Variabilitas Ozon dan Bahan perusak Ozon (BPO) di Indonesia

advertisement
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Variabilitas Ozon dan Bahan perusak Ozon (BPO) di Indonesia Berbasis
Data MLS-AURA
Ninong Komala1,*) dan Novita Ambarsari1
1
*)
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
E-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK-Penelitian profil dan karakter ozon serta Bahan Perusak Ozon (BPO) di Indonesia merupakan kegiatan
penelitian berbasis data satelit. Tujuan dari penelitian adalah untuk memperoleh karakteristik ozon dan BPO di
Indonesia serta kontribusi BPO terhadap variabilitas ozon. Dengan melakukan inventori data BPO berbasis data satelit,
menganalisis pola tahunan, musiman serta melakukan analisis kontribusi dan keterkaitan perubahan BPO terhadap
kondisi ozon. Hasil yang diperoleh berupa karakteristik ozon dan BPO di Indonesia, prosentase kontribusi BPO
terhadap variabilitas ozon serta kontribusi BPO terhadap variabilitas ozon di Indonesia dalam beberapa level ketinggian.
Dengan menggunakan data sensor Microwave Limb Sounders (MLS) satelit AURA tahun 2005 sampai dengan 2013
telah diperoleh karakteristik profil vertikal bulanan ozon, dan BPO di Indonesia. BPO yang diteliti adalah ClO dan
BrO. Puncak profil vertikal ozon terjadi pada tekanan 10 hPa atau ketinggian 25,9 km. Puncak profil ClO terjadi pada
tekanan 2 hPa atau ketinggian 30,6 km dan BrO mencapai puncak pada tekanan 14 hPa atau ketinggian 24,5 km. ClO
dan BrO yang mencapai konsentrasi maksimum di ketinggian lapisan stratosfer berpotensi bereaksi merusak molekul
ozon di stratosfer. Variasi temporal ozon dan BPO menunjukkan ada indikasi penurunan konsentrasi ozon saat BPO
meningkat (khususnya ClO dan BrO). Regresi linier ozon dengan BPO menunjukkan koefisien korelasi negatif yang
mengartikan terdapat hubungan yang kuat antara penurunan konsentrasi ozon dengan peningkatan BrO pada tekanan 14
hPa saat BrO mencapai puncak. Begitu juga untuk ClO yang menunjukkan korelasi negatif dengan penurunan
konsentrasi ozon pada 2 hPa. Kontribusi ClO terhadap penurunan ozon di Indonesia terjadi bila terjadi peningkatan0.01
ppb ClO maka akan menurunkan ozon sebesar 0.00583 ppm (5.83 ppb). Sedangkan setiap peningkatan 0.01 ppb
BrO akan menurunkan 0.03 ppb ozon.
Kata kunci :BPO, BrO, ClO, MLS-AURA, ozon
ABSTRACT- Research and characterizing profiles of ozone and Ozone Depleting Substances (ODS) in Indonesia is a
satellite data-based research activities. The aim of the study was to obtain the characteristics of ozone and ODS in
Indonesia as well as the contribution of ODS to the variability of ozone. By performing a data inventory of ODS-based
satellite data, analyze the pattern of annual, seasonal and perform linkage analysis of the contribution of BPO changes
to the conditions of ozone. Results obtained in the form of ozone characteristics and ODS in Indonesia, the percentage
of ODS contribution to the variability of ozone also ODS contribution to the variability of ozone in Indonesia in several
levels of height. By using Microwave Limb Sounders (MLS) AURA satellite data in the period of 2005 to 2013
characteristics of monthly vertical profiles of ozone and ODS in Indonesia has been obtained. ODS studied were ClO
and BrO. Peak of vertical profiles of ozone occurs at a pressure of 10 hPa or altitude of 25.9 km. ClO peak occurs at a
pressure of 2.1 hPa or altitude of 30.6 km and BrO reached the peak at 14 hPa or altitude of 24.5 km. When ClO and
BrO reaching a maximum concentration at stratosphere then ozone molecules potentially damaging or decrease in the
stratosphere. Temporal variations of ozone showed decrease when ODS concentrations increased (particularly ClO
and BrO). Linear regression of ozone with ODS ozone showed a negative correlation coefficient which indicates there
is a strong relationship between ozone concentrations decline with an increase in pressure of 14 hPa when BrO reach
the maximum. Likewise for ClO which also showed a negative correlation with the decrease in ozone concentration.
ClO contribution to the decreasing of ozone in Indonesia was marked by every addition of 0.01 ppb ClO will reduce
ozone of 0.00583 ppm (5.83 ppb). While any increase of 0.01 ppb of BrO will decrease 0.03 ppb of ozone.
Keywords:BrO, ClO, MLS-AURA, ODS, ozone
1.
PENDAHULUAN
Ozon di stratosfer secara global telah mengalami penurunan sejak sekitar 25 tahun yang lalu. Untuk
wilayah lintang menengah, karakteristik ozon secara vertikal, latitudinal, maupun musiman telah
menunjukkan adanya perubahan yang sesuai dengan pengetahuan bahwa halogen menjadi penyebab utama
dari fenomena ini. Proses penguraian ozon di stratosfer bawah dikatalisis oleh reaksi dengan BrO, ClO, HO2 ,
dan N2O (Vogel et al., 2005).
- 696 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
CFC dan BPO lainnya yang dilepaskan ke udara terus naik hingga mencapai stratosfer kemudian terurai
oleh sinar UV menghasilkan atom klor dan brom yang merusak ozon. Saat musim dingin temperatur di
antartika sangat rendah menyebabkan terbentuknya awan-awan di kutub yang mengandung BPO terus
terakumulasi karena kurangnya sinar matahari membuat BPO sulit terurai. Saat awal musim semi, kehadiran
sinar matahari membuat BPO terurai secara besarbesaran menghasilkan atom klor dan brom dalam jumlah
sangat besar mengakibatkan jumlah molekul ozon yang terurai berkali-kali lipat lebih besar daripada molekul
ozon yang terbentuk sehingga terjadilah lubang ozon. Berdasarkan penelitian para ahli diketahui bahwa satu
atom Cl dapat menguraikan sampai 100.000 senyawa ozon dan bertahan sampai 50 tahun di atmosfer. Reaksi
penguraian molekul ozon oleh klorin dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut (Igor, 2005; Ambarsari et
al., 2011).
Klorin monooksida (ClO) merupakan bentuk yang paling banyak dari senyawa klorin yang reaktif di
stratosfer sehingga senyawa ini merupakan agen utama dalam reaksi penguraian ozon di stratosfer
berkatalisis klorin. Sumber utama klorin di stratosfer adalah CFC (Chloro Fluoro Carbon), merupakan
senyawa kimia yang tersusun dari klor, fluor, dan karbon yang diemisikan oleh aktivitas manusia di
permukaan bumi. Setelah senyawa ini mencapai stratosfer atas (terutama akibat proses naiknya udara di
wilayah tropis), CFC terurai oleh radiasi UV dengan energi tinggi menghasilkan klorin.
Bromin monoksida (BrO) berperan penting dalam reaksi kimia ozon karena bersifat sebagai bahan yang
mempercepat reaksi perusakan ozon di atmosfer sesuai reaksi berikut (Theys, 2004):
Br + O3→ BrO + O2 (1)
BrO + O → Br + O2 (2)
Konsentrasi BrO di atmosfer didominasi oleh emisi antropogenik (terutama Halon yang memiliki waktu
hidup di atmosfer cukup lama untuk dapat ditransport hingga stratosfer).Walaupun konsentrasi senyawa
Bromin di atmosfer cenderung sedikit dibandingkan dengan senyawa klorin, tetapi senyawa Bromin
memiliki efisiensi perusakan ozon menjadikan bromine di stratosfer berkontribusi sebesar 25 % terhadap
penipisan ozon di lintang tengah dan 50 % terhadap penipisan ozon di Kutub (Theys, 2009). Sumber utama
Bromin monoksida dan senyawa bromine lainnya di atmosfer berasal dari alam maupun antropogenik.
Kontribusi terbesar terhadap jumlah senyawa bromine di stratosfer adalah senyawa organik gas yang
mengandung bromine mengalami transport dari permukaan Bumi hingga ke stratosfer (Theys, 2009).
Temperatur merupakan kunci utama dalam kesetimbangan radiatif di atmosfer. Temperatur pada tekanan
tertentu menentukan kerapatan dan dinamika di seluruh skala juga menentukan kecepatan reaksi kimia dan
proses transfer radiatif di atmosfer (Schwartz, 2010). Profil temperatur vertikal di atmosfer bumi secara
global berkaitan dengan radiasi, konveksi, dan proses pemanasan dinamika antara permukaan bumi dengan
sistem atmosfer (Ramaswamy et al., 2006).
Ambarsari N et al., (2011), telah melakukan Inventori data BPO dan senyawa kimia lainnya yang
berpotensi merusak lapisan ozon Indonesia hasil observasi satelit AURA dan UARS.
Komala et al. (2013), prosentase pengaruh SO2 (dari letusan gunung berapi = non BPO) terhadap perubahan
komposisi kimia di atmosfer yaitu Ozon berkurang ~ 20 DU ( ~8 %) dan peningkatan CO2 ~ 2 ppm (~
0.54 %) . Keterkaitan antara ozon dengan SO2 berupa adanya penurunan ozon setelah 2 – 3 bulan peristiwa
letusan gunung berapi terjadi.
Observasi satelit AURA untuk mendeteksi ozon, senyawa kimia lainnya di atmosfer atas
dan temperatur bisa dilakukan oleh instrumen Microwave Limb Sounders (MLS).. Microwave
Limb Sounder (MLS) merupakan bagian dari Earth Observing System (EOS) yang dilakukan oleh
NASA dan dipasang pada Satelit AURA. EOS MLS mengukur emisi termal dari pita spektrum
yang luas terpusat pada 118, 190, 240, 640 and 2250 GHz yang diukur kontinyu (24 jam sehari)
dengan 7 penerima gelombang mikro. MLS mengukur profil vertikal ozon dan komponen atmosfer
lainnya dengan lebih akurat hingga ke lapisan stratosfer bawah. MLS/AURA memiliki resolusi
vertikal mendekati 3 km di stratosfer dengan resolusi horisontal 200 km
(http://mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php). Resolusi horisontal ini menghasilkan cakupan wilayah
- 697 -
Variabiltas Ozon dan BPO di Indonesia Berbasis data MLS AURA (Komala N, et al.)
observasi MLS meliputi 82 derajat lintang selatan dan 82 derajat lintang utara. MLS mengukur
profil vertikal pada 3500 lokasi di dunia setiap 24 jam (Ahmad et al., 2006).
MLS menyediakan data-data hasil pengukuran di siang hari dan malam hari secara global untuk profil
vertikal beberapa komponen kimia atmosfer (O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3, N2O, CO,
HCN, CH3CN, vulkanik SO2), awan es, dan temperature atmosfer. MLS EOS AURA merupakan
pengembangan dari UARS MLS dengan resolusi spasial yang lebih baik dan cakupan yang lebih luas
termasuk pengukuran profil vertikal dan kemampuan untuk mendeteksi senyawa-senyawa kimia baru yang
belum pernah dideteksi oleh instrument-instrumen sebelumnya (OH, HO2, dan BrO) (Ahmad et al., 2006).
2. METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ozon dan Bahan Perusak Ozon (BPO)dari
MLS/AURA periode 2005 sampai dengan 2013.Dalam penelitian ini BPO yang di inventori adalan ClO dan
BrO. Dilakukan ekstraksi data satelit untuk parameter ozon dan BPO dari bentuk Hdf File untuk wilayah
Indonesia dikonversi menjadi excel dengan bantuan software pengolah data MATLAB. Kemudian
dilakukan pengolahan data profil vertikal ozon dan BPO untuk rata-rata wilayah Indonesia (10 LU-10 LS
dan 94 BT-141BT). Dilakukan pula pengolahan data profil vertikal ozon dan BPO dengan analisis time
series (bulanan, musiman, tahunan) dan dilihat puncak-nya. Kemudian dilakukan pembuatan grafik korelasi
antara ozon dengan BPO di Indonesia.
Profil vertikal ozon dibandingkan dengan profil vertikal BPO untuk dilihat pengaruhnya yang
mungkin dominan pada level tekanan tertentu. Dalam hal ini korelasi difokuskan pada tekanan/ketinggian
pada saat BPO mencapai maksimum.
3.
HASIL PEMBAHASAN
Time series profil ozon miksing rasio terhadap ketinggian untuk Indonesia dari data MLS-AURA tahun
2005 sampai 2013 memperlihatkan distribusi ozon yang dominan pada tekanan 10 hpa dengan konsentrasi
mencapai 10 ppm (ppm = part per million = 10 -6 ) (Gambar1a). Konsentrasi ozon Indonesia di 10 hPa atau
lapisan stratosfer terlihat sangat tinggi pada bulan-bulan Januari hingga Mei kemudian berkurang pada bulan
Juni-Juli dan meningkat kembali pada bulan Agustus hingga Desember. Puncak profil ozon miksing rasio
terjadi pada tekanan 10 hPa dengan range konsentrasi 9,04 hingga 10,24ppm.
Rata-rata bulanan konsentrasi ozon menunjukkan nilai maksimum saat bulan Maret 2005-2013 pada
tekanan 10 hPa dengan konsentrasi sebesar 10,24 ppm sedangkan konsentrasi ozon rata-rata bulanan
minimum saat bulan Juli 2005-2013 pada tekanan 215 hPa dengan konsentrasi hanya 0,0213ppm
(Gambar1b).
Gambar 1. Grafik time series profil ozon Indonrsia dari MLS tahun 2005 sd 2013 (a) dan pola tahunan rata-rata
profil ozon
- 698 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 2. Grafik pola musiman rata-rata profil ozon Indonesia
Variasi musiman profil ozon Indonesia (Gambar2). menunjukkan puncak ozon pada tekanan 10 hPa
maksimum pada bulan Maret-April-Mei (MAM) 2005-2013 dengan konsentrasi 9,87 ppm. Puncak ozon
stratosfer minimum terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) 2005-2013 dengan konsentrasi 9,16 ppm saat
bulan Juni-Juli-Agustus(JJA) /musim kemarau.
Time series profil vertikal ClO di Indonesia rata-rata bulan terhadap ketinggian tahun 2005-2013
(Gambar 3 a) menunjukkan puncak profil ClO terjadi pada 2 hPa dengan range konsentrasi 0,21 hingga 0,31
ppb (part per billion atau 10-9 ). Bila dibandingkan dengan konsentrasi ozon maka konsentrasi ClO 1000 kali
lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi ozon.Puncak konsentrasi ClO paling tinggi terjadi pada Juli
2005-2013 pada tekanan 2 hPa dengan konsentrasi 0.31 ppbv dan puncak terendah terjadi pada bulan
Februari 2005-2013 dengan konsentrasi 0,21 ppb.
Rata-rata bulanan konsentrasi ClO menunjukkan nilai maksimum saat bulan Juli pada tekanan 2 hPa
sedangkan konsentrasi ClO rata-rata bulanan minimum saat bulan Januari (Gambar3 b).
Gambar3. Grafik time series profil ClO Indonesia dari MLS tahun 2005 sd 2013 (a) dan pola tahunan rata-rata
profil ClO
Variasi musiman profil ClO Indonesia (Gambar4) menunjukkan puncak ClO pada tekanan 2 hPa
maksimum pada bulan Juni-Juli-Agustus(JJA) 2005-2013 dengan konsentrasi 0.30 ppb. Puncak ClO
minimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) 2005-2013 dengan konsentrasi 0.24 ppb.
- 699 -
Variabiltas Ozon dan BPO di Indonesia Berbasis data MLS AURA (Komala N, et al.)
Gambar 4. Grafik pola musiman rata-rata profil ClO Indonesia
Time series profil bulanan BrO di Indonesia tahun 2005 sampai dengan 2013 dapat dilihat pada
Gambar 5 a. Puncak konsentrasi BrO paling tinggi terjadi pada Februari 2005-2013 pada tekanan 14 hPa
dengan konsentrasi 0,04 ppbv dan puncak terendah terjadi pada bulan Mei 2005-2013 dengan konsentrasi
0,02 ppbv. Rata-rata bulan konsentrasi BrO menunjukkan nilai maksimum saat bulan Februari sedangkan
konsentrasi BrO rata-rata bulan minimum saat bulan Mei 2005-2013 pada tekanan 100 hPa (Gambar 5 b).
Gambar 5. Grafik time series profil BrO Indonrsia dari MLS tahun 2005 sd 2013 (a) dan pola tahunan rata-rata
profil BrO
Variasi musiman rata-rata mencapai peak padabulan Desember-Januari-Februari(DJF) dan minimum
pada Maret-April-Mei (MAM) (Gambar 6).
