WTC

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peristiwa runtuhnya Gedung kembar World Trade Center (WTC) di New
York Amerika Serikat pada tanggal 11 september 2001 atau yang dikenal dengan
Black Tuesday tidak hanya mengejutkan bagi Amerika sendiri, tetapi juga seluruh
dunia ikut terkejut dan mengutuk serangan yang menewaskan ribuan warga
tersebut. Hampir seluruh media massa, tidak hanya di Amerika tetapi juga dunia,
menempatkan peristiwa tersebut sebagai berita utama, mengalahkan isu-isu lokal
maupun internasional lainnya yang terjadi selama rentang waktu sekurangkurangnya dua pekan pasca terjadinya tragedi tersebut (Hamm, 2006).
Pemberitaan tersebut tidak hanya pemberitaan tentang dampak langsung dari
serangan tersebut seperti kerusakan dan korban jiwa, tetapi juga dampak-dampak
tidak langsung seperti dampak psikologis serangan tersebut terhadap warga
Amerika.
Pernyataan pertama oleh Presiden Amerika menanggapi kejadian ini
seperti dilansir di website www.usinfo.state.gov yang diakses pada tanggal 9
september 2005 adalah bahwa “Amerika akan mengejar dan menghukum siapa
saja yang bertanggung jawab terhadap aksi pengecut ini. Amerika sebagai negara
besar telah diuji, dan kita tidak akan membuat kesalahan, kita akan tunjukan
kepada dunia bahwa kita mampu melewati ujian ini”. Pernyataan Presiden Bush
yang mengatakan Amerika akan mengejar dan menghukum siapa saja yang
2
bertanggung jawab terhadap serangan WTC seolah-olah menjadi sebuah
perwakilan perasaan kemarahan Amerika dan warganya terhadap pelaku serangan
yang kemudian di labeli “Teroris”. Terlepas dari kontroversi yang menyelubungi
black Tuesday, Tidak lama setelah kejadian tersebut Pemerintah Amerika
mengeluarkan pernyataan yang meyakini bahwa pelaku dari serangan ini adalah
kelompok teroris Al-Qaida pimpinan Osama Bin Laden yang juga diyakini
bersembunyi di Afganistan (Hamm, 2006). Aksi militer Amerika terkait dengan
dalih “Perang melawan terorisme” seperti kita ketahui tidak berhenti hanya di
Afganistan (dimulai 12 oktober 2001), tetapi berlanjut sampai dengan ke Irak
(tahun 2003) dan masih berlanjut sampai saat ini.
Sistem pemerintahan yang menganut sistem demokrasi membutuhkan
dukungan dari publik dalam setiap keputusan yang diambilnya. Amerika sebagai
sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, sangatlah penting bagi
Pemerintah Amerika yang pada saat terjadinya serangan terhadap WTC dipimpin
oleh Presiden George W. Bush untuk mendapatkan dukungan dari publik untuk
mengejar dan menghukum pelakunya. Amerika Serikat tidak bisa serta merta
menggunakan kekuatan militer (Use of Force) untuk operasi perang tanpa adanya
dukungan dari kongres, sedangkan kongres sendiri merupakan wakil dari suara
rakyat sehingga opini publik untuk mendukung penyerangan tersebut sangat
dibutuhkan dan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan upaya-upaya
untuk membentuk opini publik yang mendukung, salah satunya adalah dengan
menggunakan media massa sebagai sarana image building pemerintahan Bush
dalam mengambil tindakan untuk menggunakan kekuatan militernya dalam
3
mengejar dan menghukum para pelaku tragedi black Tuesday. Dengan
menciptakan image yang baik dan/atau benar, maka Pemerintahan Bush akan
lebih mudah untuk memenangkan legitimasi publik.
Terkait dengan usaha mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas, diperlukan
sebuah upaya propaganda menggunakan media massa. Jowet dan O'donnel dalam
bukunya mengatakan bahwa "Propaganda dalam arti yang paling dasar berarti
untuk mendukung atau diseminasi pemikiran-pemikiran tertentu" (Jowwet dan
O'donnel, 2006:2). Jowet dan O’Donnell mendefinisikan propaganda sebagai
"sebuah usaha yang terencana dan sistematik untuk mencoba membentuk
persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengarahkan perilaku sesuai dengan
keinginan pelaku propaganda (propagandis)" (Jowwet dan O'donnel, 2006:7).
Film adalah salah satu bentuk dari media massa, dan juga sarana
propaganda. Film lahir di akhir abad kesembilan belas, pada awalnya hanya bisa
dinikmati secara orang-perorang dikarenakan keterbatasan teknologi, hingga
akhirnya pada tahun 1895 seseorang berkebangsaan perancis, Louis Lumiere
(1864-1948) memperkenalkan suatu alat "cinematograph" kepada 35 orang di
Grand Cafe, Paris, dan ditahun yang sama kepada audiens yang lebih besar di
Empire Music Hall, London. Sejarah mencatat untuk pertama kalinya, Lumiere
menciptakan suatu audiens dan sebuah medium (Briggs dan Burke, 2002), dan
sejak saat itu film turut berperan sebagai suatu sarana (medium) baru yang
digunakan untuk menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik,
drama, lawak, dan sajian lainnya kepada masyarakat umum.
4
Denis McQuail memberikan catatan bahwa bahwa sepanjang perjalanan
perkembangan film, sejarah mencatat terdapat tiga tema besar yang penting, yaitu
munculnya aliran-aliran seni film, lahirnya film dokumentasi sosial, dan
pemanfaatan film sebagai media propaganda (McQuail,1991). McQuail juga
mengatakan bahwa sebagai sebuah medium propaganda, film mempunyai
jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat karena film
mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian banyak orang dalam waktu
yang cepat dan kemampuannya untuk memanipulasi kenyataan yang tampak
dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas (McQuail,1991:14). Jowwet
dan O'donnel dalam bukunya menyatakan bahwa "Film, melalui teknik-teknik, isi,
karakter, realita yang dibentuknya dan cerita didalamnya mampu menggugah
emosi audiens dengan cepat dan seketika, hal ini sangatlah jarang ditemukan di
media lainnya" (Jowwet dan O'donnel, 2006:107).
