BAB II Radiasi Latar Belakang Gelombang Mikro II.1 Radiasi Latar Belakang Gelombang Mikro Informasi mengenai alam semesta dini dapat kita temukan di dalam radiasi latar belakang gelombang mikro (CMB). Keberadannya telah diprediksi oleh George Gamow dan Ralph Alpher pada tahun 1948. Mereka mengusulkan ide mengenai kemungkinan terbentuknya inti atom pada saat terjadi Big Bang. Dengan ditemukannya bukti pengembangan alam semesta oleh Edwin Hubble pada 1929, Gamow menyatakan bahwa alam semesta dini pastilah panas dan rapat. Jika kita meninjau masa 14 milyar tahun yang lalu, alam semesta masih memiliki volume yang kecil. Dengan mengasumsikan bahwa alam semesta berada dalam keadaan setimbang termal, dan dengan tidak adanya energi yang masuk atau keluar, pastilah alam semesta memiliki temperatur yang sangat tinggi. Temperatur yang tinggi membuat semua materi yang terkandung di dalamnya berada dalam keadaan terionisasi. Saat itu alam semesta berupa plasma primordial yang terdiri dari proton dan neutron, elektron dan positron, neutrino, dan foton. Mereka berinteraksi melalui interaksi elektromagnetik dan interaksi lemah. Plasma tersebut berkelakuan seperti fluida sempurna. Jika alam semesta dini memang panas dan rapat, Robert Dicke menyebutkan bahwa seharusnya saat ini kita dapat mengamati sisa-sisa radiasi yang berasal dari alam semesta dini tersebut. Ide mengenai relik radiasi ini baru sebatas hipotesa belaka, belum ada pembuktian empiris di masa itu sampai ditemukan oleh Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965, dengan menggunakan instrumen radiometer yang biasa digunakan dalam pengamatan astronomi radio dan satelit komunikasi. Dengan melakukan penelitian pada panjang gelombang 7.35 cm, antena instrumen mereka menangkap ekses sinyal pada panjang gelombang mikro yang 4 diketahui statis dan berasal dari segala penjuru langit. Terhitung ekses temperatur pada instrumen sebesar 3,5 K. Hasil pertemuan Penzias-Wilson dengan grup peneliti dari Princeton, yaitu Robert Dicke, Peebles, dan Wilkinson membawa kesimpulan bahwa sinyal ini kemungkinan berasal dari alam semesta dini yang panas, rapat, dan opak. Pengukuran spektrum dengan rentang yang luas pertama kali dilakukan oleh satelit COBE (COsmic Background Explorer) pada tahun 1989. Misi utama satelit ini adalah memetakan seluruh langit dan menguji apakah sinyal radiasi bersifat termal serta mendeteksi sifat anisotropi pada radiasi CMB. Satelit COBE membawa tiga buah instrumen, yaitu DIRBE (Diffuse InfraRed Background Experiment), FIRAS (Far InfraRed Absolute Spectrophotometer), dan DMR (Differential Microwave Radiometer). Instrumen DIRBE digunakan untuk mengukur dan memetakan emisi inframerah yang berasal dari debu latar depan radiasi CMB. DIRBE mengukur emisi ini pada panjang gelombang 0.001 mm < < 0.24 mm (frekuensi 31.5 GHz, 53 GHz, dan 90 GHz). FIRAS bekerja mengukur spektrum CMB pada rentang 0.1 mm < < 10 mm yang diketahui merupakan rentang panjang gelombang terdapatnya puncak Power spectrum CMB. Sedangkan DIRBE bekerja memetakan seluruh bagian langit pada tiga panjang gelombang yang berbeda, yaitu =3.3 mm, =5.7 mm, dan =9.6 mm. Data COBE memberikan dua hasil utama mengenai CMB. Pertama, radiasi CMB merupakan radiasi termal dengan spektrum yang hampir mendekati spektrum benda hitam ideal dengan puncak 2.728 ± 0.004 K (tingkat kepercayaan 95%). Kedua, walau distribusi temperatur CMB secara kasar isotropik, namun ternyata terdapat fluktuasi dengan skala ΔT ~ − . Resolusi angular COBE yang besarnya 7° hanya T dapat menunjukkan fluktuasi CMB pada skala besar. Hasil pengamatan spektrum CMB ini, yang menunjukkan spektrum mendekati benda hitam ideal dan hampir isotropik, menjadi pilar utama yang menyokong model alam semesta Big Bang. Model Big Bang membutuhkan alam semesta yang pada masa awalnya panas, rapat, dan opak. Seiring pengembangan alam semesta radiasi 5 relik ini mendingin, hingga saat ini teramati sebesar 2.7 K pada panjang gelombang mikro. 