Jurnal At-Tajdid MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM Zainur Rofik* Abstract: Islamic view about human is different from the Western views. The difference lies in the natural potential of human being that is monotheism (tauheed), and so is the original (fitrah) theory in which the West does not have it. With the assortment of hidden potential, academic and education practitioners are demanded to be able to stimulate those potentials from students as a stepping stone towards more integrative knowledge. By maximizing the potentials, it will lead learners to be more humanist person in running their lives. Keywords: Human, Islamic Education * Dosen STIT Muhammadiyah Pacitan 29 Manusia dalam Pendidikan Islam PENDAHULUAN Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam falsafah manusia. Pencarian makna diri akan siapa manusia sebenarnya telah lama berlangsung, namun sampai sekarang tidak ada kesatuan dan kesepakatan pandangan dari berbagai teori dan aliran pendidikan mengenai hal ini. Studi tentang manusia tidak utuh karena sudut pandangnya yang berbeda. Antropologi fisik misalnya, hanya memandang manusia dari segi fisik materil semata, sementara antrologi budaya memandang manusia hanya dari sudut pandang budaya. Nampaknya pada akhirnya manusia terus memikirkan dirinya sendiri hingga akhirnya menemukan jawaban akan apa, dari mana dan mau kemana manusia ini. Pemahaman tentang manusia secara tidak utuh tentang manusia akan menyebabkan hal yang fatal bagi perlakuan seseorang terhadap sesama. Misalnya manusia merupakan fase lanjutan dari spesies tertentu yang meng­alami seleksi dan natural selection, akan berimplikasi pada keyakinan bahwa manusia akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesiesnya melalui struggel for the fittest.1 Hal tersebut tiudak menutup kemungkinan untuk menimbulkan sikap kompetitif di dalam hidup, baik pendidikan, politik, ekonomi, hukum budaya dan lainnya dengan menggunakan segala macam cara. Sebelum berbicara mengenai manusia disini pertama kita suguhkan bebebrapa pandangan tentang manusia.2 PANDANGAN MATERIALISME Aliran ini memandag manusia sebagai kumpulan dari organ tubuh, zat kimia dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi. Manusia berasal dari materi dan memenuhi kehidupan hidup dari materi pula. Makan, minum dan memenuhi fisik biologis dari materi serta apabila mati akan terkapar dalam tanah dan diurai oleh benda renik dan menjadi humus yang akan menyuburkan tanaman, kemudian Noeng Muhadjir,Ilmu Pendidikan Re-Interpretatif Phenomenologik (Yogyakarata: Rake Sarasin, 2013), hlm. 15. 2 Abd. Rahaman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 127. 1 30 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq tanaman di makan manusia kembali dan menjadi bahan seperma dan ovum untuk menghasilkan keturunan yang baru lagi. Artinya, pandangan tersebut menyebutkan bahwa manusia berasal dari materi dan akan kembali ke materi pula. Orang yang berpikir dengan pandangan materialistik tentang manusia dapat berimplikasi pada gaya hidupnya yang juga materialistik. Tujuan utama hidupnya adalah materi. Dan kebahagiaan hidupnya diukur dari berapa banyak materi yang dapat ia kumpulkan. Gaya hidup yang materialistik ini indikasinya adalah gaya hidup serba hura-hura, berpesta foya, glamour dalam menikmati hidup.3 PANDANGAN SPIRITUALISME Menurut pandangan ini hakikat manusia adalah roh atau jiwa, sedang zat adalah manifestasi roh atau jiwa. Dasar pemikiran ini adalah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi dari materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya wanita yang kita cintai kita tidak mau pisah dengannya. Tetapi, kalau roh dari wanita tersebut sudah tidak ada pada badannya (berarti meninggal), maka mau tidak mau klita harus berpisah dengannya utnuk di kuburkan. Kecantikan, kejelitaan dan kemolekan yang di miliki oelh wanita tersebut tidak akan ada artinya tanpa adanya roh. Implikasi dari aliran ini bisa sama ekstrimnya dengan pandangan yang pertama. Gaya hidup seseorang akan di hiasi dengan dimensi rohani, pembersihan jiwa dengan melakukan ritual penderitaan akan dilaluinya. Aliran ini nampaknuya di perkuat dengan paham idealisme, mistisisme bahkan oleh unsur agama. Phytagoras misalnya mendasarkan filosofinya pada agama dan paham keagamaan, atau bisa disebut dengan aliran mistik. Di Kota Kroton ia mendirikan perkumpulan agama yang disebut kaum Phytagoras. Dalam hal ini aliran materialisme dan spiritualisme memandang manusia secara tidak utuh, ibarat uang berarti uang di satu sisi.4 Ibid., hlm.128. Ibid., hlm. 129. 