tugas kelompok

advertisement
TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH ETIKA BISNIS
Disusun Oleh :
1. Entjik Sjaiful Rizal
2. Dehan Supandi
3. Desi Espenti
4. M Chusnul
5. Esra Indra Banurea
6. Sri Utami
7. Sudirman
8. Reno
9. Nelson
10.Indi Andika Pratama
11. Alain
55108120162
55108120020
55108120117
55108120016
55108120127
55108120110
55108120068
55108120017
55108120125
55108120062
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER MANAJEMENT - FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA 2010
I.
Contoh kasus pencemaran lingkungan
Kasus Buyat
Laporan Institut Minamata Pelajaran apakah yang dapat diserap masyarakat Indonesia dari
hasil kajian Institut Penyakit Minamata, Jepang tentang isu pencemaran Teluk Buyat, Sulawesi
Utara, yang dipublikasikan 8 September 2004? Dari sejumlah pelajaran setidaknya bisa
dikemukakan tiga hal penting. Pertama, hiruk pikuk pemberitaan kasus Buyat di media cetak
dan elektronik nyaris seperti “dagelan kesalah-kaprahan (comedy of errors)’’ Kedua, tuduhan
terhadap PT Newmont Minahasa Raya (NMR) sebagai sumber bencana ‘Minamata’ di Buyat
secara ilmiah ternyata tidak terbukti. Ketiga, penyelesaian kasus Buyat secara hukum menjadi
serba dilematis. Penjelasan ketiga pelajaran diatas adalah sbb.:
Comedy of Errors
“Berita buruk adalah kabar baik bagi media”, adalah adagium di kalangan industri media.
Industri di mana berita diproses sebagai komoditas dagangan. Dalam arti itu, kasus ‘Minamata’
a la Buyat adalah bahan berita atau komoditas yang memiliki nilai jual tinggi di mata redaksi
media massa. Dimensi kemanusiaan, keadilan, sosial, politik, ekonomi, lingkungan hingga
kinerja industri pertambangan dalam kasus tersebut dapat dikupas habis. Media berpesta
dengan kekayaan sudut pemberitaan. Semua dimensi dan aspek terkait dapat diproses, dipoles
juga di-vermak. Bila perlu dimanipulasi bahkan dipelintir untuk berbagai kepentingan (yang
sesuai dengan kepentingan pemilik industri media). Selanjutnya berita itu ditabal dengan
pilihan tajuk berita yang sesuai, tapi bila perlu, bombastis atau provokatif. Tujuannya supaya
khalayak umum terusik untuk membaca, atau melihat dan mendengar. Dalam kaitan dengan
kasus ‘Minamata’ versi Buyat, yang perlu dicermati adalah ke arah mana substansi berita
diarahkan. Dan, berbicara tentang sudut pemberitaan dan substansi berita, maka kedua aspek
itu adalah ranah kedaulatan sidang redaksi media bersangkutan (yang patuh, taklid pada kuasa
pemegang saham terbesar media bersangkutan). ‘Kuasa sidang redaksi’ atau ‘kuasa berita’
berwenang menentukan ke mana sajian komoditas berita diarahkan. Di titik ini, ada berbagai
kecenderungan arah pemberitaan. Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai berita tentang
kasus Buyat di sejumlah media massa (cetak dan elektronik) setidaknya ditemui tiga arus
utama gaya dan arah pemberitaan. Pertama, yang bersifat tendensius. Di sini, substansi berita
dibuat untuk ‘membantai’ NMR. Artinya, perusahaan emas multinasional itu di-frame dalam
alur sajian berita yang menempatkannya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas
malapetaka tersebut. Gaya pemberitaan ini sangat jelas digunakan sebuah Harian dengan oplah
nasional terbesar. Harian ini mem-blow-up kasus Buyat dengan headline besar di halaman
pertama. Dalam tempo satu-dua hari kemudian, berbagai media cetak dan elektronik nimbrung
menurunkan liputan kasus Buyat. Patut dicatat, kerangka dan sifat pemberitaan yang digunakan
cenderung sama, yaitu: penghakiman NMR dan ekspolitasi sisi kemanusiaan korban
malapetaka itu.