6 Fluktuasi yang teramati oleh COBE: Gambar II.1 Menunjukkan temperatur dengan skala biru 0 K dan merah 4 K. Langit terlihat uniform karena CMB berada pada temperatur 2,726 K. Sumber http://lambda.gsfc.nasa.gov/product/cobe/ Gambar II.2 menunjukkan skala temperatur biru 2,721 K dan merah 2,729 K. Pola 'Yin-Yang' yang terlihat menunjukkan dipole anisotropi yang disebabkan oleh pergerakan relatif Matahari terhadap kerangka acuan CMB. Sumber http://lambda.gsfc.nasa.gov/product/cobe/ Variasi kecil temperatur pada CMB dari satu titik ke titik lain di sebut anisotropi. Gambar II.3 Gambar ketiga menunjukkan langit yang sudah dikurangi efek dipole. Area panas yang ditunjukkan oleh warna merah memiliki temperatur 0,0002 K lebih panas dari area dingin yang berwarna biru. Sumber http://lambda.gsfc.nasa.gov/product/cobe/ 7 Lebih jauh, pengetahuan kita mengenai karakteristik radiasi CMB ini dapat memberikan informasi lebih detail mengenai keadaan alam semesta dini, dan memberikan informasi penting mengenai besaran parameter-parameter kosmologi. II.2 Rekombinasi dan Decoupling II.2.1 Rasio Foton – Baryon Alam semesta kita terdiri dari berbagai materi penyusun. Dalam konteks kosmologi, materi penyusun alam semesta dibedakan berdasarkan partikel elementer penyusunnya. Proton dan neutron merupakan partikel yang dipercaya tersusun atas tiga partikel yang lebih elementer yang disebut quark. Partikel yang tersusun dari tiga buah quark ini dikenal dengan baryon. Partikel-partikel memberikan kontribusi energi dari ’rest mass energy’, yaitu energi pada saat partikel dalam keadaan stasioner, dan energi kinetik, yang akan memberikan energi total: E 2 total = m 2 c 2 + p 2 c 2 (2.1) disederhanakan menjadi persamaan: Etotal ⎛ p2 ⎞ = mc ⎜⎜1 + 2 2 ⎟⎟ ⎝ m c ⎠ 2 1/ 2 ≈ mc 2 + 1 p2 , 2 m (2.2) dimana m adalah massa diam partikel, dan p adalah momentum partikel. Partikel akan disebut relativistik jika kontribusi energi diamnya tidak mendominasi; ia akan bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Sebaliknya, partikel nonrelativistik adalah partikel dengan energi massa diam mendominasi, sehingga ia bergerak dengan kecepatan jauh di bawah fraksi kecepatan cahaya. Proton memiliki energi massa sebesar 938,3 MeV dan neutron 936,6 MeV. Elektron merupakan kelas partikel yang tidak tersusun oleh quark, disebut dengan lepton. Elektron memiliki nilai muatan yang sama dengan proton, namun berlawanan tanda. Elektron memiliki energi massa sebesar 0,511 Mev. 8 Pada skala besar, alam semesta kita bermuatan netral, artinya jumlah elektron sama dengan dengan jumlah proton. Dengan fraksi massa proton yang jauh lebih besar dari elektron, maka kontribusi elektron terhadap massa total hanya sedikit. Dapat dikatakan alam semesta kita terdiri dari atom, ion, dan molekul yang disebut materi baryonik. Tipe lepton lainnya yang diketahui adalah neutrino. Neutrino merupakan partikel yang berinteraksi sangat lemah. Persepsi visual kita mengenai alam semesta didapatkan dari radiasi elektromagnetik. Cahaya yang kita amati dapat dipandang sebagai paket-paket energi yang disebut foton. Foton merupakan partikel relativistik karena tidak bermassa. Radiasi CMB yang memenuhi langit berasal dari foton-foton yang terpancar pada saat alam semesta panas dan rapat. Foton-foton tersebut telah mengalami pemerahan seiring dengan pengembangan alam semesta, sehingga saat ini teramati pada panjang gelombang mikro. Partikel-partikel baryon dan foton CMB saling berinteraksi. Karena pengembangan alam semesta, maka densitas baryon-foton menurun dengan faktor n ∝ a −3 . Rasio jumlah foton terhadap baryon konstan selama pengembangan alam semesta. Dari pengamatan CMB, diketahui densitas energi foton CMB sebesar: ε γ , = αT = . MeVm − , (2.3) dengan energi rata-rata per foton hf mean = . x − eV , densitas foton CMB saat ini: nγ , = . x m − , (2.4) densitas