Abstract - Jatiswara - Universitas Mataram

advertisement
1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK CIPTA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 19
TAHUN 2002 DALAM RANGKA MENCEGAH PEMBAJAKAN DAN PEMALSUAN HAK
CIPTA
I GUSTI AGUNG WISUDAWAN
Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRACT
Fenomena pembajakan dan pemalsuan atas hak cipta pada saat ini semakin
memprihatinkan dan meresahkan. Jika hal ini terus saja dibiarkan maka akan berakibat
matinya kreativitas para pencipta untuk melahirkan karya yang bermutu. Perlindungan atas
hak cipta diberikan dengan alasan bahwa pencipta telah mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit, tenaga dan pemikiran untuk menghasilkan karya cipta yang bermutu. Perlindungan
hukum atas hak cipta memang lahir secara otomatis tetapi perlu juga didaftarkan secara
hukum formal di Dirjen HKI pada Kementerian Hukum dan HAM RI. Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan banyaknya pelanggaran atas hak cipta yaitu kesadaran masyarakat
yang masih rendah, tergiur oleh keuntungan ekonomis dan belum terciptanya pemahaman
antara aparat penegak hukum dengan masyarakat dalam mengertikan UU hak cipta. Adapun
solusinya adalah aparat penegak hukum harus mengadakan sosialisasi secara kontinu ke
masyarakat tentang pentingnya melindungi hak ciptanya, meningkatkan pemahaman aparat
penegak hukum tentang UU hak cipta dan menambah sanksi pidana yang terdapat dalam
UU hak cipta.
Keywords : Perlindungan Hukum, Hak Cipta, Pembajakan dan Pemalsuan Hak Cipta
Abstract
The phenomenon of piracy and counterfeiting of copyright in nowadays is increasingly alarming and
disturbing. If this continues, it will result in the death allowed the creativity of the creators to deliver a
quality creation. The protection of copyrights is given with the reason that the creator has spent cost,
energy and ideas to produce a quality creation. The legal protection of copyright is born automatically
but must also be registered legally formal IPR Director at the Ministry of Justice and Human Rights. The
factors that caused the number of copyright infringement that public awareness is still low, lured by
economic advantage and not the creation of understanding between the apparatus of law enforcement
with the community to understand copyright law. The solution is the law enforcement officers must
conduct socialization continuously to the public about the importance of protecting copyright, increase
understanding of law enforcement and copyright law, and adds criminal sanction contained in the
copyright law.
Keywords: legal protection, copyright piracy
2
I. PENDAHULUAN
HKI bukanlah sesuatu yang baru tetapi peranannya terhadap kegiatan perekonomian dan
bisnis sangat penting bukan hanya pada negara maju saja, tetapi negara berkembang pun
HKI sudah menjadi komoditi yang mulai dilirik oleh orang.Pembahasan pertama tentang HKI
dimulai dari adanya dukungan dari negara-negara yang tergabung di dalam Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), yang pada waktu itu mempunyai masalah bagaimana agar
perdagangan internasional dapat berjalan lancar tanpa hambatan yaitu dengan penghapusan
tarif dan non tarif.
Kemudian menghasilkan General Agrement On Tariff and Trade (GATT) pada salah
satu konfrensi di Bretton Woods, Connectitut, Amerika Serikat. Lebih lanjut HKI mulai
dibicarakan dalam bentuk sebuah Agreement atau kesepakatan yaitu TRIPs (Trade Related
Aspects Of Property Right), Indonesia kemudian meratifikasi TRIPs Agreement ini sehingga
secara otomatis butir-butir kesepakatan yang terdapat di dalam TRIPs Agreement telah
menjiwai peraturan perundang-undangan Nasional
tentang Hak Kekayaan intelektual di
Indonesia.
Adapun peraturan di bidang HKI tersebut diantaranya seperti Undang-undang No 31
Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Undang-undang No 32 Tahun 2000 Tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia dagang,
serta Undang-undangno 29 Tahun 2000 Tentang Varietas Tanaman, dan Undang-undang
Tentang Hak Cipta yaitu Undang-undang No 19 Tahun 2002.
Kesepakatan yang tertuang di dalam TRIPs yang menjiwai peraturan tentang HAKI di
Indonesia ditujukan untuk mendorong iklim perdagangan dan investasi yang lebih kondusif
dengan : (Eddy Damian, 2002:36-37)
1.
Menetapkan standar minimum perlindungan HKI dalam sistem hukum nasional
negara-negara anggota WTO.
2. Menetapkan standar bagi administrasi dan penegakan HKI.
3. Menciptakan suatu mekanisme yang transparan.
4. Menciptakan sistem penyelesaian sengketa yang efektif dan dapat diprediksi untuk
menyelesaikan sengketa HKI diantara para anggota WTO.
5. Memungkinkan adanya mekanisme yang memastikan bahwa sistem HKI nasional
mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik yang telah diterima luas.
3
6. Menyediakan mekanisme untuk menghadapi penyalahgunaan sistem HKI.
Dewasa ini Indonesia di dalam pergaulan dunia mendapat kecaman yang sangat luar biasa
karena dianggap sebagai lahan yang subur untuk kegiatan pembajakan. Dengan demikian
Indonesia harus memperbaiki diri dengan jalan memberikan perlindungan terhadap hasilkarya cipta sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas atas setiap pelanggaran Hak Cipta
yang telah terjadi, sehingga dapat memulihkan citra bangsa Indonesia di dunia internasional.
Adapun fungsi dari Hak Kekayaan Intelektual yaitu memberikan keuntungan kepada
penciptanya serta membatasi kepemilikan Hak Cipta adalah sebagai berikut :
1. Melindungi inovasi, kreativitas, serta untuk memberikan imbalan terhadap siapa saja yang
mampu melakukan kreativitas dan inovasi atas suatu penemuan, desain dan merk.
2. Memberikan hak eksklusif dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain bahwa hak
eksklusif terhadap kebendaan tidak berwujud yang dimiliki oleh pemilik atau penerima
HAKI adalah terbatas. (Insan Budi Maulana, 2005: 23)
Perlindungan terhadap inovasi dan kreativitas serta pemberian royalti yang disebutkan dalam
fungsi dari HKI tersebut di atas telah dituangkan dalam bentuk Undang-undang di bidang HKI.
