Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat Sipil1 Syed Farid Alatas (The National University of Singapore) Abstract This paper provides an outline for the study of the role of the social sciences in the study of the workings of civil society in the context of Indonesian and Malaysian Islam. It begins with a discussion on the concepts of civil society and masyarakat madani, term often mistranslated and misunderstood as civil society. It is through a comparison of the two that the relevance of civil society in terms of its theory and practice to Islam is established. Next, I turn to a discussion of the types of use of the social sciences by the various components of civil society. This is followed by a discussion on the need for an account of the impact of the social sciences on public discourse, policy-makers, legislators and NGOs. To the extent that the social sciences do impact in the above arenas, how we may understand the relevance of Islam in this respect is addressed. I conclude by way of an exposition of the relationship between the concepts of civil society and masyarakat madani in the context of the need for a moral public. Pendahuluan Dalam tulisan ini, saya menyajikan suatu kerangka dasar untuk mempelajari hubungan antara agama Islam, ilmu-ilmu sosial, dan masyarakat sipil dengan mengacu pada situasi di Malaysia dan Indonesia. Meskipun situasi di kedua negara dalam satu dekade belakangan ini ditandai oleh munculnya masyarakat sipil dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat, serikat-serikat pekerja, lembaga-lembaga profesi, lembaga-lembaga perdagangan, badanbadan keagamaan, kelompok mahasiswa, kelompok kebudayaan, perkumpulan-per1 Tulisan ini merupakan versi terjemahan dari naskah asli berbahasa Malaysia yang disajikan dalam panel: ‘Masyarakat Sipil dan Adat’, dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Kampus Universitas Andalas, Padang, 18-21 Juli 2001. ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 kumpulan olahraga, dan sebagainya, pemahaman kita mengenai peranan agama Islam dan ilmu-ilmu sosial dalam pembentukan masyarakat sipil sangatlah terbatas. Agar pengaruh agama Islam terhadap masyarakat sipil melalui ilmu-ilmu sosial dapat dengan mudah dipahami, saya akan menjelaskan peranan pengaruh Islam itu secara langsung dan tidak langsung. Untuk memperlihatkan pengaruhnya, saya membahas tiga permasalahan yang relevan, yaitu konsep masyarakat sipil, studi mengenai ideologi dan utopia, dan islamisasi ilmu. Pada bagian pertama, saya menggambarkan hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sipil. Pada bagian ini akan dibahas bagaimana kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil memanfaatkan atau menerapkan hasil penelitian ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan mereka. Pada bagian kedua akan dikaji 13 peranan agama Islam dalam hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sipil. Pada bagian-bagian selanjutnya akan dibahas situasi riil di Indonesia dan Malaysia dengan memfokus pada tiga contoh peranan Islam dalam hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sipil. Ketiga contoh ini diulas dengan mengacu pada tiga permasalahan tersebut dalam alinea sebelumnya. Di akhir tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa Islam sebagai kekuatan intelektual masih belum memainkan peranan yang signifikan. Hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sipil Masyarakat sipil terdiri atas lembaga swadaya masyarakat, serikat-serikat pekerja, lembaga-lembaga profesi, lembaga-lembaga perdagangan, badan-badan keagamaan, kelompok mahasiswa, kelompok kebudayaan, perkumpulan-perkumpulan olahraga, dan lembaga-lembaga lainnya. Sebagian tugas penting mereka adalah