Abstrak Tulisan ini bertujuan memetakan aliran sesat di Aceh

advertisement
Abstrak
Tulisan ini bertujuan memetakan aliran sesat di Aceh secara tekstual
dan kontekstual sesuai periodisasi paham keagamaan yang
berkembang melalui karya Nuruddin Ar-aniry yang berjudul Tibyan
fi Ma„rifat al-Adyan (TMA). Naskah ini ditulis pada periode
Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675 M) sebagai penguatan
fatwa persekusinya terhadap kelompok paham Wahdatul Wujud pada
periode Iskandar Tsani (w.1641). Paham ini terus mendapat sorotan
dan pembahasan pasca masa Kesultanan baik pada periode kolonial
maupun periode kemerdekaan, sebab persoalan konteks mistikosufistik ketuhanan dan konsepsi alambegitu sensitif di Aceh,sehingga
memiliki kesamaan kasus dan penanganannya antara periode masa
lampau dengan sekarang, sebagaimana Nuruddin Ar-Raniry
membuat cluster (kelompok) sesuai tipologi periode dan
identitasnya, yang masing-masing berdampak pada sosio-agama dan
pemerintahan.
Kata Kunci: Aliran sesat, Nuruddin Ar-Raniri, Aceh, naskah
Pendahuluan
Tumbuh berkembangnya kelompok aliran sesat di Aceh
pascarekonstruksi dan rehabilitasi ataskonflik dan bencana gempatsunami ternyata bukan merupakan persoalan baru. Kawasan Aceh
dengan identitas keragaman pemahaman dan perkembangan
pemikiran telah melesat tajam sejak periode Kesultanan Aceh,
khususnya abad ke-17 Masehi. Persoalan aliran sesat pada periode
HERMANSYAH
modern di Aceh memiliki persamaan kasus dengan yang terjadi pada
periode atau abad-abad sebelumnya dan persamaan pendekatan
dalam penanganan dengan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas
dan penguasa.
Sementara di sisi lain, sikap penguasa untuk memerangi
pemikiran sektarian tidak selalu didasari kepentingan agama ataupun
semangat beragama, melainkan lebih cenderung merupakan upaya
penegas kekuasaan dan perluasan wilayah yang lebih bersifat politis.
Para mutakallimun dan fuqaha’ pro-pemerintah akan mengikuti
kebijakan penguasa ketika dihadapkan pada adanya pro dan kontra.
Fenomena tersebut terekam pada pascaperiode Khulafa‟ al-Rasyidin
atau masa dinasti kerajaan. Setiap kelompok, sekte, dan jamaah yang
muncul dengan pemikiran yang berbeda dengan penguasa akan
dianggap keliru, dan dimusnahkan, walaupun lahirnya kelompok
Islam (Firqah Islamiyah) terkadang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan pemikiran agama dan kekuasaan.
Fenomena Islam pasca-Rasulullah, atau tepatnya setelah periode
Khulafa‟ al-Rashidin, merupakan gambaran masyarakat Islam yang
mencakup interaksi agama, politik, kebudayaan dan peradaban. Hal
itu tidak dapat dipungkiri dan disangkal. Fenomena tersebut
mememiliki khazanah sejarah yang melimpah dan kekuatan gerakan
yang besar di tengah masyarakat. Semakin berkembang Islam dan
melebarkan sayapnya ke seluruh penjuru dari masa ke masa, serta
masuknya berbagai etnis-bangsa di dalamnya, maka semakin tinggi
konstruksi ideologinya.1 Dengan demikian, sangatlah logis apabila
aliran, kelompok, golongan, mazhab dan partai dalam kerangka
Islam bertambah banyak. Dalam masa perkembangan umat Islam,
fenomena ini semakin kentara kemunculannya, namun pada masa
krisis dan stagnasi, perbedaan semakin pudar dan bahkan sebagian
pemikiran hilang.
Perkembangan pemikiran dalam Islam yang mengakibatkan
lahirnya berbagai “produk” baru sering diberi label bid’ah. Hal ini
bukan hanya terjadi di Aceh, akan tetapi sebelumnya, di Jazirah
1
„Abd al-Rahman Badawi, Madhahib al-Islamiyah (Beirut: Dar al‟Ilm LilMalayin, 1997), 35
42
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
Arab, perkembangan sekte-sekte dalam Islam pun tak terbendung.
Lahirnya Syi‟ah melawan jumhur Sunni, munculnya Khawarij,
Mu‟tazilah dan sekte-sekte lainnya yang mewabah ke seluruh
wilayah Islam telah memperkaya produk pemikiran keagamaan
dalam lintas sejarah dan budaya Islam.
Di Aceh, fenomena dinasti pemikir keagamaan yang
berkonsolidasi dengan penguasa juga melekat erat pada abad ke-17
M, salah satunya tercermin pada peran Qadhi Malik ‘Adil atau mufti
Kesultanan, seperti Syamsuddin As-Sumatra‟i dan Nuruddin ArRaniry. Posisi mereka dinilai strategis dalam bidang keagamaan,
kebudayaan, kesultanan dan sebagainya. Lombard menggambarkan
peran Qadhi Malikul ‘Adil pada saat kunjungan pedagang dari luar
negeri. Sebagai perwakilan Sultan mereka memainkan peran strategis
dalam diplomasi dan menjadi sumber pertimbangan keputusan
kerajaan.2
Nuruddin Ar-Raniry mendapat kepercaayan dari Sultan Iskandar
Tsani untuk mengisi posisi tersebut. Dengan posisi tertinggi yang
mendapat dukungan penuh tersebut Ar-Raniry menghakimi
kelompok lain tentang konsepsi pemikiran keagamaan, sebagaimana
dituangkan dalam salah satu kitabnya. Ia menyatakan bahwa
perkembangan pemikiran dan sektarian saat itu sudah melenceng dari
jalur Islam murni, terutama Kelompok Syam, yaitu para pengikut
ajaran Syamsuddin As-Sumatra‟i dan Hamzah Fansuri yang
menganut paham Wahdatul wujud.