Khusus untuk Hak Cipta perlindungan hukum terhadap karya berupa hasil inovasi dan
kreativitas dalam bentuk penemuan telah diatur dalam Undang-undang Hak Cipta. Begitu pula
dengan pemberian Hak Eksklusif terutama dalam bentuk Ciptaan baik itu berupa seni batik,
lagu, musik dan sebagainya mempunyai jangka waktu perlindungan yaitu selama hidup
Pencipta dan 50 tahun setelah meninggal sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 29
ayat (1) dan (2) serta pasal 30 ayat (1), (2) dan (3), jadi Hak Eksklusif yang dimiliki oleh
Pencipta itu terbatas pada jangka waktu tertentu.
Pada saat ini perdagangan tidak hanya dilakukan di wilayah nasional saja tetapi telah
menembus batas negara baik ditingkat regional maupun ditingkat Internasional. Demikian pula
dalam bidang ekonomi tidak hanya terbatas kepada sektor migas dan non migas saja, tetapi
investor asing sudah melirik karya intelektual yang hasilnya tentu dapat menjanjikan dan
menguntungkan terutama di Indonesia yang kaya akan potensi alamnya dan seni budaya, tetapi
tidak semua orang Indonesia menyadari akan hal itu karena mereka asyik menguras kekayaan
alam yang sifatnya tidak kekal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
4
Menurut Undang-undang No 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta terutama Pasal 12 telah
menguraikan dengan lengkap daftar ciptaan yang dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta
diataranya seperti lagu, musik, seni rupa maupun buku dan lain sebagainya. Siapapun tidak
terkecuali pihak luar harus patuh dan taat terhadap Undang-undang Hak Cipta ini. Di Indonesia
dewasa ini perkembangan industri musik dan perfilman sudah mulai bangkit yang dulunya
sempat mengalami kemunduran, dengan adanya kemajuan ini maka masyarakat mempunyai
banyak pilihan untuk menikmati suatu karya seni.
Masalah pemalsuan, peniruan atau yang kita sering sebut sebagai pembajakan Hak Cipta di
Indonesia sudah sangat memprihatinkan
baik pencipta maupun pemerintah. Dampak dari
pemalsuan ini adalah kerugian materiil maupun moril yang dialami oleh pencipta sehingga
akibatnya pencipta tidak lagi dapat menciptakan suatu karya seni yang bermutu. Memang kita
sudah mempunyai undang-undang yang sangat tegas mengatur tentang
hak cipta
tetapi
praktek di lapangan pada saat ini masih jauh dari harapan undang-undang hak cipta itu sendiri.
Artinya bahwa ketika undang-undang hak cipta itu sudah ada tetapi masih ada celah-celah
yang kecil dimana para pembajak tersebut dapat beraksi dengan leluasa. Ini berarti undangundang yang lemah dan belum maksimal menjangkau tindakan para pembajak. Agar lebih
memaksimalkan bekerjanya undang-undang hak cipta perlu
juga didukung oleh aparatur
hukum seperti polisi, jaksa , hakim serta yang tak kalah pentingnya adalah peranan dari
masyarakat baik itu produsen atau pencipta tetapi juga konsumen atau pembeli agar secara
bersama-sama memerangi pembajakan, karena ketika terjadi
karya cipta
pembajakan terhadap suatu
yang dilakukan oleh pembajak, peneliti melihat adanya kesadaran hukum
masyarakat masih sangat rendah
artinya masyarakat lebih banyak mengkonsumsi atau
membeli barang bajakan karena harganya murah dan dapat dijangkau.
Aparat penegak hukum di lapangan dalam hal ini penulis melihat baik di media cetak maupun
elektronik hanya
melakukan penyitaan saja tetapi seharusnya dapat memberikan suatu
penyuluhan paling tidak iklan yang menjelaskan bahwa membeli barang bajakan itu melanggar
hukum dan akan menimbulkan dampak yang negatif contoh membeli VCD dan DVD bajakan
akan membuat rusak alat elektronik yang dimiliki oleh masyarakat.
Adapun yang mendorong seseorang melakukan pelanggaran terhadap Hak Cipta seperti masih
banyaknya masyarakat yang belum mengetahui pentingnya manfaat Hak Cipta termasuk
rendahnya sumber daya manusia. Pelanggaran Hak Cipta dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain secara umum adalah : (Rona Rositawati, 2001: 27)
5
1.
Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan arti pentingnya pendaftaran ciptaan.
2.
Sikap atau keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara mudah.
3.
Belum cukup terbinanya kesamaan pengertian sikap dan tindakan para aparat penegak
hukum dalam menghadapi pelanggaran Hak Cipta.
Kegiatan pemalsuan atau pembajakan Hak Cipta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi Hak Cipta, sikap dan keinginan
untuk memperoleh keuntungan (Profit Oriented) dengan cara cepat dan mudah, ditambah
dengan belum cukup terbinanya kesamaan pengertian, sikap dan tindakan aparat penegak
hukum dalam menghadapi pelanggaran Hak Cipta merupakan faktor utama yang perlu
mendapat perhatian serius. Dalam tulisan ini yang akan dikaji adalah perlindungan hukum Hak
Cipta menurut Undang-undang No 19 Tahun 2002 dan faktor-faktor apakah yang menjadi
penyebab banyaknya pelanggaran terhadap Hak Cipta seperti pembajakan dan pemalsuan hak
cipta serta upaya penanggulangannya.
II. PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Hak Cipta Menurut Undang-Undang No 19 Tahun 2002
Perlindungan hukum sangat berperan agar hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang
Hak Cipta kepada Pencipta benar-benar terjaga dan dapat terealisasi dengan baik seperti
Hak Ekonomi, Hak Eksklusif, Hak Moral dan Hak Terkait. Di dalam Undang-undang No. 19
tahun 2002 Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa :
“ Hak Cipta merupakan Hak Eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ini berarti bahwa hanya Pencipta sajalah yang berhak untuk mengumumkan atau
memperbanyak hasil ciptaannya pihak lain yang ingin memperbanyak karya cipta tersebut
harus meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta. Menurut Undang-Undang No 19 Tahun
2002 yaitu pada Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa:
6
“Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
yang atas
inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi “.
Berdasarkan
definisi di atas menjelaskan, yang digolongkan sebagai pencipta adalah
seseorang yang melahirkan suatu ciptaan untuk pertama kali sehingga ia adalah orang
pertama yang mempunyai hak-hak sebagai pencipta
yang sebutan ringkasnya untuk
kepraktisannya disebut Hak Pencipta, dan lebih ringkas lagi menjadi Hak Cipta, untuk
mengetahui siapa saja yang merupakan pencipta pertama adalah suatu yang sangat
signifikan yaitu : (Eddy Damian, 2002 :127)
1. Hak-hak yang dimiliki oleh seorang pencipta pertama sangat berbeda
dengan hak-
hak yang berkaitan dengan hak cipta.