Dengan gaya penyajian masing-masing, baik media cetak maupun elektronik, mengemas fakta
hasil suntingan dari berbagai dimensi dan substansi. Konstruksi opini publik adalah ranah bisnis
manipulasi kebutuhan masyarakat akan informasi. Nuansa trial by the press tak terhindari.
Sejumlah talkshow interaktif di radio tentang kasus Buyat di paruh akhir Agustus
2004, menunjukkan betapa jelas ungkapan ‘kegeraman’ pendengar atas kasus tersebut. Jelas
pula tudingan pada sosok NMR yang dianggap arogan dan tidak manusiawi. Karenanya harus
bertanggungjawab dan dihukum setimpal. Ornop lingkungan seperti di atas angin. Karena
informasi dari merekalah kasus pencemaran lingkungan yang mengakibatkan malapetaka
kemanusian bisa diekspose. Sementara itu, instansi pemerintah terkait sibuk berkilah.
Sedangkan, pihak media massa (sektor industri ke-media-an) menikmati keuntungan tiras atau
program tayangan yang dinanti masyarakat dengan segenap rasa penasaran.
Celakanya, semua berita dan opini yang terbentuk sebagai dampak pemberitaan (gaya
pertama) tidak sepenuhnya bertumpu pada kebenaran fakta. Hal ini dapat dicermati dari
pemberitaan yang mengumbar penggunaan kata “diduga” serta miskinnya sajian data ilmiah
penunjang. Berita kasus Buyat tidak lebih dari sekedar kancah mempermainkan emosi dan
keawaman publik tentang masalah lingkungan dan praktik industri pertambangan. Substansi
berita hanya berputar-putar pada informasi sumir yang bersifat anekdotal dan selintas atas
pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan NMR.
Gaya pemberitaan kedua, arus pemberitaan sifat yang menyajikan pemberitaan proporsional. Ada
upaya etis untuk ‘cover both sides’. Di sini, aspek yang diduga menjadi penyebab malapetaka
diupayakan untuk dikaji dengan seksama. Disayangkan, penyajian berita seperti ini tidak terjadi
di awal pemberitaan kasus. Gaya pemberitaan ini cenderung berlangsung pada periode di mana
opini publik yang menunjuk NMR sebagai biangkeladi malapetaka Buyat sudah terbentuk. Gaya
pemberitaan ketiga, arah pemberitaan ditujukan untuk menelanjangi kebobrokan dan peran
kedodoran dari instansi pemerintah terkait seperti: Depkes, KLH, Dep. ESDM dan Polri. Dll.
Arah pemberitaan terakhir ini cenderung berlangsung di periode ketika data dan informasi baru
tentang pencemaran itu diperoleh atau ketika muncul refleksi terhadap kasus Buyat. Refleksi
terhadap kasus Buyat dapat terjadi ketika ternyata kasus tersebut tidak terjadi karena faktor
tunggal (dampak operasi NMR). Banyak aspek terkait yang berakumulasi dan saling berpilin.
Resultante dari berbagai aspek latar belakang terkait itulah yang pada gilirannya bermuara pada
dugaan pencemaran di Teluk Buyat. Yang jelas, fakta pencemaran Teluk Buyat memang terjadi,
tetapi ada fakta lain yang dibentuk oleh ‘kuasa pengetahuan’ dari fenomena pemberitaan yang
menyesatkan. Dapat dimaklumi bila gaya pemberitaan terakhir baru muncul pada bagian terakhir
dari hiruk pikuk pemberitaan kasus Buyat.