3 4 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 31 Manusia dalam Pendidikan Islam ALIRAN DUALISME Aliran ini menganggap bahwa manusia terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Antara badan dan roh terdapat hubugan yang kausal yaitu hubungan sebab akibat, yang mana antara keduanya saling mempengaruhi. Apa yang terjadi disatu pihak akan mempengaruhi pihak yang lain. Sebagaimana orang yang cacat pada jasmaninya akan mempengaruhi pertumbuhan jiwanya. Sebaliknya, oorang yang cacat pada jiwanya akan memberikan pengaruh pada fisiknya.5 MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM Meskipun islam memandang manusia tersiri dari dua dimensi (jasad dan roh), namun pandangan ini tidak identik dengan pandangan dualisme, karena aliran ini menihilkan proses penciptaan, fungsi dan tujuan hidup manusia di dunia yang lebih ke arah transendental. Lebih jauh, islam secara tegas mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Allah yang dapat mendidik dan terdidik. Berfungsi sebagai pemimpin dan pengelola bumi sekaligus hamba Allah. Dan terlahir dalam keadaan suci tanpa beban dosa warisan. Ayat-ayat al-Qur`an banyak menjelaskan tentang hakikat manusia. Ayat yang pertama kali turun menjelaskan karakter manusia untuk berpendidikan melalui proses membaca. Proses belajar ini juga dilakukan oleh Nabi adam, ketika Allah mengajarkan kepadanya nama-nama segalanya. Begitu juga manusia disebut juga makhluk etiko religious harus patuh pada perintah Allah dan menjauhi segara larangan. Pandangan Islam terhadap manusia sebagai mana terinci dalam alQur`an memberikan pandangan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pandangan ini menempatkan posisi yang seimbang antara teosentris dan antroposentris. Walaupun manusia itu adalah makluk yang paling baik, namun secara esensial masih tetap sebagi makhluk yang Ibid., hlm.130. 5 32 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq tidak sempurna dan selalu dalam keterbatasan. Manusia selalu tunduk pada cara kerja organ tubuh yang telah di desain oleh Allah.6 Al-Qur`an menyebut manusia dengan bermacam-macam istilah yang masing-masing punya penekanan makna tertentu terhadap aspek kemanusiaannya. Menurut M. Qurays Shihab, ada tiga istilah pokok yang biasa digunakan oleh al-Qur`an ketika membicarakan tentang manusia, yaitu: (1) menggunakan kata-kata dengan huruf, alif, nun dan sin. Seperti kata unas, nas dan ins, (2) menggunakan kata basyar dan (3) menggunakan kata bani Adam dan Dzuriyyatul adam.7 Al-Qur`an menyebut kata manusia dengan berbagai macam versi. Kata basyar di gunakan dalam al-Qur`an sebanyak 36 kali.8 Penggunaan istilah tersebut memberikan pengertian tentang dimensi lahiriah manusia seperti kebutuhan makan, tidur, hubungan suami istri dan lain-lain.9 Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata basyar juga digunakan untuk menjelaskan proses penciptaan manusia secara bertahap dan berproses dari lahir sampai manusia tumbuh berkembang menjadi dewasa.10 Al-Qur`an juga menyebutkan manusia dengan kata insan, Penggunaan istilah insan dimaksudkan untuk menyebut keseluruhannya jiwa dan raga11 dan ditemukan sebanyak 65 kali.12Makna terdalam dari lafad insan ini merepresentasikan tentang hakikat keistimewaan manusia dibanding dengan makhluk lain. Dan membuatnya mencapai derajat paling tinggi. Dengan beberapa alasan tersebut, maka seorang pakar tafsir Bintu Syathi` mengatakan bahwa manusia diletakkan pada level tertinggi menjadi pemimpin di muka bumi serta mener Muhammad Anis, Antalogi Kependidikan Islam (Yogyakarata: Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 2010), hlm. 27. 7 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 367. 