Penggunaan film sebagai medium Propaganda sendiri telah berlangsung
sejak masa-masa awal munculnya teknologi ini. Film pertama yang diketahui
merupakan film propaganda adalah film tentang Dreyfus affair di Perancis pada
tahun 1896 (Jowwet dan O'donnel, 2006:). Propaganda sendiri tidak hanya terjadi
disaat perang, propaganda sangat bisa terjadi di masa-masa damai, tetapi sejarah
memang mencatat bahwa film propaganda paling banyak dibuat dan hadir disaatsaat perang maupun konflik. Pada saat perang dunia I maupun II, semua pihak
yang terlibat menggunakan semua media untuk melakukan propagandanya
termasuk film, contohnya adalah Film Propaganda Nazi Jerman Im Wald von
Katyn (In The Forest of Katyn, 1943), film Hollywood Confessions Of a Nazi
5
Spies (1939), Battleship Potemkin yang dibuat oleh Soviet (1925), dan Hearts of
the World (1918) buatan pemerintah Inggris. Di era setelah perang dunia II,
perebutan pengaruh antara Uni Soviet dan Amerika, yang kita kenal sebagai Cold
War atau “Perang Dingin” pun menghadirkan film-film propaganda seperti Top
Gun (1986), I Was a Communist for the FBI (1951), dan lain-lain (Cull, Culbert
dan Welch, 2003).
Usaha-usaha untuk memanfaatkan film sebagai media propaganda untuk
mempengaruhi opini publik sudah jamak dilakukan sejak masa perang Dunia
pertama walaupun penggarapannya masih kasar dan gamblang. Sebagai contoh,
adalah film Battle Cry of Peace (1915) dimana pada saat itu Amerika belum
terlibat dalam perang tersebut. Film yang dimaksud, mampu membantu
pembentukan opini publik Amerika yang tadinya tidak mau terlibat perang,
menjadi publik yang mendorong pemerintahnya untuk terlibat dalam perang dunia
pertama seperti dinyatakan oleh Jowwet dan O'donnel:
...but the most important of these propaganda efforts, aimed at molding public
opinion in favor of the United States entering the war, was Battle Cry of
Peace...(Jowwet dan O'donnel, 2006:109).
Saat terjadinya perang Dunia pertama dan kedua, semua pihak yang terlibat
menggunakan film sebagai salah satu medium propagandanya. Bahkan usahausaha propaganda yang dilakukan, termasuk melalui film, diatur dan
dikoordinasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga yang didukung
oleh pemerintahnya. Contohnya adalah British Ministry of Information atau MoI
dan Political Warfare Executive atau PWE (Inggris), Office of War and
Information atau OWI dan Committee on Public Opinion atau CPI atau yang lebih
6
dikenal
dengan
Creel
Committee
(Amerika),
Reichsministerium
für
Volksaufklärung und Propaganda atau RMVP (Reich Ministry for Popular
Enlightenment and Propaganda) dan Universium Film Aktiengesellschaft atau
UFA (Jerman), Dewan Informasi Kabinet (Jepang), Commissar for foreign affairs
(Rusia) , dan Ministry of Communication (Italy) (Cull, Culbert dan Welch, 2003).
Pasca terjadinya peristiwa 9/11, muncul film-film yang baik langsung
maupun tidak langsung, baik dari segi cerita, tema maupun nilai-nilai didalamnya,
mempunyai kaitan dengan tragedi tersebut. Sebut saja film United 93 yang
menceritakan tentang kisah nyata usaha penumpang pesawat United Airline flight
93 mengagalkan pembajakan pesawat oleh teroris yang akan menyerang
Washington D.C. di hari yang sama dengan serangan ke WTC New York. Contoh
lain adalah film The Kingdom, film Hollywood yang menceritakan usaha
penyelidikan FBI terhadap serangan teroris di perkampungan Amerika di Arab
Saudi. Semenjak serangan tersebut, film-film yang berbau patriotisme, heroisme
dan perang melawan teroris menghiasi layar sinema dan televisi tidak hanya di
Amerika, tetapi juga diseluruh Dunia. Hal ini tentu tidak mengherankan karena
semenjak serangan tersebut, Rakyat Amerika berada dalam situasi emosi dan
tindakan yang tidak menentu, kemarahan, ketakutan, kesedihan, tuntutan agar ada
tindakan terhadap pelaku teror Black Tuesday, dan dampak-dampak fisik dan
psikologis lainnya (Brockers, 2006). Hal ini juga sejalan dengan apa yang
didengungkan oleh pemerintahan Bush, War On Terror.
Hollywood sebagai pemimpin industri film Amerika dan Dunia, tentu saja
tidak lepas dari trend media saat itu yang seakan-akan berlomba mengikuti
7
gelombang besar yang timbul akibat peristiwa 9/11. Salah satu film produksi
studio Hollywood tersebut adalah Black Hawk Down yang rilis untuk screening
terbatas pada 28 Desember 2001, dan rilis secara umum pada 18 Januari 2002.
Film yang di produksi oleh Columbia Pictures ini disutradarai oleh Ridley Scott
(Kingdom of Heaven, Gladiator, Alien, dll) dan produser Jerry Bruckheimer ( Top
Gun, Crimson Tide, Pearl Harbour, dll) diangkat dari buku oleh Mark Bowden
yang berdasarkan kisah nyata tentang Battle of Mogadishu, sebuah kisah
penyerbuan tentara Amerika di Somalia untuk menangkap Muhammad Farrah
Aidid di tahun 1993 (dilansir dari www.mooviees.com, tanggal akses 15
desember 2008). Seperti dilansir dari website www.the-numbers.com (tanggal
akses 5 februari 2009), film ini meraih keuntungan kotor (gross) lebih dari
$173,638,745 (hanya dari penjualan tiket), dan merajai puncak Box Office
Amerika selama kurang lebih 3 bulan sejak premiere untuk publik pada tanggal
18 Januari 2002, dan mendapatkan 4 penghargaan film dari Academy Award,
Golden Reel, dan Harry Award, serta 15 nominasi penghargaan dari Academy
Award, AFI Film Award, MTV Movie Award, WGA Award, Teen Choice Award
for Film, Golden Reel, Golden Trailer, dan DGA Award. Produksi film ini
mendapat dukungan dari U.S. Departement of Defense (DOD), dan pada saat
screening terbatas di Washington D.C. dihadiri oleh pejabat-pejabat militer dan
negara Amerika antara lain Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld,
Panglima AD AS Gen. Tom White, dan lain-lain. (dilansir dari www.wsws.com,
tanggal akses 15 desember 2008)
8
Film ini menarik untuk dikaji, karena selain genre yang diusungnya yaitu
perang, juga tanggal rilis yang berdekatan dengan kejadian 9/11, dan juga
keterlibatan pemerintah Amerika dalam produksi film tersebut. Menarik untuk
dikaji apakah ada unsur-unsur propaganda dalam film tersebut dan jika ada,
seperti apakah teknik-teknik propaganda dalam film Black Hawk Down.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diteliti adalah Bagaimana propaganda
Amerika dalam film Black Hawk Down terkait dengan tragedi 9/11.
