di Malinau cukup dikenal, setidaknya bagi tokoh masyarakat. Mereka biasanya orang setempat yang sebelumnya merupakan pedagang hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau bekerja di jaringan pembalakan ilegal. Para mantan pedagang melihat IPPK sebagai peluang bisnis yang menguntungkan dengan jaringan perdagangan yang sudah mapan di daerah tersebut, sementara para mantan pekerja melihat IPPK sebagai sarana untuk melegalkan usaha mereka. Para tokoh masyarakat memandang para broker bisa membantu menarik keuntungan dari kayu untuk kelompok-kelompok tingkat kabupaten, berlawanan dengan periode pra-desentralisasi ketika keuntungan hanya diperoleh dan dikuasai oleh pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dikontrol terpusat. Dalam sampel kami, broker utama adalah Spiner (CV Putra Mentarang), Sudjarwadi (CV Putra Surip Wijaya) dan Tengkawang (CV Wana Bakti) (lihat Tabel 6.2). Dua CV pertama terutama aktif di utara Malinau (Selidung, Salap, Kelapis, Kaliamok, Malinau Seberang, Tanjung Lima, Tajan dan Sebatiung), sementara Tengkawang lebih aktif di bagian timur (Batu Lidung, Sesuà dan Punan Bengalun) dan selatan kabupaten (Long Adiu dan Punan Adiu). Latar belakang orang-orang ini tergambarkan dari wilayah pengaruhnya. Sebagai contoh, Spiner adalah orang Dayak Lundaye dengan hubungan keluarga di Kaliamok, Kelapis dan Salap sedangkan Tengkawang, orang Dayak Berusu–Tionghoa, memiliki banyak kerabat di Sesuà. Secara keseluruhan, sedikitnya tujuh desa (32 persen dari sampel) memiliki ikatan historis atau hubungan sebelumnya dengan brokernya. Para broker ini mendominasi wilayah pengaruh masing-masing di Malinau dan tidak pernah ada persaingan sengit dengan broker lain dalam membuat kesepakatan dengan desa-desa yang ada, seperti terlihat pada Tabel 6.2.9 Broker lain memang masuk ke sembilan desa (41 persen dari sampel) ketika pembicaraan dan negosiasi untuk kesepakatan pertama tengah berlangsung. Namun negosiasi alternatif tidak terjadi pada waktu yang sama. Broker berkeliling dari desa ke desa untuk membuat kesepakatan, tapi umumnya tidak melakukan negosiasi di desa yang sudah dalam proses membuat kesepakatan dengan broker yang lain. Mereka berusaha tidak saling mengganggu urusan broker lain, terutama jika mereka penduduk lokal di daerah aliran sungai atau desa tersebut. Jelas broker yang bergerak lebih cepat dalam membuat kesepakatan sebanyak mungkin akan lebih untung. Ini bisa menjelaskan ‘demam’ berburu kesepakatan dan izin dari tahun 2000 hingga 2001. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1999 atau awal 2000, kepala adat Selidung secara sepihak mengklaim semua hutan di dekat sumber Sungai Semendurut, seluas sekitar 180.000ha. Ia menghubungi CV Putra Mentarang untuk mendapatkan izin areal ini, yang juga diklaim oleh desa Luba, Seruyung, Putat dan Salap. Warga desa-desa ini melakukan protes ke pemerintah kabupaten dan membentuk kelompok kerja terpadu, Persatuan Dayak Sewilayah Semendurut (PADUS), untuk menyampaikan sanggahan dan kemudian membagi-bagi hutan dengan luasan sama (20.000ha) untuk desa mereka. Pemerintah kabupaten, bekerja sama dengan PADUS, juga membagi-bagikan hutan kepada kepala adat Selidung sebagai tanda perdamaian dan setengah pengakuan terhadap klaimnya semula. Selanjutnya 1000ha diberikan kepada Kelapis, sebuah desa kecil yang berpisah dari Selidung pada tahun 1977. Sebagian besar warga desa Punan Bengalun Punan Setarap Setarap Desa lain Tidak Tidak ada Kepala desa, kepala adat Pemerintah kabupaten Kepala desa, kepala adat, sebagian besar warga desa Kecamatan Malinau Selatan Perusahaan, pemerintah kabupaten Camat, kepala desa, kepala adat, sebagian besar warga desa Sesuà Desa lain – Bagaimana mereka mengetahui tentang IPPK Batu Lidung Tidak diketahui Kecamatan Malinau Barat Masyarakat Warga masyarakat yang mengetahui tentang IPPK sebelum negosiasi Setarap Ya Di desa Di desa Di desa Di desa Seluruh masyarakat Punan Setarap A. Liong, Titi Pemilik (CV Gading Indah), teman Ya A. Liong, Titi Pemilik (CV Gading Indah), teman Yabin, Sadirin Mantan kepala desa Sesuà, kepala desa Sesuà Tengkawang, Pemilik (CV Aliang Wana Bakti) Tengkawang Pemilik (CV Wana Bakti) Lokasi rapat Perwakilan Posisi perusahaan pertama antara perusahaan dan masyarakat Tabel 6.2 Negosiasi untuk kesepakatan IPPK di Malinau Kepala Ya, kerja desa, kepala adat, semua kepala keluarga Kepala desa Ya, kerja Kepala Tidak desa, kepala adat, tokoh masyarakat Kepala desa, Ya, keluarga kepala adat, beberapa warga masyarakat Sesuà Kepala Tidak desa, kepala adat, tokoh masyarakat Perwakilan Hubungan masyarakat sebelumnya antara perwakilan Tidak Tidak Tidak Apakah kesepakatan dibuat dalam rapat pertama? Kepala desa, Tidak kepala adat, seluruh masyarakat Setarap Tidak ada Tidak ada Tidak ada Orang lain dari luar masyarakat yang terlibat dalam rapat pertama Ya Tidak Ya Ya Diskusi lebih lanjut di tengahtengah masyarakat? Ya Ya Tidak Ya Adakah perusahaan lain yang mendekati masyarakat? Tidak ada Seluruh masyarakat Sesuà, LSM Yayasan Adat Punan Bupati, kepala desa Punan Bengalun Yabin, kepala desa Sesuà Adakah pihak lain yang terlibat dalam negosiasi setelah rapat pertama? 110 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Perusahaan Sebagian besar warga desa Kepala desa, kepala adat Kepala desa, kepala adat, sebagian besar warga desa Long Adiu Punan Adiu Langap Pewaris Long Simau Kepala desa, kepala adat, pewaris Long Sulit Kecamatan Mentarang Perusahaan, pemerintah kabupaten Perusahaan Desa lain, pemerintah kabupaten Tanjung Nanga Kepala desa, sebagian besar warga desa Perusahaan Nunuk Tanah Kepala desa Kibang Desa lain Pemerintah kabupaten Bagaimana mereka mengetahui tentang IPPK Masyarakat Warga masyarakat yang mengetahui tentang IPPK sebelum negosiasi H. Sudjarwadi Haji Hamid Pemilik (CV Putra Surip Wijaya) Pemilik (CV Hanura) Tengkawang Pemilik (CV Wana Bakti) Kepala desa, tokoh masyarakat Tidak Malinau Kota Ase Atak Malinau Kota Lintung Pemilik (CV Sinar Busakan) Pemilik (CV Wana Prima Mandiri) Tidak Kepala desa, Ya, keluarga, kepala adat, kerja pimpinan desa, pewaris Pewaris Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Kepala desa, Tidak kepala adat, seluruh masyarakat Long Adiu Kepala desa, Tidak kepala adat, masyarakat Kepala Ya, desa, kepala pengakuan adat, tokoh masyarakat Ya Diskusi lebih lanjut di tengahtengah masyarakat? Tidak Apakah kesepakatan dibuat dalam rapat pertama? Tidak ada Orang lain dari luar masyarakat yang terlibat dalam rapat pertama Kepala desa, Tidak kepala adat Perwakilan Hubungan masyarakat sebelumnya antara perwakilan Malinau Kota H. Rosalie AC Manajer Kepala desa, Tidak Camp (CV kepala adat Meranti Wana Lestari) Tarakan Di desa Long Adiu Malinau Kota Tengkawang Pemilik (CV Wana Bakti) Lokasi rapat Perwakilan Posisi pertama perusahaan antara perusahaan dan masyarakat Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Adakah perusahaan lain yang mendekati masyarakat? Tidak ada Tidak diketahui Tidak ada Tidak ada Beberapa warga masyarakat Punan Rian Seluruh masyarakat Punan Adiu Adakah pihak lain yang terlibat dalam negosiasi setelah rapat pertama? Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 111 Kepala desa, kepala adat, pimpinan desa Camat, kepala Perusahaan desa, kepala adat Kepala desa, kepala adat Kepala desa Tanjung Lima Tajan Sebatiung Semolon Desa lain Perusahaan, pemerintah kabupaten Pemerintah kabupaten Beberapa desa Malinau Seberang Pemerintah kabupaten Perusahaan Paking Lama Kepala desa Kecamatan Malinau Utara Bagaimana mereka mengetahui tentang IPPK Masyarakat Warga masyarakat yang mengetahui tentang IPPK sebelum negosiasi Alvend, Spiner Leti, Suma Paking Tidak diketahui Tanjung Lima H. Sudjarwadi Tanjung Lima H. Sudjarwadi Tanjung Lima H. Sudjarwadi Di desa Di desa Perwakilan Hubungan masyarakat sebelumnya antara perwakilan – Pemilik (CV Putra Surip Wijaya) Pemilik (CV Putra Surip Wijaya) Pemilik (CV Putra Surip Wijaya) Pemilik (CV Tripela, CV Putra Mentarang) Pewaris Tidak Kepala desa, Tidak kepala adat Kepala desa, Tidak kepala adat Kepala desa, Tidak kepala adat Kepala Ya, keluarga desa, kepala adat, tokoh masyarakat Direktur (PT Kepala desa, Tidak Lestari Timur kepala adat, Indonusa) seluruh masyarakat Paking Lama Lokasi rapat Perwakilan Posisi pertama perusahaan antara perusahaan dan masyarakat Ya Apakah kesepakatan dibuat dalam rapat pertama? Tidak Tidak Tidak Kelompok Tidak petani Paking diketahui Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak (LADAS) Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak, (LADAS) Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak (LADAS) DPRD, Ya pemerintah kabupaten, Kantor Dinas Kehutanan Pewaris Semolon Orang lain dari luar masyarakat yang terlibat dalam rapat pertama Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Diskusi lebih lanjut di tengahtengah masyarakat? Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Adakah perusahaan lain yang mendekati masyarakat? Seluruh masyarakat Paking Lama Kepala desa, kepala adat: T. Lima, Tajan Kepala desa, kepala adat: T. Lima, Sebatiung Kepala desa, kepala adat: Tajan, Sebatiung Camat, pimpinan desa: Kaliamok Seluruh masyarakat Paking Baru Adakah pihak lain yang terlibat dalam negosiasi setelah rapat pertama? 112 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Desa lain Beberapa desa Kepala desa, kepala adat, beberapa desa Kepala desa, kepala adat Kepala adat, pewaris Kaliamok Kelapis Salap Selidung Di desa Di desa Di desa Malinau Seberang Pemilik (CV Tripela) Pemilik (CV Putra Mentarang) Asiong, Agus Direktur, manajer (PT. Bakti Bumi Perdana) Spiner Asiong, Agus Direktur, Manajer (PT. Bakti Bumi Perdana) Alvend Lokasi rapat Perwakilan Posisi pertama perusahaan antara perusahaan dan masyarakat Kepala desa, Tidak kepala adat, seluruh masyarakat Selidung Kepala Ya, keluarga desa, kepala adat, semua kepala keluarga Tidak ada Tidak ada Tidak ada Camat Tidak Kepala desa, kepala adat, staf dan tokoh masyarakat Kepala adat, Tidak seluruh masyarakat Kelapis Orang lain dari luar masyarakat yang terlibat dalam rapat pertama Perwakilan Hubungan masyarakat sebelumnya antara perwakilan Sumber: Wawancara dengan pimpinan masyarakat dan responden rumah tangga di Malinau, September 2003–Januari 2004 Catatan: Semua rapat dan negosiasi berlangsung antara tahun 1999 dan 2001. Hanya kesepakatan pertama yang dicantumkan sini. Perusahaan Perusahaan, pemerintah kabupaten Bupati Bagaimana mereka mengetahui tentang IPPK Masyarakat Warga masyarakat yang mengetahui tentang IPPK sebelum negosiasi Tidak Tidak Tidak Tidak Apakah kesepakatan dibuat dalam rapat pertama? Ya Ya Ya Ya Diskusi lebih lanjut di tengahtengah masyarakat? Tidak Tidak Tidak Tidak Adakah perusahaan lain yang mendekati masyarakat? Tidak ada Tidak ada Tidak ada Kantor Dinas Kehutanan, pemerintah kabupaten, pimpinan desa Malinau dan Seberang Adakah pihak lain yang terlibat dalam negosiasi setelah rapat pertama? Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 113 114 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Perburuan untuk mendapatkan izin dan kesepakatan berarti bahwa broker memiliki banyak pilihan areal konsesi potensial, walau tidak selalu memiliki kemampuan memanfaatkannya. Tapi opsi-opsi ini masih tetap bernilai. Sebagai contoh, CV Putra Mentarang masih memiliki cadangan IPPK (jika bukan izin) untuk Selidung dan Kelapis, yang kemudian dijual atau disubkontrakkan ke PT Bakti Bumi Perdana (BBP). Di samping semua izin lain yang dimilikinya untuk areal hutan di atas Sungai Semendurut, BBP menguasai wilayah konsesi yang berdekatan, sehingga secara keseluruhan mendapat konsesi lebih besar.10 BBP mendekati Selidung dan Kelapis secara terpisah guna menegosiasikan kontrak dan kemudian mengatur izin IPPK. Jaringan subkontrak lainnya dapat dilihat pada tahun 2000 ketika CV Putra Mentarang melakukan negosiasi dengan desa Malinau Seberang. CV Putra Mentarang menggunakan broker lain, CV Tripela, yang kemudian mengatur subkontraktor yang akan melakukan operasi pembalakan (PT Nelly Permata Wood Industry). Pewaris dan klaim lahannya Dari sisi masyarakat, biasanya ada beberapa atau bahkan satu orang saja yang menemui broker lebih dahulu dan berunding atas nama masyarakat (lihat Tabel 6.2 dan Bab 12). Siapa orang-orang ini dan siapa yang sebenarnya mereka wakili tergantung pada komposisi masyarakat dan sifat klaim lahan (lihat Tabel 6.2). Dalam survei ini, hal ini bervariasi dari suatu keluarga (biasanya pewaris) hingga tiga desa terpisah yang sama-sama mengklaim suatu kawasan hutan. Pewaris adalah keluarga setempat yang berpengaruh dan mengklaim memiliki hak waris terhadap gua sarang burung walet, dan terkadang, kayu-kayu yang ada di sekitarnya.11 Hak ini diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari kesultanan masa lalu, dan secara umum diakui oleh kebanyakan orang di daerah setempat, termasuk oleh aparat pemerintahan. Pewaris terlibat sedikitnya pada 5 negosiasi dari 15 negosiasi IPPK yang diamati di Malinau, yang semuanya sangat dipengaruhi oleh klaim lahannya yang kuat. Di Long Sulit, pewarisnya yang tinggal di desa lain di Pulau Sapi, mengklaim kepemilikan atas hutan yang juga diklaim oleh sejumlah desa di daerah tersebut. Kendati klaim hutan utama Long Sulit berada di daerah yang sama sekali berbeda, desa masih memiliki klaim samar mengenai hutan di lokasi pemukiman sekarang. Warga desa setuju memberikan tanda tangannya untuk izin IPPK berdasarkan janji lisan akan mendapat bagian dari fee IPPK. Masyarakat hampir tidak dilibatkan dalam proses negosiasi, semua negosiasi dilakukan secara langsung antara pewaris dan broker, Lintung (CV Wana Prima Mandiri). Tidak pernah ada musyawarah desa dan broker tidak pernah mengunjungi desa tersebut.12 Pewaris Semolon adalah warga Semolon yang tinggal di desa Paking Lama. Pewaris Semolon, serta beberapa warga Semolon yang menetap di Paking, tampak terlibat dalam negosiasi awal yang diadakan di desa Paking Lama, meski mereka tidak mewakili masyarakat Semolon secara resmi (lihat Tabel 6.2). Paking Lama membuat kesepakatan sendiri dengan PT Lestari Timur Indonusa, dan perusahaan tersebut beroperasi selama dua bulan sebelum memasuki wilayah Semolon. Tampaknya perusahaan dari awal tidak berencana untuk beroperasi di wilayah Semolon sehingga tidak melakukan negosiasi formal dengan warga masyarakat Semolon atau mengunjungi desa tersebut sebelumnya. Pada saat itu, kepala desa Semolon (yang tidak menetap di Paking Lama) tidak mengetahui adanya operasi perusahaan tersebut di wilayah desa, dan menduga ada keterlibatan pewaris Semolon dalam hal ini. Ketika kepala desa mengetahui hal tersebut, ia meminta untuk melakukan kesepakatan Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 115 dengan perusahaan, dan kesepakatan Paking Lama secara resmi juga menjadi kesepakatan bersama untuk dua desa tersebut. Semolon tidak berusaha membuat kesepakatan dengan perusahaan lain dan cukup puas dengan kesepakatan bersama Paking Lama. Di Long Simau, ada pewaris yang mengetahui tentang IPPK sebelum masyarakat mengetahuinya. Pewaris ini juga merupakan keluarga berpengaruh dengan klaim historis pribadi terhadap wilayah desa. Bahkan meskipun tidak tinggal di Long Simau (atau pun di pemukiman asli atau yang lebih baru), mereka menginformasikan kepada kepala desa tentang IPPK, kemudian melakukan negosiasi dengan kepala desa atas nama seluruh masyarakat. Dalam kasus ini, pewaris Long Simau bertemu dengan broker Ase Atak (CV Sinar Busakan) di Malinau Kota dan mengadakan pembicaraan rutin mengenai IPPK dengan seluruh warga masyarakat di desa tersebut. Sebaliknya, warga desa Semolon dan Long Sulit memutuskan untuk menerima syarat-syarat dalam kesepakatan IPPK (lihat Tabel 6.3), meski tidak pernah terlibat secara langsung dalam negosiasi dengan broker. Negosiasi tidak langsung Jika tidak ada pewaris, pada umumnya kepala desa dan kepala adat, dan kadang-kadang tokoh atau tetua masyarakat, akan mewakili masyarakat dalam negosiasi. Oleh karena itu, pada hampir semua negosiasi yang disurvei di Malinau, ada keterlibatan sejumlah tokoh yang berurusan langsung dengan broker, setidaknya selama pertemuan awal. Di 16 desa (73 persen sampel), sebagian besar warga desa hanya terlibat dalam negosiasi secara tidak langsung dan dampaknya terhadap pengambilan keputusan tidak selalu mudah dikenali. Dalam hal warga masyarakat terlibat secara langsung, biasanya jumlah masyarakat desa relatif kecil (misalnya, Paking Lama dan Punan Setarap). Malinau Seberang adalah desa terbesar dalam sampel dengan sekitar 1500 warga. Uniknya, desa ini bersebelahan dengan Malinau Kota dan tingkat imigrasi dari kota terus meningkat. Pengambilan keputusan dalam desa sebesar itu diserahkan kepada Ketua RT atau Rukun Tetangga, yang jumlahnya ada delapan di Malinau Seberang, termasuk untuk pengajuan IPPK. Mereka ini bertanggung jawab untuk membicarakan semua aspek IPPK dengan seluruh masyarakat sebelum melapor kembali ke kepala desa dan kepala adat. Jadi, dalam desa besar, kesenjangan (gap) antara pengambil keputusan akhir dan masyarakat umum, lebih besar dibandingkan pada desa yang lebih kecil, yang menjelaskan mengapa warga masyarakat di tempat-tempat seperti Malinau Seberang merasa kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai sumberdaya milik bersama (kolektif ). Memang banyak orang di Malinau Seberang yang tidak merasa bahwa mereka telah diajak bermusyawarah mengenai IPPK selama negosiasi. Sama halnya dengan Malinau Seberang dan Kaliamok maupun di banyak kasus lain, negosiasi di masyarakat Tajan, Sebatiung dan Tanjung Lima di Sungai Sembuak tidak diadakan secara langsung antara masyarakat desa dengan broker, CV Putra Surip Wijaya. Pada tahun 2000, tiga orang berpengaruh dan punya jaringan luas dari tiga desa ini membentuk lembaga swadaya masyarakat bernama Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak (LADAS), yang menjadi juru negosiasi utama untuk hutan seluas sekitar 70.000ha berlokasi di mata air Sungai Sembuak yang diklaim bersama oleh ketiga desa. Seluruh proses negosiasi berlangsung selama satu bulan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1 LADAS mengatur pertemuan antara broker dan perwakilan masyarakat. Di Tanjung Lima, CV Surip Wijaya bertemu dengan kepala desa dan kepala adat dari Tanjung Lima dan desa tetangganya, dan juga LADAS untuk pembicaraan awal. 116 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 2 Para kepala desa dan LADAS mengadakan musyawarah terbuka satu hari untuk ketiga desa di Gereja Katolik di Malinau Kota untuk membicarakan maksud perusahaan dan permintaan masyarakat. Lebih dari 80 persen keluarga yang disurvei berpartisipasi dalam rapat ini. Broker tidak hadir dalam rapat ini. 3 Para kepala desa dan kepala adat bersama LADAS melakukan pertemuan kembali dengan broker, membahas permintaan masyarakat dan negosiasi awal. 4 Para kepala desa dan kepala adat serta LADAS melakukan musyawarah terpisah dengan masyarakat untuk membahas lebih lanjut apa tawaran perusahaan terhadap permintaan masyarakat. 5 Para kepala desa dan kepala adat bersama LADAS kembali menemui broker dan membuat sebuah kesepakatan. 6 CV Putra Surip Wijaya memasuki Tajan dan melakukan pertemuan dengan seluruh masyarakat untuk pertama dan terakhir kalinya. LADAS mengadakan pesta di mana uang muka didistribusikan ke seluruh warga di tiga masyarakat tersebut. Ada perbedaan pendapat di antara ketiga desa tersebut tentang cara pengambilan keputusan akhir mengenai IPPK, meski sudah cukup banyak musyawarah dilakukan antara warga dan pemimpin masyarakat tentang keinginan mereka. Juga ada ketidaksepakatan mengenai peran LADAS sebenarnya karena mereka dituduh melakukan pertemuan sendiri dengan broker tanpa kehadiran kepala desa. Intinya, koordinasi antara semua kelompok dalam masyarakat yang homogen secara etnis ini (semuanya Dayak Abai) cukup bermasalah selama proses negosiasi. Kesepakatan bersama relatif umum di Malinau, terjadi pada lebih dari sepertiga dari kesepakatan yang disurvei, dan hampir selalu melibatkan masyarakat Punan. Keterlibatan dan musyawarah yang diadakan dengan kelompok lain cukup berbeda-beda. Sebagai contoh, para kepala desa Kaliamok mengadakan negosiasi bersama di Malinau Seberang dengan pemimpin dari desa induk (host village). Kendati Kaliamok menyatakan bahwa semua warga desa diajak bermusyawarah dan dilakukan pemungutan suara mengenai keputusan ingin terlibat dengan pengajuan IPPK atau tidak, keputusan akhir di Malinau Seberang diambil langsung oleh kepala desa. Di desa Nunuk Tanah Kibang, semua negosiasi yang dilakukan di kota Tarakan maupun di desa dipimpin oleh kepala desa. Negosiasi di desa juga melibatkan kepala desa lain, dengan musyawarah rutin dengan seluruh masyarakat. Sekali lagi, seperti pada banyak kasus di Malinau, meski diajak bermusyawarah warga masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam negosiasi. Mereka benar-benar bertemu dengan perusahaan hanya setelah tercapai kesepakatan, selama masa ‘sosialisasi’, yaitu ketika broker mengunjungi masyarakat dan terlibat dalam diskusi publik mengenai IPPK dan kadang-kadang memberikan uang muka dari fee yang telah disepakati. Seperti terlihat dari Tabel 6.3, keputusan akhir mengenai kesepakatan ini dibuat oleh kepala desa. Untuk Selidung dan Kelapis, negosiasi dilakukan di desa dan melibatkan semua warga masyarakat, dengan pemungutan suara mengenai keputusan akhir apakah akan bekerja-sama dengan IPPK atau tidak. Proses yang sama juga terjadi di Salap. Semua desa ini memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan pemegang izin IPPK. Secara keseluruhan, 12 dari 22 (55 persen) desa yang disurvei menyatakan adanya pemungutan suara dalam masyarakat guna menentukan keputusan akhir pembuatan kesepakatan IPPK. Pada desa-desa lainnya, keputusan akhir cenderung diambil oleh para pemuka desa (lihat Tabel 6.3). Kesepakatan yang juga digunakan masyarakat lain Oleh pimpinan desa Tanjung Nanga Tidak 20.000 20.000 Oleh pimpinan desa Nunuk Tanah Kibang Tidak 15.000 Pemungutan Tidak suara di masyarakat 1500 Langap Pemungutan Adiu suara di masyarakat Long Adiu 9000 1500 Pemungutan Setarap suara di masyarakat Punan Setarap 9000 Punan Adiu Pemungutan Punan Adiu suara di masyarakat Pemungutan Punan Setarap suara di masyarakat Setarap Kecamatan Malinau Selatan Oleh Sesuà pimpinan desa di Sesuà Punan Bengalun 20.000 20.000 50.000 30.000 7500 20.000 20.000 40.000 40,000 Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya 2000 2001 2000 Juni 2000 Juni 2000 Juli 2000 Juli 2000 Juni 2000 Juni 2000 September 1999 24 24 24 Terbuka Terbuka Terbuka 60 Terbuka Terbuka 36 < 20.000 < 20.000 Tidak diketahui 12001 12001 2000 5000 > 500 5000 1400 Fee Pembangunan Pengembangan Tanggal Lama Area (rupiah umum perkebunan/ kesepakatan kesepakatan pembalakan per meter penanaman (bulan) (ha) kubik) kembali HASIL KONTRAK KESEPAKATAN PERTAMA Tidak diketahui 20.000 Musyawarah Punan Bengalun 500 masyarakat 1500 Area pembalakan yang diusulkan (ha) Sesuà Batu Lidung Pemungutan Tidak suara di masyarakat Kecamatan Malinau Barat Masyarakat Keputusan akhir mengenai kontrak Tabel 6.3 Hasil dari kesepakatan IPPK di Malinau 2000 900 Tidak diketahui 2355 8004 6503 9103 300 > 2000 550 24 28 24 36 36 24 24 36 36 36 Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Tidak ada Ya Ya Tidak ada Tidak ada Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Masalah Masalah dengan dengan masyarakat perusahaan lain HASIL AKTUAL KESEPAKATAN PERTAMA Total jumlah Jumlah Masalah fee yang operasi sebagai diterima (bulan) akibat (juta rupiah) dari distribusi fee Fee hingga 35.0007 Tidak ada Fee hingga 25.0007 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Perubahan terhadap kesepakatan awal Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 117 Oleh pimpinan desa dan LADAS Pemungutan T. Lima, Tajan suara di masyarakat Oleh Paking Lama dan Pewaris Semolon Pemungutan Malinau suara di Seberang masyarakat Pemungutan Tidak suara di masyarakat Tajan Sebatiung Semolon Kaliamok Kelapis Paking Lama T. Lima, Sebatiung 1000 1500 3000 3000 3000 Tajan, Sebatiung 3000 Oleh LADAS Tanjung Lima Kaliamok Oleh pimpinan desa Malinau Seberang Kecamatan Malinau Utara 1500 3000 Paking Lama Pemungutan Semolon suara di masyarakat 10.000 Long Simau Pemungutan Tidak suara di masyarakat Areal pembalakan yang diusulkan (ha) 10.000 Kesepakatan yang juga digunakan masyarakat lain Oleh pewaris Tidak Long Sulit Kecamatan Mentarang Masyarakat Keputusan akhir mengenai kontrak 30.000 40.000 25.000 20.000 20.000 20.000 40.000 25.000 20.000 20.000 Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak diketahui Agustus 2000 September 2001 Juli 2000 Oktober 2000 Oktober 2000 Oktober 2000 2001 Juli 2000 2000 2000 Terbuka 12 Terbuka 12 12 12 12 Terbuka Terbuka Tidak diketahui > 200 15002 > 1300 2500 3000 < 3000 15002 2000 5000 7000 Fee Pembangunan Pengembangan Tanggal Lama Areal (rupiah umum perkebunan/ kesepakatan kesepakatan pembalakan per meter penanaman (bulan) (ha) kubik) kembali HASIL KONTRAK KESEPAKATAN PERTAMA 200 200 100 > 10006 > 10006 > 8706 > 1000 > 500 450 > 900 4 12 28 12 12 12 24 28 12 24 Ya Ya Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ya Ya Tidak ada Tidak ada None Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak ada Ya Ya Ya Masalah Masalah dengan dengan masyarakat perusahaan lain HASIL AKTUAL KESEPAKATAN PERTAMA Total jumlah Jumlah Masalah fee yang operasi sebagai diterima (bulan) akibat (juta rupiah) dari distribusi fee Tidak ada Tidak ada Tidak ada Fee hingga 50.0008 Fee hingga 50,0008 Fee hingga 50.0008 Tidak ada Tidak ada Fee hingga 50.0008 Tidak ada Perubahan thd kesepakatan awal 118 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 20.000 Pemungutan Tidak suara di masyarakat Selidung 30.000 30.000 Ya Ya Ya Tidak Agustus 2000 2001 Terbuka Terbuka 500 < 1000 Lama Fee Pembangunan Pengembangan Tanggal Areal (rupiah umum perkebunan/ kesepakatan kesepakatan pembalakan per meter penanaman (bulan) (ha) kubik) kembali HASIL KONTRAK KESEPAKATAN PERTAMA > 300 120 30 12 Tidak ada Ya Tidak ada Ya Tidak Tidak Masalah Masalah dengan dengan masyarakat perusahaan lain HASIL AKTUAL KESEPAKATAN PERTAMA Total jumlah Jumlah Masalah fee yang operasi sebagai diterima (bulan) akibat (juta rupiah) dari distribusi fee Tidak ada Tidak ada Perubahan thd kesepakatan awal Sumber: Wawancara dengan pemimpin masyarakat dan responden rumah tangga di Malinau, September 2003–Januari 2004 Catatan: Semua kesepakatan pertama adalah kontrak yang disahkan oleh notaris. ‘Terbuka’ menunjukkan bahwa tidak ada periode waktu yang disepakati dalam kontrak tersebut. 1. Hutan yang diklaim oleh Long Adiu. 2. 900ha diklaim oleh Malinau Seberang, 600ha oleh Kaliamok. 3. Tiap angka adalah fee untuk kedua desa. 4. Untuk kedua desa 5. Untuk Punan Adiu saja. 6. Untuk ketiga desa 7. Kedua kesepakatan dinegosiasikan kembali ketika pewaris Langap mengklaim bahwa hutan di daerah IPPK berada di lingkungan sarang burung yang dimiliki oleh kelompok ini. Untuk kesepakatan Langap, total harga (fee) naik menjadi 25.000 rupiah per meter kubik dengan 15.000 rupiah untuk masyarakat dan 10.000 rupiah untuk pewaris. Untuk kesepakatan Tanjung Nanga, feenya tetap sama, meski fee untuk masyarakat berkurang menjadi 35.000 rupiah per meter kubik, sedangkan pewaris mengklaim 15.000 rupiah per meter kubik. 8. Untuk semua desa ini, kesepakatan dinegosiasikan kembali dengan fee mencapai 50.000 rupiah per meter kubik akibat dihapusnya semua pembangunan umm dari kontrak. 15.000 Areal pembalakan yang diusulkan (ha) Pemungutan Tidak suara di masyarakat Kesepakatan yang juga digunakan masyarakat lain Salap Masyarakat Keputusan akhir mengenai kontrak Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 119 120 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Keterwakilan Punan Kecuali Nunuk Tanah Kibang, semua kelompok Punan yang disurvei terlibat dalam kesepakatan bersama dengan masyarakat non-Punan. Banyak kelompok Punan seminomadik tinggal di dekat desa ‘induk’ non-Punan, yang cenderung memimpin dalam negosiasi IPPK. Sebagai contoh, Sesuà dan Punan Bengalun tidak mengklaim hutan yang sama kendati mereka sama-sama menggunakan kesepakatan yang dijembatani oleh CV Wana Bakti. Pada umumnya masyarakat Punan yang disurvei, mereka tidak mengetahui ukuran sebenarnya dari klaim lahannya (lihat Tabel 6.1). Selain itu, seperti pada kesepakatan lain yang melibatkan kelompok Punan, broker memasuki Sesuà lebih dahulu dan menemui para kepala desa sebelum melibatkan perwakilan Punan. Namun tidak seperti kasus Long Adiu di Sungai Malinau, para pimpinan desa dari Sesuà masuk ke Punan Bengalun dan membicarakan potensi kesepakatan IPPK tanpa kehadiran broker. Punan Bengalun tidak bernegosiasi langsung dengan CV Wana Bakti, tapi secara tidak langsung melalui pimpinan desa Sesuà. Meskipun orang Punan dilibatkan dalam pembicaraan sebelum ada kesepakatan, keputusan akhir mengenai IPPK diambil sendiri oleh kepala desa Sesuà. Seperti Punan Bengalun, masyarakat Punan dari Semolon sama sekali tidak dilibatkan dalam negosiasi dan hanya berbagi kesepakatan dengan Paking Lama setelah perusahaan memasuki wilayah desa. Masyarakat Long Adiu termasuk yang pertama membuat kesepakatan IPPK di daerah Sungai Malinau pada April 2000, setelah kepala desa dan kepala adat mengunjungi Malinau Kota untuk mencari seorang broker. Mereka berhubungan dengan Tengkawang (CV Wana Bakti) yang agaknya sudah dikenal melalui ikatan historis. Ia diundang ke Long Adiu untuk bertemu warga masyarakat Long Adiu dan warga Punan Adiu. Pengaturan bersama pun dibicarakan. Tidak seperti pengaturan Sesuai–Punan Bengalun dan Paking Lama–Semolon, warga Punan Adiu dan warga Long Adiu dilibatkan secara langsung dalam negosiasi. Meskipun hal ini terjadi di awal proses sebelum ada kesepakatan apapun, namun jelas bahwa kepala desa dan kepala adat telah melakukan pertemuan sendiri dengan broker tanpa kehadiran warga dari kedua masyarakat, termasuk tokoh-tokoh desa Punan Adiu yang baru terlibat hanya setelah broker mengunjungi desa Punan Adiu. Keputusan akhir tampaknya diambil melalui pemungutan suara seluruh warga dari kedua desa. Di daerah Sungai Malinau, negosiasi antara Setarap dan Punan Setarap mengikuti pola yang sama seperti negosiasi di Adiu. Namun di sini semua pertemuan pendahuluan antara broker (CV Gading Indah) dengan kepala desa dan kepala adat (Setarap) berlangsung di Desa Setarap dan bukan di Malinau Kota, sebelum diadakan musyawarah yang melibatkan warga dari kedua desa. Selain itu, seperti kesepakatan Long Adiu–Punan Adiu, keputusan akhir mengenai kesepakatan IPPK diambil melalui pemungutan suara warga masyarakat dari kedua desa. Desa-desa dengan wilayah desa ganda Sejumlah desa dalam sampel memiliki klaim hutan di daerah yang tidak lagi mereka tempati, sementara masyarakat yang lain membuat klaim baru di daerah-daerah yang juga diklaim oleh masyarakat lainnya (lihat Tabel 6.1). Sebagai contoh, dua dari tiga desa yang disurvei di kecamatan Mentarang, Long Simau dan Long Sulit (keduanya mayoritas Lundaye) adalah desa pemukiman kembali resettlement) yang masih memiliki warga di desa asal di hulu Sungai Mentarang. Pemukiman lama ini berjarak ratusan kilometer dari lokasi pemukiman kembali sebagian besar warga pada tahun 1980-an. Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 121 Kaliamok juga memiliki klaim lahan historis dekat sumber Sungai Mentarang dan di dekat lokasi pemukiman asal (lihat Tabel 6.1). Namun dalam kasus ini Kaliamok tidak lagi memiliki warga yang tinggal di pemukiman asal dan mengklaim hutan IPPKnya di sekitar pemukiman saat ini di dekat Malinau Kota. Hutan ini juga diklaim oleh Malinau Seberang, sehingga disusun kesepakatan bersama dengan sebagian besar manfaatnya mengalir ke desa yang lebih besar. Beberapa kelompok Punan juga memiliki klaim ganda atas lahan. Sejak tahun 1972, pemukiman Punan Semolon sudah ada di Malinau Utara dan sangat dekat dengan Malinau Kota. Semolon juga memiliki klaim lahan di daerah Sungai Mentarang, dan seperti sudah disebutkan, masih ada warganya yang tinggal di sini, terutama di Paking Lama di dekat wilayah klaim lahan asal Semolon. Hasil negosiasi: Apa yang dinegosiasikan masyarakat? Dalam semua kasus yang disurvei di Malinau, tampaknya tidak ada negosiasi nyata mengenai aturan pembalakan, ukuran dan lokasi areal konsesi, atau perkebunan. Biasanya broker akan muncul di pertemuan dengan peta areal yang sudah diputuskan secara prinsip oleh pemerintah kabupaten. Masyarakat memang memiliki suara dalam komposisi areal konsesi yang diajukan dan batas-batas pembalakan. Long Adiu dan Punan Adiu menegosiasikan ukuran IPPK yang akan dibalak dalam klaim wilayah hutan masing-masing dan penjadwalan pelaksanaannya. Bila perkebunan juga dibicarakan dan dinegosiasikan, terlihat variasi pada kontrak IPPK dari satu desa ke desa yang lain, dalam hal jenis tanaman perkebunan, ukuran perkebunan dan sifat bantuan yang dijanjikan untuk pengembangan perkebunan. Namun pada sejumlah kasus (lihat Tabel 6.3), dalam kesepakatan akhir tidak tercantum aturan pembalakan atau ketentuan penanaman sekalipun telah dibicarakan sebelum kesepakatan disusun. Beberapa responden (misalnya di Tanjung Nanga) menjelaskan bahwa aturan perkebunan dan pembalakan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten, sehingga merupakan ‘persyaratan hukum’. Oleh karena itu unsur-unsur ini dianggap tidak perlu dimasukkan dalam kontrak mereka dengan broker. Separuh dari kesepakatan yang disurvei di Malinau tidak menetapkan batas waktu kapan perusahaan harus menyelesaikan pembalakan (lihat Tabel 6.3) tapi mensyaratkan harus memulai pembalakan enam bulan setelah negosiasi selesai. Juga tak satu pun izin resmi IPPK yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten menyebutkan batas waktu. Selain itu secara umum tidak ada kesepakatan yang memuat rencana jadwal produksi kayu. Dari semua kesepakatan yang diteliti, semuanya sangat memberi keleluasaan bagi perusahaan IPPK dalam pelaksanaan operasinya. Dalam negosiasi, warga biasanya ditanya apa yang mereka inginkan dalam hal keuntungan finansial (pembayaran uang muka, fee per meter kubik), kesempatan kerja, dan pembangunan sosial, misalnya beasiswa untuk anak-anak atau kantor desa. Dalam beberapa kasus, khususnya masyarakat pertama yang dilibatkan dalam negosiasi IPPK, harapan masyarakat tidak ada atau sangat rendah. Sebagai contoh, Long Adiu dan Punan Adiu, hanya meminta fee 5000 rupiah per kubik meter karena acuan mereka adalah instruksi dari Gubernur Kalimantan Timur (SK 20/2000) bahwa perusahaan harus membayar kompensasi 3000 rupiah per meter kubik ke masyarakat adat. Semua desa yang terikat kesepakatan dengan CV Wana Bakti akan dibayar 20.000 rupiah per meter kubik untuk 122 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau alasan yang tidak jelas (lihat Tabel 6.3 dan Gambar 6.1). Secara teoretis perusahaan bisa menawarkan berapa saja antara 5000 rupiah hingga 20.000 rupiah per meter kubik.13 Dalam kasus lain, seperti Malinau Seberang, warga meminta pembayaran lebih besar. Di sini mulanya desa tersebut meminta 70.000 rupiah hingga 80.000 rupiah per meter kubik, dan akhirnya ditawarkan 40.000 rupiah per meter kubik, tingkat fee kedua tertinggi pada kelompok kesepakatan pertama dalam sampel masyarakat Malinau kami. Hanya Setarap dan Punan Setarap yang juga menegosiasikan harga pada tingkat ini. Tanjung Nanga berhasil menegosiasikan harga tertinggi: 50.000 rupiah per meter kubik (lihat Gambar 6.1), meskipun tidak mencantumkan janji sarana umum. Tiap desa lainnya dalam sampel ini menegosiasikan beberapa sarana umum meski berbeda-beda di setiap kasus. Pada kasus Long Sulit, fee yang dijanjikan tidak diketahui, meski tidak seperti kesepakatan lainnya, fee tidak diatur berdasarkan produksi (misalnya, per meter kubik). Dalam kesepakatan bersama, manfaat sosial biasanya dibagi bersama. Sejumlah desa berhasil menaikkan tingkat fee menjadi 50.000 rupiah per meter kubik dalam negosiasi ulang setelah tercapai kesepakatan awal. Sebagai contoh, di Long Simau, warga meminta kepala desa dan pewaris untuk mengubah kesepakatan dengan membatalkan semua fasilitas yang telah disepakati dan menaikkan harga menjadi 50.000 rupiah per meter kubik setelah kesepakatan dibuat, sebelum desa menerima pembayaran pertama. Hal ini karena khawatir bahwa fasilitas sosial yang dibangun oleh perusahaan hanya akan digunakan oleh mereka yang tinggal di salah satu dari kedua lokasi bagian Long Simau. Warga juga menjelaskan bagaimana mereka belajar dari pengalaman Tajan, Tanjung Lima dan Sebatiung, yang waktu itu baru saja berhasil menaikkan fee menjadi 50.000 rupiah per meter kubik, juga dengan menghapuskan semua fasilitas sosial dari kesepakatan mereka.14 Kasus Langap dan Tanjung Nanga lebih menggambarkan pengaruh pewaris dalam negosiasi ulang. Di Langap, ada suatu keluarga yang terdiri dari sekitar sepuluh kepala keluarga yang memiliki klaim lama terhadap pemanfaatan sarang burung walet, suatu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mahal. Orang yang paling berpengaruh dalam keluarga waktu itu, kebetulan juga Kepala Adat Besar (pemimpin seluruh daerah aliran sungai menurut hukum adat). Setelah Langap menyelesaikan negosiasi dan melakukan kesepakatan dengan CV Hanura, dan perusahaan telah mulai beroperasi, Langap dan pewaris melakukan negosiasi kembali untuk menaikkan fee, karena pewaris bisa mengklaim hutan (tanah warisan) yang mengelilingi lokasi sarang burung. Desa tersebut menaikkan feenya menjadi 15.000 rupiah per meter kubik, masih yang terendah dari semua desa yang disurvei di Malinau. Sementara pewaris mengklaim 10.000 rupiah per meter kubik, sehingga total fee menjadi 25.000 rupiah per meter kubik. Pewaris yang sama juga mengeluh ketika IPPK yang beroperasi atas nama Tanjung Nanga, CV Meranti Wana Lestari, melakukan pembalakan di sekitar gua sarang burung. Negosiasi ulang kesepakatan Tanjung Nanga dengan perusahaan menyebabkan masyarakat saling berbagi uang fee dengan pewaris Langap: keseluruhan fee naik menjadi 64.000 rupiah per meter kubik, 40.000 rupiah dibayarkan untuk Tanjung Nanga dan sisanya 24.000 rupiah untuk Langap. 24.000 rupiah per meter kubik untuk Langap akan dibagi 50:50 antara pewaris dan warga Langap. Namun uang tersebut dibayarkan ke pewaris dan tidak jelas apakah warga desa Langap menerima bagiannya. Dari kasus yang ada, tampak adanya variasi keuntungan yang dinegosiasikan di Malinau Selatan, terutama terkait dengan sarana umum. Variasi itu berkurang di daerah lain yang hanya ada satu broker tunggal dalam pembuatan banyak kesepakatan.15 Sebagai Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 123 70000 IDR per meter kubik 60000 50000 40000 30000 20000 10000 Fee yang dijanjikan Se lid un g Ke lap Se is ta ra M p S ali -P ala na un p u an Se Se be t ar ra ap ng -K ali am ok Ta nj un g Na ng a Si m Se au Ba su at u Pu L id na u n Lo Be ng Ta ng ng nj Ad un alu i g n Lim u-Pu na an Ta Ad jan iu -S Pa eb ki at ng iu La ng m aNu Se m nu ol k on Ta na h Ki ba ng La ng ap Lo ng Lo ng Su lit 0 Fee yang dibayarkan Catatan: Tidak termasuk harga yang dinegosiasikan ulang. Sumber: Charles Palmer, 2003–2004 Gambar 6.1 Fee yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dibayarkan untuk kesepakatan IPPK pertama yang dikaji di Malinau contoh, semua kesepakatan yang memakai broker gabungan CV Putra Mentarang dan BBP menghasilkan harga 30.000 rupiah per meter kubik (Kelapis, Selidung dan Salap), dan di daerah Sungai Bengalun disepakati fee sebesar 20.000 rupiah per meter kubik di Batu Lidung dan Sesuà–Punan Bengalun. Jelas terlihat proses negosiasi di beberapa daerah Malinau telah terkacaukan oleh sedikit atau tidak adanya persaingan di antara sesama broker, sehingga terjadi praktik menyerupai kartel. Pematokan harga ini terlihat mengakibatkan relatif kecilnya variasi pada manfaat yang dinegosiasikan dalam sejumlah kesepakatan. Meskipun besarnya fee yang dinegosiasikan sangat bervariasi, dimasukkannya perjanjian sarana sosial membuat satu kesepakatan dengan kesepakatan yang lain lebih setara, khususnya ketika mempertimbangkan negosiasi ulang fee untuk Tanjung Lima– Sebatiung–Tajan, Long Simua dan Tanjung Nanga (semuanya 50.000 rupiah per meter kubik). Tak satu pun dari kesepakatan itu yang mensyaratkan sarana umum, tidak seperti Selidung atau Long Adiu–Punan Adiu, yang memuat banyak janji. Setelah belajar dari pengalaman dan dari masyarakat lain, masyarakat kabupaten itu meminta negosiasi ulang kesepakatannya atau membuat kesepakatan baru dengan kepercayaan diri yang baru dalam berurusan dengan broker dan pihak luar lainnya. Setelah negosiasi ulang, fee paling rendah di kabupaten itu adalah 15.000 rupiah per meter kubik dan yang tertinggi 50.000 rupiah per meter kubik.16 Mengamati perolehan fee pada negosiasi pertama, penerima fee terendah adalah desa yang kurang kompak dalam membicarakan akses terhadap hutan dan penggunaannya, serta yang masyarakatnya kurang berpartisipasi dalam organisasi desa. Lebih jauh lagi, desa 124 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau yang sebelum negosiasi memiliki lebih banyak keluarga yang pernah bekerja di luar desa dan memiliki mobilitas lebih tinggi (memiliki perahu longboat atau bentuk transportasi lainnya), fee yang dinegosiasikan cenderung lebih tinggi. Kenyataan hasil kesepakatan dengan IPPK Pada bulan April 2003, semua operasi pembalakan IPPK di Malinau dihentikan atas perintah bupati setelah di tahun sebelumnya pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan yang membatalkan semua izin pembalakan skala kecil di Indonesia. Pada kebanyakan kasus, menurut responden survei, perusahaan IPPK membalak kurang dari luasan yang telah disepakati dalam kontrak, kecuali Sesuà–Punan Bengalun. Di sini, diperkirakan sekitar 5.000ha dibalak dalam waktu hampir tiga tahun sejak Juni 2000 (lihat Tabel 6.3). Tidak seperti desa lainnya yang banyak mengajukan kontrak terbuka bergulir (rolling open contract), areal luas untuk perpanjangan izin berkali-kali, kontrak Sesuà dan Punan Bengalun awalnya hanya untuk 500ha. Broker yang menangani Sesuà, Tengkawang, juga mengoperasikan PT Malinau Jaya Sakti, menegosiasikan kesepakatan kedua untuk lahan seluas 3000ha dengan Sesuà dan Punan Bengalun. Hal ini menjelaskan alasan terjadinya pembalakan 5000ha hutan masyarakat ini. Meski sebagian besar kesepakatan di Malinau tidak terselesaikan karena perusahaan IPPK dipaksa menghentikan operasi pada awal 2003, sejumlah operasi belum dimulai bahkan untuk kesepakatan yang dibuat hampir tiga tahun sebelumnya. Contohnya, Selidung menyepakati konsesi 20.000ha dengan BBP pada akhir tahun 2000, dan pada tahun 2003 hanya sekitar 500ha di sekitar desa yang telah dibalak. Secara umum, BBP diduga terlalu sibuk membalak untuk kontrak pribadi yang diatur dengan kepala adat Selidung dan tidak atas nama warga di daerah tersebut.17 Desa melaporkan menerima fee dengan jumlah, cara penerimaan uang, dan penggunaan serta pendistribusiannya ke masyarakat sangat bervariasi. Dalam Gambar 6.1 terlihat besarnya perbedaan antara apa yang dijanjikan dengan apa yang benar-benar diterima masyarakat Malinau. Long Sulit menerima fee paling rendah per meter kubik, diikuti oleh Langap, dan fee tertinggi diterima oleh Kelapis dan Salap. Langap dan Tanjung Lima– Sebatiung–Tajan menerima fee lebih tinggi daripada yang dinegosiasikan, terutama karena naiknya fee awal setelah negosiasi ulang. Dalam kasus Kelapis dan Salap, fee yang sebenarnya melebihi fee yang dijanjikan karena kedua masyarakat menerima uang muka yang besar tapi diikuti oleh relatif kecilnya produksi perusahaan. Pada semua kasus lainnya, kecuali Selidung, uang yang diterima lebih sedikit dari yang dijanjikan karena ketidakpatuhan perusahaan atau broker. Sebaliknya, uang yang diterima dilaporkan lebih rendah akibat adanya kecurangan dalam masyarakat penerima. Di semua kasus yang menjanjikan sarana umum, ada sebagian yang dipenuhi, meski pada semua kasus perusahaan menjanjikan lebih dari yang benar-benar diberikan dalam masa berlakunya kontrak. Namun seperti yang ditunjukkan dalam Engel and Palmer (2006), fee yang diterima masyarakat tergantung pada kemampuan mereka sendiri untuk menerapkan kontrak dalam situasi hak kepemilikan yang lemah sebagaimana umumnya di Kalimantan Timur. Dalam sebagian besar kasus yang disurvei di Malinau, ada masalah dengan desa tetangga mengenai batas wilayah dan klaim lahan yang tumpang tindih. Tabel 6.3 menunjukkan sedikitnya 16 dari 22 desa melaporkan masalah dengan desa lain (biasanya tetangga) akibat adanya kesepakatan IPPK. Masalah yang paling serius melibatkan masyarakat Punan yang, Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 125 karena pola hidup yang semi-nomadik, memiliki klaim lahan yang paling bermasalah dan paling lemah. Masalah klaim lahan lain dapat dilihat pada negosiasi yang melibatkan pewaris. Kekuasaan keluarga ini bervariasi di Malinau, meski klaimnya terhadap lahan hampir dapat dipastikan meningkat sejak awal proses desentralisasi di Malinau. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh mereka terhadap aparat pemerintah setempat, dengan adanya anggota keluarga yang menjadi aparat pemerintah atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah kesepakatan dibuat di Malinau, perusahaan IPPK biasanya membayar uang muka. Dalam banyak kasus, uang ini ‘dipinjam’ dari fee yang akan dihasilkan dari produksi kayu di masa depan (uang potong, uang pinjam dan uang muka). Satu-satunya pengecualian adalah kesepakatan Setarap–Punan Setarap. Selain itu, biaya pembangunan sarana juga sering dikurangkan dari pembayaran fee (berakibat penurunan pembayaran) atau kewajiban untuk membangun sama sekali tidak dipenuhi (misalnya Setarap). Dalam beberapa kasus, penurunan pembayaran atau pengingkaran kesepakatan berlangsung tanpa memberi tahu warga masyarakat.18 Dalam banyak kasus hal itu menimbulkan masalah dan konflik antara masyarakat dengan broker atau kontraktor. Dari 22 desa yang disurvei di Malinau, 19 melaporkan adanya masalah dengan perusahaan IPPK. Di samping keterlambatan atau gagalnya pembayaran fee, dan tidak ada atau sedikitnya pembangunan sarana umum, masalah yang paling umum adalah pelanggaran aturan pembalakan, pembalakan di tempat-tempat yang berbeda dari yang telah disepakati atau tidak adanya pembukaan lahan perkebunan. Tidak ada satu pun perkebunan yang dikembangkan oleh perusahaan IPPK di Malinau. Dari 19 desa yang melaporkan bermasalah dengan perusahaan IPPK di Malinau, 11 desa melakukan tindakan melawan perusahaan IPPK dalam masa kontrak, dalam bentuk demonstrasi atau penyitaan peralatan perusahaan. Dari temuan terhadap 22 desa yang disurvei di Malinau, jelaslah bahwa mereka telah mendapatkan manfaat dari IPPK, setidaknya secara finansial dan dalam jangka waktu pendek. Manfaat jangka panjangnya tidak begitu jelas, terutama karena banyak warga masyarakat melihat meluasnya kerusakan lingkungan akibat operasi IPPK dan karena tidak adanya pembangunan perkebunan setelah operasi ini. Selain itu, ada sejumlah konflik antar desa terkait dengan IPPK dan klaim hutan yang masih harus diselesaikan. Diskusi Di Malinau, desa-desa yang lebih terorganisir dan dengan tingkat partisipasi lebih tinggi dalam musyawarah desa mengenai akses terhadap hutan dan penggunaan hutan yang diklaim oleh desa, lebih berpeluang menegosiasikan kesepakatan yang lebih baik daripada desa yang kurang kompak. Partisipasi dan pertemuan rutin memberi kesempatan kepada warga masyarakat untuk saling membandingkan serta bertukar pengalaman, ide, dan informasi. Selain itu, desa-desa dengan mobilitas dan jumlah warga yang bekerja di luar desa lebih tinggi, tergolong bisa menegosiasikan kesepakatan lebih baik di Malinau. Tingkat pendapatan relatif keluarga, bagian dari perdagangan dan penjualan hasil hutan, serta tingkat pendidikan, hanya sedikit bervariasi di antara desa-desa di Malinau, sehingga tampaknya hanya berdampak kecil terhadap hasil yang dinegosiasikan. Banyak di antara desa tersurvei yang menilai bahwa kesepakatan bersama masyarakat Tajan, Sebatiung dan Tanjung Lima merupakan salah satu yang memberikan manfaat bersih 126 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau (net benefit) terbaik. Negosiasi bersama oleh tiga desa dan negosiasi ulang kesepakatan untuk menaikkan fee memberikan tingkat keuntungan finansial paling tinggi bagi warga di tiga desa tersebut.19 Meskipun masih ada tuduhan korupsi (terkait dengan LADAS dan peran gereja Katolik berkaitan dengan masalah keseharian), desa-desa ini mungkin memperoleh paling banyak keuntungan dan tidak bermasalah dengan desa lainnya, seperti konflik lahan atau perbatasan. Desa lainnya dengan pengalaman yang relatif positif, seperti Long Simau, juga memiliki seorang pewaris yang terlibat dalam negosiasi. Keluarga-keluarga ini memperumit masalah klaim lahan (misalnya pewaris di Langap) dan memainkan peran sangat penting dalam banyak negosiasi yang disurvei di Malinau. Selain klaim pewaris, banyak negosiasi juga semakin diperumit dengan adanya kepemilikan lahan ganda dan oleh negosiasi tidak langsung antara masyarakat dengan broker. ‘Pecundang terbesar’ adalah masyarakat Punan, yang cenderung terlibat dalam kesepakatan bersama dengan masyarakat non-Punan. Masyarakat Punan cenderung paling sedikit terlibat dalam negosiasi dan sering tidak diperlakukan sebagai ‘mitra setara’ oleh para tetangganya, dan mereka mungkin kurang memiliki kesadaran kewilayahan (sebagaimana didefinisikan sebagai ukuran luasan dalam negosiasi) maupun kewajiban kontrak dibandingkan dengan kelompok lain. Pada banyak kasus, masyarakat Punan seolah tidak begitu memahami ketentuan kesepakatan dengan para broker dan berapa banyak hutan di wilayah mereka yang telah dibalak. Hak kepemilikan (property right) masyarakat Punan adalah yang terlemah dari kelompok manapun dan paling rentan dalam berurusan dengan broker dan pihak luar lainnya, seperti dalam data untuk kelompok ini di Tabel 6.1 hingga 6.3. Di Malinau, sebagian besar kontraktor adalah warga Malaysia dan kurang bisa membuat kesepakatan sendiri karena kurangnya pengetahuan lokal serta kaburnya legalitas banyak operasi mereka. Akibatnya, mereka sangat tergantung pada kemitraan dan para broker untuk mengatur kesepakatan dengan para pemilik akses terhadap kayu-kayu yang bernilai komersial, yaitu masyarakat dan pemerintah daerah. Mungkin brokerlah yang paling bisa mempengaruhi hasil negosiasi di Malinau. Sebaliknya, di daerah penelitian yang lain hanya seperempat desa yang disurvei di Kutai Barat yang memiliki pengalaman dengan perantara atau broker khas Malinau, bahkan broker di sana lebih bertindak sebagai fasilitator dan cenderung menerima fee langsung dari kontraktor, terpisah dari fee desa. Perbedaan utama adalah broker di Malinau hampir semuanya berasal dari luar desa tempat mereka membuat kesepakatan, yang berarti bahwa sebagian besar pembayaran kayu tetap dinikmati oleh broker di luar masyarakat. Di Kutai Barat, proporsi pembayaran lebih besar mengalir ke masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Broker di Malinau biasanya menerima fee per meter kubik untuk pengganti semua biaya pengaturan, termasuk kesepakatan dengan masyarakat dan urusan (legal dan ilegal) dengan pejabat pemerintah kabupaten. Dengan kata lain, biasanya broker di Malinau memiliki insentif langsung dalam memaksimumkan keuntungannya dengan cara meminimalkan tiap pembayaran ke masyarakat. Di Kutai Barat, fee kayu jarang melalui perantara, yang akan membawa konsekuensi tersendiri. Salah satu peran utama broker di Malinau adalah mengatur izin IPPK. Ketika sistem tersebut mulai ditetapkan pada tahun 2000, aturan itu menyatakan bahwa tiap keluarga yang mengajukan izin berhak memanfaatkan 100ha. Proses aplikasi mengharuskan pembentukan kelompok tani untuk antara lain mengelola kegiatan areal IPPK, dan harus disertai tanda tangan dan fotokopi kartu identitas (KTP) dari tiap pemohon. Semua kabupaten di Kalimantan Timur menerapkan sistem yang sama pada tahun 1999 dan Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 127 2000. Tingginya biaya permohonan izin mungkin menyebabkan perlu adanya broker di Malinau, meskipun kesamaan keterbatasan kemampuan finansial tidak menghambat warga masyarakat Kutai Barat untuk mengajukan permohonan dan memiliki izin.20 Banyak broker juga membeli dan menjual izin begitu izin tersebut diperoleh, seperti CV Putra Mentarang ke BBP. Selama tahun 2000 dan 2001, broker tampak sangat aktif dalam mengatur kesepakatan sebanyak mungkin sehingga mereka setidaknya memiliki opsi di masa depan. Namun dalam pengaturan selanjutnya broker tampaknya tidak lagi mau bersusah-payah mengumpulkan nama-nama tapi membuat kesepakatan secepatnya dengan desa agar memiliki ‘opsi’ tersebut. Sebagai contoh, di Malinau Utara, BBP dan CV Putra Mentarang membuat kesepakatan IPPK dengan sejumlah desa lain yang tidak dianalisa di sini, yang tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebuah sistem yang awalnya diciptakan untuk melibatkan masyarakat lokal, berkembang menjadi memberikan keterlibatan relatif kecil bagi masyarakat dan bahkan tampak menguntungkan segelintir broker di Malinau. Akibatnya, tak satupun desa yang disurvei di Malinau mengajukan permohonan izin secara langsung (mungkin dengan pengecualian untuk pewaris Long Sulit) dan tak satu pun responden survei yang mengetahui biaya permohonan izin IPPK dan mereka relatif kurang memahami cara kerja sebenarnya sistem tersebut. Di Kutai Barat, sistem bekerja dengan cara berbeda: izin (disebut sebagai Hak Pemungutan Hasil Hutan, HPHH) biasanya diperoleh sebelum perusahaan membuat kesepakatan dengan masyarakat. Pada banyak kasus, warga masyarakat dan kepala desa mendekati pemerintah kabupaten dan mengajukan permohonan izin (Palmer, 2006). Sama halnya dengan Malinau, bisa diberikan izin untuk 100ha per keluarga, dan perlu disertai tanda tangan dan nama, di samping serangkaian pungutan yang totalnya biasanya sekitar 20 juta rupiah per izin. Pada tahap ini, kepala desa sudah menghubungi kontraktor pembalakan yang terkadang sudah dikenal oleh masyarakat, dan kadang-kadang belum. Di desa-desa yang menggunakan broker, kewajiban broker terutama untuk mengatur surat kerja dan aspek-aspek administratif lainnya, dan cenderung lebih berurusan dengan perusahaan daripada dengan masyarakat. Banyak rapat diadakan di luar desa, di ibukota kabupaten, Melak, dan bahkan lebih jauh lagi di Samarinda, ibukota provinsi. Dalam membuat kesepakatan, masyarakat Kutai Barat memastikan bahwa biaya permohonan izin dimasukkan dalam struktur pembayaran fee. Kendati pembayaran uang muka tidak umum di Kutai Barat, kontraktor melakukan pembayaran fee langsung ke masyarakat dan tidak melalui perantara atau broker. Ironisnya, pengalaman IPPK di Malinau, yang oleh banyak warga desa dianggap terbaik, juga merupakan salah satu pengalaman di mana kontraktor membuat kesepakatan langsung dengan masyarakat Tanjung Lima, Tajan dan Sebatiung, tanpa keterlibatan broker.21 Kasus lain yang tidak melibatkan broker, Tanjung Nanga, juga menegosiasikan fee paling tinggi di Malinau: 50.000 rupiah per meter kubik. Implikasi dari kepemilikan izin adalah bahwa dari mengajukan permohonan dan memiliki izin 100ha masyarakat di Kutai Barat jauh lebih memahami dan menyadari apa yang sedang mereka negosiasikan (misalnya ukuran areal konsesi), serta untuk apa mereka bernegosiasi. Oleh karena itu, masyarakat lebih memiliki rasa pengendalian dan kepemilikan atas proses negosiasi dibandingkan dengan masyarakat di Malinau, meskipun ada ketidakpastian yang sama atas klaim lahan. Di banyak desa dibentuk kelompok atau koperasi untuk menggabungkan izin 100ha, membentuk areal konsesi lebih luas yang bisa lebih menarik secara komersial bagi calon kontraktor pembalakan. Penggabungan juga memungkinkan memikul bersama biaya pengurusan izin, meskipun di beberapa kasus tampak jelas bahwa hanya warga masyarakat yang memiliki akses terhadap uang tunai 128 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau atau kredit yang bisa mengajukan permohonan izin HPHH. Kredit terkadang disediakan dalam bentuk dana pinjaman, biaya pengurusan izin dipinjam dari perusahaan untuk kelak dibayar dari hasil produksi kayu dan pembayaran kepada masyarakat oleh investor, sehingga warga bisa ikut dalam proses permohonan izin. Dengan broker menjadi penanggung jawab perizinan di Malinau, masyarakat kurang memiliki pemahaman mengenai kesepakatan yang mereka buat: ukuran areal konsesi yang diajukan, nilai kayu, ke mana kayu akan dikapalkan atau bahkan dalam beberapa kasus keabsahan klaim lahan (lokasi konsesi yang diajukan). Ini adalah salah satu faktor penyebab lebih tingginya tingkat konflik antar masyarakat mengenai klaim hutan dan batas-batas di Malinau jika dibandingkan dengan di Kutai Barat. Di Malinau, semua peta IPPK dan areal konsesi yang diajukan disediakan oleh Kantor Dinas Kehutanan untuk broker, yang menunjukkan kecilnya kontrol masyarakat terhadap lokasi dan luasan IPPK. Sebagai perbandingan, ada beberapa kasus di Kutai Barat di mana perusahaan melakukan negosiasi untuk areal yang lebih kecil daripada total luasan izin yang diperoleh sebelumnya oleh masyarakat. Sementara semua kesepakatan yang disurvei di Malinau berupa akta notaris, hanya sekitar 30 persen dari kesepakatan yang disurvei di Kutai Barat yang disahkan notaris, 60 persen dalam bentuk tertulis dan sisanya 10 persen dibuat secara lisan. Hal ini agak mengherankan mengingat relatif lebih lemahnya kesepakatan di Malinau dibandingkan dengan kesepakatan yang dibuat di Kutai Barat.22 Meskipun tampaknya ada transparansi yang lebih besar di Kutai Barat dengan dimasukkannya struktur fee di dalam kesepakatan, masalah kecurangan (rent-seeking) tetap ada dalam masyarakat, seperti juga di Malinau. Salah satu masalah pada pendekatan survei kami adalah kami tidak bisa meneliti semua yang terjadi di desa-desa dan di dalam berbagai kesepakatan yang dibuat dengan broker. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat manfaat yang dilaporkan ke tim survei, yang merupakan satu alasan mengapa bab ini hanya difokuskan pada penentuan faktor manfaat yang dinegosiasikan. Masalah lainnya pada pendekatan survei sistematik adalah bahwa kita tidak selalu bisa membahas suatu negosiasi, dengan para pelaku langsung dalam negosiasi tersebut. Selain itu, selalu ada faktor-faktor dan potongan informasi yang tidak sepenuhnya cocok dalam format survei kami, yang terkadang sangat menyulitkan dilakukannya pembandingan langsung. Banyak informasi ‘di luar survei’ yang dikumpulkan oleh tim di Malinau dimasukkan dalam bab ini. Kesimpulan Penelitian mengenai negosiasi antara masyarakat dan broker di Malinau menunjukkan adanya variasi pada hasil negosiasi maupun pada hasil nyata. Jelas terlihat kecilnya variasi dalam hasil negosiasi, setidaknya dibandingkan dengan tempat penelitian lainnya, seperti Kabupaten Kutai Barat. Penyebab utamanya adalah dominasi dan praktik pengaturan harga mirip kartel dari para broker dalam membuat kesepakatan. Mereka membentuk komponen penting dari jaringan kuat usaha perkayuan, yang juga melibatkan pejabat pemerintah lokal, pewaris, dan kini juga banyak pemimpin masyarakat. Dalam ketiadaan penegakan hukum formal, jaringan ini memperkuat diri, dan diperlukan demi kelangsungan usaha, termasuk kesepakatan usaha pembalakan. Sebagaimana disebutkan di atas, semua kesepakatan yang disurvei di Malinau berupa akta notaris, namun tanpa upaya penegakannya oleh Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 129 masyarakat (perlu jaringan kuat agar aksi kolektif bisa efektif ), itu semua hanyalah secarik kertas yang tak berguna. Jaringan itu juga memungkinkan adanya pembayaran ilegal; sehingga dalam survei seperti ini tidak mungkin menentukan arti pentingnya dalam pengambilan keputusan mengenai IPPK. Oleh karena itu sangat sulit menilai seberapa besar kendali dan pengaruh yang dimiliki warga masyarakat biasa terhadap negosiasi di dalam desanya sendiri. Namun, selain peran broker, ada sejumlah karakteristik masyarakat yang tampak membentuk kesepakatan akhir yang dibuat di Malinau. Pertama, lebih tingginya partisipasi masyarakat di lembaga desa dan musyawarah desa mengenai akses terhadap kayu di hutan yang diklaim desa, pada masyarakat yang memperoleh kesepakatan lebih baik. Selain itu, masyarakat ini juga lebih berpengalaman dalam bekerja sama dan berurusan dengan pihak luar, serta memiliki mobilitas lebih tinggi. Pendapatan dan ketergantungan terhadap hasil hutan tampaknya tidak memiliki dampak penting terhadap hasil negosiasi. Analisa perbandingan terhadap proses di Kutai Barat dan hasilnya memperlihatkan besarnya perbedaan antara pengalaman masyarakat di kedua kabupaten. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa? Bahkan walaupun mempertimbangkan keterlibatan tenaga broker yang lebih besar di Malinau,23 pertanyaannya masih sama: mengapa masyarakat di Kutai Barat tampak lebih mendapat manfaat dari konsesi kecil daripada masyarakat di Malinau? Dengan mengabaikan keuntungan nyata jangka pendek dan biaya lingkungan akibat pembalakan yang kurang dipahami, pertanyaan ini lebih baik ditinjau dalam kerangka kendali dan pengalaman masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang disurvei di Kutai Barat – dari yang di dekat ibukota kabupaten, Melak, hingga yang berjarak ratusan kilometer di Long Bagun – semuanya lebih berpengalaman dengan jaringan pembalakan di daerah tersebut. Sejak tahun 1969 banyak masyarakat di daerah Sungai Mahakam terlibat pembalakan dengan banjir kap dan kebanyakan operasi HPH pertama di Kalimantan Timur terletak di daerah Sungai Mahakam. Sebagai perbandingan, masyarakat di Malinau kurang berpengalaman terhadap pembalakan, setidaknya sampai beberapa tahun lalu. Rata-rata tiap desa yang disurvei di Malinau baru mengenal kegiatan pembalakan komersial dalam hampir 15 tahun ini, sedangkan masyarakat di Kutai Barat telah mengalami pembalakan sekitar sepuluh tahun lebih dulu. Lebih lanjut, masyarakat di Malinau yang berpengalaman kerja di industri pembalakan lebih sedikit (58 persen keluarga) daripada yang di Kutai Barat (64 persen keluarga). Yang lebih penting barangkali adalah bahwa masyarakat di Malinau cenderung bekerja untuk perusahaan kayu di Malaysia dan kurang mengenal jaringan pembalakan Indonesia. Sebaliknya, masyarakat di Kutai Barat hanya bekerja di perusahaan Indonesia sehingga lebih memiliki jaringan yang mapan, yang bisa lebih menguntungkan mereka dalam negosiasi. Secara keseluruhan, Malinau jauh lebih terisolasi dibandingkan masyarakat di daerah Sungai Mahakam. Selama bertahun-tahun Mahakam sudah menjadi lalu lintas perdagangan, jauh lebih banyak berhubungan dengan pasar di daerah pesisir dan menerima pengaruh dari ibukota provinsi, Samarinda. Samarinda, ‘ibu kota pembalakan’ di Kalimantan dan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, memiliki industri kayu yang sangat besar. Meskipun berjarak ratusan kilometer dari sejumlah desa yang pelaksana kesepakatan HPHH, Sungai Mahakam menyediakan hubungan langsung dengan industri tersebut. Baru beberapa tahun belakangan ini Malinau membuka akses ke daerah-daerah lain di Kalimantan Timur dan lebih jauh, termasuk Malaysia. Malinau tidak memiliki industri pengolahan kayu yang sebanding, dan sebagian besar kontak datang dari broker dan jalur penyelundupan ke Sabah. 130 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Warga di desa-desa lebih besar yang disurvei di Kutai Barat, cenderung sedikit lebih tinggi dalam hal tingkat pendidikan, tingkat pengharapan, serta kesadaran, dibandingkan dengan warga Malinau. Di Kutai Barat lebih banyak warga yang bergelar sarjana, dan meskipun tidak kembali ke desa posisi mereka di kota cukup baik untuk membentuk jaringan dengan industri kayu dan mendapatkan informasi (misalnya harga kayu), yang bisa disampaikan kepada anggota keluarga yang tinggal di desa. Meskipun jaringan jalan di kedua kabupaten relatif terbatas, banyak ibukota kecamatan Kutai Barat memiliki lebih banyak pasar dan infrastruktur. Walau kemiskinan merupakan kenyataan hidup bagi penduduk di kedua kabupaten itu, kondisi ekonomi desa-desa di Kutai Barat tampak lebih baik daripada di Malinau. Hal itu bisa merupakan faktor penyumbang terhadap tingkat pengharapan relatif, di samping lebih tingginya tingkat pendidikan, adanya akses langsung, serta keterhubungan dengan kota Samarinda dan daerah lain. Semua hal itu, ditambah lagi dengan lebih besarnya peran masyarakat dalam negosiasi, tampak menghasilkan tingkat kendali negosiasi lebih tinggi daripada masyarakat yang disurvei di Malinau. Catatan 1 Penelitian untuk bab ini didanai oleh the Robert-Bosch Foundation yang berafiliasi dengan Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Rini Kusumawati dan Dodi Hernawan atas bantuan lapangan di Malinau. 