Sebagai publik awam yang hanya mampu menganalisa kasus Buyat hanya berdasarkan bereita di
media massa, maka publikasi laporan Institut Penyakit Minamata, sebagai lembaga dengan
otoritas tertinggi di bidangnya, boleh dibilang mengakhiri episode kasus Buyat. Laporan Institut
Minamata bisa diasumsikan dengan telak menjawab semua kegalauan informasi yang terjadi di
lingkungan masyarakat awam. Ternyata isu kasus pencemaran Teluk Buyat hanyalah hasil
kesembronoan pemberitaan media. Pertanyaan yang mengganjal adalah: Apakah masalah
dampak negatif industri ekstraktif di Indonesia sesederhana itu? Bagaimana upaya selanjutnya
penanganan masalah pencemaran (industri ekstraktif) di Indonesia?
Bukti dan tradisi ilmiah
“In God we trust. All others must bring data.” adalah ungkapan nakal berkadar intelektual
kental dari Andi Hakim Nasution, Guru Besar Matematika dan Statistik IPB (alm). Kalimat itu
menukik ke makna data
sebagai bukti ilmiah dari suatu klaim. Esensinya, kebenaran manusiawi itu nisbi. Karena itu
pernyataan atau klaim wajib didasari argumentasi yang didukung bukti sahih yang diperoleh
dari kajian, penelitian atau pengamatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Klaim tentang masalah lingkungan saat ini, pada galibnya harus berdasar pada data sahih.
Perang klaim pengetahuan sulit dihindari dalam kasus seperti isu pencemaran Teluk Buyat
(Jalal, Koran Tempo 20/08). Dalam tradisi arkeologi pengetahuan Foucoultian, pengetahuan
manusia adalah konstruksi sosial dan konstruksi bahasa belaka. Dalam kerangka itu, data dapat
dimaknai sebagai ‘bahasa’ atau ‘kuasa pengetahuan’ yang mengonstruksi ‘kebenaran’. Jelaslah
dalam konteks ini, ‘kesalahan’ atau ‘kebenaran’ kasus Buyat merupakan permainan dari
‘kuasa pengetahuan’. Yang menjadi masalah adalah apabila pihak yang mampu mendominasi
‘kuasa pengetahuan’ (baca: media) baik secara sengaja atau tidak sengaja telah melakukan trial
by the press. Lebih celaka lagi, penghakiman itu tidak dilandasi data dan informasi akurat yang
bersifat prerequisite (yang mutlak harus ada dalam melakukan justifikasi).
Karena menyangkut aspek yang sangat luas serta dapat berdampak besar terhadap kehidupan
berbagai kalangan masyarakat, klaim pencemaran di Buyat tidak bisa didasarkan hanya pada
dugaan, sentimen atau romantisasi rasa keadilan (pada warga Desa Buyat) dengan menafikan
data pendukung yang andal. Sebagai ilustrasi, di manakah tanggung jawab media terhadap
kesulitan komunitas nelayan di kawasan Sulawesi Utara yang tidak dapat menjual hasil
tangkapan ikannya akibat pemberitaan pencemaran Teluk Buyat? Keberpihakan untuk
mewujudkan rasa dan praktik keadilan pada warga Desa Buyat harus dilakukan pada aras dan
dasar yang tidak melecehkan logika.Reputasi internasional dan tradisi ilmiah Institut Penyakit
Minamata, sulit diragui. Hampir mustahil institusi itu mau mengorbankan reputasi untuk hasil
penelitian yang ‘bisa dipesan’. Dalam laporan mereka, seluruh aspek dan proses penelitian
diungkap secara rinci. Siapa saja yang menjadi peneliti; bagaiamana metode penelitiannya;
variabel dan parameter lingkungan apa saja yang diteliti, semuanya dikemukan secara terbuka.