2. Masa berlakunya perlindungan hukum bagi pencipta pertama biasanya lebih lama dari
mereka yang bukan pencipta pertama.
3. Pengidentifikasian pencipta pertama secara benar, merupakan syarat bagi keabsahan
pendaftaran ciptaan (Pasal 5 (1) UUHC tahun 1997), walaupun pendaftaran tidak
mutlak harus dilakukan.
Pendapat yang dikemukakan di atas terkandung suatu maksud yaitu bahwasannya
Pencipta pertamalah yang berhak atas suatu ciptaan, tetapi paradigma pemikiran di atas
haruslah diubah, walapun pencipta pertama secara otomatis mendapatkan perlindungan
hak cipta tetaplah harus dilakukan pendaftaran secara hukum formal, agar lebih kuat secara
yuridis, begitu pula mengenai masa perlindungan hukumnya
haruslah lebih lama, Bila
jangka waktu perlindungannya lebih singkat maka sama saja dengan dampak di atas yaitu
akan memudahkan timbulnya pembajakan atau pemalsuan Hak Cipta.
Ada beberapa cara untuk menjadi pencipta pertama yaitu : (Eddy Damian, 2002:127)
1.
Seorang individu dapat secara mandiri menjadi pencipta pertama suatu ciptaan
dengan cara menciptakan suatu ide dan mewujudkannya secara materill.
7
2.
Seorang pegawai dapat menyuruh pegawainya yang bekerja penuh padanya untuk
membuat satu ciptaan berdasarkan suatu perintah kerja ; dalam hal yang demikian si
majikan adalah pencipta pertama ciptaan yang diperintahkan kepada pekerjanya.
3.
Dua atau lebih orang atau badan hukum/usaha dapat menjadi pencipta bersama dari
suatu ciptaan pertama.
Pemegang Hak Cipta mempunyai kedudukan yang tinggi terutama pencipta yang
pertama. Pada umumnya Pencipta memiliki hak yang sangat eksklusif atau hak yang
istimewa yaitu :
1.
Hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan yang dilindungi. Ini berarti
bahwa si Pencipta dapat memproduksi ciptaannya sesuai dengan kemauannya
tentunya tidak secara besar-besaran pastilah Pencipta mempunyai strategi untuk
melakukan pembatasan atas karya ciptanya
yang tujuannya adalah untuk
menghindari tindak pidana pemalsuan Hak Cipta.
2.
Mendistribusikan ciptaan yang telah diperbanyak dengan cara menjualnya, menitip
jualkan (konsinyasi), menyewakan atau cara-cara lain.
Tentunya dalam point ini
Pencipta; juga mempunyai strategi pasar yaitu penjualannya tidak sembarang artinya
hanya dijual pada toko-toko tertentu seperti mall , toko kaset dan lain-lain.
Undang-undang sebelumnya yaitu dalam Auteurswet 1912 Hak Cipta hanya dibatasi jangka
waktunya sampai 50 tahun, tetapi dalam UUHC 1982, dibatasi hanya 25 tahun sebagai
bentuk perlindungan hukum. Kemudian dalam UUHC No 7 tahun 1987 dan UUHC No 12
tahun 1997 kembali dimajukan menjadi seumur hidup pencipta dan 50 tahun mengikuti
ketentuan Bern Convention (sebelum direvisi) tahun 1967 yang kita ketahui di adopsi oleh
Auteurswet. Perubahan-perubahan dalam ketentuan tersebut membuktikan begitu kuatnya
pengaruh budaya hukum asing kedalam hukum Indonesia. Pada UUHC No 19 Tahun 2002
disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah 50 tahun sampai seumur
hidup. Sedangkan bila si penciptanya telah meninggal dunia maka akan ditambah menjadi
50 tahun lagi di mana yang berhak untuk memerima royaltinya adalan ahli waris dari si
pencipta itu sendiri. Untuk lebih rincinya jangka waktu perlindungan hak cipta diatur di
dalam Pasal 34 Undang-undang No 19 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa :
“Tanpa mengurangi hak pencipta atas jangka waktu perlindungan hak cipta terhitung sejak
lahirnya suatu ciptaan, jangka waktu perlindungan bagi ciptaan yang dilindungi :
8
a. selama 50 (lima puluh ) tahun ;
b. selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah
pencipta meninggal dunia.
Dimulai sejak I januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan,
diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah pencipta meninggal dunia”.
Jangka waktu perlindungan ini dimaksudkan untuk
menghindari pihak-pihak yang ingin
memalsukan Hak Cipta. Hal Ini berarti bahwa Undang-Undang Hak Cipta memberikan
perlindungan hukum bagi si Pencipta dan diharapkan dengan adanya jaminan dari undangundang ini, maka Pencipta akan terlindungi haknya dari para pembajak.
Perlindungan hukum adalah elemen atau unsur yang memegang peranan penting dari
penegakan hukum. Selain itu perlindungan hukum juga menjadi suatu standar bahwa
hukum itu akan efektif berlaku ditengah-tengah masyarakat yang heterogen atau majemuk
seperti yang ada di Indonesia.
Adapun teori yang sangat berpengaruh terhadap perlindungan dan penegakan
hukum adalah teori hukum alam yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Teori ini sangat
berkembang di negara-negara yang menganut sistim hukum Civil Law. Teori hukum alam
disebut sebagai hak moral yang digunakan sebagai landasan moral atas tuntutan untuk
melindungi kekayaan intelektual (Agus Sardjono, 2004 :27).
Sistem Hak atas Kekayaan Intelektual didasarkan pada prinsip-prinsip satu diantaranya
adalah prinsip keadilan (The Principle of
Natural Justice). Ini menunjukkan bahwa
seseorang atau kelompok penemu (Invetor)
baik itu masyarakat tradisional atau tidak
menemukan sebuah penemuan (Invention) atau orang lain yang bekerja sama dengannya
(misalnya menjadi pegawai) dan membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya. Wajar
memperoleh imbalan baik berupa
materi misalnya uang, atau Immateri misalnya
pengakuan atas karya ciptanya atau penemuannya. Adapun tujuan akhir dari suatu
perlindungan hukum dan penegakan hukum adalah terpeliharanya dan tercapainya
ketaatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum baik yang berlaku secara umum maupun
yang secara khusus. menurut Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh Satjipto Raharjo
mengatakan bahwa “ Hukum positif adalah tatanan hukum mulai dari hukum dasar sampai
kepada peraturan-peraturan yang paling konkrit atau individual. Ini dimaksudkan bahwa
9
hukum positif itu selalu dimulai dari norma tertinggi artinya segala sesuatu dilihat segi
undang-undang.