2 Baland dan Platteau (1996) dan Agrawal (2001) memberikan tinjauan rinci mengenai faktor penentu aksi kolektif yang berhasil dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat. 3 Penelitian juga dilakukan di Bulungan dan Kutai Barat. 4 Ada sejumlah desa di utara Kabupaten Malinau yang juga membuat kesepakatan pada tahun 2000 dan juga telah menerima pembayaran uang muka, namun perusahaan tidak melakukan pembalakan apapun. Semua kasus itu tidak dimasukkan dalam survei. Sebagian besar desa yang berpartisipasi dalam kesepakatan IPPK aktif di Malinau dimasukkan dalam sampel ini. 5 Lihat Obidzinski dan Palmer (2002) dan Palmer dan Obidzinski (2002). 6 Ini hampir selalu lebih besar daripada areal izin IPPK, yang hanya dapat digunakan untuk satu tahun, tapi dapat diperpanjang dengan mudah. Tampaknya sejumlah desa menginginkan pengaturan jangka panjang guna memastikan ada aliran manfaat yang tak terputus di masa depan, sebagaimana yang juga telah diamati di Bulungan (Palmer, 2004). 7 IPPK dimaksudkan sebagai izin kegiatan ‘pembukaan hutan’ (forest clearance), jadi menurut peraturan IPPK, perusahaan diharuskan membuka perkebunan begitu hutan telah dibersihkan. Setiap izin IPPK berukuran 100ha dan biasanya sebuah desa (atau paling tidak brokernya) mengajukan permohonan untuk beberapa izin, dengan memberikan areal pembalakan yang jauh lebih besar jumlah totalnya. Banyak kesepakatan antara masyarakat dan perusahaan yang memberi jauh lebih luas dari yang tercantum dalam izin, dan izin akan diperpanjang setiap tahun untuk mengakomodasi operasi lebih lanjut. 8 Biasanya, di desa mitra pada kesepakatan bersama, atau di ibu kota kabupaten, Malinau Kota (lihat Tabel 6.3 untuk rincian). Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? 131 9 Namun broker yang lain segera memasuki desa-desa di Malinau Utara begitu kesepakatan telah tercapai. Sebagai contoh, PT Glory Sejahtera Mandiri memperoleh izin IPPK untuk 2000ha dan membuat kesepakatan dengan masyarakat Sungai Sembuak pada penghujung 2001, setahun setelah kesepakatan dibuat dengan CV Putra Surip Wijaya. 10 Ini bisa menjadi strategi penghematan biaya. Secara keseluruhan, BBP memegang izin untuk sedikitnya 6000ha dan membuat kesepakatan terpisah dengan Desa Luba, Selidung, Putat, Kelapis dan dengan kepala adat Selidung, semuanya di daerah Sungai Semendurut. 11 Lahan yang diklaim oleh pewaris dinamakan tanah warisan, meskipun itu adalah bagian dari klaim hutan adat masyarakat yang berbeda. Dalam banyak kasus, pewaris lebih berpengaruh daripada kepala desa dalam suatu masyarakat. Pewaris kadang-kadang mewakili kelompok etnis tertentu di desa-desa lain dan/atau memiliki anggota keluarga yang menjadi penduduk desa-desa itu, sehingga memiliki klaim lahan/sumberdaya yang melampaui batas-batas desa. Belakangan ini terjadi perkembangan, dari pewaris gua menjadi pewaris lahan di daerah tempat gua tersebut. 12 Dalam kasus ini, tampaknya pewaris mencari tanda tangan dari warga masyarakat dengan klaim paling lemah mengenai hutan setempat agar bisa mendapatkan izin IPPK dari pemerintah kabupaten. Tak satu pun warga Long Sulit pernah menerima uang fee dari pewaris. 13 Broker bisa menyetujui tambahan pembayaran bagi masyarakat berpengharapan sangat rendah karena hendak mengembangkan citra kepedulian pada kesejahteraan masyarakat. 14 Pertukaran antara keuntungan finansial langsung dengan sarana umum juga telah diamati di Kabupaten Bulungan (Palmer, 2004). 15 Pola ini bahkan lebih tampak jelas di kabupaten tetangga Bulungan, yang juga disurvei selama masa kerja lapangan. Contohnya, pada masyarakat Dayak Berusu lain yang berlokasi sangat dekat dengan masyarakat Sungai Bengalun di Malinau, tercatat fee sebesar 20.000 rupiah per meter kubik di setiap kasus. 16 Sangat mungkin ada pembayaran rahasia tambahan bagi kepala desa. Sebagai contoh, di Kabupaten Bulungan kepala desa biasa menerima pembayaran terpisah sebesar 5.000 rupiah per meter kubik atau lebih (Palmer, 2004, 2006). 17 Untuk lahan hutan di daerah Sungai Semendurut yang sudah dialokasikan oleh pemerintah kabupaten dan PADUS ke perorangan seperti kepala adat Selidung yang telah dimasukkan ke dalam jaringan patron-klien pembalakan lokal. Tampaknya hal ini lebih murah daripada membuat kesepakatan dengan masyarakat, sehingga lebih diprioritaskan oleh BBP. 18 Pada sisi lain, mungkin saja kepala desa menyadari hal ini namun lalai menginformasikan kepada warganya, karena mereka menerima ‘fee khusus’ untuk menghilangkan sarana umum dari kontrak. Tentu saja sebagaimana perilaku kecurangan lainnya, hal ini tidak bisa diamati secara langsung di lapangan. 19 Perhatikan bahwa kajian ini berfokus pada nilai manfaat bersih kontrak dan tidak mendalami isu distribusi itu sendiri. 20 Yang untuk Kutai Barat dinamakan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan). Di atas kertas, satu-satunya perbedaan nyata antara sistem IPPK dan HPHH adalah bahwa izin IPPK dapat diberikan langsung oleh kepala kabupaten. Tidak seperti aturan HPHH, peraturan IPPK juga secara eksplisit mensyaratkan perkebunan harus dibangun di areal konsesi. Untuk izin HPHH, disyaratkan lebih dahulu persetujuan dari pemerintah provinsi; dan mewajibkan pemegang konsesi membayar kepada masyarakat pajak penghijauan kembali per meter kubik dari produksi kayu. 21 Situasi ini hanya timbul ketika broker untuk desa ini (CV Putra Surip Wijaya) menolak membayar kepada masyarakat, menyebabkan terjadinya penyitaan peralatan kontraktor. Agar peralatannya dikembalikan, kontraktor terpaksa membuat kesepakatan dengan 132 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau masyarakat termasuk pembayaran tunggakan untuk semua fee yang belum dibayar serta kenaikan fee menjadi 50.000 rupiah per meter kubik. 22 Dari 21 kesepakatan pertama yang disurvei di Kutai Barat, rata-rata fee per meter kubik adalah di atas 80.000 rupiah per meter kubik, berkisar dari 30.000 rupiah hingga 150.000 rupiah per meter kubik. Kisaran fee cenderung lebih rendah pada desa yang lebih tergantung pada perantara atau broker, yang cukup sebanding dengan rata-rata untuk kesepakatan pertama di Malinau: 27.000 rupiah per meter kubik. Namun agar pembandingan lebih setara, perlu dipertimbangkan faktor sarana umum, yang hanya tercantum pada separuh kesepakatan di Kutai Barat (yang juga memberikan fee lebih rendah), dibandingkan dengan hampir semua kesepakatan pertama di Malinau. Yang berbeda hanyalah Tanjung Nanga, yang menegosiasikan fee tertinggi (50.000 rupiah per meter kubik) tanpa meminta sarana umum pada perusahaan IPPK, dan lebih mirip kontrak kesepakatan di Kutai Barat daripada Malinau. Namun fee yang diterima di Kutai Barat, cenderung memasukkan biaya-biaya lain yang terutama ditanggung oleh broker di Malinau, seperti biaya perizinan dan bahkan fee pribadi untuk tokoh desa. Walaupun di Malinau juga ada fee pribadi, tapi cenderung berada di luar fee resmi yang diterima masyarakat. Meski demikian, bahkan jika semua biaya lain dipertimbangkan, termasuk sarana umum, fee rata-rata di Kutai Barat masih lebih tinggi dan lebih transparan daripada fee yang dinegosiasikan di Malinau (Palmer, 2006). 23 Sebagian besar kayu dari Malinau diekspor ke Sabah, Malaysia, di mana dapat diperoleh harga rata-rata lebih tinggi daripada tujuan sebagian besar kayu dari Kutai Barat, yaitu ibukota provinsi Samarinda, atau wilayah Indonesia lainnya. Rujukan Agrawal, A., 2001. Common property institutions and sustainable governance of resources, World Development, vol 29, no 10, hal. 1649–1672. Baland, J. M. dan Platteau, J.-P., 1996. Halting Degradation of Natural Resources: Is There a Role for Rural Communities?, Clarendon Press, Oxford. Engel, S. dan Palmer, C., 2006. Who owns the right? The determinants of community benefits from logging in Indonesia, Forest Policy and Economics, vol 8, no 4, hal 434–446. Obidzinski, K. dan Palmer, C., 2002. How Much Do You Wanna Buy? A Methodology for Estimating the Level of Illegal Logging in Indonesia, Research Report, Center for International Forestry Research (CIFOR, Bogor, Indonesia, disampaikan dalam The 13th Annual Meeting of the European Association of Environmental and Resource Economists (EAERE) di Budapest, 25–28 Juni 2004. Palmer, C., 2004. The Role of Collective Action in Determining the Benefits from IPPK Logging Concessions: A Case Study from Sekatak, East Kalimantan, CIFOR working paper 28, CIFOR, Bogor, Indonesia. Palmer, C., 2006. The Outcomes and Their Determinants from Community–Company Contracting over Forest Use in Post-Decentralization Indonesia, Peter Lang, Frankfurt, Jerman. Palmer, C. dan Obidzinski, K., 2002. Case Study Prepared for the Report: Higher International Standards or Rent-Seeking Race to the Bottom? The Impacts of Forest Trade Liberalization of Forest Governance, Food and Agriculture Organization (FAO) and the International Institute for Environment and Development (IIED) Project GCP/INT/775/JPN, Mimeo, Center for Development Research, Bonn, Jerman. Pearce, D. W. dan Warford, J. (1993. World without End: Economics, Environment and Sustainable Development, Oxford University Press, New York, NY. 7 Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur Kewin Kamelarczyk dan Uffe Strandby Pendahuluan Apa peran hutan bagi kehidupan di pedesaan? Adakah potensi hutan untuk meningkatkan taraf hidup dan mengurangi kemiskinan? Sebagian peneliti meragukan hal ini (lihat Wollenberg dkk, 2001; Wunder, 2001; Sunderlin dkk, 2003; Levang dkk, 2005), meskipun cukup banyak orang yang mengandalkan hutan sebagai sumber kehidupan maupun sumber penghasilan (Byron dan Arnold, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003; Levang dkk, 2005). Ketergantungan pada hutan sangat bervariasi di berbagai masyarakat, dan hasil hutan biasanya berperan sebagai penambal kekurangan atau penambah penghasilan, bukan sebagai sumber penghasilan utama (Byron dan Arnold, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003). Beberapa peneliti menyatakan bahwa satu-satunya cara memanfaatkan hutan untuk mengurangi kemiskinan dan menaikkan taraf kehidupan adalah dengan mengubah modal hutan menjadi bentuk ekonomi lain yang lebih menguntungkan (Wunder, 2001; Angelsen dan Wunder, 2003; Levang dkk, 2005). Mengubah modal hutan menjadi industri alternatif memang akan membantu masyarakat miskin penghuni hutan. Agar bisa bermanfaat bagi masyarakat pedesaan, penggunaan sumberdaya hutan secara lebih komersial dan intensif mungkin harus disertai jaminan akses dan kepemilikan hutan, penghapusan kebijakan yang menghambat, pembukaan akses pasar, serta penguatan organisasi pendamping dan pendukung (Lindsay, 1998; Balland dan Platteau, 1999; Byron dan Arnold, 1999; Steins dan Edwards, 1999; Colfer dan Wadley, 2001; Campbell dkk, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003; Scherr dkk, 2003). Namun, kalaupun hal itu bisa dicapai, kelompok paling miskin dan dengan harga upah dan modal paling rendah kemungkinan besar tidak bisa 134 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau memanfaatkan skema pembangunan semacam ini dan terus bergantung pada peluangpeluang penghasilan dari sumberdaya hutan serta memanen produk-produk penunjang kehidupannya (Lindsay, 1998; Byron dan Arnold, 1999; Wollenberg dkk, 2001; Angelsen dan Wunder, 2003). Seperti diuraikan di bab-bab sebelumnya, desentralisasi wewenang administratif kepada pemerintah kabupaten telah memberi kesempatan dan insentif bagi warga dalam bentuk penerbitan surat Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) untuk pengusahaan hutan skala kecil. Walau Departemen Kehutanan telah melarang IPPK di akhir tahun 2000, beberapa kabupaten masih menerbitkan ratusan IPPK (Barr dkk, 2001; FWI/GFW, 2002) dan secara tidak langsung mendukung pembalakan liar. Ukuran masing-masing IPPK bervariasi antara 100 sampai 3000 hektar (Barr dkk, 2001). Meski keseluruhan luas terdampak IPPK tidak besar; namun mengingat singkatnya masa pemberlakuannya, jangkauan dan laju pengaruh proses ini terhadap hutan sangat agresif (Barr dkk, 2001). Surat izin ini tak hanya memberi royalti kepada pemerintah kabupaten, tetapi juga memberi berbagai manfaat bagi masyarakat, contohnya fee berdasarkan volume, berbagai kontribusi dan kesempatan kerja (Barr dkk, 2001; FWI/GFW, 2002). Banyak masyarakat yang tertarik kepada IPPK karena baru kali ini bisa berharap menikmati untung besar dari hutan. Namun di balik semangat untuk menangkap manfaat ini, kekurangan informasi dan ketidakmampuan mengendalikan perusahaan pembalakan telah membuat mereka sering menjadi korban pelanggaran kontrak oleh perusahaan (Warner, 2000; Barr dkk, 2001; Colfer dan Wadley, 2001; Sellato, 2001; Resosudarmo dan Dermawan, 2002; juga lihat Bab 6 buku ini). Selain itu, kurangnya transparansi, ketidaksetaraan distribusi manfaat, terbatasnya kesempatan kerja dan kurang layaknya upah, timbulnya konflik, dan tidak berkelanjutannya berbagai kegiatan kehutanan akibat operasi-operasi IPPK menunjukkan bahwa IPPK bukanlah model pengelolaan hutan yang berhasil (Warner, 2000; Colfer dan Wadley, 2001; Sellato, 2001; Anau dkk, 2002; Casson, 2002; Resosudarmo dan Dermawan, 2002; juga lihat Bab 8 dan 10 buku ini). Terlebih lagi, kaum elit di setiap kampung telah menjadi kroni para pemegang IPPK sehingga mengelola sumberdaya kayu mereka dengan lebih terfokus pada nilai ekonomisnya daripada kepada pelestarian alam dan lingkungan (Edmunds dan Wollenberg, 2003; Levang dkk, 2005). Bab ini mengkaji sejauh mana masyarakat lokal di tiga desa di Kabupaten Malinau terpengaruh oleh kecenderungan pemerintah lokal menerbitkan IPPK. Setelah bab-bab sebelumnya melaporkan berbagai manfaat di tingkat desa; bab ini melaporkan distribusi manfaat kepada tingkat rumah tangga di desa. Bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, tiga lokasi penelitian diuraikan berdasarkan sejarah, etnisitas, dan aspek-aspek IPPK (yaitu negosiasi, implementasi, perkembangan dan cakupan). Lalu diikuti oleh rangkuman metode-metode penelitian kami. Kemudian dijabarkan hasil-hasil temuan dan didiskusikan implikasinya. Karena penelitian ini dibangun di atas modifikasi kerangka SRL (Sustainable Rural Livelihood) dari the UK Department for International Development (DFID), penyajian hasil temuan dan diskusi disusun berdasarkan empat aset: modal finansial, modal sosial, modal sumberdaya manusia, dan modal alam. Berbagai implikasi dari IPPK terhadap modal fisik tidak dibahas secara terpisah, tetapi didiskusikan bersama dengan masing-masing dari keempat aset yang telah disebut sebelumnya. Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 135 Lokasi penelitian Tiga desa tempat studi ini dilaksanakan terletak di DAS Malinau dan dipilih untuk mewakili berbagai kondisi latar belakang etnis, jumlah rumah tangga, keterpencilan geografis, dan waktu pemberlakuan IPPK. Faktor-faktor ini diasumsikan mempengaruhi dampak IPPK terhadap kondisi penghidupan. Desa Tanjung Nanga, desa Adiu, dan desa Sengayan dipilih untuk studi ini. Tanjung Nanga Dengan 450 jiwa penduduk dan 135 rumah tangga, Tanjung Nanga adalah yang terbesar dari ketiga desa ini. Kecuali beberapa keluarga suku Punan pindahan dari berbagai pemukiman di hulu sungai selama dasawarsa terakhir, masyarakat desa kebanyakan kelompok etnis Kenyah. Desa ini didirikan tahun 1974 ketika masyarakat ini pindah dari desa Long Pua’ di Sungai Pua (Sellato, 2001; Made Sudana, komunikasi personal, Juni 2003) ke lokasi sekarang di DAS Malinau, yang berjarak sekitar 10 jam berperahu ke arah hulu dari Malinau (atau tiga jam menggunakan mobil). Karakteristik sosial suku Kenyah, dengan kaum bangsawannya sangat berpengaruh dan orang awamnya yang relatif lemah, sangat terasa di Tanjung Nanga. Kepala Desa, Kepala Adat dan kerabat mereka cenderung memegang posisi sosial paling kuat dan juga menempati banyak posisi strategis yang bisa mendapatkan usaha paling menguntungkan. Kebalikan dari orang-orang kebanyakan, para bangsawan adalah kaum terdidik dan berwawasan luas. Walau hirarki sosial yang kuat ini tampak diskriminatif, kelembagaan masyarakat di Tanjung Nanga terlihat cukup berfungsi. Meski suku Kenyah terkenal sebagai petani andalan, hal ini tidak tercermin dalam berbagai aktivitas mencari penghasilan di Tanjung Nanga. Kegiatan yang mendominasi adalah menjual hasil-hasil hutan dan pekerjaan buruh non pertanian, yang masing-masing melibatkan sekitar dua perlima dari responden. Perdagangan produk pertanian melibatkan sekitar seperempat dari responden, sama dengan berbagai aktivitas lain seperti penjualan kerajinan tangan, pegawai pemerintah lokal, wirausaha dan bekerja buruh di Malaysia. Adiu Dari ketiga desa, Adiu terletak paling hilir di DAS Malinau, empat sampai lima jam berperahu ke arah hulu dari Malinau Kota. Sungai masih menjadi jalur transportasi utama, walaupun desa ini – sebagai bagian dari operasi IPPK – telah terhubung dengan jalan logging utama yang mengarah ke selatan dari Malinau Kota. Berpenduduk hanya 223 jiwa, Adiu adalah desa yang terkecil dari ketiga desa. Desa ini memiliki dua kampung kecil yang terpisah secara fisik: Long Adiu yang memiliki 28 rumah tangga, dihuni oleh kelompok etnis Merap, dan Punan Adiu, 18 rumah tangga, dihuni oleh suku Punan. Suku Merap pindah ke Long Adiu pada tahun 1920 dari wilayah lebih di hulu, yaitu anak sungai Ran. Pada tahun 1962 suku Punan tiba dan diberi bagian hutan yang diklaim oleh suku Merap (Kaskija, 2002; Made Sudana, komunikasi personal, Juni 2003). Relatif dekatnya jarak Adiu dari Malinau Kota tampaknya mempengaruhi kegiatan mencari penghasilan pilihan warga desa: empat perlima responden berdagang hasil-hasil pertanian dan sekitar setengahnya menjual hasil hutan, sepertiganya bekerja di penebangan kayu, dan seperlimanya pegawai di pemerintahan lokal. 136 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Sengayan Sengayan adalah desa suku Merap, berpenduduk 272 jiwa (sekitar 60 rumah tangga) dan didirikan di awal tahun 1980-an setelah pindah dari hulu sungai Sengayan (Kaskija, 2002). Desa ini merupakan bagian dari pemukiman Long Loreh yang lebih besar, yang terdiri dari tiga desa lain – Pelancau (Punan), Bila Bekayuk (Punan) dan Loreh (Kenyah) – dengan total jumlah penduduk kira-kira 1200. Long Loreh terletak di DAS Malinau di ujung jalan logging, dua jam perjalanan mobil ke arah selatan Malinau Kota. Desa ini telah menjadi desa utama di kawasan ini karena adanya penambangan besar batubara di sekitarnya, yang memperbesar lalu lintas dan perdagangan. Selain dari yang ada di Malinau, satu-satunya Sekolah Menengah Pertama dan Puskesmas permanen ada di Long Loreh. Perusahaan tambang batubara memainkan peran cukup besar di kawasan ini karena merawat jalan utama, memberi gaji rutin kepada sejumlah besar rumah tangga dan menciptakan berbagai peluang mendapatkan tambahan pendapatan. Banyak pekerja dari Sulawesi dan Jawa kini telah bermukim dan menikah dengan penduduk lokal di desa Sengayan dan Long Loreh, yang tampaknya secara sosial telah membagi Sengayan. Selain itu, masuknya para pendatang dan kuatnya hubungan dengan “dunia luar” telah mempengaruhi penduduk desa ke arah gaya hidup dan perilaku yang lebih modern. Sekitar setengah dari penduduk desa terkait dengan penjualan produk-produk pertanian dan sekitar dua perlimanya terkait dengan perdagangan hasil-hasil hutan. Pengalaman sehubungan dengan kegiatan pembalakan Pemberlakuan IPPK umumnya merupakan pengalaman langsung pertama bagi masyarakat dengan praktik konsesi penebangan dan bisnis. Dalam kasus Tanjung Nanga, negosiasi seputar IPPK berlangsung belakangan, sehingga warga desa bisa belajar dari pengalaman desa lain. Hal lain yang menguntungkan posisi negosiasi desa ini adalah pengalaman sebelumnya dengan konsesi penebangan kayu melalui HPH (Hak Pengusahaan Hutan).1 Berbagai kegiatan HPH di desa Adiu tidak memberikan manfaat secara langsung bagi desa ini ataupun memberi pengalaman apapun untuk menjalani proses IPPK. Selain itu, ketika IPPK diperkenalkan di kabupaten ini, desa Adiu adalah salah satu desa pertama yang terlibat. Kurangnya pengalaman dalam negosiasi kontrak menempatkan desa ini dalam posisi yang tidak menguntungkan, yang sebagiannya tercermin pada relatif kecilnya fee yang diterima dari setiap meter kubik dibandingkan dengan desa lain. Pada awalnya dua kampung di desa Adiu bekerjasama dalam negosiasi kontrak IPPK dan izin IPPK mencakup kawasan hutan klaim mereka masing-masing. Namun, ternyata operasi pembalakan tidak pernah mencapai kawasan hutan yang lebih jauh, yang dimiliki suku Punan, dan kemudian menyebabkan beberapa konflik. Dalam kasus Sengayan, tidak ada pengalaman dari kegiatan pembalakan sebelumnya. Namun adanya tambang batubara dan kedinamisan struktur serta keragaman etnis yang dimiliki desa ini akibat pembangunan Long Loreh, telah menyebabkan para warganya terbiasa menghadapi pengaruh eksternal dan manfaat finansial. Ulasan informasi tentang berbagai kegiatan IPPK di tingkat desa diperlihatkan di Tabel 7.1 sampai 7.3. Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 137 Tabel 7.1 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Tanjung Nanga Jangka waktu kegiatan IPPKa, b Pemegang Izinb, c Besar wilayah di dalam izina Areal penebangana Lokasi 1 Fee per meter kubika, d Produksia Fee total dan besarnya pembayarana Manfaat lain yang diterimaa Investasi umuma Ekstraksi per hektare Izin dikeluarkan pada bulan Januari 2001. Berbagai operasi penebangan kayu dimulai Agustus 2001 dan masih aktif di bulan Agustus 2003. CV Jaya Nanga Bersama adalah pemegang izin IPPK. Ada dua pemegang izin IPPK di Tanjung Nanga, tetapi mereka berbagi izin yang sama dan dimiliki oleh investor yang sama. Perusahaan-perusahaan yang memiliki izin adalah Meranti Wana Lestari dan Koperasi Serba Usaha Meranti, keduanya dimiliki oleh Ibu Rosalie. Kegiatan pembalakan di lapangan sepertinya dilakukan oleh perusahaan penebangan kayu besar (Godwin Limberg, komunikasi personal, Juni 2003). Total seluas 20 blok (2000 hektar): 11 blok di wilayah Tanjung Nanga dan 9 di wilayah desa tetangganya, Langap. 11 blok (1000 hektar) di wilayah Tanjung Nanga dan 9 blok (900 hektar) di wilayah Langap. Sebelah barat Sungai Temalang. US$6,25 selama tiga kali pembayaran pertama. Karena sengketa wilayah, desa tetangga, Langap, mengklaim bagian dari fee ini. Karenanya, fee untuk Tanjung Nanga adalah US$4 (untuk kayu yang diambil dari blok di Tanjung Nanga) dan US$ 3,13 (dari kayu yang diambil dari blok di Langap). Menurut kontrak, 100.000 meter kubik, tetapi hanya 80.000 meter kubik yang diambil. 60.000 meter kubik diambil dari Tanjung Nanga dan 20.000 meter kubik diambil dari Langap. US$225.000 dalam enam kali pembayaran, dan lebih banyak lagi nantinya. BBM untuk generator (200 liter per bulan), transportasi ke lokasi perladangan, perawatan jalan dan sumbangan untuk acara-acara khusus (contohnya Natal). Akomodasi untuk siswa di Malinau (total US$5.000), gereja (US$1.250 untuk setiap pembayaran), dukungan bagi organisasi desa (seni, olahraga, keamanan, peralatan sekolah, kelompok wanita; total US$1,25 per meter kubik dari dua pembayaran pertama). 40 meter kubik Catatan: a Berdasarkan wawancara kelompok terfokus di Tanjung Nanga. b Berdasarkan data yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Malinau. c CIFOR, Long Loreh staf, komunikasi personal, June 2003. d Langap menerima US$3 per meter kubik untuk kayu yang diambil dari wilayah Tanjung Nanga dan US$3,38 per meter kubik untuk kayu yang diambil dari wilayah mereka sendiri. e Perhitungan didasarkan pada perkiraan produksi total dan area yang ditebangi. Metode penelitian Pengumpulan data dilakukan selama bulan Juli dan Agustus 2003, mencakup metode kualitatif dan kuantitatif. Untuk setiap desa, di tingkat rumah tangga diberlakukan kuesioner semi terbuka yang juga mencakup pemeringkatan preferensi. Selain itu juga dilakukan wawancara kelompok dan informal bersama informan kunci. Sebelumnya, disusun pemeringkatan rumah tangga berdasarkan status kekayaan, lalu dipilih dengan metode sampling terstrata (stratified sampling method). Kekayaan dipilih sebagai kriteria 138 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Tabel 7.2 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Long Adiu dan Punan Adiu Long Adiu Jangka waktu kegiatan IPPKa, c Pemegang Izina, b Dua izin IPPK diberikan kepada CV Wana Bakti dan kepada CV Kelawing Jaya. Hanya yang pertama yang aktif. Berbagai operasi penebangan dilakukan oleh Pro Desa dan, belakangan, PT Trian Jaya Pratama. Besar wilayah di dalam 7 blok (700 hektar) kontraka 7 blok (700 hektar) Area penebangana Di sepanjang jalan baru, di sekitar desa dan Lokasia di sebelah barat Sungai Malinau di selatan Adiu. US$2,5. Fee per meter kubika 43.678 meter kubik Produksia, d US$109.250 dalam empat kali pembayaran. Fee total dan jumlah Punan Adiu menerima bagian sebesar pembayarana, d US$29.375 dari jumlah ini. Balai desa, klinik kesehatan, perataan tanah Manfaat lain yang dan jalan sepanjang 5 kilometer. diterimaa Tabungan desa (US$0,125 per meter kubik Investasi umuma atau 5% dari fee yang diterima), generator, kabel listrik, gilingan padi, asrama siswa di Malinau, balai desa, gereja, transportasi kayu dan konsumsi selama aktivitas masyarakat. 61 meter kubik Ekstraksi per hektare Punan Adiu Izin diberikan bulan Juni 2000. Penebangan tidak pernah dimulai. Dua izin IPPK diberikan kepada CV Wana Bakti dan kepada CV Kelawing Jaya. 8 blok (800 hektar) Tidak ada area penebangan. Tidak diketahui. US$2,5. Tidak ada produksi. US$29.375 dalam tiga kali pembayaran. Perataan tanah dan jalan sepanjang 5 kilometer. 5 meter kubik kayu gergajian dan 5 kg paku untuk setiap rumah tangga, dengan ongkos total US$3.750; US$2.500 berhasil ditabung. Tidak ada produksi. Catatan: a Berdasarkan pada wawancara kelompok terfokus di Long Adiu dan Punan Adiu, wawancara informal dengan Kepala Desa di Long Adiu. b Berdasarkan data yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Malinau. c Menurut Barr et al (2001), operasi penebangan kayu dimulai bulan Oktober 2000. d Perhitungan produksi dan fee total didasarkan pada bukti produksi yang diterima oleh Kepala desa di Long Adiu dari operator penebangan. e Perhitungan didasarkan pada perkiraan produksi total dan area yang ditebangi. karena telah teridentifikasi memiliki hubungan sebab-akibat terhadap pemanfaatan hutan, keterlibatan dalam pengambilan keputusan di desa, dan penggunaan terhadap dan akses kepada fee IPPK. Dari sasaran intensitas sampling sekitar 25 persen, diperoleh 23 persen di Tanjung Nanga, 33 persen di Adiu dan 25 persen di Sengayan Nilai penting fee IPPK bagi perekonomian rumah tangga Apa makna pendapatan dari IPPK dibandingkan dengan penghasilan lainnya? Para responden diminta mendaftar seluruh sumber pendapatan mereka dan membandingkannya (pair-wise) dengan besarnya pendapatan yang didapat selama satu tahun penuh. Tidak heran bila hasil analisa mengungkapkan bahwa pendapatan tahunan yang diterima dari fee IPPK di Tanjung Nanga dan Adiu dianggap lebih besar daripada sumber pendapatan yang lain. Namun, di Sengayan, pendapatan rumah tangga dari kegiatan pertanian dirasakan lebih Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 139 Tabel 7.3 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Sengayan Jangka waktu kegiatan IPPKa, b Pemegang Izinb Besar wilayah di dalam kontraka Area penebangana Lokasic Fee per meter kubika Produksia, d Fee total dan besarnya pembayarana, e Manfaat lain yang diterimaa Investasi umuma Ekstraksi per hektarf Izin dikeluarkan bulan November 2000. Penebangan berakhir Juni 2003, tetapi ekstraksi masih berlangsung di bulan Agustus 2003. CV Putra Surip Wijaya. 20 blok (2000 hektar). 13 blok (1300 hektar). Sungai Tebu sampai Sungai Batu Lu’ung. US$3,75. Antara 26.666 meter kubik dan 45.500 meter kubik. Antara US$100.000 dan US$170.625 dalam 12 pembayaran. Balai desa, gilingan padi, kayu, 5000 seng atap; kayu dan seng ini didistribusikan kepada setiap rumah tangga. Tidak ada. Antara 20,5 meter kubik dan 35 meter kubik. Catatan: a Berdasarkan pada wawancara kelompok terfokus di Sengayan. b Berdasarkan data yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Malinau. c CIFOR, Long Loreh staf, komunikasi personal, June 2003. d Perkiraan volume terendah didasarkan pada satu wawancara kelompok terfokus di mana diberitahukan kalau fee total yang diterima adalah US$100.000 dan fee per meter kubik adalah US$3,75. Perkiraan tertinggi didasarkan pada pernyataan lain dari wawancara kelompok terfokus yang sama yang memperkirakan 35 meter kubik kayu diambil dari setiap hektar dari 1.300 hektar, tingkat pengambilan maksimum yang diizinkan oleh izin IPPK. e Fee total sekitar US$100.000 adalah satu perkiraan yang didasarkan pada wawancara kelompok terfokus. Perkiraan lain sebesar sekitar US$125.000 dibuat oleh staf CIFOR. Perkiraan ketiga bisa dibuat dengan cara mengasumsikan ada 45.000 meter kubik kayu tebangan dan fee per meter kubiknya adalah US$3,75 dan menghasilkan fee total sebesar US$170.625. f Perhitungan didasarkan pada perkiraan produksi total dan areal yang ditebang. besar (lihat Gambar 7.1). Ketika ketiga desa dipandang sebagai satu populasi, peringkat fee IPPK lebih tinggi pada sekitar sepertiga dari data pembandingan. Untuk mendapatkan gambaran sebenarnya dari nilai penting fee IPPK, diteliti ketersediaan dan ukuran kegiatan mencari penghasilan (lihat Gambar 7.2). Dari seluruh populasi yang diteliti, IPPK terdapat pada 52 persen data pembandingan pair-wise sehingga bisa dipandang sebagai sumber pendapatan yang paling tersedia selama masa pemberlakuan IPPK. Pada 56 persen dari seluruh data, IPPK dirasakan lebih tinggi daripada sumbersumber penghasilan rumah tangga lainnya. Hanya pendapatan dari bekerja di Malaysia saja yang dipandang lebih besar; namun hal itu hanya menjadi pilihan bagi beberapa rumah tangga saja. Pendapatan dari pekerjaan di luar pertanian, penjualan hasil hutan, uang dari IPPK dan penjualan produk pertanian, semuanya dipandang tidak terlalu besar sebagai pendapatan tahunan dan juga tidak terlalu tersedia sebagai peluang penghasilan. Dalam konteks yang sama, para responden ditanya apakah memiliki akses ke sumber pendapatan lain yang bisa menggantikan fee dari IPPK. Di Tanjung Nanga dan Adiu, sebagian besar rumah tangga menyatakan tidak punya akses ke pengganti IPPK, sementara di Sengayan, sebagian besar responden mengklaim sebaliknya. Sumber-sumber pendapatan yang disebut responden di Adiu dan Sengayan sebagai bisa menggantikan fee IPPK juga bersifat stabil dan berkelanjutan. Lapangan kerja yang paling penting di Adiu adalah sebagai guru, karyawan di perusahaan kontraktor IPPK atau di Malaysia, sedangkan di Sengayan, sumber pendapatan yang paling penting adalah IPPK dan di perusahaan tambang batubara. Di Tanjung Nanga, di mana kesempatan kerja di perusahaan konsesi 140 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Tanjung Nanga 3% Adiu 4% 3% 10% 3% 33% 32% 10% 22% 5% 8% 20% 13% 6% 6% 17% 5% Sengayan Ketiga desa 6% 6% 19% 29% 21% 11% 7% 3% 4% 28% 19% 12% 7% 5% 11% 12% Fee IPPK Memancing Berladang Hasil hutan Bekerja di Malaysia Upah IPPK Lainnya Tidak tahu Pekerjaan selain pertanian Gambar 7.1 Alokasi persentase peringkat berbagai kegiatan berpenghasilan. Angka persentase menunjukan seberapa sering suatu kegiatan berpenghasilan dipandang relatif paling tinggi dari jumlah total perbandingan sumber penghasilan masih rendah, gaji pegawai pemerintah, hasil penjualan kerajinan tangan dan kayu gaharu dipandang berpotensi sebagai pengganti fee IPPK. Pendapatan dari pertanian dan pengumpulan hasil hutan dipandang berpotensi menggantikan IPPK hanya ditemukan di beberapa data saja. Pada umumnya rumah tangga di semua lokasi merasa situasi finansial mereka lebih baik selama masa fee IPPK daripada sebelumnya, walaupun rumah tangga di Sengayan merasa agak kurang terpengaruh oleh adanya IPPK (lihat Kotak 7.1). Kenyataan bahwa Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 141 100% Kepentingan relatif besar pendapatan Bekerja di Malaysia Fee IPPK 50% Lainnya Upah IPKK Hasil hutan Pekerjaan di luar pertanian Berladang Memancing 0% 0% 50% 100% Ketersediaan relatif sumber pendapatan Gambar 7.2 Frekuensi munculnya kegiatan berpenghasilan dalam peringkat pembandingan (ketersediaan relatif ) dan kepentingan relatif dari besarnya pendapatan: ketiga desa dipandang sebagai satu populasi fee IPPK bukanlah pendapatan yang stabil dipandang sebagai kekurangan utama, terutama di Sengayan (lihat Kotak 7.2). Di Adiu dan Tanjung Nanga, sebagian besar rumah tangga merasa fee tersebut telah memperbaiki situasi finansial mereka, sementara sebagian menambahkan manfaat lainnya karena bekerja di operator IPPK, atau pun penjualan produk-produk pertanian dan hutan kepada karyawan IPPK. Pemanfaatan fee oleh rumah tangga Bagaimana rumah tangga menggunakan fee IPPK yang diterima? Apakah mereka memikirkan investasi jangka panjang atau kebutuhan mendesak dan jangka pendek? Semua jawabannya disusun dalam 15 kelompok barang dan jasa, tanpa memperhatikan jumlah yang dibeli (contohnya, kalau satu rumah tangga membeli lebih dari satu perangkat elektronik, hal itu hanya dihitung sebagai satu pengeluaran saja dalam kelompok itu). Untuk bisa menganalisa data dalam perspektif yang lebih luas, barang dan jasa tersebut lalu dikelompokkan ke dalam lima strategi investasi – ‘pemeliharaan modal insani’, ‘barang mewah’, ‘penambah peluang pendapatan tambahan’, ‘tabungan’, dan ‘lain-lain’ (lihat Gambar7.3). Perlu ditekankan bahwa kami hanya tertarik pada jenis-jenis pengeluaran. Karena keterbatasan waktu dan terbatasnya ingatan responden, biaya pada masing-masing pengeluaran tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Variasi pengeluaran untuk berbagai barang dan jasa Walaupun perbedaan signifikan antar desa hanya ada pada beberapa kasus, pengeluaran rumah tangga di Tanjung Nanga cenderung lebih sedikit (lihat Gambar 7.3). Contohnya, semua rumah tangga membelanjakan untuk berbagai kenyamanan seperti makanan dan pakaian, berbeda dengan Sengayan dan Adiu, sebagian rumah tangga membayar hutang 142 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Kotak 7.1 Ungkapan persepsi responden terhadap fee IPPK • ‘Sebelum IPPK sampai di desa ini, saya hanya mendapat sedikit uang saja. Saya menerima banyak uang dari fee IPPK. Sebelum IPPK, saya hanya mendapat uang dari berjualan kacang tanah, yang hanya cukup untuk membeli gula dan makanan. Sekarang saya bisa membeli televisi dan gergaji mesin’, (responden di Adiu). • ‘Selama musim berburu, saya mendapat uang dari berjualan babi dan bukannya dari fee’ (responden di Adiu). • ‘Tidak ada yang lebih baik daripada fee!’ (responden di Tanjung Nanga). • ‘Hanya ada satu sumber uang: fee IPPK!’ (responden di Tanjung Nanga). Kotak 7.2 Pendapat enam responden di Sengayan tentang nilai penting fee IPPK terhadap situasi finansial rumah tangga dan nilai pentingnya pendapatan yang stabil • ‘Fee IPPK itu tidak penting karena tidak rutin, sedangkan pendapatan dari toko saya terus mengalir.’ • ‘Fee IPPK tidak begitu menarik karena bukan pendapatan yang stabil.’ • ‘Pendapatan dari bertani lebih penting daripada fee IPPK karena lebih teratur/stabil. Walaupun fee IPPK jumlahnya lebih besar daripada pendapatan dari hasil bertani. Saya mendapat lebih banyak lagi dari IPPK.’ • ‘Gaji dari perusahaan IPPK lebih penting daripada fee IPPK karena sifatnya rutin.’ • ‘Fee IPPK hanya bersifat sementara dan karenanya tidak sepenting pendapatan yang teratur.’ • ‘Sebelum IPPK, saya mendapat uang dari menjual hasil ladang, tetapi dengan IPPK saya bisa dapat jutaan. Sebelum IPPK, saya tidak punya apa-apa, sekarang saya bisa membeli mesin ketinting yang memberi saya kesempatan untuk mendapat lebih banyak uang.’ pembelian barang-barang keperluan hidup kepada toko-toko lokal. Di Tanjung Nanga dan Adiu, peralatan dapur sederhana adalah barang yang lebih sering dibeli daripada di Sengayan. Walau menabung sepertinya tidak terlalu disukai di desa manapun, jumlah rumah tangga di Tanjung Nanga yang menggunakan sebagian fee mereka untuk ditabung jauh lebih sedikit (lihat Kotak 7.3). Di Adiu, rumah tangga cenderung menginvestasikan fee mereka untuk berbagai benda yang relatif lebih mahal seperti peralatan kerja, tenaga kerja untuk membangun (atau memperbaiki) rumah, barang-barang elektronik (terutama televisi, parabola satelit, VCD dan peralatan stereo), gergaji mesin dan alat kerja (terutama kapak, gerobak dorong dan parang). Namun, tidak seperti di Tanjung Nanga dan Sengayan, hampir semua rumah tangga di Adiu secara konsisten membeli mesin perahu. Variasi strategi investasi Dengan mengelompokkan barang dan jasa ke beberapa kategori investasi, bisa terungkap adanya kecenderungan tertentu dalam pola investasi di desa-desa. Dari tes homogenitas Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 143 100 % rumah tangga 80 60 40 20 Tanjung Nanga Barang mewah Adiu Terbentuknya peluang pendapatan tambahan Sengayan Tabungan La inn ya an Tab un g ort asi Tra nsp Ma kan esin an lat rga ji m Ge Pe ra ja ker ag a Ten ns et Ge Us ah a Pemeliharaan modal manusia Pe rala tan da pu r Ba ran ge lek tro nik did ika n Pe ng h seh idup ari- an ha ri Pe n ata n seh Ke Ko ntr uk si r um ah 0 Lainnya Ketiga desa Gambar 7.3 Persentase pembelanjaan berbagai barang dan jasa oleh rumah tangga yang dilakukan, walaupun tidak tampak ada perbedaan sistematis di antara strategi investasi yang dilakukan rumah tangga (P=0,99), sebuah kesimpulan patut dicatat. Hampir semua rumah tangga di Adiu menginvestasikan sebagian dari fee mereka ke berbagai barang yang bisa ‘membuka peluang mendapatkan tambahan penghasilan’, yang secara signifikan berbeda dengan Tanjung Nanga dan Sengayan, (lihat Gambar 7.4). Untuk seluruh populasi yang diteliti, mayoritas rumah tangga menghabiskan sebagian dari fee yang diterima di tahun 2002 untuk ‘merawat modal insani rumah tangga’ dengan investasi dalam perawatan kesehatan dan pendidikan. Hal ini diikuti oleh lebih dari tiga perlima populasi yang berinvestasi dalam ‘peluang pendapatan tambahan.’ ‘Barang mewah’ seperti peralatan elektronik dan generator hanya dibeli oleh sekitar dua perlima responden, dan seperempatnya menabung sebagian fee mereka; namun, kedua strategi ini tidak berbeda signifikan. Kotak 7.3 Tanggapan beberapa rumah tangga ketika ditanya tentang ‘tabungan’ dari fee IPPK • • • • • ‘Tabungan?... ada sedikit,’ (responden di Tanjung Nanga). ‘Saya tabung sedikit untuk anak-anak,’ (responden di Tanjung Nanga). ‘Semua tabungan dihabiskan untuk biaya rumah sakit,’ (responden di Adiu). ‘Dari 2,5 juta tabungan, 1,25 juta sudah habis,’ (responden di Adiu). ‘Tabungan adalah asuransi kesehatan. Awalnya, saya menabung sekitar 3,6 juta; tetapi sekarang sudah habis sekitar 1,8 juta untuk biaya berobat di Malinau Kota.’ (responden di Adiu). • ‘Semua uang dari IPPK saya tabung untuk keperluan anak-anak,’ (responden di Sengayan). • ‘Uangnya saya tabung untuk keperluan pergi ke Sulawesi,’ (responden di Sengayan). 144 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 100 % rumah tangga 80 60 40 20 0 Pemeliharaan modal manusia Barang mewah Tanjung Nanga Terbentuknya peluang pendapatan tambahan Adiu Tabungan Sengayan Lainnya Ketiga desa Gambar 7.4 Persentase rumah tangga dengan berbagai strategi investasi (pengeluaran menurut berbagai kategori barang dan jasa) terkait dengan fee IPPK: Persentase ini digambarkan dengan satu error bar ± 2 * SE Catatan: kurangnya nilai/error bar mengindikasikan nilai/error adalah nol. Dengan pemahaman pada kecenderungan pembelanjaan, pasti akan menarik untuk mengkaji perbedaan bagaimana pembayaran digunakan dan ditangani. Pada umumnya rumah tangga menghabiskan uang yang mereka terima secara acak dan seketika. Kebutuhan terkini pada saat pembayaran diterima tampaknya menjadi variabel utama penyebab. Pada sebagian rumah tangga, barang kebutuhan harian seperti makanan dan obat-obatan menjadi pilihan utama saat menerima pembayaran pertama, sedangkan bagi yang lain, pilihan pertama adalah ‘barang mewah’ seperti sepeda atau televisi. Transparansi dan partisipasi Untuk meneliti tingkat transparansi di dalam proses IPPK, rumah tangga ditanya pengetahuan mereka tentang fee total yang diterima oleh desanya, nama operator IPPK dan nama warga yang diberi tanggung jawab membagi fee. Lebih dari separuh rumah tangga di Adiu dan kurang dari sepersepuluh di Sengayan mengetahui jumlah total fee yang diterima oleh desanya (lihat Gambar 7.5). Di Tanjung Nanga, tidak ada rumah tangga yang tahu hal ini. Ketika melihat rumah tangga yang tahu nama operator IPPK, persentase tinggi ditemukan di Sengayan (93 persen) dan Adiu (87 persen) dan hanya sedikit di Tanjung Nanga (34 persen) (lihat Gambar 7.6). Dalam hal pengetahuan nama warga desa yang ditugasi mendistribusikan fee IPPK, jawaban yang diberikan mengungkap tingkat transparansi yang lebih tinggi karena semua rumah tangga di masing-masing desa sudah diberi tahu tentang atasan administrasi mereka. Indikator lain tingkat keterlibatan dan transparansi dalam proses ini adalah partisipasi warga desa dalam berbagai rapat desa dan pilihan tindakan kolektif dalam hal yang berhubungan dengan IPPK. Data kualitatif mengungkap bahwa sebagian besar rumah tangga tahu tentang pertemuan tersebut dan juga diundang. Namun selama pertemuan- Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 145 pertemuan desa, sepertinya kebanyakan warga biasa enggan mengungkapkan pendapat pribadi dan membiarkan para tokoh masyarakat mengambil keputusan penting (lihat Kotak 7.4). Hanya dua dari sembilan responden yang hadir di berbagai rapat di Adiu yang aktif mengungkapkan pendapat mereka, sementara di Tanjung Nanga, proporsi yang ada hanya 4 dari 17 responden (aspek ini tidak dicakup di Sengayan). Namun, ada kesan bahwa sering diadakan rapat desa di masing-masing desa dan membicarakan banyak subyek, yang menunjukkan adanya tingkat partisipasi tertentu. Kotak 7.4 Beberapa pernyataan dari Adiu dan Tanjung Nanga tentang kemungkinan mempengaruhi keputusan • • • • ‘Kalau mayoritas orang memilih satu hal, saya mengikuti keputusan itu.’ ‘Saya hanya mendengar; hanya para tokoh yang berbicara.’ ‘Saya hanya mendengar; saya diizinkan bicara, tetapi tidak ingin bicara.’ ‘Saya hanya mendengarkan; yang lebih pintarlah yang berbicara.’ Distribusi yang adil Demi kekompakan di dalam suatu desa, para penerima perlu memandang pengalokasian untuk kepentingan umum sebagai hal adil (Ostrom, 1990). Dari wawancara kelompok terfokus di Sengayan, ditemui kesulitan untuk mengetahui aturan pasti pembagian fee IPPK. Sepertinya ada aturan, tetapi tidak konsisten dan samar (lihat Kotak 7.5) dan hanya dipahami oleh Kepala Desa serta stafnya. Di Adiu dan Tanjung Nanga, situasinya 100 90 80 % rumah tangga 70 60 50 40 30 20 10 0 Tanjung Nanga Adiu Sengayan Ketiga desa Gambar 7.5 Proporsi rumah tangga yang mengetahui jumlah fee total yang diterima oleh desanya. Tidak ada rumah tangga di Tanjung Nanga yang mengetahui jumlah fee yang diterima desanya (persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2*SE) 146 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Kotak 7.5 Komentar seorang penduduk desa Sengayan tentang pembagian fee IPPK Tetangga saya mendatangi kepala desa dan meminta fee IPPK; dia mendapat Rp. 245.000. Ketika saya juga meminta fee, diberi tahu kalau fee itu belum tiba. Belakangan saya menerima Rp. 124.000. berbeda karena aturan pembagian fee IPPK sangat terperinci (lihat Tabel 7.4). Sistem administrasi sepertinya tampak paling maju di Tanjung Nanga, dengan adanya panitia yang terdiri dari enam orang tokoh masyarakat yang mengendalikan semua keputusan tentang masalah IPPK, dan beberapa sub-komisi yang bertanggung jawab atas berbagai kelompok (keluarga, janda, pemuda, siswa, dan lain-lain). Namun, menilai keadilan pembagian hanya berdasarkan adanya aturan dan isinya pasti akan mengalami masalah validitas. Untuk itu, para responden ditanya langsung tentang persepsi mereka terhadap pembagian fee. Sekali lagi, Sengayan berbeda karena hanya sekitar sepertiga rumah tangga mengatakan bahwa pembagiannya sudah adil, sementara mayoritas merasa puas di Tanjung Nanga (80 persen) dan Adiu (94 persen) (lihat Gambar 7.7). Rumah tangga yang tidak puas di Sengayan sebagian besar mengeluhkan kurangnya rapat desa, fee yang lebih rendah bagi para pendatang baru dan janda, dan pemberian fee yang relatif lebih tinggi kepada Tabel 7.4 Aturan persentase pembagian fee IPPK di tiga desa Tanjung Nangaa Dewasa Pemuda Siswa SMP dan lebih tinggi Anak-anak (usia di bawah SMP) Rumah tangga Janda Pendatang Penduduk sementara 25 10b 8 (4)c 100 50 (25)d 25 Adiue Sengayanf Long Adiu Punan Adiu 100 35–40 10 10 25 25 25 100 33 100 50 33 Catatan: Perbandingan ini didasarkan pada contoh-contoh dari beberapa informan kunci dan disusun menurut kelompok rujukan. Di Punan Adiu, rujukannya adalah dewasa, sementara pada kasus lain, merujuk ke rumah tangga. a Aturan-aturan pembagian di Tanjung Nanga didasarkan pada dua laporan yang dibuat oleh panitia pembagian fee. b Di Tanjung Nanga, kategori ini dinamakan beasiswa. c Anak-anak yang tinggal di dalam desa menerima 8 persen dan anak-anak yang tinggal di luar desa hanya menerima 4 persen. d Para janda yang hidup sendiri menerima 50 persen dan janda yang tinggal bersama kerabatnya menerima 25 persen. e Aturan-aturan pembagian di Long Adiu didasarkan pada berbagai laporan produksi dan wawancara kelompok terfokus. f Aturan-aturan pembagian di Sengayan didasarkan pada berbagai wawancara kelompok terfokus. kepala desa dan kepala adat. Rumah tangga di Adiu dan Tanjung Nanga menjelaskan alasan-alasan mereka memandang pembagian sudah adil: semua rumah tangga menerima jumlah yang lebih kurang sama. Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 147 100 90 80 % rumah tangga 70 60 50 40 30 20 10 0 Tanjung Nanga Adiu Sengayan Ketiga desa Gambar 7.6 Proporsi rumah tangga yang mengenal nama operator IPPK (persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) Distribusi yang setara Kecuali beberapa rumah tangga di Sengayan yang menyatakan belum menerima pembayaran apa pun, umumnya semua rumah tangga menerima bagian dari fee IPPK. Penjelasan umum adanya pengecualian beberapa rumah tangga ini karena mereka dipandang sebagai ‘pendatang baru’ yang tidak pantas menerima jumlah yang sama dengan penduduk asli. Mereka pindah ke desa ini beberapa tahun lalu dan sering bekerja di tambang batubara atau sebagai pedagang. Seluruh fee IPPK yang diterima oleh Sengayan dibagikan ke rumah tangga dan tidak diinvestasikan ke sarana-sarana umum, seperti di Tanjung Nanga dan Adiu (lihat Tabel 7.1 sampai 7.3). Hal ini mungkin bisa dijelaskan oleh fakta bahwa banyak proyek pemerintah dan swasta telah terealisasi di Long Loreh sehingga menggantikan kebutuhan bagi proyekproyek sarana umum. Mengenai jumlah dan ukuran pembayaran yang diterima per rumah tangga, ternyata rumah tangga di Tanjung Nanga rata-rata, menerima fee yang cukup rendah dibandingkan dengan rumah tangga di Adiu dan Sengayan. Investasi pada sarana-sarana umum lebih diprioritaskan oleh panitia di Tanjung Nanga. Rumah tangga di Adiu rata-rata menerima hampir tiga kali lebih banyak daripada rumah tangga di Tanjung Nanga (Rp. 1,37 juta dibanding Rp. 475.000). Walaupun rumah tangga di Adiu rata-rata menerima Rp. 450.000 lebih besar daripada rumah tangga di Sengayan (Rp. 851.000), perbedaan ini tidak signifikan. Kalau seluruh desa dilihat sebagai satu populasi, fee total rata-rata yang 148 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 100 90 80 % rumah tangga 70 60 50 40 30 20 10 0 Tanjung Nanga Adiu Distribusi yang adil Sengayan Ketiga desa Distribusi yang tidak adil Gambar 7.7 Persentase rumah tangga yang menilai distribusi fee IPPK di desanya adil atau tidak adil (persentase rata-rata dgambarkan dengan error bar ± 2 * SE) diterima per rumah tangga diperkirakan sekitar Rp. 689.000. Semua perkiraan ini diperiksa ulang dengan membandingkannya dengan berbagai perhitungan berdasarkan fee total yang diterima desa yang didistribusikan ke rumah tangga (lihat Gambar 7.8). Karena survei rumah tangga dilakukan menurut strata pendapatan, bisa dibandingkan alokasi fee kepada rumah tangga dalam berbagai kelompok pendapatan di masing-masing desa. T-test mengungkap hanya di Tanjung Nanga terbukti ada dua perbedaan signifikan (P = 0.04) yang cenderung memihak yang lebih kaya. Rumah tangga di strata pendapatan sangat rendah hanya menerima Rp. 2.187.000, sementara rumah tangga di strata menengah menerima lebih dari tiga kalinya, Rp. 7.065.000. Kemunculan konflik Jumlah, jenis dan intensitas konflik yang disebabkan oleh kehadiran IPPK bisa mengungkap berbagai hambatan dan kekuatan utama di dalam modal sosial. Dalam hal ini, konflik dipahami sebagai kejadian negatif yang berpotensi merusak ikatan sosial (Colfer dan Wadley, 2001). Persentase rumah tangga yang pernah mengalami konflik karena kegiatan IPPK tidak berbeda di antara ketiga desa. Tetapi, karena lebih dari separuh rumah tangga di populasi total studi ini pernah mengalami konflik karena IPPK, maka perlu diteliti rincian dan penjelasannya. Dengan kehadiran IPPK di Adiu, muncul pula konflik menyertai masuknya uang; bukan hanya antara Adiu dan desa-desa tetangganya, tetapi juga secara internal. Terutama, hubungan antara suku Merap dengan suku Punan mengalami banyak Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 149 16 Total fee IPPK yang diterima per rumah tangga (juta rupiah) 14 12 10 8 6 4 2 0 Tanjung Nanga Adiu Sengayan Ketiga desa Gambar 7.8 Dua perkiraan total fee IPPK yang diterima per rumah tangga: Satu perkiraan didasarkan pada data dari kuesioner semi terbuka di tingkat rumah tangga (kolom kiri berwarna abu-abu muda); perkiraan lain didasarkan pada data dari berbagai wawancara kelompok terfokus dan laporan produksi mengenai jumlah rumah tangga penerima fee dan fee total yang diterima di tingkat desa (kolom kanan berwarna abu-abu tua) Catatan: Perkiraan berdasarkan kuesioner semi terbuka ini digambarkan dengan error bar ± 2 * SE. sengketa setelah adanya IPPK, dan berbagai kontroversi serta kesalahpahaman menyebabkan suku Merap tidak membagi pembayaran terakhir dengan suku Punan. Selain itu, suku Punan tidak menerima manfaat non-tunai yang sama, seperti kantor desa dan puskesmas. Di Tanjung Nanga dan Sengayan, alasan-alasan konflik adalah: jumlah uang yang diterima per rumah tangga, distribusi pendatang baru dan penduduk lama; distribusi antara rumah tangga dengan banyak anak dan dengan sedikit anak; rumah tangga dengan satu orang tua dibanding dengan rumah tangga dengan dua orang tua; golongan elit yang dituduh menerima suap; dan kurangnya partisipasi dan transparansi tentang pembagian fee IPPK. Pengaruh IPPK terhadap kondisi kehidupan Untuk membuat para responden bisa mengungkapkan pendapat agar diperoleh informasi berharga tentang berbagai perubahan kehidupan mereka oleh adanya IPPK, responden diminta membandingkan kualitas hidup mereka sekarang ini dengan kualitas sebelum adanya IPPK dan menjabarkan penyebab perubahan itu. Walaupun ternyata pemeringkatan kuantitatif memiliki kegunaan terbatas, karena responden sulit memahami metode yang diterapkan, penjelasan kualitatif yang ada ternyata lebih bermanfaat. Di Adiu, lebih dari separuh responden menganggap kehidupan mereka lebih baik karena meningkatnya kualitas rumah dan peralatan, serta meningkatnya akses kepada obatobatan. Seorang responden menganggap kehidupan rumah tangganya saat ini lebih sulit karena memiliki lebih banyak anak, sementara yang lain tidak merasakan perbedaan dalam hal ini. Di Tanjung Nanga, dua pertiga responden mengatakan kehidupan mereka menjadi 150 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 100 % rumah tangga 80 60 40 20 0 Tanjung nanga Adiu Sengayan Ke tiga desa Gambar 7.9 Proporsi rumah tangga yang berdagang karyawan IPPK (persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) 100 % rumah tangga 80 60 40 20 0 Tanjung nanga Adiu Sengayan Ke tiga Desa Gambar 7.10 Proporsi rumah tangga yang bekerja di perusahaan IPPK (persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE) lebih baik. Hanya satu yang merasa kehidupannya menjadi lebih sulit, sementara yang lain tidak merasakan perbedaan. Di sini, umumnya penyebab utama yang diungkapkan adalah membaiknya kondisi kesehatan, rumah yang lebih bersih, jalan lebih bagus, transportasi lebih baik, pendidikan lebih baik, serta lebih tingginya pendapatan bagi penduduk desa, Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 151 sehingga lebih banyak pekerjaan bagi para pengrajin. Di Sengayan, hanya separuh dari responden mampu menjawab pertanyaan ini. Semuanya, kecuali satu orang, menilai kehidupan mereka kini lebih baik daripada sebelum adanya IPPK. Para responden ini tidak memberi penjelasan, sedangkan responden yang lain menilai kehidupannya lebih sulit karena banyaknya konflik, walaupun secara ekonomi telah membaik. Akses kepada pendidikan Pembagian fee IPPK (lihat Gambar 7.3) mengungkapkan, hampir separuh rumah tangga dalam seluruh populasi yang diteliti menggunakan sebagian fee IPPK untuk biaya yang berhubungan dengan pendidikan. Tidak tampak ada perbedaan signifikan di antara ketiga desa. Hampir semua pengeluaran yang disebutkan adalah untuk baju seragam, buku dan alat tulis; tetapi untuk seperempat dari rumah tangga yang memberi tanggapan, pengeluaran untuk uang sekolah anak-anak adalah yang terpenting. Informan kunci di ketiga desa menekankan dampak positif dari IPPK: anak-anak menerima pendidikan yang lebih baik. Akses kepada fasilitas kesehatan Gambar 7.3 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari seluruh populasi studi ini menggunakan sebagian fee IPPK untuk kesehatan. Biaya pengobatan disebut oleh semua rumah tangga ini, dan hampir separuh dari mereka menggunakan sebagian fee IPPK untuk biaya berobat ke rumah sakit di Malinau atau Tarakan. Informan kunci menyebut, sampai sekarang, penduduk desa belum punya kemampuan finansial untuk sampai ke Tarakan (satu hari perjalanan) dan membayar bantuan pengobatan. Perubahan dalam akses kesempatan kerja dan aktivitas berpenghasilan Dampak tidak langsung IPPK dalam kesempatan kerja dan kesempatan berdagang terutama ditemukan menguntungkan bagi rumah tangga di Adiu. Tiga perempat rumah tangga di Adiu telah terlibat dalam penjualan hasil, terutama hasil pertanian, kepada para karyawan IPPK (lihat Gambar 7.9). Berbeda dengan Adiu, rumah tangga di Tanjung Nanga punya sedikit kesempatan menjual produk-produk lokal mereka kepada para pekerja IPPK. Di kedua desa, potensi perdagangan produk-produk lokal bisa lebih besar lagi, tetapi karena banyak pekerja IPPK berbelanja sendiri di Malinau Kota, di mana harga makanan dan bahan pokok lain lebih rendah dan pilihannya lebih banyak, kesempatan ini berkurang. Dalam hal kesempatan pekerjaan, lebih dari setengah responden (semua pria) di Adiu dipekerjakan oleh pemegang IPPK (lihat Gambar 7.10). Kesempatan kerja umumnya berupa pekerjaan lapangan sebagai juru-tebang, operator traktor, pengupas kulit, petugas keamanan atau anggota tim survei pencari pohon-pohon yang berharga (terutama dari suku Punan). Warga Tanjung Nanga hampir tidak pernah dipekerjakan di kamp pembalakan. Di Sengayan dan Adiu, di mana pekerjaan IPPK sepertinya menjadi pilihan pendapatan umum, pekerjaan ini terkesan hanya untuk jangka waktu yang singkat. Di Sengayan, informan kunci menyatakan walaupun desa ini mendapat manfaat dari kesempatan kerja, penduduknya hanya bekerja untuk jangka waktu singkat. Hanya satu orang responden menyebutkan kalau dia bekerja selama satu tahun penuh, sedangkan masa kerja yang wajar adalah antara dua sampai lima bulan. Rata-rata gaji seorang karyawan IPPK adalah sekitar Rp. 330.000 per bulan; berdasarkan pernyataan dari enam orang responden. 152 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Kotak 7.6 Pernyataan dari wawancara kelompok terfokus di Long Adiu tentang perubahan kebiasaan jual-beli Malinau itu terlalu jauh. Penduduk desa biasanya pergi ke Long Loreh di mana banyak perusahaan beroperasi. Penduduk desa menjual hasil buruan dan ayam. Lebih mudah pergi ke sana karena warga desa sekarang punya mesin ketinting yang menambah frekuensi perjalanan ke Long Loreh. Walaupun Malinau jaraknya jauh, hampir setiap hari ada orang pergi ke sana dan seringkali kembali di hari yang sama. Harga-harga lebih rendah di Malinau.! Selain peluang penghasilan yang bisa dikatakan langsung ini, para informan kunci di semua lokasi studi menyatakan bahwa membaiknya kondisi keuangan masyarakat telah menciptakan pasar lokal untuk sayur mayur dan kerajinan tangan yang lebih besar, serta lebih meningkatkan kesempatan warga untuk berwiraswasta lokal kecil-kecilan. Investasi rumah tangga untuk fasilitas transportasi juga disebut berdampak positif kepada penghasilan karena membuka akses ke pasar di Malinau dan Long Loreh (lihat Kotak 7.6). Kebiasaan niaga pun dipengaruhi oleh kebiasaan yang sedikit berlawanan: meningkatnya daya beli penduduk desa disebut menarik kedatangan lebih banyak pedagang untuk menjual pakaian, perabot dapur, dan barang-barang lain. Kegiatan pertanian Awalnya, kegiatan pembalakan IPPK diasumsikan akan mempengaruhi luas, lokasi dan budidaya pertanian setiap rumah tangga. Walaupun separuh dari rumah tangga di ketiga lokasi penelitian meningkatkan atau menurunkan luasan areal pertanian mereka karena kegiatan IPPK, hanya sebagian kecil menilai bahwa ini disebabkan oleh kegiatan pembalakan oleh IPPK. Di Tanjung Nanga dan Sengayan, para responden menilai lokasi areal penebangan terlalu jauh dan tidak menarik bagi perluasan tanah pertanian. Di Adiu, yang areal penebangannya sangat dekat dengan desa, hanya satu responden yang mengatakan telah membuka ladang baru di area penebangan karena letaknya yang dekat dan tidak membutuhkan usaha besar untuk pembukaan lahan. Hanya satu responden (di Adiu) yang mampu mengurangi luas tanamnya karena meningkatnya pendapatan dari pekerjaannya di perusahaan IPPK. Para informan kunci di Sengayan menekankan bahwa fee IPPK memungkinkan warga desa menanami ladang mereka secara lebih produktif melalui penggunaan peralatan dan benih yang lebih baik serta pemakaian pupuk dan pestisida secara lebih teratur. Argumen ini juga didukung oleh para informan kunci di Tanjung Nanga, yang juga menekankan bahwa adanya gergaji mesin membuat pembukaan lahan berlangsung lebih cepat dan mudah. Perusahaan IPPK memberikan desa Sengayan dan Adiu masing-masing sebuah penggilingan padi, walaupun untuk desa Adiu merupakan bagian dari sarana umum. Hanya beberapa atau malahan tidak ada rumah tangga di ketiga desa yang mengadopsi tanaman komersial baru dengan cara membeli benih atau bibit dari fee yang diterima. Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 153 Kegiatan kehutanan Apakah masyarakat berminat pada, atau berpengaruh terhadap, pengelolaan areal konsesi? Aturan-aturan operasional yang dibuat antara pemegang IPPK dan masyarakat di ketiga desa bersifat tidak jelas atau bahkan tidak ada. Tampaknya hanya Sengayan satu-satunya tempat di mana ada kesepakatan tentang tingkat penebangan maksimum per hektar. Masyarakat dan pemegang IPPK sepertinya lebih banyak memberi perhatian untuk bersepakat dalam hal fee per meter kubik tebangan dan mengabaikan isu-isu manajemen lainnya (contohnya masa penebangan, teknologi penebangan, batasan spesies, batasan diameter kayu tebangan, dan lain-lain). Namun, kepala desa Tanjung Nanga menjelaskan bahwa panitia IPPK telah memutuskan untuk mengalokasikan blok-blok IPPK di kawasan yang cukup jauh dari desa ini (sekitar dua sampai tiga jam berkendara) untuk mencegah dampak langsung terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan (lihat Tabel 7.1). Apakah warga desa mengalami perubahan dalam akses terhadap hasil hutan karena kegiatan pembalakan? Secara umum, kebanyakan rumah tangga yang diwawancarai mengumpulkan hasil hutan sebagai bagian dari mata pencaharian mereka. Kegiatan paling umum adalah memancing yang dilakukan sebagian besar populasi total yang diteliti (85 persen). Berburu adalah aktivitas terbanyak kedua (70 persen), diikuti oleh mengumpulkan buah-buahan (47 persen), penebangan (46 persen), mencari rotan (35 persen), dan mengumpulkan kayu gaharu (20 persen). Persentase besar rumah tangga juga menjelaskan bahwa selama tiga tahun terakhir mereka mengalami masalah mengumpulkan sebagian dari hasil-hasil ini. Namun, terkecuali akses warga desa kepada kayu, aktivitas pembalakan IPPK sangat jarang dipandang sebagai penyebab semakin sulitnya kondisi pemanenan hasil hutan. Hampir sepertiga rumah tangga menyatakan bahwa berbagai kegiatan IPPK menyebabkan berkurangnya pasokan kayu tebangan. Rumah tangga ini mengklaim bahwa IPPK menyebabkan lebih sulitnya kondisi panen (lihat Gambar 7.11). Walaupun tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga desa ini dalam hal kurangnya kayu, di Adiu lebih banyak menunjuk pada IPPK. Tekanan demografik (yaitu pertambahan penduduk) adalah penyebab utama yang dikemukakan oleh rumah tangga bagi kondisi panen hasil hutan yang secara umum lebih buruk. Modal finansial Diskusi Nilai penting fee IPPK bagi perekonomian rumah tangga Penghasilan tunai semakin penting bagi masyarakat di kawasan Malinau, apalagi di lokasi yang memiliki infrastruktur lebih baik (Wollenberg dkk, 2001; Levang, 2002). Kecenderungan ini semakin tampak pada masyarakat yang terkena dampak IPPK karena fee adalah cara mudah mendapatkan uang tunai. Mengapa harus susah payah atau berpuas diri dengan hal yang kurang bagus kalau bisa menikmati manfaat dari hutan hanya dengan membuat kesepakatan dengan pemegang konsesi? (Levang, 2002). Menurut hasil penelitian kami, pendapatan dari fee IPPK merupakan sumber utama uang tunai di ketiga lokasi studi (lihat Gambar 7.1). Hal ini sangat nyata di Adiu dan Tanjung Nanga. Hasil itu berbeda dengan di Sengayan, di mana pendapatan dari kegiatan 154 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 100 80 % rumah tangga 60 40 20 Kayu Berburu Tanjung Nanga Adiu ng K ora ng IPP ba ny ak Leb ih vit as ora Pengumpul rotan Ak ti K IPP Pengumpul buah-buahan Sengayan ba ny ak Leb ih Leb ih Ak ti vit as on ng ora gp oh Teb an K IPP ba ny ak gi b aru olo Ak ti Tek n Memancing vit as ng K ora IPP ba ny ak gi b aru vit as Leb ih Ak ti olo Tek n ng gb aru ora Pe m bu ata n lad an K IPP vit as Ak ti ba ny ak Leb ih ng ora Pe m bu ata n lad an K IPP ba ny ak vit as Leb ih Ak ti gb aru 0 Pengumpul gaharu Ke tiga desa Catatan: kurangnya nilai/error bar mengindikasikan bahwa nilai/error adalah nol. Gambar 7.11 Persentase warga menyebut alasan penyebab berkurangnya akses ke dan/atau lebih sulitnya panen: Persentase ini didasarkan pada jumlah rumah tangga yang mengungkapkan kesulitan mendapatkan hasil-hasil hutan dan bukan jumlah total pengguna (persentase dihitung sebagai rata-rata jumlah rumah tangga dan diikuti oleh ± 2 * SE) pertanian lebih besar daripada fee IPPK, sementara pendapatan dari pekerjaan di luar pertanian dipandang memiliki nilai penting yang setara. Rumah tangga di Sengayan punya akses bagus kepada pasar dan berbagai sumber pendapatan stabil lain, yang memberi peluang membeli kebutuhan pokok dan memungkinkan mereka memperdagangkan produkproduk pertanian sendiri. Di Tanjung Nanga, fee IPPK menjadi pendapatan tunai utama karena lebih kecilnya persentase rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan penghasilan lain. Walaupun rumah tangga di Tanjung Nanga menerima fee terkecil dibanding dengan dua desa lainnya, mereka tetap memandang penghasilan ini sebagai lebih besar daripada sumber-sumber lain, yang menunjukkan lebih rendahnya tingkat penghasilan di desa ini. Di Adiu, bekerja di operator IPPK dan relatif baiknya akses pasar telah membuka pilihan sumber pendapatan yang stabil dan signifikan, yang menyediakan tingkat pendapatan lebih tinggi. Namun, rumah tangga di Adiu tidak yakin apakah kesempatan pendapatan lain itu bisa menggantikan fee IPPK. Sebaliknya, rumah tangga di Sengayan pada umumnya yakin bisa mendapatkan uang tunai sama banyaknya dari aktivitas lainnya. Terlebih lagi, rumah tangga di Sengayan secara umum memandang kondisi finansial mereka tidak terlalu terpengaruh oleh fee daripada rumah tangga di dua desa lainnya. Di Tanjung Nanga, rumah tangga pada umumnya memandang kondisi keuangan mereka sangat terpengaruh, yang sesuai dengan penemuan dari pemeringkatan perbandingan. Fee IPPK secara umum diberi peringkat di atas sumber-sumber pendapatan lainnya di pemeringkatan pembandingan (lihat Gambar 7.1), disebabkan oleh dampak kombinasi dari ketersediaan dan besarannya (lihat Gambar 7.2). Dibandingkan dengan kegiatan sumber tunai lainnya, fee IPPK bisa diperoleh oleh kebanyakan rumah tangga (hanya dua rumah tangga yang tidak menerimanya), sehingga sering disebut di dalam pemeringkatan Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 155 perbandingan. Dalam hal besarnya penghasilan, hanya gaji bekerja di Malaysia saja yang disebut lebih menarik daripada fee IPPK. Namun, penghasilan dari gaji IPPK, pekerjaan non-pertanian maupun penjualan hasil hutan tidak bisa diabaikan karena juga dianggap sebagai sumber penting pemasukan uang tunai. Rumah tangga sering menyebut bahwa, berlawanan dengan pekerjaan di luar pertanian, penghasilan dari fee IPPK bersifat tidak teratur dan tidak stabil (lihat Kotak 7.2). Ketidakpastian besar tak hanya tentang skema IPPK dan harapan masyarakat sekitar hutan untuk menerima uang dari eksploitasi hutan (Barr dkk, 2001), tetapi juga persepsi rumah tangga tentang fee itu: berapa yang akan mereka terima per pembayaran, seberapa sering dan kapan? Kurang stabilnya penghasilan bisa dianggap mempengaruhi cara rumah tangga dan masyarakat menggunakan fee IPPK. Terungkap bahwa rumah tangga di Tanjung Nanga yang termasuk strata penghasilan menengah menerima tiga kali lebih besar daripada yang di strata sangat rendah. Hasil ini menunjukkan ketidaksetaraan pembagian manfaat di dalam desa, yang tidak hanya terbatas antara kalangan elit dan masyarakat kebanyakan, tetapi juga melibatkan tingkatan sosial lainnya. Terlebih lagi, penemuan ini menyokong kuatnya karakteristik hirarki di desa-desa suku Kenyah (Sellato, 2001). Kiranya ada empat penjelasan tentang ketidaksamaan fee per rumah tangga (lihat Gambar 7.8), yaitu: 1 Responden sengaja mengakui jumlah yang diterima dan banyaknya pembayaran lebih kecil dari sebenarnya (karena mengira dengan demikian akan menguntungkan niatan mereka menerima bantuan dari luar) (Sellato, 2001). 