Megawati Memimpin Gerakan Kelautan

advertisement
Megawati Memimpin Gerakan Kelautan
Arif Satria
SECARA kasat mata, anak kecil pun tahu
bahwa
Bangsa
Indonesia
memiliki
kekayaan laut yang luar biasa. Bayangkan
saja luas laut kita mencapai 5,8 juta
kilometer persegi dengan garis pantai
terpanjang kedua di dunia, yakni 81.000
kilometer.
Diperhitungkan
nilai
ekonominya mencapai sekitar 72 milyar
dollar AS, hampir sama dengan utang luar
negeri pemerintah. Dan, pertanyaan klise
namun tetap aktual yang kemudian
muncul adalah: mengapa kekayaan laut
tersebut belum bisa membuat bangsa
Indonesia menjadi lebih maju dan
makmur?
Kompas/eddy hasby Tengoklah Islandia atau Norwegia, yang
dapat membuktikan bahwa laut dapat
menjadi sumber penghidupan ekonomi.
Bayangkan saja di Islandia, 65 persen produk domestik bruto (PDB) berasal dari sektor
perikanan, dan pendapatan perkapita rakyatnya mencapai 26.000 dollar AS. Atau, Norwegia
yang sektor perikanannya mencapai 25 persen dari PDB nasional, dan memiliki pendapatan
perkapita sebesar 30.000 dollar AS. Data ini berkali-kali disampaikan Rokhmin Dahuri (Menteri
Kelautan dan Perikanan) yang hingga saat ini meyakini bahwa sumber daya kelautan bisa
diandalkan untuk memakmurkan bangsa ini. Namun, apakah keyakinan tersebut dapat terwujud?
Hambatan struktural
Keyakinan itu sebenarnya merupakan keyakinan banyak orang. Namun, tidak terwujudnya
keyakinan itu adalah karena keyakinan tersebut tidak bersifat kolektif dan struktural, melainkan
masih individual. Mungkin Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid (ketiga mantan
Presiden RI) tahu bahwa laut memiliki sejumlah potensi ekonomi. Akan tetapi, mereka belum
yakin bahwa laut dapat menjadi masa depan ekonomi bangsa, sehingga arah kebijakan
ekonominya masih berorientasi kontinental. Bisa jadi orientasi kebijakan ekonomi sepanjang
Presiden RI yang pro-darat tersebut merupakan warisan kolonial.
Memang pada zaman Belanda, seluruh aktivitas ekonomi bermuara pada upaya pemenuhan
kebutuhan pasar Eropa. Meningkatnya permintaan terhadap produk perkebunan di pasar Eropa
waktu itu, mendorong kebijakan ekonomi kolonial mengarah pada peningkatan produksi
perkebunan dan pertanian. Dan, kebijakan ekonomi yang demikian telah mendarah daging di
dunia pemerintahan maupun rakyat, sehingga mereka seperti menjadi "buta" terhadap laut.
Akibatnya, ketika merdeka pun tak ada warisan ilmu yang diperoleh dari Belanda, bagaimana
membangun perikanan dan kelautan, melainkan hanya warisan ilmu bagaimana membangun
pertanian. Jelaslah, secara historis-struktural memang perikanan dan kelautan kelihatan marjinal.
Akibatnya, investasi perikanan secara kumulatif sejak tahun 1967 hingga tahun 1999 masih
rendah yakni hanya 1,37 persen (tabel 1). Pada kurun waktu yang sama investasi asing pun
hanya 0,31 persen (tabel 2). Dan, ini terjadi karena dukungan politik untuk ekonomi kelautan dan
perikanan memang sangat lemah.
Bisa jadi, saat ini Megawati punya keyakinan terhadap kekuatan ekonomi kelautan dan
perikanan. Akan tetapi, yang jelas publik belum bisa membaca apakah masih keyakinan
individual ataukah struktural, karena memang belum terlihat adanya cetak biru (blue print) arah
pembangunan ekonomi di bawah kepemimpinan dia. Berdasarkan pengalaman sejarah di atas,
jelaslah bahwa kelautan akan dapat maju dan menjadi prome mover ekonomi nasional jika
dukungan politik untuk kelautan diperkuat. Dan, ini harus datang dari Presiden. Mengapa?
Gerakan nasional
Pertanyaan di atas dapat terjawab melalui sejumlah bukti empiris. Lihatlah suksesnya
swasembada beras pada tahun 1984 tidak lepas dari gerakan nasional yang bernama Bimas
yang langsung dikomando Soeharto. Seluruh organ negara dijadikan instrumen untuk
mensukseskan program swasembada. Departemen Pekerjaan Umum ditugasi membangun
irigasi. Departemen Koperasi harus mendirikan koperasi secara massal yang bernama koperasi
unit desa. Bulog didorong untuk menjaga stok dan stabilisasi harga beras. Tentara ditugasi
mengawasi petani agar tetap menanam padi. Termasuk kampus pun secara tidak sadar digiring
untuk lebih fokus pada penelitian beras, baik secara sosial ekonomi maupun teknologi.