8 Muhammad Fuiad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras al-Qur`an al- Karim (Kairo: Dar al-Hadits, 1998), hlm. 153-154. 9 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Logos, 1997), hlm. 31. 10 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an., hlm. 368. 11 Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mukjam al-Mufahras al-Qur`an al- Karim., hlm. 119-120. 12 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an., hlm. 369. 6 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 33 Manusia dalam Pendidikan Islam ima mandat dan amanat yang diberikan Allah dan akan dimintai pertanggung jawabannya.13 Penciptaan semua makhluk oleh Allah pasti mempunyai tujuan. Begitu juga dengan manusia, menurut kalangan para ahli, setidaknya ada empat tujuan penciptaan manusia. Pertama,untuk mengabdikan diri kepada Allah (QS; adzariat; 56 dan al-An`am; 56). Kedua, adalah untuk menjadi khalifah dimuka bumi (QS. Al-Baqarah:30), ketiga, adalah untuk mendapatkan ridha Allah (Q.S. At-taubah: 100). Keempat adalah untuk meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat (Q.S; AlBaqarah : 201-202). Dari ke-empat tujuan tersebut kemudian diringkas lagi menjadi dua tujuan utama yaitu; mengabdi kepada Allah dan menjadi KhalifaNya di muka bumi.14 KONSEP FITRAH Manusia dalam konsepsi Islam berbeda dengan konsepsi-konsepsi yang lain, karena dalam Islam ada konsep fitrah yang melekat pada diri anak.15 Fitrah menurut etimologi berasal dari kata “fa-ta-ra” dengan segala bentuk jadiannya dapat di kelompokkan menjadi empat macam, yaitu: (1) sang pencipta atau cara penciptaan, (2) tidak seimbang atau terpecah belah, (3) agama yang benar atau Islam (4) bawaan sejak lahir atau watak.16Disamping itu, menurut Ibnu Taimiyah secara garis besar fitrah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) fitrah yang inherne (gharizah) dalam diri manusia, dibawa sejak ia dilahirkan ke dalam dunia, dan (2) fitrah yang datang dari luar diri manusia (fitrah al-munazzalah) berupa wahyu yang tertulis dalam kitab suci dan sunnah Nabi.17 Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi`, Manusia Sensitivitas Hermeneutika alQur`an, terj. M. Adib al-Arif (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hlm. 14. 14 Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta: SUKaA Press, 2010), hlm. 54-57. 15 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 14-15. 16 Maragustam Siregar, Laporan Penelitian: Konsep Fitrah Manusia dalam AlQur`an dan implikasinya dalam Pendidikan (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1997), hlm. 24. 17 Ibnu Taimiyah, al-Ilmu al Suluk: Majmu` Fatawa (Rabat: al-Maktab al-Taklim, t.t.), hlm. 430 13 34 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq Banyak definisi tentang fitrah yang di ambil dari beberapa kalangan, kamus al-Munjid, fitrah didefinisikan sebagai sifat yang dimiliki oleh setiap yang maujud. Pada awal penciptaannya.18kamus al-Munawwir memberikan penjelasan bahwa fitrah merupakan sifat pembawaan sejak lahir.19 Ibnu `Asyur sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab mendifisikan fitrah sebagai unsur-unsur dan sistem-sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk.20 Dari beberapa hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah dari segala sesuatu adalah tatanan dari seluruh unsur atau komponen yang membentuk suatu wujud tertentu, dan fitrah manusia adalah apa yang di ciptakan Allah dalam diri manusia yang terdiri dari jasmani dan akal. Gambarannya, fitrah jasmaniyah manusia berjalan dengan kakinya. Fitrah aqliyah manusia adalah mengembil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis.21 Murtadha Muthahari sebagaimana ia kutib dari Ibn al-Atsir menyebutkan bahwa fitrah adalah keadaan yang dihasilkan dari pencipta­ an.22 Dari pernyataan ini Muthahari ingin menyatakan bahwa fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir dan bersifat alami dan melekat pada manusia dan hanya digunakan untuk manusia juga.23 Pemaknaan terhadap fitrah sangat beragam, Hasan Langgulung menyatakan bahwa, salah satu ciri fitrah adalah manusia menerima Allah sebagai Tuhan.24 Banyak dari hadis yang menjadi petunjuk tentang fitrah dan kata fitrah yang ada disitu biasanya dimaknai dengan agama. Berangkat dari hal ini, fitrah ternyata mengandung macam-macam daya (potensi) diantaranya adalah daya intelektual (quwwah alaql), dan daya offensif (quwwal al-sahwah), dan daya defensif (quw Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-Ulum (Beirut: Maktabah Katolikiyah, t.t.), hlm. 558. 