energi baryon saat ini: ε bary , = Ω bary , ε c , ≈ . ( MeVm − ) ≈ MeVm − , (2.5) jumlah densitas baryon: nbary , = ε bary , Ebary ≈ MeVm − ≈ . m − , MeV (2.6) rasio baryon-foton di alam semesta didapatkan dari persamaan (2.4) dan (2.6): η= nbary , nγ , ≈ . m − ≈ x − . − . x m (2.7) 9 Foton CMB memiliki densitas energi yang sangat kecil dibandingkan dengan densitas energi materi baryonik. Densitas energi alam semesta saat ini didominasi oleh materi baryonik, kontribusi dari radiasi dapat diabaikan. Walau pun begitu, jumlah baryon lebih rendah daripada jumlah foton. Jumlah foton yang sangat banyak dibandingkan dengan materi baryon membuat jumlah memegang peranan penting pada masa emisi foton. Komponen lain penyusun alam semesta yang diketahui adalah materi gelap (dark matter). II.2.2 Distribusi Energi Foton Foton merupakan partikel bosson, distribusinya mengikuti fungsi distribusi BoseEinstein. Diketahui densitas keadaan foton, yaitu jumlah keadaan per volume per frekuensi: ρ= 8π υ2 , c (2.8) distribusi energi foton mengikuti hukum radiasi Planck: 8πh υ 2 Bυ ( T ) = 3 hυ , c e kT − 1 (2.9) dengan mengintegralkan fungsi distribusi energi ini, kita mendapatkan total densitas energi foton yang memenuhi persamaan: Bυ ( T ) = αT , dengan α = π k = , x − Jm − K − , ‘ c (2.10) dan dengan menurunkan fungsi distribusi energi foton, kita mendapatkan jumlah densitas foton: nγ = βT 3 dengan β = 2,404 k 3 = 203 x10 7 m −3 K −3 . π 2 p 3c 3 (2.11) Dengan menggabungkan persamaan (2.10) dan persamaan (2.11), kita dapatkan mean photon energy sebesar: E mean = hυ mean E mean = εγ ≈ , kT nγ (2.12) 10 Gambar II.4 contoh distribusi energi foton dengan temperatur 300K Sumber gambar: http://en.citizendum.org/images/b/b6/Blackbody_300k.png II.2.3 Ekspansi Adiabatik Penemuan Hubble membuktikan bahwa alam semesta mengembang seiring waktu. Evolusi alam semesta digambarkan oleh persamaan Friedmann: 1 − Ω0 H 2 Ω r , 0 Ω m,0 = 4 + 3 + Ω Λ ,0 + , 2 H0 a a a2 (2.13) Persamaan Friedmann menyatakan konten alam semesta menentukan kurvatur global alam semesta; semua komponen yang ada (proton, neutron, foton, dark matter, dan dark energy) dapat memberikan kontribusi kepada gravitasi yang dapat mempengaruhi laju pengembangan alam semesta. Dari persamaan Friedmann di atas dapat dikatakan laju pengembangan alam semesta bergantung kepada parameter-parameter kosmologi yang akan menentukan skala mengembangnya alam semesta. Parameter-parameter kosmologi: 11 : rasio total densitas energi terhadap densitas kritis ρc = 8π 3H 2 . Parameter ini menemtukan kurvatur spasial alam semesta: = 1 alam semesta flat dengan denstitas kritis. Nilai yang lebih kecil berarti kurvatur spasial negatif, sedangkan nilai yang besar berkorespondensi dengan kurvatur positif. b: rasio densitas baryon terhadap densitas kritis. Besar nilai parameter ini dapat ditentukan dari pengamatan kelimpahan deutrium pada redshift tinggi awan gas dan membandingkan dengan prediksi dari nukleosintesis primordial. m: rasio densitas dark matter terhadap densitas kritis. Pelensaan gravitasional, kelimpahan gugus, dan penelitian lainnya merujuk nilai total densitas materi di sekitar Ω = Ω m + Ω b = . . : rasio densitas terhadap densitas kritis. Λ merupakan konstanta kosmologi, keberadaannya telah diakui berkat diagram Hubble Supernova Type Ia yang menunjukkan percepatan pengembangan alam semesta. Pelensaan gravitasional kuat dari quasar menempatkan besaran pada nilai limit atas. Besaran parameter Hubble h, dalam unit 100 km/s/Mpc. Pengukuran lilin penentu jarak dan pengukuran supernova tipe Ia mendapatkan besaran h sekitar 0.70 dengan eror 10%. Persamaan Friedmann dikatakan sebagai persamaan differensial waktu sehingga solusi dari persamaan ini bergantung kepada waktu. a(t) merupakan solusi persamaan Friedmann, dimana a(t) merupakan faktor skala, besaran yang menyatakan berapa besar alam semesta sekarang dibanding dengan kemarin, dan