Perlindungan hukum terhadap hak cipta lahir dari latar belakang pemikiran yaitu pencipta
dalam membuat suatu ciptaan telah mengeluarkan tenaga, pikiran dan dana yang tidak
sedikit. Itulah alasannya mengapa Pencipta dan karya ciptaannya harus diberikan
perlindungan hukum,
selain itu pemberian perlindungan hukum sangat erat kaitannya
dengan hak moral dan hak untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis. Hak moral
merupakan hak dimana si pencipta harus diakui sebagai pencipta pertama, sedangkan hak
ekonomis dalam bentuk royalti yaitu keuntungan yang diberikan dari pengguna hak cipta
kepada pencipta.
Beberapa peraturan di bidang Hak Cipta yang mendasari perlindungan terhadap Hak Cipta
di Indonesia yakni :
1.
Peraturan Pemerintah
No. 14 tahun 1986 jo Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 7 tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta.
2.
Peraturan Pemerintah
No. 1 tahun 1989 tentang Peterjemahan dan atau
Perbanyakan Ciptaan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian
dan pengembangan.
3.
Keputusan Presiden No. 18 tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention For
The Protection Of Literary and Artistic Works.
4.
Keputusan Presiden
No. 19 tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copy rights
Treaty.
5.
Keputusan Presiden No. 74 tahun 2004 tentang Pengesahan WIPO Performances
and Phonogram Treaty (WPPT).
6.
Keputusan Presiden No. 17 tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta Terhadap atas karya
Rekaman Suara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa.
7.
Keputusan Presiden No. 25 tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta Atas Karya Rekaman
Suara Antara Negara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat.
8.
Keputusan Presiden No. 38 tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta Atas Karya Rekaman
Suara Antara Negara Republik Indonesia dengan Australia.
10
9.
Keputusan Presiden No. 56 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta Atas Karya Rekaman
Suara Antara Negara Republik Indonesia dengan Inggris.
10. Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 01-HC.03.01 tahun 1987
tentang Pendaftaran Hak Cipta.
11. Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.04.PW.07.01 tahun 1988 tentang
Penyidikan Hak Cipta.
12. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik IndonesiaNo. M.04.PW.07.01. tahun 1990
tentang Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta.
13. Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No. M.02.HC.03.01 tahun 1991 tentang
Kewajiban Melampirkan NPWP dalam Permohonan Pendaftaran Ciptaan dan
Pencatatan Pemindahan Hak Cipta Terdaftar.
Perlindungan Hak Cipta sebagai hak kebendaan yang immateril maka kita akan teringat
kepada hak milik. Hak milik menjamin kepada pemilik untuk menikmati dengan bebas dan
boleh pula melakukan tindakan hukum dengan bebas terhadap miliknya itu. Hak cipta
merupakan hak yang dapat dimiliki, dapat menjadi obyek kepemilikan atau hak milik dan
oleh karenanya hak cipta itu berlaku syarat-syarat kepemilikan, baik mengenai cara
penggunaannya maupun cara pengalihan haknya yang diatur dalam Undang-Undang No
19 Tahun 2002 akan memberikan perlindungan sesuai dengan sifat hak tersebut. Perlu
diingat bahwa perlindungan hukum
yang diberikan oleh Undang-Undang No 19 Tahun
2002 khususnya Pasal 72 ayat (1), (2), (3)
tidak lain adalah untuk menstimulir atau
merangsang para pencipta agar terus mencipta dan lebih kreatif. Suatu ciptaan yang baru
lahir atau ciptaan yang sudah ada sebelumnya harus didukung oleh perlindungan hukum
khususnya dari aspek pidana sebab dalam perlindungan hukum secara pidana terdapat
suatu sanksi yang berupa pidana sehingga diharapkan para pembajak atau pelanggar hak
cipta akan jera. Hal ini akan menjadi suatu hal yang sangat mustahil bila saja ancaman
pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Cipta terlalu ringan sebab ini akan
mengakibatkan terjadinya pengulangan pelanggaran hak cipta yang lebih bervariasi dan itu
sangat membahayakan baik bagi pencipta maupun bagi negara.
Lebih lanjut untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak cipta maka Undangundang No. 19 Tahun 2002 telah mengatur mengenai
pendaftaran hak cipta sebagai
langkah nyata memberikan perlindungan hukum atas ciptaan yang dibuat oleh pencipta
11
atau pengarang. Khusus untuk hak cipta perlindungan hukumnya diberikan secara otomatis
yaitu ketika ciptaan itu dihasilkan, tetapi hal itu belumlah cukup, maka demi memberikan
perlindungan hukum yang lengkap maka harus didaftarkan ke Dirjen HKI pada kementerian
Hukum dan HAM.
Adapun prosedur pendaftaran hak cipta menurut Undang-undang No 19 Tahun 2002 diatur
dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 44. Menurut Pasal 35 Undang-undang No. 19 Tahun
2002 menyatakan bahwa :
(1)
Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam
Daftar Umum Ciptaan.
(2)
Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oaleh setiap orang tanpa dikenai
biaya.
(3)
Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar
Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4)
Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Berdasarkan penjelasan Pasal 35 di atas menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal HAKI
merupakan suatu instansi yang menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam
Daftar Umum Ciptaan. Bagi setiap orang yang yang mendaftarkan hasil ciptaannya kepada
Direktorat Jenderal HAKI maka akan dikenakan biaya.
Pada dasarnya Direktorat Jenderal HAKI tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud
atau bentuk dari ciptaan yang didaftar oleh Pendaftar, ini tertuang pada penjelasan Pasal 36
UUHC. Artinya bahwa penciptalah yang bertanggung
jawab atas isi, arti, maksud dan
bentuk ciptaan yang didaftar, bukan Direktorat Jenderal. Direktorat Jenderal hanya
mengadakan penelitian secara formal tentang ciptaan yang akan dimasukkan ke dalam
Daftar Umum Ciptaan.
12
Selanjutnya pada Pasal 37 UUHC mengatakan bahwa pendaftaran ciptaan dalam daftar
umum ciptaan dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh pencipta atau oleh
pemegang hak cipta atau kuasa. Yang dimaksud dengan kuasa di sini adalah Konsultan
Hak Kekayaan Intelektual yaitu orang yang memiliki keahlian dibidang HAKI (Hak Kekayaan
Intelektual) yang khusus memberikan jasa untuk melakukan pengurusan permohonan Hak
Cipta, Paten, Merek, Desain Industri serta bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual lain dan
terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.
Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal HAKI dengan surat rangkap 2 (dua),
yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia dan disertai dengan contoh ciptaan atau
penggantinya dengan dikenai biaya (Pasal 37 ayat (2)). Yang dimaksud dengan contoh
ciptaan pengganti adalah contoh dari ciptaan yang dilampirkan pada saat pendaftaran
misalnya foto motif kain tenun, contoh patung dan sebagainya. Setelah
dilakukan
pendaftaran maka Direktorat Jenderal HAKI akan memproses permohonan dimaksud,
artinya proses permohonan ini dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum.
Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang secara
bersama-sama berhak atas suatu ciptaan, permohonan tersebut dilampiri salinan resmi akta
atau keterangan tertulis yang membuktikan hak tersebut (Pasal 38 UUHC). Berdasarkan
Pasal 39 Daftar Umum Ciptaan memuat isi antara lain sebagai berikut :
1.
nama pencipta dan pemegang hak cipta
2.
tanggal penerimaan surat permohonan,
3.
tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37
4.
nomor pendaftaran ciptaan UUHC.
Pendaftaran Permohonan Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya
permohonan oleh Direktorat Jenderal HAKI, kemudian selanjutnya pendaftaran tersebut
13
diumumkan dalam berita resmi ciptaan oleh Direktorat Jenderal HAKI hal ini sesuai dengan
Pasal 40 ayat (1), (2) UUHC.
Mengenai pemindahan hak atas pendaftaran ciptaan yang terdaftar dalam satu nomor,
hanya diperkenankan jika seluruh ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan kepada penerima
hak. Mengenai pemindahan itu dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan
tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya. Pencatatan
hak tersebut biasanya diumumkan dalam berita acara resmi Ciptaan Direktorat Jenderal
HAKI (Pasal 41 ayat 91), (2), (3)) UUHC. Jika dikemudian hari ternyata ada orang yang
berkeberatan atas pendaftaran suatu ciptaan maka orang tersebut dapat mengajukan
pembatalan atas pendaftaran tersebut kepada pengadilan niaga yaitu pengadilan yang
khusus
mengadili tentang sengketa bisnis termasuk HAKI, pengadilan niaga ini hanya
berada di ibu kota negara Indonesia yaitu di Jakarta.
Jika tidak ada pihak yang merasa berkeberatan atas suatu ciptaan dan permohonan
tersebut setelah diteliti secara formal dan dinyatakan diterima maka ciptaan tersebut akan
dimasukkan kedalam Daftar Umum Ciptaan. Permohonan ditolak oleh Direktorat Jenderal
HAKI, maka Direktorat Jenderal HAKI akan mengirim berkas kembali disertai dengan
alasan-alasan mengapa ditolak. Jika Permohonan terus ditolak dan tidak disertai alasan,
pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
Akibat hukum dari pendaftaran ciptaan adalah jika permohonan diterima selain ciptaan
pemohon dimuat dalam Daftar Umum Ciptaan dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara, maka pencipta berhak atas ciptaan yang dibuatnya, konsekwensinya ia berhak
mendapatkan Hak Ekonomi dan Hak Terkait serta hak-hak lain yang diberikan undangundang Hak Cipta. Sedangkan jika ditolak maka pemohon dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Niaga di Jakarta. Menurut Rooseno Harjowidigdo menyatakan bahwa “
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang dikabulkannya atau ditolaknya gugatan
itu merupakan putusan final, artinya keputusan itu tidak dapat dibanding ke Pengadilan
Tinggi, karena bentuk putusan itu berupa penetapan”
14
Perlindungan hukum terhadap karya tradisional seperti lagu daerah, kain tenun, dan hasil
kerajinan tangan daerah lainnya untuk menghindari penjiplakan atau kalim negara lain
bukan hanya bertumpu kepada
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah saja, tetapi masyarakat lokal atau tradisional mempunyai perlindungan hukum
tersendiri. Perlindungan hukum yang dimaksud itu adalah dengan mengaaktifkan hukum
atau norma-norma yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat tersebut atau yang disebut
sebagai Living Law. Living Law ini sama dengan perlindungan budaya yaitu serangkaian
usaha yang dilakukan oleh masyarakat tradisional atau masyarakat lokal yang bertujuan
untuk melindungi
dan mempertahankan hasil kebudayaannya dengan menggunakan
hukum yang ada dalam masyarakat tradisional tersebut seperti hukum adat. Selain itu
aparat pemerintah yang ada di negara sahabat seperti KBRI (Kedutaan Besar Republik
Indonesia) harus melakukan pengawasan secara berkala dan kontinu serta mengambil
tindakan-tindakan diplomatik berdasarkan undang-undang yang berlaku terhadap negara
sahabat yang melakukan klaim terhadap hak cipta bangsa Indonesia.
Konsep perlindungan hukum terhadap karya cipta tidak hanya terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Cipta saja, tetapi juga bertumpu kepada
organisasi-organisasi
kemasyarakatan
seperti
LSM
yang
bergerak
dalam
bidang
pemberantasan pembajakan terhadap hak cipta, organisasi dan asosiasi musik dan lagu
(ASIRI). Dengan demikian semua pihak berperan dengan terjun langsung dalam usaha
pemberantasan pemabajakan dan penjiplakan hak cipta.
Peran serta Dewan Hak Cipta di dalam memberantas pelanggaran terhadap hak cipta
memang sangat diperlukan dan sifatnya wajib sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal
48 ayat (1) Undang-undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa :
“ Untuk membantu Pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pembimbingan serta
pembinaan Hak Cipta, dibentuk Dewan Hak Cipta”.
Adapun keanggotaan dari Dewan Hak Cipta ini terdiri dari wakil pemerintah yaitu
Departemen Hukum dan HAM, wakil organisasi profesi seperti asosiasi Rekaman Indonesia
(ASIRI) dan lain sebaginya,anggota masyarakat yang memiliki kompetensi di bidang Hak
Cipta seperti konsultan Hak Cipta dan kesemua anggota ini diangkat dan diberhentikan oleh
presiden atas usul Menteri Hukum dan HAM.