2 Responden tidak menghitung pembayaran yang diterima oleh anggota keluarga lain di dalam rumah tangga itu (contohnya anak atau pemuda). 3 Sebenarnya lebih banyak rumah tangga menerima fee daripada yang diasumsikan di dalam perhitungan (ada sejumlah rumah tangga di Long Jalan menerima fee dari desa Tanjung Nanga, tetangganya). 4 Kurangnya informasi tentang pengeluaran dan investasi di tingkat desa. Perkiraan realistis fee total yang diterima rumah tangga agaknya adalah perkiraan rata-rata kedua estimasi ini. Investasi jangka pendek vs jangka panjang ‘Bila menerima uang yang tidak stabil semacam ini, kita gunakan untuk senang-senang!’ Seorang responden di Sengayan dengan pendapatan relatif stabil menyatakan pandangan ini dan secara implisit mengindikasikan perspektif jangka pendek. Angelsen dan Wunder (2003) mengatakan pilihan subjektif jangka pendek orang lokal tidak berkaitan dengan tujuan perbaikan kesejahteraan jangka panjang atau nilai-nilai eksternal mereka. Apa yang kita nilai sebagai investasi jangka pendek dan tidak bijak boleh jadi sangat penting bagi kesejahteraan orang lokal. Pada umumnya seseorang tidak hanya mementingkan penghasilan absolut, tetapi juga membandingkan status penghasilan sendiri dengan status rumah tangga panutannya. Boleh jadi mereka akan mendahulukan membeli pesawat televisi seperti yang dilakukan tetangga, daripada meningkatkan gizi makanan atau memperbaiki atap (Angelsen dan Wunder, 2003). Pada kasus-kasus seperti masuknya IPPK, ketika banyak uang masuk secara tiba-tiba, kemiskinan dalam arti keterbatasan material bisa berkurang (Angelsen dan Wunder, 2003). Namun sayangnya, menurut Levang (2002), produkproduk modern tidak hanya mahal, tetapi juga mudah rusak dan butuh perawatan atau pergantian cepat. Akibatnya, berbagai strategi kehidupan tradisional yang mementingkan investasi jangka panjang untuk melindungi masyarakat dan rumah tangga dari kerentanan bisa tererosi (Angelsen dan Wunder, 2003). 156 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Sebagian dari survei rumah tangga dimaksudkan untuk mengungkap apakah pola pembelanjaan rumah tangga setelah adanya penerimaan fee IPPK masih mengandung strategi investasi yang berwawasan jangka panjang. Pengeluaran untuk ’pemeliharaan modal insani’, ‘pembuka peluang penghasilan tambahan,’ dan ‘tabungan’ dikategorikan mengandung prospek masa depan, sedangkan investasi ’barang mewah’ dipandang sebagai investasi jangka pendek. Walaupun sebagian barang yang memungkinkan rumah tangga mendapatkan penghasilan tambahan hanya berusia singkat (a.l. mesin ketinting dan peralatan pertanian), semua investasi ini bisa menjadi batu pijakan ke arah kesempatan penghasilan yang lebih stabil. Kebanyakan rumah tangga yang diteliti menginvestasikan sebagian fee yang diterima untuk ’menyediakan peluang mendapatkan penghasilan tambahan’ dan ‘memelihara modal insani’. Modal insani dipandang sebagai investasi jangka panjang karena menjamin perkembangan di masa depan. Investasi yang bisa ‘membuka peluang penghasilan tambahan’ terutama disukai di Adiu. Kecuali rumah tangga di Sengayan, banyak rumah tangga telah menginvestasikan sebagian fee IPPK mereka dalam bentuk peralatan yang bisa memudahkan kegiatan pertanian dan menjadikan pertanian mereka lebih produktif. Contohnya, fee ini telah menyebabkan bertambahnya jumlah rumah tangga yang mampu menggunakan pupuk dan pestisida di ladang mereka. Bahkan di Tanjung Nanga dan terutama di Adiu, rumah tangga membeli gergaji mesin. Lebih banyaknya pembelian gergaji mesin di Adiu daripada di Tanjung Nanga kemungkinan disebabkan oleh lebih bagusnya akses Adiu ke pasar kayu karena jarak ke Malinau Kota lebih dekat. Karena rumah tangga di Tanjung Nanga menerima jumlah fee yang relatif lebih kecil, tentu saja, pilihan mereka untuk pengeluaran dalam hal transportasi dan gergaji mesin lebih terbatas. Di Sengayan, dengan adanya jalan utama dan relatif lebih kuatnya daya beli sebelum pemberlakuan IPPK sangat mungkin mempengaruhi kurangnya insentif untuk membeli mesin ketinting, peralatan pertanian atau pun gergaji mesin. Walaupun Levang et al (2005) menemukan bahwa panen kayu oleh masing-masing rumah tangga menjadi sumber penghasilan yang semakin penting bagi desa-desa yang cukup terhubung dengan pasar (lebih dari Rp. 225.000 per hari dengan resiko kecil), perlu tetap diperhatikan kerugian bagi sumberdaya hutan sebagai jaring pengaman. Kondisi geografis dan logistik desa Adiu juga merupakan insentif bagi rumah tangga untuk membeli mesin ketinting, oleh hampir semua rumah tangga. Walaupun Malinau bisa dicapai dalam waktu satu jam dengan kendaraan roda-empat dobel kardan (fourwheel drive), transportasi darat dinilai mahal dan biasanya tak terjangkau bagi sebagian besar warga desa. Akibatnya, jalan buatan IPPK jarang dipakai sebagai jalur pintas menuju Malinau. Lebih mudah lewat sungai, yang bisa mencapai Malinau dalam waktu sekitar 3 jam. Maka investasi mesin ketinting relatif lebih bermanfaat. Secara umum, adanya pendapatan tambahan dari IPPK telah meningkatkan mobilitas dan karenanya meningkatkan akses penduduk desa kepada pasar dan informasi. Warga desa di Adiu maupun Tanjung Nanga mengatakan mereka sekarang sering mengunjungi desa-desa tetangga atau bahkan Malinau Kota atau Tarakan. Kami berpendapat bahwa dampak utama membaiknya akses ke pasar adalah pada pengeluaran warga desa dan bukannya pada kesempatan mereka untuk menjual produk-produk hasil produksi mereka. Namun, perdagangan produk kepada karyawan IPPK tampaknya mempengaruhi penduduk desa secara lebih langsung. Terutama, jarak ke kamp pembalakan tampak berdampak cukup besar pada berbagai peluang menyumbang pendapatan rumah tangga dengan cara menjual produk kepada karyawan IPPK. Walaupun pada umumnya rumah tangga tampak tidak mampu atau tidak ingin menabung fee yang diterima, ternyata setengah dari rumah tangga di Sengayan menyisihkan Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 157 sebagian dari fee itu. Tingkat pendapatan dan perbedaan biaya peluang menabung mungkin bisa sedikit menjelaskan latar belakang adanya perbedaan pola menabung ini. Ketersediaan sumber-sumber penghasilan yang stabil di Sengayan sepertinya mendorong rumah tangga menyisihkan penghasilan tak diduga ini karena biayanya rendah. Bagian lain dari penjelasan ini berasal dari karakteristik sosial dan etnis di desa ini, seperti yang dikomentari oleh Carol J. Pierce Colfer (komunikasi personal, Juni 2003): Perlu diingat bahwa di masa lalu (dan mungkin masih sampai sekarang), tuntutan untuk bermurah hati bisa menghalangi seseorang untuk menabung. Kalau mereka punya uang, lalu ada yang mengetahuinya dan datang meminjam – seseorang jarang bisa menolak karena si pemohon mungkin perlu berobat, anak-anak mereka terancam putus sekolah tanpa uang itu atau keprihatinan manusiawi penting lainnya. Mekanisme sosial ini terutama tampak di masyarakat suku Kenyah (contohnya Tanjung Nanga). Rumah tangga juga bisa menganggap tabungan sebagai ’menyia-nyiakan uang’ karena yakin bahwa kelak akan ada alternatif lagi selain IPPK. Mengapa harus menabung sebagian fee kalau tersedia sangat banyak kayu di belakang rumah dan orang luar mau membayarnya? Berbeda dengan Sengayan, Tanjung Nanga dan Adiu telah membuat beberapa sarana umum dan tabungan cukup besar di tingkat desa. Pendekatan semacam ini bisa membantu mengamankan kesetaraan pembagian manfaat dari IPPK, yang menurut Angelsen dan Wunder (2003) merupakan sebuah hal penting kalau tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi dengan cara mengurangi kemiskinan. Modal sosial Transparansi dipandang oleh Oakerson (1992), Ostrom (1990, 1999) dan Wollenberg (1998) sebagai satu prasyarat membangun rasa saling percaya, menciptakan kebersamaan dan mencegah perilaku oportunistis. Penelitian kami mengindikasikan bahwa warga desa hanya diberi informasi terbatas tentang kontrak IPPK. Adiu tampak memiliki tingkat transparansi yang tertinggi dan Tanjung Nanga yang terendah. Kesannya adalah hanya beberapa warga desa yang berpengaruh dilibatkan di dalam negosiasi dengan perusahaan dan hanya beberapa hal, atau bahkan hanya kesepakatan final, yang didiskusikan di rapat desa. Negosiasi terjadi dengan cara yang tidak transparan tanpa keterlibatan seluruh desa. Namun, keteraturan struktur kelembagaan yang menjadi karakter masyarakat suku Kenyah dan pengalaman dari berbagai operasi HPH di area ini tampaknya telah membentuk manajemen fee IPPK di Tanjung Nanga dengan cara yang positif. Sarana umum, rapinya pengorganisasian distribusi fee bagi warga desa (walaupun tidak setara!) dan pertimbangan penuh kehati-hatian tentang keterlibatan di dalam IPPK mencerminkan tingkat perkembangan kelembagaan yang tinggi. Penelitian kami di Adiu menunjukkan bahwa suku Punan kurang diperhatikan karena mereka tidak mengikuti negosiasi awal ataupun menerima pembayaran terakhir dan sarana umum yang sama seperti suku Merap (kantor desa dan klinik kesehatan). Situasi ini mendukung hasil penelitian lain bahwa para mantan pemburu-pengumpul (peramu) ini – suku Punan – adalah kelompok etnis yang paling termarjinalkan secara politik di daerah ini (Levang dkk, 2005). Berbagai program pembangunan seperti IPPK seringkali disertai ketidaksetaraan pembagian manfaat di tahap-tahap awal. Sudah teramati bahwa ada sebagian orang yang 158 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau memiliki aset atau keahlian yang menguntungkan mereka dalam memanfaatkan berbagai peluang baru, dan sebagian lagi lebih memiliki jiwa wiraswasta, sehingga bisa menanggapi lebih cepat dan mendapat manfaat lebih besar, seringkali berakibat semakin besarnya ketidaksetaraan (Angelsen dan Wunder, 2003). Situasi serupa diamati dalam penelitian lapangan. Di Sengayan, jumlah manfaat yang diterima rumah tangga tampak bergantung pada status sosial dan hubungan mereka dengan kaum elit dan bukan pada sebuah aturan yang baku. Dalam kasus Tanjung Nanga, tampak ada kecenderungan ke arah perkayaan diri kaum elit. Banyak responden dari survei rumah tangga baik di Tanjung Nanga maupun Sengayan mengklaim bahwa kepala desa, dan terkadang, kepala adat, menerima bagian fee yang tidak wajar. Di Adiu, kedua mantan kepala desa telah mengundurkan diri karena desas-desus dan tuduhan kecurangan. Studi-studi lain tentang isu tingkat partisipasi dalam manajemen hutan menyatakan bahwa para pemangku kepentingan yang kuat, seperti perusahaan IPPK, tidak memandang masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak ataupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan (Colfer dan Wadley, 2001). Sebaliknya, para pemegang konsesi lebih menyukai jalur cepat, mudah, dan tingkat partisipasi yang rendah, yang dalam kasus daerah Malinau sering berarti bahwa hanya kepala desa yang diajak membuat kesepakatan (Sellato, 2001). Penelitian kami menunjukkan bahwa penduduk desa memiliki kesempatan kecil untuk berpartisipasi dalam penyusunan kontrak dan hanya tokoh-tokoh masyarakat yang berperan dalam proses negosiasi. Situasi semacam ini, di mana hanya beberapa pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam manajemen sumberdaya, diduga menjadi penyebab rendahnya rasa memiliki, sehingga lebih banyak konflik, sengketa, dan kecilnya akuntabilitas (Ostrom, 1990; Colfer dan Wadley, 2001). Aspek penting lain dalam analisa modal sosial adalah tingkat konflik. Rata-rata, lebih dari separuh rumah tangga mengalami konflik yang berkaitan dengan IPPK. Analisa kualitatif mengungkapkan bahwa sebagian besar konflik berkaitan dengan rendahnya tingkat transparansi dan partisipasi di tahap awal pelaksanaan IPPK. Banyak rumah tangga di ketiga lokasi penelitian ini menyalahkan aturan pembagian sebagai penyebab konflik. Aturan pembagian dinilai sebagai hasil dari tingkat transparansi dan partisipasi di desa ini, untuk bisa berperan di dalam manajemen, warga desa seharusnya punya kesempatan untuk mengubah dan mengatur ulang aturan-aturan operasional yang mempengaruhi kehidupan mereka (Ostrom 1990, 1999; Colfer dan Wadley, 2001). Aturan-aturan ini tampak tidak terlalu berkembang di Sengayan, yang berhubungan secara signifikan dengan lebih banyaknya warga desa yang menilai pembagiannya tidak adil, dibandingkan dengan Tanjung Nanga dan Adiu. Selain itu, lebih banyaknya pendatang baru di Sengayan mungkin membuat masyarakatnya tidak begitu homogen. Tingkat homogenitas budaya di dalam masyarakat ini diidentifikasi oleh banyak peneliti sebagai faktor penting bagi kinerja manajemen kolektif (Ostrom, 1990, 1999; Oakerson, 1992; Wollenberg, 1998). Komunitas yang diteliti tampak telah meningkatkan sebagian modal sosial mereka melalui pembelajaran sosial. Di Tanjung Nanga dan Adiu, berbagai aturan pembagian fee diubah selama periode IPPK. Aturan-aturan yang berasal dari masa HPH dinilai tidak pas dan harus diubah. Di Adiu, kriteria diubah sehingga fee dialokasikan kepada orang dewasa, pemuda dan siswa dan bukannya per rumah tangga karena dipandang sebagai sistem yang lebih adil. Kedua masyarakat ini tampak mampu menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001). Pembelajaran sosial dalam bentuk lain juga diamati. Penelitian lain mengatakan adanya peningkatan Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 159 minat dalam perencanaan penggunaan lahan di daerah ini, terutama oleh meningkatnya ketidakpercayaan pada pemegang izin IPPK dan meluasnya hutan yang hilang atau turun mutunya (Barr dkk, 2001; Levang, 2002). Dalam penelitian ini, para informan kunci di ketiga lokasi mengungkapkan keinginan mereka melindungi sebagian hutan mereka karena ingin mendukung konservasi air dan hewan buruan, meningkatkan prospek wisata dan tetap membuka peluang perluasan ladang. Perubahan dan gagasan ini menggambarkan bahwa masyarakat telah mengalami kekurangan hasil hutan sehingga lebih cenderung untuk peduli pada akses mereka kepada, dan kualitas dari, sumberdaya hutan. Pergeseran fokus manajemen ini oleh peneliti lain dilihat sebagai mengikuti perubahan insentif ekonomi dan kekurangan sumberdaya (Ostrom, 1990; Oakerson, 1992; Wollenberg, 1998; Angelsen dan Wunder, 2003). Walaupun banyak konflik muncul di ketiga desa, ada kesan bahwa Adiu adalah desa yang paling mampu bertahan dan memiliki modal sosial yang tangguh. Selain itu, walaupun Tanjung Nanga tampak seperti memiliki struktur kelembagaan yang kuat, secara umum partisipasi dan transparansi tampak diabaikan. Adiu memiliki tingkat transparansi, frekuensi partisipasi, dan tingkat penerimaan yang tertinggi terhadap prosedur pembagian IPPK. Kuatnya modal sosial di Adiu mungkin disebabkan oleh tidak terlalu banyaknya penduduknya dibandingkan dengan dua desa lainnya. Ostrom (1990) dan Wollenberg (1998) menyatakan bahwa strategi kerjasama dan rasa saling percaya lebih bisa muncul dan terjaga dalam komunitas yang lebih kecil daripada masyarakat yang lebih besar. Modal sumberdaya manusia Perubahan pendidikan dan kesehatan Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan terhadap pengurangan kemiskinan diperkuat oleh investasi umum, contohnya, di bidang kesehatan dan pendidikan (Gillis dkk, 1996; Angelsen dan Wunder, 2003). Pendidikan merupakan faktor paling penting yang sekaligus juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan menyetarakan distribusi pendapatan (Gillis dkk, 1996; Sen, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003). Dampak IPPK terhadap pendidikan dipandang sangat signifikan bagi masyarakat. Sekitar separuh dari semua rumah tangga menggunakan sebagian dari fee IPPK untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan pendidikan dan seperempat dari mereka menggunakan sebagian pendapatan mereka untuk membayar uang sekolah anak pada tingkat di atas sekolah dasar. Terkesan dari berbagai wawancara kelompok terfokus di ketiga desa adalah terbatasnya kemungkinan mendapatkan pendidikan lebih dari SD sebelum hadirnya IPPK. Penghalangnya adalah ketidakmampuan ekonomi, namun dalam kasus Tanjung Nanga dan Adiu (Long Adiu), juga disertai kurangnya fasilitas perumahan di Malinau Kota. Tanjung Nanga maupun Long Adiu memutuskan menggunakan sebagian fee mereka untuk mendirikan akomodasi siswa di Malinau Kota. Kesehatan dipandang sebagai target penting pembangunan karena membentuk dasar kemampuan keluarga atau masyarakat untuk menjaga dan memperkuat kesejahteraan sosial dan mengejar strategi penghidupan baru (Carney, 1998; Lindenberg, 2002). Kehadiran IPPK mempengaruhi kualitas dan akses terhadap layanan kesehatan, secara langsung maupun tidak langsung. Warga desa mampu berobat ke dokter dengan lebih teratur di Malinau Kota dan Long Loreh, membeli obat-obatan yang dibutuhkan dan terkadang pergi ke Malinau atau Tarakan untuk masalah kesehatan yang serius. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa sebagian besar dari total jumlah rumah tangga menghabiskan 160 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau sebagian dari fee IPPK untuk keperluan sehari-hari dan peralatan dapur, yang berpotensial memperbaiki kesehatan. Sebagian besar rumah tangga di ketiga desa juga menilai kondisi kehidupan mereka kini lebih baik daripada di masa sebelum IPPK. Walaupun perbaikan dalam hal kualitas hidup tidak bisa dikelompokkan berdasarkan dampak dari pemegang konsesi, program pemerintah, atau penyebab lain, sebagian besar penjelasan yang diberikan berkaitan dengan perubahan yang secara umum dipicu oleh perusahaan IPPK, dan secara khusus berkat meningkatnya kesehatan dan pendidikan. Kesempatan kerja Sering dinyatakan bahwa pekerjaan bergaji di perusahaan konsesi adalah salah satu manfaat tak langsung bagi masyarakat lokal di berbagai daerah yang terkena dampak oleh perusahaan konsesi kayu ini. Namun, kesempatan kerja ini seringkali hanya terbatas bagi orang luar yang memiliki keahlian dan berpendidikan (Barr dkk, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Selain itu, kehadiran perusahaan konsesi sering dinyatakan untuk memperluas pilihan penghasilan bagi masyarakat dengan terciptanya peluang menjual produk-produk lokal, serta secara langsung memberi uang tunai kepada masyarakat yang bisa diinvestasikan kembali dalam berbagai sarana penyedia sumber penghasilan baru (Barr dkk, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Dalam penelitian ini, jarak ke kamp pembalakan tampak berdampak cukup besar bagi kemungkinan dipekerjakan. Upah kerja memiliki potensi untuk mendiversifikasi peluang pendapatan di tingkat rumah tangga dan membuat rumah tangga tidak terlalu rentan menghadapi naik-turunnya ekonomi dan iklim (Levang, 2002). Namun, hanya pekerjaan kasar dan bermasa kerja pendek yang ditawarkan perusahaan IPPK di ketiga lokasi. Apakah kecenderungan ini disebabkan oleh prasangka dari perusahaan atau tidak tersedianya tenaga berkeahlian di desa-desa, belum diteliti oleh penelitian ini. Namun, peneliti lain membuat pengamatan yang sama bahwa tidak banyak tenaga kerja lokal di dalam jajaran perusahaan dan sifatnya hanya sementara (Sellato, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Modal alam Sekitar tiga perempat rumah tangga yang menggunakan hutan untuk memanen kayu, berburu atau memancing, mengalami kesulitan atau kekurangan dalam waktu tiga tahun terakhir. Namun, IPPK hanyalah sebagian penjelasan atas kondisi panen berbagai hasil hutan yang secara umum lebih sulit. IPPK dipandang sebagai penyebab menurunnya kondisi panen hasil hutan, oleh kurang dari sepersepuluh dari seluruh rumah tangga, dengan pengecualian pada dampak terhadap ketersediaan kayu (28 persen) dan buah-buahan (16 persen). Hasil ini mendukung hasil penelitian lain sebelumnya di daerah ini – bahwa warga lokal mengalami kesulitan berburu, menurunnya populasi ikan dan pengumpulan hasil hutan di berbagai daerah yang terdampak oleh konsesi kayu (Barr, 2001; Barr dkk, 2001; Colfer dan Wadley, 2001; Levang, 2002; Levang dkk, 2005). Kami berpendapat bahwa rumah tangga lebih sering menyebut IPPK sebagai alasan berkurangnya ketersediaan kayu karena ekstraksi kayu yang langsung dan tampak. Mungkin lebih sulit bagi para responden untuk melihat hubungan sebab-akibat antara pengambilan kayu dan penurunan jumlah ikan dan hewan buruan, misalnya. Terlebih lagi, berbagai konsekuensi IPPK, seperti turunnya hasil berburu dan memancing, mungkin butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk terlihat nyata, sehingga tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini. Walaupun penelitian kami belum mendokumentasikan ketergantungan ekonomi pasti terhadap hasil hutan, kami menemukan hampir separuh rumah tangga di masing- Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 161 masing lokasi studi menyebut hasil-hasil hutan sebagai sumber penghasilan penting. Menurut peringkat pembandingan, nilai penting ekonomi hasil-hasil hutan setara dengan penghasilan dari aktivitas pertanian (lihat Gambar 7.1). Kami berpendapat bahwa, dari sudut pandang pembangunan dan modal insani, konsesi kayu kecil seperti IPPK berpotensi mengubah modal alam menjadi aset lain seperti modal manusia dan modal fisik, memperbaiki penyangga resiko dan mengurangi kerentanan. Namun, karena nilai pentingnya hasil- hutan, transformasi ini harus terjadi dengan mengamankan akses terhadap sebagian kawasan hutan sehingga rumah tangga tetap punya peluang menggunakan sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan dan juga sebagai sumberdaya pengisi celah ekonomi mereka (Byron dan Arnold, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003; Edmunds dan Wollenberg, 2003). Dampak negatif terhadap modal alam yang berakar dari operasi IPPK tampaknya lebih disebabkan oleh kurang baiknya pemetaan dan batas-batas wilayah, serta kurangnya pemantauan kepatuhan terhadap kontrak. Terlebih lagi, kurangnya pengakuan legal oleh pihak berwenang membuat masyarakat rentan terhadap fluktuasi politik dan ekonomi, sehingga mendorong masyarakat menangguk manfaat selekas mungkin karena mereka beresiko disingkirkan dari daerah itu bila perusahaan pembalak menyadari adanya kesempatan memerah semua sumber yang ada (Barr dkk, 2001; Anau dkk, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Perasaan ketidakpastian ini sepertinya membuat masyarakat dan penduduk desa tidak memberi nilai terlalu tinggi pada manfaat yang mungkin mereka peroleh di masa depan (Ostrom, 1990). Kondisi-kondisi ini juga sangat boleh jadi telah mempengaruhi modal sosial, karena bisa menyebabkan konflik dan sengketa di antara dan di dalam masyarakat (Barr dkk, 2001; Anau dkk, 2002; Resosudarmo dan Dermawan, 2002; Limberg dan Rhee, 2003). Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa fee IPPK telah tersedia bagi semua rumah tangga kecuali beberapa pendatang baru di Sengayan. Fee ini menjadi sumber penghasilan tunai rumah tangga yang terpenting dalam hal ketersediaan dan besarannya. Hal ini sangat tampak di Adiu dan Tanjung Nanga, yang hanya punya sedikit pilihan mendapatkan uang tunai. Ketidaksetaraan pembagian fee di antara strata pendapatan hanya dialami oleh masyarakat Kenyah di Tanjung Nanga, di mana perbedaan sosial antara masyarakat umum dan kaum bangsawan lebih tampak. Hampir semua rumah tangga membelanjakan sebagian fee ini untuk kesehatan dan pendidikan, yang dapat memperbaiki modal insani mereka. Pembelanjaan ini, bersama dengan investasi yang bisa membuka peluang tambahan penghasilan, mungkin menunjukkan bahwa sebagian fee IPPK telah digunakan secara lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Namun, beberapa rumah tangga menunjuk kelemahan utama fee IPPK, yaitu tidak stabil dan tidak rutin, sehingga menghambat kesinambungan investasi rumah tangga. Kecilnya jumlah rumah tangga yang menyisihkan sebagian fee IPPK menekan pentingnya keteraturan. Melihat kisaran jangka pendek manfaat IPPK, investasi masyarakat yang lebih besar dengan manfaat jangka panjang harus mendapat prioritas lebih tinggi. Manfaat tidak langsung dari IPPK adalah lebih besarnya kemungkinan bekerja di perusahaan IPPK dan penjualan produk-produk lokal kepada karyawan IPPK. Masyarakat yang tinggal tidak jauh dari kamp pembalakan ternyata mendapatkan manfaat lebih besar dari peluang baru ini daripada mereka yang tinggal lebih jauh. Namun, pembalakan 162 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau yang dilakukan berdekatan dengan desa lebih sering menyebabkan berkurangnya hasil hutan. Karena singkatnya masa kerja IPPK dan pentingnya produk-produk kayu bagi penghidupan rumah tangga, kami menilai dampak IPPK terhadap ketersediaan hasil hutan sebagai sangat buruk. Karena masyarakat ketiga desa telah mengalami kekurangan hasilhasil hutan, mereka cenderung mengkhawatirkan akses mereka pada sumberdaya hutan dan kualitasnya. Kami berpendapat bahwa kokohnya kelembagaan desa dan jumlah penduduk yang sedikit berpengaruh positif bagi tingkat transparansi dan partisipasi selama proses IPPK. Hal ini ini juga berlaku bagi desa kecil di Adiu, yang juga memiliki frekuensi konflik yang rendah dan tingkat penerimaan relatif tinggi terhadap pembagian fee. Secara keseluruhan, kami berpendapat bahwa pengusahaan kayu skala kecil seperti IPPK bisa secara substansial menguntungkan masyarakat di sekitar hutan dalam bentuk modal finansial, modal insani, dan modal fisik. Meningkatnya pendapatan tunai tetapi bersifat sebentar adalah manfaat langsung yang terbesar, yang bisa diubah menjadi bentuk modal lain, seperti modal insani dan fisik, sehingga bisa meningkatkan penyangga resiko dan menekan kerentanan di tingkat rumah tangga. Namun, ada resiko terkikisnya modal sosial dan berkurangnya akses rumah tangga pada hasil-hasil hutan. Karena itu, aturan operasi yang jelas tentang eksploitasi areal konsesi dan aturan pembagian manfaat kepada masyarakat dari konsesi kayu skala kecil adalah prasyarat untuk meminimalisir konflik dan mengurangi tekanan terhadap modal alam. Selain itu perlu ada lembaga pemerintahan untuk membantu dalam hal negosiasi kontrak, mengawasi aktivitas konsesi, dan menengahi bila terjadi konflik. Catatan 1 Salah satu pemegang HPH sebelumnya beroperasi di kawasan hutan yang diklaim oleh Tanjung Nanga; hasilnya, di tahun 2001, desa ini menerima US$12.500 (atau 100 juta rupiah) sebagai kompensasi bagi kayu yang diambil sampai tahun 2000. Kepala desa sendiri menerima 20 persen dari jumlah ini sebagai imbalan menegosiasikan kesepakatan ini. Sisa uangnya dibagikan ke seluruh penduduk desa. Rujukan Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002. Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev. 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Angelsen, A. dan Wunder, S., 2003. Exploring the Forest – Poverty Link: Key Concepts, Issues and Research Implications, Occasional Paper No 40, CIFOR, Bogor, Indonesia. Baland, J. M. dan Platteau, J.-P., 1996. Halting Degradation of Natural Resources: Is There a Role for Rural Communities? Clarendon Press, Oxford, Kerajaan Inggris. Barr, C., 2001. Banking on Sustainability: Structural Adjustments and Forestry Reform in PostSuharto Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau 163 Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case studies on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Buck, L. E., Wollenberg, E. dan Edmunds, D., 2001. Social learning in the collaborative management of community forests: Lessons from the field, dalam Wollenberg, E., Edmunds, D., Buck, L., Fox, J. dan Brodt, S. (penyunting) Social Learning in Community Forests, CIFOR, Bogor, Indonesia. Byron, N. dan Arnold, J. M., 1999. What futures for the people of the tropical forests, World Development, vol 27, no 5, hal. 789–805. Carney, D. (penyunting), 1998. Sustainable Rural Livelihoods: What Contribution Can We Make? Department for International Development, London Casson, A. dan Obidzinski, K., 2002. From new order to regional autonomy: Shifting dynamics of “illegal” logging in Kalimantan, Indonesia, World Development, vol 30, no 12, hal. 2133–2151. Colfer, C. J. P., 2003. Komunikasi pribadi, Anthropolog, pimpinan program CIFOR tentang Masyarakat Lokal, Devolusi dan Pengelolaan Adaptif Kolaboratif, CIFOR, Bogor, Indonesia Colfer, C. J. P. dan Wadley, R. L., 2001. From participation to rights and responsibilities in forest management, dalam Colfer, C. J. P. dan Byron, Y. (penyunting) People Managing Forests: The Links Between Human Well-Being and Sustainability, Resources for the Future, Washington, DC. Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), 2003. Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London. FWI (Forest Watch Indonesia)/GFW (Global Forest Watch), 2002. The State of the Forest: Indonesia, FWI, Bogor, Indonesia, dan GFW, Washington DC. Gillis, M., Perkins, D. H., Roemer, M. dan Snodgrass, D., 1996. Economics of Development, W. W. Norton and Company, New York, NY. Kaskija, L., 2002. Claiming the Forest: Punan Local Histories and Recent Developments in Bulungan, East Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia. Levang, P., 2002. Peoples dependencies on forests, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Levang, P., Dounias, E. dan Sitorus, S., 2005. Out of the forest, out of poverty?, Forest, Trees and Livelihoods, vol 15, hal. 211–235. Limberg, G. dan Rhee, S., 2003. Highest Profit in the Shortest Time with Maximum Impact, CIFOR, Bogor, Indonesia. Lindenberg, M., 2002. Measuring household livelihood security at the family and community level in the developing world, World Development, vol 30, no 2, hal. 301–318. Oakerson, R. J., 1992. Analysing the commons: A framework, dan Bromley, D. W. (penyunting), Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy, Institute for Contemporary Studies Press, San Francisco, California. Ostrom, E., 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action, Cambridge University Press, Cambridge, Kerajaan Inggris. Ostrom, E., 1999. Self-Governance and Forest Resources, Occasional Paper No 20, CIFOR, Bogor, Indonesia. Resosudarmo, I. A. P. dan Dermawan, A., 2002. Forests and regional autonomy: The challenge of sharing the profits and pains, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia. Sen, A., 1999. Development as Freedom, Anchor Books Inc, New York, NY. Steins, N. dan Edwards, V., 1999. Platforms for collective action in multiple use commonpool resources, Agriculture and Human Values, vol 16, no 3, hal. 241–255. Sunderlin, W. D., Angelsen, A. dan Wunder, S., 2003. Forests and poverty alleviation, dalam Food and Agriculture Organization (penyunting), State of the Worlds Forests 2003, FAO, Roma. Warner, K., 2000. Forestry and sustainable livelihoods, Unasylva, vol 51, no 3, hal. 1–14. Wollenberg, E., 1998. A selective framework and typology for explaining the outcomes of local forest management, Journal of World Forest Resource Management, vol 9, hal. 1–35. Wollenberg, E., Adiwinata, A., Uluk, A. dan Pramono, H., 2001. Income is Not Enough: The Effect of Economic Incentives on Forest Product Conservation, CIFOR, Bogor, Indonesia. Wunder, S., 2001. Poverty alleviation and forests – what scope for synergies?, World Development, vol 29, hal. 1817–1833. 8 Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan dengan Berbagai Sistem Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur, Indonesia Haris Iskandar, Laura K. Snook, Takeshi Toma, Kenneth G. MacDicken dan Markku Kanninen Pendahuluan Peraturan otonomi daerah, termasuk desentralisasi tanggung jawab di sektor kehutanan, memiliki implikasi penting bagi masa depan dan kualitas hutan alam di Indonesia. Sampai tahun 1999, praktik pembalakan di Indonesia hanya dilakukan oleh pengusaha kayu dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang beroperasi dalam areal skala besar. Para operator ini, diberi konsesi pembalakan selektif atas kawasan hutan di tanah Negara selama 20 tahun dengan menerapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). TPTI adalah sistem pembalakan yang disertai upaya penanaman kembali (Departemen Kehutanan, 1993) serta menerapkan sistem pemanenan bergilir selama periode 35 tahun (polycyclic). Sistem kedua untuk akses sumberdaya hutan, diberlakukan pada tahun 2000, disebut Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK), dikenal sebagai sistem pemanenan kayu skala kecil. Izin tahunan untuk pembalakan komersial ini ditujukan untuk menyediakan hak pemanenan kayu bagi masyarakat lokal yang tinggal di luar daerah yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai kawasan hutan permanen, untuk diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah PP. No 62/1998 dan 6/1999, yang secara langsung mendelegasikan sebagian kewenangan sektor kehutanan kepada daerah. Namun 166 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau pada praktiknya, banyak yang diberikan di dalam wilayah konsesi HPH kepada sektor swasta – kebanyakan perusahaan pembalakan (Barr dkk., 2001). Pemberian izin tersebut dilakukan hampir di seluruh kabupaten di Kalimantan, Indonesia. Antara bulan April dan Mei 2000, Pemerintah Daerah Malinau, Kalimantan Timur telah menerbitkan 40 Izin IPPK, masing-masing seluas 100ha sampai 3,000ha, mencakup areal seluas 59,850 hektar (Pemda Malinau, 2001). Aturan pemanenan yang harus diterapkan di kedua sistem itu pada intinya sama, yaitu harus menjaga kelestarian pemanenan kayu dalam jangka panjang. Pada HPH, kegiatan inventarisasi hutan untuk jenis-jenis kayu komersial yang bisa dipanen, rencana penebangan, pemetaan blok tebangan dan pembangunan jalan angkutan kayu harus dilakukan sebelum memulai pembalakan. Pada sistem IPPK tidak dipersyaratkan perencanaan formal karena terbatasnya waktu dan luasan areal tebangan. Jaringan jalan sarad dibangun saat pengambilan kayu sesuai dengan posisi pohon yang akan ditebang. Pada kebanyakan kasus, para penebang bekerja tanpa diawasi; hanya pohon yang akan ditebang yang ditandai. Traktor (Caterpillar D7G atau Komatsu D60E) dengan lebar bilah lebih dari 4 meter, biasa digunakan untuk membuka jalan dan menarik kayu gelondongan. Mengingat kondisi pasar yang lebih banyak menggunakan kayu hasil tebangan untuk bahan kayu lapis, maka pemanenan di HPH dibatasi hanya untuk pohon berdiameter di atas 50 cm pada ketinggian setinggi dada untuk menjamin kelestarian siklus tebangan berikutnya. Sebaliknya, pada sistem IPPK, batas diameter jauh lebih luwes dan bisa lebih kecil karena masyarakat lokal juga memanfaatkannya untuk kilang kayu gergajian lokal. Namun dari pengamatan awal sebelum penelitian ini terlihat bahwa praktik pemanenan oleh kedua sistem itu, serta akibat kerusakan terhadap sisa tegakan, relatif sama. Selain itu, setelah pemberlakuan sistem IPPK, kami juga mengamati bahwa beberapa pemegang HPH melakukan pembalakan seperti para pemegang IPPK. Ada beberapa alasan -– sosial, budaya, politik dan ekonomi -– untuk memahami mengapa dan bagaimana terjadinya praktik-praktik itu (Barr dkk, 2001; Resosudarmo, 2002). Selain itu, setelah desentralisasi ada peningkatan signifikan pada persentase masyarakat yang menerima manfaat finansial dan non-tunai dari sistem yang baru. Namun konflik antara masyarakat menyangkut klaim lahan dan tapal batas juga meningkat (Palmer dan Engel, 2005). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kerusakan paska-panen oleh pembukaan jalan, kegiatan pembalakan, dan penyaradan pada sistem IPPK yang berjangkapendek, dan membandingkannya dengan sistem tebang pilih HPH yang berjangka-panjang. Selanjutnya, hendak diidentifikasi pengaruh sistem IPPK terhadap sistem HPH sebelumnya yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, dalam hal praktik pemanenan dan kerusakan terhadap sisa tegakan. Hipotesa awalnya adalah bahwa praktik pemanenan kayu secara tebang-pilih HPH, yang lebih diatur, akan mengakibatkan kerusakan pembalakan yang sama dengan praktik para pemegang IPPK yang tidak dilengkapi panduan pembalakan. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur (lihat Gambar 8.1), yang terletak di antara 116o 29’ dan 116 o 44’ Bujur Timur serta 2 o 59’ dan 3 o 28’ Lintang Utara. Tipe hutannya hutan tropis dataran rendah dan hutan perbukitan yang didominasi pepohonan dari famili Dipterocarpaceae. Sebagian besar daerah penelitian berada pada ketinggian 100m sampai 200m di atas permukaan laut (dpl) dengan topografi datar hingga Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 167 berbukit (kemiringan 0-8%), walau ada yang lebih curam (8-15%). Curah hujan rata-rata per bulan barvariasi antara 200mm dan 400mm atau mencapai sekitar 4000 mm pertahun (Machfudh, 2001). 40 km Sumber: Iskandar dkk, 2006 Gambar 8.1 Peta kepulauan Indonesia (kiri atas), Provinsi Kalimantan Timur (kanan atas) dan peta daerah studi di Malinau (bawah) 168 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Pemilihan daerah sampel didasarkan pada informasi aksesibilitas (kondisi jalan dan peralatan) dari pengelola perusahaan konsesi kayu dan pegawai kantor pemerintah. Evaluasi pendahuluan terhadap beberapa perusahaan yang beroperasi di Malinau menunjukkan bahwa sejumlah konsesi tebang-pilih (HPH) telah dicabut karena berbagai alasan: kadaluarsa, hambatan topografis, atau pun konflik dengan masyarakat lokal. Oleh karena itu evaluasi hanya bisa dilakukan pada dua lokasi konsesi: satu milik perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan yang lain perusahaan swasta, dengan jatah tebang tahunan masing-masing 700ha dan 5,000ha. Evaluasi juga dilakukan terhadap tiga operator pemegang izin jangka pendek (IPPK) dan satu subkontraktor HPH. Kegiatan pembalakan oleh seluruh operator sebagian besar dilakukan pada awal tahun 2001. Metode penelitian Penetapan petak sampel Dalam penelitian ini dievaluasi dua tipe hutan: hutan primer, yang berisi pepohonan lebih besar dan belum pernah ditebang, serta hutan bekas tebangan HPH dan memiliki lebih sedikit pohon dewasa. BUMN pemegang izin HPH dan satu pemegang IPPK melakukan pemanenan di hutan primer sedangkan swasta pemegang HPH dan pemegang hak IPPK lainnya beroperasi di hutan bekas tebangan. Enam petak sampel masing-masing seluas 20 ha dipetakan pada bulan November 2001 dan Januari 2002 di kawasan hutan setiap operator (seluruhnya 36 petak). Bagi kebanyakan operator pemegang IPPK, yang tanpa peta, kami petakan petak sampel di dalam batas blok bekas tebangan berdasarkan informasi dari pengelola kamp dan petugas desa. Batas imaginer setiap petak ditetapkan dengan memetakan jalan dan jalur kayu memakai alat penentu lokasi global (GPS) Trimble Geo Explorer-3. Data intensitas pemanenan dan kerusakan terhadap sisa tegakan dikumpulkan di dalam batas petak imaginer sepanjang jalan pembalakan dan jalan sarad, mencakup juga bukaan kanopi hutan yang disebabkan oleh penebangan. Pengukuran intensitas pembalakan Tunggul pohon diukur dan dihitung untuk memperkirakan pemanenan, seperti yang dilakukan di tempat lain (Chetri dan Fowler, 1996). Di setiap petak sampel, tunggul dihitung dan diukur di sepanjang jalan pembalakan dan jalan sarad, dan di dalam bukaan kanopi. Diameter diukur di puncak tunggul dengan pita ukur. Angka pengukuran diameter setinggi tunggul (dtt) itu lalu dikonversi ke angka diameter setinggi dada (dtd) memakai persamaan alometrik yang diturunkan dari pengukuran pohon di areal yang sama (Iskandar dkk, 2003): dtd = 0.518 + 0.966 x dtt (SE = 0.850; R2 = 0.998). Penilaian kerusakan akibat pembalakan Di setiap petak sampel, jalan sarad dan jalan pembalakan dipetakan dan diukur menggunakan GPS. Untuk menginventarisasi kerusakan di area terdampak pembalakan, diukur zona bukaan kanopi dan dampak rubuhan di sepanjang jalan pembalakan dan jalan sarad, menggunakan laser range finder (Impulse 200), sebuah perangkat laser genggam Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 169 pengukur jarak, tinggi dan sudut vertikal yang mudah dan cepat penggunaannya (Anon, 1998). Untuk memperkirakan luas bukaan kanopi, diukur jarak dari delapan arah berbeda dari pusat petak sampel ke setiap sudut petak. Kerusakan pada sisa tegakan akibat pembalakan diukur di sepanjang jalan sarad dan jalan pembalakan, menggunakan sebuah sistem yang pernah dipakai pada percobaan CIFOR sebelumnya (Sist dan Nguyen-The, 2001). Seluruh pohon yang rusak dengan diameter dtd di atas 10cm diukur dan dicatat, lalu dikelompokkan dalam 6 tipe kelas kerusakan utama yaitu: 1 2 3 4 5 6 kerusakan kulit-kayu; doyong/miring; kerusakan tajuk; dahan patah namun masih hidup; dahan patah dan mati; dan pohon rebah. Pemeringkatan dan analisa data Untuk membandingkan laju kerusakan paska-panen, ke-36 petak tersebut diperingkat menurut tipe operator dan tipe hutan sebagai berikut: • • di hutan primer, HPH n = 6 petak (PT Inhutani II); subkontraktor n = 6 petak (CV Bina Benua); IPPK n = 3 petak (CV Hanura); dan di hutan bekas tebangan, HPH n = 6 petak (PT Intracawood) dan IPPK n = 15 petak (CV Hanura, CV Malinau Jaya Sakti dan CV Wanabakti). Data kerusakan pohon dianalisa per unit luas atau panjang jalan pembalakan atau jalan sarad, dan per jumlah dan volume (meter kubik) pohon yang ditebang menggunakan SPSS (1999, versi 9.0.1). Digunakan analisa varian satu arah (ANOVA) untuk membandingkan tingkat kerusakan. Karakteristik kerusakan dan frekuensi tunggul menurut kelas diameter, diperbandingkan dengan sebuah tes non-parametrik untuk dua sampel independen (MannWhitney). Digunakan tingkat kepercayaan p=0.05 untuk semua pembandingan statistik. Hasil Penelitian Praktik pemanenan kayu oleh HPH Pemanenan kayu oleh pemegang izin HPH di hutan primer dilakukan dalam dua sistem, oleh petugas lapangan HPH lalu oleh subkontraktor HPH yang dilengkapi dengan peralatan dan mesin yang lebih baik. Namun hasil analisa awal menunjukkan bahwa pemanenan yang dilakukan oleh subkontraktor HPH lebih tinggi daripada yang dilakukan oleh petugas lapangan HPH (3 tunggul berbanding dengan 1 tunggul per hektar). Dari kedua sistem itu, masing-masing 10% dan 3% berada di bawah batas diameter TPTI. Secara statistik, tidak ada perbedaan signifikan antara subkontraktor HPH dan HPH dalam panjang jalan sarad (52m dan 34m per hektar) serta panjang jalan pembalakan yang dibuat (27m dan 25m per hektar). Namun, subkontraktor HPH menghasilkan laju kerusakan lebih tinggi terhadap sisa tegakan dibandingkan dengan HPH. Ditemukan perbedaan nyata dalam jumlah pohon rusak (32 pohon berbanding 20 pohon per 100m) dan luas bukaan kanopi 170 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau (0.3ha berbanding 0.1ha bukaan per hektar hutan). Jumlah pohon yang dipanen dan rusak oleh subkontraktor HPH juga lebih tinggi di seluruh kelas diameter, dan dua kali lebih tinggi untuk kelas diameter pohon kurang dari 50cm, dibandingkan dengan penebangan oleh petugas lapangan HPH (19 pohon berbanding 7 pohon per hektar). Ketika kegiatan pemanenan di hutan primer oleh subkontraktor HPH dibandingkan dengan kegiatan IPPK, tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada intensitas pemanenan (3 berbanding 4 tunggul per hektar), panjang jalan sarad (52m berbanding 49m per hektar), panjang jalan pembalakan (27m berbanding 25m per hektar), jumlah pohon rusak (32 berbanding 38 pohon per 100m) dan total bukaan kanopi (masing-masing 0.3ha gap per hektar). Selain itu, ketika praktik pemanenan oleh petugas lapangan HPH dibandingkan dengan IPPK, tidak ditemukan perbedaan nyata pada total panjang jalan sarad dan jalan pembalakan. Sebaliknya, perbedaan nyata ditemukan pada intensitas pemanenan (1 tunggul berbanding 4 tunggul per hektar), jumlah pohon rusak (20 pohon berbanding 38 pohon per 100m), dan jumlah total bukaan kanopi (0.1ha berbanding 0.3ha bukaan per hektar). Perbedaan ini menyebabkan areal bekas tebangan subkontraktor HPH kami keluarkan dari pembandingan kegiatan antara pemegang izin HPH dan IPPK di hutan primer. Deskripsi lebih rinci tentang praktik pemanenan oleh HPH dan IPPK di hutan primer akan disajikan di sub bab ’Diskusi’. Intensitas pemanenan Intensitas pemanenan di hutan primer oleh pemegang izin HPH dan IPPK adalah sebesar 1 dan 4 tunggul per hektar. Di hutan bekas tebangan, intensitas pemanenan oleh pemegang izin HPH dan IPPK relatif sama (3 tunggul berbanding 4 tunggul per hektar). Di hutan primer, pemegang IPPK meninggalkan lebih banyak tunggul per hektar untuk seluruh kelas diameter dibandingkan dengan HPH, dan lebih banyak pada kelas diameter 30cm50cm, 50cm-70cm, dan 70cm-90cm (tes Mann-Whitney; lihat Gambar 8.2(a)). Kegiatan IPPK di hutan bekas tebangan juga menghasilkan lebih banyak tunggul per hektarnya dibandingkan HPH untuk semua kelas diameter (lihat Gambar 8.2(b)) dan lebih signifikan lagi pada kelas diameter 10cm-30cm. Pada kedua tipe hutan, pemegang izin IPPK menebang lebih banyak pohon berdiameter lebih kecil dari batasan diameter TPTI (50cm) dibandingkan dengan HPH. Di hutan primer, persentase penebangan oleh HPH dan IPPK adalah 3 dan 26 persen, sedangkan di hutan bekas tebangan angkanya masing-masing sebesar 19 dan 30 persen. Panjang jalan pembalakan dan jalan sarad Kegiatan pemegang izin IPPK menghasilkan jalan pembalakan dan jalan sarad per hektar lebih panjang dibandingkan HPH di hutan primer, dan hanya jalan sarad yang lebih panjang di hutan bekas tebangan (lihat Tabel 8.1, ‘a’). Namun perbedaan panjang jalan per hektar di antara pemegang IPPK dan HPH di kedua tipe hutan tidak signifikan. Satusatunya perbedaan nyata di antara kedua tipe operator itu adalah untuk panjang jalan sarad di hutan bekas tebangan (63m per hektar oleh IPPK dan 43m per hektar oleh HPH). Ketika dianalisa per pohon yang ditebang, kegiatan IPPK menghasilkan jalan dan jalan sarad lebih pendek daripada HPH di kedua tipe hutan (lihat Tabel 8.1, ‘b’). Namun perbedaan signifikan hanya untuk panjang jalan di hutan primer (7m berbanding 32m per tunggul) dan di hutan bekas tebangan (9m berbanding 14m per tunggul). Pemegang IPPK Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 1.3 171 Hutan primer HPH 1.1 Subkontraktor HPH IPPK Frekuensi (ha-1) 0.9 0.7 0.5 0.3 0.1 (a) -0.1 1.5 >10-30 >30-50 >50-70 >70-90 >90-110 >110 >50-70 >70-90 >90-110 >110 Hutan bekas tebangan 1.3 1.1 Frekuensi (ha-1) 0.9 0.7 0.5 0.3 0.1 -0.1 >10-30 (b) >30-50 Diameter tunggul (cm) Sumber: Iskandar dkk, 2006 Gambar 8.2 Frekuensi dan distribusi diameter tunggul bekas tebangan (tunggul per hektar) oleh pemegang izin HPH, subkontraktor HPH, dan pemegang IPPK di kedua tipe hutan juga membuat jalan pembalakan per unit volume tebangan (meter kubik) lebih sedikit daripada pemegang HPH di kedua tipe hutan, dan jalan sarad lebih pendek di hutan primer (lihat Tabel 8.1, ‘c’). Namun perbedaan signifikan hanya terjadi pada panjang jalan pembalakan di hutan primer (1m oleh IPPK berbanding 3m per meter kubik oleh HPH). 172 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Tabel 8.1 Perbandingan panjang jalan sarad dan jalan pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK A. Per luasan unit area (ha-1) Hutan Primer Panjang jalan sarad (m/ha-1) Panjang jalan pembalakan (m/ha-1) Hutan bekas tebangan Panjang jalan sarad (m/ha-1) Panjang jalan pembalakan (m/ha-1) B. Per jumlah pohon yang ditebang Hutan Primer Panjang jalan sarad (m) Panjang jalan pembalakan (m) Hutan bekas tebangan Panjang jalan sarad (m) Panjang jalan pembalakan (m) C. Per volume (m3) dari pohon tebangan Hutan Primer Panjang jalan sarad (m/m-3) Panjang jalan pembalakan (m/m-3) Hutan bekas tebangan Panjang jalan sarad (m/m-3) Panjang jalan pembalakan (m/m-3) HPH IPPK Rata-rata± SE Ratas-rata ± SE HPH Subkontraktor Rata-rata ± SE 33.6 ± 5.9 a 24.9 ± 4.4 a 48.9 ± 13.5 a 27.0 ± 6.4 a 51.6 + 8.8 a 27.3 + 2.8 a 43.4 ± 5.9 a 34.2 ± 1.9 a Rata-rata± SE 62.7 ± 5.2 b 29.8 ± 1.8 a Rata-rata ± SE n.d. n.d. Rata-rata ± SE 41.4 ± 8.2 a 31.5 ± 7.1 a 14.1 ± 4.5 b 7.4 ± 1.4 b 18.3 ± 1.7 b 11.1 ± 2.1 b 17.4 ± 2.7 a 13.5 ± 0.5 a Rata-rata± SE 18.6 ± 2.4 a 8.9 ± 1.3 b Rata-rata ± SE n.d. n.d. Rata-rata ± SE 3.4 ± 0.7 a 2.5 ± 0.4 a 1.2 ± 0.2 b 0.7 ± 0.2 b 1.7 ± 0.1 b 1.1 ± 0.2 b 1.6 ± 0.2 a 1.3 ± 0.1 a 2.3 ± 0.4 a 1.1 ± 0.2 a n.d. n.d. Catatan: Petak sampel untuk HPH dan IPPK di hutan primer (masing-masing 6 dan 3 petak) dan di hutan bekas tebangan (6 dan 15 petak). n.d. = data tidak ada Nilai rata-rata yang diberi tanda sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (ANOVA p < 0.05) Sumber: Iskandar dkk, 2006 Kerusakan sisa tegakan akibat pembalakan Pada kedua tipe hutan, pemegang IPPK merusak lebih banyak pohon per hektar daripada pemegang HPH. Ada perbedaan nyata pada hutan primer untuk kelas-kelas diameter 10cm–30cm (17 berbanding 4 pohon per hektar), 30cm–50cm (8 berbanding 4 pohon per hektar) dan 50cm–70cm (2 berbanding 1 pohon per hektar). Selain itu, 82 persen dari kerusakan pohon oleh kegiatan pemegang IPPK berdiameter setinggi dada kurang dari 50cm. Di hutan bekas tebangan, kebanyakan kerusakan pohon terjadi pada kelas diameter 10cm–30cm (24 berbanding 13 pohon per hektar) dan 30cm-50 cm (12 berbanding 8 pohon per hektar) yang merupakan 86 persen dari seluruh kerusakan pohon yang terjadi. Perbedaan signifikan dari kegiatan pembalakan oleh pemegang IPPK dan HPH di kedua tipe hutan hanya ditemukan pada jumlah pohon yang rusak serta luas areal bukaan kanopi per unit luasan (Tabel 8.2, ‘a’). Namun tidak ada perbedaan nyata di antara subkontraktor HPH dan pemegang IPPK, pada kedua kategori kerusakan tersebut di hutan primer. Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 173 Tabel 8.2 Perbandingan kerusakan akibat pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK A. per unit panjang atau luas Hutan Primer Hutan yang rusak per 100 m-1 Bukaan kanopi (ha ha-1) Hutan bekas tebangan Hutan yang rusak per 100 m-1 Bukaan kanopi (ha ha-1) B. jumlah pohon yang diambil Hutan Primer Jumlah pohon rusak Total Bukaan kanopi (m2) Hutan bekas tebangan Jumlah pohon rusak Total Bukaan kanopi (m2) C. jumlah pohon yang diambil per volume (m3) Hutan Primer Jumlah pohon rusak Total Bukaan kanopi (m2 m-3) Hutan bekas tebangan Jumlah pohon rusak Total Bukaan kanopi (m2 m-3) HPH Rata-rata ± SE IPPK Rata-rata ± SE HPH Subkontraktor Rata-rata ± SE 19.9 ± 4.1 a 0.11 ± 0.02 a* 38.0 ± 6.1 b 0.31 ± 0.01 b 32.2 ± 2.6 b 0.30 ± 0.04 b 32.0 ± 2.0 a* 0.19 ± 0.14 a Rata-rata ± SE 43.3 ± 2.2 b 0.32 ± 0.03 b Rata-rata ± SE n.d. n.d. Rata-rata ± SE 13.6 ± 3.3 a 1,506 ± 387 a 7.8 ± 0.8 a 865 ± 59 a 9.5 ± 1.2 a 1,099 ± 84 a 9.9 ± 1.1 a 757 ± 77 a Rata-rata ± SE 11.2 ± 1.1 a 904 ± 105 a Rata-rata ± SE n.d. n.d. Rata-rata ± SE 1.2 ± 0.3 a 120.4 ± 18.6 a 0.7 ± 0.1 a 77.1 ± 7.6 a 0.9 ± 0.1 a 102.2 ± 8.0 a 0.9 ± 0.1 a 72.2 ± 7.9 a 1.3 ± 0.2 a 114.2 ± 22.7 a n.d. n.d. Petak untuk HPH dan IPPK di hutan primer (masing-masing 6 dan 3) dan di hutan bekas tebangan (masing-masing 6 dan 15 petak). Catatan: Tidak ada data. Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut ANOVA pada p< 0.05 dan tanda * menunjukkan perbedaan nyata pada p< 0.01. Sebaliknya, terdapat perbedaan nyata antara subkontraktor HPH dengan pemegang HPH. Di hutan primer, angka-angka untuk IPPK, subkontraktor HPH, dan HPH adalah 38, 32, dan 20 pohon rusak per 100m, dan pembukaan kanopi sebesar 0,3 ha, 0,3 ha dan 0,1 ha. Di hutan bekas tebangan, angka-angka kerusakan pohon adalah 43 berbanding 32 pohon per 100m, serta untuk bukaan kanopi seluas 0,3 ha dan 0,2 ha oleh IPPK dan HPH. Ketika kerusakan dianalisa per jumlah dan volume pohon yang ditebang (lihat Tabel 8.2, ’b’ dan ‘c’) tidak ditemukan perbedaan nyata di antara kedua tipe operator di kedua tipe hutan. Namun kegiatan pembalakan HPH menimbulkan kerusakan lebih besar dibandingkan dengan IPPK di hutan primer, sedangkan di hutan bekas tebangan, pembalakan IPPK menimbulkan tingkat kerusakan lebih tinggi daripada sistem HPH. Kategori kerusakan terhadap sisa tegakan Di hutan primer, untuk kedua operator, kebanyakan jenis kerusakan pembalakan pada sisa tegakan adalah kerusakan tajuk, dahan patah atau mati, atau pohon tercerabut (lihat Tabel 8.3). Di sepanjang jalan sarad dan di dalam bukaan kanopi, jumlah pohon yang 174 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Tabel 8.3 Kerusakan pohon per 100m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon per m-1) akibat kegiatan HPH dan IPPK dalam hutan primer Jenis kerusakan/ lokasi HPH (n = 6 petak) kerusakan kulit kayu doyong kerusakan tajuk patah-hidup patah-mati pohon tercerabut IPPK (n = 3 petak) kerusakan kulit kayu doyong kerusakan tajuk patah-hidup patah-mati pohon tercerabut Jalan sarad + bukaan kanopi Rata-rata ± SE Kisaran Jalan pembalakan Rata-rata ± SE Kisaran 2.3 ± 0.5 3.9 ± 1.5 8.2 ± 1.7 0.6 ± 2.4 5.5 ± 1.4 7.6 ± 3.2 0.1 - 3.5 0.1 - 10.4 2.8 - 14.6 1.3 - 4.9 1.3 - 11.1 1.0 - 22.3 0.4 ± 0.2 0.6 ± 0.3 3.4 ± 1.5 * 1.1 ± 0.5 * 1.8 ± 0.8 * 1.4 ± 0.6 0.0 - 1.3 0.0 - 1.7 0.0 - 9.3 0.0 - 3.4 0.0 - 5.4 0.0 - 4.1 2.4 ± 0.5 1.7 ± 0.2 8.2 ± 2.5 2.8 ± 1.1 4.3 ± 0.8 15.4 ± 4.1 1.5 - 3.0 1.5 - 2.1 3.2 - 11.2 0.7 - 4.0 2.9 - 5.8 7.3 - 21.1 0.5 ± 0.2 0.7 ± 0.3 9.1 ± 1.2 * 4.9 ± 0.9 * 11.8 ± 2.0 * 25.7 ± 4.9 0.0 - 0.9 0.0 - 1.2 7.1 - 11.2 3.3 - 6.2 8.5 - 15.5 17.0 - 34.1 catatan: * perbedaan signifikan secara stastistik oleh Mann-Whitney tes - SPSS, antara HPH dan IPPK pada p< 0.05 p: 2*(tailed sig) - tidak dikoreksi. Tabel 8.4 Kerusakan pohon per 100 m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon 100m-1) akibat kegiatan HPH dan IPPK di hutan bekas tebangan Jenis kerusakan/ lokasi HPH (n = 6 petak) kerusakan kulit kayu doyong kerusakan tajuk patah-hidup patah-mati pohon tercerabut IPPK (n = 15 petak) kerusakan kulit kayu doyong kerusakan tajuk patah-hidup patah-mati pohon tercerabut Jalan sarad + bukaan kanopi Rata-rata ± SE Kisaran Jalan pembalakan Rata-rata ± SE Kisaran 1.4 ± 0.3 2.1 ± 0.4 15.3 ± 1.5 4.4 ± 0.6 4.7 ± 0.5 9.5 ± 1.1 0.5 - 2.7 1.1 - 3.0 10.4 - 19.8 2.7 - 6.7 2.6 - 5.6 5.0 - 13.7 0.1 ± 0.0 0.4 ± 0.1 11.3 ± 1.3 4.5 ± 0.5 4.6 ± 0.6 * 5.3 ± 0.8 0.0 - 0.1 0.0 - 0.7 7.9 - 15.1 2.9 - 6.1 2.4 - 6.5 2.8 - 8.0 1.3 ± 0.2 1.6 ± 0.2 16.8 ± 1.2 4.3 ± 0.3 4.2 ± 0.3 14.3 ± 1.6 0.0 - 3.1 0.0 - 2.9 8.4 - 22.2 2.7 - 6.1 2.3 - 6.5 6.1 - 27.2 0.4 ± 0.1 1.2 ± 0.3 17.2 ± 2.5 5.2 ± 0.4 7.5 ± 0.9 * 15.0 ± 2.9 0.0 - 1.2 0.0 - 4.4 6.9 - 47.5 3.1 - 8.3 1.4 - 14.2 1.6 - 38.7 catatan: * perbedaan signifikan secara stastistik oleh Mann-Whitney tes - SPSS, antara HPH dan IPPK pada p< 0.05 p: 2*(tailed sig) - tidak dikoreksi Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 175 rusak ditemukan sama pada pembalakan HPH maupun IPPK. Namun di sepanjang jalan pembalakan, secara signifikan IPPK merusak lebih banyak pohon dibandingkan HPH untuk kategori ‘dahan patah (hidup)’ (4,9 berbanding 1,1 pohon per 100m), ‘dahan patah (mati)’ (11,8 berbanding 1,8 pohon per 100m), dan ‘roboh tercerabut’ (25,7 berbanding 1,4 pohon per 100m). Kategori kerusakan yang sama pada hutan bekas tebangan adalah ‘kerusakan tajuk’ dan ’roboh tercerabut’ (lihat Tabel 8.4). Perbedaan nyata hanya ditemukan pada jumlah pohon roboh tercerabut per panjang jalan pembalakan (15 berbanding 5 pohon per 100m, pada sistem IPPK dan HPH). Hipotesa yang kita ajukan adalah sisa tegakan yang mengalami empat kategori kerusakan (doyong, kerusakan tajuk, dahan patah, dan roboh tercerabut), akan membusuk atau mati, sehingga akan hilang dari populasi pohon untuk panen di masa depan. Hal itu berarti, di hutan primer, secara signifikan para pemegang IPPK akan kehilangan lebih banyak pohon dibandingkan dengan pemegang HPH, untuk semua kelas diameter (28 berbanding 9 pohon per hektar; lihat Gambar 8.3(a)). Lebih dari 80 persen dari pohonpohon rusak itu berada dalam kelas-kelas diameter 10cm–30cm (15 berbanding 4 pohon per hektar) dan 30cm–50cm (8 berbanding 3 pohon per hektar). Pembalakan IPPK juga menimbulkan kerugian lebih besar daripada pembalakan HPH pada populasi pohon untuk panenan masa depan di hutan bekas tebangan (39 berbanding 28 pohon per hektar; lihat Gambar 8.3(b)). Perbedaan nyata ditemukan pada kelas diameter 10cm-30cm (21 berbanding 11 pohon per hektar), dan 30cm-50cm (11 berbanding 7 pohon per hektar). Sementara itu, pembalakan subkontraktor HPH di hutan primer menimbulkan tingkat kerusakan di semua kelas diameter lebih tinggi secara signifikan daripada pembalakan oleh HPH (23 berbanding 9 pohon per hektar), sama dengan akibat pembalakan oleh IPPK (28 pohon per hektar). Perbedaan hanya ditemukan pada kelas diameter 10cm-30cm (11 berbanding 15 pohon per hektar. Diskusi Intensitas penebangan Intensitas penebangan yang tercatat pada penelitian ini (1 - 4 pohon per hektar) tergolong rendah dibandingkan dengan hasil penelitian lain di Kalimantan (5 - 15 pohon per hektar; Bertault dan Sist, 1997; 6 - 14 pohon per hektar; Pinard dkk, 2000a; 7 11 pohon per hektar; Sist dkk, 1998). Penghapusan bisa dideskripsikan sebagai ‘panen buruk’, bila jumlah pohon yang ditebang lebih sedikit daripada standar tingkat panen yang dibolehkan, yaitu antara 8 - 10 pohon per hektar tergantung pada diameter pohon dan jatah tebangan tahunan (JPT) yang ditetapkan dari hasil inventarisasi hutan. Rendahnya perkiraan intensitas panen ini mencerminkan adanya perbedaan metodologi penelitian ini dari yang lain. Estimasi di penelitian lain didasarkan pada petak sampel permanen dengan kisaran luasan 1 - 4 ha, yang telah ditetapkan sebelum kegiatan pembalakan dilakukan (Suhartana dan Idris, 1998; Pinard dkk, 2000a; Sist dkk, 2003). Kami memakai petak sampel seluas 20ha, yang ditetapkan di areal bekas tebangan. Mungkin perkiraan tingkat panen kami terlalu rendah karena tidak yakin bahwa semua tunggul di areal bekas tebangan sudah dihitung (a.l. di tempat pengumpulan kayu dan jalan pembalakan). Namun rendahnya tingkat panen pada hutan primer oleh HPH mungkin wajar, mengingat kurangnya peralatan atau sumberdaya pembalakan di areal BUMN ini. Bukan tidak biasa panen buruk oleh HPH ini akan disusul dengan pembalakan lanjutan, 176 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau 16 Hutan primer 14 12 Pohon tercerabut Patah dan mati Frekuensi (pohon ha-¹) 10 Kerusakan tajuk Doyong 8 Tunggul 6 4 2 0 HPH Sub-total IPPK HPH >10-30 24 Sub-total IPPK HPH >20-50 Sub-total IPPK HPH >50-70 Sub-total IPPK HPH >70-90 Sub-total IPPK HPH >90-110 Sub-total IPPK >110 Hutan bekas tebangan Frekuensi (pohon ha-¹) 20 16 12 8 4 0 HPH IPPK >10-30 HPH IPPK >20-50 HPH IPPK >50-70 HPH IPPK >70-90 HPH IPPK >90-110 HPH IPPK >110 Kelas diameter (cm) Sumber: Iskandar dkk, 2006 Gambar 8.3 Frekuensi dan distribusi potensi kerusakan (pohon per hektar) akibat pembalakan oleh pemegang Izin HPH, subkontraktor HPH dan IPPK pada berbagai tipe hutan Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 177 biasanya beberapa bulan kemudian, oleh subkontraktor HPH dengan peralatan lebih baik untuk memenuhi JPTnya. Sebenarnya hal itu tergolong kegiatan tebang ulang, yang merupakan pelanggaran aturan TPTI. Perbedaan distribusi ukuran tunggul dan intensitas panen antara pembalakan HPH dan IPPK bisa mencerminkan perbedaan pasar kayu mereka. Sebuah penelitian oleh Obidzinski dan Suramenggala (2000) di Kalimantan Timur mengungkapkan bahwa banyak kayu tebangan IPPK yang dijual ke penggergajian lokal untuk konsumsi setempat. Penggergajian kayu menengah dan kecil ini mengolah kayu berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kayu HPH yang dikirim ke industri kayu lapis di Kalimantan Timur. Perbedaan ukuran tunggul dan intensitas panen antara IPPK dan HPH juga mencerminkan bahwa izin IPPK tidak disertai panduan pembalakan, sementara operator HPH diwajibkan mengikuti pedoman TPTI dengan batas minimum diameter setinggi dada 50cm. Namun melihat hasil dari subkontraktor HPH, setelah berlakunya sistem IPPK, beberapa pemegang izin HPH mengikuti cara kerja seperti dilakukan oleh IPPK. Hal ini tampak nyata pada kesamaan intensitas panen serta kerusakan yang diakibatkannya. FWI/GFW (2002) menemukan bahwa para pemegang IPPK, karena tidak ada panduan pembalakan, lebih suka memaksimalkan panen saat ini, termasuk menebang pohon di bawah batas diameter minimum. Pada kasus HPH, banyak ditemukan tunggul berdiameter kurang dari 50 cm di sepanjang jalan pembalakan, di mana pepohonan ditebang untuk membuka ruang bagi pemeliharaan jalan dan bahan-bahan bangunan, bukan demi kayunya. Panjang jalan pembalakan dan jalan sarad Beberapa penulis melaporkan bahwa pada tingkat panen rendah (di bawah 4 pohon per hektar), kebanyakan kerusakan pembalakan lebih disebabkan oleh pembangunan jalan, bukan dari penebangan pohon (Gullison dan Hardner, 1993; Sist dkk, 2003). Kesamaan panjang jalan per hektar antara para operator menunjukkan bahwa banyak operator IPPK memanfaatkan jalan pembalakan yang pernah dibangun oleh HPH. Mereka juga menggunakan jenis mesin-mesin yang sama. Kesamaan panjang jalan ini juga mencerminkan kondisi topografi di lokasi penelitian. Penelitian Johns dkk (1996) di Brazil menemukan bahwa pada pembalakan terencana maupun tidak, pada kondisi topografi yang setara, akan menghasilkan panjang jalan yang relatif sama pula. Panjang jalan pembalakan per hektar pada penelitian ini (25m - 34m per hektar), relatif sama dengan yang dilaporkan oleh Johns dkk (1996) (yaitu 23m per hektar di areal 105ha hingga 27m per hektar pada areal 75ha, masing-masing dengan tingkat panen 5 dan 6 batang per hektar). Untuk area penelitian yang lebih luas di Bolivia, Gullison dan Hardner (1993) melaporkan bahwa jalan pembalakan sepanjang 8m per hektar dibangun untuk intensitas panen 0,1 batang per hektar di areal seluas 602 hektar. Perbedaan itu bisa menunjukkan perbedaan metodologi masing-masing penelitian (a.l. rata-rata panjang jalan pembalakan per hektar akan berkurang dengan meluasnya areal sampel). Penyebab besarnya panjang jalan sarad per hektar pada kegiatan IPPK dan subkontraktor HPH di hutan primer (49m dan 52m per hektar) maupun kegiatan IPPK di hutan bekas tebangan (63m per hektar), terungkap dari pemeriksaan visual terhadap area tebangan operator. Pilihan di mana harus dibuat jalan sarad ditentukan oleh pengemudi traktor saat berusaha mencapai lokasi tebangan. Hal ini berakibat terciptanya jaringan jalan sarad yang tidak terencana, untuk menarik kayu dari lokasi tebangan ke tempat pengumpulan (lihat Gambar 8.4). Banyak di antara jalan sarad ini tidak dipakai untuk transportasi log, tetapi 178 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau untuk jalan pintas menuju lokasi bukaan hutan, mengakibatkan banyaknya kematian pohon dan kerusakan. Sudah banyak diketahui bahwa kunci utama mengurangi dampak kerusakan dan gangguan dasar hutan adalah mengurangi jalan sarad seminimum yang tidak perlu (Suhartana dan Idris, 1998; Jackson dkk, 2002). Panjang total jalan sarad dan jalan pembalakan per jumlah batang maupun volume pohon ditebang, pada pemegang IPPK umumnya lebih pendek daripada pemegang HPH (kecuali untuk jalan sarad di lokasi bekas tebangan). Hal ini menunjukkan semakin banyaknya jumlah pohon yang ditebang oleh IPPK dan subkontraktor HPH, yang mengurangi panjang jalan sarad dan jalan pembalakan per unit pembalakan. Karena itu, IPPK dan subkontraktor HPH lebih efisien daripada HPH dalam menggunakan peralatan untuk pembuatan jalan pembalakan dan jalan sarad. Panjang jalan sarad di lokasi penelitian ini (34m sampai 63m per hektar di areal 20ha) jauh di bawah yang dilaporkan oleh Johns dkk (1996) di Brazil (158m per hektar di areal 105ha sampai 171m per hektar di areal 75ha dengan intensitas panen 5 sampai 6 batang per hektar), dan hasil penelitian Whitman dkk (1997) di Belize (104m jalan sarad per hektar dengan intensitas panen 0,5 batang per hektar di areal 92ha). Selain itu, Pinard dkk (2000a) di Malaysia melaporkan bahwa pada tingkat panen 14 batang per hektar terbentuk jalan sarad 168m per hektar di areal 50ha. Namun untuk lokasi yang lebih luas di Bolivia, Gullison dan Hardner (1993) melaporkan bahwa 14m per hektar jalan sarad dihasilkan dari tingkat panen 0,1 batang per hektar di petak 602ha. Perbedaan itu bisa menunjukkan adanya perbedaan metodologi yang dipakai serta perbedaan tingkat panen di setiap penelitian. Rata-rata panjang jalan sarad per hektar berkurang dengan naiknya luasan sampel dan turunnya intensitas panen. Kerusakan sisa tegakan akibat pembalakan Akibat langsung pembalakan terhadap kondisi hutan adalah pengurangan jumlah pohon. Namun dampak tak langsung akibat kerusakan, kematian dan pembusukan pada sisa tegakan juga akan mempengaruhi kondisi kesehatan hutan (Pinard dan Putz, 1996). Pembalakan oleh pemegang IPPK telah merusak jumlah pohon per hektar lebih tinggi daripada pembalakan oleh HPH di kedua tipe hutan. Pada hutan primer, semakin banyak pohon berdiameter di atas 90cm ditebang oleh pemegang IPPK dan subkontraktor HPH, akan semakin besar bukaan kanopi dan jumlah pohon rusak. Penelitian lain di Kalimantan menunjukkan bahwa intensitas pembalakan adalah ciri penting kerusakan akibat pembalakan (Bertault dan Sist, 1997; Sist dkk, 1998). Di hutan bekas tebangan, perbedaan kerusakan di antara kedua tipe operator menunjukkan lebih baiknya teknik pembalakan operator pembalakan HPH swasta. Pembalakan oleh pemegang IPPK menimbulkan jaringan jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu yang berlebihan. Namun demikian, lebih tingginya tingkat panen IPPK dibandingkan dengan HPH telah mengurangi tingkat kerusakan per pohon dan volume kayu yang ditebang. Secara keseluruhan, pembalakan IPPK lebih banyak merusak pohon per 100m panjang jalan pembalakan, daripada pembalakan oleh HPH. Kerusakan pohon per 100m jalan sarad dan jalan pembalakan (20 sampai dengan 43 pohon per 100m; lihat Tabel 8.2) kami ini jauh lebih kecil daripada penelitian Johns dkk (1996), yang menyebutkan kerusakan 67 hingga 135 pohon per 100m panjang jalan pembalakan di lokasi pembalakan yang terencana dan yang tanpa perencanaan. Hasil penelitian kami sama dengan penelitian Jackson dkk (2002) di Bolivia (42 sampai 56 pohon per 100m panjang jalan pembalakan). Perbedaan itu mungkin menunjukkan lebih tingginya tingkat panen (6 batang per hektar; Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 179 IPPK HPH jalan jalan sarad Sumber: Iskandar dkk, 2006 Gambar 8.4 Perbedaan antara jalan jalan sarad, dan tempat pengumpulan kayu oleh HPH dan IPPK pada areal hutan bekas tebangan Johns dkk, 1996) daripada penelitian ini, yang antara 1 sampai 4 batang per hektar. Pohon yang terbanyak rusak adalah pada kelas diameter 10-30cm, sama dengan pengamatan Sist dkk (2003) di Kalimantan Timur bahwa pohon yang terbanyak rusak adalah kelas diameter 20-30cm, dan 10-40cm seperti dilaporkan oleh Pinard dan Putz (1996)di Malaysia. Total bukaan kanopi per hektar berkisar dari 1106m2 hingga 3226m2 per hektar (lihat Tabel 8.2(a)) yang relatif sama dengan laporan penelitian lain untuk sistem pembalakan konvensional (2276m2 per hektar, Johns dkk, 1996; 2575m2 per hektar, Jackson dkk, 2002). Hasil penelitian Pinard dkk (2000a) di Malaysia melaporkan bahwa intensitas panen sebesar 14 sampai 11 per hektar menghasilkan bukaan kanopi sebesar 1660m2 sampai 1,020m2 per hektar pada pembalakan konvensional seluas 50ha dan 70ha. Di Brazil, Pereira dkk (2002) menemukan bahwa dengan intensitas panen 6 pohon per hektar, pembalakan konvensional di areal seluas 14ha menimbulkan bukaan kanopi sebesar 1120m2 per hektar, dan pada luas areal 112ha dengan intensitas panen 4 pohon per hektar menimbulkan bukaan kanopi seluas 890m2 per hektar. Tingginya tingkat panen oleh IPPK dan subkontraktor HPH mengurangi kerusakan pembalakan per jumlah dan volume pohon yang ditebang, daripada pembalakan oleh pegawai HPH. Jumlah pohon yang rusak dan total bukaan kanopi pada semua operator di kedua tipe hutan, tidak menampilkan perbedaan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas panen akan mempengaruhi kerusakan pembalakan, yang akan menurunkan tingkat gangguan dari kegiatan pembalakan per hektar atau per satuan luasan. Dari informasi yang terkumpul tentang praktik pembalakan, rendahnya kerusakan pembalakan oleh IPPK dan subkontraktor HPH menunjukkan bahwa kegiatan pembalakan kedua sistem tersebut lebih efisien daripada kegiatan pegawai HPH. Namun bila menimbang keberlanjutan, pembalakan berjangka panjang dan tingkat kesehatan hutan di masa depan, maka sistem pembalakan IPPK dan subkontraktor HPH tergolong sistem kelas bawah. Luasnya bukaan kanopi bisa meningkatkan regenerasi spesies pionir dan membatasi terbentuknya regenerasi Dipterocarpa­ceae akibat adanya kompetisi (Pinard dkk, 2000b). Sementara itu, beberapa peneliti berpendapat bahwa regenerasi dan pertumbuhan pohon komersial cenderung lebih besar pada sisa tegakan yang telah rusak satu tahun setelah kanopi terbuka (Sist dan Nguyen-The, 2001; Fredericksen dan Pariona, 2002). 