1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nafsu makan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nafsu makan merupakan keadaan yang mendorong seseorang untuk
memuaskan keinginan untuk makan selain rasa lapar (Guyton dan Hall, 1990).
Gangguan nafsu makan merupakan gangguan klinis yang penting namun acap kali
diabaikan (Grilo dan Mitchell, 2010). Gangguan nafsu makan dapat berupa
kurangnya nafsu makan yang sering menjadi masalah utama pada anak-anak
(Manikam dan Perman, 2000). Anak yang mengalami gangguan nafsu makan
gagal dalam pemenuhan asupan makan dan minum sehingga kebutuhan nutrisi
gagal terpenuhi. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi ini, maka
perkembangan anak pun menjadi terhambat (Greer et al., 2007). Selain
keterkaitannya dengan kebutuhan nutrisi, nafsu makan juga erat kaitannya dengan
berat badan. Kurangnya nafsu makan anak dapat mengakibatkan tidak idealnya
berat badan anak. Dalam jangka panjang, gangguan nafsu makan ini juga dapat
mengancam jiwa penderitanya (Greer et al., 2007).
Gangguan ini sukar diatasi selain karena sukar untuk didiagnosa
penyebabnya (Greer et al., 2007), juga tidak adanya obat konvensional yang
berkerja langsung untuk meningkatkan nafsu makan melainkan berasal dari efek
samping dari obat tersebut. Seiring dengan trend kembali ke alam, maka
penggunan obat pun beralih dengan penggunaan tanaman obat tradisional. Salah
satu tanaman obat yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan kurangnya
1
2
nafsu makan anak adalah Curcuma xanthorrhiza atau lebih dikenal dengan nama
Temulawak (Afifah et al., 2005).
Temulawak sudah dikenal secara empiris dapat meningkatkan nafsu
makan anak. Temulawak juga merupakan salah satu komposisi dari jamu cekok
peningkat nafsu makan yang telah turun temurun digunakan (Limananti dan
Triratnawati, 2003). Kandungan temulawak yang diduga bertanggung jawab
dalam efek peningkatan nafsu makan adalah minyak atsirinya (Awalin,1996).
Efek peningkatan nafsu makan oleh minyak atsiri temulawak dimungkinkan
karena sifat koleretiknya
yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga
mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus
yang kemudian akan mensekresi berbagai hormon yang meregulasi peningkatan
nafsu makan (Ozaki dan Liang, 1988).
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa Minyak atsiri temulawak dapat
meningkatkan nafsu makan tikus (Awalin,1996, Ardhiani, 2005, dan Ulfah,
2010). Namun, belum dapat ditemukan dosis efektif peningkatan nafsu makan
minyak atsiri temulawak. Metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya
menggunakan tikus yang berada dalam kondisi normal bukan tikus yang
mengalami gangguan nafsu makan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk
mengetahui dosis optimal pemberian minyak atsiri temulawak dengan metode
yang sesuai yaitu dilakukan pada tikus yang mengalami gangguan nafsu makan.
Gangguan nafsu makan ini dapat dibuat dengan memberikan perlakuan penurunan
nafsu makan.
3
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian minyak atsiri temulawak terhadap berat
badan tikus yang ditekan nafsu makannya?
2. Bagaimanakah pengaruh pemberian minyak atsiri temulawak terhadap jumlah
konsumsi pakan dan minum oleh tikus yang ditekan nafsu makannya?
3. Berapakah dosis optimal dari pemberian minyak atsiri temulawak untuk
meningkatkan berat badan tikus yang ditekan nafsu makannya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh minyak atsiri
temulawak terhadap berat badan serta jumlah konsumsi pakan dan minum oleh
tikus yang ditekan nafsu makannya. Serta mengetahui dosis optimal permberian
minyak atsiri temulawak untuk meningkatkan berat badan tikus yang ditekan
nafsu makannya.
D. Tinjauan Pustaka
1. Gangguan Nafsu makan
Dorongan untuk makan dipengaruhi oleh rasa lapar dan nafsu makan.
