1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa runtuhnya Gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat pada tanggal 11 september 2001 atau yang dikenal dengan Black Tuesday tidak hanya mengejutkan bagi Amerika sendiri, tetapi juga seluruh dunia ikut terkejut dan mengutuk serangan yang menewaskan ribuan warga tersebut. Hampir seluruh media massa, tidak hanya di Amerika tetapi juga dunia, menempatkan peristiwa tersebut sebagai berita utama, mengalahkan isu-isu lokal maupun internasional lainnya yang terjadi selama rentang waktu sekurangkurangnya dua pekan pasca terjadinya tragedi tersebut (Hamm, 2006). Pemberitaan tersebut tidak hanya pemberitaan tentang dampak langsung dari serangan tersebut seperti kerusakan dan korban jiwa, tetapi juga dampak-dampak tidak langsung seperti dampak psikologis serangan tersebut terhadap warga Amerika. Pernyataan pertama oleh Presiden Amerika menanggapi kejadian ini seperti dilansir di website www.usinfo.state.gov yang diakses pada tanggal 9 september 2005 adalah bahwa “Amerika akan mengejar dan menghukum siapa saja yang bertanggung jawab terhadap aksi pengecut ini. Amerika sebagai negara besar telah diuji, dan kita tidak akan membuat kesalahan, kita akan tunjukan kepada dunia bahwa kita mampu melewati ujian ini”. Pernyataan Presiden Bush yang mengatakan Amerika akan mengejar dan menghukum siapa saja yang 2 bertanggung jawab terhadap serangan WTC seolah-olah menjadi sebuah perwakilan perasaan kemarahan Amerika dan warganya terhadap pelaku serangan yang kemudian di labeli “Teroris”. Terlepas dari kontroversi yang menyelubungi black Tuesday, Tidak lama setelah kejadian tersebut Pemerintah Amerika mengeluarkan pernyataan yang meyakini bahwa pelaku dari serangan ini adalah kelompok teroris Al-Qaida pimpinan Osama Bin Laden yang juga diyakini bersembunyi di Afganistan (Hamm, 2006). Aksi militer Amerika terkait dengan dalih “Perang melawan terorisme” seperti kita ketahui tidak berhenti hanya di Afganistan (dimulai 12 oktober 2001), tetapi berlanjut sampai dengan ke Irak (tahun 2003) dan masih berlanjut sampai saat ini. Sistem pemerintahan yang menganut sistem demokrasi membutuhkan dukungan dari publik dalam setiap keputusan yang diambilnya. Amerika sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, sangatlah penting bagi Pemerintah Amerika yang pada saat terjadinya serangan terhadap WTC dipimpin oleh Presiden George W. Bush untuk mendapatkan dukungan dari publik untuk mengejar dan menghukum pelakunya. Amerika Serikat tidak bisa serta merta menggunakan kekuatan militer (Use of Force) untuk operasi perang tanpa adanya dukungan dari kongres, sedangkan kongres sendiri merupakan wakil dari suara rakyat sehingga opini publik untuk mendukung penyerangan tersebut sangat dibutuhkan dan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan upaya-upaya untuk membentuk opini publik yang mendukung, salah satunya adalah dengan menggunakan media massa sebagai sarana image building pemerintahan Bush dalam mengambil tindakan untuk menggunakan kekuatan militernya dalam 3 mengejar dan menghukum para pelaku tragedi black Tuesday. Dengan menciptakan image yang baik dan/atau benar, maka Pemerintahan Bush akan lebih mudah untuk memenangkan legitimasi publik. Terkait dengan usaha mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas, diperlukan sebuah upaya propaganda menggunakan media massa. Jowet dan O'donnel dalam bukunya mengatakan bahwa "Propaganda dalam arti yang paling dasar berarti untuk mendukung atau diseminasi pemikiran-pemikiran tertentu" (Jowwet dan O'donnel, 2006:2). Jowet dan O’Donnell mendefinisikan propaganda sebagai "sebuah usaha yang terencana dan sistematik untuk mencoba membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengarahkan perilaku sesuai dengan keinginan pelaku propaganda (propagandis)" (Jowwet dan O'donnel, 2006:7). Film adalah salah satu bentuk dari media massa, dan juga sarana propaganda. Film lahir di akhir abad kesembilan belas, pada awalnya hanya bisa dinikmati secara orang-perorang dikarenakan keterbatasan teknologi, hingga akhirnya pada tahun 1895 seseorang berkebangsaan perancis, Louis Lumiere (1864-1948) memperkenalkan suatu alat "cinematograph" kepada 35 orang di Grand Cafe, Paris, dan ditahun yang sama kepada audiens yang lebih besar di Empire Music Hall, London. Sejarah mencatat untuk pertama kalinya, Lumiere menciptakan suatu audiens dan sebuah medium (Briggs dan Burke, 2002), dan sejak saat itu film turut berperan sebagai suatu sarana (medium) baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian lainnya kepada masyarakat umum. 4 Denis McQuail memberikan catatan bahwa bahwa sepanjang perjalanan perkembangan film, sejarah mencatat terdapat tiga tema besar yang penting, yaitu munculnya aliran-aliran seni film, lahirnya film dokumentasi sosial, dan pemanfaatan film sebagai media propaganda (McQuail,1991). McQuail juga mengatakan bahwa sebagai sebuah medium propaganda, film mempunyai jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat karena film mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya untuk memanipulasi kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas (McQuail,1991:14). Jowwet dan O'donnel dalam bukunya menyatakan bahwa "Film, melalui teknik-teknik, isi, karakter, realita yang dibentuknya dan cerita didalamnya mampu menggugah emosi audiens dengan cepat dan seketika, hal ini