C.
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan teknik-teknik dan isi
propaganda dalam film Black Hawk Down.
2. Untuk mengetahui kecenderungan penggunaan teknik propaganda
dalam film Black Hawk Down.
D.
Kerangka Konseptual
Penelitian ini mengacu kepada buku "Propaganda And Persuasion"
Jowwet dan O'donnel (2006) sebagai landasan teori, konsep-konsep, pengertian
dan penjelasan tentang propaganda. Hal ini dikarenakan isi buku tersebut serta
penjelasan tentang propaganda oleh Jowwet dan O'donnel adalah rangkuman dan
pengembangan dari teori-teori propaganda terdahulu, dan terfokus kepada
propaganda sebagai proses komunikasi (Jowwet dan O'donnel, 2006:1-48). Dalam
9
buku tersebut, Jowwet dan O'donnel juga dapat dengan jelas menarik perbedaan
antara proses Propaganda dan Persuasi, serta menjabarkan dengan jelas contohcontoh aplikasi propaganda. Penelitian ini menempatkan film sebagai salah satu
bentuk komunikasi massa, oleh karena itu untuk memahami tentang konsep
komunikasi massa dan film sebagai media massa maka penulis merujuk kepada
buku "Teori Komunikasi Massa" oleh Denis McQuail yang telah diakui oleh
dunia dan merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa komunikasi khususnya
mahasiswa Fisip Komunikasi UAJY. Untuk memperkaya data dan pemahaman,
penelitian ini juga menggunakan beberapa buku, teori, artikel, dan informasiinformasi lainnya yang terkait dengan objek penelitian ini.
Komunikasi massa dijelaskan oleh McQuail sebagai proses komunikasi
yang berlangsung pada tingkat masyarakat luas yang identifikasinya ditentukan
oleh ciri khas institusionalnya (gabungan antara tujuan, organisasi, dan kegiatan
yang sebenarnya.) (McQuail, 1991). Pengertian komunikasi massa terutama
dipengaruhi oleh kemampuan dari media massa sendiri untuk membuat produksi
massal dan jangkauan terhadap khalayak dalam jumlah yang besar dalam satu
waktu yang bersamaan (McQuail, 1991). McQuail menjelaskan bahwa Film
sebagai sebuah medium mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian
banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi
kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas
merupakan salah satu kekuatan terbesarnya (McQuail,1991:14). Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Jowwet dan O'donnel bahwa "Film, melalui teknik-teknik, isi,
karakter, realita yang dibentuknya dan cerita didalamnya mampu menggugah
10
emosi audiens dengan cepat dan seketika, hal ini sangatlah jarang ditemukan di
media lainnya" (Jowwet dan O'donnel, 2006:107).
Seperti layaknya media masa lainnya, dalam sebuah film terdapat pesanpesan dan informasi, dan salah satu kekuatan utama dari film adalah pesan-pesan
dalam sebuah film biasanya tersembunyi dibalik asumsi dasar bahwa film adalah
suatu hiburan. Saat seseorang menonton film, kebanyakan dari mereka berharap
untuk menyaksikan sebuah hiburan. Pesan-pesan propaganda sering bersembunyi
dibalik hal ini, oleh karena itu, audiens sering kali tidak menyadari bahwa mereka
sedang mendengarkan pesan-pesan propaganda (Jowwet dan O'Donnel, 2006).
Propaganda dalam artian yang paling dasar mempunyai arti untuk
mendukung
atau
diseminasi
pemikiran-pemikiran
tertentu.
Haryatmoko
menjelaskan bahwa "Propaganda dalam arti klasik dipahami sebagai sebuah
wacana yang berusaha
mengkonstruksi suatu kebenaran palsu dengan
memproduksi fakta atau menyembunyikannya"(Haryatmoko, 2007). Jowet dan
O’Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha yang terencana dan
sistematik untuk mencoba membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan
mengarahkan perilaku sesuai dengan keinginan pelaku propaganda (Jowwet dan
O'donnel,
2006:7).“Terencana“
berarti
setiap
usaha
propaganda
selalu
direncanakan jauh-jauh hari dengan cara mempelajari dan memilih strategi yang
paling efektif terkait ideologi yang akan diusung serta mempertahankan posisi
yang menguntungkan, sedangkan "sistematik" mempunyai arti tepat sasaran dan
terorganisir. Membentuk persepsi biasanya dilakukan dengan menggunakan
bahasa dan gambar, dan bagaimana seseorang menerimanya bergantung juga
11
terhadap psikologis, filosofi, dan pola pikir yang didasari oleh pengalaman
individu dimasa lampau. Tujuan dari propaganda adalah untuk merubah atau
memanipulasi persepsi, sikap dan perilaku, dengan menggunakan berbagai cara
atau teknik, seperti dijelaskan oleh Jowett dan O’Donnell :
To manipulate perceptions, attitudes, and behaviors, propagandists
have attempted to use language, images, songs, parades, slogans,
posters, symbols, and even architectural structures.(Jowett &
O’Donnell, 2006: 8)
"Persepsi" mempunyai pengertian proses pemahaman informasi dari dunia diluar
individu, yang juga dipengaruhi faktor-faktor dari dalam individu yang dibentuk
oleh keyakinan, nilai, sikap individu, peran dalam masyarakat, dan norma
kelompok (Jowwet dan O'donnel, 2006).