seterusnya. Nilai faktor skala untuk t0 adalah 1. Hubungan besaran-besaran di alam semesta dapat kita tinjau pada dua situasi ekstrim, yaitu pada alam semesta dominasi radiasi dan alam semesta dominasi materi. Solusi persamaan Friedmann untuk alam semesta dominasi radiasi: 1 ⎛t ⎞ 2 a ( t ) = ⎜⎜ ⎟⎟ , ⎝ t0 ⎠ ρr ∝ , t ρm ∝ 1 1 ∝ 3 , 3 a t 2 (2.14), (2.15), (2.16) dan untuk dominasi materi: 12 a (t ) ∝ t 2 3 , ρm ∝ , t a (t ) ∝ t . (2.17), (2.18), (2.19) Kita lihat densitas materi pada era dominasi materi turun lebih cepat dari densitas radiasi. Volume alam semesta mengembang sebanding dengan laju pengembangan alam semesta, sehingga V ∝ a ( t ) , dengan a(t) adalah faktor skala pengembangan alam semesta. Alam semesta merupakan sebuah volume yang dipenuhi oleh radiasi foton, sedangkan foton di dalam suatu volume memiliki densitas energi sebesar ε γ = αT 4 , dan tekanan Pγ = εγ . Maka, berdasarkan hukum Termodinamika, foton di dalam alam semesta mengikuti hukum: dQ = dE + PdV , (2.20) materi dan radiasi berada dalam setimbang termal (temperatur sama), tidak ada energi yang masuk atau keluar (dQ=0), menjadikan persamaan (2.20) menjadi : dE = − PdV dE dV = −P dt dt 4 Dengan memasukan besaran-besaran ε γ = αT dan Pγ = (2.21) εγ , maka persamaan (2.21) menjadi: ⎛ αT ⎞ dV d (αT V ) ⎟⎟ = −⎜⎜ dt ⎝ ⎠ dt . α T T ⎛ αT ⎞ dV dT dV ⎟⎟ V + αT = −⎜⎜ dt dt ⎝ ⎠ dt dT dV V =− T , dt dt (2.22) 13 3 V ∝ a( t ) , V −1 3 ∝ T ∝ a −1 ∝ (1 + z ) . (2.23) (2.24) Radiasi foton CMB mempertahankan spektrum benda hitamnya seiring pengembangan alam semesta, namun temperaturnya menurun dengan faktor T ∝ a − ∝ ( + z ) . Dapat kita katakan temperatur sebagai besaran penunjuk waktu pada evolusi alam semesta. II.2.4 Laju Interaksi Foton – Elektron Suhu alam semesta dini yang tinggi membuat alam semesta saat itu berada dalam keadaan terionisasi. Alam semesta terlalu panas untuk membentuk elemen cahaya. Saat itu dapat dikatakan alam semesta tersusun dari inti atom dan elektron bebas. Kerapatan alam semesta yang tinggi membuat probabilitas partikel-partikel saling bertumbukan sangat besar sehingga alam semesta berada dalam setimbang termal. Dengan massa yang jauh lebih kecil, elektron bebas bergerak lebih cepat dibandingkan dengan partikel lainnya. Foton berinteraksi terutama dengan elektron melalui hamburan Thomson: γ + e− → γ + e− . (2.25) Foton memberikan energi kepada elektron sehingga mengubah momentum dan arah gerak elektron dan elektron dapat berinteraksi kembali dengan foton-foton yang lain. Interaksi yang sering terjadi ini membuat foton dan materi memiliki temperatur yang sama, terjadi kesetimbangan termal. Perlahan-lahan kesetimbangan termal akan tidak dapat dipertahankan karena alam semesta yang mengembang dan densitas foton yang menurun. Epokh saat alam semesta tidak lagi setimbang termal adalah pada saat laju interaksi partikel lebih kecil dari laju pengembangan alam semesta. Pada saat alam semesta dini, mean free path foton menjadi pendek. Persamaan mean free path foton dinyatakan dengan: 14 λ= 1 , n eσ e (2.26) dimana e adalah penampang lintang hamburan Thomson: σ e = 6.65 x10 −29 m −2 . Laju interaksi per foton menjadi: Γ= c = n eσ e c . λ (2.27) Hamburan yang cepat menggabungkan foton dengan materi baryonik, sehingga foton tidak dapat bergerak bebas. Hal ini menjadikan alam semesta opak. Tidak ada informasi elektromagnetik mengenai alam semesta selama alam semesta berada dalam keadaan opak. Elektron dan foton akan tetap bergabung secara termal sampai laju interaksi mereka jauh lebih kecil dari laju ekspansi alam semesta ( < H ). Pada saat era plasma, semua materi berada dalam keadaan terionisasi sempurna, baryon (proton) dapat berada dalam keadaan bebas atau sebagai Hidrogen, maka total densitas baryon nbary nbary = n p + n H , (2.28) ne = n p = nbary , (2.29) nbary , = . m − , (2.30) n ∝ a − . (2.31) Maka, ne pada alam semesta dini: ne = nbary = nbary , a , (2.32) laju interaksi foton saat alam semesta dini: Γ = n eσ e c = Γ= Γ= . m − nbary , .