sangatlah jarang ditemukan di media lainnya" (Jowwet dan O'donnel, 2006:107). Penggunaan film sebagai medium Propaganda sendiri telah berlangsung sejak masa-masa awal munculnya teknologi ini. Film pertama yang diketahui merupakan film propaganda adalah film tentang Dreyfus affair di Perancis pada tahun 1896 (Jowwet dan O'donnel, 2006:). Propaganda sendiri tidak hanya terjadi disaat perang, propaganda sangat bisa terjadi di masa-masa damai, tetapi sejarah memang mencatat bahwa film propaganda paling banyak dibuat dan hadir disaatsaat perang maupun konflik. Pada saat perang dunia I maupun II, semua pihak yang terlibat menggunakan semua media untuk melakukan propagandanya termasuk film, contohnya adalah Film Propaganda Nazi Jerman Im Wald von Katyn (In The Forest of Katyn, 1943), film Hollywood Confessions Of a Nazi 5 Spies (1939), Battleship Potemkin yang dibuat oleh Soviet (1925), dan Hearts of the World (1918) buatan pemerintah Inggris. Di era setelah perang dunia II, perebutan pengaruh antara Uni Soviet dan Amerika, yang kita kenal sebagai Cold War atau “Perang Dingin” pun menghadirkan film-film propaganda seperti Top Gun (1986), I Was a Communist for the FBI (1951), dan lain-lain (Cull, Culbert dan Welch, 2003). Usaha-usaha untuk memanfaatkan film sebagai media propaganda untuk mempengaruhi opini publik sudah jamak dilakukan sejak masa perang Dunia pertama walaupun penggarapannya masih kasar dan gamblang. Sebagai contoh, adalah film Battle Cry of Peace (1915) dimana pada saat itu Amerika belum terlibat dalam perang tersebut. Film yang dimaksud, mampu membantu pembentukan opini publik Amerika yang tadinya tidak mau terlibat perang, menjadi publik yang mendorong pemerintahnya untuk terlibat dalam perang dunia pertama seperti dinyatakan oleh Jowwet dan O'donnel: ...but the most important of these propaganda efforts, aimed at molding public opinion in favor of the United States entering the war, was Battle Cry of Peace...(Jowwet dan O'donnel, 2006:109). Saat terjadinya perang Dunia pertama dan kedua, semua pihak yang terlibat menggunakan film sebagai salah satu medium propagandanya. Bahkan usahausaha propaganda yang dilakukan, termasuk melalui film, diatur dan dikoordinasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga yang didukung oleh pemerintahnya. Contohnya adalah British Ministry of Information atau MoI dan Political Warfare Executive atau PWE (Inggris), Office of War and Information atau OWI dan Committee on Public Opinion atau CPI atau yang lebih 6 dikenal dengan Creel Committee (Amerika), Reichsministerium für Volksaufklärung und Propaganda atau RMVP (Reich Ministry for Popular Enlightenment and Propaganda) dan Universium Film Aktiengesellschaft atau UFA (Jerman), Dewan Informasi Kabinet (Jepang), Commissar for foreign affairs (Rusia) , dan Ministry of Communication (Italy) (Cull, Culbert dan Welch, 2003). Pasca terjadinya peristiwa 9/11, muncul film-film yang baik langsung maupun tidak langsung, baik dari segi cerita, tema maupun nilai-nilai didalamnya, mempunyai kaitan dengan tragedi tersebut. Sebut saja film United 93 yang menceritakan tentang kisah nyata usaha penumpang pesawat United Airline flight 93 mengagalkan pembajakan pesawat oleh teroris yang akan menyerang Washington D.C. di hari yang sama dengan serangan ke WTC New York. Contoh lain adalah film The Kingdom, film Hollywood yang menceritakan usaha penyelidikan FBI terhadap serangan teroris di perkampungan Amerika di Arab Saudi. Semenjak serangan tersebut, film-film yang berbau patriotisme, heroisme dan perang melawan teroris menghiasi layar sinema dan televisi tidak hanya di Amerika, tetapi juga diseluruh Dunia. Hal ini tentu tidak mengherankan karena semenjak serangan tersebut, Rakyat Amerika berada dalam situasi emosi dan tindakan yang tidak menentu, kemarahan, ketakutan, kesedihan, tuntutan agar ada tindakan terhadap pelaku teror Black Tuesday, dan dampak-dampak fisik dan psikologis lainnya (Brockers, 2006). Hal ini juga sejalan dengan apa yang didengungkan oleh pemerintahan Bush, War On Terror. Hollywood sebagai pemimpin industri film Amerika dan Dunia, tentu saja tidak lepas dari trend media saat itu yang seakan-akan berlomba mengikuti 7 gelombang besar yang timbul akibat peristiwa 9/11. Salah satu film produksi studio Hollywood tersebut adalah Black Hawk Down yang rilis untuk screening terbatas pada 28 Desember 2001, dan rilis secara umum pada 18 Januari 2002. Film yang di produksi oleh Columbia Pictures ini disutradarai oleh Ridley Scott (Kingdom of Heaven, Gladiator, Alien, dll) dan produser Jerry Bruckheimer ( Top Gun, Crimson Tide, Pearl Harbour, dll) diangkat dari buku oleh Mark Bowden yang berdasarkan kisah nyata tentang Battle of Mogadishu, sebuah kisah penyerbuan tentara Amerika di Somalia untuk menangkap Muhammad Farrah Aidid di tahun 1993 (dilansir dari www.mooviees.com, tanggal akses 15 desember 2008). Seperti dilansir dari website www.the-numbers.com (tanggal akses 5 februari 2009), film ini meraih keuntungan kotor (gross) lebih dari $173,638,745 (hanya dari penjualan tiket), dan merajai puncak Box Office Amerika selama kurang lebih 3 bulan sejak premiere untuk publik pada tanggal 18 Januari 2002, dan mendapatkan 4 penghargaan film dari Academy Award, Golden Reel, dan Harry Award, serta 15 nominasi penghargaan dari Academy Award, AFI Film Award, MTV Movie Award, WGA Award, Teen Choice Award for Film, Golden Reel, Golden Trailer, dan DGA Award. Produksi film ini mendapat dukungan dari U.S. Departement of Defense (DOD), dan pada saat screening terbatas di Washington D.C. dihadiri oleh pejabat-pejabat militer dan negara Amerika antara lain Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, Panglima AD AS Gen. Tom White, dan lain-lain. (dilansir dari www.wsws.com, tanggal akses 15 desember 2008) 8 Film ini menarik untuk dikaji, karena selain genre yang diusungnya yaitu perang, juga tanggal rilis yang berdekatan dengan kejadian 9/11, dan juga keterlibatan pemerintah Amerika dalam produksi film tersebut. Menarik untuk dikaji apakah ada unsur-unsur propaganda dalam film tersebut dan jika ada, seperti apakah teknik-teknik propaganda dalam film Black Hawk Down. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan diteliti adalah Bagaimana propaganda Amerika dalam film Black Hawk Down terkait dengan tragedi 9/11. C. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan teknik-teknik dan isi propaganda dalam film Black Hawk Down. 2. Untuk mengetahui kecenderungan penggunaan teknik propaganda dalam film Black Hawk Down. D. Kerangka Konseptual Penelitian ini mengacu kepada buku "Propaganda And Persuasion" Jowwet dan O'donnel (2006) sebagai landasan teori, konsep-konsep, pengertian dan penjelasan tentang propaganda. Hal ini dikarenakan isi buku tersebut serta penjelasan tentang propaganda oleh Jowwet dan O'donnel adalah rangkuman dan pengembangan dari teori-teori propaganda terdahulu, dan terfokus kepada propaganda sebagai proses komunikasi (Jowwet dan O'donnel, 2006:1-48). Dalam 9 buku tersebut, Jowwet dan O'donnel juga dapat dengan jelas menarik perbedaan antara proses Propaganda dan Persuasi, serta menjabarkan dengan jelas contohcontoh aplikasi propaganda. Penelitian ini menempatkan film sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, oleh karena itu untuk memahami tentang konsep komunikasi massa dan film sebagai media massa maka penulis merujuk kepada buku "Teori Komunikasi Massa" oleh Denis McQuail yang telah diakui oleh dunia dan merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa komunikasi khususnya mahasiswa Fisip Komunikasi UAJY. Untuk memperkaya data dan pemahaman, penelitian ini juga menggunakan beberapa buku, teori, artikel, dan informasiinformasi lainnya yang terkait dengan objek penelitian ini. Komunikasi massa dijelaskan oleh McQuail sebagai proses komunikasi yang berlangsung pada tingkat masyarakat luas yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya (gabungan antara tujuan, organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya.) (McQuail, 1991). Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan dari media massa sendiri untuk membuat produksi massal dan jangkauan terhadap khalayak dalam jumlah yang besar dalam satu waktu yang bersamaan (McQuail, 1991). McQuail menjelaskan bahwa Film sebagai sebuah medium mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas merupakan salah satu kekuatan terbesarnya (McQuail,1991:14). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Jowwet dan O'donnel bahwa "Film, melalui teknik-teknik, isi, karakter, realita yang dibentuknya dan cerita didalamnya mampu menggugah 10 emosi audiens dengan cepat dan seketika, hal ini sangatlah jarang ditemukan di media lainnya" (Jowwet dan O'donnel, 2006:107). Seperti layaknya media masa lainnya, dalam sebuah film terdapat pesanpesan dan informasi, dan salah satu kekuatan utama dari film adalah pesan-pesan dalam sebuah film biasanya tersembunyi dibalik asumsi dasar bahwa film adalah suatu hiburan. Saat seseorang menonton film, kebanyakan dari mereka berharap untuk menyaksikan sebuah hiburan. Pesan-pesan propaganda sering bersembunyi dibalik hal ini, oleh karena itu, audiens sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang mendengarkan pesan-pesan propaganda (Jowwet dan O'Donnel, 2006). Propaganda dalam artian yang paling dasar mempunyai arti untuk mendukung atau diseminasi pemikiran-pemikiran tertentu. Haryatmoko menjelaskan bahwa "Propaganda dalam arti klasik dipahami sebagai sebuah wacana yang berusaha mengkonstruksi suatu kebenaran palsu dengan memproduksi fakta atau menyembunyikannya"(Haryatmoko, 2007). Jowet dan O’Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha yang terencana dan sistematik untuk mencoba membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengarahkan perilaku sesuai dengan keinginan pelaku propaganda (Jowwet dan O'donnel, 2006:7).“Terencana“ berarti setiap usaha propaganda selalu direncanakan jauh-jauh hari dengan cara mempelajari dan memilih strategi yang paling efektif terkait ideologi yang akan diusung serta mempertahankan posisi yang menguntungkan, sedangkan "sistematik" mempunyai arti tepat sasaran dan terorganisir. Membentuk persepsi biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa dan gambar, dan bagaimana seseorang menerimanya bergantung juga 11 terhadap psikologis, filosofi, dan pola pikir yang didasari oleh pengalaman individu dimasa lampau. Tujuan dari propaganda adalah untuk merubah atau memanipulasi persepsi, sikap dan perilaku, dengan menggunakan berbagai cara atau teknik, seperti dijelaskan oleh Jowett dan O’Donnell : To manipulate perceptions, attitudes, and behaviors, propagandists have attempted to use language, images, songs, parades, slogans, posters, symbols, and even architectural structures.