Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat Sipil1

advertisement
Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat Sipil1
Syed Farid Alatas
(The National University of Singapore)
Abstract
This paper provides an outline for the study of the role of the social sciences in the study
of the workings of civil society in the context of Indonesian and Malaysian Islam. It begins
with a discussion on the concepts of civil society and masyarakat madani, term often mistranslated and misunderstood as civil society. It is through a comparison of the two that the
relevance of civil society in terms of its theory and practice to Islam is established. Next, I turn
to a discussion of the types of use of the social sciences by the various components of civil
society. This is followed by a discussion on the need for an account of the impact of the social
sciences on public discourse, policy-makers, legislators and NGOs. To the extent that the
social sciences do impact in the above arenas, how we may understand the relevance of Islam
in this respect is addressed. I conclude by way of an exposition of the relationship between the
concepts of civil society and masyarakat madani in the context of the need for a moral public.
Pendahuluan
Dalam tulisan ini, saya menyajikan suatu
kerangka dasar untuk mempelajari hubungan
antara agama Islam, ilmu-ilmu sosial, dan
masyarakat sipil dengan mengacu pada situasi
di Malaysia dan Indonesia. Meskipun situasi
di kedua negara dalam satu dekade belakangan
ini ditandai oleh munculnya masyarakat sipil
dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat,
serikat-serikat pekerja, lembaga-lembaga
profesi, lembaga-lembaga perdagangan, badanbadan keagamaan, kelompok mahasiswa,
kelompok kebudayaan, perkumpulan-per1
Tulisan ini merupakan versi terjemahan dari naskah
asli berbahasa Malaysia yang disajikan dalam panel:
‘Masyarakat Sipil dan Adat’, dalam Simposium
Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA
ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu
Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Kampus Universitas Andalas, Padang, 18-21 Juli 2001.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
kumpulan olahraga, dan sebagainya, pemahaman kita mengenai peranan agama Islam
dan ilmu-ilmu sosial dalam pembentukan
masyarakat sipil sangatlah terbatas. Agar
pengaruh agama Islam terhadap masyarakat
sipil melalui ilmu-ilmu sosial dapat dengan
mudah dipahami, saya akan menjelaskan
peranan pengaruh Islam itu secara langsung
dan tidak langsung. Untuk memperlihatkan
pengaruhnya, saya membahas tiga permasalahan yang relevan, yaitu konsep
masyarakat sipil, studi mengenai ideologi dan
utopia, dan islamisasi ilmu.
Pada bagian pertama, saya menggambarkan hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan
masyarakat sipil. Pada bagian ini akan dibahas
bagaimana kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil memanfaatkan atau menerapkan hasil
penelitian ilmu-ilmu sosial untuk mencapai
tujuan mereka. Pada bagian kedua akan dikaji
13
peranan agama Islam dalam hubungan antara
ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sipil. Pada
bagian-bagian selanjutnya akan dibahas
situasi riil di Indonesia dan Malaysia dengan
memfokus pada tiga contoh peranan Islam
dalam hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan
masyarakat sipil. Ketiga contoh ini diulas
dengan mengacu pada tiga permasalahan
tersebut dalam alinea sebelumnya. Di akhir
tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa Islam
sebagai kekuatan intelektual masih belum
memainkan peranan yang signifikan.
Hubungan antara ilmu-ilmu sosial
dan masyarakat sipil
Masyarakat sipil terdiri atas lembaga
swadaya masyarakat, serikat-serikat pekerja,
lembaga-lembaga profesi, lembaga-lembaga
perdagangan, badan-badan keagamaan,
kelompok mahasiswa, kelompok kebudayaan,
perkumpulan-perkumpulan olahraga, dan
lembaga-lembaga lainnya. Sebagian tugas
penting mereka adalah mengawasi, meneliti,
menilai, dan menjelaskan kebijakan pemerintah,
dan mendesak pemerintah untuk melakukan
perubahan kebijakan, atau menjalankan
kebijakan-kebijakan untuk kepentingan
kelompok-kelompok kepentingan tertentu,
kelompok-kelompok penekan, ataupun rakyat
pada umumnya.
