resensi - E-Journal UMM

advertisement
RESENSI BUKU
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tahun Terbit
Tebal
Peresensi
: Jati Diri Dan Profesi TNI
: Dr. Muhadjir Effendy, M.AP
: UMM Press, Malang
: 2009
: 288 + xxxii halaman
: Jamsari
TNI, SATU CERMIN DUA WAJAH
Manusia tercipta sebagai mahluk sosial yang memiliki sistem hidup berkelompokkelompok. Sistem tersebut kemudian melahirkan sub-sub sistem tertentu dalam
memperjelas dan mempertegas status dan peranan hidupnya. Tentu hal tersebut berjalan
dinamis sesuai dengan dinamika zaman yang berkembang selama ini.
Kaca mata sosiologi memandang bahwa manusia pada hakikatnya memproduksi
dirinya sendiri. Termasuk TNI AD yang dalam pandangan umum identik dengan kelompok
militerisme dan cenderung menakutkan serta mudah melakukan ”kekerasan” adalah
produk dari adanya manusia sebagai TNI.
Aktivitas manusia (TNI AD) dalam pemaparan Jati Diri Dan Profesi TNI oleh Dr.
Muhajir Effendy, M.AP merupakan salah satu potret dualisme otoritas sipil dan
profesionalisme TNI di Garnizun Malang. Ia mencoba menelisik sistematika kehidupan
suatu kelompok yang memerankan fungsionalnya sebagai warga negara (civil society) yang
mempunyai hak kesejahteraan dan status dirinya sebagai militer yang bertugas
mengamankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika TNI adalah bagian dari civil society, maka apakah yang menjadi relevansinya
ketika TNI adalah manusia utuh yang tidak terlepas dari sifat kekediriannya? Sikap TNI
yang diasumsikan publik dalam dimensi kekerasan apakah dapat merepresentasikan sikap
profesionalismenya dalam menjalankan tugasnya sebagai militer?
Realitas sosial dalam teori ”looking-glass self” mengatakan bahwa bagaimana dan
seperti apa perasaan diri (sence of self) seseorang terbentuk merupakan pantulan atau
cermin dari orang lain. Artinya, sesorang yang memiliki kekedirian baik dan buruk adalah
orang lain yang menilai bukan dirinya sendiri. Maka jati diri seseorang dapat dilihat karena
adanya pengamatan orang lain terhadap diri kita. Jadi, jati diri TNI adalah bentuk individu
TNI yang terbangun dan bersumber dari ”perasaan” TNI-nya dan orang lain (realitas
147
RESENSI BUKU
sosial) yang memandang dan menilai bagaimana sikap dan tindakan TNI adalah benturan
citra objektif. Keberadaan TNI yang mencerminkan bentuk perilaku sosial (social
behaviour) adalah jati diri sesungguhnya.
Dimensi lain bahwa TNI dituntut sebagai organ vital negara yang harus
menjalankan tugasnya secara profesionalisme. Artinya profesionalisme TNI adalah seperti
apa dan bagaimana terlatih, terdidik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dijamin
kesejahteraannya, mengikuti kebijakan negara dengan adanya sistem demokrasi, supremasi
sipil, Hak Asasi Manusia (HAM), dan mematuhi hukum nasional dan internasional secara
artifikasi. Adanya tanggung jawab yang menjadi beban kultural dalam menyandang gelar
TNI sebagai ksatriya/prajurit yang berani mati dalam menjaga kedaulatan NKRI secara
penuh merupakan nilai tawar yang tidak dapat terelakkan.
Sikap profesinalisme demikian tidak harus ”disikapi” dan dipahami dengan bentuk
”kekerasan”. Sebab, kekerasan yang ada dalam pendidikan militer adalah bentuk nyata
untuk melatih kekuatan fisik sebagai seorang kesatria. Kesatria, sering
diilustrasikan
dalam tubuh TNI seperti sosok Jenderal Soedirman sebagai panglima besar TNI pertama
yang dalam menjalankan tugasnya melawan penjajah Jepang mampu melucuti
persenjataanya dengan penuh ketangkasan dan taktik kecerdasan. Yaitu ”Menang tidak
harus dengan menyerang tapi bagaimana menang tanpa dengan perlawanan.” Bahwa ada
kemampuan edukasi kemiliteran yang menunjukkan sikap intelegensi kecerdasan,
patriotisme, selalu siap dan pantang menyerah dalam mengemban tugas dan mengabdi
pada negara demi kesejahteraan rakyat.
Disamping itu, kekerasan dalam TNI adalah sebagai penangkal atau pencegah agar
tercapainya reintegrasi. Jika suatu saat ada musuh eksternal yang mengancam dan
menyerang negara dan juga musuh internal yang lahir dari dalam negara dengan tindakan
pemberontakan dan penyerangan yang berakibat pada terpecahnya NKRI seperti gerakan
sparatisme yang sempat terjadi di Aceh, Maluku, Papua dan sebagainya.