(Jowett & O’Donnell, 2006: 8) "Persepsi" mempunyai pengertian proses pemahaman informasi dari dunia diluar individu, yang juga dipengaruhi faktor-faktor dari dalam individu yang dibentuk oleh keyakinan, nilai, sikap individu, peran dalam masyarakat, dan norma kelompok (Jowwet dan O'donnel, 2006). Pencapaian tujuan propaganda akan lebih efektif bila propagandis menggunakan dan mengkoordinir tidak hanya satu media tetapi media-media yang lain juga dan saling mendukung satu sama lainnya. Kaitan hal ini dengan film adalah dalam perkembanganya terutama setelah datang era televisi, film mengalami integrasi besar-besaran dengan media lainnya terutama dengan penerbit buku, musik populer, bahkan dengan televisi itu sendiri, dan menjadi sebuah sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun, bintang televisi dan film seri, lagu populer, dan lain sebagainya. Dengan demikian, film mampu berperan sebagai pembentuk budaya massa, dan juga sebagai sarana propaganda yang efektif (McQuail, 1991:14-15). 12 Berkaitan dengan film Black Hawk Down (BHD), menarik untuk dikaji apakah film ini mengandung pesan-pesan propaganda untuk membentuk persepsi dan mengarahkan opini publik Amerika mengingat genre yang diusungnya yaitu tentang perang, ceritanya yang berdasarkan kejadian nyata, latar belakang keadaan Amerika saat peluncuran film ini yang hanya berjarak kurang lebih 3 bulan paska serangan teroris ke gedung kembar WTC New York (peristiwa 9/11 atau Black Tuesday), dan keterlibatan pemerintah Amerika khususnya Departemen Pertahanan AS dalam pembuatan film tersebut. Terkait dengan opini publik, sebagai pemerintahan yang menganut sistem demokrasi sangatlah penting bagi pemerintah AS untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Suatu keputusan yang tidak didukung oleh rakyatnya akan menyebabkan legitimasi dari keputusan tersebut jatuh, dan pemerintahan yang bersangkutan akan kehilangan kredibilitasnya. Film Black Hawk Down diproduksi oleh Columbia Pictures, salah satu studio film utama dalam industri film Amerika. Industri film Amerika selalu diidentikan dengan Hollywood. Menurut kamus bahasa Merriam-Webster, "Hollywood" mempunyai dua arti, yang pertama adalah “Hollywood is a part of Los Angeles, California, where the American movie industry is based” , sedangkan arti yang kedua adalah “The American movie industry” (http://www.learnersdictionary.com/search/hollywood, tanggal akses 7 Februari 2010). Dengan kata lain, film Black Hawk Down termasuk dalam kategori “Film Hollywood”. 13 Pasca serangan WTC seperti dijabarkan dalam artikel oleh David Walsh pada situs www.wsws.org (http://www.wsws.org/articles/2001/nov2001/holln19.shtml, Tanggal akses 7 Februari 2010) Pemerintah Amerika mengadakan pertemuan dengan insan perfilman Hollywood (Lihat Lampiran 1). Pertemuan yang berlangsung selama 2 jam tersebut bertempat di Peninsula Hotel di Beverly Hills. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Karl Rove, Penasehat Politik utama George W. Bush, dan dihadiri oleh figur-figur paling berpengaruh di Industri perfilman Amerika seperti Sumner Redstone, pemimpin Viacom Inc ( Pemilik Paramount, CBS, dan UPN). Semua studio film besar dan Stasiun Televisi Amerika mengirim perwakilannya dalam pertemuan tersebut, seperti Warner Bros, Twentieth Century Fox, Columbia Pictures, Universal Studios, MetroGoldwyn-Mayer, DreamWorks SKG, ABC, NBC, CBS, Fox, UPN dan WB. Pertemuan tersebut mempunyai agenda untuk membahas “bagaimana Industri Perfilman dan Televisi bisa menyumbangkan perannya dalam Perang Melawan Teror (War on Terror)”. Dalam pertemuan tersebut, Karl Rove menekankan pada hal-hal berikut ini : 1. Perang yang dilakukan Amerika adalah perang melawan terorisme. 2. Membantu usaha Pemerintah Amerika untuk menggalang dukungan rakyat. 3. Tentara Amerika dan keluarganya perlu mendapat dukungan. 4. Serangan tanggal 11 September merupakan serangan global yang memerlukan respon global. 14 5. Kampanye (U.S. Campaign) yang dilaksanakan oleh Amerika adalah “Perang melawan Kejahatan” (War on Evil). 6. Pemerintah dan industri film dan penyiaran Amerika mempunyai tanggung jawab memastikan keselamatan anak-anak dan masa depannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat suatu hubungan antara pemerintah Amerika dan Hollywood untuk menyebarkan nilai-nilai sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah Amerika. Film Black Hawk Down sebagai salah satu film Hollywood paska tragedi 9/11 memiliki indikasi kuat sebagai media propaganda yang digunakan oleh Pemerintah Amerika terutama terkait dengan tragedi 9/11, salah satu bukti yang menguatkan hal ini terungkap saat salah satu aktor di film tersebut yaitu Brendan Sexton III berbicara di forum terbuka Universitas Columbia, Amerika seperti dilansir dari http://www.counterpunch.org/ (tanggal akses 24 Maret 2010). Di hadapan forum tersebut Brendan Sexton III menjabarkan bahwa setelah tragedi 9/11, naskah film Black Hawk Down (Yang pada saat itu telah memasuki tahap produksi) mengalami banyak perubahan atas permintaan Pentagon dan beberapa scene dihilangkan seperti scene yang mempertanyakan tentang alasan keterlibatan Amerika dalam perang di Somalia, efektifitas kehadiran militer Amerika di Somalia, dan mengapa hanya satu Warlord yaitu Jendral Mohammed Farah Aidid yang diincar oleh Amerika (http://www.counterpunch.org/wtcarchive.html tanggal akses 24 Maret 2010). Salah