Desentralisasi tata kelola hutan - Center for International Forestry

advertisement
Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk
Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia
Disunting oleh
Moira Moeliono
Eva Wollenberg
Godwin Limberg
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk
Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia
Disunting oleh
Moira Moeliono, Eva Wollenberg dan Godwin Limberg
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk
Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia
Diterjemahkan dari:
Moeliono, M., Wollenberg, E., Limberg, G. (penyunting). 2008. The Decentralization of Forest
Governance: Politics, economics and the fight for control of forests in Indonesian Borneo.
Earthscan Forestry Library. 320p. Earthscan Publications, London, UK.
Moeliono, M., Wollenberg, E., Limberg, G. (penyunting). 2009. Desentralisasi Tata Kelola Hutan:
Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
ISBN: 978-979-1412-85-8
284p
© 2009 Center for International Forestry Research (CIFOR)
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Edisi pertama, Februari 2009
Dicetak oleh Harapan Prima, Jakarta
Foto sampul oleh Eko Prianto
Desain dan tata letak oleh Rifky
Diterbitkan oleh Center for International Forestry Research
Jalan CIFOR, Situ Gede
Bogor Barat 16115
Tel: +62 (251) 8622-622; Fax: +62 (251) 8622-100
e-mail: [email protected]
www.cifor.cgiar.org
Center for International Forestry Research (CIFOR)
CIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan
melalui penelitian yang berorientasi kepada kebijakan dan praktik kehutanan di
negara berkembang. CIFOR adalah salah satu dari 15 pusat penelitian dalam Kelompok
Konsultatif bagi Penelitian Pertanian International (Consultative Group on International
Agricultural Research – CGIAR). CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan
kantor wilayah di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. CIFOR bekerja di lebih dari 30
negara dengan jaringan peneliti di 50 organisasi internasional, regional dan nasional.
Daftar Isi
Daftar Gambar, Tabel dan Kotak
Daftar Penulis
Ucapan terima kasih
Pendahuluan
Daftar Akronim dan Singkatan
ix
xiii
xvi
xvii
xxi
Bagian I Latar Belakang Teori dan Kontekstual
1
Antara Negara dan Masyarakat: Desentralisasi di Indonesia
Eva Wollenberg, Moira Moeliono, dan Godwin Limberg
Negara dan masyarakat
Desentralisasi
Transformasi Indonesia 2
Geografi Malinau
Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Topografi, tanah dan iklim
Sumberdaya hutan Malinau
Sejarah singkat
Masyarakat dan konflik
Mata pencaharian 3
Politik Budaya Kolaborasi untuk Mengontrol dan Mengakses
Sumberdaya Hutan di Malinau, Kalimantan Timur
Steve Rhee Pendahuluan
Sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau
Pemangku Kepentingan atau Identitas di Kabupaten Malinau Pemerintah kabupaten sebagai mikrokosmos ketegangan antar-suku
dan pertarungan kekuasaan Prakarsa pemerintah kabupaten mengonsolidasikan kendali dan kekuasaan:
Mendekatkan pemerintahan untuk menjauhkan masyarakat
Hubungan warga desa dengan pemerintah kabupaten:
Akses dan akuntabilitas diletakkan pada jaringan patronasi
Kesimpulan
3
3
4
7
23
26
27
28
30
32
41
41
42
43
47
48
50
51
vi
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
4
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan:
Sebuah perspektif lokal
Douglas Sheil, Miriam van Heist, Nining Liswanti, Imam Basuki,
Meilinda Wan, dibantu oleh masyarakat dari Paya Seturan, Long Lake,
Punan Rian, Langap, Laban Nyarit, Long Jalan, Liu Mutai dan Gong Solok
Perlunya upaya konservasi di Kalimantan
Perlunya menggali persepsi masyarakat lokal
Persepsi lokal
Pentingnya tumbuhan
Pentingnya hutan bagi masyarakat
Melihat lebih dekat kategori-guna lansekap
Pilihan lokal untuk tindakan lokal
Kesimpulan 57
57
58
62
66
70
72
79
80
Bagian II Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
5
Dampak Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK)
pada Desa-Desa di Daerah Aliran Sungai Malinau
Godwin Limberg Perkembangan IPPK di Daerah Aliran Sungai Malinau Apakah yang didapatkan desa dari IPPK? Apa pelajaran yang bisa dipetik?
Apa arti untuk masa depan?
6
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa? Negosiasi dan hasil Kesepakatan IPPK
antara Masyarakat dan Broker di Malinau
Charles Palmer
Metode penelitian
Pengorganisasian negosiasi di Malinau
Tema-tema dalam pengorganisasian negosiasi
Hasil negosiasi: Apa yang dinegosiasikan masyarakat?
Kenyataan hasil kesepakatan dengan IPPK
Diskusi
Kesimpulan
7
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat
di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur
Kewin Kamelarczyk dan Uffe Strandby
Pendahuluan
Lokasi penelitian
Metode penelitian
Diskusi
Kesimpulan
8
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan dengan
Berbagai Sistem Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
di Kalimantan Timur, Indonesia Haris Iskandar, Laura K. Snook, Takeshi Toma, Kenneth G.
MacDicken dan Markku Kanninen
Pendahuluan
87
87
91
99
102
105
106
106
108
121
124
125
128
133
133
135
137
153
161
165
165
Daftar Isi
Lokasi penelitian
Metode penelitian
Hasil Penelitian
Diskusi
9
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan:
Perkembangan Lanjutan di Desa Setulang, Kalimantan Timur
Ramses Iwan dan Godwin Limberg
Desa Setulang
Perkembangan Tane’ Olen
Perjuangan penduduk desa untuk Tane’ Olen
Perkembangan baru seputar Tane’ Olen
vii
166
168
169
175
185
185
186
187
192
Bagian III Perkembangan lain yang didorong
oleh desentralisasi
10
Pemenang Mengambil Semua: Memahami Konflik Hutan
di Era Desentralisasi di Indonesia
Made Sudana
Pengantar
Metodologi
Konflik sebelum dan sesudah desentralisasi
Pola umum
Analisa konflik Kesimpulan
11
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau1
Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Konteks nasional dan hukum Penguasaan atas sumberdaya alam secara de facto dan peran adat
Perencanaan tata ruang
Punan Malinau dan klaim atas tanah
Kesimpulan: Tidak Sambungnya Kebijakan
211
12
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa Eva Wollenberg
Pengantar
Kontradiksi antara perwakilan dan partisipasi Kebijakan desentralisasi Perwakilan dan partisipasi dalam praktik
Kesimpulan 231
13
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Pemerintah daerah di Malinau dan insentif untuk menangani kemiskinan
Dari IPPK hingga pengelolaan hutan berkelanjutan? Kabupaten konservasi
Kesepakatan
Kesimpulan
251
199
199
200
200
204
207
209
212
214
218
222
223
231
232
235
235
247
252
258
260
263
264
viii
14
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Lahirnya tatanan politik setempat Dampak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan Dampak pada hutan dan pengelolaan hutan
Menatap ke depan
267
268
273
279
281
Daftar Gambar, Tabel dan Kotak
Gambar
1.1 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 5.1 6.1 7.1 7.2 7.3 7.4 Struktur birokasi kehutanan sebelum desentralisasi 13
Peta administratif Malinau
24
Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau
25
Penyebaran suku-suku di Malinau
31
Pendapatan rata-rata rumah-tangga (juta Rupiah per tahun)
33
Pada tahun 2004, pemerintahan Kabupaten Malinau menempati kompleks gedung yang baru, seperti ditunjukkan di sini 37
Penyebaran sample menurut kelas keadaan lahan
61
Peta lokasi sampel, berdasarkan tipe dan komunitas
69
Jumlah total manfaat khusus spesies yang tercatat,
berdasarkan kategori kegunaan
70
Proporsi jumlah spesies-berguna menurut jenis sampel dan suku informan
71
Proporsi tumbuhan berguna menurut jumlah spesies secara keseluruhan 71
Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau 89
Fee yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dibayarkan
untuk kesepakatan IPPK pertama yang dikaji di Malinau
123
Alokasi persentase peringkat berbagai kegiatan berpenghasilan.
Angka persentase menunjukan seberapa sering suatu kegiatan
berpenghasilan dipandang relatif paling tinggi dari jumlah
total perbandingan sumber penghasilan
140
Frekuensi munculnya kegiatan berpenghasilan dalam peringkat
pembandingan (ketersediaan relatif ) dan kepentingan relatif
dari besarnya pendapatan: ketiga desa dipandang sebagai satu populasi
141
Persentase pembelanjaan berbagai barang dan jasa oleh rumah tangga
143
Persentase rumah tangga dengan berbagai strategi investasi
(pengeluaran menurut berbagai kategori barang dan jasa)
x
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
7.5 terkait dengan fee IPPK: Persentase ini digambarkan
dengan satu error bar ± 2 * SE
144
Proporsi rumah tangga yang mengetahui jumlah fee total yang
diterima oleh desanya. Tidak ada rumah tangga di Tanjung Nanga yang mengetahui
jumlah fee yang diterima desanya (persentase rata-rata
digambarkan dengan error bar ± 2*SE)
145
Proporsi rumah tangga yang mengenal nama operator IPPK
(persentase rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2 * SE)
147
Persentase rumah tangga yang menilai distribusi fee IPPK
di desanya adil atau tidak adil (persentase rata-rata dgambarkan
dengan error bar ± 2 * SE)
148
Dua perkiraan total fee IPPK yang diterima per rumah tangga:
Satu perkiraan didasarkan pada data dari kuesioner semi terbuka
di tingkat rumah tangga (kolom kiri berwarna abu-abu muda);
perkiraan lain didasarkan pada data dari berbagai wawancara kelompok
terfokus dan laporan produksi mengenai jumlah rumah tangga
penerima fee dan fee total yang diterima di tingkat desa
(kolom kanan berwarna abu-abu tua)
149
Proporsi rumah tangga yang berdagang karyawan IPPK
(persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE)
150
Proporsi rumah tangga yang bekerja di perusahaan IPPK
(persentase digambarkan dengan error bar ± 2 * SE)
150
Persentase warga menyebut alasan penyebab berkurangnya
akses ke dan/atau lebih sulitnya panen: Persentase ini didasarkan
pada jumlah rumah tangga yang mengungkapkan kesulitan
mendapatkan hasil-hasil hutan dan bukan jumlah total pengguna
(persentase dihitung sebagai rata-rata jumlah rumah tangga
dan diikuti oleh ± 2 * SE)
154
Peta kepulauan Indonesia (kiri atas), Provinsi Kalimantan Timur
(kanan atas) dan peta daerah studi di Malinau (bawah)
167
Frekuensi dan distribusi diameter tunggul bekas tebangan
(tunggul per hektar) oleh pemegang izin HPH, subkontraktor HPH,
dan pemegang IPPK di kedua tipe hutan
171
Frekuensi dan distribusi potensi kerusakan (pohon per hektar)
akibat pembalakan oleh pemegang Izin HPH, subkontraktor HPH
dan IPPK pada berbagai tipe hutan 176
Perbedaan antara jalan jalan sarad, dan tempat pengumpulan kayu
oleh HPH dan IPPK pada areal hutan bekas tebangan
179
Peta pemanfaatan lahan Setulang
194
Frekuensi konflik sebelum dan sesudah desentralisasi 201
Kejadian dan pemicu konflik
202
Siapa yang biasanya mewakili masyarakat? Hasil survei terhadap
95 orang warga di 19 desa, tahun 2004-2005
238
Apakah DPRD berperan mewakili masyarakat?
Survei warga desa secara peroranga
241
7.6 7.7 7.8 7.9 7.10 7.11 8.1 8.2 8.3 8.4 9.1 10.1 10.2 12.1 12.2 Daftar Gambar, Tabel dan Kotak
xi
Tabel
1.1 Kronologi undang-undang tentang desentralisasi dan kehutanan
2.1 Distribusi afiliasi etnis pegawai pemerintah di Malinau
4.1 Survei pengukuran persepsi masyarakat tentang keanekaragaman hayati
4.2 Kategori-guna yang digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat
kepentingan lansekap 4.3 Saran masyarakat tentang tindakan untuk mengatasi masalah lingkungan 4.4 Nilai tengah kategori-guna per unit lansekap dan per tipe hutan
untuk semua kelompok di ketujuh kelompok masyarakat 4.5 Rata-rata skor kepentingan hutan di masa lalu, kini dan masa depan
(dari ketujuh komunitas) 4.6 Rata-rata skor kepentingan berbagai tumbuhan dan satwa
menurut ketujuh komunitas (setiap hasil merupakan rata-rata dari
keempat sub-kelompok)
4.7(a) Sepuluh tanaman terpenting 4.7(b) Sepuluh hewan terpenting 4.8 Lima spesies dengan skor tertinggi di setiap kategori-guna
(nama Latin dan deskripsi umum dalam bahasa Indonesia)
5.1 Desa-desa wilayah kerja Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
(IPPK) di Daerah Aliran Sungai Malinau
5.2 Manfaat yang dijanjikan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau
(tunai dan non-tunai) 5.3 Jumlah yang dibayarkan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau
dari Juni 2000 hingga Juni 2003
5.4 Distribusi fee di Tanjung Nanga 5.5 Keuntungan non-tunai bagi desa-desa di DAS Malinau dari IPPK
mulai tahun 2000 hingga Juni 2003
5.6 Perbandingan antara luasan sebenarnya dan luasan perkiraan yang
terpengaruh oleh operasi IPPK
5.7 Luasan dan persentase kerusakan hutan akibat pembangunan
jalan terhadap total hutan yang terpengaruh oleh operasi IPPK 6.1 Komunitas yang disurvei di Kabupaten Malinau,
September 2003–Januari 2004
6.2 Negosiasi untuk kesepakatan IPPK di Malinau
6.3 Hasil dari kesepakatan IPPK di Malinau
7.1 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan
hutan yang diklaim oleh Tanjung Nanga
7.2 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan
hutan yang diklaim oleh Long Adiu dan Punan Adiu
7.3 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan
hutan yang diklaim oleh Sengayan
7.4 Aturan persentase pembagian fee IPPK di tiga desa
8.1 Perbandingan panjang jalan sarad dan jalan pembalakan antara HPH,
subkontraktor HPH dan IPPK
8.2 Perbandingan kerusakan akibat pembalakan antara HPH,
subkontraktor HPH dan IPPK
8
36
59
60
63
64
65
66
67
67
68
88
91
93
93
96
98
99
107
110
117
137
138
139
146
172
173
xii
8.3 8.4 12.1 13.1 13.2 Desentralisasi Tata Kelola Hutan
Kerusakan pohon per 100m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan
(pohon per m-1) akibat kegiatan HPH dan IPPK dalam hutan primer
Kerusakan pohon per 100 m panjang jalan sarad
atau jalan pembalakan (pohon 100m-1) akibat kegiatan
HPH dan IPPK di hutan bekas tebangan
Materi rapat selama bulan Januari hingga Juni 2000 di keempat desa
di Long Loreh (sampel = 36)
Program Gerbang Dema, 2002 (dalam miliar Rupiah) Delapan dari 11 HPH mini yang dikeluarkan oleh
Kabupaten Malinau dan statusnya
174
174
242
254
259
Kotak
5.1 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 11.1 11.2 12.1 13.1 Penggunaan uang IPPK untuk pembangunan desa:
contoh dari Punan Adiu Ungkapan persepsi responden terhadap fee IPPK
Pendapat enam responden di Sengayan tentang nilai penting fee IPPK
terhadap situasi finansial rumah tangga dan nilai pentingnya
pendapatan yang stabil Tanggapan beberapa rumah tangga ketika ditanya tentang
‘tabungan’ dari fee IPPK Beberapa pernyataan dari Adiu dan Tanjung Nanga tentang
kemungkinan mempengaruhi keputusan
Komentar seorang penduduk desa Sengayan tentang
pembagian fee IPPK
Pernyataan dari wawancara kelompok terfokus di Long Adiu
tentang perubahan kebiasaan jual-beli
Hasil-hasil diskusi perencanaan pemanfaatan lahan dengan
12 kelompok fokus di Long Loreh
Visi masyarakat lokal tentang tata ruang desa Kesulitan dalam penjadwalan rapat
Tahapan-tahapan menuju desa mandiri
94
142
142
143
145
146
152
220
221
245
255
Daftar Penulis
Imam Basuki adalah seorang spesialis ilmu tanah yang bekerja pada Center for International
Forestry Research di Indonesia. Pengalamannya terutama dalam aspek-aspek sosioekonomi dan ilmu tanah untuk lansekap berhutan, bekerjasama dengan lembaga-lembaga
dan masyarakat lokal di Kalimantan, Papua dan Vietnam. Bidang yang diminatinya adalah
manajemen sumberdaya, evaluasi lahan, dan GIS.
Haris Iskandar pengalaman profesionalnya meliputi berbagai keahlian, dari pekerjaan
lapangan sebagai Asisten Lapangan dan Koordinator Lapangan, sampai berbagai studi
dan penelitian yang diselenggarakan berdasarkan kerjasama atau didanai oleh sejumlah
organisasi internasional dan masyarakat madani. Pengalamannya mencakup penerapan
Geographic Information System (GIS), Carbon Sequestration, Natural Regeneration of
Mahogany, teknik-teknik Reduced Impact Logging (RIL), Pemanfaatan Limbah Kayu
bagi Masyarakat, berbagai Skenario Proyek Penerapan dan Penelitian CDM skala kecil
di Indonesia, serta beberapa studi yang berhubungan dengan mekanisme REDD. Selama
kerjasama profesionalnya dengan CIFOR (sampai 2008) dan Winrock International,
dia telah mengikuti sejumlah seminar, lokakarya, dan pelatihan, serta menuliskan dan
membantu penulisan sejumlah publikasi yang ditujukan bagi masyarakat umum di tingkat
nasional dan internasional.
Ramses Iwan sudah menjadi Peneliti Lapangan di CIFOR sejak 2001. Dia adalah seorang
warga masyarakat desa Setulang di Malinau, Kalimantan Timur.
Kewin Kamelarczyk meraih gelar MSc dalam bidang kehutanan dan tata guna lahan di
negara berkembang dari Faculty of Life Science di Copenhagen University. Dia terlibat
dalam beberapa pekerjaan dan penelitian dengan topik yang berkaitan dengan hutan;
dari hutan kemasyarakatan dan ketergantungan pada hutan hingga penilaian sumberdaya
hutan dan manajemen informasi hutan. Kewin pernah bekerja untuk FAO Global Forest
Resources Assessment dan dukungan negara-negara FAO untuk penilaian hutan nasional di
Roma. Sekarang dia sedang menempuh studi untuk meraih gelar PhD dengan mempelajari
interaksi antara proses penilaian hutan nasional dan dialog kebijakan nasional.
xiv
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
Godwin Limberg telah tinggal dan bekerja di Kalimantan Timur, Indonesia, sejak 1990. Ia
telah menjadi Peneliti Lapangan CIFOR, untuk masalah-masalah pemerintahan dan hakhak masyarakat sejak tahun 2000. Sebelum bergabung dengan CIFOR, dia bekerja di Rio
Tinto Foundation, World Wildlife Fund di Taman Nasional Kayan Mentarang, Indonesia,
serta menjadi relawan untuk sebuah organisasi pengembangan masyarakat setempat. Dia
memiliki gelar Master dalam Ilmu-ilmu Tanaman Tropis dari Wageningen Agricultural
University, Belanda.
Nining Liswanti adalah seorang peneliti keragaman hayati yang bekerja untuk Center
for International Forestry Research di Indonesia. Pengalamannya terutama di bidang
pengembangan metoda-metoda penelitian ekologi cepat di Indonesia, Muangthai, dan
Vietnam.
Moira Moeliono sudah menjadi peneliti di CIFOR sejak 2001, meneliti berbagai
keterkaitan kebijakan nasional-lokal, pembelajaran kebijakan di tingkat lokal, serta berbagai
hal tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal.
Charles Palmer adalah seorang ahli ekonomi lingkungan yang kini bekerja sebagai peneliti
paska sarjana di Swiss Federal Institute of Technology (ETH) di Zurich, Swiss. Dia pernah
bekerja di Center for International Forestry Research (CIFOR) di Indonesia, dan United
Nations Development Program (UNDP) serta International Institute for Environment
and Development (IIED). Minatnya saat ini meliputi perdagangan karbon kehutanan,
bahan bakar bio, tata-guna lahan, serta evaluasi kebijakan kawasan-lindung.
Steve Rhee sudah bekerja selama 15 tahun sebagai peneliti dan praktisi pembangunan
internasional untuk meningkatkan kebijakan dan praktik berbasis-bukti, terutama
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dia pernah bekerja bersama berbagai
pemangku kepentingan, dari warga desa yang tergantung pada hutan di Kalimantan sampai
ke lembaga-lembaga donor internasional, dan telah bekerjasama erat dengan CIFOR
sejak 1999. Dia pernah tinggal dan bekerja di Indonesia, Asia Tenggara daratan, Timor
Leste dan Nepal. Dia menerima gelar Doktor dari Yale, dengan pelatihannya terutama
tentang pemerintahan, perdagangan dan budaya, yang berkaitan dengan pembangunan
berkelanjutan. Kini dia adalah seorang American Association untuk Advancement of
Science (AAAS) Science and Technology Policy Fellow di Departemen Dalam Negeri AS.
Douglas Sheil melakukan penelitian ini ketika bekerja di CIFOR dan kini menjabat
sebagai direktur Institute for Tropical Forest Conservation (Mbarara University for Science
and Technology), PO Box 44, Kabale, Uganda. Tel: +256 (0) 39 2709753; Fax +256 (0)
39 2251753.
Daftar Penulis
xv
Uffe Strandby meraih gelar MSc dalam kehutanan dan PhD dalam sosial-ekonomi dan
ekologi konservasi yang berkaitan dengan conifer langka di Amerika Tengah. Dia pernah
bekerja dalam penelitian mengenai ekologi regenerasi spesies kayu, konflik para pemangku
kepentingan, pemasaran hasil hutan dan hutan kemasyarakatan di Indonesia, Thailand,
Peru, Ekuador, Guatemala dan Meksiko.
Made Sudana bekerja untuk CIFOR sejak 1999 sampai 2004 di Malinau, salah satu
kabupaten di Kalimantan Timur. Dia terlibat dalam proyek ACM dan juga bekerja
dalam penelitian tentang konflik dan kekuasaan di antara para pemangku kepentingan
di lingkungan masyarakat kehutanan, perusahaan perkayuan dan pertambangan, serta
pemerintah daerah di Malinau dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Saat ini dia bekerja
untuk Badan Kerjasama Pembangunan Indonesia-Jerman untuk Pengadaan Air Pedesaan
di Sumba.
Miriam van Heist melakukan penelitian ini ketika bekerja di CIFOR dan kini menjabat
sebagai direktur Institute for Tropical Forest Conservation (Mbarara University for Science
and Technology), PO Box 44, Kabale, Uganda. Tel: +256 (0) 39 2709753; Fax +256 (0)
39 2251753.
Meilinda Wan adalah seorang peneliti agronomi yang bekerja di Center for International
Forestry Research di Indonesia. Penelitian yang disukainya adalah di bidang keragaman
hayati dan masyarakat di lansekap yang sedang berubah.
Eva (Lini) Wollenberg adalah seorang peneliti sosial dengan komitmen kuat pada
pemberdayaan masyarakat lokal. Lini memperoleh gelar Ph.D. dari University of
California, Berkeley, dan pernah bekerja berturut-turut di Ford Foundation serta menjadi
peneliti senior di CIFOR, memimpin penelitian atas hutan-hutan tropis di Asia, terutama
di Kalimantan. Dia adalah salah satu Senior Associate di CIFOR dan kini menjabat sebagai
direktur program pertanian berkelanjutan di University of Vermont, Amerika Serikat.
Ucapan terima kasih
Buku ini merupakan terjemahan dari buku bahasa Inggris yang diterbitkan Eartscan.
Proses panjang sejak awal penulisan sampai akhirnya terbit dalam bahasa Indonesia hanya
bisa terlaksana atas dukungan banyak pihak. Dalam kesempatan ini kami hanya mampu
menyebut beberapa diantaranya tanpa mengurangi rasa terima kasih kepada semua pihak
lain yang turut memberi dukungan. Penghargaan yang tulus kami sampaikan kepada Dina
Hubudin yang telah mencari dan mengelola satu regu penerjemah dan penyunting dan
kepada Gideon Suharyanto yang dengan teliti telah membantu menyempurnakan dokumen
terakhir. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para penerjemah, kepada Harmiel
M. Soekardjo yang telah membantu menyunting bahasa Indonesia dan kepada Barbara
Hall yang menyunting versi bahasa Inggris, kepada Rifky dari PILI yang membantu lay
out dan perbaikan terakhir.
Tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Ford Foundation (khususnya
Ujjwal Pradhan dan Meiwita Budiharsana) yang mendanai sebagian penelitian yang
mendasari buku ini sampai penerbitannya. Penghargaan kami sampaikan juga pada
donor-donor lainnya IFAD, ITTO, DFID, BMZ yang memungkinkan penelitian jangka
panjang di Malinau. Terima kasih juga kepada kawan-kawan peneliti di CIFOR atas
dukungannya.
Kegiatan penelitian dan penulisan ini juga tidak terlepas dari dukungan masyarakat
dan pemerintah kabupaten Malinau. Keterbukaan, kerja sama dan diskusi dengan mereka
pemahaman kami tentang dinamika di Malinau akan sangat dangkal. Untuk merekalah
buku ini ditulis.
Akhirnya, walaupun tulisan dalam buku ini didasarkan pada informasi, pandangan
dan dukungan dari banyak pihak, pandangan dan pendapat yang terdapat dalam ini tidak
mencermin pendapat resmi dari lembaga dimana para penulis bekerja.
Pendahuluan
Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Di tengah keprihatinan global terhadap hutan – baik itu deforestasi, perlindungan ekosistem
yang kaya spesies ataupun perubahan iklim – upaya masyarakat lokal mempertahankan
hutan mereka seringkali gagal atau terabaikan. Padahal, upaya masyarakat lokal bisa secara
langsung mempengaruhi hutan maupun ratusan ribu warga yang hidupnya bergantung
pada hutan.
Buku ini tentang sikap masyarakat lokal atas sumberdaya hutan yang sangat penting
dalam konteks perubahan peluang di kawasan hutan kritis secara global, yaitu hutan
Kalimantan di Indonesia. Kami menggali apa yang terjadi setelah desentralisasi dan
reformasi demokrasi di Indonesia, ketika pemerintah kabupaten memperoleh wewenang
baru dan masyarakat lokal memperoleh hak-hak baru, yang memungkinkan eksploitasi
hutan skala kecil pada tahun 1998 sampai 2003 di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Bab-bab dalam buku ini mengamati perubahan dan hubungan yang ditimbulkannya di
antara masyarakat, pemerintah daerah, dan hutan.
Buku ini menceritakan upaya pengendalian sumberdaya alam secara demokratis,
serta apa yang terjadi pada pemanfaatan lokal sumberdaya itu ketika reformasi kebijakan
berlangsung cepat. Ini adalah kisah tentang warga jelata yang mencoba memahami peluang
yang tersedia bagi mereka.
Malinau tidaklah unik. Yang terjadi di Malinau adalah bagian dari kecenderungan
global menuju tatanan politik lokal. Akibat gerakan desentralisasi dan demokratisasi
di berbagai negara, untuk pertama kalinya di wilayah hutan yang paling terpencil,
masyarakat lokal terwakili oleh warga mereka sendiri yang memiliki hak suara dalam proses
pengambilan keputusan resmi pemerintah. Masyarakat di wilayah ini tidak lagi hanya
bergantung pada perusahaan kayu atau program sektor kehutanan yang terbatas untuk
mendapatkan sarana dan layanan umum. Pemerintah lokal kini menyediakan layanan
kesehatan, sekolah, administrasi, dan akses kepada sumberdaya alam bagi warga di tempat
yang paling terpencil sekalipun.
Pada saat yang sama, banyak di antara tatanan lokal ini masih rapuh dan rancu.
Tatanan baru ini ternyata tidak sedemokratis seperti harapan para arsiteknya (Larson
dan Ribot, 2005; Ribot 2006). Ketidakpastian yang menyertai berbagai kebijakan baru
xviii
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
sering membuka peluang eksploitasi sumberdaya seketika. Seperti pada berbagai daerah,
perimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat lokal sedang berkembang dan
berbagai kekuatan masih terus mencari peluang menggali berbagai manfaat baru dari
hutan. Para pemain nasional dan internasional berusaha mencari perimbangan kekuasaan
yang juga bisa mewadahi kepentingan mereka.
Berfokus pada Malinau, kami tak hanya ingin memahami transisi tatanan politik lokal
ini, namun juga mendokumentasikan suatu tempat dan waktu yang istimewa di dalam
sejarah dunia hutan dan masyarakat hutan. Kalimantan telah mengalami transformasi
dahsyat selama generasi terakhir (Padoch dan Peluso, 1996), namun dalam periode liputan
buku ini, terjadi perubahan lebih mencengangkan lagi, terutama di kawasan paling terpencil.
Pembalakan, yang legal maupun ilegal, meningkat tajam. Antara tahun 1980 dan 2003,
kawasan hutan lindung di dataran rendah Kalimantan menyusut lebih dari 56 persen,
atau 29.000 kilometer persegi (Curran dkk, 2004). Semua kabupaten masih belajar berotonomi. Terbentuk batas-batas administratif baru. Di Kalimantan Timur saja, terbentuk
empat kabupaten baru, menggandakan pusat-pusat pemerintahan di provinsi ini dan
mendatangkan dana pembangunan jalan, sekolah, layanan kesehatan dan proyek-proyek
desa yang baru, tetapi juga perebutan alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Berbagai
klaim dari kelompok adat berbasis etnis atas lahan hutan negara diakui secara resmi dan
mendatangkan pembayaran ‘fee’ dan kompensasi, terkadang dalam jumlah puluhan ribu
dollar. Frekuensi dan intensitas konflik terbuka meningkat (Wulan dkk, 2004) ke tingkat
yang tidak pernah dialami sebelumnya sejak masa pengayauan di awal tahun 1900-an.
Meskipun disebabkan oleh desentralisasi dan reformasi yang menyertainya, semua
perubahan itu mencerminkan luasnya rangkaian kecenderungan yang mempengaruhi
penduduk kawasan hutan Indonesia, termasuk melemahnya dan bubarnya beberapa lembaga
negara; upaya masyarakat madani mengorganisasi diri setelah lebih dari tiga dasawarsa
pemerintahan otoriter; meningkatnya hubungan masyarakat hutan lokal dengan jaringan
internasional (Colchester dkk, 2003); berkurangnya kekuasaan negara atas kehutanan
skala besar; dan menguatnya tekanan agar pengelolaan sumberdaya lebih ditujukan untuk
mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Hal itu juga mencerminkan periode
transisi dengan ketidakpastian tinggi, karena masuknya Indonesia ke jalur demokrasi ini
melalui suatu masa krisis ekonomi dan politik (Sunderlin, 1999) sebelum ada kelembagaan
demokrasi yang berfungsi. Buku ini mencoba mendokumentasikan, walau hanya sebagian,
periode penuh gejolak dan kompleks ini.
Tema akhir buku ini adalah pengalaman para penulis di Malinau. Para penulis melakukan
penelitian di Malinau untuk Center for International Forestry Research (CIFOR). Sebagian
besar penelitian ini bertujuan sama yaitu mendukung masyarakat lokal mendapatkan akses
lebih besar dan pengelolaan lebih baik atas hutan mereka, yang dilakukan melalui kerjasama
dengan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Penelitian kami menganggap
tujuan akhirnya adalah pengelolaan bersama melalui proses yang melibatkan semua
pemangku kepentingan. Namun, pendekatan ini mengasumsikan adanya komunikasi
dan saling percaya, atau bahwa hal itu dapat dibangun dengan mudah, dan sudah ada
lembaga-lembaga perundingan, persetujuan, perimbangan kekuasaan, maupun pengelola
konflik. Di Malinau, di awal masa desentralisasi, kondisi ini tidak ada. Maka kami belajar
untuk sangat fleksibel dan menyesuaikan diri menjadi bagian dari masyarakat, menjaga
kedekatan dengan para pendukung pemain kunci dan mengembangkan program-program
untuk kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan, agar kami bisa menangkap
kesempatan yang bisa muncul kapan saja dan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat.
Pendahuluan
xix
Dengan cara ini, informasi menjadi lebih akurat, mendalam dan komprehensif, terutama
dalam mendengarkan berbagai sudut pandang dari berbagai kelompok (lihat Wollenberg
dkk, 2007, mengenai kerjasama spontan).
Pengorganisasian isi buku
Bagian pertama buku ini memberikan latar belakang teori dan kontekstual untuk kisah
Malinau. Di Bab 1, kami mengulas teori ‘negara dalam masyarakat’ dan implikasinya pada
dampak desentralisasi terhadap pertarungan kekuasaan antara masyarakat lokal dengan
negara. Bab ini juga merangkum perkembangan Indonesia dari negara otokratis menjadi
bertatanan politik lokal, dengan perhatian khusus pada sektor kehutanan.
Sisa buku ini berfokus pada Malinau. Bagian I (Bab 1 sampai 4) memaparkan secara
singkat riwayat cara masyarakat Malinau mengorganisasi diri, terutama dalam hal akses
terhadap hutan. Setelah pengantar singkat mengenai keadaan geografis, Moeliono dan
Limberg menguraikan konteks kebijakan lokal tentang desentralisasi (Bab 2). Di Bab 3,
Rhee mengenalkan berbagai pelaku di Malinau dan bagaimana pengaruh desentralisasi
terhadap hubungan kekuasaan mereka, sementara di Bab 4. Sheil dkk menggambarkan
nilai-nilai yang dianut masyarakat desa mengenai hutan dan beberapa kecenderungan
perubahan nilai-nilai tersebut. Bagian II buku ini menawarkan serangkaian analisa
mengenai dampak dari pembalakan skala kecil yang dikenal dengan Izin Pemungutan dan
Pemanfaatan Kayu atau IPPK dan penyebabnya. Dalam Bab 5, Limberg mengkaji dampak
operasi IPPK di tujuh desa di daerah aliran sungai Malinau, sementara di Bab 6, Palmer
mendokumentasikan kondisi-kondisi yang mendasari negosiasi antara masyarakat dengan
perusahaan. Palmer menjelaskan bagaimana secara keseluruhan warga Malinau memperoleh
manfaat lebih kecil daripada kabupaten lain seperti Kutai Barat di Kalimantan Timur,
di mana masyarakat menjadi pihak yang memulai proses negosiasi dan lebih memiliki
informasi mengenai pilihan-pilihan fee. Dalam Bab 7 Kamelarczyk dan Strandby melihat
pengaruh IPPK terhadap rumah tangga di tiga desa. Di Bab 8, Iskandar dkk memberikan
analisa dampak kegiatan pembalakan terhadap hutan, sementara dalam Bab 9, Bab terakhir
di Bagian II, Iwan dan Limberg menggambarkan upaya masyarakat untuk melindungi
hutan yang sangat berharga melalui inisiatif masyarakat lokal.
Bagian III buku ini mengkaji masalah yang lebih luas yang berkaitan dengan hubungan
kepemilikan, konflik dan partisipasi politik yang terkait dengan desentralisasi. Dalam Bab
10, Sudana menganalisa peningkatan konflik setelah desentralisasi, dan dalam Bab 11,
Moeliono dan Limberg menggambarkan munculnya masalah penguasaan lahan dan adat
sebagai isu politik. Dalam Bab 12, Wollenberg menguraikan bagaimana peranan proses
desentralisasi dan demokrasi di desa-desa di Malinau. Moeliono dan Limberg dalam Bab 13
kemudian menunjukkan bagaimana pemerintah berusaha menyesuaikan diri dengan peran
barunya dalam negara yang terdesentralisasi melalui beberapa percobaan pembangunan. Bab
terakhir, Bab 14, menawarkan sintesis dan kesimpulan, menggambarkan terbitnya tatanan
politik lokal berkat dorongan aliansi etnis. Dalam prosesnya, kelompok yang terpinggirkan
bisa menjadi semakin terpinggirkan, seperti yang dialami pada kasus Punan Malinau yang
diuraikan di Bab 12 dan 13. Namun dalam penyesuaian yang saling menguntungkan antara
negara dan masyarakat, tata kelola hutan kerap menjadi sumber konflik. Masih belum
jelas siapa yang sebenarnya menjadi pengendali. Seperti pada masalah kepemilikan lahan,
xx
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
pengelolaan hutan diatur melalui perpaduan antara kelembagaan dan aturan tradisional
non-formal dengan sistem hukum formal.
Rujukan
Colchester, M., Apte, T., Laforge, M., Mandondo, A. dan Pathak, N., 2003. Bridging the Gap:
Communities, Forests and International Networks, CIFOR Occasional Paper 41, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Curran, L. M., Trigg, S. N., McDonald, A. K., Astiani, D., Hardiono, Y. M., Siregar, P.,
Caniago, I. dan Kasischke, E., 2004. Lowland forest loss in protected areas of Indonesian
Borneo, Science, vol 303, hal. 1000–1003.
Larson, A. dan Ribot, J., 2005. Democratic decentralisation through a natural resource lens:
An introduction, dalam J. Ribot dan A. Larson (penyunting) Democratic Decentralization
through a Natural Resource Lens: Experience from Africa, Asia and Latin America,
Routledge, London.
Padoch, C. dan Peluso, N. L. (penyunting), 1996. Borneo in Transition: People, Forests,
Conservation, and Development, Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Peluso, N. L. dan Padoch, C., 1996, dan edisi ke-2, 2003. Changing resource rights in managed
forests of West Kalimantan, dalam C. Padoch dan N. L. Peluso (penyunting) dalam Borneo
in Transition: People, Forests, Conservation, and Development, Oxford University Press,
Kuala Lumpur.
Ribot, J. C., 2006. Representation, citizenship and the public domain: Framing the local
democracy effects of institutional choice and recognition, Paper presented at the 11th
Biennial Conference of the IASCP, Bali, Indonesia, March 2006.
Sunderlin, W.D., 1999. Between danger and opportunity: Indonesian and forests in an era of
economic crisis and political change, Society and Natural Resources, vol 12, no 6, hal.
559–570.
Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. and Wollenberg, E., 2004. Analisa Konflik: Sektor Kehutanan
di Indonesia 1997–2003, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, M., 2007.
Facilitating cooperation during times of chaos: spontaneous orders and muddling
through in Malinau, Ecology and Society, vol 12, no 1, hal. 3. [online] URL: http://www.
ecologyandsociety.org/vol12/iss1/art3/.
Daftar Akronim dan Singkatan
°C
AAC
ADB
AMAN
ANOVA
APBD
APBN
asl
BAPPEDA
BBP
BDMS
BLU
BPD
BPN
BTRF
CEC
CERD
CIFOR
Cm
CV
dbh
Dephut
DFID
dpl
DPRD
dsh
dtd
dtt
FFPRI
GER
GIS
GPS
ha
HHNK
derajat Celcius
annual allowable cut
Asian Development Bank
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
analysis of variance
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
above sea level
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bakti Bumi Perdana
Bara Dinamika Mudah Sukses
Badan Layanan Umum
Badan Perwakilan Desa
Badan Pertanahan Nasional
Borneo Tropical Rainforest Foundation
cation exchange capacity
Community Empowerment for Rural Development
Center for International Forestry Research
sentimeter
Commanditaire Vennootschap
diameter at breast height
Departemen Kehutanan
Department for International Development, Inggris
di atas permukaan laut
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diameter at the estimated stump height
diameter setinggi dada
diameter setinggi tunggul
Foresty and Forest Product Research Institute
Global Eco Rescue
Geographic Information Systems
Global Positioning System
hektar
Hasil Hutan Non Kayu
xxii
Desentralisasi Tata Kelola Hutan
HPH
HPHH
IED
IFAD
IPGRI
IPPK
IUPHHK
JPT
kg
KKN
km
KPK
KSN
LADAS
LATIN
LIPI
LSM
LTI
m
mm
Dephut
MPR
n
NGO
NRM
NTFP
P5D
PAD
PADUS
PDM
PKK
PMD
PT
RTRWP
SE
SHK
SK
SRL
TPTI
UU
UUD
UK
US
VOC
WALHI
WWF
Hak Pengusahaan Hutan
Hak Pemungutan Hasil Hutan
Institute for Environmental Decisions, Zurich, Switzerland
International Fund for Agricultural Development
International Plant Genetic Resources Institute
Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Jatah Penebangan Tahunan
kilogram
Korupsi Kolusi dan Nepotisme
kilometer
Komite Penanggulangan Kemiskinan
Kawasan Strategis Negara
Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak
Lembaga Alam Tropika Indonesia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Lembaga Swadaya Masyarakat
Lestari Timur Indonusa (PT)
meter
milimeter
Departemen Kehutanan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
banyaknya semua populasi sampel
non-governmental organization (organisasi non-pemerintah)
natural resource management
non-timber forest products (= HHNK)
Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan
Daerah
Pendapatan Asli Daerah
Persatuan Dayak Sewilayah Semendurut
Pebble Distribution Method
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Perseroan Terbatas
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Standard Error
Sistem Hutan Kerakyatan
Surat Keputusan
Sustainable Rural Livelihood
Tebang Pilih Tanam Indonesia
Undang-undang
Undang-undang Dasar
United Kingdom
United States
Vereenigde Oost-indische Companie
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
World Wildlife Fund for Nature
Bagian I
Latar Belakang Teori dan
Kontekstual
1
Antara Negara dan Masyarakat:
Desentralisasi di Indonesia
Eva Wollenberg, Moira Moeliono, dan Godwin Limberg
Untuk memahami perubahan peluang bagi warga lokal di Indonesia, diperlukan penjelasan
bagaimana desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia telah membuat masyarakat
lokal bisa lebih mempengaruhi pemerintah yang sebelumnya sangat otokratik dan pemaksa,
serta bertangan besi dalam hal pemanfaatan hutan. Penelitian Joel Migdal, Atul Kohli,
Vivienne Shue, dan lain-lain (1994) memberikan kerangka analisa perubahan hubungan
tersebut. Bab ini meninjau secara mendalam sejarah sentralisasi dan desentralisasi di
Indonesia, serta kerangka hukum yang membentuk desentralisasi selama periode reformasi
antara tahun 1998 hingga 2003.
Negara dan masyarakat
Pertama, definisi dan asumsi. Negara adalah sekumpulan organisasi yang melalui
pembuatan peraturan dan pemaksaan hendak menguasai dan mengontrol wilayah tertentu
(Hall dan Ickenberry, 1989). Berbagai organisasi pembentuk sebuah negara – departemen
kehutanan, penduduk asli, kawasan lindung, dan DPR – saling bersaing dan bertentangan
dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Masyarakat adalah sekumpulan manusia
yang mengelompok berdasarkan kesamaan identitas dan norma (Migdal, 1994). Seperti
halnya negara, unsur-unsur masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan.
Negara dan masyarakat senantiasa saling membentuk melalui upaya penguasaan dan
penolakan di berbagai arena (Migdal dkk., 1994). Arena yang berkaitan dengan hutan
mencakup hak kepemilikan, pembagian manfaat dari hutan, pemanfaatan dan perlindungan
sumberdaya hutan, peluang kerja, jaminan politik, infrastruktur, pengetahuan, dan akses
terhadap informasi. Negara dan masyarakat memiliki jalur pengaruh yang berbeda.
4
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Pengaruh negara terhadap hutan biasanya berdasarkan penguasaan atas kebijakan,
kegiatan kehutanan, atau kepemilikan hutan dan lahan hutan (Finger-Stich dan Finger,
2003). Di negara yang kaya dengan sumberdaya hutan seperti Indonesia, penguasaan
oleh negara seringkali terpusat pada departemen kehutanan di tingkat nasional. Unsur
masyarakat dapat mempengaruhi melalui jejaring informal, gerakan sosial, atau pun
organisasi-organisasi resmi seperti perusahaan, lembaga keagamaan, kelompok donor
dan advokasi. Tetapi pada praktiknya masyarakat lokal kurang memiliki pengaruh resmi
terhadap sumberdaya hutan yang bernilai tinggi.
Walau demikian, masyarakat lokal memiliki pengaruh informal yang sangat besar.
Ketika pemerintah dan pihak yang berwenang lemah, kelompok masyarakat menerapkan
prinsip, norma, aturan dan praktik mereka sendiri dan secara selektif mematuhi atau
mengesampingkan hukum negara. Kelompok demikian bertindak sebagai ‘bidang sosial
yang semi-otonom’ (Moore 1973, hal.720–722). Di Chaggaland, Tanzania, warga desa
tidak mengindahkan upaya reformasi untuk mengubah lahan milik perorangan menjadi
hak guna milik pemerintah dan tetap membagikan hak atas lahan berdasarkan adat
setempat (Moore, 1973). Di Taman Nasional Bosawas, Nikaragua (Kaimowitz dkk., 2003),
Sumatra bagian utara (McCarthy, 2000a) dan Kalimantan Timur (Obidzinski, 2004), para
pimpinan politik setempat secara terbuka mengatur pembalakan yang dianggap ilegal.
Meskipun membuka peluang bagi masyarakat hutan untuk mempengaruhi lingkungannya,
otonomi demikian tidak memberi peluang keterlibatan masyarakat dalam kerangka politik
yang lebih luas.
Ketika kehadiran negara dan yang berwenang kuat, masyarakat lokal berupaya
mempengaruhi pejabat setempat melalui senjata kaum lemah (Scott, 1998), yaitu
mengkooptasi pejabat (Lipsky, 1980) membangun jejaring patron-klien pribadi dengan
pejabat (Shue, 1994); mengabaikan, melawan, atau melaksanakan kebijakan secara buruk
(Manor, 1999). Pada kasus ekstrim, yang digunakan adalah protes dengan membakar,
merusak, mengambil, mencabut bibit, dan menyita peralatan (Peluso, 1992). Di Indonesia,
seperti juga di tempat lain, pemegang hak pengusahaan hutan membiarkan masyarakat
melakukan perladangan berpindah dan berburu meskipun dilarang oleh peraturan
nasional. Di Cina, pemerintah lokal di Jinping, timur Guizhou; dan di Jinggu, Yunan
selatan, mengembangkan sistem kepemilikan saham bagi warga masyarakat untuk berbagi
akses, tanggung jawab, dan keuntungan atas hutan (Liu dan Edmunds, 2003).
Desentralisasi
Kecenderungan global menuju desentralisasi meningkatkan pengaruh negara atas wilayah
hutan dan memberi peran jauh lebih besar pada masyarakat lokal dalam pengaruh tersebut.
Posisi pemerintah kini semakin kokoh di antara masyarakat setempat dan negara. Delapan
puluh persen negara berkembang atau negara dalam transisi saat ini terlibat dalam
desentralisasi (Gregersen dkk., 2005, hal.13, mengutip Manor, 1999). Lebih dari 60 negara
mendesentralisasikan sejumlah aspek pengelolaan sumberdaya alam (Larson 2005, hal.32,
mengutip Agrawal, 2001).
Ada dua bentuk desentralisasi yang sangat berbeda implikasinya terhadap pengaruh
dan kesejahteraan warga di dalam dan di sekitar hutan. Yang pertama adalah program
kehutanan masyarakat yang didorong pusat, yaitu pemberian hak berkegiatan kehutanan
oleh instansi kehutanan pusat atau tingkat menengah kepada kelompok masyarakat (atau
Antara Negara dan Masyarakat
5
agroforestri). Contohnya antara lain pengelolaan hutan bersama di India, kehutanan sosial
terpadu di Filipina, kehutanan masyarakat di Kamerun, konsesi hutan bagi warga asli
Bolivia, dan kehutanan ejidos di Meksiko.
Bentuk yang kedua adalah pengelolaan lokal, yaitu penyerahan wewenang administrasi
dan pengambilan keputusan di berbagai sektor secara resmi dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah memperoleh kewenangan yang sebelumnya berada
di pusat, disertai alokasi keuangan dari pusat dan pendapatan daerah dari pajak, retribusi,
dan royalti daerah. Tingkat wewenang, tanggung jawab, dan keuangan setiap sektor
berbeda-beda di setiap negara dan pengelolaan hutan tidak selalu didesentralisasikan penuh
ke pemerintah daerah (Ribot dan Larson, 2005). Desentralisasi biasanya ditetapkan pada
satu atau dua tingkat di atas masyarakat, seperti kepada panchayats di India, municipios
di Bolivia, dan kepada distrik di Uganda. Buku ini berfokus pada desentralisasi kepada
tingkat kabupaten di Indonesia.
Terlepas dari kesamaan asalnya, program kehutanan masyarakat secara terpusat dan
pengelolaan lokal sangat berbeda dalam implikasinya terhadap warga lokal. Berlawanan
dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan, kebijakan pengelolaan bersama atau devolusi,
yang berupaya mempertahankan kontrol atas keputusan penting serta manfaat di sektor
kehutanan (Sarin dkk., 2003), desentralisasi memberi peluang keterlibatan pengguna hutan
dalam kegiatan politik yang lebih luas dan mempengaruhi negara, termasuk dominasi
historisnya atas kayu dan lahan hutan.
Dari cirinya, pengelolaan lokal memungkinkan kelompok masyarakat lokal
mempengaruhi secara informal maupun formal. Tata kelola lokal membangun arena
perjuangan baru yang mendorong organisasi sosial dan keterlibatan politik pada tingkat
menengah (Shue, 1994). Batas antara negara dan masyarakat lebih samar dan lebih cair
karena desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi dapat berfungsi sebagai pemersatu
negara dengan masyarakat seraya memupuk perjuangan di antara mereka. Saling
ketergantungan tersebut menciptakan tantangan dan peluang yang khusus bagi masyarakat
yang tinggal di dalam dan di sekitar wilayah hutan.
Pertama, terbentuknya pemerintah setempat meningkatkan kehadiran negara di tingkat
lokal. Bila kehadiran di tingkat lokal disertai dengan kewenangan yang kuat, kemampuan
masyarakat hutan untuk bertindak secara semi-otonom akan berkurang. Namun, masyarakat
harus terlibat lebih langsung dengan negara untuk menjaga pengaruhnya atas pengelolaan
hutan serta lebih berpengaruh dalam urusan kepemerintahan. Masyarakat lokal berpeluang
lebih besar untuk terhubung dan membina hubungan pribadi dengan para pejabat lokal.
Para pejabat dengan wewenang yang besar akan terserap dalam hubungan sosial di tingkat
lokal, beserta berbagai peluang dan kewajiban di dalamnya. Pemerintah lokal dapat terdiri
dari masyarakat setempat, yang harus pandai berbagi peran. Dalam situasi seperti itu, batas
antara masyarakat dan negara menjadi sangat cair. Namun kekuatan sosial tidak selalu
terbentuk untuk mencapai tujuan yang sama dan bisa memiliki kepentingan yang sangat
berbeda.
Menguatnya keterkaitan adalah seperti pedang bermata dua. Para elit lokal bisa
mengkooptasi atau berkolusi dengan pemerintah demi kepentingan sendiri, termasuk
merebut sumberdaya pemerintah bagi kaum miskin (Etchevery-Gent, 1993). Untuk
memperkuat pemanfaatan keterkaitan ini, negara harus cukup kuat untuk melindungi
masyarakat dari kerakusan para elit, maupun ketidakadilan pasar. Namun masyarakat juga
harus cukup kuat untuk ‘menerapkan wewenang sipil mereka atas urusan publik’ (Antlöv,
2003, hal.73). Meningkatnya kehadiran serta keterkaitan negara akan paling terasa bagi
6
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
masyarakat yang secara fisik dekat dengan pemerintah daerah. Bagi masyarakat di daerah
terpencil, perubahan yang ada mungkin tidak begitu terasa.
Kedua, desentralisasi dapat menyebabkan perpecahan dan melemahkan negara (Kohli,
1994), terutama selama proses transisi kebijakan. Agar negara tetap dominan dibutuhkan
hubungan horisontal dan vertikal yang efektif di antara pemerintah daerah. Bila hubungan
tersebut tidak ada, pemerintah daerah akan bertindak seperti pihak semi-otonom seperti
dijelaskan di muka. Di Indonesia, pemerintah daerah, dinas kehutanan, dan Departemen
Kehutanan sering bertindak seolah tidak ada pihak lain. Negara yang terpecah memudahkan
korupsi pemerintah daerah dan sektor swasta karena pejabat lokal bisa mengabaikan hukum
nasional tanpa takut terkena sanksi (Resosudarmo, 2003; Smith dkk.; 2003).
Ketiga, salah satu sumber kekuatan sistem pemerintahan sentralistik terletak pada sifat
hubungan yang tidak personal (Kohli, 1994). Desentralisasi lebih mendekatkan negara
karena para pejabat terikat hubungan kekerabatan dan sejarah pribadi, pertemanan, saling
ketergantungan ekonomi, norma budaya, dan hubungan kekuasaan setempat dengan
masyarakat lokal. Meskipun hal ini mengurangi kekuasaan negara dan lebih memungkinkan
kooptasi pejabat setempat, hubungan pribadi itu juga dapat lebih memudahkan negara
dan masyarakat berhubungan, mendorong komunikasi, pemahaman, dan pelibatan yang
setara.
Keempat, faktor-faktor desentralisasi, negara yang lemah, serta pulihnya nilai
tradisional dan identitas masyarakat asli memungkinkan kelompok tradisional atau
budaya lokal menjadi lebih diakui secara politis, terutama bila skala pengaruhnya sama
dengan pengaruh pemerintah daerah. Kecenderungan ini memperkuat hubungan pribadi
antara masyarakat lokal dan para pejabat dan memaksa pemerintah daerah membangun
aliansi dengan kelompok-kelompok tersebut, terutama yang paling berpengaruh. Ketika
terjadi kekacauan perimbangan kekuasaan atau ketegangan antar-kelompok, pejabat lokal
mungkin tidak mampu menjaga kestabilan kekuasaan politis.
Kelima, desentralisasi membatasi peluang masyarakat mengorganisasi prakarsa politis
dalam skala besar namun meningkatkan peluang mengorganisasinya di tingkat lokal. Hal
itu akan melahirkan tatanan politik lokal dengan wewenang dan kapasitasnya sendiri.
Pemerintah lokal maupun kekuatan sosial mencari cara penggalangan dan mobilisasi
masyarakat dan sumberdaya untuk meningkatkan pengaruh. Arena dan sarana pelibatan
di tingkat lokal menjadi lebih penting daripada di tingkat nasional. Di kawasan hutan,
masalah pembangunan ekonomi dan sosial dirasa lebih penting daripada masalah nasional
keanekaragaman hayati, hak kekayaan intelektual, dan pendapatan devisa negara.
Keenam, munculnya tatanan politik lokal dicirikan oleh ketegangan yang ikut
mendukung konflik dan ketidakstabilan kambuhan dan mendorong terjadinya penyesuaian
dan pergeseran kekuasaan. Ketegangan timbul dari posisi pemerintah daerah yang berada di
antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah rentan berkonflik. Tatanan politik lokal yang lebih kuat akan menyulitkan dominasi
pemerintah pusat. Namun, ketergantungan antara pusat dan daerah tetap kuat, keduanya
saling ingin memiliki sumberdaya pihak lain. Di wilayah hutan, pemerintah pusat enggan
menyerahkan pendapatan dari kayu dan produk hutan yang bernilai tinggi, sedangkan
pemerintah lokal memerlukan pasar, keahlian, dan modal yang tersedia di pusat.
Semua keadaan itu menciptakan peluang bagi masyarakat hutan lokal untuk
mempengaruhi negara dengan cara yang baru, gabungan antara jalur formal dan informal.
Jalur informal melalui keterlibatan langsung, hubungan pribadi, wewenang tradisional
atau adat, dan organisasi politik lokal yang baru; sedangkan mekanisme formalnya melalui
Antara Negara dan Masyarakat
7
pemilihan umum atau pun partisipasi dalam dengar pendapat publik. Tatanan politik
lokal menyebabkan gaya pengelolaan hutan a la Weber menjadi usang. Kontrol maupun
monopoli oleh negara tidak bersifat absolut. Negara maupun masyarakat tidak bisa saling
mendominasi. Pengelolaan menjadi bersifat multi-kutub, multi-lapis, dan bercirikan adanya
berbagai pertarungan. Desentralisasi memungkinkan masyarakat lokal dan pemerintah
bisa berbagi kekuasaan dengan lebih baik, tetapi juga rentan oleh tidak pastinya kekuasaan.
Seperti dijelaskan di bagian selanjutnya, ketidakpastian tersebut merupakan bagian dari
sifat hubungan masyarakat setempat dengan negara.
Transformasi Indonesia
Desentralisasi bukan hal baru di Indonesia. Meskipun laju reformasi yang paling dramatis
terjadi pada tahun 1998 hingga 2003, desentralisasi dan reformasi demokratisasi bermula
jauh sebelum tahun-tahun tersebut. Isu desentralisasi timbul tenggelam sepanjang sejarah
Indonesia sejak periode kolonial Belanda. Gelombang desentralisasi bukanlah hal yang
aneh. Setidaknya, ada empat gelombang di Francophone Afrika Barat sejak 1917 (Ribot
1999) dan tiga gelombang di Asia Selatan sejak pertengahan 1800-an (Agrawal dan Ribot
1999).
Bagian ini mengkaji secara singkat sejarah upaya desentralisasi di Indonesia, bagaimana
keseimbangan kekuasaan lokal dan pusat serta makna desentralisasi dan otonomi berubah
dari waktu ke waktu. Karena masa kolonial berperan sangat penting dalam evolusi
negara Indonesia, kami mulai dengan memaparkan secara singkat sejarah masa tersebut.
Gambaran produk hukum yang membentuk struktur proses desentralisasi, dapat dilihat
pada Tabel 1.1.
Upaya awal
Percobaan pertama desentralisasi adalah Undang-undang Desentralisasi pada tahun 1903
yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Matsui, 2003).
Ketika menguasai Nusantara di tahun 1800, Belanda mewarisi sistem pemerintahan
tidak langsung yang diawali oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde OostIndische Compagnie, atau VOC). Pemerintah Belanda kemudian mulai membangun
kekuasaan negara yang sentralistik dan hirarkis di atas struktur tradisional yang beragam.
Memasuki periode politik etis pada pertengahan 1800-an, kekuasaan Belanda telah bersifat
sentralistik dan menguasai secara langsung sebagian besar Pulau Jawa; sementara pulaupulau di luar Jawa, termasuk Kalimantan, di bawah pemerintahan yang tidak langsung.
Akhir tahun 1800-an, Belanda mulai menguasai pulau-pulau di luar Jawa. UU
Desentralisasi tahun 1903 dimaksudkan untuk meringankan beban pemerintah
dalam mengatur wilayah terpencil dan memperkuat penguasaan atas wilayah tersebut
(Furnivall, 1956). Dengan UU ini, pemerintah pusat mengalihkan wewenang kepada
karesidenan1, dan menetapkan dewan daerah (Pide, 1999; Engelfriet, 2000). Dewan
daerah berwenang mengambil keputusan keuangan; namun karena sebagian besar terdiri
dari pejabat pemerintah dan diketuai oleh Residen atau Asisten Residen yang ditunjuk dan
bukannya dipilih, pada umumnya dewan ini hanya menjadi badan penasehat. Upaya awal
desentralisasi ini membentuk pola upaya berikutnya: bukannya mendevolusi administrasi
pemerintah pusat, namun mendukung tumbuhnya administrasi lokal oleh organisasi lokal
(Pide, 1999; Matsui, 2003) di tingkat kabupaten.
8
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Tabel 1.1 Kronologi undang-undang tentang desentralisasi dan kehutanan
Tahun
Administrasi Daerah
1903
Undang-undang tentang Desentralisasi Kolonial
Belanda
1922
Revisi UU Desentralisasi; pembentukan provinsi
dan kabupaten
1942
Pendudukan Jepang
1945
Kemerdekaan Indonesia;
UU No. 1/1945 mengatur administrasi daerah
termasuk pendirian komisi nasional daerah;
pemimpin eksekutif terpilih dari komisi ini adalah
pejabat pemerintah pusat dan sekaligus pemimpin
pemerintah daerah; titik berat pada upaya
dekonsentrasi.
1948
UU No. 22/1948 menetapkan fungsi legislatif dan
eksekutif di tiga tingkat pemerintahan otonom
(provinsi, kabupaten/kota, dan desa); titik berat
pada upaya desentralisasi
1957
UU No. 1/1957, mengakui otonomi pemerintah
daerah secara ekstensif yang berkaitan dengan
kekuasaan yang tidak dimiliki oleh pemerintah
pusat (Matsui, 2003, hal. 7); Memilih DPR Daerah.
1957
1959
PP No. 64/1957 (Hutabarat, 2001),
memberikan wewenang kepada
provinsi untuk mengeluarkan izin
pembalakan untuk wilayah seluas 10000
hektar untuk jangka waktu 20 tahun
dan wilayah seluas 5000 hektar untuk
jangka waktu 5 tahun.
Dekrit Presiden No. 6/1959 untuk kembali kepada
UUD 1945; kembali ke sistem yang sentralistik.
1960
1965
Kehutanan
Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yang oleh sejumlah pihak
dianggap sebagai payung hukum,
meskipun baru-baru ini diperdebatkan
bahwa undang-undang ini hanya
sebagai UU sektoral yang sejajar dengan
sektor yang lain.
UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah; kepala pemerintahan
ditugasi dengan fungsi ganda, yaitu kepala daerah
otonom dan kepanjangan tangan pemerintah
pusat.
1967
UU No. 5/1967, UU Kehutanan
1970
PP No. 21/1970 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan yang
berlawanan dengan PP No. 64/1957.
1974
UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah, mengatur hubungan pusat dan daerah.
1979
UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa,
memperkenalkan struktur desa yang seragam
Tahun
Antara Negara dan Masyarakat
Administrasi Daerah
1985
1995
9
Kehutanan
Direktorat Jenderal Kehutanan berubah
menjadi Departemen Kehutanan.
PP No. 8/1995 – percobaan desentralisasi untuk 26
kabupaten selama dua tahun.
PP No. 8/1995 mengalihkan sebagian
wewenang atas hutan kepada 26
kabupaten percobaan.
1995
SK Menteri mengenai Hutan
Kemasyarakatan (SK 662)
1998
PP No. 62/1998, pengalihan sebagian
wewenang di sektor kehutanan
(rehabilitasi, hutan kemasyarakatan,
pemeliharaan lebah madu, peternakan
ulat sutera) kepada Tingkat II.
1998
Revisi Keputusan tentang Hutan
Kemasyarakatan
1999
PP No. 6/1999 yang memberikan hak
bagi kabupaten untuk menerbitkan izin
pembalakan skala kecil (100 hektar) dan
kepada provinsi (10 000 hektar).
1999
UU 41/1999 tentang Kehutanan
1999
UU No. 22/1999, tentang pemerintahan
daerah, yang menetapkan kerangka kerja bagi
desentralisasi secara umum
2000
Tap MPR III tentang Hirarki Perundangan;
Keputusan Menteri tidak termasuk dalam hirarki.
2001
Perizinan skala kecil ditangguhkan
dengan SK 084/2000, tetapi daerah
mengabaikan keputusan menteri dan
terus mengeluarkan izin pembalakan
skala kecil.
Revisi kedua Keputusan Menteri tentang
Hutan Kemasyarakatan
Tap MPR IX tentang Reformasi Agraria
2002
2004
PP No. 34/2002 tentang Pemanfaatan
dan Pengelolaan Hutan menggantikan
PP 6/1999
Revisi Undang-undang Desentralisasi (UU No.
32/2004)
2007
PP No. 6/2007 revisi PP No. 34/2002
Sumber: Dari seluruh sumber yang dikutip dalam buku ini
UU tahun 1903 diamandemen pada tahun 1922 untuk membentuk provinsi dan
dewan provinsi baru. Amandemen ini mengalihkan otonomi dari karesidenan kepada
provinsi (Suharyo, 2000). Namun dewan tetap sebagai badan penasehat, dipimpin oleh
pejabat pemerintah (Pide, 1999).
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945 dan menjadi Republik
Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Ada delapan provinsi otonom, masingmasing terdiri dari beberapa karesidenan. Dengan UU No. 1 tahun 1945, otonomi daerah,
yang dipahami sebagai berdasarkan kedaulatan rakyat dan kebebasan untuk menentukan
pemerintahan sendiri, diberlakukan di tingkat provinsi dan karesidenan, dengan titik berat
pada tingkat karesidenan.
10
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Hak menentukan pemerintahan sendiri di bawah otonomi daerah telah diperdebatkan
sejak awal (Rinakit, 2002; Mokhsen, 2003). Pemerintah Indonesia beberapa kali mengubah
derajat otonomi dalam otonomi daerah, setiap kali juga mengubah tingkat akuntabilitas
(Suharyo, 2000). Baik UU No.1/1945 dan UU No.22/1948 yang merupakan undangundang pokok pemerintahan daerah, dirancang untuk memberi otonomi penuh pada
tingkat daerah dan untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Sayangnya, undangundang tersebut yang dimaksudkan untuk melawan rekolonisasi Belanda, hanya dapat
diterapkan di Jawa dan Madura, yang saat itu di bawah kekuasaan langsung pemerintah
republik (Matsui, 2003).
Belanda mencoba mengambil kembali penguasaan atas Indonesia, dan antara 1946 dan
1949 beberapa kali menyerang. Perang itu berakhir pada tahun 1949 dengan pengakuan
internasional terhadap Republik Indonesia Serikat. Namun pada tahun 1950, negara
muda ini memutuskan kembali kepada republik kesatuan berdasarkan undang-undang
dasar (sementara) tahun 1950.
Karena belum ada undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, untuk sementara
diberlakukan UU Pokok Pemerintahan Daerah-daerah Otonom No.22 tahun 1948.
Namun karena dirancang untuk Jawa dan Madura, daerah lain menentang pemaksaan gaya
hidup Jawa. Maka UU tahun 1948 ini diganti dengan UU No. 1/1957, yang memberikan
‘otonomi seluas-luasnya’ dalam wewenang yang tidak dimiliki pemerintah pusat. UU
ini juga, untuk pertama kalinya, menetapkan bahwa kepala pemerintahan daerah
bertanggung jawab kepada dewan perwakilan lokal (Matsui, 2003, hal.7). Hal penting
dalam UU ini adalah bahwa otonomi ditetapkan di tingkat provinsi (MacAndrews, 1986),
bukan di tingkat kabupaten. Namun berbagai kerusuhan antara tahun 1948 hingga 1962
di Sumatra, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, telah menggagalkan tujuan menghidupkan
kembali otonomi daerah (Brillantes dan Cuachon, 2002).
Sentralisasi
Meskipun sudah menuju desentralisasi sejak dari tahun-tahun awal, penerapannya masih
sulit, terutama dalam aspek administrasi dan fiskal. Republik baru ini menghadapi masalah
fiskal dan kekurangan sumberdaya manusia, dana, dan pengalaman dalam pemerintahan
daerah. Periode tahun 1950 hingga 1957 dicirikan oleh ketidakpuasan, tidak adanya
kesepakatan dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi, serta pemberontakan di daerah
(MacAndrews 1986; Lloyd, 2000). Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa UU No. 1/1957
tentang Pemerintahan Daerah tidak mengurangi ketidakpuasan di daerah. Untuk itu,
pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Indonesia kembali kepada UUD 1945
(Matsui, 2003), dan menghapuskan otonomi daerah.
Meskipun UUD 1945 menetapkan adanya otonomi dalam Pasal 18, ketidak-jelasan
definisi otonomi dan desakan untuk mempertahankan negara kesatuan menyebabkan
Soekarno mengadopsi kekuasaan sentralistik yang mirip dengan periode kolonial. Mulailah
era ‘demokrasi terpimpin’ dengan kekuasaan Presiden yang luas. Pada periode ini, yang
berlangsung hingga 1965, terbentuklah pemerintah pusat yang kuat dan efektif menguasai
daerah dan mematahkan berbagai pemberontakan. Dalam periode ini juga tentara tumbuh
menjadi kekuatan di belakang pemerintah (MacAndrews, 1986) dan terbentuklah dua
peran pejabat daerah, yaitu sebagai pimpinan daerah otonom dan wakil pemerintah pusat
di daerah (de-konsentrasi).
Dasar hukum sistem sentralistik tersebut adalah UU No. 18/1965, tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah yang menempatkan administrasi daerah sejalan dengan
Antara Negara dan Masyarakat
11
sentralisasi kekuasaan administratif (Matsui, 2003). Dasar ini diwarisi oleh pemerintahan
Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965.
Pemerintahan baru ini menghadapi tiga tantangan, yaitu: penegakan kekuasaan, pemulihan
stabilitas ekonomi, dan pembangunan legitimasi pemerintahan itu sendiri (MacAndrews,
1986). Untuk menetapkan stabilitas politik agar bisa memperlancar masuknya modal
asing terutama untuk eksploitasi sumberdaya alam, Orde Baru melanjutkan sistem
sentralistik dari periode sebelumnya. Meskipun demikian pada awalnya Soeharto mencoba
mengembalikan ‘otonomi seluas-luasnya’ kepada pemerintah daerah. Namun dalam
prosesnya terjadi pergeseran makna, dan istilah yang dipakai kemudian menjadi ‘otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab’.
Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab menjadi dasar UU No. 5/1974, yang
membentuk sistem menyeluruh hubungan pemerintah pusat dan provinsi dan sistem
pemerintah daerah (MacAndrews, 1986), serta menekankan mobilisasi daerah dalam
upaya pembangunan nasional (Lloyd, 2000). Terlepas dari rumusannya, undang-undang
ini melambangkan sentralistiknya pemerintahan Soeharto. Tujuan utamanya adalah
mendorong stabilitas nasional dan pada intinya, mewajibkan otonomi daerah tunduk pada
pemerintah pusat (Lloyd, 2000).
Undang-undang No. 5/1974 juga memperkuat struktur hirarki pemerintah yang
diperkenalkan dalam UU No. 18/1965 sebelumnya, dengan menggunakan istilah Daerah
Tingkat I (provinsi) dan Daerah Tingkat II (kabupaten atau kota). UU tahun 1974 hanya
memecah tugas administratif hingga ke tingkat kabupaten, namun tanpa memberikan
kewenangan.
UU No. 5/1974 diikuti oleh UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang demi
pertimbangan efisiensi, menyeragamkan struktur politik lokal di seluruh Indonesia, dan
menerapkan struktur administrasi desa menggantikan struktur tradisional atau adat,
walau sebenarnya keduanya seringkali berfungsi bersama-sama. Secara harfiah, UU
ini membolehkan otonomi desa dan mendorong partisipasi publik, namun sebenarnya
menciptakan sistem yang memastikan kekuasaan pemerintah pusat hingga ke tingkat desa
(Matsui, 2003) dengan proses pengambilan keputusan atasan-bawahan yang kaku. Pada
saat yang sama, militer membentuk sistem paralel untuk memastikan kehadirannya dari
pusat hingga desa (Rinakit, 2002; Matsui, 2003).
Struktur hirarkis yang sentralistis ini terutama merupakan reaksi terhadap
pemberontakan di daerah dan ketakutan akan adanya disintegrasi nasional. Soeharto
menggunakan ancaman komunisme untuk memperkuat kekuasaannya. Makna ‘persatuan’
di dalam Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan sebagai ‘keseragaman’. Peraturan dan
perundangan dikembangkan di tingkat nasional tanpa konsultasi daerah dan secara seragam
diterapkan di seluruh negara yang memiliki lebih dari 600 kelompok etnis. Di akhir 1985,
rejim Soeharto berhasil menekan seluruh perbedaan politik dan sosial, dan seluruh warga
negara diwajibkan mengakui Pancasila sebagai satu-satunya prinsip hidup warga negara
Indonesia. Dan sempurnalah sentralisasi (Matsui, 2003).
Di masa ini, undang-undang nasional memperkuat posisi pemerintah sebagai penguasa
tertinggi atas sumberdaya alam, termasuk lahan dan hutan. Sejak tahun 1960-an, hutan
dan lahan hutan tidak hanya memberikan penghasilan bagi negara, tetapi juga merupakan
sumberdaya dukungan politik dan cadangan lahan dan sumberdaya bagi pulau Jawa yang
sangat padat penduduknya, serta menjadi sarana pengintegrasian daerah-daerah terpencil
dalam negeri ini (Barber, 1990, 1997). Sebelumnya, di awal tahun 1957, sebagian urusan
kehutanan diserahkan pada provinsi. Provinsi berhak mengeluarkan surat izin untuk
12
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
wilayah 10.000ha, sementara kabupaten atau kota berhak memberikan izin seluas 5.000ha
(Simon, 2000).
Menyadari pentingnya sumberdaya hutan sebagai ‘sarana penting bagi program
pembangunan ekonomi, politik, serta transformasi sosial dan ideologis Orde Baru’ (Barber,
1990, 1997), pemerintah menerbitkan UU Pokok-pokok Kehutanan pada tahun 1967.
UU ini memperkuat pasal 33 UUD 45, yang menyatakan bahwa negara menguasai seluruh
sumberdaya – dalam hal ini hutan dan lahan hutan. Pada tahun 1970, salah satu peraturan
pelaksanaan pertama diterbitkan untuk mengatur hak eksploitasi hutan, dengan demikian
menghapus hak provinsi untuk menerbitkan izin.2 Peraturan tahun 1970 tersebut secara
eksplisit juga menghapus hak masyarakat adat dan lokal (Pasal 6) (Simon, 2000). Hak
pengusahaan hutan kemudian diberikan kepada anggota militer dan sekelompok pengusaha
terpilih sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Maka terbangunlah jejaring kroni
setia yang mengkonsolidasikan kekuasaan rejim Soeharto. Seperti umumnya kerajaan di
Jawa dahulu, kekuasaan pusat bertumpu pada jejaring patron-klien (McCarthy, 2000a;
Obidzinski, 2004).
Penetapan lahan hutan secara umum mengikuti batas yang ditetapkan oleh Belanda.
Selama tahun 1980-an, pemerintah memulai proses revisi batas hutan dengan menetapkan
wilayah yang sangat luas di pulau-pulau luar Jawa sebagai lahan hutan Negara, mengabaikan
dan menghapus hak sekitar 65 juta orang yang hidup di sana (Fay dan Sirait, 2002).
Pengelolaan hutan dan lahan hutan tersebut dipercayakan kepada Direktorat Jenderal
Kehutanan dalam Departemen Pertanian, yang kemudian menjadi Departemen Kehutanan
pada tahun 1985. Hak pengelolaan hutan kemudian juga diberikan kepada perusahaan
milik negara (Perhutani untuk hutan di Jawa dan Inhutani untuk hutan di luar Jawa) yang
didirikan tahun 1973.
Struktur dinas kehutanan terbentuk bersamaan dengan pemerintahan yang kian
sentralistik. Sejalan dengan konsep dekonsentrasi menurut UU No. 5/1974, Departemen
Kehutanan beroperasi di tingkat provinsi melalui Kantor Wilayah, yang bertanggungjawab kepada Departemen Kehutanan. Kantor Wilayah juga melakukan pengawasan
terhadap Dinas Kehutanan Provinsi, yang bertanggungjawab kepada Departemen Dalam
Negeri melalui gubernur. Struktur hirarkis yang kaku (lihat Gambar 1.1) mencapai tingkat
kabupaten melalui cabang-cabang dinas provinsi dan unit pelaksana Kantor Wilayah dan
memungkinkan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan eksploitasi hutan dibuat
di pusat.
Untuk mendorong investasi modal untuk program pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan, pemerintah pusat memfasilitasi pemanfaatan lahan bagi
kegiatan industri, yang sering menggunakan kekuatan dan intimidasi terhadap pemilik
lahan setempat yang beroposisi (Konsorsium Pembaruan Agraria, 1997).
Bangkitnya oposisi
Pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, masyarakat makin merasa tidak puas, tidak hanya
terhadap kuatnya kendali hegemoni pusat, tetapi juga terhadap kroniisme, besarnya
keuntungan yang dihasilkannya bagi lingkaran dalam Soeharto, kurangnya manfaat bagi
masyarakat miskin, dan meluasnya masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Provinsi
mulai merasakan hilangnya penghasilan yang harus dibayarkan ke pusat. Timbullah gerakan
reformasi lingkungan dan agraria, didukung oleh organisasi non pemerintah (ornop),
buruh, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan, dan para intelektual (Konsorsium
Pembaruan Agraria, 1997). Selama tahun 1990-an, gerakan tersebut semakin terorganisasi
Antara Negara dan Masyarakat
13
PRESIDEN
Departemen Kehutanan
Departemen Dalam Negeri
Nasional
Gubernur Kalimantan Timur
Kantor Wilayah Kehutanan
Dinas Kehutanan Provinsi
Provinsi
Bupati Bulungan
Cabang Dinas Kehutanan (di Tarakan)
Dinas Kehutanan Kabupaten
Kabupaten
Catatan
= garis komando
= garis koordinasi
Sumber: Wollenberg dkk. (2006)
Gambar 1.1 Struktur birokasi kehutanan sebelum desentralisasi
dan menentang pemerintah melalui kampanye dan protes yang mulai mempengaruhi iklim
kebijakan dan pelaksanaannya (Wrangham, 2002). Pada tahun 1994, sejumlah ornop di
bidang lingkungan yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum dan terdiri dari Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN),
Pelangi, dan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) bahkan menuntut Soeharto secara hukum
atas penyalahgunaan Dana Reboisasi. Kelompok ini kalah karena salah prosedur dan
langsung masuk ke dalam daftar hitam pemerintah, sehingga kelompok tersebut tidak dapat
menerima dana dari luar negeri; namun mereka tetap beroperasi seperti sebelumnya.
Tantangan yang berkembang karena pergerakan sosial ini, disertai menurunnya pendapatan
dari industri kayu, menengarai awal berubahnya sikap pemerintah pusat dalam hal
pembagian tanggung jawab atas pengelolaan hutan.
Bersama dengan melemahnya pemerintah pusat dan menguatnya gerakan sosial, krisis
ekonomi di Asia tahun 1997 memicu periode reformasi yang kacau. Pemilihan umum
di tahun 1998 yang memilih kembali Soeharto diikuti dengan pergolakan sosial berskala
besar dan terangkatnya masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merupakan
penyakit pemerintah Indonesia sejak awal. Ketidakstabilan umum dan protes yang disertai
kekerasan dan demonstrasi menyulut tumbangnya Orde Baru pada bulan Mei 1998.
14
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Selama tiga tahun berikutnya, kelembagaan pemerintah pusat terus melemah dan
terpecah-pecah. Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan
ketetapan (TAP MPR XV, 1998), yang menetapkan perlunya ada otonomi daerah (Zakaria
dan Fauzi, 2000). Pemerintah kemudian menerbitkan UU No. 22/1999 dan UU No.
25/1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan otonomi ditetapkan di tingkat kabupaten
dan kota. Dalam tiga tahun tersebut, Indonesia memiliki tiga presiden, dua masa
jabatan yang singkat Presiden Habibie dan Abdurachman Wahid (Gus Dur) diikuti oleh
pemerintahan Megawati Sukarnoputri yang tidak efektif. Undang-undang desentralisasi
yang diterbitkan Habibie dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak memiliki keinginan
untuk otonomi penuh seperti yang diwajibkan oleh undang-undang.
Maka mulailah tarik menarik antara daerah dan pusat, ketika masyarakat lokal dan
kabupaten memasuki ruang politik yang dimungkinkan oleh melemahnya pusat (Rhee,
2000).
Di tingkat lokal, reformasi melepaskan amarah masyarakat yang mengalami
tekanan selama hampir 30 tahun. Masyarakat merusak simbol penjajahan oleh pusat
dan eksploitasi kapitalis, seperti hutan negara, perkebunan pribadi, konsesi hutan, dan
bangunan pemerintah (Simarmata dan Masiun, 2002). Dalam periode reformasi 1999 ini
pula masyarakat adat memobilisasi diri dan terbentuklah aliansi kelompok adat – Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Down to Earth, 1999).
Meningkatnya ruang bagi masyarakat
Meskipun era pasca-Soeharto yang memicu proses reformasi, hal itu sudah bermula dari
tahun-tahun sebelumnya. Berakhirnya Perang Dingin di akhir 1980-an telah menyisihkan
komunisme sebagai musuh bersama, dan fragmentasi politik kembali mengancam. Selama
tahun 1990-an, tuntutan keterbukaan politik dan deregulasi ekonomi dari dalam dan luar
negeri semakin kuat, didukung oleh semakin banyaknya peluang penyebaran informasi.
Maka pada tahun 1995, diluncurkanlah percobaan otonomi daerah. Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri No. 8/1995 menetapkan satu kabupaten atau kota di 26
provinsi sebagai daerah proyek rintisan dua tahun (Suharyo, 2000; Matsui, 2003) untuk
mendesentralisasi 19 fungsi pemerintahan (Suharyo, 2000), termasuk kehutanan. Proyek
ini sebagian besar mengalihkan kekuasaan dari tingkat provinsi ke tingkat kabupaten.
Tidak banyak wewenang yang dialihkan oleh pemerintah pusat. Akibatnya, percobaan
ini melemahkan kekuasaan provinsi dan memperkuat hubungan pemerintah pusat
dengan kabupaten. Sejumlah pihak meyakini bahwa percobaan ini justru berfungsi untuk
memperkuat kekuasaan pusat (Matsui, 2003).
Perubahan kebijakan yang terkait dengan partisipasi publik dalam wacana resmi
meningkat. Pada pertengahan tahun 1980-an, badan perencana daerah melaksanakan
perencanaan ‘dari-bawah-ke-atas‘. Pemerintah kemudian memperkenalkan proses
perencanaan nasional yang baru, yang dikenal sebagai P5D (Pedoman Penyusunan
Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah). Perencanaan pembangunan
dimulai dari tingkat desa melalui pertemuan desa (Musyawarah Pembangunan Desa).
Rencana desa dibahas di tingkat kecamatan dan kabupaten. Persetujuan anggaran dan dana
tergantung dari kesesuaian rencana kabupaten dan provinsi. Meski sesungguhnya kurang
ada partisipasi, kebijakan ini menetapkan kerangka kerja yang memungkinkan proses
perencanaan yang lebih inklusif dan dengan informasi yang lebih baik.
Antara akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, sektor kehutanan menjadi lebih
terbuka terhadap tuntutan lokal, ditandai dengan diwajibkannya pemegang konsesi
Antara Negara dan Masyarakat
15
untuk melaksanakan program pembangunan desa (Wrangham, 2002) dan meningkatnya
perhatian pada pengelolaan hutan masyarakat. Departemen Kehutanan mengembangkan
program hutan masyarakat pada tahun 1995 (SK Menteri No. 662); tetapi kemudian
diamandemen dan diganti pada tahun 1998 dan 2001 yang berturut-turut mengurangi
hak masyarakat. Partisipasi dibatasi pada kegiatan rehabilitasi hutan, penanaman kembali,
dan pengumpulan hasil hutan non-kayu, sementara wewenang pengambilan keputusan
tetap pada Departemen Kehutanan. Pada saat bersamaan, dari pengalaman agroforestri
damar (Shorea javanica) di Krui, Sumatra dan pembahasan di tahun 1995, Departemen
Kehutanan menerbitkan SK No. 47 tentang Wilayah Peruntukan Khusus, yang untuk
pertama kalinya mengakui hak pengelolaan oleh masyarakat secara hukum.
Pada pertengahan 1990-an, partisipasi publik menjadi bagian dari beberapa undangundang lain (a.l. UU Tata Ruang No. 24 tahun 1992 dan UU Pengelolaan Lingkungan
Hidup No. 23 tahun 1997), yang secara eksplisit menyatakan perlunya partisipasi publik.
Pada tahun 1998, Departemen Kehutanan mulai melaksanakan desentralisasi dengan
mengalihkan sejumlah wewenang kepada kabupaten (Peraturan Pemerintah No. 62/1998).
Meskipun dinilai lebih meningkatkan pengeluaran daripada pendapatan (Syaukani, 2001),
pengalihan wewenang itu meliputi rehabilitasi dan reforestasi, konservasi tanah dan air,
pengelolaan hutan lindung, penyuluhan, serta kegiatan kehutanan skala kecil masyarakat:
budi-daya lebah madu dan ulat sutra. Namun pada tahun 1999 pemerintah juga
mendesentralisasikan perizinan pengambilan kayu kepada provinsi untuk luasan kurang
dari 10.000ha dan kepada kabupaten untuk wilayah maksimum 100ha dengan masa
berlaku satu tahun (PP No. 6/1999). Sayangnya, izin-izin baru ini hanya dinikmati oleh
para pebisnis dan elit lokal, dan berakibat pada pembalakan besar-besaran (lihat Bagian
II buku ini). SK Menteri itu ditangguhkan pada tahun 2000, namun saat itu kabupaten
telah merasakan manfaat dari eksploitasi hutan dan sudah siap meraih otonomi, sehingga
mengabaikan SK Menteri tersebut. Hal ini dimungkinkan karena SK Menteri telah
kehilangan pengaruh di era pasca-Soeharto, oleh Tap MPR III, 2000 yang menyatakan
bahwa Surat Keputusan Menteri bukan bagian dari hirarki hukum. PP No. 6/1999 itu
sendiri dibatalkan dengan dikeluarkannya PP 34/2002 beberapa tahun kemudian.
Pada tahun 1999, Undang-undang Kehutanan No. 41 yang sudah lama dirancang
dan dibahas, akhirnya diterbitkan. Undang-undang ini memungkinkan pelibatan pelaku
baru di luar aparat kehutanan pemerintah, termasuk masyarakat adat (Lindayati, 2002;
Wollenberg dan Kartodihardjo, 2002), serta partisipasi publik dan hak masyarakat secara
terbatas. Namun inovasi ini lebih terkurung pada paradigma penguasaan mutlak oleh
negara dan sistem pengelolaan sentralistik, bukannya mengikuti berbagai undang-undang
baru desentralisasi (Nurjaya, 2000). Selain itu, kemampuan daerah untuk melaksanakan
kegiatan kehutanan masih lemah (Hutabarat, 2001). Sejak awal, UU Kehutanan ini
bertentangan dengan UU Desentralisasi, dan pemerintah pusat dan daerah tidak bisa
bersepakat dalam hal sejauh mana pembagian wewenang atas hutan.
UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan otonomi pada tingkat
kabupaten dan kota. Tidak seperti UU No. 5/1974 yang hanya membagikan tugas-tugas
administratif, UU No. 22/1999 benar-benar memberikan kewenangan pengambilan
keputusan (Mokhsen, 2003). Undang-undang ini pada prinsipnya mengakui keberagaman
daerah dan hak bagi daerah untuk mengelola sumberdaya alam di wilayahnya. Kabupaten
diberi peluang untuk mengatur pemerintahan sendiri, termasuk kegiatan masyarakat
setempat, serta mengembangkan kebijakan yang spesifik sesuai kebutuhan lokal (Walhi,
2000; Simarmata dan Masiun, 2002). Seperti juga di negara-negara lain, tujuan
16
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
desentralisasi yang tertulis (Ribot, 2001), adalah untuk mendukung demokrasi, partisipasi
publik, kesetaraan dan keadilan, serta untuk memberantas korupsi. UU No. 22 diiringi
dengan UU No. 25 yang merinci perimbangan pendapatan pemerintah pusat dan daerah,
dan UU No. 28/1999 tentang pemerintahan yang bersih.
Reformasi juga mencakup upaya pemulihan hak masyarakat adat dan masyarakat
lokal. Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Reformasi Agraria, dan Amandemen Kedua
UUD 1945 secara tertulis mengakui keberadaan masyarakat adat serta haknya, seperti pada
UU Kehutanan No. 41/1999. Untuk pertama kalinya hak adat, termasuk hak bersama,
diakui dan dapat didaftarkan. Namun pengakuan akan tergantung pada kebijakan Bupati.
Karena hanya sebagian dari urusan badan pertanahan yang didesentralisasi dan hukum
pertanahan sedang dalam revisi, situasinya masih belum jelas.
Pada tahun 2001, MPR menetapkan bahwa mulai tahun 2004, presiden akan dipilih
langsung oleh rakyat. Pada tahun 2004, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih
presidennya secara langsung, dan memilih Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal
angkatan darat yang dihormati.
Kembali ke awal?
Desentralisasi mencerminkan melemahnya negara terpusat dalam dekade ketiga kekuasaan
Soeharto (Ascher, 1999) dan meningkatnya tuntutan provinsi-provinsi kaya seperti Aceh,
Kalimantan Timur, Riau, dan Papua, untuk perluasan otonomi dan penambahan bagian
pendapatan dari sumberdaya alamnya. Maka direbutlah otonomi daerah oleh kabupaten,
dan bukan merupakan pengalihan kekuasaan dari pemerintah pusat secara sukarela.
Penerapan UU No. 22 dan No. 25 kemudian terhambat oleh keengganan pemerintah
pusat untuk benar-benar mengalihkan kekuasaan dan oleh terbitnya sejumlah undangundang yang saling bertentangan dan tidak jelas. Sebagai contoh, peraturan pelaksanaan
yang pertama menetapkan wewenang provinsi; implikasinya bahwa wewenang kabupaten
hanya dalam bidang yang tersisa. Di lain pihak, dengan menetapkan otonomi di tingkat
kabupaten, UU desentralisasi menciptakan hubungan langsung antara pemerintah
kabupaten/kota dengan pusat, melewati provinsi.
Begitu diterbitkan, UU Desentralisasi mengundang kritik dari masyarakat. Undangundang ini dianggap ditetapkan secara terburu-buru, kurang konsultasi publik dalam
penulisannya dan tidak cukup persiapan sebelum pelaksanaannya (Suharyo, 2000).
Gamblangnya ketidakpastian atas makna dan penerapan undang-undang ini mula-mula
membuat meningkatnya konflik di antara pemerintahan, masyarakat lokal yang memahami
bahwa otonomi merupakan pengembalian hak kepemilikan tradisionalnya, dan kontraktor
lokal yang tidak sabar mendapatkan peluang untuk mengeksploitasi sumberdaya alam
(Wulan, 2004).
Dalam bab-bab buku ini dijelaskan bahwa pemerintah kabupaten memanfaatkan UU
ini melalui pasal-pasal tentang hak untuk memanen 100ha dan menggunakan UU No. 22
dan 25 sebagai pembenaran untuk mengambil alih kekuasaan atas hutan di wilayahnya.
Sayangnya, sejumlah pemerintah kabupaten tidak berbeda dengan rezim sentralistik
sebelumnya yang menganggap hutan hanyalah sekedar sumber pendapatan untuk
dieksploitasi, bukannya untuk dikelola.
Kelompok masyarakat lokal dan tradisional, didukung oleh kelompok ornop, mencoba
mengklaim hak dan kemampuannya untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
hutan di wilayahnya (Barr dkk., 2001). Sebuah undang-undang nasional yang memberi
masyarakat hak mendapatkan kompensasi dari eksploitasi hutan di wilayahnya, serta sebuah
Antara Negara dan Masyarakat
17
keputusan provinsi yang menetapkan jumlah pembayarannya, telah memberdayakan
masyarakat lokal untuk menuntut bagian dari pemanfaatan hutan oleh pemerintah
daerah dan perusahaan kontraktornya. Namun pengakuan ini memicu akibat yang tak
diinginkan, yaitu menggantikan hak masyarakat dengan uang tunai, sedangkan masalah
hak atau kepemilikan lahan tetap tidak terpecahkan.
Mengatur keseimbangan
Sejak gelombang desentralisasi dan reformasi kehutanan di tahun 1999, pemerintah
berupaya menata kembali tatanan. Pada tahun 2004, UU No. 32 tentang pemerintah
daerah yang sudah direvisi menetapkan hirarki provinsi dan kabupaten/kota. Meski dinilai
sebagai upaya re-sentralisasi, hal ini cukup melegakan karena mencerminkan semakin
dipahaminya makna otonomi daerah.
Sementara itu, Departemen Kehutanan juga berupaya menyesuaikan pelimpahan
wewenang untuk menanggapi gelombang awal lepas-kendalinya eksploitasi kayu dan
tuntutan pemerintah kabupaten atas pendapatan dari pengelolaan hutan. Peraturan
Pemerintah No. 34 tahun 2002 adalah untuk menanggapi tak terkendalinya eksploitasi
kayu oleh pemerintah kabupaten selama tahun 2000 hingga 2002, yang secara eksplisit
menyatakan hanya pemerintah pusat yang dapat mengeluarkan izin pemanenan kayu,
meskipun atas usulan pemerintah di tingkat yang lebih rendah. Peraturan ini memberi
wewenang kepada Menteri Kehutanan untuk secara bertahap dan selektif mendelegasikan
hak penerbitan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan produksi bila pemerintah
daerah dapat menunjukkan kesiapan dalam hal kelembagaan, visi, atau misinya. Namun
tidak ada rincian panduan atau kondisi untuk proses ini (Patlis, 2004). Departemen
Kehutanan juga berupaya mempertahankan dominasinya dengan menekankan arti
strategis hutan dan perannya dalam penetapan kriteria dan standar klasifikasi hutan, dan
yang terpenting, menetapkan tarif hasil hutan serta mempertahankan hak menerbitkan
izin transportasi hasil hutan di tingkat provinsi.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 membatalkan PP sebelumnya,
dan memberi hak kepada kepala pemerintahan kabupaten untuk menerbitkan izin
pengelolaan, namun juga membentuk satuan pengelolaan hutan serta merinci persyaratan
pengelolaannya. Pembentukan satuan pengelolaan hutan inilah yang terutama dinilai
sebagai upaya mengambil kembali wewenang pemerintah pusat atas hutan.
Reformasi dan desentralisasi telah menciptakan peluang dan harapan melampaui
batas wajar untuk memperbaiki kehidupan warga Indonesia dan pengelolaan sumberdaya
alam. Namun proses tersebut telah menjadikan bidang kehutanan sebagai bagian dari
sistem pemerintahan daerah, sehingga pemerintah daerah dan masyarakat lokal lebih
mempunyai kontrol atas hutannya. Sayangnya, proses ini secara mengecewakan tidak
dapat meningkatkan komitmen masyarakat lokal ke arah pengelolaan sumberdaya alam
yang lebih baik.
Implikasi
Seperti telah dijelaskan, desentralisasi bukanlah hal baru. Pasang surut proses desentralisasi
yang disertai naik-turunnya derajat kebebasan juga bukan hal baru. Yang baru di Indonesia
adalah bahwa gelombang yang terakhir ini lebih mengembangkan masyarakat madani dan
devolusi atas industri kehutanan yang masih bernilai tinggi. Ada peningkatan kesadaran
masyarakat umum akan haknya terhadap pemerintah dan peluang untuk berpartisipasi.
18
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Bahkan, ada kecenderungan umum atas tuntutan akuntabilitas publik seperti yang terlihat
pada meningkatnya kasus pengadilan terhadap pemerintah dan anggota DPR yang dituduh
korupsi.
Gelombang ini juga secara khusus menguatkan kelompok adat. Telah tercipta ruang bagi
masyarakat lokal untuk mempertanyakan kepemilikan negara dan mendapatkan kembali
hak adatnya (Simarmata dan Masiun, 2002). Namun desentralisasi tidak melepaskan
tanggung jawab pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk mempertahankan dan
melindungi hak seluruh masyarakat. Di banyak tempat, termasuk Malinau, ada sejumlah
kelompok penduduk asli yang membuat klaim atas sumberdaya dan lahan yang sama.
Akan tetapi pemerintah daerah sering memiliki kepentingan dan klaim yang kuat terhadap
sumberdaya, sehingga sering terlibat langsung dalam sengketa sumberdaya alam. Tidak
ada langkah mundur. Meskipun seperti dinyatakan Larson (2005b), ‘Kekuasaan yang
berdasarkan keputusan, selalu bisa dicabut kembali’, dan walau pemerintah pusat terus
berupaya, desentralisasi akan terus berlanjut, meski dengan banyak perubahan. Meskipun
pemerintah kabupaten tidak rela menyerahkan kekuasaan, mungkin sebetulnya mereka
lega telah mengembalikan sebagian kewajibannya.
Catatan
1 Karesidenan adalah kedudukan administrator (residen) Belanda. Setidaknya di Pulau Jawa,
residen berbagi wewenang dengan bupati.
2 PP No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
Rujukan
Agrawal, A. 2001. The decentralizing state: Nature and origins of changing environmental
policies in Africa and Latin America 1980–2000, Makalah untuk The 97th Annual
Meeting of the American Political Science Association, 30 Agustus–2 September 1997,
San Francisco, CA.
Agrawal, A. dan Ribot, J. 1999. Accountability in decentralization: A framework with South
Asian and African cases, Journal of Developing Areas, vol 33, hal 473–502.
Antlöv, H. 2003. Not enough politics! Power, participation and the new democratic polity
in Indonesia, dalam Aspinall, E. dan Fealy, G. (penyunting) Local Power and Politics in
Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore.
Ascher, W. 1999.Why Governments Waste Natural Resources, Johns Hopkins University Press,
Baltimore and London.
Barber, C. V. 1990. The legal and regulatory framework and forest production in Indonesia,
dalam Zerner, C. 1990, Community Land Rights, Customary Law, and the Law of
Timber Concessions in Indonesias Forests: Legal Options and Alternatives in Designing
the Commons, Draft (March 1990) of Forestry Studies report UTF/ INS/065, Ministry of
Forestry/FAO, Jakarta, Appendix.
Barber, C.V. 1997. Environmental Scarcities, State Capacity, and Civil Violence: The Case
of Indonesia, Occasional Paper Project on Environmental Scarcities, State Capacity, and
Civil Violence Cambridge: American Academy of Arts and Sciences and the University of
Toronto, www.library.utonronto.ca/pcs/state/indon/indonsum.htm.
Antara Negara dan Masyarakat
19
Barber, C. V. dan Churchill, G. 1987. Land Policy in Irian Jaya: Issues and Strategies, Project
Report No INS/83/013, Government of Indonesia, United Nations Development Program
and International Bank for Reconstruction and Development, Jakarta.
Barber, C. V. dan Talbott, K. 2003. The chainsaw and the gun: The role of the military in
deforesting Indonesia, dalam Price, S. V. (penyunting) War and Tropical Forests:
Conservation in Areas of Armed Conflict, The Haworth Press Inc, Philadelphia, USA.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T. 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case Studies on Decentralisation and
Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Brillantes, A. B., Jr. dan Cuachon, N. G. 2002. Sourcebook on Decentralization in Asia, Asian
Resource Center for Decentralization, Manila, Filipina.
Down to Earth 1999. NGO support for the indigenous peoples movement, Special Issue,
Down to Earth, October 1999, http://dte.gn.apc.org/SIngo.htm.
Echeverri-Gent, J. 1993. The State and the Poor: Public Policy and Political Development in
India and the United States, University of California Press, Berkeley, CA.
Engelfriet, Aad 2000, ARCENGEL: The History of Indonesia Mirror Site, http://home.iae.nl/
users/arcengel/Indonesia/1830.htm.
Fay, C. dan Sirait, M. T. 2002. Reforming the reformists in post-Soeharto Indonesia, dalam
Colfer, C. J. P. and Resosudarmo, I. A. P. (penyunting), Which Way Forward? People,
Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for
International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC.
Finger-Stich, A. dan Finger, M. 2003. State versus Participation: Natural Resources Management
in Europe, IIED, Brighton, London.
Furnivall, J. S. 1956. Colonial Policy and Practice, New York University Press, New York.
Gregersen, H. M., Contreras-Hermosilla, A., White, A. dan Phillips, L. 2005, Forest governance
in federal systems: An overview of experiences and implications for decentralization, dalam
Colfer, C. J. P. and Capistrano, D. (penyunting) The Politics of Decentralization, Forests,
Power and People, Earthscan, London.
Hall, J. A. dan Ikenberry, G. J. 1989. The State, Open University Press, Milton Keynes, UK
Hutabarat, S. 2001. Forestry developments with regard to decentralization, The Indonesian
Quarterly, vol XXIX, no 2, second quarter, hal 151–158.
Kaimowitz, D., Faune, A. dan Mendoza, R. 2003. Your biosphere is my backyard: The story of
Bosawas in Nicaragua, Policy Matters, vol 12, hal 6–15.
Kohli, A. 1994. Centralization and powerlessness: Indias democracy in a comparative
perspective, dalam Migdal, J. S., Kohli, A. dan Shue, V. (penyunting) State Power and
Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University
Press, Cambridge.
Konsorsium Pembaruan Agraria 1997. Suara Pembaruan Agraria, Jurnal Konsorsium Pembaruan
Agraria, no 3.
Larson, A. M. 2004. Democratic decentralisation in the forestry sector: Lesson-learned from Asia,
Africa and Latin America, Makalah dipresentasikan pada Workshop on Decentralization,
Federal Systems in Forestry and National Forest Programmes, Interlaken, 22–30 April.
Larson, A. M. 2005a. Democratic decentralization in the forestry sector: Lessons learned from
Africa, Asia and Latin America, dalam Colfer, C. J. P. dan Capistrano, D. (penyunting) The
Politics of Decentralization, Forests, Power and People, Earthscan, London.
Larson, A. M. 2005b. Formal decentralization and the imperative of decentralization “from
below”: A case study of natural resource management in Nicaragua, dalam Ribot, J. dan
Larson, A. (penyunting) Democratic Decentralization through a Natural Resource Lens,
Routledge, Oxon, UK.
20
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Lindayati, R. 2002. Ideas and institutions in social forestry policy, dalam Colfer, C. J. P. dan
Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests and Policymaking
in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International Forestry Research
(CIFOR), Washington, DC.
Lipsky, M. 1980. Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services,
Russell Sage Foundation, New York, NY.
Liu, D. dan Edmunds, D. 2003. The promises and limitations of devolution and local forest
management in China, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting) Local Forest
Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London.
MacAndrews, C. (penyunting) 1986. Central Government and Local Development in
Indonesia, Oxford University Press, Singapore.
Manor, J. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralization, World Bank,
Washington, DC.
Matsui, K. 2003. Decentralization in Nation State Building of Indonesia, IDE Research Paper
No 2, Institute of Developing Economies (IDE-JETRO), Jakarta, Indonesia.
McCarthy, J. F. 2000a. The changing regime: Forest property and reforms in Indonesia,
Development and Change, vol 31, hal 91–129.
McCarthy, J. F. 2000b. Wild Logging: The Rise and Fall of Logging Networks and Biodiversity
Conservation Projects on Sumatras Rainforest Frontier, CIFOR Occasional Paper, vol 31,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Migdal, J. S. 1994. The state in society: an approach to struggles for domination, dalam Migdal,
J. S., Kohli, A.dan Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and
Transformation in the Third World, Cambridge University Press, Cambridge.
Migdal, J. S., Kohli, A. dan Shue, V. (penyunting) 1994. State Power and Social Forces:
Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press,
Cambridge.
Moeliono, M. 2002. Adat and globalization: Living apart together, Makalah diajukan pada the
International Association for the Study of Common Property 9th Biennial Conference,
Victoria Falls, Zimbabwe.
Mokhsen, N. 2003. Decentralization in the Post New Order Era of Indonesia, Commonwealth
Advanced Seminar: Leading Public Service Innovation, Victoria University of Wellington,
Wellington, New Zealand.
Moore, S. F. 1973. Law and social change: The semi-autonomous social field as an appropriate
subject of study, Law and Society Review, vol 7, hal 719–746.
Nurjaya, I. N. 2000. Proses Pemiskinan di Sektor Hutan dan Sumberdaya Alam: Perspektif
Politik Hukum dalam ICRAF dan JAPHAMA (2001). Masyarakat adat dalam mengelola
sumberdaya alam: KEDAI I diselenggarakan oleh ICRAF dan JAPHAMA, Cisarua, 26-28
Mei, 2000. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Center - ICRAF, SEA Regional Office.
Obidzinski, K. 2004. Illegal logging and the fate of Indonesias forests in times of regional
autonomy. Makalah dipresentasikan pada the Xth Meeting of the International Association
for the Study of Common Property, 9–13 August 2004, Oaxaca, Mexico.
Patlis, J. M. 2004. A Rough Guide to Developing Laws for Regional Forest Management,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Peluso, N. L. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java,
University of California Press, Berkeley.
Pide, Andi Mustari. 1999). Otonomi Daerah dan Kepala Daerah. Memasuki Abad XXI. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Resosudarmo, I. A. P. 2003. Shifting power to the periphery: the impact of decentralisation on
forests and forest people, dalam Aspinall, E. dan Fealy, G. (penyunting) Local Power and
Antara Negara dan Masyarakat
21
Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Institute of Southeast Asian
Studies, Singapore.
Rhee, S. 2000. De facto decentralization and the management of natural resources in East
Kalimantan during a period of transition, Asia Pacific Community Forestry Newsletter, vol
13, no 2, hal 34-40.
Ribot, J. 1999. Decentralization, participation and accountability in Sahelian forestry: Legal
instruments of political-administrative control, Africa, vol 69, no 1, hal 23-65.
Ribot, J. C. 2001. Integral local development: “Accommodating multiple interests” through
entrustment and accountable representation, International Journal of Agriculture,
Resources, Governance and Ecology (IJARGE), Special Issue on Accommodating Multiple
Interests in Local Forest Management, vol 1, no 3/4, hal 327–350.
Ribot, J. C. dan Larson, A. M. (penyunting) 2005. Democratic Decentralization through
a Natural Resource Lens: Experience from Africa, Asia and Latin America, Routledge,
London.
Sarin, M., Singh, N., Sundar, N. dan Bhogal, R. 2003. Devolution as a threat to democratic
decision-making in forestry? Findings from three states in India, dalam Edmunds, D.
dan Wollenberg, E. (penyunting) Local Forest Management: The Impacts of Devolution
Policies, Earthscan, London.
Scott, J. 1998. Seeing Like a State, Yale University Press, New Haven, CT.
Shue, V. 1994. State power and social organization in China, dalam Migdal, J. S., Kohli, A. dan
Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and Transformation in
the Third World, Cambridge University Press, Cambridge.
Simarmata, R. dan Masiun, S. 2002. Decentralization and the character of local government
laws and regulations: New pressures on the environment and indigenous communities: A
preliminary diagnosis, Makalah dipresentasikan pada the 9th Biennial Conference of the
IASCP, Victoria Falls, Zimbabwe, 17–21 Juni 2002.
Simon, H. 2000. Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan, www.arupa.or.id/papers/24.
htm, diakses 18 March 2003.
Smith, J., Obidzinski, K., Subarudi, I. dan Suramenggala, I. 2003. Illegal logging, collusive
corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry
Review, vol 5, hal 293–302.
Suharyo, W. 2000. Voices from the Regions: A Participatory Assessment of the New
Decentralisation Laws in Indonesia, UNSFIR, Jakarta, Working Paper no 2.
Syaukani, H. R. 2001. The implementation of decentralization in forestry sector within the
framework of sustainable forest management in the District Kutai Kertanegara, The
Indonesian Quarterly, vol XXIX, no 2, second quarter, hal 143–150.
Walhi 2000. Otonomi Daerah dalam konteks pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan
Hidup, kertas posisi, tidak diterbitkan.
Wollenberg, E. dan Kartodihardjo, H. 2002. Devolution and Indonesia’s new forestry law,
dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward?
People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for
International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC.
Wollenberg, E., Moeliono, M., Limberg, G., Iwan, R., Rhee, S. dan Sudana, M. 2006. Between
state and society: Local governance of forests in Malinau, Indonesia, Forest Policy and
Economics, vol 8, no 4, hal 421– 433.
Wrangham, R. 2002. Changing policy discourses and traditional communities, 1960–1999,
dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward?
People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for
International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC.
22
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. dan Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik: Sektor Kehutanan
di Indonesia 1997–2003, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Zakaria dan Fauzi 2000. Mensiasati Politik Otonomi Daerah Demi Pembaruan Agraria: Masuk
dari Pintu yang Tersedia, Keluar dari Pintu yang Baru, dalam Masyarakat adat dalam
mengelola sumberdaya alam: KEDAI I diselenggarakan oleh ICRAF dan JAPHAMA,
Cisarua, 26–28 Mei 2000, World Agroforestry Centre (ICRAF), SEA Regional Office,
Bogor, Indonesia.
2
Geografi Malinau
Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Kabupaten Malinau terbentang di sepanjang perbatasan Malaysia di pedalaman Kalimantan
Timur pada sekitar 3 derajat di utara khatulistiwa (antara 2o 45’ sampai 3o 21’ LU dan
115 o 48’ sampai 116 o 34’ BT). Ibukotanya, Malinau Kota, berada di pertemuan Sungai
Sesayap dengan Sungai Malinau, dulu hanya bisa dicapai dengan perahu atau pesawat kecil
misionaris Kristen. Bahkan saat ini, walaupun sudah dibangun jalan dan ada subsidi untuk
transportasi udara, pintu masuk utama Malinau masih tetap melalui sungai Sesayap selama
3 jam dari pulau Tarakan.
Sebelum tahun 1999, Malinau adalah bagian dari Kabupaten Bulungan, yang kini
sudah menjadi tiga kabupaten. Kabupaten Malinau dengan luas wilayah 42 ribu km
persegi adalah kabupaten terluas dengan kepadatan penduduk terendah, yaitu 1 orang per
km persegi. Setelah adanya UU Pemerintahan Daerah, pada tahun 2001 Malinau menjadi
kabupaten otonom dan memilih Bupatinya tahun itu juga. Pemerintahan yang masih sangat
muda dan selama awal desentralisasi masih dalam proses pembentukan ini memprioritaskan
perbaikan sistem transportasi. Dibangun jalan-jalan baru untuk menghubungkan Malinau
Kota dengan semua ibukota kecamatan. Namun, 80% wilayahnya tetap tidak dapat
dijangkau melalui darat.
Prioritas kedua Malinau, seperti banyak kabupaten baru lain di Indonesia, adalah
pembangunan pusat pemerintahan di Malinau Kota, yang selesai pada tahun 2004. Di
sini terdapat kantor Bupati dan jajaran administrasinya, 17 dinas/kantor pemerintahan,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan militer. Pada tahun 2002, Kabupaten
Malinau mengembangkan wilayah administrasinya menjadi 9 kecamatan dan 135 desa
(lihat Gambar 2.1).
24
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Sumber: Unit GIS CIFOR (2007)
Gambar 2.1 Peta administratif Malinau
Geografi Malinau
25
Sumber: Wollenberg dkk (2007)
Gambar 2.2 Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau
Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau, yang sekarang masuk kecamatan Malinau
Selatan, merupakan daerah pedesaan berpenduduk paling padat dan paling berkembang.
Tim Pengelolaan Hutan Bersama dari Center for International Forestry Research (CIFOR)
memilih untuk bekerja di 27 desa di hulu Sungai Malinau (lihat Gambar 2.2), dari Sentaban
sampai Long Jalan. Sekitar 6673 orang (Sensus Pemilu Malinau 2003, data April 2003)
tinggal di DAS seluas 500 ribu hektar ini, walaupun kami perkirakan angka ini sedikit lebih
tinggi dari jumlah penduduk sebenarnya. Desa-desa itu tersebar di 21 pemukiman dengan
jumlah penduduk dari 15 orang sampai 997 orang. Jika mengacu pada standar nasional
26
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
kebutuhan papan, sandang dan pangan per hari (BKKBN 2001), sekitar 51 persen dari
rumah-tangga termasuk miskin.
Topografi, tanah dan iklim
Seperti daerah lainnya di Kalimantan, kehidupan di Malinau terbentuk oleh sungaisungainya. Beberapa sungai besar bersumber di Malinau: Sungai Bahau bersumber
di Kecamatan Pujungan dan bermuara di Sungai Kayan. Sungai Kayan bersumber di
Kecamatan Kayan, mengalir melalui Kabupaten Bulungan sebelum berakhir di pantai
timur di Tanjung Selor, ibukota Kabupaten Bulungan. Sungai Tubu mengalir ke Sungai
Mentarang, yang bergabung dengan Sungai Malinau ke hilir menjadi Sungai Sesayap
(lihat Gambar 2. 2). Sungai menjadi dasar penentuan unit-unit teritorial/wilayah. DAS
Malinau, misalnya, diakui sebagai wilayah suku Merap (Kaskija, dikutip dalam Sellato,
2001). Sampai sekarang pun, klaim-klaim lahan dibuat dengan memakai sungai sebagai
batas wilayah (lihat juga Bab 11 buku ini).
Sebagian besar daerah berbukit, dengan sekitar 40 persen memiliki kemiringan di atas
25 persen. Karena curah hujan tinggi, potensi erosi cukup besar (Basuki dan Sheil, 2005).
Formasi yang lebih datar dengan tanah yang subur hanya ditemukan di sepanjang Sungai
Malinau, Semendurut, Sembuak, dan Salap (Bappeda Malinau, 2001).
Wilayah ini terdiri dari berbagai formasi geologis – vulkanis, sedimentasi, dan alluvial
– termasuk singkapan batubara dan batu kapur karang tua. Saat ini masih sangat sedikit
informasi rinci mengenai tanah atau potensi penggunaan lahan. Penelitian dan pengamatan
oleh CIFOR hanya terbatas untuk DAS Malinau, memadukan hasil penelitian ilmiah
dengan pengetahuan tradisional untuk memberikan deskripsi secara umum. Kebanyakan
tanah di wilayah ini cukup subur untuk kegiatan perladangan gilir-balik warga setempat
(Sheil, 2002). Jenis tanahnya beragam, tetapi tingkat kesuburannya tetap rendah karena
rendahnya tingkat pH dan terbatasnya kapasitas pertukaran kation, karbon organik, fosfat
dan kejenuhan hara basa. Ada lima jenis tanah. Jenis yang paling dominan adalah inseptisol,
meskipun dengan komposisi kimia yang berbeda karena bahan induknya berbeda. Wilayah
yang berbukit kurang subur dibandingkan dengan wilayah alluvial. Oxisol cukup dalam
namun miskin hara terdapat di semua bentuk lahan kecuali di rawa-rawa. Rawa-rawa dan
lahan genangan umumnya terdiri dari entisol dengan kejenuhan basa tinggi (67 persen) dan
kesuburan cukup berpotensi untuk pertanian. Namun masyarakat lokal kurang menyukai
rawa atau lahan berbatu. Di berbagai lokasi, ditemukan ultisol yang sangat terurai dan
kurang subur karena kejenuhan basanya hanya 20%. Alfisol hanya ditemukan di dua
lokasi, yang dianggap cukup subur karena kandungan haranya mempunyai kejenuhan basa
yang tinggi dan tanahnya dalam (Sheil, 2002; Meijaard dkk, 2005).
Secara umum, kesuburan tanahnya rendah sampai sangat rendah dengan kandungan
hara rendah, keasaman relatif tinggi, kapasitas pertukaran kation rendah dan kejenuhan
basa rendah (Sheil, 2002). Selain itu, pembentukan lapisan kedap air, keracunan aluminium
dan terjalnya kondisi daerah membatasi kegiatan pertanian (Basuki dan Sheil, 2005).
Iklim umumnya tropis basah tipikal dengan musim kering kurang dari dua bulan.
Suhu terendah yang tercatat di dataran rendah adalah 23,5° Celcius, walaupun di daerah
yang lebih tinggi seperti di Apo Kayan, sekitar 400 meter di atas permukaan laut, suhunya
lebih rendah. Kelembaban relatif cukup tinggi, dari 75 sampai 98 persen.
Geografi Malinau
27
Sumberdaya hutan Malinau
Sembilan puluh lima persen wilayah Kabupaten Malinau ditetapkan sebagai kawasan hutan
negara (Barr dkk, 2001), termasuk 1,03 juta hektar Taman Nasional Kayan Mentarang.
Hutan Malinau merupakan hutan dipterocarp utuh terbesar yang tersisa di Asia Tenggara
dan sangat kaya dengan keaneka­ragaman hayati. Sekitar 60 persen dari seluruh famili dan
36 persen genus pohon di Kalimantan ditemukan di wilayah ini (Machfudh, 2002).
Terisolasinya kawasan dan sulitnya dijangkau telah melindungi kekayaan ini dari
eksplorasi dan ekploitasi. Akibatnya, pengetahuan tentang keaneka­ragaman hayatinya
masih terbatas. Survei-survei mutakhir, seperti ekspedisi ke kawasan Krayan di Taman
Nasional Kayan Mentarang di Kabupaten Nunukan, telah menemukan spesies-spesies baru
(WWF, 2003). Sebuah survei oleh CIFOR pada tahun 2003 sampai 2004 menunjukkan
bahwa di Sungai Malinau ditemukan paling tidak 47 spesies ikan, di mana 15 di antaranya
spesies endemis Kalimantan. Banyak spesies ikan yang disukai untuk makanan masyarakat
Malinau adalah pemakan buah dan diyakini berkaitan dengan tumbuhnya Dipterocarpacea
dan Ficus di sepanjang bantaran sungai (Sheil dkk, 2003).
Dari 37 spesies mamalia yang teridentifikasi, babi jenggot (Sus barbatus) merupakan
andalan sumber protein bagi masyarakat lokal. Demikian juga banyak spesies lainnya (rusa,
landak, kera), yang banyak di antaranya termasuk satwa yang dilindungi (Sheil dkk, 2003).
Paling tidak ada 65 spesies burung dari lebih dari 300 spesies yang teridentifikasi, adalah
jenis yang dilindungi (Meijaard dkk, 2005).
Sebagaimana diuraikan di Bab 4, sebagian besar pangan penduduk diperoleh
dari tumbuh-tumbuhan. Sagu, yang biasa diperoleh dari empat spesies, mungkin yang
terpenting. Selain itu, masyarakat mengumpulkan umbi-umbian (Xanthosoma sp., Colocasia
gigantea, Dioscorea pentaphylla, dan lain-lain) selain buah dan sayur-sayuran (Uluk dkk,
2001; Sheil dkk, 2003).
Walaupun demikian, di luar taman nasional, hutan paling dihargai untuk kayunya
seperti Agathis spp dan berbagai jenis dipterocarp. Hampir separuh dari kawasan hutan
ditetapkan sebagai hutan produksi untuk penebangan komersial sejak tahun 1970-an. Pada
awal masa itu, pembalakan terjadi di wilayah yang mudah dijangkau di sepanjang sungai
yang dapat dilalui. Dengan boom kayu di akhir 1970-an, konsesi kayu juga diberikan di
wilayah Malinau yang lebih jauh di pedalaman. Dalam kurun waktu itu, jumlah HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) selalu bervariasi dan pada tahun 1999 ada 11 HPH di Malinau
dengan areal konsesi meliputi 1,5 juta hektar (Barr dkk, 2001). Namun, pada tahun 2001,
era konsesi skala besar kelihatannya telah usai. Otonomi daerah berdasarkan UU No 22
tahun 1999 diartikan sebagai penguasaan kabupaten atas sumberdaya alam di wilayah
administrasinya. Seperti diuraikan di Bagian II, dimulailah boom kayu baru melalui konsesi
skala kecil IPPK dan berlangsung sampai tahun 2002. Hutan menjadi sumber pendapatan
penting bagi kabupaten baru ini. Produksi meningkat 10 persen per tahun dalam waktu
tiga tahun (1999 sampai 2002). Pada tahun 2002 telah dihasilkan 651 ribu meter kubik
kayu, menyumbang hampir 70% ekonomi lokal walau hanya melibatkan 3 persen dari
penduduk lokal (Widyastuti, 2003). Yang menarik adalah, pada tahun itu angka statistik
resmi menyebutkan produksi kayu 570 ribu meter kubik (Bappeda dan BPS, 2005).