Adanya gugatan dari Pencipta terhadap para pelaku pembajakan sebagai bentuk dari
pemberian perlindungan hukum oleh undang-undang diajukan ke Pengadilan Niaga oleh
15
Pencipta sebagi Penggugat, dimana pemeriksaan gugatannya dimulai dalam jangka waktu
paling lama 60 hari setelah gugatan didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 60 Undangundang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. kemudian disertai dengan pemanggilan para
pihak paling lama 7 hari setelah gugatan didaftarkan, selanjutnya putusan gugatan harus
diucapkan paling lama 90 hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling
lama 30 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat di
dalam Pasal 61 Undang-undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Terhadap putusan
Pengadilan Niaga dapat dimintakan kasasi paling lama 14 hari setelah tangga putusan
dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan
kepada pengadilan yang telah menutus gugatan tersebut Pasal 62 ayat (1) dan (2).
Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini Pencipta, pengadilan Niaga
dapat menerbitkan surat penetapan dengan segera dan efektif (Pasal 67 Undang-undang
No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta) untuk :
1.
mencegah berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, khususnya mencegah masuknya
barang yang diduga melanggar Hak Cipta atau Hak Terkait ke dalam jalur
perdangan, termasuk tindakan importasi.
2.
menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
tersebut guna menghindari terjadinya kehilangan barang bukti.
3.
meminta para pihak yang dirugikan, untuk memberikan bukti yang menyatakan
bahwa pihak tersebut memang berhak atas Hak Cipta atau Hak Terkait dan
Pemohon tersebut memang sedang dilanggar.
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap Hak Cipta di Indonesia akan
berjalan dengan efektif dan optimal, jika teori yang dikemukakan oleh Laurence Friedman
yaitu tentang Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum telah sinkron, dari
ketiga hal ini jika dapat dilaksanakan dengan konsisten oleh semua pihak yang terkait maka
penegakan serta perlindungan hukum dalam rangka mewujudkan supremasi hukum akan
tercapai. Apabila satu item atau unsur tidak berjalan optimal, maka dapat dipastikan bahwa
perlindungan hukum serta penegakan hukum tidak mungkin akan tercipta. Demikian pula
halnya dengan peraturan tentang Hak Cipta telah ada (substansi hukum), tetapi yang
menjadi persoalan adalah struktur hukum yang masih belum memahami tentang substansi
ditambah lagi dengan budaya hukum masyarakat yang masih memberikan peluang untuk
terjadinya pembajakan Hak Cipta.
16
Di luar faktor tersebut di atas, pengamanan terhadap Undang-Undang Hak Cipta itu sendiri
ternyata menunjukkan masih perlunya dilakukan beberapa penyempurnaan :
1.
Ancaman pidana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 72 Undang-Undang No 19
Tahun 2002 dinilai terlalu ringan dan kurang mampu menjadi penangkal terhadap
pelanggaran Hak Cipta sebab tidak sebanding dengan kerugian materiil maupun morill
yang diderita oleh pencipta yang dalam hal ini sebagai korban. Selain itu keuntungan
yang didapat oleh para pembajak melebihi ancaman pidana yang dimaksud dalam
Pasal 72 terutama tentang denda.
2.
Pelanggaran terhadap hak cipta harus diperlakukan sebagai tindak pidna biasa dan
bukan lagi sebagai delik aduan artinya bahwa polisi dan aparat penegak hukum lainnya
dapat mengusut dan melakukan penyidikan hanya berdasarkan laporan dari pencipta
yang haknya telah dipalsukan. Jadi di sini polisi harus lebih proaktif dalam menangani
laporan yang diajukan oleh pelapor karena bagaimanapun juga pencipta di sini adalah
orang yang telah dilanggar haknya.
Masalah perlindungan hukum serta penegakan hukum di lapangan adalah tanggung jawab
dari semua unsur yang ada di masyarakat serta pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah untuk terus mengkampanyekan tentang perlindungan terhadap Hak Cipta bukan
hanya karya cipta yang terdapat didalam Pasal 12 saja juga terhadap produk asli daerah
yang bernilai seni, sebab beberapa fakta temuan di lapangan beberapa motif batik dan motif
ukiran daerah misalnya Bali dan Jawa pada umumnya telah diklaim atau diakui sebagai
milik negara tetangga Malaysia. Hal ini tidak akan terjadi jika bangsa Indonesia lebih konsen
lagi melindungi secara hukum atas hasil karya tradisional.
B. Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran Terhadap Hak Cipta
Perkembangan dewasa ini pelanggaran terhadap hak cipta semakin hari semakin
meningkat dan memprihatinkan dengan modus operandi yang kian canggih, bahkan sudah
melewati batas negara. Pada tahun 1999 petugas Bea dan Cukai Bandara Internasional
Soekarno Hatta, membongkar 80 koli barang impor dari Malaysia, karena barang itu
mengendap lebih dari 30 hari, setelah dibongkar ternyata paket itu berisi 65.000 kaset porno
dan 9000 VCD ilegal. Akibat masuknya VCD illegal ini , negara dirugikan sebesar Rp. 3,655
milyar. (Suara Karya Edisi 13 September 1999 dalam Hendra Tanu Atmadja, 2004: 1).
Selain itu Lies Hadi Shandy, setelah bekerja keras ia hanya mendapat 20 juta dari album
Dewi Yull dan Rp 12 juta dari album Titik Puspa, karena banyaknya bajakan kedua album
17
tersebut. (Lies Hadi Shandy &Rinto Harahap, Kompas Edisi Sabtu 3 Mei 2000 dalam
Hendra Tanu Atmadja, 2004: 2)
Berdasarkan dua contoh di atas peredaran VCD illegal dan album penyanyi terkenal yang
dibajak telah sangat meresahkan dan memprihatinkan semua kalangan bak kalangan artis,
penyanyi, praktisi hokum dan akademisi hokum, sebab jika terus dibiarkan berlarut-larut
tanpa ada langkah yang nyata dari pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum maka
berapa kerugian lagi yang akan diderita oleh para pencipta dan akibat seriusnya adalah
pencipta tidak akan mau lagi menciptakan karya bermutu.
Pembajakan atas hak cipta merupakan masalah dunia bukan hanya di Indonesia, di
Amerika Serikat dalam sebuah laporan House Report pada tahun 1981, dikatakan bahwa
volume perdagangan dunia yang dilakukan oleh para pembajak di Amerika Serikat pada
waktu itu telah melebihi 100 juta dollar Amerika. (Santa Clara Law Review Vol 21, 1981:
361 dalam Hendra Tanu Atmadja, 2004: 3)
Mencermati banyaknya pelanggaran hak cipta di atas, maka secara umum faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak cipta adalah :
1.
Faktor rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap sangat pentingnya
mendaftarkan ciptaannya untuk memperoleh perlindungan hukum.
2.
Sikap mental masyarakat yang hanya menginginkan keuntungan ekonomis, dimana
hal ini berkaitan erat dengan masalah perekonomian yang melilit masyarakat kita
pada saat ini.