Kita dapat memahami manfaat ilmu-ilmu
sosial pada pembentukan masyarakat sipil
melalui dua peranannya, yaitu peranan
langsung dan tidak langsung. Peranan
langsung adalah keterlibatan para ilmuwan
sosial (ilmu-ilmu sosial) secara langsung dalam
kegiatan masyarakat sipil. Hasil penelitian
ilmiah disebarluaskan, dan digunakan untuk
memperjuangkan atau mempertahankan
sesuatu. Data yang didapat dalam proses
penelitian, serta pengetahuan dan pemahaman
tentang ilmu-ilmu sosial digunakan oleh
individu-individu dan kelompok-kelompok
14
dalam masyarakat sipil untuk melakukan
perubahan tertentu dalam masyarakat, atau
untuk mendesak pemerintah melakukan
perubahan.
Dalam peranan tidak langsung, ilmuwan
sosial dan cendekiawan lainnya menyadarkan
masyarakat akan adanya permasalahanpermasalahan tertentu di satu pihak, dan
mengakibatkan perubahan dalam sikap dan
pandangan masyarakat di lain pihak. Hasilnya
bukanlah perubahan dalam hal-hal tertentu,
melainkan perubahan kebudayaan. Secara
tidak langsung, ilmu-ilmu sosial membekali
warga masyarakat dengan pendidikan, melatih
mereka berpikir kritis, dan memperkenalkan
berbagai aspek kehidupan sosial.
Peranan agama Islam dalam
hubungan antara ilmu-ilmu sosial
dan masyarakat sipil
Berkaitan dengan keterlibatan secara
langsung ilmu-ilmu sosial dalam aktivitas
masyarakat sipil, peranan Islam—dalam arti
suatu sistem keagamaan yang terdiri dari ilmu
dan amalan—adalah memberikan panduan,
membimbing, dan mengarahkan para peneliti
dan aktivis dalam memilih topik penelitian, atau
masalah yang ingin diperjuangkan. Pemilihan
topik atau masalah itu harus memperhatikan
kepentingan masyarakat muslim atau Islam. Hal
ini memerlukan standar yang relevan dalam
menentukan masalah yang akan dibahas.
Misalnya, apakah kita mendesak pemerintah
agar menerima perceraian sebagai hal yang sah
melalui SMS (Short Message Service) atau
menyelesaikan masalah peningkatan angka
perceraian? Masalah mana yang merupakan
masalah sosial bagi masyarakat Islam?
Menurut pendapat saya, tidak adanya
undang-undang yang membenarkan perceraian melalui SMS tidak akan menjadi masalah
sosial yang berat. Sebaliknya, tingginya angka
perceraian merupakan gejala sosial yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
seharusnya diperhatikan oleh aktivis-aktivis
masyarakat sipil.
Walaupun disetujui bahwa pembangunan
hanya akan berguna jika melibatkan keikutsertaan penuh warga negara dalam penentuan
kebijakan publik—yakni keterlibatan lembagalembaga swadaya masyarakat, lembagalembaga profesi, serikat pekerja, dan lain-lain—
sampai sejauh manakah ilmuwan sosial
mempengaruhi kelompok-kelompok tersebut?
Hal ini masih menjadi pertanyaan. Namun,
kelompok-kelompok tersebut tidak akan dapat
berfungsi dengan baik jika tidak menggunakan
penelitian ilmiah modern untuk mendukung
perubahan. Jika ilmu-ilmu sosial terapan
memang lebih sesuai, seharusnya dilakukan
kerjasama yang lebih dalam antara kelompokkelompok itu, ilmuwan sosial, dan lembaga
pemerintah. Kenyataan menunjukkan hal sebaliknya, yaitu adanya keterasingan cendekiawan dan ilmuwan Islam dari lingkungan nyata
mereka. Saya akan membahas salah satu contoh
dari keterasingan ini, yaitu mengenai ilmu
ekonomi Islam (Islamic economics).
Berkaitan dengan keterlibatan secara
tidak langsung ilmu-ilmu sosial dalam aktivitas
masyarakat sipil, peranan ilmuwan sosial dan
cendekiawan Islam adalah menyadarkan
masyarakat atas masalah-masalah tertentu
yang muncul di kalangan umat Islam. Sejauh
manakah mereka berhasil dalam tugas
penyadaran tersebut, akan dibahas dalam
bagian-bagian selanjutnya dengan mengacu
pada masalah ideologi dan utopia, serta konsep
masyarakat sipil.
Ilmu ekonomi Islam
Telah jelas bahwa masalah keterbelakangan merupakan hal yang belum dapat diatasi
hingga saat ini. Telah jelas pula jika berbagai
teori dan kajian mengenai pembangunan
ekonomi-politik yang muncul sejak berakhirnya
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Perang Dunia Kedua tidak dapat memberikan
solusi untuk sebagian besar masalah yang
dihadapi oleh negara-negara terbelakang.