Nunu
Burhanuddin
menggarisbawahi
bahwa
untuk
mengindetifikasi adanya aliran yang keluar dari mayoritas, maka
harus didefinisikan dulu apa yang menjadi mainstream.3 Nunu
mengutip Martin van Bruinessen4 tentang tipologi mainstream dalam
Islam atau, dengan kata lain, ortodoksi di Indonesia diwakili oleh
2
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
3
Nunu Burhanuddin, “Tipologi Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam
Indonesia: Analisis Sosiologis & Fungsional”, paper ilmiah disampaikan pada
Annual Conference on Islamic Studies, November 2010.
4
Martin Van Bruinessen,"Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia:
latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social
and cultural background"),Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
43
HERMANSYAH
organisasi-organisasi besar agama Islam dan juga lembaga-lembaga
agama bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia),
dan juga MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) di Aceh. Ketika
ada aliran yang berbeda dengan praktik dalam lingkup mainstream
tersebut maka otomatis label sesat akan disematkan.
Lahirnya berbagai golongan, kelompok, aliran dan sekte dalam
Islam, pada dasarnya memunculkan kembali “fenomena jahiliyah”,
yaitu masyarakat hidup berkelompok, separated dan mengklaim
kabilah-nya (golongan) berada di jalan yang benar, dan memberi
label sesat pada golongan lain. Kelompok mayoritas juga
menyatakan diri sebagai penyebar dan penganut agama Islam murni,
melegalkan berbagai gaya hidup, pola pikir dan perilaku praktis.
Kemunculan sebagian aliran, sekte atau kelompok tersebut sekilas
nampak sebagai masalah sosial dan akidah semata, namun dalam
perjalannya berubah menjadi politis.
Harus diakui bahwa aliran, sekte atau kelompok tersebut
merupakan khazanah dalam perjalanan umat Islam, baik itu positif
maupun negatif. Dalam perspektif al-Hafni, setiap aliran dan
kelompok yang muncul memiliki dua kemungkinan, yaitu sebagai
pendukung penguasa (pemerintah) atau sebagai penentangnya. Para
ulama (fuqaha’) pemerintah memberikan penafsiran menurut selera
penguasa atau, setidaknya, sejalur dengan keinginan penguasa. Hal
itu dilakukan untuk memudahkan tumbuhnya kepatuhan rakyat
terhadap pemerintah. Sebaliknya, aliran atau kelompok yang berbeda
paham dengan pemerintah, harus tetap menunjukkan eksitensi di
bawah tekanan dan ancaman penguasa.5
Genealogi naskah-naskah TMA
Kitab Tibyan fi Ma‘rifat al-Adyan (TMA) merupakan salah satu
kitab karangan Nuruddin Ar-Raniry yang ditulis sebagai hadiah atau
atas permintaan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam untuk
mengklarifikasi tahkim fatwa Nuruddin Ar-Raniry terhadap
kelompok paham Wujudiyyah pada periode Iskandar Tsani.
5
Abdul Mun‟im al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,
Partai dan Gerakan Islalm Seluruh Dunia (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 1999),
xxiv
44
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
Permintaan tersebut kemungkinan besar juga merupakan salah satu
langkah penyelesaian konflik keagamaan yang berkelanjutan di
kerajaan Aceh, yaitu timbulnya kubu-kubu yang saling mengklaim
kebenaran masing-masing.
Hingga saat ini, berdasarkan hasil inventarisasiyang telah
dilakukan diperoleh informasi bahwa terdapat sepuluh teks naskah
TMA yang tersimpan di dalam dan luar negeri, di antaranya: dua
naskah tersimpan di Leiden,6 satu naskah di Amsterdam,7 dua naskah
di Museum Negeri Aceh,8 dua naskah di Yayasan Pendidikan Ali
Hasjmy (YPAH) Banda Aceh,9satu teks naskah koleksi PMM-PNM
Malaysia,10satu teks naskah koleksi pribadi Syahrial di Lingom Aceh
Besar, dan terakhir satu teks naskah Tibyan koleksi Tarmizi A
Hamid, yang merupakan salinan berbahasa Aceh dalam bentuk
nazam (puisi).
Informasi penting ditemui di salah satu kolofon naskah TMA
yang disalin pada tahun 1727 M menunjukkan bahwa teks naskah ini
selesai dikarang oleh Nuruddin Ar-Raniry pada hari Rabu 8 Rabi‟ alAkhir 1051 H, bertepatan dengan 17 Juli 1641 M, yaitu tepatnya
beberapa bulan awal masa pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Tajul
Alam Syah (16 Februari 1641 M), sedangkan naskah salinan tertua
yang ditemui dalam koleksi Leiden selesai disalin pada hari Ahad, 9
Rajab 1064 H (24 Mei 1654 M). Hal tersebut menunjukkan transmisi
keilmuan dan pemikiran keagamaan tentang Wujudiyyah masih
berkembang. Di sisi lain, sumber naskah ini sekaligus menunjukkan
sikap Nuruddin Ar-Raniry yang menyetujui kepemimpinan wanita
dalam pemerintahan.
6
Cod. Or. 3291 dan Cod. Or. 12.283 a & b,. Naskah TMA tersebut menjadi
salah satu kajian P. Voorhoeve, Twee Maleise Geschriften van Nūruddīn ar-Rānirī
(Leiden: E.J Brill, 1955).
7
Aboebakar Atjeh, ”Jejak Langkah Nuruddin Ar-Raniri dan Karyanya” dalam
Dari Sini Ia Bersemi (Banda Aceh: MTQN Pemda NAD, 1980),156.
8
Nomor 4209/07.1437 dan nomor 903/07.26.
9
11A/TS/1/YPAH/2005 dan 172/TS/3/YPAH/2005. Oman Fathurahman dan
Munawar Holil, KatalogNaskah Ali Hasjmy Aceh, Catalogue of Aceh Manuscripts:
Ali Hasjmy Collection Banda Aceh (Jakarta: C-DATS-TUFS, YPAH Banda Aceh,
PPIM UIN Jakarta, Manassa, 2007), 144.
10 Mohd. Shaghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara (Malaysia:
Khazanah Fathaniyah, 1991), 40.