Nafsu makan merupakan suatu keadaan yang mendorong seseorang untuk
memuaskan keinginan makan (Guyton dan Hall, 1990). Nafsu makan
diregulasi oleh hipotalamus terutama pada hipotalamus lateral serta nuklei
ventro medialis. Rangsangan terhadap hipotalamus lateral akan mengakibatkan
4
meningkatnya nafsu makan sedangkan rangsangan terhadap nuklei ventro
medialis akan bereek sebaliknya (Guyton dan Hall, 1990).
Gangguan nafsu makan merupakan gangguan klinis yang penting
namun acap kali diabaikan (Grilo dan Mitchell, 2010). Masalah ini sebenarnya
merupakan hal yang sepele namun sering menjadi masalah utama pada anakanak (Manikam dan Perman, 2000). Menurut Waugh dan Lask (2010), 25%45% anak yang berkembang normal mengalami gangguan nafsu makan
sedangkan pada anak yang terlambat perkembangannya angka ini mencapai
80%.
Jika gangguan ini tidak segera diatasi maka dapat menimbulkan
masalah yang serius. Salah satu masalah yang ditimbulkan akibat kurangnya
nafsu makan adalah gagalnya pemenuhan kebutuhan nutrisi. Jika hal ini
dibiarkan berkepanjangan maka dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dan
perkembangan anak. Kerja normal berbagai organ juga sangat terganggu
apabila terjadi defisiensi nutrisi (Greer et al., 2007).
Selain itu, nafsu makan erat kaitannya dengan berat badan.
Kebanyakan penderita gangguan nafsu makan juga diikuti dengan penurunan
berat badan yang cukup drastis sehingga memiliki berat badan dibawah
normal. Ketidakidealan berat badan anak ini dapat mengakibatkan berbagai
masalah. Berat badan yang mencapai dibawah 75% berat badan normal dapat
menyebabkan gangguan perkembangan anak dan osteoporosis dini. Selain itu,
sintesi protein fungsional otak juga dapat terganggu dan menyebabkan
5
gangguan otak yang apabila kronik dapat menjadi atrofi pada otak (DeSocio,
2007).
Apabila gangguan nutrisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang
panjang maka dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengancam jiwa anak-anak (Waugh dan Lask, 2010). Bahkan menurut Budd et
al. (1992) gangguan nafsu makan pada anak tidak hanya berdampak pada
kesehatan anak, namun dapat pula berpengaruh terhadap hubungan anak dan
orang tuanya.
2. Temulawak
Curcuma xanthorrhiza atau yang lebih dikenal dengan Temulawak
merupakan tanaman asli Indonesia. Di Jawa Barat temulawak lebih dikenal
dengan nama koneng gede sedangkan di Madura dengan nama temulabah
(KemenKes RI, 2010).
Gambar 1.Tanaman Temulawak
Gambar 2. Rimpang Temulawak
Sumber:DepKes RI, 1993
6
a. Deskripsi Temulawak
Temulawak merupakan terna berbatang semu berwarna hijau atau
coklat gelap yang tingginya hanya dapat mencapai 2 m. Terdapat 2-9 helai
daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap yang berbentuk
lonjong atau lanset setiap batangnya yang dihubungkan dengan pelepah.
Daunnya lebar dan berbentuk bulat memanjang hingga lanset. Perbungaan
temulawak berupa bunga maemuk bulir bersifat lateral dengan kelopak
bunga berwarna putih berbulu dan memiliki daun pelindung berbentuk
bulat telur sungsang hingga bulat memanjang. Mahkota bunga berbentuk
tabung dengan helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna
putih dengan ujung yang berwarna merah (Kemenkes RI, 2010).
Temulawak biasa ditemukan pada daerah dengan iklim tropis.
Suhu optimum pertumbuhan temulawak sebesar 19-30oC dengan curah
hujan tahunan antara 1500-4000 mm/tahun serta dengan ketinggian tempat
sebesar 5-1500 m dpl. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada lahan yang
terlindung sinar matahari dan dapat beradaptasi pada berbagai jenis tanah.