Yang juga perlu dicatat dan digarisbawahi adalah seluruh kegiatan pengumpulan sampel di Teluk
Buyat, Teluk Totok serta Dusun Buyat dilakukan di bawah pengawasan pihak WHO, Depkes,
KLH, Kepolisian Daerah serta Dinas Kesehatan setempat. Bagaimana seluruh sampel dianalisis,
metode dan teknologi yang digunakan untuk analisis pun diungkap terbuka. Dan, akhirnya hasil
penelitiannyapun dipublikasikan dan dapat diakses publik. Inilah tradisi ilmiah. Transparen, di
bawah kesaksian semua pihak terkait, dapat dipertanggungjawabkan dan publikpun dipersilahkan
untuk mengakses hasil penelitiannya. Tradisi ilmiah dan keterbukaan ilmuwan institut itu bak
langit dan bumi jika dibandingkan dengan kemisteriusan proses penelitian yang dilakukan oleh
Polri. Sampai batas-batas tertentu, ‘kemisteriusan’ yang sama juga dapat dicermati telah terjadi
pada penelitian Tim Terpadu KLH atau Ornop lingkungan. Banyak sekali sesungguhnya
kejanggalan yang luput (atau mungkin sengaja tidak diangkat oleh media massa) dalam proses
penelitian Tim Terpadu KLH. Hingga saat ini, adakah keterbukaan dan publikasi dari proses
serta kesimpulan hasil penelitian tim Polri, Tim Terpadu KLH atau Ornop lingkungan tentang
kasus Buyat? Siapakah ahli-ahli pencemaran lingkungan anggota tim penelitian? Apa saja latar
belakang disiplin mereka? Bagaimana reputasi akademisnya? Metode dan teknik analisis apa
yang mereka gunakan?
Memadaikah lab-forensik Polri atau laboratorium rujukan yang dipakai untuk menganalisis
kasus pencemaran logam berat yang tergolong khusus? Semua pertanyaan ini tampaknya sulit
diperoleh jawabnya.
Yang luar biasa adalah di tengah ‘gelapnya’ penelitian itu, Polri menyatakan NMR terbukti
mencemari perairan Teluk Buyat. Menyusul kemudian langkah penyerahan seluruh bukti ke
Kejaksaan dan sidang pengadilan atas pencemaran Teluk Buyat segera digelar.
Penyelesaian Kasus Buyat
Berdasarkan uraian di atas, sulit disangkal adanya kesumiran basis ilmiah (data) serta argumen
legal-formal untuk melakukan tuntutan pada NMR. Hasil penelitian Institut Penyakit
Minamata adalah bukti ilmiah yang baik langsung ataupun tidak telah meruntuhkan dasar
argumentasi ilmiah yang akan digunakan oleh Polri dalam penuntutan. Celakanya, proses dan
hasil penelitian pihak Polri sangat lemah dalam arti transparansi dan tradisi ilmiah. Di titik ini
tak bisa dicegah adanya kecurigaan muatan politis serta agenda tersembunyi dalam hasil
penelitian Polri.
Dalam tradisi hukum positif, lemahnya data ilmiah sebagai bukti hukum yang digunakan dalam
pengajuan tuntutan berimplikasi pada keabsahan hukum. Lantas, keputusan hukum seperti apa
yang dapat dihasilkan dari persidangan kasus pencemaran Buyat? (seandainya persidangan itu
digelar). Mempertimbangkan berbagai kesumiran data menyangkut pembuktian pencemaran,
maka tuntutan tindak pencemaran dalam kasus Buyat boleh jadi, batal demi hukum! Pergelaran
sidang kasus itu hanya akan merupakan fragmen dagelan para pander dari kasus pencemaran
lingkungan dalam sistem hukum Indonesia. Kasus Buyat, bisa menjadi yurisprudensi negatif
dalam sejarah persidangan kasus lingkungan di Indonesia
Dengan mekanisme proses pengadilan yang cenderung dipaksakan seperti diu raikan di atas,
sulit diharapkan sumbangan positif kasus Buyat pada perbaikan kebijakan dan kinerja
pengelolaan lingkungan hidup (baca: SDA) Indonesia. Mungkin, makna penting kasus Buyat
adalah penyajian sketsa ‘para pandir’ yang sedang belajar memahami kasus lingkungan. Di
sketsa itu terlihat, pertama, lemahnya kompetensi Ornop lingkungan dalam mengungkap kasus
lingkungan. Perjuangan mereka yang bersifat ideologis masih perlu peningkatan kapasitas
teoritis dan metodologis. Kedua, Polri yang makin memperburuk citranya sendiri dengan sikap
tidak profesional dan mudah terperangkap dalam kepentingan politis. Ketiga, dalam
kasus Buyat, instansi pemerintah terkait, utamanya KLH, Dep. ESDM dan Bapedal bukan hanya
tidak profesional, tetapi acap kali tidak memahami peran dan tanggung jawab institusional
mereka. Keterlibatan dan pernyataan mereka terbukti kian memperkeruh permasalahan.