- 700 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 6. Grafik pola musiman rata-rata profil BrO Indonesia
Time series konsentrasi ozon, ClO dan BrO pada ketinggian 14 hpa, 10 hPa dan 2 hPa. Time series
diambil pada ketinggian 14 hPa yaitu pada saat BrO di indonesia mencapai maksimum, pada 10 hPa yaitu
pada kondisi dimana ozon mencapai puncak sedangkan ketinggian 2 hPa yaitu pada saat konsentrasi ClO
mencapai puncak. Dari hasil analisi ini dapat dilihat pengaruh perusakan dari BPO terhadap ozon.
Gambar 7. Grafik time series ozon Indonesia pada ketinggian 14 hPa, 10 hPa dan 2 hPa
Pada Gambar 7 ditampilkan grafik time series ozon di Indonesia pada 14 hpa, 10 hPa dan 2
hPa.Time series ozon di Indonesia pada 14 hPa menunjukkan konsentrasi ozon antara 9 ppm sampai dengan
10 ppm. Pada 10 hPa ozon mencapai 10 ppm sampai 11 ppm. Pada2 hPa ozon terdeteksi 3.5 ppm sampai 6.2
ppm.
Time series ClO pada 14 hpa, 10 hPadan 2 hPa di tampilkan pada Gambar 8. Pada 14 hPa ClO
terdeteksi antara 0.10 ppb sampai dengan 0.12 ppb. Pada 10 hPa konsentrasi ClO antara 0.13 ppb sampai
dengan 0.17 ppb. Pada 2 hPa ClO di atas Indonesia mencapai maksimum dengan konsetrasi 0.2 ppb sampai
denga 0.36 ppb.
Gambar 8. Grafik time series ClO Indonesia pada ketinggian 14 hPa, 10 hPa dan 2 hPa
- 701 -
Variabiltas Ozon dan BPO di Indonesia Berbasis data MLS AURA (Komala N, et al.)
Time series BrO pada 14 hpa, 10 hPadan 2 hPa di tampilkan pada Gambar 9. Pada 14 hPa BrO
terdeteksi antara 0.028 ppb sampai dengan 0.048 ppb. Di level ini BrO terdeteksi mencapai konsentrasi
tertinggi. Pada 10 hPa konsentrasi BrO antara 0.015 ppb sampai dengan 0.04 ppb. Pada 2 hPa BrO di atas
Indonesia terdeteksi minimum dengan konsentrasi 0.002 ppb sampai denga 0.01 ppb.
Gambar 9. Grafik time series BrO Indonesia pada ketinggian 14 hPa, 10 hPa dan 2 hPa
Time series ClO dan ozon pada 2 hPa pada saat konsentrasi ClO mencapai maksimum ditampilkan
pada Gambar 10. Pada ketinggian ini konsentrasi ozon di Indonesia terdeteksi 3.5 sampai 6.2 ppm dan
konsentrasi ClO antara 0.05 sampai 0.35 ppb. Dapat dilihat bahwa ada tendensi ozon minimum pada saat
ClO mencapai maksimum, khususnya pada Januari dan Juli. Masih sangat dibutuhkan pembelajaran
mengenai proses kimia dan dinamika yang mempengaruhi ClO di atmosfer dan pengaruhnya terhadap ozon.
Gambar 10. Grafik time series ozon dan ClO Indonesia pada ketinggian 2 hPa
Time series ozon dibandingkan dengan BrO pada tekanan 14 hPa saat BrO mencapai puncak
ditunjukkan pada Gambar 11. Pola berkebalikan tampak pada grafik yaitu saat konsentrasi BrO tinggi,
konsentrasi ozon cenderung rendah. Sebaliknya, saat konsentrasi BrO rendah, konsentrasi ozon cenderung
meningkat.Time series BrO dan ozon pada 14 hPa yaitu pada saat konsentrasi BrO mencapai maksimum.
Pada ketinggian ini ozon di Indonesia menunjukkan 8 ppm sampai 10.5 ppm dan BrO antara 0.001 sp
0.06 ppb. Pada Gambar 11 juga dapat dilihat ada tendensi ozon minimum pada saat BrO mencapai
maksimum.
Gambar 11. Grafik time series ozon dan BrO Indonesia pada ketinggian 14 hPa
- 702 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Keterkaitan ClO dan ozon pada 2 hPa ditampilkan pada Gambar 12. Persamaan regresi linier yang
dihasilkan dari keterkaitan antara ClO dan ozon pada 2 hPa adalah y=-0.583x + 5.363.
Dengan menggunakan persamaan ini setiap penambahan 0.01 ppb ClO akan menurunkan ozon sebesar
0.00583 ppm (= 5.83 ppb).
Gambar 12. Grafik korelasi ozon dengan ClO Indonesia pada ketinggian 2 hPa
Keterkaitan BrO dan ozon pada 14 hPa ditampilkan pada Gambar 13 dengan persamaan regresi
linier yang dihasilkan adalah y = -0.003 x+ 0.067. Dari persamaan inisetiap penambahan 0.01 ppb BrO dapat
menurunkan 0.03 ppb ozon.
Gambar 12. Grafik korelasi ozon dengan BrO Indonesia pada ketinggian 14 hPa
Dari analisis yang diperoleh dapat dibandingkan bahwa 0.01 ppb ClO dapat menurunkan ozon sebesar5.83
ppb. Sedangkan0,01 ppb BrO dapat menurunkan ozon sebesar 0.03 ppb. Dari hasil analisis ini diperoleh
bahwa daya rusak ClO terhadap ozon 194 kali lebih besar dibandingkan BrO.
4.
KESIMPULAN
Hasil analisis time series profil bulanan ozon Indonesia dari MLS AURA tahun 2005 sd 2013, serta
profil rata-rata 2005 sd 2013 diperoleh peak (puncak) profil ozon terjadi pada 10 hPa antara 9.04 ppm
sampai dengan 10.24 ppm. Bahan Perusak Ozon (BPO) yang diteliti adalah ClO dan BrO. Puncak profil ClO
terjadi pada tekanan 2,1 hPa atau ketinggian 30,6 km dan BrO mencapai puncak pada tekanan 14 hPa atau
ketinggian 24,5 km. ClO dan BrO yang mencapai konsentrasi maksimum di ketinggian lapisan stratosfer
berpotensi bereaksi merusak molekul ozon di stratosfer.
- 703 -
Variabiltas Ozon dan BPO di Indonesia Berbasis data MLS AURA (Komala N, et al.)
Variasi temporal ozon dan BPO menunjukkan ada indikasi penurunan konsentrasi ozon saat BPO (ClO
dan BrO) meningkat.
Regresi linier ozon dengan BPO menunjukkan koefisien korelasi negatif yang mengartikan terdapat
hubungan yang kuat antara penurunan konsentrasi ozon dengan peningkatan BrO pada tekanan 14 hPa saat
BrO mencapai puncak. Begitu juga untuk ClO yang menunjukkan korelasi negatif antara kenaikan ClO pada
2 hPa dengan penurunan konsentrasi ozon.
Kontribusi ClO terhadap penurunan ozon di Indonesia terjadi bila terjadi peningkatan 0.01 ppb ClO maka
akan menurunkan ozon sebesar 0.00583 ppm (5.83 ppb). Sedangkan setiap peningkatan 0.01 ppb BrO akan
menurunkan 0.03 ppb ozon. Dari hasil analisis ini diperoleh bahwa daya rusak ClO terhadap ozon 194 kali
lebih besar dibandingkan BrO.
UCAPAN TERIMAKASIH
Mengucapkan terimakasih kepada para Ilmuwan NASA dan para PI yang telah menyiapkan data satelit
AURA dengan sensor MLS yang dapat dapat diakses melalui fasilitas MIRADOR dan digunakan dalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.P., Waters, J.W., Johnson, J.E., Gerasimov, I.V., Leptoukh, G.G., dan Kempler, S.J. (2006). Atmospheric
composition data products from the EOS Aura MLS. Proc. Amer. Meteorological Soc. Eighth Conf. on
Atmospheric Chemistry,Atlanta, Georgia
Ambarsari, N., dan Ninong, K. (2010). Profil Vertikal Ozon, ClO, dan Temperatur di Bandung dan Watukosek Berbasis
Observasi Sensor MLS Satelit AURA. Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer I, Pusfatsatklim LAPAN
Bandung
Layers of the Atmosphere, http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm
Chapter 3.The Vertikal structure of the atmosphere.http://www-paoc.mit.edu/labweb/notes/chap3.pdf
Ramaswamy, V. (2006). Chapter 1. Temperatur Trends in The Lower Atmosphere, The US. Climate Change Science
Program.
Dyominov, I.G., dan Zadorozhny, A.M. (2005). Greenhouse gases and recovery of the Earth’s ozone layer, Elsevier,
Advances in Space Research, 35:1369–1374.
Theys, N., dan Roozendael, M.V. (2009). First satellite detection of volcanic bromine monoxide emission after the
Kasatochi eruption, Geophysical ResearchLetters, doi:10.1029/2008GL036552, 2009.
The US Climate Change Science Program, Atmospheric composition, 2003
MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php, tanggal akses 28 Februari 2013
NASA, 2001, Educational Resources, The Ozone layer, athttp://www.nasa.gov/About/Education/Ozone/
Waters, J.W., Froideuvaux, L., dan Harwood, R.S. (2006). The Earth Observing System Microwave Limb Sounder
(EOS MLS) on The Aura Satellite, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Parwati, S.Si., M.Sc.
: Variabilitas Ozon dan Bahan Perusak Ozon di Indonesiaberbasis
Data MLS - AURA
: Ninong Komala
: 15.00 – 15.15
:Ruang E-F
:
Ahmad Maryanto – LAPAN
Hasil pemantauan informasi tentang ozon selama ini bila tidak menggunakan data satelit itu menggunakan data apa?
Bila ada metode yang berbeda bagaimana informasi didapat dari metode konvensional dan bagaimana perbedaan hasil
dari kedua metode tersebut?
Bagaimana prinsip pendeteksian yang digunakan AIRS dan MLS untuk mengukur konsentrasi BPO?
Jawaban:
- 704 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Selama ini kita menggunakan Ozon Sounding dengan menggunakan balon udara, namun hanya mendapatkan informasi
untuk satu titik, tetapi bila kita gunakan data satelit kita bisa mendapatkan informasi banyak titik, oleh karena itu
kurang praktis karena biaya yang mahal dan kurang efektif untuk wilayah yang luas.
Hasil informasi dari kedua metode cukup mirip bila dibandingkan dari kedua metode diatas.
Prinsip pendeteksian akan dijelaskan pada presentasi selanjutnya karena berkaitan dengan materi presentasi selanjutnya.
Wahyu Broto – TNI AL
Kondisi udara yang semakin panas apakah ini pengaruh ozon, dan bisa menjadi penyebab terjadinya kanker kulit?
Apakah ada perbedaan kondisi ozozn antara Indonesia dengan luar Indonesia dan apa akan terjadi pergeseran lapisan
tersebut dari Luar Indonesia atau sebaliknya?
Jawaban:
Ketebalan lapisan ozon akan mempengaruhi radiasi UV, semakin tebal ozon maka radiasi UV akan tersaring di ozon.
Ozon menipis menyebabkan UV tidak tersaring sehingga terasa panas.
Terjadi pergeseran ozon dari wialyah ekuator menuju arah kutub, ozon dikhatulistiwa cenderung satabil namun tipis.
- 705 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Perbandingan Profil Vertikal Karbon Monoksida di Indonesia Hasil
Observasi Sensor MLS-Aura dengan Sensor AIRS-Aqua
Novita Ambarsari1,*)
1
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN, Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung
*)
E-mail: [email protected], [email protected]
ABSTRAK – Sensor Microwave Limb Sounder (MLS) yang ditempatkan pada Satelit AURA dan sensor Atmospheric
Infra Red Sounders (AIRS) yang ada pada satelit Aqua merupakan bagian dari sistem observasi Bumi yang
dikembangkan oleh NASA. Kedua sensor tersebut digunakan untuk melakukan pengukuran parameter fisika dan kimia
atmosfer. Pada penelitian ini telah dibandingkan hasil pengukuran kedua sensor tersebut untuk profil vertikal karbon
monoksida (CO) di atmosfer wilayah Indonesia. Data yang digunakan merupakan data profil vertikal harian CO dari
MLS-Aura dan AIRS-Aqua yang dirata-ratakan untuk seluruh wilayah Indonesia (area average), kemudian dirataratakan kembali untuk memperoleh profil vertikal bulanan dan musiman CO dari hasil pengukuran kedua sensor
tersebut. Untuk membandingkan berapa besar perbedaan konsentrasi yang dihasilkan, ditentukan nilai beda (difference)
(dalam %) serta dibuat scatter plot antara konsentrasi CO hasil pengukuran MLS-AURA dengan konsentrasi CO hasil
pengukuran sensor AIRS-Aqua pada beberapa level tekanan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan profil
vertikal CO hasil pengukuran sensor MLS-AURA dengan hasil pengukuran AIRS-Aqua. Rentang konsentrasi CO
(MLS-AURA) adalah antara 0.05 hingga 0.12 ppmv (part per million volume), sedangkan konsentrasi CO dari AIRQAqua memiliki rentang antara 0.018 hingga 0.075 ppmv. Grafik profil vertikal CO-MLS dan CO-AIRS menunjukkan
konsentrasi CO paling tinggi pada tekanan sekitar 215 hPa (troposfer atas) kemudian menurun seiring dengan
meningkatnya ketinggian, hingga mencapai nilai minimum pada tekanan sekitar 30 hPa lalu meningkat kembali
ketinggian 1 hPa. Terdapat perbedaan nilai yang sangat signifikan dari konsentrasi CO-MLS dibandingkan dengan COAIRS terutama pada tekanan sekitar 50 hingga 10 hPa. Nilai koefisien korelasi scatter plot CO-MLS terhadap CO-AIRS
paling baik pada tekanan 100 hPa yaitu 0,7.
Kata kunci: Karbon Monoksida, MLS-AURA, AIRS-AQUA
ABSTRACT - Sensor Microwave Limb Sounder (MLS) which is placed on the AURA satellite and Atmospheric
Sounders Infra Red (AIRS) sensor that exist on the Aqua satellite is part of Earth observation system developed by
NASA. Both of these sensors are used to measure physical and chemical parameters of the atmosphere. This study has
compared the results of both these sensors to measure vertical profiles of carbon monoxide (CO) in the atmosphere of
Indonesia. The data used is the vertical profiles daily data of CO from MLS-Aura and AIRS-Aqua that averaged for the
entire territory of Indonesia (area average), then averaged back to obtain vertical profiles of monthly and seasonal CO
from measurements of both these sensors. To compare how much difference the resulting concentration, determined the
value of the difference (difference) (in %) and created a scatter plot between the concentration of CO MLS-AURA
measurement results with the results of measurements of CO concentration from sensor Aqua-Airs at several levels of
pressure. The results showed differences in vertical profiles CO sensor measurement result with MLS-AURA-Aqua airs
measurement results. CO concentration range (MLS-AURA) is between 0,05 to 0,12 ppmv (parts per million volume),
whereas the concentration of CO of AIRQ-Aqua has a range of between 0,018 to 0,075 ppmv. Vertical profile graphs of
CO-MLS and CO-airs shows the highest concentration of CO at a pressure of about 215 hPa (upper troposphere) then
decreases with increasing altitude, until it reaches a minimum value at a pressure of about 30 hPa and then increased
again untill height of 1 hPa. There are very significant differences in the value of the concentration of CO-MLS
compared to CO-Airs especially at pressures of about 50 to 10 hPa. The correlation coefficient scatter plot CO-MLS
against CO-Airs shows bestvalue at a pressure of 100 hPa which is 0.7
Keywords: Carbon Monoxide, MLS-AURA, AIRS-AQUA
1.
PENDAHULUAN
Pengukuran senyawa kimia di atmosfer dengan satelit telah meningkatkan pemahaman mengenai
pengaruh proses alam dan aktivitas manusia terhadap iklim dan kualitas udara di Bumi. Distribusi dan variasi
CO di atmosfer memiliki pengaruh penting terhadap lingkungan global dan perubahan iklim (Qian et al.,
2014). Selain itu, pengukuran komposisi kimia atmosfer dengan satelit menyediakan data dengan cakupan
global dan pengamatan jangka panjang untuk digunakan dalam mengembangkan pengetahuan mengenai
proses kimia dan dinamika yang terjadi di troposfer dan stratosfer (Luo et al., 2013). Monitoring karbon
monoksida (CO) di atmosfer sebagai senyawa polutan dan pembentuk ozon di troposfer memberikan
- 706 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
manfaat yang signifikan dalam studi kualitas udara (Warner et al., 2010). CO di atmosfer memiliki tiga
sumber yang berbeda yaitu, di troposfer berasal dari hasil pembakaran, di stratosfer berasal dari oksidasi
metana, sedangkan di mesosfer dan termosfer berasal dari hasil penguraian CO2 oleh cahaya matahari
(fotolisis) (Zafra, 2004; Pumphrey et al., 2007). Proses penghilangan CO yang utama adalah reaksi dengan
radikal hidroksi (OH). Keseimbangan antara produksi CO dari sumber dan proses penguraian CO
menjadikan CO berjumlah banyak di troposfer dan mesosfer, sedangkan hanya sedikit di stratosfer. Waktu
hidup CO bervariasi antara 5 – 10 hari di troposfer dan stratosfer bawah hingga 40 hari di stratosfer atas dan
mesosfer. Waktu hidup CO yang cukup panjang ini menjadikan CO dapat digunakan sebagai senyawa tracer
untuk studi pergerakan dan dinamika atmosfer (Pumphrey et al., 2007; Minschwaner, 2010).