Contoh lainnya adalah Thailand yang kini berjaya di pertanian. Majunya pertanian tidak bisa
lepas dari kekuatan istana kerajaaan yang memang punya visi membangun pertanian. Juga,
pengalaman Korea Selatan yang mengawali pembangunannya dengan gerakan "Semaul
Undong". Gerakan membangun pedesaan ini langsung dipimpin Park Chung Hee dan ternyata
sangat sukses. Dan, suksesnya pembangunan pedesaan melalui gerakan nasional tersebut
ternyata menjadi basis bagi industrialisasi di Korea Selatan.
Oleh karena itu, untuk membangun kelautan sangat diperlukan adanya gerakan nasional yang
dipimpin Presiden sebagaimana pernah dicontohkan Soeharto dan Park Chung Hee di atas. Dan,
untuk mewujudkan gerakan nasional tersebut, Megawati sudah sepatutnya mentransformasi
keyakinan individualnya menjadi keyakinan struktural. Artinya, di sinilah Megawati dituntut untuk
mempunyai keputusan politik tentang arah kebijakan ekonomi yang berpihak pada kelautan.
Dan, tentu desain tersebut tidak hanya berupa pemikiran tetapi juga kemampuan untuk
menggerakkan organ-organ negara untuk mendukung mewujudkan visi tersebut. Berkaca pada
pengalaman Soeharto mensukseskan swasembada beras, maka Megawati sepatutnya
mencanangkan gerakan nasional untuk kelautan. Namun, tentu karakter gerakan nasional baru
ini mesti berbeda.
Oleh karena saat ini lingkungan strategis dan iklim politik juga sudah berbeda. Sebut saja
otonomi daerah, demokratisasi, dan globalisasi yang menjadi variabel penting untuk
dipertimbangkan. Sehingga, gerakan nasional kelautan mesti bernuansa otonomi, partisipatif,
bottom up, demokratis, profesional, transparan, dan memiliki akuntabilitas. Memang gerakan
nasional tersebut butuh biaya besar dan sangat rawan penyimpangan. Contohnya, awal mula
korupsi di Korea Selatan yang melibatkan Chun Do Hwan adalah penyimpangan pada gerakan
Semaul Undong.
Untuk itu, Megawati harus mampu menciptakan iklim politik ekonomi yang kondusif bagi
tumbuhnya sektor kelautan. Suku bunga perbankan untuk usaha sektor kelautan dan perikanan
diperkecil. Bayangkan, Australia dan Jepang, mampu menekan suku bunga untuk kelautan
hingga kurang dari 5 persen. Thailand bisa kurang dari 10 persen.
Juga, keamanan di laut mesti terjamin. TNI AL dan Polri harus diberdayakan untuk lebih
profesional dan bersih (clean), yang tentu diiringi dengan sistem insentif dan sarana-prasarana
yang memadai. Sehingga, mereka mampu menyelamatkan kerugian pencurian ikan senilai 1,9
milyar dollar AS. Kemudian, Depperindag ditugasi memperkuat jaringan perdagangan perikanan
internasional.
Departemen Luar Negeri ditugasi memperkuat diplomasi internasional untuk mengamankan
posisi perikanan dan kelautan nasional, baik dalam konteks geopolitik (batas-batas wilayah laut),
perdagangan internasional, maupun masalah lingkungan. Menteri Kehakiman dan HAM dituntut
untuk menciptakan mekanisme peradilan laut yang efektif.
Menteri Riset dan Teknologi ditugasi menghasilkan produk teknologi kelautan yang canggih.
Menteri Sumberdaya Energi dan Mineral diwajibkan melancarkan suplai bahan bakar minyak
(BBM) untuk kegiatan perikanan dan kelautan. Ingat, saat ini sekitar 40 persen nelayan tidak bisa
melaut akibat kelangkaan BBM. Dan seterusnya.
Namun, sekali lagi bahwa inilah ujian politik bagi Megawati, karena Megawati mesti memilih arah
pembangunan ekonomi saat ini. Kalau memang pilihan jatuh pada resources based economy,
khususnya kelautan, tak ada jalan lain kecuali mencanangkan gerakan nasional. Tanpa itu tak
ubahnya nasib kelautan selama Orde Baru.
* Arif Satria Ketua Program Kajian Perikanan dan Kelautan Pusat Kajian Agraria IPB.
Download