σ e c ( a . x − m − . x ms − . a )( ) (2.33) . x − a II.2.5 Rekombinasi 15 Sebelum elektron memiliki energi lebih rendah dari energi ikat, elektron berada dalam keadaan yang tidak dapat diikat inti atom. Oleh karennya, selama temperatur alam semesta lebih dari 13.6 eV, alam semesta berada dalam keadaan terionisasi dan foton masih dalam proses pengahamburan oleh elektron. Saat rekombinasi terjadi, densitas elektron bebas turun drastis, menuju ke decoupling materi dan radiasi, seiring alam semesta menjadi transparan terhadap cahaya. Epokh rekombinasi merupakan epokh ketika foton tidak punya cukup energi untuk mengionisasi elektron dan proton. Elektron dapat berinteraksi dengan proton dan bergabung menghasilkan atom Hidrogen netral dan foton. Rekombinasi adalah epokh ketika elektron mulai dapat bergabung dengan inti atom sehingga tidak lagi menghamburkan jalannya foton. Kata rekombinasi sebenarnya kurang begitu pas untuk menggambarkan penyatuan elektron dan inti atom karena sesungguhnya mereka tidak pernah bergabung sebelumnya. Hidrogen yang terbentuk dapat direionisasi oleh foton. Reaksi yang berlangsung adalah: p + e− ↔ H + γ . (2.34) Proton dan elektron akan bergabung membentuk inti atom Hidrogen dan menghasilkan foton pada proses rekombinasi radiatif. Jika foton tersebut memiliki energi lebih besar dari energi ionisasi, maka ia dapat mengionisasi atom Hidrogen, sehingga terjadilah reaksi sebaliknya. Hal ini berarti potensial kimia memenuhi: μ p + μe = μH . (2.35) Pada saat temperatur turun di bawah tingkat energi fotoionisasi Hidrogen, reaksi p + e − ↔ H + γ tidak lagi berada dalam kesetimbangan termal dan foton ’decouple’ dari komponen baryonik dan, sejak saat itu ia bergerak bebas tak terhamburkan oleh elektron. Inilah yang disebut dengan proses decoupling. Selama foton masaih couple dengan komponen baryonik, reaksi p + e − ↔ H + γ berada dalam setimbang statistik. Tingkat fotoionisasi seimbang dengan tingkat radiatif rekombinasi. Lalu, pada saat kapan dan pada temperatur berapa proses rekombinasi terjadi? 16 Kita ketahui energi ionisasi atom sebesar Q = 13.6eV . Foton akan mengionisasi atom hidrogen bila memiliki energi lebih besar dari energi ionisasi. Diketahui energi rata-rata foton: E mean = 2.7kT . (2.36) Dari persamaan di atas, kita dapat menghitung Trec : 13.6eV 2.723(8.6 x10 −5 eVK −1 ) = 58075 K . Trec = Trec (2.37) Nilai ini terlalu kasar untuk dipergunakan. Kita tahu bahwa fungsi distribusi energi foton tidaklah uniform. Fungsi benda hitam memiliki ’ekor’ eksponensial dengan jumlah foton ~ 1010 per atom H. Jumlah foton yang sangat banyak ini mengelilingi atom Hidrogen yang baru terbentuk sehingga meningkatkan probabilitas atom untuk bertumbukan dengan foton. Tumbukan dengan foton berenergi tinggi dari ’ekor’ akan memberikan energi lagi sehingga Q > 13.6 eV dan kemudian akan terjadi lagi ionisasi. Untuk itu, Trec bergantung kepada rasio baryon-foton, bary dan juga energi ionisasi Q. Potensial kimia : μ p + μ e = μ H , (2.38) pada kesetimbangan, μγ = , (2.39) densitas total baryon: nbary = n p + n H . (2.40) Mengingat alam semesta bermuatan netral, maka jumlah proton sama dengan jumlah elektron, n p = n e . Kita definisikan fraksi ionisasi: X. Dapat dikatakan fraksi ionisasi merupakan tingkat ionisasi materi baryonik. Fraksi ionisasi bergantung kepada keseimbangan antara fotoionisasi dan rekombinasi radiatif. Jumlah densitas diberikan oleh persamaan Maxwell-Boltzmann: ⎛ m kT ⎞ ni = g i ⎜ i 2 ⎟ ⎝ 2π⎯ ⎠ 3 2 ⎛ ( μ − mi ) c 2 ⎞ ⎟⎟ , exp⎜⎜ i kT ⎝ ⎠ (2.41) di mana i = e, p, H , 17 m H = me + m p − Q . Q adalah energi ikat ⎛ me m p kT ⎞ g ⎟ n H = H ne n p ⎜⎜ 2 ⎟ ge g p m 2 π H ⎝ ⎠ −3 2 ⎛Q⎞ exp⎜ ⎟ . ⎝T ⎠ (2.42) Elektron, proton dan neutron memiliki beban statistik gi = 2. Fraksi ionisasi: X ≡ np nbary = np . n p + nH (2.43) Persamaan (2.43) menjadi: nH ⎛ − X =⎜ n p ne ⎝ X ⎞⎛⎜ ⎟⎜ ⎠⎝ ne −X ⎛ m kT ⎞ = np ⎜ e ⎟ X ⎝ π ⎠ Diketahui, ηbary = nbary nγ ⎞ ⎛ me kT ⎞ ⎟⎟ = ⎜ ⎟ ⎠ ⎝ π ⎠ − − ⎛Q⎞ exp⎜ ⎟ ⎝ kT ⎠ ⎛Q⎞ exp⎜ ⎟ . ⎝ kT ⎠ np , η bary = (2.44) , Xnγ . ⎛ kT ⎞ ⎛ kT ⎞ di mana nγ = ⎜ ⎟ = .