Pencapaian tujuan propaganda akan lebih efektif bila propagandis
menggunakan dan mengkoordinir tidak hanya satu media tetapi media-media
yang lain juga dan saling mendukung satu sama lainnya. Kaitan hal ini dengan
film adalah dalam perkembanganya terutama setelah datang era televisi, film
mengalami integrasi besar-besaran dengan media lainnya terutama dengan
penerbit buku, musik populer, bahkan dengan televisi itu sendiri, dan menjadi
sebuah sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun, bintang
televisi dan film seri, lagu populer, dan lain sebagainya. Dengan demikian, film
mampu berperan sebagai pembentuk budaya massa, dan juga sebagai sarana
propaganda yang efektif (McQuail, 1991:14-15).
12
Berkaitan dengan film Black Hawk Down (BHD), menarik untuk dikaji
apakah film ini mengandung pesan-pesan propaganda untuk membentuk persepsi
dan mengarahkan opini publik Amerika mengingat genre yang diusungnya yaitu
tentang perang, ceritanya yang berdasarkan kejadian nyata, latar belakang keadaan
Amerika saat peluncuran film ini yang hanya berjarak kurang lebih 3 bulan paska
serangan teroris ke gedung kembar WTC New York (peristiwa 9/11 atau Black
Tuesday), dan keterlibatan pemerintah Amerika khususnya Departemen
Pertahanan AS dalam pembuatan film tersebut. Terkait dengan opini publik,
sebagai pemerintahan yang menganut sistem demokrasi sangatlah penting bagi
pemerintah AS untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Suatu keputusan
yang tidak didukung oleh rakyatnya akan menyebabkan legitimasi dari keputusan
tersebut
jatuh,
dan
pemerintahan
yang
bersangkutan
akan
kehilangan
kredibilitasnya.
Film Black Hawk Down diproduksi oleh Columbia Pictures, salah satu
studio film utama dalam industri film Amerika. Industri film Amerika selalu
diidentikan dengan Hollywood. Menurut kamus bahasa Merriam-Webster,
"Hollywood" mempunyai dua arti, yang pertama adalah “Hollywood is a part of
Los Angeles, California, where the American movie industry is based” ,
sedangkan
arti
yang
kedua
adalah
“The
American
movie
industry”
(http://www.learnersdictionary.com/search/hollywood, tanggal akses 7 Februari
2010). Dengan kata lain, film Black Hawk Down termasuk dalam kategori “Film
Hollywood”.
13
Pasca serangan WTC seperti dijabarkan dalam artikel oleh David Walsh
pada situs www.wsws.org (http://www.wsws.org/articles/2001/nov2001/holln19.shtml, Tanggal akses 7 Februari 2010) Pemerintah Amerika mengadakan
pertemuan dengan insan perfilman Hollywood (Lihat Lampiran 1). Pertemuan
yang berlangsung selama 2 jam tersebut bertempat di Peninsula Hotel di Beverly
Hills. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Karl Rove, Penasehat Politik utama
George W. Bush, dan dihadiri oleh figur-figur paling berpengaruh di Industri
perfilman Amerika seperti Sumner Redstone, pemimpin Viacom Inc ( Pemilik
Paramount, CBS, dan UPN). Semua studio film besar dan Stasiun Televisi
Amerika mengirim perwakilannya dalam pertemuan tersebut, seperti Warner
Bros, Twentieth Century Fox, Columbia Pictures, Universal Studios, MetroGoldwyn-Mayer, DreamWorks SKG, ABC, NBC, CBS, Fox, UPN dan WB.
Pertemuan tersebut mempunyai agenda untuk membahas “bagaimana Industri
Perfilman dan Televisi bisa menyumbangkan perannya dalam Perang Melawan
Teror (War on Terror)”. Dalam pertemuan tersebut, Karl Rove menekankan pada
hal-hal berikut ini :
1. Perang yang dilakukan Amerika adalah perang melawan terorisme.
2. Membantu usaha Pemerintah Amerika untuk menggalang dukungan
rakyat.
3. Tentara Amerika dan keluarganya perlu mendapat dukungan.
4. Serangan tanggal 11 September merupakan serangan global yang
memerlukan respon global.
14
5. Kampanye (U.S. Campaign) yang dilaksanakan oleh Amerika adalah
“Perang melawan Kejahatan” (War on Evil).
6. Pemerintah dan industri film dan penyiaran Amerika mempunyai tanggung
jawab memastikan keselamatan anak-anak dan masa depannya.
Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat suatu hubungan antara pemerintah
Amerika dan Hollywood untuk menyebarkan nilai-nilai sesuai dengan yang
diinginkan oleh pemerintah Amerika.
Film Black Hawk Down sebagai salah satu film Hollywood paska tragedi
9/11 memiliki indikasi kuat sebagai media propaganda yang digunakan oleh
Pemerintah Amerika terutama terkait dengan tragedi 9/11, salah satu bukti yang
menguatkan hal ini terungkap saat salah satu aktor di film tersebut yaitu Brendan
Sexton III berbicara di forum terbuka Universitas Columbia, Amerika seperti
dilansir dari http://www.counterpunch.org/ (tanggal akses 24 Maret 2010). Di
hadapan forum tersebut Brendan Sexton III menjabarkan bahwa setelah tragedi
9/11, naskah film Black Hawk Down (Yang pada saat itu telah memasuki tahap
produksi) mengalami banyak perubahan atas permintaan Pentagon dan beberapa
scene dihilangkan seperti scene yang mempertanyakan tentang alasan keterlibatan
Amerika dalam perang di Somalia, efektifitas kehadiran militer Amerika di
Somalia, dan mengapa hanya satu Warlord yaitu Jendral Mohammed Farah Aidid
yang
diincar
oleh
Amerika
(http://www.counterpunch.org/wtcarchive.html
tanggal akses 24 Maret 2010). Salah satu bukti perubahan naskah film BHD oleh
Pentagon dijabarkan pula oleh wartawan New York Post Megan Turner dalam
15
artikelnya "War-film 'Hero' Is A Rapist" (NY Post, 12/18/01) yang menjabarkan
bahwa Pentagon meminta agar beberapa bagian dalam film dirubah agar lebih
sesuai dengan kondisi Amerika terkait peristiwa 9/11, contohnya adalah
perubahan nama tentara Ranger "John Stebbins" karena menjadi "John Grimes"
(diperankan oleh Ewan McGregor) karena John Stebbins di kehidupan nyata
sedang menjalani hukuman 30 tahun penjara karena kasus perkosaan
(http://www.ratical.org/ratville/JFK/JohnJudge/linkscopy/BlkHawkDown.html
tanggal akses 25 Maret 2010). Akurasi informasi dalam film ini juga
dipertanyakan, seperti diungkapkan oleh kritikus film dan pengamat politik Chris
Tolkey dari The Daily Mail dalam wawancaranya dengan British Broadcasting
Center (BBC) dia melihat bahwa Black Hawk Down sebagai sebuah film patriotik
yang mempunyai potensi kuat untuk mempengaruhi audiens Amerika yang saat
itu olehnya diibaratkan sedang berada dalam "intensely patriotic mood", walaupun
banyak sekali informasi yang tidak akurat serta kebohongan dalam film tersebut
dan cenderung menonjolkan satu sisi saja yaitu "...heroism of American soldiers
underfire"(http://news.bbc.co.uk/hi/english/world/africa/newsid_1754000/175485
1.stm tanggal akses 24 Maret 2010). Hal-hal ini membuktikan terdapat suatu
kerjasama pemerintah Amerika dengan Columbia Pictures yang memproduksi
film Black Hawk Down untuk mengarahkan nilai-nilai dan pesan dalam film
tersebut agar sesuai dengan tujuan pemerintah terutama terkait dengan peristiwa
9/11.