Jenis tanah yang optimal untuk rimpang adalah tanah yang subur, gembur
dan berdrainase baik (Kemenkes RI, 2010).
b. Klasifikasi Temulawak
Klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
7
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Tjitrosoepomo, 2004)
c. Kandungan Kimia
Temulawak mengandung zat warna kuning yang dinamakan
kurkumin dan desmetoksi kurkumin yang merupakan turunan dari
diferuloilmetan. Kedua senyawa ini merupakan komponen penyusun dari
kurkuminoid. Selain itu, temulawak juga mengandung pati dan minyak
atsiri. Minyak atsiri temulawak mengandung senyawa turunan monoterpen
dan seskuiterpen (Sidik et al., 1995). Senyawa yang terkandung ini antara
lain α kurkumen, germakran, ar-turmeron β-atlantanton serta d-kamfor
(KemenKes RI, 2010).
d. Manfaat Temulawak
Temulawak sejak dulu telah dikenal sebagai bahan jamu
tradisional karena memiliki banyak khasiat. Manfaatnya untuk kesehatan
telah banyak dikenal secara empiris dan turun-temurun. Satu-satunya
8
bagian dari tanaman ini yang dimanfaatkan adalah rimpang (Afifah et al.,
2005).
Temulawak memiliki aktivitas anti inflamasi dan dipercaya
meningkatkan kerja ginjal. Selain itu, temulawak juga dapat digunakan
sebagai anti jerawat karena memiliki aktivitas anti mikroba yang baik.
Manfaat lain dari Temulawak antara lain sebagai anti kolesterol, obat
anemia, anti oksidan serta pencegah kanker (Sidik et al., 1995).
Temulawak juga banyak digunakan secara tradisional untuk mengobati
diare, disentri, wasir, sembelit, radang lambung dan kejang (Raharjo dan
Rostiana, 2005).
e. Efek Peningkatan Nafsu Makan
Kandungan temulawak yang diduga bertanggung jawab dalam efek
peningkatan nafsu makan adalah minyak atsirinya (Awalin,1996). Hal ini
dibuktikan pada penelitian peningkatan minyak atsiri pada tikus oleh
Ardhiani (2005). Minyak atsiri temulawak memiliki sifat koleretik yaitu
mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat pengosongan
lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus (Ozaki dan Liang,
1988).
9
3. Dietilpropion HCl
Gambar 3. struktur Dietilpropin HCl
Dietilpropion HCl merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
obesitas
karena
kemampuannya
dalam
menurunkan
nafsu
makan.
Diethylpropion HCl telah di setujui oleh FDA untuk dijual dipasaran dengan
resep sejak 1959. Obat ini juga digunakan sebagai obat anti deperesan. Efeknya
pada manusia serupa dengan dekstro amphetamine namun dengan level yang
lebih rendah (Miller, 2002).
a. Pemerian
Dietilpropion Hidroklorida atau N-(1-bezoil-etil)-NN-dietilammonium
klorida merupakan serbuk berwarna putih dan tidak berbau atau hampir
tidak berbau. Larut dalam air, etanol 96% dan kloroform serta sedikit larut
dalam eter. Memiliki berat molekul 241,8 dengan titik lebur 180-181o C
(USP 32 ).
b. Absorpsi, Metabolisme dan Ekskresi
Dietilpropion
HCl
secara
cepat
diabsorpsi
oleh
saluran
Gastrointestinal setelah pemberian oral. Obat ini mengalami metabolisme
10
dengan jalur biotransformasi yang kompleks yang melibatkan N-dealkilasi
dan reduksi. Metabolit yang dihasilkan kebanyakan berupa metabolit aktif
dan dimungkinankan turut berpartisipasi dalam efek terapeutik obat ini.
Dietilpropion HCl dan metabolitnya dieksresi oleh ginjal dan dikeluarkan
melalui urin 48 jam setelah pemberian (Anonim, 2007).
c. Efek Farmakologis
Dietilpropion HCl merupakan obat anti obesitas karena memiliki
efek farmakologis sebagai penurun nafsu makan. Dietilpropion HCl bekerja
langsung pada sistem saraf pusat (Klonoff et al., 2008). Dosis yang biasanya
digunakan adalah 75 – 150 mg perhari (USP 32).
Dietilpropion HCl memiliki efek stimulan yang lebih rendah
dibandingkan beberapa obat anoretik lain. Efek yang tidak diinginkan dari
obat ini relatif lebih tidak bertahan lama dibandingkan dengan obat anti
obesitas lain seperti fenfluramin (Miller, 2002). penggunaan dietilpropion
HCl dalam jangka pendek tidak merusak fungsi kerja otak sehingga
dijadikan alternatif dalam pengatasan ketergantungan kokain (Klonoff et al.,
2008).