⎜ ⎟ , π ⎝ c ⎠ ⎝ —c ⎠ didapat η bary = np ⎛ kT ⎞ X .0.243⎜ ⎟ c⎠ ⎝ 3 , 3 ⎛ kT ⎞ n p = 0.243 Xη bary ⎜ ⎟ . ⎝ c⎠ (2.45) Dengan mensubstitusi persamaan (2.45), persamaan (2.44) menjadi : −X ⎛ kT ⎞ ⎛ m kT ⎞ = . Xη bary ⎜ ⎟ ⎜ e ⎟ X c ⎠ ⎝ π ⎠ ⎝ ⎛ kT −X = .η bary ⎜ ⎜m c X ⎝ e X . ⎛⎜ me c = η bary ⎜⎝ kT −X ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ − − ⎛Q⎞ exp⎜ ⎟ , ⎝ kT ⎠ ⎛ Q ⎞. exp⎜ − ⎟ ⎝ kT ⎠ ⎛Q⎞ exp⎜ ⎟ ⎝ kT ⎠ (2.46) (2.47) 18 Persamaan (2.47) tidak lain adalah persamaan Saha dengan solusi positif persamaan X = − 1 + 1 + 4S 2S dengan S adalah persamaan (2.46) Untuk mendapatkan alam semesta yang netral, kita menginginkan X<<1, sehingga . ⎛ me c ⎜ S ( T ,η ) = η bary ⎜⎝ kT ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ ⎛ Q ⎞. exp⎜ − ⎟ ⎝ kT ⎠ Dengan memasukan besaran-besaran me, c, η X ≈ X . −X (2.48) , Q, dan mengambil X=0.1, kita bary dapatkan : kTrec = .eV , (2.49) dan kita dapatkan temperatur rekombinasi : Trec = .eV . x − eVK − Trec = K . (2.50) Sekarang kita mellihat foton-foton ini di seluruh bagian langit dengan temperatur 3000K/faktor ekspansi=2.7 K. Faktor ekspansi= (1+z)=(3000/2.7)=1100, artinya foton yang kita lihat sekarang adalah foton yang berasal ketika alam semesta berukuran 1100 kebih kecil dari sekarang namun memiliki energi 1100 kali lebih besar. Trec bersesuaian dengan redshift : T = T ( + z ) , ( + z ) = T = = . T . (2.51) (2.52) Untuk mengetahui usia alam semesta pada saat proses tersebut berlangsung, kita harus mengetahui a(t) saat rekombinasi, yaitu : a( t ) = ( + z ) , a( t ) ≈ . x − . (2.53) (2.54) 19 Kemudian, pada model Benchmark, dengan mengambil besar parameter Ω m = 0.3 dan Ω Λ = 0.7 : ⎛t a( t ) = ⎜⎜ ⎝ t0 2 ⎞ 3 ⎟⎟ , ⎠ (2.55) t rec = 267000tahun. Dari perhitungan didapatkan rekombinasi terjadi pada saat alam semesta berumur sekitar 300000 tahun, artinya proses rekombinasi berlangsung saat alam semesta berada dalam era dominasi materi ( t mr ≈ 47000tahun ) . Proses rekombinasi tidak berlangsung instan. Dengan X=1 saat baryon terionisasi sempurna dan X=0 saat alam semesta berisi atom netral maka dengan memasukan ke dalam model Benchmark, kita mendapatkan bahwa proses rekombinasi terjadi dari X = 0.9 pada redshift z = 1475 sampai X = . pada redshift z = 1255. Pada model Benchmark masa tersebut berlangsung selama ~ 70,000 tahun. Selang waktu tersebut merupakan waktu yang singkat, artinya densitas elektron pada masa rekombinasi turun dengan cepat. Setelah densitas elektron turun dengan cepat, terjadilah decoupling foton. Redshift decoupling dapat kita tentukan dengan menetapkan laju interaksi sebanding dengan laju pengembangan alam semesta, Γ = H . 1 + z dec = 43.0 X ( z dec ) 2 3 . (2.56) Sekarang ini dikatakan nilai z dec ≈ 1100 , berkorespondensi dengan temperatur Tdec ≈ K , saat alam semesta berusia t dec ≈ 350,000tahun pada model Benchmark. II.2.6 Last Scattering Surface Foton-foton CMB yang kita lihat sekarang merupakan foton-foton yang datang dari lapisan hamburan terakhir. Foton-foton yang mengelilingi kita merupakan foton yang dihamburkan untuk terakhir kalinya sebelum berjalan bebas sampai kepada kita. Semenjak foton bergerak bebas dari lapisan hamburan terakhir, foton mengalami 20 pelemahan energi dan pemerahan, menjadikan panjang gelombangnya lebih panjang dari ketika pertama kali ia bebas. Gambar II.5 Lapisan hamburan terakhir terhadap pengamat saat ini http://background.uchicago.edu/%7Ewhu/physics/proj2.eps 21 II.3 Fluktuasi Temperatur CMB Hal yang menarik dari distribusi CMB ini adalah betapa isotropiknya distribusi temperatur CMB di seluruh bagian langit sampai dengan faktor 0.00001. Keisotropikan ini tentu saja merupakan hal yang bagus dalam menjelaskan bahwa alam semesta