mengawasi, meneliti, menilai, dan menjelaskan kebijakan pemerintah, dan mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan, atau menjalankan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan kelompok-kelompok kepentingan tertentu, kelompok-kelompok penekan, ataupun rakyat pada umumnya. Kita dapat memahami manfaat ilmu-ilmu sosial pada pembentukan masyarakat sipil melalui dua peranannya, yaitu peranan langsung dan tidak langsung. Peranan langsung adalah keterlibatan para ilmuwan sosial (ilmu-ilmu sosial) secara langsung dalam kegiatan masyarakat sipil. Hasil penelitian ilmiah disebarluaskan, dan digunakan untuk memperjuangkan atau mempertahankan sesuatu. Data yang didapat dalam proses penelitian, serta pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial digunakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok 14 dalam masyarakat sipil untuk melakukan perubahan tertentu dalam masyarakat, atau untuk mendesak pemerintah melakukan perubahan. Dalam peranan tidak langsung, ilmuwan sosial dan cendekiawan lainnya menyadarkan masyarakat akan adanya permasalahanpermasalahan tertentu di satu pihak, dan mengakibatkan perubahan dalam sikap dan pandangan masyarakat di lain pihak. Hasilnya bukanlah perubahan dalam hal-hal tertentu, melainkan perubahan kebudayaan. Secara tidak langsung, ilmu-ilmu sosial membekali warga masyarakat dengan pendidikan, melatih mereka berpikir kritis, dan memperkenalkan berbagai aspek kehidupan sosial. Peranan agama Islam dalam hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sipil Berkaitan dengan keterlibatan secara langsung ilmu-ilmu sosial dalam aktivitas masyarakat sipil, peranan Islam—dalam arti suatu sistem keagamaan yang terdiri dari ilmu dan amalan—adalah memberikan panduan, membimbing, dan mengarahkan para peneliti dan aktivis dalam memilih topik penelitian, atau masalah yang ingin diperjuangkan. Pemilihan topik atau masalah itu harus memperhatikan kepentingan masyarakat muslim atau Islam. Hal ini memerlukan standar yang relevan dalam menentukan masalah yang akan dibahas. Misalnya, apakah kita mendesak pemerintah agar menerima perceraian sebagai hal yang sah melalui SMS (Short Message Service) atau menyelesaikan masalah peningkatan angka perceraian? Masalah mana yang merupakan masalah sosial bagi masyarakat Islam? Menurut pendapat saya, tidak adanya undang-undang yang membenarkan perceraian melalui SMS tidak akan menjadi masalah sosial yang berat. Sebaliknya, tingginya angka perceraian merupakan gejala sosial yang ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 seharusnya diperhatikan oleh aktivis-aktivis masyarakat sipil. Walaupun disetujui bahwa pembangunan hanya akan berguna jika melibatkan keikutsertaan penuh warga negara dalam penentuan kebijakan publik—yakni keterlibatan lembagalembaga swadaya masyarakat, lembagalembaga profesi, serikat pekerja, dan lain-lain— sampai sejauh manakah ilmuwan sosial mempengaruhi kelompok-kelompok tersebut? Hal ini masih menjadi pertanyaan. Namun, kelompok-kelompok tersebut tidak akan dapat berfungsi dengan baik jika tidak menggunakan penelitian ilmiah modern untuk mendukung perubahan. Jika ilmu-ilmu sosial terapan memang lebih sesuai, seharusnya dilakukan kerjasama yang lebih dalam antara kelompokkelompok itu, ilmuwan sosial, dan lembaga pemerintah. Kenyataan menunjukkan hal sebaliknya, yaitu adanya keterasingan cendekiawan dan ilmuwan Islam dari lingkungan nyata mereka. Saya akan membahas salah satu contoh dari keterasingan ini, yaitu mengenai ilmu ekonomi Islam (Islamic economics). Berkaitan dengan keterlibatan secara tidak langsung ilmu-ilmu sosial dalam aktivitas masyarakat sipil, peranan ilmuwan sosial dan cendekiawan Islam adalah menyadarkan masyarakat atas masalah-masalah