Beberapa sensor yang ada pada satelit-satelit Earth Observing System (EOS) NASA memiliki
kemampuan untuk melakukan pengukuran senyawa CO di atmosfer secara global sejak awal tahun 2000.
Sensor-sensor tersebut antara lain sensor AIRS (Atmospheric Infra Red Sounder) pada satelit Aqua,
MOPITT (Measurement of Pollution in the Troposphere) pada satelit Terra, TES (Tropospheric Emission
Spectrometer) dan MLS (Microwave Limb Sounder) pada satelit Aura (Warner et al., 2010). Sensor-sensor
tersebut merupakan pengembangan dari teknologi penginderaan jauh untuk pengukuran CO yang diawali
dengan sensor MAPS (Measurement of Air Pollution from Satellite) yang diterbangkan dengan pesawat luar
angkasa pada tahun 1981, 1984, dan dua kali pada tahun 1994 (Warner et al., 2007). Untuk mengetahui
konsistensi sensor-sensor tersebut, sangat penting untuk membandingkan hasil pengukuran masing-masing
sensor sehingga hasilnya dapat digabungkan dan digunakan untuk saling melengkapi dan menambah
kemampuan baik secara resolusi temporal maupun spasial dibandingkan hanya menggunakan satu sensor.
Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan hasil pengukuran dari setiap sensor diantaranya karakteristik
instrumen, metode pengukuran, dan variabilitas alami suatu objek dalam hal ini CO (Warner et al., 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran profil vertikal CO dari sensor MLS
satelit Aura dengan sensor AIRS satelit Aqua pada tekanan 200 hingga 1 hPa tahun 2005-2013. Profil
vertikal bulanan, musiman, time series pada beberapa ketinggian untuk CO dari MLS dibandingkan dengan
hasil pengukuran AIRS. Selain itu dibuat juga scatter plot data CO MLS dengan CO AIRS untuk diketahui
nilai koefisien korelasinya serta analisis statistik untuk mengetahui signifikan atau tidak perbedaan hasil
pengukuran kedua sensor tersebut telah dilakukan pada penelitian ini.
2.
METODE
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data profil vertikal harian rata-rata wilayah Indonesia
(area average) hasil pengukuran sensor MLS satelit Aura dan sensor AIRS satelit Aqua untuk periode data
tahun 2005-2013 yang dapat diunduh di alamat www.mirador.gsfc.nasa.gov. Wilayah kajian meliputi
wilayah Indonesia (6 LU – 11 LS, 95 BT – 145 BT). Data CO dari MLS yang tersedia dalam format HDF
yang memuat data lintang, bujur, pressure (tekanan) dalam satuan hPa atau mbar, dan konsentrasi CO dalam
satuan part per million volume (ppmv). Data CO MLS diekstrak dengan software Matlab kemudian data CO
MLS dan AIRS diolah menjadi profil vertikal bulanan, musiman, time series pada ketinggian 200 hPa, 100
hPa, 10 hPa, dan 1 hPa, scatter plot konsentrasi CO MLS terhadap CO AIRS, dan analisis statistik dengan
metode Wilcoxon Signed Rank Test untuk mengetahui signifikan atau tidak beda rerata dari kedua data
konsentrasi CO dari MLS dan AIRS. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan software SPSS 20.
AIRS diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 yang dipasang pada satelit Aqua dengan tujuan utama adalah
mengukur profil vertikal temperatur dan uap air di atmosfer Bumi secara akurat. Tim ilmiah AIRS kemudian
mengembangkan metode untuk mengukur parameter fisika dan kimia yaitu temperatur, uap air, ozon, dan
CO (Warner et al., 2007). Data CO dari AIRS yang digunakan adalah data versi 6 level 3 gridded dengan
resolusi spasial 1 x 1 (Tian et al., 2014).
Microwave Limb Sounder (MLS) merupakan bagian dari Earth Observing System (EOS) dan merupakan
satu dari empat instrument yang ditempatkan pada satelit AURA yang diluncurkan pada 15 Juli 2004. EOS
MLS mengukur emisi termal dari pita spektrum yang luas terpusat pada frekuensi 118, 190, 240, 640 dan
2250 GHz yang diukur terus menerus (24 jam sehari) dengan 7 penerima gelombang mikro. MLS
menyediakan data hasil pengukuran di siang hari dan malam hari secara global untuk profil vertikal beberapa
komponen kimia atmosfer (O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3, N2O, CO, HCN, CH3CN,
vulkanik SO2), awan es, dan temperatur atmosfer. Data CO dari MLS yang digunakan adalah data versi 3
level 2 swath dengan resolusi spasial 200 km (http://mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php).
- 707 -
Perbandingan Profil Vertikal Karbon Monoksida di Indonesia Hasil Observasi Sensor MLS-Aura dengan Sensor AIRS-Aqua
(Ambarsari, N.)
3.
HASIL PEMBAHASAN
Profil vertikal bulanan dan musiman CO dari AIRS dan MLS dari tekanan 200 hPa hingga 1 hPa
ditunjukkan pada Gambar 1. Profil vertikal CO dari MLS dan AIRS menunjukkan pola yang sama dengan
konsentrasi tinggi pada tekanan 200 hPa kemudian menurun seiring meningkatnya ketinggian dan mencapai
minimum pada tekanan 20 hPa hingga 30 hPa. Pola ini sesuai dengan teori bahwa CO memiliki konsentrasi
tinggi di troposfer dan hanya sedikit di stratosfer karena sumber CO di troposfer lebih besar yaitu dari hasil
pembakaran dan karena keseimbangan produksi CO dari sumber dengan penguraian CO (Pumphrey et al.,
2007). Akan tetapi nilai konsentrasi CO dari MLS di troposfer cenderung lebih tinggi dibanding nilai
konsentrasi CO dari AIRS. Pada tekanan 200 hPa, konsentrasi CO MLS menunjukkan nilai sekitar 0,1
hingga 0,12 ppmv sedangkan CO AIRS menunjukkan nilai antara 0,065 hingga 0,075 ppmv. Hal yang
berbeda terjadi di stratosfer tengah, pada tekanan 20 hPa saat CO mencapai minimum, nilai konsentrasi CO
MLS jauh lebih kecil dibandingkan CO AIRS yaitu hanya sekitar 0,005 hingga 0,006 ppmv sedangkan
konsentrasi CO AIRS antara 0,018 ppmv hingga 0,021 ppmv. Perbedaan hasil pengukuran ini bisa terjadi
karena banyak faktor diantaranya spektrum sensor MLS yang mengukur pada panjang gelombang mikro
sedangkan AIRS pada panjang gelombang infra merah. Selain itu pola profil vertikal CO MLS lebih detil
menggambarkan penurunan dan peningkatan konsentrasi CO pada setiap level tekanan karena walaupun
resolusi vertikal data CO MLS dan data CO AIRS hampir sama yaitu sekitar 3 km di stratosfer tetapi AIRS
lebih sensitif mengukur di wilayah troposfer tengah hingga stratosfer bawah (Warner et al., 2007).
Sebaliknya, MLS lebih sensitif mengukur CO di wilayah stratosfer bawah hingga mesosfer (Livesey et al.,
2011).
A
B
Gambar 1. Profil vertikal CO rata-rata bulanan dan musiman di Indonesia tahun 2005-2013 dari. (a) MLS AURA
dan (b) AIRS AQUA.
- 708 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Time series konsentrasi CO dari MLS dan AIRS pada tekanan 200 hPa, 100 hPa, 10 hPa, dan 1 hPa
ditunjukkan pada Gambar 2. Tekanan-tekanan tersebut dipilih karena 200 hPa mewakili daerah troposfer
atas, tropopause di 100 hPa, 10 hPa mewakili daerah stratosfer tengah, dan 1 hPa mewakili stratosfer atas
atau stratopause.
Gambar 2. Perbandingan time series CO dari AIRS dan CO dari MLS pada tekanan 200 mbar, 100 mbar, 10 mbar,
dan 1 mbar
Pada gambar tampak adanya kemiripan pola time series CO dari MLS dan AIRS terutama pada tekanan
100 hPa dan 10 hPa. Kemungkinan karena pada tekanan ini baik MLS maupun AIRS masih memiliki
sensitivitas yang baik dalam mengukur CO di tropopause dan stratosfer tengah. Sedangkan pada tekanan 200
- 709 -
Perbandingan Profil Vertikal Karbon Monoksida di Indonesia Hasil Observasi Sensor MLS-Aura dengan Sensor AIRS-Aqua
(Ambarsari, N.)
hPa dan 1 hPa pola yang dihasilkan cenderung berbeda karena MLS memiliki akurasi yang rendah di
wilayah troposfer atas sedangkan AIRS sebaliknya yaitu akurasi lebih rendah di daerah stratosfer atas.
Rentang data konsentrasi CO yang terukur oleh AIRS lebih pendek dibanding MLS. Pada tekanan 200 hPa,
konsentrasi CO MLS antara 0,06 hingga 0,015 ppmv sedangkan CO AIRS hanya 0,06 hingga 0,1 ppmv.
Begitupun pada tekanan lainnya. Pada 100 hPa rentang data CO AIRS antara 0,035 ppmv hingga 0,05 ppmv
sedangkan CO MLS antara 0,04 ppmv hingga 0,1 ppmv. Kemudian pada tekanan 10 hPa, rentang data CO
AIRS antara 0,018 ppmv hingga 0,022 ppmv sedangkan CO MLS antara 0,06 ppmv hingga 0,027 ppmv.
Pada tekanan 1 hPa terlihat bahwa MLS memiliki kemampuan untuk mengukur CO dengan konsentrasi
tinggi mencapai 0,14 ppmv sedangkan yang terukur pada AIRS konsentrasi CO sebesar maksimal 0,043
ppmv.
Pada gambar variasi bulanan CO AIRS dan CO MLS yang ditunjukkan pada Gambar 3 lebih jelas terlihat
bahwa pola variasi bulanan CO AIRS dan CO MLS memiliki kemiripan hanya pada tekanan 200 hPa dan
100 hPa yaitu minimum pada bulan Juli dan maksimum pada bulan Oktober pada tekanan 200 hPa. Pada
tekanan 100 hPa terlihat adanya dua puncak maksimum yaitu pada bulan April dan November serta
minimum pada bulan Agustus dengan rentang data CO AIRS yang selalu lebih kecil dibandingkan CO MLS.
Pada tekanan 10 hPa, variasi bulanan CO AIRS masih menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola
pada tekanan 100 hPa yaitu maksimum di bulan Maret dan September, minimum di bulan Mei sedangkan
pola variasi bulanan CO MLS pada tekanan 10 hPa cenderung tidak beraturan, begitupula pada tekanan 1
hPa variasi bulanan CO AIRS dan CO MLS keduanya tidak menunjukkan adanya pola yang beraturan.
Gambar 3. Perbandingan variasi bulanan CO dari AIRS dan CO dari MLS pada tekanan 200 mbar, 100 mbar, 10
mbar, dan 1 mbar
Walaupun kedua data pada tekanan 10 hPa dan 1 hPa memiliki pola yang berbeda tetapi bila dilihat dari
scatter plot konsentrasi CO MLS terhadap CO AIRS yang ditunjukkan pada Gambar 4 terlihat nilai
koefiesien korelasi yang cukup baik untuk variasi bulanan kedua data tersebut. Nilai rata-rata bulanan
konsentrasi CO MLS dan CO AIRS dari tekanan 200 hPa hingga 1 hPa tahun 2005-2013 menunjukkan
hubungan linier yang berkorelasi sangat baik dengan nilai r2 di atas 0,8 yang berarti nilai rata-rata bulanan
CO pada tekanan 200 hingga 1 hPa dapat terukur dengan baik oleh kedua sensor tersebut.
Hal yang sama ditunjukkan pada Tabel 1 yang menampilkan nilai signifikansi hasil uji beda rerata
Wilcoxon Sign Rank Test untuk data rata-rata bulanan CO MLS dan CO AIRS. Dengan tingkat kepercayaan
95 % dan alfa 5 %, maka bila nilai signifikansi dibawah 0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan
- 710 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
antara data CO MLS dengan data CO AIRS. Sebaliknya bila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 berarti
tidak terdapat perbedaan signifikan antara data CO MLS dengan data CO AIRS. Pada tabel 1 terlihat nilai
signifikansi untuk semua bulan adalah di atas 0,05 sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
data rata-rata bulanan CO MLS dengan CO AIRS. Artinya kedua sensor dapat mendeteksi pola variasi
bulanan CO dengan baik.
Gambar 4. Grafik scatter plot dan nilai r2 variasi bulanan CO MLS terhadap CO AIRS
- 711 -
Perbandingan Profil Vertikal Karbon Monoksida di Indonesia Hasil Observasi Sensor MLS-Aura dengan Sensor AIRS-Aqua
(Ambarsari, N.)
Tabel 1. Nilai signifikansi hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test untuk data CO MLS dan CO AIRS
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
4.
Nilai Signifikansi
0.191
0.14
0.112
0.173
0.211
0.233
0.334
0.609
0.427
0.496
0.256
0.256
KESIMPULAN
Perbandingan profil vertikal CO dari MLS dan CO dari AIRS menunjukkan perbedaan pada variasi
bulanan untuk konsentrasi CO pada tekanan 10 hPa dan 1 hPa juga pada time series kedua tekanan tersebut.
Akan tetapi profil vertikal CO hasil pengukuran kedua instrumen tersebut menunjukkan pola yang mirip
yaitu konsentrasi CO tinggi di troposfer atas pada tekanan 200 hPa kemudian menurun dan minimum pada
tekanan 20 hingga 30 hPa kemudian meningkat kembali hingga tekanan 1 hPa. Konsentrasi CO MLS
memiliki rentang lebih lebar dibandingkan CO AIRS dengan nilai yang dominan lebih besar hasil
pengukuran konsentrasi CO dari MLS. Walaupun demikian hasil scatter plot konsentrasi rata-rata bulanan
CO MLS terhadap CO AIRS menunjukkan korelasi yang baik dengan nilai koefiesien koreasi lebih besar
dari 0,8. Begitu pula dengan hasil analisis statistik dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan dari data rata-rata bulanan profil vertikal CO MLS dengan CO AIRS.
Secara umum, kedua instrumen tersebut mampu mengukur profil vertikal CO di atmosfer dan merekam
distribusi CO dari lapisan troposfer atas hingga stratosfer atas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada penyedia data komposisi kimia atmosfer hasil pengukuran
satelit Aqua dan Aura milik NASA yang dapat diakses dengan mudah melalui fasilitas website MIRADOR
maupun GIOVANNI.
DAFTAR PUSTAKA
Pumphrey, H.C., Filipiak, M.J., Livesey, N.J., Schwartz, M.J., Boone, C., Walker, K.A., Bernath, P., Ricaud, P., Barret,
B., Clerbaux, C., Jarnot, R.F., Manney, G.L., dan Waters, J.W. (2007). Validation of Middle-Atmosphere Carbon
Monoxide Retrievals from the Microwave Limb Sounder on AURA. Journal of Geophysical Research Vol. 112:112.
Livesey, N.J., Read, W.G., Froidevaux, L., Lambert, A., Manney, G., Pumphrey, H.C., Santee, M.L., Scwartz, M.J.,
Wang, S., Cofeld, R.E., Cuddy, D.T., Fuller, R.A., Jarnot, R.F., Jiang, J.H., Knosp, B.W., Stek, P.C., Wagner, P.A.,
dan Wu, D.L. (2011). Earth Observing System (EOS) Microwave Limb Sounder (MLS) Version 3.3 Level 2 Data
Quality and Description Document. Jet Propulsion Laboratory. California.
Luo, M., Read, W., Kulawik, S., Worden, J., Livesey, N., Bowman, K., dan Herman, R. (2013). Carbon Monoxide
Vertical Profile Derived from Joined TES and MLS Measurement. Journal of Geophysical Research: Atmosphere
(118): 1-13.
Tian, B., Manning, E., Fetzer, E., Olsen, E., dan Wong, S. (2014). AIRS Version 6 L3 User Guide. Jet Propulsion
Laboratory. California.