Sumber pendapatan penting lain yang terdapat di bawah hutan adalah batubara
berkualitas tinggi. Seperti halnya kayu, produksi batubara meningkat sebesar 50% pada
tahun-tahun awal desentralisasi. Pada tahun 2001 saja, nilai batubara yang dikirim melalui
28
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Tarakan kira-kira 14 juta dollar Amerika (Widyastuti, 2003). Sayangnya, penambangan
batubara tidak selaras dengan pengelolaan hutan lestari atau dengan pola pertanian
tradisional yang diterapkan oleh penduduk lokal. Namun dengan besarnya kompensasi
dan fee yang dijanjikan oleh penambang batubara, banyak orang tergoda untuk melepaskan
lahannya bagi penambangan batubara.
Akibat dari pembalakan, penambangan dan meluasnya perladangan gilir-balik,
sebagian besar hutan dataran rendah yang terjangkau, seperti wilayah hilir Sungai Malinau,
kini terfragmentasi dan terdegradasi. Sebagian besar dari 40.000 orang penduduk
kabupaten1 menerapkan pertanian berpindah, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
Ketergantungan pada hutan relatif masih tinggi, dengan rumah-tangga di dekat hutan
yang masih utuh paling bergantung pada hasil hutan untuk pencaharian maupun untuk
konsumsi sehari-hari (Anau dkk, 2002; Levang dkk, 2002). Kelompok yang paling
berorientasi pada pertanian pun menilai tinggi sumberdaya alam dan hutan. Hutan
mungkin tidak memenuhi semuanya, tetapi menyediakan sebagian besar dari kebutuhan
dan keinginan itu, sehingga sangat dihargai (Sheil dkk, 2003).
Sejarah singkat
Di masa lalu, Malinau pernah merupakan bagian dari kesultanan Bulungan dan kesultanan
Berau, dengan dua raja Tidung bertahta di wilayah ini. Pada waktu itu, dari akhir tahun
1800-an sampai awal 1900-an, raja-raja Tidung memperoleh hak kepemilikan gua-gua
sarang burung walet, yang disahkan oleh Sultan Bulungan (Sellato, 2001). Pada tahun
1919, tentara Belanda mendirikan pos di Malinau Kota. Seperti juga di daerah lain,
Belanda memaksakan ‘ketertiban’ dengan menetapkan batas kampung dan kepemilikan
sumberdaya, untuk mengenalkan dan mengokohkan konsep kewilayahan. Belanda juga
mencampuri urusan struktur adat dengan menunjuk kepala adat besar di atas kepala adat.
Pada tahun 1935, Belanda membentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang
terdiri dari kepala adat Merap, Tidung, dan empat kelompok lainnya (Sellato, 2001).
Sebelum adanya kesultanan dan kerajaan-kerajaan kecil, masyarakat diatur melalui
struktur kepemimpinan adat. Beberapa di antaranya lebih hirarkis daripada yang lainnya.
Walau demikian, semuanya menerapkan kendali sosial dan konsultasi secara berkala
– terutama dalam lingkaran inti, tokoh masyarakat – untuk mengatur kelompok dan
menyelesaikan konflik. Konflik atau ketidakpuasan yang tidak dapat diselesaikan oleh
kepala adat diselesaikan dengan membagi kelompok, sebagian kelompok pindah ke
pemukiman baru, atau (dalam kasus kelompok luar) melalui kekerasan. Perkawinan atau
aliansi dagang digunakan untuk membentuk hubungan dengan kelompok-kelompok luar.
Hak masuk ke wilayah desa ditentukan oleh aliansi etnis atau perdagangan ini, selain pada
penghormatan atas kewenangan adat, permintaan izin dan persetujuan lisan, walaupun
masyarakat sering memasuki DAS untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan tanpa
izin. Sungai dan puncak gunung digunakan sebagai tanda batas. Ada kalanya kepala adat
meminta upeti (fee) dari kelompok luar yang bermaksud mengumpulkan hasil hutan di
wilayah mereka. Beberapa bukti menunjukkan bahwa di daerah hulu Malinau, kepala adat
besar Merap, yang dulunya disebut Kepala Besar,2 menjadi penguasa setempat bersama
dengan kerajaan-kerajaan Tidung pada sebagian besar abad ke 20 (Sellato, 2001).
Walau sering diklaim sebagai bagian dari Bulungan, wilayah Malinau dan kelompokkelompok hulu lainnya independen dan tidak terkena wajib upeti. Mereka bebas berdagang
Geografi Malinau
29
dengan desa-desa di daerah hilir. Menjelang akhir 1800-an, dua kerajaan kecil Tidung
membangun pusat kegiatan di Malinau (Sellato, 2001). Belanda lalu membangun kantor
administratif di Malinau dan dari sini menaklukkan wilayah hulu, Apo Kayan dan Bahau
Pujungan pada tahun 1925.
Kemerdekaan membawa perubahan dan aturan baru, termasuk UU No. 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Dengan UU ini, desa-desa harus mengikuti model nasional
‘desa’ di mana kepala desa bertanggung­jawab kepada pemerintah, bukan kepada masyarakat.
Masyarakat harus terdaftar dan menetap. Di Malinau, pemerintah Bulungan menetapkan
pemukiman sebagai desa, walaupun mereka tidak memenuhi kriteria sebagai ‘desa’ sebagai­
mana ketetapan undang-undang. Namun pemukiman suku Punan tidak pernah ditegaskan
secara formal (Barr dkk, 2001). Di masa itu, pemerintah juga mendorong pemindahan
kelompok kecil masyarakat terpencil dari hulu ke bagian hilir. Perpindahan ke Malinau ini
berlangsung dari tahun 1970 sampai tahun 1990 (Rhee, 2000; Anau dkk, 2001); sehingga
penduduk Malinau terdiri dari beberapa kelompok etnis. Yang menarik adalah bahwa
seluruh desa ikut dipindahkan – bukan hanya penduduknya, tapi juga status dan struktur
administrasinya. Selain itu, mereka tetap merupakan kesatuan yang berbeda walaupun
telah tinggal di wilayah desa lain. Jadi, di DAS Malinau ada beberapa pemukiman yang
berisi lebih dari satu desa, di mana setiap desa dihuni oleh kelompok etnis yang berbeda.
Munculnya Orde Baru diiringi dengan penekanan pada pembangunan ekonomi,
terutama melalui eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam. Sumberdaya dikuasai oleh
pemerintah pusat dan hak formal penggunaan hutan (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH)
diberikan pada beberapa perusahaan kayu besar. Malinau dibuka untuk pembalakan.
Walaupun masyarakat lokal secara formal tidak mempunyai hak, secara de fakto hak adat
diakui dan HPH seringkali memberi masyarakat kebebasan tertentu. Kadang-kadang HPH
bernegosiasi secara langsung dengan penduduk desa untuk menetapkan lokasi perladangan
gilir-balik boleh dikerjakan dan letak bidang-bidang kecil hutan desa (Barr dkk, 2001).
Kondisi ini berlangsung sampai perubahan yang dimulai tahun 1997. Pembentukan
Kabupaten Malinau dan diberlaku­kan­nya UU Otonomi Daerah telah merubah tataran
politik, ekonomi, dan sosial Malinau secara dramatis.
Ketika otonomi daerah diberlakukan tahun 2000, pemerintah kabupaten mengeluarkan
izin IPPK yang mewajibkan perusahaan kayu bekerjasama dengan masyarakat lokal. Dari
hasil wawancara diperoleh kesan bahwa konflik berubah tajam dalam kurun waktu yang
singkat. Pemberian IPPK mendorong banyak klaim masyarakat atas hutan berdasarkan
batas-batas desa dan lahan pertanian. Banyaknya tumpang tindih kawasan IPPK dengan
kawasan HPH yang masih aktif; menambah kerumitan konflik.
Masyarakat memahami otonomi daerah sebagai pemulihan hak-hak adat mereka, dan
memang Amandemen UUD pada tahun 1998 secara eksplisit mengakui hak-hak adat
(TAP MPR IX/2001). Setelah bertahun-tahun secara pasif menderita kehadiran HPH
yang mengeksploitasi hutan mereka, masyarakat kini secara aktif menyatakan kepemilikan
mereka atas sumberdaya. Hal ini diperkuat oleh sikap pemerintah kabupaten, yang selama
beberapa dasawarsa menyaksikan pendapatan daerah dari sumberdaya alam mengalir ke
pemerintah pusat. Satu komentar umum adalah: ‘Sekarang giliran kami untuk menikmati
manfaat dari sumberdaya alam kami.’ Akibatnya, kini masyarakat leluasa dan terkadang
dengan memaksa, menuntut kompensasi atau bagian dari keuntungan. Sekarang,
perusahaanlah yang membutuhkan perlindungan hukum.
30
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Masyarakat dan konflik
Penduduk Malinau terdiri dari paling tidak 18 kelompok etnis, termasuk kelompok
Punan yang terbesar di Kalimantan.3 Sebagian besar masyarakat Punan sekarang telah
semi-menetap, meskipun sebagian besar mungkin setiap saat berada di hutan. Kelompokkelompok Kenyah secara umum lebih menetap dan berhasil dalam pertanian padi. Selain
itu, ada juga suku Merap, Putuk, Abai, Tidung, dan Berusu, selain transmigran Jawa,
migran Bugis dan Banjar, dan pedagang Cina (lihat Gambar 2. 3).
Sejarah Malinau adalah sejarah perebutan lahan dan hutan. Walau ini telah berlangsung
sejak dahulu, alasan dan cara mengatasi pertarungan itu berbeda-beda. Bergesernya
penguasaan dalam perebutan untuk mengkoordinasi kontrol atas lahan ini bisa ditelusuri
sampai beberapa abad yang lalu. Untuk masa-masa yang paling awal, hanya ada bukti dari
dokumen sejarah dan sejarah lisan, sehingga – walaupun hal ini beresiko – pemahaman
hanya dapat diekstrapolasi dari kondisi yang diamati dalam desa yang lebih tradisional,
(lihat Sellato, 2001).
Antara tahun 1750 dan 1850, kelompok etnis Ngurik atau Baoe di wilayah Sungai
Bahau, Lurah, dan Pujungan sering diserang oleh masyarakat dari Apo Kayan yang
bersekutu dengan Kenyah (Kaskija, 2000). Masyarakat Baoe lalu pindah ke Sungai
Malinau, meminta perlindungan dan bantuan dari kelompok Punan dan Abai untuk
melawan musuhnya. Sebagai imbalannya, kelompok Baoe bersekutu dengan kelompok
Punan, bersumpah untuk menjadi saudara, menjadi seperti ‘bagian hitam dan putih dari
mata’ yang tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1830 dan 1840, mereka tinggal bersama
di sepanjang Sungai Malinau dan Tubu, dan terjadi perkawinan silang dengan kelompokkelompok lainnya seperti kelompok Abai, Tebilu, Milau, Berau, dan Berusu. Selanjutnya,
kelompok Baoe, yang juga disebut Merap, merebut kepemilikan gua-gua sarang burung
dari orang Berusu.
Sampai awal tahun 1900-an, perang antar kelompok – sering untuk menguasai
sumberdaya gua-gua sarang burung – umum terjadi, begitu pula dengan migrasi akibat
ancaman perang. Kepala adat dan para penasehat mereka membantu untuk mengontrol
akses terhadap lahan, mengelola konflik dan mengkoor­di­nasi­kan keputusan dalam
kelompok etnis. Sementara itu, kepala adat besar membantu mengkoor­di­nasi masalahmasalah ini pada skala yang lebih luas. Sebagian besar kelompok peladang padi yang telah
menetap (a.l. kelompok Kenyah) tampaknya telah berhasil menguasai wilayah, sementara
yang lainnya (misalnya, kelompok Punan) kelihatannya lebih khawatir akan akses mereka
atas pemukiman dan sumberdaya kunci. Penguasaan wilayah agaknya ditentukan dari
pusat pemukiman atau sungai dan daerah alirannya, dengan kurang memperhatikan lokasi
persisnya batas-batas terluarnya. Di banyak tempat, kepala adat menguasai sumberdaya
yang berharga, seperti gua-gua sarang burung dalam wilayah kesultanan.4 Kesultanan lalu
mengenakan pajak atas komoditas yang diperdagangkan.5
Pada awal abad ke 20, pemerintah kolonial Belanda memasuki wilayah ini dan
menegakkan hukum dan aturan untuk meningkatkan perdagangan. Perang suku dilarang
dan banyak kelompok bermigrasi ke hilir. Pada tahun 1909, suku Putuk (Lundaye) dan
Abai pindah dari hulu Mentarang ke desa Setarap. Pada tahun 1961, satu kelompok Punan
bermukim di wilayah yang sama dan pada tahun 1972, penduduk wilayah ini bertambah
lagi dengan kedatangan satu kelompok Kenyah dari hulu Pujungan (Anau dkk, 2001; lihat
juga Bab 9 dan 10 buku ini). Suku Tidung, yang telah masuk Islam sejak awal, mengklaim
hak-hak mereka atas dasar keturunan raja-raja Tidung yang memerintah dua kerajaan kecil
Geografi Malinau
31
Keterangan:
1. Peta ini adalah peta sketsa untuk menjelaskan lokasi pemukiman dan kelompok suku-suku. Ada beberapa desa-desa
yang terdapat di dalam satu lokasi pemukiman tidak dicantumkan dalam peta ini. Untuk mengetahui nama desa-desa
dengan lengkap dapat dilihat di dalam tabel nama desa dan lokasi pemukiman.
2. Suku-suku yang dicantumkan di dalam peta ini dikelompokkan secara umum. Untuk kelompok sub suku secara detail
dijelaskan di dalam tabel terlampir.
3. Sub suku Punan Malinau sering disebut Punan Bao mereka bergabung dengan suku Merap. Orang Kenyah dipanggil
Paya oleh orang Merap. Lepo’Kuda dulu pecahan dari Lepo’ Ke’.
4. Punan Beketan berasal dari Mahakam lewat Kayan lalu bercampur dengan Punan Malinau, sekarang lebih dikenal
dengan Punan Malinau.
Sumber: Peta kelompok etnis Malinau dipersiapkan oleh Asung Uluk (konsultan CIFOR) pada tahun 1999
Gambar 2.3 Penyebaran suku-suku di Malinau
meliputi sebagian dari hilir Malinau (Sellato, 2001), selain sebagai pemilik beberapa guagua sarang burung.
Perpindahan kelompok Kenyah ini diawali oleh perkawinan antara putri kepala adat
besar Sungai Bahau dengan anak lelaki kepala adat Sungai Malinau. Pada awalnya, suku
Kenyah diterima baik oleh masyarakat yang sudah tinggal lebih dahulu di sepanjang
32
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Sungai Malinau; tetapi kemudian meningkatnya jumlah penduduk menimbulkan konflik
perbatasan lahan pertanian dan desa-desa.
Di sepanjang Sungai Malinau, dapat dilihat pola umum atas klaim dan konflik. Jauh
di pedalaman hulu Malinau, di mana tinggal sebagian besar kelompok Punan, konflik
berpusat pada akses atas hasil hutan. Di bagian tengah hulu Malinau, endapan batubara
yang berharga memicu konflik tentang kompensasi atas penggunaan lahan pertanian dan
ladang yang sedang tidak ditanami. Di bagian hilir, masalah berkisar pada akses atas lahan
pertanian dan kurang harmonisnya hubungan antar kelompok yang merupakan masalah
sejak dahulu (Anau dkk, 2001).
Walaupun sumber konflik adalah akses atas sumberdaya, hal itu berhubungan erat
dengan klaim atas wilayah. Secara kebetulan beberapa waktu sebelum UU Otonomi
Daerah diberlakukan secara resmi, the World Wide Fund for Nature (WWF) dan CIFOR
telah memulai kegiatan pemetaan partisipatif untuk menetapkan batas-batas desa dan
membantu mengatasi konflik atas sumberdaya alam. Sebagai alat untuk mengajukan klaim
atas lahan, hal itu secara umum memperkuat kesan bahwa kini desa-desa dapat mengklaim
hak-hak atas wilayah mereka (Barr dkk, 2001).
Mata pencaharian
Masyarakat di sekitar hutan pada umumnya sangat bergantung pada hutan dan hasil
hutan. Hal ini berlaku di Malinau, walaupun derajat ketergan­tung­an­nya berbeda secara
mencolok di antara setiap kelompok dan lokasi. Masyarakat Dayak pada umumnya adalah
petani, yang menerapkan perladangan gilir-balik padi gogoh. Sebaliknya, suku Punan
dianggap sebagai kelompok pemburu-pengumpul dengan cara hidup nomaden. Walaupun
memudahkan, pembedaan ini tidak selamanya tepat, apalagi di masa sekarang. Hampir
semua kelompok Dayak mengumpulkan hasil hutan di masa-masa sulit dan kebanyakan
orang Punan membuka ladang secara teratur (Levang dkk, 2002). Walaupun demikian,
hutan tetap sangat penting bagi seluruh penduduk lokal.
Levang dkk (2002) menemukan kecenderungan umum di mana desa-desa yang
lebih terpencil lebih tergantung pada pengumpulan dan penjualan hasil hutan, sementara
masyarakat di hilir mencari nafkah dari kegiatan pertanian. Di sini, ladang menjadi penting
dan masyarakat telah berupaya untuk mendiversifi­kasi pertanian mereka dengan kopi atau
coklat. Lebih hilir lagi, kegiatan yang bertopang pada gaji menjadi lebih penting (lihat
Gambar 2.4).
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pekerjaan yang bergaji semakin penting,
walaupun hal ini terutama terjadi di sekitar Malinau Kota. Namun semakin membesarnya
pemerintahan telah membuka banyak posisi baru, termasuk empat kantor kecamatan yang
dibuka pada tahun 2002.
Pemerintah kabupaten
Dengan berkurangnya perang antar suku, Belanda6 dan setelah tahun 1950-an kemudian
Indonesia,7 menambah lapisan dalam hirarki kelembagaan, mula-mula di kesultanan
Bulungan dan kemudian di kabupaten Bulungan. Setelah mengalahkan Tidung sekitar
tahun 1731, Bulungan menjadi kesultanan yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda.
Setelah kemerdekaan, Bulungan menjadi wilayah otonom dan pada tahun 1959 menjadi
Geografi Malinau
33
Sumber: Levang dkk. (2002)
Gambar 2.4 Pendapatan rata-rata rumah-tangga (juta Rupiah per tahun)
kabupaten. Sebagai bagian dari Bulungan, Malinau berubah status beberapa kali sesuai
dengan perubahan administratif nasional. Sebagai pengakuan atas kerajaan Tidung di
wilayah ini, pada masa kolonial Belanda wilayah ini menjadi Kewedanaan Tanah Tidung,
sub-bagian khusus dari kabupaten, dan akhirnya menjadi kecamatan. Seorang pejabat yang
dikenal sebagai Bupati Penghubung Perwakilan Tanah Tidung ditempat­kan di Malinau
Kota. Pejabat ini mengepalai Malinau, Mentarang dan Lumbis. Yang menarik, pada tahun
2007 dibentuk Kabupaten Tane Tidung, terdiri dari kecamatan-kecamatan dari Bulungan
dan Nunukan, namun tidak satu pun dari wilayah Malinau.
Penguasaan terpusat dan Undang-undang Tahun 1979 mengacaukan peran dan
tanggung­jawab kepala adat karena banyak yang ditunjuk oleh pejabat luar sebagai kepala
desa dan bertanggungjawab kepada camat, bupati, gubernur, dan Presiden. Lembagalembaga lokal kehilangan wibawa oleh delegitimasi hukum adat dan kepala adat. Peta-peta
desa buatan pemerintah sama sekali tidak menggambarkan keadaan pemukiman dan klaim
mereka yang sebenarnya. Akhirnya, penduduk desa secara politis terasingkan dan jauh
dari pemerintah. Namun sebagian besar urusan desa masih terus diselesaikan oleh para
kepala adat, terutama yang juga bekerja untuk pemerintah sebagai kepala desa. Para kepala
adat ini membuat keputusan yang berlaku bagi satu kelompok etnis yang homogen. Akses
terhadap lahan dan hutan tetap dikelola sebagaimana sebelumnya.
Selain membentuk struktur administratif baru, negara mengklaim wilayah yang sangat
luas mulai tahun 1960-an pada saat berkembangnya boom kayu. Tiba-tiba penduduk desa
harus berbagi hutan dengan pengusaha dan diberitahu bahwa lahan itu milik pemerintah
Indonesia. Pernyataan yang tegas dari negara atas penguasaan lahan melalui kehadiran HPH
secara terbuka menantang kedaulatan lokal dan klaim atas lahan dengan cara-cara yang
tidak pernah dilakukan oleh para sultan dan Belanda. Penduduk desa biasanya menerima
HPH, sebagian besar karena perasaan terintimi­dasi (anggota militer biasanya menemani
staf HPH atau mengganggu penduduk desa yang berpotensi menyusahkan). Degradasi
34
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
hutan secara berangsur, hilangnya buruan liar dan menurunnya kualitas air yang mereka
rasakan sebagian diimbangi dengan dibangunnya jalan, sarana transportasi, penyerapan
tenaga kerja, meskipun secara terbatas, dan sekali-sekali kontribusi bagi proyek desa.
Pengusaha hutan lokal tidak menerapkan larangan berburu dan membakar lahan secara
ketat, dan membiarkan kegiatan berladang di sebagian areal hutan sebagai upaya untuk
memelihara hubungan baik. Pada waktu itu, konflik yang berhubungan dengan hutan
terutama adalah perseteruan antar desa atas akses ke lahan pertanian, dan bagi beberapa
individu, atas upaya menjaga klaim atas gua-gua sarang burung. Negara tidak mengijinkan
terjadinya konflik dengan pemerintah daerah atau dengan pengusaha hutan.
Kekuasaan kepala adat semakin terkikis dan klaim atas lahan menjadi lebih kompleks
ketika kelompok-kelompok etnis mulai berbagi wilayah. Program pemukiman kembali
oleh pemerintah antara tahun 1960-an sampai tahun 1980-an, dan satu kasus pemukiman
kembali ad hoc pada tahun 1999, telah mengalihkan lahan bekas suku Merap8 di sepanjang
Sungai Malinau kepada kelompok Dayak lainnya yang datang dari wilayah yang lebih
terpencil. Namun para pendatang baru ini tidak selalu memutuskan hubungan dengan
wilayah mereka sebelumnya. Selalu ada sebagian yang tetap tinggal di dalam atau di
dekat wilayah desa semula. Akibatnya, dua sampai empat kelompok etnis secara kolektif
mendiami 9 dari 16 pemukiman sepanjang hulu Sungai Malinau, sehingga tekanan
terhadap sumberdaya lokal juga semakin besar. Semua kelompok itu mengajukan klaim
atas wilayah yang bertumpang tindih dengan klaim kelompok lainnya, dan menimbulkan
pertanyaan siapa pemegang kekuasaan atas lahan mana, dan bagaimana pembagian peran
penguasa adat dan pemerintah dalam menyelesaikan klaim ini. Karena itulah maka
tumpang-tindihnya klaim atas lahan di daerah hulu Sungai Malinau lebih banyak daripada
daerah lainnya di Kabupaten Malinau.
Perkembangan terakhir menyangkut bertumpangtindihnya tiga hal: desentralisasi,
akses baru bagi penduduk desa untuk memperoleh pembayaran tunai untuk kayu dan
lahan, dan dibentuknya Kabupaten Malinau yang baru. Dengan dimulainya desentralisasi
dan ketidakpastian yang menyertainya, berbagai kalangan masyarakat lokal berusaha
mendapatkan bagian dari sumberdaya Malinau. Bahkan sebelum berlaku kebijakan
desentralisasi di tingkat kabupaten, desentralisasi de facto telah terjadi, di mana desadesa mengajukan klaim atas tanah-tanah adat dan bernegosiasi secara langsung dengan
investor lokal (Rhee, 2003). Penduduk desa lebih bebas mengajukan tuntutan kompensasi
atau manfaat dari perusahaan kayu atau tambang dan menuntut lebih besar daripada
sebelumnya.9 SK Gubernur Kalimantan Timur No 20/2000 memperkuat momentum
ini dengan meletakkan dasar hukum bagi masyarakat untuk menuntut kompensasi.
Sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan, penduduk desa mengatakan bahwa mereka
bisa menyuarakan ketidakpuasan mereka tanpa rasa takut dan jauh lebih bebas berbicara
mengenai pemimpin mereka dan pemerintah. Anggota militer saat ini jarang menemani
perusahaan kayu atau rombongan pemerintah. Persekutuan politik baru telah terbentuk di
antara berbagai kelompok etnis. Kepala desa bisa ditemui di pusat kota Malinau, dalam
pertemuan dengan pejabat pemerintah atau pengusaha, sesering mereka ditemui di desa
mereka sendiri.
Dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Malinau pada tahun 2001, untuk
pertama kalinya, banyak posisi utama diisi oleh orang-orang dari dalam kabupaten
sendiri. Dayakisasi telah membuat penguasa berakar di dalam politik lokal yang berisi
lebih dari 18 kelompok etnis. Adat menjadi penting karena masyarakat mencari aliansi
dan posisi politis melalui berbagai kelompok etnis (Anau dkk, 2001), dan menimbulkan
Geografi Malinau
35
persaingan atas lahan dan kekuasaan berbasis etnis. Pengorganisasian kelompok-kelompok
adat berdasarkan hirarki pemerintah juga diwarisi dari masa penjajahan Belanda. Di masa
itu, kepala adat dikooptasi melalui pengakuan formal dan pemberian honorarium. Untuk
menegakkan ketertiban, Belanda menyusun hirarki di mana kelompok-kelompok adat
lokal diatur dalam majelis yang lebih besar yang dipimpin oleh Kepala Adat Besar. Di
Malinau, dibentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang anggotanya terdiri
dari Raja Tidung, kepala adat Merap dari Langap dan empat kepala adat lainnya (Césard,
2001; Sellato, 2001). Kepala adat Merap ditunjuk sebagai Kepala Adat Besar Malinau
pada tahun 1940. Kedudukannya diformalkan melalui keputusan kolonial, dan dia tetap
memegang kedudukan ini sampai kematiannya pada tahun 1980.
Saat ini, kelompok adat mulai mengatur diri dengan memperkuat organisasi atau
membentuk organisasi baru, dan meminta pemerintah untuk mengakuinya secara formal.
Pada bulan Februari 2002, kelompok Tidung menghidupkan kembali lembaga adat mereka
dengan memilih kepala-kepala adat baru dalam upacara yang megah. Kelompok Punan
juga membentuk Lembaga Adat Besar Punan Kalimantan Timur, selain juga Yayasan Adat
Punan pada tahun 1994.
Dengan membaiknya kehidupan sejak bermigrasi ke DAS Malinau, suku Kenyah
mulai menantang kekuasaan politis suku Merap (Rhee, 2003). Setelah memiliki lembaga
adat dan hukum adat tertulis sejak tahun 1968 (N. Anau, komunikasi pribadi, 2001),
mereka telah lebih terorganisir dan menjadi kekuatan penting di Malinau. Bupati yang
sekarang adalah seorang Dayak Kenyah. Maka kelompok Merap pun mereorganisasi diri,
dan pada tahun 1998 berhasil menempati posisi yang kosong: Kepala Adat Besar Malinau.
Sementara itu, setelah lama vakum, suku Merap yang didukung suku Kenyah berusaha
menghidupkan kembali Lembaga Adat Besar Se-Sungai Malinau dan memilih Impang
Alang sebagai Kepala Adat Besar di tahun 2003. Tahun 2006 Impang Alang mengundurkan
diri dan diganti oleh puteranya, ketua DPRD Malinau.
Kelompok Lundaye dan Tidung juga menjadi lebih agresif secara politik beberapa
tahun terakhir ini. Kedua kelompok ini sedang berusaha mengkonsolidasi klaim-klaim
mereka atas lahan, sementara kelompok Punan hampir tidak terwakili di pemerintahan
kabupaten dan mempunyai klaim kesejarahan yang lemah atas lahan. Selain itu, kelompok
Punan selalu merupakan mitra yang lebih lemah dalam aliansi-aliansi dengan kelompok
etnis lainnya (Anau dkk, 2001).
Administrasi Kabupaten saat ini
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa Kabupaten Malinau dibentuk pada tahun 1999.
Sampai tahun 2001, kabupaten ini dipimpin oleh seorang Bupati sementara, sehingga
selama satu setengah tahun kabupaten ini dipimpin oleh pemimpin sementara yang tidak
bertanggungjawab pada DPRD. Pada masa inilah sebagian besar izin pembalakan skala
kecil diberikan (lihat Bagian II). Pada tahun 2001, Bupati terpilih disumpah. Pada tahun
itu juga terbentuklah struktur pemerintahan resmi dengan sembilan kantor administratif
(SK No. 117 Bupati Malinau 2001).
Salah satu aspek penting dari pemerintah kabupaten ini adalah bahwa untuk pertama
kalinya kebanyakan posisi diisi oleh orang yang berasal, atau menikah dengan warga, dari
dalam kabupaten. Para pejabat sebelumnya sebagian besar berasal dari Jawa, Sulawesi, atau
daerah lain di Kalimantan (terutama Samarinda dan Banjarmasin). Dayakisasi pemerintah
lokal berarti bahwa kini penguasa lebih berakar pada politik lokal yang melibatkan lebih
36
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
dari 18 kelompok etnis. Hubungan kekuasaan lokal lebih saling berkait dan rumit daripada
di masa sebelumnya.
Menyadari hubungan yang kompleks ini, Bupati bekerja keras untuk mencapai
keseimbangan antara kelompok-kelompok etnis dan agama yang berbeda (lihat Tabel 2.1
untuk penjelasan komposisi etnis pemerintah Kabupaten Malinau).
Walaupun tidak mempunyai wakil di pemerintahan, kelompok Merap mengetuai
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) – untuk kedua kalinya. Kedudukan ini sangat
kuat dan telah berakibat pada penguatan klaim kelompok Merap atas hutan, termasuk
bagian dari tambang batubara baru di wilayah Langap.
Walaupun pada awalnya kelihatannya desentralisasi dan pemerintah yang baru telah
mendekatkan negara kepada masyarakat, setelah pemerintah kabupaten yang baru semakin
mapan dan diakui kewenangan dan kehadirannya, akses terhadap pejabat pemerintah
menjadi lebih formal dan berjarak. Namun sebagai pembelaan pemerintah kabupaten,
Tabel 2.1 Distribusi afiliasi etnis pegawai pemerintah di Malinau
Kantor Bupati
Wakil bupati/sekretaris
daerah, asisten
Kepala bagian
Kantor/Dinas
Total
Kenyah
2
2
3
7
Lundaye
2
1
6
9
1
4
5
4
4
Etnis
Toraja
Jawa
Tidung
2
2
Kutai
1
Banjar
1
1
19
29
Total
6
4
1
Sumber: Andrianto (2006)
mudahnya aksesibilitas di tahun-tahun awal telah menimbulkan banjir permintaan dan
tuntutan. Dengan menempatkan kembali Camat sebagai penghubung antara desa dengan
kabupaten, pejabat kabupaten bisa mengurangi interaksi dengan penduduk desa ke tingkat
yang lebih bisa dikelola.
Kompleks kantor pemerintahan kabupaten yang baru dan megah, serta prosedur
formal yang diperlukan untuk masuk, membuat warga masyarakat enggan menghadap
pemerintah. Apalagi karena letaknya agak jauh dari pusat kegiatan Malinau. Lagipula,
walaupun pemerintah kabupaten merasa nyaman dengan retorika partisipasi masyarakat
madani, mereka tetap curiga dan tidak tahu bagaimana cara melaksanakannya.
Modernisasi dan pergolakan politik telah mendatangkan banyak tantangan dan
kesempatan bagi masyarakat Malinau. Dalam lima tahun terakhir, cukup banyak terjadi
pergolakan yang berkaitan dengan undang-undang dan peraturan tentang hak-hak atas
lahan dan sumberdaya alam. Kondisi itu menciptakan ketidakpastian dan berbagai peluang
baru untuk memperoleh pendapatan tunai. Dua aspek aksesibilitas senantiasa berubah
(yaitu aspek peluang pencapaian suatu lokasi dan mengekstraksi sumberdaya, serta aspek
penguasaan hukum dan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan cara melakukannya).
Munculnya motor untuk perahu, jalan-jalan baru, meningkatnya perdagangan, serta
Geografi Malinau
37
naiknya harga bahan bakar, semuanya mempengaruhi akses fisik, begitu pula dengan
berkurangnya sumberdaya di bekas wilayah penebangan. Pada saat bersamaan, berbagai
klaim dan klaim yang tumpang tindih serta penguasaan oleh pemegang konsesi, pemerintah
kabupaten, dan masyarakat, cukup menciptakan kebingungan. Pada saat ini, ‘tragedi
kepemilikan komunal’ agaknya lebih memilih menguangkan hutan daripada pilihan
lain yang lebih berjangka panjang. Hilangnya keanekaragaman hayati bagi masyarakat
lokal dan pemangku kepentingan lainnya tampaknya akan besar. Stabilitas dan kepastian
kepemilikan lahan amat sangat diperlukan.
Foto diambil oleh Godwin Limberg (2004)
Gambar 2.5 Pada tahun 2004, pemerintahan Kabupaten Malinau menempati kompleks gedung yang
baru, seperti ditunjukkan di sini
Catatan
1 Diperkirakan dari sensus pemilu tahun 2003.
2 Lihat Soerat Pengangkatan Alang Ampang sebagai Kepala Besar Bao Dajak di Langap oleh
Pemerintah Keradjaan Boelongan, 30-1-1940.
3 Lihat Sellato (2001) untuk tinjauan sejarah hulu Sungai Malinau dalam 150 tahun
terakhir.
4 Fox (2002) mencirikan tumpang-tindihnya kedaulatan pada akhir tahun 1800-an di
Thailand. Ia menulis bahwa hal ini ‘bukan berdiri sendiri maupun eksklusif ’ (Fox, 2002,
hal 2), tetapi, (mengutip Winichakul, 1994, hal 88) ‘dapat dibagi – satu untuk penguasa
dan satu untuk atasannya – tidak dalam arti berbagi kedaulatan, tapi lebih merupakan
lapisan-lapisan hirarkis.
38
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
5 Yang menarik, surat bukti pembayaran pajak di jaman lebih modern telah digunakan
untuk menetapkan kepemilikan atas gua-gua sarang burung.
6 Menurut Sellato (2001), kekuasaan Belanda atas kesultanan Bulungan mulai pada tahun
1850 dengan sebuah kontrak Politiek, yang pada tahun 1877 diperpanjang dengan
perjanjian yang menetapkan bahwa Belanda akan mengurus sebagian urusan Kesultanan;
lalu diformalkan pada akhir tahun 1880-an sebagai bagian dari koloni Belanda. Pada awal
1900-an, Belanda memaksa Sultan menyerahkan kekuasaannya atas daerah-daerah Sungai
Bahau, Pujungan, dan Apo Kayan yang lebih terpencil. Belanda juga bekerjasama dengan
Kesultanan, untuk, misalnya, mengatasi pemberontakan suku Dayak tahun 1909 di Tanah
Tidung, yang mencakup daerah Sungai Malinau yang sekarang.
7 Menurut Sellato (2001), pada tahun 1950, Bulungan menjadi sebuah Wilayah Swapraja
setelah pendudukan Jepang, dan pada tahun 1955 menjadi Wilayah Istimewa. Pada tahun
1959, setelah meninggalnya Sultan yang terakhir pada tahun 1958, yaitu Sultan Jalaluddin,
kesultanan dihapuskan dan Bulungan menjadi Daerah Tingkat II atau kabupaten.
8 Sebelum suku Merap, suku Berusu and Punan dipercayai telah menduduki wilayah ini
(Kaskija, 2000; Sellato 2001).
9 Walaupun tuntutan kompensasi telah diajukan sebelumnya, dan warga desa hanya
menerima sangat sedikit, kalaupun ada.
Rujukan
Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan
Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran
Sungai Malinau, Januari s/d Juli, 2000, Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002.
Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the
demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science
and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001,
ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.
Andrianto, A., 2006. Peran Pemerintah Kabupaten dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi
Kasus di Kabupaten Malinau dan Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) dan BPS (Badan Pusat Statistik)
Kabupaten Malinau, 2005. Kabupaten Malinau Dalam Angka 2004/2005, Bappeda
Malinau, Malinau, Indonesia.
Bappeda Malinau, 2001. Kabupaten Malinau Dalam Angka 2000, Bappeda Malinau, Malinau,
Indonesia.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Communities in Malinau District, East Kalimantan: Case Studies on Decentralisation and
Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Basuki, I. dan Sheil, D., 2005. Local Perspectives of Forest Landscapes: A Preliminary Evaluation
of Land and Soils, and Their Importance in Malinau, East Kalimantan, Indonesia, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), 2001. Daftar Desa Miskin di
Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, BKKBN, Malinau, Indonesia.
Geografi Malinau
39
Césard, N., 2001. Four Ethnic Groups (Punan, Kenyah, Merap, Lun Dayeh) Faced with Changes
along the Malinau River (Kalimantan Timur), Forest Product and People Programme,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Fox, J., 2002. Siam mapped and mapping in Cambodia: Boundaries, sovereignty, and indigenous
conceptions of space, Society and Natural Resources, vol 15, no 1, hal 65–78
Kaskija, L., 2000. Punan Malinau and the Bulungan Research Forest, Laporan diajukan kepada
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Levang, P. dan Tim FPP-Bulungan, 2002. Peoples dependencies on forests, dalam CIFOR
(penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical
Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Machfudh., 2002. General description of the Bulungan Research Forest, dalam CIFOR
(penyunting) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical
Report Phase I 1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Sensus Pemilu Malinau, 2003. Data Sensus Pemilu, Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau,
Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.
Meijaard, E., Sheil, D, Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T.,
Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S. dan O’Brien, T.,
2005. Life after Logging: Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in
Indonesian Borneo, CIFOR, ITTO and UNESCO, Bogor, Indonesia.
Rhee, S., 2000. De facto decentralization and the management of natural resources in East
Kalimantan during a period of transition, Asia Pacific Community Forestry Newsletter, vol
13, no 2, hal 34–40.
Rhee, S., 2003. De facto decentralization and community conflicts in East Kalimantan,
Indonesia: Explanations from local history and implications for community forestry, dalam
Tuk-Po, L., de Jong, W. dan Ken-ichi, A., (penyunting) The Political Ecology of Tropical
Forests in Southeast Asia: Historical Perspectives, Kyoto Area Studies on Asia 6, Kyoto
University Press, Kyoto, Japan, hal 152–176.
Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement,
Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sheil, D., 2002. Biodiversity research in Malinau, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science
and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001,
ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sheil, D., Puri, R., Basuki, I., van Heist, M., Wan, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Sardjono,
M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F.,
Johnson, B. dan Wijaya, A., 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local
Peoples Perspectives in Forest Landscapes, 2nd edition, Center for International Forestry
Research, Ministry of Forestry and International Tropical Timber Organization, Bogor,
Indonesia.
SK 117 Bupati Malinau, 2001. Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Malinau, Malinau, Indonesia.
Soerat Pengangkatan Alang Ampang sebagai Kepala Besar Bao Dajak di Langap oleh Pemerintah
Keradjaan Boelongan, 30-1-1940.
TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), 2001. Nomor
IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta,
Indonesia.
Uluk, A., Sudana, M. and Wollenberg, E., 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap
Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, CIFOR, Bogor, Indonesia.
40
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Widyastuti, R. S., 2003. Otonomi: Kabupaten Malinau, Kompas, 17 Juni 2003, www. kompas.
com/kompas-cetak/0306/17/otonomi/373649.htm.
Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2007.
Muddling towards cooperation: spontaneous orders and shared learning in Malinau
district, Indonesia, dalam Fisher, R., Prabhu, R. dan McDougall, C. (penyunting)
Adaptive collaborative management of community forests in Asia: experiences from Nepal,
Indonesia and the Philippines, Center for International Forestry Research (CIFOR),
Bogor, Indonesia.
WWF (World Wildlife Fund for Nature), 2003. Management of Kayan Mentarang National
Park to Promote Trans-boundary Conservation along the Border between Indonesia and
Malaysian States of Sabah and Sarawak, ITTO Project, PD 38/00 REV I (F) WWF, Jakarta,
Indonesia.
3
Politik Budaya Kolaborasi untuk Mengontrol
dan Mengakses Sumberdaya Hutan di
Malinau, Kalimantan Timur
Steve Rhee
Pendahuluan
Desentralisasi, pemerintahan yang baik, pengelolaan hutan lokal – adalah konsep-konsep
yang oleh para praktisi pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) sering dianggap sebagai
komponen integral dalam memperkuat suara kelompok yang tergantung pada sumberdaya
hutan yang kurang diuntungkan. Dalam kerangka kerja normatif, semua konsep itu saling
melengkapi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme kelembagaan
pembentuknya tertanam dalam sejarah hubungan antar suku dan pembentukan
negara, yang berperan dalam proses perubahan sosial. Memahami jalinan kesukuan dan
pembentukan negara dalam proses desentralisasi sangat diperlukan bagi pengelolaan
hutan yang berkelanjutan dan adil. Sudah diulas dalam Bab Pendahuluan buku ini, negara
dan masyarakat saling membentuk, dan reproduksi hubungan itu sangat mempengaruhi
kendali dan akses terhadap sumberdaya hutan.
Bab ini membahas hubungan antar-kelompok sosial di Kabupaten Malinau dan
menjelaskan pertarungan untuk konsolidasi dan akses kekuasaan di kabupaten tersebut
dalam konteks lebih luas, yaitu proses desentralisasi yang rancu dan ambisius. Intinya, bab
ini adalah analisa ‘ekonomi politik yang berorientasi budaya’, untuk menunjukkan cara
kerja kekuasaan (proses) dan berbagai konsekuensi penting dari proses tersebut (Li, 2002,
hal. 417).1
Diawali dengan sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau untuk memberi
konteks kerja sama di antara para pelaku, lalu diuraikan konteks gerak para pelaku sosial
42
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
di Malinau untuk memanfaatkan semua peluang yang ada. Saya kemudian membahas
bagaimana para pelaku ini memperkuat hubungan dan aliansi untuk mengontrol
sumberdaya, dengan berfokus pada cara melegitimasi hubungan ini. Bab ini ditutup
dengan ringkasan mengenai pelajaran lebih luas yang dipetik dari studi kasus Malinau,
dalam hal kerja sama dan aliansi para pemangku kepentingan.
Sejarah singkat hubungan antar-suku di Malinau
Sejarah hubungan antar-kelompok di Malinau adalah hubungan yang ditandai oleh
perdagangan, perpindahan penduduk dan klientisme. Sebelum kedatangan Belanda ke
Malinau pada awal abad ke-20 dan seperti di banyak bagian Kalimantan, kawasan ini
ditandai dengan hubungan dagang antara kelompok-kelompok Dayak dari daerah
pedalaman dengan kesultanan dan kerajaan kecil di pesisir, yang melakukan barter hasil
hutan non-kayu (HHNK) dengan para saudagar pelaut, seperti suku Taosug dan Bugis
(Warren, 1981; Peluso, 1983).2 Sebelum perpindahan suku Kenyah ke arah timur yang
dimulai pada tahun 1960-an, suku Merap merupakan kekuatan politik dominan di
daerah hulu dan tengah Sungai Malinau. Suku Merap yang berasal dari barat Malinau
menaklukkan dataran tinggi hulu Sungai Malinau dan daerah di dekat Sungai Tubu pada
paruh kedua abad ke-19 dengan bantuan kelompok Punan setempat, lalu memperluas
kekuasaan mereka ke hilir di sepanjang Sungai Malinau. Faktor penting dalam ekspansi
Merap ke hilir adalah penguasaan atas gua-gua sarang burung di sepanjang anak Sungai
Malinau dan HHNK berharga lainnya seperti rotan (Calamus spp), gaharu (Aquilaria spp)
dan damar (Shorea javanica).3 Karena struktur sosial suku Merap yang hirarkis, para kepala
desa dan para panglima perang memegang kontrol pribadi atas sumberdaya berharga seperti
gua-gua sarang burung. Pemimpin Merap yang sekarang adalah keturunan keningratan
tersebut, dan masih menjadi pemilik gua-gua itu hingga kini.
Suku Merap, yang secara tradisional adalah para peladang gilir-balik, menguasai dan
mengeksploitasi sumberdaya hutan melalui kerja sama jangka panjang dengan suku Punan
yang hidup berpindah-pindah, sebuah hubungan patron-klien, yang sedikit banyak masih
berlaku sekarang, ditandai dengan kepatuhan yang ditunjukkan terhadap suku Merap
(Sellato, 2001; Kaskija, 2002). Suku Merap memanfaatkan suku Punan sebagai pengumpul
HHNK, pasukan militer, dan sebagai penjaga gua-gua sarang burung. Suku Merap juga
mengendalikan aliran sumberdaya antara para pengumpul suku Punan dan para pedagang
di hilir. Sebagai ganti HHNK yang mereka kumpulkan, suku Punan menerima barangbarang yang tidak dapat mereka peroleh sendiri, seperti besi dan tembakau (Kaskija,
2002). Hubungan patron-klien antara para peladang dan suku Punan ini sudah biasa di
seluruh Kalimantan; tetapi kesetaraan hubungan ini beragam bergantung pada struktur
sosial kelompok peladang yang berhubungan dengan suku Punan (Rousseau, 1990; Sellato,
1994; Sellato, 2001; Kaskija, 2002).
Sejak awal tahun 1900-an, intervensi Belanda di kawasan ini tidak menggeser dominasi
politik suku Merap, meskipun penghapusan perbudakan dan meningkatnya persaingan
Cina dan Melayu hampir pasti telah mengurangi keunggulan ekonomi keningratan suku
Merap (Kaskija, 2002).4 Dalam beberapa hal penting, Belanda bahkan mensahkan dan
memperkuat kendali politik suku Merap atas dataran tinggi Malinau, serta memasukkannya
dalam pemerintahan formal.5 Misalnya, dalam menetapkan daftar gua-gua sarang burung
dan para pemiliknya, Belanda mendukung penguasaan suku Merap atas gua-gua di
Politik Budaya Kolaborasi
43
Malinau (Sellato, 2001). Pemerintah Belanda dan Sultan Bulungan kemudian mengangkat
pemimpin suku Merap sebagai Kepala Besar Sungai Malinau/Tubu dan putra pemimpin
ini sebagai Kepala Adat Besar Sungai Malinau setelah kematian ayahnya (Kaskija, 2002).
Seperti halnya di kebanyakan daerah Kalimantan, bagi suku Dayak yang tinggal di
wilayah Malinau, periode pasca kemerdekaan berarti mereka harus menyesuaikan struktur
sosial tradisional dan mata pencaharian mereka dengan serangkaian tantangan. Intervensi
pemerintah dan pembukaan daerah pelosok untuk mengambil kayu dan sumberdaya
mineral yang berharga telah mengubah kondisi ekonomi dan politik di tingkat daerah. Yang
paling penting bagi suku Dayak di daerah Malinau adalah dampak prakarsa pemerintah
dalam hal pemukiman kembali, nasionalisasi hutan, dan ekspansi pemerintah pusat ke
struktur politik desa.
Sebagian besar suku Kenyah yang kini bermukim di Kecamatan Malinau berasal dari
timur, dari lembah Sungai Bahau dan Punjungan. Kedatangan mereka dimulai pada tahun
1960-an diikuti migrasi massal di awal 1970-an melalui program pemukiman kembali6
pemerintah.
Hingga belum lama ini, suku Kenyah dari Bahau masih agak terisolasi sehingga
masih bisa memelihara hirarki struktur sosial mereka, dengan kedudukan politik kaum
ningratnya yang kuat di desa-desa Kenyah masa kini (Sellato, 2001). Suku Kenyah pindah
ke Malinau agar lebih dekat dengan pasar, sekolah dan manfaat-manfaat ‘pembangunan’
lainnya. Perpindahan mereka ke Malinau mengikuti tatacara adat. Selama tahun 1960-an,
para kepala desa Kenyah meminta lahan dari kepala suku Merap, yang segera menyetujui
karena persaingan untuk menguasai lahan dan kepadatan populasinya masih rendah
(Kaskija, 2002). Sebagai imbalannya, suku Kenyah membayar sebuah gong kecil sebagai
bukti nyata pengalihan hak tersebut dan persetujuan untuk mematuhi hukum adat suku
Merap.7 Dalam hal ini, peran pemerintah terbatas pada mensahkan pengalihan hak tersebut.
Melalui program pemukiman kembali, kelompok-kelompok lainnya, seperti suku Punan
dan sebagian warga desa Merap sangat didorong dan dibujuk oleh pemerintah untuk
pindah ke desa-desa yang lebih besar di tahun 1970-an dan 1980-an (Sellato, 2001). Suku
Kenyah semakin makmur sejak berada di Malinau: ‘Kuatnya struktur sosial, kepemimpinan,
dan disiplin ... serta besarnya jumlah mereka dan dinamisnya perekonomian dinamis’
memungkinkan kesuksesan ekonomi mereka dan menantang otoritas politik suku Merap
(Sellato, 2001, hal. 32).
Pemangku Kepentingan atau Identitas
di Kabupaten Malinau
Dengan desentralisasi, legitimasi di tingkat kabupaten dan desa menjadi sangat penting
untuk menciptakan, mengakses dan mengonsolidasikan penguasaan atas sumberdaya alam.
Sarana utama memperoleh legitimasi ini adalah melalui identitas, atau, lebih spesifik lagi,
dengan menetapkan dan menegaskan sikap terhadap kesamaan landasan maupun tujuan,
dan juga terhadap perbedaan yang ada. Maka seperti juga di tempat lain, istilah ‘pemangku
kepentingan’ di Malinau mungkin kurang perlu dibahas dibandingkan dengan ‘identitas
penting’, karena seorang individu bisa mempunyai beberapa identitas, yang masingmasing bersifat strategis pada waktu dan konteks tertentu tanpa dirasa bertentangan. Pada
dasarnya, aliansi di Malinau serta pengaruhnya ditentukan oleh batasan sosial sebagai
‘orang dalam’ atau ‘orang luar’. Di Malinau, identitas yang dianggap penting adalah: putra
44
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
daerah, orang asli, kelompok etnis lokal (Kenyah, Merap, Punan, Lundaye dan Tidung),
perusahaan yang didukung pemerintah kabupaten, dan para pengusaha setempat.8 Ini
semua akan dibahas berikut ini dalam konteks munculnya peluang, kendala dan konflik
karena diberlakukannya desentralisasi.
Sebelum desentralisasi, politik di Kabupaten Malinau, seperti di daerah-daerah lain,
ditandai dengan pemerintahan sangat otoriter dan terpusat di Jakarta yang memberikan izin
dan legitimasi bagi para pemegang konsesi hutan dan pertambangan, dengan mengabaikan
strategi budaya dan penghidupan para peladang gilir-balik atau warga desa lainnya
(Poffenberger, 1990; Barber dkk., 1994; Lynch dan Talbott, 1995). Karena penindasan
negara dan kurangnya peluang bagi kelompok-kelompok Dayak selama rezim Soeharto,
maka sengketa antar-kelompok suku Dayak jarang muncul menjadi isu besar yang
memerlukan intervensi pemerintah. Masa desentralisasi, meskipun penuh ketidakpastian
dan kerancuan, telah lebih membuka peluang bagi para pelaku tingkat desa dan kecamatan
untuk saling beradu pengaruh. Suara mereka sekarang didengar oleh pemerintah dan
pihak-pihak lainnya sehingga bahkan bisa mempengaruhi sektor kayu formal. Para pelaku
di tingkat kecamatan kini berusaha untuk menaikkan posisi dan bertindak strategis
dengan membuka atau memanfaatkan hubungan dengan para pelaku di tingkat desa dan
kecamatan lain. Selanjutnya, kesukuan menjadi berperan lebih penting dan lebih politis
dalam menentukan posisi seorang warga desa dalam berinteraksi dengan pihak lain.
Menunjukkan kesukuan di antara berbagai kelompok Dayak dan pihak-pihak yang
bisa mengklaim akar sejarah di daerah itu telah menjadi sarana kunci untuk menyatakan
atau mengakses kekuasaan, sehingga memperburuk dan menciptakan konflik di antara
warga desa. Dengan desentralisasi, warga desa di DAS Malinau memakai berbagai kategori
untuk mendefinisikan dan menggolongkan diri. Salah satu yang paling memecah belah
adalah pembedaan orang asli dan pendatang. Pembedaan ini digunakan oleh suku Merap,
beberapa kelompok Punan, Tidung, dan juga Lundaye, untuk mengklaim wilayah
berdasarkan hubungan sejarah dengan daerah itu. Hal ini sangat mengancam suku Kenyah
dan kelompok-kelompok lainnya yang datang ke daerah Malinau pada tahun 1960-an
dan 1970-an, karena dikotomi dan penggolongan sebagai pendatang bisa membahayakan
klaim wilayah mereka. Suku Merap yang berjumlah sedikit memang mengklaim seluruh
bagian tengah DAS Malinau berdasarkan sejarah mereka.9 Selanjutnya, suku Tidung
melalui persatuan adat mereka telah mengklaim hasil pembalakan skala kecil – IPPK (Izin
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu) – di wilayah desa-desa lain berdasarkan klaim atas
gua-gua sarang burung dan hutan di sekitarnya, yang dilegitimasi oleh dokumen-dokumen
dari zaman Belanda.10 Pada sebuah kasus, suku Tidung, bahkan menyisihkan warga desa
Gong Solok dari pembagian manfaat dari kegiatan IPPK di wilayah desa Gong Solok. Di
kasus lain, desa Setarap bermitra dengan IPPK; tetapi suku Tidung memaksa desa Setarap
menyerahkan sebagian besar keuntungan pada suku Tidung berdasarkan pembenaran yang
sama (untuk pembahasan lengkap tentang IPPK, lihat Bab 5 dan 6 buku ini).
Klaim ‘keaslian’ ini diimbangi oleh besarnya jumlah anggota suku Kenyah yang dianggap
pendatang yang tinggal di DAS Malinau serta kekuatan politik mereka di pemerintahan
kabupaten. Memang, ada ketegangan di antara suku Kenyah, Tidung dan Lundaye dalam
memperebutkan kekuasaan dan sumberdaya di kabupaten Malinau. Penyeimbangan yang
tidak mudah ini bergantung pada beberapa faktor: klaim atas keaslian, jumlah penduduk
dan sejarah hubungan antar-suku.
Suku Merap yang ‘orang asli’ tidak mempunyai pengaruh atas kelompok-kelompok
lainnya karena kecilnya populasi maupun jumlah elit sukunya. Suku Punan, yang diakui
Politik Budaya Kolaborasi
45
sebagai orang asli11 oleh kelompok lainnya, juga tidak bisa bergerak secara kolektif karena
secara historis tidak mempunyai basis kekuatan kolektif dan solidaritas. Klaim atas keaslian
mereka tidak berdampak seperti klaim keaslian suku Merap atau Tidung, kendati 12 persen
populasi Malinau adalah suku Punan dibandingkan dengan suku Merap yang hanya 2
persen.
Kategori lain yang secara politik kuat adalah putra daerah, yang merujuk pada kelompok
mana pun yang dapat membuktikan mempunyai akar sejarah di daerah itu. Para pejabat
kabupaten pada posisi paling berpengaruh adalah putra daerah. Namun batasan kategori
ini masih rancu oleh belum tepatnya definisi ‘daerah’ dan/atau ‘setempat’, serta ‘historis’.
Misalnya, Bupati dianggap putra daerah karena bersuku Kenyah Uma’ Kulit, berasal
dari Apo Kayan tetapi pindah ke Kayan Tengah di Kabupaten Bulungan. Karena orang
Kenyah,12 maka statusnya adalah putra daerah, sekalipun secara sub-suku mungkin dia
tidak termasuk dalam kategori tersebut. Contoh lainnya adalah Sekretaris Daerah (Sekda)
– yang juga dianggap putra daerah – yang secara suku adalah Lundaye dari Kerayan, yang
merupakan bagian dari Kabupaten Nunukan, di utara Malinau, tetapi mempunyai kerabat
di Kabupaten Malinau. Malinau, Bulungan dan Nunukan memang bagian dari satu
kabupaten hingga akhir 1999, maka, terkait dengan putra daerah, daerah Bulungan asli
barangkali yang paling mewakili daerah geografis. Harus diperhatikan juga bahwa putra
daerah13 adalah pengkategorian yang lebih luas daripada asli – seseorang bisa jadi adalah
putra daerah tanpa harus asli (mis. suku Kenyah di DAS Malinau). Selanjutnya, kelompok
suku lainnya seperti Tionghoa, Jawa dan Bugis tidak dianggap sebagai putra daerah tanpa
peduli telah berapa generasi mereka tinggal di Malinau. Tetapi, ada kalanya, orang yang
menikah dengan putra daerah, memperoleh status yang sama. Misalnya, seorang pengusaha
Cina setempat mengklaim dirinya sebagai putra daerah karena merupakan keturunan dari
campuran antara Cina dan Berusu, sebuah kelompok suku Dayak daerah Malinau. Sebagai
putra daerah urusan usahanya dengan desa-desa Dayak tertentu sangat dipermudah.
Pengusaha daerah, dari mana pun asalnya, ikut berperan penting dalam politik
kabupaten, terutama sebagai pedagang kayu hasil IPPK. Dalam hal ini, ‘daerah’ secara
geografis didefinisikan meliputi Tarakan, kota pelabuhan utama di Kalimantan Timur bagian
utara, dan dianggap dekat dengan para pembuat keputusan dan masyarakat setempat, serta
mapan sebelum desentralisasi. Dalam usaha kayu IPPK, para pengusaha lokal mempunyai
peran ganda: di satu sisi, mereka berfungsi mengidentifikasi wilayah hutan yang kaya
kayu komersial yang bisa diakses, dan menjadi broker dalam perjanjian panen dengan
masyarakat sekitar yang mungkin mempunyai klaim kepemilikan atas areal hutan itu. Di
sisi lain, mereka umumnya bertanggung-jawab untuk mengurus izin IPPK dan dokumen
pendukungnya dari pemerintah kabupaten. Mereka ini adalah para penghubung kunci
dan mempunyai koneksi politik kuat dengan para pejabat penting pemerintahan, yang
dalam beberapa kasus, diperkuat dengan ikatan kekeluargaan dan/atau ikatan kesukuan
(Barr dkk., 2001). Ada kalanya, para makelar kayu ini juga merupakan pedagang rotan,
gaharu, damar dan hasil hutan non-kayu (HHNK). Kebanyakan mereka sudah lama
berhubungan dengan masyarakat hutan dalam kegiatan pengumpulan produk-produk ini.
Sering kali, rumah tangga masyarakat ini berhutang besar pada para pedagang HHNK, dan
kemungkinan besar hubungan hutang semacam ini ikut menentukan perjanjian antara para
broker dengan masyarakat untuk pemanfaatan kayu IPPK. Misalnya, broker pengurus izin
IPPK untuk CV Hanura di dalam kawasan HPH Inhutani II menjabat sebagai bendahara
daerah partai Golkar, mulai tahun 1993 sampai 1998. Dia juga menjadi anggota panitia
pengawas seleksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Barr dkk., 2001).
46
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Para pengusaha ini juga memanfaatkan koneksi dengan masyarakat lokal untuk secara
tidak langsung menekan pemerintah kabupaten agar menerbitkan izin.
Para pelaku yang hanya didukung pemerintah pusat, seperti Inhutani II dan perusahaan
pertambangan Bara Dinamika Mudah Sukses (BDMS), tidak lagi dapat beroperasi
dengan aman dan terjamin seperti masa Orde Baru. Posisi tawar mereka jauh melemah,
dan untuk beroperasi, kini mereka harus melobi dan memenuhi tuntutan para pelaku
tingkat kabupaten, sekalipun tetap tidak menjamin posisi mereka. Misalnya, Inhutani
II yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diterbitkan pemerintah pusat,
menghentikan operasinya karena bersengketa dengan masyarakat lokal yang didukung
DPRD,14 tetapi menyewakan peralatan mereka untuk tujuan lain, seperti IPPK. Lebih
jauh lagi, operasi BDMS terganggu oleh demonstrasi warga desa dan pemblokiran jalan.
BDMS juga terhambat oleh lobi pemerintah kabupaten yang berhasil mendukung sebuah
perusahaan pertambangan batu bara baru yang memperoleh izin pertambangan untuk
sebagian dari wilayah yang sebelumnya telah disurvei dan ditargetkan oleh BDMS. Tetapi,
Meranti Sakti, pemegang HPH yang sudah beroperasi sebelum desentralisasi, bisa terus
beroperasi karena di masa Soeharto perusahaan tersebut memberikan tunjangan kepada
masyarakat setempat dan orang-orang yang kini berada di pemerintah kabupaten, sehingga
berhasil membangun dukungan di daerah. Selain itu, Meranti Sakti adalah konglomerat
asal Kalimantan Timur, yang membuatnya terkait dengan para pembuat keputusan
tingkat provinsi, dan berhubungan dengan militer, yang juga memberinya dukungan dari
pemerintah pusat.
Selain identitas dan/atau para pelaku yang menyediakan sarana untuk aliansi, ada
organisasi internasional yang peduli terhadap hutan dan masyarakat yang tergantung pada
sumberdaya hutan, dan terkadang juga partai-partai politik, bisa menjadi sarana untuk
membentuk, menyatakan dan menetapkan kerjasama dan aliansi untuk menggalang
kekuatan. Organisasi internasional yang patut disebutkan adalah Center for International
Forestry Research (CIFOR) dan World Wide Fund for Nature (WWF), yang peduli pada
masyarakat dan hutan. Sejak 1996, CIFOR telah melakukan penelitian yang berfokus
pada peningkatan kehidupan masyarakat dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Berbagai
penelitian CIFOR telah memberikan ‘ruang gerak’ bagi kelompok-kelompok Dayak di
Malinau yang tergantung pada sumberdaya hutan (Tsing, 1999). Hal itu memungkinkan
masyarakat lokal terhubung dengan keprihatinan global untuk hutan tropis dan masyarakat
yang tergantung pada sumberdaya hutan, serta meningkatkan dukungan internasional
atas klaim mereka (Li, 1999). Baik CIFOR maupun WWF terlibat dalam pemetaan
wilayah masyarakat desa tradisional, dengan menggunakan bahasa pemerintah, teknologi
pemetaan modern dan sistem informasi geografis (GIS) untuk menjadi dasar pengajuan
klaim atas tanah leluhur (Harwell, 2000). Meskipun hubungan dengan dua organisasi ini
sulit disebut sebagai pengaruh langsung, kenyataan menunjukkan bahwa hubungan itu
telah menyediakan sarana bagi warga desa untuk berbicara dan berpikir dengan cara-cara
tertentu untuk mengklaim hak-hak tertentu (Eghenter, 2000).
Munculnya banyak partai politik di masa pasca Soeharto menambah unsur penting
pembentukan identitas, terutama karena partai-partai politik memiliki dan menjanjikan
sumberdaya, baik yang simbolis maupun yang nyata. Partai-partai politik dan janji-janji,
baik untuk para calon maupun konstituen mereka, telah meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aliansi baru dan pecahnya aliansi lama. Misalnya, selama rezim Soeharto, suku
Kenyah hanya mempunyai satu suara yaitu mendukung partai politik Golkar, sedangkan
suara suku Lundaye lebih terpecah. Meski saat itu perolehan suara kurang berpengaruh
Politik Budaya Kolaborasi
47
terhadap pemerintahan, perbedaan perolehan suara antara suku Kenyah dan suku Lundaye
berakibat sangat berbeda di masa pasca Soeharto. Suku Lundaye lebih diuntungkan
dengan munculnya partai-partai politik dalam periode pasca Soeharto karena terbiasa
tidak bersuara seragam. Kurva pembelajaran suku Kenyah lebih curam dalam menghadapi
perpecahan suara suku, dan masih harus belajar cara ‘membaca’ para politisi suku mereka
yang mewakili berbagai partai politik, dan memahami konsekuensi terpecah­nya suara bagi
kelompok suku Kenyah secara kolektif. Hal ini dipersulit oleh kenyataan bahwa meskipun
konstituen memilih individu tertentu, yang menentukan peringkat dan siapa yang akan
duduk di kursi lembaga legislatif adalah partai. Suku Punan mengalami kesulitan besar
karena sering kali mereka terdaftar sebagai calon untuk partai politik di urutan peringkat
bagian bawah, sehingga pada hakikatnya suara mereka adalah untuk orang lain di partai
itu.
Pemerintah kabupaten sebagai mikrokosmos
ketegangan antar-suku dan pertarungan
kekuasaan
Bagian ini membahas bagaimana pemerintah kabupaten didirikan dan dikembangkan,
dengan menyoroti bahwa proses ini menandakan adanya ketegangan antar-suku yang
lebih luas. Selain itu, meski ada pertimbangan kesukuan, pembentukan pemerintahan
kabupaten sangat dipengaruhi oleh warisan Orde Baru.
Yang paling penting dan menggambarkan pergeseran identitas dan aliansi-aliansi
para pelaku di Malinau adalah pembentukan pemerintah kabupaten dan pertarungan
kekuasaan di dalamnya. Ketika Kabupaten Malinau dibentuk pada tahun 1999 dari
pemekaran Kabupaten Bulungan, Departemen Dalam Negeri mengangkat seorang
pegawai negeri yang tinggal di Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur sebagai
Bupati Sementara. Kemudian pada tahun 2000 para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten diangkat berdasarkan hasil pemilihan di Kabupaten Bulungan
pada tahun 1999 (sebelum pemekaran kabupaten). Pada tahun 2001, anggota DPRD ini
memilih Bupati yang sekarang, yaitu Marthin Billa (seorang pegawai negeri sipil karier)
dari tiga calon utama. Keputusan itu tampaknya dipengaruhi oleh kelompok-kelompok
masyarakat. Marthin Billa didukung oleh kelompok sukunya sendiri, suku Kenyah, yang
mempunyai satu suara, sedang dua calon lainnya berasal dari suku Lundaye, yang suaranya
terpecah. Selain itu, pasangan Marthin Billa dalam pencalonan itu berasal dari suku
Tidung, sehingga suara suku Tidung tidak menentangnya. Ketua DPRD juga mendukung
pencalonan Marthin Billa sebagai balas budi kepada suku Kenyah yang telah mendukung
pengangkatannya sebagai ketua DPRD. Meskipun tidak ada bukti adanya ‘politik uang’
di dalam pemilihan Bupati Malinau,15 ‘pembelian’ jabatan kepala daerah dengan uang dan
bantuan adalah rahasia umum di seluruh negeri ini.
Pandangan bahwa seseorang berasal dari dalam ‘daerah’ dan terkait dengan faksi etnis
yang berpengaruh berperan penting dalam seleksi anggota DPRD dan pemilihan Bupati.
Bahkan batas-batas pemerintahan Kabupaten Malinau, yang tidak logis baik dari perspektif
biofisik maupun pemerintahan, dibuat demi menjaga agar tidak ada kelompok suku yang
mendominasi kabupaten (Barr dkk., 2001). Batas-batas tersebut memotong Daerah Aliran
Sungai, sehingga untuk mencapai ibu kota Malinau dari beberapa tempat dibutuhkan tiga
48
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
hari perjalanan. Batas-batas itu konon dibuat agar suku Kenyah maupun Lundaye tidak
mendominasi kabupaten ini.
Sejak terpilih pada tahun 2001, Marthin Billa mengangkat pejabat pemerintahan secara
cerdik sehingga terlindung dari tuduhan memihak suku tertentu, seraya memposisikan
para sekutu secara strategis. Semua kelompok suku utama tampak terwakili dalam jabatan
senior dan berpengaruh di pemerintahan kabupaten: Bupati adalah orang Kenyah; Wakil
Bupati orang Tidung; Sekretaris Daerah orang Lundaye; dan Ketua DPRD orang Merap;
dengan Wakil Ketua DPRD orang Lundaye. Bupati juga menempatkan sekutunya dalam
jabatan politik penting dan sebagai ‘penjaga pintu’ teknis. Misalnya, Asisten Bupati untuk
masalah-masalah pembangunan (Asisten II) dan Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan
yang melakukan pembelian seperti komputer, kendaraan, dsb. keduanya adalah orang
Kenyah. Kedua posisi ini pada dasarnya tidak berpengaruh; tetapi karena kedekatan orangorang ini dengan Bupati dan sifat politik dan pemerintahan yang didasarkan atas hubungan
perorangan, kedua posisi itu menjadi penting. Dengan kata lain, meskipun dari peta resmi
birokrasi tentang peran dan tanggung jawab berbagai jabatan pemerintahan kabupaten,
jabatan ‘penjaga pintu‘ ini tampaknya dikendalikan oleh jabatan yang lebih senior, jaringan
patron-klien akan menjaga pemangku jabatan tersebut tetap dalam posisi berpengaruh.
Prakarsa pemerintah kabupaten
mengonsolidasikan kendali dan kekuasaan:
Mendekatkan pemerintahan
untuk menjauhkan masyarakat
Ada beberapa faktor yang mendorong cara kerja pemerintah. Pertama, para pejabat ‘asli
daerah’ yang berpengaruh memperoleh pendidikan pegawai negeri sipil di bawah sistem
Orde Baru dan masih sangat menjunjung nilai-nilai Orde Baru dalam ‘pembangunan/
kemajuan’, tanggung jawab ke atas dan hubungan patron-klien. Kedua, pertarungan
politik antara kelompok suku di Malinau di dalam pemerintah kabupaten. Kesamaan
‘daerah’ menyamarkan ketegangan perimbangan kekuatan ‘daerah’ yang pada gilirannya
menghambat konsolidasi pemerintahan kabupaten. Akhirnya, proses desentralisasi telah
disejajarkan dengan pengisian jabatan birokrasi kabupaten. Faktor-faktor ini sangat
mempengaruhi mutu hubungan antara pemerintah kabupaten dan konstituen semu
mereka.
Satu perubahan dramatis setelah desentralisasi adalah diikutsertakannya kelompok etnis
lokal (yang umumnya disebut Dayak) sebagai pihak yang berkuasa dalam pemerintahan
kabupaten; namun suku Dayak ini, seperti Bupati, memiliki beberapa identitas yang sering
kali bertentangan. Misalnya, ketika para pejabat pemerintah ini berbicara di luar lingkup
jabatan mereka, pola pikir dan pernyataan mereka tidak berbeda dengan para warga desa
(misalnya, bahwa perladangan gilir-balik adalah sesuai untuk daerah itu); namun begitu
mengenakan seragam, mereka berubah menjadi birokrat yang sangat dipengaruhi konsep
rezim Soeharto tentang ‘pembangunan’. Lagipula, afiliasi suku sama sekali tidak menjamin
bahwa para pejabat pemerintah dan perwakilannya bertanggung-jawab terhadap para
konstituen mereka.
Prinsip dasar pemerintah kabupaten adalah ‘pembangunan dan pertumbuhan ekonomi’
(baca modernitas). Jika diamati visi pemerintah kabupaten tentang ‘pembangunan’ dan
Politik Budaya Kolaborasi
49
‘pertumbuhan’ jelas terlihat kesamaannya dengan Orde Baru yaitu infrastruktur (jalan,
jembatan, dan bangunan), pembangunan perkebunan (kelapa sawit) dan proyek-proyek
yang penuh dengan peluang keuntungan pribadi bagi para pejabat pemerintah dan
kontraktornya. Misalnya, jalan yang dibangun menuju suatu daerah terpencil di kabupaten
yang dikatakan untuk menghubungkan warga desa dengan jaringan jalan, namun sulitnya
topografi telah menjadikannya tidak logis karena kecilnya jumlah penduduk dan potensi
produksi yang diangkut dari daerah terpencil ke Malinau Kota tidak akan bisa menutup
biaya pembuatan jalan dan perawatannya.16 Bila pun jalan tetap akan dibangun, tanggung
jawab dan biaya pemeliharaan belum disiapkan, yang semakin memperkuat anggapan
bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk mengambil kayu.
Prakarsa pemerintah kabupaten dalam ‘membangun’ kabupaten dan masyarakat
tampak seolah-olah meningkatkan efisiensi layanan dan pemerintahan; namun sangat
mirip dengan upaya Orde Baru dalam mengendalikan dan mengawasi warganya melalui
standarisasi desa. Contohnya, dalam melaksanakan prakarsa Menteri Dalam Negeri untuk
memperbaiki kemandirian dan ekonomi setiap desa di kabupaten, agar memenuhi jumlah
populasi minimum sebuah desa, pemerintah daerah menggabungkan desa-desa yang
berpenduduk kurang dari minimum, mensurvei ‘potensi’ ekonomi masing-masing desa,
dan membentuk kelembagaan untuk mengoordinasikan dan mengatur pembangunan.17
Dari satu perspektif, prakarsa ini dapat dipandang sebagai upaya pemerintah kabupaten
untuk bisa lebih melayani konstituennya; tetapi mengingat masih kentalnya warisan Orde
Baru, ada kemungkinan prakarsa ini juga merupakan sarana untuk lebih mengatur dan
mengendalikan pergerakan dan perilaku warga desa. Antara lain, setiap desa diharuskan
mempunyai Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang akan bertanggung-jawab atas
prakarsa pembangunan desa, tetapi lembaga itu harus menggalang dana dan gajinya sendiri
dengan sesedikit mungkin, atau tanpa, bantuan dari pemerintah kabupaten. Sedikit banyak,
ini adalah cara pemerintah kabupaten untuk mengelak dari fungsi dan tanggung jawabnya.
Untungnya atau sayangnya, hingga kini, prakarsa ini belum diberlakukan sepenuhnya oleh
pemerintah kabupaten.
Perwujudan lain dari lebih dalamnya keterlibatan negara dalam kehidupan warga
desa adalah pembagian kabupaten menjadi lebih banyak kecamatan, juga dengan tujuan
untuk memperbaiki layanan pemerintah dan administrasi serta meredam konflik. Tetapi
hingga kini wewenang Camat dan stafnya sangat terbatas, serta perlu diingat bahwa Camat
diangkat oleh Bupati sehingga harus bertanggung-jawab ke atas. Jadi, membuat kecamatan
baru dan birokrasi yang menyertainya bisa berdampak mempersulit dan menjauhkan
warga desa untuk mempengaruhi dan mengakses para pembuat keputusan, namun bisa
memberi kesan kedekatan dan adanya dukungan. Bagian penting dari kesulitan dan jarak
ini adalah ‘penebalan’ birokrasi yang harus ditembus warga desa. Ketika kabupaten baru
dibentuk dan desentralisasi dilaksanakan, warga desa menyatakan persetujuannya karena
merasa akan bisa mempunyai akses langsung ke para pembuat keputusan (misalnya Bupati).
Tetapi setelah pemerintah kabupaten mengisi birokrasi dan membentuk lebih banyak
kecamatan, warga diharuskan mengikuti protokol. Artinya, mereka harus membawa lebih
dulu masalah dan keluhannya ke pejabat di tingkatan lebih rendah dengan kewenangan
memutuskan terbatas, yaitu para pejabat kecamatan, yang akan berusaha memecahkan
masalah itu atau membawanya ke atasannya. Jadi, dengan mendekatkan negara ke warga,
akibatnya malah bisa menciptakan jarak di antara negara dan warga melalui penambahan
lapisan birokrasi, sedangkan pemerintah bisa lebih mengawasi dan mengatur warganya.
50
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Hubungan warga desa dengan pemerintah
kabupaten: Akses dan akuntabilitas
diletakkan pada jaringan patronasi
Sebelum desentralisasi dan bahkan sampai sekarang, hubungan antara pemerintah
daerah dan masyarakat dapat dicirikan sebagai hubungan patron-klien, tanpa mekanisme
kelembagaan yang berfungsi formal dalam hal pertanggungjawaban dan transparansi ke
bawah. Selain itu, rezim otoriter Soeharto berhasil mengerdilkan partisipasi rakyat Indonesia
dalam proses politik. Akibatnya, desentralisasi dan pengalihan wewenang pemerintah pusat
ke pemerintah kabupaten berlangsung dalam konteks di mana para pejabat pemerintah
kabupaten kurang siap, kelompok masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan masih
lemah dan kurang berpengalaman dalam proses politik demokrasi partisipatif.
Warga desa sendiri memandang hubungan mereka dengan pemerintah kabupaten
sebagai patron-klien. Misalnya, beberapa warga menyatakan sering membawa daging atau
hasil hutan kepada para pejabat pemerintah untuk memudahkan membuat janji temu
dengan para pejabat itu.
Hubungan patron-klien ini tertanam dalam beberapa struktur sosial penting. Pertama,
ideologi Orde Baru bahwa pemerintah ‘membimbing’ atau ‘membina’, dan mengarahkan
warga desa menuju ‘kemajuan’ dan ‘modernitas’ masih kuat berakar, sehingga belum
terbiasa pada gagasan bahwa warga desa mungkin lebih tahu apa kebutuhan mereka. Selain
itu, pemerintah juga berkepentingan untuk mempertahankan hubungan dan ideologi ini
karena ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ biasanya disertai proyek-proyek skala besar yang
tidak hanya membuka peluang keuntungan pribadi tetapi juga lebih mudah dikendalikan
dan dengan biaya transaksi lebih rendah. Kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya,
sejarah hubungan di antara kelompok suku (antara suku Dayak dengan non-Dayak, dan di
antara suku Dayak itu sendiri) menjadi faktor sangat penting dalam memperoleh akses ke
pejabat pemerintah. Warga desa sering mendekati pejabat pemerintah berdasarkan ikatan
suku; ungkapan yang sering terdengar di antara warga desa adalah ‘mereka orang kita’.
Jadi, suku Punan, yang nyaris tidak terwakili dalam pemerintah kabupaten, paling sulit
mendapatkan izin bertemu pejabat pemerintah. Salah satu kepala desa Punan memang
menyatakan bahwa kendala terbesar penanggulangan kemiskinan suku Punan adalah
tidak terwakilinya suku Punan di DPRD kabupaten. Ketiga, struktur sosial internal
desa tradisional, seperti para tetua, bangsawan, dan hubungan kekeluargaan berperan
penting dalam pembuatan keputusan, penyelesaian sengketa, dan pendekatan ke pejabat
pemerintah. Misalnya, di sebagian besar desa Kenyah di DAS Malinau, pemerintah desa
didominasi oleh paren, atau para keturunan ningrat. Mungkin begitu juga dengan suku
Merap, Punan, dan sedikit banyak Lundaye (lihat Rousseau, 1995, Sellato, 2001, dan
Kaskija, 2002, tentang hierarki kelompok-kelompok ini). Selain itu, suku Punan, yang
secara historis adalah klien dari para petani ladang, masih tetap sangat bergantung pada
kelompok-kelompok itu yang kini menjadi pejabat penting dalam pemerintahan setempat.
Lebih jauh lagi, para pejabat pemerintah memandang pemerintah lokal ini secara struktur
tradisional. Hubungan antara kepala desa, camat dan bupati, misalnya, digambarkan
seperti hubungan anak, bapak dan kakek.
Lembaga-lembaga di atas saling melapis dalam membentuk pemahaman penduduk
desa tentang cara mengakses pejabat dan layanan yang seharusnya diberikan pemerintah,
dan sebaliknya bagaimana pejabat pemerintah memandang warga desa. Peran pemerintah
Politik Budaya Kolaborasi
51
kabupaten dalam kerangka pemerintah yang lebih luas di Indonesia adalah tidak jelas,
dan hak serta tanggung jawab pemerintah kabupaten terhadap warga desa – konstituen
semunya – masih rancu. Oleh karena itu salah satu cara warga desa mencari dukungan di
masa pasca Orde Baru adalah protes atau demonstrasi, agar pemerintah lebih bertanggungjawab. Protes dan demonstrasi adalah hal yang umum di Indonesia, dan di Malinau,
seperti juga di tempat lain, terkadang dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh beberapa
pihak untuk menuntut kompensasi tunai berdasarkan klaim curang (lihat Bab 10, dalam
pembahasan mengenai konflik).
Para pejabat pemerintah kabupaten pada umumnya memandang hubungan dengan
warga desa sebagai hubungan timbal balik, sebagai ‘bapak’ warga desa. Namun para pejabat
pemerintah kabupaten pada umumnya tidak tahu, tidak ingin tahu dan/atau tidak mau
tahu kehendak dan aspirasi warga desa. Mereka jarang, kalaupun pernah, meminta input
dari warga desa.18 Selain itu, mereka cenderung menganggap warga desa bodoh dan tidak
mampu membuat keputusan yang ‘pintar’. Hal ini tercermin pada penolakan para pejabat
untuk membagikan buku-buku pengetahuan hukum kepada warga desa karena warga akan
‘salah memahami’ atau ‘salah menafsirkan’ isinya.19 Para pejabat pemerintah merasa lebih
pintar daripada warga desa dan lebih tahu apa yang terbaik bagi warga desa, terutama karena
mereka berasal dari daerah itu. Bagi beberapa pejabat pemerintah, persepsi ini berdasarkan
pada kenyataan bahwa mereka berkuasa, yang berarti warga desa mempercayakan nasibnya
pada mereka, maka warga desa tidak perlu memberi input kepada pemerintah. Alasan
lain mengapa para pejabat pemerintah jarang bertemu dengan warga desa, adalah untuk
menghindari keluhan dan tuntutan mereka, yang memang menjadi lebih sering dan agresif
setelah desentralisasi.
Sikap pemerintah kabupaten terhadap warga desa melekat dalam struktur kelembagaan
yang tidak menghargai tanggung jawab ke bawah. Para pejabat kabupaten juga kurang
berpengalaman dengan mekanisme ini maupun dengan proses demokrasi lainnya.
Pengalaman mereka sebagai pegawai negeri di masa rezim Soeharto adalah bagaimana
bertanggung-jawab ke atas. Struktur kepemerintahan kabupaten tidak banyak berubah
dengan transisi semu menuju desentralisasi.
Kesimpulan
Adanya legitimasi di tingkat kabupaten dan desa menjadi sangat penting untuk
menciptakan, mengakses dan mengonsolidasikan kekuasaan atas sumberdaya alam.
Sarana utama pewujudan legitimasi ini adalah dengan mengidentifikasi dan menyatakan
kesepemahaman atas landasan dan tujuan bersama dan juga terhadap perbedaan.
Jadi, di Malinau, seperti di daerah lainnya, istilah ‘pemangku kepentingan’ mungkin
kurang bermakna, dan lebih perlu memahami ‘identitas penting’. Pada dasarnya, aliansi di
Malinau dan posisi-tawar yang menyertainya bergantung pada batasan sosial masyarakat
sebagai ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’. Para pelaku di tingkat kabupaten memang
berusaha untuk menaikkan posisi mereka dan bertindak strategis dengan menciptakan
hubungan baru, atau melalui hubungan lama dengan para pelaku lainnya di tingkat desa
dan kabupaten. Kendati desentralisasi telah menciptakan peluang agar suara masyarakat
lokal didengar oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya, namun konflik internal maupun
antar-masyarakat, baik masalah lama maupun yang baru, jauh lebih terbuka dan lebih
banyak karena terbukanya peluang oleh desentralisasi. Kebanyakan konflik ini berakar
52
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
pada kesukuan, yang memang lebih penting dan lebih politis dalam mengatur status dan
posisi warga desa saat berhubungan dengan pihak lain.
Selain itu, organisasi-organisasi internasional yang peduli terhadap hutan dan
kehidupan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya hutan dan partai-partai politik
terkadang juga bisa menjadi sarana yang berguna dalam membentuk, menyatakan dan
menetapkan kerja sama dan aliansi untuk menaikkan kekuasaan atas sumberdaya, secara
simbolis maupun nyata.
Bersama dengan pembentukan aliansi dan identitas ini, pemerintah kabupaten
berusaha untuk mengkonsolidasikan kendali dan kekuasaan, menjaga jarak dari tuntutan
masyarakat dengan lebih mendekatkan birokrasi kepada warga; tetapi juga harus
menghadapi ketegangan antar-suku di dalam tubuh pemerintahan. Para pejabat kabupaten
yang berpengaruh, meskipun asli daerah, sudah terdidik sebagai pegawai negeri dalam
sistem Orde Baru dan masih sangat menganut nilai-nilai Orde Baru tentang ‘pembangunan/
kemajuan’, pertanggungjawaban ke atas, dan hubungan patron-klien. Pertarungan politik
antar suku di Malinau terjadi di dalam pemerintah kabupaten, persatuan kedaerahan bisa
menyelimuti ketegangan dan rentannya keseimbangan yang menghambat konsolidasi di
tingkat pemerintah kabupaten. Terakhir, birokrasi pemerintah kabupaten telah tumbuh
dan menyebar bersama dengan proses desentralisasi.
Hubungan patron-klien masih memainkan peran penting, terutama dari perspektif
warga desa dalam hubungan mereka dengan pemerintah. Sampai sekarang, hubungan
antara pemerintah daerah dan masyarakat masih dapat dicirikan sebagai hubungan patronklien, tanpa mekanisme kelembagaan yang berfungsi formal dalam pertanggungjawaban
dan transparansi ke bawah. Selain itu, rezim otoriter Soeharto berhasil mengerdilkan
pentingnya partisipasi rakyat Indonesia dalam proses politik. Jadi, desentralisasi dan
pengalihan wewenang ke pemerintah kabupaten setelah desentralisasi berlangsung dalam
konteks di mana para pejabat pemerintah kabupaten kurang siap, kelompok masyarakat
sipil dan para pemangku kepentingan masih lemah dan kurang berpengalaman dalam
proses politik demokrasi partisipatif.
Catatan
1 Menurut Li (2002, hal.417):
… untuk mempertemukan proyek-proyek yang dituntut warga pedesaan
dengan kendala dan peluang yang ada, dibutuhkan konsep yang kokoh
mengenai pelaku, seperti ekonomi politik berorientasi budaya yang
dikembangkan oleh William Roseberry. Roseberry (1989) menyatakan
bahwa ekonomisme, analisa hubungan produksi formal saja, baik internal
desa maupun antara produsen di pedesaan dengan formasi sosial yang
lebih besar, adalah kurang memadai untuk memahami perubahan agraria.
Konsep itu harus diperdalam dengan mengeksplorasi manusia pelakunya,
yang dapat dipahami secara historis sebagai produk tekanan transnasional,
proses regional pembentukan kelas, dan konstelasi kekuasaan lokal. Secara
ekonomi, pelaku terwujud dalam strategi pencaharian dan sasaran mereka.
Secara politis, pelaku dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk militansi (atau
kepasifan) yang dilakukan pada saat tertentu. Secara budaya, hal itu terasa
dalam bagaimana dan mengapa mereka melakukan suatu hal, dan kerangka
kerja di mana di dalamnya mereka menyatakan hak dan membuat klaim.
2
Politik Budaya Kolaborasi
53
Perdagangan HHNK dengan Cina tercatat dalam arsip Cina sekitar 1000 M (Sellato,
2001).
3 Damar adalah getah dari pohon keluarga Dipterocarpaceae dan ‘digunakan untuk membuat
korek api, pernis, dan terpentin’ (Peluso, 1983).
4 Ada perbedaan pendapat mengenai sejauh mana dan sifat keterlibatan Belanda di pedalaman.
Whittier (1973, hal. 38) menyatakan bahwa di Apau Kayan, Belanda ‘kurang keras dalam
merubah gaya hidup suku Kenyah, kecuali untuk pengayauan dan peperangan.’ Sellato
(2001) mempunyai pendapat yang sama tentang suku Merap di Malinau, dan kurang
menekankan pengaruh pengayauan dan peperangan serta perbudakan. Menurut King
(1993, hal. 158-159), penghapusan itu mengakibatkan kekuasaan dan pengaruh beralih ke
Belanda dari para pemimpin daerah asli yang mencari ‘cara-cara lain dalam kemajuan dan
kepemimpinan’.
5 Rousseau (1990, hal.198) menyatakan bahwa ‘undang-undang kolonial menyebabkan
stabilisasi kepemimpinan dengan mengendalikan jabatan-jabatan politis’.
6 Pemerintah tidak memaksa secara langsung masyarakat di dataran tinggi untuk bermukim
kembali di daerah ini. Warga desa sendiri yang berinisiatif untuk pindah, sedangkan dalam
kasus lain, pemerintah sangat mendorong pemukiman kembali.
7 Kaskija (2002) menyatakan bahwa hal ini bukan pindah-tangan kepemilikan, tetapi lebih
merupakan pemberian hak pakai. Terlepas dari hal itu, semua kelompok yang pindah ke
hulu dan hilir Malinau mengakui kepemilikan wilayah Merap dan meminta tanah dari
mereka.
8 Masing-masing identitas ini adalah bagian dari dikotomi yang membentuk dan memelihara
batas antara ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’; putra daerah versus orang luar; asli versus
pendatang; setempat versus dari tempat lain; dan pemerintah kabupaten versus pemerintah
pusat.
9 Kita harus mencatat di sini bahwa suku Merap itu sendiri datang ke DAS Malinau sekitar
120 tahun lalu; maka klaim mereka berdasarkan sejarah adalah relatif (Sellato, 2001).
10 Kasus Tidung adalah pelajaran dalam kaitannya dengan seringnya terjadi klaim berdasarkan
sejarah ‘yang disalahgunakan’ dan sifat klaim ini yang kental dengan persaingan. Meskipun
mengakui klaim gua-gua sarang burung, dokumen-dokumen Belanda itu sama sekali tidak
menyebutkan klaim atas hutan sekitarnya, sesuai dengan pola saat itu yang tidak menunjuk
batas dengan tepat dalam kaitannya dengan klaim lokal karena tanah yang ada luas sekali
dan komoditas tertentu merupakan sumberdaya langka. Saat itu tidak ada batas wilayah
yang ‘tegas’ dan ‘pasti’ bagi masyarakat setempat. Masalah tidak adanya batas pasti, kini
muncul ketika para pemilik gua sarang burung ditanya tentang sampai sejauh mana klaim
mereka atas wilayah hutan di sekitar gua-gua itu. Beberapa pemilik, dengan seenaknya
menyatakan bahwa luasnya sampai sejauh suara gong yang dipukul dari gua dapat didengar.
Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar gong yang dipukul dan
seberapa keras gong itu dipukul. Para pemilik tersebut kesulitan menjawab pertanyaanpertanyaan ini.
11 Suku Punan tiba di suku Daerah Aliran Sungai Malinau mungkin sebelum atau bersama
dengan suku Merap (lihat Kaskija, 2002).
12 Karena dilahirkan di desa Naha Kramo, sekarang bagian dari Malinau, maka hal itu juga
memperkuat ‘keaslian’-nya.
13 Pengamatan kami menunjukkan bahwa istilah putra daerah mencakup aspek-aspek tempat
lahir, silsilah, tempat tinggal untuk waktu yang lama dan pengakuan orang lain sebagai
putra daerah. Misalnya, sekretaris daerah Malinau berasal dari Krayan dan keluarganya
juga berasal dari daerah itu; tetapi karena masyarakat di desa-desa di Malinau – Tanjung
Lapang, Pulau Sapi dan Sempayang – mendukung dia sebagai putra daerah, maka dia
diterima sebagai Sekretaris Daerah. Sebaliknya, ada orang yang juga berasal dari Krayan
54
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
tetapi tidak diterima oleh masyarakat Lundaye di Malinau, maka dia ditolak untuk
menduduki jabatan Ketua BAPPEDA.
14 Anggota DPRD dan para pejabat pemerintah lokal mempunyai lebih banyak peluang
penghasilan dan keuntungan pribadi dengan IPPK daripada dengan HPH. Dalam kasus
Inhutani II, perusahaan kayu milik negara ini memegang konsesi yang sebagian besar
tumpang-tindih dengan wilayah klaim ayah ketua DPRD, yang juga Kepala Adat Besar.
15 Seorang anggota lembaga legislatif ditawari uang untuk memilih calon tertentu (R. Iwan,
komunikasi pribadi, 2003).
16 Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jumlah individu dan potensi produk yang
diangkut antara Malinau Kota dan daerah-daerah terpencil itu tidak membenarkan biaya
pembangunan dan perawatan jalan. Rute yang dipilih juga melalui daerah-daerah yang
mempunyai kayu bernilai tinggi dan berhenti di tengah jalan karena hambatan topografi.
17 Perubahan pemerintahan dan undang-undang ini terjadi karena disahkannya UU
No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun UU tidak menetapkan bahwa
struktur desa di seluruh negeri harus seragam, dan seharusnya ditetapkan berdasarkan
kondisi setempat, para pejabat pemerintah daerah jarang melaksanakannya karena kurang
berpengalaman dan tidak pernah dilatih untuk melakukannya. Meskipun sebenarnya
UU ini dan peraturan-peraturan lainnya tampak progresif dan partisipatif, namun dalam
kenyataannya tidak demikian, karena kurangnya peraturan pelaksanaan, pelatihan staf
pemerintah dan dukungan dana. Lihat Antlöv (2003) untuk analisa lengkap mengenai
peluang dan kendala demokratisasi politik tingkat desa dengan disahkannya UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah.
18 Dalam pemilihan tingkat kabupaten yang lalu, warga memilih partai politik dan bukan
calon. Partai yang menang kemudian memutuskan siapa yang mengisi posisi yang
dimenangkan partai. Warga desa memilih lembaga legislatif kabupaten, yang kemudian
memilih Bupati untuk disetujui oleh pemerintah pusat. Sistem ini tidak kondusif untuk
pertanggungjawaban ke bawah. Sistem itu diubah pada tahun 2004 menjadi memilih
calon langsung, bukan partai.
19 ‘Salah memahami’ dan ‘salah menafsirkan’ diartikan sebagai warga desa tidak menafsirkan
undang-undang seperti yang diinginkan oleh pemerintah kabupaten. Contoh keengganan
pemerintah menyebarkan literatur pengetahuan hukum terkait dengan laporan singkat
yang memberi informasi tentang masalah hukum tertentu. CIFOR telah membuat
rancangan laporan singkat ini dan meminta masukan dari pemerintah kabupaten, lalu
hendak disebarkan bagi warga desa setelah dikoreksi berdasarkan komentar dari pemerintah
kabupaten.
Rujukan
Antlöv, H., 2003. Village government and rural development in Indonesia: The new democratic
framework, Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol 39, no 2, hal.193–214.
Barber, C., Johnson, N. C. dan Hafild, E., 1994. Breaking Through the Logjam: Obstacles
to Forest Policy Reform in Indonesia and the United States, World Resources Institute,
Washington, DC.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Communities in Malinau District, East Kalimantan, Studi kasus mengenai desentralisasi
dan hutan di Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Politik Budaya Kolaborasi
55
Eghenter, C., 2000. Memetakan Hutan Rakyat: Peran Pemetaan Partisipatif Dalam Perencanaan
Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat, Biodiversity Support Program,
Washington, DC.
Harwell, E., 2000. Remote sensibilities: Discourses of technology and the making of Indonesias
natural disaster, Development and Change, vol 31, no 1, hal.307–340.
Kaskija, L., 1999. Stuck at the Bottom: Opportunity Structures and Punan Malinau Identity,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Kaskija, L., 2002. Claiming the Forest: Punan Local Histories and Recent Developments in
Bulungan, East Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia.
King, V. T., 1993. The Peoples of Borneo, Peoples of South-East Asia and the Pacific, Blackwell
Publishers, Oxford.
Li, T. M., 1999. Compromising power: Development, culture and rule in Indonesia, Cultural
Anthropology, vol 14, no 3, hal. 295–322.
Li, T. M., 2002. Local histories, global markets: Cocoa and class in upland Sulawesi, Development
and Change, vol 33, no 3, hal. 415–437.
Lynch, O. J. dan Talbott, K., 1995. Balancing Acts: Community-Based Forest Management
and National Law in Asia and the Pacific, World Resources Institute, Washington, DC.
Peet, R. dan Watts, M., 1996. Liberation ecology: Development, sustainability, and environment
in an age of market triumphalism, dalam Peet, R. dan Watts, M. (penyunting), Liberation
Ecologies: Environment, Development, Social Movements, Routledge, London.
Peluso, N. L., 1983. Markets and Merchants: The Forest Product Trade of East Kalimantan in
Historical Perspective, MA thesis, Cornell University, Ithaca, NY.
Poffenberger, M. (penyunting), 1990. Keepers of the Forest: Land Management Alternatives in
Southeast Asia, Kumarian Press, Hartford.
Roseberry, W., 1989. Anthropologies and Histories: Essays in Culture, History, and Political
Economy, Rutgers University Press, New Brunswick and London.
Rousseau, J., 1990. Central Borneo: Ethnic Identity and Social Life in a Stratified Society,
Clarendon Press, Oxford.
Sellato, B., 1994. Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of
Settling Down, University of Hawaii Press, Honolulu, HI.
Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement,
Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Tsing, A., 1999. Becoming a tribal elder, and other green development fantasies, dalam Li, T. M.
(penyunting) Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production,
Harwood Academic Publishers, London.
Warren, J. F., 1981. The Sulu Zone, 1768–1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and
Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State, Singapore University
Press, Kent Ridge.
Whittier, H. L., 1973. Social Organization and Symbols of Social Differentiation: An
Ethnographic Study of the Kenyah Dayak of East Kalimantan (Borneo), PhD thesis,
Michigan State University, East Lansing.
4
Keanekaragaman Hayati, Lansekap
dan Sumber Penghidupan:
Sebuah perspektif lokal
Douglas Sheil, Miriam van Heist, Nining Liswanti, Imam Basuki,
Meilinda Wan, dibantu oleh masyarakat dari Paya Seturan, Long
Lake, Punan Rian, Langap, Laban Nyarit,
Long Jalan, Liu Mutai dan Gong Solok
Perlunya upaya konservasi di Kalimantan
Masyarakat di seluruh dunia memprihatinkan hilangnya hutan di Kalimantan beserta
isinya yaitu berbagai spesies unik satwa dan tumbuhan. Hutan hujan tropis itu secara
global sangat penting bagi berlimpahnya jenis dan endemisme (spesies yang tidak ada di
tempat lain) (Whitmore, 1986). Beberapa kajian global mutakhir memperkirakan hutan
Kalimantan menyimpan lebih banyak spesies tumbuhan dibanding­kan kawasan lain (Kier
dkk, 2005). Meskipun dengan terbatasnya data di kebanyakan kawasan Kalimantan,
setidaknya terdapat 37 spesies burung, 44 mamalia darat dan lebih dari sepertiga dari
perkiraan seluruh tumbuhan sebanyak 10,000 sampai 15,000 spesies hanya terdapat di
pulau ini (MacKinnon dkk, 1996). Dengan semakin banyaknya kawasan hutan yang rusak
dan bahkan hilang, semakin besar pula ancaman bagi spesies-spesies tersebut.
Sampai saat ini eksplorasi biologi di Malinau masih sedikit, seperti kebanyakan wilayah
Kalimantan Timur lainnya. Para konservasionis menduga lansekap perbukitan berhutan
di dekat Taman Nasional Kayan Mentarang (Sorensen dan Morris, 1997; Wulffraat dan
Samsu, 2000) juga memiliki nilai konservasi biologi yang tinggi – kaya dengan berbagai
populasi spesies yang statusnya terancam di tempat lain,1 seperti Beruang madu (Ursus
malayanus) dan macan dahan (Neofelis nebulosa). Namun informasi dari luar kawasan
58
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Taman Nasional relatif jarang dan terlokalisasi (Puri, 1998, 2001; Fimbel dan O’Brien,
1999; Gomez Gonzalez, 1999).
Daerah Malinau merupakan bagian dari ekosistem hutan yang relatif masih utuh bagi
banyak spesies Kalimantan. Meskipun berpenduduk, populasi di kawasan ini umumnya
kecil dan tersebar (kepadatan kurang dari 1 orang per kilometer persegi). Hutan primer
mendominasi lansekapnya, dengan beberapa bekas peladangan gilir-balik dan pertumbuhan
sekunder. Sama seperti daerah lainnya di Kalimantan, lansekap di Malinau mengalami
perubahan sangat cepat. Hal ini sangat mempengaruhi nilai daerah ini bagi masyarakat
lokal dan para konservasionis dunia. Pandangan para konservasionis, pembalak, dan
pemodal perkebunan kelapa sawit sudah banyak diketahui, namun pendapat dan keinginan
masyarakat lokal yang seringkali terlewatkan. Tulisan ini akan mengulas hal-hal tersebut.
Pelimpahan wewenang ke tingkat kabupaten telah memperbesar kendali pemerintah
lokal atas tata guna lahan, dan kondisi lokal pun berubah seketika (Barr dkk, 2001; Sheil
dkk, 2006). ‘Malu’ yang berasal dari prasangka umum tentang ‘primitif ’-nya kehidupan
masyarakat hutan masih menghambat komunikasi dalam topik-topik semacam ini (Sheil
dkk, 2006).
Dengan berkembangnya demokrasi lokal, terbukalah peluang baru cara mengendalikan
dan mengelola lahan dan sumberdaya. Namun pola pikir yang ada mungkin tidak bisa
mengikuti perubahan – contohnya, perencanaan tataguna lahan masih belum berupa proses
konsultatif yang efektif. Tidak hanya para politisi dan pegawai pemerintah saja, semua
pihak yang terlibat dalam kebijakan konservasi perlu didorong untuk lebih berkonsultasi
dengan masyarakat lokal.
Perlunya menggali persepsi masyarakat lokal
Adakah cara agar upaya konservasi bisa memberi manfaat, bukannya hambatan bagi warga
Malinau? Bagaimana caranya dan apa yang perlu kita ketahui serta lakukan? Yang diperlukan
adalah pemahaman terhadap kebutuhan lokal serta dasar-dasar ekologi konservasi, dan
cara-cara agar hal itu bisa lebih mempengaruhi pembuatan kebijakan yang berdampak
pada kehidupan masyarakat Malinau dan hutannya yang kaya dengan keragaman hayati.
Mengungkap jasa-jasa dan manfaat yang ada dalam lansekap tropis, serta analisa biaya
lokal yang disebabkan kesalahan kebijakan ataupun strategi manajemen merupakan awalan
penting untuk memunculkan pilihan yang lebih berwawasan. Mengungkapkan keinginan
lokal akan membuatnya lebih sulit diabaikan. Prinsip yang melandasi upaya kami adalah
keyakinan bahwa hasil konservasi tidak hanya berasal dari luasnya wilayah lindung,
ataupun hanya bagi kaum konservasionis profesional saja; namun keanekaragaman hayati
perlu dijaga di kawasan peruntukan lain. Hal itu menuntut kerjasama masyarakat lokal
dan pengusaha kayu serta para pemangku kepentingan lainnya yang juga mencerminkan
ragam persepsi serta pilihan mereka.
Bab ini mengulas persepsi masyarakat lokal atas keanekaragaman hayati dan pendekatan
penelitian kami yang memberikan struktur kerangka kerja membangun pemahaman
bersama sebagai landasan kegiatan. Pemahaman bersama itu akan mendorong diskusi lebih
mendalam di antara para praktisi pembangunan, pembuat kebijakan maupun masyarakat
kehutanan. Sasaran utamanya adalah kebijakan yang lebih berwawasan tentang tataguna
lahan, untuk meningkatkan konservasi hutan dan melindungi kepentingan masyarakat
lokal, serta menyiapkan penggunaan dan konservasi hutan tropis secara lebih bijaksana.
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
59
Penelitian ini mencatat lansekap dan keanekaragaman hayati di hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS) Malinau untuk menjelaskan kebutuhan dan prioritas masyarakat lokal.
Penelitian ini terdiri dari tiga komponen:
1 mengenali spesies, habitat dan lokasi khusus apa, terdapat di mana;
2 mengenali siapa penggunanya dan seberapa dibutuhkannya; serta
3 mengenali cara mempertahankan nilai tersebut di masa depan.
Setelah dirangkum, ketiga elemen tersebut menjelaskan berbagai prioritas lokal tentang
keanekaragaman hayati dan implikasinya yang lebih luas.
Kami mengamati tujuh kelompok suku Merap dan Punan (lihat Tabel 4.1); yang
mewakili perbedaan budaya di DAS Malinau. Perbedaan paling mencolok di antara
kedua kelompok itu adalah adanya penguatan sejarah atas kebiasaan suku Merap di
bidang perladangan, sementara suku Punan yang semi-nomadik lebih sebagai pemburu
dan pengumpul. Secara politik suku Merap lebih aktif, sedangkan suku Punan kurang
menonjol. Pada beberapa dekade ini pemerintah berusaha memukimkan suku Punan
dengan mendorong kegiatan pertanian mereka.
Pertemuan pendahuluan dengan setiap komunitas dilakukan bersama seluruh anggota
tim, namun pada sebagian besar kegiatan para peneliti dibagi dalam dua kelompok. Tim desa,
didampingi beberapa asisten lokal, melaksanakan pertemuan komunitas untuk melakukan
diskusi kelompok, survei rumah-tangga dan wawancara. Mereka mengumpulkan berbagai
informasi tentang penilaian, kebutuhan, budaya, kelembagaan dan aspirasi komunitas
lokal, serta mengamati pengetahuan dan persepsi serta keterkaitan warga dengan lansekap.
Beberapa informan kunci dilibatkan untuk mengidentifikasi dan menunjukkan hasil-hasil
dan satuan luasan hutan lokal.
Tabel 4.1 Survei pengukuran persepsi masyarakat tentang keanekaragaman hayati
Masyarakat
Gong Solok I
Wilayah adat
(km2)b
324
Jumlah Kepala
Keluarga/KK
44
Jumlah penduduk Etnis utamad
208
Merap
Paya Seturana
22c
13
116
Merap
Punan Riana
22c
9
39
Punan
Langap
469
99
415
Merap
Laban Nyarit
256
29
138
Merap dan Punan
Liu Mutai
370
11
53
Punan
Long Jalan
748
31
114
Punan
Catatan:
a Kedua komunitas ini diteliti paling awal. Karena adanya perbaikan metodologi, tidak semua data yang diperoleh bisa
dibandingkan dengan hasil penelitian selanjutnya.
b Ini adalah angka perkiraan tidak resmi, beberapa batas wilayah masih dalam sengketa.
c Kawasan ini dipakai bersama oleh suku Paya Seturan dan Punan Rian, meskipun sebenarnya menggunakan kawasan lebih
luas (lahan klaim kelompok Langap jarang mereka kunjungi)
d Secara umum, dilakukan berbagai upaya untuk tetap membedakan identitas etnis pada pengumpulan data, meskipun
terkadang hal ini sulit dilaksanakan, misalnya pada pertemuan komunitas.
Sumber: Survei CIFOR yang dilaksanakan pada tahun 1999 dan 2000 (cifor.cgiar.org/mla)
60
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Tabel 4.2 Kategori-guna yang digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat kepentingan lansekap
Kategori
Penjelasan (berdasarkan uji coba)
Pangan
Makanan utama dan sekunder, termasuk untuk masa paceklik
Obat
Berkaitan dengan pengobatan dan kesehatan
Konstruksi ringan
Tiang dan kayu untuk pondok, kemah dan pagar
Konstruksi berat
Tiang dan kayu untuk rumah tinggal
Konstruksi perahu
Kayu untuk perahu (tidak termasuk dayung dan galah)
Peralatan
Bagian tumbuhan untuk peralatan bertani, berburu, berperahu, termasuk
sumpit, tombak, dayung, galah, penumbuk gabah, dan gagang peralatan
Kayu bakar
Bahan bakar
Keranjang/anyaman
Tali, anyaman tikar, dan lain-lain.
Ornamen/upacara
Upacara, pakaian, perhiasan
Barang dagangan
Hasil-hasil hutan yang dijual atau dipertukarkan
Peralatan berburu
Racun, umpan, dan perekat untuk menangkap satwa
Tempat berburu
Tumbuhan sebagai pemikat satwa berharga tinggi yang secara tidak
langsung meningkatkan nilai lokasi perburuan.
Rekreasi, mainan dan
peralatan bermain
Kawasan atau hasil hutan yang dimanfaatkan untuk kesenangan dan tempat
bermain
Masa depan
Umum (tidak dijelaskan secara rinci)
Lainnya
Kolom ini untuk manfaat lain yang belum terkategorikan (responden bisa
menambahkan hal-hal yang sebelumnya terabaikan) (hal-hal yang tidak
tergolong dalam kategori 1 sampai 14)
Sumber: Sheil dkk, 2002
Pemberian skor, dikenal sebagai Pebble Distribution Methods (PDM), digunakan untuk
mengkuantifikasi nilai penting berbagai produk dan satuan lansekap. Pengkategorian dalam
PDM ini, dan juga dalam penilaian penggunaan tumbuhan maupun lokasi lapangan,
disajikan di Tabel 4.2. Pengkategorian ini merupakan karya bersama para peneliti dengan
dua komunitas yang diteliti paling awal, dan terbukti bisa diterima dan diterapkan di
semua komunitas lainnya. Untuk selanjutnya di bab ini kami akan merujuk nilai-nilai ini
sebagai ‘kategori-guna’.
Pemberian penilaian dilakukan untuk mengukur nilai kepentingan relatif berbagai
unit lansekap (lahan dan jenis hutan) dan penggunaan khususnya. Tiap komunitas
diwakili oleh empat sub kelompok berdasarkan usia; kecuali di desa campuran etnis Laban
Nyarit, pengelompokannya menjadi Merap dan Punan, laki-laki dan perempuan, tidak
berdasarkan usia. Penilaian didasarkan pada persepsi ‘tingkat penting relatif secara umum’
yang dinyatakan melalui pembagian 100 biji penghitung (manik-manik, kancing baju, biji
jagung atau korek api). Pengukuran ini bersifat subyektif dan penilaiannya tidak diukur
dalam satuan standar ekonomi atau mata uang. Dengan metode ini kami menganggap
bahwa ‘kepentingan’ dapat dinyatakan dalam suatu pemeringkatan holistik kecenderungan
relatif, tanpa terkaitkan dengan karakteristik finansial ataupun ekonomi tertentu, untuk
menghindari kerancuan antara nilai tunai dengan nilai kepentingan. Istilah harga, ongkos,
uang, mahal, dan murah, misalnya, akan bisa dihindari, dan lebih menekankan konsep
‘nilai’ (general value), ‘manfaat’ (usefulness), dan ‘arti penting’ (importance).
Pada setiap pemberian penilaian, skor (atau rata-rata skor) dijumlahkan menjadi
100 sehingga bisa dipandang sebagai persentase relatif dari seluruh kepentingan yang
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
61
meliputi berbagai hal. Untuk memudahkannya maka skor tersebut disebut sebagai ‘tingkat
kepentingan’.
Tim lapangan mengunjungi dan menilai lokasi-lokasi sampel dan mencatat berbagai
sifat lokasi, termasuk tumbuhan dan kondisi tanah, dengan cara ilmiah maupun menurut
persepsi warga lokal. Keterbatasan logistik membuat kami tidak bisa mensurvei lokasi yang
sangat jauh dari desa. Faktor-faktor pemilihan lokasi antara lain meliputi penutupan lahan,
pemanfaatan, kondisi topografi, ketinggian, serta adanya karakteristik khas tanah dan
tempat-tempat khusus (seperti bekas desa, mata air asin, dan tumbuhan batuan kapur).
Kami berupaya memasukkan tempat-tempat yang dianggap penting oleh masyarakat
lokal, yang mungkin memiliki biota terbatas. Untuk itu dilakukan pemetaan bersama
untuk menentukan lahan-lahan khusus dan mengunjunginya. Diperoleh 200 titik dengan
koordinat geografis, mencerminkan lingkungan lokal dalam rentang yang luas, terutama
tentang berbagai tipe hutan (lihat gambar 4.1).
Deskripsi lengkap tentang metode, beberapa panduan tentang latar belakang penelitian,
analisa dan pengolahan data, telah diterbitkan (Sheil dkk, 2002, 2003a, 2003b, 2004) dan
dapat diperoleh secara gratis atau on-line melalui website Center for International Forestry
Research (CIFOR) dalam bahasa Indonesia, Inggris, Spanyol dan Perancis (http://www.
cifor.cgiar.org/mla/_ref/ina/publications/index.htm).
Guna membangun pemahaman lebih lengkap tentang berbagai spesies di Malinau
serta dampaknya terhadap pengelolaannya, kami mengkaji sangat banyak informasi dari
Tempat khusus
di hutan sekunder
Hutan primer
14%
Tempat khusus
di hutan alami
Perkebunan
28%
11%
6%
15%
5%
Pertanian
14%
7%
Bekas ladang
muda
Bekas ladang
tua
Sumber: Sheil dkk, 2002
Gambar 4.1 Penyebaran sample menurut kelas keadaan lahan
Hutan
62
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
berbagai sumber lain. Proses ini banyak membantu penyusunan prinsip-prinsip pengelolaan
lahan dan hutan yang ‘ramah kehidupan-liar’ dan mengungkap celah pengetahuan yang
masih perlu diteliti lebih dalam (Meijaard dkk, 2005, 2006). Kegiatan kami di Malinau
juga menggunakan berbagai cara untuk bisa menyajikan hasil-hasil yang penting kepada
semua pihak yang berkepentingan (lihat sub-bab ‘Pilihan lokal bagi tindakan lokal’)
Persepsi lokal
Sub-bab berikut ini berfokus pada persepsi lokal, pemberian skor berbasis-desa dan
beberapa aspek kegiatan lapangan yang berkaitan dengan pandangan lokal, serta sintesa
dan rangkuman atas perbedaan hasil-hasilnya. Rincian lebih jauh dapat diperoleh di
website CIFOR (www.cifor.cgiar.org/mla/_ref/result/index.htm) dan di buku Sheil dkk
(2006), Sheil dan Liswanti (2006) dan Liswanti dkk (2004).
Mata pencaharian dan perilaku
Wawancara terhadap setiap tumah-tangga dan berbagai informan kunci memberikan
banyak informasi tentang masyarakat di tujuh komunitas serta pandangan dan aspirasi
mereka; beberapa hasil utamanya dirangkum dalam Tabel 4.3. Kebanyakan rumah-tangga
menganggap diri mereka sebagai ‘petani’ (353 dari 576 rumah-tangga); ‘pengumpul
gaharu’2 (85 dari 576) dan ‘buruh’ (kehutanan/pertambangan; 46 dari 576). Meski banyak
kesulitan, kebanyakan warga menilai kehidupan mereka membaik dalam lima sampai
sepuluh tahun terakhir ini (87 menyatakan meningkat, 22 menyatakan memburuk, dan
28 menyatakan tidak meningkat ataupun memburuk).
Sejarah komunitas seringkali cukup rumit. Masing-masing kelompok beberapa kali
berpindah lokasi dalam beberapa dekade lalu, sering kali disebabkan oleh peperangan antar
etnis, namun sudah mereda dalam setengah abad terakhir. Banjir, penyakit dan kegagalan
panen masih menjadi penyebab umum perpindahan wilayah. Beberapa dasawarsa terakhir,
pemerintah telah berhasil mendorong beberapa kelompok masyarakat (ataupun sebagian
di antaranya) untuk meninggalkan wilayahnya yang terpencil dan menetap lebih dekat
dengan Kota Malinau.
Unit lansekap
Bagaimana penilaian warga atas berbagai tipe lahan dan hutan (selanjutnya disebut sebagai
’unit lansekap’) mereka? Tabel 4.4 merangkum skor penilaian mereka terhadap berbagai
tipe dan unit hutan, menunjukkan rata-rata skor tertinggi per penilaian. Untuk sebagian
besar kegunaan, tidak hanya para pengguna kayu, semua responden menganggap hutan
paling penting. Sungai lebih dinilai sebagai tempat untuk ‘rekreasi’ (kebanyakan untuk
memancing) dan hutan sekunder untuk sumber kayu bakar; namun hutan primer yang
belum ditebang (rimba) dianggap paling penting. Hasil kajian tidak selalu intuitif; namun
akan terjelaskan lebih rinci melalui diskusi dengan warga komunitas. Warga Langap yang
petani handal pun menilai hutan lebih tinggi daripada lahan pertanian. Bagi mereka, hutan
adalah sumber terpenting bahan baku obat-obatan dan kayu, dan bahwa lahan hutan juga
bisa menjadi ladang sementara.
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
63
Tabel 4.3. Saran masyarakat tentang tindakan untuk mengatasi masalah lingkungan
Respon dari penduduk lokal /jumlah total responden
di setiap komunitasa
n=
Lg
LN
LJ
LM
GS I
30
32
30
14
31
Tindakan yang akan dilakukan jika sumberdaya hutan rusak atau terkuras habis
Penanaman kembali
1
4
3
–
1
Perlindungan terhadap pohon – larangan
menebang pohon
4
3
7
4
2
Melarang orang luar memasuki kawasan
milik komunitas
–
–
2
–
–
Menjaga hutan sebagai kawasan lindung
atau hutan adat
1
2
2
1
9
Membatasi areal tebang perusahaan
3
7
1
–
8
Menanam tanaman pangan
16
13
–
3
3
Tidak tahu
6
5
13
6
6
Faktor-faktor penting untuk mempertahankan nilai hutan
Burung, karena menyebarkan benih hutan
4
–
17
1
4
Kelelawar, karena menyebarkan benih hutan
–
–
1
–
–
Satwa liar sebagai warisan bagi keturunan
1
2
3
–
1
Pohon buah sebagai warisan bagi keturunan
4
11
5
–
13
Pohon beringinb (Ficus spp) terkait dengan
mitologi
–
–
2
–
–
Pohon gaharu (Aquilaria spp), Sagu
(Eugeissona utilis), kayu merantib (Shorea
sp), pohon damarb (Agathis borneensis), dll,
karena nilainya bagi masyarakat lokal
2
1
3
–
1
b
Pohon Kempasb (Koompassia excelsa)
4
5
1
1
3
Pohon di kawasan hutan adat
–
1
–
–
2
Tidak tahu
17
13
9
12
11
Catatan:
Lg = Langap; LN = Laban Nyarit; LJ = Long Jalan; LM = Liu Mutai; GS = Gong Solok.
Karena adanya perubahan kuesioner, data dari Paya Seturan dan Punan Rian tidak dapat diperbandingkan.
a Setiap responden diperbolehkan memberikan respon sebanyak mungkin
b nama Indonesia.
Sumber: Hasil kajian tim peneliti Botani dan Ekologi Hutan
Jika diamati lintas komunitas, akan diperoleh hasil yang sama. Dari sisi kepentingan
secara umum, ada sedikit variasi di antara komunitas dalam penilaian terhadap hutan atau
lahan pertanian. Semuanya setuju bahwa hutan layak memperoleh skor tertinggi.