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
45
HERMANSYAH
Naskah TMA telah membawa pengaruh besar di antara kitabkitab terkenal lainnya karena mengkolaborasikan dua bidang ilmu,
tauhid (teologi) dan tasawuf (sufi), dalam satu bagian. Ulama
pertama yang menulis mengenai perbandingan agama (teologi) di
wilayah Melayu Nusantara dalam bahasa Jawi (Melayu). Kitab TMA
banyak dipengaruhi kitab Tamhid fi Bayan al-Tauhid karya Abu
Syakur As-Salimi (w. 1077), dalam tipologi sektarian ataua paham
kepercayaan, dan beberapa kitab rujukan serta bahan perbandingan
lainnya, seperti kitab ‘Auraful Ma‘arif karangan Syeikh Abu Najib
Sahruwardi, kitab Haq al-Yaqin, Dairat al-Wujud, Sirru arRububiyati, Kashfu Sirri at-Tajalli as-Subhati, Sirr al-Anwar, alMuwafiq, serta kitab teologi sufistik Durr al-Farid bi Syarh al‘Aqaid dan Lathaif al-Asrar.
Tipologi Aliran Kepercayaan dalam TMA
Dalam kitab TMA disebutkan, lahirnya berbagai sekte dan aliran
dalam Islam bukan suatu kebetulan. Atas dalil hadits masyhur yang
diriwayatkan oleh banyak sanad, Nabi bersabda “Yahudi akan
menjadi 71 golongan, dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan
ummatku terpecah menjadi 73 golongan.” Dalam riwayat lainnya:
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan
ummatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka
kecuali satu, yaitu jama‟ah”.11
Perkembangan aliran dalam Islam pun tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor internal semata, akan tetapi juga oleh pengaruh eksternal,
baik politis maupun geografis, seperti pemikiran filsafat Yunani dan
India (Hinduisme, Jainisme, Buddhisme, Sikhisme), terutama yang
menyangkut hal-hal seputar makrifat ketuhanan, ruh dan proses
alam. Akulturasi terjadi saat proses Islamisasi ke beberapa wilayah
yang sudah melekat dengan pemikiran pra-Islam, sehingga
melahirkan sekte-sekte (kelompok) dalam Islam dengan berbagai
konsep pemikirannya.
11 Lihat Hadist Nabi: Al-Tirmīdhī, al-Sunan, Bab fī Iftiraq Hadhihi al-Ummah, II
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 2564. Abu Dawud, Sunan Abī Dawud, Bab Syarh alSunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995). 198. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab alFitan (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 3981.
46
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
Pembahasan dalam naskah TMA dibagi pada dua bab. Pertama,
tentang agama-agama non-skriptural, yang kemudian disimpulkan
dengan agama-agama skriptural seperti Kristen, Nasrani dan Yahudi,
dimulai dari masa nabi Adam sampai kepada nabi Isa a.s. Bab
Kedua, tentang sekte-sekte dalam agama Islam, termasuk tujuhpuluh
dua kelompok sempalan muslim yang dianggap keluar dari millah
Islam atau berada di luar tradisi Sunni sejati.12 Kemudian setiap sekte
dibahas satu persatu mengenai prinsip dan keyakinan yang berbeda
dengan ideologi dan akidah Islam. Maka dari beberapa keyakinan
golongan tersebut diidentikkan dengan ajaran Wujudiyah pengikut
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatra‟i yang dinilai sesat.
Kategorisasi kepercayaan yang diungkapkan dalam TMA dibagi
menjadi tiga periode. Pertama, Periode Pra-Islam yang menunjukkan
bahwa identitas pemahaman Wujudiyah adalah bagian dari
kepercayaan pada periode tersebut. Periode Kedua, Periode Pasca
wafatnya Rasulullah dan Khulafa‟ al-Rasyidin, berlandaskan Hadist
Nabi tentang 72 sekte sesat di luar Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kategori terakhir adalah Periode Sufis, yaitu periode perkembangan
pemikiran, pemahaman dan pengamalan pada tarekat-tarekat dunia
keislaman.
Agama-agama skriptural dikupas secara historis dimulai dakwah
kepada manusia, golongan-golongan kepercayaan dan keagamaan
dibagi kepada lima kategori, yaitu:
1. Tabi‟iyah (Taba’iyah). Penyembah berhala (paganisme) yang
terdiri dari 4 golongan, yaitu (i) Hararah (ii) Burudah (iii)
Yabusah (iv) Rutubah;
2. Majusi. Emanasi dan penyembah cahaya, yang terdiri dari 3
aliran, yaitu: (i) Zamzamiyah (ii) Syamsaniyah (iii) Samiyah;
3. Dahriyah (Mulahdifun) atau mulhid, yaitu kelompok yang
meyakini tidak adanya tuhan (ateis);
4. Tanasukhiyah. Reinkarnasi dan politeisme. Kelompok yang
mengaplikasikan reinkarnasi dan politeisme ini yang diasumsikan
12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005),227.
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
47
HERMANSYAH
oleh Nuruddin Ar-Raniry sebagai generasi pengikut wujudiyyah
di Aceh, yang digolongkan kepada 4 golongan utama, yaitu; (i)
Barahimah (ii) seperti ajaran Hamzah Fansuridan Shams al-Din
al-Sumatra‟i (iii) inkarnasi (iv) golongan terkahir tidak disebutkan
oleh Nuruddin Al-Raniry.
5. Dan terakhir adalah golongan Ahl Kitab. Golongan ini dibagi
dalam 10 kelompok, akan tetapi Nuruddin Ar-Raniry hanya
menyebutkan 3 di antaranya, yaitu: (i) Barahimah (ii) Yahudi (iii)
dan Nasrani.