Sebaliknya, studi mengenai pembangunan
bahkan memberatkan negara-negara terbelakang tersebut, karena menimbulkan suatu
masalah baru, yaitu masalah penjiplakan model
pembangunan, serta teori-teori yang berasal
dari Barat. Akibatnya, ilmu yang tidak sesuai
atau relevan dengan Dunia Ketiga diterima oleh
ilmuwan dan para penentu kebijakan kita, dan
dilaksanakan tanpa dikritik. Situasi seperti ini
memunculkan reaksi balik di kalangan sebagian
ahli ekonomi di negara-negara seperti Pakistan,
Arab Saudi, Iran, dan Malaysia yang berusaha
untuk mengislamisasi ilmu ekonomi (Abdul
Rauf 1984; As-Sadr 1984; Shari‘ati 1980). Ilmu
ekonomi Islam dimunculkan sebagai pedoman
untuk pembangunan negara-negara Islam.
Pada umumnya, ekonomi Islam ini adalah
ekonomi makro dan ekonomi mikro. Pakar-pakar
ekonomi Islam tidak memiliki perhatian yang
cukup besar terhadap masalah pembangunan.
Dalam ekonomi makro Islam, teori-teori
yang ada tidak begitu berbeda dengan teoriteori ekonomi dari Barat (lihat M.S. Khan 1986;
F. Khan 1990; Siddiqui dan Zaman 1989a,
1989b; Zarqa 1983). Misalnya, teori-teori yang
berusaha untuk menjadikan ekonomi bersih
dari riba atau bunga dengan menggunakan
model Keynesian IS-LM (Investment-Savings,
Liquidity-Money ), berhasil menunjukkan
bahwa sistem ekonomi-Islam-tanpa-riba dapat
dilaksanakan, tetapi pada tahapan teoretis saja,
yakni melalui teori-teori yang abstrak.
Pendekatan IS-LM digunakan untuk menentukan GDP (Gross Domestic Products),
tenaga kerja, penggunaan, tingkat bunga, dan
tingkat harga. Banyak contoh lain dari bidang
ekonomi makro dan ekonomi mikro Islam yang
menunjukkan ekonomi Islam banyak didasarkan pada ekonomi Keynes dan neoklasik.
15
Kelemahan-kelemahan ekonomi Islam dapat
disimak dari hal-hal tersebut.
Pertama, perumpamaan-perumpamaan
ekonomi Islam tidak didasarkan pada
kenyataan ekonomi, tetapi menggunakan
rumus-rumus mutakhir matematika dan statistik
untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya, apa saja
hal-hal yang harus dipenuhi untuk sistem
ekonomi-tanpa-bunga dalam model IS-LM itu.
Yang dijelaskan di sini adalah bagaimana
ekonomi-tanpa-bunga ini dapat dibangun atas
dasar perumpamaan-perumpamaan. Hal yang
tidak mereka perhatikan adalah pengaruh
bunga terhadap ekonomi riil untuk mendukung
tuntutan mereka jika bunga itu merupakan riba,
dan seharusnya dilarang. Kita tidak bisa
mengambil kesimpulan berdasarkan model
matematik saja. Penelitian secara empiris harus
pula dilaksanakan.
Kedua, ekonomi Islam tidak mempertimbangkan faktor-faktor eksternal, yaitu
faktor-faktor yang berkaitan dengan hubungan
perdagangan dan politik antarnegara. Ketiga,
pakar-pakar ekonomi Islam jarang memberikan
perhatian pada masalah-masalah pembangunan. Ekonomi Islam tidak memiliki studi
pembangunan sebagai kajian khusus seperti
yang terlihat dalam aliran ekonomi lainnya.
Keempat, ekonomi Islam sebagian besar terdiri
atas hal-hal normatif. Dengan menganggap hal
ini sebagai suatu kelemahan, tidak berarti saya
menyatakan bahwa ekonomi tidak seharusnya
mempertimbangkan masalah-masalah normatif.
Akan tetapi, perbedaan antara ilmu pengetahuan dan norma-norma harus dipahami.
Intinya, ekonomi Islam hanya merupakan
ekonomi Keynes dan neoklasik yang dihiasi
dengan istilah-istilah Islam, seperti tauhid, riba,
dan zakat. Ia memiliki berbagai kelemahan,
sehingga sistem ekonomi Islam kurang
dipandang dibandingkan sistem ekonomi
lainnya.