isotropik pada skala besar. Namun, adanya struktur-sktruktur di alam semesta saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya, terdapat fluktuasi / ketidakseragaman pada distribusi CMB. Pada model Big Bang sendiri, strukturstruktur ini tumbuh dari ketidakstabilan gravitasional. Fluktuasi temperatur spasial CMB telah lama diprediksi ada karena perturbasi skala-besar pada radiasi (Sache & Wolfe, 1967), dan karena hamburan radiasi CMB selama era rekombinasi (Silk, 1968; Sunyaev & Zeldovich, 1070; Peebles & Yu, 1970). Bibit densitas fluktuasi ini sudah dideteksi oleh instrumen COBE dengan level 10-5. Saat foton terlepas dari elektron, foton bergerak bebas tanpa hambatan sampai sekarang. Besarnya ukuran sudut δ θ fluktuasi temperatur berkaitan dengan ukuran fisis pada last scattering surface. dA = , δ θ (2.57) di mana dA adalah jarak diameter-sudut last scattering surface. Fluktuasi pada last scattering surface yang kita lihat memiliki ukuran sudut δ θ, memiliki ukuran fisis pada last scattering surface sebesar: ⎛ δ θ⎞ = d A ( δ θ) = 0.22 Mpc⎜ ⎟ . ⎝1 ⎠ (2.58) II.3.1 Anisotropi Distribusi CMB Variasi temperatur pada suatu titik dibandingkan titik lainnya disebut anisotropi. Anisotropi CMB pertama kali dideteksi oleh COBE. COBE menunjukkan adanya distorsi dipole pada distribusi temperatur CMB. Dipole ini diketahui disebabkan karena pergerakan relatif Galaksi terhadap latar belakang foton-foton CMB sehingga 22 kita melihat sebagian daerah yang berada di belakang kita temperaturnya lebih dingin dibandingkan daerah yang dituju arah pergerakan Galaksi. Fluktuasi temperatur ini menggambarkan pada kita mengenai fisis densitas dan kecepatan fluktuasi tersebut. Kita dapat mengamati jumlah foton yang datang di setiap arah di langit. Dengan menganalisis fluks foton pada berbagai panjang gelombang pada waktu yang berbeda, kita dapat memisahkan foton yang datang dari alam semesta dini (primordial) dengan foton yang datang dari gangguan seperti yang berasal dari galaksi kita. Dengan mengamati di seluruh bagian langit kita dapat memetakan distribusi foton tersebut. Yang menjadi penting kemudian adalah bukan posisi dari titik-titik besarnya fluktuasi tersebut berada, namun lebih kepada properti statistikal distribusi fluktuasi temperatur CMB. Properti statistikal ΔT yang terpenting adalah fungsi korelasi dua T titik C(). II.3.2 Deteksi Anisotropi Fungsi korelasi mengandung informasi mengenai distribusi titik-titik atau event-event, di sepanjang ruang/waktu. Contohnya adalah diberikan satu titik bernilai a di posisi X di suatu ruang. Berapa probabilitas menemukan titik bernilai sama pada posisi kedua Y yang terpisah sejauh r (atau dalam sudut). Fungsi korelasi dua-titik adalah pengukuran yang penting struktur di alam semesta. Probabilitas menemukan objek kedua pada jarak angular dari objek yang diberikan di dalam area . Saat mempelajari anisotropi temperatur ΔT (θ , φ ) , pada umumnya kita T menggunakan power spectrum yang menggambarkan properti statistikal distribusi temperatur CMB. Power spectrum digunakan untuk mengkarakterisasi CMB, berkaitan dengan fungsi korelasi melalui transformasi Fourier. Secara kualitatif, power spectrum 23 menjelaskan kepada kita berapa banyak variasi dari medan pada berbagai skala. Power spectrum biasanya merupakan plot sebagai fungsi bilangan gelombang, k. Kita definisikan kuantitas fluktuasi sebagai fungsi korelasi dua titik: δT ( nˆ ) δT ( nˆ ') T T C (θ ) = , (2.59) nˆnˆ '= cosθ yang dapat dikembangkan sebagai kombinasi linear fungsi harmonik bola: 2 + 1 ( − m )! m P cos(θ ) e imφ , 4π ( + m )! Ym = (2.60) Indeks = ,.., ∞ dan − ≤ m ≤ Pm merupakan polynomial Legendre Beberapa contoh polynomial Legendre orde pertama: P ( x ) = P ( x ) = x (x − ) P ( x ) = ( x − x ) P ( x ) = ( x − x + ) P ( x ) = ( x − x + x ) P ( x ) = disebut multipol dan merepresentasikan skala angular di langit α = π (derajat). Kita dapat mengekspansikan