Qian, L., Hua, F.S., Ai, M.S., Jian, C.B., dan Da, R.L. (2014). Distribution and Variation of Carbon Monoxide in The
Tropical Troposphere and Lower Stratosphere. Atmospheric and Oceanic Letters 7(3): 218-223.
Warner, J.X., Wei. Z., Strow, L.L., Barnet, C.D., Sparling, L.C., Diskin, G., dan Sachse, G. (2010). Improved
Agreement of AIRS Tropospheric Carbon Monoxide Product with Other EOS Sensors Using Optimal Estimation
Retrievals. Atmos. Chem. Phys (10): 9521-9533.
- 712 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Warner, J., Comer, M.M., Barnet, C.D., McMillian, W.W., Wolf, W., Maddy, E., dan Sachse, G. (2007). A Comparison
of Satellite Tropospheric Carbon Monoxide Measurements from AIRS and MOPPIT during INTEX-A. Journal of
Geophysical Research (112): 1-12.
Zafra, R.L. (2004). CO as an Important High-Altitude Tracer Dynamics in the Polar Stratosphere and Mesosphere.
Journal of Geophysical Research (112): 1-10.
Microwave Limb Sounder. http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php. tanggal akses 16 Oktober 2015.
Minschwaner, K., Manney, G.L., dan Livesey, N.J. (2010). The Photochemistry of Carbon Monoxide in the
Stratosphere and Mesosphere Evaluated from Observation by The Microwave Limb Sounder on Aura Satellite. JGR.
15:1-9.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Parwati, S.Si., M.Sc.
: Perbandingan Profil Vertikal Carbon Monoksida di Indonesia
Hasil Observasi Sensor MLS – AURA dengan Sensor AIRS - Aqua
: Novita Ambarsari
: 15.15 – 15.30
: Ruang E-F
:
Fadhilah – LAPAN
Apakah informasi spasial yang dihasilkan bisa digunakan untuk referensi untuk melakukan koreksi atmosferik untuk
data Landsat dengan spasial 30 m?
Jawaban:
Data belum spasial, masih dalam bentuk griding, perlu pengolahan lanjutan untuk menjadikannya menjadi informasi
spasial, untuk data MLS tidak memliki fasiltas menjadikan spasial, kemudian bila di buat dalam spasial maka reslusi
sangat kecil hingga 250 km sehingga tidak mungkin dapat digunakan untuk referensi koreksi atmosferik data Landsat 8.
Maryani Hartuti - LAPAN
Apakah hasil Penelitian bisa mewakili seluruh Indonesia?
Bisakah membandingkan profil Codi beberapa daerah ?
Jawaban:
Bisa dengan menggunakan teknik crop sesuai dengan lintang bujur yang dibutuhkan
- 713 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Analisis Korelasi Ketinggian Geopotensial dan Suhu
di Wilayah Indonesia
Iis Sofiati1,*)
1
Bidang Pemodelan Atmosfer-Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173
*)
Email: [email protected]
ABSTRAK-Makalah ini membahas hubungan antara ketinggian geopotensial dan suhu serta karakteristik variabilitas
musimannnya (DJF-MAM-JJA-SON) di wilayah Indonesia untuk tahun 2010-2014. Data yang digunakan adalah data
harian dari satelit Aqua sensor AIRS. Analisis difokuskan pada dua ketinggian 850 hPa dan 250 hPa dan pengolahan
data dengan menggunakan perhitungan statistik. Dari hasil analisa didapat bahwa pada ketinggian 850 hPa derajat
hubungan antara ketinggian geopotensial dan suhu permukaan lebih besar pada musim basah (DJF) daripada musim
kering (JJA), dan variabilitas ketinggian geopotensial dan suhu tidak terlalu signifikan. Sebaliknya pada ketinggian 250
hPa, hubungan antara ketinggian geopotensial dan suhu permukaan lebih besar pada musim kering (JJA) daripada
musim basah (DJF), dan variabilitas ketinggian geopotensial dan suhu terlihat cukup signifikan untuk setiap musim.
Distribusi spasial ketinggian geopotensial dan suhu memperlihatkan pola yang berbanding terbalik untuk ketinggian
850 hPa dan berbanding lurus untuk ketinggian 250 hPa.
Kata kunci: ketinggian geopotensial, suhu, korelasi, regresi.
ABSTRACT - This paper discusses the relationship between geopotential heights and temperatures and variability
characteristics seasonaly (DJF-MAM-JJA-SON) in Indonesia for 2010-2014. The data used is daily data from satellites
Aqua sensor AIRS. Analysis focused on two altitude of 850 hPa and 250 hPa and data processing using statistical
calculations. From the results of analysis shows that at a height of 850 hPa geopotential degree of relationship between
the geopotential height and temperature is greater in the wet season (DJF) than the dry season (JJA), and the
variability of geopotential height and temperature is not too significant. In contrast to the height of 250 hPa, the
relationship between geopotential height and surface temperature is greater in the dry season (JJA) than the wet season
(DJF), and geopotential height and temperature variability seen quite significant for every season. Spatial distribution
of geopotential heights and temperatures show a pattern that is inversely proportional for a height of 850 hPa and
directly proportional for a height of 250 hPa.
Keywords: geopotential height, temperature, corelation, regression.
1.
PENDAHULUAN
Ketinggain geopotensial pada 850 hPa, 500 hPa, dan 250 hPa merupakan parameter yang dominan
dalam mengontrol kondisi cuaca dan iklim di seluruh dunia (Tymvios et al., 2010; Hafez 2007, 2011; Hafez
& Almazroui 2013; 2014), untuk itu banyak penelitian dilakukan pada level ini.Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Paul & Zhi (1996) menyebutkan bahwa selama periode pemanasan di Selatan-Timur antara
1976-1992, hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh relatif kondisi atmosfer atas kurang signifikan terhadap
variasi suhu permukaan daripada kondisi tingkat atas selama periode pendinginan 1946-1975. Selain itu,
intensitas variabilitas suhu lebih besar selama periode dingin daripada periode panas. Thomas & Jeffrey
(2007), Joseph HC & John MW (2007) melakukan pengamatan efek kalibrasi untuk tiga variabel: ketinggian
geopotensial pada 500-hpa, suhu pada 850-hpa, dan prakiraan suhu pada 2-m. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa ketinggian geopotensial pada 500-hpa adalah variabel yang baik sebelum kalibrasi dan
menunjukkan hasil yang signifikan setelah dilakukan kalibrasi. Untuk suhu pada 850-hpa, prediksi yang
dilakukan tidak begitu berarti, tetapi ada peningkatan substansial terhadap koreksi bias ketika teknik analog
diterapkan. Untuk perkiraan suhu 2-m, prediksi yang dilakukan sangat berarti, dan penerapan teknik analog
menghasilkan peningkatan dramatis terhadap koreksi bias sederhana. Penelitian yang dilakukan oleh
Ruiqiang and Jianping (2009) yang menghitung autocorrrelation pada satu dan lima hari anomali ketinggian
geopotensial pada 500 hPa yang memilikivariasidekadedenganmagnitudelebih besardan skalaspasialyang
lebih besar. Hal ini ditemukanbahwavariabilitasdekadeterkait erat dengandekadefluktuasidaripolasirkulasi
atmosferskala besar. Penelitian ini melakukan koreksi bias terhadap WRF model untuk ketinggian
- 714 -
Analisis Korelasi Ketinggian Geopotensial dan Suhu di Wilayah Indonesia (Sofiati, I.)
geopotensial dan suhu yang dilakukan oleh Tae et al., (2012), dan dari kesimpulannya menyatakan bahwa
koreksi bias untuk ketinggian geopotensial bernilai negatif dan untuk koreksi bias suhu bernilai positif.
Koreksi bias dilakukan baik untuk initial conditions maupun forecast, danvalidasinya oleh (Smith & Gille,
2014) . Penelitian ini difokuskan pada karakteristik temporal untuk variasi skala spasial, dan mengamati ciriciri penjalaran terutama penjalaran gelombang dengan berbagai struktur meridional yang berbeda.
Pengamatan ini penting untuk pemahaman dinamika telekoneksi atmosfer. Cheng et al. (2012) melakukan
perhitungan diagnostik dalam penelitian ini sehingga dapat dijelaskan sampai batas tertentu oleh hubungan
dispersi untuk gelombang Rossby. Analisis teoritis menunjukkan bahwa panjang gelombang dengan nilai
tertentu secara zonal simetrissepertithe southern annular mode (SAM), dan gelombang skala menengah
dengan struktur dipolmeridional dapat ditafsirkan sebagai eigen modes frekuensi rendah dari atmosfer.
Penelitian tentang ketinggian geopotensial yang dikaitkan dengan suhu, belum banyak dilakukan di
wilayah Indonesia. Untuk itu penelitian ini menganalisa korelasi antara ketinggian geopotensial dan suhu
pada 850 hPa dan 250 hPa yang bertujuan untuk mendapatkan karakteristik kedua parameter tersebut pada
ketinggian yang berbeda, yang menggambarkan pengaruh dari permukaan bumi dan pengaruh atmosfer atas.
Penelitian ini penting untuk mengetahui adakah perubahan sirkulasi kestabilan atmosfer baik di permukaan
ataupun di lapisan atasnya akibat pengaruh kondisi lokal dan regional.
2.
METODE
Data yang digunakan adalah data ketinggian geopotensial dan suhu harian tahun (2010-2014) yang
diperoleh dari satelit Aqua-AIRS, dengan resolusi spasial 1ox1o. Lokasi yang dijadikan sebagai daerah kajian
penelitian adalah Indonesia (6oLU-12oLS, 90o-145 BT). Pada penelitian ini akan dianalisa korelasi ketinggian
geopotensial dan suhu pada ketinggian 850 hPa dan 250 hPa, dengan analisa statistik. Data kedua parameter
tersebutdianalisa untukbulan Desember-Febuari(DJF), Maret-Mei (MAM), Juni–Agustus (JJA)
danSeptember–November (SON). DJFmenggambarkan puncak angin monsunAustralia–Asia Barat laut
(puncak musimhujan), dan JJA menggambarkan puncakAngin monsun Australia–Asia Tenggara(puncak
musim kemarau), sedangkan MAMdan SON menggambarkan transisi anginmonsun. Pembagian ini
berfungsimenguji sensitivitas musiman ketinggian geopotensial terhadap suhu.Data kemudian diubah
menjadi bentuk file binari agar dapat diolah menggunakan software GrADS. Selanjutnya data tersebut diolah
secara matematis untuk memperoleh rata-rata bulan yang sama untuk semua data selama periode penelitian.
3.
HASIL PEMBAHASAN
Gambar 1 menunjukkan distribusi spasial ketinggian geopotensial dan suhu rata-rata pada 850hPa
untuk bulan DJF. Berdasarkan hasil terlihat bahwa distribusi kedua parameter berbanding terbalik, dimana
pada saat nilai ketinggian geopotensial besar nilai suhunya kecil dan sebaliknya. Ketinggian geopotensial di
wilayah Indonesia bagian Barat termasuk di dalamnya Maluku dan Sumbawa kecuali sebagian besar
Kalimantandan Sumatera Utara bernilai sekitar 1480 m bersesuaian dengan suhu yang bernilai sekitar 18oC.
Pada waktu yang sama, nilai ketinggian geopotensial berkisar (1470-1530) m terjadi di wilayah Papua bagian
Barat. Keadaan kontras terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur, dimana nilai geopotensial sekitar 1470 m,
keadaan tersebut diikuti dengan nilai suhu yang berkisar 18,5oC.Di wilayah Sumatera bagian Utara dan
perairan Laut Cina Selatan nilai ketinggian geopotensial berkisar kurang dari 1490 m, dan suhunya mencapai
18,3oC dan 17,5oC berturut-turut. Dengan demikian dari hasil terlihat bahwa bulan DJF pada 850 hPa nilai
ketinggian geopotensial dan suhu berbanding terbalik.
Gambar 1. Distribusi spasial ketinggian geopotensial (kiri) dan suhu (kanan) rata-rata pada 850 hPa
- 715 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
untuk bulan Desember-Januari-Februari (DJF) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Pada bulan MAM, distribusi spasial ketinggian geopotensial dan suhu terlihat kontras antara lautan
dan daratan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Ketinggian geopotensial di daratan (sekitar 1490 m) lebih
rendah dibandingkan dengan lautan yang bernilai sekitar 1500 m. Keadaan sebaliknya terjadi untuk suhu,
dimana suhu di daratan lebih tinggi (sekitar 18,2oC) dibandingkan dengan lautan yang bernilai sekitar
18,2oC. Keadaan demikian menunjukkan bahwa bulan MAM pada 850 hPa nilai ketinggian geopotensial dan
suhu juga berbanding terbalik.
Gambar 2. Distribusi spasial ketinggian geopotensial (kiri) dan suhu (kanan) rata-rata pada 850 hPa untuk bulan
Maret-April-Mei (MAM) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Perbedaan distribusi spasial baik untuk ketinggian geopotensial maupun suhu pada bulan JJA terlihat
adanya perbedaan nilai di bagian Utara dan Selatan ekuator Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Ketinggian geopotensial sebelah Utara bernilai lebih rendah (sekitar 1490 m) dan suhu sekitar (18-18,5oC)
dibandingkan dengan wilayah Selatan yang bernilai lebih dari 1500 m dan suhunya (16-16,5oC).
Gambar 3. Distribusi spasial ketinggian geopotensial (kiri) dan suhu (kanan) rata-rata pada 850 hPa
untuk bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Distribusi spasial untuk ketinggian geopotensial dan suhu pada bulan SON masih tidak jauh berbeda
dengan yang terjadi pada bulan JJA. Masih terlihat adanya nilai yang berbeda di sebelah Utara dan Selatan
ekuator Indonesia, nilaiketinggian geopotensial sebelah Utara bernilai lebih rendah (sekitar 1480 m) dan
suhu sekitar (18-18,5oC) dibandingkan dengan Selatan yang bernilai lebih dari 1510 m dan suhunya yang
hanya mencapai (16,8-17,1o C) (gambar tidak ditampilkan).
Gambar 4. Distribusi spasial ketinggian geopotensial (kiri) dan suhu (kanan) rata-rata pada 250 hPa
- 716 -
Analisis Korelasi Ketinggian Geopotensial dan Suhu di Wilayah Indonesia (Sofiati, I.)
untuk bulan Desember-Januari-Februari (DJF) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Berbeda dengan hasil sebelumnya (pada 850 hPa),distribusi spasial ketinggian geopotensial dan
suhu pada bulan DJF tahun 2010-2014 untuk 250 hPa berbanding lurus, atau dengan kata lain pada saat
ketinggian geopotensial bernilai tinggi, begitupula dengan nilai suhu, dan sebaliknya. Di wilayah sebelah
Barat dan Barat laut Indonesia ketinggian geopotensial rata-rata bernilai 10960 m dengan suhu sekitar -41oC,
sedangkan wilayah Selatan dan Tenggara, ketinggian geopotensial rata-rata bernilai lebih dari 10980 m
dengan suhu sekitar -39,6oC seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Untuk bulan MAM, distribusi spasial ketinggian geopotensial dan suhu masih pada posisi yang
sama tetapi penyebarannya lebih luas, dan nilai ketinggian geopotensial yang rendah diikuti oleh rendahnya
nilai suhu, dan sebaliknya (gambar tidak ditampilkan). Dominasi Timur-Barat untuk ketinggian geopotensial
dan suhu masih terjadi pada bulan JJA, nilaiketinggian geopotensial sebelah Barat bernilai lebih rendah
(sekitar 10950 m) dan suhu sekitar (-41,5-40,9)oC dibandingkan dengan Timur yang bernilai lebih dari 10980
m dan suhunya mencapai (-40,3oC) (gambar tidak ditampilkan).
Gambar 5. Distribusi spasial ketinggian geopotensial (kiri) dan suhu (kanan) rata-rata pada 250 hPa
untuk bulan September-Oktober-November (SON) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Seperti yang terjadi pada bulan MAM untuk 850 hPa, pada bulan SON untuk 250 hPa ketinggian
geopotensial dan suhu terlihat kontras antara lautan dan daratan seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Ketinggian geopotensial yang terjadi di daratan terlihat lebih rendah dibandingkan dengan di perairan
Indonesia. Ketinggian geopotensial di daratan (kurang dari 10960 m) lebih rendah dibandingkan dengan
lautan yang bernilai sekitar 10980 m. Keadaan sebaliknya terjadi untuk suhu, dimana suhu di daratan lebih
tinggi (sekitar -40,8oC) dibandingkan dengan lautan yang bernilai kurang dari -41oC.Berdasarkan hasil
terlihat bahwa pada 250 hPa nilai ketinggian geopotensial dan suhu untuk setiap musim, berbanding lurus.