16
Ideologi, utopia, dan penyadaran
masyarakat sipil
Masyarakat sipil dipahami sebagai
lingkungan masyarakat yang berada di antara
urusan pribadi dan hubungan politik negara.
Masyarakat sipil terdiri atas berbagai kelompok
dan individu yang terlibat dalam kegiatan
mencermati, meneliti, menilai dan menjelaskan
kebijakan pemerintah, dan mendesak pemerintah agar melakukan perubahan dalam
kebijakan-kebijakan tertentu, atau melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu untuk
kepentingan kelompok-kelompok kepentingan
(interest groups) tertentu, kelompok-kelompok
pendesak (pressure groups) tertentu, atau
rakyat pada umumnya. Sebagian masyarakat
sipil terdiri atas apa yang disebut Karl
Mannheim sebagai intelektual yang bebas dari
kepentingan kelas (Mannheim 1991:160–172,
1936:136–146).
Bidang sosiologi intelektual merupakan
bidang paling penting untuk dikembangkan
dalam ilmu-ilmu sosial. Mannheim menyatakan
bahwa kelas proletar merupakan kelompok
sosial pertama yang sadar akan identitas
sosialnya, sedangkan kaum intelektual
merupakan kelompok terakhir yang berusaha
untuk mengerti kepentingan sosialnya
(Mannheim 1993:74). Bertolak dari penjelasan
mengenai kelas oleh kaum proletar yang
menganggap tidak adanya kemungkinan kaum
intelektual menjadi hal yang berbeda selain
menjadi kelas tertentu, munculnya kesadaran
seperti ini di kalangan kaum intelektual
dianggap sebagai hal yang sulit terjadi
(Mannheim 1993:74–75). Bidang sosiologi
intelektual diharapkan dapat memberikan
pemahaman mengenai posisi kaum intelektual
dalam masyarakat. Tugas sosiologi seperti ini
dalam situasi Dunia Ketiga adalah untuk
memahami identitas sosial kaum intelektual dan
kemungkinan peranannya dalam masyarakat
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
sipil. Hal ini menjadi lebih penting dalam
masyarakat, tempat kaum intelektual menjadi
kelompok yang tidak memiliki independensi
dan tidak berada di posisi yang sesuai.
Dalam situasi seperti ini, suatu masalah
yang penting adalah yang berkaitan dengan
pengertian kaum intelektual terhadap pemikiran
sosio-keagamaan dalam masyarakatnya. Hal ini
merupakan suatu persyaratan yang seharusnya dipenuhi, jika kaum intelektual ingin
memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat
memperkuat masyarakat sipil. Namun, hal itu
jarang ditemukan di kalangan pakar ilmu-ilmu
sosial muslim di Indonesia dan Malaysia.2
Signifikansi studi-studi seperti ini dapat
dipahami jika kita melihat permasalahan ini
melalui konsep ideologi dan utopia yang telah
diungkapkan oleh Karl Mannheim. 3 Konsep
ideologi berdasar pada pemikiran kelompokkelompok tertentu yang menutupi situasi riil
masyarakat, dan dengan cara itu, menstabilkan
masyarakat itu (Mannheim 1936:36). Dapat
dikatakan bahwa pemikiran yang merupakan
asas ekonomi Islam yang telah dibahas di atas
merupakan pemikiran ideologis, karena tidak
adanya pendekatan yang relevan dan kritis
yang dapat menjelaskan situasi riil ekonomi;
dan dengan cara itu menjaga keadaan yang
sudah ada (status quo).
Pemikiran utopis, di lain pihak, menutupi
sisi-sisi tertentu masyarakat dari arah yang
berbeda. Dalam makalahnya yang berjudul
‘Religion and Utopian Thinking among the
Malays of Southeast Asia (2000/2001)’, Maaruf
mengaplikasikan konsep utopia pada kajian
mengenai pemikiran sosial dan politik Islam di
2
Beberapa contoh pengecualiannya adalah Alatas
(1977a, 1977b [1988]), Maaruf (1988, 1993),
Shamsul (1999) dan Sharifah Maznah (1993).
3
Paham Ideologi berdasarkan pemikiran Mannheim
pertama kali diterapkan pada situasi di Asia Tenggara
oleh Syed Hussein Alatas (1977a).