19 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1062. 20 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm. 209. 21 Ibid. 22 Murtadha Muthahari, Fitrah, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Lentera, 1998), hlm. 8. 23 Ibid., hlm.20. 24 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis Filsafat dan Pendidikan ( Jakarta: Pustaka Alhusna, 2004), hlm. 66. 18 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 35 Manusia dalam Pendidikan Islam wah al-ghadab). Daya intelek adalah suatu potensi untuk mengetahui Allah dan mengesakan-Nya. Potensi inilah yang memungkinkan manusia untuk beriman kepada Tuhan. Bila ia mengingkari Tuhan maka hal tersebut merupakan sebuah indikasi bahwa potensi tidak berfungsi. Dengn akal manusia dapat membedakan antara manfaat dengan madharat, baik dengan buruk. Potensi untuk membedakan baik dan buruk ini disebut dengan al-nazhar yang meliputi daya kognisi, persepsi dan komphrehensif. Sedangkan al-iradah meliputi daya menilai dan emosi. Karena itu, manusia cenderung melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Daya daya inilah yang menyebabkan manusia terus mengalami gerak (harakah).25 Manusia dengan daya offensif dan defensifnya sebenarnya memiliki potensi menjadi manusia yang mulia. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur`an bahwa manusia memiliki akal dan ini akan menjadikannya lebih unggul dari malaikat. Dan begitu sebaliknya, manusia memiliki potensi yang sangat rendah melebihi binatang. Jika daya–daya yangf ada tidak terkontrol dan terawasi oleh daya intelektualnya. Dengan demikian fitarh yang ada pada diri manusia masih merupakan berbagai potensi yang mengandung segala macam kemungkinan dan belum berarti apa-apa bagi kehidupan sebelum di dikembangkan, diaktualisasikan dan didayagunakan.26 Kebebasan berkehendak (hurriyah al-iradah) merupakan ciri manusia dalam konsep islam. Unsur ini merupakan yang telah ada sejak manusia dalam alam roh, kebebasan berkehendak dapat ditunjukkan dalam al-Qur`an tentang memillih agama. Kebebasan manusia bukan hanya dalam memilih agama tetapi juga dalam memilih pendidikan dan pekerjaan. Kebebasan berkehendak dapat menolong anak didik untuk menumbuhkan daya kreatifitasnya sekaligus sebagai bekal untuk memperoleh kemampuan yang produktif.Kreatifitas pada diri anak dapat terwujud dengan memainkan peranan yang aktif yaitu dengan cara melakukian aksi dan reaksi sesuai dengan lingkungan hidupnya.27 Ibid., hlm.68 Maksudin, Paradigma Agama dan Sains Non Dikotomik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 142. 27 Muhammad Iqbal, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan (Bandung: Di25 26 36 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq MENUJU MANUSIA BERPENDIDIKAN Kalau kita hendak membicarakan tentang pendidikan hendaknya bermula dari manusia. Manusia bisa menjadi objek dan subjek pendidikan, apalagi Dalam Islam, bahwa pendidikan itu hanya dikhususkan untuk manusia saja. Namun demikian untuk mendapatkan pemahaman tentang manusia sangatlah sulit, tetapi ia sangat menarik untuk dikaji dan diteliti sepanjang masa tanpa berhenti. Para sarjana sepakat bahwa teori dalam praktik pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang fitrah manusia.28 Manusia merupakan binatang rasional (hayawan al-natiq). Penggunaan istilah ini merupakan kesepakatan para intelektual.Natiq berarti yang rasional, disamping manusia mempunyai fakultas batin yang mampu merumuskan makna-makna. Perumusan makna itu akan melibatkan penilaian, perbedaaan dan penjelasan. Inilah yang pada akhirnya akan membentuk rasionalitas. Selanjutnya terma natiq , dan dari sinilah manusia pada akhirnya disebut juga sebagai “binatang yang berbahasa”, yang merupakan ekspresi dari `aql manusia yang telah disebutkan tadi.29 Sebelum berbentuk jasmani, manusia telah mengikuti janji akan ke-esaan Allah. Perjanjian suci (ikrar primordial) itu mempunyai konsekuensi selalu mentaati perintah Allah.30 Akan tetapi setelah lahir manusia itu lupa akan janjinya itu. Dengan menggunakan bahasa lain, bahwa pengikatan dan perjanjian itu adalah agama (din) dengan kepatuhan yang sejati (aslama). Keduanya saling melengkapi, dalam sifat hakiki manusia yang disebut dengan fitrah.31 ponegoro, 1986), hlm. 35. Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 19. Baca: Abdurrahman Shalih Abdullah, Educational Theory: A Qur`anic Outlock, terj. Mutammam (Bandung: Diponegoro, 1991), hlm. 42. 29 Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam., hlm. 19. 30 Ikatan primordial inilah yang menjelaskan mengapa secara naluriah manusia memiliki kebutuhan dasar, semacam kebutuhan spiritual kepada entitas yang maha Kuasa di luar dirinya. Baca: Muhammad Syadid, Madzhab Tarbiyah Berbasis Al-Qur`an, terj. Irwan Raihan (Solo: Media Insani, 2006), hlm.73. 31 Ibid., hlm.20. 28 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 37 Manusia dalam Pendidikan Islam Secara rinci M. Nashir Budiman sesuai dengan analisisnya mengklasifikasikan penjelasan tentang manusia ini kepada empat klasifikasi, yakni: hakikat manusia secara umum32; 1. Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada-Nya. 2. Manusia membutuhkan lingkungan hidup, berkelompok untuk mengembangkan dirinya. 3. Manusia mempunyai potensi yang dapat diikembangkan dan membutuhkan material dan spiritual yang harus dipenuhi 4. Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri. Hati nurani yang ada dalam diri manusia mendorong secara alamiah menyukai segala sesuatu yang baik. Maka dari itu manusia pada dasarnya menyukai segala kebaikan seperti contohnya; kebersihan, kedamaian, keadilan, kejujuran, keberanian, ketulusan, persahabatan, cinta kasih , pemaaf dan seterusnya. Dan sebaliknya pun ia membenci kepada kejeleklan. Sebab kecenderungan kepada kebaikan adalah fitrah manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan.33 Berangkat dari inilah keberhasilan pendidikan sangat di pengaruhi oleh fitrah manusia. Dan begitu juga ketika sistem pendidikan itu baik, secara metode, materi, cara penyampaiannya, maka secara tidak langsung pendidikan yang model ini akan cepat dicerna oleh anak didik. Dalam pendidikan Islam, tauhid merupakan materi pokok, karena merupakan fondasi sebelum menerima materi lain. Sebagaimana firman Allah,”dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran padanya; hai anakku, janganlah sekali-kali kau memepersekutukan Allah, sesungguhnya memepersukutan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”. dalam ayat ini menegaskan bahwa tauhid adalah basis pendidikan. Kemudian Luqman memberikan pelajaran lain setelah ia menyampaikan materi pertama (tentang tauhid) yaitu berbakti kepada orang tua, perintah sholat, larangan un Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam.., hlm. 21. Muhyidin Al-Barobis, Mendidik Generaasi Bangsa: Perspektif Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pedagogia, 2012), hlm. 28-31. 32 33 38 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq tuk tidak sombong. Dalam konsep pendidikan Islam tauhid dijadikan fondasi atau dasar, sebab darinya dilahirkan aspek-aspek lain.34 PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS MENUJU MUSLIM KAFFAH Manusia adalah makhluk yang dapat di didik dan mendidik. Sedangkan makhluk lain tidak. Dalam potensi ini manusia dapat menjadi subjek dan objek pengembangan diri. Pendidikan pun harus berpijak pada potensi manusia, karena potensi manusia tidak akan bisa berkembang tanpa adanya rangsangan dari luar berupa pendidikan. Dalam realitasnya, manusia merupakan makhluk yang mampu berpikir, berpolitik dan mempunyai kebebasan memilih dan lain lain. Memiliki norma dan selalu bertanya.35 Hingga kini, konsepsi dasar pendidikan masih berkisar pada persoalan faktor mana yang paling signifakansi dalam proses tumbuhnya kepribadian ideal dengan kondisi asli yang dibawa sejak lahir dan lingkungan dimana siswa itu tumbuh menjadi dewasa. Sebagian pendapat menyatakan bahwa faktor pertama lebih menentukan. Sehingga pendidikan paling berhasil adalah mengembangkan sebuah lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian asli siswa yang memang mempunyai potensi ideal. Sebagian lain berpendapat sebaliknya bahwa pendidikan merupakan faktor utama pengembangan lingkungan kearah perkembangan kepribadian siswa. 