”Kekerasan” tidak semuanya diperankan dan dimainkan oleh TNI seperti asumsi
publik pada umumnya. Melainkan ada sistem pendidikan kemiliteran yang tentunya
memiliki silabus metode komunikasi pengajaran-pembelajaran, pengembangan penelitian,
manajemen, dan sebagainya agar TNI memiliki kekuatan inteletual sebagai manusia utuh.
Sebab dalam pengembangannya, TNI dituntut untuk lebih agresif, jeli, peka, responsif
terhadap polarisasi ruang dan waktu terlebih di wilayah kemiliteran. Karena di era
globalisasi tidak menutup kemungkinan sistem dan amunisi lainya dalam perkembangan
148
RESENSI BUKU
persenjataan tetap memerlukan adanya inovasi dan itu harus disikapi dengan intelegensi
pengetahuan.
Di Balik Seragam Dorengmu
Fenomenologi kehidupan TNI memiliki subjek dan objek tersendiri dalam mengenal
budaya sosial sebagai sosok militer. Hal demikian menjadi level pranata sosial terutama
ketika awal berkarir dalam menempuh pendidikan militer hingga mencapai suatu
tingkatan/posisi/kedudukan tertinggi seperti menyandang pangkat jenderal.
Objek Garnizun Malang yang kemudian diangkat
adalah bagaimana dinamika
kehidupan dan profesi TNI ketika dibenturkan dengan persoalan kompleks, seperti tugas,
kesejahteraan hidup, pendidikan militer dan seterusnya.
Dalam buku ini Muhadjir Effendy mencoba mengarahkan pada suatu kejadian
manusia (TNI) hingga dapat memetakan empat aspek yang menjadi bahasan fenomenologi
adanya perubahan yang dapat diidentifikasikan sesuai dengan hipotesis yang ada.
Pertama, adanya realitas kemiliteran yang berpola. Bahwa pola-pola perilaku
(patterm behavior) perwira TNI diartikan dengan dua fungsi. Fungsi pertama sebagai
struktur sosial; ada batasan untuk perwira TNI dalam menentukan, membatasi, bahkan
memaksakan dirinya dalam melakukan sesuatu karena adanya aturan TNI yang selalu
berbenturan dengan keinginan diri. Fungsi kedua sebagai media sosial; TNI sebagai aktor
sosial yang mencurahkan dirinya untuk negara. Menjadi agensi, bukan hanya dibentuk
tetapi membentuk kemiliteran. Kedua fungsi tersebut berjalan seberapa jauh yang lebih
mendominasi antara kedua fungsi tersebut maka nampak jatidiri sebagai TNI dan
profesionalismenya.
Kedua, terdapat adanya pola-pola tertentu yang mengembangkan dan menjadikan
TNI sebagai profesionalisme militer. Sebab jati diri dalam perwira TNI terbentuk karena
adanya sistem proses berkarir. Sehingga semakin lama berkarir dan semakin matang maka
akan semakin menemukan jati drinya sebagai TNI. Disamping itu, faktor kekeluargaan
(significant others), eksperimen penugasan, dan pendidikan kemiliteran menjadi hal yang
urgen terhadap perubahan dan penemuan jati diri dan profesionalisme TNI.
Ketiga, adanya pemahaman dialektika yang kompleks antara Realitas Sosial
Objektif (RSO) kemiliteran dan Ruang Kesadaran Subjek (RKS) elit TNI di sisi lain.
Bahwa internalisasi TNI terjadi dari RSO menuju RKS dan eksternalisasi terjadi dari RKS
ke RSO. Jadi, kesadaran TNI atas dirinya dan profesionalismenya terbentuk karena adanya
149
RESENSI BUKU
sistem internal dan eksternal melalui realitas yang terjadi dan aktivitas dalam menjalankan
tugasnya. Seperti halnya ketika TNI tidak tahu persoalan politik, ekonomi, sosial
kemasyarakatan kemudian ada mandat tugas atau perintah untuk mengamankan suatu
konflik akibat politik, ekonomi maupun persoalan kemsayarakatan maka disitulah TNI
mulai sadar dan menemukan posisi jati dirinya dan profesinalismenya.
Keempat, adanya gagasan atau nilai-nilai transendental suatu konsep (sikap
ksatriya). Artinya ada kekuatan gagasan kekuasaan (power of idea) budaya yang
menghegemoni TNI dalam berperilaku. Konsep tersebut berasal dari masa lalu, masa
perjuangan bagaimana pada zaman dahulu, Indonesia atau negara kita diraih betul-betul
dengan semangat patriotisme, sikap ksatriya dan gagah berani dalam bertarung melawan
kaum penjajah.
Implikasi keberadaan TNI selaku manusia utuh yang berkecimpung dalam ranah
militer merupakan eksplorasi jati diri manusia realitas. Sedangkan profesionalisme adalah
jenjang karir kemiliteran dengan berbagai sistem pendidikan yang dikenyamnya selama
TNI berdiri tegak dibawah UU RI no 34 tahun 2004 pasal 2 ayat (b) Bab II yang berbunyi;
”Tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraanya, serta mengikuti kebijakan
negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diartifikasi.”
150
Download