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Malaysia. Pemikiran utopis menunjuk pada
pemikiran yang tidak dapat mengenali situasi
riil masyarakat, karena para pemikirnya tidak
memperhatikan situasi riilnya, tetapi ingin
mengubah situasi saat ini (status quo). Dalam
usaha mewujudkan hal tersebut, mereka
menolak segala sesuatu yang akan
menggerogoti kepercayaan mereka, atau
melemahkan keinginan mereka untuk mengubah keadaan. Karena begitu kuatnya
keinginan untuk mengubah keadaan yang ada,
mereka hanya melihat hal-hal yang menafikan
kenyataan yang ada (Mannheim 1936:36).
Menurut Maaruf (2000/2001:2), pemikiran
utopis ‘...menambahkan ciri millenarian ,
populis, eshatologikal dan ortodoks terhadap
kehidupan keagamaan umumnya di Asia
Tenggara dan lebih jauh...’ dan ‘...merupakan
dasar tuntutan pendirian negara-negara Islam
dan pelaksanaan hukum Islam’. Maaruf (2000/
2001:2–3) menyatakan hal-hal di bawah ini
sebagai ciri-ciri pemikiran utopis di kalangan
umat Islam Asia Tenggara:
• menolak dan menafikan status quo;
• memperjuangkan struktur yang lain secara
radikal;
• menutupi hal-hal yang dapat menghambat
atau melemahkan tuntutan mereka untuk
mengadakan perubahan;
• menuangkan pemikiran dengan tujuan
untuk mempersiapkan dan melakukan
tindakan ke arah perubahan yang diinginkan, dan bukan untuk mengenali
lebih jelas kenyataan yang ada; dan
• sifatnya lebih populis, bukan intelektual.
Salah satu contoh pemikiran utopis yang
diberikan oleh Maaruf (2000/2001:4–5) adalah
pemikiran bahwa Islam itu adalah al-din, yaitu
tidak ada agama selain Islam yang dapat
disamakan dengan Islam. Pemikir-pemikir
utopis, menurut Maaruf, menganggap Islam
sebagai agama yang sempurna, dan meliputi
segala aspek kehidupan sosial, ekonomi,
17
politik, dan budaya. Saya tidak setuju bahwa
pemikiran seperti ini berarti pemikiran utopis,
karena ini merupakan kepercayaan utama dalam
Islam yang tidak menyebabkan munculnya
watak utopis. Tetapi, jelaslah bahwa kepercayaan ini, di kalangan utopis akan
meniadakan kemungkinan perlunya pembahasan perbandingan dengan pemikiran-pemikiran
lain, seperti kapitalisme, sosialisme, liberalisme,
dan pascamodernisme untuk menjamin kekuatan sistem pemikiran mereka, dan melindunginya dari pengaruh pemikiran lain
terhadapnya.
Hal ini membawa kita pada kesimpulan
bahwa bila pemikiran Islam dalam masyarakat
sipil didominasi oleh gagasan utopis,
pengaruh Islam terhadap masyarakat sipil akan
menjadi agak lemah. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, di antaranya:
• tidak adanya agenda yang sama di
kalangan intelektual Muslim untuk
melakukan perubahan sosial dan politik;
• kurangnya perpaduan dengan elemenelemen sekuler dalam masyarakat sipil
dikarenakan kurangnya kadar keislaman
mereka;
• kurangnya perhatian terhadap ilmu-ilmu
dan pemikiran modern, khususnya yang
berkaitan dengan kapitalisme sebagai
sistem ekonomi, demokrasi, liberalisme,
dan sebagainya; dan
• kurangnya pemahaman terhadap situasi
riil.
Jika pemikiran Islam didominasi oleh
pemikiran utopis, hal itu berarti pemikiran sosial
dan politik di kalangan intelektual muslim
mengalami kemunduran, dan masyarakat sipil
akan menjadi gersang secara intelektual dan
tidak dapat mengambil bagian dalam aktivitas
yang akan membawa perubahan berarti.
18
Masyarakat sipil
Sebagaimana disampaikan sebelumnya,
keterlibatan secara tidak langsung ilmuwanilmuwan sosial dalam kegiatan masyarakat
sipil, yaitu melalui pakar-pakar ilmu-ilmu sosial
dan intelektual-intelektual lainnya, memiliki
peranan menyadarkan masyarakat terhadap
masalah-masalah yang ada pada saat itu, dan
menghasilkan perkembangan, atau perubahan
dalam sikap dan pandangan masyarakat.