Gambar 6.Distribusi koeffisien korelasiantara geopotensial dan suhu rata-rata pada 850 hPa
untuk bulan DJF (kiri) dan JJA (kanan) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Analisa selanjutnya untuk korelasi antara ketinggian geopotensial dan suhu pada bulan DJF, MAM,
JJA, dan SON. Gambar 6 menunjukkan distribusi koeffisien korelasi antara ketinggian geopotensial dan suhu
pada bulan DJF(kiri) dan JJA (kanan). Berdasarkan hasil terlihat bahwa pola distribusi nilai koeffisien
korelasi pada bulan DJF di wilayah Utara dan Selatan ekuator Indonesia menunjukkan hasil berlawanan.
Bagian Utara, bagian Selatan pada posisi (4-12)oLS, (90-110)oBT, dan (3-12)oLS, (125-145)oBT
menunjukkan nilai koeffisien korelasi negatif, yang berarti nilai ketinggian geopotensial dan suhu
berbanding terbalik. Nilai tertinggi terjadi di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Timur, sebagian besar
Sulawesi, kepulauan Maluku. Sebaliknya, nilai koeffisien korelasi positif, yang berarti nilai ketinggian
- 717 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
geopotensial dan suhu berbanding lurus terjadi di wilayah Selatan ekuator Indonesia dengan nilai tertinggi
terjadi di sebagian Samudera Hindia, Jawa dan perairan sekitarnya, NTT, NTB, dan sebagian besar Papua.
Keadaan sebaliknya terjadi pada bulan JJA seperti yang terlihat pada Gambar 6 (kanan), dimana nilai
koeffisien korelasi negatif terjadi di wilayah Utara dan positif terjadi di wilayah Selatanekuator Indonesia.Di
wilayah Selatan, nilai tertinggi terjadi di Samudera Hindia, sekitar laut Jawa, Kalimantan Timur, sebgian
besar Sulawesi, kepulauan Maluku, Papua bagian Selatan dan sebagian besar perairan sekitarnya. Sedangkan
di wilayah Utara ekuator Indonesia nilai koeffisien korelasi tertinggi terjadi di Samudera Hindia sebelah
Barat Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan disekitar perairan Papua bagian Utara.
Gambar 6. Distribusi koeffisien korelasiantara geopotensial dan suhu rata-rata pada 850 hPa
untuk bulan DJF (kiri) dan JJA (kanan) tahun 2010-2014 di wilayah Indonesia.
Hasil yang signifikan terjadi pada ketinggian 250 hPa baik untuk DJF maupun untuk JJA, dimana antara
ketinggian geopotensial dan suhu berkorelasi positif hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti yang
terlihat pada Gambar 6. Untuk DJF (Gambar 6-kiri) nilai koeffisen korelasi tertinggi terjadi di sebagian besar
wilayah Sumater, Kalimatan, Jawa, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian Selatan. Sedangkan
untuk JJA nilai koeffisen korelasi tertinggi terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian dari keseluruhan hasil terlihat bahwa pada ketinggian 850 hPa derajat hubungan
antara ketinggian geopotensial dan suhu permukaan lebih besar pada musim basah (DJF) daripada musim
kering (JJA), dan variabilitas ketinggian geopotensial dan suhu tidak terlalu signifikan. Sebaliknya pada
ketinggian 250 hPa, hubungan antara ketinggian geopotensial dan suhu permukaan lebih besar pada musim
basah (JJA) daripada musim kering (DJF), dan variabilitas ketinggian geopotensial dan suhu terlihat cukup
signifikan untuk setiap musim. Distribusi spasial ketinggian geopotensial dan suhu memperlihatkan pola
yang berbanding terbalik untuk ketinggian 850 hPa dan berbanding lurus untuk ketinggian 250 hPa. Hasil
penelitian lain tentang korelasi ketinggian geopotensial dan suhu diantaranya dilakukan oleh (Hafez dan
Almazroui, 2014) yang menyatakan bahwa koefisien korelasi antara ketinggian geopotensial dan suhu sangat
tinggi(0,82),terutamaantaraanomalitahunanketinggian geopotensial500hPaglobal dansuhu permukaanratarata tahunanglobal seperti yang terlihat pada Gambar 7. Di wilayah Indonesia bagian Barat terlihat bahwa
nilai koeffisien korelasi bernilai lebih dari 0,8.Hal ini jelas bahwa, korelasi antaraanomaliketinggian
geopotensialdan indeksiklimbervariasi daridaerah ke daerahdi permukaanbumi.
Gambar 7. Distribusi koeffisien korelasi antara ketinggian geopotensial dan suhu musiman (DJF)
- 718 -
Analisis Korelasi Ketinggian Geopotensial dan Suhu di Wilayah Indonesia (Sofiati, I.)
dari Global Mean Surface Air Temperature (GMSAT) pada ketinggian 500 hPa untuk periode (1950-2011).
(Sumber : Hafez and Almazroui, 2014).
4. KESIMPULAN
Pada ketinggian 850 hPa derajat hubungan antara ketinggian geopotensial dan suhu permukaan lebih
besar pada musim basah (DJF) daripada musim kering (JJA), dan variabilitas ketinggian geopotensial dan
suhu tidak terlalu signifikan. Sebaliknya pada ketinggian 250 hPa, hubungan antara ketinggian geopotensial
dan suhu permukaan lebih besar pada musim kering (JJA) daripada musim basah (DJF), dan variabilitas
ketinggian geopotensial dan suhu terlihat cukup signifikan untuk setiap musim. Distribusi spasial ketinggian
geopotensial dan suhu memperlihatkan pola yang berbanding terbalik untuk ketinggian 850 hPa dan
berbanding lurus untuk ketinggian 250 hPa.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Sdr. Noviana Dewani M.Si, alumni Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Jurusan Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya
dalam pengolahan output data.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, S., dan Jianping, L. ( 2012). Space–Time Spectral Analysis of the Southern Hemisphere Daily 500-hPa
Geopotential Height. Monthly Weather Review. 140:3844-3856.
Hafez, Y.Y. (2007). The Connection between the 500 hPa Geopotential Height Anomalies over Europe and the
Abnormal Weather in Eastern Mediterranean during Winter 2006. International Journal of Meteorology, 32:335348.
Hafez, Y.Y. (2011). Relationship between Geopotential Height Anomalies over North America and Europe and the
USA Landfall Atlantic Hurricanes Activity. The Journal of American Science, 7:663-671.
Hafez, Y.Y., dan Almazroui, M. (2013). Teleconnection between North Hemisphere Geopotential Height at 500 hPa
Level and Climatic Indices NAO, SOI and El Nino3.4. Science Series Data Report, 5:67-84.
Hafez, Y.Y., dan Almazroui, M. (2014). Recent Study of Anomaly of Global Annual Geopotential Height and Global
Warming. Journal ofAtmospheric and Climate Sciences, 4:347-357. doi.Org/10.4236/Acs.2014.43035.
Joseph, H.C., dan John, M.W. (2007). Identifying Weather Regimes in the Wintertime 500-hPa Geopotential Height
Field for the Pacific–North American Sector Using a Limited-Contour Clustering Technique. Journal of Applied
Meteorology And Climatology, 46:1619-1630,
Paul, A.K., dan Zhi, Y. (1996). Relationships between Geopotential Heights and Temperature in the South-Eastern US
during Wintertime Warming and Cooling Periods. International Journal of Climatology, 16:195-211.
Ruiqiang, D., dan Jianping, L. (2009). Long-Term Trend and Decadal Variability of Persistence of Daily 500-mb
Geopotential height Anomalies during Boreal Winter. Monthly Weather Review, 137:3519-3533.
Smith, L.L., dan Gille, J.C. (2014). Validation of the Aura High Resolution Dynamics Limb Sounder Geopotential
Height. Atmos. Meas. Tech., 7:2775-2785.
Tae, K.W., Ying, H.K., Dong, K.L., Zhiquan, L., dan Wei, W. (2012). Two Overlooked Biases of the Advanced
Research WRF (ARW) Model in Geopotential Height and Temperature. Monthly Weather Review 140:39073918.
Thomas, M.H., dan Jeffrey, S.W. (2007). Ensemble Calibration of 500-hPa Geopotential Height and 850-hPa and 2-m
Temperatures Using Reforecasts. Monthly Weather Review 135:3273-32890.
Tymvios, F., Savvidou, K., dan Michaelides, S.C. (2010). Association of Geopotential Height Patterns with Heavy
Rainfall events in Cyprus. Advances in Geosciences. 23:73-78. doi:10.5194/adgeo-23-73-2010.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Parwati, S.Si., M.Sc.
: Analisa Korelasi Ketinggian Geopotensial dan Suhu di Wilayah Indonesia
:Iis Sofiati
: 15.30 – 15.45
:Ruang E-F
:
- 719 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Maryani Hartuti – LAPAN
Suhu yang dimaksud adalah suhu udara ?
Jawaban:
Ya.
Slamet Supriyadi – IPB
Apakah dilakukan validasi dengan data yang lain ? (Misal dengan Sounding)
Masukkan : Penelitian tentang geopotensial menjadi peluang besar di Indonesia karena termasuk dalam jenis penelitian
baru.
Jawaban:
Ya
Terima kasih saran
- 720 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Analisis Parameter Penentu Kualitas Produk Data Aerosol Optical Depth
untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat dari Satelit NPP VIIRS
Erna Sri Adiningsih1,*), Andy Indrajat1, dan Noriandini D. Salyasari1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN
Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Data satelit NPP VIIRS dapat diolah untuk menghasilkan berbagai produk data untuk daratan, lautan,
dan atmosfer. Salah satu produk data atmosfer adalah kedalaman atau ketebalan optik aerosol (Aerosol Optical
Depth/Thickness atau AOD/AOT). Aerosol merupakan koloid yang terdiri dari partikel padat halus atau butiran air
yang ada di udara atau atmosfer. Sebagaimana sensor MODIS pada satelit Terra dan Aqua, sensor VIIRS pada satelit
NPP mengukur total jumlah aerosol (alamiah dan buatan) dalam kolom atmosfer mulai dari permukaan bumi hingga
puncak atmosfer. Data AOD yang dianalisis adalah pada level EDR (Environmental Data Record). Data VIIRS diolah
menggunakan perangkat lunak dari Community Satellite Processing Package (CSPP) dari University of Wisconsin.
Analisis data difokuskan pada parameter-parameter kunci dalam pengolahan data yang berpengaruh terhadap kualitas
produk AOD di wilayah Indonesia. Karakterisktik wilayah Indonesia termasuk unik karena merupakan benua maritim
yang didominasi lautan sehingga koreksi terhadap efek sun glint harus dilakukan. Data VIIRS yang dianalisis adalah
untuk wilayah Indonesia bagian barat selama periode kejadian kebakaran hutan tahun 2013, 2014 dan 2015. Hasil
analisis menunjukkan bahwa dengan kelembaban udara tinggi, liputan awan yang tinggi, keberadaan gunung api aktif,
dan frekuensi kebakaran hutan/lahan yang tinggi menjadi faktor-faktor utama yang harus diperhitungkan dalam
pengolahan data AOD. Parameter-parameter kunci yang menjadi penentu kualitas produk AOD untuk wilayah
Indonesia adalah sun glint, klasifikasi awan, masking awan, suhu udara, arah dan kecepatan angin, dan tekanan udara.
Kata kunci: Aerosol Optical Depth, VIIRS EDR, Cloud Masking, Sun Glint
ABSTRACT – NPP VIIRS satellite data can be processed to derive various products over land, ocean, and atmosphere.
One of atmospheric data products is Aerosol Optical Depth/Thickness (AOD or AOT). Aerosols are colloids consisting
of solid fine particles or liquid droplets in air or atmosphere. As MODIS sensor in Terra and Aqua satellites, VIIRS
sensor in NPP satellite measures total aerosol contents (natural and artificial) over one atmospheric column from earth
surface until top of atmosphere. We analyzed AOD data resulted by Environmental data Record (EDR). VIIRS data
were processed using software provided by Community Satellite Processing Package (CSPP) from University of
Wisconsin. Analysis was focused on key parameters affecting AOD product quality over Indonesian area. Sun glint
effect is very essential in AOD data processing since Indonesia has unique characteristic as it is maritime continent
dominated by sea surface. We used VIIRS data over western part of Indonesia during land/forest fires episodes in 2013,
2014, and 2015. The results show that high air humidity, high cloud cover, active volcanoes presence, as well as
frequent land/forest fires have become main factors to be taken into account in AOD data processing. Key parameters
determining AOD product quality for Indonesian areas were found to be sun glint effect, cloud classification, cloud
masking, air temperature, wind direction, wind speed, and air pressure.
Keywords: Aerosol Optical Depth, VIIRS EDR, Cloud Masking, Sun Glint
1.
PENDAHULUAN
Sensor VIIRS adalah salah satu dari 5 sensor yang dibawa oleh Satelit Suomi National Polar-Orbiting
Partnership (NPP). Satelit NPP milik AS diluncurkan pada 28 Oktober 2011, dirancang untuk lifetime 7
tahun. Satelit ini merupakan penerus satelit seri NOAA, DMSP-OLS (meteorologi untuk pertahanan
militer), dan EOS (Terra dan Aqua). Dengan pengalaman yang mencukupi dari pengoperasian satelit
NOAA, Terra dan Aqua, maka sensor VIIRS Satelit Suomi NPP melintasi ekuator serta meliput seluruh
bumi dua kali sehari. Di masa yang akan datang, satelit Suomi NPP merupakan bagian dari konstalasi satelit
Joint Polar Satellite System (JPSS). NPP-VIIRS memiliki kemampuan yang mirip dengan sensor MODIS
pada Terra dan Aqua, tetapi dengan cakupan lebih lebar yaitu 3.000 km pada VIIRS dan 2.330 km pada
MODIS. Selain itu sensor VIIRS memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi khususnya pada bagian tepi
cakupan.
Produk data dari VIIRS yang telah dikembangkan atau dioperasionalkan meliputi parameter biogeofisik
di daratan seperti suhu permukaan daratan, indeks vegetasi, dan hotspot, parameter di lautan seperti sea
surface temperature (SST), serta parameter di atmosfer seperti Aerosol Optical Depth (AOD). Aerosol
Optical Depth (AOD) atau disebut juga Aerosol Optical Thickness (AOT) yang dilambangkan dengan (t)
- 721 -
Analisis Parameter Penentu Kualitas Produk Data Aerosol Optical Depth untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat dari Satelit NPP
VIIRS (Adiningsih, E.S., et al.)
adalah koefisien peredaman/ pemadaman pada suatu kolom atmosfer vertikal pada satuan lintasan horisontal.
Koefisien pemadaman merupakan penipisan fraksional dari radiansi per satuan panjang lintasan (disebut juga
dengan atenuasi pada sinyal radar). Pemanfaatan data AOD antara lain adalah untuk koreksi atmosfer data
satelit resolusi menengah dan resolusi tinggi, pengamatan kualitas udara, pemantauan sumber dan rosot
(source and sink) aerosol, kesehatan, pemantauan letusan gunung berapi dan kebakaran hutan, neraca radiasi
bumi, dan perubahan iklim.
Pengolahan data AOD dari VIIRS pada dasarnya dikembangkan dari keberhasilan pengolahan data AOD
dari AVHRR dan MODIS. Data AVHRR telah menghasilkan rekaman data iklim aerosol jangka panjang
sejak tahun 1981 hingga 2009. Data aerosol klimatologi tersebut merupakan rekaman data terpanjang yang
dapat dimanfaatkan untuk kajian iklim maupun sebagai sumber data ancillary untuk pengolahan AOD (Chan
et al., 2013). Ada tiga pilihan algoritma pengolahan data AOD dari radiansi MODIS yaitu satu algoritma
AOD di atas lautan yang dikembangkan oleh Remer et al. (2005) dan dua pilihan algoritma AOD di atas
daratan yang disebut algoritma Dark-Target oleh Levy et al. (2007) dan algoritma the Deep-Blue untuk
permukaan yang lebih cerah oleh Hsu et al. (2004). Selain itu, AOD di atas daratan juga dapat diturunkan
dari data SeaWiFS berdasarkan pengolahan radiansi pada puncak atmosfer (Von Hoyningen-Huene et al.,
2003).
Karakteristik sensor VIIRS pada satelit Suomi NPP Data VIIRS memiliki lebar sapuan 3000 km yang
lebih baik daripada MODIS yang memiliki lebar sapuan 2330 km. Dengan demikian cakupan pengamatan
VIIRS untuk pemanfaatan lebih lanjut diharapkan juga lebih baik. Produk data AOD dari MODIS telah
divalidasi dengan data in-situ menggunakan sun-photometer dan diperoleh korelasi yang nyata (r=0.83)
(Retalis et al., 2010). Kajian kualitas produk data AOD pada 550 nm yang diturunkan dari data MODIS
telah dilakukan dengan memvalidasi terhadap data aerosol dari jaringan stasiun permukaan AERONET dan
menghasilkan galat rata-rata sebesar 0.03 atau 17% relatif terhadap data AOD rata-rata berbasis pengamatan
di lapangan. Penelitian lebih lanjut juga dilakukan dengan menganalisis peran count pixel terhadap agregasi
spasial dari produk Level 2 ke Level 3serta pengaruh ketidakpastian AOD Level-3 terhadap iradiansi
horizontal global (Ruiz-Arias et al., 2013).