Dietilpropion HCL terbukti dapat mengurangi nyeri pada penderita
arthritis namun tidak berpengaruh pada penyakit arthritis itu sendiri.
Kemampuannya dalam mengurangi nyeri inilah yang menyebabkan
penyalahgunaan obat ini sebagai obat untuk penghilang lelah (Miller, 2002).
11
d. Efek Samping Dietilpropion HCl
Efek samping penggunaan dietilpropion HCl yang sering muncul
adalah pusing, mulut kering serta konstipasi. Efek samping seperti euphoria,
insomnia dan tremor jarang dijumpai pada pasien yang menggunakan obat
ini. Obat ini dapat menimbulkan masalah pada jantung jika terjadinya
overdosis. Selain itu dapat menimbulkan ketergantungan (USP 32).
4. Olanzapin
Gambar 4. struktur Olanzapine
Olanzapin pertama dikenal sebagai obat dengan merek Zyprexa® yang
diproduksi oleh Eli Lily and Co. Merupakan obat yang efektif dan umum
digunakan sebagai obat anti psikotik. Olanzapin biasanya digunakan pada
terapi penyakit schizophrenia dan bipolar disorder
(Meltzer et al., 1999).
Olanzapin luas digunakan pada pengobatan penyakit ini dikarenakan efek
samping ekstra piramidalnya yang relative lebih ringan dibandingkan obat anti
psikotik lainnya (Meltzer et al., 1999). Umumnya olanzapin digunakan sebagai
obat tunggal maupun dikombinasikan dengan lithium atau valproat untuk
pengobatan bipolar akut jangka pendek.
12
a. Pemerian
Olanzapin merupakan serbuk kristal berwarna kekuningan yang
memiliki rumus molekul C17H20N4S dengan berat molekul 312,43.
Merupakan turunan benzodiazepin dan dideskripsikan sebagai 2-methyl – 4
-
(4-methyl-1-piperazinyl)-
10H-thieno[2,3-b]
[1,5]
benzodiazepine.
Olanzapin tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseto nitril dan etil asetat
serta larut dalam kloroform. Titik lebur dari olanzapin berkisar 190-195oC
sedangkan titik didihnya berada pada 462.6o C (USP 32).
b. Absorpsi, Metabolisme dan Ekskresi dari Olanzapine
Olanzapin biasa digunakan melalui rute administrasi oral. Obat ini
diabsorpsi dengan baik dimana sekitar 40% diantaranya dimetabolisme
terlebih dahulu sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Konsentrasi puncak
olanzapin dicapai sekitar 6 jam setelah pemberian peroral. Waktu paro
olanzapin berkisar 21 hingga 54 jam dan apparent plasma clearence
berkisar 12 hingga 47 L/jam dimana volume distribusinya mencapai 1000L.
93% olanzapin terikat protein plasma dengan konsentrasi 7 hingga 1100
ng/mL, utamanya terikat pada albumin dan (alpha) 1 -asam glikoprotein
(Anonim, 1997).
Jalur metabolisme utama dari Olanzapin adalah dengan Oksidasi
yang dimediasi oleh glukoronidasi dan cytochrome P450 (CYP). Pada uji
invitro juga menyebutkan bahwa CYPs 1A2 dan 2D6, serta sistem flavincontaining monooxygenase terkait dengan oksidasi Olanzapin ini.
13
Sedangkan oksidasi melalui CYP2D6 merupakan jalur metabolismE minor
pada in vivo (Anonim, 1997).
c. Efek Farmakologis
Olanzapin memiliki efek farmakologis sebagai anti psikotik. Obat
ini memiliki afinitas terhadap berbagai reseptor antara lain dopamine D2, 5hydroxytryptamine (5-HT) 2A and 2C, histamine H1, alpha-adrenergik dan
muskarinik (Bymaster et al., 1999).
Olanzapin digunakan dalam terapi
penyembuhan Schizoprenia baik simptom positif maupun negatif. Efikasi
Olanzapin terhadap penyakit schizoprenia masih belum diketahui secara
pasti. Namun dugaan kuat aktifitasnya terhadap penyakit schizoprenia
terkait dengan aktifitas kombinasi antagonis dopamin dan serotonin type 2
(5HT2).