satu bukti perubahan naskah film BHD oleh Pentagon dijabarkan pula oleh wartawan New York Post Megan Turner dalam 15 artikelnya "War-film 'Hero' Is A Rapist" (NY Post, 12/18/01) yang menjabarkan bahwa Pentagon meminta agar beberapa bagian dalam film dirubah agar lebih sesuai dengan kondisi Amerika terkait peristiwa 9/11, contohnya adalah perubahan nama tentara Ranger "John Stebbins" karena menjadi "John Grimes" (diperankan oleh Ewan McGregor) karena John Stebbins di kehidupan nyata sedang menjalani hukuman 30 tahun penjara karena kasus perkosaan (http://www.ratical.org/ratville/JFK/JohnJudge/linkscopy/BlkHawkDown.html tanggal akses 25 Maret 2010). Akurasi informasi dalam film ini juga dipertanyakan, seperti diungkapkan oleh kritikus film dan pengamat politik Chris Tolkey dari The Daily Mail dalam wawancaranya dengan British Broadcasting Center (BBC) dia melihat bahwa Black Hawk Down sebagai sebuah film patriotik yang mempunyai potensi kuat untuk mempengaruhi audiens Amerika yang saat itu olehnya diibaratkan sedang berada dalam "intensely patriotic mood", walaupun banyak sekali informasi yang tidak akurat serta kebohongan dalam film tersebut dan cenderung menonjolkan satu sisi saja yaitu "...heroism of American soldiers underfire"(http://news.bbc.co.uk/hi/english/world/africa/newsid_1754000/175485 1.stm tanggal akses 24 Maret 2010). Hal-hal ini membuktikan terdapat suatu kerjasama pemerintah Amerika dengan Columbia Pictures yang memproduksi film Black Hawk Down untuk mengarahkan nilai-nilai dan pesan dalam film tersebut agar sesuai dengan tujuan pemerintah terutama terkait dengan peristiwa 9/11. George Monbiot, wartawan The Guardian keprihatinannya terhadap film ini dengan menyatakan : UK mengungkapkan 16 What we are witnessing in both Black Hawk Down and the current war against terrorism is the creation of a new myth of nationhood. America is casting itself simultaneously as the world's saviour and the world's victim; a sacrificial messiah, on a mission to deliver the world from evil. This myth contains incalculable dangers for everyone else on earth (http://www.monbiot.com/dsp_article.cfm?article_id=486 tanggal akses 25 Maret 2010) Untuk memahami sebuah propaganda, sangat penting untuk mengetahui tentang konteks dimana propaganda tersebut berlangsung seperti dinyatakan oleh Jowwet dan O'donnel bahwa : Successful propaganda relates to the prevailing moods of the times; therefore, it is essential to understand the climate of the times.(Jowwet dan O'donnel, 2006:272) Memahami tentang keadaan saat propaganda tersebut dilaksanakan oleh propagandis sangatlah penting, karena suatu Propaganda akan lebih menuai keberhasilan bila disesuaikan dengan keadaan (mood) saat propaganda tersebut dilancarkan, oleh karenanya sangatlah penting untuk memahami keadaan atau iklim sosial dan latar belakang sejarah yang berkaitan dengan propaganda tersebut (Jowwet dan O'donnel, 2006:272-273). Propaganda pada dasarnya bersifat persuasif, tetapi kegiatan propaganda berbeda dengan kegiatan persuasi. Perbedaan utamanya adalah proses persuasi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman bersama (mutual understanding), sedangkan propaganda bertujuan untuk menanamkan tujuan-tujuan untuk 17 kepentingan satu pihak saja yaitu pihak propagandis. Oleh karena itu, propagandis akan berusaha untuk mengendalikan pesan dan arus informasi serta mengatur opini publik tertentu dengan cara membentuk persepsi melalui strategi komunikasi dan informasi menggunakan teknik-teknik propaganda (Jowwet dan O'donnel, 2006:44). Sastropoetro dalam bukunya menjabarkan bahwa berdasarkan penggolongan Institue of Propaganda Analysis (IPA) mengenai teknik-teknik propaganda, terdapat 7 devices (kelompok) yang paling umum digunakan yaitu: 1. Name-calling Pemberian julukan atau sebutan dalam arti yang buruk dengan maksud menurunkan derajat nama seseorang atau prestise suatu ide di muka umum. 2. Glittering Generalities Teknik dimana pihak propagandis mengidentifikasikan dirinya dan menonjolkan gagasannya dengan segala sesuatu yang serba luhur dan agung. 3. Testimonials Teknik yang menggunakan nama orang atau kelompok terkemuka yang mempunyai otoritas dan prestise sosial tinggi dalam menyodorkan atau meyakinkan suatu hal dengan jalan mengeluarkan pernyataan. 4. Transfer Ciri-ciri kegiatan propaganda yang menggunakan teknik pemakaian pengaruh dari tokoh atau pihak atau suatu hal yang memiliki wibawa atau 18 pengaruh di lingkungan tertentu, dengan maksud menarik keuntungankeuntungan psikologis dari pengaruh tersebut. 5. Plain Folks Teknik propaganda dengan jalan memberi identifikasi terhadap ide, calon pemilih, atau hal apa pun yang dipropagandakan sebagai milik rakyat atau demi kepentingan bersama. 6. Card Stacking Teknik propaganda dengan jalan menonjolkan hal-hal yang dianggap baik saja atau sesuai dengan keinginan propagandis, sehingga hanya satu sisi saja yang ditonjolkan dan kelihatan. 7. Bandwagon Dilakukan dengan cara membesar-besarkan suatu hal, biasanya kesuksesan dan keberhasilan yang telah dicapai, dengan tujuan untuk menarik simpatisan yang lebih banyak lagi.(Sastropoetro, 1988:172-144) Berdasarkan sumber dan akurasi dari informasi didalamnya, Jowwet dan O'donnel menjabarkan bahwa pesan propaganda dibagi menjadi 3 bentuk yaitu : 1. Propaganda Putih (White Propaganda) Bila sumber informasi dapat di identifikasikan dengan benar, dan informasi dalam pesan-pesannya cenderung akurat. 