George
Monbiot,
wartawan
The
Guardian
keprihatinannya terhadap film ini dengan menyatakan :
UK
mengungkapkan
16
What we are witnessing in both Black Hawk Down and the current war
against terrorism is the creation of a new myth of nationhood. America is
casting itself simultaneously as the world's saviour and the world's victim; a
sacrificial messiah, on a mission to deliver the world from evil. This myth
contains incalculable dangers for everyone else on earth
(http://www.monbiot.com/dsp_article.cfm?article_id=486 tanggal
akses 25 Maret 2010)
Untuk memahami sebuah propaganda, sangat penting untuk mengetahui
tentang konteks dimana propaganda tersebut berlangsung seperti dinyatakan oleh
Jowwet dan O'donnel bahwa :
Successful propaganda relates to the prevailing moods of the times;
therefore, it is essential to understand the climate of the times.(Jowwet dan
O'donnel, 2006:272)
Memahami tentang keadaan saat propaganda tersebut dilaksanakan oleh
propagandis sangatlah penting, karena suatu Propaganda akan lebih menuai
keberhasilan bila disesuaikan dengan keadaan (mood) saat propaganda tersebut
dilancarkan, oleh karenanya sangatlah penting untuk memahami keadaan atau
iklim sosial dan latar belakang sejarah yang berkaitan dengan propaganda tersebut
(Jowwet dan O'donnel, 2006:272-273).
Propaganda pada dasarnya bersifat persuasif, tetapi kegiatan propaganda
berbeda dengan kegiatan persuasi. Perbedaan utamanya adalah proses persuasi
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman bersama (mutual understanding),
sedangkan propaganda bertujuan untuk menanamkan tujuan-tujuan untuk
17
kepentingan satu pihak saja yaitu pihak propagandis. Oleh karena itu, propagandis
akan berusaha untuk mengendalikan pesan dan arus informasi serta mengatur
opini publik tertentu dengan cara membentuk persepsi melalui strategi
komunikasi dan informasi menggunakan teknik-teknik propaganda (Jowwet dan
O'donnel, 2006:44). Sastropoetro dalam bukunya menjabarkan bahwa berdasarkan
penggolongan Institue of Propaganda Analysis (IPA) mengenai teknik-teknik
propaganda, terdapat 7 devices (kelompok) yang paling umum digunakan yaitu:
1. Name-calling
Pemberian julukan atau sebutan dalam arti yang buruk dengan maksud
menurunkan derajat nama seseorang atau prestise suatu ide di muka
umum.
2. Glittering Generalities
Teknik dimana pihak propagandis mengidentifikasikan dirinya dan
menonjolkan gagasannya dengan segala sesuatu yang serba luhur dan
agung.
3. Testimonials
Teknik yang menggunakan nama orang atau kelompok terkemuka yang
mempunyai otoritas dan prestise sosial tinggi dalam menyodorkan atau
meyakinkan suatu hal dengan jalan mengeluarkan pernyataan.
4. Transfer
Ciri-ciri kegiatan propaganda yang menggunakan teknik pemakaian
pengaruh dari tokoh atau pihak atau suatu hal yang memiliki wibawa atau
18
pengaruh di lingkungan tertentu, dengan maksud menarik keuntungankeuntungan psikologis dari pengaruh tersebut.
5. Plain Folks
Teknik propaganda dengan jalan memberi identifikasi terhadap ide, calon
pemilih, atau hal apa pun yang dipropagandakan sebagai milik rakyat atau
demi kepentingan bersama.
6. Card Stacking
Teknik propaganda dengan jalan menonjolkan hal-hal yang dianggap baik
saja atau sesuai dengan keinginan propagandis, sehingga hanya satu sisi
saja yang ditonjolkan dan kelihatan.
7. Bandwagon
Dilakukan dengan cara membesar-besarkan suatu hal, biasanya kesuksesan
dan keberhasilan yang telah dicapai, dengan tujuan untuk menarik
simpatisan yang lebih banyak lagi.(Sastropoetro, 1988:172-144)
Berdasarkan sumber dan akurasi dari informasi didalamnya, Jowwet dan
O'donnel menjabarkan bahwa pesan propaganda dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Propaganda Putih (White Propaganda)
Bila sumber informasi dapat di identifikasikan dengan benar, dan
informasi dalam pesan-pesannya cenderung akurat.
19
2. Propaganda Hitam (Black Propaganda)
Bila sumber informasi cenderung ditutup-tutupi, tersamar, atau diketahui
menyebarkan kebohongan, terdapat fabrikasi (rekayasa) informasi, dan
pengelabuan.