Kepentingan berdasarkan waktu
Pemberian penilaian lainnya adalah untuk mengukur tingkat kepentingan hutan di masa
lalu, kini, dan masa depan, serta kepentingan relatif setiap kategori-guna. Ada variasi besar
di antara responden namun hasil rata-rata (lihat Tabel 4.5) menunjukkan meningkatnya
peran relatif hutan dari hasil kayu, hasil yang bisa dijual dan rekreasi, serta berkurangnya
peran relatif sebagai sumber obat-obatan, kayu bakar dan konstruksi ringan. Hal ini bisa
5.9
11.4
13.4
7.4
13.5
6.6
8.0
21.1
100
Lokasi bekas
kampung
Kebun
Sungai
Rawa
Ladang
Jekau muda
Jekau tua
Hutan
Total
10.1
15.8
18.9
23.8
100
Hutan bekas
tebangan
Hutan
sekunder
Hutan rawa
Hutan
pegunungan
Total
Sumber: Hasil kajian tim peneliti
Catatan:
jekau = bekas ladang
31.4
Hutan alam
Tipe hutan:
12.7
Kampung
Unit Lansekap:
100
30.0
11.3
11.2
8.8
38.8
100
20.9
5.5
6.4
14.4
6.8
15.5
13.9
6.5
10.2
100
27.8
12.7
15.1
8.2
36.3
100
35.6
8.4
5.8
4.7
5.7
11.1
8.4
4.8
15.5
100
20.6
12.1
23.0
8.6
35.6
100
38.3
27.0
1.7
1.8
9.2
11.0
4.7
4.8
1.4
100
29.4
10.0
4.0
5.9
50.7
100
71.2
4.9
1.3
1.8
9.2
6.7
1.1
1.5
2.3
100
28.5
15.5
2.0
4.6
49.5
100
73.1
4.7
0.8
0.9
11.5
7.8
0.2
0.8
0.3
100
30.9
14.6
4.8
5.1
44.7
100
61.4
12.1
2.0
0.4
10.6
8.9
0.3
2.5
1.8
100
9.3
10.1
35.6
15.9
29.1
100
23.9
13.8
10.0
17.0
3.9
19.0
8.6
2.2
1.6
100
24.8
14.7
15.6
5.9
39.0
100
49.6
17.5
3.5
1.1
7.9
10.7
2.5
4.5
2.7
100
20.8
12.1
26.8
10.0
30.3
100
33.3
14.3
3.3
0.8
3.8
15.6
10.5
5.3
13.2
100
36.4
12.4
7.1
8.4
35.8
100
29.8
2.5
3.6
12.3
4.4
14.6
16.9
6.7
9.2
100
28.7
13.7
9.1
4.9
43.5
100
53.4
14.5
1.5
0.7
5.6
7.9
4.5
5.0
7.0
100
29.0
15.6
11.8
7.3
36.5
100
37.5
14.9
5.1
7.5
7.3
14.5
7.0
6.0
0.1
100
23.8
18.2
15.3
8.4
34.3
100
24.5
3.2
0.3
12.4
1.5
26.6
11.7
2.1
17.8
100
19.3
13.7
23.6
12.7
30.7
100
21.5
10.5
8.0
10.4
7.2
8.5
15.9
4.9
13.0
Kategori Nilai Total
Makanan Obat- Konstruksi Konstruksi Konstruksi Peralatan Kayu Anyaman/ Hiasan/ Benda Peralatan Tempat Rekreasi Masa
keseluruhan
obatan ringan
berat
perahu
bakar tali
adat/
yang
berburu berburu
depan
ritual
bisa
dijual
Tabel 4.4 Nilai tengah kategori-guna per unit lansekap dan per tipe hutan untuk semua kelompok di ketujuh kelompok masyarakat
64
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
65
dipandang sebagai pergeseran dari mengantisipasi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan
tradisional, menjadi sasaran materi dan ekonomi. Yang menarik adalah peran hutan di
masa lalu yang dinilai lebih rendah daripada masa depan. Para informan menjelaskan hal
itu karena di anggapan masa lalu bahwa ‘hutan sudah ada sejak dulu’ tanpa menyadari
ketergantungan mereka terhadapnya, sebuah pengakuan terhadap subyektivitas pengukuran
ini.
Sumber alternatif bagi tumbuhan dan satwa bernilai tinggi
Penilaian PDM berikutnya adalah menanyakan bagaimana penilaian warga terhadap
sumberdaya tumbuhan dan satwa liar dibandingkan dengan beternak atau membelinya
(lihat Tabel 4.6).
Tabel 4.5 Rata-rata skor kepentingan hutan di masa lalu, kini dan masa depan (dari ketujuh komunitas)
30 tahun lalu
Masa kini
20 tahun mendatang
Total
31.3
32.0
36.8
100
12.1
11.9
10.2
8.5
8.1
4.7
Konstruksi ringan
10.1
7.8
5.4
Konstruksi berat
7.7
8.4
14.2
Konstruksi perahu
5.5
7.0
7.5
Peralatan
5.4
5.4
7.0
Kayu bakar
7.5
7.2
5.2
Anyaman/tali
7.5
6.4
6.6
Hiasan/adat/ritual
5.1
6.6
4.7
Benda yang bisa dijual
6.7
8.1
8.7
Peralatan berburu
6.6
6.6
5.4
Tempat berburu
8.4
7.7
6.4
Rekreasi
2.8
3.1
5.1
Masa depan
6.1
5.7
9.0
100
100
100
Seluruh nilai
Tiap kategori nilai:
Makanan
Obat-obatan
Total
Sumber: Hasil kajian tim peneliti
Diperoleh hasil mengejutkan, ternyata bahkan para petani padi ladang di Langap dan
Gong Solok pun mengakui ketergan­tung­an cukup besar pada sumberdaya tumbuhan dan
satwa liar. Skor rata-rata untuk ketujuh komunitas menunjukkan bahwa hampir separuh
(48 persen) dari seluruh tingkat kepentingan hasil tumbuhan dan satwa yang mereka nilai
berasal dari alam; angkanya tidak pernah lebih kecil dari 40 persen, bahkan di komunitas
yang mayoritas petani pun. Hasil kajian di desa Langap (Merap) dan Long Jalan (Punan)
telah banyak membantu menjelaskan pentingnya pemberian penilaian ini: warga Long
Jalan yang lokasinya terpencil menilai tingkat kepentingan hasil hutan dari alam lebih
tinggi daripada masyarakat Langap, dan sebaliknya pada tanaman budidaya dan satwa
ternak. Suku Punan di Long Jalan relatif bergantung pada pembelian beras dan pangan –
dari hasil penjualan gaharu (Aquilaria spp) dan beberapa spesies burung seperti Pycnonotus
zeylanicus dan Buceros rhinoceros. Bagi mereka relatif lebih mudah mendapatkan protein
66
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Tabel 4.6 Rata-rata skor kepentingan berbagai tumbuhan dan satwa menurut ketujuh komunitas (setiap
hasil merupakan rata-rata dari keempat sub-kelompok)
Asal tumbuhan
dan satwa:
Long Jalan
Liar (dari
hutan)
Liar (dari
tempat
lain)a
19.75
7.75
Budi
daya
16.25
Beli
Liar
(dari
hutan)
14.25
Liar (dari
tempat
lain)a
21.75
12.25
Ternak
Beli
8
0
8.25
Liu Mutai
4.75
10.25
27
8
18.5
12.25
11
Punan Rian
15.5
10.5
16
6
15.5
15.5
15
6
Paya Seturan
7.75
10
25
7.75
14.5
13
16.5
5.5
Laban Nyarit
9.75
6
18.75
8
15.5
12.75
22
7.25
Langap
8.5
12.5
28
7.5
10.25
9.5
18.75
5
Gong Solok
10.75
9.5
25.75
10.5
10.25
12.75
14.75
5.75
Nilai tengah
11.0
9.5
22.4
8.9
15.2
12.6
15.1
5.1
Catatan:
a Perlu dicatat bahwa banyak hasil alam dari luar hutan namun dikenal bergantung pada hutan – contohnya, kebanyakan
perburuan berlangsung di daerah terbuka dan di pinggiran ladang, dan nilai guna berburu itu melekat pada areal
tersebut; namun responden menyadari bahwa satwa buruan berasal dari hutan, namun lebih mudah memburunya di
lokasi non hutan.
Sumber: Hasil kajian tim peneliti
satwa dengan berburu dan memancing. Pola itu cukup masuk akal dan memperkuat
keyakinan kami bahwa pola-pola itu bisa mengungkap hal-hal yang cukup penting.
Kajian terhadap masing-masing kategori nilai memberikan gambaran lebih lengkap:
Tabel 4.8 memuat ringkasan lima spesies yang memiliki nilai tertinggi per kategori.
Pentingnya tumbuhan
Banyak jenis kegunaan khusus untuk tumbuhan tertentu yang tercatat dalam survei
lapangan (18,058 catatan), termasuk 2141 pemanfaatan/nilai tunggal untuk sekitar 1457
spesies. Dari jumlah tersebut, 779 berupa pohon dan 620 berupa perdu dan pemanjat.
Jumlah kegunaan khusus untuk setiap kategori-guna diilustrasikan pada Gambar 4.3
Kategori ‘konstruksi ringan’ dan ‘tempat berburu’ (jenis tumbuhan sebagai bahan makanan
satwa buru) merupakan daftar spesies yang terpanjang.
Secara keseluruhan, 119 spesies yang tercatat pemanfaatannya hanya bisa didapat
dari tumbuhan itu saja. Menurut para informan, manfaat khusus spesies tersebut tidak
tergantikan oleh spesies lain – yang bearti bahwa hilangnya spesies itu akan bisa mengurangi
kesejahteraan masyarakat setempat. Spesies seperti itu meliputi sekitar 85 famili tumbuhan.
Data tersebut terutama pada kategori hiasan/ritual, obat-obatan, dan peralatan (37, 28,
dan 25 spesies) dan lebih banyak dilaporkan oleh informan dari suku Merap daripada
suku Punan. Tidak tercatat ada pemanfaatan eksklusif dalam kategori konstruksi atau
pembuatan perahu, meskipun jumlah ‘spesies terbaik’ untuk konstruksi bangunan sangat
terbatas.
Diperoleh perspektif berbeda dari hasil plot. Pada Gambar 4.4, proporsi jumlah total
spesies-berguna di-plot berdasarkan tipe sampel dan kesukuan informan. Kebanyakan plot
memiliki proporsi spesies-berguna yang cukup tinggi.
30.1
25.2
14.8
13.7
12.6
11.7
10.1
9.8
9.8
9.1
12
16
28
30
34
45
48
49
50
53
Elmerrillia tsiampacca
Sindora leiocarpa
Shorea pinanga
Agathis borneensis
Calamus caesius
Arenga undulatifolia
Licuala valida
Lutung banggat
Rusa (sambar
Babi jenggot
Beruang madu
Landak
Pelanduk / Kancil
Rangkong gading
Rangkong badak
Tiong emas
Kijang
Pangan, barang yang bisa dijual, peralatan, hiasan/ritual (obat)
Pangan, barang yang bisa dijual (obat)
Obat, hiasan/ritual (pangan)
Obat, pangan
Pangan, obat,Food, pasar
Hiasan/ritual, barang yang bisa dijual, obat
Hiasan/ritual, barang yang bisa dijual, (pangan)
Barang yang bisa dijual, hiasan/ritual
Pangan, barang yang bisa dijual ,hiasan/ritual, (obat)
Pangan, peralatan, obat, barang yang bisa dijual,
Cervus unicolor
Sus barbatus
Ursus malayanus
Hystrix brachyura
Tragulus javanicus/ T.napu
Buceros vigil
Buceros rhinoceros
Gracula religiosa
Muntiacus muntjak
Presbytis hosei
Table 4.7b Sepuluh hewan terpenting
Kayu dao
Kayu puspa
Kayu tengkawang
Kayu agathis (damar)
Rotan sega
Aren
Palas biru
Sumber: Hasil kajian tim peneliti
73.8
62.1
42.2
39.1
36.6
32.6
32.2
Dryobalanops lanceolata
91.7 Kayu kapur
4
5
6
7
8
9
10
3
Shorea parvifolia
94.9 Kayu meranti
Kategori nilai
Konstruksi, peralatan berburu, peralatan, barang yang bias dijual, konstruksi ringan,
barang hiasan/ritual (kayu bakar)
konstruksi, konstruksi perahu, peralatan, daerah berburu, barang yang bias dijual,
konstruksi ringan (kayu bakar)
Konstruksi,,peralatan, tempat berburu, barang yang bisa dijual, konstruksi ringan,
konstruksi perahu
Konstruksi, konstruksi perahu, peralatan, barang yang bisa dijual, (konstruksi ringan)
Konstruksi, tempat berburu, peralatan, konstruksi perahu (konstruksi ringan)
Konstruksi, tempat berburu, konstruksi perahu, peralatan, barang yang bisa dijual
Konstruksi, peralatan, barang yang bisa dijual, peralatan (konstruksi ringan)
Anyaman/tali, barang yang bisa dijual, hiasan/ritual
Peralatan berburu, pangan, tempat berburu
Anyaman/tali, konstruksi ringan, hiasan/ritual
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Hutan Primer
Hutan Primer
2
Eusideroxylon zwageri
98.5 Kayu ulin
Jekau tua
Jekau tua
1
Jekau muda
Jekau muda
Table 4.7a Sepuluh tanaman terpenting
Nama
Nama ilmiah
Perkebunan
Perkebunan
rawa
rawa
Pinggiran
sungai
Pinggiran
sungai
peringkat
peringkat
Bekas
pemukiman
Bekas
pemukiman
LUVI
LUVI
Lokasi khusus
Lokasi khusus
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
67
9.5
7.4
7.3
7.2
6.8
6.4
6.2
6.2
6.0
5.6
4.7
3.8
Barang dagangan
Kontruksi perahu
Masa depan
Lokasi berburu
Obat-obatan
Kayu bakar
Kontruksi ringan
Peralatan
Anyaman/ tali
Peralatan berburu
Hiasan/ upacara
Rekreasi
Sumber: Hasil kajian tim peneliti
Catatan:
N.A. = tidak berlaku
Score
12.0
11.0
Kategori Nilai
Kontruksi berat
Pangan
Daun kelapa
N.A.
Pohon kecil
Vitex pinnata
Pohon kecil
Elmerrillia tsiampacca
Kayu
Calamus caesius
Rotan
Antiaris toxicaria
Getah dari kulit kayu
Cocos nucifera
Babi jenggot
Aquilaria beccariana/ A.
malaccensis
Gaharu
Hopea dryobalanoides
Kayu
N.A.
Dryobalanops lanceolata
Pohon buah
Ursus malayanus
Empedu beruang
Vitex pinnata
Spesies 1
Eusideroxylon zwageri
Kayu besi
Sus barbatus
Palma
N.A.
Kayu besi
Palaquium gutta
Getah (untuk lem)
N.A.
Lithocarpus sundaicus
Pohon buah
Aristolochia sp.
Tanaman merambat
Nephelium ramboutan-ake/ N.
mutabile
Pohon buah kecil
Schizostachyum brachycladum?
Bambu
Dryobalanops lanceolata
Kayu
Korthalsia echinometra
Rotan
Arenga undulatifolia
Lidi daun untuk panah
Licuala valida
Sagu
Eusideroxylon zwageri
Spesies 2
Dryobalanops lanceolata
Kayu
Arenga undulatifolia
Rusa (tanduk)
N.A.
Pohon
Phrynium parvum
Herba
Eusideroxylon zwageri
Kayu besi
Licuala valida
Palma
Eusideroxylon zwageri
Kayu (untuk sumpit)
Cervus unicolor
Kayu
Shorea parvifolia
Kayu Meranti
N.A.
Ficus sp.
Ara
Hystrix brachyura
Duri landak
Cephalomappa lepidotula
Rusa sambar
Dryobalanops lanceolata
Spesies 3
Shorea parvifolia
Kayu Meranti
Cervus unicolor
Rotan
N.A.
Pohon
Licuala valida
Palma
Agathis borneensis
Kayu agatis
Pandanus sp.
Pandan
Eugeissona utilis
Pohon sagu (panah)
Calamus caesius
N.A.
Elmerrillia tsiampacca
Kayu
N.A.
Shorea pinanga
Pohon buah
Phyton reticulatus
Minyak ular (Piton)
Tristaniopsis whiteana
Sagu
Ikan
Spesies 4
Elmerrillia tsiampacca
Kayu
Eugeissona utilis
Tabel 4.8 Lima spesies dengan skor tertinggi di setiap kategori-guna (nama Latin dan deskripsi umum dalam bahasa Indonesia)
Pohon
Macaranga gigantea
Pohon pionir
Shorea parvifolia
Kayu meranti
Calamus javensis
Rotan
Sindora leiocarpa
Kayu
Cyclemys dentata / Notochelys
platynota
Kura-kura
N.A.
Kayu meranti
Alseodaphne ceratoxylon
Kayu
N.A.
Shorea parvifolia
Pohon buah
Formicidae
Sarang semut
Lithocarpus cantleyanus
Spesies 5
Sindora leiocarpa
Kayu
Durio sp. termasuk Durio
zibethinus
Buah durian
Shorea parvifolia
68
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
69
Hutan primer
Hutan sekunder
Bekas ladang tua
Bekas ladang muda
Perkebunan
Pertanian
Tempat khusus alami
Tempat khusus sekunder
Sumber: Hasil kajian tim peneliti.
Gambar 4.2 Peta lokasi sampel, berdasarkan tipe dan komunitas
Akhirnya, pertanyaan berikutnya adalah: apakah vegetasi yang spesiesnya lebih banyak
juga lebih banyak dimanfaatkan? Jawabnya tegas: ‘ya’ (lihat Gambar 4.5). Proporsi spesiesberguna secara kasar berbanding lurus dengan jumlah spesies keseluruhan (hubungan
monotonik ini sangat nyata, P < 0,001, menurut jenis vegetasi pohon dan bukan pohon
pada kelompok informan dari suku Merap maupun Punan).
70
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Kategori nilai
Total spesies tumbuhan
0
200
400
600
Pangan
Obat
Kontruksi ringan
Kontruksi Berat
Pembuatan perahu
Peralatan
Kayu bakar
Anyaman/ tali
Keseluruhan
Merap
Hiasan/adat/ritual
Punan
Benda yang bisa dijual
Berburu
Tempat berburu
Rekreasi
Sumber: Hasil kajian dari tim peneliti.
Gambar 4.3 Jumlah total manfaat khusus spesies yang tercatat, berdasarkan kategori kegunaan
Pentingnya hutan bagi masyarakat
Hasil kajian ini menunjukkan besarnya keanekaragaman hayati di hutan Malinau dan
sangat pentingnya bagi penghuni di sekitarnya. Ketujuh komunitas sampel hidup dari
lahan; semua mempertukarkan beberapa komoditas; dan tidak satupun yang mandiri dalam
hal pangan. Namun semua komunitas itu, termasuk yang paling berorientasi pertanian,
umumnya menilai tinggi tingkat kepentingan sumberdaya hutan dan alam liar.
Tidak semua kawasan hutan dinilai setara. Nilai setiap tempat berbeda-beda dengan
alasan yang rumit. Di dalam lansekap ini, tanah terbaik dan sumberdaya yang paling
bernilai tidak tersebar merata. Beberapa sumberdaya, seperti gua sarang burung, sangat
terlokalisir. Susutnya populasi pohon gaharu (Aquilaria spp) menjelaskan mengapa kini
hanya bisa diperoleh di lokasi terpencil dan sulit dijangkau. Sejarah yang rumit tentang
perpindahan pemukiman dan interaksi antar komunitas tercermin pada persepsi masyarakat
setempat. Sejarah ini sangat mempengaruhi pola pengetahuan, klaim kepemilikan lahan,
serta nilai-nilai pribadi dan warisan masa lalu. Sebuah penelitian lebih rinci tentang tingkat
kepentingan aspek ruang, dilakukan di Liu Mutai dan dimuat dalam artikel Lynam dkk
(2007) dan Cunliffe dkk (2007). Hasilnya tidak bertentangan dengan penelitian ini, namun
menunjukkan bahwa jarak dan pencapaian – faktor yang umumnya dianggap sebagai
‘biaya’ untuk memperoleh nilai dari sebuah lokasi – hanya berpengaruh kecil terhadap
penilaian suku Punan terhadap sebuah lokasi.
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
Pohon
71
Bukan Pohon
1
Proporsi spesies bermanfaat
1
Punan
Merap
Tempat alami
di hutan alami
Punan
Tempat khusus Merap
di hutan sekunder Punan
Pertanian
Punan
Perkebunan
Merap
Punan
Merap
Bekas ladang muda
Merap
Punan
Bekas ladang tua
Punan
Merap
Merap
Hutan sekunder
Merap
Punan
Hutan primer
Punan
Merap
Tempat alami
di hutan alami
Punan
Pertanian
Tempat khusus Merap
di hutan sekunder Punan
Punan
Perkebunan
Merap
Punan
Bekas ladang muda
Merap
Punan
Merap
Bekas ladang tua
Punan
Rata-rata = 0.64
0
Merap
Merap
Hutan sekunder
Hutan primer
Merap
Rata-rata = 0.88
Punan
0
Kelas sampel dan kelompok etnis
Sumber: Hasil kajian studi ini
Gambar 4.4 Proporsi jumlah spesies-berguna menurut jenis sampel dan suku informan
Pohon
Bukan Pohon
1
= Bermanfaat menurut Punan
= Bermanfaat menurut Merap
0.5
0
20
0
40
0
Total spesies
100
Total spesies
Sumber: Hasil kajian studi ini
Gambar 4.5 Proporsi tumbuhan berguna menurut jumlah spesies secara keseluruhan
Hutan bekas tebangan dan hutan asli
Hutan asli dinilai sebagai lahan paling penting (lihat Tabel 4.4). Hutan bekas tebangan dinilai
rendah oleh masyarakat lokal. Beberapa alasannya antara lain menyusutnya sumberdaya
utama, berkurangnya pencapaian fisik, dan berkurangnya hak untuk mengaksesnya. Sangat
relevan bahwa tujuh dari sepuluh spesies terpenting adalah pohon kayu. Bahkan bila warga
lokal memiliki hak menebang, maka kayu terbaik biasanya sudah terambil lebih dulu dan
kerusakan yang ditimbulkannya pada hutan lebih menyulitkan pencapaian. Babi hutan
72
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
adalah sumber protein utama dan kini lebih sulit dicari setelah ada pembalakan. Faktor
utamanya adalah pembersihan seluruh tegakan bawah setelah penebangan pohon.
Praktik pembersihan tegakan bawah di blok tebangan telah merugikan masyarakat
lokal dan juga keanekaragaman hayati. Peraturan Menteri Kehutanan (2007) tentang
penebangan kayu (TPTI dan TPTII) mewajibkan pembalak untuk berkali-kali melakukan
penebasan tumbuhan bawah dan pemanjat – termasuk spesies-berguna dan berharga
seperti rotan – untuk membantu regenerasi di dalam wilayah konsesi. Hasil observasi
menunjukkan bahwa pembersihan tegakan–bawah sudah berlangsung secara luas di
Malinau. Bahkan bila diterapkan secara benar pun, manfaat silvikulturnya masih diragukan
padahal dampaknya terhadap keanekaragaman hayati sangat besar. Hal itu juga sangat
merusak dan memerosotkan nilai hutan bagi masyarakat lokal secara tidak perlu. Kebijakan
pembersihan tegakan-bawah ini sebaiknya dicabut (Sheil dkk, 2006).
Melihat lebih dekat kategori-guna lansekap
Berikut ini kita amati berbagai kategori-guna secara terpisah. Sub bab ini menghimpun
dan mensintesiskan semua informasi dari berbagai hasil penelitian terhadap ketujuh
komunitas ini.
Makanan
Hutan umumnya dipandang sebagai sumber pangan terpenting. Hutan asli dan hutan
pegunungan dinilai tinggi dari sisi pangan; sedangkan hutan bekas tebangan bernilai
rendah. Kebanyakan masyarakat tidak berharap ada penurunan pemenuhan kebutuhan
pangan dari hutan pada masa mendatang, namun sudah melihat bahwa akan ada masalah.
Dalam daftar spesies satwa liar sumber pangan paling utama, babi hutan (Sus barbatus),
lebih sulit didapat di areal bekas tebangan. Beberapa bahan pangan di masa paceklik,
seperti sagu, sudah menyusut tanpa perlu akibat pembalakan. Eugeissona utilis, jenis sagu
terpenting yang umumnya tumbuh di pematang bukit seringkali rusak oleh jalan sarad.
Palem-paleman Eugeissona dan Arenga berada pada lima jenis pangan hutan terpenting,
bersama dengan rusa Sambar (Cervus unicolor) yang berbeda dengan babi hutan – lebih
umum ditemukan di hutan yang terganggu – hasil pengamatan yang juga didukung oleh
beberapa kajian ekologi (Meijaard dkk, 2005). Berbagai pohon buah juga ada di antara
spesies terpenting (Durio spp, Parkia spp, Nephelium spp, Musa spp, Diplazium spp,
Artocarpus spp, Mangifera spp dan Baccaurea spp). Banyak spesies satwa yang dianggap
sumber pangan, tergolong satwa dilindungi (a.l. burung rangkong). Tercatat 476 manfaat
pada survei tumbuhan, namun hanya 12 yang memiliki manfaat khusus, yaitu kelompok
makanan utama dengan manfaat kedua sebagai obat atau untuk tujuan ritual. Rata-rata
jumlah spesies per plot dengan nilai manfaat pangan umumnya di bawah 20 persen di
semua lansekap, kecuali di kebun-kebun.
Bahan baku obat-obatan
Meskipun semua lansekap menyediakan sumber bahan obat, lahan hutan jauh lebih
penting, menyumbang lebih dari sepertiga dari semua nilai. Lebih dari 15 persen bahan
obat berasal dari kebun atau desa. Hutan bekas tebangan di peringkat rendah. Masyarakat
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
73
umumnya menduga bahan obat dari hutan akan tinggal setengahnya dalam dua dekade
mendatang. Tanpa terduga, dan berlawanan dengan kebanyakan kategori-guna, beberapa
jenis satwa terdapat di antara spesies bahan obatan-obatan, termasuk beruang hutan,
landak (keduanya hewan dilindungi), ular piton dan semut. Dari 336 manfaat sebagai
tumbuhan obat yang tercatat dari survei lapangan, 28 disebutkan hanya untuk spesies itu
saja, dan hanya satu yang dilaporkan oleh informan dari suku Punan. Tumbuhan dengan
manfaat obat biasanya tidak umum dan jarang ditemukan di petak sampel, menyumbang
kurang dari 10 persen tumbuhan bukan kayu dan kurang dari 5 persen spesies pohon di
kebanyakan lokasi sampel. Selain itu, beberapa spesies tercatat rentan terhadap pembersihan
tumbuhan-bawah.
Kayu konstruksi ringan
Perbaikan pondok dan kemah sementara lainnya adalah bagian kehidupan harian masyarakat
Malinau. Hutan dinilai tinggi sebagai sumber bahan untuk itu, namun sebagian besar
pilihan spesiesnya sangat banyak, dan setiap tempat yang berpohon menyediakan kayu
ringan dan daun untuk berteduh. Memang, lebih dari 510 manfaat spesies dalam kategori
ini dan tidak terbatas pada spesies tertentu.
Kayu konstruksi berat
Terutama hutan primer yang masih asli, merupakan sumber terpenting material konstruksi
berat, memiliki lebih dari 70 persen tingkat kepentingan dalam kategori ini. Pada
umumnya masyarakat menduga ketergantungan mereka terhadap material bangunan
dari hutan akan meningkat pada dekade mendatang. Mereka menyebutkan sebuah
konflik dengan pemegang konsesi yang membatasi akses ke banyak spesies penting. Kayu
ulin (Eusideroxylon zwageri) adalah spesies terpenting bagi masyarakat. Saat survei ini
dilakukan, pohon tersebut dilindungi bagi masyarakat lokal oleh hukum nasional, namun
nilai pasarnya sangat tinggi. Selain itu, para pengusaha di Malinau sudah dikenal sering
melanggar larangan menebangnya (saat ini statusnya masih dilindungi, tetapi resminya
larangan tersebut juga berlaku bagi masyarakat lokal). Spesies kayu lain yang bernilai
tinggi dan dibutuhkan masyarakat (a.l. Dryobalanops lanceolata dan Shorea parvifolia) juga
dicadangkan untuk konsesi kayu. Masyarakat mengambil kayu tersebut dari hutan secara
diam-diam, karena hal itu termasuk ‘pembalakan ilegal’. Nilai ini sudah merosot di daerah
bekas tebangan. Bisa dicatat bahwa kami juga menemukan bahwa ulin dan berbagai spesies
lain relatif banyak di hutan yang belum pernah ditebang,
Konstruksi perahu
Hampir tiga perempat dari kepentingan untuk bahan konstruksi perahu berasal dari hutan
(73 persen) dan sebagian besar sisanya (20 persen) dari daerah rawa atau tepian sungai.
Nilai kepentingan hutan asli sebagai penghasil kayu untuk perahu ini lebih dari sepuluh
kali nilai hutan bekas tebangan. Pembuat perahu lokal menyebutkan bertambah lamanya
waktu untuk mencari jenis kayu dan dempul yang sesuai di dekat wilayah perusahaan
hutan. Dalam hal ini terjadi konflik atas spesies kayu yang disukai dan dibutuhkan karena
beberapa di antaranya ditebang habis oleh pemegang konsesi (a.l. Hopea dryobalanoides
dan disebutkan delapan spesies Shorea lainnya). Survei lapangan mencatat 203 manfaat
spesies tumbuhan untuk kategori ini, tidak ada yang dikhususkan untuk spesies tertentu.
74
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Peralatan
Hutan, terutama yang asli dan yang di gunung, adalah sumber terpenting bahan pembuat
peralatan. Semua spesies terpenting yang tercatat dalam kategori ini adalah pohon kayu
(a.l. Agathis borneensis, Dryobalanops lanceolata dan Shorea parvifolia) dan sudah sangat
berkurang di daerah bekas tebangan. Hanya dua spesies hewan yang tercatat (Cervus
unicolor dan Presbytis hosei). Pada survei lapangan, tercatat 399 manfaat spesies tumbuhan
untuk bahan peralatan, 25 di antaranya bersifat khusus untuk spesies tertentu.
Kayu bakar
Seperti pada kategori konstruksi ringan, hutan memiliki nilai tinggi sebagai sumber
material kayu bakar; tetapi umumnya pilihan jenisnya cukup banyak dan semua daerah
berpohon bisa menghasilkan kayu bakar. Berbeda dengan kepentingan lain hutan sekunder,
kayu bakar merupakan kategori guna yang hampir eksklusif, mungkin karena kayu untuk
konstruksi ringan juga terdapat di dalam dan sekitar bekas ladang tua. Pada kategori ini
tercatat 469 spesies pohon yang dinilai.
Anyaman/tali
Hutan adalah yang terpenting di kategori ini, mencakup separuh dari rata-rata nilai
kepentingan. Jenis yang terpenting mencakup spesies palem dan pandan: Calamus caesius,
Korthalsia echinometra dan Calamus javensis serta daun-daunan dari Licuala valida dan
Pandanus spp berukuran besar. Pada survei lapangan, tercatat 151 spesies tumbuhan, hampir
semuanya spesies monokotil. Banyak dari spesies ini terkena dampak negatif penebasan
tegakan bawah. Hutan bekas tebangan memiliki nilai kepentingan kecil di kategori ini.
Hiasan/ritual
Hutan di Malinau adalah sumber terpenting produk hiasan dan produk ritual, termasuk
hewan dan tumbuhan. Beberapa spesies tumbuhan termasuk umum dijumpai: janur kelapa
(Cocos nucifera) untuk dekorasi dan daun-daunan L. valida dan C. caesius untuk hiasan.
Namun, beberapa spesies binatang yang bernilai, termasuk macan gunung, beruang, dan
burung enggang adalah spesies yang dilindungi hukum. Dari survei lapangan tercatat 96
manfaat spesies tumbuhan, 37 di antaranya dikhususkan untuk spesies tertentu. Banyak di
anatara spesies ini hilang atau rusak oleh akibat penebasan tumbuhan-bawah.
Produk yang dapat dijual
Hutan, terutama hutan asli pegunungan, adalah sumber terpenting untuk produk yang
dapat dijual, dan gaharu (Aquilaria spp) adalah spesies paling menonjol pada kategori ini.
Masyarakat setempat mengenal dua spesies gaharu yang saling melengkapi: spesies dari
dataran rendah (Aquilaria beccariana) dan jenis berdaun kecil dari daerah pegunungan
(kemungkinan A. malacennsis). Perlu dicatat bahwa tidak semua pohon memiliki nilai. Nilai
gaharu hanya dari resin yang diperoleh di sebagian kecil pohon, dan agaknya dihasilkan
sebagai respon pohon terhadap infeksi jamur. Resin pada kayu yang mengandung resin
itulah yang diperdagangkan sebagai kayu gaharu. Pencari gaharu yang ahli hanya akan
mengambil pohon yang terinfeksi: tetapi mereka yang tidak ahli (termasuk pendatang,
pegawai perusahaan pembalakan yang mencari uang tambahan) seringkali menebang pohon
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
75
sehat demi mencari resin tersebut. Pohon gaharu yang besar sangat jarang diketemukan,
tapi anakan Aquilaria cukup banyak dan sering dijumpai selama survei.
Yang menarik, rotan dan sarang burung yang dianggap hasil hutan komersil penting di
pedalaman Kalimantan, meskipun tercatat tetapi skornya tidak terlalu tinggi. Sedangkan
spesies kayu dan ikan memiliki skor yang paling tinggi setelah kayu gaharu. Di antara
spesies tambahan di dalam penilaian ‘sepuluh besar’ adalah berbagai sarang burung,
burung enggang (bulu dan kepala), kera (batu ginjal) serta berbagai spesies hewan dan
ikan. Berbagai spesies buah juga disebutkan. Survei lapangan mencatat 138 manfaat spesies
tumbuhan, tujuh di antaranya khusus untuk spesies tertentu. Kategori ini termasuk sulit
bagi masyarakat karena bersifat abstrak – pada umumnya mereka mengatakan ‘tergantung
pada apa yang mau dibeli orang’. Masyarakat tidak dapat memperkirakan permintaan pasar
di masa mendatang. Beberapa spesies dari kategori ini terkena dampak negatif penebangan
pohon dan penebasan tumbuhan-bawah.
Peralatan berburu
Lebih dari separuh total kepentingan produk dalam kategori ini diperoleh dari hutan.
Tumbuhan beracun Antiaris toxicaria menjadi spesies paling penting, sementara spesies
palem dan sagu, Arenga undulatifolia dan Eugeissona utilis disebut sebagai tumbuhan
untuk membuat anak sumpit, seperti juga Eusideroxylon zwageri, spesies kayu yang cocok
untuk sumpit. Kebanyakan tumbuhan untuk manfaat ini adalah pohon kayu atau palem.
Sedangkan spesies binatang hanya satu yang tercatat dalam kategori ini. Meskipun beberapa
warga Punan tahu cara memerah racun dari ular kobra (Ophiophagus hannah) untuk anak
sumpit mereka, pemakaiannya hanya bersifat simbolik dan berkaitan dengan perang di
masa lalu (Edmund Dounias, komunikasi pribadi, 2005) bahkan kini tidak lagi dianggap
penting. Survei lapangan mencatat 115 manfaat tumbuhan dalam kategori perburuan, 12
di antaranya khusus hanya untuk spesies tertentu.
Tempat berburu
Kategori ini merujuk pada lokasi yang dianggap cocok untuk berburu. Meskipun
perburuan bisa terjadi di berbagai unit lansekap, hutan adalah tempat yang bernilai paling
tinggi, terutama yang masih asli dan jauh di pegunungan. Beberapa informan suku Punan
mengatakan bahwa salah satu nilai lokasi tanaman padi dan singkong adalah dapat memikat
binatang ke tempat terbuka sehingga dapat diburu. Hutan masih dinilai sebagai sumber
satwa buruan; sedangkan lapangan terbuka sebagai umpan. Spesies terpenting untuk
meningkatkan perburuan adalah spesies tumbuhan buah (terutama jenis dipterocarp, oak,
beringin serta palem) yang bisa memikat satwa buruan. Survei lapangan mencatat 518
manfaat spesies di dalam kategori ini tanpa ada yang dikhususkan. Mata air asin dan daerah
berlumpur juga dianggap daerah penting yang disukai hewan, misalnya beberapa bekas
desa yang memiliki banyak tanaman buah. Penebasan tumbuhan bawah bisa menurunkan
nilai kesesuaian hutan sebagai tempat berburu untuk kebutuhan pangan serta mengurangi
fungsi pelindung bagi berbagai jenis hewan.
Rekreasi, permainan dan kesenangan
Untuk rekreasi, sungai dan hutan dinilai lebih tinggi daripada unit-unit lansekap lain,
masing-masing dengan skor 25 persen. Banyak orang, terutama yang berusia lanjut,
76
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
awalnya tidak mengakui punya waktu rekreasi. Tetapi, hasil pemberian skor menunjukkan
bahwa hal itu karena belum tahu. Dari diskusi terungkap bahwa berbagai kegiatan seperti
memancing, mengumpulkan kayu, berburu serta membuat kerajinan sering dilakukan
sebagai kesenangan maupun untuk menghasilkan sesuatu. Masyarakat menduga minat
mereka terhadap rekreasi akan meningkat pada dekade mendatang. Meskipun tidak ada
spesies yang dimasukkan dalam kategori ini pada pemberian skor, dari survei lapangan
tercatat 73 manfaat tumbuhan yang tergolong untuk ‘bersenang-senang maupun bermain’
(kebanyakan terkait permainan anak-anak), dan satu di antaranya bersifat khusus untuk
spesies tertentu.
Jaminan masa depan
Masyarakat menilai hutan sebagai lansekap terpenting untuk masa depan. Hutan adalah
alternatif utama sumber makanan serta penghidupan. Yang menarik, ‘masa depan’ adalah
kategori di mana hutan bekas tebangan memiliki skor tertinggi (meskipun skornya relatif
rendah), yang seolah mengakui adanya pemulihan hutan. Masyarakat di tujuh komunitas
ini menyebutkan kegagalan panen karena banjir, kekeringan ataupun masalah lain yang
memaksa mereka mencari makanan ke tempat lain. Kebanyakan mereka pergi ke hutan.
Ternyata masyarakat tidak suka membicarakan hal itu: pada wawancara awal hanya 15
dari 576 responden yang secara khusus menyebut kebutuhan mengumpulkan hasil hutan
untuk dijual ketika terjadi ancaman kelaparan. Namun, setelah mereka lebih percaya,
kebanyakan warga mengakui sangat perlunya dibolehkan mengumpulkan hasil hutan yang
dapat dimakan, maupun yang dapat ditukarkan dengan makanan. Kami pernah bekerja
bersama masyarakat Punan Rian pada musim paceklik dan persediaan beras mereka
menipis, dan saat itu kami menyaksikan sendiri pentingnya hutan dalam hal ini. Seberapa
jauh nilai ‘jaring pengaman’ hutan menjadi pertimbangan sehari-hari dan seberapa jauh
pertimbangan tersebut mempengaruhi pemberian skor terhadap hutan dan hasil hutan
masih merupakan tanda tanya bagi kami. Diskusi dengan masyarakat lokal menunjukkan
bahwa nilai pengaman ini menurun dengan adanya konversi lahan menjadi kegunaan lain
dan adanya dampak dari pembalakan dan perburuan yang berlebihan. ‘Masa depan’ adalah
topik yang kaya dan tidak mudah dirangkum. Subbab berikutnya akan meninjau beberapa
kecenderungan saat ini serta pilihan-pilihan yang diantisipasi oleh masyarakat.
Pilihan dan perubahan keadaan
Berbagai pembangunan – jalan, konsesi hutan dan tambang – semakin meningkat. Banyak
pendatang baru masuk mencari kerja ke provinsi ini. Lahan yang bisa diakses berkurang
dan konflik meningkat. Masyarakat semakin dipaksa mempertimbangkan pilihan untuk
masa depan, yang mencerminkan tidak terjaminnya kepemilikan lahan. Masyarakat di
Gong Solok, Paya Seturan, Liu Mutai dan bahkan di desa yang lebih terpencil, Long Jalan,
semua memandang kebutuhan mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian sebagai
upaya untuk mengklaim lahan dan meningkatkan jaminan atas kepemilikan mereka.
Kepemilikan lahan pertanian sudah jelas bagi setiap orang, sedangkan hutan sangat mudah
diklaim dan dikuasai pihak lain.
Tidak semua kecenderungan dinilai negatif untuk masa depan. Dalam wawancara,
pendidikan seringkali ditonjolkan sebagai hal penting bagi golongan muda, lebih memberi
peluang pekerjaan yang baik di luar desa. Bekerja di pemerintahan banyak diinginkan
karena memberikan jaminan pendapatan. Perbaikan perawatan kesehatan juga banyak
disebut.
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
77
Hutan bukan hanya sumber berbagai produk alam liar, tetapi juga sebagai cadangan
lahan yang bisa dikonversikan untuk penggunaan lain. Masyarakat lokal sangat tertarik
pada inovasi dan mau mencoba jenis-jenis tanaman serta teknik budidaya yang baru.
Banyak pertanyaan yang muncul antara lain menyangkut cara tanam tanaman komersial
seperti jati, coklat dan kopi.
Dalam diskusi tentang sumberdaya yang terpenting, terungkap bahwa banyak yang
menilai ada penurunan, terutama untuk satwa buruan untuk pangan serta tumbuhan
andalan mereka untuk kebutuhan sehari-hari serta untuk dijual. Beberapa sumberdaya
alam liar lain telah menurun nilainya, misalnya bahan racun untuk anak sumpit yang kini
telah digantikan alat lain, seperti senapan yang lebih mudah digunakan.
Gong Solok adalah daerah yang terdekat dengan kota Malinau dan memiliki kepadatan
penduduk paling tinggi. Di sini perburuan lebih sering gagal daripada di daerah lain – dan
di sini adalah satu-satunya tempat kami menemukan warga membunuh dan memakan
kera, daging yang kurang disukai dan di masa lalu dianggap tabu.
Kekurangan bahan konstruksi yang disukai (a.l. Eusideroxylon zwageri) serta bahan
pembuatan perahu telah dirasakan di Paya Seturan dan daerah sekitarnya. Salah satu upaya
mengatasi berkurangnya sumberdaya ini adalah beberapa warga Paya Seturan mengusulkan
wilayah hutan lindung secara de facto berdasarkan kesepakatan bersama untuk menjaga
penutupan hutan. Namun wilayah itu terancam oleh konsesi penebangan, dan memerlukan
status resmi.
Apakah hutan semakin kurang penting? Berbagai kecenderungan dan aspirasi
mendorong masyarakat meninggalkan hutan. Perpindahan banyak komunitas terpencil
ke tempat yang lebih dekat dengan sekolah dan klinik kesehatan adalah suatu perubahan
besar. Banyak informan yang menyatakan bahwa pendidikan bagi anak-anak mereka akan
menciptakan peluang untuk pindah ke kota besar dan memperoleh kehidupan lebih baik.
Namun harapan tersebut sering terbentur pada kenyataan. Seorang informan mengatakan
bahwa menurutnya kota akan menjadi tempat tinggal yang enak bila kita cukup kaya dan
mampu membeli semua keperluan, namun sangat mahal bila kita harus membeli semua
hal. ‘Karena miskin, maka lebih baik saya tinggal di hutan,’ katanya.
Masyarakat lokal bersifat pragmatis; mereka menyukai hutan dan bisa sangat nostalgis
tentang masa lalu, tetapi juga akan memanfaatkan setiap peluang baru. Masyarakat Malinau
terbukti sudah memilih sikap pendekatan luwes dan menyesuaikan diri terhadap kehidupan
sehingga siap bereaksi terhadap cepatnya perubahan siklus ekonomi hasil hutan yang lalu
(Sellato, 2001). Namun, kemampuan adaptasi masyarakat hutan banyak didasarkan pada
keahlian mereka di dalam hutan serta berbagai pilihan yang disediakan oleh hutan; bila
pilihan itu hilang maka hilang pula lah fleksibilitas tersebut.
Modernisasi dan pergolakan politik telah membawa banyak tantangan dan peluang
bagi warga Malinau. Selama lima tahun yang lalu, telah terjadi kekacauan dalam hal hukum
dan peraturan tentang hak atas lahan serta sumberdaya alam. Kondisi itu menimbulkan
ketidakpastian dan juga membuka peluang mengembangkan pendapatan tunai. Kedua
aspek aksesibilitas terkacaukan; peluang fisik untuk mencapai suatu lokasi dan menikmati
sumberdayanya, serta kendali hukum dan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan cara
melakukannya. Ketersediaan mesin perahu, jalan-jalan baru, meningkatnya perdagangan
serta melonjaknya harga bahan bakar semuanya mempengaruhi akses fisik, seperti pola
penyusutan sumberdaya yang terkait dengan daerah bekas tebangan. Pada saat yang
sama, berbeda-beda dan tumpang tindihnya klaim dan kontrol oleh pemegang konsesi,
pemerintah daerah, dan masyarakat telah menimbulkan kebingungan. Ancaman terhadap
78
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
hutan menjadi nyata karena konflik-konflik dan ketidakpastian itu lebih cenderung lebih
memihak pada pemusnahan hutan daripada kepada pilihan-pilihan jangka panjang.
Seperti telah dibahas sebelumnya, hal ini mencerminkan adanya pembukaan lahan untuk
mengklaim pengakuan kepemilikan, dan juga adanya pertarungan bebas, free-for-all, ketika
tidak ada insentif untuk melakukan kontrol diri. Biaya atas hilangnya keanekaragaman
hayati yang sangat penting bagi masyarakat dan yang harus ditanggung bagi kehidupan
masyarakat bisa jadi akan sangat besar.
Pembangunan hutan tanaman
Pemerintah daerah di Malinau maupun pemerintah pusat di Jakarta nampak sangat tertarik
pada usaha skala besar untuk menghimpun pendapatan. Pembahasan tentang perkebunan
pulp, kelapa sawit, dan berbagai kemungkinan lain terus dilakukan. Pada tahun 2005
Menteri Pertanian mengumumkan rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas
1,8 juta hektar di sepanjang pegunungan dan perbukitan (daerah yang tidak sesuai untuk
pengembangan kelapa sawit) di perbatasan Kalimantan–Malaysia (Wakker, 2006). Bila
proyek ini terwujud maka akan menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dan
akan mencakup sebagian besar wilayah Malinau. Setelah adanya keberatan dari berbagai
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pihak lain maka pemerintah menarik kembali
usulan proyek tersebut (Wakker, 2006), tetapi masih bisa dipertimbangkan lagi. Pendapat
masyarakat lokal telah diabaikan dalam proses yang didorong pihak luar ini. Di bawah ini,
kami rangkumkan beberapa kesalahan konsep dan berbagai masalah lain.
Salah satu hasil survei biofisik kami menggarisbawahi terbatasnya peluang budidaya
tanaman perkebunan berkelanjutan di Malinau hulu dan tengah. Tanpa adanya rekayasa
besar-besaran untuk membangun terasering, luasnya topografi terjal, mudahnya tererosi,
kondisi tanahnya yang miskin hara, serta keasaman tanahnya tidak memungkinkan
budidaya non-kehutanan secara lestari dalam cakupan yang luas. Hanya di daerah sepanjang
tepian sungai yang berpotensi untuk jenis-jenis tanaman seperti padi dan kelapa (Basuki
dan Sheil, 2005). Tidak heran bahwa daerah ini, yang merupakan campuran antara ladang
dan bekas ladang (jekau) tanaman telah dibudidayakan oleh masyarakat.
Jenis tanaman perkebunan yang telah dikembangkan secara luas antara lain coklat,
merica (lada), serta kelapa sawit yang baru berkembang akhir-akhir ini. Di Indonesia, kelapa
sawit terkenal sebagai tanaman ajaib, yang dapat tumbuh di mana saja dan menghasilkan
banyak keuntungan – suatu reputasi yang hanya sebagian benar. Kelapa sawit tumbuh di
berbagai daerah yang terkenal sebagai bermasalah, misalnya seperti di tanah sulfat masam,
tanah gambut yang dalam, serta pada tanah masam dengan kandungan aluminium tinggi
(Auxtero dan Shamshudin, 1991). Beberapa perkebunan di daerah bertanah kurang
subur itu mampu menghasilkan minyak per hektarnya lebih tinggi daripada yang di
lahan pertanian yang bagus (Auxtero dan Shamshuddin, 1991; Corley dan Tinker, 2003).
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kelapa sawit dapat dibudidayakan di segala tempat atau
lokasi. Tanaman ini memiliki kebutuhan khusus terhadap air dan kelembaban sepanjang
tahun dan memerlukan pemupukan serta berbagai input lainnya. Di antara perusahaan
perkebunan ada pengetahuan teknis cukup mendalam tentang kapan dan bagaimana
cara kelapa sawit ditanam. Sebagai contoh, Tailliez (1998) menyatakan bahwa ‘pemilihan
lokasi sangat penting, di samping topografi ringan, tanah yang dalam, curah hujan teratur
sepanjang tahun, teknik penyiapan lahan yang ramah-lingkungan, urutan pengelolaan
tanaman, input yang dipakai (pemupukan intensif ), pengendalian hama dan penyakit
secara terintegrasi, kualitas pemroses minyak serta resiko polusi. Oleh karena itu, dengan
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
79
pertimbangan aksesibilitas, erosi, dan rendahnya tingkat produksi, pengusaha perkebunan
yang serius akan menghindari kelerengan yang curam dan akan mematuhi peraturan yang
melarang konversi hutan pada tingkat kelerengan di atas 40 persen.3
Para investor telah menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat Malinau melalui
perkebunan kelapa sawit; dengan menawarkan berbagai manfaat serta meremehkan potensi
resiko. Lalu mengapa para investor berani menawarkan sesuatu yang tidak layak secara
ekonomi? Jawabannya adalah satu keuntungan langsung dari pembukaan lahan hutan
dan penjualan kayunya; sebenarnya banyak rencana perkebunan yang akhirnya tidak
terwujud setelah pembukaan lahan. Menurut harian Kompas, di provinsi Kalimantan
Timur perkebunan fiktif semacam ini telah merugikan negara lebih dari 3,5 trilyun rupiah
(atau setara dengan US$372 juta pada tahun 2005) (Basuki dan Sheil, 2005). Sedangkan
kerugian bagi masyarakat setempat tidak terkirakan karena mereka tidak pernah melihat
keuntungan yang dijanjikan dan kehilangan akses terhadap berbagai sumberdaya dan jasa
hutan.
Pendapat masyarakat setempat bervariasi: bagi yang pernah bekerja di perkebunan di
Malaysia atau tempat lain di Indonesia, umumnya menentang rencana pengusahaan skala
besar di Malinau; sedangkan lainnya terutama yang belum pernah mengalami sendiri,
menyambut baik berbagai manfaat yang dijanjikan (Padmanaba dan Sheil, 2007).
Hampir semua responden dalam wawancara kami meyakini bahwa pembangunan
semacam itu harus direncanakan cermat dan diintegrasikan dengan kebutuhan lain,
termasuk konservasi. Kami telah melakukan beberapa tindakan untuk menyebarluaskan
hasil yang kami peroleh serta mengingat bahayanya keputusan yang terburu-buru dan
kurang berwawasan (Basuki dan Sheil, 2005). Dengan adanya keinginan terselubung dan
meluasnya informasi yang salah, program perkebunan tetap menjadi topik kontroversial
sehingga diperlukan tambahan pendidikan publik (lihat Padmanaba dan Sheil, 2007).
Pilihan lokal untuk tindakan lokal
Metode identifikasi nilai-nilai lokal tentang keanekaragaman hayati dan lansekap kami
dapat diterapkan untuk memberi masukan terhadap banyak proses, dari penyusunan
panduan pembalakan berdampak rendah sampai perencanaan tata guna lahan lokal
yang lebih baik, pengelolaan kehutanan internasional; serta kebijakan konservasi lokal,
nasional maupun global. Kami berharap dokumentasi pandangan lokal ini bisa membantu
masyarakat di Malinau mengkomunikasikan dengan lebih baik kebutuhannya kepada para
pengambil keputusan maupun para pihak luar. Penelitian ini menunjukkan bidang-bidang
dimana perubahan kecil pada pengelolaan atau kebijakan kehutanan bisa memberikan
peluang saling menguntungkan semua pihak. Perubahan tersebut meliputi perlindungan
terhadap sagu dan nilai hutan lain dalam pembalakan berdampak rendah; pencegahan
penebasan tumbuhan-bawah; dan identifikasi daerah lindung yang bisa dihormati oleh
para pengguna hutan, seperti lokasi kuburan, gua sarang burung, mata air dan cadangan
hutan masyarakat.
Agar hasil penelitian bisa lebih diketahui masyarakat Malinau, kami menggunakan
berbagai media dan pendekatan. Kami merancang dan membagikan empat poster berwarna,
berisi hasil survei yang menunjukkan pandangan masyarakat, dan juga memberikan
‘pandangan pihak luar’. Yang lebih teknis pandangan tersebut berisi catatan kepentingan
masyarakat Malinau yang mereka sampaikan kepada kami, bagi mereka sendiri maupun
80
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
bagi pihak luar. Sebuah survei lanjutan menunjukkan bahwa poster-poster tersebut diterima
dengan baik dan sangat menambah pemahaman atas berbagai hal di antara para pemangku
kepentingan, seperti warga desa, penduduk kota dan pegawai pemerintah (Padmanaba dan
Sheil, 2007).
Kartu permainan bergambar beberapa spesies terpenting dan melukiskan berbagai
hal yang terkait dengan konservasinya juga disusun dan disebarluaskan. Video yang
menyajikan pandangan masyarakat lokal terhadap hutan dan pentingnya menjaga hutan
telah dibuat dan disebarluaskan secara lokal maupun secara regional. Video tersebut
sangat berharga dalam menyampaikan pandangan masyarakat lokal ke dunia luar. Video
tersebut juga diputar di Departemen Kehutanan di Jakarta, di sejumlah fakultas kehutanan
di universitas dalam negeri, di kantor-kantor LSM lokal maupun internasional yang
bekerja di Indonesia. Video itu selalu dipakai untuk merangsang diskusi dan debat. Kami
berkesimpulan bahwa ketika masyarakat Indonesia umumnya belum terbiasa menerima
perbedaan pandangan (ada yang menilai pesannya membingungkan), video merupakan
alat ampuh untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang relevan secara luas. Dalam
demokrasi yang masih muda, nilai peran ini masih belum pasti tetapi bisa juga sangat
mencolok; hanya melalui proses diskusi luas dan berwawasan lah pandangan tentang hutan
Malinau dan masyarakatnya bisa dikembangkan, dinyatakan, dan diterapkan.
Penilaian kami telah menunjukkan bahwa semua bentuk informasi tersebut sangat
dihargai oleh masyarakat yang telah bekerja bersama kami selama ini dan merangsang
tumbuhnya pengakuan atas keprihatinan mereka. Kami telah meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang perlunya langkah konservasi yang sesuai bagi masyarakat Malinau.
Semuanya masih tahapan awal. Kesadaran yang ada kini harus diwujudkan ke dalam
tindakan.
Kesimpulan
Metode kami memberikan kerangka berfikir untuk mendokumentasikan keterkaitan yang
kompleks di antara masyarakat lokal dengan lingkungannya serta jenis keanekaragaman
hayati dan lansekap yang paling penting bagi masyarakat. Di masa lalu, pandangan itu masih
terabaikan oleh pemerintah, para pengelola hutan maupun oleh kelompok konservasionis.
Namun kini, untuk mengefektifkan pengelolaan hutan, mereka harus dihargai, dipahami
dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan serta
penerapannya. Di berbagai tempat, pesan ini mensyaratkan adanya perubahan paradigma
untuk seluruh kelembagaan dan proses yang terkait dengan pengelolaan hutan.
Desentralisasi telah mengangkat banyak hal dalam diskusi lokal daripada masa lalu.
Berbagai lembaga lokal, organisasi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), tengah mencari cara mengintegrasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat
lokal dengan strategi pembangunan nasional serta perencanaan konservasi. Intinya
adalah membangun dialog melalui belajar saling memahami, yang diperlukan di antara
lembaga pemerintah dan konstituennya. Kami yakin bahwa setidaknya kami telah
berhasil mengidentifikasi beberapa pokok perhatian bersama serta suatu pendekatan yang
memungkinkan peningkatan komunikasi dan pemahaman. Sebuah langkah yang sangat
menentukan adalah menjamin masyarakat menyadari pentingnya lahan, warisan dan
sumberdaya alam mereka, serta dapat mengungkapkan prioritas utama mereka kepada para
pengambil keputusan di pemerintahan setempat.
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
81
Catatan
1
Hasil studi biofisik kami sejak awal sudah menghasilkan prediksi semacam ini – memang,
data kami menyatakan bahwa daerah Malinau terdiri dari berbagai tipe hutan dengan
spesies paling kaya di Indonesia. (CIFOR, data tidak dipublikasikan).
2 Gaharu adalah pohon kayu dari spesies Aquilaria spp yang terinfeksi oleh jamur aromatik,
dan kayu gaharu bernilai ekonomi karena dimanfaatkan dalam pembuatan parfum serta
dupa. Di Malinau spesies utamanya adalah A. malaccensis dan selebihnya adalah A.
beccariana.
3 Di Indonesia, tanah dengan kemiringan lebih dari 40 persen tidak dapat dikonversikan
menjadi lahan pertanian berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
(Basuki dan Sheil, 2005).
Rujukan
Auxtero, E. A. dan Shamshuddin, J. (1991. Growth of oil palm (Elaeis guineensis) seedlings
on acid sulfate soils as affected by water regime and aluminium, Plant and Soil, vol 137,
hal. 243–257.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Communities in Malinau District, East Kalimantan: Case studies on Decentralisation and
Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Basuki, I. dan Sheil, D., 2005. Local Perspectives of Forest Landscapes: A Preliminary Evaluation
of Land and Soils, and Their Importance in Malinau, East Kalimantan, Indonesia, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Corley, R. H. V. dan Tinker, P. B., 2003. The Oil Palm, 4th edition, Blackwell Science, Oxford,
UK.
Cunliffe, R., Lynam, T., Sheil, D., Wan, M., Salim, A., Basuki, I. dan Priyadi, H., 2007.
Developing a predictive understanding of landscape importance to the Punan-Pelancau of
East Kalimantan, Borneo, Ambio, vol 36, no 7, hal. 593–599.
Fimbel, R. A. dan O’Brien, T., 1999. Faunal survei in unlogged forest of the INHUTANI II,
Malinau timber concession, http://www.cifor.cgiar.org/ http://www.wcs.org/.
Gomez-Gonzalez, I. C., 1999. Indigenous Management of Forest Resources in East Kalimantan,
Indonesia: The Role of Secondary Forests, thesis MSc, Tropical Forestry, Wageningen
Agricultural University, Kerajaan Belanda.
Kier, G., Mutke, J., Dinerstein, E., Ricketts, T. H., Kuper, W., Kreft, H. dan Barthlott, W.,
2005. Global patterns of plant diversity and floristic knowledge, Journal of Biogeography,
vol 32, hal. 1107–1116.
Liswanti, N., Indrawan, A., Sumardjo dan Sheil, D., 2004. Persepsi masyarakat Dayak Merap
dan Punan tentang pentingnya hutan di lansekap hutan tropis, Kabupaten Malinau,
Kalimantan Timur, Manajemen Hutan Tropika, vol 10, hal. 1–13.
Lynam, T., Cunliffe, R., Sheil, D., Wan, M., Salim, A., Priyadi H. dan Basuki, I., 2007.
Livelihoods, Land Types and the Importance of Ecosystem Goods and Services: Developing
a Predictive Understanding of Landscape Valuation by the Punan Pelancau People of East
Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia.
82
Latar Belakang Teori dan Kontekstual
Lynch, O. J. dan Harwell, E., 2002. Whose Natural Resources? Whose Common Good? –
Towards a Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia,
Center for International Environment Law (CIEL), Washington, DC, US, dan Jakarta,
Indonesia.
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. dan Mangalik, A., 1996. The Ecology of Kalimantan,
Periplus Editions, Singapura.
Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T.,
Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S. dan O’Brien, T.,
2005. Life after Logging: Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in
Indonesian Borneo, CIFOR, ITTO and UNESCO, Bogor, Indonesia.
Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T.,
Lammertink, A., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T., Stanley, S., Gunawan, T. dan
O Brien, T., 2006. Hutan Pasca Pemanenan: Melindungi Satwa Liar dalam Kegiatan Hutan
Produksi di Kalimantan, CIFOR, ITTO dan UNESCO, Bogor, Indonesia.
Padmanaba, M. dan Sheil, D., 2007. Finding and promoting a local conservation consensus in
a globally important tropical forest landscape, Biodiversity and Conservation, vol 16, no
1, hal. 1137–1151.
Puri, R. K., 1998. Assessment of the Biodiversity of the Bulungan Research Forest: Ethnoecology
of the Punan Tubu, Consultant report, Wildlife Conservation Society (WCS)/Center for
International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia.
Puri, R. K., 2001. The Bulungan Ethnobiology Handbook, Center for International Forestry
Research (CIFOR), Bogor, Indonesia.
Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement,
Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sheil, D. dan Liswanti, N., 2006. Scoring the importance of tropical forest landscapes with
local people: patterns and insight, Environmental Management, vol 38, hal. 126–136.
Sheil, D., Puri, R. K., Basuki, I., van Heist, M., Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono, M. A.,
Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F. dan
Wijaya, A., 2002. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples
Perspectives in Forest Landscapes, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sheil, D., Ducey, M. J., Sidiyasa, K. dan Samsoedin, I., 2003. A new type of sample unit for
the efficient assessment of diverse tree communities in complex forest landscapes, Journal
of Tropical Forest Science, vol 15, no 1, hal. 117–135.
Sheil, D., Puri, R., Basuki, I., van Heist, M., Wan, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Sardjono,
M. A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F.,
Johnson, B. dan Wijaya, A., 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local
Peoples Perspectives in Forest Landscapes, 2nd edition, Center for International Forestry
Research, Ministry of Forestry dan International Tropical Timber Organization, Bogor,
Indonesia.
Sheil, D., Puri, R. K., Wan, M., Basuki, I., van Heist, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Rachmatika
I. dan Samsoedin, I., 2006. Local peoples priorities for biodiversity: Examples from the
forests of Indonesian Borneo, Ambio, vol 35, hal. 17–24.
Sorensen, K. W. dan Morris, B. (penyunting) (1997. People and Plants of Kayan Mentarang,
WWF-Indonesia, Jakarta (dicetak di Kerajaan Inggris).
Tailliez, B., 1998. Oil palm: a new crop ... for what future?, Ocl-Oleagineux Corps Gras Lipides,
vol 5, hal. 106–109.
Wakker, E., 2006. The Kalimantan Border Oil Palm Mega-Project, Friends of the Earth
Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), Amsterdam,
Kerajaan Belanda.
Keanekaragaman Hayati, Lansekap dan Sumber Penghidupan
83
Whitmore, T. C., 1984. Tropical Rain Forests of the Far East, Clarendon Press, Oxford.
Wilkie, P. dan Amiril, S., 1999. The limitations of vernacular names in an inventory study,
Central Kalimantan, Indonesia, Biodiversity and Conservation, vol 8, hal. 1457–1467.
Wulffraat, S. dan Samsu, 2000. An Overview of the Biodiversity of Kayan Mentarang National
Park, WWF-Indonesia Kayan Mentarang Project, Samarinda, Indonesia.
Bagian II
Pemungutan dan Pemanfaatan
Kayu di Malinau
5
Dampak Izin Pemungutan dan Pemanfaatan
Kayu (IPPK) pada Desa-Desa di Daerah
Aliran Sungai Malinau
Godwin Limberg
Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) memberi peluang formal pertama
kali kepada masyarakat desa untuk menerima keuntungan finansial yang signifikan dari
penebangan kayu komersial. Kendati demikian, penerbitan IPPK menimbulkan banyak
perdebatan. Pendukung terbitnya IPPK, seperti para pejabat pemerintah daerah, para
pengusaha dan elit daerah, menyebutkan peningkatan peran desa dan lebih adilnya
pembagian keuntungan pemungutan kayu sebagai aspek-aspek positif IPPK. Namun para
penentang IPPK, yaitu LSM dan beberapa anggota masyarakat menunjukkan bahwa karena
IPPK hanya berlaku 1 tahun, tidak ada insentif bagi perusahaan untuk punya komitmen
jangka panjang. Setelah menjelaskan kondisi lokal dan proses yang mendorong ke arah
IPPK, bab ini menguraikan dampak sosial IPPK pada desa, dan dampaknya pada akses
ke lahan hutan dan pada hutan itu sendiri. Dampak di tingkat rumah tangga diuraikan di
Bab 7, untuk kemudian dianalisa berbagai implikasi akibat keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan hutan.
Perkembangan IPPK
di Daerah Aliran Sungai Malinau
Perubahan peraturan kehutanan pada tahun 1999 memungkinkan pemerintah kabupaten
menerbitkan izin pengusahaan hutan seluas 100 hektar bagi warga desa. Dengan Otonomi
Daerah, kabupaten tidak hanya berwenang pengelolaan hutan, tetapi juga bertanggung
88
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
jawab untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Di daerah yang kaya dengan
sumberdaya hutan, pengusahaan hutan merupakan sarana mudah untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah dan pendapatan masyarakat setempat. Pada saat yang sama,
pengelolaan hutan yang berkelanjutan menjadi topik perdebatan di tingkat nasional dan
internasional, dan semakin banyak desakan untuk mengurangi eksploitasi hutan. Di tengah
dua perdebatan ini, sebagai sebuah daerah otonom yang baru terbentuk di lokasi terpencil,
Malinau memiliki pilihan terbatas. Maka pemerintah setempat memilih untuk berfokus
pada pengusahaan hutan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan
warga desa. Para pengusaha daerah dan elit lokal dengan cepat menyadari peluang untuk
memanfaatkan argumen pembangunan masyarakat demi tujuan pribadi mereka, yaitu
memperoleh keuntungan finansial dari eksploitasi hutan.
IPPK semula dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat setempat secara langsung.
Karena warga desa tidak mempunyai modal dan keterampilan yang diperlukan, pelaksanaan
IPPK di lapangan biasanya dilakukan oleh pengusaha lokal setelah mencapai kesepakatan
dengan masyarakat setempat. Dalam proses negosiasi, diselenggarakan pertemuan desa
yang memberi kesan adanya pemberdayaan masyarakat dan transparansi yang lazim
dilakukan setelah reformasi politik di Indonesia. Beberapa desa juga melihat peluang ini
untuk memperoleh setidaknya beberapa keuntungan dari pengusahaan hutan. Seperti akan
dijelaskan lebih rinci, masyarakat seolah tidak begitu mementingkan pengakuan hukum
atas klaim mereka terhadap hutan dan wilayah dan lebih mengutamakan keuntungan
finansial dari pengusahaan hutan di kawasan-kawasan yang mereka klaim.
Dari Juli 2000 hingga Februari 2001, tujuh pengusaha mencapai kesepakatan dengan
desa-desa di Daerah Aliran Sungai (lihat Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 untuk lokasi desa-desa
dan IPPK). Tidak seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di masa lalu yang dialokasikan
oleh pemerintah pusat untuk perusahaan-perusahaan besar, para pelaku utama perjanjian
IPPK adalah para pengusaha lokal, elit desa dan pemerintah kabupaten. Di enam dari
tujuh desa yang ada, dilakukan negosiasi oleh para pengusaha yang sudah dikenal oleh
warga desa. Para pengusaha atau makelar ini sebelumnya bekerja sebagai pedagang hasil
hutan non-kayu (HHNK) atau pembeli kayu ilegal, yang berbasis di Malinau atau Tarakan
dan mempunyai jaringan luas di daerah itu (lihat juga Bab 6) Melalui bisnis mereka di
masa lalu, mereka membentuk hubungan patron-klien di seluruh daerah itu.
Operasi pembalakan pertama di Daerah Aliran Sungai Malinau diawali di wilayah Bila
Bekayuk bulan Juli 2000. Semua perusahaan beroperasi aktif selama sekitar dua tahun,
kecuali perusahaan di Bila Bekayuk, yang menutup operasinya pada awal 2001.
Tabel 5.1 Desa-desa wilayah kerja Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) di Daerah Aliran
Sungai Malinau
1
2
3
4
5
6
7
Desa
Perusahaan
Setarap-Punan Setarap
Adiu-Punan Adiu
Bila Bekayuk
Sengayan
Langap
Nunuk Tanah Kibang
Tanjung Nanga
CV Gading Indah
CV Wana Bakti
CV Sebuku Lestari
PT Trisetia Abadi
CV Hanura
CV Putra Surip Wijaya
CV Meranti Wana Lestari
Sumber: Data lapangan
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
89
MALINAU
Malinau
Long Kenipe
Long Bila
3°30’N
Sentaban
Setulang
Setarap
Punan Setarap
Batu Kagang
Gong Solok I
Gong Solok II
Punan Adiu
K A B U PAT E N MA L IN AU
Pelancau
Long Toreh
Sengayan
Bila Bekayuk
Nunuk Tanah Kibang
Langap
Halanga Laban
Nyarit Mirau
Lake Punan Rian
Metut
Paya Seturan
Tanggung Nanga
Kuala Metut
3°N
Sungai Uli
Kio Mutai
Long Jalan
Tahau Pika
20km
116°10’E
Sumber: Wollenberg dkk, 2007
Gambar 5.1 Lokasi 27 desa di hulu Sungai Malinau
Secara umum, proses sebelum dimulainya operasi pembalakan dimulai adalah sebagai
berikut:
•
•
•
•
•
Pengusaha mendekati pemerintah kabupaten untuk mencapai kesepakatan dasar.
Pengusaha mengunjungi desa, atau (para) kepala desa menemui pengusaha di Malinau
Kota atau Tarakan.
Pengusaha membuat tawaran atau (para) kepala desa mengajukan permintaan.
Tawaran itu didiskusikan, kadang-kadang hanya di antara para kepala desa dan kadangkadang dalam pertemuan dengan masyarakat.
Jika tawaran diterima, maka dibuat perjanjian antara desa tersebut dan pengusaha. Jika
tawaran ditolak, maka diadakan negosiasi tahap kedua antara desa dan pengusaha.
90
•
•
•
•
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Keuntungan yang diperoleh desa dituangkan secara formal dalam kontrak yang
disahkan oleh notaris.
Pengusaha membawa surat perjanjian dengan warga desa ke pemerintah kabupaten.
Dinas Kehutanan Kabupaten memberi nasihat teknis yang berkaitan dengan status
daerah yang diminta dan kayu yang bisa dipungut.
Bupati secara resmi menyetujui izin tersebut.
Negosiasi antara warga desa dan pengusaha difokuskan pada pembayaran tunai
per meter kubik kayu yang diambil (dikenal dengan istilah fee), manfaat non-tunai dan
peluang kerja bagi warga masyarakat. Pada negosiasi-negosiasi tahap awal, selain berbagai
manfaat itu pengusaha juga menjanjikan membangun perkebunan, seperti pada kasus
di Bila Bekayuk, Langap, Setarap–Punan Setarap dan Adiu–Punan Adiu. Namun di
tahap berikutnya perusahaan tidak lagi menjanjikan hal-hal seperti itu lagi. Tabel 5.2
menggambarkan berbagai keuntungan yang dinegosiasikan di masing-masing desa (lihat
Bab 6 untuk mengetahui rincian proses negosiasinya).
Selama negosiasi, lokasi persisnya pembalakan tidak jelas disepakati. Beberapa desa
mencantumkan kesepakatan lisan mengenai kesempatan kerja bagi warga desa setempat dan
pengendalian masyarakat atas operasi tersebut, terutama untuk memantau produksi kayu
dan operasi pembalakan. Desa-desa Sengayan, Nunuk Tanah Kibang dan Tanjung Nanga
secara khusus meminta perusahaan menerapkan pembalakan selektif, hanya mengambil
kayu dengan diameter di atas 50cm.1 Tanjung Nanga juga meminta penebangan spesies
pohon yang kurang dikenal untuk meningkatkan volume kayu yang diambil.
Kemudian, fee per meter kubik tuntutan warga desa semakin meningkat. Di desa Bila
Bekayuk, tempat pembalakan pertama oleh sebuah perusahaan, tidak ada kesepakatan
jelas mengenai fee per meter kubik. Namun desa Tanjung Nanga di Daerah Aliran Sungai
Malinau, yang terakhir melakukan perjanjian, ditetapkan fee sebesar Rp. 50.000 per meter
kubik, fee tertinggi per meter kubik. Warga desa saling bertukar pengalaman dan berusaha
memperoleh kesepakatan yang lebih baik. Hasil kesepakatan fee sangat dipengaruhi oleh
akses informasi dan keterampilan negosiasi para kepala desa. Dalam satu kasus, warga desa
terkejut ketika ternyata pengusaha menawarkan fee per meter kubik lebih tinggi daripada
yang hendak mereka minta. Mereka juga menyadari akan bisa mendapatkan lebih besar
bila mengetahui jumlah yang dibayarkan di desa-desa lain di Daerah Aliran Sungai Malinau
dan bagian-bagian lainnya di Kalimantan Timur.
Pengusaha seringkali berusaha membujuk atau mengintimidasi orang-orang
berpengaruh di desa untuk mengurangi jumlah fee yang harus dibayarkan. Tokoh masyarakat
ditawari pembayaran pribadi untuk setiap meter kubiknya; fee kecil pun akan menciptakan
kekayaan pribadi yang lumayan. Dengan pengaturan tidak resmi ini, perusahaan-perusahaan
ini memastikan bahwa orang-orang berpengaruh ini mempunyai kepentingan pribadi agar
arus kayu terus lancar. Pengusaha juga memanfaatkan instruksi gubernur Kalimantan
Timur kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk membayar kompensasi
kepada desa-desa tempat perusahaan tersebut melakukan pembalakan (Surat Keputusan
Gubernur Kalimantan Timur nomor 20 Tahun 2000 tentang Penetapan Dana Kompensasi
kepada Masyarakat di dalam dan sekitar Hutan di Provinsi Kalimantan Timur). Keputusan
ini mengharuskan pemegang HPH untuk membayar ganti rugi yang berlaku surut mulai
dari tahun 1995 sampai tahun 2000 sebesar Rp. 3.000 per meter kubik. Dengan mengutip
angka ini, para pengusaha mengklaim bahwa mereka sudah sangat dermawan dengan
membayar lebih daripada yang diperintahkan gubernur, meskipun jumlah itu sebenarnya
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
91
Tabel 5.2 Manfaat yang dijanjikan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau (tunai dan non-tunai)
Fee per
meter
kubik
Setarap–Punan 40.000
Setarap
Adiu–Punan
Adiu
20.000
Bila Bekayuk
Fee per
meter
kubik tidak
ditentukan
Sengayan
30.000
Langap
7500a
Nunuk Tanah
Kibang
30.000
Tanjung Nanga 50.000
Keuntungan non-tunai
Tanggal mulai
(dalam perizinan)
Tanggal
dimulainya
operasi
Jalan akses, perataan kawasan
untuk perluasan desa, kantor
desa, gereja, perkebunan
rotan, sawah beririgasi.
Jalan akses, perataan kawasan
untuk perluasan desa, kantor
desa, balai pertemuan desa,
Puskesmas pembantu , mesin
giling padi, perkebunan rotan
Rumah untuk setiap rumah
tangga, kantor desa, balai
pertemuan desa, Puskesmas,
sekolah, TV, perkebunan kopi
10 Agustus 2000
Oktober 2000
23 Juni 2003
September 2000
29 Mei 2000
Juli 2000
Balai pertemuan desa,
mesin giling padi, atap seng
sebanyak 5.000 lembar
Perataan kawasan untuk
perluasan desa, truk,
mesin pemotong rumput,
perkebunan merica, beras
30 rumah, kantor desa, balai
pertemuan desa, pompa air,
tangki air (dua), pemotong
rumput, beasiswa
–
17 November 2000 Januari 2001
7 Juli 2000
Oktober 2000
17 November 2000 Januari 2001
25 Januari 2001
Juni 2001
Catatan:
a Jumlah ini dinegosiasikan kembali menjadi Rp.15.000 per meter kubik pada tahun 2001.
Sumber: Data lapangan, berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000
sampai 2003.
adalah besaran kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan HPH yang tidak
ada kaitannya dengan sistem IPPK.
Apakah yang didapatkan desa dari IPPK?
Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.2, desa-desa berharap akan menerima uang tunai
cukup besar, selain keuntungan non-tunai dan kesempatan kerja dari IPPK. Bagian ini
adalah analisa tentang seberapa besar sebenarnya manfaat yang diperoleh desa dengan
adanya IPPK dari segi pembayaran finansial dan pembangunan sosial.
Uang
Warga desa mengeluhkan perusahaan HPH yang tidak pernah memberikan kontribusi pada
pembangunan desa tempat mereka beroperasi. Jumlah fee yang diterima desa dari IPPK
sangat besar dibandingkan dengan bantuan pembangunan masyarakat sebelumnya yang
92
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
diberikan oleh perusahaan HPH atau bantuan pemerintah, yaitu sepuluh juta rupiah tunai
untuk setiap desa per tahun plus proyek-proyek kecil pembangunan masyarakat. Sebagai
perbandingan, berikut ini adalah proyek-proyek pembangunan desa yang dialokasikan
pemerintah dari tahun 2000 sampai 2002, di tempat-tempat di mana IPPK beroperasi:
pembangunan jalan setapak semen di Setarap; pemipaan air di Adiu; pembangunan jalan
setapak semen di Tanjung Nanga, dan sebuah Sekolah Dasar baru di Langap. Bila Bekayuk,
Sengayan dan Nunuk Tanah Kibang tidak menerima proyek selama periode ini. Dari sisi
ini, tidak mengejutkan jika desa-desa itu sangat mengharapkan pembayaran finansial dan
pembangunan sosial yang dijanjikan pada mereka.
Semua negosiasi awal itu membuat warga desa berharap memperoleh banyak uang
dari IPPK. Setelah dua tahun, benarkah semua itu? Tabel 5.3 menunjukkan bahwa semua
desa kecuali satu desa (Bila Bekayuk) menerima uang dalam jumlah besar.
Pembayaran dilakukan setiap dua atau tiga bulan berdasarkan volume kayu yang
ditebang. Perusahaan menyerahkan uangnya kepada kepala desa yang membagikannya
dengan sistem yang berbeda-beda kepada masing-masing warga desa. Sebagian desa
membagikannya secara merata kepada semua rumah tangga di desa itu. Desa lainnya
menetapkan tingkat pembayaran untuk kelompok berbeda seperti janda, pelajar, dan
bujangan, bahkan kadang-kadang juga memasukkan warga desa yang sedang bekerja di
luar desa. Tanjung Nanga semula membagi uang tersebut di antara kepala rumah tangga,
janda dan anggota masyarakat yang bekerja di luar desa, namun kemudian sistemnya
berubah (lihat Tabel 5.4). Setiap keluarga menerima total lima ratus ribu hingga 2 juta
rupiah per pembayaran.
Desa-desa menghadapi beberapa masalah akibat pembayaran fee ini. Karena tidak
mempunyai data akurat tentang produksi kayu, desa hanya mengandalkan laporan
perusahaan untuk menghitung fee total hak mereka. Perusahaan terkadang menggunakan
alasan tidak jelas untuk menunda atau mengurangi pembayaran. Masalah kedua adalah
perusahaan cenderung membayar uang ke satu orang, biasanya pemimpin atau elit desa.
Kedua hal itu menimbulkan saling curiga di antara warga desa.
Di dua lokasi, Setarap–Punan Setarap dan Adiu–Punan Adiu, ada masalah tambahan
karena masyarakat tidak mencapai konsensus tentang mekanisme distribusi di dua desa di
lokasi tersebut. Desa yang mempunyai jumlah rumah tangga sedikit ingin membagi rata fee
untuk kedua desa, sedangkan desa yang mempunyai rumah tangga banyak ingin membagi
fee tersebut per rumah tangga. Karena tidak ada konsensus sebelumnya, ketika pembayaran
dilakukan maka terjadi perdebatan untuk membahas mekanisme yang tepat. Dalam satu
kasus, fee dibagi merata di antara kedua desa, dan di kasus lainnya, desa yang mempunyai
jumlah rumah tangga lebih banyak mendapatkan bagian fee yang lebih tinggi.
Jumlah pada Tabel 5.3 hanya menunjukkan jumlah yang dibagikan pada tingkat desa.
Sumber informasi lain menunjukkan bahwa beberapa kepala desa menerima pembayaran
terpisah di luar yang diungkapkan secara publik. Warga desa tidak dapat mempengaruhi
sistem ini karena janji ini dibuat secara rahasia.2 Tetapi warga desa tidak melakukan protes
atas hal itu selama uang pembagian di antara warga desa sama. Masyarakat hanya protes
bila ada keterlambatan pembayaran atau bila jumlah pembagian per rumah tangga terlalu
jauh berbeda dengan jumlah yang diduga diterima kepala desa, seperti terjadi di tiga desa.
Protes ditujukan kepada perusahaan karena warga desa menyadari kecilnya sarana yang
dimiliki untuk menekan para pemimpin mereka. Warga desa mengirimkan perwakilan ke
kantor perusahaan untuk melakukan protes dan juga menyita peralatan berat. Dalam satu
kasus, desa berhasil memperbesar fee per meter kubik (dua kali lipat persetujuan awal).
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
93
Tabel 5.3 Jumlah yang dibayarkan IPPK kepada desa-desa di DAS Malinau dari Juni 2000 hingga
Juni 2003
Desa
Jumlah rumah
tanggaa
Setarap–Punan Setarap
Adiu–Punan Adiu
Bila Bekayuk
Sengayan
Langap
Nunuk Tanah Kibang
Tanjung Nanga
Total
94
42
52
65
104
36
130
523
Jumlah total yang
dibayarkan
(rupiah)b
640 juta
800 jutac
27 juta
1 miliar
320 juta
500 jutad
1 miliard
4287 miliar
Rata-rata per rumah
tangga
(rupiah)
6,8 juta
19,0 juta
0,52 juta
15,4 juta
3,1 juta
13,9 juta
7,7 juta
8,2 juta
Catatan:
a Data populasi dari Desember 2002; informasi diperoleh per desa dari kepala desa atau sekretaris desa.
b Jumlah yang diperoleh selama wawancara rutin dengan kepala desa dan tokoh masyarakat pada tahun 2000 hingga
2003.
c Perkiraan berdasarkan informasi bahwa ada empat pembayaran yang dilakukan; masing-masing pembayaran dilakukan
setelah dihasilkan 10.000 meter kubik dengan harga 20 ribu rupiah per meter kubik.
d Data pada Bab 6 jilid ini bahkan lebih tinggi, masing-masing 900 juta dan 2 miliar (lihat Bab 6).
Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000
sampai 2003
Tabel 5.4 Distribusi fee di Tanjung Nanga
Kepala rumah
tangga
Janda atau duda
Pemudaa
Siswa sekolah dasar
Warga desa yang
bekerja di luar desa
(paling jauh ke
Malaysia)
Pembayaran pertama
900.000 rupiah per
rumah tangga
450.000 rupiah per
rumah tangga
Tidak menerima
pembayaran apa pun.
Tidak menerima
pembayaran apa pun.
Menerima pembayaran
per orang yang tidak
diketahui jumlahnyab
Pembayaran kedua
800.000 rupiah per
rumah tangga
400.000 rupiah per
rumah tangga
Tidak menerima
pembayaran apa pun.
Tidak menerima
pembayaran apa pun.
Tidak menerima
pembayaran apa pun.
Pembayaran ketiga
1 juta rupiah per rumah
tangga
500.000 rupiah per rumah
tangga
200.000 rupiah per
pemuda
100.000 rupiah per siswa
Tidak menerima
pembayaran apa pun.
Catatan:
a Definisi pemuda adalah anak yang belum menikah, tidak bersekolah dan masih tinggal bersama orang tuanya.
b Dibayarkan kepada para kerabat mereka di desa itu.
Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000
sampai 2003
Tidak diketahui apakah peningkatan ini atas biaya yang dibayarkan ke para kepala desa
atau dengan mengurangi laba perusahaan.
Pada tahun 2000, kepala desa serta warga desa sangat ingin menjelaskan kepada pihak
luar negosiasi dan perjanjian mereka dengan masing-masing perusahaan. Namun dengan
berjalannya waktu, orang-orang yang terlibat langsung dengan IPPK semakin menutupi
informasi dan informasi pun semakin kacau. Warga desa hanya tahu tentang pembayaran
kepada masing-masing rumah tangga dan kadang-kadang jumlah keseluruhan yang akan
94
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
dibayarkan. Para kepala desa semakin menghindar bila ditanya tentang pembayaran dan
pengaturan dengan perusahaan. Praktik ini menyebabkan semakin sulitnya memperoleh
informasi akurat dan mengindikasikan kurangnya transparansi di tingkat desa.
Kurangnya transparansi juga mempengaruhi penggunaan fee untuk tujuan
pembangunan desa secara umum. Warga desa menyisihkan sedikit untuk keperluan
umum, seperti yang ditunjukkan dalam Kotak 5.1 Beberapa kepala desa menjelaskan
bahwa meski sudah menyarankan sebagian uang itu disimpan atau dialokasikan untuk
pembangunan masyarakat, umumnya warga desa menolak karena kurangnya kepercayaan.
Pada banyak kasus, warga desa sering mengalami para pemimpinnya menggunakan dana
desa tanpa diskusi atau persetujuan warga desa. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
ini menyebabkan warga desa memilih ‘opsi aman’ yaitu: bagikan semuanya!
Kebanyakan rumah tangga membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan pokok
seperti makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan atau barang mewah (a.l. perangkat
elektronika). Di awalnya orang mudah terbujuk para pedagang keliling agar membeli
barang; sebagian bahkan secara kredit. Para pedagang yang mengetahui waktu pembayaran
oleh perusahaan akan datang membawa berbagai barang dagangan, dan lambat-laun
jumlahnya semakin banyak. Seorang guru di sebuah desa menceritakan bagaimana sebuah
keluarga baru saja membelanjakan uang fee mereka untuk membeli barang mewah, namun
beberapa hari kemudian terpaksa meminjam uang untuk membiayai pengobatan salah satu
anak mereka. Menurutnya, pengalaman ini meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
perlunya lebih berhati-hati membelanjakan uang, terutama mengingat relatif kecilnya
peluang mereka untuk menghasilkan uang.
Persepsi dari dalam dan dari desa-desa tetangga adalah bahwa sedikit saja uang hasil
IPPK berdampak jangka panjang. Komentar desa tetangga tentang kurangnya dampak
itu bisa saja karena kecemburuan, namun para tokoh di desa-desa tempat operasi IPPK
juga mengakui bahwa uang IPPK memiliki kontribusi kecil terhadap perbaikan kondisi
kehidupan masing-masing keluarga.
Keuntungan non-tunai dari IPPK
Di enam dari tujuh desa, ada perjanjian dengan perusahaan untuk melakukan beberapa
pembangunan infrastruktur, dan di empat desa, untuk membangun perkebunan. Tabel 5.5
menunjukkan keuntungan non-tunai dari perjanjian ini.
Kotak 5.1 Penggunaan uang IPPK untuk pembangunan desa:
contoh dari Punan Adiu
Saat masyarakat Punan Adiu menerima pembayaran pertama dari perusahaan IPPK,
kepala desa menyisihkan 50 persen dari dana itu dan menyimpannya di rekening bank.
Tidak lama setelah itu, warga desa menggunakan sebagian dana itu untuk membeli 3
meter kubik kayu papan untuk setiap keluarga untuk memperbaiki rumah mereka atau
membangun rumah baru.
Pengaturan ini menguntungkan masyarakat secara keseluruhan dan menunjang
pembangunan jangka panjang. Namun kepala desa itu mengakui bahwa dia terus
menerus mendapat tekanan dari warga desa untuk membagi uang yang tersisa. Dalam
pembayaran fee selanjutnya, jumlah fee langsung disalurkan secara merata ke semua
rumah tangga dan tidak ada sisa uang yang disimpan di kas desa.
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
95
Perusahaan bersedia menyediakan alat berat yang relatif mahal misalnya, untuk
pembangunan jalan dan perataan kawasan untuk perluasan desa. Pembangunan jalan
memang diperlukan untuk memudahkan pengambilan kayu, sehingga perusahaan tidak
perlu mengeluarkan biaya tambahan. Perataan lahan di sekitar pemukiman untuk perluasan
desa menimbulkan biaya tambahan bagi perusahaan, dan desa sulit memastikan bantuan
ini benar-benar diwujudkan. Pembangunan infrastruktur lain seperti rumah, kantor desa
atau balai desa hanya sebagian dipenuhi.
Seperti pada negosiasi fee, warga desa juga belajar dari desa-desa lain dalam negosiasi
keuntungan non tunai. Awalnya, banyak tuntutan non tunai yang disepakati, namun
hanya sedikit yang terwujud. Lambat-laun jumlah tuntutan berkurang tetapi persentase
pemenuhan tuntutan meningkat. Desa-desa yang pertama terlibat, seperti Bila Bekayuk,
mengajukan daftar tuntutan panjang, namun tidak menerima apa pun, dan Langap hanya
menerima sedikit keuntungan non-tunai. Desa-desa Setarap-Punan Setarap, Adiu–Punan
Adiu dan Nunuk Tanah Kibang menerima sekitar setengah dari fasilitas yang dijanjikan.
Sengayan mengajukan sedikit tuntutan non tunai di luar fee dan terpenuhi semua. Tanjung
Nanga, penerima fee tertinggi, sama sekali tidak dijanjikan fasilitas tambahan.
Tidak ada perusahaan yang berusaha memenuhi janji membangun perkebunan.
Anehnya, warga desa tampaknya tidak terlalu peduli. Awalnya, mereka mempunyai
harapan tinggi bahwa mereka tidak hanya akan menerima uang dari IPPK, tetapi
juga perkebunan yang akan memberi sumber pendapatan yang stabil di masa depan.
Kemungkinan besar, setelah mengalami sulitnya menagih pembayaran fee, warga desa
menyadari bahwa pembangunan perkebunan akan lebih sulit lagi diwujudkan. Beberapa
warga juga menyebutkan bahwa karena perkebunan akan dibangun di daerah terpencil di
wilayah desa mereka, maka kemungkinan keberhasilannya pun akan kecil.
Ketenagakerjaan
Awalnya, warga desa membayangkan bahwa IPPK akan menyediakan lapangan kerja bagi
masyarakat setempat karena banyak warga desa yang mempunyai pengalaman bekerja
pada perusahaan kayu di Malaysia. Selama negosiasi, pengusaha berjanji akan memberikan
pekerjaan kepada warga desa. Tetapi, dalam tiga kasus, warga desa langsung kecewa karena
perusahaan-perusahaan itu membawa kru lengkap dan tidak memberikan lapangan
kerja kepada mereka. Pada dua dari tiga kasus ini, warga desa melakukan demonstrasi
ke perusahaan tersebut, yang kemudian membuka beberapa lowongan pekerjaan kepada
masyarakat setempat. Sekitar 40 orang bekerja dalam operasi pembalakan sebagai operator
mesin gergaji dan alat-alat berat.
Warga desa segera menyadari bahwa bekerja di perusahaan tersebut tidak sebaik yang
mereka harapkan. Tingkat gajinya disamakan dengan daerah Kalimantan Timur yang lain
(misalnya 2.750 rupiah per meter kubik untuk operator mesin gergaji), meskipun biaya
hidup di Malinau jauh lebih tinggi. Kedua, beberapa perusahaan tidak membayar karyawan
mereka selama beberapa bulan berturut-turut. Pekerjaan sampingan, seperti mengolah dan
menjual kayu untuk konsumsi lokal, ternyata memberikan pendapatan yang lebih baik.
Di satu desa, warga desa pemasok papan kayu ulin kepada pengusaha memperoleh
400.000 rupiah per meter kubik. Traktor-traktor perusahaan pembalakan menarik
gelondongan kayu ulin keluar dari hutan secara gratis. Operator gergaji mesin mengklaim
mampu memproduksi sekitar 1 meter kubik kayu papan per hari. Karena pengusaha
membeli beberapa puluh meter kubik, hal ini menambah pendapatan cukup besar bagi
para operator gergaji mesin. Ada selisih sangat besar antara bayaran fee per meter kubik
96
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Tabel 5.5 Keuntungan non-tunai bagi desa-desa di DAS Malinau dari IPPK mulai tahun 2000 hingga
Juni 2003
Setarap–Punan
Setarap
Adiu–Punan Adiu
Bila Bekayuk
Sengayan
Keuntungan non-tunai yang
diterima
Jalan akses, perataan kawasan untuk
perluasan desa, kantor desa
Jalan akses, perataan kawasan untuk
perluasan desa, kantor desa, balai
desa, Puskesmas, generator, mesin
penggiling padi
–
Nunuk Tanah
Kibang
Balai desa, mesin penggiling padi,
atap baja 5.000 lembar
Perataan kawasan untuk perluasan
desa, mesin pemotong semak,
bantuan beras
30 rumah, pompa air, dua tangki air,
mesin pemotong rumput, beasiswa
Tanjung Nanga
–
Langap
Janji yang tidak ditepati
Gereja, perkebunan rotan, sawah
Kantor desa, balai desa, Puskesmas, mesin
penggiling padi,a perkebunan rotan.
Rumah untuk setiap rumah tangga, kantor
desa, balai desa, Puskesmas, sekolah, TV,
perkebunan kopi/pinang/pulp.
–
Truk,b perkebunan lada/merica
Balai desa dan kantor desa; beasiswa
hanya diberikan untuk periode yang
singkat
–
Catatan:
a Perusahaan telah berjanji untuk membangun kantor desa, balai desa, generator dan puskesmas kepada masing-masing
desa. Namun, hanya satu desa yang menerima semua fasilitas tersebut; desa lainnya tidak menerima sama sekali.
b Truk dikembalikan kepada perusahaan karena harganya yang tinggi dan akan dikurangkan dari jumlah fee yang diterima
Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan berkala ke desa-desa antara tahun 2000
sampai 2003
di desa ini (20.000 rupiah) dengan pendapatan dari papan kayu ulin (400.000 rupiah
per meter kubik). Meski begitu, sumber pendapatan ini tidak dapat diakses oleh semua
keluarga karena kurangnya keterampilan dan peralatan. Juga perlu dicatat bahwa sumber
kayu ini tersedia dengan bantuan peralatan dari IPPK; kalau tidak, sebagian besar kayu
ulin tersebut tidak dapat diambil. Eksploitasi kayu ulin memberikan keuntungan yang
lebih besar bagi pengusaha, yang dapat menjual kayu ulin di Malinau dengan harga di
atas 1 juta rupiah per kubik, dibandingkan dengan operator yang (bekerja keras untuk)
memperoleh 400.000 rupiah per meter kubik.
Kehadiran IPPK memberi manfaat tambahan, misalnya transportasi. Di semua desa,
masyarakat biasa menggunakan kendaraan perusahaan untuk melakukan perjalanan
ke ladang, pergi ke Malinau, atau mengangkut kayu untuk keperluan pribadi. Banyak
warga di sebagian besar desa menikmati peluang menggergaji kayu untuk penjualan lokal.
Kehadiran pekerja perusahaan membuka peluang penjualan sayur, daging dan ikan.
Dampak terhadap hutan
Warga desa mengamati bahwa pembalakan membawa dampak nyata terhadap hutan,
namun seperti terlihat di Tabel 5.6, mereka kurang mempedulikan luas sebenarnya wilayah
yang terpengaruh. Sebagian besar perkiraan merujuk pada luasan sesuai yang tertulis
dalam izin pemerintah. Sebagian mengklaim bahwa dampak terhadap hutan terbatas
karena pembalakan yang dilakukan bersifat selektif. Namun, di desa-desa lainnya, anggota
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
97
masyarakat menyaksikan hanya sedikit pohon berdiameter di atas 30cm yang tersisa dan
bahwa operasi pembalakan banyak merusak tanah. Di empat desa, operasi pembalakan
merusak kebun dan ladang masyarakat tanpa ada konsultasi terlebih dahulu.
Tabel 5.6 menunjukkan luasan yang sebenarnya terdampak operasi pembalakan
jauh lebih kecil daripada luasan konsesi yang diberikan kepada IPPK. Fakta ini mungkin
mengejutkan mengingat pengawasan dari instansi pemerintah terhadap IPPK ini sangat
sedikit. Dalam kasus Malinau, ada tiga faktor yang memperkecil dampak operasi IPPK
terhadap hutan. Pertama, di Daerah Aliran Sungai Malinau, kayu komersial mudah tersedia
dengan jarak tidak jauh dari jalan-jalan pembalakan yang sebelumnya dibangun oleh para
pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Kedua, banyak IPPK menggunakan alat berat bekas
yang kondisinya buruk, sehingga menghalangi operasi pembalakan besar-besaran karena
seringkali alat berat rusak. Ketiga, selama periode ini harga kayu sangat rendah, sehingga
mendorong IPPK untuk menekan biaya untuk mempertahankan margin keuntungan.
Masalah lainnya adalah medan di Malinau yang berbukit-bukit yang menghambat
eksploitasi pengusahaan hutan selama 20 tahun terakhir ini.
Survei lapangan di daerah yang terdampak oleh pembalakan membuktikan perlu
berhati-hati dalam menggunakan citra satelit untuk memperkira­kan kawasan total hutan
yang terdampak. Hasil survei yang menunjukkan bahwa sebagian kawasan penebangan
pada masa awal (tahun 2000 sampai 2001) tidak tampak dalam citra satelit karena cepatnya
pertumbuhan kembali hutan.
Meskipun dampak langsung pada hutan selama dua tahun terakhir relatif kecil,
IPPK telah memperluas jaringan jalan di Daerah Aliran Sungai Malinau. Pada citra satelit
(Landsat, Januari 2003), jalan-jalan utama dan jalan sarad termasuk dalam 69 persen
dampak terhadap hutan yang masih terlihat (lihat Tabel 5.7). Perluasan jaringan jalan ini
membuka peluang untuk pengusahaan hutan di kemudian hari.
Pada bulan Juni 2003, elit desa dan anggota masyarakat yang terlibat dalam IPPK
cenderung meremehkan dampak negatif operasi IPPK terhadap hutan. Ini terjadi setelah
IPPK berhenti beroperasi dan banyak desa menegosiasikan kesepakatan baru dengan
perusahaan, mengharapkan berlanjutnya pembalakan dan aliran fee. Tampak jelas bahwa
keuntungan dari pembayaran lebih penting daripada masalah-masalah di atas. Salah satu
sebabnya adalah desa-desa kurang memiliki alternatif untuk memperoleh uang tunai
sementara kebutuhan uang tunai dan barang-barang konsumsi semakin meningkat. Pada
bulan November 2002 Bupati Malinau menyatakan bahwa semua izin IPPK tidak akan
diperpanjang. Selama masa transisi, para pengusaha berusaha memperoleh izin baru untuk
mengalihkan IPPK menjadi Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
dengan luas maksimum 50.000 hektar – mencakup daerah yang lebih luas dan jangka
waktu lebih lama – yang diatur seperti model konsesi (HPH) di masa lalu. Para pengusaha
mendekati desa-desa untuk mendapat dukungan agar pembalakan di wilayah desa bisa
dilanjutkan. Kami menemukan setidaknya ada tiga kasus di mana warga desa merasa
bahwa dengan meremehkan dampak pembalakan terhadap hutan bisa meningkatkan
peluang diterbitkannya izin yang baru. Pada saat yang sama, desa-desa yang menerima
keuntungan terbatas atau desa-desa tanpa IPPK cenderung lebih berterus terang tentang
dampak negatif pembalakan pada kondisi hutan.
Dampak pada wilayah desa
Pada tahap awal, desa-desa memahami bahwa IPPK hanya mau beroperasi di kawasan desa
yang tidak dalam sengketa. Maka, untuk menarik IPPK, desa-desa harus menyelesaikan
98
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Tabel 5.6 Perbandingan antara luasan sebenarnya dan luasan perkiraan yang terpengaruh oleh
operasi IPPK
Setarap–Punan Setarap
Adiu–Punan Adiu
Bila Bekayuk
Sengayan
Langap
Nunuk Tanah Kibang
Tanjung Nanga
Luas menurut informana Luas menurut izin Luas menurut pencitraan
(hektar)
(hektar)
satelitb (hektar)
3000–10.000
1200
207
1500
1500
532
TT
1050
299
1300
2000
18
5000
3000
554
2000
2000
220
1600
2000
121
Catatan:
a Pada bulan Juni 2003, satu hingga empat kepala desa diminta memberi estimasi tentang wilayah hutan yang ditebang
oleh IPPK.
b Penafsiran pencitraan Landsat, Januari 2003.
TT= tidak tersedia.
Sumber: Data lapangan berdasarkan wawancara dan kunjungan pemantauan reguler ke desa-desa antara tahun 2000 hingga
2003 dan penafsiran pencitraan Landsat, Januari 2003
konflik batas desa yang masih ada. Dalam beberapa kasus, kondisi ini positif dan merangsang
desa bertetangga untuk bersepakat tentang batas desa. Dalam kasus lain, hal ini justru
memperburuk sengketa mengenai wilayah desa dan pengendalian sumberdaya alam. Dalam
tiga kasus, konflik tersebut adalah antara dua desa yang terletak dalam satu pemukiman.
Sebelum IPPK datang, akses ke hutan-hutan di wilayah desa itu diatur dengan hukum
adat yang longgar. Setelah kedatangan perusahaan, desa-desa mempermasalahkan siapa
yang paling berhak atas kawasan-kawasan hutan tertentu dan berhak mendapatkan bagian
keuntungan yang lebih besar. Dalam satu kasus, satu desa sama sekali tidak diberi hak
berdasarkan argumen bahwa mereka baru tinggal di kawasan tersebut sekitar 30 tahun lalu.
Dalam dua kasus lainnya, pada mulanya keuntungan dibagi kurang lebih sama. Namun
kemudian pembahasan tentang pembagian keuntungan dan pengendalian atas bagianbagian tertentu wilayah desa menjadi semakin memanas. Dalam satu kasus, salah satu
alasan penghentian dini operasi pembalakan oleh IPPK adalah karena tidak tercapainya
persetujuan antara kedua desa.
Di dua wilayah lainnya, masalah pengendalian atas sumberdaya alam dan kawasan
menjadi sulit. Beberapa keluarga berpengaruh, misalnya, kepala adat besar atau keturunan
dari sultan memiliki gua-gua sarang burung (lihat Bab 4), dan hak-hak mereka telah diakui
sejak zaman kolonial Belanda. Dengan menggunakan pengakuan hak terhadap gua-gua ini,
mereka mengklaim wilayah hutan yang luas dan bisa memperoleh izin IPPK. Dalam satu
kasus, masyarakat dengan wilayah desanya di mana terdapat gua-gua tersebut menerima
sekitar separuh keuntungan dari operasi pembalakan.3 Namun anggota masyarakat curiga
dan mengeluh bahwa mereka hanya menerima sebagian kecil dari keuntungan dibandingkan
dengan para pemilik gua. Dalam kasus kedua, hak-hak masyarakat di wilayah ini benarbenar diabaikan dan hanya para pemilik gua yang menerima keuntungan dari IPPK.
Saat ini masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan tentang sejauh mana penerbitan
IPPK mempengaruhi akses ke, dan hak atas, kawasan-kawasan tertentu. IPPK diterbitkan
untuk pembalakan di wilayah adat, jadi hal ini dapat ditafsirkan sebagai pengakuan tidak
langsung pemerintah kabupaten atas klaim masyarakat. Selama ini Pemerintah Daerah
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
99
Tabel 5.7 Luasan dan persentase kerusakan hutan akibat pembangunan jalan terhadap total hutan yang
terpengaruh oleh operasi IPPK
Desa
Setarap–Punan Setarap
Adiu–Punan Adiu
Bila Bekayuk
Sengayan
Langap
Nunuk Tanah Kibang
Tanjung Nanga
Rata-rata
Kawasan yang
terpengaruh
pembangunan jalan
IPPK (hektar)
81
387
299
12
384
125
96
Total Kawasan hutan
yang terdampak oleh
IPPK (hektar)
207
532
299
18
554
220
121
Jalan sebagai
persentase kawasan
hutan yang
terdampak
39
73
100
67
69
57
79
70
Sumber: Interpretasi citra Landsat, Januari 2003
ragu untuk menangani masalah pengakuan hak-hak tradisional karena terdapat banyaknya
kelompok suku dan penafsiran adat yang berbeda-beda (lihat Bab 11). Dari sisi masyarakat,
hingga kini tidak ada contoh tentang di mana mereka menggunakan penerbitan izin IPPK
untuk memperkuat klaim mereka atas kawasan tertentu. Namun para pemilik gua sarang
burung walet lebih cenderung menggunakan IPPK sebagai alat untuk memperluas dan
memperkuat klaim mereka atas hutan yang berdekatan dengan gua-gua tersebut.
Apa pelajaran yang bisa dipetik?
Keuntungan jangka pendek versus kepentingan jangka panjang
Masa-masa pemberian izin IPPK merupakan masa perubahan cepat dan penuh
ketidakpastian. Kabupaten Malinau baru saja dibentuk, otonomi daerah harus dilaksanakan,
wewenang kebijakan kehutanan diperdebatkan dan pandangan pemerintah atas masalahmasalah seperti hak milik, adat, dan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan hutan
tidak jelas. Situasi tidak menentu ini tidak memberi dorongan bagi desa-desa, terutama
kepala desa, untuk memikirkan kepentingan jangka panjang. Misalnya, tidak jelas apakah
pemerintah kabupaten akan mengakui hak milik desa berdasarkan klaim adat. Sebaliknya,
dalam hal mengendalikan dan mengalokasikan sumberdaya alam pemerintah kabupaten
mungkin mengikuti sistem sentralisasi yang serupa dengan era Orde Baru. Faktor lainnya
adalah bahwa perusahaan menekan warga desa agar segera mencapai persetujuan. Dalam
banyak kasus, terbukti keuntungan jangka pendek lebih penting daripada kepentingan
jangka panjang (lihat Bab 9 untuk kasus khusus).
Cara perjanjian dilihat
Warga desa sadar bahwa perjanjian tertulis dengan perusahaan sangat diperlukan. Tetapi
karena kurang pengalaman dan mungkin terlalu percaya kepada perusahaan (karena
hubungan dengan para makelar sebelumnya dan kuatnya pengaruh jaringan), perjanjian
yang dibuat tidak jelas atau ambigu. Misalnya, tidak ditentukan ukuran bangunan atau
lokasi yang akan diratakan, jadwal atau ketentuan pembayaran. Berbagai perusahaan
100
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
menyarankan agar perjanjian disahkan dengan akta notaris, seolah-olah memberi landasan
hukum yang kuat. Tetapi, warga desa tidak pernah ditanyai tahu/tidaknya menggunakan
akta notaris untuk mengambil tindakan hukum jika perlu. Akhirnya, akta notaris tidak
pernah digunakan untuk mengambil langkah hukum terhadap perusahaan meskipun
ternyata ada janji-janji yang tidak dipenuhi.
Ketidakjelasan dalam perjanjian tertulis memberi banyak peluang bagi perusahaan
untuk mengartikan perjanjian yang menguntungkan mereka. Misalnya, masyarakat
menerima pembayaran sebelum perusahaan memulai pembalakan. Pada saat uang itu
diserahkan, uang itu dinyatakan sebagai tambahan. Tetapi jumlah uang tersebut kemudian
dipotong dari pembayaran pertama. Tidak secara jelas ditentukan jadwal pembayaran,
sehingga sering terjadi penundaan pembayaran fee.
Kurangnya transparansi
Selama IPPK beroperasi, warga desa kesulitan memperoleh informasi tentang apa yang
sedang terjadi. Para makelar dan perusahaan bergegas memanfaatkan peluang yang
tercipta oleh desentralisasi sedangkan di tingkat masyarakat, warga dan lembaga tidak
siap menghadapi cepatnya perubahan. Peran kepala desa menjadi sangat penting karena
perusahaan lebih suka berhubungan dengan satu wakil saja. Mereka tidak tertarik pada
mekanisme pertanggung jawaban di tingkat desa. Dapat dibayangkan betapa besarnya
godaan korupsi/kolusi bagi para kepala desa. Selama negosiasi tahap awal, muncul banyak
peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan kemungkinan terbongkar sangat
kecil akibat kurangnya mekanisme pengawasan.
Transparansi juga sangat diperlukan selama pembalakan. Pada beberapa kasus,
perusahaan menyetujui pengawasan masyarakat terhadap produksi kayu. Namun pada
praktiknya perusahaan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah setiap perjalanan
ke kawasan pembalakan. Hal ini menyebabkan ketidak jelasan data produksi. Rendahnya
keandalan data angka produksi meningkatkan kecurigaan terhadap kepala desa yang
menerima pembayaran fee. Warga desa tidak bisa memeriksa apakah kepala desa mengurangi
pembayaran atau tidak. Inspeksi independen ke kawasan pembalakan yang dilakukan
warga desa membuat mereka tahu kondisi yang sebenarnya. Namun karena merupakan
prakarsa pribadi, hanya sedikit tindakan kolektif yang diambil meskipun dilaporkan ada
pelanggaran.
Dukungan bagi masyarakat
Selama masa perubahan cepat ini, warga desa hanya punya peluang kecil untuk mencari
informasi atau dukungan untuk mempertimbangkan opsi-opsi ekonomi atau membuat
kontrak dengan perusahaan kayu. Nyaris tidak ada Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) aktif di Kabupaten Malinau. Bahkan ada LSM yang dituduh menjadi makelar
untuk sebuah perusahaan kayu. Selama tahap awal ini, kapasitas pemerintah kabupaten
terbatas dan seringkali hanya melakukan sekali kunjungan singkat ke masyarakat untuk
mendampingi makelar atau staf perusahaan, sehingga warga desa tidak punya banyak
pilihan mencari bantuan saat diperlukan. Dalam satu kasus, ketika sebuah desa tidak
menerima keuntungan apa pun dari IPPK, sebuah desa tetangga mendukung mereka dan
akhirnya fee IPPK dibayarkan. Perusahaan biasanya memberi batas waktu pada beberapa
desa untuk mencapai kesepakatan, sehingga mengurangi kesempatan bagi desa untuk
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
101
berkonsultasi dengan pihak lain tentang hal-hal penting, seperti pembagian pembayaran,
luasan dan lokasi kawasan.
Pemberdayaan masyarakat
Pada awalnya, warga desa merasa peran mereka dalam IPPK sangat penting. Baru kali ini
pengusaha harus menghubungi mereka dan bahwa mereka dapat melakukan penawaran
secara langsung. Surat perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan tampak sangat
penting dalam prosedur perizinan. Adanya peluang bahwa anggota masyarakat bisa
mengawasi operasi pembalakan semakin membuat mereka merasa diberdayakan. Namun
setelah euforia awal ini, warga desa segera menyadari kecilnya peran mereka sebenarnya,
dan sulitnya melaksanakan sendiri peran mereka.
Beberapa penduduk setempat bekerja untuk mengawasi operasi IPPK, seperti
mengawasi ukuran pohon yang ditebang dan mengukur total volume yang ditebang.
Tetapi pada beberapa kasus, perusahaan membayar anggota masyarakat yang ditugasi
memeriksa operasi pembalakan dan mencegah agar mereka tidak mengunjungi kawasan
tebangan. Bahkan di Tanjung Nanga, meskipun masyarakat menggaji sendiri pengawas
operasi pembalakan, perusahaan berusaha mencegah atau menghalangi agar mereka
tidak melaksanakan tugas. Di sisi lain, warga desa yang memasuki kawasan tebangan
untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan, juga mengawasi operasi pembalakan
yang sebenarnya. Tetapi tidak ada kasus di mana laporan dari pengawasan informal ini
mengakibatkan tindakan terhadap perusahaan kayu jika diketahui adanya pelanggaran.
Ketika menyadari kecilnya kendali yang dimiliki, warga desa berupaya untuk
memperoleh sebanyak mungkin keuntungan nyata. Sasaran utama mereka adalah menuntut
pembayaran tunai. Meski hanya mempunyai sedikit sarana untuk mengendalikan operasi
pembalakan, namun desa mempunyai satu alat yang kuat untuk memaksa perusahaan:
menghentikan operasi pembalakan dengan memblokade jalan atau menyita alat-alat
berat. Beberapa desa telah berusaha menegakkan perjanjian dengan negosiasi atau surat
menyurat, tetapi kurang berhasil. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, mereka kemudian
mengandalkan demonstrasi.
Proses pembelajaran
Pengalaman di Daerah Aliran Sungai Malinau menunjukkan bahwa desa-desa cepat belajar
dari pengalaman desa tetangga. Seperti telah disebutkan, tuntutan fee per meter kubik
berangsur-angsur naik. Proses negosiasi juga menjadi lebih canggih, termasuk diadakannya
pertemuan desa untuk membahas penawaran dari perusahaan dalam prosedur negosiasi
dan selalu ada daftar warga desa yang menghadiri pertemuan untuk menunjukkan luasnya
dukungan atas kesepakatan dan lebih terincinya pengaturan yang disepakati. Dengan cepat
desa-desa menyesuaikan teknik-teknik negosiasi dengan perusahaan. Awalnya, mereka
berusaha menegakkan perjanjian melalui dialog antara para kepala desa dengan wakil
perusahaan atau mengirim surat dengan salinan yang dikirim ke pemerintah kabupaten.
Karena cara-cara ini kurang membuahkan hasil, desa-desa melakukan atau mengancam
akan memblokade jalan untuk memastikan perusahaan segera memberi respon, yang biasa
terlaksana.
102
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Apa arti untuk masa depan?
Warga desa ingin ikut berperan dalam mengelola hutan di wilayah mereka. Pengalaman
dengan IPPK telah meningkatkan keinginan mereka untuk terlibat dalam proses negosiasi
tentang pengelolaan atau penggunaan hutan. Namun usaha pembalakan skala kecil tidak
meningkatkan pengelolaan oleh masyarakat. Peran desa terbatas pada pemberian izin
untuk masuk ke wilayah mereka, tetapi kendali tetap dipegang oleh pemerintah kabupaten.
Proses negosiasi seharusnya tidak hanya terfokus pada keuntungan desa dari eksploitasi
hutan di wilayah mereka, tetapi juga kebutuhan untuk mengatasi masalah pemanfaatan
dan pengelolaan hutan. Umumnya desa-desa di Daerah Aliran Sungai Malinau ingin
mempertahankan hutan di dekat pemukiman mereka untuk berbagai pemanfaatan dan
mengharapkan hutan yang lebih terpencil bisa diambil kayunya.
Warga desa telah terbukti cepat belajar dalam bertransaksi dengan IPPK. Informasi
tambahan tentang berbagai peraturan yang berlaku dapat membantu mengurangi konflik
dan memperbaiki implementasi. Misalnya, desa bisa diberi informasi tentang manfaat atau
praktik-praktik standar silvikultur yang harus dilakukan oleh perusahaan kayu. Desa lalu
akan bisa lebih percaya diri mengawasi operasi pembalakan di hutan dan melaporkan jika
ada pelanggaran peraturan. Semakin banyak informasi di tingkat desa akan bisa mengurangi
harapan yang tidak realistis, sehingga mengurangi potensi sumber konflik.
Banyak masalah di tingkat desa yang terkait dengan IPPK bersumber dari kurangnya
keandalan informasi dan transparansi. Peningkatan transparansi tampaknya berlawanan
dengan kepentingan elit desa. Pengalaman menunjukkan (baik di Malinau maupun di
Kutai Barat) bahwa warga desa tidak keberatan jika orang-orang yang terlibat dalam
pengelolaan pengusahaan hutan menerima keuntungan tambahan selama pembagian
keuntungan itu wajar.
Saat ditanya tentang aspek positif IPPK, jawaban pertama adalah keuntungan ekonomi.
Peluang bagi desa untuk memperoleh keuntungan langsung dari pengusahaan hutan telah
mengubah persepsi tentang nilai sumberdaya hutan. Untuk sistem pengelolaan hutan di
masa depan perlu diseimbangkan antara keuntungan ekonomi jangka pendek yang biasa
diperoleh warga dan tetap menjaga opsi-opsi jangka panjang.
Jika tidak diciptakan mekanisme penyelesaian konflik dengan cepat dan adil, warga
desa mungkin akan terus mengandalkan demonstrasi. Desa telah kecewa dengan mekanisme
penanganan konflik yang ada, dan mulai mengandalkan cara pemecahan masalah yang
lebih radikal. Untuk menghindari peningkatan konflik harus diterapkan mekanisme
alternatif yang efektif.
Penelitian kami menunjukkan bahwa selama dua tahun operasi IPPK di Daerah Aliran
Sungai Malinau, dampak langsungnya pada hutan relatif kecil. Hal ini lebih disebabkan
faktor keberuntungan daripada akibat dari baiknya rancangan dan penerapan kebijakan
pengelolaan hutan. Berubahnya keadaan, seperti habisnya sumber kayu di tempat lain
maupun naiknya harga kayu secara drastis, bisa berakibat tidak terkendalinya eksploitasi
di kawasan ini jika tidak dikembangkan sistem “checks and balances”. Penambahan jalan
telah membuka kawasan-kawasan baru dengan volume kayu tinggi, sehingga akan menarik
minat pengusahaan hutan dan meningkatkan tekanan pada sumberdaya hutan.
Dua tahun operasi IPPK di Kabupaten Malinau memberi pengalaman penting baik di
tingkat desa maupun di tingkat kabupaten. Penangguhan pengusahaan hutan sekarang ini
dapat memberi peluang bagi kedua belah pihak untuk memikirkan kembali dan membahas
isu-isu seperti pelibatan desa dalam pengelolaan hutan, akses dan hak kepemilikan,
Dampak Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
103
transparansi dan penyebaran informasi dari tingkat desa ke tingkat kabupaten, dan
mekanisme untuk pengelolaan konflik.
Catatan
1 Penentuan diameter yang boleh ditebang di dalam izin IPPK tidak konsisten. Pada empat
kasus, izin tersebut menetapkan diameter pohon harus di atas 8cm; dalam dua kasus di atas
40cm; dan dalam satu kasus di atas 50cm.
2 Pada sebuah kasus di kabupaten Kutai Barat, jumlah fee yang diterima oleh pengurus yang
tercantum dalam dokumen resmi termasuk tinggi, yaitu: 10.000 rupiah per meter kubik.
Pengurus bukan kepala desa, dan dalam banyak kasus, mereka dipilih oleh masyarakat
untuk mengatur pembagian fee pembalakan.
3 Hal ini berdasarkan informasi dari kunjungan berkala ke desa ini. Namun diduga ada
pemberian pembayaran tambahan langsung kepada para pemilik gua karena salah satu
pekerja rendahan di perusahaan yang berasal dari desa itu mengakui bahwa dia telah
menerima fee pribadi per meter kubik.
Rujukan
Wollenberg, E., Iwan, R., Limberg, G., Moeliono, M., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2007.
Muddling towards cooperation: spontaneous orders and shared learning in Malinau
district, Indonesia, dalam Fisher, R., Prabhu, R. dan McDougall, C. (penyunting)
Adaptive collaborative management of community forests in Asia: experiences from Nepal,
Indonesia and the Philippines, Center for International Forestry Research (CIFOR),
Bogor, Indonesia.
6
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
Negosiasi dan hasil Kesepakatan IPPK antara
Masyarakat dan Broker di Malinau
Charles Palmer1
Peraturan mengenai pemanfaatan kayu skala kecil – Izin Pemungutan dan Pemanfaatan
Kayu (IPPK) – ditetapkan pada tahun 2000 oleh pemerintah Kabupaten Malinau,
menyusul peraturan serupa yang diberlakukan di semua kabupaten di Kalimantan Timur
dan di banyak daerah hutan Indonesia, agar masyarakat lokal bisa ikut mendapatkan
manfaat dari usaha pembalakan (logging) skala kecil. Untuk pertama kalinya, masyarakat
yang bergantung pada hutan di Malinau mendapat kesempatan untuk memanfaatkan
kekayaan alamnya. Bab ini mengkaji faktor-faktor mana yang menyebabkan beberapa desa
memperoleh keuntungan lebih besar dari perundingan dengan sistem pemanfaatan kayu
skala kecil di Malinau paska desentralisasi.
Pada suatu keadaan tertentu, masyarakat bisa lebih berpeluang memperoleh
keuntungan. Masyarakat yang lebih terorganisasi, memiliki akses terhadap informasi, serta
lebih berpengalaman berurusan secara langsung dengan pihak luar maupun perusahaan
pembalakan, akan mampu merundingkan keuntungan lebih besar daripada masyarakat
marginal yang terpecah, tidak terorganisir dan berpengharapan rendah. Dengan
terorganisasi, masyarakat bisa membentuk jaringan kuat pertukaran informasi mengenai
peluang dan harga. Bagusnya pengorganisasian dapat tercermin dari tingginya tingkat
partisipasi dalam lembaga dan musyawarah desa yang membahas akses dan penggunaan
hutan desa.2 Selain itu, masyarakat berpendapatan lebih tinggi dan lebih tergantung pada
hasil hutan akan bisa membuat kesepakatan lebih menguntungkan daripada masyarakat
yang miskin dan lebih rendah ketergantung­annya pada hasil hutan. Masyarakat miskin
diduga memiliki tingkat diskon lebih tinggi (Pearce and Warford, 1993).