Berbagai uji klinik juga menyimpulkan bahwa olanzapine memiliki
kemampuan dalam menyeimbangkan atau menstabilkan emosi ehingga
olanzapin juga digunakan untuk pengobatan bipolar disorder. Aktivitas
antikolinergik dan antagoni reseptor 5-HT2 menyebabkan berkurangnya
efek ektrapiramidal yang umum dihasilkan oleh obat antipsikotik lainnya
(Meltzer et al., 1999).
d. Efek Samping
Meskipun memiliki efek ektrapiramidal yang lebih rendah
dibandingkan obat anti psikotik lainnya, bukan berarti olanzapin tidak
14
memiliki efek samping. Efek samping yang terjadi pada penggunaan
olanzapin antara lain efek samping pada kardiovaskular seperti jantung
iskemik, stroke, hiperglikemia dan diabetes militus serta bertambahnya
berat badan. Efek samping lain yang dimungkinkan namun jarang terjadi
akibat penggunaan olanzapin dalam jangka panjang adalah Neuroleptic
Malignant Syndrome (NMS) (Wirshing et al., 2002).
e. Efek Peningkatan Nafsu Makan
Peningkatan nafsu makan merupakan efek samping yang umum
terjadi dengan penggunaan olanzapin (Allison et al., 1999; Wirshing et al.,
1999). Olanzapin merupakan antagonis reseptor histamin, serotonin dan
dopamin. Aktivitas inilah yang diduga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan nafsu makan pada pemberian olanzapin (Malhotra, 2002).
Pada Penelitian van der Zwaal et al. (2008) menunjukan bahwa
pemberian olanzapin dapat menyebabkan hiperphagia yaitu peningkatan
intake energi dan pengurangan aktivitas lokomotor. Aktifitas ini disebabkan
oleh bloking yang terjadi pada reseptor histamin H1 pada hipotalamus yang
diaktivasi oleh AMP-activated protein kinase (AMPK) (He et al., 2013).
Peningkatan nafsu makan pada penggunaan olanzapin juga disertai dengan
meningkatnya kadar prolaktin, glukosa serta kolesterol total dalam darah
(Almandil et al., 2013).
15
5. Minyak atsiri
Minyak atsiri merupakan cairan terkonsentrasi, hidrofobik dan
mengandung senyawa volatil yang beraroma. Kerangka dasar minyak atsiri
berupa terpena yang terdiri dari satuan isoprena. Minyak atsiri mudah menguap
dalam suhu ruang sehingga minyak ini disebut juga dengan minyak eteris atau
minyak menguap (Gunawan dan Mulyani, 2004). Minyak atsiri juga disebut
minyak esensial karena membawa bau atau esen dari tanaman. Penguapan
minyak yang terjadi tanpa adanya dekomposisi (Ketaren, 1998).
Minyak atsiri bersifat mudah menguap, memiliki rasa getir dan berbau
khas (Ketaren, 1998). Tidak bisa disabunkan dengan alkali dan tidak dapat
berbau tengik. Minyak atsiri umumnya memiliki indeks bias relatif tinggi dan
bersifat optis aktif. Pada umumnya tidak larut dalam air dan sangat mudah larut
dalam pelarut organik (Gunawan & Mulyani, 2004). Biosintesis minyak atsiri
terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama merupakan turunan terpena
yang terbentuk dari asam asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat.
Golongan kedua berupa senyawa aromatik yang terbentuk dari biosintesis asam
sikimat melalui jalur fenil propanoid (Agusta 2000).
Terdapat lebih dari 150 tanaman yang menghasilkan minyak atsiri dari
berbagai famili (Ketaren, 1998) Dari tanaman-tanaman tersebut dihasilkan
minyak atsiri dari bagian tanaman yang berbeda-beda. Pada famili Labiatae,
minyak atsiri ditemukan pada rambut kelenjar, pada Piperaceae ditemukan
pada sel parenkim, sedangkan pada Umbelliferae ditemukan pada saluran
minyak yang disebut vittae. Adapula yang mengandung minyak atsiri pada
16
semua bagian tanamannya seperti pada famili Coniferae (Gathercoal dan Wirt,
1949).