3. Propaganda Abu-abu (Grey Propaganda)
Propaganda Abu-abu berada diantara propaganda putih dan hitam. Sumber
informasi bisa saja atau tidak bisa diidentifikasikan dengan benar, dan
akurasi
informasinya
tidak
dapat
ditentukan
kebenaran
maupun
kebohongannya (Jowwet dan O'Donnel, 2006:16-20).
E.
Metodologi Penelitian
1.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian analisis isi
deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang topik yang akan
diangkat berdasarkan data-data yang diperoleh untuk mendukung penelitian ini.
Penelitian ini bersifat kuntitatif karena melibatkan perhitungan-perhitungan
angka. Dalam buku Book of visual Analysis (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:13),
Philip Bell menjelaskan bahwa :
Content analysis is an empirical (observational) and objective procedure
for quantifying recorded 'audio-visual' (including verbal) representation
using reliable, explicitly defined categories ('values' on independent
'variables').
Lebih lanjut, Philip Bell menjelaskan bahwa unit visual atau verbal yang akan
diteliti, atau yang disebut dengan "teks", adalah obyek penelitian dari analisis isi.
20
Teks yang akan diteliti adalah teks yang mempunyai makna dan terbingkai dalam
satu medium dan genre yang terdapat dalam suatu issue atau topik (Van Leeuwen
dan Jewitt, 2001:15)
2.
Objek Penelitian
Penelitian ini menentukan objek penelitian pada Propaganda Amerika
dalam Film Black Hawk Down. Penulis berusaha untuk melihat kecenderungan
penggunaan teknik propaganda dalam film tersebut. Operasionalisasi dari
penelitian ini adalah dengan membuat konstruksi kategori-kategori yang akan
diteliti, dan kemudian dibuat unit analisisnya untuk diukur dan dianalisa
kecenderungan-kecenderungan teknik propaganda dalam film Black Hawk Down
tersebut. Dengan demikian, unit analisa dalam penelitian ini ditetapkan sebagai
berikut :
21
Kategori
Name Calling
Unit Analisis
Pemberian
Julukan Negatif
Kata-kata Ejekan
Heroisme
Glittering Generalities
Tindak Kesetiakawanan
Kata-kata
Kebajikan
(Virtue)
Simbol Negara /
Organisasi
Transfer
Simbol Agama
Kepribadian yang
baik
Plain Folks
Aktifitas diluar
peperangan
Alasan
keterlibatan
dalam perang
Card Stacking
Kekerasan dalam
perang
Berdasarkan fisik
Berdasarkan afiliasi/kelompok
Berkaitan Dengan Kebodohan
Bermakna kasar/ofensif
Pengorbanan Untuk kepentingan
bersama / orang lain
Keberanian ditengah peperangan
Tidak meninggalkan teman
Menolong teman
Aspek Demokrasi
Aspek kepahlawanan
Aspek Perubahan yang lebih baik
Bendera Negara / Organisasi
Lambang Negara / Organisasi
Lambang unit ketentaraan.
Nama Tuhan
Ritual Agama
Nama Agama
Perhatian terhadap Keluarga
Simpati terhadap penderitaan /
kesusahan orang lain
Bermain / Bersenda-gurau
Menonton TV
Membaca Koran
Beristirahat / santai
Mencari nafkah
Alasan perdamaian
Alasan Kemanusiaan
Alasan Memperoleh Kekuasaan
Alasan Membela Negara
Alasan Membantu Kelompok lain
Membunuh
Memukul
Menendang
Menyiksa
22
3.
Definisi Operasional
a. Name Calling
Name Calling adalah penggunaan kata ganti untuk orang, ide, atau suatu
hal tertentu, sehingga menjadi berkonotasi negatif. Tujuannya sendiri
menurut Sastropoetro (1988:172-144) biasanya untuk menjatuhkan derajat
seseorang atau prestise suatu ide di muka umum. Dalam film Black Hawk
Down, dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pemberian Julukan Negatif, yaitu memberikan kata ganti terhadap
orang, kelompok atau bangsa lain, dengan maksud merendahkan
atau melecehkan. Pemberian julukan ini dibagi lagi menjadi dua,
yaitu pemberian julukan berdasarkan fisik atau penampilan, dan
pemberian julukan berdasarkan keterkaitan atau afiliasinya Contoh
dalam film BHD misalnya pemberian julukan Skinnies oleh
Amerika kepada orang somalia karena fisik orang somalia yang
rata-rata kurus.
2. Kata-kata ejekan, adalah kata-kata bermakna kasar yang ditujukan
kepada orang lain. Dalam film BHD, terdapat dua jenis kata ejekan
yaitu berkaitan dengan kebodohan seseorang atau kelompok
(misalkan, Idiot), dan kata-kata bermakna kasar/ofensif (seperti Ass
hole, yang memiliki makna menyamakan seseorang atau sesuatu
dengan lubang anus).
23
b. Glittering Generalities
Glitering Generalities adalah kebalikan dari Name Calling, yaitu pihak
propagandis mengidentifikasikan diri dan menonjolkan gagasannya
dengan segala sesuatu yang serba luhur dan agung (Sastropoetro, 1988).
Sebagai contoh, Jowett dan O’Donnel (Jowwet dan O'donnel, 2006)
menjelaskan bahwa saat seseorang berbicara kepada kita tentang
"demokrasi", hal pertama yang kita pikirkan adalah hal-hal tentang
demokrasi yang kita pelajari di sekolah, di rumah, di masyarakat, dan
lainnya. Kita beranggapan bahwa orang tersebut sepaham dengan kita, dan
dia percaya kepada pentingnya arti demokrasi. Hal ini membuat kita lebih
percaya dan tidak curiga, dan memuluskan orang tersebut untuk
menanamkan nilai-nilai yang ingin dia tanamkan. Dalam film BHD, yang
termasuk dalam hal ini dibagi 3 yaitu :
1. Heroisme, yaitu adegan yang terdapat aksi pengorbanan untuk
kepentingan
bersama/orang
lain
dan
keberanian
ditengah
peperangan.
2. Kesetia-kawanan, yaitu adegan dan dialog yang menunjukan tidak
meninggalkan teman, dan menolong temannya.