Keempat,
adanya instansi pemerintah lain serta institusi pendidikan tinggi yang mudah terlibat memberi
tanggapan tanpa pemahaman kasus secara memadai. Kelima, media massa yang terperangkap
oleh adagium yang mereka ciptakan sendiri tanpa diimbangi konsistensi sikap untuk check and
recheck dan cover both sides. Peran media seperti sekedar menjadi amplifier berita sumir. Media
massa tak bisa‘cuci tangan’ dari terciptanya situasi ‘kebingungan’ dan pembodohan publik.
Penyelesaian komprehensif kasus Buyat harus diurut mulai dari aspek sejarah. Hal ini penting
dilakukan mengingat kawasan di mana NMR beroperasi adalah kawasan pertambangan yang
sudah dieksploitasi sejak jaman kolonial Belanda dan masa-masa sesudahnya. Aspek hukum juga
harus dikaji tuntas mengingat keberadaan kegiatan operasional NMR di kawasan itu tidak
terlepas dari ijin legal yang diperoleh dari intansi pemerintah terkait. Demikian pula, mereka
hanya dapat beroperasi setelah NMR mengantongi rekomendasi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL)yang diperoleh dari pemerintah. Kondisi lingkungan fisik baik
lingkungan terestrial (daratan) maupun kelautan setempat harus mendapat kajian komprehensif.
Hal yang sama perlu juga dilakukan terhadap kondisi sosial, ekonomi, kesehatan sanitasi dan
lingkungan permukiman masyarakat Desa Buyat. Kajian mendalam terhadap seluruh aspek yang
disebut di atas akan sangat mungkin memberikan penjelasan yang memadai dan diperlukan
dalam penyelesaian kasus Buyat. Dan, dari kajian itu pula dapat diharapkan berbagai pelajaran
berharga yang dapat dimanfaatkan dalam mencegah dan/atau meminimisasi dampak negatif
sekaligus memaksimalkan dampak positif dari aktifitas perusahaan pertambangan di Indonesia.
Bagi korporasi yang bergerak di sektor industri ektraktif, sebaiknya perlu berkaca pada
manajemen NMR serta menata diri lebih baik dalam hal tanggung jawab lingkungan dan sosial
korporasi.
Dewasa ini, kedua tanggung jawab korporasi itu bukan sekedar berada di ranah publik tetapi
sudah menjadi bagian dari kesadaran publik. Dengan kata lain, saat ini berbagai masalah sosial
dan lingkungan yang mempunyai kaitan dengan aktifitas operasional pertambangan akan dengan
cepat berekskalasi menjadi isu yang terekspose secara nasional, bahkan internasional. Hal ini
dimungkinkan oleh peran media massa yang didukung teknologi informasi juga oleh kesadaran
masyarakat yang semakin kritis. Yang pasti, manajemen NMR dapat bercerita banyak tentang
dampak yang mereka rasakan dan alami
akibat kecerobohan manajemen yang mereka lakukan dan juga akibat ulah ‘orang-orang pandir’
yang merupakan bagian dari stakeholders kegiatan operasional mereka.