tertentu yang muncul di kalangan umat Islam. Sejauh manakah mereka berhasil dalam tugas penyadaran tersebut, akan dibahas dalam bagian-bagian selanjutnya dengan mengacu pada masalah ideologi dan utopia, serta konsep masyarakat sipil. Ilmu ekonomi Islam Telah jelas bahwa masalah keterbelakangan merupakan hal yang belum dapat diatasi hingga saat ini. Telah jelas pula jika berbagai teori dan kajian mengenai pembangunan ekonomi-politik yang muncul sejak berakhirnya ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 Perang Dunia Kedua tidak dapat memberikan solusi untuk sebagian besar masalah yang dihadapi oleh negara-negara terbelakang. Sebaliknya, studi mengenai pembangunan bahkan memberatkan negara-negara terbelakang tersebut, karena menimbulkan suatu masalah baru, yaitu masalah penjiplakan model pembangunan, serta teori-teori yang berasal dari Barat. Akibatnya, ilmu yang tidak sesuai atau relevan dengan Dunia Ketiga diterima oleh ilmuwan dan para penentu kebijakan kita, dan dilaksanakan tanpa dikritik. Situasi seperti ini memunculkan reaksi balik di kalangan sebagian ahli ekonomi di negara-negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan Malaysia yang berusaha untuk mengislamisasi ilmu ekonomi (Abdul Rauf 1984; As-Sadr 1984; Shari‘ati 1980). Ilmu ekonomi Islam dimunculkan sebagai pedoman untuk pembangunan negara-negara Islam. Pada umumnya, ekonomi Islam ini adalah ekonomi makro dan ekonomi mikro. Pakar-pakar ekonomi Islam tidak memiliki perhatian yang cukup besar terhadap masalah pembangunan. Dalam ekonomi makro Islam, teori-teori yang ada tidak begitu berbeda dengan teoriteori ekonomi dari Barat (lihat M.S. Khan 1986; F. Khan 1990; Siddiqui dan Zaman 1989a, 1989b; Zarqa 1983). Misalnya, teori-teori yang berusaha untuk menjadikan ekonomi bersih dari riba atau bunga dengan menggunakan model Keynesian IS-LM (Investment-Savings, Liquidity-Money ), berhasil menunjukkan bahwa sistem ekonomi-Islam-tanpa-riba dapat dilaksanakan, tetapi pada tahapan teoretis saja, yakni melalui teori-teori yang abstrak. Pendekatan IS-LM digunakan untuk menentukan GDP (Gross Domestic Products), tenaga kerja, penggunaan, tingkat bunga, dan tingkat harga. Banyak contoh lain dari bidang ekonomi makro dan ekonomi mikro Islam yang menunjukkan ekonomi Islam banyak didasarkan pada ekonomi Keynes dan neoklasik. 15 Kelemahan-kelemahan ekonomi Islam dapat disimak dari hal-hal tersebut. Pertama, perumpamaan-perumpamaan ekonomi Islam tidak didasarkan pada kenyataan ekonomi, tetapi menggunakan rumus-rumus mutakhir matematika dan statistik untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya, apa saja hal-hal yang harus dipenuhi untuk sistem ekonomi-tanpa-bunga dalam model IS-LM itu. Yang dijelaskan di sini adalah bagaimana ekonomi-tanpa-bunga ini dapat dibangun atas dasar perumpamaan-perumpamaan. Hal yang tidak mereka perhatikan adalah pengaruh bunga terhadap ekonomi riil untuk mendukung tuntutan mereka jika bunga itu merupakan riba, dan seharusnya dilarang. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan berdasarkan model matematik saja. Penelitian secara empiris harus pula dilaksanakan. Kedua, ekonomi Islam tidak mempertimbangkan faktor-faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan hubungan perdagangan dan politik antarnegara. Ketiga, pakar-pakar ekonomi Islam jarang memberikan perhatian pada masalah-masalah pembangunan. Ekonomi Islam tidak memiliki studi pembangunan sebagai kajian khusus seperti yang terlihat dalam aliran ekonomi lainnya. Keempat, ekonomi Islam sebagian besar terdiri atas hal-hal normatif. Dengan menganggap hal ini sebagai suatu kelemahan, tidak berarti saya menyatakan bahwa ekonomi tidak seharusnya mempertimbangkan masalah-masalah normatif. Akan tetapi, perbedaan antara ilmu pengetahuan dan norma-norma harus dipahami. Intinya, ekonomi Islam hanya merupakan ekonomi Keynes dan neoklasik yang dihiasi dengan istilah-istilah Islam, seperti tauhid, riba, dan zakat. Ia memiliki berbagai kelemahan, sehingga sistem ekonomi Islam kurang dipandang dibandingkan sistem ekonomi lainnya. 