3. Kata-kata kebajikan (virtue words) yang termasuk dalam aspek
Demokrasi, aspek Kepahlawanan, dan aspek Perubahan yang lebih
baik
24
c. Transfer
Transfer, adalah pemakaian pengaruh dan asosiasi dari tokoh, pihak atau
hal tertentu yang memiliki wibawa dan pengaruh di lingkungan tertentu,
dengan maksud menarik keuntungan-keuntungan psikologis dari pengaruh
tersebut. Misalkan, “Berjuang membela yang benar”, “Demi kesatuan
negara”, atau mengasosiasikan suatu kegiatan baik/buruk dengan ajaran
agama tertentu, hingga semua hal yang mempunyai hubungan dengan
ajaran tersebut akan dinilai baik/buruk pula. Transfer dalam film BHD
dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Simbol-simbol Negara / organisasi seperti Bendera Negara /
Organisasi, Lambang Negara / Organisasi, dan Lambang unit
ketentaraan. Untuk Lambang Negara yang melekat pada seragam,
yang dihitung adalah yang ditampilkan secara jelas dan dominan,
gambar cenderung statis, digambarkan dengan Medium hingga
Close up Shot, dan/atau menempati area gambar utama sesuai
dengan aturan komposisi “Rule of thirds” yaitu membagi area
gambar menjadi 3 area yang sama secara vertikal maupun
horizontal (Pratista, 2008:115).
2. Simbol-simbol Agama seperti Nama Tuhan, ritual agama, dan
nama agama.
25
d. Plain Folks
Plain Folks menekankan bahwa seseorang atau suatu ide, tidak berbeda
dengan orang kebanyakan atau masyarakat pada umumnya. Contohnya
adalah, kandidat Presiden Indonesia kebanyakan mempunyai background
ekonomi yang kuat, tetapi mereka sering menampilkan diri secara
sederhana seperti mengkonsumsi nasi bungkus, menanam padi di sawah,
dan hal-hal lainnya yang biasa dilakukan oleh kebanyakan rakyat
Indonesia. Dalam film BHD, hal ini dibagi menjadi dua yaitu :
1. Kepribadian yang baik, yaitu Perhatian terhadap keluarga dan
simpati terhadap penderitaan/kesusahan orang lain.
2. Aktifitas diluar peperangan, yaitu aktifitas diluar pertempuran
melawan musuh, seperti Bermain / Bersenda-gurau, Menonton TV,
Membaca Koran, dan Mencari nafkah.
e. Card Stacking
Card Stacking adalah menyeleksi dan menampilkan informasi, gambaran
atau pesan secara selektif, dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan
tersebut menurut Jowwett dan O’Donnel, adalah “to give the best or worst
possible case for an idea, program, person, or product” (Jowwet dan
O'Donnel, 2006:227). Sebagai contoh, dalam suatu film perang, musuh
digambarkan sebagai orang-orang kejam yang melakukan tindak
kekerasan dan tidak kenal belas kasihan, sehingga tindak kekerasan yang
dilakukan tokoh baik (good guys) dibenarkan karena melawan orang-orang
26
kejam, atau membela diri. Yang termasuk dalam Card Stacking dalam film
BHD adalah :
1. Alasan Keterlibatan dalam perang, Terbagi menjadi Alasan
Perdamaian,
Alasan
Kemanusiaan,
Alasan
Memperoleh
kemenangan, dan Alasan Membantu Kelompok tertentu.
2. Kekerasan dan kekejaman dalam perang, seperti Membunuh,
Memukul, Menendang, dan Menyiksa (Tindak kekerasan hingga
melukai dan menimbulkan penderitaan secara fisik).
F.
Analisis Data
Data primer berasal adalah film Black Hawk Down dalam bentuk DVD
yang kemudian di breakdown menjadi bagian-bagian dan sub-bagian sesuai
dengan bagian-bagian yang menyusun sebuah film untuk memudahkan analisa.
Unsur naratif dam sinematik dalam film tersebut akan di transcript ulang dalam
bentuk tertulis. Setelah di breakdown, data yang ada kemudian akan dipilih untuk
dianalisa, dengan cara mengamati dan melakukan pencatatan terhadap adeganadegan, gambar, maupun data verbal, sesuai dengan kategori dan unit analisis
yang telah ditetapkan sebelumnya.
1.
Unsur Pembentuk Film
Sebuah film secara umum mempunyai dua unsur pembentuk utama yaitu
Unsur Naratif dan Unsur Sinematik. Unsur naratif adalah aspek-aspek yang
berhubungan dengan cerita atau tema film, sedangkan unsur sinematik adalah
27
aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Unsur naratif menurut Himawan
Pratista meliputi tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, serta lainnya, sedangkan
unsur sinematik meliputi Mise en scene, Sinematografi, Editing, dan
Suara(Pratista, 2008:1-2). Keduanya saling mendukung satu sama lainnya untuk
menghadirkan sebuah film yang utuh. Agar lebih jelas hubungan keduanya, dapat
dilihat dari bagan dibawah ini :
FILM
Unsur Naratif
Unsur Sinematik
Gambar 01.01. Hubungan Unsur pembentuk Film (Pratista, 2008:2)
Film BHD juga akan dipecah menjadi segmentasi berdasarkan unsur-unsur
fisiknya yaitu shot, scene (Adegan), dan sequence. Hal ini juga selain untuk
memudahkan deskripsi dan analisa, juga untuk melihat perkembangan plot sebuah
film secara sistematik. Hubungan antara shot, scene dan sequence dapat dilihat
dibawah ini :
Film
Sequence 1
Sequence 2
Scene 2
Scene 1
Scene 1
Sequence 3
Scene 2
Scene 1
Scene 2
Shot 1
Shot 1
Shot 1
Shot 1
Shot 1
Shot 1
Shot 2
Shot 2
Shot 2
Shot 2
Shot 2
Shot 2
Gambar 01.02. Diagram hubungan segmentasi dalam film
28
a. Shot
Shot adalah unsur terkecil dari film, mempunyai pengertian sebuah gambar
utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar lainnya, terlepas dari
berapa pun panjang durasinya. Shot dapat berdurasi kurang dari satu detik,
hingga beberapa jam (Pratista 2008:29).
b. Scene
Scene mempunyai pengertian sebuah segmen pendek dari keseluruhan
cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh
ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu scene terdiri dari
beberapa shot (Pratista, 2008:30).
c. Sequence
Sequence merupakan sebuah segmen besar yang memperlihatkan suatu
rangkaian peristiwa yang utuh, yang biasanya dikelompokan berdasarkan
dengan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang. Satu
sequence terdiri dari beberapa scene (Pratista, 2008:30)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya oleh bahwa bahwa unit visual atau
verbal yang akan diteliti (disebut dengan "teks") adalah teks yang mempunyai
makna dan terbingkai dalam satu medium dan genre yang terdapat dalam suatu
issue atau topik (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:15), maka data-data yang akan
diteliti dalam film Black Hawk Down adalah unit verbal maupun visual yang
memiliki makna dan terbingkai oleh masing-masing unit analisa dan kategori
yang telah ditetapkan sebelumnya. Satu hitungan data dari masing-masing unit
29
analisa ditentukan berdasarkan bingkai unit analisa dan kategori tersebut.