II. CSR WAJIB BAGI PERUSAHAAN
PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO 25
TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DAN UNDANG-UNDANG NO 40
TAHUN 2007 TENTANG
PERSEROAN TERBATAS
II.1. KASUS PADA PT WAHANA PASIR SAKTI, LAMPUNG SELATAN
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang dalam bahasa asingnya dikenal dengan Corporate
Social Responsibility (CSR) merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan
kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya serta komunitas lokal. Munculnya UndangUndang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang No. 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) menandai dimulainya pengaturan CSR di
Indonesia. Konsep CSR yang tertuang dalam UUPM dan UUPT tersebut akan dilihat pada PT.
Wahana Pasir Sakti sebagai salah satu perusahaan di desa Tridharma Yoga Lampung Selatan
yang bergerak di bidang pertambangan khususnya eksplorasi dan penggalian pasir. Karena
kegiatan perusahaan tersebut bergerak di bidang sumber daya alam maka akan dilihat apakah
perusahaan tersebut sudah menerapkan CSR berdasarkan UUPM dan UUPT dan bagaimana
bentuk CSR yang diterapkan perusahaan tersebut.
Permasalahannya adalah bagaimana penerapan CSR pada PT Wahana Pasir Sakti ditinjau dari
UUPM dan UUPT. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara
jelas, sistematis, dan rinci mengenai penerapan CSR.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa PT Wahana Pasir Sakti adalah perusahaan
yang kegiatan usahanya bergerak dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, serta merupakan
perusahaan penanaman modal dalam hal ini penanam modal dalam negeri. Perusahaan tersebut
sudah menerapkan CSR dalam konsep sosial dan ekonomi. Namun dalam konsep lingkungan
perusahaan tersebut hanya menjalankan kewajiban untuk perbaikan dan penyiraman jalan yang
dilalui truk pengangkut pasir saja, sedangkan program bina lingkungan dalam bentuk tambak inti
rakyat sampai saat ini belum dapat terealisasikan dengan baik. Sehingga perusahaan tersebut
belum bisa menerapkan konsep CSR secara keseluruhan yaitu konsep ekonomi, sosial dan
lingkungan. CSR dalam konsep sosial dan ekonomi yang diterapkan perusahaan tersebut sudah
sesuai dengan UUPM dan UUPT yang mewajibkan bagi setiap perusahaan untuk menerapkan
CSR untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
II.2. PTPN X
Perkembangan pengalokasian dana Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) atau yang
lebih popular dengan Corporate Social Responsibility (CSR) BUMN dari tahun ketahun
menunjukkan trend yang positip.
“PTPN X sebagai koordinator penyaluran dana CSR dari BUMN di Jawa Timur melaporkan
tahun 2007 menyalurkan Rp 48,5 miliar dan tahun 2008 meningkat menjadi Rp.160 miliar dan
tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp 180 miliar serta tahun 2010 berhasil meningkat dengan
fantastis menjadi Rp.347,5 miliar,” kata Bagas Yulistyati Setyawan, Kabag BUMD dan PM Biro
Administrasi Perekonomian Setdaprov Jatim, Senin (4/10/2010).
Dijelaskannya, Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. dalam pasal 15
huruf b dijelaskan bahwa setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan. Setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial,
artinya setiap perusahaan mempunyai tanggung jawab yang melekat untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, norma dan budaya masyarakat
setempat.
Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan
tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal atau pencabutan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Sedangkan dari BUMD Jatim yang sudah menyalurkan dana CSR baru PT.Bank Jatim, tahun
2009 dana TJSL dialokasikan sebesar Rp10 miliar namun hanya bisa tersalur sebesar Rp
2.331.815.350,00 untuk kegiatan sosial lingkungan, sosial lainnya, keagamaan, budaya dan
olahraga, kesehatan dan bencana alam serta pendidikan.
Adapun untuk tahun anggaran 2010 dialokasikan sebesar Rp.15 miliar dan sampai bulan Agustus
baru tersalur sekitar 30%. “Ini sangat disayangkan daya serap dana CSR termasuk rendah,
padahal disisi lain banyak sekali masyarakat yang masih membutuhkan dana tersebut untuk
pemberdayaan diri mereka,” ujar Bagas.