3.
Belum terbinanya sikap saling pengertian serta kesatuan pemahaman antara
masyarakat dengan aparat penegak hukum tentang substansi yang terdapat dalam
Undang-undang No 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Rendahnya tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat
untuk mendaftarkan karya
ciptanya merupakan faktor utama dari banyaknya kasus pelanggaran atau pembajakan hak
cipta di Indonesia, terutama yang terjadi pada masyarakat pengerajin tradisional.
Seharusnya menurut penulis walaupun hak cipta atas kerajinan rakyat sebagaimana yang
dimaksud di dalam Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa :
“Negara memegang Hak Cipta atas foklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi hak
milik bersama bangsa seperti cerita, hikayat, dongeng, lagu, kerajinan tangan, koreografi,
tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya”.
18
Kita hendaknya jangan terpaku dengan substansi yang terdapat di dalam undang-undang
tersebut tetapi juga pada penegakan hukumnya, sebab beberapa kasus pelanggaran hak
cipta dalam bentuk pengakuan terhadap hasil karya cipta tradisional yang klaim oleh negara
lain seperti Malaysia mengandung makna bahwa negara masih belum mampu untuk
melindungi karya seni tradisional. Oleh karena itu perlindungan ganda baik dari masyarakat
adat maupun negara dalam hal ini instansi terkait sangat dibutuhkan.
Penyadaran terhadap masyarakat dalam hal untuk mendaftarkan karya ciptanya
ini
bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilakukan, instansi terkait dalam hal ini Dirjen HAKI
Departemen Hukum dan HAM harus mengadakan berbagai sosialisasi ke daerah-daerah
secara kontinu dan komperhensip yang bertujuan untuk menggugah kesadaran,
meningkatkan pemahaman tentang perlunya mendaftarkan hak ciptanya.
Faktor sikap mental masyarakat yang hanya menginginkan keuntungan ekonomis atau
profit oriented juga menjadi penentu utama terjadinya pelanggaran atas hak cipta,
bagaimana tidak seperti pembajakan atas kaset serta lagu dalam bentuk CD dan VCD
sudah tentu sangat menguntungkan, sebab orang senang membeli hasil bajakan daripada
membeli yang asli karena harganya relatif sangt murah. Kita bisa membayangkan berapa
hasil karya cipta dalam bentuk lagu dan musik yang telah diedarkan di pasaran tanpa
sepengetahuan Pencipta dan berapa banyak kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan
tersebut. jika penulis rinci bahwasannya keuntungannya bisa berlipat ganda dan setahun
bisa diperkirakan ratusan hingga miliaran rupiah bisa diperoleh oleh pembajak, hal ini
tentunya sangat fantastis karena pembajak didukung oleh alat-alat yang sangat canggih
dalam hal penggandaaan karya cipta.
Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap Undang-undang Hak Cipta juga
sangat menentukan banyaknya terjadinya pelanggaran hak cipta. Jika penulis menganalisa
dari berbagai kejadian yang terjadi di media elektronik dan media cetak yang berkaitan
dengan pelanggaran hak cipta maka aparat penegak hukum hanya melakukan razia
terhadap barang-barang hasil pembajakan, padahal pembajakan tersebut seperti jamur di
musim hujan yang dicabut tumbuh kembali.
C. Upaya Penanganan Terhadap Pelanggaran Hak Cipta
Dalam upaya untuk mengatasi pelanggaran atas hak cipta diperlukan beberapa langkah
nyata dari semua pihak seperti para pencipta lagu, masyarakat, pemerintah, aparat
19
penegak hukum dan Yayasan Karya Cipta Indonesia yaitu melakukan penyadaran untuk
mendaftarkan ciptaannya
ke Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM dan harus
mengadakan berbagai sosialisasi ke daerah-daerah secara kontinu dan komperhensif yang
bertujuan untuk menggugah kesadaran, meningkatkan pemahaman tentang perlunya
mendaftarkan atas hak ciptanya.
Faktor sikap mental masyarakat yang hanya menginginkan keuntungan ekonomis atau
profit oriented juga menjadi penentu utama terjadinya pelanggaran atas hak cipta,
bagaimana tidak seperti pembajakan atas kaset serta lagu dalam bentuk CD dan VCD
sudah tentu sangat menguntungkan, sebab orang senang membeli hasil bajakan daripada
membeli yang asli karena harganya relatif sangt murah. Kita bisa membayangkan berapa
hasil karya cipta dalam bentuk lagu dan musik yang telah diedarkan di pasaran tanpa
sepengetahuan Pencipta dan berapa banyak kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan
tersebut. jika penulis rinci bahwasannya keuntungannya bisa berlipat ganda dan setahun
bisa diperkirakan ratusan hingga miliaran rupiah bisa diperoleh oleh pembajak, hal ini
tentunya sangat fantastis karena pembajak didukung oleh alat-alat yang sangat canggih
dalam hal penggandaaan karya cipta.
Dalam rangka mendukung penyadaran atas pendaftaran hak cipta tersebut agar mendapat
perlindungan hukum, tentunya harus didukung pula dengan peningkatan penyadaran oleh
aparat penegak hukum dalam arti aparat penegak hukum harus mampu menguasai secara
mendalam mengenai substansi yang terdapat di dalam Undang-undang No 19 tahun 2002
tentang Hak Cipta, sehingga diharapkan mampu menditeksi dan tentunya dapat membantu
dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Jika aparat penegak hukum kurang
memahami substansi di dalam undang-undang hak cipta, maka akibatnya akan terjadi
pembiaran terhadap pelanggaran hak cipta karena aparat belum mampu mengidentifikasi
unsur-unsur dari tindak pidana pembajakan atas hak cipta.
Adapun hambatan-hambatan yang terjadi di lapangan dalam rangka penegakan hukum
terutama dalam bidang hak cipta
yaitu
Pertama, penyampaian norma-norma dalam
bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh masyarakat. Kedua sebab-sebab kurang
dipatuhinya hukum adalah terletak pada kemungkinan terjadinya konflik antara tujuan
pembuat undang-undang dengan ciri-ciri dan keadaan di masyarakat, untuk siapa hukum itu
diberlakukan. Dalam banyak
hal, undang-undang baru hanya akan berlaku
setelah
diterima oleh masyarakat, dimana masyarakat itu harus tunduk pada undang-undang yang
20
dibuat itu. Ketiga pengimplementasian norma-norma dalam suatu undang-undang,
adakalanya kurang menarik, dibandingkan dengan tugas-tugas lain yang lebih besar
insentifnya bagi Penegak Hukum. Keempat, adakalanya undang-undang tidak diikuti oleh
aparatur dan prasarana yang cukup untuk melaksanakan undang-undang tersebut .