16 Ideologi, utopia, dan penyadaran masyarakat sipil Masyarakat sipil dipahami sebagai lingkungan masyarakat yang berada di antara urusan pribadi dan hubungan politik negara. Masyarakat sipil terdiri atas berbagai kelompok dan individu yang terlibat dalam kegiatan mencermati, meneliti, menilai dan menjelaskan kebijakan pemerintah, dan mendesak pemerintah agar melakukan perubahan dalam kebijakan-kebijakan tertentu, atau melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu untuk kepentingan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) tertentu, kelompok-kelompok pendesak (pressure groups) tertentu, atau rakyat pada umumnya. Sebagian masyarakat sipil terdiri atas apa yang disebut Karl Mannheim sebagai intelektual yang bebas dari kepentingan kelas (Mannheim 1991:160–172, 1936:136–146). Bidang sosiologi intelektual merupakan bidang paling penting untuk dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial. Mannheim menyatakan bahwa kelas proletar merupakan kelompok sosial pertama yang sadar akan identitas sosialnya, sedangkan kaum intelektual merupakan kelompok terakhir yang berusaha untuk mengerti kepentingan sosialnya (Mannheim 1993:74). Bertolak dari penjelasan mengenai kelas oleh kaum proletar yang menganggap tidak adanya kemungkinan kaum intelektual menjadi hal yang berbeda selain menjadi kelas tertentu, munculnya kesadaran seperti ini di kalangan kaum intelektual dianggap sebagai hal yang sulit terjadi (Mannheim 1993:74–75). Bidang sosiologi intelektual diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai posisi kaum intelektual dalam masyarakat. Tugas sosiologi seperti ini dalam situasi Dunia Ketiga adalah untuk memahami identitas sosial kaum intelektual dan kemungkinan peranannya dalam masyarakat ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 sipil. Hal ini menjadi lebih penting dalam masyarakat, tempat kaum intelektual menjadi kelompok yang tidak memiliki independensi dan tidak berada di posisi yang sesuai. Dalam situasi seperti ini, suatu masalah yang penting adalah yang berkaitan dengan pengertian kaum intelektual terhadap pemikiran sosio-keagamaan dalam masyarakatnya. Hal ini merupakan suatu persyaratan yang seharusnya dipenuhi, jika kaum intelektual ingin memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat memperkuat masyarakat sipil. Namun, hal itu jarang ditemukan di kalangan pakar ilmu-ilmu sosial muslim di Indonesia dan Malaysia.2 Signifikansi studi-studi seperti ini dapat dipahami jika kita melihat permasalahan ini melalui konsep ideologi dan utopia yang telah diungkapkan oleh Karl Mannheim. 3 Konsep ideologi berdasar pada pemikiran kelompokkelompok tertentu yang menutupi situasi riil masyarakat, dan dengan cara itu, menstabilkan masyarakat itu (Mannheim 1936:36). Dapat dikatakan bahwa pemikiran yang merupakan asas ekonomi Islam yang telah dibahas di atas merupakan pemikiran ideologis, karena tidak adanya pendekatan yang relevan dan kritis yang dapat menjelaskan situasi riil ekonomi; dan dengan cara itu menjaga keadaan yang sudah ada (status quo). Pemikiran utopis, di lain pihak, menutupi sisi-sisi tertentu masyarakat dari arah yang berbeda. Dalam makalahnya yang berjudul ‘Religion and Utopian Thinking among the Malays of Southeast Asia (2000/2001)’, Maaruf mengaplikasikan konsep utopia pada kajian mengenai pemikiran sosial dan politik Islam di 2 Beberapa contoh pengecualiannya adalah Alatas (1977a, 1977b [1988]), Maaruf (1988, 1993), Shamsul (1999) dan Sharifah Maznah (1993). 