180 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Pengamatan terhadap hutan bekas tebangan di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa banyak spesies Dipterocarp (Shorea laevis, S. leprosula, S. parvifolia dan Dryobalanops aromatica) tumbuh di sepanjang jalan sarad, di bukaan bekas tebangan dan sepanjang jalan pembalakan (Kartawinata, komunikasi personal, 2003). Kategori kerusakan sisa tegakan Di kedua tipe hutan, perbedaan signifikan antar operator pada jenis kerusakan sisa tegakan hanya ditemukan pada pohon roboh tercerabut di jalan pembalakan. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah pohon yang tumbang tersibak traktor ketika pembangunan jalan di kawasan pemegang IPPK. Kebanyakan di antara pohon yang tercerabut ini berdiameter kecil setinggi dada (di bawah 30cm) atau jenis kayu bernilai rendah, sehingga pengemudi traktor tidak ragu mendesaknya menepi. Penyebab lain adalah bila lokasi pengumpulan kayu sudah penuh, kayu ditumpuk di tepi jalan dan merusak pepohonan kecil di sekitarnya. Kerusakan tajuk dan dahan patah (mati) mendominasi kategori kerusakan di sepanjang jalan pembalakan untuk seluruh tipe hutan. Kebanyakan berdiameter kecil (kurang dari 50cm dtd), yang menunjukkan tingginya tingkat kerusakan sekunder pada sisa tegakan selama pembuatan jalan. Kerusakan sekunder oleh pembuatan jalan ini umumnya lebih besar daripada pembalakan pohon komersial (Gullison dan Hardner, 1993). Pohon yang terdorong akan menimpa dan melukai pepohonan di sebelahnya, dan menimbulkan koridor kerusakan yang relatif lebih lebar daripada jalan yang dibangun. Meskipun panjang jalan pembalakan per petak lebih rendah daripada jalan sarad, kerusakan hutan di sepanjang jalan pembalakan jauh lebih besar. Penelitian ini mencatat jumlah total pohon yang ditebang dan yang rusak; namun tidak mendata jumlah atau jenis sisa tegakan yang tidak rusak. Penelitian lain di wilayah ini mencatat kerapatan 210 pohon per hektar untuk pohon berdiameter dtd di bawah 50cm (Sist dkk, 2003). Artinya, rata-rata tingkat kerusakan yang kami catat, antara 18 - 32 pohon per hektar berdiameter dtd kurang dari 50cm pada kedua tipe hutan, berkorelasi sekitar 9 - 15 persen dari kerapatan pohon sebelum pembalakan. Estimasi tersebut lebih rendah daripada temuan Pinard dan Putz (1996) sebesar 17 - 57 persen, dan temuan Sist dkk (2003) sebesar 19 - 56 persen dari tingkat kerapatan awal. Perbedaan tersebut menunjukkan perbedaan metodologi penelitian ini dan juga perbedaan intensitas panen penelitian kami. Sulit diketahui apakah kerusakan 9 - 15 persen pohon berdiameter dtd di bawah 50cm itu akan berdampak nyata terhadap potensi panen masa depan sisa tegakan ini. Pinard dan Putz (1996) juga menemukan bahwa 10 hingga 43 persen dari pohon dengan tingkat kerusakan sedang (rusak kulit dan kayu) serta pohon berdiameter di bawah 60cm yang tertimpa akan mati dalam satu tahun setelah pembalakan. Penelitian lain melaporkan bahwa tingkat kematian tahunan rata-rata pada hutan bekas tebangan dalam dua tahun setelah pembalakan adalah 2,6 persen per tahun, menunjukkan lebih tingginya tingkat kematian pohon yang rusak selama pembalakan (4,9 persen); yang akan menurun pada tahun ke empat setelah pembalakan hingga 1,5 persen per tahun (Sist dan Nguyen-The, 2001). Hal itu menunjukkan bahwa antara saat ini dan masa panen polisiklik berikutnya, dalam 35 tahun, jumlah pohon mati dari pohon rusak yang tercatat dalam penelitian ini akan lebih rendah daripada tingkat kematian pohon ratarata per tahun. Pada penelitian Bertault dan Sist (1997), ditemukan bahwa 23 persen dari pohon pra-panen (115 pohon per hektar) akan mati selama kegiatan pembalakan secara konvensional. Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 181 Kesimpulan IPPK dan subkontraktor HPH memang melakukan pembalakan secara lebih efisien dalam jumlah dan volume pohon ditebang. Namun kegiatan ini tergolong sebagai sistem pengelolaan dengan tingkat kelestarian rendah dan mengancam kesehatan hutan di masa mendatang. Tingginya intensitas panen dan banyaknya jumlah pohon rusak oleh kegiatan IPPK dan subkontraktor HPH akan mengurangi pilihan panen dan potensi tebang areal ini di masa depan. Peningkatan jumlah bukaan kanopi pada kondisi alami pada pembalakan tanpa perencanaan oleh IPPK dan HPH akan menunjang regenerasi pohon pioner dan membatasi regenerasi alami dan pertumbuhan spesies Dipterocarpaceae akibat kompetisi. Namun kerapatan pertumbuhan jangka panjang pohon di areal dengan tingkat kerusakan tinggi akibat pembalakan masih belum bisa dipastikan (Pinard dkk, 2000b). Hal itu menunjukkan bahwa tidak adanya izin pembalakan jangka panjang dan tidak adanya peraturan pemerintah akan mendorong meningkatnya penebangan dan tingkat kerusakan akibat panen. Namun tanpa adanya peraturan pembalakan yang tepat dan dukungan institusi pengawasan memadai, praktik pembalakan hutan dengan sistem HPH akan menghasilkan tingkat kerusakan yang sama dengan sistem IPPK. Kedua sistem pembalakan itu bisa diupayakan untuk mengurangi kerusakan terhadap tanah dan sisa tegakan, agar bisa mendukung kelestarian pemanenan di masa mendatang bagi masyarakat dan pemerintah daerah, dengan mengganti peralatan dari jenis traktor yang bersifat merusak dengan mesin yang lebih ramah lingkungan serta mengikuti panduan pembalakan berdampak minimum. Hasil penelitian sebelumnya di Kalimantan pernah mengkuantifikasi perbedaan panjang jaringan jalan sarad yang dibangun menggunakan mesin-mesin yang berbeda (Sist dkk, 2003; Klassen, komunikasi pribadi, 2004). Penyaradan kayu memakai mesin-mesin yang lebih ringan dan lebih kecil, seperti traktor buldoser CAT 527 dengan bilah pendek (lebar 3m) dan mampu bermanuver lebih baik, telah memperkecil jaringan jalan sarad serta mengurangi dampak terhadap tanah, dibandingkan dengan penggunaan traktor CAT D7G yang lebih besar. Rujukan Anon, 1998. Impulse Users Manual, 8th edition, Laser Technology Inc, Englewood, Colorado. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case studies on decentralisation and forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Bertault, J.-G. dan Sist, P., 1997. An experimental comparison of different harvesting intensities with reduced-impact and conventional logging in East Kalimantan, Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 94, hal. 209–218. Chhetri, D. B. K. dan Fowler, G. W., 1996. Estimating diameter at breast height and basal diameter of trees from stump measurements in Nepals lower temperate broad-leaved forests, Forest Ecology and Management, vol 81, hal. 75–84. Departemen Kehutanan, 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan, Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Jakarta, Indonesia. 182 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Fredericksen, T. S. dan Pariona, W., 2002. Effect of skidder disturbance on commercial tree regeneration in logging gaps in a Bolivian tropical forest, Forest Ecology and Management, vol 171, hal. 223–230. FWI (Forest Watch Indonesia)/GFW (Global Forest Watch), 2002. The State of the Forest: Indonesia, FWI, Bogor, Indonesia, and GFW, Washington, DC. Gullison, R. E. dan Hardner, J. J., 1993. The effect of road design and harvest intensity on forest damage caused by selective logging: Empirical results and simulation model from the Bosque Chimanes, Bolivia, Forest Ecology and Management, vol 59, hal. 1–14. Iskandar, H., Hubble, D. L. dan MacDicken, K. G., 2003. Estimating dbh of commercial trees from stump measurements in Malinau, East Kalimantan, Journal of Tropical Forest Science, vol 15, no 3, hal. 502–504. Iskandar, H., Snook, L. K.,Toma,T., MacDicken, K. G. dan Kanninen, M., 2006. A comparison of damage due to logging under different forms of resource access in East Kalimantan, Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 237, no 1–3, hal. 83–93. Jackson, S. M., Fredericksen, T. S. dan Malcolm, J. R., 2002. Area disturbed and residual stand damage following logging in a Bolivian tropical forest, Forest Ecology and Management, vol 166, hal. 271–283. Johns, J. S., Barreto, P. dan Uhl, C., 1996. Logging damage during planned and unplanned logging operations in the eastern Amazon, Forest Ecology and Management, vol 89, hal. 59–77. Machfudh, 2002. General description of the Bulungan Research Forest, in CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Obidzinski, K. dan Suramenggala, I., 2000. Illegal Logging in East Kalimantan: Papers on Social, Economic and Political Implications, Illegal Logging Project Report, CIFOR, Bogor, Indonesia. Palmer, C. dan Engel, S., 2007. For better or for worse? Local impacts of the decentralization of Indonesias forest sector, World Development, vol 35, hal. 2131–2149. Pemda Malinau, 2001. Keputusan Bupati Malinau tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) Kabupaten Malinau tahun 2000/2001, Bagian Sosial dan Ekonomi, Malinau, Indonesia. Pereira Jr., R., Zweede, J., Asner, G. P. dan Keller, M., 2002. Forest canopy damage and recovery in reduced-impact and conventional selective logging in eastern Para, Brazil, Forest Ecology and Management, vol 168, hal. 77–89. Pinard, M. A. dan Putz, F. E., 1996. Retaining forest biomass by reducing logging damage, Biotropica, vol 28,no 3, hal. 278–295. Pinard, M. A., Putz, F. E. dan Tay, J., 2000a. Lessons learned from the implementation of reduced-impact logging in hilly terrain in Sabah, Malaysia, International Forest Review, vol 2, no 1, hal. 33–39. Pinard, M. A., Barker, M. G. dan Tay, J., 2000b. Soil disturbance and post-logging forest recovery on bulldozer paths in Sabah, Malaysia, Forest Ecology and Management, vol 130, hal. 213–225. Resosudarmo, I. A. P., 2002. Timber management and related policies: a review, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. Sist, P. dan Nguyen-The, N., 2001. Logging damage and the subsequent dynamics of a dipterocarp forest in East Kalimantan, 1990–1996), Forest Ecology and Management, vol 165, hal. 85–103. Sist, P., Nolan, T., Bertault, J. G. dan Dykstra, D., 1998. Harvesting intensity compared to sustainability in Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 108, hal. 251–260. Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan 183 Sist, P., Sheil, D., Kartawinata, K. dan Priyadi, H., 2003. Reduced-impact logging in Indonesian Borneo: Some results confirming the need for new silvicultural prescriptions, Forest Ecology and Management, vol 179, hal. 415–427. Suhartana, S. dan Idris, M. M., 1998. Controlled skidding to minimize forest damages: case study at two forest companies in Central Kalimantan, Buletin Penelitian Hasil Hutan, vol 16, no 2, hal. 69–78. Whitman, A. A., Brokaw, N. V. L. dan Hagan, J. M., 1997. Forest damage caused by selection logging of mahogany (Swietenia macrophylla) in northern Belize, Forest Ecology and Management, vol 92, hal. 87–96. 9 Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan: Perkembangan Lanjutan di Desa Setulang, Kalimantan Timur Ramses Iwan dan Godwin Limberg Bab ini menjelaskan munculnya gerakan konservasi alam di desa Setulang, Kalimantan Timur, Indonesia. Walaupun telah tinggal di daerah itu sejak tahun 1968, penduduknya tetap dianggap sebagai pendatang dengan hak atas sumberdaya lebih kecil daripada masyarakat ‘asli’. Akibatnya, banyak pihak mengklaim daerah hutan berpotensi kayu tersebut dengan harapan pengusaha kayu akan menawarkan kerjasama dengan penduduk setempat. Masyarakat Setulang menolak sistem eksploitasi kayu skala kecil (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu, IPPK) yang diperkenalkan selama era desentralisasi (tahun 2000 sampai 2002). Berbeda dengan desa lain se-kawasan yang mengundang para investor untuk menebang hutan, masyarakat desa Setulang berjuang untuk melindungi hutan mereka, dan membuahkan penghargaan Kalpataru1 dari Presiden Indonesia pada tahun 2003. Sebuah gerakan konservasi alam telah lahir di desa ini. Desa Setulang Desa Setulang, dengan populasi 860 orang Dayak Kenyah Oma’ Lung (208 rumah tangga), terletak di bagian hilir Sungai Malinau. Perjalanan dengan perahu ketinting dari ibukota Kabupaten Malinau ke daerah tersebut memakan waktu dua jam. Pada tahun 2006, telah dibangun jalan untuk menghubungkan Setulang ke kota Malinau. Menurut sejarah lisan, suku Kenyah Oma’ Lung tinggal di Long Sa’an, sebuah desa di daerah hulu Sungai Pujungan, anak Sungai Bahau, selama 13 generasi. Tempatnya 186 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau sangat terpencil sehingga mereka memutuskan untuk mencari tempat yang lebih dekat dengan kota, pasar dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1963, sekelompok warga diutus mencari daerah yang cocok untuk ditempati. Di Langap para utusan itu menemui Alang Impang, kepala adat besar Sungai Malinau, untuk meminta izin. Alang Impang kemudian menunjukkan beberapa tempat, salah satunya adalah Long Setulang. Mereka juga menemui kepala adat di Gong Solok dan Sentaban, dan terakhir dengan Camat di Malinau. Pada tahun 1968, seluruh warga menempati daerah tersebut, yang kemudian dinamai Setulang. Setulang ditetapkan dengan SK Bupati Bulungan pada tahun 1974 dengan batas sebelah hulu dengan Setarap dan batas sebelah hilir dengan Sentaban. Saat itu, Malinau masih merupakan kecamatan terpencil di pedalaman Kalimantan Timur. Tapi berbagai proses integrasi menjadi negara kesatuan juga sampai ke daerah ini. Salah satunya adalah UU No 5 tahun 1979, tentang pemerintahan desa, yang menyeragamkan struktur desa di seluruh Indonesia dan mengharuskan pemilihan umum untuk menentukan kepala desa. Melalui reformasi dan desentralisasi, Malinau menjadi daerah otonom, dan akhirnya terintegrasi penuh ke dalam negara kesatuan Indonesia. Dan muncullah IPPK. Sejak menempati Long Setulang, masyarakat telah mengembangkan perladangan gilir-balik dan tanaman keras, serta memanfaatkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian dijual, terutama beras gunung (gogoh) yang terkenal. Dengan cukupnya hasil dari ladang dan kebun, masyarakat Desa Setulang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, walaupun tidak menerima bantuan IPPK seperti desa-desa lain di daerah Sungai Malinau. Banyak pemudanya merantau ke Malaysia untuk bekerja di perusahaan kayu. Pengalaman mereka di sana menyadarkan mereka akan dampak penggundulan hutan terhadap lingkungan dan penduduk setempat. Gaji yang mereka terima digunakan untuk membeli perlengkapan yang lebih mahal, seperti genset atau motor tempel, dan juga untuk membangun rumah. Perkembangan Tane’ Olen Hutan di daerah hulu Sungai Setulang adalah hutan Dipterocarp dataran rendah utuh yang didominasi pohon-pohon besar, termasuk kapur (Dryobalanops spp), meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), tengkawang (Shorea macrophylla) dan ulin (Eusideroxylon zwageri). Hutan adalah sumber penting binatang buruan (babi hutan dan rusa), katak, ikan, buah, tanaman obat dan bahan bangunan bagi masyarakat Setulang, yang juga memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih untuk minum, mencuci dan mandi, dan sarana transportasi ke ladang. Pada tahun 1974, dua perusahaan kayu beroperasi di dekat Setulang: PT Trang Jaya Nugraha di Setarap dan PT Sanjung Makmur di Sentaban. Dampak dari kegiatan dua perusahaan tersebut adalah keruhnya air di Sungai Setulang dan rusaknya hutan, sehingga memaksa penduduk desa harus mencari bahan bangunan ke tempat yang semakin jauh. Akibatnya, masyarakat Setulang menolak tawaran kerjasama dari para pengusaha IPPK, yang menjanjikan banyak bantuan. Perubahan ini semakin menguatkan tekad untuk melindungi 5300ha hutan di hulu Sungai Setulang. Hutan ini dilindungi sebagai penyaring untuk melindungi sumber air Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan 187 bersih bagi desa dan menjadi tempat persediaan bahan bangunan. Sesuai dengan adat, hutan ditetapkan sebagai Tane’ Olen (tanah terlindung). Di jaman dulu, Tane’ Olen adalah bagian dari hutan milik pribadi kepala adat dan keluarganya. Penggunaannya diatur oleh Paren (bangsawan), tidak seorang pun boleh memanfaatkannya, bahkan dilarang memasukinya. Namun ada pengecualian untuk halhal khusus yang menyangkut kepentingan umum. Misalnya untuk kasus bencana seperti kebakaran rumah panjang; beberapa bahan bangunan seperti tiang dan rotan, dapat diambil dari Tane’ Olen. Selain itu, dalam upacara desa, perburuan hewan liar di Tane’ Olen diperbolehkan. Biasanya, Paren mengikuti warga yang masuk ke Tane’ Olen sebagai bentuk pengendalian langsung dan mereka meminta sebagian hasil dari mereka untuk kebutuhan pribadinya. Lama kelamaan, dengan terkikisnya adat dan lembaganya, pemahaman masyarakat terhadap Tane’ Olen berubah. Saat ini di Setulang, Tane’ Olen dipandang sebagai hutan milik bersama untuk kepentingan umum. Demikian pula, juga terjadi perubahan persepsi tentang peranan Tane’ Olen di beberapa desa di kabupaten Malinau. Dengan adanya perubahan persepsi terhadap Tane’ Olen, anggapan sebagian masyarakat terhadap penggunaan hutan juga berubah. Pada awalnya di Setulang, ada golongan tertentu yang ingin menguasai Tane’ Olen untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Namun, karena keputusan desa selalu diambil melalui musyawarah desa, pendapat mayoritas yang disetujui. Para penduduk merasa bahwa Tane’ Olen sangat penting sehingga penggunaannya perlu ditangani oleh lembaga tersendiri. Sebuah pertemuan diselenggarakan oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) untuk membahas bentuk dan fungsi organisasi yang tepat. Warga memutuskan untuk membentuk Badan Pengelola Tane’ Olen di Desa Setulang. Tane’ Olen di Setulang saat ini dikelola oleh Badan Pengelola Tane’ Olen. Badan ini mengatur semua kegiatan dan menegakkan aturan adat yang berhubungan dengan Tane’ Olen. Meski demikian, sementara aturan yang mengatur Tane’ Olen telah berganti, fungsi dan penggunaan Tane’ Olen masih fokus pada konservasi hutan. Perjuangan penduduk desa untuk Tane’ Olen Masyarakat Setulang bangga akan Tane’ Olennya dan menjadikannya aset desa. Badan Pengelola secara perlahan menjalankan perannya dan juga membuat rencana untuk masa mendatang. Pada tahun 2001, aturan adat yang relevan ditulis pertama kali sebagai dasar untuk membuat keputusan dan yang terpenting, agar generasi muda nantinya tahu aturan tersebut. Aturan tersebut tidak hanya menyangkut pengambilan dan penggunaan hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu (HHNK) di Tane’ Olen, tapi juga proses pengambilan keputusan. Aturan ini banyak membantu mereka dalam menghadapi sengketa dengan perusahaan kayu. Pertama kali perusahaan kayu mendekati warga Setulang adalah tahun 1995, ketika Elisar Ipui menjadi kepala desa. Seorang pengusaha kayu datang ke Setulang untuk menawarkan kerjasama menebang kayu di hulu Sungai Setulang (Banjir Kap). Tapi setelah musyawarah desa, menimbang kerusakan yang akan timbul maka masyarakat menolak tawaran tersebut. Dari tahun 2000 sampai 2002, Pemerintah Kabupaten Malinau telah menerbitkan 46 izin IPPK. Pada masa itu delapan pengusaha kayu datang secara resmi ke desa Setulang, 188 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau menawarkan kerjasama dengan masyarakat untuk menebang kayu di hulu Sungai Setulang. Dalam pertemuan yang diselenggarakan, hanya sebagian kecil tokoh masyarakat yang menyetujui tawaran tersebut. Khawatir kerjasama dengan perusahaan tersebut akan berdampak pada kerusakan hutan dan sumber air, sebagian besar warga menolak semua tawaran. Berikut adalah beberapa contoh kasus. Sengketa dengan CV Gading Indah2 CV Gading Indah memiliki izin pembalakan IPPK untuk beroperasi di wilayah Desa Setarap. Warga Setulang menemukan bahwa CV Gading Indah mengambil kayu melintasi perbatasan Desa Punan Setarap dengan Desa Setulang, ketika terlihat perubahan warna air Sungai Setulang. Pada awal bulan Agustus 2002, Abuk Ipui dan Yusten Sarun dari Setulang mengunjungi kamp CV Gading Indah di Kuala Semiling. Melihat banyaknya kayu yang bagus dan besar, mereka merasa tidak mungkin kayu sebagus itu sisa dari perusahaan yang pernah beroperasi di daerah Sungai Semiling. Kecurigaan itu diperkuat ketika pada tanggal 7 September 2002 Krimson Nyepan dan Pebing Lihai melaporkan kepada Kepala Desa Setulang bahwa mereka telah menemukan bekas tebangan perusahaan kayu, saat berburu sampai ke hulu Sungai Setulang. Pada tanggal 14 September 2002, berdasarkan laporan itu Kepala Desa Setulang menugaskan lima orang untuk memeriksa ke lokasi. Dari hasil pemeriksaan lapangan diketahui 33 pohon meranti yang berada 720 meter di dalam batas wilayah Desa Setulang telah ditebang dan kayunya sudah diambil. Hasil temuan ini dibahas dalam musyawarah desa pada tanggal 16 September 2002 dan diputuskan untuk segera menghentikan kegiatan CV Gading Indah sampai urusan diselesaikan. Pada tanggal 17 September 2002, 116 warga Desa Setulang mendatangi kamp CV Gading Indah dan menahan semua alat berat yang masih bekerja di blok penebangan dan dikumpulkan di kamp pembalakan di pertemuan Sungai Semiling dengan Sungai Malinau, dan dipagari secara simbolis dengan akar pohon. Penahanan alat berat berhasil menghentikan kegiatan perusahaan, dan pihak perusahaan berjanji akan datang ke Desa Setulang. Perundingan pertama diadakan pada tanggal 20 September 2002 di desa Setulang, dihadiri oleh pengelola CV Gading Indah, Sekretaris Kecamatan Malinau Selatan, anggota Kepolisian Sektor Malinau, anggota Komando Daerah Militer Malinau dan Ketua Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah Kabupaten Malinau. Dalam pertemuan tersebut masyarakat menyampaikan tuntutan sebesar 5 miliar rupiah, karena mereka dirugikan dengan terjadinya kerusakan hutan dan sudah diambilnya kayu tanpa izin. Pihak perusahaan mengaku bersalah, dengan menyatakan hal itu adalah akibat kelalaian pekerja lapangan dan bukan disengaja. Perusahaan meminta keringanan, namun sampai berakhirnya pertemuan tidak ada kesepakatan. Setelah perundingan di Setulang, pengelola CV Gading Indah dan Sekretaris Kecamatan Malinau Selatan melaporkan masalah ini kepada Bupati Malinau. Pada tanggal 27 September 2002 wakil masyarakat Desa Setulang dipanggil menghadap Sekretaris Daerah di Kantor Bupati Malinau untuk diminta keterangan. Masyarakat mengutus tujuh orang untuk melaporkan kejadian di lapangan. Perundingan kedua diadakan di Desa Setulang pada tanggal 29 September 2002, dihadiri oleh pengelola CV Gading Indah, Sekretaris Kecamatan Malinau Selatan, Kepala Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan 189 Kepolisian Sektor Malinau dan satu anggotanya, anggota Komando Daerah Militer Malinau dan Ketua Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah Kabupaten Malinau. Setelah pihak perusahaan menawarkan 100 juta rupiah, masyarakat menurunkan tuntutan menjadi 3,5 miliar rupiah. Kemudian perusahaan menawarkan lagi 150 juta rupiah dan masyarakat masih menurunkan menjadi 2,5 miliar rupiah. Dalam perundingan tidak dicapai kata sepakat dan perwakilan perusahaan tidak berani memutuskan dengan alasan bahwa pihaknya terdiri dari empat mitra, sehingga masyarakat menuntut agar semua mitra kerjanya harus hadir dalam pertemuan selanjutnya. Perundingan ketiga di Desa Setulang pada tanggal 4 Oktober 2002 dihadiri oleh Camat Malinau Selatan dan Sekretaris Kecamatan, anggota Kepolisian Sektor Malinau, anggota Komando Daerah Militer Malinau, Ketua Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah Kabupaten Malinau dan lima orang dari pihak CV Gading Indah. Pihak perusahaan menawarkan 200 juta rupiah, sedangkan masyarakat bertahan menuntut 2,5 miliar rupiah. Karena perundingan belum juga mencapai kesepakatan, Camat Malinau Selatan menawarkan kepada kedua belah pihak untuk mengangkat permasalahan ini ke tingkat kabupaten. Lalu diadakan sebuah pertemuan pada tanggal 15 Oktober 2002 di ruang rapat Kantor Bupati Malinau. Pertemuan dipimpin oleh Sekretaris Kabupaten Malinau dan dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Kepolisian Sektor, Komandan Distrik Militer, dua orang pegawai Kejaksaan, satu orang pegawai Administrasi Pemerintahan, satu orang pegawai Bagian Hukum, Manager CV Gading Indah dan 15 orang wakil masyarakat Desa Setulang. Pertemuan dimulai jam 14.00, namun karena belum ada titik temu setelah pertemuan berlangsung selama dua jam, maka acara ditunda selama 15 menit untuk memberi kesempatan pada masing-masing pihak untuk berdiskusi secara terpisah. Dalam negosiasi tersebut masyarakat menyerahkan saja kepada pemerintah untuk mencari jalan keluar yang baik. Pada acara selanjutnya, Bupati meminta Kepala Bagian Umum dan Kepala Bagian Penyusunan Program, yang keduanya berasal dari Setulang, agar hadir untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk. Pertemuan selesai jam 20.30 dengan hasil kesepakatan bahwa pihak perusahaan harus membayar 400 juta rupiah kepada masyarakat Desa Setulang. Pihak perusahaan tidak menyanggupi jumlah itu karena izin mereka akan berakhir tanggal 3 Desember 2002. Maka Pemerintah Kabupaten memberi waktu pada CV Gading Indah sampai Januari 2003 untuk mengerjakan empat blok yang belum ditebang, dan membayar tuntutan yang diajukan. Akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 2002, diadakan upacara penandatanganan kesepakatan di mana 200 juta rupiah tunai diserahkan kepada masyarakat Setulang dan perusahaan diharuskan membayar sisanya dengan mencicil. Sengketa dengan PT Inhutani II Pada bulan Mei 2003 PT Inhutani II mengusir warga yang sedang bekerja di ladang yang mereka klaim sebagai milik kelompok tani Tanjung Lapang, mitra kerjasama PT Inhutani II. Akibatnya, warga desa Setulang mendatangi kamp produksi PT Inhutani II pada tanggal 13 Mei 2003 untuk memprotes. Belum ada tindak lanjut atas masalah ini karena masyarakat Setulang masih menunggu tanggapan dari Camat Malinau Barat. 190 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Sengketa dengan PT Lestari Timur Indonusa (LTI) Ketika hujan deras pada bulan September 2002 mengakibatkan Sungai Setulang banjir, warga desa curiga ketika melihat air sungai lebih keruh dari biasanya. Mereka yakin bahwa hal itu diakibatkan oleh aktivitas perusahaan di wilayah desa tetangga. Pada tanggal 2 sampai 6 Desember 2002, beberapa warga desa Setulang ditugaskan untuk menyelidiki. Ternyata PT Lestari Timur Indonusa (LTI), yang beroperasi di wilayah desa Paking, telah melanggar batas desa Setulang dan mengambil kayu kualitas ekspor sebanyak 117 pohon. Pada tanggal 7 Desember 2002, warga desa Setulang mendatangi kamp PT LTI di Paking dan menyita alat berat yang sedang beroperasi di hutan. Warga desa kemudian menyegel daerah itu dan membawa pulang kunci kontak alat berat tersebut. Surat bukti penyitaan dibuat saat itu juga dan ditandatangani oleh manager PT LTI. Pada tanggal 10 Desember 2002, diadakan pertemuan di desa Setulang antara warga desa dengan PT LTI, yang juga dihadiri oleh staf Kantor Kecamatan Mentarang. Namun tidak dicapai kesepakatan karena pihak PT LTI menyangkal temuan lapangan oleh masyarakat desa Setulang, sehingga disepakati untuk melakukan pengecekan lapangan lagi. Pengecekan ulang dilakukan tanggal 13 dan 14 Desember 2002, diikuti oleh seorang staf Kecamatan Mentarang, seorang staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Malinau, dan masyarakat kedua desa, yaitu Paking dan Setulang. Karena kecewa hasil pengecekan pertama tidak dipercaya, maka dalam pengecekan ulang masyarakat memperketat penghitungan dengan memasukkan semua tunggul yang berdiameter di atas 10 cm. Mereka juga mencatat kerusakan pada hasil hutan non kayu maupun longsoran tanah. Dari pengecekan ulang didapati 709 tunggul pohon berdiameter lebih dari 10 cm, 78 pohon buah-buahan dan palem, longsoran tanah di 14 tempat dengan panjang keseluruhan 1400m, tiga persimpangan jalan sarad dengan panjang seluruhnya 400m, dan jalan pembalakan sepanjang 4720m selebar 25m yang masuk ke wilayah desa Setulang. Hasil pengecekan ulang dibahas pada pertemuan tanggal 19 Desember 2002 di Kantor Camat Mentarang yang dihadiri oleh PT. LTI, Camat Mentarang, polisi setempat, Komandan Rayon Militer Mentarang, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Malinau, dan warga desa Paking, Semolon, Sentaban dan Setulang. Pembahasan difokuskan tentang batas desa, karena pihak perusahaan menyatakan ketidak-jelasan batasbatas tersebut. Karena kesepakatan tidak tercapai, Camat Mentarang menutup pertemuan dan akan mengadakan pertemuan lagi di kemudian hari. Pertemuan berikutnya diadakan di Setulang pada tanggal 19 Maret 2003, namun pembicaraan bukan lagi mengenai pengambilan kayu oleh PT. LTI, tetapi mengenai batas desa. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Camat Malinau Selatan dan stafnya, Camat Malinau Barat, Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kepala Bagian Hukum, anggota Kepolisian Resort, anggota Komando Daerah Militer, serta penduduk desa Sentaban dan Setulang. Dalam pertemuan itu staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengatakan bahwa hutan di hulu sungai Setulang termasuk dalam kawasan hutan lindung sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) tahun 1972 Kalimantan Timur. Mendengar hal itu masyarakat Setulang kecewa karena bagi mereka kawasan hutan lindung adalah milik Pemerintah dan masyarakat tidak punya hak untuk menuntut perusahaan yang bekerja dalam kawasan itu. Masyarakat mempertanyakan mengapa baru sekarang hal itu diinformasikan kepada masyarakat. Karena suasana semakin tidak terkendali, maka pertemuan diakhiri. Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan 191 Warga desa yang pulang dari berburu di hulu Setulang, melaporkan bahwa mereka mendengar suara mesin traktor yang bekerja di wilayah tersebut. Maka pada tanggal 2 Mei 2003 beberapa pemuda desa Setulang pergi ke lokasi kerja PT LTI. Ternyata perusahaan masih melakukan penebangan dan penyaradan kayu meskipun kunci kontak alat beratnya sudah mereka sita. Karena itu para pemuda tersebut memanggil semua operator alat berat dan mencabut dinamo starter dari kelima unit alat beratnya dan membawanya pulang ke desa Setulang. Tidak lama setelah pengambilan dinamo starter, kegiatan perusahaan tetap berjalan sehingga pada tanggal 20 Mei 2003 diutus sepuluh warga yang berpengalaman sebagai operator dan mekanik untuk menyingkirkan alat berat. Mereka membawa pulang dua unit traktor ke desa Setulang. PT LTI melaporkan penyitaan alat berat tersebut kepada Wakil Kepala Kepolisian Resort Malinau, dan menyatakan bahwa masyarakat desa Setulang telah menyerang dan mengancam. Maka pada tanggal 26 Mei 2003 Wakil Kepala Polisi Resort Malinau memanggil Kepala Desa dan Kepala Adat Setulang untuk diminta kesaksian atas kejadian itu. Atas kesaksian dari Kepala Desa, maka polisi memanggil dua pemuda yang terlibat dalam penyitaan alat berat. Karena adanya surat panggilan dari polisi terhadap dua orang saksi itu, diadakan pertemuan desa yang akhirnya ditutup dengan pernyataan bahwa seluruh masyarakat desa Setulang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan si penyita alat berat itu sudah bertindak untuk kepentingan seluruh warga desa. Pada waktu itu warga desa berharap bisa bertemu dengan Bupati, yang berencana datang ke Setulang pada tanggal 29 Mei 2003, namun tidak jadi. Maka pada tanggal 2 Juni 2003 112 orang warga desa memutuskan untuk mendatangi Polisi Resort Malinau untuk memberikan kesaksian. Kepala Kepolisian Resort Malinau mengatakan bahwa masalah tersebut akan diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten Malinau. Namun belum ada tindak lanjut. Bagaimana usaha Setulang menjaga Tane’ Olen mereka? Ada beberapa faktor yang memungkinkan hal itu terjadi: • • • • • Kekompakan. Kebersatuan dan kekompakan masyarakat merupakan aset utama desa Setulang. Tindakan kolektif membantu melaksanakan sebagian besar kegiatan pembangunan desa dan mengatasi ancaman dari luar. Kelembagaan Desa. Kehadiran Tane’ Olen di Setulang telah merangsang pemikiran di dalam desa tentang berbagi tugas. Badan Pengelola Tane’ Olen bertugas mengorganisir kegiatan dan menerapkan aturan dan sanksi adat. Kebutuhan dasar yang terpenuhi. Bukan hanya kebutuhan dasar yang terpenuhi, namun kebanyakan warga juga memiliki sedikit kelebihan, yang menyediakan dana bagi kebutuhan lain, misalnya sandang atau biaya pendidikan. Tidak ada kebutuhan untuk menjual hutan demi uang. Perhatian pihak luar. Perkembangan Tane’Olen dan pengakuan de facto-nya oleh pemerintah dan desa-desa lain telah banyak terbantu oleh tingginya perhatian pihak luar. Bantuan berbentuk studi banding, pelatihan inventarisasi hutan, pembudidayaan jamur, produksi arang dan kerajinan tangan telah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi dan membuka pikiran mereka. Dukungan dari pihak-pihak lain. Karena berbeda dan lebih menonjol daripada masyarakat desa lain di sekitarnya, usaha warga desa Setulang melindungi hutan mereka telah menarik perhatian pihak lain, yang terlihat dalam sejumlah cara. Masyarakat 192 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau desa Setulang telah menerima dua penghargaan semenjak mereka mulai mengatur Tane’ Olen mereka: penghargaan hibah untuk menghadiri World Water Forum Kyoto pada tahun 2003, dan Kalpataru (Penghargaan Lingkungan Indonesia) juga pada tahun 2003. Beberapa organisasi telah memberi masukan guna mendukung usaha penduduk desa tersebut: • • • • Center for International Forestry Research (CIFOR): penelitian dan kunjungan dari banyak peneliti yang masih berlangsung dan tetap memfokuskan pembahasan pada konservasi, konsesi konservasi dan pengelolaan kawasan konservasi, serta potensi manfaat dari kawasan konservasi. Seoul National University (Republik Korea) mengirim mahasiswa untuk melakukan diskusi dengan penduduk desa tentang ketergantungan masyarakat Dayak terhadap hutan. Departemen Kehutanan merencanakan beberapa penelitian di daerah tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat sebuah petak penelitian untuk meneliti potensi dan keragaman spesies tumbuhan di kawasan itu. Hasilnya akan menambah informasi dan menjadi panduan bagi Badan Pengelola Tane’ Olen yang didirikan masyarakat Setulang. Berbagai kunjungan wisatawan dan peneliti memberikan dukungan moral untuk masyarakat. Selama kunjungan itu, warga desa sering diundang untuk membahas berbagai aspek dan kemungkinan pengelolaan hutan. Semua pembahasan itu semakin meyakinkan masyarakat akan pentingnya pertimbangan keberlanjutan dalam perencanaan pengelolaan demi generasi hari ini dan masa mendatang di Setulang dan desa-desa sekitarnya. Selain itu, Tane’ Olen Setulang telah menjadi subjek beberapa laporan media di televisi nasional dan internasional. Hingga kini, Tane’ Olen telah didukung secara luas, dan banyak orang telah terlibat dalam pengelolaannya. Namun, satu generasi baru sedang tumbuh dengan kebutuhan dan gagasan yang berbeda untuk masa depan. Kebutuhan dasar juga berkembang. Uang tunai, misalnya, semakin menjadi kebutuhan dasar, dan mungkin tidak sepenuhnya bisa dipenuhi oleh surplus beras. Dahulu, anak-anak muda bekerja beberapa tahun di tempat lain, seperti Malaysia, untuk mencari uang. Kini, persyaratan administratif untuk bekerja di negara lain lebih rumit. Meski pendirian Tane’ Olen merupakan keputusan bersama, ada beberapa individu yang berharap bisa memperoleh keuntungan pribadi dari pengelolaannya. Hal ini memunculkan diskusi tentang apakah diperlukan penerapan aturan yang lebih tegas dalam pengelolaan Tane’ Olen. Hingga saat ini hal itu belum terjadi; namun ketika masyarakat semakin serius tentang melestarikan sumberdaya, ini mungkin akan menjadi kebutuhan nyata. Perkembangan baru seputar Tane’ Olen Kekuatan masyarakat Setulang telah menjadikan mereka mampu mempertahankan hutan lindung mereka. Meski masih disengketakan oleh masyarakat sekitarnya dan tidak diakui secara hukum oleh pemerintah, Tane’ Olen mereka telah diakui secara de facto. Cukupkah kelebihan ini untuk menghadapi berbagai tantangan baru? Mampukah masyarakat Setulang Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan 193 menahan tekanan perpecahan? Cukup kuatkah badan pengelola untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi? Selama beberapa tahun terakhir, masyarakat Setulang telah mulai mengalami kekurangan lahan untuk ladang disebabkan oleh penetapan batas wilayah desa, operasi pembalakan, program reboisasi, rencana pendirian kebun kelapa sawit dan pertumbuhan populasi. Hal ini mendorong mereka untuk memikirkan pengelolaan lahan dan sumberdaya di wilayah desa. Rencana tata guna lahan desa sudah dikembangkan melalui beberapa pertemuan desa yang difasilitasi oleh staf CIFOR. Juga sudah terbentuk sebuah komite kecil yang melibatkan kepala desa, pemimpin adat dan para tetua desa, untuk menerjemahkan gagasan ini menjadi peta sketsa pemanfaatan tanah desa. Dalam prosesnya, masyarakat Setulang mencapai kesepakatan tentang pembagian wilayah desa mereka. Mereka menetapkan daerah-daerah untuk perkebunan tanaman keras, hutan lindung, Tane’ Olen, perluasan pemukiman dan area untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan ini telah divisualisasikan dengan peta sketsa tata guna lahan desa (lihat Gambar 9.1), dan telah dituliskan aturan-aturan adat tentang hal itu. Beberapa warga menganggap aturan adat sudah cukup untuk mengatur pemanfaatan lahan, namun warga lain menilai bahwa rencana desa harus dikaitkan dengan tata ruang kabupaten agar tidak tumpang tindih dalam pemanfaatan lahan dan memungkinkan perencanaan desa bisa terwadahi pada tingkat kabupaten. Meski upaya perencanaan tata guna lahan desa berlaku untuk seluruh wilayah desa, hal itu memunculkan pertanyaan tentang pengelolaan di masa mendatang. Tane’ Olen tidak dipandang independen dari keseluruhan desa, dan pembahasan tentang kebutuhan masa depan mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan desa. Sebagai contoh, jika Tane’ Olen ingin dijadikan obyek ekowisata, tidak akan banyak pembalakan yang diizinkan. Pada saat yang sama, peningkatan populasi membutuhkan perluasan tempat tinggal dan pendirian rumah-rumah baru. Dari mana bahan kayunya? Desa itu telah memutuskan bahwa larik hutan yang tersisa harus dicadangkan sebagai hutan produksi. Luasannya tidak seberapa besar dan mungkin hanya akan cukup untuk kebutuhan perluasan bangunan saat ini; namun masyarakat sudah menanam pohon di bekas ladang mereka untuk persediaan bahan bangunan di masa datang. Sementara itu, rencana pembangunan pemerintah daerah masih bersifat dari atas ke bawah. Rencana tata ruang resmi dikatakan menyertakan rencana untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan akasia. Karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan tidak diberi informasi, mereka pun bingung dan mencemaskan program ini akan sekonyong-konyong diterapkan. Salah satu kecemasan besar masyarakat setempat adalah perluasan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah daerah berencana mengembangkan perkebunan kelapa sawit, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rencana ini telah diperdebatkan di antara warga desa karena tidak adanya kejelasan status lahan yang akan ditanami. Bagaimana pembagian dan/atau penyebaran keuntungannya pun belum jelas. Telah diadakan berbagai pertemuan untuk menjelaskan rencana tersebut, namun hanya disajikan informasi lisan dan masyarakat tidak berani mengusulkan untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut. Banyak orang merasa bahwa mereka kurang pengalaman dan pengetahuan tentang budidaya kelapa sawit, khususnya pemeliharaan, pemupukan, panen dan pemasaran produk. Kekhawatiran lainnya adalah dampak lingkungan. Karena perkebunan tersebut mencakup lahan pertanian, rencana tersebut juga mengancam ketersediaan lahan pertanian bagi warga desa. 194 Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau Sumber: Sidiyasa dkk, 2005 Gambar 9.1 Peta pemanfaatan lahan Setulang Jika pendapatan dari kelapa sawit tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan tidak ada lahan lain untuk penanaman padi, Tane’ Olen pun akan terancam. Pihak-pihak luar telah mencap kegiatan perlindungan hutan yang dilakukan hingga kini sebagai aktivitas konservasi. Ini awalnya dibahas oleh staf CIFOR dengan masyarakat Setulang. Pada saat itu, kemungkinan pembayaran kompensasi oleh organisasi konservasi juga disebutkan. Meski belum ada pembayaran kompensasi yang dilakukan, hutan tersebut masih terlindungi. Namun makin meningkatnya kebutuhan akan uang menjadikan isu tersebut tetap relevan. Pertanyaan yang belum terjawab adalah, akankah masyarakat tetap melindungi hutan jika tidak ada pembayaran kompensasi? Badan pengelola sedang berusaha mengembangkan alternatif kegiatan konservasi yang bisa memberikan keuntungan tunai untuk mendukung ekonomi warga desa. Meski tidak bersepakat, sampai batas tertentu masyarakat Setulang menyepakati: • • • • bahwa konservasi pada tingkat masyarakat akan berhasil jika masyarakat bersatu dan kompak; bahwa daerah konservasi tidak akan diganggu jika kebutuhan dasar makanan terpenuhi; tentang bagaimana konservasi berbasis masyarakat bisa diakui pada tingkat yang lebih tinggi. tentang bagaimana perencanaan tata guna lahan desa bisa dipadukan dalam proses perencanaan di tingkat yang lebih tinggi. Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan • • • • 195 bahwa meski konsep Tane’ Olen telah berubah, masyarakat memerlukan pengakuan dan hak atas daerah lindung; bahwa, dalam kasus Setulang, konsep Tane’ Olen telah disesuaikan, namun tujuannya masih tetap pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, khususnya hutan; tentang faktor-faktor pendukung: kebersatuan, pemenuhan kebutuhan dasar makanan dari daerah lain atau sumber lain, dan aturan dan kelembagaan yang wajib dipatuhi; tentang ancaman: ketidakpastian hukum, konflik batas desa, kurangnya dukungan pemerintah, kurangnya integrasi rencana masyarakat dengan rencana pemerintah daerah. Catatan 1 Penghargaan Kalpataru diberikan setiap tahun oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk mereka yang peduli dengan, melestarikan atau melindungi lingkungan. 2 CV, atau Commanditaire Vennootschap, adalah bahasa Belanda untuk ‘kemitraan terbatas’. Rujukan Sidiyasa, K., Zakaria, A. dan Iwan, R., 2005 Hutan Desa Setulang dan Sengayan Malinau, Kalimantan Timur - Potensi dan Identifikasi Langkah-Langkah Perlindungan dalam Rangka Pengelolaannya Secara Lestari, CIFOR, Bogor, Indonesia. Bagian III Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi 10 Pemenang Mengambil Semua: Memahami Konflik Hutan di Era Desentralisasi di Indonesia Made Sudana Pengantar Perubahan yang dibawa oleh reformasi dan desentralisasi juga menaikkan tingkat konflik. Konflik-konflik lama yang terpendam telah muncul kembali, dan konflik-konflik baru bersifat lebih terbuka dan lugas. Berbagai protes, terkadang begitu keras, telah menjadi fenomena baru di kalangan komunitas lokal. Banyak di antara konflik ini berkaitan langsung dengan meningkatnya nilai sumberdaya alam. Reformasi dan desentralisasi menuntut pemerintah lokal meningkatkan bagian pendapatannya sendiri. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengeluarkan sebanyak mungkin surat izin konsesi ke perusahaan pembalakan skala kecil. Sementara itu, reformasi juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menuntut bagian. Timbulnya kompetisi demi mendapat bagian dari perusahaan pertambangan dan pembalakan telah memicu sengketa batas desa maupun konflik di dalam komunitas itu sendiri. Benturan klaim atas lahan dan wilayah berdasarkan kesukuan dan sejarah semakin memperumit masalah. Ketidakjelasan kebijakan pemerintah, kurang tepatnya pendekatan penyelesaian konflik dan rendahnya kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal dalam mengelola konflik menyebabkan berlarut-larut dan semakin sengitnya persaingan di antara berbagai kelompok etnis. Berdasarkan pengamatan terhadap konflik di desa-desa di sepanjang aliran Sungai Malinau di kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, bab ini menguraikan karakteristik 200 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi konflik lokal, mengidentifikasi penyebabnya dan menguraikan akibatnya untuk bisa lebih memahami bagaimana konflik bisa merangsang perubahan. Metodologi Dari tahun 2000 sampai 2003, dilakukan pengamatan dan wawancara di 27 desa di sepanjang Sungai Malinau yang dihuni sekitar sepuluh kelompok etnis, yang memiliki sejarah, adat, dan sistem tata-guna lahan masing-masing. Tahun 2000 ditetapkan sebagai titik awal untuk membandingkan kejadian konflik sebelum dan sesudah desentralisasi. Kami membatasi pengamatan pada konflik yang berhubungan dengan eksploitasi hasil hutan kayu dan non-kayu (NTFPs), penggunaan lahan pertanian dan batas desa. Untuk bisa mendapatkan pemahaman terhadap konflik, kami berusaha mengidentifikasi penyebab, faktor-faktor peningkat konflik, dan aktor-aktor yang terlibat. Kami mengamati frekuensi kontak antar aktor, proses penyelesaikan (negosiasi dan mediasi), dan hasilnya (kesepakatan dan kontrak). Satu kejadian digunakan sebagai unit analisa, dimana satu kejadian didefinisikan sebagai adanya konflik yang diindikasikan oleh demonstrasi, perkelahian, diskusi, surat-menyurat, keluhan, atau ancaman. Setiap konflik diamati secara terpisah dan dianalisa dalam hubungannya dengan konflik lain. Konflik sebelum dan sesudah desentralisasi Perubahan frekuensi Demi keperluan analisa, ditetapkan tiga periode: masa Orde Baru dari tahun 1967 sampai 1996; masa reformasi, dari tahun 1997 sampai 1999; dan masa awal desentralisasi, dari tahun 2000 sampai 2002. Di seluruh periode ini, dari tahun 1967 sampai 2002, ada 94 kasus yang diamati: 8 kasus (8,5 persen) terjadi di masa Orde Baru; 17 kasus (18,1 persen) di masa reformasi; dan 69 kasus (73,4 persen) terjadi di masa ketiga. Sebagian konflik merupakan konflik kambuhan karena belum pernah terselesaikan secara memuaskan. Selama masa Orde Baru, terutama, banyak konflik ditekan atau diselesaikan secara paksa. Pemerintah baru di masa awal desentralisasi memberikan banyak kesempatan kepada masyarakat untuk mengklaim kembali sumberdaya yang diambil selama masa-masa awal. Karena itu, dari 69 konflik yang terjadi pada masa ini, 25 di antaranya adalah kelanjutan dari konflik sebelumnya (lihat Gambar 10.1). Walaupun jelas bahwa akar masalah berasal dari masa Orde Baru, reformasi dan desentralisasi telah memberi pengaruh signifikan terhadap peningkatan konflik. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya kejadian demonstrasi, kunjungan ke kantor-kantor pemerintahan dan perdebatan. Namun, pertanyaannya adalah: siapa yang bertanggung jawab menangani konflik atas sumberdaya alam? Faktor-faktor penyebab konflik Konflik di sepanjang daerah aliran Sungai Malinau memiliki berbagai bentuk, tergantung apakah konflik itu mengenai batas desa, lahan pertanian atau persaingan mendapatkan manfaat dari kayu dan hasil hutan non-kayu. Namun masalah yang ada tidak selalu sederhana Pemenang Mengambil Semua 201 ataupun mudah diselesaikan. Bahkan sikap meremehkan masalah di masa Orde Baru, ketika umumnya konflik ditekan melalui intimidasi kekuasaan, adalah salah satu penyebab utama konflik laten. Reformasi dan desentralisasi mengubah hal ini. Solusi sederhana tidak lagi diterima. Contohnya, satu sumber konflik adalah karena penyerobotan wilayah desa oleh perusahaan pembalakan. Biasanya, sejumlah uang dituntut sebagai kompensasi. Berbagai argumen dikemukakan tentang nilai kayu, batas wilayah, dan terkadang, lingkungan. Arah konflik sangat dinamis karena bisa berubah setiap saat untuk menanggapi klaim balasan. Seperti dalam Gambar 10.2, sebelum desentralisasi, konflik yang paling sering muncul, di 17 dari 27 desa, adalah perselisihan tentang lahan pertanian – ladang, sawah, dan tanaman. Konflik-konflik lain adalah mengenai hak atas produk-produk hutan seperti sarang burung walet dan kayu gaharu; kompensasi oleh satu perusahaan pertambangan batubara (di 6 desa); persaingan atas kayu (3 desa) dan sengketa klaim lahan karena perbedaan sejarah (13 desa) (Anau dkk, 2001). Di masa desentralisasi, konflik yang timbul disebabkan penyerobotan oleh kegiatan pembalakan ke dalam wilayah desa yang menghilangkan beberapa produk hutan seperti kayu gaharu, rotan, dan sarang burung walet, maupun rusaknya lahan pertanian. Sebagai kompensasi, warga desa menuntut sejumlah uang dan/atau fasilitas umum. Gambar 10.1 menunjukkan sumber-sumber konflik dan perubahan sebelum dan setelah desentralisasi, sementara Gambar 10.2 menunjukkan berbagai pencetus atau faktor penyebab konflik. Banyaknya kejadian konflik (unit) 50 40 30 20 10 0 Periode orde baru (1967 - 2996) Periode reformasi (1997 - 1999) Periode desentralisasi (2000 - 2002) Periode konflik (tahun) Sumber: Sudana, 2004 Gambar 10.1 Frekuensi konflik sebelum dan sesudah desentralisasi Tanah pertanian Tanah pertanian sudah menjadi sumber konflik sejak suku Kenyah bermigrasi ke kawasan ini. Hal itu mencakup konflik suku Kenyah Uma’ Long di desa Batu Kajang dengan suku Merap di Gong Solok, tahun 1967; suku Kenyah Uma’ Long di Setulang dengan suku Abay di Sentaban, tahun 1969; dan suku Kenyah Lepo Ke’ di Long Loreh dengan suku Merap di Langap, tahun 1974. Semua konflik ini mengenai upaya penguasaan lahan subur dan biasanya diselesaikan dengan baik. Solusi dicapai melalui musyawarah (rapat desa) 202 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi 50 Jumlah kejadian konflik 40 30 20 10 0 Migrasi Kenyah Resettlement Punan HPH Tambang IPPK Faktor konflik Lahan pertanian Hasil hutan kayu Wilayah desa Hasil hutan bukan kayu (sarang burung, gaharu) Uang, sarana Sumber: Sudana, 2004 Gambar 10.2 Kejadian dan pemicu konflik demi mufakat, dan biasanya berkaitan dengan batas desa. Sayangnya, kesepakatan ini seringkali hanya berusia singkat karena salah satu atau pihak lain mengajukan klaim baru. Klaim lahan pada akhirnya akan dikaitkan dengan batas desa dan menjadi konflik rumit berlarut-larut. Peningkatan populasi menambah masalah baru. Antara tahun 1980 dan 1999, beberapa warga suku Punan pindah dari wilayah hulu Sungai Malinau sebagai bagian dari program pemerintah pemukiman ulang. Selanjutnya, semakin banyak lagi yang datang dari daerah terpencil untuk mencari peluang ekonomi, layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Pada saat yang sama, masuk pula perusahaan pembalakan ke kawasan ini, dan timbul konflik antara perusahaan dan warga yang lahannya terkena pembangun­an jalan pembalakan. Pada kebanyakan kasus, konflik bisa diselesaikan dengan kesepakatan kompensasi. Konflik atas lahan pertanian meningkat tajam selama masa reformasi dari tahun 1997 sampai 1999, ketika sebuah perusahaan tambang mulai beroperasi di wilayah Long Loreh. Perusahaan ini menawarkan kompensasi atas lahan dan hasil panen yang terdampak. Biasanya, warga desa berusaha mengklaim sawah puso, sehingga menimbulkan konflik tambahan antar warga desa. Selama masa desentralisasi dari tahun 2000 sampai 2002, konflik individu berkurang, namun konflik antar kelompok etnik meningkat. Batas-batas wilayah Di masa Orde Baru, batas desa bukanlah sumber konflik yang signifikan. Sebuah contoh masalah perbatasan adalah antara desa Langap dan Loreh. Kesepakatan awal tanggal 27 Februari 1975 dilanggar pada tahun 1977, ketika suku Merap yang tinggal di Sengayan menggeser batas hulu, dan pindah ke Loreh. Pemenang Mengambil Semua 203 Tambang batubara yang mulai beroperasi di Loreh pada tahun 1995 ini memicu serangkaian konflik baru. Pembayaran kompensasi atas penggunaan lahan untuk pertambangan telah mengubah persepsi atas nilai lahan. Desa-desa mulai menentukan batas wilayah dengan lebih tegas. Pada tahun 1998, desa Langap dan Loreh terlibat bentrokan: Langap menuntut batas desa dikembalikan sesuai kesepakatan tahun 1975. Pada tahun itu juga, terjadi konflik batas desa antara Langap dengan Tanjung Nanga, dan antara Langap dengan Laban Nyarit, mengenai hak atas lahan yang mengandung deposit batubara yang bisa dimintakan pembayaran kompensasi. Karena alasan yang sama, Langap juga terlibat konflik dengan desa Nunuk Tanah Kibang. Lebih ke hilir, desa Setulang dan Sentaban telah bersengketa tentang hak tanah sejak suku Kenyah tinggal di kawasan ini. Tahun 1992, kedua desa ini memperebutkan hak atas sawah dan hutan di sepanjang sungai Senarau dan Sebatiung. Saat itu konflik diselesaikan oleh pemerintah kecamatan Malinau. Tanggal 21 April 1999, terjadi konflik perbatasan antara Setulang dan Sentaban. Walaupun tidak secara langsung disebabkan oleh reformasi dan desentrali­sasi, semangat yang ada saat itu mendorong berbagai komunitas untuk mengungkapkan berbagai tuntutan mereka. Sengketa perbatasan di sepanjang DAS Malinau tetap belum teratasi dengan baik. Langap dan Loreh masih bertikai, demikian pula Batu Kajang dan Gong Solok. Hasil hutan kayu Walau tidak banyak diketahui sebelumnya, pembalakan telah menjadi sumber konflik antar komunitas dan perusahaan pembalakan sejak masa Orde Baru. Di masa itu, konflik semacam ini biasanya didamaikan oleh pihak militer, seperti yang dialami warga Loreh dan Langap dengan perusahaan milik negara, PT Inhutani II. Warga desa hanya bisa memanen kayu untuk pembangunan rumah mereka dan bangunan publik dengan seizin pemilik HPH. Setelah desentralisasi, konflik atas hasil kayu meningkat tajam. Hal itu awalnya dipicu oleh Keputusan Gubernur No. 20 tahun 2000 tentang pembayaran kompensasi oleh pemilik HPH kepada masyarakat di dalam wilayah operasinya. Pemberian izin IPPK oleh pemerintah daerah sejak tahun 2000 merangsang timbulnya lebih banyak konflik: masyarakat menggunakan berbagai argumen untuk mengklaim bagian dari fee dan pembayaran kompensasi. Di masa ini, tumbuh berbagai konflik multi dimensi: masyarakat dengan pemegang HPH, pemegang IPPK, dan pemilik gua sarang burung walet; antar desa; pemegang HPH dan pemegang IPPK dengan pemilik gua sarang burung walet; dan antar IPPK sendiri. Konflik antara masyarakat lokal dengan pemegang HPH terjadi paling sering di desa Langap (melawan PT Inhutani II), desa Metut (melawan PT Meranti Sakti Indonesia) dan di desa Laban Nyarit (melawan PT Tribudi Wisnu). Ketika pemerintah lokal mulai memberikan IPPK berdasarkan kerjasama dengan masyarakat lokal, pemegang HPH semakin tersisih, dan memicu semakin banyak konflik. Dengan otonomi daerah, pemerintah kabupaten mengambil kendali atas hutan di kawasan ini. Sementara itu, pemegang HPH menerima mandat mereka dari pemerintah pusat, dan dalam kebingungan tahun-tahun pertama, mereka kehilangan konsesinya dan digantikan oleh pemegang IPPK. Seperti sudah diuraikan di bab-bab sebelumnya, hubungan antara masyarakat dan pemegang IPPK mengalami perubahan. Masyarakat sudah belajar bahwa tuntutan harus dipenuhi atau mereka akan melakukan tindakan lain seperti demonstrasi, menutup jalan pembalakan, dan bahkan menyita peralatan. Konflik 204 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi yang berkaitan dengan IPPK bukan hanya antara perusahaan dan masyarakat, tetapi juga antar masyarakat tentang siapa yang berhak menerima fee dan kompensasi, dan di dalam masyarakat sendiri tentang pembagian fee dan kompensasi. Hasil hutan non-kayu Konflik yang berkaitan dengan hasil hutan non kayu jarang terjadi di masa Orde Baru. Hanya ada dua kasus yang tercatat dialami masyarakat di Long Jalan dan Adiu. Tanggal 20 Agustus 1992, penduduk desa Long Jalan menghalangi para pemanen kayu gaharu memasuki wilayah mereka melalui surat yang ditandatangani oleh Komandan Rayon Militer setempat. Tanggal 17 November 1988, penduduk desa Adiu menentang Datuk Husein, pemilik usaha rotan yang mengklaim kepemilikan atas hutan di pegunungan Gunung Bintang. Setelah desentralisasi, konflik atas gua sarang burung walet lebih sering terjadi, walau kebanyakan alasan itu hanya dipakai untuk mendapat manfaat dari IPPK. Konflik semacam ini terutama terjadi di wilayah Gong Solok dan Langap dimana gua-gua itu berada. Patut dicatat bahwa para pemilik gua itu adalah keturunan suku Merap yang merupakan pemukim pertama, atau suku Tidung, yang memperoleh hak dari pemerintah kolonial Belanda. Sering terjadi konflik di desa Gong Solok dan Langap: pemilik gua dengan masyarakat lokal dan dengan pemegang HPH dan IPPK; dan juga antara pemegang IPPK dengan operator tambang batubara. Dalam konflik ini, suku Punan, yang sangat bergantung dari hasil hutan non-kayu, adalah yang paling dirugikan dan juga paling tidak mampu membela klaim mereka. Uang dan fasilitas Efek terbesar dari reformasi dan desentralisasi adalah pemberdayaan masyarakat lokal, yang kini tidak lagi menjadi pengamat yang diam dan bisa memaksakan tuntutan atas hak yang mereka rasa miliki. Sayangnya hal itu banyak diartikan dalam bentuk tunai. Pembayaran atas pemanenan kayu atau kompensasi atas pemakaian lahan untuk tambang adalah faktor paling berpengaruh pada sikap ini. Kini masyarakat akan menggunakan alasan apapun untuk mendapatkan uang. Pelanggaran batas wilayah desa, kerusakan lahan, debu yang menutupi tanaman, polusi air dan gagal panen adalah alasan-alasan untuk menuntut kompensasi tunai. Biasanya perusahaan memenuhi tuntutan itu, karena lebih mudah membayar daripada menjernihkan masalah. Namun, akar masalahnya (yaitu siapa yang sebenarnya berhak) tidak pernah diselesaikan. Pola umum Demonstrasi dan protes Desentralisasi telah mengubah pola-pola pewujudan konflik. Di masa sebelum desentralisasi (masa Orde Baru dan reformasi), berbagai konflik diungkapkan melalui keluhan yang kebanyakan diselesaikan melalui musyawarah atau rapat desa. Konflik jarang meletus menjadi pertarungan fisik. Pada masa desentralisasi, konflik menjadi lebih kompleks. Pola umumnya adalah sebagai berikut: Pemenang Mengambil Semua 205 1. Desa mengirim seorang utusan untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan tuntutan. 