Untuk itu, lanjut Bagas, menjadi tugas pemerintah dan legeslatif membuat kebijakan atau
menyusun peraturan daerah tentang TJSL yang intinya untuk mengatur pendistribusian alokasi
penggunaan dana TJSL, sehingga bagi masyarakat yang jauh dari industri atau perusahaan
seperti di daerah Pacitan, Trenggalek, Ponorogo dan lainnya juga akan merasakan dana CSR
meskipun tidak sebanyak daerah yang banyak industrinya seperti di Surabaya, Mojokerto,
Sidoarjo, Gresik, Pasuruan, dan Lamongan.
Intinya Perda TJSL atau CSR akan memperluas jangkauan wilayah penerima TJSL dan mengatur
secara proporsional pengalokasian serta sasaran penggunaan dan sasaran penerima dana CSR,
sedangkan pelaksanaan atau pengelolaan tetap menjadi kewenangan perusahaan penyalur dana
CSR adapun pemerintah dapat memantau dan mengawasi penggunaannya.
Lebih lanjut ia katakan, tujuan pembangunan yang ingin dicapai Pemprov Jatim membutuhkan
dana sangat tinggi, untuk itu dana CSR merupakan potensi yang sangat tinggi melebihi potensi
APBD dan APBN yang ada. Kebijakan penggunaan dana TJSL sudah jelas yaitu untuk
masyarakat dan lingkungan, jadi kegiatannya sudah barang tentu untuk membantu pemberdayaan
masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar industri.
Menurutnya, penggunaan dana CSR yang teralokasi dengan baik dapat digunakan sebagai alat
atau sarana untuk mendukung pencapaian beberapa target Pemprov Jatim seperti penurunan
kemiskinan dan pengangguran, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan
demikian penggunaan dana CSR lebih diarahkan untuk hal-hal tersebut. Sehingga penggunaan
dana TJSL bukan sekedar bersifat amal tetapi perlu ada konsep untuk pemberdayaan masyarakat.
Perda tentang TJSL atau CSR dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur dan mengawasasi
penggunaan dana CSR. Pemanfaatan dana CSR untuk pemberdayaan masyarakat miskin
sehingga mempunyai kekuatan untuk mandiri, sedangkan dana APBN dan APBD bisa
dimanfaatkan untuk melengkapi infrastruktur sehingga menarik investor berusaha atau
mendirikan pabrik di Jawa Timur yang juga akan menyalurkan dana CSR.
Dengan demikian semakin banyak infrastruktur dan kemudahan bagi investor akan diikuti
dengan semakin banyak industri bermunculan yang tentu saja juga semakin banyak dana CSR
yang mengalir kemasyarakat sehingga semakin tinggi pula keberdayaan masyarakat
III. KASUS PELANGGARAN HAM
1.
Shell Didakwa Lakukan Pelanggaran HAM
Thijs Bouwknegt , 24-05-2009
Proses pengadilan terhadap salah satu perusahaan minyak terbesar dunia Shell dimulai
Rabu (26/5). Dakwaannya adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia di Nigeria. Uniknya
proses pengadilan itu berlangsung 14 tahun setelah pelaksanaan eksekusi seorang penulis
sekaligus aktivis hak-hak asasi manusia Nigeria, Saro Wiwa oleh junta militer yang
berkuasa saat itu.
Pengadilan New York akan dihadapkan pada kasus terbesar dalam soal pertangunggjawaban
perusahaan. Sejak Rabu mendatang, pengadilan akan memulai proses perusahaan Royal Dutch
Shell--perusahaan yang mendominasi sektor perminyakan Nigeria dalam beberapa dasawarsa
terakhir--yang didakwa meminta bantuan junta militer Nigeria untuk membungkam aktivis hakhak asasi manusia Saro Wiwa.
Shell yang menyangkal keras tuduhan tersebut, juga didakwa membiayai tentara yang melakukan
pelanggaran hak-hak asasi manusia secara besar-besaran di wilayah kaya minyak Delta Niger.