3 Paham Ideologi berdasarkan pemikiran Mannheim pertama kali diterapkan pada situasi di Asia Tenggara oleh Syed Hussein Alatas (1977a). ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 Malaysia. Pemikiran utopis menunjuk pada pemikiran yang tidak dapat mengenali situasi riil masyarakat, karena para pemikirnya tidak memperhatikan situasi riilnya, tetapi ingin mengubah situasi saat ini (status quo). Dalam usaha mewujudkan hal tersebut, mereka menolak segala sesuatu yang akan menggerogoti kepercayaan mereka, atau melemahkan keinginan mereka untuk mengubah keadaan. Karena begitu kuatnya keinginan untuk mengubah keadaan yang ada, mereka hanya melihat hal-hal yang menafikan kenyataan yang ada (Mannheim 1936:36). Menurut Maaruf (2000/2001:2), pemikiran utopis ‘...menambahkan ciri millenarian , populis, eshatologikal dan ortodoks terhadap kehidupan keagamaan umumnya di Asia Tenggara dan lebih jauh...’ dan ‘...merupakan dasar tuntutan pendirian negara-negara Islam dan pelaksanaan hukum Islam’. Maaruf (2000/ 2001:2–3) menyatakan hal-hal di bawah ini sebagai ciri-ciri pemikiran utopis di kalangan umat Islam Asia Tenggara: • menolak dan menafikan status quo; • memperjuangkan struktur yang lain secara radikal; • menutupi hal-hal yang dapat menghambat atau melemahkan tuntutan mereka untuk mengadakan perubahan; • menuangkan pemikiran dengan tujuan untuk mempersiapkan dan melakukan tindakan ke arah perubahan yang diinginkan, dan bukan untuk mengenali lebih jelas kenyataan yang ada; dan • sifatnya lebih populis, bukan intelektual. Salah satu contoh pemikiran utopis yang diberikan oleh Maaruf (2000/2001:4–5) adalah pemikiran bahwa Islam itu adalah al-din, yaitu tidak ada agama selain Islam yang dapat disamakan dengan Islam. Pemikir-pemikir utopis, menurut Maaruf, menganggap Islam sebagai agama yang sempurna, dan meliputi segala aspek kehidupan sosial, ekonomi, 17 politik, dan budaya. Saya tidak setuju bahwa pemikiran seperti ini berarti pemikiran utopis, karena ini merupakan kepercayaan utama dalam Islam yang tidak menyebabkan munculnya watak utopis. Tetapi, jelaslah bahwa kepercayaan ini, di kalangan utopis akan meniadakan kemungkinan perlunya pembahasan perbandingan dengan pemikiran-pemikiran lain, seperti kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan pascamodernisme untuk menjamin kekuatan sistem pemikiran mereka, dan melindunginya dari pengaruh pemikiran lain terhadapnya. Hal ini membawa kita pada kesimpulan bahwa bila pemikiran Islam dalam masyarakat sipil didominasi oleh gagasan utopis, pengaruh Islam terhadap masyarakat sipil akan menjadi agak lemah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya: • tidak adanya agenda yang sama di kalangan intelektual Muslim untuk melakukan perubahan sosial dan politik; • kurangnya perpaduan dengan elemenelemen sekuler dalam masyarakat sipil dikarenakan kurangnya kadar keislaman mereka; • kurangnya perhatian terhadap ilmu-ilmu dan pemikiran modern, khususnya yang berkaitan dengan kapitalisme sebagai sistem ekonomi, demokrasi, liberalisme, dan sebagainya; dan • kurangnya pemahaman terhadap situasi riil. Jika pemikiran Islam didominasi oleh pemikiran utopis, hal itu berarti pemikiran sosial dan politik di kalangan intelektual muslim mengalami kemunduran, dan masyarakat sipil akan menjadi gersang secara intelektual dan tidak dapat mengambil bagian dalam aktivitas yang akan membawa perubahan berarti. 