Sementara itu, evaluasi awal dan validasi data AOD VIIRS telah dilakukan dengan data aerosol global
dari AERONET (Kennedy et al., 2013). Hasilnya menunjukkan bias data AOD terhadap data AERONET
adalah sekitar 0.02 dengan galat baku 0.05 di atas lautan dan 0.12 di atas daratan. Penggunaan data
AERONET untuk memprediksi data AOD telah dilakukan dengan koefisien determinan (R2) sebesar 0.68
dan hasilnya telah divalidasi dengan data LIDAR (Tan et al., 2014). Meskipun pengujian kualitas data AOD
dari MODIS telah dilakukan untuk berbagai wilayah (region), namun belum dilakukan evaluasi untuk
wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
produk data AOD VIIRS di Indonesia, khususnya wilayah Sumatera dan Kalimantan. Wilayah ini dipilih
mengingat bahwa informasi tentang kandungan aerosol sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat
pencemaran udara dan jarak pandang (visibility) berkaitan dengan kejadian kabut asap akibat kebakaran
hutan dan lahan yang sering terjadi di wilayah ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Podgorny et al.
(2003) dan Graf et al. (2009) bahwa selama episode asap kebakaran di Indonesia pada tahun 1997 terjadi
peningkatan aerosol yang pada akhirnya berpengaruh pada keawanan dan curah hujan.
2.
METODE
Data VIIRS yang digunakan dalam kajian adalah data harian pada bulan Agustus tahun 2013, 2014, dan
2015. Periode ini dipilih karena merupakan periode terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan
Kalimantan yang menimbulkan kabut asap. Hasil pengolahan awal disajikan dalam bentuk citra komposit
RGB True Colour yang merupakan kombinasi dari citra reflektansi pada band M5, M4, dan M3. Algoritma
pengolahan AOD mengacu kepada dokumen dasar teoritis algoritma atau Algorithm Theoretical Basis
Document (ATBD) yang dipublikasi oleh Joint Polar Satellite System (JPSS) dari NASA (Goddard Space
Flight Center, 2013). Pengolahan dilakukan menggunakan perangkat lunak Community Satellite Processing
Package (CSPP) dari University of Wisconsin. Adapun visualisasi citra dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak ENVI.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung AOD menurut Jackson et al., (2013) sebagai berikut:
- 722 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
.... (1)
Selanjutnya nilai dugaan AOD dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
..............................................................................
(2)
dimana:
A adalah AOD, s adalah sudut datang surya, A adalah sudut zenith, P adalah tekanan udara
permukaan, dan  adalah reflektansi atmosfer akibat bauran Raleigh & bauran aerosol (Jackson et al.,
2013). Ekstraksi parameter AOD (Goddard Flight Center, 2013) dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
(a). Pengolahan Raw Data untuk menghasilkan Sensor Data Record (SDR):
Pada tahap ini data band M1, M2, M3, M5, M6, M7, M8, M10, M11 dari sensor VIIRS yang bekerja pada
kisaran 0.412 sampai 2.25 μm digunakan untuk mencocokkan dengan lookup table (LUT) untuk
mendapatkan aerosol. Kemudian dilakukan masking dan pemilihan piksel yang merupakan tahap uji
pentapisan internal untuk mengetahui karakteristik kondisi permukaan dengan data band M4, M9, M12,
M15, M16. Data dari band M4,M9,M12 digunakan untuk uji internal wilayah daratan, masking dan
pemilihan piksel (air dangkal, awan cirrus). Data dari band M15, M16 untuk uji internal di atas wilayah
daratan dan lautan.
(b). Selanjutnya dimasukkan produk antara (Intermediate Products) khususnya VCM yaitu cloud mask IP
(Intermediate Product). Cloud Mask IP terdiri dari tahapan identifikasi awan dan menghindari awan.
Selanjutnya tahap menghindari Sunglint di atas lautan, dengan menghitung glint berdasarkan geometri
dan menandai piksel yang memiliki pantulan spekular lebih dari 36o. Tahapan berikutnya adalah
menghindari kebakaran di atas daratan. Dalam hal ini piksel dideteksi sebagai kebakaran jika nilai
Middle Infrared Anomaly (MIRA) lebih besar dari 0.1. Tahapan berikutnya adalah menghindari
permukaan yang cerah di atas daratan, sedangkan yang terakhir adalah menghindari salju/es.
(c) . Selain itu, diperlukan pula berbagai data ancillary yang terdiri dari:
Precipitable Water (cm), Surface Temperature (K), Wind speed (m/s), Wind direction, Ozone (atm-cm),
dan Surface Pressure (hPa).
Look Up Table untuk VIIRS AOT disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut.
Tabel 1. VIIRS AOT Look Up Table (LUT)
(Sumber: Goddard Space Flight Center, 2013)
- 723 -
Analisis Parameter Penentu Kualitas Produk Data Aerosol Optical Depth untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat dari Satelit NPP
VIIRS (Adiningsih, E.S., et al.)
Tabel 2. VIIRS AOT Sunglint Look Up Table (LUT)
(Sumber: Goddard Space Flight Center, 2013)
3.
HASIL PEMBAHASAN
Hasil pengolahan data VIIRS harian bulan Agustus tahun 2013, 2014, dan 2015 berupa citra
RGB True Colour dan citra AOD disajikan pada Gambar 1, 2, dan 3 berikut. Pada Gambar 1, 2, 3
dapat dilihat bahwa nilai AOD di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya Sumatera dan
Kalimantan relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Kualitas produk data yang
dihasilkan nampak memberikan nilai yang kurang “smooth”. Sebagaimana proses pengolahan data
AOD, baik untuk wilayah daratan dan lautan, digunakan data LUT dan ancillary. Kedua jenis data tersebut
bersumber dari data in situ maupun rekaman data klimatologi aerosol. Kemungkinan besar hal ini
disebabkan data LUT dan ancillary yang digunakan tidak up-to-date sesuai dengan kondisi atmosfer
di atas wilayah Indonesia. Sumber data AOD klimatologi yang digunakan bersumber dari data
AERONET dimana lokasi stasiun pengamatan di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai
perbandingan, pada Gambar 4 disajikan citra AOD di atas wilayah Amerika Serikat yang
berkualitas baik yang dimungkinkan dengan adanya sumber data LUT maupun data ancillary yang
berkualitas pula.
Selain itu di seluruh data yang diolah terdapat blank area di bagian tengah dari cakupan data untuk
seluruh data harian yang diolah. Kondisi yang terlihat nampaknya bersifat seragam dan sistematis. Jika
ditelusuri dari citra RGB, kondisi permukaan dengan kecerahan berlebihan selalu nampak pada bagian
tengah dari data VIIRS yang diakuisisi di Stasiun Bumi Parepare. Sebagaimana algoritma dan tahapan
pengolahan data yang diterapkan, hal ini menyebabkan area tersebut diklasifikasikan sebagai “brighter
surface”. Oleh karena algoritmanya menggunakan prinsip “brighter surface avoidance”, maka produk data
AOD VIIRS harian selalu menghasilkan kondisi blank area di bagian tengah dari cakupan data. Analisis
lebih lanjut terhadap faktor ini masih perlu dikaji lebih mendalam, namun belum dilakukan dalam penelitian
ini.
Faktor ketiga yang dapat diidentifikasi dari produk data AOD jika dibandingkan dengan Gambar 4 adalah
terkait dengan klasifikasi awan dalam produk cloud mask. Atmosfer di atas wilayah Indonesia umumnya
memiliki penutupan awan yang hamper selalu tinggi, khususnya di daerah yang dikaji. Selain itu kabut asap
akibat kebakaran hutan yang terjadi pada periode data yang diolah perlu diperhitungkan lebih teliti, yang
berbeda dengan kondisi yang terdapat pada Gambar 4. Akurasi AOD dari satelit telah dikaji untuk AOD dari
data AVHRR dan MODIS yang menunjukkan masih adanya ketidakpastian (uncertainty) dari galat (error)
yang berkaitan dengan sifat optik aerosol, distribusi partikel, dan bentuk partikel aerosol pada wilayah di
dekat nadir. Sementara itu galat relatif lebih kecil pada sudut pandang yang lebih besar (off nadir) (Chylek
et al., 2003). Hasil tersebut serupa dengan hasil pengolahan data AOD VIIRS pada kajian ini, yang
memperlihatkan blank area di sekitar nadir. Kondisi ini terjadi antara lain akibat adanya efek pantulan
cahaya matahari di daerah nadir sehingga menyebabkan nilai kecerahan menjadi sangat tinggi.
- 724 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
(a)
(b)
Gambar 1. Citra RGB True Colour (a) dan AOD (b) dari data VIIRS untuk wilayah Indonesia Bagian Barat pada
tanggal 11-08-2013
- 725 -
Analisis Parameter Penentu Kualitas Produk Data Aerosol Optical Depth untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat dari Satelit NPP
VIIRS (Adiningsih, E.S., et al.)
(a)
(b)
Gambar 2 Citra RGB True Colour (a) dan AOD (b) dari data VIIRS wilayah Indonesia Bagian Barat pada tanggal
05-08-2014
- 726 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
(a)
(b)
Gambar 3 Citra RGB True Colour (a) dan AOD (b) dari data VIIRS wilayah Indonesia Bagian Barat pada tanggal
05-08-2015
- 727 -
Analisis Parameter Penentu Kualitas Produk Data Aerosol Optical Depth untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat dari Satelit NPP
VIIRS (Adiningsih, E.S., et al.)
Gambar 4. Citra AOD VIIRS yang dikategorikan berkualitas baik (Sumber: Jackson et al., 2013)
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap produk data AOD VIIRS pada tahun 2013, 2014, dan 2015 dapat
disimpulkan bahwa kualitas data masih belum baik, terutama untuk wilayah di atas lautan di sekitar nadir.
Hal ini berkaitan dengan efek kecerahan berlebihan akibat pantulan cahaya matahari sehingga menjadi blank
area yang tidak diolah. Kualitas data AOD VIIRS perlu ditingkatkan dengan memperhitungkan updating
data LUT dan data ancillary, khususnya faktor awan, kabut asap, dan permukaan yang sangat cerah.
Kesulitan dalam memperoleh data LUT dan data ancillary yang terbaharui untuk wilayah Indonesia akan
menjadi satu kendala tersendiri untuk menghasilkan produk data yang berkualitas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan pengembangan sistem akuisisi data resolusi rendah yang
dilaksanakan oleh Bidang Teksista dan didanai oleh Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti dan perekayasa di Pustekdata, khususnya di
Bidang Teksista yang telah memberikan masukan berharga kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Chan, P.K., Zhao, X.P., dan Heidinger, A.K. (2013). Long-term aerosol climate data record derived from operational
AVHRR satellite observations. Dataset Papers in Geosciences. Hindawi Publ.Corp. Vol.2013, Article ID 140791, 5
pages.
Chylek, P., Henderson, B., dan Mishchenko, M. (2003). Aerosol radiative forcing and the accuracy of satellite aerosol
optical depth retrieval. J. Geophys. Research, 108(D24):AAC 4-1 - 4-8.
Goddard Space Flight Center (2013). Joint Polar Satellite System (JPSS) VIIRS Aerosol Optical Thickness AOT) and
Particle Size Parameter Algorithm Theoretical Basis Document (ATBD). Goddard Space Flight Center, NASA,
Greenbelt, Maryland. 100pp.
Graf, H.F., Yang, J., dan Wagner, T.M. (2009). Aerosol effects on clouds and precipitation during the 1997 smoke
episode in Indonesia. Atmos. Chem. Phys., 9:743-756.
Hsu, N., Tsay, S., King, M., dan Herman, J. (2004). Aerosol properties over bright-reflecting source regions, Geosci.
Remote Sens., IEEE Trans., 42:557–569, doi:10.1109/TGRS.2004.824067
Jackson, J.M., Honging, L., Laszlo, I., Kondragunt, S., Remer, L., Huang, J., dan Huang, H.C. (2013). Suomi NPP
VIIRS Aerosol algorithms and data products. J. Geophys. R. Atmos. 118:12673-12689.
- 728 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Levy, R., Remer, L., Mattoo, S., Vermote, E., dan Kaufman, Y. (2007). Second-generation operational algorithm:
Retrieval of aerosol properties over land from inversion of Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer spectral
reflectance, J. Geophys. Res., 112, D13, doi:10.1029/2006JD007811, 2007.
Podgorny, I.A., Li, F., dan Ramanathan, V. (2003). Large aerosol radiative forcing due to the 1997 Indonesian forest
fire. Geophys. Res., Letters, 30(1): 28-1 - 28-4
Remer, L., Kaufman, Y., Tanr´e, D., Mattoo, S., Chu, D., Martins, J., Li, R., Ichoku, C., Levy, R., Kleidman, R., Eck,
T., Vermote, E., dan Holben, B. The MODIS aerosol algorithm, products, and validation, J. Atmos. Sci., 62: 947–
973.
Retalis, A., Hadjimitsis, D.G., Michaelides, S., Tymvios, F., Chrysonlakis, N., Claytom, C.R.I., dan Themistocleous, K.
(2010). Comparison of aerosol optical thisckness with in situ visibility data over Cyprus. Nat.Hazards Earth Syst.
Sci., 10: 421-428.
Ruiz-Arias, J.A., Dudhia, J., Gueymard, C.A., dan Pozo-V´azquez, D. (2013). Assessment of the Level-3 MODIS daily
aerosol optical depth in the context of surface solar radiation and numerical weather modeling. Atmos. Chem. Phys.,
13: 675–692.
Tan, F., Lim, H.S., Yoon, T.L., dan Holben, B. (2014). Variations in optical properties of aerosols on monsoonal
seasonal change and estimation of aerosol optical depth using ground-based meteorological and air quality data.
Atmos. Chem. Phys. Discuss., 14: 19747-19789.
Von Hoyningen-Huene, W., Freitag, M., dan Burrows, J.B. (2003). Retrieveal aerosol optical thickness over land
surfaces from top-of-atmosphere radiance. J. Geophysical Research. 108(D9): AAC 2-1 - 2-20, 4260, doi:
10.1029/2001JD002018.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Parwati, S.Si., M.Sc.
: Analisis Parameter Penentu Kualitas Produk Data Aerosol Optical
Depth Untuk Wilayah Indonesia Bagian Barat dari satelit NPP VIIRS
: Dr. Erna Sri Adiningsih
: 15.45 – 16.00
: Ruang E-F
:
Fadhilah – LAPAN
Mengapa Indonesia Bagian Barat yang dipilih dalam kajian ?
Hubungan AOD dan Visibility ?
Dari mana didapat Ancilary data ?
Membandingkan dengan data yang lain misalnya MODIS ?
Jawaban:
Karena emisi aerosol bulan-bulan terakhir banyak di WIB.
Level 3 atau 4 akan menuju ke Visibility lebih ke dinamika aerosolnya.
Online downloaded
Belum sampai tahap tersebut.
Maryani Hartuti - LAPAN
Brightnes surface akan blank, apakah ada pengaruh matahari ?
Bagaimana Luasan dan Lintasannya ?
Jawaban:
Untuk Lautan tidak dapat diolah, namun untuk daratan tidak ada masalah dengan brightnes surface kecuali ketika
memiliki bright yang terlau terang sehingga tidak dapat dibaca.