Minyak
atsiri
banyak
digunakan
untuk
efek
terapeutiknya.
Penggunaan minyak atsiri untuk memperoleh efek terapeutiknya dapat melalui
beberapa rute administrasi. Minyak kayu putih diperoleh efek terapeutiknya
melalui inhalasi, minyak peppermint melalui oral, timol digunakan sebagai
obat kumur serta minyak lavender, rosemary dan bergamot dapat digunakan
secara transdermal. Selain digunakan untuk efek terapeutiknya, minyak atsiri
juga digunakan sebagai flavoring agent, parfum maupun sebagai bahan utama
sintesis senyawa lain (Trease dan Evans, 2002).
Setiap minyak atsiri memiliki komponen yang berbeda-beda. Variasi
komponen tersebut umumnya karena perbedaan tanaman asal, kondisi iklim
dan tanah, umur panen serta metode pengambilan minyak atsiri (Ketaren,
1998) Komponen ini merupakan senyawa yang bertanggung jawab atas
karakteristik dari minyak atsiri tersebut seperti aroma dan sifat fisikokimianya
serta efek terapeutiknya. Ada beberapa golongan minyak atsiri berdasarkan
komponen penyusunnya antara lain minyak atsiri hidrokarbon, alkohol, fenol,
eter fenol, oksida dan ester (Gathercoal dan Wirt, 1949).
Minyak atsiri dapat diperoleh melalui berbagai cara ekstraksi
tergantung dari bagian yang digunakan. Namun metode yang umum digunakan
adalah metode destilasi. Destilasi merupakan salah satu metode proses
pemisahan berdasarkan titik didih bagi senyawa yang tidak larut pada air dan
dapat terdekomposisi pada titik didihnya (Guenther, 1948) .
17
6. Destilasi
Destilasi atau Hidrodestilasi (Destilasi air) merupakan metode umum
untuk mendapatkan minyak atsiri. Destilasi dapat dideskripsikan sebagai
pemisahan dari dua atau lebih komponen dengan titik didih yang berbeda.
Terdapat 3 tipe destilasi yaitu destilasi air,destilasi uap dan air serta destilasi
uap (Guenther, 1948).
Pada destilasi air, bahan yang digunakan terjadi kontak langsung
dengan air, baik terendam sepenuhnya maupun mengambang. Pendidihan air
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemanasan langsung. Beberapa
bahan harus dilakukan metode ini untuk mendapat minyak atsiri karena uap
tidak dapat mempenetrasi secara langsung. Contoh dari bagian tanaman yang
menggunakan metode ini adalah biji almond yang telah diserbukan dan bunga
mawar. Destilasi uap dan air memiliki prinsip yang sama dengan destilasi air,
hanya saja pada destilasi uap dan air, bahan yang akan didestilasi dengan air
tidak boleh terjadi adanya kontak. Sedangkan pada destilasi uap, tidak
digunakan air, namun digunakan uap secara langsung (Guenther, 1948).
Terdapat tiga mekanisme yang terjadi bersamaan dengan berjalannya
detilasi yaitu difusi, hidrolisis dan dekomposisi. Difusi minyak atsiri dan air
panas atau uap melalui membran disebut hidrodifusi. Difusi terjadi hingga
terjadi ekuilibrium atau keseimbangan dalam sistem. Efek hidrolisis terjadi
berupa reaksi kimia antara air dengan konstituen tertentu dari minyak atsiri,
sehingga senyawa-senyawa seperti ester yang terkandung dalam minyak atsiri
cenderung berubah menjadi bentuk asam dan alkohol pembentuknya.
18
Sedangkan efek dekomposisi terjadi akibat pengaruh panas yang digunakan
pada proses destilasi dimana kebanyakan komposisi penyusun minyak atsiri
merupakan senyawa yang tidak stabil pada pemanasan.