fluktuasi medan temperatur dengan melakukan ekspansi multipol: ∞ δT (θ , φ ) = ∑ ∑ amYm (θ , φ ) , T = m = − (2.61) dimana koefisien multipol, merepresentasikan deviasi dari temperatur rata-rata: a m = π π δT (θ , φ )Y*m (θ , φ )dΩ . T = ∫ ∫ θ πφ =− (2.62) 24 Yang kita hitung adalah variansi a m tipikal a m . a m 2 untuk mendapatkan prediksi ukuran tidak bergantung kepada m karena nilai m akan bergantung sendirinya terhadap . Nilai m untuk setiap dapat bernilai − ,..,0,.., . Dengan menggunakan transformasi Fourier, kita dapat mendefinisikan power spectrum dari fluktuasi ini, C . C adalah angular power spectrum, yang mengandung informasi statistikal anisotropi CMB. Dengan menggunakan polinomial Legendre, pengukuran C() dapat diturunkan menjadi pengukuran momen multipol C . Pada bagian kecil langit ( >> 1) , analisis menjadi analisis Fourier dan kita dapatkan besaran fluktuasi: ⎛ δT ⎞ ⎛ ( + 1) ⎞ , C ⎟ ⎜ ⎟ =⎜ ⎝T ⎠ ⎝ 2π ⎠ (2.63) ⎛ ( + 1) ⎞ ΔT = ⎜ C ⎟ ⎝ 2π ⎠ (2.64) 2 1 2 T . Fluktuasi temperatur pada CMB dapat ditelusuri dan dianalisis dengan menggunakan program komputer. Lebih jauhnya, anisotripi CMB memberikan informasi-informasi penting mengenai parameter-parameter kosmologi. Power spectrum CMB merupakan plot dari sejumlah fluktuasi terhaadap ukuran sudut (linear). Pengukuran = 0 (monopol) menjadikan fungsi korelasi hilang, karena kita membandingkannya dengan temperatur rata-rata. = (dipol) datang berasal dari pergeseran Doppler dari pergerakan semu Galaksi terhadap latar belakang foton-foton CMB. Oleh karena itu, perhitungan momen monopol dan dipol tidak menjadi pertimbangan, yang menjadi perhitungan adalah momen dipol ≥ yang memberitahu kita mengenai fluktuasi yang terjadi pada last scattering dan pada masamasa sekarang. 25 Gambar II.6 anisotropi temperatur CMB. Power spectrum angular CMB hasil pengamatan WMAP, ACBAR, dan CBI. Sumber http://map.gsfc.nasa.gov/ II.3.3 Data Anisotropi Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) Diluncurkan pada 30 Juni 2000, misi WMAP adalah untuk memetakan seluruh bagian langit dengan akurat, presisi, dan dapat diandalkan. Satelit WMAP merupakan misi pemetaan CMB kedua setelah satelit COBE tahun 1989. Dengan resolusi angular mencapai ~1°, ia dapat memetakan anisotropi sampai pada skala yang kecil¸ Istrumen ini memiliki resolusi temperatur ΔT ≈ 20 μK per 0.3° piksel kuadrat dan melakukan pengamatan pada 5 frekuensi berbeda yaitu 22 GHz, 30 GHz, 40 GHz, 60 GHz, dan 90 GHz. 26 Gambar II.7 Distribusi temperatur CMB pada lima pita gelombang yang diamati oleh WMAP Sumber gambar: http://map.gsfc.nasa.gov/ 27 Pada Februari 2003, WMAP meluncurkan hasil datanya: Parameter Nilai m 0.27 ± 0.04 0.73 ± 0.04 B 0.044 ± 0.004 bary (6.10±0.3)x10-10 h2 <0.0076 Umur alam semesta 13.7 ± 0.2 Gyr zdec 1089 ± 1 Tabel 2.1 Besaran parameter-parameter kosmologi hasil pengamatan WMAP Sumber: Bergstrom L., Goobar A. Cosmology and Particle Astophysics, Springer, 2006 hal 208 Gambar II.8 Distribusi temperatur CMB yang dipetakan oleh WMAP (2005) Sumber http://map.gsfc.nasa.gov/ BOOMERANG BOOMERANG merupakan baloon-bourne eksperimen yang terbang disekitar Antartika dengan tujuan area dengan tingkat emisi galaksi rendah di langit selatan, yaitu Lubang Belahan Selatan. Penerbangan menggunakan pola angin sirkular untuk mengelilingi daerah kutub yang memungkinkan waktu eksposur yang relatif panjang, 10 hari atau lebih, melebihi eksperimen yang dilakukan balon biasa. Instrumen dan 28 strategi pengambilan data memungkinkan tingkat sensitivitas temperatur sebesar 20 K perpiksel dan resolusi sudut sekitar 15’. Beberapa darerah dipantau lebih sering, memungkinkan sensitivitas temperatur naik sampai 10 K di daerah tersebut. Set data BOOMERANG cukup besar. Satu analisis mengukur Power spectrum dari peta 150 GHz, yang mencakup 3% daerah langit. Gambar II.9 Perkembangan observasi distribusi CMB Sumber gambar: http://map.gsfc.nasa.gov/ 29