FAKTOR–FAKTOR FISIKA KIMIA AIR LAUT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERTUMBUHAN LAMUN (Seagraas) Ir. Sumartin, MP. Widyaiswara Madya Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Banyuwangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen, 2002). Ekosistem lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbagai biota laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif. Ekosistem lamun daerah tropis dikenal tinggi produktivitasnya namun mempunyai kandungan zat hara yang rendah dalam air permukaan dan tinggi dalam air pori sedimen (pore water). Kunci utama untuk mengetahui fungsi sistem lamun terletak pada pemahaman faktor-faktor yang mengatur produksi dan dekomposisi bahan organik. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produksi primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan amonium yang memainkan peranan penting dalam menentukan fungsi padang lamun (Erftemeijer 1992; Patriquin 1992). Ketersediaan nutrien di perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhannya (Hillman et al, 1989; Moriarty & Boon 1989; Hemminga et al, 1991; Erftemeijer 1992; Erftemeijer et al, 1994), Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dari padang lamun (seagrass) adalah faktor fisis dan kimia. Air laut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya seperti garamgaraman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Sifatsifat fisis utama air laut ditentukan oleh 96,5% air murni. Garam-garam tersebut berasal dari hasil erosi batu-batuan yang diangkut oleh sungai dan telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Beberapa senyawa lain terutama yang berupa gas berasal dari makhluk hidup yang ada didalamnya termasuk unsur oksigen dan nitrogen. 1.2 Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor fisika dan kimia pada air laut yang dapat mempengaruhi pertumbuhan padang lamun (seagrass). II. PEMBAHASAN 2.1. Ketersediaan Nutrien Ekosistem lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbagai biota laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif. Ekosistem lamun daerah tropis dikenal tinggi produktivitasnya namun mempunyai kandungan zat hara yang rendah dalam air permukaan dan tinggi dalam air pori sedimen (porewater). Kunci utama untuk mengetahui fungsi sistem lamun terletak pada pemahaman faktor-faktor yang mengatur produksi dan dekomposisi bahan organik. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produksi primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan amonium yang memainkan peranan penting dalam menentukan fungsi padang lamun (Erftemeijer 1992; Patriquin 1992). Peningkatan nutrien di suatu perairan merupakan faktor penyebab turunnya kualitas perairan yang menstimulasi pertumbuhan rumput laut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan nutrien berkorelasi dengan penyempitan sebaran padang lamun di beberapa perairan estuaria. Peningkatan nutrien dapat berdampak memperlambat kolonisasi dan pertumbuhan, apabila berlangsung terus menerus maka kemampuan tumbuh dan penyebaran terus menurun sehingga dapat mengakibatkan hilangnya padang lamun. Hilangnya padang lamun akan menyebabkan peru-bahan daur makanan dan diikuti oleh pergantian produsen primer dari tumbuhan bentik ke fitoplankton dan berkurangnya jumlah detritus daun. Dampak nutrien terhadap lamun dapat dibagi dalam empat kategori yaitu: dampak struktural, penyakit, penurunan fotosintesis dan perubahan ekosistem. 2.1.1. Dampak struktural Pada kondisi kandungan nutrien tinggi, lamun menyerap kelebihan nutrien dari perairan. Hal tersebut dapat menimbulkan "stress" di dalam tumbuhan karena kurangnya ketersediaan ruangan di dalam jaringan interseluler untuk menampung akumulasi nitrat. Sebagai konsekuensinya, banyak nitrat yang akan diubah menjadi amonia sehingga dibutuhkan sejumlah karbon untuk mengkonversikan menjadi asam-asam amino. Apabila hal tersebut berlangsung terus menerus dalam kurun waktu lama, tumbuhan tersebut tidak mampu lagi memfiksasi karbon yang dibutuhkan. Kekurangan karbon di dalam jaringan seluler akhirnya akan memberikan dampak buruk terhadap keutuhan struktur lamun dan akhirnya mematikan tumbuhan tersebut. 2.1.2. Penyakit Stres fisiologis yang disebabkan oleh ketidak-seimbangan pasokan nutrien juga dapat melemahkan tanaman sehingga rentan terhadap penyakit. Hal tersebut mungkin disebabkan berkurangnya produksi senyawa antimikroba pada kondisi nitrat yang berlebihan. 