Pada bab kedua dijelaskan beberapa mazhab (sekte/golongan) umat
nabi Muhammad saw. Menurut hadist Rasulullah, sekte dalam Islam
terbagi kepada 72 bagian, yang keseluruhannya sesat kecuali satu
golongan. Hadist ini sendiri diriwayatkan oleh beberapa sahabat
Nabi dari sanad yang berbeda-beda, akan tetapi dalam riwayat
lainnya itu juga disebutkan bahwa jumlahnya sebanyak tujuhpuluh
tiga golongan.13
Kelompok sempalan muslim yang dianggap sesat dan
menyesatkan berada diluar tradisi Sunni sejati digolongkan dalam
beberapa tipologi. Nuruddin Al-Raniry menggolongkan kepada enam
golongan utama, yaitu: 1). Rafidhiyah, 2). Kharijiyah, 3). Jabariyah,
4). Qadariyah, 5). Jahmiyyah, dan 6). Murji’ah. Pengelompokan
tersebut menurut pengarang kitab merujuk kepada kitab Tamhid fi
Bayan al-Tauhid karya Abu Syakur as-Salimi (w. 1077).14 Secara
implisit, Wujudiyah tidak termasuk dalam kelompok ini, akan tetapi
pemikirannya sama dengan sekte-sekte sesat di Timur Tengah dan
Persia.
13 Beberapa Hadist Nabi menunjukkan 72 golongan, dan sebagian diriwayatkan
73 golongan. Keduanya thiqah melalui sanadnya masing-masing. Ḥadith
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab al-Sunnah, bab Syarh al-SunnahIV/4597
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 198. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,Kitab al-Fitan,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 3981. Tirmidhi, Kitab al-Iman, bab Ma ja’ala fi Iftiraq
hadhihi al-Ummah (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 18: 2778. Lihat juga: Abdul Mun‟im
al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan
Islalm Seluruh Dunia (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 1999), xxiv
14 P. Voorhoeve, (ed) Twee Maleise Geschriften van Nuruddin ar-Raniri in
Facsimile Uitgegeven met Aantekeningan (Leiden: E.J. Brill, 1955), 9.
48
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
Berbeda dengan Al-Syahrastani yang memiliki perbedaan tipologi
dan kriteria. Menurutnya, golongan utama yang keluar dari millah
Islam berasal dari empat golongan, yaitu: al-Qadariyah, alKhawarij, al-Shifatiyah dan As-Syi’ah.15 Dalam kitab Mazahib alIslamiyah karya „Abd al-Rahman diuraikan bahwa terbentuknya
golongan-golongan tersebut diakibatkan oleh perubahan zaman
(periode), tempat (wilayah) dan tokohnya, namun penggolongan
utama tetap berpatokan pada 6 golongan dasar, yaitu; al-Mu’tazilah,
Al-Khawarij, Al-Asy’ariyah, As-Syi’ah, Al-Murji’ah, dan AlBatiniyah.16
Setiap golongan utama di atas terdiri dari 12 sekte bagian. Setiap
sekte dideskripsikan ideologinya sesuai dengan pemahaman Islam.
Namun demikian, ada beberapa sekte digolongkan ke dalamnya
sehingga melebihi dari jumlah sebenarnya. Sekte-sekte ini dijelaskan
sesuai dengan kategori dan periode, walaupun tidak secara
menyeluruh, namun hampir semuanya merujuk kepada kitab
karangan ulama Arab. Kelompok (sekte) tersebut adalah:
1. Rafidhiyah dari kata rafadha (menolak): Uluhiyyah atau
Saba’iyah; „Alawiyah atau Gharbiyyah; Ibadiyah; Syi’iyyah atau
Imamiyah; Asmaqiyyah; Ziyadiyah (Zaidiyah); ‘Abbasiyah;
Nawasiyyah;
Tanasukhiyyah,
Laghiyyah;
Raji‘iyyah;
Mutarabbisiyah;
2. Kharijiyah (Khawarij) atau Hururiyah, terbagi pada sekte:
Azariqiyyah; Ibadhiyyah; Ta‘liyah; Kharisiyah; Khalfiyyah;
Kathriyyah; Mu’tazilah; Maimuniyah; Muḥkammiyah; Akhniyah;
Nasiyah; Samrakhiyah;
3. Jabariyyah, terdiri dari: Mudhthariyah; Fa‘iliyyah; Ma‘iyyah;
Mafru’iyah; Najariyyah; Darariyah; Kasaliyah; Sabiqiyah;
Habibiyah; Khaufiyah; Fikriyah; dan Jisiyyah;
4. Qadariyah terdiri dari: Aḥmadiyah; Shanawiyah; Kisaniyah;
Shaythaniyyah;
Sharikiyyah;
Wahmiyyah;
Ruwaydiyyah;
Nakisiyah; Mutabarriyah; Qasithiyah; Nizhamiyah; Mu’taziliyah;
15 Al-Shahrastani, Al-Milal wa-al-Nihal, 144, 163.
16 „Abd al-Rahman Badawi, Madhahib al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Ilm LilMalayin, 1997), 34.
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
49
HERMANSYAH
5. Jahmiyah merupakan Pengikut al-Jahm ibn Shafwan (w. 172 H/
745 M), dibunuh oleh Salim ibn Aḥwaz al-Mazini pada akhir
masa Bani Umayyah. Golongan ini terbagi kepada; Mu‘thaliyah;
Murabithiyah;
Mutaraqiyah;
Iradiyah;
Harqiyyah;
Makhluqiyyah; Ghairiyyah; Faniyah; Lafdhiyah; Qabriyah;
Waqifiyah; dan Zanadiqiyah. Sekte yang terakhir diidentikkan
dengan paham Wujudiyah konsep alam qadim. Menurut
Nuruddin al-Raniry bahwa aliran ini menjadi salah satu bagian
kepercayaan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dan
dinamakan Ashabul Habula.
6. Murji‟ah adalah kelompok yang dikembangkan oleh Abu Sallat
Samman dan Dirar bin 'Umar terbagi kepada dua belas sekte,
yaitu: Tarikiyyah; Sa’ibiyyah; Rajiyah; Shakiyah; Bahsiyah;
‘Ilmiyyah; Manqusiyah; Muthabbitiyah; Ash’ariyah; Bid’iyah
atau Yada’iyah; Mutashabihiyyah; dan Hashwiyah.
Selain aliran-aliran (sekte) yang berjumlah tujuh puluh dua golongan
sebagaimana disebutkan di atas, Nur al-Din Ar-Raniri juga
menyertakan beberapa sekte lainnya di luar kelompok tersebut,
seperti; Karamiyah, Muqta’iyah dan Salimiyah, sehingga jumlah
tersebut melebihi jumlah yang tersebut dalam hadist Nabi.