106
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Guna menggali isu ini, telah dibahas sejumlah tema, termasuk subkontrak, keterpinggiran
kelompok etnis tertentu di Malinau dan peran orang-orang yang mengklaim berhak atas
gua sarang burung walet. Pembahasan terfokus pada siapa berunding dengan siapa, atas
nama siapa, bagaimana caranya, dan apa yang dirundingkan. Hasil perundingan akan
disajikan bersama realisasi pelaksanaan isi kesepakatan, disertai analisa latar belakang
hasil kesepakatan tersebut, lalu dibandingkan dengan beberapa proses serupa hasil survei
di daerah penelitian lain, Kutai Barat. Bab ini kemudian akan memeriksa faktor-faktor
yang menjelaskan perbedaan penting antara proses negosiasi dan hasil yang mengikutinya,
baik hasil kesepakatan maupun hasil pelaksanaannya. Bab ini kemudian ditutup dengan
kesimpulan.
Metode penelitian
Antara bulan September 2003 dan Januari 2004, kami mengumpulkan data lapangan di
Malinau, Kalimantan Timur, dengan melakukan wawancara pada tingkat desa dan rumah
tangga.3 Di tiap desa dilakukan satu survei desa (untuk pemimpin masyarakat yang telah
terlibat dalam perundingan awal, seperti kepala desa dan kepala adat) dan sedikitnya lima
survei rumah tangga (untuk kepala keluarga). Di Malinau, disurvei 22 desa dan 189 rumah
tangga, mencakup total 15 kesepakatan IPPK, termasuk tujuh kesepakatan bersama. Agar
dapat dibandingkan, kami hanya mensurvei kasus-kasus di mana perusahaan memulai
operasi atau memasuki wilayah masyarakat setelah diadakan perundingan.4 Di samping
itu, hanya kesepakatan pertama (dan tiap perubahan terhadapnya) yang disurvei pada
kasus-kasus kesepakatan ganda. Daftar lengkap desa yang disurvei dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 6.1, disertai beberapa data dasar mengenai lokasi desa, klaim
lahan, suku dan ukuran.
Pengorganisasian negosiasi di Malinau
Seperti dijelaskan dalam Bab 5, sebelum memanfaatkan hutan yang diklaim masyarakat,
ada langkah-langkah yang harus diikuti sebuah perusahaan. Bab ini terfokus pada broker
(perantara atau makelar) yang dalam proses ini berperan sebagai penghubung utama antara
pemerintah, kontraktor pembalakan dan masyarakat. Semua perundingan yang disurvei di
Malinau melibatkan broker, yang semuanya tinggal di Malinau Kota atau lebih jauh lagi.
Broker biasa dikenal sebagai ‘investor’, meski modal untuk kesepakatan pembalakan berasal
dari pembeli kayu. Pembeli kayu, karena faktor kedekatan dengan industri kayu raksasa
di Sabah, kebanyakan warga Malaysia dan berhubungan dengan kontraktor pembalakan
yang biasanya juga warga Malaysia.5 Pengelompokan pembeli, kontraktor dan broker ini
dapat didefinisikan sebagai ‘perusahaan’, meski definisi yang lebih akurat mungkin adalah
istilah setempat dari bahasa Belanda yaitu Commanditaire Vennootschap (CV), juga dikenal
sebagai ‘kemitraan terbatas’. Bab ini hanya akan terfokus pada negosiasi antara broker dan
masyarakat. Broker sepenuhnya mewakili ‘perusahaan’ atau CV, walau dalam beberapa
kasus broker didampingi kontraktor dalam bernegosiasi dengan masyarakat. Di sini, istilah
‘CV’ dan ‘broker’ akan digunakan secara bergantian.
Sebelumnya, broker bersama dengan aparat pemerintah kabupaten menetapkan lebih
dulu beberapa unsur kesepakatan antara masyarakat–perusahaan, seperti luas areal konsesi
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
107
Tabel 6.1 Komunitas yang disurvei di Kabupaten Malinau, September 2003–Januari 2004
Desa
Sungai
Kecamatan Malinau Barat
Batu Lidung Bengalun
Jarak
Klaim
dari
wilayah
Kota
desa (ha)
Malinau
(km)
9
Tahun
desa
terbentuk
di lokasi
sekarang
Taksiran
Jumlah
lokasi
kepala
klaim lahan keluarga
(sungai)
Kelompok
etnis
dominan
(30% atau
lebih dari
populasi)
1700
< 1963
Bengalun
156
Tagel,
Lundaye
Berusu
Punan
Sesuà
Bengalun
Punan
Bengalun
Bengalun
Kecamatan Malinau Selatan
Setarap
Malinau
15 1500–3000
30
4600
1948
1941
Bengalun
Bengalun
250
43
38
9000a
1920-an
Malinau
65
Punan
Setarap
Long Adiu
Punan Adiu
Malinau
38
1940-an
Malinau
38
Malinau
Malinau
50
50
1880
1900-an
Malinau
Malinau
26
17
Merap
Punan
80
80
Tidak
diketahuia
70.000
Tidak
diketahui
35.000
50.000
Kenyah,
Lundaye
Punan
1914
< 1971
114
34
145
Merap
Punan,
Merap
Kenyah
Langap
Malinau
Nunuk Tanah Ran
Kibang
Tanjung
Malinau
Nanga
Kecamatan Mentarang
Long Sulit
Sesayap
Long Simau
Mentarang
85
50.000
1974
Malinau
Ran/
Malinau
Malinau
5
20
1982d
1980d
Mentarang
Mentarang
32e
41e
Lundaye
Lundaye
Paking Lama
40
3000
Tidak
diketahui
122.000b
1940-an
Sesayap/
Mentarang
87
Abai,
Putuk
1
5000
1920-an
Sesayap
320
Tidung
3
4
5
5
1900-an
1960-an
1900-an
1972d
Sembuak
Sembuak
Sembuak
Semolon
60
80
30
16
Abai
Abai
Abai
Punan
5
70.000c
70.000c
70.000c
Tidak
diketahui
20.000
1968d
Mentarang
111
Lundaye
9
13
16
1000
20.000
40.000
< 1977 Semendurut
1927 Semendurut
1930s Semendurut
104
70
85
Lundaye
Tagel
Abai
Sesayap
Kecamatan Malinau Utara
Malinau
Sesayap
Seberang
Tanjung Lima Sembuak
Tajan
Sembuak
Sebatiung
Sembuak
Semolon
Sesayap
Kaliamok
Kelapis
Salap
Selidung
Kaliamok,
Semeladung
Keliamok
Semendurut
Semendurut
Catatan:
Semua data dalam tabel ini berasal dari wawancara masyarakat. Tanda ‘<‘ menunjukkan bahwa masyarakat ini baru diakui
tahun itu, tapi telah menetap di daerah tersebut (responden tidak dapat memastikan sejak kapan) sebelum tahun tersebut.
a Setarap dan Punan Setarap mengklaim sebuah kawasan hutan yang sama. Punan Setarap tidak mengetahui ukuran
hutan yang diklaimnya.
b Ini termasuk hutan yang diklaim terpisah oleh Semolon.
c Tiga desa mengklaim area 70.000ha.
d Long Sulit, Long Simau, Semolon dan Kaliamok semuanya telah pindah dari klaim lahannya semula di sepanjang Sungai
Sesayap dan Mentarang dan lebih dekat ke Malinau Kota.
d Sebagian kecil dari populasi Long Sulit dan Long Simau masih menetap di desa asal mereka dengan masing-masing 10
dan 25 kepala keluarga di tiap desa. Angka ini sudah termasuk dalam total keseluruhan.
Sumber: Wawancara dengan tokoh masyarakat dan keluarga di Malinau, September 2003 – Januari 2004
108
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
IPPK,6 batas pembalakan dan peraturan pembalakan serta kewajiban membuka perkebunan
ketika pemanenan selesai dilakukan.7 Namun sejumlah desa tetap masih membahas dan
bahkan merundingkan beberapa unsur, terutama karena masih banyak ketidakjelasan di
dalam isi peraturan (misalnya, jenis perkebunan yang akan dibuka).
Broker memulai negosiasi dengan masyarakat melalui kepala desa, yang dilakukan di
desa maupun di tempat lain.8 Kadang-kadang, seperti yang terjadi di enam desa yang kami
survei (27 persen sampel), negosiasi dimulai selama pertemuan ini dan diakhiri dengan
sebuah kesepakatan. Pada kasus lain, terjadi tawar-menawar antara kedua pihak, yang
kemudian berlanjut pada diskusi, pertemuan dan negosiasi. Sebagian dari pertemuan ini
juga dihadiri warga masyarakat lain, seperti yang disebutkan di bawah.
Biasanya pada suatu saat sebelum kesepakatan ditetapkan, diselenggarakan musyawarah
desa, meski jarang melibatkan broker secara langsung. Setelah itu disusun surat kesepakatan,
yang biasanya dilanjutkan sampai pembuatan akta notaris antara kedua belah pihak, meski
tidak selalu begitu. Semua masyarakat yang disurvei di Malinau membuat kesepakatan
dengan broker yang disahkan notaris. Cara bernegosiasi sampai diakhiri dengan akta
notaris berbeda-beda di setiap tempat, namun dari survei ini terlihat ada beberapa pola
umum yang digambarkan lebih rinci di bawah ini.
Setelah membuat surat kesepakatan di desa, berisi nama-nama keluarga dan tanda
tangan mereka, broker menyampaikan surat ini ke Kantor Dinas Kehutanan di Malinau
Kota guna mendapatkan izin IPPK. Broker juga bertanggung jawab untuk mengurus
surat-surat dan tugas-tugas administratif lainnya. Warga desa sendiri tidak mengajukan
permohonan izin secara langsung; tapi nama mereka digunakan oleh broker untuk dapat
mengklaim kepemilikan atas izin tersebut. Sebagai contoh di Adiu, CV Wana Bakti pada
praktiknya mengalihkan hak 15 keluarga (sepuluh dari Long Adiu, lima dari Punan Adiu,
masing-masing memiliki 100ha) atas nama broker, sehingga diperoleh areal seluas 1500ha
untuk IPPK. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah karena biaya permohonan
izin yang mungkin terlalu mahal bagi kebanyakan warga desa; di Malinau, sekitar 200.000
rupiah per hektar.
Tema-tema dalam pengorganisasian negosiasi
Bagian ini menggambarkan sejumlah tema utama yang mendasari negosiasi di Malinau,
diawali dengan peran broker dan pekerjaan subkontrak. Kemudian, negosiasi diuraikan
dari sudut pandang masyarakat, beberapa di antaranya didominasi oleh keluarga yang
berpengaruh dan mengklaim hak atas wilayah sarang burung walet. Selain kepentingan
kelompok lokal tertentu, pada desa yang besar dan apabila ada pengaturan bersama antar
desa, sering diperlukan negosiasi tidak langsung antara masyarakat dan broker. Hal ini
diikuti dengan penekanan pada keterwakilan Punan dalam proses negosiasi dan pada
desa dengan klaim ganda wilayah desa. Masalah terakhir ini cenderung lebih merupakan
masalah pemukiman kembali penduduk desa di Malinau.
Broker dan kegiatan subkontraktor
Broker di Malinau merupakan pemain utama dalam negosiasi IPPK. Meski bukan staf
perusahaan pembalakan yang terintegrasi secara vertikal (misalnya sebagai pemilik modal),
mereka memiliki jaringan dengan kontraktor (pelaku pembalakan yang sebenarnya),
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
109
pembeli kayu (pemilik modal), pejabat pemerintah, dan masyarakat lokal. Broker IPPK
merupakan pusat jaringan yang luas, yang semuanya (termasuk masyarakat) sangat
bergantung padanya untuk mengembangkan dan mengatur seluruh rangkaian kegiatan
untuk menghasilkan kayu: perizinan, pembelian, peralatan dan area konsesi.
Sejumlah kecil broker mendominasi pembuatan kesepakatan IPPK di Malinau,
sebagaimana di tempat lainnya di Kalimantan. Banyak broker utama di Malinau
cukup dikenal, setidaknya bagi tokoh masyarakat. Mereka biasanya orang setempat
yang sebelumnya merupakan pedagang hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau bekerja
di jaringan pembalakan ilegal. Para mantan pedagang melihat IPPK sebagai peluang
bisnis yang menguntungkan dengan jaringan perdagangan yang sudah mapan di daerah
tersebut, sementara para mantan pekerja melihat IPPK sebagai sarana untuk melegalkan
usaha mereka. Para tokoh masyarakat memandang para broker bisa membantu menarik
keuntungan dari kayu untuk kelompok-kelompok tingkat kabupaten, berlawanan dengan
periode pra-desentralisasi ketika keuntungan hanya diperoleh dan dikuasai oleh pemegang
konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dikontrol terpusat.
Dalam sampel kami, broker utama adalah Spiner (CV Putra Mentarang), Sudjarwadi
(CV Putra Surip Wijaya) dan Tengkawang (CV Wana Bakti) (lihat Tabel 6.2). Dua CV
pertama terutama aktif di utara Malinau (Selidung, Salap, Kelapis, Kaliamok, Malinau
Seberang, Tanjung Lima, Tajan dan Sebatiung), sementara Tengkawang lebih aktif di
bagian timur (Batu Lidung, Sesuà dan Punan Bengalun) dan selatan kabupaten (Long Adiu
dan Punan Adiu). Latar belakang orang-orang ini tergambarkan dari wilayah pengaruhnya.
Sebagai contoh, Spiner adalah orang Dayak Lundaye dengan hubungan keluarga di
Kaliamok, Kelapis dan Salap sedangkan Tengkawang, orang Dayak Berusu–Tionghoa,
memiliki banyak kerabat di Sesuà. Secara keseluruhan, sedikitnya tujuh desa (32 persen
dari sampel) memiliki ikatan historis atau hubungan sebelumnya dengan brokernya.
Para broker ini mendominasi wilayah pengaruh masing-masing di Malinau dan tidak
pernah ada persaingan sengit dengan broker lain dalam membuat kesepakatan dengan
desa-desa yang ada, seperti terlihat pada Tabel 6.2.9 Broker lain memang masuk ke sembilan
desa (41 persen dari sampel) ketika pembicaraan dan negosiasi untuk kesepakatan pertama
tengah berlangsung. Namun negosiasi alternatif tidak terjadi pada waktu yang sama. Broker
berkeliling dari desa ke desa untuk membuat kesepakatan, tapi umumnya tidak melakukan
negosiasi di desa yang sudah dalam proses membuat kesepakatan dengan broker yang
lain. Mereka berusaha tidak saling mengganggu urusan broker lain, terutama jika mereka
penduduk lokal di daerah aliran sungai atau desa tersebut. Jelas broker yang bergerak
lebih cepat dalam membuat kesepakatan sebanyak mungkin akan lebih untung. Ini bisa
menjelaskan ‘demam’ berburu kesepakatan dan izin dari tahun 2000 hingga 2001.
Sebagai contoh, pada akhir tahun 1999 atau awal 2000, kepala adat Selidung secara
sepihak mengklaim semua hutan di dekat sumber Sungai Semendurut, seluas sekitar
180.000ha. Ia menghubungi CV Putra Mentarang untuk mendapatkan izin areal ini, yang
juga diklaim oleh desa Luba, Seruyung, Putat dan Salap. Warga desa-desa ini melakukan
protes ke pemerintah kabupaten dan membentuk kelompok kerja terpadu, Persatuan
Dayak Sewilayah Semendurut (PADUS), untuk menyampaikan sanggahan dan kemudian
membagi-bagi hutan dengan luasan sama (20.000ha) untuk desa mereka. Pemerintah
kabupaten, bekerja sama dengan PADUS, juga membagi-bagikan hutan kepada kepala
adat Selidung sebagai tanda perdamaian dan setengah pengakuan terhadap klaimnya
semula. Selanjutnya 1000ha diberikan kepada Kelapis, sebuah desa kecil yang berpisah
dari Selidung pada tahun 1977.
Sebagian
besar warga
desa
Punan
Bengalun
Punan
Setarap
Setarap
Desa lain
Tidak
Tidak ada
Kepala desa,
kepala adat
Pemerintah
kabupaten
Kepala desa,
kepala adat,
sebagian
besar warga
desa
Kecamatan Malinau Selatan
Perusahaan,
pemerintah
kabupaten
Camat,
kepala desa,
kepala adat,
sebagian
besar warga
desa
Sesuà
Desa lain
–
Bagaimana
mereka
mengetahui
tentang IPPK
Batu Lidung Tidak
diketahui
Kecamatan Malinau Barat
Masyarakat Warga
masyarakat
yang
mengetahui
tentang IPPK
sebelum
negosiasi
Setarap
Ya
Di desa
Di desa
Di desa
Di desa
Seluruh
masyarakat
Punan
Setarap
A. Liong, Titi Pemilik (CV
Gading
Indah),
teman
Ya
A. Liong, Titi Pemilik (CV
Gading
Indah),
teman
Yabin, Sadirin Mantan
kepala desa
Sesuà, kepala
desa Sesuà
Tengkawang, Pemilik (CV
Aliang
Wana Bakti)
Tengkawang Pemilik (CV
Wana Bakti)
Lokasi rapat Perwakilan Posisi
perusahaan
pertama
antara
perusahaan
dan
masyarakat
Tabel 6.2 Negosiasi untuk kesepakatan IPPK di Malinau
Kepala
Ya, kerja
desa, kepala
adat, semua
kepala
keluarga
Kepala desa Ya, kerja
Kepala
Tidak
desa, kepala
adat, tokoh
masyarakat
Kepala desa, Ya, keluarga
kepala adat,
beberapa
warga
masyarakat
Sesuà
Kepala
Tidak
desa, kepala
adat, tokoh
masyarakat
Perwakilan Hubungan
masyarakat sebelumnya
antara
perwakilan
Tidak
Tidak
Tidak
Apakah
kesepakatan
dibuat
dalam rapat
pertama?
Kepala desa, Tidak
kepala adat,
seluruh
masyarakat
Setarap
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Orang lain
dari luar
masyarakat
yang terlibat
dalam rapat
pertama
Ya
Tidak
Ya
Ya
Diskusi
lebih lanjut
di tengahtengah
masyarakat?
Ya
Ya
Tidak
Ya
Adakah
perusahaan
lain yang
mendekati
masyarakat?
Tidak ada
Seluruh
masyarakat
Sesuà, LSM
Yayasan Adat
Punan
Bupati, kepala
desa Punan
Bengalun
Yabin, kepala
desa Sesuà
Adakah pihak
lain yang
terlibat dalam
negosiasi
setelah rapat
pertama?
110
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Perusahaan
Sebagian
besar warga
desa
Kepala desa,
kepala adat
Kepala desa,
kepala adat,
sebagian
besar warga
desa
Long Adiu
Punan Adiu
Langap
Pewaris
Long Simau Kepala desa,
kepala adat,
pewaris
Long Sulit
Kecamatan Mentarang
Perusahaan,
pemerintah
kabupaten
Perusahaan
Desa lain,
pemerintah
kabupaten
Tanjung
Nanga
Kepala desa,
sebagian
besar warga
desa
Perusahaan
Nunuk Tanah Kepala desa
Kibang
Desa lain
Pemerintah
kabupaten
Bagaimana
mereka
mengetahui
tentang IPPK
Masyarakat Warga
masyarakat
yang
mengetahui
tentang IPPK
sebelum
negosiasi
H.
Sudjarwadi
Haji Hamid
Pemilik (CV
Putra Surip
Wijaya)
Pemilik (CV
Hanura)
Tengkawang Pemilik (CV
Wana Bakti)
Kepala
desa, tokoh
masyarakat
Tidak
Malinau Kota Ase Atak
Malinau Kota Lintung
Pemilik
(CV Sinar
Busakan)
Pemilik (CV
Wana Prima
Mandiri)
Tidak
Kepala desa, Ya, keluarga,
kepala adat, kerja
pimpinan
desa,
pewaris
Pewaris
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Kepala desa, Tidak
kepala adat,
seluruh
masyarakat
Long Adiu
Kepala desa, Tidak
kepala adat,
masyarakat
Kepala
Ya,
desa, kepala pengakuan
adat, tokoh
masyarakat
Ya
Diskusi
lebih lanjut
di tengahtengah
masyarakat?
Tidak
Apakah
kesepakatan
dibuat
dalam rapat
pertama?
Tidak ada
Orang lain
dari luar
masyarakat
yang terlibat
dalam rapat
pertama
Kepala desa, Tidak
kepala adat
Perwakilan Hubungan
masyarakat sebelumnya
antara
perwakilan
Malinau Kota H. Rosalie AC Manajer
Kepala desa, Tidak
Camp (CV
kepala adat
Meranti
Wana Lestari)
Tarakan
Di desa
Long Adiu
Malinau Kota Tengkawang Pemilik (CV
Wana Bakti)
Lokasi rapat Perwakilan Posisi
pertama
perusahaan
antara
perusahaan
dan
masyarakat
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Adakah
perusahaan
lain yang
mendekati
masyarakat?
Tidak ada
Tidak
diketahui
Tidak ada
Tidak ada
Beberapa
warga
masyarakat
Punan Rian
Seluruh
masyarakat
Punan Adiu
Adakah pihak
lain yang
terlibat dalam
negosiasi
setelah rapat
pertama?
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
111
Kepala desa,
kepala adat,
pimpinan
desa
Camat, kepala Perusahaan
desa, kepala
adat
Kepala desa,
kepala adat
Kepala desa
Tanjung
Lima
Tajan
Sebatiung
Semolon
Desa lain
Perusahaan,
pemerintah
kabupaten
Pemerintah
kabupaten
Beberapa
desa
Malinau
Seberang
Pemerintah
kabupaten
Perusahaan
Paking Lama Kepala desa
Kecamatan Malinau Utara
Bagaimana
mereka
mengetahui
tentang IPPK
Masyarakat Warga
masyarakat
yang
mengetahui
tentang IPPK
sebelum
negosiasi
Alvend,
Spiner
Leti, Suma
Paking
Tidak
diketahui
Tanjung Lima H.
Sudjarwadi
Tanjung Lima H.
Sudjarwadi
Tanjung Lima H.
Sudjarwadi
Di desa
Di desa
Perwakilan Hubungan
masyarakat sebelumnya
antara
perwakilan
–
Pemilik (CV
Putra Surip
Wijaya)
Pemilik (CV
Putra Surip
Wijaya)
Pemilik (CV
Putra Surip
Wijaya)
Pemilik (CV
Tripela,
CV Putra
Mentarang)
Pewaris
Tidak
Kepala desa, Tidak
kepala adat
Kepala desa, Tidak
kepala adat
Kepala desa, Tidak
kepala adat
Kepala
Ya, keluarga
desa, kepala
adat, tokoh
masyarakat
Direktur (PT Kepala desa, Tidak
Lestari Timur kepala adat,
Indonusa)
seluruh
masyarakat
Paking Lama
Lokasi rapat Perwakilan Posisi
pertama
perusahaan
antara
perusahaan
dan
masyarakat
Ya
Apakah
kesepakatan
dibuat
dalam rapat
pertama?
Tidak
Tidak
Tidak
Kelompok
Tidak
petani Paking diketahui
Lembaga
Adat
Dayak Abai
Sembuak
(LADAS)
Lembaga
Adat
Dayak Abai
Sembuak,
(LADAS)
Lembaga
Adat
Dayak Abai
Sembuak
(LADAS)
DPRD,
Ya
pemerintah
kabupaten,
Kantor Dinas
Kehutanan
Pewaris
Semolon
Orang lain
dari luar
masyarakat
yang terlibat
dalam rapat
pertama
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Diskusi
lebih lanjut
di tengahtengah
masyarakat?
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Adakah
perusahaan
lain yang
mendekati
masyarakat?
Seluruh
masyarakat
Paking Lama
Kepala desa,
kepala adat: T.
Lima, Tajan
Kepala desa,
kepala adat:
T. Lima,
Sebatiung
Kepala
desa, kepala
adat: Tajan,
Sebatiung
Camat,
pimpinan
desa: Kaliamok
Seluruh
masyarakat
Paking Baru
Adakah pihak
lain yang
terlibat dalam
negosiasi
setelah rapat
pertama?
112
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Desa lain
Beberapa
desa
Kepala desa,
kepala adat,
beberapa
desa
Kepala desa,
kepala adat
Kepala adat,
pewaris
Kaliamok
Kelapis
Salap
Selidung
Di desa
Di desa
Di desa
Malinau
Seberang
Pemilik (CV
Tripela)
Pemilik
(CV Putra
Mentarang)
Asiong, Agus Direktur,
manajer (PT.
Bakti Bumi
Perdana)
Spiner
Asiong, Agus Direktur,
Manajer (PT.
Bakti Bumi
Perdana)
Alvend
Lokasi rapat Perwakilan Posisi
pertama
perusahaan
antara
perusahaan
dan
masyarakat
Kepala desa, Tidak
kepala adat,
seluruh
masyarakat
Selidung
Kepala
Ya, keluarga
desa, kepala
adat, semua
kepala
keluarga
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Camat
Tidak
Kepala
desa, kepala
adat, staf
dan tokoh
masyarakat
Kepala adat, Tidak
seluruh
masyarakat
Kelapis
Orang lain
dari luar
masyarakat
yang terlibat
dalam rapat
pertama
Perwakilan Hubungan
masyarakat sebelumnya
antara
perwakilan
Sumber: Wawancara dengan pimpinan masyarakat dan responden rumah tangga di Malinau, September 2003–Januari 2004
Catatan: Semua rapat dan negosiasi berlangsung antara tahun 1999 dan 2001. Hanya kesepakatan pertama yang dicantumkan sini.
Perusahaan
Perusahaan,
pemerintah
kabupaten
Bupati
Bagaimana
mereka
mengetahui
tentang IPPK
Masyarakat Warga
masyarakat
yang
mengetahui
tentang IPPK
sebelum
negosiasi
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Apakah
kesepakatan
dibuat
dalam rapat
pertama?
Ya
Ya
Ya
Ya
Diskusi
lebih lanjut
di tengahtengah
masyarakat?
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Adakah
perusahaan
lain yang
mendekati
masyarakat?
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kantor Dinas
Kehutanan,
pemerintah
kabupaten,
pimpinan desa
Malinau dan
Seberang
Adakah pihak
lain yang
terlibat dalam
negosiasi
setelah rapat
pertama?
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
113
114
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Perburuan untuk mendapatkan izin dan kesepakatan berarti bahwa broker memiliki
banyak pilihan areal konsesi potensial, walau tidak selalu memiliki kemampuan
memanfaatkannya. Tapi opsi-opsi ini masih tetap bernilai. Sebagai contoh, CV Putra
Mentarang masih memiliki cadangan IPPK (jika bukan izin) untuk Selidung dan Kelapis,
yang kemudian dijual atau disubkontrakkan ke PT Bakti Bumi Perdana (BBP). Di samping
semua izin lain yang dimilikinya untuk areal hutan di atas Sungai Semendurut, BBP
menguasai wilayah konsesi yang berdekatan, sehingga secara keseluruhan mendapat konsesi
lebih besar.10 BBP mendekati Selidung dan Kelapis secara terpisah guna menegosiasikan
kontrak dan kemudian mengatur izin IPPK.
Jaringan subkontrak lainnya dapat dilihat pada tahun 2000 ketika CV Putra Mentarang
melakukan negosiasi dengan desa Malinau Seberang. CV Putra Mentarang menggunakan
broker lain, CV Tripela, yang kemudian mengatur subkontraktor yang akan melakukan
operasi pembalakan (PT Nelly Permata Wood Industry).
Pewaris dan klaim lahannya
Dari sisi masyarakat, biasanya ada beberapa atau bahkan satu orang saja yang menemui
broker lebih dahulu dan berunding atas nama masyarakat (lihat Tabel 6.2 dan Bab 12).
Siapa orang-orang ini dan siapa yang sebenarnya mereka wakili tergantung pada komposisi
masyarakat dan sifat klaim lahan (lihat Tabel 6.2). Dalam survei ini, hal ini bervariasi dari
suatu keluarga (biasanya pewaris) hingga tiga desa terpisah yang sama-sama mengklaim
suatu kawasan hutan.
Pewaris adalah keluarga setempat yang berpengaruh dan mengklaim memiliki hak
waris terhadap gua sarang burung walet, dan terkadang, kayu-kayu yang ada di sekitarnya.11
Hak ini diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari kesultanan masa lalu, dan
secara umum diakui oleh kebanyakan orang di daerah setempat, termasuk oleh aparat
pemerintahan. Pewaris terlibat sedikitnya pada 5 negosiasi dari 15 negosiasi IPPK yang
diamati di Malinau, yang semuanya sangat dipengaruhi oleh klaim lahannya yang kuat.
Di Long Sulit, pewarisnya yang tinggal di desa lain di Pulau Sapi, mengklaim
kepemilikan atas hutan yang juga diklaim oleh sejumlah desa di daerah tersebut. Kendati
klaim hutan utama Long Sulit berada di daerah yang sama sekali berbeda, desa masih
memiliki klaim samar mengenai hutan di lokasi pemukiman sekarang. Warga desa setuju
memberikan tanda tangannya untuk izin IPPK berdasarkan janji lisan akan mendapat
bagian dari fee IPPK. Masyarakat hampir tidak dilibatkan dalam proses negosiasi, semua
negosiasi dilakukan secara langsung antara pewaris dan broker, Lintung (CV Wana Prima
Mandiri). Tidak pernah ada musyawarah desa dan broker tidak pernah mengunjungi desa
tersebut.12
Pewaris Semolon adalah warga Semolon yang tinggal di desa Paking Lama. Pewaris
Semolon, serta beberapa warga Semolon yang menetap di Paking, tampak terlibat dalam
negosiasi awal yang diadakan di desa Paking Lama, meski mereka tidak mewakili masyarakat
Semolon secara resmi (lihat Tabel 6.2). Paking Lama membuat kesepakatan sendiri dengan
PT Lestari Timur Indonusa, dan perusahaan tersebut beroperasi selama dua bulan sebelum
memasuki wilayah Semolon. Tampaknya perusahaan dari awal tidak berencana untuk
beroperasi di wilayah Semolon sehingga tidak melakukan negosiasi formal dengan warga
masyarakat Semolon atau mengunjungi desa tersebut sebelumnya. Pada saat itu, kepala desa
Semolon (yang tidak menetap di Paking Lama) tidak mengetahui adanya operasi perusahaan
tersebut di wilayah desa, dan menduga ada keterlibatan pewaris Semolon dalam hal ini.
Ketika kepala desa mengetahui hal tersebut, ia meminta untuk melakukan kesepakatan
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
115
dengan perusahaan, dan kesepakatan Paking Lama secara resmi juga menjadi kesepakatan
bersama untuk dua desa tersebut. Semolon tidak berusaha membuat kesepakatan dengan
perusahaan lain dan cukup puas dengan kesepakatan bersama Paking Lama.
Di Long Simau, ada pewaris yang mengetahui tentang IPPK sebelum masyarakat
mengetahuinya. Pewaris ini juga merupakan keluarga berpengaruh dengan klaim historis
pribadi terhadap wilayah desa. Bahkan meskipun tidak tinggal di Long Simau (atau pun
di pemukiman asli atau yang lebih baru), mereka menginformasikan kepada kepala desa
tentang IPPK, kemudian melakukan negosiasi dengan kepala desa atas nama seluruh
masyarakat. Dalam kasus ini, pewaris Long Simau bertemu dengan broker Ase Atak (CV
Sinar Busakan) di Malinau Kota dan mengadakan pembicaraan rutin mengenai IPPK
dengan seluruh warga masyarakat di desa tersebut. Sebaliknya, warga desa Semolon dan
Long Sulit memutuskan untuk menerima syarat-syarat dalam kesepakatan IPPK (lihat
Tabel 6.3), meski tidak pernah terlibat secara langsung dalam negosiasi dengan broker.
Negosiasi tidak langsung
Jika tidak ada pewaris, pada umumnya kepala desa dan kepala adat, dan kadang-kadang
tokoh atau tetua masyarakat, akan mewakili masyarakat dalam negosiasi. Oleh karena itu,
pada hampir semua negosiasi yang disurvei di Malinau, ada keterlibatan sejumlah tokoh
yang berurusan langsung dengan broker, setidaknya selama pertemuan awal. Di 16 desa
(73 persen sampel), sebagian besar warga desa hanya terlibat dalam negosiasi secara tidak
langsung dan dampaknya terhadap pengambilan keputusan tidak selalu mudah dikenali.
Dalam hal warga masyarakat terlibat secara langsung, biasanya jumlah masyarakat desa
relatif kecil (misalnya, Paking Lama dan Punan Setarap).
Malinau Seberang adalah desa terbesar dalam sampel dengan sekitar 1500 warga.
Uniknya, desa ini bersebelahan dengan Malinau Kota dan tingkat imigrasi dari kota terus
meningkat. Pengambilan keputusan dalam desa sebesar itu diserahkan kepada Ketua
RT atau Rukun Tetangga, yang jumlahnya ada delapan di Malinau Seberang, termasuk
untuk pengajuan IPPK. Mereka ini bertanggung jawab untuk membicarakan semua aspek
IPPK dengan seluruh masyarakat sebelum melapor kembali ke kepala desa dan kepala
adat. Jadi, dalam desa besar, kesenjangan (gap) antara pengambil keputusan akhir dan
masyarakat umum, lebih besar dibandingkan pada desa yang lebih kecil, yang menjelaskan
mengapa warga masyarakat di tempat-tempat seperti Malinau Seberang merasa kurang
dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai sumberdaya milik bersama (kolektif ).
Memang banyak orang di Malinau Seberang yang tidak merasa bahwa mereka telah diajak
bermusyawarah mengenai IPPK selama negosiasi.
Sama halnya dengan Malinau Seberang dan Kaliamok maupun di banyak kasus lain,
negosiasi di masyarakat Tajan, Sebatiung dan Tanjung Lima di Sungai Sembuak tidak
diadakan secara langsung antara masyarakat desa dengan broker, CV Putra Surip Wijaya.
Pada tahun 2000, tiga orang berpengaruh dan punya jaringan luas dari tiga desa ini
membentuk lembaga swadaya masyarakat bernama Lembaga Adat Dayak Abai Sembuak
(LADAS), yang menjadi juru negosiasi utama untuk hutan seluas sekitar 70.000ha
berlokasi di mata air Sungai Sembuak yang diklaim bersama oleh ketiga desa. Seluruh
proses negosiasi berlangsung selama satu bulan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1 LADAS mengatur pertemuan antara broker dan perwakilan masyarakat. Di Tanjung
Lima, CV Surip Wijaya bertemu dengan kepala desa dan kepala adat dari Tanjung
Lima dan desa tetangganya, dan juga LADAS untuk pembicaraan awal.
116
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
2 Para kepala desa dan LADAS mengadakan musyawarah terbuka satu hari untuk ketiga
desa di Gereja Katolik di Malinau Kota untuk membicarakan maksud perusahaan dan
permintaan masyarakat. Lebih dari 80 persen keluarga yang disurvei berpartisipasi
dalam rapat ini. Broker tidak hadir dalam rapat ini.
3 Para kepala desa dan kepala adat bersama LADAS melakukan pertemuan kembali
dengan broker, membahas permintaan masyarakat dan negosiasi awal.
4 Para kepala desa dan kepala adat serta LADAS melakukan musyawarah terpisah
dengan masyarakat untuk membahas lebih lanjut apa tawaran perusahaan terhadap
permintaan masyarakat.
5 Para kepala desa dan kepala adat bersama LADAS kembali menemui broker dan
membuat sebuah kesepakatan.
6 CV Putra Surip Wijaya memasuki Tajan dan melakukan pertemuan dengan seluruh
masyarakat untuk pertama dan terakhir kalinya. LADAS mengadakan pesta di mana
uang muka didistribusikan ke seluruh warga di tiga masyarakat tersebut.
Ada perbedaan pendapat di antara ketiga desa tersebut tentang cara pengambilan
keputusan akhir mengenai IPPK, meski sudah cukup banyak musyawarah dilakukan antara
warga dan pemimpin masyarakat tentang keinginan mereka. Juga ada ketidaksepakatan
mengenai peran LADAS sebenarnya karena mereka dituduh melakukan pertemuan sendiri
dengan broker tanpa kehadiran kepala desa. Intinya, koordinasi antara semua kelompok
dalam masyarakat yang homogen secara etnis ini (semuanya Dayak Abai) cukup bermasalah
selama proses negosiasi.
Kesepakatan bersama relatif umum di Malinau, terjadi pada lebih dari sepertiga dari
kesepakatan yang disurvei, dan hampir selalu melibatkan masyarakat Punan. Keterlibatan
dan musyawarah yang diadakan dengan kelompok lain cukup berbeda-beda. Sebagai
contoh, para kepala desa Kaliamok mengadakan negosiasi bersama di Malinau Seberang
dengan pemimpin dari desa induk (host village). Kendati Kaliamok menyatakan bahwa
semua warga desa diajak bermusyawarah dan dilakukan pemungutan suara mengenai
keputusan ingin terlibat dengan pengajuan IPPK atau tidak, keputusan akhir di Malinau
Seberang diambil langsung oleh kepala desa.
Di desa Nunuk Tanah Kibang, semua negosiasi yang dilakukan di kota Tarakan
maupun di desa dipimpin oleh kepala desa. Negosiasi di desa juga melibatkan kepala desa
lain, dengan musyawarah rutin dengan seluruh masyarakat. Sekali lagi, seperti pada banyak
kasus di Malinau, meski diajak bermusyawarah warga masyarakat tidak dilibatkan secara
langsung dalam negosiasi. Mereka benar-benar bertemu dengan perusahaan hanya setelah
tercapai kesepakatan, selama masa ‘sosialisasi’, yaitu ketika broker mengunjungi masyarakat
dan terlibat dalam diskusi publik mengenai IPPK dan kadang-kadang memberikan uang
muka dari fee yang telah disepakati. Seperti terlihat dari Tabel 6.3, keputusan akhir
mengenai kesepakatan ini dibuat oleh kepala desa.
Untuk Selidung dan Kelapis, negosiasi dilakukan di desa dan melibatkan semua
warga masyarakat, dengan pemungutan suara mengenai keputusan akhir apakah akan
bekerja-sama dengan IPPK atau tidak. Proses yang sama juga terjadi di Salap. Semua
desa ini memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan pemegang izin IPPK. Secara
keseluruhan, 12 dari 22 (55 persen) desa yang disurvei menyatakan adanya pemungutan
suara dalam masyarakat guna menentukan keputusan akhir pembuatan kesepakatan IPPK.
Pada desa-desa lainnya, keputusan akhir cenderung diambil oleh para pemuka desa (lihat
Tabel 6.3).
Kesepakatan
yang juga
digunakan
masyarakat lain
Oleh
pimpinan
desa
Tanjung
Nanga
Tidak
20.000
20.000
Oleh
pimpinan
desa
Nunuk
Tanah
Kibang
Tidak
15.000
Pemungutan Tidak
suara di
masyarakat
1500
Langap
Pemungutan Adiu
suara di
masyarakat
Long Adiu
9000
1500
Pemungutan Setarap
suara di
masyarakat
Punan
Setarap
9000
Punan Adiu Pemungutan Punan Adiu
suara di
masyarakat
Pemungutan Punan Setarap
suara di
masyarakat
Setarap
Kecamatan Malinau Selatan
Oleh
Sesuà
pimpinan
desa di Sesuà
Punan
Bengalun
20.000
20.000
50.000
30.000
7500
20.000
20.000
40.000
40,000
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
2000
2001
2000
Juni 2000
Juni 2000
Juli 2000
Juli 2000
Juni 2000
Juni 2000
September
1999
24
24
24
Terbuka
Terbuka
Terbuka
60
Terbuka
Terbuka
36
< 20.000
< 20.000
Tidak
diketahui
12001
12001
2000
5000
> 500
5000
1400
Fee
Pembangunan Pengembangan Tanggal
Lama
Area
(rupiah
umum
perkebunan/
kesepakatan kesepakatan pembalakan
per meter
penanaman
(bulan)
(ha)
kubik)
kembali
HASIL KONTRAK KESEPAKATAN PERTAMA
Tidak diketahui 20.000
Musyawarah Punan Bengalun 500
masyarakat
1500
Area
pembalakan
yang
diusulkan (ha)
Sesuà
Batu Lidung Pemungutan Tidak
suara di
masyarakat
Kecamatan Malinau Barat
Masyarakat Keputusan
akhir
mengenai
kontrak
Tabel 6.3 Hasil dari kesepakatan IPPK di Malinau
2000
900
Tidak
diketahui
2355
8004
6503
9103
300
> 2000
550
24
28
24
36
36
24
24
36
36
36
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak ada
Ya
Tidak ada Ya
Ya
Tidak ada Ya
Ya
Tidak ada Tidak ada
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Masalah
Masalah
dengan
dengan
masyarakat perusahaan
lain
HASIL AKTUAL KESEPAKATAN PERTAMA
Total jumlah Jumlah Masalah
fee yang
operasi sebagai
diterima
(bulan) akibat
(juta rupiah)
dari
distribusi
fee
Fee hingga
35.0007
Tidak ada
Fee hingga
25.0007
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Perubahan
terhadap
kesepakatan
awal
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
117
Oleh
pimpinan
desa dan
LADAS
Pemungutan T. Lima, Tajan
suara di
masyarakat
Oleh Paking
Lama dan
Pewaris
Semolon
Pemungutan Malinau
suara di
Seberang
masyarakat
Pemungutan Tidak
suara di
masyarakat
Tajan
Sebatiung
Semolon
Kaliamok
Kelapis
Paking Lama
T. Lima,
Sebatiung
1000
1500
3000
3000
3000
Tajan, Sebatiung 3000
Oleh LADAS
Tanjung
Lima
Kaliamok
Oleh
pimpinan
desa
Malinau
Seberang
Kecamatan Malinau Utara
1500
3000
Paking
Lama
Pemungutan Semolon
suara di
masyarakat
10.000
Long Simau Pemungutan Tidak
suara di
masyarakat
Areal
pembalakan
yang
diusulkan (ha)
10.000
Kesepakatan
yang juga
digunakan
masyarakat lain
Oleh pewaris Tidak
Long Sulit
Kecamatan Mentarang
Masyarakat Keputusan
akhir
mengenai
kontrak
30.000
40.000
25.000
20.000
20.000
20.000
40.000
25.000
20.000
20.000
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tidak diketahui
Agustus
2000
September
2001
Juli 2000
Oktober
2000
Oktober
2000
Oktober
2000
2001
Juli 2000
2000
2000
Terbuka
12
Terbuka
12
12
12
12
Terbuka
Terbuka
Tidak
diketahui
> 200
15002
> 1300
2500
3000
< 3000
15002
2000
5000
7000
Fee
Pembangunan Pengembangan Tanggal
Lama
Areal
(rupiah
umum
perkebunan/
kesepakatan kesepakatan pembalakan
per meter
penanaman
(bulan)
(ha)
kubik)
kembali
HASIL KONTRAK KESEPAKATAN PERTAMA
200
200
100
> 10006
> 10006
> 8706
> 1000
> 500
450
> 900
4
12
28
12
12
12
24
28
12
24
Ya
Ya
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Ya
Ya
Tidak ada Tidak ada
None
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Ya
Tidak ada Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak ada
Ya
Ya
Ya
Masalah
Masalah
dengan
dengan
masyarakat perusahaan
lain
HASIL AKTUAL KESEPAKATAN PERTAMA
Total jumlah Jumlah Masalah
fee yang
operasi sebagai
diterima
(bulan) akibat
(juta rupiah)
dari
distribusi
fee
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Fee hingga
50.0008
Fee hingga
50,0008
Fee hingga
50.0008
Tidak ada
Tidak ada
Fee hingga
50.0008
Tidak ada
Perubahan
thd
kesepakatan
awal
118
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
20.000
Pemungutan Tidak
suara di
masyarakat
Selidung
30.000
30.000
Ya
Ya
Ya
Tidak
Agustus
2000
2001
Terbuka
Terbuka
500
< 1000
Lama
Fee
Pembangunan Pengembangan Tanggal
Areal
(rupiah
umum
perkebunan/
kesepakatan kesepakatan pembalakan
per meter
penanaman
(bulan)
(ha)
kubik)
kembali
HASIL KONTRAK KESEPAKATAN PERTAMA
> 300
120
30
12
Tidak ada Ya
Tidak ada Ya
Tidak
Tidak
Masalah
Masalah
dengan
dengan
masyarakat perusahaan
lain
HASIL AKTUAL KESEPAKATAN PERTAMA
Total jumlah Jumlah Masalah
fee yang
operasi sebagai
diterima
(bulan) akibat
(juta rupiah)
dari
distribusi
fee
Tidak ada
Tidak ada
Perubahan
thd
kesepakatan
awal
Sumber: Wawancara dengan pemimpin masyarakat dan responden rumah tangga di Malinau, September 2003–Januari 2004
Catatan:
Semua kesepakatan pertama adalah kontrak yang disahkan oleh notaris. ‘Terbuka’ menunjukkan bahwa tidak ada periode waktu yang disepakati dalam kontrak tersebut.
1. Hutan yang diklaim oleh Long Adiu.
2. 900ha diklaim oleh Malinau Seberang, 600ha oleh Kaliamok.
3. Tiap angka adalah fee untuk kedua desa.
4. Untuk kedua desa
5. Untuk Punan Adiu saja.
6. Untuk ketiga desa
7. Kedua kesepakatan dinegosiasikan kembali ketika pewaris Langap mengklaim bahwa hutan di daerah IPPK berada di lingkungan sarang burung yang dimiliki oleh kelompok
ini. Untuk kesepakatan Langap, total harga (fee) naik menjadi 25.000 rupiah per meter kubik dengan 15.000 rupiah untuk masyarakat dan 10.000 rupiah untuk pewaris. Untuk
kesepakatan Tanjung Nanga, feenya tetap sama, meski fee untuk masyarakat berkurang menjadi 35.000 rupiah per meter kubik, sedangkan pewaris mengklaim 15.000 rupiah per
meter kubik.
8. Untuk semua desa ini, kesepakatan dinegosiasikan kembali dengan fee mencapai 50.000 rupiah per meter kubik akibat dihapusnya semua pembangunan umm dari kontrak.
15.000
Areal
pembalakan
yang
diusulkan (ha)
Pemungutan Tidak
suara di
masyarakat
Kesepakatan
yang juga
digunakan
masyarakat lain
Salap
Masyarakat Keputusan
akhir
mengenai
kontrak
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
119
120
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Keterwakilan Punan
Kecuali Nunuk Tanah Kibang, semua kelompok Punan yang disurvei terlibat dalam
kesepakatan bersama dengan masyarakat non-Punan. Banyak kelompok Punan seminomadik tinggal di dekat desa ‘induk’ non-Punan, yang cenderung memimpin dalam
negosiasi IPPK. Sebagai contoh, Sesuà dan Punan Bengalun tidak mengklaim hutan yang
sama kendati mereka sama-sama menggunakan kesepakatan yang dijembatani oleh CV
Wana Bakti. Pada umumnya masyarakat Punan yang disurvei, mereka tidak mengetahui
ukuran sebenarnya dari klaim lahannya (lihat Tabel 6.1). Selain itu, seperti pada kesepakatan
lain yang melibatkan kelompok Punan, broker memasuki Sesuà lebih dahulu dan menemui
para kepala desa sebelum melibatkan perwakilan Punan. Namun tidak seperti kasus Long
Adiu di Sungai Malinau, para pimpinan desa dari Sesuà masuk ke Punan Bengalun dan
membicarakan potensi kesepakatan IPPK tanpa kehadiran broker. Punan Bengalun
tidak bernegosiasi langsung dengan CV Wana Bakti, tapi secara tidak langsung melalui
pimpinan desa Sesuà. Meskipun orang Punan dilibatkan dalam pembicaraan sebelum ada
kesepakatan, keputusan akhir mengenai IPPK diambil sendiri oleh kepala desa Sesuà.
Seperti Punan Bengalun, masyarakat Punan dari Semolon sama sekali tidak dilibatkan
dalam negosiasi dan hanya berbagi kesepakatan dengan Paking Lama setelah perusahaan
memasuki wilayah desa.
Masyarakat Long Adiu termasuk yang pertama membuat kesepakatan IPPK di daerah
Sungai Malinau pada April 2000, setelah kepala desa dan kepala adat mengunjungi
Malinau Kota untuk mencari seorang broker. Mereka berhubungan dengan Tengkawang
(CV Wana Bakti) yang agaknya sudah dikenal melalui ikatan historis. Ia diundang ke Long
Adiu untuk bertemu warga masyarakat Long Adiu dan warga Punan Adiu. Pengaturan
bersama pun dibicarakan. Tidak seperti pengaturan Sesuai–Punan Bengalun dan Paking
Lama–Semolon, warga Punan Adiu dan warga Long Adiu dilibatkan secara langsung dalam
negosiasi. Meskipun hal ini terjadi di awal proses sebelum ada kesepakatan apapun, namun
jelas bahwa kepala desa dan kepala adat telah melakukan pertemuan sendiri dengan broker
tanpa kehadiran warga dari kedua masyarakat, termasuk tokoh-tokoh desa Punan Adiu
yang baru terlibat hanya setelah broker mengunjungi desa Punan Adiu. Keputusan akhir
tampaknya diambil melalui pemungutan suara seluruh warga dari kedua desa.
Di daerah Sungai Malinau, negosiasi antara Setarap dan Punan Setarap mengikuti pola
yang sama seperti negosiasi di Adiu. Namun di sini semua pertemuan pendahuluan antara
broker (CV Gading Indah) dengan kepala desa dan kepala adat (Setarap) berlangsung di
Desa Setarap dan bukan di Malinau Kota, sebelum diadakan musyawarah yang melibatkan
warga dari kedua desa. Selain itu, seperti kesepakatan Long Adiu–Punan Adiu, keputusan
akhir mengenai kesepakatan IPPK diambil melalui pemungutan suara warga masyarakat
dari kedua desa.
Desa-desa dengan wilayah desa ganda
Sejumlah desa dalam sampel memiliki klaim hutan di daerah yang tidak lagi mereka
tempati, sementara masyarakat yang lain membuat klaim baru di daerah-daerah yang
juga diklaim oleh masyarakat lainnya (lihat Tabel 6.1). Sebagai contoh, dua dari tiga desa
yang disurvei di kecamatan Mentarang, Long Simau dan Long Sulit (keduanya mayoritas
Lundaye) adalah desa pemukiman kembali resettlement) yang masih memiliki warga di desa
asal di hulu Sungai Mentarang. Pemukiman lama ini berjarak ratusan kilometer dari lokasi
pemukiman kembali sebagian besar warga pada tahun 1980-an.
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
121
Kaliamok juga memiliki klaim lahan historis dekat sumber Sungai Mentarang dan di
dekat lokasi pemukiman asal (lihat Tabel 6.1). Namun dalam kasus ini Kaliamok tidak lagi
memiliki warga yang tinggal di pemukiman asal dan mengklaim hutan IPPKnya di sekitar
pemukiman saat ini di dekat Malinau Kota. Hutan ini juga diklaim oleh Malinau Seberang,
sehingga disusun kesepakatan bersama dengan sebagian besar manfaatnya mengalir ke desa
yang lebih besar.
Beberapa kelompok Punan juga memiliki klaim ganda atas lahan. Sejak tahun 1972,
pemukiman Punan Semolon sudah ada di Malinau Utara dan sangat dekat dengan Malinau
Kota. Semolon juga memiliki klaim lahan di daerah Sungai Mentarang, dan seperti sudah
disebutkan, masih ada warganya yang tinggal di sini, terutama di Paking Lama di dekat
wilayah klaim lahan asal Semolon.
Hasil negosiasi: Apa yang dinegosiasikan
masyarakat?
Dalam semua kasus yang disurvei di Malinau, tampaknya tidak ada negosiasi nyata mengenai
aturan pembalakan, ukuran dan lokasi areal konsesi, atau perkebunan. Biasanya broker
akan muncul di pertemuan dengan peta areal yang sudah diputuskan secara prinsip oleh
pemerintah kabupaten. Masyarakat memang memiliki suara dalam komposisi areal konsesi
yang diajukan dan batas-batas pembalakan. Long Adiu dan Punan Adiu menegosiasikan
ukuran IPPK yang akan dibalak dalam klaim wilayah hutan masing-masing dan penjadwalan
pelaksanaannya. Bila perkebunan juga dibicarakan dan dinegosiasikan, terlihat variasi pada
kontrak IPPK dari satu desa ke desa yang lain, dalam hal jenis tanaman perkebunan, ukuran
perkebunan dan sifat bantuan yang dijanjikan untuk pengembangan perkebunan. Namun
pada sejumlah kasus (lihat Tabel 6.3), dalam kesepakatan akhir tidak tercantum aturan
pembalakan atau ketentuan penanaman sekalipun telah dibicarakan sebelum kesepakatan
disusun. Beberapa responden (misalnya di Tanjung Nanga) menjelaskan bahwa aturan
perkebunan dan pembalakan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten, sehingga
merupakan ‘persyaratan hukum’. Oleh karena itu unsur-unsur ini dianggap tidak perlu
dimasukkan dalam kontrak mereka dengan broker.
Separuh dari kesepakatan yang disurvei di Malinau tidak menetapkan batas waktu
kapan perusahaan harus menyelesaikan pembalakan (lihat Tabel 6.3) tapi mensyaratkan
harus memulai pembalakan enam bulan setelah negosiasi selesai. Juga tak satu pun izin
resmi IPPK yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten menyebutkan batas waktu. Selain
itu secara umum tidak ada kesepakatan yang memuat rencana jadwal produksi kayu. Dari
semua kesepakatan yang diteliti, semuanya sangat memberi keleluasaan bagi perusahaan
IPPK dalam pelaksanaan operasinya.
Dalam negosiasi, warga biasanya ditanya apa yang mereka inginkan dalam hal
keuntungan finansial (pembayaran uang muka, fee per meter kubik), kesempatan kerja,
dan pembangunan sosial, misalnya beasiswa untuk anak-anak atau kantor desa. Dalam
beberapa kasus, khususnya masyarakat pertama yang dilibatkan dalam negosiasi IPPK,
harapan masyarakat tidak ada atau sangat rendah. Sebagai contoh, Long Adiu dan Punan
Adiu, hanya meminta fee 5000 rupiah per kubik meter karena acuan mereka adalah instruksi
dari Gubernur Kalimantan Timur (SK 20/2000) bahwa perusahaan harus membayar
kompensasi 3000 rupiah per meter kubik ke masyarakat adat. Semua desa yang terikat
kesepakatan dengan CV Wana Bakti akan dibayar 20.000 rupiah per meter kubik untuk
122
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
alasan yang tidak jelas (lihat Tabel 6.3 dan Gambar 6.1). Secara teoretis perusahaan bisa
menawarkan berapa saja antara 5000 rupiah hingga 20.000 rupiah per meter kubik.13
Dalam kasus lain, seperti Malinau Seberang, warga meminta pembayaran lebih besar.
Di sini mulanya desa tersebut meminta 70.000 rupiah hingga 80.000 rupiah per meter
kubik, dan akhirnya ditawarkan 40.000 rupiah per meter kubik, tingkat fee kedua tertinggi
pada kelompok kesepakatan pertama dalam sampel masyarakat Malinau kami. Hanya
Setarap dan Punan Setarap yang juga menegosiasikan harga pada tingkat ini. Tanjung Nanga
berhasil menegosiasikan harga tertinggi: 50.000 rupiah per meter kubik (lihat Gambar
6.1), meskipun tidak mencantumkan janji sarana umum. Tiap desa lainnya dalam sampel
ini menegosiasikan beberapa sarana umum meski berbeda-beda di setiap kasus. Pada kasus
Long Sulit, fee yang dijanjikan tidak diketahui, meski tidak seperti kesepakatan lainnya,
fee tidak diatur berdasarkan produksi (misalnya, per meter kubik). Dalam kesepakatan
bersama, manfaat sosial biasanya dibagi bersama.
Sejumlah desa berhasil menaikkan tingkat fee menjadi 50.000 rupiah per meter
kubik dalam negosiasi ulang setelah tercapai kesepakatan awal. Sebagai contoh, di Long
Simau, warga meminta kepala desa dan pewaris untuk mengubah kesepakatan dengan
membatalkan semua fasilitas yang telah disepakati dan menaikkan harga menjadi 50.000
rupiah per meter kubik setelah kesepakatan dibuat, sebelum desa menerima pembayaran
pertama. Hal ini karena khawatir bahwa fasilitas sosial yang dibangun oleh perusahaan
hanya akan digunakan oleh mereka yang tinggal di salah satu dari kedua lokasi bagian
Long Simau. Warga juga menjelaskan bagaimana mereka belajar dari pengalaman Tajan,
Tanjung Lima dan Sebatiung, yang waktu itu baru saja berhasil menaikkan fee menjadi
50.000 rupiah per meter kubik, juga dengan menghapuskan semua fasilitas sosial dari
kesepakatan mereka.14
Kasus Langap dan Tanjung Nanga lebih menggambarkan pengaruh pewaris dalam
negosiasi ulang. Di Langap, ada suatu keluarga yang terdiri dari sekitar sepuluh kepala
keluarga yang memiliki klaim lama terhadap pemanfaatan sarang burung walet, suatu
hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mahal. Orang yang paling berpengaruh dalam
keluarga waktu itu, kebetulan juga Kepala Adat Besar (pemimpin seluruh daerah aliran
sungai menurut hukum adat). Setelah Langap menyelesaikan negosiasi dan melakukan
kesepakatan dengan CV Hanura, dan perusahaan telah mulai beroperasi, Langap dan
pewaris melakukan negosiasi kembali untuk menaikkan fee, karena pewaris bisa mengklaim
hutan (tanah warisan) yang mengelilingi lokasi sarang burung. Desa tersebut menaikkan
feenya menjadi 15.000 rupiah per meter kubik, masih yang terendah dari semua desa
yang disurvei di Malinau. Sementara pewaris mengklaim 10.000 rupiah per meter kubik,
sehingga total fee menjadi 25.000 rupiah per meter kubik.
Pewaris yang sama juga mengeluh ketika IPPK yang beroperasi atas nama Tanjung
Nanga, CV Meranti Wana Lestari, melakukan pembalakan di sekitar gua sarang burung.
Negosiasi ulang kesepakatan Tanjung Nanga dengan perusahaan menyebabkan masyarakat
saling berbagi uang fee dengan pewaris Langap: keseluruhan fee naik menjadi 64.000 rupiah
per meter kubik, 40.000 rupiah dibayarkan untuk Tanjung Nanga dan sisanya 24.000
rupiah untuk Langap. 24.000 rupiah per meter kubik untuk Langap akan dibagi 50:50
antara pewaris dan warga Langap. Namun uang tersebut dibayarkan ke pewaris dan tidak
jelas apakah warga desa Langap menerima bagiannya.
Dari kasus yang ada, tampak adanya variasi keuntungan yang dinegosiasikan di
Malinau Selatan, terutama terkait dengan sarana umum. Variasi itu berkurang di daerah
lain yang hanya ada satu broker tunggal dalam pembuatan banyak kesepakatan.15 Sebagai
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
123
70000
IDR per meter kubik
60000
50000
40000
30000
20000
10000
Fee yang dijanjikan
Se
lid
un
g
Ke
lap
Se
is
ta
ra
M
p
S
ali
-P
ala
na
un
p
u
an
Se
Se
be
t
ar
ra
ap
ng
-K
ali
am
ok
Ta
nj
un
g
Na
ng
a
Si
m
Se
au
Ba
su
at
u
Pu
L
id
na
u
n
Lo
Be ng
Ta
ng
ng
nj
Ad
un
alu
i
g
n
Lim u-Pu
na
an
Ta
Ad
jan
iu
-S
Pa
eb
ki
at
ng
iu
La
ng
m
aNu
Se
m
nu
ol
k
on
Ta
na
h
Ki
ba
ng
La
ng
ap
Lo
ng
Lo
ng
Su
lit
0
Fee yang dibayarkan
Catatan: Tidak termasuk harga yang dinegosiasikan ulang.
Sumber: Charles Palmer, 2003–2004
Gambar 6.1 Fee yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dibayarkan untuk kesepakatan IPPK pertama
yang dikaji di Malinau
contoh, semua kesepakatan yang memakai broker gabungan CV Putra Mentarang dan
BBP menghasilkan harga 30.000 rupiah per meter kubik (Kelapis, Selidung dan Salap),
dan di daerah Sungai Bengalun disepakati fee sebesar 20.000 rupiah per meter kubik
di Batu Lidung dan Sesuà–Punan Bengalun. Jelas terlihat proses negosiasi di beberapa
daerah Malinau telah terkacaukan oleh sedikit atau tidak adanya persaingan di antara
sesama broker, sehingga terjadi praktik menyerupai kartel. Pematokan harga ini terlihat
mengakibatkan relatif kecilnya variasi pada manfaat yang dinegosiasikan dalam sejumlah
kesepakatan.
Meskipun besarnya fee yang dinegosiasikan sangat bervariasi, dimasukkannya
perjanjian sarana sosial membuat satu kesepakatan dengan kesepakatan yang lain lebih
setara, khususnya ketika mempertimbangkan negosiasi ulang fee untuk Tanjung Lima–
Sebatiung–Tajan, Long Simua dan Tanjung Nanga (semuanya 50.000 rupiah per meter
kubik). Tak satu pun dari kesepakatan itu yang mensyaratkan sarana umum, tidak seperti
Selidung atau Long Adiu–Punan Adiu, yang memuat banyak janji. Setelah belajar dari
pengalaman dan dari masyarakat lain, masyarakat kabupaten itu meminta negosiasi ulang
kesepakatannya atau membuat kesepakatan baru dengan kepercayaan diri yang baru dalam
berurusan dengan broker dan pihak luar lainnya. Setelah negosiasi ulang, fee paling rendah
di kabupaten itu adalah 15.000 rupiah per meter kubik dan yang tertinggi 50.000 rupiah
per meter kubik.16
Mengamati perolehan fee pada negosiasi pertama, penerima fee terendah adalah desa
yang kurang kompak dalam membicarakan akses terhadap hutan dan penggunaannya,
serta yang masyarakatnya kurang berpartisipasi dalam organisasi desa. Lebih jauh lagi, desa
124
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
yang sebelum negosiasi memiliki lebih banyak keluarga yang pernah bekerja di luar desa
dan memiliki mobilitas lebih tinggi (memiliki perahu longboat atau bentuk transportasi
lainnya), fee yang dinegosiasikan cenderung lebih tinggi.
Kenyataan hasil kesepakatan dengan IPPK
Pada bulan April 2003, semua operasi pembalakan IPPK di Malinau dihentikan atas perintah
bupati setelah di tahun sebelumnya pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan yang
membatalkan semua izin pembalakan skala kecil di Indonesia. Pada kebanyakan kasus,
menurut responden survei, perusahaan IPPK membalak kurang dari luasan yang telah
disepakati dalam kontrak, kecuali Sesuà–Punan Bengalun. Di sini, diperkirakan sekitar
5.000ha dibalak dalam waktu hampir tiga tahun sejak Juni 2000 (lihat Tabel 6.3).
Tidak seperti desa lainnya yang banyak mengajukan kontrak terbuka bergulir (rolling
open contract), areal luas untuk perpanjangan izin berkali-kali, kontrak Sesuà dan Punan
Bengalun awalnya hanya untuk 500ha. Broker yang menangani Sesuà, Tengkawang, juga
mengoperasikan PT Malinau Jaya Sakti, menegosiasikan kesepakatan kedua untuk lahan
seluas 3000ha dengan Sesuà dan Punan Bengalun. Hal ini menjelaskan alasan terjadinya
pembalakan 5000ha hutan masyarakat ini.
Meski sebagian besar kesepakatan di Malinau tidak terselesaikan karena perusahaan
IPPK dipaksa menghentikan operasi pada awal 2003, sejumlah operasi belum dimulai
bahkan untuk kesepakatan yang dibuat hampir tiga tahun sebelumnya. Contohnya,
Selidung menyepakati konsesi 20.000ha dengan BBP pada akhir tahun 2000, dan pada
tahun 2003 hanya sekitar 500ha di sekitar desa yang telah dibalak. Secara umum, BBP
diduga terlalu sibuk membalak untuk kontrak pribadi yang diatur dengan kepala adat
Selidung dan tidak atas nama warga di daerah tersebut.17
Desa melaporkan menerima fee dengan jumlah, cara penerimaan uang, dan penggunaan
serta pendistribusiannya ke masyarakat sangat bervariasi. Dalam Gambar 6.1 terlihat
besarnya perbedaan antara apa yang dijanjikan dengan apa yang benar-benar diterima
masyarakat Malinau. Long Sulit menerima fee paling rendah per meter kubik, diikuti oleh
Langap, dan fee tertinggi diterima oleh Kelapis dan Salap. Langap dan Tanjung Lima–
Sebatiung–Tajan menerima fee lebih tinggi daripada yang dinegosiasikan, terutama karena
naiknya fee awal setelah negosiasi ulang. Dalam kasus Kelapis dan Salap, fee yang sebenarnya
melebihi fee yang dijanjikan karena kedua masyarakat menerima uang muka yang besar
tapi diikuti oleh relatif kecilnya produksi perusahaan. Pada semua kasus lainnya, kecuali
Selidung, uang yang diterima lebih sedikit dari yang dijanjikan karena ketidakpatuhan
perusahaan atau broker. Sebaliknya, uang yang diterima dilaporkan lebih rendah akibat
adanya kecurangan dalam masyarakat penerima. Di semua kasus yang menjanjikan sarana
umum, ada sebagian yang dipenuhi, meski pada semua kasus perusahaan menjanjikan lebih
dari yang benar-benar diberikan dalam masa berlakunya kontrak. Namun seperti yang
ditunjukkan dalam Engel and Palmer (2006), fee yang diterima masyarakat tergantung pada
kemampuan mereka sendiri untuk menerapkan kontrak dalam situasi hak kepemilikan
yang lemah sebagaimana umumnya di Kalimantan Timur.
Dalam sebagian besar kasus yang disurvei di Malinau, ada masalah dengan desa tetangga
mengenai batas wilayah dan klaim lahan yang tumpang tindih. Tabel 6.3 menunjukkan
sedikitnya 16 dari 22 desa melaporkan masalah dengan desa lain (biasanya tetangga) akibat
adanya kesepakatan IPPK. Masalah yang paling serius melibatkan masyarakat Punan yang,
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
125
karena pola hidup yang semi-nomadik, memiliki klaim lahan yang paling bermasalah dan
paling lemah. Masalah klaim lahan lain dapat dilihat pada negosiasi yang melibatkan pewaris.
Kekuasaan keluarga ini bervariasi di Malinau, meski klaimnya terhadap lahan hampir dapat
dipastikan meningkat sejak awal proses desentralisasi di Malinau. Kemungkinan hal ini
disebabkan oleh pengaruh mereka terhadap aparat pemerintah setempat, dengan adanya
anggota keluarga yang menjadi aparat pemerintah atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Setelah kesepakatan dibuat di Malinau, perusahaan IPPK biasanya membayar
uang muka. Dalam banyak kasus, uang ini ‘dipinjam’ dari fee yang akan dihasilkan dari
produksi kayu di masa depan (uang potong, uang pinjam dan uang muka). Satu-satunya
pengecualian adalah kesepakatan Setarap–Punan Setarap. Selain itu, biaya pembangunan
sarana juga sering dikurangkan dari pembayaran fee (berakibat penurunan pembayaran)
atau kewajiban untuk membangun sama sekali tidak dipenuhi (misalnya Setarap). Dalam
beberapa kasus, penurunan pembayaran atau pengingkaran kesepakatan berlangsung tanpa
memberi tahu warga masyarakat.18 Dalam banyak kasus hal itu menimbulkan masalah dan
konflik antara masyarakat dengan broker atau kontraktor.
Dari 22 desa yang disurvei di Malinau, 19 melaporkan adanya masalah dengan
perusahaan IPPK. Di samping keterlambatan atau gagalnya pembayaran fee, dan tidak
ada atau sedikitnya pembangunan sarana umum, masalah yang paling umum adalah
pelanggaran aturan pembalakan, pembalakan di tempat-tempat yang berbeda dari yang
telah disepakati atau tidak adanya pembukaan lahan perkebunan. Tidak ada satu pun
perkebunan yang dikembangkan oleh perusahaan IPPK di Malinau. Dari 19 desa yang
melaporkan bermasalah dengan perusahaan IPPK di Malinau, 11 desa melakukan tindakan
melawan perusahaan IPPK dalam masa kontrak, dalam bentuk demonstrasi atau penyitaan
peralatan perusahaan.
Dari temuan terhadap 22 desa yang disurvei di Malinau, jelaslah bahwa mereka telah
mendapatkan manfaat dari IPPK, setidaknya secara finansial dan dalam jangka waktu
pendek. Manfaat jangka panjangnya tidak begitu jelas, terutama karena banyak warga
masyarakat melihat meluasnya kerusakan lingkungan akibat operasi IPPK dan karena tidak
adanya pembangunan perkebunan setelah operasi ini. Selain itu, ada sejumlah konflik antar
desa terkait dengan IPPK dan klaim hutan yang masih harus diselesaikan.
Diskusi
Di Malinau, desa-desa yang lebih terorganisir dan dengan tingkat partisipasi lebih
tinggi dalam musyawarah desa mengenai akses terhadap hutan dan penggunaan hutan
yang diklaim oleh desa, lebih berpeluang menegosiasikan kesepakatan yang lebih baik
daripada desa yang kurang kompak. Partisipasi dan pertemuan rutin memberi kesempatan
kepada warga masyarakat untuk saling membandingkan serta bertukar pengalaman, ide,
dan informasi. Selain itu, desa-desa dengan mobilitas dan jumlah warga yang bekerja di
luar desa lebih tinggi, tergolong bisa menegosiasikan kesepakatan lebih baik di Malinau.
Tingkat pendapatan relatif keluarga, bagian dari perdagangan dan penjualan hasil hutan,
serta tingkat pendidikan, hanya sedikit bervariasi di antara desa-desa di Malinau, sehingga
tampaknya hanya berdampak kecil terhadap hasil yang dinegosiasikan.
Banyak di antara desa tersurvei yang menilai bahwa kesepakatan bersama masyarakat
Tajan, Sebatiung dan Tanjung Lima merupakan salah satu yang memberikan manfaat bersih
126
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
(net benefit) terbaik. Negosiasi bersama oleh tiga desa dan negosiasi ulang kesepakatan untuk
menaikkan fee memberikan tingkat keuntungan finansial paling tinggi bagi warga di tiga
desa tersebut.19 Meskipun masih ada tuduhan korupsi (terkait dengan LADAS dan peran
gereja Katolik berkaitan dengan masalah keseharian), desa-desa ini mungkin memperoleh
paling banyak keuntungan dan tidak bermasalah dengan desa lainnya, seperti konflik
lahan atau perbatasan. Desa lainnya dengan pengalaman yang relatif positif, seperti Long
Simau, juga memiliki seorang pewaris yang terlibat dalam negosiasi. Keluarga-keluarga ini
memperumit masalah klaim lahan (misalnya pewaris di Langap) dan memainkan peran
sangat penting dalam banyak negosiasi yang disurvei di Malinau. Selain klaim pewaris,
banyak negosiasi juga semakin diperumit dengan adanya kepemilikan lahan ganda dan
oleh negosiasi tidak langsung antara masyarakat dengan broker.
‘Pecundang terbesar’ adalah masyarakat Punan, yang cenderung terlibat dalam
kesepakatan bersama dengan masyarakat non-Punan. Masyarakat Punan cenderung
paling sedikit terlibat dalam negosiasi dan sering tidak diperlakukan sebagai ‘mitra setara’
oleh para tetangganya, dan mereka mungkin kurang memiliki kesadaran kewilayahan
(sebagaimana didefinisikan sebagai ukuran luasan dalam negosiasi) maupun kewajiban
kontrak dibandingkan dengan kelompok lain. Pada banyak kasus, masyarakat Punan seolah
tidak begitu memahami ketentuan kesepakatan dengan para broker dan berapa banyak
hutan di wilayah mereka yang telah dibalak. Hak kepemilikan (property right) masyarakat
Punan adalah yang terlemah dari kelompok manapun dan paling rentan dalam berurusan
dengan broker dan pihak luar lainnya, seperti dalam data untuk kelompok ini di Tabel 6.1
hingga 6.3.
Di Malinau, sebagian besar kontraktor adalah warga Malaysia dan kurang bisa membuat
kesepakatan sendiri karena kurangnya pengetahuan lokal serta kaburnya legalitas banyak
operasi mereka. Akibatnya, mereka sangat tergantung pada kemitraan dan para broker
untuk mengatur kesepakatan dengan para pemilik akses terhadap kayu-kayu yang bernilai
komersial, yaitu masyarakat dan pemerintah daerah. Mungkin brokerlah yang paling bisa
mempengaruhi hasil negosiasi di Malinau. Sebaliknya, di daerah penelitian yang lain hanya
seperempat desa yang disurvei di Kutai Barat yang memiliki pengalaman dengan perantara
atau broker khas Malinau, bahkan broker di sana lebih bertindak sebagai fasilitator dan
cenderung menerima fee langsung dari kontraktor, terpisah dari fee desa. Perbedaan utama
adalah broker di Malinau hampir semuanya berasal dari luar desa tempat mereka membuat
kesepakatan, yang berarti bahwa sebagian besar pembayaran kayu tetap dinikmati oleh
broker di luar masyarakat. Di Kutai Barat, proporsi pembayaran lebih besar mengalir ke
masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Broker di Malinau biasanya menerima fee per meter kubik untuk pengganti semua biaya
pengaturan, termasuk kesepakatan dengan masyarakat dan urusan (legal dan ilegal) dengan
pejabat pemerintah kabupaten. Dengan kata lain, biasanya broker di Malinau memiliki
insentif langsung dalam memaksimumkan keuntungannya dengan cara meminimalkan
tiap pembayaran ke masyarakat. Di Kutai Barat, fee kayu jarang melalui perantara, yang
akan membawa konsekuensi tersendiri.
Salah satu peran utama broker di Malinau adalah mengatur izin IPPK. Ketika sistem
tersebut mulai ditetapkan pada tahun 2000, aturan itu menyatakan bahwa tiap keluarga
yang mengajukan izin berhak memanfaatkan 100ha. Proses aplikasi mengharuskan
pembentukan kelompok tani untuk antara lain mengelola kegiatan areal IPPK, dan harus
disertai tanda tangan dan fotokopi kartu identitas (KTP) dari tiap pemohon. Semua
kabupaten di Kalimantan Timur menerapkan sistem yang sama pada tahun 1999 dan
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
127
2000. Tingginya biaya permohonan izin mungkin menyebabkan perlu adanya broker di
Malinau, meskipun kesamaan keterbatasan kemampuan finansial tidak menghambat warga
masyarakat Kutai Barat untuk mengajukan permohonan dan memiliki izin.20
Banyak broker juga membeli dan menjual izin begitu izin tersebut diperoleh, seperti
CV Putra Mentarang ke BBP. Selama tahun 2000 dan 2001, broker tampak sangat aktif
dalam mengatur kesepakatan sebanyak mungkin sehingga mereka setidaknya memiliki
opsi di masa depan. Namun dalam pengaturan selanjutnya broker tampaknya tidak lagi
mau bersusah-payah mengumpulkan nama-nama tapi membuat kesepakatan secepatnya
dengan desa agar memiliki ‘opsi’ tersebut. Sebagai contoh, di Malinau Utara, BBP dan
CV Putra Mentarang membuat kesepakatan IPPK dengan sejumlah desa lain yang tidak
dianalisa di sini, yang tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebuah sistem yang
awalnya diciptakan untuk melibatkan masyarakat lokal, berkembang menjadi memberikan
keterlibatan relatif kecil bagi masyarakat dan bahkan tampak menguntungkan segelintir
broker di Malinau. Akibatnya, tak satupun desa yang disurvei di Malinau mengajukan
permohonan izin secara langsung (mungkin dengan pengecualian untuk pewaris Long
Sulit) dan tak satu pun responden survei yang mengetahui biaya permohonan izin IPPK
dan mereka relatif kurang memahami cara kerja sebenarnya sistem tersebut.
Di Kutai Barat, sistem bekerja dengan cara berbeda: izin (disebut sebagai Hak
Pemungutan Hasil Hutan, HPHH) biasanya diperoleh sebelum perusahaan membuat
kesepakatan dengan masyarakat. Pada banyak kasus, warga masyarakat dan kepala desa
mendekati pemerintah kabupaten dan mengajukan permohonan izin (Palmer, 2006).
Sama halnya dengan Malinau, bisa diberikan izin untuk 100ha per keluarga, dan perlu
disertai tanda tangan dan nama, di samping serangkaian pungutan yang totalnya biasanya
sekitar 20 juta rupiah per izin. Pada tahap ini, kepala desa sudah menghubungi kontraktor
pembalakan yang terkadang sudah dikenal oleh masyarakat, dan kadang-kadang belum.
Di desa-desa yang menggunakan broker, kewajiban broker terutama untuk mengatur
surat kerja dan aspek-aspek administratif lainnya, dan cenderung lebih berurusan dengan
perusahaan daripada dengan masyarakat. Banyak rapat diadakan di luar desa, di ibukota
kabupaten, Melak, dan bahkan lebih jauh lagi di Samarinda, ibukota provinsi. Dalam
membuat kesepakatan, masyarakat Kutai Barat memastikan bahwa biaya permohonan izin
dimasukkan dalam struktur pembayaran fee. Kendati pembayaran uang muka tidak umum
di Kutai Barat, kontraktor melakukan pembayaran fee langsung ke masyarakat dan tidak
melalui perantara atau broker. Ironisnya, pengalaman IPPK di Malinau, yang oleh banyak
warga desa dianggap terbaik, juga merupakan salah satu pengalaman di mana kontraktor
membuat kesepakatan langsung dengan masyarakat Tanjung Lima, Tajan dan Sebatiung,
tanpa keterlibatan broker.21 Kasus lain yang tidak melibatkan broker, Tanjung Nanga, juga
menegosiasikan fee paling tinggi di Malinau: 50.000 rupiah per meter kubik.
Implikasi dari kepemilikan izin adalah bahwa dari mengajukan permohonan dan
memiliki izin 100ha masyarakat di Kutai Barat jauh lebih memahami dan menyadari
apa yang sedang mereka negosiasikan (misalnya ukuran areal konsesi), serta untuk apa
mereka bernegosiasi. Oleh karena itu, masyarakat lebih memiliki rasa pengendalian dan
kepemilikan atas proses negosiasi dibandingkan dengan masyarakat di Malinau, meskipun
ada ketidakpastian yang sama atas klaim lahan. Di banyak desa dibentuk kelompok atau
koperasi untuk menggabungkan izin 100ha, membentuk areal konsesi lebih luas yang bisa
lebih menarik secara komersial bagi calon kontraktor pembalakan. Penggabungan juga
memungkinkan memikul bersama biaya pengurusan izin, meskipun di beberapa kasus
tampak jelas bahwa hanya warga masyarakat yang memiliki akses terhadap uang tunai
128
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
atau kredit yang bisa mengajukan permohonan izin HPHH. Kredit terkadang disediakan
dalam bentuk dana pinjaman, biaya pengurusan izin dipinjam dari perusahaan untuk
kelak dibayar dari hasil produksi kayu dan pembayaran kepada masyarakat oleh investor,
sehingga warga bisa ikut dalam proses permohonan izin.
Dengan broker menjadi penanggung jawab perizinan di Malinau, masyarakat kurang
memiliki pemahaman mengenai kesepakatan yang mereka buat: ukuran areal konsesi yang
diajukan, nilai kayu, ke mana kayu akan dikapalkan atau bahkan dalam beberapa kasus
keabsahan klaim lahan (lokasi konsesi yang diajukan). Ini adalah salah satu faktor penyebab
lebih tingginya tingkat konflik antar masyarakat mengenai klaim hutan dan batas-batas di
Malinau jika dibandingkan dengan di Kutai Barat. Di Malinau, semua peta IPPK dan
areal konsesi yang diajukan disediakan oleh Kantor Dinas Kehutanan untuk broker, yang
menunjukkan kecilnya kontrol masyarakat terhadap lokasi dan luasan IPPK. Sebagai
perbandingan, ada beberapa kasus di Kutai Barat di mana perusahaan melakukan negosiasi
untuk areal yang lebih kecil daripada total luasan izin yang diperoleh sebelumnya oleh
masyarakat. Sementara semua kesepakatan yang disurvei di Malinau berupa akta notaris,
hanya sekitar 30 persen dari kesepakatan yang disurvei di Kutai Barat yang disahkan notaris,
60 persen dalam bentuk tertulis dan sisanya 10 persen dibuat secara lisan. Hal ini agak
mengherankan mengingat relatif lebih lemahnya kesepakatan di Malinau dibandingkan
dengan kesepakatan yang dibuat di Kutai Barat.22
Meskipun tampaknya ada transparansi yang lebih besar di Kutai Barat dengan
dimasukkannya struktur fee di dalam kesepakatan, masalah kecurangan (rent-seeking)
tetap ada dalam masyarakat, seperti juga di Malinau. Salah satu masalah pada pendekatan
survei kami adalah kami tidak bisa meneliti semua yang terjadi di desa-desa dan di dalam
berbagai kesepakatan yang dibuat dengan broker. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat
manfaat yang dilaporkan ke tim survei, yang merupakan satu alasan mengapa bab ini
hanya difokuskan pada penentuan faktor manfaat yang dinegosiasikan. Masalah lainnya
pada pendekatan survei sistematik adalah bahwa kita tidak selalu bisa membahas suatu
negosiasi, dengan para pelaku langsung dalam negosiasi tersebut. Selain itu, selalu ada
faktor-faktor dan potongan informasi yang tidak sepenuhnya cocok dalam format survei
kami, yang terkadang sangat menyulitkan dilakukannya pembandingan langsung. Banyak
informasi ‘di luar survei’ yang dikumpulkan oleh tim di Malinau dimasukkan dalam bab
ini.
Kesimpulan
Penelitian mengenai negosiasi antara masyarakat dan broker di Malinau menunjukkan
adanya variasi pada hasil negosiasi maupun pada hasil nyata. Jelas terlihat kecilnya variasi
dalam hasil negosiasi, setidaknya dibandingkan dengan tempat penelitian lainnya, seperti
Kabupaten Kutai Barat. Penyebab utamanya adalah dominasi dan praktik pengaturan harga
mirip kartel dari para broker dalam membuat kesepakatan. Mereka membentuk komponen
penting dari jaringan kuat usaha perkayuan, yang juga melibatkan pejabat pemerintah lokal,
pewaris, dan kini juga banyak pemimpin masyarakat. Dalam ketiadaan penegakan hukum
formal, jaringan ini memperkuat diri, dan diperlukan demi kelangsungan usaha, termasuk
kesepakatan usaha pembalakan. Sebagaimana disebutkan di atas, semua kesepakatan
yang disurvei di Malinau berupa akta notaris, namun tanpa upaya penegakannya oleh
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
129
masyarakat (perlu jaringan kuat agar aksi kolektif bisa efektif ), itu semua hanyalah secarik
kertas yang tak berguna.
Jaringan itu juga memungkinkan adanya pembayaran ilegal; sehingga dalam survei
seperti ini tidak mungkin menentukan arti pentingnya dalam pengambilan keputusan
mengenai IPPK. Oleh karena itu sangat sulit menilai seberapa besar kendali dan pengaruh
yang dimiliki warga masyarakat biasa terhadap negosiasi di dalam desanya sendiri.
Namun, selain peran broker, ada sejumlah karakteristik masyarakat yang tampak
membentuk kesepakatan akhir yang dibuat di Malinau. Pertama, lebih tingginya partisipasi
masyarakat di lembaga desa dan musyawarah desa mengenai akses terhadap kayu di hutan
yang diklaim desa, pada masyarakat yang memperoleh kesepakatan lebih baik. Selain itu,
masyarakat ini juga lebih berpengalaman dalam bekerja sama dan berurusan dengan pihak
luar, serta memiliki mobilitas lebih tinggi. Pendapatan dan ketergantungan terhadap hasil
hutan tampaknya tidak memiliki dampak penting terhadap hasil negosiasi.
Analisa perbandingan terhadap proses di Kutai Barat dan hasilnya memperlihatkan
besarnya perbedaan antara pengalaman masyarakat di kedua kabupaten. Pertanyaan
berikutnya adalah mengapa? Bahkan walaupun mempertimbangkan keterlibatan tenaga
broker yang lebih besar di Malinau,23 pertanyaannya masih sama: mengapa masyarakat
di Kutai Barat tampak lebih mendapat manfaat dari konsesi kecil daripada masyarakat di
Malinau? Dengan mengabaikan keuntungan nyata jangka pendek dan biaya lingkungan
akibat pembalakan yang kurang dipahami, pertanyaan ini lebih baik ditinjau dalam
kerangka kendali dan pengalaman masyarakat.
Sebagian besar masyarakat yang disurvei di Kutai Barat – dari yang di dekat ibukota
kabupaten, Melak, hingga yang berjarak ratusan kilometer di Long Bagun – semuanya
lebih berpengalaman dengan jaringan pembalakan di daerah tersebut. Sejak tahun 1969
banyak masyarakat di daerah Sungai Mahakam terlibat pembalakan dengan banjir kap
dan kebanyakan operasi HPH pertama di Kalimantan Timur terletak di daerah Sungai
Mahakam. Sebagai perbandingan, masyarakat di Malinau kurang berpengalaman terhadap
pembalakan, setidaknya sampai beberapa tahun lalu. Rata-rata tiap desa yang disurvei
di Malinau baru mengenal kegiatan pembalakan komersial dalam hampir 15 tahun ini,
sedangkan masyarakat di Kutai Barat telah mengalami pembalakan sekitar sepuluh tahun
lebih dulu. Lebih lanjut, masyarakat di Malinau yang berpengalaman kerja di industri
pembalakan lebih sedikit (58 persen keluarga) daripada yang di Kutai Barat (64 persen
keluarga). Yang lebih penting barangkali adalah bahwa masyarakat di Malinau cenderung
bekerja untuk perusahaan kayu di Malaysia dan kurang mengenal jaringan pembalakan
Indonesia. Sebaliknya, masyarakat di Kutai Barat hanya bekerja di perusahaan Indonesia
sehingga lebih memiliki jaringan yang mapan, yang bisa lebih menguntungkan mereka
dalam negosiasi.
Secara keseluruhan, Malinau jauh lebih terisolasi dibandingkan masyarakat di daerah
Sungai Mahakam. Selama bertahun-tahun Mahakam sudah menjadi lalu lintas perdagangan,
jauh lebih banyak berhubungan dengan pasar di daerah pesisir dan menerima pengaruh
dari ibukota provinsi, Samarinda. Samarinda, ‘ibu kota pembalakan’ di Kalimantan dan
ibu kota provinsi Kalimantan Timur, memiliki industri kayu yang sangat besar. Meskipun
berjarak ratusan kilometer dari sejumlah desa yang pelaksana kesepakatan HPHH, Sungai
Mahakam menyediakan hubungan langsung dengan industri tersebut. Baru beberapa
tahun belakangan ini Malinau membuka akses ke daerah-daerah lain di Kalimantan Timur
dan lebih jauh, termasuk Malaysia. Malinau tidak memiliki industri pengolahan kayu
yang sebanding, dan sebagian besar kontak datang dari broker dan jalur penyelundupan
ke Sabah.
130
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Warga di desa-desa lebih besar yang disurvei di Kutai Barat, cenderung sedikit lebih
tinggi dalam hal tingkat pendidikan, tingkat pengharapan, serta kesadaran, dibandingkan
dengan warga Malinau. Di Kutai Barat lebih banyak warga yang bergelar sarjana, dan
meskipun tidak kembali ke desa posisi mereka di kota cukup baik untuk membentuk
jaringan dengan industri kayu dan mendapatkan informasi (misalnya harga kayu), yang
bisa disampaikan kepada anggota keluarga yang tinggal di desa.
Meskipun jaringan jalan di kedua kabupaten relatif terbatas, banyak ibukota kecamatan
Kutai Barat memiliki lebih banyak pasar dan infrastruktur. Walau kemiskinan merupakan
kenyataan hidup bagi penduduk di kedua kabupaten itu, kondisi ekonomi desa-desa
di Kutai Barat tampak lebih baik daripada di Malinau. Hal itu bisa merupakan faktor
penyumbang terhadap tingkat pengharapan relatif, di samping lebih tingginya tingkat
pendidikan, adanya akses langsung, serta keterhubungan dengan kota Samarinda dan
daerah lain. Semua hal itu, ditambah lagi dengan lebih besarnya peran masyarakat dalam
negosiasi, tampak menghasilkan tingkat kendali negosiasi lebih tinggi daripada masyarakat
yang disurvei di Malinau.
Catatan
1 Penelitian untuk bab ini didanai oleh the Robert-Bosch Foundation yang berafiliasi
dengan Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. Penulis
mengucapkan rasa terima kasih kepada Rini Kusumawati dan Dodi Hernawan atas bantuan
lapangan di Malinau.
2 Baland dan Platteau (1996) dan Agrawal (2001) memberikan tinjauan rinci mengenai
faktor penentu aksi kolektif yang berhasil dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam
oleh masyarakat.
3 Penelitian juga dilakukan di Bulungan dan Kutai Barat.
4 Ada sejumlah desa di utara Kabupaten Malinau yang juga membuat kesepakatan pada
tahun 2000 dan juga telah menerima pembayaran uang muka, namun perusahaan tidak
melakukan pembalakan apapun. Semua kasus itu tidak dimasukkan dalam survei. Sebagian
besar desa yang berpartisipasi dalam kesepakatan IPPK aktif di Malinau dimasukkan dalam
sampel ini.
5 Lihat Obidzinski dan Palmer (2002) dan Palmer dan Obidzinski (2002).
6 Ini hampir selalu lebih besar daripada areal izin IPPK, yang hanya dapat digunakan
untuk satu tahun, tapi dapat diperpanjang dengan mudah. Tampaknya sejumlah desa
menginginkan pengaturan jangka panjang guna memastikan ada aliran manfaat yang
tak terputus di masa depan, sebagaimana yang juga telah diamati di Bulungan (Palmer,
2004).
7 IPPK dimaksudkan sebagai izin kegiatan ‘pembukaan hutan’ (forest clearance), jadi menurut
peraturan IPPK, perusahaan diharuskan membuka perkebunan begitu hutan telah
dibersihkan. Setiap izin IPPK berukuran 100ha dan biasanya sebuah desa (atau paling
tidak brokernya) mengajukan permohonan untuk beberapa izin, dengan memberikan areal
pembalakan yang jauh lebih besar jumlah totalnya. Banyak kesepakatan antara masyarakat
dan perusahaan yang memberi jauh lebih luas dari yang tercantum dalam izin, dan izin
akan diperpanjang setiap tahun untuk mengakomodasi operasi lebih lanjut.
8 Biasanya, di desa mitra pada kesepakatan bersama, atau di ibu kota kabupaten, Malinau
Kota (lihat Tabel 6.3 untuk rincian).
Siapa, Bagaimana dan untuk Apa?
131
9 Namun broker yang lain segera memasuki desa-desa di Malinau Utara begitu kesepakatan
telah tercapai. Sebagai contoh, PT Glory Sejahtera Mandiri memperoleh izin IPPK untuk
2000ha dan membuat kesepakatan dengan masyarakat Sungai Sembuak pada penghujung
2001, setahun setelah kesepakatan dibuat dengan CV Putra Surip Wijaya.
10 Ini bisa menjadi strategi penghematan biaya. Secara keseluruhan, BBP memegang izin
untuk sedikitnya 6000ha dan membuat kesepakatan terpisah dengan Desa Luba, Selidung,
Putat, Kelapis dan dengan kepala adat Selidung, semuanya di daerah Sungai Semendurut.
11 Lahan yang diklaim oleh pewaris dinamakan tanah warisan, meskipun itu adalah bagian
dari klaim hutan adat masyarakat yang berbeda. Dalam banyak kasus, pewaris lebih
berpengaruh daripada kepala desa dalam suatu masyarakat. Pewaris kadang-kadang
mewakili kelompok etnis tertentu di desa-desa lain dan/atau memiliki anggota keluarga
yang menjadi penduduk desa-desa itu, sehingga memiliki klaim lahan/sumberdaya yang
melampaui batas-batas desa. Belakangan ini terjadi perkembangan, dari pewaris gua
menjadi pewaris lahan di daerah tempat gua tersebut.
12 Dalam kasus ini, tampaknya pewaris mencari tanda tangan dari warga masyarakat dengan
klaim paling lemah mengenai hutan setempat agar bisa mendapatkan izin IPPK dari
pemerintah kabupaten. Tak satu pun warga Long Sulit pernah menerima uang fee dari
pewaris.
13 Broker bisa menyetujui tambahan pembayaran bagi masyarakat berpengharapan sangat
rendah karena hendak mengembangkan citra kepedulian pada kesejahteraan masyarakat.
14 Pertukaran antara keuntungan finansial langsung dengan sarana umum juga telah diamati
di Kabupaten Bulungan (Palmer, 2004).
15 Pola ini bahkan lebih tampak jelas di kabupaten tetangga Bulungan, yang juga disurvei
selama masa kerja lapangan. Contohnya, pada masyarakat Dayak Berusu lain yang berlokasi
sangat dekat dengan masyarakat Sungai Bengalun di Malinau, tercatat fee sebesar 20.000
rupiah per meter kubik di setiap kasus.
16 Sangat mungkin ada pembayaran rahasia tambahan bagi kepala desa. Sebagai contoh,
di Kabupaten Bulungan kepala desa biasa menerima pembayaran terpisah sebesar 5.000
rupiah per meter kubik atau lebih (Palmer, 2004, 2006).
17 Untuk lahan hutan di daerah Sungai Semendurut yang sudah dialokasikan oleh pemerintah
kabupaten dan PADUS ke perorangan seperti kepala adat Selidung yang telah dimasukkan
ke dalam jaringan patron-klien pembalakan lokal. Tampaknya hal ini lebih murah daripada
membuat kesepakatan dengan masyarakat, sehingga lebih diprioritaskan oleh BBP.
18 Pada sisi lain, mungkin saja kepala desa menyadari hal ini namun lalai menginformasikan
kepada warganya, karena mereka menerima ‘fee khusus’ untuk menghilangkan sarana
umum dari kontrak. Tentu saja sebagaimana perilaku kecurangan lainnya, hal ini tidak
bisa diamati secara langsung di lapangan.
19 Perhatikan bahwa kajian ini berfokus pada nilai manfaat bersih kontrak dan tidak
mendalami isu distribusi itu sendiri.
20 Yang untuk Kutai Barat dinamakan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan). Di atas kertas,
satu-satunya perbedaan nyata antara sistem IPPK dan HPHH adalah bahwa izin IPPK
dapat diberikan langsung oleh kepala kabupaten. Tidak seperti aturan HPHH, peraturan
IPPK juga secara eksplisit mensyaratkan perkebunan harus dibangun di areal konsesi.
Untuk izin HPHH, disyaratkan lebih dahulu persetujuan dari pemerintah provinsi; dan
mewajibkan pemegang konsesi membayar kepada masyarakat pajak penghijauan kembali
per meter kubik dari produksi kayu.
21 Situasi ini hanya timbul ketika broker untuk desa ini (CV Putra Surip Wijaya) menolak
membayar kepada masyarakat, menyebabkan terjadinya penyitaan peralatan kontraktor.
Agar peralatannya dikembalikan, kontraktor terpaksa membuat kesepakatan dengan
132
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
masyarakat termasuk pembayaran tunggakan untuk semua fee yang belum dibayar serta
kenaikan fee menjadi 50.000 rupiah per meter kubik.
22 Dari 21 kesepakatan pertama yang disurvei di Kutai Barat, rata-rata fee per meter kubik
adalah di atas 80.000 rupiah per meter kubik, berkisar dari 30.000 rupiah hingga 150.000
rupiah per meter kubik. Kisaran fee cenderung lebih rendah pada desa yang lebih tergantung
pada perantara atau broker, yang cukup sebanding dengan rata-rata untuk kesepakatan
pertama di Malinau: 27.000 rupiah per meter kubik. Namun agar pembandingan lebih
setara, perlu dipertimbangkan faktor sarana umum, yang hanya tercantum pada separuh
kesepakatan di Kutai Barat (yang juga memberikan fee lebih rendah), dibandingkan dengan
hampir semua kesepakatan pertama di Malinau. Yang berbeda hanyalah Tanjung Nanga,
yang menegosiasikan fee tertinggi (50.000 rupiah per meter kubik) tanpa meminta sarana
umum pada perusahaan IPPK, dan lebih mirip kontrak kesepakatan di Kutai Barat daripada
Malinau. Namun fee yang diterima di Kutai Barat, cenderung memasukkan biaya-biaya
lain yang terutama ditanggung oleh broker di Malinau, seperti biaya perizinan dan bahkan
fee pribadi untuk tokoh desa. Walaupun di Malinau juga ada fee pribadi, tapi cenderung
berada di luar fee resmi yang diterima masyarakat. Meski demikian, bahkan jika semua
biaya lain dipertimbangkan, termasuk sarana umum, fee rata-rata di Kutai Barat masih
lebih tinggi dan lebih transparan daripada fee yang dinegosiasikan di Malinau (Palmer,
2006).
23 Sebagian besar kayu dari Malinau diekspor ke Sabah, Malaysia, di mana dapat diperoleh
harga rata-rata lebih tinggi daripada tujuan sebagian besar kayu dari Kutai Barat, yaitu
ibukota provinsi Samarinda, atau wilayah Indonesia lainnya.
Rujukan
Agrawal, A., 2001. Common property institutions and sustainable governance of resources,
World Development, vol 29, no 10, hal. 1649–1672.
Baland, J. M. dan Platteau, J.-P., 1996. Halting Degradation of Natural Resources: Is There a
Role for Rural Communities?, Clarendon Press, Oxford.
Engel, S. dan Palmer, C., 2006. Who owns the right? The determinants of community benefits
from logging in Indonesia, Forest Policy and Economics, vol 8, no 4, hal 434–446.
Obidzinski, K. dan Palmer, C., 2002. How Much Do You Wanna Buy? A Methodology
for Estimating the Level of Illegal Logging in Indonesia, Research Report, Center for
International Forestry Research (CIFOR, Bogor, Indonesia, disampaikan dalam The 13th
Annual Meeting of the European Association of Environmental and Resource Economists
(EAERE) di Budapest, 25–28 Juni 2004.
Palmer, C., 2004. The Role of Collective Action in Determining the Benefits from IPPK
Logging Concessions: A Case Study from Sekatak, East Kalimantan, CIFOR working
paper 28, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Palmer, C., 2006. The Outcomes and Their Determinants from Community–Company
Contracting over Forest Use in Post-Decentralization Indonesia, Peter Lang, Frankfurt,
Jerman.
Palmer, C. dan Obidzinski, K., 2002. Case Study Prepared for the Report: Higher International
Standards or Rent-Seeking Race to the Bottom? The Impacts of Forest Trade Liberalization
of Forest Governance, Food and Agriculture Organization (FAO) and the International
Institute for Environment and Development (IIED) Project GCP/INT/775/JPN, Mimeo,
Center for Development Research, Bonn, Jerman.
Pearce, D. W. dan Warford, J. (1993. World without End: Economics, Environment and
Sustainable Development, Oxford University Press, New York, NY.
7
Dampak IPPK terhadap Penghidupan
Masyarakat di Kabupaten Malinau,
Kalimantan Timur
Kewin Kamelarczyk dan Uffe Strandby
Pendahuluan
Apa peran hutan bagi kehidupan di pedesaan? Adakah potensi hutan untuk meningkatkan
taraf hidup dan mengurangi kemiskinan? Sebagian peneliti meragukan hal ini (lihat
Wollenberg dkk, 2001; Wunder, 2001; Sunderlin dkk, 2003; Levang dkk, 2005), meskipun
cukup banyak orang yang mengandalkan hutan sebagai sumber kehidupan maupun
sumber penghasilan (Byron dan Arnold, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003; Levang
dkk, 2005). Ketergantungan pada hutan sangat bervariasi di berbagai masyarakat, dan
hasil hutan biasanya berperan sebagai penambal kekurangan atau penambah penghasilan,
bukan sebagai sumber penghasilan utama (Byron dan Arnold, 1999; Angelsen dan Wunder,
2003). Beberapa peneliti menyatakan bahwa satu-satunya cara memanfaatkan hutan untuk
mengurangi kemiskinan dan menaikkan taraf kehidupan adalah dengan mengubah modal
hutan menjadi bentuk ekonomi lain yang lebih menguntungkan (Wunder, 2001; Angelsen
dan Wunder, 2003; Levang dkk, 2005). Mengubah modal hutan menjadi industri alternatif
memang akan membantu masyarakat miskin penghuni hutan. Agar bisa bermanfaat bagi
masyarakat pedesaan, penggunaan sumberdaya hutan secara lebih komersial dan intensif
mungkin harus disertai jaminan akses dan kepemilikan hutan, penghapusan kebijakan
yang menghambat, pembukaan akses pasar, serta penguatan organisasi pendamping
dan pendukung (Lindsay, 1998; Balland dan Platteau, 1999; Byron dan Arnold, 1999;
Steins dan Edwards, 1999; Colfer dan Wadley, 2001; Campbell dkk, 2002; Angelsen dan
Wunder, 2003; Scherr dkk, 2003). Namun, kalaupun hal itu bisa dicapai, kelompok paling
miskin dan dengan harga upah dan modal paling rendah kemungkinan besar tidak bisa
134
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
memanfaatkan skema pembangunan semacam ini dan terus bergantung pada peluangpeluang penghasilan dari sumberdaya hutan serta memanen produk-produk penunjang
kehidupannya (Lindsay, 1998; Byron dan Arnold, 1999; Wollenberg dkk, 2001; Angelsen
dan Wunder, 2003).
Seperti diuraikan di bab-bab sebelumnya, desentralisasi wewenang administratif kepada
pemerintah kabupaten telah memberi kesempatan dan insentif bagi warga dalam bentuk
penerbitan surat Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) untuk pengusahaan
hutan skala kecil. Walau Departemen Kehutanan telah melarang IPPK di akhir tahun
2000, beberapa kabupaten masih menerbitkan ratusan IPPK (Barr dkk, 2001; FWI/GFW,
2002) dan secara tidak langsung mendukung pembalakan liar.
Ukuran masing-masing IPPK bervariasi antara 100 sampai 3000 hektar (Barr dkk,
2001). Meski keseluruhan luas terdampak IPPK tidak besar; namun mengingat singkatnya
masa pemberlakuannya, jangkauan dan laju pengaruh proses ini terhadap hutan sangat
agresif (Barr dkk, 2001).
Surat izin ini tak hanya memberi royalti kepada pemerintah kabupaten, tetapi juga
memberi berbagai manfaat bagi masyarakat, contohnya fee berdasarkan volume, berbagai
kontribusi dan kesempatan kerja (Barr dkk, 2001; FWI/GFW, 2002). Banyak masyarakat
yang tertarik kepada IPPK karena baru kali ini bisa berharap menikmati untung besar dari
hutan. Namun di balik semangat untuk menangkap manfaat ini, kekurangan informasi dan
ketidakmampuan mengendalikan perusahaan pembalakan telah membuat mereka sering
menjadi korban pelanggaran kontrak oleh perusahaan (Warner, 2000; Barr dkk, 2001;
Colfer dan Wadley, 2001; Sellato, 2001; Resosudarmo dan Dermawan, 2002; juga lihat
Bab 6 buku ini). Selain itu, kurangnya transparansi, ketidaksetaraan distribusi manfaat,
terbatasnya kesempatan kerja dan kurang layaknya upah, timbulnya konflik, dan tidak
berkelanjutannya berbagai kegiatan kehutanan akibat operasi-operasi IPPK menunjukkan
bahwa IPPK bukanlah model pengelolaan hutan yang berhasil (Warner, 2000; Colfer dan
Wadley, 2001; Sellato, 2001; Anau dkk, 2002; Casson, 2002; Resosudarmo dan Dermawan,
2002; juga lihat Bab 8 dan 10 buku ini). Terlebih lagi, kaum elit di setiap kampung telah
menjadi kroni para pemegang IPPK sehingga mengelola sumberdaya kayu mereka dengan
lebih terfokus pada nilai ekonomisnya daripada kepada pelestarian alam dan lingkungan
(Edmunds dan Wollenberg, 2003; Levang dkk, 2005).
Bab ini mengkaji sejauh mana masyarakat lokal di tiga desa di Kabupaten Malinau
terpengaruh oleh kecenderungan pemerintah lokal menerbitkan IPPK. Setelah bab-bab
sebelumnya melaporkan berbagai manfaat di tingkat desa; bab ini melaporkan distribusi
manfaat kepada tingkat rumah tangga di desa.
Bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, tiga lokasi penelitian diuraikan berdasarkan
sejarah, etnisitas, dan aspek-aspek IPPK (yaitu negosiasi, implementasi, perkembangan
dan cakupan). Lalu diikuti oleh rangkuman metode-metode penelitian kami. Kemudian
dijabarkan hasil-hasil temuan dan didiskusikan implikasinya. Karena penelitian ini
dibangun di atas modifikasi kerangka SRL (Sustainable Rural Livelihood) dari the UK
Department for International Development (DFID), penyajian hasil temuan dan diskusi
disusun berdasarkan empat aset: modal finansial, modal sosial, modal sumberdaya manusia,
dan modal alam. Berbagai implikasi dari IPPK terhadap modal fisik tidak dibahas secara
terpisah, tetapi didiskusikan bersama dengan masing-masing dari keempat aset yang telah
disebut sebelumnya.
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
135
Lokasi penelitian
Tiga desa tempat studi ini dilaksanakan terletak di DAS Malinau dan dipilih untuk
mewakili berbagai kondisi latar belakang etnis, jumlah rumah tangga, keterpencilan
geografis, dan waktu pemberlakuan IPPK. Faktor-faktor ini diasumsikan mempengaruhi
dampak IPPK terhadap kondisi penghidupan. Desa Tanjung Nanga, desa Adiu, dan desa
Sengayan dipilih untuk studi ini.
Tanjung Nanga
Dengan 450 jiwa penduduk dan 135 rumah tangga, Tanjung Nanga adalah yang terbesar
dari ketiga desa ini. Kecuali beberapa keluarga suku Punan pindahan dari berbagai
pemukiman di hulu sungai selama dasawarsa terakhir, masyarakat desa kebanyakan
kelompok etnis Kenyah. Desa ini didirikan tahun 1974 ketika masyarakat ini pindah dari
desa Long Pua’ di Sungai Pua (Sellato, 2001; Made Sudana, komunikasi personal, Juni
2003) ke lokasi sekarang di DAS Malinau, yang berjarak sekitar 10 jam berperahu ke arah
hulu dari Malinau (atau tiga jam menggunakan mobil).
Karakteristik sosial suku Kenyah, dengan kaum bangsawannya sangat berpengaruh
dan orang awamnya yang relatif lemah, sangat terasa di Tanjung Nanga. Kepala Desa,
Kepala Adat dan kerabat mereka cenderung memegang posisi sosial paling kuat dan juga
menempati banyak posisi strategis yang bisa mendapatkan usaha paling menguntungkan.
Kebalikan dari orang-orang kebanyakan, para bangsawan adalah kaum terdidik dan
berwawasan luas. Walau hirarki sosial yang kuat ini tampak diskriminatif, kelembagaan
masyarakat di Tanjung Nanga terlihat cukup berfungsi.
Meski suku Kenyah terkenal sebagai petani andalan, hal ini tidak tercermin dalam
berbagai aktivitas mencari penghasilan di Tanjung Nanga. Kegiatan yang mendominasi
adalah menjual hasil-hasil hutan dan pekerjaan buruh non pertanian, yang masing-masing
melibatkan sekitar dua perlima dari responden. Perdagangan produk pertanian melibatkan
sekitar seperempat dari responden, sama dengan berbagai aktivitas lain seperti penjualan
kerajinan tangan, pegawai pemerintah lokal, wirausaha dan bekerja buruh di Malaysia.
Adiu
Dari ketiga desa, Adiu terletak paling hilir di DAS Malinau, empat sampai lima jam
berperahu ke arah hulu dari Malinau Kota. Sungai masih menjadi jalur transportasi utama,
walaupun desa ini – sebagai bagian dari operasi IPPK – telah terhubung dengan jalan
logging utama yang mengarah ke selatan dari Malinau Kota. Berpenduduk hanya 223 jiwa,
Adiu adalah desa yang terkecil dari ketiga desa. Desa ini memiliki dua kampung kecil yang
terpisah secara fisik: Long Adiu yang memiliki 28 rumah tangga, dihuni oleh kelompok
etnis Merap, dan Punan Adiu, 18 rumah tangga, dihuni oleh suku Punan. Suku Merap
pindah ke Long Adiu pada tahun 1920 dari wilayah lebih di hulu, yaitu anak sungai Ran.
Pada tahun 1962 suku Punan tiba dan diberi bagian hutan yang diklaim oleh suku Merap
(Kaskija, 2002; Made Sudana, komunikasi personal, Juni 2003). Relatif dekatnya jarak Adiu
dari Malinau Kota tampaknya mempengaruhi kegiatan mencari penghasilan pilihan warga
desa: empat perlima responden berdagang hasil-hasil pertanian dan sekitar setengahnya
menjual hasil hutan, sepertiganya bekerja di penebangan kayu, dan seperlimanya pegawai
di pemerintahan lokal.
136
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Sengayan
Sengayan adalah desa suku Merap, berpenduduk 272 jiwa (sekitar 60 rumah tangga) dan
didirikan di awal tahun 1980-an setelah pindah dari hulu sungai Sengayan (Kaskija, 2002).
Desa ini merupakan bagian dari pemukiman Long Loreh yang lebih besar, yang terdiri dari
tiga desa lain – Pelancau (Punan), Bila Bekayuk (Punan) dan Loreh (Kenyah) – dengan
total jumlah penduduk kira-kira 1200. Long Loreh terletak di DAS Malinau di ujung jalan
logging, dua jam perjalanan mobil ke arah selatan Malinau Kota. Desa ini telah menjadi
desa utama di kawasan ini karena adanya penambangan besar batubara di sekitarnya, yang
memperbesar lalu lintas dan perdagangan. Selain dari yang ada di Malinau, satu-satunya
Sekolah Menengah Pertama dan Puskesmas permanen ada di Long Loreh. Perusahaan
tambang batubara memainkan peran cukup besar di kawasan ini karena merawat jalan
utama, memberi gaji rutin kepada sejumlah besar rumah tangga dan menciptakan berbagai
peluang mendapatkan tambahan pendapatan. Banyak pekerja dari Sulawesi dan Jawa
kini telah bermukim dan menikah dengan penduduk lokal di desa Sengayan dan Long
Loreh, yang tampaknya secara sosial telah membagi Sengayan. Selain itu, masuknya para
pendatang dan kuatnya hubungan dengan “dunia luar” telah mempengaruhi penduduk
desa ke arah gaya hidup dan perilaku yang lebih modern. Sekitar setengah dari penduduk
desa terkait dengan penjualan produk-produk pertanian dan sekitar dua perlimanya terkait
dengan perdagangan hasil-hasil hutan.
Pengalaman sehubungan dengan kegiatan pembalakan
Pemberlakuan IPPK umumnya merupakan pengalaman langsung pertama bagi masyarakat
dengan praktik konsesi penebangan dan bisnis. Dalam kasus Tanjung Nanga, negosiasi
seputar IPPK berlangsung belakangan, sehingga warga desa bisa belajar dari pengalaman
desa lain. Hal lain yang menguntungkan posisi negosiasi desa ini adalah pengalaman
sebelumnya dengan konsesi penebangan kayu melalui HPH (Hak Pengusahaan Hutan).1
Berbagai kegiatan HPH di desa Adiu tidak memberikan manfaat secara langsung bagi
desa ini ataupun memberi pengalaman apapun untuk menjalani proses IPPK. Selain itu,
ketika IPPK diperkenalkan di kabupaten ini, desa Adiu adalah salah satu desa pertama
yang terlibat. Kurangnya pengalaman dalam negosiasi kontrak menempatkan desa ini
dalam posisi yang tidak menguntungkan, yang sebagiannya tercermin pada relatif kecilnya
fee yang diterima dari setiap meter kubik dibandingkan dengan desa lain. Pada awalnya dua
kampung di desa Adiu bekerjasama dalam negosiasi kontrak IPPK dan izin IPPK mencakup
kawasan hutan klaim mereka masing-masing. Namun, ternyata operasi pembalakan tidak
pernah mencapai kawasan hutan yang lebih jauh, yang dimiliki suku Punan, dan kemudian
menyebabkan beberapa konflik.
Dalam kasus Sengayan, tidak ada pengalaman dari kegiatan pembalakan sebelumnya.
Namun adanya tambang batubara dan kedinamisan struktur serta keragaman etnis yang
dimiliki desa ini akibat pembangunan Long Loreh, telah menyebabkan para warganya
terbiasa menghadapi pengaruh eksternal dan manfaat finansial. Ulasan informasi tentang
berbagai kegiatan IPPK di tingkat desa diperlihatkan di Tabel 7.1 sampai 7.3.
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
137
Tabel 7.1 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh
Tanjung Nanga
Jangka waktu kegiatan IPPKa, b
Pemegang Izinb, c
Besar wilayah di dalam izina
Areal penebangana
Lokasi 1
Fee per meter kubika, d
Produksia
Fee total dan besarnya
pembayarana
Manfaat lain yang diterimaa
Investasi umuma
Ekstraksi per hektare
Izin dikeluarkan pada bulan Januari 2001. Berbagai operasi
penebangan kayu dimulai Agustus 2001 dan masih aktif di
bulan Agustus 2003.
CV Jaya Nanga Bersama adalah pemegang izin IPPK. Ada
dua pemegang izin IPPK di Tanjung Nanga, tetapi mereka
berbagi izin yang sama dan dimiliki oleh investor yang sama.
Perusahaan-perusahaan yang memiliki izin adalah Meranti
Wana Lestari dan Koperasi Serba Usaha Meranti, keduanya
dimiliki oleh Ibu Rosalie. Kegiatan pembalakan di lapangan
sepertinya dilakukan oleh perusahaan penebangan kayu besar
(Godwin Limberg, komunikasi personal, Juni 2003).
Total seluas 20 blok (2000 hektar): 11 blok di wilayah Tanjung
Nanga dan 9 di wilayah desa tetangganya, Langap.
11 blok (1000 hektar) di wilayah Tanjung Nanga dan 9 blok (900
hektar) di wilayah Langap.
Sebelah barat Sungai Temalang.
US$6,25 selama tiga kali pembayaran pertama. Karena
sengketa wilayah, desa tetangga, Langap, mengklaim bagian
dari fee ini. Karenanya, fee untuk Tanjung Nanga adalah US$4
(untuk kayu yang diambil dari blok di Tanjung Nanga) dan US$
3,13 (dari kayu yang diambil dari blok di Langap).
Menurut kontrak, 100.000 meter kubik, tetapi hanya 80.000
meter kubik yang diambil. 60.000 meter kubik diambil dari
Tanjung Nanga dan 20.000 meter kubik diambil dari Langap.
US$225.000 dalam enam kali pembayaran, dan lebih banyak
lagi nantinya.
BBM untuk generator (200 liter per bulan), transportasi ke
lokasi perladangan, perawatan jalan dan sumbangan untuk
acara-acara khusus (contohnya Natal).
Akomodasi untuk siswa di Malinau (total US$5.000), gereja
(US$1.250 untuk setiap pembayaran), dukungan bagi
organisasi desa (seni, olahraga, keamanan, peralatan sekolah,
kelompok wanita; total US$1,25 per meter kubik dari dua
pembayaran pertama).
40 meter kubik
Catatan:
a Berdasarkan wawancara kelompok terfokus di Tanjung Nanga.
b Berdasarkan data yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Malinau.
c CIFOR, Long Loreh staf, komunikasi personal, June 2003.
d Langap menerima US$3 per meter kubik untuk kayu yang diambil dari wilayah Tanjung Nanga dan US$3,38 per meter
kubik untuk kayu yang diambil dari wilayah mereka sendiri.
e Perhitungan didasarkan pada perkiraan produksi total dan area yang ditebangi.
Metode penelitian
Pengumpulan data dilakukan selama bulan Juli dan Agustus 2003, mencakup metode
kualitatif dan kuantitatif. Untuk setiap desa, di tingkat rumah tangga diberlakukan
kuesioner semi terbuka yang juga mencakup pemeringkatan preferensi. Selain itu juga
dilakukan wawancara kelompok dan informal bersama informan kunci. Sebelumnya,
disusun pemeringkatan rumah tangga berdasarkan status kekayaan, lalu dipilih dengan
metode sampling terstrata (stratified sampling method). Kekayaan dipilih sebagai kriteria
138
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Tabel 7.2 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh Long
Adiu dan Punan Adiu
Long Adiu
Jangka waktu kegiatan
IPPKa, c
Pemegang Izina, b
Dua izin IPPK diberikan kepada CV Wana
Bakti dan kepada CV Kelawing Jaya. Hanya
yang pertama yang aktif. Berbagai operasi
penebangan dilakukan oleh Pro Desa dan,
belakangan, PT Trian Jaya Pratama.
Besar wilayah di dalam 7 blok (700 hektar)
kontraka
7 blok (700 hektar)
Area penebangana
Di sepanjang jalan baru, di sekitar desa dan
Lokasia
di sebelah barat Sungai Malinau di selatan
Adiu.
US$2,5.
Fee per meter kubika
43.678 meter kubik
Produksia, d
US$109.250 dalam empat kali pembayaran.
Fee total dan jumlah
Punan Adiu menerima bagian sebesar
pembayarana, d
US$29.375 dari jumlah ini.
Balai desa, klinik kesehatan, perataan tanah
Manfaat lain yang
dan jalan sepanjang 5 kilometer.
diterimaa
Tabungan desa (US$0,125 per meter kubik
Investasi umuma
atau 5% dari fee yang diterima), generator,
kabel listrik, gilingan padi, asrama siswa
di Malinau, balai desa, gereja, transportasi
kayu dan konsumsi selama aktivitas
masyarakat.
61 meter kubik
Ekstraksi per hektare
Punan Adiu
Izin diberikan bulan Juni 2000.
Penebangan tidak pernah
dimulai.
Dua izin IPPK diberikan
kepada CV Wana Bakti dan
kepada CV Kelawing Jaya.
8 blok (800 hektar)
Tidak ada area penebangan.
Tidak diketahui.
US$2,5.
Tidak ada produksi.
US$29.375 dalam tiga kali
pembayaran.
Perataan tanah dan jalan
sepanjang 5 kilometer.
5 meter kubik kayu gergajian
dan 5 kg paku untuk setiap
rumah tangga, dengan
ongkos total US$3.750;
US$2.500 berhasil ditabung.
Tidak ada produksi.
Catatan:
a Berdasarkan pada wawancara kelompok terfokus di Long Adiu dan Punan Adiu, wawancara informal dengan Kepala Desa
di Long Adiu.
b Berdasarkan data yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Malinau.
c Menurut Barr et al (2001), operasi penebangan kayu dimulai bulan Oktober 2000.
d Perhitungan produksi dan fee total didasarkan pada bukti produksi yang diterima oleh Kepala desa di Long Adiu dari
operator penebangan.
e Perhitungan didasarkan pada perkiraan produksi total dan area yang ditebangi.
karena telah teridentifikasi memiliki hubungan sebab-akibat terhadap pemanfaatan hutan,
keterlibatan dalam pengambilan keputusan di desa, dan penggunaan terhadap dan akses
kepada fee IPPK. Dari sasaran intensitas sampling sekitar 25 persen, diperoleh 23 persen di
Tanjung Nanga, 33 persen di Adiu dan 25 persen di Sengayan
Nilai penting fee IPPK bagi perekonomian rumah tangga
Apa makna pendapatan dari IPPK dibandingkan dengan penghasilan lainnya? Para
responden diminta mendaftar seluruh sumber pendapatan mereka dan membandingkannya
(pair-wise) dengan besarnya pendapatan yang didapat selama satu tahun penuh. Tidak heran
bila hasil analisa mengungkapkan bahwa pendapatan tahunan yang diterima dari fee IPPK
di Tanjung Nanga dan Adiu dianggap lebih besar daripada sumber pendapatan yang lain.
Namun, di Sengayan, pendapatan rumah tangga dari kegiatan pertanian dirasakan lebih
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
139
Tabel 7.3 Data di tingkat desa tentang berbagai kegiatan IPPK di kawasan hutan yang diklaim oleh
Sengayan
Jangka waktu kegiatan IPPKa, b
Pemegang Izinb
Besar wilayah di dalam kontraka
Area penebangana
Lokasic
Fee per meter kubika
Produksia, d
Fee total dan besarnya
pembayarana, e
Manfaat lain yang diterimaa
Investasi umuma
Ekstraksi per hektarf
Izin dikeluarkan bulan November 2000. Penebangan berakhir
Juni 2003, tetapi ekstraksi masih berlangsung di bulan Agustus
2003.
CV Putra Surip Wijaya.
20 blok (2000 hektar).
13 blok (1300 hektar).
Sungai Tebu sampai Sungai Batu Lu’ung.
US$3,75.
Antara 26.666 meter kubik dan 45.500 meter kubik.
Antara US$100.000 dan US$170.625 dalam 12 pembayaran.
Balai desa, gilingan padi, kayu, 5000 seng atap; kayu dan seng ini
didistribusikan kepada setiap rumah tangga.
Tidak ada.
Antara 20,5 meter kubik dan 35 meter kubik.
Catatan:
a Berdasarkan pada wawancara kelompok terfokus di Sengayan.
b Berdasarkan data yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Malinau.
c CIFOR, Long Loreh staf, komunikasi personal, June 2003.
d Perkiraan volume terendah didasarkan pada satu wawancara kelompok terfokus di mana diberitahukan kalau fee total
yang diterima adalah US$100.000 dan fee per meter kubik adalah US$3,75. Perkiraan tertinggi didasarkan pada pernyataan
lain dari wawancara kelompok terfokus yang sama yang memperkirakan 35 meter kubik kayu diambil dari setiap hektar
dari 1.300 hektar, tingkat pengambilan maksimum yang diizinkan oleh izin IPPK.
e Fee total sekitar US$100.000 adalah satu perkiraan yang didasarkan pada wawancara kelompok terfokus. Perkiraan lain
sebesar sekitar US$125.000 dibuat oleh staf CIFOR. Perkiraan ketiga bisa dibuat dengan cara mengasumsikan ada 45.000
meter kubik kayu tebangan dan fee per meter kubiknya adalah US$3,75 dan menghasilkan fee total sebesar US$170.625.
f Perhitungan didasarkan pada perkiraan produksi total dan areal yang ditebang.
besar (lihat Gambar 7.1). Ketika ketiga desa dipandang sebagai satu populasi, peringkat fee
IPPK lebih tinggi pada sekitar sepertiga dari data pembandingan.
Untuk mendapatkan gambaran sebenarnya dari nilai penting fee IPPK, diteliti
ketersediaan dan ukuran kegiatan mencari penghasilan (lihat Gambar 7.2). Dari seluruh
populasi yang diteliti, IPPK terdapat pada 52 persen data pembandingan pair-wise sehingga
bisa dipandang sebagai sumber pendapatan yang paling tersedia selama masa pemberlakuan
IPPK. Pada 56 persen dari seluruh data, IPPK dirasakan lebih tinggi daripada sumbersumber penghasilan rumah tangga lainnya. Hanya pendapatan dari bekerja di Malaysia saja
yang dipandang lebih besar; namun hal itu hanya menjadi pilihan bagi beberapa rumah
tangga saja. Pendapatan dari pekerjaan di luar pertanian, penjualan hasil hutan, uang dari
IPPK dan penjualan produk pertanian, semuanya dipandang tidak terlalu besar sebagai
pendapatan tahunan dan juga tidak terlalu tersedia sebagai peluang penghasilan.
Dalam konteks yang sama, para responden ditanya apakah memiliki akses ke
sumber pendapatan lain yang bisa menggantikan fee dari IPPK. Di Tanjung Nanga dan
Adiu, sebagian besar rumah tangga menyatakan tidak punya akses ke pengganti IPPK,
sementara di Sengayan, sebagian besar responden mengklaim sebaliknya. Sumber-sumber
pendapatan yang disebut responden di Adiu dan Sengayan sebagai bisa menggantikan fee
IPPK juga bersifat stabil dan berkelanjutan. Lapangan kerja yang paling penting di Adiu
adalah sebagai guru, karyawan di perusahaan kontraktor IPPK atau di Malaysia, sedangkan
di Sengayan, sumber pendapatan yang paling penting adalah IPPK dan di perusahaan
tambang batubara. Di Tanjung Nanga, di mana kesempatan kerja di perusahaan konsesi
140
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Tanjung Nanga
3%
Adiu
4%
3%
10%
3%
33%
32%
10%
22%
5%
8%
20%
13%
6%
6%
17%
5%
Sengayan
Ketiga desa
6%
6%
19%
29%
21%
11%
7%
3%
4%
28%
19%
12%
7%
5%
11%
12%
Fee IPPK
Memancing
Berladang
Hasil hutan
Bekerja di Malaysia
Upah IPPK
Lainnya
Tidak tahu
Pekerjaan selain pertanian
Gambar 7.1 Alokasi persentase peringkat berbagai kegiatan berpenghasilan. Angka persentase
menunjukan seberapa sering suatu kegiatan berpenghasilan dipandang relatif paling tinggi dari jumlah
total perbandingan sumber penghasilan
masih rendah, gaji pegawai pemerintah, hasil penjualan kerajinan tangan dan kayu
gaharu dipandang berpotensi sebagai pengganti fee IPPK. Pendapatan dari pertanian dan
pengumpulan hasil hutan dipandang berpotensi menggantikan IPPK hanya ditemukan di
beberapa data saja.
Pada umumnya rumah tangga di semua lokasi merasa situasi finansial mereka lebih
baik selama masa fee IPPK daripada sebelumnya, walaupun rumah tangga di Sengayan
merasa agak kurang terpengaruh oleh adanya IPPK (lihat Kotak 7.1). Kenyataan bahwa
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
141
100%
Kepentingan relatif besar pendapatan
Bekerja di Malaysia
Fee IPPK
50%
Lainnya Upah IPKK
Hasil hutan
Pekerjaan di luar pertanian
Berladang
Memancing
0%
0%
50%
100%
Ketersediaan relatif sumber pendapatan
Gambar 7.2 Frekuensi munculnya kegiatan berpenghasilan dalam peringkat pembandingan (ketersediaan
relatif ) dan kepentingan relatif dari besarnya pendapatan: ketiga desa dipandang sebagai satu populasi
fee IPPK bukanlah pendapatan yang stabil dipandang sebagai kekurangan utama, terutama
di Sengayan (lihat Kotak 7.2). Di Adiu dan Tanjung Nanga, sebagian besar rumah tangga
merasa fee tersebut telah memperbaiki situasi finansial mereka, sementara sebagian
menambahkan manfaat lainnya karena bekerja di operator IPPK, atau pun penjualan
produk-produk pertanian dan hutan kepada karyawan IPPK.
Pemanfaatan fee oleh rumah tangga
Bagaimana rumah tangga menggunakan fee IPPK yang diterima? Apakah mereka
memikirkan investasi jangka panjang atau kebutuhan mendesak dan jangka pendek?
Semua jawabannya disusun dalam 15 kelompok barang dan jasa, tanpa memperhatikan
jumlah yang dibeli (contohnya, kalau satu rumah tangga membeli lebih dari satu perangkat
elektronik, hal itu hanya dihitung sebagai satu pengeluaran saja dalam kelompok itu).
Untuk bisa menganalisa data dalam perspektif yang lebih luas, barang dan jasa tersebut
lalu dikelompokkan ke dalam lima strategi investasi – ‘pemeliharaan modal insani’, ‘barang
mewah’, ‘penambah peluang pendapatan tambahan’, ‘tabungan’, dan ‘lain-lain’ (lihat
Gambar7.3). Perlu ditekankan bahwa kami hanya tertarik pada jenis-jenis pengeluaran.
Karena keterbatasan waktu dan terbatasnya ingatan responden, biaya pada masing-masing
pengeluaran tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.
Variasi pengeluaran untuk berbagai barang dan jasa
Walaupun perbedaan signifikan antar desa hanya ada pada beberapa kasus, pengeluaran
rumah tangga di Tanjung Nanga cenderung lebih sedikit (lihat Gambar 7.3). Contohnya,
semua rumah tangga membelanjakan untuk berbagai kenyamanan seperti makanan dan
pakaian, berbeda dengan Sengayan dan Adiu, sebagian rumah tangga membayar hutang
142
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Kotak 7.1 Ungkapan persepsi responden terhadap fee IPPK
• ‘Sebelum IPPK sampai di desa ini, saya hanya mendapat sedikit uang saja. Saya
menerima banyak uang dari fee IPPK. Sebelum IPPK, saya hanya mendapat uang
dari berjualan kacang tanah, yang hanya cukup untuk membeli gula dan makanan.
Sekarang saya bisa membeli televisi dan gergaji mesin’, (responden di Adiu).
• ‘Selama musim berburu, saya mendapat uang dari berjualan babi dan bukannya dari
fee’ (responden di Adiu).
• ‘Tidak ada yang lebih baik daripada fee!’ (responden di Tanjung Nanga).
• ‘Hanya ada satu sumber uang: fee IPPK!’ (responden di Tanjung Nanga).
Kotak 7.2 Pendapat enam responden di Sengayan tentang
nilai penting fee IPPK terhadap situasi finansial
rumah tangga dan nilai pentingnya pendapatan yang stabil
• ‘Fee IPPK itu tidak penting karena tidak rutin, sedangkan pendapatan dari toko saya
terus mengalir.’
• ‘Fee IPPK tidak begitu menarik karena bukan pendapatan yang stabil.’
• ‘Pendapatan dari bertani lebih penting daripada fee IPPK karena lebih teratur/stabil.
Walaupun fee IPPK jumlahnya lebih besar daripada pendapatan dari hasil bertani.
Saya mendapat lebih banyak lagi dari IPPK.’
• ‘Gaji dari perusahaan IPPK lebih penting daripada fee IPPK karena sifatnya rutin.’
• ‘Fee IPPK hanya bersifat sementara dan karenanya tidak sepenting pendapatan yang
teratur.’
• ‘Sebelum IPPK, saya mendapat uang dari menjual hasil ladang, tetapi dengan IPPK
saya bisa dapat jutaan. Sebelum IPPK, saya tidak punya apa-apa, sekarang saya bisa
membeli mesin ketinting yang memberi saya kesempatan untuk mendapat lebih
banyak uang.’
pembelian barang-barang keperluan hidup kepada toko-toko lokal. Di Tanjung Nanga
dan Adiu, peralatan dapur sederhana adalah barang yang lebih sering dibeli daripada di
Sengayan. Walau menabung sepertinya tidak terlalu disukai di desa manapun, jumlah
rumah tangga di Tanjung Nanga yang menggunakan sebagian fee mereka untuk ditabung
jauh lebih sedikit (lihat Kotak 7.3).
Di Adiu, rumah tangga cenderung menginvestasikan fee mereka untuk berbagai benda
yang relatif lebih mahal seperti peralatan kerja, tenaga kerja untuk membangun (atau
memperbaiki) rumah, barang-barang elektronik (terutama televisi, parabola satelit, VCD
dan peralatan stereo), gergaji mesin dan alat kerja (terutama kapak, gerobak dorong dan
parang). Namun, tidak seperti di Tanjung Nanga dan Sengayan, hampir semua rumah
tangga di Adiu secara konsisten membeli mesin perahu.
Variasi strategi investasi
Dengan mengelompokkan barang dan jasa ke beberapa kategori investasi, bisa terungkap
adanya kecenderungan tertentu dalam pola investasi di desa-desa. Dari tes homogenitas
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
143
100
% rumah tangga
80
60
40
20
Tanjung Nanga
Barang mewah
Adiu
Terbentuknya peluang
pendapatan tambahan
Sengayan
Tabungan
La
inn
ya
an
Tab
un
g
ort
asi
Tra
nsp
Ma
kan
esin
an
lat
rga
ji m
Ge
Pe
ra
ja
ker
ag
a
Ten
ns
et
Ge
Us
ah
a
Pemeliharaan modal manusia
Pe
rala
tan
da
pu
r
Ba
ran
ge
lek
tro
nik
did
ika
n
Pe
ng
h
seh idup
ari- an
ha
ri
Pe
n
ata
n
seh
Ke
Ko
ntr
uk
si r
um
ah
0
Lainnya
Ketiga desa
Gambar 7.3 Persentase pembelanjaan berbagai barang dan jasa oleh rumah tangga
yang dilakukan, walaupun tidak tampak ada perbedaan sistematis di antara strategi investasi
yang dilakukan rumah tangga (P=0,99), sebuah kesimpulan patut dicatat. Hampir semua
rumah tangga di Adiu menginvestasikan sebagian dari fee mereka ke berbagai barang
yang bisa ‘membuka peluang mendapatkan tambahan penghasilan’, yang secara signifikan
berbeda dengan Tanjung Nanga dan Sengayan, (lihat Gambar 7.4).
Untuk seluruh populasi yang diteliti, mayoritas rumah tangga menghabiskan sebagian
dari fee yang diterima di tahun 2002 untuk ‘merawat modal insani rumah tangga’ dengan
investasi dalam perawatan kesehatan dan pendidikan. Hal ini diikuti oleh lebih dari tiga
perlima populasi yang berinvestasi dalam ‘peluang pendapatan tambahan.’ ‘Barang mewah’
seperti peralatan elektronik dan generator hanya dibeli oleh sekitar dua perlima responden,
dan seperempatnya menabung sebagian fee mereka; namun, kedua strategi ini tidak berbeda
signifikan.
Kotak 7.3 Tanggapan beberapa rumah tangga ketika ditanya
tentang ‘tabungan’ dari fee IPPK
•
•
•
•
•
‘Tabungan?... ada sedikit,’ (responden di Tanjung Nanga).
‘Saya tabung sedikit untuk anak-anak,’ (responden di Tanjung Nanga).
‘Semua tabungan dihabiskan untuk biaya rumah sakit,’ (responden di Adiu).
‘Dari 2,5 juta tabungan, 1,25 juta sudah habis,’ (responden di Adiu).
‘Tabungan adalah asuransi kesehatan. Awalnya, saya menabung sekitar 3,6 juta;
tetapi sekarang sudah habis sekitar 1,8 juta untuk biaya berobat di Malinau Kota.’
(responden di Adiu).
• ‘Semua uang dari IPPK saya tabung untuk keperluan anak-anak,’ (responden di
Sengayan).
• ‘Uangnya saya tabung untuk keperluan pergi ke Sulawesi,’ (responden di Sengayan).
144
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
100
% rumah tangga
80
60
40
20
0
Pemeliharaan modal
manusia
Barang mewah
Tanjung Nanga
Terbentuknya peluang
pendapatan tambahan
Adiu
Tabungan
Sengayan
Lainnya
Ketiga desa
Gambar 7.4 Persentase rumah tangga dengan berbagai strategi investasi (pengeluaran menurut berbagai
kategori barang dan jasa) terkait dengan fee IPPK: Persentase ini digambarkan dengan satu error bar ± 2
* SE
Catatan: kurangnya nilai/error bar mengindikasikan nilai/error adalah nol.
Dengan pemahaman pada kecenderungan pembelanjaan, pasti akan menarik untuk
mengkaji perbedaan bagaimana pembayaran digunakan dan ditangani. Pada umumnya
rumah tangga menghabiskan uang yang mereka terima secara acak dan seketika. Kebutuhan
terkini pada saat pembayaran diterima tampaknya menjadi variabel utama penyebab.
Pada sebagian rumah tangga, barang kebutuhan harian seperti makanan dan obat-obatan
menjadi pilihan utama saat menerima pembayaran pertama, sedangkan bagi yang lain,
pilihan pertama adalah ‘barang mewah’ seperti sepeda atau televisi.
Transparansi dan partisipasi
Untuk meneliti tingkat transparansi di dalam proses IPPK, rumah tangga ditanya
pengetahuan mereka tentang fee total yang diterima oleh desanya, nama operator IPPK
dan nama warga yang diberi tanggung jawab membagi fee. Lebih dari separuh rumah
tangga di Adiu dan kurang dari sepersepuluh di Sengayan mengetahui jumlah total fee yang
diterima oleh desanya (lihat Gambar 7.5). Di Tanjung Nanga, tidak ada rumah tangga
yang tahu hal ini. Ketika melihat rumah tangga yang tahu nama operator IPPK, persentase
tinggi ditemukan di Sengayan (93 persen) dan Adiu (87 persen) dan hanya sedikit di
Tanjung Nanga (34 persen) (lihat Gambar 7.6). Dalam hal pengetahuan nama warga desa
yang ditugasi mendistribusikan fee IPPK, jawaban yang diberikan mengungkap tingkat
transparansi yang lebih tinggi karena semua rumah tangga di masing-masing desa sudah
diberi tahu tentang atasan administrasi mereka.
Indikator lain tingkat keterlibatan dan transparansi dalam proses ini adalah partisipasi
warga desa dalam berbagai rapat desa dan pilihan tindakan kolektif dalam hal yang
berhubungan dengan IPPK. Data kualitatif mengungkap bahwa sebagian besar rumah
tangga tahu tentang pertemuan tersebut dan juga diundang. Namun selama pertemuan-
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
145
pertemuan desa, sepertinya kebanyakan warga biasa enggan mengungkapkan pendapat
pribadi dan membiarkan para tokoh masyarakat mengambil keputusan penting (lihat
Kotak 7.4). Hanya dua dari sembilan responden yang hadir di berbagai rapat di Adiu yang
aktif mengungkapkan pendapat mereka, sementara di Tanjung Nanga, proporsi yang ada
hanya 4 dari 17 responden (aspek ini tidak dicakup di Sengayan). Namun, ada kesan bahwa
sering diadakan rapat desa di masing-masing desa dan membicarakan banyak subyek, yang
menunjukkan adanya tingkat partisipasi tertentu.
Kotak 7.4 Beberapa pernyataan dari Adiu dan Tanjung Nanga
tentang kemungkinan mempengaruhi keputusan
•
•
•
•
‘Kalau mayoritas orang memilih satu hal, saya mengikuti keputusan itu.’
‘Saya hanya mendengar; hanya para tokoh yang berbicara.’
‘Saya hanya mendengar; saya diizinkan bicara, tetapi tidak ingin bicara.’
‘Saya hanya mendengarkan; yang lebih pintarlah yang berbicara.’
Distribusi yang adil
Demi kekompakan di dalam suatu desa, para penerima perlu memandang pengalokasian
untuk kepentingan umum sebagai hal adil (Ostrom, 1990). Dari wawancara kelompok
terfokus di Sengayan, ditemui kesulitan untuk mengetahui aturan pasti pembagian fee
IPPK. Sepertinya ada aturan, tetapi tidak konsisten dan samar (lihat Kotak 7.5) dan
hanya dipahami oleh Kepala Desa serta stafnya. Di Adiu dan Tanjung Nanga, situasinya
100
90
80
% rumah tangga
70
60
50
40
30
20
10
0
Tanjung Nanga
Adiu
Sengayan
Ketiga desa
Gambar 7.5 Proporsi rumah tangga yang mengetahui jumlah fee total yang diterima oleh desanya. Tidak
ada rumah tangga di Tanjung Nanga yang mengetahui jumlah fee yang diterima desanya (persentase
rata-rata digambarkan dengan error bar ± 2*SE)
146
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Kotak 7.5 Komentar seorang penduduk desa Sengayan
tentang pembagian fee IPPK
Tetangga saya mendatangi kepala desa dan meminta fee IPPK; dia mendapat Rp. 245.000.
Ketika saya juga meminta fee, diberi tahu kalau fee itu belum tiba. Belakangan saya
menerima Rp. 124.000.
berbeda karena aturan pembagian fee IPPK sangat terperinci (lihat Tabel 7.4). Sistem
administrasi sepertinya tampak paling maju di Tanjung Nanga, dengan adanya panitia
yang terdiri dari enam orang tokoh masyarakat yang mengendalikan semua keputusan
tentang masalah IPPK, dan beberapa sub-komisi yang bertanggung jawab atas berbagai
kelompok (keluarga, janda, pemuda, siswa, dan lain-lain). Namun, menilai keadilan
pembagian hanya berdasarkan adanya aturan dan isinya pasti akan mengalami masalah
validitas. Untuk itu, para responden ditanya langsung tentang persepsi mereka terhadap
pembagian fee. Sekali lagi, Sengayan berbeda karena hanya sekitar sepertiga rumah tangga
mengatakan bahwa pembagiannya sudah adil, sementara mayoritas merasa puas di Tanjung
Nanga (80 persen) dan Adiu (94 persen) (lihat Gambar 7.7). Rumah tangga yang tidak
puas di Sengayan sebagian besar mengeluhkan kurangnya rapat desa, fee yang lebih rendah
bagi para pendatang baru dan janda, dan pemberian fee yang relatif lebih tinggi kepada
Tabel 7.4 Aturan persentase pembagian fee IPPK di tiga desa
Tanjung Nangaa
Dewasa
Pemuda
Siswa SMP dan lebih tinggi
Anak-anak (usia di bawah SMP)
Rumah tangga
Janda
Pendatang
Penduduk sementara
25
10b
8 (4)c
100
50 (25)d
25
Adiue
Sengayanf
Long Adiu
Punan Adiu
100
35–40
10
10
25
25
25
100
33
100
50
33
Catatan:
Perbandingan ini didasarkan pada contoh-contoh dari beberapa informan kunci dan disusun menurut kelompok rujukan. Di
Punan Adiu, rujukannya adalah dewasa, sementara pada kasus lain, merujuk ke rumah tangga.
a Aturan-aturan pembagian di Tanjung Nanga didasarkan pada dua laporan yang dibuat oleh panitia pembagian fee.
b Di Tanjung Nanga, kategori ini dinamakan beasiswa.
c Anak-anak yang tinggal di dalam desa menerima 8 persen dan anak-anak yang tinggal di luar desa hanya menerima 4
persen.
d Para janda yang hidup sendiri menerima 50 persen dan janda yang tinggal bersama kerabatnya menerima 25 persen.
e Aturan-aturan pembagian di Long Adiu didasarkan pada berbagai laporan produksi dan wawancara kelompok terfokus.
f Aturan-aturan pembagian di Sengayan didasarkan pada berbagai wawancara kelompok terfokus.
kepala desa dan kepala adat. Rumah tangga di Adiu dan Tanjung Nanga menjelaskan
alasan-alasan mereka memandang pembagian sudah adil: semua rumah tangga menerima
jumlah yang lebih kurang sama.
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
147
100
90
80
% rumah tangga
70
60
50
40
30
20
10
0
Tanjung Nanga
Adiu
Sengayan
Ketiga desa
Gambar 7.6 Proporsi rumah tangga yang mengenal nama operator IPPK (persentase rata-rata
digambarkan dengan error bar ± 2 * SE)
Distribusi yang setara
Kecuali beberapa rumah tangga di Sengayan yang menyatakan belum menerima pembayaran
apa pun, umumnya semua rumah tangga menerima bagian dari fee IPPK. Penjelasan
umum adanya pengecualian beberapa rumah tangga ini karena mereka dipandang sebagai
‘pendatang baru’ yang tidak pantas menerima jumlah yang sama dengan penduduk asli.
Mereka pindah ke desa ini beberapa tahun lalu dan sering bekerja di tambang batubara
atau sebagai pedagang. Seluruh fee IPPK yang diterima oleh Sengayan dibagikan ke rumah
tangga dan tidak diinvestasikan ke sarana-sarana umum, seperti di Tanjung Nanga dan
Adiu (lihat Tabel 7.1 sampai 7.3).
Hal ini mungkin bisa dijelaskan oleh fakta bahwa banyak proyek pemerintah dan
swasta telah terealisasi di Long Loreh sehingga menggantikan kebutuhan bagi proyekproyek sarana umum.
Mengenai jumlah dan ukuran pembayaran yang diterima per rumah tangga, ternyata
rumah tangga di Tanjung Nanga rata-rata, menerima fee yang cukup rendah dibandingkan
dengan rumah tangga di Adiu dan Sengayan. Investasi pada sarana-sarana umum lebih
diprioritaskan oleh panitia di Tanjung Nanga. Rumah tangga di Adiu rata-rata menerima
hampir tiga kali lebih banyak daripada rumah tangga di Tanjung Nanga (Rp. 1,37 juta
dibanding Rp. 475.000). Walaupun rumah tangga di Adiu rata-rata menerima Rp.
450.000 lebih besar daripada rumah tangga di Sengayan (Rp. 851.000), perbedaan ini
tidak signifikan. Kalau seluruh desa dilihat sebagai satu populasi, fee total rata-rata yang
148
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
100
90
80
% rumah tangga
70
60
50
40
30
20
10
0
Tanjung Nanga
Adiu
Distribusi yang adil
Sengayan
Ketiga desa
Distribusi yang tidak adil
Gambar 7.7 Persentase rumah tangga yang menilai distribusi fee IPPK di desanya adil atau tidak adil
(persentase rata-rata dgambarkan dengan error bar ± 2 * SE)
diterima per rumah tangga diperkirakan sekitar Rp. 689.000. Semua perkiraan ini diperiksa
ulang dengan membandingkannya dengan berbagai perhitungan berdasarkan fee total yang
diterima desa yang didistribusikan ke rumah tangga (lihat Gambar 7.8).
Karena survei rumah tangga dilakukan menurut strata pendapatan, bisa dibandingkan
alokasi fee kepada rumah tangga dalam berbagai kelompok pendapatan di masing-masing
desa. T-test mengungkap hanya di Tanjung Nanga terbukti ada dua perbedaan signifikan
(P = 0.04) yang cenderung memihak yang lebih kaya. Rumah tangga di strata pendapatan
sangat rendah hanya menerima Rp. 2.187.000, sementara rumah tangga di strata menengah
menerima lebih dari tiga kalinya, Rp. 7.065.000.
Kemunculan konflik
Jumlah, jenis dan intensitas konflik yang disebabkan oleh kehadiran IPPK bisa mengungkap
berbagai hambatan dan kekuatan utama di dalam modal sosial. Dalam hal ini, konflik
dipahami sebagai kejadian negatif yang berpotensi merusak ikatan sosial (Colfer dan
Wadley, 2001). Persentase rumah tangga yang pernah mengalami konflik karena kegiatan
IPPK tidak berbeda di antara ketiga desa. Tetapi, karena lebih dari separuh rumah tangga di
populasi total studi ini pernah mengalami konflik karena IPPK, maka perlu diteliti rincian
dan penjelasannya. Dengan kehadiran IPPK di Adiu, muncul pula konflik menyertai
masuknya uang; bukan hanya antara Adiu dan desa-desa tetangganya, tetapi juga secara
internal. Terutama, hubungan antara suku Merap dengan suku Punan mengalami banyak
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
149
16
Total fee IPPK yang diterima per rumah tangga
(juta rupiah)
14
12
10
8
6
4
2
0
Tanjung Nanga
Adiu
Sengayan
Ketiga desa
Gambar 7.8 Dua perkiraan total fee IPPK yang diterima per rumah tangga: Satu perkiraan didasarkan
pada data dari kuesioner semi terbuka di tingkat rumah tangga (kolom kiri berwarna abu-abu muda);
perkiraan lain didasarkan pada data dari berbagai wawancara kelompok terfokus dan laporan produksi
mengenai jumlah rumah tangga penerima fee dan fee total yang diterima di tingkat desa (kolom kanan
berwarna abu-abu tua)
Catatan:
Perkiraan berdasarkan kuesioner semi terbuka ini digambarkan dengan error bar ± 2 * SE.
sengketa setelah adanya IPPK, dan berbagai kontroversi serta kesalahpahaman menyebabkan
suku Merap tidak membagi pembayaran terakhir dengan suku Punan. Selain itu, suku
Punan tidak menerima manfaat non-tunai yang sama, seperti kantor desa dan puskesmas.
Di Tanjung Nanga dan Sengayan, alasan-alasan konflik adalah: jumlah uang yang diterima
per rumah tangga, distribusi pendatang baru dan penduduk lama; distribusi antara rumah
tangga dengan banyak anak dan dengan sedikit anak; rumah tangga dengan satu orang
tua dibanding dengan rumah tangga dengan dua orang tua; golongan elit yang dituduh
menerima suap; dan kurangnya partisipasi dan transparansi tentang pembagian fee IPPK.
Pengaruh IPPK terhadap kondisi kehidupan
Untuk membuat para responden bisa mengungkapkan pendapat agar diperoleh informasi
berharga tentang berbagai perubahan kehidupan mereka oleh adanya IPPK, responden
diminta membandingkan kualitas hidup mereka sekarang ini dengan kualitas sebelum
adanya IPPK dan menjabarkan penyebab perubahan itu. Walaupun ternyata pemeringkatan
kuantitatif memiliki kegunaan terbatas, karena responden sulit memahami metode yang
diterapkan, penjelasan kualitatif yang ada ternyata lebih bermanfaat.
Di Adiu, lebih dari separuh responden menganggap kehidupan mereka lebih baik
karena meningkatnya kualitas rumah dan peralatan, serta meningkatnya akses kepada obatobatan. Seorang responden menganggap kehidupan rumah tangganya saat ini lebih sulit
karena memiliki lebih banyak anak, sementara yang lain tidak merasakan perbedaan dalam
hal ini. Di Tanjung Nanga, dua pertiga responden mengatakan kehidupan mereka menjadi
150
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
100
% rumah tangga
80
60
40
20
0
Tanjung nanga
Adiu
Sengayan
Ke tiga desa
Gambar 7.9 Proporsi rumah tangga yang berdagang karyawan IPPK (persentase digambarkan dengan
error bar ± 2 * SE)
100
% rumah tangga
80
60
40
20
0
Tanjung nanga
Adiu
Sengayan
Ke tiga Desa
Gambar 7.10 Proporsi rumah tangga yang bekerja di perusahaan IPPK (persentase digambarkan dengan
error bar ± 2 * SE)
lebih baik. Hanya satu yang merasa kehidupannya menjadi lebih sulit, sementara yang lain
tidak merasakan perbedaan. Di sini, umumnya penyebab utama yang diungkapkan adalah
membaiknya kondisi kesehatan, rumah yang lebih bersih, jalan lebih bagus, transportasi
lebih baik, pendidikan lebih baik, serta lebih tingginya pendapatan bagi penduduk desa,
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
151
sehingga lebih banyak pekerjaan bagi para pengrajin. Di Sengayan, hanya separuh dari
responden mampu menjawab pertanyaan ini. Semuanya, kecuali satu orang, menilai
kehidupan mereka kini lebih baik daripada sebelum adanya IPPK. Para responden ini
tidak memberi penjelasan, sedangkan responden yang lain menilai kehidupannya lebih
sulit karena banyaknya konflik, walaupun secara ekonomi telah membaik.
Akses kepada pendidikan
Pembagian fee IPPK (lihat Gambar 7.3) mengungkapkan, hampir separuh rumah tangga
dalam seluruh populasi yang diteliti menggunakan sebagian fee IPPK untuk biaya yang
berhubungan dengan pendidikan. Tidak tampak ada perbedaan signifikan di antara ketiga
desa. Hampir semua pengeluaran yang disebutkan adalah untuk baju seragam, buku
dan alat tulis; tetapi untuk seperempat dari rumah tangga yang memberi tanggapan,
pengeluaran untuk uang sekolah anak-anak adalah yang terpenting. Informan kunci di
ketiga desa menekankan dampak positif dari IPPK: anak-anak menerima pendidikan yang
lebih baik.
Akses kepada fasilitas kesehatan
Gambar 7.3 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari seluruh populasi studi ini
menggunakan sebagian fee IPPK untuk kesehatan. Biaya pengobatan disebut oleh semua
rumah tangga ini, dan hampir separuh dari mereka menggunakan sebagian fee IPPK untuk
biaya berobat ke rumah sakit di Malinau atau Tarakan. Informan kunci menyebut, sampai
sekarang, penduduk desa belum punya kemampuan finansial untuk sampai ke Tarakan
(satu hari perjalanan) dan membayar bantuan pengobatan.
Perubahan dalam akses kesempatan kerja dan aktivitas
berpenghasilan
Dampak tidak langsung IPPK dalam kesempatan kerja dan kesempatan berdagang terutama
ditemukan menguntungkan bagi rumah tangga di Adiu. Tiga perempat rumah tangga di
Adiu telah terlibat dalam penjualan hasil, terutama hasil pertanian, kepada para karyawan
IPPK (lihat Gambar 7.9). Berbeda dengan Adiu, rumah tangga di Tanjung Nanga punya
sedikit kesempatan menjual produk-produk lokal mereka kepada para pekerja IPPK. Di
kedua desa, potensi perdagangan produk-produk lokal bisa lebih besar lagi, tetapi karena
banyak pekerja IPPK berbelanja sendiri di Malinau Kota, di mana harga makanan dan
bahan pokok lain lebih rendah dan pilihannya lebih banyak, kesempatan ini berkurang.
Dalam hal kesempatan pekerjaan, lebih dari setengah responden (semua pria) di Adiu
dipekerjakan oleh pemegang IPPK (lihat Gambar 7.10). Kesempatan kerja umumnya
berupa pekerjaan lapangan sebagai juru-tebang, operator traktor, pengupas kulit, petugas
keamanan atau anggota tim survei pencari pohon-pohon yang berharga (terutama dari suku
Punan). Warga Tanjung Nanga hampir tidak pernah dipekerjakan di kamp pembalakan.
Di Sengayan dan Adiu, di mana pekerjaan IPPK sepertinya menjadi pilihan pendapatan
umum, pekerjaan ini terkesan hanya untuk jangka waktu yang singkat. Di Sengayan,
informan kunci menyatakan walaupun desa ini mendapat manfaat dari kesempatan kerja,
penduduknya hanya bekerja untuk jangka waktu singkat. Hanya satu orang responden
menyebutkan kalau dia bekerja selama satu tahun penuh, sedangkan masa kerja yang wajar
adalah antara dua sampai lima bulan. Rata-rata gaji seorang karyawan IPPK adalah sekitar
Rp. 330.000 per bulan; berdasarkan pernyataan dari enam orang responden.
152
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Kotak 7.6 Pernyataan dari wawancara kelompok terfokus di
Long Adiu tentang perubahan kebiasaan jual-beli
Malinau itu terlalu jauh. Penduduk desa biasanya pergi ke Long Loreh di mana banyak
perusahaan beroperasi. Penduduk desa menjual hasil buruan dan ayam. Lebih mudah
pergi ke sana karena warga desa sekarang punya mesin ketinting yang menambah
frekuensi perjalanan ke Long Loreh. Walaupun Malinau jaraknya jauh, hampir setiap
hari ada orang pergi ke sana dan seringkali kembali di hari yang sama. Harga-harga lebih
rendah di Malinau.!
Selain peluang penghasilan yang bisa dikatakan langsung ini, para informan kunci
di semua lokasi studi menyatakan bahwa membaiknya kondisi keuangan masyarakat
telah menciptakan pasar lokal untuk sayur mayur dan kerajinan tangan yang lebih besar,
serta lebih meningkatkan kesempatan warga untuk berwiraswasta lokal kecil-kecilan.
Investasi rumah tangga untuk fasilitas transportasi juga disebut berdampak positif kepada
penghasilan karena membuka akses ke pasar di Malinau dan Long Loreh (lihat Kotak 7.6).
Kebiasaan niaga pun dipengaruhi oleh kebiasaan yang sedikit berlawanan: meningkatnya
daya beli penduduk desa disebut menarik kedatangan lebih banyak pedagang untuk
menjual pakaian, perabot dapur, dan barang-barang lain.
Kegiatan pertanian
Awalnya, kegiatan pembalakan IPPK diasumsikan akan mempengaruhi luas, lokasi
dan budidaya pertanian setiap rumah tangga. Walaupun separuh dari rumah tangga di
ketiga lokasi penelitian meningkatkan atau menurunkan luasan areal pertanian mereka
karena kegiatan IPPK, hanya sebagian kecil menilai bahwa ini disebabkan oleh kegiatan
pembalakan oleh IPPK. Di Tanjung Nanga dan Sengayan, para responden menilai lokasi
areal penebangan terlalu jauh dan tidak menarik bagi perluasan tanah pertanian. Di
Adiu, yang areal penebangannya sangat dekat dengan desa, hanya satu responden yang
mengatakan telah membuka ladang baru di area penebangan karena letaknya yang dekat
dan tidak membutuhkan usaha besar untuk pembukaan lahan. Hanya satu responden (di
Adiu) yang mampu mengurangi luas tanamnya karena meningkatnya pendapatan dari
pekerjaannya di perusahaan IPPK.
Para informan kunci di Sengayan menekankan bahwa fee IPPK memungkinkan warga
desa menanami ladang mereka secara lebih produktif melalui penggunaan peralatan dan
benih yang lebih baik serta pemakaian pupuk dan pestisida secara lebih teratur. Argumen
ini juga didukung oleh para informan kunci di Tanjung Nanga, yang juga menekankan
bahwa adanya gergaji mesin membuat pembukaan lahan berlangsung lebih cepat dan
mudah. Perusahaan IPPK memberikan desa Sengayan dan Adiu masing-masing sebuah
penggilingan padi, walaupun untuk desa Adiu merupakan bagian dari sarana umum.
Hanya beberapa atau malahan tidak ada rumah tangga di ketiga desa yang mengadopsi
tanaman komersial baru dengan cara membeli benih atau bibit dari fee yang diterima.
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
153
Kegiatan kehutanan
Apakah masyarakat berminat pada, atau berpengaruh terhadap, pengelolaan areal konsesi?
Aturan-aturan operasional yang dibuat antara pemegang IPPK dan masyarakat di ketiga
desa bersifat tidak jelas atau bahkan tidak ada. Tampaknya hanya Sengayan satu-satunya
tempat di mana ada kesepakatan tentang tingkat penebangan maksimum per hektar.
Masyarakat dan pemegang IPPK sepertinya lebih banyak memberi perhatian untuk
bersepakat dalam hal fee per meter kubik tebangan dan mengabaikan isu-isu manajemen
lainnya (contohnya masa penebangan, teknologi penebangan, batasan spesies, batasan
diameter kayu tebangan, dan lain-lain). Namun, kepala desa Tanjung Nanga menjelaskan
bahwa panitia IPPK telah memutuskan untuk mengalokasikan blok-blok IPPK di kawasan
yang cukup jauh dari desa ini (sekitar dua sampai tiga jam berkendara) untuk mencegah
dampak langsung terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan (lihat Tabel 7.1).
Apakah warga desa mengalami perubahan dalam akses terhadap hasil hutan karena
kegiatan pembalakan? Secara umum, kebanyakan rumah tangga yang diwawancarai
mengumpulkan hasil hutan sebagai bagian dari mata pencaharian mereka. Kegiatan paling
umum adalah memancing yang dilakukan sebagian besar populasi total yang diteliti (85
persen). Berburu adalah aktivitas terbanyak kedua (70 persen), diikuti oleh mengumpulkan
buah-buahan (47 persen), penebangan (46 persen), mencari rotan (35 persen), dan
mengumpulkan kayu gaharu (20 persen). Persentase besar rumah tangga juga menjelaskan
bahwa selama tiga tahun terakhir mereka mengalami masalah mengumpulkan sebagian
dari hasil-hasil ini. Namun, terkecuali akses warga desa kepada kayu, aktivitas pembalakan
IPPK sangat jarang dipandang sebagai penyebab semakin sulitnya kondisi pemanenan
hasil hutan. Hampir sepertiga rumah tangga menyatakan bahwa berbagai kegiatan IPPK
menyebabkan berkurangnya pasokan kayu tebangan. Rumah tangga ini mengklaim bahwa
IPPK menyebabkan lebih sulitnya kondisi panen (lihat Gambar 7.11). Walaupun tidak
ada perbedaan signifikan antara ketiga desa ini dalam hal kurangnya kayu, di Adiu lebih
banyak menunjuk pada IPPK. Tekanan demografik (yaitu pertambahan penduduk) adalah
penyebab utama yang dikemukakan oleh rumah tangga bagi kondisi panen hasil hutan
yang secara umum lebih buruk.
Modal finansial
Diskusi
Nilai penting fee IPPK bagi perekonomian rumah tangga
Penghasilan tunai semakin penting bagi masyarakat di kawasan Malinau, apalagi di
lokasi yang memiliki infrastruktur lebih baik (Wollenberg dkk, 2001; Levang, 2002).
Kecenderungan ini semakin tampak pada masyarakat yang terkena dampak IPPK karena
fee adalah cara mudah mendapatkan uang tunai. Mengapa harus susah payah atau berpuas
diri dengan hal yang kurang bagus kalau bisa menikmati manfaat dari hutan hanya dengan
membuat kesepakatan dengan pemegang konsesi? (Levang, 2002).
Menurut hasil penelitian kami, pendapatan dari fee IPPK merupakan sumber utama
uang tunai di ketiga lokasi studi (lihat Gambar 7.1). Hal ini sangat nyata di Adiu dan
Tanjung Nanga. Hasil itu berbeda dengan di Sengayan, di mana pendapatan dari kegiatan
154
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
100
80
% rumah tangga
60
40
20
Kayu
Berburu
Tanjung Nanga
Adiu
ng
K
ora
ng
IPP
ba
ny
ak
Leb
ih
vit
as
ora
Pengumpul
rotan
Ak
ti
K
IPP
Pengumpul buah-buahan
Sengayan
ba
ny
ak
Leb
ih
Leb
ih
Ak
ti
vit
as
on
ng
ora
gp
oh
Teb
an
K
IPP
ba
ny
ak
gi b
aru
olo
Ak
ti
Tek
n
Memancing
vit
as
ng
K
ora
IPP
ba
ny
ak
gi b
aru
vit
as
Leb
ih
Ak
ti
olo
Tek
n
ng
gb
aru
ora
Pe
m
bu
ata
n
lad
an
K
IPP
vit
as
Ak
ti
ba
ny
ak
Leb
ih
ng
ora
Pe
m
bu
ata
n
lad
an
K
IPP
ba
ny
ak
vit
as
Leb
ih
Ak
ti
gb
aru
0
Pengumpul
gaharu
Ke tiga desa
Catatan: kurangnya nilai/error bar mengindikasikan bahwa nilai/error adalah nol.
Gambar 7.11 Persentase warga menyebut alasan penyebab berkurangnya akses ke dan/atau lebih
sulitnya panen: Persentase ini didasarkan pada jumlah rumah tangga yang mengungkapkan kesulitan
mendapatkan hasil-hasil hutan dan bukan jumlah total pengguna (persentase dihitung sebagai rata-rata
jumlah rumah tangga dan diikuti oleh ± 2 * SE)
pertanian lebih besar daripada fee IPPK, sementara pendapatan dari pekerjaan di luar
pertanian dipandang memiliki nilai penting yang setara. Rumah tangga di Sengayan punya
akses bagus kepada pasar dan berbagai sumber pendapatan stabil lain, yang memberi peluang
membeli kebutuhan pokok dan memungkinkan mereka memperdagangkan produkproduk pertanian sendiri. Di Tanjung Nanga, fee IPPK menjadi pendapatan tunai utama
karena lebih kecilnya persentase rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan penghasilan
lain. Walaupun rumah tangga di Tanjung Nanga menerima fee terkecil dibanding dengan
dua desa lainnya, mereka tetap memandang penghasilan ini sebagai lebih besar daripada
sumber-sumber lain, yang menunjukkan lebih rendahnya tingkat penghasilan di desa ini.
Di Adiu, bekerja di operator IPPK dan relatif baiknya akses pasar telah membuka pilihan
sumber pendapatan yang stabil dan signifikan, yang menyediakan tingkat pendapatan lebih
tinggi. Namun, rumah tangga di Adiu tidak yakin apakah kesempatan pendapatan lain
itu bisa menggantikan fee IPPK. Sebaliknya, rumah tangga di Sengayan pada umumnya
yakin bisa mendapatkan uang tunai sama banyaknya dari aktivitas lainnya. Terlebih lagi,
rumah tangga di Sengayan secara umum memandang kondisi finansial mereka tidak terlalu
terpengaruh oleh fee daripada rumah tangga di dua desa lainnya. Di Tanjung Nanga, rumah
tangga pada umumnya memandang kondisi keuangan mereka sangat terpengaruh, yang
sesuai dengan penemuan dari pemeringkatan perbandingan.
Fee IPPK secara umum diberi peringkat di atas sumber-sumber pendapatan lainnya
di pemeringkatan pembandingan (lihat Gambar 7.1), disebabkan oleh dampak kombinasi
dari ketersediaan dan besarannya (lihat Gambar 7.2). Dibandingkan dengan kegiatan
sumber tunai lainnya, fee IPPK bisa diperoleh oleh kebanyakan rumah tangga (hanya dua
rumah tangga yang tidak menerimanya), sehingga sering disebut di dalam pemeringkatan
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
155
perbandingan. Dalam hal besarnya penghasilan, hanya gaji bekerja di Malaysia saja yang
disebut lebih menarik daripada fee IPPK. Namun, penghasilan dari gaji IPPK, pekerjaan
non-pertanian maupun penjualan hasil hutan tidak bisa diabaikan karena juga dianggap
sebagai sumber penting pemasukan uang tunai. Rumah tangga sering menyebut bahwa,
berlawanan dengan pekerjaan di luar pertanian, penghasilan dari fee IPPK bersifat tidak
teratur dan tidak stabil (lihat Kotak 7.2). Ketidakpastian besar tak hanya tentang skema
IPPK dan harapan masyarakat sekitar hutan untuk menerima uang dari eksploitasi hutan
(Barr dkk, 2001), tetapi juga persepsi rumah tangga tentang fee itu: berapa yang akan
mereka terima per pembayaran, seberapa sering dan kapan? Kurang stabilnya penghasilan
bisa dianggap mempengaruhi cara rumah tangga dan masyarakat menggunakan fee IPPK.
Terungkap bahwa rumah tangga di Tanjung Nanga yang termasuk strata penghasilan
menengah menerima tiga kali lebih besar daripada yang di strata sangat rendah. Hasil ini
menunjukkan ketidaksetaraan pembagian manfaat di dalam desa, yang tidak hanya terbatas
antara kalangan elit dan masyarakat kebanyakan, tetapi juga melibatkan tingkatan sosial
lainnya. Terlebih lagi, penemuan ini menyokong kuatnya karakteristik hirarki di desa-desa
suku Kenyah (Sellato, 2001). Kiranya ada empat penjelasan tentang ketidaksamaan fee per
rumah tangga (lihat Gambar 7.8), yaitu:
1 Responden sengaja mengakui jumlah yang diterima dan banyaknya pembayaran lebih
kecil dari sebenarnya (karena mengira dengan demikian akan menguntungkan niatan
mereka menerima bantuan dari luar) (Sellato, 2001).
2 Responden tidak menghitung pembayaran yang diterima oleh anggota keluarga lain di
dalam rumah tangga itu (contohnya anak atau pemuda).
3 Sebenarnya lebih banyak rumah tangga menerima fee daripada yang diasumsikan di
dalam perhitungan (ada sejumlah rumah tangga di Long Jalan menerima fee dari desa
Tanjung Nanga, tetangganya).
4 Kurangnya informasi tentang pengeluaran dan investasi di tingkat desa. Perkiraan
realistis fee total yang diterima rumah tangga agaknya adalah perkiraan rata-rata kedua
estimasi ini.
Investasi jangka pendek vs jangka panjang
‘Bila menerima uang yang tidak stabil semacam ini, kita gunakan untuk senang-senang!’
Seorang responden di Sengayan dengan pendapatan relatif stabil menyatakan pandangan
ini dan secara implisit mengindikasikan perspektif jangka pendek. Angelsen dan Wunder
(2003) mengatakan pilihan subjektif jangka pendek orang lokal tidak berkaitan dengan
tujuan perbaikan kesejahteraan jangka panjang atau nilai-nilai eksternal mereka. Apa
yang kita nilai sebagai investasi jangka pendek dan tidak bijak boleh jadi sangat penting
bagi kesejahteraan orang lokal. Pada umumnya seseorang tidak hanya mementingkan
penghasilan absolut, tetapi juga membandingkan status penghasilan sendiri dengan status
rumah tangga panutannya. Boleh jadi mereka akan mendahulukan membeli pesawat televisi
seperti yang dilakukan tetangga, daripada meningkatkan gizi makanan atau memperbaiki
atap (Angelsen dan Wunder, 2003). Pada kasus-kasus seperti masuknya IPPK, ketika banyak
uang masuk secara tiba-tiba, kemiskinan dalam arti keterbatasan material bisa berkurang
(Angelsen dan Wunder, 2003). Namun sayangnya, menurut Levang (2002), produkproduk modern tidak hanya mahal, tetapi juga mudah rusak dan butuh perawatan atau
pergantian cepat. Akibatnya, berbagai strategi kehidupan tradisional yang mementingkan
investasi jangka panjang untuk melindungi masyarakat dan rumah tangga dari kerentanan
bisa tererosi (Angelsen dan Wunder, 2003).
156
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Sebagian dari survei rumah tangga dimaksudkan untuk mengungkap apakah pola
pembelanjaan rumah tangga setelah adanya penerimaan fee IPPK masih mengandung
strategi investasi yang berwawasan jangka panjang. Pengeluaran untuk ’pemeliharaan
modal insani’, ‘pembuka peluang penghasilan tambahan,’ dan ‘tabungan’ dikategorikan
mengandung prospek masa depan, sedangkan investasi ’barang mewah’ dipandang sebagai
investasi jangka pendek. Walaupun sebagian barang yang memungkinkan rumah tangga
mendapatkan penghasilan tambahan hanya berusia singkat (a.l. mesin ketinting dan
peralatan pertanian), semua investasi ini bisa menjadi batu pijakan ke arah kesempatan
penghasilan yang lebih stabil. Kebanyakan rumah tangga yang diteliti menginvestasikan
sebagian fee yang diterima untuk ’menyediakan peluang mendapatkan penghasilan
tambahan’ dan ‘memelihara modal insani’. Modal insani dipandang sebagai investasi jangka
panjang karena menjamin perkembangan di masa depan. Investasi yang bisa ‘membuka
peluang penghasilan tambahan’ terutama disukai di Adiu. Kecuali rumah tangga di
Sengayan, banyak rumah tangga telah menginvestasikan sebagian fee IPPK mereka dalam
bentuk peralatan yang bisa memudahkan kegiatan pertanian dan menjadikan pertanian
mereka lebih produktif. Contohnya, fee ini telah menyebabkan bertambahnya jumlah
rumah tangga yang mampu menggunakan pupuk dan pestisida di ladang mereka. Bahkan
di Tanjung Nanga dan terutama di Adiu, rumah tangga membeli gergaji mesin. Lebih
banyaknya pembelian gergaji mesin di Adiu daripada di Tanjung Nanga kemungkinan
disebabkan oleh lebih bagusnya akses Adiu ke pasar kayu karena jarak ke Malinau Kota
lebih dekat. Karena rumah tangga di Tanjung Nanga menerima jumlah fee yang relatif
lebih kecil, tentu saja, pilihan mereka untuk pengeluaran dalam hal transportasi dan gergaji
mesin lebih terbatas. Di Sengayan, dengan adanya jalan utama dan relatif lebih kuatnya
daya beli sebelum pemberlakuan IPPK sangat mungkin mempengaruhi kurangnya insentif
untuk membeli mesin ketinting, peralatan pertanian atau pun gergaji mesin. Walaupun
Levang et al (2005) menemukan bahwa panen kayu oleh masing-masing rumah tangga
menjadi sumber penghasilan yang semakin penting bagi desa-desa yang cukup terhubung
dengan pasar (lebih dari Rp. 225.000 per hari dengan resiko kecil), perlu tetap diperhatikan
kerugian bagi sumberdaya hutan sebagai jaring pengaman. Kondisi geografis dan logistik
desa Adiu juga merupakan insentif bagi rumah tangga untuk membeli mesin ketinting,
oleh hampir semua rumah tangga. Walaupun Malinau bisa dicapai dalam waktu satu jam
dengan kendaraan roda-empat dobel kardan (fourwheel drive), transportasi darat dinilai
mahal dan biasanya tak terjangkau bagi sebagian besar warga desa. Akibatnya, jalan buatan
IPPK jarang dipakai sebagai jalur pintas menuju Malinau. Lebih mudah lewat sungai,
yang bisa mencapai Malinau dalam waktu sekitar 3 jam. Maka investasi mesin ketinting
relatif lebih bermanfaat. Secara umum, adanya pendapatan tambahan dari IPPK telah
meningkatkan mobilitas dan karenanya meningkatkan akses penduduk desa kepada pasar
dan informasi. Warga desa di Adiu maupun Tanjung Nanga mengatakan mereka sekarang
sering mengunjungi desa-desa tetangga atau bahkan Malinau Kota atau Tarakan. Kami
berpendapat bahwa dampak utama membaiknya akses ke pasar adalah pada pengeluaran
warga desa dan bukannya pada kesempatan mereka untuk menjual produk-produk hasil
produksi mereka. Namun, perdagangan produk kepada karyawan IPPK tampaknya
mempengaruhi penduduk desa secara lebih langsung. Terutama, jarak ke kamp pembalakan
tampak berdampak cukup besar pada berbagai peluang menyumbang pendapatan rumah
tangga dengan cara menjual produk kepada karyawan IPPK.
Walaupun pada umumnya rumah tangga tampak tidak mampu atau tidak ingin
menabung fee yang diterima, ternyata setengah dari rumah tangga di Sengayan menyisihkan
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
157
sebagian dari fee itu. Tingkat pendapatan dan perbedaan biaya peluang menabung mungkin
bisa sedikit menjelaskan latar belakang adanya perbedaan pola menabung ini. Ketersediaan
sumber-sumber penghasilan yang stabil di Sengayan sepertinya mendorong rumah tangga
menyisihkan penghasilan tak diduga ini karena biayanya rendah. Bagian lain dari penjelasan
ini berasal dari karakteristik sosial dan etnis di desa ini, seperti yang dikomentari oleh Carol
J. Pierce Colfer (komunikasi personal, Juni 2003):
Perlu diingat bahwa di masa lalu (dan mungkin masih sampai sekarang), tuntutan
untuk bermurah hati bisa menghalangi seseorang untuk menabung. Kalau mereka
punya uang, lalu ada yang mengetahuinya dan datang meminjam – seseorang
jarang bisa menolak karena si pemohon mungkin perlu berobat, anak-anak
mereka terancam putus sekolah tanpa uang itu atau keprihatinan manusiawi
penting lainnya.
Mekanisme sosial ini terutama tampak di masyarakat suku Kenyah (contohnya Tanjung
Nanga). Rumah tangga juga bisa menganggap tabungan sebagai ’menyia-nyiakan uang’
karena yakin bahwa kelak akan ada alternatif lagi selain IPPK. Mengapa harus menabung
sebagian fee kalau tersedia sangat banyak kayu di belakang rumah dan orang luar mau
membayarnya? Berbeda dengan Sengayan, Tanjung Nanga dan Adiu telah membuat
beberapa sarana umum dan tabungan cukup besar di tingkat desa. Pendekatan semacam ini
bisa membantu mengamankan kesetaraan pembagian manfaat dari IPPK, yang menurut
Angelsen dan Wunder (2003) merupakan sebuah hal penting kalau tujuannya adalah
pertumbuhan ekonomi dengan cara mengurangi kemiskinan.
Modal sosial
Transparansi dipandang oleh Oakerson (1992), Ostrom (1990, 1999) dan Wollenberg
(1998) sebagai satu prasyarat membangun rasa saling percaya, menciptakan kebersamaan
dan mencegah perilaku oportunistis. Penelitian kami mengindikasikan bahwa warga desa
hanya diberi informasi terbatas tentang kontrak IPPK. Adiu tampak memiliki tingkat
transparansi yang tertinggi dan Tanjung Nanga yang terendah. Kesannya adalah hanya
beberapa warga desa yang berpengaruh dilibatkan di dalam negosiasi dengan perusahaan
dan hanya beberapa hal, atau bahkan hanya kesepakatan final, yang didiskusikan di rapat
desa. Negosiasi terjadi dengan cara yang tidak transparan tanpa keterlibatan seluruh
desa. Namun, keteraturan struktur kelembagaan yang menjadi karakter masyarakat
suku Kenyah dan pengalaman dari berbagai operasi HPH di area ini tampaknya telah
membentuk manajemen fee IPPK di Tanjung Nanga dengan cara yang positif. Sarana
umum, rapinya pengorganisasian distribusi fee bagi warga desa (walaupun tidak setara!)
dan pertimbangan penuh kehati-hatian tentang keterlibatan di dalam IPPK mencerminkan
tingkat perkembangan kelembagaan yang tinggi.
Penelitian kami di Adiu menunjukkan bahwa suku Punan kurang diperhatikan karena
mereka tidak mengikuti negosiasi awal ataupun menerima pembayaran terakhir dan sarana
umum yang sama seperti suku Merap (kantor desa dan klinik kesehatan). Situasi ini
mendukung hasil penelitian lain bahwa para mantan pemburu-pengumpul (peramu) ini
– suku Punan – adalah kelompok etnis yang paling termarjinalkan secara politik di daerah
ini (Levang dkk, 2005).
Berbagai program pembangunan seperti IPPK seringkali disertai ketidaksetaraan
pembagian manfaat di tahap-tahap awal. Sudah teramati bahwa ada sebagian orang yang
158
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
memiliki aset atau keahlian yang menguntungkan mereka dalam memanfaatkan berbagai
peluang baru, dan sebagian lagi lebih memiliki jiwa wiraswasta, sehingga bisa menanggapi
lebih cepat dan mendapat manfaat lebih besar, seringkali berakibat semakin besarnya
ketidaksetaraan (Angelsen dan Wunder, 2003). Situasi serupa diamati dalam penelitian
lapangan. Di Sengayan, jumlah manfaat yang diterima rumah tangga tampak bergantung
pada status sosial dan hubungan mereka dengan kaum elit dan bukan pada sebuah aturan
yang baku. Dalam kasus Tanjung Nanga, tampak ada kecenderungan ke arah perkayaan
diri kaum elit. Banyak responden dari survei rumah tangga baik di Tanjung Nanga maupun
Sengayan mengklaim bahwa kepala desa, dan terkadang, kepala adat, menerima bagian fee
yang tidak wajar. Di Adiu, kedua mantan kepala desa telah mengundurkan diri karena
desas-desus dan tuduhan kecurangan.
Studi-studi lain tentang isu tingkat partisipasi dalam manajemen hutan menyatakan
bahwa para pemangku kepentingan yang kuat, seperti perusahaan IPPK, tidak memandang
masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak ataupun kemampuan untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan hutan (Colfer dan Wadley, 2001). Sebaliknya, para pemegang konsesi
lebih menyukai jalur cepat, mudah, dan tingkat partisipasi yang rendah, yang dalam kasus
daerah Malinau sering berarti bahwa hanya kepala desa yang diajak membuat kesepakatan
(Sellato, 2001). Penelitian kami menunjukkan bahwa penduduk desa memiliki kesempatan
kecil untuk berpartisipasi dalam penyusunan kontrak dan hanya tokoh-tokoh masyarakat
yang berperan dalam proses negosiasi. Situasi semacam ini, di mana hanya beberapa
pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam manajemen sumberdaya, diduga menjadi
penyebab rendahnya rasa memiliki, sehingga lebih banyak konflik, sengketa, dan kecilnya
akuntabilitas (Ostrom, 1990; Colfer dan Wadley, 2001).
Aspek penting lain dalam analisa modal sosial adalah tingkat konflik. Rata-rata, lebih
dari separuh rumah tangga mengalami konflik yang berkaitan dengan IPPK. Analisa
kualitatif mengungkapkan bahwa sebagian besar konflik berkaitan dengan rendahnya
tingkat transparansi dan partisipasi di tahap awal pelaksanaan IPPK. Banyak rumah tangga
di ketiga lokasi penelitian ini menyalahkan aturan pembagian sebagai penyebab konflik.
Aturan pembagian dinilai sebagai hasil dari tingkat transparansi dan partisipasi di desa
ini, untuk bisa berperan di dalam manajemen, warga desa seharusnya punya kesempatan
untuk mengubah dan mengatur ulang aturan-aturan operasional yang mempengaruhi
kehidupan mereka (Ostrom 1990, 1999; Colfer dan Wadley, 2001). Aturan-aturan
ini tampak tidak terlalu berkembang di Sengayan, yang berhubungan secara signifikan
dengan lebih banyaknya warga desa yang menilai pembagiannya tidak adil, dibandingkan
dengan Tanjung Nanga dan Adiu. Selain itu, lebih banyaknya pendatang baru di Sengayan
mungkin membuat masyarakatnya tidak begitu homogen. Tingkat homogenitas budaya di
dalam masyarakat ini diidentifikasi oleh banyak peneliti sebagai faktor penting bagi kinerja
manajemen kolektif (Ostrom, 1990, 1999; Oakerson, 1992; Wollenberg, 1998).
Komunitas yang diteliti tampak telah meningkatkan sebagian modal sosial mereka
melalui pembelajaran sosial. Di Tanjung Nanga dan Adiu, berbagai aturan pembagian
fee diubah selama periode IPPK. Aturan-aturan yang berasal dari masa HPH dinilai
tidak pas dan harus diubah. Di Adiu, kriteria diubah sehingga fee dialokasikan kepada
orang dewasa, pemuda dan siswa dan bukannya per rumah tangga karena dipandang
sebagai sistem yang lebih adil. Kedua masyarakat ini tampak mampu menyesuaikan dan
mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan
sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001). Pembelajaran
sosial dalam bentuk lain juga diamati. Penelitian lain mengatakan adanya peningkatan
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
159
minat dalam perencanaan penggunaan lahan di daerah ini, terutama oleh meningkatnya
ketidakpercayaan pada pemegang izin IPPK dan meluasnya hutan yang hilang atau turun
mutunya (Barr dkk, 2001; Levang, 2002). Dalam penelitian ini, para informan kunci di
ketiga lokasi mengungkapkan keinginan mereka melindungi sebagian hutan mereka karena
ingin mendukung konservasi air dan hewan buruan, meningkatkan prospek wisata dan
tetap membuka peluang perluasan ladang. Perubahan dan gagasan ini menggambarkan
bahwa masyarakat telah mengalami kekurangan hasil hutan sehingga lebih cenderung
untuk peduli pada akses mereka kepada, dan kualitas dari, sumberdaya hutan. Pergeseran
fokus manajemen ini oleh peneliti lain dilihat sebagai mengikuti perubahan insentif
ekonomi dan kekurangan sumberdaya (Ostrom, 1990; Oakerson, 1992; Wollenberg,
1998; Angelsen dan Wunder, 2003).
Walaupun banyak konflik muncul di ketiga desa, ada kesan bahwa Adiu adalah
desa yang paling mampu bertahan dan memiliki modal sosial yang tangguh. Selain itu,
walaupun Tanjung Nanga tampak seperti memiliki struktur kelembagaan yang kuat, secara
umum partisipasi dan transparansi tampak diabaikan. Adiu memiliki tingkat transparansi,
frekuensi partisipasi, dan tingkat penerimaan yang tertinggi terhadap prosedur pembagian
IPPK. Kuatnya modal sosial di Adiu mungkin disebabkan oleh tidak terlalu banyaknya
penduduknya dibandingkan dengan dua desa lainnya. Ostrom (1990) dan Wollenberg
(1998) menyatakan bahwa strategi kerjasama dan rasa saling percaya lebih bisa muncul dan
terjaga dalam komunitas yang lebih kecil daripada masyarakat yang lebih besar.
Modal sumberdaya manusia
Perubahan pendidikan dan kesehatan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan terhadap pengurangan
kemiskinan diperkuat oleh investasi umum, contohnya, di bidang kesehatan dan
pendidikan (Gillis dkk, 1996; Angelsen dan Wunder, 2003). Pendidikan merupakan faktor
paling penting yang sekaligus juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi
kemiskinan dan menyetarakan distribusi pendapatan (Gillis dkk, 1996; Sen, 1999; Angelsen
dan Wunder, 2003). Dampak IPPK terhadap pendidikan dipandang sangat signifikan bagi
masyarakat. Sekitar separuh dari semua rumah tangga menggunakan sebagian dari fee
IPPK untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan pendidikan dan seperempat dari
mereka menggunakan sebagian pendapatan mereka untuk membayar uang sekolah anak
pada tingkat di atas sekolah dasar. Terkesan dari berbagai wawancara kelompok terfokus
di ketiga desa adalah terbatasnya kemungkinan mendapatkan pendidikan lebih dari SD
sebelum hadirnya IPPK. Penghalangnya adalah ketidakmampuan ekonomi, namun dalam
kasus Tanjung Nanga dan Adiu (Long Adiu), juga disertai kurangnya fasilitas perumahan
di Malinau Kota. Tanjung Nanga maupun Long Adiu memutuskan menggunakan sebagian
fee mereka untuk mendirikan akomodasi siswa di Malinau Kota.
Kesehatan dipandang sebagai target penting pembangunan karena membentuk dasar
kemampuan keluarga atau masyarakat untuk menjaga dan memperkuat kesejahteraan sosial
dan mengejar strategi penghidupan baru (Carney, 1998; Lindenberg, 2002). Kehadiran
IPPK mempengaruhi kualitas dan akses terhadap layanan kesehatan, secara langsung
maupun tidak langsung. Warga desa mampu berobat ke dokter dengan lebih teratur di
Malinau Kota dan Long Loreh, membeli obat-obatan yang dibutuhkan dan terkadang
pergi ke Malinau atau Tarakan untuk masalah kesehatan yang serius. Penelitian ini juga
mengungkapkan bahwa sebagian besar dari total jumlah rumah tangga menghabiskan
160
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
sebagian dari fee IPPK untuk keperluan sehari-hari dan peralatan dapur, yang berpotensial
memperbaiki kesehatan. Sebagian besar rumah tangga di ketiga desa juga menilai kondisi
kehidupan mereka kini lebih baik daripada di masa sebelum IPPK. Walaupun perbaikan
dalam hal kualitas hidup tidak bisa dikelompokkan berdasarkan dampak dari pemegang
konsesi, program pemerintah, atau penyebab lain, sebagian besar penjelasan yang diberikan
berkaitan dengan perubahan yang secara umum dipicu oleh perusahaan IPPK, dan secara
khusus berkat meningkatnya kesehatan dan pendidikan.
Kesempatan kerja
Sering dinyatakan bahwa pekerjaan bergaji di perusahaan konsesi adalah salah satu manfaat
tak langsung bagi masyarakat lokal di berbagai daerah yang terkena dampak oleh perusahaan
konsesi kayu ini. Namun, kesempatan kerja ini seringkali hanya terbatas bagi orang luar
yang memiliki keahlian dan berpendidikan (Barr dkk, 2001; Levang, 2002; Angelsen
dan Wunder, 2003). Selain itu, kehadiran perusahaan konsesi sering dinyatakan untuk
memperluas pilihan penghasilan bagi masyarakat dengan terciptanya peluang menjual
produk-produk lokal, serta secara langsung memberi uang tunai kepada masyarakat yang
bisa diinvestasikan kembali dalam berbagai sarana penyedia sumber penghasilan baru (Barr
dkk, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003). Dalam penelitian ini, jarak ke
kamp pembalakan tampak berdampak cukup besar bagi kemungkinan dipekerjakan. Upah
kerja memiliki potensi untuk mendiversifikasi peluang pendapatan di tingkat rumah tangga
dan membuat rumah tangga tidak terlalu rentan menghadapi naik-turunnya ekonomi dan
iklim (Levang, 2002). Namun, hanya pekerjaan kasar dan bermasa kerja pendek yang
ditawarkan perusahaan IPPK di ketiga lokasi. Apakah kecenderungan ini disebabkan oleh
prasangka dari perusahaan atau tidak tersedianya tenaga berkeahlian di desa-desa, belum
diteliti oleh penelitian ini. Namun, peneliti lain membuat pengamatan yang sama bahwa
tidak banyak tenaga kerja lokal di dalam jajaran perusahaan dan sifatnya hanya sementara
(Sellato, 2001; Levang, 2002; Angelsen dan Wunder, 2003).
Modal alam
Sekitar tiga perempat rumah tangga yang menggunakan hutan untuk memanen kayu,
berburu atau memancing, mengalami kesulitan atau kekurangan dalam waktu tiga tahun
terakhir. Namun, IPPK hanyalah sebagian penjelasan atas kondisi panen berbagai hasil
hutan yang secara umum lebih sulit. IPPK dipandang sebagai penyebab menurunnya
kondisi panen hasil hutan, oleh kurang dari sepersepuluh dari seluruh rumah tangga, dengan
pengecualian pada dampak terhadap ketersediaan kayu (28 persen) dan buah-buahan (16
persen). Hasil ini mendukung hasil penelitian lain sebelumnya di daerah ini – bahwa warga
lokal mengalami kesulitan berburu, menurunnya populasi ikan dan pengumpulan hasil
hutan di berbagai daerah yang terdampak oleh konsesi kayu (Barr, 2001; Barr dkk, 2001;
Colfer dan Wadley, 2001; Levang, 2002; Levang dkk, 2005). Kami berpendapat bahwa
rumah tangga lebih sering menyebut IPPK sebagai alasan berkurangnya ketersediaan kayu
karena ekstraksi kayu yang langsung dan tampak. Mungkin lebih sulit bagi para responden
untuk melihat hubungan sebab-akibat antara pengambilan kayu dan penurunan jumlah
ikan dan hewan buruan, misalnya. Terlebih lagi, berbagai konsekuensi IPPK, seperti
turunnya hasil berburu dan memancing, mungkin butuh waktu dua sampai tiga tahun
untuk terlihat nyata, sehingga tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini.
Walaupun penelitian kami belum mendokumentasikan ketergantungan ekonomi
pasti terhadap hasil hutan, kami menemukan hampir separuh rumah tangga di masing-
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
161
masing lokasi studi menyebut hasil-hasil hutan sebagai sumber penghasilan penting.
Menurut peringkat pembandingan, nilai penting ekonomi hasil-hasil hutan setara dengan
penghasilan dari aktivitas pertanian (lihat Gambar 7.1). Kami berpendapat bahwa,
dari sudut pandang pembangunan dan modal insani, konsesi kayu kecil seperti IPPK
berpotensi mengubah modal alam menjadi aset lain seperti modal manusia dan modal
fisik, memperbaiki penyangga resiko dan mengurangi kerentanan. Namun, karena nilai
pentingnya hasil- hutan, transformasi ini harus terjadi dengan mengamankan akses terhadap
sebagian kawasan hutan sehingga rumah tangga tetap punya peluang menggunakan
sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan dan juga sebagai sumberdaya pengisi celah
ekonomi mereka (Byron dan Arnold, 1999; Angelsen dan Wunder, 2003; Edmunds dan
Wollenberg, 2003).
Dampak negatif terhadap modal alam yang berakar dari operasi IPPK tampaknya
lebih disebabkan oleh kurang baiknya pemetaan dan batas-batas wilayah, serta kurangnya
pemantauan kepatuhan terhadap kontrak. Terlebih lagi, kurangnya pengakuan legal oleh
pihak berwenang membuat masyarakat rentan terhadap fluktuasi politik dan ekonomi,
sehingga mendorong masyarakat menangguk manfaat selekas mungkin karena mereka
beresiko disingkirkan dari daerah itu bila perusahaan pembalak menyadari adanya
kesempatan memerah semua sumber yang ada (Barr dkk, 2001; Anau dkk, 2002; Angelsen
dan Wunder, 2003). Perasaan ketidakpastian ini sepertinya membuat masyarakat dan
penduduk desa tidak memberi nilai terlalu tinggi pada manfaat yang mungkin mereka
peroleh di masa depan (Ostrom, 1990). Kondisi-kondisi ini juga sangat boleh jadi telah
mempengaruhi modal sosial, karena bisa menyebabkan konflik dan sengketa di antara dan
di dalam masyarakat (Barr dkk, 2001; Anau dkk, 2002; Resosudarmo dan Dermawan,
2002; Limberg dan Rhee, 2003).
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa fee IPPK telah tersedia bagi semua rumah tangga kecuali
beberapa pendatang baru di Sengayan. Fee ini menjadi sumber penghasilan tunai rumah
tangga yang terpenting dalam hal ketersediaan dan besarannya. Hal ini sangat tampak di
Adiu dan Tanjung Nanga, yang hanya punya sedikit pilihan mendapatkan uang tunai.
Ketidaksetaraan pembagian fee di antara strata pendapatan hanya dialami oleh masyarakat
Kenyah di Tanjung Nanga, di mana perbedaan sosial antara masyarakat umum dan
kaum bangsawan lebih tampak. Hampir semua rumah tangga membelanjakan sebagian
fee ini untuk kesehatan dan pendidikan, yang dapat memperbaiki modal insani mereka.
Pembelanjaan ini, bersama dengan investasi yang bisa membuka peluang tambahan
penghasilan, mungkin menunjukkan bahwa sebagian fee IPPK telah digunakan secara
lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Namun, beberapa rumah tangga menunjuk
kelemahan utama fee IPPK, yaitu tidak stabil dan tidak rutin, sehingga menghambat
kesinambungan investasi rumah tangga. Kecilnya jumlah rumah tangga yang menyisihkan
sebagian fee IPPK menekan pentingnya keteraturan. Melihat kisaran jangka pendek
manfaat IPPK, investasi masyarakat yang lebih besar dengan manfaat jangka panjang harus
mendapat prioritas lebih tinggi.
Manfaat tidak langsung dari IPPK adalah lebih besarnya kemungkinan bekerja di
perusahaan IPPK dan penjualan produk-produk lokal kepada karyawan IPPK. Masyarakat
yang tinggal tidak jauh dari kamp pembalakan ternyata mendapatkan manfaat lebih besar
dari peluang baru ini daripada mereka yang tinggal lebih jauh. Namun, pembalakan
162
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
yang dilakukan berdekatan dengan desa lebih sering menyebabkan berkurangnya hasil
hutan. Karena singkatnya masa kerja IPPK dan pentingnya produk-produk kayu bagi
penghidupan rumah tangga, kami menilai dampak IPPK terhadap ketersediaan hasil hutan
sebagai sangat buruk. Karena masyarakat ketiga desa telah mengalami kekurangan hasilhasil hutan, mereka cenderung mengkhawatirkan akses mereka pada sumberdaya hutan
dan kualitasnya.
Kami berpendapat bahwa kokohnya kelembagaan desa dan jumlah penduduk yang
sedikit berpengaruh positif bagi tingkat transparansi dan partisipasi selama proses IPPK.
Hal ini ini juga berlaku bagi desa kecil di Adiu, yang juga memiliki frekuensi konflik yang
rendah dan tingkat penerimaan relatif tinggi terhadap pembagian fee.
Secara keseluruhan, kami berpendapat bahwa pengusahaan kayu skala kecil seperti
IPPK bisa secara substansial menguntungkan masyarakat di sekitar hutan dalam bentuk
modal finansial, modal insani, dan modal fisik. Meningkatnya pendapatan tunai tetapi
bersifat sebentar adalah manfaat langsung yang terbesar, yang bisa diubah menjadi bentuk
modal lain, seperti modal insani dan fisik, sehingga bisa meningkatkan penyangga resiko
dan menekan kerentanan di tingkat rumah tangga. Namun, ada resiko terkikisnya modal
sosial dan berkurangnya akses rumah tangga pada hasil-hasil hutan. Karena itu, aturan
operasi yang jelas tentang eksploitasi areal konsesi dan aturan pembagian manfaat kepada
masyarakat dari konsesi kayu skala kecil adalah prasyarat untuk meminimalisir konflik dan
mengurangi tekanan terhadap modal alam. Selain itu perlu ada lembaga pemerintahan
untuk membantu dalam hal negosiasi kontrak, mengawasi aktivitas konsesi, dan menengahi
bila terjadi konflik.
Catatan
1 Salah satu pemegang HPH sebelumnya beroperasi di kawasan hutan yang diklaim oleh
Tanjung Nanga; hasilnya, di tahun 2001, desa ini menerima US$12.500 (atau 100 juta
rupiah) sebagai kompensasi bagi kayu yang diambil sampai tahun 2000. Kepala desa
sendiri menerima 20 persen dari jumlah ini sebagai imbalan menegosiasikan kesepakatan
ini. Sisa uangnya dibagikan ke seluruh penduduk desa.
Rujukan
Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002.
Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the
demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science
and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001,
ITTO Project PD 12/97 Rev. 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.
Angelsen, A. dan Wunder, S., 2003. Exploring the Forest – Poverty Link: Key Concepts, Issues
and Research Implications, Occasional Paper No 40, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Baland, J. M. dan Platteau, J.-P., 1996. Halting Degradation of Natural Resources: Is There a
Role for Rural Communities? Clarendon Press, Oxford, Kerajaan Inggris.
Barr, C., 2001. Banking on Sustainability: Structural Adjustments and Forestry Reform in PostSuharto Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Dampak IPPK terhadap Penghidupan Masyarakat di Kabupaten Malinau
163
Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case studies on Decentralisation and
Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Buck, L. E., Wollenberg, E. dan Edmunds, D., 2001. Social learning in the collaborative
management of community forests: Lessons from the field, dalam Wollenberg, E.,
Edmunds, D., Buck, L., Fox, J. dan Brodt, S. (penyunting) Social Learning in Community
Forests, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Byron, N. dan Arnold, J. M., 1999. What futures for the people of the tropical forests, World
Development, vol 27, no 5, hal. 789–805.
Carney, D. (penyunting), 1998. Sustainable Rural Livelihoods: What Contribution Can We
Make? Department for International Development, London
Casson, A. dan Obidzinski, K., 2002. From new order to regional autonomy: Shifting dynamics
of “illegal” logging in Kalimantan, Indonesia, World Development, vol 30, no 12, hal.
2133–2151.
Colfer, C. J. P., 2003. Komunikasi pribadi, Anthropolog, pimpinan program CIFOR tentang
Masyarakat Lokal, Devolusi dan Pengelolaan Adaptif Kolaboratif, CIFOR, Bogor,
Indonesia
Colfer, C. J. P. dan Wadley, R. L., 2001. From participation to rights and responsibilities in
forest management, dalam Colfer, C. J. P. dan Byron, Y. (penyunting) People Managing
Forests: The Links Between Human Well-Being and Sustainability, Resources for the
Future, Washington, DC.
Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), 2003. Local Forest Management: The Impacts
of Devolution Policies, Earthscan, London.
FWI (Forest Watch Indonesia)/GFW (Global Forest Watch), 2002. The State of the Forest:
Indonesia, FWI, Bogor, Indonesia, dan GFW, Washington DC.
Gillis, M., Perkins, D. H., Roemer, M. dan Snodgrass, D., 1996. Economics of Development,
W. W. Norton and Company, New York, NY.
Kaskija, L., 2002. Claiming the Forest: Punan Local Histories and Recent Developments in
Bulungan, East Kalimantan, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Levang, P., 2002. Peoples dependencies on forests, dalam CIFOR (penyunting), Forest, Science
and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997-2001,
ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.
Levang, P., Dounias, E. dan Sitorus, S., 2005. Out of the forest, out of poverty?, Forest, Trees
and Livelihoods, vol 15, hal. 211–235.
Limberg, G. dan Rhee, S., 2003. Highest Profit in the Shortest Time with Maximum Impact,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Lindenberg, M., 2002. Measuring household livelihood security at the family and community
level in the developing world, World Development, vol 30, no 2, hal. 301–318.
Oakerson, R. J., 1992. Analysing the commons: A framework, dan Bromley, D. W. (penyunting),
Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy, Institute for Contemporary
Studies Press, San Francisco, California.
Ostrom, E., 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective
Action, Cambridge University Press, Cambridge, Kerajaan Inggris.
Ostrom, E., 1999. Self-Governance and Forest Resources, Occasional Paper No 20, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Resosudarmo, I. A. P. dan Dermawan, A., 2002. Forests and regional autonomy: The challenge of
sharing the profits and pains, dalam Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting)
Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the
Future (RFF)/Center for International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC.
Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement,
Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sen, A., 1999. Development as Freedom, Anchor Books Inc, New York, NY.
Steins, N. dan Edwards, V., 1999. Platforms for collective action in multiple use commonpool
resources, Agriculture and Human Values, vol 16, no 3, hal. 241–255.
Sunderlin, W. D., Angelsen, A. dan Wunder, S., 2003. Forests and poverty alleviation, dalam
Food and Agriculture Organization (penyunting), State of the Worlds Forests 2003, FAO,
Roma.
Warner, K., 2000. Forestry and sustainable livelihoods, Unasylva, vol 51, no 3, hal. 1–14.
Wollenberg, E., 1998. A selective framework and typology for explaining the outcomes of local
forest management, Journal of World Forest Resource Management, vol 9, hal. 1–35.
Wollenberg, E., Adiwinata, A., Uluk, A. dan Pramono, H., 2001. Income is Not Enough:
The Effect of Economic Incentives on Forest Product Conservation, CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Wunder, S., 2001. Poverty alleviation and forests – what scope for synergies?, World
Development, vol 29, hal. 1817–1833.
8
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan
Pembalakan dengan Berbagai Sistem
Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di
Kalimantan Timur, Indonesia
Haris Iskandar, Laura K. Snook, Takeshi Toma,
Kenneth G. MacDicken dan Markku Kanninen
Pendahuluan
Peraturan otonomi daerah, termasuk desentralisasi tanggung jawab di sektor kehutanan,
memiliki implikasi penting bagi masa depan dan kualitas hutan alam di Indonesia. Sampai
tahun 1999, praktik pembalakan di Indonesia hanya dilakukan oleh pengusaha kayu dalam
bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang beroperasi dalam areal skala besar. Para
operator ini, diberi konsesi pembalakan selektif atas kawasan hutan di tanah Negara selama
20 tahun dengan menerapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). TPTI adalah
sistem pembalakan yang disertai upaya penanaman kembali (Departemen Kehutanan,
1993) serta menerapkan sistem pemanenan bergilir selama periode 35 tahun (polycyclic).
Sistem kedua untuk akses sumberdaya hutan, diberlakukan pada tahun 2000, disebut
Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK), dikenal sebagai sistem pemanenan kayu
skala kecil. Izin tahunan untuk pembalakan komersial ini ditujukan untuk menyediakan
hak pemanenan kayu bagi masyarakat lokal yang tinggal di luar daerah yang ditetapkan
Pemerintah Pusat sebagai kawasan hutan permanen, untuk diberikan oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah PP. No 62/1998 dan 6/1999, yang secara
langsung mendelegasikan sebagian kewenangan sektor kehutanan kepada daerah. Namun
166
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
pada praktiknya, banyak yang diberikan di dalam wilayah konsesi HPH kepada sektor
swasta – kebanyakan perusahaan pembalakan (Barr dkk., 2001).
Pemberian izin tersebut dilakukan hampir di seluruh kabupaten di Kalimantan,
Indonesia. Antara bulan April dan Mei 2000, Pemerintah Daerah Malinau, Kalimantan
Timur telah menerbitkan 40 Izin IPPK, masing-masing seluas 100ha sampai 3,000ha,
mencakup areal seluas 59,850 hektar (Pemda Malinau, 2001).
Aturan pemanenan yang harus diterapkan di kedua sistem itu pada intinya sama,
yaitu harus menjaga kelestarian pemanenan kayu dalam jangka panjang. Pada HPH,
kegiatan inventarisasi hutan untuk jenis-jenis kayu komersial yang bisa dipanen,
rencana penebangan, pemetaan blok tebangan dan pembangunan jalan angkutan kayu
harus dilakukan sebelum memulai pembalakan. Pada sistem IPPK tidak dipersyaratkan
perencanaan formal karena terbatasnya waktu dan luasan areal tebangan. Jaringan jalan
sarad dibangun saat pengambilan kayu sesuai dengan posisi pohon yang akan ditebang.
Pada kebanyakan kasus, para penebang bekerja tanpa diawasi; hanya pohon yang akan
ditebang yang ditandai. Traktor (Caterpillar D7G atau Komatsu D60E) dengan lebar bilah
lebih dari 4 meter, biasa digunakan untuk membuka jalan dan menarik kayu gelondongan.
Mengingat kondisi pasar yang lebih banyak menggunakan kayu hasil tebangan untuk
bahan kayu lapis, maka pemanenan di HPH dibatasi hanya untuk pohon berdiameter
di atas 50 cm pada ketinggian setinggi dada untuk menjamin kelestarian siklus tebangan
berikutnya. Sebaliknya, pada sistem IPPK, batas diameter jauh lebih luwes dan bisa lebih
kecil karena masyarakat lokal juga memanfaatkannya untuk kilang kayu gergajian lokal.
Namun dari pengamatan awal sebelum penelitian ini terlihat bahwa praktik pemanenan
oleh kedua sistem itu, serta akibat kerusakan terhadap sisa tegakan, relatif sama. Selain
itu, setelah pemberlakuan sistem IPPK, kami juga mengamati bahwa beberapa pemegang
HPH melakukan pembalakan seperti para pemegang IPPK. Ada beberapa alasan -– sosial,
budaya, politik dan ekonomi -– untuk memahami mengapa dan bagaimana terjadinya
praktik-praktik itu (Barr dkk, 2001; Resosudarmo, 2002). Selain itu, setelah desentralisasi
ada peningkatan signifikan pada persentase masyarakat yang menerima manfaat finansial
dan non-tunai dari sistem yang baru. Namun konflik antara masyarakat menyangkut
klaim lahan dan tapal batas juga meningkat (Palmer dan Engel, 2005).
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kerusakan paska-panen oleh
pembukaan jalan, kegiatan pembalakan, dan penyaradan pada sistem IPPK yang berjangkapendek, dan membandingkannya dengan sistem tebang pilih HPH yang berjangka-panjang.
Selanjutnya, hendak diidentifikasi pengaruh sistem IPPK terhadap sistem HPH sebelumnya
yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, dalam hal praktik pemanenan dan kerusakan
terhadap sisa tegakan. Hipotesa awalnya adalah bahwa praktik pemanenan kayu secara
tebang-pilih HPH, yang lebih diatur, akan mengakibatkan kerusakan pembalakan yang
sama dengan praktik para pemegang IPPK yang tidak dilengkapi panduan pembalakan.
Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur (lihat Gambar 8.1), yang
terletak di antara 116o 29’ dan 116 o 44’ Bujur Timur serta 2 o 59’ dan 3 o 28’ Lintang
Utara. Tipe hutannya hutan tropis dataran rendah dan hutan perbukitan yang didominasi
pepohonan dari famili Dipterocarpaceae. Sebagian besar daerah penelitian berada pada
ketinggian 100m sampai 200m di atas permukaan laut (dpl) dengan topografi datar hingga
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
167
berbukit (kemiringan 0-8%), walau ada yang lebih curam (8-15%). Curah hujan rata-rata
per bulan barvariasi antara 200mm dan 400mm atau mencapai sekitar 4000 mm pertahun
(Machfudh, 2001).
40 km
Sumber: Iskandar dkk, 2006
Gambar 8.1 Peta kepulauan Indonesia (kiri atas), Provinsi Kalimantan Timur (kanan atas) dan peta
daerah studi di Malinau (bawah)
168
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Pemilihan daerah sampel didasarkan pada informasi aksesibilitas (kondisi jalan dan
peralatan) dari pengelola perusahaan konsesi kayu dan pegawai kantor pemerintah.
Evaluasi pendahuluan terhadap beberapa perusahaan yang beroperasi di Malinau
menunjukkan bahwa sejumlah konsesi tebang-pilih (HPH) telah dicabut karena berbagai
alasan: kadaluarsa, hambatan topografis, atau pun konflik dengan masyarakat lokal. Oleh
karena itu evaluasi hanya bisa dilakukan pada dua lokasi konsesi: satu milik perusahaan
BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan yang lain perusahaan swasta, dengan jatah
tebang tahunan masing-masing 700ha dan 5,000ha. Evaluasi juga dilakukan terhadap tiga
operator pemegang izin jangka pendek (IPPK) dan satu subkontraktor HPH. Kegiatan
pembalakan oleh seluruh operator sebagian besar dilakukan pada awal tahun 2001.
Metode penelitian
Penetapan petak sampel
Dalam penelitian ini dievaluasi dua tipe hutan: hutan primer, yang berisi pepohonan lebih
besar dan belum pernah ditebang, serta hutan bekas tebangan HPH dan memiliki lebih
sedikit pohon dewasa. BUMN pemegang izin HPH dan satu pemegang IPPK melakukan
pemanenan di hutan primer sedangkan swasta pemegang HPH dan pemegang hak IPPK
lainnya beroperasi di hutan bekas tebangan. Enam petak sampel masing-masing seluas
20 ha dipetakan pada bulan November 2001 dan Januari 2002 di kawasan hutan setiap
operator (seluruhnya 36 petak). Bagi kebanyakan operator pemegang IPPK, yang tanpa
peta, kami petakan petak sampel di dalam batas blok bekas tebangan berdasarkan informasi
dari pengelola kamp dan petugas desa. Batas imaginer setiap petak ditetapkan dengan
memetakan jalan dan jalur kayu memakai alat penentu lokasi global (GPS) Trimble Geo
Explorer-3. Data intensitas pemanenan dan kerusakan terhadap sisa tegakan dikumpulkan
di dalam batas petak imaginer sepanjang jalan pembalakan dan jalan sarad, mencakup juga
bukaan kanopi hutan yang disebabkan oleh penebangan.
Pengukuran intensitas pembalakan
Tunggul pohon diukur dan dihitung untuk memperkirakan pemanenan, seperti yang
dilakukan di tempat lain (Chetri dan Fowler, 1996). Di setiap petak sampel, tunggul
dihitung dan diukur di sepanjang jalan pembalakan dan jalan sarad, dan di dalam bukaan
kanopi. Diameter diukur di puncak tunggul dengan pita ukur. Angka pengukuran diameter
setinggi tunggul (dtt) itu lalu dikonversi ke angka diameter setinggi dada (dtd) memakai
persamaan alometrik yang diturunkan dari pengukuran pohon di areal yang sama (Iskandar
dkk, 2003):
dtd = 0.518 + 0.966 x dtt (SE = 0.850; R2 = 0.998).
Penilaian kerusakan akibat pembalakan
Di setiap petak sampel, jalan sarad dan jalan pembalakan dipetakan dan diukur
menggunakan GPS. Untuk menginventarisasi kerusakan di area terdampak pembalakan,
diukur zona bukaan kanopi dan dampak rubuhan di sepanjang jalan pembalakan dan jalan
sarad, menggunakan laser range finder (Impulse 200), sebuah perangkat laser genggam
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
169
pengukur jarak, tinggi dan sudut vertikal yang mudah dan cepat penggunaannya (Anon,
1998). Untuk memperkirakan luas bukaan kanopi, diukur jarak dari delapan arah berbeda
dari pusat petak sampel ke setiap sudut petak.
Kerusakan pada sisa tegakan akibat pembalakan diukur di sepanjang jalan sarad dan
jalan pembalakan, menggunakan sebuah sistem yang pernah dipakai pada percobaan
CIFOR sebelumnya (Sist dan Nguyen-The, 2001). Seluruh pohon yang rusak dengan
diameter dtd di atas 10cm diukur dan dicatat, lalu dikelompokkan dalam 6 tipe kelas
kerusakan utama yaitu:
1
2
3
4
5
6
kerusakan kulit-kayu;
doyong/miring;
kerusakan tajuk;
dahan patah namun masih hidup;
dahan patah dan mati; dan
pohon rebah.
Pemeringkatan dan analisa data
Untuk membandingkan laju kerusakan paska-panen, ke-36 petak tersebut diperingkat
menurut tipe operator dan tipe hutan sebagai berikut:
•
•
di hutan primer, HPH n = 6 petak (PT Inhutani II); subkontraktor n = 6 petak (CV
Bina Benua); IPPK n = 3 petak (CV Hanura); dan
di hutan bekas tebangan, HPH n = 6 petak (PT Intracawood) dan IPPK n = 15 petak
(CV Hanura, CV Malinau Jaya Sakti dan CV Wanabakti).
Data kerusakan pohon dianalisa per unit luas atau panjang jalan pembalakan atau jalan
sarad, dan per jumlah dan volume (meter kubik) pohon yang ditebang menggunakan SPSS
(1999, versi 9.0.1). Digunakan analisa varian satu arah (ANOVA) untuk membandingkan
tingkat kerusakan. Karakteristik kerusakan dan frekuensi tunggul menurut kelas diameter,
diperbandingkan dengan sebuah tes non-parametrik untuk dua sampel independen (MannWhitney). Digunakan tingkat kepercayaan p=0.05 untuk semua pembandingan statistik.
Hasil Penelitian
Praktik pemanenan kayu oleh HPH
Pemanenan kayu oleh pemegang izin HPH di hutan primer dilakukan dalam dua sistem,
oleh petugas lapangan HPH lalu oleh subkontraktor HPH yang dilengkapi dengan peralatan
dan mesin yang lebih baik. Namun hasil analisa awal menunjukkan bahwa pemanenan
yang dilakukan oleh subkontraktor HPH lebih tinggi daripada yang dilakukan oleh petugas
lapangan HPH (3 tunggul berbanding dengan 1 tunggul per hektar). Dari kedua sistem
itu, masing-masing 10% dan 3% berada di bawah batas diameter TPTI. Secara statistik,
tidak ada perbedaan signifikan antara subkontraktor HPH dan HPH dalam panjang jalan
sarad (52m dan 34m per hektar) serta panjang jalan pembalakan yang dibuat (27m dan
25m per hektar). Namun, subkontraktor HPH menghasilkan laju kerusakan lebih tinggi
terhadap sisa tegakan dibandingkan dengan HPH. Ditemukan perbedaan nyata dalam
jumlah pohon rusak (32 pohon berbanding 20 pohon per 100m) dan luas bukaan kanopi
170
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
(0.3ha berbanding 0.1ha bukaan per hektar hutan). Jumlah pohon yang dipanen dan rusak
oleh subkontraktor HPH juga lebih tinggi di seluruh kelas diameter, dan dua kali lebih
tinggi untuk kelas diameter pohon kurang dari 50cm, dibandingkan dengan penebangan
oleh petugas lapangan HPH (19 pohon berbanding 7 pohon per hektar).
Ketika kegiatan pemanenan di hutan primer oleh subkontraktor HPH dibandingkan
dengan kegiatan IPPK, tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada intensitas pemanenan
(3 berbanding 4 tunggul per hektar), panjang jalan sarad (52m berbanding 49m per hektar),
panjang jalan pembalakan (27m berbanding 25m per hektar), jumlah pohon rusak (32
berbanding 38 pohon per 100m) dan total bukaan kanopi (masing-masing 0.3ha gap per
hektar). Selain itu, ketika praktik pemanenan oleh petugas lapangan HPH dibandingkan
dengan IPPK, tidak ditemukan perbedaan nyata pada total panjang jalan sarad dan jalan
pembalakan. Sebaliknya, perbedaan nyata ditemukan pada intensitas pemanenan (1
tunggul berbanding 4 tunggul per hektar), jumlah pohon rusak (20 pohon berbanding
38 pohon per 100m), dan jumlah total bukaan kanopi (0.1ha berbanding 0.3ha bukaan
per hektar). Perbedaan ini menyebabkan areal bekas tebangan subkontraktor HPH kami
keluarkan dari pembandingan kegiatan antara pemegang izin HPH dan IPPK di hutan
primer. Deskripsi lebih rinci tentang praktik pemanenan oleh HPH dan IPPK di hutan
primer akan disajikan di sub bab ’Diskusi’.
Intensitas pemanenan
Intensitas pemanenan di hutan primer oleh pemegang izin HPH dan IPPK adalah sebesar
1 dan 4 tunggul per hektar. Di hutan bekas tebangan, intensitas pemanenan oleh pemegang
izin HPH dan IPPK relatif sama (3 tunggul berbanding 4 tunggul per hektar). Di hutan
primer, pemegang IPPK meninggalkan lebih banyak tunggul per hektar untuk seluruh
kelas diameter dibandingkan dengan HPH, dan lebih banyak pada kelas diameter 30cm50cm, 50cm-70cm, dan 70cm-90cm (tes Mann-Whitney; lihat Gambar 8.2(a)). Kegiatan
IPPK di hutan bekas tebangan juga menghasilkan lebih banyak tunggul per hektarnya
dibandingkan HPH untuk semua kelas diameter (lihat Gambar 8.2(b)) dan lebih signifikan
lagi pada kelas diameter 10cm-30cm.
Pada kedua tipe hutan, pemegang izin IPPK menebang lebih banyak pohon berdiameter
lebih kecil dari batasan diameter TPTI (50cm) dibandingkan dengan HPH. Di hutan
primer, persentase penebangan oleh HPH dan IPPK adalah 3 dan 26 persen, sedangkan di
hutan bekas tebangan angkanya masing-masing sebesar 19 dan 30 persen.
Panjang jalan pembalakan dan jalan sarad
Kegiatan pemegang izin IPPK menghasilkan jalan pembalakan dan jalan sarad per hektar
lebih panjang dibandingkan HPH di hutan primer, dan hanya jalan sarad yang lebih
panjang di hutan bekas tebangan (lihat Tabel 8.1, ‘a’). Namun perbedaan panjang jalan
per hektar di antara pemegang IPPK dan HPH di kedua tipe hutan tidak signifikan. Satusatunya perbedaan nyata di antara kedua tipe operator itu adalah untuk panjang jalan sarad
di hutan bekas tebangan (63m per hektar oleh IPPK dan 43m per hektar oleh HPH).
Ketika dianalisa per pohon yang ditebang, kegiatan IPPK menghasilkan jalan dan
jalan sarad lebih pendek daripada HPH di kedua tipe hutan (lihat Tabel 8.1, ‘b’). Namun
perbedaan signifikan hanya untuk panjang jalan di hutan primer (7m berbanding 32m per
tunggul) dan di hutan bekas tebangan (9m berbanding 14m per tunggul). Pemegang IPPK
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
1.3
171
Hutan primer
HPH
1.1
Subkontraktor HPH
IPPK
Frekuensi (ha-1)
0.9
0.7
0.5
0.3
0.1
(a)
-0.1
1.5
>10-30
>30-50
>50-70
>70-90
>90-110
>110
>50-70
>70-90
>90-110
>110
Hutan bekas tebangan
1.3
1.1
Frekuensi (ha-1)
0.9
0.7
0.5
0.3
0.1
-0.1
>10-30
(b)
>30-50
Diameter tunggul (cm)
Sumber: Iskandar dkk, 2006
Gambar 8.2 Frekuensi dan distribusi diameter tunggul bekas tebangan (tunggul per hektar) oleh
pemegang izin HPH, subkontraktor HPH, dan pemegang IPPK di kedua tipe hutan
juga membuat jalan pembalakan per unit volume tebangan (meter kubik) lebih sedikit
daripada pemegang HPH di kedua tipe hutan, dan jalan sarad lebih pendek di hutan
primer (lihat Tabel 8.1, ‘c’). Namun perbedaan signifikan hanya terjadi pada panjang
jalan pembalakan di hutan primer (1m oleh IPPK berbanding 3m per meter kubik oleh
HPH).
172
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Tabel 8.1 Perbandingan panjang jalan sarad dan jalan pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH
dan IPPK
A. Per luasan unit area (ha-1)
Hutan Primer
Panjang jalan sarad (m/ha-1)
Panjang jalan pembalakan (m/ha-1)
Hutan bekas tebangan
Panjang jalan sarad (m/ha-1)
Panjang jalan pembalakan (m/ha-1)
B. Per jumlah pohon yang ditebang
Hutan Primer
Panjang jalan sarad (m)
Panjang jalan pembalakan (m)
Hutan bekas tebangan
Panjang jalan sarad (m)
Panjang jalan pembalakan (m)
C. Per volume (m3) dari pohon tebangan
Hutan Primer
Panjang jalan sarad (m/m-3)
Panjang jalan pembalakan (m/m-3)
Hutan bekas tebangan
Panjang jalan sarad (m/m-3)
Panjang jalan pembalakan (m/m-3)
HPH
IPPK
Rata-rata± SE Ratas-rata ± SE
HPH Subkontraktor
Rata-rata ± SE
33.6 ± 5.9 a
24.9 ± 4.4 a
48.9 ± 13.5 a
27.0 ± 6.4 a
51.6 + 8.8 a
27.3 + 2.8 a
43.4 ± 5.9 a
34.2 ± 1.9 a
Rata-rata± SE
62.7 ± 5.2 b
29.8 ± 1.8 a
Rata-rata ± SE
n.d.
n.d.
Rata-rata ± SE
41.4 ± 8.2 a
31.5 ± 7.1 a
14.1 ± 4.5 b
7.4 ± 1.4 b
18.3 ± 1.7 b
11.1 ± 2.1 b
17.4 ± 2.7 a
13.5 ± 0.5 a
Rata-rata± SE
18.6 ± 2.4 a
8.9 ± 1.3 b
Rata-rata ± SE
n.d.
n.d.
Rata-rata ± SE
3.4 ± 0.7 a
2.5 ± 0.4 a
1.2 ± 0.2 b
0.7 ± 0.2 b
1.7 ± 0.1 b
1.1 ± 0.2 b
1.6 ± 0.2 a
1.3 ± 0.1 a
2.3 ± 0.4 a
1.1 ± 0.2 a
n.d.
n.d.
Catatan:
Petak sampel untuk HPH dan IPPK di hutan primer (masing-masing 6 dan 3 petak) dan di hutan bekas tebangan (6 dan 15
petak).
n.d. = data tidak ada
Nilai rata-rata yang diberi tanda sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (ANOVA p < 0.05)
Sumber: Iskandar dkk, 2006
Kerusakan sisa tegakan akibat pembalakan
Pada kedua tipe hutan, pemegang IPPK merusak lebih banyak pohon per hektar daripada
pemegang HPH. Ada perbedaan nyata pada hutan primer untuk kelas-kelas diameter
10cm–30cm (17 berbanding 4 pohon per hektar), 30cm–50cm (8 berbanding 4 pohon
per hektar) dan 50cm–70cm (2 berbanding 1 pohon per hektar). Selain itu, 82 persen dari
kerusakan pohon oleh kegiatan pemegang IPPK berdiameter setinggi dada kurang dari
50cm.
Di hutan bekas tebangan, kebanyakan kerusakan pohon terjadi pada kelas diameter
10cm–30cm (24 berbanding 13 pohon per hektar) dan 30cm-50 cm (12 berbanding 8
pohon per hektar) yang merupakan 86 persen dari seluruh kerusakan pohon yang terjadi.
Perbedaan signifikan dari kegiatan pembalakan oleh pemegang IPPK dan HPH di
kedua tipe hutan hanya ditemukan pada jumlah pohon yang rusak serta luas areal bukaan
kanopi per unit luasan (Tabel 8.2, ‘a’). Namun tidak ada perbedaan nyata di antara
subkontraktor HPH dan pemegang IPPK, pada kedua kategori kerusakan tersebut di
hutan primer.
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
173
Tabel 8.2 Perbandingan kerusakan akibat pembalakan antara HPH, subkontraktor HPH dan IPPK
A. per unit panjang atau luas
Hutan Primer
Hutan yang rusak per 100 m-1
Bukaan kanopi (ha ha-1)
Hutan bekas tebangan
Hutan yang rusak per 100 m-1
Bukaan kanopi (ha ha-1)
B. jumlah pohon yang diambil
Hutan Primer
Jumlah pohon rusak
Total Bukaan kanopi (m2)
Hutan bekas tebangan
Jumlah pohon rusak
Total Bukaan kanopi (m2)
C. jumlah pohon yang diambil
per volume (m3)
Hutan Primer
Jumlah pohon rusak
Total Bukaan kanopi (m2 m-3)
Hutan bekas tebangan
Jumlah pohon rusak
Total Bukaan kanopi (m2 m-3)
HPH
Rata-rata ± SE
IPPK
Rata-rata ± SE
HPH Subkontraktor
Rata-rata ± SE
19.9 ± 4.1 a
0.11 ± 0.02 a*
38.0 ± 6.1 b
0.31 ± 0.01 b
32.2 ± 2.6 b
0.30 ± 0.04 b
32.0 ± 2.0 a*
0.19 ± 0.14 a
Rata-rata ± SE
43.3 ± 2.2 b
0.32 ± 0.03 b
Rata-rata ± SE
n.d.
n.d.
Rata-rata ± SE
13.6 ± 3.3 a
1,506 ± 387 a
7.8 ± 0.8 a
865 ± 59 a
9.5 ± 1.2 a
1,099 ± 84 a
9.9 ± 1.1 a
757 ± 77 a
Rata-rata ± SE
11.2 ± 1.1 a
904 ± 105 a
Rata-rata ± SE
n.d.
n.d.
Rata-rata ± SE
1.2 ± 0.3 a
120.4 ± 18.6 a
0.7 ± 0.1 a
77.1 ± 7.6 a
0.9 ± 0.1 a
102.2 ± 8.0 a
0.9 ± 0.1 a
72.2 ± 7.9 a
1.3 ± 0.2 a
114.2 ± 22.7 a
n.d.
n.d.
Petak untuk HPH dan IPPK di hutan primer (masing-masing 6 dan 3) dan di hutan bekas tebangan (masing-masing 6 dan 15
petak).
Catatan:
Tidak ada data. Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut ANOVA pada p< 0.05 dan tanda *
menunjukkan perbedaan nyata pada p< 0.01.
Sebaliknya, terdapat perbedaan nyata antara subkontraktor HPH dengan pemegang
HPH. Di hutan primer, angka-angka untuk IPPK, subkontraktor HPH, dan HPH adalah
38, 32, dan 20 pohon rusak per 100m, dan pembukaan kanopi sebesar 0,3 ha, 0,3 ha dan
0,1 ha. Di hutan bekas tebangan, angka-angka kerusakan pohon adalah 43 berbanding
32 pohon per 100m, serta untuk bukaan kanopi seluas 0,3 ha dan 0,2 ha oleh IPPK dan
HPH.
Ketika kerusakan dianalisa per jumlah dan volume pohon yang ditebang (lihat
Tabel 8.2, ’b’ dan ‘c’) tidak ditemukan perbedaan nyata di antara kedua tipe operator
di kedua tipe hutan. Namun kegiatan pembalakan HPH menimbulkan kerusakan lebih
besar dibandingkan dengan IPPK di hutan primer, sedangkan di hutan bekas tebangan,
pembalakan IPPK menimbulkan tingkat kerusakan lebih tinggi daripada sistem HPH.
Kategori kerusakan terhadap sisa tegakan
Di hutan primer, untuk kedua operator, kebanyakan jenis kerusakan pembalakan pada
sisa tegakan adalah kerusakan tajuk, dahan patah atau mati, atau pohon tercerabut (lihat
Tabel 8.3). Di sepanjang jalan sarad dan di dalam bukaan kanopi, jumlah pohon yang
174
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Tabel 8.3 Kerusakan pohon per 100m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon per m-1) akibat
kegiatan HPH dan IPPK dalam hutan primer
Jenis kerusakan/ lokasi
HPH (n = 6 petak)
kerusakan kulit kayu
doyong
kerusakan tajuk
patah-hidup
patah-mati
pohon tercerabut
IPPK (n = 3 petak)
kerusakan kulit kayu
doyong
kerusakan tajuk
patah-hidup
patah-mati
pohon tercerabut
Jalan sarad + bukaan kanopi
Rata-rata ± SE
Kisaran
Jalan pembalakan
Rata-rata ± SE
Kisaran
2.3 ± 0.5
3.9 ± 1.5
8.2 ± 1.7
0.6 ± 2.4
5.5 ± 1.4
7.6 ± 3.2
0.1 - 3.5
0.1 - 10.4
2.8 - 14.6
1.3 - 4.9
1.3 - 11.1
1.0 - 22.3
0.4 ± 0.2
0.6 ± 0.3
3.4 ± 1.5
* 1.1 ± 0.5
* 1.8 ± 0.8
* 1.4 ± 0.6
0.0 - 1.3
0.0 - 1.7
0.0 - 9.3
0.0 - 3.4
0.0 - 5.4
0.0 - 4.1
2.4 ± 0.5
1.7 ± 0.2
8.2 ± 2.5
2.8 ± 1.1
4.3 ± 0.8
15.4 ± 4.1
1.5 - 3.0
1.5 - 2.1
3.2 - 11.2
0.7 - 4.0
2.9 - 5.8
7.3 - 21.1
0.5 ± 0.2
0.7 ± 0.3
9.1 ± 1.2
* 4.9 ± 0.9
* 11.8 ± 2.0
* 25.7 ± 4.9
0.0 - 0.9
0.0 - 1.2
7.1 - 11.2
3.3 - 6.2
8.5 - 15.5
17.0 - 34.1
catatan:
* perbedaan signifikan secara stastistik oleh Mann-Whitney tes - SPSS, antara HPH dan IPPK pada p< 0.05
p: 2*(tailed sig) - tidak dikoreksi.
Tabel 8.4 Kerusakan pohon per 100 m panjang jalan sarad atau jalan pembalakan (pohon 100m-1) akibat
kegiatan HPH dan IPPK di hutan bekas tebangan
Jenis kerusakan/ lokasi
HPH (n = 6 petak)
kerusakan kulit kayu
doyong
kerusakan tajuk
patah-hidup
patah-mati
pohon tercerabut
IPPK (n = 15 petak)
kerusakan kulit kayu
doyong
kerusakan tajuk
patah-hidup
patah-mati
pohon tercerabut
Jalan sarad + bukaan kanopi
Rata-rata ± SE
Kisaran
Jalan pembalakan
Rata-rata ± SE
Kisaran
1.4 ± 0.3
2.1 ± 0.4
15.3 ± 1.5
4.4 ± 0.6
4.7 ± 0.5
9.5 ± 1.1
0.5 - 2.7
1.1 - 3.0
10.4 - 19.8
2.7 - 6.7
2.6 - 5.6
5.0 - 13.7
0.1 ± 0.0
0.4 ± 0.1
11.3 ± 1.3
4.5 ± 0.5
4.6 ± 0.6
* 5.3 ± 0.8
0.0 - 0.1
0.0 - 0.7
7.9 - 15.1
2.9 - 6.1
2.4 - 6.5
2.8 - 8.0
1.3 ± 0.2
1.6 ± 0.2
16.8 ± 1.2
4.3 ± 0.3
4.2 ± 0.3
14.3 ± 1.6
0.0 - 3.1
0.0 - 2.9
8.4 - 22.2
2.7 - 6.1
2.3 - 6.5
6.1 - 27.2
0.4 ± 0.1
1.2 ± 0.3
17.2 ± 2.5
5.2 ± 0.4
7.5 ± 0.9
* 15.0 ± 2.9
0.0 - 1.2
0.0 - 4.4
6.9 - 47.5
3.1 - 8.3
1.4 - 14.2
1.6 - 38.7
catatan:
* perbedaan signifikan secara stastistik oleh Mann-Whitney tes - SPSS, antara HPH dan IPPK pada p< 0.05
p: 2*(tailed sig) - tidak dikoreksi
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
175
rusak ditemukan sama pada pembalakan HPH maupun IPPK. Namun di sepanjang jalan
pembalakan, secara signifikan IPPK merusak lebih banyak pohon dibandingkan HPH
untuk kategori ‘dahan patah (hidup)’ (4,9 berbanding 1,1 pohon per 100m), ‘dahan patah
(mati)’ (11,8 berbanding 1,8 pohon per 100m), dan ‘roboh tercerabut’ (25,7 berbanding
1,4 pohon per 100m). Kategori kerusakan yang sama pada hutan bekas tebangan adalah
‘kerusakan tajuk’ dan ’roboh tercerabut’ (lihat Tabel 8.4). Perbedaan nyata hanya ditemukan
pada jumlah pohon roboh tercerabut per panjang jalan pembalakan (15 berbanding 5
pohon per 100m, pada sistem IPPK dan HPH).
Hipotesa yang kita ajukan adalah sisa tegakan yang mengalami empat kategori
kerusakan (doyong, kerusakan tajuk, dahan patah, dan roboh tercerabut), akan membusuk
atau mati, sehingga akan hilang dari populasi pohon untuk panen di masa depan. Hal
itu berarti, di hutan primer, secara signifikan para pemegang IPPK akan kehilangan lebih
banyak pohon dibandingkan dengan pemegang HPH, untuk semua kelas diameter (28
berbanding 9 pohon per hektar; lihat Gambar 8.3(a)). Lebih dari 80 persen dari pohonpohon rusak itu berada dalam kelas-kelas diameter 10cm–30cm (15 berbanding 4 pohon
per hektar) dan 30cm–50cm (8 berbanding 3 pohon per hektar).
Pembalakan IPPK juga menimbulkan kerugian lebih besar daripada pembalakan
HPH pada populasi pohon untuk panenan masa depan di hutan bekas tebangan (39
berbanding 28 pohon per hektar; lihat Gambar 8.3(b)). Perbedaan nyata ditemukan pada
kelas diameter 10cm-30cm (21 berbanding 11 pohon per hektar), dan 30cm-50cm (11
berbanding 7 pohon per hektar). Sementara itu, pembalakan subkontraktor HPH di
hutan primer menimbulkan tingkat kerusakan di semua kelas diameter lebih tinggi secara
signifikan daripada pembalakan oleh HPH (23 berbanding 9 pohon per hektar), sama
dengan akibat pembalakan oleh IPPK (28 pohon per hektar). Perbedaan hanya ditemukan
pada kelas diameter 10cm-30cm (11 berbanding 15 pohon per hektar.
Diskusi
Intensitas penebangan
Intensitas penebangan yang tercatat pada penelitian ini (1 - 4 pohon per hektar)
tergolong rendah dibandingkan dengan hasil penelitian lain di Kalimantan (5 - 15 pohon
per hektar; Bertault dan Sist, 1997; 6 - 14 pohon per hektar; Pinard dkk, 2000a; 7 11 pohon per hektar; Sist dkk, 1998). Penghapusan bisa dideskripsikan sebagai ‘panen
buruk’, bila jumlah pohon yang ditebang lebih sedikit daripada standar tingkat panen yang
dibolehkan, yaitu antara 8 - 10 pohon per hektar tergantung pada diameter pohon dan
jatah tebangan tahunan (JPT) yang ditetapkan dari hasil inventarisasi hutan.
Rendahnya perkiraan intensitas panen ini mencerminkan adanya perbedaan
metodologi penelitian ini dari yang lain. Estimasi di penelitian lain didasarkan pada
petak sampel permanen dengan kisaran luasan 1 - 4 ha, yang telah ditetapkan sebelum
kegiatan pembalakan dilakukan (Suhartana dan Idris, 1998; Pinard dkk, 2000a; Sist dkk,
2003). Kami memakai petak sampel seluas 20ha, yang ditetapkan di areal bekas tebangan.
Mungkin perkiraan tingkat panen kami terlalu rendah karena tidak yakin bahwa semua
tunggul di areal bekas tebangan sudah dihitung (a.l. di tempat pengumpulan kayu dan jalan
pembalakan). Namun rendahnya tingkat panen pada hutan primer oleh HPH mungkin
wajar, mengingat kurangnya peralatan atau sumberdaya pembalakan di areal BUMN ini.
Bukan tidak biasa panen buruk oleh HPH ini akan disusul dengan pembalakan lanjutan,
176
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
16
Hutan primer
14
12
Pohon tercerabut
Patah dan mati
Frekuensi (pohon ha-¹)
10
Kerusakan tajuk
Doyong
8
Tunggul
6
4
2
0
HPH
Sub-total
IPPK
HPH
>10-30
24
Sub-total
IPPK
HPH
>20-50
Sub-total
IPPK
HPH
>50-70
Sub-total
IPPK
HPH
>70-90
Sub-total
IPPK
HPH
>90-110
Sub-total
IPPK
>110
Hutan bekas tebangan
Frekuensi (pohon ha-¹)
20
16
12
8
4
0
HPH
IPPK
>10-30
HPH
IPPK
>20-50
HPH
IPPK
>50-70
HPH
IPPK
>70-90
HPH
IPPK
>90-110
HPH
IPPK
>110
Kelas diameter (cm)
Sumber: Iskandar dkk, 2006
Gambar 8.3 Frekuensi dan distribusi potensi kerusakan (pohon per hektar) akibat pembalakan oleh
pemegang Izin HPH, subkontraktor HPH dan IPPK pada berbagai tipe hutan
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
177
biasanya beberapa bulan kemudian, oleh subkontraktor HPH dengan peralatan lebih
baik untuk memenuhi JPTnya. Sebenarnya hal itu tergolong kegiatan tebang ulang, yang
merupakan pelanggaran aturan TPTI.
Perbedaan distribusi ukuran tunggul dan intensitas panen antara pembalakan HPH dan
IPPK bisa mencerminkan perbedaan pasar kayu mereka. Sebuah penelitian oleh Obidzinski
dan Suramenggala (2000) di Kalimantan Timur mengungkapkan bahwa banyak kayu
tebangan IPPK yang dijual ke penggergajian lokal untuk konsumsi setempat. Penggergajian
kayu menengah dan kecil ini mengolah kayu berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
kayu HPH yang dikirim ke industri kayu lapis di Kalimantan Timur. Perbedaan ukuran
tunggul dan intensitas panen antara IPPK dan HPH juga mencerminkan bahwa izin IPPK
tidak disertai panduan pembalakan, sementara operator HPH diwajibkan mengikuti
pedoman TPTI dengan batas minimum diameter setinggi dada 50cm.
Namun melihat hasil dari subkontraktor HPH, setelah berlakunya sistem IPPK,
beberapa pemegang izin HPH mengikuti cara kerja seperti dilakukan oleh IPPK. Hal
ini tampak nyata pada kesamaan intensitas panen serta kerusakan yang diakibatkannya.
FWI/GFW (2002) menemukan bahwa para pemegang IPPK, karena tidak ada panduan
pembalakan, lebih suka memaksimalkan panen saat ini, termasuk menebang pohon di
bawah batas diameter minimum. Pada kasus HPH, banyak ditemukan tunggul berdiameter
kurang dari 50 cm di sepanjang jalan pembalakan, di mana pepohonan ditebang untuk
membuka ruang bagi pemeliharaan jalan dan bahan-bahan bangunan, bukan demi
kayunya.
Panjang jalan pembalakan dan jalan sarad
Beberapa penulis melaporkan bahwa pada tingkat panen rendah (di bawah 4 pohon
per hektar), kebanyakan kerusakan pembalakan lebih disebabkan oleh pembangunan
jalan, bukan dari penebangan pohon (Gullison dan Hardner, 1993; Sist dkk, 2003).
Kesamaan panjang jalan per hektar antara para operator menunjukkan bahwa banyak
operator IPPK memanfaatkan jalan pembalakan yang pernah dibangun oleh HPH.
Mereka juga menggunakan jenis mesin-mesin yang sama. Kesamaan panjang jalan ini juga
mencerminkan kondisi topografi di lokasi penelitian. Penelitian Johns dkk (1996) di Brazil
menemukan bahwa pada pembalakan terencana maupun tidak, pada kondisi topografi
yang setara, akan menghasilkan panjang jalan yang relatif sama pula.
Panjang jalan pembalakan per hektar pada penelitian ini (25m - 34m per hektar),
relatif sama dengan yang dilaporkan oleh Johns dkk (1996) (yaitu 23m per hektar di areal
105ha hingga 27m per hektar pada areal 75ha, masing-masing dengan tingkat panen 5
dan 6 batang per hektar). Untuk area penelitian yang lebih luas di Bolivia, Gullison dan
Hardner (1993) melaporkan bahwa jalan pembalakan sepanjang 8m per hektar dibangun
untuk intensitas panen 0,1 batang per hektar di areal seluas 602 hektar. Perbedaan itu
bisa menunjukkan perbedaan metodologi masing-masing penelitian (a.l. rata-rata panjang
jalan pembalakan per hektar akan berkurang dengan meluasnya areal sampel).
Penyebab besarnya panjang jalan sarad per hektar pada kegiatan IPPK dan subkontraktor
HPH di hutan primer (49m dan 52m per hektar) maupun kegiatan IPPK di hutan bekas
tebangan (63m per hektar), terungkap dari pemeriksaan visual terhadap area tebangan
operator. Pilihan di mana harus dibuat jalan sarad ditentukan oleh pengemudi traktor saat
berusaha mencapai lokasi tebangan. Hal ini berakibat terciptanya jaringan jalan sarad yang
tidak terencana, untuk menarik kayu dari lokasi tebangan ke tempat pengumpulan (lihat
Gambar 8.4). Banyak di antara jalan sarad ini tidak dipakai untuk transportasi log, tetapi
178
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
untuk jalan pintas menuju lokasi bukaan hutan, mengakibatkan banyaknya kematian
pohon dan kerusakan. Sudah banyak diketahui bahwa kunci utama mengurangi dampak
kerusakan dan gangguan dasar hutan adalah mengurangi jalan sarad seminimum yang
tidak perlu (Suhartana dan Idris, 1998; Jackson dkk, 2002).
Panjang total jalan sarad dan jalan pembalakan per jumlah batang maupun volume
pohon ditebang, pada pemegang IPPK umumnya lebih pendek daripada pemegang
HPH (kecuali untuk jalan sarad di lokasi bekas tebangan). Hal ini menunjukkan semakin
banyaknya jumlah pohon yang ditebang oleh IPPK dan subkontraktor HPH, yang
mengurangi panjang jalan sarad dan jalan pembalakan per unit pembalakan. Karena itu,
IPPK dan subkontraktor HPH lebih efisien daripada HPH dalam menggunakan peralatan
untuk pembuatan jalan pembalakan dan jalan sarad.
Panjang jalan sarad di lokasi penelitian ini (34m sampai 63m per hektar di areal 20ha)
jauh di bawah yang dilaporkan oleh Johns dkk (1996) di Brazil (158m per hektar di areal
105ha sampai 171m per hektar di areal 75ha dengan intensitas panen 5 sampai 6 batang
per hektar), dan hasil penelitian Whitman dkk (1997) di Belize (104m jalan sarad per
hektar dengan intensitas panen 0,5 batang per hektar di areal 92ha). Selain itu, Pinard
dkk (2000a) di Malaysia melaporkan bahwa pada tingkat panen 14 batang per hektar
terbentuk jalan sarad 168m per hektar di areal 50ha. Namun untuk lokasi yang lebih luas
di Bolivia, Gullison dan Hardner (1993) melaporkan bahwa 14m per hektar jalan sarad
dihasilkan dari tingkat panen 0,1 batang per hektar di petak 602ha. Perbedaan itu bisa
menunjukkan adanya perbedaan metodologi yang dipakai serta perbedaan tingkat panen
di setiap penelitian. Rata-rata panjang jalan sarad per hektar berkurang dengan naiknya
luasan sampel dan turunnya intensitas panen.
Kerusakan sisa tegakan akibat pembalakan
Akibat langsung pembalakan terhadap kondisi hutan adalah pengurangan jumlah pohon.
Namun dampak tak langsung akibat kerusakan, kematian dan pembusukan pada sisa
tegakan juga akan mempengaruhi kondisi kesehatan hutan (Pinard dan Putz, 1996).
Pembalakan oleh pemegang IPPK telah merusak jumlah pohon per hektar lebih tinggi
daripada pembalakan oleh HPH di kedua tipe hutan. Pada hutan primer, semakin banyak
pohon berdiameter di atas 90cm ditebang oleh pemegang IPPK dan subkontraktor HPH,
akan semakin besar bukaan kanopi dan jumlah pohon rusak. Penelitian lain di Kalimantan
menunjukkan bahwa intensitas pembalakan adalah ciri penting kerusakan akibat
pembalakan (Bertault dan Sist, 1997; Sist dkk, 1998). Di hutan bekas tebangan, perbedaan
kerusakan di antara kedua tipe operator menunjukkan lebih baiknya teknik pembalakan
operator pembalakan HPH swasta. Pembalakan oleh pemegang IPPK menimbulkan
jaringan jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu yang berlebihan. Namun demikian,
lebih tingginya tingkat panen IPPK dibandingkan dengan HPH telah mengurangi tingkat
kerusakan per pohon dan volume kayu yang ditebang.
Secara keseluruhan, pembalakan IPPK lebih banyak merusak pohon per 100m
panjang jalan pembalakan, daripada pembalakan oleh HPH. Kerusakan pohon per 100m
jalan sarad dan jalan pembalakan (20 sampai dengan 43 pohon per 100m; lihat Tabel
8.2) kami ini jauh lebih kecil daripada penelitian Johns dkk (1996), yang menyebutkan
kerusakan 67 hingga 135 pohon per 100m panjang jalan pembalakan di lokasi pembalakan
yang terencana dan yang tanpa perencanaan. Hasil penelitian kami sama dengan penelitian
Jackson dkk (2002) di Bolivia (42 sampai 56 pohon per 100m panjang jalan pembalakan).
Perbedaan itu mungkin menunjukkan lebih tingginya tingkat panen (6 batang per hektar;
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
179
IPPK
HPH
jalan
jalan sarad
Sumber: Iskandar dkk, 2006
Gambar 8.4 Perbedaan antara jalan jalan sarad, dan tempat pengumpulan kayu oleh HPH dan IPPK pada
areal hutan bekas tebangan
Johns dkk, 1996) daripada penelitian ini, yang antara 1 sampai 4 batang per hektar. Pohon
yang terbanyak rusak adalah pada kelas diameter 10-30cm, sama dengan pengamatan Sist
dkk (2003) di Kalimantan Timur bahwa pohon yang terbanyak rusak adalah kelas diameter
20-30cm, dan 10-40cm seperti dilaporkan oleh Pinard dan Putz (1996)di Malaysia.
Total bukaan kanopi per hektar berkisar dari 1106m2 hingga 3226m2 per hektar (lihat
Tabel 8.2(a)) yang relatif sama dengan laporan penelitian lain untuk sistem pembalakan
konvensional (2276m2 per hektar, Johns dkk, 1996; 2575m2 per hektar, Jackson dkk, 2002).
Hasil penelitian Pinard dkk (2000a) di Malaysia melaporkan bahwa intensitas panen sebesar
14 sampai 11 per hektar menghasilkan bukaan kanopi sebesar 1660m2 sampai 1,020m2 per
hektar pada pembalakan konvensional seluas 50ha dan 70ha. Di Brazil, Pereira dkk (2002)
menemukan bahwa dengan intensitas panen 6 pohon per hektar, pembalakan konvensional
di areal seluas 14ha menimbulkan bukaan kanopi sebesar 1120m2 per hektar, dan pada luas
areal 112ha dengan intensitas panen 4 pohon per hektar menimbulkan bukaan kanopi
seluas 890m2 per hektar. Tingginya tingkat panen oleh IPPK dan subkontraktor HPH
mengurangi kerusakan pembalakan per jumlah dan volume pohon yang ditebang, daripada
pembalakan oleh pegawai HPH. Jumlah pohon yang rusak dan total bukaan kanopi pada
semua operator di kedua tipe hutan, tidak menampilkan perbedaan signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas panen akan mempengaruhi kerusakan pembalakan,
yang akan menurunkan tingkat gangguan dari kegiatan pembalakan per hektar atau per
satuan luasan. Dari informasi yang terkumpul tentang praktik pembalakan, rendahnya
kerusakan pembalakan oleh IPPK dan subkontraktor HPH menunjukkan bahwa kegiatan
pembalakan kedua sistem tersebut lebih efisien daripada kegiatan pegawai HPH. Namun
bila menimbang keberlanjutan, pembalakan berjangka panjang dan tingkat kesehatan
hutan di masa depan, maka sistem pembalakan IPPK dan subkontraktor HPH tergolong
sistem kelas bawah. Luasnya bukaan kanopi bisa meningkatkan regenerasi spesies pionir
dan membatasi terbentuknya regenerasi Dipterocarpa­ceae akibat adanya kompetisi
(Pinard dkk, 2000b). Sementara itu, beberapa peneliti berpendapat bahwa regenerasi dan
pertumbuhan pohon komersial cenderung lebih besar pada sisa tegakan yang telah rusak
satu tahun setelah kanopi terbuka (Sist dan Nguyen-The, 2001; Fredericksen dan Pariona,
2002).
180
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Pengamatan terhadap hutan bekas tebangan di Kalimantan Timur menunjukkan
bahwa banyak spesies Dipterocarp (Shorea laevis, S. leprosula, S. parvifolia dan Dryobalanops
aromatica) tumbuh di sepanjang jalan sarad, di bukaan bekas tebangan dan sepanjang jalan
pembalakan (Kartawinata, komunikasi personal, 2003).
Kategori kerusakan sisa tegakan
Di kedua tipe hutan, perbedaan signifikan antar operator pada jenis kerusakan sisa tegakan
hanya ditemukan pada pohon roboh tercerabut di jalan pembalakan. Hal ini menunjukkan
tingginya jumlah pohon yang tumbang tersibak traktor ketika pembangunan jalan di
kawasan pemegang IPPK. Kebanyakan di antara pohon yang tercerabut ini berdiameter
kecil setinggi dada (di bawah 30cm) atau jenis kayu bernilai rendah, sehingga pengemudi
traktor tidak ragu mendesaknya menepi. Penyebab lain adalah bila lokasi pengumpulan
kayu sudah penuh, kayu ditumpuk di tepi jalan dan merusak pepohonan kecil di sekitarnya.
Kerusakan tajuk dan dahan patah (mati) mendominasi kategori kerusakan di sepanjang
jalan pembalakan untuk seluruh tipe hutan. Kebanyakan berdiameter kecil (kurang dari
50cm dtd), yang menunjukkan tingginya tingkat kerusakan sekunder pada sisa tegakan
selama pembuatan jalan. Kerusakan sekunder oleh pembuatan jalan ini umumnya lebih
besar daripada pembalakan pohon komersial (Gullison dan Hardner, 1993). Pohon yang
terdorong akan menimpa dan melukai pepohonan di sebelahnya, dan menimbulkan koridor
kerusakan yang relatif lebih lebar daripada jalan yang dibangun. Meskipun panjang jalan
pembalakan per petak lebih rendah daripada jalan sarad, kerusakan hutan di sepanjang
jalan pembalakan jauh lebih besar.
Penelitian ini mencatat jumlah total pohon yang ditebang dan yang rusak; namun
tidak mendata jumlah atau jenis sisa tegakan yang tidak rusak. Penelitian lain di wilayah
ini mencatat kerapatan 210 pohon per hektar untuk pohon berdiameter dtd di bawah
50cm (Sist dkk, 2003). Artinya, rata-rata tingkat kerusakan yang kami catat, antara 18 - 32
pohon per hektar berdiameter dtd kurang dari 50cm pada kedua tipe hutan, berkorelasi
sekitar 9 - 15 persen dari kerapatan pohon sebelum pembalakan. Estimasi tersebut lebih
rendah daripada temuan Pinard dan Putz (1996) sebesar 17 - 57 persen, dan temuan
Sist dkk (2003) sebesar 19 - 56 persen dari tingkat kerapatan awal. Perbedaan tersebut
menunjukkan perbedaan metodologi penelitian ini dan juga perbedaan intensitas panen
penelitian kami. Sulit diketahui apakah kerusakan 9 - 15 persen pohon berdiameter dtd di
bawah 50cm itu akan berdampak nyata terhadap potensi panen masa depan sisa tegakan
ini. Pinard dan Putz (1996) juga menemukan bahwa 10 hingga 43 persen dari pohon
dengan tingkat kerusakan sedang (rusak kulit dan kayu) serta pohon berdiameter di bawah
60cm yang tertimpa akan mati dalam satu tahun setelah pembalakan.
Penelitian lain melaporkan bahwa tingkat kematian tahunan rata-rata pada hutan
bekas tebangan dalam dua tahun setelah pembalakan adalah 2,6 persen per tahun,
menunjukkan lebih tingginya tingkat kematian pohon yang rusak selama pembalakan (4,9
persen); yang akan menurun pada tahun ke empat setelah pembalakan hingga 1,5 persen
per tahun (Sist dan Nguyen-The, 2001). Hal itu menunjukkan bahwa antara saat ini dan
masa panen polisiklik berikutnya, dalam 35 tahun, jumlah pohon mati dari pohon rusak
yang tercatat dalam penelitian ini akan lebih rendah daripada tingkat kematian pohon ratarata per tahun. Pada penelitian Bertault dan Sist (1997), ditemukan bahwa 23 persen dari
pohon pra-panen (115 pohon per hektar) akan mati selama kegiatan pembalakan secara
konvensional.
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
181
Kesimpulan
IPPK dan subkontraktor HPH memang melakukan pembalakan secara lebih efisien
dalam jumlah dan volume pohon ditebang. Namun kegiatan ini tergolong sebagai sistem
pengelolaan dengan tingkat kelestarian rendah dan mengancam kesehatan hutan di masa
mendatang. Tingginya intensitas panen dan banyaknya jumlah pohon rusak oleh kegiatan
IPPK dan subkontraktor HPH akan mengurangi pilihan panen dan potensi tebang areal ini
di masa depan. Peningkatan jumlah bukaan kanopi pada kondisi alami pada pembalakan
tanpa perencanaan oleh IPPK dan HPH akan menunjang regenerasi pohon pioner dan
membatasi regenerasi alami dan pertumbuhan spesies Dipterocarpaceae akibat kompetisi.
Namun kerapatan pertumbuhan jangka panjang pohon di areal dengan tingkat kerusakan
tinggi akibat pembalakan masih belum bisa dipastikan (Pinard dkk, 2000b).
Hal itu menunjukkan bahwa tidak adanya izin pembalakan jangka panjang dan
tidak adanya peraturan pemerintah akan mendorong meningkatnya penebangan dan
tingkat kerusakan akibat panen. Namun tanpa adanya peraturan pembalakan yang tepat
dan dukungan institusi pengawasan memadai, praktik pembalakan hutan dengan sistem
HPH akan menghasilkan tingkat kerusakan yang sama dengan sistem IPPK. Kedua sistem
pembalakan itu bisa diupayakan untuk mengurangi kerusakan terhadap tanah dan sisa
tegakan, agar bisa mendukung kelestarian pemanenan di masa mendatang bagi masyarakat
dan pemerintah daerah, dengan mengganti peralatan dari jenis traktor yang bersifat
merusak dengan mesin yang lebih ramah lingkungan serta mengikuti panduan pembalakan
berdampak minimum. Hasil penelitian sebelumnya di Kalimantan pernah mengkuantifikasi
perbedaan panjang jaringan jalan sarad yang dibangun menggunakan mesin-mesin yang
berbeda (Sist dkk, 2003; Klassen, komunikasi pribadi, 2004). Penyaradan kayu memakai
mesin-mesin yang lebih ringan dan lebih kecil, seperti traktor buldoser CAT 527 dengan
bilah pendek (lebar 3m) dan mampu bermanuver lebih baik, telah memperkecil jaringan
jalan sarad serta mengurangi dampak terhadap tanah, dibandingkan dengan penggunaan
traktor CAT D7G yang lebih besar.
Rujukan
Anon, 1998. Impulse Users Manual, 8th edition, Laser Technology Inc, Englewood,
Colorado.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case studies on decentralisation and
forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Bertault, J.-G. dan Sist, P., 1997. An experimental comparison of different harvesting intensities
with reduced-impact and conventional logging in East Kalimantan, Indonesia, Forest
Ecology and Management, vol 94, hal. 209–218.
Chhetri, D. B. K. dan Fowler, G. W., 1996. Estimating diameter at breast height and basal
diameter of trees from stump measurements in Nepals lower temperate broad-leaved
forests, Forest Ecology and Management, vol 81, hal. 75–84.
Departemen Kehutanan, 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI) pada Hutan Alam Daratan, Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen
Kehutanan, Jakarta, Indonesia.
182
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Fredericksen, T. S. dan Pariona, W., 2002. Effect of skidder disturbance on commercial tree
regeneration in logging gaps in a Bolivian tropical forest, Forest Ecology and Management,
vol 171, hal. 223–230.
FWI (Forest Watch Indonesia)/GFW (Global Forest Watch), 2002. The State of the Forest:
Indonesia, FWI, Bogor, Indonesia, and GFW, Washington, DC.
Gullison, R. E. dan Hardner, J. J., 1993. The effect of road design and harvest intensity on
forest damage caused by selective logging: Empirical results and simulation model from the
Bosque Chimanes, Bolivia, Forest Ecology and Management, vol 59, hal. 1–14.
Iskandar, H., Hubble, D. L. dan MacDicken, K. G., 2003. Estimating dbh of commercial
trees from stump measurements in Malinau, East Kalimantan, Journal of Tropical Forest
Science, vol 15, no 3, hal. 502–504.
Iskandar, H., Snook, L. K.,Toma,T., MacDicken, K. G. dan Kanninen, M., 2006. A comparison
of damage due to logging under different forms of resource access in East Kalimantan,
Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 237, no 1–3, hal. 83–93.
Jackson, S. M., Fredericksen, T. S. dan Malcolm, J. R., 2002. Area disturbed and residual stand
damage following logging in a Bolivian tropical forest, Forest Ecology and Management,
vol 166, hal. 271–283.
Johns, J. S., Barreto, P. dan Uhl, C., 1996. Logging damage during planned and unplanned
logging operations in the eastern Amazon, Forest Ecology and Management, vol 89, hal.
59–77.
Machfudh, 2002. General description of the Bulungan Research Forest, in CIFOR (penyunting)
Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I
1997-2001, ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.
Obidzinski, K. dan Suramenggala, I., 2000. Illegal Logging in East Kalimantan: Papers on
Social, Economic and Political Implications, Illegal Logging Project Report, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Palmer, C. dan Engel, S., 2007. For better or for worse? Local impacts of the decentralization of
Indonesias forest sector, World Development, vol 35, hal. 2131–2149.
Pemda Malinau, 2001. Keputusan Bupati Malinau tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)
Kabupaten Malinau tahun 2000/2001, Bagian Sosial dan Ekonomi, Malinau, Indonesia.
Pereira Jr., R., Zweede, J., Asner, G. P. dan Keller, M., 2002. Forest canopy damage and recovery
in reduced-impact and conventional selective logging in eastern Para, Brazil, Forest Ecology
and Management, vol 168, hal. 77–89.
Pinard, M. A. dan Putz, F. E., 1996. Retaining forest biomass by reducing logging damage,
Biotropica, vol 28,no 3, hal. 278–295.
Pinard, M. A., Putz, F. E. dan Tay, J., 2000a. Lessons learned from the implementation of
reduced-impact logging in hilly terrain in Sabah, Malaysia, International Forest Review,
vol 2, no 1, hal. 33–39.
Pinard, M. A., Barker, M. G. dan Tay, J., 2000b. Soil disturbance and post-logging forest
recovery on bulldozer paths in Sabah, Malaysia, Forest Ecology and Management, vol 130,
hal. 213–225.
Resosudarmo, I. A. P., 2002. Timber management and related policies: a review, dalam Colfer,
C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting) Which Way Forward? People, Forests
and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for International
Forestry Research (CIFOR), Washington, DC.
Sist, P. dan Nguyen-The, N., 2001. Logging damage and the subsequent dynamics of a
dipterocarp forest in East Kalimantan, 1990–1996), Forest Ecology and Management, vol
165, hal. 85–103.
Sist, P., Nolan, T., Bertault, J. G. dan Dykstra, D., 1998. Harvesting intensity compared to
sustainability in Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 108, hal. 251–260.
Perbandingan Kerusakan Akibat Kegiatan Pembalakan
183
Sist, P., Sheil, D., Kartawinata, K. dan Priyadi, H., 2003. Reduced-impact logging in Indonesian
Borneo: Some results confirming the need for new silvicultural prescriptions, Forest Ecology
and Management, vol 179, hal. 415–427.
Suhartana, S. dan Idris, M. M., 1998. Controlled skidding to minimize forest damages: case
study at two forest companies in Central Kalimantan, Buletin Penelitian Hasil Hutan, vol
16, no 2, hal. 69–78.
Whitman, A. A., Brokaw, N. V. L. dan Hagan, J. M., 1997. Forest damage caused by selection
logging of mahogany (Swietenia macrophylla) in northern Belize, Forest Ecology and
Management, vol 92, hal. 87–96.
9
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan
Hutan: Perkembangan Lanjutan di Desa
Setulang, Kalimantan Timur
Ramses Iwan dan Godwin Limberg
Bab ini menjelaskan munculnya gerakan konservasi alam di desa Setulang, Kalimantan
Timur, Indonesia. Walaupun telah tinggal di daerah itu sejak tahun 1968, penduduknya
tetap dianggap sebagai pendatang dengan hak atas sumberdaya lebih kecil daripada
masyarakat ‘asli’. Akibatnya, banyak pihak mengklaim daerah hutan berpotensi kayu
tersebut dengan harapan pengusaha kayu akan menawarkan kerjasama dengan penduduk
setempat. Masyarakat Setulang menolak sistem eksploitasi kayu skala kecil (Izin
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu, IPPK) yang diperkenalkan selama era desentralisasi
(tahun 2000 sampai 2002). Berbeda dengan desa lain se-kawasan yang mengundang para
investor untuk menebang hutan, masyarakat desa Setulang berjuang untuk melindungi
hutan mereka, dan membuahkan penghargaan Kalpataru1 dari Presiden Indonesia pada
tahun 2003.
Sebuah gerakan konservasi alam telah lahir di desa ini.
Desa Setulang
Desa Setulang, dengan populasi 860 orang Dayak Kenyah Oma’ Lung (208 rumah tangga),
terletak di bagian hilir Sungai Malinau. Perjalanan dengan perahu ketinting dari ibukota
Kabupaten Malinau ke daerah tersebut memakan waktu dua jam. Pada tahun 2006, telah
dibangun jalan untuk menghubungkan Setulang ke kota Malinau.
Menurut sejarah lisan, suku Kenyah Oma’ Lung tinggal di Long Sa’an, sebuah desa
di daerah hulu Sungai Pujungan, anak Sungai Bahau, selama 13 generasi. Tempatnya
186
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
sangat terpencil sehingga mereka memutuskan untuk mencari tempat yang lebih dekat
dengan kota, pasar dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1963, sekelompok warga diutus
mencari daerah yang cocok untuk ditempati. Di Langap para utusan itu menemui Alang
Impang, kepala adat besar Sungai Malinau, untuk meminta izin. Alang Impang kemudian
menunjukkan beberapa tempat, salah satunya adalah Long Setulang. Mereka juga menemui
kepala adat di Gong Solok dan Sentaban, dan terakhir dengan Camat di Malinau. Pada
tahun 1968, seluruh warga menempati daerah tersebut, yang kemudian dinamai Setulang.
Setulang ditetapkan dengan SK Bupati Bulungan pada tahun 1974 dengan batas sebelah
hulu dengan Setarap dan batas sebelah hilir dengan Sentaban.
Saat itu, Malinau masih merupakan kecamatan terpencil di pedalaman Kalimantan
Timur. Tapi berbagai proses integrasi menjadi negara kesatuan juga sampai ke daerah
ini. Salah satunya adalah UU No 5 tahun 1979, tentang pemerintahan desa, yang
menyeragamkan struktur desa di seluruh Indonesia dan mengharuskan pemilihan umum
untuk menentukan kepala desa. Melalui reformasi dan desentralisasi, Malinau menjadi
daerah otonom, dan akhirnya terintegrasi penuh ke dalam negara kesatuan Indonesia. Dan
muncullah IPPK.
Sejak menempati Long Setulang, masyarakat telah mengembangkan perladangan
gilir-balik dan tanaman keras, serta memanfaatkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan sebagian dijual, terutama beras gunung (gogoh) yang terkenal. Dengan
cukupnya hasil dari ladang dan kebun, masyarakat Desa Setulang dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari, walaupun tidak menerima bantuan IPPK seperti desa-desa lain di
daerah Sungai Malinau.
Banyak pemudanya merantau ke Malaysia untuk bekerja di perusahaan kayu.
Pengalaman mereka di sana menyadarkan mereka akan dampak penggundulan hutan
terhadap lingkungan dan penduduk setempat. Gaji yang mereka terima digunakan untuk
membeli perlengkapan yang lebih mahal, seperti genset atau motor tempel, dan juga untuk
membangun rumah.
Perkembangan Tane’ Olen
Hutan di daerah hulu Sungai Setulang adalah hutan Dipterocarp dataran rendah utuh
yang didominasi pohon-pohon besar, termasuk kapur (Dryobalanops spp), meranti (Shorea
spp), keruing (Dipterocarpus spp), tengkawang (Shorea macrophylla) dan ulin (Eusideroxylon
zwageri). Hutan adalah sumber penting binatang buruan (babi hutan dan rusa), katak,
ikan, buah, tanaman obat dan bahan bangunan bagi masyarakat Setulang, yang juga
memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih untuk minum, mencuci dan mandi, dan
sarana transportasi ke ladang.
Pada tahun 1974, dua perusahaan kayu beroperasi di dekat Setulang: PT Trang Jaya
Nugraha di Setarap dan PT Sanjung Makmur di Sentaban. Dampak dari kegiatan dua
perusahaan tersebut adalah keruhnya air di Sungai Setulang dan rusaknya hutan, sehingga
memaksa penduduk desa harus mencari bahan bangunan ke tempat yang semakin jauh.
Akibatnya, masyarakat Setulang menolak tawaran kerjasama dari para pengusaha IPPK,
yang menjanjikan banyak bantuan.
Perubahan ini semakin menguatkan tekad untuk melindungi 5300ha hutan di hulu
Sungai Setulang. Hutan ini dilindungi sebagai penyaring untuk melindungi sumber air
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan
187
bersih bagi desa dan menjadi tempat persediaan bahan bangunan. Sesuai dengan adat,
hutan ditetapkan sebagai Tane’ Olen (tanah terlindung).
Di jaman dulu, Tane’ Olen adalah bagian dari hutan milik pribadi kepala adat dan
keluarganya. Penggunaannya diatur oleh Paren (bangsawan), tidak seorang pun boleh
memanfaatkannya, bahkan dilarang memasukinya. Namun ada pengecualian untuk halhal khusus yang menyangkut kepentingan umum. Misalnya untuk kasus bencana seperti
kebakaran rumah panjang; beberapa bahan bangunan seperti tiang dan rotan, dapat
diambil dari Tane’ Olen. Selain itu, dalam upacara desa, perburuan hewan liar di Tane’ Olen
diperbolehkan. Biasanya, Paren mengikuti warga yang masuk ke Tane’ Olen sebagai bentuk
pengendalian langsung dan mereka meminta sebagian hasil dari mereka untuk kebutuhan
pribadinya.
Lama kelamaan, dengan terkikisnya adat dan lembaganya, pemahaman masyarakat
terhadap Tane’ Olen berubah. Saat ini di Setulang, Tane’ Olen dipandang sebagai hutan
milik bersama untuk kepentingan umum. Demikian pula, juga terjadi perubahan persepsi
tentang peranan Tane’ Olen di beberapa desa di kabupaten Malinau.
Dengan adanya perubahan persepsi terhadap Tane’ Olen, anggapan sebagian masyarakat
terhadap penggunaan hutan juga berubah. Pada awalnya di Setulang, ada golongan tertentu
yang ingin menguasai Tane’ Olen untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Namun,
karena keputusan desa selalu diambil melalui musyawarah desa, pendapat mayoritas yang
disetujui. Para penduduk merasa bahwa Tane’ Olen sangat penting sehingga penggunaannya
perlu ditangani oleh lembaga tersendiri. Sebuah pertemuan diselenggarakan oleh Badan
Perwakilan Desa (BPD) untuk membahas bentuk dan fungsi organisasi yang tepat. Warga
memutuskan untuk membentuk Badan Pengelola Tane’ Olen di Desa Setulang. Tane’
Olen di Setulang saat ini dikelola oleh Badan Pengelola Tane’ Olen. Badan ini mengatur
semua kegiatan dan menegakkan aturan adat yang berhubungan dengan Tane’ Olen.
Meski demikian, sementara aturan yang mengatur Tane’ Olen telah berganti, fungsi dan
penggunaan Tane’ Olen masih fokus pada konservasi hutan.
Perjuangan penduduk desa untuk Tane’ Olen
Masyarakat Setulang bangga akan Tane’ Olennya dan menjadikannya aset desa. Badan
Pengelola secara perlahan menjalankan perannya dan juga membuat rencana untuk masa
mendatang.
Pada tahun 2001, aturan adat yang relevan ditulis pertama kali sebagai dasar untuk
membuat keputusan dan yang terpenting, agar generasi muda nantinya tahu aturan tersebut.
Aturan tersebut tidak hanya menyangkut pengambilan dan penggunaan hasil hutan kayu
dan hasil hutan non kayu (HHNK) di Tane’ Olen, tapi juga proses pengambilan keputusan.
Aturan ini banyak membantu mereka dalam menghadapi sengketa dengan perusahaan
kayu.
Pertama kali perusahaan kayu mendekati warga Setulang adalah tahun 1995, ketika
Elisar Ipui menjadi kepala desa. Seorang pengusaha kayu datang ke Setulang untuk
menawarkan kerjasama menebang kayu di hulu Sungai Setulang (Banjir Kap). Tapi setelah
musyawarah desa, menimbang kerusakan yang akan timbul maka masyarakat menolak
tawaran tersebut.
Dari tahun 2000 sampai 2002, Pemerintah Kabupaten Malinau telah menerbitkan 46
izin IPPK. Pada masa itu delapan pengusaha kayu datang secara resmi ke desa Setulang,
188
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
menawarkan kerjasama dengan masyarakat untuk menebang kayu di hulu Sungai
Setulang. Dalam pertemuan yang diselenggarakan, hanya sebagian kecil tokoh masyarakat
yang menyetujui tawaran tersebut. Khawatir kerjasama dengan perusahaan tersebut akan
berdampak pada kerusakan hutan dan sumber air, sebagian besar warga menolak semua
tawaran. Berikut adalah beberapa contoh kasus.
Sengketa dengan CV Gading Indah2
CV Gading Indah memiliki izin pembalakan IPPK untuk beroperasi di wilayah Desa
Setarap. Warga Setulang menemukan bahwa CV Gading Indah mengambil kayu melintasi
perbatasan Desa Punan Setarap dengan Desa Setulang, ketika terlihat perubahan warna air
Sungai Setulang.
Pada awal bulan Agustus 2002, Abuk Ipui dan Yusten Sarun dari Setulang mengunjungi
kamp CV Gading Indah di Kuala Semiling. Melihat banyaknya kayu yang bagus dan besar,
mereka merasa tidak mungkin kayu sebagus itu sisa dari perusahaan yang pernah beroperasi
di daerah Sungai Semiling. Kecurigaan itu diperkuat ketika pada tanggal 7 September
2002 Krimson Nyepan dan Pebing Lihai melaporkan kepada Kepala Desa Setulang bahwa
mereka telah menemukan bekas tebangan perusahaan kayu, saat berburu sampai ke hulu
Sungai Setulang.
Pada tanggal 14 September 2002, berdasarkan laporan itu Kepala Desa Setulang
menugaskan lima orang untuk memeriksa ke lokasi. Dari hasil pemeriksaan lapangan
diketahui 33 pohon meranti yang berada 720 meter di dalam batas wilayah Desa Setulang
telah ditebang dan kayunya sudah diambil. Hasil temuan ini dibahas dalam musyawarah
desa pada tanggal 16 September 2002 dan diputuskan untuk segera menghentikan
kegiatan CV Gading Indah sampai urusan diselesaikan. Pada tanggal 17 September 2002,
116 warga Desa Setulang mendatangi kamp CV Gading Indah dan menahan semua alat
berat yang masih bekerja di blok penebangan dan dikumpulkan di kamp pembalakan di
pertemuan Sungai Semiling dengan Sungai Malinau, dan dipagari secara simbolis dengan
akar pohon.
Penahanan alat berat berhasil menghentikan kegiatan perusahaan, dan pihak
perusahaan berjanji akan datang ke Desa Setulang. Perundingan pertama diadakan pada
tanggal 20 September 2002 di desa Setulang, dihadiri oleh pengelola CV Gading Indah,
Sekretaris Kecamatan Malinau Selatan, anggota Kepolisian Sektor Malinau, anggota
Komando Daerah Militer Malinau dan Ketua Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah
Kabupaten Malinau.
Dalam pertemuan tersebut masyarakat menyampaikan tuntutan sebesar 5 miliar
rupiah, karena mereka dirugikan dengan terjadinya kerusakan hutan dan sudah diambilnya
kayu tanpa izin. Pihak perusahaan mengaku bersalah, dengan menyatakan hal itu adalah
akibat kelalaian pekerja lapangan dan bukan disengaja. Perusahaan meminta keringanan,
namun sampai berakhirnya pertemuan tidak ada kesepakatan.
Setelah perundingan di Setulang, pengelola CV Gading Indah dan Sekretaris
Kecamatan Malinau Selatan melaporkan masalah ini kepada Bupati Malinau. Pada tanggal
27 September 2002 wakil masyarakat Desa Setulang dipanggil menghadap Sekretaris
Daerah di Kantor Bupati Malinau untuk diminta keterangan. Masyarakat mengutus tujuh
orang untuk melaporkan kejadian di lapangan.
Perundingan kedua diadakan di Desa Setulang pada tanggal 29 September 2002,
dihadiri oleh pengelola CV Gading Indah, Sekretaris Kecamatan Malinau Selatan, Kepala
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan
189
Kepolisian Sektor Malinau dan satu anggotanya, anggota Komando Daerah Militer
Malinau dan Ketua Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah Kabupaten Malinau.
Setelah pihak perusahaan menawarkan 100 juta rupiah, masyarakat menurunkan
tuntutan menjadi 3,5 miliar rupiah. Kemudian perusahaan menawarkan lagi 150 juta
rupiah dan masyarakat masih menurunkan menjadi 2,5 miliar rupiah. Dalam perundingan
tidak dicapai kata sepakat dan perwakilan perusahaan tidak berani memutuskan dengan
alasan bahwa pihaknya terdiri dari empat mitra, sehingga masyarakat menuntut agar semua
mitra kerjanya harus hadir dalam pertemuan selanjutnya.
Perundingan ketiga di Desa Setulang pada tanggal 4 Oktober 2002 dihadiri oleh Camat
Malinau Selatan dan Sekretaris Kecamatan, anggota Kepolisian Sektor Malinau, anggota
Komando Daerah Militer Malinau, Ketua Kerukunan Keluarga Dayak Kenyah Kabupaten
Malinau dan lima orang dari pihak CV Gading Indah. Pihak perusahaan menawarkan
200 juta rupiah, sedangkan masyarakat bertahan menuntut 2,5 miliar rupiah. Karena
perundingan belum juga mencapai kesepakatan, Camat Malinau Selatan menawarkan
kepada kedua belah pihak untuk mengangkat permasalahan ini ke tingkat kabupaten.
Lalu diadakan sebuah pertemuan pada tanggal 15 Oktober 2002 di ruang rapat
Kantor Bupati Malinau. Pertemuan dipimpin oleh Sekretaris Kabupaten Malinau dan
dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Kepolisian Sektor, Komandan Distrik
Militer, dua orang pegawai Kejaksaan, satu orang pegawai Administrasi Pemerintahan,
satu orang pegawai Bagian Hukum, Manager CV Gading Indah dan 15 orang wakil
masyarakat Desa Setulang. Pertemuan dimulai jam 14.00, namun karena belum ada titik
temu setelah pertemuan berlangsung selama dua jam, maka acara ditunda selama 15 menit
untuk memberi kesempatan pada masing-masing pihak untuk berdiskusi secara terpisah.
Dalam negosiasi tersebut masyarakat menyerahkan saja kepada pemerintah untuk mencari
jalan keluar yang baik.
Pada acara selanjutnya, Bupati meminta Kepala Bagian Umum dan Kepala Bagian
Penyusunan Program, yang keduanya berasal dari Setulang, agar hadir untuk mencegah
hal-hal yang lebih buruk. Pertemuan selesai jam 20.30 dengan hasil kesepakatan bahwa
pihak perusahaan harus membayar 400 juta rupiah kepada masyarakat Desa Setulang.
Pihak perusahaan tidak menyanggupi jumlah itu karena izin mereka akan berakhir
tanggal 3 Desember 2002. Maka Pemerintah Kabupaten memberi waktu pada CV Gading
Indah sampai Januari 2003 untuk mengerjakan empat blok yang belum ditebang, dan
membayar tuntutan yang diajukan.
Akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 2002, diadakan upacara penandatanganan
kesepakatan di mana 200 juta rupiah tunai diserahkan kepada masyarakat Setulang dan
perusahaan diharuskan membayar sisanya dengan mencicil.
Sengketa dengan PT Inhutani II
Pada bulan Mei 2003 PT Inhutani II mengusir warga yang sedang bekerja di ladang yang
mereka klaim sebagai milik kelompok tani Tanjung Lapang, mitra kerjasama PT Inhutani
II. Akibatnya, warga desa Setulang mendatangi kamp produksi PT Inhutani II pada
tanggal 13 Mei 2003 untuk memprotes. Belum ada tindak lanjut atas masalah ini karena
masyarakat Setulang masih menunggu tanggapan dari Camat Malinau Barat.
190
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Sengketa dengan PT Lestari Timur Indonusa (LTI)
Ketika hujan deras pada bulan September 2002 mengakibatkan Sungai Setulang banjir,
warga desa curiga ketika melihat air sungai lebih keruh dari biasanya. Mereka yakin bahwa
hal itu diakibatkan oleh aktivitas perusahaan di wilayah desa tetangga.
Pada tanggal 2 sampai 6 Desember 2002, beberapa warga desa Setulang ditugaskan
untuk menyelidiki. Ternyata PT Lestari Timur Indonusa (LTI), yang beroperasi di wilayah
desa Paking, telah melanggar batas desa Setulang dan mengambil kayu kualitas ekspor
sebanyak 117 pohon.
Pada tanggal 7 Desember 2002, warga desa Setulang mendatangi kamp PT LTI di
Paking dan menyita alat berat yang sedang beroperasi di hutan. Warga desa kemudian
menyegel daerah itu dan membawa pulang kunci kontak alat berat tersebut. Surat bukti
penyitaan dibuat saat itu juga dan ditandatangani oleh manager PT LTI.
Pada tanggal 10 Desember 2002, diadakan pertemuan di desa Setulang antara warga
desa dengan PT LTI, yang juga dihadiri oleh staf Kantor Kecamatan Mentarang. Namun
tidak dicapai kesepakatan karena pihak PT LTI menyangkal temuan lapangan oleh
masyarakat desa Setulang, sehingga disepakati untuk melakukan pengecekan lapangan
lagi.
Pengecekan ulang dilakukan tanggal 13 dan 14 Desember 2002, diikuti oleh seorang
staf Kecamatan Mentarang, seorang staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Malinau, dan masyarakat kedua desa, yaitu Paking dan Setulang. Karena kecewa
hasil pengecekan pertama tidak dipercaya, maka dalam pengecekan ulang masyarakat
memperketat penghitungan dengan memasukkan semua tunggul yang berdiameter di atas
10 cm. Mereka juga mencatat kerusakan pada hasil hutan non kayu maupun longsoran
tanah. Dari pengecekan ulang didapati 709 tunggul pohon berdiameter lebih dari 10
cm, 78 pohon buah-buahan dan palem, longsoran tanah di 14 tempat dengan panjang
keseluruhan 1400m, tiga persimpangan jalan sarad dengan panjang seluruhnya 400m, dan
jalan pembalakan sepanjang 4720m selebar 25m yang masuk ke wilayah desa Setulang.
Hasil pengecekan ulang dibahas pada pertemuan tanggal 19 Desember 2002 di
Kantor Camat Mentarang yang dihadiri oleh PT. LTI, Camat Mentarang, polisi setempat,
Komandan Rayon Militer Mentarang, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Malinau, dan warga desa Paking, Semolon, Sentaban dan Setulang. Pembahasan
difokuskan tentang batas desa, karena pihak perusahaan menyatakan ketidak-jelasan batasbatas tersebut. Karena kesepakatan tidak tercapai, Camat Mentarang menutup pertemuan
dan akan mengadakan pertemuan lagi di kemudian hari.
Pertemuan berikutnya diadakan di Setulang pada tanggal 19 Maret 2003, namun
pembicaraan bukan lagi mengenai pengambilan kayu oleh PT. LTI, tetapi mengenai batas
desa. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Camat Malinau Selatan dan stafnya, Camat Malinau
Barat, Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kepala Bagian Hukum, anggota Kepolisian
Resort, anggota Komando Daerah Militer, serta penduduk desa Sentaban dan Setulang.
Dalam pertemuan itu staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengatakan bahwa hutan di
hulu sungai Setulang termasuk dalam kawasan hutan lindung sebagaimana telah ditetapkan
dalam RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) tahun 1972 Kalimantan Timur.
Mendengar hal itu masyarakat Setulang kecewa karena bagi mereka kawasan hutan lindung
adalah milik Pemerintah dan masyarakat tidak punya hak untuk menuntut perusahaan
yang bekerja dalam kawasan itu. Masyarakat mempertanyakan mengapa baru sekarang
hal itu diinformasikan kepada masyarakat. Karena suasana semakin tidak terkendali, maka
pertemuan diakhiri.
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan
191
Warga desa yang pulang dari berburu di hulu Setulang, melaporkan bahwa mereka
mendengar suara mesin traktor yang bekerja di wilayah tersebut. Maka pada tanggal 2 Mei
2003 beberapa pemuda desa Setulang pergi ke lokasi kerja PT LTI. Ternyata perusahaan
masih melakukan penebangan dan penyaradan kayu meskipun kunci kontak alat beratnya
sudah mereka sita. Karena itu para pemuda tersebut memanggil semua operator alat berat
dan mencabut dinamo starter dari kelima unit alat beratnya dan membawanya pulang ke
desa Setulang.
Tidak lama setelah pengambilan dinamo starter, kegiatan perusahaan tetap berjalan
sehingga pada tanggal 20 Mei 2003 diutus sepuluh warga yang berpengalaman sebagai
operator dan mekanik untuk menyingkirkan alat berat. Mereka membawa pulang dua unit
traktor ke desa Setulang.
PT LTI melaporkan penyitaan alat berat tersebut kepada Wakil Kepala Kepolisian
Resort Malinau, dan menyatakan bahwa masyarakat desa Setulang telah menyerang
dan mengancam. Maka pada tanggal 26 Mei 2003 Wakil Kepala Polisi Resort Malinau
memanggil Kepala Desa dan Kepala Adat Setulang untuk diminta kesaksian atas kejadian
itu.
Atas kesaksian dari Kepala Desa, maka polisi memanggil dua pemuda yang terlibat
dalam penyitaan alat berat. Karena adanya surat panggilan dari polisi terhadap dua orang
saksi itu, diadakan pertemuan desa yang akhirnya ditutup dengan pernyataan bahwa
seluruh masyarakat desa Setulang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan si penyita
alat berat itu sudah bertindak untuk kepentingan seluruh warga desa.
Pada waktu itu warga desa berharap bisa bertemu dengan Bupati, yang berencana
datang ke Setulang pada tanggal 29 Mei 2003, namun tidak jadi. Maka pada tanggal 2 Juni
2003 112 orang warga desa memutuskan untuk mendatangi Polisi Resort Malinau untuk
memberikan kesaksian. Kepala Kepolisian Resort Malinau mengatakan bahwa masalah
tersebut akan diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten Malinau. Namun belum ada
tindak lanjut.
Bagaimana usaha Setulang menjaga Tane’ Olen mereka? Ada beberapa faktor yang
memungkinkan hal itu terjadi:
•
•
•
•
•
Kekompakan. Kebersatuan dan kekompakan masyarakat merupakan aset utama
desa Setulang. Tindakan kolektif membantu melaksanakan sebagian besar kegiatan
pembangunan desa dan mengatasi ancaman dari luar.
Kelembagaan Desa. Kehadiran Tane’ Olen di Setulang telah merangsang pemikiran di
dalam desa tentang berbagi tugas. Badan Pengelola Tane’ Olen bertugas mengorganisir
kegiatan dan menerapkan aturan dan sanksi adat.
Kebutuhan dasar yang terpenuhi. Bukan hanya kebutuhan dasar yang terpenuhi,
namun kebanyakan warga juga memiliki sedikit kelebihan, yang menyediakan dana
bagi kebutuhan lain, misalnya sandang atau biaya pendidikan. Tidak ada kebutuhan
untuk menjual hutan demi uang.
Perhatian pihak luar. Perkembangan Tane’Olen dan pengakuan de facto-nya oleh
pemerintah dan desa-desa lain telah banyak terbantu oleh tingginya perhatian pihak
luar. Bantuan berbentuk studi banding, pelatihan inventarisasi hutan, pembudidayaan
jamur, produksi arang dan kerajinan tangan telah membantu meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya konservasi dan membuka pikiran mereka.
Dukungan dari pihak-pihak lain. Karena berbeda dan lebih menonjol daripada
masyarakat desa lain di sekitarnya, usaha warga desa Setulang melindungi hutan mereka
telah menarik perhatian pihak lain, yang terlihat dalam sejumlah cara. Masyarakat
192
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
desa Setulang telah menerima dua penghargaan semenjak mereka mulai mengatur
Tane’ Olen mereka: penghargaan hibah untuk menghadiri World Water Forum Kyoto
pada tahun 2003, dan Kalpataru (Penghargaan Lingkungan Indonesia) juga pada
tahun 2003.
Beberapa organisasi telah memberi masukan guna mendukung usaha penduduk desa
tersebut:
•
•
•
•
Center for International Forestry Research (CIFOR): penelitian dan kunjungan dari
banyak peneliti yang masih berlangsung dan tetap memfokuskan pembahasan pada
konservasi, konsesi konservasi dan pengelolaan kawasan konservasi, serta potensi
manfaat dari kawasan konservasi.
Seoul National University (Republik Korea) mengirim mahasiswa untuk melakukan
diskusi dengan penduduk desa tentang ketergantungan masyarakat Dayak terhadap
hutan.
Departemen Kehutanan merencanakan beberapa penelitian di daerah tersebut.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat sebuah petak penelitian untuk
meneliti potensi dan keragaman spesies tumbuhan di kawasan itu. Hasilnya akan
menambah informasi dan menjadi panduan bagi Badan Pengelola Tane’ Olen yang
didirikan masyarakat Setulang.
Berbagai kunjungan wisatawan dan peneliti memberikan dukungan moral untuk
masyarakat. Selama kunjungan itu, warga desa sering diundang untuk membahas berbagai
aspek dan kemungkinan pengelolaan hutan. Semua pembahasan itu semakin meyakinkan
masyarakat akan pentingnya pertimbangan keberlanjutan dalam perencanaan pengelolaan
demi generasi hari ini dan masa mendatang di Setulang dan desa-desa sekitarnya.
Selain itu, Tane’ Olen Setulang telah menjadi subjek beberapa laporan media di televisi
nasional dan internasional.
Hingga kini, Tane’ Olen telah didukung secara luas, dan banyak orang telah terlibat
dalam pengelolaannya. Namun, satu generasi baru sedang tumbuh dengan kebutuhan
dan gagasan yang berbeda untuk masa depan. Kebutuhan dasar juga berkembang. Uang
tunai, misalnya, semakin menjadi kebutuhan dasar, dan mungkin tidak sepenuhnya bisa
dipenuhi oleh surplus beras. Dahulu, anak-anak muda bekerja beberapa tahun di tempat
lain, seperti Malaysia, untuk mencari uang. Kini, persyaratan administratif untuk bekerja
di negara lain lebih rumit.
Meski pendirian Tane’ Olen merupakan keputusan bersama, ada beberapa individu yang
berharap bisa memperoleh keuntungan pribadi dari pengelolaannya. Hal ini memunculkan
diskusi tentang apakah diperlukan penerapan aturan yang lebih tegas dalam pengelolaan
Tane’ Olen. Hingga saat ini hal itu belum terjadi; namun ketika masyarakat semakin serius
tentang melestarikan sumberdaya, ini mungkin akan menjadi kebutuhan nyata.
Perkembangan baru seputar Tane’ Olen
Kekuatan masyarakat Setulang telah menjadikan mereka mampu mempertahankan hutan
lindung mereka. Meski masih disengketakan oleh masyarakat sekitarnya dan tidak diakui
secara hukum oleh pemerintah, Tane’ Olen mereka telah diakui secara de facto. Cukupkah
kelebihan ini untuk menghadapi berbagai tantangan baru? Mampukah masyarakat Setulang
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan
193
menahan tekanan perpecahan? Cukup kuatkah badan pengelola untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan situasi?
Selama beberapa tahun terakhir, masyarakat Setulang telah mulai mengalami
kekurangan lahan untuk ladang disebabkan oleh penetapan batas wilayah desa, operasi
pembalakan, program reboisasi, rencana pendirian kebun kelapa sawit dan pertumbuhan
populasi. Hal ini mendorong mereka untuk memikirkan pengelolaan lahan dan
sumberdaya di wilayah desa. Rencana tata guna lahan desa sudah dikembangkan melalui
beberapa pertemuan desa yang difasilitasi oleh staf CIFOR. Juga sudah terbentuk sebuah
komite kecil yang melibatkan kepala desa, pemimpin adat dan para tetua desa, untuk
menerjemahkan gagasan ini menjadi peta sketsa pemanfaatan tanah desa.
Dalam prosesnya, masyarakat Setulang mencapai kesepakatan tentang pembagian
wilayah desa mereka. Mereka menetapkan daerah-daerah untuk perkebunan tanaman
keras, hutan lindung, Tane’ Olen, perluasan pemukiman dan area untuk pengembangan
perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan ini telah divisualisasikan dengan peta sketsa tata
guna lahan desa (lihat Gambar 9.1), dan telah dituliskan aturan-aturan adat tentang hal
itu. Beberapa warga menganggap aturan adat sudah cukup untuk mengatur pemanfaatan
lahan, namun warga lain menilai bahwa rencana desa harus dikaitkan dengan tata ruang
kabupaten agar tidak tumpang tindih dalam pemanfaatan lahan dan memungkinkan
perencanaan desa bisa terwadahi pada tingkat kabupaten.
Meski upaya perencanaan tata guna lahan desa berlaku untuk seluruh wilayah desa,
hal itu memunculkan pertanyaan tentang pengelolaan di masa mendatang. Tane’ Olen
tidak dipandang independen dari keseluruhan desa, dan pembahasan tentang kebutuhan
masa depan mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan desa. Sebagai contoh, jika Tane’
Olen ingin dijadikan obyek ekowisata, tidak akan banyak pembalakan yang diizinkan.
Pada saat yang sama, peningkatan populasi membutuhkan perluasan tempat tinggal dan
pendirian rumah-rumah baru. Dari mana bahan kayunya? Desa itu telah memutuskan
bahwa larik hutan yang tersisa harus dicadangkan sebagai hutan produksi. Luasannya tidak
seberapa besar dan mungkin hanya akan cukup untuk kebutuhan perluasan bangunan saat
ini; namun masyarakat sudah menanam pohon di bekas ladang mereka untuk persediaan
bahan bangunan di masa datang.
Sementara itu, rencana pembangunan pemerintah daerah masih bersifat dari atas ke
bawah. Rencana tata ruang resmi dikatakan menyertakan rencana untuk pembangunan
perkebunan kelapa sawit dan akasia. Karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses
perencanaan dan tidak diberi informasi, mereka pun bingung dan mencemaskan program
ini akan sekonyong-konyong diterapkan.
Salah satu kecemasan besar masyarakat setempat adalah perluasan perkebunan kelapa
sawit. Pemerintah daerah berencana mengembangkan perkebunan kelapa sawit, untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rencana ini telah diperdebatkan di antara warga
desa karena tidak adanya kejelasan status lahan yang akan ditanami. Bagaimana pembagian
dan/atau penyebaran keuntungannya pun belum jelas. Telah diadakan berbagai pertemuan
untuk menjelaskan rencana tersebut, namun hanya disajikan informasi lisan dan masyarakat
tidak berani mengusulkan untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut. Banyak
orang merasa bahwa mereka kurang pengalaman dan pengetahuan tentang budidaya kelapa
sawit, khususnya pemeliharaan, pemupukan, panen dan pemasaran produk. Kekhawatiran
lainnya adalah dampak lingkungan. Karena perkebunan tersebut mencakup lahan pertanian,
rencana tersebut juga mengancam ketersediaan lahan pertanian bagi warga desa.
194
Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu di Malinau
Sumber: Sidiyasa dkk, 2005
Gambar 9.1 Peta pemanfaatan lahan Setulang
Jika pendapatan dari kelapa sawit tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar,
dan tidak ada lahan lain untuk penanaman padi, Tane’ Olen pun akan terancam.
Pihak-pihak luar telah mencap kegiatan perlindungan hutan yang dilakukan hingga
kini sebagai aktivitas konservasi. Ini awalnya dibahas oleh staf CIFOR dengan masyarakat
Setulang. Pada saat itu, kemungkinan pembayaran kompensasi oleh organisasi konservasi
juga disebutkan. Meski belum ada pembayaran kompensasi yang dilakukan, hutan tersebut
masih terlindungi. Namun makin meningkatnya kebutuhan akan uang menjadikan isu
tersebut tetap relevan. Pertanyaan yang belum terjawab adalah, akankah masyarakat tetap
melindungi hutan jika tidak ada pembayaran kompensasi? Badan pengelola sedang berusaha
mengembangkan alternatif kegiatan konservasi yang bisa memberikan keuntungan tunai
untuk mendukung ekonomi warga desa.
Meski tidak bersepakat, sampai batas tertentu masyarakat Setulang menyepakati:
•
•
•
•
bahwa konservasi pada tingkat masyarakat akan berhasil jika masyarakat bersatu dan
kompak;
bahwa daerah konservasi tidak akan diganggu jika kebutuhan dasar makanan
terpenuhi;
tentang bagaimana konservasi berbasis masyarakat bisa diakui pada tingkat yang lebih
tinggi.
tentang bagaimana perencanaan tata guna lahan desa bisa dipadukan dalam proses
perencanaan di tingkat yang lebih tinggi.
Tane’ Olen sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan
•
•
•
•
195
bahwa meski konsep Tane’ Olen telah berubah, masyarakat memerlukan pengakuan
dan hak atas daerah lindung;
bahwa, dalam kasus Setulang, konsep Tane’ Olen telah disesuaikan, namun tujuannya
masih tetap pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, khususnya hutan;
tentang faktor-faktor pendukung: kebersatuan, pemenuhan kebutuhan dasar makanan
dari daerah lain atau sumber lain, dan aturan dan kelembagaan yang wajib dipatuhi;
tentang ancaman: ketidakpastian hukum, konflik batas desa, kurangnya dukungan
pemerintah, kurangnya integrasi rencana masyarakat dengan rencana pemerintah
daerah.
Catatan
1 Penghargaan Kalpataru diberikan setiap tahun oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup
untuk mereka yang peduli dengan, melestarikan atau melindungi lingkungan.
2 CV, atau Commanditaire Vennootschap, adalah bahasa Belanda untuk ‘kemitraan terbatas’.
Rujukan
Sidiyasa, K., Zakaria, A. dan Iwan, R., 2005 Hutan Desa Setulang dan Sengayan Malinau,
Kalimantan Timur - Potensi dan Identifikasi Langkah-Langkah Perlindungan dalam
Rangka Pengelolaannya Secara Lestari, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Bagian III
Perkembangan lain yang didorong
oleh desentralisasi
10
Pemenang Mengambil Semua:
Memahami Konflik Hutan di Era
Desentralisasi di Indonesia
Made Sudana
Pengantar
Perubahan yang dibawa oleh reformasi dan desentralisasi juga menaikkan tingkat konflik.
Konflik-konflik lama yang terpendam telah muncul kembali, dan konflik-konflik baru
bersifat lebih terbuka dan lugas. Berbagai protes, terkadang begitu keras, telah menjadi
fenomena baru di kalangan komunitas lokal.
Banyak di antara konflik ini berkaitan langsung dengan meningkatnya nilai
sumberdaya alam. Reformasi dan desentralisasi menuntut pemerintah lokal meningkatkan
bagian pendapatannya sendiri. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengeluarkan sebanyak
mungkin surat izin konsesi ke perusahaan pembalakan skala kecil. Sementara itu, reformasi
juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menuntut bagian. Timbulnya
kompetisi demi mendapat bagian dari perusahaan pertambangan dan pembalakan telah
memicu sengketa batas desa maupun konflik di dalam komunitas itu sendiri. Benturan
klaim atas lahan dan wilayah berdasarkan kesukuan dan sejarah semakin memperumit
masalah. Ketidakjelasan kebijakan pemerintah, kurang tepatnya pendekatan penyelesaian
konflik dan rendahnya kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal dalam mengelola
konflik menyebabkan berlarut-larut dan semakin sengitnya persaingan di antara berbagai
kelompok etnis.
Berdasarkan pengamatan terhadap konflik di desa-desa di sepanjang aliran Sungai
Malinau di kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, bab ini menguraikan karakteristik
200
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
konflik lokal, mengidentifikasi penyebabnya dan menguraikan akibatnya untuk bisa lebih
memahami bagaimana konflik bisa merangsang perubahan.
Metodologi
Dari tahun 2000 sampai 2003, dilakukan pengamatan dan wawancara di 27 desa di
sepanjang Sungai Malinau yang dihuni sekitar sepuluh kelompok etnis, yang memiliki
sejarah, adat, dan sistem tata-guna lahan masing-masing. Tahun 2000 ditetapkan sebagai
titik awal untuk membandingkan kejadian konflik sebelum dan sesudah desentralisasi.
Kami membatasi pengamatan pada konflik yang berhubungan dengan eksploitasi
hasil hutan kayu dan non-kayu (NTFPs), penggunaan lahan pertanian dan batas desa.
Untuk bisa mendapatkan pemahaman terhadap konflik, kami berusaha mengidentifikasi
penyebab, faktor-faktor peningkat konflik, dan aktor-aktor yang terlibat. Kami mengamati
frekuensi kontak antar aktor, proses penyelesaikan (negosiasi dan mediasi), dan hasilnya
(kesepakatan dan kontrak). Satu kejadian digunakan sebagai unit analisa, dimana satu
kejadian didefinisikan sebagai adanya konflik yang diindikasikan oleh demonstrasi,
perkelahian, diskusi, surat-menyurat, keluhan, atau ancaman. Setiap konflik diamati secara
terpisah dan dianalisa dalam hubungannya dengan konflik lain.
Konflik sebelum dan sesudah desentralisasi
Perubahan frekuensi
Demi keperluan analisa, ditetapkan tiga periode: masa Orde Baru dari tahun 1967 sampai
1996; masa reformasi, dari tahun 1997 sampai 1999; dan masa awal desentralisasi, dari
tahun 2000 sampai 2002. Di seluruh periode ini, dari tahun 1967 sampai 2002, ada 94
kasus yang diamati: 8 kasus (8,5 persen) terjadi di masa Orde Baru; 17 kasus (18,1 persen)
di masa reformasi; dan 69 kasus (73,4 persen) terjadi di masa ketiga. Sebagian konflik
merupakan konflik kambuhan karena belum pernah terselesaikan secara memuaskan.
Selama masa Orde Baru, terutama, banyak konflik ditekan atau diselesaikan secara paksa.
Pemerintah baru di masa awal desentralisasi memberikan banyak kesempatan kepada
masyarakat untuk mengklaim kembali sumberdaya yang diambil selama masa-masa awal.
Karena itu, dari 69 konflik yang terjadi pada masa ini, 25 di antaranya adalah kelanjutan
dari konflik sebelumnya (lihat Gambar 10.1).
Walaupun jelas bahwa akar masalah berasal dari masa Orde Baru, reformasi dan
desentralisasi telah memberi pengaruh signifikan terhadap peningkatan konflik. Hal ini
terlihat dari semakin meningkatnya kejadian demonstrasi, kunjungan ke kantor-kantor
pemerintahan dan perdebatan. Namun, pertanyaannya adalah: siapa yang bertanggung
jawab menangani konflik atas sumberdaya alam?
Faktor-faktor penyebab konflik
Konflik di sepanjang daerah aliran Sungai Malinau memiliki berbagai bentuk, tergantung
apakah konflik itu mengenai batas desa, lahan pertanian atau persaingan mendapatkan
manfaat dari kayu dan hasil hutan non-kayu. Namun masalah yang ada tidak selalu sederhana
Pemenang Mengambil Semua
201
ataupun mudah diselesaikan. Bahkan sikap meremehkan masalah di masa Orde Baru, ketika
umumnya konflik ditekan melalui intimidasi kekuasaan, adalah salah satu penyebab utama
konflik laten. Reformasi dan desentralisasi mengubah hal ini. Solusi sederhana tidak lagi
diterima. Contohnya, satu sumber konflik adalah karena penyerobotan wilayah desa oleh
perusahaan pembalakan. Biasanya, sejumlah uang dituntut sebagai kompensasi. Berbagai
argumen dikemukakan tentang nilai kayu, batas wilayah, dan terkadang, lingkungan. Arah
konflik sangat dinamis karena bisa berubah setiap saat untuk menanggapi klaim balasan.
Seperti dalam Gambar 10.2, sebelum desentralisasi, konflik yang paling sering
muncul, di 17 dari 27 desa, adalah perselisihan tentang lahan pertanian – ladang, sawah,
dan tanaman. Konflik-konflik lain adalah mengenai hak atas produk-produk hutan seperti
sarang burung walet dan kayu gaharu; kompensasi oleh satu perusahaan pertambangan
batubara (di 6 desa); persaingan atas kayu (3 desa) dan sengketa klaim lahan karena
perbedaan sejarah (13 desa) (Anau dkk, 2001). Di masa desentralisasi, konflik yang
timbul disebabkan penyerobotan oleh kegiatan pembalakan ke dalam wilayah desa yang
menghilangkan beberapa produk hutan seperti kayu gaharu, rotan, dan sarang burung
walet, maupun rusaknya lahan pertanian. Sebagai kompensasi, warga desa menuntut
sejumlah uang dan/atau fasilitas umum.
Gambar 10.1 menunjukkan sumber-sumber konflik dan perubahan sebelum dan
setelah desentralisasi, sementara Gambar 10.2 menunjukkan berbagai pencetus atau faktor
penyebab konflik.
Banyaknya kejadian konflik (unit)
50
40
30
20
10
0
Periode orde baru (1967 - 2996)
Periode reformasi (1997 - 1999)
Periode desentralisasi (2000 - 2002)
Periode konflik (tahun)
Sumber: Sudana, 2004
Gambar 10.1 Frekuensi konflik sebelum dan sesudah desentralisasi
Tanah pertanian
Tanah pertanian sudah menjadi sumber konflik sejak suku Kenyah bermigrasi ke kawasan
ini. Hal itu mencakup konflik suku Kenyah Uma’ Long di desa Batu Kajang dengan suku
Merap di Gong Solok, tahun 1967; suku Kenyah Uma’ Long di Setulang dengan suku
Abay di Sentaban, tahun 1969; dan suku Kenyah Lepo Ke’ di Long Loreh dengan suku
Merap di Langap, tahun 1974. Semua konflik ini mengenai upaya penguasaan lahan subur
dan biasanya diselesaikan dengan baik. Solusi dicapai melalui musyawarah (rapat desa)
202
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
50
Jumlah kejadian konflik
40
30
20
10
0
Migrasi Kenyah
Resettlement Punan
HPH
Tambang
IPPK
Faktor konflik
Lahan pertanian
Hasil hutan kayu
Wilayah desa
Hasil hutan bukan kayu
(sarang burung, gaharu)
Uang, sarana
Sumber: Sudana, 2004
Gambar 10.2 Kejadian dan pemicu konflik
demi mufakat, dan biasanya berkaitan dengan batas desa. Sayangnya, kesepakatan ini
seringkali hanya berusia singkat karena salah satu atau pihak lain mengajukan klaim baru.
Klaim lahan pada akhirnya akan dikaitkan dengan batas desa dan menjadi konflik rumit
berlarut-larut.
Peningkatan populasi menambah masalah baru. Antara tahun 1980 dan 1999,
beberapa warga suku Punan pindah dari wilayah hulu Sungai Malinau sebagai bagian dari
program pemerintah pemukiman ulang. Selanjutnya, semakin banyak lagi yang datang
dari daerah terpencil untuk mencari peluang ekonomi, layanan kesehatan dan pendidikan
yang lebih baik. Pada saat yang sama, masuk pula perusahaan pembalakan ke kawasan ini,
dan timbul konflik antara perusahaan dan warga yang lahannya terkena pembangun­an
jalan pembalakan. Pada kebanyakan kasus, konflik bisa diselesaikan dengan kesepakatan
kompensasi.
Konflik atas lahan pertanian meningkat tajam selama masa reformasi dari tahun 1997
sampai 1999, ketika sebuah perusahaan tambang mulai beroperasi di wilayah Long Loreh.
Perusahaan ini menawarkan kompensasi atas lahan dan hasil panen yang terdampak.
Biasanya, warga desa berusaha mengklaim sawah puso, sehingga menimbulkan konflik
tambahan antar warga desa. Selama masa desentralisasi dari tahun 2000 sampai 2002,
konflik individu berkurang, namun konflik antar kelompok etnik meningkat.
Batas-batas wilayah
Di masa Orde Baru, batas desa bukanlah sumber konflik yang signifikan. Sebuah contoh
masalah perbatasan adalah antara desa Langap dan Loreh. Kesepakatan awal tanggal 27
Februari 1975 dilanggar pada tahun 1977, ketika suku Merap yang tinggal di Sengayan
menggeser batas hulu, dan pindah ke Loreh.
Pemenang Mengambil Semua
203
Tambang batubara yang mulai beroperasi di Loreh pada tahun 1995 ini memicu
serangkaian konflik baru. Pembayaran kompensasi atas penggunaan lahan untuk
pertambangan telah mengubah persepsi atas nilai lahan. Desa-desa mulai menentukan batas
wilayah dengan lebih tegas. Pada tahun 1998, desa Langap dan Loreh terlibat bentrokan:
Langap menuntut batas desa dikembalikan sesuai kesepakatan tahun 1975. Pada tahun itu
juga, terjadi konflik batas desa antara Langap dengan Tanjung Nanga, dan antara Langap
dengan Laban Nyarit, mengenai hak atas lahan yang mengandung deposit batubara yang
bisa dimintakan pembayaran kompensasi. Karena alasan yang sama, Langap juga terlibat
konflik dengan desa Nunuk Tanah Kibang.
Lebih ke hilir, desa Setulang dan Sentaban telah bersengketa tentang hak tanah sejak
suku Kenyah tinggal di kawasan ini. Tahun 1992, kedua desa ini memperebutkan hak atas
sawah dan hutan di sepanjang sungai Senarau dan Sebatiung. Saat itu konflik diselesaikan
oleh pemerintah kecamatan Malinau. Tanggal 21 April 1999, terjadi konflik perbatasan
antara Setulang dan Sentaban. Walaupun tidak secara langsung disebabkan oleh reformasi
dan desentrali­sasi, semangat yang ada saat itu mendorong berbagai komunitas untuk
mengungkapkan berbagai tuntutan mereka.
Sengketa perbatasan di sepanjang DAS Malinau tetap belum teratasi dengan baik.
Langap dan Loreh masih bertikai, demikian pula Batu Kajang dan Gong Solok.
Hasil hutan kayu
Walau tidak banyak diketahui sebelumnya, pembalakan telah menjadi sumber konflik
antar komunitas dan perusahaan pembalakan sejak masa Orde Baru. Di masa itu, konflik
semacam ini biasanya didamaikan oleh pihak militer, seperti yang dialami warga Loreh dan
Langap dengan perusahaan milik negara, PT Inhutani II. Warga desa hanya bisa memanen
kayu untuk pembangunan rumah mereka dan bangunan publik dengan seizin pemilik
HPH.
Setelah desentralisasi, konflik atas hasil kayu meningkat tajam. Hal itu awalnya
dipicu oleh Keputusan Gubernur No. 20 tahun 2000 tentang pembayaran kompensasi
oleh pemilik HPH kepada masyarakat di dalam wilayah operasinya. Pemberian izin IPPK
oleh pemerintah daerah sejak tahun 2000 merangsang timbulnya lebih banyak konflik:
masyarakat menggunakan berbagai argumen untuk mengklaim bagian dari fee dan
pembayaran kompensasi. Di masa ini, tumbuh berbagai konflik multi dimensi: masyarakat
dengan pemegang HPH, pemegang IPPK, dan pemilik gua sarang burung walet; antar
desa; pemegang HPH dan pemegang IPPK dengan pemilik gua sarang burung walet; dan
antar IPPK sendiri.
Konflik antara masyarakat lokal dengan pemegang HPH terjadi paling sering di desa
Langap (melawan PT Inhutani II), desa Metut (melawan PT Meranti Sakti Indonesia)
dan di desa Laban Nyarit (melawan PT Tribudi Wisnu). Ketika pemerintah lokal mulai
memberikan IPPK berdasarkan kerjasama dengan masyarakat lokal, pemegang HPH
semakin tersisih, dan memicu semakin banyak konflik.
Dengan otonomi daerah, pemerintah kabupaten mengambil kendali atas hutan di
kawasan ini. Sementara itu, pemegang HPH menerima mandat mereka dari pemerintah
pusat, dan dalam kebingungan tahun-tahun pertama, mereka kehilangan konsesinya
dan digantikan oleh pemegang IPPK. Seperti sudah diuraikan di bab-bab sebelumnya,
hubungan antara masyarakat dan pemegang IPPK mengalami perubahan. Masyarakat
sudah belajar bahwa tuntutan harus dipenuhi atau mereka akan melakukan tindakan lain
seperti demonstrasi, menutup jalan pembalakan, dan bahkan menyita peralatan. Konflik
204
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
yang berkaitan dengan IPPK bukan hanya antara perusahaan dan masyarakat, tetapi juga
antar masyarakat tentang siapa yang berhak menerima fee dan kompensasi, dan di dalam
masyarakat sendiri tentang pembagian fee dan kompensasi.
Hasil hutan non-kayu
Konflik yang berkaitan dengan hasil hutan non kayu jarang terjadi di masa Orde Baru.
Hanya ada dua kasus yang tercatat dialami masyarakat di Long Jalan dan Adiu. Tanggal
20 Agustus 1992, penduduk desa Long Jalan menghalangi para pemanen kayu gaharu
memasuki wilayah mereka melalui surat yang ditandatangani oleh Komandan Rayon
Militer setempat. Tanggal 17 November 1988, penduduk desa Adiu menentang Datuk
Husein, pemilik usaha rotan yang mengklaim kepemilikan atas hutan di pegunungan
Gunung Bintang.
Setelah desentralisasi, konflik atas gua sarang burung walet lebih sering terjadi,
walau kebanyakan alasan itu hanya dipakai untuk mendapat manfaat dari IPPK. Konflik
semacam ini terutama terjadi di wilayah Gong Solok dan Langap dimana gua-gua itu
berada. Patut dicatat bahwa para pemilik gua itu adalah keturunan suku Merap yang
merupakan pemukim pertama, atau suku Tidung, yang memperoleh hak dari pemerintah
kolonial Belanda. Sering terjadi konflik di desa Gong Solok dan Langap: pemilik gua
dengan masyarakat lokal dan dengan pemegang HPH dan IPPK; dan juga antara pemegang
IPPK dengan operator tambang batubara. Dalam konflik ini, suku Punan, yang sangat
bergantung dari hasil hutan non-kayu, adalah yang paling dirugikan dan juga paling tidak
mampu membela klaim mereka.
Uang dan fasilitas
Efek terbesar dari reformasi dan desentralisasi adalah pemberdayaan masyarakat lokal, yang
kini tidak lagi menjadi pengamat yang diam dan bisa memaksakan tuntutan atas hak yang
mereka rasa miliki. Sayangnya hal itu banyak diartikan dalam bentuk tunai. Pembayaran
atas pemanenan kayu atau kompensasi atas pemakaian lahan untuk tambang adalah faktor
paling berpengaruh pada sikap ini. Kini masyarakat akan menggunakan alasan apapun
untuk mendapatkan uang. Pelanggaran batas wilayah desa, kerusakan lahan, debu yang
menutupi tanaman, polusi air dan gagal panen adalah alasan-alasan untuk menuntut
kompensasi tunai. Biasanya perusahaan memenuhi tuntutan itu, karena lebih mudah
membayar daripada menjernihkan masalah. Namun, akar masalahnya (yaitu siapa yang
sebenarnya berhak) tidak pernah diselesaikan.
Pola umum
Demonstrasi dan protes
Desentralisasi telah mengubah pola-pola pewujudan konflik. Di masa sebelum
desentralisasi (masa Orde Baru dan reformasi), berbagai konflik diungkapkan melalui
keluhan yang kebanyakan diselesaikan melalui musyawarah atau rapat desa. Konflik
jarang meletus menjadi pertarungan fisik.
Pada masa desentralisasi, konflik menjadi lebih kompleks. Pola umumnya adalah
sebagai berikut:
Pemenang Mengambil Semua
205
1. Desa mengirim seorang utusan untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan
tuntutan.
2. Bila para utusan gagal memastikan terpenuhinya tuntutan, setelah melalui rapat
penentuan tindakan, waktu pelaksaan dan pembagian tugas, lalu dilakukan
mobilisasi massa.
3. Tindakan akan dilakukan, seperti demonstrasi, penutupan akses jalan, pengibaran
umbul-umbul atau berkumpul di depan kantor lawan.
4. Dilakukan negosiasi.
5. Solusi diusulkan dan menerima, biasanya mencakup pembayaran kompensasi
dalam jumlah tertentu.
6. Bila solusi tidak memuaskan atau tuntutan tidak dipenuhi, disusun rencana
demonstrasi lanjutan, mengulangi proses dari tahapan kedua, terkadang mencakup
penyitaan perlengkapan alat berat untuk meningkatkan tekanan terhadap pihak
lain untuk memenuhi tuntutan.
Di sepanjang DAS Malinau, 26,1 persen (18 dari 69) dari konflik selama era
desentralisasi mencakup demonstrasi dengan mobilisasi massa oleh masyarakat lokal,
seperti di Loreh, Langap, Gong Solok, Setarap dan Setulang. Di tempat lain, seperti
di Loreh dan Langap, demonstrasi dilakukan berulang kali. Kebanyakan pesertanya
adalah kaum pria. Hanya dalam satu kasus yang ditemukan keterlibatan wanita.
Konflik juga dimanfaatkan oleh pihak ketiga, umumnya pelaku bisnis lokal, untuk
kepentingan bisnis mereka. Suap dan manipulasi terhadap elit desa dan politik, biasa
terjadi. Komplikasi lain adalah banyak perusahaan kecil penyebab konflik, ternyata
hanyalah tameng bagi perusahaan besar. Contohnya, banyak pemegang IPPK adalah
anak perusahaan dari, atau terkadang dioperasikan langsung oleh, pemegang konsesi
besar. Cara ini lebih menguntungkan pemegang HPH karena biaya operasi IPPK tidak
sebesar HPH.
Negosiasi
Sebelum desentralisasi, negosiasi hanya melibatkan kepala desa, tetua adat dan tokoh
masyarakat. Setelah desentralisai, anggota masyarakat juga terlibat, melalui perwakilan atau
pun melalui kehadiran orang sebanyak mungkin. Negosiasi yang berhasil kini cenderung
melibatkan mobilisasi massa untuk menekan secara politik. Dalam kasus semacam ini,
demonstrasi adalah bagian dari proses negosiasi.
Saat ini, di sepanjang daerah aliran Sungai Malinau, konflik melibatkan banyak pihak,
termasuk pemerintah lokal dan nasional, perusahaan lokal dengan jaringan internasional,
serta masyarakat. Karena itu negosiasi menjadi sulit dan jarang mencapai kesepakatan yang
langgeng. Contohnya, konflik antara para warga desa Langap dengan perusahaan BUMN
PT Inhutani II masih belum berhasil diselesaikan, walaupun tuntutan sudah dipenuhi.
PT Inhutani II, yang sahamnya dipegang oleh negara dan manajemennya terdiri dari para
pegawai yang ditunjuk negara, tidak berdaya menghadapi para politisi dan pengusaha lokal
yang ingin mengambil alih pengelolaan hutan dan menggantikan posisi PT Inhutani II.
Melalui negosiasi, setelah penyitaan alat berat milik kontraktor PT Inhutani II, warga desa
Langap berhasil mendapat pembayaran denda sesuai hukum adat dan kompensasi senilai
2,3 milyar rupiah; namun PT Inhutani II tetap tidak bisa beroperasi.
206
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Peran pemerintah kabupaten
Sebelum desentralisasi, konflik biasanya ditangani oleh Camat Malinau. Pihak-pihak
yang bertikai atau perwakilannya diundang untuk rapat di kantor Camat. Rapat ini harus
menyelesaikan masalah dan semua pihak diharuskan berdamai. Dengan cara ini, konflik
antara desa Setulang dengan desa Sentaban diselesaikan di tahun 1999. Masalah kecil
biasanya diselesaikan dalam satu rapat desa, dan setelah itu hasil kesepakatan dikirim ke
Camat untuk disahkan dan ditandatangani.
Di masa desentralisasi, pemerintah Kabupaten Malinau dan Kecamatan Malinau aktif
terlibat menyelesaikan konflik. Pemerintah Kecamatan bertanggung jawab menyelesaikan
masalah di wilayahnya dan pemerintah Kabupaten hanya dimintai bantuan bila tidak
diperoleh solusi. Selama masa ini, 13 kasus diselesaikan di Kecamatan Malinau Selatan
dan 7 kasus di Kabupaten Malinau dengan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemerintah kecamatan biasanya mengundang semua pihak yang bertikai dalam sebuah
pertemuan di kantor kecamatan setelah menerima laporan dari penuntut klaim, untuk
membahas solusi yang bisa diterima kedua pihak. Konflik yang tidak teratasi diserahkan
kepada pemerintah kabupaten; contohnya, konflik antara PT Inhutani II dan desa
Langap yang membutuhkan beberapa pertemuan di tingkat kabupaten. Konflik antara
desa Tanjung Nanga dan Langap dengan IPPK Meranti Wana Lestari juga diselesaikan
di tingkat kabupaten. Konflik antara PT Wana Yasa Kahuripan Indonesia (PT WYKI),
yang membuka jalan akses dari Tanjung Nanga ke Long Alango, dengan warga desa Laban
Nyarit tidak bisa diselesaikan di tingkat kecamatan karena PT WYKI tidak menanggapi
undangan pertemuan. Penduduk desa Laban Nyarit kemudian melakukan demonstrasi,
menutup akses jalan dan menyita peralatan berat milik perusahaan. Kasus ini kemudian
ditangani oleh pemerintah kabupaten, yang mengirim perwakilan (Asisten I dan II,
Sekretaris Kabupaten dan stafnya, Camat, Komandan Rayon Militer, dan petugas polisi)
ke lokasi. Konflik ini diselesaikan dalam satu pertemuan di kantor Bupati.
Konflik yang terselesaikan (distribusi fee) dan konflik yang tak
terselesaikan (klaim tanah)
Konflik antara perusahaan dengan masyarakat yang melibatkan pembayaran uang biasanya
cepat selesai. Begitu pembayaran dan pembagian fee dan kompensasi disepakati, maka
selesailah konflik antara desa Metut dengan PT Meranti Sakti Indonesia; antara desa Laban
Nyarit dengan PT Tribudi Wisnu; antara desa Halanga dengan PT Wahana Stagen Lestari;
dan antara desa Pelancau dengan PT Wana Yasa Kahuripan Indonesia. Selain itu, juga
diselesaikan konflik masyarakat dengan pemegang IPPK, antara lain desa Bila Bekayuk
dengan CV Sebuku Lestari; desa Setarap dengan CV Gading Indah; dan desa Langap
dengan CV Hanura.
Konflik pemanfaatan sumberdaya alam lebih sulit diselesaikan. Masih ada beberapa
konflik yang belum terselesaikan tentang lahan pertanian antara desa Langap dengan
desa Loreh, desa Gong Solok dengan desa Batu Kajang, dan desa Setulang dengan desa
Sentaban. Konflik berkaitan dengan hutan atau tambang antara desa Halanga dengan desa
Laban Nyarit, antara Paya Seturan dengan Langap, dan juga antara para pemilik gua sarang
burung walet dengan desa sekitarnya. Kebanyakan konflik ini belum terselesaikan dan
bahkan bisa semakin memburuk.
Kepentingan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah berperan
penting dalam pengambilalihan pengelolaan sumberdaya alam dari pemerintah pusat. Hal
Pemenang Mengambil Semua
207
itu berakibat perusahaan yang telah mendapat izin dari pemerintah pusat kurang mendapat
perhatian dari pemerintah kabupaten dalam hal penyelesaian konflik. Pemerintah kabupaten
akan mendukung masyarakat yang terlibat konflik melawan perusahaan-perusahaan
ini. Karena itu, banyak konflik tidak akan terselesaikan sampai pemerintah daerah bisa
mengambil alih perusahaan yang terkena dampak ini.
Kurangnya lembaga
Kabupaten Malinau sangat kaya sumberdaya alam dan rumah bagi 18 kelompok etnis.
Berbagai perusahaan tambang dan pembalakan memiliki konsesi di kawasan ini, beberapa
di antaranya beroperasi di DAS Malinau, dengan wilayah konsesi bertumpang tindih
dengan wilayah masyarakat. Seluruh hutan di kawasan ini, termasuk tanah rakyat, telah
dibagi ke dalam beberapa konsesi. Desa-desa seringkali tidak punya batas wilayah yang
jelas dan hak atas hutan pun tidak jelas, sehingga tidak heran bila tanah dan hutan menjadi
sumber konflik antar desa dan antara masyarakat dengan pihak lain, seperti perusahaan
dan pemilik gua sarang burung walet. Reformasi dan desentralisasi telah mendorong
warga mengungkapkan keinginan secara bebas dan lugas, sehingga menyebabkan konflik
terbuka.
Menyadari situasi ini, pemerintah kabupaten Malinau membentuk tim mediasi konflik
untuk menangani merebaknya konflik-konflik tentang tanah, hutan, dan sumberdaya alam
lain. Tanggal 27 Februari 2003, bupati Malinau mengeluarkan Keputusan No 26 tahun
2003 tentang Pembentukan Tim Mediasi untuk Menyelesaikan Perselisihan/Klaim antara
Masyarakat dan Perusahaan di Kabupaten Malinau. Namun, Malinau tidak memiliki
peraturan kabupaten yang mengatur penyelesaikan konflik yang berhubungan dengan
sumberdaya alam di masyarakat. Masih belum ada kesepakatan tentang cara pemanfaatan
atau pembagian sumberdaya alam secara adil dan setara. Juga tidak banyak orang yang
memiliki pengetahuan dan pengalaman memadai untuk menangani konflik. Pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik, terutama warga desa, tidak terlalu memahami cara menyalurkan
konflik dan cara berperan dalam proses penyelesaiannya. Yang kuat menekan yang lemah,
menghasilkan penyelesaian yang tidak adil serta klaim dan konflik kambuhan. Belum ada
upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang ada di desa-desa.
Menghadapi hambatan semacam ini, tim mediasi tidak bisa beroperasi penuh. Saat
ini, tim ini hanya bertindak ketika ada kejadian genting dan konflik insidental yang tidak
bisa diselesaikan di tingkat desa dan kecamatan. Di masa depan, ketika semua persyaratan
sudah terpenuhi dan sumberdaya manusianya sudah tersedia, kami yakin konflik antar
banyak pihak akan bisa diselesaikan lebih baik.
Analisa konflik
Saat ini, konflik biasanya berkaitan dengan nilai sumberdaya alam. Nilai tunainya telah
meningkatkan dan menambah tekanan konflik. Di masa lalu, eksploitasi sumberdaya alam
hanya sebatas memungut hasil hutan non-kayu, seperti damar dan sarang burung walet.
Konflik yang umum terjadi adalah tentang hak memungut hasil hutan itu. Ketika kayu
menjadi komoditas bernilai tinggi, muncullah konflik atas hak terhadap kayu.
Di masa Orde Baru, konflik paling dominan di DAS Malinau adalah yang berhubungan
dengan lahan pertanian. Konflik ini berakar dari adat suku Kenyah yang selalu bergantung
208
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
pada ladang. Mereka cenderung membuat ladang yang luas dan mengerjakannya lebih
intensif. Akibatnya, mereka memandang tanah sebagai sumberdaya yang penting dan harus
memastikan untuk pemanfaatan jangka panjang. Tidak heran bila mereka segera mengolah
seluruh luasan alokasi mereka ketika tiba di kawasan itu dan mulai melanggar ke wilayah
tetangganya. Ladang tetap menjadi objek sengketa, meskipun tidak selalu melibatkan
seluruh komunitas.
Ketika para pemegang HPH beroperasi di daerah ini, bentuk lain dari konflik,
walaupun pengaruhnya kecil, mulai bermunculan. Perusahaan tambang batubara lah,
yang membayar kompensasi atas penggunaan lahan, yang memicu peningkatkan konflik.
Agar layak mendapat kompensasi, masyarakat menggunakan berbagai alasan, termasuk
mengklaim kepemilikan masa lalu, klaim hak atas tanah adat maupun lokasi batas wilayah
desa. Konflik-konflik yang menonjol adalah antara desa Loreh dengan desa Langap; antara
Langap dengan Nunuk Tanah Kibang; antara Langap dengan Paya Seturan dan Long Lake;
antara Langap dengan Tanjung Nanga; dan antara desa Laban Nyarit dengan desa Tanjung
Nanga. Kebanyakan konflik ini terjadi antara tahun 1996 dan 1999, sebagian bersamaan
dengan gerakan reformasi. Walaupun tidak bisa dipandang sebagai sesuatu penyebab
konflik, reformasi telah memberdayakan penduduk lokal untuk bersuara dan menuntut
haknya.
Tajamnya peningkatan konflik di masa reformasi dan tahun-tahun awal desentralisasi
adalah hasil dari kombinasi berbagai kejadian dalam beberapa tahun. Tibanya para
pemegang izin HPH dari pemerintah pusat, kebijakan kompensasi oleh perusahaan
tambang, reformasi dan desentralisasi, serta pembukaan hutan bagi perusahaan pembalak
skala kecil oleh pemerintah kabupaten, semuanya memberi sumbangan pada terbentuknya
konflik. Peraturan Gubernur No. 20 tahun 2000 memperparah konflik dengan mewajibkan
perusahaan pembalakan membayar kompensasi pada masyarakat lokal.
Konflik berkaitan dengan pertambangan batubara juga meningkat dengan keluarnya
sebuah izin konsesi tambang baru oleh pemerintah kabupaten. Dengan desentralisasi,
pemerintah kabupaten memiliki hak mengatur dan mengelola sumberdaya alamnya
sendiri. Pemerintah kabupaten juga dituntut meningkatkan pendapatan asli daerahnya
masing-masing. Di Malinau, hal ini dilakukan dengan menaikkan pajak, yang dikenal
sebagai retribusi, dari eksploitasi hutan, dan juga dari pertambangan. Hal ini menciptakan
konflik antar lapisan pemerintah karena pemerintah pusat masih mengklaim penguasaan
atas hutan dan pertambangan. Bahkan masih ada beberapa perusahaan yang beroperasi di
DAS Malinau memegang izin dari pemerintah pusat. Perusahaan-perusahaan itu dicurigai
membawa banyak keuntungan bagi Jakarta, tetapi tidak bagi pemerintah kabupaten.
Walau secara administratif dimungkinkan transfer kendali dari pusat ke tingkat kabupaten
bila perusahaan menolak mengikuti prosedur legal, pemerintah kabupaten mungkin tidak
bisa menegakkan aturan itu.
Karena fakta-fakta tersebut, pemerintah kabupaten Malinau memilih kebijakan
‘abaikan, tunggu, dan lihat’. Ketika terjadi konflik antara perusahaan ini dengan masyarakat
lokal, pemerintah kabupaten mengabaikannya. Pemerintah kabupaten jelas lebih menyukai
perusahaan yang beroperasi berdasarkan izin kabupaten, yang tentu lebih menguntungkan
wilayahnya. Hal ini terlihat pada konflik antara PT Inhutani II dengan warga Langap, dan
antara perusahaan tambang batubara lokal di Loreh dengan warga Langap. Bupati merasa
PT Inhutani II tidak menghargai pemerintah kabupaten. Pada peristiwa tahun 2003 di
desa Respen, Bupati mengatakan: ‘Selama tiga puluh tahun, warga Malinau menangis
melihat kayu mereka diambil orang-orang dari pusat, lalu mata mereka pun kering ketika
Pemenang Mengambil Semua
209
batubara pun diambil, sementara tidak ada manfaat apapun yang mereka terima.’ Ucapan
itu mengungkapkan kekecewaan pemerintah daerah terhadap perusahaan yang beroperasi
berdasarkan izin dari pemerintah pusat.
Klaim yang tidak pasti
Satu masalah penting yang kerap melatar belakangi konflik adalah kurang tegasnya batas
wilayah desa dan hak atas lahan pertanian. Batas wilayah desa adalah hal yang sangat
kompleks karena banyaknya kelompok etnis yang tinggal di kawasan ini, masing-masing
memiliki basis klaim berbeda. Seperti disebutkan sebelumnya, banyak kelompok etnis –
dengan latar belakang dan budaya masing-masing – tiba pada masa yang berbeda-beda
pula untuk bermukim di daerah itu.
Suku Merap dianggap sebagai masyarakat tertua dan pemimpin adat mereka diakui
sebagai ketua pemangku adat di Malinau (Kepala Adat Besar Sungai Malinau). Akibatnya,
suku Merap berusaha mengatur semua suku yang tiba setelah mereka. Sementara itu,
masyarakat sudah semakin terorganisir di berbagai desa administratif, yang tidak selalu
sama dengan batasan wilayah menurut adat. Batasan tegas wilayah antar desa belum
ditentukan dan disepakati semua pihak. Masalah ini diperburuk oleh banyaknya suku yang
bermukim di satu desa, dan bahwa pada masa pewajiban pemukiman ulang penduduk
di masa Orde Baru, desa-desa administratif ditetapkan sebagai satu kesatuan, sehingga
terbentuk dua sampai empat desa di satu lokasi. Lembaga adat tidak berwenang mengatur
batas wilayah desa dan tidak memiliki hak-hak tradisional untuk mengalokasikan dan
mengatur penggunaan sumberdaya alam yang bisa diterima oleh negara.
Reformasi dan desentralisasi telah membantu penguatan identitas kelompok melalui
pembangkitan kembali adat. Namun, berbagai entitas adat ini terkadang hanya terdiri dari
kelompok-kelompok kecil – misalnya suku Kenyah dari Bahau, walaupun semua warga
suku Kenyah meleburkan diri ke dalam tujuh sub-kelompok. Setiap kelompok mempunyai
pemimpin sendiri yang mereka hormati. Begitu pula sembilan kelompok dari suku Punan,
walaupun hidup bersama kelompok etnis lain, punya pemimpin masing-masing. Namun
ketidakpercayaan terhadap pemimpin adalah salah satu faktor yang menyulitkan dalam
pengaturan lahan pertanian dan batas-batas wilayah desa. Para pemimpin seringkali menjadi
bagian dari konflik. Meningkatnya populasi di dalam kelompok etnis mempersulit konflik
atas sumberdaya alam di daerah aliran sungai Malinau.
Kesimpulan
Konflik atas sumberdaya alam di daerah aliran sungai Malinau dipengaruhi oleh sejumlah
faktor:
• peningkatan nilai sumberdaya alam, hutan dan tanah karena pasar, uang, dan
kompensasi;
• kebebasan berekspresi yang dirangsang oleh reformasi di kalangan masyarakat;
• pemberian izin skala kecil (IPPK) oleh pemerintah desentralisasi;
• ketidak jelasan batas wilayah desa dan hak atas tanah dan hutan;
• tidak adanya kesepakatan tentang cara pembagian hasil manfaat dari sumberdaya alam
secara adil dan setara;
210
•
•
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
keengganan dan kurangnya kapasitas pemerintah untuk menangani masalah
kepemilikan; dan
keengganan dan kurangnya kapasitas pemerintah atau masyarakat sipil untuk
mengelola konflik.
Konflik juga berakar dalam pada sejarah hubungan antara pemukiman lokal dan
kelompok etnis di Malinau. Hubungan ini secara tradisional merumuskan akses terhadap
sumberdaya lahan dan hutan; serta hubungan kekuasaan, konflik dan kerjasama antar
kelompok. Reformasi telah memperkuat identitas kelompok-kelompok ini melalui
pemulihan adat, lebih adanya keterwakilan lokal di dalam pemerintah kabupaten, dan
kebebasan berekspresi. Untuk bisa memahami konflik sepenuhnya dan penyebab yang
melatarbelakanginya, masih dibutuhkan penelitian mendalam dan menyeluruh.
Rujukan
Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan
Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas. Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran
Sungai Malinau, Januari s/d Juli (2000) Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Fisher, S. dan Kartikasari, S. N., 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk
Bertindak, British Council, Responding to Conflict (RTC), Jakarta.
Kaskija, L., 2000. Punan Malinau and the Bulungan Research Forest, Report submitted to
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement,
Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sudana, M., 2004. Winners take all: Understanding forest conflict in the era of decentralization
in Indonesia, makalah disampaikan dalam The 10th Meeting of the International
Association for the Study of Common Property, 9–13 Agustus 2004, Oaxaca, Meksiko.
Yasmi, Y., 2002. Conflict in Forest Management: A Study for Collaborative Forest Management
in Indonesia, Wageningen University, Kerajaan Belanda.
11
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau1
Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Salah satu aspek penting hubungan negara-masyarakat adalah bagaimana pengaturan
penguasaan serta pemanfaatan lahan dan sumberdaya. Sementara negara berperan mengatur
dan melindungi hak-hak warga, sering kali peran ini diartikan sebagai pemegang kendali;
memaksakan wewenang terhadap masyarakat melalui pengendalian negara atas sumberdaya
utama penghidupan mereka. Dalam upaya tersebut, negara memberlakukan sistem
hukum yang seringkali terpusat, dan dengan aturan yang seragam, sehingga mengabaikan
keberagaman sistem-sistem lokal dalam pengaturan hak milik (Scott, 1998).
Di Indonesia hal ini tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No 5 Tahun
1960) yang didasarkan pada konsep peninggalan Belanda bahwa lahan bukanlah milik
perorangan melainkan milik negara. Namun di Indonesia, penguasaan atas lahan tak
bisa dipisahkan dari adat yang dipahami sebagai ‘kepercayaan budaya, hak dan tanggung
jawab, hukum dan pengadilan adat, kebiasaan, dan kelembagaan swa-kelola’ (Alcorn,
2000), termasuk hukum adat dalam pengaturan hak-hak penguasaan, pemanfaatan dan
kepemilikan sumberdaya. Setelah kemerdekaan, ketika negara mengambil alih pengaturan
atas lahan, diyakini bahwa sistem hukum formal berdasarkan hukum Barat lambat laun
akan menggantikan sistem adat. Namun, karena ketidakmampuan negara menegakkan
aturan hukum secara efektif selama ini, sistem informal tradisional ini tetap bertahan.
Pertemuan sistem tradisional dengan sistem hukum resmi adalah campuran kompleks
antara formal dan informal, yang harus ditafsirkan oleh warga lokal agar bisa bertahan.
Desentralisasi dan reformasi di Indonesia seharusnya memberi peluang bagi kabupaten
untuk mewadahi sistem-sistem lokal ini dan membentuk sebuah sistem formal pertanahan
yang sesuai dengan kondisi lokal. Namun kalau pun ada, hanya sedikit kabupaten yang
menangkap peluang tersebut. Sebaliknya, ketidakmampuan pemerintah (pusat maupun
daerah) mengendalikan dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya alam telah membuka
situasi yang meningkatkan persaingan penguasaan atas sumberdaya alam dan politik.
212
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Seperti diuraikan di bab-bab sebelumnya, situasi ini dimanfaatkan oleh elit lokal untuk
menghimpun kekayaan guna memperkuat posisi atau untuk semakin menambah kekayaan.
Hal itu dilakukan dengan menggunakan adat, seringkali dengan menyisihkan kelompok
yang lebih lemah seperti Punan.
Bab ini akan membahas tentang pertanahan di Malinau, dimana naiknya nilai tunai
sumberdaya telah meningkatkan persaingan antar pemangku kepentingan dan antar
kelompok etnis. Ketiadaan sistem formal yang bisa melindungi hak dan diterima semua
pihak, serta mudah dilaksanakan, telah mendorong warga lokal menyesuaikan diri dan
mengubah aturan, terkadang dengan cara yang tak terduga, sehingga terbentuk sistem
pertanahan yang unik, berciri lokal dan kokoh.
Pembahasan diutamakan pada Suku Punan, salah satu kelompok etnis di Malinau
dengan persyaratan tataguna lahan yang khusus. Karena cara hidup mereka masih setengah
nomaden, nilai-nilai yang dianut berbeda dengan kelompok yang sudah menetap. Dengan
pemerintah yang menganggap budaya tradisional sebagai terbelakang dan primitif, Punan
diperlakukan sebagai sebuah masalah (Dove, 1993), terutama karena saat ini mereka
mengklaim hak-hak waris atas kawasan hutan yang luas, tempat pengembaraan mereka
selama ini.
Konteks nasional dan hukum
Salah satu sumber persoalan daerah bisa terlihat pada kemenduaan dan kerumitan
kebijakan pertanahan nasional yang menetapkan penataan tanah diatur oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan kawasan hutan diatur oleh Departemen
Kehutanan. Meskipun keabsahan yurisdiksi Departemen Kehutanan (Dephut) atas 60
hingga 70 persen peruntukan lahan kawasan hutan masih dapat diperdebatkan (Fay dan
Sirait, 2002), selama empat dekade terakhir, persoalan penguasaan lahan di pulau-pulau
yang kaya hutan seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua telah – secara de jure walau
tidak selalu de facto – diatur oleh Dephut, sementara hak warga setempat atau bahkan
pemerintahan daerah sering kali diabaikan.
Pada kedua lembaga itu, seluruh lahan diatur melalui kantor-kantor wilayah yang
mewakili Dephut dan BPN di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Setelah desentralisasi,
sebagian besar kantor wilayah ini dilikuidasi atau diambil alih oleh pemerintah daerah. Di
Malinau, pemerintah kemudian membentuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas
Pertanahan sebagai bagian dari struktur pemerintah kabupaten.
Desentralisasi kedua departemen ini tidak berjalan mulus. Kedua departemen mencoba
mempertahankan kekuasaan atas sumberdaya strategis ini. Dephut mengklaim bahwa
sebagai salah satu sumberdaya strategis nasional, kehutanan tidak termasuk dalam sistem
desentralisasi umum dan terus berupaya mengambil kembali penguasaan atas kawasan
hutan.
Di bidang pertanahan, proses formal desentralisasi2 ditangguhkan kurang dari satu bulan
setelah pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi. Keputusan Presiden Nomor
62 tahun 2001 menetapkan bahwa sejumlah fungsi administratif BPN di daerah tetap
berada di bawah kewenangan pemerintah pusat – ternyata kembali ke model dekonsentrasi
masa Orde Baru hingga seluruh perundangan tentang administrasi tanah diratifikasi
(Toyamah, 2002). Proses ini direncanakan memakan waktu dua tahun, dan tanggal 31
Mei 2003 ditetapkan sebagai batas waktu penyerahan seluruh urusan pertanahan kepada
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
213
kabupaten/kota. Pada tahun 2003,3 pemerintah kembali mendesentralisasi administrasi
pertanahan, namun tetap mempertahankan sebagian kewenangan di tingkat pusat. BPN
akan tetap menjadi lembaga nasional yang menyusun berbagai pedoman dan standar,
sedangkan kabupaten/kota akan bertanggung-jawab atas sembilan aspek administrasi
pertanahan4 termasuk penyelesaian sengketa atas lahan pertanian serta penentuan dan
proses administratif tanah-tanah adat.
Namun kemudian muncul kebingungan saat kantor BPN di Bulungan mendirikan subcabang di Malinau (Gelora Mahardhika, 1–15 November 2002) untuk mengatur urusan
pertanahan. Kantor sub-cabang BPN mengaku bertanggung-jawab untuk mengumpulkan
pajak bumi yang diatur oleh pemerintah nasional, meski hampir tidak seorang pun di
Malinau, kecuali perusahaan besar dan penduduk kota, yang mendaftarkan tanah atau
membayar pajak bumi. Dinas Pertanahan mengaku bertanggung-jawab atas pendaftaran
tanah (yang juga merupakan tugas BPN) dan mengatur pemanfaatannya (yang juga tugas
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bappeda). Di sisi lain, Dinas Pertanahan
mengaku tugasnya hanya terbatas pada pengadaan lahan untuk perumahan pegawai
pemerintah dan sarana umum seperti tanah pemakaman, sementara BPN menyatakan
berwenang atas semua lahan.5 Kurangnya pemahaman terhadap aturan hukum dan
mandat mereka juga tergambarkan dari kenyataan bahwa Dinas Pertanahan maupun BPN,
mengatakan bahwa hak-hak masyarakat atas ladang dan pemukiman sudah otomatis diakui
dan bahkan memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat, meskipun berada di dalam
kawasan yang resminya diperuntukkan sebagai hutan negara.6 Kawasan-kawasan seperti ini
dapat ditunjuk sebagai ‘kantong’(enclave) atau ‘kepemilikan’ (in-holding) dalam kawasan
hutan, meskipun sesungguhnya tidak ada dasar hukum untuk penetapan tersebut.
Hingga saat ini, tidak satu pun kantor tersebut berjalan efektif. Selain tumpang
tindihnya mandat dan kurangnya pemahaman hukum dan peraturan pertanahan, mereka
juga mengalami kekurangan sumberdaya manusia. Hanya satu dari empat Bagian pada
Dinas Pertanahan, Bagian Administrasi, yang memiliki Kepala Bagian yang memenuhi
syarat, dan jumlah tenaga teknis sangat kurang. Untuk pengukuran tanah, dua staf terlatih
yang digaji oleh kabupaten sering dipinjamkan ke BPN, yang melakukan pengukuran
tanah. Pemecahan masalah yang paling sederhana, yaitu penggabungan sumberdaya dalam
satu kantor, dianggap mustahil karena Dinas bertanggung-jawab pada pemerintah daerah,
sedangkan BPN bertanggung-jawab pada pemerintah pusat.
Sementara itu, peran Dinas Kehutanan dan Perkebunan semakin penting sebagai
pemberi izin pemungutan dan pemanfaatan kayu (IPPK). Sejalan dengan semangat otonomi
daerah, kebijakan di tingkat kabupaten mengakui hak masyarakat lokal untuk menerima
manfaat dari hasil hutan. Seperti diuraikan di Bagian II dan dibahas di bawah ini, IPPK
memicu perebutan hak atas wilayah guna memenuhi kelayakan mendapat pembayaran ‘fee’
dan kompensasi. Hingga saat ini, proses-proses tersebut belum menghasilkan pengakuan
formal atas hak kepemilikan di dalam hutan negara.
Meski reformasi dan desentralisasi berujung pada pengakuan formal atas hak-hak
adat di dalam undang-undang dasar dan Undang-undang Kehutanan Tahun 1999,7
kabupaten/kota masih mengelola sumberdaya dengan cara seperti dilakukan pemerintah
pusat di masa Orde Baru.8 Sumberdaya lahan dan hutan hanya dipandang sebagai sumber
pendapatan meski juga memiliki fungsi-fungsi seperti perlindungan dan konservasi.
Pemerintah kabupaten, seperti di Malinau yang lebih dari 90 persen wilayahnya secara
hukum diperuntukkan sebagai hutan negara, tidak mempersoalkan hak-hak tradisional
dan kehadiran masyarakat lokal di kawasan itu, namun juga tidak bersedia mengakui hak-
214
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
hak tersebut secara formal. Karena bingung oleh kekacauan dan kerumitan sistem hukum,
serta berubahnya nilai sumberdaya, maka masyarakat melanjutkan menerapkan hukum
adat dalam mengatasi masalah hak milik mereka.
Penguasaan atas sumberdaya alam secara
de facto dan peran adat
Secara de facto, penguasaan sumberdaya alam di Malinau diatur oleh kebutuhan praktis
serta norma dan institusi tradisional. Kepemilikan, riwayat penggunaan, serta aturan adat
merupakan dasar klaim paling dominan di lapangan. Meski tidak lepas dari sengketa,
klaim atas daerah yang dimanfaatkan dan ditempati oleh masyarakat setempat biasanya,
meski terkadang dengan enggan, diterima dan diakui oleh masyarakat tetangganya, dan
disahkan melalui upacara adat. Sebagian besar klaim tersebut didasarkan pada kebutuhan
untuk mencari penghidupan, dan mencakup lahan pertanian dan daerah hutan untuk
berburu dan mengumpulkan hasil hutan non kayu (HHNK) (Anau dkk, 2001). Sering
kali warga bisa saling menggunakan lahan orang lain. Kadang-kadang dengan, namun
lebih sering tanpa, perjanjian yang jelas. Batas-batasnya tidak jelas, meski kesepakatan
antar desa menyebutkan ciri-ciri bentang alam yang dapat diidentifikasi seperti jalan dan
sungai. Sebagian besar hutan bebas dimanfaatkan untuk berburu serta mengumpulkan
hasil-hasil hutan. Kawasan-kawasan dengan akses terbuka ini sering kali diklaim sebagai
milik umum oleh kelompok yang tiba pertama, meskipun setiap individu bisa mengklaim
hak dengan menjadi yang pertama membuka lahan untuk ladang pertanian.
Cara masyarakat Loreh di Malinau mengatur daerah mereka menunjukkan keluwesan
sistem ini. Pada tahun 1972, sebuah kelompok Kenyah Lepo’ Ke dari Pujungan menetap di
lokasi ini dengan izin Ketua Adat Desa Langap, desa tetangga yang pertama kali mengklaim
tanah tersebut. Pada tahun 1980-an pemerintah memindahkan dua komunitas Punan,
yaitu Pelancau dan Bila Bekayuk, ke daerah yang sama. Bersama dengan kelompok Merap
yang pindah dari Sungai Sengayan, keempat komunitas ini mengatur dan merundingkan
cara hidup bersama dengan tetap mempertahankan status desa masing-masing. Selain
ladang-ladang perorangan, sebagian besar daerah tersebut tetap terbuka. Perluasan
ladang dimungkinkan karena ada perjanjian dengan Langap untuk menggunakan lahan
tambahan.
Sebelum desentralisasi dan munculnya kegiatan pembalakan skala kecil, keempat
desa tersebut mungkin tidak terlalu mempedulikan batas-batas wilayah dan desa.
Untuk sementara disepakati bahwa mereka akan berbagi wilayah. Namun dimulainya
pertambangan batu bara pada tahun 1994 hingga 1995 (Anau dkk, 2001) dan dibukanya
hutan untuk eksploitasi skala kecil telah mengubah hal itu, dan masing-masing desa
berusaha mengklaim wilayah tersendiri dan menyengketakan batas wilayah dengan
tetangga. Dalam persaingan itu, kedua kelompok Punan kalah. Kelompok Merap dari
Sengayan mengklaim sebagai pemukim paling awal sedangkan klaim kelompok Kenyah
didasarkan pada perjanjian dengan Langap. Warga Punan tidak memiliki dasar seperti itu,
sehingga merasa terancam. Kelompok Bila Bekayuk lalu berencana memindahkan seluruh
pemukiman beberapa kilometer ke arah hilir di pinggir jalan karena merasa bahkan rumah
mereka pun sudah diklaim oleh pihak lain. Bahkan beberapa warga Bila Bekayuk telah
pindah sekitar 15km ke lahan dengan kolam ikan yang mereka klaim.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
215
Berbagai perubahan akibat reformasi, desentralisasi dan kemudian munculnya
gelombang pembalakan skala kecil telah berperan nyata dalam mengubah hukum adat
yang implisit menjadi hukum formal yang lebih eksplisit. Pembayaran kompensasi dan fee
bagi warga lokal telah meningkatkan nilai hutan, menciptakan persaingan memperebutkan
klaim atas wilayah untuk menguasai sumberdaya hutan berdasarkan adat.
Tetapi penerapan adat pun bermasalah juga. Hak-hak adat yang secara hukum diakui
dalam undang-undang9 diasumsikan sebagai milik bersama. Ternyata, hak-hak adat bisa
berarti milik bersama atau individu, atau malah keduanya. Hak individu di dalam sebuah
rejim hak milik bersama merupakan hal wajar (Gönner, 2002). Selain itu, pemahaman adat
bisa sangat berbeda dan makin beragam dengan munculnya reformasi dan desentralisasi.
Adat juga selalu eksklusif, sangat berciri sosial dan budaya lokal (Drake, 1989), selalu dinamis
dan mengalir, bisa berubah oleh waktu. Keluwesan yang melekat pada adat menyebabkan
semua peraturan selalu didefinisi ulang sesuai kebutuhan. Sehingga di Malinau saat ini,
hak atas tanah ditafsir meliputi tanah di wilayah asal sebuah kelompok (Barr dkk, 2001).
Berbagai aturan formal tentang masalah adat disusun dalam kerangka hukum
birokrasi nasional. Agar hak-hak adat bisa diakui, beberapa kriteria harus dipenuhi dan
diverifikasi oleh para peneliti independen sebagai pihak ketiga. Kriterianya adalah bahwa
adat masih dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturannya; pemimpin/lembaga adat masih
ada; wilayahnya memiliki batas-batas jelas; dan penduduknya masih bergantung pada
hutan. Sementara dua hal terakhir mungkin mudah dibuktikan, keberadaan aturanaturan adat khususnya tentang penguasaan lahan sulit dijelaskan dalam istilah yang bisa
dipahami oleh orang luar, dan hanya terungkap melalui praktik kebiasaan. Ketika klaim
sudah aman dan tak banyak sengketa kepemilikan individual, masyarakat tidak merasa
perlu menuntut secara formal atau melibatkan lembaga hukum. Sebagian besar sengketa
diselesaikan secara informal dengan aturan-aturan adat melalui tetua adat atau kepala
desa. Dengan kian meningkatnya persaingan, klaim cenderung lebih terlihat (misalkan
dengan memagari) dan sengketa bisa menjadi makin kuat. Ketika para pemimpin adat
gagal menyelesaikan sengketa, Camat atau pejabat kabupaten diminta untuk menengahi.
Menariknya, pengesahan formal melalui sertifikasi oleh BPN paling sering diminta saat
klaimnya kurang kuat, seperti pada kasus para pedagang Tionghoa dan transmigran Jawa.
Selain itu, aturan-aturan adat yang masih bertahan umumnya mengatur hubungan antarwarga, bukan pengaturan pemanfaatan sumberdaya. Salah satu pengecualian adalah Tane’
Olen, yang awalnya berupa suatu kawasan yang dikhususkan untuk dimanfaatkan oleh
kaum bangsawan Kenyah (lihat Bab 10). Saat ini istilah itu digunakan bagi daerah yang
ditetapkan untuk tujuan khusus, seperti daerah konservasi di desa Setulang dan berkembang
menjadi sebuah konsep konservasi lokal.
Masyarakat adat juga senantiasa berubah, beraliansi atau pun memecah diri (Drake,
1989), saling membedakan diri dari kelompok lain dan kelompok non-adat. Sebagai
contoh, sebuah faksi dari Punan Malinau mencoba membentuk masyarakat adat Punan
(Cesard, 2001) yang terpisah dari kelompok lain yang memperlakukan faksi tersebut sebagai
‘klien’ di bawah perlindungan mereka. Kelompok Tidung, yaitu keturunan dari Kerajaan
Tidung, mendefinisikan kembali kelompoknya sebagai Dayak.10 Suku Merap mengklaim
hak waris kekuasaan atas kelompok-kelompok lain karena posisi mereka sebagai Kepala
Adat Besar dan menciptakan istilah ‘pewaris’ untuk menuntut hak eksklusif atas gua-gua
sarang burung dan hutan di sekitarnya. Dalam pengertian lebih luas, kebangkitan kembali
kelembagaan adat di Malinau berkaitan dengan harapan untuk menuntut kembali dan
menegaskan kepemilikan wilayah berdasarkan hak adat.
216
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Guna memenuhi persyaratan dokumentasi resmi yang memperkuat klaim mereka, kini
masyarakat adat mulai menuliskan adat dan hukum adatnya (Anau dkk, 2001; Wollenberg,
2003), dalam bingkai sejarah kelompok mereka sebagai bukti atas klaim yang diajukan.
Suku Kenyah dan Merap telah menuliskan hukum adat mereka pada tahun 1968, dan
menariknya, menggunakan format peraturan-peraturan pemerintah. Saat menyusunnya,
mereka mengabaikan fakta bahwa kekuasaan adat yang sesungguhnya selalu berdasarkan
negosiasi, riwayat, dan kaidah-kaidah kebutuhan. Baru-baru ini Punan juga berusaha
menuliskan adat dan sejarah mereka.
Penyusunan sejarah pun kemudian menjadi pertarungan memperebutkan waktu dan
tempat (Erb, 1997), karena perbedaan tafsir mengenai peristiwa dan perjanjian sejarah
tidak mempermudah penyelesaian konflik (Moeliono, 2000; Anau, dkk, 2002). Beberapa
keluarga ningrat Tidung yang mengaku keturunan dari kesultanan yang menguasai wilayah
Malinau, misalnya, kini berusaha mengklaim wilayah yang lebih luas, mencakup beberapa
wilayah-wilayah desa kecil. Keturunan Sultan Bulungan mengklaim wilayah G Bintang,
tetapi menambahkan bahwa keluarga mereka telah membebaskan pemanfaatannya untuk
warga lokal.11
Seperti telah disebutkan, secara teori, otonomi daerah memungkinkan kembalinya
pengaturan secara adat. Namun bahkan desa-desa pun masih ragu, walau untuk kembali
pada adat akan relatif lebih mudah. Perubahan yang ada hanyalah pada sebutan – di Kutai
Barat, desa-desa disebut kampung, bukan desa12 lagi seperti di masa Orde Baru, namun
pengelolaannya tetap tidak berubah.
Sampai saat ini sikap pemerintah masih mendua terhadap adat dan klaim berdasarkan
adat. Meski demikian, salah satu peraturan pertama kabupaten baru Malinau adalah
Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 4 Tahun 2001, tentang pemberdayaan,
pelestarian, perlindungan, dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat. Meskipun
menyalin kata per kata dari peraturan kabupaten lain, yang ternyata juga jiplakan dari
peraturan pemerintah pusat,13 langkah ini dapat diartikan sebagai komitmen kabupaten
untuk mengakui adat sebagai sebuah konvensi sosial. Tetapi peran adat dalam pengaturan
penguasaan dan kepemilikan lahan dan sumberdaya alam tidak diakui. Peraturan tersebut
tidak memiliki definisi tegas tentang hak dan prosedur untuk mengklaim dan mengakui
hak-hak dan tanggung jawab serta mekanisme penyelesaian konflik. Sebaliknya, peraturan
tersebut mengakui peran adat dalam mengatur pengelolaan masyarakat atas wilayah adat
(Patlis dkk, 2001); walau belum ada kesepakatan tentang bagaimana hak-hak ini akan diakui.
Seperti yang disampaikan Bupati Malinau pada kami bulan Agustus 2001, ‘Kita harus
berhati-hati mendiskusikan hutan adat, tanah adat dan hak-hak adat, karena masyarakat
terlalu bersemangat menuntut hak, meski tidak paham benar tentang apa yang melekat
pada hak tersebut.’ Masyarakat memang kurang memahami apa saja yang terkait dengan
hak-hak adat. Colchester (2001) mencatat bahwa masyarakat adat umumnya tidak tahu
apa makna hak-hak itu dalam bahasa hukum, karena bisa ditafsirkan sebagai hak pemilikan
penuh sampai hak penggunaan. Dalam upaya memperjelas hal itu, pegawai pemerintah
yang mengikuti dua pelatihan penyusunan perundangan oleh CIFOR, mengusul­kan
untuk mengatur tanah adat secara hukum. Lembaga adat Lundaye dan Punan pernah
mengadakan lokakarya untuk membahas pengakuan dan sertifikasi tanah adat, dan saat itu
isu sertifikasi diperdebatkan dengan hangat. Sebagian orang menilai sertifikasi melemahkan
institusi adat, sementara yang lain mengkhawatirkan konsekuensinya (a.l. harus membayar
pajak). Debat ini sangat mencerminkan bahwa pengakuan formal oleh masyarakat adat
dan lembaga-lembaganya sama sekali tidak cukup (ACM-CIFOR, 2001) dan memerlukan
negosiasi dan kesepakatan lebih lanjut.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
217
Di Malinau, klaim adat diperumit dengan sejarah migrasi dan program pemukimankembali (resettlement) pemerintah, yang mengakibatkan percampuran kelompok-kelompok
etnis di satu lokasi. Masing-masing kelompok etnis membawa adatnya sendiri dan sering
kali membawa status hukum desanya.14 Akibatnya, terdapat banyak desa dan beragam
kelompok etnis bercampur di satu lokasi. Di daerah pemukiman kembali Sembuak
misalnya, sepuluh desa hidup berdampingan di satu lokasi, dan seperti dijelaskan di atas,
Long Loreh adalah satu dari empat desa, masing-masing dari kelompok etnis berbeda, yang
tinggal di satu lokasi.
Administrasi formal didasarkan pada desa-desa yang ditunjuk melalui keputusan
Bupati. Di Malinau, kali terakhir ada pengakuan desa-desa ‘baru’ adalah di awal 1980-an,
ketika Lio Mahan didirikan di Long Loreh, sementara Long Loreh sendiri didirikan sekitar
tahun 1974. Tetapi status hukum tidak mencakup penetapan wilayah desa atau batas-batas
tertentu. Seluruh desa di sepanjang Sungai Malinau secara hukum berada di tanah hutan
negara; namun tidak jelas apakah hutan harus dianggap berada di dalam wilayah desa atau
desa-desa tersebut harus dipandang berada di kawasan hutan.
Perbedaan dan tumpang tindihnya pembagian wilayah adat dan administratif di desadesa majemuk ini tidak pernah dipersoalkan atau diperjelas. Sampai pada akhir-akhir ini
ketidak-jelasan tersebut memang tidak menjadi persoalan. Namun ketika pembalakan
skala kecil mencakup ketentuan pembagian manfaat bagi masyarakat pemegang hak atas
sumberdaya hutan, perbedaan ini menjadi penting dan menjadi sumber konflik. Masyarakat
menuntut hak-haknya berdasarkan adat namun hanya mengaitkannya dengan wilayah
desa mereka. Ketidakmampuan membedakan kedua hal itu sering memunculkan konflik
yang seolah tidak terselesaikan: tidak pernah dirinci atau pun digambarkan di lapangan.
Meskipun kelompok Dayak pedalaman yang terstruktur seperti Kenyah memiliki wilayah,
namun wilayah mereka tidak selalu permanen. Masyarakat pesisir yang berciri pedagang,
dan kelompok Punan yang lebih nomaden, lebih tidak terdefinisikan lagi wilayahnya
(Sellato, 2001). Migrasi adalah hal biasa, dan dengan kecilnya populasi maka seolah lahan
selalu tersedia. Sebuah pemukiman bisa menetapkan wilayah berdasarkan pemakaian saat
itu, berbataskan sungai atau tanda-tanda fisik lain. Batas wilayah pada umumnya tidak
jelas dan terbuka. Ketika kelompok berpindah, pemukiman lama ditinggalkan dan bebas
ditempati kelompok lain atau menjadi kebun tua. Dengan meningkatnya persaingan
penguasaan atas sumberdaya, batas-batas dan aturan sudah dibuat lebih nyata (Li, 1999;
Wollenberg, 2003) dengan klaim wilayah mencakup tempat-tempat yang ditinggalkan.
Klaim berdasarkan sejarah mengingkari hak-hak warga yang tiba pada kurun waktu
1960-an dan 1970-an, masa-masa pemukiman kembali, yang meninggalkan tanah asal
(Barr dkk, 2001). Untuk membela diri, masyarakat kini mengajukan definisi baru tentang
wilayah dan klaim hak atas tanah yang ditinggalkan di hulu atau bahkan di daerah aliran
sungai lain, yang pada beberapa kasus masih ada pemukiman-pemukiman kecil. Contohnya
desa-desa Bila Bekayuk, Nunuk Tanah Kibang, Pelancau, Metut dan Liu Mahan (Anau
dkk, 2002).
Dalam upaya menyelesaikan masalah, pemerintah telah menggabungkan beberapa desa
di satu lokasi menjadi satu unit administratif dan menetapkan masyarakat harus tinggal
di dalam wilayah yang mereka klaim. Keputusan ini menimbulkan banyak kegelisahan
terutama di kalangan suku Punan, yang belum cukup lama menetap di daerah yang
kini mereka klaim sebagai wilayah adat (lihat Bab 4) dan mencemaskan akan dilebur ke
dalam kelompok lain yang lebih kuat di pemukiman mereka saat ini. Akibatnya, beberapa
kelompok Punan seperti Long Rat, Mirau, Halanga dan Metut, kemudian pindah kembali
ke hulu, ke wilayah leluhur mereka.
218
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Konflik klaim sering kali diselesaikan menggunakan koneksi etnis dan keluarga. Karena
itu selama proses pemetaan partisipatif dukungan CIFOR pada tahun 1999 hingga 2000,
enam desa (Long Jalan, Long Lake, Pelancau, Metut, Laban Nyarit dan Langap) mencari
kesepakatan berdasarkan kompromi karena adanya hubungan keluarga dengan desa lain
(Anau dkk, 2001). Koneksi politik dan jumlah populasi sering kali juga membantu. Karena
itu suku Punan yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil lebih dirugikan lagi. Secara
tradisional mereka berpindah-pindah di wilayah yang luas, dan jarang menguasai wilayah
yang berbatas tetap (Barr dkk, 2001). Mereka terlambat mengklaim wilayah dan tidak
memiliki akses terhadap aliansi-aliansi politik di kelompok yang lain. Akibatnya hingga
saat ini Punan merupakan kelompok yang paling lemah di Malinau, secara politik maupun
ekonomi.
Berlawanan dengan kelompok pedalaman, di mana lahan dianggap sebagai sumberdaya
bersama dengan hak pemanfaatan perorangan, kepemilikan lahan di Kota Malinau
didasarkan pada hukum nasional dan diakui sebagai hak milik pribadi. Kepemilikan atas
tanah ini diakui berdasarkan sejarah, biasanya karena individu atau leluhur mereka adalah
pemukim pertama di daerah itu, dan juga karena komunitasnya paling berpengaruh pada
saat pengakuan pemerintah, atau karena lahan itu pemberian pemerintah pada masa
pemukiman kembali. Lahan-lahan luas di dalam dan di sekitar Kota Malinau diklaim oleh
beberapa keluarga paling berkuasa di masa itu, dan kini diakui secara de facto sebagai milik
pribadi.
Banyak lahan yang secara de facto milik pribadi walau resminya berada di wilayah
hutan negara, namun praktik jual-beli lahan kini sudah biasa, terutama di sekitar kota.
Privatisasi kepemilikan tanah menjadi hal biasa meskipun tanah tersebut tidak terdaftar
secara hukum. Di kabupaten-kabupaten terpencil seperti Malinau, hanya beberapa orang,
kalau pun ada, yang mendaftarkan tanahnya; sedangkan masyarakat di luar kota bahkan
tidak tahu bahwa hal itu perlu dilakukan. Hal itu tak jauh berbeda dengan situasi dua dekade
lalu di seluruh Indonesia (Moniaga, 1993). Dan seperti di banyak negara berkembang lain
(de Soto, 2000), prosedur pendaftaran tanah tidak mudah atau pun murah. Adanya dua
kantor pengaturan tanah semakin menambah kebingungan.
Ringkasnya, sistem penguasaan de facto yang berlaku di Malinau pada saat ini dibangun
melalui kolusi antara sistem hukum resmi dan sistem tradisional. Berubahnya nilai lahan
dan sumberdaya alam juga telah mengubah sikap masyarakat terhadap penguasaan atas
lahan, membuatnya lebih nyata dengan batas-batas yang tetap.
Kisah Malinau juga menunjukkan sulitnya memutuskan siapa memiliki hak apa dan
bagaimana hak-hak yang bertentangan dapat diselesaikan secara adil. Dalam ketiadaan
campur tangan kuat pemerintah untuk melindungi hak-hak pihak yang lebih lemah,
masyarakat akan berupaya mengamankan sendiri perekonomian mereka. Hak dasar atas
penghidupan yang layak, harus tetap menjadi panduan dalam melindungi cara hidup
mereka.
Perencanaan tata ruang
Desentralisasi membawa harapan baru di masyarakat untuk lebih terjaminnya hak
atas tanah, yang bisa mempengaruhi keputusan mereka dalam hal pemanfaatan tanah.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 199215 tentang tata ruang, bersama dengan aturan
pelaksanaannya,16 berisi ketentuan hak dan tanggung jawab warga negara untuk berperan
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
219
dalam perencanaan, penggunaan, dan pengawasan penggunaan tanah. Selain itu, peran
serta masyarakat adalah bagian sah dari proses perencanaan pembangunan yang mengikuti
siklus musyawarah tahunan dari tingkat desa hingga kabupaten. Sayangnya, perencanaan
pembangunan tidak mengacu pada perencanaan tata ruang.
Dalam teori, pemerintah kabupaten lebih menyediakan saluran bagi masyarakat untuk
mengungkapkan pendapat dan menyebarkan pengaruh, antara lain:
•
•
•
•
Berbagai peluang baru bagi warga lokal untuk membuat pegawai pemerintah lebih
bertanggung gugat dan mewakili kepentingan masyarakat, melalui pemilihan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); Bupati; dan Badan Perwakilan Desa
(BPD).
Persyaratan teknis terkait kebijakan konsultasi pemerintah dengan masyarakat lokal
(a.l. masukan untuk perencanaan tata ruang). Banyak dari persyaratan ini sudah
ada sebelum Otonomi Daerah, namun jarang diterapkan. Sejak masa desentralisasi,
semakin besar tekanan untuk menunjukkan ketaatan pada persyaratan tersebut.
Ketentuan-ketentuan hukum melalui Peraturan Daerah atau Perda dan surat keputusan.
Di Malinau, Perda menetapkan registrasi dan pengakuan terhadap organisasiorganisasi adat dan pembentukan Badan Perwakilan Desa. Semua keputusan untuk
izin pembalakan skala kecil harus melalui persetujuan masyarakat dan disertai surat
perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan penebangan.
Pembentukan pemerintah daerah yang lebih dapat diakses.
Ternyata partisipasi masyarakat dilaksanakan secara berbeda (lihat Bab 13). Perebutan
pengaruh, kepentingan pribadi dan besarnya ketidakpastian menyebabkan munculnya
politik rakus dan pemerahan sumberdaya, dengan pemerintah lokal yang mengabaikan
kewajiban terhadap masyarakat desa pemilihnya. Mereka yang memiliki kekuasaan ikut
terlibat dalam persaingan sengit untuk mengklaim tanah, hutan, dan sumberdaya terkait
seperti mineral dan sarang burung walet.
Dalam sebuah diskusi tentang tata ruang dengan Bupati, Februari 2002, CIFOR
mengusulkan mencukupi peruntukan kawasan hutan-hutan desa untuk dikelola oleh
warga desa, untuk menyelesaikan masalah tumpang tindihnya wilayah-wilayah desa dan
hutan negara. Masyarakat lokal akan bisa memiliki jaminan penguasaan atas lahan dan
pemerintah akan bisa mempertahankan kendali atas daerah hutan yang luas sebagai sumber
pendapatan. Namun Bupati mengungkapkan bahwa bila kabupaten/kota mengklaim
sebagian tanah hutan negara secukupnya dan memberikannya kepada warga desa, mungkin
tidak akan diterima oleh pemerintah pusat. Bupati juga menyatakan bahwa desa-desa
hanya bisa diberi hak atas 2 hektar lahan per keluarga, berdasarkan kebijakan BPN.
Malinau mempekerjakan beberapa konsultan untuk membuat rencana tata ruang.
Partisipasi masyarakat sangat kecil, karena konsultan membuat peta hanya berdasarkan
informasi dari kabupaten Bulungan, induk daerah Malinau hingga tahun 1999, dan dari
diskusi dengan staf kabupaten. Informasi dan data ekologi, hutan, dan kondisi sosial
kabupaten itu yang diberikan oleh CIFOR diabaikan. Konsultasi publik yang diwajibkan
undang-undang hanya dilakukan sebatas satu kali presentasi draft akhir, beberapa pekan
sebelum tenggat waktu. Tidak ada kesempatan menyampaikan masukan. Meski telah
disahkan dengan peraturan daerah tahun 2003, rencana itu ternyata tidak diterima atau
dijalankan. Atlas dan peta-peta tidak tersedia bagi masyarakat karena hendak direvisi oleh
pemerintah kabupaten.
220
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Realisasi pembangunan tidak mengacu pada tata ruang. Meski telah melarang IPPK
pada tahun 2002, pemerintah kemudian mengeluarkan total 11 konsesi skala menengah
yang mencakup 360.000 hektar (Andrianto, 2006). Pemerintah mengontrak beberapa
perusahaan untuk membangun jalan utama yang dibiayai dengan izin pembalakan di jalur
selebar 1km di sepanjang lintasan jalan, serta aktif mencari investor perkebunan kelapa
sawit. Malinau juga hendak mengubah 400.000ha17 hingga 600.000ha hutan untuk
penggunaan non-hutan (Andrianto, 2006). Juga ada pembicaraan bahwa pemerintah pusat
ingin memperuntukkan jalur selebar 5km sepanjang perbatasan dengan Malaysia, seluas
425.000ha, sebagai Kawasan Strategis Negara (KSN), dan mengubah kawasan ini menjadi
perkebunan kelapa sawit.
Sementara itu beberapa desa telah menyusun prioritas pemanfaatan lahan mereka
(lihat Kotak 11.1) dan visi pemanfaatan lahan di masa depan (lihat Kotak 11.2), dan
mengharapkan CIFOR berperan sebagai perantara dalam mengaitkannya dengan proses
di tingkat kabupaten.
Kabupaten tidak serius menerima atau menimbang rencana tata ruang desa, sementara
hanya beberapa desa yang benar-benar menerapkan program mereka dalam arti formal.
Maka potensi partisipatif dalam proses tata ruang tidak tercapai dan semua perencanaan
resmi tetap berlanjut seperti biasa: masuk ke laci dan terabaikan oleh pemerintah.
Pemanfaatan lahan masih tetap diatur oleh aturan-aturan tidak resmi dan aturan hukum
berdasarkan kebutuhan dan kesempatan (Soto, 2000).
Tata ruang baru yang berdasarkan batas-batas kawasan hutan yang lama, dimana
bagian non-hutan hanya 17 persen dari seluruh wilayah, diterima oleh pemerintah pada
bulan Desember 2003. Artinya, sebagian besar populasi Malinau dapat dianggap sebagai
perambah ilegal di kawasan hutan.
Kotak 11.1 Hasil-hasil diskusi perencanaan pemanfaatan lahan
dengan 12 kelompok fokus di Long Loreh
• Ladang merupakan jenis lahan paling penting bagi 10 dari ke 12 kelompok itu. Sebagai
tambahan, masalah dalam pembukaan ladang dan mendapatkan pekerjaan disebutkan
oleh empat kelompok sebagai kekhawatiran ekonomi paling besar meskipun profil
masalah yang disebutkan setiap kelompok berbeda-beda.
• Manfaat hutan yang paling penting adalah rotan (sembilan kelompok); daun sang/
palem (delapan); gaharu (delapan); satwa liar (delapan); dan buah-buahan (tujuh).
• Pemanfaatan lahan yang paling sesuai untuk tanah desa mereka adalah perkebunan
besar, tanaman keras, hutan lindung dan sawah
• Harapan-harapan utama (dari lima kelompok) adalah mengelola pemanfaatan
lahan, menjamin kelestarian hutan dan memperoleh pembangunan dari CIFOR dan
pemerintah daerah (Pemda).
• Studi-studi kasus menunjukkan dengan jelas bahwa masalah hak atas lahan harus
diselesaikan sebelum membahas tata ruang.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
221
Kotak 11.2 Visi masyarakat lokal tentang tata ruang desa
Dalam sebuah lokakarya yang disponsori Pemda Malinau dan Center for International
Forestry Research (CIFOR), perwakilan dari 27 desa membuat gambar visi mereka
mengenai penggunaan wilayah desa, yang mencakup berbagai cara mereka dalam
memahami pemanfaatan hutan.
Visi
Kebanyakan gambar menunjukkan pemahaman jelas tentang penataan ruang untuk
berbagai penggunaan lahan. Warga membayangkan ladang dan sawah, kebun-kebun
kopi dan perkebunan jati. Kebanyakan memandang hutan sebagai sumber penghasilan
tambahan; dua desa menyebutkan re-investasi. Satu komunitas Kenyah memulai
presentasinya dengan mengatakan bahwa hutan mereka sudah hilang; namun mereka
akan melakukan penanaman kembali dan memanennya sebagai pendapatan desa, untuk
mendapatkan pasokan air bersih, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan untuk menjamin
masa depan.
Sebaliknya, desa-desa Punan menegaskan perlunya melanjutkan berburu dan
mengikuti kehidupan tradisonal mereka mengumpulkan buah-buahan, hewan dan gaharu.
Satu desa Punan mengatakan mereka menginginkan konsesi kayu yang menerapkan
tebang-pilih dan penanaman kembali, dan menyediakan kebun kopi dan rotan bagi desa.
Desa lain yang jauh di hulu menggambar lahan untuk bertanam dan satu kawasan hutan
kayu bangunan, pengumpulan gaharu, pengumpulan sagu, sarang burung dan perburuan.
Di samping itu mereka menggambarkan daerah-daerah hutan di mana tengkawang, sagu,
babi, ikan, rotan dan damar dapat ditemukan. Meskipun sangat detil, peta mereka tidak
menunjukkan batas-batas, tidak seperti kelompok lain yang membagi dalam bidangbidang berbatas jelas untuk pemanfaatan tertentu.
Tidak ada desa yang memandang pengelolaan hutan komersial sebagai aktifitas
yang dapat mereka lakukan sendiri. Satu desa menginginkan konsesi konservasi, namun
mengharapkan CIFOR memberikan dukungan untuk memulai hal tersebut. Beberapa
desa memperuntukkan kawasan-kawasan penanaman hutan kembali, terutama kayu
jati dan murbei, yang mungkin merupakan dampak dari program-program terbaru
pemerintah.
Diskusi tentang bagaimana mencapai visi tersebut
Diskusi ini berfokus pada berbagai hambatan, prasyarat, keahlian, dan kebutuhan dukungan
untuk mencapai visi dari setiap desa. Ada kesepakatan umum bahwa penyelesaian batasbatas desa merupakan sebuah prasyarat bagi upaya selanjutnya dalam pengelolaan hutan.
Tidak adanya kejelasan mengenai hak atas gua sarang burung juga dipandang sebagai
hambatan yang paling utama. Selain itu warga desa menginginkan kejelasan dan penjelasan
tentang peraturan pemerintah tentang pengelolaan hutan, hak-hak masyarakat dan
penataan ruang, serta modal, dana pendidikan, dan akses pasar.
Masyarakat menyebutkan keahlian yang dibutuhkan termasuk keahlian teknis
pengelolaan hutan, pertanian dan penanaman tanaman panen, dan juga keahlian dalam
mengorganisir masyarakat, mendapatkan modal, komunikasi, tata kelola desa dan
pengetahuan hukum. Untuk mengembangkan atau memperoleh berbagai keahlian itu,
mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah dan pihak luar seperti para
investor, CIFOR dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Isu-isu lain yang muncul dari diskusi adalah kurangnya kekompakan masyarakat;
kurangnya dukungan pemerintah; kurangnya keterwakilan dalam kegiatan-kegiatan
desa maupun dalam proyek-proyek pemerintah; kebingungan atas peraturan-peraturan
terbaru; dan kurangnya peraturan tentang pengelolaan hutan.
222
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Punan Malinau dan klaim atas tanah
Suku Punan Malinau memiliki posisi khusus dalam konstelasi kekuasaan di kabupaten.
Hingga tahun 1970-an, sebagian besar mereka adalah nomaden yang hidup dari berburu
dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka kurang terorganisir dibanding dengan kelompok
lain dan hampir tidak terwakili di pemerintahan, kecuali sejumlah kecil guru-guru Punan.
Oleh karena itu mereka sangat dirugikan dalam negosiasi perbatasan dan pembagian
manfaat eksploitasi sumberdaya alam. Pada kasus Mirau pertengahan tahun 2000, ketika
pulang dari perjalanan mengumpulkan hasil hutan, warga menemukan batas desa mereka
dengan Laban Nyarit telah ditandai oleh tim pemetaan gabungan Mirau–Laban Nyarit,
tanpa pernah diinformasikan sebelumnya kepada mereka.
Bahkan ketika suku Punan ikut membuat keputusan dengan kelompok etnis yang
lain, mereka menghadapi beban tambahan yaitu prasangka, karena jumlah mereka sedikit
dan tidak memiliki pengaruh politik. Ketika negosiasi dan perjanjian telah ditetapkan,
desa-desa mengalami kesulitan untuk menegakkannya. Beberapa kegiatan IPPK mencakup
pembuatan jalan melewati wilayah desa-desa lain, setidaknya di empat kasus (Setulang,
Gong Solok, Laban Nyarit dan Long Loreh), menebangi pohon kayu atau merusak pohon
buah-buahan milik masyarakat sehingga menimbulkan kemarahan warga desa Punan,
yang diakui klaimnya di kawasan tersebut (Anau dkk, 2002).
Dengan tingginya nilai sumberdaya yang dipertaruhkan, ketatnya persaingan, dan tak
adanya rasa saling percaya, ancaman penggabungan wilayah telah menimbulkan kecemasan
baru. Sebagian besar kecemasan itu berkaitan dengan pertanyaan tentang hak-hak warga.
Apakah mereka harus berbagi hak dengan semua orang di desa yang baru, bahkan dengan
orang di luar kelompok etnis atau klan mereka? Akan hilangkah hak-hak milik pribadi
mereka di desa lain selain di desa yang mereka diami? Bagaimana dengan klaim atas wilayah
yang telah ditinggalkan?
Kegelisahan ini terungkap saat lokakarya masyarakat tahunan yang diadakan CIFOR
di Setarap, bulan April 2003. Ketika dimintai pendapat tentang penggabungan desa, 31 dari
51 peserta menyatakan tidak setuju. Selain kurangnya kepercayaan pada pemerintah (11
jawaban), alasan utama adalah takut kehilangan hak atas sumberdaya yang mereka klaim (9
jawaban). Walau tidak semua peserta lokakarya adalah warga Punan, namun mereka jelasjelas merupakan kelompok yang paling menolak penggabungan desa. Dalam pertemuan
lanjutan di Long Loreh, keempat desa di lokasi ini juga menolak penggabungan. Kali ini
warga Punan dari Pelancau dan Bila Bekayuk adalah kelompok yang paling tegas, dengan
41 dari total 45 yang menolak. Sekali lagi, mereka khawatir tersisihkan di dalam sebuah
desa yang terdiri dari campuran etnis. Saat ini mereka tengah membahas kemungkinan
untuk mendirikan wilayah terpisah, dan beberapa orang telah pindah ke daerah hulu untuk
mengklaim dan menempati wilayah itu. CIFOR telah menyarankan agar pemerintah
membentuk sebuah kawasan hutan khusus untuk warga Punan di daerah hulu, seperti yang
sudah dilakukan di daerah Krui di Lampung; namun hingga saat ini reaksi pemerintah
masih belum jelas. Tampaknya pemerintah tetap pada keputusan penggabungan desa-desa
meskipun penduduk setempat menolak.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
223
Kesimpulan: Tidak Sambungnya Kebijakan
Kontradiksi dan ketidakterkaitan antara penguasaan hak milik secara hukum dan
adat adalah situasi lazim di seluruh Indonesia. Di lapangan, di mana kedua sistem ini
saling berhadapan, bisa terjadi konflik, penolakan, penyerapan atau asimilasi. Dalam
ketiadaan penegakan peraturan pemerintah secara jelas dan tegas, sebagian besar sistem
hak kepemilikan lahan akan tetap tidak resmi dan, biasanya, berlawanan dengan hukum
nasional.
Hanya ketika kontradiksi tersebut terungkap, seperti saat proyek-proyek pembangunan
pemerintah memerlukan wilayah yang luas, barulah hukum formal mengalahkan hukum
informal, biasanya berpihak pada kepentingan pemerintah. Pada masa Orde Baru hal ini
sering terjadi dan menyebabkan banyak orang terampas hak-haknya dan terpinggirkan.
Malinau beruntung karena medannya yang sulit telah membatasi kegiatan pembalakan
di daerah itu. Ketika para pemegang konsesi pembalakan menguasai hutan, warga desa
biasanya mentolerir kehadiran mereka meski sering kali karena diintimidasi (Anau dkk,
2002). Sebaliknya, para pemegang konsesi menerima kehadiran masyarakat dan kegiatan
mereka, sering kali bahkan bersepakat langsung dengan masyarakat untuk berbagi
sumberdaya (Barr dkk, 2001). Walau begitu, banyak masyarakat yang kesal pada kehadiran
perusahaan dan janji membangun desa yang tidak pernah terwujud.
Mengapa pemerintah daerah tidak menggunakan kesempatan desentralisasi untuk
mengatur hak kepemilikan? Mengapa pemilikan lahan dianggap tabu? Undang-undang
nomor 22 tahun 1999 yang memberikan wewenang administratif ke tingkat kabupaten/
kota telah ditetapkan seragam di seluruh Indonesia tanpa menimbang perbedaan
keadaan dan kemampuan pemerintah daerah. Tidak seperti undang-undang sebelumnya,
tidak ada kriteria untuk melihat apakah pemerintah daerah bisa menangani otonomi
(Wignjosoebroto, 2005). Lebih penting lagi, otonomi yang diberikan tidak benarbenar memberikan wewenang yang diperlukan. Peraturan turunannya, yang sebenarnya
dirancang untuk melaksanakan undang-undang, hanya menetapkan batasan dan struktur
yang seragam, bahkan ada yang memusatkan kembali wewenang. Salah satu contoh adalah
pemerintahan desa. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999, desa adalah otonom
dan bebas untuk kembali pada adat. Tetapi PP Nomor 76 tahun 2001 tentang Pedoman
Umum Pengaturan Mengenai Desa berisi panduan struktur dan manajemen pemerintahan
desa yang, sambil memperbaiki struktur yang lama, juga diharapkan diterapkan seragam
di seluruh negeri. Beberapa peraturan (seperti Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun
2002 dan Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2001 tentang Pengembalian Kewenangan
Mengelola Urusan Tanah kepada BPN) hanyalah pemusatan kembali kewenangan.
Pada saat yang sama, otonomi daerah memperkuat posisi adat. Namun beragamnya
sistem adat lokal menyebabkan masalah penguasaan sumberdaya alam semakin kompleks
dan cenderung menyebabkan konflik. Meskipun konflik-konflik akibat ketidak-jelasan
atau tumpang tindih hak milik sering terjadi di masa lalu, pemerintah selalu berhasil
meredamnya dengan atau tanpa kekerasan. Yang lebih penting adalah kabupaten kurang
memperoleh insentif untuk mengatur penguasaan sumberdaya alam, terutama yang
berpihak pada penduduk lokal.
Otonomi daerah juga berarti bahwa daerah-daerah harus mengalokasikan sebagian
besar pendapatan mereka untuk membiayai pembangunan dan administrasi daerah. Tidak
adanya dasar pengenaan pajak dan sedikitnya jumlah perusahaan di daerah, mengakibatkan
pemerintah daerah hanya mengandalkan pemberian izin (biaya perizinan, biaya konsesi,
224
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
bea-bea, dll) sebagai sumber pendapatan utama. Idealnya, tentu saja, negara dan pemerintah
daerah tidak ikut melakukan bisnis dan membiarkan perusahaan swasta menghasilkan
kekayaan. Namun hal ini hanya akan terjadi jika:
•
•
•
Hukum dan standar-standar diberlakukan untuk mengatur perilaku bisnis menurut
norma-norma yang diterima secara sosial.
Terdapat sistem perpajakan yang memadai, adil dan efisien (termasuk sistem
pemungutan royalti, bila perlu, yang memungkinkan pemerintah pusat atau daerah
bisa menerima bagian dari kekayaan yang dihasilkan.
Terdapat sistem yang transparan dan bertanggung gugat yang menjamin penggunaan
secara adil dan efektif pendapatan tersebut untuk kepentingan umum.
Masalahnya adalah kebanyakan ketentuan-ketentuan tersebut belum diterapkan
dengan baik di Indonesia, setidaknya pada tingkat kabupaten/daerah. Sambil menyelesaikan
masalah kepemilikan, membentuk elemen-elemen dasar tata kelola adalah tantangan
besar.
Memikirkan kembali kepemilikan sumberdaya akan masih tetap tabu, karena secara
tidak langsung akan menyangkut pemikiran kembali tentang pengendalian wilayah oleh
pemerintah. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan perlu menyerahkan kendali atas tanah
yang sangat luas. Departemen dan pemerintah daerah enggan melakukannya karena lahan
dan hutan di atasnya masih merupakan sumber penting pendapatan dan kekuasaan.
Mengenai ketidakterkaitan, tidak jelas siapa yang bertanggung-jawab atas jaminan
hak kepemilikan. Meski secara umum bisa diterima dan diyakini sebagai pihak yang
bertanggung-jawab, ternyata pemerintah tidak mampu atau tidak menunjukkan
keinginan untuk mengatur atau memberikan jaminan hak kepemilikan. Berlapis-lapisnya
ketidakjelasan pengalokasian lahan itu mungkin menguntungkan pemerintah daerah
yang bisa mengalokasikan lahan untuk hal-hal yang mereka nilai paling penting dan
sesuai dengan kepentingan mereka. Karena formalisasi dinilai bisa menimbulkan adanya
pihak yang menang dan yang kalah, pemerintah daerah mengkhawatirkan kemungkinan
meningkatnya perselisihan etnis dan menurunnya dukungan politik dari kelompokkelompok penting. Dalam kondisi seperti ini, menjaga status quo mungkin merupakan
strategi yang disengaja, seperti halnya raja-raja Jawa dulu membentuk banyak kabupaten
untuk mencegah pemusatan kekuasaan yang bisa menentang negara (Onghokham,
2003).
Kebingungan atas siapa yang berwenang mengatur kepemilikan sumberdaya, serta
peraturan yang tidak konsisten dan tidak mengikat menimbulkan persaingan bebas untuk
memperebutkan sumberdaya. Ditambah dengan tidak adanya visi jangka panjang, maka
banyak keputusan dibuat berdasarkan manfaat jangka pendek tanpa strategi jangka panjang.
Tidak adanya peraturan membuat warga bisa berbuat apa saja, sehingga pihak yang lemah
seperti suku Punan tersisih dan elit desa merebut keuntungan. Setelah desentralisasi,
hak-hak warga lokal untuk mendapatkan bagian manfaat telah diakui; namun lemahnya
posisi tawar dan tidak jelasnya kedudukan hukum mereka menyebabkan pihak-pihak lain
meraup lebih banyak.
Lalu apa saja pilihan yang tersedia? Yang pertama, semua ketidakterkaitan dan akar
masalah harus dikenali dan dipahami. Pemerintah harus diyakinkan bahwa tugas merekalah
untuk mengatur hak-hak kepemilikan dengan cara yang adil bagi semua. Menurut de Soto
(2000), peluang pembangunan akan terbatas jika semua aset tidak dirinci atau diatur.
Karena itu, jaminan kepemilikan merupakan prasyarat bagi pembangunan.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
225
Lalu, apakah pemerintah akan bertanggung-jawab atas jaminan kepemilikan dan
perlindungan hak-hak pihak yang lemah? Seperti dilaporkan oleh Thiesenhusen (2003),
banyak pemerintah yang tidak bersedia memenuhi kewajiban ini karena alasan-alasan
politis dan ekonomis. Selain biaya yang harus dikeluarkan, bantuan kepada masyarakat lokal
berada di skala prioritas rendah di hampir semua pemerintahan. Namun jika kewajiban itu
diserahkan kepada masyarakat, cakupannya harus didefinisikan dengan jelas dan disertai
dengan hak-hak yang sesuai. Kebijakan pemerintah harus mendukung hal ini.
Jika kemudian pemerintah terpaksa mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat
adat dan juga hak-hak warga lokal lainnya, diperlukan pendekatan partisipatif yang dapat
digunakan untuk memulai diskusi dan negosiasi dengan masyarakat. Pada akhirnya
dibutuhkan sebuah peraturan pemerintah yang memberikan status hukum bagi masyarakat
adat dan pengakuan hukum atas hak-hak mereka. Meskipun tidak ada kewajiban hukum
bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen
hukum, hukum yang baru akan memiliki arti dan dihormati di lapangan jika ada kerjasama
dan kolaborasi dengan masyarakat yang hak kepemilikannya dijamin dan hak-haknya
dilindungi.
Kedua, dibutuhkan rasionalisasi peruntukan dan kepemilikan di kawasan hutan.
Dengan 95 persen lahan diperuntukkan sebagai kawasan hutan negara dan dengan makin
meningkatnya populasi, masyarakat harus dilibatkan. Kebanyakan lahan hutan ini telah
dibabat, rusak, atau sudah ditempati oleh penduduk lokal. Bagian-bagian yang ditempati
sering kali masih mencakup hutan alami, wanatani atau hutan tanaman, menunjukkan
adanya tanggung jawab penduduk lokal bila pemeliharaan lahan diserahkan pada mereka.
Seperti disebutkan sebelumnya, semakin banyak gerakan masyarakat lokal menuntut
pengakuan atas hak-hak mereka. Meskipun hak-hak tersebut telah diakui dalam Undangundang Nomor 41 tahun 1999, belum ada langkah-langkah untuk melepaskan penguasaan
negara atas lahan tersebut. Yang sudah dilakukan pemerintah adalah mempertimbangkan
kemungkinan meminjamkan daerah bekas tebangan pemegang konsesi untuk Hutan
Kemasyarakatan, meski pemerintah tidak akan memberikan hak milik. Oleh karena itu,
salah satu opsi adalah melanjutkan program hutan kemasyarakatan dengan beberapa
perbaikan. Mungkin lebih efektif membuat kebijakan yang membolehkan masyarakat
menggunakan hak dan kewajiban mereka daripada menerapkan kebijakan pengaturan
yang membatasi opsi-opsi pengelolaan.
Ada beberapa pilihan hukum yang lain. Pemerintah dapat mengakui hak-hak adat
dan menyediakan peruntukan hutan adat, serta memberikan hak dan tanggung jawab
pengelolaan kepada masyarakat adat. Kemungkinan lain, bila adat menjadi persoalan,
masyarakat dapat diberi hak dan tanggung jawab untuk menentukan batas-batas hutanhutan desa dengan jelas. Jika tindakan kolektif semakin berkurang, pemilikan hutan
pribadi dapat menjadi sebuah alternatif.
Desentralisasi juga mencakup penghormatan atas keragaman dan pengakuan hakhak adat masyarakat pribumi. Untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok yang
lebih lemah bisa terjamin memperoleh penghidupan dan waktu untuk menyesuaikan
diri, mereka harus mendapat akses kepada lahan hutan yang aman dari gangguan pihak
lain. Bagi suku Punan, yang saat ini tidak mampu bersaing dengan suku lain, peruntukan
Kawasan dengan Tujuan Istimewa mungkin merupakan opsi yang lebih adil. Undangundang nomor 41 tahun 1999, secara khusus memperbolehkan peruntukan seperti ini dan
memberikan jaminan atas hak-hak kelompok Punan serta kebebasan untuk memilih cara
hidup mereka sendiri.
226
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Catatan
1 Ucapan terimakasih khusus diberikan kepada Peter Frost untuk penyuntingan dan
komentar-komentarnya yang mendalam.
2 Istilah resmi ‘desentralisasi’ merujuk pada pengalihan wewenang ke tingkat pemerintahan
yang lebih rendah. Meskipun hal ini sering kali dibedakan dengan ‘devolusi’, yang
mengalihkan hak dan kewenangan membuat keputusan ke tingkat yang lebih rendah, pada
praktiknya daerah sering kali memahami bahwa devolusi termasuk dalam desentralisasi.
Lihat juga Bab 1 dari buku ini dan CIFOR (2004).
3 Keputusan Presiden nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan. Seperti yang dimandatkan oleh Keputusan MPR IX/2001, keputusan ini
menyerukan pembaruan undang-undang agraria, pembentukan sebuah database dengan
menggunakan GIS dan data satelit. Keputusan ini juga memaparkan tugas-tugas daerah
berkaitan dengan urusan tanah: perizinan, pencadangan tanah untuk kepentingan negara;
penyelesaian konflik dan pengaturan hak-hak adat dan penataan pemanfaatan. Perpajakan
masih tetap berada di tingkat pusat.
4 Sembilan aspek adalah penerbitan izin penggunaan sebuah lokasi (untuk pembangunan oleh
pihak ketiga); pencadangan tanah untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian konflik
atas tanah-tanah pertanian; mengatur kompensasi bagi tanah yang dicadangkan untuk
pembangunan; menentukan subyek dan obyek redistribusi tanah; mengatur kompensasi
untuk tanah yang melewati batas maksimal dan ketiadaan kepemilikan; peruntukan dan
penyelesaian masalah-masalah tanah ulayat; penerbitan izin untuk pembukaan lahan (juga
untuk ladang); dan perencanaan tata guna tanah pada tingkat kabupaten dan kotamadya.
5 Wawancara dengan Kepala BPN Malinau dan Kepala Bidang Administrasi Dinas
Pertanahan Malinau, 23 Oktober 2003.
6 Wawancara dengan Kepala BPN Malinau dan Kepala Bidang Administrasi Dinas
Pertanahan Malinau, 23 Oktober 2003.
7 TAP MPR IX/2001, tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam,
menegaskan perlunya memperbarui seluruh undang-undang tentang pengelolaan
sumberdaya alam dan pengakuan formal atas hak-hak adat.
8 ‘Orde Baru’ adalah istilah yang digunakan oleh mantan Presiden Soeharto untuk
membedakan rejimnya dengan rejim pendahulu yang ditumbangkannya, Presiden
Soekarno, yang digolongkan sebagai ‘Orde Lama’.
9 Undang-undang nomor 41 tahun 1999, Amandemen Kedua atas Undang-undang Dasar
(Pasal 18B dan 28I) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1999, tentang
Panduan Penyelesaian Persoalan Hak Ulayat atas Tanah.
10 Menurut Sellato, kerajaan kecil Tidung Sesayap mungkin merupakan bagian dari kerajaan
yang berpusat di Tarakan. Sementara mereka dikatakan sebagai keturunan suku Kepatal,
suatu kelompok Dayak yang sudah lama terlupakan, untuk jangka waktu yang lama mereka
lebih dikelompokkan sebagai Melayu Muslim daripada Dayak pedalaman.
11 Dt Iman Suramenggala, komunikasi pribadi (2003), cucu lelaki dari Sultan Bulungan yang
terakhir, pendiri Yayasan Pioner dan sekarang pegawai Dinas Kehutanan di Bulungan.
12 Desa didefinisikan sebagai pusat-pusat pemukiman yang disahkan oleh keputusan
pemerintah dan memiliki struktur-struktur yang ditentukan. Undang-undang nomor
5 tahun 1979 memutuskan bahwa seluruh pemukiman tradisional harus mengikuti
sebuah struktur yang seragam, sebagai desa, dan berada di lapisan terendah dalam hirarki
pemerintahan. Karena keputusan tersebut juga menetapkan kriteria tertentu, banyak
pemukiman tradisional yang bergabung atau berpisah, yang berdampak pada wilayah
tradisional mereka.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
227
13 Peraturan Pemerintah nomor 76 tentang Pemerintahan Desa.
14 Awalnya, sebuah pemukiman dari satu kelompok etnis mayoritas didefinisikan sebagai
desa formal dan legal oleh keputusan Bupati. Program transmigrasi pemerintah sering
kali memindahkan seluruh desa, yang tetap menjadi desa-desa legal yang terpisah dari
kelompok lain yang bermukim bersama mereka.
15 Ini pada tahun 2007 digantikan dengan Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang
Tata Ruang.
16 Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 1996, dan Permendagri Nomor 9 Tahun 1998,
tentang Prosedur bagi Partisipasi Warga Negara dalam proses Tata Ruang.
17 Ini didasarkan pada revisi akhir peta pemanfaatan lahan yang disepakati oleh Gubernur
Kalimantan Timur dan seluruh Bupati dan Walikota, dan diajukan untuk disetujui oleh
pemerintah pusat (Kresno Dwi Santosa, komunikasi pribadi, 2004, Manajer Malinau
Research Forest).
Rujukan
ACM-CIFOR, 2001. Dokumentasi Proses Pendampingan Masyarakat Dalam Menggali Masalah
dan Visi Masyarakat tentang Pengakuan Wilayah dan Pemanfaatan Lahan, Internal report,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Alcorn, J. B., 2000. An introduction to the linkages between ecological resilience and governance,
dalam Alcorn, J. B. dan Royo, A. G. (penyunting), Indigenous Social Movements and
Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia, Biodiversity Support Program,
Washington, DC.
Anau, N., van Heist, M., Iwan, R., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2001. Pemetaan
Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran
Sungai Malinau, Januari s/d Juli, 2000, Laporan Pengelolaan Hutan Bersama, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. dan Wollenberg, E., 2002.
Negotiating more than boundaries: Conflict, power and agreement building in the
demarcation of village borders in Malinau, dalam CIFOR (penyunting) Forest, Science
and Sustainability: The Bulungan Model Forest. Technical Report Phase I 1997–2001,
ITTO Project PD 12/97 Rev 1 (F), CIFOR, Bogor, Indonesia.
Andrianto, A., 2006. The Role of District Government in Poverty Alleviation: Case Studies in
Malinau and West Kutai Districts, East Kalimantan, Indonesia, Governance Programme
Report, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I. M., Moeliono, M.
dan Djogo, T., 2001. The Impacts of Decentralization on Forests and Forest-Dependent
Communities in Malinau District, East Kalimantan, Case Studies on Decentralisation and
Forests in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Césard, N., 2001. Four Ethnic Groups (Punan, Kenyah, Merap, Lun Dayeh) Faced with Changes
along the Malinau River (Kalimantan Timur), Forest Product and People Programme,
CIFOR, Bogor, Indonesia.
CIFOR (Center for International Forestry Research), 2004. Decentralization, deconcentration
and devolution: What do they mean?, Makalah disampaikan dalam The Interlaken
Workshop on Decentralization, 27–30 April 2004, Interlaken, Swiss, www.cifor.cgiar.org/
publications/pdf_files/interlaken/Compilation.pdf.
228
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Colchester, M., 2001. Participatory Investigation of the Prospects for Securing Land Rights
and Self-Governance among Masyarakat Adat in Indonesia, Report of ICRAF/AMAN
Collaborative Project, Forest People Programme, Inggris.
de Soto, H., 2000. The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails
Everywhere Else, Basic Books, New York, NY.
Dove, M. R., 1993. A revisionist view of tropical deforestation and development, Environmental
Conservation, vol 20, no 1, hal. 17–24.
Drake, C., 1989. National Integration in Indonesia: Patterns and Policies, University of Hawaii
Press, Hawaii.
Erb, M., 1997. Contested time and place: Constructions of history in Todo, Manggarai (Western
Flores, Indonesia), Journal of Southeast Asian Studies, vol 28, no 1, hal. 47-77.
Fay, C. dan Sirait, M. T., 2002. Reforming the reformists in post-Soeharto Indonesia, dalam
Colfer, C. J. P. dan Resosudarmo, I. A. P. (penyunting), Which Way Forward? People,
Forests and Policymaking in Indonesia, Resources for the Future (RFF)/Center for
International Forestry Research (CIFOR), Washington, DC.
Gelora Mahardhika, 2002. Dibentuknya Dinas Pertanahan Kabupaten Membingungkan
Masyarakat? Laporan Utama, 1–15 November 2002.
Gönner, C., 2002. A Forest Tribe of Borneo, Man and Forest Series No 3 D.K, Printworld (P)
Ltd, New Delhi.
Pemerintah Kabupaten Malinau, 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 4 Tahun
2001 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan, dan Pengembangan Adat Istiadat
dan Lembaga Adat.
Pemerintah Republik Indonesia, 1992. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang
Penataan Ruang.
Pemerintah Republik Indonesia, 1999a. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia, 1999b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
Pemerintah Republik Indonesia, 2001a. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang
Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
Pemerintah Republik Indonesia, 2001b. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 Tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 42 Tahun 2001.
Pemerintah Republik Indonesia, 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan.
Pemerintah Republik Indonesia, 2003. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Pemerintah Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang.
Li, T. M., 1999. Marginality, power and production: Analysing upland transformation, dalam
Li, T. M. (penyunting), Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and
Production, Harwood Academic Publishers, London.
Moeliono, M., 2000. The Drums of Rura: Land Tenure and the Making of Place in Manggarai,
West Flores, Indonesia, PhD thesis, University of Hawaii, Honolulu, Hawaii.
Penguasaan Lahan dan Adat di Malinau
229
Moeliono, M., 2006. Wilderness and order: Forest conservation in Malinau District, East
Kalimantan, Makalah disampaikan dalam Survival of the Commons: Mounting Challenges
and New Realities, the Eleventh Conference of the International Association for the Study
of Common Property, Bali, Indonesia, 19–23 Juni 2006.
Moniaga, S., 1993. Towards community-based forestry and recognition of adat property rights
in the outer islands of Indonesia, dalam Fox, J. dkk (penyunting), Legal Frameworks for
Forestry Management in Asia, Case Studies of Community–State Relations, East West
Center Occasional Paper No 16, East West Center, Honolulu, Hawaii.
Onghokham, 2003. The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics and
Culture in Colonial Java, Metafor Publishing, Jakarta.
Patlis, J., M. Moeliono, Djogo, T. dan Iwan, R., 2001. Analysis of Four Draft Regulations of the
Kabupaten Malinau, East Kalimantan, CIFOR internal report, Bogor, Indonesia.
Scott, J., 1998. Seeing Like a State, Yale University Press, New Haven, CT.
Sellato, B., 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of Settlement,
Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880–2000, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Thiesenhusen, W. C., 2003, Difficulties and Tensions in Institutionalizing Grassroots and other
Civil Society Organizations During the Transformation and Post-Reform Periods, www.
fao.org/docrep/005/Y8999T/y8999t03.htm.
Toyamah, N., 2002, Kewenangan Bidang Pertanahan, Tarik Menarik antara Pusat dan Daerah,
www.smeru.or.id/newslet/2002/ed04/200204focus.htm.
Wignjosoebroto, S., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun,
Institute for Local Development Jakarta, Indonesia.
Wollenberg, E. K., 2003, Boundary keeping and access to gaharu among Kenyah forest users,
Environment and Planning A, vol 35, no 6, hal. 1007–1023.
12
Realpolitik Perwakilan dan Partisipasi
Masyarakat Desa
Eva Wollenberg
Pengantar
Di masa reformasi menuju otonomi daerah, rumah tangga di pedesaan lebih memiliki
peluang untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Bagaimana hal ini mengubah
kebijakan lokal, terutama dalam masalah hutan dan lahan hutan? Sampai sejauh mana
berkembangnya politik lokal? (Antlöv, 2003). Bab ini mengkaji partisipasi dan perwakilan
warga di Malinau untuk lebih memahami bagaimana sistem politik lokal dan desentralisasi
membentuk peluang masyarakat lokal untuk bersuara dalam berbagai keputusan tentang
hutan dan penggunaan lahan. Bab ini memberi perhatian khusus pada proses-proses skala
kecil dan tidak resmi di tingkat desa, yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat
lokal maupun pada keputusan di tingkat pemerintah kabupaten, namun sering terabaikan
oleh kepentingan proses formal berskala lebih besar yang lebih mencolok. Pelaksanaan
proses pembuatan keputusan secara formal dan non-formal serta dampaknya di tingkat
pedesaan inilah yang dimaksud dengan realpolitik pemerintahan lokal.
Antara tahun 1998 hingga 2005, CIFOR melaksanakan penelitian di 27 desa di daerah
aliran sungai (DAS) Malinau, dan penelitian mendalam di empat desa di Long Loreh,
Kabupaten Malinau. Kebanyakan desa, terutama setelah tahun 2000, terlibat negosiasi
dengan desa lain, dengan perusahaan, atau dengan pemerintah kabupaten mengenai
batas wilayah, penggunaan lahan atau kompensasi. Penelitian ini mencakup pengamatan
partisipan selama 9 bulan (1998 hingga 2000), wawancara mendalam para informan
kunci mengenai rapat-rapat dan perwakilan desa, beberapa survei mengenai prinsipprinsip pemerintahan yang baik, dan penelitian aksi di bidang pemetaan partisipatif dan
perencanaan tata-guna lahan.
232
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Bab ini dimulai dengan tinjauan mengenai batasan dan ketegangan yang melekat
pada perwakilan kepentingan warga dalam pengambilan keputusan umum. Kemudian
dikaji berbagai aturan kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan perencanaan
tata-guna lahan yang ditujukan untuk meningkatkan perwakilan. Lalu disajikan temuan
bentuk-bentuk perwakilan dan partisipasi di tingkat desa dan kabupaten. Bab ini akan
menunjukkan bagaimana desentralisasi merangsang minat warga desa untuk berpartisipasi
dan lahirnya organisasi-organisasi politik yang bertindak sejajar dengan pemerintah sebagai
pendamping dan pelobi untuk kepentingan berbagai kelompok etnis. Sudah ada perubahan
nyata dalam perwakilan dan partisipasi namun masih banyak rintangan bagi penyuaraan
pendapat masyarakat dalam proses pembuatan keputusan publik di Malinau.
Kontradiksi antara perwakilan dan partisipasi
Dalam model demokratis mengenai pembuatan keputusan publik, warga negara bersuara
melalui partisipasi langsung dalam pembuatan keputusan pemerintahan – atas dasar
anggapan bahwa merekalah yang paling mengetahui kepentingan mereka sendiri –
atau diwakili melalui para elit yang cukup cakap dan akuntabel serta bertindak untuk
kepentingan mereka. Kedua cara itu tidaklah ideal. Perbedaan perwakilan dan partisipasi
langsung adalah dalam tingkat keefisienan, potensi terjadinya debat-kusir dan keputusan
yang sudah diatur, serta terpecahnya keterwakilan (Haraway, 1991). Keduanya menghadapi
masalah yang sama yaitu bagaimana menyatukan banyak kepentingan untuk menghasilkan
satu keputusan. Tidak ada satu pun pendekatan yang bisa mengidentifikasi dan mewadahi
berbagai kepentingan dan bisa menjamin terpenuhinya semua kepentingan atau tersusunnya
satu pilihan terbaik demi kepentingan umum. Menemukan kombinasi yang tepat antara
perwakilan dan partisipasi langsung merupakan seni pembuatan keputusan politik dan
bergantung pada norma dan budaya politik setempat. Untuk itu tidak ada resepnya.
Perwakilan pun menghadapi kontradiksinya sendiri. Para wakil bisa bertindak sebagai
simbol (wakil ‘simbolik’), atau sebagai pelaku sesuatu bagi orang lain yang tidak hadir atau
tidak mampu (wakil ‘atas nama’) (Bogdanor, 1987, hal. 531). Kerancuan antara dua peran
tersebut dapat membuahkan pengharapan yang salah dan warga salah-terwakili. Dalam
kasus ‘simbolik’, seorang wakil memiliki beberapa karakteristik dasar dari kelompok yang
diwakili. Idealnya, ia menjadikan dirinya ‘potret miniatur yang identik dengan seluruh
kelompok masyarakat tersebut, dalam cara berfikir, merasakan, bernalar dan bertindak
seperti kelompok yang diwakilinya’ (John Adams, dikutip dalam McLean, 1996, hal. 428).
Sering kali perwakilan ‘simbolik’ merupakan suatu tujuan tersendiri, dan bukan sarana
untuk mencapai suatu tujuan (Rosener, 1978). Konsultasi publik yang dalam era reformasi
menjadi hal yang lebih umum dilakukan, seringkali melibatkan undangan kepada wakilwakil simbolik dari berbagai kelompok dengan berbagai kepentingan.
Meskipun bentuk keterlibatan masyarakat seperti ini memberi kesempatan berpendapat,
namun sekaligus juga mengaburkan penentuan pilihan masyarakat dan pembobotannya
dalam pengambilan keputusan (Steelman dan Asher, 1997, hal. 74). Identitas yang diwakili
juga mengandung masalah karena sebuah kelompok memiliki berbagai identitas yang
bersifat cair dan dapat bervariasi dalam konteks yang berbeda. Seorang wakil yang bertindak
sebagai simbol sebuah kelompok tidak mungkin menangkap seutuhnya kemajemukan dan
ketegangan serta dinamika identitas kelompok tersebut. Perwakilan ‘simbolik’ ini lebih
cocok untuk rapat ‘keterlibatan langsung yang tidak mengikat’ (Steelman dan Ascher,
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
233
1997, hal. 71), di mana seorang individu memberikan pendapat pribadinya dalam proses
pembahasan namun terikat pada konstituen yang lebih besar, dan tidak berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada pihak lain.
Sebaliknya, seorang wakil ‘atas nama’ mengemban fungsi agen untuk kepentingan
seseorang atau kelompok tertentu. Suatu kelompok kecil perwakilan dianggap bisa
bertindak lebih efisien dan cakap daripada keseluruhan konstituen (Lee, 1993). Anggota
dewan politik dan para pemimpin resmi adalah perwakilan agen. Desentralisasi di
Indonesia mendorong bentuk perwakilan agen yang lebih dekat dengan masyarakat karena
mensyaratkan adanya dewan-dewan di tingkat desa dan kabupaten.
Bentuk perwakilan agen menghadirkan sedikitnya tiga jenis ketegangan. Pertama,
wakil tersebut memiliki keleluasaan untuk bertindak independen dari individu atau
kelompok yang diwakili (Rao, 1998). Kedua, wakil tersebut perlu menghimpun berbagai
sudut pandang yang berbeda, misalnya melalui pemungutan suara atas dasar mayoritas,
membangun konsensus atau bekerja sama hanya dengan satu unsur dari konstituennya
(Haraway, 1991). Mewakili hanya sebagian dari populasi adalah sebuah cara menghadapi
masalah segregasi, namun bisa menjauhkan sebagian konstituen lainnya sehingga bisa
menimbulkan ketidakstabilan. Ketegangan yang ketiga ialah adanya pengimbang pada
akuntabilitas sang wakil kepada konstituennya (yaitu seberapa besar kewenangannya dan
apakah digunakan untuk kepentingan konstituennya) (Ribot, 2001).
Masalah perwakilan menjadi semakin penting dalam sistem politik partisipatif
(Peters, 1996; Lewis, 2000). Bisa dibedakan antara partisipasi sukarela dan partisipasi atas
dasar undangan. Partisipasi sukarela terjadi apabila masyarakat umum didorong untuk
mengemukakan pandangan mereka melalui surat, kunjungan kepada pejabat pemerintah,
menghadiri rapat atau protes masyarakat. Partisipasi atas dasar undangan terjadi apabila
penyelenggara mengundang berbagai individu untuk menghadiri suatu pertemuan,
biasanya sebagai wakil dari kelompok yang lebih besar.
Partisipasi atas dasar undangan bisa menjadi masalah karena sering kali para peserta
baru tahu di saat pertemuan, apakah mereka sebagai ‘atas nama’ ataukah sekedar ‘simbolik’,
dan bagi siapa. Hal itu bisa menyulitkan mereka melakukan persiapan yang diperlukan demi
akuntabilitas terhadap konstituen mereka, misalnya untuk mengetahui sikap konstituen
mereka tentang suatu persoalan. Bila si terundang berlaku sebagai wakil simbolik maka
kelompok yang diwakilinya akan dimasukkan ke dalam konteks pertemuan tersebut
bersama hadirin lainnya. “Kelompok anu tidak hadir, bisakah Anda mewakili mereka?”
biasa terdengar pada berbagai pertemuan. Ada kecenderungan alami untuk berfokus
pada identitas umum pemangku kepentingan acara, daripada identitas sebagai wakil dari
komunitas asalnya (Bickford, 1999). Ada resiko ketika seseorang ditunjuk untuk mewakili
suatu kelompok, bila sesungguhnya kelompok itu tidak ingin diwakili oleh orang tersebut
atau bahkan tidak ingin terwakili di dalam forum tersebut. Ada beberapa kelompok yang
sangat ketat mengenai hanya mau diwakili oleh anggotanya sendiri (‘si miskin semestinya
mewakili kaum miskin’ lihat Rao, 1998) atau oleh pengacara. Setiap kelompok dapat
menuntut perwakilan.
Para penyelenggara pertemuan cenderung lebih berfokus pada perwakilan simbolik
(Rao, 1998) dan dinamika internal mereka sendiri daripada hubungan sang wakil terhadap
konstituennya. Para penyelenggara berupaya mencari komposisi optimal dari identitas
simbolik dan orang yang bisa berkontribusi pada lingkungan kerja yang produktif dan
bersahabat. Para peserta sering kali diminta untuk bertindak dalam kapasitas sebagai
pribadi, namun tanpa kejelasan mengenai artinya dalam hal tanggung jawab dan
234
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
pengharapan yang mereka emban secara pribadi terhadap kelompok mereka. Kebanggaan
diri juga bisa menggoda para wakil kelompok untuk tetap dalam posisinya sebagai pribadi
dalam negosiasi, bahkan meskipun hal itu bisa tidak menghasilkan manfaat bagi konstituen
mereka.
Kami menduga bahwa dalam praktiknya, partisipasi sukarela sering kali hanya terbatasi
pada wakil-wakil yang merasa lebih nyaman menyampaikan pendapat karena alasan bahasa,
status, sikap, ataupun keakraban. Peserta undangan maupun partisipan sukarela menjadi
bagian dari suatu kelas masyarakat khusus yang belum tentu mewakili populasi yang lebih
besar (Melucci, 1996). Mereka bisa menerima kehormatan atas kehadirannya yang semakin
memisahkan mereka, dan menciptakan insentif untuk menjaga hubungan baik dengan
pihak penyelenggara, bukan dengan konstituen mereka. Banyak warga desa mengeluhkan
wakil-wakil mereka yang telah terkooptasi. Partisipasi atas dasar undangan pada umumnya
juga cenderung bias, karena para penyelenggara biasanya memilih partisipan karena
alasan-alasan tertentu. Beberapa di antaranya memang layak disukai, misalnya kesediaan
mengemukakan pendapat dan pemahaman tentang ragam pandangan dalam sebuah
kelompok. Ada jenis alasan yang bisa menimbulkan bias, misalnya memilih orang atas
dasar kedekatan, loyalitas pada penyelenggara, atau sekedar kehadiran dan ketersediaan.
Karena adanya bias-bias dalam perwakilan inilah maka masukan dari partisipasi publik
selalu parsial dan perlu disesuaikan dengan situasi (Haraway, 1991).
Karena perwakilan senantiasa bergantung pada situasi dan menyimpan masalah,
kami sependapat dengan Bickford (1999, hal. 94) bahwa “tindak perwakilan menentukan
apa yang diwakili’. Untuk memandu pengamatan kami di Malinau, kami mengandalkan
prinsip-prinsip tindakan perwakilan sebagai berikut:
•
•
•
•
Perwakilan ‘atas nama’ lebih mempromosikan perwakilan demokratis daripada
perwakilan ‘simbolik’.
Wakil-wakil ‘atas nama’ harus akuntabel terhadap yang diwakilinya (Ribot, 1999).
Akuntabilitas mencerminkan tingkat kontrol masyarakat terhadap wakil-wakil
mereka (Schumaker, 1991) atau orang yang diyakini masyarakat akan bertindak
untuk kepentingan mereka karena integritasnya (Lee, 1993). Suatu konstituensi harus
memiliki wewenang untuk memilih dan memecat wakil-wakilnya (Strachan, 1997).
Para wakil ‘atas nama’ harus tanggap pada yang diwakilinya. Sikap tanggap ini
mencakup tanggung jawab ganda yaitu memahami betul apa yang diinginkan oleh
konstituen dan yang kedua adalah menggunakan suara, pengaruh, dan wewenang
untuk membuat keputusan yang sesuai (Schumaker, 1991; Rao, 1998). Mekanisme
agregasi harus jelas, dan komunikasinya dua arah.
Para wakil ‘atas nama’ dan penyalur pendapat publik harus mengakui pluralisme
pada konstituennya dan berupaya mewakili serta memfasilitasi prinsip-prinsip
untuk disepakati dari berbagai kelompok identitas maupun kepentingan (Rescher,
1993; Rossi, 1997; Bickford, 1999; Edmunds dan Wollenberg, 2001). Kelompok
kepentingan harus memiliki kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri maupun
menolak kategorisasi (Bickford, 1999).
Prinsip-prinsip ini harus berlaku di semua tingkat, mulai dari pengambilan keputusan
di tingkat desa, sampai kabupaten dan nasional. Namun di desa-desa dan bahkan di tingkat
kabupaten, banyaknya identitas dan kaitan para wakil dengan para anggota konstituen
mempengaruhi cara mereka berperan. Tindakan ‘atas nama’ kelompok bisa dipengaruhi oleh
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
235
kepentingan khusus atau kewajiban terhadap keluarga, kawan atau tetangga. Wakil-wakil
sering kali berasal dari golongan adat elit yang memiliki hak istimewa dalam pembuatan
keputusan dan perolehan fasilitas. Mereka dianggap tidak harus berkonsultasi dengan
strata sosial yang lebih rendah. Beberapa wakil adalah pegawai pemerintah atau pegawai
perusahaan lawan negosiasi. Sebagian lagi adalah orang luar yang tidak bisa menjadi wakil
‘simbolik’ warga lokal, tetapi mengadopsi identitas warga lokal dan dianggap bertindak
‘atas nama’ mereka. Kurang atau bahkan tidak ada pengawasan atas adanya pelanggaran
peran wakil. Berlapis-lapisnya konteks sosial masyarakat ini mutlak perlu dipahami untuk
bisa mengungkap dampak reformasi terhadap politik setempat.
Kebijakan desentralisasi
Pemberlakuan desentralisasi sejak bulan Januari 2001, mewajibkan pemerintah
kabupaten memperbaiki saluran penyampaian pendapat masyarakat lokal maupun untuk
mempengaruhi mereka, antara lain:
•
•
•
•
Perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Badan Perwakilan Desa
(BPD). Dengan memilih para pejabat ini yang tempatnya juga lebih mudah dicapai,
maka ada peluang baru bagi masyarakat lokal untuk membuat para pejabat memiliki
akuntabilitas kepada mereka dan mewakili kepentingan mereka.
Persyaratan teknis dalam kebijakan yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi dengan
masyarakat lokal, misalnya dengan memberi masukan dalam perencanaan tata ruang.
Ketentuan-ketentuan hukum melalui Peraturan Daerah (Perda), dan Surat Keputusan
(SK). Di Malinau, ada Perda yang mengatur pendaftaran dan pengakuan untuk
organisasi adat, dan pengaturan tata laksana pembentukan BPD di tingkat desa.
Secara geografis lebih mudah menemui pejabat pemerintah setempat dibandingkan
kepada pejabat tingkat provinsi atau nasional.
Dengan meningkatnya peran pemerintah kabupaten, maka organisasi seperti World
Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia–Kayan Mentarang National Park Project dan
Center for International Forestry Research (CIFOR) mengalihkan interaksi mereka dari
para pembuat keputusan di tingkat ibu kota Samarinda dan Jakarta kepada para pejabat
di Malinau. Untuk pertama kalinya kedua organisasi ini menyelenggarakan pertemuan
dengan para pemangku kepentingan di Malinau.
Setelah menyadari bahwa perwakilan pada acara resmi sebenarnya atas dasar undangan,
masyarakat menyadari perlunya mendirikan organisasi perwakilan sendiri, mengikuti
struktur organisasi pemerintahan yang terdiri dari lembaga-lembaga di tingkat kabupaten,
kecamatan dan terkadang di tingkat desa. Cara itu terbukti efektif karena pada umumnya
mereka diundang pada rapat-rapat publik, walaupun sering kali hubungan mereka dengan
konstituen lemah (lihat juga Bab 3).
Perwakilan dan partisipasi dalam praktik
Setelah masyarakat setempat boleh mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah, apa
yang terjadi setelah reformasi pada tahun 1998 hingga 1999?
236
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Perwakilan di dalam dan di antara desa-desa
Rapat terbuka
Di desa-desa, kebanyakan aspek perwakilan dan partisipasi tidak berubah oleh adanya
desentralisasi. Perwakilan di dalam desa umumnya berupa partisipasi langsung, bahkan
di desa besar yang berpopulasi sekitar 200 rumah tangga. Undangan terbuka, berupa
musyawarah desa, masih merupakan bentuk partisipasi yang lazim bagi mayoritas warga
dalam urusan kemasyarakatan. Kepala desa (biasanya hasil pemilihan, atau ketua adat, bila
ada) atau wakilnya, mengundang secara lisan melalui tokoh-tokoh desa yang diharapkan
akan menyampaikannya kepada warga lain. Sering kali juga diumumkan di gereja. Di
desa-desa Kenyah, seorang petugas khusus (pekesat) berjalan keliling desa mengumumkan
adanya rapat. Hal itu biasanya dilakukan pada hari yang sama atau semalam sebelum
berlangsungnya rapat, tetapi bisa juga dilakukan hingga satu minggu sebelumnya. Rapat
terbuka biasanya diselenggarakan di tempat umum seperti balai desa, gereja dan sekolah,
untuk membahas berbagai kegiatan desa, berbagi informasi, atau untuk memperkenalkan
proyek-proyek pemerintah ataupun kelompok-kelompok lain.
Meskipun pertemuan seperti itu tampak seolah ideal untuk pembentukan politik
partisipatif, tingkat partisipasinya sangat bervariasi. Para peserta biasanya mencerminkan
keunggulan suatu faksi terhadap faksi yang lain, khususnya lingkaran inti yang terdiri
dari orang-orang yang dianggap warga sebagai tokoh masyarakat (para sesepuh desa
atau pemimpin).1 Pada suku Merap dan Kenyah, tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan
bangsawan dan sering kali adalah saudara dekat ketua adat atau kepala desa yang sedang
berkuasa. Terkadang mencakup juga para guru dan orang luar yang lebih berpendidikan
serta berpengalaman di pemerintahan atau perusahaan. Para guru dan para elit tertinggi itu
lebih sering berada di desa dibandingkan warga yang sibuk di ladang atau di hutan. Seorang
mengaku bahwa ia jarang menghadirinya karena sering bermalam di ladang. Biasanya
jaringan para pemimpin lebih terwakili dengan baik sedangkan faksi-faksi penentangnya
biasanya kurang mendapat informasi mengenai rapat-rapat itu dan kurang terwakili.
Informasi mengenai rapat jelas cenderung menguntungkan jaringan para pemimpin.
Terkadang faksi-faksi memboikot pertemuan.
Dalam rapat apapun, biasanya hanya sebagian kecil peserta yang aktif terlibat dalam
pembahasan dan proses pembuatan keputusan. Rapat-rapat di Long Loreh, di desa
Sengayan, Pelancau dan Bila Bekayuk biasanya hanya dihadiri tiga hingga lima orang,
sedangkan di desa Loreh ada enam hingga sepuluh orang yang aktif dalam rapat. Peserta
pertemuan cenderung orang-orang yang sama.
Kepala desa, atau ketua adat atau sekretaris desa bila kepala desa berhalangan,
memfasilitasi pertemuan dan membuat keputusan akhir. Terkadang pihak yang sangat
kecewa atau mempunyai pendapat berlawanan juga berbicara. Sering dilakukan dulu
pembahasan informal sebelum rapat untuk membangun dukungan agar tercapai mufakat.
Di semua desa, persentase peserta wanita dalam musyawarah urusan desa jauh lebih rendah
dibandingkan pria. Alasan mereka, ‘kami sedang sibuk’, ‘tidak tahu cara ngomongnya dan
malu’, atau ‘rapat itu urusan lelaki’. Kalaupun ada peserta wanita, hampir selalu hanya
menjadi pengamat yang diam. Istri kepala desa lebih mungkin hadir dibandingkan
wanita-wanita lain. Kata istri kepala desa Sengayan, “Para wanita lebih cenderung
bertukar informasi dan membuat keputusan kolektif saat mereka bekerja di ladang atau
dalam acara kerja gotong royong.” Mereka juga membuat keputusan kelompok ketika
sedang menyiapkan sebuah acara atau saat ada kunjungan dari desa lain. Sebagian wanita
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
237
menyatakan bahwa mereka mendapat informasi mengenai rapat desa dari suami mereka.
Meskipun ada beberapa program pemerintah yang khusus ditujukan bagi kaum wanita,
misalnya Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), para wanita menilai program-program
itu bukanlah forum penting bagi mereka.
Rapat atas dasar undangan
Selain rapat-rapat umum ini, para kepala desa juga mengadakan rapat-rapat kecil melalui
undangan, untuk menyelesaikan perselisihan antar rumah tangga atau pengelolaan tugas
khusus (misalnya menyiapkan penerimaan kunjungan pejabat pemerintah; negosiasi
dengan pihak luar; atau pun penyiapan atau tindak lanjut rapat umum) agar bisa mengambil
keputusan secara cepat. Rapat tersebut biasanya diadakan di rumah kepala desa atau ketua
adat, sebagai pihak yang memfasilitasi rapat dan membuat keputusan akhir. Para peserta
terdiri dari 3 hingga sekitar 30 orang, tergantung desanya dan persoalan yang dihadapi.
Rapat mengenai keuangan terbatas pada beberapa orang saja.
Rapat kecil tertutup lebih sering diadakan daripada rapat umum. Pada masa sibuk
seperti dalam negosiasi perjanjian atau persiapan suatu acara, rapat bisa diadakan setiap
malam dan bisa berlangsung hingga menjelang pagi. Sudah dipahami bersama bahwa
hanya orang-orang terdekat dengan kepala desa yang diundang dan hadir pada rapat-rapat
tersebut. Terkadang, walau tidak selalu, mereka juga menjabat sebagai perangkat desa.
Undangan lainnya hanya dilakukan berdasarkan kebutuhan saja, tergantung permasalahan
atau tugas apa yang sedang dihadapi.
Untuk menyelesaikan konflik, rapat kecil melibatkan perwakilan bila para warga desa
dari pihak-pihak yang berseberangan perlu hadir. Namun kelompok yang bukan jaringan
pimpinan terkadang mengeluhkan kurangnya perwakilan dari pihak mereka dalam
pertemuan semacam itu. Secara garis besar, perwakilan di tingkat desa bukanlah prinsip
dasar pengambilan keputusan publik di desa.
Rapat antar desa
Untuk urusan antar desa, perwakilan menduduki peringkat yang lebih penting. Kepala
desa adalah calon kuat wakil desanya dan, menurut 95% dari warga yang disurvei, dialah
yang biasanya menjadi wakil (lihat Gambar 12.1). Namun, ketua adat juga sangat mungkin
mewakili desa, demikian pula sekretaris desa atau aparat desa lainnya, bahkan para
sesepuh. Desa-desa yang lebih lemah terkadang menunjuk orang luar untuk menempati
posisi sebagai aparat desa, sehingga seorang dari Sulawesi bisa mewakili sebuah desa suku
Kenyah, atau seorang dari Flores mewakili desa suku Punan, dan seorang suku Kenyah
menjadi wakil untuk desa suku Punan. Pada kasus-kasus seperti itu, orang luar tersebut
menikah dengan wanita dari desa tersebut, dan oleh para warga desa dianggap lebih mahir
berbicara dan bernegosiasi, serta memiliki pengetahuan lebih luas.
Ketika ditanya mengenai aspek-aspek seorang wakil desa yang baik, maka semua orang
menjawab bahwa seorang wakil setidaknya harus ‘pintar bicara’. Selanjutnya, seorang wakil
haruslah bukan seorang pemalu di depan orang banyak, harus memiliki kewibawaan
dalam masyarakatnya, harus mampu menyajikan masalah, serta mampu menyimpulkan
dan menyampaikan pelajaran dan informasi dari tempat lain kepada komunitasnya (mis.
dalam sebuah lokakarya). Warga desa juga menganggap penting kemahiran membaca dan
menulis para wakilnya. Salah seorang responden menjelaskan bahwa pada umumnya warga
yang pernah bekerja untuk pemerintah telah menimba pengalaman yang bisa membuat
mereka menjadi wakil yang baik. Namun responden itu juga menyatakan bahwa banyak
238
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
100%
95%
80%
% responden
68%
60%
40%
32%
20%
14%
14%
ny
a
in
La
PD
aB
tu
as
m
To
k
oh
Ke
ya
ra
k
at
Ad
at
la
pa
Ke
Ke
pa
la
De
sa
0%
Sumber: Wollenberg dkk, 2006, hal. 10
Gambar 12.1 Siapa yang biasanya mewakili masyarakat? Hasil survei terhadap 95 orang warga di 19 desa,
tahun 2004-2005
wakil tidak melapor kembali kepada komunitasnya. Wakil yang buruk adalah mereka
yang tidak bermoral atau menerima uang dari pihak lain untuk membuat keputusan yang
bertentangan dengan kepentingan desa. Terkadang warga desa lebih percaya kepada orang
kedua pimpinannya karena yakin bahwa ia menerima pembayaran lebih sedikit dari pihak
luar. Para warga desa beranggapan bahwa seorang wakil harus bertindak atas nama desa
dan perilakunya mencerminkan komunitasnya.
Pertemuan antar desa dapat dibagi dalam dua kategori yaitu antara desa yang berbagi
satu lokasi dan yang tidak. Keputusan yang dihasilkan oleh desa yang berada di satu lokasi,
merupakan hasil perpaduan antara partisipasi langsung dan perwakilan.
Peserta dari semua desa bebas untuk menghadiri rapat-rapat umum, tetapi enggan
membuat keputusan bila kepala desanya tidak hadir. Dalam rapat seperti itu tampak desadesa yang cenderung terwakili lebih baik daripada desa lainnya. Di antara desa-desa yang
berbagi wilayah hampir selalu ada satu desa yang menjadi pemimpin penyelenggaraan
rapat. Sebagai contoh, di antara empat desa di Long Loreh, desa Long Loreh yang
terbesar dan paling dominan biasanya menyelenggarakan rapat-rapat serta mengelola
balai pertemuan yang kebetulan terletak di sektor mereka. Peserta dari warga Long Loreh
selalu yang terbanyak hadir daripada desa-desa lainnya. Terkadang tidak ada peserta dari
salah satu atau bahkan dari kedua desa masyarakat Punan. Warga Punan menyatakan
tidak selalu menerima undangan atau bisa menghadiri rapat karena sering berada di hutan
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
239
mengumpulkan kayu gaharu dan produk-produk lain. Warga desa Punan juga sering
merasakan bahwa kehadiran mereka tidak banyak berpengaruh pada hasil pertemuan dan
lebih sering memilih untuk tidak hadir.
Desa-desa yang lebih lemah sering merasa tidak pantas, tidak dikehendaki, atau
terancam oleh desa-desa yang lebih kuat, antar sewilayah maupun lintas wilayah. Kegiatan
pemetaan partisipatif dan negosiasi yang difasilitasi CIFOR sering didominasi oleh
desa-desa yang lebih kuat dan menghasilkan kesepakatan yang kurang stabil. Desa kuat
cenderung menjadi tuan rumah dalam acara negosiasi, sehingga lebih merugikan warga
desa lain yang harus melakukan perjalanan jauh. Menarik untuk dicatat bahwa Pelancau,
sebuah desa Punan yang terletak di Long Loreh, membuat balai desa sendiri, sehingga
masyarakat Pelancau lebih bebas dalam menyelenggarakan rapat.
Di antara desa-desa, faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat dan mutu partisipasi
dan perwakilan adalah lokasi rapat. Jarak dan biaya perjalanan antar desa cukup besar
bagi warga dari daerah hulu sungai Malinau. Dibutuhkan tiga hari perjalanan dari Long
Jalan yang letaknya paling hulu, ke Sentaban yang letaknya paling hilir. Kami mengamati
sedikitnya ada 10 pertemuan yang dihadiri oleh 20 atau lebih peserta dari desa tuan rumah
sedangkan dari desa tamu masing-masing hanya diwakili 2-3 orang atau sebatas kapasitas
perahu ketinting. Hasil kesepakatan dari rapat semacam itu sering kali gagal setelah faksifaksi di desa masing-masing menentang keputusan pimpinan desanya di tempat lain itu.
Peserta dari desa-desa lain bisa ikut hadir dalam jumlah lebih besar hanya terjadi pada acara
perayaan tahunan seperti perayaan panen atau pada pertemuan kelompok etnis.
Wanita, khususnya yang punya anak, bahkan lebih sulit menghadiri pertemuan
apabila harus menempuh perjalanan. Pada lima acara pertemuan antar desa, tim CIFOR
selalu mensyaratkan bahwa minimal satu di antara tiga wakil harus wanita. Pada tahun
2003 kami bahkan minta dua wanita dari setiap desa. Namun hanya dua sampai lima
wanita yang hadir setiap tahun. Peserta wanita pun cenderung berumur belasan tahun, atau
istri kepala desa, guru atau, pada satu kasus, seorang pendeta yang juga menjabat sebagai
sekretaris desa. Wanita muda sering harus menerima banyak gangguan dalam pertemuan
seperti itu sehingga lebih menyulitkan mereka untuk berpartisipasi, meskipun difasilitasi
oleh pihak ketiga.
Pertemuan dengan perusahaan dan pemerintah di dalam desa maupun
antar-desa
Ada satu hal yang berubah sejak era reformasi, yang antara lain dipicu oleh kebutuhan
mencari sumber pendapatan baru pemerintah kabupaten, yaitu desa-desa lebih sering
mengadakan pertemuan antar-warga maupun dengan pejabat pemerintah dan perusahaan
untuk menegosiasikan masalah penggunaan lahan, akses ke hutan, dan batas wilayah.
Hal ini terutama terjadi di antara tahun 2000 dan 2003, ketika warga desa mengatur
pemanenan kayu skala kecil IPPK di setiap desa. Desa-desa yang memiliki konsesi kayu
atau pertambangan batubara yang aktif menuntut diadakan perundingan dengan pihakpihak tersebut. Di era reformasi mereka merasa lebih diberdayakan dengan berkurangnya
intimidasi oleh pihak militer dan merasakan adanya dukungan dari pemerintah setempat.
Pada tahun 2002 dan 2003 dua perusahaan, yaitu PT Inhutani II dan PT BDMS
menghentikan operasinya di daerah itu, sebagian sebagai akibat negosiasi tersebut.
Di era pra-reformasi, partisipasi desa dalam negosiasi dengan perusahaan dibatasi.
Negosiasi awal hanya terbatas dengan kepala desa terkadang bersama beberapa orang elit
desa. Pertemuan informal sering berlangsung di luar desa yaitu di kantor perusahaan atau
240
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
pemerintah. Apabila sebuah perusahaan membuka kantor di desa, seperti perusahaan
tambang batubara di Loreh, maka kepala desa atau anggota golongan elit sering mampir
untuk ‘sekedar ngobrol’, kemungkinan hanya untuk sekedar menjaga hubungan baik dan
bertukar berita.
Desa yang dominan di dalam desa-desa majemuk bernegosiasi dengan perusahaan
atau pemerintah atas nama semua desa di wilayah tersebut. Pejabat perusahaan dan
pemerintah setempat lebih suka berurusan dengan kelompok dominan dalam setiap
desa. Di wilayah Loreh dan Langap, desa-desa Punan praktis terabaikan oleh perusahaan.
PT Inhutani II menyumbangkan gerobak dorong beroda-satu, cangkul dan bibit untuk
program pengembangan desa secara eksklusif bagi desa-desa Loreh dan Langap. Di bulan
Mei 1998 tiga kepala desa Punan menyatakan tidak pernah mengikuti pertemuan dengan
perusahaan tambang batubara. Pernah ada undangan yang terlambat diterima untuk
satu pertemuan, tetapi tidak ada transportasi; sehingga hanya dua orang aparat desa yang
menghadiri tersebut. Seorang kepala desa Punan mengatakan, “Sebenarnya mereka tidak
mau mendekati kami.”
Terkadang para wakil desa mengadakan konsultasi sebelum atau sesudah pertemuan
seperti itu. Contohnya, tahun 1998 ketika PT BDMS mengatur pembayaran kompensasi
kepada sepuluh keluarga yang ladangnya sudah diolah dan hendak digali, kepala desa
menanyakan besarnya kompensasi yang diinginkan kepada masing-masing keluarga.
Seorang warga yang hadir pada babak pertama pembayaran kompensasi sebesar sekitar Rp.
500.000,- mengatakan bahwa waktu itu ia tidak punya pilihan, namun sekarang ia merasa
bisa meminta jumlah2 yang lebih besar. Menurut laporan, pada bulan April 1998 kepala
desa bersama wakil ketua adat dan kepala desa berikutnya, bernegosiasi sendiri dengan
pejabat perusahaan di kantor PT DBMS di dekat Loreh.
Perusahaan-perusahaan lebih suka bernegosiasi secara tertutup dan dengan jumlah
peserta terbatas. Namun praktik semacam itu tidak selalu memenuhi kepentingan para
kepala desa yang lebih lemah. Seorang kepala desa Punan bercerita bahwa ia dibangunkan
di tengah malam oleh kepala desa lain bersama seorang tentara, untuk menandatangani
dokumen pengalihan hak kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Konflik semakin sering terjadi sejak dimulainya masa reformasi. Delegasi warga desa
yang mengikuti rapat penyelesaian konflik bisa cukup banyak, hingga 40 orang, yang
umumnya lebih banyak diikuti oleh para pemuda. Pada bulan Agustus 1998, sekitar 30
wakil dari Loreh, 5 wakil dari Bila Bekayuk3 bersama 3 wakil dari Sengayan menghadiri
rapat di kantor perusahaan pertambangan batubara setempat. Rapat itu dihadiri pula
oleh staf Camat, polisi, dan tentara dari tingkat kecamatan beserta 4 staf dari PT DBMS.
Pihak masyarakat telah meminta Camat untuk menyelenggarakan rapat tersebut atas nama
mereka dengan maksud menuntut perusahaan untuk menepati janji-janji sebelumnya yaitu
menyediakan air bersih, Rp. 25 juta untuk mendirikan koperasi, sebuah mobil, penyediaan
listrik, pekerjaan bagi warga desa dan transportasi ke ladang bagi warga.
Negosiasi IPPK menumbuhkan pendekatan baru dalam negosiasi masyarakat dengan
perusahaan. Dalam masalah akses dengan desa-desa, upaya negosiasi perusahaan menjadi
lebih mencakup semua pihak, termasuk desa-desa lemah dan suku Punan. Para kepala
desa juga lebih sering berkonsultasi dengan komunitas mereka untuk membahas potensi
manfaat dan cara pembagiannya. Hal ini mencerminkan kepedulian baru dalam pembagian
manfaat tunai dengan cara-cara yang mengakui adanya klaim bersama serta menghindari
sengketa di kemudian hari. Di tahun 2004 dan 2005, ketika ditanya apa saja keputusan
yang mengharuskan partisipasi dari seluruh masyarakat (lihat Gambar 12.2), jawaban
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
241
Ya 18%
Data hilang 5%
Tidak 77%
% responden
Sumber: Wollenberg dkk, 2006, hal. 12
Gambar 12.2 Apakah DPRD berperan mewakili masyarakat? Survei warga desa secara perorangan
mayoritas warga adalah negosiasi dengan perusahaan kayu (55 persen) dan pembahasan
usulan proyek pengembangan desa (45 persen).
Penandatanganan dokumen resmi berikut isinya tidak terbuka dan transparan.
Kebanyakan anggota masyarakat belum pernah melihat perjanjian yang ditandatangani
pemimpin mereka dengan perusahaan.
Dampak lain dari era reformasi adalah bahwa desa yang lemah, terutama yang selama
ini tersisihkan oleh desa yang lebih dominan di wilayah mereka, mulai melaksanakan
negosiasi secara mandiri dan menjalin hubungan langsung dengan pemerintah kabupaten
dan perusahaan. Dengan semakin berkembangnya partisipasi mereka dalam negosiasi,
semakin berkembang pula akses mereka kepada manfaat terkait. Mereka lebih berani
bersuara menentang desa-desa dominan. Boleh jadi hal ini didukung oleh meningkatnya
pendapatan tunai akibat meningkat pesatnya perdagangan kayu gaharu sejak awal tahun
1990-an dan menurunnya generasi pendukung hubungan tradisional patron-klien. Pada
tahun 1994 masyarakat Punan Malinau juga menyelenggarakan untuk pertama kalinya
pertemuan adat mereka dan secara kolektif memilih seorang ketua adat.
Di semua negosiasi tampak bahwa para pemimpin bertindak atas nama konstituennya
(maupun kepentingan pribadinya) dengan wewenang resmi untuk membuat keputusan,
tidak mewakili beragam kepentingan di desa. Dalam keadaan demikian, tidak ada insentif
bagi para kepala desa untuk mewakili atau pun menyampaikan informasi kepada pihak
lain. Tekanan pada para kepala desa di masa itu sangat berat.
Isi rapat dan negosiasi
Seperti uraikan sebelumnya, reformasi telah melahirkan hal-hal baru yang harus diputuskan
oleh desa-desa, terutama mengenai IPPK dan batas-batas desa. Dari Januari hingga Juni
2000, kami berusaha menghimpun informasi kandungan materi semua rapat penggunaan
hutan dan lahan, serta melibatkan wakil-wakil masyarakat (tidak hanya aparat desa) dari
242
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
keempat desa di Long Loreh. Kami hanya mengambil 36 pertemuan saja karena beberapa
pertemuan lainnya bersifat rahasia.
Apa saja yang dibahas dalam semua pertemuan tersebut? Topik hutan dibahas pada 36
persen rapat, jadi rata-rata 5 pertemuan dalam satu bulan (lihat Tabel 12.1). Masalah batas
desa dan ganti rugi, termasuk masalah hutan, menjadi materi bahasan pada setengah dari
semua pertemuan. Semua topik berawal dari masa pra-reformasi: dengan PT Inhutani II
untuk meminta bantuan pembangunan yang lebih memenuhi kebutuhan mereka; dengan
PT John Holland, yaitu subkontraktor perusahaan tambang batubara, untuk mengatur
penyediaan lapangan kerja bagi warga; dengan pemerintah untuk menyampaikan keluhan
tentang dampak tambang batubara dan dengan tambang batubara untuk meminta
pembuatan saluran air bersih; dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
minta akses ke desa; dengan desa tetangga di Langap untuk membahas batas desa; dan
dengan CIFOR untuk memetakan batas-batas tersebut. Warga juga mengadakan pertemuan
antar mereka sendiri untuk membahas akibat banjirnya Sungai Malinau; merencanakan
unjuk rasa menuntut air bersih dari perusahaan tambang batubara; mencegah orang
luar untuk menebang kayu di wilayah mereka; dan mencegah penangkapan ikan dengan
menggunakan racun atau sengatan listrik.
Masa transisi ini adalah masa yang luar biasa ditinjau dari jumlah persoalan dan
rapat-rapat yang harus dihadiri para kepala desa. Angka-angka di atas tidak meliputi rapat
berkaitan dengan IPPK, yang baru dimulai beberapa bulan kemudian.
Dengan berlanjutnya masa reformasi, kami mengamati perubahan harapan
masyarakat terhadap pemerintah. Di awal era reformasi mereka menaruh harapan tinggi
akan memperoleh hak-hak baru dalam arena baru, termasuk kehutanan dan lahan
hutan. Ada harapan yang tidak realistis bahwa politik akan diselenggarakan ‘dari bawah
ke atas’ dan menjadi transparan. Orang-orang menguji sampai sejauh mana klaim atas
lahan bisa mereka ajukan, kompensasi yang dapat dinegosiasikan, dan hubungan yang
bisa dikembangkan dengan Bupati dan stafnya. Lambat laun pemerintah kabupaten bisa
memapankan kedudukan dan menata kembali wewenangnya. Sebagian besar pola lama
dan hubungan dengan kekuasaan muncul kembali. Harapan masyarakat menyurut dan
sebagian besar keadaan kembali seperti semula.
Diskusi: Perwakilan dan partisipasi di dalam desa dan antar-desa
Dalam praktik, relatif hanya sedikit jumlah elit yang aktif dalam pembahasan dan
perwakilan desa. Reformasi tidak banyak mengubah pola-pola historis ini. Tidak ada
Tabel 12.1 Materi rapat selama bulan Januari hingga Juni 2000 di keempat desa di Long Loreh (sampel
= 36)
Materi Bahasan Rapat
Hutan
Kebun sayur dan perkebunan
Hubungan dengan perusahaan
Perbatasan atau ganti rugi
Program pemerintah
Pertemuan dengan pemerintah
Acara desa
CIFOR
Persentase dari keseluruhan
36
17
47
44
3
3
3
2
Sumber: Data lapangan yang dikumpulkan antara Januari dan Juli 2000 (dikumpulkan oleh Asung Uluk, konsultan CIFOR)
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
243
ketentuan yang bisa menjamin keterwakilan masyarakat. Tingkat demokrasi di pedesaan
hanya bisa diukur dari partisipasi langsung warga desa, serta akses dan besarnya pengaruh
terhadap pimpinan mereka. Setidaknya, para kepala desa memiliki akuntabilitas moral
kepada warganya4 yang bisa menurunkan mereka dan memilih pemimpin baru. Namun
hal ini jarang terjadi karena penghormatan mereka kepada kaum bangsawan, tidak adanya
calon alternatif dan karena mengkhawatirkan balas dendam secara pribadi.
Kebiasaan perusahaan dan pemerintah untuk hanya berurusan hanya dengan lingkaran
kecil elit dalam rapat tertutup, sering kali di luar desa, telah mendorong para kepala
desa bertindak untuk kepentingan sendiri dan berkolusi dengan pihak perusahaan atau
pemerintah. Praktik-praktik ini hanya memperkuat kecenderungan beberapa elit untuk
mendominasi pembuatan keputusan, terutama dengan lahirnya IPPK dan terlibatnya
masyarakat dalam negosiasi. Menyadari sifat negosiasi ini, walau secara publik bersikap
toleran namun dalam percakapan antar mereka, masyarakat sering mengungkapkan
kekecewaan dan kecurigaannya. Sehingga negosiasi tertutup seperti itu meruntuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap integritas maupun kemampuan wakil-wakil mereka
tersebut dalam bertindak atas nama mereka atau berperilaku konsisten dengan nilai-nilai
yang diharapkan.
Yang benar-benar mewakili komunitasnya biasanya adalah warga yang berpendidikan
dan percaya diri, serta terampil membaca, menulis dan berbicara sehingga dapat
berkomunikasi efektif dan berpengalaman dengan dunia di luar desa, terutama dengan
pemerintah dan perusahaan. Banyak di antaranya dari kaum bangsawan. Bagi masyarakat
Kenyah dan Merap yang cenderung hirarkis, seorang warga dari kaum biasa sangat sulit
bersuara dalam keputusan desa. Sedangkan kelompok yang kurang diuntungkan seperti para
wanita dan masyarakat Punan, yang seharusnya bisa menyampaikan kepentingan mereka
dalam politik desa, biasanya tidak mampu berkomunikasi secara efektif, dan status mereka
pun tidak menguntungkan. Kebanyakan wanita tidak punya waktu untuk itu. Demokrasi
desa di daerah hulu sungai Malinau, bukanlah bentuk ideal partisipasi masyarakat. Ada
kelompok yang suaranya kecil atau bahkan tak terdengar dalam urusan desa.
Desentralisasi bertujuan untuk mengatasi kurang ketidaksetaraan perwakilan di desa
serta menciptakan kontrol atas kewenangan kepala desa dengan mengharuskan adanya
Badan Perwakilan Desa (BPD). Sayangnya, sebagian besar calon tidak dapat memenuhi
persyaratan pendidikan sesuai peraturan dan tidak banyak warga yang mampu membiayai
suatu badan perwakilan. Hanya sedikit yang memahami fungsi BPD dan bahkan meminta
agar dibiayai pemerintah kabupaten serta agar pimpinan desa menunjuk anggotanya. Minat
untuk membentuk BPD rendah, dan para kepala desa tidak merasa ada manfaatnya bagi
mereka untuk mempromosikannya. Akibatnya, sampai tahun 2004, di Malinau tidak ada
BPD yang berfungsi baik. Maka peraturan baru pemerintah lalu mengurangi wewenang
BPD dan mengembalikan perannya, kembali seperti di masa pra-desentralisasi, sebagai
lembaga pemberi stempel pada keputusan-keputusan desa.
Definisi desa dan para elitnya menjadi penentu utama kepentingan siapa yang diwakili.
Konsekuensi lain dari reformasi adalah bahwa kabupaten mendapat wewenang untuk
mendefinisikan desa-desa sesuai kriteria mereka sendiri. Malinau mengubah pemukiman
majemuk menjadi satu desa tunggal. Maka desa dan rumpun etnis yang lebih kuat akan
mendominasi desa dan rumpun etnis yang lebih lemah. Dalam semua kasus, kelompokkelompok yang lebih kuat tidak terlalu berkeberatan dengan penggabungan desa tersebut.
Kelompok yang lemah menentang penggabungan desa karena perbedaan latar belakang
etnis dan khawatir kehilangan hak atas hutan adat mereka.
244
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Di tingkat kabupaten
Bagaimana dampak desentralisasi pemerintah kabupaten dan reformasi kepada partisipasi
masyarakat? Seberapa jauh warga lokal bisa mempengaruhi keputusan mengenai hutan dan
tata-guna lahan?
Berbeda dengan politik di tingkat desa, di tingkat kabupaten terjadi perubahan nyata.
Pada tahun 2001, pejabat pemerintah berbicara, setidaknya di awalnya, tentang kepedulian
yang sungguh-sungguh kepada politik ‘dari bawah ke atas’. Di tahun pertama desentralisasi,
banyak warga yang menyampaikan kekhawatiran mereka pada Bupati.
Lebih banyak warga lokal merasa meningkatnya akses kepada pejabat pemerintah
karena lebih dekatnya pusat kabupaten baru Malinau, serta adanya prioritas baru untuk
menempatkan putra daerah pada jabatan pemerintah kabupaten. Lebih banyak orang yang
memiliki keterkaitan keluarga, desa maupun kesukuan, dengan para pejabat dibanding
sebelumnya. Lebih banyak yang bisa berbicara memakai bahasa daerah dengan para pejabat
lokal. Di tahun 2004, pegawai pemerintah lokal sudah berjumlah 1565 orang, mayoritas
dari kabupaten Malinau. Pegawai pemerintah setempat berjumlah 7 persen dari seluruh
angkatan kerja di Malinau (16.5 persen dari semua rumah tangga).
Interaksi tatap muka antara warga dengan pejabat kabupaten meningkat. Bupati
lebih sering menghadiri pertemuan besar dengan masyarakat daripada masa pra-reformasi.
Demikian pula kunjungan para pejabat resmi lainnya. Sebaliknya, warga dari komunitas
terpencil juga lebih sering mengunjungi ibu kota kabupaten untuk urusan bisnis, sehingga
lebih banyak berhubungan, sengaja maupun tidak, dengan pejabat kabupaten. Terutama di
antara tahun 2000 hingga 2002, interaksi para kepala desa yang mengatur masalah IPPK
dengan pejabat pemerintah sangat intensif.
Jumlah acara dengar pendapat, konsultasi dan upaya sosialisasi program pemerintah
meningkat secara nyata. Namun, acara dengar pendapat lebih sering berlangsung di
Malinau Kota, di mana kursi untuk wakil masyarakat sering tampak kosong. Dari enam
sampel pertemuan, rapat Laporan Pertanggungjawaban Bupati paling banyak dihadiri,
yaitu oleh sekitar 50 wakil masyarakat. Tiga pertemuan lain hanya dihadiri 10 hingga 30
anggota masyarakat, dan dua pertemuan hanya dihadiri satu atau bahkan tidak dihadiri
warga masyarakat. Warga yang hadir pun, dengan satu pengecualian, berasal dari desa-desa
yang letaknya dekat dengan Malinau. Tidak ada yang hadir dari wilayah Malinau hulu.
Dalam contoh lain, pada bulan Mei 2001 para pejabat mengkonsultasikan enam rancangan
peraturan daerah di desa Long Loreh (berjarak dua jam naik mobil dari Malinau) dan
setahun kemudian mensosialisasikan peraturan tersebut; namun setahu kami hal itu tidak
dilakukan di lokasi yang lebih terpencil.
Pengumuman dan undangan rapat dengar pendapat biasanya diedarkan hanya sehari
sebelum acara berlangsung (ini terjadi di kabupaten yang mencakup daerah-daerah terpencil
di mana pemberitahuan semacam itu perlu waktu sampai sebulan untuk tiba di tujuan)
(lihat Kotak 12.1). Dari segi pemerintah, pemberitahuan mendadak itu terpaksa dilakukan
karena jadwal para pejabat tertinggi jarang bisa direncanakan. Para pejabat tinggi sering
melakukan perjalanan ke luar kabupaten.
Kadangkala, undangan tertulis bahkan tidak pernah dikirim. Pada satu kasus, ketika
rapat hendak dilangsungkan di Long Loreh, pejabat kabupaten hanya memberitahu kepala
desa Long Loreh yang kemudian menyebarkannya ke desa-desa di sekitarnya. Pada sebagian
besar rapat, desa-desa di hulu mengeluh baru melihat undangan setelah acaranya selesai.
Bahkan bila para warga desa tahu adanya rapat, biasanya mereka tidak hadir karena kurang
informasi mengenai prosesnya atau rendahnya prioritas topik yang hendak dibahas.
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
245
Kotak 12.1 Kesulitan dalam penjadwalan rapat
Pagi hari Selasa tanggal 2 Juli 2002, beberapa warga desa Tanjung Nanga tiba-tiba datang
di Long Loreh untuk menghadiri rapat untuk menjelaskan adanya peraturan baru
pemerintah. Kepala desa Tanjung Nanga telah menerima pemberitahuan itu melalui
radio. Kepala desa Long Loreh yang belum menerima informasi rapat tersebut berusaha
menghubungi kepala desa Tanjung Nanga melalui radio Center for International Forestry
Research (CIFOR) untuk meminta informasi lebih lanjut. Namun tidak berhasil. Siang
harinya sekitar jam 12, kepala desa Long Loreh berhasil menghubungi staf kecamatan
yang memberitahu bahwa rapat ditunda hingga esok harinya sekitar jam 12 siang. Mereka
menyarankan agar menghubungi kantor kecamatan pagi-pagi keesokan harinya.
Kepala desa Long Loreh terkejut ketika sore harinya beberapa pejabat pemerintah
tiba untuk mengadakan rapat. Ketika sedang sibuk mengatur akomodasi dan makan,
kepala desa Long Loreh ditanya apakah sudah mengedarkan pemberitahuan rapat
kepada desa-desa tetangga. Setelah ia menginformasikan kepada para pejabat bahwa
dari 24 desa yang diharapkan menghadiri rapat, belum ada satu pun yang diberitahukan,
ia diminta agar mengatur supaya keesokan paginya semua undangan dapat disebar dan
sekaligus juga menjemput para peserta dari desa-desa tetangga.
Maka pada jam 6 pagi esok harinya dua perahu berangkat untuk memberitahu desa
tetangga dan menjemput para peserta. Rapat dijadwalkan untuk jam 9.00, namun baru
bisa dimulai pada jam 11.00. Oleh karena singkatnya pemberitahuan maka rapat hanya
dapat dihadiri oleh perwakilan enam desa lainnya.
Kewajiban untuk menghimpun masukan dari masyarakat pada awal implementasi suatu
proses dilaksanakan sebagai upaya mensosialisasikan keputusan yang telah diambil. Namun
bahkan upaya ini pun tidak direncanakan matang. Ketika pejabat kabupaten mengadakan
konsultasi di Long Loreh dengan 18 desa untuk mengkaji rancangan peraturan, mereka
tiba dengan hanya menyiapkan lima set fotokopi dari enam peraturan, satu set diberikan
kepada CIFOR. Warga desa hanya diberi waktu lima hari untuk memberi masukan kepada
para pejabat di Malinau.
DPRD mendapat mandat untuk mewakili warga Malinau di pemerintah kabupaten.
Namun 77% warga desa tidak merasa bahwa DPRD tersebut mewakili mereka (lihat
Gambar 12.2).
Anggota DPRD tidak berbuat banyak untuk menghimpun masukan dari, maupun
melapor kembali kepada, komunitasnya. Tampaknya mereka hanya mengaitkan akuntabilitas
dengan kesuksesan dalam pemilihan. Apabila suatu keputusan mereka dipertanyakan oleh
anggota komunitasnya, sudah biasa terdengar jawaban seorang anggota dewan, “Siapa yang
suruh memilih saya?” yang secara tersirat berarti bahwa warga harus percaya pada anggota
DPRD karena merekalah yang memilihnya. Warga lokal mengeluhkan cara wakil-wakil
mereka mengunjungi desa-desa, dan bila ada urusan penting warga setempatlah yang harus
berkunjung ke Malinau; dan itu pun sering kali masih sulit untuk menemui mereka.
Lebih dari separuh warga yang diwawancarai menyatakan bahwa para anggota
DPRD akan bisa bekerja lebih baik bila bertemu langsung dengan masyarakat; lebih
sering berbicara dengan warga desa; serta berkunjung dan mengamati langsung di desa.
Yang lainnya menyarankan DPRD meningkatkan perannya dengan memfasilitasi usulan
masyarakat kepada pemerintah; mengundang masyarakat untuk menyampaikan pendapat
246
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
di DPRD di Malinau; berbagi informasi dengan masyarakat mengenai hasil pembahasan
dan keputusan bersama pemerintah, dan menyalurkan informasi dari dan ke masyarakat.
Meskipun cukup banyak perubahan, ternyata sulit untuk memenuhi tingginya harapan
di awal era reformasi. Pada tahun 2002, sesudah satu tahun mengalami desentralisasi dan satu
setengah tahun mengalami IPPK, pemerintah kabupaten tak ubahnya bagai menunggangi
kuda liar. Meningkatnya konflik dan pertarungan kekuasaan di antara kelompokkelompok etnis telah menciptakan ketidakstabilan lingkungan politik, dengan prioritas
utama pemerintah kabupaten adalah memantapkan kewenangan dan mempertahankan
kehidupan politis. Komentar seorang pejabat kabupaten untuk mencerminkan lunturnya
semangat demokrasi pada saat itu: “Kita dapatkan masukan mereka (‘masyarakat’) dulu,
baru kita membuat keputusan.” Pada tahun 2002, seorang pejabat kabupaten menyatakan
bahwa pemerintah kabupaten akan menetapkan batas-batas desa tanpa melibatkan
masyarakat setempat. Di tahun yang sama, dalam dialog antara pemerintah dan masyarakat,
para pejabat pemerintah lebih mencemaskan menjadi sasaran bidikan daripada melihatnya
sebagai peluang untuk berinteraksi dengan masyarakat. Peran camat yang dihapus dengan
adanya reformasi, dikembalikan sebagai penghubung antara warga dengan pemerintah.
Camat ditugasi mengelola konflik di tingkat desa. Pertemuan langsung dengan Bupati
semakin jarang dengan meningkatnya kesibukannya dan adanya pejabat-pejabat lain di
kabupaten. Sekitar tahun 2004, pemerintah kabupaten sudah mapan, dan dengan undangundang otonomi daerah yang baru, mereka bercokol di kompleks gedung pemerintah yang
baru dibangun.
Meskipun sudah ada reformasi, warga desa yang menemui pejabat kabupaten masih
tetap elit yang dulu mewakili dan mendominasi kepentingan di tingkat desa. Dan walaupun
secara teori, akses kepada pejabat pemerintah terbuka bagi siapa saja, dalam kenyataannya
tetap hanya orang-orang tertentu yang berani mendekati para pejabat pemerintah atau
diberi wewenang untuk berurusan resmi dengan mereka. Kepala desa atau wakilnya juga
mempunyai urusan resmi berkala di Malinau, termasuk yang terkait dengan pencairan
dana pembangunan desa (dana Bangdes), dan pembagian beras bagi warga miskin.
Ketika warga setempat berinisiatif mengajukan permohonan bertemu langsung dengan
pejabat pemerintah, kami amati bahwa kemungkinan keberhasilan lebih besar bagi warga
setempat yang lebih percaya diri. Seorang warga Punan melaporkan bahwa ia menunggu
selama tiga hari di kantor kabupaten untuk membahas suatu proyek, sedangkan warga
lain dari suku Kenyah Long Loreh yang bekerja di salah satu tambang batubara setempat
langsung saja memasuki kantor Bupati. Warga Punan ini mengaku bahwa ia kurang berani
dan kurang teguh menanyakan pertemuannya kepada resepsionis, dan membiarkan
orang lain melewatinya. Rapat-rapat pada umumnya membahas transaksi bisnis dengan
perusahaan kayu, proyek pekerjaan umum, atau agar pemerintah menengahi konflik.
Selama dua tahun terakhir kami tidak melihat ada satu pun wanita yang menunggu untuk
bertemu dengan seorang pejabat tinggi kabupaten.
Kadangkala pertemuan seorang warga lokal dengan seorang pejabat tinggi berlangsung
melalui serangkaian komunikasi dan tindakan sebelumnya. Dalam kasus desa Pelancau,
warga Punan melaporkan keluhan secara lisan kepada pegawai rendahan mengenai
perusahaan kayu setempat. Karena ternyata tidak efektif mereka mengirim surat resmi
kepada Bupati. Akhirnya mereka mengadakan unjuk rasa. Setelah terjadi unjuk rasa,
sekretaris daerah dan seorang anggota DPRD mengunjungi desanya. Ketika kemudian
kepala desa Pelancau berkunjung kepada Bupati, ia seketika diterima.
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
247
Terkadang pemerintah merasa terganggu oleh pertemuan semacam itu karena menilai
tuntutan masyarakat terkesan berlebihan atau konyol. Kami juga mengamati bahwa
masyarakat sering menganggap hak baru mereka untuk berpartisipasi itu sebagai peluang
menambah tuntutan ganti rugi ataupun proyek kepada pemerintah, walaupun tanpa
dasar. Satu komunitas mengajukan tuntutan ganti rugi yang sangat besar dan senantiasa
berubah-ubah atas kerusakan gua-gua sarang burung dekat areal penebangan kayu dan
pertambangan. Dalam suatu acara pelatihan cara penyampaian usulan kepada pejabat
pemerintah, kebanyakan warga masyarakat tidak tahu adanya kantor yang berbedabeda dalam pemerintahan di kabupaten, dan tidak tahu cara membuat usulan serta
pembenarannya. Kebanyakan warga lokal terbiasa hanya menyampaikan masalah mereka
langsung kepada Bupati. Bupati Malinau kemudian mengembalikan peran camat sebagai
wakil pemerintah kabupaten untuk lebih mendelegasikan pekerjaannya kepada orang
lain.
Para pejabat pemerintah memang telah berusaha lebih terbuka dan transparan
tentang berbagai keputusan mereka, tetapi masih banyak lingkup peningkatan partisipasi
masyarakat yang harus dilakukan. Para pejabat kabupaten tidak mampu transparan dan
melibatkan warga lokal dengan cara lebih baik. Kebiasaan dan perilaku Orde Baru masih
terus terwujud dalam cara pemerintah dan masyarakat berinteraksi. Sulitnya koordinasi
di dalam pemerintah kabupaten dan sangat tingginya biaya transportasi dan komunikasi
dengan desa-desa terpencil merupakan kendala bagi kabupaten untuk memenuhi syarat
hukum minimal pelibatan masyarakat. Intensitas perebutan wewenang atas sumberdaya
hutan antara berbagai pihak, menimbulkan pertanyaan sungguhkah kabupaten bersedia
berbagi manfaat dan penguasaan hutan dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Dari sudut pandang masyarakat, kebanyakan desa ingin terlibat lebih besar dalam
berbagai keputusan kabupaten, namun tidak tahu tata caranya. Banyak di antara kepala
desa yang menerapkan pendekatan pro-aktif dalam pertemuan dengan pejabat kabupaten;
tetapi kebanyakan warga desa kurang percaya diri untuk melakukannya. Para pemimpin
lokal melihat peningkatan akses kepada pejabat kabupaten sebagai peluang untuk
menegosiasikan proyek atau uang bagi diri mereka dan desanya, tetapi tidak memiliki latar
belakang hukum agar dapat memberi pembenaran atas tuntutan mereka.
Peningkatan pengaruh masyarakat yang terbesar mungkin terjadi melalui peningkatan
kontak informal dan adanya harapan dari hubungan informal dengan pejabat. Diperlukan
hubungan informal serta pengharapan timbal-balik dalam negosiasi untuk memahami
bagaimana agar aturan pelibatan resmi dapat dilaksanakan dan agar aspek penting
masyarakat bisa memberikan pengaruh yang nyata. Dengan meluasnya administrasi
kabupaten melalui penambahan jumlah pegawai, meningkat pula jaringan hubungan
informal. Sayangnya, sejauh ini interaksi masih terbatas pada sejumlah elit kecil yang
mayoritasnya adalah pimpinan desa. Selain itu, para pimpinan ini pada umumnya hanya
menunjukkan sedikit akuntabilitas kepada anggota konstituennya, dalam bentuk konsultasi
maupun pelaporan.
Kesimpulan
Melihat masih dininya tahap reformasi, peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan lokal merupakan prospek jangka panjang. Bagi komunitas terpencil,
kendala jarak dan biaya menimbulkan pertanyaan apakah partisipasi secara reguler akan
248
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
bisa terwujud. Dari pengamatan kami terhadap interaksi pemerintah dengan rumahtangga pedesaan saat ini, kami menyimpulkan hal-hal berikut tentang potensi peningkatan
tanggung jawab perwakilan di tempat seperti Malinau.
Upaya memperkuat kesempatan dengar pendapat dan pembahasan program-program
pemerintah akan mendukung kemampuan dan kepercayaan diri para pejabat pemerintah
dalam berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Topik prioritas bersama pemerintah dan
masyarakat, khususnya mengenai perkembangan ekonomi, kurang dirasakan sebagai
ancaman dibanding masalah penguasaan lahan, pemetaan, atau reformasi hukum. Peran
pemerintah dalam pertemuan dengan masyarakat yang difasilitasi oleh organisasi nonpemerintah atau oleh komunitas itu sendiri bisa diperluas ke hal-hal di luar isi pidato
pembukaan dan penutupan saja.
Menyadari pentingnya hubungan informal dan terbatasnya hal itu hanya bagi
sekelompok elit pimpinan desa, maka upaya untuk meningkatkan akuntabilitas kepala
desa pada warganya akan meningkatkan kualitas perwakilan. Upaya ini menuntut adanya
pemahaman mikro-politik dalam pengambilan keputusan di tingkat desa dan tumpangtindih antara jaringan kewenangan adat dan pemerintah.
Kelompok-kelompok yang sangat tersisihkan, seperti masyarakat Punan, para wanita,
dan desa-desa terpencil, membutuhkan perhatian khusus dari pihak luar seperti LSM
untuk memfasilitasi interaksi mereka dengan pejabat pemerintah. Kami yakin bahwa dalam
jangka pendek, peluang berinteraksi melalui jalur formal maupun non-formal kelompok
ini masih rendah. Tradisi kekuasaan dan elitisme adat tetap bertahan (Moore, 1973).
Perwakilan yang bertanggungjawab dan partisipasi masyarakat tidak terjadi secara
otomatis (Diemer dan Alvarez, 1995; Daniels dan Walker, 1997; Rossi, 1997) dan bentuknya
bisa sangat berbeda dalam konteks yang berbeda. Dengan desentralisasi, perwakilan yang
lebih baik dari kepentingan masyarakat yang lebih luas memerlukan:
•
•
•
•
pengembangan kemampuan;
populasi yang lebih terinformasi, terutama di kalangan non-elit;
interaksi dengan politik perorangan; dan
pembahasan lebih kritis mengenai jenis partisipasi dan perwakilan yang diinginkan.
Dengan tumbuhnya hubungan baru antara kelompok-kelompok lokal dengan
sistem politik pemerintah, kedua pihak membutuhkan waktu untuk berkembang hingga
tercapainya praktik politik yang saling memuaskan.
Saat ini pemerintah daerah di Indonesia masih memiliki harapan tinggi akan dapat
membantu mendemokratiskan penggunaan sumberdaya alam. Namun kemampuan
formal mereka untuk itu masih rendah. Upaya pihak ketiga secara independen untuk
meningkatkan partisipasi, mengandung risiko bahwa mereka akan dijauhi oleh otoritas
kabupaten dan tidak dapat mengembangkan kemampuan melembaga, namun di lain
pihak bisa mewujudkan pemberdayaan masyarakat secara nyata. Upaya pihak ketiga untuk
meningkatkan partisipasi bekerjasama dengan kabupaten berisiko mereka akan terkooptasi
untuk keluar dari penanganan masalah dengan prioritas tinggi bagi masyarakat, misalnya
masalah hak atas tanah dan borosnya pemanfaatan sumberdaya, namun bisa meningkatkan
kepercayaan dari pihak kabupaten. Menurut kami, memfasilitasi perubahan nyata
menuntut adanya penyeimbangan kedua jenis pendekatan itu, disertai dengan perspektif
jangka panjang.
Realpolitik perwakilan dan Partisipasi Masyarakat Desa
1
249
Catatan
Yang dimaksud dengan tetua masyarakat belum tentu orang berusia lanjut, tetapi orang
yang dianggap memiliki kemampuan untuk membuat keputusan atas nama komunitas.
2 Responden membuat pernyataan itu pada tanggal 6 Mei 1998, dua minggu sebelum
pengunduran diri Soeharto.
3 Mereka termasuk empat wanita (tidak lazim), kemungkinan besar karena para pria
yang mampu sedang berada di hutan. Karena alasan tersebut tidak ada perwakilan dari
Pelancau.
4 Kepala desa diangkat resmi melalui keputusan Bupati dan gaji mereka masih dibayar oleh
pemerintah kabupaten.
Rujukan
Antlöv, H., 2003. Not enough politics! Power, participation and the new democratic polity
in Indonesia, dalam Aspinall, E. dan Fealy, G. (penyunting), Local Power and Politics
in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapura.
Bickford, S., 1999. Reconfiguring pluralism: Identity and institutions in the inegalitarian polity,
American Journal of Political Science, vol 43, no 1, hal. 86–108.
Bogdanor, V., 1987. The Blackwell Encyclopaedia of Political Institutions, Blackwell Reference,
Oxford, Inggris.
Daniels, S. dan Walker, G., 1997. Rethinking public participation in natural resource
management: Concepts from pluralism and five emerging approache, dalam Proceedings of
the International Workshop on Pluralism and Sustainable Forestry and Rural Development,
Rome, Italy, 9–12 Desember 1997, Food and Agriculture Organization, Roma.
Diemer, J. A. dan Alvarez, R. C., 1995. Sustainable community, sustainable forestry: A
participatory model, Journal of Forestry, vol 93, hal. 10–14.
Edmunds, D. dan Wollenberg, E., 2001. A strategic approach to multistakeholder negotiations,
Development and Change, vol 32, no 2, hal. 231–253.
Haraway, D., 1991. Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature, Routledge,
New York, NY.
Lee, K. N., 1993. Compass and Gyroscope: Integrating Science and Politics for the Environment,
Island Press, Washington, DC.
McLean, I., 1996. The Concise Oxford Dictionary of Politics, Oxford University Press,
Oxford
Melucci, A., 1996. Challenging Codes: Collective Action in the Information Age, Cambridge
University Press, Cambridge.
Moore, S. F., 1973. Law and social change: The semi-autonomous social field as an appropriate
subject of study, Law and Society Review, vol 7, hal. 719–746.
Rao, N., 1998. Representation in local politics: A reconsideration and some new evidence,
Political Studies, vol 46, no 1, hal. 19–35.
Rescher, N., 1993. Pluralism: Against the Demand for Consensus, Oxford University Press,
Oxford.
Ribot, J., 1999. Decentralization, participation and accountability in Sahelian forestry: Legal
instruments of political-administrative control, Africa, vol 69, no 1, hal. 23–65.
Ribot, J. C., 2001. Integral local development: Accommodating multiple interests through
entrustment and accountable representation, International Journal of Agricultural
Resources, Governance and Ecology, vol 1, no 3/4, hal. 327–350.
250
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Rosener, J. B., 1978. Citizen participation: Can we measure its effectiveness?, Public
Administration Review, vol 38, no 5, hal. 457–463.
Rossi, J., 1997. Participation run amok: The costs of mass participation for deliberative agency
decision making, Northwestern University Law Review, vol 92, no 1, hal. 173–247.
Schumaker, P., 1991. Critical Pluralism, Democratic Performance, and Community Power,
University Press of Kansas, Kansas, US.
Steelman, T. A. dan Ascher, W., 1997. Public involvement methods in natural resource policy
making: advantages, disadvantages and trade-offs, Policy Sciences, vol 30, hal. 71–90.
Strachan, P. A., 1997. Should environmental management systems be a mechanistic control
system or a framework for learning?, The Learning Organisation, vol 4, no 1, hal. 10–17.
Wollenberg, E., Edmunds, D. dan Buck, L., 2001. Anticipating change: Scenarios as a tool for
increasing adaptivity in multistakeholder setting, dalam Buck, L., Geisler, C. C., Schelhas,
J. dan Wollenberg, E. (penyunting), Biological Diversity: Balancing Interests through
Adaptive Collaborative Management, CRC Press, Boca Raton, FL.
Wollenberg, E., Limberg, G., Iwan, R., Rahmawati, R. dan Moeliono, M., 2006. Our Forest,
Our Decision: A Survei of Principles for Local Decision-Making in Malinau, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
13
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi
Pemerintah dan Masyarakat
Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Periode IPPK (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu) terbukti sangat menguntungkan
dalam jangka pendek namun sangat membekas. Hutan tak lagi sekedar rumah dan tempat
cadangan sumber penghidupan. Hutan sudah menjadi uang tunai, dan ‘kompensasi dan fee’
sudah menjadi bagian dari kosa kata masyarakat lokal. Hubungan antara pemerintah dan
masyarakat telah berubah. Desentralisasi telah mendekatkan negara kepada masyarakat,
dan IPPK membawa ekonomi tunai. Sementara itu, pemerintah berusaha menjalankan
perannya mengatur masyarakat yang merasa ‘bebas’ tanpa menyadari bahwa kebebasan
ada harganya.
Ketika pemerintah baru kabupaten menata kewenangan dan keberadaannya, sikap
oportunis dan keberlimpahan dana di awal desentralisasi mulai memudar. Sebagai gantinya
kita menemukan pegawai pemerintah, perusahaan dan masyarakat desa dengan strategi
yang lebih canggih dan bernuansa untuk menguasai sumberdaya hutan. Aliansi politik
menjadi lebih kokoh dan elit politik baru bermunculan. Keputusan kabupaten tampak
lebih berhati-hati dan kewenangan Bupati dihormati oleh para pegawai pemerintah
kabupaten dan masyarakat setempat. Peluang untuk mengklaim manfaat hutan menjadi
lebih dibatasi dan akses ke pejabat pemerintah menjadi lebih resmi dan berjarak. Dengan
mengembalikan kewenangan Camat sebagai penghubung antara desa dengan pemerintah,
para pejabat kabupaten mengurangi interaksi mereka dengan masyarakat desa. Pemerintah
daerah menyukai retorika partisipasi masyarakat sipil, tetapi curiga dan tidak yakin
bagaimana membuat hal itu terjadi. Hari-hari awal reformasi yang penuh harapan sudah
berlalu; tetapi peran pemerintah kabupaten dan masyarakat lokal di kawasan hutan tetap
tidak jelas dan pertarungan untuk penguasaan hutan terus berlanjut.
252
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Periode yang didominasi IPPK merupakan tahap pertama dari desentralisasi. Belajar dari
pengalaman periode ini, pemerintah daerah mulai menapaki tahap kedua, dan mulai
bereksperimen dengan peran barunya.
Pemerintah daerah di Malinau dan insentif untuk
menangani kemiskinan
Reformasi desentralisasi dan strategi penanggulangan kemiskinan nasional memberikan
mandat kepada pemerintah kabupaten untuk mengatasi kemiskinan. Selama lebih dari tiga
dasawarsa terakhir, upaya menanggulangi kemiskinan telah gagal dan masyarakat miskin
tetap rentan terhadap perubahan situasi ekonomi, sosial dan politik, serta bencana alam.
Berbagai kelemahan masa lalu, meliputi pemusatan kebijakan; pengutamaan bantuan sosial
dan pertumbuhan ekonomi makro; memahami kemiskinan dari sudut pandang ekonomi;
memposisikan masyarakat sebagai obyek; dan asumsi bahwa penyebab kemiskinan adalah
seragam sehingga strategi pengentasan dari kemiskinan pun juga bisa seragam di seluruh
negeri (KPK, 2002).
Dengan otonomi, pemerintah kabupaten ditempatkan sebagai pusat upaya pengentasan
kemiskinan. Konsep-konsep baru mulai dipertimbangkan. Pengentasan kemiskinan harus
spesifik dengan kondisi setempat. Masyarakat miskin seharusnya tidak menjadi obyek pasif
pembangunan, tetapi, malah harus terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi dari sejak permulaan program pemberantasan kemiskinan.
Kemiskinan
Kemiskinan memang tampak nyata di wilayah kabupaten yang berhutan seperti Malinau,
dengan lebih dari separuh dari jumlah keluarga dianggap miskin berdasarkan standar
nasional. Namun komitmen, visi dan sarana untuk mengurangi kemiskinan di tingkat
kabupaten masih terfragmentasi dan tidak memadai. Berbagai program masih menekankan
pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat miskin, bukan mengatasi penyebab kemiskinan
atau memberi kesempatan pertumbuhan aset jangka panjang dan kemajuan ekonomi.
Sebagian besar digerakkan oleh mandat nasional dan prioritas lembaga, bukan oleh
kebutuhan yang dirasakan secara lokal.
Karena setiap pemangku kepentingan memiliki persepsi berbeda pula mengenai
kemiskinan, sulit untuk mengukur situasi nyata di Kabupaten Malinau. Pemerintah
Kabupaten Malinau mempunyai beragam persepsi dan pandangan mengenai kemiskinan
yang dapat dikaitkan dengan ‘tugas pokok dan fungsi’ resmi yang berlaku di tempat
kerja mereka. Maka, menurut Dinas Pertanian, kemiskinan didefinisikan sebagai
ketidakmampuan memenuhi standar hidup layak yang disebabkan oleh kurangnya
lingkungan yang memadai untuk mengembangkan agrobisnis. Dinas Kehutanan
mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kemampuan dan modal untuk mengelola
sumberdaya; DPRD menganggap kemiskinan disebabkan oleh kurangnya infrastruktur
fisik. Namun para pejabat menganggap kemiskinan disebabkan oleh ‘kurangnya etika kerja
dan motivasi masyarakat pedesaan’.
Tidak ada data atau statistik resmi mengenai jumlah rakyat miskin di Kabupaten
Malinau. Meskipun setiap sumber memberikan angka yang berbeda, persentasinya tidak
pernah kurang dari 24% (BKKBN, 2001). Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
253
Kabupaten Malinau, yang dikembangkan pada tahun 2003, tidak menyatakan jumlah
atau penyebaran masyarakat miskin di Kabupaten Malinau. Hanya disebutkan bahwa 126
dari 135 desa di sembilan kecamatan termasuk desa miskin. Surat Keputusan Bupati No.
144 tahun 2005 menyatakan bahwa 58,5 persen masyarakat Malinau termasuk kategori
miskin.
Anggota DPRD Malinau menilai bahwa kondisi kemiskinan sering dimanipulasi
dan dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten sebagai alat untuk meminta perhatian dan
bantuan. Dengan alasan keterisolasian, keterbelakangan dan kemiskinan, usulan-usulan
subsidi pemerintah menjadi lebih efektif, dan lebih banyak pula dana pembangunan yang
diterima.
Kemiskinan juga dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu, yang memanipulasi
dan menggunakannya untuk meminta bantuan dan perhatian dari pemerintah kabupaten.
Anggota DPRD menunjukkan beberapa permintaan dari kelompok masyarakat yang
meminta dibangunnya fasilitas dan infrastruktur. Anggota DPRD maupun anggota
masyarakat bersaing untuk mendapatkan proyek-proyek di desa atau kecamatan tempat
mereka tinggal. Namun, usulan proyek tidak berasal dari masyarakat miskin di desa dan
tidak membantu mengatasi kemiskinan di daerah tersebut.
Gerbang Dema
Di Malinau, pemerintah kabupaten membayangkan bahwa kemiskinan dapat dientaskan
dengan menciptakan masyarakat yang adil di Kabupaten Malinau melalui Gerakan
Pembangunan Desa Mandiri atau Gerbang Dema. Pada tahun 2002, pemerintah kabupaten
mengklaim sudah melaksanakan proyek pembangunan di 96 desa, dengan menghabiskan
sekitar 74,6 miliar rupiah (lihat Tabel 13.1).
Visi desa mandiri ini diilhami oleh reformasi otonomi daerah dan perenungan
tokoh-tokoh kabupaten dan para penasehatnya. Meski mempunyai tujuan mulia, dalam
pelaksanaannya aparat kabupaten memperlakukan Gerbang Dema di Malinau seperti baju
ukuran all size, di mana semua program dipromosikan seolah bisa selalu diterapkan secara
universal. Semua usulan aparat pemerintah selalu dinyatakan sebagai perwujudan Gerbang
Dema (Andrianto, 2006).
Setiap pejabat seolah mengartikannya dengan persepsi masing-masing untuk membuat
proyek sebanyak-banyaknya. Karena proyek umumnya dijadikan alat di mana pejabat
dapat menerima penghasilan tambahan, proyek-proyek demikian lebih bermanfaat bagi
aparat pemerintah kabupaten daripada bagi pihak-pihak yang sebenarnya ditujukan.
Untuk menyempurnakan tahap kedua program tersebut, pemerintah kabupaten
menerapkan model yang diperkenalkan oleh CERD (Community Empowerment for Rural
Development),1 dengan menugaskan para lulusan perguruan tinggi sebagai fasilitator yang
bekerja bersama masyarakat lokal di kecamatan dan desa, untuk mendukung masyarakat
dalam perencanaan dan pelaksanaan program Gerbang Dema berdasarkan rumus 40 persen
untuk pembangunan prasarana, 35 persen untuk pengembangan sumberdaya manusia
dan 25 persen untuk pertanian. Dalam praktiknya, program diputuskan lebih banyak di
tingkat kabupaten, nyaris tanpa masukan dari masyarakat. Masyarakat hanya menerima
sedikit informasi tentang kebijakan dan program pemerintah kabupaten. Minimnya
sosialisasi dan kurangnya transparansi mengakibatkan tidak ada ‘jalan dan pintu masuk’
bagi partisipasi masyarakat dalam gerakan tersebut. Perilaku aparat ini berlawanan dengan
visi mereka dan membiarkan masyarakat miskin menjadi semakin tidak berdaya.
–
1
–
–
–
–
–
2
5
Kayan Hilir
Pujungan
Malinau
Malinau Selatan
Malinau Barat
Malinau Utara
Mentarang
Total
1.6
0.6
–
–
–
–
–
0.2
–
0.8
–
20
2
6
2
3
–
3
2
2
–
30.1
4.6
9.3
6.0
6.5
–
1.2
1
1.5
38
4
8
4
3
–
7
4
3
5
21.7
1.9
7.1
1.1
1.9
–
3.4
0
3.0
3.3
4
1
–
–
–
–
1
1
–
1
0.8
0.2
–
–
–
–
0.2
0.2
–
0.2
29
6
3
1
2
–
7
4
–
6
Total
20.4
3.4
2.1
0
2.1
–
5.5
1.7
–
5.6
96
15
17
7
8
–
18
12
5
14
74.6
10.7
18.5
7.1
10.5
–
10.3
3.1
4.5
9.9
Nilai (miliar Jumlah Nilai (miliar
Rupiah)
proyek
Rupiah)
Sektor Prasarana Desa
Nilai (miliar Jumlah
Rupiah)
proyek
Sektor Ekonomi
Nilai (miliar Jumlah
Rupiah)
proyek
Sektor Sosial
Nilai (miliar Jumlah
Rupiah)
proyek
Sektor Transportasi
Nilai (miliar Jumlah
Rupiah)
proyek
Sumber: BPS Kabupaten Malinau (2003)
2
Kayan Hulu
Sungai Boh
Jumlah
proyek
Sektor Produksi
Tabel 13.1 Program Gerbang Dema, 2002 (dalam miliar Rupiah)
254
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
255
Walaupun sudah menghabiskan anggaran berjumlah amat besar, banyak responden
merasa program ini tidak partisipatif atau transparan dalam pelaksanaannya. Banyak
hal dipertanyakan para responden dari kecamatan Malinau Selatan dan Malinau Barat,
yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Gerbang Dema (akuntabilitas, partisipasi dan
transparansi) tidak dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat menilai program itu tidak
efektif dan percuma dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilibatkannya.
Visi pemerintah tentang kemiskinan tidak sama. Program-program pengentasan
kemiskinan masih tertuju hanya pada pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sesaat
masyarakat miskin. Tidak banyak gerakan untuk mendukung pertumbuhan aset ekonomi
rumah tangga, perluasan kesempatan ekonomi, pelestarian sumberdaya utama hutan dan
air, atau pemberdayaan kelompok yang tersisih dalam proses politik. Selain itu, masyarakat
miskin masih dianggap homogen, dan tidak ada pengelompokan sasaran berdasarkan
karakteristik tertentu. Pemerintah kabupaten Malinau hanya mengumpulkan data
terbatas tentang masyarakat miskin di wilayah kabupaten sejak pertengahan tahun 2005
yang belum dianalisa. Kemiskinan hanya dilihat di tingkat desa, sehingga menghasilkan
intervensi lapangan yang hanya tertuju pada pembangunan prasarana fisik desa, bukan
pada kehidupan masyarakatnya.
Kotak 13.1 Tahapan-tahapan menuju desa mandiri
1 Desa pra-mandiri: desa tradisional, belum ada pengaruh dari luar, produktivitas
rendah dan mata pencaharian hanya di sektor primer.
2 Desa mandiri parsial: desa yang setingkat lebih maju dari desa pra-mandiri, di mana
adat istiadat masyarakat desa sedang mengalami transisi; pengaruh dari luar mulai
masuk ke desa yang mengakibatkan cara berpikir lebih maju dan bertambahnya
lapangan pekerjaan sehingga mata pencaharian penduduk mulai berkembang dari
sektor primer ke sektor sekunder. Produktivitas meningkat diimbangi dengan
bertambahnya prasarana desa.
3 Desa mandiri penuh: desa yang setingkat lebih maju dari desa mandiri parsial, di
mana adat istiadat yang mengikat hubungan antar manusia sudah bersifat rasional,
mata pencaharian penduduk sudah mulai beraneka ragam, bergerak ke sektor
tersier, teknologi baru sudah benar-benar dimanfaatkan, dan tingginya produktivitas
seimbang dengan cukupnya prasarana.
Sumber: Pemerintah Kabupaten Malinau (2002)
Walaupun masyarakat sangat tergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan
mereka (sebagai lahan bercocok tanam, sumber protein, buah, air bersih, obat-obatan,
rotan, kayu dan uang tunai) dan hutan penting untuk jaminan pangan bagi sebagian besar
penduduk, pemerintah kabupaten belum menganggap hutan penting bagi masyarakat.
Berbagai kebijakan penebangan hutan yang mengizinkan kelompok masyarakat mencari
uang dengan mengeksploitasi hutan mereka tampaknya didukung hanya untuk menjamin
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Hal ini kerap mendatangkan konflik lahan di antara warga masyarakat, kerusakan
terhadap jaringan pengaman mereka dan berkurangnya kualitas lingkungan mereka. Setelah
256
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
beberapa tahun terlihat bahwa kebijakan ini gagal meningkatkan taraf hidup masyarakat
miskin yang hidup di sekitar hutan.
Usaha pengentasan kemiskinan di Malinau terdiri dari:
•
•
•
•
•
subsidi melalui sektor kehutanan;
beras subsidi untuk warga miskin;
penerbangan bersubsidi;
subsidi transportasi; dan
penyediaan listrik dan air bersih untuk pedesaan.
Subsidi kehutanan diberikan melalui dana reboisasi dan ditujukan untuk memberi
tambahan penghasilan bagi masyarakat lokal melalui kegiatan penghijauan dan rehabilitasi.
Beras subsidi untuk warga miskin di Malinau terdiri dari 105 ton beras di tahun 2002 dan
45,5 ton di tahun 2003. Karena tidak ada data resmi mengenai penerima atau keadaan
penerima, pembagiannya sering diputuskan atas pertimbangan pejabat kecamatan dan
desa. Penerima harus mendatangi kantor kecamatan untuk mengambil beras seberat 20kg,
walau ongkos pengambilan beras itu di ibukota kecamatan (dengan perahu ketinting)
bisa lebih mahal dari subsidinya. Penduduk desa juga merasa bahwa beras subsidi hanya
diperlukan beberapa bulan sebelum masa panen.
Penerbangan dan transportasi barang disubsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi sampai
tahun 2001. Dari tahun 2002 sampai 2004 pemberian subsidi hanya dari provinsi dan
kabupaten. Nilai subsidi yang diberikan terus meningkat dari 4,6 miliar rupiah pada tahun
2002 menjadi hampir 7,7 miliar rupiah di tahun 2003. Kebijakan ini juga diambil untuk
menjaga stabilitas harga, sehingga masyarakat pedalaman mampu membeli barang-barang
kebutuhan pokok.
Upaya-upaya terkini untuk menanggulangi kemiskinan
Untuk mengimbangi dampak tingginya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),
pemerintah pusat merancang beberapa program yang ditujukan untuk rakyat miskin dan
disalurkan melalui pemerintah daerah. Program pertama yang dilaksanakan di pertengahan
tahun 2005 adalah asuransi kesehatan dengan menyediakan layanan kesehatan gratis bagi
warga miskin. Untuk program ini Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) telah
menyusun daftar indikator kemiskinan setempat, melakukan survei dan menetapkan
jumlah warga miskin sebesar 32.429 jiwa (58,5 persen). Kendala program ini adalah
terbatasnya waktu persiapan. Staf senior Dinas PMD mengatakan bahwa dari laporan
pemerintah kabupaten terdahulu, pemerintah pusat sudah menetapkan jumlah warga
miskin 11.000 jiwa. Jadi, untuk mencakup semua warga miskin, pemerintah kabupaten
harus menyediakan dana tambahan dari APBD kabupaten.
Masalah lainnya adalah bahwa seringkali program-program itu cukup merepotkan.
Untuk memperoleh layanan kesehatan gratis, pasien harus ke puskesmas setempat untuk
meminta surat rujukan pasien untuk mendapatkan perawatan medis di rumah sakit
kabupaten. Beratnya kondisi geografis Malinau membuat warga perlu menempuh empat
jam perjalanan sungai ke hulu untuk meminta surat rujukan ini, padahal waktu tempuh
dari desa ke rumah sakit hanya dua jam ke arah berlawanan. Informasi bantuan kesehatan
ini pun tidak diketahui umum dan banyak warga baru tahu ketika mendaftar di rumah
sakit kabupaten untuk mendapatkan layanan darurat medis.
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
257
Program kedua adalah bantuan langsung tunai bagi keluarga miskin sebesar Rp. 100.000
per keluarga per bulan, disalurkan setiap tiga bulan sekali. Program ini dimulai bulan
September 2005 selama satu tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) berkewajiban atas survei
rumah tangga miskin untuk menyusun daftar warga yang berhak menerima. Uang tunai
dibagikan melalui kantor pos; tetapi di Malinau kantor pos hanya ada di tingkat kecamatan,
bahkan tidak semua kecamatan memiliki kantor pos. Sekali lagi, biaya perjalanan dari desa
ke kantor pos bisa jadi nyaris sama dengan jumlah uang yang akan diambil.
Program lain yang lebih berhasil adalah penyediaan dana hibah untuk pembangunan
prasarana desa. Program nasional ini disalurkan melalui Dinas Pekerjaan Umum kabupaten,
dengan jatah sebesar 250 juta rupiah bagi setiap desa untuk perbaikan prasarana desa
dengan dilaksanakan langsung oleh warga desa, agar mereka bisa memperoleh penghasilan.
Di Malinau, 56 desa dari total 106 desa menerima bantuan ini. Anggota masyarakat
menyambut baik program ini karena memiliki sejumlah aspek positif: mendapatkan
penghasilan (dengan menjadi pekerja atau menjual bahan bangunan di daerahnya);
prasarana desa membaik (pengerasan jalan, fasilitas air bersih atau dermaga perahu di
sepanjang tepi sungai); dan pemberdayaan anggota masyarakat karena seluruh program
dirancang, dilaksanakan dan sebagian diawasi oleh anggota masyarakat.
Di samping itu, semua sekolah negeri menerima subsidi untuk menyediakan pendidikan
yang berkualitas dan meningkatkan akses keluarga miskin terhadap pendidikan (SMERU,
2006). Program ini dimulai pada tahun ajaran 2005 sampai 2006 dan dilanjutkan
selama tahun ajaran 2006 sampai 2007. Sayangnya, kurangnya informasi mengakibatkan
kecurigaan mengenai penggunaan dana tersebut.
Pemerintah juga sedang melihat kemungkinan bekerjasama dengan investor dari
Malaysia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu bara dan
pembangunan jalan-jalan penghubung antar-kecamatan di Malinau. Staf senior pemerintah
kabupaten percaya bahwa pembangunan seperti itu akan mendatangkan kemakmuran
untuk Malinau dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ciri khas cara pandang
teknokrat tentang pembangunan yang diwarisi dari masa Orde Baru. Meskipun berasal
dari kawasan itu, mereka kurang mahir menyelaraskan kegiatan pembangunan dengan
keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Di saat peran pemerintah kabupaten dalam penanggulangan kemiskinan masih
di tahap transisi, pemerintah nasional perlu terus terlibat sebagian, untuk mendukung
program-program yang lebih berorientasi publik. Hal itu tidak hanya mencakup struktur
koordinasi, tetapi juga dukungan di bidang hukum, pendanaan dan pelatihan agar program
dapat berjalan. Di sisi lain, pemerintah pusat perlu memberi keleluasaan agar daerah bisa
mendefinisikan kemiskinan secara lokal, menentukan sendiri prioritas mereka, dan mulai
mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang lebih terintegrasi di
antara dinas-dinas di kabupaten.
Dalam jangka pendek, dengan persepsi dan insentif yang ada sekarang, pengentasan
kemiskinan di tingkat kabupaten agaknya hanya dilaksanakan melalui peningkatan
infrastruktur lokal dan pembangunan ekonomi kabupaten. Walau upaya-upaya itu
bermanfaat langsung bagi pejabat pemerintah, manfaatnya bagi warga miskin tidak
dijamin. Resikonya adalah hal itu bahkan bisa menambah kesenjangan ekonomi karena
sebagian kelompok bisa mengambil keuntungan lebih baik daripada kelompok lain.
258
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Dari IPPK hingga pengelolaan hutan
berkelanjutan?
Sumberdaya hutan masih merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi
pemerintah maupun masyarakat pedesaan. Malinau menghentikan IPPK setelah dilarang
oleh pemerintah nasional dan setelah mempertimbangkan dampak negatifnya. Kemudian
pemerintah kabupaten menyesuaikan model konsesi nasional dalam skala yang lebih kecil.
Dengan peraturan daerah mengenai pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
(Perda 6/2001) dan keputusan Menteri Kehutanan,2 pemerintah kabupaten menerima
wewenang untuk menerbitkan konsesi sampai dengan 50.000ha.
Walaupun kurang memahami implikasinya, warga desa telah menunjukkan kemauan
untuk melaksanakan konsesi pembalakan skala kecil ini, yang dikenal sebagai ‘HPH mini’.
Masyarakat memimpikan penerimaan dana kompensasi dan fee karena pengalaman IPPK
telah menunjukkan nilai uang dari hutan.
Apakah sistem pembalakan berdasarkan HPH mini berbeda
dengan IPPK?
Peraturan yang berlaku untuk izin pembalakan baru identik dengan pedoman yang
diterapkan untuk konsesi penebangan kayu selama Orde Baru. Luas maksimum 50.000ha
dan berlaku selama 20 tahun. Perusahaan harus mengajukan permohonan penebangan
selektif pohon berdiameter 50cm atau lebih. Peraturan daerah juga mensyaratkan pemberian
izin pemanfaatan kawasan hutan harus tertentu lokasi, volume dan komposisi spesiesnya,
serta diwajibkan untuk merencanakan, membalak, mengangkut dan menggunakan kayu,
dan menanam kembali, serta menjaga hutan dan memantau lingkungan (tidak dirinci apa
saja yang harus dipantau).
Ketika mengajukan permohonan izin, perusahaan harus melampirkan peta lokasi
dan perkiraan luasan. Dinas kehutanan kabupaten menyediakan layanan teknis dan harus
memeriksa lokasi (misalnya luasan hutan produksi dan hutan lindung di kawasan tersebut).
Bupati mengeluarkan izin yang menetapkan luasan dan lokasi persisnya. Koperasi, badan
usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta dapat mengajukan permohonan izin.
Di Malinau, pemerintah kabupaten telah mengeluarkan 11 izin seperti ini.
Walaupun tidak disebut dalam peraturan, warga desa berharap perusahaan pemohon
izin harus mendapat persetujuan dari desa-desa yang wilayahnya menjadi daerah operasi
perusahaan. Para broker lokal telah mengunjungi beberapa desa untuk membahas
kemungkinan untuk penebangan kayu di wilayah desa. Diskusi oleh broker dilakukan
desa per desa. Seperti telah diuraikan di atas, sejak pengalaman dengan IPPK, warga desa
menganggap adalah hak mereka untuk menerima pembayaran tunai dari eksploitasi hutan
di wilayah desa mereka, terlepas dari tidak jelasnya hak-hak hukum dan/atau kepemilikan
mereka atas kawasan tersebut.
Bersama perubahan sistem ini dan untuk meningkatkan pengelolaan hutan
berkelanjutan, Departemen Kehutanan sedang mencoba menerapkan sistem kuota atas
volume jatah tebang tahunan yang diperbolehkan per provinsi. Provinsi kemudian membagi
jatah tersebut di antara kabupaten. Dinas Kehutanan kabupaten sudah menyatakan
bahwa volume tahunan akan lebih rendah daripada tingkat pembalakan sebelumnya.
Selain itu, mereka menunjukkan bahwa tingkat tersebut tidak akan menguntungkan bagi
perusahaan.
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
259
Pengalaman awal dengan sistem baru
Meskipun izin-izin sudah dikeluarkan sejak awal tahun 2002, pada tahun 2004 hanya lima
perusahaan yang aktif (lihat Tabel 13,2). PT Gunung Sidi Sukses Makmur yang mulai
beroperasi pada bulan April 2004 di Laban Nyarit, mengalami berulangnya beberapa
masalah di masa IPPK. Dalam seminggu setelah resmi beroperasi, masyarakat desa berunjuk
rasa terhadap perusahaan. Mereka menuntut tambahan kesempatan kerja bagi masyarakat
lokal, kompensasi untuk klaim baru dan pembagian manfaat secara adil. Meski diduga ada
pembagian yang tidak adil, uang yang dibayar saat peresmian dibagi di antara desa-desa
yang kayunya akan diambil, meskipun di beberapa desa pembalakan baru akan dimulai
beberapa tahun kemudian.
Tabel 13.2 Delapan dari 11 HPH mini yang dikeluarkan oleh Kabupaten Malinau dan statusnya
Nama
PT Gunung Sidi Sukses
Makmur
PT Wana Adi Prima
Mandiri
PT Rajawali Sakti Perkasa
PT Bumi Anugrah Lestari
PT Lestari Rimba Raya
PT Glory Sejahtera
Mandiri
PT Gunung Makmur
Perkasa
PT Rimba Makmur
Sentosa
Tanggal izin
15 February 2002
Luas (ha)
38,000
Lokasi
Laban Nyarit
Status
Aktif
2002
32,000
Warot–Sembuak–S. Gita
Mentarang
S. Semendurut
S. Gong Solok
S. Sembuak dan S. Luso
S. Semendurut–S.
Sembuak
S. Hong–Laban Nyarit
Aktif
14 December 2001
14 December 2001
14 December 2002 14,000
12,000
Aktif
Aktif
Aktif
Aktif
Non-aktif
Non-aktif
Sumber: Diskusi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Malinau, 2003
Apakah ‘HPH mini’ akan menjamin pengelolaan hutan yang
berkelanjutan?
Salah satu alasan pengubahan sistem penebangan kayu menjadi HPH mini adalah bahwa
eksploitasi oleh IPPK tidak berkelanjutan dan ada asumsi bahwa izin selama 20 tahun akan
lebih menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Namun, banyak masalah tetap belum
terjawab.
Kekhawatiran utama adalah tidak memadainya luasan konsesi untuk eksploitasi yang
menguntungkan mengingat sistem yang digunakan perusahaan HPH. Misalnya, PT Glory
Sejahtera Mandiri akan memanfaatkan 12.000ha dalam siklus 20 tahun, yang berarti
maksimal 600ha per tahun. Mengingat besarnya operasi perusahaan HPH, sepertinya
secara ekonomis hal ini tidak akan menarik bagi perusahaan.
Masih berlangsungnya perebutan kewenangan urusan kehutanan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah akan menimbulkan kebingungan dan, mungkin juga, berbagai
biaya, pungutan dan royalti yang harus dibayarkan ke berbagai tingkat pemerintah tanpa
ada kendali atas realisasi operasi pembalakan di hutan.
Harapan masyarakat dalam hal keuntungan finansial tetap tidak berubah, sedangkan
menurut pejabat dinas kehutanan kabupaten, HPH mini tidak akan mampu untuk
menawarkan manfaat setingkat dengan IPPK. Selain itu, kurangnya transparansi serta
260
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
tidak jelas dan tumpang tindihnya klaim hutan tetap belum terselesaikan, dan merupakan
sumber potensi konflik di dalam dan di antara desa-desa.
Kabupaten konservasi
Dengan lebih dari 1 juta hektar taman nasional dan lebih dari 600.000ha hutan lindung,
pemerintah Malinau harus menemukan pendekatan inovatif untuk pembangunan.
Kabupaten ini memilih untuk memanfaatkan keterbatasan lingkungan hidupnya, dan
pada tahun 2003 menyatakan diri sebagai kabupaten konservasi, dengan berjanji akan
menerapkan prinsip-prinsip pembangunan konservasi. Dalam inisiatif ini, Malinau
didukung secara resmi oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup,
perwakilan dari Bappenas, beberapa universitas, dan organisasi internasional seperti Center
for International Forestry Research (CIFOR),3 World Wide Fund for Nature (WWF) dan
Tropenbos.
Dalam suatu seminar nasional bertema ‘Kabupaten Malinau menuju Kabupaten
Konservasi’ yang diadakan di Malinau tanggal 5 Juli 2005, dikembangkan seperangkat
kriteria umum untuk mendefinisikan kabupaten konservasi di Malinau (Santosa dkk,
2005). Termasuk di antaranya, adanya wilayah luas yang dialokasikan untuk konservasi,
ketergantungan yang tinggi dari masyarakat pada hutan di sekitarnya, dan komitmen pada
pembangunan yang berbasis konservasi. Visi Malinau mengenai pembangunan masyarakat
mandiri juga disebutkan.
Dalam menyatakan Malinau sebagai kabupaten konservasi, Bupati memberikan alasan
berikut:
Konsep kabupaten konservasi sebagai model pembangunan didorong oleh
kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat setempat akan pentingnya Malinau
sebagai penjaga yang kaya keanekaragaman hayati, paru-paru dunia dan sumber
air. Konsep ini adalah hasil diskusi yang mendalam, perdebatan dan perenungan
mengenai arti dari aset masa depan ini yang harus dilindungi dan diberikan kepada
generasi berikutnya. (dikutip dari Prosiding Seminar Nasional, 4-5 Juli 2005).
Dalam rangka mendapatkan dukungan, Bupati sering mengutip retorika kearifan
tradisional masyarakat Dayak dengan alam (Li, 2000; Billa, 2005). Namun dalam seminar
yang sama, beberapa wakil masyarakat yang hadir menyatakan kekhawatiran bahwa
konservasi akan bisa meniadakan kemungkinan pengembangan masyarakat, termasuk
memanfaatkan sumberdaya hutan.
Namun pemerintah kabupaten Malinau berharap mendapatkan manfaat finansial
dari peranannya sebagai pelindung ‘paru-paru dunia’ bagi kepentingan lokal, nasional
dan internasional (Rudiwidjaja, 2004). Memang, sejak awal otonomi daerah, Malinau
sudah bersikap bahwa mereka layak menerima kompensasi untuk tidak menebang kayu di
kawasan lebih dari 1 juta hektar di Taman Nasional Kayan Mentarang. Tentang kekayaan
sumberdaya Malinau dan hutan primernya, Bupati menyatakan sebagaimana dikutip di
harian Kompas (Anon, 2004):
Tidak heran dengan kondisi seperti ini, sejumlah kalangan mendesak agar
Kabupaten Malinau dijadikan daerah konservasi. Hutan yang masih lestari
tidak boleh ditebangi. Namun, kami tidak menerima apa-apa dari pemerintah
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
261
pusat apalagi lembaga swadaya masyarakat yang mendesak kami melakukan
konservasi.
Dalam seminar nasional tersebut, kabupaten konservasi berharap dapat mengakses
berbagai peluang pendanaan, seperti:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
pembayaran kompensasi jasa lingkungan dalam provinsi, berdasarkan kesepakatan
hulu-hilir;
proporsi yang lebih tinggi dalam bagi hasil pendapatan pemerintah baik tingkat
provinsi dan nasional;
dana alokasi khusus untuk kabupaten konservasi sebagai insentif untuk melestarikan
sumberdaya alam;
pembayaran langsung atas jasa lingkungan;
konsesi konservasi;
pencairan dana untuk Mekanisme Pembangunan Bersih;
pertukaran Hutang untuk Alam;
hibah dari donor internasional;
kemitraan dengan lembaga-lembaga nasional dan internasional.
Karena itu, ada harapan yang jelas bahwa menjadi kabupaten konservasi adalah salah
satu cara mendapatkan bantuan langsung tunai dan pendapatan yang lebih tinggi. Namun
tidak jelas apakah pemerintah Kabupaten Malinau mengerti bahwa hal ini membutuhkan
kerangka konseptual yang jelas, kerja keras dan komitmen yang jelas untuk menerimanya.
Dalam upaya mengembangkan insentif untuk konservasi, telah diusulkan sistem
pembayaran untuk konservasi di mana kabupaten konservasi bisa menerima dana untuk
membiayai upaya konservasi dan untuk memberikan kompensasi atas pendapatan yang
tidak diterima. Sayangnya, kurangnya pemahaman dan perhatian oleh para pengambil
keputusan di Jakarta mengakibatkan dana konservasi didistribusikan merata di antara
semua kabupaten, yang jumlahnya sekitar 200 juta rupiah dengan total anggaran
kabupaten sebesar 3 miliar sampai 4 miliar rupiah (F. Agung Prasetyo, komunikasi pribadi,
2004).4 Sampai saat ini pemerintah pusat belum terlalu semangat menanggapi gagasan ini
dan upaya untuk memperoleh tambahan alokasi dana untuk kegiatan konservasi belum
berhasil.
Dalam sistem administrasi saat ini, dorongan untuk konservasi tidak terlalu besar.
Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah diwajibkan mencari pendapatan yang cukup
untuk administrasi dan pembangunan. Malinau, seperti banyak daerah lain, masih sangat
tergantung pada penerimaan bagi hasil dari sumberdaya alam; yaitu 32 persen royalti dari
penebangan kayu dan pertambangan di daerah, dan bagian royalti yang dihasilkan dalam
provinsi (Cahyat, 2005). Jelas, bagi kabupaten lebih menguntungkan bila membolehkan
tingkat pengambilan sumberdaya alam yang tinggi. Sistem yang ada tidak menyediakan
insentif untuk konservasi. Bahkan cara pembagian dana reboisasi, misalnya, merupakan
disinsentif jelas bagi konservasi. Menurut undang-undang keuangan daerah yang direvisi
(UU 33, 2004), 40 persen dari dana reboisasi yang dikumpulkan dikembalikan ke daerah
‘penghasil’, yaitu daerah yang hutannya ditebang, dan 60 persen akan digunakan untuk
proyek-proyek reboisasi tingkat nasional. Masalahnya adalah perumusan istilah ‘daerah’,
karena produksi kayu kebanyakan dari wilayah kabupaten, tetapi penerimaan dikembalikan
ke provinsi dan dibagikan ke seluruh kabupaten di provinsi itu.
262
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Di sisi lain, ada banyak diskusi dan perdebatan internasional tentang berbagai insentif
bagi konservasi dan mekanisme pelaksanaannya, termasuk pembayaran langsung dan
tidak langsung (Ostrom, 1999; Ferraro dan Kiss, 2002; Pagiola dan Platais, 2002; Hayes
dan Ostrom, 2005 ; Wunder dkk, 2008), dan belum ada mekanisme yang efektif untuk
pembayaran seperti ini. Akibatnya, kepentingan konservasi di tingkat kabupaten memudar
dan kabupaten mencari pilihan lain, seperti pengembangan perkebunan. Sektor swasta
telah menyatakan minat untuk berinvestasi kelapa sawit meskipun ada keberatan dari
masyarakat setempat.
Pada awal diskusi tentang kabupaten konservasi, terungkap bahwa konsep ini dapat
dikaitkan dengan pembayaran kompensasi melalui perdagangan karbon. Seorang pejabat
pemerintah senior yang terlibat dalam diskusi mengenai kabupaten konservasi secara
rutin meminta informasi mengenai perdagangan karbon dan mekanisme pelaksanaannya.
Seorang ilmuwan senior CIFOR yang meneliti topik ini secara jelas menerangkan bahwa
perdagangan karbon sangat diatur dan membebani pihak penerima. Dijelaskan juga bahwa
pada tahun 2003, berdasarkan Protokol Kyoto, perdagangan karbon juga tidak berlaku
untuk Kabupaten Malinau karena konservasi hutan primer tidak termasuk dalam protokol
Kyoto. Ilmuwan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak mekanisme lainnya, yang lebih
fleksibel, untuk menerima pembayaran kompensasi dan/atau subsidi untuk melestarikan
hutan dan keanekaragaman hayati.
Pada tahun 2005, di tengah diskusi mengenai kabupaten konservasi, Malinau
mendapatkan perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di
Swiss, Borneo Tropical Rainforest Foundation (BTRF), yang menawarkan dukungan bagi
Malinau melalui pasar karbon sukarela. BTRF kemudian mengatur sebuah perjanjian
perdagangan karbon antara Global Eco Rescue (GER), sebuah perusahaan jasa lingkungan,
dan pemerintah kabupaten Malinau. Dengan imbalan 1 Euro per satu hektar lahan per
tahun, Malinau telah sepakat untuk melindungi 325.000 ha hutan lindung (Anon, 2007;
Sinyal dan Warouw, 2007; Williamson, 2007).
GER mengklaim bahwa pihaknya mendukung ‘transisi ke ekonomi global yang hemat
secara ekologi dan energi melalui pengembangan, pendanaan dan pengelolaan diversifikasi
portfolio sumberdaya alam, energi terbarukan dan proyek-proyek lingkungan yang akan
dijalankan dengan cara yang terbaik, lestari dan menguntungkan’. Dalam pasar sukarela,
bekerjasama erat dengan organisasi seinduknya BTRF, GER telah menciptakan model
bisnis kehutanan mutakhir, yang menghargai konservasi dan penanaman kembali hutan
tropis (BTRF-GER, 2007).
Proyek tersebut masih pada tahap awal dan realisasinya hingga kini belum jelas. Bupati
pernah dikutip mengatakan bahwa belum ada kepastian tentang nilai sebenarnya dan
masih perlu dikaji. Setidaknya sebagian uang itu akan digunakan untuk meneliti jumlah
karbon yang bisa diserap oleh hutan (Anon, 2007). Lokasi seluas 325.000 ha juga masih
belum jelas, dan satu sumber menyebutkan tempatnya di tiga hutan lindung yang terpisah
(yaitu Pasilan Tabah Hilir Sungai Sembakung, Long Ketrok dan Gunung Laung-Gunung
Belayan) (Dewi, 2007).
Jumlah dananya relatif kecil, tetapi cukup signifikan untuk Malinau. Untuk mengelola
dana ini dan memastikan penggunaannya untuk pembangunan, pemerintah berencana
untuk mendirikan sebuah lembaga layanan publik, Badan Layanan Umum (BLU), yang
dijalankan oleh beberapa individu independen. BLU ditujukan sebagai badan pemberi
hibah, menerima dan menilai usulan yang diajukan oleh masyarakat pedesaan dan
mencairkan dana untuk usulan yang disetujui.
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
263
Sebuah skema untuk melindungi wilayah hutan yang luas tidak akan berhasil tanpa
perjanjian yang tetap dan kerjasama dengan warga di dalam atau di sekitar daerah tersebut.
Namun, sebagian besar warga Malinau masih belum tahu dan belum ada pengumuman
tentang letak hutan tersebut serta siapa yang akan menikmati manfaatnya. Perlindungan
yang efektif dan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan memerlukan saling percaya
antara semua pemangku kepentingan. Cara yang paling efektif adalah merancang proyek
dari bawah ke atas dan memastikan masyarakat menerima manfaat langsung dan tidak
hanya dalam jangka panjang (Kusumaatmadja dan Thoumi, 2007), pelajaran yang belum
terserap oleh sebagian besar pejabat kabupaten Malinau.
Kekhawatiran lain adalah bahwa kesepakatan, khususnya di kalangan masyarakat,
bersifat cair dan mudah berubah jika perubahan situasi, seperti dibahas di bawah ini.
Kesepakatan
Gelombang perubahan dalam pemerintahan di masa paska-Soeharto dan desentralisasi
telah mendorong transformasi sosial yang cepat di seluruh negara. Perubahan sosial cukup
genting terjadi terutama di daerah yang kaya sumberdaya alam dan banyak masyarakatnya
yang selama ini terpinggirkan. Hal ini tergambar dalam kasus Malinau, di mana banyak
peluang tersia-siakan karena ketidakmampuan untuk menegakkan perjanjian atau
kesepakatan.
Warga desa mencatat bahwa di masa lalu, janji-janji dan/atau kesepakatan selalu dipenuhi
walau semua secara lisan. Dengan desentralisasi dan perubahan terkait, kini warga desa kesal
karena semua perjanjian tertulis tetapi jarang dipatuhi. Bagian ini membahas mengapa hal
itu terjadi dan dampaknya bagi pengelolaan sumberdaya berkelanjutan.
Tidak jelas apakah dulu orang selalu memenuhi janji dan kesepakatan, hal yang
tampaknya sangat mustahil. Karena itu, perjanjian penting umumnya disahkan dengan
sumpah. Melanggar sumpah seperti ini diyakini akan mengakibatkan hukuman ilahi,
sehingga penduduk desa tersebut jarang melanggar sumpah. Dengan masuknya agama
Nasrani dan Islam, sumpah ini kehilangan ‘kekuatan sosial’ karena dinilai sebagai aspek
animisme dan primitifisme, bahkan kekafiran. Namun agama-agama Nasrani dan Islam
belum seluruhnya berhasil menggantikan kepercayaan yang sebelumnya dianut mengenai
‘pembalasan Tuhan’.
Selain itu, dengan desentralisasi dan peluang berwirausaha di tingkat lokal, negara
Indonesia terbukti kurang mampu dan/atau tidak bersedia untuk menegakkan perjanjian
tertulis. IPPK contohnya, akta notaries yang dibuat mengesankan kokohnya perjanjian;
namun masyarakat tidak peduli atau tidak memahami bagaimana dokumen ini dapat
membantu mereka dalam menegakkan kontrak dengan perusahaan. Selain itu, hanya
sedikit tindakan yang dilakukan pada para pelanggar kontrak. Masyarakat atau pemimpin
mereka sering membuat kesepakatan tentang batas desa atau penggunaan sumberdaya alam
yang dianggap sementara, dan terkadang dipersengketakan hanya setelah beberapa bulan.
Contohnya sengketa batas antara Sengayan dan Nunuk Tanah Kibang, atau kontrak IPPK
antara Langap dan CV Hanura.
Perusahaan penebangan dan pertambangan memiliki sikap yang sama. Dari awal
perjanjian antara perusahaan dan masyarakat, tidak ada yang dipenuhi tanpa pemaksaan
dari masyarakat agar perusahaan memenuhi janji-janji mereka. Beberapa warga masyarakat
awalnya mencoba memastikan bahwa perusahaan memenuhi perjanjian dengan
264
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
mengirimkan surat ke perusahaan dan pemerintah kabupaten. Karena hanya menerima
sedikit tanggapan, masyarakat turun menutup jalan dan menyita peralatan untuk menarik
perhatian pada masalah tersebut. Karena tindakan itu membuahkan reaksi yang cepat dari
perusahaan maupun pemerintah, warga percaya bahwa unjuk-rasa adalah satu-satunya
cara untuk menegakkan kesepakatan. Mereka juga tahu bahwa sebuah perjanjian yang
dilanggar akan digantikan oleh perjanjian lain yang mungkin akan dilanggar lagi kecuali
bila ada tindakan untuk menegakkan perjanjian.
Jika perjanjian yang stabil tidak dapat tercapai di antara masyarakat, perusahaan,
dan pemerintah, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan akan tetap gagal. Apa yang perlu
berubah? Mungkin yang paling penting adalah agar semua tingkat pemerintahan berperan
lebih aktif dalam perjanjian pembalakan, dan merumuskan serta menegakkan sanksi tegas.
Sebagai contoh, desa sangat kurang berpengalaman dengan perjanjian bisnis dan tidak
mampu membuat perjanjian yang adil. Untuk itu, pemerintah kabupaten dapat mengatur
tingkat kompensasi yang adil bagi masyarakat. Walau hal itu telah diminta oleh masyarakat,
sampai sekarang belum ditanggapi. Setelah desentralisasi, peran dan kewenangan
pemerintah kecamatan menjadi tidak jelas. Meskipun secara hukum kecamatan hampir
tidak memiliki kewenangan, pemerintah kabupaten tampaknya mendorong agar Camat
dapat berperan dalam penyelesaian sengketa batas desa, pemanfaatan sumberdaya, dan
perselisihan antara perusahaan dengan warga masyarakat.
Kesimpulan
Bab ini menggambarkan beberapa tanggapan terhadap pesatnya perubahan sejak reformasi
dan desentralisasi di Malinau. Lebih jauh lagi, bab ini juga menggambarkan suatu proses
pembelajaran, baik bagi pemerintah kabupaten maupun bagi masyarakat dalam beradaptasi
dan mencoba memanfaatkan peluang baru dengan sebaik-baiknya. Setelah masa jaya IPPK,
yang sangat menguntungkan bagi masyarakat lokal tetapi juga meningkatkan konflik dan
masalah lingkungan yang nyata, pemerintah mencoba mengatur pembalakan secara lebih
rasional, yaitu memberlakukan sistem pembalakan baru yang juga memuat isu lingkungan
(yaitu konsesi jangka panjang). Namun beberapa aspek lain yang mendasari pengelolaan
hutan yang berkelanjutan belum bisa ditangani. Masalah hak-hak warga masyarakat belum
diselesaikan dan sepertinya bisa berlanjut menjadi konflik antar desa dan antara desa
dengan perusahaan, yang bisa mengurangi peluang tercapainya pengelolaan iye alam yang
lestari. Masalah pemerataan pembagian keuntungan dari pengusahaan hutan juga belum
terselesaikan. Hal ini akan semakin membebani perusahaan sehingga mencari jalan lain
untuk menjaga tingkat keuntungannya.
Tiga upaya di atas adalah prakarsa yang baik; tetapi pelaksanaannya memang sulit.
Beberapa peraturan pemerintah pusat yang mengembalikan pengambilan keputusan
kehutanan ke pusat, telah menghambat pelaksanaan peraturan daerah mengenai HPHmini. Kurangnya dukungan pemerintah tingkat nasional kepada masalah konservasi juga
tidak mendukung pengembangan kabupaten konservasi.
Proses pembelajaran sekarang telah menempuh sedikitnya tiga siklus. Tahun-tahun
pertama desentralisasi telah lebih mendekatkan negara (yaitu pemerintah) kepada masyarakat.
Setelah tahun-tahun pertama, pemerintah mundur dan para Camat ditempatkan sebagai
mediator antara warga dengan pemerintah kabupaten. Dalam siklus yang ketiga, telah
berkembang suatu pengertian baru antara pemerintah dan warga negaranya. Pemerintah
Upaya-upaya Baru Membentuk Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
265
sedang belajar bekerjasama dengan masyarakat lokal, yang mulai memahami peran dan
tanggung jawab mereka sendiri maupun pemerintah.
Catatan
1
CERD adalah program yang didanai oleh Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank; ADB) melalui Departemen Dalam Negeri, dan menekankan peningkatan hubungan
antara masyarakat pedesaan dengan pasar perkotaan. Program berfokus pada masyarakat
miskin dengan potensi pengembangan yang tidak terlalu jauh dari pusat perkotaan.
2 Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 16/Kpts-II/2003 tentang rencana kerja,
rencana kerja lima tahun, rencana kerja tahunan dan bagan kerja usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada hutan alam.
3 CIFOR melakukan penelitian di Malinau sejak tahun 1998 dan termasuk sebagai pemangku
kepentingan. WWF juga bekerja di Taman Nasional Kayan Mentarang sejak tahun 1990.
4 F. Agung Prasetyo adalah ilmuwan di CIFOR yang terlibat dalam program Forest Partnership
(WWF, Tropenbos dan CIFOR).
Rujukan
Andrianto, A., 2006. The Role of District Government in Poverty Alleviation: Case Studies in
Malinau and West Kutai Districts, East Kalimantan, Indonesia, Governance Programme
Report, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Anon, 2004. Daerah konservasi mestinya dapat kompensasi, Kompas, 15 Desember, www.
kompas.com/kompas-cetak/0412/15/otonomi/1440097.htm.
Anon, 2007. Kabupaten Malinau masuki pasar karbon dunia, Kompas, 9 November, www.
kompas.co.id/kompas-cetak/0711/09/humaniora/3980513.htm.
Billa, M., 2005. Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
BKKBN, 2001. Field Data on Poor Households per Subdistrict, BKKBN Malinau, Malinau,
Indonesia.
Boedhihartono, A. K., Gunarso, P., Levang, P. dan Sayer. J., 2007. The principles of conservation
and development: Do they apply in Malinau?, Ecology and Society, vol 12, no 2, www.
ecologyandsociety.org/vol12/iss2/art2/.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Malinau, 2003. Kabupaten Malinau Dalam Angka
Tahun 2002, BPS, Malinau, Indonesia.
BTRF–GER, 2007. Brosur, www.greenrenaissance.org/files/brochure/btrfger_brochureweb.
pdf.
Cahyat, A., 2005. Perubahan Perundangan-undangan Keuangan Daerah Tahun 2004:
Bagaimana Pengaruhnya pada Program Penanggulanan Kemiskinan Daerah?, Governance
Brief No 24, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Dewi, S. U., 2007. Perdagangan Karbon Sukarela: Suatu Alternatif Kreatif, http://sudewi.blog.
com/2276188/, diakses 3 Desember 2007.
Ferraro, P. J. dan Kiss, A., 2002. Direct payments to conserve biodiversity, Science, vol 298,
hal. 1718–1719.
Government of Malinau District, 2002. Gerbang Dema Strategy General Guidelines, East
Kalimantan, Indonesia.
266
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Harijono, T., 2007. Ironis, daerah yang membabat hutan malah diberi kompensasi ratusan
miliar rupiah, Kompas, 7 November.
Hariwibowo, 2008. Pilot Project Skema REDD Gagal, Pemerintah Indonesia akan Sangat
Malu Besar, 22 Januari, www.modus.or.id/parlemen/redd.html.
Hartiningsih, M. dan Laksmi, B. I., 2007. Perdagangan karbon libatkan semua pihak, Kompas,
10 Desember.
Hartono, B., 2008. Marthin Billa, penggugah dunia dari pedalaman, Tribun Kaltim, 10
Januari
Hayes, T. M. dan Ostrom, E., 2005. Conserving the worlds forests: Are protected areas the only
way?, Indiana Law Review, vol 38, no 3, hal. 595–617.
Hudiono, U., 2007. Indonesia could net US$2 billion from forest conservation, The Jakarta
Post, 30 November 2007.
Kolesnikov-Jessop, S., 2006. Fighting to save Borneos vital last rain forests, International Herald
Tribune, 19 September 2006, www.iht.com/bin/print.php?id=2852374.
KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan), 2002. Dokumen Interim Strategi Penanggulangan
Kemiskinan, KPK, Jakarta, Indonesia.
KPK, 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, KPK, Jakarta, Indonesia.
Kusumaatmadja, R. dan Thoumi, G., 2007, Land dictates the rules and rural communities are
the gatekeepers, The Jakarta Post, 4 Desember.
Li, T. M., 2000. Articulating indigenous identity in Indonesia: Resource politics and the tribal
slot, Comparative Study of Society and History, vol 42, no 1, hal. 149–179.
Oka, N. P. dan William, D., 2004. The Policy Dilemma for Balancing Reforestation Funds,
Decentralisation Brief no 1, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Ostrom, E., 1999. Self-Governance and Forest Resources, Occasional Paper no 20, CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Pagiola, S. dan Platais, G., 2002. Payments for Environmental Services, Environment Strategy
Notes no 3, World Bank, Washington, D.C.
Proseeding Seminar Nasional, 2005. Menuju Kabupaten Malinau Sebagai Kabupaten
Konservasi, Malinau, 4–5 Juli 2005.
Rudiwidjaja, R., 2004. Ekowisata alat unggulan penyelenggaraan kabupaten konservasi, Sinar
Harapan, 6 Mei, www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0506/wis02.html.
Santosa, K. D., Gunarso, P. dan Priyadi, H., 2004. Kabupaten Konservasi sebagai Bentuk
Model Forest: Studi Kasus Kabupaten Malinau, Makalah Disajikan Dalam Workshop
Model Forest, 6–10 Desember 2004, di Madiun, Indonesia.
Sinyal, D. dan Warouw, W., 2007. Kabupaten Malinau rintis pasar karbon dunia, Sinar
Harapan, 25 Oktober, www.sinarharapan.co.id/berita/0710/25/kesra02.html, diakses 8
Februari 2008.
SMERU, 2006. Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan Bantuan Operasional Sekolah
(Bos) 2005, www.bappenas.go.id/.../&view=443/SMERU_ BOS_PKPS_BBM.pdf,
diakses 9 Februari 2008.
Syaifullah, M., 2003. Kapuas Hulu mestinya jangan hanya basa-basi, Kompas, 7 November
Williamson, L., 2007. Pricing the Indonesian forests, BBC News, Kalimantan, 12 Desember,
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7136345.htm.
Wunder, S., Campbell, B., Iwan, R., Sayer, J. A. dan Wollenberg, E., 2008. When donors get
cold feet: The community conservation concession in Setulang (Kalimantan, Indonesia)
that never happened, Ecology and Society, vol 13, no 1, hal. 12, www.ecologyandsociety.
org/vol13/iss1/art12/.
14
Mengarungi Jeram:
Sintesis dan Kesimpulan
Eva Wollenberg, Moira Moeliono dan Godwin Limberg
Kisah Malinau ini menonjolkan potensi reformasi tata kelola global menuju pengelolaan
yang lebih bersifat lokal dan demokratis. Desentralisasi dan reformasi demokrasi di
Indonesia pasca-Soeharto telah meningkatkan kendali hutan pada pemerintah kabupaten,
dan sekaligus melemahkan kekuasaan pemerintah pusat secara dramatis. Akibatnya,
berbagai kekuatan sosial lokal menjadi lebih berpengaruh terhadap pemerintahan daerah,
yang nantinya akan membentuk dan membatasi kekuasaan pemerintah kabupaten.
Di Malinau, dan kami duga juga berlaku bagi banyak wilayah hutan lainnya, kekuatan
sosial ini telah dan akan tetap sangat dipengaruhi oleh ikatan-ikatan etnis. Orde politik
lokal bermunculan, diperkuat dan diatur oleh hubungan kekuasaan di antara kelompokkelompok etnis. Banyak di antara orde politik lokal ini lahir dari jaringan generasi
awal tokoh-tokoh berpengaruh serta keturunannya. Desentralisasi dan reformasi telah
memberikan tampilan dan suara baru kepada orde tersebut.
Namun tanpa melakukan langkah-langkah demokratis yang kuat dan pengawasan
dari pemerintah pusat, potensi terjadinya kolusi demi kepentingan sendiri akan berlanjut
bahkan bisa lebih meningkat di kalangan elit etnis lokal, pejabat kabupaten dan pengusaha.
Hutan Malinau telah menjadi bahan perebutan, terutama di masa penuh ketidakpastian
di tahun-tahun awal transisi. Manfaat dari sumberdaya hutan pada saat ini terkumpul di
tangan mereka yang selama ini sudah memiliki pengaruh di tingkat lokal atau terorganisasi
baik. Kelompok yang lemah akan kalah, gagal dalam negosiasi, serta klaim mereka atas
hutan, wilayah desa dan keuntungan dari perusahaan kayu menghadapi ancaman. Konflik
antar kelompok, dengan pemerintah dan perusahaan semakin meningkat.
Di tahun-tahun awal desentralisasi, hutan Malinau mengalami kerusakan dengan
laju yang belum pernah dialami, meski tidak terlalu luas. Ketidakjelasan kebijakan dan
wewenang, serta ketidakpastian peruntukan lahan dan hak pengelolaannya di sebagian
268
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
besar wilayah kabupaten, membuat hutan Malinau terancam kehancuran. Ketidakpastian
dan ketidak-jelasan ini membuka peluang bagi kelompok-kelompok kuat untuk bertindak
secara tidak resmi untuk memenuhi kepentingan sendiri. Meskipun masyarakat merasa
memiliki akses kepada pejabat setempat, pemerintah kurang menanggapi keinginan
masyarakat setempat untuk menetapkan batas wilayah maupun terhadap prioritas mereka
dalam pemanfaatan dan perlindungan hutan. Pembalakan dan konversi hutan yang
didorong oleh kepentingan komersial tampak akan berlanjut tanpa menghiraukan prioritas
lingkungan hidup maupun masyarakat setempat, khususnya karena upaya memperoleh
dukungan dana untuk konservasi hingga saat ini belum berhasil.
Pesatnya laju perubahan ini sama pentingnya dengan perubahan itu sendiri. Cepatnya
reformasi telah mempengaruhi persepsi mengenai ketidakpastian dan menyulitkan
kelembagaan dan masyarakat untuk beradaptasi secara cepat dalam menangani masalah
dan peluang. Sementara itu, ketidakpastian ini memungkinkan berkembangnya sikap
pemburu keuntungan dan oportunis tanpa hambatan. Walaupun masa kekacauan awal
sudah berlalu, belum menentunya keadaan hutan mencerminkan bahwa para pembuat
keputusan masih butuh waktu lebih panjang untuk mengembangkan kelembagaan yang
tepat. Berbagai organisasi politik masyarakat lokal terus bertumbuh bersama berubahnya
sistem pemerintahan. Lambatnya regenerasi hutan akan menyulitkan diperolehnya kembali
apa yang telah hilang.
Sejarah mutakhir Malinau telah menunjukkan transformasi sosial dan kendali negara
yang terjadi dalam upaya menciptakan tata kelola yang lebih bersifat lokal. Di buku ini
kami mencoba menjelaskan perubahan itu dengan menjawab tiga pertanyaan:
1. Bagaimana peran baru negara dan masyarakat dalam menuju tatanan politik lokal
yang baru?
2. Bagaimana pengaruh semua perubahan itu terhadap kelompok-kelompok yang
tersisihkan?
3. Bagaimana pengaruh semua perubahan ini terhadap hutan, bagaimana pengelolaannya
serta manfaat jangka panjangnya?
Lahirnya tatanan politik setempat
Manifesto: Desentralisasi dan demokrasi
Desentralisasi dan reformasi demokrasi di Indonesia telah memicu lahirnya badai
perubahan. Meskipun perubahan ini tercermin dan terbentuk di atas kecenderungan dan
ketegangan lama antara negara dan berbagai masyarakatnya, lima tahun terakhir ini telah
melahirkan gelombang perkembangan cepat. Sudah sejauh mana jangkauan reformasi ini?
Sudah bisakah kita mengatakan bahwa Indonesia telah berhasil membawa desentralisasi
dan demokrasi ke tempat-tempat seperti Malinau?
Di Malinau kita melihat paduan lintasan perubahan, penyesuaian, kontradiksi dan
pembalikan. Reformasi pemerintahan menciptakan struktur operasional bagi pemerintah
daerah. Harapan, retorika dan keinginan serta keterbukaan menuju perubahan cukup
tinggi pada 2-3 tahun pertama reformasi seiring dengan terciptanya struktur tersebut.
Ada inisiatif, aliansi dan suara-suara baru, khususnya dari kelompok-kelompok lemah
seperti suku Punan atau kelompok masyarakat di daerah terpencil seperti di Sungai Bahau
dan Apo Kayan yang mulai mengadakan pertemuan berkala dengan pejabat pemerintah.
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
269
Pejabat pemerintah kabupaten akrab dengan nilai-nilai dan gaya hidup tradisional
meskipun tidak mendukungnya. Masyarakat semakin terbuka mengkritik pemerintah dan
warga desa semakin bisa menyatakan konflik dan ketidaksetujuan. Ada pembicaraan untuk
mengalokasikan hak atas tanah dan mengembangkan peluang ekonomi baru. Akses dan
pengaruh kelompok-kelompok lokal kepada pemerintah kabupaten lebih besar daripada
sebelumnya.
Dengan semakin mantapnya keadaan, semakin tampak pula komplikasi reformasi.
Dalam kerangka yang tercipta oleh reformasi, substansi pemerintahan – yang diukur atas
dasar ketanggapannya, efisiensi pengalokasian sumberdaya, transparansi, akuntabilitas
serta keadilan – tampak lemah di dua bidang. Di bidang formal kemampuan kebanyakan
pejabat dan instansi pemerintah rendah. Infrastruktur dan kekuatan ekonomi tetap terpusat
di pusat-pusat ekonomi seperti antara lain Tarakan, Surabaya dan Tawao.1 Ketergantungan
pada dana dari Jakarta serta kebutuhan untuk melobi di pusat tetap tinggi. Penegakan
hukum dan peraturan buruk. Pembagian peran antara kabupaten, provinsi dan pusat masih
kabur. Pengembangan kelembagaan gabungan untuk penetapan dan pendistribusian lahan,
pengelolaan sumberdaya alam, penanganan konflik atau peningkatan partisipasi tampak
tidak seimbang, tidak jelas dan lamban. Perjanjian-perjanjian ternyata lemah dan mudah
dibatalkan. Desakan perubahan disertai melambungnya ekonomi lokal yang terjadi di
tahun-tahun awal tidak memberi waktu untuk berfikir dan bertindak secara bijaksana (de
Soto, 2000). Kebanyakan pejabat belum cukup memperoleh pelatihan dan pengalaman
dalam tata pemerintahan daerah yang demokratis. Kebanyakan pernah dididik dan/atau
dilatih di pusat oleh Departemen Dalam Negeri. Jadi walaupun cukup terpikat oleh
konsep demokrasi dan otonomi, mereka tidak memiliki pengetahuan dan kepercayaan
diri untuk menerapkannya. Beberapa di antara mereka mengungkapkan kecemasan bahwa
reformasi hanya akan menimbulkan kekacauan dan konflik. Kebiasaan dan norma-norma
budaya Orde Baru tetap melekat. Sikap hendak memodernkan masyarakat tradisional
tetap bertahan (Dove, 1988). Kecurigaan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
tetap tinggi. Masa adaptasinya singkat.
Kesediaan warga negara untuk melibatkan diri adalah ‘inti dari proses demokrasi’
(Moyer, 2001, hal.2), tetapi masyarakat juga merupakan hambatan bagi pemerintah daerah
untuk memainkan perannya. Masyarakat lokal tetap belum terorganisasi dan terinformasi
dengan baik meskipun kebanyakan sangat berminat terhadap perubahan demokratis di
tingkat kabupaten. Ironisnya, hanya faksi-faksi tertentu saja yang sangat mendukung
reformasi di pedesaan, biasanya pihak yang beroposisi dengan kepala desa. Pada awalnya baik
pejabat maupun masyarakat lokal bersemangat menghadapi kemungkinan meningkatkan
partisipasi dalam urusan pemerintahan, tetapi kecewa dengan lambannya proses reformasi.
Mereka juga sadar bahwa biayanya mahal, baik untuk biaya transpor dan akomodasi
maupun dari segi waktu. Partisipasi kembali bersandar kepada jaringan-jaringan lama dan
hubungan informal dengan birokrasi.
Para pejabat menganggap tuntutan penduduk setempat berlebihan dan susah
ditanggapi. Di era Soeharto, selain pemecahbelahan dan pencegahan secara sistematis
terhadap berkembangnya organisasi lokal, juga ditumbuhkan pandangan bahwa
pemerintah adalah pelindung atau bapak yang senantiasa mengayomi seluruh warga.
Tuntutan masyarakat pada pemerintah lebih bersifat pada keuntungan material dan bukan
untuk mempromosikan penentuan nasib sendiri maupun peningkatan lembaga-lembaga
kolektif. Pemerintah tidak berhasil menegakkan kewajiban yang seharusnya menyertai hak,
yang artinya bahwa setiap keuntungan baru harus merupakan subyek pajak.
270
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Selain kurangnya kemampuan di tingkat formal, di tingkat non-formal terdapat
kecenderungan yang menghambat terjadinya reformasi yang substantif. Pengalihan
kekuasaan pada pejabat lokal telah memicu kemungkinan terjadinya kolusi, korupsi
dan mengedepankan kepentingan diri sendiri (Smith dan Obidzinski, 2003). Sering
kali kekuasaan politik disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan finansial yang
kemudian dibagi-bagikan sebagai investasi dan penguatan jaringan untuk meningkatkan
dan mempertahankan kekuasaan. Dengan meningkatnya kepentingan finansial dan politik,
semakin marak pula praktik kesepakatan intern dan tawar menawar. Pejabat di tingkat
atas mengejar keuntungan cepat, termasuk dari kayu dan pertambangan, dengan alasan
untuk menghasilkan pendapatan daerah. Mereka cenderung memanfaatkan, mengabaikan
dan menyusun kebijakan dengan cara yang paling menguntungkan diri sendiri. Kisah
mengenai IPPK adalah contoh paling menonjol. Pejabat di tingkat rendah menyibukkan
diri dengan bagian perolehan dari proyek, perjalanan dinas untuk mendapatkan tunjangan
tambahan, serta berebut kekuasaan kecil-kecilan. Sikap terlalu mementingkan diri sendiri
serta permainan politik kelas bawah yang terjadi di birokrasi telah menjadi insentif kuat
untuk melawan berkembangnya reformasi secara substantif. Hal itu juga menyita perhatian
dan waktu yang terbatas.
Pemerintah pusat bereaksi terhadap apa yang dinilai sebagai kepentingan pribadi yang
berlebihan dari pemerintah daerah, dengan mengambil kembali kendali, khususnya di
bidang kehutanan. Tahun 2004 terbit Undang-undang baru yang membingkai kembali
desentralisasi, dengan mengembalikan wewenang pemerintah provinsi untuk mengawasi
kabupaten. Di sektor kehutanan diterbitkan beberapa peraturan baru yang secara berangsur
mengikis kewenangan pemerintah kabupaten atas hutan. Penyesuaian perimbangan
kekuasaan antara pusat dan kabupaten hingga kini masih berlangsung, walaupun banyak
yang sependapat bahwa sulit bagi pemerintah pusat untuk mengembalikan kekuasaan
secara penuh kecuali dengan paksaan. Banyak yang memandang terpilihnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2004 sebagai pencerminan keinginan rakyat untuk
mengembalikan otoritas seperti itu.
Struktur baru pemerintah daerah telah menyediakan potensi besar untuk perubahan;
tetapi faktor-faktor sebagaimana diuraikan di atas, sangat menghambat laju kemajuan
desentralisasi dan reformasi demokrasi. Meskipun ada peningkatan pengetahuan dan
pengalaman yang diperoleh melalui proses-proses sebelumnya, baik pejabat maupun
masyarakat sama-sama kecewa karena tingginya harapan sebelumnya ternyata tidak segera
terpenuhi. Masyarakat mungkin juga menarik diri ke dalam zona nyaman dari kebiasaan
masa lampau. Pemerintah daerah maupun pusat perlu merasa aman terlebih dahulu
sebelum dapat melanjutkan langkah demokratis berikutnya. Namun dalam membina rasa
aman ini para pembuat keputusan di daerah tampaknya kembali ke pola-pola kekuasaan
lama, bukannya membangun dasar yang lebih kokoh untuk pemerintahan yang lebih
demokratis. Banyak kalangan di luar pemerintah yang menilai walaupun beberapa elemen
pemerintahan telah berubah, hasilnya tetap mengecewakan.
Negara dan masyarakat
Sebelum reformasi, ‘pemerintah’ adalah sesuatu yang jauh, tak dikenal dan tidak terjangkau
oleh kebanyakan penduduk Malinau dan daerah terpencil lainnya. Masyarakat memang
warga negara Republik Indonesia, namun tidak memiliki pengaruh atau suara dalam
pembuatan keputusan formal. Pemerintah yang mereka kenal adalah tokoh politik lokal
tidak resmi, para pemimpin tradisional, hubungan kesukuan, bos-bos lokal dan sesekali
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
271
ada pejabat yang memberi layanan kesehatan, mengawasi potensi konflik, atau menghadiri
upacara. Reformasi telah lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, dan
meleburkan dua wilayah, yaitu negara dan rakyat. Pemerintah terasa lebih dekat karena
secara fisik kantornya lebih terjangkau dan lebih banyak pegawai dari warga lokal. Pada
tahun 2004 sekitar 3 persen dari populasi adalah pegawai pemerintah setempat. Hampir
setiap orang punya kerabat di pemerintahan. Suasana politik yang informal, pribadi dan
kesukuan bercampur dengan sikap resmi, tidak pribadi dan anonim. Perpaduan dua sistem
ini melahirkan suatu tatanan politik baru di Malinau, dan mungkin juga di banyak daerah
pedalaman Indonesia.
Politik dalam tatanan baru ini menuntut perimbangan antara klaim informal atas
sumberdaya serta hubungan timbal balik dan personal yang lazim pada komunitas
tradisional di satu pihak, dengan budaya pemerintah di pihak lain, yang birokratis, atasanbawahan dan politik uang. Para politisi dan penduduk yang paling berkuasa adalah mereka
yang berhasil memelihara pengaruh di kedua domain itu serta menggunakannya untuk
menjembatani hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga merupakan orang-orang dengan
pengetahuan dan kemampuan untuk menyalahgunakan kelembagaan informal secara sah.
Dengan demikian, IPPK sesungguhnya merupakan kemitraan antara kantor Bupati, Dinas
Kehutanan kabupaten, bos-bos kayu setempat serta para ketua masyarakat adat tertentu.
Rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit juga dibangun atas dasar aliansi serupa.
Sebaliknya PT Inhutani II menarik diri dari wilayah ini ketika gagal membentuk aliansi
lokal setelah kehilangan perlindungan pemerintah pusat.
Upaya membangun pengaruh memintas dua bidang itu telah mengalihkan perhatian
masyarakat pada usaha menggalang aliansi lokal, bukannya mencari keputusan dari atas ke
bawah atau beraliansi ke atas di dalam hirarki pemerintah. Dengan demikian tidak ada satu
pihak pun yang memiliki basis kekuasaan mutlak, walaupun Bupati masih tetap dianggap
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.2
Kelompok-kelompok di dalam pemerintahan kini lebih saling bergantung, seperti
halnya pemerintah kabupaten dengan masyarakat setempat. Dengan bergesernya perhatian
kepada persekutuan lokal ini, maka berbagai prakarsa terjadi melalui perpaduan kesepakatan
formal dan non-formal yang memungkinkan para pejabat kabupaten menghindari
perhatian pemerintah pusat dan kurang transparan terhadap masyarakat. Perilaku kolusi
ini menghasilkan keuntungan luar biasa bagi beberapa elit tertentu, biasanya para tokoh
di masa lampau. Hirarki lama telah merebut kembali statusnya karena hanya yang berasal
dari kalangan bangsawan dan para elit yang memiliki pendidikan, sehingga lebih mampu
tampil dalam pemerintahan baru.
Kelompok etnis, masyarakat dan keluarga lokal telah dimanfaatkan secara selektif
sebagai alas sosial untuk masuk ke lingkungan politik formal dan non-formal. Maka
reformasi telah mengangkat aspek kesukuan dari sekedar pengisi pameran kebudayaan
pada masa Soeharto. Pengelompokan etnis menjadi dasar klaim atas tanah dan sumberdaya
hutan. Mereka juga menjadi satuan dasar pembangun modal sosial dan aliansi-aliansi
politik. Warga lokal menggunakan identitas etnis untuk ‘menempatkan’ orang lain sebagai
sekutu, pesaing, atau sekedar orang luar serta menetapkan posisi sosialnya. Menanggapi
kegiatan masyarakat madani yang lebih luas di masa pasca-Soeharto, masyarakat telah
mengelompokkan diri sesuai kelompok etnisnya misalnya Lembaga Adat Punan, Lembaga
Adat Tidung dan Lembaga Adat Lundaye, dan memulihkan kewenangan non-formal
lembaga-lembaga adat, meskipun baru didirikan. Kelompok etnis telah mendasari
berbagai aliansi di tingkat lebih atas maupun bawah tingkat kabupaten. Persekutuan
272
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Dayak Kalimantan Timur mencerminkan upaya untuk membangun aliansi etnis di tingkat
provinsi. Lundaye memiliki organisasi di tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Bagi pejabat pemerintah, keturunan etnis atau afiliasi mereka dengan kelompok etnis
lain karena perkawinan atau pengangkatan, mencerminkan kesetiaan dan kewajiban sosial
mereka, dan sering kali juga konstituen mereka. Pemerintah kabupaten telah berusaha
untuk mempertahankan dukungan dan keabsahannya melalui perwakilan yang berimbang
dengan menempatkan kelompok etnis yang kuat di berbagai posisi utama, seperti kelompok
Kenyah, kelompok Lundaye dan kelompok Tidung. Mereka makin banyak menggunakan
dan memanfaatkan lambang-lambang dan acara-acara budaya dengan tujuan memperoleh
dukungan masyarakat. Mereka juga menanggapi serius keberadaan berbagai organisasi
etnis baru dengan mengundang para wakilnya pada acara-acara resmi di kabupaten dan
melibatkan diri dalam acara-acara organisasi etnis tersebut. Untuk mempersatukan berbagai
kelompok ini, Bupati berusaha menduduki status sebagai ‘kepala adat besar’ dengan
harapan status tersebut dapat membantu meningkatkan pengaruhnya guna memperlancar
pelaksanaan tugas pemerintahannya. Namun masyarakat yang dianggap tradisional tidak
serta-merta menerima peran itu. Berkat reformasi semakin banyak masyarakat berharap dan
menuntut agar pemerintah lebih transparan dan akuntabel. Peran feodal kepala adat besar
dianggap sudah tidak cocok lagi dalam tatanan baru. Namun hanya sedikit mekanisme
nyata untuk menerapkan konsultasi dan akuntabilitas.
Pengalaman Malinau dalam lima tahun terakhir mengisyaratkan bahwa kekuatan
masyarakat madani akan bertumpu pada tingkat koordinasi atau persaingan kelompok etnis
setempat, baik di dalam kelompok maupun antar-kelompok untuk membentuk koalisi.
Kelompok yang memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah setempat atas dasar etnis,
komunitas atau keluarga, akan memperoleh peluang terbesar untuk membangun aliansi.
Di mana hanya ada satu kelompok etnis atau satu set kelompok etnis yang beraliansi dan
terorganisasi baik, maka besar kemungkinan mereka akan lebih berpengaruh terhadap
pemerintah kabupaten dan bisa memetik keuntungan lebih besar dari tatanan yang baru
ini. Bila terdapat banyak kelompok etnis yang saling bersaing, mereka akan lebih lemah
dan keuntungan mereka akan berkurang.
Oleh sebab itu pemerintah lokal lebih memberi ruang pada kecenderungan
pertumbuhan aliansi etnis dalam menghadapi negara yang melemah. Pemerintah lokal
mengakui adanya saling ketergantungan dengan kelompok-kelompok tersebut dan
berusaha bekerja sama dengan mereka, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Bangkitnya tatanan politik ini masih tetap tidak koheren dan tidak stabil karena adanya
ketegangan naluriah para pejabat setempat untuk bekerja dalam ranah masyarakat lokal
maupun ranah negara. Bila pemerintah pusat membiarkan kabupaten mempertahankan
kewenangan dan akuntabilitas ke bawah bagi warga, bisa diharapkan terjadi penekanan silih
berganti antara dua ranah ini, seiring dengan naik-turunnya ketegangan dalam berbagai
konteks dan tahun pemilihan. Ayunan pendulum ini mengikuti kesediaan para pejabat
untuk mengemban upaya dan risiko lebih untuk mengembangkan model pemerintahan
demokratis yang belum pasti, atau memilih untuk kembali pada pola otoriter politik
uang masa lalu yang memungkinkan mereka menuai keuntungan finansial yang besar.
Berdasarkan sejarah penciutan dan pemekaran kekuasaan negara, bisa diramalkan akan
terjadinya masa-masa peningkatan konflik dan gejolak masyarakat yang dapat mendorong
para pejabat untuk kembali pada sistem pemerintahan otoriter seperti yang tampaknya
terjadi dewasa ini. Terlepas apakah sistem pemerintahan menjadi demokratis atau otoriter,
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
273
keduanya akan dibangun di atas dasar politik etnis dan aliansi lokal yang lebih kuat dan
lebih mandiri terhadap Jakarta.
Dampak pada kelompok-kelompok yang
terpinggirkan
Perubahan yang diuraikan di atas berdampak penting pada kelompok yang terpinggirkan.
Berbagai akibat pada masyarakat Malinau maupun pada kelompok terpinggirkan di
Malinau akan diuraikan berikut ini, dan juga akan dirangkum pokok-pokok utama dari
bab-bab sebelumnya.
Secara umum Malinau telah cukup banyak menikmati manfaat desentralisasi dan
reformasi demokrasi.3 Pemerintah kabupaten telah berhasil memanfaatkan (Li 1999a, b)
bahkan merebut kekuasaan atas hutan dan sumberdaya lainnya yang sebelumnya dikuasai
oleh pusat. Sebagai kabupaten, Malinau juga telah menerima alokasi dana langsung dari
Jakarta sehingga mendapatkan infrastruktur dan sumberdaya keuangan yang lebih besar
daripada ketika berupa daerah terpencil jauh dari ibu kota Kabupaten Bulungan. Manfaat
keuangan yang mengalir ke Malinau telah meningkat secara signifikan: lebih dari 30 persen
antara tahun 2002 dan 2003 (Andrianto, 2006).4 Infrastruktur kesehatan dan pendidikan
serta kegiatan ekonomi telah meningkat di sebagian besar kabupaten.
Pemerintah kabupaten juga bertindak secara semi-otonom dari pusat dan provinsi.
Dengan lebih besarnya dana dan kesempatan melakukan perjalanan, para pejabat kabupaten
telah berhasil membina jaringan dan aliansi yang lebih luas. Lebih banyak warga menduduki
jabatan berpengaruh dalam pemerintah daerah yang lebih berkuasa. Sebagaimana diulas
di bagian sebelumnya, masyarakat kini bisa berhubungan lebih dekat dengan, serta lebih
bisa mengontrol negara. Meskipun secara geografis dan ekonomis Malinau lebih terpencil
terhadap Samarinda dan Jakarta, kabupaten ini dengan jeli mengambil kesempatan dari
kedekatannya dengan Malaysia dan RRC untuk mengembangkan peluang dagang dan
hubungan yang terkait dengan kehutanan. Secara cerdik kabupaten ini juga memanfaatkan
keterpencilan dan keterbelakangannya menjadi aset internasional dengan cara memposisikan
dirinya sebagai daerah konservasi tingkat global yang hendak menjual jasa lingkungan
hidup, sambil menggunakan argumentasi ini untuk mengajukan tambahan dana dari
pemerintah pusat.
Masyarakat di Malinau ikut memperoleh keuntungan, namun pada umumnya
hanya yang berjangka pendek, kurang dari potensi sebenarnya yang dikantongi oleh para
elit. Dalam kasus desa-desa yang diteliti oleh Anderson dan Kamelarczyk, 50 hingga 70
persen dari semua rumahtangga di setiap desa melaporkan lebih baiknya kondisi-kondisi
kesehatan, jalan, transportasi, pendidikan, dan pada umumnya pendapatan yang lebih baik
pula. Serupa dengan itu, dari survei kami terhadap 14 desa, 52 persen melaporkan bahwa
kesejahteraan mereka meningkat meskipun ada peningkatan biaya hidup.
IPPK telah berdampak paling nyata dalam ekonomi lokal. Manfaat tunai selama tiga
tahun pembayaran IPPK berjumlah rata-rata US$10005 per rumahtangga di tujuh desa
DAS Malinau yang bekerjasama dengan IPPK. Jumlah pembayaran per rumahtangga
di desa-desa ini bervariasi cukup tinggi, antara US$61 hingga US$2235. Rumahtangga
menghargai pendapatan dari IPPK ini karena besarnya jumlah uang yang diperoleh; tetapi
dibandingkan dengan pendapatan dari gaji dan hasil hutan, pembayaran IPPK tidak
teratur dan tidak pasti. Kebanyakan rumahtangga menggunakan tambahan pendapatan
274
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
ini, setidaknya sebagian, untuk keperluan biaya hidup, tetapi juga ada investasi cukup
besar untuk kesehatan, pendidikan dan perumahan yang meningkatkan modal insani.
Kurang dari 30 persen melaporkan menabung sebagian uang yang diperoleh. Manfaat yang
diberikan kepada desa-desa berupa jalan dan bangunan umum cukup signifikan meskipun
pemeliharaan belum jelas. Sebuah kejadian tanah longsor pernah menutup jalanan ke satu
desa selama hampir satu tahun.
Pengalaman dengan IPPK menunjukkan bahwa penduduk desa Malinau kehilangan
manfaat potensial karena lemahnya proses negosiasi. Bertindak mewakili perusahaan
Malaysia, para broker mengatur negosiasi IPPK dengan masyarakat dan pihak kabupaten.
Tidak tampak adanya persaingan di antara para broker: mereka bertindak seperti kartel
di mana semua persyaratan telah diatur. Para broker sering kali membawa peta daerah
tebangan yang dibuat oleh kabupaten. Mereka juga jarang berhubungan langsung
dengan masyarakat secara keseluruhan selain setelah kesepakatan tercapai. Negosiasi yang
dilakukan hanya melibatkan beberapa anggota masyarakat yaitu pimpinan lembaga adat,
pewaris hak atas sarang burung atau kepala desa. Dalam satu kasus, bahkan ada desa lain
yang melakukan negosiasi atas nama desa-desa Punan tanpa sepengetahuan desa tersebut.
Para pembuat keputusan di desa mengadakan pertemuan sendiri dengan para calo di luar
desa. Sering kali acara negosiasi semacam itu dihadiri pula oleh pejabat-pejabat pemerintah
yang duduk bersama para calo serta datang dan berangkat kembali bersama mereka.
Sebagian besar pembuat keputusan di desa tidak menentang pada putaran pertama
negosiasi. Ada warga desa yang hanya mendapat Rp. 5.000 (US$0,59) per meter kubik,
dan yakin telah memperoleh harga yang baik karena beberapa perusahaan kayu membayar
kompensasi sebesar Rp. 3.000 (US$0,39) per meter kubik. Angka rata-rata di Malinau
adalah Rp. 27.000 per meter kubik dan yang tertinggi Rp. 50.000 per meter kubik
(US$5,90). Masyarakat kemudian belajar menegosiasikan harga lebih mendekati angka
terakhir ini. Kesempatan dan kesediaan untuk negosiasi ulang merupakan faktor utama
yang mempengaruhi tingkat manfaat yang didapat di Malinau. Namun jumlah tersebut
jauh lebih rendah daripada yang diperoleh warga desa di kabupaten lain. Di Kutai Barat
ada persaingan antar perusahaan, tetapi yang terpenting adalah bahwa masyarakat lebih
banyak memperoleh informasi. Warga desa mengkoordinasikan sendiri perizinan dan
bertemu langsung dengan kontraktor kayu di desa. Pembayaran yang diterima di Kutai
Barat berkisar antara Rp. 30.000 (US$3,50) hingga Rp. 150.000 (US$17,65) per meter
kubik, jadi rata-rata Rp. 80.000 (US$9,40) per meter kubik.
Sebagaimana tersirat dalam perbandingan dengan Kutai Barat, warga desa di Malinau
menegosiasikan harga yang jauh dari nilai potensial kayu. Atas dasar harga kayu di Malinau,
kami perkirakan bahwa warga desa hanya memperoleh 1,4 persen dari nilai gross kayu yang
ditebang. Manfaat yang diperoleh warga desa biasa lebih sedikit daripada para pembuat
keputusan, yang terkadang mendapat sekitar Rp. 10.000 per meter kubik di atas harga
yang dibayarkan kepada desa, di luar kemungkinan adanya pembayaran lain yang kurang
transparan. Warga Punan adalah yang paling dirugikan. Mereka paling sedikit dilibatkan
dalam negosiasi, seringkali diwakili oleh desa lain, paling kurang mendapat informasi dan
rentan dalam menghadapi para broker, serta juga paling tidak peduli berapa jumlah kayu
yang ditebang. Desa-desa yang berhasil menegosiasikan keuntungan terbaik adalah yang
bertindak secara kolektif dengan desa-desa lain (Palmer, 2003). Bila ada modal sosial dan
transparansi kuat di dalam desa, akan bisa diperoleh manfaat paling tinggi.
Yang paling signifikan adalah bahwa pembayaran manfaat bagi warga lokal dari IPPK
bersifat jangka pendek. Meskipun masyarakat menginvestasikan sebagian menjadi aset
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
275
jangka panjang, hutan, yang merupakan aset lokal terpenting untuk mendukung ketahanan
pangan, menjadi terbagi dan terdegradasi. Broker dan pejabat pemerintah yang menerima
uang terbanyak adalah pihak yang paling memperoleh manfaat. Neraca keuntungan dan
penguasaan atas manfaat dari hutan masih sangat timpang di tingkat lokal.
Timpangnya keseimbangan kekuasaan itu adalah kenyataan bahwa dua aset penting
bagi warga Malinau yaitu tanah dan hutan secara formal belum terjamin. Ketidakterkaitan
kebijakan nasional dan kabupaten, dan kebijakan dengan pelaksanaannya di lapangan,
telah mengaburkan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam urusan lahan. Dalam
praktik, pemerintah kabupaten menjadi pembuat keputusan, tetapi tidak memiliki
dukungan hukum atau kemampuan. Anggapan bahwa kantor pemerintah pusat dan daerah
yang ada di Malinau (kantor cabang Badan Pertanahan Nasional di Malinau dan Dinas
Pertanahan Kabupaten) bisa memberikan sertifikat atas tanah di dalam kawasan hutan
negara setempat tampaknya diakibatkan oleh kurangnya pemahaman mengenai kebijakan
nasional dan desentralisasi. Hanya upaya kelompok etnis untuk mengatur wilayah desa
dan klaim kelompok masyarakat adat atas tanah yang memiliki dasar hukum, walaupun
proses pelaksanaannya belum jelas.
Meningkatnya kemungkinan mendapatkan pembayaran kompensasi dan ‘fee’
berdasarkan hak atas hutan, telah merumitkan proses klaim dengan meningkatkan
persaingan atas tanah, khususnya di tahun-tahun awal transisi. Klaim atas tanah meningkat
dari sekitar 1,3 kasus setahun di masa Orde Baru hingga sedikitnya 50 kasus setahun dari 1998
hingga 1999. Namun pihak kabupaten belum menentukan sikap mengenai penanganan
masalah hak atas tanah dan sumberdaya. Mungkin kabupaten juga berkepentingan untuk
mempertahankan ketidak-jelasan dalam pengalokasian lahan dengan cara yang mereka
anggap terpenting dan dapat memenuhi kepentingan mereka sendiri. Pengesahan hak
kepada pihak lain akan mengurangi peluang kendali oleh pihak kabupaten. Mengingat
bahwa formalisasi akan menghasilkan pihak yang menang dan pihak yang kalah, maka
kabupaten secara bijak sadar akan kemungkinan terjadinya peningkatan perseteruan etnis
dan menurunnya dukungan politik pihak-pihak utama.
Sayangnya, kerancuan semacam ini mendorong pemanfaatan sumberdaya jangka
pendek yang menyebabkan kelompok-kelompok lemah, seperti suku Punan, akan dirugikan
dalam pertarungan dengan kelompok yang lebih kuat dalam mempertahankan hak mereka
atas tanah. Tanpa kepastian dan jaminan hukum, lahan dan hutan akan menjadi ‘modal
mati’ dalam tatanan kebijakan baru (de Soto, 2000, hal. 32). Menurut de Soto, apabila
aset tetap berada di sektor luar hukum (extra legal) peluang pembangunan menjadi terbatas
karena aset-aset tersebut tidak terinci atau tersusun; sifatnya yang tidak tetap dan tidak
pasti akan menimbulkan kesalahpahaman dan menghasilkan kesepakatan yang tidak
langgeng; transaksi tidak terlindungi; aset tidak mudah dikonversi atau diperdagangkan.
Kepastian dan kejelasan hukum atas aset hutan dan lahan di Malinau akan mendorong
pemanfaatan yang transparan, penilaian yang lebih akurat, investasi, dan pembangunan
perspektif jangka panjang untuk sumberdaya alam Malinau.
Meningkatnya nilai hutan, persaingan, kerancuan hukum dan berkembangnya
oportunisme di masa transisi juga telah meningkatkan secara dramatis terjadinya konflik.
Meskipun sulit memperkirakan angkanya secara tepat, masyarakat melaporkan paling
sedikit ada 86 kasus konflik terjadi di antara tahun 1997 hingga 2002, dibandingkan
hanya delapan kasus yang mereka ingat pada masa Orde Baru. Konflik yang terjadi telah
beralih dari konflik mengenai hak atas tanah pertanian dan hasil hutan non-kayu seperti
gaharu sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru, ke konflik baru mengenai batas-
276
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
batas desa, hak atas kayu, pembagian manfaat dari IPPK dan proyek-proyek pemerintah
di era reformasi. Banyak konflik yang terkait dengan ketegangan antar-kelompok etnis di
masa lalu dan klaim mereka atas tanah. Sebagaimana dikemukakan pihak lain (Wulan dkk,
2004), masa reformasi telah memungkinkan warga lebih bebas mengungkapkan konflik
yang terbentuk dari ketegangan laten dan semakin menumpuk selama masa Soeharto.
IPPK telah menjadi katalis lebih banyak terjadinya konflik dibandingkan fenomena
lainnya di masa reformasi. Dari 22 desa di Malinau yang berhubungan dengan IPPK, 19
menyebutkan bahwa mereka mengalami masalah dengan para broker, tentang pengingkaran
pembayaran fee, tidak dibangunnya sarana yang dijanjikan, penebangan di tempat yang
salah, atau tidak ada penanaman tanaman perkebunan di daerah bekas tebangan. Dari
19 desa tersebut, 11 desa mengadakan aksi melawan IPPK, biasanya dengan melaporkan
mereka kepada kabupaten. Di tingkat rumahtangga, 52 persen dari semua rumahtangga
yang diwawancara di Adiu, Tanjung Nanga dan Sengayan melaporkan konflik berkaitan
dengan IPPK. Konflik yang terjadi di tingkat rumahtangga umumnya terkait dengan
jumlah penerimaan uang setiap rumahtangga, tuduhan suap, dan tidak adanya transparansi
dalam pembagian fee.
Kesediaan masyarakat untuk memprotes tindakan perusahaan atau pemerintah
mencerminkan adanya pergeseran kekuasaan di tingkat akar-rumput. Semenjak masa
reformasi, para pejabat pemerintah daerah semakin sering bicara tentang politik dari bawah
ke atas. Rapat umum di Malinau semakin sering, walaupun yang menghadiri kebanyakan
warga penduduk sekitar Malinau Kota. Kunjungan para pejabat ke desa telah meningkat
dan para pejabat pemerintah daerah di Malinau pun melaporkan meningkatnya jumlah
surat dan kunjungan dari desa. Namun besarannya masih rendah, dan kebanyakan usulan
yang diterima dari warga desa tidak pernah dibalas, kecuali jika bertepatan dengan rencana
pemerintah atau berkaitan dengan proyek kerjasama keuangan. Warga desa kini menuntut
hak menentukan nasib sendiri dan merasa lebih bebas mengungkapkan pendapat kepada
pejabat pemerintah, khususnya mengenai hal-hal menyangkut desa mereka sendiri.
Prakarsa desa Setulang untuk menolak tawaran dari perusahaan kayu, dan mengatur
sendiri perlindungan terhadap sebagian hutan mereka, merupakan cerminan kekuasaan
akar rumput ini. Demikian juga masyarakat Laban Nyarit dan Pelancau menuntut
dan mendapatkan pembayaran atas penebangan kayu di tanah yang dibebaskan untuk
pembangunan jalan umum yang tidak dikonsultasikan kepada mereka sebelumnya.
Namun seperti diuraikan di atas, demokrasi di Malinau dan di tempat lain di
Indonesia, masih merupakan proyek yang tengah berlangsung, di mana baik pemerintah
maupun masyarakat masih ragu bagaimana cara melanjutkannya. Jarak geografis dan
buruknya infrastruktur antara pusat pemerintahan dengan desa, mengakibatkan sulitnya
menyampaikan undangan tepat waktu, dan mahalnya biaya kunjungan, sebagaimana terjadi
di setiap kabupaten terpencil yang terletak di daerah hutan. Desa yang paling terpencil,
secara politis masih terpinggirkan. Peluang pembangunan dan politik terkonsentrasi di
sekitar wilayah kota Malinau. Sejak pendirian ibu kota kabupaten di Malinau, telah terjadi
arus migrasi ke kota, baik dari penduduk desa yang lebih mampu maupun dari tempattempat lain di Indonesia sehingga tekanan pada sumberdaya meningkat.
Desa tetap sebagai satuan organisasi politik bagi kebanyakan orang, dan politik di
tingkat desa tidak banyak berubah. Para tokoh masyarakat masih tetap memegang kendali
pengambilan keputusan dan orang-orang biasa masih enggan untuk bersuara. Pemimpin
masih dinilai berdasarkan gaya kepemimpinannya, bukan atas dasar akuntabilitas terhadap
konstituen. Pimpinan adat belum memperoleh kembali kekuasaannya yang hilang pada
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
277
masa Soeharto. Suara para wanita dalam politik masih sangat kecil, dan warga Punan sering
kali dikalahkan oleh kelompok dominan dalam negosiasi antara desa-desa dari rumpun
etnis yang berbeda. Kecemburuan sosial menghambat kemampuan kelompok-kelompok
masyarakat untuk bertindak secara terpadu.
Pejabat kabupaten masih memperlakukan warga desa di daerah hutan sebagai
masyarakat ‘terbelakang’ (Li 1999a, b). Perladangan gilir-balik, dan khususnya sifat nomad
masyarakat Punan dipandang sebagai warisan yang menghambat modernisasi. Para pejabat
memandang kewajiban mereka adalah membantu orang-orang menuju modernisasi.
Pengakuan terhadap jenis spesies lokal tertentu atau bagian bentang alam tertentu yang
dinilai penting bagi masyarakat lokal masih rendah. Prasangka ini adalah prasangka lama
dan berlaku umum di seluruh Indonesia (Dove, 1988). Hal itu memperkuat ketersisihan
masyarakat yang memilih gaya hidup tradisional di mata pemerintah. Anehnya prasangka
tersebut tidak berubah dengan bertambahnya pegawai baru yang, setidaknya, akrab
dengan tradisi perladangan dan nilai-nilai budaya lokal. Nilai-nilai yang tertanam melalui
pendidikan dan pengalaman di masa Orde Baru tetap bercokol kuat dalam generasi ini.
Pejabat juga mewakili kelompok masyarakat desa yang memilih untuk meninggalkan cara
hidup tradisional dan tidak berempati pada orang-orang yang memilih cara hidup seperti
itu. Sikap ini mengingatkan kita bahwa walaupun kini pemerintah daerah berisi warga
lokal, belum tentu tata nilai masyarakat lokal secara otomatis mewarnai pemerintahan
tersebut.
Di antara kelompok-kelompok masyarakat Malinau, suku Punan tetap menjadi
kelompok yang secara politis dan ekonomis paling tersisih. Sebagian besar dari mereka
tetap tinggal di daerah yang paling terpencil, khususnya di DAS Malinau dan Tubu. Meski
survei kami di 14 desa miskin di kabupaten menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat
Punan melaporkan bahwa semenjak desentralisasi kehidupan mereka mengalami
peningkatan (58 persen masyarakat Punan dibandingkan 36 persen masyarakat Kenyah,
3 persen Merap dan 65 persen Lundaye)6, dalam banyak aspek kehidupan dan hubungan
dengan kelompok lain, mereka tetap terdiskriminasi dan termanfaatkan. Pendapatan tunai
serta pengaruh politik mereka memang meningkat dengan cepat dibandingkan 10 tahun
yang lalu; namun mereka terkalahkan oleh kelompok lain karena meningkatnya persaingan
dalam perebutan hutan. Dalam upaya mengejar ketertinggalan ini, mereka telah melakukan
perubahan penting untuk berusaha mempertahankan kepentingan mereka atas tanah dan
hutan, termasuk memindahkan pemukiman, serta mencatat sejarah mereka di Malinau
untuk mendukung klaim sebagai penduduk asli dan bisa memperoleh desa dengan batas
wilayah tetap. Suku Punan masih terkendala oleh rendahnya pendidikan, kecilnya ukuran
desa, sering perginya penduduk ke luar desa, kekosongan desa ketika mereka sedang di
hutan, lemahnya organisasi desa, tingginya serangan penyakit, dan adanya relasi patronklien dengan kelompok etnis tertentu.
Meskipun demikian, status mereka sebagai kelompok asing dan terpinggirkan, dalam
beberapa hal juga membawa manfaat. Karena ketersisihan mereka, mereka berhasil menarik
perhatian kelompok-kelompok yang berorientasi pembangunan seperti misionaris gereja
Katolik, Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (IFAD), Pusat Penelitian
Kehutanan Internasional (CIFOR) dan LSM Indonesia. Sejumlah pemimpin yang
memiliki pengalaman dan kemampuan telah menjalin hubungan dengan kelompokkelompok luar. Seperti pada kelompok etnis lainnya, warga Punan semakin bersedia
menyatakan pendapat kepada para pejabat kabupaten mengenai kepentingan mereka,
seringkali berargumentasi atas dasar status mereka yang kurang diuntungkan. Dalam
278
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
survei desa-desa miskin, 53 persen dari rumahtangga Punan melaporkan bahwa pejabat
pemerintah sekarang lebih memperhatikan tuntutan mereka dibandingkan pada tahuntahun pra-reformasi dibandingkan dengan Merap (50 persen), Lundaye (37 persen), dan
Kenyah (96 persen).7 Perbedaan tajam dengan Kenyah mendukung pengamatan bahwa
pertalian etnis mendorong adanya hubungan dekat antara pemerintah daerah (di mana
Bupatinya adalah seorang Kenyah) dan penduduk desa.
Mungkin yang terpenting adalah suku Punan telah mendirikan sebuah lembaga etnis
yaitu Lembaga Adat Punan yang telah mengadakan beberapa pertemuan yang terorganisasi
baik dan memperoleh dukungan dari organisasi internasional. Suku Punan juga merupakan
kelompok etnis satu-satunya yang sejak awal, pada tahun 1994, mendirikan LSM sendiri
dengan nama Yayasan Adat Punan dan memiliki agenda pembangunan. Pertanyaannya
kini adalah bisakah jenis dukungan semacam ini memberdayakan masyarakat Punan secara
politis atau apakah prasangka serta persaingan akan berlanjut meminggirkan mereka?
Lalu bagaimana masa depan kelompok masyarakat marginal di Malinau? Dalam
semangat reformasi di tahun-tahun awal timbul kesan bahwa warga biasa akan mendapatkan
hak mereka: pengakuan resmi atas tanah desa mereka; manfaat tunai dari kayu di atas tanah
tersebut; kompensasi dari perusahaan atas kerusakan hutan dan hilangnya sumberdaya; dan
suatu pemerintahan yang berisi orang-orang yang mereka kenal dan bersedia mendengarkan
serta memperjuangkan kepentingan mereka. Saat itu juga ada kesan bahwa di Malinau
terdapat potensi ekonomis yang tinggal menunggu dikembangkan sehingga semua orang
bisa menikmati manfaatnya. Itulah harapan saat itu. Masyarakat di Malinau mempunyai
potensi menjadi masyarakat yang non-marginal di tempat yang non-marginal.
Harapan itu tidak terwujud. Bahkan para tokoh dan kelompok-kelompok yang sudah
menduduki posisi berpengaruh cenderung semakin berkuasa, sedangkan kaum yang
terpinggirkan, seperti umumnya masyarakat Punan, semakin lemah dalam hal penguasaan
atas lahan, perolehan manfaat dari eksploitasi hutan, serta keterwakilan. Persaingan dan
konflik semakin meningkat dan pemerintah daerah lebih suka melayani kelompok elit
dan berpengaruh. Masyarakat yang dahulu sesuai adat membantu mangatur produksi dan
pembagian manfaat ekonomis antar rumah tangga berdasarkan kewajiban moral untuk
berbagi, kini mengalami pergeseran nilai pada kepentingan usaha pribadi dan pengumpulan
kekayaan.
Desentralisasi dan reformasi demokrasi secara umum telah meningkatkan taraf hidup
masyarakat di Malinau, khususnya secara jangka pendek, meskipun harapan di awalnya
belum terpenuhi. Lingkungan yang lebih kompetitif telah menguntungkan secara tidak
seimbang para elit dan kelompok masyarakat yang lebih kuat. Para elit ini bisa sangat
mempengaruhi pemerintah daerah secara formal maupun non-formal. Warga lainnya untuk
saat ini tetap terkungkung dalam politik desa atau oleh status marginal bawaan masa lalu.
Bagi warga kebanyakan, kemajuan ekonomis selama lima tahun terakhir ternyata hanya
berumur pendek. Tidak adanya kejelasan atas pembagian dan pengelolaan aset hutan dan
lahan menjadi kendala terbesar dalam mencapai pemerataan dan pembangunan ekonomi
di dalam kabupaten. Selama masih mempertahankan kerancuan, kabupaten akan masih
tetap memegang kendali. Pemerintah daerah telah menjadikan dirinya elit baru dalam
masyarakat lokal, bagian masyarakat yang memberi hak dan keistimewaan pada dirinya
sendiri. Keterpinggiran beralih kepada kalangan sosial bawah di antara dan di dalam desadesa. Jurang pemisah menyempit tetapi menjadi lebih dalam.
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
279
Dampak pada hutan dan pengelolaan hutan
Bagaimana perubahan peran negara dan masyarakat dalam pemanfaatan, pelestarian dan
pengendalian hutan yang merupakan aset terpenting Malinau? Bagaimana pengaturan
pengendalian tersebut? Dan apa implikasinya?
Desentralisasi telah memungkinkan kelompok dominan lokal bisa memasuki sistem
negara untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan. Sebaliknya, para pejabat setempat
sepenuhnya sangat bersandar pada jaringan pribadi dan berbagai aliansi, terutama antara
perusahaan dengan desa, untuk menggalang eksploitasi hutan. Hampir semua pihak,
termasuk yang di dalam pemerintahan lokal, memanfaatkan masa transisi untuk menguji
seberapa banyak yang bisa mereka peroleh dalam keadaan negara sedang kacau.
Pada tahun-tahun awal reformasi usaha pembalakan lebih dipandu oleh semangat
dagang dan oportunisme, bukan oleh lembaga publik yang mengelola hutan sebagai
sumberdaya. Mereka yang terlibat dalam eksploitasi hutan lebih mengejar keuntungan
sesaat daripada kesinambungan. Nilai konversi hutan menjadi lebih tinggi daripada manfaat
perlindungan dan pemeliharaannya. Pemerintah daerah secara aktif mendorong semangat
kewirausahaan ini atas dasar untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Mereka tidak
berupaya untuk menerapkan sistem tebang-pilih maupun peraturan pemanenan lainnya,
menegakkan peruntukan kawasan lindung, mengatur pembangunan jalan, melarang
kegiatan di dekat sungai, memastikan bahwa spesies yang dilindungi tidak ditebang,
atau pun menegakkan persyaratan penanaman kembali serta dan perkebunan. Tidak ada
upaya untuk mengelola hutan-hutan lintas kabupaten. Tidak ada satu pun yang berusaha
membuat pemerintah daerah menjadi akuntabel atas semua tindakan tersebut. Hampir
semua pihak lebih mementingkan perolehan uang.
Akibatnya adalah jauh lebih rusaknya hutan di masa sistem IPPK daripada di masa
peraturan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) bagi pemegang HPH, yang peraturannya
relatif kurang ditegakkan. Ketika membandingkan dampak dari dua pemegang konsesi
tebang pilih dengan tiga pemegang IPPK, Iskandar dkk (2006) menemukan bahwa para
pemegang IPPK memanen secara lebih intensif, menebang jumlah pohon empat kali lipat
per satuan luasan, mencakup proporsi lebih besar -– lebih dari 25 persen pohon pada kelas
diameter setinggi dada di bawah 50cm berbanding 3 persen oleh para pemegang konsesi
tebang pilih. Lebih besarnya proporsi pohon kecil ini bisa menunjukkan kecenderungan
IPPK untuk menjual kayu kepada penggergajian kayu skala menengah dan kecil lokal,
daripada ke perusahaan kayu lapis besar di luar kabupaten. Hal ini juga bisa menunjukkan
bahwa IPPK memang ditujukan untuk membuka dan mengkonversi lahan menjadi
perkebunan.
Sistem IPPK juga menimbulkan kerusakan lebih nyata pada sisa tegakan (38 berbanding
30 pohon per 100m pada hutan primer), bukaan kanopi lebih besar (0,3ha berbanding
0,1ha per hektar), sehingga hutan lebih terdegradasi dan terpecah. Kerusakan ini juga
mengancam populasi pohon dan potensi regenerasi di masa depan, selain merusak habitat
dan koridor lintasan satwa liar. Peluang penebangan ulang di daerah bekas tebangan IPPK
lebih rendah daripada di daerah pemegang HPH, meskipun secara ekologis mungkin lebih
baik satu kali menebang habis daripada tebang pilih berulang kali. Sistem IPPK adalah cara
pemanfaatan hutan yang tidak efisien dan tidak efektif. Sistem ini tidak menunjang tujuan
memperoleh nilai ekonomi tinggi dalam konversi ke perkebunan, atau memperoleh hutan
produksi yang berkelanjutan. IPPK telah memerosotkan nilai sumberdaya paling berharga
di Malinau. Karena rendahnya potensi masa depan untuk pemanenan berkesinambungan,
280
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
yang paling mungkin akan terjadi adalah konversi menjadi penebangan sisa pohon-pohon
terakhir.
Hanya mereka yang berwawasan jangka panjang dengan tingkat ketergantungan
pada hutan yang tinggi dapat diharapkan menggunakan hutan secara berhati-hati dan
melestarikannya (Wollenberg dkk, 2006). Peran itu telah dilakukan oleh pemerintahan
di banyak negara, maupun oleh masyarakat tradisional di beberapa tempat. Studi kasus
di Setulang, di mana masyarakat setempat melindungi 5.000ha hutan mereka meskipun
menerima tawaran sebesar US$300,000,- dari pengusaha IPPK, menunjukkan adanya
peluang strategi pelestarian berbasis komunitas lokal. Pengalaman di Setulang ini juga
mengungkap beberapa hambatan pelestarian berbasis komunitas lokal, yaitu: tidak
terjaminnya kepemilikan lahan; batas-batas wilayah masih dalam sengketa dan sulit
ditegakkan; pendanaan untuk mendukung pelestarian sulit diperoleh untuk kawasan
sempit; kecemburuan desa tetangga atas perhatian lebih yang didapat; ancaman faksi-faksi
internal desa terhadap ketaatan pada komitmen jangka-panjang.
Sebagian besar desa di hulu DAS Malinau, sejak dulu telah meminta pencadangan
hutan dan hutan lindung untuk sistem perladangan berpindah di wilayah mereka. Pada
tahun 1999 dan 2000, Sheil dkk (2002) menemukan bahwa angka anggapan nilai hutan
di masa depan lebih tinggi daripada angka sebelumnya, dan pengakuan masyarakat bahwa
selama ini mereka kurang menganggap keberadaan hutan-hutan ini. Semakin langkanya
sumberdaya hutan telah menyadarkan sebagian masyarakat pada perlunya perlindungan
atas hutan yang masih tersisa, bahkan di masa sebelum adanya IPPK. Dari survei oleh Sheil
dkk (2002), warga menyebutkan bahwa hutan adalah pemanfaatan lahan paling penting
bagi mereka. Warga menganggap hutan terutama sebagai sumber pangan, dengan babi
jenggot dan rusa sambar menduduki peringkat teratas. Dari spesies tanaman, pohon kayu
adalah yang terpenting, khususnya sebagai bahan bangunan, disusul oleh rotan, dan aren
(Arenga undulata). Hutan juga dianggap sebagai pengaman kebutuhan darurat apabila
terjadi gagal panen.
Meski hutan dianggap penting oleh masyarakat lokal, tampaknya masih terlalu
dini untuk mengharapkan masyarakat bisa memikul kewajiban melindungi hutan dalam
waktu dekat, terutama karena tidak adanya dasar kelembagaan formal yang kuat untuk
penegakan perjanjian dan praktik pelestarian. Pengalaman dengan IPPK menunjukkan
bahwa hanya sedikit komunitas yang memiliki wawasan jangka panjang bila dihadapkan
pada keuntungan tunai yang mencolok. Selalu berubahnya pilihan ekonomi di daerah,
ketiadaan jaminan kepemilikan, persaingan atas sumberdaya hutan, serta berubahnya
makna hutan bagi kehidupan lokal, telah mengubah pola kebutuhan masyarakat setempat.
Dari surveinya Sheil dkk (2002) menemukan bahwa masyarakat lokal semakin berminat
pada hutan untuk kayu (bersamaan sejalan awal masa IPPK), barang-barang dagangan,
dan rekreasi, serta berkurangnya makna hutan untuk sumber pengobatan, kayu bakar,
dan bangunan ringan, meskipun potensi hutan untuk sebagian manfaat tersebut masih
dianggap penting. Pengelolaan hutan oleh masyarakat belum, dan tidak akan, terjadi
di Malinau dalam konteks usaha pembalakan oleh para broker berpengaruh, dengan
dukungan pemerintah kabupaten. Karena itu pulalah maka pemerintah kabupaten yang
hanya memegang mandat lima tahunan dan terdukung oleh politik-uang, seharusnya tidak
boleh menjadi penanggung jawab tunggal atas hutan.
Tanggung jawab atas pemanfaatan jangka panjang maupun pelestarian hutan di
Malinau jelas harus dipikul bersama oleh semua tingkatan pemerintahan. Desentralisasi
dan reformasi telah menyediakan peluang untuk menciptakan pembagian ini. Masyarakat
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
281
yang hidup di sekitar kawasan hutan harus lebih dilibatkan dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan mengenai cara pengelolaannya, terutama dalam cara-cara yang
dapat memberi hasil yang paling mereka hargai yaitu pangan, kayu, rotan, gaharu dan
air bersih. Kedekatan dan pengetahuan mereka tentang hutan harus digunakan dengan
baik. Pemerintah kabupaten dapat mengambil peran utama dalam memberi pengakuan
dan dukungan pada berbagai strategi dari berbagai kelompok etnis, mengkoordinasikan
upaya antar masyarakat, memperbanyak peluang ekonomi, dan menegakkan peraturan
nasional. Pemerintah provinsi dan pusat bisa berperan pada penyediaan informasi teknis,
berbagi pengalaman, dan mengawasi serta menciptakan insentif bagi penegakan peraturan
nasional.
Dalam wawasan alternatif ini, peran negara di bidang kehutanan dikembalikan, tetapi
dalam bentuk kemitraan. Kunci utama kemitraan ini adalah bahwa dalam hal masalah
kehutanan, pemerintah daerah tetap bertanggung gugat kepada pemerintah pusat maupun
kepada masyarakat, bukan kepada para pengusaha. Yang sudah terlihat saat ini adalah
meningkatnya kendali pemerintah kabupaten atas hutan, dan hampir tidak ada kontrol
oleh tingkat pusat maupun masyarakat. Karena departemen kehutanan sejak awal sudah
menolak desentralisasi dan menolak bekerjasama dengan pemerintah daerah, maka mereka
kehilangan peluang pengendalian atas hutan di bawah desentralisasi, kecuali dengan cara
paksa. Sementara itu pemerintah pusat berupaya mengelak tanggung jawab atas maraknya
penebangan kayu, melalui kampanye anti pembalakan liar dan tuduhan bahwa Malaysia
yang mendorong meningkatnya permintaan akan kayu Indonesia.
Pengalaman ini berlawanan dengan praktik devolusi di negara lain, di mana kewenangan
atas kegiatan kehutanan dialihkan dari pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat
lokal, namun mempertahankan – dengan berbagai tingkat keberhasilan -– kendali hirarkis
atas persyaratan pengelolaan hutan melalui organisasi pengguna, pembagian manfaat, kuota
panen dan pajak (Shackleton dan Campbell, 2001; Contreras, 2003; Liu dan Edmunds,
2003; Sarin dkk, 2003). Meskipun kami tidak dapat merekomendasikan model-model
tersebut karena terlalu birokratis dan terkendali oleh pusat, menurut kami pemerintah
pusat perlu berperan dalam pengawasan dan membantu daerah. Jika pembagian peran
dan tanggung jawab di semua tingkat tidak ditetapkan secara baik, maka inefisiensi, tidak
terawasinya pemanfaatan hutan, dan kendala ketidakpastian akan terus berlangsung.
Menatap ke depan
Desentralisasi dan reformasi di era pasca-Soeharto secara de facto telah mengalihkan kendali
atas hutan kepada kabupaten, meningkatkan konflik, menaikkan manfaat jangka pendek
dan merusak hutan dengan laju lebih cepat. Untuk memahami makna perubahan tersebut
bagi masa depan, kita harus memahaminya dalam konteks pesatnya laju reformasi. Tahuntahun pertama reformasi telah membebaskan masyarakat dari 32 tahun pengendalian
ketat oleh pemerintah pusat, pembatasan luar biasa atas kebebasan berpendapat di bidang
politik dan ekonomi, eksploitasi dan penggelapan sumberdaya, serta pengingkaran dan
pengasingan identitas etnis dan organisasi suku Dayak. Kami menduga bahwa banyak
di antara peningkatan konflik, persaingan, maupun manfaat jangka pendek yang terjadi
terkait dengan terbukanya peluang seluas-luasnya dalam kondisi kelembagaan yang belum
stabil. Dilihat dari konteks sejarah yang lebih luas, apa yang terjadi sekarang ini lebih
digerakkan oleh ketidakpastian dari perubahan itu sendiri.
282
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Sementara intensitas konflik, persaingan dan manfaat jangka pendek pasti akan
menurun, kami menduga tatanan politik lokal akan terus menguat. Tatanan ini akan
menimbulkan pertarungan antara berbagai kekuatan sosial dengan pemerintah daerah, dan
antara pusat dengan daerah. Sementara tarik-menarik itu akan membentuk perimbangan
kekuasaan yang sehat antara berbagai lapisan masyarakat dengan negara, pertarungan yang
berlebihan salah satu pihak mungkin akan memicu kerancuan dan menghambat proses
konsolidasi kelembagaan formal. Kelembagaan terpenting bagi pengelolaan hutan dan
kesejahteraan masyarakat, adalah yang menyangkut kepemilikan, konflik, keterwakilan
warga, serta pemanfaatan dan pelestarian hutan. Lembaga-lembaga tersebut harus
sederhana, transparan dan bisa difahami oleh seluruh masyarakat dan negara (de Soto,
2000), dengan insentif yang jelas. Selama kelembagaan ini masih rancu, pihak yang kuat
akan mengkooptasi manfaat dari hutan, dan pihak yang lemah hanya akan mendapatkan
recehan. Tantangan bagi Indonesia adalah untuk menentukan cara mengembangkan
lembaga-lembaga kunci ini dalam konteks kebangkitan tatanan politik baru itu.
Harus optimis atau pesimiskah kita ketika memandang masa depan? Tahapan
berikutnya pemerintahan di Indonesia akan merupakan sebuah penyesuaian terhadap
tahun-tahun awal masa transisi itu dan merupakan masa pembangunan kelembagaan yang
tepat untuk situasi dan kondisi saat ini. Kita telah menyaksikan lima tahun pembelajaran
dan penyesuaian yang luar biasa terhadap berbagai peluang perubahan. Kita memiliki
cukup alasan untuk meyakini bahwa pembelajaran dan penyesuaian seperti itu akan terus
berlanjut. Pemerintah daerah tidak harus menghadapi sendiri semua tantangan yang tergelar
di masa depan. Dibutuhkan kolaborasi di semua lapisan untuk membangun kelembagaan
yang diperlukan untuk mendapatkan kesepakatan yang kokoh serta manfaat jangka
panjang dari hutan. Mengarungi jeram memang sangat menggairahkan, selama bahaya
yang terbesar dapat dihindari dan pada akhirnya dapat menemukan air yang tenang.
Catatan
1 Terima kasih kepada Yvan Biot dari UK Department for International Development
(DFID) atas pengamatan ini.
2 Dari analisa pemangku kepentingan dalam Lokakarya tentang Kemiskinan dan
Desentralisasi, Malinau, Oktober 2003.
3 Penemuan Sheil dkk (2002) bahwa di tahun 1999 hingga 2000, 87 persen responden
menilai kehidupan mereka lebih baik dibandingkan lima hingga sepuluh tahun sebelumnya,
yang mengindikasikan bahwa persepsi mengenai perbaikan ini bisa saja berdasarkan
perkembangan sebelum masa reformasi. Ini mungkin juga termasuk pembangunan jalan,
semakin tersedianya mesin ketinting perahu dan tingginya harga kayu gaharu.
4 Jumlah tepatnya mustahil dihitung karena alokasi di masa sebelum reformasi desentralisasi
dilakukan oleh Kabupaten Bulungan, dan kami tidak tahu berapa jumlah dana yang sampai
ke berbagai daerah Malinau.
5 Jumlah yang dibayarkan adalah Rp, 8,2 juta atau US$965 dengan nilai tukar US$1,- = Rp,
8500,6 Besarnya proporsi masyarakat Lundaye yang melaporkan peningkatan taraf hidup bisa
mencerminkan bahwa lokasi desa-desa sampel sangat dekat dengan Malinau Kota, dimana
tercatat menerima manfaat pembangunan yang tertinggi. Perbedaan di antara kelompok
etnis cukup signifikan (p=0.011 dengan menggunakan Pearson chi-square test).
Mengarungi Jeram: Sintesis dan Kesimpulan
283
7 Perbedaan di antara kelompok etnis sangat signifikan (p=0.000 dengan menggunakan
Pearson chi-square test).
Rujukan
Andrianto, A., 2006. The Role of District Government in Poverty Alleviation: Case Studies in
Malinau and West Kutai Districts, East Kalimantan, Indonesia, Governance Programme
Report, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Contreras, A., 2003. Creating space for local forest management: The case of the Philippines,
dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), Local Forest Management: The
Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London.
de Soto, H., 2000. The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails
Everywhere Else, Basic Books, NY.
Dove, M. R., 1988. The ecology of intoxication among the Kantu of West Kalimantan, dalam
Dove, M. R. (penyunting), The Real and Imagined Role of Culture in Development: Case
Studies from Indonesia, University of Hawaii Press, Honolulu, Hawaii.
Iskandar, H., Snook, L. K., Toma, T., MacDicken, K. G., Kanninen, M., 2006. A comparison
of damage due to logging under different forms of resource access in East Kalimantan,
Indonesia, Forest Ecology and Management, vol 237, no 1-3, hal. 83-93.
Kaimowitz, D., Faune, A. dan Mendoza, R., 2003. Your biosphere is my backyard: The story of
Bosawas in Nicaragua, Policy Matters, vol 12, hal. 6–15.
Li, T. M., 1999a. Compromising power: Development, culture and rule in Indonesia, Cultural
Anthropology, vol 14, no 3, hal. 295–322.
Li, T. M., 1999b. Marginality, power and production: Analysing upland transformation, dalam
Li, T. M. (penyunting), Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and
Production, Harwood Academic Publishers, London.
Liu, D. dan Edmunds, D., 2003. The promises and limitations of devolution and local forest
management in China, dalam Edmunds, D. dan Wollenberg, E. (penyunting), Local Forest
Management: The Impacts of Devolution Policies, Earthscan, London.
Moyer, B., 2001. Doing Democracy: The MAP Model for Organizing Social Movements, New
Society, Gabriola Island, BC.
Palmer, C., 2004. The Role of Collective Action in Determining the Benefits from IPPK
Logging Concessions: A Case Study from Sekatak, East Kalimantan, CIFOR Working
Paper, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Sarin, M., Singh, N., Sundar, N. dan Bhogal, R., 2003. Devolution as a threat to democratic
decision-making in forestry? Findings from three states in India, dalam Edmunds, D.
dan Wollenberg, E. (penyunting), Local Forest Management: The Impacts of Devolution
Policies, Earthscan, London.
Shackleton, S. E. dan Campbell, B. M., 2001. Devolution in Natural Resource Management:
Institutional Arrangements and Power Shifts: A Synthesis of Case Studies from Southern
Africa, SADC Wildlife Sector Natural Resource Management Programme, Lilongwe,
Malawi and WWF (Southern Africa), Harare.
Sheil, D., Puri, R. K., Basuki, I., van Heist, M., Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono, M. A.,
Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F. dan
Wijaya, A., 2002. Exploring Biological Diversity, Environment and Local Peoples
Perspectives in Forest Landscapes, CIFOR, Bogor, Indonesia.
284
Perkembangan lain yang didorong oleh desentralisasi
Smith, J., Obidzinski, K., Subarudi, I. dan Suramenggala, I., 2003. Illegal logging, collusive
corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry
Review, vol 5, hal. 293–302.
Wollenberg, E., Moeliono, M., Limberg, G., Iwan, R., Rhee, S. dan Sudana, I. M., 2006.
Between state and society: Local governance of forests in Malinau, Indonesia, Forest Policy
and Economics, vol 8, hal. 421–433.
Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. dan Wollenberg, E., 2004. Analisa Konflik: Sektor Kehutanan
di Indonesia 1997–2003, CIFOR, Bogor, Indonesia.
“Buku ini menyajikan gambaran umum perubahan selama lebih dari satu dasawarsa
yang terjadi dalam suatu lanskap hutan, di mana pertentangan kepentingan antara
orang tempatan, industri pengeruk sumberdaya dan keanekaragaman hayati. Kajiankajian yang dikumpulkan di sini mengajarkan bahwa rencana dan strategi memang
baik, tetapi di dunia nyata garis depan hutan, konservasi harus didasarkan pada
perundingan, pembelajaran sosial dan kemampuan adaptif’” Jeffrey Sayer, penasihat ilmiah
senior, Program Konservasi Hutan International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Buku ini didasarkan pada pengalaman suatu tim peneliti yang bekerja selama kurang
lebih sepuluh tahun di Malinau, Kalimantan Timur, salah satu wilayah yang paling
kaya hutan. Bagian pertama buku ini memaparkan gambaran umum pengaruh
desentralisasi terhadap perubahan hubungan negara dan masyarakat serta. Bagian
kedua mencakup secara detail bagaimana proses devolusi berkembang di Malinau,
konteks kebijakan, perlawanan dan konflik dan bagaimana Malinau menata dirinya
sendiri. Bagian ketiga buku ini mengkaji masalah-masalah yang lebih luas mengenai
hubungan penguasaan atas sumberdaya, konflik, tata kelola pemerintah daerah
dan partisipasi politik yang terkait dengan desentralisasi. Yang penting, buku ini
memunculkan titik-titik penting untuk konteks internasional lainnya termasuk
kenyataan bahwa aliansi politik lokal, terutama di antara minoritas etnik memainkan
peran makin penting dan memungkinkan cara-cara baru untuk mempengaruhi
kebijakan hutan di wilayah hutan terkaya di dunia ini.
Penelitian ini merupakan penelitian tingkat tinggi yang bermanfaat bagi akademisi
dan profesional di seluruh dunia yang bekerja dalam bidang kehutanan, pengelolaan
sumberdaya alam, kebijakan dan ekonomi sumberdaya.
Moira Moeliono adalah peneliti senior di Program Tata Kelola Hutan (Forests and
Governance), Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor, Indonesia.
Eva Wollenberg adalah Senior Associate dan pernah menjadi peneliti Utama di
Program Tata Kelola Hutan, CIFOR dan sekarang menjabat Direktur di Center for
Sustainable Agriculture, Universitas Vermont, Amerika Serikat. Godwin Limberg
adalah konsultan jangka panjang di CIFOR dan pernah menjadi koordinator
lapangan pada proyek Adaptive Collaborative Management di Malinau, Kalimantan
Timur, Indonesia.
Download