36 Meskipun terdapat sintesis dari kedua pandangan tersebut, namun masalah pokoknya tetap berada diantara kedua faktor, yaitu bawaan dan lingkungan. Tanpa harus mementingkan kedua faktor tersebut. Pengembangan pendidikan sangat penting dengan mengusung proyek kemanusiaan. Karena pada akhirnya seorang siswa harus mempertanggung jawabkan segala tindakannya dalam kehidupan sosialnya. Sutrino dan Muhyidin al-Barobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 24.. 35 Abd. Rahaman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 164. 36 Abdul Munir Mulkan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm.79. 34 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 39 Manusia dalam Pendidikan Islam Kekurangcermatan kebijakan pendidikan dalam memahami siswa sebagai makhluk yang unik dan mandiri akan berakibat fatal yaitu pemasungan daya kreatif setiap individu.37 Manusia untuk menyempurnakan dirinya sendiri perlu peran orang lain. Manusia memiliki banyak potensi dan untuk membangkitkan potensi tersebut ia harus hidup membaur dengan masyarakat yang majemuk untuk memaksimalkan potensinya. Manusia yang hidup ditengah perkotaan akan jauh berbeda pola pikirnya dengan seseorang yang hidup di pelosok pedalaman. Dengan seringnya berinteraksi mereka akan semakin matang cara berpikirnya semakin mendekati menjadi manusia yang sempurna.38 Ini berarti bahwa lingkungan mempunyai pengaruh besar dalam membentuk karakter, maka lingkungan harus di lestarikan oleh komunitas yang ada didalamnya. Beberapa bulan terakhir ini kita menyaksikan beberapa anak muda, baik melalui berita maupun lainnya. Banyak diantara mereka yang tidak betah tinggal dirumah dan terasing dari lingkungan sosial. Gejala ini nampaknya semakin hari semakin meluas dan salah satu sumbernya adalah pembelajaran disekolah. Seorang profesor asosiasi kedokteran Newyork, Herter Berger meneliti sekitar 300 remaja sekolah yang kecanduan obat. Ia menyimpulkan bahwa berbagai kewajiban belajar menumbuhkan kebencian terhadap orang lain, mendorong hasrat lari dengan lingkungnnya dengan obat-obat terlarang.39 Berbagai macam peristiwa tersebut mencerminkan kondisi kejiwaan anak-anak muda sekolah yang tidak bisa tumbuh dewasa. Keadaan yang demikian seolah mengandung berbagai macam pertanyaan. Apa yang perlu dikoreksi dari semua itu,apakah faktor materi, metode, tujuan, kebijakan atau cara mengajarnya. Nakmpaknya materi-materi pelajaran disekolah harus di sajikan secara menyeluruh dan dihubungkan dengan materi –materi yang lain. Sehingga ada tegur sapa antara keilmuan satu dengan lainnya. Terlebih lagi pendidikan PAI di sekolah ti Ibid., hlm. 80. Ibnu Miskawih, Tahdzib al-Akhlaq (Baghdad: Mansyuro al-Jamal, 2011), hlm. 261. 39 Ibid., hlm.81. 37 38 40 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq dak bisa disajikan secara hitam putih, surga dan neraka. Ringkasnya seluruh materi merupakan sebuah wahana yang kondusif bagi penerapan nilai-nilai humanisme. Pemilihan metode Pendidikan Islam menjadi kunci bagi internalisasi nilai-nilai humanisme. Suatu contoh, ketika seorang guru menerangkan adab dan sopan santun kepada tetangga secara ekspositorik (metode ceramah) dengan menyebut dalil-dalil al-Qur`an, sebenarnya dari sudut materi telah selesai, namun sajian itu menjadi kering karena guru tidak mampu memilih metode yang tepat. Bila saja guru tadi mengajak para muridnya utnuk berkunjung ke salah satu rumah wali murid, lantas sang guru memberikan contoh bagaiman berperilaku sopan terhadap tuan rumah. Mungkin dengan cara tersebut sang guru telah menggunakan metode teladan. Untuk menanamkan sikap hormat pada tetangga, tuan rumah atau orang lain. Bedakan pula dengan ibu guru TK, anggap saja Ibu Lilis, yang mengajar secara lisan