- 729 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Profil Vertikal Komposisi Atmosfer Indonesia Berbasis AQUA-AIRS
Ninong Komala1,*)
1
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
*)
E-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK -Analisis komposisi atmosfer Indonesia berbasis penginderaan jauh sangat bermanfaat untuk memperoleh
karakteristik parameter atmosfer mulai dari permukaan dan di berbagai lapisan ketinggian atmosfer. Dengan
menggunakan data AIRS pada satelit AQUA dapat diperoleh informasi parameter atmosfer dan komposisi atmosfer
seperti ozon, CO, CH4 dan temperatur mulai dari permukaan sampai ketinggian 1 hPa. Hasil yang diperoleh sangat
berguna untuk menentukan variabilitas dan karakteristik parameter atmosfer dalam jangka panjang. Penelitian
dilakukan dengan melakukan inventori data ozon, CO, CH4 dan temperatur berbasis data satelit sensor Atmospheric
Infra Red Sounders (AIRS) pada satelit AQUA periode 2002-2015. Metoda yang digunakan adalah analisis pola
tahunan, musiman serta melakukan analisis variasi temporal ozon, CO, CH4 dan temperatur pada level permukaan, 100
hPa, 20 hPa, 10 hPa dan 1 hPa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa profil vertikal komposisi atmosfer Indonesia
mempunyai kondisi maksimum dan minimum pada ketinggian yang berbeda. Ozon di Indonesia maksimum pada 10
hPa dengan konsentrasi 8 sd 10 ppm, konsentrasi minimum di permukaan dengan konsetrasi 0.022 ppm. Profil CO
dengan konsentrasi tertinggi di permukaan dengan konsetrasi 0,105 ppm dan minimum pada 20 hPa dengan konsetrasi
0,019 ppm. CH4 di permukaan mempunyai konsentrasi tertinggi yaitu 1,793 ppm dan konsentrasi minimum 1,03 ppm
terdeteksi pada 1 hPa. Profil temperatur di Indonesia terdeteksi maksimum di level permukaan yaitu 299 K dan
minimum pada lapisan tropopause (100 hPa) dengan temperatur 191 K. Analisis parameter atmosfer pada level
permukaan, 100 hPa, 20 hPa, 10 hPa dan 1 hPa serta variasi musimannya memberikan hasil yang menarik dan akan
dibahas secara rinci.
Kata kunci :AQUA-AIRSCH4, CO, ozon, temperature
ABSTRACT - Indonesia atmospheric composition analysis based on remote sensing data is very useful for obtaining
the characteristic of the atmospheric parameter from the surface and at various altitude. By using data of Atmospheric
Infra Red Sounders (AIRS) on the AQUA satellite we can obtained atmospheric parameters and composition of the
atmosphere such as ozone, CO, CH4 and temperatures ranging from the surface to 1 hPa. The results obtained are very
useful for determining the variability and characteristics of atmospheric parameter in the long term. The study was
conducted by doing an inventory of ozone, CO, CH4 and temperature data based on Atmospheric Infra Red Sounders
(AIRS) sensor in the period of 2002-2015. The method used is the analysis of annual, seasonal and temporal variation
pattern of ozone, CO, CH4 and temperature at the surface level, 100 hPa, 20 hPa, 10 hPa and 1 hPa. The results
obtained showed that vertical profile of atmospheric composition has a maximum and minimum conditions at different
altitudes. Ozone in Indonesia reach maximum at 10 hPa with 8 to 10 ppm concentration, minimum concentration of
0.0022 ppm show at the surface. Profile vertical of CO with the highest concentration in the surface of 0.105 ppm and
the minimum at 20 hPa of 0.019 ppm . Profile of CH4 in the surface has the highest concentration of 1,793 ppm and a
minimum concentration of 1.03 ppm was detected in 1 hPa. Profile of temperature in Indonesia shows maximum at the
surface level of 299 K and a minimum at the tropopause layer (100 hPa) with temperatures of 191 K. Analysis of
atmospheric parameters on a surface level, 100 hPa, 20 hPa, 10 hPa and 1 hPa as well as seasonal variations show
very interesting result and will be discussed in detail.
Keywords: AQUA-AIRS, CH4, CO, ozone, temperature
1.
PENDAHULUAN
Sebagian besarozon(sekitar 97%) ditemukandi atmosferterkonsentrasidistratosferpada ketinggian15
sampai55 kilometerdi ataspermukaan bumi. Ozon stratosferiniberperan sangat penting untukkehidupan
dibumikarena menyerapradiasiultraviolet yang berbahaya.Pembentukan ozon paling tinggi terjadi di wilayah
katulistiwa karena sinar matahari bersinar terus menerus sepanjang tahun. Akan tetapi, konsentrasi ozon
paling besar terdapat di wilayah kutub (lintang tinggi dan lintang menengah) disebabkan adanya transport
ozon dan dinamika atmosfer dari khatulistiwa. Konsentrasi ozon total di wilayah tropis meningkat pada saat
musim kemarau dan menurun saat musim hujan (Kaye et al., 1993).
- 730 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Konsentrasi tertinggi CO cenderung terjadi dekat wilayah dengan populasi yang tinggi. Pada skala
global, belahan bumi utara lebih padat penduduknya sehingga memiliki konsentrasi CO yang lebih tinggi
dibandingkan di belahan bumi selatan. Pembakaran biomassa dan penggunaan bahan bakar fosil merupakan
sumber utama emisi karbon monoksida buatan manusia (Pidwirny, 2006). Sumber utama CO berasal dari
proses pembakaran tidak sempurna pada bahan bakar minyak, pembakaran biomasa, dan proses oksidasi
fotokimia pada metana dan hidrokarbon lainnya di atmosfer. Sumber utama CO berasal dari wilayah daratan
yang memiliki faktor terpenting sumber CO yaitu emisi antropogenik dan pembakaran biomasa di musim
kering/ kemarau di wilayah tropis dan pada periode hangat di wilayah lintang tinggi.
Sumber alami CH4 diantaranya adalah lahan basah di daerah tropis dan di belahan bumi utara. Sink
(rosot) untuk CH4 adalah atmosfer itu sendiri, karena CH4 mudah bereaksi dengan radikal hidroksil (OH) di
troposfer juga di stratosfer. Di troposfer dan stratosfer CH4 akan membentuk CO2 dan uap air (H2O). Rosot
alami CH4 lainnya adalah tanah, yang mengakibatkan CH4 teroksidasi oleh bakteri (Pidwirny, 2006).
Konsentrasi CH4 mengalami peningkatan karena aktivitas antropogenik termasuk pertanian, pembakaran
biomassa, tambang batubara. Aktivitas antropogenik ini sangat signifikan mempengaruhi budget CH4 secara
global (Ruddiman, 2003). Perubahan konsentrasi CH4 juga akan berpengaruh terhadap produksi ozon di
troposfer (Brasseur et al., 1999). Oksidasi CH4 oleh OH juga merupakan sumber utama CO dan formaldehid
di troposfer (Hobb, 2000).
Temperatur merupakan kunci utama dalam kesetimbangan radiatif di atmosfer. Temperatur pada tekanan
tertentu menentukan kerapatan dan dinamika di seluruh skala juga menentukan kecepatan reaksi kimia dan
proses transfer radiatif di atmosfer (Schwartz, 2010). Profil temperatur vertikal di atmosfer bumi secara
global berkaitan dengan radiasi, konveksi, dan proses pemanasan dinamika antara permukaan bumi dengan
sistem atmosfer (Ramaswamy et al., 2006).
Penelitian profil vertikal komposisi atmosfer di wilayah Indonesia berbasis data satelit dilakukan dengan
tujuan untuk memahami karakteristik dari masing-masing parameter atmosfer dari permukaan dan di
berbagai level ketinggian. Komposisi atmosfer yang diteliti adalah ozon CO dan CH4 serta temperatur
berbasis data AQUA-AIRS dengan periode pengamatan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2015.
2.
METODE
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data ozon (ppm), CO (ppm), CH4 (ppm) dan temperatur
(K) di wilayah Indonesia (10o LU – 10 o LS dan 94 o BT-141 o BT) pada ketinggian 1000 hPa sampai
dengan 1 hPa hasil observasi Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit AQUA. Data yang
diperoleh merupakan data global rata-rata bulanan dengan grid 1o lintang x 1o bujur. Periode data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dari tahun 2002 sampai dengan Agustus 2015
(http://acdisx.gsfc.nasa.gov/data/).
Metodologi penelitian yang diakukan adalah melakukan ekstraksi data ozon, CO, CH4 dan temperatur
ntuk wilayah Indonesia dari data AQUA-AIRS global dalam format nc untuk periode 2003 sampai dengan
2015. Dilakukan konversi data dari NetCDF (Network Common Data Form) format untuk data ozon, CO,
CH4 dan temperaturmenggunakan HDF view dan EXCELL. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan
membuat analisis time series variasi ozon, CO dan CH4 dan temperatur pada ketinggian 1000 hpa sampai 1
hPa, kemudian dicari level maksimum dan minimum masing-masing parameter, ditentukan pula pola variasi
tahunan dan musimannya.
3.
HASIL PEMBAHASAN
Time series profil ozon terhadap ketinggian untuk Indonesia dari data AIRS tahun 2002 sampai 2015
memperlihatkan distribusi ozon yang dominan pada tekanan 10 hpa dengan konsentrasi ozon mencapai 8
ppm sampai dengan 10.4 ppm. Dan distribusi ozon minimum pada tekanan 1000 hPa dengan konsentrasi
ozon 0.02 ppm (Gambar 1).
Rata-rata bulanan ozon menunjukkan nilai maksimum saat bulan Maret pada tekanan 10 hPa dengan
konsentrasi ozon 9.63 ppm sedangkan ozon rata-rata bulanan minimum pada bulan Juli pada tekanan 10 hPa
dengan konsentrasi ozon 8.67 ppm (Gambar 2a). Variasi musiman profil ozon ((Gambar2b) menunjukkan
puncak ozon pada tekanan 10 hPa maksimum pada bulan Maret-April-Mei (MAM) dengan konsentrasi 9,86
- 731 -
Profil Vertikal Komposisi Atmosfer Indonesia Berbasis AQUA-AIRS (Komala, N.)
ppm. Puncak ozon stratosfer minimum terjadi pada bulan September-Oktober-November (SON) dengan
konsentrasi 8,8 ppm dan pada bulan Juni-Juli-Agustus(JJA) dengan konsentrasi ozon 8.9 ppm.
Gambar 1. Grafik variasi temporal profil vertikal ozon Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa periode
tahun 2002 sampai dengan 2015
Gambar 2. Grafik variasi rata-rata bulanan (a) dan musiman (b) tahun 2002 sampai dengan 2015
profil vertikal ozon Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa
Time series profil CO terhadap ketinggian untuk Indonesia memperlihatkan distribusi CO yang dominan
pada tekanan 1000 hpa dengan konsentrasi CO mencapai 0.105 ppm sampai 0.120 ppm. Sedangkan
distribusi CO minimum pada tekanan 20 hPa dengan konsentrasi CO 0.017 ppm sampaai 0.019 ppm Profil
CO pada September 2002 dan Oktober 2006 memperlihatkan profil yang berbeda dengan profil yang
lainnya. Pada kedua profil ini CO memperlihatkan konsentrasi yang tinggi sampai dengan ketinggian 500
hPa. Konsentrasi CO yang tinggi terkait dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di Indonesia yang
terjadi pada tahun tersebut (Gambar 3).
Profil rata-rata bulanan CO menunjukkan profil yang mirip dari 100 hPa sampai 1 hPa sedangkan dari
1000 hPa sampai 150 hPa lebih fluktuatif (Gambar 4a). Variasi musiman profil CO ((Gambar4b)
menunjukkan menunjukkan profil yang mirip dari 100 hPa sampai 1 hPa sedangkan dari 1000 hPa sampai
150 hPa lebih fluktuatif, profil JJA menunjukkan minimum dan SON menunjukkan konsentrasi CO yang
lebih tinggi.
- 732 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 3. Grafik variasi temporal profil vertikal CO Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa periode tahun
2002 sampai dengan 2015
Gambar 4. Grafik variasi rata-rata bulanan (a) dan musiman (b) tahun 2002 sampai dengan 2015
profil vertikal CO Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa
Time series profil CH4 terhadap ketinggian untuk Indonesia memperlihatkan distribusi CH4 yang
maksimum pada tekanan 1000 hpa dengan konsentrasi CH4 mencapai 1.793 ppm. Sedangkan distribusi CH4
minimum pada tekanan 1 hPa dengan konsentrasi CH41.03 ppm. Konsentrasi CH4 mengalami kenaikan dari
waktu ke waktu pada setiap level (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik variasi temporal profil vertikal CH4 Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa periode tahun
2002 sampai dengan 2015
- 733 -
Profil Vertikal Komposisi Atmosfer Indonesia Berbasis AQUA-AIRS (Komala, N.)
Profil rata-rata bulanan CH4 menunjukkan profil setiap bulannya mempunyai kemiripan dari 1000 hPa
sampai 1 hPa. (Gambar 6a). Variasi musiman profil CH4 juga menunjukkan profil DJF, MAM, JJA dan SON
mempunyai kemiripan dari 1000 hPa sampai 1 hPa. (Gambar6b).
Gambar 6. Grafik variasi rata-rata bulanan (a) dan musiman (b) tahun 2002 sampai dengan 2015
profil vertikal CH4 Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa
Time series profil temperatur terhadap ketinggian untuk Indonesia dari data AIRS tahun 2002 sampai
2015 memperlihatkan distribusi temperatur yang dominan pada tekanan 1000 hpa. Pada 1000 hPa temperatur
antara 299 K sampai dengan 300.5 K. dan minimum pada lapisan tropopause (100 hPa) dengan temperatur
191 K (Gambar 7).
Gambar 7. Grafik variasi temporal profil vertikal temperatur Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa
periode tahun 2002 sampai dengan 2015
Rata-rata bulanan temperatur menunjukkan nilai maksimum saat bulan bulan April pada tekanan
1000 hPa dengan temperatur 300.18 K sedangkan temperatur rata-rata bulanan minimum pada 100 hPa
terdeteksi pada bulan Januari 2006 dengan temperatur hanya 188.54 K (Gambar 8a). Variasi musiman profil
temperature (Gambar8 b) menunjukkan puncak temperatur pada tekanan 1000 hPa maksimum pada bulan
Maret-April-Mei (MAM) dengan temperature 300.12 K Temperatur terminimum di 100 hPa terjadi pada
bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dengan temperatur 190.13 K.
- 734 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 8. Grafik variasi rata-rata bulanan (a) dan musiman (b) tahun 2002 sampai dengan 2015
profil vertikal temperatur Indonesia pada 1000 hPa sampai dengan 1 hPa
Pada Gambar 9 sampai dengan Gambar 12ditampilkan variabilitas ozon, CO, CH4 dan temperatur
pada ketinggian 1000 hPa, 500 hPa, 100 hPa, 20 hPa, 10 hPa dan 1 hPa menunjukkan bahwa profil
vertikal komposisi atmosfer Indonesia mempunyai kondisi maksimum dan minimum pada ketinggian
yang berbeda.
Gambar 9 menampilkan grafik variasi temporal ozon Indonesia tahun 2002 sampai dengan 2015 pada
1000 hPa, 500 hPa, 100 hpa. Pada 1000 hPa ozon terdeteksi 0,019 ppm sampai dengan 0,026 ppm.
Konsentrasi ozon 0.019 ppm rata-rata terjadi pada bulan Januari-Februari dan 0.026ppm terjadi pada
bulan Agustus-September. Pada 500 hPa ozon di Indonesia 0.045 ppm, dan pada 100 hPa konsentrasi
ozon antara 0.1 ppm sampai dengan 0.16 ppm.Variasi temporal ozon pada 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa.
Pada level 20 hPa ozon mencapai 6 ppm sampai dengan 7.93 ppm. Pada level 10 hPa konsentrasi ozon
terdeteksi 8.5 ppm sampai dengan 10,44 ppm. Di level 10 hpa ini ozon di Indonesia terdeteksi mencapai
nilai maksimum. Di level 1 hPa ozon di atas Indonesia terdeteksi 2.6 ppm sampai dengan 3,1 ppm.
Gambar 9. Grafik variasi temporal profil vertikal ozon Indonesia tahun 2002 sampai dengan 2015 pada 1000 hPa,
500 hPa, 100 hpa, 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa
Gambar 10 menampilkan grafik variasi temporal CO pada 1000 hPa, 500 hPa, 100 hpa. Pada 1000
hPa CO terdeteksi 0,08 ppm sampai dengan 0,126 ppm. Pada 500 hPa CO di Indonesia 0.08 sampai
dengan 0.19 ppm.CO tertinggi dicapai pada Oktober tahun 2006.Dari data initerdeteksi bahwa CO dari
kebakaran hutandapat mencapai ketinggian 500 hPa. Pada 100 hPa konsentrasi CO hanya terdeteksi
0.04ppm. Variasi temporal CO pada 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa. Pada level 20 hPa dan 10 hPa
konsentrasi CO terdeteksi 0.01 ppm sampai dengan 0.02 ppm. Di level 1 hPa CO di atas Indonesia
terdeteksi 0.04 ppm.
- 735 -
Profil Vertikal Komposisi Atmosfer Indonesia Berbasis AQUA-AIRS (Komala, N.)
Gambar 10. Grafik variasi temporal profil vertikal CO Indonesia tahun 2002 sampai dengan 2015 pada 1000 hPa,
500 hPa, 100 hpa, 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa (b)
Pada Gambar 11 dapat dilihat grafik variasi temporal CH4 pada 1000 hPa, 500 hPa, 100 hpa. Pada 1000
hPa CH4 terdeteksi 1.78 ppm sampai dengan 1.80 ppm. Pada 500 hPa CH4 di Indonesia 1.74 ppm
sampaidengan 1.79 ppm, dan pada 100 hPa konsentrasi CH4 antara 1.67 ppm sampai dengan 1.74 ppm.