Termasuk di dalamnya mengkritik dan menolak
wacana yang dominan dengan menghancurkan mitos yang sudah mendarah daging, dan
memberikan penafsiran sejarah dan masyarakat
yang baru. Marilah kita lihat dua contoh
berikut.
Pertama, Asia itu sendiri merupakan suatu
mitos, hasil ciptaan Orientalis, yang digunakan
oleh orang-orang Asia untuk berbagai alasan,
termasuk gagasan bahwa ‘”Asia” merupakan
suatu bentuk penipuan dalam penjualan,
digunakan untuk politik dan perdagangan’
(Buruma 1995:67). Selain dari kenyataan mulai
terkikisnya kebudayaan lokal, apa yang
dianggap sebagai nilai-nilai Asia menjastifikasi
pemerintah otoriter atau—yang dalam pelaksanaannya—seringkali tidak dapat dibedakan,
yakni, nilai-nilai Amerika. Tugas untuk menjelaskan bukan hanya untuk membongkar
penipuan ini dan menempatkan diri dalam
golongan liberal, melainkan untuk menunjukkan pandangan ketiga, yaitu wacana mengenai
demokrasi dan pembangunan yang lebih
sesuai.
Satu hal lain yang memerlukan penjelasan
adalah masalah pembangunan di Asia Tenggara dan penyalahgunaan karya Max Weber.
Untuk menjawab pandangan bahwa pembangunan berlangsung karena Islam atau
Konfusianisme, dapat dikatakan bahwa:
• pembangunan dalam bentuk kapitalisme
dapat berlangsung meskipun ada Islam
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
dan Konfusianisme;
• gerakan Islam dan Konfusian sebenarnya
menolak cara pembangunan kontemporer;
dan
• negara serta media massa mendominasi
pembicaraan yang mungkin dapat
menghasilkan pemikiran yang jernih
mengenai gaya demokrasi asli, namun
tidak dapat terwujud, karena wacana ini
didominasi oleh negara dan media massa.
Begitu pula halnya dengan konsep masyarakat
sipil dan hubungannya dengan Islam. Yang
seharusnya dihapuskan adalah pandangan
bahwa masyarakat madani sama dengan
masyarakat sipil.
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari
istilah Inggeris civil society. Civil society itu
sendiri adalah terjemahan langsung dari istilah
asli dalam bahasa Latin, yaitu civilis societas
yang pada awalnya digunakan oleh pujangga
Roma, Cicero (106–43 S.M.). Sebagaimana
disampaikan oleh Dawam Rahardjo (t.t.),
masyarakat sipil pada zaman itu merupakan
suatu masyarakat politik yang berdasarkan
pada hukum sebagai dasar pengaturan
kehidupan yang tinggal di kota, dan meliputi
segala aspek kehidupan, termasuk negara
(state).
Di lain pihak, Syed Muhammad Naquib
Al-Attas (2000) menyatakan bahwa konsep
masyarakat madani itu tidak sama dengan
konsep masyarakat sipil. Masyarakat madani
merupakan suatu bentuk masyarakat
berdasarkan pada norma-norma keislaman.4
Istilah madanî , madînah (kota), dan dîn
(biasanya diterjemahkan sebagai agama)
berasal dari kata dyn (Al-Attas 1976:1–4; Al4
Wawancara penulis dengan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, 20 May 2000.
5
Dalam karya ini (1976, 1977), Al-Attas menjelaskan
secara rinci mengenai hubungan antara dîn dan konsepkonsep yang berkaitan seperti madînah, tamaddun,
dan lain-lain.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Attas 1977:4–9). . 5 Menurut Al-Attas,
fenomena perubahan nama asli Madinah, yaitu
Yasthrib, menjadi Madinah mengandung arti
‘...di tempat itulah agama yang sebenarnya
mulai berlaku bagi setiap manusia: disitulah
dîn yang sebenarnya mulai nyata berlaku bagi
insan: disitulah tempat dimana dîn yang hak
berlaku…’ (Al-Attas 1977:7,n.3). Hal ini perlu
dikaitkan dengan Undang-Undang Madinah
juga.
Pemikiran modern masyarakat sipil muncul
sejak abad kedelapan belas dan menunjuk pada
suatu lingkungan kegiatan yang bebas dari
pengaruh negara. Ia juga dikaitkan dengan
demokrasi dan perjuangan menentang penindasan dan kezaliman. Saat ini, banyak yang
menyamakan definisi masyarakat madani
dengan masyarakat sipil, seakan-akan istilah
madanî tidak memiliki sejarahnya sendiri.