2.1.3. Penurunan fotosintesis Peningkatan tumbuhnya biota penempel di permukaan daun lamun yang disebabkan oleh bertambahnya nutrien yang dapat diserap oleh algae epifitik dapat membatasi sinar matahari yang jatuh di permukaan daun lamun di bawahnya. Pengurangan cahaya yang mencapai khloroplast lamun mengurangi efektifitas fotosintesis. Penurunan efektifitas fotosintesis tersebut akan lebih mempercepat hilangnya keutuhan struktural dan meningkatkan terjangkitnya penyakit. Banyak dokumentasi kasus-kasus mengenai hilangnya padang lamun yang berkaitan dengan eutrofikasi karena peningkatan nutrien di perairan sehingga mengurangi penetrasi cahaya, atau berkurangnya cahaya yang dapat mencapai permukaan daun lamun karena terhalang oleh algae epifitik yang tumbuh di daun lamun. 2.2. Pengaruh Faktor Fisika dan Kimia Terhadap Pertumbuhan Lamun Sebaran dan pertumbuhan lamun ditentukan oleh berbagai faktor kualitas air seperti suhu, salinitas, ketersediaan nutrien, karakteristik dasar perairan, kekeruhan/ kecerahan dan iradiasi matahari. Telah diketahui bahwa keterse-diaan nutrien mempengaruhi pertumbuhan, sebaran, morfologi dan daur musiman komunitas lamun. Sementara itu, lamun juga tergantung padan tingkat kecerahan air tertentu agar dapat melakukan proses fotosintesis. Peningkatan kekeruhan dan sedimentasi memberikan dampak menurunnya kesehatan dan produktivitas lamun. Parameter kualitas air laut merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup tumbuhan lamun. Parameter kualitas air laut yang diukur meliputi suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, pH dan oksegen terlarut. Suhu air merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan lamun. Untuk pertumbuhan lamun suhu air berkisar antara 28 – 30oC (Zimmerman et al, 1987; Phillips & Menez 1988; Nybakken 1993). Gambar 1. Padang Lamun (Seagraas) Kecerahan perairan juga sangat menentukan terhadap kelangsungan pertumbuhan lamun. Rendahnya nilai kecerahan diakibatkan karena masuknya partikel-partikel tersuspensi dari sungai sehingga menghalangi kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan. Kecerahan tersebut dipengaruhi oleh substrat dasar perairan, karena substrat yang halus cenderung mempunyai nilai kecerahan yang rendah. Sedangkan tingkat kecerahan untuk pertumbuhan lamun > 3m, apa bila tingkat kecerahan perairan dibawah kisaran tersebut maka proses fotosintesis pada padang lamun akan semakin kecil. Pertumbuhan lamun membutuhkan salinitas optimum berkisar 24-35 ‰ (Hillman & McComb dalam Hillman et al, 1989). Pada umumnya salinitas di perairan pesisir selalu berfluktuasi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nybakken 1993). Lamun mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal. Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan ekosistem padang lamun adalah meningkatknya salinitas yang diakibatkan oleh berkurangnya suplai air tawar dari sungai. Gambar 2. Padang Lamun bagi Organisme laut Nilai derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar 7,3-9,0 (Phillips dalam Burrell & Schubell (1977). Derajat keasaman (pH) perairan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi tanah dan dasar perairan serta keadaan lingkungan sekitarnya. Nilai kandungan oksigen terlarut (DO) perairan padang lamun selalu berfluktuasi. Berfluktuasinya kandungan oksigen terlarut di suatu perairan diduga disebabkan pemakaian oksigen terlarut oleh lamun untuk respirasi akar dan rimpang, respirasi biota air dan pemakaian oleh bakteri nitrifikasi dalam proses siklus nitrogen di padang lamun. Beberapa faktor fisis yang dapat mengancam ekosistem padang lamun dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Dampak kegiatan terhadap padang lamun No Kegiatan Dampak 1 Pengerukan Perusakan total dan pengurugan padang lamun untuk kegiatan sebagai lokasi di pinggir laut, pengerukan dan pelabuhan, pengurugan industrial estate, Perusakan habitat saluran navigasi di lokasi pembuangan hasil pengerukan Dampak sekunder pada perairan meningkatkan kekeruhan air dan terlapisnya insang hewan air. 2 Pencemaran limbah industri 3 Pembuangan sampah organik Lamun melalui proses biological magnification mampu mengakumulasi logam berat. Penurunan kadar oksigen terlarut, mengganggu lamun dan hewan air. Eutrofikasi menyebabkan blooming fitoplankton yang menempel di daun lamun dan kekeruhan menghalangi cahaya. 