(Hendra Tahu Atmadja, 2004 : 23). Penegakan hukum sangat berkaitan dengan
perlindungan hukum. Perlindungan hukum akan ada jika hukum itu sudah ditegakkan baik
itu dalam tataran substansi, struktur, maupun cultur hukum serta didukung pula oleh sarana
dan prasana yang memadai.
Substansi hukum yang terdapat di dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 terutama di
dalam Pasal-Pasal yang menyangkut sanksi pidana yaitu Pasal 27 ayat (1),(2) dan (3) perlu
diperberat lagi ancaman pidananya sebab jika terus dipertahankan ancaman pidana yang
relatif kecil tersebut, maka hal inilah yang memberikan peluang kepada pembajak secara
leluasa untuk melakukan pemalsuan yang tanpa mengenal batas dan tentunya berakibat
kepada matinya kereasi dari para seniman kita maupun para budayawan yang ada.terdapat
Mengenai sanksi pidana yang terdapat di dalam Pasal 27 ayat (1),(2) dan (3) Undangundang No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta harus dilakukan revisi, sebab mengingat
maraknya terjadinya pembajakan dengan berbagai modus operandi yang canggih serta
sudah sangat menghawatirkan, maka sanksi pidananya harus diperberat baik itu ketentuan
pidana pokok dan pidana tambahannya.
Struktur hukum dalam hal ini aparat penegak hukum baik itu Kepolisian, Jaksa, Hakim
harus sigap dalam melaksanakan Undang-undang sebab aparat penegak hukum
merupakan ujung tombak dari pelaksanaan hukum. Jika aparat penegak hukum tidak
mempunyai pemahaman terhadap Undang-undang dalam kaitannya dengan Hak Cipta,
maka tidak mungkin pembajakan akan segera diberantas asampai keakar-akarnya.
Selain itu upaya yang seharusnya ditempuh oleh Pemerintah adalah Departemen Hukum
dan HAM terutama Dirjen HAKI harus
terus memberikan arahan serta bimbingan dan
menyederhanakan proses pendaftaran terhadap karya cipta. Sebab jika hal ini tidak
diperhatikan maka Pencipta akan merasa kesulitan untuk mendaftarkan ciptaannya
sehingga kesulitan pula untuk mendapatkan perlindungan hukum atas karyanya.
Aparat penegak hukum dalam hal ini pihak Kepolisian maupun Kejaksaan perlu melakukan
upaya yang refresif yang berkaitan dengan pemberantasan pembajakan dalam rangka
21
memberikan perlindungan hukum kepada Pencipta yaitu dengan melakukan operasi PEKAT
(Operasi Penyakit Masyarakat)
Budaya hukum berkaitan erat dengan
sikap mental masyarakat, jika sikap mental
mayarakat Indonesia masih saja mempunyai sikap yang lebih menginginkan keuntungan
yang bersifat ekonomis atau Profit Oriented , maka penegakan hukum terhadap Hak Cipta
tidak akan dapat berjalan dengan baik. Memang hal ini sangatlah dilematis dimana
kemauan antara pembuat Undang-undang (Legal Drafter) dengan masarakat menjadi
sangat berbeda karena alasan ekonomis. Disini masyarakat perlu disadarkan dengan
adanya semacam pendekatan yang bersifat persuasif yaitu dengan sosialisasi dan
pengarahan tentunya masyarakat akan tergugah untuk lebih memperhatikan lagi serta
perduli dengan bahaya pembajakan.
KESIMPULAN
1. Agar mendapatkan perlindungan hukum terhadap hak cipta menurut Undang-undang
No 19 Tahun 2002, maka setiap pencipta harus mendaftarkan karya ciptanya ke Dirjen
HKI pada Kementrian Hukum Dan HAM RI, adapun jangka waktu perlindungan
hukumnya telah diatur di dalam Pasal 34 Undang-undang No 19 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa Tanpa mengurangi hak pencipta atas jangka waktu perlindungan
hak
cipta
terhitung sejak lahirnya suatu ciptaan, jangka waktu perlindungan bagi
ciptaan yang dilindungi a. selama 50 (lima puluh ) tahun ;b. selama hidup pencipta dan
terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Dimulai sejak I januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan,
diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah pencipta meninggal dunia.
2. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak cipta berupa
pemalsuan dan pembajakan yaitu Faktor rendahnya tingkat pemahaman masyarakat
terhadap sangat pentingnya mendaftarkan ciptaannya untuk memperoleh perlindungan
hokum,Sikap mental masyarakat yang hanya menginginkan keuntungan ekonomis,
dimana hal ini berkaitan erat dengan masalah perekonomian yang melilit masyarakat
kita pada saat ini,Belum terbinanya sikap saling pengertian serta kesatuan pemahaman
22
antara masyarakat dengan aparat penegak hukum tentang substansi yang terdapat
dalam Undang-undang No 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
3. Upaya penanganan terhadap terjadinya pelanggaran hak cipta yaitu aparat penegak
hukum
bersama semua pihak harus melakukan penyadaran dengan melakukan
sosialisasi kepada masyarakat tentang perlunya melindungi karya cipta, selain itu
dengan meningkatkan pemahaman aparat penegak hukum terhadap substansi yang
terdapat dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, serta
menambah sanksi pidana yang terdapat di dalam Pasal 72 ayat (1), (2) dan (3) Undangundang No. 19 Tahun 2002 baik dari segi pidana pokok maupun pidana tambahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja Tanu Hendra. Perlindungan Hak Cipta Musik dan Lagu. Hatta Internasional. Jakarta.
2004.
Budi Insan Maulana, Bianglala HAKI (Hak Kekayaan Intelektual). PT Hecca Mitra Utama,
Jakarta. 2005 Hal 23
Dirdjosisworo, Soedjono. Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual( Hak
Cipta, Hak Paten,Hak Merek). Mandar Maju. Bandung 2000.
Damian Eddy, Hukum Hak Cipta, PT Alumni. Bandung 2002. Indonesia, Undang-Undang Hak
Cipta No 19 Tahun 2002, Citra Umbaran, Bandung.
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta No 19 Tahun 2002, Citra Umbaran, Bandung.
Rositawati Rona, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Program Komputer
Menurut Undang-undang Hak Cipta, Skripsi, FH UNS. 2001.
Sardjono Agus, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional,.PT Alumni, Bandung,
2006.
Download