19 2. Propaganda Hitam (Black Propaganda) Bila sumber informasi cenderung ditutup-tutupi, tersamar, atau diketahui menyebarkan kebohongan, terdapat fabrikasi (rekayasa) informasi, dan pengelabuan. 3. Propaganda Abu-abu (Grey Propaganda) Propaganda Abu-abu berada diantara propaganda putih dan hitam. Sumber informasi bisa saja atau tidak bisa diidentifikasikan dengan benar, dan akurasi informasinya tidak dapat ditentukan kebenaran maupun kebohongannya (Jowwet dan O'Donnel, 2006:16-20). E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian analisis isi deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang topik yang akan diangkat berdasarkan data-data yang diperoleh untuk mendukung penelitian ini. Penelitian ini bersifat kuntitatif karena melibatkan perhitungan-perhitungan angka. Dalam buku Book of visual Analysis (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:13), Philip Bell menjelaskan bahwa : Content analysis is an empirical (observational) and objective procedure for quantifying recorded 'audio-visual' (including verbal) representation using reliable, explicitly defined categories ('values' on independent 'variables'). Lebih lanjut, Philip Bell menjelaskan bahwa unit visual atau verbal yang akan diteliti, atau yang disebut dengan "teks", adalah obyek penelitian dari analisis isi. 20 Teks yang akan diteliti adalah teks yang mempunyai makna dan terbingkai dalam satu medium dan genre yang terdapat dalam suatu issue atau topik (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:15) 2. Objek Penelitian Penelitian ini menentukan objek penelitian pada Propaganda Amerika dalam Film Black Hawk Down. Penulis berusaha untuk melihat kecenderungan penggunaan teknik propaganda dalam film tersebut. Operasionalisasi dari penelitian ini adalah dengan membuat konstruksi kategori-kategori yang akan diteliti, dan kemudian dibuat unit analisisnya untuk diukur dan dianalisa kecenderungan-kecenderungan teknik propaganda dalam film Black Hawk Down tersebut. Dengan demikian, unit analisa dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut : 21 Kategori Name Calling Unit Analisis Pemberian Julukan Negatif Kata-kata Ejekan Heroisme Glittering Generalities Tindak Kesetiakawanan Kata-kata Kebajikan (Virtue) Simbol Negara / Organisasi Transfer Simbol Agama Kepribadian yang baik Plain Folks Aktifitas diluar peperangan Alasan keterlibatan dalam perang Card Stacking Kekerasan dalam perang Berdasarkan fisik Berdasarkan afiliasi/kelompok Berkaitan Dengan Kebodohan Bermakna kasar/ofensif Pengorbanan Untuk kepentingan bersama / orang lain Keberanian ditengah peperangan Tidak meninggalkan teman Menolong teman Aspek Demokrasi Aspek kepahlawanan Aspek Perubahan yang lebih baik Bendera Negara / Organisasi Lambang Negara / Organisasi Lambang unit ketentaraan. Nama Tuhan Ritual Agama Nama Agama Perhatian terhadap Keluarga Simpati terhadap penderitaan / kesusahan orang lain Bermain / Bersenda-gurau Menonton TV Membaca Koran Beristirahat / santai Mencari nafkah Alasan perdamaian Alasan Kemanusiaan Alasan Memperoleh Kekuasaan Alasan Membela Negara Alasan Membantu Kelompok lain Membunuh Memukul Menendang Menyiksa 22 3. Definisi Operasional a. Name Calling Name Calling adalah penggunaan kata ganti untuk orang, ide, atau suatu hal tertentu, sehingga menjadi berkonotasi negatif. Tujuannya sendiri menurut Sastropoetro (1988:172-144) biasanya untuk menjatuhkan derajat seseorang atau prestise suatu ide di muka umum. Dalam film Black Hawk Down, dibagi menjadi dua yaitu : 1. Pemberian Julukan Negatif, yaitu memberikan kata ganti terhadap orang, kelompok atau bangsa lain, dengan maksud merendahkan atau melecehkan. Pemberian julukan ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu pemberian julukan berdasarkan fisik atau penampilan, dan pemberian julukan berdasarkan keterkaitan atau afiliasinya Contoh dalam film BHD misalnya pemberian julukan Skinnies oleh Amerika kepada orang somalia karena fisik orang somalia yang rata-rata kurus. 2. Kata-kata ejekan, adalah kata-kata bermakna kasar yang ditujukan kepada orang lain. Dalam film BHD, terdapat dua jenis kata ejekan yaitu berkaitan dengan kebodohan seseorang atau kelompok (misalkan, Idiot), dan kata-kata bermakna kasar/ofensif (seperti Ass hole, yang memiliki makna menyamakan seseorang atau sesuatu dengan lubang anus). 23 b. Glittering Generalities Glitering Generalities adalah kebalikan dari Name Calling, yaitu pihak propagandis mengidentifikasikan diri dan menonjolkan gagasannya dengan segala sesuatu yang serba luhur dan agung (Sastropoetro, 1988). Sebagai contoh, Jowett dan O’Donnel (Jowwet dan O'donnel, 2006) menjelaskan bahwa saat seseorang berbicara kepada kita tentang "demokrasi", hal pertama yang kita pikirkan adalah hal-hal tentang demokrasi yang kita pelajari di sekolah, di rumah, di masyarakat, dan lainnya. Kita beranggapan bahwa orang tersebut sepaham dengan kita, dan dia percaya kepada pentingnya arti demokrasi. Hal ini membuat kita lebih percaya dan tidak curiga, dan memuluskan orang tersebut untuk menanamkan nilai-nilai yang ingin dia tanamkan. Dalam film BHD, yang termasuk dalam hal ini dibagi 3 yaitu : 1. Heroisme, yaitu adegan yang terdapat aksi pengorbanan untuk kepentingan bersama/orang lain dan keberanian ditengah peperangan. 2. Kesetia-kawanan, yaitu adegan dan dialog yang menunjukan tidak meninggalkan teman, dan menolong temannya. 