Sedangkan kategori terakhir (ketiga) ialah tipologi sufi sesat
(pseudo sufi). Eksistensi aliran Wujudiyahdi Aceh abad ke-17 M
yang diklaim oleh Nuruddin Ar-Raniry pada hakikat digolongkan
kepada kelompok ini. Penggolongan yang dilakukan Ar-Raniri
menunjukkan bahwa Wujudiyah merupakan bagian amalan sufisme,
bukan pada keyakinan (i‟tikad), bentuknya tidak berbeda dengan
tarekat (sufi) sesat lainnya, baik dari sisi pemikiran ataupun
amalannya.
Kelompok sufi sesat tersebut terdiri dari 13 kelompok, di
antaranya; Jiyah, Awliyah, Samrakhiyah, Ibahiyyah, Haliyah,
Huriyyah, Waqi’iyah, Mutajahiyyah (Mutajahilah), Mutakasiliyyah,
Ilhamiyah; Hululiyyah, Wujudiyah (Ittihadiyyah), dan terakhir
Musyabbahah atau Mujassimah. Nama-nama kelompuok sufi
tersebut belum pernah eksis di Aceh (Melayu-Nusantara), demikian
ajaran dan amalan yang diutarakan oleh Nuruddin Ar-Raniry.
50
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
Aboebakar menyebutkan ada sekitar empat puluh tarekat sufi
mu‟tabarah yang diakui Ahl Sunnah berkembang di Aceh,
sebagiannya masih tetap bertahan, sebagiannya bertransformasi antar
tarekat pada tahap-tahap tertentu, dan yang lainnya tidak
berkembang. Jumlah yang diungkapkan oleh Aboebakar tersebut
merujuk kepada syekh Jalal al-Din yang mengingformasikan tentang
perkembangan tarekat sufi di Jazirah Timur Tengah, demikian juga
dalam penelitian oleh Gibb.17
Ajaran Hamzah Fansuri di Aceh pada era Sultan Ali Riayat Syah
(w. 1607) dan Sultan Iskandar Muda (w. 1636), misalnya, mendapat
tempat baik dan menjadi salah satu ajaran resmi di Kesultanan Aceh.
Sebaliknya, ajaran tersebut dilarang pada periode Sultan Iskandar
Tsani (w. 1640) atas fatwa takfir Mufti Qadhi al-„Adil Kesultanan
Aceh Nur al-Dinal-Raniri. Menurutnya, ajaran Wujudiyah
dinisbahkan pada Hamzah Fansuri identik dengan paham sekte
Qadiriyah, Muktazilah dan Jahmiyah, serta paham falsafat India.
Namun, konsistensi kebijakan dapat berganti seiring dengan
bergantinya penguasa.
Kriteria Sesat Menurut Nuruddin Ar-Raniri Dalam TMA
Pertentangan teologi di Nusantara merupakan manifestasi dari
teologi di Timur Tengah sebelumnya. Demikian di Aceh, konteks
mistiko-sufistik ketuhanan dan konsepsi alam menjadi pembahasan
kontroversi sebelum abad ke-17. Sama halnya dengan di Jazirah
Arab dan India, pertentangan agama tersebut tak terlepas dari unsur
politik, sedangkan penguasa (pemerintah) berperan sebagai sistem
kepercayaan yang mapan dalam hal ini. Oleh karena itu, setidaknya
ada tiga alasan agama dijadikan landasan pengkafiran dan
pembenaran radikalisme beragama. Pertama, fungsi agama sebagai
basis ideologi. Kedua, fungsinya juga sebagai identitas, baik identitas
kelompok, etnis, penguasa dan bangsa, dan landasan ketiga adalah
fungsi agama sebagai legitimasi hukum dan etis dalam hubungan
antar manusia. Legitimasi tersebut memilah pro kontra yang dapat
17 Aboebakar, Tarekat Dalam Tasawuf (Kelantan: Pustaka Aman Press, 1993),
37. Lihat juga H.A.R Gibb, Shooter Encyclopedia of Islam (Leiden: 1952)
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
51
HERMANSYAH
melahirkan vonis dan hukuman kepada pihak lainnya.
Tiga faktor di atas sangat kental terjadi pada periode Nuruddin
Ar-Raniri di Aceh. Ia memanfaatkan posisinya sebagai mufti
Kesultanan Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani.
Pemilahan kelompok di Aceh menimbulkan klaim masing-masing
pihak, baik status, pemikiran, bahkan aliran keagamaan yang
dikehendaki oleh penguasa, sehingga klaim aliran antara yang benar
dan yang salah dilakukan sepihak. Tindakannya atas dalil agama
dijadikan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi
tindak vonis Nuruddin al-Raniri.
Fatwa takfir dilanjutkan dengan tindakan pembunuhan terhadap
pengikut ajaran Wujudiyah dan pembakaran kitab-kitab karya
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatra‟I (w. 1630) di depan
mesjid Baiturrahman Banda Aceh. Vonis tersebut mendapat restu
dari Sultan Iskandar Tsani (w. 1640) sebagaimana disebutkan dalam
beberapa karya Nuruddin Ar-Raniry periode sebelumnya. Tragedi
tersebut direkam dalam banyak kitab karangannya –walaupun tidak
disebutkan nama tokoh lawan debatnya- seperti Durr al-Fara’id biSyarh al-‘Aqa’id, Hill al-Zill, Hujjat al-Siddiq li-Daf‘ al-Zindiq,
Asrar al-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa-al-Rahman, Fath{ al-Mubin
‘Alá al-Mulh{idin, Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al-Ma‘lum, termasuk
TMA.
Di antara keseluruhan kitabnya, naskah TMA merupakan kitab
heresiologi pertama di dunia Melayu-Nusantara. Kitab tersebut
dikarang oleh Nuruddin Ar-Raniri pada masa Sultanah Safiyatuddin
Syah Tajul Alam untuk menjelaskan kedudukan pengikut aliran
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatra‟i, sekaligus
pertanggung jawaban dan klarifikasi atas tindakan fatwanya pada
masa Sultan. Gejolak-gejolak penentangan timbul pasca
meninggalnya Sultan Iskandar Tsani (w. 1640). Kelompok oposisi
meminta tahkim (pertanggungjawaban) kembali atas tindakan
Nuruddin al-Raniri.