7. Kromatografi
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan yang diketengahkan oleh
Tswett pada tahun 1903. Pada dasarnya semua teknik kromatografi memiliki
prinsip yang sama yaitu menggunakan dua fase yang dikenal sebagai fase
gerak dan fase diam. Penggolongan kromatografi secara primer dilakukan
berdasarkan sifat fisik dari fase gerak yaitu Kromatografi Gas (KG) dan
Kromatografi Cair (KC) (Scott, 2003). Penggolongan lain dapat dilakukan
berdasarkan sifat fase diam yaitu zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa
zat cair maka disebut kromatografi partisi sedangkan jika fase diam berupa zat
padat maka disebut kromatografi serapan. Dengan adanya bermacam-macam
fase gerak dan fase diam, maka kromatografi dibagi menjadi 4 sistem yaitu
kromatografi gas-cair, gas-padat, cair-cair,dan cair-padat (Sastroamidjojo,
1991).
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis atau Thin Layer Chromatography
merupakan salah satu jenis kromatografi absorpsi. Kromatografi ini
menggunakan fase diam berupa padatan dan fase gerak berupa cairan.
19
KLT mulai dikenalkan pada tahun 1938, namun baru pada tahun 1958 oleh
Stahl prinsip dari KLT menjadi jelas (Sastroamidjojo, 1991).
KLT merupakan metode pemisahan yang mudah dan murah
dibandingkan metode pemisahan lainnya. Waktu yang diperlukan untuk
analisis juga relatif singkat serta dapat dilakukan beberapa analisis dalam
satu waktu (Scott, 2003). KLT dapat digunakan baik untuk analisis
kualitatif maupun kuantitatif jika dikombinasikan dengan densitometer
(Sastroamidjojo, 1991). KLT dapat digunakan untuk mengetahui jumlah
senyawa pada zat uji, sebagai identifikasi atau fingerprint maupun untuk
mengetahui kemurnian dari senyawa. Campuran yang akan dipisahkan
berupa larutan, ditotolkan berupa pita atau bercak (Stahl, 1985).
KLT menghasilkan elusi berupa bercak-bercak yang terpisah
berdasarkan Rf (Retardation factor) dan warna yang merupakan dasar dari
identifikasi senyawa yang dipisahkan. Harga Rf menunjukkan jarak
pengembangan senyawa pada kromatogram. Rf bernilai antara 0,0 sampai
1,0 dan sering dikonversi menjadi hRf yaitu 100 x Rf (Sastrohamidjojo,
2002). Deteksi kuantitatif dapat dilakukan dengan densitometer yang
dilengkapi dengan spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat
diatur antara 200 nm sampai 700 nm (Stahl, 1985).
b. Kromatografi Gas
Kromatografi gas pertama kali dikenalkan oleh James dan Martin
pada tahun 1952. Dasar pemisahan kromatografi gas adalah dengan
20
penyebaran cuplikan antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak.
Kromatografi gas merupakan salah satu cara untuk memisahkan senyawa
volatile dengan titik didih yang berdekatan. Fase diam pada kromatografi
gas dapat berupa fase diam padat (Kromatografi Gas Padat), yang
lazimnya digunakan silika gel, maupun fase diam cair (Kromatografi Gas
Cair). Pada KGC, terdapat banyak macam fase gerak yang dapat
digunakan sehingga kromatografi ini bersifat selektif dan serba guna. Pada
KG diperlukan suatu detektor. Detektor pada GC bermacam-macam salah
satunya adalah MS atau Mass Spectroscopy. Spektroskopi massa
merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan berat molekul
dengan mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion muatan
yang diketahui (Sastrohamidjojo, 1991).
Gambar 5. Skema Kromatografi Gas (Scott, 2003)
21
E. Landasan Teori
Minyak atsiri merupakan salah satu komponen dari rimpang temulawak
yang dapat meningkatkan nafsu makan (Awalin, 1996). Minyak atsiri temulawak
memiliki
sifat
koleretik
yang
mempercepat
sekresi
empedu
sehingga
mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus
yang kemudian akan mensekresi berbagai hormon yang meregulasi peningkatan
nafsu makan (Ozaki dan Liang, 1988).
F. Hipotesis
Pemberian minyak atsiri temulawak berpengaruh terhadap nafsu makan
tikus yang ditekan nafsu makannya dengan parameter perubahan berat badan tikus
yang diukur setiap minggu, serta konsumsi makan dan minum setiap harinya
dibandingkan dengan kontrol negatif yaitu dietilpropion HCl sebagai penekan
nafsu makan.
Related documents
Download