Operasionalisasinya adalah, dengan terlebih dahulu memahami unit analisa dan
kategori yang telah dibentuk, kemudian melakukan pengamatan terhadap film
Black Hawk Down secara per-sequence, kemudian makna-makna verbal dan
visual yang berada dalam bingkai pemahaman unit analisa dicatat frekuensi
kemunculannya ke dalam satu set lembar koding per-sequence (lihat lampiran
12). Makna verbal dan visual yang akan dikategorikan sebagai data berasal dari
unsur terkecil dari film yaitu shot yang mempunyai makna, baik shot tunggal
maupun rangkaian shot yang berkesinambungan tetapi belum membentuk sebuah
scene. Setelah melakukan pencatatan per-sequence, data yang ada dari tiap-tiap
sequence dan unit analisa kemudian digabung ke tiap-tiap kategori utamanya agar
diketahui temuan jumlah dari tiap-tiap kategori teknik propaganda hingga bisa
diketahui kecenderungan teknik propaganda yang ada dalam film Black Hawk
Down.
Untuk mengetahui kecenderungan propaganda yang terdapat dalam film
BHD, akan digunakan penggolongan teknik propaganda Institue of Propaganda
Analysis (IPA) yang mencakup 7 devices (kelompok) yang paling umum
digunakan seperti dijabarkan oleh Sastropoetro yaitu Name-calling, Glittering
Generalities, Transfer, Testimonials, Plain Folks, Card Stacking dan Bandwagon
.(Sastropoetro, 1988:172-144). Dalam penelitian ini, Teknik Testimonial dan
Bandwagon tidak disertakan karena kedua teknik berada diluar film Tersebut.
Teknik Testiomonial dan Bandwagon menggunakan pernyataan-pernyataaan,
ajakan, tindakan, dan lain sebagainya yang mendorong orang untuk menonton dan
30
mempercayai pesan-pesan dalam film BHD (seperti review dan iklan yang
melebih-lebihkan nilai-nilai dalam film BHD hingga orang-orang tertarik untuk
menontonnya, upaya untuk mengumpulkan massa dan membuat massa tersebut
menonton film BHD, dan lain-lain). Dalam penelitian ini, lima teknik propaganda
yang akan diteliti penggunaannya dalam film Black Hawk Down adalah Namecalling, Glittering Generalities, Transfer, Plain Folks, dan Card Stacking.
2.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas suatu penelitian ditentukan oleh hasil penelitian atau
memperoleh data yang relatif konsisten meskipun instrumen penelitian tersebut
digunakan berulang kali oleh peneliti yang sama diwaktu yang berbeda, atau oleh
peneliti lainnya (Kriyanto, 2008:141-142). Untuk menguji reliabilitas penelitian
ini, data yang diperoleh oleh peneliti akan diuji apakah relatif konsisten jika
dibandingkan dengan data yang diperoleh oleh dua orang pengkoding lain. Datadata tersebut akan dihitung kekuatan hubungannya menggunakan teknik uji
reliabilitas dengan menggunakan rumus Korelasi Pearson product moment
(Kriyanto, 2008: 144-145). Adapun rumus / teknik statistik Korelasi Pearson
product moment adalah sebagai berikut :
rxy =
rxy =
∑ xy
( ∑ x )( ∑ y
2
2
)
n∑ xy − (∑ x)(∑ y )
{n∑ x 2 − (∑ x) 2 }{n∑ y 2 − (∑ y ) 2 }
Gambar 01.03. Rumus Korelasi Pearson (Sugiyono, 1994 : 147)
31
Keterangan :
r
: Koefisien korelasi yang dicari
Σxy
: Jumlah total perkalian variabel x dan y
Σx
: Jumlah total nilai variabel x
Σy
: Jumlah total nilai variabel y
Σx²
: Jumlah total nilai variabel x pangkat dua (x.x)
Σy²
: Jumlah total nilai variabel y pangkat dua (y.y)
n
: Banyaknya sampel
(Sugiyono, 1994 : 147)
Rumus korelasi Pearson Product Moment, seperti dijelaskan oleh
Kriyanto, "...digunakan untuk mengukur koefisien korelasi atau derajat kekuatan
hubungan antara variabel/data/skala interval dengan interval lainnya" (Kriyanto,
2008:173). Dijelaskan lebih lanjut oleh Kriyanto, rumus atau teknik statistik ini
dapat digunakan tanpa melihat adanya ketergantungan antara variabel yang satu
dengan variabel lainnya (Kriyanto, 2008:173). Untuk mengetahui signifikansi
kekuatan hubungan antara data yang diperoleh peneliti dan dan data yang
diperoleh pengkoding, hasil perhitungan akan dibandingkan dengan tabel berikut
ini :
Tabel 1.1. Tabel Tingkat Kekuatan Hubungan Korelasi
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 - 0,199
Sangat Rendah
0,20 - 0,399
Rendah
0,40 - 0,599
Sedang
0,60 - 0,799
Kuat
0,80 - 1,000
Sangat Kuat
Sumber : Metode Penelitian Administrasi
(Sugiyono, 1994 : 149)
Untuk memperoleh tingkat reliabilitas yang tinggi, Philip Bell dalam Book
of Visual Analysis (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:13) menjelaskan perlunya
untuk mendefinisikan variabel penelitian dengan baik dan jelas, serta memastikan
bahwa seluruh koder/pengkoding mempunyai pemahaman yang sama terhadap
definisi-definisi tersebut.
Download