Sikap di atas akan menjadi bencana ketika otoritas keagamaan
dikawal oleh politik, maka fatwa takfir pun menjadi malapetaka bagi
tokoh atau kelompok yang dikafirkan. Ini yang terjadi pada
Wujudiyah di Aceh (1637-1640 M). Hal yang sama juga terjadi pada
52
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
al-Hallaj di Baghdad (w. 932 M), Dara Sikuh di India (w. 1658 M),18
dan Siti Jenar di Jawa (w. 1506 M).19 Berbeda halnya jika tuduhan
kafir tersebut hanya sampai pada ranah diskusi dan karya ilmiah,
maka tidak akan terjadi malapetaka tersebut.
Menurut Nuruddin Ar-Raniri dalam naskah TMA, ajaran
Wujudiyah yang dianut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin AsSumatra‟i merupakan benih-benih ajaran dan kepercayaan agama
sebelumnya. Ia merupakan bagian dari pemikiran falsafat Yunani
dan pemikiran Hindu-Budha. Dalam konsep al-Raniri, penganut
ajaran Wujudiyah dianggap sesat (heretical) dan menyimpang, dan
mereka diberi „label‟ kafir, zindiq, mulhid dan dhalalah (sesat).
Pemerian yang berlebihan bukan hanya disebut dalam kitab TMA,
namun juga dalam beberapa karyanya yang lain, sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya.
Persepsi Nuruddin Ar-Raniri tentang paham Wujudiyah
merupakan bagian aliran sesat yang sama dengan sekte heterodoks
lainnya di wilayah India dan Tibet, seperti: Barahimah,
Tanasukhiyah, Wasniyah, Hululiyah, Samiyah, Hulwaniyah,
Maknawiyah dan kelompok-kelompok Sufi sesat di Jazirah Timur
Tengah. Legalisasi fatwanya merujuk pada dua sisi, sehingga
memunculkan dua kemungkinan dalam fatwanya. Pertama, ia
menyadari pengaruh ulama Jazirah Arab di Nusantara, sehingga
merujuk fatwanya ke ulama Haramayn. Kedua adalah -memangkajiannya menggambarkan spiritual keagamaan dan realitas yang
dihadapinya selama di India, kemudian diidentikkan dengan konteks
keagamaan di Aceh.
Landasan dan kriteria yang diungkapkan oleh Nuruddin Ar-Raniri
berbeda dengan al-Ghazali dan Al-Syahrastani dalam beberapa
aspek. Imam al-Ghazali (505 H) menyebutkan kaidah takfir secara
lebih ketat dan terperinci dibandingkan dengan tokoh lainnya seperti
Abu Hasan al-Ash„ari (324 H) dan al-Iji (765 H), yang keduanya
18 Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dulu dan sekarang, terj. The History
of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2006), 434.
19 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), 97.
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
53
HERMANSYAH
masih mengecualikan takfir kepada Ahl Kiblat. „Abd al-Qahir alBaghdadi (429 M) lebih toleran terhadap kelompok sufi, kecuali
kepada aliran Batiniyah.20 Di lain pihak, Al-Shahrastani
menyebutkan empat kriteria yang menyebabkan golongan
menyimpang dari Islam, yaitu: tentang sifat dan ketuhanan, tentang
Qadar dan „Adl, tentang ketetapan, asma’ dan ahkam; dan berkaitan
dengan sama’, akal, wahyu dan amanah.21
Nuruddin Ar-Raniry memiliki beberapa landasan dan kriteria
takfir atas Wujudiyah di dalam teks TMA. Para sarjana sebagian
telah mengungkapkan beberapa aspek yang dinilai sebagai kriteria
sesat versi Nuruddin Ar-Raniry,22 Disini diupayakan pemetaan
kriteria yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:
1. Ar-Raniri menganggap bahwa ajaran Wujudiyah tentang
dhat Tuhan itu dapat menyatu secara total (imanen) dengan
alam. Dalam pandangannya, paham Wujudiyah tentang
imanensi Tuhan sama dengan aliran Tanasukhiyyah,
Hululiyah dan Ittihadiyyah. Ada dua kitab yang diberi label
hitam oleh Nuruddin ar-Raniry untuk argumentasi tentang
imanensi, yaitu kitab Al-Muntahi dan Asrar al-‘Arifin karya
Hamzah Fansuri dan kitab Mir’at al-Muhaqqiqin. Menurut
Daudy, pada dasarnya ada pemilahan yang diinterpretasikan
Hamzah Fansuri. Perbedaan tercermin pada martabat
ajarannya, antara awam dengan ahl Suluk (sufi), dan
perbedaan terjadi saat menghadirkan misal untuk
memudahkan ajarannya, hal tersebutlah yang menjadi
sumber misinterpretasi dan pertentangan dengan paham alRaniri.23
20 „Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.t), 242.
21 Al-Shahrastani, Al-Milal wa-al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), 6.
22 Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah AlFansuri. (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). Oman Fathurahman,
Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad
17 (Bandung: Mizan, 1999)
23 Ahmad Daudy, Allah Dan Manusia Dalam Konsepsi Nur al-Din al-Raniri
(Jakarta: Rajawali, 1982), 125-153.
54
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
2.
3.
4.
Ar-Raniri menganggap bahwa gagasan Hamzah Fansuri
tentang nur Muhammad dan hubungan di antaranya identik
dengan gagasan para filosof, kaum Zoroaster (Majusi),
Tanasukhiyah (reinkarnasi) dan Brahmanisme Hindu yang
meyakini akan nur (cahaya). Menurut al-Raniri, pemikiran
Wujudiyah tersebut sama dengan kepercayaan penyembah
cahaya, seperti Majusi, Wasniyah, Samiyah, Hululiyah dan
Tanasukhiyah, karena meyakini semua nur berasal dari satu
cahaya sebelum terciptanya makhluk, sehingga mereka
percaya bahwa semua cahaya pada hakikatnya adalah cahaya
Tuhan. Perumpamaan Nuruddin Ar-Raniri bahwa kaum
Barahimah berasal dari Hindustan (India) juga penyembah
cahaya (yang dimaksud api dan matahari) sama dengan
paham Wujudiyah.