4 Pencemaran oleh limbah pertanian Pestisida, mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun, pupuk mengakibatkan eutrofikasi 5 Pencemaran Lapisan minyak minyak pada daun lamun menghalangi lamun untuk berfotositesis Sumber : Bengen (2003) Sebagaimana ekosistem pesisir lainnya, padang lamun memiliki faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi serta tumbuh dan berkembangnya. Faktorfaktor pembatas ekosistem padang lamun adalah: karbon (CO2 dan HCO3-), cahaya, temperatur, salinitas, pergerakan air, dan nutrien. Dahuri (2003), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun 28-30 0C, salinitas 10-400/00 optimal 350/00, & kecepatan arus 0.5 m/detik, Bengen (2003), Sedimen yang mengandung bahan pencemar dan terperangkap di ekosistem pesisir merupakan masalah serius degradasi lingkungan. Bengen (2002), pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian, telah meningkatkan limbah pertanian, baik padat maupun cair yang masuk perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Limbah cair yang mengandung nitrogen dan fosfor berpotensi menimbulkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang merugikan ekosistem pesisir khususnya lamun. Secara ekologis, ekosistem padang lamun serta sumberdaya laut lainnya memiliki keterkaitan dengan daratan dan lautan. Pengelolaan ekosistem padang lamun tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di daratan, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, dan pemukiman dapat membawa senyawasenyawa yang merugikan serta dapat mengganggu keseimbangan dan keberadaan sumberdaya dan ekosistem padang lamun juga menyebabkan terjadinya penurunan kandungan oksigen terlarut, eutrofikasi, kekeruhan dan matinya hewan-hewan air yang berasosiasi dengan padang lamun (Bengen, 2001). .Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pembuangan limbah, pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir, perhubungan laut dan sebagainya, juga dapat mengancam kelestarian ekosistem padang lamun dari segi fisik. Ancaman-ancaman fisis lainnya terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Diantara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994). Kandungan fosfat berkaitan dengan keberadaan sediment dalam pertumbuhan lamun karena fosfat dalam sedimen adalah sumber utama untuk pertumbuhan lamun. Fosfat diambil oleh akar lamun kemudian dialirkan ke daun dan kemudian dipindahkan ke perairan sekitarnya (McRoy et al, 1982; Brix & Lyngby 1985; Penhale & Thayer dalam Moriarty & Boon 1989). Lamun mempunyai kemampuan mengambil nutrisi melalui daun dan akarnya (Erftemeijer 1992 & 1993; PerezLlorenz et al, 1993) dan dikatakan juga bahwa di daerah tropis pengambilan nutrisi oleh daun sangat kecil bila dibandingkan dengan pengambilan melalui akar. Sedimen merupakan tempat sumber utama untuk mendapatkan nutrisi, karena dalam sedimen mengandung kadar nutrisi yang lebih tinggi, sementara air permukaannya umumnya mempunyai kadar nutrisi yang rendah (Erftemeijer 1993; Udy & Dennison 1996). Penelitian tentang siklus zat hara telah dilakukan di Moreton Bay oleh Iizumi et al, (1982) McRoy et al, dalam Short (1987) melalui penelitian pengikatan fosfat oleh lamun dengan menggunakan teknik perunut 32 PO4. Konsentrasi nitrat dan nitrit sangat rendah di sedimen dibandingkan amonium. Rendahnya kandungan nitrat dan nitrit diduga disebabkan kecepatan penggunaan oleh bakteri denitrifikasi dan bakteri anaerob. Iizumi et al, (1982) melalui penelitian penyerapan kinetik nitrogen, menyimpulkan bahwa nitrogen (amonium) untuk pertumbuhan lamun didapatkan lebih banyak berasal dari sedimen sementara untuk nitrat lebih banyak diambil dari air permukaan. Oksigen mempengaruhi kadar nitrat di dalam sedimen. Oksigen dapat masuk ke dalam sedimen karena adanya aktivitas biota dasar dan melalui sistem perakaran lamun. Oksigen yang dihasilkan fotosintesis di daun dialirkan ke rimpang dan akar melalui lakunanya. Sebagian oksigen ini dipakai untuk respirasi akar dan rimpang dan sisanya dikeluarkan melalui dinding sel ke sedimen. Oksigen yang masuk ke dalam sedimen tersebut dipakai oleh bakteribakteri nitrifikasi dalam proses siklus nitrogen (Iizumi et al, 1980). 2.3. Hubungan Padang Lamun dengan Terumbu karang dan Mangrove Fungsi padang lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang. Sebagai ekosistem perairan laut dangkal ini sangat potensial sebagai sumber makanan biota kecil dan biota tertentu seperti dugong, biota omnivora serta biota pemakan hijauan. Keberadaan padang lamun di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, adalah membantu menstabilkan perairan dan memantapkan substrat dasar. Daun lamun yang lebat akan memperlambat gerakan air akibat arus dan ombak sehingga perairan menjadi tenang. Lamun kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem lain seperti ekosistem terumnbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam menjalankan fungsi ekologisnya. Ekosistem padamg lamun memiliki atribut ekologi yang penting yang berhubungan dengan sifat fisika, kimia dan