18 Masyarakat sipil Sebagaimana disampaikan sebelumnya, keterlibatan secara tidak langsung ilmuwanilmuwan sosial dalam kegiatan masyarakat sipil, yaitu melalui pakar-pakar ilmu-ilmu sosial dan intelektual-intelektual lainnya, memiliki peranan menyadarkan masyarakat terhadap masalah-masalah yang ada pada saat itu, dan menghasilkan perkembangan, atau perubahan dalam sikap dan pandangan masyarakat. Termasuk di dalamnya mengkritik dan menolak wacana yang dominan dengan menghancurkan mitos yang sudah mendarah daging, dan memberikan penafsiran sejarah dan masyarakat yang baru. Marilah kita lihat dua contoh berikut. Pertama, Asia itu sendiri merupakan suatu mitos, hasil ciptaan Orientalis, yang digunakan oleh orang-orang Asia untuk berbagai alasan, termasuk gagasan bahwa ‘”Asia” merupakan suatu bentuk penipuan dalam penjualan, digunakan untuk politik dan perdagangan’ (Buruma 1995:67). Selain dari kenyataan mulai terkikisnya kebudayaan lokal, apa yang dianggap sebagai nilai-nilai Asia menjastifikasi pemerintah otoriter atau—yang dalam pelaksanaannya—seringkali tidak dapat dibedakan, yakni, nilai-nilai Amerika. Tugas untuk menjelaskan bukan hanya untuk membongkar penipuan ini dan menempatkan diri dalam golongan liberal, melainkan untuk menunjukkan pandangan ketiga, yaitu wacana mengenai demokrasi dan pembangunan yang lebih sesuai. Satu hal lain yang memerlukan penjelasan adalah masalah pembangunan di Asia Tenggara dan penyalahgunaan karya Max Weber. Untuk menjawab pandangan bahwa pembangunan berlangsung karena Islam atau Konfusianisme, dapat dikatakan bahwa: • pembangunan dalam bentuk kapitalisme dapat berlangsung meskipun ada Islam ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 dan Konfusianisme; • gerakan Islam dan Konfusian sebenarnya menolak cara pembangunan kontemporer; dan • negara serta media massa mendominasi pembicaraan yang mungkin dapat menghasilkan pemikiran yang jernih mengenai gaya demokrasi asli, namun tidak dapat terwujud, karena wacana ini didominasi oleh negara dan media massa. Begitu pula halnya dengan konsep masyarakat sipil dan hubungannya dengan Islam. Yang seharusnya dihapuskan adalah pandangan bahwa masyarakat madani sama dengan masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggeris civil society. Civil society itu sendiri adalah terjemahan langsung dari istilah asli dalam bahasa Latin, yaitu civilis societas yang pada awalnya digunakan oleh pujangga Roma, Cicero (106–43 S.M.). Sebagaimana disampaikan oleh Dawam Rahardjo (t.t.), masyarakat sipil pada zaman itu merupakan suatu masyarakat politik yang berdasarkan pada hukum sebagai dasar pengaturan kehidupan yang tinggal di kota, dan meliputi segala aspek kehidupan, termasuk negara (state). Di lain pihak, Syed Muhammad Naquib Al-Attas (2000) menyatakan bahwa konsep masyarakat madani itu tidak sama dengan konsep masyarakat sipil. Masyarakat madani merupakan suatu bentuk masyarakat berdasarkan pada norma-norma keislaman.4 Istilah madanî , madînah (kota), dan dîn (biasanya diterjemahkan sebagai agama) berasal dari kata dyn (Al-Attas 1976:1–4; Al4 Wawancara penulis dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 20 May 2000. 5 Dalam karya ini (1976, 1977), Al-Attas menjelaskan secara rinci mengenai hubungan antara dîn dan konsepkonsep yang berkaitan seperti madînah, tamaddun, dan lain-lain. ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 Attas 1977:4–9). . 5 Menurut Al-Attas, fenomena perubahan nama asli Madinah, yaitu Yasthrib, menjadi Madinah mengandung arti ‘...di tempat itulah agama yang sebenarnya mulai berlaku bagi setiap manusia: disitulah dîn yang sebenarnya mulai nyata berlaku bagi insan: disitulah tempat dimana dîn yang hak berlaku…’ (Al-Attas 1977:7,n.3). Hal ini perlu dikaitkan dengan Undang-Undang Madinah juga. Pemikiran modern masyarakat sipil muncul sejak abad kedelapan belas dan menunjuk pada suatu lingkungan kegiatan yang bebas dari pengaruh negara. Ia juga dikaitkan dengan demokrasi dan perjuangan menentang penindasan dan kezaliman. Saat ini, banyak yang menyamakan definisi masyarakat madani dengan masyarakat sipil, seakan-akan istilah madanî tidak memiliki sejarahnya sendiri. Dalam bahasa Arab istilah al-mujtama‘ almadanî digunakan sebagai terjemahan dari civil society (masyarakat sipil) (misalnya Hassan 2000). Di Indonesia dan Malaysia, yang menyamakan istilah masyarakat madani dengan masyarakat sipil mungkin telah mengartikan al-mujtama‘ al-madanî sebagai masyarakat madani. Sebenarnya, masyarakat madani dan masyarakat sipil dalam definisi modernnya tidak memiliki hubungan sedikit pun. Istilah pertama memiliki arti suatu masyarakat keagamaan termasuk negara. Istilah kedua memiliki arti lingkungan kehidupan di luar negara. Hal ini mirip dengan istilah Arab almujtama‘ al-ahli. Ahli itu berarti lingkungan kegiatan dalam kekuasaan negara seperti madrasah, wakaf, masjid, kelompok keagamaan, dan sebagainya. Walaupun demikian, kita tidak dapat menyamakan al-mujtama‘ al-ahli dengan masyarakat sipil, karena masing-masing berdasarkan pada pandangan dunia dan pengalaman sejarah yang berbeda. Melihat kenyataan bahwa konsep-konsep 19 di atas berbeda satu sama lain, ada beberapa kemungkinan yang dapat dipertimbangkan, yakni: 1. mewujudkan masyarakat sipil, yaitu perjuangan untuk mewujudkan masyarakat sekuler dan demokratis; 2. mewujudkan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berdasarkan pada sistem nilai-nilai Islam; dan 3. menggabungkan masyarakat sipil dan masyarakat madani. Berkaitan dengan kemungkinan ketiga ini, daripada menggunakan istilah ‘masyarakat sipil’ dan ‘masyarakat madani’ secara bergantian, lebih baik jika kita memahami arti sebenarnya dari istilah masing-masing, dan sadar bahwa perjuangan pada saat ini adalah menuju ke keduanya—masyarakat madani dan masyarakat sipil—yaitu ke arah suatu masyarakat yang demokratis berdasarkan pada sistem norma-norma Islam. Mengakui bahwa istilah demokrasi itu berasal dari Barat, tidak berarti tidak ada pemikiran demokrasi dalam Islam; demokrasi itu tidak boleh diislamkan, seperti yang diusulkan oleh Syed Hussein Alatas dalam karya awalnya, The Democracy of Islam (1956). Menurut Alatas (1956:37), dua ciri utama demokrasi Islam adalah gabungan antara manusia dan kebebasan untuk memiliki kepercayaan. Saling pengertian berasal dari perbedaan antara berbagai bangsa. Karena perbedaan merupakan hal yang alami, berarti setiap orang bebas untuk memiliki cara hidup yang berbeda. Kita simpulkan bahwa kebebasan budaya dan politik itu merupakan sebagian dari konsep masyarakat madani yang merupakan paham yang lebih luas, dan meliputi konsep masyarakat sipil. Kesimpulan Menyimak sebagian besar sejarah pasca penjajahan Malaysia dan Indonesia, gejalagejala sosial yang menentukan sifat dan bentuk sistem politik masing-masing negara bukanlah berasal dari masyarakat sipil.6 Akan tetapi, setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, kegiatan kelompok-kelompok masyarakat sipil di kedua negara tersebut mengalami peningkatan. Meskipun faktor-faktor yang berkaitan dengan kedudukan kelas dan etnis masih berpengaruh seperti masa-masa sebelumnya, masyarakat sipil seharusnya diperhatikan sebagai suatu gejala sosial yang baru, dan memiliki kemungkinan untuk memainkan peranan yang signifikan pada masa depan. Namun, sejauh ini, aspek Islam dari masyarakat sipil itu masih memiliki beberapa kelemahan yang telah dibahas sebelumnya. Kelemahankelemahan itu antara lain: • keterasingan pemikiran pemikir Islam dari kenyataan yang ada, seperti yang telah diungkapkan di atas dalam contoh ekonomi Islam. Ini berfungsi sebagai ideologi; • dominasi watak utopis yang menolak dan menafikan kenyataan yang ada dengan tidak memperhatikan segala aspek situasi yang ada; dan • masyarakat sipil itu sendiri memiliki pandangan yang keliru atas peranan Islam terhadapnya, seperti yang diperlihatkan dalam pembahasan terhadap masyarakat madani di atas. Kesimpulan ini bukanlah merupakan kesimpulan akhir sebelum penelitian secara empiris dilaksanakan. 6 Lihat Alatas (1997) untuk studi perbandingan antara Malaysia dan Indonesia mengenai munculnya negara demokratis dan otoriter. 20 ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 Kepustakaan Abdul Rauf 1984 A Muslim’s Reflections on Democratic Capitalism. Washington DC: American Enterprise Institute. Alatas, S.F. 1997 Democracy and Authoritarianism: The Rise of the Post-Colonial State in Indonesia and Malaysia . Houndmills: Macmillan. Alatas, S.H. 1956 The Democracy of Islam: A Concise Exposition with Comparative Reference to Western Political Thought. Bandung and The Hague: W. van Hoeve. 1977a The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20 th Century and its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London: Frank Cass. 1977b Intellectuals in Developing Societies. London: Frank Cass. 1988 Intelektual Masyarakat Berkembang. Jakarta: LP3ES. Al-Attas, S.M al-Naquib 1976 Islâm: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality. Kuala Lumpur: ABIM. 1977 Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak . Kuala Lumpur: ABIM. As-Sadr, M.B. 1984 Towards an Islamic Economy. Teheran: Bonyad Be’that. Baharuddin, S.A. 1999 ‘Colonial Knowledge and the Construction of Malay and Malayness: Exploring the Literary Component’, SARI: Journal of the Malay World and Civilization 17:3–17. Buruma, I. 1995 ‘The Singapore Way’, The New York Review of Books. October 19:66–71. Hassan, A.H. 2000 Al-Jamâ‘ât al-Siyâsiyyah al-Islâmiyyah wa al-Mujtam‘a al-Madanî(Political Islam and Civil Society ). Qâhirah: Dar al-Thaqqâfiyyah li al-Nashr. Khan, F. 1990 ‘A Macro Consumption Function in an Islamic Framework’, Journal of Research in Islamic Economics 6(2):1–24. Khan, M.S. 1986 ‘Islamic Interest-Free Banking: A Theoretical Analysis’, IMF Staff Papers 33(1):1–27. Mannheim, K. 1936 Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge. London: Routledge and Kegan Paul. 1991 Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1993 ‘The Sociology of Intellectuals’, Theory, Culture and Society 10(3):69–80. ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 21 Maaruf, S. 1988 Malay Ideas on Development: From Feudal Lord to Capitalist. Singapore: Times Books International. 1993 Konsep Wira dalam Masyarakat Melayu.Singapura: Pustaka Nasional. 2000/2001 ‘Religion and Utopian Thinking among the Muslims of Southeast Asia’ (‘Agama dan Pemikiran Utopis di Kalangan Orang Islam Asia Tenggara’). Seminar Paper No. 29. Singapore: Department of Malay Studies, National University of Singapore. Omar, S.M.S. 1993 Myths and the Malay Ruling Class. Singapore: Times Academic Press. Rahardjo, M.D. t.t. ‘Agama dan Masyarakat Madani’, <wysiwyg://87/http//www.fortunecity.com/m...nnium/ oldemill/498/civils/MDRahardjo.html>. Shari‘ati, A. 1980 Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique (terjemahan dari bahasa Farsi ke bahasa Inggeris oleh Robert Campbell). Berkeley: Mizan Press. Siddiqui, S.A. dan A. Zaman 1989a ‘Investment and Income Distribution Pattern under Musharka Finance: A Certainty Case’, Pakistan Journal of Applied Economics8(1):1–30. 1989b ‘Investment and Income Distribution Pattern under Musharka Finance: The Uncertainty Case’, Pakistan Journal of Applied Economics 8(1):31–71. Zarqa, M.A. 1983 ‘Stability in an Interest-Free Islamic Economy: A Note’, Pakistan Journal of Applied Economics (2):181–188. 22 ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001