Nuruddin Ar-Raniri beranggapan bahwa paham Wujudiyyah
meyakini bahwa al-Qur‟an itu makhluk yang diciptakan.
Tuduhan ini identik dengan golongan Qadariyah, Mu‟tazilah,
golongan Makhluqiyah dan Lafdhiyah Jahmiyah dan sekte
Karamiyah di luar kelompok tujuh puluh dua sekte. Pada
dasarnya, Hamzah Fansuri dan Ar-Raniri sama-sama setuju
takfir golongan yang menyatakan al-Qur‟an itu ciptaan
(makhluk) seperti golongan paham Mu‟tazilah, Rafidhiyah,
dan Qadariyah. Namun, kemudian Ar-Raniri mengidentikkan
Hamzah Fansuri dengan lainnya. Penafsiran Ar-Raniri
terhadap pernyataan Hamzah Fansuri jelas terlihat secara
harfiah dengan interpretasi akal, dengan memangkas
beberapa kalimat sehingga menghilangkan makna
keseluruhannya.
Ar-Raniri menyebut paham Wujudiyah tentang alam ini
terdahulu (qadim) bertentangan dengan akidah Islam, dan
menggolongkannya ke dalam kelompok Jahmiyah. Paham
sekte ini berdasarkan keyakinan bahwa alam ini dengan
proses alami (ma’lum) tanpa peran Tuhan secara langsung.
Apabila dipandang hakikatnya, perdebatan pemikiran
tersebut telah mendapat serangan hebat dari kalangan ulama
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
55
HERMANSYAH
5.
Sunni sejak zaman klasik Islam. Beberapa karya yang fokus
dalam kajian ini, di antaranya: Imam Ahhmad ibn Hanbal
(781-855 M), Imam al-Bukhari (w. 256 H), Imam al-Darimi
(w. 275 H).24
Ar-Raniri menyimpulkan doktrin Wujudiyah sama dengan
paham inkarnasi dan reinkarnasi, yang dianut oleh golongan
Ittihadiyah, Hululiyah, Tanasukhiyah, dan dari kelompok
sufi Huriyah, Mushabbihah atau Mujassimah. Guna
memperkuat argumentasinya itu, Nuruddin Ar-Raniri
menafsirkan beberapa persoalan yang ditamsilkan dalam
kitab-kitab lawannya itu seperti perumpaan biji dengan
pohon dan daun, laut dengan ombak dan air, serta matahari
dengan cahaya dan panasnya, yang menurutnya, secara zahir
memiliki tiga nama, tiga bentuk, namun hakikatnya satu.
Oleh karena itu,Ar-Raniri mengaitkan dengan kepercayaan
Nasrani (Kristen) dengan konsep triniti (tri tunggal).
Shaghir mengungkapkan beberapa penilaiannya tentang sikap
takfir Nuruddin Ar-Raniry terhadap kelompok Wujudiyyah melalui
naskah-naskah karya Nuruddin Ar-Raniry seperti Ma’ al-Hayah liAhl al-Mamat,Hujjat al-Siddiq li-Daf‘ al-Zindiq,dan Fath al-Mubin
‘alá al-Mulhidin, bahwa sikap pertentangannya terhadap
Wujudiyyah di Aceh bertentangan dengan sikapnya terhadap konsep
tokoh-tokoh mistis mefalasifah di Arab, seperti Ibnu „Arabi dan
Husain Mansur Al-Hallaj.
Para sarjana berusaha menjelaskan alasan mengapa Ar-Raniri
memanfaatkan kedudukannya sebagai Shaykh al-Islam Kesultanan
untuk mengkafirkan pengikut paham Wujudiyah. Menurut Daudy,
misalnya, kepribadian Ar-Raniri yang tak kenal kompromi erat
kaitannya dengan pengalaman masa lalunya ketika hidup di
lingkungan Hindu yang penuh permusuhan di India. Jika ditelusuri
lebih jauh, Ar-Raniri masih berada di India sebelum menunaikan
24 Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Radd ‘alá al-Zanadiqah wa-al-Jahmiyah, Tahqiq
Muhammad Hasan Rashad (Kairo: al-Salafiyah, 1393 H). Imam al-Bukhari, Khalq
af’al al-Ibad, Tahqiq Abdurrahman Umairah (Riyadh: Dar al-Ma‟arif, 1978 M).
Imam al-Darimi, al-Radd ‘alá al-Jahmiyah (Kuwait: Dar Ibn al-Athir, 1995 M).
56
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
ibadah haji pada 1621 dan 1636 M. Agaknya ini senada dengan
kajian Johns dan Schimmel. Menurut mereka, paham heterodoks
bermula dari kebijakan kaisar Moghul, Akbar (1573-1605 M).
Paham ini ini bertahan cukup lama, bahkan semakin kuat
pengaruhnya, terutama ketika ternyata pengganti Akbar, Jahangir
(1605-1627 M), menganut paham yang sama. Ahmad Sirhindi (15641624 M) dikenal dengan gelar kehormatan Mujaddin alf al-thani
(pembaharu millennium kedua) dan Imam Rabbani (pemimpin yang
diilhami Tuhan) dianggap sebagai salah seorang wakil ulama yang
gigih membela ortodoksi Islam dari heterodoksi Akbar dan para
pengikutnya.25 Penting untuk dicatat, bahwa pada saat yang hampir
bersamaan, ajaran mistik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin asSumatra‟i yang dianggap menyimpang di Aceh pun sedang
mengalami masa keemasan di bawah kekuasaan Sultan Iskandar
Muda.
Gerakan pembaruan itulah yang mengasumsikan Azra pada
peranan Nuruddin Ar-Raniri tanpa kompromi. Menurutnya,
semangat pembaruan dalam jaringan ulama pada masa karir
Nuruddin Ar-Raniri di Aceh terjadi pada ketika doktrin-doktrin
Wujudiyah berhadapan dengan oposisi teologis yang serius, secara
lebih ketat berpedoman pada syariat. Dengan kata lain, seperti
dikemukakan oleh Drewes, oposisi radikal Ar-Raniri terhadap
pengikut ajaran Hamzah Fansuri dan al-Sumatra‟i bukanlah kasus
perkecualian dari reaksi ortodoksi terhadap mistikisme menyimpang.