Delta Niger
Perusahaan minyak Royal Dutch Shell memulai produksi minyaknya di Delta Niger pada 1958.
Pencemaran minyak dan gas, penebangan hutan, merusak sumber alam di Delta dan
menghancurkan pertanian dan penangkapan ikan yang merupakan dasar penghasilan rakyat asli
Ogoni. Namun protes terhadap penekanan dan ekspolitasi baru dimulai pada awal 90 an.
Antara tahun 1990 dan 1995, tentara Nigeria melakukan tindakan brutal dan besar-besaran untuk
membungkam gerakan protes yang semakin meningkat. Banyak di antara desa-desa di Ogoni
dibakar dan pemimpinnya dijebloskan ke penjara. Shell dinyatakan mendukung tindakan
tersebut.
Ken Saro Wiwa
Pelanggaran kemanusiaan terhadap rakyat Ogoni mencapai puncaknya pada 10 November 1995.
Sembilan orang dieksekusi oleh diktatur Nigeria saat itu Sani Abacha, setelah didakwa
melakukan pembunuhan dan diadili oleh tribunal militer yang sengaja didirikan untuk tujuan itu.
Di antara pemimpin Ogoni saat itu yang paling terkenal adalah Ken Saro Wiwa (1941-1995). Ia
dikenal sebagai penentang yang sering melontarkan kritik terhadap pengoperasian Shell di
Nigeria. Gerakan untuk Perjuangan Rakyat Ogoni MOSOP, yang dipimpinnya mewakili rakyat
Delta yang paling terkena dampak dari kegiatan Shell.
Saro Wiwa menuduh Shell mendukung penekanan pemerntah Nigeria terhadap rakyat Ogoni
serta penyiksaan terhadap pemimpinnya.
Mereka juga mengatakan bahwa Shell khawatir bahwa protes akan menganggu kegiatan mereka
dan menodai citra mereka di luar negeri. Mereka menuduh Shell menyingkirkan kekhawatiran
itu dengan melakukan kampanye sistematis pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Shell menyangkal tuduhan pembungkaman Saro Wisa, bahkan sebaliknya mengatakan: berupaya
membujuk pemerintah untuk memberikan grasi.
Pengadilan Shell
Pengacara hak-hak asasi manusia Amerika mencoba menyeret Shell ke pengadilan untuk
dimintai pertanggungjawabannya atas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Nigeria, termasuk
di antaranya sejumlah eksekusi, kejahatan terhadap kemanusiaan dan penyiksaan. Namun upaya
itu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya kasus ini dapat diseret ke pengadilan.
Pengadilan yang akan berlangsung pekan ini digelar berdasarkan UU 1789 yang dapat menyeret
seorang warga Negara non Amerka untuk dituntut di pengadilan Amerika dengan dakwaan
kejahatan terhadap kemanusiaan, tanpa peduli di mana kejahatan itu terjadi.
Dakwaan yang dilakukan terhadap perusahaan minyak terbesar di dunia atas kejahatan yang
dilakukan di negara berkembang bukanlah yang pertama kali. Chevron terancam harus
membayar 27 milyar dollar atas dakwaan melakukan pencemaran hutan dan Exxon Mobil
dituntut oleh penduduk desa di Aceh utara yang menuduh perusahaan tersebut menyewa tentara
menjaga sumber gas dan melakukan pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Pengadilan di Belanda
Dalam kasus lainnya, empat warga Nigeria, nelayan dan petani di Delta Niger, mewakili desanya
di pengadilan Belanda. Mereka menuduh Shell merusak sumber penghasilan mereka
dan menyatakan Shell tidak mematuhi standard internasional mengenai pengelolaan minyak
yang benar.
Liesbeth Zegveld, pembela keempat warga Nigeria itu, meminta markas besar Shell bulan Mei
lalu memberikan penjelasan peran perusahaan itu dalam pencemaran minyak minyak di Nigeria.
Sementara itu perusahaan itu mengatakan Nigeria lah yang bertanggungjawab atas kejadian
tersebut.
Download