proses biologi antar ekosistem di wilayah pesisir dan proses keterkaitan ke tiga ekosistem ini dijelaskan pada gambar 3. Ekosistem Padang Lamun Ekosistem Mangrove Ekosistem Terumbu karang Gambar 3. Model interaksi tiga ekosistem utama di wilayah pesisir yaitu: ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Bengen, 2001) Serasah yang dihasilkan oleh lamun (gambar 2) merupakan sumber makanan bagi kehidupan berbagai komunitas organisme di ekosistem padang lamun seperti komunitas Crustacea, ikan – ikan kecil, udang batu dan ikan besar, salah satu jenis ikan yang ketergantungan cukup tinggi dengan lamun adalah dugong dan penyu hijau. Lamun dapat memproduksi 65-85 % bahan organik dalam bentuk detritus dan disumbangkan keperairan adalah sebanayak 10-20% (Keough, et al. 1995) Ekosistem padang lamun yang memiliki produktivitas yang tinggi, memiliki peranan dalam sestem rantai makanan khususnya pada periphyton dan epiphytic dari detritus yang dihasilkan dan serta lamun mempunyai hubungan ekologis dengan ikan melalui rantai makanan dari produksi biomasanya seperti yang diisajikan pada gambar 4. Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration) dan pada semua level pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration) dijalankan secara terpadu. Keterpaduan dalam sudut pandang pengelolaan wilayah pesisir yang dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdiciplinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lain sebagainya yang relevan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Keterikatan ekologis sebagai suatu yang diperlukan dan harus diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai ekosistem, dimana jika satu ekosistem mengalami suatu perubahan atau kerusakan, maka hal yang sama pada akhirnya akan menimpa pula kepada ekosistem pesisir lainnya. 2.4.1 Pengelolaan secara Terpadu Perlindungan padang lamun dari berbagai ancaman degradasi dari aktivitas pemanfaatan perlu diupayakan agar fungsinya dapat optimal dan berkelanjutan. Upaya pengelolaan secara terpadu merupakan isu yang hangat dibicarakan untuk diterapkan di wilayah pesisir, termasuk pengelolaan ekosistem dan sumberdaya padang lamun. Dahuri et al (2001) mendefinisikan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana keterpaduan dalam konsep ini mengandung tiga dimensi, yaitu: Keterpaduan secara sektoral sebagai suatu keadaan, dimana proses koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab 2.4.2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, & pemanfaatan hasil-hasilnya. PBM dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat kepada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi, dimana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah di semua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Jadi kedua komponen baik Produksi Populasi lamun Siganus Enhalus canalicatus acoroides 8556 Produksi detritus kal/m2/hari Konsumsi lamun 0,23 kal/m2/hari(40% Enhalus acoroides konsumsi dari O,6 kal/m2/hari(0,007%) padang lamun) dari produksi Gambar 4. Aliran energi pada aktivitas makan padang lamun populasi Siganus canaliculatus di Teluk Bay, Philipina Keterkaitan lamun dengan ikan Siganus canaliculatus (gambar 4) menjelaskan tentang peranan lamun sebagai tempat ikan mencari makan, dalam hal ini lamun di lingkungan pesisir dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan plankton yaitu : mensuplai makanan dan zat hara ke ekosistem perairan, membentuk sedimen dan berinteraksi dengan terumbu karang, memberikan tempat untuk berassosiasinya berbagai flora dan fauna dan mengatur pertukaran air( Fortes 1989). 2.4. masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dimana hanya masyarakat saja yang diharapkan aktif, namun pihak pemerintah harus proaktif dalam menunjang program pemberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir ini (Dahuri et al, 2001). DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen, D.G. 2003. Struktur dan Dinamika Ekosistem Pesisir dan Laut (Power Point). Disajikan pada perkuliahan: Analisis Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan. Prog. Studi SPL. IPB, Bogor. (program komputer). Hillman, K., Walker, D.J., Larkum, A.W.D. & Mc Comb, A.J. 1989. Productivity and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam: Larkum, A.W., McComb, D.A.J & Shepherd, S.A. (eds). Biology of Seagrasses. Netherland: Elsevier Science Publishers. Sangaji, F.1994. Pengaruh sedimen dasar terhadap penyebaran, kepadatan, keanekaragaman, dan pertumbuhan padang lamun di laut sekitar pulau Barang Lompo. Thesis, Pasacasarjana, Universitas hasanuddin. Ujung Pandang.