Di level 1000 hPa, 500 hPa dan 100 hPa konsentrasi CH4 cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Variasi temporal CH4 pada 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa. Pada level 20 hPa CH4 mencapai 1.44 ppm
sampai dengan 1.47 ppm. Pada level 10 hPa konsentrasi CH4 terdeteksi 1.28 ppm sampai dengan 1.30
ppm. Di level 1 hPa CH4di atas Indonesia terdeteksi 1.03 ppm sampai dengan 1.04 ppm. Di 20 hPa, 10
hPa dan 1 hPa, konsentarsi CH4 cenderung terjadi peningkatan dari waktu ke waktu walaupun
peningkatannya kecil atau sekitar 0,01 ppm.
Gambar 11. Grafik variasi temporal profil vertikal CH4 Indonesia tahun 2002 sampai dengan 2015 pada 1000 hPa,
500 hPa, 100 hpa dan 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa
Gambar 12 memperlihatkan grafik variasi temporal temperatur pada 1000 hPa, 500 hPa, 100 hpa. Pada
1000 hPa temperatur terdeteksi 298.7 K sampai dengan 300.61 K. Pada 500 hPa temperatur di Indonesia
267.9 K sampai dengan 270.3 K, dan pada 100 hPa temperatur antara 188.5 K sampai dengan 195.8 K.
Pada 100 hPa temperatur terdeteksi minimum.Variasi temporal temperatur pada 20 hPa, 10 hPa serta 1
hPa. Pada level 20 hPa temperatur 215 K sampai dengan 225 K. Pada level 10 hPa temperatur 225.2 K
sampai dengan 235.7 K. Di level 1 hPa temperaturdi atas Indonesia terdeteksi 262.8 K sampai dengan
271.3 K.
- 736 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 12. Grafik variasi temporal profil vertikal temperatur Indonesia tahun 2002 sampai dengan 2015 pada
1000 hPa, 500 hPa, 100 hpa, dan 20 hPa, 10 hPa serta 1 hPa (b)
4.
KESIMPULAN
Profil vertikal komposisi atmosfer Indonesia mempunyai kondisi maksimum dan minimum pada
ketinggian yang berbeda. Ozon di Indonesia maksimum pada 10 hPa dengan konsentrasi 8 sd 10 ppm,
konsentrasi minimum di permukaan dengan konsentrasi 0.022 ppm. Profil CO dengan konsentrasi
tertinggi di permukaan dengan konsentrasi 0,105 ppm dan minimum pada 20 hPa dengan konsetrasi
0,019 ppm. CH4 di permukaan mempunyai konsentrasi tertinggi yaitu 1,793 ppm dan konsentrasi
minimum 1,03 ppm terdeteksi pada 1 hPa. Profil temperatur di Indonesia terdeteksi maksimum di level
permukaan yaitu 299 K dan minimum pada lapisan tropopause (100 hPa) dengan temperatur 191 K.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para Ilmuwan NASA dan para PI yang telah menyediakan
data hasil pengukuran satelit AQUA melalui fasilitas Giovanni yang dapat digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atmospheric Infra Red Sounder Brosures, http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/AIRS/documentation/AIRS_brochure.pdf,
Brasseur, G., Orlando, J., dan Tyndall, G. (Editors) (1999). Atmospheric Chemistry and Global Change. Topics in
Environmental Chemistry. Oxford University Press, New York, 654 pp.
Hobbs, P. (2000). Introduction to Atmospheric Chemistry, Cambridge University Press, Cambridge,U.K., 262 pp..
Ackerand, J.G., dan Leptoukh, S.G. (2007), “Online Analysis Enhances Use of NASA Earth Science Data”; Eos. Trans.
AGU., 88(2):14-17.
Kaye (1993). Stratospheric Ozone Change, Global Atmospheric Chemical Change, Chapman and Hill, New York, pp
125-126.
Makarova, M.V., Poborovskii, dan Timoteev, Y.M. (2004). Temporal Variation of Total Atmospheric CO over St
Petersburg, Izvestiya, Atmospheric and Oceanic Physics, 40(3):313-322.
Pidwirny, M. (2006). Atmospheric Composition. Fundamentals of Physical Geography, 2nd Edition.
Stolarski, R.S., Douglass, A.R., Steenrod, S., dan Pawso, S. (2005). Trend in stratospheric ozone, Journal of the
Atmospheri Science, 83:1028-1040.
Ruddiman, W.F. (2003). The anthropogenic greenhouse era began thousands of years ago, Climatic Change 61:261293.
WMO (World Meteorological Organization), Scientific assessment of ozone depletion (2011) Rep. 52, Global Ozone
Res. and Monit. Proj., 516 pp., Geneva, Switzerland.
- 737 -
Profil Vertikal Komposisi Atmosfer Indonesia Berbasis AQUA-AIRS (Komala, N.)
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Dr. Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Si.
: Profil Vertikal Komposisi Atmosfer IndonesiaBerbasis Aqua AIRS
: Ninong Komala
: 16.39 WIB
: Meeting Room A
:
Vincent Siregar (IPB) :
1. Koreksi atmosferik sering menggunakan default dari software, bagaimana profil atmosfer di tiap-tiap lapisan dapat
digunakan untuk koreksi dan bagaimana dengan data insitu?
2. Bagaimana gambaran distribusi ozon secara horizontal, daerah mana yang ozonnya sudah menipis?
Jawaban :
1. Pengukuran secara insitu dapat dilakukan tetapi terbatas dan mahal, perlu alat yang bagus.
2. Variasi horizontal sudah pernah dianalisis menggunakan data OMI AURA. Wilayah Indonesia timur memiliki
lapisan ozon yang lebih tipis dibandingkan Indonesia barat dan di Indonesia tidak ada lubang ozon, tetapi UV-nya
tinggi, bisa dikategorikan ekstrim.
- 738 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Analisa Cuaca Ekstrim (Studi Kasus Tanggal 26 Mei 2013)
di Tanjungpandan dengan Memanfaatkan Aplikasi SATAID
Slamet Supriyadi1,*)
1
Mahasiswa Magister Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor
*)
Email: [email protected]/ 081977817545
ABSTRAK -Tanjungpandanmerupakan ibukota Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang secara
geografis berada di Pulau Belitung, karena kondisi geografis yang unik tersebut tidak menutup kemungkinan wilayah
Tanjungpandan rentan mengalami cuaca ekstrim. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisa cuaca ekstrim
menggunakan aplikasi SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis) versi GMSLPD dan GMSLPW. Kejadian
hujan ekstrim di Tanjungpandan pada tanggal 26 Mei 2013 menunjukkantutupan awan dingin berwarna warna merah hasil
olahan aplikasi SATAID versiGMSLPW. Sedangkan hasil olahan SATAID versi GMSLPD menunjukkan adanya tutupan
awan berwarna putih tebal yang mengindikasikan adanya awan konvektif di atas wilayah kota Tanjungpandan. Data
numerik dan kontur suhu menunjukkan suhu puncak awan yaitu sebesar -750C sehingga dapat diindikasikan bahwa awan
penyebab hujan ekstrim diwilayah Tanjungandan adalah awan cumulonimbus (Cb).
Kata kunci : Cuaca ekstrim, SATAID, Cumulonimbus
ABSTRACT-TanjungPandanis the capital ofBangkaBelitungBelitungwhoare geographically locatedin Belitung Island,
because oftheuniquegeographical conditionsdid not rule outthe Tanjungpandanregionvulnerable toextreme weather.
The method used inthis paperisthe analysis ofextreme weatherusing the applicationSATAID(Satellite
AnimationandInteractiveDiagnosis)andGMSLPWGMSLPDversion. Extreme rain events in Tanjungpandan on May 26,
2013 shows a cold cloud cover colored red SATAID applications processed GMSLPW version. While processed SATAID
GMSLPD version showed a thick white cloud cover that indicate the presence of convective clouds over the area
Tanjungpandan. Numerical data and temperature contours show the temperature of the cloud tops is equal to -750C so it
may be indicated that the cloud causes extreme rainfall in the region Tanjungandan are cumulonimbus clouds (Cb).
Keywords:Extreme weather, SATAID, Cumulonimbus
- 739 -
Analisa Cuaca Ekstrim (Studi Kasus Tanggal 26 Mei 2013) di Tanjungpandan dengan Memanfaatkan Aplikasi SATAID (Supriyadi,
S.)
1. PENDAHULUAN
Indonesia secara geografis berada di kawasan benua maritim dimana Cuaca dan iklimwilayahIndonesia
dipengaruhi oleh berbagai fenomena atmosfer baikskala global, skala regional maupun skala lokal.Menurut
(Mc Bride, 1992), Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti monsun, seruak dingin dalam arah
meridional, Dipole Mode dan ENSO dalam arah zonal serta faktor-faktor lokal seperti angin darat-laut, debu/
haze, efek fohn dan sebagainya. Faktor dalam arah meridional ini sering disebut sistem sirkulasi Hadley
sedangkan faktor yang berpengaruh dalam dalam arah zonal disebut sebagai sistem sirkulasi Walker.
Tanjungpandanmerupakan ibukota Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang secara
geografis berada di Pulau Belitung(lihat gambar 1).Karena kondisi geografis yang unik tersebut
menyebabkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitungmemiliki karakteristik cuaca dan iklim yang cukup
kompleks sehingga tidak menutup kemungkinan suatu saat akanmengalamai cuaca ekstrim pada berbagai
skala gangguan. Pada tanggal 26 Mei 2013 telah terjadi cuaca ekstrim di Tanjungpandansehingga
perludilakukan analisis penyebabnya. Oleh karena itu tujuan dari penulisan ini adalah menganalisis penyebab
kejadian cuaca ekstrim tersebut dengan memanfaatkan data pendukung parametermeteorologi berupa data
citrasatelit.
Gambar 1. Peta pulau Bangka Belitung
sumber: https://www.google.co.id/maps
Berdasarkan peraturan KBMKG N0: Kep.009 Tahun 2010 tentang prosedur standar operasional pelaksanaan
peringatan dini, pelaporan dan diseminasi informasi cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim adalah kejadian cuaca yang
tidak normal, tidak lazim yang dapat mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta.
Kriteria cuaca ekstrim [5] (Handayani 2010) :
1.
2.
3.
4.
Angin ekstrim apabila kecepatannya > 20 knots atau 45 km/jam.
Hujan ekstrim apabila intensitasnya ≥ 50 mm/24 jam atau 20 mm/jam.
Suhu udara ekstrim apabila suhu udaranya ≥ 34 0C.
Gelombang ekstrim apabila ketinggiannya > 2 m.
- 740 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
3. METODE
3.1. Data
Data yang digunakan adalah data mentah dari data MTSAT (Multi-fuctionalTransport Satellite). Data yang
digunakan dalam analisa hujan ekstrim adalah data tanggal 26 Mei 2013 yang diunduh dari [6]
http://satelit.bmkg.go.id/SATELIT/DATA/SATAID/.
Lokasi penelitian adalah kota Tanjungpandan Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
3.2 SATAID (Satellite Animation andInteractiveDiagnosis)
SATAID adalah aplikasi untukmenampilkan data binary dari satelit menjadigambar. Aplikasi ini dikembangkan
olehJapan Meteorology Agency(JMA)(Santi R.C.N 2011). Saat ini SATAID telahdigunakan sebagai alat
operasional di JMA untukanalisis cuaca harian, termasuk pula dalamkegiatanmonitoring tropical cyclone.
Adabeberapa variasiprogram SATAID seperti GMSLPW dan GMSLPD yang dikhususkan untuk analisa
siklontropis (Harsa et al. 2011).
Dari data citra satelit pada kanal Infra Red(IR), diolah menggunakan aplikasiSATAID versi GMSLPW,
selanjutnya dilakukan interpretasikualitatif secara visual dari citra satelit untukmenentukan suhu awan dari citra
satelit.Dari data citra satelit yang diolah dengan menggunakan aplikasi SATAID versiGMSLPD yang memiliki
fitur analisa tropicalcyclone. Di mana dengan fitur tersebut, bentuktutupan awan dapat lebih diperjelas.
Gambar 2. Alur kerja SATAID
- 741 -
Analisa Cuaca Ekstrim (Studi Kasus Tanggal 26 Mei 2013) di Tanjungpandan dengan Memanfaatkan Aplikasi SATAID (Supriyadi, S.)
4. HASIL PEMBAHASAN
Bedasarkan hasil pengukuran curah hujan pada tanggal 26 Mei 2013 telah terjadi hujan ekstrim dengan intensitas
sebesar 82.4 mm/hari di Kota Tanjungpandan yang menyebabkan pelayanan jasa penerbangan di Bandara. H. A.
S. Hanandjoedin terganggu. Berdasarkan hasil olahan citra satelit yang ditampilkan oleh SATAID
versiGMSLPWditunjukkan pada gambar 3, hasil dari pengolahan kanal infra red terlihat bahwa wilayah kota
Tanjungpandan
tertutup
oleh
awan
dingin
yang
ditunjukkan
oleh tutupan awan berwarna merah, hal tersebut menunjukkan adanya awan hujan yang melewati daerah
Tanjungpandan pada pukul 06.00 - 07.00 UTC (13.00 - 14.00 WIB). Awan dengan suhu dingin terkonsentrasi
pada pukul 07.00 UTC (14.00 WIB) yang merupakan puncak dari curah hujannya dan bergerak ke arah barat
menjauhi wilayah Tanjungpandan. Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil olahan SATAID versi GMSLPDPada
gambar 4 terlihat tutupan awan berwarna putih tebal yang menunjukkan adanya awan konvektif di atas wilayah
kota Tanjungpandan. Dari hasil pengolahan SATAID versi GMSLPW dan GMSLPDdiindikasikan bahwa
tutupan awan yang menyelimuti wilayah Tanjungpandan pada kejadian hujan ekstrim adalah awan
cumulonimbus (Cb). Hal tersebut juga diperkuat dengan data jam 06.47 UTC yaitu kontur suhu puncak awan
yang menunjukkan suhu – 75 0C (gambar 4) dan data numerik suhu puncak awan pada jam 07.00 yang tidak
berbeda sekitar – 750C (gambar5).
.
Gambar 3. Kondisi tutupan awan yang dikonversi dalam suhu pucak awan tanggal 26 Mei 2013 antara jam
06.00-08.00 UTC (versi GMSLPW)
- 742 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar4. Kondisi tutupan awan dengan menggunakan versi GMSLPD pada tanggal26 Mei 2013 antara jam
06.00-08.00 UTC
- 743 -
Analisa Cuaca Ekstrim (Studi Kasus Tanggal 26 Mei 2013) di Tanjungpandan dengan Memanfaatkan Aplikasi SATAID (Supriyadi, S.)
Gambar 5. Kontur suhu puncak awan jam 06.47 UTC daerah Pulau Belitung
Gambar 6. Data Numerik Suhu Puncak Awan jam 00.00-23.00 UTC pada tanggal 26 Mei 2013
5. KESIMPULAN
- 744 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Pada kejadian hujan ekstrim di Tanjungpandan pada tanggal 26 Mei 2013 pada pukul 07.00 UTC (14.00 WIB)
terlihat tutupan awan dingin yang ditunjukkan oleh warna merah hasil olahan aplikasi SATAID versiGMSLPW.
Sedangkan hasil olahan SATAIDversi GMSLPD menunujukkan adanya tutupan awan berwarna putih tebal
yang menunjukkan adanya awan konvektif di atas wilayah kota Tanjungpandan. Berdasarkan data numerik dan
kontur suhu puncak awan didapatkan suhu puncak awan terjadi pada sekitar pukul 07.00 UTC yaitu sebesar 750C sehingga dapat diindikasikan bahwa awan tersebut adalah awan cumulonimbus (Cb).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Badan Meteorologi Kmimatologi dan Geofisika serta seluruh
dosen jurusan Klimatologi Terapan IPB Bogor atas semua bantuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, A.S. (2010). Analisis daerah endemikbencana akibat cuaca ekstrim di SumatraUtara, Jurnal Meteorologi dan
Geofisika,11(1), 52-57.
Harsa, H., Linarka, A.U., Kurniawan, R., dan Noviati, S. (2011). Pemanfaatan SATAID untuk Analisa Banjir dan Puting
Beliung: Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 12(2): 195-205.
http://satelit.bmkg.go.id/SATELIT/DATA/SATAID/. Diakses tanggal 28 Mei 2013.
https://www.google.co.id/maps. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
Mc Bride, J. (1992). The Meteorology of Indonesia and The MaritimeContinent, Paper in The Fourth International
Symposium on Equatorial Atmosphere Observations Over Indonesia, Jakarta.
Peraturan KBMKG N0: Kep.009 Tahun 2010 tentang prosedur standar operasional pelaksanaan peringatan dini, pelaporan
dan diseminasi informasi cuaca ekstrim.
- 745 -
Download