3. Kata-kata kebajikan (virtue words) yang termasuk dalam aspek Demokrasi, aspek Kepahlawanan, dan aspek Perubahan yang lebih baik 24 c. Transfer Transfer, adalah pemakaian pengaruh dan asosiasi dari tokoh, pihak atau hal tertentu yang memiliki wibawa dan pengaruh di lingkungan tertentu, dengan maksud menarik keuntungan-keuntungan psikologis dari pengaruh tersebut. Misalkan, “Berjuang membela yang benar”, “Demi kesatuan negara”, atau mengasosiasikan suatu kegiatan baik/buruk dengan ajaran agama tertentu, hingga semua hal yang mempunyai hubungan dengan ajaran tersebut akan dinilai baik/buruk pula. Transfer dalam film BHD dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Simbol-simbol Negara / organisasi seperti Bendera Negara / Organisasi, Lambang Negara / Organisasi, dan Lambang unit ketentaraan. Untuk Lambang Negara yang melekat pada seragam, yang dihitung adalah yang ditampilkan secara jelas dan dominan, gambar cenderung statis, digambarkan dengan Medium hingga Close up Shot, dan/atau menempati area gambar utama sesuai dengan aturan komposisi “Rule of thirds” yaitu membagi area gambar menjadi 3 area yang sama secara vertikal maupun horizontal (Pratista, 2008:115). 2. Simbol-simbol Agama seperti Nama Tuhan, ritual agama, dan nama agama. 25 d. Plain Folks Plain Folks menekankan bahwa seseorang atau suatu ide, tidak berbeda dengan orang kebanyakan atau masyarakat pada umumnya. Contohnya adalah, kandidat Presiden Indonesia kebanyakan mempunyai background ekonomi yang kuat, tetapi mereka sering menampilkan diri secara sederhana seperti mengkonsumsi nasi bungkus, menanam padi di sawah, dan hal-hal lainnya yang biasa dilakukan oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Dalam film BHD, hal ini dibagi menjadi dua yaitu : 1. Kepribadian yang baik, yaitu Perhatian terhadap keluarga dan simpati terhadap penderitaan/kesusahan orang lain. 2. Aktifitas diluar peperangan, yaitu aktifitas diluar pertempuran melawan musuh, seperti Bermain / Bersenda-gurau, Menonton TV, Membaca Koran, dan Mencari nafkah. e. Card Stacking Card Stacking adalah menyeleksi dan menampilkan informasi, gambaran atau pesan secara selektif, dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tersebut menurut Jowwett dan O’Donnel, adalah “to give the best or worst possible case for an idea, program, person, or product” (Jowwet dan O'Donnel, 2006:227). Sebagai contoh, dalam suatu film perang, musuh digambarkan sebagai orang-orang kejam yang melakukan tindak kekerasan dan tidak kenal belas kasihan, sehingga tindak kekerasan yang dilakukan tokoh baik (good guys) dibenarkan karena melawan orang-orang 26 kejam, atau membela diri. Yang termasuk dalam Card Stacking dalam film BHD adalah : 1. Alasan Keterlibatan dalam perang, Terbagi menjadi Alasan Perdamaian, Alasan Kemanusiaan, Alasan Memperoleh kemenangan, dan Alasan Membantu Kelompok tertentu. 2. Kekerasan dan kekejaman dalam perang, seperti Membunuh, Memukul, Menendang, dan Menyiksa (Tindak kekerasan hingga melukai dan menimbulkan penderitaan secara fisik). F. Analisis Data Data primer berasal adalah film Black Hawk Down dalam bentuk DVD yang kemudian di breakdown menjadi bagian-bagian dan sub-bagian sesuai dengan bagian-bagian yang menyusun sebuah film untuk memudahkan analisa. Unsur naratif dam sinematik dalam film tersebut akan di transcript ulang dalam bentuk tertulis. Setelah di breakdown, data yang ada kemudian akan dipilih untuk dianalisa, dengan cara mengamati dan melakukan pencatatan terhadap adeganadegan, gambar, maupun data verbal, sesuai dengan kategori dan unit analisis yang telah ditetapkan sebelumnya. 1. Unsur Pembentuk Film Sebuah film secara umum mempunyai dua unsur pembentuk utama yaitu Unsur Naratif dan Unsur Sinematik. Unsur naratif adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan cerita atau tema film, sedangkan unsur sinematik adalah 27 aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Unsur naratif menurut Himawan Pratista meliputi tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, serta lainnya, sedangkan unsur sinematik meliputi Mise en scene, Sinematografi, Editing, dan Suara(Pratista, 2008:1-2). Keduanya saling mendukung satu sama lainnya untuk menghadirkan sebuah film yang utuh. Agar lebih jelas hubungan keduanya, dapat dilihat dari bagan dibawah ini : FILM Unsur Naratif Unsur Sinematik Gambar 01.01. Hubungan Unsur pembentuk Film (Pratista, 2008:2) Film BHD juga akan dipecah menjadi segmentasi berdasarkan unsur-unsur fisiknya yaitu shot, scene (Adegan), dan sequence. Hal ini juga selain untuk memudahkan deskripsi dan analisa, juga untuk melihat perkembangan plot sebuah film secara sistematik. Hubungan antara shot, scene dan sequence dapat dilihat dibawah ini : Film Sequence 1 Sequence 2 Scene 2 Scene 1 Scene 1 Sequence 3 Scene 2 Scene 1 Scene 2 Shot 1 Shot 1 Shot 1 Shot 1 Shot 1 Shot 1 Shot 2 Shot 2 Shot 2 Shot 2 Shot 2 Shot 2 Gambar 01.02. Diagram hubungan segmentasi dalam film 28 a. Shot Shot adalah unsur terkecil dari film, mempunyai pengertian sebuah gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar lainnya, terlepas dari berapa pun panjang durasinya. Shot dapat berdurasi kurang dari satu detik, hingga beberapa jam (Pratista 2008:29). b. Scene Scene mempunyai pengertian sebuah segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu scene terdiri dari beberapa shot (Pratista, 2008:30). c. Sequence Sequence merupakan sebuah segmen besar yang memperlihatkan suatu rangkaian peristiwa yang utuh, yang biasanya dikelompokan berdasarkan dengan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang. Satu sequence terdiri dari beberapa scene (Pratista, 2008:30) Seperti telah dijelaskan sebelumnya oleh bahwa bahwa unit visual atau verbal yang akan diteliti (disebut dengan "teks") adalah teks yang mempunyai makna dan terbingkai dalam satu medium dan genre yang terdapat dalam suatu issue atau topik (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:15), maka data-data yang akan diteliti dalam film Black Hawk Down adalah unit verbal maupun visual yang memiliki makna dan terbingkai oleh masing-masing unit analisa dan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Satu hitungan data dari masing-masing unit 29 analisa ditentukan berdasarkan bingkai unit analisa dan kategori tersebut. Operasionalisasinya adalah, dengan terlebih dahulu memahami unit analisa dan kategori yang telah dibentuk, kemudian melakukan pengamatan terhadap film Black Hawk Down secara per-sequence, kemudian makna-makna verbal dan visual yang berada dalam bingkai pemahaman unit analisa dicatat frekuensi kemunculannya ke dalam satu set lembar koding per-sequence (lihat lampiran 12). Makna verbal dan visual yang akan dikategorikan sebagai data berasal dari unsur terkecil dari film yaitu shot yang mempunyai makna, baik shot tunggal maupun rangkaian shot yang berkesinambungan tetapi belum membentuk sebuah scene. Setelah melakukan pencatatan per-sequence, data yang ada dari tiap-tiap sequence dan unit analisa kemudian digabung ke tiap-tiap kategori utamanya agar diketahui temuan jumlah dari tiap-tiap kategori teknik propaganda hingga bisa diketahui kecenderungan teknik propaganda yang ada dalam film Black Hawk Down. Untuk mengetahui kecenderungan propaganda yang terdapat dalam film BHD, akan digunakan penggolongan teknik propaganda Institue of Propaganda Analysis (IPA) yang mencakup 7 devices (kelompok) yang paling umum digunakan seperti dijabarkan oleh Sastropoetro yaitu Name-calling, Glittering Generalities, Transfer, Testimonials, Plain Folks, Card Stacking dan Bandwagon .(Sastropoetro, 1988:172-144). Dalam penelitian ini, Teknik Testimonial dan Bandwagon tidak disertakan karena kedua teknik berada diluar film Tersebut. Teknik Testiomonial dan Bandwagon menggunakan pernyataan-pernyataaan, ajakan, tindakan, dan lain sebagainya yang mendorong orang untuk menonton dan 30 mempercayai pesan-pesan dalam film BHD (seperti review dan iklan yang melebih-lebihkan nilai-nilai dalam film BHD hingga orang-orang tertarik untuk menontonnya, upaya untuk mengumpulkan massa dan membuat massa tersebut menonton film BHD, dan lain-lain). Dalam penelitian ini, lima teknik propaganda yang akan diteliti penggunaannya dalam film Black Hawk Down adalah Namecalling, Glittering Generalities, Transfer, Plain Folks, dan Card Stacking. 2. Uji Reliabilitas Reliabilitas suatu penelitian ditentukan oleh hasil penelitian atau memperoleh data yang relatif konsisten meskipun instrumen penelitian tersebut digunakan berulang kali oleh peneliti yang sama diwaktu yang berbeda, atau oleh peneliti lainnya (Kriyanto, 2008:141-142). Untuk menguji reliabilitas penelitian ini, data yang diperoleh oleh peneliti akan diuji apakah relatif konsisten jika dibandingkan dengan data yang diperoleh oleh dua orang pengkoding lain. Datadata tersebut akan dihitung kekuatan hubungannya menggunakan teknik uji reliabilitas dengan menggunakan rumus Korelasi Pearson product moment (Kriyanto, 2008: 144-145). Adapun rumus / teknik statistik Korelasi Pearson product moment adalah sebagai berikut : rxy = rxy = ∑ xy ( ∑ x )( ∑ y 2 2 ) n∑ xy − (∑ x)(∑ y ) {n∑ x 2 − (∑ x) 2 }{n∑ y 2 − (∑ y ) 2 } Gambar 01.03. Rumus Korelasi Pearson (Sugiyono, 1994 : 147) 31 Keterangan : r : Koefisien korelasi yang dicari Σxy : Jumlah total perkalian variabel x dan y Σx : Jumlah total nilai variabel x Σy : Jumlah total nilai variabel y Σx² : Jumlah total nilai variabel x pangkat dua (x.x) Σy² : Jumlah total nilai variabel y pangkat dua (y.y) n : Banyaknya sampel (Sugiyono, 1994 : 147) Rumus korelasi Pearson Product Moment, seperti dijelaskan oleh Kriyanto, "...digunakan untuk mengukur koefisien korelasi atau derajat kekuatan hubungan antara variabel/data/skala interval dengan interval lainnya" (Kriyanto, 2008:173). Dijelaskan lebih lanjut oleh Kriyanto, rumus atau teknik statistik ini dapat digunakan tanpa melihat adanya ketergantungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya (Kriyanto, 2008:173). Untuk mengetahui signifikansi kekuatan hubungan antara data yang diperoleh peneliti dan dan data yang diperoleh pengkoding, hasil perhitungan akan dibandingkan dengan tabel berikut ini : Tabel 1.1. Tabel Tingkat Kekuatan Hubungan Korelasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 - 0,199 Sangat Rendah 0,20 - 0,399 Rendah 0,40 - 0,599 Sedang 0,60 - 0,799 Kuat 0,80 - 1,000 Sangat Kuat Sumber : Metode Penelitian Administrasi (Sugiyono, 1994 : 149) Untuk memperoleh tingkat reliabilitas yang tinggi, Philip Bell dalam Book of Visual Analysis (Van Leeuwen dan Jewitt, 2001:13) menjelaskan perlunya untuk mendefinisikan variabel penelitian dengan baik dan jelas, serta memastikan bahwa seluruh koder/pengkoding mempunyai pemahaman yang sama terhadap definisi-definisi tersebut.