pada anak-anak tentang arti gambar rambu-rambu lalu lintas di depan kelas, dengan ibu guru Margaret yang mengajak anak-anak TK dengan cara keluar kelas untuk berjalan di trotoar dengan mengamati tanda gambar ramburambu lalu lintas dengan sesekali berhenti untuk mengikuti petunjuk rambu-rambu tersebut. Saya yakin anda akan berpendapat sama bahwa metode praktik yang dilakukan oleh ibu Margaret akan membekas dalam diri anak. Jadi untuk bersikap humanis diperlukan metode yang humanis pula. Disamping hal tersebut. Tujuan pendidikan Islam juga harus mendapatkan perhatian yang serius, mengingat saat ini tujuan pendidikan Islam menempatkan tujuannay terlalu abstrak dan melangit, sehingga susah di terjemahkan ke dalam wilayah operasional dan membumi. Tujuan yang tidak konkrit menyebabkan hasil yang tidak jelas. Hubungannya dengan pendidikan humanis adalah bahwa target pencapaian nilai humanis harus di rumuskan dalam bentuk yang riil dan aplicable.40 Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam., hlm. 175. 40 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 41 Manusia dalam Pendidikan Islam PENUTUP sebagai bagian akhir dari makalah ini saya tegaskan lagi bahwa pandangan Islam terhadap manusia berbeda dengan pandangan Barat. Perbedaan itu ada pada potensi alamiah manusia yaitu tauhid. Begitu juga dengan teori fitrah, yang mana Barat tidak mengenal hal tersebut. Dengan adanya bermacam-macam potensi yang terpendam, sebagai seorang akademisi dan praktisi pendidikan kita di tuntut untuk mampu merangsang potensi tersebut dari anak didik. Sebagai pijakan untuk menuju keilmuan yang lebih integral. Dengan memanfaatkan potensi fitrah akan menjadikan peserta didik lebih bersifat humanis dalam menjalankan kehidupannya. 42 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014 Zainur Rofiq DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdurrahman Shalih, Educational Theory: A Qur`anic Outlock, terj. Mutammam, Bandung: Diponegoro, 1991. Al-Barobis, Muhyidin, Mendidik Generaasi Bangsa: Perspektif Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pedagogia, 2012. al-Barobis, Sutrino dan Muhyidin, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Anis, Muhammad, Antalogi Kependidikan Islam, Yogyakarata: Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 2010. Asifuddin, Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta: SUKA Press, 2010. Assegaf, Abd. Rahaman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. Badaruddin, Kemas, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Baqi, Muhammad Fuiad Abdul, al-Mu’jam al-Mufahras al-Qur`an alKarim, Kairo: Dar al-Hadits, 1998. Bintu Syathi`, Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur`an (Terj.), diterjemahkan oleh M. Adib al-Arif, Yogyakarta: LKPSM, 1997. Iqbal, Muhammad, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1986. Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Alhusna, 2004. Ma`luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-Ulum,Beirut: Maktabah Katolikiyah, t.t.p. Maksudin, Paradigma Agama dan Sains non Dikotomik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994. Miskawih, Ibnu, Tahdzib al-Akhlaq, Baghdad: Mansyuro al-Jamal, 2011. Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan Re-Interpretatif Phenomenologik, Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol.3, No. 1, Januari 2014 43 Manusia dalam Pendidikan Islam Yogyakarta: Rake Sarasin, 2013. Mulkan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Muthahari, Murtadha, Fitrah, terj. Afif Muhammad, Jakarta: Lentera, 1998. Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2011. ---------------------, Wawasan Al-Qur`an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007. Siregar, Maragustam, Laporan Penelitian: Konsep Fitrah Manusia dalam Al-Qur`an dan Implikasinya dalam Pendidikan, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1997. Syadid, Muhammad, Madzhab Tarbiyah Berbasis Al-Qur`an, terj. Irwan Raihan, Solo: Media Insani, 2006. Taimiyah, Ibnu, al-Ilmu al Suluk; Majmu` Fatawa, Rabat: al-Maktab alTaklim, ttp. 44 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 1, Januari 2014