Dalam bahasa Arab istilah al-mujtama‘ almadanî digunakan sebagai terjemahan dari
civil society (masyarakat sipil) (misalnya
Hassan 2000). Di Indonesia dan Malaysia,
yang menyamakan istilah masyarakat madani
dengan masyarakat sipil mungkin telah
mengartikan al-mujtama‘ al-madanî sebagai
masyarakat madani.
Sebenarnya, masyarakat madani dan
masyarakat sipil dalam definisi modernnya
tidak memiliki hubungan sedikit pun. Istilah
pertama memiliki arti suatu masyarakat
keagamaan termasuk negara. Istilah kedua
memiliki arti lingkungan kehidupan di luar
negara. Hal ini mirip dengan istilah Arab almujtama‘ al-ahli. Ahli itu berarti lingkungan
kegiatan dalam kekuasaan negara seperti
madrasah, wakaf, masjid, kelompok keagamaan, dan sebagainya. Walaupun demikian, kita
tidak dapat menyamakan al-mujtama‘ al-ahli
dengan masyarakat sipil, karena masing-masing
berdasarkan pada pandangan dunia dan
pengalaman sejarah yang berbeda.
Melihat kenyataan bahwa konsep-konsep
19
di atas berbeda satu sama lain, ada beberapa
kemungkinan yang dapat dipertimbangkan,
yakni:
1. mewujudkan masyarakat sipil, yaitu
perjuangan untuk mewujudkan masyarakat sekuler dan demokratis;
2. mewujudkan masyarakat madani, yaitu
masyarakat yang berdasarkan pada sistem
nilai-nilai Islam; dan
3. menggabungkan masyarakat sipil dan
masyarakat madani.
Berkaitan dengan kemungkinan ketiga ini,
daripada menggunakan istilah ‘masyarakat
sipil’ dan ‘masyarakat madani’ secara bergantian, lebih baik jika kita memahami arti sebenarnya dari istilah masing-masing, dan sadar
bahwa perjuangan pada saat ini adalah menuju
ke keduanya—masyarakat madani dan
masyarakat sipil—yaitu ke arah suatu masyarakat yang demokratis berdasarkan pada sistem
norma-norma Islam. Mengakui bahwa istilah
demokrasi itu berasal dari Barat, tidak berarti
tidak ada pemikiran demokrasi dalam Islam;
demokrasi itu tidak boleh diislamkan, seperti
yang diusulkan oleh Syed Hussein Alatas
dalam karya awalnya, The Democracy of Islam
(1956). Menurut Alatas (1956:37), dua ciri
utama demokrasi Islam adalah gabungan antara
manusia dan kebebasan untuk memiliki
kepercayaan. Saling pengertian berasal dari
perbedaan antara berbagai bangsa. Karena
perbedaan merupakan hal yang alami, berarti
setiap orang bebas untuk memiliki cara hidup
yang berbeda.
Kita simpulkan bahwa kebebasan budaya
dan politik itu merupakan sebagian dari konsep
masyarakat madani yang merupakan paham
yang lebih luas, dan meliputi konsep
masyarakat sipil.
Kesimpulan
Menyimak sebagian besar sejarah pasca
penjajahan Malaysia dan Indonesia, gejalagejala sosial yang menentukan sifat dan
bentuk sistem politik masing-masing negara
bukanlah berasal dari masyarakat sipil.6 Akan
tetapi, setelah krisis ekonomi pada tahun 1997,
kegiatan kelompok-kelompok masyarakat sipil
di kedua negara tersebut mengalami peningkatan. Meskipun faktor-faktor yang berkaitan
dengan kedudukan kelas dan etnis masih berpengaruh seperti masa-masa sebelumnya,
masyarakat sipil seharusnya diperhatikan
sebagai suatu gejala sosial yang baru, dan
memiliki kemungkinan untuk memainkan
peranan yang signifikan pada masa depan.