2. Bila para utusan gagal memastikan terpenuhinya tuntutan, setelah melalui rapat penentuan tindakan, waktu pelaksaan dan pembagian tugas, lalu dilakukan mobilisasi massa. 3. Tindakan akan dilakukan, seperti demonstrasi, penutupan akses jalan, pengibaran umbul-umbul atau berkumpul di depan kantor lawan. 4. Dilakukan negosiasi. 5. Solusi diusulkan dan menerima, biasanya mencakup pembayaran kompensasi dalam jumlah tertentu. 6. Bila solusi tidak memuaskan atau tuntutan tidak dipenuhi, disusun rencana demonstrasi lanjutan, mengulangi proses dari tahapan kedua, terkadang mencakup penyitaan perlengkapan alat berat untuk meningkatkan tekanan terhadap pihak lain untuk memenuhi tuntutan. Di sepanjang DAS Malinau, 26,1 persen (18 dari 69) dari konflik selama era desentralisasi mencakup demonstrasi dengan mobilisasi massa oleh masyarakat lokal, seperti di Loreh, Langap, Gong Solok, Setarap dan Setulang. Di tempat lain, seperti di Loreh dan Langap, demonstrasi dilakukan berulang kali. Kebanyakan pesertanya adalah kaum pria. Hanya dalam satu kasus yang ditemukan keterlibatan wanita. Konflik juga dimanfaatkan oleh pihak ketiga, umumnya pelaku bisnis lokal, untuk kepentingan bisnis mereka. Suap dan manipulasi terhadap elit desa dan politik, biasa terjadi. Komplikasi lain adalah banyak perusahaan kecil penyebab konflik, ternyata hanyalah tameng bagi perusahaan besar. Contohnya, banyak pemegang IPPK adalah anak perusahaan dari, atau terkadang dioperasikan langsung oleh, pemegang konsesi besar. Cara ini lebih menguntungkan pemegang HPH karena biaya operasi IPPK tidak sebesar HPH. Negosiasi Sebelum desentralisasi, negosiasi hanya melibatkan kepala desa, tetua adat dan tokoh masyarakat. Setelah desentralisai, anggota masyarakat juga terlibat, melalui perwakilan atau pun melalui kehadiran orang sebanyak mungkin. Negosiasi yang berhasil kini cenderung melibatkan mobilisasi massa untuk menekan secara politik. Dalam kasus semacam ini, demonstrasi adalah bagian dari proses negosiasi. Saat ini, di sepanjang daerah aliran Sungai Malinau, konflik melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah lokal dan nasional, perusahaan lokal dengan jaringan internasional, serta masyarakat. Karena itu negosiasi menjadi sulit dan jarang mencapai kesepakatan yang langgeng. Contohnya, konflik antara para warga desa Langap dengan perusahaan BUMN PT Inhutani II masih belum berhasil diselesaikan, walaupun tuntutan sudah dipenuhi. PT Inhutani II, yang sahamnya dipegang oleh negara dan manajemennya terdiri dari para pegawai yang ditunjuk negara, tidak berdaya menghadapi para politisi dan pengusaha lokal yang ingin mengambil alih pengelolaan hutan dan menggantikan posisi PT Inhutani II. Melalui negosiasi, setelah penyitaan alat berat milik kontraktor PT Inhutani II, warga desa Langap berhasil mendapat pembayaran denda sesuai hukum adat dan kompensasi senilai 2,3 milyar rupiah; namun PT Inhutani II tetap tidak bisa beroperasi. 206 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Peran pemerintah kabupaten Sebelum desentralisasi, konflik biasanya ditangani oleh Camat Malinau. Pihak-pihak yang bertikai atau perwakilannya diundang untuk rapat di kantor Camat. Rapat ini harus menyelesaikan masalah dan semua pihak diharuskan berdamai. Dengan cara ini, konflik antara desa Setulang dengan desa Sentaban diselesaikan di tahun 1999. Masalah kecil biasanya diselesaikan dalam satu rapat desa, dan setelah itu hasil kesepakatan dikirim ke Camat untuk disahkan dan ditandatangani. Di masa desentralisasi, pemerintah Kabupaten Malinau dan Kecamatan Malinau aktif terlibat menyelesaikan konflik. Pemerintah Kecamatan bertanggung jawab menyelesaikan masalah di wilayahnya dan pemerintah Kabupaten hanya dimintai bantuan bila tidak diperoleh solusi. Selama masa ini, 13 kasus diselesaikan di Kecamatan Malinau Selatan dan 7 kasus di Kabupaten Malinau dengan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah kecamatan biasanya mengundang semua pihak yang bertikai dalam sebuah pertemuan di kantor kecamatan setelah menerima laporan dari penuntut klaim, untuk membahas solusi yang bisa diterima kedua pihak. Konflik yang tidak teratasi diserahkan kepada pemerintah kabupaten; contohnya, konflik antara PT Inhutani II dan desa Langap yang membutuhkan beberapa pertemuan di tingkat kabupaten. Konflik antara desa Tanjung Nanga dan Langap dengan IPPK Meranti Wana Lestari juga diselesaikan di tingkat kabupaten. Konflik antara PT Wana Yasa Kahuripan Indonesia (PT WYKI), yang membuka jalan akses dari Tanjung Nanga ke Long Alango, dengan warga desa Laban Nyarit tidak bisa diselesaikan di tingkat kecamatan karena PT WYKI tidak menanggapi undangan pertemuan. Penduduk desa Laban Nyarit kemudian melakukan demonstrasi, menutup akses jalan dan menyita peralatan berat milik perusahaan. Kasus ini kemudian ditangani oleh pemerintah kabupaten, yang mengirim perwakilan (Asisten I dan II, Sekretaris Kabupaten dan stafnya, Camat, Komandan Rayon Militer, dan petugas polisi) ke lokasi. Konflik ini diselesaikan dalam satu pertemuan di kantor Bupati. Konflik yang terselesaikan (distribusi fee) dan konflik yang tak terselesaikan (klaim tanah) Konflik antara perusahaan dengan masyarakat yang melibatkan pembayaran uang biasanya cepat selesai. Begitu pembayaran dan pembagian fee dan kompensasi disepakati, maka selesailah konflik antara desa Metut dengan PT Meranti Sakti Indonesia; antara desa Laban Nyarit dengan PT Tribudi Wisnu; antara desa Halanga dengan PT Wahana Stagen Lestari; dan antara desa Pelancau dengan PT Wana Yasa Kahuripan Indonesia. Selain itu, juga diselesaikan konflik masyarakat dengan pemegang IPPK, antara lain desa Bila Bekayuk dengan CV Sebuku Lestari; desa Setarap dengan CV Gading Indah; dan desa Langap dengan CV Hanura. Konflik pemanfaatan sumberdaya alam lebih sulit diselesaikan. Masih ada beberapa konflik yang belum terselesaikan tentang lahan pertanian antara desa Langap dengan desa Loreh, desa Gong Solok dengan desa Batu Kajang, dan desa Setulang dengan desa Sentaban. Konflik berkaitan dengan hutan atau tambang antara desa Halanga dengan desa Laban Nyarit, antara Paya Seturan dengan Langap, dan juga antara para pemilik gua sarang burung walet dengan desa sekitarnya. Kebanyakan konflik ini belum terselesaikan dan bahkan bisa semakin memburuk. Kepentingan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah berperan penting dalam pengambilalihan pengelolaan sumberdaya alam dari pemerintah pusat. Hal Pemenang Mengambil Semua 207 itu berakibat perusahaan yang telah mendapat izin dari pemerintah pusat kurang mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten dalam hal penyelesaian konflik. Pemerintah kabupaten akan mendukung masyarakat yang terlibat konflik melawan perusahaan-perusahaan ini. Karena itu, banyak konflik tidak akan terselesaikan sampai pemerintah daerah bisa mengambil alih perusahaan yang terkena dampak ini. Kurangnya lembaga Kabupaten Malinau sangat kaya sumberdaya alam dan rumah bagi 18 kelompok etnis. Berbagai perusahaan tambang dan pembalakan memiliki konsesi di kawasan ini, beberapa di antaranya beroperasi di DAS Malinau, dengan wilayah konsesi bertumpang tindih dengan wilayah masyarakat. Seluruh hutan di kawasan ini, termasuk tanah rakyat, telah dibagi ke dalam beberapa konsesi. Desa-desa seringkali tidak punya batas wilayah yang jelas dan hak atas hutan pun tidak jelas, sehingga tidak heran bila tanah dan hutan menjadi sumber konflik antar desa dan antara masyarakat dengan pihak lain, seperti perusahaan dan pemilik gua sarang burung walet. Reformasi dan desentralisasi telah mendorong warga mengungkapkan keinginan secara bebas dan lugas, sehingga menyebabkan konflik terbuka. Menyadari situasi ini, pemerintah kabupaten Malinau membentuk tim mediasi konflik untuk menangani merebaknya konflik-konflik tentang tanah, hutan, dan sumberdaya alam lain. Tanggal 27 Februari 2003, bupati Malinau mengeluarkan Keputusan No 26 tahun 2003 tentang Pembentukan Tim Mediasi untuk Menyelesaikan Perselisihan/Klaim antara Masyarakat dan Perusahaan di Kabupaten Malinau. Namun, Malinau tidak memiliki peraturan kabupaten yang mengatur penyelesaikan konflik yang berhubungan dengan sumberdaya alam di masyarakat. Masih belum ada kesepakatan tentang cara pemanfaatan atau pembagian sumberdaya alam secara adil dan setara. Juga tidak banyak orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman memadai untuk menangani konflik. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, terutama warga desa, tidak terlalu memahami cara menyalurkan konflik dan cara berperan dalam proses penyelesaiannya. Yang kuat menekan yang lemah, menghasilkan penyelesaian yang tidak adil serta klaim dan konflik kambuhan. Belum ada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang ada di desa-desa. Menghadapi hambatan semacam ini, tim mediasi tidak bisa beroperasi penuh. Saat ini, tim ini hanya bertindak ketika ada kejadian genting dan konflik insidental yang tidak bisa diselesaikan di tingkat desa dan kecamatan. Di masa depan, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi dan sumberdaya manusianya sudah tersedia, kami yakin konflik antar banyak pihak akan bisa diselesaikan lebih baik. Analisa konflik Saat ini, konflik biasanya berkaitan dengan nilai sumberdaya alam. Nilai tunainya telah meningkatkan dan menambah tekanan konflik. Di masa lalu, eksploitasi sumberdaya alam hanya sebatas memungut hasil hutan non-kayu, seperti damar dan sarang burung walet. Konflik yang umum terjadi adalah tentang hak memungut hasil hutan itu. Ketika kayu menjadi komoditas bernilai tinggi, muncullah konflik atas hak terhadap kayu. Di masa Orde Baru, konflik paling dominan di DAS Malinau adalah yang berhubungan dengan lahan pertanian. Konflik ini berakar dari adat suku Kenyah yang selalu bergantung 208 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi pada ladang. Mereka cenderung membuat ladang yang luas dan mengerjakannya lebih intensif. Akibatnya, mereka memandang tanah sebagai sumberdaya yang penting dan harus memastikan untuk pemanfaatan jangka panjang. Tidak heran bila mereka segera mengolah seluruh luasan alokasi mereka ketika tiba di kawasan itu dan mulai melanggar ke wilayah tetangganya. Ladang tetap menjadi objek sengketa, meskipun tidak selalu melibatkan seluruh komunitas. Ketika para pemegang HPH beroperasi di daerah ini, bentuk lain dari konflik, walaupun pengaruhnya kecil, mulai bermunculan. Perusahaan tambang batubara lah, yang membayar kompensasi atas penggunaan lahan, yang memicu peningkatkan konflik. Agar layak mendapat kompensasi, masyarakat menggunakan berbagai alasan, termasuk mengklaim kepemilikan masa lalu, klaim hak atas tanah adat maupun lokasi batas wilayah desa. Konflik-konflik yang menonjol adalah antara desa Loreh dengan desa Langap; antara Langap dengan Nunuk Tanah Kibang; antara Langap dengan Paya Seturan dan Long Lake; antara Langap dengan Tanjung Nanga; dan antara desa Laban Nyarit dengan desa Tanjung Nanga. Kebanyakan konflik ini terjadi antara tahun 1996 dan 1999, sebagian bersamaan dengan gerakan reformasi. Walaupun tidak bisa dipandang sebagai sesuatu penyebab konflik, reformasi telah memberdayakan penduduk lokal untuk bersuara dan menuntut haknya. Tajamnya peningkatan konflik di masa reformasi dan tahun-tahun awal desentralisasi adalah hasil dari kombinasi berbagai kejadian dalam beberapa tahun. Tibanya para pemegang izin HPH dari pemerintah pusat, kebijakan kompensasi oleh perusahaan tambang, reformasi dan desentralisasi, serta pembukaan hutan bagi perusahaan pembalak skala kecil oleh pemerintah kabupaten, semuanya memberi sumbangan pada terbentuknya konflik. Peraturan Gubernur No. 20 tahun 2000 memperparah konflik dengan mewajibkan perusahaan pembalakan membayar kompensasi pada masyarakat lokal. Konflik berkaitan dengan pertambangan batubara juga meningkat dengan keluarnya sebuah izin konsesi tambang baru oleh pemerintah kabupaten. Dengan desentralisasi, pemerintah kabupaten memiliki hak mengatur dan mengelola sumberdaya alamnya sendiri. Pemerintah kabupaten juga dituntut meningkatkan pendapatan asli daerahnya masing-masing. Di Malinau, hal ini dilakukan dengan menaikkan pajak, yang dikenal sebagai retribusi, dari eksploitasi hutan, dan juga dari pertambangan. Hal ini menciptakan konflik antar lapisan pemerintah karena pemerintah pusat masih mengklaim penguasaan atas hutan dan pertambangan. Bahkan masih ada beberapa perusahaan yang beroperasi di DAS Malinau memegang izin dari pemerintah pusat. Perusahaan-perusahaan itu dicurigai membawa banyak keuntungan bagi Jakarta, tetapi tidak bagi pemerintah kabupaten. Walau secara administratif dimungkinkan transfer kendali dari pusat ke tingkat kabupaten bila perusahaan menolak mengikuti prosedur legal, pemerintah kabupaten mungkin tidak bisa menegakkan aturan itu. Karena fakta-fakta tersebut, pemerintah kabupaten Malinau memilih kebijakan ‘abaikan, tunggu, dan lihat’. Ketika terjadi konflik antara perusahaan ini dengan masyarakat lokal, pemerintah kabupaten mengabaikannya. Pemerintah kabupaten jelas lebih menyukai perusahaan yang beroperasi berdasarkan izin kabupaten, yang tentu lebih menguntungkan wilayahnya. Hal ini terlihat pada konflik antara PT Inhutani II dengan warga Langap, dan antara perusahaan tambang batubara lokal di Loreh dengan warga Langap. Bupati merasa PT Inhutani II tidak menghargai pemerintah kabupaten. Pada peristiwa tahun 2003 di desa Respen, Bupati mengatakan: ‘Selama tiga puluh tahun, warga Malinau menangis melihat kayu mereka diambil orang-orang dari pusat, lalu mata mereka pun kering ketika Pemenang Mengambil Semua 209 batubara pun diambil, sementara tidak ada manfaat apapun yang mereka terima.’ Ucapan itu mengungkapkan kekecewaan pemerintah daerah terhadap perusahaan yang beroperasi berdasarkan izin dari pemerintah pusat. Klaim yang tidak pasti Satu masalah penting yang kerap melatar belakangi konflik adalah kurang tegasnya batas wilayah desa dan hak atas lahan pertanian. Batas wilayah desa adalah hal yang sangat kompleks karena banyaknya kelompok etnis yang tinggal di kawasan ini, masing-masing memiliki basis klaim berbeda. Seperti disebutkan sebelumnya, banyak kelompok etnis – dengan latar belakang dan budaya masing-masing – tiba pada masa yang berbeda-beda pula untuk bermukim di daerah itu. Suku Merap dianggap sebagai masyarakat tertua dan pemimpin adat mereka diakui sebagai ketua pemangku adat di Malinau (Kepala Adat Besar Sungai Malinau). Akibatnya, suku Merap berusaha mengatur semua suku yang tiba setelah mereka. Sementara itu, masyarakat sudah semakin terorganisir di berbagai desa administratif, yang tidak selalu sama dengan batasan wilayah menurut adat. Batasan tegas wilayah antar desa belum ditentukan dan disepakati semua pihak. Masalah ini diperburuk oleh banyaknya suku yang bermukim di satu desa, dan bahwa pada masa pewajiban pemukiman ulang penduduk di masa Orde Baru, desa-desa administratif ditetapkan sebagai satu kesatuan, sehingga terbentuk dua sampai empat desa di satu lokasi. Lembaga adat tidak berwenang mengatur batas wilayah desa dan tidak memiliki hak-hak tradisional untuk mengalokasikan dan mengatur penggunaan sumberdaya alam yang bisa diterima oleh negara. Reformasi dan desentralisasi telah membantu penguatan identitas kelompok melalui pembangkitan kembali adat. Namun, berbagai entitas adat ini terkadang hanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil – misalnya suku Kenyah dari Bahau, walaupun semua warga suku Kenyah meleburkan diri ke dalam tujuh sub-kelompok. Setiap kelompok mempunyai pemimpin sendiri yang mereka hormati. Begitu pula sembilan kelompok dari suku Punan, walaupun hidup bersama kelompok etnis lain, punya pemimpin masing-masing. Namun ketidakpercayaan terhadap pemimpin adalah salah satu faktor yang menyulitkan dalam pengaturan lahan pertanian dan batas-batas wilayah desa. Para pemimpin seringkali menjadi bagian dari konflik. Meningkatnya populasi di dalam kelompok etnis mempersulit konflik atas sumberdaya alam di daerah aliran sungai Malinau. Kesimpulan Konflik atas sumberdaya alam di daerah aliran sungai Malinau dipengaruhi oleh sejumlah faktor: • peningkatan nilai sumberdaya alam, hutan dan tanah karena pasar, uang, dan kompensasi; • kebebasan berekspresi yang dirangsang oleh reformasi di kalangan masyarakat; • pemberian izin skala kecil (IPPK) oleh pemerintah desentralisasi; • ketidak jelasan batas wilayah desa dan hak atas tanah dan hutan; • tidak adanya kesepakatan tentang cara pembagian hasil manfaat dari sumberdaya alam secara adil dan setara; 210 • • Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi keengganan dan kurangnya kapasitas pemerintah untuk menangani masalah kepemilikan; dan keengganan dan kurangnya kapasitas pemerintah atau masyarakat sipil untuk mengelola konflik. Konflik juga berakar dalam pada sejarah hubungan antara pemukiman lokal dan kelompok etnis di Malinau. Hubungan ini secara tradisional merumuskan akses terhadap sumberdaya lahan dan hutan; serta hubungan kekuasaan, konflik dan kerjasama antar kelompok. Reformasi telah memperkuat identitas kelompok-kelompok ini melalui pemulihan adat, lebih adanya keterwakilan lokal di dalam pemerintah kabupaten, dan kebebasan berekspresi. Untuk bisa memahami konflik sepenuhnya dan penyebab yang melatarbelakanginya, masih dibutuhkan penelitian mendalam dan menyeluruh. Rujukan Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas. Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau, Januari s/d Juli (2000) Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR, Bogor, Indonesia. Fisher, S. dan Kartikasari, S. N., 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, British Council, Responding to Conflict (RTC), Jakarta. Kaskija, L., 2000. Punan Malinau and the Bulungan Research Forest, Report submitted to CIFOR, Bogor, Indonesia. Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia. Sudana, M., 2004. Winners take all: Understanding forest conflict in the era of decentralization in Indonesia, makalah disampaikan dalam The 10th Meeting of the International Association for the Study of Common Property, 9–13 Agustus 2004, Oaxaca, Meksiko. Yasmi, Y., 2002. Conflict in Forest Management: A Study for Collaborative Forest Management in Indonesia, Wageningen University, Kerajaan Belanda. 11 Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau1 Moira Moeliono dan Godwin Limberg Salah satu aspek penting hubungan negara-masyarakat adalah bagaimana pengaturan penguasaan serta pemanfaatan lahan dan sumberdaya. Sementara negara berperan mengatur dan melindungi hak-hak warga, sering kali peran ini diartikan sebagai pemegang kendali; memaksakan wewenang terhadap masyarakat melalui pengendalian negara atas sumberdaya utama penghidupan mereka. Dalam upaya tersebut, negara memberlakukan sistem hukum yang seringkali terpusat, dan dengan aturan yang seragam, sehingga mengabaikan keberagaman sistem-sistem lokal dalam pengaturan hak milik (Scott, 1998). Di Indonesia hal ini tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No 5 Tahun 1960) yang didasarkan pada konsep peninggalan Belanda bahwa lahan bukanlah milik perorangan melainkan milik negara. Namun di Indonesia, penguasaan atas lahan tak bisa dipisahkan dari adat yang dipahami sebagai ‘kepercayaan budaya, hak dan tanggung jawab, hukum dan pengadilan adat, kebiasaan, dan kelembagaan swa-kelola’ (Alcorn, 2000), termasuk hukum adat dalam pengaturan hak-hak penguasaan, pemanfaatan dan kepemilikan sumberdaya. Setelah kemerdekaan, ketika negara mengambil alih pengaturan atas lahan, diyakini bahwa sistem hukum formal berdasarkan hukum Barat lambat laun akan menggantikan sistem adat. Namun, karena ketidakmampuan negara menegakkan aturan hukum secara efektif selama ini, sistem informal tradisional ini tetap bertahan. Pertemuan sistem tradisional dengan sistem hukum resmi adalah campuran kompleks antara formal dan informal, yang harus ditafsirkan oleh warga lokal agar bisa bertahan. Desentralisasi dan reformasi di Indonesia seharusnya memberi peluang bagi kabupaten untuk mewadahi sistem-sistem lokal ini dan membentuk sebuah sistem formal pertanahan yang sesuai dengan kondisi lokal. Namun kalau pun ada, hanya sedikit kabupaten yang menangkap peluang tersebut. Sebaliknya, ketidakmampuan pemerintah (pusat maupun daerah) mengendalikan dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya alam telah membuka situasi yang meningkatkan persaingan penguasaan atas sumberdaya alam dan politik. 212 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Seperti diuraikan di bab-bab sebelumnya, situasi ini dimanfaatkan oleh elit lokal untuk menghimpun kekayaan guna memperkuat posisi atau untuk semakin menambah kekayaan. Hal itu dilakukan dengan menggunakan adat, seringkali dengan menyisihkan kelompok yang lebih lemah seperti Punan. Bab ini akan membahas tentang pertanahan di Malinau, dimana naiknya nilai tunai sumberdaya telah meningkatkan persaingan antar pemangku kepentingan dan antar kelompok etnis. Ketiadaan sistem formal yang bisa melindungi hak dan diterima semua pihak, serta mudah dilaksanakan, telah mendorong warga lokal menyesuaikan diri dan mengubah aturan, terkadang dengan cara yang tak terduga, sehingga terbentuk sistem pertanahan yang unik, berciri lokal dan kokoh. Pembahasan diutamakan pada Suku Punan, salah satu kelompok etnis di Malinau dengan persyaratan tataguna lahan yang khusus. Karena cara hidup mereka masih setengah nomaden, nilai-nilai yang dianut berbeda dengan kelompok yang sudah menetap. Dengan pemerintah yang menganggap budaya tradisional sebagai terbelakang dan primitif, Punan diperlakukan sebagai sebuah masalah (Dove, 1993), terutama karena saat ini mereka mengklaim hak-hak waris atas kawasan hutan yang luas, tempat pengembaraan mereka selama ini. Konteks nasional dan hukum Salah satu sumber persoalan daerah bisa terlihat pada kemenduaan dan kerumitan kebijakan pertanahan nasional yang menetapkan penataan tanah diatur oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan kawasan hutan diatur oleh Departemen Kehutanan. Meskipun keabsahan yurisdiksi Departemen Kehutanan (Dephut) atas 60 hingga 70 persen peruntukan lahan kawasan hutan masih dapat diperdebatkan (Fay dan Sirait, 2002), selama empat dekade terakhir, persoalan penguasaan lahan di pulau-pulau yang kaya hutan seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua telah – secara de jure walau tidak selalu de facto – diatur oleh Dephut, sementara hak warga setempat atau bahkan pemerintahan daerah sering kali diabaikan. Pada kedua lembaga itu, seluruh lahan diatur melalui kantor-kantor wilayah yang mewakili Dephut dan BPN di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Setelah desentralisasi, sebagian besar kantor wilayah ini dilikuidasi atau diambil alih oleh pemerintah daerah. Di Malinau, pemerintah kemudian membentuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Pertanahan sebagai bagian dari struktur pemerintah kabupaten. Desentralisasi kedua departemen ini tidak berjalan mulus. Kedua departemen mencoba mempertahankan kekuasaan atas sumberdaya strategis ini. Dephut mengklaim bahwa sebagai salah satu sumberdaya strategis nasional, kehutanan tidak termasuk dalam sistem desentralisasi umum dan terus berupaya mengambil kembali penguasaan atas kawasan hutan. Di bidang pertanahan, proses formal desentralisasi2 ditangguhkan kurang dari satu bulan setelah pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi. Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2001 menetapkan bahwa sejumlah fungsi administratif BPN di daerah tetap berada di bawah kewenangan pemerintah pusat – ternyata kembali ke model dekonsentrasi masa Orde Baru hingga seluruh perundangan tentang administrasi tanah diratifikasi (Toyamah, 2002). Proses ini direncanakan memakan waktu dua tahun, dan tanggal 31 Mei 2003 ditetapkan sebagai batas waktu penyerahan seluruh urusan pertanahan kepada Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 213 kabupaten/kota. Pada tahun 2003,3 pemerintah kembali mendesentralisasi administrasi pertanahan, namun tetap mempertahankan sebagian kewenangan di tingkat pusat. BPN akan tetap menjadi lembaga nasional yang menyusun berbagai pedoman dan standar, sedangkan kabupaten/kota akan bertanggung-jawab atas sembilan aspek administrasi pertanahan4 termasuk penyelesaian sengketa atas lahan pertanian serta penentuan dan proses administratif tanah-tanah adat. Namun kemudian muncul kebingungan saat kantor BPN di Bulungan mendirikan subcabang di Malinau (Gelora Mahardhika, 1–15 November 2002) untuk mengatur urusan pertanahan. Kantor sub-cabang BPN mengaku bertanggung-jawab untuk mengumpulkan pajak bumi yang diatur oleh pemerintah nasional, meski hampir tidak seorang pun di Malinau, kecuali perusahaan besar dan penduduk kota, yang mendaftarkan tanah atau membayar pajak bumi. Dinas Pertanahan mengaku bertanggung-jawab atas pendaftaran tanah (yang juga merupakan tugas BPN) dan mengatur pemanfaatannya (yang juga tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bappeda). Di sisi lain, Dinas Pertanahan mengaku tugasnya hanya terbatas pada pengadaan lahan untuk perumahan pegawai pemerintah dan sarana umum seperti tanah pemakaman, sementara BPN menyatakan berwenang atas semua lahan.5 Kurangnya pemahaman terhadap aturan hukum dan mandat mereka juga tergambarkan dari kenyataan bahwa Dinas Pertanahan maupun BPN, mengatakan bahwa hak-hak masyarakat atas ladang dan pemukiman sudah otomatis diakui dan bahkan memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat, meskipun berada di dalam kawasan yang resminya diperuntukkan sebagai hutan negara.6 Kawasan-kawasan seperti ini dapat ditunjuk sebagai ‘kantong’(enclave) atau ‘kepemilikan’ (in-holding) dalam kawasan hutan, meskipun sesungguhnya tidak ada dasar hukum untuk penetapan tersebut. Hingga saat ini, tidak satu pun kantor tersebut berjalan efektif. Selain tumpang tindihnya mandat dan kurangnya pemahaman hukum dan peraturan pertanahan, mereka juga mengalami kekurangan sumberdaya manusia. Hanya satu dari empat Bagian pada Dinas Pertanahan, Bagian Administrasi, yang memiliki Kepala Bagian yang memenuhi syarat, dan jumlah tenaga teknis sangat kurang. Untuk pengukuran tanah, dua staf terlatih yang digaji oleh kabupaten sering dipinjamkan ke BPN, yang melakukan pengukuran tanah. Pemecahan masalah yang paling sederhana, yaitu penggabungan sumberdaya dalam satu kantor, dianggap mustahil karena Dinas bertanggung-jawab pada pemerintah daerah, sedangkan BPN bertanggung-jawab pada pemerintah pusat. Sementara itu, peran Dinas Kehutanan dan Perkebunan semakin penting sebagai pemberi izin pemungutan dan pemanfaatan kayu (IPPK). Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kebijakan di tingkat kabupaten mengakui hak masyarakat lokal untuk menerima manfaat dari hasil hutan. Seperti diuraikan di Bagian II dan dibahas di bawah ini, IPPK memicu perebutan hak atas wilayah guna memenuhi kelayakan mendapat pembayaran ‘fee’ dan kompensasi. Hingga saat ini, proses-proses tersebut belum menghasilkan pengakuan formal atas hak kepemilikan di dalam hutan negara. Meski reformasi dan desentralisasi berujung pada pengakuan formal atas hak-hak adat di dalam undang-undang dasar dan Undang-undang Kehutanan Tahun 1999,7 kabupaten/kota masih mengelola sumberdaya dengan cara seperti dilakukan pemerintah pusat di masa Orde Baru.8 Sumberdaya lahan dan hutan hanya dipandang sebagai sumber pendapatan meski juga memiliki fungsi-fungsi seperti perlindungan dan konservasi. Pemerintah kabupaten, seperti di Malinau yang lebih dari 90 persen wilayahnya secara hukum diperuntukkan sebagai hutan negara, tidak mempersoalkan hak-hak tradisional dan kehadiran masyarakat lokal di kawasan itu, namun juga tidak bersedia mengakui hak- 214 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi hak tersebut secara formal. Karena bingung oleh kekacauan dan kerumitan sistem hukum, serta berubahnya nilai sumberdaya, maka masyarakat melanjutkan menerapkan hukum adat dalam mengatasi masalah hak milik mereka. Penguasaan atas sumberdaya alam secara de facto dan peran adat Secara de facto, penguasaan sumberdaya alam di Malinau diatur oleh kebutuhan praktis serta norma dan institusi tradisional. Kepemilikan, riwayat penggunaan, serta aturan adat merupakan dasar klaim paling dominan di lapangan. Meski tidak lepas dari sengketa, klaim atas daerah yang dimanfaatkan dan ditempati oleh masyarakat setempat biasanya, meski terkadang dengan enggan, diterima dan diakui oleh masyarakat tetangganya, dan disahkan melalui upacara adat. Sebagian besar klaim tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk mencari penghidupan, dan mencakup lahan pertanian dan daerah hutan untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan non kayu (HHNK) (Anau dkk, 2001). Sering kali warga bisa saling menggunakan lahan orang lain. Kadang-kadang dengan, namun lebih sering tanpa, perjanjian yang jelas. Batas-batasnya tidak jelas, meski kesepakatan antar desa menyebutkan ciri-ciri bentang alam yang dapat diidentifikasi seperti jalan dan sungai. Sebagian besar hutan bebas dimanfaatkan untuk berburu serta mengumpulkan hasil-hasil hutan. Kawasan-kawasan dengan akses terbuka ini sering kali diklaim sebagai milik umum oleh kelompok yang tiba pertama, meskipun setiap individu bisa mengklaim hak dengan menjadi yang pertama membuka lahan untuk ladang pertanian. Cara masyarakat Loreh di Malinau mengatur daerah mereka menunjukkan keluwesan sistem ini. Pada tahun 1972, sebuah kelompok Kenyah Lepo’ Ke dari Pujungan menetap di lokasi ini dengan izin Ketua Adat Desa Langap, desa tetangga yang pertama kali mengklaim tanah tersebut. Pada tahun 1980-an pemerintah memindahkan dua komunitas Punan, yaitu Pelancau dan Bila Bekayuk, ke daerah yang sama. Bersama dengan kelompok Merap yang pindah dari Sungai Sengayan, keempat komunitas ini mengatur dan merundingkan cara hidup bersama dengan tetap mempertahankan status desa masing-masing. Selain ladang-ladang perorangan, sebagian besar daerah tersebut tetap terbuka. Perluasan ladang dimungkinkan karena ada perjanjian dengan Langap untuk menggunakan lahan tambahan. Sebelum desentralisasi dan munculnya kegiatan pembalakan skala kecil, keempat desa tersebut mungkin tidak terlalu mempedulikan batas-batas wilayah dan desa. Untuk sementara disepakati bahwa mereka akan berbagi wilayah. Namun dimulainya pertambangan batu bara pada tahun 1994 hingga 1995 (Anau dkk, 2001) dan dibukanya hutan untuk eksploitasi skala kecil telah mengubah hal itu, dan masing-masing desa berusaha mengklaim wilayah tersendiri dan menyengketakan batas wilayah dengan tetangga. Dalam persaingan itu, kedua kelompok Punan kalah. Kelompok Merap dari Sengayan mengklaim sebagai pemukim paling awal sedangkan klaim kelompok Kenyah didasarkan pada perjanjian dengan Langap. Warga Punan tidak memiliki dasar seperti itu, sehingga merasa terancam. Kelompok Bila Bekayuk lalu berencana memindahkan seluruh pemukiman beberapa kilometer ke arah hilir di pinggir jalan karena merasa bahkan rumah mereka pun sudah diklaim oleh pihak lain. Bahkan beberapa warga Bila Bekayuk telah pindah sekitar 15km ke lahan dengan kolam ikan yang mereka klaim. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 215 Berbagai perubahan akibat reformasi, desentralisasi dan kemudian munculnya gelombang pembalakan skala kecil telah berperan nyata dalam mengubah hukum adat yang implisit menjadi hukum formal yang lebih eksplisit. Pembayaran kompensasi dan fee bagi warga lokal telah meningkatkan nilai hutan, menciptakan persaingan memperebutkan klaim atas wilayah untuk menguasai sumberdaya hutan berdasarkan adat. Tetapi penerapan adat pun bermasalah juga. Hak-hak adat yang secara hukum diakui dalam undang-undang9 diasumsikan sebagai milik bersama. Ternyata, hak-hak adat bisa berarti milik bersama atau individu, atau malah keduanya. Hak individu di dalam sebuah rejim hak milik bersama merupakan hal wajar (Gönner, 2002). Selain itu, pemahaman adat bisa sangat berbeda dan makin beragam dengan munculnya reformasi dan desentralisasi. Adat juga selalu eksklusif, sangat berciri sosial dan budaya lokal (Drake, 1989), selalu dinamis dan mengalir, bisa berubah oleh waktu. Keluwesan yang melekat pada adat menyebabkan semua peraturan selalu didefinisi ulang sesuai kebutuhan. Sehingga di Malinau saat ini, hak atas tanah ditafsir meliputi tanah di wilayah asal sebuah kelompok (Barr dkk, 2001). Berbagai aturan formal tentang masalah adat disusun dalam kerangka hukum birokrasi nasional. Agar hak-hak adat bisa diakui, beberapa kriteria harus dipenuhi dan diverifikasi oleh para peneliti independen sebagai pihak ketiga. Kriterianya adalah bahwa adat masih dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturannya; pemimpin/lembaga adat masih ada; wilayahnya memiliki batas-batas jelas; dan penduduknya masih bergantung pada hutan. Sementara dua hal terakhir mungkin mudah dibuktikan, keberadaan aturanaturan adat khususnya tentang penguasaan lahan sulit dijelaskan dalam istilah yang bisa dipahami oleh orang luar, dan hanya terungkap melalui praktik kebiasaan. Ketika klaim sudah aman dan tak banyak sengketa kepemilikan individual, masyarakat tidak merasa perlu menuntut secara formal atau melibatkan lembaga hukum. Sebagian besar sengketa diselesaikan secara informal dengan aturan-aturan adat melalui tetua adat atau kepala desa. Dengan kian meningkatnya persaingan, klaim cenderung lebih terlihat (misalkan dengan memagari) dan sengketa bisa menjadi makin kuat. Ketika para pemimpin adat gagal menyelesaikan sengketa, Camat atau pejabat kabupaten diminta untuk menengahi. Menariknya, pengesahan formal melalui sertifikasi oleh BPN paling sering diminta saat klaimnya kurang kuat, seperti pada kasus para pedagang Tionghoa dan transmigran Jawa. Selain itu, aturan-aturan adat yang masih bertahan umumnya mengatur hubungan antarwarga, bukan pengaturan pemanfaatan sumberdaya. Salah satu pengecualian adalah Tane’ Olen, yang awalnya berupa suatu kawasan yang dikhususkan untuk dimanfaatkan oleh kaum bangsawan Kenyah (lihat Bab 10). Saat ini istilah itu digunakan bagi daerah yang ditetapkan untuk tujuan khusus, seperti daerah konservasi di desa Setulang dan berkembang menjadi sebuah konsep konservasi lokal. Masyarakat adat juga senantiasa berubah, beraliansi atau pun memecah diri (Drake, 1989), saling membedakan diri dari kelompok lain dan kelompok non-adat. Sebagai contoh, sebuah faksi dari Punan Malinau mencoba membentuk masyarakat adat Punan (Cesard, 2001) yang terpisah dari kelompok lain yang memperlakukan faksi tersebut sebagai ‘klien’ di bawah perlindungan mereka. Kelompok Tidung, yaitu keturunan dari Kerajaan Tidung, mendefinisikan kembali kelompoknya sebagai Dayak.10 Suku Merap mengklaim hak waris kekuasaan atas kelompok-kelompok lain karena posisi mereka sebagai Kepala Adat Besar dan menciptakan istilah ‘pewaris’ untuk menuntut hak eksklusif atas gua-gua sarang burung dan hutan di sekitarnya. Dalam pengertian lebih luas, kebangkitan kembali kelembagaan adat di Malinau berkaitan dengan harapan untuk menuntut kembali dan menegaskan kepemilikan wilayah berdasarkan hak adat. 216 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Guna memenuhi persyaratan dokumentasi resmi yang memperkuat klaim mereka, kini masyarakat adat mulai menuliskan adat dan hukum adatnya (Anau dkk, 2001; Wollenberg, 2003), dalam bingkai sejarah kelompok mereka sebagai bukti atas klaim yang diajukan. Suku Kenyah dan Merap telah menuliskan hukum adat mereka pada tahun 1968, dan menariknya, menggunakan format peraturan-peraturan pemerintah. Saat menyusunnya, mereka mengabaikan fakta bahwa kekuasaan adat yang sesungguhnya selalu berdasarkan negosiasi, riwayat, dan kaidah-kaidah kebutuhan. Baru-baru ini Punan juga berusaha menuliskan adat dan sejarah mereka. Penyusunan sejarah pun kemudian menjadi pertarungan memperebutkan waktu dan tempat (Erb, 1997), karena perbedaan tafsir mengenai peristiwa dan perjanjian sejarah tidak mempermudah penyelesaian konflik (Moeliono, 2000; Anau, dkk, 2002). Beberapa keluarga ningrat Tidung yang mengaku keturunan dari kesultanan yang menguasai wilayah Malinau, misalnya, kini berusaha mengklaim wilayah yang lebih luas, mencakup beberapa wilayah-wilayah desa kecil. Keturunan Sultan Bulungan mengklaim wilayah G Bintang, tetapi menambahkan bahwa keluarga mereka telah membebaskan pemanfaatannya untuk warga lokal.11 Seperti telah disebutkan, secara teori, otonomi daerah memungkinkan kembalinya pengaturan secara adat. Namun bahkan desa-desa pun masih ragu, walau untuk kembali pada adat akan relatif lebih mudah. Perubahan yang ada hanyalah pada sebutan – di Kutai Barat, desa-desa disebut kampung, bukan desa12 lagi seperti di masa Orde Baru, namun pengelolaannya tetap tidak berubah. Sampai saat ini sikap pemerintah masih mendua terhadap adat dan klaim berdasarkan adat. Meski demikian, salah satu peraturan pertama kabupaten baru Malinau adalah Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 4 Tahun 2001, tentang pemberdayaan, pelestarian, perlindungan, dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat. Meskipun menyalin kata per kata dari peraturan kabupaten lain, yang ternyata juga jiplakan dari peraturan pemerintah pusat,13 langkah ini dapat diartikan sebagai komitmen kabupaten untuk mengakui adat sebagai sebuah konvensi sosial. Tetapi peran adat dalam pengaturan penguasaan dan kepemilikan lahan dan sumberdaya alam tidak diakui. Peraturan tersebut tidak memiliki definisi tegas tentang hak dan prosedur untuk mengklaim dan mengakui hak-hak dan tanggung jawab serta mekanisme penyelesaian konflik. Sebaliknya, peraturan tersebut mengakui peran adat dalam mengatur pengelolaan masyarakat atas wilayah adat (Patlis dkk, 2001); walau belum ada kesepakatan tentang bagaimana hak-hak ini akan diakui. Seperti yang disampaikan Bupati Malinau pada kami bulan Agustus 2001, ‘Kita harus berhati-hati mendiskusikan hutan adat, tanah adat dan hak-hak adat, karena masyarakat terlalu bersemangat menuntut hak, meski tidak paham benar tentang apa yang melekat pada hak tersebut.’ Masyarakat memang kurang memahami apa saja yang terkait dengan hak-hak adat. Colchester (2001) mencatat bahwa masyarakat adat umumnya tidak tahu apa makna hak-hak itu dalam bahasa hukum, karena bisa ditafsirkan sebagai hak pemilikan penuh sampai hak penggunaan. Dalam upaya memperjelas hal itu, pegawai pemerintah yang mengikuti dua pelatihan penyusunan perundangan oleh CIFOR, mengusul­kan untuk mengatur tanah adat secara hukum. Lembaga adat Lundaye dan Punan pernah mengadakan lokakarya untuk membahas pengakuan dan sertifikasi tanah adat, dan saat itu isu sertifikasi diperdebatkan dengan hangat. Sebagian orang menilai sertifikasi melemahkan institusi adat, sementara yang lain mengkhawatirkan konsekuensinya (a.l. harus membayar pajak). Debat ini sangat mencerminkan bahwa pengakuan formal oleh masyarakat adat dan lembaga-lembaganya sama sekali tidak cukup (ACM-CIFOR, 2001) dan memerlukan negosiasi dan kesepakatan lebih lanjut. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 217 Di Malinau, klaim adat diperumit dengan sejarah migrasi dan program pemukimankembali (resettlement) pemerintah, yang mengakibatkan percampuran kelompok-kelompok etnis di satu lokasi. Masing-masing kelompok etnis membawa adatnya sendiri dan sering kali membawa status hukum desanya.14 Akibatnya, terdapat banyak desa dan beragam kelompok etnis bercampur di satu lokasi. Di daerah pemukiman kembali Sembuak misalnya, sepuluh desa hidup berdampingan di satu lokasi, dan seperti dijelaskan di atas, Long Loreh adalah satu dari empat desa, masing-masing dari kelompok etnis berbeda, yang tinggal di satu lokasi. Administrasi formal didasarkan pada desa-desa yang ditunjuk melalui keputusan Bupati. Di Malinau, kali terakhir ada pengakuan desa-desa ‘baru’ adalah di awal 1980-an, ketika Lio Mahan didirikan di Long Loreh, sementara Long Loreh sendiri didirikan sekitar tahun 1974. Tetapi status hukum tidak mencakup penetapan wilayah desa atau batas-batas tertentu. Seluruh desa di sepanjang Sungai Malinau secara hukum berada di tanah hutan negara; namun tidak jelas apakah hutan harus dianggap berada di dalam wilayah desa atau desa-desa tersebut harus dipandang berada di kawasan hutan. Perbedaan dan tumpang tindihnya pembagian wilayah adat dan administratif di desadesa majemuk ini tidak pernah dipersoalkan atau diperjelas. Sampai pada akhir-akhir ini ketidak-jelasan tersebut memang tidak menjadi persoalan. Namun ketika pembalakan skala kecil mencakup ketentuan pembagian manfaat bagi masyarakat pemegang hak atas sumberdaya hutan, perbedaan ini menjadi penting dan menjadi sumber konflik. Masyarakat menuntut hak-haknya berdasarkan adat namun hanya mengaitkannya dengan wilayah desa mereka. Ketidakmampuan membedakan kedua hal itu sering memunculkan konflik yang seolah tidak terselesaikan: tidak pernah dirinci atau pun digambarkan di lapangan. Meskipun kelompok Dayak pedalaman yang terstruktur seperti Kenyah memiliki wilayah, namun wilayah mereka tidak selalu permanen. Masyarakat pesisir yang berciri pedagang, dan kelompok Punan yang lebih nomaden, lebih tidak terdefinisikan lagi wilayahnya (Sellato, 2001). Migrasi adalah hal biasa, dan dengan kecilnya populasi maka seolah lahan selalu tersedia. Sebuah pemukiman bisa menetapkan wilayah berdasarkan pemakaian saat itu, berbataskan sungai atau tanda-tanda fisik lain. Batas wilayah pada umumnya tidak jelas dan terbuka. Ketika kelompok berpindah, pemukiman lama ditinggalkan dan bebas ditempati kelompok lain atau menjadi kebun tua. Dengan meningkatnya persaingan penguasaan atas sumberdaya, batas-batas dan aturan sudah dibuat lebih nyata (Li, 1999; Wollenberg, 2003) dengan klaim wilayah mencakup tempat-tempat yang ditinggalkan. Klaim berdasarkan sejarah mengingkari hak-hak warga yang tiba pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an, masa-masa pemukiman kembali, yang meninggalkan tanah asal (Barr dkk, 2001). Untuk membela diri, masyarakat kini mengajukan definisi baru tentang wilayah dan klaim hak atas tanah yang ditinggalkan di hulu atau bahkan di daerah aliran sungai lain, yang pada beberapa kasus masih ada pemukiman-pemukiman kecil. Contohnya desa-desa Bila Bekayuk, Nunuk Tanah Kibang, Pelancau, Metut dan Liu Mahan (Anau dkk, 2002). Dalam upaya menyelesaikan masalah, pemerintah telah menggabungkan beberapa desa di satu lokasi menjadi satu unit administratif dan menetapkan masyarakat harus tinggal di dalam wilayah yang mereka klaim. Keputusan ini menimbulkan banyak kegelisahan terutama di kalangan suku Punan, yang belum cukup lama menetap di daerah yang kini mereka klaim sebagai wilayah adat (lihat Bab 4) dan mencemaskan akan dilebur ke dalam kelompok lain yang lebih kuat di pemukiman mereka saat ini. Akibatnya, beberapa kelompok Punan seperti Long Rat, Mirau, Halanga dan Metut, kemudian pindah kembali ke hulu, ke wilayah leluhur mereka. 218 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Konflik klaim sering kali diselesaikan menggunakan koneksi etnis dan keluarga. Karena itu selama proses pemetaan partisipatif dukungan CIFOR pada tahun 1999 hingga 2000, enam desa (Long Jalan, Long Lake, Pelancau, Metut, Laban Nyarit dan Langap) mencari kesepakatan berdasarkan kompromi karena adanya hubungan keluarga dengan desa lain (Anau dkk, 2001). Koneksi politik dan jumlah populasi sering kali juga membantu. Karena itu suku Punan yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil lebih dirugikan lagi. Secara tradisional mereka berpindah-pindah di wilayah yang luas, dan jarang menguasai wilayah yang berbatas tetap (Barr dkk, 2001). Mereka terlambat mengklaim wilayah dan tidak memiliki akses terhadap aliansi-aliansi politik di kelompok yang lain. Akibatnya hingga saat ini Punan merupakan kelompok yang paling lemah di Malinau, secara politik maupun ekonomi. Berlawanan dengan kelompok pedalaman, di mana lahan dianggap sebagai sumberdaya bersama dengan hak pemanfaatan perorangan, kepemilikan lahan di Kota Malinau didasarkan pada hukum nasional dan diakui sebagai hak milik pribadi. Kepemilikan atas tanah ini diakui berdasarkan sejarah, biasanya karena individu atau leluhur mereka adalah pemukim pertama di daerah itu, dan juga karena komunitasnya paling berpengaruh pada saat pengakuan pemerintah, atau karena lahan itu pemberian pemerintah pada masa pemukiman kembali. Lahan-lahan luas di dalam dan di sekitar Kota Malinau diklaim oleh beberapa keluarga paling berkuasa di masa itu, dan kini diakui secara de facto sebagai milik pribadi. Banyak lahan yang secara de facto milik pribadi walau resminya berada di wilayah hutan negara, namun praktik jual-beli lahan kini sudah biasa, terutama di sekitar kota. Privatisasi kepemilikan tanah menjadi hal biasa meskipun tanah tersebut tidak terdaftar secara hukum. Di kabupaten-kabupaten terpencil seperti Malinau, hanya beberapa orang, kalau pun ada, yang mendaftarkan tanahnya; sedangkan masyarakat di luar kota bahkan tidak tahu bahwa hal itu perlu dilakukan. Hal itu tak jauh berbeda dengan situasi dua dekade lalu di seluruh Indonesia (Moniaga, 1993). Dan seperti di banyak negara berkembang lain (de Soto, 2000), prosedur pendaftaran tanah tidak mudah atau pun murah. Adanya dua kantor pengaturan tanah semakin menambah kebingungan. Ringkasnya, sistem penguasaan de facto yang berlaku di Malinau pada saat ini dibangun melalui kolusi antara sistem hukum resmi dan sistem tradisional. Berubahnya nilai lahan dan sumberdaya alam juga telah mengubah sikap masyarakat terhadap penguasaan atas lahan, membuatnya lebih nyata dengan batas-batas yang tetap. Kisah Malinau juga menunjukkan sulitnya memutuskan siapa memiliki hak apa dan bagaimana hak-hak yang bertentangan dapat diselesaikan secara adil. Dalam ketiadaan campur tangan kuat pemerintah untuk melindungi hak-hak pihak yang lebih lemah, masyarakat akan berupaya mengamankan sendiri perekonomian mereka. Hak dasar atas penghidupan yang layak, harus tetap menjadi panduan dalam melindungi cara hidup mereka. Perencanaan tata ruang Desentralisasi membawa harapan baru di masyarakat untuk lebih terjaminnya hak atas tanah, yang bisa mempengaruhi keputusan mereka dalam hal pemanfaatan tanah. Undang-undang Nomor 24 Tahun 199215 tentang tata ruang, bersama dengan aturan pelaksanaannya,16 berisi ketentuan hak dan tanggung jawab warga negara untuk berperan Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 219 dalam perencanaan, penggunaan, dan pengawasan penggunaan tanah. Selain itu, peran serta masyarakat adalah bagian sah dari proses perencanaan pembangunan yang mengikuti siklus musyawarah tahunan dari tingkat desa hingga kabupaten. Sayangnya, perencanaan pembangunan tidak mengacu pada perencanaan tata ruang. Dalam teori, pemerintah kabupaten lebih menyediakan saluran bagi masyarakat untuk mengungkapkan pendapat dan menyebarkan pengaruh, antara lain: • • • • Berbagai peluang baru bagi warga lokal untuk membuat pegawai pemerintah lebih bertanggung gugat dan mewakili kepentingan masyarakat, melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); Bupati; dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Persyaratan teknis terkait kebijakan konsultasi pemerintah dengan masyarakat lokal (a.l. masukan untuk perencanaan tata ruang). Banyak dari persyaratan ini sudah ada sebelum Otonomi Daerah, namun jarang diterapkan. Sejak masa desentralisasi, semakin besar tekanan untuk menunjukkan ketaatan pada persyaratan tersebut. Ketentuan-ketentuan hukum melalui Peraturan Daerah atau Perda dan surat keputusan. Di Malinau, Perda menetapkan registrasi dan pengakuan terhadap organisasiorganisasi adat dan pembentukan Badan Perwakilan Desa. Semua keputusan untuk izin pembalakan skala kecil harus melalui persetujuan masyarakat dan disertai surat perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan penebangan. Pembentukan pemerintah daerah yang lebih dapat diakses. Ternyata partisipasi masyarakat dilaksanakan secara berbeda (lihat Bab 13). Perebutan pengaruh, kepentingan pribadi dan besarnya ketidakpastian menyebabkan munculnya politik rakus dan pemerahan sumberdaya, dengan pemerintah lokal yang mengabaikan kewajiban terhadap masyarakat desa pemilihnya. Mereka yang memiliki kekuasaan ikut terlibat dalam persaingan sengit untuk mengklaim tanah, hutan, dan sumberdaya terkait seperti mineral dan sarang burung walet. Dalam sebuah diskusi tentang tata ruang dengan Bupati, Februari 2002, CIFOR mengusulkan mencukupi peruntukan kawasan hutan-hutan desa untuk dikelola oleh warga desa, untuk menyelesaikan masalah tumpang tindihnya wilayah-wilayah desa dan hutan negara. Masyarakat lokal akan bisa memiliki jaminan penguasaan atas lahan dan pemerintah akan bisa mempertahankan kendali atas daerah hutan yang luas sebagai sumber pendapatan. Namun Bupati mengungkapkan bahwa bila kabupaten/kota mengklaim sebagian tanah hutan negara secukupnya dan memberikannya kepada warga desa, mungkin tidak akan diterima oleh pemerintah pusat. Bupati juga menyatakan bahwa desa-desa hanya bisa diberi hak atas 2 hektar lahan per keluarga, berdasarkan kebijakan BPN. Malinau mempekerjakan beberapa konsultan untuk membuat rencana tata ruang. Partisipasi masyarakat sangat kecil, karena konsultan membuat peta hanya berdasarkan informasi dari kabupaten Bulungan, induk daerah Malinau hingga tahun 1999, dan dari diskusi dengan staf kabupaten. Informasi dan data ekologi, hutan, dan kondisi sosial kabupaten itu yang diberikan oleh CIFOR diabaikan. Konsultasi publik yang diwajibkan undang-undang hanya dilakukan sebatas satu kali presentasi draft akhir, beberapa pekan sebelum tenggat waktu. Tidak ada kesempatan menyampaikan masukan. Meski telah disahkan dengan peraturan daerah tahun 2003, rencana itu ternyata tidak diterima atau dijalankan. Atlas dan peta-peta tidak tersedia bagi masyarakat karena hendak direvisi oleh pemerintah kabupaten. 220 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Realisasi pembangunan tidak mengacu pada tata ruang. Meski telah melarang IPPK pada tahun 2002, pemerintah kemudian mengeluarkan total 11 konsesi skala menengah yang mencakup 360.000 hektar (Andrianto, 2006). Pemerintah mengontrak beberapa perusahaan untuk membangun jalan utama yang dibiayai dengan izin pembalakan di jalur selebar 1km di sepanjang lintasan jalan, serta aktif mencari investor perkebunan kelapa sawit. Malinau juga hendak mengubah 400.000ha17 hingga 600.000ha hutan untuk penggunaan non-hutan (Andrianto, 2006). Juga ada pembicaraan bahwa pemerintah pusat ingin memperuntukkan jalur selebar 5km sepanjang perbatasan dengan Malaysia, seluas 425.000ha, sebagai Kawasan Strategis Negara (KSN), dan mengubah kawasan ini menjadi perkebunan kelapa sawit. Sementara itu beberapa desa telah menyusun prioritas pemanfaatan lahan mereka (lihat Kotak 11.1) dan visi pemanfaatan lahan di masa depan (lihat Kotak 11.2), dan mengharapkan CIFOR berperan sebagai perantara dalam mengaitkannya dengan proses di tingkat kabupaten. Kabupaten tidak serius menerima atau menimbang rencana tata ruang desa, sementara hanya beberapa desa yang benar-benar menerapkan program mereka dalam arti formal. Maka potensi partisipatif dalam proses tata ruang tidak tercapai dan semua perencanaan resmi tetap berlanjut seperti biasa: masuk ke laci dan terabaikan oleh pemerintah. Pemanfaatan lahan masih tetap diatur oleh aturan-aturan tidak resmi dan aturan hukum berdasarkan kebutuhan dan kesempatan (Soto, 2000). Tata ruang baru yang berdasarkan batas-batas kawasan hutan yang lama, dimana bagian non-hutan hanya 17 persen dari seluruh wilayah, diterima oleh pemerintah pada bulan Desember 2003. Artinya, sebagian besar populasi Malinau dapat dianggap sebagai perambah ilegal di kawasan hutan. Kotak 11.1 Hasil-hasil diskusi perencanaan pemanfaatan lahan dengan 12 kelompok fokus di Long Loreh • Ladang merupakan jenis lahan paling penting bagi 10 dari ke 12 kelompok itu. Sebagai tambahan, masalah dalam pembukaan ladang dan mendapatkan pekerjaan disebutkan oleh empat kelompok sebagai kekhawatiran ekonomi paling besar meskipun profil masalah yang disebutkan setiap kelompok berbeda-beda. • Manfaat hutan yang paling penting adalah rotan (sembilan kelompok); daun sang/ palem (delapan); gaharu (delapan); satwa liar (delapan); dan buah-buahan (tujuh). • Pemanfaatan lahan yang paling sesuai untuk tanah desa mereka adalah perkebunan besar, tanaman keras, hutan lindung dan sawah • Harapan-harapan utama (dari lima kelompok) adalah mengelola pemanfaatan lahan, menjamin kelestarian hutan dan memperoleh pembangunan dari CIFOR dan pemerintah daerah (Pemda). • Studi-studi kasus menunjukkan dengan jelas bahwa masalah hak atas lahan harus diselesaikan sebelum membahas tata ruang. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 221 Kotak 11.2 Visi masyarakat lokal tentang tata ruang desa Dalam sebuah lokakarya yang disponsori Pemda Malinau dan Center for International Forestry Research (CIFOR), perwakilan dari 27 desa membuat gambar visi mereka mengenai penggunaan wilayah desa, yang mencakup berbagai cara mereka dalam memahami pemanfaatan hutan. Visi Kebanyakan gambar menunjukkan pemahaman jelas tentang penataan ruang untuk berbagai penggunaan lahan. Warga membayangkan ladang dan sawah, kebun-kebun kopi dan perkebunan jati. Kebanyakan memandang hutan sebagai sumber penghasilan tambahan; dua desa menyebutkan re-investasi. Satu komunitas Kenyah memulai presentasinya dengan mengatakan bahwa hutan mereka sudah hilang; namun mereka akan melakukan penanaman kembali dan memanennya sebagai pendapatan desa, untuk mendapatkan pasokan air bersih, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan untuk menjamin masa depan. Sebaliknya, desa-desa Punan menegaskan perlunya melanjutkan berburu dan mengikuti kehidupan tradisonal mereka mengumpulkan buah-buahan, hewan dan gaharu. Satu desa Punan mengatakan mereka menginginkan konsesi kayu yang menerapkan tebang-pilih dan penanaman kembali, dan menyediakan kebun kopi dan rotan bagi desa. Desa lain yang jauh di hulu menggambar lahan untuk bertanam dan satu kawasan hutan kayu bangunan, pengumpulan gaharu, pengumpulan sagu, sarang burung dan perburuan. Di samping itu mereka menggambarkan daerah-daerah hutan di mana tengkawang, sagu, babi, ikan, rotan dan damar dapat ditemukan. Meskipun sangat detil, peta mereka tidak menunjukkan batas-batas, tidak seperti kelompok lain yang membagi dalam bidangbidang berbatas jelas untuk pemanfaatan tertentu. Tidak ada desa yang memandang pengelolaan hutan komersial sebagai aktifitas yang dapat mereka lakukan sendiri. Satu desa menginginkan konsesi konservasi, namun mengharapkan CIFOR memberikan dukungan untuk memulai hal tersebut. Beberapa desa memperuntukkan kawasan-kawasan penanaman hutan kembali, terutama kayu jati dan murbei, yang mungkin merupakan dampak dari program-program terbaru pemerintah. Diskusi tentang bagaimana mencapai visi tersebut Diskusi ini berfokus pada berbagai hambatan, prasyarat, keahlian, dan kebutuhan dukungan untuk mencapai visi dari setiap desa. Ada kesepakatan umum bahwa penyelesaian batasbatas desa merupakan sebuah prasyarat bagi upaya selanjutnya dalam pengelolaan hutan. Tidak adanya kejelasan mengenai hak atas gua sarang burung juga dipandang sebagai hambatan yang paling utama. Selain itu warga desa menginginkan kejelasan dan penjelasan tentang peraturan pemerintah tentang pengelolaan hutan, hak-hak masyarakat dan penataan ruang, serta modal, dana pendidikan, dan akses pasar. Masyarakat menyebutkan keahlian yang dibutuhkan termasuk keahlian teknis pengelolaan hutan, pertanian dan penanaman tanaman panen, dan juga keahlian dalam mengorganisir masyarakat, mendapatkan modal, komunikasi, tata kelola desa dan pengetahuan hukum. Untuk mengembangkan atau memperoleh berbagai keahlian itu, mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah dan pihak luar seperti para investor, CIFOR dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Isu-isu lain yang muncul dari diskusi adalah kurangnya kekompakan masyarakat; kurangnya dukungan pemerintah; kurangnya keterwakilan dalam kegiatan-kegiatan desa maupun dalam proyek-proyek pemerintah; kebingungan atas peraturan-peraturan terbaru; dan kurangnya peraturan tentang pengelolaan hutan. 222 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Punan Malinau dan klaim atas tanah Suku Punan Malinau memiliki posisi khusus dalam konstelasi kekuasaan di kabupaten. Hingga tahun 1970-an, sebagian besar mereka adalah nomaden yang hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka kurang terorganisir dibanding dengan kelompok lain dan hampir tidak terwakili di pemerintahan, kecuali sejumlah kecil guru-guru Punan. Oleh karena itu mereka sangat dirugikan dalam negosiasi perbatasan dan pembagian manfaat eksploitasi sumberdaya alam. Pada kasus Mirau pertengahan tahun 2000, ketika pulang dari perjalanan mengumpulkan hasil hutan, warga menemukan batas desa mereka dengan Laban Nyarit telah ditandai oleh tim pemetaan gabungan Mirau–Laban Nyarit, tanpa pernah diinformasikan sebelumnya kepada mereka. Bahkan ketika suku Punan ikut membuat keputusan dengan kelompok etnis yang lain, mereka menghadapi beban tambahan yaitu prasangka, karena jumlah mereka sedikit dan tidak memiliki pengaruh politik. Ketika negosiasi dan perjanjian telah ditetapkan, desa-desa mengalami kesulitan untuk menegakkannya. Beberapa kegiatan IPPK mencakup pembuatan jalan melewati wilayah desa-desa lain, setidaknya di empat kasus (Setulang, Gong Solok, Laban Nyarit dan Long Loreh), menebangi pohon kayu atau merusak pohon buah-buahan milik masyarakat sehingga menimbulkan kemarahan warga desa Punan, yang diakui klaimnya di kawasan tersebut (Anau dkk, 2002). Dengan tingginya nilai sumberdaya yang dipertaruhkan, ketatnya persaingan, dan tak adanya rasa saling percaya, ancaman penggabungan wilayah telah menimbulkan kecemasan baru. Sebagian besar kecemasan itu berkaitan dengan pertanyaan tentang hak-hak warga. Apakah mereka harus berbagi hak dengan semua orang di desa yang baru, bahkan dengan orang di luar kelompok etnis atau klan mereka? Akan hilangkah hak-hak milik pribadi mereka di desa lain selain di desa yang mereka diami? Bagaimana dengan klaim atas wilayah yang telah ditinggalkan? Kegelisahan ini terungkap saat lokakarya masyarakat tahunan yang diadakan CIFOR di Setarap, bulan April 2003. Ketika dimintai pendapat tentang penggabungan desa, 31 dari 51 peserta menyatakan tidak setuju. Selain kurangnya kepercayaan pada pemerintah (11 jawaban), alasan utama adalah takut kehilangan hak atas sumberdaya yang mereka klaim (9 jawaban). Walau tidak semua peserta lokakarya adalah warga Punan, namun mereka jelasjelas merupakan kelompok yang paling menolak penggabungan desa. Dalam pertemuan lanjutan di Long Loreh, keempat desa di lokasi ini juga menolak penggabungan. Kali ini warga Punan dari Pelancau dan Bila Bekayuk adalah kelompok yang paling tegas, dengan 41 dari total 45 yang menolak. Sekali lagi, mereka khawatir tersisihkan di dalam sebuah desa yang terdiri dari campuran etnis. Saat ini mereka tengah membahas kemungkinan untuk mendirikan wilayah terpisah, dan beberapa orang telah pindah ke daerah hulu untuk mengklaim dan menempati wilayah itu. CIFOR telah menyarankan agar pemerintah membentuk sebuah kawasan hutan khusus untuk warga Punan di daerah hulu, seperti yang sudah dilakukan di daerah Krui di Lampung; namun hingga saat ini reaksi pemerintah masih belum jelas. Tampaknya pemerintah tetap pada keputusan penggabungan desa-desa meskipun penduduk setempat menolak. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 223 Kesimpulan: Tidak Sambungnya Kebijakan Kontradiksi dan ketidakterkaitan antara penguasaan hak milik secara hukum dan adat adalah situasi lazim di seluruh Indonesia. Di lapangan, di mana kedua sistem ini saling berhadapan, bisa terjadi konflik, penolakan, penyerapan atau asimilasi. Dalam ketiadaan penegakan peraturan pemerintah secara jelas dan tegas, sebagian besar sistem hak kepemilikan lahan akan tetap tidak resmi dan, biasanya, berlawanan dengan hukum nasional. Hanya ketika kontradiksi tersebut terungkap, seperti saat proyek-proyek pembangunan pemerintah memerlukan wilayah yang luas, barulah hukum formal mengalahkan hukum informal, biasanya berpihak pada kepentingan pemerintah. Pada masa Orde Baru hal ini sering terjadi dan menyebabkan banyak orang terampas hak-haknya dan terpinggirkan. Malinau beruntung karena medannya yang sulit telah membatasi kegiatan pembalakan di daerah itu. Ketika para pemegang konsesi pembalakan menguasai hutan, warga desa biasanya mentolerir kehadiran mereka meski sering kali karena diintimidasi (Anau dkk, 2002). Sebaliknya, para pemegang konsesi menerima kehadiran masyarakat dan kegiatan mereka, sering kali bahkan bersepakat langsung dengan masyarakat untuk berbagi sumberdaya (Barr dkk, 2001). Walau begitu, banyak masyarakat yang kesal pada kehadiran perusahaan dan janji membangun desa yang tidak pernah terwujud. Mengapa pemerintah daerah tidak menggunakan kesempatan desentralisasi untuk mengatur hak kepemilikan? Mengapa pemilikan lahan dianggap tabu? Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang memberikan wewenang administratif ke tingkat kabupaten/ kota telah ditetapkan seragam di seluruh Indonesia tanpa menimbang perbedaan keadaan dan kemampuan pemerintah daerah. Tidak seperti undang-undang sebelumnya, tidak ada kriteria untuk melihat apakah pemerintah daerah bisa menangani otonomi (Wignjosoebroto, 2005). Lebih penting lagi, otonomi yang diberikan tidak benarbenar memberikan wewenang yang diperlukan. Peraturan turunannya, yang sebenarnya dirancang untuk melaksanakan undang-undang, hanya menetapkan batasan dan struktur yang seragam, bahkan ada yang memusatkan kembali wewenang. Salah satu contoh adalah pemerintahan desa. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999, desa adalah otonom dan bebas untuk kembali pada adat. Tetapi PP Nomor 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa berisi panduan struktur dan manajemen pemerintahan desa yang, sambil memperbaiki struktur yang lama, juga diharapkan diterapkan seragam di seluruh negeri. Beberapa peraturan (seperti Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 dan Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2001 tentang Pengembalian Kewenangan Mengelola Urusan Tanah kepada BPN) hanyalah pemusatan kembali kewenangan. Pada saat yang sama, otonomi daerah memperkuat posisi adat. Namun beragamnya sistem adat lokal menyebabkan masalah penguasaan sumberdaya alam semakin kompleks dan cenderung menyebabkan konflik. Meskipun konflik-konflik akibat ketidak-jelasan atau tumpang tindih hak milik sering terjadi di masa lalu, pemerintah selalu berhasil meredamnya dengan atau tanpa kekerasan. Yang lebih penting adalah kabupaten kurang memperoleh insentif untuk mengatur penguasaan sumberdaya alam, terutama yang berpihak pada penduduk lokal. Otonomi daerah juga berarti bahwa daerah-daerah harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk membiayai pembangunan dan administrasi daerah. Tidak adanya dasar pengenaan pajak dan sedikitnya jumlah perusahaan di daerah, mengakibatkan pemerintah daerah hanya mengandalkan pemberian izin (biaya perizinan, biaya konsesi, 224 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi bea-bea, dll) sebagai sumber pendapatan utama. Idealnya, tentu saja, negara dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan bisnis dan membiarkan perusahaan swasta menghasilkan kekayaan. Namun hal ini hanya akan terjadi jika: • • • Hukum dan standar-standar diberlakukan untuk mengatur perilaku bisnis menurut norma-norma yang diterima secara sosial. Terdapat sistem perpajakan yang memadai, adil dan efisien (termasuk sistem pemungutan royalti, bila perlu, yang memungkinkan pemerintah pusat atau daerah bisa menerima bagian dari kekayaan yang dihasilkan. Terdapat sistem yang transparan dan bertanggung gugat yang menjamin penggunaan secara adil dan efektif pendapatan tersebut untuk kepentingan umum. Masalahnya adalah kebanyakan ketentuan-ketentuan tersebut belum diterapkan dengan baik di Indonesia, setidaknya pada tingkat kabupaten/daerah. Sambil menyelesaikan masalah kepemilikan, membentuk elemen-elemen dasar tata kelola adalah tantangan besar. Memikirkan kembali kepemilikan sumberdaya akan masih tetap tabu, karena secara tidak langsung akan menyangkut pemikiran kembali tentang pengendalian wilayah oleh pemerintah. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan perlu menyerahkan kendali atas tanah yang sangat luas. Departemen dan pemerintah daerah enggan melakukannya karena lahan dan hutan di atasnya masih merupakan sumber penting pendapatan dan kekuasaan. Mengenai ketidakterkaitan, tidak jelas siapa yang bertanggung-jawab atas jaminan hak kepemilikan. Meski secara umum bisa diterima dan diyakini sebagai pihak yang bertanggung-jawab, ternyata pemerintah tidak mampu atau tidak menunjukkan keinginan untuk mengatur atau memberikan jaminan hak kepemilikan. Berlapis-lapisnya ketidakjelasan pengalokasian lahan itu mungkin menguntungkan pemerintah daerah yang bisa mengalokasikan lahan untuk hal-hal yang mereka nilai paling penting dan sesuai dengan kepentingan mereka. Karena formalisasi dinilai bisa menimbulkan adanya pihak yang menang dan yang kalah, pemerintah daerah mengkhawatirkan kemungkinan meningkatnya perselisihan etnis dan menurunnya dukungan politik dari kelompokkelompok penting. Dalam kondisi seperti ini, menjaga status quo mungkin merupakan strategi yang disengaja, seperti halnya raja-raja Jawa dulu membentuk banyak kabupaten untuk mencegah pemusatan kekuasaan yang bisa menentang negara (Onghokham, 2003). Kebingungan atas siapa yang berwenang mengatur kepemilikan sumberdaya, serta peraturan yang tidak konsisten dan tidak mengikat menimbulkan persaingan bebas untuk memperebutkan sumberdaya. Ditambah dengan tidak adanya visi jangka panjang, maka banyak keputusan dibuat berdasarkan manfaat jangka pendek tanpa strategi jangka panjang. Tidak adanya peraturan membuat warga bisa berbuat apa saja, sehingga pihak yang lemah seperti suku Punan tersisih dan elit desa merebut keuntungan. Setelah desentralisasi, hak-hak warga lokal untuk mendapatkan bagian manfaat telah diakui; namun lemahnya posisi tawar dan tidak jelasnya kedudukan hukum mereka menyebabkan pihak-pihak lain meraup lebih banyak. Lalu apa saja pilihan yang tersedia? Yang pertama, semua ketidakterkaitan dan akar masalah harus dikenali dan dipahami. Pemerintah harus diyakinkan bahwa tugas merekalah untuk mengatur hak-hak kepemilikan dengan cara yang adil bagi semua. Menurut de Soto (2000), peluang pembangunan akan terbatas jika semua aset tidak dirinci atau diatur. Karena itu, jaminan kepemilikan merupakan prasyarat bagi pembangunan. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 225 Lalu, apakah pemerintah akan bertanggung-jawab atas jaminan kepemilikan dan perlindungan hak-hak pihak yang lemah? Seperti dilaporkan oleh Thiesenhusen (2003), banyak pemerintah yang tidak bersedia memenuhi kewajiban ini karena alasan-alasan politis dan ekonomis. Selain biaya yang harus dikeluarkan, bantuan kepada masyarakat lokal berada di skala prioritas rendah di hampir semua pemerintahan. Namun jika kewajiban itu diserahkan kepada masyarakat, cakupannya harus didefinisikan dengan jelas dan disertai dengan hak-hak yang sesuai. Kebijakan pemerintah harus mendukung hal ini. Jika kemudian pemerintah terpaksa mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dan juga hak-hak warga lokal lainnya, diperlukan pendekatan partisipatif yang dapat digunakan untuk memulai diskusi dan negosiasi dengan masyarakat. Pada akhirnya dibutuhkan sebuah peraturan pemerintah yang memberikan status hukum bagi masyarakat adat dan pengakuan hukum atas hak-hak mereka. Meskipun tidak ada kewajiban hukum bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen hukum, hukum yang baru akan memiliki arti dan dihormati di lapangan jika ada kerjasama dan kolaborasi dengan masyarakat yang hak kepemilikannya dijamin dan hak-haknya dilindungi. Kedua, dibutuhkan rasionalisasi peruntukan dan kepemilikan di kawasan hutan. Dengan 95 persen lahan diperuntukkan sebagai kawasan hutan negara dan dengan makin meningkatnya populasi, masyarakat harus dilibatkan. Kebanyakan lahan hutan ini telah dibabat, rusak, atau sudah ditempati oleh penduduk lokal. Bagian-bagian yang ditempati sering kali masih mencakup hutan alami, wanatani atau hutan tanaman, menunjukkan adanya tanggung jawab penduduk lokal bila pemeliharaan lahan diserahkan pada mereka. Seperti disebutkan sebelumnya, semakin banyak gerakan masyarakat lokal menuntut pengakuan atas hak-hak mereka. Meskipun hak-hak tersebut telah diakui dalam Undangundang Nomor 41 tahun 1999, belum ada langkah-langkah untuk melepaskan penguasaan negara atas lahan tersebut. Yang sudah dilakukan pemerintah adalah mempertimbangkan kemungkinan meminjamkan daerah bekas tebangan pemegang konsesi untuk Hutan Kemasyarakatan, meski pemerintah tidak akan memberikan hak milik. Oleh karena itu, salah satu opsi adalah melanjutkan program hutan kemasyarakatan dengan beberapa perbaikan. Mungkin lebih efektif membuat kebijakan yang membolehkan masyarakat menggunakan hak dan kewajiban mereka daripada menerapkan kebijakan pengaturan yang membatasi opsi-opsi pengelolaan. Ada beberapa pilihan hukum yang lain. Pemerintah dapat mengakui hak-hak adat dan menyediakan peruntukan hutan adat, serta memberikan hak dan tanggung jawab pengelolaan kepada masyarakat adat. Kemungkinan lain, bila adat menjadi persoalan, masyarakat dapat diberi hak dan tanggung jawab untuk menentukan batas-batas hutanhutan desa dengan jelas. Jika tindakan kolektif semakin berkurang, pemilikan hutan pribadi dapat menjadi sebuah alternatif. Desentralisasi juga mencakup penghormatan atas keragaman dan pengakuan hakhak adat masyarakat pribumi. Untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok yang lebih lemah bisa terjamin memperoleh penghidupan dan waktu untuk menyesuaikan diri, mereka harus mendapat akses kepada lahan hutan yang aman dari gangguan pihak lain. Bagi suku Punan, yang saat ini tidak mampu bersaing dengan suku lain, peruntukan Kawasan dengan Tujuan Istimewa mungkin merupakan opsi yang lebih adil. Undangundang nomor 41 tahun 1999, secara khusus memperbolehkan peruntukan seperti ini dan memberikan jaminan atas hak-hak kelompok Punan serta kebebasan untuk memilih cara hidup mereka sendiri. 226 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Catatan 1 Ucapan terimakasih khusus diberikan kepada Peter Frost untuk penyuntingan dan komentar-komentarnya yang mendalam. 2 Istilah resmi ‘desentralisasi’ merujuk pada pengalihan wewenang ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Meskipun hal ini sering kali dibedakan dengan ‘devolusi’, yang mengalihkan hak dan kewenangan membuat keputusan ke tingkat yang lebih rendah, pada praktiknya daerah sering kali memahami bahwa devolusi termasuk dalam desentralisasi. Lihat juga Bab 1 dari buku ini dan CIFOR (2004). 3 Keputusan Presiden nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Seperti yang dimandatkan oleh Keputusan MPR IX/2001, keputusan ini menyerukan pembaruan undang-undang agraria, pembentukan sebuah database dengan menggunakan GIS dan data satelit. Keputusan ini juga memaparkan tugas-tugas daerah berkaitan dengan urusan tanah: perizinan, pencadangan tanah untuk kepentingan negara; penyelesaian konflik dan pengaturan hak-hak adat dan penataan pemanfaatan. Perpajakan masih tetap berada di tingkat pusat. 4 Sembilan aspek adalah penerbitan izin penggunaan sebuah lokasi (untuk pembangunan oleh pihak ketiga); pencadangan tanah untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian konflik atas tanah-tanah pertanian; mengatur kompensasi bagi tanah yang dicadangkan untuk pembangunan; menentukan subyek dan obyek redistribusi tanah; mengatur kompensasi untuk tanah yang melewati batas maksimal dan ketiadaan kepemilikan; peruntukan dan penyelesaian masalah-masalah tanah ulayat; penerbitan izin untuk pembukaan lahan (juga untuk ladang); dan perencanaan tata guna tanah pada tingkat kabupaten dan kotamadya. 5 Wawancara dengan Kepala BPN Malinau dan Kepala Bidang Administrasi Dinas Pertanahan Malinau, 23 Oktober 2003. 6 Wawancara dengan Kepala BPN Malinau dan Kepala Bidang Administrasi Dinas Pertanahan Malinau, 23 Oktober 2003. 7 TAP MPR IX/2001, tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, menegaskan perlunya memperbarui seluruh undang-undang tentang pengelolaan sumberdaya alam dan pengakuan formal atas hak-hak adat. 8 ‘Orde Baru’ adalah istilah yang digunakan oleh mantan Presiden Soeharto untuk membedakan rejimnya dengan rejim pendahulu yang ditumbangkannya, Presiden Soekarno, yang digolongkan sebagai ‘Orde Lama’. 9 Undang-undang nomor 41 tahun 1999, Amandemen Kedua atas Undang-undang Dasar (Pasal 18B dan 28I) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1999, tentang Panduan Penyelesaian Persoalan Hak Ulayat atas Tanah. 10 Menurut Sellato, kerajaan kecil Tidung Sesayap mungkin merupakan bagian dari kerajaan yang berpusat di Tarakan. Sementara mereka dikatakan sebagai keturunan suku Kepatal, suatu kelompok Dayak yang sudah lama terlupakan, untuk jangka waktu yang lama mereka lebih dikelompokkan sebagai Melayu Muslim daripada Dayak pedalaman. 11 Dt Iman Suramenggala, komunikasi pribadi (2003), cucu lelaki dari Sultan Bulungan yang terakhir, pendiri Yayasan Pioner dan sekarang pegawai Dinas Kehutanan di Bulungan. 12 Desa didefinisikan sebagai pusat-pusat pemukiman yang disahkan oleh keputusan pemerintah dan memiliki struktur-struktur yang ditentukan. Undang-undang nomor 5 tahun 1979 memutuskan bahwa seluruh pemukiman tradisional harus mengikuti sebuah struktur yang seragam, sebagai desa, dan berada di lapisan terendah dalam hirarki pemerintahan. Karena keputusan tersebut juga menetapkan kriteria tertentu, banyak pemukiman tradisional yang bergabung atau berpisah, yang berdampak pada wilayah tradisional mereka. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 227 13 Peraturan Pemerintah nomor 76 tentang Pemerintahan Desa. 14 Awalnya, sebuah pemukiman dari satu kelompok etnis mayoritas didefinisikan sebagai desa formal dan legal oleh keputusan Bupati. Program transmigrasi pemerintah sering kali memindahkan seluruh desa, yang tetap menjadi desa-desa legal yang terpisah dari kelompok lain yang bermukim bersama mereka. 15 Ini pada tahun 2007 digantikan dengan Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang. 16 Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 1996, dan Permendagri Nomor 9 Tahun 1998, tentang Prosedur bagi Partisipasi Warga Negara dalam proses Tata Ruang. 17 Ini didasarkan pada revisi akhir peta pemanfaatan lahan yang disepakati oleh Gubernur Kalimantan Timur dan seluruh Bupati dan Walikota, dan diajukan untuk disetujui oleh pemerintah pusat (Kresno Dwi Santosa, komunikasi pribadi, 2004, Manajer Malinau Research Forest). Rujukan ACM-CIFOR, 2001. Dokumentasi Proses Pendampingan Masyarakat Dalam Menggali Masalah dan Visi Masyarakat tentang Pengakuan Wilayah dan Pemanfaatan Lahan, Internal report, CIFOR, Bogor, Indonesia. Alcorn, J. B., 2000. An introduction to the linkages between ecological resilience and governance, dalam Alcorn, J. B. dan Royo, A. G. (penyunting), Indigenous Social Movements and Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia, Biodiversity Support Program, Washington, DC. Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau, Januari s/d Juli, 2000, Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR, Bogor, Indonesia. Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002. Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997–2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia. Andrianto, A., 2006. The Role of District Government in Poverty Alleviation: Case Studies in Malinau and West Kutai Districts, East Kalimantan, Indonesia, Governance Programme Report, CIFOR, Bogor, Indonesia. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M. dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia. Césard, N., 2001. Four Ethnic Groups (Punan, Kenyah, Merap, Lun Dayeh) Faced with Changes along the Malinau River (Kalimantan Timur), Forest Product and People Programme, CIFOR, Bogor, Indonesia. CIFOR (Center for International Forestry Research), 2004. Decentralization, deconcentration and devolution: What do they mean?, Makalah disampaikan dalam The Interlaken Workshop on Decentralization, 27–30 April 2004, Interlaken, Swiss, www.cifor.cgiar.org/ publications/pdf_files/interlaken/Compilation.pdf. 228 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Colchester, M., 2001. Participatory Investigation of the Prospects for Securing Land Rights and Self-Governance among Masyarakat Adat in Indonesia, Report of ICRAF/AMAN Collaborative Project, Forest People Programme, Inggris. de Soto, H., 2000. The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else, Basic Books, New York, NY. Dove, M. R., 1993. A revisionist view of tropical deforestation and development, Environmental Conservation, vol 20, no 1, hal. 17–24. Drake, C., 1989. National Integration in Indonesia: Patterns and Policies, University of Hawaii Press, Hawaii. Erb, M., 1997. Contested time and place: Constructions of history in Todo, Manggarai (Western Flores, Indonesia), Journal of Southeast Asian Studies, vol 28, no 1, hal. 47-77. Fay, C. dan Sirait, M. T., 2002. Reforming the reformists in post-Soeharto Indonesia, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting), Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC. Gelora Mahardhika, 2002. Dibentuknya Dinas Pertanahan Kabupaten Membingungkan Masyarakat? Laporan Utama, 1–15 November 2002. Gönner, C., 2002. A Forest Tribe of Borneo, Man and Forest Series No 3 D.K, Printworld (P) Ltd, New Delhi. Pemerintah Kabupaten Malinau, 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan, dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Pemerintah Republik Indonesia, 1992. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Pemerintah Republik Indonesia, 1999a. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah Republik Indonesia, 1999b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia, 2001a. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Pemerintah Republik Indonesia, 2001b. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001. Pemerintah Republik Indonesia, 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pemerintah Republik Indonesia, 2003. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pemerintah Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Li, T. M., 1999. Marginality, power and production: Analysing upland transformation, dalam Li, T. M. (penyunting), Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production, Harwood Academic Publishers, London. Moeliono, M., 2000. The Drums of Rura: Land Tenure and the Making of Place in Manggarai, West Flores, Indonesia, PhD thesis, University of Hawaii, Honolulu, Hawaii. Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau 229 Moeliono, M., 2006. Wilderness and order: Forest conservation in Malinau District, East Kalimantan, Makalah disampaikan dalam Survival of the Commons: Mounting Challenges and New Realities, the Eleventh Conference of the International Association for the Study of Common Property, Bali, Indonesia, 19–23 Juni 2006. Moniaga, S., 1993. Towards community-based forestry and recognition of adat property rights in the outer islands of Indonesia, dalam Fox, J. dkk (penyunting), Legal Frameworks for Forestry Management in Asia, Case Studies of Community–State Relations, East West Center Occasional Paper No 16, East West Center, Honolulu, Hawaii. Onghokham, 2003. The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics and Culture in Colonial Java, Metafor Publishing, Jakarta. Patlis, J., M. Moeliono, Djogo, T. dan Iwan, R., 2001. Analysis of Four Draft Regulations of the Kabupaten Malinau, East Kalimantan, CIFOR internal report, Bogor, Indonesia. Scott, J., 1998. Seeing Like a State, Yale University Press, New Haven, CT. Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement, Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia. Thiesenhusen, W. C., 2003, Difficulties and Tensions in Institutionalizing Grassroots and other Civil Society Organizations During the Transformation and Post-Reform Periods, www. fao.org/docrep/005/Y8999T/y8999t03.htm. Toyamah, N., 2002, Kewenangan Bidang Pertanahan, Tarik Menarik antara Pusat dan Daerah, www.smeru.or.id/newslet/2002/ed04/200204focus.htm. Wignjosoebroto, S., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute for Local Development Jakarta, Indonesia. Wollenberg, E. K., 2003, Boundary keeping and access to gaharu among Kenyah forest users, Environment and Planning A, vol 35, no 6, hal. 1007–1023. 12 Realpolitik Perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa Eva Wollenberg Pengantar Di masa reformasi menuju otonomi daerah, rumah tangga di pedesaan lebih memiliki peluang untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Bagaimana hal ini mengubah kebijakan lokal, terutama dalam masalah hutan dan lahan hutan? Sampai sejauh mana berkembangnya politik lokal? (Antlöv, 2003). Bab ini mengkaji partisipasi dan perwakilan warga di Malinau untuk lebih memahami bagaimana sistem politik lokal dan desentralisasi membentuk peluang masyarakat lokal untuk bersuara dalam berbagai keputusan tentang hutan dan penggunaan lahan. Bab ini memberi perhatian khusus pada proses-proses skala kecil dan tidak resmi di tingkat desa, yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat lokal maupun pada keputusan di tingkat pemerintah kabupaten, namun sering terabaikan oleh kepentingan proses formal berskala lebih besar yang lebih mencolok. Pelaksanaan proses pembuatan keputusan secara formal dan non-formal serta dampaknya di tingkat pedesaan inilah yang dimaksud dengan realpolitik pemerintahan lokal. Antara tahun 1998 hingga 2005, CIFOR melaksanakan penelitian di 27 desa di daerah aliran sungai (DAS) Malinau, dan penelitian mendalam di empat desa di Long Loreh, Kabupaten Malinau. Kebanyakan desa, terutama setelah tahun 2000, terlibat negosiasi dengan desa lain, dengan perusahaan, atau dengan pemerintah kabupaten mengenai batas wilayah, penggunaan lahan atau kompensasi. Penelitian ini mencakup pengamatan partisipan selama 9 bulan (1998 hingga 2000), wawancara mendalam para informan kunci mengenai rapat-rapat dan perwakilan desa, beberapa survei mengenai prinsipprinsip pemerintahan yang baik, dan penelitian aksi di bidang pemetaan partisipatif dan perencanaan tata-guna lahan. 232 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Bab ini dimulai dengan tinjauan mengenai batasan dan ketegangan yang melekat pada perwakilan kepentingan warga dalam pengambilan keputusan umum. Kemudian dikaji berbagai aturan kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan perencanaan tata-guna lahan yang ditujukan untuk meningkatkan perwakilan. Lalu disajikan temuan bentuk-bentuk perwakilan dan partisipasi di tingkat desa dan kabupaten. Bab ini akan menunjukkan bagaimana desentralisasi merangsang minat warga desa untuk berpartisipasi dan lahirnya organisasi-organisasi politik yang bertindak sejajar dengan pemerintah sebagai pendamping dan pelobi untuk kepentingan berbagai kelompok etnis. Sudah ada perubahan nyata dalam perwakilan dan partisipasi namun masih banyak rintangan bagi penyuaraan pendapat masyarakat dalam proses pembuatan keputusan publik di Malinau. Kontradiksi antara perwakilan dan partisipasi Dalam model demokratis mengenai pembuatan keputusan publik, warga negara bersuara melalui partisipasi langsung dalam pembuatan keputusan pemerintahan – atas dasar anggapan bahwa merekalah yang paling mengetahui kepentingan mereka sendiri – atau diwakili melalui para elit yang cukup cakap dan akuntabel serta bertindak untuk kepentingan mereka. Kedua cara itu tidaklah ideal. Perbedaan perwakilan dan partisipasi langsung adalah dalam tingkat keefisienan, potensi terjadinya debat-kusir dan keputusan yang sudah diatur, serta terpecahnya keterwakilan (Haraway, 1991). Keduanya menghadapi masalah yang sama yaitu bagaimana menyatukan banyak kepentingan untuk menghasilkan satu keputusan. Tidak ada satu pun pendekatan yang bisa mengidentifikasi dan mewadahi berbagai kepentingan dan bisa menjamin terpenuhinya semua kepentingan atau tersusunnya satu pilihan terbaik demi kepentingan umum. Menemukan kombinasi yang tepat antara perwakilan dan partisipasi langsung merupakan seni pembuatan keputusan politik dan bergantung pada norma dan budaya politik setempat. Untuk itu tidak ada resepnya. Perwakilan pun menghadapi kontradiksinya sendiri. Para wakil bisa bertindak sebagai simbol (wakil ‘simbolik’), atau sebagai pelaku sesuatu bagi orang lain yang tidak hadir atau tidak mampu (wakil ‘atas nama’) (Bogdanor, 1987, hal. 531). Kerancuan antara dua peran tersebut dapat membuahkan pengharapan yang salah dan warga salah-terwakili. Dalam kasus ‘simbolik’, seorang wakil memiliki beberapa karakteristik dasar dari kelompok yang diwakili. Idealnya, ia menjadikan dirinya ‘potret miniatur yang identik dengan seluruh kelompok masyarakat tersebut, dalam cara berfikir, merasakan, bernalar dan bertindak seperti kelompok yang diwakilinya’ (John Adams, dikutip dalam McLean, 1996, hal. 428). Sering kali perwakilan ‘simbolik’ merupakan suatu tujuan tersendiri, dan bukan sarana untuk mencapai suatu tujuan (Rosener, 1978). Konsultasi publik yang dalam era reformasi menjadi hal yang lebih umum dilakukan, seringkali melibatkan undangan kepada wakilwakil simbolik dari berbagai kelompok dengan berbagai kepentingan. Meskipun bentuk keterlibatan masyarakat seperti ini memberi kesempatan berpendapat, namun sekaligus juga mengaburkan penentuan pilihan masyarakat dan pembobotannya dalam pengambilan keputusan (Steelman dan Asher, 1997, hal. 74). Identitas yang diwakili juga mengandung masalah karena sebuah kelompok memiliki berbagai identitas yang bersifat cair dan dapat bervariasi dalam konteks yang berbeda. Seorang wakil yang bertindak sebagai simbol sebuah kelompok tidak mungkin menangkap seutuhnya kemajemukan dan ketegangan serta dinamika identitas kelompok tersebut. Perwakilan ‘simbolik’ ini lebih cocok untuk rapat ‘keterlibatan langsung yang tidak mengikat’ (Steelman dan Ascher, Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 233 1997, hal. 71), di mana seorang individu memberikan pendapat pribadinya dalam proses pembahasan namun terikat pada konstituen yang lebih besar, dan tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada pihak lain. Sebaliknya, seorang wakil ‘atas nama’ mengemban fungsi agen untuk kepentingan seseorang atau kelompok tertentu. Suatu kelompok kecil perwakilan dianggap bisa bertindak lebih efisien dan cakap daripada keseluruhan konstituen (Lee, 1993). Anggota dewan politik dan para pemimpin resmi adalah perwakilan agen. Desentralisasi di Indonesia mendorong bentuk perwakilan agen yang lebih dekat dengan masyarakat karena mensyaratkan adanya dewan-dewan di tingkat desa dan kabupaten. Bentuk perwakilan agen menghadirkan sedikitnya tiga jenis ketegangan. Pertama, wakil tersebut memiliki keleluasaan untuk bertindak independen dari individu atau kelompok yang diwakili (Rao, 1998). Kedua, wakil tersebut perlu menghimpun berbagai sudut pandang yang berbeda, misalnya melalui pemungutan suara atas dasar mayoritas, membangun konsensus atau bekerja sama hanya dengan satu unsur dari konstituennya (Haraway, 1991). Mewakili hanya sebagian dari populasi adalah sebuah cara menghadapi masalah segregasi, namun bisa menjauhkan sebagian konstituen lainnya sehingga bisa menimbulkan ketidakstabilan. Ketegangan yang ketiga ialah adanya pengimbang pada akuntabilitas sang wakil kepada konstituennya (yaitu seberapa besar kewenangannya dan apakah digunakan untuk kepentingan konstituennya) (Ribot, 2001). Masalah perwakilan menjadi semakin penting dalam sistem politik partisipatif (Peters, 1996; Lewis, 2000). Bisa dibedakan antara partisipasi sukarela dan partisipasi atas dasar undangan. Partisipasi sukarela terjadi apabila masyarakat umum didorong untuk mengemukakan pandangan mereka melalui surat, kunjungan kepada pejabat pemerintah, menghadiri rapat atau protes masyarakat. Partisipasi atas dasar undangan terjadi apabila penyelenggara mengundang berbagai individu untuk menghadiri suatu pertemuan, biasanya sebagai wakil dari kelompok yang lebih besar. Partisipasi atas dasar undangan bisa menjadi masalah karena sering kali para peserta baru tahu di saat pertemuan, apakah mereka sebagai ‘atas nama’ ataukah sekedar ‘simbolik’, dan bagi siapa. Hal itu bisa menyulitkan mereka melakukan persiapan yang diperlukan demi akuntabilitas terhadap konstituen mereka, misalnya untuk mengetahui sikap konstituen mereka tentang suatu persoalan. Bila si terundang berlaku sebagai wakil simbolik maka kelompok yang diwakilinya akan dimasukkan ke dalam konteks pertemuan tersebut bersama hadirin lainnya. “Kelompok anu tidak hadir, bisakah Anda mewakili mereka?” biasa terdengar pada berbagai pertemuan. Ada kecenderungan alami untuk berfokus pada identitas umum pemangku kepentingan acara, daripada identitas sebagai wakil dari komunitas asalnya (Bickford, 1999). Ada resiko ketika seseorang ditunjuk untuk mewakili suatu kelompok, bila sesungguhnya kelompok itu tidak ingin diwakili oleh orang tersebut atau bahkan tidak ingin terwakili di dalam forum tersebut. Ada beberapa kelompok yang sangat ketat mengenai hanya mau diwakili oleh anggotanya sendiri (‘si miskin semestinya mewakili kaum miskin’ lihat Rao, 1998) atau oleh pengacara. Setiap kelompok dapat menuntut perwakilan. Para penyelenggara pertemuan cenderung lebih berfokus pada perwakilan simbolik (Rao, 1998) dan dinamika internal mereka sendiri daripada hubungan sang wakil terhadap konstituennya. Para penyelenggara berupaya mencari komposisi optimal dari identitas simbolik dan orang yang bisa berkontribusi pada lingkungan kerja yang produktif dan bersahabat. Para peserta sering kali diminta untuk bertindak dalam kapasitas sebagai pribadi, namun tanpa kejelasan mengenai artinya dalam hal tanggung jawab dan 234 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi pengharapan yang mereka emban secara pribadi terhadap kelompok mereka. Kebanggaan diri juga bisa menggoda para wakil kelompok untuk tetap dalam posisinya sebagai pribadi dalam negosiasi, bahkan meskipun hal itu bisa tidak menghasilkan manfaat bagi konstituen mereka. Kami menduga bahwa dalam praktiknya, partisipasi sukarela sering kali hanya terbatasi pada wakil-wakil yang merasa lebih nyaman menyampaikan pendapat karena alasan bahasa, status, sikap, ataupun keakraban. Peserta undangan maupun partisipan sukarela menjadi bagian dari suatu kelas masyarakat khusus yang belum tentu mewakili populasi yang lebih besar (Melucci, 1996). Mereka bisa menerima kehormatan atas kehadirannya yang semakin memisahkan mereka, dan menciptakan insentif untuk menjaga hubungan baik dengan pihak penyelenggara, bukan dengan konstituen mereka. Banyak warga desa mengeluhkan wakil-wakil mereka yang telah terkooptasi. Partisipasi atas dasar undangan pada umumnya juga cenderung bias, karena para penyelenggara biasanya memilih partisipan karena alasan-alasan tertentu. Beberapa di antaranya memang layak disukai, misalnya kesediaan mengemukakan pendapat dan pemahaman tentang ragam pandangan dalam sebuah kelompok. Ada jenis alasan yang bisa menimbulkan bias, misalnya memilih orang atas dasar kedekatan, loyalitas pada penyelenggara, atau sekedar kehadiran dan ketersediaan. Karena adanya bias-bias dalam perwakilan inilah maka masukan dari partisipasi publik selalu parsial dan perlu disesuaikan dengan situasi (Haraway, 1991). Karena perwakilan senantiasa bergantung pada situasi dan menyimpan masalah, kami sependapat dengan Bickford (1999, hal. 94) bahwa “tindak perwakilan menentukan apa yang diwakili’. Untuk memandu pengamatan kami di Malinau, kami mengandalkan prinsip-prinsip tindakan perwakilan sebagai berikut: • • • • Perwakilan ‘atas nama’ lebih mempromosikan perwakilan demokratis daripada perwakilan ‘simbolik’. Wakil-wakil ‘atas nama’ harus akuntabel terhadap yang diwakilinya (Ribot, 1999). Akuntabilitas mencerminkan tingkat kontrol masyarakat terhadap wakil-wakil mereka (Schumaker, 1991) atau orang yang diyakini masyarakat akan bertindak untuk kepentingan mereka karena integritasnya (Lee, 1993). Suatu konstituensi harus memiliki wewenang untuk memilih dan memecat wakil-wakilnya (Strachan, 1997). Para wakil ‘atas nama’ harus tanggap pada yang diwakilinya. Sikap tanggap ini mencakup tanggung jawab ganda yaitu memahami betul apa yang diinginkan oleh konstituen dan yang kedua adalah menggunakan suara, pengaruh, dan wewenang untuk membuat keputusan yang sesuai (Schumaker, 1991; Rao, 1998). Mekanisme agregasi harus jelas, dan komunikasinya dua arah. Para wakil ‘atas nama’ dan penyalur pendapat publik harus mengakui pluralisme pada konstituennya dan berupaya mewakili serta memfasilitasi prinsip-prinsip untuk disepakati dari berbagai kelompok identitas maupun kepentingan (Rescher, 1993; Rossi, 1997; Bickford, 1999; Edmunds dan Wollenberg, 2001). Kelompok kepentingan harus memiliki kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri maupun menolak kategorisasi (Bickford, 1999). Prinsip-prinsip ini harus berlaku di semua tingkat, mulai dari pengambilan keputusan di tingkat desa, sampai kabupaten dan nasional. Namun di desa-desa dan bahkan di tingkat kabupaten, banyaknya identitas dan kaitan para wakil dengan para anggota konstituen mempengaruhi cara mereka berperan. Tindakan ‘atas nama’ kelompok bisa dipengaruhi oleh Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 235 kepentingan khusus atau kewajiban terhadap keluarga, kawan atau tetangga. Wakil-wakil sering kali berasal dari golongan adat elit yang memiliki hak istimewa dalam pembuatan keputusan dan perolehan fasilitas. Mereka dianggap tidak harus berkonsultasi dengan strata sosial yang lebih rendah. Beberapa wakil adalah pegawai pemerintah atau pegawai perusahaan lawan negosiasi. Sebagian lagi adalah orang luar yang tidak bisa menjadi wakil ‘simbolik’ warga lokal, tetapi mengadopsi identitas warga lokal dan dianggap bertindak ‘atas nama’ mereka. Kurang atau bahkan tidak ada pengawasan atas adanya pelanggaran peran wakil. Berlapis-lapisnya konteks sosial masyarakat ini mutlak perlu dipahami untuk bisa mengungkap dampak reformasi terhadap politik setempat. Kebijakan desentralisasi Pemberlakuan desentralisasi sejak bulan Januari 2001, mewajibkan pemerintah kabupaten memperbaiki saluran penyampaian pendapat masyarakat lokal maupun untuk mempengaruhi mereka, antara lain: • • • • Perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Dengan memilih para pejabat ini yang tempatnya juga lebih mudah dicapai, maka ada peluang baru bagi masyarakat lokal untuk membuat para pejabat memiliki akuntabilitas kepada mereka dan mewakili kepentingan mereka. Persyaratan teknis dalam kebijakan yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat lokal, misalnya dengan memberi masukan dalam perencanaan tata ruang. Ketentuan-ketentuan hukum melalui Peraturan Daerah (Perda), dan Surat Keputusan (SK). Di Malinau, ada Perda yang mengatur pendaftaran dan pengakuan untuk organisasi adat, dan pengaturan tata laksana pembentukan BPD di tingkat desa. Secara geografis lebih mudah menemui pejabat pemerintah setempat dibandingkan kepada pejabat tingkat provinsi atau nasional. Dengan meningkatnya peran pemerintah kabupaten, maka organisasi seperti World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia–Kayan Mentarang National Park Project dan Center for International Forestry Research (CIFOR) mengalihkan interaksi mereka dari para pembuat keputusan di tingkat ibu kota Samarinda dan Jakarta kepada para pejabat di Malinau. Untuk pertama kalinya kedua organisasi ini menyelenggarakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan di Malinau. Setelah menyadari bahwa perwakilan pada acara resmi sebenarnya atas dasar undangan, masyarakat menyadari perlunya mendirikan organisasi perwakilan sendiri, mengikuti struktur organisasi pemerintahan yang terdiri dari lembaga-lembaga di tingkat kabupaten, kecamatan dan terkadang di tingkat desa. Cara itu terbukti efektif karena pada umumnya mereka diundang pada rapat-rapat publik, walaupun sering kali hubungan mereka dengan konstituen lemah (lihat juga Bab 3). Perwakilan dan partisipasi dalam praktik Setelah masyarakat setempat boleh mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah, apa yang terjadi setelah reformasi pada tahun 1998 hingga 1999? 236 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Perwakilan di dalam dan di antara desa-desa Rapat terbuka Di desa-desa, kebanyakan aspek perwakilan dan partisipasi tidak berubah oleh adanya desentralisasi. Perwakilan di dalam desa umumnya berupa partisipasi langsung, bahkan di desa besar yang berpopulasi sekitar 200 rumah tangga. Undangan terbuka, berupa musyawarah desa, masih merupakan bentuk partisipasi yang lazim bagi mayoritas warga dalam urusan kemasyarakatan. Kepala desa (biasanya hasil pemilihan, atau ketua adat, bila ada) atau wakilnya, mengundang secara lisan melalui tokoh-tokoh desa yang diharapkan akan menyampaikannya kepada warga lain. Sering kali juga diumumkan di gereja. Di desa-desa Kenyah, seorang petugas khusus (pekesat) berjalan keliling desa mengumumkan adanya rapat. Hal itu biasanya dilakukan pada hari yang sama atau semalam sebelum berlangsungnya rapat, tetapi bisa juga dilakukan hingga satu minggu sebelumnya. Rapat terbuka biasanya diselenggarakan di tempat umum seperti balai desa, gereja dan sekolah, untuk membahas berbagai kegiatan desa, berbagi informasi, atau untuk memperkenalkan proyek-proyek pemerintah ataupun kelompok-kelompok lain. Meskipun pertemuan seperti itu tampak seolah ideal untuk pembentukan politik partisipatif, tingkat partisipasinya sangat bervariasi. Para peserta biasanya mencerminkan keunggulan suatu faksi terhadap faksi yang lain, khususnya lingkaran inti yang terdiri dari orang-orang yang dianggap warga sebagai tokoh masyarakat (para sesepuh desa atau pemimpin).1 Pada suku Merap dan Kenyah, tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan bangsawan dan sering kali adalah saudara dekat ketua adat atau kepala desa yang sedang berkuasa. Terkadang mencakup juga para guru dan orang luar yang lebih berpendidikan serta berpengalaman di pemerintahan atau perusahaan. Para guru dan para elit tertinggi itu lebih sering berada di desa dibandingkan warga yang sibuk di ladang atau di hutan. Seorang mengaku bahwa ia jarang menghadirinya karena sering bermalam di ladang. Biasanya jaringan para pemimpin lebih terwakili dengan baik sedangkan faksi-faksi penentangnya biasanya kurang mendapat informasi mengenai rapat-rapat itu dan kurang terwakili. Informasi mengenai rapat jelas cenderung menguntungkan jaringan para pemimpin. Terkadang faksi-faksi memboikot pertemuan. Dalam rapat apapun, biasanya hanya sebagian kecil peserta yang aktif terlibat dalam pembahasan dan proses pembuatan keputusan. Rapat-rapat di Long Loreh, di desa Sengayan, Pelancau dan Bila Bekayuk biasanya hanya dihadiri tiga hingga lima orang, sedangkan di desa Loreh ada enam hingga sepuluh orang yang aktif dalam rapat. Peserta pertemuan cenderung orang-orang yang sama. Kepala desa, atau ketua adat atau sekretaris desa bila kepala desa berhalangan, memfasilitasi pertemuan dan membuat keputusan akhir. Terkadang pihak yang sangat kecewa atau mempunyai pendapat berlawanan juga berbicara. Sering dilakukan dulu pembahasan informal sebelum rapat untuk membangun dukungan agar tercapai mufakat. Di semua desa, persentase peserta wanita dalam musyawarah urusan desa jauh lebih rendah dibandingkan pria. Alasan mereka, ‘kami sedang sibuk’, ‘tidak tahu cara ngomongnya dan malu’, atau ‘rapat itu urusan lelaki’. Kalaupun ada peserta wanita, hampir selalu hanya menjadi pengamat yang diam. Istri kepala desa lebih mungkin hadir dibandingkan wanita-wanita lain. Kata istri kepala desa Sengayan, “Para wanita lebih cenderung bertukar informasi dan membuat keputusan kolektif saat mereka bekerja di ladang atau dalam acara kerja gotong royong.” Mereka juga membuat keputusan kelompok ketika sedang menyiapkan sebuah acara atau saat ada kunjungan dari desa lain. Sebagian wanita Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 237 menyatakan bahwa mereka mendapat informasi mengenai rapat desa dari suami mereka. Meskipun ada beberapa program pemerintah yang khusus ditujukan bagi kaum wanita, misalnya Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), para wanita menilai program-program itu bukanlah forum penting bagi mereka. Rapat atas dasar undangan Selain rapat-rapat umum ini, para kepala desa juga mengadakan rapat-rapat kecil melalui undangan, untuk menyelesaikan perselisihan antar rumah tangga atau pengelolaan tugas khusus (misalnya menyiapkan penerimaan kunjungan pejabat pemerintah; negosiasi dengan pihak luar; atau pun penyiapan atau tindak lanjut rapat umum) agar bisa mengambil keputusan secara cepat. Rapat tersebut biasanya diadakan di rumah kepala desa atau ketua adat, sebagai pihak yang memfasilitasi rapat dan membuat keputusan akhir. Para peserta terdiri dari 3 hingga sekitar 30 orang, tergantung desanya dan persoalan yang dihadapi. Rapat mengenai keuangan terbatas pada beberapa orang saja. Rapat kecil tertutup lebih sering diadakan daripada rapat umum. Pada masa sibuk seperti dalam negosiasi perjanjian atau persiapan suatu acara, rapat bisa diadakan setiap malam dan bisa berlangsung hingga menjelang pagi. Sudah dipahami bersama bahwa hanya orang-orang terdekat dengan kepala desa yang diundang dan hadir pada rapat-rapat tersebut. Terkadang, walau tidak selalu, mereka juga menjabat sebagai perangkat desa. Undangan lainnya hanya dilakukan berdasarkan kebutuhan saja, tergantung permasalahan atau tugas apa yang sedang dihadapi. Untuk menyelesaikan konflik, rapat kecil melibatkan perwakilan bila para warga desa dari pihak-pihak yang berseberangan perlu hadir. Namun kelompok yang bukan jaringan pimpinan terkadang mengeluhkan kurangnya perwakilan dari pihak mereka dalam pertemuan semacam itu. Secara garis besar, perwakilan di tingkat desa bukanlah prinsip dasar pengambilan keputusan publik di desa. Rapat antar desa Untuk urusan antar desa, perwakilan menduduki peringkat yang lebih penting. Kepala desa adalah calon kuat wakil desanya dan, menurut 95% dari warga yang disurvei, dialah yang biasanya menjadi wakil (lihat Gambar 12.1). Namun, ketua adat juga sangat mungkin mewakili desa, demikian pula sekretaris desa atau aparat desa lainnya, bahkan para sesepuh. Desa-desa yang lebih lemah terkadang menunjuk orang luar untuk menempati posisi sebagai aparat desa, sehingga seorang dari Sulawesi bisa mewakili sebuah desa suku Kenyah, atau seorang dari Flores mewakili desa suku Punan, dan seorang suku Kenyah menjadi wakil untuk desa suku Punan. Pada kasus-kasus seperti itu, orang luar tersebut menikah dengan wanita dari desa tersebut, dan oleh para warga desa dianggap lebih mahir berbicara dan bernegosiasi, serta memiliki pengetahuan lebih luas. Ketika ditanya mengenai aspek-aspek seorang wakil desa yang baik, maka semua orang menjawab bahwa seorang wakil setidaknya harus ‘pintar bicara’. Selanjutnya, seorang wakil haruslah bukan seorang pemalu di depan orang banyak, harus memiliki kewibawaan dalam masyarakatnya, harus mampu menyajikan masalah, serta mampu menyimpulkan dan menyampaikan pelajaran dan informasi dari tempat lain kepada komunitasnya (mis. dalam sebuah lokakarya). Warga desa juga menganggap penting kemahiran membaca dan menulis para wakilnya. Salah seorang responden menjelaskan bahwa pada umumnya warga yang pernah bekerja untuk pemerintah telah menimba pengalaman yang bisa membuat mereka menjadi wakil yang baik. Namun responden itu juga menyatakan bahwa banyak 238 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi 100% 95% 80% % responden 68% 60% 40% 32% 20% 14% 14% ny a in La PD aB tu as m To k oh Ke ya ra k at Ad at la pa Ke Ke pa la De sa 0% Sumber: Wollenberg dkk, 2006, hal. 10 Gambar 12.1 Siapa yang biasanya mewakili masyarakat? Hasil survei terhadap 95 orang warga di 19 desa, tahun 2004-2005 wakil tidak melapor kembali kepada komunitasnya. Wakil yang buruk adalah mereka yang tidak bermoral atau menerima uang dari pihak lain untuk membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan desa. Terkadang warga desa lebih percaya kepada orang kedua pimpinannya karena yakin bahwa ia menerima pembayaran lebih sedikit dari pihak luar. Para warga desa beranggapan bahwa seorang wakil harus bertindak atas nama desa dan perilakunya mencerminkan komunitasnya. Pertemuan antar desa dapat dibagi dalam dua kategori yaitu antara desa yang berbagi satu lokasi dan yang tidak. Keputusan yang dihasilkan oleh desa yang berada di satu lokasi, merupakan hasil perpaduan antara partisipasi langsung dan perwakilan. Peserta dari semua desa bebas untuk menghadiri rapat-rapat umum, tetapi enggan membuat keputusan bila kepala desanya tidak hadir. Dalam rapat seperti itu tampak desadesa yang cenderung terwakili lebih baik daripada desa lainnya. Di antara desa-desa yang berbagi wilayah hampir selalu ada satu desa yang menjadi pemimpin penyelenggaraan rapat. Sebagai contoh, di antara empat desa di Long Loreh, desa Long Loreh yang terbesar dan paling dominan biasanya menyelenggarakan rapat-rapat serta mengelola balai pertemuan yang kebetulan terletak di sektor mereka. Peserta dari warga Long Loreh selalu yang terbanyak hadir daripada desa-desa lainnya. Terkadang tidak ada peserta dari salah satu atau bahkan dari kedua desa masyarakat Punan. Warga Punan menyatakan tidak selalu menerima undangan atau bisa menghadiri rapat karena sering berada di hutan Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 239 mengumpulkan kayu gaharu dan produk-produk lain. Warga desa Punan juga sering merasakan bahwa kehadiran mereka tidak banyak berpengaruh pada hasil pertemuan dan lebih sering memilih untuk tidak hadir. Desa-desa yang lebih lemah sering merasa tidak pantas, tidak dikehendaki, atau terancam oleh desa-desa yang lebih kuat, antar sewilayah maupun lintas wilayah. Kegiatan pemetaan partisipatif dan negosiasi yang difasilitasi CIFOR sering didominasi oleh desa-desa yang lebih kuat dan menghasilkan kesepakatan yang kurang stabil. Desa kuat cenderung menjadi tuan rumah dalam acara negosiasi, sehingga lebih merugikan warga desa lain yang harus melakukan perjalanan jauh. Menarik untuk dicatat bahwa Pelancau, sebuah desa Punan yang terletak di Long Loreh, membuat balai desa sendiri, sehingga masyarakat Pelancau lebih bebas dalam menyelenggarakan rapat. Di antara desa-desa, faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat dan mutu partisipasi dan perwakilan adalah lokasi rapat. Jarak dan biaya perjalanan antar desa cukup besar bagi warga dari daerah hulu sungai Malinau. Dibutuhkan tiga hari perjalanan dari Long Jalan yang letaknya paling hulu, ke Sentaban yang letaknya paling hilir. Kami mengamati sedikitnya ada 10 pertemuan yang dihadiri oleh 20 atau lebih peserta dari desa tuan rumah sedangkan dari desa tamu masing-masing hanya diwakili 2-3 orang atau sebatas kapasitas perahu ketinting. Hasil kesepakatan dari rapat semacam itu sering kali gagal setelah faksifaksi di desa masing-masing menentang keputusan pimpinan desanya di tempat lain itu. Peserta dari desa-desa lain bisa ikut hadir dalam jumlah lebih besar hanya terjadi pada acara perayaan tahunan seperti perayaan panen atau pada pertemuan kelompok etnis. Wanita, khususnya yang punya anak, bahkan lebih sulit menghadiri pertemuan apabila harus menempuh perjalanan. Pada lima acara pertemuan antar desa, tim CIFOR selalu mensyaratkan bahwa minimal satu di antara tiga wakil harus wanita. Pada tahun 2003 kami bahkan minta dua wanita dari setiap desa. Namun hanya dua sampai lima wanita yang hadir setiap tahun. Peserta wanita pun cenderung berumur belasan tahun, atau istri kepala desa, guru atau, pada satu kasus, seorang pendeta yang juga menjabat sebagai sekretaris desa. Wanita muda sering harus menerima banyak gangguan dalam pertemuan seperti itu sehingga lebih menyulitkan mereka untuk berpartisipasi, meskipun difasilitasi oleh pihak ketiga. Pertemuan dengan perusahaan dan pemerintah di dalam desa maupun antar-desa Ada satu hal yang berubah sejak era reformasi, yang antara lain dipicu oleh kebutuhan mencari sumber pendapatan baru pemerintah kabupaten, yaitu desa-desa lebih sering mengadakan pertemuan antar-warga maupun dengan pejabat pemerintah dan perusahaan untuk menegosiasikan masalah penggunaan lahan, akses ke hutan, dan batas wilayah. Hal ini terutama terjadi di antara tahun 2000 dan 2003, ketika warga desa mengatur pemanenan kayu skala kecil IPPK di setiap desa. Desa-desa yang memiliki konsesi kayu atau pertambangan batubara yang aktif menuntut diadakan perundingan dengan pihakpihak tersebut. Di era reformasi mereka merasa lebih diberdayakan dengan berkurangnya intimidasi oleh pihak militer dan merasakan adanya dukungan dari pemerintah setempat. Pada tahun 2002 dan 2003 dua perusahaan, yaitu PT Inhutani II dan PT BDMS menghentikan operasinya di daerah itu, sebagian sebagai akibat negosiasi tersebut. Di era pra-reformasi, partisipasi desa dalam negosiasi dengan perusahaan dibatasi. Negosiasi awal hanya terbatas dengan kepala desa terkadang bersama beberapa orang elit desa. Pertemuan informal sering berlangsung di luar desa yaitu di kantor perusahaan atau 240 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi pemerintah. Apabila sebuah perusahaan membuka kantor di desa, seperti perusahaan tambang batubara di Loreh, maka kepala desa atau anggota golongan elit sering mampir untuk ‘sekedar ngobrol’, kemungkinan hanya untuk sekedar menjaga hubungan baik dan bertukar berita. Desa yang dominan di dalam desa-desa majemuk bernegosiasi dengan perusahaan atau pemerintah atas nama semua desa di wilayah tersebut. Pejabat perusahaan dan pemerintah setempat lebih suka berurusan dengan kelompok dominan dalam setiap desa. Di wilayah Loreh dan Langap, desa-desa Punan praktis terabaikan oleh perusahaan. PT Inhutani II menyumbangkan gerobak dorong beroda-satu, cangkul dan bibit untuk program pengembangan desa secara eksklusif bagi desa-desa Loreh dan Langap. Di bulan Mei 1998 tiga kepala desa Punan menyatakan tidak pernah mengikuti pertemuan dengan perusahaan tambang batubara. Pernah ada undangan yang terlambat diterima untuk satu pertemuan, tetapi tidak ada transportasi; sehingga hanya dua orang aparat desa yang menghadiri tersebut. Seorang kepala desa Punan mengatakan, “Sebenarnya mereka tidak mau mendekati kami.” Terkadang para wakil desa mengadakan konsultasi sebelum atau sesudah pertemuan seperti itu. Contohnya, tahun 1998 ketika PT BDMS mengatur pembayaran kompensasi kepada sepuluh keluarga yang ladangnya sudah diolah dan hendak digali, kepala desa menanyakan besarnya kompensasi yang diinginkan kepada masing-masing keluarga. Seorang warga yang hadir pada babak pertama pembayaran kompensasi sebesar sekitar Rp. 500.000,- mengatakan bahwa waktu itu ia tidak punya pilihan, namun sekarang ia merasa bisa meminta jumlah2 yang lebih besar. Menurut laporan, pada bulan April 1998 kepala desa bersama wakil ketua adat dan kepala desa berikutnya, bernegosiasi sendiri dengan pejabat perusahaan di kantor PT DBMS di dekat Loreh. Perusahaan-perusahaan lebih suka bernegosiasi secara tertutup dan dengan jumlah peserta terbatas. Namun praktik semacam itu tidak selalu memenuhi kepentingan para kepala desa yang lebih lemah. Seorang kepala desa Punan bercerita bahwa ia dibangunkan di tengah malam oleh kepala desa lain bersama seorang tentara, untuk menandatangani dokumen pengalihan hak kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Konflik semakin sering terjadi sejak dimulainya masa reformasi. Delegasi warga desa yang mengikuti rapat penyelesaian konflik bisa cukup banyak, hingga 40 orang, yang umumnya lebih banyak diikuti oleh para pemuda. Pada bulan Agustus 1998, sekitar 30 wakil dari Loreh, 5 wakil dari Bila Bekayuk3 bersama 3 wakil dari Sengayan menghadiri rapat di kantor perusahaan pertambangan batubara setempat. Rapat itu dihadiri pula oleh staf Camat, polisi, dan tentara dari tingkat kecamatan beserta 4 staf dari PT DBMS. Pihak masyarakat telah meminta Camat untuk menyelenggarakan rapat tersebut atas nama mereka dengan maksud menuntut perusahaan untuk menepati janji-janji sebelumnya yaitu menyediakan air bersih, Rp. 25 juta untuk mendirikan koperasi, sebuah mobil, penyediaan listrik, pekerjaan bagi warga desa dan transportasi ke ladang bagi warga. Negosiasi IPPK menumbuhkan pendekatan baru dalam negosiasi masyarakat dengan perusahaan. Dalam masalah akses dengan desa-desa, upaya negosiasi perusahaan menjadi lebih mencakup semua pihak, termasuk desa-desa lemah dan suku Punan. Para kepala desa juga lebih sering berkonsultasi dengan komunitas mereka untuk membahas potensi manfaat dan cara pembagiannya. Hal ini mencerminkan kepedulian baru dalam pembagian manfaat tunai dengan cara-cara yang mengakui adanya klaim bersama serta menghindari sengketa di kemudian hari. Di tahun 2004 dan 2005, ketika ditanya apa saja keputusan yang mengharuskan partisipasi dari seluruh masyarakat (lihat Gambar 12.2), jawaban Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 241 Ya 18% Data hilang 5% Tidak 77% % responden Sumber: Wollenberg dkk, 2006, hal. 12 Gambar 12.2 Apakah DPRD berperan mewakili masyarakat? Survei warga desa secara perorangan mayoritas warga adalah negosiasi dengan perusahaan kayu (55 persen) dan pembahasan usulan proyek pengembangan desa (45 persen). Penandatanganan dokumen resmi berikut isinya tidak terbuka dan transparan. Kebanyakan anggota masyarakat belum pernah melihat perjanjian yang ditandatangani pemimpin mereka dengan perusahaan. Dampak lain dari era reformasi adalah bahwa desa yang lemah, terutama yang selama ini tersisihkan oleh desa yang lebih dominan di wilayah mereka, mulai melaksanakan negosiasi secara mandiri dan menjalin hubungan langsung dengan pemerintah kabupaten dan perusahaan. Dengan semakin berkembangnya partisipasi mereka dalam negosiasi, semakin berkembang pula akses mereka kepada manfaat terkait. Mereka lebih berani bersuara menentang desa-desa dominan. Boleh jadi hal ini didukung oleh meningkatnya pendapatan tunai akibat meningkat pesatnya perdagangan kayu gaharu sejak awal tahun 1990-an dan menurunnya generasi pendukung hubungan tradisional patron-klien. Pada tahun 1994 masyarakat Punan Malinau juga menyelenggarakan untuk pertama kalinya pertemuan adat mereka dan secara kolektif memilih seorang ketua adat. Di semua negosiasi tampak bahwa para pemimpin bertindak atas nama konstituennya (maupun kepentingan pribadinya) dengan wewenang resmi untuk membuat keputusan, tidak mewakili beragam kepentingan di desa. Dalam keadaan demikian, tidak ada insentif bagi para kepala desa untuk mewakili atau pun menyampaikan informasi kepada pihak lain. Tekanan pada para kepala desa di masa itu sangat berat. Isi rapat dan negosiasi Seperti uraikan sebelumnya, reformasi telah melahirkan hal-hal baru yang harus diputuskan oleh desa-desa, terutama mengenai IPPK dan batas-batas desa. Dari Januari hingga Juni 2000, kami berusaha menghimpun informasi kandungan materi semua rapat penggunaan hutan dan lahan, serta melibatkan wakil-wakil masyarakat (tidak hanya aparat desa) dari 242 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi keempat desa di Long Loreh. Kami hanya mengambil 36 pertemuan saja karena beberapa pertemuan lainnya bersifat rahasia. Apa saja yang dibahas dalam semua pertemuan tersebut? Topik hutan dibahas pada 36 persen rapat, jadi rata-rata 5 pertemuan dalam satu bulan (lihat Tabel 12.1). Masalah batas desa dan ganti rugi, termasuk masalah hutan, menjadi materi bahasan pada setengah dari semua pertemuan. Semua topik berawal dari masa pra-reformasi: dengan PT Inhutani II untuk meminta bantuan pembangunan yang lebih memenuhi kebutuhan mereka; dengan PT John Holland, yaitu subkontraktor perusahaan tambang batubara, untuk mengatur penyediaan lapangan kerja bagi warga; dengan pemerintah untuk menyampaikan keluhan tentang dampak tambang batubara dan dengan tambang batubara untuk meminta pembuatan saluran air bersih; dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang minta akses ke desa; dengan desa tetangga di Langap untuk membahas batas desa; dan dengan CIFOR untuk memetakan batas-batas tersebut. Warga juga mengadakan pertemuan antar mereka sendiri untuk membahas akibat banjirnya Sungai Malinau; merencanakan unjuk rasa menuntut air bersih dari perusahaan tambang batubara; mencegah orang luar untuk menebang kayu di wilayah mereka; dan mencegah penangkapan ikan dengan menggunakan racun atau sengatan listrik. Masa transisi ini adalah masa yang luar biasa ditinjau dari jumlah persoalan dan rapat-rapat yang harus dihadiri para kepala desa. Angka-angka di atas tidak meliputi rapat berkaitan dengan IPPK, yang baru dimulai beberapa bulan kemudian. Dengan berlanjutnya masa reformasi, kami mengamati perubahan harapan masyarakat terhadap pemerintah. Di awal era reformasi mereka menaruh harapan tinggi akan memperoleh hak-hak baru dalam arena baru, termasuk kehutanan dan lahan hutan. Ada harapan yang tidak realistis bahwa politik akan diselenggarakan ‘dari bawah ke atas’ dan menjadi transparan. Orang-orang menguji sampai sejauh mana klaim atas lahan bisa mereka ajukan, kompensasi yang dapat dinegosiasikan, dan hubungan yang bisa dikembangkan dengan Bupati dan stafnya. Lambat laun pemerintah kabupaten bisa memapankan kedudukan dan menata kembali wewenangnya. Sebagian besar pola lama dan hubungan dengan kekuasaan muncul kembali. Harapan masyarakat menyurut dan sebagian besar keadaan kembali seperti semula. Diskusi: Perwakilan dan partisipasi di dalam desa dan antar-desa Dalam praktik, relatif hanya sedikit jumlah elit yang aktif dalam pembahasan dan perwakilan desa. Reformasi tidak banyak mengubah pola-pola historis ini. Tidak ada Tabel 12.1 Materi rapat selama bulan Januari hingga Juni 2000 di keempat desa di Long Loreh (sampel = 36) Materi Bahasan Rapat Hutan Kebun sayur dan perkebunan Hubungan dengan perusahaan Perbatasan atau ganti rugi Program pemerintah Pertemuan dengan pemerintah Acara desa CIFOR Persentase dari keseluruhan 36 17 47 44 3 3 3 2 Sumber: Data lapangan yang dikumpulkan antara Januari dan Juli 2000 (dikumpulkan oleh Asung Uluk, konsultan CIFOR) Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 243 ketentuan yang bisa menjamin keterwakilan masyarakat. Tingkat demokrasi di pedesaan hanya bisa diukur dari partisipasi langsung warga desa, serta akses dan besarnya pengaruh terhadap pimpinan mereka. Setidaknya, para kepala desa memiliki akuntabilitas moral kepada warganya4 yang bisa menurunkan mereka dan memilih pemimpin baru. Namun hal ini jarang terjadi karena penghormatan mereka kepada kaum bangsawan, tidak adanya calon alternatif dan karena mengkhawatirkan balas dendam secara pribadi. Kebiasaan perusahaan dan pemerintah untuk hanya berurusan hanya dengan lingkaran kecil elit dalam rapat tertutup, sering kali di luar desa, telah mendorong para kepala desa bertindak untuk kepentingan sendiri dan berkolusi dengan pihak perusahaan atau pemerintah. Praktik-praktik ini hanya memperkuat kecenderungan beberapa elit untuk mendominasi pembuatan keputusan, terutama dengan lahirnya IPPK dan terlibatnya masyarakat dalam negosiasi. Menyadari sifat negosiasi ini, walau secara publik bersikap toleran namun dalam percakapan antar mereka, masyarakat sering mengungkapkan kekecewaan dan kecurigaannya. Sehingga negosiasi tertutup seperti itu meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas maupun kemampuan wakil-wakil mereka tersebut dalam bertindak atas nama mereka atau berperilaku konsisten dengan nilai-nilai yang diharapkan. Yang benar-benar mewakili komunitasnya biasanya adalah warga yang berpendidikan dan percaya diri, serta terampil membaca, menulis dan berbicara sehingga dapat berkomunikasi efektif dan berpengalaman dengan dunia di luar desa, terutama dengan pemerintah dan perusahaan. Banyak di antaranya dari kaum bangsawan. Bagi masyarakat Kenyah dan Merap yang cenderung hirarkis, seorang warga dari kaum biasa sangat sulit bersuara dalam keputusan desa. Sedangkan kelompok yang kurang diuntungkan seperti para wanita dan masyarakat Punan, yang seharusnya bisa menyampaikan kepentingan mereka dalam politik desa, biasanya tidak mampu berkomunikasi secara efektif, dan status mereka pun tidak menguntungkan. Kebanyakan wanita tidak punya waktu untuk itu. Demokrasi desa di daerah hulu sungai Malinau, bukanlah bentuk ideal partisipasi masyarakat. Ada kelompok yang suaranya kecil atau bahkan tak terdengar dalam urusan desa. Desentralisasi bertujuan untuk mengatasi kurang ketidaksetaraan perwakilan di desa serta menciptakan kontrol atas kewenangan kepala desa dengan mengharuskan adanya Badan Perwakilan Desa (BPD). Sayangnya, sebagian besar calon tidak dapat memenuhi persyaratan pendidikan sesuai peraturan dan tidak banyak warga yang mampu membiayai suatu badan perwakilan. Hanya sedikit yang memahami fungsi BPD dan bahkan meminta agar dibiayai pemerintah kabupaten serta agar pimpinan desa menunjuk anggotanya. Minat untuk membentuk BPD rendah, dan para kepala desa tidak merasa ada manfaatnya bagi mereka untuk mempromosikannya. Akibatnya, sampai tahun 2004, di Malinau tidak ada BPD yang berfungsi baik. Maka peraturan baru pemerintah lalu mengurangi wewenang BPD dan mengembalikan perannya, kembali seperti di masa pra-desentralisasi, sebagai lembaga pemberi stempel pada keputusan-keputusan desa. Definisi desa dan para elitnya menjadi penentu utama kepentingan siapa yang diwakili. Konsekuensi lain dari reformasi adalah bahwa kabupaten mendapat wewenang untuk mendefinisikan desa-desa sesuai kriteria mereka sendiri. Malinau mengubah pemukiman majemuk menjadi satu desa tunggal. Maka desa dan rumpun etnis yang lebih kuat akan mendominasi desa dan rumpun etnis yang lebih lemah. Dalam semua kasus, kelompokkelompok yang lebih kuat tidak terlalu berkeberatan dengan penggabungan desa tersebut. Kelompok yang lemah menentang penggabungan desa karena perbedaan latar belakang etnis dan khawatir kehilangan hak atas hutan adat mereka. 244 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Di tingkat kabupaten Bagaimana dampak desentralisasi pemerintah kabupaten dan reformasi kepada partisipasi masyarakat? Seberapa jauh warga lokal bisa mempengaruhi keputusan mengenai hutan dan tata-guna lahan? Berbeda dengan politik di tingkat desa, di tingkat kabupaten terjadi perubahan nyata. Pada tahun 2001, pejabat pemerintah berbicara, setidaknya di awalnya, tentang kepedulian yang sungguh-sungguh kepada politik ‘dari bawah ke atas’. Di tahun pertama desentralisasi, banyak warga yang menyampaikan kekhawatiran mereka pada Bupati. Lebih banyak warga lokal merasa meningkatnya akses kepada pejabat pemerintah karena lebih dekatnya pusat kabupaten baru Malinau, serta adanya prioritas baru untuk menempatkan putra daerah pada jabatan pemerintah kabupaten. Lebih banyak orang yang memiliki keterkaitan keluarga, desa maupun kesukuan, dengan para pejabat dibanding sebelumnya. Lebih banyak yang bisa berbicara memakai bahasa daerah dengan para pejabat lokal. Di tahun 2004, pegawai pemerintah lokal sudah berjumlah 1565 orang, mayoritas dari kabupaten Malinau. Pegawai pemerintah setempat berjumlah 7 persen dari seluruh angkatan kerja di Malinau (16.5 persen dari semua rumah tangga). Interaksi tatap muka antara warga dengan pejabat kabupaten meningkat. Bupati lebih sering menghadiri pertemuan besar dengan masyarakat daripada masa pra-reformasi. Demikian pula kunjungan para pejabat resmi lainnya. Sebaliknya, warga dari komunitas terpencil juga lebih sering mengunjungi ibu kota kabupaten untuk urusan bisnis, sehingga lebih banyak berhubungan, sengaja maupun tidak, dengan pejabat kabupaten. Terutama di antara tahun 2000 hingga 2002, interaksi para kepala desa yang mengatur masalah IPPK dengan pejabat pemerintah sangat intensif. Jumlah acara dengar pendapat, konsultasi dan upaya sosialisasi program pemerintah meningkat secara nyata. Namun, acara dengar pendapat lebih sering berlangsung di Malinau Kota, di mana kursi untuk wakil masyarakat sering tampak kosong. Dari enam sampel pertemuan, rapat Laporan Pertanggungjawaban Bupati paling banyak dihadiri, yaitu oleh sekitar 50 wakil masyarakat. Tiga pertemuan lain hanya dihadiri 10 hingga 30 anggota masyarakat, dan dua pertemuan hanya dihadiri satu atau bahkan tidak dihadiri warga masyarakat. Warga yang hadir pun, dengan satu pengecualian, berasal dari desa-desa yang letaknya dekat dengan Malinau. Tidak ada yang hadir dari wilayah Malinau hulu. Dalam contoh lain, pada bulan Mei 2001 para pejabat mengkonsultasikan enam rancangan peraturan daerah di desa Long Loreh (berjarak dua jam naik mobil dari Malinau) dan setahun kemudian mensosialisasikan peraturan tersebut; namun setahu kami hal itu tidak dilakukan di lokasi yang lebih terpencil. Pengumuman dan undangan rapat dengar pendapat biasanya diedarkan hanya sehari sebelum acara berlangsung (ini terjadi di kabupaten yang mencakup daerah-daerah terpencil di mana pemberitahuan semacam itu perlu waktu sampai sebulan untuk tiba di tujuan) (lihat Kotak 12.1). Dari segi pemerintah, pemberitahuan mendadak itu terpaksa dilakukan karena jadwal para pejabat tertinggi jarang bisa direncanakan. Para pejabat tinggi sering melakukan perjalanan ke luar kabupaten. Kadangkala, undangan tertulis bahkan tidak pernah dikirim. Pada satu kasus, ketika rapat hendak dilangsungkan di Long Loreh, pejabat kabupaten hanya memberitahu kepala desa Long Loreh yang kemudian menyebarkannya ke desa-desa di sekitarnya. Pada sebagian besar rapat, desa-desa di hulu mengeluh baru melihat undangan setelah acaranya selesai. Bahkan bila para warga desa tahu adanya rapat, biasanya mereka tidak hadir karena kurang informasi mengenai prosesnya atau rendahnya prioritas topik yang hendak dibahas. Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 245 Kotak 12.1 Kesulitan dalam penjadwalan rapat Pagi hari Selasa tanggal 2 Juli 2002, beberapa warga desa Tanjung Nanga tiba-tiba datang di Long Loreh untuk menghadiri rapat untuk menjelaskan adanya peraturan baru pemerintah. Kepala desa Tanjung Nanga telah menerima pemberitahuan itu melalui radio. Kepala desa Long Loreh yang belum menerima informasi rapat tersebut berusaha menghubungi kepala desa Tanjung Nanga melalui radio Center for International Forestry Research (CIFOR) untuk meminta informasi lebih lanjut. Namun tidak berhasil. Siang harinya sekitar jam 12, kepala desa Long Loreh berhasil menghubungi staf kecamatan yang memberitahu bahwa rapat ditunda hingga esok harinya sekitar jam 12 siang. Mereka menyarankan agar menghubungi kantor kecamatan pagi-pagi keesokan harinya. Kepala desa Long Loreh terkejut ketika sore harinya beberapa pejabat pemerintah tiba untuk mengadakan rapat. Ketika sedang sibuk mengatur akomodasi dan makan, kepala desa Long Loreh ditanya apakah sudah mengedarkan pemberitahuan rapat kepada desa-desa tetangga. Setelah ia menginformasikan kepada para pejabat bahwa dari 24 desa yang diharapkan menghadiri rapat, belum ada satu pun yang diberitahukan, ia diminta agar mengatur supaya keesokan paginya semua undangan dapat disebar dan sekaligus juga menjemput para peserta dari desa-desa tetangga. Maka pada jam 6 pagi esok harinya dua perahu berangkat untuk memberitahu desa tetangga dan menjemput para peserta. Rapat dijadwalkan untuk jam 9.00, namun baru bisa dimulai pada jam 11.00. Oleh karena singkatnya pemberitahuan maka rapat hanya dapat dihadiri oleh perwakilan enam desa lainnya. Kewajiban untuk menghimpun masukan dari masyarakat pada awal implementasi suatu proses dilaksanakan sebagai upaya mensosialisasikan keputusan yang telah diambil. Namun bahkan upaya ini pun tidak direncanakan matang. Ketika pejabat kabupaten mengadakan konsultasi di Long Loreh dengan 18 desa untuk mengkaji rancangan peraturan, mereka tiba dengan hanya menyiapkan lima set fotokopi dari enam peraturan, satu set diberikan kepada CIFOR. Warga desa hanya diberi waktu lima hari untuk memberi masukan kepada para pejabat di Malinau. DPRD mendapat mandat untuk mewakili warga Malinau di pemerintah kabupaten. Namun 77% warga desa tidak merasa bahwa DPRD tersebut mewakili mereka (lihat Gambar 12.2). Anggota DPRD tidak berbuat banyak untuk menghimpun masukan dari, maupun melapor kembali kepada, komunitasnya. Tampaknya mereka hanya mengaitkan akuntabilitas dengan kesuksesan dalam pemilihan. Apabila suatu keputusan mereka dipertanyakan oleh anggota komunitasnya, sudah biasa terdengar jawaban seorang anggota dewan, “Siapa yang suruh memilih saya?” yang secara tersirat berarti bahwa warga harus percaya pada anggota DPRD karena merekalah yang memilihnya. Warga lokal mengeluhkan cara wakil-wakil mereka mengunjungi desa-desa, dan bila ada urusan penting warga setempatlah yang harus berkunjung ke Malinau; dan itu pun sering kali masih sulit untuk menemui mereka. Lebih dari separuh warga yang diwawancarai menyatakan bahwa para anggota DPRD akan bisa bekerja lebih baik bila bertemu langsung dengan masyarakat; lebih sering berbicara dengan warga desa; serta berkunjung dan mengamati langsung di desa. Yang lainnya menyarankan DPRD meningkatkan perannya dengan memfasilitasi usulan masyarakat kepada pemerintah; mengundang masyarakat untuk menyampaikan pendapat 246 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi di DPRD di Malinau; berbagi informasi dengan masyarakat mengenai hasil pembahasan dan keputusan bersama pemerintah, dan menyalurkan informasi dari dan ke masyarakat. Meskipun cukup banyak perubahan, ternyata sulit untuk memenuhi tingginya harapan di awal era reformasi. Pada tahun 2002, sesudah satu tahun mengalami desentralisasi dan satu setengah tahun mengalami IPPK, pemerintah kabupaten tak ubahnya bagai menunggangi kuda liar. Meningkatnya konflik dan pertarungan kekuasaan di antara kelompokkelompok etnis telah menciptakan ketidakstabilan lingkungan politik, dengan prioritas utama pemerintah kabupaten adalah memantapkan kewenangan dan mempertahankan kehidupan politis. Komentar seorang pejabat kabupaten untuk mencerminkan lunturnya semangat demokrasi pada saat itu: “Kita dapatkan masukan mereka (‘masyarakat’) dulu, baru kita membuat keputusan.” Pada tahun 2002, seorang pejabat kabupaten menyatakan bahwa pemerintah kabupaten akan menetapkan batas-batas desa tanpa melibatkan masyarakat setempat. Di tahun yang sama, dalam dialog antara pemerintah dan masyarakat, para pejabat pemerintah lebih mencemaskan menjadi sasaran bidikan daripada melihatnya sebagai peluang untuk berinteraksi dengan masyarakat. Peran camat yang dihapus dengan adanya reformasi, dikembalikan sebagai penghubung antara warga dengan pemerintah. Camat ditugasi mengelola konflik di tingkat desa. Pertemuan langsung dengan Bupati semakin jarang dengan meningkatnya kesibukannya dan adanya pejabat-pejabat lain di kabupaten. Sekitar tahun 2004, pemerintah kabupaten sudah mapan, dan dengan undangundang otonomi daerah yang baru, mereka bercokol di kompleks gedung pemerintah yang baru dibangun. Meskipun sudah ada reformasi, warga desa yang menemui pejabat kabupaten masih tetap elit yang dulu mewakili dan mendominasi kepentingan di tingkat desa. Dan walaupun secara teori, akses kepada pejabat pemerintah terbuka bagi siapa saja, dalam kenyataannya tetap hanya orang-orang tertentu yang berani mendekati para pejabat pemerintah atau diberi wewenang untuk berurusan resmi dengan mereka. Kepala desa atau wakilnya juga mempunyai urusan resmi berkala di Malinau, termasuk yang terkait dengan pencairan dana pembangunan desa (dana Bangdes), dan pembagian beras bagi warga miskin. Ketika warga setempat berinisiatif mengajukan permohonan bertemu langsung dengan pejabat pemerintah, kami amati bahwa kemungkinan keberhasilan lebih besar bagi warga setempat yang lebih percaya diri. Seorang warga Punan melaporkan bahwa ia menunggu selama tiga hari di kantor kabupaten untuk membahas suatu proyek, sedangkan warga lain dari suku Kenyah Long Loreh yang bekerja di salah satu tambang batubara setempat langsung saja memasuki kantor Bupati. Warga Punan ini mengaku bahwa ia kurang berani dan kurang teguh menanyakan pertemuannya kepada resepsionis, dan membiarkan orang lain melewatinya. Rapat-rapat pada umumnya membahas transaksi bisnis dengan perusahaan kayu, proyek pekerjaan umum, atau agar pemerintah menengahi konflik. Selama dua tahun terakhir kami tidak melihat ada satu pun wanita yang menunggu untuk bertemu dengan seorang pejabat tinggi kabupaten. Kadangkala pertemuan seorang warga lokal dengan seorang pejabat tinggi berlangsung melalui serangkaian komunikasi dan tindakan sebelumnya. Dalam kasus desa Pelancau, warga Punan melaporkan keluhan secara lisan kepada pegawai rendahan mengenai perusahaan kayu setempat. Karena ternyata tidak efektif mereka mengirim surat resmi kepada Bupati. Akhirnya mereka mengadakan unjuk rasa. Setelah terjadi unjuk rasa, sekretaris daerah dan seorang anggota DPRD mengunjungi desanya. Ketika kemudian kepala desa Pelancau berkunjung kepada Bupati, ia seketika diterima. Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 247 Terkadang pemerintah merasa terganggu oleh pertemuan semacam itu karena menilai tuntutan masyarakat terkesan berlebihan atau konyol. Kami juga mengamati bahwa masyarakat sering menganggap hak baru mereka untuk berpartisipasi itu sebagai peluang menambah tuntutan ganti rugi ataupun proyek kepada pemerintah, walaupun tanpa dasar. Satu komunitas mengajukan tuntutan ganti rugi yang sangat besar dan senantiasa berubah-ubah atas kerusakan gua-gua sarang burung dekat areal penebangan kayu dan pertambangan. Dalam suatu acara pelatihan cara penyampaian usulan kepada pejabat pemerintah, kebanyakan warga masyarakat tidak tahu adanya kantor yang berbedabeda dalam pemerintahan di kabupaten, dan tidak tahu cara membuat usulan serta pembenarannya. Kebanyakan warga lokal terbiasa hanya menyampaikan masalah mereka langsung kepada Bupati. Bupati Malinau kemudian mengembalikan peran camat sebagai wakil pemerintah kabupaten untuk lebih mendelegasikan pekerjaannya kepada orang lain. Para pejabat pemerintah memang telah berusaha lebih terbuka dan transparan tentang berbagai keputusan mereka, tetapi masih banyak lingkup peningkatan partisipasi masyarakat yang harus dilakukan. Para pejabat kabupaten tidak mampu transparan dan melibatkan warga lokal dengan cara lebih baik. Kebiasaan dan perilaku Orde Baru masih terus terwujud dalam cara pemerintah dan masyarakat berinteraksi. Sulitnya koordinasi di dalam pemerintah kabupaten dan sangat tingginya biaya transportasi dan komunikasi dengan desa-desa terpencil merupakan kendala bagi kabupaten untuk memenuhi syarat hukum minimal pelibatan masyarakat. Intensitas perebutan wewenang atas sumberdaya hutan antara berbagai pihak, menimbulkan pertanyaan sungguhkah kabupaten bersedia berbagi manfaat dan penguasaan hutan dengan kelompok-kelompok masyarakat. Dari sudut pandang masyarakat, kebanyakan desa ingin terlibat lebih besar dalam berbagai keputusan kabupaten, namun tidak tahu tata caranya. Banyak di antara kepala desa yang menerapkan pendekatan pro-aktif dalam pertemuan dengan pejabat kabupaten; tetapi kebanyakan warga desa kurang percaya diri untuk melakukannya. Para pemimpin lokal melihat peningkatan akses kepada pejabat kabupaten sebagai peluang untuk menegosiasikan proyek atau uang bagi diri mereka dan desanya, tetapi tidak memiliki latar belakang hukum agar dapat memberi pembenaran atas tuntutan mereka. Peningkatan pengaruh masyarakat yang terbesar mungkin terjadi melalui peningkatan kontak informal dan adanya harapan dari hubungan informal dengan pejabat. Diperlukan hubungan informal serta pengharapan timbal-balik dalam negosiasi untuk memahami bagaimana agar aturan pelibatan resmi dapat dilaksanakan dan agar aspek penting masyarakat bisa memberikan pengaruh yang nyata. Dengan meluasnya administrasi kabupaten melalui penambahan jumlah pegawai, meningkat pula jaringan hubungan informal. Sayangnya, sejauh ini interaksi masih terbatas pada sejumlah elit kecil yang mayoritasnya adalah pimpinan desa. Selain itu, para pimpinan ini pada umumnya hanya menunjukkan sedikit akuntabilitas kepada anggota konstituennya, dalam bentuk konsultasi maupun pelaporan. Kesimpulan Melihat masih dininya tahap reformasi, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal merupakan prospek jangka panjang. Bagi komunitas terpencil, kendala jarak dan biaya menimbulkan pertanyaan apakah partisipasi secara reguler akan 248 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi bisa terwujud. Dari pengamatan kami terhadap interaksi pemerintah dengan rumahtangga pedesaan saat ini, kami menyimpulkan hal-hal berikut tentang potensi peningkatan tanggung jawab perwakilan di tempat seperti Malinau. Upaya memperkuat kesempatan dengar pendapat dan pembahasan program-program pemerintah akan mendukung kemampuan dan kepercayaan diri para pejabat pemerintah dalam berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Topik prioritas bersama pemerintah dan masyarakat, khususnya mengenai perkembangan ekonomi, kurang dirasakan sebagai ancaman dibanding masalah penguasaan lahan, pemetaan, atau reformasi hukum. Peran pemerintah dalam pertemuan dengan masyarakat yang difasilitasi oleh organisasi nonpemerintah atau oleh komunitas itu sendiri bisa diperluas ke hal-hal di luar isi pidato pembukaan dan penutupan saja. Menyadari pentingnya hubungan informal dan terbatasnya hal itu hanya bagi sekelompok elit pimpinan desa, maka upaya untuk meningkatkan akuntabilitas kepala desa pada warganya akan meningkatkan kualitas perwakilan. Upaya ini menuntut adanya pemahaman mikro-politik dalam pengambilan keputusan di tingkat desa dan tumpangtindih antara jaringan kewenangan adat dan pemerintah. Kelompok-kelompok yang sangat tersisihkan, seperti masyarakat Punan, para wanita, dan desa-desa terpencil, membutuhkan perhatian khusus dari pihak luar seperti LSM untuk memfasilitasi interaksi mereka dengan pejabat pemerintah. Kami yakin bahwa dalam jangka pendek, peluang berinteraksi melalui jalur formal maupun non-formal kelompok ini masih rendah. Tradisi kekuasaan dan elitisme adat tetap bertahan (Moore, 1973). Perwakilan yang bertanggungjawab dan partisipasi masyarakat tidak terjadi secara otomatis (Diemer dan Alvarez, 1995; Daniels dan Walker, 1997; Rossi, 1997) dan bentuknya bisa sangat berbeda dalam konteks yang berbeda. Dengan desentralisasi, perwakilan yang lebih baik dari kepentingan masyarakat yang lebih luas memerlukan: • • • • pengembangan kemampuan; populasi yang lebih terinformasi, terutama di kalangan non-elit; interaksi dengan politik perorangan; dan pembahasan lebih kritis mengenai jenis partisipasi dan perwakilan yang diinginkan. Dengan tumbuhnya hubungan baru antara kelompok-kelompok lokal dengan sistem politik pemerintah, kedua pihak membutuhkan waktu untuk berkembang hingga tercapainya praktik politik yang saling memuaskan. Saat ini pemerintah daerah di Indonesia masih memiliki harapan tinggi akan dapat membantu mendemokratiskan penggunaan sumberdaya alam. Namun kemampuan formal mereka untuk itu masih rendah. Upaya pihak ketiga secara independen untuk meningkatkan partisipasi, mengandung risiko bahwa mereka akan dijauhi oleh otoritas kabupaten dan tidak dapat mengembangkan kemampuan melembaga, namun di lain pihak bisa mewujudkan pemberdayaan masyarakat secara nyata. Upaya pihak ketiga untuk meningkatkan partisipasi bekerjasama dengan kabupaten berisiko mereka akan terkooptasi untuk keluar dari penanganan masalah dengan prioritas tinggi bagi masyarakat, misalnya masalah hak atas tanah dan borosnya pemanfaatan sumberdaya, namun bisa meningkatkan kepercayaan dari pihak kabupaten. Menurut kami, memfasilitasi perubahan nyata menuntut adanya penyeimbangan kedua jenis pendekatan itu, disertai dengan perspektif jangka panjang. Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa 1 249 Catatan Yang dimaksud dengan tetua masyarakat belum tentu orang berusia lanjut, tetapi orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk membuat keputusan atas nama komunitas. 2 Responden membuat pernyataan itu pada tanggal 6 Mei 1998, dua minggu sebelum pengunduran diri Soeharto. 3 Mereka termasuk empat wanita (tidak lazim), kemungkinan besar karena para pria yang mampu sedang berada di hutan. Karena alasan tersebut tidak ada perwakilan dari Pelancau. 4 Kepala desa diangkat resmi melalui keputusan Bupati dan gaji mereka masih dibayar oleh pemerintah kabupaten. Rujukan Antlöv, H., 2003. Not enough politics! Power, participation and the new democratic polity in Indonesia, dalam Aspinall, E. dan Fealy, G. (penyunting), Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. Bickford, S., 1999. Reconfiguring pluralism: Identity and institutions in the inegalitarian polity, American Journal of Political Science, vol 43, no 1, hal. 86–108. Bogdanor, V., 1987. The Blackwell Encyclopaedia of Political Institutions, Blackwell Reference, Oxford, Inggris. Daniels, S. dan Walker, G., 1997. Rethinking public participation in natural resource management: Concepts from pluralism and five emerging approache, dalam Proceedings of the International Workshop on Pluralism and Sustainable Forestry and Rural Development, Rome, Italy, 9–12 Desember 1997, Food and Agriculture Organization, Roma. Diemer, J. A. dan Alvarez, R. C., 1995. Sustainable community, sustainable forestry: A participatory model, Journal of Forestry, vol 93, hal. 10–14. Edmunds, D. dan Wollenberg, E., 2001. A strategic approach to multistakeholder negotiations, Development and Change, vol 32, no 2, hal. 231–253. Haraway, D., 1991. Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature, Routledge, New York, NY. Lee, K. N., 1993. Compass and Gyroscope: Integrating Science and Politics for the Environment, Island Press, Washington, DC. McLean, I., 1996. The Concise Oxford Dictionary of Politics, Oxford University Press, Oxford Melucci, A., 1996. Challenging Codes: Collective Action in the Information Age, Cambridge University Press, Cambridge. Moore, S. F., 1973. Law and social change: The semi-autonomous social field as an appropriate subject of study, Law and Society Review, vol 7, hal. 719–746. Rao, N., 1998. Representation in local politics: A reconsideration and some new evidence, Political Studies, vol 46, no 1, hal. 19–35. Rescher, N., 1993. Pluralism: Against the Demand for Consensus, Oxford University Press, Oxford. Ribot, J., 1999. Decentralization, participation and accountability in Sahelian forestry: Legal instruments of political-administrative control, Africa, vol 69, no 1, hal. 23–65. Ribot, J. C., 2001. Integral local development: Accommodating multiple interests through entrustment and accountable representation, International Journal of Agricultural Resources, Governance and Ecology, vol 1, no 3/4, hal. 327–350. 250 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Rosener, J. B., 1978. Citizen participation: Can we measure its effectiveness?, Public Administration Review, vol 38, no 5, hal. 457–463. Rossi, J., 1997. Participation run amok: The costs of mass participation for deliberative agency decision making, Northwestern University Law Review, vol 92, no 1, hal. 173–247. Schumaker, P., 1991. Critical Pluralism, Democratic Performance, and Community Power, University Press of Kansas, Kansas, US. Steelman, T. A. dan Ascher, W., 1997. Public involvement methods in natural resource policy making: advantages, disadvantages and trade-offs, Policy Sciences, vol 30, hal. 71–90. Strachan, P. A., 1997. Should environmental management systems be a mechanistic control system or a framework for learning?, The Learning Organisation, vol 4, no 1, hal. 10–17. Wollenberg, E., Edmunds, D. dan Buck, L., 2001. Anticipating change: Scenarios as a tool for increasing adaptivity in multistakeholder setting, dalam Buck, L., Geisler, C. C., Schelhas, J. dan Wollenberg, E. (penyunting), Biological Diversity: Balancing Interests through Adaptive Collaborative Management, CRC Press, Boca Raton, FL. Wollenberg, E., Limberg, G., Iwan, R., Rahmawati, R. dan Moeliono, M., 2006. Our Forest, Our Decision: A Survei of Principles for Local Decision-Making in Malinau, CIFOR, Bogor, Indonesia. 13 Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat Moira Moeliono dan Godwin Limberg Periode IPPK (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu) terbukti sangat menguntungkan dalam jangka pendek namun sangat membekas. Hutan tak lagi sekedar rumah dan tempat cadangan sumber penghidupan. Hutan sudah menjadi uang tunai, dan ‘kompensasi dan fee’ sudah menjadi bagian dari kosa kata masyarakat lokal. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat telah berubah. Desentralisasi telah mendekatkan negara kepada masyarakat, dan IPPK membawa ekonomi tunai. Sementara itu, pemerintah berusaha menjalankan perannya mengatur masyarakat yang merasa ‘bebas’ tanpa menyadari bahwa kebebasan ada harganya. Ketika pemerintah baru kabupaten menata kewenangan dan keberadaannya, sikap oportunis dan keberlimpahan dana di awal desentralisasi mulai memudar. Sebagai gantinya kita menemukan pegawai pemerintah, perusahaan dan masyarakat desa dengan strategi yang lebih canggih dan bernuansa untuk menguasai sumberdaya hutan. Aliansi politik menjadi lebih kokoh dan elit politik baru bermunculan. Keputusan kabupaten tampak lebih berhati-hati dan kewenangan Bupati dihormati oleh para pegawai pemerintah kabupaten dan masyarakat setempat. Peluang untuk mengklaim manfaat hutan menjadi lebih dibatasi dan akses ke pejabat pemerintah menjadi lebih resmi dan berjarak. Dengan mengembalikan kewenangan Camat sebagai penghubung antara desa dengan pemerintah, para pejabat kabupaten mengurangi interaksi mereka dengan masyarakat desa. Pemerintah daerah menyukai retorika partisipasi masyarakat sipil, tetapi curiga dan tidak yakin bagaimana membuat hal itu terjadi. Hari-hari awal reformasi yang penuh harapan sudah berlalu; tetapi peran pemerintah kabupaten dan masyarakat lokal di kawasan hutan tetap tidak jelas dan pertarungan untuk penguasaan hutan terus berlanjut. 252 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Periode yang didominasi IPPK merupakan tahap pertama dari desentralisasi. Belajar dari pengalaman periode ini, pemerintah daerah mulai menapaki tahap kedua, dan mulai bereksperimen dengan peran barunya. Pemerintah daerah di Malinau dan insentif untuk menangani kemiskinan Reformasi desentralisasi dan strategi penanggulangan kemiskinan nasional memberikan mandat kepada pemerintah kabupaten untuk mengatasi kemiskinan. Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, upaya menanggulangi kemiskinan telah gagal dan masyarakat miskin tetap rentan terhadap perubahan situasi ekonomi, sosial dan politik, serta bencana alam. Berbagai kelemahan masa lalu, meliputi pemusatan kebijakan; pengutamaan bantuan sosial dan pertumbuhan ekonomi makro; memahami kemiskinan dari sudut pandang ekonomi; memposisikan masyarakat sebagai obyek; dan asumsi bahwa penyebab kemiskinan adalah seragam sehingga strategi pengentasan dari kemiskinan pun juga bisa seragam di seluruh negeri (KPK, 2002). Dengan otonomi, pemerintah kabupaten ditempatkan sebagai pusat upaya pengentasan kemiskinan. Konsep-konsep baru mulai dipertimbangkan. Pengentasan kemiskinan harus spesifik dengan kondisi setempat. Masyarakat miskin seharusnya tidak menjadi obyek pasif pembangunan, tetapi, malah harus terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dari sejak permulaan program pemberantasan kemiskinan. Kemiskinan Kemiskinan memang tampak nyata di wilayah kabupaten yang berhutan seperti Malinau, dengan lebih dari separuh dari jumlah keluarga dianggap miskin berdasarkan standar nasional. Namun komitmen, visi dan sarana untuk mengurangi kemiskinan di tingkat kabupaten masih terfragmentasi dan tidak memadai. Berbagai program masih menekankan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat miskin, bukan mengatasi penyebab kemiskinan atau memberi kesempatan pertumbuhan aset jangka panjang dan kemajuan ekonomi. Sebagian besar digerakkan oleh mandat nasional dan prioritas lembaga, bukan oleh kebutuhan yang dirasakan secara lokal. Karena setiap pemangku kepentingan memiliki persepsi berbeda pula mengenai kemiskinan, sulit untuk mengukur situasi nyata di Kabupaten Malinau. Pemerintah Kabupaten Malinau mempunyai beragam persepsi dan pandangan mengenai kemiskinan yang dapat dikaitkan dengan ‘tugas pokok dan fungsi’ resmi yang berlaku di tempat kerja mereka. Maka, menurut Dinas Pertanian, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan memenuhi standar hidup layak yang disebabkan oleh kurangnya lingkungan yang memadai untuk mengembangkan agrobisnis. Dinas Kehutanan mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kemampuan dan modal untuk mengelola sumberdaya; DPRD menganggap kemiskinan disebabkan oleh kurangnya infrastruktur fisik. Namun para pejabat menganggap kemiskinan disebabkan oleh ‘kurangnya etika kerja dan motivasi masyarakat pedesaan’. Tidak ada data atau statistik resmi mengenai jumlah rakyat miskin di Kabupaten Malinau. Meskipun setiap sumber memberikan angka yang berbeda, persentasinya tidak pernah kurang dari 24% (BKKBN, 2001). Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 253 Kabupaten Malinau, yang dikembangkan pada tahun 2003, tidak menyatakan jumlah atau penyebaran masyarakat miskin di Kabupaten Malinau. Hanya disebutkan bahwa 126 dari 135 desa di sembilan kecamatan termasuk desa miskin. Surat Keputusan Bupati No. 144 tahun 2005 menyatakan bahwa 58,5 persen masyarakat Malinau termasuk kategori miskin. Anggota DPRD Malinau menilai bahwa kondisi kemiskinan sering dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten sebagai alat untuk meminta perhatian dan bantuan. Dengan alasan keterisolasian, keterbelakangan dan kemiskinan, usulan-usulan subsidi pemerintah menjadi lebih efektif, dan lebih banyak pula dana pembangunan yang diterima. Kemiskinan juga dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu, yang memanipulasi dan menggunakannya untuk meminta bantuan dan perhatian dari pemerintah kabupaten. Anggota DPRD menunjukkan beberapa permintaan dari kelompok masyarakat yang meminta dibangunnya fasilitas dan infrastruktur. Anggota DPRD maupun anggota masyarakat bersaing untuk mendapatkan proyek-proyek di desa atau kecamatan tempat mereka tinggal. Namun, usulan proyek tidak berasal dari masyarakat miskin di desa dan tidak membantu mengatasi kemiskinan di daerah tersebut. Gerbang Dema Di Malinau, pemerintah kabupaten membayangkan bahwa kemiskinan dapat dientaskan dengan menciptakan masyarakat yang adil di Kabupaten Malinau melalui Gerakan Pembangunan Desa Mandiri atau Gerbang Dema. Pada tahun 2002, pemerintah kabupaten mengklaim sudah melaksanakan proyek pembangunan di 96 desa, dengan menghabiskan sekitar 74,6 miliar rupiah (lihat Tabel 13.1). Visi desa mandiri ini diilhami oleh reformasi otonomi daerah dan perenungan tokoh-tokoh kabupaten dan para penasehatnya. Meski mempunyai tujuan mulia, dalam pelaksanaannya aparat kabupaten memperlakukan Gerbang Dema di Malinau seperti baju ukuran all size, di mana semua program dipromosikan seolah bisa selalu diterapkan secara universal. Semua usulan aparat pemerintah selalu dinyatakan sebagai perwujudan Gerbang Dema (Andrianto, 2006). Setiap pejabat seolah mengartikannya dengan persepsi masing-masing untuk membuat proyek sebanyak-banyaknya. Karena proyek umumnya dijadikan alat di mana pejabat dapat menerima penghasilan tambahan, proyek-proyek demikian lebih bermanfaat bagi aparat pemerintah kabupaten daripada bagi pihak-pihak yang sebenarnya ditujukan. Untuk menyempurnakan tahap kedua program tersebut, pemerintah kabupaten menerapkan model yang diperkenalkan oleh CERD (Community Empowerment for Rural Development),1 dengan menugaskan para lulusan perguruan tinggi sebagai fasilitator yang bekerja bersama masyarakat lokal di kecamatan dan desa, untuk mendukung masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program Gerbang Dema berdasarkan rumus 40 persen untuk pembangunan prasarana, 35 persen untuk pengembangan sumberdaya manusia dan 25 persen untuk pertanian. Dalam praktiknya, program diputuskan lebih banyak di tingkat kabupaten, nyaris tanpa masukan dari masyarakat. Masyarakat hanya menerima sedikit informasi tentang kebijakan dan program pemerintah kabupaten. Minimnya sosialisasi dan kurangnya transparansi mengakibatkan tidak ada ‘jalan dan pintu masuk’ bagi partisipasi masyarakat dalam gerakan tersebut. Perilaku aparat ini berlawanan dengan visi mereka dan membiarkan masyarakat miskin menjadi semakin tidak berdaya. – 1 – – – – – 2 5 Kayan Hilir Pujungan Malinau Malinau Selatan Malinau Barat Malinau Utara Mentarang Total 1.6 0.6 – – – – – 0.2 – 0.8 – 20 2 6 2 3 – 3 2 2 – 30.1 4.6 9.3 6.0 6.5 – 1.2 1 1.5 38 4 8 4 3 – 7 4 3 5 21.7 1.9 7.1 1.1 1.9 – 3.4 0 3.0 3.3 4 1 – – – – 1 1 – 1 0.8 0.2 – – – – 0.2 0.2 – 0.2 29 6 3 1 2 – 7 4 – 6 Total 20.4 3.4 2.1 0 2.1 – 5.5 1.7 – 5.6 96 15 17 7 8 – 18 12 5 14 74.6 10.7 18.5 7.1 10.5 – 10.3 3.1 4.5 9.9 Nilai (miliar Jumlah Nilai (miliar Rupiah) proyek Rupiah) Sektor Prasarana Desa Nilai (miliar Jumlah Rupiah) proyek Sektor Ekonomi Nilai (miliar Jumlah Rupiah) proyek Sektor Sosial Nilai (miliar Jumlah Rupiah) proyek Sektor Transportasi Nilai (miliar Jumlah Rupiah) proyek Sumber: BPS Kabupaten Malinau (2003) 2 Kayan Hulu Sungai Boh Jumlah proyek Sektor Produksi Tabel 13.1 Program Gerbang Dema, 2002 (dalam miliar Rupiah) 254 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 255 Walaupun sudah menghabiskan anggaran berjumlah amat besar, banyak responden merasa program ini tidak partisipatif atau transparan dalam pelaksanaannya. Banyak hal dipertanyakan para responden dari kecamatan Malinau Selatan dan Malinau Barat, yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Gerbang Dema (akuntabilitas, partisipasi dan transparansi) tidak dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat menilai program itu tidak efektif dan percuma dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilibatkannya. Visi pemerintah tentang kemiskinan tidak sama. Program-program pengentasan kemiskinan masih tertuju hanya pada pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sesaat masyarakat miskin. Tidak banyak gerakan untuk mendukung pertumbuhan aset ekonomi rumah tangga, perluasan kesempatan ekonomi, pelestarian sumberdaya utama hutan dan air, atau pemberdayaan kelompok yang tersisih dalam proses politik. Selain itu, masyarakat miskin masih dianggap homogen, dan tidak ada pengelompokan sasaran berdasarkan karakteristik tertentu. Pemerintah kabupaten Malinau hanya mengumpulkan data terbatas tentang masyarakat miskin di wilayah kabupaten sejak pertengahan tahun 2005 yang belum dianalisa. Kemiskinan hanya dilihat di tingkat desa, sehingga menghasilkan intervensi lapangan yang hanya tertuju pada pembangunan prasarana fisik desa, bukan pada kehidupan masyarakatnya. Kotak 13.1 Tahapan-tahapan menuju desa mandiri 1 Desa pra-mandiri: desa tradisional, belum ada pengaruh dari luar, produktivitas rendah dan mata pencaharian hanya di sektor primer. 2 Desa mandiri parsial: desa yang setingkat lebih maju dari desa pra-mandiri, di mana adat istiadat masyarakat desa sedang mengalami transisi; pengaruh dari luar mulai masuk ke desa yang mengakibatkan cara berpikir lebih maju dan bertambahnya lapangan pekerjaan sehingga mata pencaharian penduduk mulai berkembang dari sektor primer ke sektor sekunder. Produktivitas meningkat diimbangi dengan bertambahnya prasarana desa. 3 Desa mandiri penuh: desa yang setingkat lebih maju dari desa mandiri parsial, di mana adat istiadat yang mengikat hubungan antar manusia sudah bersifat rasional, mata pencaharian penduduk sudah mulai beraneka ragam, bergerak ke sektor tersier, teknologi baru sudah benar-benar dimanfaatkan, dan tingginya produktivitas seimbang dengan cukupnya prasarana. Sumber: Pemerintah Kabupaten Malinau (2002) Walaupun masyarakat sangat tergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan mereka (sebagai lahan bercocok tanam, sumber protein, buah, air bersih, obat-obatan, rotan, kayu dan uang tunai) dan hutan penting untuk jaminan pangan bagi sebagian besar penduduk, pemerintah kabupaten belum menganggap hutan penting bagi masyarakat. Berbagai kebijakan penebangan hutan yang mengizinkan kelompok masyarakat mencari uang dengan mengeksploitasi hutan mereka tampaknya didukung hanya untuk menjamin peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini kerap mendatangkan konflik lahan di antara warga masyarakat, kerusakan terhadap jaringan pengaman mereka dan berkurangnya kualitas lingkungan mereka. Setelah 256 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi beberapa tahun terlihat bahwa kebijakan ini gagal meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin yang hidup di sekitar hutan. Usaha pengentasan kemiskinan di Malinau terdiri dari: • • • • • subsidi melalui sektor kehutanan; beras subsidi untuk warga miskin; penerbangan bersubsidi; subsidi transportasi; dan penyediaan listrik dan air bersih untuk pedesaan. Subsidi kehutanan diberikan melalui dana reboisasi dan ditujukan untuk memberi tambahan penghasilan bagi masyarakat lokal melalui kegiatan penghijauan dan rehabilitasi. Beras subsidi untuk warga miskin di Malinau terdiri dari 105 ton beras di tahun 2002 dan 45,5 ton di tahun 2003. Karena tidak ada data resmi mengenai penerima atau keadaan penerima, pembagiannya sering diputuskan atas pertimbangan pejabat kecamatan dan desa. Penerima harus mendatangi kantor kecamatan untuk mengambil beras seberat 20kg, walau ongkos pengambilan beras itu di ibukota kecamatan (dengan perahu ketinting) bisa lebih mahal dari subsidinya. Penduduk desa juga merasa bahwa beras subsidi hanya diperlukan beberapa bulan sebelum masa panen. Penerbangan dan transportasi barang disubsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi sampai tahun 2001. Dari tahun 2002 sampai 2004 pemberian subsidi hanya dari provinsi dan kabupaten. Nilai subsidi yang diberikan terus meningkat dari 4,6 miliar rupiah pada tahun 2002 menjadi hampir 7,7 miliar rupiah di tahun 2003. Kebijakan ini juga diambil untuk menjaga stabilitas harga, sehingga masyarakat pedalaman mampu membeli barang-barang kebutuhan pokok. Upaya-upaya terkini untuk menanggulangi kemiskinan Untuk mengimbangi dampak tingginya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah pusat merancang beberapa program yang ditujukan untuk rakyat miskin dan disalurkan melalui pemerintah daerah. Program pertama yang dilaksanakan di pertengahan tahun 2005 adalah asuransi kesehatan dengan menyediakan layanan kesehatan gratis bagi warga miskin. Untuk program ini Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) telah menyusun daftar indikator kemiskinan setempat, melakukan survei dan menetapkan jumlah warga miskin sebesar 32.429 jiwa (58,5 persen). Kendala program ini adalah terbatasnya waktu persiapan. Staf senior Dinas PMD mengatakan bahwa dari laporan pemerintah kabupaten terdahulu, pemerintah pusat sudah menetapkan jumlah warga miskin 11.000 jiwa. Jadi, untuk mencakup semua warga miskin, pemerintah kabupaten harus menyediakan dana tambahan dari APBD kabupaten. Masalah lainnya adalah bahwa seringkali program-program itu cukup merepotkan. Untuk memperoleh layanan kesehatan gratis, pasien harus ke puskesmas setempat untuk meminta surat rujukan pasien untuk mendapatkan perawatan medis di rumah sakit kabupaten. Beratnya kondisi geografis Malinau membuat warga perlu menempuh empat jam perjalanan sungai ke hulu untuk meminta surat rujukan ini, padahal waktu tempuh dari desa ke rumah sakit hanya dua jam ke arah berlawanan. Informasi bantuan kesehatan ini pun tidak diketahui umum dan banyak warga baru tahu ketika mendaftar di rumah sakit kabupaten untuk mendapatkan layanan darurat medis. Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 257 Program kedua adalah bantuan langsung tunai bagi keluarga miskin sebesar Rp. 100.000 per keluarga per bulan, disalurkan setiap tiga bulan sekali. Program ini dimulai bulan September 2005 selama satu tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) berkewajiban atas survei rumah tangga miskin untuk menyusun daftar warga yang berhak menerima. Uang tunai dibagikan melalui kantor pos; tetapi di Malinau kantor pos hanya ada di tingkat kecamatan, bahkan tidak semua kecamatan memiliki kantor pos. Sekali lagi, biaya perjalanan dari desa ke kantor pos bisa jadi nyaris sama dengan jumlah uang yang akan diambil. Program lain yang lebih berhasil adalah penyediaan dana hibah untuk pembangunan prasarana desa. Program nasional ini disalurkan melalui Dinas Pekerjaan Umum kabupaten, dengan jatah sebesar 250 juta rupiah bagi setiap desa untuk perbaikan prasarana desa dengan dilaksanakan langsung oleh warga desa, agar mereka bisa memperoleh penghasilan. Di Malinau, 56 desa dari total 106 desa menerima bantuan ini. Anggota masyarakat menyambut baik program ini karena memiliki sejumlah aspek positif: mendapatkan penghasilan (dengan menjadi pekerja atau menjual bahan bangunan di daerahnya); prasarana desa membaik (pengerasan jalan, fasilitas air bersih atau dermaga perahu di sepanjang tepi sungai); dan pemberdayaan anggota masyarakat karena seluruh program dirancang, dilaksanakan dan sebagian diawasi oleh anggota masyarakat. Di samping itu, semua sekolah negeri menerima subsidi untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan akses keluarga miskin terhadap pendidikan (SMERU, 2006). Program ini dimulai pada tahun ajaran 2005 sampai 2006 dan dilanjutkan selama tahun ajaran 2006 sampai 2007. Sayangnya, kurangnya informasi mengakibatkan kecurigaan mengenai penggunaan dana tersebut. Pemerintah juga sedang melihat kemungkinan bekerjasama dengan investor dari Malaysia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu bara dan pembangunan jalan-jalan penghubung antar-kecamatan di Malinau. Staf senior pemerintah kabupaten percaya bahwa pembangunan seperti itu akan mendatangkan kemakmuran untuk Malinau dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ciri khas cara pandang teknokrat tentang pembangunan yang diwarisi dari masa Orde Baru. Meskipun berasal dari kawasan itu, mereka kurang mahir menyelaraskan kegiatan pembangunan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat. Di saat peran pemerintah kabupaten dalam penanggulangan kemiskinan masih di tahap transisi, pemerintah nasional perlu terus terlibat sebagian, untuk mendukung program-program yang lebih berorientasi publik. Hal itu tidak hanya mencakup struktur koordinasi, tetapi juga dukungan di bidang hukum, pendanaan dan pelatihan agar program dapat berjalan. Di sisi lain, pemerintah pusat perlu memberi keleluasaan agar daerah bisa mendefinisikan kemiskinan secara lokal, menentukan sendiri prioritas mereka, dan mulai mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang lebih terintegrasi di antara dinas-dinas di kabupaten. Dalam jangka pendek, dengan persepsi dan insentif yang ada sekarang, pengentasan kemiskinan di tingkat kabupaten agaknya hanya dilaksanakan melalui peningkatan infrastruktur lokal dan pembangunan ekonomi kabupaten. Walau upaya-upaya itu bermanfaat langsung bagi pejabat pemerintah, manfaatnya bagi warga miskin tidak dijamin. Resikonya adalah hal itu bahkan bisa menambah kesenjangan ekonomi karena sebagian kelompok bisa mengambil keuntungan lebih baik daripada kelompok lain. 258 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Dari IPPK hingga pengelolaan hutan berkelanjutan? Sumberdaya hutan masih merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi pemerintah maupun masyarakat pedesaan. Malinau menghentikan IPPK setelah dilarang oleh pemerintah nasional dan setelah mempertimbangkan dampak negatifnya. Kemudian pemerintah kabupaten menyesuaikan model konsesi nasional dalam skala yang lebih kecil. Dengan peraturan daerah mengenai pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (Perda 6/2001) dan keputusan Menteri Kehutanan,2 pemerintah kabupaten menerima wewenang untuk menerbitkan konsesi sampai dengan 50.000ha. Walaupun kurang memahami implikasinya, warga desa telah menunjukkan kemauan untuk melaksanakan konsesi pembalakan skala kecil ini, yang dikenal sebagai ‘HPH mini’. Masyarakat memimpikan penerimaan dana kompensasi dan fee karena pengalaman IPPK telah menunjukkan nilai uang dari hutan. Apakah sistem pembalakan berdasarkan HPH mini berbeda dengan IPPK? Peraturan yang berlaku untuk izin pembalakan baru identik dengan pedoman yang diterapkan untuk konsesi penebangan kayu selama Orde Baru. Luas maksimum 50.000ha dan berlaku selama 20 tahun. Perusahaan harus mengajukan permohonan penebangan selektif pohon berdiameter 50cm atau lebih. Peraturan daerah juga mensyaratkan pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan harus tertentu lokasi, volume dan komposisi spesiesnya, serta diwajibkan untuk merencanakan, membalak, mengangkut dan menggunakan kayu, dan menanam kembali, serta menjaga hutan dan memantau lingkungan (tidak dirinci apa saja yang harus dipantau). Ketika mengajukan permohonan izin, perusahaan harus melampirkan peta lokasi dan perkiraan luasan. Dinas kehutanan kabupaten menyediakan layanan teknis dan harus memeriksa lokasi (misalnya luasan hutan produksi dan hutan lindung di kawasan tersebut). Bupati mengeluarkan izin yang menetapkan luasan dan lokasi persisnya. Koperasi, badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta dapat mengajukan permohonan izin. Di Malinau, pemerintah kabupaten telah mengeluarkan 11 izin seperti ini. Walaupun tidak disebut dalam peraturan, warga desa berharap perusahaan pemohon izin harus mendapat persetujuan dari desa-desa yang wilayahnya menjadi daerah operasi perusahaan. Para broker lokal telah mengunjungi beberapa desa untuk membahas kemungkinan untuk penebangan kayu di wilayah desa. Diskusi oleh broker dilakukan desa per desa. Seperti telah diuraikan di atas, sejak pengalaman dengan IPPK, warga desa menganggap adalah hak mereka untuk menerima pembayaran tunai dari eksploitasi hutan di wilayah desa mereka, terlepas dari tidak jelasnya hak-hak hukum dan/atau kepemilikan mereka atas kawasan tersebut. Bersama perubahan sistem ini dan untuk meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan, Departemen Kehutanan sedang mencoba menerapkan sistem kuota atas volume jatah tebang tahunan yang diperbolehkan per provinsi. Provinsi kemudian membagi jatah tersebut di antara kabupaten. Dinas Kehutanan kabupaten sudah menyatakan bahwa volume tahunan akan lebih rendah daripada tingkat pembalakan sebelumnya. Selain itu, mereka menunjukkan bahwa tingkat tersebut tidak akan menguntungkan bagi perusahaan. Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 259 Pengalaman awal dengan sistem baru Meskipun izin-izin sudah dikeluarkan sejak awal tahun 2002, pada tahun 2004 hanya lima perusahaan yang aktif (lihat Tabel 13,2). PT Gunung Sidi Sukses Makmur yang mulai beroperasi pada bulan April 2004 di Laban Nyarit, mengalami berulangnya beberapa masalah di masa IPPK. Dalam seminggu setelah resmi beroperasi, masyarakat desa berunjuk rasa terhadap perusahaan. Mereka menuntut tambahan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal, kompensasi untuk klaim baru dan pembagian manfaat secara adil. Meski diduga ada pembagian yang tidak adil, uang yang dibayar saat peresmian dibagi di antara desa-desa yang kayunya akan diambil, meskipun di beberapa desa pembalakan baru akan dimulai beberapa tahun kemudian. Tabel 13.2 Delapan dari 11 HPH mini yang dikeluarkan oleh Kabupaten Malinau dan statusnya Nama PT Gunung Sidi Sukses Makmur PT Wana Adi Prima Mandiri PT Rajawali Sakti Perkasa PT Bumi Anugrah Lestari PT Lestari Rimba Raya PT Glory Sejahtera Mandiri PT Gunung Makmur Perkasa PT Rimba Makmur Sentosa Tanggal izin 15 February 2002 Luas (ha) 38,000 Lokasi Laban Nyarit Status Aktif 2002 32,000 Warot–Sembuak–S. Gita Mentarang S. Semendurut S. Gong Solok S. Sembuak dan S. Luso S. Semendurut–S. Sembuak S. Hong–Laban Nyarit Aktif 14 December 2001 14 December 2001 14 December 2002 14,000 12,000 Aktif Aktif Aktif Aktif Non-aktif Non-aktif Sumber: Diskusi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Malinau, 2003 Apakah ‘HPH mini’ akan menjamin pengelolaan hutan yang berkelanjutan? Salah satu alasan pengubahan sistem penebangan kayu menjadi HPH mini adalah bahwa eksploitasi oleh IPPK tidak berkelanjutan dan ada asumsi bahwa izin selama 20 tahun akan lebih menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Namun, banyak masalah tetap belum terjawab. Kekhawatiran utama adalah tidak memadainya luasan konsesi untuk eksploitasi yang menguntungkan mengingat sistem yang digunakan perusahaan HPH. Misalnya, PT Glory Sejahtera Mandiri akan memanfaatkan 12.000ha dalam siklus 20 tahun, yang berarti maksimal 600ha per tahun. Mengingat besarnya operasi perusahaan HPH, sepertinya secara ekonomis hal ini tidak akan menarik bagi perusahaan. Masih berlangsungnya perebutan kewenangan urusan kehutanan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan menimbulkan kebingungan dan, mungkin juga, berbagai biaya, pungutan dan royalti yang harus dibayarkan ke berbagai tingkat pemerintah tanpa ada kendali atas realisasi operasi pembalakan di hutan. Harapan masyarakat dalam hal keuntungan finansial tetap tidak berubah, sedangkan menurut pejabat dinas kehutanan kabupaten, HPH mini tidak akan mampu untuk menawarkan manfaat setingkat dengan IPPK. Selain itu, kurangnya transparansi serta 260 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi tidak jelas dan tumpang tindihnya klaim hutan tetap belum terselesaikan, dan merupakan sumber potensi konflik di dalam dan di antara desa-desa. Kabupaten konservasi Dengan lebih dari 1 juta hektar taman nasional dan lebih dari 600.000ha hutan lindung, pemerintah Malinau harus menemukan pendekatan inovatif untuk pembangunan. Kabupaten ini memilih untuk memanfaatkan keterbatasan lingkungan hidupnya, dan pada tahun 2003 menyatakan diri sebagai kabupaten konservasi, dengan berjanji akan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan konservasi. Dalam inisiatif ini, Malinau didukung secara resmi oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup, perwakilan dari Bappenas, beberapa universitas, dan organisasi internasional seperti Center for International Forestry Research (CIFOR),3 World Wide Fund for Nature (WWF) dan Tropenbos. Dalam suatu seminar nasional bertema ‘Kabupaten Malinau menuju Kabupaten Konservasi’ yang diadakan di Malinau tanggal 5 Juli 2005, dikembangkan seperangkat kriteria umum untuk mendefinisikan kabupaten konservasi di Malinau (Santosa dkk, 2005). Termasuk di antaranya, adanya wilayah luas yang dialokasikan untuk konservasi, ketergantungan yang tinggi dari masyarakat pada hutan di sekitarnya, dan komitmen pada pembangunan yang berbasis konservasi. Visi Malinau mengenai pembangunan masyarakat mandiri juga disebutkan. Dalam menyatakan Malinau sebagai kabupaten konservasi, Bupati memberikan alasan berikut: Konsep kabupaten konservasi sebagai model pembangunan didorong oleh kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat setempat akan pentingnya Malinau sebagai penjaga yang kaya keanekaragaman hayati, paru-paru dunia dan sumber air. Konsep ini adalah hasil diskusi yang mendalam, perdebatan dan perenungan mengenai arti dari aset masa depan ini yang harus dilindungi dan diberikan kepada generasi berikutnya. (dikutip dari Prosiding Seminar Nasional, 4-5 Juli 2005). Dalam rangka mendapatkan dukungan, Bupati sering mengutip retorika kearifan tradisional masyarakat Dayak dengan alam (Li, 2000; Billa, 2005). Namun dalam seminar yang sama, beberapa wakil masyarakat yang hadir menyatakan kekhawatiran bahwa konservasi akan bisa meniadakan kemungkinan pengembangan masyarakat, termasuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Namun pemerintah kabupaten Malinau berharap mendapatkan manfaat finansial dari peranannya sebagai pelindung ‘paru-paru dunia’ bagi kepentingan lokal, nasional dan internasional (Rudiwidjaja, 2004). Memang, sejak awal otonomi daerah, Malinau sudah bersikap bahwa mereka layak menerima kompensasi untuk tidak menebang kayu di kawasan lebih dari 1 juta hektar di Taman Nasional Kayan Mentarang. Tentang kekayaan sumberdaya Malinau dan hutan primernya, Bupati menyatakan sebagaimana dikutip di harian Kompas (Anon, 2004): Tidak heran dengan kondisi seperti ini, sejumlah kalangan mendesak agar Kabupaten Malinau dijadikan daerah konservasi. Hutan yang masih lestari tidak boleh ditebangi. Namun, kami tidak menerima apa-apa dari pemerintah Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 261 pusat apalagi lembaga swadaya masyarakat yang mendesak kami melakukan konservasi. Dalam seminar nasional tersebut, kabupaten konservasi berharap dapat mengakses berbagai peluang pendanaan, seperti: • • • • • • • • • pembayaran kompensasi jasa lingkungan dalam provinsi, berdasarkan kesepakatan hulu-hilir; proporsi yang lebih tinggi dalam bagi hasil pendapatan pemerintah baik tingkat provinsi dan nasional; dana alokasi khusus untuk kabupaten konservasi sebagai insentif untuk melestarikan sumberdaya alam; pembayaran langsung atas jasa lingkungan; konsesi konservasi; pencairan dana untuk Mekanisme Pembangunan Bersih; pertukaran Hutang untuk Alam; hibah dari donor internasional; kemitraan dengan lembaga-lembaga nasional dan internasional. Karena itu, ada harapan yang jelas bahwa menjadi kabupaten konservasi adalah salah satu cara mendapatkan bantuan langsung tunai dan pendapatan yang lebih tinggi. Namun tidak jelas apakah pemerintah Kabupaten Malinau mengerti bahwa hal ini membutuhkan kerangka konseptual yang jelas, kerja keras dan komitmen yang jelas untuk menerimanya. Dalam upaya mengembangkan insentif untuk konservasi, telah diusulkan sistem pembayaran untuk konservasi di mana kabupaten konservasi bisa menerima dana untuk membiayai upaya konservasi dan untuk memberikan kompensasi atas pendapatan yang tidak diterima. Sayangnya, kurangnya pemahaman dan perhatian oleh para pengambil keputusan di Jakarta mengakibatkan dana konservasi didistribusikan merata di antara semua kabupaten, yang jumlahnya sekitar 200 juta rupiah dengan total anggaran kabupaten sebesar 3 miliar sampai 4 miliar rupiah (F. Agung Prasetyo, komunikasi pribadi, 2004).4 Sampai saat ini pemerintah pusat belum terlalu semangat menanggapi gagasan ini dan upaya untuk memperoleh tambahan alokasi dana untuk kegiatan konservasi belum berhasil. Dalam sistem administrasi saat ini, dorongan untuk konservasi tidak terlalu besar. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah diwajibkan mencari pendapatan yang cukup untuk administrasi dan pembangunan. Malinau, seperti banyak daerah lain, masih sangat tergantung pada penerimaan bagi hasil dari sumberdaya alam; yaitu 32 persen royalti dari penebangan kayu dan pertambangan di daerah, dan bagian royalti yang dihasilkan dalam provinsi (Cahyat, 2005). Jelas, bagi kabupaten lebih menguntungkan bila membolehkan tingkat pengambilan sumberdaya alam yang tinggi. Sistem yang ada tidak menyediakan insentif untuk konservasi. Bahkan cara pembagian dana reboisasi, misalnya, merupakan disinsentif jelas bagi konservasi. Menurut undang-undang keuangan daerah yang direvisi (UU 33, 2004), 40 persen dari dana reboisasi yang dikumpulkan dikembalikan ke daerah ‘penghasil’, yaitu daerah yang hutannya ditebang, dan 60 persen akan digunakan untuk proyek-proyek reboisasi tingkat nasional. Masalahnya adalah perumusan istilah ‘daerah’, karena produksi kayu kebanyakan dari wilayah kabupaten, tetapi penerimaan dikembalikan ke provinsi dan dibagikan ke seluruh kabupaten di provinsi itu. 262 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Di sisi lain, ada banyak diskusi dan perdebatan internasional tentang berbagai insentif bagi konservasi dan mekanisme pelaksanaannya, termasuk pembayaran langsung dan tidak langsung (Ostrom, 1999; Ferraro dan Kiss, 2002; Pagiola dan Platais, 2002; Hayes dan Ostrom, 2005 ; Wunder dkk, 2008), dan belum ada mekanisme yang efektif untuk pembayaran seperti ini. Akibatnya, kepentingan konservasi di tingkat kabupaten memudar dan kabupaten mencari pilihan lain, seperti pengembangan perkebunan. Sektor swasta telah menyatakan minat untuk berinvestasi kelapa sawit meskipun ada keberatan dari masyarakat setempat. Pada awal diskusi tentang kabupaten konservasi, terungkap bahwa konsep ini dapat dikaitkan dengan pembayaran kompensasi melalui perdagangan karbon. Seorang pejabat pemerintah senior yang terlibat dalam diskusi mengenai kabupaten konservasi secara rutin meminta informasi mengenai perdagangan karbon dan mekanisme pelaksanaannya. Seorang ilmuwan senior CIFOR yang meneliti topik ini secara jelas menerangkan bahwa perdagangan karbon sangat diatur dan membebani pihak penerima. Dijelaskan juga bahwa pada tahun 2003, berdasarkan Protokol Kyoto, perdagangan karbon juga tidak berlaku untuk Kabupaten Malinau karena konservasi hutan primer tidak termasuk dalam protokol Kyoto. Ilmuwan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak mekanisme lainnya, yang lebih fleksibel, untuk menerima pembayaran kompensasi dan/atau subsidi untuk melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati. Pada tahun 2005, di tengah diskusi mengenai kabupaten konservasi, Malinau mendapatkan perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Swiss, Borneo Tropical Rainforest Foundation (BTRF), yang menawarkan dukungan bagi Malinau melalui pasar karbon sukarela. BTRF kemudian mengatur sebuah perjanjian perdagangan karbon antara Global Eco Rescue (GER), sebuah perusahaan jasa lingkungan, dan pemerintah kabupaten Malinau. Dengan imbalan 1 Euro per satu hektar lahan per tahun, Malinau telah sepakat untuk melindungi 325.000 ha hutan lindung (Anon, 2007; Sinyal dan Warouw, 2007; Williamson, 2007). GER mengklaim bahwa pihaknya mendukung ‘transisi ke ekonomi global yang hemat secara ekologi dan energi melalui pengembangan, pendanaan dan pengelolaan diversifikasi portfolio sumberdaya alam, energi terbarukan dan proyek-proyek lingkungan yang akan dijalankan dengan cara yang terbaik, lestari dan menguntungkan’. Dalam pasar sukarela, bekerjasama erat dengan organisasi seinduknya BTRF, GER telah menciptakan model bisnis kehutanan mutakhir, yang menghargai konservasi dan penanaman kembali hutan tropis (BTRF-GER, 2007). Proyek tersebut masih pada tahap awal dan realisasinya hingga kini belum jelas. Bupati pernah dikutip mengatakan bahwa belum ada kepastian tentang nilai sebenarnya dan masih perlu dikaji. Setidaknya sebagian uang itu akan digunakan untuk meneliti jumlah karbon yang bisa diserap oleh hutan (Anon, 2007). Lokasi seluas 325.000 ha juga masih belum jelas, dan satu sumber menyebutkan tempatnya di tiga hutan lindung yang terpisah (yaitu Pasilan Tabah Hilir Sungai Sembakung, Long Ketrok dan Gunung Laung-Gunung Belayan) (Dewi, 2007). Jumlah dananya relatif kecil, tetapi cukup signifikan untuk Malinau. Untuk mengelola dana ini dan memastikan penggunaannya untuk pembangunan, pemerintah berencana untuk mendirikan sebuah lembaga layanan publik, Badan Layanan Umum (BLU), yang dijalankan oleh beberapa individu independen. BLU ditujukan sebagai badan pemberi hibah, menerima dan menilai usulan yang diajukan oleh masyarakat pedesaan dan mencairkan dana untuk usulan yang disetujui. Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 263 Sebuah skema untuk melindungi wilayah hutan yang luas tidak akan berhasil tanpa perjanjian yang tetap dan kerjasama dengan warga di dalam atau di sekitar daerah tersebut. Namun, sebagian besar warga Malinau masih belum tahu dan belum ada pengumuman tentang letak hutan tersebut serta siapa yang akan menikmati manfaatnya. Perlindungan yang efektif dan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan memerlukan saling percaya antara semua pemangku kepentingan. Cara yang paling efektif adalah merancang proyek dari bawah ke atas dan memastikan masyarakat menerima manfaat langsung dan tidak hanya dalam jangka panjang (Kusumaatmadja dan Thoumi, 2007), pelajaran yang belum terserap oleh sebagian besar pejabat kabupaten Malinau. Kekhawatiran lain adalah bahwa kesepakatan, khususnya di kalangan masyarakat, bersifat cair dan mudah berubah jika perubahan situasi, seperti dibahas di bawah ini. Kesepakatan Gelombang perubahan dalam pemerintahan di masa paska-Soeharto dan desentralisasi telah mendorong transformasi sosial yang cepat di seluruh negara. Perubahan sosial cukup genting terjadi terutama di daerah yang kaya sumberdaya alam dan banyak masyarakatnya yang selama ini terpinggirkan. Hal ini tergambar dalam kasus Malinau, di mana banyak peluang tersia-siakan karena ketidakmampuan untuk menegakkan perjanjian atau kesepakatan. Warga desa mencatat bahwa di masa lalu, janji-janji dan/atau kesepakatan selalu dipenuhi walau semua secara lisan. Dengan desentralisasi dan perubahan terkait, kini warga desa kesal karena semua perjanjian tertulis tetapi jarang dipatuhi. Bagian ini membahas mengapa hal itu terjadi dan dampaknya bagi pengelolaan sumberdaya berkelanjutan. Tidak jelas apakah dulu orang selalu memenuhi janji dan kesepakatan, hal yang tampaknya sangat mustahil. Karena itu, perjanjian penting umumnya disahkan dengan sumpah. Melanggar sumpah seperti ini diyakini akan mengakibatkan hukuman ilahi, sehingga penduduk desa tersebut jarang melanggar sumpah. Dengan masuknya agama Nasrani dan Islam, sumpah ini kehilangan ‘kekuatan sosial’ karena dinilai sebagai aspek animisme dan primitifisme, bahkan kekafiran. Namun agama-agama Nasrani dan Islam belum seluruhnya berhasil menggantikan kepercayaan yang sebelumnya dianut mengenai ‘pembalasan Tuhan’. Selain itu, dengan desentralisasi dan peluang berwirausaha di tingkat lokal, negara Indonesia terbukti kurang mampu dan/atau tidak bersedia untuk menegakkan perjanjian tertulis. IPPK contohnya, akta notaries yang dibuat mengesankan kokohnya perjanjian; namun masyarakat tidak peduli atau tidak memahami bagaimana dokumen ini dapat membantu mereka dalam menegakkan kontrak dengan perusahaan. Selain itu, hanya sedikit tindakan yang dilakukan pada para pelanggar kontrak. Masyarakat atau pemimpin mereka sering membuat kesepakatan tentang batas desa atau penggunaan sumberdaya alam yang dianggap sementara, dan terkadang dipersengketakan hanya setelah beberapa bulan. Contohnya sengketa batas antara Sengayan dan Nunuk Tanah Kibang, atau kontrak IPPK antara Langap dan CV Hanura. Perusahaan penebangan dan pertambangan memiliki sikap yang sama. Dari awal perjanjian antara perusahaan dan masyarakat, tidak ada yang dipenuhi tanpa pemaksaan dari masyarakat agar perusahaan memenuhi janji-janji mereka. Beberapa warga masyarakat awalnya mencoba memastikan bahwa perusahaan memenuhi perjanjian dengan 264 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi mengirimkan surat ke perusahaan dan pemerintah kabupaten. Karena hanya menerima sedikit tanggapan, masyarakat turun menutup jalan dan menyita peralatan untuk menarik perhatian pada masalah tersebut. Karena tindakan itu membuahkan reaksi yang cepat dari perusahaan maupun pemerintah, warga percaya bahwa unjuk-rasa adalah satu-satunya cara untuk menegakkan kesepakatan. Mereka juga tahu bahwa sebuah perjanjian yang dilanggar akan digantikan oleh perjanjian lain yang mungkin akan dilanggar lagi kecuali bila ada tindakan untuk menegakkan perjanjian. Jika perjanjian yang stabil tidak dapat tercapai di antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan akan tetap gagal. Apa yang perlu berubah? Mungkin yang paling penting adalah agar semua tingkat pemerintahan berperan lebih aktif dalam perjanjian pembalakan, dan merumuskan serta menegakkan sanksi tegas. Sebagai contoh, desa sangat kurang berpengalaman dengan perjanjian bisnis dan tidak mampu membuat perjanjian yang adil. Untuk itu, pemerintah kabupaten dapat mengatur tingkat kompensasi yang adil bagi masyarakat. Walau hal itu telah diminta oleh masyarakat, sampai sekarang belum ditanggapi. Setelah desentralisasi, peran dan kewenangan pemerintah kecamatan menjadi tidak jelas. Meskipun secara hukum kecamatan hampir tidak memiliki kewenangan, pemerintah kabupaten tampaknya mendorong agar Camat dapat berperan dalam penyelesaian sengketa batas desa, pemanfaatan sumberdaya, dan perselisihan antara perusahaan dengan warga masyarakat. Kesimpulan Bab ini menggambarkan beberapa tanggapan terhadap pesatnya perubahan sejak reformasi dan desentralisasi di Malinau. Lebih jauh lagi, bab ini juga menggambarkan suatu proses pembelajaran, baik bagi pemerintah kabupaten maupun bagi masyarakat dalam beradaptasi dan mencoba memanfaatkan peluang baru dengan sebaik-baiknya. Setelah masa jaya IPPK, yang sangat menguntungkan bagi masyarakat lokal tetapi juga meningkatkan konflik dan masalah lingkungan yang nyata, pemerintah mencoba mengatur pembalakan secara lebih rasional, yaitu memberlakukan sistem pembalakan baru yang juga memuat isu lingkungan (yaitu konsesi jangka panjang). Namun beberapa aspek lain yang mendasari pengelolaan hutan yang berkelanjutan belum bisa ditangani. Masalah hak-hak warga masyarakat belum diselesaikan dan sepertinya bisa berlanjut menjadi konflik antar desa dan antara desa dengan perusahaan, yang bisa mengurangi peluang tercapainya pengelolaan iye alam yang lestari. Masalah pemerataan pembagian keuntungan dari pengusahaan hutan juga belum terselesaikan. Hal ini akan semakin membebani perusahaan sehingga mencari jalan lain untuk menjaga tingkat keuntungannya. Tiga upaya di atas adalah prakarsa yang baik; tetapi pelaksanaannya memang sulit. Beberapa peraturan pemerintah pusat yang mengembalikan pengambilan keputusan kehutanan ke pusat, telah menghambat pelaksanaan peraturan daerah mengenai HPHmini. Kurangnya dukungan pemerintah tingkat nasional kepada masalah konservasi juga tidak mendukung pengembangan kabupaten konservasi. Proses pembelajaran sekarang telah menempuh sedikitnya tiga siklus. Tahun-tahun pertama desentralisasi telah lebih mendekatkan negara (yaitu pemerintah) kepada masyarakat. Setelah tahun-tahun pertama, pemerintah mundur dan para Camat ditempatkan sebagai mediator antara warga dengan pemerintah kabupaten. Dalam siklus yang ketiga, telah berkembang suatu pengertian baru antara pemerintah dan warga negaranya. Pemerintah Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat 265 sedang belajar bekerjasama dengan masyarakat lokal, yang mulai memahami peran dan tanggung jawab mereka sendiri maupun pemerintah. Catatan 1 CERD adalah program yang didanai oleh Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank; ADB) melalui Departemen Dalam Negeri, dan menekankan peningkatan hubungan antara masyarakat pedesaan dengan pasar perkotaan. Program berfokus pada masyarakat miskin dengan potensi pengembangan yang tidak terlalu jauh dari pusat perkotaan. 2 Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 16/Kpts-II/2003 tentang rencana kerja, rencana kerja lima tahun, rencana kerja tahunan dan bagan kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. 3 CIFOR melakukan penelitian di Malinau sejak tahun 1998 dan termasuk sebagai pemangku kepentingan. WWF juga bekerja di Taman Nasional Kayan Mentarang sejak tahun 1990. 4 F. Agung Prasetyo adalah ilmuwan di CIFOR yang terlibat dalam program Forest Partnership (WWF, Tropenbos dan CIFOR). Rujukan Andrianto, A., 2006. The Role of District Government in Poverty Alleviation: Case Studies in Malinau and West Kutai Districts, East Kalimantan, Indonesia, Governance Programme Report, CIFOR, Bogor, Indonesia. Anon, 2004. Daerah konservasi mestinya dapat kompensasi, Kompas, 15 Desember, www. kompas.com/kompas-cetak/0412/15/otonomi/1440097.htm. Anon, 2007. Kabupaten Malinau masuki pasar karbon dunia, Kompas, 9 November, www. kompas.co.id/kompas-cetak/0711/09/humaniora/3980513.htm. Billa, M., 2005. Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. BKKBN, 2001. Field Data on Poor Households per Subdistrict, BKKBN Malinau, Malinau, Indonesia. Boedhihartono, A. K., Gunarso, P., Levang, P. dan Sayer. J., 2007. The principles of conservation and development: Do they apply in Malinau?, Ecology and Society, vol 12, no 2, www. ecologyandsociety.org/vol12/iss2/art2/. BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Malinau, 2003. Kabupaten Malinau Dalam Angka Tahun 2002, BPS, Malinau, Indonesia. BTRF–GER, 2007. Brosur, www.greenrenaissance.org/files/brochure/btrfger_brochureweb. pdf. Cahyat, A., 2005. Perubahan Perundangan-undangan Keuangan Daerah Tahun 2004: Bagaimana Pengaruhnya pada Program Penanggulanan Kemiskinan Daerah?, Governance Brief No 24, CIFOR, Bogor, Indonesia. Dewi, S. U., 2007. Perdagangan Karbon Sukarela: Suatu Alternatif Kreatif, http://sudewi.blog. com/2276188/, diakses 3 Desember 2007. Ferraro, P. J. dan Kiss, A., 2002. Direct payments to conserve biodiversity, Science, vol 298, hal. 1718–1719. Government of Malinau District, 2002. Gerbang Dema Strategy General Guidelines, East Kalimantan, Indonesia. 266 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Harijono, T., 2007. Ironis, daerah yang membabat hutan malah diberi kompensasi ratusan miliar rupiah, Kompas, 7 November. Hariwibowo, 2008. Pilot Project Skema REDD Gagal, Pemerintah Indonesia akan Sangat Malu Besar, 22 Januari, www.modus.or.id/parlemen/redd.html. Hartiningsih, M. dan Laksmi, B. I., 2007. Perdagangan karbon libatkan semua pihak, Kompas, 10 Desember. Hartono, B., 2008. Marthin Billa, penggugah dunia dari pedalaman, Tribun Kaltim, 10 Januari Hayes, T. M. dan Ostrom, E., 2005. Conserving the worlds forests: Are protected areas the only way?, Indiana Law Review, vol 38, no 3, hal. 595–617. Hudiono, U., 2007. Indonesia could net US$2 billion from forest conservation, The Jakarta Post, 30 November 2007. Kolesnikov-Jessop, S., 2006. Fighting to save Borneos vital last rain forests, International Herald Tribune, 19 September 2006, www.iht.com/bin/print.php?id=2852374. KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan), 2002. Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, KPK, Jakarta, Indonesia. KPK, 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, KPK, Jakarta, Indonesia. Kusumaatmadja, R. dan Thoumi, G., 2007, Land dictates the rules and rural communities are the gatekeepers, The Jakarta Post, 4 Desember. Li, T. M., 2000. Articulating indigenous identity in Indonesia: Resource politics and the tribal slot, Comparative Study of Society and History, vol 42, no 1, hal. 149–179. Oka, N. P. dan William, D., 2004. The Policy Dilemma for Balancing Reforestation Funds, Decentralisation Brief no 1, CIFOR, Bogor, Indonesia. Ostrom, E., 1999. Self-Governance and Forest Resources, Occasional Paper no 20, CIFOR, Bogor, Indonesia. Pagiola, S. dan Platais, G., 2002. Payments for Environmental Services, Environment Strategy Notes no 3, World Bank, Washington, D.C. Proseeding Seminar Nasional, 2005. Menuju Kabupaten Malinau Sebagai Kabupaten Konservasi, Malinau, 4–5 Juli 2005. Rudiwidjaja, R., 2004. Ekowisata alat unggulan penyelenggaraan kabupaten konservasi, Sinar Harapan, 6 Mei, www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0506/wis02.html. Santosa, K. D., Gunarso, P. dan Priyadi, H., 2004. Kabupaten Konservasi sebagai Bentuk Model Forest: Studi Kasus Kabupaten Malinau, Makalah Disajikan Dalam Workshop Model Forest, 6–10 Desember 2004, di Madiun, Indonesia. Sinyal, D. dan Warouw, W., 2007. Kabupaten Malinau rintis pasar karbon dunia, Sinar Harapan, 25 Oktober, www.sinarharapan.co.id/berita/0710/25/kesra02.html, diakses 8 Februari 2008. SMERU, 2006. Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan Bantuan Operasional Sekolah (Bos) 2005, www.bappenas.go.id/.../&view=443/SMERU_ BOS_PKPS_BBM.pdf, diakses 9 Februari 2008. Syaifullah, M., 2003. Kapuas Hulu mestinya jangan hanya basa-basi, Kompas, 7 November Williamson, L., 2007. Pricing the Indonesian forests, BBC News, Kalimantan, 12 Desember, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7136345.htm. Wunder, S., Campbell, B., Iwan, R., Sayer, J. A. dan Wollenberg, E., 2008. When donors get cold feet: The community conservation concession in Setulang (Kalimantan, Indonesia) that never happened, Ecology and Society, vol 13, no 1, hal. 12, www.ecologyandsociety. org/vol13/iss1/art12/. 14 Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg Kisah Malinau ini menonjolkan potensi reformasi tata kelola global menuju pengelolaan yang lebih bersifat lokal dan demokratis. Desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto telah meningkatkan kendali hutan pada pemerintah kabupaten, dan sekaligus melemahkan kekuasaan pemerintah pusat secara dramatis. Akibatnya, berbagai kekuatan sosial lokal menjadi lebih berpengaruh terhadap pemerintahan daerah, yang nantinya akan membentuk dan membatasi kekuasaan pemerintah kabupaten. Di Malinau, dan kami duga juga berlaku bagi banyak wilayah hutan lainnya, kekuatan sosial ini telah dan akan tetap sangat dipengaruhi oleh ikatan-ikatan etnis. Orde politik lokal bermunculan, diperkuat dan diatur oleh hubungan kekuasaan di antara kelompokkelompok etnis. Banyak di antara orde politik lokal ini lahir dari jaringan generasi awal tokoh-tokoh berpengaruh serta keturunannya. Desentralisasi dan reformasi telah memberikan tampilan dan suara baru kepada orde tersebut. Namun tanpa melakukan langkah-langkah demokratis yang kuat dan pengawasan dari pemerintah pusat, potensi terjadinya kolusi demi kepentingan sendiri akan berlanjut bahkan bisa lebih meningkat di kalangan elit etnis lokal, pejabat kabupaten dan pengusaha. Hutan Malinau telah menjadi bahan perebutan, terutama di masa penuh ketidakpastian di tahun-tahun awal transisi. Manfaat dari sumberdaya hutan pada saat ini terkumpul di tangan mereka yang selama ini sudah memiliki pengaruh di tingkat lokal atau terorganisasi baik. Kelompok yang lemah akan kalah, gagal dalam negosiasi, serta klaim mereka atas hutan, wilayah desa dan keuntungan dari perusahaan kayu menghadapi ancaman. Konflik antar kelompok, dengan pemerintah dan perusahaan semakin meningkat. Di tahun-tahun awal desentralisasi, hutan Malinau mengalami kerusakan dengan laju yang belum pernah dialami, meski tidak terlalu luas. Ketidakjelasan kebijakan dan wewenang, serta ketidakpastian peruntukan lahan dan hak pengelolaannya di sebagian 268 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi besar wilayah kabupaten, membuat hutan Malinau terancam kehancuran. Ketidakpastian dan ketidak-jelasan ini membuka peluang bagi kelompok-kelompok kuat untuk bertindak secara tidak resmi untuk memenuhi kepentingan sendiri. Meskipun masyarakat merasa memiliki akses kepada pejabat setempat, pemerintah kurang menanggapi keinginan masyarakat setempat untuk menetapkan batas wilayah maupun terhadap prioritas mereka dalam pemanfaatan dan perlindungan hutan. Pembalakan dan konversi hutan yang didorong oleh kepentingan komersial tampak akan berlanjut tanpa menghiraukan prioritas lingkungan hidup maupun masyarakat setempat, khususnya karena upaya memperoleh dukungan dana untuk konservasi hingga saat ini belum berhasil. Pesatnya laju perubahan ini sama pentingnya dengan perubahan itu sendiri. Cepatnya reformasi telah mempengaruhi persepsi mengenai ketidakpastian dan menyulitkan kelembagaan dan masyarakat untuk beradaptasi secara cepat dalam menangani masalah dan peluang. Sementara itu, ketidakpastian ini memungkinkan berkembangnya sikap pemburu keuntungan dan oportunis tanpa hambatan. Walaupun masa kekacauan awal sudah berlalu, belum menentunya keadaan hutan mencerminkan bahwa para pembuat keputusan masih butuh waktu lebih panjang untuk mengembangkan kelembagaan yang tepat. Berbagai organisasi politik masyarakat lokal terus bertumbuh bersama berubahnya sistem pemerintahan. Lambatnya regenerasi hutan akan menyulitkan diperolehnya kembali apa yang telah hilang. Sejarah mutakhir Malinau telah menunjukkan transformasi sosial dan kendali negara yang terjadi dalam upaya menciptakan tata kelola yang lebih bersifat lokal. Di buku ini kami mencoba menjelaskan perubahan itu dengan menjawab tiga pertanyaan: 1. Bagaimana peran baru negara dan masyarakat dalam menuju tatanan politik lokal yang baru? 2. Bagaimana pengaruh semua perubahan itu terhadap kelompok-kelompok yang tersisihkan? 3. Bagaimana pengaruh semua perubahan ini terhadap hutan, bagaimana pengelolaannya serta manfaat jangka panjangnya? Lahirnya tatanan politik setempat Manifesto: Desentralisasi dan demokrasi Desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia telah memicu lahirnya badai perubahan. Meskipun perubahan ini tercermin dan terbentuk di atas kecenderungan dan ketegangan lama antara negara dan berbagai masyarakatnya, lima tahun terakhir ini telah melahirkan gelombang perkembangan cepat. Sudah sejauh mana jangkauan reformasi ini? Sudah bisakah kita mengatakan bahwa Indonesia telah berhasil membawa desentralisasi dan demokrasi ke tempat-tempat seperti Malinau? Di Malinau kita melihat paduan lintasan perubahan, penyesuaian, kontradiksi dan pembalikan. Reformasi pemerintahan menciptakan struktur operasional bagi pemerintah daerah. Harapan, retorika dan keinginan serta keterbukaan menuju perubahan cukup tinggi pada 2-3 tahun pertama reformasi seiring dengan terciptanya struktur tersebut. Ada inisiatif, aliansi dan suara-suara baru, khususnya dari kelompok-kelompok lemah seperti suku Punan atau kelompok masyarakat di daerah terpencil seperti di Sungai Bahau dan Apo Kayan yang mulai mengadakan pertemuan berkala dengan pejabat pemerintah. Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 269 Pejabat pemerintah kabupaten akrab dengan nilai-nilai dan gaya hidup tradisional meskipun tidak mendukungnya. Masyarakat semakin terbuka mengkritik pemerintah dan warga desa semakin bisa menyatakan konflik dan ketidaksetujuan. Ada pembicaraan untuk mengalokasikan hak atas tanah dan mengembangkan peluang ekonomi baru. Akses dan pengaruh kelompok-kelompok lokal kepada pemerintah kabupaten lebih besar daripada sebelumnya. Dengan semakin mantapnya keadaan, semakin tampak pula komplikasi reformasi. Dalam kerangka yang tercipta oleh reformasi, substansi pemerintahan – yang diukur atas dasar ketanggapannya, efisiensi pengalokasian sumberdaya, transparansi, akuntabilitas serta keadilan – tampak lemah di dua bidang. Di bidang formal kemampuan kebanyakan pejabat dan instansi pemerintah rendah. Infrastruktur dan kekuatan ekonomi tetap terpusat di pusat-pusat ekonomi seperti antara lain Tarakan, Surabaya dan Tawao.1 Ketergantungan pada dana dari Jakarta serta kebutuhan untuk melobi di pusat tetap tinggi. Penegakan hukum dan peraturan buruk. Pembagian peran antara kabupaten, provinsi dan pusat masih kabur. Pengembangan kelembagaan gabungan untuk penetapan dan pendistribusian lahan, pengelolaan sumberdaya alam, penanganan konflik atau peningkatan partisipasi tampak tidak seimbang, tidak jelas dan lamban. Perjanjian-perjanjian ternyata lemah dan mudah dibatalkan. Desakan perubahan disertai melambungnya ekonomi lokal yang terjadi di tahun-tahun awal tidak memberi waktu untuk berfikir dan bertindak secara bijaksana (de Soto, 2000). Kebanyakan pejabat belum cukup memperoleh pelatihan dan pengalaman dalam tata pemerintahan daerah yang demokratis. Kebanyakan pernah dididik dan/atau dilatih di pusat oleh Departemen Dalam Negeri. Jadi walaupun cukup terpikat oleh konsep demokrasi dan otonomi, mereka tidak memiliki pengetahuan dan kepercayaan diri untuk menerapkannya. Beberapa di antara mereka mengungkapkan kecemasan bahwa reformasi hanya akan menimbulkan kekacauan dan konflik. Kebiasaan dan norma-norma budaya Orde Baru tetap melekat. Sikap hendak memodernkan masyarakat tradisional tetap bertahan (Dove, 1988). Kecurigaan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tetap tinggi. Masa adaptasinya singkat. Kesediaan warga negara untuk melibatkan diri adalah ‘inti dari proses demokrasi’ (Moyer, 2001, hal.2), tetapi masyarakat juga merupakan hambatan bagi pemerintah daerah untuk memainkan perannya. Masyarakat lokal tetap belum terorganisasi dan terinformasi dengan baik meskipun kebanyakan sangat berminat terhadap perubahan demokratis di tingkat kabupaten. Ironisnya, hanya faksi-faksi tertentu saja yang sangat mendukung reformasi di pedesaan, biasanya pihak yang beroposisi dengan kepala desa. Pada awalnya baik pejabat maupun masyarakat lokal bersemangat menghadapi kemungkinan meningkatkan partisipasi dalam urusan pemerintahan, tetapi kecewa dengan lambannya proses reformasi. Mereka juga sadar bahwa biayanya mahal, baik untuk biaya transpor dan akomodasi maupun dari segi waktu. Partisipasi kembali bersandar kepada jaringan-jaringan lama dan hubungan informal dengan birokrasi. Para pejabat menganggap tuntutan penduduk setempat berlebihan dan susah ditanggapi. Di era Soeharto, selain pemecahbelahan dan pencegahan secara sistematis terhadap berkembangnya organisasi lokal, juga ditumbuhkan pandangan bahwa pemerintah adalah pelindung atau bapak yang senantiasa mengayomi seluruh warga. Tuntutan masyarakat pada pemerintah lebih bersifat pada keuntungan material dan bukan untuk mempromosikan penentuan nasib sendiri maupun peningkatan lembaga-lembaga kolektif. Pemerintah tidak berhasil menegakkan kewajiban yang seharusnya menyertai hak, yang artinya bahwa setiap keuntungan baru harus merupakan subyek pajak. 270 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Selain kurangnya kemampuan di tingkat formal, di tingkat non-formal terdapat kecenderungan yang menghambat terjadinya reformasi yang substantif. Pengalihan kekuasaan pada pejabat lokal telah memicu kemungkinan terjadinya kolusi, korupsi dan mengedepankan kepentingan diri sendiri (Smith dan Obidzinski, 2003). Sering kali kekuasaan politik disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan finansial yang kemudian dibagi-bagikan sebagai investasi dan penguatan jaringan untuk meningkatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan meningkatnya kepentingan finansial dan politik, semakin marak pula praktik kesepakatan intern dan tawar menawar. Pejabat di tingkat atas mengejar keuntungan cepat, termasuk dari kayu dan pertambangan, dengan alasan untuk menghasilkan pendapatan daerah. Mereka cenderung memanfaatkan, mengabaikan dan menyusun kebijakan dengan cara yang paling menguntungkan diri sendiri. Kisah mengenai IPPK adalah contoh paling menonjol. Pejabat di tingkat rendah menyibukkan diri dengan bagian perolehan dari proyek, perjalanan dinas untuk mendapatkan tunjangan tambahan, serta berebut kekuasaan kecil-kecilan. Sikap terlalu mementingkan diri sendiri serta permainan politik kelas bawah yang terjadi di birokrasi telah menjadi insentif kuat untuk melawan berkembangnya reformasi secara substantif. Hal itu juga menyita perhatian dan waktu yang terbatas. Pemerintah pusat bereaksi terhadap apa yang dinilai sebagai kepentingan pribadi yang berlebihan dari pemerintah daerah, dengan mengambil kembali kendali, khususnya di bidang kehutanan. Tahun 2004 terbit Undang-undang baru yang membingkai kembali desentralisasi, dengan mengembalikan wewenang pemerintah provinsi untuk mengawasi kabupaten. Di sektor kehutanan diterbitkan beberapa peraturan baru yang secara berangsur mengikis kewenangan pemerintah kabupaten atas hutan. Penyesuaian perimbangan kekuasaan antara pusat dan kabupaten hingga kini masih berlangsung, walaupun banyak yang sependapat bahwa sulit bagi pemerintah pusat untuk mengembalikan kekuasaan secara penuh kecuali dengan paksaan. Banyak yang memandang terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2004 sebagai pencerminan keinginan rakyat untuk mengembalikan otoritas seperti itu. Struktur baru pemerintah daerah telah menyediakan potensi besar untuk perubahan; tetapi faktor-faktor sebagaimana diuraikan di atas, sangat menghambat laju kemajuan desentralisasi dan reformasi demokrasi. Meskipun ada peningkatan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh melalui proses-proses sebelumnya, baik pejabat maupun masyarakat sama-sama kecewa karena tingginya harapan sebelumnya ternyata tidak segera terpenuhi. Masyarakat mungkin juga menarik diri ke dalam zona nyaman dari kebiasaan masa lampau. Pemerintah daerah maupun pusat perlu merasa aman terlebih dahulu sebelum dapat melanjutkan langkah demokratis berikutnya. Namun dalam membina rasa aman ini para pembuat keputusan di daerah tampaknya kembali ke pola-pola kekuasaan lama, bukannya membangun dasar yang lebih kokoh untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Banyak kalangan di luar pemerintah yang menilai walaupun beberapa elemen pemerintahan telah berubah, hasilnya tetap mengecewakan. Negara dan masyarakat Sebelum reformasi, ‘pemerintah’ adalah sesuatu yang jauh, tak dikenal dan tidak terjangkau oleh kebanyakan penduduk Malinau dan daerah terpencil lainnya. Masyarakat memang warga negara Republik Indonesia, namun tidak memiliki pengaruh atau suara dalam pembuatan keputusan formal. Pemerintah yang mereka kenal adalah tokoh politik lokal tidak resmi, para pemimpin tradisional, hubungan kesukuan, bos-bos lokal dan sesekali Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 271 ada pejabat yang memberi layanan kesehatan, mengawasi potensi konflik, atau menghadiri upacara. Reformasi telah lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, dan meleburkan dua wilayah, yaitu negara dan rakyat. Pemerintah terasa lebih dekat karena secara fisik kantornya lebih terjangkau dan lebih banyak pegawai dari warga lokal. Pada tahun 2004 sekitar 3 persen dari populasi adalah pegawai pemerintah setempat. Hampir setiap orang punya kerabat di pemerintahan. Suasana politik yang informal, pribadi dan kesukuan bercampur dengan sikap resmi, tidak pribadi dan anonim. Perpaduan dua sistem ini melahirkan suatu tatanan politik baru di Malinau, dan mungkin juga di banyak daerah pedalaman Indonesia. Politik dalam tatanan baru ini menuntut perimbangan antara klaim informal atas sumberdaya serta hubungan timbal balik dan personal yang lazim pada komunitas tradisional di satu pihak, dengan budaya pemerintah di pihak lain, yang birokratis, atasanbawahan dan politik uang. Para politisi dan penduduk yang paling berkuasa adalah mereka yang berhasil memelihara pengaruh di kedua domain itu serta menggunakannya untuk menjembatani hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga merupakan orang-orang dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menyalahgunakan kelembagaan informal secara sah. Dengan demikian, IPPK sesungguhnya merupakan kemitraan antara kantor Bupati, Dinas Kehutanan kabupaten, bos-bos kayu setempat serta para ketua masyarakat adat tertentu. Rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit juga dibangun atas dasar aliansi serupa. Sebaliknya PT Inhutani II menarik diri dari wilayah ini ketika gagal membentuk aliansi lokal setelah kehilangan perlindungan pemerintah pusat. Upaya membangun pengaruh memintas dua bidang itu telah mengalihkan perhatian masyarakat pada usaha menggalang aliansi lokal, bukannya mencari keputusan dari atas ke bawah atau beraliansi ke atas di dalam hirarki pemerintah. Dengan demikian tidak ada satu pihak pun yang memiliki basis kekuasaan mutlak, walaupun Bupati masih tetap dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.2 Kelompok-kelompok di dalam pemerintahan kini lebih saling bergantung, seperti halnya pemerintah kabupaten dengan masyarakat setempat. Dengan bergesernya perhatian kepada persekutuan lokal ini, maka berbagai prakarsa terjadi melalui perpaduan kesepakatan formal dan non-formal yang memungkinkan para pejabat kabupaten menghindari perhatian pemerintah pusat dan kurang transparan terhadap masyarakat. Perilaku kolusi ini menghasilkan keuntungan luar biasa bagi beberapa elit tertentu, biasanya para tokoh di masa lampau. Hirarki lama telah merebut kembali statusnya karena hanya yang berasal dari kalangan bangsawan dan para elit yang memiliki pendidikan, sehingga lebih mampu tampil dalam pemerintahan baru. Kelompok etnis, masyarakat dan keluarga lokal telah dimanfaatkan secara selektif sebagai alas sosial untuk masuk ke lingkungan politik formal dan non-formal. Maka reformasi telah mengangkat aspek kesukuan dari sekedar pengisi pameran kebudayaan pada masa Soeharto. Pengelompokan etnis menjadi dasar klaim atas tanah dan sumberdaya hutan. Mereka juga menjadi satuan dasar pembangun modal sosial dan aliansi-aliansi politik. Warga lokal menggunakan identitas etnis untuk ‘menempatkan’ orang lain sebagai sekutu, pesaing, atau sekedar orang luar serta menetapkan posisi sosialnya. Menanggapi kegiatan masyarakat madani yang lebih luas di masa pasca-Soeharto, masyarakat telah mengelompokkan diri sesuai kelompok etnisnya misalnya Lembaga Adat Punan, Lembaga Adat Tidung dan Lembaga Adat Lundaye, dan memulihkan kewenangan non-formal lembaga-lembaga adat, meskipun baru didirikan. Kelompok etnis telah mendasari berbagai aliansi di tingkat lebih atas maupun bawah tingkat kabupaten. Persekutuan 272 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Dayak Kalimantan Timur mencerminkan upaya untuk membangun aliansi etnis di tingkat provinsi. Lundaye memiliki organisasi di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Bagi pejabat pemerintah, keturunan etnis atau afiliasi mereka dengan kelompok etnis lain karena perkawinan atau pengangkatan, mencerminkan kesetiaan dan kewajiban sosial mereka, dan sering kali juga konstituen mereka. Pemerintah kabupaten telah berusaha untuk mempertahankan dukungan dan keabsahannya melalui perwakilan yang berimbang dengan menempatkan kelompok etnis yang kuat di berbagai posisi utama, seperti kelompok Kenyah, kelompok Lundaye dan kelompok Tidung. Mereka makin banyak menggunakan dan memanfaatkan lambang-lambang dan acara-acara budaya dengan tujuan memperoleh dukungan masyarakat. Mereka juga menanggapi serius keberadaan berbagai organisasi etnis baru dengan mengundang para wakilnya pada acara-acara resmi di kabupaten dan melibatkan diri dalam acara-acara organisasi etnis tersebut. Untuk mempersatukan berbagai kelompok ini, Bupati berusaha menduduki status sebagai ‘kepala adat besar’ dengan harapan status tersebut dapat membantu meningkatkan pengaruhnya guna memperlancar pelaksanaan tugas pemerintahannya. Namun masyarakat yang dianggap tradisional tidak serta-merta menerima peran itu. Berkat reformasi semakin banyak masyarakat berharap dan menuntut agar pemerintah lebih transparan dan akuntabel. Peran feodal kepala adat besar dianggap sudah tidak cocok lagi dalam tatanan baru. Namun hanya sedikit mekanisme nyata untuk menerapkan konsultasi dan akuntabilitas. Pengalaman Malinau dalam lima tahun terakhir mengisyaratkan bahwa kekuatan masyarakat madani akan bertumpu pada tingkat koordinasi atau persaingan kelompok etnis setempat, baik di dalam kelompok maupun antar-kelompok untuk membentuk koalisi. Kelompok yang memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah setempat atas dasar etnis, komunitas atau keluarga, akan memperoleh peluang terbesar untuk membangun aliansi. Di mana hanya ada satu kelompok etnis atau satu set kelompok etnis yang beraliansi dan terorganisasi baik, maka besar kemungkinan mereka akan lebih berpengaruh terhadap pemerintah kabupaten dan bisa memetik keuntungan lebih besar dari tatanan yang baru ini. Bila terdapat banyak kelompok etnis yang saling bersaing, mereka akan lebih lemah dan keuntungan mereka akan berkurang. Oleh sebab itu pemerintah lokal lebih memberi ruang pada kecenderungan pertumbuhan aliansi etnis dalam menghadapi negara yang melemah. Pemerintah lokal mengakui adanya saling ketergantungan dengan kelompok-kelompok tersebut dan berusaha bekerja sama dengan mereka, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Bangkitnya tatanan politik ini masih tetap tidak koheren dan tidak stabil karena adanya ketegangan naluriah para pejabat setempat untuk bekerja dalam ranah masyarakat lokal maupun ranah negara. Bila pemerintah pusat membiarkan kabupaten mempertahankan kewenangan dan akuntabilitas ke bawah bagi warga, bisa diharapkan terjadi penekanan silih berganti antara dua ranah ini, seiring dengan naik-turunnya ketegangan dalam berbagai konteks dan tahun pemilihan. Ayunan pendulum ini mengikuti kesediaan para pejabat untuk mengemban upaya dan risiko lebih untuk mengembangkan model pemerintahan demokratis yang belum pasti, atau memilih untuk kembali pada pola otoriter politik uang masa lalu yang memungkinkan mereka menuai keuntungan finansial yang besar. Berdasarkan sejarah penciutan dan pemekaran kekuasaan negara, bisa diramalkan akan terjadinya masa-masa peningkatan konflik dan gejolak masyarakat yang dapat mendorong para pejabat untuk kembali pada sistem pemerintahan otoriter seperti yang tampaknya terjadi dewasa ini. Terlepas apakah sistem pemerintahan menjadi demokratis atau otoriter, Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 273 keduanya akan dibangun di atas dasar politik etnis dan aliansi lokal yang lebih kuat dan lebih mandiri terhadap Jakarta. Dampak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan Perubahan yang diuraikan di atas berdampak penting pada kelompok yang terpinggirkan. Berbagai akibat pada masyarakat Malinau maupun pada kelompok terpinggirkan di Malinau akan diuraikan berikut ini, dan juga akan dirangkum pokok-pokok utama dari bab-bab sebelumnya. Secara umum Malinau telah cukup banyak menikmati manfaat desentralisasi dan reformasi demokrasi.3 Pemerintah kabupaten telah berhasil memanfaatkan (Li 1999a, b) bahkan merebut kekuasaan atas hutan dan sumberdaya lainnya yang sebelumnya dikuasai oleh pusat. Sebagai kabupaten, Malinau juga telah menerima alokasi dana langsung dari Jakarta sehingga mendapatkan infrastruktur dan sumberdaya keuangan yang lebih besar daripada ketika berupa daerah terpencil jauh dari ibu kota Kabupaten Bulungan. Manfaat keuangan yang mengalir ke Malinau telah meningkat secara signifikan: lebih dari 30 persen antara tahun 2002 dan 2003 (Andrianto, 2006).4 Infrastruktur kesehatan dan pendidikan serta kegiatan ekonomi telah meningkat di sebagian besar kabupaten. Pemerintah kabupaten juga bertindak secara semi-otonom dari pusat dan provinsi. Dengan lebih besarnya dana dan kesempatan melakukan perjalanan, para pejabat kabupaten telah berhasil membina jaringan dan aliansi yang lebih luas. Lebih banyak warga menduduki jabatan berpengaruh dalam pemerintah daerah yang lebih berkuasa. Sebagaimana diulas di bagian sebelumnya, masyarakat kini bisa berhubungan lebih dekat dengan, serta lebih bisa mengontrol negara. Meskipun secara geografis dan ekonomis Malinau lebih terpencil terhadap Samarinda dan Jakarta, kabupaten ini dengan jeli mengambil kesempatan dari kedekatannya dengan Malaysia dan RRC untuk mengembangkan peluang dagang dan hubungan yang terkait dengan kehutanan. Secara cerdik kabupaten ini juga memanfaatkan keterpencilan dan keterbelakangannya menjadi aset internasional dengan cara memposisikan dirinya sebagai daerah konservasi tingkat global yang hendak menjual jasa lingkungan hidup, sambil menggunakan argumentasi ini untuk mengajukan tambahan dana dari pemerintah pusat. Masyarakat di Malinau ikut memperoleh keuntungan, namun pada umumnya hanya yang berjangka pendek, kurang dari potensi sebenarnya yang dikantongi oleh para elit. Dalam kasus desa-desa yang diteliti oleh Anderson dan Kamelarczyk, 50 hingga 70 persen dari semua rumahtangga di setiap desa melaporkan lebih baiknya kondisi-kondisi kesehatan, jalan, transportasi, pendidikan, dan pada umumnya pendapatan yang lebih baik pula. Serupa dengan itu, dari survei kami terhadap 14 desa, 52 persen melaporkan bahwa kesejahteraan mereka meningkat meskipun ada peningkatan biaya hidup. IPPK telah berdampak paling nyata dalam ekonomi lokal. Manfaat tunai selama tiga tahun pembayaran IPPK berjumlah rata-rata US$10005 per rumahtangga di tujuh desa DAS Malinau yang bekerjasama dengan IPPK. Jumlah pembayaran per rumahtangga di desa-desa ini bervariasi cukup tinggi, antara US$61 hingga US$2235. Rumahtangga menghargai pendapatan dari IPPK ini karena besarnya jumlah uang yang diperoleh; tetapi dibandingkan dengan pendapatan dari gaji dan hasil hutan, pembayaran IPPK tidak teratur dan tidak pasti. Kebanyakan rumahtangga menggunakan tambahan pendapatan 274 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi ini, setidaknya sebagian, untuk keperluan biaya hidup, tetapi juga ada investasi cukup besar untuk kesehatan, pendidikan dan perumahan yang meningkatkan modal insani. Kurang dari 30 persen melaporkan menabung sebagian uang yang diperoleh. Manfaat yang diberikan kepada desa-desa berupa jalan dan bangunan umum cukup signifikan meskipun pemeliharaan belum jelas. Sebuah kejadian tanah longsor pernah menutup jalanan ke satu desa selama hampir satu tahun. Pengalaman dengan IPPK menunjukkan bahwa penduduk desa Malinau kehilangan manfaat potensial karena lemahnya proses negosiasi. Bertindak mewakili perusahaan Malaysia, para broker mengatur negosiasi IPPK dengan masyarakat dan pihak kabupaten. Tidak tampak adanya persaingan di antara para broker: mereka bertindak seperti kartel di mana semua persyaratan telah diatur. Para broker sering kali membawa peta daerah tebangan yang dibuat oleh kabupaten. Mereka juga jarang berhubungan langsung dengan masyarakat secara keseluruhan selain setelah kesepakatan tercapai. Negosiasi yang dilakukan hanya melibatkan beberapa anggota masyarakat yaitu pimpinan lembaga adat, pewaris hak atas sarang burung atau kepala desa. Dalam satu kasus, bahkan ada desa lain yang melakukan negosiasi atas nama desa-desa Punan tanpa sepengetahuan desa tersebut. Para pembuat keputusan di desa mengadakan pertemuan sendiri dengan para calo di luar desa. Sering kali acara negosiasi semacam itu dihadiri pula oleh pejabat-pejabat pemerintah yang duduk bersama para calo serta datang dan berangkat kembali bersama mereka. Sebagian besar pembuat keputusan di desa tidak menentang pada putaran pertama negosiasi. Ada warga desa yang hanya mendapat Rp. 5.000 (US$0,59) per meter kubik, dan yakin telah memperoleh harga yang baik karena beberapa perusahaan kayu membayar kompensasi sebesar Rp. 3.000 (US$0,39) per meter kubik. Angka rata-rata di Malinau adalah Rp. 27.000 per meter kubik dan yang tertinggi Rp. 50.000 per meter kubik (US$5,90). Masyarakat kemudian belajar menegosiasikan harga lebih mendekati angka terakhir ini. Kesempatan dan kesediaan untuk negosiasi ulang merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat manfaat yang didapat di Malinau. Namun jumlah tersebut jauh lebih rendah daripada yang diperoleh warga desa di kabupaten lain. Di Kutai Barat ada persaingan antar perusahaan, tetapi yang terpenting adalah bahwa masyarakat lebih banyak memperoleh informasi. Warga desa mengkoordinasikan sendiri perizinan dan bertemu langsung dengan kontraktor kayu di desa. Pembayaran yang diterima di Kutai Barat berkisar antara Rp. 30.000 (US$3,50) hingga Rp. 150.000 (US$17,65) per meter kubik, jadi rata-rata Rp. 80.000 (US$9,40) per meter kubik. Sebagaimana tersirat dalam perbandingan dengan Kutai Barat, warga desa di Malinau menegosiasikan harga yang jauh dari nilai potensial kayu. Atas dasar harga kayu di Malinau, kami perkirakan bahwa warga desa hanya memperoleh 1,4 persen dari nilai gross kayu yang ditebang. Manfaat yang diperoleh warga desa biasa lebih sedikit daripada para pembuat keputusan, yang terkadang mendapat sekitar Rp. 10.000 per meter kubik di atas harga yang dibayarkan kepada desa, di luar kemungkinan adanya pembayaran lain yang kurang transparan. Warga Punan adalah yang paling dirugikan. Mereka paling sedikit dilibatkan dalam negosiasi, seringkali diwakili oleh desa lain, paling kurang mendapat informasi dan rentan dalam menghadapi para broker, serta juga paling tidak peduli berapa jumlah kayu yang ditebang. Desa-desa yang berhasil menegosiasikan keuntungan terbaik adalah yang bertindak secara kolektif dengan desa-desa lain (Palmer, 2003). Bila ada modal sosial dan transparansi kuat di dalam desa, akan bisa diperoleh manfaat paling tinggi. Yang paling signifikan adalah bahwa pembayaran manfaat bagi warga lokal dari IPPK bersifat jangka pendek. Meskipun masyarakat menginvestasikan sebagian menjadi aset Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 275 jangka panjang, hutan, yang merupakan aset lokal terpenting untuk mendukung ketahanan pangan, menjadi terbagi dan terdegradasi. Broker dan pejabat pemerintah yang menerima uang terbanyak adalah pihak yang paling memperoleh manfaat. Neraca keuntungan dan penguasaan atas manfaat dari hutan masih sangat timpang di tingkat lokal. Timpangnya keseimbangan kekuasaan itu adalah kenyataan bahwa dua aset penting bagi warga Malinau yaitu tanah dan hutan secara formal belum terjamin. Ketidakterkaitan kebijakan nasional dan kabupaten, dan kebijakan dengan pelaksanaannya di lapangan, telah mengaburkan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam urusan lahan. Dalam praktik, pemerintah kabupaten menjadi pembuat keputusan, tetapi tidak memiliki dukungan hukum atau kemampuan. Anggapan bahwa kantor pemerintah pusat dan daerah yang ada di Malinau (kantor cabang Badan Pertanahan Nasional di Malinau dan Dinas Pertanahan Kabupaten) bisa memberikan sertifikat atas tanah di dalam kawasan hutan negara setempat tampaknya diakibatkan oleh kurangnya pemahaman mengenai kebijakan nasional dan desentralisasi. Hanya upaya kelompok etnis untuk mengatur wilayah desa dan klaim kelompok masyarakat adat atas tanah yang memiliki dasar hukum, walaupun proses pelaksanaannya belum jelas. Meningkatnya kemungkinan mendapatkan pembayaran kompensasi dan ‘fee’ berdasarkan hak atas hutan, telah merumitkan proses klaim dengan meningkatkan persaingan atas tanah, khususnya di tahun-tahun awal transisi. Klaim atas tanah meningkat dari sekitar 1,3 kasus setahun di masa Orde Baru hingga sedikitnya 50 kasus setahun dari 1998 hingga 1999. Namun pihak kabupaten belum menentukan sikap mengenai penanganan masalah hak atas tanah dan sumberdaya. Mungkin kabupaten juga berkepentingan untuk mempertahankan ketidak-jelasan dalam pengalokasian lahan dengan cara yang mereka anggap terpenting dan dapat memenuhi kepentingan mereka sendiri. Pengesahan hak kepada pihak lain akan mengurangi peluang kendali oleh pihak kabupaten. Mengingat bahwa formalisasi akan menghasilkan pihak yang menang dan pihak yang kalah, maka kabupaten secara bijak sadar akan kemungkinan terjadinya peningkatan perseteruan etnis dan menurunnya dukungan politik pihak-pihak utama. Sayangnya, kerancuan semacam ini mendorong pemanfaatan sumberdaya jangka pendek yang menyebabkan kelompok-kelompok lemah, seperti suku Punan, akan dirugikan dalam pertarungan dengan kelompok yang lebih kuat dalam mempertahankan hak mereka atas tanah. Tanpa kepastian dan jaminan hukum, lahan dan hutan akan menjadi ‘modal mati’ dalam tatanan kebijakan baru (de Soto, 2000, hal. 32). Menurut de Soto, apabila aset tetap berada di sektor luar hukum (extra legal) peluang pembangunan menjadi terbatas karena aset-aset tersebut tidak terinci atau tersusun; sifatnya yang tidak tetap dan tidak pasti akan menimbulkan kesalahpahaman dan menghasilkan kesepakatan yang tidak langgeng; transaksi tidak terlindungi; aset tidak mudah dikonversi atau diperdagangkan. Kepastian dan kejelasan hukum atas aset hutan dan lahan di Malinau akan mendorong pemanfaatan yang transparan, penilaian yang lebih akurat, investasi, dan pembangunan perspektif jangka panjang untuk sumberdaya alam Malinau. Meningkatnya nilai hutan, persaingan, kerancuan hukum dan berkembangnya oportunisme di masa transisi juga telah meningkatkan secara dramatis terjadinya konflik. Meskipun sulit memperkirakan angkanya secara tepat, masyarakat melaporkan paling sedikit ada 86 kasus konflik terjadi di antara tahun 1997 hingga 2002, dibandingkan hanya delapan kasus yang mereka ingat pada masa Orde Baru. Konflik yang terjadi telah beralih dari konflik mengenai hak atas tanah pertanian dan hasil hutan non-kayu seperti gaharu sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru, ke konflik baru mengenai batas- 276 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi batas desa, hak atas kayu, pembagian manfaat dari IPPK dan proyek-proyek pemerintah di era reformasi. Banyak konflik yang terkait dengan ketegangan antar-kelompok etnis di masa lalu dan klaim mereka atas tanah. Sebagaimana dikemukakan pihak lain (Wulan dkk, 2004), masa reformasi telah memungkinkan warga lebih bebas mengungkapkan konflik yang terbentuk dari ketegangan laten dan semakin menumpuk selama masa Soeharto. IPPK telah menjadi katalis lebih banyak terjadinya konflik dibandingkan fenomena lainnya di masa reformasi. Dari 22 desa di Malinau yang berhubungan dengan IPPK, 19 menyebutkan bahwa mereka mengalami masalah dengan para broker, tentang pengingkaran pembayaran fee, tidak dibangunnya sarana yang dijanjikan, penebangan di tempat yang salah, atau tidak ada penanaman tanaman perkebunan di daerah bekas tebangan. Dari 19 desa tersebut, 11 desa mengadakan aksi melawan IPPK, biasanya dengan melaporkan mereka kepada kabupaten. Di tingkat rumahtangga, 52 persen dari semua rumahtangga yang diwawancara di Adiu, Tanjung Nanga dan Sengayan melaporkan konflik berkaitan dengan IPPK. Konflik yang terjadi di tingkat rumahtangga umumnya terkait dengan jumlah penerimaan uang setiap rumahtangga, tuduhan suap, dan tidak adanya transparansi dalam pembagian fee. Kesediaan masyarakat untuk memprotes tindakan perusahaan atau pemerintah mencerminkan adanya pergeseran kekuasaan di tingkat akar-rumput. Semenjak masa reformasi, para pejabat pemerintah daerah semakin sering bicara tentang politik dari bawah ke atas. Rapat umum di Malinau semakin sering, walaupun yang menghadiri kebanyakan warga penduduk sekitar Malinau Kota. Kunjungan para pejabat ke desa telah meningkat dan para pejabat pemerintah daerah di Malinau pun melaporkan meningkatnya jumlah surat dan kunjungan dari desa. Namun besarannya masih rendah, dan kebanyakan usulan yang diterima dari warga desa tidak pernah dibalas, kecuali jika bertepatan dengan rencana pemerintah atau berkaitan dengan proyek kerjasama keuangan. Warga desa kini menuntut hak menentukan nasib sendiri dan merasa lebih bebas mengungkapkan pendapat kepada pejabat pemerintah, khususnya mengenai hal-hal menyangkut desa mereka sendiri. Prakarsa desa Setulang untuk menolak tawaran dari perusahaan kayu, dan mengatur sendiri perlindungan terhadap sebagian hutan mereka, merupakan cerminan kekuasaan akar rumput ini. Demikian juga masyarakat Laban Nyarit dan Pelancau menuntut dan mendapatkan pembayaran atas penebangan kayu di tanah yang dibebaskan untuk pembangunan jalan umum yang tidak dikonsultasikan kepada mereka sebelumnya. Namun seperti diuraikan di atas, demokrasi di Malinau dan di tempat lain di Indonesia, masih merupakan proyek yang tengah berlangsung, di mana baik pemerintah maupun masyarakat masih ragu bagaimana cara melanjutkannya. Jarak geografis dan buruknya infrastruktur antara pusat pemerintahan dengan desa, mengakibatkan sulitnya menyampaikan undangan tepat waktu, dan mahalnya biaya kunjungan, sebagaimana terjadi di setiap kabupaten terpencil yang terletak di daerah hutan. Desa yang paling terpencil, secara politis masih terpinggirkan. Peluang pembangunan dan politik terkonsentrasi di sekitar wilayah kota Malinau. Sejak pendirian ibu kota kabupaten di Malinau, telah terjadi arus migrasi ke kota, baik dari penduduk desa yang lebih mampu maupun dari tempattempat lain di Indonesia sehingga tekanan pada sumberdaya meningkat. Desa tetap sebagai satuan organisasi politik bagi kebanyakan orang, dan politik di tingkat desa tidak banyak berubah. Para tokoh masyarakat masih tetap memegang kendali pengambilan keputusan dan orang-orang biasa masih enggan untuk bersuara. Pemimpin masih dinilai berdasarkan gaya kepemimpinannya, bukan atas dasar akuntabilitas terhadap konstituen. Pimpinan adat belum memperoleh kembali kekuasaannya yang hilang pada Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 277 masa Soeharto. Suara para wanita dalam politik masih sangat kecil, dan warga Punan sering kali dikalahkan oleh kelompok dominan dalam negosiasi antara desa-desa dari rumpun etnis yang berbeda. Kecemburuan sosial menghambat kemampuan kelompok-kelompok masyarakat untuk bertindak secara terpadu. Pejabat kabupaten masih memperlakukan warga desa di daerah hutan sebagai masyarakat ‘terbelakang’ (Li 1999a, b). Perladangan gilir-balik, dan khususnya sifat nomad masyarakat Punan dipandang sebagai warisan yang menghambat modernisasi. Para pejabat memandang kewajiban mereka adalah membantu orang-orang menuju modernisasi. Pengakuan terhadap jenis spesies lokal tertentu atau bagian bentang alam tertentu yang dinilai penting bagi masyarakat lokal masih rendah. Prasangka ini adalah prasangka lama dan berlaku umum di seluruh Indonesia (Dove, 1988). Hal itu memperkuat ketersisihan masyarakat yang memilih gaya hidup tradisional di mata pemerintah. Anehnya prasangka tersebut tidak berubah dengan bertambahnya pegawai baru yang, setidaknya, akrab dengan tradisi perladangan dan nilai-nilai budaya lokal. Nilai-nilai yang tertanam melalui pendidikan dan pengalaman di masa Orde Baru tetap bercokol kuat dalam generasi ini. Pejabat juga mewakili kelompok masyarakat desa yang memilih untuk meninggalkan cara hidup tradisional dan tidak berempati pada orang-orang yang memilih cara hidup seperti itu. Sikap ini mengingatkan kita bahwa walaupun kini pemerintah daerah berisi warga lokal, belum tentu tata nilai masyarakat lokal secara otomatis mewarnai pemerintahan tersebut. Di antara kelompok-kelompok masyarakat Malinau, suku Punan tetap menjadi kelompok yang secara politis dan ekonomis paling tersisih. Sebagian besar dari mereka tetap tinggal di daerah yang paling terpencil, khususnya di DAS Malinau dan Tubu. Meski survei kami di 14 desa miskin di kabupaten menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Punan melaporkan bahwa semenjak desentralisasi kehidupan mereka mengalami peningkatan (58 persen masyarakat Punan dibandingkan 36 persen masyarakat Kenyah, 3 persen Merap dan 65 persen Lundaye)6, dalam banyak aspek kehidupan dan hubungan dengan kelompok lain, mereka tetap terdiskriminasi dan termanfaatkan. Pendapatan tunai serta pengaruh politik mereka memang meningkat dengan cepat dibandingkan 10 tahun yang lalu; namun mereka terkalahkan oleh kelompok lain karena meningkatnya persaingan dalam perebutan hutan. Dalam upaya mengejar ketertinggalan ini, mereka telah melakukan perubahan penting untuk berusaha mempertahankan kepentingan mereka atas tanah dan hutan, termasuk memindahkan pemukiman, serta mencatat sejarah mereka di Malinau untuk mendukung klaim sebagai penduduk asli dan bisa memperoleh desa dengan batas wilayah tetap. Suku Punan masih terkendala oleh rendahnya pendidikan, kecilnya ukuran desa, sering perginya penduduk ke luar desa, kekosongan desa ketika mereka sedang di hutan, lemahnya organisasi desa, tingginya serangan penyakit, dan adanya relasi patronklien dengan kelompok etnis tertentu. Meskipun demikian, status mereka sebagai kelompok asing dan terpinggirkan, dalam beberapa hal juga membawa manfaat. Karena ketersisihan mereka, mereka berhasil menarik perhatian kelompok-kelompok yang berorientasi pembangunan seperti misionaris gereja Katolik, Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (IFAD), Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan LSM Indonesia. Sejumlah pemimpin yang memiliki pengalaman dan kemampuan telah menjalin hubungan dengan kelompokkelompok luar. Seperti pada kelompok etnis lainnya, warga Punan semakin bersedia menyatakan pendapat kepada para pejabat kabupaten mengenai kepentingan mereka, seringkali berargumentasi atas dasar status mereka yang kurang diuntungkan. Dalam 278 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi survei desa-desa miskin, 53 persen dari rumahtangga Punan melaporkan bahwa pejabat pemerintah sekarang lebih memperhatikan tuntutan mereka dibandingkan pada tahuntahun pra-reformasi dibandingkan dengan Merap (50 persen), Lundaye (37 persen), dan Kenyah (96 persen).7 Perbedaan tajam dengan Kenyah mendukung pengamatan bahwa pertalian etnis mendorong adanya hubungan dekat antara pemerintah daerah (di mana Bupatinya adalah seorang Kenyah) dan penduduk desa. Mungkin yang terpenting adalah suku Punan telah mendirikan sebuah lembaga etnis yaitu Lembaga Adat Punan yang telah mengadakan beberapa pertemuan yang terorganisasi baik dan memperoleh dukungan dari organisasi internasional. Suku Punan juga merupakan kelompok etnis satu-satunya yang sejak awal, pada tahun 1994, mendirikan LSM sendiri dengan nama Yayasan Adat Punan dan memiliki agenda pembangunan. Pertanyaannya kini adalah bisakah jenis dukungan semacam ini memberdayakan masyarakat Punan secara politis atau apakah prasangka serta persaingan akan berlanjut meminggirkan mereka? Lalu bagaimana masa depan kelompok masyarakat marginal di Malinau? Dalam semangat reformasi di tahun-tahun awal timbul kesan bahwa warga biasa akan mendapatkan hak mereka: pengakuan resmi atas tanah desa mereka; manfaat tunai dari kayu di atas tanah tersebut; kompensasi dari perusahaan atas kerusakan hutan dan hilangnya sumberdaya; dan suatu pemerintahan yang berisi orang-orang yang mereka kenal dan bersedia mendengarkan serta memperjuangkan kepentingan mereka. Saat itu juga ada kesan bahwa di Malinau terdapat potensi ekonomis yang tinggal menunggu dikembangkan sehingga semua orang bisa menikmati manfaatnya. Itulah harapan saat itu. Masyarakat di Malinau mempunyai potensi menjadi masyarakat yang non-marginal di tempat yang non-marginal. Harapan itu tidak terwujud. Bahkan para tokoh dan kelompok-kelompok yang sudah menduduki posisi berpengaruh cenderung semakin berkuasa, sedangkan kaum yang terpinggirkan, seperti umumnya masyarakat Punan, semakin lemah dalam hal penguasaan atas lahan, perolehan manfaat dari eksploitasi hutan, serta keterwakilan. Persaingan dan konflik semakin meningkat dan pemerintah daerah lebih suka melayani kelompok elit dan berpengaruh. Masyarakat yang dahulu sesuai adat membantu mangatur produksi dan pembagian manfaat ekonomis antar rumah tangga berdasarkan kewajiban moral untuk berbagi, kini mengalami pergeseran nilai pada kepentingan usaha pribadi dan pengumpulan kekayaan. Desentralisasi dan reformasi demokrasi secara umum telah meningkatkan taraf hidup masyarakat di Malinau, khususnya secara jangka pendek, meskipun harapan di awalnya belum terpenuhi. Lingkungan yang lebih kompetitif telah menguntungkan secara tidak seimbang para elit dan kelompok masyarakat yang lebih kuat. Para elit ini bisa sangat mempengaruhi pemerintah daerah secara formal maupun non-formal. Warga lainnya untuk saat ini tetap terkungkung dalam politik desa atau oleh status marginal bawaan masa lalu. Bagi warga kebanyakan, kemajuan ekonomis selama lima tahun terakhir ternyata hanya berumur pendek. Tidak adanya kejelasan atas pembagian dan pengelolaan aset hutan dan lahan menjadi kendala terbesar dalam mencapai pemerataan dan pembangunan ekonomi di dalam kabupaten. Selama masih mempertahankan kerancuan, kabupaten akan masih tetap memegang kendali. Pemerintah daerah telah menjadikan dirinya elit baru dalam masyarakat lokal, bagian masyarakat yang memberi hak dan keistimewaan pada dirinya sendiri. Keterpinggiran beralih kepada kalangan sosial bawah di antara dan di dalam desadesa. Jurang pemisah menyempit tetapi menjadi lebih dalam. Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 279 Dampak pada hutan dan pengelolaan hutan Bagaimana perubahan peran negara dan masyarakat dalam pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian hutan yang merupakan aset terpenting Malinau? Bagaimana pengaturan pengendalian tersebut? Dan apa implikasinya? Desentralisasi telah memungkinkan kelompok dominan lokal bisa memasuki sistem negara untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan. Sebaliknya, para pejabat setempat sepenuhnya sangat bersandar pada jaringan pribadi dan berbagai aliansi, terutama antara perusahaan dengan desa, untuk menggalang eksploitasi hutan. Hampir semua pihak, termasuk yang di dalam pemerintahan lokal, memanfaatkan masa transisi untuk menguji seberapa banyak yang bisa mereka peroleh dalam keadaan negara sedang kacau. Pada tahun-tahun awal reformasi usaha pembalakan lebih dipandu oleh semangat dagang dan oportunisme, bukan oleh lembaga publik yang mengelola hutan sebagai sumberdaya. Mereka yang terlibat dalam eksploitasi hutan lebih mengejar keuntungan sesaat daripada kesinambungan. Nilai konversi hutan menjadi lebih tinggi daripada manfaat perlindungan dan pemeliharaannya. Pemerintah daerah secara aktif mendorong semangat kewirausahaan ini atas dasar untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Mereka tidak berupaya untuk menerapkan sistem tebang-pilih maupun peraturan pemanenan lainnya, menegakkan peruntukan kawasan lindung, mengatur pembangunan jalan, melarang kegiatan di dekat sungai, memastikan bahwa spesies yang dilindungi tidak ditebang, atau pun menegakkan persyaratan penanaman kembali serta dan perkebunan. Tidak ada upaya untuk mengelola hutan-hutan lintas kabupaten. Tidak ada satu pun yang berusaha membuat pemerintah daerah menjadi akuntabel atas semua tindakan tersebut. Hampir semua pihak lebih mementingkan perolehan uang. Akibatnya adalah jauh lebih rusaknya hutan di masa sistem IPPK daripada di masa peraturan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) bagi pemegang HPH, yang peraturannya relatif kurang ditegakkan. Ketika membandingkan dampak dari dua pemegang konsesi tebang pilih dengan tiga pemegang IPPK, Iskandar dkk (2006) menemukan bahwa para pemegang IPPK memanen secara lebih intensif, menebang jumlah pohon empat kali lipat per satuan luasan, mencakup proporsi lebih besar -– lebih dari 25 persen pohon pada kelas diameter setinggi dada di bawah 50cm berbanding 3 persen oleh para pemegang konsesi tebang pilih. Lebih besarnya proporsi pohon kecil ini bisa menunjukkan kecenderungan IPPK untuk menjual kayu kepada penggergajian kayu skala menengah dan kecil lokal, daripada ke perusahaan kayu lapis besar di luar kabupaten. Hal ini juga bisa menunjukkan bahwa IPPK memang ditujukan untuk membuka dan mengkonversi lahan menjadi perkebunan. Sistem IPPK juga menimbulkan kerusakan lebih nyata pada sisa tegakan (38 berbanding 30 pohon per 100m pada hutan primer), bukaan kanopi lebih besar (0,3ha berbanding 0,1ha per hektar), sehingga hutan lebih terdegradasi dan terpecah. Kerusakan ini juga mengancam populasi pohon dan potensi regenerasi di masa depan, selain merusak habitat dan koridor lintasan satwa liar. Peluang penebangan ulang di daerah bekas tebangan IPPK lebih rendah daripada di daerah pemegang HPH, meskipun secara ekologis mungkin lebih baik satu kali menebang habis daripada tebang pilih berulang kali. Sistem IPPK adalah cara pemanfaatan hutan yang tidak efisien dan tidak efektif. Sistem ini tidak menunjang tujuan memperoleh nilai ekonomi tinggi dalam konversi ke perkebunan, atau memperoleh hutan produksi yang berkelanjutan. IPPK telah memerosotkan nilai sumberdaya paling berharga di Malinau. Karena rendahnya potensi masa depan untuk pemanenan berkesinambungan, 280 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi yang paling mungkin akan terjadi adalah konversi menjadi penebangan sisa pohon-pohon terakhir. Hanya mereka yang berwawasan jangka panjang dengan tingkat ketergantungan pada hutan yang tinggi dapat diharapkan menggunakan hutan secara berhati-hati dan melestarikannya (Wollenberg dkk, 2006). Peran itu telah dilakukan oleh pemerintahan di banyak negara, maupun oleh masyarakat tradisional di beberapa tempat. Studi kasus di Setulang, di mana masyarakat setempat melindungi 5.000ha hutan mereka meskipun menerima tawaran sebesar US$300,000,- dari pengusaha IPPK, menunjukkan adanya peluang strategi pelestarian berbasis komunitas lokal. Pengalaman di Setulang ini juga mengungkap beberapa hambatan pelestarian berbasis komunitas lokal, yaitu: tidak terjaminnya kepemilikan lahan; batas-batas wilayah masih dalam sengketa dan sulit ditegakkan; pendanaan untuk mendukung pelestarian sulit diperoleh untuk kawasan sempit; kecemburuan desa tetangga atas perhatian lebih yang didapat; ancaman faksi-faksi internal desa terhadap ketaatan pada komitmen jangka-panjang. Sebagian besar desa di hulu DAS Malinau, sejak dulu telah meminta pencadangan hutan dan hutan lindung untuk sistem perladangan berpindah di wilayah mereka. Pada tahun 1999 dan 2000, Sheil dkk (2002) menemukan bahwa angka anggapan nilai hutan di masa depan lebih tinggi daripada angka sebelumnya, dan pengakuan masyarakat bahwa selama ini mereka kurang menganggap keberadaan hutan-hutan ini. Semakin langkanya sumberdaya hutan telah menyadarkan sebagian masyarakat pada perlunya perlindungan atas hutan yang masih tersisa, bahkan di masa sebelum adanya IPPK. Dari survei oleh Sheil dkk (2002), warga menyebutkan bahwa hutan adalah pemanfaatan lahan paling penting bagi mereka. Warga menganggap hutan terutama sebagai sumber pangan, dengan babi jenggot dan rusa sambar menduduki peringkat teratas. Dari spesies tanaman, pohon kayu adalah yang terpenting, khususnya sebagai bahan bangunan, disusul oleh rotan, dan aren (Arenga undulata). Hutan juga dianggap sebagai pengaman kebutuhan darurat apabila terjadi gagal panen. Meski hutan dianggap penting oleh masyarakat lokal, tampaknya masih terlalu dini untuk mengharapkan masyarakat bisa memikul kewajiban melindungi hutan dalam waktu dekat, terutama karena tidak adanya dasar kelembagaan formal yang kuat untuk penegakan perjanjian dan praktik pelestarian. Pengalaman dengan IPPK menunjukkan bahwa hanya sedikit komunitas yang memiliki wawasan jangka panjang bila dihadapkan pada keuntungan tunai yang mencolok. Selalu berubahnya pilihan ekonomi di daerah, ketiadaan jaminan kepemilikan, persaingan atas sumberdaya hutan, serta berubahnya makna hutan bagi kehidupan lokal, telah mengubah pola kebutuhan masyarakat setempat. Dari surveinya Sheil dkk (2002) menemukan bahwa masyarakat lokal semakin berminat pada hutan untuk kayu (bersamaan sejalan awal masa IPPK), barang-barang dagangan, dan rekreasi, serta berkurangnya makna hutan untuk sumber pengobatan, kayu bakar, dan bangunan ringan, meskipun potensi hutan untuk sebagian manfaat tersebut masih dianggap penting. Pengelolaan hutan oleh masyarakat belum, dan tidak akan, terjadi di Malinau dalam konteks usaha pembalakan oleh para broker berpengaruh, dengan dukungan pemerintah kabupaten. Karena itu pulalah maka pemerintah kabupaten yang hanya memegang mandat lima tahunan dan terdukung oleh politik-uang, seharusnya tidak boleh menjadi penanggung jawab tunggal atas hutan. Tanggung jawab atas pemanfaatan jangka panjang maupun pelestarian hutan di Malinau jelas harus dipikul bersama oleh semua tingkatan pemerintahan. Desentralisasi dan reformasi telah menyediakan peluang untuk menciptakan pembagian ini. Masyarakat Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 281 yang hidup di sekitar kawasan hutan harus lebih dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai cara pengelolaannya, terutama dalam cara-cara yang dapat memberi hasil yang paling mereka hargai yaitu pangan, kayu, rotan, gaharu dan air bersih. Kedekatan dan pengetahuan mereka tentang hutan harus digunakan dengan baik. Pemerintah kabupaten dapat mengambil peran utama dalam memberi pengakuan dan dukungan pada berbagai strategi dari berbagai kelompok etnis, mengkoordinasikan upaya antar masyarakat, memperbanyak peluang ekonomi, dan menegakkan peraturan nasional. Pemerintah provinsi dan pusat bisa berperan pada penyediaan informasi teknis, berbagi pengalaman, dan mengawasi serta menciptakan insentif bagi penegakan peraturan nasional. Dalam wawasan alternatif ini, peran negara di bidang kehutanan dikembalikan, tetapi dalam bentuk kemitraan. Kunci utama kemitraan ini adalah bahwa dalam hal masalah kehutanan, pemerintah daerah tetap bertanggung gugat kepada pemerintah pusat maupun kepada masyarakat, bukan kepada para pengusaha. Yang sudah terlihat saat ini adalah meningkatnya kendali pemerintah kabupaten atas hutan, dan hampir tidak ada kontrol oleh tingkat pusat maupun masyarakat. Karena departemen kehutanan sejak awal sudah menolak desentralisasi dan menolak bekerjasama dengan pemerintah daerah, maka mereka kehilangan peluang pengendalian atas hutan di bawah desentralisasi, kecuali dengan cara paksa. Sementara itu pemerintah pusat berupaya mengelak tanggung jawab atas maraknya penebangan kayu, melalui kampanye anti pembalakan liar dan tuduhan bahwa Malaysia yang mendorong meningkatnya permintaan akan kayu Indonesia. Pengalaman ini berlawanan dengan praktik devolusi di negara lain, di mana kewenangan atas kegiatan kehutanan dialihkan dari pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat lokal, namun mempertahankan – dengan berbagai tingkat keberhasilan -– kendali hirarkis atas persyaratan pengelolaan hutan melalui organisasi pengguna, pembagian manfaat, kuota panen dan pajak (Shackleton dan Campbell, 2001; Contreras, 2003; Liu dan Edmunds, 2003; Sarin dkk, 2003). Meskipun kami tidak dapat merekomendasikan model-model tersebut karena terlalu birokratis dan terkendali oleh pusat, menurut kami pemerintah pusat perlu berperan dalam pengawasan dan membantu daerah. Jika pembagian peran dan tanggung jawab di semua tingkat tidak ditetapkan secara baik, maka inefisiensi, tidak terawasinya pemanfaatan hutan, dan kendala ketidakpastian akan terus berlangsung. Menatap ke depan Desentralisasi dan reformasi di era pasca-Soeharto secara de facto telah mengalihkan kendali atas hutan kepada kabupaten, meningkatkan konflik, menaikkan manfaat jangka pendek dan merusak hutan dengan laju lebih cepat. Untuk memahami makna perubahan tersebut bagi masa depan, kita harus memahaminya dalam konteks pesatnya laju reformasi. Tahuntahun pertama reformasi telah membebaskan masyarakat dari 32 tahun pengendalian ketat oleh pemerintah pusat, pembatasan luar biasa atas kebebasan berpendapat di bidang politik dan ekonomi, eksploitasi dan penggelapan sumberdaya, serta pengingkaran dan pengasingan identitas etnis dan organisasi suku Dayak. Kami menduga bahwa banyak di antara peningkatan konflik, persaingan, maupun manfaat jangka pendek yang terjadi terkait dengan terbukanya peluang seluas-luasnya dalam kondisi kelembagaan yang belum stabil. Dilihat dari konteks sejarah yang lebih luas, apa yang terjadi sekarang ini lebih digerakkan oleh ketidakpastian dari perubahan itu sendiri. 282 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Sementara intensitas konflik, persaingan dan manfaat jangka pendek pasti akan menurun, kami menduga tatanan politik lokal akan terus menguat. Tatanan ini akan menimbulkan pertarungan antara berbagai kekuatan sosial dengan pemerintah daerah, dan antara pusat dengan daerah. Sementara tarik-menarik itu akan membentuk perimbangan kekuasaan yang sehat antara berbagai lapisan masyarakat dengan negara, pertarungan yang berlebihan salah satu pihak mungkin akan memicu kerancuan dan menghambat proses konsolidasi kelembagaan formal. Kelembagaan terpenting bagi pengelolaan hutan dan kesejahteraan masyarakat, adalah yang menyangkut kepemilikan, konflik, keterwakilan warga, serta pemanfaatan dan pelestarian hutan. Lembaga-lembaga tersebut harus sederhana, transparan dan bisa difahami oleh seluruh masyarakat dan negara (de Soto, 2000), dengan insentif yang jelas. Selama kelembagaan ini masih rancu, pihak yang kuat akan mengkooptasi manfaat dari hutan, dan pihak yang lemah hanya akan mendapatkan recehan. Tantangan bagi Indonesia adalah untuk menentukan cara mengembangkan lembaga-lembaga kunci ini dalam konteks kebangkitan tatanan politik baru itu. Harus optimis atau pesimiskah kita ketika memandang masa depan? Tahapan berikutnya pemerintahan di Indonesia akan merupakan sebuah penyesuaian terhadap tahun-tahun awal masa transisi itu dan merupakan masa pembangunan kelembagaan yang tepat untuk situasi dan kondisi saat ini. Kita telah menyaksikan lima tahun pembelajaran dan penyesuaian yang luar biasa terhadap berbagai peluang perubahan. Kita memiliki cukup alasan untuk meyakini bahwa pembelajaran dan penyesuaian seperti itu akan terus berlanjut. Pemerintah daerah tidak harus menghadapi sendiri semua tantangan yang tergelar di masa depan. Dibutuhkan kolaborasi di semua lapisan untuk membangun kelembagaan yang diperlukan untuk mendapatkan kesepakatan yang kokoh serta manfaat jangka panjang dari hutan. Mengarungi jeram memang sangat menggairahkan, selama bahaya yang terbesar dapat dihindari dan pada akhirnya dapat menemukan air yang tenang. Catatan 1 Terima kasih kepada Yvan Biot dari UK Department for International Development (DFID) atas pengamatan ini. 2 Dari analisa pemangku kepentingan dalam Lokakarya tentang Kemiskinan dan Desentralisasi, Malinau, Oktober 2003. 3 Penemuan Sheil dkk (2002) bahwa di tahun 1999 hingga 2000, 87 persen responden menilai kehidupan mereka lebih baik dibandingkan lima hingga sepuluh tahun sebelumnya, yang mengindikasikan bahwa persepsi mengenai perbaikan ini bisa saja berdasarkan perkembangan sebelum masa reformasi. Ini mungkin juga termasuk pembangunan jalan, semakin tersedianya mesin ketinting perahu dan tingginya harga kayu gaharu. 4 Jumlah tepatnya mustahil dihitung karena alokasi di masa sebelum reformasi desentralisasi dilakukan oleh Kabupaten Bulungan, dan kami tidak tahu berapa jumlah dana yang sampai ke berbagai daerah Malinau. 5 Jumlah yang dibayarkan adalah Rp, 8,2 juta atau US$965 dengan nilai tukar US$1,- = Rp, 8500,6 Besarnya proporsi masyarakat Lundaye yang melaporkan peningkatan taraf hidup bisa mencerminkan bahwa lokasi desa-desa sampel sangat dekat dengan Malinau Kota, dimana tercatat menerima manfaat pembangunan yang tertinggi. Perbedaan di antara kelompok etnis cukup signifikan (p=0.011 dengan menggunakan Pearson chi-square test). Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan 283 7 Perbedaan di antara kelompok etnis sangat signifikan (p=0.000 dengan menggunakan Pearson chi-square test). Rujukan Andrianto, A., 2006. The Role of District Government in Poverty Alleviation: Case Studies in Malinau and West Kutai Districts, East Kalimantan, Indonesia, Governance Programme Report, CIFOR, Bogor, Indonesia. Contreras, A., 2003. Creating space for local forest management: The case of the Philippines, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London. de Soto, H., 2000. The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else, Basic Books, NY. Dove, M. R., 1988. The ecology of intoxication among the Kantu of West Kalimantan, dalam Dove, M. R. (penyunting), The Real and Imagined Role of Culture in Development: Case Studies from Indonesia, University of Hawaii Press, Honolulu, Hawaii. Iskandar, H., Snook, L. K., Toma, T., MacDicken, K. G., Kanninen, M., 2006. A comparison of damage due to logging under different forms of resource access in East Kalimantan, Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 237, no 1-3, hal. 83-93. Kaimowitz, D., Faune, A. dan Mendoza, R., 2003. Your biosphere is my backyard: The story of Bosawas in Nicaragua, Policy Matters, vol 12, hal. 6–15. Li, T. M., 1999a. Compromising power: Development, culture and rule in Indonesia, Cultural Anthropology, vol 14, no 3, hal. 295–322. Li, T. M., 1999b. Marginality, power and production: Analysing upland transformation, dalam Li, T. M. (penyunting), Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production, Harwood Academic Publishers, London. Liu, D. dan Edmunds, D., 2003. The promises and limitations of devolution and local forest management in China, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London. Moyer, B., 2001. Doing Democracy: The MAP Model for Organizing Social Movements, New Society, Gabriola Island, BC. Palmer, C., 2004. The Role of Collective Action in Determining the Benefits from IPPK Logging Concessions: A Case Study from Sekatak, East Kalimantan, CIFOR Working Paper, CIFOR, Bogor, Indonesia. Sarin, M., Singh, N., Sundar, N. dan Bhogal, R., 2003. Devolution as a threat to democratic decision-making in forestry? Findings from three states in India, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), Local Forest Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London. Shackleton, S. E. dan Campbell, B. M., 2001. Devolution in Natural Resource Management: Institutional Arrangements and Power Shifts: A Synthesis of Case Studies from Southern Africa, SADC Wildlife Sector Natural Resource Management Programme, Lilongwe, Malawi and WWF (Southern Africa), Harare. Sheil, D., Puri, R. K., Basuki, I., van Heist, M., Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono, M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F. dan Wijaya, A., 2002. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples Perspectives in Forest Landscapes, CIFOR, Bogor, Indonesia. 284 Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi Smith, J., Obidzinski, K., Subarudi, I. dan Suramenggala, I., 2003. Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry Review, vol 5, hal. 293–302. Wollenberg, E., Moeliono, M., Limberg, G., Iwan, R., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2006. Between state and society: Local governance of forests in Malinau, Indonesia, Forest Policy and Economics, vol 8, hal. 421–433. Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. dan Wollenberg, E., 2004. Analisa Konflik: Sektor Kehutanan di Indonesia 1997–2003, CIFOR, Bogor, Indonesia. “Buku ini menyajikan gambaran umum perubahan selama lebih dari satu dasawarsa yang terjadi dalam suatu lanskap hutan, di mana pertentangan kepentingan antara orang tempatan, industri pengeruk sumberdaya dan keanekaragaman hayati. Kajiankajian yang dikumpulkan di sini mengajarkan bahwa rencana dan strategi memang baik, tetapi di dunia nyata garis depan hutan, konservasi harus didasarkan pada perundingan, pembelajaran sosial dan kemampuan adaptif’” Jeffrey Sayer, penasihat ilmiah senior, Program Konservasi Hutan International Union for Conservation of Nature (IUCN). Buku ini didasarkan pada pengalaman suatu tim peneliti yang bekerja selama kurang lebih sepuluh tahun di Malinau, Kalimantan Timur, salah satu wilayah yang paling kaya hutan. Bagian pertama buku ini memaparkan gambaran umum pengaruh desentralisasi terhadap perubahan hubungan negara dan masyarakat serta. Bagian kedua mencakup secara detail bagaimana proses devolusi berkembang di Malinau, konteks kebijakan, perlawanan dan konflik dan bagaimana Malinau menata dirinya sendiri. Bagian ketiga buku ini mengkaji masalah-masalah yang lebih luas mengenai hubungan penguasaan atas sumberdaya, konflik, tata kelola pemerintah daerah dan partisipasi politik yang terkait dengan desentralisasi. Yang penting, buku ini memunculkan titik-titik penting untuk konteks internasional lainnya termasuk kenyataan bahwa aliansi politik lokal, terutama di antara minoritas etnik memainkan peran makin penting dan memungkinkan cara-cara baru untuk mempengaruhi kebijakan hutan di wilayah hutan terkaya di dunia ini. Penelitian ini merupakan penelitian tingkat tinggi yang bermanfaat bagi akademisi dan profesional di seluruh dunia yang bekerja dalam bidang kehutanan, pengelolaan sumberdaya alam, kebijakan dan ekonomi sumberdaya. Moira Moeliono adalah peneliti senior di Program Tata Kelola Hutan (Forests and Governance), Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor, Indonesia. Eva Wollenberg adalah Senior Associate dan pernah menjadi peneliti Utama di Program Tata Kelola Hutan, CIFOR dan sekarang menjabat Direktur di Center for Sustainable Agriculture, Universitas Vermont, Amerika Serikat. Godwin Limberg adalah konsultan jangka panjang di CIFOR dan pernah menjadi koordinator lapangan pada proyek Adaptive Collaborative Management di Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia.