Draf artikel 2 Potensi proantosianidin dari daun salam (Syzygium polianthum). D.P. Putra*, H. Al-Fatra* and N. Indrawaty** *) Fac. of Pharmacy and **) Fac. of Medicine, University of Andalas Abstrak Potensi tumbuhan rempah daun salam (Syzygium polianthum) telah diteliti sebagai sumber bahan bioaktif proantosianidin. Proantosianidin total dianalisis dengan metoda vanillin-HCl dengan (+)-katekin sebagai standar monomer. Hasil esktraksi dan pemurnian dengan metoda kromatografi telah didapatkan ekstrak proantosianidin dan senyawa murni yang proantosinidinnya meningkat dari 77,19 menjadi 414,54 mg Eq.(+) katekin/g. Karakterisasi awal senyawa hasil isolasi menunjukkan serapan UV pada 278 dan 216 nm yang khas untuk flavanol dan spektrum FTIR mengindikasikan senyawa murni tidak memiliki gugus karbonil yang unik bagi struktur proantosianidin. Kata kunci: Proantosianidin total, Syzygium polianthum, isolasi Pendahuluan Sumber daya alam tumbuhan Indonesia memberikan keuntungan berlimpah dan bahkan unik karena beberapa jenis diantaranya seperti rempah dan tumbuhan obat hanya tubuh baik di iklim tropis. Berbagai jenis rempah dan tumbuhan obat ini bahkan sudah ribuan tahun dikenal oleh bangsa lain diantaranya; pala, cengkeh, kulit manis, kapulaga, jahe, lengkuas, sereh, daun salam, dll. Pada zaman sebelum masehipun, bangsa Eropah, Mesir kuno dan Cina berlayar ke kepulauan nusantara yang sekarang menjadi bagian Indonesia untuk mendapatkan rempah dan bahan obat bagi kebutuhan masyarakatnya (Backer and Van den Brink, 1965; Burkill, 1966, MMI, 1989). Dua jenis diantaranya kulit manis (Cinnamomum burmanni) dan Gambir (Uncaria gambier) merupakan entitas unik bahan alam yang mengisi 80-90% kebutuhan dunia, dihasilkan oleh daerah Sumatera Barat dan Jambi (Ravindran et al., 2003; Putra et al. 2007) Bahan rempah yang berlimpah juga memberikan pengaruh pada budaya kuliner masyarakat. Sehingga, sebagai salah satu etnis Nusantara, masyarakat Minang memiliki cita rasa masakan tersendiri dan sudah populer ditengah-tengah masyarakat Indonesia dan identik dengan masakan Padang. Cita rasa ini disebabkan pemakaian jenis dan jumlah serta komposisi rempah yang digunakan dalam setiap masakan (Van and Cox, 1994). 1 Akhir-akhir ini, masyarakat yang menderita diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskuler dan kanker cendrung meningkat. Cita rasa ’enak’ masakan Minang diiringi kecendrungan adanya anggapan bahwa masakan tersebut penyebab utama penyakit kardiovaskular. Padahal, penelitian Liputo (2002) membuktikan bahwa perubahan pola komsumsi dan pola hidup yang tidak sehat yang sebenarnya menjadi penyebab dan rempah pada masakan Minang diduga memberikan perlindungan terhadap berbagai penyakit kardiovaskuler. Beberapa penelitian di luar negeri telah menunjukkan adanya efek protektif dari komponen polifenol dalam makanan dari biji-bijian, sayuran, buah-buahan dan rempah sebagai antioksidan (diantaranya: asam fenolat, flavonoid, proantosianidin dan tanin), karena dapat meningkatkan sistim immun, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mencegah oksidasi LDL dan juga dapat menurunkan resiko terkena penyakit kanker(8,9). Penelitian kearah ini di Indonesia belum banyak dilakukan, maka berdasarkan hasil peneltian sebelumnya bahwa daun salam (Syzygium polianthum) termasuk rempah yang mengandung proantosianidin tinggi maka pada kesempatan ini dilaporkan hasil penelitian yang terkait dengan kandungan proantosianidin dari tanaman ini. Bahan dan Metoda Bahan dan Metoda: Rempah daun salam diambil dari daerah sekitar kota Padang. Bahan yang masih segar dibersihkan dan dikeringkan dengan bantuan oven pengering simplesia (mak. 50 oC), kemudian diserbuk hingga kehalusan 60 mesh. Sejumlah kecil masingmasing bahan (5-10 gram) dikeringkan untuk sampel referensi. Sampel yang telah dikeringkan dimasukkan dalam wadah kedap udara dan kemudian disimpan dalam lemari pendingin sampai waktunya dianalisis. Ekstraksi proantosianidin total. Sampel diekstraksi dengan metoda dikembangkan yang uraikan oleh Hammerstone et al (2000) atau metoda Sun dan Spranger (2005) yang dimodifikasi. Secara singkat dapat dijelaskan, tiap sampel (5 gram) dibebaskan dari minyak/lemak menggunakan pelarut n-heksana cara maserasi (3 x 25 mL, 3 x 24 jam). Sampel yang sudah bebas lemak, dikeringkan dan ditimbang sebanyak 1 gram. Masingmasing bahan dimaserasi dua tahap: pertama menggunakan 10 mL metanol:air (80:20 v/v) selama 24 jam, maserat disaring dan ampas kemudian dimaserasi kembali dengan campuran pelarut aseton:air:asam asetat (70:29,5:0,5 v/v) sebanyak 5 mL selama 3 jam, 2 kemudian digerus menjadi bubur dalam lumpang dan bubur dimasukkan dalam kolom kecil (1 x 10 cm) yang sudah diberi alas kapas dari glas wool. Filtrat ditampung dalam labu penakar 10 mL. Bilas lumpang dengan sedikit larutan penyari dan masukkan kedalam kolom dengan bantuan corong kecil sedemikian rupa sehingga sisa ampas ikut terbilas. Tambahkan larutan penyari untuk membilas sisa ampas dan cukupkan volume filtrat hingga batas pada labu penakar (10 mL). Pelarut diuapkan dengan rotavapor dan ekstrak dikeringkan dengan alat freeze dryed dan kemudian disimpan vial kedap udara pada temperatur -20oC. Tiap sampel masing-masing diekstrasi secara dua kali ulangan (duplo). Pengukuran proantosianidin total. Pengukuran dilakukan menurut metoda Vanilin-HCl yang spesifik bereaksi pada polifenol dengan inti flavan-3-ol. Prinsip reaksi yang terjadi adalah kondensasi vanilin terprotonasi membentuk karbokation elektrofolik dan dalam suasana asam akan bereaksi dengan kabon nukleofilik monomer proantosianidin sehingga timbul warna merah. Intensitas warna diukur dengan alat spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 500 nm. Kadar proantosianidin dihitung menggunakan kurva baku standar dengan pembanding (+) katekin. Pengukuran proantosianidin dilakukan menurut Sun et al (1998) (37) atau Nakamura et al (2003) (38) yang dikerjakan sebagai berikut: 1 mL larutan katekin standar (0 s/d 300 dimasukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 2,5 mL larutan 1% vanilin dalam metanol dan 2,5 mL HCl 9 mol/L dalam metanol. Biarkan campuran bereaksi selama 20 menit pada suhu kamar (30 oC). Pengukuran absorban kontrol tampa vanilin 1% (Ao), kontrol dengan vanilin 1% (Ab), kontrol dengan katekin (Ac) dan sampel (As) masingmasing diukur absorbannya pada 500 nm. A (absorban) untuk sampel dan standar baku ditentukan dengan rumus sebagai berikut : A = (As – Ab) – (Ac – Ao) As = 1 mL sampel atau katekin + 2,5 mL vanilin 1% + 2,5 mL HCl 9 mol/lt Ac = 1 mL sampel atau katekin + 2,5 mL metanol + 2,5 mL HCl 9 mol/lt Ab = 1 mL metanol + 2,5 mL metanol + 2,5 mL vanilin 1% Ao = 1 mL metanol + 2,5 mL metanol + 2,5 mL HCl 9 mol/lt Tentukan kurva baku dengan standar katekin dan proantosianidin tiap sampel dihitung dengan persamaan kurva kalibrasi. Tiap sampel uji diukur dengan 3 kali pengulangan. 3 Isolasi dan karakterisasi proantosianidin Daun salam Ekstraksi: Sebanyak 1000 g daun salam yang telah dikeringkan dan dihaluskan dimasukkan kedalam perkolator, kemudian diperkolasi dengan pelarut n-heksana 2 x 2,5 liter, kemudian diamkan 2 x 24 jam. Kemudian perkolat yang ditampung dikentalkan dengan evaporator vakum hingga didapatkan ekstrak kental. Proses perkolasi kemudian diulang dengan menggunakan sisa (ampas) yang direndam dengan dichlorometan 2 x 2.5 liter, etil asetat 2 x 2,5 liter, metanol 2 x 2,5 liter, metanol-air 30% 2 x 2,5 liter. Setelah masing-masing perkolat dari berbagai pelarut diuapkan in vacuo sampai kental hingga didapat fraksi kental. Kemudian masing-masing diuji kandungan proantosianidinnya. Pemurnian: Ekstrak yang diperoleh dari proses perkolasi dan mengandung kadar proantosianidin tinggi dikromatografi dengan Sephadex-LH20 dengan menggunakan pelarut metanol dan metanol air yang ditingkatkan persentase air hingga mencapai komposisi metanol-air (70:30), pengelusian dilanjutkan dengan aseton-air (70:30). Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditambung dalam vial 25 ml dan masing-masing diuji dengan vanilin-HCl. Vial yang memberikan warna merah (positif proantosianidin) diperiksa dengan KKt (eluen BAA atau asam asetat 15%), bercak yang memberikan Rf sama digabung menghasilkan subfraksi-subfraksi. Setelah diuapkan subfraksi yang mengandung proantisianidin kemudian dikromatografi dengan cara yang sama hingga didapatkan senyawa murni SP-2541-H.alF sebanyak 9 mg. Karakterisasi: Kemurnian diuji dengan KKt dan dikonmfirmasi dengan HPLC serta kadar proantosianidin ditentukan membandingkan tingkat ekuvalensinya dengan monomer standar katekin. Sepktrum UV dan FTIR digunakan untuk konfirmasi beberapa gugus fungsi proantosianidin. Hasil dan Pembahasan Hasil survey yang dilakukan di tiga lokasi (Bukittinggi/Padang panjang: Bkt/Ppj, Batusangkar:Bts dan Alahan Panjang:Alp) didapatkan rempah-rempah dan dikeringkan dalam lemari pengering (mak 50 O C). Semua rempah yang telah kering kemudian diserbuk dan disimpan dalam wadah kedap dilemari pendingin. Masing-masing sebanyak 5 g serbuk dibebaslemak dengan bantuan pelarut heksan dan kemudian diekstraksi dengan pelarut campur aseton-air (70:30). Tiap sari ekstrak direaksikan dengan pereaksi vanilin 1% dan HCl 9mol/lt, diinkubasi selama 20 min pada suhu kamar dan diukur 4 serapannya pada 500 nm. Dengan cara yang sama larutan standar (+)-katekin digunakan sebagai pembanding baku (Grafik 1.). Hasil pengukuran terhadap daun salam dari tiga daerah menunjukkan variasi seperti ditampilkan dalam tabel 1. Grafik 1. Kurva baku proantosianidin (+katekin) diukur pada 500 nm pereaksi Vanilin-HCl as Daerah koleksi ratarata ac 1 2 3 Bukittinggi 1.838 1.790 1.888 1.8387 0.295 Batusangkar Alahan panjang 1.058 1.003 1.012 1.0243 0.289 1.068 1.064 1.044 1.0587 0.172 ao ab 0.0085 0.0085 0.0085 0.006 0.006 0.006 A mg/ml kateki n mgEq kat/g sampel 1.4925 1.5672 156.72 0.7115 0.7680 76.80 0.8895 0.9502 95.02 Tabel 1. Kadar proantosianidin total daun salam mgEq (+)-katekin/g rempah kering dari tiga lokasi daerah koleksi Dari tabel 1 diperoleh data kandungan proantosianidin dimana daun salam dari Bukittinggi memberikan hasil tertinggi mencapai 156.72 mgEq.(+)katekin/gram rempah kering. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini penelitian diarahkan untuk melakukan isolasi zat aktif dari daun salam. Isolasi dan karakterisasi proantosianidin dari daun salam Sebanyak 1000 g daun salam yang telah dikeringkan dan dihaluskan dimasukkan kedalam perkolator, kemudian diperkolasi secara berturut-turut dengan n-heksana, DCM, etil asetat, metanol dan metanol-air (70:30) didapatkan ekstrak kental masing-masingnya 84,5 g; 25,4 g; 14 g; 94,2 g dan 49,2 g. Dari hasil penetapan kadar proantosianidin diperoleh fraksi metanol dan metanol air (70:30) mengandung kadar tertinggi (tabel 2) 5 1 2 3 4 5 n-Heksana Diklorometan Etil asetat Metanol Metanol-air (70:30) 84,5 g 25,4 g 14 g 94,2 g 49,2 g Kadar proantosinidin (mg Eq.(+) katekin/g zat uji 23.74 77.19 57.72 6 Zat murni (SP-2841-H.al-F) 9 mg 414.54 No Fraksi-fraksi Bobot fraksi Tabel 2. Bobot fraksi dan kadar proantosianidin fraksi-fraksi daun salam dan senyawa hasil isolasi (SP-2541-H.al.F) Dari fraksi metanol (1 g) dilakukan proses kromatografi dengan menggunakan fasa diam Sephadex-LH20 dan larutan penggerak metanol-metanol air, aseton dan terakhir asetonair (70:30, v/v). Sub fraksi yang dikumpulkan kemudian ditampung dalam vial 25 mL dan pada sub fraksi no 28 s/d 41 ternyata memberikan intensitas warna merah yang kuat ketika deberi pereaksi Vanilin-HCl. Gabungan sub fraksi ini (SP-2541-H.al-F) kemudian di pekatkan dan dievaluasi tingkat kemurniannya. Senyawa hasil isolasi (SP-2541H.al.F) dari bahan awal 1 g dan setelah dikromatografi didapatkan zat murni 9 mg (0.9% b/b). Kandungan dalam ekstrak cukup tinggi mengingat dalam ekstrak metanol tentu masih banyak senyawa lain yang menjadi pengotor. Tingkat kemurnian zat dapat dikonfirmasikan melalui data HPLC. Evaluasi kadar total proantosianidin juga menunjukkan peningkatan menjadi 414,54 mgEq. (+)-katekin/g dibandingkan dengan ekstrak metanol semula hanya 77,19 mgEq.(+)-katekin/g. Senyawa proantosianidin SP-2541-H-al.F berbentuk serbuk amorf putih keabu-abuan dan cepat berubah warna akibat pengaruh udara atau cahaya. Oleh sebab itu, penyimpanan dilakukan dalam wadah gelap dan disimpan dalam lemari pendingin. Hasil pengukuran sepkroskopi ultravioleh dalam pelarut metanol menunjukkan adanya dua serapam maksimum yakni pada 278 nm dan 219.8 nm (Gambar 1). Adanya serapan diantara 270 s/d 280 nm memberikan indikasi adanya kerangka flavanol yang boleh jadi menyerupai struktur katekin. Hasil pengukuran dengan spektrofotometer inframerah (FTIR) menunjukkan adanya regangan gugus hidroksil namun gugus carbonil (=C=0) yang biasanya muncul pada bilangan gelombang 1690-1760 cm-1. Spektrum FTIR 6 senyawa SP-2541-H-al.F jelas memperlihatkan tidak adanya gugus carbonil (Gambar 2). Hal ini memperkuat dan mengkonfirmasikan senyawa hasil isolasi merupakan senyawa proantosianin. Gambar 1. Spektrum ultraviolet senyawa SP-2541-H-al.F dalam MeOH 21.39 21.0 20.5 20.0 19.5 19.0 18.5 18.0 17.5 17.0 16.5 %T 16.0 15.5 15.0 14.5 14.0 13.5 13.0 3421 12.5 1610 1450 1035 1340 12.0 1231 11.58 4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 cm-1 1600 1400 1200 1000 800 600 Gambar 2. Spektrum FTIR senyawa SP-2541-H-al.F dalam KBr pellet 7 450.0 Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada DP2M DIKTI atas Hibah Penelitian Strategis Nasional yang diberikan sesuai kontrak no. 120/H.16/PL/HB-PSN/IV/2009, tanggal 16 April 2006. Daftar Pustaka Backer, CA and van den Brink, RCB (1965), Flora of Java, Vol. I-III, Noordhoff-Groningen, Netherlands. Burkill, IH., (1966), A Dictionary of the Economic Products of The Malay Peninsula vol. 1 (AH), vol 2 (I-Z), Ministry Agriculture and Cooperative, Kuala Lumpur. Gu, L., Kelm, MA., Hammerstone, JF., Beecher, G., Holden, J., Haytowitz, D., Gebhard, S. and Prior, RL., (2003), Concentration of proanthocyanidins in common foods and estimation of normal consumption, J. Nutr. 134(3): 613-617. Hertog M. G. L., Kromhout D., Aravanis C., Blackburn H., Buzina R., Fidanza F., Giampaoli S., Jansen A., Menotti A., Nedeljkovic S., Pekkarinen M., Simic B. S., Toshima H., Feskens E. J. M., Hollman P. C. H. and Katan M. B. (1995) Flavonoid intake and long-term risk of coronary heart disease and cancer in the Seven Countries Study. Archives of Internal Medicine 155, 381386. Lipoeto NI (2004), Nutrition transition in west Sumatra Indonesia, Asia Pacific J Clin Nutr, 13(3), 312 – 316. Lipoeto NI (2006); Consumption of herbs and spices and cardiovascular disease 12th Asian Symposium on Medicinal Plants, Spices and other Natural Products, Padang, 13-18 November 2004 Lipoeto NI dan Putra DP; Potensi Protektif Makanan Tradisional Minang terhadap Penyakit Kardiovaskuler. Hibah Pasca DIKTI 2008. Lipoeto NI, (2002), Traditional Minangkabau Diet and cardiovascular disease risk in West Sumatra, Indonesia; Disertation- Monash University Materia Medika Indonesia (MMI) Jilid I-VI (1989), Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Nakamura, Y., Tsuji, S. and Tonogai, Y. (2003), Analysis of proanthocyanidin on grape seed extracts, health foods and grape seed oil, J. of Health Sci., 49(1), 45-54. Nielsen, F., Mikkelsen, BB., Nielsen, JB., Andersen, HR. and Grandjean, P. (1997), Plasma malonilaldehyde as biomarker for oxidative stress: reference interval and effects of life-style factors, Clinical Chemistry, 43(7): 1209-1214. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat (2000), Ed. I, Depkes Republik Indonesia, Dirjend POM, Jakarta. Putra, D.P.,Verawati, D. Arbain,Dachriyanus, K. Shaari, and N. Hj. Lajis, An Antioxidant constituent of the Bark of Salam (Syzygium polyanthum (Weigh.) Walp.), 2003, Abstract paper pada Int.Seminar of Malaysian Natural Product, 13-16 Oct Shobana S, Naidu KA. Antioxidant activity of selected Indian spices. Prostaglandins Leukotrienes & Essential Fatty Acids 2000; 62; 107-110 Sun, B and Spranger, MI, (2005), Analysis of grape and wine proanthocyanidin and Stilbenes, Ciencis Tec Vitiv, 20(2): 59-89. Sun, B., Ricardo-da-Silva, J.M. and Spranger, I. (1998), Critical factors of vanillin assay for catechins and proanthocyanidin, J. Agric. Food Chem., 46, 4267-4274. USDA Database fot the Flavonoid Content of Selected Foods, (2006), US Dept. Agriculture, Div. Human Butrition Research Center. Beltsville-Maryland. 8