Namun, sejauh ini, aspek Islam dari masyarakat
sipil itu masih memiliki beberapa kelemahan
yang telah dibahas sebelumnya. Kelemahankelemahan itu antara lain:
• keterasingan pemikiran pemikir Islam dari
kenyataan yang ada, seperti yang telah
diungkapkan di atas dalam contoh
ekonomi Islam. Ini berfungsi sebagai
ideologi;
• dominasi watak utopis yang menolak dan
menafikan kenyataan yang ada dengan
tidak memperhatikan segala aspek situasi
yang ada; dan
• masyarakat sipil itu sendiri memiliki
pandangan yang keliru atas peranan Islam
terhadapnya, seperti yang diperlihatkan
dalam pembahasan terhadap masyarakat
madani di atas.
Kesimpulan ini bukanlah merupakan
kesimpulan akhir sebelum penelitian secara
empiris dilaksanakan.
6
Lihat Alatas (1997) untuk studi perbandingan antara
Malaysia dan Indonesia mengenai munculnya negara
demokratis dan otoriter.
20
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Kepustakaan
Abdul Rauf
1984 A Muslim’s Reflections on Democratic Capitalism. Washington DC: American Enterprise
Institute.
Alatas, S.F.
1997 Democracy and Authoritarianism: The Rise of the Post-Colonial State in Indonesia and
Malaysia . Houndmills: Macmillan.
Alatas, S.H.
1956 The Democracy of Islam: A Concise Exposition with Comparative Reference to Western
Political Thought. Bandung and The Hague: W. van Hoeve.
1977a The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese
from the 16th to the 20 th Century and its Function in the Ideology of Colonial Capitalism.
London: Frank Cass.
1977b Intellectuals in Developing Societies. London: Frank Cass.
1988 Intelektual Masyarakat Berkembang. Jakarta: LP3ES.
Al-Attas, S.M al-Naquib
1976 Islâm: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality. Kuala Lumpur:
ABIM.
1977 Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak . Kuala Lumpur: ABIM.
As-Sadr, M.B.
1984 Towards an Islamic Economy. Teheran: Bonyad Be’that.
Baharuddin, S.A.
1999 ‘Colonial Knowledge and the Construction of Malay and Malayness: Exploring the Literary
Component’, SARI: Journal of the Malay World and Civilization 17:3–17.
Buruma, I.
1995 ‘The Singapore Way’, The New York Review of Books. October 19:66–71.
Hassan, A.H.
2000 Al-Jamâ‘ât al-Siyâsiyyah al-Islâmiyyah wa al-Mujtam‘a al-Madanî(Political Islam and Civil
Society ). Qâhirah: Dar al-Thaqqâfiyyah li al-Nashr.
Khan, F.
1990 ‘A Macro Consumption Function in an Islamic Framework’, Journal of Research in Islamic
Economics 6(2):1–24.
Khan, M.S.
1986 ‘Islamic Interest-Free Banking: A Theoretical Analysis’, IMF Staff Papers 33(1):1–27.
Mannheim, K.
1936 Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge. London: Routledge and
Kegan Paul.
1991 Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
1993 ‘The Sociology of Intellectuals’, Theory, Culture and Society 10(3):69–80.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
21
Maaruf, S.
1988
Malay Ideas on Development: From Feudal Lord to Capitalist. Singapore: Times Books
International.
1993
Konsep Wira dalam Masyarakat Melayu.Singapura: Pustaka Nasional.
2000/2001 ‘Religion and Utopian Thinking among the Muslims of Southeast Asia’ (‘Agama dan
Pemikiran Utopis di Kalangan Orang Islam Asia Tenggara’). Seminar Paper No. 29.
Singapore: Department of Malay Studies, National University of Singapore.
Omar, S.M.S.
1993
Myths and the Malay Ruling Class. Singapore: Times Academic Press.
Rahardjo, M.D.
t.t.
‘Agama dan Masyarakat Madani’, <wysiwyg://87/http//www.fortunecity.com/m...nnium/
oldemill/498/civils/MDRahardjo.html>.
Shari‘ati, A.
1980
Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique (terjemahan dari bahasa Farsi ke
bahasa Inggeris oleh Robert Campbell). Berkeley: Mizan Press.
Siddiqui, S.A. dan A. Zaman
1989a ‘Investment and Income Distribution Pattern under Musharka Finance: A Certainty Case’,
Pakistan Journal of Applied Economics8(1):1–30.
1989b ‘Investment and Income Distribution Pattern under Musharka Finance: The Uncertainty
Case’, Pakistan Journal of Applied Economics 8(1):31–71.
Zarqa, M.A.
1983
‘Stability in an Interest-Free Islamic Economy: A Note’, Pakistan Journal of Applied
Economics (2):181–188.
22
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Download