Dalam pengertian ini, kasus Ar-Raniri merupakan contoh bagaimana
semangat pembaruan jaringan ulama diterjemahkan ke dalam
pembaruan di wilayah Melayu-Nusantara.26
Lain halnya dengan al-Attas, ia menganggap bahwa kontroversi
doktrin Wujudiyah di Aceh terjadi karena dipengaruhi oleh ambisi
politik Nuruddin ar-Raniri. Oleh karenanya, al-Attas meragukan
25 A.H Johns, “Aspect of Sufi Thought in Indonesia 1600-1650” (Journal of
Malaysian Branch of Royal Asiatic Society (JMBRAS): vol. XXVII, 1955), 73.
Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam terj. Sapasdi Djoko Darmono,
dkk, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986)
26 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005), 220.
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
57
HERMANSYAH
ketulusan reformasi intelektual dan keagamaan Nuruddin Ar-Raniri
dalam menentang doktrin Wujudiyah. Sebagai dalih atas
pernyataannya, al-Attas mengemukakan beberapa contoh ajaran dan
konsep Wujudiyah Hamzah Fansuri yang diputarbalikkan dan
disalahartikan oleh Nuruddin ar-Raniri. Argumentasinya dikarenakan
Nuruddin Ar-Raniri tidak menguasai kepelikan dan paradoksi bahasa
Melayu yang digunakan oleh Hamzah Fansuri dalam karyakaryanya. Ia hanya ingin memanfaatkan naiknya Sultan Iskandar
Tsani, yang dalam kebijakannya memang menguntungkan kaum
salaf, dan menjadi bagian penting dari Kesultanan Pahang, tempat
Nuruddin Ar-Raniri berkiprah di lingkungan Kerajaan sebelum ke
Aceh.27
Walaupun kemudian, al-Attas mengubah persepsinya, tanpa
menggugurkan asumsi pertama, menurutnya, Nuruddin Ar-Raniri
orang yang dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati dengan
pengetahuan otentik yang berhasil menjelaskan doktrin-doktrin
keliru dari ulama Wujudiyah. Untuk itu, perlu diperhatikan, bahwa
al-Attas mengkaji dua naskah yang berbeda yang dikarang di dua
periode (penguasa) yang berbeda pula, di mana transmisi keilmuan
dan intelektual di Nusantara begitu deras terjadi saat itu.
Kesimpulan
Naskah TMA merupakan kitab heresiologi pertama di Nusantara
yang ditulis guna memperkuat posisi Nuruddin Ar-Raniri di awal
pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam. Kitab tersebut
sekaligus mengklarifikasi aliran-aliran sesat di dunia dan sebagai
pertanggung jawaban Nuruddin Ar-Raniri terhadap tindakannya
selama periode sebelumnya. Naskah ini diawali pada kajian
heresiologi aliran agama yang di bagi menjadi dua bab. Pertama,
agama-agama skriptural dan, kedua, sekte-sekte sesat dalam agama
Islam, termasuk di dalamnya pengelompokan kaum Sufi ghayr
mu‘tabarah.
Kajian TMA karya Ar-Raniri menunjukkan bahwa ia tidak
27 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Al-Fansuri
(Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970).
58
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
NASKAH TIBYAN FI MA‘RIFAT AL-ADYAN:
INTERPRETASIALIRAN SESAT DI ACEH MENURUT NURUDDIN AR-RANIRY
mampu melepaskan diri dari situasi zaman, pada masa ia hidup,
terutama pertikaian pemikiran (teologis) lintas agama di India dan
zaman sufistik dalam pemikiran keagamaan di Aceh.
Ketidakmampuannya itu melahirkan pergeseran intelektual atau
pemikiran dari ulama-ulama Pasai di jajaran Kesultanan ke arah
ideologi India, khususnya Gujarat. Ia berusaha membendung
kontaminasi pemikiran mistikisme Hindu India yang berkembang di
wilayahnya dengan cara pemurnian akidah dan penguatan syariat
dari sekte-sekte sesat. Faktor ini lebih dominan dalam naskah TMA,
walau secara luas dikenal dengan pertentangan aliran Wujudiyah.
DAFTAR PUSTAKA
A.H Johns, “Aspect of Sufi Thought in Indonesia 1600-1650”
(Journal of Malaysian Branch of Royal Asiatic Society
(JMBRAS): vol. XXVII, 1955)
Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam terj. Sapasdi
Djoko Darmono, dkk, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986)
Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firaq (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, t.t)
Abd al-Rahman Badawi, Madhahib al-Islamiyah (Beirut: Dar al‟Ilm
Lil-Malayin, 1997)
Abdul Mun‟im al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran,
Mazhab, Partai dan Gerakan Islalm Seluruh Dunia (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 1999)
Aboebakar, Tarekat Dalam Tasawuf (Kelantan: Pustaka Aman Press,
1993)
Ahmad Daudy, Allah Dan Manusia Dalam Konsepsi Nur al-Din alRaniri (Jakarta: Rajawali, 1982)
Al-Shahrastani, Al-Milal wa-al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.t)
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dulu dan sekarang, terj. The
History of Islamic Political Thought: From the Prophet to
the Present (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 434.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
59
HERMANSYAH
Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Prenada Media,
2005),227.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636).(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2008).
M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005)
Martin VanBruinessen,"Gerakan sempalan di kalangan umat Islam
Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian
movements in Indonesian Islam: Social and cultural
background"),Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992
Mohd. Shaghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara
(Malaysia: Khazanah Fathaniyah, 1991)
Nunu Burhanuddin, “Tipologi Gerakan Sempalan di Kalangan
Ummat Islam Indonesia: Analisis Sosiologis & Fungsional”,
paper ilmiah disampaikan pada Annual Conference on
Islamic Studies, November 2010.
Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud:
Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan,
1999)
P. Voorhoeve, (ed) Twee Maleise Geschriften van Nuruddin arRaniri in Facsimile Uitgegeven met Aantekeningan (Leiden:
E.J. Brill, 1955)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah AlFansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970).
60
Jumantara Vol. 5 No.1 Tahun 2014
Download